Ceritasilat Novel Online

Insan Tanpa Wajah 3

Wiro Sableng 154 Insan Tanpa Wajah Bagian 3


siapa"!" bentak Ratu Duyung.
"Gondoruwo Patah Hati..." jawab Naga Kuning.
"Hemm... Nenek kekasihmu itu. Mana dia?" tanya Ratu Duyung.
"Ada di kali... Lagi kencing!" jawab si bocah berambut jabrik yang ujud aslinya
adalah seorang kakek sakti berusia hampir 120 tahun dan dikenal dengan panggilan
Kiai Paus Samudera Biru.
"Mengapa nenek itu menyuruhmu mengambil mangkuk berisi susu ini?" tanya Purnama
pula. Naga Kuning menggeleng. "Aku tidak tahu. Aku hanya menurut perintahnya saja..."
"Serahkan mangkuk berisi susu itu padaku!" kata Purnama. Setelah menerima
mangkuk tanah dari Naga Kuning Purnama lalu berkata pada Ratu Duyung. "Hari
semakin terang. Kurasa sebaiknya pengobatan aku lakukan sekarang juga sesuai petunjuk dalam Kitab Seribu Pengobatan. Kita tidak
punya banyak waktu. Kita harus cepat-cepat menolong Wiro. Biar pengobatan aku
lakukan sekarang di atas atap ini!"
Ratu Duyung mengangguk dan kerahkan ilmu Menembus Pandang untuk mengawasi keadaan sekitar rumah.
Purnama memutar tubuh, menghadap ke arah matahari tenggelam yaitu sesuai dengan
apa yang tertulis dalam Kitab Seribu Pengobatan. Perlahan-lahan dia angkat
mangkuk ke atas kepala. Siap untuk diguyurkan ke wajahnya yang terkelupas cacat
di bagian kiri. Tiba-tiba satu bayangan biru berkelebat menyusul suara teriakan.
"Tahan! Jangan guyur kepalamu dengan cairan dalam mangkuk!"
Semua orang yang ada di atas atap sama terkejut. Di halaman rumah panggung
berdiri sosok seorang nenek berjubah biru, rambut kelabu wajah seram angker.
Sepuluh kuku jari tangannya panjang hitam. Nenek ini memberi isyarat dengan
lambaian tangan agar semua orang turun ke tanah.
"Nek, ada apa ini"!" teriak Ratu Duyung dari atas atap.
Dia telah mengenali nenek di bawah sana yang bukan lain adalah Gondoruwo Patah
Hati. "Turun saja ke sini! Nanti kalian akan lihat sendiri!"
jawab si nenek.
Naga Kuning melesat turun lebih dulu. Akhirnya Purnama dan Ratu Duyung ikutan
turun ke tanah. Si nenek membungkuk sedikit, melihat dan membaui cairan yang ada
dalam mangkuk tanah yang dipegang Purnama.
Saat itu mendengar suara orang bicara di halaman dan di atas atap rumah Ki
Tambakpati dan Setan Ngompol segera keluar. Mereka terheran-heran melihat si
bocah dan si nenek ada di situ. Gondoruwo Patah Hati yang sudah kenal pada Setan
Ngompol kedipkan matanya, tersenyum sedikit lalu kembali membungkuk, mencium dan
memper- hatikan cairan dalam mangkuk.
"Susu sapi..." ucap si nenek perlahan. Dia menatap wajah sebelah kiri Purnama
yang tampak merah mengelupas. "Kau akan pergunakan susu itu untuk mengobati luka di wajahmu. Betul?" bertanya
Gondoruwo Patah Hati.
Purnama mengangguk.
"Susu itu mengandung racun!"
Ucapan si nenek membuat Purnama dan Ratu Duyung terkejut. Ki Tambakpati melongo
sedang Setan Ngompol cepat-cepat tekap bagian bawah perutnya.
"Racun dari mana" Siapa yang memasukkan ke dalam susu" Bagaimana mungkin! Kami
berjaga-jaga semalam suntuk. Tidak ada seorangpun mendekati tempat ini!" Kata
Purnama sambil memperhatikan susu dalam mangkuk lalu memandang pada si nenek.
"Racun itu dikirim dari jauh..." kata Gondoruwo Patah Hati pula. "Kalau kalian
tidak percaya lihat apa yang akan aku lakukan. Aku akan membersihkan racun dalam
susu. Kalau sudah bersih, kau boleh pergunakan susu itu untuk mengobati luka di
wajahmu. Pegang kuat-kuat mangkuk itu dan lihat..."
Gondoruwo Patah Hati kembangkan dua telapak
tangan, sepuluh jari ditukikkan ke arah susu dalam mangkuk. Mulut berkomat-kamit membaca mantera. Tak lama kemudian susu dalam mangkuk
tampak bergejolak seperti mendidih. Lalu mengepul asap hitam. Dengan sepuluh
kuku jarinya si nenek sedot asap hitam itu. Ketika gejolak air susu di dalam
mangkuk berhenti, Gondoruwo Patah Hati mundur tujuh langkah. Mulut masih
berkomat-kamit. Dia berhenti di dekat serumpun semak belukar. Tangan kanan
diulurkan. Tangan kiri meremas pergelangan tangan kanan. Saat itu juga dari lima
ujung jari si nenek mengucur keluar cairan hitam pekat berkilat, menebar bau
busuk. Ganti tangan kanan meremas tangan kiri. Cairan hitam kembali mengucur. Begitu
cairan hitam menyentuh semak belukar, tumbuhan ini serta merta berubah gosong
hitam lalu rontok ke tanah disertai kepulan asap dan bau luar biasa busuk,
membuat beberapa orang yang ada di tempat itu jadi mual berusaha menahan muntah.
Gondoruwo Patah Hati melangkah mendekati Purnama yang tegak dengan muka pucat.
"Sahabatku muda. Kalau susu itu tadi sampai membasahi kepalamu, kulitmu akan
jadi gosong seumur hidup, rambut di kepalamu akan rontok. Dicari ke manapun tak
ada obat penyembuhnya."
"Nek, aku sangat berterima kasih. Kalau bukan kau yang menolong hidupku akan
celaka seumur-umur. Nek, kau berbuat baik padaku, padahal kita baru sekali
bertemu sewaktu kau muncul di Gedung Kadipaten Losari. Kita bahkan tidak sempat
saling menyapa."
Gondoruwo Patah Hati tersenyum mendengar ucapan Purnama. "Siapapun sahabat
Pendekar 212 adalah sahabatku juga..." Si nenek pegang bahu gadis dari Latanahsilam ini lalu berkata. "Susu itu sudah bersih. Tak ada lagi racun di dalamnya.
Silahkan kau mengobati diri..."
Purnama sekali lagi mengucapkan terima kasih lalu memutar tubuh dan wajah
menghadap ke arah matahari tenggelam. Dua tangan yang memegangi mangkuk berisi
susu di angkat di atas kepala. Sesuai dengan petunjuk dalam Kitab Seribu
Pengobatan sambil mengguyurkan susu ke atas kepalanya, Purnama melafatkan katakata: Manusia berasal dari tanah. Tanah pula yang akan menjadi pengobat. Manusia
memulai hidup dengan air susu. Air susu pula yang akan menjadi pengobat. Tuhan
Maha Kuasa Maha Penyembuh.
Susu putih susu sapi di dalam mangkuk diguyur membasahi kepala, wajah dan sebagian tubuh Purnama sebelah atas. Saat itu juga di langit kelihatan kilatan cahaya tiga warna merah,
biru dan hijau. Gondoruwo Patah Hati yang pertama sekali melihat kilatan cahaya
itu langsung hantamkan dua tangan ke atas. Sepuluh kuku jari mencuat lebih panjang, berubah dari
hitam menjadi merah. Sepuluh larik cahaya merah kemudian melesat ke arah kilatan
cahaya tiga warna di langit, Ilmu Kuku Api!
Blaar... blaarr... blaar!
Satu kekuatan gaib menerpa si nenek, membuatnya terhuyung dan buru-buru dipegang
oleh Ratu Duyung. Di langit cahaya tiga warna lenyap tanpa bekas.
"Luar biasa! Kekuatan gaib itu luar biasa kuat dan jahat!" kata Gondoruwo Patah
Hati sambil pegangi dadanya yang berdebar keras.
"Dari cahaya tiga warna itu aku yakin lagi-lagi manusia tanpa wajah itu yang
punya pekerjaan!" ucap Ratu Duyung.
Gondoruwo menatap wajah Purnama dan tersenyum.
"Cacat di wajahnya lenyap. Kau sudah sembuh!"
Purnama terpekik. Ratu Duyung berseru gembira. Ki Tambakpati mengucap berulang
kali sedang Setan Ngompol tertawa girang sambil pegangi bagian bawah celananya.
"Sungguh luar biasa! Kau benar-benar sembuh!" Kata Ratu Duyung lalu ambil cermin
sakti dan diberikan pada Purnama. Gadis dari negeri Latanahsilam ini perhatikan
wajahnya di dalam cermin. Matanya langsung berkaca-kaca. Luka cacat di wajahnya
sebelah kiri benar-benar telah lenyap.
"Racun yang ada di dalam susu itu adalah racun ular jahat yang cuma hidup di
gurun pasir." Menerangkan si nenek.
Purnama peluk Gondoruwo Patah Hati lalu merangkul Ratu Duyung. Ketiga orang ini
larut dalam rasa haru serta gembira.
"Aku tidak kebagian dipeluk?" Naga Kuning keluarkan ucapan.
Gondoruwo Patah Hati jewer telinga kiri anak ini.
"Bocah rakus. Untung kau tidak menenggak susu itu. Kalau sampai kau tenggak saat
ini tubuhmu sudah gosong menjadi jerangkong hitam!"
"Aduh Nek, ampun. Suaakiittt" Jerit Naga Kuning. Tapi begitu jeweran dilepas
anak ini tertawa gelak-gelak.
Purnama kemudian berkata. "Saatnya kita menangani Wiro. Mudah-mudahan dia
mendapatkan kesembuhan pagi ini." Semua orang masuk ke dalam rumah panggung.
Yang pertama sekali bergerak adalah Ratu Duyung. Dengan tangan agak gemetar
gadis sakti dari laut selatan ini menotok urat besar di pangkal leher Wiro untuk
melepas jalan suara.
Kleekk! Tidak seperti biasanya, totokan mengeluarkan suara aneh. Ratu Duyung sendiri
merasa dua jari tangan yang dipergunakan untuk menotok panas bergetar. Agaknya
masih ada kekuatan gaib berusaha mencegah penyembuhan yang dilakukan atas diri sang pendekar. Semua orang menunggu penuh tegang.
Tiba-tiba dari tenggorokan Pendekar 212 keluar suara mengorok, keras dan
panjang. Suara mengorok berhenti.
Mulut Wiro terbuka lebar. Semua orang jadi bertambah tegang. Tak ada suara
teriakan keluar dari mulut itu. Bahkan mulut yang terbuka lebar perlahan-lahan menutup kembali. Sepasang mata yang
sebelumnya terus-terusan nyalang dan hanya kelihatan putih kini mengatup
terpejam. "Dia tidak keluarkan jeritan. Apakah berarti jalan darahnya sudah pulih...?"
bisik Ki Tambakpati.
"Mudah-mudahan begitu," menyahuti Ratu Duyung.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Setan Ngompol, tak lupa menekap
perabotannya dengan dua tangan.
"Kita harus mengikuti petunjuk Kitab Seribu Pengobatan berikutnya. Kita harus membawa Wiro ke kali dan mengapungkannya." Ucap
Purnama. Wiro lalu diangkat dari ranjahg bambu, dipindah ke atas tiga batang kayu yang
sudah disiapkan Setan Ngompol dan Ki Tambakpati. Lalu batang kayu itu beramairamai digo- tong dan dimasukkan ke dalam Kali Progo dengan kepala menghadap ke arah
datangnya arus air kali. Tiga utas tali dipakai untuk mengikat batang kayu ke
pepohonan kecil di tepi kali. Setan Ngompol, Naga Kuning, Ki Tambakpati berendam
di dalam air memegangi batang kayu. Gondoruwo Patah Hati, Ratu Duyung dan Purnama berjaga-jaga di tebing kali. Mereka
menunggu sampai matahari mencapai titik tertingginya yaitu saat di mana sepuluh
jari tangan dan sepuluh jari kaki Wiro harus ditusuk sampai mengeluarkan darah.
Menunggu dari pagi sampai saat sang surya mencapai titik tertingginya terasa
sangat lama. Apalagi disertai perasaan tegang. Suasana di kali terasa sunyi.
Sesekali kesunyian dipecah oleh suara kicau dan terpaan sayap burung yang
terbang dari pohon ke pohon. Air kali yang datang dari hulu membasahi sebagian
kepala dan tubuh Wiro. Di dalam kali Setan Ngompol entah sudah berapa kali
kucurkan air kencing. Sekujur tubuhnya mulai terasa dingin sementara mata yang
belok kelihatan redup terkantuk-kantuk.
"Kek, kau naiklah ke sini. Biar aku yang menggantikan."
Kata Gondoruwo Patah Hati. Lalu tanpa menunggu jawaban orang si nenek masuk ke dalam kali. Belum sempat Setan Ngompol naik ke darat
tiba-tiba dari hilir terdengar suara menderu. Di permukaan kali kelihatan dua
benda coklat panjang berjajar meluncur cepat ke arah di mana orang-orang itu
berada. "Buaya!" teriak Naga Kuning.
"Ada dua ekor!" Gondoruwo Patah Hati ikut berteriak.
Ratu Duyung yang duduk di tepi kali melompat bangkit.
"Purnama, kau yang kiri aku yang kanan!" Teriak sang ratu.
"Aku mencium sesuatu! Ini bukan buaya sungguhan!"
teriak Purnama.
WIRO SABLENG INSAN TANPA WAJAH
10 EMUA orang yang ada di dalam dan di pinggir kali menjadi geger. Ratu Duyung dan
Purnama bertindak S cepat. Keduanya serentak melesat ke tengah kali.
Dua tangan lepaskan pukulan sakti. Ratu Duyung menghantam buaya di sebelah kanan dengan pukulan ganas bernama Pedang Inti Samudera.
Dari tangan kanan si gadis mencuat sinar biru sepanjang satu tombak membentuk pedang. Ketika sinar biru menghantam, buaya keluarkan suara lolongan
seperti anjing meraung. Kepala binatang ini terbabat putus. Tak ada darah
mengalir! Begitu suara raungan lenyap, buaya itu juga ikut sirna!
"Purnama benar! Ini makhluk jejadian!" ucap Ratu Duyung dengan tengkuk dingin.
Sementara itu Purnama yang menghadapi buaya kedua menghajar binatang jejadian
ini dengan pukulan yang memancarkan cahaya biru bergemerlap. Tapi buaya jejadian
yang satu ini bersikap lebih waspada. Agaknya dia mengetahui apa yang terjadi
dengan temannya. Dengan cepat binatang ini menyelinap ke bawah air. Pukulan yang
dilepas Purnama hanya mengenai tempat kosong. Air Kali Progo muncrat setinggi
dua tombak. Tanah dan lumpur di dasar kali terbongkar berhamburan ke udara. Di
lain saat buaya tadi muncul kembali dan tahu-tahu sudah berada di samping Wiro
yang tergeletak di atas tiga batang kayu dengan mulut menganga siap melahap!
Purnama dan Ratu Duyung tersentak kaget. Untuk menolong dengan melancarkan serangan mereka merasa khawatir karena keduanya berada pada kedudukan menghadap ke arah Wiro.
Ditambah lagi buaya coklat besar sudah berjarak sangat dekat dengan Wiro hingga
setiap pukulan yang dilancarkan bisa saja mengenai Pendekar 212. Ki Tambakpati
dan Setan Ngompol dalam keterkejutan mereka tidak sempat berbuat apa. Naga
Kuning cepat kerahkan tenaga dalam untuk melepas pukulan Naga Murka Menjebol
Bumi. Namun bocah sakti ini tidak bisa bertindak leluasa karena dia berada di sisi
lain kali dan terhalang sosok Wiro sementara di seberang sana ada Ratu Duyung
dan Purnama. Sekali serangannya meleset, kalau tidak Wiro, salah satu dari dua
gadis itu akan celaka!
Pada saat yang sangat menentukan itu, Gondoruwo Patah Hati yang baru saja
mencebur dan berada di dalam kali keluarkan bentakan keras. Tangan kanan
menghan- tam ke arah kepala buaya yang telah membuka mulutnya lebar-lebar untuk melahap
tubuh Pendekar 212.
Selarik sinar merah bercampur biru bergulung seperti sebuah batu besar,
menghajar kepala buaya jejadian dengan telak. Pukulan Batu Naroko! Seperti buaya
tadi binatang yang satu ini keluarkan suara menyerupai anjing meraung. Kepala
hancur, tubuh menggelepar-gelepar lalu tenggelam ke dalam air dan lenyap.
"Keji dan jahat sekali!" ucap Purnama setengah menyumpah. "Kekuatan gaib masih
terus berusaha menghalangi kita menyelamatkan Wiro!"
"Kurasa aku perlu minta bantuan Nyai Roro Kidul untuk memagari tempat ini,"
berkata Ratu Duyung. "Aku khawatir makhluk celaka berkekuatan gaib membawa ilmu
hitam kembali berusaha menghalangi. Padahal ini adalah tahapan akhir usaha kita menyelamatkan Wiro. Sekali gagal, bencana besar akan
menimpa Wiro!"
Habis berkata begitu Ratu Duyung melompat ke tebing kali di mana terdapat sebuah
batang kayu besar tergeletak tumbang. Dia duduk di atas tumbangan pohon ini,
pejam- kan mata, kaki bersila dan dua tangan diletakkan di atas dada.
Tak lama kemudian terdengar Setan Ngompol berseru sambil pegangi bagian bawah
perut. "Hai, mengapa udara mendadak mendung?"
Ki Tambakpati menepuk bahu sahabatnya ini. "Tenang saja. Jangan banyak bicara.
Ratu Duyung tengah melakukan sesuatu."
Saat itu memang udara mendadak agak gelap, langit yang tadi cerah berubah
mendung. Arus air kali seolah tak bergerak, angin tidak terasa bertiup. Keadaan
sunyi senyap seperti malam hari di pekuburan. Tiba-tiba dari arah timur tampak
sepuluh titik bercahaya biru, bergerak ke arah kali di mana orang-orang itu
berada. Saat demi saat titik itu membesar dan ternyata adalah sepuluh ujung
tombak. Masing-masing tombak dipegang oleh seorang gadis cantik berambut hitam panjang
tergerai, mengenakan pakaian hitam ketat dengan potongan rendah di bagian dada
serta belahan tinggi sampai ke pangkal paha di bagian sisi kiri kanan.
"Bidadari turun ke bumi...!" ucap Setan Ngompol dengan mata melotot dan pegangi
bagian bawah perut yang terasa kedut-kedut. "Pasti mereka hendak menolong Wiro.


Wiro Sableng 154 Insan Tanpa Wajah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ah, aku juga kepingin sakit kalau yang mengobati bidadari cantik seperti itu..."
"Sobatku, kau kakek bangkotan yang masih mata keranjang rupanya," kata Ki
Tambakpati. Saat itu keduanya dan juga Naga Kuning serta Gondoruwo Patah Hati
masih berada di dalam kali. "Jangan bicara sembarangan. Itu adalah pasukannya
Nyai Roro Kidul yang akan menjaga tempat ini."
Sepuluh gadis pembawa tombak bercahaya mengapung di udara mengelilingi Ratu
Duyung. Mereka membungkuk memberi penghormatan.
Perlahan-lahan Ratu Duyung turunkan dua tangan yang sejak tadi diletakkan di
dada. Mulutnya berucap, mata masih terpejam. "Terima kasih kalian sudah datang.
Dua di sudut timur. Dua di sudut barat. Dua di sudut utara. Dua di sudut
selatan. Dua di tengah antara empat sudut."
Dalam gerakan menyamai kecepatan kejapan mata, sepuluh gadis cantik yang membawa
tombak bercahaya, sepasang demi sepasang melesat ke lima penjuru yang disebutkan
Ratu Duyung. Di lima titik ini mereka melepas pegangan pada tombak. Walau
dilepas setiap tombak tetap berdiri lurus, hanya saja perlahan-lahan bentuknya
menjadi samar, cahaya meredup dan akhirnya lenyap dari pandangan mata. Sepuluh
gadis cantik kembali berkumpul mengelilingi Ratu Duyung.
"Terima kasih kalian sudah melaksanakan tugas dengan baik. Kalian boleh kembali
ke laut selatan. Bila tugas sudah selesai sepuluh tombak akan pulang ke tempat
asalnya. Kalian tak usah menjemput. Salam hormat dan terima kasihku untuk
Junjungan Nyai Roro Kidul."
Sepuluh gadis membungkuk lalu satu per satu melesat ke langit dan lenyap dari
pemandangan. Saat itu juga udara yang tadi mendung kini berubah terang benderang
kembali. "Ah, mereka pergi semua..." kata Setan Ngompol seolah kecewa oleh lenyapnya
pemandangan indah tadi.
Di atas tumbangan pohon Ratu Duyung buka kedua matanya. Dia menatap ke arah lima
titik lalu bangkit berdiri, mendatangi orang-orang yang ada di kali.
"Para sahabat, tempat ini sudah dipagari. Kita menunggu sampai tengah hari
tepat." "Apa yang akan terjadi pada tengah hari tepat?"
bertanya Gondoruwo Patah Hati yang memang tidak tahu kelanjutan cara pengobatan
atas diri Wiro.
Purnama lalu menjelaskan. "Sesuai petunjuk Kitab Seribu Pengobatan, tepat tengah
hari nanti sepuluh jari tangan dan sepuluh jari kaki Wiro harus ditusuk dengan
benda tajam sampai keluar darah. Jika darah mengucur dan warnanya merah segar
berarti dia telah sembuh dari penyakitnya..."
Gondoruwo Patah Hati geleng-geleng kepala. Sambil menggeleng matanya menatap
wajah Pendekar 212. Ada rasa iba di wajahnya yang angker. Nenek ini lantas ingat
kejadian beberapa waktu lalu, ketika dia ikut dengan Wiro dan para tokoh silat
menghancurkan 113 Lorong Kematian yang jadi markas manusia pocong pimpinan
Pangeran Matahari. Saat itu Wiro terlibat bentrokan pukulan sakti dengan Ketua
Barisan Pocong 113 Lorong Kematian. Wiro terpental, coba ditolong oleh Gondoruwo
Patah Hati. Keduanya jatuh bergulingan di tanah. Secara tak sengaja sewaktu bergulingan
bibir mereka saling bertempelan. Saat itu juga ujud si nenek berubah menjadi
sosok seorang gadis cantik, memeluk dan menciumi Wiro. Memang ujud asli
Gondoruwo Patah Hati sebenarnya adalah seorang gadis cantik jelita bernama Ning
Intan Lestari. Si nenek melarang Wiro menyeka bibirnya. Malah berkata. "Dengar
ada satu rahasia dalam diriku yang bisa menyesakkan dada jika tidak aku katakan
padamu. Kalau saja aku tidak keburu jatuh cinta pada bocah berambut jabrik itu,
kaulah jadi penggantinya." Celakanya ketika si nenek mencium Pendekar 212, Dewa
Tuak yang berada tak jauh dari tempat itu sempat melihat! Gondoruwo Patah Hati
tarik nafas panjang dan usap bibirnya (Baca serial Wiro Sableng berjudul
'Kematian Kedua').
"Siapa yang akan menusuk jari tangan dan kaki Wiro?"
Purnama bertanya sambil memandang berkeliling.
"Nek, kau saja yang melakukan," kata Ratu Duyung.
"Kukumu panjang-panjang. Kita tidak perlu mencari alat lagi. Harap kau mau
membantu..."
Gondoruwo Patah Hati mengangguk. Dia merasa bersyukur diberi kesempatan menolong pemuda yang diam-diam dicintainya itu. Purnama
kemudian menunjukkan bagian mana dari jari tangan dan kaki Wiro yang harus
ditusuk. Gondoruwo Patah Hati menusuk sepuluh jari tangan dan sepuluh jari kaki
Wiro, semua di bagian ujung jari. Setelah menunggu cukup lama tidak terjadi apaapa, yaitu tidak ada darah yang mengucur keluar dari luka kecil bekas tusukan
kuku baik pada sepuluh jari tangan maupun sepuluh jari kaki, Purnama menatap ke
arah Ratu Duyung.
Dua gadis ini sama-sama menunjukkan rasa cemas. Setan Ngompol dan Ki Tambakpati
terdiam tegang. Naga Kuning memandang ke langit sebelah timur lalu membisikkan
sesuatu pada Gondoruwo Patah Hati sambil menunjuk ke arah timur. Selanjutnya
nenek ini pegang lengan Ratu Duyung seraya berkata.
"Aku rasa ada yang menghalangi. Lihat di arah timur ada cahaya biru berkelapkelip." Ratu Duyung cepat menatap ke arah langit sebelah timur. Di arah itu tampak dua
cahaya biru berkedap-kedip.
"Kau benar Nek. Dua tombak biru pemagar tempat ini di arah timur memberi tanda.
Ada yang berusaha masuk!
Satu kekuatan gaib! Aku mohon kita semua sama-sama lepaskan pukulan sakti ke
arah timur!"
Kecuali Ki Tambakpati yang memang tidak memiliki pukulan sakti, semua orang
segera kerahkan tenaga dalam dan siapkan pukulan sakti terhebat yang mereka
miliki. Masing-masing mengerahkan tenaga dalam penuh.
Jangankan manusia atau makhluk gaib, gunungpun rasa-rasanya jika dihantam
bersama-sama seperti itu akan hancur berantakan.
"Kek" kata Ratu Duyung pada Setan Ngompol. "Kau tak usah ikut menyerang.
Lindungi Wiro!"
"Tunggu dulu, aku melihat sesuatu di arah timur!"
Berkata Purnama. "Ada dua sosok samar sedang berkelahi di atas sana. Satu
berpakaian putih, satu mengenakan pakaian hitam. Ratu Duyung coba kau selidiki.
Keluarkan cermin saktimu!"
Ratu Duyung cepat keluarkan cermin sakti. Serta-merta di dalam cermin terlihat
seorang berselempang kain putih, berambut dan berjanggut panjang putih dengan
wajah polos tengah berkelahi hebat melawan seorang pemuda gagah. Si pemuda
mengenakan pakaian serba hitam, memelihara kumis, janggut dan cambang bawuk.
Dari jalannya perkelahian kelihatan pemuda ini terdesak dan beberapa kali jatuh
tersungkur. Makhluk tidak berwajah mempergunakan sebatang tongkat bercahaya
kuning sebagai senjata ampuh.
Ratu Duyung menerangkan apa yang dilihatnya dalam cermin.
"Manusia tanpa wajah itu! Dia hendak menembus melewati pagar gaib pengaman.
Pemuda berpakaian hitam berusaha mencegah tapi kalah ilmu. Dia akan segera
dimusnahkan oleh manusia tanpa wajah. Tapi tunggu dulu... Bunga! Bunga muncul
membantu pemuda berpakaian hitam. Puluhan kembang kenanga melesat dari tangannya, membuat manusia
tanpa wajah terpaksa mundur. Makhluk jahat ini membalikkan diri, melesat ke
langit. Lari!"
Di langit tampak tiga cahaya, merah, biru dan hijau berkiblat lalu lenyap.
Purnama dan beberapa orang lainnya yang merasa tidak puas kalau tidak
menyaksikan sendiri berusaha melihat ke dalam cermin. Namun saat itu keadaan cermin hanya tinggal bening putih.
Pertanda semua makhluk tadi tak ada di langit sebelah timur.
"Hai lihat!" Tiba-tiba Gondoruwo Patah Hati berteriak.
Membuat semua orang terkejut namun kemudian bersorak gembira. Dari duapuluh luka
kecil di ujung jari tangan dan kaki Wiro membersit keluar darah merah.
"Darahnya merah dan segar!" teriak Ki Tambakpati.
"Wiro sembuh!" ucap Ratu Duyung sambil menekap wajah menahan tangis.
"Angkat! Bawa ke dalam rumah!" kata Purnama.
Semua orang, beramai-ramai mengangkat tiga batang kayu ke tepi kali. Lalu mereka
menggotong Wiro, membawanya masuk ke dalam rumah panggung dan dibaringkan di atas ranjang bambu. Darah
kental, merah dan segar masih mengalir dari duapuluh luka kecil di jari tangan
dan jari kaki Wiro. Sesaat kemudian kucuran darah berhenti.
Gondoruwo Patah Hati pergunakan ujung jubah birunya untuk membersihkan sisa-sisa
darah di tangan dan kaki Wiro.
Tiba-tiba! Buuuttt... buuuttt... prett!
"Kurang ajar! Siapa yang kentut"!" Hardik Setan Ngompol. Mata mendelik dua tangan cepat menekap bagian bawah perut.
Saat itu terdengar suara tawa cekikikan dalam rumah panggung disusul
berkelebatnya satu bayangan kuning.
Sesaat kemudian di dalam kamar itu telah berdiri seorang nenek serba kuning
mulai dari pakaian sampai dandanannya. Nenek ini mengenakan jubah kuning. Rambut kuning digulung di atas kepala,
ditancapi lima sunting yang juga berwarna kuning. Lalu di telinga kiri kanan
mencantel giwang berbentuk rantai kuning. Di leher menggantung sebuah kalung
besar berwarna kuning.
Setan Ngompol, Naga Kuning dan Purnama yang
mengenali nenek ini serentak berseru menyebut namanya.
WIRO SABLENG INSAN TANPA WAJAH
11 UHKENTUT!" Nenek berjubah kuning yang tegak di ambang pintu ruangan tertawa
panjang. Dia tepuk-Ltepuk pantatnya yang songgeng karena dulunya terlalu banyak kentut lalu berkata, "Aku kebetulan lewat di sini.
Aku mencium bau makhluk dari alamku. Ternyata kau yang berada di sini
Luhmintari." Si nenek berucap dan menyebut nama Purnama yang asli lalu memandang
berkeliling. "Ah, sobatku Setan Ngompol dan Naga Kuning, kalian juga ada di
sini" Si nenek lantas memandang ke arah ranjang bambu. Kening mengerenyit. "Astaga! Bukankah itu Pendekar 212 Wiro Sableng?"
Purnama anggukkan kepala. Sampai saat itu sepasang matanya terus memperhatikan
si nenek. Dia merasa ada kelainan pada diri perempuan tua berjubah kuning ini.
"Apa yang terjadi dengan dirinya?" tanya si nenek.
Siapa nenek ini sebenarnya" Di negeri Latanahsilam dia dikenal dengan nama
Luhkentut alias Hantu Selaksa Angin.
Sewaktu Wiro bersama Setan Ngompol dan Naga Kuning terpesat ke negeri 1200 tahun
silam Wiro menolong dan berhasil menyembuhkan nenek ini dari penyakit kentut
yang dideritanya selama puluhan tahun. Sebelumnya si nenek bisa kentut ratusan
kali sehari. Setelah ditolong oleh Wiro penyakitnya sembuh. Kalaupun masih
terkentut hanya keluar sesekali saja. Sebagai tanda terima kasih si nenek
mewariskan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad kepada Wiro.
Sewaktu para tokoh menyerbu 113 Lorong Kematian, Luhkentut ikut ambil bagian dan
kemudian ditugasi mencari Hantu Muka Dua. Ternyata Hantu Muka Dua yang juga
makhluk dari negeri 1200 tahun silam itu telah menemui ajal di tangan Bidadari
Angin Timur (Nyi Bodong) (Baca serial Wiro Sableng 'Api Di Puncak Merapi').
"Wiro menderita sakit aneh. Saat ini dalam tahap penyembuhan..." menjelaskan
Naga Kuning. Sepasang mata bocah ini memperhatikan si nenek dari kepala sampai
ke kaki yang tersembul di balik ujung jubah kuning.
Tidak biasanya, pandangan mata si bocah yang selalu nakal kini kelihatan seolah
menyelidik. Seperti diketahui ujud asli Naga Kuning adalah seorang kakek sakti
berusia lebih seratus tahun.
Si nenek jubah kuning delikkan mata lalu geleng-geleng kepala.
"Di Latanahsilam dia menyembuhkan penyakit kentut-kentutku! Saatnya aku membalas
budi. Siapa tahu aku bisa menyembuhkan penyakitnya. Aku perlu memeriksanya."
Lalu nenek ini melangkah mendekati ranjang bambu di mana Wiro terbaring dalam
keadaan mata masih terpejam.
Saat itu di sudut ruangan Gondoruwo Patah Hati memberi isyarat dengan gerakan
tangan kanan pada Ratu Duyung. Ratu Duyung yang baru saja mengerahkan ilmu
Menembus Pandang atas diri Luhkentut anggukkan kepala lalu memberi isyarat pada
Purnama. Gadis dari Latanahsilam ini segera menghadang langkah nenek berjubah kuning.
"Nek, tunggu. Sebelum kau memeriksa Wiro, kita bicara dulu di luar rumah."
"Kau mau membicarakan apa" Mengapa harus di luar rumah, tidak di sini saja?"
tanya Luhkentut heran.
Tanpa menjawab, Purnama tarik tangan si nenek, membawanya ke halaman. Ratu
Duyung dan Gondoruwo Patah Hati bersama Naga Kuning mengikuti. Sebelum
meninggalkan ruangan si nenek berkata pada dua kakek.
"Jaga pemuda ini. Ada yang tidak beres dengan nenek satu itu!"
Sampai di halaman Luhkentut memandang pada
Purnama. "Kita sudah di luar rumah. Apa yang hendak kau bicarakan?"
"Nek, aku menaruh curiga pada keadaan dirimu."
Berucap Purnama.
"Bercuriga pada keadaan diriku" Memangnya ada apa dengan diriku" Aku tidak
mengerti."
Gondoruwo Patah Hati melangkah ke hadapan
Luhkentut. "Kita tua sama tua. Jangan berani berdusta.
Kau datang ke tempat ini bukan secara kebetulan seperti katamu tadi."
"Aih, aku jadi tambah tidak, mengerti!" Luhkentut alias Hantu Selaksa Angin
mulai tampak kesal.
"Kau datang membawa makhluk asing dalam tubuhmu!
Kau bersekutu dengan makhluk gaib untuk mencelakai Wiro!" Kini giliran Ratu
Duyung yang keluarkan ucapan.
Si nenek menatap Ratu Duyung tak berkesip lalu tertawa mengekeh. "Aku membawa
makhluk asing dalam tubuhku katamu! Hik.. hik... hik! Untuk mencelakai Wiro"!
Benar-benar gila! Kalian mau aku telanjang" Biar aku buka jubah kuning ini agar
kalian melihat apa aku menyembunyikan seseorang!"
"Tidak perlu Nek," jawab Ratu Duyung. "Kalau kau tidak percaya akan aku
perlihatkan padamu!" Ratu Duyung ambil cermin bulat sakti.
Purnama memberi tanda agar jangan bertindak dulu.
Dia berkata pada si nenek. "Aku melihat ada cahaya samar tiga warna dalam
tubuhmu! Kau membawa satu makhluk!
Apa hubunganmu dengan manusia tanpa wajah yang belakangan ini selalu hendak
mencelakai kami dan Wiro"!"
Dalam bingungnya Luhkentut akhirnya tertawa gelak-gelak. "Manusia tanpa wajah
itu siapa" Setan atau manusia yang mukanya tersiram air panas"! Manusia
sepertimu atau makhluk alam roh seperti sobatku Luhmintari ini" Lelaki atau perempuan, atau tidak punya kelamin sama sekali. Ikutan
polos bagian bawahnya"! Hik.. hik...
hik!" Mendengar ucapan si nenek Ratu Duyung jadi marah.
Tangan kanannya yang memegang cermin digoyang tiga kali. Saat itu juga tiga
sinar putih berkilau mengandung hawa panas menyambar ke arah Luhkentut.
"Aku datang bersahabat! Kau menyerangku! Sungguh keterlaluan!" teriak Luhkentut
marah. Nenek ini kebutkan lengan jubah kuningnya kiri kanan seraya melesat dua
tombak ke atas. Di udara menggema dua letusan dahsyat sewaktu dua larik sinar
kuning yang keluar dari lengan jubah si nenek bentrokan dengan dua sinar putih
menyi- laukan yang melesat dari dalam cermin sementara sinar putih ke tiga berhasil
dielakkan oleh Luhkentut dengan cara melompat tadi.
Ketika si nenek melesat ke atas, Purnama ikut berkelebat. Di udara dia lambaikan tangan ke arah punggung si nenek. Selarik sinar
biru bergemerlap menyapu. Saat itu juga Luhkentut merasa sekujur tubuh menjadi
kaku, tangan dan kaki tak bisa digerakkan. Didahului jeritan keras dia melayang
jatuh ke tanah.
"Pengecut! Apa yang telah aku perbuat pada kalian hingga menyerangku beramairamai!" Teriak Luhkentut.
Meski tubuhnya kaku ternyata nenek ini masih bisa bersuara. Dia berusaha kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti ke tangan kanan untuk
melancarkan serangan mematikan namun tidak berhasil.
Sebagai jawaban seolah tidak memberi ampun, Ratu Duyung kembali gerakkan tangan
kanannya yang memegang cermin sakti.
Dari dalam cermin melesat keluar gulungan cahaya putih panas, langsung menelan
si nenek. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Penjerat Raga Pencekal Jiwa. Di
saat yang hampir bersamaan Purnama lepaskan satu pukulan sakti memancarkan sinar
biru bergemerlap dan Naga Kuning menghantam dengan pukulan Naga Murka Menghancur
Tujuh Dinding Gaib.
Semua serangan yang dilakukan ketiga orang itu memiliki kekuatan untuk membakar
dan menghancurkan lawan yang mengandalkan kekuatan gaib.


Wiro Sableng 154 Insan Tanpa Wajah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Luhkentut menjerit keras mengenaskan. Namun yang membuat semua orang tercekat
ada satu raungan keras lain menyertai jeritan si nenek. Tubuh Luhkentut dikobari
api berwarna merah dan biru. Perlahan-lahan tubuh itu leleh berubah menjadi
cairan putih mengepulkan asap lalu lenyap. Sebelum leleh, satu bayangan putih
keluar dari tubuh si nenek. Sekilas kelihatan kepalanya yang tidak memiliki
wajah, tertutup rambut dan janggut putih.
Purnama, Ratu Duyung dan Naga Kuning, kini juga Gondoruwo Patah Hati serentak
menghantam dengan pukulan sakti. Cepat sekali makhluk tanpa wajah itu melesat ke
langit. Salah satu bagian dari pakaian putih yang dikenakannya tampak dikobari
api. Sambil melesat makhluk ini menebar cahaya merah, biru dan hijau berbentuk
kipas, menyambar ke arah para penyerang.
Ratu Duyung, Naga Kuning, Purnama dan Gondoruwo Patah Hati kalau tidak cepat
menjatuhkan diri sama rata dengan tanah pasti akan celaka. Sebagian tanah
halaman terbongkar hangus. Dua pohon besar dan beberapa rerumpunan semak belukar
gosong menghitam! Untuk beberapa lamanya tempat itu tenggelam dalam kesunyian.
Mendadak terdengar seseorang berucap perlahan tapi cukup jelas.
"Kalian telah membunuh seorang sahabat."
Semua orang yang ada di halaman sama tersentak kaget dan palingkan kepala ke
arah rumah panggung.
"Wiro!"
Empat orang berseru berbarengan menyebut nama Pendekar 212. Di atas rumah
panggung, tepat di depan tangga kayu, berdiri murid Sinto Gendeng, dipapah oleh
Setan Ngompol di sebelah kanan dan Ki Tambakpati di samping kiri. Wajah tampak
pucat dan tubuh agak tertunduk. Walau semua orang gembira melihat sang pendekar
mampu berdiri meskipun dipapah namun ucapan yang tadi dikeluarkan Wiro membuat
mereka yang semula hendak datang mendekati kini tertegak bimbang meragu dan
saling pandang satu sama lain.
Wiro palingkan kepala pada dua kakek yang memapahnya lalu balikkan badan, masuk ke dalam rumah.
"Kalian dengar ucapan Wiro tadi..." berkata Gondoruwo Patah Hati. "Ada
kesalahpahaman. Sebaiknya kita masuk ke dalam menemui Wiro."
Keempat orang itu lalu masuk ke dalam rumah dan menemui Wiro sudah berbaring di
atas ranjang bambu.
Sepasang mata terbuka namun menatap lurus ke atas langit-langit ruangan.
"Wiro, kami bersyukur dan berterima kasih pada Gusti Allah ternyata kau telah disembuhkan..." Gondoruwo Patah Hati membuka pembicaraan.
Wiro diam saja. Matanya masih terus menatap ke atas.
Ki Tambakpati membuka mulut. "Jalan darahnya boleh dikatakan sudah pulih. Namun
tubuhnya masih lemah. Aku tadi sempat memeriksa. Dia tidak kehilangan tenaga
dalam ataupun hawa sakti yang dimiliki. Hanya saja dia butuh paling sedikit dua
hari untuk dapat memulihkan kekuatan, mengalirkan tenaga dalam dan hawa sakti."
Purnama lebih mendekat ke tepi ranjang.
"Wiro, apakah kau bisa bicara" Jika kau cukup kuat untuk bicara kami ingin
menanyakan beberapa hal..."
Hening beberapa ketika. Lalu tampak mulut Wiro bergerak dan terdengar suaranya
berucap perlahan.
Sementara sepasang mata masih tetap melihat ke atas.
"Aku berterima kasih. Sangat-sangat berterima kasih.
Semua para tetua dan sahabat di sini telah mau bersusah payah menolongku,
menyelamatkan jiwaku..."
"Semua terjadi dengan kuasanya Gusti Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyembuh..."
Kata Ratu Duyung pula.
"Hanya ada satu hal sangat aku sesalkan. Keselamatanku ternyata menjadi tumbal kematian bagi seorang sahabat. Mengapa kalian
membunuh sahabatku nenek bernama Luhkentut itu?"
Tak ada yang menjawab. Untuk beberapa lama tempat itu diselimuti kesunyian. Ratu
Duyung berpaling pada Purnama. Purnama memandang pada Gondoruwo Patah Hati.
Akhirnya nenek ini yang bicara.
WIRO SABLENG INSAN TANPA WAJAH
12 IRO, kami perlu menjelaskan agar tidak terjadi kesalahpahaman. Kami tidak ada
niat membunuh WLuhkentut. Namun dia datang membawa makhluk
gaib berupa makhluk tidak punya wajah. Makhluk ini hendak mencelakaimu, hendak membunuhmu. Kami harus membunuh makhluk itu sebelum dia
sempat mencelakaimu..." "Apakah makhluk tidak berwajah itu berhasil kalian bunuh?" Wiro.
Tidak ada yang menjawab.
Wiro berkata lagi. "Apakah untuk mengusir atau membunuh makhluk tidak berwajah itu harus dengan cara membunuh sahabatku Luhkentut"
Apa tidak ada cara lain yang lebih bijaksana?"
Ketika masih tidak ada yang memberikan jawaban Wiro meneruskan ucapannya.
"Luhkentut sama sekali tidak bermaksud jahat terhadapku. Dia hanya ketumpangan
makhluk gaib. Luhkentut bahkan tidak tahu kalau dirinya ketumpangan."
"Wiro, kami sangat menyesal apa yang terjadi dengan Luhkentut" kata Gondoruwo
Patah Hati. "Namun saat itu kami tidak ingin melihat kau terbunuh."
"Sahabat semua, sesungguhnya aku saat ini sudah mati dalam hidupku. Ki
Tambakpati telah menceritakan apa yang terjadi dengan diriku. Aku kehilangan
kejan- tananku..."
Semua orang tundukkan kepala. Purnama sembunyikan wajah dengan mata berkacakaca. Ratu Duyung kemudian menatap ke luar pintu ruangan. Ada yang menyesalkan
seharusnya Ki Tambakpati tidak perlu cepat-cepat memberitahu pada Wiro atas apa yang terjadi dengan dirinya menyangkut
kejantanannya. Selain itu semua orang yang ada di tempat itu sama bertanya dalam
hati. Mengapa dalam kegembiraan sembuhnya Wiro kini terjadi hal seperti ini"
Purnama usap sepasang matanya yang basah lalu berkata, "Wiro, kami..., maksudku
aku, Ratu Duyung, Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati mengaku bersalah.
Apakah ada cara untuk menebus dosa kesalahan itu?"
"Aku hanya memberitahu bahwa seorang sahabat telah terbunuh. Soal dosa kesalahan
bukan wewenang diriku.
Aku yakin semua ini adalah kehendak Yang Maha Kuasa.
Aku hanya ingin semua ini menjadi pelajaran sangat baik.
Aku ingin kalian tahu bahwa di balik setiap kebenaran itu akan selalu ada apa
yang dinamakan kebijaksanaan.
Seseorang mungkin merasa telah bertindak benar. Padahal jika dia mau berpikir
maka selalu ada apa yang namanya kebijaksanaan di atas kebenaran!"
Semua orang jadi terdiam mendengar kata-kata Wiro itu. Gondoruwo Patah Hati,
Naga Kuning, Ratu Duyung dan Purnama merasa paling bersalah dengan terbunuhnya
Luhkentut. Sementara makhluk tanpa wajah berhasil lolos melarikan diri. Hanya
pakaiannya saja yang terbakar.
Selain itu semua orang melihat ada kelainan pada diri Pendekar 212 dan membuat
mereka bertanya-tanya.
Apakah karena masih belum sempurna kesembuhannya maka Wiro bicara tenang
perlahan seperti itu" Lalu tidak seperti biasanya kali ini Wiro bicara seperti
orang tua memberi wejangan. Apa telah terjadi satu perubahan dalam diri sang
pendekar" Padahal pada saat dia sadar tadi seharusnya dia ingin mencari tahu di
mana dia berada, bagaimana dia bisa sampai di rumah panggung itu dan apa yang
telah terjadi atas dirinya. Sebaliknya Ki Tambakpati dan Setan Ngompol yang
banyak bicara dan memberi tahu keadaan dirinya.
Sementara semua orang tenggelam dalam alam pikiran masing-masing Ki Tambakpati
memecah kesunyian, "Wiro, ketika kami menemui dirimu dan memeriksa keadaanmu,
kami tidak menemukan Kitab Seribu Pengobatan. Kami khawatir kitab itu hilang
lagi..." "Aku telah menyimpan kitab itu di satu tempat." Jawab Wiro.
"Wiro..." kata Ratu Duyung. "Kami semua belum merasa benar-benar lega sebelum
kau mendapat kesembuhan sempurna. Kami ingin kau menceritakan bagaimana kejadiannya sampai dirimu
ditemui Ki Tambakpati di atas bukit, di halaman sebuah candi dalam keadaan
pingsan." "Dari ceritamu," menyambung Purnama. "Kami mungkin bisa menyelidik siapa yang telah berlaku jahat atas dirimu."
"Mudah-mudahan kami juga bisa mencari petunjuk penyembuhan atas penyakit yang
melumpuhkan kejantananmu," menyambung Gondoruwo Patah Hati.
"Aku sudah di sini, kalian sudah menyelamatkan diriku.
Apa masih perlu segala macam cerita dari kejadian yang telah lewat?" bertanya
Pendekar 212. Suaranya perlahan dan tenang saja.
"Wiro, kau pendekar besar! Mengapa menunjukkan sikap seperti tidak punya gairah
hidup lagi" Kalau kau mau bercerita aku yakin ada jalan untuk menyembuhkan
dirimu. Selain itu kami semua ingin sekali mengetahui siapa orang yang telah mencelakai
dirimu. Kalau saja Pangeran Matahari masih hidup pasti dia orangnya. Tapi begundal satu itu sudah mati." Habis
berkata Naga Kuning usap-usap dada Pendekar 212.
Setelah berdiam diri beberapa lamanya akhirnya Wiro mau juga menceritakan apa
yang telah terjadi dengan dirinya. Dimulai ketika dia menolong Raden Ayu
Ambarsari yang diperkosa oleh seorang pemuda mengaku bernama Cakra. Sewaktu
menyeberangi Kali Progo yang arusnya sangat deras, dirinya diserang secara gelap
dengan lima senjata rahasia berupa bunga tanjung. Satu dari lima bunga tanjung
menancap di lehernya hingga dia jatuh pingsan.
"Ketika sadar diriku berada dalam tahanan Kerajaan atas perintah Pangeran Tua
Sena Wirapala. Ternyata Ambarsari adalah cucu Pangeran Tua. Gadis itu ditemui di
tepi Kali Progo dalam keadaan tak bernyawa setelah sebelumnya diperkosa. Aku dituduh memperkosa dan membunuh Ambarsari. Aku tak berdaya membebaskan diri karena Pangeran Tua menotok
tubuhku dengan totokan luar biasa hebat. Kemudian muncul kembaran ke tiga Eyang
Sepuh Kembar Tilu. Dengan menyamar sebagai Eyang Sinto Gendeng nenek itu
berhasil mengeluarkan aku dari penjara. Nenek itu membawaku ke sebuah candi di
puncak bukit. Dia berusaha melepaskan totokan di tubuhku tapi tak berhasil. Entah dari mana datangnya, muncul seorang pemuda
berpakaian hitam, berikat kepala kain merah. Pemuda ini menolong diriku melepas
duabelas totokan yang ada di tubuhku. Ketika pemuda itu pergi aku baru sadar.
Ciri-cirinya sama dengan pemuda yang menurut Ambarsari hendak memperkosanya. Aku dan si nenek berusaha mencari dan
mengejar. Tapi dia lenyap seperti ditelan bumi. Kemudian sesuatu terjadi atas
diriku. Sekujur tubuhku panas seolah berubah jadi bara api. Aku muntah darah
segar. Si nenek berusaha menolong dengan melakukan beberapa totokan. Kemudian dia menemukan sebuah bunga tanjung di bawah
pusarku. Ketika bunga diambil terjadi tiga letusan. Dari bawah perutku melesat
keluar satu hawa kekuatan aneh. Menyambar nenek itu hingga dirinya terpental.
Sebelum pingsan aku ingat satu hal. Waktu itu hujan turun lebat sekali di puncak
bukit." Seperti diceritakan sebelumnya Wiro sama sekali tidak mengetahui apa yang
kemudian terjadi dengan nenek kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu. Di bawah
hujan lebat, dari tubuh nenek itu keluar sebentuk tubuh ramping tinggi semampai
seorang gadis berkulit putih berwajah cantik jelita, berambut hitam sepinggang.
Gadis ini mengenakan kebaya pendek dan celana panjang ringkas berwarna kuning.
Begitu keluar dari tubuh si nenek, di bawah hujan lebat yang tidak membasahi
tubuh serta pakaiannya gadis misterius itu melangkah pergi dan lenyap dari
pemandangan. "Di halaman candi, tak jauh dari tubuhmu tergeletak, aku menemukan sebuah
seruling..." Ki Tambakpati keluarkan sebuah suling perak dari balik pakaiannya dan memperlihatkan pada Wiro.
"Suling itu milik paderi Cina Loan Nio. Diberikan pada si nenek sebelum dia
kembali ke negerinya..." menjelaskan Wiro. "Tolong kau simpan dulu suling itu
Kek." Kejadian selanjutnya diceritakan oleh Ki Tambakpati, mulai saat dia mencari
Sinto Gendeng tapi menemukan Wiro dalam keadaan tak sadar diri di puncak bukit.
Lalu kemunculan Damar Sarka dan Surah Sentono yang tengah mencari jejak madat
lima puluh kati.
"Ketika mereka menyiksa diriku karena mengira aku menyembunyikan madat itu,
paling tidak tahu di mana beradanya, muncul sobatku Setan Ngompol bersama Liris
Biru murid mendiang Hantu Malam Bergigi Perak. Pertengkaran disusul perkelahian tidak terelakkan. Ketika Liris Biru dalam keadaan
terdesak dan terancam jiwanya oleh Damar Sarka, muncul pemuda berpakaian hitam
berikat kepala merah. Pemuda itu membunuh Damar Sarka lalu pergi begitu saja.
Liris Biru ingat ciri-ciri pemuda itu sangat sama dengan orang yang membunuh dan
memperkosa kakaknya. Karena pemuda itu sebelum pergi mengatakan akan menuju Kuto
Gede, Liris Biru mengambil keputusan untuk mengejar ke sana..."
"Aku khawatir akan keselamatan gadis itu. Bisa-bisa dia jadi korban seperti
Liris Merah, kakaknya...!" ucap Setan Ngompol.
"Pemuda berpakaian hitam berikat kepala merah itu, apakah dia memelihara kumis,
jenggot dan berewokan lebat?" tanya Ratu Duyung sambil memandang pada Wiro.
"Betul, tapi kumisnya cuma tipis, jenggot serta berewokannya juga tipis rapi.
Mengapa kau bertanya hal itu. Apakah pernah melihatnya?" Wiro menjelaskan lalu
balik bertanya.
"Sejak kau sakit beberapa kali muncul makhluk gaib tak berwajah berusaha
mencelakaimu termasuk semua kami yang ada di sini. Malam tadi dia muncul lagi,
ber- usaha menembus pagar pengaman yang dibuat oleh anak buahku. Melalui cermin aku
lihat ada seorang pemuda berpakaian hitam berusaha mencegah hingga terjadi
perkelahian. Namun pemuda dalam cermin itu tidak mengenakan ikat kepala merah.
Kumis, janggut serta berewok cambang bawuknya lebat tidak terpelihara."
Sampai saat itu meskipun sudah bicara namun Wiro tetap saja mengarahkan
pandangannya ke langit-langit ruangan.
"Bunga tanjung..." ucap murid Sinto Gendeng.
"Beberapa kali perkosaan dan pembunuhan yang terjadi atas gadis cantik yang aku
dengar, korban selalu ditempeli bunga tanjung di keningnya. Aku roboh dihantam
bunga tanjung di leherku. Aku jatuh sakit karena ada yang menempelkan bunga
tanjung di bawah pusarku. Agaknya bunga tanjung ini merupakan pangkal bahala
dari banyak malapetaka yang terjadi belakangan ini. Termasuk yang menimpa
diriku. Pemuda berpakaian hitam, berikat kepala kain merah dan berkumis tipis
itu, agaknya dia berada di belakang semua ini..."
"Wiro, kau tahu di mana nenek kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu itu
sekarang beradanya?" tanya Ratu Duyung.
"Aku tidak tahu," jawab Wiro. Lalu melanjutkan,
"Mungkin Ki Tambakpati bisa memberitahu karena dia yang pertama kali menemukan
diriku di dekat candi."
"Ketika aku sampai di sana, aku hanya menemui dirimu dan suling ini. Tidak ada
orang lain..." menjelaskan Ki Tampakpati.
"Jika dia lenyap begitu saja, meninggalkan dirimu yang sedang ditimpa
malapetaka, apakah tidak ada kecurigaan mengapa dia berlaku seperti itu?" Yang
berkata adalah Gondoruwo Patah Hati.
"Mengingat begitu banyak pertolongannya atas diriku selama ini, aku tidak
menaruh syak wasangka terhadap nenek satu itu. Kita tidak tahu apa yang terjadi
atas dirinya." Jawab Wiro pula. Lalu murid Sinto Gendeng ini meneruskan katakatanya. "Dua hari lagi jika keadaanku sudah pulih, aku akan menemui guruku di
puncak Gunung Gede. Setelah itu akan mengucilkan diri, mencari tempat yang baik
di puncak gunung itu untuk mulai bertapa. Aku tidak tahu apakah aku akan turun
gunung lagi atau akan menjadi pertapa seumur-umur..."
Ucapan ini tentu saja membuat semua orang terkejut.
"Wiro, kau jangan berputus asa seperti itu." Kata Naga Kuning sambil pegang
lengan Pendekar 212.
"Kalaupun Tuhan mencabut nyawaku saat ini rasanya aku pasrah."
Semua orang jadi merinding mendengar kata-kata sang pendekar. Setan Ngompol
pancarkan air kencing.
"Wiro, ini hanya satu cobaan saja. Setiap cobaan pasti ada akhirnya," kata
Gondoruwo Patah Hati.
"Rimba persilatan masih membutuhkan pendekar
sepertimu. Mengapa kau memilih jadi pertapa?" Ucap Ratu Duyung sambil
memperhatikan air muka Wiro. Dia tidak melihat kalau pendekar ini tengah
bergurau. "Makhluk jahat yang mencelakaimu masih gentayangan di alam bebas..." kata Setan
Ngompol pula. "Aku belum puas sebelum mengencingi mayatnya!"
"Kalau begitu kalian semua keluarlah dari tempat ini.
Aku mau tidur saja..."
Semua orang kini jadi melongo. Naga Kuning pegang lengan Gondoruwo Patah Hati,


Wiro Sableng 154 Insan Tanpa Wajah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menarik nenek ini keluar ruangan. Di luar ruangan si bocah bicara berbisik.
"Aku khawatir Wiro kini benar-benar sudah sableng!
Pikirannya jadi tidak waras gara-gara tahu kalau dirinya tidak jantan lagi.
Memang kasihan. Aku tahu betul, seumur hidup dia belum pernah mempergunakan alat
kejantanan- nya itu..."
"Husss! Orang lagi sakit bicaramu enak saja!" tukas Gondoruwo Patah Hati.
"Aku bicara apa adanya!" jawab Naga Kuning. "Kalau aku jadi dia akan aku coba
dan buktikan dulu. Akan kupergunakan dulu anuku. Apa benar aku kehilangan kejantananku!" "Anak geblek! Kau yang sudah berubah sableng!" maki Gondoruwo Patah Hati lalu
puntir telinga kiri Naga Kuning.
Tapi diam-diam si nenek berpikir dan bertanya-tanya dalam hati. Ucapan Naga
Kuning bisa juga betul. Bagaimana Ki Tambakpati dan Setan Ngompol tahu kalau
Wiro benar-benar telah kehilangan kejantanannya. "Hal itu memang harus
dibuktikan. Kejantanan Wiro harus diuji..." kata si nenek dalam hati sambil
senyum-senyum. "Hai, ada apa kau mesem-mesem?" bertanya Naga Kuning sambil usap-usap kupingnya
yang barusan dijewer dan masih terasa pedas. "Pasti ada pikiran kotor dalam
otakmu!" "Huss! Diam saja kau!" bentak Gondoruwo Patah Hati.
Malam itu hujan turun lebat sekali mencurah bumi.
Udara dingin bukan kepalang. Mungkin karena keletihan, semua orang yang ada di
dalam rumah panggung kepulasan. Dini hari Gondoruwo Patah Hati terjaga lalu membangunkan Naga Kuning.
"Hatiku terasa tidak enak," kata si nenek. Ketika keduanya memasuki ruangan di
mana Wiro berada, mereka dapatkan pendekar itu tak ada lagi di atas ranjang bambu. Seisi rumah
panggung menjadi heboh.
Ratu Duyung memandang berkeliling.
"Tidak semua kita berada di tempat ini. Mana Purnama?" Ucapan gadis bermata biru itu membuat sadar semua orang kalau Purnama
memang tidak ada di tempat itu. "Kurang ajar! Gadis alam roh itu melarikan Wiro.
Paling tidak membujuknya meninggalkan tempat ini! Jauh sebelumnya aku sudah menduga gadis satu ini berhati culas!"
Gondoruwo Patah Hati keluarkan suara keras.
Ratu Duyung ambil cermin sakti. Tenaga dalam dikerahkan ke mata. Dua tangan yang memegang cermin bergetar.
"Aku melihat bayangan Wiro. Di arah barat. Samar tanda sudah jauh sekali
meninggalkan tempat ini."
"Kau juga melihat gadis alam roh bernama Purnama itu?" tanya Gondoruwo Patah
Hati. Ratu Duyung goyang-goyangkan cermin sakti. Lalu menggelengkan kepala. "Tidak
tampak orang lain. Hanya Wiro..."
"Gadis culas itu pasti menggunakan ilmu kesaktiannya untuk menangkal agar tidak
terlihat dalam cermin."
"Kita harus mengejar Wiro. Mungkin dia dalam perjalanan menuju Gunung Gede menemui gurunya. Kita harus mencegahnya untuk menjadi
pertapa. Sebenarnya aku juga harus menuju ke sana karena ada pesan dari Kiai
Gede Tapa Pamungkas untuk menemuinya."
"Aku khawatir..." Naga Kuning tidak meneruskan ucapannya, tapi melihat dulu pada Gondoruwo Patah Hati.
"Kau khawatir apa?" sentak si nenek.
"Aku khawatir Wiro diajak pergi oleh Purnama untuk menguji kejantanannya..."
ucap Naga Kuning pula.
"Anak edan!" maki Gondoruwo Patah Hati lalu jambak rambut jabrik Naga Kuning.
Sementara anak ini meringis dan mengeluh kesakitan Setan Ngompol kucurkan air
kencing habis-habisan! Ki Tambakpati cuma bisa senyum-senyum dan Ratu Duyung
kelihatan merah rona wajahnya.
"Bisa jadi, bisa jadi! Bisa jadi apa yang dikatakan Naga Kuning betul." membatin
Gondoruwo Patah Hati dengan tubuh merinding karena cemburu.
"Nek..." ujar Naga Kuning.
"Apa"!" tanya Gondoruwo Patah Hati agak jengkel.
"Kalau kau..., apa kau mau menguji keampuhan
perabotannya Wiro?"
"Anak setan!" Damprat si nenek sambil mencubit pinggang Naga Kuning hingga anak
ini melintir kesakitan.
TAMAT Episode Berikutnya: SANG PEMIKAT
Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan 1 Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Nona Berbunga Hijau 1

Cari Blog Ini