Wiro Sableng 126 Badik Sumpah Darah Bagian 2
kawan! Jika dia tidak mau bunuh diri, biar aku menunjukkan bagaimana caranya
mampus! Ha... ha... ha!"
Lelaki yang tadi melemparkan golok renggutkan senjata itu dari pegangan Loh
Gatra. Ketika dia
hendak membacok, Loh Gatra berseru sambil tekap kepalanya.
"Tunggu! Apa salahku"! Mengapa kalian mau membunuhku"!"
Orang yang hendak membacok tahan gerakannya. Dengan ujung lidahnya dia jilat
badan golok lalu
berkata. "Kau layak mampus karena berserikat dengan orang-orang yang hendak
mencelakai Adipati
Jatilegowo dari Salatiga!"
"Kalau begitu, apakah kalian ini orang-orang Kadipaten Salatiga?" tanya Loh
Gatra. "Ha... ha! Bedebah ingusan ini cerdik juga akalnya!"
"Dengar," kata Loh Gatra. "Aku tidak berserikat dengan siapapun. Aku tidak punya
maksud hendak mencelakai Adipati Salatiga."
"Begitu" Lalu saat ini kau tengah menuju ke mana"!"
Loh Gatra tak menjawab.
Yang menjawab malah kawan orang tadi. "Bukankah kau tengah dalam perjalanan ke
bukit kapur"
Mencari seorang bernama Kakek Segala Tahu"! Bukankah kau ditugaskan untuk
mencari seorang
pendekar yang bisa membunuh Adipati Jatilegowo"!"
Loh Gatra terkejut mendengar brondongan pertanyaan itu. Jika tiga orang ini
benar dari Kadipaten
Salatiga, bagaimana mereka bisa tahu bahwa dia tengah dalam perjalanan menuju
bukit kapur, mencari
kakek Segala Tahu dan mencari seorang pendekar untuk dimintai bantuan menghadapi
Adipati Jatilegowo. Mungkin benar sekali dugaan kakeknya bahwa ada musuh dalam selimut
di gedung Kadipaten. Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
16 "Monyet ingusan! Mengapa kau mendadak menjadi bisu tak bisa bicara" Apa barusan
ditampar setan gagu"! Hah"!"
"Dia tak mau bunuh diri! Biar aku yang mempesiangi dirinya!" Lelaki paling kanan
cabut golok yang
tersisip di pinggang lalu langsung dibacokkan ke kepala Loh Gatra. Cucu Ki Sarwo
Ladoyo ini cepat
rundukkan kepala sambil tarik tali kekang kuda menjauhi penyerangnya. Gagal
menghantam sasaran
pada gebrakan pertama, orang tadi memburu dengan serangan berikutnya. Dengan
cekatan kembali Loh
Gatra mengelak sambil menjauh. Dua teman si penyerang jadi marah. Keduanya
melompat dari kuda
masing-masing. Dua golok berdesing di udara. Melihat gelagat bakal menerima
celaka begini rupa Loh
Gatra segera meluncur turun dari atas kuda. Sambil turun kaki kirinya bergerak
menendang menghantam
pangkal leher kuda salah seorang penyerang.
"Kraaakkk!" Tulang leher kuda itu remuk. Binatang tinggi besar ini meringkik
keras, angkat dua kaki
depan. melemparkan penunggangnya lalu lari seperti kesetanan namun beberapa
belas langkah di depan
sana roboh ke tanah!
Tiga penghadang tersentak kaget. Tidak mengira pemuda yang mereka anggap masih
ingusan itu memiliki ilmu silat tinggi. Loh Gatra sendiri setengah terheran-heran. Tidak
menyangka dia punya
kemampuan sanggup menghantam kuda lawan. Karena selama ini dia hampir tidak
pernah berkelahi.
Namun dia tidak bisa berpikir panjang. Saat itu tiga orang yang mengeroyoknya
kembali lancarkan
serangan. Dikeroyok tiga hanya mengandalkan tangan kosong bagaimanapun sebat dan
cepatnya gerakan Loh Gatra, pemuda yang tidak berpengalaman ini akhirnya terdesak hebat.
Bahu kiri pakaiannya
robek besar dimakan ujung golok salah seorang pengeroyok. Dia merasa perih dan
terkejut ketika melihat
ada darah merembes membasahi pakaiannya. Dia terluka!
Rasa kawatir akan keselamatan dirinya mulai menyelinap Loh Gatra. Tapi bila dia
ingat tugas besar
yang tengah dijalaninya, demi Nyi Larasati yang diam-diam memang dikaguminya,
pemuda ini kembali
bersemangat. Dia kerahkan seluruh kepandaian. Keluarkan jurus-jurus terhebat
dari ilmu silatnya. Satu
kali dia berhasil menjotos dada salah seorang lawan hingga terpental, terguling
di tanah. Begitu bangkit
terbungkuk-bungkuk, Loh Gatra melihat di mulut orang itu ada lelehan darah!
Melihat darah lawan
keberanian Loh Gatra laksana disulut. Dia mengamuk. Tubuhnya berkelebat cepat.
Gerakan enteng.
Tendangan dan jotosannya tidak terduga. Namun lagi-lagi dia kalah pengalaman.
Setelah menggebrak tiga lawan sampai enam jurus, memasuki jurus selanjutnya Loh
Gatra mulai keteteran. Tenaga laksana terkuras. Gerakan-gerakan mulai melemah. Serangannya
mengendur, daya
pertahanan ambruk.
"Wuuuttttt!"
Golok lawan berkelebat di udara.
"Breettt!"
Dada pakaian Loh Gatra robek besar Pemuda ini cepat melompat mundur dan dapatkan
pakaiannya di bagian dada basah merah oleh darah. Sesaat kemudian baru dia merasa sakit
yang amat sangat. Loh
Gatra melangkah mundur, mukanya pucat. Dua lawan melompat sambil babatkan golok.
Satu ke leher, satu ke arah perut. Loh Gatra mundur. Berusaha selamatkan diri. Tapi salah satu
kakinya tertekuk. Dia tak
punya kesempatan lagi untuk mengelak selamatkan diri. Dia hanya bisa terduduk
pasrah, menunggu
kematian dengan mata membeliak.
Hanya sekejapan lagi dua golok akan membabat leher dan perut cucu Ki Sarwo
Ladoyo itu, tiba-tiba
terdengar suara siulan. Lalu dua benda hitam sebesar ujung ibu jari tangan
melesat di udara. Dan!
"Croosss!"
"Croosss!"
Dua orang penyerang menjerit keras. Sama-sama jatuhkan golok mereka. Sama-sama
pegangi mata kanan. Darah mengucur dari mata kanan mereka, membasahi pipi dan jari-jari
tangan! Tidak sanggup
menahan sakit, dua orang ini jatuhkan diri di tanah, meraung sambil bergulingan!
Kawannya yang tidak
tahu apa-apa terkejut heran melihat dua kelakuan temannya itu. Apa yang terjadi"
"Kalian kenapa" Jawul! Ronggo! Kalian kenapa?" Orang itu berteriak lalu dekati
temannya yang bernama Jawul. Dia angkat tangan yang dipakai menutupi mata kanan. Ternyata mata
itu telah pecah.
Sebuah benda hitam melesak di sebelah dalam rongga. Ketika dia memeriksa
kawannya yang satu lagi,
hal yang sama ditemukan.
"Gondo! Bunuh! Bunuh pemuda itu! Dia memecahkan mataku!" kata Ronggo lalu
kembali menggerung kesakitan.
Lelaki bernama Gondo berbalik. Memandang melotot ke arah Loh Gatra yang masih
terduduk dengan
muka pucat, bersimbah darah di bagian dada.
"Tidak mungkin! Tidak mungkin monyet ingusan keparat ini yang melakukan. Aku
lihat sendiri, dia
dalam keadaan tidak berdaya! Lalu siapa"!" Gondo memandang berkeliling.
"Hah"!"
Pandangannya tiba-tiba membentur sosok seorang pemuda yang duduk enak-enakan di
atas Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
17 serumpunan semak belukar. Di atas semak belukar! Gondo kerenyitkan kening. Mana
ada orang bisa duduk di atas semak belukar kalau tidak memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi
luar biasa! Gondo buka
matanya lebar-lebar. Seperti tidak percaya apa yang dilihatnya.
Loh Gatra yang melihat Gondo mendelik besar tapi tidak ditujukan ke arahnya dan
sejak tadi ikut
bingung sendiri tidak tahu apa yang terjadi dengan dua penyerangnya, palingkan
kepala ke belakang,
memandang ke arah yang dilihat Gondo. Seperti Gondo dia juga terkejut ketika
melihat ada pemuda
duduk di atas semak belukar sambil makan buah jamblang. Dan ketika memandang
padanya pemuda tak
dikenal itu tertawa lebar, malah lambaikan tangan.
Pemuda itu berpakaian serba putih. Rambut gondrong sebahu. Di tangan kirinya ada
setangkai buah jamblang. Mulut termonyong-monyong asyik menyantap buah jamblang masak manis
sampai mengeluarkan suara menyiplak. Lagaknya seperti tidak melihat Gondo di tempat
itu. Gondo cekal gagang golok besarnya erat-erat. Sekali lompat dia sudah berada di
depan semak belukar. "Bangsat tengik! Siapa kau!" hardik Gondo. Orang yang ditanya semburkan biji
jamblang yang ada di
dalam mulutnya.
"Plaak!"
Biji jamblang mendarat di kening Gondo. Gondo menjerit kesakitan, pegangi
keningnya yang benjut
dan kucurkan darah. Loh Gatra melengak. Kalau menyembur biasa tidak mungkin
kepala orang dibuat
cidera begitu rupa. Semburan buah jamblang itu pasti disertai kandungan tenaga
dalam tinggi. Siapa
adanya pemuda gondrong itu. Sekarang Loh Gatra menyadari kalau pemuda itulah
yang tadi telah
menyelamatkan dirinya dari dua golok maut dengan cara menghantam mata kanan
Jawul dan Ronggo
dengan buah jamblang hingga pecah!
Amarah Gondo tidak terbendung lagi. Golok di tangan kanannya berkelebat,
menyambar ke pinggang
pemuda yang duduk di atas belukar.
"Eit! Tunggu dulu sobatku!"
Pemuda di atas belukar berseru. Kaki kanannya nyelonong ke depan menekan dada
Gondo hingga gerak serangan Gondo tertahan dan sambaran goloknya tidak mengenai sasaran,
lewat setengah jengkal
di depan dada si pemuda. Ketika pemuda itu dorongkan kakinya dengan keras, tak
ampun lagi Gondo
terjajar ke belakang, jatuh terjengkang di tanah.
"Luar biasa... benar-benar luar biasa!" kata Loh Gatra dengan mata mendelik.
"Untuk bisa duduk di
atas belukar itu saja bukan sembarang orang bisa melakukan. Apalagi melancarkan
gerakan serangan
berupa tendangan! Hebat! Siapa orang itu" Masih muda tapi punya ilmu selangit
tembus!" Di atas semak belukar si gondrong kembali menyiplak makan buah jamblang. Saat
itu Gondo yang tadi jatuh terjengkang, melompat bangun, siap hendak menyerbu dengan golok di
tangan. "Jahanam! Kucincang tubuhmu!" teriak Gondo.
Si gondrong menyembur. Biji buah jamblang melesat keluar dari mulutnya.
"Pletaaakkk!"
Gondo terpekik. Bibirnya pecah. Satu gigi depannya patah dihantam biji jamblang!
"Salah sendiri! Aku bilang tunggu, masih terus menyerang!" si gondrong di atas
belukar berkata. "Hai!
Tadi kau tanya aku ini siapa" Biar kujawab dulu! Aku datang dari neraka! Aku
ingin kau melakukan
sesuatu! Yaitu bunuh diri!"
Gondo melengak dan jadi beringas. Apa yang diucapkan pemuda gondrong itu adalah
sama dengan apa yang dikatakannya pada Loh Gatra tadi.
"Setan alas! Makin cepat kau mampus makin baik!" Gondo putar goloknya hingga
keluarkan suara
berkesiuran. "Hebat juga!" seru pemuda di atas belukar. Kepalanya bergerak kian kemari,
tubuhnya digoyang
miring ke kiri kanan mengelakkan sambaran senjata lawan. Lalu tiba-tiba bukk!
Satu jotosan mendarat di dagu Gondo. Bersamaan dengan itu goloknya direnggut
orang. Gondo masih sanggup berdiri. Namun tubuhnya bergoyang limbung. Hantaman keras pada
dagunya bukan saja
membuat tulang dagu itu retak tapi juga menyebabkan kepalanya kini jadi pencong
miring! Di atas belukar
si gondrong masih duduk menyantap jamblang sedang golok milik Gondo kini ada di
tangan kanannya.
Ketika Gondo melihat pemuda di atas belukar tiba-tiba mengenjot tubuh melayang
turun ke tanah,
putuslah nyalinya. Terlebih lagi ketika dia menyadari bahwa dua kawannya, Jawul
dan Ronggo ternyata
tidak ada lagi di tempat itu, sudah kabur sejak tadi-tadi!
"Gila! Aku tak mau mati berdiri jadi setan penasaran di tempat ini!" rutuk Gondo
dalam hati lalu cepat
putar tubuh, siap untuk kabur.
"Mau buron" Boleh saja! Tapi perlihatkan dulu siapa dirimu sebenarnya!"
Golok di tangan si gondrong berkelebat. Gondo menjerit, mengira tubuhnya akan
terkutung-kutung
dimakan senjatanya sendiri.
"Breettt... breett... breeett!"
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
18 Terdengar suara robeknya pakaian berkali-kali. Tubuh Gondo menggigil, mukanya
seputih kain kafan.
Loh Gatra melengak ternganga melihat bagaimana sambaran-sambaran golok di tangan
pemuda gondrong merobek pakaian Gondo. Kalau dia tidak mengenakan pakaian lain di bawah
pakaiannya yang
robek itu, pasti saat itu dia akan telanjang bugil. Dan Loh Gatra terkejut besar
ketika melihat pakaian yang
dikenakan Gondo di balik pakaiannya yang robek ternyata seragam perwira pengawal
Kadipaten Salatiga!
Wiro Sableng 126 Badik Sumpah Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha... ha! Monyet besar ini ternyata terlepas dari Kadipaten Salatiga!" kata si
gondrong pula. "Siapa
yang memerintah kalian bertiga membunuh pemuda itu"!"
"Tidak ada, tidak ada yang memerintah..." jawab Gondo.
"Lidahmu perlu kubuntungi agar tidak bicara ngaco!" Si gondrong membuat gerakan
hendak menyusupkan ujung golok ke mulut Gondo. Perwira Kadipaten Salatiga ini jadi
ketakutan. "Ampun, jangan... Aku... Kami... kami diperintah oleh Adipati Jatilegowo..."
Gondo akhirnya mengaku.
"Bagus," si gondrong manggut-manggut. "Sekarang aku mau lihat, kau ini monyet
jantan atau betina!"
Si gondrong mendekati Gondo yang kembali jadi ketakutan setengah mati.
"Kau... kau mau apa" Jangan bunuh! Ampun! Jangan!" Gondo menjerit.
Tangan yang memegang golok bergerak dua kali.
"Brett! Breett!"
Pinggang celana Gondo putus. Celana di bagian bawah perut robek besar lalu
merosot ke bawah
menyingkapkan auratnya.
"Ha... ha! Ternyata kau monyet jantan!" Si gondrong tertawa bergelak. "Tapi aku
bisa membuatmu jadi monyet betina!"
"Ampun! Jangan!"
"Mau burungmu aku robah jadi kue apem"!" Si gondrong membentak sambil angkat
golok di tangan
kanan. Gondo tahu apa yang hendak dilakukan si gondrong. Kalau burungnya ditebas putus
dan licin. Dia benar-benar bisa berubah jadi monyet betina!
"Ampun! Jangan!" teriak Gondo. Dalam takutnya Gondo yang sebenarnya memang
perwira muda Kadipaten Salatiga, anak buah Adipati Jatilegowo ini jatuhkan diri di tanah,
berguling, melompat lalu kabur
langkah seribu. Si gondrong tidak mengejar, hanya berkacak pinggang tertawatawa. Loh Gatra yang sadar kalau dirinya telah diselamatkan orang segera lari ke
hadapan pemuda gondrong, jatuhkan diri berlutut di tanah.
"Raden... Kakak Raden, aku Loh Gatra mengucapkan terima kasih. Kau telah
menolongku. Kau telah
menyelamatkan jiwaku."
"Hus! Raden, Kakak Raden! Omongan apa itu"!" kata si gondrong lalu campakkan
golok milik Gondo
ke tanah. "Aku tak tahu harus memanggilmu apa. Tapi aku harus mengucapkan terima kasih.
Lalu kalau boleh
aku ingin menjadi muridmu!"
"Menjadi muridku" Ha... ha... ha!" Si gondrong tertawa dan garuk-garuk kepala.
"Masih muda sudah
ngaco! Sahabat, aku ingin tahu mengapa orang-orang Kadipaten Salatiga yang
menyamar itu ingin
membunuhmu?"
"Ini ada sangkut paut dengan tugas yang diberikan Nyi Larasati," jawab Loh
Gatra. "Nyi Larasati" Siapa dia?"
"Dia randa mendiang Adipati Temanggung. Dia dan kakekku Ki Sarwo Ladoyo
menugaskan aku mencari Kakek Segala Tahu, lalu mencari seorang pendekar berjuluk Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212..." "Hemm... mengapa kau harus mencari dua orang itu?" tanya si gondrong.
"Kadipaten Temanggung dalam keadaan gawat. Ada ancaman besar dari Jatilegowo
Adipati Salatiga.
Gara-gara Nyi Lara menolak pinangannya. Kakak, biar aku ceritakan semuanya
padamu." Lalu Loh
Gatrapun bercerita panjang lebar.
"Tugasmu cukup berat Loh Gatra." kata si gondrong. "Tidak mudah mencari Kakek
Segala Tahu. Kalau dicari sampai sepuluh tahunpun mungkin tidak ketemu. Tapi kalau tidak
dicari dia kadang-kadang
muncul sendiri..."
"Bagaimana dengan Pendekar 212 Wiro Sableng?" tanya Loh Gatra.
"Uhh! Apalagi dia! Namanya saja sableng. Lebih sulit dicarinya dari Kakek Segala
tahu. Sudah, daripada susah-susah tapi tak berhasil lebih baik kau kembali saja ke
Temanggung."
"Kembali ke Temanggung" Aku lebih baik menemui ajal daripada kembali dengan
tangan hampa!"
jawab Loh Gatra. "Kakak, apakah kau mengenal Pendekar 212" Mungkin bisa bantu
mencari dan membawanya ke Temanggung dalam waktu beberapa hari ini?"
Si gondrong tertawa lalu geleng-gelengkan kepala. Dia membalikkan tubuh
membelakangi Loh Gatra.
Dari balik pakaiannya dia mengeluarkan sesuatu. Entah apa yang dilakukannya,
tidak terlihat oleh Loh
Gatra, si gondrong ini kemudian mengambil sehelai daun lebar. Daun itu dilipatlipatnya, ditusuk dengan
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
19 ranting kecil lalu diberikan pada Loh Gatra. Terheran-heran Loh Gatra menerima
daun itu. Belum sempat
dia bertanya si gondrong berkata.
"Serahkan daun itu pada Nyi Larasati. Jangan kau sekali-kali berani membukanya
di tengah jalan.
Ingat, yang boleh membuka bungkusan daun hanya Nyi Larasati."
"Kakak, di dalam lipatan daun ini pasti ada benda berharga. Kalau aku boleh
bertanya benda apakah
adanya?" "Sudah, tak perlu bertanya. Kalau Nyi Lara membukanya kau akan melihat sendiri.
Sekarang jangan
membuang waktu. Lekas kembali ke Temanggung."
"Tapi bagaimana nanti..." Ucapan Loh Gatra terputus. Dia hanya merasakan siuran
angin serta berkelebatnya bayangan putih. Ketika memandang ke depan, astaga! Pemuda gondrong
itu tak ada lagi di
hadapannya. Loh Gatra pandangi lipatan daun yang dipegangnya. Hati kecilnya
mendorong-dorong agar
dia membuka lipatan daun, melihat benda yang ada di dalamnya. Namun jiwa
besarnya memegang
amanat kepercayaan orang membuat dia tidak mau melakukan hal itu.
"Pemuda gondrong itu, ilmunya tinggi sekali. Mungkin lebih tinggi dari Pendekar
212 Wiro Sableng.
Tololnya aku ini. Mengapa tadi tidak kuminta saja bantuannya, kuajak ke
Temanggung"!" Loh Gatra
memukul-mukul keningnya sendiri berulang kali.
* * * Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
20 6 MALAM itu seorang diri di atas pembaringan Sri Kemuning tak bisa memejamkan
mata. Adipati Jatilegowo
belum kembali dari perjalanannya ke Temanggung. Mungkin besok baru pulang.
Kejadian di Kali Tuntang
siang tadi tidak mau pupus dari ingatan Sri Kemuning. Dan wajah pemuda berambut
gondrong yang menurut Paman Rejo bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar 212 setiap saat
terbayang di pelupuk
matanya. Sesekali istri termuda Adipati Salatiga ini mengusap lehernya. Kalau
sudah begitu dia turun dari
pembaringan, melangkah dan berdiri di depan kaca besar. Memandang memperhatikan
tanda kemerahan
di pangkal leher. Bekas kecupan Pendekar 212 Wiro Sableng. Sudah berulang kali
diusapnya, dibasahi
dengan air, namun tanda kemerahan itu tak mau hilang. Akhirnya Sri Kemuning
membiarkan saja. Ada
satu kenangan indah setiap dia meraba lehernya atau melihat tanda kemerahan itu
di kaca. Seumur hidup
belum pernah ada lelaki mengecup lehernya begitu rupa, tidak juga suaminya.
Kecupan Pendekar 212
seolah membakar tubuhnya, membuat darahnya laksana mendidih.
Sri Kemuning kembali baringkan diri di atas tempat tidur, menggeliat beberapa
kali lalu usap kembali
lehernya. "Pemuda itu, dia ternyata orang baik. Kalau tidak dia yang menyelamatkan entah
sudah jadi apa aku
saat ini. Wiro... apakah aku bisa bertemu lagi denganmu?" Sri Kemuning berkatakata sendiri dalam hati.
Jari-jarinya yang halus mengusap tanda kemerahan di pangkal leher. Tangan itu
lalu turun ke dada,
menyusup ke balik pakaian tidurnya yang tipis. Matanya terpejam. Dia
membayangkan jari-jari tangan itu
bukan jari-jari tangannya, tapi jari-jari tangan Wiro. Dia meremas dan mendesah sendiri. Tiba-tiba dia
dikejutkan oleh langkah-langkah berat dan cepat. Lalu pintu kamar terbuka.
Sosok tinggi besar Jatilegowo muncul di ambang pintu. Tidak seperti yang
diperkirakan Sri Kemuning,
sang Adipati kembali lebih cepat.
"Kangmas Jati," sapa Sri Kemuning seraya turun dari pembaringan menyambut
suaminya. "Kangmas
pasti letih. Saya akan meminta pelayan menyiapkan air untuk bersiram. Makanan
dan..." "Tidak usah," jawab Jatilegowo. Di wajahnya memang tidak terlihat bayangan
keletihan, melainkan
gejolak nafsu. "Saat ini aku ingin kau dan Sumini melayaniku. Aku sudah
memberitahu pelayan, menyuruh
dia datang ke kamar ini."
Mendengar ucapan suaminya itu Sri Kemuning hanya bisa tundukkan kepala, Dulu
ketika pertama kali dia dan istri tua sang Adipati diperlakukan seperti itu, Sri Kemuning
menolak karena merasa
diperlakukan seperti binatang. Akibatnya dia ditampar dipukuli. Berkali-kali Sri
Kemuning berusaha
melarikan diri, tetapi selalu tertangkap kembali. Kalau sudah begitu gebukan
datang bertubi-tubi. Akhirnya
perempuan yang dikawini Jatilegowo dalam usia delapan belas tahun itu hanya bisa
pasrah. Mula-mula
dia masih malu dan menangis setiap harus melayani nafsu aneh sang Adipati. Tapi
lama-lama tak bisa
berbuat lain. Apalagi Sumini, madunya berulang kali memberi nasihat agar
mengikuti saja kemauan suami
mereka. "Daripada muka rusak badan remuk, lebih baik menurut saja. Nasib kita punya
suami seorang pejabat tinggi, seorang Adipati. Tapi dia tidak lebih dari seekor binatang buas.
Yang akan menelan kita jika
kita menolak apa saja permintaannya." Begitu kata Sumini ketika satu saat mereka
berada berduaan.
Sementara menunggu kedatangan istri tuanya yang usianya terpaut empat tahun
dengan Sri Kemuning, sang Adipati tak dapat menahan gejolak nafsunya. Ini memang aneh.
Pertemuan dengan Nyi
Larasati yang membuatnya terpaksa menahan marah besar, kini hendak dilampiaskan
terhadap ke dua
istrinya. Tanpa belaian kasih sayang sama sekali, benar-benar seperti binatang
Adipati Jatilegowo
merangkul tubuh Sri Kemuning dengan kasar. Sri Kemuning merasa seperti tulangtulangnya mau hancur.
Nafasnya sesak, tak dapat menyembunyikan wajahnya dari ciuman bertubi-tubi.
Tiba-tiba seperti disengat
kala jengking, Adipati Jatilegowo tersentak. Dipegangnya bahu istrinya kuatkuat, matanya membeliak
memandang ke pangkal leher Sri Kemuning.
"Ada tanda merah di lehermu!" kata Jatilegowo. Kecurigaan dan cemburu membuat
matanya yang besar berkilat-kilat laksana dikobari api. "Waktu aku pergi tanda itu tidak ada!
Tanda apa ini"!"
Sri Kemuning terkejut, tak dapat menyembunyikan perubahan wajahnya.
Jatilegowo mengguncang tubuh Sri Kemuning. "Jawab! tanda apa ini" Apa
penyebabnya sampai ada
tanda ini di lehermu" Jawab!"
"A... ada serang... serangga menggigit saya Kangmas," jawab Sri Kemuning gagap.
"Hemmmm... Serangga berambut hitam berkaki dua! Jangan dusta! Kupecahkan
kepalamu! Katakan
siapa yang menggigit lehermu!"
"Tidak ada Kangmas. Tidak ada orang yang menggigit leher saya," jawab Sri
Kemuning. Jawaban ini
sebenarnya tidak dusta. Karena Pendekar 212 memang hanya mengecup leher
perempuan itu, tidak
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
21 menggigit. Tapi karena kecupan itu disertai sedotan tenaga dalam agar dapat
memusnahkan totokan di
leher Sri Kemuning, akibatnya di leher itu muncul tanda kemerah-merahan yang
tidak akan hilang dalam
waktu satu dua hari.
Tamparan pertama mendarat di pipi Sri Kemuning. Perempuan itu terlempar ke atas
tempat tidur. Menjerit kesakitan. Jatilegowo menjambak rambutnya. "Kalau kau tidak mau bicara,
atau bicara dusta
padaku, akan kusiram mukamu dengan air panas!"
Sri Kemuning tentu saja ketakutan setengah mati mendengar ancaman itu. Dengan
menangis dia menceritakan apa yang terjadi ketika dia berperahu di Kali Tuntang.
"Perempuan liar! Jadi kalau aku tidak ada di Kadipaten kau masih saja suka
menyelinap keluar
mencari kesenangan sendiri!" Tamparan kedua melanda muka Sri Kemuning. Kali ini
membuat sudut bibirnya pecah hingga darah mengucur. Tubuhnya terguling di lantai kamar. Kaki
kanan Jatilegowo
bergerak hendak menendang punggung Sri Kemuning. Saat itulah pintu terbuka dan
ada suara perempuan berseru.
"Kangmas, jangan!"
Yang masuk adalah Sumini, istri pertama Adipati Jatilegowo. Perempuan ini
jatuhkan diri di atas
tubuh Sri Kemuning, melindungi madunya itu. "Saya mohon Kangmas, jangan sakiti
dia. Kasihani Sri
Kemuning. Kasihani kami berdua. Kami adalah istri-istri Kangmas. Kami ingin
berbakti pada Kangmas, tapi
jangan perlakukan kami seperti ini..." Sumini berkata setengah meratap. Matanya
basah oleh air mata,
Wiro Sableng 126 Badik Sumpah Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terlebih ketika Sri Kemuning memeluk merangkulnya. Dua perempuan ini saling
bertangisan. "Perempuan-perempuan sial! Tidak tahu diuntung!" teriak Jatilegowo marah. Dia
melangkah ke pintu.
Pintu itu bukan dibukanya baru keluar dari kamar, tapi ditendangnya hingga
hancur berantakan. Melalui
pintu yang hancur jebol dia melangkah keluar. Mulutnya kembali merutuk.
"Pendekar 212 jahanam! Aku
sudah lama mendengar kalau kau pendekar mata keranjang! Tapi berani menyentuh
istriku berarti
mampus! Mampus!" Jatilegowo pukulkan tangan kanannya ke telapak tangan kiri.
Ketika melewati sebuah
kursi kayu jati, kakinya menendang hingga kursi itu mental, hancur berantakan.
* * * NYI LARASATI merasa heran ketika melihat Loh Gatra kembali lebih cepat dari yang
diduganya. Dia juga
kaget melihat bahu kiri dan dada pakaian si pemuda robek serta ada noda darah.
"Loh Gatra, apa yang terjadi. Pakaianmu robek, tubuhmu penuh luka. Kau berhasil
menemui Kakek Segala Tahu, Pendekar 212 Wiro Sableng?"
"Maafkan saya Nyi Lara. Saya gagal tapi..." Pemuda ini lalu menuturkan peristiwa
yang dialaminya
menjelang akan sampai ke bukit kapur.
Lama Nyi Lara terdiam mendengar cerita Loh Gatra. Dari kantong perbekalannya si
pemuda mengeluarkan daun yang diberikan pemuda berambut gondrong yang telah
menyelamatkannya. Daun itu
diserahkan pada Nyi Lara seraya berkata. "Ini daun yang diberikan pemuda itu.
Dia minta saya memberikan pada Nyi Lara..."
Nyi Lara tidak segera menerima bungkusan daun itu. Dia memandangi saja, seperti
bimbang atau juga kawatir. "Apa isinya?" tanya Nyi Lara kemudian.
"Saya tidak tahu. Pemuda itu melarang saya membuka bungkusan..." jawab Loh Gatra
"Orang-orang suruhan Adipati Jatilegowo. Menghadang dan hendak membunuhmu.
Adipati itu ternyata memang biadab, jahat sekali..." ujar Nyi Larasati. Lalu menyambung
ucapannya. "Aneh, orang
menyelamatkan nyawamu. Tapi kau tidak tahu namanya. Dan dia menyerahkan
bungkusan daun ini tanpa
kau tahu apa isinya..."
"Maafkan saya Nyi Lara. Saya terpaksa mengikuti apa kemauan pemuda itu. Saya
yakin dia berniat
baik. Saya harap Nyi Lara suka menerima bungkusan daun ini. Saya, saya juga
ingin tahu apa isinya..."
Nyi Lara akhirnya ulurkan tangan menerima bungkusan daun. Bungkusan itu
diletakkannya di atas
pangkuan. Lalu dengan hati-hati ditariknya ranting kecil yang dipergunakan
sebagai buhul penutup daun.
Setelah itu perlahan-lahan dibukanya lipatan daun. Dua pasang mata, mata Nyi
Lara dan mata Loh Gatra
sama-sama terbuka lebar. Di dalam bungkusan daun itu ternyata hanya ada secarik
kain putih yang sudah
lusuh. Bagian tengah kain berlubang, membentuk deretan tiga buah angka. Angka
212! "Dua satu dua..." ujar Loh Gatra dengan suara agak bergetar.
"Berarti..." Nyia Lara bangkit dari kursi. "Kita temui Kakekmu."
Ke dua orang itu masuk ke dalam kamar dimana Ki Sarwo Ladoyo terbaring sakit.
"Kau telah kembali, Loh Gatra?" tegur Ki Sarwo. Matanya membesar ketika melihat
noda darah dan pakaian cucunya yang penuh robek.
"Saya tidak apa-apa Kek," kata Loh Gatra yang tahu kekhawatiran kakeknya.
Nyi Lara memperlihatkan kain putih yang dipegangnya pada si orang tua, lalu
menyuruh Loh Gatra
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
22 menceritakan secara singkat apa yang telah dialaminya.
"Tuhan Maha Kuasa, Maha Besar..." kata Ki Sarwo dan secara aneh dirinya yang
sedang sakit seolah mendapat kekuatan hingga sanggup bangkit dan duduk di tempat tidur.
"Orang... pemuda
berambut gondrong yang memberikan kain ini, dia... dia adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng! Dia sengaja
melubangi kain ini dengan jarinya, dengan kekuatan hawa sakti yang ada padanya,
mengirimkan kepada
kita, sebagai satu pertanda bahwa dia akan menolong kita. Terima kasih Tuhan.
Terima kasih Gusti Allah!"
Ki Sarwo mencium kain itu berulang kali lalu menyerahkannya pada Nyi Lara.
"Simpan baik-baik kain ini
Nyi Lara. Simpan baik-baik..."
* * * Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
23 7 DI SATU tebing batu, di kaki Gunung Lompo batang, sosok kakek berambut biru
berminyak duduk bersila
tidak bergerak. Sepasang matanya menatap ke arah matahari tenggelam namun mata
itu dalam keadaan
terpejam. Di kening si kakek melilit seuntai tali aneh berbentuk jalin. Konon
tali itu terbuat dari usus anak
muda yang meninggal jejaka.
Di pangkuan orang tua ini tertelentang seorang pemuda berwajah cakap yang nyaris
hampir tidak berpakaian sama sekali. Seperti si kakek dua mata pemuda ini juga terpejam,
tubuh tak bergerak. Di kiri
kanan si kakek, di atas tebing batu terdapat dua tumpuk batu hampir sebesarbesar kepalan. Sinar sang surya mulai memudar kuning pertanda siap bergerak memasuki ufuk
tenggelamnya. Di
langit sebelah timur serombongan burung besar berjumlah dua puluh empat ekor
melayang terbang.
Dalam waktu dekat burung-burung itu akan melintas di atas tebing batu dimana si
kakek yang memangku
pemuda berada. Satu seringai menyeruak di mulut si kakek berambut biru berminyak. Mulutnya
terbuka sedikit.
Suaranya mengucap perlahan.
"Saatnya memberi makan anak-anak di hutan Bantaeng."
Dua tangan orang tua itu bergerak ke samping, ke arah batu-batu sebesar kepalan.
Matanya tetap terpejam. Pada saat rombongan burung besar lewat tepat di atasnya dua tangan
kakek ini bergerak cepat
sekali, silih berganti. Di udara terdengar suara menguik. Dua puluh empat burung
besar yang disambar
lemparan baru terjungkal, melayang jatuh ke kaki Gunung Lompobatang sebelah
selatan dimana terbentang rimba belantara Bantaeng.
Luar biasa! Selain jarak burung-burung itu jauh di udara, si kakek melempar
dengan mata terpejam.
Dan tidak seekor burungpun yang luput!
Sesaat kemudian dari arah rimba belantara itu terdengar suara lolongan-lolongan
aneh. Antara suara
raungan anjing dan jeritan manusia. Siapa saja yang sempat mendengar pasti akan
mengkirik dingin
kuduknya. Tapi si kakek di atas tebing batu malah menyeringai. Dua tangannya
yang tadi melempar
digosok-gosokkan satu sama lain. Lalu perlahan-lahan tangan ini bergerak turun
ke atas tubuh pemuda
yang ada di pangkuannya, satu di dada, satu tepat di atas pusar. Begitu dua
tangan menempel, pemuda di
atas pangkuan buka sepasang matanya, menatap sesaat pada si kakek yang juga
telah membuka matanya yang sejak tadi dipejamkan. Si kakek tersenyum. Pemuda itu balas
tersenyum. Dua tangan si
kakek bergerak perlahan, mengusap. Yang kiri ke arah atas, yang kanan ke arah
bawah. Si pemuda
mengeluarkan desah lirih panjang.
"Kekasihku Bontolebang, apakah kau merasa bahagia saat ini?" Si kakek bertanya.
"Kakek Sarontang, saya merasa bahagia, bahagia sekali..."
Si kakek tersenyum. Dua tangannya bergerak lebih cepat. Desah pemuda bernama
Bontolebang semakin keras. Tiba-tiba si kakek hentikan gerakan dua tangannya. Di langit
sebelah timur dia melihat
seberkas cahaya. Cepat dia pejamkan mata, merapal sesuatu. Tubuhnya bergetar,
wajahnya keringatan.
"Kek, Kakek Sarontang, mengapa kau berhenti" Ada apa?"
Bontolebang buka dua matanya. Melihat keadaan si kakek dia tidak berani
mengganggu. Sesaat
kemudian Sarontang buka matanya.
"Kekasihku, ada urusan sangat penting. Aku harus menemui seseorang. Kau tunggu
aku di Goa Nipanipa. Aku akan menemuimu dalam waktu tiga hari."
Mendengar ucapan si kakek, Bontolebang segera turun dari pangkuan orang tua itu.
Sebelum pergi Sarontang memeluk si pemuda erat-erat. Di lain saat dia sudah berkelebat lenyap
dari tebing batu.
* * * Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
24 MENJELANG tenggelamnya sang surya Telaga Malakaji diselimuti kesunyian. Udara
dingin karena sejak siang tadi hujan turun berkepanjangan. Kabut menutupi sebagian permukaan
dan pinggiran telaga.
Kakek berambut biru Sarontang hentikan kudanya di pinggir timur telaga. Dia
sudah acap kali datang
ke tempat itu. Namun sekali ini dalam udara buruk begitu rupa dia tidak mau
tersesat. Dia memperhatikan
seputar telaga sampai pandangannya membentur nyala api kecil di kejauhan.
"Pasti itu nyala api pembakaran besi di pondok saudaraku." Sarontang menarik
tali kekang kudanya.
Telaga Malakaji tidak seberapa besar tapi jalan liar sepanjang tepian dihalang
oleh semak belukar dan
batu-batu besar hingga cukup lama baru Sarontang sampai ke pondok tujuannya.
Lewat pintu pondok
yang terbuka Sarontang melihat saudaranya tengah khusuk melakukan sholat Magrib.
Sementara menunggu orang selesai sembahyang Sarontang melihat-lihat ke tempat pengecoran
besi dimana saudaranya menghabiskan sebagian dari umurnya bekerja di tempat itu membuat
segala macam senjata
bertuah. Di atas sebuah lempengan besi tebal, dekat api pengecor Sarontang melihat
bilahan besi hitam
kebiru-biruan. "Saudaraku Daeng Wattansoppeng sudah mulai malas rupanya. Dua
bulan silam ketika aku
datang ke sini, bentuk besi biru itu tidak banyak berbeda dengan yang kulihat
sekarang..."
Kakek dari Gunung Lompobatang ini membungkuk hendak mengambil bilahan besi biru
itu. Mendadak di belakangnya terdengar suara orang mendehem disusul ucapan memberi
salam. "Assalammu'alaikum."
Sarontang tarik tangannya lalu berbalik sambil membalas salam. Di hadapannya
berdiri seorang tua
berwajah jernih, berjubah merah, memiliki rambut, kumis dan janggut putih
menjela dada. "Saudaraku Sarontang, kau datang tidak sesuai dengan janji," orang tua berjubah
merah menegur tapi sambil melontar senyum.
"Aku tahu Daeng," jawab Sarontang. "Apakah aku tidak boleh mengunjungi saudara
sendiri" Lagipula
ada sesuatu yang membuat aku cepat-cepat datang ke sini."
Daeng Wattansoppeng, si kakek berjubah merah dengan masih tersenyum berkata.
"Saudaraku
Sarontang, sebaiknya sebelum kita meneruskan percakapan, pergilah sholat dulu."
"Ah, pakaianku tidak bersih..." jawab Sarontang.
Kakek bernama Daeng Wattansoppeng tahu kalau Sarontang hanya mencari-cari
alasan. Maka diapun berkata. "Kau tahu Sarontang. Sembahyang itu bukan cuma merupakan tiang
agama. Tapi juga
mencegah seseorang dari berbuat yang tidak baik, menjauhkan diri dari perbuatan
maksiat. Aku khawatir
jangan-jangan kau masih saja menjalani hidup keliru itu. Benar?"
"Manusia dilahirkan sama. Tapi alam menjadikan aku seperti ini. Apa mau dikata,"
jawab Sarontang
lalu menghela nafas panjang.
"Sarontang, kau yang membuat ulah. Jangan salahkan alam. Kau tahu alam ini
diselimuti kemurnian
dan serba suci. Manusia menjadikannya busuk dengan berbagai macam maksiat. Aku
masih terus berharap dan selalu berdoa agar kau meninggalkan hidup sesat itu. Umur kita
tinggal berapa lagi kita tidak
tahu. Mengapa tidak lekas-lekas bertobat?"
Wajah Sarontang kelihatan menjadi marah. "Daeng Wattansoppeng, aku berharap kita
tidak membicarakan perihal diriku. Apapun yang aku lakukan menjadi tanggung jawabku.
Segala dosa ada di
pundakku..."
"Aku selalu berharap dan berdoa agar kau bisa berubah, saudaraku." Sambil
berkata Daeng Wattansoppeng memasukkan batu-batu hitam ke dalam perapian. Batu-batu ini
menyerupai batu bara.
Memiliki daya panas sepuluh kali dari kayu biasa.
"Aku berterima kasih untuk doamu itu. Daeng, aku sengaja datang kesini menyalahi
perjanjian karena
aku melihat pertanda yang aku hubungkan dengan mimpi. Orang yang kita tunggu
agaknya akan muncul
lebih cepat. Minggu ini akan ada kapal merapat di Teluk Bantaeng. Mungkin ada
kabar..." "Lalu apa yang bisa aku lakukan untukmu Sarontang?" tanya Daeng Wattansoppeng.
"Bisakah kau menyelesaikan badik itu lebih cepat?"
"Satu bulan" Satu minggu...?"
"Satu hari kalau kau memang sanggup!" jawab Sarontang.
Kakek berjubah merah tertawa. "Sarontang saudaraku. menolong saudara sendiri
besar pahalanya.
Aku akan lakukan apa yang bisa kulakukan untukmu. Tapi apakah kau mau menerima
segala perjanjian
yang pernah kita bicarakan dulu?"
"Jangan khawatir. Aku akan menghormati perjanjian itu. Namun tanpa melibatkan si
Wiro Sableng 126 Badik Sumpah Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
calon penerima,
rasanya perjanjian itu akan kurang sempurna." Jawab Sarontang.
"Betul, tapi satu hal perlu aku ingatkan kembali. Perjanjian yang aku maksudkan
itu bukan cuma sekedar perjanjian. Lebih tepat kalau dikatakan sumpah darah."
"Sumpah darah! Aku tahu betul hal itu Daeng." kata Sarontang sambil anggukkan
kepala. Daeng Wattansoppeng mengambil bilahan besi biru dari atas lempengan besi tebal
dengan tangan Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
25 kirinya. Sambil membungkuk dan tersenyum pada saudaranya kakek ini mengucapkan
Basmallah lalu seperti acuh tak acuh dia ulurkan tangan kanan, susupkan jari-jarinya ke dalam
tumpukan batu yang
menyala. Sarontang kerenyitkan kening. Ketika Daeng Wattansoppeng menarik tangan
kanannya, tangan
itu sampai sebatas ujung telapak telah berubah menjadi bara menyala!
"Luar biasa... Benar-benar luar biasa!" kata Sarontang dalam hati.
Sambil duduk di atas tikar pandan dengan tangan kanan yang membara panas Daeng
Wattansoppeng mulai membentuk bilahan besi hitam kebiruan yang dipegang di
tangan kiri. Besi itu
mengepulkan asap panas. Sedikit demi sedikit bilahan besi biru berubah menjadi
bentuk kasar sebilah
badik tak bertangkai.
"Sarontang, untuk saat ini hanya sampai disini aku bisa berbuat. Masih butuh
waktu untuk memperhalus badik ini. Lalu perlu waktu lagi untuk mengisinya. Dan tambahan
waktu lagi untuk
memendamkan tuba ke dalamnya. Lalu membuat gagangnya..."
"Soal gagang kau tak usah kawatir. Aku sudah menyiapkan gagangnya. Dari gading
asli..." Dari balik
pakaiannya Sarontang mengeluarkan sebuah benda berupa gagang senjata terbuat
dari gading asli.
Daeng Wattansoppeng tersenyum. "Rupanya kau membantu tidak kepalang tanggung.
Apakah kau bisa datang lagi tiga minggu dari sekarang?"
"Terima kasih Daeng, aku akan datang tepat pada waktu yang kau katakan..."
Daeng Wattansoppeng angkat tangan kanannya yang masih merah menyala. Dia membaca
sesuatu dalam hati lalu meniup. Tangan yang merah menyala itu berubah, kembali ke bentuk
semula. Sarontang geleng-gelengkan kepala. "Terkadang aku bersombong diri. Seolah di
dunia ini cuma aku
yang memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi. Tapi melihat apa yang baru kau
lakukan, aku merasa kecil di
hadapanmu. Benar ujar-ujar yang diucapkan orang di tanah Jawa. Di atas langit
masih ada langit lain."
Daeng Wattansoppeng tersenyum. "Kita manusia ini bisanya apa" Dibanding dengan
kuasa dan kemampuan Tuhan kita bukan apa-apa. Kalau Tuhan memberikan sedikit kepandaian
pada kita, kita wajib
bersyukur kepadaNya dan mempergunakan kepandaian itu untuk kebaikan, terutama
menolong sesama."
* * * Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
26 8 RENCANA Ki Sarwo Ladoyo untuk mengungsikan Nyi Larasati keluar dari Temanggung
terpaksa dibatalkan. Seorang mata-mata memberitahu bahwa delapan penjuru Kadipaten
Temanggung telah
dikurung oleh ratusan prajurit Kadipaten Salatiga. Rupanya Adipati Jatilegowo
dengan cerdik telah
sengaja mengirimkan sejumlah besar pasukan untuk mengurung Temanggung, lima hari
sebelum dia sendiri datang memunculkan diri. Pasukan ini hanya tinggal menanti kedatangan
sang Adipati dan siap
menunggu perintah penyerbuan.
Siang itu suasana di gedung Kadipaten Temanggung sangat mencekam. Itulah hari
Adipati Jatilegowo akan muncul. Di dalam kamar Ki Sarwo Ladoyo yang belum sembuh benar
dari luka dalamnya,
duduk di tepi tempat tidur. Di depannya berdiri Loh Gatra. Dari bawah bantal
orang tua itu keluarkan
sebilah keris bersarung perak. Gagangnya yang juga terbuat dari perak berbentuk
ukiran kepala ayam
aneh. Keris ini memancarkan cahaya redup pertanda merupakan satu senjata sakti
mandraguna. "Cucuku Loh Gatra, ini senjata yang pernah kusebutkan padamu. Ini Keris Ki
Tumbal Bekisar.
Berasal dari Kerajaan Blambangan, diwariskan padaku melalui dua Raja terakhir.
Dengan senjata in! kau
bisa menghadapi Adipati Jatilegowo. Kau pasti berhasil mengalahkannya. Karenanya
jangan tunggu sampai dia memberi aba-aba pada pasukannya untuk menyerbu. Tantang dia bertempur
satu lawan satu.
Jika dia berhasil dibunuh, para pengikutnya pasti tidak berani meneruskan
rencana jahat mereka
menghancurkan Kadipaten Temanggung."
Ki Sarwo berikan keris itu pada cucunya yang diterima Loh Gatra dengan tangan
bergetar. "Sisipkan di pinggangmu, sebelah belakang. Lindungi dengan pakaian agar tidak
terlihat orang."
Selesai Loh Gatra menyisipkan Keris Ki Tumbal Bekisar di pinggangnya sebelah
belakang, sang kakek minta dipapah menuju serambi depan gedung Kadipaten di mana sesuai
permintaannya sebuah
kursi telah disediakan untuknya, diletakkan menghadap ke tangga gedung.
Di halaman puluhan prajurit pengawal melakukan penjagaan. Di luar tembok halaman
sekitar dua ratus prajurit bersiap siaga. Berdasarkan penyelidikan beberapa mata-mata
Kadipaten Temanggung yang
disebar sampai ke pelosok, didapat petunjuk bahwa paling lambat siang itu
Adipati Salatiga dan orangorangnya akan memasuki Temanggung, pasti langsung menuju gedung Kadipaten.
Saat demi saat berlalu dengan tegang. Walau di dalam dan di luar tembok
Kadipaten terdapat banyak
prajurit namun suasana terasa sunyi. Tak selang berapa lama kesunyian itu
dipecahkan oleh suara
genderang di kejauhan.
Loh Gatra mendekati Ki Sarwo Ladoyo. "Mereka datang Kek."
Ki Sarwo mengangguk.
Tak lama kemudian Nyi Larasati, diapit oleh Domas Tunggul dan Akik Pranata, dua
orang perwira Kadipaten keluar menuju serambi gedung. Ki Sarwo Ladoyo segera berdiri seraya
berkata. "Nyi Lara, lebih baik Nyi Lara tetap berada di dalam gedung. Jika pertempuran
tidak terhindarkan, Nyi
Lara bisa..."
"Ki Sarwo, saya sengaja ingin berada di tempat ini. Untuk menyaksikan bagaimana
kita memberi pelajaran pada Adipati tidak tahu diri itu." Menjawab Nyi Larasati lalu melirik
pada Loh Gatra. Pemuda ini
bungkukkan badan dan berkata.
"Nyi Lara, saya siap mengorbankan raga dan nyawa demi keselamatan Nyi Lara..."
"Terima kasih Loh Gatra. Jasa pengabdianmu tidak akan aku lupakan..." kata Nyi
Lara, menimbulkan
semangat besar di dada si pemuda.
Di kejauhan suara genderang semakin keras terdengar. Saat itulah tiba-tiba di
pintu gerbang gedung
Kadipaten muncul seorang pemuda bertubuh gemuk luar biasa, mata besar belok,
muka lucu segar
kemerahan dan tubuh keringatan. Di atas kepalanya bertengger sebuah peci kupluk.
Si gemuk ini mengenakan baju terbalik. Yaitu bagian depannya yang berkancing justru ada di
sebelah punggung.
Sehelai kain sarung tersandang di bahu, melintang di depan dada. Di tangan
kirinya orang ini memegang
sebuah kipas kertas. Sambil menyengir ha-ha he-he dia berjalan dan kipas-kipas
wajahnya yang keringatan. Di luar sana puluhan, bahkan ratusan prajurit Kadipaten melakukan pengawalan
ketat, bagaimana
manusia sebesar itu bisa lolos"
Para prajurit yang berada di halaman dalam gedung Kadipaten segera berlari
menghadang, tapi
seperti dilabrak topan, setiap mendekat mereka terhuyung-huyung ke belakang.
Yang berani memaksa
terpental jatuh duduk.
Nyi Gatra ternganga, Ki Sarwo kerenyitkan kening. Dua perwira Kadipaten bersiap
waspada. "Pendekar 212 Wiro Sableng..." ujar Nyi Larasati.
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
27 "Bukan, orang itu bukan Pendekar 212 Wiro Sableng," kata Loh Gatra cepat.
"Pendekar 212 yang
saya temui tidak gemuk begitu. Rambutnya gondrong sebahu. Tidak pakai peci
hitam. Tidak punya kipas
kertas..."
"Lalu siapa dia?" tanya Nyi Larasati terheran-heran.
Ki Sarwo tak bisa menjawab. Loh Gatra apa lagi. Dua perwira di kiri kanan Nyi
Lara bungkam tapi
terus mengawasi si gemuk dengan pandangan tak berkedip.
"Dukk... dukk... dukk... dukkkk!"
Setiap langkah yang dibuat si gemuk mengeluarkan suara, menggetarkan tanah
halaman. Enak saja
orang ini melangkah ke satu pohon besar di sisi kiri serambi gedung, lalu duduk
menjelepok di tanah,
bersandar ke batang pohon sambil berkipas-kipas. Selusin prajurit
mengelilinginya. Tapi tak ada yang
berani berbuat sesuatu.
"Panasnya hari ini! Aku haus, aku lapar..." Si gemuk buka peci kupluknya. Tangan
kiri menggaruk rambut, tangan kanan memegang peci sambil ditengadahkan, memandang ke arah
orang-orang yang ada
di serambi. "Dalam gedung besar dan mewah ini, pasti ada air sejuk dan makanan lezat. Apakah
aku bisa menikmati" Aduh, panasnya hari. Aku haus... aku lapar." Si gemuk ulurkan kopiah
hitamnya. "Pengemis sinting," kata perwira Kadipaten bernama Domas Tunggul. "Akik, kau
urus orang gila itu.
Usir dia keluar tembok gedung Kadipaten. Kalau tak mau pergi, perintahkan para
prajurit menggotong,
lemparkan ke luar halaman!"
Ki Sarwo Ladoyo hendak melarang tapi Akik Pranata, perwira Kadipaten itu telah
melesat ke halaman. Para prajurit yang mengurung si gendut di bawah pohon segera memberi
jalan. "Pemuda sinting!" Aki Pranata membentak. "Kadipaten sedang menghadapi urusan
besar! Jangan kau berani menambah perkara!"
"Perwira, aku... aku Kakekmu ini tidak berniat mengganggu, apa lagi mencari
perkara! Aku hanya
haus dan lapar. Jika kau sudi memberi sekendi air putih dan sepiring nasi,
Kakekmu ini akan sangat
berterima kasih..." Si gendut lalu ulurkan kopiah kupluknya.
Sepasang mata Akik Pranata mendelik besar. Jelas-jelas si gendut itu seorang
pemuda berusia sekitar dua puluhan. Mengapa dia memperbasakan dirinya sebagai seorang kakek"
Dan sejak kapan dia
punya kakek seperti ini"!
"Dasar sinting!" hardik Akik Pranata. "Pergi mengemis di tempat lain! Angkat
kaki dari sini! Atau aku
suruh pasukan melemparkanmu ke luar tembok Kadipaten. Biar dicincang orang-orang
Salatiga!"
"Kualat... kualat!" kata si gendut sambil usap mukanya yang keringatan dan
tenggerkan kembali
kopiah bututnya di atas kepala. "Kualat kau menyebut kakekmu ini sinting.
Apalagi sampai melemparkan
aku keluar sana..." Si gendut julurkan dua kakinya, sandarkan punggung ke batang
pohon. "Sudahlah,
kalau kau tidak mau memberi air dan makanan, biar aku berteduh di bawah pohon
ini, melepaskan lelah.
Mohon jangan diganggu. "Lalu si gendut pejamkan mata sambil tangan kirinya
menggoyang-goyang kipas
kertas. "Pasukan!" teriak Akik Pranata. "Gotong dan lemparkan orang gila ini keluar
halaman Kadipaten!"
Enam orang prajurit segera bergerak cepat hendak menggotong si gendut. Tapi baru
saja mendekat ke enamnya terhuyung-huyung lalu jatuh duduk di tanah. Si gemuk acuh saja,
seperti tidak ada kejadian
apa-apa terus saja pejamkan mata berkipas-kipas.
Di serambi gedung Kadipaten Ki Sarwo geleng-geleng kepala. Nyi Lara semakin
tercengang. Loh
Gatra tercekat, ada merasa lucu juga, sedang Domas Tunggul kepalkan tinju tanda
jengkel. Akik Pranata jadi marah. Dia ambil golok yang tersisip di pinggang salah seorang
prajurit. Maksudnya
hendak menggetok kepala si gendut dengan gagang golok. Kalau dibikin pingsan
lebih dulu nanti akan
mudah menggotong dan melemparkannya ke luar halaman. Namun sebelum maksudnya itu
dilakukan suara genderang menggema keras di pintu gerbang Kadipaten. Perhatian jadi
terpecah. Puluhan prajurit
Kadipaten berjubalan di pintu gerbang namun tidak berbuat sesuatu sebelum
mendapat perintah.
Di ambang pintu gerbang, lima orang penabuh genderang berdiri di depan kuda
besar tunggangan
Adipati Salatiga Jatilegowo. Kuda ini diberi hiasan-hiasan kebesaran. Jatilegowo
sendiri mengenakan
pakaian kebesaran Adipati, lengkap dengan topi tinggi berwarna hitam dengan
umbai-umbai kuning
keemasan. Di kiri kanan mengapit dua orang perwira, lalu di sebelah belakang ada
seorang tua berpakaian dan memakai sorban putih. Disamping orang tua ini kelihatan seorang
perwira yang dari
pakaiannya kentara kalau dia adalah perwira dari Kotaraja.
Wiro Sableng 126 Badik Sumpah Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Begitu suara genderang menggema keras, si gemuk di bawah pohon serta merta buka
sepasang matanya yang sejak tadi terpejam. Sekilas dia memandang ke arah pintu gerbang,
lalu settt! Hampir tak
dapat dipercaya. Orang luar biasa gemuk itu melayang enteng ke depan pintu
gerbang, lalu menari-nari,
berjoget ria mengikuti suara gebrakan lima genderang. Dadanya yang gembrot dan
perutnya yang buncit
bergoyang-goyang. Pantatnya diogel-ogel. Sesekali kopiah hitam butut di kepala
dilemparkan ke atas,
ditangkap, dilemparkan lagi. Kalau saja saat itu bukan dalam suasana tegang
mencekam karena orang
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
28 tahu sewaktu-waktu bisa terjadi pertempuran di tempat itu, melihat tingkah si
gendut itu, sulit orang
menawan tawa. Di atas punggung kuda Adipati Jatilegowo membelalak besar. Rahangnya menggembung
dan mukanya kelam memerah. Dia mengira si gendut sinting itu sengaja dipergunakan
untuk menyambut
sekaligus menghinanya.
"Jahanam kurang ajar! Orang-orang Temanggung berani menghinaku! Menyambut
kedatanganku dengan orang gila seperti ini!" Geraham sang Adipati bergemelatakan. Dia
mengangkat tangan. Suara
tambur serta merta berhenti.
"Hai! Kenapa berhenti"!" Si gendut berseru, memandang ke arah lima pemain
tambur, sementara
pantatnya masih menyonggeng, "Terus! Terus! Ayo terus!"
Adipati Jatilegowo tak dapat lagi menahan marahnya. Dia sentakkan tali kekang
kuda. Begitu kuda
maju, kaki kanannya menendang ke arah batok kepala si gendut. Si gendut seperti
tak acuh kenakan topi
kupluknya kembali. Bersamaan dengan gerakannya itu, satu gelombang angin bersiur
deras. Kaki kanan
Adipati Jatilegowo seperti dipagut tangan yang tak kelihatan. Hawa dingin aneh
mendadak menjalar dari
kaki sampai ke ubun-ubun, membuat tubuhnya yang tinggi besar itu menggigil,
geraham bergemeletakan.
Jatilegowo cepat kerahkan tenaga dalam, tapi sial, tubuhnya malah semakin keras
terbetot ke bawah
dan tak ampun lagi jatuh dari kuda. Masih untung dia bisa membuat gerakan
berjumpalitan hingga tidak
jatuh bergedebukan di tanah. Ketika dia memandang ke depan dengan marah
beringas, si gemuk
dilihatnya tak ada lagi di hadapannya. Pemuda itu sudah duduk kembali di bawah
pohon besar sambil
berkipas-kipas!
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
29 9 KINI semua orang tahu, pemuda gendut itu bukan orang sinting biasa tapi seorang
berkepandaian tinggi
yang punya sifat konyol atau mungkin juga sengaja menutupi ketinggian ilmunya
dengan berpura-pura
bersikap seperti orang kurang waras. Orang-orang Kadipaten Temanggung walau
tidak ada yang dicederai tetap saja merasa kawatir. Lain halnya dengan Adipati Jatilegowo yang
merasa sangat dihina
dan marah besar karena dirinya dipermainkan oleh pemuda gendut berpeci kupluk
itu. "Adipati," salah seorang dari dua perwira pengiring berkata. "Serahkan si gendut
gila itu pada kami.
Sementara kami mengawasi harap Adipati segera menemui tuan rumah sesuai
rencana." Mendengar ucapan pembantunya itu Adipati Jatilegowo jadi agak mengendur
amarahnya. Dia memberi isyarat pada orang tua berpakaian dan bersorban putih serta lelaki
berdandanan perwira dari
Kotaraja. Kepada seorang prajurit kepala dia berkata. "Jangan bergerak sebelum
aku beri tanda."
Adipati Salatiga itu diringi perwira Kotaraja dan orang tua bersorban putih
kemudian melangkah
menuju gedung Kadipaten, berhenti di depan anak tangga pertama. Ki Sarwo segera
mengenali, orang
berpakaian perwira Kotaraja itu adalah Ki Ageng Suranyala.
Sikap Jatilegowo seperti dulu, tidak memandang sebelah mata pada Ki Sarwo
Ladoyo, menganggap
seolah orang tua itu tidak ada di depannya. Dia menatap Nyi Larasati sebentar,
tersenyum sedikit lalu
berkata. "Nyi Lara, aku datang memenuhi janji."
"Maaf Adipati, saya merasa tidak ada janji apa-apa di antara kita." menyahuti
Nyi Lara. Adipati Jatilegowo tertawa lebar. "Aku tidak akan berdebat denganmu Nyi Lara.
Aku juga bersedia
melupakan penyambutan yang sangat menghina yang baru kau suguhkan..."
"Mengenai si gendut sinting itu," menengahi Ki Sarwo Ladoyo. "Kamipun tidak
kenal padanya."
"Ki Sarwo," lelaki berpakaian perwira dari Kotaraja bernama Ki Ageng Suranyala
bersuara untuk pertama kalinya. "Aku tahu kau orang jujur. Tapi mengapa kali ini bicara dusta!
Orang sinting itu berada di
dalam halaman gedung Kadipaten. Sudah ada di sini sebelum kami datang! Aneh
kalau kau berkata tidak
kenal padanya!"
"Ki Ageng, tidak usah perdulikan orang gila itu," kata Adipati Jatilegowo. Lalu
dia kembali memandang pada Nyi Lara dan berkata.
"Empat puluh hari telah lewat. Suka atau tidak suka, hari ini adalah hari
kenyataan, hari perjanjian.
Aku datang untuk meminangmu. Bersamaku saat ini, aku membawa serta Ki Tumapel
Babadsara, kadi
dari Wonosegoro yang bertindak selaku penghulu dan akan menikahkan kita."
Semua orang yang ada di serambi gedung Kadipaten tentu saja terkejut mendengar
ucapan Jatilegowo itu. Sang Adipati tidak main-main. Dia datang membawa serta penghulu
untuk menikahkannya
dengan Nyi Larasati.
Ki Sarwo mendehem beberapa kali lalu berkata. "Adipati Jatilegowo, pinanganmu
tidak pernah diterima dan disetujui oleh Nyi Lara, bagaimana mungkin melakukan pernikahan?"
"Orang tua!" kata Jatitegowo dengan mata besar mencorong. "Aku tidak ada urusan
denganmu! Kau seharusnya bersyukur tidak kubunuh habis dalam bentrokan tempo hari!" Jatilegowo
palingkan muka ke
arah Nyi Lara kembali. "Nyi Lara, kurasa kau tidak akan berlaku bodoh menolak
pernikahan kita hari ini.
Tetapi jika kau keras kepala, saat ini aku membawa tiga ratus prajurit. Gedung
Kadipaten ini sudah
terkurung. Para pengawal dan prajurit Kadipaten tidak akan sanggup membendung
kami. Puluhan bahkan
ratusan korban akan jatuh. Aku tidak akan ragu-ragu meratakan Kadipaten
Temanggung sama rata
dengan tanah. Namun sebelum itu terpaksa aku lakukan, ada baiknya kalian
mendengar Ki Ageng
Suranyala membacakan surat perintah dari Patih Kerajaan."
Adipati Jatilegowo anggukkan kepala, memberi isyarat pada lelaki berpakaian
perwira Kerajaan di
samping kanannya. Orang ini, Ki Ageng Suranyala membuka satu gulungan kertas
yang sejak tadi
dipegangnya. Dari bentuk dan warna kertas Ki Sarwo Ladoyo tahu kalau kertas itu
adalah kertas yang
biasa dipakai untuk surat-surat Kerajaan. Dengan lantang Ki Ageng Suranyala
membacakan isi surat.
"Surat Perintah. Patih Kerajaan Pertama, atas nama Kerajaan dengan ini
memerintahkan. Perintah
Pertama. Memerintahkan penangkapan atas diri Ki Sarwo Ladoyo dan segera dibawa
ke Kotaraja. Yang
bersangkutan dicurigai sebagai pelaku, sekurang-kurangnya terlibat atas kematian
dua orang pemuda
yaitu Raden Tambak Suryo dan Raden Prameswara. Perintah Kedua. Ditujukan pada
Nyi Larasati, janda
almarhum Adipati Temanggung Jalapergola. Dengan meninggalnya Adipati tersebut
maka Nyi Larasati
tidak berhak lagi menempati atau tinggal di gedung Kadipaten Temanggung. Untuk
itu, kepadanya diberikan waktu selama tujuh hari dari saat pembacaan Surat Perintah ini, agar
segera meninggalkan
gedung Kadipaten dan tidak diperkenankan membawa barang-barang yang bukan
Mawar Maut Perawan Tua 1 Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu Dendam Dan Asmara 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama