Wiro Sableng 154 Insan Tanpa Wajah Bagian 2
Gadis dari negeri 1200 tahun silam ini kemudian letakkan telapak tangan kirinya
di atas kening Pendekar 212. Terasa sangat dingin. Gadis ini lalu berpaling pada
Ki Tambakpati. "Kek, turut penjelasanmu serta keterangan yang diberikan Bunga
agaknya Wiro bukan hanya menderita satu penyakit. Pintu pertama yang harus dilalui untuk mengobati semua
penyakitnya adalah terlebih dulu memperbaiki jalan darahnya yang terbalik. Sahabat bertiga, aku akan mulai. Bantulah
dengan doa."
Purnama pejamkan mata. Tangan kiri yang menyentuh kening Wiro perlahan-lahan
dialiri hawa sakti. Ketika hawa sakti ini bersentuhan dengan kening Wiro, di
luar rumah terdengar letusan aneh seperti petir menyambar. Rumah panggung
bergetar. Purnama seperti disengat api. Gadis alam gaib ini lipat gandakan
tenaga dalam. Mulut mengerang menahan sakit. Tiga cahaya merah, biru dan hijau muncul dalam ruangan.
Ratu Duyung berteriak keras lalu melesat ke luar rumah sambil tarik cermin sakti
dari balik baju. Di udara dia melihat jelas satu bayangan putih berkelebat ke arah pohon besar. Cermin sakti
diputar. Selarik sinar putih menderu keluar dari dalam cermin. Pohon besar yang
dilanda sinar putih langsung dikobari api. Namun bayangan putih lenyap dari
pemandangan. "Manusia tanpa wajah! Pasti dia! Aku mengenali pakaiannya. Makhluk itu memiliki
kesaktian sangat tinggi.
Dia sepertinya berusaha menghalangi pengobatan atas diri Wiro."
Ratu Duyung mengawasi keadaan sekeliling, la1u cepat-cepat masuk kembali ke
dalam rumah. Masuk ke dalam ruangan didapatnya Wiro masih terbaring seperti
tadi. Purnama masih berdiri di samping ranjang. Tangan tetap menempel di kening
Wiro namun keadaan gadis dari alam 1200 tahun silam ini mengenaskan. Dua mata
yang terpejam tampak membengkak. Sebagian pakaian birunya hangus. Wajah sebelah
kiri merah melepuh. Rambut yang sebelumnya digulung di atas kepala kini tergerai
kusut riap-riapan. Di sela bibir tampak lelehan darah.
"Purnama, kau terluka di dalam!" teriak Ratu Duyung lalu cepat merangkul gadis
itu. "Sahabat, tak usah khawatir. Aku masih dapat menguasai diri. Aku tahu siapa yang barusan menyerang. Makhluk yang kau lihat dalam
cermin. Dia berusaha menghalangi apa yang hendak kita takukan. Yang penting
serangan gaib tadi tidak sampai mencelakai Wiro. Sekarang aku akan berusaha
menyembuhkan kelainan darah di tubuh Wiro.
Mudah-mudahan aku menemukan petunjuk dalam Kitab Seribu Pengobatan."
Ketika Purnama hentikan ucapannya, keadaan di dalam ruangan itu sehening di
pekuburan. Ki Tambakpati tampak pucat. Setan Ngompol bersandar ke dinding sambil
pega- ngi bagian bawah perut.
Cukup lama kesunyian mencekam, kemudian Purnama berucap, "Kitab Seribu
Pengobatan... Halaman tujuhpuluh dua. Pengobatan ke tigaratus satu. Barang siapa
menderita kelainan darah yang biasanya disertai gangguan aliran darah maka
penyembuhannya terdiri dari lima tahap.
Pertama, memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa Maha Penyembuh agar orang yang
sakit disembuhkan dari penderitaannya. Kedua, si sakit diminumkan tujuh cangkir
air tumbukan jahe hangat setiap hari selama tiga hari.
Ketiga, jika aliran darahnya terganggu, si sakit harus diurut pembuluh darah
utamanya ke arah berlawanan dari aliran darah yang ada mulai dari saat matahari
terbit sampai matahari tenggelam. Untuk mengurut harus dipergunakan madu lebah
yang dihangatkan. Keempat, si sakit harus diapungkan di atas sungai mulai dari
matahari terbit sampai siang hari dengan kepala menghadap ke arah datangnya arus
sungai dari hulu. Kelima, tepat pada saat matahari mencapai titik tertinggi,
tusuk sepuluh ujung jari tangan dan ujung jari kaki dengan benda apa saja yang
runcing dan tajam. Bila darah yang keluar kembali ke asal merah dan segar maka
dengan kehendak serta Ridho Tuhan Yang Maha Kuasa Maha Penyembuh si sakit akan
terhapus dari deritanya."
Ketika Purnama tarik tangannya yang memegang
kening Wiro, Ki Tambakpati mendekati dan bertanya setengah berbisik, "Petunjuk
yang kau dapat adalah untuk mengobati jalan darahnya yang terbalik. Bagaimana
dengan penyembuhan itunya. Maksudku kemampuannya sebagai laki-laki..."
Purnama tak segera menjawab. Sewaktu mendengar cerita Ki Tambakpati sebelumnya
mengenai penyakit yang diidap Wiro bahwa pemuda itu akan mengalami kelumpuhan kejantanan selama-lamanya sebenarnya hatinya merasa perih dan sangat
terpukul. Dalam hati dia membatin, siapa yang punya dendam terhadap Wiro hingga memperlakukannya demikian
kejam" Makhluk tanpa wajah yang dilihatnya dalam cermin"
"Kek," akhirnya Purnama berkata. "Kita baru berusaha membuka pintu kesembuhan.
Jika kita berhasil mengobati kelainan jalan darah Wiro, mudah-mudahan kita bisa
menyembuhkan penyakitnya yang lain. Jangan lupa, Wiro harus sadar lebih dulu.
Kalau tidak bagaimana dia bisa meneguk air jahe. Jika Wiro siuman kita perlu
meminta keterangan apa yang terjadi dengan dirinya. Baru nanti kita bisa
menentukan mau berbuat apa. Aku selalu siap untuk mencari petunjuk dalam Kitab
Seribu Pengobatan. Sekarang baiknya kita sama-sama berdoa untuk kesembuhan Wiro. Setelah itu masingmasing kita menyiapkan segala sesuatu yang akan dipergunakan untuk alat penyembuhan." "Aku akan mencari madu lebah," berkata Setan
Ngompol. "Aku akan mencari jahe. Nanti biar aku juga yang akan mengurut tubuh pendekar
itu." Berucap Ki Tambakpati.
Purnama dan Ratu Duyung sama-sama tersenyum.
Purnama lalu memberi tanda agar semua orang siap untuk sama-sama memanjatkan
doa. Selesai berdoa Ki Tambakpati tinggalkan rumah panggung untuk mencari jahe sedang Setan Ngompol pergi ke
hutan mencari madu lebah.
Setelah dua kakek itu pergi, Ratu Duyung bertanya pada Purnama. "Sahabat, kau
merasa baik-baik saja?"
"Tadi aku memang terluka di dalam. Untung aku bisa bertahan. Mudah-mudahan
sekarang aku tak kurang suatu apa. Kau tentu dapat menduga, sakitnya Wiro bukan
sakit sembarangan. Ada kekuatan dari alam gaib yang berusaha mencegah
penyembuhan dan membuat keadaan jadi lebih buruk."
"Manusia tanpa wajah yang kita lihat dalam cermin.
Siapa dia?" ucap Ratu Duyung.
"Sulit diketahui siapa adanya makhluk itu. Apa sebenarnya kepentingannya. Makhluk itu mengandalkan ilmu kesaktian yang memancarkan
tiga warna merah, biru dan hijau. Itu yang dipakainya waktu menyerangku." Kata
Purnama pula. "Sahabat, luka dalammu mungkin benar sudah
sembuh. Tapi apa kau menyadari ada bagian yang terbakar pada wajahmu sebelah
kiri..." "Aku memang merasa sedikit perih. Aku tidak tahu seberapa parahnya."
Ratu Duyung keluarkan cermin bulat lalu diserahkan pada Purnama. Gadis dari
negeri 1200 tahun silam ini dekatkan mukanya ke cermin. Ketika melihat wajahnya
dalam cermin, langsung dia terpekik. Kening kiri, pipi sampai ke dagu kiri
kelihatan merah kehitaman. Sebagian kulit wajahnya ada yang mengelupas.
"Lukamu akan sembuh. Pasti ada obat untuk menyembuhkan" Ratu Duyung berusaha membujuk sambil mengelus punggung Purnama. "Coba kau lihat petunjuk dalam Kitab Seribu Pengobatan.
Pasti kau akan menemukan obat dan cara penyembuhannya."
"Akan kucoba..." kata Purnama lalu pejamkan mata.
Setelah cukup lama merenung, sambil menarik nafas dalam gadis ini buka kedua
matanya. Perlahan-lahan kepala digelengkan. "Aku tidak menemukan obat dan cara
penyembuhan..."
"Mustahil. Ada seribu macam pengobatan dalam kitab itu" ujar Ratu Duyung.
"Semua menyangkut penyakit. Bukan untuk kecantikan." Jawab Purnama dengan suara lirih.
"Aku tidak yakin. Kalau saja kita bisa mendapatkan kitab yang asli, mungkin ada
yang tidak terserap dalam benakmu..."
"Aku sudah menguasai seluruh isi kitab itu. Kitab Seribu Pengobatan bukan untuk
menyembuhkan dan membuat kecantikan. Aku akan cacat seumur hidup. Mungkin aku
harus kembali ke alamku dan tidak pernah muncul lagi di muka bumi ini untuk
selama-lamanya..." Purnama berucap perlahan. Seperlahan ucapannya seperlahan itu
pula air mata menetes ke wajahnya yang kini cacat.
"Aku tetap tidak yakin. Kau bukan mencari atau membuat kecantikan. Kau mengobati
dirimu yang terluka.
Kalau kau mampu menyembuhkan luka parah yang dialami Wiro sewaktu dihantam
pukulan Pangeran Muda dari Keraton Kaliningrat, kalau kau mampu menyembuhkan
Wiro dari patukan ular gaib Walang Gambir alias Kobra Biru, masakan kau tidak
mampu mengobati luka luar dirimu sendiri?"
"Luka yang aku alami bukan luka biasa. Ada kekuatan gaib sangat dahsyat yang
melakukannya."
"Sahabat, aku tahu hatimu sedang tergoncang. Kita semua dalam bingung dan susah.
Tapi cobalah sekali lagi.
Aku yakin kau akan mendapat petunjuk dari Kitab Seribu Pengobatan yang sudah kau
ingat dalam benakmu itu..."
"Kalau begitu baiklah. Akan kucoba sekali lagi."
Kali ini Purnama pejamkan kedua matanya, pikiran benar-benar dipusatkan. Tak
lama kemudian mulutnya berucap.
"Kitab Seribu Pengobatan. Halaman..." Ucapan
Purnama terputus. "Ada yang tidak beres! Aku melihat kabut hitam. Pikiranku
gelap, pemandanganku terhalang.
Ada makhluk jahat..."
Tiba-tiba meledak tawa cekikikan di tempat itu. Disusul ucapan nyaring
perempuan. "Kau tidak akan mampu mengobati lukamu. Kau akan cacat seumur hidup! Tidak ada
lelaki yang mau padamu.
Termasuk Pendekar 212! Hik... hik... hik!"
"Siapa"!" Bentak Ratu Duyung. Dia merasa ada angin berkelebat ke arah serambi
rumah panggung. Ratu Duyung mengejar. Sepasang matanya yang biru memancarkan
sinar terang. Lalu wuut... wuut! Dua larik sinar biru melesat ke udara. Itulah
ilmu kesaktian yang disebut Inti Biru Laut Selatan. Di udara terdengar satu
letupan keras disertai kiblatan cahaya ungu terang. Lalu menyusul suara pekikan
perempuan. "Kau berhasil menghajarnya. Mudah-mudahan dia kapok menggangguku," ucap Purnama
yang ikut mengejar dan kini berdiri di halaman rumah panggung di samping Ratu
Duyung. "Lagi-lagi makhluk gaib. Kau tahu siapa atau makhluk apa?"
"Makhluk perempuan dari negeriku. Aku pernah
bertarung dan menghajamya. Tapi dia tak pernah jera.
Kurasa tadi kau telah melukainya. Biar kapok!"
Dalam hati Ratu Duyung berkata. "Kalau makhluk gaib perempuan itu berasal dari
alam yang sama dengannya.
Kalau makhluk itu menyumpahinya tidak ada laki-laki yang mau padanya termasuk
Wiro, berarti makhluk itu sebenarnya ingin memiliki Wiro. Apakah dia yang telah mencelakai Wiro?"
"Ratu, kau tengah memikirkan apa?" bertanya Purnama ketika dilihatnya Ratu
Duyung tegak terdiam.
"Ah..." Ratu Duyung tersenyum. "Sahabat, sebaiknya kita masuk kembali ke dalam
rumah. Kau coba lagi mendapatkan petunjuk dari Kitab Seribu Pengobatan. Kali ini kau pasti berhasil."
"Tak usah di dalam rumah. Di sini pun bisa kulakukan"
jawab Purnama. Lalu gadis alam 1200 tahun silam ini pejamkan mata. Sesaat
kemudian dia berseru. "Ratu! Aku berhasil! Aku akan membaca dan mengucapkannya!
Kitab Seribu Pengobatan, halaman empatpuluh sembilan, pengobatan ke duaratus
dua. Barang siapa yang terluka kulit sampai dagingnya akibat penyakit atau api
atau benda panas lainnya, yang berasal dari alam nyata maupun alam gaib maka
penyembuhannya adalah sebagai berikut.
Pertama, memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa Maha Penyembuh agar si sakit
disembuhkan dari sakit dan penderitaannya. Kedua, siapkan satu kendi susu sapi.
Campur sedikit dengan tanah merah karena manusia berasal dari tanah dan tubuhnya
mengandung unsur tanah.
Ketiga, letakkan kendi berisi susu bercampur tanah di tempat ketinggian, jangan
ditutup, embunkan di udara terbuka mulai saat malam tiba sampai fajar menyingsing. Di pagi yang sama
menghadaplah ke arah matahari tenggelam. Keempat, siramkan air susu dalam kendi ke bagian yang cidera sambil
melafatkan kata-kata: Manusia berasal dari tanah. Tanah pula yang akan menjadi
pengobat. Manusia memulai hidup dengan air susu. Air susu pula yang akan menjadi pengobat.
Tuhan Maha Kuasa Maha Penyembuh... Jika semua sudah dilakukan mudah-mudahan Yang Maha Kuasa akan menyembuhkan si sakit."
Purnama membuka kedua matanya. Wajahnya yang
cacat tampak agak berseri.
"Aku berhasil. Terima kasih kau telah meyakinkan diriku..."
"Kau akan mencari susu sapi?"
Purnama menggeleng. "Akan kulakukan kalau Wiro sudah berhasil kita sembuhkan..."
"Kalau begitu biar aku yang mencarikan untukmu."
Purnama pegang lengan Ratu Duyung. "Terima kasih kau mau berbuat baik. Tapi
jangan. Tidak seorang pun dari kita yang boleh meninggalkan tempat ini sebelum
Wiro sembuh."
Ratu Duyung akhirnya mengangguk perlahan. Dalam hati dia membatin, "Kecintaannya
terhadap pemuda itu sungguh luar biasa. Dia rela menanggung cacat, asal Wiro
bisa disembuhkan. Apakah kecintaannya melebihi kecintaanku?" Menjelang sang surya tenggelam Ki Tambakpati muncul kembali bertelanjang dada,
membawa setumpuk jahe yang dibungkus dalam jubah hijaunya.
"Mana kakek tukang ngompol itu. Kukira dia sampai duluan," kata Ki Tambakpati
sambil letakkan tumpukan jahe di tangga rumah.
Tiba-tiba terdengar suara orang berlari sambil mengaduh-aduh panjang pendek tiada henti.
"Hai! Itu suara kakek Setan Ngompol." ujar Ratu Duyung.
Tak lama kemudian kakek kepala setengah sulah berkuping lebar itu muncul berlari-lari. Tangan kanan menenteng dua buah kelapa
hijau. Tangan kiri menekapi bawah perut yang kelihatan aneh melembung.
"Katanya mencari madu lebah ke hutan. Pulang malah membawa dua butir kelapa.
Aneh sobatku satu ini!" Ucap Ki Tambakpati.
Sampai di depan rumah panggung Setan Ngompol
jatuhkan diri. Dua buah kelapa diletakkan di tanah. Dia lalu telentangkan badan
di tanah sambil dua kaki mencak-mencak kian kemari sementara dari mulutnya terus
saja teriakan, "Aduh... aduh... aduh!"
"Kek, ada apa ini?" bertanya Ratu Duyung.
"Kek, apa yang terjadi?" Purnama ikut bertanya.
"Hai! Kenapa celanamu gembung seperti ditiup angin!"
Bertanya Ki Tambakpati.
"Lebah sialan!" teriak Setan Ngompol "Aku bukan ditiup angin. Tapi ditiup lebah
keparat!" "Tenang, Kek. Ceritakan apa yang terjadi" kata Purnama pula.
"Lebah sialan! Lebah keparat! Aku disengat ratusan lebah waktu mengambil madunya
di hutan!"
"Pasti kau tidak kulo nuwun ( minta ijin) dulu!" kata Ki Tambakpati.
"Kulo nuwun, kulo nuwun! Memangnya lebah ngerti bahasa manusia!" gerutu Setan
Ngompol. "Lihat anuku!
Melembung bengkak seperti semangka mau pecah!" Setan Ngompol enak saja hendak
rorotkan celananya yang basah lepek oleh air kencing.
"Hai! Tahan! Tunggu dulu! Jangan main buka sambarangan. Ada gadis di sini! Mending anumu bagus! Ha... ha...
ha!" Ki Tambakpati tertawa gelak-gelak.
"Sudah Kek. Nyebur ke kali sana! Biar adem! Biar cepat kempes anunya!" kata Ratu
Duyung kasihan ada geli juga ada.
"Yang penting kau dapatkan madunya apa tidak?" Ki Tambakpati bertanya sambil
pegangi perut menahan tawa.
"Itu sudah kumasukkan dalam buah kelapa!" jawab Setan Ngompol lalu sambil
kucurkan air kencing dia bergulingan di tanah, menggelinding masuk Kali Progo.
"Pegangan Kek! Kalau kau hanyut kami juga yang susah!" berseru Purnama.
Tiba-tiba dari dalam rumah panggung terdengar jeritan-jeritan keras. Empat orang
Wiro Sableng 154 Insan Tanpa Wajah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang ada di halaman rumah tersentak.
"Wiro!" Ratu Duyung dan Purnama berseru hampir berbarengan.
Setan Ngompol yang baru saja sebentar berendam di dalam kali, mendengar jeritan
Wiro segera melompat keluar dari dalam air. Dia seperti melupakan rasa sakit
bekas sengatan lebah. Terbeser-beser dia menghampiri Ki Tambakpati.
"Apa yang dikatakan Bunga gadis alam roh itu benar adanya. Wiro sadar satu hari
lebih cepat. Tapi mengapa menjerit-jerit?"
"Dia sadar dalam keadaan jalan darah yang masih terbalik. Sakitnya lebih hebat
dari sundutan bara api!"
jawab Ki Tambakpati.
Lalu dua kakek ini berkelebat menyusul dua gadis masuk ke dalam rumah.
WIRO SABLENG INSAN TANPA WAJAH
6 I ATAS ranjang bambu tubuh Pendekar 212 Wiro
Sableng bergetar hebat, basah oleh keringat dan D kepulkan asap tiga warna,
merah, biru dan hijau.
Mulutnya tiada henti berteriak. Matanya hanya bagian putih saja yang kelihatan.
"Totok jalan suaranya. Kasihan kalau dia berteriak terus-terusan..." kata Ki
Tambakpati. Ratu Duyung bertindak cepat. Sekali menotok urat besar di pangkal leher Wiro
maka suara jeritan serta merta lenyap. Pancaran tiga cahaya perlahan-lahan
meredup walau tidak hilang sama sekali. Begitu juga getaran yang menjalari
sekujur tubuh masih berlangsung.
"Dia menderita sakit luar biasa. Ketika pingsan dia tidak merasakan. Begitu
sadar baru berteriak. Tapi dia belum sadar penuh. Baru mati rasanya yang
sembuh." Ki Tambakpati menjelaskan. "Kita harus mempercepat pengobatan.
Semua orang kemudian sibuk. Jahe ditumbuk, madu untuk mengurut disiapkan. Ki
Tambakpati dan Setan Ngompol membuat rakit kecil nanti untuk dipakai mengapungkan tubuh Wiro di dalam kali sebagaimana petunjuk Kitab Seribu Pengobatan
yang dilafatkan Purnama.
Ketika jahe hangat selesai dibuat, cukup sulit untuk meminumkan karena walau
setengah sadar namun boleh dikatakan murid Sinto Gendeng tidak punya tenaga
keku- atan sama sekali. Jangankan mengangkat tangan, untuk menelan air obat saja dia
mengalami kesulitan. Sementara itu kedua matanya masih kelihatan memutih.
Purnama dan Ratu Duyung dengan susah payah berhasil meminumkan obat jahe ke
dalam mulut Wiro. Setan Ngompol dan Ki Tambakpati berdua mengurut sekujur tubuh
Wiro dengan madu. Keempat orang itu bekerja sampai jauh malam.
Keesokan paginya Ratu Duyung meminta izin tiga kerabat untuk melepas totokan
Wiro. "Kita tidak mungkin menunggu sampai tiga hari seperti petunjuk kitab sakti. Aku
tidak tega melihat tubuhnya terus menerus bergetar berkelojotan. Bagaimana kalau
kita coba melepas jalan suaranya. Siapa tahu Wiro sembuh lebih cepat..."
Ki Tambakpati agak bersangsi. Namun Setan Ngompol dan Purnama memberikan tanda
persetujuan dengan anggukan kepala. Maka Ratu Duyung segera menotok urat besar di pangkal leher
Pendekar 212. Begitu jalan suaranya terlepas dari mulut Wiro langsung melesat keluar suara teriakan. Ratu Duyung
tersentak, cepat-cepat dia tutup kembali jalan suara Pendekar 212 dengan menotok
lagi urat besar di leher.
"Dia masih berteriak tanda kesakitan. Tapi ada perubahan. Suara teriakannya
tidak sekeras sebelumnya."
berucap Ki Tambakpati.
"Kita harus melakukan sesuatu..." kata Ratu Duyung sambil pejamkan mata. Tibatiba dia ingat pada Bunga.
"Mungkin kita harus memanggil Bunga..."
Seperti diketahui, sebelum pergi gadis berwajah pucat dari alam roh itu
memberikan sekuntum kembang kenanga kuning pada Ratu Duyung disertai pesan. Jika
sewaktu-waktu dirinya dibutuhkan maka dengan mencium kembang kenanga serta
menyebut namanya dia akan muncul.
Sebenarnya Purnama merasa rikuh jika Bunga hadir di tempat itu. Hal ini karena
dia mengetahui kalau Bunga lebih bersahabat terhadap Ratu Duyung daripada
dirinya. Namun saat itu dia harus membuang jauh-jauh segala perasaan pribadi demi untuk
menyelamatkan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Diperhatikan oleh ketiga orang di dalam ruangan Ratu Duyung keluarkan kembang
kenanga dari balik baju kelabu lalu mencium kembang ini sambil berkata. "Bunga,
kami memerlukan bantuanmu. Datanglah."
Begitu kata diucapkan dalam ruangan berpijar cahaya putih menyilaukan disertai
menebarnya bau kembang kenanga. Di lain kejap Bunga si gadis alam roh telah
berada di tempat itu dalam pakaian kebaya putih berkancing besar dan celana panjang putih sebetis.
"Para sahabat. Kesulitan kalian adalah kesulitanku juga. Mari kita sama-sama
mencari jalan untuk dapat menolong Wiro." Gadis alam roh berucap.
"Bunga, kau mampu membuat Wiro sadar lebih cepat"
Kami sudah melakukan apa yang kami bisa. Namun kami harus menunggu selama dua
hari lagi. Kami tidak tega melihat Wiro tersiksa selama itu. Apakah kau mampu
mempercepat kesembuhan kelainan jalan darah yang dideritanya?" Tanya Ratu
Duyung. Bunga pandangi wajah dan sosok Pendekar 212
dengan mata sayu. Dengan suara perlahan dia berkata,
"Wiro pernah menyabung nyawa ketika menyelamatkan diriku dari sekapan guci
iblis. Sekarang dia dalam kesulitan besar. Bukankah ini saatnya membalas segala
budi dan hutang nyawa?" (Baca serial Wiro Sableng berjudul 'Si Cantik Dalam
Guci'). Bunga berpaling pada Ratu Duyung dan Purnama. Dari dalam genggaman tangannya
gadis alam roh ini keluarkan tiga kuntum kembang kenanga yang masih segar. Satu
diberikan pada Ratu Duyung, satu pada Purnama.
"Kunyah dan telanlah kembang yang kuberikan." Kata Bunga lalu dia masukkan
kembang kenanga yang dipegangnya ke dalam mulut, langsung dikunyah. Ratu Duyung dan Purnama tanpa ragu
melakukan hal yang sama. Bunga kemudian memegang tangan kedua gadis itu hingga
tangan kanan mereka bertiga saling berjabatan.
"Perhatikan apa yang aku lakukan," berkata Bunga lalu letakkan tangan kiri di
atas kening Wiro "Letakkan tanganmu di atas tanganku," kata Bunga pada Ratu Duyung lalu pada Purnama dia berkata,
"Letakkan tangan kirimu di atas tangan Ratu Duyung."
Maka tiga tangan saling berjabatan, tiga lainnya bersusun diletakkan di atas
kening Pendekar 212.
"Kalian berdua, jika aku mengedipkan mata cepat alirkan tenaga dalam penuh. Kita
berusaha. Selebihnya Tuhan yang akan menolong!" Bunga menunggu sesaat.
Lalu mulutnya berucap, "Gusti Allah Maha Pengasih Maha Penyayang. Kasih sayangMu
terlimpah pada kami bertiga.
Kekuatan kasih sayangMu lebih dahsyat dari kekuatan gelombang samudera. Kekuatan
kasih sayangMu lebih dahsyat dari kekuatan sang surya. Kekuatan kasih sayangMu
lebih hebat dari kekuatan topan prahara!
Dengan izinMu ya Allah semua kekuatan dalam bungkus kasih sayangMu itu akan
menghancurkan kejahatan, akan menyembuhkan penyakit. Kami bertiga yang rendah
ini memohon ya Allah. Apa yang Engkau kehendaki terjadilah!"
Habis keluarkan ucapan yang membuat tengkuk semua orang yang ada di tempat itu
jadi merinding, Bunga kedipkan kedua matanya. Tiga tenaga dalam tingkat tinggi
sama-sama dikerahkan.
Blaarrr! Ledakan keras menggoncang rumah panggung.
Muka tiga gadis cantik tampak pucat seolah tidak berdarah, terlebih Bunga.
Ketiganya jatuh terkapar, tubuh bergetar dada mendenyut sakit. Di sela bibir
Ratu Duyung tampak ada lelehan darah pertanda gadis ini menderita luka dalam.
Bunga serahkan sekuntum kembang kenanga pada
Ratu Duyung. "Cepat kunyah dan telan!" katanya. Ratu Duyung mengambil kembang
kenanga, memasukkan ke dalam mulut lalu mengunyah dan menelan dengan cepat.
Dadanya yang tadi mendenyut sakit, kepalanya yang tadi agak pening kini semua
itu serta merta lenyap. Ratu Duyung maklum, sebagai dua orang dari alam lain,
Purnama dan Bunga masih mampu bertahan terhadap serangan gaib tadi. Sementara
dia walau bisa hidup di darat dan di laut, bagaimanapun juga dia tetap manusia
biasa. Di luar rumah terdengar suara gelombang angin menderu. Daun-daun pepohonan berkesiuran. Ranting-ranting patah berjatuhan. Di
dalam rumah panggung tiba-tiba berlangsung keanehan. Sosok Pendekar 212 melayang
naik setinggi satu jengkal, lalu ketika turun tagi ke ranjang bambu, dari
telinga, mata dan hidungnya serta mulut meleleh darah kental berwama hitam!
Cahaya merah, biru dan hijau masih membayangi tubuhnya. Semua orang tercekat
kaget. Ratu Duyung seperti mau menangis. Purnama pejamkan mata menahan isak. Hanya Bunga yang tetap tenang. Ketiganya
kemudian mengeluarkan sehelai sapu tangan dari balik pakaian masing-masing lalu
mem- bersihkan darah dari wajah Wiro. Tiga sapu tangan yang basah oleh darah hitam
itu kemudian diletakkan di atas selembar papan yang menempel ke dinding di ujung
kaki ranjang. Keheningan dipecah oleh suara Ki Tambakpati.
"Darahnya masih hitam! Matanya masih nyalang!"
"Itu darah hitam terakhir yang masih bersisa dalam tubuhnya. Besok jika
totokannya dilepas, mudah-mudahan aliran darah dalam tubuh Wiro sudah sembuh dan
dia tidak akan berteriak lagi. Bersamaan dengan itu matanya akan terpejam.
Bagian hitam bola matanya akan kembali ke keadaan semula." Menjelaskan Bunga.
"Bagaimana dengan pengobatan sesuai petunjuk Kitab Seribu Pengobatan" Apakah
harus dihentikan?" bertanya Purnama.
"Harus diteruskan. Itu akan lebih menolong." Jawab Bunga.
"Sebenarnya ada yang hendak aku sampaikan pada para sahabat. Hanya saja apakah
para sahabat dapat mempercayai ceritaku..."
"Bunga, jika kau mengetahui sesuatu sehubungan dengan penyakit Wiro harap kau
menceritakan. Jangan ada yang disembunyikan..." ujar Ratu Duyung.
Setelah berdiam sebentar akhirnya Bunga berkata.
"Sewaktu kembali ke alamku aku berusaha mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi
dengan Wiro. Aku menemukan tanda bahwa ada manusla titisan yang mencelakainya.
Manusia ini berada di bawah satu kekuatan gaib yang sangat dahsyat, berasal dari
negeri sangat jauh, di belahan timur bumi..."
"Apakah kau mengetahui sebab musabab mengapa
manusia titisan itu mencelakai Wiro?" bertanya Purnama.
"Makhluk titisan hanya bertindak sebagai pelaku. Dia berada di bawah bayangbayang atau kuasa satu makhluk gaib. Aku menduga makhluk gaib yang muncul tanpa
wajah itulah biang keladi semua kejadian ini. Namun mengapa sang makhluk
melakukan hal itu masih merupakan satu hal yang kabur bagiku..."
"Manusia yang ketitisan itu, apakah kau sempat melihat ujudnya?" Ratu Duyung
bertanya. "Aku hanya mampu melihat bayangan hitam sangat samar. Manusia itu dilindungi
oleh makhluk gaib tadi.
Setiap aku memusatkan perhatian pada dirinya, ada sinar merah redup yang
melindungi. Agaknya dia membawa sebuah benda sakti bertuah. Para sahabat pernah
men- dengar peristiwa perkosaan dan pembunuhan atas diri banyak gadis cantik
belakangan ini?"
Ratu Duyung tidak menjawab karena memang belum mendengar. Purnama berdiam diri.
Ki Tambakpati berpaling pada Setan Ngompol dan membisikkan sesuatu.
"Aku pernah mendengar kejadian terkutuk itu. Kejadiannya sampai beberapa kali."
"Setiap gadis yang dibunuh ada bunga tanjung menempel di keningnya..." Menjelaskan Bunga.
"Aku jadi ingat cerita sahabat mudaku Liris Biru, murid Hantu Malam Bergigi
Perak yang tewas di tangan Sinto Gendeng karena salah paham," berkata Setan
Ngompol. "Kakak perempuannya yang bernama Liris Merah dibunuh seorang pemuda berpakaian
hitam, mengenakan ikat kepala merah. Berkumis, ada berewok dan janggut tipis..."
Setan Ngompol tekap dulu bagian bawah perutnya yang mau mengucur, baru
meneruskan ucapan. "Ketika Liris Biru menemukan mayat kakaknya, di kening Liris
Merah menempel sekuntum bunga tanjung. Bibirnya biru. Setelah tadi kau bicara
soal pemerkosaan dan pembunuhan gadis-gadis cantik, aku menaruh duga pembunuhnya
adalah manusia titisan itu. Karena katamu setiap ada gadis yang dibunuh, selalu
ada kembang tanjung menempal di keningnya."
"Bunga tanjung..." ucap Ratu Duyung dengan suara bergetar.
Dia berpaling pada Bunga. "Ingat bunga tanjung yang kita temui di halaman gubuk
di Kali Progo" Yang memancarkan cahaya marah, biru dan hijau?"
Bunga mengangguk. "Aku menduga bunga itu agaknya salah satu kekuatan jahat
sekaligus pelindung makhluk tanpa wajah."
"Saat itu mungkin manusia jahat itu muncul di sekitar gubuk di tikungan kali.
Namun karena kesaktiannya kita tidak bisa melihat."
"Bisa jadi," ucap Ratu Duyung pula.
"Kalau begitu kita harus mencari pemuda dengan ciri-ciri seperti yang dikatakan
Liris Biru itu," kata Purnama pula.
"Cepat atau lambat, kalau tidak kita pasti ada tokoh persilatan akan menemukan
orang itu. Namun sementara itu masih banyak korban lagi akan berjatuhan. Manusia
titisan ini, dia memiliki kesaktian luar biasa tinggi. Bersumber pada tiga cahaya. Merah, biru dan hijau. Buktinya tadi kami bertiga masih
kalah dalam kekuatan tenaga dalam."
"Makhluk yang menitis pada manusia itu, apakah sahabat berhasil mencari tahu
siapa dia adanya?" tanya Purnama pula.
Bunga menggeleng. "Yang aku tahu hanyalah dia berasal dari masa ratusan tahun
silam. Pada masa awal-awal Kerajaan Singosari. Jika para sahabat pernah mendengar cerita tentang lenyapnya pohon tanjung besar di alun-alun Kerajaan, maka
makhluk yang menitis itu kira-kira hidup di masa kejadian itu."
"Ah, riwayat pohon tanjung yang lenyap itu" kata Ki Tambakpati pula. "Aku pernah
mendengar dari seorang tua. Orangnya sudah meninggal. Konon seluruh Kerajaan
menjadi geger. Semua orang dilanda ketakutan karena menganggap ada kemarahan
dewa yang luar biasa. Dan ada dugaan kejadian itu ada hubungannya dengan
pertumpahan darah tak kunjung henti karena memperebutkan tahta Kerajaan."
"Pohon tanjung..." ucap Ratu Duyung. "Kalau kita bisa menyelidik ke mana
lenyapnya pohon tanjung di alun-alun Kerajaan Singosari itu, di mana beradanya
sekarang, mungkin kita bisa mendapat petunjuk penting."
Purnama tarik nafas dalam lalu berkata. "Makhluk gaib tanpa wajah, makhluk
penitis, manusia yang ketitisan, pohon tanjung, bunga tanjung, pemuda berpakaian
hitam... Aku yakin semuanya saling punya hubungan." Gadis dari Latanahsilam ini seperti
lupa keadaan wajahnya yang cacat.
"Sahabat semua" berkata Bunga. "Aku terpaksa harus pergi sekarang. Aku titip
Pendekar 212 di tangan kalian. ".
"Bunga, kami sangat berterima kasih padamu..." kata Purnama sambil pegang tangan
Bunga. Gadis dari alam roh ini tersenyum dan balas memegang tangan Purnama yang juga
gadis dari alam yang sama.
Bunga berkata, "Kita semua harus berterima kasih pada Gusti Allah." Lalu saat
itu juga tubuhnya sirna dari pemandangan, meninggalkan harum kembang kenanga.
Tak lama setelah Bunga meninggalkan rumah panggung, selagi Ratu Duyung dan Purnama menyiapkan madu untuk mengurut dan Ki
Tambakpati serta Setan Ngompol menebang tiga cabang pohon yang akan dipergunakan
untuk mengapungkan tubuh Wiro, tiba-tiba terdengar suara melenguh keras sekali
dan berulang-ulang.
Setan Ngompol tersentak kaget, langsung pancarkan air kencing. Dia memandang
pada Ki Tambakpati. "Suara apa itu" Suara kerbau atau suara demit?"
Serrr..., menyebut demit Setan Ngompol kembali pancarkan air kencing.
WIRO SABLENG INSAN TANPA WAJAH
7 IBA-TIBA dari balik sederetan pohon tak jauh dari kali muncul seekor sapi putih.
Di punggungnya duduk Tseorang anak gembala. Tangan kiri memegang batang bambu
kecil. Tangan kanan memegang leher sapi erat-erat.
Wajahnya pucat, sangat ketakutan. Sapi yang muncul adalah sapi betina gemuk.
Susunya besar berayun-ayun kian-kemari.
"Sapi ini pasti baru melahirkan. Lihat susunya melar ke mana-mana. Aneh, dari
Wiro Sableng 154 Insan Tanpa Wajah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mana datangnya tahu-tahu muncul di sini." ujar Setan Ngompol. Lalu dia datangi
sapi dan anak penggembala.
"Hai bocah! Di sini bukan tempat mengangon sapi. Di dalam rumah ada orang sakit!
Lenguh sapimu sangat mengganggu! Ayo pergi sana!"
Si bocah bukan saja ketakutan karena dibentak tapi juga ngeri melihat tampang
Setan Ngompol. Untuk beberapa ketika dia tertegun di atas punggung sapi.
"Hai! Kau tidak dengar apa aku bilang! Mau aku peper sama air kencing"!" Setan
Ngompol delikkan mata dan masukkan tangan kanan ke balik celananya yang lepek.
Anak lelaki di punggung sapi cepat melompat turun ke tanah. Dengan suara putusputus dia berkata.
"Kek, sa... saya juga ti... tidak tahu bagaimana bisa berada di tempat ini! Kek,
sa... saya takut. Saya lagi angon si Ucup ini di desa dekat sawah... La...
lalu..." Rupanya sapi itu bernama si Ucup.
"Lalu?" tanya Ki Tambakpati pula.
Si bocah teruskan ceritanya. "Saya me... melihat perempuan can... cantik di atas
pohon. Rambutnya hitam sepinggang. Perempuan cantik itu mengangkat du... dua
tangannya. Tahu-tahu si Ucup naik ke udara. Tahu-tahu saya sa... sama si Ucup
ada di... di sini!"
"Bocah pendusta! Mau kujewer kupingmu"! Mana ada sapi bisa naik ke udara! Siapa
perempuan cantik itu"
Demit" Kuntilanak"!" Setan Ngompol jadi marah karena merasa dibohongi. Tapi
begitu menyebut demit dan kuntilanak kakek ini jadi kucurkan air kencing.
Ki Tambakpati pegang bahu Setan Ngompol. "Sobatku, anak itu tampaknya tidak
berdusta. Tidakkah kau melihat ada keanehan?"
Suara ribut lenguh sapi membuat Ratu Duyung dan Purnama keluar dari rumah
panggung untuk melihat apa yang terjadi. Dua gadis cantik ini tentu saja
terheran-heran melihat di halaman rumah Setan Ngompol tengah memarahi seorang anak lelaki. Lalu di halaman ada pula seekor sapi betina bersusu
besar. Purnama tekap mulutnya dengan tangan kiri, bola mata membesar. Hatinya berdetak.
Dia pegang lengan Ratu Duyung lalu menariknya mendekati sapi betina dan anak
lelaki. Ketika ditanyai oleh Ratu Duyung si bocah ini menceritakan hal sama seperti yang dikatakannya pada Setan Ngompol.
"Perempuan di atas pohon. Pasti Bunga!" ucap Ratu Duyung. "Dengan kesaktiannya
dia mengirimkan sapi ini ke sini. Luar biasa!"
"Jangan-Jangan dia mendengar dari alam gaib apa yang aku bacakan dari Kitab
Seribu Pengobatan." Kata Purnama sambil mengusap punggung sapi. "Tapi siapa yang
bisa memeras susu binatang ini?"
"Kek, kau saja yang memeras susu sapi ini," kata Ratu Duyung pada Setan Ngompol.
Serrr! Si kakek langsung pancarkan air kencing. Sambil melangkah mundur Setan
Ngompol berkata. "Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi dengan sapi dan
bocah ini. Kini kau malah membuat aku tambah bingung! Menyuruh aku memeras susu binatang
itu. Susu manusia saja tak pernah aku peras. Sekarang disuruh memeras susu binatang! Ha... ha... ... ha!" Setan Ngompol tertawa gelak-gelak sambil tekap bagian
bawah perutnya kuat-kuat.
"Kalau tidak ada yang bisa memeras, saya bisa melakukan." Tiba-tiba bocah yang
muncul bersama sapi berkata.
"Ah, kau! Kau bisa melakukan?" tanya Purnama.
"Ayah pernah menyuruh saya beberapa kali," jawab si bocah sambil perhatikan
wajah cacat Purnama. Gadis dari Latanahsilam ini usap kepala si anak. Lalu
berpaling pada Ratu Duyung.
"Sesuai petunjuk kitab kita memerlukan kendi tanah untuk menampung susu sapi
itu. Bagaimana mungkin di tempat ini bisa mendapatkan kendi?" ujar Purnama. "Aku
bisa meninggalkan tempat ini. Mencari kendi. Mungkin di pasar. Tidak lama. Tapi
aku tidak mau pergi sebelum Wiro sembuh. Soal cacat di wajahku bisa disembuhkan
kemu- dian." "Susu sapi sudah ada di hadapan kita. Tinggal memeras saja. Untuk menampungnya kurasa tidak usah harus kendi." Kata Ratu Duyung.
"Benda apa saja asal terbuat dari tanah. Kau tunggu di sini."
"Hai! Kau mau ke mana?" tanya Purnama.
"Ke kali. Di sana pasti ada tanah liat. Aku akan membuat mangkuk dari tanah liat. Selagi matahari terik, mangkuk itu bisa cepat dikeringkan."
"Aku..." Purnama benar-benar terharu. "Kau baik sekali..." ucapnya. Lalu dia
jatuhkan diri, berlutut di tanah.
Mulutnya berkata. "Bunga, di manapun kau berada, kau pasti mendengar ucapanku.
Aku sangat berterima kasih.
Kau memerlukan menolong diriku dengan mengirim sapi itu. Padahal saat ini kita
masih menghadapi musibah besar, menyelamatkan Wiro..." Dalam hati Purnama berkata "Aku merasa berdosa. Sebelumnya aku telah menaruh dugaan yang tidak baik pada gadis alam roh itu. Ternyata hatinya putih dan tulus. Dia menolongku. Juga Ratu Duyung. Mereka baik
semua. Ah bagaimana aku harus menyikapi. Kami bertiga sama-sama mengasihi
Wiro..." Tak lama kemudian Ratu Duyung muncul kembali
membawa tanah liat yang masih basah dan sudah dibentuk seperti sebuah mangkuk
besar. Di dalam mangkuk tanah yang masih basah lembab ini terdapat beberapa lempengan tanah liat.
Purnama cepat-cepat berdiri dan mengusap matanya yang berkaca-kaca.
"Matahari bersinar cukup terik. Biar mangkuk ini aku letakkan di atap rumah.
Agar lebih cepat kering." Kata Ratu Duyung lalu melesat ke udara dan meletakkan
mangkuk tanah di atas atap rumah panggung.
"Kalian ini sebenarnya tengah melakukan apa?" tanya Setan Ngompol. Ki Tambakpati
yang menyaksikan hal itu meski terheran-heran tapi diam saja. Sebagai seorang
ahli pengobatan dia sudah bisa menduga, dua gadis cantik itu tengah
mempersiapkan sesuatu untuk pengobatan.
"Sobat kecil, siapa namamu?" tanya Purnama pada bocah kecil di samping sapi
betina. "Kudin." Jawab si bocah.
"Kudin, kau mau menunggu sebentar" Kalau mangkuk tanah di atas atap itu sudah
kering, kau mau menolong memeras susu sapi itu" Dimasukkan ke dalam mangkuk
tanah?" Kudin mengangguk agak ragu. "Ya, saya mau. Tapi jangan terlalu lama. Saya mau
cepat kembali ke desa. Ayah pasti marah kalau sudah sore saya tidak pulang."
"Jangan takut. Sekarang belum tengah hari. Kalau ayahmu marah biar aku nanti
yang bicara padanya." Kata Ratu Duyung pula.
"Kudin, karena kau mau menolong ini hadiah untukmu." Kata Purnama lalu dari pakaiannya gadis ini keluarkan secarik kain hitam. Dengan cekatan tangannya bergerak melipat-lipat kain itu. Sesaat kemudian kain hitam telah berubah menjadi
topi yang bagus. Topi diletakkan di atas kepala Kudin. Anak ini tertawa girang
sambil pegangi topi di kepalanya. Tiba-tiba tawa Kudin lenyap. Anak ini menunjuk
ke langit. "Burung jingga besar!" teriak Kudin.
Ratu Duyung, Purnama, Ki Tambakpati dan Setan Ngompol sama-sama mendongak ke
atas. Di atas atap tampak berkelebat satu bayangan ungu.
"Astaga! Itu bukan burung!" ucap Ratu Duyung.
Purnama mendongak dan menghirup udara dalamdalam. Dia segera mencium bau sesuatu yang sudah dikenalnya. "Itu makhluk perempuan celaka yang selalu menggangguku! Lihat! Dia hendak mengambil mangkuk tanah di atas atap!" teriak
Purnama. "Belum mati dia rupanya! Belum kapok! Kali ini aku tidak akan memberi hati!"
kata Ratu Duyung pula. Dua matanya yang biru pancarkan cahaya terang lalu dari
kedua mata itu melesat sinar biru. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Inti Biru
Laut Selatan. Sebelumnya ketika makhluk putih itu muncul di gubuk Ki Tambakpati, Ratu Duyung
telah menyerangnya dengan imu kesaktian ini. Sang makhluk menjerit keras.
Purnama dan Ratu Duyung mengira makhluk tersebut mengalami celaka berat.
Ternyata dia muncul lagi. Bersamaan dengan melancarkan serangan Inti Biru Laut
Selatan itu Ratu Dayung tarik keluar cermin bulat dari balik pakaian. Sekali
tenaga dalam dikerahkan dan tangan yang memegang cermin digerakkan maka gulungan
cahaya putih berbentuk lingkaran berkiblat ke udara, ke arah makhluk putih yang
hendak mengambil mangkuk tanah di atas atap rumah panggung. Gulungan sinar putih
yang keluar dari cermin ini disebut Penjerat Raga Pencekal Jiwa, merupakan salah
satu ilmu kesaktian yang diwarisi Ratu Duyung dari Nyai Roro Kidul, penguasa
laut selatan. Lawan yang masuk dalam lingkaran cahaya jika dia seorang manusia
akan menemui kematian dengan tubuh hancur lumat. Jika dia seorang makhluk gaib
maka tubuhnya akan terbakar hangus!
Purnama tidak tinggal diam. Dua bahu digoyang. Kejap itu juga cahaya biru
bergemerlap melesat ke atas atap rumah. Inilah ilmu kesaktian yang disebut
Menahan Raga Menyerap Tenaga. Siapa saja yang terkena cahaya tersebut akan menjadi rontok kekuatan dirinya hingga dia tidak mampu lagi
menggerakkan dua tangan dan dua kaki.
Di udara di atas atap, bayangan putih keluarkan suara tawa panjang seolah
mencemooh semua serangan yang diarahkan padanya. Tubuhnya mencelat ke atas
setinggi satu tombak. Serangan Inti Biru Laut Selatan menyambar udara kosong di
bawah kakinya. Dengan hantaman tangan kanan yang menebar cahaya putih berkilau
makhluk itu mentahkan serangan Menahan Raga Menyerap Tenaga yang dilancarkan
Purnama. Selanjutnya dengan membuat gerakan jungkir balik walau tubuhnya sempat
terserempet cahaya serangan yang keluar dari cermin sakti, makhluk itu masih
bisa lolos dari lobang jarum kehancuran. Malah dengan gerakan kilat dia kemudian
melayang turun sambil tangan kanan dihantamkan ke arah atap rumah panggung.
Satu sinar ungu menyilaukan berkiblat.
"Makhluk celaka itu hendak menghancurkan mangkuk tanah di atas atap!" teriak
Purnama. Dia cepat melesat ke atas. Ratu Duyung menyusul sambil lancarkan lagi
sera- ngan dengan cermin sakti. Namun kedua orang ini agaknya kalah cepat. Sesaat lagi
sinar ungu yang dilepaskan makhluk gaib akan menghancurkan mangkuk tanah bahkan seluruh atap rumah kayu, tibatiba di udara berdesing tiga cahaya hijau kekuningan disertai menebarnya bau
harum kembang kenanga!
WIRO SABLENG INSAN TANPA WAJAH
8 AKHLUK jingga yang hendak menghancurkan
mangkuk tanah di atas atap menjerit keras.
MTubuhnya menggeliat beberapa kali lalu jatuh ke tanah, terkapar menelentang.
Sosoknya yang tadi samar untuk beberapa saat kelihatan jelas. Ternyata dia
adalah seorang gadis cantik berkulit putih. Berpakaian ungu yang sisi kanannya
tampak hangus. Rambut hitam tergerai di tanah. Di keningnya menancap tiga kuntum
kembang kenanga. Anehnya tak ada darah yang mengucur.
Sepasang mata gadis cantik ini bergerak berputar lalu menatap ke arah Purnama.
"Luhrembulan! Jadi kau rupanya!" teriak Purnama kaget besar ketika gadis dari
negeri 1200 tahun silam ini mengenali siapa adanya sosok berpakaian ungu yang
tergeletak di tanah itu.
"Kau mengenalinya"!" tanya Ratu Duyung.
Belum sempat Purnama menjawab, gadis yang tergeletak di tanah keluarkan ucapan, "Kalian berdua manusia-manusia laknat terkutuk!
Jangan mengira kalian akan mendapatkan Wiro! Pendekar 212 adalah suamiku! Berani
mengambilnya berarti kematian bagi kalian!"
Purnama ternganga, sesaat tak bisa berkata apa-apa.
Tapi Ratu Duyung malah membentak.
"Jika Pendekar 212 suamimu mengapa kau mencelakai kami! Padahal kami hendak
menolongnya!"
Gadis cantik yang disebut dengan nama Luhrembulan masih bisa sunggingkan senyum
mengejek. Lalu berkata.
"Siapa yang tidak bisa menduga. Di balik maksud kalian menolong tersembunyi
hasrat untuk memilikinya!"
Ratu Duyung jadi panas. Kembali dia menghardik. "Aku tidak tahu kau ini manusia
atau bangsa setan! Kalau Wiro suamimu, mengapa kau tidak turun tangan sendiri
menye- lamatkannya! Kau malah gentayangan cekakak-cekikik membuat hal-hal tidak
karuan!" Luhrembulan lagi-lagi tersenyum. Kali ini dia tidak menjawab bentakan Ratu
Duyung. Tubuhnya kepulkan asap ungu. Lalu sosoknya berubah menyeramkan. Wajah
yang tadi cantik kini berubah menjadi seperti burung gagak hitam. Mulut dan
hidung jadi satu berbentuk paruh panjang dan bengkok. Sepasang mata kecil
menonjol keluar tanpa alis. Tubuh bagus yang tadi dibalut pakaian ungu kini berubah menjadi sehelai jubah terbuat dari jerami kering.
Makhluk ini buka lebar-lebar paruh panjangnya, mengeluarkan suara menguik panjang lalu, desss! Didahului suara letupan serta kepulan
asap hitam tubuhnya lenyap dari pemandangan.
Semua orang yang ada di tempat itu kini sama
memandang pada Purnama. Ratu Duyung pegang lengan gadis ini lalu bertanya.
"Siapa makhluk tadi?"
"Dia makhluk dari alamku yang selama ini mengikutiku.
Berusaha menggagalkan setiap apa yang aku lakukan.
Bahkan berniat hendak mencelakai diriku. Aku, aku tidak menyalahkan kalau dia
sangat membenci diriku. Kini dia juga membenci dirimu..."
"Mengapa"!" tanya Ratu Duyung. "Karena Wiro" Apa benar Wiro telah menjadi
suaminya?"
"Gadis itu bernama Luhrembulan. Ujud aslinya adalah bentuk burung gagak tadi.
Nama sebenarnya Hantu Santet Laknat. Dia berada dalam keadaan seperti itu karena
ada kutukan turun temurun atas diri moyang dan keturunannya. Di alamku dia merupakan seorang teramat jahat.
Ketika Wiro terpesat ke sana, dia jatuh cinta pada Wiro. Dia minta bantuan
seorang juru kawin, nenek bernama Lamahila, agar dia dikawinkan dengan Wiro. Perkawinan dengan manusia seperti Wiro
merupakan satu-satunya cara untuk membebaskan dirinya dari kutukan itu..." (Baca
serial Wiro Sableng di Negeri Latanahsilam mulai dari 'Bola-bola Iblis'
s/d 'Istana Kebahagiaan').
"Ah..." Ratu Duyung keluarkan suara tercekat sambil pegangi leher yang putih
bagus. Dia ingat akan nasib dirinya. Dia juga pernah mengalami hal seperti itu,
menjadi makhluk setengah ikan setengah manusia. Wirolah yang menolong melepas
dirinya dari kutukan itu hingga dia memiliki ujud manusia sempurna (Baca serial
Wiro Sableng berjudul 'Wasiat Iblis' s/d 'Kiamat di Pangandaran').
"Ada apa?" tanya Purnama pada Ratu Duyung.
"Tidak... tidak ada apa-apa. Lanjutkan ceritamu."
Purnama berpaling pada Setan Ngompol. "Kek, kau tahu kejadian kawinnya Wiro
dengan Luhrembulan alias Hantu Santet Laknat. Karena kau bersama Naga Kuning
ikut terpesat ke Latanahsilam."
Setan Ngompol manggut-manggut lalu berkata, "Sahabatku muda, lanjutkan saja ceritamu. Biar para sahabat di sini semua tahu."
"Perkawinan Wiro dengan Luhrembulan tidak sah.
Karena Wiro ditipu. Diberi minuman yang membuat dia lupa pikiran. Wiro dibawa ke
Bukit Batu Kawin. Dalam keadaan tidak sadar juru kawin Lamahila menikahkan Wiro
dengan Luhrembulan."
"Kalau aku tidak salah menyirap berita..." kata Setan Ngompol pula. "Hanya
beberapa saat setelah berlangsungnya perkawinan, Bukit Batu Kawin dilanda badai.
Semua orang terpencar. Sebelum Wiro kembali ke tanah Jawa aku tidak tahu apakah
Wiro pernah bertemu lagi dengan Luhrembulan di Latanahsilam."
Purnama yang di Latanahsilam bernama Luhmintari lanjutkan kisahnya. "Waktu
Istana Kebahagiaan hancur, hampir semua tokoh di Latanahsilam terpesat ke tanah
Jawa, termasuk diriku. Juga Luhrembulan. Dia pasti mencari Wiro. Sekaligus ingin mencelakai diriku karena dia merasa aku hendak
merampas pendekar yang dianggapnya sudah jadi suaminya itu..."
Sewaktu Purnama selesai dengan ceritanya keadaan di tempat itu menjadi sunyi. Ki
Tambakpati tiba-tiba ingat sesuatu, "Ketika gadis itu terbujur di tanah, aku
melihat tiga kembang kenanga menancap di keningnya."
"Kembang kematian itu yang melumpuhkannya. Serangan kami berdua nyaris tak berbekas..." kata Purnama pula. Dia menatap ke
Wiro Sableng 154 Insan Tanpa Wajah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
langit. "Bunga, kau tidak putus-putusnya menolong kami. Aku dan para sahabat
sangat berterima kasih."
"Apakah gadis aneh tadi itu akan muncul lagi
mengganggumu?" bertanya Setan Ngompol pada Purnama.
"Pasti Kek, tapi kali ini dia akan tenggelam di alamnya dalam waktu cukup lama.
Paling tidak seratus hari lebih..."
Menjawab Purnama.
"Apa tidak ada kekuatan yang bisa membuatnya tenggelam selama-lamanya?" bertanya Ki Tambakpati.
"Biji damar," ucap Purnama. "Itu buah pantangan yang bisa melumpuhkan kami
orang-orang perempuan dari Latanahsilam..."
"Ah, kalau bijiku bisa dipakai memoles dan melumpuhkan gadis tadi, pasti aku berikan!" Kata Setan Ngompol pula yang lalu ditepuk
punggungnya oleh Ratu Duyung.
Kakek ini tertawa gelak-gelak sambil terkencing-kencing.
Sementara Purnama tampak senyum-senyum.
"Kantong menyanmu yang disengat tawon masih
bengkak. Bau pesing pula! Mana bisa jadi alat pelumpuh!"
kata Ki Tambakpati.
Tiba-tiba tempat itu dibisingi oleh suara lenguh sapi.
Semua orang terkejut. Setan Ngompol memaki panjang pendek menahan kencingnya
yang mau terpancar.
"Hai! Ke mana bocah bernama Kudin itu?" tiba-tiba Ki Tambakpati bertanya.
"Kudin!" Si kakek berteriak memanggil.
Dari balik pohon besar Kudin keluar dengan wajah tampak pucat. Rupanya apa yang
terjadi di tempat itu membuat anak ini ketakutan dan sembunyi di balik pohon.
"Kudin, kau sudah siap menolong memeras susu sapi itu?" tanya Ratu Duyung. Si
bocah mengangguk. Ratu Duyung menatap ke atas atap rumah panggung. "Kurasa
mangkuk tanah itu sudah kering. Sudah bisa dipakai untuk menampung susu." Lalu
Ratu Duyung melesat ke atas atap rumah mengambil mangkuk tanah yang memang
ternyata telah kering dan menjadi keras.
"Kakek berdua, kalau madu sudah siap, sebaiknya mulai saja mengurut Wiro," kata
Purnama. "Pasti akan segera kami lakukan. Tapi kami berdua juga ingin tahu apa yang
hendak kalian lakukan dengan susu sapi itu." Jawab Ki Tambakpati.
"Kalian tidak akan meminum susu sapi itu, bukan"
Nanti kalian bisa jadi gembrot! Ha... ha... ha!" Setan Ngompol tertawa dan
mancurkan air kencingnya.
"Kalau kau suka, kau boleh meneguknya langsung dari puting susu sapi betina itu
Kek!" kata Ratu Duyung sambil tertawa. Dia tuntun Kudin mendekati sapi lalu
letakkan mangkuk tanah di bawah perut binatang itu.
"Ayo peras yang banyak. Sampai mangkuk itu penuh dengan susu." Kata Ratu Duyung
sementara Purnama jongkok di samping si bocah.
Cekatan sekali Kudin memeras susu sapi. Tangannya naik turun tiada henti. Susu
sapi mengucur deras. Sebentar saja mangkuk tanah sudah penuh.
"Sahabat, kau sekarang tinggal menuruti apa yang ada dalam Kitab Seribu
Pengobatan," kata Ratu Duyung pada Purnama.
"Susu dalam mangkuk ini harus diaduk agar tanah merah di dalamnya leleh menyatu.
Lalu susu diembunkan semalam suntuk. Mulai dari matahari tenggelam sampai besok
fajar menyingsing. Sekarang biar susu ini disimpan dulu dalam rumah." Kata
Purnama lalu mendahului tiga orang itu masuk ke dalam rumah. Namun di tangga
kayu gadis cantik dari negeri 1200 tahun silam ini hentikan langkah dan
berbalik, memandang berkeliling.
"Bocah itu... Sapi tadi..." ucap Purnama.
Semua orang ikut memutar tubuh. Kudin dan sapi putih ternyata tak ada lagi di
tempat itu. "Sahabat kita Bunga pasti sudah mengembalikan sapi dan anak itu ke tempatnya
semula di sawah," kata Ratu Duyung pula.
"Sahabatku Bunga, aku... kami benar-benar sangat berterima kasih padamu." Ucap
Purnama sambil membungkukkan tubuhnya.
Sampai di dalam rumah Ratu Duyung dan Purnama memasukkan cairan jahe ke dalam
mulut Wiro, mengurut bagian dada dan leher sang pendekar hingga air jahe bisa
tertelan. Sementara itu Ki Tambakpati dan Setan Ngompol mengurut sekujur tubuh
Wiro dengan madu hangat.
Pada saat matahari tenggelam, Purnama mengambil susu dalam mangkuk tanah lalu
membawa dan meletakkannya di atas atap rumah.
Malam itu sambil terus mengobati Wiro semua orang bersikap waspada berjaga-jaga.
Bukan mustahil akan muncul lagi gangguan dari makhluk-makhluk yang tidak suka
melihat kesembuhan Pendekar 212 dan juga kesembuhan Purnama. Sesekali Purnama dan Ratu Duyung naik ke atas atap untuk melihat
susu dalam mangkuk tanah serta memperhatikan keadaan sekitar rumah panggung.
"Aku tidak mengawatirkan Luhrembulan alias Hantu Santet Laknat. Dia tidak akan
muncul sampai seratus hari di muka. Yang aku takutkan adalah makhluk yang kita
lihat dalam cermin. Manusia tak berwajah itu." Kata Purnama.
"Aku akan berjaga-jaga di sini..." kata Ratu Duyung pula sambil terapkan ilmu
Menembus Pandang untuk menjajagi keadaan sekitar rumah panggung. "Kau masuklah
ke dalam rumah. Bantu dua kakek itu mengobati Wiro."
"Biar aku saja yang di sini. Kau yang masuk ke rumah,"
jawab Purnama pula.
Ratu Duyung tersenyum. "Kalau begitu biar aku menemanimu dulu di sini. Pertemuan semacam ini jarang bisa kita lakukan. Saat ini
kita bisa berbagi cerita dan pengalaman. Aku ingin sekali mendengar cerita tentang negeri asalmu Latanahsilam.
Negeri seribu duaratus tahun silam itu." "Banyak memang yang bisa aku ceritakan
padamu" jawab Purnama. "Tapi setelah itu rasanya sangat penting untuk membicarakan
sakitnya Wiro. Kita tahu kalau jalan darahnya bisa disembuhkan masih ada
penyakit yang mendekam di tubuhnya. Dia kehilangan kejantanannya..."
Larut malam puas bercakap-cakap kedua gadis itu masuk ke dalam rumah. Mereka tak
bisa memicingkan mata. Ki Tambakpati dan Setan Ngompol masih menguruti Wiro
walau jelas tampak terkantuk-kantuk. Sampai fajar menyingsing keadaan aman-aman
saja, tidak terjadi apa-apa.
Begitu langit di ufuk timur tampak terang, Ratu Duyung memberi isyarat pada
Purnama. Kedua gadis cantik ini keluar dari rumah lalu melesat naik ke atas atap
rumah. Begitu sampai di atap, mereka terbelalak kaget dan sama-sama keluarkan seruan
tertahan. Mangkuk berisi susu sapi tak ada lagi di atas atap!
"Kurang ajar! Siapa yang mencuri mangkuk!" teriak Ratu Duyung marah. "Semalam
suntuk kita berjaga-jaga.
Kita tidak mendengar suara apa-apa yang mencurigakan."
Purnama pegang tangan gadis itu, menarik nafas dalam dan berkata. "Mungkin belum
saatnya aku mendapat kesembuhan. Aku pasrah..."
Ratu Duyung tetap penasaran. Dia memandang
berkeliling. Terapkan ilmu Menembus Pandang. Dia tidak melihat ada orang yang
sembunyi sekitar halaman. Dia perhatikan setiap pohon, tidak ada makhluk yang
mende- kam. Gadis bermata biru ini akhirnya keluarkan cermin saktinya.
"Dengan cermin sakti ini masakan tidak tembus!" kata Ratu Duyung pula.
"Aku khawatir ini lagi-lagi pekerjaan makhluk tanpa wajah!" ujar Purnama.
Tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. Datangnya dari kolong rumah panggung.
Sesaat kemudian melesat satu bayangan hitam. Sosok ini kemudian telah berdiri di
atas atap, di hadapan Ratu Duyung dan Purnama.
WIRO SABLENG INSAN TANPA WAJAH
9 AHABAT berdua, apa kalian mencari ini?" Sosok hitam bertanya.
S "Naga Kuning!" Ratu Duyung berteriak. "Bocah nakal!
Apa yang kau lakukan"! Yang kau pegang itu bukan benda sembarangan! Awas
tumpah!" Sementara Purnama berdiri memperhatikan sambil geleng-geleng kepala.
Sosok yang berdiri di atas atap di depan dua gadis cantik itu adalah seorang
bocah berambut jabrik, mengenakan pakaian hitam bergambar naga bergelung di bagian dada. Dia bukan lain
adalah Naga Kuning alias Gunung alias Kiai Paus Samudera Biru.
"Naga Kuning! Lekas serahkan mangkuk itu padaku!"
berkata Purnama.
Naga Kuning serahkan mangkuk susu pada Purnama.
Ratu Duyung yang masih belum puas bertanya, "Kau menyelinap, kau mengambil
mangkuk berisi susu itu. Apa Naga Kuning betulan"! Atau makhluk jejadian yang
me- nyamar diri"!" tanya Ratu Duyung sambil alirkan tenaga dalam ke tangan kanan
siap untuk lepaskan pukulan sakti.
"Bocah seperti aku mana ada yang palsu," jawab Naga Kuning sambil senyum-senyum
seenaknya. Lalu dia menerangkan, "Aku mendengar kabar sobatku Pendekar 212
ditangkap orang-orang kerajaan. Aku menyelidik dan sampai ke sini. Kulihat rumah sepi-sepi saja. Di atas atap ada benda ini. Ketika
aku ambil ternyata berisi susu dingin sejuk. Kebetulan aku haus..."
"Astaga! Jadi susu itu sudah kau minum?" tanya Purnama tercekat.
"Lancang dan rakus!" hardik Ratu Duyung penuh gemas.
Naga Kuning tertawa sambil usap-usap perutnya.
Purnama jadi jengkel. Ratu Duyung tambah kesal. Dia membentak. "Jawab pertanyaan
kami! Kau minum susu dalam mangkuk itu" Hai! Kau datang sendirian atau dengan
siapa"!"
"Tadinya aku memang mau minum susu ini. Kelihatannya enak sekali. Tapi, tapi tak jadi kulakukan. Sebenarnya aku mau menyelamatkan susu dalam mangkuk ini."
"Apa maksudmu?" tanya Purnama.
"Aku disuruh untuk mengambil mangkuk ini dan
menunggu di sini. Tadi aku sembunyi di kolong rumah.
Waktu melihat kalian berdua aku naik ke atap sini."
"Siapa yang menyuruhmu mengambil dan menunggu di sini" Kau datang dengan
Alap Alap Liang Kubur 2 Gento Guyon 14 Kemelut Iblis Badai Laut Selatan 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama