Wiro Sableng 073 Guci Setan Bagian 3
tangan Sinto Gendeng. Petunjukmu ternyata membawa celaka!"
"Dan kau telah membuat sebelah mataku buta!" berteriak Jalak Item tak kalah
marahnya. "Kalian bicara seperti orang tolol!" sentak si orang tua. "Kau hendak mencari
pembunuh istrimu. Apa kau kira begitu gampang tanpa pengorbanan" Ingat! Aku
hanya memberi petunjuk. Apa kau mau melakukannya atau tidak aku tidak perduli!
Apa akibatnya pada kalian aku tidak mau tahu!"
Kalau diperuntukkan kemarahannya saat itu mau rasanya Ramada mencekik
orang tua itu sampai mati. Dengan suara bergetar dia bertanya "Lalu kami harus
memanggilmu apa sekarang"!"
"Diriku sekarang adalah seorang juru ramal. Panggil aku juru ramal Sangkolo
Bumi," jawab orang tua berambut putih panjang. "Dekatkan Guci Setan itu padaku!"
Ramada Suro Jelantik memandang pada kedua anak buahnya yitu Jalak Item
dan Jalak Biru. "Binatang-binatang peliharaan kalian sudah lengkap semua?"
Jalak Biru dan Jalak Item sama-sama anggukkan kepala. Sejak kelabang dan
kalajengking mereka terbunuh di tangan Sinto Gendeng beberapa waktu lalu,
keduanya telah mendapatkan kala dan kelabag baru.
"Kalau dia menipu kita, aku tak akan memberi ampun lagi padanya!" kata Jalak
Item yang menaruh dendam kesumat pada si kakek. Dia membuka penutup keranjang
rotannya yang berisi tujuh ekor kala hitam beracun. Hal yang sama dilakukan oleh
Jalak Biru yang keranjang rotannya berisi tujuh ekor kelabang biru.
"Tak ada yang menipu kalian. Hanya kalian saja yang bertindak bodoh!"
jawab orang tua yang minta dipanggil dengan sebutan juru ramal Sangkolo Bumi
itu. "Kalau kalian memang tidak perlu diriku dan ingin membunuhku mengapa tidak
dilakukan dari tadi?"
Ramada dan dua anak buahnya terdiam. Perlahan-lahan mayat Dardini yang
sejak tadi dipanggul diturunkan lalu dibaringkan di atas rumput liar di dalam
hutan kecil yang terletak di satu kawasan sunyi di Selatan Kotaraja. Dalam hati
dia berkata "Kalau pembunuh istriku sudah kuhabisi aku bersumpah akan membunuh tua bangka
keparat ini!"
Tiba-tiba orang tua yang duduk bersila di tanah itu mengangkat kepalanya dan
menatap Ramada lekat-lekat hingga Ramada jadi tercekat dan bertanya-tanya apakah
orang tua itu mengetahui apa yang berusan diucapkannya dalam hati. "Turunkan
Guci Setan itu ke tanah dan dekatkan padaku!" si orang tua berkata.
Ramada berjongkok di hadapan orang tau yang dulu dikenal engan nama Ki
Ageng Lentut dan mengaku sebagai kuncen makam Pangeran Banowo itu lalu
mendekatkan Guci Setan ke hadapannya tanpa melepaskan benda itu dari pegangan
kedua tangannya.
Seperti dulu, sewaktu masih memakai nama Ki Ageng Lentut dan mengaku
sebagai kuncen makam Pangeran Banowo, orang tua ini letakkan kedua tangannya di
atas mulut guci yang mengeluarkan kepulan asap dan lidah api. Mulutnya berkomati
kamit. Perlahan-lahan matanya dipejamkan. Beberapa saat kemudian kelihatan
sekujur tubuh Sangkolo Bumi bergetar. Dari mulutnya meluncur ucapan
"Guci Setan guci keramat. Petunjuk bumi petunjuk langit. Lenyap asap padamkan
api. Munculkan air keramat. Ada orang meminta tolong. Sudi kiranya penguasa guci
memberi jawaban memeberi petunjuk!"
Bersamaan dengan akhir ucapan itu tubuh Sangkolo Bumi berubah menjadi
sangat hitam dan berkeriput. Tampangnya menyeramkan sekali. Hidung dan kedua
matanya membesar, begitu juga gigi-giginya. Kedua telinganya mencuat panjang.
Dari mulutnya keluar pertanyaan. Namun suaranya berubah aneh.
"Aku penghuni dan penguasa Guci Setan. Apa yang ingin kau tanyakan?"
Matanya memandang tak berkedip pada Ramada Suro Jelantik.
"Aku Ramada. Aku ingin mengetahui dimana Pendekar 212 Wiro Sableng saat ini
berada.... Dimana aku bisa membunuhnya!"
"Api di dalam guci, penghuni dna penguasa guci minta kau pergi. Air di alam
gaib. Masuk dan isilah Guci Setan. Penghuni dan penguasa guci hendak melihat ke
dalam alam gaib...."
Perlahan-lahan api di dalam guci mengecil. Kepulan asap iktu sirna. Di dalam
guci terdengar seperti ada air mencurah disertai hembusan angin. Guci itu kini
bergoyang keras hingga Ramada harus menggenggamnya erat-erat. Sangkolo Bumi
mendekatkan kepalanya ke mulut guci.
"Penguasa guci telah elihat air dan mendengar tiupan angin. Ada seorang bernama
Ramada ingin mengetahui dimana pembunuh istrinya berada. Namanya Wiro Sableng,
bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!"
Guci yang dipegang Ramada kembali berguncang keras. Sangkolo Bumi
melafatkan sesuatu lalu terdengar suaranya berkata. "Orang bernama Wiro Sableng
bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu berada dekat sekali. Pergilah ke
Timur. Masuk ke Girimulyo pada saat hari pasar. Kau akan menemui pemuda yang kau
cari tepat pada saat sang surya berada di titik tertingginya."
Mendengar kata-kata dari alam gaib itu Ramada segera mengangkat Guci Setan dari
hadapan Sangkolo Bumi. Dia cepat mendukung jenazah istrinya kembali lalu memberi
isyarat pada kadua anak buahnya. Tanpa banyak bicara lagi ketiga orang itu
tinggalkan si juru ramal begitu saja.
"Manusia-manusia tidak tahu peradatan," kata si orang tua perlahan. "Kalian
lihat sendiri apa yang bakal terjadi."
Hari pasar di Girimulyo jatuh pada hari Sabtu. Dejak pagi kota kecil itu ramai
oleh para pedagang dan para pembeli yang berdatangan dari berbagai penjuru. Di
pagi yang sama seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun mendatangi pengawal di
pintu gerbang gedung Kepatihan. Pada pengawal itu si anak menyerahkan satu
lipatan kertas "Apa ini?" bertanya pengawal.
"Ada seorang meminta saya menyerahkannya kemari," jawab si anak lalu cepat-cepat
pergi dari situ.
Pengawal tadi membuka lipatan kertas. Di situ tertera tulisan berbunyi : Wiro
Sableng alias Pendekar 212 pembunuh Pangeran Banuarto akan berada di pasar
Girimulyo siang ini. Saat yang baik untuk menangkapnya.
Menjelang tengah hari pasar sedang ramai-ramainya. Orang bukan hanya berjual
beli tapi banyak juga yang asyik melihat-melihat keramaian berupa tontonan.
Antara lain adu ayam, permainan judi dadu, ada pula semacam tontonan akrobat. Di
salah sat pusat keramaian tampak seorang tua berambtu putih panjang yang mengaku
sebagai ahli meramal tegal di tangah-tengah lingkaran orang banyak. Lalu dia
melangkah mundar mandir. Di tangannya orang tua ini memegang sebuah gong kecil.
Setiap kali sehabis dia memukul gong kecil itu, dia berseru.
"Aku Sangkolo Bumi, juru ramal yang mampu meramal di delapan penjuru
angin. Siapa yang ingin diramal nasibnya silahkan maju dan masuk ke dalam
kalangan. Ulurkan telapak tangan kanan kalian. Jangan malu-malu. Di tempat lain
aku memungut bayaran. Tapi di Girimulyo ini semua aku berikan cuma-cuma. Aku
tidak memungut bayaran! Kepandaianku merupakan sedekah bagi siapa yang suka
kutolong!"
Sekalipun dipungut bayaran akan banyak orang yang minta diramal nasibnya.
Apalagi tidak perlu merogoh kocek. Masa itu ilmu mereamal merupakan kepandaian
langka. Jarang ada peramal yang memanfaatkan kepandaiannya secara terbuka di
tempat umum seperti yang dilakukan orang tua berambut dan berjubah putih itu.
Orang banyak berdesak-desakan minta diramal nasibnya. Si orang tua melayani
mereka satu persatu sampai akhirnya sepasang matanya melihat ada tiga orang
penunggang kuda di kejauhan. Yang di depan sekali memanggul sesosok mayat dan
memegang sebuah guci. Di belakangnya menyusul lelaki angker berwajah hitam dan
biru. Ketiganya tentu saja adalah Ramada Suro Jelantik bersama Jalak Item dan
Jalak Biru. Juru ramal Sangkolo Bumi menyeringai. Matanya mengerling ke jurusan lain.
Di antara orang banyak yang membentuk lingkaran dia melihat soran gpemuda
berambut gondrong. Dengan gerakan cepat dia mendekati pemuda ini. Sambil
tersenyum dan berkata.
"Anak muda, wajahmu tampan, tubuhmu perkasa. Apakah kau tak ingin aku
ramalkan?"
"Terima kasih juru ramal. Lain kali saja," jawab si pemuda.
"Ah jangan malu apalagi takut. Aku datang ke Girimulyo ini hanya sekali dalam
sepuluh tahun. Mari ulurkan tangan sebelah kanan. Biar kuramal nasibmu di masa
depan. Aiapa tahu kau bernasib baik..."
Walaupun tidak mau namun karena si orang tua tiba-tiba saja menarik tangan
kanannya dan membawanya ke tengah lingakaran orang banyak, pemuda tadi terpaksa
mengikuti saja. Padahal tadi diam-diam dia telah mengerahkan tenaga. Tetapi juru
ramal itu ternyata memiliki kekuatan aneh. Semula si pemuda hendak lipat
gandakan tenaganya namun dari pada bersitegang dia memilih mengalah dan
membiarkan saja dirinya ditarik ke tengah kalangan.
Sampai di tengah lingkaran orang banyak sang juru ramal menarik tangan kanan si
pemuda lalu membalikkan telapak tangannya. Sepasang matanya menatap tak berkesip
pada telapak tangan pemuda itu. Keningnya kemudian tampak mengernyit. Tiba-tiba
kelihatan wajah sang juru ramal Sangkolo Bumi berubah seperti orang terkejut
besar. Kedua matanya memandang mendelik pada si pemuda.
"anak muda, tidak kusangka kau rupanya!" kata Sangkolo Bumi keras-keras
hingga semua orang memandang ke arah mereka. "Kau! Garis tanganmu berbau darah!
Kau seorang pembunuh! Astaga! Aku kenal tampangmu! Kau adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Kau pembunuh dan pemerkosa istri Ramada Suro Jelantik! Kau juga yang
membunuh Pangeran Banuarto! Demi Tuhan! Orang banyak! Tangkap pemuda ini!"
Orang banyak yang ada di tempat itu tentu saja terkejut dan heran mendengar
teriakan si juru ramal. Tidak heran kalau tidak satupun di antara mereka yang
bergerak atau melakukan sesuatu.
Saat itu dari arah Timur tiga orang penunggang kuda yaitu Ramada Suro Jelantik,
Jalak Item dan Jalak Biru mendatangi dengan cepat. Di saat yang hampir bersamaan
dari jurusan Selatan muncul serombongan pasuan di pimpin oleh seorang Perwira
Tinggi yang ada parut di bawah mata kirinya hingga tampangnya tampak angker.
"sialan! Apa-apaan ini"!" teriakpemuda yang tangannya masih di cekal oleh
juru ramal Sangkolo Bumi.
"Pendekar 212! Kali ini kau tak akan lolos dari kematian!" kata Sangkolo Bumi.
Si pemuda berusaha menarik tangannya yang dicekal. Tapi pegangan si orang
tua laksana jepitan besi.
"Kurang ajar! Orang ini pasti bermaksud jahat. Agaknya dia sengaja menjebakku."
Begitu si pemuda berkata dalam hati. Lalu dengan marah dia membentak.
"Juru ramal keparat! Siapa kau sebenarnya!" Sambil membentak tangan kiri
pemuda ini berkelebat mengirimkan hantaman ke muka Sangkolo Bumi.
Sambil tertawa mengekeh juru ramal berambut putih panjang itu gerakkan tangan
kanannya menangkis.
Bukkk! Dua lengan beradu keras.
Baik si pemuda maupun si orang tua sama-sama terlempar satu tombak ke belakang
dan terjengkang di tanah. Kadaan di tempat itu manjadi hiruk pikuk. Orang banyak
berlarian menjauh. Tapi yang ingin melihat perkelahian dari dekat hanya beranjak
beberapa langkah.
SEBELAS Pendekar 212 Wiro Sableng sudah jelas melihat adanya gelagat yang tidak baik.
Sepasang matanya menatap tajam pada orang tua yang terhantar di tanah di
hadapannya. Dia tidak kenal siapa adanya orang yang mengaku juru ramal itu.
Tidak pernah melihatnya sebelumnya. Namun sepasang mata yang menyorot dingin
rasa-rasanya dia pernah melihatnya tapi kapan dan entah dimana.
"Astaga! Sepasang mata orang ini bukan mata orang tua!" kata Wiro dalam
hati begitu dia manyadari adanya kelaianan pada kedua mata sang juru ramal. Saat
itu lengan kirinya berdenyut sakit. Bentrokan pukulan dengan si orang tua telah
membuat lengannya tampak bengkak kebiruan. Ternyata lengan juru ramal tua itupun
tampak menggembung kemerahan. "Aku mencium bahaya besar!" kata Wiro dalam hati.
Dia cepat melompat tegak. Saat yang bersamaan juru ramal berjanggut putih itu
juga membuat gerakan kilat dan berdiri sambil melempar seringai ke arahnya.
Keduanya saling berpandangan. Kalau Pendekar 212 memandang dengan marah
bercampur heran maka sang juru ramal tampak memandang kepadanya penuh geram.
Keduanya matanya menyorotkan sinar pembunuhan!
"Juru ramal! Katakan siapa kau sebenarnya! Aku tak pernah membunuh istri
seorang bernama Ramada! Malah aku memang sedang mencarinya karena dia telah
mencelakai guruku! Juga bukan aku yang membunuh Pengeran Banuarto!"
Juru ramal berjubah putih dongakkan kepalanya lalu tertawa panjang.
"Caranya mendongakkan kepala! Aku yakin pernah melihat orang ini
sebelumnya! Lalu suara tawanya! Rasa-rasanya pernah kudengar. Dan sepasang mata
itu! Dia menagku bernama Sangkolo Bumi. Mungkin nama palsu!" Selagi Wiro
berpikir dan mengingat-ingat seperti itu sang juru ramal berkata
"Katamu kau tidak pernah membunuh istri orang bernama Ramada! Malah kau
mengatakan orang itu mencelakai gurumu! Bagus! Coba kau katakan hal itu langusng
pada orangnya sendiri! Dia sengaja datang ke tempat ini untuk menabas batang
lehermu dan meneguk darahmu! Lihat ke sana!" Habis berkata begitu si juru ramal
mengangkat tangan kanannya ke arah kanan. Saat itu terdengar ringkikan kuda
keras sekali. Orang banyak berlompatan menjauh. Tiga penunggang kuda berhenti di
tempat itu. Ramada, Jalak Item an Jalak Biru.
"Ada orang membawa mayat!" beberapa orang berteriak. Lalu cepat menjauh.
Yang lain-lain mengikuti dengan air muka membayangkan rasa ngeri.
Murid Eyang Sinto Gendeng kerenyitkan kening. Dia sama sekali tidak mengenal
tiga penunggang kuda yang aneh-aneh dan angker itu. "Satu membawa mayat
perempuan yang sudah kaku tapi tidak busuk dan ada sebuah guci mengepulkan asap
serta menjulurkan lidah api di tangan kanannya. Apakah dia yang bernama Ramada
Suro Jelantik" Tokoh silat dari Timur" Dua kawannya memikul keranjang rotan,
bertampang hitam legam dan biru gelap...." Selagi Wiro berkata dalam hati begitu
rupa kembali terdengar suara si juru ramal. "Pendekar 212! Katamu bukan kau yang
membunuh Pangeran Banuarto! Coba kau jelaskan sendiri pada rombongan pasukan
dari Kotaraja itu!" Sangkolo Bumi menunjuk ke arah kiri. Wiro mengikuti arah
yang ditunjuk si juru ramal. Dari arah Timur tampak serombongan penunggang kuda
berseragam pasukan Kerajaan berjumlah sekitar dua puluh orang.
Di depan sekali memimpin seorang Perwira Tinggi bermuka garang.
Ramada yang memanggul mayat istrinya di bahu kiri dan memegang Guci Setan di
tangan kanan, dengan gerakan enteng dan cepat melompat turun dari kudanya.
Malihat cara orang bergerak Pendekar 212 segera maklum kalau manusia bertampang
seram ini memiliki kepandaian tinggi. "Gerakannya sangat cepat dan enteng. Kaki
kiri buntung, dipasangi roda besi bergerigi. Jangan-jangan benda ini menjadi
senjatanya," pikir Wiro.
Begitu berdiri di tanah Ramada segera meluncur di atas roda besi kaki kirinya
mengelilingi Pendekar 212. Lalu dia berhenti empat langkah di hadapan sang
pendekar. Saat itu terdengar juru ramal Sangkolo Bumi berkata "Ramada ! Tak perlu ragu!
Pemuda itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang kau cari selama ini! Dia yang
memperkosa istrimu lalu membunuhnya! Guci Setan tidak berdusta!"
"Setan alas juru ramal keparat! Jangan kau berani menuduh sembarangan kalau tak
mau kusobek mulutmu!" teriak Wiro marah sekali.
Di hadapannya Ramada mendengus keras.
"Jadi ini jahanamnya yang bernama Wiro Sableng. Pemuda keji berjuluk Pendekar
212!" Ramada meludah ke tanah. "Hari ini kau akan menerima pembalasanku!
Pembunuh terkutuk! Aku telah bersumpah untuk meneguk darahmu!"
Habis berkata begitu Ramada turunkan mayat istrinya dari bahu kirinya. Lalu
mayat yang kaku menyeramkan ini disandarkannya pada sebuah gerobak hingga
merupakan satu pemandangan yang mengerikan di mata semua orang yang ada di
tempat itu. Perlahan-lahan Ramada putar tubuhnya. Guci Setan dipindahkannya ke tangan kiri.
Lalu dia memberi isyarat pada Jalak Item dan Jalak Biru. Kedua orang ini segera
melompat turun dari kuda masing-masing. Tak lupa membawa pikulan yang ujungnya
tergantung keranjang rotan berisi tujuh ekor kalajengkinghitam dan tujuh ekor
kelabang biru. Kedua orang ini sengaja mengambil tempat di kiri kanan Ramada
agak ke belakang. Mereka sama-sama jongkok di tanah dan tangan masing-masing
siap membuka penutup keranjang rotan!
Ketika Ramada hendak bergerak meluncur di atas roda besinya ke arah Wiro,
murid Sinto Gendeng ini cepat berseru. "Tunggu! Kalau kau tidak keliru pasti
otakmu tidak waras! Aku bersumpah tidak pernah membunuh istrimu! Mana aku pernah
kenal dengan tukang akrobat sepertimu! Aku mendapat keterangan bahwa kau dan
anak buahmu telah mencelakai guruku! Jangan harap hari ini kau dan monyetmonyetmu itu bisa bebas dari hukumanku!"
Ramada Suro Jelantik menyeringai dan mendengus berulang kali.
"Ramada! Jangan percaya omongannya!" tiba-tiba si juru ramal berseru. "Dia
bisa berdusta begitu karena istrimu sudah jadi mayat dan tak mungkin memberi
kesaksian!"
Murid Sinto Gendeng memandang ke arah orang tua berjubah putih itu. "Aneh,
kenalpun tidak. Mengapa orang tua keparat itu sangat membenci diriku?"
"Kau boleh bersumpah mati di depan pintu neraka!" membentak Ramada.
Rahangnya menggembung. Marah sekali dia dikatakan sebagai tukang akrobat oleh
Wiro Sableng 073 Guci Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar 212 tadi. Lalu dari balik baju hitamnya dia mengeluarkan sebuah golok
besar berbentuk empat persegi dengan bagian tajam pada kedua sisinya Golok ini
berwarna putih berkilat tetapi anwhnya memancarkan cahaya berwarna hitam! Pada
ujung gagangnya ada seuntai rantai yang digantungi besi pipih berbentuk pisau
tajam luar biasa.
Pendekar 212 belum pernah melihat senjata seperti yang di tangan Ramada itu.
Ketika Ramad memutar senjata ini di udara, cahaya golok yang putih bertabur
dengan sinar hitam. Lalu pisau di ujung rantai berkiblat dengan mengeluarkan
suara bersuit. Murid Eyang Sinto Gendeng mundur dua langkah. Justru Ramada meluncur
maju tiga langkah. Golok besar membabat ke leher sedang pisau di ujung gagang
golok menusuk ke arah dada! Pendekar 212 cepat berkelebat hindarkan dua serangan
sangat berbahaya itu sambil hantamkan tangan kanannya, lepaskan pukulan "kunyuk
melempar buah" yang kehebatannya tidak beda dengan sebuah batu besar yang
menggelundung dahsyat ke arah Ramada.
Dia jelas melihat bagaimana tubuh Ramada terangkat ke atas akibat hantaman
pukulan saktinya. Tapi bukan alang kepalang terkejutnya murid Sinto Gendeng ini
ketika tiba-tiba saja kaki kiri Ramada menendang ke depan. Roda besi bergerigi
yang berputar hebat menyambar ke arah perut. Wiro cepat menghindar dengan
melompat ke samping kiri. Tapi tidak terduga tiba-tiba golok empat persegi
bermata dua di tangan kanan Ramada memapas bagian atas kepalanya hingga sejumput
rambutnya terbabat putus! Murid Sinto gendeng seperti hendak terkencing saking
kagetnya. Ramada keluarkan suara menggereng dari tenggorokannya. "Sebentar lagi lehermu
akan ku babat putus!" kertaknya. Dia berpaling pada kedua anak bauhnya.
Lalu memberi isyarat dengan anggukan kepala. Jalak Item dan Jalak Biru yang tahu
arti isyarat ini segera membuka tutup keranjang rotan masing-masing. Didahului
teriakan Ramada Suro Jelantik melompat ke arah Wiro.
Goloknya kembali berkelebat. Kaki kirinya diangkat dan sewkatu-waktu bisa
melancarkan serangan roda bergigi yang sanggup memutus kantung tubuh lawannya.
Di saat yang bersamaan dua anak buahnya menggerakkan tangan ke arah keranjang
rotan. Dalam keadaan seperti itu murid Sinto Gendeng masih dapat berpikir bahwa
guci di tangan kiri Ramada pastilah satu benda yang sangat berharga baginya.
Kalau tidak benda itu tak akan didepaknya terus sambil melancarkan serangan.
Maka Pendekar 212 mulai mengincar guci dalam dekapan tangan kiri lawannya, namun
matanya yang tajam juga sempat melihat isyarat Ramada yang tadi diberikan pada
dua anak buahnya. Dia juga melihat bagaimana dua manusia bermuka hitam dan biru
itu menggerakkan tanan ke arah keranjang rotan masing-masing. Karenanya tanpa
menunggu lebih lama Wiro siapkan dua pukulan sakti. Yang pertama pukulan
"sinar matahari" di tangan kanan yang siap dihantamkan ke arah Ramada Suro
Jelantik. Sedang tangan kiri aji pukulan "benteng topan melanda samudra" ditujukan kepada
Jalak Biru. Karena Jalak Biru terpisah cukup jauh dari Jalak Item, Penekar 212
tak mungkin menghantam sekaligus. Berarti bahaya bisa datang dari lawan yang
bermuka hitam ini. Untuk menghindarkan serangan Jalak Item maka Wiro terpaksa
harus merubah kedudukannya. Dia melompat ke kiri hingga berada di satu garis
lurus di depan Ramada dan Jalak Item. Begitu Ramda melancarkan serangan, tanan
kanan Wiro yang sudah berubah menjadi putih menyilaukan itu menghantam ke depan.
Wuuuuussss! Sinar putih menyilaukan dan sangat panas berkiblat. "Ramada, awas! Itu pukulan
"sinar matahari!" Yang berteriak memberi ingat adalah si juru ramal Sangkolo
Bumi. Selagi Wiro merasa heran mengapa orang tua itu bisa tahu nama pukulan
saktinya yang dilepaskannya, orang yang diserang malah berteriak lantang.
"Siapa takut"!" teriak Ramada. Roda besi di ujung kaki kirinya menderu semakin
deras. Golok empat persegi di tanagn kanannya diputar semakin sebat hingga sinar
hitamnya tampak berbuntal-buntal angker. Wiro sudah siap melepas pukulan
"benteng topan melanda samudra" dengan tangan kiri ketika dia menyadari bahwa
hal itu tidak bisa diakukannya kecuali dia mau celaka dihantam serangan balasan
Ramada Suro Jelantik.
Serangan Ramada memang bukan alang kepalang hebatnya. Begitu cahaya putih
pukulan sakti yang dilepaskan Pendekar 21 menyapu ke arahnya. Dia tekuk kaki
kananny. Bersamaan dengan itu kaki kirinya disapukan ke depan. Roda besi
bergerigi yang ada di ujung kaki kirinya menderu keras memancarkan sinar aneh.
Begitu sinar roda besi beradu dengan sinar cahaya putih pukulan "sinar matahari"
terdengar suara keras berkereketan enam kali berturut-turut. Ramada Suro
Jelantik berteriak keras.
Di ujung kakinya cahaya putih menyilaukan dan panas ini sanggup disapunya hingga
mencuat ke samping kiri. Lalu terdengarlah pekik jerit orang banyak yang berada
jauh di ujung kalangan perkelahian. Sembilan orang tak berdosa berkaparan di
tanah. Tubuh mereka hangus hitam mengepulkan asap akibat terpanggang pukulan "sinar
matahari" yang berhasil dilencengkan ke jurusan lain oleh Ramada!
Tubuh Ramada sendiri tampak melesat sampai dua tombak ke udara lalu dengan dua
kali jungkir balik dia mendarat di tanah kembali. Mukanya yang hitam legam dan
tertutup kumis serta cambang bawuk liar tampak seperti tidak berdarah.
Dua matanya mendelik besar ketika melihat bagaimana enam dari empat puluh gigigigi roda besinya somplak! Wiro sendiri juga melengak ketika melihat pukulan
"sinar Matahari" yang mengadung hawa panas luar biasa tak sanggup membuat cidera
lawan bahkan tidak bisa membuat leleh roda besi itu!
Apa yang terjadi membuat Pendekar 212 terlambat menggerakkan tangan kirinya
untuk melepaskan pukulan "benteng topan melanda samudra" ke arah Jalak Biru. DI
saat itu Jalak Biru telah membuka penutup keranjang rotannya. Lima ekor kelabang
beracun berwarna biru melesat membeset udara, menyerbu ke arah Wiro.
Celakanya pula di saat yang sama dengan penuh amarah Ramada Suro Jelantik
kembali menyerbu dengan roda bergeriginya sedang golok di tangan kanannya
diputar dengan sebat, membuntal dalam serangan ganas mengarah bagian dada ke
atas! Murid Eyang Sinto Gendeng berteriak keras. Tangan kanannya menyusup ke
balik pinggang, maksudnya hendak mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tapi
mendadak mukanya jadi pucat. Astaga! Dia baru sadar. Senjata mustika itu telah
dibawa oleh Dewa Tuak ke Gunung Gede untuk mengobati Eyang Sinto Gendeng yang
keracunan akibat serangan binatang-binatang berbisa anak buah Ramada Suro
Jelantik! "Celaka!" keluh Wiro. Pendekar ini cepat melompat mundur. Tapi lima kelabang
berwarna biru beracun dan sambaran roda besi bergerigi seta golok di tangan
kanan Ramada datang lebih cepat.
Di saat yang sangat genting itu tiba-tiba terdengar lima buah benda melesat di
udara. Bersamaan dengan itu ada satu bayangan merah berkelebat luar biasa
cepatnya dan tahu-tahu kaki kiri Ramada terangkat ke atas. Di lain kejap manusia
tinggi besar ini jatuh ke tanah!
Ramada Suro Jelantik menggereng marah. Dia cepat berdiri. Di lain bagian
sang juru ramal tua Sangkolo Bumi merasa tidak enak. Dia cepat membaca situasi.
Dalam hati orang tua ini berkata "Ada orang-orang baru muncul! Keadaan bisa jadi
kisruh tak karuan. Saatnya Guci Setan di tangan Ramada berpindah tangan!"
DUA BELAS Di udara lima buah anak panah melesat deras. Jalak Biaru tersentak kaget dan
berseru tegang ketika melihat bagaimana lima ekor kelabang birunya yang tadi
siap untuk menancapi tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng kini runtuh cerai berai
dihantam lima buah panah itu!
Wiro Sableng berpaling ke belakang. Di atas punggung seekor kuda coklat
dilihatnya Dewi Santiastri, puteri mendiang Pangeran Banowo duduk merentang lima
buah anak panah lagi siap dilepaskan ke arah Jalak Biru yang saat itu terduduk
di tanah dengan mulut ternganga dan muka pucat tanpa darah.
"Terima kasih Dewi......" kata Wiro.
Si gadis lemparkan senyum kecil padanya. Lalu anak panah diputar ke arah
Jalak Item ketika dilihatnya anak buah Ramada itu diam-diam hendak melepaskan
binatang-binatang beracun peliharaannya dari dalam keranjang rotan yaitu tujuh
ekor kelajengking hitam.
Dewi lepaskan sartu dari lima buah anak panah yang direntang. Jalak Item
terpekik. Telapak tangan kanannya tembus ditancapi panah. Darah mengucur.
Penutup keranjang dijatuhkannya. Katika dilihatnya Dewi hendak melepas anak
panah kedua, Jalak Item cepat bersurut mundur menjauhi keranjang sementara darah
mengucur deras ke pangkuannya.
Ramada Suro Jelantik begitu berdiri baru menyadari kalau golok besar empat
persegi bermata dua yang tadi dipegangnya di tangan kanan kini tak ada lagi
dalam gengamannya. Memandang ke depan dia jadi beringas ketika melihat bagaimana
senjata yang sangat diandalkannya itu kini berada dalam tangan seorang gadis
berpakaian ringkas serba merah dengan rambut pirang teruarai panjang. Dia tidak
bisa mengerti bagaimana gadis itu memiliki gerakan laksana angin dan bukan saja
dia bisa mendorong tubuhnya sampai jatuh terjengkang, tapi bahkan sanggup
merampas goloknya tanpa dia sempat merasakannya.
Meski gadis itu tidak mengenakan pakaian warna biru seperti pertama kali Wiro melihatnya, namun murid Eyang Sinto Gendeng ini masih bisa mengenalinya
dengan cepat. "Bidadari Angin Timur...." desis Wiro perlahan. "Dua orang gadis cantik telah
menyelamatkan nyawaku hari ini!" katanya lagi dalam hati sambil garuk-garuk
kepala. Sang dara memang adalah gadis cantik berambut pirang dan dulu berpakaian
serba biru yang pada pertemuan pertamanya dengan Wiro telah diberikan nama
Bidadari Angin Timur oleh sang pendekar.
"Perempuan-perempuan dajal! Siapa kalian yang berani mencampuri
urusanku"!" teriak Ramada Suro Jelantik.
Dara berpakaian serba merah tidak menyahut. Hanya sepasang matanya saja
yang memandang tak berkesip ke arah tokoh silat dari Timur itu. Merasa seperti
dipandang rendah Ramada berkata "Gadis baju merah berambut pirang! Kau jangan
kemana-mana! Tetap di tempatmu sampai aku menyelesaikan urusan dengan pemerkosa
dan pembunuh istriku itu!" Dengan tangan kanannya Ramada
menuding ke arah Wiro.
"Setan! Apa kau punya bukti menuduhku sembarangan!"
"Aku tidak perlu bukti! Guci Setan ini yang memberi tahu!"
"Dan Guci Setan tak pernah berdusta!" berkata si peramal tua Sangkolo Bumi.
"Bangsat setan alas!" maki Wiro dalam hati sambil memandang berang pada
orang tua itu yang sebaliknya melempar seringai buruk padanya.
Tiba-tiba terdengar suara menderu keras. Saat itu Ramada Suro Jelantik telah
melompat dan menyerbu ke arah Wiro.
Di saat yang sama terdengar deru suara kaki-kaki kuda banyak sekali. Tak
lama kemudian ada orang membentak.
"Atas nama Kerajaan hentikan perkelahian!"
Semua orang berpaling. Seorang bermuka garang dengan seragam dan tanda
pangkat Perwira Tinggi Kerajaan muncul diiringi sekitar dua puluh orang
perajurit. "Bagus! Orang-orang yang dicari Kerajaan ternyata ada di tempat ini!" kata si
Perwira Tinggi sambil memandang ganti berganti pada Ramada Suro Jelantik dan
Pendekar 212. "Kau!" bentak sang perwira sambil menuding dengan telunjuk tangan kirinya
tepat-tepat pada Ramada. "Kau pasti manusianya yang bernama Ramada Suro
Jelantik. Kerajaan telah mencarimu selama dua tahun. Kau mencuri Guci Setan yang ada dalam
dekapan tangan kirimu itu! Jangan berdalih. Serahkan guci itu padaku lalu
serahkan dirimu untuk menerima hukuman!"
Ramada menyeringai. "Perwira," katanya setelah lebih dulu meludah ke tanah.
"Aku muak mendengar segala ucapan kentut busukmu! Lekas minggat dari sini!
Jangan lupa membawa anak -anak buahmu!"
Perwira Tinggi Kerajaan itu tertawa bergelak.
"Bagus! Aku suka pada orang yang punya nyali besar sepertimu! Kita akan
lihat nanti apakah kau masih punya nyali waktu dirangket dan kulitmu dikupas di
ruang penyiksaan!"
Sang Perwira berpaling pada Wiro. "Kau!" bentaknya. "Kau pasti pemuda gondrong
bernama Wiro Sableng, berjuluk pendekar 212 yang telah membunuh Pangeran
Banuarto!"
"Aku tidak pernah membunuh Pangeran itu!" jawab Wiro.
Perwira Tinggi tadi mendengus. "para penjahat memang pintar berdalih! Aku
mau lihat apa kau masih bisa bicara banak setelah lidahmu kusuruh potong!"
Tiba-tiba ada satu suara berkata. "Perwira, saya bersaksi pemuda itu bukan orang
yang membunuh paman saya Pangeran Banuarto...."
Perwira Tinggi dan semua orang yang ada di tempat itu sama memalingkan
kepala. "Ah, den Ayu Dewi Santiastri, putri mendiang Pangeran Banowo, keponakan
mendiang Pangeran Banuarto rupanya! Aku kurang memperhatikan kalau kau ada di
sini. Apa kepentinganmu membela pemuda asing yang telah membunuh pamanmu itu?"
'Sudah saya katakan! Bukan dia pembunuh paman Pangean Banuarto. Tapi
seorang yang mengaku kuncen makam ayahanda. Kuncen palsu bernama Ki Ageng
Lentut!" Sementara juru ramal Sangkolo Bumi yang sudah memperkirakan ke adaan
akan sangat buruk bagi Ramada segera berkata "Ramada, keadaan tidak
menguntungkan bagimu. Lekas serahkan guci itu padaku. Biar aku selamatkan dulu.
Kau bisa mengambilnya di tempat terakhir kita bertemu dulu. Aku hanya ingin
menolongmu. Lekas.....!"
Ramada sesaat terdiam dan berpikir cepat. Apa yang dikatakan juru ramal itu
mungkin sangat benar. Saat itu dia bukan saja menghadapi Pendekar 212, tetapi
juga Perwira Tinggi Kerajaan dan duapuluh orang perajuritnya. Lalu gadis
berpakaian merah itu jelas bukan berada di pihaknya. Ditambah lagi dengan
keponakan Pangeran Banuarto yang pasti telah menjadi lawannya sejak dia muncul
dengan memperlihatkan ilmu panahnya yang menakjubkan, menghancurkan bintang
beracun milik Jalak Biru serta melukai Jalak Item.
Tanpa pikir panjang Ramada Suro Jelantik segera lemparkan Guci Setan ke
arah si juru ramal.
"Tangkap! Lekas pergi dari sini!" kata Ramada pula. Guci Setan yang sejak
tadi dikepitnya di lengan kiri dilemparkannya pada Sangkolo Bumi. Saat itu jarak
antara Ramada dan si orang tua terpisah sekitar delapan langkah. Selagi Guci
Setan itu melayang di udara dan siap ditangkap oleh Sangkolo Bumi tiba-tiba
empat anak panah melesat ke udara. Dua berjajar di sisi kiri, dua lagi di
sebelah kanan. Lalu terjadilah satu hal yang luar biasa. Dua pasang anak panah itu memotong
jalannya Guci yang melayang di udara. Dalam keadaan terjepit, Guci Setan
kemudian dibawa melesat ke kiri hingga Sangkolo Bumi menangkap angin. Empat anak
panah kemudian menancap di sebatang pohon. Guci Setan yang besar dan berat itu
terjepit tak bergerak di antara empat batang panah itu. Dengan kertakkan rahang
si juru ramal tua itu cepat melompat ke udara guna mengambil guci. Namun saat
yang bersamaan, satu sosok berpakaian hitam melompat pula ke udara. Orang ini
bukannya menyambar Guci Setan melainkan menelikung pinggang sang juru ramal lalu
menyeretnya ke bawah hingga keduanya jatuh terhentak di tanah.
"Keparat!" maki Sangkolo Bumi marah sekali ketika mengetahui yang
merangkul tubuhnya ternyata adalah Jalak Item, anak buah Ramada Suro Jelantik.
Dia mencoba melepaskan diri sambil menghantamkan siku kanannya ke belakang.
Bukkkk! Traaaakkkk! Jalak Item menjerit keras. Dua tulang iga di sisi kanannya melesak patah.
Sementara Ramada Suro Jelantik dan Perwira Tinggi Kerajaan yang melihat
guci yang tadi dilemparkan kini terselip di antara empat buah anak panah yang
menancap di batang pohon segera memburu untuk mengambilnya, khawatir benda itu
jatuh ke tanah dan pecah berantakan. Namun sebelum keduanya mampu menyentuh
benda itu tiba-tiba satu bayangan merah berkelebat laksana angin, luar biasa
cepatnya. Ramada dan si perwira tinggi jadi kecele tetapi juga marah ketika menyadari
mereka telah keduluan oleh gadis berambut pirang yang tidak dikenal itu.
Sang perwira hendak menyerang si gadis tapi gerakannya tertahan ketika di
sebelah sana Jalak Item yang berada dalam keadaan cidera telapak tangan dan
tulang iganya berteriak sambil masih memegangi pinggang sang juru ramal.
"Perwira! Yang membunuh Pangeran Banuarto adalah orang tua ini!"
Sangkolo Bumi berteriak marah. Sekali dia menggerakkan tubuhnya Jalak Item
terhempas ke tanah.
"Keparat! Kau mencari kematian berani memfitnahku!" bentak Sangkolo Bumi.
"Ki Ageng Lentut! Sangkolo Bumi! Siapapun namamu! Apakah kau benar kuncen makam
Pangeran Banowo atau juru ramal aku tidak perduli! Tapi kaulah yang membunuh
Pangeran Banuarto!" Rupanya dendam kesumat Jalak Item akibat perbuatan Ki Ageng
Lentut yang kini menyamar menjadi juru ramal tua bernama Sangkolo Bumi itu tidak
bisa dipendam lagi. Meledak saat itu juga.
"Keparat! Tutup mulutmu!" teriak juru ramal. Tangan kanannya bergerak.
Praaaaakk!
Wiro Sableng 073 Guci Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jalak Item tergelimpang roboh di tanah. Kepalanya pecah! Ramada Suro Jelantik
sesaat terkesiap melihat apa yang terjadi. Mengikuti kemarahannya ingin dia
menghajar juru ramal tua itu saat itu juga. Namun Guci Setan lebih penting.
Dia berkelebat ke arah gadis berpakaian erah. Namun gerakannya dihadang oleh
Pendekar 212. Sementara itu Perwira Tinggi Kerajaan telah berteriak memberi perintah pada dua
puluh anak buah agar mereka segera mengurung dan menangkap juru ramal berjubah
putih itu yang oleh Jalak Item dibuka kedoknya sebagai pembunuh Pangeran
banuarto. Namun begitu mereka bergerak, Sangkolo Bumi menyongsong dengan
serangan-serangan ganas.
"Bidadari Angin Timur......." Kata Wiro sambil mendekati gadis berbaju
merah itu. "Kau mau menolongku" Biar kunyuk berewokan ini aku yang
menghadapinya. Aku menaruh curiga pada juru ramal tu. Rambut putih dan jubah
panjangnya aku yakin hanya samaran belaka. Lakukan sesuatu hingga kau bisa
membuka kedok siapa dia sebenarnya.
"Kau takut menghadapi orang tua jelek itu?" tanya gadis berambut pirang yang
membuat wajah Pendekar 212 jadi bersemu merah.
"Aku tidak pernah takut pada siapapun," jawab Wiro. "Dengan orang tua itu
aku tidak punya perselisihan langsung. Tapi dengan setan satu ini aku punya
alasan untuk menghajarnya. Kau sendiri tahu dia dan anak buahnya telah melukai
guruku!" Gadis yang oleh Wiro diberi julukan Bidadari Angin Timur itu tersenyum kecil.
"Tampangmu tolol, tapi otakmu cerdik juga. Ambil senjata ini untuk menghadapi
Ramada!" Lalu si gadis menyerahkan golok besar empat persegi panjang itu ke
tangan Pendekar 212. Baru saja Wiro memegang senjata, si gadis telah lenyap dari
hadapannya. Sebelum masuk ke kalangan perkelahian Bidadari Angin Timur melayang
ke atas pohon. Guci Setan yang telah dipegangnya diletakkannya di antara
ranting-ranting pohon berdaun lebat. Begitu melayang turun dia cepat mendekati
Perwira Tinggi Kerajaan dan berkata
"Naik ke atas pohon. Jaga guci itu!"
Meskipun merasa tersinggung diperintah begitu rupa namun si perwira sadar
bahwa menyelamatkan guci di atas pohon adalah jauh lebih penting dari pada
melakukan hal-hal lain. Terlebih ketika gadis di hadapannya berkata "Serahkan
pembunuh Pangeran Banuarto itu padaku. Kita akan segera tahu siapa dia
sebenarnya!"
Tanpa banyak bicara lagi Perwira Tinggi Kerajaan itu melompat naik ke atas
pohon. Dari atas pohon dia dapat menyaksikan seluruh kejadian di bawahnya walau
tangannya sudah gatal untuk turun tangan sendiri.
Ternyata juru ramal itu memiliki kepandaian sangat tinggi. Dengan mudah dia
menghajar perajurit-perajurit Kerajaan yang menyerangnya hingga mereka menemui
ajal sekelompok demi sekelompok.
Melihat anak buahnya menemui kematian mengenaskan begitu rupa, Perwira
Tinggi di atas pohon jadi mendidih amarahnya. Lupa bahwa dia harus menjaga
keselamatan Guci Setan milik Kerajaan, perwira itu melompat turun. Selagi
tubuhnya melayang dia lepaskan beberapa senjata rahasia berbebuk paku ke arah
Sangkolo Bumi. Sang juru ramal ganda tertawa. Sekali tangannya dihantamkan ke udara belasan
paku yang menyerangnya mental cerai berai.
"Manusia keparat! Jadi kau yang membunuh Pangeran Banuarto!" teriak sang
perwira marah. Masih di udara kaki kanannya ditendangkan ke arah kepala orang
tua itu. Praaaakkkkk! Kepala itu pecah tapi bukan kepala si juru ramal yang rengkah. Melainkan kepala
salah seorang anak buahnya sendiri. Apa yang terjadi" Ketika sesaat lagi kaki
kanan Perwira Tinggi itu akan menghantam kepalanya, si juru ramal melompat ke
samping lalu menarik tubuh seorang perajurit yang menyerangnya. Kepala perajurit
ini disentakkannya ke atas melindungi kepalanya sendiri. Ketika tendangan
datang, kepala perajurit itulah yang kena hantam tendangan sang perwira!
"Keparat!" maki Perwira Tinggi sambil mengejar juru ramal. Tapi orang tua ini
melemparkan tubuh perajurit yang kepalanya pecah itu kepadanya hingga sang
perwira jatuh terduduk di tanah. Kesempatan ini dipergunakan oleh si orang tua
untuk keluar dari keroyokan sisa-sisa perajurit Kerajaan lalu melompat ke atas
pohon. "Sangkolo Bumi, juru ramal keparat! Sekali ini jangan katakan kau tidak
menipuku! Aku tahu sejak lama sebenarnya kau mengincar Guci Setan itu!" teriak
Ramada Suro Jelantik ketika melihat si juru ramal berada di atas pohon sambil
memegang Guci Setan.
Di atas pohon Sangkolo Bumi tertawa gelak-gelak. "Dasar orang tolol tetap saja
tolol!" katanya.
"Lekas turun dan serahkan guci itu padaku! Aku bersumpah akan membunuhmu kalau
kau tidak menyerahkannya padaku!" teriak Ramada.
"Dulu kau pernah bersumpah hendak membunuh Pendekar 212. Pemerkosa dan
pembunuh istrimu itu sudah ada di hadapanmu, mengapa kini justru kau hendak
mencari urusan denganku" Apa kau takut menghadapi Pendekar 212"
Ha....ha...ha....!"
"Setan alas!" teriak Ramada. Dia melomapt sambil menyorongkan roda besinya.
Roda ini menderu keras menggerus bagian bawah batang pohon besar hingga akhirnya
putus. Pohon itu tumbang dengan suara bergemuruh tetapi Sangkolo Bumi alias Ki
Ageng Lentut itu sudah lebih dahulu melayang turun.
Wuuuuttttt.....wuuuuutt.....wuuuuuutttttt......wuuuuutttt......wuuuuuuttttt.
Lima anak panah melayang pesat ke udara. Si orang tua berseru kaget ketika
mengetahui lima anak panah itu menyerang ke arahnya. Secepat kilat dia hantamkan
tangan kirinya ke bawah. Lima anak panah yang menyerangnya mental dan jatuh ke
tanah. Lalu tubuhnya tampak melesat ke kiri. Di lain kejap laksana seekor burung
alap-alap orang tua ini menukik ke arah Dewi Santiatri. Kaki kanannya
berkelebat. Praaaakkkk! Dewi Santiastri menjerit keras.
Kepala kuda tunggangannya pecah. Suara ringkikan binatang ini merobek langit. Si
gadis sendiri cepat melompat ke tanah. Sambil melompat secara luar biasa dia
masih sempat mencabut tiga buah anak panah lalu merentangnya di tali busur untuk
kemudian melepasnya ke arah sang juru ramal. Salah satu anak panah sempat
menyerempet jubah putih orang tua itu di bagian bahu. Walau cuma mengiris kulit
bahunya namun ini sudah cukup membuat sang juru ramal ini menjadi sangat marah.
Tangan kanannya diangkat untuk melepaskan satu pukulan tangan kosong. Namun dari
samping Ramada Suro Jelantik datang menyerangnya. Satu jotosan yang dilepaskan
orang ini menghantam dagu si orang tua dengan keras dan telak hingga juru ramal
ini terpuntir keras. Selagi tubuhnya sempoyongan begitu rupa Ramada tendangkan
kaki kirinya ke arah bawah perut. Roda besi bergerigi itu menggerus ke arah
selangkangan si orang tua.
"Ki Ageng Lentut! Sangkolo Bumi! Saatmu untuk mampus!" teriak Ramada Suro
Jelantik. Tapi dugaannya bahwa dia bakal dapat menematkan riwayat orang tua itu
tidak menjadi kenyataan. Dengan satu gerakan yang aneh dan cepat sekali, juru
ramal tua itu berhasil menangkap betis Ramada. Lalu kaki kiri itu ditariknya
kuat-kuat dan dihunjamkannya ke tanah hingga menggerus dalam dan menancap sampai
dua jengkal. Tanah dan pasir bermuncratan ke udara. Selagi Ramada berusaha menarik
kakinya keluar dari tanah tangan kanan juru ramal itu menderu ke depan.
Bukkkk! Ramada merasakan dadanya seperti mau meledak.
Selagi tubuhnya terlempar ke belakang dan ada darah menyembur dari mulutnya,
Sangkolo Bumi kirimkan tendangan ke bawah perut Ramada. Teriakan laksana ledakan
keras keluar dari mulut Ramada. Tubuhnya mencelat jauh dan tergelimpang di tanah
tak berkutik lagi. Dendam kesumatnya untuk membalaskan kematian istrinya tidak
pernah kesampaian. Lebih dari itu Ramada tidak pernah mengetahui siapa pemerkosa
dan pembunuh Dardini sebenarnya.
Sangkolo Bumi tegak menyeringai. Dia melirik pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
Lalu pada Dewi Santiastri. Di saat yang sama dia melihat gerakan yang dibuat
oleh jalak Biru. Anak buah Ramada Suro Jelantik ini dengan cepat melemparkannya
keranjang rotan yang tutupnya terbuka itu ke arahnya. Beberapa ekor kelabang
biru yang masih ada dalam keranjang itu melesat menyerangnya. Dua ekor
ditangkisnya dengan Guci Setan yang dibuatnya menjadi tameng. Tiga ekor lainnya
dihantamnya dengan kebutan lengan kanan jubah putihnya. Sambil tertawa mengekeh
dia menangkap kelabang yang keenam lalu melemparkannya ke aah Jalak Biru. Anak
buah Ramada yang tidak menyangka akan mendapat serangan binatang berbisa
miliknya sendiri itu dalam kejutnya terlambat menghindarkan diri cari selamat.
Kelabang Biru itu menancap tembus masuk ke dalam mata kanannya. Jeritan Jalak
Biru terdengar mengerikan. Sambil menekap mukanya dia menghambur
meninggalkan tempat itu.
Ki Ageng Lentut alias Sangkolo Bumi tertawa mengekeh lalu memutar tubuh.
Sebelum berkelebat pergi dia memandang kepada Pendekar 212 Wiro Sableng lalu
berkata "Pendekar 212, kau masih bodoh seperti dulu juga! Tidak mampu melihat langit di
atas langit! Tidak mengerti tingginya puncak gunung dan dalamnya dasar laut!"
"Apa maksudmu" Siapa kau sebenarnya"!" bentak Wiro. Tanpa terlihat oleh si
orang tua dia memberi isyarat pada gadis berbaju merah.
"Kau akan menemukan jawaban pertanyaanmu dalam ketololanmu sendiri!" kata si
orang tua pula. Dia menggeser kakinya.
Dari samping kiri tiba-tiba Dewi Santiastri mendatangi sambil merentang busur
dengan lima anak panah terpasang. "Kalau kau memang kuncen palsu bernama Ki
Ageng Lentut itu, berarti kau yang membunuh pamanku Pangeran Banuarto! Tetap di
tempatmu! Sedikit saja kau berani bergerak lima anak panah ini akan amblas ke
dalam tubuhmu!"
"Kau dengar ucapan gadis itu! Apakah kau tidak mau menyerahkan diri"!
Serahkan Guci Setan itu padaku!" kata Perwira Tinggi Kerajaan yang kini tegak di
samping Dewi Santiastri.
Si orang tua ganda tertawa.
"Puteri Pangeran Banowa, jika aku mengajakmu ikut bersamaku untuk mencari
kesenangan, apakah kau masih hendak memanahku"!"
"Tua bangka bermulut kotor!" hardik Dewi Santiastri sambil merentang tali
busurnya lebih dalam.
"Perwira, kau inginkan guci ini" Apa kau punya kemampuan untuk mengambil
sendiri"!"
"Keparat! Saatnya aku mematahkan batang lehermu!" berntak Perwira Tinggi
Kerajaan. Si orang tua kembali tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba ia melihat ada bayangan
merah berkelebat. Dengan tangan kirinya dia menghantam ke samping. Tapi
terlambat. Tubuhnya seperti digulung ombak. Lalu terdengar suara breeeetttt
.....breeeettttt beberapa kali berturut-turut. Jubah putihnya bukan saja robek
tapi tanggal lepas dari tubuhnya. Bagitu juga rambutnya yang putih panjang
tampak tercampak ke tanah. Selembar topeng tipis yang selama ini menutupi wajah
dan sebagian kepalanya jatuh di depan kakinya.
Kini kelihatanlah wajahnya yang asli. Wajah seorang pemuda berambut tebal hitam
dengan kening menonjol. Rahang dan dagunya tampak kokoh. Keseluruhan wajahnya
membayangkan rasa angkuh. Di balik jubah putihnya yang telah tanggal itu kini
terlihat pakaian hitam. Di bagian dada pakaiannya terpampang gambar puncak
gunung berwarna biru, berlatar belakang sang surya berwarna merah dan sinarsinar mentari berupa garis-garis merah.
Apa yang telah dilakukan Bidadari Angin Timur terhadap dirinya sungguh tidak
diduga oleh orang itu. Semuanya berlangsung begitu cepat hingga dia merasa
seperti diusap beberapa kali. Ketika Sangkolo Bumi hendak menyergap gadis itu,
Pendekar 212 cepat memotong gerakannya.
Pendekar 212 menggeram "Aku sudah duga, ternyata memang dia!" katanya dalam
hati. Lalu murid Sinto Gendeng ini berteriak keras.
"Pangean Matahari! Kelicikanmu dengan memperalat Ramada tidak kesampaian!
Aku yakin kau iblisnya yang memperkosa istri Ramada lalu membunuhnya! Keparat!
Apa lagi sekarang yang ada dalam otak busukmu"!"
Pangeran Matahari menyeringai. "Tak ada alasan bagiku untuk mengatakan tidak.
Tuduhanmu benar! Sayang maksudku tidak kesampaian. Nyawamu masih betah
berada dalam tubuhmu! Pendekar 212! Duia ini terlalu sempit untuk kita berdua!
Kali ini kau lolos lagi dari lobang jarum kematian! Tapi Ingat! Aku Pangeran
Matahri tidak akan berhenti sampai akhirnya kau berlutut di hadapanku dan
menggali liang kuburmu sendiri!"
Habis berkata begitu manusia yang sebelumnya menyamar menjadi kuncen makam
Pangeran Banowo dengan nama Ki Ageng Lentut dan juga pura-pura menjadi juru
ramal tua bernama Sangkolo Bumi ini memutar tubuhnya siap berkelebat pergi.
Pendekar 212, Perwira Tinggi Kerajaan dan Dewi Santiastri cepat bergerak.
Lima anak panah melesat mendahului serangan. Selagi Pangeran Matahari sibuk
menyelamakan diri Perwira Tinggi Kerajaan coba merampas Guci Setan dari
tangannya namun lagi-lagi dia gagal karena tendangan Pangeran Matahari
menghantam perutnya lebih dulu hingga dia terpental dan pingsan.
Jotosan Pendekar 212 berhasil menyusup le sisi kiri Pangeran Matahari.
Walaupun tidak telak tapi cukup membuatnya berputar. Sekali lagi Wiro
menghantam. Namun kali ini Pangeran Matahari berhasil menangkis pukulannya dan membalas
menghantam. Pukul memukul jarak dekat itu tidak menguntungkan Pangeran Matahari
karena saat itu dia memegang Guci Setan di tangan kirinya. Hal ini disadari oleh
Pangeran Matahari maka dengan segala kelicikannya dia berkata
"Pendekar 212! Lain kali kita bertemu lagi! Kau inginkan guci ini ambillah!"
lalu Pangean Matahari membuat geakan seperti hendak melemparkan Guci Setan itu.
namun apa yang dilakukannya adalah tiba-tiba melemparkan sebuah benda hitam.
"Awas! Asap menutup pandangan!" teriak Wiro.
Ketika terdengar letusan dan asap hitam membumbung ke udara Pendekar 212
dan Bidadari Angin Timur telah lebih dahulu berkelebat menjauhi. Satu ke arah
kanan, satunya lagi ke arah kiri. Keduanya sama-sama melihat Pangeran Matahari
melarikan diri ke arah selatan dan dengan cepat mengejar. Gadis berpakain merah
yang punya kecepatan laksana kilat itu dapat mengejar Pangeran Matahari lebih
dahulu. Dengan satu gerakan cepat dia berhasil merampas Guci Setan dari tangan
Pangeran Matahri.
"Betina keparat! Aku lebih suka kau hancur lebur bersama guci itu!" teriak
Pangeran Matahari marah. Dia angkat tangan kanannya ke atas. Udara di tempat itu
mendadak sontak manjadi redup. Dari telapak tangan kanan orang yang dijuluki
pengeran segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala
congkak ini melesat keluar sinar kuning, hitam dan merah.
"Pukulan Gerhana Matahari!" teriak Wiro. "Bidadari Angin Timur lekas
menyingkir!" Murid Eyang Sinto Gendeng dengan cepat hantamkan tangan kanannya,
melepaskan pukulan "sinar matahari" Terdengar saru dentuman keras. Si gadis
berbaju merah cepat menyingkir ketika sinar putih berkilau dan sinar hitam,
merah dan kuning mencuat ke udara laksana hendak menyapu langit. Tubuhnya
tergoncang keras. Guci Setan terlepas dari pegangannya. Dia coba untuk
menjangkaunya tapi satu letusan lagi membuat tubuhnya tebah ke tanah. Lalu ada
satu tubuh yang jatuh tepat di sampingnya!
Ketika sinar putih, hitam, merah dan kuning lenyap dan pasir serta tanah yang
bermentalan ke udara luruh kembali ke tanah Pangeran Matahari telah lenyap dan
Pendekar 212 dapatkan dirinya jatuh terelungkup di tanah, hampir berdempetan
dengan gadis berpakain merah itu. Wajah mereka bertempelan dan
hidung mereka saling beradu satu sama lain.
"Kau tak apa-apa......?" tanya Pendekar 212.
Si gadis hanya menjawab dengan kedipkan mata lalu cepat-cepat hendak berdiri.
Tapi Wiro lekas menahan punggungnya seraya berkata. "Kalau aku bisa mati
berdempetan seperti ini alangkah bahagianya."
"Mudah-mudahan malaikat maut mendengar permintaanmu itu," kata si gadis
seraya menarik tangan Wiro dan berdiri. Wiro segera pula berdiri. Keduanya
tertegun ketika melihat beberapa langkah di hadapan mereka Guci Setan hanya
tinggal merupakan kepingan-kepingan belaka.
Dua orang terdengar mendatangi. Mereka adalah Perwira Tinggi Kerajaan dan
Dewi Santiastri.
"Kalian tidak apa-apa?" tanya puteri mendiang Pangeran Banowo itu.
"Berkat bantuan sahabatku berpakaian merah ini, aku tak kurang suatu apa.
Hanya sayang manusia jahat berjuluk Pangeran Matahari itu lolos!" jawab Wiro.
Dewi Santiastri memandang pada Guci Setan yang pecah berserakan di tanah.
"Sayang guci pusaka itu kini hanya tinggal kepingan-kepingan tak berguna....."
"Mungkin itu lebih baik! Hancurnya Guci Setan berarti lenyapnya segala masalah
yang sering mendatangkan malapetaka bagi dunia persilatan dan Kerajaan,"
menyahuti Perwira Tinggi Kerajaan. "Den Ayu, sebaiknya kita tinggalkan tempat
ini. Aku harus segera melapor pada Patih."
Dewi Santiastri mengangguk. Dia memandang pada Pendekar 212. "Wiro, kau
ikut bersama kami"'
Wiro Sableng 073 Guci Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku ingin sekali. Tapi ada hal penting yang harus kulakukan. Aku harus segera
pergi ke puncak Gunung gede untuk menjenguk guruku yang sedang sakit keras.....
Aku berjanji akan menemuimu sepulang dari sana...."
Dewi Santiastri mengangguk. "Kau kecewa karena dulu aku pernah
mencideriamu"'
"Aku sudah melupakan hal itu," jawab Wiro.
Dewi Santiastri memandang pada gadis berpakaian merah di samping Wiro.
Diam-diam dia mengagumi kecantikan gadis yang tak dikenalnya itu. Tadi dia
sempat mendengar Wiro menyebutnya dengan nama Bidadari Angin Timur. "Dia benarbenar bidadari. Aku hanya gadis biasa....." kata Dewi Santiasti dalam hati. Dia
memberi isyarat pada Perwira Tinggi di sebelahnya.
Setelah kedua orang itu pergi Wiro berpaling pada si baju merah dan bertanya.
"Aku ingat pertama kali aku melihatmu di rumah Ki Ageng Lentut si juru ukir. Kau
mengenakan pakaian biru yang sangat tipis...."
"Saatku untuk pergi...." Kata gadis berpakaian merah seolah tidak acuh dengan
ucapan si pemuda.
"tunggu dulu, ada satu hal yan hendak kutanyakan...." Kata Wiro. Namun sekali
berkelebat gadis itu telah lenyap dari hadapannya.
Pendekar 212 hanya bisa tertegun. "Kecepatannya benar-benar laksana angin.
Tidak salah kalau kuberi nama Bidadari Angin Timur. Sayang dia pergi begitu
saja, padahal banyak yang ingin aku tanyakan padanya. Ilmunya luar biasa. Ilmu
apa namanya"!"
Dengan langkah berat Pendekar 212 tinggalkan tempat itu. Namun satu bayangan
biru yang berkelebat beberapa langkah di hadapannya membuat murid Eyang Sinto
Gendeng ini menjadi terkesiap kaget dan cepat-cepat menyelinap ke balik sebatang
pohon besar untuk menjaga segala kemungkinan. Di depan dan di sekitarnya tidak
terdengar suara apa, juga tidak kelihatan satu gerakanpun.
Ketika Wiro berpaling ke belakang nyawanya laksana terbang. Di belakangnya di
balik pohon itu tahu-tahu telah tegak gadis cantik jelita yang disebutnya dengan
panggilan Bidadari angin Timur itu. Dan kali ini si gadis ternyata tidak lagi
mengenakan pakaian merah, melainkan sudah berganti dengan pakaian biru tipis
seperti yang dikenakan pada pertama kali Wiro melihatnya! Pendekar 212 leletkan
lidah. Kedua matanya membesar. "Bukan main....." kata Wiro pula.
"Apanya yang bukan main?" tanya si gadis.
"Aku tak habis pikir, bagaimana kau bisa berganti pakaian secepat ini?"
Si gadis tersenyum. "Aku juga tak habis pikir," katanya.
"Tentang apa?"
"Tentang dirimu! Bagaimana kau bisa membuka pakaian secepat ini?"
Wiro memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Tiba-tiba dia merasa seperti
disapu angin. Tubuhnya berputar tiga kali. Ketika dia bisa berdiri lagi seperti
biasa, murid Sinto Gendeng ini berseru kaget. Saat itu dia tidak lagi mengenakan
baju dan celana panjang putihnya. Dia berdiri hanya mengenakan celana bagian
dalam! Pakaiannya kelihatan bertebaran di depan kakinya.
"Gila! Bagaimana bisa jadi begini" Ilmu aneh apa yang dimiliki gadis ini"
Untung aku tidak ditelanjanginya sampai bugil!" teriak Wiro. Dia memandang
berkeliling. Di depannya terdengar suara tawa cekikikan. Memandang ke depan
dilihatnya gadis berbaju biru tipis itu tegak di samping semak belukar sambil
melambaikan tangannya seolah memberi isyarat agar Wiro mengejarnya.
"Gadis nakal! Kau berani mempermainkanku! Jangan kira aku tidak bisa
menjahilimu!" teriak Wiro. Lalu enak saja dia membuat gerakan seperti hendak
menanggalkan celana dalamnya.
Di depan sana Bidadari Angin Timur keluarkan suara terpekik lalu memutar
tubuh melarikan diri. Wiro cepat tarik kembali celana dlamnya ke atas lalu
mengambil baju dan celana panjangnya yang tercampakan di tanah, sekali lompat
saja dia segera mengejar gadis itu.
Beberapa hari kemudian ketika Pendekar 212 dan Bidadari Angin Timur muncul
di puncak Gunung Gede, sepasang kakek nenek tampak duduk di tangga batu sambil
tertawa-tawa dan masing-masing memegang sebuah tabung bambu berisi tuak.
Kakek nenek ini bukan lain adalah Dewa Tuak dan Sinto Gendeng yang berhasil
diselamatkan dari racun binatang berbisa oleh kesaktian Kapak Maut Naga Geni
212. Tamat Harimau Mendekam Naga Sembunyi 17 Pendekar Rajawali Sakti 149 Teror Manusia Bangkai Kembang Bukit Lontar 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama