Wiro Sableng 069 Ki Ageng Tunggul Keparat Bagian 2
Handoko dan Rah Gludak mencabut pedang. Brajaseta serta dua perwira muda segera
pula mengeluarkan senjata masing-masing yakni sebatang pedang berukuran pendek.
Sesaat kemudian pertempuran satu lawan satu berkecamuk hebat.
Dalam memainkan keris Lor Parereg tidak kalah hebat jika dibandingkan dengan
cara dia memainkan pedang.
Tubuhnya berkelebat gesit sekali. Kerisnya seolah-olah lenyap dan senjata itu
menderu-deru sebat menusuk dan membabat kian kemari secara tidak terduga dan
ganas. Selama malang melintang menjadi kepala rampok Hutan Roban betapapun tangguh
lawan yang dihadapinya, paling lama si lawan hanya sanggup bertahan sampai
duapuluh jurus. Tapi kali ini setelah berkelahi sepuluh jurus saja Lor Parereg
segara menyadari bahwa lawan yang dihadapinya memiliki tingkat kepandaian yang
tinggi. Dalam waktu dekat dia pasti akan roboh di tangan lawan! Meskipun
demikian Lor Parereg tidak mau menyerah mentah-mentah. Segala tipu daya dan
jurus-jurus ilmu silat simpanannya dikeluarkan. Permainan kerisnya sekali-kali diseling dengan pukulan
tangan kosong yang hebat. Bahkan dia berulang kali melepaskan pukulan sakti
Angin Empat Racun. Tapi kesemuanya itu sia-sia belaka.
Kalau dengan bersenjata Lor Parereg tidak sanggup mempertahankan diri lama-lama
maka tanpa senjata dua jurus kemudian dia tidak dapat berbuat apa-apa ketika
hulu pedang pendek di tangan Brajaseta membalik dan menghantam ganas keningnya.
Lor Parereg menggeletak pingsan. Dua orang prajurit atas perintah Brajaseta
dengan cepat meringkusnya, mengikat tangan serta kakinya.
Sementara itu perkelahian antara Kunto Handoko dan Rah Gludak melawan dua
perwira muda kerajaan tak kalah serunya. Sampai duapuluh jurus suasana kelihatan
seim- bang. Namun setelah dua perwira itu merobah permainan silat mereka maka dua anak
buah Lor Parereg itu jadi dibikin sibuk. Di samping itu tertangkapnya Lor
Parereg sedikit banyak mempengaruhi nyali mereka. Sehingga meskipun bertahan
mati-matian akhirnya keduanya kena dirobohkan juga. Mula-mula Kunto Handoko
terdengar menjerit. Bahu kirinya luka parah disambar pedang lawan.
Lalu satu tendangan pada dadanya membuat tubuhnya mencelat dan roboh tak
sadarkan diri. Rah Gludak mengalami nasib sama. Masih untung dia tidak mendapat luka-luka.
Tubuhnya kena ditotok pada bagian bawah ketiak. Dia tergelimpang di tanah dalam
keadaan kaku. Brajaseta dan orang-orangnya memeriksa seluruh
puncak Bukit Mangatas. Tak satupun yang dapat mereka temui untuk dijadikan bahan
pelacakan empat peti harta dan Ning Larasati. Bersama ketiga tawanan itu
akhirnya mereka kembali ke Kotaraja. Tapi Brajaseta tak lupa untuk menempatkan
beberapa prajurit di situ guna mengawasi daerah tersebut.
WIRO SABLENG KI AGENG TUNGGUL KEPARAT
7 ETELAH dihadapkan pada Sultan Trenggono ketiga
tawanan dimasukkan ke sebuah ruangan di bawah
S tanah. Di situ terdapat berbagai macam alat-alat aneh untuk menyiksa manusia.
Masih dalam keadaan terikat Lor Parereg dan kawan-kawannya dibaringkan di lantai
kotor yang ada bekas-bekas darahnya. Dekat kaki dan kepala mereka terdapat
sebuah roda besar dari kayu yang
dicanteli rantai besar. Setiap roda kayu ditangani oleh seorang juru penyiksa.
"Parereg," menegur Brajaseta. "Kau tidak terlalu tolol untuk mengetahui di mana
kau berada bukan?"
Sesaat Lor Parereg memandang berkeliling. Lalu dia berpaling pada Brajaseta dan
dua perwira muda yang berdiri disamping Kepala Pasukan Demak itu. Tiba-tiba dia
menyeringai aneh.
"Manusia-manusia tak berdaya dijebloskan ke dalam ruang penyiksaan. Apakah ini
tindakan manusia yang mengaku beradab?"
Brajaseta keluarkan suara mendengus. "Terhadap manusia-manusia macammu dan
kawan-kawanmu tak
perlu diributkan soal peradaban. Peradaban tak ada kamusnya untuk manusiamanusia biadab macam kalian!
Duapuluh prajurit Demak kalian bunuh. Bahkan juga seorany perwira Kerajaan.
Apakah itu beradab?"
"Mereka sudah ditakdirkan mati! Aku muak bicara tentang manusia-manusia yang
sudah mati!"
"Sebentar lagi kaupun akan mati Parereg. Juga dua kawanmu ini!"
"Oh begitu?"
"Ya!"
"Berarti Sultan Trenggono akan kehilangan empat peti uang serta barang-barang
berharga. Akan kehilangan puteri yang paling dikasihinya untuk selama-lamanya!"
ujar Lor Parereg lalu tertawa gelak-gelak,
"Bagus!" ujar Brajaseta. "Kau rupanya bukan seekor tikus yang takut mati. Tapi
ingat kematian itu bukan apa-apa. Hanya beberapa detik saja. Tapi saat-saat
menjelang kematian itu yang justru amat mengerikan. Lebih menyiksa dan lebih
kejam dari kematian itu sendiri!"
Lor Parereg tertawa dingin. "Hari ini kau boleh gembira dengan kematianku. Hari
ini kau boleh berpesta pora dengan kematian kami bertiga. Tapi jangan lupa
sobat, pesta kematianmu-pun kelak bakal tiba. Lebih meriah dari kematian kami!"
Brajaseta mengangkat tangan memberi isyarat. Prajurit-prajurit yang berada di
samping roda-roda besar mengikat kedua tangan dan kaki tiga rampok Hutan Roban
itu. Lalu roda-roda itu mulai diputar hingga tubuh Lor Parereg, Kunto Handoko
dan Rah Gludak terangkat ke atas. Setiap kali roda itu diputar, kaki dan tangan
meraka tambah meregang hingga akhirnya ketiganya terpental di atas lantai!
"Kita mulai lagi bicara, Parereg!" kata Brajaseta.
"Sekarang kau tentu lebih sedap untuk berbincang-bincang. Nah di mana kau
sembunyikan Gusti Ayu Ning Larasati?"
Lor Parereg menyeringai. Antara dendam dan
kesakitan. "Tanyakan pada roh manusia-manusia yang pernah kau siksa sampai mati
di ruangan ini!" katanya.
"Di mana kau simpan barang-barang rampokan?"
"Tanyakan pada setan nereka!"
"Di mana kawanmu yang seorang lagi?" tanya Brajaseta lagi. "Tanya pada dedemit
Hutan Roban," sahut Lor Parereg.
Rahang Brajaseta menggembung. Dia memberi tanda
pada juru putar yang ada di dekat Kunto Handoko. Dua prajurit ini segera memutar
roda-roda kayu itu. Makin kencang, makin kencang hingga tubuh Kunto Handoko
tambah meregang. Keringat memercik di muka dan seluruh tubuh perampok ini. Dia
mengernyit tanda menahan sakit yang amat sangat. Dan roda-roda penyiksa itu
masih terus diputar. Kunto Handoko merasa sepasang kaki dan
tangannya seperti mau tanggal berserabutan. Sakitnya bukan kepalang. Dia
menjerit mengerikan. Untuk beberapa lamanya suara jeritannya masih menggema di
ruangan penyiksaan itu!
"Kau dengar jeritan itu Parereg!" kata Brajaseta seraya menyeringai.
Lor Parereg tak menjawab. Matanya memandang ke
langit-langit ruangan.
Brajaseta memberi isyarat. Kini pada dua prajurit yang menjaga roda-roda kayu
penyiksa Rah Gludak. Salah seorang dari mereka mendekati Rah Gludak lalu merobek
bajunya. Kawannya mengeluarkan segulung cambuk.
Benda ini diputar-putarnya di udara hingga mengeluarkan suara menderu-deru.
Tiba-tiba cambuk itu melesat ke bawah dan menghantam dada Rah Gludak yang
terbuka. Rah Gludak memekik kesakitan. Lalu mulutnya
terkancing menahan rasa sakit. Di saat itu kembali cambuk melanda tubuhnya. Lagi
dan lagi hingga Rah Gludak berteriak tiada henti macam orang gila. Dadanya penuh
dengan guratan-guratan luka yang dalam. Darah membasah. Dari dalam sakunya salah seorang prajurit mengeluarkan sebuah jeruk nipis. Dia menggigit buah ini lalu memerasnya di atas dada Rah
Gludak yang berlumuran darah. Rah Gludak melolong setinggi langit sewaktu air
perasan jeruk itu membasahi luka-luka di dadanya!
"Kau dengar lolongan itu Parereg?" tanya Brajaseta dekat-dekat ke telinga Lor
Parereg. Yang ditanya masih tetap memandang ke langit-langit ruangan.
"Kau mendengar. Pasti mendengar. Tapi kau pura-pura mempertuli telingamu. Purapura tak mendengar. Kau tak mungkin lari dari kengerian itu. Karena kau juga
bakal mengalaminya. Bakal merasakannya! Kecuali kalau kau mau buka mulut!"
"Buka mulut soal apa"!" tanya Lor Parereg. Meski dia sudah tahu keterangan apa
yang diinginkan Brajaseta tapi dia pura-pura bertanya mengulur waktu.
"Tentang Gusti Ayu Larasati. Tentang barang-barang kerajaan yang kau rampok.
Juga tentang kawanmu yang seorang lagi!" jawab Brajaseta.
"Dua pertanyaanmu yang pertama tak bisa kujawab!"
kata Lor Parereg.
"Aneh!" sahut Brajaseta sambil rangkapkan lengan di muka dada.
"Aku tidak tahu di mana Gusti Ayu Larasati. Juga barang-barang itu!"
Brajaseta manggut-manggut. "Lalu pertanyaan yang ketiga?"
"Aku juga tidak tahu di mana dia berada sekarang.
Namanya Tunggul Bayana. Dia pengkhianat busuk! Kelak akan kucincang tubuhnya
sampai lumat!"
"Aku tak percaya padamu Parereg. Lekas katakan di mana Gusti Ayu dan empat peti
itu berada!"
"Sekalipun kau korek biji mataku, aku tak bakal dapat memberi keterangan karena
aku betul-betul tidak tahu!"
"Pengasuh Gusti Ayu mengatakan kaulah yang telah menculik Gusti Ayu!"
"Perempuan itu tentu sudah miring otaknya akibat tendanganku!" kata Lor Parereg.
"Ada satu hal yang ingin kutanyakan. Bagaimana kau tahu bahwa aku dan kawankawan ada di Bukit Mangatas?"
"Dedemit Hutan Roban yang mengatakan padaku!"
jawab Kepala Pasukan Demak.
Lor Parereg tertawa. "Rupanya kau juga bisa bergurau sobat! Apakah kau juga
bersedia melepaskan ikatan rantai besi pada tangan dan kakiku?"
"Itu soal gampang saja. Asal kau mau memberi keterangan!" sahut Brajaseta.
"Aku benar-benar tidak tahu!"
"Kalau begitu biar alat penyiksa itu yang akan menanyakannya padamu!" Brajaseta
mulai jengkel. Dia melambaikan tangannya pada dua prajurit. Keduanya segera
memutar roda-roda kayu. Kaki dan tangan Lor Parereg terpentang makin tegang. Lor
Parereg merasa ajalnya segera akan sampai. Bagaimanapun dia tak mau mati.
"Tunggu dulu!" teriak Lor Parereg.
"Ah, kau mau bicara Parereg"!" tanya Brajaseta.
"Ya."
"Bicaralah! Itu lebih bagus daripada tangan dan kakimu tanggal satu demi satu!"
"Dekatkan telingamu Brajaseta. Apa yang hendak kukatakan ini rahasia sekali!"
Brajaseta mendekatkan telinganya ke muka Lor
Parereg. Saat itu pula Lor Parereg berteriak, "Kau keparat gila!"
"Bangsat kurang ajar!" teriak Brajaseta. Kedua tangannya kiri kanan meninju muka
Lor Parereg hingga babak belur. Kedua matanya menggembung bengkak.
Bibirnya pecah dan hidung melelehkan darah kental.
"Kepala Pasukan Demak ternyata saorang manusia pengecut! Hanya berani pada orang
yang tidak berdaya!"
Brajaseta jadi panas.
"Lepaskan ikatannya."
Dua prajurit segera melakukan perintah itu. Ikatan rantai besi pada kaki dan
tangannya dicopot. Dia berdiri dengan sempoyongan, bersandar ke salah satu roda
kayu. Sepasang matanya menyorotkan dendam kesumat.
"Lor Parereg! Akan kubuktikan bahwa aku bukan pengecut! Mulailah!" kata
Brajaseta. Lor Parereg maju selangkah. Tiba-tiba dia menerjang ganas. Kedua tangannya
dipukulkan serentak. Delapan larik asap menggebu ke arah Kepala Pasukan Demak
itu. Brajaseta melompat ke atas. Pukulan Angin Empat Racun yang dilepaskan Lor
Parereg menghantam sebuah rak yang berisi seperangkat alat-alat penyiksa. Bendabenda itu hancur berantakan berikut raknya.
"Keluarkan semua kesaktianmu Parereg!" kata Brajaseta yang tetap tenang sambil memasang kuda-kuda.
Keduanya berputar-putar mengintai kelemahan dan
kelengahan lawan.
Tiba-tiba Lor Parereg menyambar sepotong besi dan dengan benda itu dia menyerang
Brajaseta dalam jurus-jurus ilmu pedang yang ganas.
Untuk beberapa jurus lamanya Brajaseta harus berlaku hati-hati karena Lor
Parereg kelihatan sangat kalap.
Potongan besi di tangannya yang cukup berat itu menderu-deru lenyap menjadi
sinar hitam dan mengurung Brajaseta.
"Ciaat!"
Kepala Pasukan Demak itu membentak nyaring.
Tubuhnya berkelebat lenyap. Lor Parereg merasakan sambaran angin di punggungnya. Dengan cepat dia memutar batangan besi ke belakang
lalu membalik sambil melancarkan satu pukulan tangan kosong dengan tangan kiri.
Sekali lagi Brajaseta membentak dan sekali lagi pula tubuhnya berkelebat lenyap.
Kembali Lor Parereg merasakan ada sambaran angin serangan di belakangnya. Seperti tadi kembali dia
membalik seraya hantamkan potongan besi. Tapi kali ini dia hanya sempat membuat
gerakan setengah memutar karena saat itu satu pukulan keras menghantam
lengannya. Lor Parereg mengeluh kesakitan.
Tulang lengannya seperti patah. Potongan besi terlepas dan jatuh ke lantai
ruangan. Lor Parereg masih belum melihat di mana saat itu
lawannya berada. Tahu-tahu satu jotosan keras melanda mukanya. Kepalanya serasa
meledak. Sesaat dia tertegak nanar lalu roboh pingsan dengan muka matang biru
babak belur. "Ikat dia kembali!" perintah Brajaseta. Bersama dua perwira muda itu dia lalu
meninggalkan ruang penyiksaan.
WIRO SABLENG KI AGENG TUNGGUL KEPARAT
8 ARI ITU adalah hari yang kedua Lor Parereg dan
kawan-kawannya disekap di ruang penyiksaan.
H Ketiganya masih dipentang di atas roda kayu.
Mereka sama sekali tidak diberi makan, hanya diberi minum sedikit. Keadaan
ketiganya seperti setengah sekarat.
Kunto Handoko membuka kedua matanya yang
bengkak. Dengan lemah dia berpaling pada Lor Parereg.
Dilihatnya kedua mata Lor Parereg tertutup. Tubuhnya tak bergerak. Sudah matikah
dia, pikir Handoko.
"Kau tidur atau pingsan atau mati Parereg?" tanya Kunto Handoko.
"Sialan! Kau kira di sorgakah kita saat ini hingga aku bisa tidur"!" terdengar
suara Lor Parereg. Suaranya masih keras tapi kedua matanya yang gembung tetap
tertutup. "Ajal kita tak lama lagi tamat di tempat terkutuk ini!"
bicara lagi Kunto Handoko sementara Rah Gludak diam-diam ikut mendengarkan
pembicaraan itu.
"Kita tak bakal dibunuh. Aku yakin!" kata Lor Parereg.
"Yakin?" ujar Handoko. "Bagaimana kau bisa yakin?"
"Selama mereka belum tahu di mana puteri Sultan berada, selama itu pula mereka
akan membiarkan kita hidup."
"Tapi aku tak tahan siksaan-siksaan yang mereka lakukan. Cepat atau lambat kita
bakal mati!" Kali ini Rah Gludak ikut bicara.
Sunyi sejenak. Kemudian terdengar Kunto Handoko bertanya,
"Sebenarnya di mana kau sembunyikan puteri Sultan Trenggono?"
Lor Parereg berpaling dan memandang pada kawannya.
Dia hendak mengatakan sesuatu tapi saat itu didengarnya pintu ruangan terbuka.
Brajaseta masuk diiringi dua orang pengawal. Setelah diberi isyarat dua pengawal
itu meninggalkan ruangan. Pintu ditutup kembali. Brajaseta melangkah
mengelilingi ketiga tawanan itu, akhirnya dia berhenti di samping sosok tubuh
Lor Parereg. "Setelah dua hari di sini tentunya sekarang kalian merasa kerasan bukan?" tegur
Brajaseta mengejek.
"Memang betul. Seperti di rumah sendiri!" sahut Lor Parereg balas mengejek.
Wiro Sableng 069 Ki Ageng Tunggul Keparat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Syukur. Syukur. Sayang kami tidak bisa memberikan makanan yang enak-enak untuk
kalian. Minumanmu cuma air comberan!"
"Keparat!" Rutuk Lor Parereg.
"Paling lambat sampai tengah malam nanti kalian bertiga sudah harus mati!" kata.
Brajaseta. "Hem... Rupanya Sultanmu lebih suka kehilangan puterinya," tukas Lor Parereg.
"Semua sudah dipertimbangkan. Tak ada jalan lain.
Kalian harus mati tapi..."
"Tapi apa...?"
"Harus disiksa lebih dulu!" Brajaseta bertepuk dua kali.
Pintu terbuka. Dua prajurit masuk menggotong sebuah anglo tanah berisi api yang
berkobar-kobar. Di dalam anglo itu terdapat sebuah besi panjang yang gagangnya
diberi lapisan karat. Besi ini ujungnya berbentuk bulat. "Dirangket, dicambuk dan dipukuli memang bukan apa-apa bagi kalian. Tapi pernahkah
kalian melihat kerbau atau sapi yang dicap tubuhnya dengan besi panas?" tanya
Brajaseta. Lor Parereg mendengus. Rah Gludak dan Kunto
Handoko menjadi pucat wajah masing-masing.
"Parereg!" kata Handoko dengan suara bergetar. "Tak ada gunanya. Sebaiknya
terangkan saja di mana puteri Sultan kau sembunyikan!"
"Bangsat! Tutup mulutmu!" sentak Lor Parereg. Dia marah sekali. "Kunyuk-kunyuk Kerajaan
ini tetap akan membunuh kita sekalipun kita memberi keterangan!"
Kunto Handoko menggerutu dalam hati. Kalau saja dia tahu di mana puteri itu
berada pasti sudah dikatakannya.
"Aku heran mengapa kau jadi orang begini tolol Parereg!" kata Brajaseta seraya
melangkah ke anglo besar dan mengeluarkan besi merah panas itu. Lalu dia melangkah mendekati Rah Gludak. Tentu saja orang ini ketakutan setengah mati!
"Parereg!" teriak Rah Gludak. "Lekas kau katakan!
Bicaralah! Bicaralah Parereg! Jangan tolol!"
Tapi Lor Parereg tenang-tenang saja. Seperti tidak mendengar teriakan temannya
itu. Brajaseta menempelkan besi merah yang dipegangnya ke pinggul Rah Gludak.
Terdengar suara mendesis seperti bara kena air. Detik itu pula meledak jeritan
Rah Gludak. Bau sangitnya daging yang terpanggang memenuhi
ruangan itu. Brajaseta sekali lagi menempelkan besi panas itu ke tubuh Rah
Gludak. Sekali lagi pula Rah Gludak berteriak setinggi langit.
"Kau lihat Parereg" Kau dengar"!" ujar Brajaseta.
"Kenapa masih berlaku tolol"!"
"Demi setan aku tidak tahu di mana puteri Sultan berada!" Lor Parereg akhirnya
memberi tahu. "Kalau begitu berteriaklah memanggil setan!" kata Brajaseta pula. Ujung besi
panas itu lalu ditempelkannya di kening Lor Parereg.
Cess! Kulit dan daging kening itu terpanggang merah. Tulang keningnya kelihatan jelas.
Jeritan Lor Parereg menggelegar.
Tubuhnya yang terpentang bergoncang-goncang padahal keempat anggota badannya
sudah terentang tegang.
Beberapa lamanya ruang penyiksaan itu digelegari oleh jeritan-jeritan Lor
Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko.
Daging tubuh dan muka mereka kelihatan berlobanglobang hangus. Teriakan mereka baru berhenti setelah ketiganya jatuh pingsan.
Brajaseta melemparkan besi panas ke dalam Anglo. Dia berdiri bertolak pinggang.
Pelipisnya bergerak-gerak.
"Keparat-keparat tolol semua!" maki Kepala Pasukan Demak ini. Lalu
ditinggalkannya ruangan itu.
Malam harinya Brajaseta masuk kembali ke ruangan itu seorang diri. Pintu
dikuncinya dari dalam. Ketiga tawanan terpentang tak bergerak di atas roda-roda
kayu, entah tidur entah masih pingsan. Brajaseta mendekati Lor Parereg.
Matanya menyipit melihat keadaan tubuh serta muka kepala rampok Hutan Roban itu.
Penuh luka-luka, bekas-bekas hangus serta darah yang membeku.
Brajaseta menjambak rambut Lor Parereg. "Bangun!"
sentaknya. Lor Parereg tidak bergerak. Kedua matanya yang
gembung terus menutup. Kepala Pasukan Demak itu
berteriak lebih keras. Terdengar erangan panjang keluar dari sela bibir Lor
Parereg. Perlahan-lahan kedua matanya membuka walau hanya sedikit. Mata itu
berkaca-kaca oleh cairan kuning sedang di kedua sudut mata mengental bekuan
darah. "Manusia iblis!" desis Lor Parereg. "Siksaan apa lagi yang bakal kau lakukan"!"
"Dengar Parereg, aku mau bicara!"
"Bicara nanti dengan rohku!"
Brajaseta mendekatkan mukanya ke wajah tawanan itu.
"Dengar, semua harta yang kau rampok itu kau boleh ambil. Aku tidak perduli.
Tapi beritahu di mana Larasati berada..."
"Heh... untuk pertama kali kudengar kau menyebut nama puteri itu tanpa gelaran
Gusti Ayu."
"Itu bukan urusanmu," kata Brajaseta. "Aku punya kepentingan sendiri. Jika kau
beri keterangan aku bersumpah untuk melepaskanmu."
Ini satu hal yang aneh bagi Lor Parereg.
"Apa kepentinganmu itu?" dia bertanya.
"Akan kukatakan setelah kau memberi keterangan!"
"Heh, begitu?"
"Ya!"
Lor Parereg menyeringai. "Goroklah batang lehermu!
Dan kau akan tahu di mana puteri itu berada!"
"Rupanya kau tak menginginkan kehidupan lagi" Sudah bosan hidup" Kau tak ingin
membalaskan sakit hatimu pada Tunggul Bayana yang telah mengkhianatimu"!"
"Yang aku inginkan saat ini," sahut Lor Parereg pula,
"ialah memuntir lehermu dan menghisap darahmu!
Bangsat terkutuk!"
Brajaseta melepaskan jambakannya. Dia melangkah
mondar mandir. "Kau tolol Parereg. Atau mungkin kau tak percaya padaku"!"
"Aku lebih percaya pada setan dari kau!"
Brajaseta berpikir sejenak. "Dengar, kalau kukatakan padamu apa kepentinganku
tadi apakah kau mau memberi keterangan?"
Lor Parereg tidak menjawab. Kedua matanya kembali dipejamkan.
"Dengar Parereg, ini satu rahasia. Tapi aku akan terangkan padamu. Aku percaya
kau akan memberi tahu di mana Larasati berada." Sesaat Kepala Pasukan Demak itu
memperhatikan wajah Lor Parereg, baru meneruskan kata-katanya, "Aku sejak lama
mencintai puteri Sultan itu.
Secara diam-diam. Aku bahkan telah mengajukan lamaran pada Sultan. Entah mengapa
lamaranku ditolak. Nah aku sudah jelaskan kepentinganku. Sekarang lekas kau
beri- tahu di mana Larasati berada. Hidupku akan tersiksa kalau sampai dia celaka,
apalagi kalau sampai mati!"
Dalam hatinya Lor Parereg tertawa mendengar katakata Brajaseta itu. Diam-diam otaknya berputar mencari akal.
"Kau akan kulepaskan Parereg. Aku bersumpah!"
"Hanya aku sendiri?" tanya kepala rampok itu.
"Kau dan kedua kawanmu!" jawab Brajaseta.
"Aku tidak percaya."
"Sekali ini kau harus percaya!"
Lor Parereg berpikir sebentar lalu berkata, "Aku juga bersumpah bahwa aku benarbenar tidak tahu di mana puteri Sultan itu berada. Tapi aku bisa menghubungkan
kau dengan seseorang yang mengetahui tentang puteri itu." "Katakan siapa orang
itu dan di mana tempatnya," ujar Brajaseta cepat.
"Aku akan katakan dengan satu syarat. Yaitu keluarkan dulu aku bersama kedua
temanku dan bawa ke satu
tempat yang kuingini."
"Itu satu hal yang tak mungkin. Kau bisa menipuku!"
kata Brajaseta.
Lor Parereg terdiam. Dia berpikir lalu, "Aku akan menulis sepucuk surat.
Seseorang yang kau percaya bisa disuruh membawa surat itu kepadanya."
Brajaseta mempertimbangkan usul Lor Parereg itu.
Kemudian dia membuka pintu. Dua orang prajurit disuruhnya melepaskan rantai yang mengikat tangan serta kaki Lor Parereg. Karena
tubuhnya lemah sekali dan tak sanggup berdiri Lor Parereg digotong ke sudut
ruangan, didudukkan di atas sebuah kursi besar. Sehelai kertas dan sebuah pena
bulu ayam lengkap dengan tintanya diberikan padanya. Dengan susah payah Lor
Parereg menulis.
Tulisannya buruk sekali, apalagi saat itu dia memang tidak dapat menulis secara
wajar. Setelah surat selesai Brajaseta memeriksanya. "Tak sebaris katapun dalam suratmu
itu kumengerti!" kata Kepala Pasukan Demak itu.
Lor Parereg tersenyum. "Terus terang aku tidak yakin kau akan memenuhi sumpahmu,
Brajaseta. Surat itu
sengaja kubuat dalam tulisan rahasia. Jika kau tidak menipuku segala sesuatunya
akan berjalan beres..."
Brajaseta menjadi gusar. Tapi dia berlagak tenang. "Ke mana surat ini harus
diantar?" tanyanya.
"Ke selatan. Ke Bukit Tuntang," jawab Lor Parereg. "Di puncak bukit itu diam
seorang kakek bermata satu.
Berikan surat itu padanya dan dia pasti akan membalas dan memberi tahu di mana
puteri Sultan berada."
"Siapa adanya kakek itu?" tanya Brajaseta. "Itu kau tak perlu tahu. Namanya
tidak penting. Yang penting bagimu bukankah untuk mengetahui di mana kekasihmu
itu berada?" sahut Lor Parereg.
Brajaseta melipat surat itu. Dia berpaling pada dua prajurit tadi dan
memerintahkan untuk merejang Lor Parereg kembali di antara dua roda penyiksa.
"Kenapa kau melakukan ini"!" tanya Lor Parereg ketika mendapatkan dirinya
diseret kembali ke tempat penyiksaan. "Bukankah kau harus membebaskan aku dan kawan-kawan"!"
Brajaseta tersenyum. "Kau baru bebas bila Larasati sudah ditemui dan dalam
keadaan selamat."
"Bukan begitu perjanjian kita tadi!" Brajaseta hanya ganda tertawa dan
tinggalkan tempat itu.
"Keparat penipu! Kau akan rasakan pembalasanku!"
teriak Lor Parereg.
WIRO SABLENG KI AGENG TUNGGUL KEPARAT
9 ARI PINTU gerbang selatan Kotaraja kelihatan
seorang perwira muda menunggangi seekor kuda
D berbulu kelabu. Perwira ini bernama Aria Galing dan merupakan salah seorang
bawahan paling dipercaya oleh Kepala Pasukan Demak Brajaseta. Kepadanya telah
diserahkan sepucuk surat yang dibuat oleh Lor Parereg untuk diantarkan pada
kakek bermata satu yang menurut keterangan Lor Parereg tinggal di puncak Bukit
Tuntang. Aria Galing sengaja diperintahkan berangkat pada sore hari agar bisa sampai esok
sorenya di tempat yang dituju.
Perjalanan Aria Galing tidak mendapat kesukaran. Dia hanya membutuhkan waktu
untuk tidur dan istirahat di sebuah desa. Sebagai seorang perwira, kepala desa
menyambut kedatangannya dengan pelayanan yang baik.
Pagi harinya Aria Galing meneruskan perjalanan. Lewat rembang petang dari
kejauhan mulai terlihat Bukit Tuntang, sebuah bukit besar yang tidak ubahnya
seperti gunung. Dari kaki bukit menuju ke puncak perjalanan agak sukar. Namun
demikian sebelum matahari tenggelam Aria Galing sudah sampai di puncak bukit
yang menjadi tujuannya. Di satu pedataran sempit dan tinggi Aria Galing
menghentikan kudanya. Dia memandang berkeliling.
Hatinya lega karena begitu memandang ke jurusan timur terlihat sebuah pondok.
Pondok ini terletak di tengah sebuah danau yang luas. Tak ada satu jembatan atau
titianpun yang kelihatan. Aria Galing segera menuju ke danau.
Di bawah siraman sinar kuning emas sang surya yang hendak tenggelam, pondok dan
danau serta sekelilingnya diselimuti kesunyian. Perwira ini turun dari kudanya
dan melangkah ke tepi danau. Tak sebuah perahupun atau rakit kelihatan di
sekitar situ. Sesaat dia tegak berpikir, bagaimana dia bisa sampai ke pondok di
tengah danau itu.
Apakah dia harus berenang" Dilihatnya danau itu airnya tidak seberapa dalam
karena dia dapat melihat jelas dasar danau.
Selagi dia berpikir-pikir begitu tiba-tiba dia dikejutkan oleh belasan potongan
bambu yang melesat ke udara dan jatuh bertebaran, mengapung di atas air danau.
Belum habis kejutnya, satu bayangan hitam yang amat tinggi, laksana seekor
burung terbang dari tepi danau sebelah tenggara dan mempergunakan potonganpotongan bambu yang mengapung sebagai peniti kaki hingga akhirnya sampai di
daratan sempit di tengah danau dan lenyap masuk ke dalam pondok.
"Pasti orang itulah kakek yang harus kutemui," pikir Aria Galing. Diam-diam dia
merasa kagum melihat bagai-mana si bayangan hitam mempergunakan potonganpotongan bambu yang mengapung di air sebagai jembatan
penyeberang. Meskipun dia tidak sempat melihat jelas sosok tubuhnya namun Aria
Galing menyaksikan bagaimana tidak satupun potongan bambu itu terbenam ke dalam air sewaktu orang itu
menginjaknya! Dia membatin apakah dia mampu berbuat yang sama, karena hanya
potongan-potongan bambu itulah satu-satunya jembatan penyeberang baginya.
Setelah menguatkan hati Aria Galing melompat ke
tengah danau. Potongan bambu pertama yang dipijaknya tenggelam ke dalam air
danau, namun tubuhnya masih tertahan dan masih sanggup meneruskan lompatan ke
bambu yang kedua, demikian seterusnya. Sampai di depan pondok kakinya basah
kuyup. Dia melangkah menuju pintu yang tertutup lalu mengetuk. Sampai berulang
kali dilaku- kannya, tak ada yang menjawab.
"Mustahil orang itu tidak mendengar. Atau mungkin dia tuli?" pikir Aria Galing.
Dia mengetuk lebih keras. Tetap tak ada sahutan. "Biar kucoba masuk saja!" kata
perwira itu dalam hati mengambil keputusan. Tangannya sudah siap untuk mendorong
daun pintu. Semangatnya serasa terbang sewaktu tahu-tahu di belakangnya
terdengar satu bentakan keras dan garang.
"Perwira bedebah! Ada urusan apa kowe nyasar kemari"!"
Aria Galing membalik. Hatinya bergetar. Sosok tubuh manusia yang berdiri di
hadapannya jika memang manusia memiliki tinggi luar biasa. Tinggi dan juga kurus
sekali. Seumur hidupnya baru sekali itu Aria Galing melihat manusia bertubuh demikian
tinggi dan demikian kurusnya.
Dia terpaksa mendongak untuk melihat wajah orang itu.
Dan kembali hatinya berdebar. Orang itu bermuka panjang cekung. Kulit mukanya
hitam sekali dan berminyak. Matanya yang sebelah kiri hanya merupakan sebuah rongga kosong. Sebaliknya mata
kanannya besar sekali dan membeliak merah. Manusia ini sama sekali tidak
memiliki alis. Rambutnya pendek kasar, kaku dan tegak macam bulu landak!
"Aku utusan Kepala Pasukan Demak," Aria Galing perkenalkan diri sementara si
tinggi hitam menelitinya dari atas sampai ke bawah dengan matanya yang cuma
satu. "Aku datang membawa surat."
Perwira itu lalu mengeluarkan surat Lor Parereg yang diterimanya dari Brajaseta
dan menyerahkannya pada si tinggi itu.
Kakek tinggi hitam mengambil surat itu dengan kasar.
Lalu membacanya dengan matanya yang satu. Dalam
membaca mata itu kelihatan seperti berputar-putar.
Selesai membaca dia memandang tepat-tepat pada Aria Galing.
"Kepala Pasukan Demak dan orang yang menulis surat itu meminta balasan," berkata
Aria Galing. "Baik... baik, aku akan berikan balasannya Padamu,"
jawab si tinggi hitam. Tidak terduga tahu-tahu laksana kilat tangannya bergerak
menyambar leher Aria Galing dan, krak! Patahlah tulang leher perwira kerajaan
itu. Dia roboh dan mati detik itu juga!
Sebagai seorang perwira Aria Galing memiliki kepan
Wiro Sableng 069 Ki Ageng Tunggul Keparat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
daian yang dapat diandalkan. Namun apa yang dilakukan si tinggi hitam selain
amat cepat juga tidak disangka-sangka sama sekali hingga akhirnya perwira itu
menemui ajalnya hanya dalam satu kejapan mata saja!
Seperti tak ada kejadian apa-apa si tinggi hitam untuk kedua kalinya membaca
surat yang diterimanya.
Paduka guru, Supit Ireng
Akibat pengkhianatan keparat Tunggul Bayana,
aku, Rah Gludak dan Kunto Handoko
telah dijebloskan dan disiksa setengah mati
dalam ruang penyiksaan istana Demak.
Kalau Paduka guru tidak segera turun tangan,
kami bertiga akan segera
menjadi umpan cacing-cacing tanah, alias mampus!
Muridmu, Lor Parereg
"Wong edan! Wong edan!" Si tinggi hitam bernama Supit Ireng itu berkata berulang
kali. Dia membungkuk,
mencengkeram kedua kaki Aria Galing. Tubuh tak bernyawa itu diputarnya di atas kepala beberapa kali.
"Kowe pergilah!" bentaknya. Lalu mayat Aria Galing dilemparkannya jauh-jauh dan
jatuh di tepi danau sebelah selatan.
Supit Ireng kemudian berkelebat ke tengah danau.
Melompat dari satu potongan bambu ke potongan lainnya hingga akhirnya sampai di
tepi danau di mana kuda milik Aria Galing tertambat. Supit Ireng melompat ke
punggung binatang ini dan memacunya ke jurusan timur yaitu menuju Kotaraja.
*** KEHENINGAN dinihari yang dingin itu dihantui oleh
derap kaki-kaki kuda dan kerontang roda kereta. Kendaraan ini menderu cepat di atas jalanan tanah. Pengemudinya bertubuh tinggi bermuka hitam. Pakaiannya yang hitam menambah angker
tampangnya yang memang sudah
mengerikan. Dia duduk di bagian depan kereta laksana setan. Di satu lereng jalan
dia dapat melihat kelap-kelip lampu-lampu Kotaraja. Kereta dipercepatnya. Dia
harus sampai di Kotaraja secepatnya dan pergi sebelum fajar menyingsing.
Sepeminuman teh akan mencapai pintu gerbang
selatan Kotaraja, orang ini memutar keretanya memasuki hutan kapas hingga
akhirnya sampai di tembok Kotaraja sebelah timur. Kereta ditinggalkannya dalam
hutan kapas yang gelap, kemudian dengan cepat dia mendekati tembok. Sekali lompat saja dia sudah berada di atas tembok yang tinggi itu. Setelah
meneliti keadaan di bawah sana dan dirasakannya aman, orang ini melompat ke
wuwungan bangunan istana. Gelapnya hari, pakaian hitam yang dikenakannya serta
gerakannya yang cepat membuat
dirinya tiada beda dengan hembusan angin dinihari yang tidak kelihatan.
Siapakah manusia ini" Dia bukan lain adalah Supit Ireng. Di lain saat dia sudah
sampai di wuwungan istana sebelah timur. Sekali lagi dia meneliti suasana lalu
berge- rak ke jurusan barat dan akhirnya melompat turun memasuki halaman istana. Begitu kedua kakinya menginjak rumput taman, seorang
pengawal yang kebetulan berada di situ membentak curiga, "Siapa itu"!"
Supit Ireng memaki. Dia cepat merunduk dan sembunyi di balik sebuah pot bunga
besar. Pengawal tadi dengan tangan kanan siap di hulu pedang cepat mengejar. Di
depan pot bunga dia berhenti.
"Heran, manusia atau setan" Kalau manusia kenapa bisa lenyap secepat itu?"
membatin si pengawal. Dia berpikir dan memutuskan untuk memberitahu kepala pengawal. Namun sebelum dia melangkah, lima jari membuat lidahnya terjulur keluar dan
tak dapat bernafas!
Sekujur tubuh pengawal ini gemetar, tengkuknya dingin ketika dia berhasil
melihat tampang makhluk yang mencekiknya. Dia hendak berteriak tapi tak bisa. Dicobanya mencabut pedangnya namun
tenaganya seperti lenyap.
"Kalau kowe tidak mau mampus, lekas tunjukkan di mana letak ruang penyiksaan
tawanan!" Supit Ireng mengancam. Pengawal itu menggelepar-geleparkan kedua tangannya lalu menunjuk ke kiri. Dari
mulutnya hanya keluar suara uh... uh... uuuh.
"Jalan, bawa aku ke sana!" kata Supit Ireng. Cekikannya dilepaskan tapi terlebih
dulu urat di pangkal leher pengawal itu ditotoknya hingga si pengawal tidak bisa
bersuara lagi. Mereka memasuki sebuah pintu, melewati beberapa gang dan ruangan.
Agar tidak berpapasan
dengan pengawal-pengawal lainnya kerap kali Supit Ireng harus menarik pengawal
itu ke tempat gelap atau yang kelindungan. Mereka sampai pada mulut sebuah gang
di mana dua orang pengawal kelihatan berjaga-jaga.
"Kau jalan duluan," desis Supit Ireng. "Lewati kedua pengawal itu!"
Supit Ireng kemudian merapatkan diri ke balik tembok.
Pengawal yang diperintahkan melangkah ke mulut gang.
Dua pengawal yang tegak berjaga-jaga mula-mula tidak menunjukkan kecurigaan.
Namun sesudah pengawal satu itu lebih mendekat, mereka melihat adanya kelainan
pada tindak-tanduk teman mereka ini. Serta merta mereka melintangkan tombak dan
menyuruhnya berhenti.
Pada saat itulah Supit Ireng keluar dari balik dinding dan dengan cepat
mengirimkan totokan jarak jauh yang lihai! Kedua pengawal di mulut lorong hanya
bisa mengeluarkan seruan pelan, lalu keduanya tegak laksana patung, tak bisa bersuara
tak bisa bergerak!
Di ujung gang terdapat sebuah ruangan. Di sini terletak sebuah meja panjang dan
empat buah kursi. Ruangan ini merupakan ruang pengawalan yang ketat karena di
ujung ruangan inilah terletak tangga yang menuju ke bagian bawah istana di mana
terdapat ruangan tahanan dan ruang penyiksaan. Saat itu di sana kelihatan empat
orang berjaga-jaga. Tiga pengawal tingkat rendah dan seorang berpakaian perwira.
Dari kejauhan Supit Ireng meneliti keadaan. Dia tak mau bertindak ceroboh. Bukan
mustahil ruangan itu dilengkapi alat-alat rahasia. Tiba-tiba Supit Ireng
menangkap pinggang pengawal yang tadi dipaksanya
menjadi penunjuk jalan. Sesaat kemudian pengawal itu dilemparkannya ke arah
empat orang yang berada di ruangan penjagaan. Jatuhnya tepat di atas meja!
Sudah barang tentu orang-orang yang ada di situ kaget bukan main. Selagi mereka
terkejut inilah Supit Ireng bertindak cepat. Tubuhnya berkelebat. Pengawal di sebelah kanan terjengkang dan
melingkar di lantai tanpa bisa berkutik karena tulang dada dan tulang-tulang
iganya melesak ke dalam akibat tendangan kaki kanan Supit Ireng.
"Kurang ajar! Setan alas dari mana yang berani masuk mengacau"!" bentak perwira
yang ada di tempat itu. Sekali dia bergerak pedangnya sudah berada di tangan dan
di lain kejap senjata itu menderu memapas ke pinggang Supit Ireng.
Dua pengawal yang ada di situ begitu hilang kagetnya kini tampak ngeri memandang
wajah manusia hitam yang datang menyerbu itu. Karenanya tanpa tunggu lebih lama
mereka segera mengikuti jejak atasannya dan mencabut pedang masing-masing, lalu
menyerang. WIRO SABLENG KI AGENG TUNGGUL KEPARAT
10 UPIT IRENG bergerak gesit. Tangan kanannya
berkelebat dan prak! Kepala pengawal yang kedua
S pecah. Nyawanya lepas sebelum tubuhnya mencium
lantai. Hal ini membuat kemarahan membara di hati perwira muda sedang pengawal
yang satu lagi sebenarnya sudah lumer nyalinya. Karenanya gerakan pedangnya
tidak tetap. Dalam satu gebrakan cepat Supit Ireng lepaskan pukulan tangan
kosong yang keras dan tepat menghantam dada si pengawal. Orang ini terhuyunghuyung sambil pegangi dada. Nafasnya sesak, dia coba menghirup udara dalam-dalam
tapi dari mulutnya melompat muntahan
darah. Dia terkapar di lantai, berkelojotan beberapa ketika lalu diam tak
bergerak lagi. Satu-satunya yang tinggal, yakni perwira tadi boleh dikatakan kini sudah dingin
tengkuknya. Dia bertahan mati-matian dengan pedang di tangan. Namun bagaimanapun
Supit Ireng bukanlah tandingannya. Setelah mengelakkan satu sambaran pedang, si
tinggi hitam ini menubruk ke depan. Sang perwira coba menusukkan pedangnya, tapi
lawan lebih cepat menyodok ulu hatinya dengan satu jotosan. Selagi dia melintir
kesakitan Supit Ireng kepruk kepalanya.
Di saat yang sama kaki perwira itu terpeleset. Tubuhnya terjungkal dan disambut
oleh tendangan kaki kiri Supit Ireng. Perwira ini mencelat, terguling di lantai.
Sebelum ajalnya sampai dia masih sempat menjangkau sebuah tombol rahasia di
dinding dan menekan tombol ini kuat-kuat. Hal ini tidak diperhatikan lagi oleh
Supit Ireng karena saat itu dia melangkah ke pintu dan dengan satu
tendangan keras pintu ruangan penyiksaan itu berhasil dibobolnya hingga ambruk!
Dalam hidupnya Supit Ireng telah banyak menyaksikan kematian manusia dalam cara
yang mengerikan dan
mengenaskan. Namun seumur hidupnya belum pernah dia melihat manusia direjang
pada roda-roda kayu, diikat dengan rantai besi dalam keadaan tubuh bergelimang
luka dan darah. Amarahnya meluap ketika menyaksikan
muridnya Lor Parereg terpentang dalam keadaan sangat mengerikan itu. Sekujur
tubuh muridnya itu penuh luka-luka bekas cambukan. Lalu luka-luka hangus bekas
sentuhan besi panas, ditambah gelimangan darah yang sebagian telah membeku. Rah
Gludak serta Kunto
Handoko tidak lebih baik keadaan mereka.
"Benar-benar biadab! Keparat! Pembalasanku segera akan tiba!" kata Supit Ireng
dengan rahang menggembung dan geraham bergemeletakan.
Dari atas rak diambilnya sebuah kapak besar. Dengan senjata ini disertai kerahan
tenaga dalam tentunya, diputuskannya rantai-rantai besi yang mengikat kaki
tangan Lor Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko.
Ketiga orang itu terbanting ke lantai. Dengan kapak masih di tangan, seperti
menggendong boneka saja, Supit Ireng menumpuk tubuh Lor Parereg dan dua kawannya
di bahu kiri lalu cepat-cepat menuju pintu. Namun pada saat yang sama di mulut
gang telah menyerbu masuk sepuluh
pengawal kelas satu!
"Lekas menyerah dan kembalikan tahanan!" teriak salah seorang pengawal.
Supit Ireng mendengus. Bola matanya yang cuma satu berputar. Kapak di tangan
kanannya digenggamnya erat-erat.
"Baik, aku akan menyerah!" katanya menyeringai. "Tapi makan dulu ini!"
Kapak itu menderu. Tiga orang pengawal di sebelah depan menjerit dan roboh mandi
darah. Tujuh kawannya meski terkesima tapi cuma seketika, lalu serentak
menyerbu. Supit Ireng kembali putar kapak di tangan kanannya. Pekik kematian
kembali menggema di tempat itu. Dua pengawal yang masih hidup tak berani
melakukan pengejaran ketika Supit Ireng meninggalkan gang di tingkat bawah itu.
Di tangga yang menuju tingkat atas sepuluh pengawal tingkat satu kembali
menghadang. Kali ini mereka malah dibantu oleh dua perwira tinggi.
"Keparat! Kalian bikin repot aku saja!" rutuk Supit Ireng.
Dia sama sekali tidak takut melihat lawan yang berjumlah banyak itu. Malah dia
yang mendahului menye-rang.
Kapak di tangannya berkelebat ganas kian kemari,
menyebar maut. Kakinya kiri dan kanan bergantian
mengirimkan tendangan. Korban demi korban berjatuhan termasuk satu dari dua
perwira tinggi. Pada satu kesempatan Supit Ireng menerobos meninggalkan lawan-lawannya yang masih hidup dan sesaat kemudian telah berada di taman istana, siap
untuk melompati tembok halaman.
Akan tetapi pada saat itu seluruh penjuru sudah dikurung. Puluhan prajurit muncul dari mana-mana ditambah pengawal-pengawal kelas
satu dan perwira perwira tinggi Kerajaan.
Memandang ke jurusan kanan Supit Ireng melihat
seseorang berpakaian kebesaran mendatangi dengan
cepat, diiringi dua orang tua berselempang kain putih.
Ketiganya melangkah enteng dan dalam waktu singkat sudah berdiri lima langkah
dari hadapan Supit Ireng. Guru Lor Parereg ini segera mengenali ketiganya.
Sesaat hatinya tercekat tetapi dia sama sekali tidak takut.
Yang termuda dari ketiga orang itu, yang berpakaian kebesaran adalah Brajaseta,
Kepala Pasukan Demak.
Orang tua di samping kanan dikenalnya dengan julukan Si Cakar Malaikat. Lalu
yang di sebelah kiri terkenal dengan gelaran Si Kipas Besi. Kedua orang ini
adalah tokoh-tokoh silat istana yang tinggi ilmu silatnya.
Adapun tombol rahasia yang ditekan oleh perwira di ruangan penjagaan sebelumnya,
berhubungan langsung dengan sebuah genta tanda bahaya di dalam kamar tidur
Brajaseta. Ketika genta itu berbunyi Brajaseta segera melompat dari tempat
tidur, mengenakan pakaian dan sengaja menghubungi Si Cakar Malaikat dan Si Kipas
Besi. Ketiganya maklum sesuatu telah terjadi di ruangan penyiksaan bawah tanah. Brajaseta memerintahkan menutup semua jalan keluar. Sewaktu
Supit Ireng muncul di taman istana maka dia sudah terkurung rapat!
"Supit Ireng!" tegur Si Kipas Besi. Rupanya tokoh silat istana ini juga
mengenali siapa adanya manusia tinggi hitam bermata satu di hadapannya itu. "Kau
sudah terkurung. Tunggu apa lagi" Lekas berlutut dan serahkan diri!"
Supit Ireng tertawa hambar. "Bagus sekali omonganmu Kipas Besi. Berapa kowe
dibayar untuk jadi cecunguk istana"!"
Panaslah Si Kipas Besi. "Manusia tidak tahu diri! Nyawa sudah di depan mata
masih bicara ngaco! Jangan jadi orang tolol Supit Ireng!"
"Jangan kira aku takut pada kalian!" dengus Supit Ireng.
"Majulah, satu-satu atau berbarengan sekaligus biar cepat aku membereskan
kalian!" Brajaseta yang sudah tidak dapat menahan amarah,
apalagi setelah menyadari kalau dia telah ditipu Lor Parereg, segera berteriak,
"Supit Ireng! Serahkan nyawa anjingmu!" Lalu Kepala Pasukan Demak ini cabut
pedangnya dan langsung menyerang.
Trang! Pedang dan kapak saling bentrokan. Bunga api
memercik. Kagetlah Brajaseta. Tangan kanannya tergetar keras. Tidak disangkanya
tenaga dalam lawan begitu tinggi.
Perubahan air muka Brajaseta terlihat jelas oleh dua tokoh silat istana.
Keduanya tidak menunggu lebih lama.
Dengan sepuluh jari tangan yang berkuku panjang
dipentang ke depan Si Cakar Malaikat terjun ke kalangan pertempuran. Di lain
pihak Si Kipas Besi telah keluarkan pula senjatanya yakni sebuah kipas terbuat
dari besi yang jika dikembang lebarnya hampir setengah tetampah
(nyiru)! Sekali dia menggerakkan kipas ini maka
menderulah angin kencang laksana hembusan topan.
Ketika dia masuk ke dalam pertempuran, Supit Ireng maklum bahwa keadaannya amat
berbahaya. Apalagi saat itu dia tidak bisa bergerak leluasa akibat beban tiga
manusia yang masih berada di atas panggulannya di bahu kiri. Otak licinnya
segera mencari akal.
"Tunggu! Aku mau bicara!" teriak Supit Ireng tiba-tiba.
Ketiga lawannya hentikan serangan tapi masih dalam sikap mengurung dan waspada.
"Kau mau bicara apa"!" bentak Brajaseta.
"Dengar...," kata Supit Ireng sambil matanya yang satu itu berputar-putar. Tibatiba secepat kilat tangan kanannya diayunkan!
Brajaseta kaget dan gerakkan pedangnya untuk
menangkis. Demikian juga Si Kipas Besi serta Si Cakar Malaikat. Tapi terlambat!
Terdengar pekik Si Cakar Malaikat sewaktu kapak besar itu menancap di pangkal
lehernya. Darah muncrat.
Sepasang matanya memandang mendelik ke arah Supit Ireng. Kedua tangannya
menggapai ke udara. Tubuhnya lalu roboh dan terkapar di taman istana tanpa nyawa
lagi! "Setan alas! Mampuslah!" teriak Brajaseta dan kirimkan satu bacokan kilat.
Tapi Kepala Pasukan Demak ini masih kalah cepat
dengan Supit Ireng yang licik itu.
Sebelum bacokan pedang sampai Supit Ireng
melemparkan sebuah benda bulat ke hadapan Brajaseta dan Si Kipas Besi. Detik itu
juga terdengar suara letusan dan sesaat kemudian tempat itu sampai sejauh empat
tombak telah tertutup oleh asap hitam yang memerihkan mata. Selagi semua orang
berkedap-kedip dan gosok-gosok matanya maka kesempatan ini dipergunakan Supit
Ireng untuk meloloskan diri, melompat ke tembok istana dan lenyap dalam udara
pagi yang masih gelap itu.
"Siapkan kuda! Buka pintu gerbang!" teriak Brajaseta ketika menyadari kalau
lawan telah melarikan diri.
Wiro Sableng 069 Ki Ageng Tunggul Keparat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meskipun dua ekor kuda penarik kereta itu telah berlari dalam kecepatan tinggi
namun Supit Ireng masih terus mencambukinya agar mereka berlari lebih cepat.
Kira-kira dua kali peminuman teh dia meninggalkan tapal batas Kotaraja lapatlapat telinganya yang tajam mendengar derap kaki kuda banyak sekali dari arah
bela- kang. Supit Ireng berpaling. Di kejauhan dilihatnya serombongan orang-orang Kerajaan melakukan pengejaran. Dia kertakkan rahang. Di depan
sekali tampak Brajaseta dan Si Kipas Besi. Supit Ireng cambuk lagi kuda-kuda
penarik kereta bertubi-tubi.
Jalan yang buruk, penuh lobang serta bebatuan yang bertonjolan membuat kereta
itu tidak bisa berlari kencang.
Sementara itu para pengejar semakin lama semakin dekat juga dan hari mulai
terang tanah. Dari arah belakang Si Kipas Besi mulai lepaskan serangan-serangan
kipas yang menghembuskan angin kencang hingga kuda-kuda penarik kereta terganggu
larinya. Brajaseta sendiri juga tidak tinggal diam. Puluhan jarum beracun
dilepaskannya ke arah Supit Ireng.
Sambil memacu kereta Supit Ireng terpaksa berulang kali memukulkan tangannya ke
belakang untuk menangkis serangan angin puyuh Si Kipas Besi dan hujan jarum maut
Brajaseta! Di satu tebing tinggi Brajaseta dan rombongan berhasil mengejar kereta itu.
"Supit Ireng! Kalau tak mau mampus percuma hentikan kereta lekas!"
memperingatkan Si Kipas Besi.
"Tak usah diberi peringatan lagi paman!" ujar Brajaseta dan lemparkan lagi
selusin jarum maut.
Kuda penarik kereta meringkik lalu rubuh. Binatang-binatang ini bersama kereta
terguling beberapa kali.
Sekejap saja tempat itu sudah dikurung belasan perwira tinggi dan puluhan
prajurit. Brajaseta dan Si Kipas Besi melompat cepat dari kuda masing-masing dan
mendekati kereta. Mereka terkejut ketika di situ mereka tidak menemukan Supit
Ireng ataupun tawanan yang tiga orang itu. Kereta yang berantakan itu kosong!
"Kurang ajar! Kita kena ditipu!" rutuk Brajaseta sambil bantingkan kaki ke tanah
sampai tanah itu melesak dalam!
"Apa yang kita lakukan sekarang?" bertanya salah seorang perwira.
"Dia pasti tidak lari jauh! Jelajahi seluruh daerah berbukit-bukit ini! Tangkap
dia hidup atau mati! Juga ketiga tawanan itu!" sahut Brajaseta.
Hampir seratus prajurit, belasan perwira tinggi bersama-sama Si Kipas Besi serta Brajaseta menjelajahi seluruh daerah itu. Namun
sampai tengah hari Supit Ireng dan tiga tawanan tak berhasil ditemukan. Mereka
laksana lenyap ditelan bumi!
"Kita cari di Bukit Tuntang!" kata Brajaseta setelah berunding dengan Si Kipas
Besi. Maka rombongan segera menuju ke Bukit Tuntang yaitu tempat kediaman Supit Ireng.
Tapi tempat itu sunyi senyap.
Tak ada Supit Ireng dan tawanan itu di sana. Yang mereka temui hanyalah mayat
Aria Galing yang membusuk. Dengan penuh geram Brajaseta menyuruh anak buahnya
membakar habis tempat kediaman Supit Ireng.
WIRO SABLENG KI AGENG TUNGGUL KEPARAT
11 AAT ITU memasuki rembang petang. Di lereng sebuah bukit, dua orang penunggang
kuda kelihatan memacu S kuda masing-masing menuju sebuah jalan kecil di kaki
bukit. Sesaat kemudian keduanya sudah menempuh jalan itu terus menuju ke utara.
Ternyata mereka adalah sepasang muda-mudi. Yang pemuda bertampang cakap
gagah sedang si pemudi berparas jelita dengan kedua pipinya kemerah-merahan
disengat oleh matahari petang.
Di satu persimpangan keduanya berhenti.
"Guru menyuruh kita menunggu di sini," kata si pemuda lalu turun dari kudanya
dan melangkah ke tempat yang rindang. Sementara kuda mereka merumput mengisi
perut, kedua muda-mudi ini duduk bercakap-cakap.
"Jaka, aku tidak mengerti. Mengapa guru membawa kita ke puncak Gunung Karang.
Bukankah di tempat
kediamannya sekarang cukup bagus untuk melatih dan mendidik kita?"
Si pemuda tersenyum. "Satu hal harus kau ketahui.
Setiap orang sakti mempunyai sifat-sifat aneh. Kalau guru mengajak kita ke
Gunung Karang pasti dia tahu bahwa di tempat itu jauh lebih bagus baginya untuk
menggembleng kita."
"Kalau aku sudah pandai silat nanti," kata si pemudi,
"akan kucari bangsat bernama Lor Parereg itu dan kucincang sampai lumat!"
"Pembalasan memang sudah wajar," sahut si pemuda yang bernama Jakawulung. "Namun
aku sangsi apakah kau akan betah tinggal di puncak Gunung Karang."
"Kalau tidak betah mengapa aku bersedia ikut?"
"Jangan lupa Larasati. Kau adalah puteri Sultan Trenggono yang tinggal di istana
dan terbiasa dengan alam kehidupan serba mewah. Di mana segala yang kau ingini
telah tersedia. Di puncak Gunung Karang kau tidak bakal menemukan itu, bahkan
kesulitan yang kau hadapi. Di samping itu sewaktu-waktu kau tentu rindu pada
orang tuamu atau..."
"Atau apa Jaka?"
"Atau kekasihmu..."
Si pemudi yang ternyata adalah Gusti Ayu Ning Larasati tersenyum. "Setiap
manusia tentu merasa kangen pada orang tuanya jika berpisah jauh. Tapi aku bisa
menguasai kerinduan itu, Jaka. Dan soal kekasih... aku tidak punya."
"Kalaupun tak punya tentu kau pernah mengagumi atau memuja atau menaksir seorang
pemuda dalam hidupmu..."
kata Jakawulung pula.
Larasati menggeleng.
"Atau sebaliknya ada pemuda yang memujamu?"
"Itu urusan dia. Aku bukan dewi yang pantas dipuja-puji!"
"Tapi bagi seorang pemuda yang jatuh cinta, kekasih pujaannya lebih cantik dari
dewi manapun."
"Itu namanya sinting!"
"Lho, orang jatuh cinta itu memang seperti sinting. Apa kau tidak tahu?" kata
Jakawulung lalu kedua muda-mudi itu tertawa gelak gelak.
"Guru tetap tak mengizinkan kau menemui kedua orang tuamu lebih dulu sebelum dia
menggemblengmu?" tanya Jaka.
Ning Larasati menggeleng. "Guru yakin, jika aku minta izin dulu, orang tuaku
pasti tidak membiarkan. Sekalipun guru telah menyelamatkan nyawa dan
kehormatanku dari tangan Lor Parereg. Di samping itu..."
Larasati tidak meneruskan kata-katanya karena saat itu dilihatnya Jaka memberi
isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di atas bibir.
"Aku mendengar suara kaki-kaki kuda. Banyak sekali..."
menerangkan Jaka. Perlahan-lahan dia berdiri dan
memandang berkeliling. Larasati mengikuti gerakannya.
"Lihat!" kata Jaka tiba-tiba seraya menunjuk ke depan.
Larasati menoleh ke arah yang ditunjuk. Berubahlah paras gadis ini. Puluhan
prajurit bersenjata lengkap dilihatnya muncul dari ujung jalan sebelah kiri,
lalu juga dari arah kanan. Menyusul dari dalam rimba belantara.
"Pasti mereka telah tahu bahwa kau berada di sini,"
kata Jaka. "Jika mereka memang pasukan Kerajaan kau tak usah khawatir. Aku akan suruh
mereka pergi," sahut Larasati.
Namun hati Jakawulung tetap tidak enak. Dia melangkah ke tempat kudanya merumput dan memberi isyarat pada Larasati agar mereka
segera meninggalkan tempat itu. Namun justru saat itu terdengar suara
memerintah, "Jangan bergerak! Tetap di tempat kalian!"
Jakawulung dan Larasati berpaling.
Seorang berpakaian kebesaran tentara dan bertubuh tinggi kekar melompat dari
punggung kudanya. Gerakannya enteng sekali. Jakawulung maklum kalau orang ini
memiliki ilmu tinggi. Ning Larasati segera mengenali Kepala Pasukan Demak ini
dan membisikkannya pada Jaka.
"Gusti Ayu Larasati," kata Brajaseta sambil menjura,
"syukur kami akhirnya menemui Gusti Ayu di sini. Sultan dan seisi istana sangat
cemas atas lenyapnya Gusti Ayu!"
Ning Larasati tidak menjawab apa-apa. Dia tahu kalau lagak sikap menghormat yang
ditunjukkan Kepala Pasukan Demak itu lebih banyak bersifat pura-pura belaka dan
gadis ini tahu bahwa Brajaseta menyukainya dan pernah melamar pada Sultan tetapi
ditolak. Melihat tanggapan si gadis ayem-ayem saja, Brajaseta lalu berpaling pada
Jakawulung dan bertanya, "Siapa pemuda ini"!"
"Dia sahabatku, Paman Brajaseta!" jawab Larasati.
Sebenarnya Brajaseta tidak suka dipanggil dengan sebutan paman. Dia lebih suka
Larasati memanggilnya dengan sebutan mas atau kangmas. Namun melihat perbedaan umur mereka sebetulnya panggilan
itu sudah cukup pantas.
"Sahabatmu Gusti Ayu" Ini adalah aneh!" kata Kepala Pasukan Demak itu. Dan rasa
cemburu memanasi
dadanya. "Gusti Ayu lenyap diculik gerombolan rampok Lor Parereg. Tahu-tahu kini
ditemui di sini bersama seorang sahabat! Gusti Ayu, kami tak ingin mendapat
dampratan dari Sultan. Harap Gusti Ayu menjelaskan dengan jujur."
"Apa yang saya katakan adalah jujur, Paman. Apa paman tidak percaya?"
Brajaseta menggelengkan kepalanya. "Tentu, tentu paman percaya padamu Gusti Ayu.
Tapi terhadap pemuda ini paman menaruh curiga." Brajaseta berpaling pada
beberapa perwira dan lalu memerintahkan, "Tangkap pemuda ini!"
Lima perwira kerajaan segera melangkah maju.
"Hai!" seru Larasati. "Jangan kalian bertindak sambarangan!" Langkah lima perwira tertahan.
Brajaseta maju dan berkata, "Gusti Ayu, apakah benar pemuda ini sahabatmu atau
bukan, bisa kita urus kemudian. Yang jelas saat ini dia harus diamankan dulu dan dibawa ke Kotaraja!" Lalu
sekali lagi Brajaseta memerintahkan orang-orangnya untuk menangkap Jakawulung.
"Tunggu!" seru Larasati kembali. "Saya bicara atas nama ayah, Sultan Demak! Jika
kalian berani menangkapnya akan berhadapan dengan Sultan!"
"Perbolehkan aku bicara!" Jakawulung buka mulut.
"Manusia hina dina," memotong Brajaseta, "Kau tidak layak bicara!"
"Layak atau tidak itu bukan persoalan!" tukas Jakawulung. Sebagai manusia tentu saja dia merasa amat direndahkan. "Aku tidak punya kesalahan apapun. Mengapa ditangkap"!"
"Kau telah menculik puteri Sultan, merayu dan membujuknya hingga Gusti Ayu
membelamu dan berani menantang kami orang-orang Kerajaan!"
"Tidak! Dia sama sekali tidak menculik saya!" Yang menjawab Ning Larasati
sendiri. Brajaseta berpaling pada gadis itu dan berkata, "Gusti Ayu, paman lihat kau
selalu membelanya. Agaknya ada sesuatu di antara kalian?"
"Paman Brajaseta! Mulutmu keliwat lancang. Bawa orang-orangmu pergi dari sini!"
"Memang kami akan membawamu kembali ke Kotaraja Gusti Ayu!"
"Siapa sudi ikut dengan kalian!"
"Sudi atau tidak kami hanya menjalankan tugas dari Sultan Demak!" jawab
Brajaseta. Lalu dia memberi isyarat pada lima perwira tadi. Kelima perwira ini
bergerak cepat.
Jakawulung mundur beberapa langkah seraya berkata memberi ingat, "Jika kalian
berani menyentuh tubuhku, jangan salahkan kalau aku menurunkan tangan kasar!"
"Kurang ajar! Berani dia menantang perwira Kerajaan.
Lekas ringkus dia!" teriak Brajaseta marah.
Lima perwira bergerak kembali. Tapi yang paling depan kemudian terhuyung dan
terduduk di tanah kesakitan.
Tinju kanan Jakawulung mendarat tak terduga di ulu hatinya. Melihat ini empat
kawannya jadi gusar dan menyerbu. Kiranya Jakawulung meskipun masih muda
bukanlah seorang yang tidak mempunyai isi. Empat perwira itu dibuat kewalahan
kalang kabut tak berhasil meringkusnya, malah satu demi satu mereka kena dihajar! Tidak sia-sia tokoh silat
Malaikat Tak Bernama menggemblengnya selama lima tahun!
Setelah lima jurus berlalu perwira-perwira itu masih belum mampu menangkap si
pemuda, Brajaseta membentak marah, "Pergunakan senjata!" Empat pedang dicabut secara serentak.
"Pengecut! Curang!" teriak Ning Larasati.
Jakawulung mengeluh karena saat itu dia tidak memiliki senjata untuk dapat
melayani keroyokan empat pedang lawan yang ganas. Dia berusaha bertahan sambil
sekali-sekali kirimkan serangan balasan. Namun keadaannya cukup sulit kini.
Selagi dia dipepet demikian rupa tiba-tiba dari belakang sepasang tangan yang
kokoh merangkulnya.
Brajaseta! "Lekas selesaikan dia!" teriak Brajaseta pada empat perwira di depannya. Sesaat
perwira-perwira itu tertegun karena bagaimanapun mereka merasa sungkan membunuh lawan yang tidak berdaya dan disaksikan sekian puluh mata. Namun mereka juga
harus menjalankan perintah Kepala Pasukan Demak itu. Maka keempatnya lalu tusukkan pedang masing-masing ke tubuh Jakawulung.
Ning Larasati menjerit!
WIRO SABLENG KI AGENG TUNGGUL KEPARAT
12 ADA SAAT empat pedang hendak menembus tubuh
Jakawulung pada detik itu pula terlihat berkelebat Psatu bayangan putih, disusul
terdengarnya jeritan empat perwira kerajaan. Mereka terhuyung-huyung sambil
pegangi bahu masing-masing. Ternyata bahu mereka telah ditancapi oleh sebuah
panah putih yang panjangnya tak lebih dari sejengkal!
"Itu pembalasan bagi siapa yang berani menurunkan tangan jahat terhadap muridmuridku! Siapa lagi yang hendak melakukan hal itu"!" Terdengar suara menghardik.
Brajaseta merasakan ada yang mendorong tubuhnya
dan rangkulannya terhadap tubuh Jakawulung lepas. Dia terjajar beberapa langkah.
Memandang ke depan dilihatnya seorang nenek bermuka putih dan berpakaian serba putih tegak di samping
kanan Jakawulung. Rambut nenek inipun keseluruhannya berwarna putih. Bahkan
kedua tangan serta kakinya yang tersembul dari balik jubah putih juga berwarna
Pembalasan Dewa Pedang 2 Jangan Ganggu Aku Karya Wen Rui An Senopati Pamungkas 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama