Ceritasilat Novel Online

Purnama Berdarah 3

Wiro Sableng 072 Purnama Berdarah Bagian 3


terkena pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi yang tadi
dilepaskan si gadis. Dengan jengkel gadis itu memutar tubuh hendak melanjutkan
perjalanan. Tapi dia jadi melengak kaget ketika tiba-tiba di hadapannya terdengar suara menggemuruh seperti deburan ombak. Lalu entah dari mana asal
muasalnya tahu-tahu di hadapan si gadis berdiri seorang pemuda berdestar hitam.
Wajahnya tampan tapi kedua telinganya lancip mencuat ke atas serta berbulu
seperti telinga seekor anjing hutan atau srigala.
Sepasang bola matanya bercahaya biru dalam kegelapan malam. Sesaat si gadis
tampak tercekat. Namun dia segera dapat menguasai dirinya. Dalam hati dia
membatin. "Seperti perjanjian yang dikatakan Eyang Srigala Karang ternyata dia memang
datang... Bagaimana aku menolaknya..." "Gadis bernama Kemala. Kau pernah melihat diriku.
Apa kau masih mengenali...?"
"Aku mengenali," jawab si gadis yang ternyata Kemala adanya.
"Katakan siapa diriku!" Pemuda bertelinga srigala dan bermata biru memerintah.
"Kau Datuk Putra. Pendatang dari dunia gelap. Penguasa rimba belantara alam gaib hitam..."
"Bagus! Kau ternyata tidak lupa siapa diriku. Tapi apakah kau juga ingat
perjanjian yang kau buat dengan Eyang Srigala Karang?"
Kemala terdiam.
"Jawab pertanyaanku Kemala!"
"Sebetulnya aku tidak punya perjanjian apa-apa dengan orang tua itu. Tapi dia
memang mengatakan sesuatu tentang dirimu. Bahwa kau kelak akan muncul kalau aku
sudah melakukan tiga kali pembunuhan..."
"Memang betul begitu. Tapi apa kau juga ingat apa yang harus kau lakukan
untukku?" Kembali Kemala tak bisa menjawab.
Pemuda bermata biru yang disebut dengan nama Datuk Putra tersenyum. "Perjanjian
yang kau buat dengan Eyang Srigala Karang mengikat dirimu dengan diriku.
Sekarang ikuti aku..." katanya. Lalu membalikkan diri dan melangkah pergi.
Kemala memperhatikan.
Gadis ini terkejut ketika dia melihat bahwa Datuk Putra bukan melangkah di rimba
belantara atau di satu kawasan tepi Kotaraja yang penuh semak belukar. Tapi
pemuda bermata biru itu dilihatnya melangkah menaiki tangga panjang yang
berlapiskan permadani biru indah sekali. Di kiri kanan jalan berderet bungabunga aneka warna yang menyebar bau harum semerbak. Datuk Putra melangkah
perlahan, menaiki anak tangga satu demi satu. Di depan sana kelihatan sebuah
bangunan besar berbentuk istana, terang benderang bermandikan cahaya putih
kebiruan, hijau dan merah lembayung.
Kemala mengedipkan kedua matanya berulang kali.
Bahkan kemudian mengusapnya. Apa yang dilihatnya memang satu kenyataan. Dia
tidak bermimpi. Dan entah apa yang mendorongnya, gadis ini menggerakkan kedua
kakinya. Selangkah demi selangkah mengikuti Datuk Putra menaiki tangga menuju
pirttu yang terbuka dari bangunan berbentuk istana.
Di depan pintu Datuk Putra tampak menghentikan
langkahnya lalu memutar tubuh, berpaling ke arah Kemala yang saat itu baru saja
menjejakkan kedua kakinya di anak tangga teratas.
"Kekasihku, masuklah..." terdengar Datuk Putra berkata sambil membuat gerakan tangan yang mempersilahkan Kemala masuk ke dalam
istana. Otak si gadis walaupun sangat terpukau dengan suasana sekelilingnya tapi masih bisa bekerja baik. "Kekasihku..." Dia memanggil aku kekasih..." Apa sebenarnya yang hendak dilakukannya
padaku?" Lalu kembali Kemala ingat akan ucapan Eyang Srigala Karang beberapa
bulan lalu. "Setiap setelah tiga kali melakukan pembunuhan pada tiga malam purnama, seorang
pemuda yang memiliki sepasang telinga panjang ke atas seperti srigala akan
muncul di kamar tidurmu. Kau harus melayani pemuda ini, memenuhi apa yang dimintanya termasuk bermesraan dengannya... kau tak boleh menolak. Tak layak membantah. Itu syarat yang tidak bisa
dirobah!" "Masuklah..." Datuk Putra kembali mempersilahkan seraya membungkuk dengan sikap
hormat seorang pangeran mempersilahkan tuan puteri. Perlahan-lahan Kemala melangkah memasuki
pintu besar istana. Datuk Putra mengikutinya dari belakang. Ruangan besar di
balik pintu itu ternyata adalah sebuah kamar yang luar biasa indahnya. Di lantai
terhampar permadani tebal dan lembut.
Di dinding tirai aneka warna menghias. Di tengah ruangan terletak sebuah tempat
tidur yang rangka-rangkanya berwarna kuning berkilauan seolah terbuat dari emas.
Bau ruangan itu benar-benar luar biasa harumnya.
"Kau harus melayani pemuda ini, memenuhi apa yang dimintanya termasuk bermesraan
dengannya..." Kembali terngiang suara Eyang Srigala Karang di kedua telinga
Kemala. Bulu kuduk gadis ini jadi merinding. Dia membalikkan diri hendak menuju ke pintu dan segera meninggalkan tempat itu. Namun tiba-tiba saja dua daun pintu besar itu bergerak dan
menutup dengan cepat, menimbulkan suara keras.
"Kemala, tak ada yang perlu ditakutkan. Menurut perjanjian seharusnya aku datang
ke kamar tidurmu.
Tetapi sekarang kita malah berada di suatu tempat yang maha indah. Mengapa harus
takut" Jangan sia-siakan waktu. Kita punya kesempatan bersenang-senang sampai
sebelum matahari terbit."
"Datuk Putra, apa yang hendak kau lakukan?"
"Ah, merdu sekali suaramu menyebut namaku." kata pemuda bertelinga srigala dan
bermata biru itu. "Kita kemari dan berada di tempat ini untuk memenuhi perjanjian.
Nah mendekatlah padaku agar kita bisa bermesraan..."
"Aku tidak sudi..." kata Kemala seraya melangkah mundur mendekati pintu.
Datuk Putra tersenyum. Kedua tangannya bergerak menanggalkan kancing-kancing
pakaiannya. Dia menatap pada Kemala dengan pandangan mesra lalu berkata.
"Kekasihku, ikuti apa yang aku lakukan. Buka pakaianmu."
"Tidak...!" jawab Kemala. Di hadapannya dilihatnya Datuk Putra benar-benar
membuka seluruh pakaiannya.
Sesaat kemudian selagi dia berada dalam keadaan takut dan jijik menyaksikan
pemandangan di depannya, tiba-tiba Datuk Putra melompat ke arahnya. Dari
tenggorokkannya terdengar suara menggembor seperti suara srigala. Sekali terkam
saja tubuh Kemala sudah berada dalam pelukannya. "Tidak! Lepaskan!" teriak si gadis. Kedua tangan Datuk Putra bergerak.
Kemala menjerit. Entah bagaimana kedua tangan pemuda itu tahu-tahu berhasil
menanggalkan pakaian atasnya hingga Kemala kini berada dalam keadaan polos di sebelah atas. Sepasang tangan Datuk Putra kini bergerak ke bawah.
Saat itu rasa takut Kemala berubah menjadi amarah. Gadis ini gerakkan tubuhnya.
Dua tangannya ikut bekerja.
Tubuh Datuk Putra tiba-tiba mental ke atas. Selagi tubuh pemuda ini mengapung
jatuh, Kemala gerakkan tangan kanannya. Serangkum angin menderu dahsyat
menghantam ke arah dada Datuk Putra. Pemuda bermata biru ini membuat gerakan
jungkir balik di udara. Lalu tubuhnya melesat ke kiri. Sekali lagi tubuhnya
berputar lalu di lain kejap pemuda ini sudah tegak di sudut kamar yang luas itu.
Dia berpaling ke atas ketika terdengar suara bergemuruh. Pukulan tangan kosong yang dilepaskan Kemala menghantam tembok ruangan
sebelah atas kiri hingga hancur berantakan dan kini kelihatan sebuah lobang di
dinding itu. "Kekasihku, tidak kusangka kau mempunyai ilmu
kepandaian begitu tinggi. Tentunya akan lebih sedap bermesraan dengan orang
secantik dan sepandaimu ini..."
Sambil berkata begitu Datuk Putra melangkah mendekati Kemala. Wajahnya tampak begitu mesra. Tapi begitu dia hanya satu langkah
saja lagi dari hadapan si gadis tiba-tiba dari mulutnya keluar suara lolongan
dahsyat. Bersamaan dengan itu luar biasa cepatnya tangan kanannya melesat menghantam ke batok
kepala Kemala! "Manusia ingkar janji! Pecah kepalamu!" bentak Datuk Putra.
Suara lolongan yang dahsyat membuat Kemala sesaat jadi tercekat. Untung gadis
ini cepat menguasai diri dan sadar bahaya maut yang mengancam. Dengan cepat
tangan kirinya dipukulkan melintang ke atas.
Bukkk! Dua lengan saling beradu sampai menimbulkan suara keras. Kemala merasakan lengan
kirinya seperti dipukul dengan besi. Sesaat tubuhnya tergontai-gontai.
Sebaliknya Datuk Putra tampak menyeringai. Tubuh atau lengannya tidak bergeming
sedikit pun. Namun tiba-tiba seringainya lenyap seperti direnggut setan. Lengan
kanannya yang tadi beradu keras dengan lengan kiri Kemala tiba-tiba terasa panas
seperti disengat bara api. Sengatan ini menjalar ke seluruh tubuhnya dengan
cepat, membuat getaran yang menyakitkan laksana disayat pisau berapi. Datuk
Putra cepat kerahkan tenaga dalam untuk melindungi diri dan menumpas rasa sakit.
Namun baru saja dia hampir berhasil menguasai diri tiba-tiba tinju kanan Kemala menderu menghantam lambungnya.
Datuk Putra menjerit keras. Tubuhnya terlontar ke belakang, menghantam dinding
ruangan dengan keras.
"Gadis iblis!" desis Datuk Putra seraya bangkit berdiri.
"Kau bukan saja mengingkari janji, tapi berani berbuat kurang ajar. Melakukan
kesalahan besar!" Datuk Putra melolong keras. Kedua tangannya diangkat ke atas.
Ter- nyata kedua tangan itu telah berubah menjadi dua kaki depan srigala. Kukukukunya mencuat keluar mengerikan.
"Kau akan mati dengan tubuh tercabik-cabik. Seperti kau membunuh korbankorbanmu!" Sekali lagi Datuk Putra melolong. Wajahnya yang tampan mendadak
berubah menjadi seperti seekor srigala. Mulutnya membuka lebar.
Lidahnya terjulur dan gigi-giginya tampak besar runcing, taringnya mencuat
mengerikan. "Makhluk iblis! Kau kira aku takut padamu!" hardik Kemala. Begitu Datuk Putra
yang kepala dan kakinya telah berubah jadi srigala itu mengembor dan
menerkamnya, si gadis angkat kedua tangannya ke atas lalu serentak didorongkan ke depan.
Wuttt! Wuuuttt!
Dua larik gelombang angin yang mengeluarkan sinar hitam keluar dari telapak
tangan Kemala kiri kanan. Tubuh Datuk Putra terangkat ke atas begitu dua larik
cahaya hitam itu menghantam tubuhnya. Dari mulutnya keluar suara raungan keras
lalu tampak ada cairan merah mengalir dari sela-sela lidah dan giginya! Makhluk manusia berkepala srigala ini
jatuh terkapar di lantai. Hanya sesaat karena di lain kejap dia cepat berdiri.
Kepala dan kedua tangannya kembali ke bentuk semula.
"Gadis laknat! Aku tidak main-main lagi. Serahkan dirimu atau kau mati saat ini
juga!" berkata Datuk Putra.
Daun telinganya yang seperti srigala bergerak-gerak.
"Aku mau lihat apa kau benar-benar bisa membunuhku!" jawab Kemala lalu gadis ini tertawa panjang. Mukanya yang cantik
membersitkan sinar bengis.
"Kalau begitu terimalah kematianmu saat ini juga!" kata Datuk Putra. Kedua
matanya yang biru memandang tak berkedip. Ditujukan tepat-tepat pada Kemala.
Tiba-tiba cahaya biru pada kedua bola matanya menjadi terang benderang. Di lain
saat dua larik sinar biru keluar menderu dari sepasang mata pemuda dari alam
gaib itu. Wusss! Wusss! Kemala sempat terpekik. Lalu cepat menghindar.
Dua larik sinar biru menderu dan menghantam Kemala.
Masih setengah jalan gadis ini sudah dapat merasakan hawa sangat panas yang
keluar dari kedua sinar angker itu.
Didahului oleh satu bentakan garang tubuh Kemala terangkat ke atas lalu seperti
melayang tubuh ini berkelebat ke kiri. Dua larik sinar dahsyat menderu lewat di samping kepala si gadis, terus menghantam dinding ruangan besar. Kain tirai menjadi
hangus dan api mulai berkobar di ruangan itu. Di belakang kain tirai, dinding
ruangan hancur berkeping-keping.
"Kepandaianmu tinggi, ilmumu bagus!" memuji Kemala.
"Sayang kau kurang cepat!" Lalu gadis ini balas menghantam dengan tangan kanannya. Serangkum cahaya hitam yang membersitkan bau
menggidikkan menderu menghantam Datuk Putra. Pemuda ini terbanting ke dinding.
Tubuhnya sebelah kanan jelas tampak hangus, namun tak ada bau daging terbakar
pertanda dia memang bukan makhluk manusia adanya! Tiba-tiba dia menggerang lalu
berdiri sambil memandang beringas ke arah Kemala.
"Kau kira aku sudah kalah" Kau kira kau bisa membunuh diriku" Ha... ha... ha... Nyawamu ada di tanganku Kemala!" Selangkah demi
selangkah Datuk Putra maju mendekati Kemala.
"Makhluk iblis keparat!" maki Kemala dalam hati. Lalu dia berbisik. "Datuk,
Datuk, Datuk datanglah cepat. Kau kutugaskan untuk membunuh makhluk ini!"
Tiba-tiba ada suara menggelegar di atas atap bangunan. Menyusul menerobosnya satu sosok panjang berwarna coklat. Sesaat kemudian seekor srigala besar yang kuku-kuku kaki depan dan
mulutnya berselemotan darah mendekam di samping Kemala. Sepasang matanya
mengeluarkan sinar merah laksana bara api.
"Datuk, bunuh makhluk di depanmu! Cabik-cabik
tubuhnya!"
Srigala yang dipanggil dengan nama Datuk itu menggereng keras. Punggungnya naik ke atas. Kedua kakinya dijulurkan ke depan sedang
kepalanya merunduk. Binatang ini siap menerkam Datuk Putra.
Melihat hal ini Datuk Putra cepat membentak.
"Datuk! Kau berada di bawah kekuasaan Eyang Srigala Karang. Orang tua itu berada
dalam kekuasaanku! Kau haras tunduk padaku! Jangan dengar perintah gadis keparat
itu!" Datuk Srigala menggereng. Binatang dari alam gaib ini tampak seperti bimbang.
Melihat hal ini Kemala cepat berkata.
"Datuk! Kau berada di bawah kekuasaanku! Tidak ada yang berhak memerintahmu
selain aku! Jalankan apa yang aku katakan! Bunuh Datuk Putra!"
Mendengar ini Sang Datuk kembali keluarkan suara menggereng. Lalu melolong
panjang. Sesaat kemudian tubuhnya melompat ke arah Datuk Putra.
"Datuk! Jangan! Pergi! Bunuh gadis itu!" teriak Datuk Putra. Tapi tak ada
gunanya. Datuk srigala tidak patuh padanya. Sesuai perintah Kemala binatang
jejadian itu mulai mencabik dan mengoyak Datuk Putra mulai dari kepala sampai ke
kaki. Hanya dalam waktu beberapa kejapan saja tubuh pemuda itu sudah hancur
luluh dikoyak dan dicabik Datuk srigala. Satu keanehan dilihat Kemala.
Walau tubuh Datuk Putra cabik dan koyak, namun tidak ada setetes darah pun
keluar dari luka-luka mengerikan di tubuhnya itu!
Dari mulut Datuk Putra terdengar suara seperti air mendidih lalu bersamaan
dengan lenyapnya suara itu terlihat kepulan asap membungkus sosoknya. Setelah
itu tubuh yang dibungkus asap itu terangkat ke atas, melayang di udara dan
lenyap lewat dinding kamar yang jebol.
Bersamaan dengan lenyapnya tubuh Datuk Putra terjadi lagi satu keanehan.
Bangunan besar berupa istana megah itu tiba-tiba saja lenyap. Kemala dapatkan
dirinya berada di satu daerah liar penuh semak belukar di kawasan timur
Kotaraja. "Eh, aku berada di tempat sebelumnya aku tadi berada..." kata gadis itu dalam hati. Dia menoleh ke samping ketika mendengar suara
gerengan halus. Dilihatnya Datuk Srigala mendekam di tanah di sampingnya. Kemala
meng- usap kepala binatang ini. "Datuk, kini tak ada lagi yang menguasai kita.
Kotaraja berada dalam genggaman kita.
Kerajaan berada dalam kekuasaan kita. Bahkan tanah Jawa ini! Kita bisa berbuat
sesuka apa yang kita maui. Aku bisa mendapatkan pemuda mana saja yang aku sukai.
Namun... Kau tahu Datuk, hanya ada satu pemuda yang mengikat lubuk hatiku... Di
manakah dia berada saat ini...?" Kemala terdiam sejurus.
Datuk Srigala melunjurkan kepalanya di atas kedua kaki depannya lalu menggereng
halus. Kemala kembali mengusap kepala binatang ini. "Kau boleh pergi sekarang
Datuk. Ingat, besok malam bulan purnama hari empat belas kau akan kupanggil
lagi. Korban kita sekali ini bukan manusia sembarangan. Seorang pangeran yang
main gila dengan istri seorang perajurit!"


Wiro Sableng 072 Purnama Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Datuk Srigala kedip-kedipkan matanya. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, lalu
sekali berkelebat binatang ini pun lenyap di kegelapan malam.
WIRO SABLENG PURNAMA BERDARAH
11 EDUNG kediaman Perwira Tinggi Gandar Seto
diselimuti kegelapan dan kesunyian. Di pintu
Ggerbang memang ada tiga orang pengawal berjaga-jaga. Namun sikap mereka santaisantai saja dan sesekali terdengar suara gelak tawa ketiganya. Dengan mudah Wiro
melompati tembok sam-ping yang tidak seberapa tinggi.
Begitu memasuki halaman dalam dia cepat menyelinap di antara pohon-pohon pisang,
lalu bergerak mendekati sebuah jendela. Dia tahu betul ini adalah jendela kamar
tidur Ratih Kiranasari. Sesaat Wiro hendak mengetuk jendela itu, tahu-tahu entah
dari mana datangnya, muncul saja dua orang pengawal yang rupanya sedang
melakukan perondaan.
"Pencuri tengik! Berani kau hendak mencuri di rumah Perwira Tinggi Kerajaan"!"
Salah seorang dari dua pengawal membentak.
Kawannya tanpa banyak menunggu langsung menghunjamkan ujung golok ke perut Wiro. "Jebol lambungmu pencuri tak tahu
diuntung!"
Murid Eyang Sinto Gendeng keluarkan suara siulan dari mulutnya. Tangannya kiri
kanan bergerak. Saat itu juga dua pengawal merasakan tubuh mereka menjadi kaku.
Sekujur badan tak kuasa digerakkan lagi. Mulutpun seperti terkunci tak mampu
mengeluarkan suara lagi. Keduanya telah kena ditotok oleh sang pendekar. Wiro
memandang kedua orang pengawal itu dengan tersenyum sambil meletakkan telunjuk tangan kirinya di atas bibir.
"Kalian berdua tenang-tenang saja di sini. Aku tak begitu suka diganggu." kata
Wiro pula lalu kembali mendekati jendela. Sekali lagi dia hendak mengetuk, namun sekali lagi pula gerakannya
tertahan. Dari samping terdengar suara seseorang menegur.
"Kalau Den Ayu Ratih Kiranasari yang kau cari, dia tidak ada dalam kamar itu..."
Wiro berpaling. Yang menegur ternyata Tejo. Kusir tua itu berdiri di hadapannya.
Wiro ingat akan perbuatan kusir tua ini beberapa waktu yang lalu hingga dia
terjebak dan hampir tertangkap oleh Perwira Tinggi Gandar Seto kalau tidak
ditolong oleh Kemala si gadis misterius. Mengingat hal itu ingin sekali Wiro
menampar orang tua ini.
"Sekali ini apakah kau bicara sungguhan Pak Tua" Kau menjebakku beberapa waktu
lalu. Ingat?"
"Saya bekerja mencari makan di sini, anak muda. Saya terpaksa melakukan hal itu
karena diperintahkan oleh majikan saya Perwira Tinggi Gandar Seto..."
"Apakah dia juga yang memerintahkan untuk mengatakan bahwa anak gadisnya tidak ada di kamarnya malam-malam buta begini?" tanya
Wiro. "Sekali ini saya tidak bicara dusta, anak muda. Di rumah hanya ada istri majikan
saya saja seorang diri. Para pembantu sudah tidur di kamar masing-masing."
"Hem... sedang ke mana majikanmu Pak Tua?"
"Saya tidak tahu ke mana. Tapi tadi begitu malam tiba saya lihat Perwira Tinggi
Gandar Seto dijemput oleh beberapa orang. Dua di antara mereka adalah nenek berbibir sumbing dan kakek
berkepala botak merah. Lalu ada seorang kakek tinggi kurus yang selalu
mempermainkan sebuah bola besi yang ada rantainya dan bergerigi..."
"Yang bermulut sumbing itu pastilah Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut dan kakek
botak niscaya si Bayangan Api."
"Saya tidak tahu jelas gelaran kedua orang itu. Namun saya rasa memang mereka."
"Ke mana orang-orang itu pergi?" tanya Wiro.
"Saya tidak tahu pasti. Tapi saya mendengar mereka menyebut-nyebut nama seorang
pangeran..."
"Pangeran" Pangeran mana" Pangeran siapa?"
"Kalau saya tidak salah dengar mereka menyebut nama Pangeran Rono Kuworo. Mereka
kemudian meninggalkan gedung ini, mengambil jalan ke arah barat."
"Lalu apakah Den Ayu Ratih Kiranasari juga ikut bersama rombongan orang-orang
itu?" Kusir tua Tejo menggeleng. "Inilah yang saya tidak mengerti. Saya hanya melihat
secara kebetulan. Ketika hendak keluar minta rokok pada pengawal, saya lihat Den
Ayu Ratih melompat keluar dari jendela. Sebetulnya saya hendak menegur apa yang
tengah dilakukannya. Tapi dia keburu berlalu. Jangan-jangan dia menyelinap
keluar untuk mencarimu, anak muda..."
Wiro jadi garuk-garuk kepala. "Apa yang harus kulakukan sekarang" Ke mana harus mencari gadis itu?" pikir murid Sinto Gendeng dalam
hati. Akhirnya ditinggalkannya tempat itu dan berlari menuju ke barat.
*** Rumah kayu di tengah ladang itu diselimuti kegelapan.
Cahaya bulan purnama empat belas hari yang cukup terang tidak mampu menerobos
pohon beringin berdaun lebat yang tumbuh di sebelah rumah.
Di tempat gelap, di balik serumpunan semak belukar empat orang mendekam tanpa
bergerak tanpa bersuara.
Setelah berada di tempat itu cukup lama, salah seorang dari mereka mulai resah
dan bosan berdiam diri terus-terusan. Dia berbisik, "Mungkin sekali orang yang
kita tunggu tidak datang malam ini..."
Orang di sebelahnya balas berbisik. "Aku yakin dia akan datang. Mungkin sebentar
lagi. Soalnya seorang prajuritnya mendengar jelas pesan yang disampaikan lewat
seorang temannya."
"Kita tunggu saja. Jika pembunuh keji itu memang masih gentayangan di sekitar
sini, pasti dia akan muncul melakukan niat terkutuknya..."
"Berhenti berbicara. Aku mendengar suara kaki kuda mendatangi!"
Orang-orang yang tadi bicara segera menutup mulut.
Memang betul. Saat itu terdengar suara derap kaki kuda mendatangi dari kejauhan.
Tak lama kemudian di balik sebatang pohon cempedak hutan kelihatan muncul
sesosok tubuh berpakaian hitam bersama kuda tunggangannya. Di bawah pohon orang ini berhenti sebentar. Kelihatannya dia seperti tengah memperhatikan suasana.
Ketika dirasakannya semua serba aman, maka dia turun dari kuda lalu menuntun
binatang itu ke arah rumah kayu.
Di satu tempat dia menambatkan kudanya pada sebatang pohon kecil lalu melangkah
ke bagian belakang rumah.
Perlahan-lahan dia mengetuk pintu belakang.
"Pangeran...?"
Dari dalam rumah terdengar suara perempuan perlahan sekali.
"Betul. Lekas bukakan pintu..."
"Tunggu, saya akan nyalakan lampu minyak dulu."
"Jangan bodoh. Jangan nyalakan lampu. Buka saja pintunya," kata lelaki di pintu
belakang. Pintupun kemudian terbuka. Lelaki tadi menyelinap lenyap ke dalam rumah.
"Gelap sekali Pangeran, bukankah lebih baik menyalakan lampu minyak?" Parempuan di dalam rumah membuka mulut. "Sebenarnya aku tidak suka ada penerangan di dalam sini. Tapi baiklah. Aku sudah
lama tidak melihat kecantikan parasmu dan keindahan tubuhmu..."
Lalu sebuah lampu minyak dinyalakan. Sinarnya kecil dan redup sekali. Tetapi
orang yang dipanggil dengan sebutan pangeran sudah dapat melihat jelas perempuan
di hadapannya. Langsung saja dia memeluk dan menciumi perempuan itu.
"Aku hampir gila tidak melihatmu sekian lama. Banyak sekali pekerjaanku di
Kotaraja..."
"Bagaimana dengan suami saya, Pangeran?"
"Kau tak usah khawatir. Sesuai permintaanmu, usulanku menaikkan pangkatnya jadi prajurit kepala telah dikabulkan Pimpinan Pasukan di Kotaraja..."
"Saya mengucapkan terima kasih Pangeran. Saya
sudah menyiapkan ranjang untuk kita berdua..."
"Bagus. Kau seharusnya pantas menjadi selir seorang pangeran sepertiku. Bukan istri
seorang prajurit..."
"Tapi bukankah saya sudah bersedia untuk menjadi milik Pangeran selama-lamanya?"
Perempuan itu membawa masuk lampu minyak ke dalam kamar. Lelaki tadi mengikutinya. Begitu masuk
ke dalam kamar lelaki ini terus saja merebahkan diri di atas ranjang. Setelah
me- nyantelkan lampu minyak di dinding kamar perempuan itu berdiri di tepi ranjang,
Satu demi satu dia menanggalkan pakaiannya. Terakhir sekali dia membuka gelungan
sang- gulnya hingga rambutnya yang panjang hitam tergerai lepas di depan dadanya.
Melihat kepada raut wajah dan bentuk tubuh perempuan ini paling tinggi usianya
sekitar duapuluh tahun dan belum pernah melahirkan. Sedang orang yang dipanggil
dengan sebutan pangeran berusia hampir enampuluh. Rambut dan janggut serta kumisnya telah putih.
"Mulailah Arini..." bisik pangeran itu seraya mengusap tubuh perempuan yang
tegak di samping tempat tidur.
Dari mulut perempuan bernama Arini tiba-tiba terdengar suara nyanyian. Nyanyian itu terdengar merdu walaupun perlahan. Sambil menyanyi dia menggerakkan tangan, kaki dan pinggul dan
sesekali dadanya seperti seorang penari. Kedua mata sang Pangeran terbuka lebar.
Dia sudah berulang kali menyaksikan hal ini. Tapi dia tak pernah bosan dan
inilah yang membuatnya selalu tergila-gila pada perempuan muda istri seorang
prajurit yang malam itu tengah menjalankan tugas di Kotaraja. Sambil mendengar
suara nyanyian halus dan tarian yang membakar darahnya itu, sang Pangeran mulai menanggalkan pakaiannya.
Di luar rumah, di balik semak belukar. Terdengar suara rutuk perlahan. "Memang
gila! Tidak kusangka Pangeran Rono Kuworo begini mesum pekertinya. Isterinya
sudah tiga. Gundiknya tidak terbilang. Masih saja dia menyempatkan diri menggauli isteri orang lain..."
"Pangeran itu mungkin tidak salah..." jawab kawan di sebelahnya.
"Tidak salah bagaimana maksudmu" Jelas dia melakukan perbuatan kotor! Kau kira apa yang dikerjakannya malam-malam begini
mendatangi perempuan itu"!"
"Saya bilang Pangeran itu tidak salah. Yang salah adalah istri prajurit itu.
Mengapa dia terlalu cantik dan menggiurkan begitu rupa..."
"Sudahlah, kenapa bertengkar! Kalian kira kita ini berada di tempat apa?" Seorang di antara mereka menengahi.
"Semua diam. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi.
Kuharap semua sesuai dengan rencana..."
Baru saja orang yang satu ini berkata begitu tiba-tiba di kejauhan terdengar
suara lolongan srigala, panjang menggidikkan. Empat orang di balik semak belukar sempat tercekat. Salah seorang dari
mereka berbisik. "Makhluk pembunuh itu tidak berapa jauh dari sini. Kita tunggu
saja dan bersiaplah."
Di atas sebatang pohon tak jauh dari rumah kayu di mana Pangeran Rono Kuworo dan
Arini tengah bergelung-gelung di atas tempat tidur, tanpa setahu empat orang
yang sembunyi di balik semak belukar, dalam kegelapan mendekam seorang
berpakaian serba putih. Seperti empat orang yang ada di balik semak itu, diapun
telah sempat menyaksikan apa yang terjadi di bawah sana. Lalu dia mengambil
sikap menunggu dan tersentak ketika telinganya mendengar suara lolongan srigala di kejauhan.
Di atas sebatang pohon lain, diam-diam mendekam pula sesosok tubuh gemuk luar
biasa sambil mengipasi wajahnya yang selalu berkeringatan dengan sehelai kipas
lipat dari kertas. Mulutnya tidak berhenti komat kamit menggeragot sebuah mangga
hutan. Begitu mangga habis dimakannya kini tinggal bijinya. Sambil cengar cengir
seorang diri di atas pohon, si gendut yang mengenakan baju serta celana terbalik
ini dan memakai sebuah peci hitam kupluk kebesaran di kepalanya memandang berkeliling. Dia menimbang-nimbang apakah akan melemparkan biji mangga itu pada salah
seorang yang bersembunyi di balik semak belukar di bawah sana atau pada pemuda
berpakaian putih gondrong yang mendekam di atas pohon dekat rumah kayu. Si
gendut ini akhirnya memilih orang yang di atas pohon. Tangannya yang memegang
biji mang- ga bergerak melempar. Gerak lemparannya seperti acuh tak acuh saja. Tapi begitu
melesat biji mangga itu laksana terbang menderu ke arah sasaran. Orang di atas
pohon terkejut dan mengeluh kesakitan ketika biji mangga menghantam keningnya. Dia hendak menyumpah panjang
pendek tapi cepat menutup mulutnya. Padahal empat orang itu di bawah sana sudah
sempat mendengar
keluhannya tadi.
"Bangsat sialan! Siapa yang menyambit keningku!"
Di bawah sana, di balik semak belukar empat orang yang bersembunyi saling
pandang. "Aku mendengar suara seperti orang mengeluh kesakitan..."
"Betul," menyahuti kawan di sebelahnya. "Datangnya dari atas sana..." Dia lalu
menunjuk ke atas pohon besar di belakangnya.
"Diam semua! Tidak kalian dengar suara lolongan makhluk hantu dan derap kaki
kuda yang semakin mendekat"!" ujar lelaki ke tiga yang memegang bola besi.
Dalam kegelapan malam tiba-tiba terasa ada angin menderu. Sesaat kemudian dekat
rumah kayu kelihatan dua sosok makhluk. Sinar bulan purnama tidak menyentuh
sosok tubuh itu. Namun empat orang yang ada di balik semak belukar dan dua orang
yang mendekam di atas pohon dapat melihat dengan jelas siapa adanya makhlukmakhluk itu. "Lihat!" bisik salah seorang dari empat orang di balik semak-semak. Suaranya
bergetar. "Astaga..." Menyahuti yang lain. "Aku belum buta. Aku mengenali sekali.
Perempuan muda itu adalah orang yang tempo hari menolong Pendekar 212 ketika
hendak ku- tabas batang lehernya! Jadi dia rupanya biang bahalanya..."
"Dia membawa seekor srigala besar bermata seperti bara api. Mengerikan. Pasti
binatang itu yang jadi suruhannya dalam melakukan pembunuhan!"
Di atas pohon orang berpakaian putih seperti tak percaya akan pemandangannya.
"Kemala... Ah! Kalau tidak melihat sendiri tidak percaya aku! Dia datang bersama
binatang itu. Dia pemilik srigala penyebar maut itu...?"
Di bawah sana gadis yang tegak di samping srigala besar dengan mulut dan kaki
depan penuh lumuran darah sesaat memandang berkeliling. Tidak seperti biasanya
kali ini dia tiba-tiba saja merasa tidak enak.
"Seperti ada makhluk-makhluk lain di sekitar sini..."
Katanya dalam hati. Dia memandang lagi ke sekitarnya.
Tak kelihatan apa atau siapapun. Lalu tangan kanannya mengusap kepala srigala
itu. "Datuk, jalankan tugasmu. Bunuh kedua manusia
mesum di dalam rumah itu!"
Srigala besar itu menggereng. Kepalanya mendongak ke atas. Mulutnya terbuka dan
lidahnya menjulur. Sepasang matanya membersitkan sinar merahnya bara api yang angker sekali. Tiba-tiba
binatang ini menggereng sekali lagi.
Lebih keras. Lalu tubuhnya melesat ke depan. Dinding rumah yang terbuat dari
kayu laksana sehelai kertas tipis saja. Hancur berantakan kena seruduknya.
Sesaat kemu- dian di dalam rumah terdengar pekik jerit Pangeran Rono Kuworo dan Arini
mengerikan sekali. Lalu sunyi!
Dari dinding rumah yang jebol kelihatan keluar srigala tadi. Moncong dan kedua
kaki depannya kelihatan berlumur darah mengerikan. Binatang ini berhenti di samping si gadis.
"Bagus Datuk. Kau menjalankan tugasmu dengan baik.
Sekarang mari kita tinggalkan tempat ini!" kata si gadis pula.
Pada saat itulah empat orang yang bersembunyi di balik semak belukar, kalau tadi
mereka seolah terpukau oleh apa yang terjadi, kini mereka seperti disentakkan
dan sama-sama melompat keluar!
"Makhluk-makhluk iblis! Kali ini kalian tidak bisa lolos lagi!" Satu dari empat
orang itu membentak.
Srigala besar menggereng. Si gadis terkejut dan cepat memandang berkeliling.
Empat orang telah mengurungnya.
Tiga di antara mereka segera dikenalinya. Yang seorang yaitu kakek kurus tinggi
yang memegang bola besi berantai tidak diketahuinya siapa adanya.
"Tiga cecunguk tidak tahu diri! Pelajaranku tempo hari rupanya tidak membuat
kalian kapok! Kalian berani muncul lagi, malah membawa seorang kawan!"


Wiro Sableng 072 Purnama Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut menggembor
lalu berkata. "Perempuan durjana! Kau dan binatang peliharaanmu hanya bisa hidup
sampai malam ini! Dosa kalian sudah lewat dari takaran! Cuma kematian satusatunya penebus dosa-dosamu!"
Si gadis yaitu Kemala tertawa perlahan. "Nenek
sumbing, bicarapun kau belum pandai, mau menghabisi kami pula. Tua bangka tidak
tahu diri! Nanti kujejali lagi mulutmu dengan asap pendupaan yang kau bawa itu!"
Lelaki yang tangannya diikat kain mendengus. Dia bukan lain adalah Perwira
Tinggi Gandar Seto. "Iblis perempuan! Ajalmu tak lama lagi! Sebelum mampus lekas
katakan mengapa kau membunuhi orang-orang itu?"
"Ah, kau tentunya Perwira Tinggi Gandar Seto!" jawab Kemala. "Dengar Perwira.
Aku memberi keampunan bagi jiwamu. Lekas tinggalkan tempat ini! Tiga kawanmu tak
perlu kau perdulikan. Mereka memang layak mampus di tempat ini! Malam ini juga!"
Dua orang di samping Gandar Seto tentu saja merasa tersinggung. Kakek-kakek yang
memegang bola besi dan dikenal dengan julukan si Pelumat Jagat berbisik pada
kakek botak di sebelahnya. "Bayangan Api, kucing betina itu sepertinya tidak
memandang sebelah mata pada kita.
Untung wajahnya cantik. Kalau dia bisa melayaniku barang semalaman mungkin bisa
kukurangi hukuman bagi
dirinya..."
Celakanya apa yang dikatakan kakek tinggi kurus itu terdengar oleh Kemala. Maka
gadis ini pun melotot.
"Tua bangka cabul! Kau sama saja dengan lelaki-lelaki lain! Sudah bau tanah
masih saja hendak mengumbar nafsu! Kau layak mati pertama sekali!"
"Bagus, aku mau tahu bagaimana rasanya mati di
tangan gadis secantikmu. Tapi eh...! Apa betul kau masih gadis, masih perawan"
He... he... he!
"Keparat! Terima kematianmu!" teriak Kemala. Gadis ini melompat ke depan. Tangan
kanannya menderu ke arah kepala si kakek kurus. Yang diserang tak tinggal diam.
Bola besi bergerigi dan berantai di tangan kanannya menyapu ke depan.
Wuuuttt! Bola besi itu lenyap dan kini hanya kelihatan sinar hitam disertai angin dingin
menggidikkan. Si gadis terkejut ketika merasa ada sesuatu menyambar ke atas
lehernya. Dengan cepat dia tinjukan tangan kirinya.
Buukkk! Byuuurrr!
Kemala tersurut satu langkah. Tangan kirinya merah dan lecet. Gadis ini tampak
menahan rasa kagetnya. Tapi yang lebih terkejut adalah kakek bergelar si Pelumat
Jagat. Dia melompat mundur sampai tiga langkah. Parasnya berubah putih. Di tangan kanannya kini dia hanya memegang rantai. Bola besinya
ternyata hancur lebur dihantam pukulan tangan kiri Kemala!
"Celaka! Jangan-jangan gadis ini bukan manusia biasa.
Tapi makhluk jejadian yang memiliki ilmu hitam! Kalau tidak segera dihabisi bisa
berabe!" Lalu dia berpaling pada tiga kawannya. "Para sahabat! Tak perlu
sungkan! Lekas keroyok gadis dajal ini!"
Mendengar seruan si Pelumat Jagat, Gandar Seto
segera hunus golok besar dengan tangan kiri sedang Iblis Sumbing Pembawa Pendupa
sudah lebih dulu melompat sambil meniupkan asap pendupaannya. Kali ini dia tidak
mengandalkan asap pendupaan yang mengandung hawa aneh tapi tidak mempan terhadap
si gadis, melainkan dia meniup untuk melesatkan jarum-jarum beracun yang ada di
atas bara api! Begitu dia meniup selusin jarum merah membara menderu ke arah
Kemala. Si Bayangan Api tidak tinggal diam, dia melompat ke dalam kalangan
pertem- puran setelah terlebih dulu melepaskan lima senjata rahasia berupa anak panah berwarna merah!
Kemala tampaknya tenang-tenang saja melihat empat serangan pengeroyok itu.
Sebaliknya orang berpakaian putih di atas pohon tidak dapat lagi menahan diri
melihat bahaya yang mengancam si gadis. Sambil lepaskan satu pukulan sakti dia
melompat turun dari atas pohon!
"Pukulan Sinar matahari!" teriak si Bayangan Api ketika dia melihat ada suara
menggemuruh disertai berkiblatnya sinar putih perak menyilaukan.
Empat pengeroyok cepat melompat mundur.
Bummm! Sinar pukulan yang menebar hawa sangat panas itu menghantam tanah hingga
terbongkar. Bumi laksana dilanda lindu. Semua yang menyerang tersentak mundur
dan semua senjata yang dipakai untuk menyerbu mental ke udara bersama batu dan
pasir serta tanah yang beterbangan. Di tanah kini kelihatan sebuah lobang besar!
"Ha... ha! Seorang sahabat telah membuat liang kubur bagi kalian! Siapa yang mau
masuk lebih dahulu"!" berseru Kemala. Memandang ke samping dilihatnya Pendekar
212 Wiro Sableng tegak dengan kaki terpentang, menatap ke arah empat orang yang
mengurung. "Dicari-cari tidak bertemu. Sekarang malah datang sendiri! Dua tangkapan
sekaligus! Besar nian rejeki kita?"
kata Gandar Seto begitu melihat Pendekar 212 berada di tempat itu.
"Sudah kuduga, pemuda keparat ini punya hubungan tertentu dengan gadis iblis
ini! Ternyata betul! Sayang seorang pendekar sakti mandraguna yang disegani
dalam dunia persilatan ternyata berkomplot dengan gadis pembunuh!" membuka mulut Si Bayangan Api.
"Kalian orang tua-tua terserah mau bilang apa. Tapi aku tidak sudi melihat empat
orang tokoh silat mengeroyok seorang gadis!"
"Yang kami keroyok bukan gadis biasa. Tapi gadis iblis!"
jawab Gandar Seto. "Kau mau menolongnya" Berarti bersiaplah untuk mampus!"
"Kalian tidak mampu melawannya. Ilmunya jauh berada di atas kalian. Jangan jadi
orang-orang tolol. Pergi dari tempat ini. Jangan ganggu sahabatku ini!"
"Ternyata kau pun memang sudah benar-benar sesat seperti iblis betina itu!
Kawan-kawan mari kita berjibaku menyingkirkan sepasang iblis ini!" teriak si
Bayangan Api. Keempat orang itu siap hendak menyerbu kembali. Wiro segera keluarkan Kapak Maut
Naga Geni 212. "Wiro, tunggu!" tiba-tiba Kemala berseru.
"Kemala, tinggalkan tempat ini cepat. Biar aku yang melayani empat tua bangka
ini!" ujar Pendekar 212.
"Mengapa kau atau aku harus mencapaikan diri menghadapi orang-orang ini" Biar Datuk yang membereskan mereka?" kata Kemala pula
seraya melangkah mendekati srigala besar. Tangan kanannya mengusap kepala
binatang itu yang segera menggereng dan dongakkan kepalanya.
"Kemala, aku ingin kau tidak melakukan pembunuhan lagi. Aku akan coba
menyadarkan keempat orang itu. Aku minta agar kau segera meninggalkan tempat
ini!" Si gadis hendak membantah tapi melihat air muka Pendekar 212 dia menjadi
bimbang. Akhirnya dia berkata perlahan. "Datuk, mari kita pergi.."
Srigala yang tadi tampak buas kini kelihatan ikut jinak.
Dia membalikkan diri mengikuti langkah tuannya. Tapi baru satu langkah bergerak
tiba-tiba dari atas pohon melayang turun sebuah benda bulat berputar-putar, lalu
bluk! Seorang pemuda berbadan gendut buntak, bermuka bulat yang selalu
keringatan tahu-tahu tegak menghadang di depan Kemala dan Datuk Srigala. Di
tangan kanan pemuda gendut itu ada sebuah kipas lipat dari kertas yang dikipaskipaskannya kian kemari. Kepalanya disungkup dengan sebuah peci hitam kupluk.
"Gadis dan srigala, kalian tidak boleh pergi dulu sebelum kalian kubebaskan dari sekapan iblis pembawa ilmu hitam!"
"Gendut keparat! Siapa kau yang berani menghadang jalanku"!" bentak Kemala
sementara srigala di sampingnya mulai kelihatan beringas.
"Aku seorang sahabat. Pemuda yang kau sukai itu juga sahabatku! Kepercayaan pada
sahabat adalah di atas segala-galanya!"
"Gendut! Aku tak kenal dirimu, apa lagi menjadi sahabatmu!" bentak Kemala.
Si gendut tertawa. "Persahabatan itu tidak selalu harus saling kenal..."
Kemunculan pemuda gendut berpeci kupluk dan
mengenakan pakaian terbalik ini membuat Wiro terkejut.
Beberapa waktu yang lalu dia muncul secara tiba-tiba seperti saat ini untuk
menyelamatkan seorang gadis. Kini dia muncul kembali dan berkata hendak
membebaskan Kemala dan srigala itu dari sekapan iblis! "Si gendut ini ngaco atau
bagaimana...?" kata Wiro pula. Selagi dia berpikir-pikir seperti itu dari
samping tiba-tiba sekali si Bayangan Api dan si Pelumat Jagat telah bergerak
menye- rangnya. Dari jurusan lain Gandar Seto dan Iblis Sumbing juga ikut bergerak
menghantam ke arah Kemala.
Si gendut tampak jengkel sekali. Setelah memaki panjang pendek dia melompat
mundur. "Manusia-manusia tolol! Kalian semua mencari kematian secara sia-sia!"
WIRO SABLENG PURNAMA BERDARAH
12 I BAYANGAN Api walau memiliki kepandaian silat
tinggi namun dia tidak membawa senjata. Memang
Sdia membekal senjata rahasia berupa panah-panah merah tapi dalam perkelahian
jarak pendek begitu rupa senjata rahasia itu tidak mungkin dipergunakan. Hal
yang sama juga terjadi dengan si Pelumat Jagat. Bola besi yang merupakan senjata
andalannya telah dihancurkan oleh Kemala. Sebenarnya kedua tokoh silat ini
menghadapi Pendekar 212 dengan setengah hati. Apalagi saat itu murid Eyang Sinto
Gendeng sudah langsung keluarkan senjata mustikanya yaitu Kapak Maut Naga Geni
212. Setiap senjata ini dibabatkan atau dibacokkan terdengar suara bergemuruh
laksana ribuan tawon mengamuk. Sinar panas putih menyilaukan yang keluar dari
kedua mata kapak membuat dua lawannya menjadi semakin ciut nyali masing-masing.
Karena tak berani mendekat kedua kakek ini berusaha menggempur dengan pukulanpukulan tangan kosong jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi. Si Pelumat
Jagat sesekali bertindak curang, coba menyerang dari belakang. Namun semua
serangan lawan dibuat mental oleh sambaran-sambaran Kapak Maut Naga Geni 212.
Setelah menggempur habis-habisan sampai limabelas jurus gerakan si Bayangan Api
tidak lagi secepat kilat dan tubuhnya tidak lagi laksana bayangan merah. Begitu
juga si Pelumat Jagat gerakan-gerakannya menjadi lamban. Kedua kakek ini mulai
main mata, saling memberi isyarat bahwa lebih baik mereka kabur saja dari tempat
itu. Begitu ada kesempatan keduanya menyerang gencar secara kilat lalu satu
menghambur ke kiri, satunya lagi ke arah kanan.
Murid Eyang Sinto Gendeng cepat hendak hantamkan pukulan Sinar Matahari ke arah
si Pelumat Jagat dan lepaskan jarum-jarum rahasia dari mulut kapak ke arah si
Bayangan Api namun setelah berpikir maksudnya itu segera dibatalkan. Sebenarnya
buat apa mengejar orang-orang itu dan mencelakai mereka. Keduanya pasti hanyalah menjalankan tugas untuk menumpas kejahatan
Kemala. Dan dia sudah menyaksikan sendiri tadi bagaimana si gadis memerintahkan srigala peliharaannya membunuh Pangeran Rono Kuworo
serta istri prajurit yang serong itu. Meski dia belum menyaksikan mayat kedua
orang itu, namun seperti kejadian yang sudah-sudah dua orang di dalam rumah
pasti menemui ajal dengan tubuh tercabik-cabik.
Wiro putar tubuh memperhatikan perkelahian yang terjadi antara Kemala yang
dikeroyok oleh Iblis Sumbing dan Perwira Tinggi Gandar Seto. Baik Gandar Seto
maupun Iblis Sumbing sangat bernafsu untuk dapat menghabisi lawannya saat itu
juga. Si nenek berulang kali tiupkan asap kelabu dari pendupaan yang ada di
tangan kirinya. Tujuannya bukan untuk membuat lawan menjadi lemas oleh hawa yang keluar dari dalam
asap. Dari perkelahian pertama sebelumnya dia sudah tahu Kemala memiliki ilmu
kebal yang tak sanggup ditembus oleh asap pendupaannya.
Karenanya asap itu ditiup untuk menghalangi pemandangan lawan sehingga dia bisa bergerak leluasa dalam melancarkan seranganserangan. Tetapi Kemala bukan lawan yang mudah dikecoh. Setelah mengambil sikap
bertahan selama sepuluh jurus tiba-tiba gadis ini berseru.
"Datuk! Lekas kau hajar nenek bermulut sumbing itu.
Jangan diberi ampun! Aku akan melayani Perwira Kerajaan ini!" Mendengar ucapan
tuannya itu srigala besar menggereng keras. Kedua matanya memancarkan sinar membara.
Didahului oleh suara meraung yang menggidikkan binatang ini kemudian melompat ke
arah Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut. Si nenek yang menganggap remeh
serangan binatang ini pergunakan kaki kirinya untuk menendang.
Bukkk! Tendangan kaki kanan Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut memang tepat mengenai bagian dada srigala bermata api. Binatang ini
mencelat sampai dua tombak.
Tapi apa yang dialami si nenek sendiri membuat pemuda gendut berkopiah kupluk
dan juga Pendekar 212 jadi merinding. Si nenek terdengar menjerit setinggi
langit. Kaki kanannya sebatas paha sampai ke betis ternyata telah koyak lebar
dan dalam. Meskipun gelap tapi tulang tungkainya masih bisa terlihat jelas. Pendupaan di tangan kirinya jatuh. Belum
sempat benda ini menyentuh tanah tiba-tiba srigala itu kembali menyerbunya
dengan ganas. Raungan si nenek tertindih oleh suara raungan binatang itu. Leher Iblis Sumbing
tampak robek. Urat-uratnya mencuat putus dan darah menyembur. Dadanya terkuak
menyebulkan tulang-tulang iganya. Lalu di sebelah bawah perutnya robek membusai
semua isi yang ada di dalamnya!
Pemuda gendut mengeluarkan suara mau muntah
menyaksikan kejadian itu. Murid Eyang Sinto Gendeng mengerenyit sambil menutup
mulut dengan tangan kiri sementara tengkuknya merinding dingin. Dia sempat
tertunduk ngeri. Ketika dia mengangkat kepalanya kembali, sekujur tubuh si nenek sudah tak bisa dikenali lagi!
"Gusti Allah!" seruan itu keluar dari mulut Perwira Tinggi Gandar Seto begitu
dia sempat melihat apa yang terjadi atas diri Iblis Sumbing Pembawa Pendupa
Maut. Sekujur tubuhnya bergetar hebat dan tiba-tiba saja dia seperti tidak punya
tulang belulang lagi, lemas dan ketakutan setengah mati.
"Perwira, aku memberi kesempatan padamu. Jika kau tidak segera minggat dari sini
aku akan suruh binatang itu mengoyak tubuhmu!" kata Kemala pula dengan pandangan mata tak berkedip.
"Jangan! Jangan!" Hanya itu ucapan yang bisa dikeluarkan oleh Gandar Seto. Lalu dia memutar tubuh dan lari meninggalkan tempat itu
secepat yang bisa dilakukannya.
Kemala menarik nafas dalam. Dia memandang
berkeliling. Pandangannya bertemu dengan pandangan Pendekar 212 yang saat itu
melangkah mendekatinya dengan wajah seolah tak percaya.
"Kemala..." desis Wiro begitu dia sampai di hadapan si gadis.
"Wiro, kini kau tahu siapa diriku. Kau pasti amat menyesal. Kau hendak melakukan
sesuatu terhadapku?"
meluncur kata-kata itu dari mulut Kemala.
Wiro menggeleng lalu menggaruk kepala. "Aku... aku tak tahu harus bicara apa.
Harus melakukan apa. Terus terang memang aku tidak menyangka..."
Si gadis tampak tersenyum. "Apakah kau sudah menemui Ratih Kiranasari, gadis yang mencintaimu itu?"
"Eh! Tunggu dulu!" Tiba-tiba pemuda gendut yang sejak tadi asyik menyaksikan
jalannya perkelahian berseru. "Aku mau bicara!"
"Gendut tak tahu diri! Jangan campuri urusan kami!"
sentak Kemala. "Sobatku, lebih baik kau dengarkan kata-katanya," ujar Wiro pula pada si gendut
berkopiah kupluk
"Busyet! Kau yang harus mendengarkan aku Wiro"!
Jangan sampai terjebak! Kau tak tahu siapa adanya gadis ini!" menjawab si
gendut. "Eh! Apa maksudmu?" tanya Wiro pada si gendut lalu berpaling pada Kemala dan
kembali menoleh pada pemuda gemuk di hadapannya itu.
Kemala sendiri saat itu mendadak berubah wajahnya.
Dia memandang ke arah bulan purnama empat belas hari di langit. Mulutnya
terbuka. "Datuk, lekas kau bunuh pemuda gendut itu!"
Srigala bermata api meraung keras. Tubuhnya merunduk. Si gendut melompat mundur seraya berseru pada Wiro. "Sobat! Lekas kau
berikan padaku batu hitam pasangan Kapak Naga Geni 212! Cepat!"
Srigala besar itu semakin merunduk. Kedua kaki
depannya tenggelam ke dalam tanah tanda dia hendak membuat satu terkaman yang
hebat luar biasa.
"Wiro lekas! Berikan padaku batu hitam keramat


Wiro Sableng 072 Purnama Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasangan Kapak Naga Geni 212!" teriak si gendut sekali lagi. Dalam heran dan
bingungnya tentu saja Wiro tidak memenuhi permintaan si gendut itu. Tiba-tiba
srigala besar melesat ke depan. Si gemuk menjerit kalang kabut lalu lari lintang
pukang selamatkan diri ke balik pohon beringin besar. Walaupun gerakannya
terlihat lamban dan benar-benar seperti orang ketakutan tetapi anehnya si gendut
ini ternyata berhasil lolos dari terkaman srigala.
Melihat serangannya gagal binatang ini menggereng marah. Dia membalik dan
kembali menyerang. Kali ini si gendut melompat ke atas. Kedua tangannya
menangkap akar gantung besar pohon beringin. Tubuhnya yang gendut digoyangnya.
Hebat sekali, tubuh yang beratnya hampir 150 kati itu berayun-ayun lalu melesat
ke depan. Terkaman srigala lewat setengah jengkal di bawah selangkangannya!
Si gendut menjerit. Pegangannya dilepaskan dari akar gantung. Tubuhnya jatuh
melesat tepat ke arah Wiro.
Kedua orang ini sama-sama jatuh bergedebukan di tanah, bergulingan beberapa kali
lalu tampak si gendut berdiri lebih dahulu. Ketika Wiro berdiri pula dilihatnya
si gendut memegang sebuah benda hitam di tangan kanannya. Wiro cepat meraba
pinggangnya. Astaga! Batu hitam empat persegi pasangan Kapak Naga Geni 212 yang
selalu disimpannya di balik pinggang pakaian telah lenyap. Benda itu kini berada
dalam genggaman si gendut berpeci kupluk!
"Gendut sialan! Kau hendak berbuat apa dengan batu mustika itu! Lekas
kembalikan!" teriak Wiro dan hendak melompat untuk merampas batu hitam miliknya.
"Sahabat, sabar dulu! Justru hanya benda ini yang mampu menolong srigala
jejadian itu bebas dari ilmu hitam, dari sekapan iblis! Juga hanya batu mustika
ini yang sanggup membebaskan sebagian pengaruh iblis dalam diri Kemala!"
"Aku tidak mengerti maksudmu!" teriak Wiro masih marah.
"Kalau kau belum mengerti makanya lihat saja!" jawab si gendut. Lalu dia
melangkah ke arah srigala bermata api yang kembali hendak menerkamnya. Dengan
cepat si gendut ini acungkan ke depan batu mustika hitam di tangan kanannya.
Terjadilah hal yang aneh. Raungan srigala mendadak berubah kuncup dan kini
mengecil tak ubah seperti suara seekor anjing yang ketakutan dimarahi tuannya.
Binatang ini bersurut sambil rundukkan kepalanya. Tiba-tiba ada sinar merah melesat dari kedua matanya, menyerang ke arah si gendut. Orang yang diserang cepat menangkis dengan
batu hitam di tangannya. Dua larik sinar merah tadi kelihatan bergetar keras
lalu mem- balik dan laksana masuk menembus ke dalam ke dua mata srigala. Binatang ini
meraung panjang. Tubuhnya tertelungkup di tanah. Perlahan-lahan tubuh itu tampak
dibungkus oleh kepulan asap hitam berbau amis. Ketika asap hitam sirna, di tanah
hanya kelihatan seonggok tulang belulang putih, membujur rapi seperti ruas-ruas
tulang srigala.
"Datuk...!" jerit Kemala ketika menyaksikan apa yang terjadi. Dia memburu hendak
menjatuhkan diri di atas tumpukan tulang belulang itu.
"Jangan!" teriak si gendut seraya mendorongkan tangan kirinya. Serangkum angin
deras menyambar membuat gerakan tubuh Kemala tertahan lalu perlahan-lahan
terjajar mundur. Baru saja dia menjauh sejarak tiga langkah tiba-tiba terdengar
letusan-letusan keras. Tulang belulang di tanah bermentalan kian kemari lalu
lenyap tak berbekas seperti asap dihembus angin malam!
Kemala memutar tubuhnya ke arah si gendut. Sepasang matanya membersitkan sinar pembunuhan. Kedua tangannya diangkat ke atas.
"Kau... Kau membunuh Datuk. Sekarang kau harus jadi pengiring kematiannya!"
Kemala menjerit panjang. Suara jeritannya hampir menyerupai lolongan srigala.
Tiba-tiba tubuhnya melesat ke arah si gendut. Melihat hal ini si gendut cepat
angkat tangannya yang memegang batu mustika hitam milik Pendekar 212 Wiro
Sableng. Seperti kesilauan Kemala menutupi kedua matanya dengan
tangan kiri. Tapi terlambat. Sebagian cahaya rembulan yang memantul di atas batu
hitam berbalik menembus kedua matanya. Gadis ini menjerit. Sekali ini suara
jeritan- nya asli suara jeritan manusia. Lalu tubuhnya jatuh terkapar di tanah! Si gendut menarik nafas lega. Dia keluarkan kipas kertasnya lalu
mengipasi muka dan lehernya yang basah oleh keringat!
"Kemala!" teriak Wiro seraya berlari dan jatuhkan dirinya di samping gadis itu.
Ketika Wiro meletakkan kepala Kemala di atas pangkuannya dan membelai kening gadis itu, dia merasakan seseorang meletakkan
sesuatu di atas kepalanya. Wiro memegang benda yang diletakkan itu lalu
berpaling. Si gendut tegak di sampingnya. Sambil menyeringai dia berkata. "Sahabat, aku
telah menyelamatkan gadis itu dari sekapan ilmu iblis. Ketahuilah, batu hitam
yang kau miliki itu adalah raja-diraja penolak segala ilmu hitam. Kau
memilikinya selama bertahun-tahun, tapi tak pernah tahu bagaimana
memanfaatkannya. Gadismu itu kini sudah selamat. Tapi baru setengahnya. Yang
setengah lagi hanya kau yang bisa melakukannya..."
Wiro pegang benda di atas kepalanya. Ternyata si gendut tadi telah meletakkan
batu hitam mustika miliknya seenaknya saja di atas kepalanya. Cepat-cepat Wiro
memasukkan batu itu ke balik pakaiannya. Ketika dilihatnya si gendut hendak pergi, Pendekar 212 cepat bangkit dan berkata.
"Gendut! Jangan pergi dulu! Aku perlu petunjukmu!
Katamu gadis itu baru selamat setengahnya. Yang setengah lagi aku harus
melakukannya. Melakukan apa"
Bagaimana?"
"Kau lihat wajah gadis itu?"
"Tentu saja aku melihatnya!"
"Cantik sekali bukan"!"
"Bujang Gila Tapak Sakti!" teriak Wiro menyebut nama si gendut. "Bukan saatnya
kau bergurau!"
"Siapa yang bergurau"!" sahut si gendut pula. "Jelas gadis itu cantik. Tapi itu
bukan parasnya yang asli!"
"Eh! Apa maksudmu?"
"Sobatku. Biar aku tolong kau sekali lagi. Tadi kukatakan dia baru tertolong setengah. Kini kutambah seperempat lagi. Yang seperempatnya kau yang melakukan!
Setuju?" Karena bingung Wiro mengatakan setuju saja.
Si gendut yang bergelar Bujang Gila Tapak Sakti tertawa mengekeh. "Ingat sobat,
janji harus kau penuhi. Kau harus menyempurnakan pelepasan sekapan iblis yang
seper- empat lagi!"
Habis berkata begitu si gendut ini betulkan letak pecinya lalu duduk di samping tubuh Kemala. Kedua telapak tangannya diusapkan satu
sama lain. Lama-lama kedua tangan itu tampak menjadi sangat merah dan mengeluarkan asap putih yang menimbulkan hawa sangat dingin. Si gendut membungkuk. Dengan
hati-hati kedua tangannya yang dingin itu diusapnya ke sekujur wajah Kemala.
Kedua mata Pendekar 212 membeliak besar ketika
melihat apa yang terjadi. Di bawah cahaya bulan purnama empat belas hari
dilihatnya perlahan-lahan, sedikit demi sedikit wajah Kemala berubah. Ketika si
gendut meng- angkat tangannya dan wajah telah sempurna perubahannya, murid Eyang Sinto Gendeng jadi ternganga lebar.
Kerongkongannya tersekat dan lidahnya seolah kelu. Dia hanya mampu mengeluarkan
suara desis perlahan.
"Ratih Kiranasari..."
Gadis yang tergeletak di tanah itu memang Ratih Kiranasari adanya!
Perlahan-lahan Bujang Gila Tapak Sakti bangkit berdiri.
Dia memegang bahu Pendekar 212 lalu berkata. "Tinggal seperempat lagi sobatku.
Itu kau punya pekerjaan. Gadis itu akan pingsan tak sadarkan diri seumur-umurnya
bilamana kau tidak menolongnya!"
"Katakan bagaimana cara aku menolongnya!" jawab Wiro pula.
"Sesuai janji kau tidak akan mengelak atau mencari dalih!"
"Tidak!"
"Kau tahu Kemala menyukai dirimu?"
Wiro mengangguk.
"Sekarang kau lihat sendiri Kemala ternyata adalah Ratih Kiranasari."
"Pantas... pantas dia menyuruh aku menemui Ratih.
Ternyata orangnya sama. Dia-dia juga..." Wiro garuk-garuk kepala. "Aku ingat
sekarang. Bau harum tubuh Kemala sama dengan wanginya tubuh Kiranasari"
Bujang Gila Tapak Sakti tersenyum. "Sobatku, sekarang kau dengar baik-baik.
Ratih Kiranasari akan sadar dari pingsannya jika kau menggauli dirinya..."
Paras Pendekar 212 karuan saja menjadi berubah
merah. Matanya melotot. "Gendut, kau jangan bergurau!"
"Aku tidak bergurau sobatku. Ini persoalan hidup atau mati seseorang. Gadis itu
telah terlanjur terjebak dalam ilmu hitam. Semua gara-gara tidak ada satu pemuda
pun yang mau mencintai dan bersedia dijadikan suaminya.
Dalam dirinya muncul dendam. Dendam ini tak dapat dikuasainya hingga dirinya
terjebak dalam ilmu hitam. Dia harus membunuh setiap orang yang sedang berkasihkasihan. Ingat, tiga perempat kehidupan dunia hitamnya telah musnah. Kini
tinggal yang seperempat. Obatnya yang aku katakan tadi..."
"Gila!"
"Ini bukan gila! Hanya itu satu-satunya jalan penangkal ilmu hitam agar keluar
dari tubuhnya. Aku akan pergi agar kau bisa melakukan apa yang aku katakan!"
"Tunggu!" kata Wiro seraya cepat memegang tangan si gendut.
"Tunggu apa lagi sobatku?" tanya Bujang Gila Tapak Sakti.
"Bagaimana, hemmm... Bagaimana kalau kau saja yang melakukannya"!"
Si gendut tertawa terpingkal-pingkal. "Sobatku, aku sih mau-mau saja. Tapi tidak
bakalan mempan! Dia akan tertolong kalau digauli oleh lelaki yang dicintainya.
Nah, aku tahu sekali gadis itu mencintaimu. Bukan aku si gajah bunting ini! Nah,
carilah tempat yang baik agar kau benar-benar senang melaksanakannya."
Habis berkata begitu Bujang Gila Tapak Sakti tepuk-tepuk bahu Wiro. Pendekar 212
geleng-gelengkan kepala.
Dipandanginya wajah Ratih Kiranasari sementara dirasakannya si gendut masih terus menepuk-nepuk bahunya.
"Gendut," kata Wiro seraya berpaling pada orang yang tegak di sebelahnya.
Astaga! Ternyata si gendut itu tak ada lagi di sampingnya. Tetapi anehnya tepukan-tepukan tangannya masih terasa di bahunya! Sadarlah
Wiro kalau sebenarnya Bujang Gila Tapak Sakti itu sudah lama meninggalkan tempat
itu. Dengan kesaktiannya dia bisa membuat tepukan-tepukan tangan di bahu sang
pendekar padahal dirinya sudah berada di tempat lain!
Cahaya bulan purnama semakin terang. Wajah Ratih Kiranasari semakin jelas
kelihatan dan tampak bertambah cantik. Dirinya seolah seorang bidadari yang
sedang ter- tidur lelap. Perlahan-lahan Wiro mengangkat tubuh gadis itu. "Bujang Gila Tapak
Sakti!" katanya. "Kalau ternyata kau menipu diriku, akan kucari kau sampai ke
langit ke tujuh sekali pun!"
TAMAT Suling Naga 11 Pendekar Rajawali Sakti 66 Rahasia Gordapala Bunga Kemuning Biru 1

Cari Blog Ini