Ceritasilat Novel Online

Pendekar Gunung Fuji 1

Wiro Sableng 078 Pendekar Gunung Fuji Bagian 1


Pendekar Gunung Fuji
http://cerita-silat.mywapblog.com tempat baca cersil mandarin & indo via HP
Pendekar Gunung Fuji
PENDEKAR 212 WIRO SABLENG
EPISODE PENDEKAR GUNUNGFUJI
SUARA siulan Pendekar 212 berhenti, berganti dengan decak penuh kagum. Saat itu
dia berada di kaki Gunung Fuji, memandang gunung berketinggian lebih dari 11.000
kaki yang sebagaian besar dikelilingi salju abadi.
Wiro rapatkan kerah baju tebalnya. Musim dingin segera berakhir namun di kaki
gunung, udara seperti tidak mengalami perubahan walau matahari tampak terang
benderang. Di sekelilingnya pohon-pohon Sakura bertebaran. Kebanyakan tertutup
salju tipis. Dari dalam saku baju Wiro keluarkan sebuah botol terbuat dari kaleng putih, lalu
membuka tutupnya dan meneguk isinya. Wajahnya yang tadi pucat, kini tampak
kemerahan. " Kalau saja aku bisa dapatkan tuak, rasanya pasti lebih segar dari
sake ini. Tapi masih untung masih ada sake dari pada tidak sama sekali, bisa
mati kedinginan, Uhh...! "
Wiro masukan botol minuman ke sakunya. Ketika hendak meninggalkan tempat,
langkahnya terhenti oleh suara kaki kuda. Wiro berpaling dan melihat seekor kuda
coklat polos tak berapa jauh dari dirinya.
Seekor binatang liar yang kesasar. Tapi ketika mendekat, ada pelana. Berarti
dugaannya salah. Wiro dekati kuda coklat tadi. Langkahnya terhentak ketika
melihat noda merah di pelana dan badan kuda.
Ketika memperhatikan tanah, juga terdapat bercak merah. Bercak darah!
Pendekar 212 melangkah menuju arah darah di tanah. Noda itu lenyap di dekat
serumpunan belukar basah. Dia kembali ke arah semula dan melacak darah dari arah
kiri. Darah itu ternyata menuju ke arah Gunung Fuji yang menjadi tujuannya. Kuda
itu masih menggesek-gesekkan lehernya tapi tidak meringkik lagi. Wiro melangkah
mendekati, usap-usap leher dan memperhatikan bercak darah di pelana. Wiro
mengusap bercak di pelana lalu memperhatikan. Memang bercak darah.
Dengan dedaunan yang dipetik di sekitar situ, Wiro bersihkan noda darah, lalu
dengan menepuk leher kuda, ia berujar, " Sobatku kau tentu sebelumnya membawa
tuanmu yang terluka. Tapi entah di mana dia sekarang. Saat ini biar aku yang
menjadi tuanmu. Antarkan aku ke Gunung Fuji, "
setelah itu pendekar 212 langsung melompat ka atas pelana dan menuju ke arah
timur. Walaupun jalan mendaki dan licin, namun karena mengikuti jalan kecil yang sudah
dibuat orang sebelumnya, kuda coklat itu mampu berlari cepat. Ketika matahari
tepat berada di atas Wiro, ia telah berada ratusan kaki ke arah timur. Di sebuah
ujung terlihat rumah kayu. Di serambinya yang luas tampak empat sosok tengah
mengelilingi tubuh yang terbaring di lantai, berbantalkan kain tebal. Ketika
mendengar suara kuda mendekati, keempat orang itu segera berpaling. Dua orang
melompat, dan yang seorang berseru. " Pembunuh itu berani datang lagi! "
Dua orang menggerakkan tangannya ke punggung. Terdengar suara gemeresek hampir
bersamaan. Dua Page 1
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
orang tadi sudah berada di halaman rumah yang tertutup salju tipis. Tangan
kedunya sudah memegang sebilah katana (pedang panjang) yang berkemilau terkena
sinar matahari.
Saat Wiro sampai di hadapan mereka, kedua orang itu sudah siap menyerang. Dua
bilah pedang berkelebat. Pendekar 212 berseru lalu meloncat dari atas pelana
kuda. Dua katana menderu, dan kuda coklat itu meringkik saat dua sabetan
mengenani tubuh kuda. Darah mengucur dari leher dan tubuh kuda sambil terus
menjauh menuju ka arah barat.
" Tunggu dulu! " seru Wiro ketika melihat dua pemuda sedang menghadang dan siap
menyerangnya. Kedua pemuda itu sesaat tampak ragu, tapi akhirnya mereka menghentikan langkah.
Sesaat mereka saling berpandangan lalu memperhatikan Wiro penuh curiga.
Sementara itu dari dalam rumah terdengar suara halus bergetar.
" Apa yang terjadi murid-muridku..." "
" Sensei! Kau tak boleh bicara. Kau terluka berat! " yang menjawab adalah
seorang gadis berwajah bulat yang rambutnya dikuncir sebahu. Yang bertanya tadi
adalah seorang tua dengan kimono biru gelap dan terbaring di lantai serambi.
Bagian tubuhnya dibalut dengan kain tebal. Kain ini tampak basah oleh darah!
Ternyata si orang tua sedang menderita luka cukup parah. Kedua orang yang dari
tadi berada di sanasudah sadar jika yang dipanggil sensei itu sulit disembuhkan.
Namun nyatanya masih bisa mengeluarkan suara.
" Aku bertanya apa yang terjadi Akiko..." "
Gadis bernama Akiko yang duduk sambil mengusapi kening gurunya yang terluka
parah itu menahan nafas sesaat lalu dekatkan kepala ke telinga orang tua itu. "
Salah seorang dari pembunuh itu datang lagi, sensei... "
" Pembunuh itu datang lagi katanya..." Tidak mungkin... Tidak mungkin Akiko! "
Dengan mata yang masih tertutup, orang tua yang dipanggil dengan sebutan sensei
ini berkata pada muridnya yang satu.
" Ichiro, apa betul yang dikatakan Akiko tadi" "
Pemuda di samping kanan seorang tua memandang ke arah halaman di mana dua
saudara seperguruannya dengan katana dalam genggaman dua tangan, tengah
menghadapi seorang pemuda yang barusan melompat dari kuda. " Memang ada yang
datang sensei. Pakaian dan kuda yang ditungganginya sama dengan salah seorang
pembunuhmu. Namun aku meragukan dugaan dua saudara. Orang yang datang ini adalah
Gaijin... (sebutan untuk orang asing). "
" Gaijin... Orang asing maksudmu" " Orang tua yang terbaring berbantalkan
gulungan kain batuk-batuk beberapa kali. Dari sela bibirnya tampak ada darah
yang keluar. Akiko cepat menyeka darah itu dengan sehelai sapu tangan seraya berbisik. "
Sensei, jangan bicara lagi... "
Tapi si orang tua tidak perdulikan. " Aku ingin melihat siapa yang datang. Aku
memang tengah menunggu seseorang sejak tiga tahun lalu.. "
Lalu, walaupun degan susah payah, orang tua itu berusaha mengangkat kepalanya.
Namun lehernya terkulai dan kepalanya jatuh kembali ke atas gulungan kain. "
Sensei...! " Akiko terpekik.
Page 2 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Anak-anak..., bawa aku ke dojo (ruangan tertutup tempat berlatih silat)...
Kalau aku memang ditakdirkan harus mati, aku ingin mati di ruang latihan itu...
" " Baik sensei, kami akan lakukan apa yang kau minta... " jawab Ichiro.
Sementara itu di halaman rumah yang tertutup salju tipis, salah seorang pemuda
yang memegang katana tukikkan ujung pedangnya hampir mencium panah. Dalam ilmu
pedang di Jepang, ini merupakan salah satu kedudukan senjata yang sangat
berbahaya. Karena ujung pedang yang kelihatannya jauh dari sasaran itu tiba-tiba
bisa melesat membabat kaki, pinggang atau perut, bisa juga menebas leher atau
menghantam kepala!
" Pemuda asing! Katakan siapa dirimu"! Apa keperluanmu datang ke mari"! "
" Namaku Wiro Sableng! Aku datang untuk menemui Horoto Yamazaki, seorang tua
yang bergelar Pendekar Pedang Matahari! " jawab Wiro. Lalu dia melirik ke arah
serambi rumah di mana dia melihat ada seorang tua terbaring didampingi seorang
gadis dan seorang pemuda. Wiro menduga, orang tua itu pastilah orang yang hendak
ditemuinya. Apa yang tengah terjadi di serambisana"
Kemudian pemuda di samping si orang tua tambak berdiri dan berteriak. " Kunio!
Kenichi! Bantu kami menggotong sensei ke ruang latihan! " Dua pemuda yang tengah
menghadang Pendekar 212 Wiro Sableng menatap tajam ke arah Wiro lalu keduanya
saling memberi isyarat. Yang satu segera berbalik dan lari ke arah serambi.
Satunya lagi menyusul, namun sebelum pergi sempat berkata. " Pemuda asing!
Tetap di tempatmu! Jangan kau berani bergerak, walaupun hanya satu langkah! "
Wiro tidak menjawab, tapi dalam hati dia berkata. " Setan! Jauh-jauh aku datang
ratusan ribu langkah, sampai di sini malah diperintah tidak boleh melangkah! "
Ketika pemuda itu berlari ke serambi, tanpa perduli Wiro melangkah pula ke arah
bangunan. Empat orang murid menggotong sensei mereka ke dalam dojo Di sebelah dalam
ternyata bangunan itu luas sekali dan memiliki tempat latihan beralaskan tatami
(alas lantai berbentuk kotak-kotak). Berbagai macam senjata terdapat di sudutsudut dan dinding ruangan.
Sang guru dibaringkan di tengah dojo , di atas sebuah kasur jerami. Ketika
itulah keempat murid menyadari bahwa ada orang lain di ruangan itu. Mereka
berpaling ke arah pintu dojo dan keempatnya menjadi marah. " Gaijin kurang ajar!
" membentak Kunio Ota lalu melompat ke ambang pintu di arah mana Wiro tengah
melangkah masuk. Sambil menghunus pedangnya, pemuda ini kembali menghardik. "
Kami tidak mengundangmu masuk! Aku malah sudah memperingatkan agar kau tidak
boleh bergerak satu langkah pun! "
Wiro menyeringai dan bungkukkan badan lalu berkata, " Shitsurei shimasu, ga...
(maafkan saya, tapi) di luar sana dingin sekali. Lagi pula saya datang untuk
menemui tuan rumah di sini..."
Telinga orang tua yang terbaring di atas kasur jerami mendengar suara Pendekar
212 Wiro Sableng.
Sebelum murid-muridnya yang marah melakukan sesuatu, orang tua ini cepat membuka
mulut. " Kunio, orang yang kau bentak itu... Apakah dia orang asing yang kau
maksudkan..." "
" Betul sensei! " sahut Kunio Ota. " Dia telah berlaku lancang, masuk ke dalam
ruangan ini! "
" Maafkan kalau ini tindakan yang kurang sopan! " Wiro menyahuti. " Namun saya
datang dari jauh. Dari negeri ribuan pulau di selatan untuk menemui tuan rumah!
Bagaimana saya bisa Page 3
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
menemuinya kalau bergerak satu langkah pun tidak diizinkan"! "
Tiga pemuda murid si orang tua bergumam marah. Hanya Akiko yang tampak tenang
dan memandang ke arah Wiro tanpa emosi sama sekali. " Orang asing, mendekatlah
ke mari... " orang tua itu tiba-tiba berkata.
Ketika Wiro melangkah, Kunio Ota masih berusaha menghalangi. Namun tubuh pemuda
ini merasa ada hawa aneh keluar dari tubuh Wiro yang membuat tubuhnya terdorong
dan kakinya terhuyung dua langkah. Begitu Wiro lewat, dia cepat-cepat menyusul
namun tidak berani menghalangi lagi. Wiro sampai di hadapan orang tua yang
terbaring di atas kasur jerami. Merasakan orang sudah ada di dekatnya, orang tua
itu membuka sepasang matanya yang sipit.
" Ah, kau memang pemuda asing Gaijin, katakan namamu! Dari mana kau datang, apa
keperluanmu..."! "
" Saya Wiro Sableng. Saya datang dari Tanah Jawa, negeri seribu pulau jauh di
selatan. Saya datang membawa pesan dan surat dari guru saya. Apakah saya..."
Wiro untuk pertama kalinya melihat darah yang membasahi kain merah yang menutupi
perut orang tua itu. " Astaga! Kau terluka parah orang tua! " seru Pendekar 212.
" Jangan perdulikan apa yang terjadi atas diriku. Teruskan ucapanmu... orang
muda! " kata si tua.
" Apakah saya berhadapan dengan Yamazaki san" Seorang samurai besar dan jago
pedang berjuluk Pendekar Pedang Matahari..." "
Orang tua itu tersenyum. Sepasang matanya membesar sedikit. " Samurai... "
desisnya. " Pendekar Pedang Matahari..." sambungnya. " Semua itu nama besar yang
tidak ada harganya lagi... "
" Sensei! " seru sang murid bernama Ichiro Loki. " Jangan berkata seperti itu! "
Hiroto Yamazaki alias Pendekar Pedang Matahari tersenyum kecut. " Hari ini aku
si tua yang dulu begitu diagungkan kini sudah dikalahkan oleh dua orang lawan.
Apa aku masih pantas menyandang semua nama besar itu" Pemuda asing siapa nama
gurumu.." "
" Saya diutus oleh guru. Guru saya bernama Eyang Sinto Gendeng dari puncak
Gunung Gede di Tanah Jawa sebelah barat... "
Mendengar keterangan pendekar 212 itu, untuk pertama kalinya muka pucat si tua
berkimono itu tampak cerah. Dia tersenyum lebar. " Sungguh satu kehormatan
sebelum mati aku bertemu dengan murid kawan lamaku. Anak muda, kalau kau benar
murid Sinto Gendeng sahabatku itu, perlihatkan dulu tanda pengenalmu! "
Wiro yang sebelumnya sudah dipesan oleh guru Sinto, mendengar ucapan Yamazaki
segera menyingkapkan baju tebal dan baju putih yang dikenakannya. " Ah...,
inezumi (rajah atau tatto) itu 212.... aku percaya kau memang murid kawan
lamaku, " kata si orang tua begitu melihat angka 212
di dada Wiro. Namun kemudian ia menyambung. " Tapi tatto seperti itu mudah
dipalsukan dan ditiru orang. Perlihatkan senjatamu... " Murid Sinto Gendeng
meragu. Lalu ia selinapkan juga tangannya ke balik pakaian.
Page 4 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Begitu tangan kanan itu keluar dari balik pakaian maka berkelibatlah sinar putih
perak menyilau di ruangan latihan itu. Empat murid Hiroto Yamazaki terkesiap
melihat Kapak Maut Naga Geni 212 yang ada dalam genggaman Wiro. Belum pernah
mereka melihat senjata mustika sedemikian mengesankan dengan sinar yang angker
seperti itu. " Kau memang murid sahabatku Sinto Gendeng... " kata Yamazaki . " Waktuku tidak
lama lagi. Serahkan surat Sinto Gendeng yang kau bawa...! "
" Yamazaki-san .. surat akan saya berikan. Tapi bagaimana jika terlebih dahulu
kamu mengizinkan aku memeriksa lukamu" Keselamatanmu lebih penting dari pada
surat yang kubawa... "
Hiroto Yamazaki kembali sunggingkan senyum. Lalu membuka mulut. " Ada ujar-ujar
yang mengatakan:Seorang kesatria baru menguasai sepenuhnya kehidupan seorang
Samurai bila dia selalu siap menghadapi kematian. Karena itu kau tak usah memikirkan
keselamatanku Wiro-san. Aku justru beruntung diberi kesempatan dewa untuk
bertemu denganmu. Mana surat itu..."! "
" Sensei, " tiba-tiba Kunio Ota membuka mulut. " Siapapun adanya pemuda ini saya
tetap menaruh curiga. Dia muncul dengan kuda milik pembunuhmu. Saya melihat noda
darah di punggung kuda.
Mustahil tidak ada kaitannya dengan kedua pembunuh itu...! "
" Wiro-san... bisakah kau menjawab ucapan muridku itu" " Orang ini sebenarnya
percaya penuh dengan pemuda itu, namun dia juga ingin semua muridnya mendengar
penjelasan langsung dari Wiro sendiri.
" Kuda coklat itu saya temui di kaki Gunung Fuji. Binatang itu bersikap jinak
dan aku tunggangi sampai kemari. Saya tidak tahu siapa pemiliknya... "
" Bukan mustahil pemuda ini kawanan pembunuh dan disuruh menyamar untuk
memastikan kematian sensei atau bagaimana... " kata Ichiro Loki
" Mungkin juga ia diminta menyelidiki sesuatu di sini! " untuk pertama kalinya
murid perempuan bernama Akiko Besso mengeluarkan suara.
Wiro garuk-garuk kepala. Dia menjawab. " Segala kecurigaan bisa terjadi. Saya
pikir tidak perlu diperpanjang lagi. Guru kalian sedang sakit parah... " Dari
balik bajunya Wiro keluarkan sebuah lipatan kertas pada Hiroto Yamazaki. "
Terimalah, ini surat dari guru saya... " Yamazaki menerima dan membuka dengan
tangan gemetar lalu membacanya.
Sahabatku Hiroto
Aku mengharapkan kau dalam keadaan baik-baik dan sehat. Dunia ini kadang terasa
sempit, kadang terasa luas dan jauh. Seperti halnya kita. Ternyata aku hanya
mampu mengutus muridku untuk menemuimu di kaki Gunung Fuji yang sejuk dan indah
ini. Sesuai janji kita empat puluh tahun silam, muridku memberi petunjuk
mengenai Pukulan Sinar Matahari. Itu jika kau bermaksud memilikinya.
Untuk keperluan itu kau tidak perlu ganti imbal apa-apa. Ini sesuai dengan
kepribadian seorang samurai yang tidak kenal pamrih.
Sahabatmu Sinto Gendeng Page 5 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Hiroto Yamazaki menurunkan tangannya dan meletakkan surat Sinto di atas dadanya.
" Aku bahagia...
aku bisa pergi dengan tenang, " lalu dia berpaling kepada Pendekar 212 dan
berkata, " Wiro-san aku tidak mungkin lagi punya waktu mempelajari Pukulan Sinar
matahari yang hebat itu..., jika kamu tidak keberatan dan mereka mau, ajarkanlah
pada murid-muridku. Mungkin dengan ilmu itu mereka bisa membuat perhitungan
dengan pembunuhku... " lalu satu demi satu Yamazaki memperkenalkan nama muridnya
itu. Wiro membungkuk. " Akan aku lakukan apa yang kau minta Yamazaki -san. "
" Bagus... aku punya firasat hanya kau yang bisa membantu muridku menghadapi
orang Lembah Hozu yang jahat dan kejam. Lebih dari itu, aku mendapatkan petunjuk
seorang pendekar akan muncul di Gunung Fuji ini. Seorang yang pantas disebut
dengan Pendekar Gunung Fuji. Kau lah orangnya Wiro-san..."
Wiro tak berani menjawab. Diam-diam dia melirik kepada murid Yamazaki. Kelihatan
sekali dari raut muka mereka tidak senang dengan ucapan gurunya itu. Ketika Wiro


Wiro Sableng 078 Pendekar Gunung Fuji di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menegakkan badan kembali, terdengar jeritan Akiko Besso. Tiga murid lainnya ikut
berseru. Wiro menatap sosok dan wajah Yamazaki. Kedua matanya tertutup. Orang
tua itu tidak bergerak dan tidak bernafas lagi.
Salju turun lagi perlahan-lahan. Pendekar 212 Wiro Sableng duduk di tangga depan
rumah kediaman mendiang Hiroto Yamazaki. Di salah satu ruangan di dalam sana,
empat orang murid Yamazaki tengah bersembahyang dihadapan abu sang guru yang
diperabukan tiga hari lalu.
Wiro teguk sake dalam botol kaleng. Ketika baru saja dia menyimpan botol minuman
itu ke dalam saku baju tebalnya, dibelakangnya dia mendengar langkah langkah
kaki mendatangi. Wiro berpaling. Ichiro Loki, Kunio Ota dan Kenichi Asano
melangkah dari ruangan dalam. Wiro berdiri menyambut ketiga pemuda itu. Dia
belum melihat Akiko. Gadis itu mungkin masih bersembahyang di dalam.
" Gaijin! " menegur Kunio Ota, " Kami tidak suka melihat kau masih ada di tempat
ini! Apakah itu belum jelas bagimu" "
" Cukup jelas Ota-san. Saya hanya menunggu keputusan dari kalian mengenai ucapan
mendiang Yamazaki-san. Yaitu menyangkut ilmu Pukulan Sinar Matahari yang beliau
minta untuk diajarkan pada kalian. Jika kalian suka..." "
" Kami cukup punya kepandaian. Kami sudah memutuskan bahwa kami tidak perlu
segala macam pelajaran ilmu pukulan dirimu! " menukas Kunio Ota.
" Apakah Akiko Bessho berpendapat begitu juga" " Tanya Wiro. " Cukup satu saja
murid Pendekar Pedang Matahari berkata. Itu berarti berlaku dan mewakili
semuanya! " jawab Kunio Ota pula.
" Jika memang begitu keputusan kalian, saya tidak memaksa. Saya hanya
menjalankan pesan guru saya dan pesan sensei kalian. Sekarang saya minta diri..."
Wiro membungkuk. Ichiro dan Kenichi balas membungkuk. Hanya Kunio Ota yang tidak
mau balas menghormat. Ketika Wiro berbalik dan hendak melangkah pergi tiba-tiba
pemuda ini berkata, " Tunggu dulu! "
Wiro berpaling dan menunggu. " Kau datang dengan maksud hendak mengajarkan
sesuatu pada sensei. Sebelum menghembuskan nafas, sensei meminta agar kau
mengajarkan ilmu Pukulan Matahari pada kami. Tampaknya kau ini seperti seorang
yang luar biasa. Memiliki kepandaian Page 6
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
tinggi, bahkan merasa lebih tinggi dari guru kami sendiri! "
" Saya tidak mengatakan maupun merasa begitu! " jawab Wiro. " Seperti saya
katakan, saya hanya menjalankan pesan. Jika kalian merasa tidak perlu atau tidak
suka tidak menjadi apa. "
Kunio Ota berbisik-bisik dengan dua pemuda lainnya. Yang dua mengangguk-angguk.
Lalu Kunio berkata. " Sebelum kau pergi, kami ingin melihat dulu sampai di mana
kepandaianmu dalam ilmu bela diri, dan kami tidak suka sebagai orang asing kau
merasa lebih hebat dari kami di negeri kami sendiri! "
" Saya tidak merasa lebih hebat. Karenanya tidak ada gunanya kalian menguji
saya, " jawab Wiro.
" Kalau hanya untuk menunjukkan kebodohan, mengapa jauh-jauh datang kemari! "
mengejek Kunio Ota, lalu pemuda ini tertawa diikuti oleh dua kawannya.
" Terima kasih atas tertawa kalian yang tidak sedap didengar dan dilihat! " Wiro
bungkukkan diri lalu memutar langkahnya. Tahu-tahu Kunio Ota sudah menghadang di
depannya. Diam-diam Wiro merasa kagum akan kecepatan gerakan orang ini dan
hampir tanpa suara.
" Kami menantangmu! Kami menunggu di dojo. Jangan kau berani menolak karena itu
berarti penghinaan bagi kami! "
Pendekar 212 menyeringai. " Justru bagiku yang menantang adalah pihak yang
menghina! " Jawab Wiro kasar dan kini mulai jengkel. Dia melewati ketiga pemuda
itu lalu sebelum mereka masuk ke dalam ruang latihan yang besar, murid Sinto
Gendeng sudah lebih dulu berada di situ!
" Silakan siapa di antara kalian yang hendak menunjukkan kebolehannya lebih
dulu. Aku orang bodoh hanya siap menerima petunjuk! " Lalu Wiro melompat ke
tengah dojo. Kunio Ota maju ke hadapan Wiro. " Dengan tangan kosong atau pakai senjata" "
murid Hiroto Yamazaki itu bertanya.
" Aku lebih suka tangan kosong! " jawab Wiro sambil usap-usapkan telapak
tangannya satu sama lain.
Baru saja Wiro menyahut demikian, Kunio Ota langsung berteriak keras dan
menghantam dengan tangan kanannya ke arah muka Pendekar 212. Dari suara angin
pukulan lawan, murid Sinto Gendeng segera memaklumi kalau Kunio Ota
menggabungkan kekuatan tenaga dalam dan tenaga luarnya dalam melancarkan
serangan. Hal semacam ini jarang dilakukan orang karena memang tidak mudah untuk
menjalankannya.
Wiro angkat tangan kirinya untuk menangkis. " Bukk! " Dua lengan saling beradu.
Wiro Sableng terpental hingga menghantam dinding sedang Kunio Ota jatuh duduk di
atas tatami. Murid Sinto Gendeng merasakan lengannya sakit bukan kepalang. Rasa sakit ini
anehnya menjalar cepat ke sekujur tubuh hingga dia menggigil seperti orang
kedinginan. Ketika diperhatikannya lengan kanannya, lengan itu tampak bengkak
merah dan biru!
Wiro memaki panjang pendek dan merasa menyesal mengapa tadi dia hanya
mengerahkan tenaga dalamnya sedikit saja sehingga dia kini mendapat cedera.
Sebenarnya Wiro sangat menghormati keempat murid Hiroto Yamazaki itu, apalagi
gurunya Eyang Sinto Gendeng telah berpesan agar mampu membawa Page 7
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
diri sebaik-baiknya di negeri orang. Wiro sesaat tegak diam sambil usap-usap
lengan kanannya yang mendenyut sakit.
Kunio Ota melompat berdiri di atas tatami. Dengan sikap dan air muka penuh
mengejek dia berkata. "
Kalian lihat sendiri! Dengan kemampuan seperti itu dia menyombongkan diri hendak
memberi pelajaran pukulan sakti pada kita! Kepalanya malah tambah besar karena
sensei menyebutnya Pendekar Gunung Fuji! Cuah! " Kunio Ota meludah ke lantai. "
Gaijin! Siapapun kau adanya kami harap kau segera meninggalkan tempat ini! Kami
hendak meneruskan sembahyang menghormati arwah guru...! "
Wiro mengangguk. Dia melangkah ke hadapan meja sembahyang di mana disimpan abu
Hiroto Yamazaki. Dia membungkuk dalam-dalam beberapa kali. Lalu memutar tubuh
dan tinggalkan tempat itu.
Begitu Wiro lenyap, Kenichi Asano berkata. " Mari kita teruskan sembahyang.
Kunio Ota, kau yang tua di antara kita. Kau yang memimpin upacara..." Lalu
Kenichi, Akiko dan Ichiro memberi jalan pada Kunio untuk maju ke hadapan meja
sembahyang. Tetapi orang yang diminta untuk memimpin acara sembahyang itu tetap
diam saja di tempatnya.
" Apa yang terjadi" " Tanya Akiko heran, begitu juga Kenichi. Ichiro Loki
memeriksa sekujur tubuh Kunio, mengangkat-angkat kedua tangannya. Setiap
diangkat, kedua tangan itu kembali ke kedudukannya semula secara kaku. Kenichi
dekatkan telinga kirinya ke dada Kunio. " Aku mendengar detak jantungnya! Dia
masih hidup! Tapi mengapa tidak bisa bergerak tidak bisa bersuara" " ujar
Kenichi sesaat kemudian, seraya memandang heran pada saudara-saudara
seperguruannya.
" Aku ingat sejenis ilmu aneh yang datang dari daratan Tiongkok dan mulai
dikembangkan di negeri ini..." berkata Kenichi.
" Maksudmu ilmu menotok jalan darah" " tanya Ichiro.
Kenichi mengangguk, " Kunio bukan hanya ditotok jalan darahnya sehingga kaku,
tapi jalan suaranya juga terbendung hingga dia tak sanggup bicara! "
" Lalu siapa yang menotoknya" " tanya Akiko.
" Ya! Siapa..."! " ikut bertanya Ichiro.
" Siapa lagi kalau bukan si gaijin itu! " sahut Kenichi.
" Ah mana mungkin! " tukas Ichiro. " Aku tidak melihat pemuda asing itu
menggerakkan tangannya atau mendekati Kunio. Dia tadi hanya melangkah ke meja
sembahyang lalu meninggalkan ruangan ini... Bagaimana mungkin itu bisa terjadi"
Atau barangkali ada hantu di tempat ini" "
" Tidak ada hantu di sini Ichiro. Aku yakin pemuda itu yang melakukannya. Dia
memiliki kecepatan yang hanya bisa dilakukan oleh seorang ninja! "
" Kalau begitu dia bukan manusia sembarangan. Tapi mengapa ketika beradu pukulan
dengan Kunio tadi dia terpental jauh dan lengannya tampak bengkak wajahnya
memperlihatkan rasa sakit! " kata Akiko pula.
" Hemmm..." Akiko Bessho menggumam. Dia melangkah memutari tubuh Kunio Ota.
Page 8 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Bagaimana kita membebaskan Kunio dari totokan ini. Kenichi..." " Kenichi Asano
mendekati Kunio. Dia memeriksa beberapa tubuh pemuda itu. Ketika dia
menyingkapkan kerah baju Kunio, dilihatnya ada tanda merah pada pangkal leher
sebelah kiri. Kenichi kerahkan tenaga dalamnya ke ujung ibu jari tangan kanan
lalu dia mulai mengurut pangkal leher Kunio. Selang beberapa ketika Kunio
terdengar keluarkan suara keluhan pendek. Tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh
kalau tidak dipegang oleh Ichiro.
" Kau sadar apa yang kau alami Kunio" " bertanya Akiko.
" Entahlah. Aku mendengar suara kalian. Tapi aku tak bisa bergerak, tak bisa
membuka mulut...
" jawab Kunio Ota.
" Gaijin itu telah menotok urat besar di pangkal lehermu! "
" Hah" " Kunio raba pangkal lehernya. " Bagaimana dia bisa melakukannya" Dia
bukan orang Cina! Hanya pendekar-pendekar Cina yang punya ilmu kepandaian
menotok orang! "
Kenichi menarik nafas dalam. " Ilmu menotok itu sudah ada ratusan tahun lalu.
Mungkin lebih dulu dipelajari di negeri si gaijin itu dari pada di sini. Dia
telah memberi pelajaran padamu dan pada kita. Paling tidak dia kini membuat mata
kita lebih terbuka. Kurasa waktu kau menjajalnya tadi dia tidak melayani sepenuh
hati..." Merahlah peras Kunio Ota. " Adik Kenichi, kau seperti mengejek aku! Aku akan
cari orang itu dan mengajaknya untuk adu kekuatan sampai seratus jurus! "
Ichiro gelengkan kepala. " Aku tidak setuju. Ada hal lain yang lebih penting
harus kita lakukan.
Mencari dua orang pembunuh sensei! "
" Kau betul kak Ichiro, " menyatakan Akiko. " Hal itu harus kita bicarakan
sekarang! Tetapi bagaimana kalau kita terlebih dahulu mengamankan barang-barang
pusaka milik sensei..." "
" Ah..." Kau betul Akiko! " kata Kenichi. " Mari kita sama-sama masuk ke dalam
kamar tidur sensei..." Lalu keempat orang itu tinggalkan ruangan sembahyang,
menuju ke kamar tidur mendiang Hiroto Yamazaki. Hanya sesaat kemudian saja, di
dalam kamar itu mendadak terjadi kegegeran!
Keempat anak murid Hiroto Yamazaki itu telah menemukan senjata-senjata pusaka
milik guru mereka, yakni sebilah katana dan seperangkat busur serta anak panah.
Tetapi setelah menggeledah seluruh sudut kamar, membalik kasur, membongkar
lemari dan memeriksa lapisan-lapisan loteng dan dinding kamar, mereka sama
sekali tidak menemui sebuah kitab kuno berisi pelajaran Kendo yang amat langka.
Keempat anak murid yang baru saja ditinggal mati guru mereka itu saling pandang.
" Kitab itu sangat berharga sekali. Sensei malah menganggapnya sama berharganya
dengan nyawanya sendiri.
Sensei belum sempat mengajarkan keseluruhannya pada kita. Dan kini kitab itu
lenyap! " Kenichi Asano berkata sambil melangkah mundar-mandir dalam kamar.
" Aku punya dugaan keras Gaijin itulah yang telah mencurinya! " kata Kunio Ota
pula seraya mengepalkan tinjunya!
" Kurang ajar! Kita harus cari dia sampai dapat! " kata Ichiro Loki. Kunio Ota
cabut pedangnya dari balik punggung lalu melangkah ke hadapan meja sembahyang di
mana terletak abu Hiroto Yamazaki.
Page 9 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Sambil melintangkan katana di depan dadanya pemuda ini berkata " Sensei, aku
muridmu Kunio Ota, bersumpah di hadapan abumu akan memenggal batang leher
pencuri itu! " lalu pemuda ini mendahului yang lain-lainnya keluar dari ruangan
sembahyang itu.
" Aku heran..." Kata Akiko pada Ichiro dan Kenichi. " Jika memang betul pemuda
asing itu yang mencuri kitab tersebut, bagaimana mungkin dia mengetahui tempat
sensei menyimpannya. Sejak beliau meninggal, kamar ini selalu diawasi paling
tidak oleh dua orang di antara kita. Lalu jika dia memang murid sahabat guru
kita, masakan begitu culas melakukan pencurian..."
" Jangan-jangan dia murid palsu yang menyamar datang kemari padahal maksud
sebenarnya adalah untuk mencuri kitab itu! " ujar Ichiro pula.
" Tapi dia telah memperlihatkan bukti-bukti dirinya pada sensei. Dan guru kita
mengakui kebenaran tanda-tanda yang diperlihatkannya..."
" Saat itu guru kita tengah dalam keadaan sekarat, " berkata Kenichi. " Besar
kemungkinan dia tidak lagi dapat membedakan mana yang asli dan mana yang palsu..."
" Jadi pemuda itu datang jauh-jauh hanya untuk mencuri kitab Kendo milik guru! "
kata Akiko. " Mungkin itu hanya sebagian kecil saja dari maksud kedatangannya ke negeri kita
ini. Pasti dia membekal maksud lain yang lebih jahat! " berkata Ichiro.
" Kalau begitu aku setuju dengan rencana Kunio. Manusia satu itu harus dipenggal
batang lehernya! " kata Kenichi pula.
" Rencana harus diatur sekarang, " kata Ichiro. " Aku dan Kenichi akan mengejar
pembunuh guru. Akiko, Kunio mencari pemuda asing itu. "
" Hati-hatilah kalian berdua, " kata Akiko. " Jika dugaan kita benar bahwa
pembunuh guru adalah kelompok sesat orang-orang Lembah Hozu, mereka sangat
berbahaya. Mereka ahli memainkan panah beracun! " Kenichi dan Ichiro mengangguk.
Ichiro berkata, " Beritahu pada Kunio bahwa aku dan Kenichi akan berangkat besok
malam agar bisa sampai Lembah Hozu dua hari kemudian. Kita bertemu lagi di sini
pada Gesuyobi (hari Senin) minggu pertama bulan depan..."
" Baik! Kita bertemu lagi di sini hari Senin pertama bulan depan..." mengulang
Akiko Bessho. Malam itu udara tidak seberapa dingin. Di langit, bulan setengah lingkaran
muncul tanpa tersaput awan.
Dua bayangan bergerak cepat di antara kerapatan pepohonan di Lembah Hozu.
Sesekali terdengar suara burung malam di kejauhan.
Orang yang lari di depan sesaat berhenti lalu berbisik kepada kawannya. "
Kenichi, sebentar lagi kita akan memasuki kawasan Lembah Hozu. Periksa lapisan
besi yang menutupi dada dan punggungmu... "
Kenichi lalu memeriksa baju besi tipis yang melindungi dada dan punggungnya.
Ichiro melakukan hal yang sama.
" Bagaimana dengan senjata peledak" " Ichiro kembali berkata. Kenichi memeriksa
lima buah benda Page 10
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
bulat sebesar kepalan yang terbuat dari besi. Kelima benda ini tergantung di
pinggangnya dan merupakan senjata peledak yang bisa menghancurkan bangunan.
Ichiro juga membekal lima senjata peledak yang sama.
" Orang-orang Lembah Hozu biasanya suka minum-minum sampai larut malam. Berarti
kita harus bersabar menunggu sampai menjelang pagi, pada saat mereka mulai
keletihan dan setengah mabuk... " Kenichi mengangguk mendengar ucapan Ichiro
itu. Keduanya kemudian bergerak kembali dalam kegelapan malam dan udara dingin.
Akhirnya kedua orang murid mendiang Hiroto Yamazaki itu sampai di bibir Lembah
Hozu sebelah selatan. Jauh di bawah sana mereka melihat nyala obor banyak
sekali. Di hadapan sebuah meja pendek, tampak sekitar sepuluh orang lelaki
berpakaian dan berikat kepala serba putih duduk berkeliling. Setiap orang
ditemani oleh seorang Geisha (wanita pelayan pada tempat-tempat tertentu).
Semuanya asyik menyantap makanan dan meneguk minuman. Sesekali terdengar suara
gelak tawa. Lalu ada seorang perempuan separuh baya yang duduk agak terpisah
memetik Shamusen (instrumen musik dengan tiga senar).
" Setahuku kelompok mereka ada tujuh belas orang, mana tujuh lainnya..." "
berbisik Ichiro.
Kenichi tak menjawab, ia memandang ke arah lembah seperti tengah menghitunghitung. " Kau membawa teropong..." " bertanya Ichiro. Kenichi lalu menyerahkan
sebuah teropong kecil. Ichiro menarik habis teropong satu lensa ini lalu
mengintai ke arah lembah. Satu demi satu dia mengawasi muka-muka yang ada di
lembah. Dia mengenali wajah orang keempat dan kesembilan, lalu berbisik pada
Kenichi. " Aku mengenali wajah dua pembunuh sensei. Mereka ada di bawah sana...
" Kenichi mengangguk. " Mereka ada di sana, aku tidak sabar lagi Ichiro. Apakah
baiknya kita langsung menyerbu..." "
Baru saja Kenichi berkata begitu, tiba-tiba terdengar suara suitan panjang dari
arah timur lembah.
Bersamaan dengan itu, sepuluh orang yang berada di meja bawah sana serentak
melompat berdiri sambil mencabut katana dari punggung masing-masing. Para Geisha
berlarian ke satu arah. Perempuan yang memainkan shamusen berhenti memainkan
peralatan musik itu dan ikut lari ke arah lenyapnya para Geisha .
" Celaka! " bisik Ichiro. " Agaknya mereka telah mengetahui kedatangan kita. "
Baru saja Ichiro Ioki berkata begitu, di atas mereka terdengar suara berdesing.


Wiro Sableng 078 Pendekar Gunung Fuji di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Awas, serangan panah! " teriak Ichiro. Dia segera menunduk dan cabut katana
-nya. Kenichi juga segera mencabut pedangnya dan melompat ke balik sebuah pohon
besar. Dua buah anak panah menancap di batang pohon itu. Ichiro putar pedangnya
ketika terdengar suara berdesing untuk kesekian kalinya. " Trang...! Trang...! "
Dua anak panah runtuh ke bawah.
" Para pembokong itu ada di atas pohon sebelah sana! " bisik Ichiro. Dia segera
mencabut senjata peledak yang ada di pinggangnya. Sebuah anak panah menghantam
bahunya. Untung bagian bahu itu masih terlindung baju besi yang dipakainya
hingga dia tidak cedera sedikit pun. Ichiro bergerak dua langkah ke samping
kanan lalu lemparkan senjata peledak ke arah pohon besar di mana tadi dia
melihat bayangan tiga orang pembokong bersenjatakan panah.
Terdengar suara berdentum. Nyala terang bola api berkilat, sesaat keadaan terang
benderang. Di atas pohon besar yang hancur porak poranda, terdengar jeritan tiga
orang. Ketiganya terlempar jatuh ke tanah dan telah mati lebih dahulu dalam
keadaan terkutung-kutung sebelum tubuh masing-masing mencium tanah.
Page 11 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Kenichi! Orang-orang di lembah berusaha mencapai tempat ini! Lekas kau cegat
dengan senjata peledak! " berteriak Ichiro ketika dilihatnya di bawah sana
sepuluh lelaki yang tadi duduk mengelilingi meja kini berlari sangat cepat
menaiki lereng lembah menuju tempat di mana dia dan Kenichi berada.
Kenichi menyelinap di balik kerapatan pepohonan lalu loloskan sebuah senjata
peledak. Tak lama kemudian terdengar suara berdentum di arah timur. Beberapa
pohon dan semak belukar rambas. Namun tidak terdengar suara jeritan. Di lain
saat malah terdengar orang-orang lembah berteriak. " Kurung yang satu ini!
Tangkap hidup-hidup! "
Lalu terdengar suara senjata saling beradu disertai bentakan-bentakan. Ichiro
masih sempat mendegar suara jeritan Kenichi ketika di hadapannya tiba-tiba
muncul enam orang bersenjatakan pedang. Dia tidak sempat mencabut senjata
peledaknya. Dengan katana , Ichiro hadapi keenam lawan yang datang.
Namun saat itu sebatang anak panah beracun yang dilepaskan lawan dari tempat
gelap berhasil menancap di paha kanannya.
Dengan kertakkan rahang menahan sakit, Ichiro cabut anak panah itu. Namun
sebagian racun panah telah larut dalam aliran darahnya! " Manusia-manusia Lembah
Hozu keparat! Kalian telah membunuh guru! Majulah untuk menerima hukuman! "
teriak Ichiro. Terdengar suara tertawa bergelak dalam gelap. Lalu enam sosok
tubuh melompat. Enam katana menggebrak berbarengan.
Ichiro menangkis tiga tebasan pedang. Tiga lainnya dielakkan dengan jalan
melompat ke belakang.
Ketika salah seorang lawan kembali menyerbu, Ichiro keluarkan suara mengerang
dan katana yang digenggam dengan kedua tangannya berkelebat ganas. Satu jeritan
menggema dalam kegelapan malam.
Orang didepan Ichiro menggeletak dengan perut robek. Lima kawannya berteriak
marah lalu serempak menyerang.
" Kita berhasil menangkap yang satu ini! " terdengar suara orang berteriak.
" Ah! Mereka berhasil menangkap Kenichi! " keluh Ichiro, lalu putar pedangnya
dengan sebat. Terdengar suara berdentangan. Tiga sosok bayangan muncul lagi dari dalam gelap.
Kini ada delapan orang yang mengeroyok Ichiro. Tak ada kemungkinan bagi pemuda
ini untuk menghadapi begitu banyak lawan. Dia membuat gerakan seperti katak,
melompat dan berhasil menjauhi para pengeroyok. Sebelum lawan-lawannya mengejar,
dia segera loloskan sebuah senjata peledak.
" Awas bola peledak! " teriak seseorang. " Bummmm! " Ledakan keras menggema.
Lidah api muncrat ke berbagai jurusan. Dua jeritan terdengar bersama rambasnya
semak belukar dan tumbangnya sebatang pohon. Ichiro lari sekencang yang bisa
dilakukannya sementara luka di paha kanannya terasa semakin sakit. Kaki kanannya
seperti kaku. Dua anak panah melesat menghantam punggungnya, namun baju besi
yang dikenakannya berhasil melindungi.
Ichiro lari terus hingga ia sampai di mana dia dan Kenichi sebelumnya
meninggalkan kuda masing-masing. Ichiro cepat naik ke atas pelana dan menghambur
tinggalkan tempat itu. Ketika orang-orang Lembah Hozu sampai di tempat itu,
Ichiro sudah terlalu jauh, tak mungkin dikejar lagi.
Ichiro sampai di tempat kediaman gurunya sesaat sebelum matahari terbit. Dia
langsung masuk ke dalam kamar dan mengambil secarik kertas serta alat penulis.
Dengan tubuh panas dingin akibat racun panah yang mulai bekerja menyerang
jantung dan paru-parunya, Ichiro mulai menulis. Lalu dengan membawa kertas itu
dia masuk ke dalam ruangan sembahyang dan berlutut di depan abu gurunya. "
Sensei, harap maafkan diriku. Sebagai murid, aku merasa tidak layak lagi hidup.
Aku tidak dapat membela nama guru. Aku tidak berhasil menumpas orang-orang
Lembah Hozu. Malah mereka berhasil Page 12
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
menangkap Kenichi. Aku malu untuk hidup lebih lama. Sensei aku mohon ampunmu...
Aku harus menebus kebodohanku dengan melakukanSeppuku ... (bunuh diri)"
Ichiro letakkan kertas yang tadi ditulisnya di kaki meja sembahyang, lalu
mencabut katana -nya siap ditikamkan ke perutnya. Tiba-tiba di saat yang tepat
dua tangan kokoh menahan gerakan tangan Ichiro.
Sebelum pemuda ini jatuh pingsan, dia masih sempat melihat wajah orang yang
barusan mencegahnya melakukan bunuh diri itu!
Dua orang berkelebat masuk ke dalam ruangan sembahyang dan keduanya sama berseru
keras ketika melihat tubuh Ichiro tergeletak menelungkup di atas tatami . Paha
kanannya dibalut. Tak berapa jauh dari situ tergeletak katana milik pemuda ini.
Lalu di dekat kaki meja sembahyang ada sehelai kertas bertuliskan huruf-huruf
kanji. Ternyata dua orang yang barusan datang adalah Akiko Bessho dan Kunio Ota. " Kau
lekas periksa keadaannya! Aku akan membaca apa yang tertulis di kertas ini! "
kata Kunio. Setelah membantu Akiko membalikkan tubuh Ichiro, Kunio mengambil
kertas di kaki meja lalu membacanya.
Saudara-saudaraku seperguruan, terlalu memalukan bagiku untuk hidup. aku bukan
saja gagal menuntut balas terhadap orang-orang Lembah Hozu yang telah membunuh
sensei, tetapi mereka bahkan berhasil menangkap Kenichi! Maafkan diriku. Hanya
ada satu jalan untuk menutup rasa malu menebus kegagalan itu, yakni dengan
melakukan seppuku
Ichiro Ioki " Orang tolol! " maki Kunio sambil membanting surat itu ke lantai. Lalu dia
beringsut mendekati Akiko yang bersimpuh di lantai, tengah berusaha menyadarkan
Ichiro dari pingsannya. " Ichiro... Ichiro!
Bangun... Ayo buka matamu! " kata Akiko berulang kali sambil menepuk-nepuk pipi
saudara seperguruannya itu.
" Ada keanehan kulihat... " berkata Kunio sambil memandangi sosok Ichiro.
" Apa maksudmu, " tanya Akiko.
"Ichiro jelas hendak melakukan harakiri (bunuh diri). Karena itu dia menulis
surat untuk kita. Tetapi entah mengapa dia tidak melakukannya. Paha kanannya
dibalut dan ada rembesan darah. Mungkin sekali pahanya ditusuk panah beracun
orang-orang Lembah Hozu. Kalau betul, lalu mengapa saat ini dia masih hidup"
Siapa yang membalut luka beracun di pahanya?"
Terdengar keluhan pendek. " Dia siuman! " pekik Akiko gembira. Lalu kembali
gadis ini menepuk-nepuk pipi Ichiro. " Sadar Ichiro... Sadar! Katakan pada kami
apa yang terjadi! " kata Akiko pula.
Perlahan-lahan Ichiro membuka kedua matanya. " Dia... di mana... di...dia..." "
suara itu keluar terbata-bata dari mulut Ichiro.
" Dia siapa maksudmu Ichiro" " tanya Kunio.
" Dia... dia... Gaijin itu... "
" Gaijin..." " mengulang Akiko sambil saling pandang dengan Kunio. " Maksudmu
pemuda asing yang muncul membawa surat untuk sensei tempo hari..." "
Page 13 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Betul... "
" Apa yang telah dilakukannya terhadapmu Ichiro" Katakan apa dia telah berlaku
jahat terhadapmu..."! "
Ichiro membasahi bibirnya yang kering dan kesat lalu gelengkan kepala. Dia
berusaha bangun dan duduk. Saat itulah dia melihat paha kanannya dalam keadaan
dibalut. " Ah...pasti dia... Pasti dia lagi yang menolongku. Dia mencegahku
melakukan bunuh diri. Lalu mengibati luka beracun di pahaku dan membalutnya...
Ah...! " " Ichiro! Jalan pikiranmu terganggu karena tekanan jiwa. Mungkin juga akibat
racun panah orang-orang Lembah Hozu. Bagaimana mungkin orang yang telah kita
pastikan mencuri kitab Kendo milik sensei kini kau sebut sebagai penolong!" "
ujar Kunio pula.
" Sebelum pingsan, aku masih sempat melihat sekilas wajahnya... Memang dia.
Pasti dia! "
" Kau harus beristirahat. Mari kupapah ke kamar tidurmu, " kata Akiko lalu
membantu Ichiro berdiri. Pada saat itulah seseorang muncul di ambang pintu.
Ichiro yang pertama sekali melihatnya langsung berseru: " Gaijin...! "
Akiko dan Kunio sama palingkan kepala. Benar saja. Pemuda asing itu tampak tegak
di sana. Kunio langsung membentak. " Pencuri kitab! Kau berani datang minta
mati! " Tanpa memberi kesempatan, begitu membentak Kunio langsung menyerang
Pendekar 212 Wiro Sableng dengan satu jotosan keras yang diarahkan ke dada kiri.
Ini adalah satu serangan maut karena bisa menghancurkan jantung orang yang
diserang! " Jepang satu masih belum kapok rupanya... Apa-apaan dia memakiku pencuri
kitab"! " ujar Wiro dalam hati. Sebelumnya memang Kunio telah menantang Wiro,
bahkan sempat ditotok menjadi kaku dan gagu. Tapi saat itu kembali dia
menghantam lebih dulu penuh kemarahan.
Murid Sinto Gendeng cepat berkelit hindarkan serangan berbahaya itu. Sadar orang
mengelak, Kunio ubah pukulannya menjadi gerakan menjambret. Pendekar 212
terkejut ketika dia merasakan bagaimana jari-jari tangan kanan lawan cepat
sekali telah mengganggam dada bajunya. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, Kunio
telah membantingkan tubuhnya ke lantai ruangan!
" Gila! Bagaimana dia bisa membantingku secepat kilat seperti itu" " maki Wiro
dalam hati sambil menahan sakit. Selagi Wiro terhenyak keliangan, kaki kanan
Kunio cepat sekali telah menginjak tenggorokannya. " Di mana kau sembunyikan
buku guru yang telah kau curi"! "
" Buku... buku apa" " tanya Wiro heran dan mengernyit sakit.
" Kau pandai berlagak orang asing! Tapi kepura-puraanmu tidak laku di sini!
Kembalikan buku itu atau hancur lehermu saat ini juga! "
" Aku tidak tahu menahu tentang segala macam buku sialan! Bagaimana kau bisa
menuduhku mencurinya"! "
" Karena hanya kau satu-satunya orang luar yang ada di tempat ini! " jawab
Kunio. " Lalu apakah pencuri itu mesti selalu orang luar"! " tanya Wiro yang membuat
Kunio melengak marah.
Page 14 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Ucapanmu berarti menuduh kami anak-anak murid Hiroto Yamazaki yang mencuri
kitab guru! Benar-benar kurang ajar! Matilah! " Kunio hentakkan kaki kanannya kuat-kuat ke
batang leher Wiro Sableng.
" Kunio! Jangan bunuh dia, " berseru Ichiro. Tapi kaki kanan Kunio terus saja
bergerak. Dalam keadaan menyangka bahwa pemuda asing itu benar-benar tidak berdaya dan
siap menemui ajalnya, tiba-tiba Akiko dan Ichiro melihat bagaimana tangan Wiro
yang bebas dengan sebat menghantam ke arah kaki kiri Kunio laksana pedang
menebas! Kunio Ota menjerit berjingkat-jingkat. Kesempatan ini digunakan oleh Wiro untuk
membalikkan diri dan sekaligus mencengkeram kaki kanan lawan. Kini terjadi hal
luar biasa yang tidak bisa dipercaya Akiko dan Ichiro. Tubuh Kunio tiba-tiba
saja mencelat keatas. Kepalanya menghantam tembus langit-langit kamar yang
terbuat dari kertas. Tubuh Kunio kemudian jatuh ke lantai. Hebatnya, pemuda ini
bukan saja mampu jatuh dengan kedua kaki menginjak tatami lebih dahulu, tapi
seperti membal tubuhnya kemudian melesat ke arah Wiro. Kedua tinjunya menderu
lebih dahulu. Dengan mudah Wiro berhasil menangkap kedua tangan lawannya dan
siap untuk membantingkannya ke lantai.
Namun lagi-lagi Pendekar 212 dibikin penasaran dan kesakitan, karena tiba-tiba
saja lawan membuat gerak aneh dan kini malah kedua tangannya yang kena
dicengkeram. Sebelum Wiro sempat lepaskan diri, tiba-tiba tubuhnya sudah
terangkat, lalu bukk! Tubuh Pendekar 212 dibanting ke lantai! Belum lagi dia
sempat bangun, Kunio jatuh diri seperti berlutut lalu tinjunya kiri kanan
mendera dada murid Sinto Gendeng.
Meskipun jotosan-jotosan Kunio tidak disertai kekuatan tenaga dalam, namun
kekuatan tenaga luarnya saja bukan main hebatnya. Wiro merasakan ada cairan asin
dan panas dimulutnya. Wiro melengak kaget ketika menyadari dirinya mengalami
luka dalam! Sebelum jotosan-jotosan lawan kembali bertubi-tubi menghantam dada dan perutnya,
Pendekar 212 susupkan satu sodokan keras ke perut Kunio. Pemuda ini keluarkan suara seperti
kerbau melenguh. Di lain saat tubuhnya terjajar dan meluncur di atas tatami ,
dan baru berhenti begitu menabrak sebuah tiang kayu. Sebelum Kunio sempat
bangun, Pendekar 212 sudah memiting lehernya dan mengangkat tubuh Kunio hampir
dua jengkal dari atas lantai. " Kau hanya ada satu pilihan Kunio! " desis Wiro.
" Mengaku salah dan minta ampun! "
" Aku memilih mati daripada bertindak seperti banci! " teriak Kunio. Tangannya
coba menyikut, tapi Wiro semakin mengunci lehernya.
" Pemuda asing! Kalau kau bunuh dia, aku bersumpah membunuhmu saat ini juga! "
tiba-tiba Ichiro berteriak. Wiro memang tidak berniat membunuh Kunio Ota. Begitu
pemuda itu pingsan karena kesulitan bernafas, Wiro lantas lepaskan cekikannya.
Kunio terbujur di lantai.
Tiba-tiba Wiro menangkap suara berdesing di samping kirinya disertai kilauan
sesuatu yang menyambar ke arahnya. Wiro cepat jatuhkan diri dan berguling. Di
ujung kamar dia cepat berdiri. Di seberangnya, Akiko Bessho tegak memegang
sebilah katana! Jadi gadis inilah barusan yang coba membabat Pendekar 212 Wiro
Sableng. Sewaktu Akiko hendak menerjang, Wiro cepat menyambar pedang yang tersembul di
balik punggung Kunio. Lalu, Trang...! trang...! trang...! Suara beradunya pedang
memenuhi ruangan itu. Serangan Akiko ganas sekali. Gadis ini pergunakan kedua
tangannya untuk memegang hulu pedang. Dia menyerang Page 15
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
dengan kekuatan penuh! Wiro seperti terdesak pada permulaannya. Pemuda ini harus
mengakui kehebatan permainan pedang sang dara. Agar tidak sampai melukai gadis
berwajah bulat ini, Wiro sengaja mainkan jurus-jurus silat pertahanan.
Namun ketika dia didesak habis-habisan, murid Sinto Gendeng ini terpaksa
keluarkan jurus-jurus silat orang gila yang dipelajarinya dari Tua Gila.
Gerakannya seolah-olah kacau. Namun di balik kekacauan itu tersembunyi suatu
kekuatan yang hebat.
Selagi Akiko kerahkan seluruh tenaga untuk menggempur Wiro, murid Sinto Gendeng
malah mempermainkannya. Dalam satu gebrakan keras, Wiro berhasil memukul lepas
pedang di tangan si gadis! Akiko menjerit bukan karena cedera, tapi malu dan
penasaran. Dia lari ke sudut ruangan. Di sini dia duduk bersila sambil
memejamkan mata. Dia berusaha mengatur jalan darahnya yang bergejolak.
Begitu merasa sudah menguasai dirinya sepenuhnya kembali, gadis ini bergulingan
di lantai untuk mencapai pedangnya yang tadi terlepas mental. Lalu begitu hulu
pedang tergenggam dalam kedua tangannya, gadis ini langsung menyerbu Wiro
kembali. " Tunggu dulu...! " seru Pendekar 212.
Akiko Bessho tidak peduli seruan orang. Pedang di tangannya menderu dan
berkelebat laksana kilat. Di antara empat orang muridnya, mendiang Hiroto
Yamazaki memang telah memberikan ilmu pedang secara khusus pada gadis ini
sehingga sekali sebilah katana berada dalam genggaman dua tangannya, maka
dirinya bisa berubah laksana malaikat penyebar maut! " Breettt... bretttt... bret...!
" Pendekar 212 Wiro Sableng berseru kaget dan cepat melompat mundur dengan wajah
pucat. Baju putih tebal yang dikenakannya robek besar di kedua bagian. Robekan
ketiga adalah pada bagian pinggang celananya. Tali celana ini putus, ketika
melompat, tak ampun lagi merosot ke bawah.
Selagi Wiro menarik celananya ke atas, sambil meletakkan pedang di tangan
kanannya, Akiko kembali menyerbu.
" Akiko... hentikan seranganmu, " teriak Ichiro. " Bagaimanapun aku berhutang
nyawa pada gaijin itu! " Namun terikan itu tidak ada gunanya. Ujung pedang Akiko
sudah merebas dan menyambar. "
Breettt! " Lengan kiri pakaian Wiro robek memanjang dan kali ini tidak hanya


Wiro Sableng 078 Pendekar Gunung Fuji di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pakaiannya yang robek tapi juga bagian tubuhnya kena toreh. Darah langsung
mengucur membasahi lengan dan lantai ruangan.
Rasa sakit dan keadaan terdesak membuat Pendekar 212 kalap. Dengan tangan kiri
yang masih memegang kolor, Wiro mengangkat tangan kanan. Dia sudah siap
mengerahkan semua tenaganya dengan penuh. Tapi mendadak dia terbayang wajah
Hiroto Yamazaki, lalu wajah gurunya Sinto Gendeng. Wiro kendurkan tenaga
dalamnya lalu menghantam.
Satu gelombang angin menghantam ke depan. Akiko merasakan tubuhnya terdorong.
Semakin dicoba melawan, semakin keras tubuhnya terdorong. Gadis ini nekad
melabrak. Akibatnya dia seperti berkelahi seorang diri sementara lawannya berada
beberapa langkah di depannya.
Akiko Bessho berteriak marah. Dia kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Pedang
di tangan kanannya bergetar keras dan mengeluarkan suara siur. Gadis ini sempat
maju mendekati Wiro namun kemudian justru jatuh terpelanting di lantai dengan
sekujur tubuh mandi keringat.
Akiko menjerit lagi dan seperti sedang putus asa, ia membanting pedangnya ke
lantai. " Curang, kamu curang, menggunakan ilmu sihir. Tidak berani menghadapi
ilmu pedang dengan pedang, " teriak Akiko. Wiro hanya bisa menyeringai mendengar
teriakan gadis itu. Sambil pegang lengan kirinya yang Page 16
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
terluka, dia menuju pintu. Ichiro memegang bahu Akiko dan membantu gadis itu
berdiri. Lalu kepada Wiro dia berujar, " Maafkan adik seperguruanku. Aku akan
meminta dia merawat lukamu... "
" Terima kasih, " jawab Wiro yang kini lenyap sudah amarahnya dan mulai kasihan
melihat Akiko. " Aku bisa merawat lukaku sendiri. Ada dua hal yang perlu aku katakan pada
kalian. Pertama, aku tidak memiliki ilmu sihir. Kedua, dan ini yang penting,
lekas tinggalkan tempat ini. Orang-orang Lembah Hozu pasti akan menyerbu ke mari
menuntut balas kematian teman-teman mereka."
" Jika mereka datang kami akan membunuh mereka semua! "
" Kami akan mencincang dua pimpinan mereka yang telah membunuh guru... " kata
Ichiro. " Jangan bodoh. Jumlah mereka lebih banyak dan mereka sedang menyandera Kenichi,
kalian tidak akan bisa berbuat apa-apa. Lebih baik mengalah sementara sambil
menyusun langkah baru. "
Sehabis bicara, Wiro mengambil kotak berisi abu Hiroto.
" Hai hendak kau bawa ke mana benda itu, " teriak Akiko.
Wiro melangkah ke hadapan si gadis lalu mengulurkan kotak besi pada Akiko seraya
berkata, " Ini benda berharga yang paling berharga yang harus kalian selamatkan
sebelum orang Hozu menyerbu. " Lalu berpaling kepada Ichiro. " Tolong tinggalkan
tempat ini, jika Kunio masih pingsan dan mereka datang ke tempat ini, maka dia
akan menjadi sasaran. "
Selesai berkata, Wiro langsung meninggalkan tempat itu dan Ichiro serta Akiko
seketika saling berpandangan. Akhirnya Ichiro membuka mulut, " Apa yang
dikatakan pemuda asing itu benar.
Selama Kenichi berada di tangan orang Lembah Hozu, kita tidak bisa berbuat
banyak! Kita musti meningalkan tempat ini Akiko. Itu tidak bisa ditawar-tawar
lagi! " Di luar, langit tampak semakin terang dan sebentar lagi sang surya akan terbit.
Dari kejauhan, dari arah tenggara terdengar suara-suara bersahut-sahutan.
Sepasang mata Akiko dan Ichiro tampak sama-sama membesar. " Mereka benar-benar
datang, " desis Ichiro. Tanpa bicara lagi ia langsung memanggul Kunio Ota yang
masih dalam keadaan pingsan. Ichiro memberi tanda kepada Akiko, namun ragu. Tapi
tidak lama kemudian ia meloncat mengikuti kakak seperguruannya itu meninggalkan
tempat. " Kita tidak mungkin lari jauh. Sekali mereka melihat, kita akan dikejar.
Sebaiknya menyelinap dan bersembunyi di Goa Wanigawa." Akiko setuju lalu
mendahului lari. Mereka menuju kerapatan pepohonan di arah timur menuju sebuah
goa yang tersembunyi di balik semak belukar. Dari dalam goa bisa melihat ke arah
bekas rumah Hiroto Yamazaki yang luas.Goaini disebut Wanigawa yang berarti "
Kulit Buaya" karena bagian dalamnya bergerujul seperti kulit buaya.
Baru saja mereka memasuki goa, segerombolan orang-orang Lembah Hozu yang
berjumlah sekitar dua puluh orang muncul menunggang kuda. " Periksa bangunan
itu! " teriak seorang pemimpin gerombolan.
Limaorang turun dari kuda dan langsung memeriksa dengan pedang terhunus,
sementara sepuluh orang lainnya mengelilingi bangunan dengan membawa panah
beracun yang siap membidik siapa saja yang keluar dari bangunan.
Dua orang Lembah Hozu tampak kuluar dari bangunan sambil memberi isyarat bahwa
rumah telah kosong, tidak orang dan benda yang bisa dijarah. " Kurang ajar,
mereka pasti melarikan diri, " ujar Page 17
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
lelaki bertubuh kurus yang menunggang kuda putih.
Kawan yang berada di sebelahnya ikut berteriak, " Bakar bangunan itu! " Maka
enam orang segera melaksanakan perintah. Dalam waktu sekejap, bekas rumah Hiroto
yang didiami bersama empat muridnya itu hilang dilalap api.
Di dalam goa Wanigawa, Akiko kepalkan kedua tangannya. " Aku ingin sekali
membunuh keparat-keparat dari Lembah Hozu itu. Ichiro perhatikan kuda putih dan
lelaki di sampingnya.
Aku ingat betul dia yang mengeroyok sensei dan membunuhnya... "
" Kau betul Akiko. Yang kurus jangkung itu adalah Massashigi Sakaji. Kawannya,
kalau tidak salah adalah Minoru Shirota. Mereka adalah dua dari empat pemimpin
Lembah Hozu. Keduanya sudah terkenal sejak dua puluh tahun lalu. "
" Tanganku sudah gatal ingin membunuh kedua bangsat itu. Bagaimana jika aku
membokong mereka dengan sumpit beracun" " Dari balik pakaiannya, Akiko keluarkan
sebuah sumpitan yang terbuat dari kuningan lengkap dengan pelurunya sebesar
ujung jari berbentuk bulat dan berduri-duri di beberapa bagian.
" Jangan! " cegah Ichiro. " Jarak mereka terlalu jauh. Peluru sumpit tidak bisa
sampai ke sana . Di samping itu, tindakanmu sama saja dengan memberi tahu tempat
persembunyian kita ini." Akiko bantingkan kaki karena kesal. Tiba-tiba
didengaranya Ichiro berseru. " Akiko! Lihat! Ada seseorang di atas atap bangunan
rumah!" Bagaimana terkejutnya Ichiro, begitu pula kagetnya Akiko. Di atas atap bangunan
di bawahsana , pada bagian yang belum sempat disentuh kobaran api, di balik
kepulan asap, kedua orang ini melihat sosok seorang laki-laki berpakaian dan
berikat kepala putih tegak bertolak pinggang di atas wuwungan rumah.
Orang-orang Lembah Hozu yang masih ada di sekitar bangunan itu juga tampak
terheran-heran melihat ada orang di atas atap bangunan yang mereka bakar. "
Ichiro... " kata Akiko sambil memegang lengan pemuda itu. " Apakah kau tidak
mengenali orang di atas atap itu" Bukankah dia gaijin bernama Wiro Sableng
itu..." "
Ichiro Ioki usap kedua matanya berulang kali. " Astaga! Kau betul! Apa yang
dilakukan pemuda asing itu di sana "! Sudah gila dia agaknya!" ujar Ichiro.
" Dia sengaja mencari mati! " kata Akiko pula. " Ninja sekalipun tidak berani
melakukan hal seperti itu siang-siang begini! "
" Aku jadi tak habis pikir, " kata Ichiro pula. " Siapa sebetulnya pemuda itu.
Sikapnya selalu merendah dan terkadang tampak seperti orang tolol! "
Di atas atap bangunan, orang yang berdiri disanamemang adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Saat itu dengan mengerahkan tenaga dalamnya hingga suaranya menjadi
keras sekali, Wiro berteriak. "
Orang-orang Lembah Hozu! Kalian semua dengar! Jika kalian tidak segera
membebaskan Kenichi dan menyerahkan dua pembunuh Yamazaki-san, maka Lembah Hozu
akan menjadi lembah bangkai bagi kalian! "
Semua orang Lembah Hozu mendongak dan sama memandang ke atas atap. " Eh, manusia
atau setan gunung yang ada di atas atap itu"! " berkata salah seorang pimpinan
Lembah Hozu. Lalu dia berpaling pada dua kawan di sebelahnya. " Masashigi!
Minoru! Orang itu menghendaki diri kalian! "
Page 18 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Tak pernah kulihat tampang manusia itu sebelumnya! " berkata Masashigi Sakaji.
" Ada di antara kalian yang mengenalinya?"
Semua orang menggelang.
" Wajahnya seperti bukan orang sini. Logat bicaranya aneh! " berkata Minoru
Shirota. Lalu sambungnya sambil menyeringai, " Siapapun dia adanya, aku ingin
melihat warna darahnya! Merah atau hitam... Ha... ha... ha...! "
" Orang-orang Lembah Hozu! " dari atas atap, Wiro kembali berteriak. " Sebelum
para dewa marah, lekas tinggalkan tempat ini! Ingat ucapanku! Bebaskan Kenichi
dan serahkan dua pembunuh Yamazaki-san. Aku beri waktu tujuh hari. Jika siang
hari kedelapan Kenichi dan dua pembunuh itu tidak muncul di ujung lembah sebelah
timur, kalian akan tahu rasa! "
Orang-orang Lembah Hozu berteriak marah mendengar seruan Wiro itu. Masashigi
Sakaji balas berteriak. " Saat ini kami sudah ada di sini! Dua orang yang kau
tuduh jadi pembunuh juga ada di sini! Mengapa tidak langsung menjatuhkan hukuman
tapi hanya bermulut besar"! "
" Aku tidak terlalu tolol mempertaruhkan nyawa Kenichi! " sahut Wiro.
" Kalau begitu biar nyawa busukmu kami habisi lebih dulu! " teriak Minoru
Shirota. " Sebelum kau mati, harap jelaskan siapa dirimu dan apa hubunganmu
dengan Hiroto Yamazaki! "
" Aku penguasa Gunung Fuji! " jawab Wiro membual dengan suara keras. " Berarti
tak ada seorang pun boleh melawan kehendakku, kecuali mereka yang sudah bosan
hidup dan ingin jadi bangkai! "
teriak Wiro seraya menunjuk tepat-tepat ke arah Minoru Shirota.
" Penguasa Gunung Fuji" teriak Minoru lalu meludah ke tanah. Orang-orang Lembah
Hozu lainnya tertawa keras dan sunggingkan tampang mengejek ke arah Wiro.
Masashigi Sakaji yang sudah tidak sabaran saat itu memberi isyarat kepada enam
orang yang membawa busur dan panah. Keenam orang ini langsung cabut anak panah
dan rentangkan tali busur. Enam panah beracun dibidikkan ke arah Pendekar 212
yang masih tegak di atas atap bangunan.
Ketika Masashigi jentikkan jari-jari tangan kanannya, enam orang yang merentang
busur serta merta melepaskan panah masing-masing. Enam panah beracun melesat ke
atas atap. Di atas atap tiba-tiba tampak pemuda yang jadi sasaran telah memegang sebilah
katana . Senjata ini diputar laksana titiran. Enam kali terdengar suara
berdentrang dan enam anak panah luruh ke bagian bawah bangunan yang dimakan api.
Kini orang-orang Lembah Hozu baru terbuka mata mereka. Selagi mereka masih
mendelik menyaksikan kejadian tadi, Wiro Sableng lemparkan senjata di tangannya
ke bawah. Di lain kejap, salah seorang yang tadi memanah menjerit keras lalu
roboh ke tanah dengan perut tertembus pedang.
Kini orang-orang Lembah Hozu menjadi sangat marah. Semua mereka berteriak keras.
Dua orang di atas kuda bergerak mengelilingi bangunan sambil memutar-mutar tali
yang di ujungnya ada pengait besi.
Limaorang yang memegang panah kembali membidikkan senjatanya. Yang lain-lain
mencabut pedang lalu mengurung bangunan. " Runtuhkan bangunan! Jangan sampai
bangsat itu lolos! " teriak Masashigi.
Dua orang yang memegang tali berkait segera menarik tiang-tiang kayu yang masih
utuh. Dua bagian Page 19
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
bangunan langsung ambruk. Atap bangunan di mana Pendekar 212 berdiri miring ke
kiri. Selagi dia mengimbangi diri agar tak terperosok jatuh,limaanak panah
beracun menderu ke arahlimabagian tubuhnya!
Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini keluarkan bentakan keras. Lalu dari
tangan kanannya tampak memancar sinar berwarna perak. Ketika tangan itu
dihantamkan, menghamparlah hawa panas disertai sambaran cahaya menyilaukan!
Limaanak panah mental leleh! Lalu terdengar suara ledakan dahsyat! " Buummmm! "
Tanah berlapis salju di depan bangunan yang terbakar, mencuat bertaburan ke
udara. Dua ekor kuda terpelanting dan menjatuhkan penunggangnya. Di bagian lain
terdengar tiga jeritan lalu tiga sosok tubuh tergeletak hangus di atas salju!
Masashigi dan Minoru dan yang lain-lainnya masih sempat menyingkir.
Tapi muka mereka kini tampak seputih salju Gunung Fuji!
Ketika keadaan kembali tenang, semua orang lagi-lagi dibikin kaget. Kini kaget
karena pemuda yang tadi berada di atas, tak tampak lagi sosoknya!Parapimpinan
orang-orang Lembah Hozu memandang berkeliling. Pemuda yang mereka cari tetap tak
ada lagi, laksana amblas ditelan gunung! " Tinggalkan tempat ini! " Minoru
Shirota berteriak memberi perintah. Orang-orang Lembah Hozu yang saat itu memang
sudah merasa ngeri karena seumur-umur belum pernah mengalmi hal seperti itu,
serta merta bergerak meninggalkan tempat itu dengan cepat.
Masashigi mendekatkan kudanya ke kuda Minoru lalu berkata, " Terus terang aku
tidak takut kepada pemuda tadi, walau kepandaiannya setinggi langit! Tapi untuk
mencegah hal-hal yang tidak diingini, kurasa kita harus menghubungi nenek sihir
Arashi. Hanya dia agaknya yang bisa menghadapi kekuatan aneh yang dimiliki
pemuda itu! "
" Ya... ya...! " jawab Minoru Shirota. " Nenek Arashi akan menghancur luluhkan
tubuhnya sampai berbentuk sekepal daging cincang! "
Sementara itu dalam goa, Ichiro dan Akiko masih terbengong-bengong menyaksikan
apa yang terjadi tadi. " Tak percaya kalau aku tidak melihat sendiri... " Ujar
Ichiro. " Pemuda asing itu... " desis Akiko. " Apa yang dikatakan sensei memang mungkin
benar Ichiro....
Seorang pendekar baru telah muncul di Gunung Fuji ... Hawa panasnya terasa
sampai ke dalam goa ini. Kurasa itulah pukulan sinar matahari yang dikatakan
guru. Luar biasa!"
" Hanya para tukang sihir pemilik ilmu hitam yang mampu melakukan hal seperti
itu... " kata Ichiro.
" Tapi dia bukan tukang sihir... " bisik Akiko, masih terkagum-kagum. " Ah, ke
mana kita harus mencarinya sekarang" Dia lenyap begitu saja...! "
Ichiro menatap paras adik seperguruannya sesaat. Dia tahu apa yang ada dalam
benak dan hati adiknya itu. Sama seperti yang kini diinginkannya. Tapi dia malu
untuk mengatakan karena sebelumnya dia dan Kunio serta Kenichi telah menganggap
rendah pemuda itu.
" Jika kalian mencarinya haruslah dengan maksud yang sama seperti maksudku! Dia
telah mencuri kitab guru dan mencelakai diriku! Baginya hanya ada satu hal,
mati! " Ichiro dan dan Akiko sama berpaling. Saat itu Kunio Ota ternyata sudah
siuman dari pingsannya dan tengah tegak bersandar ke dinding goa.
Page 20 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Ah! Kunio! Kau sudah sadar...! " seru Ichiro.Lalu bersama Akiko menghampiri
pemuda itu. Rumah teh Mangetsu terletak di suatu bukit di luarKyoto. Sepanjang hari tempat
ini ramai dikunjungi orang yang ingin melepas dahaganya. Selain teh yang
dihidangkan memang nikmat, pelayanan di sini pun sangat baik.
Pendekar 212 duduk di sudut ruangan dekat jendela. Seorang pelayanan perempuan
datang membawakan pesanannya. Sebelum pergi pelayan itu menunjuk bangku kosong
di samping Wiro dan bertanya, " Tuan, apakah ingin saya temani" " Wiro
tersenyum. " Arigatoo Gozaimashita, terima kasih, Saya lebih suka duduk sendiri.
" Pelayan itu lalu pergi.
Setelah memandang berkeliling, Wiro mengangkat cangkir dan meneguk tehnya. Baru
saja ia meletakkan cangkir di atas meja, di pintu tampak muncul seorang, yang
dari pakaian dan keranjang bututnya, jelas seorang pengemis. Wajahnya tak
kelihatan karena tertutup tudung jerami lebar. Begitu pengemis itu melangkah
masuk, seorang pelayan menghadangnya. " Pengemis tidak boleh berada di rumah teh
ini. Lekas keluar! "
Tenang saja pengemis itu melepaskan lipatan kecil dan menyerahkan pada si
pelayan. " Maksudmu pemuda asing itu" " Si pelayan berpaling ke arah Wiro duduk.
Si pengemis mengangguk lalu putar tubuh dan pergi. Pelayan lalu menghampiri Wiro
lalu meletakkan lipatan kertas di atas meja. " Pengemis tadi meminta saya
menyerahkan ini kepada Tuan. " Meski heran Wiro mengambil kertas dan membuka
lipatannya. Di situ tertera kalimat pendek berbunyi. Temui aku di Puri Nanzen,
Penting! " Aneh! Tak ada pengirim. Diakah yang ingin bertemu" " Murid Sinto Gendeng
menggaruk kepalanya. Wiro cepat-cepat menghabiskan minumannya. Setelah membayar,
ia meninggalkan rumah teh itu menuju ke bagian baratkota.
Puri Nanzen sebuah puri besar yang dibangun oleh pendeta Zen puluhan tahun lalu.
Bagian luarnya dikelilingi pepohonan rimbun, berumput dengan dua telaga kecil,
dan jalan setapak yang diberi batu-batuan. Untuk beberapa lamanya Wiro
memperhatikan bangunan itu. Sepi. Tak tampak orang di sana. Desah angin satusatunya yang tertangkap di telinga Wiro.
" Jangan-jangan aku jadi permainan pengemis sinting, " berkata Wiro dalam hati.
Dia melangkah ke tepi telaga di sebelah kanan. Berhenti di sini, memandang
sekeliling baru melangkah menuju tangga puri.
Bagian luar puri merupakan serambi terbuka yang mengelilingi bangunan utama.


Wiro Sableng 078 Pendekar Gunung Fuji di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wiro melangkah memutari bangunan itu. Akhirnya dia kembali ke tangga sambil
berpikir-pikir. Bukan mustahil ada orang yang menjebaknya. Tapi siapa" Orangorang Lembah Hozu" Dua hari belakangan ini memang banyak kejadian yang
dihubungkan dengan tindak-tanduk orang-orang Lembah Hozu.
Wiro duduk beberapa saat. Ketika tidak ada juga orang yang muncul, dengan kesal
berteriak, "
Pengemis bertopi jerami, di mana kau" " Tidak ada jawaban. Desau angin menambah
dinginnya udara. Pendekar 212 berdiri sambil berteriak dan memaki, " Sialan! Aku
benar-benar kecele! " Wiro langkahkan kakinya menuruni tangga.
Tiba-tiba dari samping terdengar suara berdesir. Wiro menoleh. Tiga buah benda
bulat sebesar ibu jari melesat ke arahnya. Senjata rahasia! Sambil mengerang ia
menghantam dengan satu tangan kosong. Tiga senjata rahasia mengeluarkan suara
letusan dan buyar di udara. " Mengundang lalu membokong benar benar perbuatan
rendah! " teriak Wiro.
Baru saja memaki sebuah benda melesat berkilauan. Ternyata sebuah katana pendek.
Pendekar 212 cepat melompat ke samping. Pedang meleset dan menancap di serambi. " Edan! "
maki Wiro, lalu Page 21
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
mencabut pedang yang menancap di tiang sambil menelitinya. Wiro tidak mengerti
maksud pelempar pedang itu. Dengan kesal akhirnya dihujamkan ke lantai puri.
Saat itulah dia melihat ada sesuatu melayang di atas pohon besar di samping
puri. Wiro hendak menghantam tapi cepat sekali lenyap. Saat dikejar hingga di
samping puri, tidak ada apa-apa lagi.
" Yang melayang tadi jelas sosok manusia. Dia tak mungkin ada bersembunyi di
halaman sini... "
Wiro perhatikan pohon-pohon besar di sekililingnya. Jangankan manusia, burung
pun tak ada yang hinggap di pepohonan itu.
" Aku ada di dalam sini" terdengar suara dari dalam puri. Wiro cepat berpaling.
" Siapa di dalam sana
?" " Masuklah cepat! Aku tak ingin ada orang melihatmu! " terdengar lagi suara dari
dalam puri, lalu pintu dorong bangunan itu bergeser ke samping.
Wiro penasaran dan jengkel. Ia siapkan satu pukulan sakti di tangan lalu
melompat memasuki puri lewat pintu yang terbuka. Begitu masuk, pintu dorong
tertutup kembali. " Kau! " teriak Wiro ketika melihat sosok pengemis. " Kau
mengundangku ke mari lalu hendak membunuhku secara pengecut!
Membokong! Apa apaan ini!" "
" Sabar jangan cepat marah Wiro. Mari kita bicara. Ada beberapa yang perlu kita
rundingkan!"
jawab pengemis.
Wiro menundukkan kepala, maksudnya hendak mengintai wajah di bawah tudung itu.
Namun itu tak perlu dilakukannya karena seketika si pengemis membuka tudungnya.
Ketika melihat wajah pengemis itu, terkejutlah Wiro. " Akiko! Aku benar-benar
tidak mengenalimu. Suaramu-pun aku tidak kukenal! "
Gadis murid mendiang Hiroto Yamazaki itu tersenyum. " Aku tadi bicara dengan
suara perut. Makanya kamu tadi tidak mengenali suaraku yang seperti laki-laki... Sekarang
suaraku bagaimana..." "
" Ah! Sekarang kudengar suara aslimu. Suara perempuan. Hai katakan apa-apaan
yang kamu lakukan ini Akiko" Mana yang lain-lain..."! "
" Sssst... jangan bicara terlalu keras. Di jepang, dinding dan pohon bisa
mendengar... " ujar Akiko Bessho. " Aku sengaja menyamar karena di luar sangat
gawat. Aku melihat ada gerakan-gerakan tertentu yang dilakukan orang Lembah
Hozu... " " Kau betul. Mereka melakukan penyelidikan di mana-mana. Aku tidak mengerti ada
pasukan resmi membantu mereka... "
" Berarti mereka punya hubungan dengan penguasa. "
" Betul, " kata Akiko. " Bukan itu saja. Mereka melakukan penyelidikan dengan
sewenang-wenang. Beberapa orang mereka siksa, bahkan ada yang dibunuh...! "
" Apa yang mereka selidiki" " tanya Wiro.
" Apalagi kalau bukan mencari jejak kita" " jawab Akiko. " Termasuk mencarimu! "
kata gadis itu Page 22
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
kemudian. " Semua ini karena ancaman yang kau katakan sewaktu orang-orang Lembah
Hozu membakar rumah sensei! "
" Astaga! Jadi aku telah melakukan kesalahan besar..." "
" Aku tidak bilang begitu. Namun itulah kenyataan yang terjadi. Kita semua harus
hati-hati. Orang-orang Lembah Hozu telah membayar mata-mata untuk mencari kita... Apakah
kau tidak merasa diikuti orang ketika menuju kemari..." "
" Heh"! " Wiro memandang lekat-lekat ke arah Akiko. " Aku tak tahu. Janganjangan kecurigaanmu beralasan! "
" Di samping itu, aku punya masalah dengan Kunio Ota..., " berkata Akiko.
" Apa masalahmu" Bagaimana keadaan pemuda pemberang itu" "
" Dia tidak setuju ketika aku mengambil keputusan mencarimu. Dia khawatir... "
" Khawatir atau cemburu..." " Wiro memotong. Paras Akiko menjadi sangat merah.
Wiro tertawa perlahan.
Dendam Empu Bharada 20 Pendekar Rajawali Sakti 29 Mutiara Dari Selatan Senopati Pamungkas I 1

Cari Blog Ini