Ceritasilat Novel Online

Kupu Kupu Giok Ngarai 1

Wiro Sableng 166 Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok Bagian 1


Episode : 166 Ebook dibuat oleh : Hanny Tiraikasih
Scanning buku oleh : Syaugy_ar
KUPU-KUPU GIOK NGARAI SIANOK "Anak gadis. Mulai saat ini namamu Puti Bungo Sekuntum. Julukanmu Ramo-Ramo Giok
Ngarai Sianok atau Kupu-Kupu Giok Ngarai Sianok." Gadis Cina bernama Chia Swie Kim yang
cantik itu tersenyum.
"Terima kasih Datuk. ." Ketika Chia Swie Kim hendak menyambung ucapannya Datuk
Marajo Sati memberi isyarat seraya berbisik.
Ada manusia jahil mendekam di luar sana.
Agaknya sudah sejak tadi dia mencuri dengar pembicaraan kita. Anak gadis, lekas
ubah ujudmu menjadi kupu-kupu giok!"
Dengan cepat Chia Swie Kim merubah diri
menjadi kupu-kupu batu giok berwarna hijau kebiruan. Datuk Marajo Sati ambil
kupu-kupu batu giok itu ialu meletakkannya di daiam sebuah lekukan di dinding
goa sebelah kiri.
SENJA itu angin
dari arah laut bertiup
lebih kencang dari
biasanya. Daun-daun
pohon kelapa mengeluarkan suara gemerisik ber-kepanjangan. Di pondok kayu
kediamannya di satu lereng bukit Sutan Panduko Alam yang baru saja menyelesaikan
shalat Magrib tengah berzikir khidmat ketika hidungnya mencium bau angin yang
mengandung garam. Orang tua ini letakkan tasbih batu hitam di atas pangkuan,
memandang ke arah pintu pondok yang tertutup sambil mengusap janggut seputih
kapas. "Angin dari laut," ucap Sutan Panduko Alam dalam hati. "Tidak pernah angin dari
laut bertiup sampai sejauh ini ke Bukit Melintang. Pertanda apakah yang hendak
diberi tahu oleh alam?"
Perlahan-lahan orang tua berusia hampir delapan puluh tahun ini bangkit berdiri.
Setelah merapikan letak sorban putih berumbai-rumbai benang emas di kepala,
sambi terus mengucapkan zikir dia melangkah ke pintu rumah lalu membukanya.
Begitu pintu pondok terbuka, angin kencang datang menerpa. Janggut panjang serta
jubah putih melambai-lambai.
Sepasang mata si orang tua yang berwarna kelabu menatap berkeliling. Dia tidak
melihat apa-apa selain pepohonan yang menghitam dalam kegelapan serta mendengar
deru angin yang tiada henti.
Sutan Panduko Alam melangkah mundur. Belum sempat dia menutup pintu pondok, di
bawah deru angin yang begitu keras dia mendengar suara kepakan halus.
Lalu ada benda melayang dan kemudian hinggap di tangan kanan itu adalah seekor
kupu-kupu besar.
"Ramo-ramo... Puluhan tahun aku tinggal di sini tidak pernah bertemu dengan
ramo-ramo. Mengapa malam ini tiba-tiba ada seekor ramo-ramo terpesat datang ke
pondok ini?" (Ramo-ramo = Kupu-kupu/bahasa Minangkabau) Sutan Panduko Alam
angkat tangan kanannya agar bisa memandang kupu-kupu itu lebih jelas. Binatang
ini memiliki warna-warni yang luar biasa indah. Kepala bergerak, diangkat
sedikit, dua buah mata yang bagus menatap ke arah si orang tua.
Sutan Panduko Alam tersenyum laiu berkata.
"Mahluk ilahi. Kau pasti datang dari jauh.
Dihempaskan angin ke pondok ini. Kau ingin perlindungan dari angin kencang dan
hawa dingin di luar sana. Aku akan memberikan tempat yang hangat bagimu." Lalu
Sutan Panduko Alam pergunakan tangan kiri hendak membuka sorban di atas kepala.
Namun gerakannya tertahan ketika tiba-tiba dia mendengar suara yang menjawab
ucapannya barusan.
"Orang tua berhati mulia, saya memang butuh perlindunganmu. Tapi bukan dari
dingin dan kencangnya angin. Melainkan dari serombongan orang yang mengejar dan
hendak membunuh saya."
Sutan Panduko Alam sampai terlonjak saking kagetnya. Dia memandang berkeliling.
Barusan dia mendengar jelas suara orang berucap. Suara perempuan. Tapi orangnya
tidak kelihatan. Dia memandang keluar, lalu memperhatikan seputar bagian dari
pondok. "Suaranya jelas tapi orangnya tidak kelihatan.
Gerangan siapakah yang barusan bicara?"
"Orang tua, saya yang bicara. Kupu-kupu besar di tangan kananmu."
Sutan Panduko Alam kembali melengak. Mata yang kelabu semakin besar, tangan
kanan didekatkan ke wajah.
"Mahluk Ilahi ramo-ramo. Allah Maha Besar. Benar kau yang burusan bicara?"
"Benar, orang tua. Tolong cepat-cepat tutupkan pintu. Rombongan orang yang
mengejar saya semakin dekat' Kupu-kupu di tangan kanan Sutan Panduko Alam
kembali berbicara. Suara perempuan bernada sangat ketakutan. Dalam heran yang
tidak terkirakan orang tua itu lakukan apa yang diminta kupu-kupu besar.
Setelah menutup pintu pondok dia bersurut mundur, duduk di tepi tempat tidur
rotan. "Allah Maha Kuasa, berbuat sekehendakNya. Tapi baru kali ini aku melihat ada
kupu-kupu pandai bicara.
Ramo-ramo gadang, katakan kau ini mahluk apa sebenarnya" Mahluk jejadian atau
roh yang tersiksa karena sumpah kutukan" Datang dari mana?" (gadang
= besar) "Orang tua. saya berasal dari negeri sangat jauh di seberang lautan. Negeri
tanah daratan Cina. Ujud saya sebenarnya adalah kupu-kupu terbuat dari batu Giok
berwarna biru kehijauan yang merupakan benda pusaka utama milik Kaisar. Ketika
seorang Pangeran Kerajaan Tiongkok hendak membunuh puterinya karena dituduh
berzlnah..."
Sutan Panduko Aiam memberi Isyarat dengan gerakan tangan kiri agar kupu-kupu
berhenti bicara.
Telinga tajam orang tua ini mendengar suara orang berkelebat di sekeliling
halaman pondok. Dia melirik ke atas sewaktu merasakan ada getaran halus di
wuwungan. "Mereka sudah datang. Orang-orang yang hendak membunuh saya..." Kupu-kupu di
tangan kanan Sutan Panduko Alam bicara dengan suara berbisik. Orang tua itu
bangkit dari tempat tidur, melangkah ke dinding pondok. Melalui lobang kecil dia
mengintai ke luar. Tujuh orang dilihatnya berdiri di halaman depan rumah. Dua
orang yang bertubuh tinggi besar.
bermata besar merah, berbaju dan bercelana galembong hitam, bertampang buas
memelihara kumis melintang, jenggot dan cambang bawuk.
Tangan mereka selain ditumbuhi bulu lebat juga berwarna hitam mulai dari atas
siku sampai ke ujung sepuluh jari termasuk kuku. Di kiri kanan berdiri empat
orang yang dari bentuk tubuh, raut muka, warna kulit serta pakaian pasukan
Kerajaan Cina, menghunus golok besar telanjang. Salah seorang dari mereka
memakai topi terbuat dari besi berwarna merah dihias kaca-kaca bulat berkilat
(galembong = celana hitam berkaki besar)
Setelah memperhatikan ke enam orang itu dengan cepat Sutan Panduko Alam
mengalihkan pandangan pada orang ketujuh yang berdiri di bawah bayang-bayang
gelap pohon besar sambil rangkapkan dua tangan di depan dada Kepala agak
mendongak. Sutan Panduko Alam maklum betul, sikap berdiri seperti ini adalah
sikap orang berkepandaian tinggi yang tengah mementang mata memasang telinga.
Orang ini seorang kakek berjubah hijau mengenakan blangkon yang juga berwarna
hijau berbunga-bunga putih.
Waiau yang bisa dilihatnya hanya tujuh orang namun Sutan Panduko Alam tahu
betul, paling tidak ada dua orang di atas atap dan beberapa orang lagi di
samping kiri dan kanan dan bagian belakang pondok.
"Duo Hantu Gunung Sago," ucap Sutan Panduko Alam dalam hati menyebut nama dua
orang lelaki berpakaian serba hitam bertampang seram. "Kalian masih berkeliaran
di nagari alam terkembang membawa orang-orang asing dari Cina, berteman seorang
pandai berbiangkon hijau dari tanah jawa.
Hanya untuk memburu seekor kupu-kupu betina.
Gerangan rahasia apa yang ada dibaiik semua kejadian ini."
Dari lubang tempat mengintai Sutan Panduko Alam melihat kakek berjubah dan
berbiangkon hijau mengucapkan sesuatu sambil tangan kanan digerakkan memberi
aba-aba. Dua lelaki berpakaian hitam yang disebut Dua Hantu Gunung Sago segera melompat
ke depaan rumah. Empat orang asing menebar. Yang memakai topi besi merah
melangkah lebih dulu. Kakek berjubah hijau tidak beranjak dari bawah pohon.
Sutan Panduko Alam dengan cepat menanggalkan sorban putih di atas kepala. Kupukupu besar dimasukkan ke dalam gulungan sorban seraya berkata.
"Ramo-ramo mahluk ilahi. Jika sesuatu terjadi denganku maka sorban Ini akan
membawamu terbang ke tempat yang aman..." Lalu Sutan Panduko Alam letakkan
sorban di atas tempat tidur.
Pada saat itu braaakk!
Pintu pondok terpental jebol.
Dua Hantu Gunung Sago melesat masuk disusul empat orang Cina berpakaian pasukan
Kerajaan. Atap ijuk amblas. Dua orang melayang turun. Satu membekal pedang, seorang lagi
menghunus keris.
Sementara itu bagian belakang pondok juga telah didobrak dan dua orang
menghambur masuk yang ternyata adalah dua nenek berambut putih panjang tapi
jarang dan sama-sama bergigi perak. Yang satu berhidung mancung. Lainnya
berhidung pesek.
Walau semua kejadian itu dihadapi dengan tenang, namun melihat dua nenek yang
kini berada dalam pondok mau tak mau bergetar juga hati Sutan Panduko Alam. Dua
nenek ini di pulau Andalas dikenal dengan julukan Si Kamba Tangan Manjulai yang
berarti Si Kembar Tangan Panjang. Seperti julukannya dua nenek kembar ini memang
memiliki sepasang tangan luar biasa panjang hingga ujung-ujung jari mereka
hampir menyentuh lantai.
"Banyak tamu agung tidak terduga mengunjungiku.
Sungguh satu kehormatan besar. Sebagai tuan rumah aku ingin bertanya. Gerangan
maksud apa hingga datang malam hari beramai-ramai pula?"
"Sutan Panduko Alam, kami datang dari jauh, membawa empat tamu dari daratan
Tiongkok. Kami membawa urusan sangat penting. Kami tidak ingin datang dengan
sia-sia..." yang bicara adalah salah seorang dari Duo Hantu Gunung Sago, yang
berdiri di hadapan sebelah kanan bernama Si Kalam langit, memiliki muka hitam
legam. "Maksud belum disampaikan sudah menyebut sia-sia.
Hantu Gunung Sago, katakan apa keperluanmu dan semua orang yang kau bawa ke
tempat ini."
"Kami mencari sesuatu. Sesuatu itu kami ketahui masuk ke dalam pondokmu ini."
Kali ini yang bicara adalah salah seorang dari Si Kamba Tangan Manjulai.
Dia diberi nama tambahan Si Kamba Pesek Tangan Manjulai karena memang memiliki
hidung pesek hampir sama rata dengan pipi.
Sutan Panduko Alam tersenyum.
"Kalian semua bicara setengah berteka-teki.
Sahabat lamaku Si Kamba Tangan Manjulai, katakan apa yang kau maksudkan dengan
sesuatu itu. Seekor katak, ular berbisa atau sebangsa mahluk halus jejadian.
Atau mungkin juga seorang maling yang telah mencuri barang berharga milik
kalian." Orang Cina berpakaian pasukan Kerajaan yang mengenakan topi besi merah tampaknya
tidak sabaran. Dia berteriak mengatakan sesuatu sambil mengacungkan golok besar.
Hantu Gunung Sago yang berdiri di samping kiri Sutan Panduko Alam bernama Si
Batu Bakilek (Si Batu Berkilat) karena memiliki kepala botak plontos berkilat,
mengangkat tangan memberi tanda agar si orang Cina berlaku tenang.
Laiu dia melangkah mendekat Sutan Panduko Alam.
Tangan kiri diletakkan di atas bahu orang tua itu, dialiri tenaga dalam tinggi
hingga memiliki bobot seperti sebuah batu sebesar rumah. Sadar orang tengah
menjajal yang bisa membuat tubuhnya remuk sebelah, Sutan Panduko Alam membalas
dengan tenaga dalam yang mengeluarkan hawa lembut. Saat itu juga tangan kiri
Hantu Gunung Sago seperti ditepiskan ke samping. Karena mengerahkan tenaga besar
tubuhnya nyaris terperosok ke depan.
"Sahabatku Hantu Gunung Sago Batu Bakilek, apakah kau belum makan dari pagi" Kau
kelihatan lemah, hampir jatuh tergelimpang," kata Sutan Panduko Alam
mempercandai orang.
Diejek seperti itu si tinggi besar berkepala botak ini menggembor marah. Tinju
kanannya laksana kilat menyambar ke muka Sutan Panduko Alam. Cahaya hitam
membersit dari tangan kanan yang memukul pertanda pukulan mengandung kekuatan
yang mematikan. Di saat yang sama orang Cina bertopi merah bacokkan besarnya, Juga
mengarah kepala si orang tua.
" YANG dicari belum
bertemu. Mengapa mau
membunuh orang yang
tahu?" Dua tangan panjang bergerak luar biasa cepat menangkis serangan yang dilancarkan
Hantu Gunung Sago Batu Bakilek dan orang Cina bertopi merah hingga membuat kedua
orang itu terjajar. Yang menangkis serangan ternyata adalah Si Kamba Tangan
Manjulai yang memiliki hidung mancung, dikenal dengan nama julukan Si Kamba
Mancuang Tangan Manjulai (Si Kembar Manoung Tangan Panjang). Dia juga yang tadi
keluarkan ucapan sebelum bergerak.
Hantu Gunung Sago kepala botak dan orang Cina berpakaian pasukan Kerajaan
Tiongkok berteriak marah. Si nenek mancung tidak perduli dia memutar tubuh
menghadap ke arah Sutan Panduko Alam.
"Aku orang yang tidak suka bicara berteka teki seperti katamu tadi. Aku bertanya
langsung padamu.
Seekor kupu-kupu besar masuk ke dalam pondokmu.
Sekarang katakan dimana kau sembunyikan binatang itu"
Sutan Panduko Alam unjukkan wajah tercengang lalu gelengkan kepala sambil
keluarkan suara berdecak berulang kali.
"Sutan Panduko, jangan berpura-pura. Jika kau tidak memberi tahu, lihat saja apa
jadinya. Kau sudah terkurung. Aku tidak akan menyelamatkan nyawamu untuk kedua
kalinya!" "Sahabat lama, terima kasih kau mau berbaik hati menolongku. Jadi kau dan yang
lain-lain datang beramai-ramai ini tengah mencari seekor kupu-kupu.
Sungguh lucu. Lebih lucu lagi karena aku tidak pernah tahu kalau ada kupu-kupu
masuk ke dalam pondokku."
"Urang Siak! Kau berdusta!" Bentak Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai. (Urang
siak = Orang alim) Sutan Panduko Alam tertawa Dalam hati orang tua ini berkata
"Berdusta untuk menyelamatkan nyawa mahluk ilahi apa dosanya" Berdusta terhadap
orang-orang berbusuk niat seperti kalian apa haramnya?"
"Sutan Panduko, lebih baik kau memberi tahu dimana kau sembunyikan ramo-ramo
besar itu. Kalau tidak kami akan membakar pondok ini" Yang bicara mengancam
adalah seorang lelaki muda berpakaian dan destar merah, memegang kens bertuah.
Sutan Panduko Alam mengenali orang ini adalah tokoh silat yang punya julukan
Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. (Pendekar Bumi Langit Dari Sumanik) Ilmu silat
orang ini luar biasa berbahaya. Bisa memukul remuk kepala atau mencabik muka dan
menjebol tubuh lawan dalam sekali gebrakan saja. Konon ilmu silat yang dimiliki
sang Pendekar dikenal dengan nama Sitaralak.
"Buruk nian nasibku hari ini. Banyak sahabat lamo yang datang aku harap kita
bicara berelok-elok beriang-riang. Ternyata datang membawa ancaman."
Sutan Panduko Alam memandang berkeliling. Lalu lanjutkan ucapan. "Agaknya pondok
buruk Ini terlalu sempit untuk bercakap-cakap. Lebih baik kita melanjutkan
bicara di halaman."
Sehabis keluarkan ucapan Sutan Panduko Alam tiup pelita di dalam ruangan lalu
melesat ke pintu.
Dua Hantu Gunung Sago Si Kalam langit coba menghalangi tapi terpental kena
sambaran sikut si orang tua. Selain mencari tempat yang jebih leluasa jika orang
sekian banyak menyerang dirinya. Sutan Panduko Alam juga tidak ingin orang-orang
Itu mengetahui keberadaan kupu-kupu besar yang tergulung dalam sorbannya dan
saat itu berada di atas tempat tidur rotan.
Hanya sesaat setelah Sutan Panduko Alam injakkan kaki di halaman depan pondok
kediamannya, dua belas orang sudah mengelilinginya termasuk kakek berjubah dan
berbelangkon hijau yang sejak tadi tetap berdiri tak bergerak di bawah pohon
besar. Kini setelah Sutan Panduko Alam berdiri di halaman, kakek ini melangkah
mendatangi. "Sutan Panduko Alam. namaku Ki Bonang Talang Ijo.
aku seorang sahabat datang dari satu tempat bernama Kuto Gede di pulau Jawa.
Terima salam hormatku!"
Habis keluarkan ucapan kakek ini usap mukanya hingga saat itu juga berubah
menjadi hijau termasuk sepasang mata. Selesai unjukkan kehebatan, dia susul
menggerakkan badan membungkuk sambil tangan kanan dilambaikan.


Wiro Sableng 166 Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gerak yang dibuat orang menimbulkan angin halus yang menggetarkan tubuh Sutan
Panduko Alam dan memerihkan mata. Cepat-cepat orang tua ini membalas
penghormatan Ki Bonang Talang Ijo.
"Sahabat yang datang dari tanah Jawa. terima kasih balas salam dan
penghormatanku. Sayang kau dan orang-orang ini tidak memberi tahu kedatangan
lebih dulu." Sambil membungkuk Sutan Panduko Alam geserkan sedikit telapak kaki
kanannya. Tanah bergetar, gerakan menjalar masuk menyentuh dua kaki Ki Bonang
Talang ijo hingga kakek itu sesaat merasa dua kakinya seperti lumpuh.
Sambil tersenyum dan batuk-batuk Ki Bonang Talang ijo luruskan tubuh lalu
berkata. "Sutan Panduko Alam. aku tidak menginginkan pondokmu dibakar orang, apalagi
melihat dirimu sampai celaka. Aku meminta dengan sangat dan segala hormat agar
kau menyerahkan kupu-kupu besar yang terpesat masuk ke dalam pondokmu."
Sutan Panduko Alam menyadari jika pecah
pertarungan dia tidak akan mungkin menghadapi sekian banyak musuh. Namun
menyerahkan apa yang diminta orang diapun tidak sudi. Melindungi mahluk Ilahi
yang datang meminta tolong bagi keselamatan jiwanya adalah kewajiban setiap
orang termasuk dirinya. Maka Sutan Panduko Alam lantas menjawab.
"Sahabat, soal bakar membakar memang tidak layak dilakukan. Apa lagi perihal
celaka mencelakai sesama insan Ilahi. Aku katakan padamu bahwa tidak ada kupukupu yang terpesat masuk ke dalam pondokku. Puluhan tahun aku menetap di sini.
daerah ini tidak pemah adaramo-ramo atau kupu-kupu yang kau sebut itu."
Ki Bonang Talang Ijo tersenyum. Dia memandang pada orang-orang sekeliling lalu
kembali berpaling pada orang tua di hadapannya
"Sutan Panduko Alam. Malam yang dingin, kau tidak mengenakan sorban. Sungguh
diluar kebiasaan..." Ki Bonang melangkah lebih dekat. Lalu setengah berbisik dia
berkata. "Aku tahu dimana kau menyembunyikan kupu-kupu itu!"
Begitu ucapannya selesai Ki Bonang Talang Ijo melompat ke udara melewati Sutan
Panduko Alam lalu melesat ke arah pondok. Sutan Panduko Alam berusaha
menghalangi namun sebelas orang serentak menyerbu dirinya. Duo Hantu Gunung Sago
menyerang di depan sekali, menyusul empat orang Cina dari samping kiri dan
kanan. Si Kamba Tangan Manjulai untuk beberapa lama hanya memperhatikan sambil
tertawa-tawa sementara Pendeka Langit Bumi Dari Sumanik bersama beberapa orang
lainnya menggempur dari arah belakangi
Sutan Panduko Alam putar tasbih batu hitam di tangan kanan.
"Traang...traang!"
Dua golok mental ke udara. Salah seorang penyerang berpakaian pasukan Kerajaan
Cina terpental lalu tergelimpang pingsan.
"Breetttl"
Jubah putih Sutan Panduko Alam robek di bagian punggung dimakan mata keris salah
seorang penyerang.
Darah mengucur dari luka memanjang.
"Membunuh pantangan orang Muslim. Memper-tahankan diri membela kebenaran
menghancurkan kemungkaran adalah kewajibanl" Sutan Panduko Alam keluarkan
teriakan lantang. Tasbih batu hitam di tangan kanan menderu.
"Wuttt!"
Selarik sinar hitam bertabur. Satu jeritan membelah langit malam. Penyerang yang
memegang keris dan dikenal dengan nama Datuk Mangkuta Karth Babegah terkapar di
tanah dengan kepala hancur.
Sutan Panduko Alam mengamuk laksana banteng terluka. Seorang lagi yakni Duo
Hantu Gunung Sago Batu Bakilek menggerung keras ketika tangan kanannya remuk
dihajar tasbih batu hitam.
Bagaimanapun kehebatan Sutan Panduko Alam
namun menghadapi sekian banyak musuh walau dia memiliki tingkat kepandaian ilmu
yang disegani di seluruh Nagari ranah Minang, setengah pertarungan tak seimbang
berlangsung empat jurus, SI Kamba Pesek Tangan Manjulai berhasil menelikung
tubuh orang tua itu dari belakang dengan kedua tangannya yang panjang, melilit
laksana lilitan dua ular besar.
Sutan Panduko Alam keluarkan gerak ilmu Burung Balam Mengepak Sayap. Dua sikut
terlepas dari tangan yang melilit lalu menghantam ke belakang.
"Kraakkl Kraakkl"
Tiga tulang rusuk SI Kamba Pesek Tangan
Manjulai kiri kanan berderak patah. Nenek ini menjerit setinggi langit. Lepaskan
lilitan dua tangannya dari tubuh Sutan Panduko Alam, terhuyung-huyung beberapa
langkah lalu roboh terjengkang di tanah dengan mulut membusah darah!
Walau lolos dari telikungan lawan namun keadaan Sutan Panduko Alam tidak
tertolong lagi. Orang tua ini menjadi bulan-bulanan jotosan, tendangan, tusukan
dan bacokan yang datang dari berbagai jurusan termasuk serangan pengecut dari
arah belakang! Orang tua ini akhirnya tergeletak tak bernyawa di tanah, kepala dan wajah tidak
berupa lagi, tubuh penuh luka bergelimang darah. Jubah putih telah berubah
merah! KI BONANG Talang
Ijo usap kedua matanya
dengan telapak tangan
.kiri. Walau keadaan di dalam pondok gelap gulita usapan tangan tadi membuat dia
kini bisa melihat jelas di dalam gelap. Benda yang dicari segera membentur
pandangannya. Terletak tergulung di atas tempat tidur rotan.
"Sutan tolol! Hanya untuk seekor kupu-kupu yang tidak ada gunanya bagimu kau
sampai mau-mauan mati percuma!"
Sambil menyeringai Ki Bonang melangkah cepat mendekati tempat tidur.
"Kupu-kupu Giok. Aku tahu kau ada dalam gulungan sorban putih berumbai-umbai
benang emas. Hanya satu jengkal lagi tangan kakek ini akan menyentuh sorban,
tiba-tiba sorban melesat ke udara. Kaget Ki Bonang bukan kepalang. Dengan cepat
dia melompat ke atas, tangan menyambar tapi lagi-lagi luput
"Sorban keparat! Roh jahanam apa yang membuat kau bisa melesat ke udara! Biar
aku hancurkan kau sekalian bersama kupu-kupu itu!"
Tapi Ki Benang ingat, jangankan membunuh, melukai kupu-kupu itu saja dia tidak
boleh melakukan. Itu pesan Teng Sien, Perwira Muda pasukan Kerajaan Cina bertopi
besi merah yang jadi pimpinan rombongan pengejar kupu-kupu. Maka dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh kakek ini kembali berkelebat ke atas .
berusaha menyambar sorban yang melayang.
Gerakan Ki Bonang memang luar biasa cepat. Dia berhasil menangkap salah satu
ujung sorban yang terjulai. Namun seperti hidup sorban menyentak diri hingga
brettl. Ujung sorban robek putus.
" Ki Bonang Talang Ijo berteriak penasaran. Kembali kakek ini membuat gerakan
menyambar. Namun sekali ini sorban yang melayang di udara menyusup ke bawah lalu
plaakk! Ujung sorban yang robek mendarat di kening hijau Ki Bonang hingga kakek
ini terpental. Kepala terasa sakit, pemandangan berkunang.
"Jahanam kurang ajari" Dalam marahnya Ki Bonang tidak perduli lagi apakah dia
akan melukai atau membunuh kupu-kupu yang dipastikannya berada dalam gulungan
sorban. Ketika sorban putih melesat ke atas, melewati lobang jebolan di atap
ijuk, Ki Bonang segera melesat mengejar sambil tangan kanan digerakkan dalam
melepas jurus pukulan sakti bernama Di Atas Awan Menyergap Rembulan.
Serangkum cahaya hijau berkiblat keluar dan ujung jari tangan kanan Ki Bonang,
menebar menjadi lima larikan yang bergulung-gulung lalu dengan cepat menelikung
sorban putih yang melesat di udara malam.
Walau dalam keadaan terjerat sorban putih yang seolah hidup tiba-tiba pancarkan
cahaya terang menyilaukan.
"Brett!"
Untuk kedua kalinya sorban putih Sutan Panduko Alam robek dan putus. Kali ini
pada sepertiga panjang.
Robekan melayang jatuh ke atas atap, sisanya yang masih setengah tergulung
melesat ke udara. Ketika KI Bonang Talang Ijo sampai di atap pondok sorban telah
melesat jauh ke arah timur.
Ki Bonang Talang Ijo hanya bisa kepalkan tangan dan hentakkan kaki hingga atap
bangunan berderak roboh. Lalu si kakek melayang turun ke tanah sambil berteriak
memberi tahu pada orang-orang yang ada di halaman.
"Lolosl Kupu-kupu batu Giok Itu lolos dalam gulungan sorban "
Teng Sien, orang Cina bertopi besi merah berteriak marah. Lalu memaki-maki
sambil bantingkan golok besar hingga amblas masuk ke dalam tanahl
"Kita harus cepat mengejarl" Kata Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.
"Percuma, tidak akan terkejar," kata KI Bonang Talang Ijo sambil mengusap
wajahnya hingga mukanya yang tadi hijau kini berubah ke warna asal. Keningnya
yang bekas dihantam ujung sorban tampak kemerah-merahan.
"Paling tidak kita harus mencari tahu kemana sorban membawa kupu-kupu itu." Ucap
Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam langit sambil pegang. sobatnya Si Batu Bakilek
yang tangan kanannya hancur dihantam tasbih hitam Sutan Panduko Alam
"Malam ini aku akan batarak," kata Si kamba Mancuang Tangan Manjulai walau sibuk
menolong saudaranya Si Pesek yang patah tulang iga kiri kanan.
(batarak = bersamadi) "Kita harus mencari tahu kemana sorban itu membawa kupukupu giok."
Si Kamba Pesek Tangan Manjulai meludah ke tanah.
Ludahnya masih mengandung darah. Tampangnya tampak angker ketika berkata.
"Persetan dengan kupu-kupu giok dan sorban jahanam itu. Yang penting kalian
harus menolong diriku dulu sampai sembuhl" Lalu dia berpaling pada Teng Sien dan
tiga anak buahnya. "Cino cino keparat ini, suruh saja mereka kembali ke
negerinya. Gara- gara mereka mencari kupu-kupu setan itu aku jadi
sangsaro begini" (sangsaro = sengsara)
"Saudaraku," kata Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai setengah berbisik. "Kita
tidak bisa berbuat begitu. Kita semua sudah menerima pembayaran satu peti
batangan emas dari mereka. Kita akan mem-peroleh satu peti lagi jika berhasil
mendapatkan kupu-kupu giok itu. Kau sabar dan tenang sajalah. Aku dan para
sahabat pasti akan merawatmu. Kau akan sembuh dalam waktu cepat..."
"Kupu-kupu giok, kupu-kupu giokl" cemberut Si Kamba Pesek Tangan manjulai dengan
suara meradang.
"Mengapa bukan si Giok gapuak anak gadis Taci Lim di Kampung Cino saja yang
mereka cari. Kupu-kupu... Bikin aku susah sajal" (gapuak = gemuk) (Taci = bibi)
Si Kamba Mancuang tertawa cekikikan. Ditepuk-tepuknya pipi kempot Si Kamba
Pesek. "Kau ini ada-ada saja. Kupu-kupu gaib Itu jangan kau samakan dengan nona
gendut berwajah tambun di Kampung Cino Hik..hik..hik."
Tak selang berapa lama semua orang meninggalkan tempat itu turun dari Bukit
Malintang. Mereka berjanji akan berkumpul di satu tempat di Muko-Muko sehari
kemudian. Ki Bonang Talang Ijo berjalan di sebelah belakang sambil menimang-nimang tasbih
batu hitam milik Sutan Panduko Alam yang ditemuinya tercampak di tanah.
Kakek sakti dari tanah Jawa ini yang pertama sekali meninggalkan rombongan,
melanjutkan perjalanan ke arah timur. Sementara dua nenek SI Kamba Tangan
Manjulai mencari dangau untuk bermalam. Seperti yang dikatakannya setelah
mengobati saudaranya Si Kamba Mancuang kemudian melakukan tarak (samadi) di satu
tempat yang sunyi tak jauh dari dangau, berusaha mencari petunjuk dimana
sekarang beradanya kupu-kupu giok. Dia menemukan sebatang pohon besar lalu
melompat ke salah satu cabang dan melakukan tarak (samadi) dengan cara berjuntai
yaitu dua kaki digelungkan di cabang pohon, rubuh dan kepala bergantung ke arah
tanah. Dua tangan yang panjang melilit seputar badan mulai dari pinggang sampai
ke dada. SUARA alunan arus
sungai Batang Sianok
terdengar lembut sejuk
di telinga pada malam yang sunyi itu. Langit di pertengahan malam bersih berhias
bintang gumintang.
Di tepi ngarai seorang pemuda berpeci hitam mengenakan baju dan celana panjang
putih berjalan sambil meniup puput, alat bebunyian sederhana yang ditiup dan
mudah dibuat dari batang padi.
Rambut yang panjang menjulai bahu melambai-lambai di tiup angin. Sambil meniup
puput matanya tidak lepas dari memperhatikan sungai dan Ngarai Sianok yang
tampak sangat indah dibawah terangnya cahaya dari atas langit.
Entah lagu apa yang dikumandangkan pemuda itu namun tiba-tiba dia berhenti
meniup puput. Matanya melihat sebuah benda putih melayang di udara malam.
Oia terus memperhatikan. Benda putih berputar dua kali di atas ngarai lalu
melayang ke arah tebing sebelah timur dan lenyap dari pemandangan.
"Benda putih tadi. Apakah ada sangkut pautnya dengan perintah Datuk menyuruhku
datang dan berjaga-jaga di sekitar Ngarai Sianok Ini?" Si pemuda berucap dalam
hati. "Sayang Datuk tidak terlalu banyak menjelaskan. Beliau mengatakan akan
terjadi satu peristiwa besar di ranah Minang dan aku diminta menyelidiki
sendiri." Setelah berpikir sejenak pemuda berpeci hitam segera melompat ke atas satu
gundukan batu, berpindah ke gundukan lain lalu melesat ke satu batu tinggi
berbentuk tonggak. Dari sini dia terus melompat ke dinding ngarai sebelah timur
yang merupakan batu keras berseilmut lumut yaitu ke arah mana tadi lenyapnya
benda putih yang melayang di udara malam. Dari caranya melompat dan melesat
laksana terbang jelas pemuda berkopiah hitam ini memiliki ilmu kepandaian yang
bukan sembarangan. Di Ranah Minang, terutama daerah luas yang dikenal dengan
Lunak Nan Tigo hanya yang disebut kaum Pandeka atau para tuo-tuo Nagari berilmu
kesaktian tinggi saja yang mampu melakukan hal itu. (Pandeka = pendekar)
"Dinding batu semua." Ucap si pemuda sambil menyentuh lamping ngarai di depan
mana dia berdiri.
"Kemana lenyapnya benda putih tadi" Tak mungkin masuk menembus dinding ngarai."
Cukup lama memperhatikan akhirnya pemuda ini memutuskan untuk menerapkan ilmu
yang mampu melihat jauh menembus halangan. Begitu ilmu diterapkan mendadak
kepalanya tersentak ke belakang. Tubuh bergoncang. Dua kaki hampir terpeleset di
lamping ngarai yang terjal dan licin.
"Ada kekuatan aneh menghalangi ilmuku..." ucap si pemuda dalam hati. Tapi diamdiam dia merasa gembira karena kekuatan itu bersumber pada satu tempat di tebing
ngarai dan berarti benda putih yang tadi dilihatnya juga pasti berada di sekitar
itu. Perlahan-lahan pemuda ini melangkah sepanjang tebing ngarai hingga akhirnya
dia menemukan sebuah lobang besar merupakan mulut sebuah goa. Sesaat hatinya
bimbang. Tadi ada kekuatan aneh menghalangi. Sekarang kalau aku masuk ke dalam goa lalu
ada harimau campa atau ulat besar yang menunggu bisa celaka diriku," pikir si
pemuda. Maka setelah lebih dulu mengerahkan tenaga dalam dan membekal satu
pukulan sakti di tangan kanan dia kemudian masuk ke dalam goa.
Ternyata goa itu cukup panjang. Lorong di dalamnya berliku liku dan mendaki.
Namun ada satu keanehan.
Semakin jauh ke dalam keadaan di goabukan bertambah kelam tapi malah menjadi
lebih terang. Di satu bagian goa si pemuda hentikan gerakan kakinya.
Sejarak sepuluh langkah di depan sana dia melihat lantai, dinding dan atap goa
membentuk pintu menyerupai pintu sebuah mesjid. Penuh ukiran mengagumkan serta
dikelilingi tulisan dari rangkaian huruf Arab yang indah. Dari belakang pintu
yang tidak berdaun itu keluar satu cahaya terang. Pemuda berkopiah hitam
berpakaian serba putih melangkah mendekati pintu. Namun gerakannya tertahan
ketika lapat-lapat dia mendengar suara orang bercakap-cakap. Satu lelaki lainnya
perempuan. Dari pendengarannya yang tajam dia bisa mengetahui suara lelaki
adalah suara seorang tua sedang yang perempuan agaknya masih muda belia.
Setelah menunggu sebentar, dari tegak berdiri si pemuda kini berjongkok, lalu
perlahan-lahan tanpa suara dia menggeser dua kaki, beringsut ke arah pintu
berukir. *** SEPERTI yang dikatakan Sutan Panduko Alam pada kupu-kupu besar yang ada di dalam
gulungan sorban putih, begitulah kejadiannya. Ketika Ki Bonang Talang Ijo siap
hendak mengambil sorban tiba-tiba sorban putih itu melesat ke udara. Walau
sampai dua kali sempat disambar oleh si kakek dan dua kali pula mengalami robek
namun sorban secara gaib masih bisa lolos dan melesat keluar lewat lobang besar
di atap pondok lalu melayang ke arah timur.
Di dalam goa di salah satu dinding Ngarai Sianok, Datuk Marajo Sati baru saja
selesai melakukan sembahyang tengah malam, sembahyang Tahajjud dan masih duduk
bersila membaca berbagai doa bagi keselamatan diri dan ummat Nagari ketika tiba
tiba dia mendengar ada suara berdesing memasuki goa.
"Bukan suara hewan bukan juga burung gerangan apakah yang melayang masuk ke
dalam tempat kediamanku ini?" Datuk Marajo Sati yang berusia enam puluh tahun
itu segera hendak meluruskan kaki lalu berdiri. Namun sekonyong-konyong melayang
sebuah benda putih dan jatuh tepat di atas pangkuannya.
Sang datuk mengucap terkejut mengusap wajah dan janggut putih lalu memperhatikan
dengan mata tak berkesip pada benda yang tergulung di pangkuannya.
Sebuah sorban putih berumbal-rumbal benang emas yang salah satu ujungnya sobek.
"Atagafirullah, aku seperti mengenali sorban Ini."
Ucap Datuk Marajo Sati dalam hati. Ketika dia .
mengulurkan tangan kanan hendak menyentuh sorban, tangannya jadi.tersurut Karena


Wiro Sableng 166 Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendadak dari balik gulungan sorban putih bergerak keluar seekor binatang.
Semula Datuk Marajo mengira seekor burung. Tapi setelah binatang Ini
merentangkan empat sayap ternyata seekor kupu-kupu besar berwarna indah sekali.
Binatang ini perlahan-lahan bergerak dan berhenti di atas pangkuan kiri sang
Datuk. "Allah Maha Besar. Sebuah sorban dan seekor ramo-ramo dikirimkan Allah kepadaku.
Apa artinya ini?"
Datuk Marajo Sati ambil gulungan sorban di pangkuannya lalu dibuka dan
diperhatikan. Mata kemudian dipejam dan kepala ditengadah.
"Ya Allah, mengapa hati saya mendadak tidak enak"
Sorban cabik berumbai benang emas seperti ini, hanya ada satu orang yang
memiliki yaitu sahabat dan kakak saya Sutan Panduko Alam yang diam di Bukit
Malintang di pesisir barat Lunak Agam. Mengapa hanya sorban yang sampai pada
saya" Dlmana sahabat saya itu" Apa yang terjadi dengan dirinya" Lalu terbungkus
di dalam sorban ada seekor ramo-ramo rancak. Apa artinya ini"
Ya Allah, beri saya petunjuk." (rancak = bagus, elok) Datuk Marajo San* lalu
cium sorban putih berulang kali. Kemudian dia ulurkan tangan mengusap kupu-kupu
di paha kirinya. Kupu-kupu ini tundukkan kepala beberapa kali lalu terbang ke
atas sebuah gundukan batu berbentuk meja di samping kanan goa.
"Orang tua, saya mahluk tidak berdaya. Saya mohon pertolongan dan perlindungan."
"Hai. siapa yang bicara?" Datuk Marajo Sati terkejut. Sorban putih yang
dipegangnya sampai terlepas jatuh ke pangkuan. Mata menatap ke atas batu. "Ramoramo rancak, kaukah yang barusan berkata-kata"'
"Betul sekali orang tua. Memang saya yang barusan bicara. Maafkan saya kalau
membuatmu terkejut"
Kupu-kupu di atas batu menjawab, membuat Datuk Marajo Sati terpana beberapa
ketika. "Allah Maha Besar. Kalau tidak dengan kehendakNya tidak mungkin seekor binatang
sepertimu pandai bicara. Beri tahu diriku, apakah kau ini binatang benaran,
mahluk jejadian atau sebangsa hantu pelayangan. Bagaimana kau bisa berada di
dalam gulungan sorban milik Sutan Panduko Alam dan terbang ke sini. Apa yang
terjadi dengan Sutan Panduko Alam, dimana saudaraku sekarang?"
"Orang tua, kalau boleh saya bercerita akan saya sampaikan asal muasal keadaan
diri saya. Juga akan saya beri tahu apa yang terjadi dengan sahabatmu, laiu
bagaimana saya bisa melayang terbang bersama sorban itu ke tempat Ini..."
"Katakan... ceritakan padaku." Kata Datuk Marajo Sati pula.
"Orang tua, saya berasal dari tanah leluhur negeri Cina. Ujud saya sebenarnya
adalah sebuah kupu-kupu batu giok berwarna antara biru dan hijau dan merupakan
benda pusaka utama milik Kerajaan yang harus berada di tangan Kaisar sebagai
salah satu syarat syahnya menduduki tahta Kerajaan..."
"Aku mendengar, tapi ada yang aku tidak mengerti."
Datuk Marajo Sati memotong ucapan kupu-kupu giok di atas batu. "Jika kau adalah
sebuah batu giok, bagaimana mungkin mungkin bisa bicara. Lalu jika kau berasal
dari negeri Cina bagaimana mungkin kau bisa bicara berbahasa anak negeri Ini?"
"Orang tua, ada satu kejadian besar di negeri leluhur saya. Seorang puteri
Pangeran dituduh telah berbuat zinah dengan kekasih puterinya. Ketika Pangeran
hendak membunuh pula puteri darah dagingnya sendiri Yang Maha Kuasa menolong.
Puteri pangeran dirubah menjadi angin lalu dimasukkan ke dalam kupu-kupu giok
pusaka Kerajaan. Kupu-kupu ini bisa menjelma menjadi kupu-kupu besar seperti yang kau
saksikan saat ini..."
"Kalau begitu ceritanya berarti kau adalah puteri Pangeran yang malang itu."
"Benar sekali orang tua..."
Datuk Marajo Sati tercengang. Untuk beberapa lama dia tidak bisa mengeluarkan
ucapan. SETELAH mengusap
janggut pendeknya,
Datuk Marajo Sati
bertanya. "Lalu bagaimana kau bisa bicara bahasa orang di sini?"
"Akan saya ceritakan. Tapi biar saya lanjutkan kisah nasib diri saya selagi
masih di negeri leluhur." Jawab kupu-kupu giok pula. "Setelah tahu diri saya
masuk ke dalam kupu-kupu batu giok. Pangeran memerintahkan pasukan mencari dan
mengejar saya. Pangeran mau mengeluarkan hadiah besar asal saya bisa ditangkap
dan kupu-kupu giok ditemukan kembali. Dalam ujud kupu-kupu saya sampai di ujung
daratan, di satu pelabuhan. Karena tidak tahu mau lari kemana lagi saya masuk ke
dalam sebuah kapal besar. Kapal itu ternyata berlayar ke negeri beribu pulau di
selatan, berlabuh di satu daratan yang disebut tanah Jawa.
Ternyata pasukan Kerajaan dibawah pimpinan seorang Perwira Muda bernama Teng
Sien berhasil mengetahui kalau saya berada dalam kapal besar.
Mereka melakukan pengejaran dengan kapal kecil tapi lebih cepat. Sampai di tanah
Jawa saya hampir tertangkap karena Pasukan suruhan Pangeran menyewa beberapa
orang sakti berkepandaian tinggi.
Salah seorang diantara mereka yang terus mengejar saya sampai ke negeri Ini saya
ketahui bernama Ki Bonang Talang Ijo." Kupu-kupu di atas batu diam sejenak
seperti mengingat-ingat lalu baru melanjutkan lagi kisahnya.
"Di tanah Jawa saya tidak tahu lagi mau lari kemana.
Saya setengah terbang setengah dilayangkan angin hingga akhirnya sampai di
sebuah selat besar.
Di selat itu saya kembali sembunyi di dalam sebuah kapal yang membawa saya ke
arah tanah India. Namun sewaktu kapal singgah sebentar di sebuah pelabuhan kecil
di pesisir barat pulau Andalas saya tidak tahan lagi setelah sekian lama terus
menerus di dalam kapal.
Saya terbang meninggalkan kapal. Ternyata para pengejar saya sudah lebih dulu
mendarat di pantai Jumlah mereka juga bertambah. Ada dua orang nenek berjuluk Si
Kamba Tangan Manjulai, Duo Hantu Gunung Sago. Ada juga yang bernama Pandeka Bumi
Langit Dari Sumanik. Masih ada beberapa orang yang tidak saya ketahui siapa nama
atau julukan mereka.
Saya dikejar sampai akhirnya saya tiba di sebuah bukit tak jauh dari pantai dan
terpesat masuk ke dalam sebuah pondok kayu yang didiami seorang tua yang
kemudian saya ketahui bernama Sutan Panduko Alam.."
"Sutan Panduko Alam, dia sahabat dan kakak tuaku."
Datuk Marajo Sati dekapkan sorban putih ke dadanya.
"Apa yang terjadi dengan sahabatku itu?"
"Saya masuk ke dalam pondok Sutan Panduko Alam.
Beliau menolong dan melindungi saya. Sewaktu beliau tahu bahwa orang-orang yang
mengejar akan menyerbu pondoknya. Sutan Panduko Alam memasukkan saya ke dalam
gulungan sorban sambil berkata kalau sesuatu terjadi dengan diri saya maka
sorban akan menerbangkan saya ke tempat yang aman."
"Ternyata sorban yang diisi ilmu kesaktian itu membawamu ke sini. Kau
diselamatkan sahabatku, tapi kau tahu apa yang terjadi dengan dirinya?"
"Saya mohon maafmu orang tua, dan saya sangat bersedih. Ketika sorban terbang di
udara meninggalkan pondok di atas bukit saya masih sempat melihat orang tua yang
telah menolong saya itu terbujur tak bergerak lagi di halaman pondok. Sekujur
tubuh serta pakaiannya bersimbah darah..."
"Inna lillahi wainna illaihl roji'un..." Datuk Marajo Sati mengucap. Wajah
mengetam sedih. Sepasang mata berkaca-kaca "Tuhan akan memberi azab kepada
manusia yang menebar angkara murka."
"Orang tua, saya tahu. Kalau tidak karena saya penyebabnya Sutan Panduko Alam
tidak akan bernasib seburuk itu." Kata kupu-kupu giok di atas batu.
"Setiap Kematian seseorang ada penyebabnya.
Langkah, pertemuan atau jodoh, rezeki dan maut tidak seorangpun yang tahu. Semua
kuasaNya Allah.
Kematian seseorang telah diukir di alam takdir, tersurat di alur nasib selagi
dirinya masih di dalam rahim. Tidak ada yang bisa menyalahkan dirimu. Malah aku
bangga, sahabatku Sutan Panduko Alam menemui kematian dalam berbuat satu
kebajikan besar..."
Setelah mengusap wajahnya Datuk Marajo Sati bertanya. "Ramo-ramo. apakah kau
punya nama?"
"Sebagai kupu-kupu batu giok Kerajaan memberi nama Kupu-Kupu Mata Dewa. Sebagai
puteri Pangeran yang malang nama saya adalah Chia Swie Kim."
Datuk Marajo Sati perhatikan sepasang mata kupu-kupu. Dia melihat dua mata
binatang ini memancarkan cahaya menyejukkan, namun sesekali ada kilatan yang
menggetarkan. "Ramo-ramo batu giok, kau belum menerangkan bagaimana kejadiannya kau bisa
berbahasa anak nagari di sini."
"Akan saya ceritakan," jawab kupu-kupu giok yang merupakan binatang ketempatan
dari puteri Pangeran Cina bernama Chia Swie Kim "Sebelum saya sampai ke pondok
orang tua bernama Sutan Panduko Alam.
saya terlebih dulu terpesat ke rumah satu keluarga di pesisir barat yang tengah
berada dalam kedukaan.
Seorang anak gadis mereka meninggal dunia. Saat itu malam hari, saya hinggap di
atas atap. Ketika orang ramai bertangisan di dalam rumah tanda anak gadis Itu
telah menghembuskan nafas penghabisan tiba-tiba saya melihat ada satu cahaya
putih keluar lari dalam rumah. Cahaya ini berputar beberapa kali di udara malam
lalu berpijar terang masuk ke dalam tubuh saya.
Saat itu juga saya merasa ada satu keanehan. Saya mengerti apa yang dikatakan
orang di dalam rumah.
Bahkan ketika saya coba mengeluarkan suara yang terucap bukan lagi bahasa
leluhur saya. Tapi bahasa orang di sini Saya tidak bisa lagi mengucapkan bahasa
leluhur saya. Tapi saya masih mengerti jika ada orang yang bicara dalam bahasa
itu. Kejadian ini pastilah kehendak Yang Maha Kuasa. Saya merasa beruntung
karena waktu bertemu dengan orang tua bernama Sutan Panduko Alam, saya sudah
mampu bicara orang di negeri ini."
"Tuhan Maha Besar dan berbuat sekehendakNya,"
ucap Datuk Marajo Sati.
"Orang tua, apakah saya boleh mengetahui namamu?"
"Orang biasa memanggilku Datuk Marajo Sati. Kau boleh memanggilku dengan sebutan
Datuk saja..."
"Terima kasih. Apakah saya bisa berharap Datuk akan menyelamatkan saya dari
orang-orang yang mengejar saya" Mereka orang-orang sakti. Mereka akan sangat
tega membunuh saya karena sudah dijanjikan dua peti batangan emas. Satu peti
telah mereka terima. Cepat atau lambat mereka pasti akan menemukan saya."
"Dengan reiho Allah aku akan menolongmu sebisa yang aku lakukan..."
"Walau mungkin Datuk akan terpaksa mengorbankan nyawa seperti yang dialami
sahabat Datuk bernama Sutan Panduko Alam itu?"
Datuk Marajo Sati tersenyum lalu anggukkan kepala.
'Seperti kataku tadi maut atau kematian seseorang berada di tangan Tuhan.
Sebelum ajal berpantang mati."
"Datuk, izinkan saya menyampaikan rasa terima kasih saya."
Kupu-kupu di atas batu melompat turun kehadapan Datuk Marajo Sati. Tubuhnya
tiba-tiba memancarkan cahaya putih lalu perlahan-lahan berubah menjadi hijau
kebiruan. Bersamaan dengan itu sosok kupu-kupu besar berubah menjadi sosok
seorang anak gadis berpakaian jubah panjang biru bersulam bunga-bunga benang
emas. Rambut panjang hitam menjela Indah. Wajahnya tidak kelihatan karena dalam
keadaan kepala tunduk disujudkan ke lantai goa.
"Anak gadis, bangunlah. Jangan sekail lagi kau ulangi menyembah diriku. Ummat
manusia hanya menyembah kepada Yang Maha Kuasa, Allah Seru Sekalian Alam."
"Saya sangat mengucapkan terima kasih Datuk mau memberi perlindungan. Semoga
Tuhan Yang Maha Kuasa membalas kebaikan Datuk berlipat ganda."
Lalu perlahan-lahan gadis yang bersujud itu bangkit berdiri. Ternyata wajahnya
yang putih kemerahan cantik sekali. Alis hitam berkelut, bibir semerah delima
merekah dan sepasang mata hitam indah sekali
"Anak gadis, ujudmu yang aku lihat ini apakah ujud puteri Pangeran Cina atau
ujud jejadian roh gadis yang meninggal beberapa waktu lalu dan masuk ke dalam
tubuhmu?" Bertanya Datuk Marajo Sati.
"Ujud saya yang Datuk lihat adalah ujud asli puteri Pangeran. Saya adalah Chia
Swie Kim."
Untuk beberapa lamanya Datuk Marajo Sati
terpesona kagum melihat kecantikan sang puteri dan tak bisa berkata-kata.
"Datuk, apakah Datuk ingin saya tetap berkeadaan seperti ini, atau...."
Datuk Marajo Sati cepat menjawab.
"Demi keselamatan dirimu, sebaiknya kau kembali ke dalam ujud ramo ramo batu
giok. Tidak seperti ini tidak pula seperti ramo-ramo hidup. Dan aku akan
mengganti namamu. Apakah kau bersedia"'
"Datuk tuan penolong saya. Saya akan menurut apa kata Datuk."
"Anak gadis, berapakah usiamu saat ini?" Tanya sang Datuk selanjutnya.
"Semoga saya tidak salah, purnama bulan di muka saya akan berusia delapan belas
tahun." Jawab Chia Swie Kim.
Datuk Marajo Sati mengangguk. Sambil mengusap janggut pendeknya yang berwarna
hitam bercampur putih dia berkata.
"Anak gadis. Mulai saat ini namamu Puti Bungo Sekuntum. Julukanmu Ramo-Ramo Giok
Ngarai Sianok atau Kupu-Kupu Giok Ngarai Sianok."
Gadis Cina bernama Chia Swie Kim yang cantik itu tersenyum.
"Terima kasih Datuk. Saya tahu. Nama dan julukan itu bagus sekali." ujar Chia
Swie Kim pula. Ketika dia hendak menyambung ucapannya Datuk Marajo Sati memberi
isyarat seraya berbisik. "Ada manusia jahil mendekam di luar sana. Agaknya sudah
sejak tadi dia mencuri dengar pembicaraan kita. Anak gadis, lekas ubah ujudmu
menjadi kupu-kupu giok!"
Dengan cepat Chia Swie Kim yang kini bernama Puti Bungo Sekuntum merubah diri
menjadi kupu-kupu batu giok berwarna hijau kebiruan. Datuk Marajo Sati mengambil
kupu-kupu batu giok itu lalu meletakkannya di dalam sebuah lekukan di dinding
goa sebelah kiri.
PEMUDA berpakaian
putih berpeci hitam yang
jongkok tak jauh dari pintu
goa kediaman Datuk Marajo Sati terperangah ketika dari dalam goa ada suara
menegur. "Orang di luar pintu, yang mencuri dengar pembicaraan orang. Aku harap kau
segera datang ke hadapanku atau kau tidak akan keluar dari tempat ini untuk
selama-lamanya."
Si pemuda raba kopiah hitam di atas kepala, memandang berkeliling.
"Galak sekali. Di tempat ini cuma aku sendirian. Pasti ucapan orang di dalam
sana ditujukan padaku."
Perlahan-lahan pemuda itu berdiri tapi tidak segera melangkah ke arah pintu.
Sesaat dia merasa bimbang.
Selagi dia terdiam seperti itu tiba-tiba rrreettttttt Lantai goa di hadapannya
bergetar dan menganga terbelah ke arahnya. Dari dalam belahan terasa ada udara
menyedot sangat keras.
"Ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwahl" ucap si pemuda setengah berseru. "Bagaimana
mungkin"!"
Namun karena tidak mungkin berpikir lebih lama secepat kilat pemuda itu melompat
ke atas selamatkan diri. Kebetulan di atap goa ada batu panjang menggantung maka
dengan cepat dia bergayut pada batu Itu. Ternyata sedotan dari tanah goa yang
terbelah kuat sekali. Khawatir tidak bisa bertahan si pemuda akhirnya melesatkan
diri ke depan pintu terus menggelinding masuk dan terhenti berguling sewaktu
kepalanya membentur satu gundukan batu hitam berbentuk meja hingga kopiahnya
mental. Sambil usap-usap kepala sebelah belakang yang sakit agak benjut pemuda ini ambil
kopiahnya. Terbungkuk-bungkuk dia bangkit berdiri sambil letakkan kembali kopiah hitam di
atas kepala. Dia tersurut satu langkah sewaktu melihat di hadapannya duduk
seorang bersorban dan berjubah putih.
Wajahnya yang klimis dihias janggut pendek hitam bercampur putih. Sepasang mata
menatap tak berkesip ke arahnya. Si pemuda merasa pandangan mata yang tajam itu
seolah mengunci gerakan tubuhnya. Ternyata benar. Saat itu dia tidak mampu
menggerakkan tangan dan kaki!
"Mengunci gerakan dengan pandangan mata," ucap si pemuda dalam hati. "Luar biasa
orang tua satu inil" Lalu dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam dari arah
pusar. Saat itu juga tangan serta kaki bisa digerakkan kembali. Sepasang alis
mata Datuk Marajo Sati mencuat ke atas. Kening mengerenyit
"Pemuda asing tidak aku kenal. Mempunyai kepandaian tinggi. Datang menyuruaknyuruak. Maksud baik atau ada niat jahat?" (menyuruak-nyuruak=sembunyi-sembunyi)
"Datuk, Sutan, Mamakl Orang tua siapapun kau adanya, kalau dipikir apakah
kesalahan saya begitu besar hingga kau hendak menurunkan tangan keras atas diri
saya"l" Pemuda berpeci hitam keluarkan ucapan.
Datuk Marajo Sati tidak segera menjawab. Dia masih terus perhatikan pemuda itu
dari kepala sampai ke kaki. Sesaat kemudian baru membuka mulut.
"Kopiahmu kekecilan tanda kopiah pinjaman, mungkin juga kopiah curian. Rambutmu


Wiro Sableng 166 Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjulai bahu seperti padusi. Bibir tebal dan suaramu bicara macam orang
kepedasan pertanda kau bukan orang di sini. Kau pasti orang Jawa. Ulahmu
memasuki tempat kediamanku tidak meminta izin tidak pula memberi salam.
Kelakuanmu tidak berkenan di hatiku karena kau mencuri dengar pembicaraanku.
Anak muda apa tidak cukup pantas kalau aku menghukum kelancanganmu"l"
(padusi = perempuan)
Si pemuda garuk-garuk dagu lalu menjawab.
"Tentu saja. Siapa bersalah wajib dihukum. Tapi harus dilihat juga kadar
kesalahannya. Apakah karena kesalahan yang tidak disengaja lantas orang mau
menghukum hendak membunuh saya dengan Ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah"l" Tukas
si pemuda pula. "Oala....murah nian harga nyawa manusia di negeri ini."
Wajah Datuk Marajo Sati membesi. Lalu orang tua ini tertawa. Sebenarnya dia
memang tiada niat hendak mencelakai apa lagi membunuh si pemuda. Namun tadi dia
merasa malu pada diri sendiri. Ilmunya begitu tinggi dan dia merupakan Datuk
paling disegani di Tiga Luhak Ranah Minang yaitu Agam, Tanah Datar dan Limapuluh
Kota. Bagaimana mungkin dia tidak segera mengetahui kalau ada orang masuk ke
dalam goa dan sembunyi mendengar pembicaraannya dengan gadis Cina. Dia baru
menyadari ada orang lain di tempat itu setelah orang itu mendekam cukup lama.
"Jangankan tarikan nafasnya, geseran tapak kakinyapun tidak kudengar tidak
kurasa. Apakah dia mendengar semua pembicaraanku tadi?"
"Anak muda berambut panjang macam perempuan.
Ilmu yang kumiliki bukan bernama Membelah Bumi Menyedot Arwahl Tapi Bumi Tabalah
Azab Manimpo. Bagaimana kau enak saja menyebut ilmuku bernama Membelah Bumi Menyedot Arwah?"
(Bumi Tabalah Azab Manimpo - Bumi Terbelah Azab Menimpa) Si pemuda tidak
menjawab tapi geserkan sedikit telapak kaki kanannya. Saat itu juga rrrettttl
Lantai goa terbelah. Belahan menjalar ke tempat Datuk Marajo Sati duduk bersila.
Sang Datuk sampai terlompat ke atap goa saking kagetnya. Tubuhnya nyaris
tersedot ke dalam belahan tanah kalau dia tidak cepat melambaikan tangan menolak
daya sedotan yang tebat dengan mengerahkan hampir seluruh kekuatan tenaga dalam.
Jubah putihnya bergerak-gerak. Sorban di kepalanya tiba-tiba seetttl Masuk
tersedot ke dalam belahan lantai goa.
"Rettttttl"
Belahan tanah menutup kembali begitu si pemuda menggeserkan telapak kaki
kanannya. "Anak muda kurang ajari" Datuk Marajo Sati membentak marah sambil tangan kiri
mengusap kepala yang ternyata setengah botak) "Kau menarik korbanku masuk ke
dalam belahan tanah. Sepasang mata sang Datuk membeliak seperti mau melompat dan
rongganya. "Maafkan saya orang tua. Sorbanmu ada di tangan saya." Si pemuda lalu keluarkan
tangan kanannya dari balik punggung. Di tangan itu memang terpegang sorban milik
Datuk Marajo Sati masih dalam keadaan tergulung rapi. Cepat-cepat si pemuda
menyerahkan sorban pada pemiliknya sambil membungkuk dan berulang kali meminta
maaf. "Kau bukan saja kurang ajar tapi juga sombong!
Kau mungkin tukang sihir! Aku melihat jelas sorbanku tadi masuk ke dalam belahan
tanah goa. Mengapa tahu-tahu ada ditanganmu"! Kau sengaja hendak memamerkan ilmu
kesaktian di hadapanku" Apa kau kira aku takut"!" Datuk Marajo Sati cepat
mengambil dan mengenakan sorbannya kembali.
"Maafkan saya orang tua. Saya tidak bermaksud kurang ajar dan Jauh dari
kesombongan. Saya Juga bukan bukan bapak, bukan pula anak tukang sihir.
Saya hanya ingin menunjukkan bahwa kita memiliki ilmu kesaktian yang sama walau
namanya berbeda.
Bukankah itu satu pertanda bahwa antara kita ada saling keterkaitan?"
"Siapa kau. Dari mana kau dapatkan Ilmu Bumi Tabalah Azab Manimpo"!"
Si pemuda angkat kopiah hitamnya sedikit, menggaruk kepala baru menjawab sambi!
senyum-senyum. "Ilmu yang saya miliki bukan bernama Bumi Tabalah Azab Manimpo tapi Membelah
Bumi Menyedot Arwah.
Ah, tapi keduanya memang sama benar. Apakah Itu berarti kita masih satu guru
satu ilmu. Yang mungkin pula berarti kita ini masih saling bersaudara"!"
"Benar-benar kurang ajar mantiko langekl" Sang Datuk masih marah, (mantiko
langek = konyol kurang ajar) "Anak muda! Katakan dulu siapa dirimu! Apa yang
membuatmu berani masuk ke dalam tempat kediamanku tanpa izin. Lalu niat jahat
apa yang ada telah kau dengar"!"
"Orang tua, saya mungkin kesalahan dan lancang masuk ke dalam goa Ini. Tapi
semua tidak saya sengaja dan saya tidak membekal niat jahat. Saya juga tidak
punya maksud mendengar pembicaraanmu. Kalau kau memang bicara, tadi kau bicara
dengan siapa" Tidak ada orang lain di tempat ini. Tidak mungkin kau bicara
seorang diril" Si pemuda pura-pura memandang seputar ruangan batu. Padahal
sebenarnya dia tahu dan mendengar kalau tadi orang tua itu memang bicara dengan
seorang perempuan. Tapi dia merasa heran karena perempuan itu tidak ada di situ.
Sekilas pandangannya membentur kupu-kupu batu giok di cegukan dinding kiri.
Ketika dia berusaha lebih memperhatikan orang tua di hadapannya cepat berkata
dengan suara keras.
"Aku tidak percaya pada ucapanmul Aku tidak percaya pada orang-orang asing!
Datang ke Ranah Minang acap kali membuat keonaran!"
"Orang tua, tidak baik berucap seperti itu. Orang baik ada dimana-mana. Orang
jahat juga ada dimana-mana. Tapi saya bukan..."
"Sudah! Katakan siapa namamu ! Ada keperluan apa kau menyusup ke dalam goa ini"
l" "Nama saya Wiro. Saya memang berasal dari tanah Jawa. Saya tidak menyusup ke
sini..." "Apa hubunganmu dengan seorang kakek Jawa bemama Ki Bonang Talang Ijo?"
Si pemuda yang ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng mengangkat kopiah,
menggaruk kepala. Baru sekali ini saya mendengar nama itu. Saya tidak kenal
orang itu. Barangkali kau bisa menjelaskan?"
"Dia salah seorang yang telah membunuh sahabatku Sutan Panduko Alam yang tinggal
di pesisir barat.."
"Saya turut menyesal mendengar cerita duka itu.
Tapi saya tidak ada sangkut paut dengan kematian sahabatmu. Orang tua saya tidak
mau mengganggumu lebih lama. Dan saya mohon maaf kalau telah bedaku lancang
masuk ke tempatmu."
"Tunggul Kau tidak bisa pergi begitu saja sebelum menjawab beberapa
pertanyaanku!"
PENDEKAR212 angkat kopiah hitam,
menggaruk kepala lalu
berkata. "Orang tua, saya siap menjawab semua pertanyaanmu."
"Pertama, ada keperluan dan niat apa kau masuk ke dalam goa ini?"
Tanya Datuk Marajo Sati.
"Malam ini, ketika saya berjalan di tepi Ngarai Sianok, sambil meniup puput
batang padi ini...." Wiro unjukkan puput yang sejak tadi dipegangnya di tangan
kiri. "...tiba-tiba saya melihat ada benda putih melayang di udara. Benda itu kemudian
melesat ke dinding ngarai dan lenyap. Karena ingin tahu saya memeriksa dinding
ngarai. Saya menemukan lobang besar yang rupanya mulut goa menuju ke tempat
kediamanmu."
"Kau tidak bicara dusta anak muda berambut panjang seperti perempuan?"
Wiro menggeleng.
"Saya bicara apa adanya, orang tua."
Datuk Marajo Sati angkat sorban buntung yang terletak di pangkuannya
"Benda putih yang kau lihat itu adalah sorban ini.
Milik seorang sahabat yang sudah aku anggap sebagai kakak kandung sedarah
sedaging. Dia menemui ajal dibunuh oleh serombongan orang. Salah satu
diantaranya adalah kakek dari Jawa bernama Ki Bonang Talang Ijo. Jika aku tahu
kakek itu ada sangkut pautnya dengan dirimu maka riwayatmu di negeri ini tidak
akan lama."
Wiro terdiam. Dia melihat bayangan rasa sedih mendalam di wajah si orang tua
tapi juga ada amarah yang membersit dari sepasang mata.
"Kau bukannya mata-mata yang tengah menyelidiki keberadaan..." Datuk Marajo Sati
tidak meneruskan ucapannya. Hampir saja dia ketelepasan menyebut kupu-kupu giok.
'Keberadaan apa. orang tua?" tanya Wiro.
"Aku masih ada pertanyaan lain," sang Datuk alihkan pembicaraan. "Kau datang
dari jauh. Apa tujuanmu berada di ranah Minang ini?"
"Saya baru saja menemui seseorang dan ada pesan amanat dari orang itu yang harus
saya lakukan."
"Siapa orangnya" Tentu dia ada bernama dan juga bergala. Lalu apa pesan amanat
yang diberikannya padamu?" (bergala = bergelar)
"Maaf, saya tidak bisa memberi tahu nama orang itu. Tapi kalau mengenai pesan
amanatnya bisa saya katakan. Beliau mengatakan bahwa sesuatu perkara besar akan
terjadi di Ranah Minang."
Kening Datuk Marajo Sati mengerenyit.
"Perkara besar apa?"
"Beliau tidak memberi tahu. Beliau hanya meminta agar saya menyelidiki sendiri
lalu memberi tahu padanya apa-apa yang saya dapat...." Jawab Wiro.
"Aneh...." Datuk Marajo Sati berucap dalam hati.
"Ucapannya seolah dia seorang Pandeka Gadang.
Seperti tidak ada orang cerdik pandai dan sakti di Ranah Minang ini. "Aku harus
mencari tahu siapa manusia satu ini. Jangan-jangan orang gila yang kesasar. Tapi
bisa masuk ke dalam goa ini bukan satu pekerjaan mudah. Apakah dia mampu merayap
di dinding ngarai seperti cacak?" (Pandeka Gadang =
Pendekar Besar) (cacak = cecak)
"Orang tua apakah saya boleh meninggalkan tempat ini dan sekali lagi disertai
permohonan maaf?"
"Kau tidak kuperbolehkan pergi sebelum menjawab satu pertanyaan lagi." Jawab
Datuk Marajo Sati.
"Kalau begitu katamu saya menunggu apa yang hendak kau tanyakan."
"Dari mana kau dapatkan ilmu membelah tanah yang kau sebut Membelah Bumi
Menyedot Arwah itu?"
"Maaf orang tua. soal asal usul ilmu. saya tidak dapat menjelaskan."
"Tadi kau mengatakan ilmu kita sama Mungkin ada keterkaitan diantara kita.
Mungkin kita satu guru satu ilmu. Sekarang mengapa kau bedaku tidak jantan tidak
mau memberi tahu?"
Wiro menggaruk rambut di belakang kuduk.
"Maafkan saya, orang tua. Tapi apakah kau sendiri mau memberi tahu dari mana kau
mendapatkan ilmu kesaktian yang kau sebut dengan nama Bumi Tabalah Azab Manimpo
itu?" "Pemuda culas. Pergilah dari hadapanku. Bilamana dikemudian hari kau kulihat
berani berkeliaran di sekitar Ngarai Sianok ini maka aku akan menganggapmu
sebagai musuh! Kau tahu apa artinya itu! Ingat hal itu baik-baik."
"Saya akan mengingat baik-baik," jawab Wiro.
"Sebaliknya saya tidak akan pernah menganggapmu sebagai musuh. Saya
menghormatimu." Wiro membungkuk lalu mengambil tangan orang tua itu.
menjabat dan menciumnya, membuat Datuk Marajo Sati terkesiap, geleng-geleng
kepala. Belum sempat Pendekar 212 Wiro Sableng
mencapai mulut goa di dinding ngarai Datuk Marajo Sati jentikkan ibu jari dan
jari tengah tangan kanan dua kali. Saat itu juga ada kepulan asap di dalam goa.
Tak lama kemudian dari dalam kepulan asap muncul seekor burung elang putih
jantan besar bermata merah.
"Alang Putih Rajo Di Langit, ikuti pemuda tadi.
Cari tahu kemana dia pergi dan siapa saja yang berhubungan dengan dia."
Elang putih menguik panjang lalu sekali mengepakkan sepasang sayap tubuhnya
melesat ke arah mulut goa.
Di satu tikungan goa yang agak gelap, Wiro yang sejak tadi sengaja mendekam
bersembunyi serata tanah serata dinding bergerak berdiri sambil menyeringai.
"Benar dugaanku. Orang tua itu tidak membiarkanku pergi begitu saja. Aneh, aku
merasa dia menyembunyikan sesuatu. Katanya ada seorang sahabat menemui ajal
malam ini. Pasti seorang berkepandaian tinggi. Apakah ini ada kaitannya dengan
amanat yang diberikan Datuk Rao Basaluang Ameh padaku?"
*** BAGAIMANA Pendekar 212 Wiro Sableng bisa
berada di tanah Minang" Seperti diceritakan dalam serial sebelumnya berjudul
"Bayi Titisan" dengan bantuan harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau Wiro
membawa Ken Permata dan Nyi Retno Mantili ke tanah Jawa untuk menemui Manusia
Paku Sandaka. Setelah Sandaka mengalami kesembuhan dari tiga puluh paku baja putih yang
menancap di tubuhnya sementara Nyi Retno Mantili juga sembuh dari penyakit
jiwanya, atas pesan yang disampaikan sang Datuk melalui isyarat jarak jauh yang
diperlihatkan harimau putih, Wiro kemudian kembali ke pulau Andalas menemui
gurunya itu di Danau Maninjau.
Datuk Rao Basaluang Ameh memberi tahu bahwa akan terjadi satu peristiwa besar di
Ranah Minang. Akan ada beberapa tokoh silat berkepandaian tinggi dari tanah Jawa yang akan
datang dan terlibat dalam peristiwa itu.
"Selidiki apa yang terjadi. Beritahu padaku. Kalau perlu kau harus langsung
bertindak sendiri..."
"Datuk, tanah Minang bukan negeri saya. Apakah nanti saya tidak dikatakan
lancang oleh orang-orang di sini" Saya tahu di negeri ini banyak sekali orang
cerdik pandai berilmu silat tinggi dan memiliki kesaktian yang sulit dicari
tandingannya."
Datuk Rao menggeleng.
"Seorang pendekar yang ingin berbuat kebajikan layak berada di mana saja selama
mengingat kata-kata sakti Dimana Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung.
Bahu membahu dalam membuat kebajikan adalah suruhan Yang Maha Kuasa. Lagi pula
bukan sekali ini kau berada di tanah Minang. Apa kau lupa"
"Saya tidak lupa Datuk. Kalau begitu kata Datuk, saya mohon doa restu Datuk."
Jawab murid Sinto Gendeng. (Kisah Wiro di tanah Minang sebelumnya dapat di baca
antara lain dalam serial "Dendam Di Puncak Singgalang" dan "Harimau Singgalang")
SESAAT setelah elang putih peliharaan Datuk Marajo Sati yang bernama Alang Putih
Rajo Oi Langit melesat keluar goa dan membubung tinggi di atas langit malam
Ngarai Sianok, Wiro segera pula bergerak cepat menuju mulut goa. Tapi baru
kepala dan tubuhnya menyembul di depan goa tiba-tiba dua benda bercahaya hitam
pekat disertai suara mengiang, menderu menyambar ke arah kepala dan dadanya.
Secepat kilat murid Sinto Gendeng jatuhkan diri.
Benda pertama berdesing di samping kiri kepala Wiro membuat telinganya pengang.
Benda ini kemudian menghantam amblas dinding goa sebelah dalam.
Benda kedua melesat di depan dada. Walau bisa dielakkan tapi masih sempat
merobek sedikit dada baju putihnya. Kulit dadanya terasa dingin tanda apapun
benda yang menyerang mengandung racun jahat Gerakan mengelak membuat kaki kiri
Wiro tergelincir di tebing ngarai yang terjal dan berlumut Tak ampun lagi tubuhnya
terjatuh ke bawah. Dia berusaha menggapai satu tonjolan batu di dinding ngarai
namun karena licin pegangan terlepas.
Tubuhnya kembali melayang ke bawah. Kali ini sungai Batang Sianok yang ditebari
batu-batu besar dan runcing siap menunggu.
Di pintu goa saat itu telah berdiri Datuk Marajo Sati dan melihat apa yang
terjadi. Dengan cepat orang tua ini tanggalkan sorbannya. Sekali sorban
disentakkan maka benda itu berubah menjadi amat panjang. Sorban dengan cepat
berhasil melilit kaki kanan Wiro hingga jatuhnya tertahan dan tubuhnya perlahanlahan masuk ke dalam air Batang Sianok.
Ketika merasa tidak ada daya berat yang
menggelantungi sorbannya Datuk Marajo Sati segera menarik sorban. Matanya
memandang ke bawah, ke arah sungai berbatu-batu.
"Lenyap. Pemuda itu tidak kelihatanl Aku tidak berhasil menolongnya...Saat ini
Batang Anai tidak seberapa dalam. Tapi kalau kepalanya membentur batu. Sayang
sekali kalau dia menemui ajal sebelum aku tahu siapa dia adanya..." Datuk Marajo
Sati tarik nafas panjang. Perlahan-lahan dia gulung sorbannya Ketika gulungan
akhir mencapai ujung sorban, sepasang mata orang tua ini terbelalak. Pada ujung
kain sorban terdapat lobang-lobang hitam seperti hangus yang ketika diperhatikan
merupakan kata berbunyi: Terima kasih.
"Mantiko langekl Benar-benar mantiko langekl Mantiko cirlkl Berarti dia tidak
matil Dia malah mempermainkan diriku! Dengan apa dia membuat tulisan ini"l"
Datuk Marajo Sati tampak jengkel.
(Mantiko langek/Mantiko cirik = konyol kurang ajar) Di udara malam yang bersih.
Alang Putih Rajo Di Langit berputar dua kali di atas ngarai, menguik panjang
lalu melesat ke ujung goa. Burung putih bermata merah Ini cengkeram kuku-kuku
kaki ke dinding goa, paruh mengorek bagian dinding yang tadi dihantam benda yang
menyerang Wiro. Benda dijepit diantara dua paruh lalu dibawa masuk ke dalam goa


Wiro Sableng 166 Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan diletakkan di lantai hadapan Datuk Marajo Sati. Benda itu ternyata adalah
sebuah besi hitam berbentuk bintang bersudut empat Pada setiap ujung terdapat
lobang kecil. Bilamana benda ini dilempar dan melayang di udara maka empat
lobang yang ber-sentuhan dengan udara atau angin akan mengeluarkan suara seperti
tiupan seruling yang tidak putus-putus.
Datuk Marajo Sati timang-timang benda itu sesaat lalu dekatkan ke hidung.
"Senjata rahasia mengandung racun Baru sekali ini aku melihat yang seperti ini.
Tidak ada tokoh rimba persilatan Ranah Minang memiliki senjata rahasia seperti
ini. Berarti pemuda berambut panjang tadi datang ke sini sudah mempunyai musuh.
Atau..." Datuk Marajo Sati kembali perhatikan benda berbentuk bintang bersudut empat
"Kalau senjata rahasia ini memang benar bukan milik kerabat anak Nagari berarti
pemuda itu datang membawa musuh. Berarti betul dugaanku dia bukan orang baikbaik." Sang Datuk angkat kepala, memandang pada
elang putih. "Rajo Di Langit. Aku berterima kasih kau membawa benda ini padaku.
Sekarang kembali lanjutkan apa yang aku tugaskan. Cari dimana pemuda itu. Ikuti
kemana dia pergi..."
WIRO mengambangkan
tubuh, untuk beberapa
lama sengaja mengikuti
arus sungai Batang Sianok ke arah hilir. Rasa dingin yang mencucuk membuat dia
akhirnya berenang ke tepian. Saat itu di timursudah mulai tampak cahaya terang
tanda sebentar lagi fajar akan menyingsing disusul munculnya sang surya kembali
menerangi bumi alam Minangkabau.
Sambil merebahkan diri di atas sebuah batu besar di tepi sungai Ingatan Wiro
kembali pada orang tua di dalam goa.
"Orang tua itu, sayang aku lupa menanyakan namanya.
Dia orang baik. Tapi ada sesuatu yang agaknya membuat dia curiga padaku. Sebelum
bertemu muka dengan dia, aku jelas sekali mendengar suara dia bicara dengan
seorang perempuan. Tapi ketika aku masuk ke tempatnya tidak ada orang lain di
situ. Apa dia lebih dulu menyembunyikan perempuan itu sebelum memerintahku
menemuinya" Kalau benar mengapa" Lalu siapa perempuan Itu" Sayang apa yang
mereka bicarakan tidak terlalu Jelas sampai di telingaku."
Wiro kibas-kibaskan kopiah hitamnya yang basah kuyup. "Walau aku jatuh ke dasar
ngarai, dia menolongku meski sebenarnya aku masih bisa selamatkan diri. Itu
membuktikan dia benar-benar orang baik. Satu kali aku akan menemuinya lagi.
Ilmunya tinggi. Jika aku bersahabat mungkin aku bisa mendapatkan ilmu dan
pengalaman baru dari orang tua Itu. Seperti dia ingin tahu dari mana aku
mendapatkan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah, aku juga Ingin tahu dari mana dia
bisa menguasai ilmu yang katanya bernama Bumi Tabalah Azab Manimpo itu. Aku
mendapat dari Luh Rembulan di Latanahsilam. Apakah dia juga mendapatkan dari
negeri seribu dua ratus tahun silam itu" Juga dari Luh Rembulan" Berarti apa dia
juga pernah terpesat ke sana?" Wiro garuk-garuk kepala "Aku tidak percaya.
Mustahil."
Wiro tanggalkan baju putihnya. Setelah diperas baju dikenakan kembali. Pada saat
itulah tiba-tiba dia mendengar suara orang berlari diikuti hiruk pikuk teriakan
banyak orang di atas dinding ngarai. Bukan cuma suara lelaki tapi juga ada suara
perempuan. Laiu menyusul bak-buk bak-buk, suara orang dipukul dan suara orang menjeritjerit minta ampun.
Karena ingin tahu apa yang terjadi, Wiro melompat ke atas sebuah batu. Dari atas
batu ini dia melesat ke atas ngarai. Beberapa belas langkah di hadapannya, di
tepi ngarai dia melihat belasan orang tengah menggebuki seorang pemuda
berpakaian hitam yang berulang kali berteriak minta ampun. Yang membuat Wiro
terkejut adalah karena pemuda ini mengenakan destar putihnya yang hilang sehari
sebelumnyal "Pemuda sialanl Jadi dia yang mencuri destar ikat kepalaku. Mengganti dengan
kopiah hitam inil" Maki murid Sinto Gendeng dalam hati.
Tak jauh dari situ ada serombongan perempuan yang juga berteriak-teriak sambil
menunjuk-nunjuk.
Salah seorang dari perempuan itu berteriak.
"Anak itu pantas diberi pelajaran. Kalau tidak, tak akan jera-jera dia berbuat
kurang ajar."
"Tajunkan saja dia ke dalam ngarail" Seorang pemuda yang ikut menggebuki
berteriak lalu melayangkan tendangan. (Tajunkan = lemparkan) Pemuda yang
ditendang terkapar di tanah, dengan susah payah berusaha bangun lalu bersujud,
pegangi kepala yang mengenakan destar putih milik Wiro sambil kembali berteriak
minta ampun. Pukulan dan tendangan kembali menghantam tubuhnya.
"Sudah! Sudah! Hentikan Cukup sudah kalian menghajarnya!" Seorang lelaki separuh
baya berpakaian putih dan menyandang sarung berteriak sambil coba menghalangi
orang-orang yang seperti kemasukan setan menggebuki lelaki berpakaian hitam.
"Kita bawa saja dia ke Datuk Penghulul Biar selesai perkara dan hukumannyal"
Pemuda yang digebuki sudah tak karuan rupa lagi.
Bengkak lebam, darah mengucur dari hidung dan mulut Menurut Wiro beberapa
pukulan dan tendangan lagi akan membuat orang itu menemui ajal. Ketika seseorang
kembali hendak menendang dan kali ini diarahkan ke kepala, Wiro segera melompat
dan mendorong orang itu hingga terjatuh. Melihat ada orang tidak dikenal datang
menolong, orang banyak jadi tambah beringas. Sebagian dari mereka segera
menyerang Wiro. Yang lain berteriak-teriak memaki dalam bahasa yang tidak
dimengerti murid Sinto Gendeng. Dua orang pemuda dilihat Wiro telah menghunus
lading. (lading = golok)
"Pemuda aneh berambut macam padusi ini pasti kawan Malin Kapuyuakl Mari samasama kita habisi keduanyal" Salah seorang pemuda yang memegang golok berteriak,
(padusi = perempuan)
Tidak menunggu lebih lama Wiro segera angkat orang yang terkapar di tanah lalu
memanggulnya di bahu kiri. Tangan kanan cepat-cepat diangkat sewaktu dua pemuda
bersenjata golok diikuti beberapa orang lain hendak menyergap dirinya.
"Jangan, tahan. Sabari" teriak Wiro. "Orang ini sudah sekarat. Apa dunsanak
sekalian mau membunuhnya?" (dunsanak = saudara-saudara, di Jawa = ki sanak)
"Sia wa-ang mau membela anak Jahanam Itul Mau minta mati juga rupanya!"
Seseorang berteriak. (Sia wa-ang = siapa kau)
Kecuali lelaki berpakaian putih yang menyandang sarung, yang lain-lain tidak
satupun mau mendengar.
Dua pemuda yang memegang golok menyerbu lebih dulu. Wiro tidak mau berlaku ayal
menghadapi orang-orang kalap itu. Pemuda yang hendak ditolongnya itu pasti punya
kesalahan besar.
Sambil melompat mundur Wiro dorongkan
tangan kanan ke arah dua penyerang. Satu gelombang angin yang hanya mengandalkan
tenaga dalam rendah dan tidak berbahaya menderu. Dua pemuda bersenjata golok
berteriak kaget ketika tubuh mereka terangkat ke udara dan mengapung beberapa
saat lalu terhempas ke tanah. Senjata yang dipegang terlepas jatuh. Selagi semua
orang tersentak kaget dan berteriak-teriak, Wiro segera berkelebat tinggalkan
tempat itu. *** DI ATAS dangau di tepi sawah yang baru di panen Wiro membaringkan pemuda
berpakaian hitam yang dilarikannya dari amukan orang banyak. Saat itu hari mulai
terang karena fajar telah menyingsing. Dari atas dangau kelihatan bayangan
Gunung Singgalang di arah barat dan Gunung Merapi di sebelah timur.
Setelah memperhatikan pemuda yang terbujur di lantai dangau dan menunggu
sebentar Wiro kemudian berkata.
"Anak muda sial, aku tahu kau tidak tidur Juga tidak pingsan. Jangan pura-pura!"
Wiro tepuk keras-keras pipi kiri kanan pemuda itu lalu menyandarkannya ke tiang
dangau. Si pemuda menatap Wiro dengan matanya yang sipit sembab. Lalu menyeka darah di
mulut yang bibirnya pecah.
"Aden....hukkl" (aden = waden = aku)SI pemuda keluarkan ucapan lalu pegangi
dada. Kepala digeleng-geieng, muka mengerenyit menahan sakit yang terasa mulai
dari ubun-ubun sampai ke kaki.
"Kau mencuri destarkul Pasti kau lakukan sewaktu aku mandi di telaga beberapa
hari lalu! Sialan!" Wiro mengambil ikat kepala putih miliknya yang ada di atas
kepala si pemuda. Ternyata destar itu sudah dikecilkan hingga tidak muat lagi di
kepala Wiro. Wiro bantingkan ikat kepala putihnya ke muka si pemuda.
"Kakak, Uda sahabatku. .Aku mohon maafmu.
Memang aku yang mencuri kopiahmu. Aku sangat tertarik Kopiah seperti itu tidak
ada di negeri ini. Tapi aku bukan cuma mencuri. Aku mengganti destarmu dengan
kopiah hitam yang kini kau pakai." (Uda =
Kakak, Abang) "Kopiah ini kekecilan. Walau kau mengganti tetap saja namanya kau mencuril" Wiro
jewer telinga si pemuda dan diuntir-untir ke depan ke belakang hingga orang itu
menjerit kesakitan.
"Katakan mengapa orang sekampung, lelaki perempuan mengejar dan menggebukmu
sampai begini rupa. Masih untung kau tidak sampai meregang nyawal"
Pemuda yang ditanya hanya meringis sambil usap-usap dada.
"Dengar, aku akan meninggalkan dirimu. Kalau orang-orang itu mengejar sampai ke
sini tamat riwayatmu!" Wiro melompat turun dari atas dangau.
"Tunggu, jangan pergi dulu...."
Wiro balikkan badan. "Kau mau bercerita?"
"Dudukdi sebelahku, aku akan bercerita."
Wiro lalu naik kembali ke atas dangau dan duduk di samping si pemuda.
"Kau bukan orang di sini..."
"Betul."
"Kau telah menolongku. Aku berterima kasih."
"Aku tanya sekali lagi. Kau mau bercerita atau tidak?"
Si pemuda usap bibirnya yang bengkak luka.
"Uda bakupiah hitam. Siapa nama Uda?"
(bakupiah = berkopiah)
"Sialan!" Wiro memaki karena si pemuda masih bicara hal lain bukannya bercerita.
"Kau sendiri siapa namamu"!*
"Jangan marah....Aden tahu Uda orang baik. Kau telah menolongkul Orang
menyebutku Malin
Kapuyuak."
"Aneh namamu. Apa itu nama atau gelar" Patah lidahku menyebut namamu.
Kapuyuaaakk..." (Kapuyuak =
Kecoak) Wiro pencongkan mulut.
"Namaku sebenarnya Salihin. Orang menyebutku Malin Kapuyuak. Kau bisa mengatakan
itu sebagai gelar. Tapi gelar cemooh ejekan. Kau tahu artinya Kapuyuak?" Pemuda
berpakaian hitam tertawa.
Wiro menggeleng dan mulai kesal karena orang belum juga bercerita perihal
mengapa dia sampai digebuki.
"Kapuyuak binatang yang banyak berkeliaran di kakus. Warnanya coklat, kadangkadang bisa terbang.
Baunya busuk..."
"Sudah, aku sekarang sudah tahu artinya Kapuyuaaakk. Di Jawa disebut kecoak..."
"Ah...Uda ini orang Jawa rupanya." Kata Malin Kapuyuak pula.
Wiro meneruskan. "Kecoak biasanya berada di kakus atau jamban. Berarti kau masih
saudara dengan taik..."
"Taik. apa itu?" tanya Malin Kapuyuak.
"Taik artinya langek!" jawab Wiro kesal, (langek =
kotoran manusia)
Malin Kapuyuak tertawa gelak-gelak. "Kau tahu Juga bahasa orang di sini. Uda
Pedang Golok Yang Menggetarkan 8 Pendekar Pulau Neraka 09 Menembus Lorong Maut Pedang Pelangi 6

Cari Blog Ini