Ceritasilat Novel Online

Purnama Berdarah 1

Wiro Sableng 072 Purnama Berdarah Bagian 1


BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG PURNAMA BERDARAH
Sumber Kitab: Pendekar212
E-Book: kiageng80
WIRO SABLENG PURNAMA BERDARAH
1 UJAN lebat mendera Pantai Selatan. Suara hujan
yang diterpa hembusan angin keras yang datang dari Hlaut menimbulkan suara
menggidikkan di telinga siapa saja yang mendengarnya. Di bawah hujan lebat itu
seorang penunggang kuda memacu tunggangannya
sepanjang tepian pantai, menembus hujan dan deru angin ke arah timur. Tepat di
satu bukit karang yang menjulang orang ini hentikan kudanya. Sambil menepuk
tengkuk binatang itu dia berkata. "Jangan ke mana-mana. Tunggu di sini sampai
aku kembali!"
Seperti mengerti akan ucapan orang, kuda itu mendekatkan kepalanya ke bahu tuannya dan menjilat bahu itu beberapa kali. Ketika
petir kelihatan menyambar di tengah laut, penunggang kuda tadi telah lenyap dari
tempat itu. Dia melompat ke sebuah celah sempit di kaki bukit karang.
Di dalam celah itu ada bagian bukit yang berbentuk seperti tangga kasar. Orang
ini menaiki tangga itu dengan gerakan cepat. Tangga batu karang itu licin dan
ada yang berselimutkan lumut. Hujan lebat membuat udara menjadi redup gelap. Kalau tidak
memiliki kepandaian tinggi tak mungkin orang itu bisa menaiki tangga batu begitu
cepat. Di puncak tangga batu membentang sebuah pedataran batu yang penuh dengan
gerunjul-gerunjul karang runcing.
Pada sebelah kiri pedataran menjulang bukit berbentuk dinding setinggi lima
tombak. Pada salah satu bagian di kaki dinding inilah kelihatan sebuah lobang
besar yang merupakan mulut goa. Orang tadi bergegas menuju pintu goa. Di mulut
goa dia berhenti sebentar. Dia mengusap wajahnya dua kali berturut-turut lalu
baru masuk ke dalam.
Bagian dalam goa batu karang itu terasa hangat dan merupakan satu terowongan
lurus sedalam sepuluh tombak. Di ujung terowongan kelihatan menyala sebuah lampu
minyak yang meliuk-liuk terkena tiupan angin dari luar. Di belakang lampu ini
terhampar sehelai kulit binatang yang sudah dikeringkan. Bagian kepalanya yang berupa kepala seekor srigala
menghadap ke dinding goa sebelah kiri. Di atas kulit binatang itu, di sebelah
kanan tampak satu sosok tubuh terbalut kulit binatang tegak kepala di bawah kaki
ke atas. Kedua telapak tangan menjejak kulit di lantai goa sedang sepasang kaki
bersilang di sebelah atas. Rambutnya yang panjang riap-riapan terjulai ke bawah
dan wajahnya tertutup oleh janggutnya yang panjang menjulai. Udara di dalam goa
itu menebar bau tidak sedap.
Orang yang barusan masuk dalam keadaan basah
kuyup sesaat tegak memperhatikan sosok tubuh yang tegak kepala ke bawah kaki ke
atas itu. Lalu mulutnya terbuka berucap, "Eyang Srigala Karang, saya datang
untuk kedua kali!"
Tubuh yang tegak kaki ke atas kepala di bawah itu tidak bergerak. Namun di balik
janggut panjang yang menutupi hampir keseluruhan wajahnya, sepasang matanya
terbuka sedikit. Menyusul mulutnya bersuara, "Kemala, kau datang untuk kedua
kali. Berarti hatimu telah tetap untuk meminta agar aku meluluskan
keinginanmu"!"
"Betul sekali Eyang Srigala Karang." Orang ini ternyata adalah seorang
perempuan. "Bagus kalau begitu. Aku sudah katakan bahwa sekali kau memutuskan meminta
bantuanku, berarti kau harus memenuhi segala syarat dan aturan!"
"Saya akan memenuhi," jawab Kemala yang pakaian dan rambutnya basah kuyup.
"Aku sudah katakan. Kalau kau melanggar syarat dan aturan maka apa yang kau
minta akan berbalik mencelakai dirimu sendiri!"
"Saya sudah mengerti hal itu Eyang."
"Apa yang kau minta segera terkabul. Setelah kau melihat sendiri nanti, maka
baru aku akan mengatakan syarat-syaratnya."
"Eyang, apakah tidak sebaiknya Eyang mengatakan lebih dulu syarat-syarat itu?"
ujar Kemala. "Kau yang meminta bantuan, aku yang menentukan
syarat. Lagi pula apa sulitnya memenuhi syarat yang tidak sukar?"
Orang yang berdiri di depan lampu minyak diam
sejurus. Maka terdengar orang yang disebut dengan Eyang Srigala Karang itu
berkata. "Aku tidak suka pada orang-orang yang datang dengan hati meragu
bimbang. Jika perasaan itu ada dalam hati sanubarimu, cepat-cepat saja
meninggalkan goa ini! Aku tidak punya terlalu banyak waktu mengurusi tamu
sepertimu! Aku mau dengar
jawabanmu!"
"Saya tidak ragu. Apapun nanti syarat dari Eyang akan saya penuhi." kata Kemala
pula. Eyang Srigala Karang keluarkan suara tawa mengekeh, membuat orang di depannya
sesaat jadi tercekat. "Aku akan pertemukan kau dengan makhluk yang akan menjadi
sahabat dan suruhanmu!" kata Eyang Srigala Karang. Lalu tangan kiri sang Eyang
tampak terangkat dari atas tikar kulit binatang. Tangan ini bergerak ke arah
kepala srigala yang dikeringkan. Kemudian mengusap kepala itu tiga kali
berturut-turut. Pada akhir usapan ketiga tiba-tiba asap kelabu mengepul keluar
dari dua telinga, mata, dan hidung yang ada di kepala srigala yang telah
dikeringkan itu.
Bersamaan dengan itu terdengar suara seperti gerengan atau auman binatang.
Demikian kerasnya suara ini hingga lantai dan dinding goa bergetar. Kemala
tercekat sesaat.
Kedua matanya dibuka lebar-lebar. Dia menyaksikan bagaimana kepulan asap itu
berbuntal menjadi satu. Lalu berubah menjadi sosok seekor binatang buas berupa
srigala yang mengerikan. Kedua mata binatang ini berwarna merah, laksana bara api. Telinganya mencuat ke atas.
Mulutnya sampai ke gigi, taring, dan lidahnya tampak basah oleh darah. Begitu
juga dua kaki depannya yang memiliki kuku-kuku panjang runcing. Binatang ini
berputar menghadap ke arah Kemala lalu menggereng keras.
Kemala merasakan nyawanya seperti terbang. Tapi perempuan ini cepat menguasai dirinya kembali.
"Kawanmu ini harus kau panggil dengan nama Datuk.
Jika kau ingin menemuinya dan menyuruh dia melakukan sesuatu sesuai dengan apa
yang menjadi keinginanmu, maka kau cukup menyebut namanya tiga kali berturutturut. Dia akan muncul di hadapanmu menunggu perintah.
Dia hanya akan melakukan satu perintah saja yaitu mencabik-cabik sampai mati setiap orang yang kau inginkan.
Namun ingat, pembunuhan itu hanya bisa kau lakukan pada malam bulan purnama.
Lain dari saat yang telah ditentukan itu, Datuk tidak akan melakukannya. Dia
hanya akan berkeliaran di mana-mana atau muncul jika kau panggil, tapi tidak
akan melakukan perintah membunuh!"
"Mengapa Datuk hanya bisa melakukan pembunuhan
pada malam bulan purnama saja Eyang?" tanya Kemala.
"Begitu yang telah ditentukan oleh alam gaib dan ilmu gaib. Tak seorang pun bisa
merobahnya. Malam bulan purnama adalah malam yang indah. Malam kebanyakan orang
lelaki dan perempuan saling bermesraan dan merasakan saat-saat paling bahagia!" jawab Eyang Srigala Karang. "Kau harus menerima
ketentuan ini. Kau telah berjanji."
"Ya, saya menerimanya Eyang," kata Kemala pula
dengan suara perlahan.
Eyang Srigala Karang tertawa mengekeh. "Aku tahu, kau ingin membunuh dan
membunuh sebanyak dan
secepat mungkin. Jika keinginanmu itu diikuti, dalam waktu singkat puluhan orang
akan menjadi korbanmu.
Sekarang siapkan dirimu untuk menerima syarat-syarat yang harus kau lakukan."
Kemala tegak lurus-lurus tak bergerak.
"Syarat pertama! Setiap setelah tiga kali melakukan pembunuhan pada tiga malam
purnama, seorang pemuda yang memiliki sepasang telinga panjang ke atas seperti
srigala akan muncul di kamar tidurmu. Kau harus melayani pemuda ini, memenuhi
apa yang dimintanya termasuk bermesraan dengannya..."
"Eyang!" seru Kemala terkejut sekali dan parasnya langsung berubah.
"Kau tak boleh menolak, tak layak membantah. Itu syarat yang tidak bisa dirobah!
Ingat ucapan-ucapanku sebelumnya!"
"Tapi Eyang, saya..."
"Berani kau bicara lagi maka Datuk akan kusuruh mencabik-cabik sekujur tubuhmu
mulai dari kepala sampai kaki!"
Datuk, si srigala bermata merah itu keluarkan suara lolong raungan keras. Dua
sinar merah api seperti berkelebat keluar dari kedua matanya, menyambar ke arah Kemala. Gadis ini tersentak
mundur. Eyang Srigala Karang kembali mengekeh. "Datuk, mulai saat ini kau bertuan pada
gadis di hadapanmu ini. Ikuti segala perintahnya sesuai dengan aturan. Ingat,
kau hanya boleh membunuh pada malam bulan purnama!"
Srigala itu kembali meraung panjang.
"Sekarang kau boleh pergi Datuk!"
Eyang Srigala Karang mengusap kepala srigala yang sudah dikeringkan tiga kali
berturut-turut. Binatang bermata merah itu perlahan-lahan berubah menjadi asap
lalu lenyap dari pemandangan.
"Syarat kedua dan terakhir!" terdengar Eyang Srigala.
Kemala terdiam. Sepasang matanya menatap ke arah wajah yang tertutup janggut
itu. "Tanggalkan seluruh pakaianmu!"
Kemala seperti mendengar petir menyambar di depan hidungnya! "Apa kata Eyang"!"
"Tanggalkan semua pakaian yang melekat di tubuhmu!"
"Apa maksud Eyang"!" tanya Kemala. Suaranya keras pertanda ada hawa amarah
memasuki dirinya.
"Apa maksudku tak perlu kau ketahui! Aku memerintahkan supaya kau membuka seluruh pakaianmu! Sekarang juga! Ini syarat yang harus kau lakukan!"
"Syarat gila!" teriak Kemala.
Eyang Srigala Karang tertawa panjang. "Jika kau menolak perintah, Datuk akan
muncul membunuhmu!"
"Saya tidak takut! Syarat yang Eyang katakan tidak mungkin saya lakukan!"
"Apa sulitnya membuka pakaian!"
"Membuka pakaian memang mudah! Tapi ada maksud
busuk dalam diri Eyang hendak mencemari saya!"
Eyang Srigala Karang kembali tertawa. Begitu suara tawanya sirap dari mulutnya
keluarlah suara seperti raungan srigala dalam rimba belantara di malam gelap
gulita. Tiba-tiba tubuhnya yang sejak tadi berdiri di atas kedua tangannya bergerak
berjumpalitan. Kini dia tegak di atas kedua kakinya. Wajahnya yang sejak tadi
tertutup oleh janggutnya yang panjang sekarang terlihat jelas. Ternyata dia
memiliki wajah mirip seekor srigala, lengkap dengan gigi-gigi serta taringtaring besar runcing. Kedua telinganya panjang mencuat ke atas. Keseluruhan
wajahnya sampai ke telinga tertutup oleh selapis bulu-bulu berwarna coklat.
Lalu kedua matanya menyerupai sepasang mata Datuk makhluk srigala itu. Berwarna
merah laksana bara api!
"Kalau kau tidak mau membuka sendiri pakaianmu, terpaksa aku yang akan
melakukannya!" kata Eyang Srigala Karang.
Eyang Srigala Karang mengulurkan tangan kanannya ke depan ke arah Kemala. Ketika
tangan itu membuat gerakan-gerakan aneh, terjadilah hal yang sulit dipercaya.
Seluruh pakaian yang melekat di tubuh Kemala seolah-olah terbang, lepas
bertanggalan hingga kini gadis itu tegak menjerit dalam keadaan bugil. Kemala
berteriak tiada henti sambil kedua tangannya berusaha menutupi auratnya.
Eyang Srigala Karang tertawa panjang.
"Syarat harus dipenuhi! Aturan harus diikuti! Ah...!
Tubuhmu ternyata putih sekali. Bagus dan mulus. Mendekatlah kemari biar dapat kujamah..."
"Manusia keparat! Kau rupanya tidak lebih dari seorang dukun cabul!" teriak
Kemala. "Kau tidak lebih baik dariku! Kau meminta ilmu hitam untuk melampiaskan
kebusukanmu! Mendekat kataku!"
"Tua bangka cabul! Aku bersumpah akan membunuhmu!" "Kalau kau tidak mau mendekat, biar aku yang mendatangi!" kata Eyang Srigala Karang pula. Lalu dia maju selangkah demi selangkah.
Kemala yang dalam keadaan terancam tampak tidak bergerak dari tempatnya berdiri.
Kalau tadi kedua tangannya dipergunakan untuk menutupi auratnya sedapat-dapatnya, kini dia sengaja
menurunkan kedua tangan itu dan mengembangkan kedua tangannya ke samping.
Gerakan ini membuat sepasang mata api Eyang Srigala Karang menjadi silau oleh
pemandangan yang membakar nafsunya. Dia menyangka Kemala telah siap menyerahkan
diri mematuhi syarat yang dikatakannya. Kedua tangannya diulurkan hendak
menjamah dada si gadis.
Sesaat lagi jari-jari tangan yang kotor menjijikkan itu akan menyentuh payudara
Kemala, tiba-tiba gadis ini keluarkan bentakan keras. Tubuhnya berkelebat.
Tangan kanannya menghantam ke depan.
Bukkk! Eyang Srigala Karang berseru kesakitan. Tubuhnya terpental membentur dinding
akibat jotosan Kemala yang telak menghantam dada kirinya. Jantungnya seperti
berhenti berdenyut. Kedua mata apinya membelalak. Dia sama sekali tidak
menyangka akan dihajar seperti itu.
"Kau... kau..." kata orang tua bermuka srigala itu sambil berdiri tertatih-tatih
dan memegangi dadanya yang mendenyut sakit. "Kau memukulku. Perbuatanmu merangsang nafsuku! Lihat... lihat apa
yang akan kulakukan!" Eyang Srigala Karang lalu menggerakkan kedua tangannya
membuka pakaiannya sendiri yang terbuat dari kulit binatang yang dikeringkan.
"Manusia terkutuk!" teriak Kemala.
Dampratan itu dibalas dengan tawa mengekeh oleh Eyang Srigala Karang. Tapi
tawanya lenyap begitu tendangan Kemala menabas salah satu kakinya hingga
tubuhnya terbanting ke lantai goa. Sambil meringis kesakitan orang tua ini masih
bisa berusaha berdiri. Dia tegak terhuyung-huyung memandangi Kemala dengan mata
berapi-api. Ternyata meskipun memiliki ilmu gaib yang aneh, orang tua ini sama
sekali tidak menguasai kepandaian silat. Maka sewaktu ketiga kalinya serangan
Kemala mendarat di tubuhnya, Eyang Srigala Karang melolong kesakitan. Hidungnya
yang dihantam jotosan keras mengucurkan darah. Sekarang hawa amarah lebih
menguasai dirinya daripada nafsu bejatnya. Dia sama sekali tidak menduga kalau
gadis di hadapannya memiliki kepandaian silat. Orang tua ini melompat ke arah
kepala srigala yang dikeringkan. Dia berusaha mengusap kepala srigala itu dengan
tangan kirinya. Jelas dia hendak memanggil Sang Datuk! Kemala yang tahu apa yang
hendak dilakukan orang tua itu kembali berkelebat. Kali ini pukulannya melanda
lambung Eyang Srigala Karang. Selagi tubuh orang tua itu tertekuk ke depan,
Kemala menyambar dan menjambak rambutnya yang panjang riap-riapan. Lalu kepala
itu ditariknya kuat-kuat, dibantingkan ke dinding goa karang!
Praaakk! Untuk kesekian kalinya terdengar suara jeritan keras dan panjang dari mulut
Eyang Srigala. Keningnya tampak rengkah dan darah membasahi wajahnya yang
tertutup bulu-bulu halus berwarna coklat itu. Tapi dia belum mati.
Suara menggereng kini terdengar berkepanjangan dari tenggorokannya. Kemala cepat
menyambar pakaiannya yang terhamparan di lantai goa lalu berkelebat menuju mulut
goa. Di luar sebelum melenyapkan diri dia mengusap wajahnya dua kali berturutturut. Eyang Srigala Karang merangkak mendekati kepala srigala yang diawetkan. Namun
sebelum berhasil mencapainya, tubuhnya tergelimpang di lantai. Darah makin banyak mengucur dari luka
mengerikan di keningnya.
Dalam keadaan sekarat orang tua ini melafatkan sesuatu yang diakhiri dengan
ucapan: "Datuk Putra datanglah. Aku perlu dirimu..."
Begitu ucapan itu berakhir terdengar suara menderu seperti gemuruh ombak memecah
di tepi pantai. Lalu dalam goa, entah dari mana datangnya muncul sosok tubuh
seorang pemuda yang mengenakan destar. Wajahnya tampan namun dia memiliki sepasang telinga yang panjang mencuat ke atas


Wiro Sableng 072 Purnama Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serta berbulu seperti telinga seekor srigala. Sedang kedua matanya berwarna biru
dan pandangannya menggidikkan. Di samping si pemuda mendekam sosok lain yang
ternyata adalah sang Datuk, yaitu srigala bermata api.
"Orang tua, aku sudah datang. Katakan kepentinganmu!" Pemuda berdestar hitam dan bertelinga seperti srigala berkata.
"Kau lihat apa yang terjadi pada diriku! Gadis itu yang melakukan. Gadis bernama
Kemala itu! Aku akan segera menemui kematian! Tapi aku akan mati secara
penasaran! Aku ingin pembalasan. Lakukan sesuatu! Bunuh gadis itu!
Suruh Datuk mencabik-cabik tubuhnya!"
Pemuda bernama Datuk Putra gelengkan kepala.
"Perjanjian apa yang sudah kau buat dengan gadis itu tidak bisa dirubah. Dia
memiliki kekuatan untuk menguasai dan memerintah Datuk..."
"Aku tidak peduli! Kau harus melakukan sesuatu, Datuk Putra!" kata Eyang Srigala
Karang hampir berteriak tapi kemudian dia mengeluh kesakitan sambil memegangi
dadanya. "Aku akan perhatikan permintaanmu. Cuma mungkin belum bisa dilakukan apa-apa
sebelum 40 kali bulan purnama. Kau melakukan kekeliruan. Meminta syarat yang
seharusnya tidak menjadi syarat! Kau terjebak oleh nafsu kotormu sendiri!"
Eyang Srigala Karang terbujur di lantai goa. Kedua matanya yang merah kini telah
tertutup darah dari rengkahan kepalanya.
Pemuda dari alam gaib bernama Datuk Putra berpaling pada srigala bermata api di
sampingnya. "Kau sudah mendapatkan tuan yang baru. Kau harus berada di mana dia
berada. Pergilah..."
Srigala yang mulut dan kedua kaki depannya bergelimangan darah itu meninggikan kepalanya, menggereng beberapa kali, lalu memutar
diri dan melompat ke mulut goa. Datuk Putra membungkuk mengambil lampu minyak.
Minyak lampu itu disiramkannya ke sekujur tubuh Eyang Srigala Karang. Lalu
disulutkannya api pelita ke salah satu bagian tubuh si orang tua.
Wussss! Serta merta api besar menggebubu membakar tubuh Eyang Srigala Karang. Datuk
Putra tetap berada dalam goa itu sampai seluruh tubuh sang Eyang musnah dimakan
api yang secara aneh tubuh itu terbakar tanpa mengeluarkan bau daging
terpanggang. Selain itu ketika api akhirnya padam, tubuh itu kini hanya tinggal
berbentuk seonggok tulang belulang yang hitam menggosong!
Dengan sisa-sisa tikar kulit binatang yang sebagian terbakar hangus termasuk
kepala srigala yang dikeringkan, Datuk Putra membungkus tulang belulang Eyang
Srigala Karang. Tulang belulang ini kemudian dibawanya ke tepi pantai. Dia
mendongak ke langit yang sampai saat itu masih mengucurkan hujan lebat. Kemudian
tikar kulit berisi tulang-tulang Eyang Srigala Karang itu dilemparkannya jauh-jauh ke tengah laut.
"Kau aman di tempatmu yang baru," kata Datuk Putra seraya memandang ke tengah
laut. "Jika kau berkeras untuk muncul di dunia ini kembali, kau harus sanggup
menanggung segala akibatnya. Kita memang orang-orang dari dunia gelap dan hitam.
Tapi berbuat kekeliruan tidak ada ampunannya!"
Di tengah laut tampak halilintar menyambar. Lautan sekilas jadi terang
benderang. Datuk Putra rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Sepasang
matanya dipejamkan. Daun telinganya yang mencuat panjang ke atas tampak
bergerak-gerak tiada henti. Lalu seperti tadi kemunculannya yang entah dari
mana, sesaat kemudian tubuhnya pun lenyap entah ke mana!
WIRO SABLENG PURNAMA BERDARAH
2 EBENARNYA saat itu sedang musim penghujan.
Hampir tiap hari, siang atau malam hujan turun.
SNamun pada siang dan malam hari pesta perkawinan Rumini, puteri Kepala Desa
Cadas Brantas, dengan seorang pemuda bernama Randu Wulung yang kabarnya adalah
seorang perwira muda di jajaran pasukan kerajaan, udara tampak cerah. Siang hari
ketika upacara pernikahan dilangsungkan tidak setetes hujan-pun turun. Begitu
pula pada malam harinya. Udara terasa sejuk segar dan di langit bulan purnama
tiga belas hari tampak indah menghias langit yang ditaburi bintang gemintang.
Yang punya hajat tentu saja merasa bersyukur sedang para tamu ikut senang sambil
bertanya-tanya pawang hujan dari mana yang dipakai oleh tuan rumah sehingga
begitu ampuh mencegah turunnya hujan.
Lewat tengah malam pesta perkawinan usai sudah.
Semua tamu pulang ke rumah masing-masing. Rombongan pemain gamelan sudah lama
pergi. Rumah Kepala Desa yang tadinya ramai kini tampak sunyi walau masih ada
dua lampu minyak besar yang sengaja dinyalakan terus di beranda depan.
Pagi harinya Kepala Desa dan isterinya telah lama bangun. Suami istri ini
bersama sanak keluarga dan karib kerabat duduk berkumpul di ruang tengah rumah
besar sambil menikmati kopi hangat dan sarapan pagi.
"Sepasang pengantin yang berbahagia rupanya masih tertidur pulas..." kata
seorang di antara keluarga yang masih merupakan paman pengantin perempuan sambil
senyum-senyum. "Maklum saja. Namanya pengantin baru," menyahuti anggota keluarga yang lain lalu
menghirup kopi hangatnya sampai mengeluarkan suara keras.
Obrol punya obrol tak terasa pagi bergerak siang. Dua pengantin di dalam kamar
masih juga belum keluar.
"Tak enak rasanya kalau mereka masih terus di dalam kamar. Matahari sudah
tinggi," kata Kepala Desa pada istrinya. "Coba kau bangunkan mereka..."
Istri Kepala Desa bangkit dari duduknya. Lalu melangkah ke bagian depan kiri rumah besar di mana terletak kamar pengantin. Perempuan
ini mengetuk pintu kamar.
Mengetuk sampai berulang kali dan karena tak ada jawaban akhirnya dia kembali ke ruang tengah, memberitahu pada suaminya.
"Mereka mungkin masih sangat pulas. Jadi harus keras mengetuk membangunkan
mereka," kata Kepala Desa. Dia bangkit berdiri. "Sudah, biar aku saja yang
memba- ngunkan." Kepala Desa Cadas Brantas mengetuk pintu kamar
pengantin. Mula-mula perlahan saja. Lalu lebih keras. Dan lebih keras lagi
bahkan sambil berseru memanggil-manggil nama anak perempuannya. Tetap saja tak
ada jawaban. Beberapa orang anggota keluarga yang ada di ruangan tengah ikut berdiri dan
berkumpul di depan pintu kamar.
"Coba ketuk lebih keras," kata salah seorang dari mereka.
Kepala Desa kali ini bukan lagi mengetuk, tapi menggedor pintu kamar.
"Aneh, apa mereka begitu pulas hingga tidak terbangun oleh gedoranku"!" kata
Kepala Desa sambil memandang pada orang-orang yang ada di depan pintu.
"Tak ada lobang tempat mengintip. Berarti tak ada jalan lain. Kita harus
mendobrak pintu!" kata seorang anggota keluarga yang berbadan tinggi besar.
"Kalau Kangmas izinkan tentunya."
Kepala Desa Cadas Brantas meraba dagunya lalu
mengangguk, "Ya, kita dobrak saja," katanya menyetujui.
Lelaki tinggi besar tadi mundur beberapa langkah sementara semua orang yang ada
di pintu bersibak ke samping. Dengan kaki kanannya yang kuat orang tinggi besar
menghantam pintu kamar hingga pintu itu hancur berantakan. Begitu pintu
terpentang lebar, Kepala Desa masuk ke dalam kamar diikuti beberapa orang, di
antara- nya istrinya sendiri. Begitu masuk ke dalam kamar hampir semua orang secara
berbarengan keluarkan seruan keras.
Isteri Kepala Desa paling keras jeritannya. Dia menutupi mukanya dengan kedua
tangan lalu terhuyung-huyung dan pasti roboh kalau tidak lekas ada yang
memegangi. "Gusti Allah! Apa yang terjadi di sini"!" teriak Kepala Desa. "Anakku Rumini!
Randu Wulung!"
Hari itu juga tersiar kabar mengerikan dan menyedihkan di seluruh desa Cadas Brantas. Sepasang pengantin baru, Rumini dan Randu
Wulung, pagi tadi ditemukan telah jadi mayat. Rumini terkapar menelentang di
atas ranjang pengantin. Suaminya menggeletak di lantai dekat tempat tidur.
Pakaian pengantin yang masih melekat di tubuh masing-masing penuh dengan
robekan-robekan besar.
Robekan-robekan itu ternyata sangat dalam. Bukan hanya mengoyak pakaian mereka
tapi sampai tembus ke daging tubuh dua manusia malang itu. Yang lebih
mengerikan, wajah Rumini dan Randu Wulung hampir tak bisa dikenali.
Karena wajah-wajah mereka juga tampak koyak robek mengerikan. Kamar pengantin
yang seharusnya menjadi kamar bahagia itu diperciki darah mulai dari ranjang
sampai ke lantai dan beberapa bagian dinding.
Jelas sepasang pengantin itu menemui ajal karena dibunuh. Tapi dibunuh dengan
apa dan siapa pelakunya"!
Menurut dugaan orang banyak, sepasang pengantin itu menemui ajal karena dikoyak
muka dan tubuhnya dengan sejenis senjata tajam, mungkin pisau atau clurit besar.
"Aku tidak punya musuh. Siapa yang begitu jahat menghabisi nyawa anak menantuku!
Kejam! Jahat luar biasa!" kata Kepala Desa Cadas Brantas sambil mengepalkepalkan kedua tinjunya dan berulang kali mengusap mukanya. Sementara itu
istrinya berada dalam kamar masih menangis dan sesekali menjerit memilukan.
Rumini adalah anak mereka satu-satunya. Bilamana gadis itu meninggal dunia
karena sakit mungkin tidak demikian hebat duka kedua orang tuanya. Namun Rumini
mati dibunuh orang, secara luar biasa kejam begitu rupa! Pada hari perkawinannya
pula! Orang tua mana yang bisa pasrah!
"Bapak Santiko," kata seorang lelaki separuh baya berbadan tegap. Dia adalah
Gandar Seto, Perwira Tinggi atasan Randu Wulung yang menyempatkan diri datang ke
Cadas Brantas untuk menghadiri pesta perkawinan pemuda bawahannya itu. Karena istrinya kurang sehat, perwira ini membawa serta anak
perempuannya sebagai wakil sang ibu. Anak perempuan Gandar Seto yang bernama
Ratih Kiranasari bertubuh tinggi semampai, berkulit putih dan memiliki wajah
termasuk cantik. Namun dalam usianya yang hampir memasuki 30 tahun itu dia masih juga belum bersuami, belum
menemukan jodoh. Hal ini sebenarnya menjadi salah satu ganjalan tidak enak dalam diri sang ayah. Pada masa
itu kebanyakan gadis sudah menikah dan berumah tangga di usia 16 atau 17 tahun.
Bahkan ada yang telah kawin di usia lebih muda dari itu.
Karenanya tidak disalahkan kalau banyak orang berpendapat bahwa Ratih Kiranasari sudah termasuk yang disebut perawan tua.
Malam itu Gandar Seto dan puterinya menginap di rumah seorang kenalan di desa
Cadas Brantas. Pagi harinya ketika hendak berangkat ke Kotaraja, begitu
mendengar berita duka kematian sepasang pengantin yang menggegerkan itu, dengan
bergegas Perwira Tinggi ini mendatangi rumah duka yang sebelumnya merupakan
rumah pesta perkawinan itu. Setelah menyuruh anak gadisnya tetap berada dalam
kereta, Gandar Seto segera turun dan masuk ke dalam rumah.
Perwira Tinggi ini sudah sering melihat kematian orang.
Baik di medan perang maupun ketika menumpas para penjahat dan perampok pengacau
Kerajaan. Namun belum pernah dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri kematian
yang mengerikan begini rupa.
"Ganas. Kejam sekali!" kata Ganda Seto dalam hati.
Lalu dia menemui Kepala Desa Santiko yang duduk terkulai di sebuah kursi besar.
"Bapak Santiko," tegurnya sambil memegang bahu
Kepala Desa itu. "Saya tahu ini cobaan yang sangat berat dan besar bagimu dan
istri. Namun saya harapkan kau bisa tabah menghadapinya. Saya berjanji untuk
menyelidiki kematian Rumini dan Randu. Saya sendiri nanti yang akan memancung
batang leher pembunuh biadab itu!"
Kepala Desa itu menatap wajah Gandar Seto sesaat lalu dianggukkannya kepalanya
yang berwajah pucat itu perlahan sekali.
"Saya tidak punya musuh. Baik di masa muda saya maupun saat ini. Siapa orangnya
yang begitu kejam dan berhati keji membunuh anak menantuku pada malam hari
bahagia mereka."
"Setahu saya Randu Wulung juga tidak punya musuh.
Dia disenangi orang di dalam maupun di luar jajaran pasukan kerajaan. Dia
seorang calon perwira tinggi yang diharapkan Sri Baginda menggantikan kami yang
sudah tua-tua ini. Saya dan tentu saja kerajaan sangat kehilangan dirinya..."
Perwira Tinggi itu diam sesaat. Lalu dengan suara rawan dia meneruskan
ucapannya. "Hidup ini memang aneh. Dalam keanehan itu ada berbagai rasa jahat,
iri hati dan kedengkian. Bukan mustahil bawahan saya menjadi korban ketiga hal
tersebut."
"Raden Gandar..." kata Kepala Desa Cadas Brantas dengan suara bergetar.
"Tolong... kau usutlah perkara ini sampai berhasil menangkap pembunuhnya."
"Saya berjanji. Tadi pun saya sudah coba melakukan penyelidikan singkat. Agaknya
si pembunuh masuk lewat jendela. Saya dapatkan jendela kamar pengantin dalam
keadaan terbuka. Ada beberapa bagian daun jendela yang menunjukkan tanda-tanda
bekas dicongkel."
"Maafkan kalau saya ingin memberitahukan sesuatu,"
kata seorang anggota keluarga. Dia adalah lelaki tinggi besar yang tadi
mendobrak pintu kamar untuk dapat masuk ke dalam.
Kepala Desa Cadas Brantas dan Perwira Tinggi Gandar Seto berpaling pada orang
ini. "Apa yang hendak kau beritahukan Padullah?"tanya Santiko.
"Malam tadi saya hampir tertidur waktu lapat-lapat saya mendengar suara seperti
lolongan binatang di kejauhan.
Terdengarnya seperti suara raungan anjing. Tetapi setelah saya simak saya yakin
betul itu bukan suara lolongan anjing. Saya tidak dapat memastikan suara
lolongan binatang apa. Mungkin anjing hutan atau srigala. Tapi kita tahu sendiri
di sekitar sini tidak pernah ada anjing atau srigala hutan. Walau hati saya
mendadak jadi tidak enak, saya mencoba memejamkan mata, tidur. Lalu saya
mendengar ada suara halus. Suara seperti jendela atau pintu terbuka. Tapi saya
ragu saat itu. Mungkin saja yang saya dengar adalah hembusan angin malam atau
desah daun-daun pepohonan yang tertiup angin. Lalu akhirnya saya tertidur..."
Baik Kepala Desa Santiko maupun Perwira Tinggi
Gandar Seto kelihatannya sama-sama tidak tertarik dengan apa yang dikatakan
Padullah itu. "Saya menunda kepulangan ke Kotaraja pagi ini. Saya tetap di sini sampai kedua
jenazah dimakamkan," kata Gandar Seto pula. "Namun puteri saya Ratih Kiranasari
akan saya suruh pulang lebih dulu. Saya akan keluar untuk memberitahu padanya."
Perwira Tinggi itu lalu menemui puterinya. Gadis itu akhirnya berangkat ke
Kotaraja hanya ditemani kusir kereta. Sebelum pergi Gandar Seto berkata pada
anaknya agar begitu sampai di Kotaraja dia menghubungi seorang pejabat Keraton,
memberitahu apa yang telah terjadi dengan diri Perwira Muda Randu Wulung.
WIRO SABLENG PURNAMA BERDARAH
3 ERETA yang dikemudikan kusir tua itu meluncur
meninggalkan desa Cadas Brantas. Untuk mencapai KKotaraja kendaraan ini harus
menempuh satu daerah berbukit-bukit kemudian melewati kawasan rimba belantara Jati Mundu.
Hutan Jati Mundu merupakan hutan penghubung kawasan luar kota dengan pinggir
timur Kotaraja. Hutan ini menjadi pusat lalu lintas semua orang yang mau ke atau
meninggalkan Kotaraja. Hutan Jati Mundu tidak terlalu luas, tetapi pohon-pohon
yang tumbuh di dalamnya besar-besar, berusia ratusan tahun hingga batangbatangnya banyak yang diselimuti lumut. Di samping itu semak belukarnya pun lebat-lebat. Namun demikian, walau keadaannya seperti itu, tidak ada orang yang merasa takut melewati
rimba belantara ini. Hutan Jati Mundu dikenal aman. Tak ada binatang buas
seperti harimau atau ular. Bukan pula jadi tempat persembunyian atau sarangnya
orang-orang jahat seperti begal dan rampok.
Setelah melewati jalan menurun di kaki bukit, kereta yang dikemudikan kusir tua
itu mulai memasuki hutan Jati Mundu. Saat itu tirai jendela depan kereta terbuka
dan satu wajah cantik muncul.
"Pak Tua, tak usah melarikan kuda terlalu cepat.
Perlahan saja. Saya letih, mau mencoba tidur sebelum sampai di Kotaraja. Malam
tadi saya menghadiri pesta perkawinan sepasang pengantin yang malang itu sampai
larut. Jadi kurang tidur..."
Kusir kereta berambut putih itu menoleh. "Saya menurut apa kata Den Ayu saja. Tapi bukankah ayah Den Ayu berpesan agar kita cepatcepat sampai di Kotaraja lalu menghubungi seorang pejabat di sana?"
"Kau betul Pak Tua, Kotaraja tidak terlalu jauh dari sini.
Lagi pula hari masih pagi. Memang ada pesan yang harus disampaikan. Namun semua
itu tidak akan menolong menghidupkan sepasang pengantin yang terbunuh itu. Jadi
perlahan-lahan saja Pak Tua. Saya tak mau tidur singkat saya terganggu."
"Baik Den Ayu. Saya akan menuruti apa kata Den Ayu,"
jawab kusir kereta. Lalu dalam hati orang tua yang sudah mengabdi puluhan tahun


Wiro Sableng 072 Purnama Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada ayah sang dara itu membatin. "Kasihan. Wajahnya cantik, budi pekertinya tak ada yang tercela. Kenapa
belum ada juga laki-laki yang berkenan di hatinya untuk dijadikan suami" Atau mungkin benar kata-kata orang, Den
Ayu Ratih tinggi hati dan terlalu memilih. Kasihan kalau dia nanti benar-benar
jadi perawan tua seumur hidupnya." Lalu sesuai dengan yang diperintahkan anak majikannya itu kusir kereta memperlambat lari kuda.
Memasuki Hutan Jati Mundu udara terasa redup dan sejuk. Hari masih terlalu pagi.
Belum ada satu orang pun yang berpapasan dengan kereta itu. Seringkali terdengar
suara kicau burung-burung hutan yang bertengger di pepohonan atau berterbangan
kian kemari. Di bagian lain hutan Jati Mundu seorang pemuda
pejalan kaki yang melewati hutan itu sambil bersiul-siul membawakan lagu tidak
menentu tiba-tiba tergagau dan tersurut mundur ketika di hadapannya muncul sosok
tubuh seekor binatang bermoncong panjang. Semula dikiranya seekor anjing hutan.
Tapi ketika diperhatikan binatang itu lebih banyak berupa seekor srigala liar.
Yang membuat si pemuda khawatir ialah menyaksikan moncong binatang itu
berselomotan cairan merah. Ketika binatang ini menggereng kelihatan gigi-gigi
dan taring-taringnya yang besar runcing juga tertutup cairan merah. Si pemuda
memperhatikan sepasang kaki depan binatang.
Seluruh kuku-kuku srigala liar ini panjang runcing berkeluk juga diselimuti
cairan merah. Lalu pada beberapa bagian bulu tubuhnya yang berwarna coklat
terang tampak ada percikan-percikan cairan berwarna sama. Ketika lidahnya
dijulurkan jelas kelihatan cairan merah bercampur dengan ludahnya.
"Darah..." desis si pemuda dalam hati. "Mungkin binatang ini baru saja menyantap seekor kelinci hutan atau anak menjangan. Tapi
mungkin juga barusan membunuh orang!" Pikirnya lebih jauh. Yang membuat pemuda
ini bertindak waspada bukan saja karena melihat darah itu namun menyaksikan
adanya kilapan sinar aneh pada sepasang mata srigala hutan yang berwarna merah
itu! "Srigala biasa tidak memiliki dua mata merah bersinar seperti itu. Makhluk apa
sebenarnya yang ada di depanku ini?" Lalu pemuda ini ingat. "Setahuku, kata
orang di hutan Jati Mundu ini jangankan binatang buas, seekor lalat pun tak
bakal ditemui. Tapi bagaimana hari ini aku tiba-tiba berhadapan dengan makhluk
celaka ini" Nasibku yang apes atau bagaimana"!"
Srigala bermata merah itu membuka mulutnya. Gigi-gigi dan taringnya yang runcing
kemerahan mencuat mengerikan. Lidahnya yang basah merah terjulur keluar. Kepalanya merunduk dan kedua
kakinya diluruskan panjang-panjang ke depan tanda siap menerkam.
"Binatang ini hendak menyerangku," kata si pemuda.
Tangan kanannya cepat bergerak ke pinggang. Sebilah kapak bermata dua yang
memancarkan cahaya putih berkilau kini tergenggam di tangan pemuda itu. Dalam
hati dia berkata, "Binatang atau iblis serang diriku! Niscaya kubelah kepalamu
dengan Kapak Naga Geni 212 ini!"
Entah mengapa srigala bermata aneh angker itu
perlahan-lahan bergerak mundur. Kedua kaki depannya ditarik, kepalanya yang
merunduk ditegakkannya kembali.
Setelah menggereng sekali lagi binatang ini lalu memutar diri, melompat masuk ke
dalam serumpunan semak
belukar dan lenyap!
Si pemuda menarik nafas lega. Sambil tangan kirinya menggaruk kepalanya yang
berambut gondrong, tangan kanannya menyelinapkan senjata mustikanya ke balik
pakaiannya. Si pemuda yang tentu saja Pendekar 212 dari Gunung Gede bernama Wiro
Sableng itu siap meneruskan perjalanannya. Mulutnya hendak mengeluarkan siulan
lagi sekedar untuk menenteramkan perasaan akibat melihat binatang aneh tadi.
Namun gerakannya tertahan.
Telinga Wiro menangkap suara derak roda kereta dan derap kaki kuda di dalam
hutan itu. Dia cepat bergerak ke jurusan datangnya suara.
Di pinggir sebuah jalan tanah yang cukup lebar dalam hutan pemuda ini berhenti.
Sesaat kemudian sebuah kereta ditarik seekor kuda dan dikemudikan oleh kusir tua
berambut putih muncul dari kelokan jalan. Pemuda ini cepat menyongsong. Sambil
mengangkat tangan kanannya dia berseru.
"Pak Tua! Hentikan dulu keretamu!"
*** Beberapa saat sebelum kereta itu dihentikan. Ratih Kiranasari berada di
pinggiran hutan Jati Mundu. Gadis ini membawa sebuah keranjang bambu berisi
manggis dan mangga hutan yang besar-besar dan matang. Dia berjalan sambil
bernyanyi-nyanyi kecil. Udara pagi itu cerah dan segar sekali. Apalagi angin
bertiup sepoi-sepoi sejuk. Tiba-tiba satu jeritan keluar dari mulut sang dara
ketika mendadak sekali seekor binatang berbentuk srigala melompat keluar dari
semak-semak di tepi jalan dan merunduk siap menerkam dirinya.
Binatang ini keluarkan gerengan aneh. Mulutnya
terbuka lebar memperlihatkan gigi, taring dan lidah yang berselomotan darah.
Sehabis menggereng binatang ini melompat menyergap Ratih Kiranasari. Moncongnya
terbuka lebar sedang sepasang kaki depan yang berkuku runcing menerjang siap
merobek muka dan tubuhnya!
Sekali lagi puteri Perwira Tinggi itu menjerit. Lalu tubuhnya tersentak. Kedua
matanya terbuka. Sekujur tubuhnya keringatan. Dadanya turun naik. Nafasnya
memburu sesak. Dia menyibakkan tirai jendela di sampingnya. Disadarinya kereta saat itu berhenti di tengah hutan. Digosoknya kedua
matanya. Ternyata dia barusan bermimpi. Lalu dia menarik tirai jendela sebelah
depan dan memanggil kusir kereta.
"Pak Tua, ada apa kau menghentikan kereta?"
"Ada seorang tak dikenal menghentikan kereta," jawab kusir tua itu.
Lewat jendela kecil di belakang kusir kereta itu, Ratih Kiranasari memandang ke
luar, ke arah jalanan di depannya. Di sebelah sana dilihatnya seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian dan
berikat kepala serba putih tegak mengangkat tangan lalu melangkah mendekati
kereta yang berhenti. Ratih Kiranasari untuk beberapa saat lamanya seperti
terpana melihat pemuda itu. "Pakaiannya sederhana, tubuhnya tegap penuh otot, wajahnya tampan dan mulutnya setiap saat
melempar senyum. Siapa gerangan pemuda ini yang membuat hatiku jadi tergetar.
Jelas dia bukan seorang petani atau pencari kayu di rimba belantara ini.."
Selagi puteri Perwira Tinggi ini bertanya-tanya dalam hati seperti itu, di luar
sana didengarnya suara kusir tua berkata pada si pemuda.
"Anak muda, ada apa kau menyuruh aku menghentikan kereta?" tanya kusir kereta.
Melihat gelagatnya pemuda ini bukan orang jahat, rampok atau begal. Dia sama
sekali tidak membawa senjata dan tampangnya tidak seram.
Meskipun heran namun kusir tua itu tidak menaruh curiga apalagi takut.
Pemuda di depan kereta menjawab. "Ada seekor
binatang buas gentayangan di rimba belantara ini. Jika kau hendak meneruskan
perjalanan hati-hatilah. Sebaiknya menyiapkan golok atau parang!"
Kusir tua itu menatap wajah pemuda gondrong itu sesaat lalu sambil tertawa dia
berkata, "Anak muda, puluhan tahun aku hidup di wilayah ini. Ratusan kali aku
melewati hutan Jati Mundu ini. Belum pernah diketahui orang ada binatang buas di
sini. Juga rampok atau begal.
Dan melihat wajah dan sikapmu kau tentu bukan seorang penjahat!"
Si gondrong balas tertawa. "Terima kasih kau mengatakan aku bukan orang jahat. Tapi kau harus percaya pada keteranganku tentang
binatang buas itu. Aku barusan saja melihatnya dalam hutan ini. Mungkin dia
masih berkeliaran di sekitar sini. Mulut dan sepasang kaki depannya penuh darah
tanda dia baru saja membunuh makhluk bernyawa.
Entah binatang entah manusia! Jadi hati-hatilah. Kau hendak menuju ke mana, Pak
Tua" Apa yang kau bawa dalam kereta?"
Pertanyaan terakhir Wiro Sableng membuat kusir tua itu mulai curiga. "Kalau
memang ada binatang buas di sekitar sini, mengapa kau sendiri tidak takut dan
meninggalkan hutan ini?" tanya kusir tua itu pula.
Yang ditanya jadi garuk-garuk kepala. Lalu dia berkata.
"Terserah kaulah, Pak Tua. Aku hanya memberitahu agar kau berhati-hati..."
Kusir tua itu hendak menyentakkan tali kekang kuda agar binatang itu berjalan
kembali. Namun di belakangnya terdengar suara Ratih Kiranasari. Sejak tadi gadis
ini telah memperhatikan pemuda yang tegak di depan kereta itu.
Lewat jendela kecil di belakang punggung kusir kereta Ratih berkata. "Pak Tua,
jangan pergi dulu. Suruh pemuda itu mendekat ke samping kereta. Saya mau bicara
de- ngannya." "Akan saya beritahu Den Ayu," jawab kusir kereta. Lalu dia berkata pada si
pemuda. "Anak muda, puteri majikanku ingin bicara denganmu. Melangkahlah ke
samping kereta sebelah kiri."
"Ah, ada seorang puteri rupanya dalam kereta. Sungguh aku tidak menduga," jawab
pemuda tadi lalu dia melangkah cepat-cepat ke samping kiri kereta. Saat itu pula kain tirai jendela
tersingkap dan satu wajah jelita muncul menjenguk keluar. "Hemm... Ini rupanya sang puteri. Wajah dan dandanannya anggun. Kulitnya putih tapi agaknya sudah agak berumur." kata Wiro
menilai dalam hati.
"Saudara, apa betul kau memberitahu kusir kereta ada seekor binatang buas di
hutan ini?"
"Betul sekali. Saya barusan sempat melihatnya. Hampir saja saya hendak diterkam
dijadikan mangsa."
Ratih Kiranasari tersenyum. Waktu tersenyum ini kelihatan lesung pipit muncul di
kedua pipinya dekat dagu.
"Rupanya binatang itu takut padamu," katanya. Lalu dia bertanya. "Binatang buas
yang kau lihat itu apakah sebangsa harimau atau singa. Atau ular besar?"
"Bukan, bukan harimau atau singa. Bukan juga ular besar. Tapi seekor anjing
hutan. Seekor srigala... Mulut, gigi dan lidah serta sepasang kaki depannya
berlumuran darah.
Kedua matanya berwarna merah dan menyorotkan sinar angker!"
"Aneh," kata Ratih.
"Apanya yang aneh?" bertanya si pemuda.
"Apa yang kau katakan begitu sama dengan apa yang barusan aku mimpikan. Tadi aku
sempat tertidur dalam kereta. Dalam mimpi aku sedang berjalan di hutan lalu
muncul binatang berbentuk srigala itu. Aku terbangun sewaktu binatang ini siap
menerkamku."
Si pemuda garuk-garuk kepala. "Ya betul aneh. Bagaimana mungkin mimpimu sama dengan apa yang saya lihat.
Sebaiknya kau segera meneruskan perjalanan. Tutup rapat-rapat semua jendela..."
"Terima kasih kau memberitahu tentang srigala itu.
Kalau aku boleh bertanya, apakah kau tinggal di sekitar sini?" tanya Ratih.
"Saya datang dari jauh."
"Apakah kau punya nama?"
Pendekar 212 tertawa lebar. "Setiap orang tentu saja punya nama..."
"Lalu siapa namamu?"
"Wiro..."
"Cuma Wiro" Pendek amat!"
"Sebetulnya ada sambungannya. Tapi sudahlah..."
Pemuda itu garuk-garuk kepalanya sambil senyum-senyum.
Dia sengaja tidak mau menerangkan nama belakangnya yaitu Sableng!
"Orang tak mau memberitahu masakan aku memaksa,"
kata Ratih pula. "Jika kau benar melihat srigala dalam mimpiku itu berkeliaran
di hutan Jati Mundu ini, terus terang aku merasa khawatir. Aku harap kau
menolong tidak setengah-setengah."
"Maksudmu?" tanya Wiro.
"Apakah kau mau ikut menemani kami sampai di
Kotaraja?"
Wiro tak menjawab. Terdengar Ratih Kiranasari berkata lagi. "Hitung-hitung
sebagai pengawal. Kalau binatang buas menyeramkan itu muncul menghadang, melihat
kau tentu dia akan lari. Tak berani mengganggu..."
Wiro garuk-garuk kepala dan memandang pada kusir kereta. Orang tua ini berkata
setengah berbisik. "Ikuti saja permintaan anak majikanku. Tidak banyak pemuda
yang beruntung mendapat tawaran begini baik darinya. Kurasa dia suka padamu!"
Wiro menyeringai. "Kebetulan saya memang hendak ke Kotaraja. Baiklah, saya akan
menemanimu."
Ratih tersenyum gembira. Wiro melompat ke atas
kereta. Duduk di depan di samping kusir tua. Si gadis berkata. "Jika kau mau kau
boleh duduk di dalam sini."
"Terima kasih. Biar saya duduk di sini saja," jawab Wiro.
Kusir tua menarik tali kekang kuda. Begitu kereta mulai bergerak berbisik pada
Wiro, "Tidak pernah aku melihat pemuda setololmu. Diajak duduk di dalam sana
mengapa kau menolak?"
Wiro menyengir. "Bagaimana kalau kau saja yang
duduk di sampingnya. Biar aku yang mengemudikan kereta."
Kusir tua itu tertawa gelak-gelak. "Anak muda, kau yang disukainya, bukan si tua
bangka ini!"
Wiro tertawa. "Siapa nama gadis cantik itu?" tanyanya.
"Ratih Kiranasari," jawab kusir kereta.
"Nama bagus orangnya pun cantik..."
"Anak muda, ketahuilah tidak banyak pemuda yang beruntung sepertimu. Bisa diajak
seperjalanan seperti saat ini." "Maksud Pak Tua apa?"
"Puteri majikanku itu kata kebanyakan orang cantik tapi tinggi hati. Banyak
pemuda yang menyukainya, ingin memperistrikannya. Tapi karena merasa anak seorang Perwira Tinggi dia berlagak jual
mahal. Banyak pilih. Akibatnya sampai saat ini dia masih belum kawin. Orang
mulai usil. Mengatakan dia sebagai perawan tua."
"Belum kawin tapi benar-benar masih perawan, kan?"
ujar Wiro. "Anak muda. Aku punya firasat puteri majikanku ini suka padamu," bisik si orang
tua. "Kau ngaco saja Pak Tua! Seorang puteri pejabat tinggi suka pada pemuda
gelandangan macamku" Kau tahu
sendiri, dia minta aku ikut seperjalanan karena khawatir dengan binatang buas
itu..." "Eh, soal binatang buas itu apakah bukan karanganmu saja. Maksudmu sebenarnya
adalah ingin berkenalan dengan gadis itu. Yah mudah-mudahan dia memang suka
padamu. Tampangmu tidak jelek-jelek amat!"
Wiro tersenyum pencong mendengar ucapan kusir tua itu. "Dengar," Kusir itu
kembali membuka mulut. "Jika kau memang suka padanya, aku mau membantu
mengatakan pada orang tuanya. Kalau sampai kau dipungut jadi menantu, wah kau
bakalan diberikan jabatan lumayan di Kotaraja. Tapi jika hal itu benar-benar
terjadi jangan lupa hadiah untukku!"
"Makin lama makin tak karuan igauanmu!" tukas Wiro.
Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba di sebelah belakang terdengar jeritan
Ratih Kiranasari.
Wiro singkapkan tirai jendela kecil di belakangnya.
Ratih dilihatnya duduk ketakutan. Mukanya pucat dan matanya membeliak memandang
keluar jendela.
"Ada apa?" tanya Wiro sementara kuda penarik kereta memperlihatkan ulah aneh.
"Bin... binatang itu..." kata Ratih dengan suara gugup ketakutan. Dia menunjuk
ke luar jendela dengan tangan gemetar. Kuda kereta tiba-tiba terdengar
meringkik. Wiro berpaling ke arah yang ditunjuk Ratih. Dia melihat apa yang
menakutkan gadis itu.
Di balik semak-semak sepanjang jalan yang dilalui kereta, kelihatan bayangan
sosok tubuh srigala bermata merah yang sebelumnya sempat ditemui Wiro. Binatang
ini bergerak sejajar dan searah jalannya kereta. Kusir kereta sibuk berusaha
menenangkan kuda yang tampak
ketakutan. "Pak Tua," kata Wiro, "Jalankan terus kereta ini." Lalu dia siap-siap melompat.
"Kau hendak ke mana?" tanya kusir kereta.
"Saya berusaha agar binatang itu tidak menyerang kereta," jawab Wiro. Lalu dia
melompat turun dari kereta dan berlari di sepanjang jalan antara srigala dan
kereta. Di satu kelokan jalan srigala buas itu memutar larinya mendekati Wiro.
"Anak muda, binatang itu hendak menyerangmu!"
teriak kusir kereta. Dari dalam kereta Ratih Kiranasari juga sudah melihat apa
yang bakal terjadi. Gadis ini menutup wajahnya dengan kedua tangan seraya berdoa
agar Wiro selamat dari binatang buas itu.
"Jangan perdulikan saya!" teriak Wiro. "Larikan terus kereta!" Lalu dia hentikan
larinya. Srigala bermata api dengan moncong dan kaki depan berselomotan darah


Wiro Sableng 072 Purnama Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang merasa ditantang, lari ke arah Wiro. Pendekar 212 siapkan pukulan Kunyuk
Melempar Buah di tangan kanan. Ketika binatang itu hanya tinggal lima langkah
dari hadapannya dia segera angkat tangan kanannya untuk menghantam.
Tapi srigala bermata api tiba-tiba hentikan gerakan dan kini dia malah duduk di
tengah jalan dengan lidah basah berdarah terjulur-julur. Kedua matanya menatap
tajam ke arah Wiro.
Melihat binatang ini tak jadi menyerang, murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede
hentikan pula gerakannya menghantam dengan pukulan sakti. Srigala itu perlahanlahan rundukkan tubuhnya. Kedua kaki depannya dilunjurkan dan dagunya diletakkan di atas kedua kakinya itu.
Matanya yang tadi bersinar merah mengerikan kini tampak memandang sayu ke arah
Wiro. Dari mulutnya terdengar suara seperti anjing menggerang halus pilu dan
jinak. Sikapnya seperti minta dikasihani.
"Aneh, binatang apa ini sebenarnya. Mengapa dia tiba-tiba berubah seperti
menderita sesuatu yang menyakitkan dan bersikap jinak." Dengan agak ragu Wiro
melangkah mendekati srigala itu. Tiba-tiba binatang ini mengangkat kepalanya dan
melolong panjang. Lolongannya tidak terdengar buas, tapi lagi-lagi memilukan. Walau demikian Wiro sempat kaget dan
tersurut dua langkah. Kemudian dilihatnya srigala itu kembali meletakkan
kepalanya di atas kedua kakinya.
Setelah memperhatikan sejenak Wiro beranikan diri lagi mendekati srigala itu.
Tangan kanannya tetap disiapkan untuk melepaskan pukulan sakti Kunyuk Melempar
Buah jika sewaktu-waktu srigala itu tiba-tiba menerkam dan menyerangnya. Semakin
dekat Wiro padanya semakin memilukan terdengar suara erangan binatang ini.
"Makhluk berbentuk srigala, apapun kau adanya, jika kau bersikap bersahabat, aku
pun akan bersahabat denganmu..." kata Wiro bicara pada srigala itu.
Sepasang mata yang sayu merah tampak berkedipkedip beberapa kali. Wiro ulurkan tangan kirinya. Dibelainya kepala lalu tengkuk srigala itu.
"Ah, kau ternyata mau bersahabat denganku!" kata Wiro. "Kalau begitu biar aku
pergi. Jangan turuti aku. Sekali kau masuk ke Kotaraja orang-orang pasti akan
membunuhmu."
Wiro mengusap lagi kepala binatang itu. Ketika dia hendak bergerak pergi,
srigala ini menjulurkan lidahnya yang basah berdarah dan sempat menjilat
punggung telapak tangan kiri si pemuda. Wiro mengernyit jijik dan cepat menjauh.
Pada saat itu terdengar suara derap kaki kuda dan gemeletak roda-roda kereta.
Wiro berpaling. Ternyata kereta yang membawa Ratih Kiranasari dan dikemudikan
oleh kusir tua itu muncul kembali.
Srigala yang melunjur di tengah jalan tiba-tiba bangkit dengan cepat. Kedua daun
telinganya berdiri tegang ke atas. Dari mulutnya terdengar suara menggereng
keras lalu binatang ini melompat ke balik semak-semak dan lenyap dalam rimba
belantara. "Pak Tua, kenapa kau kembali"!" tanya Wiro begitu kereta berhenti di sampingnya.
"Den Ayu Ratih yang menyuruh. Dia khawatir kau diapa-apakan oleh binatang itu.
Ternyata tadi kau malah kulihat mengusap-usap kepalanya!"
Tirai samping jendela terbuka. Wajah cantik Ratih Kiranasari muncul. "Wiro, kau
tidak apa-apa?"
Wiro tersenyum. "Binatang itu ternyata aneh. Tampangnya memang mengerikan. Tapi ternyata dia tidak menyerang saya..."
Ratih memperhatikan tangan kiri si pemuda. "Ada noda darah di tangan kirimu,"
katanya kemudian.
Wiro memperhatikan. Memang di punggung tangan
kirinya ada noda darah bekas jilatan lidah srigala tadi. Wiro mengambil
setangkai daun. Dengan daun ini disekanya noda darah itu. Wiro lalu melompat ke
atas kereta. "Pak Tua lekas putar kereta. Kita harus meninggalkan hutan ini cepat-cepat!"
WIRO SABLENG PURNAMA BERDARAH
4 ANDAR Seto dan istrinya sama-sama memandang
pada puteri mereka satu-satunya dengan mata tak Gberkedip dan wajah yang
menyatakan keheranan.
"Banyak keanehan terjadi akhir-akhir ini, Salah satu di antaranya adalah dirimu
Ratih," kata Perwira Tinggi itu pada puterinya.
Ratih Kiranasari hanya bisa menatap wajah kedua orang tuanya sesaat lalu
tundukkan kepala.
Sang ibu memegang lengan anak gadisnya itu lalu berkata. "Anakku, kami berdua
tidak merasa heran jika kau mengatakan telah tertarik pada seorang pemuda.
Memang terus terang kami memang sangat mendambakan agar kau segera menemukan
seorang calon suami. Aku dan ibumu sudah sama lanjut dan ingin melihat kau punya
suami, lalu punya anak, cucu kami. Tapi kalau pemuda itu ternyata seorang pemuda
yang tidak diketahui asal-usul dan juntrungannya, tentu saja kami sangat keberatan anakku. Batalkan saja niatmu untuk mempertemukannya pada kami."
"Jangan-jangan dia seorang pemuda gelandangan!"
kata Gandar Seto pula menimpali ucapan istrinya.
"Saya memang tidak tahu asal usulnya. Namun saya yakin dia bukan gelandangan..."
"Buktinya kau ketemu dia di Hutan Jati Mundu. Dia tidak tinggal di Kotaraja dan
juga bukan orang sekitar sini.
Lalu siapa sebenarnya pemuda yang kau katakan itu?"
"Ayah, dia seorang pemuda yang punya ilmu. Buktinya saya lihat sendiri dia bisa
menjinakkan seekor srigala buas di hutan itu."
Perwira Tinggi itu tertawa gelak-gelak.
"Di Jati Mundu tak ada binatang buas. Apalagi srigala.
Yang kau lihat dijinakkannya itu jangan-jangan hanya seekor kambing hutan!"
"Ayah, saya tidak terlalu bodoh membedakan mana kambing dan mana srigala.
Binatang yang saya lihat diusapnya itu sama sekali tidak bertanduk!"
"Mungkin saja kambing betina! Jelas tidak punya tanduk!" tangkis sang ayah.
"Kalau ayah dan ibu tidak percaya tanyakan saja pada Pak Tua Tejo, kusir kita.
Dia ikut melihat apa yang saya saksikan." Ratih terus berusaha meyakinkan kedua
orang tuanya. "Sudahlah anakku. Taruh pemuda itu punya ilmu
kepandaian dan dia memang bisa menjinakkan binatang buas dalam Hutan Jati Mundu
seperti katamu. Tapi satu hal harus kau ingat, kami orang tuamu tidak akan
menjo- dohkanmu dengan seorang pemuda gelandangan! Kami lebih suka kau jadi seorang
perawan tua seumur hidup daripada punya menantu yang memberi malu dan menurunkan derajat kami!"
Berubahlah paras Ratih Kiranasari mendengar kata-kata ayahnya itu. Kedua bola
matanya tampak seperti membesar dan mengeluarkan sinar yang sesaat sempat
membuat ayah dan ibunya tercekat. Gadis ini bangkit dari kursinya.
"Ayah dan ibu terlalu diperbudak oleh kedudukan, jabatan, tingkatan dan derajat.
Ayah dan ibu lupa! Semua manusia dilahirkan sama, terbuat dari darah dan daging!
Saya tidak meminta ayah ibu menjodohkan saya dengan pemuda yang ayah katakan
sebagai gelandangan itu karena dia juga belum tentu mau pada saya! Dan saya
benar-benar tidak mengerti, ada orang tua yang lebih suka melihat anak gadisnya
menjadi perawan tua hanya karena gila jabatan dan derajat!"
"Ratih!" teriak Gandar Seto keras sekali.
Ratih sendiri saat itu sudah bangkit berdiri lalu bergegas masuk ke dalam kamarnya. Pintu dikuncinya dari dalam. Sunyi sesaat lalu
terdengar isak tangisnya. Gandar Seto dan istrinya berusaha masuk ke dalam kamar
dan mengetuk pintu berulang kali. Tapi Ratih menutupi wajahnya dengan bantal dan menangis lebih keras.
Gandar Seto geleng-gelengkan kepala. Kedua suami istri itu saling pandang
beberapa ketika. Perwira Tinggi ini akhirnya mengangkat bahu dan berkata.
"Biarkan saja.
Nanti kalau dia sudah tenang pasti mengerti sendiri."
"Saya rasa ada baiknya kau menemui kusir kita itu Ppak," berkata sang istri.
Paras Perwira Tinggi itu tampak berubah. Dia menatap istrinya sesaat lalu
berkata. "Nah, nah... nah! Rupanya hatimu mulai mendua. Kalau kau memang ingin
berme- nantukan gelandangan yang kata anakmu itu pandai menjinakkan binatang buas,
silahkan kau temui dan bicara sendiri dengan Tejo!" Habis berkata begitu Gandar
Seto tinggalkan istrinya masuk ke dalam kamar tidur sambil membanting pintu.
Tinggal kini sang istri yang tegak sendiri termangu-mangu di depan pintu. Sesaat
kemudian dia kembali mengetuk pintu kamar anak gadisnya itu. Tapi tetap saja tak
ada jawaban. Perempuan ini akhirnya masuk ke dalam kamar menemui suaminya. "Yang saya takutkan, Pak-ne," katanya, "Jika kita terlalu keras saya khawatir
anak itu akan melarikan diri, minggat dari rumah ini. Kita juga nanti yang akan
malu." "Kalau dia memang mau minggat aku tidak akan
mencarinya. Mungkin itu lebih baik. Aku tidak takut kehilangan anak daripada menerima malu besar. Kalau dia kabur bersama pemuda
gelandangan itu, akan kubunuh kedua-duanya!" kata Gandar Seto dengan wajah keras
membesi. *** Di bagian belakang gedung kediaman Perwira Tinggi
Gandar Seto ada sebuah gudang besar didampingi kandang kuda dan kereta. Tak berapa jauh dari bangunan itu ada sebuah rumah kecil.
Malam terasa dingin. Meski di langit ada bulan purnama empat belas hari namun
hala- man belakang gedung besar itu diselimuti kegelapan.
Dalam kegelapan inilah tampak seseorang mengendap-endap menuju bagian depan
bangunan kecil. Di depan pintu dia berhenti, memandang berkeliling sebentar lalu
mulai mengetuk. Walaupun bagian dalam rumah berada dalam keadaan gelap namun
penghuninya ternyata belum tidur. Begitu pintu diketuk terdengar suara orang
bertanya dari dalam.
"Siapa?"
"Pak Tua Tejo, buka pintu. Cepat! Saya mau bicara...?"
Pintu segera terbuka. "Den Ayu Ratih" Malam-malam begini Den Ayu menemui saya
ada apakah?"
Orang yang datang itu ternyata adalah Ratih Kiranasari, puteri Perwira Tinggi.
Dia langsung masuk ke dalam rumah kecil itu, tegak bersandar di pintu. Ketika
kusir tua Tejo hendak menyalakan lampu minyak, gadis itu cepat mencegah. "Ada apa sebenarnya, Den Ayu?"
Dengan singkat dan cepat Ratih menceritakan pembicaraannya dengan kedua orang tuanya.
"Lalu, mengapa Den Ayu datang ke mari" Apa yang bisa saya lakukan?"
"Pak Tua Tejo tahu di mana pemuda bernama Wiro itu menginap di Kotaraja?"
"Saya tidak tahu. Bukankah sewaktu berpisah kemarin pagi saya dengar Den Ayu
berjanji akan menemuinya lagi di satu tempat?"
"Betul, tapi masih dua hari lagi. Saya perlu bertemu dengan dia sekarang juga.
Saya akan minta dia menemui kedua orang tua saya."
"Itu satu maksud yang baik. Tapi saya sarankan jangan sekarang-sekarang ini.
Mereka lagi bingung. Mungkin juga marah. Beri kesempatan barang beberapa hari.
Kalau mereka sudah tampak biasa-biasa saja baru pemuda itu disuruh datang."
Ratih terdiam. "Maaf Den Ayu. Kalau pemuda bernama Wiro itu dipertemukan dengan kedua orang tua Den Ayu, apa yang harus dilakukannya" Melamar Den
Ayu?" "Siapa meminta dia melamar aku"!"
"Lalu... Ah, saya mungkin tidak mengerti. Katakan saja apa yang harus saya
lakukan," kata kusir tua Tejo.
"Pak Tua harus mulai mencari pemuda itu malam ini juga! Pak Tejo harus menolong
saya!" "Tentu. Pasti saya mau menolong. Tapi mencari pemuda bernama Wiro itu malam-malam begini rasanya satu pekerjaan sia-sia belaka..."
Ratih Kiranasari tampak kecewa.
"Den Ayu, masuk kembali ke dalam gedung. Tidurlah.
Besok kita bicarakan lagi hal ini. Kalau ada penjaga yang sempat melihat Den Ayu
ada di tempat ini saya khawatir mereka bisa salah sangka..."
Tanpa berkata apa-apa gadis itu keluar dari rumah kecil itu. Kusir tua Tejo
memandang sambil menggelengkan kepala. Mengira puteri majikannya itu benar-benar
kembali ke rumah dan tidur, orang tua ini menutupkan pintu kembali. Ternyata Ratih tidak kembali ke dalam rumah. Seperti orang yang berjalan
sambil tidur gadis ini melangkah sepembawa kakinya. Penjaga yang terkantukkantuk di pintu gerbang sama sekali tidak melihat gadis ini lewat di depannya.
*** "Nandang, hari sudah larut malam. Aku khawatir ada ronda dusun melihat kau
berada di sini..." kata perempuan yang duduk sambil mendekap pemuda di
sampingnya. Saat itu mereka duduk di atas sebuah bangku panjang sambil bersandar pada batang
pohon besar di sebelah belakang.
"Halaman ini luas sekali. Banyak pohon dan semak-semaknya. Mata ronda dusun tak
akan dapat memandang sampai ke sini. Lagi pula lampu di dalam rumah sudah kau
matikan. Kalaupun ada yang memperhatikan pasti mereka mengira kau sudah tidur,
Sarti." Menjawab pemuda yang mendekap tubuh langsing Sarti.
"Sinar bulan purnama cukup terang. Saya khawatir Nandang..."
"Ah, apa yang harus dikhawatirkan. Bukankah kau sendiri tadi yang meminta agar
kita duduk bermesraan di tempat ini sambil memandang bulan purnama empat belas
hari yang indah itu?"
Sarti terdiam. Untuk kesekian kalinya dirasakannya jari-jari tangan pemuda itu
meraba dan memeras lembut dadanya hingga tubuhnya kembali menggeletar dan
darahnya menjadi panas.
"Lagi pula, Sarti..." kata si pemuda berbisik ke telinga Sarti. "Kau tidak
mengajakku masuk ke dalam rumah kali ini. Aku tidak akan pergi sebelum kita
melewati malam yang begini indah seperti malam-malam sebelumnya."
"Nandang, aku khawatir suamiku akan kembali malam ini. Kalau dia sampai
menemukan kita di dalam kamar, di atas tempat tidur..."
"Aku yakin Sentot pasti tidak akan pulang malam ini.
Paling cepat besok pagi. Aku tahu banyak yang harus diurusnya di Wates. Ajak aku
ke kamarmu Sarti..."
"Jangan malam ini Nandang. Waktu kita masih banyak."
"Kalau begitu kita lakukan di sini saja" Lihat bulan purnama itu. Indah
sekali..."
"Jangan Nandang..." menolak Sarti tapi dia tidak berusaha menepiskan sepasang tangan si pemuda yang mulai melucuti pakaiannya.
"Kita tidak pernah bermesraan di tempat terbuka seperti ini. Apalagi ada
rembulan yang begitu indah. Tidakkah kau merasakan dorongan yang meluap-luap dalam tubuhku, kekasihku...?" bisik
Nandang sambil menciumi telinga Sarti hingga perempuan muda ini menggelinyang.
Saat itu kebayanya sudah lepas dari tubuhnya. Angin malam bertiup dingin tapi
Sarti merasakan badannya seperti dikobari api. Dari mulutnya terdengar suara
sesalan halus. "Aku menyesal dan akan menderita seumur hidup mengapa ayah
mengawinkan aku dengan Sentot yang hampir dua puluh tahun lebih tua dariku.
Setan Pantai Timur 1 Pendekar Naga Putih 28 Laba Laba Hitam Pendekar Panji Sakti 21

Cari Blog Ini