Ceritasilat Novel Online

Dua Nyawa Kembar 2

Wiro Sableng 174 Dua Nyawa Kembar Bagian 2


Dua kaki tersurut satu langkah.
"Aku suka mata julingmu yang bagus itu." Wiro kembali menggoda.
"Benar-benar sinting!" Ucap Ratu Randang sambil
goleng-goleng kepala.
Wiro melintangkan jari telunjuk di depan bibir. Sepasang mata menatap ke seberang telaga. Lalu dia berbisik,
"Aku sudah melihat orang yang datang. Ternyata ada dua orang."
Ratu Randang terkejut. Sampai saat itu dia masih
belum melihat apa-apa.
"Kau melihat dua orang katamu. Aku tidak melihat
sepotong manusiapun! Yang aku lihat gelap dan kelam."
"Orang cantik, maaf saja. Kau melihat dengan mata biasa. Aku melihat dengan mata
biasa ditambah sedikit ilmu." Jawab Pendekar 212 sambil senyum-senyum.
"Kau jangan mempermainkan diriku! Sampai saat ini aku tidak melihat satu orang
pun!" "Dua orang yang barusan datang saat ini ada di seberang telaga. Satu seorang pemuda gagah berpakaian hijau.
Satunya lagi lelaki berusia sekitar setengah abad mengenakan selempang kain biru dan berdestar biru. Mereka tengah melangkah mendekati
mayat si katai yang tadi kau pecahkan kepalanya."
Penjelasan Wiro ini membuat Ratu Randang tersentak kaget.
"Seharusnya aku singkirkan dulu mayat dukun celaka itu. Mengapa tadi tidak aku
ceburkan ke dalam telaga. Tapi sekarang sudah terlambat..." Lalu Ratu Randang
bertanya pada Wiro.
"Pemuda berpakaian hijau yang kau lihat apakah dia memelihara kumis, janggut dan
berewok tipis" Kepala diikat kain hijau?"
Wiro anggukkan kepala. "Kau kenal pemuda itu?"
Ratu Randang tidak menjawab. Dia usap dua mata berulang-ulang tapi tetap saja tidak melihat dua orang yang dikatakan Wiro. Sambil
tersenyum Wiro tekap kedua matanya sendiri dengan tangan kanan. Lalu telapak tangan kanan disapukan di atas
sepasang mata juling Ratu Randang. "Jangan jahil! Apa yang kau lakukan"!"
"Ssttt... Tenang saja. Sekarang coba kau lihat ke seberang telaga di depan sana."
Ratu Randang ikuti apa yang dikatakan Wiro. Berubahlah paras perempuan cantik berusia setengah abad ini.
Alisnya yang hitam kereng mencuat ke atas. Kuncir di atas kepala bergoyanggoyang. Dia kini melihat dua orang yang dikatakan Wiro tadi dan berada di
seberang telaga.
"Kau kini bisa melihat dua orang yang tadi aku katakan?" Ratu Randang mengangguk.
"Siapa mereka. Dari sini kelihatan mereka tengah
memeriksa mayat lelaki katai yang kau sebut sebagai Raja Dukun itu."
"Siapa mereka tidak penting. Ada yang jauh lebih
penting," menyahuti Ratu Randang. "Aku ingin bertanya."
"Apa?" Tanya Wiro.
"Kau bisa lebih dulu melihat dari aku. Katamu kau melihat dengan mata biasa
ditambah sedikit ilmu. Ilmu apa?"
Wiro tertawa, tidak menjawab.
Ratu Randang jadi penasaran.
"Dengar, aku akan berikan padamu ilmu bicara mengiang ke telinga orang yang ingin kau ajak bicara. Kau berikan padaku ilmu yang bisa melihat dalam gelap sampai ke tempat jauh itu."
"Hanya bertukar ilmu itu tawaranmu?" Wiro seperti jual mahal.
"Apa itu kurang adil"! Memangnya kau mau apa"
Hemmm..." Ratu Randang bergumam berpikir-pikir. Lalu sambil tersenyum dia
berkata. "Aku tahu maunya laki-laki...
Dengar, aku akan tambah tawaranku dengan memberikan seratus pelukan dan seratus
ciuman!" Ditawari seperti itu murid Sinto Gendeng semakin
menggoda. "Sedap! Seratus pelukan seratus ciuman. Ciumannya di sebelah mana" Di pipi atau
di bibir?"
"Kalau kau mau dicium di bibir aku tidak keberatan..."
Jawab Ratu Randang dengan raut wajah bersungguhsungguh. "Hanya seratus ciuman?" tanya Wiro lagi.
"Memangnya kau mau berapa kali" Mau lima ratus
kali"!"
"Wah! Bisa jontor bibirku!" Kata Wiro pula sambil tertawa lebar.
"Baik. Aku akan menciummu sampai lima ratus kali!
Biar cepatan dan biar kau percaya aku akan melakukannya sekarang!" Perempuan
tinggi semampai ini rangkulkan tangan ke punggung Wiro. Lalu sambil menarik
tubuh sang pendekar dia dekatkan bibirnya ke mulut Wiro. Namun gerakannya tibatiba terhenti. Sepasang matanya yang tak sengaja memandang ke arah seberang
telaga melihat tanda-tanda bahaya.
"Tunggu, jangan kau mengira aku mendustaimu. Aku
lihat dua orang di seberang telaga sana bicara sambil memandang ke arah kita.
Aku rasa mereka sudah tahu kehadiran kita di sini. Mungkin karena kau dari tadi
bicara terlalu keras dan tidak karuan..."
"Biarkan saja mereka. Bagaimana janjimu hendak
menciumku. Tidak mau dilanjutkan?"
Ratu Randang tidak menjawab. Dia menarik tangan
Wiro. Wiro merasa dua kakinya terangkat dari tanah.
Sesaat kemudian ketika memandang ke bawah ternyata dia telah dibawa melayang di
antara kerapatan pepohonan di malam gelap.
"Ilmu terbang yang kau miliki ini apa namanya" Ilmu Jalan-jalan di Malam Gelap
dan Sunyi" "
"Jangan bergurau terus. Kita belum lepas dari bahaya!"
Kata Ratu Randang pula.
Sambil mencekal tangan Wiro, Ratu Randang berkomat-kamit. Lalu tangannya
dipukulkan ke bawah.
Wuttt! Terdengar sambaran angin sangat halus.
"Apa yang kau lakukan" Mengeluarkan ilmu lagi?"
Bertanya Wiro. "Aku menciptakan telaga kedua. Untuk mengelabuhi
kedua orang itu jika mereka mengejar kita."
"Apa"! Telaga kedua" Semudah dan secepat kau
membalikkan tangan"!"
"Kalau tidak percaya lihat saja ke bawah. Pergunakan ilmu kepandaianmu yang bisa
melihat jauh di dalam gelap."
Pendekar 212 memandang ke bawah. Astaga! Apa yang dikatakan Ratu Randang bukan
dusta. Saat itu di bawah sana Wiro melihat sebuah telaga sementara lebih jauh ke
selatan telaga di mana sebelumnya dia berada masih terlihat walau agak samar.
Kemudian dia melihat dua orang berkelebat di sekitar telaga kedua.
"Hebat! Belum pernah aku melihat tukang sihir secantikmu!" Wiro memuji.
Ratu Randang dongakkan kepala.
"Aku jelas cantik! Tapi jelas aku bukan tukang sihir!"
Wiro tertawa. Tawa sang pendekar lenyap ketika, cuuppp!
Bibir Ratu Randang menempel ketat di bibir Wiro hingga sang pendekar gelagapan.
Ratu Randang tertawa cekikikan. "Itu ciuman pertama! Masih ada empat ratus sembilan puluh sembilan ciuman lagi!
Hik... hik... hik!"
WIRO SABLENG DUA NYAWA KEMBAR
9 UA ORANG di tepi telaga yang memeriksa mayat Raja Dukun Batu Berlumut untuk
beberapa lama sama-Dsama terdiam. Agaknya mereka tenggelam dalam
pikiran masing-masing. Akhirnya pemuda berpakaian hijau membuka mulut. "Swara
Pancala, apa pendapatmu?"
Melihat kepada umur, orang berpakaian dan berdestar biru jauh lebih tua dari si
pemuda yang bertanya. Namun jika pemuda itu langsung menyebut nama maka ini
adalah satu kejanggalan mengandung keanehan.
Orang yang ditanya menghirup udara malam di tepi
telaga dalam-dalam baru menjawab. "Dari udara yang ada di tempat ini saya
mencium Ratu Randang dan sahabat malang ini sebelumnya memang sama-sama berada
di sini. Namun di mana sekarang beradanya Ratu Randang dan siapa yang membunuh Jambal
Ungu alias Raja Dukun Batu Berlumut ini masih merupakan satu tanda tanya besar.
Saya juga mencium kalau orang dari negeri delapan ratus tahun mendatang yang
disebut dengan nama Ksatria
Panggilan itu sebelumnya mungkin juga berada di tempat ini. Apakah dia pergi
bersama Ratu Randang..."
"Swara Pancala, harap bicara memakai pertimbangan.
Apa kau lupa kalau Ratu Randang adalah kekasih nyawa kembarku" Apakah mungkin
dia mengkhianati nyawa
kembarku"!" Pemuda berpakaian hijau memotong ucapan orang bernama Swara Pancala.
"Maafkan saya Sinuhun Muda. Saya tahu Ratu Randang yang cantik itu adalah
kekasih Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Saya tidak mengatakan
bahwa Ratu Randang telah berkhianat. Saya hanya memberi tahu apa yang saya
ketahui. Raja Dukun berilmu tinggi. Agaknya dia dibunuh dalam keadaan lengah.
Melihat bagian belakang kepala yang hancur parah saya yakin dia telah dihantam dari belakang. Lalu melihat bentuk hancurnya kepala, mohon dimaafkan kalau
saya mengatakan Raja Dukun
telah dihantam dengan ilmu pukulan bernama Di Dalam Gelap Tangan Penghukum
Membelah Jagat."
Sepasang mata pemuda berpakaian hijau membesar.
Dia usap dagu dan cambang bawuknya sebelum keluarkan ucapan. "Ilmu pukulan itu
adalah salah satu ilmu yang dimiliki Ratu Randang!"
"Maafkan saya Sinuhun Muda Ghama Karadipa." Orang bernama Swara Pancala cepatcepat tundukkan kepala lalu memandang ke arah lain.
"Swara Pancala, sebenarnya tadi-tadi aku sudah menduga kalau Ratu Randang telah melakukan pengkhianatan.
Aku tidak mengerti. Dia bercinta denganku. Menjadi kekasihku walau belum terlalu lama. Lalu mengapa dia menjadi musuh dalam selimut"
Apakah kesetiaannya pada Raja Mataram melebihi kesetiaannya dan cintanya
terhadap diriku?"
"Sinuhun Muda, saya tidak berani memberikan tanggapan. Namun saya menduga apa yang dilakukan Ratu Randang sudah direncanakan jauh hari sebelumnya. Mengapa dia tidak pernah menemui
Arwah Ketua sebagaimana yang Sinuhun Muda perintahkan, itu cukup pula menjadi
per- tanda bahwa ada satu kerahasiaan dalam diri perempuan itu. Mohon saya dimaafkan
kalau salah bicara..."
Sinuhun Muda menarik nafas dalam.
"Aku telah berbuat kesalahan besar menyuruhnya pergi bersama Raja Dukun. Saat
itu kau tengah menjaga roh Sedayu Galiwardhana. Aku sendiri dalam ujud nyawa
kem- bar yang lain tengah menjemput Ksatria Roh Jemputan di Gunung Merapi di alam
delapan ratus tahun mendatang..."
Sinuhun Muda berhenti bicara dan menatap tajamtajam ke wajah orang di hadapannya. Melihat hal ini Swara Pancala yang jadi
gelisah segera saja berkata.
"Mohon saya diberi tahu apa yang ada di pikiran Sinuhun Muda. Ada sesuatu yang hendak Sinuhun Muda
katakan?" "Benar. Aku khawatir kau kelak akan berbuat culas, sama dengan Ratu Randang.
Sampai saat ini pihak kerajaan tidak tahu menahu apa yang kau lakukan. Kalau kau telah menjadi orang
kepercayaanku dan berkhianat pada Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala Raja Mataram..."
"Sinuhun Muda, kalau saya boleh berkata. Arwah kedua orang tua saya, istri dan
seorang anak yang tewas ketika kerajaan menumpas pemberontakan beberapa tahun
silam, apakah itu tidak cukup menjadi sumber dendam kesumat yang sangat besar
bagi saya" Rasanya dalam hal ini kita banyak kesamaan."
"Aku tahu hal itu," sahut Sinuhun Muda pula. Namun wajahnya masih tetap
menunjukkan sesuatu yang tidak mengenakkan bagi Swara Pancala.
Maka Swara Pancalapun berkata. "Sinuhun Muda,
kalau ada sesuatu yang dapat saya lakukan untuk membuat Sinuhun Muda percaya bahwa saya tidak akan
mengkhianati Sinuhun Muda..."
Pemuda berpakaian dan berikat kepala hijau tersenyum. Dari kantong pakaiannya dia mengeluarkan sesuatu yang dibungkus dengan
daun pisang kering. Perlahan-lahan daun pembungkus dibuka lalu dibuang ke tanah.
Kini di telapak tangan kanan Sinuhun Muda tampak sebuah benda hitam bulat
memancarkan cahaya berkilau.
"Swara Pancala, benda yang ada di tanganku ini adalah gumpalan Tiga Ratus Tuba
Duri Bambu. Siapa saja yang berbuat jahat terhadap diriku dan telah menelan
racun ini maka dia hanya mampu bertahan hidup selama dua puluh satu hari.
Sebelum menemui ajal orang yang menelan akan muntah darah selama tujuh hari
hingga seluruh cairan yang ada di dalam tubuhnya menjadi kering. Keadaannya akan
berubah tidak beda seperti jerangkong hidup. Tetapi jika orang yang menelan
memang tidak punya niat jahat terhadapku maka setelah dua puluh satu hari dia
akan selamat. Nah, berikan kepercayaan padaku. Telan benda ini!" Tampang Swara
Pancala berubah pucat. Orang ini tertegun untuk beberapa lama.
"Swara Pancala. Aku menunggu. Tapi jangan terlalu lama. Aku akan menghitung
sampai lima. Jika kau tidak bersedia menelan maka aku minta kau membenturkan
kepalamu ke batu besar di tepi telaga sana."
Swara Pancala melirik ke arah batu besar yang dikatakan lalu kembali memperhatikan benda hitam di atas telapak tangan Sinuhun Muda.
Tengkuk terasa dingin tapi dada berdebar panas!
"Swara Pancala. Aku akan menghitung dengan sangat cepat! Satu! Dua! Tiga! Em..."
Pada hitungan ke empat Swara Pancala ulurkan tangan mengambil gumpalan racun
Tiga Ratus Tuba Duri Bambu lalu memasukkan ke dalam mulut dan dengan cepat
menelannya. Sesaat sepasang mata orang ini tampak mendelik dan muka serta
tubuhnya basah dengan keringat. "Sinuhun Muda," ucap Swara Pancala dengan suara
bergetar. "Saya telah membuktikan bahwa saya tidak sama dengan Ratu Randang."
Sinuhun Muda angguk-anggukkan kepala. Memegang
bahu Swara Pancala dan berkata. "Bagus. Pengabdianmu tidak akan aku lupakan."
"Kalau begitu sekarang kita harus bertindak mengejar perempuan itu."
Sinuhun Muda gelengkan kepala.
"Sampai sebelum matahari terbit kita tidak akan
mampu mengetahui di mana perempuan pengkhianat itu berada dan dengan siapa. Aku
merasa sangat menyesal telah memberikan Ilmu Insan Berjalan Tanpa Bayangan
padanya." "Kalau begitu agar kita tidak terpaut terlalu jauh dengannya, sebaiknya kita
sekarang juga bergerak ke jurusan lenyapnya perempuan itu. Mudah-mudahan kita
masih bisa tertolong dengan Ilmu Tanpa Mata Mengandalkan Penciuman. Kita berdua sudah sama mengetahui bau tubuh dan pekaian
perempuan itu..."
"Tidak ada salahnya dicoba," jawab Sinuhun Muda.
Lalu sekali berkelebat kedua orang ini telah melayang di atas telaga
meninggalkan rimba belantara gelap di belakang mereka. Tak selang berapa lama
Sinuhun Muda angkat tangan kanan dan berseru sambil melayang turun ke tanah.
"Swara Pancala! Lihat ke depan!"
Swara Pancala segera pula melayang turun ke tanah, berdiri di samping Sinuhun
Muda dan memandang ke
depan. Astaga! Di depan mereka terbentang sebuah telaga. Telaga


Wiro Sableng 174 Dua Nyawa Kembar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sama dengan telaga sebelumnya di mana mereka berada. Yang berbeda adalah di
tepi telaga tidak ada mayat Raja Dukun Batu Berlumut!
Masih tak percaya Sinuhun Muda dan Swara Pancala
memandang berkeliling. Keadaan di sekitar telaga juga sama dengan telaga
sebelumnya! "Perempuan celaka itu telah mempergunakan Ilmu Sang Pencipta Berbuat Penuh
Kuasa. Kita disesatkan dengan telaga jejadian ini yang baru akan lenyap kalau
tersentuh sinar sang surya. Kecuali ada petunjuk lain.
Percuma saja kita meneruskan pengejaran."
Tiba-tiba tidak disangka-sangka ada suara menyahuti ucapan Sinuhun Muda. Suara
perempuan. "Kalau yang bernama Sinuhun Muda percaya, maka
petunjuk itu ada padaku. Aku tahu di mana orang yang dicari saat ini berada.
Apakah Sinuhun Muda masih ingat kata-kataku beberapa waktu lalu di alam delapan
ratus tahun mendatang" Pada saat Sinuhun Muda muncul
dengan ujud Sinuhun Merah Penghisap Arwah" Apakah itu ujud nyawa kembar Sinuhun
Muda" Ingat" Waktu itu aku berkata. Suatu ketika kau akan memerlukan diriku.
Mungkin untuk berbagi ilmu. Mungkin juga untuk berbagi cinta. Hik... hik...
hik..." Sinuhun Muda terkesiap. Swara Pancala palingkan
kepala ke arah datangnya suara tadi. Sinuhun Muda lalu berucap perlahan.
"Aku kenal suara itu. Aku juga ingat kata-kata itu. Tapi bagaimana dia tahu-tahu
bisa berada di Bhumi Mataram ini...?"
WIRO SABLENG DUA NYAWA KEMBAR
10 ENDEKAR 212 Wiro Sableng memandang seputar
ruangan batu. Tak ada jendela tak ada pintu. Aneh, Pmelalui bagian mana tadi dia
dibawa masuk oleh
perempuan cantik itu. Sementara sang pendekar masih tercengang-cengang, Ratu
Randang melangkah mondar-mandir mengelilingi ruangan sambil sapukan tangan kanan
pada empat din-ding. Sesekali mata dipejamkan dan bibir yang merah bergetar.
Jelas dia tengah merapal sesuatu bacaan.
Tak lama kemudian perempuan ini memutar tubuh.
Punggung dirapatkan ke dinding, kaki dikembang dan dada dibusungkan. Sepasang
mata juling tapi bagus menatap lurus ke arah Wiro. Sikapnya berdiri sungguh
menawan. "Sahabat muda, apa benar namamu Wiro Sableng.
Sableng yang artinya sinting?"
"Aku memang sableng tapi belum sinting," jawab Wiro sambil tertawa. "Aku
sendiri, sampai saat ini belum tahu namamu. Padahal aku sudah berhutang budi dan
nyawa padamu."
"Jangan menyebut segala macam hutang budi. Mungkin kelak aku yang akan menerima
budi jauh lebih besar darimu."
"Lalu namamu" Apa kau tidak mau memberi tahu?"
tanya Wiro lagi.
"Namaku Ratu Randang..."
"Ratu Rendang! Nama bagus. Tapi mengapa seperti
nama hidangan daging lezat?"
Si cantik di hadapan Wiro cemberut.
"Ih...! Namaku Ratu Randang. Bukan Rendang! Enak
saja kau bicara! Kau sengaja mempermainkan aku!"
Wiro tertawa. "Maafkan kalau aku salah menyebut.
Namamu benar-benar bagus. Kau memang secantik
seorang ratu..." Wiro memuji. Dia lantas saja ingat pada Ratu Duyung, gadis
cantik bermata biru yang mencintai dirinya.
"Sebenarnya aku adalah salah seorang pembantu
dekat Raja Mataram. Aku seorang penasihat Istana Mataram..." Ratu Randang coba menjelaskan siapa dirinya.
Wiro tercengang.
"Jadi, ternyata kau bukan saja seorang sakti berkepandaian hebat Tapi juga seorang tokoh berkedudukan tinggi di Istana Mataram.
Sungguh kau orang luar biasa. Tapi..."
Wiro memandang seputar ruangan lalu bertanya. "Sahabat cantik, saat ini kita
berada di mana. Ruangan batu ini tertutup rapat Tidak ada pintu tidak ada
jendela. Heran ruangan ini bisa terang. Lalu dari mana tadi kau membawa aku
masuk ke tempat ini."
"Ketahuilah kita berada di dalam tanah di bawah Candi Prambanan." Ratu Randang
memberi tahu yang membuat murid Sinto Gendeng jadi melongo. "Aku membawamu ke
sini dengan ilmu Menunggang Kabut Menembus Batu..."
Wiro keluarkan suara berdecak.
"Kau begitu polos mau memberi tahu ilmu kesaktian yang kau miliki. Jangan-jangan
kau mau menukar dengan apa lagi" Lima ratus pelukan dan ciuman saja belum
selesai. He... he."
Wajah Ratu Randang bersemu merah. Kalau Wiro ada
sepejangkauan tangannya pasti sudah dicubit perutnya sampai melintir!
"Kau masih saja bersenda gurau. Terus terang sebenarnya saat ini kita belum terlepas dari bahaya..."
Wiro menggaruk kepala.
"Jadi saat ini kita berada di bawah Candi Prambanan"
Candi Prambanan di Mataram Kuna atau yang di negeriku?" "Keduanya adalah candi yang sama walau berbeda
alam. Sesepuh nenek moyangmu membuat Candi Prambanan di masa lalu. Candi tetap berdiri gagah sampai delapan ratus tahun
kemudian. Walau saat ini keadaan memang aman namun aku tidak tahu kita bisa
bertahan sampai berapa lama. Kalau kita keluar sekarang-sekarang dari tempat ini
aku khawatir orang-orang yang mengejar bisa menemui kita. Saat ini aku punya
kewajiban harus membawamu ke hadapan Sri Maharaja Mataram secepat-cepatnya.
Padahal itu sebenarnya tugas orang lain. Namun keadaan berubah. Tindakan cepat
harus dilakukan. Siapa sangka aku diperintahkan bersama si katai yang sudah mati
itu menemuimu. Kau masih menyimpan baik-baik batu putih berbentuk segi tiga
itu?" Wiro menepuk-nepuk pinggang sebelah kiri tanda
benda yang ditanyakan berada dalam keadaan aman.
"Siapa yang memerintahmu menemui aku bersama
orang katai pemakan kemenyan itu?" Wiro bertanya.
"Satu makhluk yang memiliki dua nyawa kembar."
Jawab Ratu Randang.
"Nyawa kembar" Baru sekali ini aku mendengar ada
nyawa kembar. Bagaimana mungkin...?"
"Akal sehat memang tidak bisa menerima. Namun
begitulah kejadiannya. Dua nyawa kembar masuk ke dalam sosok makhluk yang punya
dua ujud. Ujud pertama yang sebenarnya sudah menemui kematian beberapa tahun
silam, dipanggil dengan nama Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Ujud kedua adalah
pemuda berpakaian dan berikat kepala hijau yang tadi kau lihat di tepi telaga.
Keduanya bisa berada di tempat berbeda dalam waktu yang bersamaan." Wiro menggaruk kepala.
"Berarti jika yang satu lagi asyik menyanyi di satu tempat, ujud yang lain bisa saja tengah membunuh orang!
Hebat juga!" Setelah berpikir sejenak Wiro berkata. "Jika makhluk bernyawa
kembar memberi perintah padamu dan orang katai yang sudah mati itu, berarti
kalian berdua sebenarnya adalah anak buah Sinuhun-Sinuhun. Tadi kau mengatakan
dirimu adalah penasihat Raja Mataram. Lalu mengapa pula kau membunuh si katai
itu" Aku menduga kau membunuhnya bukan karena hendak menolongku
saja, tapi ada penyebab lain..."
"Aku ingin menyelamatkan Raja Mataram, rakyat dan kerajaan. Dua sinuhun bersama
para pengikutnya telah menjatuhkan malapetaka mengerikan di Bhumi Mataram."
Lalu Ratu Randang menceritakan apa yang telah terjadi.
"Jika begitu ceritanya berarti kau telah mengkhianati dua sinuhun. Tidak heran
kalau makhluk bernyawa kembar itu akan mencarimu sampai ke langit ke tujuh
sekalipun! Tapi dari caramu bercerita dan dari raut wajahmu aku melihat tidak ada perasaan
takut dalam dirimu. Aku punya dugaan ada satu perkara yang tidak kau jelaskan
padaku." Sepasang mata juling Ratu Randang menatap Pendekar 212 tak berkesip.
"Apa?" tanya perempuan itu. "Apa yang tidak aku ceritakan padamu?"
"Aku tidak tahu, tapi pasti ada. Aku bisa merasakan.
Kau melakukan pengkhianatan. Dua sinuhun aku rasa bukan makhluk tolol yang bisa
mempercayaimu begitu saja..."
Ratu Randang tertawa.
"Kau memang benar. Pengkhianatan itu harus aku
bayar mahal, sangat mahal. Aku bercinta, berpura-pura menjadi kekasih dua
sinuhun. Bahkan Sri Maharaja dan orang-orang penting di kerajaan tidak
mengetahui hal ini.
Semua aku rencanakan sendiri karena aku sadar dalam keadaan negeri dilanda
malapetaka seperti ini terkadang sulit menduga mana kawan mana lawan."
"Pengorbananmu sungguh luar biasa besar. Tapi tidak sia-sia karena ada enaknya."
"Jangan menyindir! Kau marah" Atau cemburu?"
Wiro tertawa lebar dan gelengkan kepala.
"Hanya dengan cara begitu aku bisa mengabdi menyelamatkan raja dan kerajaan. Aku berhasil mencari tahu apa kelemahan dua
sinuhun..."
"Kalau memang kau sudah tahu kelemahan mereka
mengapa tidak membunuh saja keduanya" Raja dan kerajaan selamat. Cerita selesai! Aku tidak perlu jauh-jauh datang ke sini naik kuda
lumping!" "Tidak semudah itu membunuh dua makhluk bernyawa
kembar itu. Seperti yang kau katakan tadi mereka bukan makhluk-makhluk tolol.
Sekalipun aku tahu kelemahan mereka namun pasti mereka memiliki penangkal.
Selain itu aku khawatir mereka tidak bisa dibunuh satu demi satu, tapi harus
sekaligus. Kalau nyawa kembar yang satu mati yang lain masih hidup, celaka besar
akan terjadi. Riwayatku akan tamat! Padahal aku masih ingin panjang umur menikmati hidup di dunia
yang penuh keindahan ini. Hik...
hik" Setelah mengusap lehernya yang putih jenjang Ratu Randang teruskan ucapan.
"Mengenai kuda lumping yang kau tunggangi bersama dua orang lain dari negeri
delapan ratus tahun mendatang, benda sakti itu kini berada di tangan Sinuhun
Merah Penghisap Arwah yang menyamar menyerupai Kumara Gandamayana. Sulit bagimu
untuk kembali ke negeri asalmu kalau tidak mendapatkan kuda lumping itu
kembali." "Celaka biyung!" Ujar Wiro. "Agaknya sudah takdir aku akan berada di negeri ini
sampai karatan." Lalu Wiro bertanya. "Siapa orang bernama Kumara Gandamayana itu?"
"Seorang kakek sakti yang pernah datang ke negerimu, masuk ke dalam tubuh
seorang anak perempuan dan
bicara dengan seorang gadis bersunting lima tusuk konde perak. Gadis itu badan
dan pakaiannya menebar bau sangat harum. Kini tusuk kondenya tinggal empat."
"Yang pakai tusuk konde perak ditancap di batok kepala cuma ada satu orang. Guruku! Eyang Sinto Gendeng.
Dan dia sudah nenek keriput, bukan gadis! Tubuhnya bau pesing karena suka
kencing! Aneh kalau kau mengatakan tubuhnya sangat harum."
"Agaknya telah terjadi satu keanehan. Semua orang di sini melihat gurumu itu
sebagai seorang gadis cantik."
"Hebatnya guruku! Tapi aku benar-benar tidak mengerti keadaan di negeri ini.
Banyak aku melihat dan mengalami keanehan sebelumnya tapi tidak seperti di
sini..." "Wiro, aku sedih mengatakan gurumu sekarang berada di bawah kekuasaan Sinuhun
Merah Penghisap Arwah.
Otaknya telah dicuci dengan Ilmu Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak. Dia akan
melakukan apa saja yang diperintahkan sinuhun, termasuk membunuhmu!"
Wiro terlonjak kaget.
"Bagaimana kejadiannya?"
"Sinuhun Merah Penghisap Arwah berhasil menipu
gurumu. Merampas kuda lumping dan sekaligus mencuci otaknya dengan ilmu
kesaktian yang aku sebutkan tadi.
Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak."
"Apakah kau punya obat penangkalnya?" Tanya Wiro.
Ratu Randang menggeleng. "Agaknya sulit menyembuhkan gurumu atau siapa saja yang sudah ditumbuhi delapan benjolan merah di
keningnya..."
"Astaga! Jadi guruku sudah terserang benjolan aneh itu!
Celaka! Benar-benar celaka! Sebenarnya nenek itu sudah dilarang untuk tidak ikut
ke Mataram. Tapi dia memaksa.
Aku menduga dia tergila-gila pada si Kumara itu. Sekarang dia jadi gila
benaran!" Wiro tepuk-tepuk jidatnya sendiri.
Lalu berkata. "Aku harus mencari guruku lebih dulu. Aku harus menyelamatkan
dirinya." "Tapi raja dan rakyat Mataram menunggu dan memerlukan pertolonganmu." Kata Ratu Randang pula.
Murid Sinto Gendeng jadi bingung. Dia lalu ingat seseorang. "Ratu, orang yang muncul bersama Sinuhun Muda, berpakaian dan berdestar
biru. Siapakah dia?"
"Namanya Swara Pancala. Dialah pengkhianat sebenarnya." Wiro terkejut! "Nama itu! Aku pernah mendengar sebelumnya..."
"Swara Pancala adalah salah seorang kepercayaan
Raja Mataram. Namun dia kena dipengaruhi Sinuhun
Merah Penghisap Arwah dan secara diam-diam menjadi kaki tangannya. Aku khawatir
banyak rahasia yang diketahuinya telah disampaikan kepada Sinuhun Merah dan Sinuhun Muda. Termasuk
mengenai dirimu dan batu segi tiga putih. Itu sebabnya Sinuhun mengirim si katai
Raja Dukun dan diriku untuk merampas batu segi tiga putih.
Maksudnya dia akan menyerahkan batu itu pada seorang makhluk alam roh yang
didatangkan dari alam delapan ratus tahun mendatang. Konon makhluk itu diberi
nama Ksatria Jemputan. Dengan berbekal batu, Ksatria Roh Jemputan akan mengaku
diri sebagai Ksatria Panggilan menghadap raja, menipu lalu membunuhnya."
"Roh Jemputan..." Wiro mengulang nama itu. "Ratu
Randang, kau tahu siapa adanya makhluk yang disebut Roh Jemputan itu?"
"Aku tidak tahu. Tapi aku tahu Sinuhun Merah sendiri yang pergi ke negeri
asalmu, menghisap arwah Roh Jemputan di puncak Gunung Merapi. Saat ini mungkin dia sudah masuk ke Bhumi
Mataram. Satu hal lagi yang aku ketahui, Ksatria Roh Jemputan akan dikendalikan
untuk membunuhmu!"
"Edan!" Wiro memaki. "Ratu, dua sinuhun yang berasal dari dua nyawa kembar itu,
kau tahu siapa mereka sebenarnya" Mengapa mereka menjatuhkan tangan jahat
terhadap raja dan rakyat Mataram yang tidak berdosa"
Pasti ada sesuatu sebab makhluk dua nyawa kembar itu berbuat begitu. Sesuatu
yang merupakan dendam kesumat yang terbawa di dalam dirinya seumur-umur dan baru
akan lenyap jika dia sudah melakukan pembalasan..."
"Aku tidak bisa menduga. Selama beberapa kali aku bercinta dengan Sinuhun Muda
Ghama Karadipa, pemuda itu selalu bicara tentang hal-hal yang aku tidak
mengerti..."
"Misalnya?" tanya Wiro pula.
"Terkadang dia bersikap aneh. Seperti mau menangis sesenggukan. Lalu bicara
tentang segala macam arwah keramat. Cerita tentang perang arwah! Pernah satu
kali ketika dia terbaring setengah tertidur setelah bercinta denganku, tiba-tiba
Sinuhun Muda berteriak. Ayahku!
Jangan dipenggal! Jangan! Jangan! Ibu... Ibu... kau di mana Ibu! Dewa Jagat
Bathara! Mereka juga telah memancung Ibuku! Habis berteriak Sinuhun Muda lalu
menangis tersedu-sedu."
Wiro menggaruk kepala. Coba merenung.
"Agaknya ada satu peristiwa dahsyat di masa lalu yang sampai saat ini tidak bisa
dilupakannya. Mungkin peristiwa itu yang menjadi pemicu dendam kesumat yang
melekat di dalam dirinya seumur-umur dan baru akan lenyap jika dia sudah


Wiro Sableng 174 Dua Nyawa Kembar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan pembalasan. Ratu, tadi kau mengatakan telah berhasil mengetahui
kelemahan dua sinuhun nyawa kembar itu. Kau mau memberi tahu padaku?"
"Aku sudah lama menduga-duga. Dugaanku itu tersingkap kebenarannya ketika belum lama ini aku hendak bercinta dengan Sinuhun Muda
Ghama Karadipa. Malah dia sendiri yang menyebut kelemahan dirinya. Waktu itu dia
mengatakan..."
Mendadak Ratu Randang hentikan ucapan.
"Mengatakan apa" Ratu, mengapa kau tidak meneruskan keterangan?"
Ratu Randang memberi tanda agar Wiro tidak bicara.
Perempuan ini menghirup udara dalam-dalam lalu berbisik.
"Kau mendengar sesuatu?"
Wiro raba telinga kirinya. "Aku mendengar suara seperti sesuatu melata di tanah.
Mungkin seekor ular besar. Aku juga mencium bau harum semerbak. Tapi bukan bau
ha- rum manusia. Melainkah bau harum makhluk alam roh!"
"Kepalaku terasa pusing mencium bau itu," kata Ratu Randang sambil memijit
pelipis kiri kanan.
"Ratu, kita harus meninggalkan tempat ini! Aku curiga orang sudah mengetahui
persembunyian kita."
Tiba-tiba terdengar suara mendesis. Bersamaan dengan itu dari bagian bawah
dinding ruangan batu sebelah kanan menyembur asap kuning. Serta merta kedua
orang itu merasa sesak dada masing-masing dan pemandangan
menjadi kabur. "Racun ular!" Teriak Pendekar 212.
Tidak menunggu lebih lama Ratu Randang segera
menarik lengan Pendekar 212 sambil merapal ajian
Menunggang Kabut Menembus Batu.
Saat itu juga tubuh Ratu Randang dan Wiro melesat ke atap ruangan. Seperti tadi
ketika masuk Wiro merasakan sekujur tubuhnya dingin lalu, sett... sett! Di lain
kejap sosok kedua orang itu sudah meninggalkan ruangan batu. Memandang berkeliling Wiro dapatkan dirinya berada di satu pedataran dan dia
melihat tiga buah candi besar yang segera dikenalinya sebagai Candi Siwa atau
Candi Loro Jonggrang, Candi Brahma dan Candi Wisnu.
Saat itu udara masih dibalut kegelapan malam dan
hawa dingin. Tanah pedataran tampak basah oleh genangan air berwarna merah dan menebar bau busuk. Dua ekor sapi dan empat ekor
kambing yang telah jadi bangkai tergeletak di kejauhan.
"Wiro aku memperkirakan ada beberapa orang sembunyi di balik candi di sebelah kanan. Lekas kau tinggalkan tempat ini. Pergi
lurus-lurus ke arah utara. Kau akan menemukan sebuah bukit batu. Itulah Bukit
Batu Hangus. Raja Mataram ada di sana! Segera temui beliau!"
"Kau sendiri mau ke mana" Mau berbuat apa?" Tanya Pendekar 212.
"Aku akan tetap di sini. Aku akan menghadang mereka!" Wiro tekapkan kedua tangannya di wajah Ratu Randang dan berkata.
"Aku juga akan tetap di sini. Mati hidup kita berdua!"
Ratu Randang terkesiap mendengar ucapan sang
pendekar. "Tapi Wiro, raja dan rakyat Mataram membutuhkan
pertolonganmu! Jika terjadi sesuatu dengan dirimu di tempat ini aku merasa
bersalah dan harus bertanggung jawab..."
"Tenang saja. Tidak akan terjadi apa-apa dengan kita berdua." Kata Wiro pula.
Saking girangnya Ratu Randang langsung saja mengecup bibir Pendekar 212 hangat dan mesra. Lalu sambil tersipu perempuan ini
berkata. "Masih empat ratus sembilan puluh delapan ciuman..."
Wiro hanya bisa tersenyum.
Saat itulah tiba-tiba terdengar suara perempuan tertawa melengking panjang.
"Dasar pemuda mata keranjang! Di tanah delapan ratus tahun mendatang berbuat
cabul! Sampai di sini masih juga berbuat mesum! Menyekap diri di dalam liang
batu dengan perempuan dajal yang berusia dua kali lebih tua! Hik...
hik... hik! Padahal kedatanganmu katanya untuk menolong.
Ternyata malah enak-enakan berbuat serong! Hik... hik...
hik!" Wajah Ratu Randang tampak mengelam merah. Tubuh
bergetar pertanda marah besar menyelimuti sekujur dirinya.
"Jangan perdulikan ucapan orang!" kata Wiro sambil pegang lengan Ratu Randang.
"Aku punya dugaan perempuan bermulut kotor itu datang dari negeri yang sama dengan negeri asalku!"
Tiba-tiba dari balik Candi Wisnu tiga bayangan berkelebat! WIRO SABLENG DUA NYAWA KEMBAR
11 ARI tiga orang yang berdiri di hadapannya, Wiro
segera mengenali orang pertama dan kedua yaitu
Dorang-orang yang malam itu dilihatnya di tepi telaga dan telah dijelaskan siapa
adanya oleh Ratu Randang.
Kedua orang ini bukan lain adalah Sinuhun Muda Ghama Karadipa dan si pengkhianat
Swara Pancala. Di antara kedua orang itu berdiri seorang perempuan muda berwajah cantik
mengenakan pakaian terbuat dari sutera halus berwarna hijau. Tubuhnya yang
sintal serta pakaian bagusnya, menebar bau harum. Rambut hitam digerai lepas
sepinggang. Di sebelah atas dada pakaian hijaunya agak tersingkap hingga
menyembulkan sepasang payudara yang kencang putih. Di kepala sebelah depan
terdapat sebuah mahkota kecil terbuat dari perak putih berkilat ditaburi batu
permata aneka warna.
Sementara Pendekar 212 terperangah tidak percaya
akan apa yang dilihatnya, Ratu Randang mengerenyit karena di pinggang perempuan
muda cantik yang tidak dikenalnya itu melingkar seekor ular hitam besar
berkepala putih. Dan yang membuat Ratu Randang jadi mengkirik bergidik, sebagian
tubuh ular yakni di sebelah ekor masuk menembus ke dalam perut orang melalui
pusar! Sesaat Ratu Randang kerenyitkan kening, sebelum
berbisik, bertanya pada Pendekar 212.
"Wiro, kau mengenali siapa perempuan muda yang
tegak di antara dua makhluk jahanam itu" Benar dia orang yang juga datang dari
negeri asalmu" Mengapa aku lihat ada ular. Aku punya dugaan dia bukan manusia
biasa. Tapi makhluk alam roh."
"Dewi Ular..." Ucap Wiro berkata dalam hati. "Aneh, bagaimana perempuan jahat
yang sudah mati ini bisa muncul di Bhumi Mataram. Lebih aneh lagi mengapa dia
tahu-tahu bergabung dengan orang bernama Sinuhun dan Swara Pancala. Pasti tadi
dia yang menyemburkan asap beracun ke dalam liang batu..."
Karena tidak mendapat jawaban Ratu Randang kembali bertanya. "Wiro, kau kenal
perempuan bermahkota yang perutnya ditancapi ular itu?"
Wiro mengangguk perlahan.
"Kau benar Ratu. Manusia satu ini sebenarnya sudah mati beberapa waktu lalu. Aku
yang membunuhnya bersama seorang sahabat di sebuah jurang batu pualam.
Ilmunya tinggi, secantik bidadari tapi hatinya lebih jahat dari iblis. Namanya
Kunti Ambiri. Di negeri asalku ketika masih hidup dia lebih dikenal dengan
panggilan Dewi Ular.
Tadinya aku agak pangling karena biasanya dia memakai mahkota terbuat dari emas
berbentuk kepala ular. Sekarang diganti dengan mahkota perak..." (Riwayat asal muasal Dewi Ular bisa dibaca
dalam serial Wiro Sableng berjudul "Dewi Ular" sedang kematian Dewi Ular
dicerita- kan dalam serial berjudul "Bayi Titisan").
"Kau menyebut mahkota emas! Wiro ketahuilah..."
Ratu Randang yang hendak memberi tahu kelemahan
makhluk dua nyawa kembar tidak sempat menyelesaikan ucapan karena tiba-tiba di
depan sana ular besar yang bergelung di pinggang Dewi Ular melesat ke depan,
men- desis keras, menyambar satu jengkal di depan Ratu Randang, membuat perempuan ini terpekik lalu melompat mundur.
"Ratu, tenang saja. Jangan membalas. Perempuan iblis itu hanya menakut-nakuti.
Mungkin sekedar menjajagi ilmu kepandaianmu..."
"Aku yakin Sinuhun Penghisap Arwah telah menghisap arwahnya hingga dia bisa
datang ke sini. Pasti Sinuhun sudah menguasai pula dirinya. Tapi mengapa tidak
ada delapan benjolan di keningnya seperti yang terjadi dengan gurumu. Perempuan
bermahkota ini menjadi lebih berbahaya karena dia datang membekal dendam kesumat
pembunuhan yang kau lakukan atas dirinya. Kau harus berhati-hati..."
"Ratu, tiga orang ini mengincar kita berdua. Kau pergi cepat dari sini. Aku
titipkan batu putih segi tiga..."
"Kalau kau sudah berkata memilih mati berdua, aku juga akan melakukan hal yang
sama!" Jawab Ratu Randang. "Dua manusia salah kaprah! Apa berlama-lama di liang batu masih belum puas"
Masih bercumbu berbisik-bisik di hadapan kami"! Sungguh menjijikkan! Luar biasa
memalu- kan!" Tiba-tiba si cantik berbaju sutera hijau keluarkan seruan. Suaranya
menggema keras dalam kegelapan
malam. Menghadang alur hembusan angin di antara tiga candi besar.
Ratu Randang dongakkan kepala lalu tertawa panjang.
Suara tawanya tidak kalah dahsyat dengan seruan Dewi Ular tadi.
"Disedot dari alam roh! Kesasar di Bhumi Mataram. Aku khawatir kau tidak tahu
jalan pulang! Padahal bangkai busukmu tidak diterima tanah negeri ini! Mengapa
berani bicara sombong" Mengandalkan dua orang yang mendampingi dirimu" Hik... hik... hik!"
"Berujud cantik padahal sudah nenek tua bangka!
Perempuan tidak tahu diri. Pengkhianat busuk bermata juling! Berlutut di hadapan
kami! Minta ampun pada Sinuhun. Maka selembar nyawamu akan diampuni!"
Mendengar ucapan Dewi Ular, Ratu Randang kembali
tertawa panjang.
"Perempuan iblis roh busuk! Hik... hik! Kau menyuruh aku berlutut di hadapan
Sinuhun"! Kau tidak tahu, aku sudah terlalu sering berlutut di hadapan Sinuhun!
Yaitu pada saat kami bercinta! Hik... hik... hik! Walau penampilanmu seperti bidadari apa kau kira Sinuhun akan mengambilmu menjadi kekasih" Bagaimana mungkin bercinta dengan roh seorang iblis
perempuan yang perut dan kemaluannya tersumpal ular jejadian" Hik... hik...
hik!" Pendekar 212 Wiro Sableng ikut-ikutan tertawa bergelak mendengar kata-kata Ratu Randang. Mulut dipencong-pencong dan mata dijerengjerengkan Marahlah Dewi Ular. Ular hitam besar di pinggangnya mendesis keras. Tiba-tiba
dari sepasang mata, dua lobang hidung, dua liang telinga serta mulut, pusar,
dubur dan aurat terlarangnya mencuat keluar sepuluh ular merah belang hitam.
Didahului suara gemerisik sisik tubuh dan desis di mulut sepuluh binatang ini
siap melesat ke arah Ratu Randang.
"Ilmu Sepuluh Ular Akhirat Turun Ke Bumi!" Ucap Wiro yang mengenali serangan
yang hendak dilancarkan Dewi Ular. Serta merta dia kembangkan telapak tangan dan
meniup perlahan. Saat itu juga di telapak tangan sang pendekar muncul gambar
kepala harimau putih bermata hijau. Pukulan Harimau Dewa! Itulah pukulan sakti
pem- berian Datuk Rao Basaluang Ameh!
Sementara itu Ratu Randang alirkan tenaga dalam
penuh ke tangan kanan hingga tangannya mulai dari ujung jari sampai ke siku
berubah menjadi merah.
Sinuhun Muda Ghama Karadipa tidak tahu ilmu pukulan sakti apa yang hendak dilepaskan pemuda berambut gondrong di hadapannya.
Namun melihat perubahan
tangan Ratu Randang dia menimbang-nimbang lalu cepat melangkah ke depan sambil
membentak. "Tunggu! Aku mau bicara dulu!"
Suara Sinuhun Muda Ghama Karadipa luar biasa keras.
Udara bergaung, tanah basah bergetar. Genangan air merah busuk bermuncratan.
Sepasang matanya memandang berapi-api ke arah Ratu Randang. Delapan benjolan merah memancar cahaya
terang. Melihat keadaan dan sikap Sinuhun Muda, murid Sinto Gendeng segera maklum bahwa
sumber kekuatan orang ini terletak pada delapan benjolan di kening. Namun di
mana letak kelemahannya" Sayang Ratu Randang masih belum sempat memberi tahu.
"Perempuan jahanam! Aku masih mau melupakan kau
sebagai seorang pengkhianat. Nyawamu kuampuni.
Dengan satu syarat! Pemuda berambut gondrong bernama Wiro Sableng ini harus
menyerahkan batu segi tiga putih berikut nyawanya padaku!"
Sebagai jawaban Ratu Randang sunggingkan tawa
mengejek. "Batu dan nyawa bukan milikku. Tapi milik pemuda dari alam delapan ratus tahun
mendatang. Jika kau merasa mampu mengapa tidak melakukan sendiri" Merampas
batu dan merampas nyawanya"! Hik... hik! Kita memang beberapa kali bercinta!
Tapi yang kuberikan padamu bukan tubuhku! Melainkan tubuh bangkai anjing! Hik...
hik... hik!"
Tampang Sinuhun Muda merah membesi! Gemuruh
amarah seperti hendak meledakkan tubuhnya!
"Kurang ajar! Dewi Ular! Bunuh kedua orang ini!" Teriak Sinuhun Muda.
WIRO SABLENG DUA NYAWA KEMBAR
12 ATU Randang tudingkan telunjuk tangan kiri tepattepat ke arah Sinuhun Muda. "Sungguh memalukan!
RTernyata kau tidak punya nyali menghadapi Ksatria Panggilan! Kau bersembunyi di
balik ketiak perempuan iblis itu! Apakah kau sudah pernah bercinta dan tidur
dengan dia" Apakah enak gigitan ularnya" Hik... hik... hik!"
"Apakah ularmu tidak dipatuk ularnya"! Ha... ha... ha!"
Wiro ikut menimpali.
Sinuhun Muda berteriak marah. Dewi ular menggembor keras. Sepuluh ular merah
belang hitam yang meliuk-liuk di sekujur tubuhnya mendesis panjang dan
menggeliat. Lidah di dalam mulut pancarkan cahaya kebiru-biruan.
"Keparat jahanam! Kau akan menjadi budakku di dunia dan alam roh!"
Delapan larik sinar merah menyembur keluar dari
delapan benjolan di kening Sinuhun Muda. Yang diarah adalah kening Pendekar 212
Wiro Sableng. Jika serangan itu mengenai sasaran maka seperti apa yang terjadi
dengan Sinto Gendeng, Wiro akan jatuh ke dalam kekuasaan dan kendali Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah!
Saat itulah Ratu Randang dengan tiba-tiba memeluk tubuh Pendekar 212 sambil
berteriak. "Wiro! Cepat balas memeluk tubuhku!"
Meskipun terkejut namun Wiro melakukan apa yang
dikatakan Ratu Randang. Begitu keduanya saling berpelukan maka di tanah basah di bawah kaki mereka berpijar sinar putih.
Reettt! Sinar putih menjalar ke atas.
"Dia menggunakan Ilmu Insan Berjalan Tanpa Bayangan! Aku benar-benar menyesal memberikan ilmu itu pada perempuan keparat itu!"
Teriak Sinuhun Muda. Lalu hantamkan tangan kanannya sementara dari delapan
benjolan di kening masih terus melesat delapan sinar merah. Dua serangan ini
diarahkan pada Ratu Randang dan Wiro yang saling berpelukan.
Di sebelah Sinuhun Muda sepuluh ular telah melesat laksana anak panah lepas dari
busurnya. Namun terlambat! Sosok Wiro dan Ratu Randang telah terlebih dulu lenyap dari pemandangan
bersama sirnanya pijaran sinar putih.
Malah saat itu ada sambaran cahaya putih kehijauan.
Dewi Ular menjerit. Sinuhun Muda berteriak marah. Sepuluh ular merah yang keluar menyerang dari tubuh Dewi Ular terpental di udara,
jatuh di tanah basah dalam keadaan hancur berkeping-keping. Dewi Ular terjajar
ke belakang, nyaris jatuh ke tanah kalau tidak lekas ditolong Swara Pancala.


Wiro Sableng 174 Dua Nyawa Kembar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajahnya yang cantik tampak pucat. Mahkota perak di atas kepala miring ke kiri.
Sinuhun Muda perhatikan lima jari tangan lalu meraba kening yang ada benjolan.
Dalam hati dia membatin, "Luar biasa! Pemuda jahanam itu tidak bisa dipandang
sebelah mata. Sebelum lenyap bersama perempuan celaka itu agaknya dia masih
sempat melepas serangan balasan!
Untung delapan sinar merah masih bisa meredam. Kalau tidak bisa-bisa aku sudah
celaka..."
Sinuhun Merah berpaling pada Dewi Ular. Lalu berkata.
"Ternyata kau tidak punya kemampuan apa-apa. Ilmu kesaktianmu tidak sanggup
membunuh pemuda itu. Apakah aku masih memerlukan dirimu"!"
"Jangan memandang rendah diriku. Kalau aku tidak
menyerang dengan sepuluh ular jejadian, saat ini tubuh Sinuhun Muda mungkin
sudah tercabik-cabik."
"Dewi Ular, aku rasa aku tidak memerlukan dirimu lagi.
Kau makhluk tidak berguna. Cepat menyingkir dari hadapanku!" Mendengar ucapan orang Dewi Ular alias Kunti Ambiri ganda menyeringai. Mulut
kemudian berucap, "Yang
menghisap arwahku dan mendatangkan diriku ke Bhumi Mataram ini adalah Sinuhun
Merah Penghisap Arwah
walau pertama kali dia merasa ragu melakukan. Dia yang membutuhkan diriku!
Sekarang terserah Sinuhun Muda.
Kalau Sinuhun Muda merasa tidak memerlukan diriku lagi, aku akan pergi ke mana
aku suka! Tapi jangan menyesal kalau kelak aku akan bergabung dengan orang-orang
kerajaan. Harap Sinuhun Muda mau memberi tahu hal itu pada Sinuhun Merah..."
"Swara Pancala! Antarkan Dewi Ular ke gua di balik air terjun! Kalian berdua
tunggu aku di sana. Awasi perempuan ini!"
"Aku tidak perlu pengawalan. Aku tidak berhasrat pergi ke gua di balik air
terjun! Aku akan pergi ke mana aku suka!"
"Perempuan keparat! Kau mencari celaka berani menentangku!" Sinuhun Muda berteriak marah. Kaki kanannya dibantingkan ke tanah. Tanah bergetar. Genangan air merah busuk muncrat ke
udara. Dewi Ular merasa ada hawa aneh memasuki tubuhnya. Sebelum dia menyadari
bahaya dan melakukan sesuatu tiba-tiba sekujur tubuhnya berubah kaku tak bisa
digerakkan lagi. Bahkan ular hitam kepala putih yang bergelung di pinggangnya
ikut diam membatu!
"Swara Pancala! Bawa perempuan itu ke gua di balik air terjun. Setelah itu kau
cepat menyusul aku ke Bukit Batu Hangus sebelum fajar menyingsing! Aku akan
berusaha menghambat Ratu Randang dan pemuda gondrong itu
menemui Raja Mataram dengan Ilmu Tabir Langit Turun Ke Bumi. Aku juga akan
menerapkan Di Bumi Ada Enam Kesesatan, Di Langit Ada Tujuh Kesesalan, Dalam Air
Ada Delapan Kesesatan. Kita terpaksa melaksanakan rencana cadangan. Raja Mataram
harus menemui ajal sebelum Ksatria Panggilan lebih dulu menemuinya!"
Tidak tunggu lebih lama lagi Swara Pancala segera panggul tubuh Dewi Ular lalu
berkelebat ke arah selatan.
Dalam berlari secapat angin berhembus, dada lelaki ini berdebar keras. Sejak
istrinya tewas beberapa tahun silam baru kali ini dia bersentuhan dengan tubuh
molek seorang perempuan berwajah cantik penuh pesona.
*** Di dalam gua di balik air terjun di tempat mana Sinuhun Muda pernah bercinta
dengan Ratu Randang, Swara
Pancala membaringkan Dewi Ular di lantai batu. Pakaian mereka basah sewaktu
melewati air terjun. Setelah membaringkan Dewi Ular, Swara Pancala cepat-cepat berbalik hendak meninggalkan gua.
"Swara, kita belum lama bersahabat Tapi aku tahu kau orang baik. Kau mau pergi
ke mana?" "Aku harus segera menuju Bukit Batu Hangus!" Jawab Swara Pancala.
"Kau tega meninggalkan aku seorang diri dalam
keadaan tubuh tak berdaya seperti ini?"
"Aku hanya menjalankan perintah Sinuhun Muda."
"Tapi saat ini Sinuhun Muda tidak ada di sini. Jika kau mau berbaik hati
menolong diriku, aku tidak akan melupakan budimu. Apapun yang kau minta sebagai imbalan akan aku berikan..."
Dewi Ular layangkan senyum mesra sambil sepasang
mata menatap mesra.
"Jangan memikatku! Aku harus pergi!"
Dewi Ular tertawa lepas. Barisan giginya tampak rata putih dan lidahnya
kelihatan merah basah.
"Swara Pancala. Jangan berburuk kira. Aku tidak berusaha memikatmu. Persahabatan dan kebaikan itulah yang lebih utama. Kau telah
melihat apa yang dilakukan Sinuhun Muda terhadap diriku. Aku khawatir hal yang serupa akan terjadi atas dirimu
di kemudian hari. Kau memberikan seluruh pengabdian dan kepatuhan pada Sinuhun
Muda. Apakah kau benar-benar bisa mempercayainya" Saat ini dia memerlukan bantuanmu
karena ada urusan besar.
Kalau urusan sudah selesai dan kau tidak diperlukan lagi mungkin saja kau akan
dilempar ke comberan, itu yang paling baik. Karena tidak mustahil Sinuhun Muda
akan membantaimu!"
"Aku lebih percaya pada Sinuhun Muda daripada mendengar ucapanmu!"
"Swara Pancala. Ketahuilah, penyesalan selalu datang belakangan."
"Aku tidak akan pernah menyesal mengabdi pada
Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah. Sekian belas tahun mengabdi kepada pada raja dan
kerajaan Mataram sebenarnya aku hanya menunggu kesempatan. Raja Mataram Rakai Kayuwangi bertanggung
jawab atas kematian dua orang tua, istri dan saudara-saudaraku. Mereka dibantai
tanpa kemanusiaan sewaktu terjadi huru-hara besar penumpasan kaum pemberontak.
Itu pula yang terjadi dengan Sinuhun Muda!"
"Ah, kalian berdua menanggung beban dendam luar
biasa rupanya! Swara, saat ini kau telah melakukan hal yang terbaik. Kau hanya
menunggu kesempatan membalas dendam pada Raja Mataram. Aku yakin kau akan
berhasil membalaskan sakit hati dendam kesumat. Untuk itu aku akan berdoa bagi
keberhasilanmu. Jika kau memang mau pergi aku tidak bisa melarang. Kau melihat
ketidakadilan yang terjadi atas diriku. Aku tahu hatimu memelas namun karena
kesetiaan pada sinuhun kau tidak bergeming.
Seandainya diriku ini adik perempuanmu atau kekasihmu, apa kau akan tetap tidak
perduli" Aku hanya minta satu hal..."
"Apa?" tanya Swara Pancala yang mulai terpengaruh.
"Kalau aku harus mati di dalam gua ini, aku tidak ingin diriku mengenakan
mahkota di kepala dan pakaian di badan. Aku mohon, tanggalkan mahkota dan
seluruh pakaianku. Dengan cara itu kelak aku akan lebih cepat kembali ke alam rohku di
masa delapan ratus tahun mendatang..."
Swara Pancala tidak bergerak. Menjawabpun tidak.
"Mengapa kau hanya berdiam diri" Kau tidak mau
menolongku" Apa yang aku minta tidak sulit untuk kau lakukan. Aku akan sangat
berterima kasih..."
"Aku tidak yakin kau akan mati di tempat ini. Sinuhun Muda akan datang menemuimu
begitu urusan di Bukit Batu Hangus selesai."
"Bagaimana kalau Sinuhun Muda menemui ajal di bukit itu" Kau mau datang ke sini
untuk membebaskan diriku?"
"Aku tidak berjanji."
"Kau tak perlu berjanji. Hanya kuminta melakukan satu pekerjaan mudah. Tolong
tanggalkan mahkota dan pakaianku." Swara Pancala terdiam, berpikir-pikir.
"Aku tahu kau akan memenuhi permintaanku. Karena
kau orang baik..."
Swara Pencala tatap wajah Dewi Ular yang tersenyum padanya dengan mata setengah
terpejam. Perlahan-lahan lelaki ini akhirnya membungkuk, berlutut di lantai batu
lalu menanggalkan mahkota perak di atas kepala Dewi Ular.
Ketika Swara Pancala hendak menanggalkan pakaian Dewi Ular, lelaki ini agak
tertegun. Namun akhirnya hal itu dilakukannya juga.
"Swara, aku merasa sangat kedinginan. Sebelum kau pergi maukah kau memeluk
tubuhku barang sebentar agar aku merasakan kehangatan..."
Sejak tadi sebenarnya Swara Pancala tidak sanggup lagi menahan gejolak darahnya
yang mengalir cepat dan panas. Jantung berdegup kencang, nafas menyengat
terbendung gelora nafsu yang membara.
Tidak berpikir lebih lama lagi lelaki ini jatuhkan diri di samping Dewi Ular
lalu memeluk tubuh perempuan yang putih elok dan yang tidak lagi tertutup
selembar benangpun! Kemudian Swara mendengar bisikan itu. "Swara,
tidakkah kau ingin menanggalkan pula pakaianmu?"
"Dewi, jika semua urusan gila di Bhumi Mataram ini selesai, apakah kau mau
menjadi istriku?"
Sepasang mata Dewi Ular berbinar, bibir bergetar
merenggang. Lidah merah basah dijulurkan lalu senyum dikulum. Dada yang putih
besar bergerak mengikuti tarikan nafas bahagia.
"Swara, kau mungkin tidak percaya. Itulah yang aku harapkan ketika pertama kali
aku melihat wajahmu. Apa yang barusan kau ucapkan adalah kata-kata paling indah
yang pernah aku dengar. Kalau saja aku mampu menggerakkan kedua tangan dan kakiku, pasti saat ini tubuhmu sudah aku rangkul dan
tidak akan aku lepaskan..."
"Aku bisa membuyarkan ilmu sinuhun yang membuatmu kaku tidak bisa bergerak..."
"Swara, aku bersumpah untuk menyerahkan diri dan
jiwaku untukmu seorang."
"Sumpahmu adalah sumpahku juga!" Sahut Swara
Pancala. Lalu dengan cepat seperti yang diminta Dewi Ular dia melepas pakaian yang
melekat di tubuhnya.
WIRO SABLENG DUA NYAWA KEMBAR
13 INI hari di Bukit Batu Hangus. Ratusan orang berhamparan di lereng bukit dalam keadaan menyedihDkan. Tidak terlindung dari hawa dingin, tubuh masih diserang demam panas dan
kaki masih dalam keadaan lumpuh. Sejak persediaan air di bukit mulai berkurang,
keadaan ratusan orang itu semakin tambah sengsara.
Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala duduk di atas sebuah batu besar
memperhatikan Ni Gatri yang tengah memberi minum Rauh Kalidathi, nenek yang
telah menyelamatkannya dari Ludra Bhawana, anak buah
Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang hendak menculik dan membunuhnya. Setelah
memberi minum si nenek
anak perempuan ini berkeliling menolong orang-orang lainnya. Kebanyakan orang
yang ada di atas bukit termasuk keluarga raja berada dalam keadaan lemah, tergolek tertidur dalam haus dan
lapar serta diserang penyakit panas dan lumpuh. Jika sampai besok siang orangorang itu tidak juga mendapat pertolongan, lepas dari penderitaan yang mengerikan itu, sudah dapat diduga apa yang akan terjadi. Satu
persatu mereka akan menemui ajal!
Ketika Raja Mataram hendak memanjatkan doa mohon
keselamatan pada Yang Maha Kuasa tiba-tiba di kejauhan di kaki bukit terdengar
suara kuda meringkik.
Sri Maharaja Rakai Kayuwangi buka sepasang matanya yang baru saja terpejam.
Memandang ke kaki bukit lalu menoleh ke jurusan Ni Gatri yang saat itu
dilihatnya berdiri tertegun.
"Suara kuda meringkik. Masih adakah hewan peliharaan yang hidup di Bhumi Mataram" Mungkin ada seseorang dari jauh datang ke sini
dengan menunggang kuda" Mudah-mudahan Ksatria Panggilan. Tapi menunggang kuda?"
Raja Mataram berkata dalam hati yang penuh harapan namun juga ada perasaan
khawatir. Akan halnya Ni Gatri, ketika mendengar suara kuda meringkik, anak perempuan ini
langsung ingat pada kuda lumpingnya.
"Kuda lumpingku, apakah kau yang meringkik. Kau
berada di mana" Datanglah ke sini..."
Raja Mataram bangkit berdiri, turun dari atas batu lalu mendekati Ni Gatri.
"Anak perempuan, kau barusan bicara dengan siapa?"
"Gusti Yang Mulia, saya barusan mendengar suara kuda meringkik. Saya mengharap
itu adalah ringkikan kuda lumping. Mungkin saya terlalu berharap dan mengadaada. Kuda- kudaan dari bambu itu mana bisa mengeluarkan suara meringkik. Lagi pula
kuda lumping saya tidak tahu berada di mana sekarang. Terakhir sekali masih
ditung- gangi nenek bernama Sinto Gendeng..."
"Nenek itu lenyap tidak diketahui di mana rimbanya.
Pendekar panggilan bernama Wiro Sableng seharusnya sudah menemuiku. Kau
beruntung dalam keadaan selamat sampai di bukit ini..."
Baru saja Raja Mataram Rakai Kayuwangi berucap tiba-tiba di kejauhan terdengar
suara anjing meraung, panjang berhiba-hiba. Suara raungan ini ditimpali oleh
suara anjing lain yang terdengar lebih kecil dan pendek.
Raja mengusap kumis dan janggutnya yang meranggas.
"Tadi ringkikan kuda, sekarang raungan anjing. Apa artinya semua ini...?" Pikir
Raja Mataram. Lalu dia berkata pada Ni Gatri. "Kau pergilah ke atas. Tolong jaga
anak-anakku, juga perhatikan orang-orang tua yang sakit..."
Ni Gatri membungkuk. Namun sebelum anak perempuan ini sempat beranjak tiba-tiba di kaki bukit ada kilauan cahaya merah. Di
lain kejap satu sosok berpakaian dan berikat kepala putih berkelebat muncul
berdiri di hadapan Raja Mataram. Ternyata dia adalah sosok Pendekar 212
Wiro Sableng. Sang pendekar membungkuk hormat seraya berkata.
"Yang Mulia Sri Maharaja Mataram, maafkan kalau
kedatangan saya yang agak terlambat kurang berkenan di hati Yang Mulia. Izinkan
saya memperkenalkan diri. Saya Wiro Sableng dari alam delapan ratus tahun
mendatang menghatur hormat dan siap melaksanakan perintah Yang Mulia."
Wiro berpaling pada Ni Gatri, kedipkan mata dan berkata. "Aku senang kau berada dalam keadaan selamat."
Sri Maharaja Mataram merasa gembira mengetahui
kalau pemuda yang berdiri di depannya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, sang
Ksatria Panggilan. Dia tidak menyangka kalau sang pendekar begitu sopan sikap dan tutur katanya. Sebelumnya dia
mendengar kalau Ksatria Panggilan walau berilmu tinggi adalah seorang pendekar urakan dan konyol kalau tidak
mau dikatakan kurang ajar!
"Pendekar, aku berterima kasih padamu dan bersyukur pada Para Dewa kau telah
hadir di Bhumi Mataram. Seharusnya ada yang mengantarmu ke sini..." Lalu dalam hati Raja Mataram berkata.
"Kumara Gandamayana baru saja pergi dari sini sehabis mengantar aku dan Ni
Gatri. Seha- rusnya pendekar ini datang diantar Swara Pancala. Di mana beradanya orang
kepercayaanku itu. Aku khawatir dia mengalami nasib buruk seperti Ageng
Daksa..." Raden Ageng Daksa adalah orang kepercayaan Raja
Mataram yang mati dibunuh dan sampai saat itu belum diketahui siapa pembunuhnya.
"Yang Mulia, tidak sulit mencari Bukit Batu Hangus ini.
Nama dan letaknya tidak berubah dari delapan ratus tahun silam. Selain itu saya
tidak mau merepotkan orang lain untuk mengantar segala."
Pendekar 212 memandang berkeliling dan tarik nafas tercekat ketika melihat
puluhan orang yang bergelimpangan di sekitarnya. Memandang ke bagian atas bukit dia melihat lebih banyak
lagi orang yang sengsara.
"Yang Mulia, jika ada sesuatu yang harus saya lakukan, maka kita harus bertindak
cepat." Sementara Pendeker 212 bicara dengan Raja Mataram, Ni Gatri terus-menerus
memandangi sang pendekar.
Dipandangi begitu rupa Wiro kedipkan mata.


Wiro Sableng 174 Dua Nyawa Kembar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ni Gatri, kau memperhatikan aku terus dari tadi. Pasti kau kangen dengan
kakakmu ini."
Ni Gatri tersenyum.
"Gatri gembira bertemu Kakak lagi. Hanya saja kuda lumping Gatri lenyap entah ke
mana..." "Tidak usah khawatir, nanti kita cari sama-sama. Pasti bertemu," kata Wiro pula.
Ni Gatri dekati Wiro dan pegang lengan sang pendekar.
Diam-diam anak ini menghirup udara dalam-dalam. Hidungnya diarahkan ke tubuh Wiro.
"Kakak, aku tak mau berpisah lagi denganmu," kata Ni Gatri yang dijawab oleh
Pendekar 212 dengan mengusap kepala anak perempuan itu.
Ni Gatri kembali berdiri di samping Raja Mataram.
"Ksatria Panggilan, apa yang kau katakan benar sekali.
Kita harus bertindak cepat. Sebelum kuajak menemui beberapa tokoh yang ada di
bukit ini untuk merundingkan hal apa saja yang harus kita laksanakan dan
dahulukan, aku ingin bertanya apakah kau membawa sebuah benda titipan yang
membuktikan jati dirimu memang sebenarnya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng dari
negeri delapan ratus tahun mendatang."
"Tentu saja Yang Mulia. Saya memang membawanya.
Bukankah batu itu berasal dari Yang Mulia juga, dititipkan pada makhluk yang
memperkenalkan diri sebagai Mayat Aneh Keempat..."
"Bersyukur pada Yang Maha Kuasa, semuanya berjalan lancar." Ucap Raja Mataram
yang gembira mendengar kata-kata Wiro tadi yang menyatakan bahwa si pemuda
berambut gondrong itu memang benar adalah Ksatria Panggilan yang diharapkan
mampu menyelamatkan kerajaan. Tiba-tiba di samping Raja Ni Gatri batuk-batuk berulang kali sampai tubuhnya
terbungkuk-bungkuk dan wajah tampak merah. "Ni Gatri kau pergilah ke atas bukit. Temui dan lihat anak-anakku..."
Ni Gatri mengangguk. Sambil batuk-batuk dia melangkah menuju ke bukit sebelah atas. Sewaktu berada di samping Raja Mataram tubuh
anak ini mendadak tampak limbung. Sebelum jatuh Raja Mataram cepat memegangnya. Pada saat itulah anak perempuan ini berbisik pada sang raja.
"Gusti Yang Mulia, orang itu bukan kakak saya. Dia bukan Pendekar 212 Wiro
Sableng. Lekas menjauh!"
Walau terkejut namun Raja Mataram Rakai Kayuwangi bisa bersikap tenang dan
wajahnya pun tidak berubah. Dia mengusap kepala anak perempuan itu dan menyuruh
naik ke bagian atas bukit. Namun Ni Gatri tidak mau beranjak dari tempatnya.
Ketika Raja berpaling pada Pendekar 212, sang pendekar saat itu telah mengeluarkan sebuah benda berwana putih yang bukan lain
adalah batu pipih berbentuk segi tiga. Pada masing-masing sudut batu terdapat
guratan angka berwarna biru: 212. Raja Mataram ingat apa yang tadi dibisikkan Ni
Gatri. Dalam hati sang Raja berkata. "Apa ada yang tidak beres" Pemuda ini
membawa batu titipanku. Berarti dia memang... Tapi mengapa anak perempuan itu tadi berkata..."
Di hadapan Raja, Pendekar 212 berdiri membungkukkan badan dan mengulurkan batu pipih putih berbentuk segi tiga.
"Yang Mulia, batu titipan saya kembalikan. Harap Yang Mulia sudi memeriksa
keasliannya."
"Aku melihat tidak ada kelainan pada batu itu," jawab Sri Maharaja Mataram lalu
mengulurkan tangan untuk mengambil batu segi tiga yang hendak diserahkan.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara dua ekor anjing menyalak. Lalu ada
suara orang berteriak. Suara perempuan.
"Yang Mulia! Jangan sentuh batu putih! Lekas lari menjauh!"
Dalam keterkejutannya Raja Mataram sempat terkesiap tak bergerak. Lalu tanpa
melihat ujud dia merasakan ada empat buah kaki secara aneh mendorong tubuhnya
hingga dia jatuh terjengkang dan terguling-guling ke lereng bukit sebelah kiri.
Di saat yang sama Ni Gatri merasa ada sesuatu menggigit bagian bawah bajunya lalu tubuhnya ditarik hingga terseret cukup jauh.
WIRO SABLENG DUA NYAWA KEMBAR
14 ANYA sekejapan saja setelah sosok Raja Mataram
jatuh tertelentang di batu bukit dan tubuh Ni Gatri Hterseret jauh, tiba-tiba
batu putih segi tiga di tangan Pendekar 212 Wiro Sableng memancarkan cahaya
terang lalu menyemburkan delapan larik sinar merah menyala!
Kedelapan sinar merah menyambar ke arah Sri Maharaja Rakai Kayuwangi. Namun saat itu sosok Raja Mataram telah lebih dulu
terhempas jatuh ke atas batu bukit. Bukan saja sang Raja selamat akibat dorongan
empat kaki aneh tetapi juga karena sekaligus serangan delapan larik sinar merah
yang ganas mematikan terhalang oleh sosok tubuh aneh berkaki empat tadi. Ketika
sosok aneh ini ujudnya menampakkan diri, ternyata dia adalah seekor anjing
betina besar mengenakan kalung emas tebal di leher!
Sekujur kulit tubuhnya nyaris mengelupas dan mengepulkan asap akibat hantaman delapan sinar merah. Di sela mulut kelihatan ada
lelehan darah. Anjing betina ini meraung panjang lalu melompat di samping tubuh Raja Mataram, seolah bertindak
untuk melindungi.
Raja Mataram memandang tak berkesip. Dia merasa
mengenali anjing betina ini.
"Sri Padmi Kameswari. Apakah ini kau..."
Anjing betina menggereng perlahan, berbalik dengan cepat, menatap galak ke arah
Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat itu tampak sangat pucat wajahnya dan tegak
terhuyung-huyung.
Di bagian lain Ni Gatri terpekik ketika melihat ada seekor anak anjing menariknarik bagian bawah pakaiannya. Menyeret dirinya hingga menjauh ke tempat yang aman.
Tiba-tiba, dess... dess!
Sosok Pendekar 212 Wiro Sableng mengepulkan asap
merah lalu lenyap. Di tempat sang pendekar berdiri kini kelihatan ujud Sinuhun
Muda Ghama Karadipa, berpakaian dan berikat kepala hijau. Tampangnya tampak
merah membatu. Kumis, janggut dan berewok tipis hitam yang membungkus wajahnya
berjingkrak meranggas. Sepasang mata laksana berubah menjadi bara api.
"Binatang itu membuka rahasia diriku! Jahanam, ilmu apa yang dimilikinya"!"
Sinuhun Muda merutuk dalam hati.
Lalu dia berteriak dahsyat, "Anjing keparat! Aku tahu siapa kau! Sudah saatnya
kau aku tenggelamkan ke dalam
neraka alam roh lapis ke tujuh!"
Tubuh Sinuhun Muda bergerak ke udara lalu melesat ke arah anjing betina yang ada
di samping Raja Mataram.
Tangan kiri kanan di pentang lurus ke depan. Telapak dikembangkan memancar sinar
merah. Saat itulah terlihat kalau setiap tangannya telah berubah, kini hanya
memiliki empat buah jari, tanpa jari tengah!
Pukulan Delapan Sukma Merah!
Selama ini tidak ada satu manusia atau makhluk alam rohpun yang sanggup
menghadapi pukulan dahsyat ini!
Tapi anjing betina yang hendak dibantai sedikitpun tidak bergeming, malah kepala
didongak dan mulut
keluarkan raungan panjang seolah menyambut senang serangan orang!
Tiba-tiba di langit sebelah timur Bukit Batu Hangus berkiblat cahaya kuning bersemu merah. Cahaya itu kelihatan hanya sebentar lalu
lenyap! Lalu terdengar suara mencicit aneh riuh sekali. Kemudian ada suara lain.
Suara anak lelaki kecil!
Suara itu mengiang begitu rupa dan hanya terdengar oleh Sinuhun Muda dan Raja
Mataram Rakai Kayuwangi.
"Sinuhun! Buka mata besar-besar! Jangan kemarahan membutakan penglihatan.
Perhatikan apa yang ada di leher anjing betina itu!"
Sinuhun Merah tersentak kaget. Gerakannya melesat segera dihentikan. Dia
terjungkir balik satu kali. Melayang turun ke atas bukit batu. Begitu berdiri
sepasang mata langsung memperhatikan leher anjing betina yang barusan hendak
diserangnya dengan pukulan maut! Kagetnya sang Sinuhun bukan alang kepalang!
"Kalung emas!" ucap Sinuhun Muda dengan suara
bergetar. Tengkuk terasa dingin! "Kalau saja Ksatria Junjungan tidak muncul dan
mengingatkan diriku, walau anjing itu bisa aku bunuh tapi saat ini tubuhku
mungkin sudah hancur berkeping-keping!"
Seperti diketahui dan dikatakan sendiri oleh Sinuhun Muda pada Ratu Randang saat
mereka bercinta di gua di balik air terjun, dia memiliki pantangan yaitu tidak
boleh tersentuh emas. Kalau hal itu sampai terjadi maka tubuhnya seperti meledak akan hancur berantakan tak karuan rupa!
"Binatang jahanam! Aku akan kembali! Kau dan raja keparat itu tidak akan bisa
lolos dari tanganku!"
Sinuhun Muda hanya bisa keluarkan caci maki dan
ancaman. Lalu tidak menunggu lebih lama dia segera melesat pergi meninggalkan
Bukit Batu Hangus.
Namun tak jauh dari situ sekonyong-konyong ada suara perempuan berseru.
"Sinuhun Muda! Malam masih panjang. Mengapa pergi terburu-buru. Aku harap kau
senang menyaksikan tontonan bagus ini!"
Sinuhun Muda mengenali suara perempuan itu. Dengan cepat dia hentikan lari lalu
berkelebat ke balik sebuah gundukan batu. Dari lereng Bukit Batu Hangus sebelah
timur tiba-tiba, wutt! Ada orang melemparkan sebuah benda menyerupai sosok
manusia ke udara. Lalu, braakkk!
Benda itu jatuh tergeletak di atas sebuah batu besar.
Ketika Sinuhun Merah memperhatikan, berubahlah
wajahnya. Kagetnya bukan alang kepalang. Keterkejutan yang sama juga terjadi
atas diri Raja Mataram ketika dia mengenali siapa adanya orang yang terkapar di
atas batu dalam keadaan sudah jadi mayat dengan kepala pecah!
Sosok laki-laki itu berada dalam keadaan telanjang bulat.
Sekujur tubuh penuh puluhan lubang luka dan bergelimang darah!
Semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus termasuk para tokoh istana Mataram
terkejut gempar. Raja Mataram sendiri berucap setengah berteriak.
"Swara Pancala. Hyang Jagat Bathara, mengapa satu lagi orang kepercayaanku harus
menemui ajal!''
TAMAT Mampukah Pendekar 212 Wiro Sableng membantu
Raja Mataram menyelamatkan kerajaan dan rakyatnya sementara musuh yang dihadapi
begitu banyak. Di
antaranya dua musuh bebuyutan: Pangeran Matahari alias Ksatria Roh Jemputan dan
Kunti Ambiri alias Dewi Ular.
Ditambah lagi dengan sang guru Eyang Sinto Gendeng yang telah dicuci otaknya dan
diarahkan untuk membunuh sang murid! Sementara itu Keris Kanjeng Sepuh Pelangi
belum diketahui di mana keberadaannya. Siapa pula gerangan Ksatria Junjungan
yang telah memperingati dan menyelamatkan Sinuhun Muda Ghama Karadipa"
Ikuti serial berikutnya berjudul:
SEPASANG ARWAH BISU
Document Outline
174 Dua Nyawa Kembar2.pdf 174 Dua Nyawa Kembar2.pdf BASTIAN TITO
WIRO SABLENG Sumber (Format DJVU): syauqy_arr
Pedang Langit Dan Golok Naga 22 Dewa Arak 82 Lorong Batas Dunia Bentrok Rimba Persilatan 20

Cari Blog Ini