Ceritasilat Novel Online

Hantu Selaksa Angin 3

Wiro Sableng 116 Hantu Selaksa Angin Bagian 3


Penolong Budiman tidak meneruskan ucapannya. Tapi justru malah
tersenyum. "Tapi apa muka tanah liat" Kau tidak meneruskan
ucapanmu. Kau tersenyum seperti ada yang lucu..."
"Kek, dia menolongmu secara diam-diam mungkin
karena dia malu..."
"Malu" Aku tak mengerti..."
"Setahuku, jika seorang perempuan malu-malu
terhadap seorang lelaki berarti dia menyimpan satu perasaan tertentu..."
"Perasaan tertentu apa maksudmu?" tanya Hantu
Langit Terjungkir pula.
"Maafkan aku Kek. Mungkin nenek itu suka padamu,"
jawab Si Penolong Budiman.
Hantu Langit Terjungkir berteriak. "Gila kau! Aku dan dia sudah tua bangka
begini masih mau bersuka-sukaan!
Gila!" Si Penolong Budiman tertawa lebar. "Yang namanya
cinta itu Kek, kalau datang tidak memilih waktu, tempat dan usia!"
"Kau gila!" Hantu Langit Terjungkir tertawa gelak-gelak.
Tiba-tiba tawanya berhenti. Dia pandangi muka yang tertutup tanah liat kering
itu. Mulutnya terbuka tapi tak ada suara yang keluar.
"Kau hendak mengatakan apa Kek" Ada suatu
perasaan yang tiba-tiba mengendap di lubuk hatimu?"
"Aku tidak tahu! Tapi nenek itu ternyata seorang yang baik sekali. Kalau saja
aku bisa menemuinya lagi. Aku akan mengucapkan terima kasih padanya..."
"Hanya mengucapkan terima kasih saja Kek?"
"Lalu apa lagi"!"
"Bagaimana kalau terbukti dia memang menyukai
dirimu. Apakah kau mau padanya. Maksudku mau kawin dengannya?"
Wajah Hantu Langit Terjungkir menjadi merah. Namun sambil senyum-senyum dia
berkata. "Nenek itu, mana mungkin dia suka padaku. Aku terus-terusan
dikatakannya kakek buruk. Lagipula keadaanku yang selalu kaki di atas kepala di
bawah begini..."
"Justru mungkin karena keadaanmu inilah yang
menimbulkan rasa kasihan dalam dirinya padamu. Rasa kasihan berganti dengan rasa
suka..." Si kakek garuk-garuk pipinya yang tidak gatal. "Aku...
Hemmm... Kalau dia memang punya hati terhadapku,
rasanya tak ada salahnya aku membalas dengan perasaan yang serupa..."
"Kau mau kawin dengan Hantu Selaksa Angin itu Kek?"
"Yaaa... Aku mau apalagi nenek satu itu memang aneh, tapi rasa-rasanya aku cocok
dengan dirinya. Selama puluhan tahun, sejak aku kehilangan istri dan anakanakku, aku hidup sengsara sebatang kara. Mungkin para Dewa menakdirkan sudah
saatnya hidupku harus
berubah..."
"Kalau begitu sehabis mandi di telaga kita cari saja nenek itu. Sekalian kita
mencari Lakasipo dan Hantu Bara Kaliatus yang menurutmu kau yakin adalah sebagai
dua dari empat anakmu yang lenyap itu..."
"Cari nenek itu dulu! Dua anakku bisa menyusul
kemudian!" kata Hantu Langit Terjungkir seraya kedipkan matanya lalu tertawa
gelak-gelak. Di seberang telaga, di atas pohon berdaun rimbun
Hantu Selaksa Angin dengan kesaktiannya walaupun agak sayup-sayup masih dapat
mendengar semua percakapan Hantu Langit Terjungkir dan Si Penolong Budiman.
Wajahnya yang kuning tampak berseri-seri. Senyum tak henti-hentinya menyeruak di
mulutnya. Berulang kali dia mengusapi wajahnya. Lalu dalam hati dia berkata.
"Kakek satu itu sebenarnya tak buruk-buruk amat Walau
keadaannya seperti itu tapi hatinya pasti baik. Katanya dia mau kawin dengan
aku! Hik... hik... hik! Bagaimana ini! Aku harus memberitahu Sang Datuk. Aku
harus menemui Guru!
Hik... hik... hik! Ada orang yang mau mengawini aku! Wahai bagaimana rasanya
kawin! Apakah dulu aku pernah
kawin..."! Aku tak ingat lagi! Hik... hik... hik." Tanpa mengeluarkan suara dan
goyangan pada pohon, nenek
muka kuning ini berkelebat turun dan lenyap di arah timur telaga.
*** WIRO SABLENG HANTU SELAKSA ANGIN
9 UJAN turun dengan lebat membuat malam
menghitam pekat. Sesekali halilintar menyambar
Hmenerangi jagat. Lalu suara guntur menggelegar
seperti hendak menjungkirbalikkan bumi. Di bawah hujan lebat itu dua bayangan
berkelebat ke arah selatan. Ketika sekali lagi kilat menyabung dan keadaan
terang benderang sesaat, kelihatanlah bahwa dua bayangan itu adalah dua sosok
perempuan berwajah cantik. Mereka bukan lain adalah Luhcinta dan Luhsantini yang
tengah dalam perjalanan menuju tempat kediaman Lamahila.
Luhsantini yang mengetahui letak rumah juru nikah
terkenal di Negeri Latanahsilam itu berlari di sebelah depan. Sebenarnya mereka
bisa saja berhenti mencari tempat berteduh. Namun karena sudah terlanjur diguyur
hujan keduanya terus saja melanjutkan perjalanan. Selain itu Luhcinta mendesak
terus agar bisa menemui Lamahila secepatnya.
Lamahila memiliki beberapa rumah namun dia lebih
sering berada di rumah yang terletak di sebuah bukit kecil di selatan, tak jauh
dari kawasan pantai. Karena bukit itu tidak terlalu banyak ditumbuhi pepohonan
maka dari jauh bangunan kediaman sang juru nikah telah terlihat
menghitam dalam kegelapan malam dan curahan air
hujan. Bangunan itu cukup besar, berhalaman luas. Kedua
orang yang mendatangi langsung menuju pintu depan.
"Tak ada nyala dian atau obor di dalam rumah. Jangan-jangan nenek itu tak ada di
sini..." kata Luhcinta.
"Kita masuk saja. Setahuku Lamahila memang suka
bergelap-gelap," jawab Luhsantini. Dia melangkah ke depan pintu yang terbuat
dari papan tebal. Sambil
mengetuk keras Luhsantini berteriak.
"Nenek Lamahila! Nenek Lamahila! Kau ada di
rumah"!"
Sampai berulang kali pintu diketuk dan diteriaki namun tak ada jawaban,
Luhsantini hendak mengetuk untuk
kesekian kalinya. Saat itulah dia menyadari kalau pintu papan itu ternyata tidak
dikunci. "Kawasan ini memang aman. Tapi adalah aneh kalau si nenek tidak mengunci
rumahnya. Ini di luar
kebiasaannya..." kata Luhsantini. Lalu dengan tangan kirinya dia mendorong. Daun
pintu terbuka mengeluarkan suara berkereketan. Lewat celah pintu kedua orang itu
memandang ke dalam.
"Gelap... Agaknya nenek itu memang tidak ada di sini,"
Luhsantini berkata setengah berbisik. Dia mendorong lagi daun pintu lebih lebar.
"Nenek Lamahila! Kau ada di dalam"!" Luhsantini
memanggil. Tetap tak ada jawaban. Tiba-tiba kilat
menyambar dan guntur menggelegar membuat dua
perempuan ini sama-sama terkejut.
"Kalau nenek itu memang tidak ada di rumah, apa yang akan kita lakukan?" tanya
Luhsantini. "Kita menumpang berteduh saja. Menunggu sampai
pagi. Siapa tahu nenek itu kemudian muncul," jawab Luhcinta.
Luhsantini membuka pintu lebih lebar. Ketika dia
hendak melangkah masuk mendadak ada suara berkelik disusul suara mendesir.
Luhcinta yang mendengar lebih dulu dengan cepat menarik tangan Luhsantini. Kedua
orang itu jatuh saling tindih di lantai serambi rumah kayu.
Dua benda hitam berdesing di atas mereka.
"Apa-apaan kau ini"!" tanya Luhsantini. Luhcinta
menjawab dengan acungan jari telunjuk tangan kanannya.
Sambil menunjuk dia goyangkan kepala ke kiri. Berubahlah paras Luhsantini. Pada
tiang serambi rumah besar tampak menancap dua buah pisau berbentuk aneh.
Gagangnya masih bergetar bergoyang-goyang.
"Ada orang memasang peralatan rahasia di dalam
rumah. Diarahkan ke pintu. Jika pintu dibuka peralatan itu akan bekerja,
melesatkan senjata pembunuh. Siapa yang berada di depan pintu dan terlambat
menyelamatkan diri akan ditambus pisau-pisau itu!"
"Manusia pengecut! Akan kuhajar habis-habisan orang yang memasang peralatan
rahasia itu!" kata Luhsantini geram seraya beringsut menjauhi pintu. "Tapi apa
maunya Lamahila memasang peralatan pembunuh itu"!"
"Bukan dia yang memasang. Orang lain," jawab
Luhcinta. "Saat ini aku mengawatirkan, jangan-jangan Lamahila sendiri berada
dalam bahaya. Bagaimana kalau kita masuk menjebol atap?"
"Setuju!" jawab Luhsantini.
Di bawah hujan yang masih mengucur lebat dua
perempuan itu bergerak ke samping rumah. Mereka
mendapatkan bagian tanah yang agak tinggi. Dari sini keduanya lalu melompat
setinggi dua tombak. Naik ke atas wuwungan atau atap yang terbuat dari jerami.
"Kau siap?" tanya Luhsantini. Tangan kanannya
diangkat ke samping kepala. Begitu Luhcinta mengangguk Luhsantini hantamkan
tangan kanannya ke bawah.
Serangkum angin dahsyat menderu membobolkan atap
rumah. Sebuah lobang besar terkuak. Tanpa menunggu lebih lama dua orang ini
terjun ke bawah. Di lain saat mereka telah berada di dalam rumah kayu. Sesaat
mereka sengaja tegak tak bergerak untuk membiasakan mata
dengan kegelapan.
"Rumah ini kosong..." bisik Luhcinta.
"Kita periksa dulu. Kau di sebelah depan, aku di bagian belakang." Luhsantini
bergerak lebih dulu. Tiba-tiba dia hampir terpekik dan serta merta hentikan
langkah lalu menghindar ke samping.
"Ada apa?" tanya Luhcinta.
"Aku menginjak sesuatu. Sepertinya tubuh manusia..."
Luhsantini memperhatikan ke lantai. Luhcinta
mengikuti pandangan kerabatnya itu. Keduanya langsung berubah pucat ketika
melihat apa yang tergeletak di lantai.
Sosok si juru nikah Lamahila. Tergeletak tertelentang di lantai. Dua buah pisau
seperti yang tadi hampir mencelakai dua perempuan itu menancap di kening dan
lehernya. Muka serta dada nenek sang juru nikah ini bersimbah darah mengerikan.
Dalam keadaan begitu rupa, tiba-tiba di luar sana
terdengar suara tawa aneh, seolah keluar dari liang jurang yang dalam.
"Dua perempuan tolol! Aku sudah melarang kalian
untuk menyelidik perihal anak dan menantuku! Kalian mengabaikan! Kini kalian
muncul di tempat ini, membunuh nenek juru nikah bernama Lamahila itu!"
"Siapa kau"!" teriak Luhsantini.
"Kami tidak membunuh! Nenek ini sudah jadi mayat
pada saat kami masuk ke dalam rumah!" berteriak
Luhcinta. Kembali di luar sana menggema suara tawa. "Jangan
berdusta! Aku melihat sendiri kalian berdua melemparkan masing-masing sebilah
pisau ke arah Lamahila. Satu menancap di kening. Satu menembus lehernya! Kalian
masih hendak berdusta"!"
"Tuduhan busuk dan keji!" teriak Luhcinta.
"Kau berani bicara tak berani ujukkan muka!"
"Biarlah aku jadi orang pengecut! Kalian berdua
memang orang-orang gagah berani. Berarti kalian juga harus berani
mempertanggungjawabkan pembunuhan atas diri Lamahila! Aku akan segera menyebar
kabar ke suluruh Negeri Latanahsilam! Ha... ha... ha!"
"Jahanam kurang ajar! Makhluk di luar sana sengaja menjebak dan memfitnah kita!"
kata Luhsantini.
"Suaranya datang dari samping rumah sebelah kanan!"
bisik Luhcinta. Dia memberi isyarat pada Luhsantini. "Kau terus layani dia
bicara. Aku akan naik ke atas atap dan menghantamnya dari sana!" Begitu habis
bicara Luhcinta melesat ke atas atap rumah lewat bagian yang jebol. Di dalam
rumah Luhsantini kembali berteriak. "Makhluk pengecut! Walau kau tidak berani
unjukkan muka tapi dari suaramu aku sudah bisa menduga siapa kau adanya!"
"Hebat! Dugaan tidak ada artinya dibanding dengan
kenyataan yang akan aku sebar luaskan di Negeri
Latanahsilam. Dua perempuan bernama Luhcinta dan
Luhsantini membunuh Lamahila. Marah besar karena
nenek itu telah menikahkan pemuda asing bernama Wiro dengan seorang gadis! Ha...
ha... ha! Cemburu dan
keputus-asaan memang bisa merubah seseorang menjadi pembunuh tanpa perasaan!
Ha... ha... ha!"
Sementara di dalam rumah Luhsantini terus berusaha melayani ucapan-ucapan orang
di luar sana, di atas atap Luhcinta sudah mengetahui di mana kira-kira beradanya
orang yang bicara dengan suara menggema aneh itu. Tak menunggu lebih lama dia
lepaskan satu pukulan bertenaga dalam tinggi ke balik serumpun semak belukar.
Dia sengaja melepaskan pukulan yang disebut Tangan Dewa Merajam Bumi. Dengan pukulan
ini lawan bukan saja bisa cidera berat tapi serta merta menjadi lumpuh dan tak
bisa melarikan diri lagi.
Semak belukar rambas bertaburan. Di dalam gelap
terdengar suara orang mengeluh.
"Kena!" teriak Luhcinta. Dinding di samping kanan
rumah Lamahila jebol. Sosok Luhsantini melesat keluar.
Perempuan ini rupanya tak sabar untuk keluar dari rumah lewat atap. Dia langsung
menghantam jebol dinding
bangunan lalu menerobos keluar.
"Luhcinta! Di sebelah sini! Aku melihat ada sosok
melarikan diri di sebelah sini!" teriak Luhsantini seraya menghambur ke arah
kegelapan. Dari atas atap, masih di bawah hujan lebat Luhcinta melayang turun
sambil kembali menghantam ke arah yang ditunjukkan Luhsantini.
Luhsantini sendiri telah mendahului pula dengan satu pukulan ganas. Dua pukulan
sakti melanda bukit kecil itu.
Tiba-tiba dari arah yang menjadi sasaran hantaman dua perempuan itu berkiblat
dua jalur lidah api! Menyambar ke arah Luhsantini dan Luhcinta. Karena datangnya
lidah api ini lebih cepat dari pukulan tangan kosong yang mereka lepaskan, baik
Luhcinta maupun Luhsantini terpaksa menyingkir selamatkan diri. Ketika mereka
hendak mengejar kembali mereka tidak menemukan siapa-siapa.
Luhcinta usap mukanya yang basah oleh air hujan.
"Bisa kau menduga siapa orang yang melarikan diri
itu?" tanya Luhcinta.
"Suaranya sama dengan suara orang yang mengancam
dan menghancurkan goa beberapa waktu lalu... Kita harus bertindak cepat sebelum
tersiar fitnah di Negeri
Latanahsilam bahwa kita telah membunuh Lamahila."
"Kita tidak berbuat, mengapa harus takut"!" ujar
Luhcinta pula. "Aku ingat sesuatu," kata Luhsantini. "Lamahila punya seorang pembantu. Namanya
Laduliu. Dia pasti tahu apa yang berlangsung di Bukit Batu Kawin. Dia pasti tahu
siapa adanya Luhrembulan!"
"Kau tahu tempat kediaman orang itu?" tanya Luhcinta.
"Ikuti aku! Tempatnya cukup jauh. Mungkin menjelang dinihari kita baru sampai di
sana." "Kita harus bertindak cepat Luhsantini, Aku khawatir pembantu bernama Ladului
itu tengah terancam pula
nyawanya!"
Dalam gelapnya malam dan lebatnya hujan, dua
perempuan itu berkelebat lenyap meninggalkan bukit kecil.
Apa yang diduga Luhcinta ternyata memang betul.
Ketika bersama Luhsantini dia sampai ke tempat


Wiro Sableng 116 Hantu Selaksa Angin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kediaman Ladului di kaki timur Bukit Batu Kawin, orang itu mereka temui dalam
keadaan tak bernyawa lagi. Laduliu menemui ajal dengan cara sama seperti dialami
Lamahila. Dua buah pisau menancap di leher dan dada tepat
jantungnya! "Kejam sekali! Aku bersumpah mencari sampai dapat
siapa pembunuh keji itu!" kata Luhcinta sambil kepalkan jari-jari tangannya.
Luhsantini melangkah ke pintu. Namun dia berpaling kembali, memperhatikan mayat
Laduliu. "Ada apa Luhsantini?" tanya Luhcinta.
"Tunggu dulu. Mayat ini. Aku mau memeriksa sekali
lagi..." jawab Luhsantini. Lalu perempuan ini berbalik dan jongkok di samping
mayat Laduliu. Sepasang matanya memperhatikan lekat-lekat wajah dan sosok mayat.
"Ini bukan Laduliu!" kata Luhsantini sesaat kemudian. "Aku ingat betul. Pembantu
Lamahila bernama Laduliu itu bertubuh agak kurus, sudah tua. Yang mati ini
bertubuh agak gemuk dan masih muda..."
Paras Luhcinta berubah. Seberkas harapan muncul
dalam hatinya. "Berarti... Jangan-jangan si pembunuh telah kesalahan tangan.
Salah sasaran. Dia menemui orang ini di dalam rumah, mengiranya Laduliu lalu
membunuhnya..."
"Jalan pikiranmu sama denganku!" kata Luhsantini.
"Berarti kita masih ada kesempatan. Mencari Laduliu!"
Luhcinta pegang tangan kerabatnya itu lalu menariknya.
"Kita harus bertindak cepat..." katanya. Kedua perempuan itu segera tinggalkan
tempat tersebut.
*** WIRO SABLENG HANTU SELAKSA ANGIN
10 ANTU Selaksa Angin lari sekencang yang bisa
dilakukannya. Saking cepatnya dia berlalu hanya
Hkelebatan warna kuning jubahnya saja yang
kelihatan. Setelah mendengar percakapan Hantu Langit Terjungkir dengan Si
Penolong Budiman nenek ini dengan perasaan hati penuh gembira meninggalkan
telaga, lari menuju kawasan pantai selatan di mana terletak Teluk
Labuntusamudera. Di teluk ini terdapat sebuah goa.
Seperti diceritakan sebelumnya di dalam goa inilah si nenek selalu menemui
gurunya, suatu makhluk tanpa ujud bernama Sang Datuk yang hanya dikenal lewat
suaranya saja. "Lasedayu! Lasedayu! Aku mau kawin! aku mau kawin
dengan kakek itu! Hik... hik... hik...! Bagaimana rasanya kawin! Apa aku pernah
kawin sebelumnya" Aku tak ingat Tapi hik... hik! Pantatku rasanya jadi gatal!"
Ketika matahari mulai condong ke barat, sepasang
telinga Hantu Selaksa Angin mulai mendengar deru ombak di kejauhan. Hatinya
gembira. Debur ombak yang terdengar pertanda dia sudah dekat ke tempat tujuan.
Agar lebih cepat sampai di goa, Hantu Selaksa Angin sengaja
menempuh jalan setapak, memintas langsung tanpa harus berputar mengikuti teluk.
Selagi berlari kencang dengan perasaan penuh suka
cita tiba-tiba si nenek kerenyitkan kening. Di jalan setapak yang lurus dia
melihat satu pemandangan aneh. Di depan sana ada seorang kakek mengenakan jubah
coklat gelap, berkepala agak botak. Kumis, janggut dan alis putih. Kakek ini
duduk menjelepok seenaknya di tengah jalan. Sepasang matanya terpejam-pejam.
Tangan kirinya memegang
sebatang pipa berwarna kuning yang asyik disedotnya sampai pipinya terkempotkempot. Asap tembakau yang menebar bau harum aneh mengepul dari ujung pipa
kuning. Ketika Hantu Selaksa Angin sampai di hadapan si kakek, karena jalan
setapak itu kecil dan sempit dengan sendirinya dia tidak bisa terus lewat dan
terpaksa berhenti.
Berdiri sedekat itu Hantu Selaksa Angin jadi berdebar dadanya. Pipa kuning si
kakek tak dikenal ternyata terbuat dari emas murni! Hati si nenek jadi tergerak.
Seperti diketahui nenek satu ini sangat suka pada setiap benda berwarna kuning,
apalagi yang terbuat dari emas. Sampai saat itu di lehernya masih tergantung
kalung sendok emas sakti yang pernah dirampasnya dari tangan Lakasipo sewaktu
hendak diserahkan pada Hantu Langit Terjungkir.
"Pipa dari emas. Wahai bagusnya! Siapa gerangan
adanya kakek beralis putih ini?" membatin Hantu Selaksa Angin. Diam-diam hatinya
mulai tergoda ingin memiliki pipa emas itu. Namun begitu dia ingat Lasedayu yang
ingin mengawininya itu, si nenek serta merta menegur.
"Makhluk tolol! Mengapa melintang di tengah jalan! Aku mau lewat! Harap beri
jalan!" Kakek beralis putih yang duduk di jalan setapak sedot pipanya dalam-dalam sampai
dua pipinya menjadi kempot lalu hembuskan asap tembakau dari mulut dan
hidungnya. Bau harum aneh tembakau menebar ke mana-mana.
Perlahan-lahan si kakek buka dua matanya. Dua mata ini tidak segera memandang ke
arah si nenek, tapi
mendongak dulu ke arah langit. Lalu dari mulutnya yang ompong keluar suara tawa
berderai, lama dan panjang. Dia tertawa seperti dibarengi satu perasaan mendalam
hingga dari sudut-sudut matanya meleleh air mata.
"Tujuh hari tujuh malam menunggu! Ternyata tidak sia-sia! Akhirnya orang yang
aku tunggu datang juga!" Ucapan itu keluar dari mulut kakek berjubah coklat tua.
"Kakek tolol! Tujuh hari tujuh malam kau menunggu!
Menunggu siapa"! Ayo lekas menyingkir atau mau kuinjak kepalamu yang botak!"
Si kakek yang duduk di tanah cabut pipanya dari sela bibir, memutar bola matanya
menatap ke arah si nenek sambil hembuskan lagi asap tembakau dari mulutnya. Lalu
dalam keadaan masih duduk dia bungkukkan badan
memberi hormat.
"Tujuh hari tujuh malam menunggu. Siapa lagi kalau bukan menunggu dirimu wahai
nenek agung berwajah
kuning! Nenek tercantik di kawasan Negeri Latanahsilam!
Hatiku senang, hatiku puas! Jerih payahku menunggu saat ini telah terbayar! Aku
mengucapkan selamat datang dan selamat bertemu denganmu wahai Hantu Selaksa
Angin alias Hantu Selaksa Kentut!"
Butt prett! Si nenek pancarkan kentutnya. Setelah pandangi si
kakek dengan sepasang matanya yang kuning, dia berkata.
"Baru sekali bertemu kau sudah memuji! Pujianmu
membuat aku curiga! Siapa kau adanya kakek alis putih!
Mengapa berani menghadang jalanku! Apa keperluanmu sengaja menunggu aku di
tempat ini sampai tujuh hari tujuh malam!"
Si kakek alis putih kembali membungkuk.
"Aku yang rendah bukan orang terkenal seperti dirimu.
Hingga kalaupun kusebutkan siapa diriku kau pasti tidak tahu..."
"Kau tak perlu bicara panjang lebar. Katakan saja siapa namamu apa keperluanmu!
Kalau kau terlalu banyak
bicara akan kusumpal mulutmu dengan kentutku!"
"Maafkan diriku wahai Hantu Selaksa Angin. Orang
hebat sepertimu tentu banyak kepentingan, banyak
urusan. Aku harus tahu diri, tak boleh mengganggu terlalu lama. Wahai, jika kau
ingin tahu namaku, panggil saja diriku yang rendah ini Hantu Berpipa Emas!"
"Hantu Berpipa Emas! Tak pernah aku dengar nama itu sebelumnya!" kata si nenek
sambil cibirkan mulut.
"Itulah! Sudah kukatakan tadi, aku bukan orang
terkenal seperti dirimu..."
Dalam hati si nenek berkata. "Kau bisa saja bukan
orang terkenal. Tapi aku dapat mengukur. Kau memiliki ilmu kepandaian tinggi di
balik sikapmu yang penuh hormat dan pandai bicara!"
"Kau sudah menyebut siapa dirimu! Sekarang katakan apa keperluanmu menghadang
diriku di tengah jalan begini rupa!"
"Maafkan diriku! Aku bukan menghadangmu wahai
Hantu Selaksa Angin. Aku menunggumu di sini. Tujuh hari tujuh malam penuh sabar.
Aku menunggumu karena
hendak menyerahkan satu barang sangat berguna!"
"Barang apa"!" tanya si nenek.
Hantu Berpipa Emas cabut pipanya dari mulut lalu
mengetuk-ngetukkan pipa ini ke pahanya hingga tembakau yang menyala jatuh ke
tanah. Ujung pipa ditiup-tiupnya beberapa kali sampai bersih, lalu badan pipa
emas itu disekanya dengan ujung jubahnya hingga berkilat-kilat.
Setelah membersihkan, pipa itu diangsurkannya ke arah si nenek.
"Pipa emas ini. Benda inilah yang akan kuserahkan
padamu! Harap kau sudi menerima dengan hati gembira karena aku menyerahkan
dengan hati ikhlas!"
Walau setengah tak percaya bakal mendapat rezeki
besar seperti itu si nenek sambil tersenyum ulurkan tangannya hendak mengambil
pipa. Namun sebelum
sempat jari tangannya menyentuh pipa emas itu si kakek alis putih tiba-tiba
menarik pipa. "Kurang ajar! Kau mempermainkan aku!" bentak si
nenek gusar. "Harap maafkan diriku yang rendah wahai Hantu
Selaksa Angin," kata si kakek alis putih sambil
membungkuk. "Siapa berani mempermainkanmu. Aku
hanya ingin mengatakan sesuatu terlebih dulu sebelum menyerahkan pipa emas ini
padamu..."
"Mengatakan apa"!" sentak Hantu Selaksa Angin jadi tak sabaran.
"Maksudku begini... Pipa ini jelas-jelas dan pasti akan kuserahkan padamu. Tapi
sebagai gantinya aku minta sesuatu darimu. Pasti kau tidak keberatan dan setuju
saja..." "Kau minta ganti sesuatu" Sesuatu apa?" tanya si
nenek. "Aku tahu, di balik dada pakaianmu tergantung sebuah sendok emas. Kalungmu sudah
begitu banyak. Sendok
buruk yang satu itu tentu tak ada harganya bagimu. Ini terimalah pipa emasku.
Berikan padaku sendok emas
itu..." Hantu Selaksa Angin tak segera menjawab. Tangan
kirinya meraba ke dada di mana tergantung sendok emas yang disebut Sendok
Pemasung Nasib. Kebimbangan
terlihat di wajahnya yang kuning. Melihat ini Hantu Berpipa Emas segera membuka
mulut. "Apa yang kau bimbangkan. Sendok butut yang ada
padamu walau terbuat dari emas tak ada artinya dengan pipa ini. Pipa emas ini
belasan kali lebih berat dari sendok itu. Jika kau gantung di lehermu, kau akan
kelihatan lebih gagah dan agung! Apa kau tidak suka pada pipa emas ini?"
"Aku suka, tapi sendok yang kau minta tak bisa
kuberikan!"
"Wahai, mengapa begitu?"
"Sendok itu sudah kujanjikan pada seseorang yang
pernah menolongku!"
Hantu Berpipa Emas kembali perdengarkan tawa
berderai sampai air matanya membasahi sudut-sudut
matanya. "Janji masa sekarang setipis kabut di pagi hari. Begitu mentari muncul kabutpun
hilang! Janji masa sekarang sulit dipertahankan, apalagi kalau kita memiliki
kepentingan dan pilihan lebih utama. Aku tahu, bukankah sendok emas itu hendak
kau berikan pada seorang pemuda asing
bernama Wiro Sableng"!"
Terkejut si nenek mendengar kata-kata Hantu Berpipa Emas itu. "Bagaimana kau
bisa tahu"!"
"Tak ada gunanya sendok itu kau berikan pada pemuda asing itu wahai Nenek
Selaksa Angin. Lagipula pemuda itu entah berada di mana sekarang. Mungkin juga
sudah menemui ajal karena banyak pihak yang ingin merenggut nyawanya! Bukankah dia
yang selama ini dikabarkan
berbuat mesum di mana-mana"!"
Kebimbangan semakin nampak di wajah si nenek.
Si alis putih kembali mengipas. "Sendok itu selama ini hanya bisa kau jadikan
sebagai hiasan tak berguna. Tapi kalau kau memiliki pipa ini, lihat apa yang
bakal dapat kau lakukan!" Habis berkata begitu si kakek kerahkan tenaga dalamnya
lalu hantamkan pipa kuning ke arah sebuah batu besar yang terletak sekitar tiga
tombak di sebelah sana.
Wusss! Selarik sinar kuning berkiblat.
Byaaarr! Batu besar di sebelah sana mengeluarkan suara seperti hancur tapi tetap terlihat
utuh tak bergerak. Namun ketika si kakek meniup ke depan, batu besar itu berubah
menjadi debu dan beterbangan ke udara!
Sementara Hantu Selaksa Angin terkejut dan terbelalak, Hantu Berpipa Emas
tergelak-gelak sampai kucurkan air mata.
"Hantu Selaksa Angin, harap maafkan diriku yang
rendah. Jangan anggap aku sengaja membanggakan ilmu kepandaian padamu. Aku hanya
sekedar ingin memperlihatkan bahwa pipa emas ini jauh lebih berharga daripada sendok butut
itu!" Si nenek tak dapat lagi menahan dorongan hatinya.
Segera saja dia tanggalkan Sendok Pemasung Nasib dan menyerahkannya pada si
kakek. Padahal sendok sakti ini adalah satu-satunya benda yang bisa
mengembalikan kesaktian Hantu Langit Terjungkir serta membuatnya bisa berdiri secara wajar
kaki di bawah kepala di atas. Pada ujung sendok emas itu masih melekat pusar
Hantu Langit Terjungkir yang dulu dicungkil oleh Hantu Muka Dua. Pusar itu kini
seperti telah membatu, kotor tertutup debu tebal.
Begitu sendok diangsurkan ke arahnya, Hantu. Berpipa Emas langsung menyambar.
Lalu sambil membungkuk dia mengucapkan terima kasih berulang kali.
"Aku sudah memberikan sendok yang kau minta!
Sekarang lekas serahkan pipa emas itu!" kata si nenek seraya ulurkan tangannya,
siap untuk mengambil.
"Wahai! Aku sampai terlupa!" kata si kakek. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.
Astaga! Ternyata kakek ini memiliki tubuh jangkung luar biasa. Sosoknya sampai
satu setengah kali tinggi si nenek hingga Hantu Selaksa Angin terpaksa memandang
mendongak padanya.
"Hantu Selaksa Angin, aku siap menyerahkan benda
yang kau minta!" berucap si kakek. Lalu dia ulurkan tangannya yang memegang pipa
emas. Hanya sesaat lagi si nenek akan menyentuh pipa itu, tiba-tiba Hantu
Berpipa Emas gerakkan tangan kanannya.
Cahaya kuning berkelebat. Ujung pipa menyambar ke
kepala Hantu Selaksa Angin.
Praakkk! *** WIRO SABLENG HANTU SELAKSA ANGIN
11 ANTU Selaksa Angin menjerit keras. Tubuhnya
mencelat sampai dua tombak, tergeletak di jalan
Hsetapak. Ketika dia mencoba bangkit kelihatan luka besar menguak di keningnya.
Mukanya yang kuning
bersimbah darah. Baru saja nenek ini mampu berlutut di tanah, Hantu Berpipa Emas
sudah melompat ke
hadapannya dan tertawa bergelak.
"Nenek tolol! Ilmumu boleh setinggi langit tapi otakmu ternyata sedangkal
kubangan! Ha... ha... ha!"
"Kau menipuku! Keparat jahanam! Kau menipuku! Kau
menyerangku secara pengecut! Kau bakal merasakan
pembalasanku!"
"Kau tak akan punya kesempatan membalas dendam
nenek tolol! Karena aku akan menghabisi riwayatmu saat ini juga!"
Sekujur tubuh Hantu Selaksa Angin bergetar dilanda hawa amarah. Dua tangannya
dinaikkan ke dada, jari-jari yang terkepal dibuka. Dua larik sinar kuning yang
kemudian berubah menjadi putih memancar pada dua
tangan si nenek. Bau harumnya setanggi menyambar


Wiro Sableng 116 Hantu Selaksa Angin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidung. Bersamaan dengan itu udara terasa sangat dingin.
"Ha... ha... ha! Kau hendak keluarkan Pukulan Salju Putih Latinggimeru! Aku mau
lihat sampai di mana kehebatan ilmu kesaktian itu. Tapi harap kau terima dulu
hadiah dariku!" Kakek alis putih tertawa bergelak. Lalu wuuutt! Kaki kanannya
menderu ke dada orang. Kalau tadi darah mengucur keluar dari luka di kening si
nenek maka kini darah menyembur dari mulutnya akibat tendangan jarak dekat itu.
Untuk kedua kalinya Hantu Selaksa Angin terkapar di tanah, menggeliat-geliat
keluarkan erangan panjang dan megap-megap sulit bernafas.
"Nenek tolol, mana kentutmu! Aku mau dengar
kentutmu yang butt preett itu!" ejek Hantu Berpipa Emas.
Tangan kanan memegang pipa emas, tangan kiri
memegang Sendok Pemasung Nasib.
Dalam keadaan setengah sekarat Hantu Selaksa Angin melapat aji kesaktian untuk
merubah dirinya menjadi kepompong. Namun Hantu Berpipa Emas tidak memberi
kesempatan. Dengan pipa emas di tangan kanannya
kembali dia menghantam kepala si nenek. Yang jadi
sasaran kali ini adalah bagian belakang kepala di atas telinga kanan di mana ada
cacat bekas luka lama. Untuk kesekian kalinya Hantu Selaksa Angin terpental.
Terkapar di tanah. Dua sunting yang menancap di kepalanya hancur.
Rambutnya yang kuning berubah menjadi merah oleh
kucuran darah dari luka besar hantaman pipa emas.
"Aku tak ingin mati... Aku tak mau mati! Aku akan
kawin! Lasedayu... Guru... Aku harus menemui Guru..."
kata-kata itu keluar dari mulut si nenek. Dia kumpulkan seluruh sisa tenaga yang
ada dan berusaha bangkit berdiri.
"Sudah mau mampus masih sempat-sempatnya
mengigau!" kata Hantu Berpipa Emas lalu tertawa gelak-gelak. Dia sisipkan pipa
emasnya ke pinggang. Lalu pindahkan Sendok Pemasung Nasib ke tangan kanan.
Begitu Hantu Selaksa Angin mencoba berdiri, Hantu
Berpipa Emas tusukkan sendok emas ke tenggorokan si nenek!
Pada saat itulah tiba-tiba menggelegar satu suitan keras. Disusul berkiblatanya
sinar putih menyilaukan.
Hawa panas tiba-tiba menghampar laksana matahari terik berada satu jengkal di
atas kepala. Serentak dengan itu suara aneh seperti seribu tawon mengamuk
terdengar menyakitkan telinga.
Craaassss! Hantu Berpipa Emas keluarkan jeritan setinggi langit.
Tubuhnya terlempar dua tombak lalu bergulingan di tanah.
Darah membersit ke mana-mana. Di udara tampak
melayang dua buah benda. Yang pertama adalah potongan tangan kanan Hantu Berpipa
Emas. Benda kedua adalah sendok emas yang tadi hendak dicucukkan kakek itu ke
leher Hantu Selaksa Angin!
Satu bayangan putih berkelebat ke udara, dengan cepat menyambar sendok emas.
Lalu dengan gerakan jungkir balik dua kali berturut-turut bayangan putih itu
melayang turun ke tanah. Tepat di samping Hantu Selaksa Angin yang saat itu megap-megap berusaha keras mencoba
berdiri. Tapi roboh kembali. Sebelum tubuhnya jatuh ke tanah, bayangan putih
tadi cepat merangkul pinggangnya.
"Nek, bertahanlah! Aku akan menolongmu!"
Hantu Selaksa Angin masih bisa membuka matanya
untuk melihat siapa yang menolong dirinya. "Kau..."
katanya perlahan lalu butt prett. Sehabis pancarkan kentutnya si nenek langsung
pingsan. Orang yang
menolongnya cepat melakukan totokan pada beberapa
jalan darah si nenek. Darah yang mengucur dari kepala dan meleleh dari mulut
Hantu Selaksa Angin serta merta berhenti. Sambil memanggul sosok si nenek, si
penolong memutar tubuh ke arah Hantu Berpipa Emas yang saat itu jatuh berlutut
di tanah sambil pegangi tangan kanannya yang buntung dan masih terus mengucurkan
darah. Dalam menahan sakit, matanya berkilat-kilat memandang ke arah orang yang
tadi menyerang dan membabat putus tangan kanannya.
"Kapak bermata dua..." desis Hantu Berpipa Emas.
"Pasti dia pemuda asing yang dikatakan Hantu Muka
Dua..." Hantu Berpipa Emas kumpulkan seluruh
kekuatannya. Dia sanggup berdiri namun sekujur tubuhnya saat itu terasa seperti
dipanggang. Ujung tangannya yang buntung hangus kehitaman.
"Aku keracunan. Kapak bermata dua itu pasti
mengandung racun jahat! Celaka!" Hantu Berpipa Emas menggembor keras lalu
balikkan tubuhnya. Terhuyung-huyung kakek ini lari sekencang yang bisa
dilakukannya. Pendekar 212 Wiro Sableng menyeringai. Dia putar
Kapak Naga Geni 212 di tangan kanannya lalu meniup.
Darah Hantu Berpipa Emas yang tadi masih menempel di mata kapak serta merta
sirna. "Sebentar lagi sore akan memasuki senja. Ke-mana
harus kubawa nenek tukang kentut ini!" Wiro memandang berkeliling sambil
berpikir-pikir.
Tiba-tiba secara aneh, seolah mengetahui apa yang
dipikirkan Wiro, si nenek buka matanya sedikit. Dari mulutnya keluar suara
perlahan. "Berjalan ter... terus ke arah kiri. Di balik seder... sederetan pohon
kelapa yang tumbuh rapat. Ada satu goa. Bawa aku masuk ke sana...
Aku mau kawin! Aku harus bertemu Guru memberitahu!"
"Nek, kau mengigau atau bagaimana"!" tanya Wiro.
Namun si nenek hanya menjawab dengan kentut satu
kali lalu pingsan kembali!
"Tua bangka geblek! Sudah mau mati masih juga bisa kentut!" kata murid Sinto
Gendeng dalam hati. Dia
masukkan senjatanya ke balik baju putih, simpan Sendok Pemasung Nasib di balik
pinggang. Lalu seperti yang dikatakan si nenek dia segera berlari cepat ke arah
kiri. Tak lama berlari Wiro temukan goa yang dikatakan si nenek. Tanpa ragu-ragu dia
segera masuk. Di dalam goa yang sejuk itu Wiro bujurkan sosok Hantu Selaksa
Angin di atas lantai.
Baru saja sosok si nenek terbaring tiba-tiba di atas langit-langit goa yang
berbentuk kerucut kelihatan satu cahaya putih berkilat. Bersamaan dengan itu
entah dari mana datangnya, di atas lantai goa jatuh dua buah benda.
Ketika diperhatikan ternyata daun pisang yang dilipat-lipat.
"Aneh, tak ada orang lain di goa ini. Satu-satunya jalan masuk adalah pintu goa
sebelah sana. Bagaimana dua bungkus daun pisang itu bisa berada di dalam goa"
Siapa yang melemparkan" Jangan-jangan goa ini goa siluman!
Jangan-jangan si nenek tadi hanya mengigau menyuruh aku membawanya ke tempat
ini!" Baru saja murid Sinto Gendeng berkata dalam hati
seperti itu, mendadak cahaya aneh di langit-langit goa menyala lebih terang.
Lalu berkumandang satu suara halus.
"Anak muda berbudi baik. Lekas kau ambil dan
bungkus daun pisang di atas lantai..."
Wiro tersentak kaget. Dia memandang seputar ruangan.
Berpaling ke mulut goa. Dia tak melihat siapa-siapa.
"Anak muda, lekas lakukan apa yang aku katakan!"
"Siapa kau"!" Wiro bertanya sambil kembali
memandang berkeliling.
"Siapa diriku nanti ada yang bakal menerangkan.
Sekarang lekas lakukan apa yang aku katakan. Dalam bungkusan daun pisang sebelah
kanan ada sejenis bubuk putih. Masukkan bubuk itu ke dalam mulut Hantu Selaksa
Angin. Buat agar dia bisa menelan seluruh bubuk. Kalau sudah, ambil bungkusan
daun pisang kedua. Tebarkan bubuk hitam dalam bungkusan itu ke semua luka yang
ada di dada dan kepala Hantu Selaksa Angin. Aku berterima kasih padamu wahai
anak muda!"
"Sunyi, yang bicara tadi itu apa sudah meninggalkan goa ini atau bagaimana?"
pikir Wiro sambil garuk-garuk kepala. Dia ingat pada ucapan makhluk tanpa ujud
tadi. Wiro segera mengambil bungkusan daun pisang di lantai sebelah kanan. Begitu
dibukanya bungkusan itu memang berisi bubuk putih. Dengan cepat bubuk itu
dimasukkannya ke dalam mulut si nenek. Lalu dengan satu totokan
perlahan, lidah si nenek yang tadinya kelu bergerak demikian rupa hingga seluruh
bubuk yang ada dalam
mulutnya masuk ke dalam tenggorokan.
Wiro mengambil bungkusan daun pisang kedua. Di
dalam bungkusan daun pisang ini ditemuinya bubuk hitam.
Sesuai ucapan makhluk tanpa ujud tadi murid Sinto
Gendeng tebarkan bubuk itu pada kening, kepala bagian belakang serta dada Hantu
Selaksa Angin yang cidera berat akibat keganasan kakek bernama Hantu Berpipa
Emas yang kini telah melarikan diri. Dengan ujung jubah kuning yang dikenakan si
nenek Wiro bersihkan noda-noda darah di muka dan kepala Hantu Selaksa Angin.
Sambil menunggu apa yang bakal terjadi dengan si
nenek, Pendekar 212 perhatikan seputar ruangan goa berbentuk empat persegi itu.
Beberapa kali dia mendongak memperhatikan langit-langit goa berbentuk kerucut.
Pada ujung kerucut dia melihat satu titik putih, bersinar seperti permata.
"Goa aneh. Udara di sini terasa sejuk. Apakah ini
tempat kediaman nenek tukang kentut ini" Sombong amat dia punya goa sebagus
ini!" kata Wiro dalam hati. Tiba-tiba dilihatnya sosok si nenek menggeliat. Lalu
ada suara erangan halus. Wiro membungkuk dan tepuk-tepuk pipi kanan Hantu
Selaksa Angin. "Nek, sadar Nek. Nek...!"
Namun nenek itu tidak segera siuman. Wiro garuk
kepalanya. "Mungkin harus kubantu dengan tenaga dalam dan kapak sakti." Wiro
segera keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212. Cahaya kapak memantul ke dinding dan
atap goa. Ketika bertemu dengan titik putih di langit-langit goa, titik putih
memancarkan cahaya terang, menyambar ke arah kapak. Begitu menyentuh mata kapak,
cahaya terang itu berpijar terang dan memecah menjadi empat lalu setiap pecahan
melesat ke arah empat sudut atap goa. Saat itu juga tempat itu menjadi terang
benderang. "Apa yang terjadi"!" ujar Wiro terheran-heran seraya pandangi empat titik
bercahaya terang di empat sudut atas goa. Saat itu tiba-tiba menggema satu suara
yang sulit diduga oleh Wiro dari arah mana datangnya karena suara itu seolah
datang dari empat sudut goa.
"Anak muda, sinar jati diriku mampu bersatu dengan cahaya sakti senjatamu! Itu
satu pertanda kita saling berjodoh!"
Murid Sinto Gendeng tersentak kaget. "Yang bicara ini lelaki atau perempuan?"
pikir Wiro. "Makhluk tanpa ujud itu menyebut-nyebut soal jodoh. Jangan-jangan
dia minta kawin dengan aku! Celaka!"
"Orang yang barusan bicara! Siapa kau" Apakah aku
bisa melihat dirimu"!"
"Anak muda, teruskan dulu usahamu menolong
muridku. Nanti kita bicara lagi," jawab suara yang orangnya tidak kelihatan itu.
"Aneh... benar-benar aneh," membatin Wiro. Lalu dia letakkan dua tangannya di
atas mata kapak. Perlahan-lahan dia mulai kerahkan tenaga dalam dari perut, naik
ke dada lalu disalurkan pada dua tangannya. Begitu tenaga dalam memasuki kapak
dan mengalir ke dalam dada si nenek, sosok Hantu Selaksa Angin tersentak keras.
Dari mulutnya keluar suara erangan panjang. Lalu begitu suara erangan lenyap,
dari bagian bawah tubuh si nenek
memancarkan kentut. Kali ini tidak seperti biasanya, kentut si nenek panjang
bertalu-talu seolah-olah tidak ada putus-putusnya dan menebar bau busuk sekali.
"Sialan! Bisa tanggal hidungku!" maki Wiro. Dia segera ambil kapaknya,
menghambur keluar goa dan meludah-ludah berulang kali sambil gosok-gosok
hidungnya. Tak selang berapa lama di dalam goa terdengar suara dari orang tanpa
ujud tadi. "Anak muda, kau telah menyembuhkan muridku! Aku
berterima kasih padamu. Sekarang masuklah kembali ke dalam goa!"
Sambil menekap hidungnya karena khawatir tempat itu masih dipenuhi bau kentut
busuk, Wiro masuk ke dalam goa. Begitu masuk dilihatnya nenek muka kuning telah
duduk di lantai, bersandar ke dinding, memandang ke arahnya. Si nenek tersenyum
padanya. Tapi ketika melihat Wiro menekap hidungnya dia langsung bertanya.
"Mengapa kau masuk sambil memencet hidung!
Memangnya aku atau tempat ini bau?"
"Tadi memang bau Nek. Kentutmu membuncah tempat
ini! Hidungku seperti disambar petir!"
"Kentutku tak pernah bau! Saat ini aku tidak mencium bau apa-apa! Jangan kau
mengada-ada...!"
"Tadi Nek, waktu aku menolongmu. Mungkin sekarang
baunya sudah hilang!" kata Wiro pula lalu lepaskan jarinya yang dipakai memencet
hidung. "Benar Nek, sekarang bau kentut busuknya sudah hilang!"
Hantu Selaksa Angin tertawa cekikikan.
"Nek, tadi ada orang bicara di tempat ini. Ada suara tapi orangnya tidak
kelihatan..."
"Tunggu!" si nenek memotong. "Tadi kau bilang
menolongku. Menolong apa?"
Belum sempat Wiro menerangkan tiba-tiba suara tanpa ujud memenuhi seantero goa.
"Muridku Hantu Selaksa Angin, pemuda itu telah
menyelamatkan jiwamu. Dia membawamu ke tempat ini
dalam keadaan sekarat bersimbah darah... Apa yang
terjadi dengan dirimu sebelumnya?"
Hantu Selaksa Angin tampak kaget "Guru aku..." Si
nenek perhatikan pakaiannya. Dua tangannya, lalu
mengusap muka dan meraba rambutnya. Lalu ditariknya belasan kalung yang
bergelantungan di lehernya. Matanya memperhatikan gelang-gelang kuning di kedua
tangannya. Kemudian satu-satunya sunting kuning yang masih
melekat di kepalanya dicabutnya. Dia memandang
berkeliling lalu menatap ke langit-langit goa. "Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud!
Apa yang terjadi dengan diriku..."!"
"Wahai, apa maksud pertanyaanmu itu, muridku?"
"Jubah kuning ini, sunting kuning, gelang kuning,
kalung-kalung kuning. Kulit tanganku. Bahkan rambutku!
Semua berwarna kuning! Mengapa aku berdandan seperti ini"! Apa yang terjadi
dengan diriku!"
"Muridku, sesuatu agaknya telah terjadi dengan dirimu.
Suaramupun kini terdengar berubah! Wahai para Dewa jika ini benar-benar terjadi
aku bersimpuh di hadapanmu menghaturkan rasa terima kasih atas rakhmatmu..."
"Guru..."
"Muridku, selama ini kau menyebut dirimu Hantu
Selaksa Angin, terkadang Hantu Selaksa Kentut. Kau juga acap kali memakai nama
Luhkentut! Jika rakhmat
penyembuhan dari para Dewa telah menjadi bagianmu, aku bertanya sekarang. Apakah
kau ingat siapa namamu sebenarnya?"
"Namaku sebenarnya?" ujar Hantu Selaksa Angin. "Kau bergurau Guru. Masakan aku
tidak ingat namaku sendiri.
Aku Luhpingitan..."
"Muridku! Dewa telah memberikan kesembuhan
padamu! Ingatanmu telah pulih kembali! Wahai!
Bagaimana keajaiban ini bisa terjadi"! Muridku, aku akan mengajukan beberapa
pertanyaan lagi. Aku ingin
membuktikan bahwa kesembuhan benar-benar telah kau alami!"
"Aku tidak mengeri Guru..." ujar si nenek. Dia berpaling pada Wiro dan bertanya.
"Kau mengerti?" Murid Sinto Gendeng menggaruk lalu gelengkan kepala.
"Muridku, aku pernah menuturkan padamu perihal
riwayat pertama kali aku menemui dirimu. Aku akan
mengulanginya kembali. Kau kutemukan pertama kali
tergeletak pingsan di muara sungai Lahulupanjang.
Menurut kabar yang aku sirap pada masa itu, di sebelah utara telah terjadi
malapetaka air bah besar. Mungkin sekali kau salah satu korban yang dihanyutkan
banjir tetapi selamat tak sampai menemui ajal. Apakah kini
penuturanku itu bisa mengingatkanmu pada apa yang
sebenarnya telah kau alami puluhan tahun silam?"
Sepasang mata kuning Hantu Selaksa Angin terbuka
lebar, memancarkan sinar aneh. Dia menatap ke langit-langit kamar, memandang
seputar ruangan lalu
memperhatikan ke arah mulut goa. Tiba-tiba nenek ini mulai terisak-isak. Suara
isakannya berubah menjadi tangisan dan berlanjut menjadi ratapan panjang yang
menyayat hati. "Nek, kenapa kau menangis...?" tanya Wiro heran.


Wiro Sableng 116 Hantu Selaksa Angin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Muridku... Kau menangis, kau meratap sedih. Berarti pikiranmu mengingat sesuatu
yang terjadi di masa silam.
Katakan padaku muridku. Hentikan tangismu. Ceritakan padaku riwayat masa silam
darimu wahai Luhpingitan..."
"Guru..." Hantu Selaksa Angin meraba ke bagian
belakang kepalanya, di dekat telinga sebelah kanan. "Guru, aku ingat, bukankah
kau pernah mengatakan, ketika kau menemui diriku di muara sungai, pada bagian
belakang kepalaku ini ada satu luka besar akibat benturan benda keras. Mungkin
kepalaku menghantam batu besar sewaktu dihanyutkan banjir. Siang tadi aku
berkelahi melawan seorang mengaku bernama Hantu Berpipa Emas. Dia
hendak merampas sebuah sendok emas..." Si nenek ingat.
Dia segera tanggalkan semua kalung yang menggelantung di lehernya. Lalu menjerit
"Sendok itu! Sendok emas sakti itu hilang!" Si nenek langsung hendak menggerung.
Wiro cepat keluarkan Sendok Pemasung Nasib yang
ada dalam saku bajunya dan menyerahkannya pada si
nenek. "Sendok yang kau cari itu kebetulan berhasil kurebut kembali dari Hantu
Berpipa Emas..." Wiro letakkan sendok emas itu di pangkuan si nenek.
Luhpingitan lepaskan nafas lega.
*** WIRO SABLENG HANTU SELAKSA ANGIN
12 URIDKU, barang milikmu yang hilang ternyata
diselamatkan pemuda itu. Lagi-lagi kau berhutang
Mbudi besar padanya. Sekarang teruskan
ceritamu..." kata sang guru yang ada suara tapi tidak menunjukkan ujud itu.
"Hantu Berpipa Emas menghantam kepalaku sampai
dua kali dengan pipanya. Satu kali di kening, satu lagi di bagian belakang
kepala. Tepat di bagian yang dulu pernah cidera akibat benturan keras! Guru,
mungkin hantaman kakek jahat itu tepat di tempat dulu aku kehilangan ingatan,
secara tak sengaja membuat ingatanku kini kembali pulih!"
"Benar muridku. Tapi itu adalah sebab belaka. Yang Kuasa justru yang
menyembuhkan dirimu. Teruskan
ceritamu, Luhpingitan."
"Seingatku waktu itu memang terjadi bencana banjir besar di kawasan tempat
kediamanku. Penduduk setempat tidak berdaya melawan keganasan alam. Aku dan
empat anakku dihanyutkan banjir..." Sampai di sini si nenek kembali tak dapat
menahan tangis.
"Tabahkan hatimu wahai muridku! Kuatkan jiwamu!
Teruskan kisahmu..."
"Datuk... Guru... Aku dan empat anakku dihanyutkan banjir besar. Kami terpisah
bercerai berai. Sampai saat ini aku tidak tahu apakah keempat anakku, semuanya
laki-laki, selamat dari malapetaka..." Sampai di sini Luhpingitan tak dapat lagi
menahan tangisnya.
Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa diam termangu mendengar penuturan si nenek.
Sang guru yang tak berwujud menunggu sampai tangis muridnya mereda.
"Luhpingitan, kau bercerita tentang empat anakmu. Apakah kau ingat nama-nama
mereka?" "Waktu itu mereka masih kecil-kecil. Aku dan suamiku masih belum sempat memberi
mereka nama..."
"Kau dan suamimu! Wahai, kau menyebut suamimu.
Apakah kau ingat siapa nama suamimu?"
"Tentu aku masih ingat Guru. Namanya Lasedayu!"
Wiro tersentak kaget.
Si nenek kerenyitkan kening. "Kau kenal pada
Lasedayu?"
"Nek, aku pernah bertemu beberapa kali dengan kakek itu. Dia yang selama ini
dikenal dengan nama Hantu Langit Terjungkir! Dia pernah menuturkan riwayat
malangnya padaku! Sendok emas yang ada di pangkuanmu itu justru pernah aku minta
untuk menolong dirinya!"
Luhpingitan terpekik. "Lasedayu! Dia! Wahai para Dewa!
Dialah yang menyatakan bersedia mengawini diriku. Dia...
dia suamiku! Aku bertemu dengannya belum lama ini. Aku malah sempat
mempermainkannya! Betapa kurang ajarnya diriku ini! Aku harus segera ke telaga
itu! Aku harus segera menemuinya..."
Si nenek hentikan ucapannya lalu menutup mulut
menahan tawa. "Guru, sebenarnya kedatanganku ke sini adalah untuk memberitahu
padamu bahwa kakek bernama Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu itu mau
mengawini diriku. Ternyata dia adalah suamiku sendiri! Dia tak perlu mengawini
diriku! Karena aku adalah istrinya! Pantas dia menyebut ikan asap, ikan pindang!
Dia memang suka
sekali makanan itu!" Si nenek bangkit berdiri. "Guru, aku minta diri. Wiro
kuharap kau mau menyertaiku ke telaga di mana suamiku berada. Kita sama-sama
menyerahkan sendok emas sakti ini untuk menyembuhkan dirinya..."
"Muridku," tiba-tiba sang Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud keluarkan suara kembali.
"Aku gembira kau telah mengalami kesembuhan. Kegembiraanku malah
bertambah karena kau tahu siapa dan di mana beradanya suamimu yang bernama
Lasedayu itu. Sewaktu kau
pingsan tadi aku telah berkata pada pemuda asing ini yang ternyata adalah
seorang baik-baik. Aku berkata padanya bahwa dia berjodoh dengan diriku..."
Sampai di situ Wiro cepat dekati Luhpingitan dan
berbisik. "Nek, gurumu ini laki-laki atau perempuan?"
"Aku sendiri tidak tahu! Mengapa kau bertanya...?"
"Aku khawatir dia mau minta kawin dengan aku!" jawab Wiro.
"Gila kau! Betapa lancangnya mulutmu!" kata si nenek sambil delikkan mata.
Saat itu goa dipenuhi suara tawa Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud. "Anak muda,
bicara soal jodoh bukan berarti selalu menyangkut perkawinan. Ketika aku melihat
kapak bermata dua yang kau pergunakan untuk menolong
Luhpingitan, aku segera maklum kalau inti ilmu
kepandaian dan kesaktian yang kumiliki sebenarnya
bersumber sama dengan senjata yang kau punyai itu. Aku tak bisa menjelaskan dan
bagimu mungkin tak masuk akal.
Tapi melihat bagaimana titik putih di ujung kerucut bersatu dengan cahaya
senjatamu lalu memecah menjadi empat, itulah satu pertanda bahwa nenek moyang
kita berasal dari rumpun yang sama..."
"Aku tidak mengerti..." kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.
"Kau tak perlu mengerti," jawab makhluk tanpa ujud.
"Aku sudah mewariskan banyak ilmu kepandaianku pada Luhpingitan. Aku bermaksud
meneruskannya padamu
wahai anak muda. Kau akan menerima semua ilmuku dari Luhpingitan..."
"Aku tak berani menerima. Aku tidak punya maksud..."
Si nenek muka kuning tertawa cekikikan. "Wiro, kau mendengar apa ucapan guruku.
Ucapan itu berarti perintah bagiku. Saat ini aku ingin segera menemui suamiku.
Setelah itu semua ilmu kepandaian yang ada padaku akan kuajarkan padamu..."
"Maafkan aku Nek. Bukan aku menolak atau
bermaksud sombong. Tapi betul-betul aku tidak berani menerima kebaikan hatimu
itu..." "Anak muda, saat ini kau menolak, kami tak bisa
memaksa. Tapi di lain waktu jika hatimu terbuka jangan segan-segan memberitahu
muridku bahwa kau bersedia menerima semua pelajaran ilmu kesaktian darinya. Saat
ini biarlah aku berikan satu ilmu kepandaian yang mungkin ada gunanya bagi
dirimu kelak di kemudian hari.
Menataplah ke langit-langit goa. Pusatkan perhatianmu pada titik cahaya yang ada
di ujung kerucut..."
"Datuk, aku tidak berani..."
Ucap Wiro terputus karena tiba-tiba Luhpingitan
mencekal kepalanya dari belakang lalu didongakkan ke atas hingga kepala Wiro
terpentang dan matanya
memandang ke arah titik yang memancarkan cahaya
terang di atas goa. Saat itu juga terdengar suara berdesir.
Titik bercahaya itu melesat ke arah mulut Wiro yang agak terbuka.
Hekkk! Wiro keluarkan suara tercekik ketika ada hawa sejuk aneh meluncur masuk ke dalam
mulutnya, melewati
tenggorokan terus masuk ke dalam tubuhnya. Bersamaan dengan itu empat cahaya
terang yang ada di empat sudut langit-langit goa menderu ke arah kepala Wiro.
Kembali murid Sinto Gendeng merasakan ada hawa sejuk menjalari tubuhnya mulai
dari kepala sampai ke kaki.
"Anak muda bernama Wiro, kau kini menguasai ilmu
yang disebut Empat Penjuru Angin Menebar Suara. Dengan ilmu itu kau bisa bicara
dan suaramu terdengar di empat penjuru hingga orang yang berniat jahat
terhadapmu akan bingung dan ketakutan sendiri..."
"Guru... Datuk... Aku..."
Sang Datuk keluarkan suara tertawa lalu berkata. "Jika kau tempelkan jari
telunjuk dan ibu jari tangan kananmu lalu kau bicara, maka suaramu akan
terdengar di empat penjuru."
"Datuk, aku... Aku ingat. Hantu Tangan Empat juga
memiliki ilmu seperti yang kau berikan padaku ini. Empat Penjuru Angin Menebar
Suara. Apakah...?"
"Tak perlu heran. Hantu Tangan Empat pernah menjadi muridku puluhan tahun silam.
Tapi karena orangnya
bersifat angin-anginan aku hanya memberikan satusatunya ilmu itu padanya. Sekarang aku harus pergi.
Selamat tinggal anak muda. Jika ada kesempatan, di lain waktu kita akan bertemu
lagi. Muridku Luhpingitan, aku segera meninggalkan goa ini. Ingat, kau punya
kewajiban untuk mengajarkan semua kesaktianmu pada pemuda
itu..." "Akan aku lakukan Datuk," kata Luhpingitan pula.
Wiro merasa ada angin menyambar di hadapannya.
Lalu di atas sana cahaya putih benderang di atas langit-langit yang berbentuk
kerucut sirna tanpa bekas.
"Guru sudah pergi. Sekarang saatnya kita
meninggalkan goa ini," kata Luhpingitan pula. Lalu tanpa malu-malu nenek ini
pegang lengan Wiro dan menariknya keluar goa. Di luar ternyata sang surya mulai
menggelincir memasuki titik tenggelamnya.
Sambil berlari mengikuti si nenek Wiro berkata. "Nek, aku gembira kau mengalami
kesembuhan dan bisa
mengingat masa silammu kembali. Tapi aku melihat satu kelainan pada dirimu."
Hantu Selaksa Angin hentikan larinya. "Kelainan apa maksudmu, Wiro?"
"Sejak kau keluarkan kentut yang baunya gila-gilaan itu, kuperhatikan kau tidak
kentut-kentut lagi!"
"Eh, apa iya?" si nenek jadi bertanya sambil usap-usap pantatnya.
"Aku tidak dusta. Aku mengira mungkin kau tidak mau berlaku kurang ajar di
hadapan gurumu," kata Wiro pula.
"Memang, seharusnya aku sudah kentut beberapa kali hah" Kalau aku tidak kentutkentut bisa jadi penyakit kentutku sudah sembuh keseluruhan. Biar kucoba dulu!"
Si nenek lalu angkat sedikit jubah kuningnya lalu
songgengkan pantatnya. Sampai matanya mendelik dan keningnya keringatan tetap
saja kentutnya tidak mau keluar. Si nenek keluarkan suara mengedan.
"Sudah Nek, jangan dipaksa!" kata Wiro. "Nanti yang keluar bukan angin tapi
induknya alias kecepirit!"
Tapi Hantu Selaksa Angin masih mau mencoba. Dia
goyang-goyangkan pantatnya yang disonggengkan.
Kentutnya tak mau juga keluar.
"Sudah Nek, ayo kita lanjutkan perjalanan. Jangan
dipaksa kentut kalau memang tidak bisa!"
Si nenek tidak perduli. Dan kembali goyang-goyangkan pantatnya. Saking kesalnya
Wiro tepuk pantat Hantu Selaksa Angin dengan tangan kirinya.
Butt prett! Si nenek langsung pancarkan kentutnya. Lalu dia
tertawa cekikikan melihat Wiro melompat jauhkan diri.
TAMAT Episode Berikutnya: MUKA TANAH LIAT
Lembaran Kulit Naga Pertala 3 Pendekar Slebor 57 Patung Kepala Singa Lahirnya Sang Pendekar 2

Cari Blog Ini