Wiro Sableng 171 Malam Jahanam Di Mataram Bagian 2
Orang tua ini menguap lalu perlahan-lahan bangkit berdiri.
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dibungkus dengan sehelai kain putih, dipegang di
tangan kanan. Dari lereng gunung tempat kediamannya itu dia bisa melihat gunung
Prahu di arah utara dan gunung Sundoro di sebelah selatan. Karena kabut pagi
masih cukup tebal mula-mula Empu Semirang tidak melihat jelas puncak dua gunung
itu. Namun begitu angin bertiup membuat kabut bergerak membuyar, sang Empu kini
bisa melihat puncak gunung. Begitu matanya memperhatikan hatinya langsung
tercekat. "Lingkaran besar awan kelabu. Muncul kembali. Kali ini di atas puncak Gunung
Sundoro..." Ucap orang tua berambut, kumis dan berjanggut biru ini. Dia langsung ingat peristiwa pada malam dua
hari lalu ketika pertama kali hendak memulai pekerjaan membuat keris Kanjeng
Sepuh Pelangi. Saat itu di langit kelam dia melihat jelas lingkaran awan kelabu
yang menurut pengalaman dan pengetahuannya merupakan satu pertanda tidak baik.
"Mengapa sekarang lingkaran awan kelabu itu muncul lagi...?" Baru saja sang Empu
berucap begitu tiba-tiba di kejauhan terdengar suara raung srigala. "Suara
lolongan srigala. Sama seperti yang aku dengar malam itu. Pertanda apa ini" Dewa
Jagat Bhatara, kalau ada sesuatu yang buruk, aku mohon perlindunganMu."
Empu Semirang pegang keris di dalam gulungan kain erat-erat. Dia bermaksud duduk
kembali di atas bantalan jerami kering. Tidak sengaja matanya memandang ke
selatan, di mana menjulang puncak gunung Prahu. Untuk kedua kalinya orang tua
ahli pembuat senjata ini tercekat.
Di atas puncak Gunung Prahu juga ada kelihatan lingkaran awan kelabu.
"Aneh... Ada beberapa keanehan. Ayam hutan tidak berkokok menyambut pagi. Suara
raung srigala di kejauhan padahal di gunung ini tidak pernah ada binatang
seperti itu. Lalu gulungan awan kelabu berbentuk lingkaran besar di langit dan
di atas dua puncak gunung..." Lama orang tua ini tegak merenung. Wajahnya jelas
menunjukkan kegelisahan. Sekonyong-konyong seseorang berkelebat di antara pepohonan lalu melayang turun
sambil menegur. "Empu Semirang. Mengapa unjukkan wajah muram. Padahal kau telah
berhasil menyelesaikan pembuatan keris Kanjeng Sepuh Pelangi dengan sempurna dan
satu hari lebih cepat dari yang ditentukan..."
Empu Semirang tersentak dari renungnya. Dia mengenali suara orang itu. Dalam hati orang tua ini membatin,
"Heran, mengapa dia datang satu hari lebih cepat dari perjanjian. Bagaimana dia
bisa tahu kalau aku telah menyelesaikan pembuatan keris sakti..."
WIRO SABLENG MALAM JAHANAM DI MATARAM
8 MPU Semirang memutar tubuh. Di depan gubuk
berdiri seorang lelaki separuh baya, mengenakan Ebaju lurik hitam sebatas dada.
Di atas kepala bertengger topi tinggi hitam bersulam benang emas. Di leher tergantung empat buah
kalung terbuat dari emas, masing-masing dihias batu permata berlainan warna. Di
pinggang sebelah belakang tersisip sebilah keris bergagang perak berukir-ukir
dihias empat batu permata berwarna merah darah. Dari dandanannya dapat diketahui
kalau dia adalah seorang pejabat tinggi Kerajaan Mataram. Orang inilah yang
beberapa waktu lalu atas perintah Sri Maharaja Mataram mendatangi Empu Semirang,
membawa besi sakti berusia seribu tahun yang berasal dari perut kawah gunung
Merapi lapis ke tujuh.
Jauh di belakang orang yang berdiri di hadapannya, Empu Semirang melihat puncak
Gunung Prahu. Di langit di atas gunung itu masih kelihatan lingkaran besar awan
kelabu. Empu Semirang tidak mengerti mengapa hatinya mendadak merasa tidak enak.
"Raden Ageng Daksa, salam sejahtera bagimu dan bagi Raja Mataram Sri Maharaja
Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Atas kuasa Para Dewa saya telah diberi kemampuan menyelesaikan pembuatan
keris Kanjeng Sepuh Pelangi satu hari lebih cepat. Bersyukur Raden telah
mengetahui dan segera datang hingga saya tidak perlu menunggu sampai besok."
Empu Semirang tidak mau menceritakan kejadian munculnya orang tua gagah berjubah
dan bersor- ban kelabu. "Sri Maharaja pasti senang sekali. Kelak rahmat anugerahnya akan melimpah
diberikan kepada Empu."
Kata orang bertopi tinggi hitam bernama Raden Ageng Daksa.
"Terima kasih Raden berucap begitu. Namun saya tidak mengharapkan apapun sebagal
imbalan. Sudah menjadi tugas saya melakukan apa yang diperintahkan Raja Mataram..." Jawab Empu Semirang Biru sambil menatap wajah pejabat tinggi Kerajaan
yang berdiri di hadapannya. Beberapa saat dia memperhatikan mata kiri pejabat itu.
Merasa tidak enak dipandang seperti itu Raden Ageng Daksa buru-buru berkata,
"Empu Semirang, waktuku tidak lama. Bolehkah aku melihat senjata sakti keramat
itu sebelum aku bawa ke kotaraja dan diserahkan pada Sri Maharaja?"
"Tentu saja Raden" jawab Empu Semirang. Sejenak dia kembali memperhatikan
pejabat kerajaan itu. Ada yang tidak dimengertinya. Namun dia melangkah juga
mende- kati. Di hadapan Raden Ageng Daksa sang Empu membuka kain putih yang membungkus
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi.
Sepasang mata Raden Ageng Daksa tampak berkilat-kilat. Wajah menunjukkan
kekaguman tak terperikan.
"Luar biasa!" katanya. "Sinar biru seputar badan. Sinar pelangi kecil di sisi
kanan. Pancaran hawa sejuk dan bau harum semerbak. Tepat seperti yang
diriwayatkan dalam kitab Puji dan Doa. Tidak salah! Inilah Kerja Kanjeng Sepuh
Pelangi." Setelah menghela nafas lega, sambil tersenyum Raden Ageng Daksa berkata. "Empu
Semirang Biru, tolong keris sakti dibungkus kembali baik-baik. Aku akan
membawanya ke kotaraja sekarang juga."
Ketika Raden Ageng Daksa memperhatikan keris Kanjeng Sepuh Pelangi diam-diam Empu Semirang kembali memperhatikan mata kiri
pejabat kerajaan itu. Lalu ketika sang pejabat memintanya membungkus keris sakti
sang Empu menyampaikan ucapan dan pertanyaan yang sebenarnya sejak tadi ingin dikatakan.
"Raden Ageng Daksa, sewaktu Raden datang tempo hari membawa besi bertuah cikal
bakal Keris Kanjeng Sepuh Pelangi, Raden mengatakan jika datang untuk mengambil
keris maka Raden akan membawa gagang dan sarung senjata ini. Apakah saat ini
Raden ada membawa kedua barang itu?"
Raden Ageng Daksa tampak terkejut. Lalu pejabat ini pukul kepalanya sendiri.
"Astaga! Betapa alpanya diriku ini.
Karena tergesa-gesa aku sampai lupa membawa gagang dan sarung untuk Kanjeng
Sepuh Pelangi. Mohon maafkan diriku. Namun Empu tak usah kawatir. Gagang dan
sarung itu kusimpan di rumahku di kotaraja. Gagang dan sarung nanti bisa
disisipkan langsung di hadapan Sri Maharaja Mataram. Apakah Empu tidak berniat
ikut bersamaku ke istana menemui Sri Maharaja Mataram?"
"Terima kasih Raden mau mengajak. Namun mohon dimaafkan. Saya tidak dapat pergi.
Masih ada beberapa pekerjaan penting yang harus diselesaikan."
"Tidak jadi apa. Aku sudah terbiasa datang sendiri dan kembali sendiri..." Raden
Ageng Daksa tertawa. Lalu dia ulurkan tangan untuk mengambil bungkusan kain
putih di dalam mana terbungkus keris Kanjeng Sepuh Pelangi.
Namun Empu Semirang dengan cepat kembali keluarkan ucapan sambil bersurut mundur sedikit. "Saya tidak melihat Raden membawa
kotak kaca untuk menyimpan keris sakti. Apakah Raden juga melupakan benda itu?"
Raden Ageng Daksa menggigit bibir lalu tersenyum.
Sambil memegang bahu Empu Semirang dengan tangan kiri dia berkata. "Kotak itu
sebenarnya tidak aku lupakan.
Tapi mengingat membawa-bawa kotak kaca hanya akan merepotkan perjalanan, apalagi
perjalanan jauh, di samping aku takut terjadi hal tak terduga hingga kotak kaca bisa saja pecah, maka
kotak aku tinggalkan sementara di rumah tukang kayu yang membuatnya di pinggiran
kota- raja. Nah, aku sudah menjelaskan. Sekarang izinkan aku mengambil Keris Kanjeng
Sepuh Pelangi..."
Raden Ageng Daksa segera ulurkan tangan kanan untuk mengambil keris sakti dalam
bungkusan kain putih.
"Maafkan saya Raden, saya tidak bisa menyerahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi
pada Raden..."
Raden Ageng Daksa tampak terkejut dan juga heran.
Wajah berkerut. Mata agak membesar. Dua tangan direntangkan ke samping.
"Kenapa Empu" Mengapa Empu tidak bisa menyerahkan keris itu padaku" Empu bermaksud mau mengantar sendiri, hendak langsung
menyerahkan kepada Sri Maharaja Mataram?"
Empu Semirang Biru menggeleng. "Tidak, saya tiada niat menyerahkan sendiri
senjata bertuah itu kepada Sri Maharaja..."
"Lalu apa alasan Empu tidak bisa menyerahkan Kanjeng Sepuh Pelangi kepadaku?" Sambil bertanya Raden Ageng Daksa bergerak satu
langkah mendekati sang Empu.
"Raden, terus terang saya katakan saya menaruh curiga pada Raden. Saya tidak
tahu siapa Raden ini sebenarnya!"
"Empu menaruh curiga pada diriku" Apa Empu sudah hilang pikiran tidak tahu siapa
aku" Pejabat yang dipercaya dan diutus Raja Mataram! Jangan berani menghina
diriku! Katakan apa yang menjadi kecurigaan Empu..."
"Sekarang rasanya bukan hanya curiga. Tapi tahu.
Sangat mengetahui..."
"Empu, seperti aku katakan tadi aku tidak punya waktu lama. Jangan bicara
berteka-teki! Serahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi padaku!"
"Tidak! Saya akan mempertahankan senjata keramat ini sekalipun maut
tantangannya! Karena saya tahu Raden bukan Raden Ageng Daksa yang sebenarnya!"
Sepasang mata Raden Ageng Daksa membeliak besar.
"Empu! Matamu sudah buta, otakmu sudah tidak waras atau ada setan mana yang
masuk ke dalam kepalamu hingga bicara tidak karuan!" Suara Raden Ageng Daksa
keras sekali pertanda dia mulai marah.
WIRO SABLENG MALAM JAHANAM DI MATARAM
9 ADEN, saya memang sudah tua renta. Usia hampir delapan puluh tahun. Tapi saya
belum pikun. Tidak Rbuta. Otak saya masih waras. Dan tidak ada setan yang masuk
ke dalam diri saya. Saya tidak pula bicara tak karuan. Saya yakin yang berdiri
di depan saya saat ini bukan Raden Ageng Daksa yang asli. Raden Ageng Daksa yang
saya kenal memiliki bintik hitam di bagian putih mata kirinya..."
"Empu Semirang, ucapanmu tadi sama saja dengan mengatakan diriku adalah makhluk
jejadian yang..."
"Bukan hanya makhluk jejadian. Tapi makhluk yang punya maksud jahat. Hendak
menipu diriku dan merampas Keris Kanjeng Sepuh Pelangi! Bukankah begitu"
Siapapun kau adanya lebih baik segera pergi dari sini sebelum Para Dewa murka
dan menjatuhkan kutuk atas dirimu!"
Dalam amarah yang menggelegak orang di hadapan Empu Semirang berteriak dahsyat.
Bersamaan dengan itu dia menerjang. Kaki kanan ditendangkan ke perut si orang
tua hingga orang tua ini mencelat dua tombak. Punggung menghantam salah satu
tiang gubuk, membuat atap gubuk yang sudah reyot itu runtuh menimbun sosok Empu
Semi- rang. Bungkusan kain putih berisi keris sakti terlepas dari tangan. Dengan cepat
segera disambar oleh orang yang dituduh bukan sebagai Raden Ageng Daksa asli.
Meski muntahkan darah segar dan satu tulang iga di bagian bawah patah, Empu Semirang masih bisa menyusup keluar dari timbunan atap gubuk.
"Demi Bathara Agung, aku mohon kembalikan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi padaku.
Kau boleh membunuh aku tapi jangan ambil senjata itu..."
Raden Ageng Daksa tertawa bergelak.
"Siapa kau sebenarnya" Mengapa merampas senjata itu. Kembalikan padaku!"
"Empu Semirang, kalau kau ingin tahu siapa diriku buka matamu lebar-lebar. Lihat
baik-baik!"
Raden Ageng Daksa usap wajahnya.
Wusss! Segulung asap hitam mengepul dari tubuh dan kepala.
Sosok Raden Ageng Daksa lenyap. Di balik kepulan asap yang kemudian menipis kini
berdiri seorang kakek berambut putih panjang, bermata juling, bertubuh kurus jangkung, berpakaian putih sepinggang. Di keningnya terdapat delapan benjolan
sebesar ujung ibu jari berwarna merah dan mengepulkan asap. Tangan kanan
memegang bung- kusan kain putih, tangan kiri memegang sebatang tongkat bambu kuning.
"Resi Karbayana... Aku benar-benar tak menyangka,"
ucap Empu Semirang begitu mengenali siapa adanya orang tua di hadapannya. "Apa
yang terjadi dengan dirimu"!
Mengapa ada benjolan di keningmu..."
Orang yang disebut sebagai Resi Karbayana tertawa gelak-gelak. "Empu, kau
keliru. Aku bukan Resi Karbayana, karena resi itu telah kubunuh tiga hari yang
lewat! Lihat baik-baik!" Mulut berucap muka diusap.
Wusss! Sekali lagi asap hitam mengepul dan sesaat kemudian bersamaan dengan lenyapnya
sosok orang tua berambut dan berpakaian putih itu, kini muncul sosok lain yang
juga seorang tua. Seperti Resi Karbayana tadi, orang tua ini juga memegang
bungkusan kain putih berisi keris sakti Kanjeng Sepuh Pelangi. Meski di kening
orang ini juga terdapat delapan benjolan merah namun Empu Semirang tetap masih
bisa mengenali.
"Sahabat Sedayu Galiwardhana, pertapa sakti dari Gunung Merbabu..." ucap Empu
Semirang dengan suara bergetar dan menatap heran. "Bagaimana mungkin. Tidak
salahkah mataku melihat" Bukankah kau sudah meninggal beberapa waktu yang
lalu..." "Kalau ada kekuatan seratus jin yang membawaku kembali ke Bhumi Mataram, tidak
ada satu kekuatan lain pun yang bisa mencegah! Ha... ha... ha!"
"Sedayu Galiwardhana, jangan bicara takabur..."
"Empu Semirang, seharusnya kau aku habisi saat ini juga sebagaimana aku
menghabisi Resi Karbayana. Tapi aku sengaja membiarkan kau tetap hidup. Selain
meng- ingat persahabatan kita di masa lalu aku juga ingin kau menjadi salah satu dari
beberapa gelintir manusia yang akan menjadi saksi terjadinya malapetaka besar
yang akan menimpa Bhumi Mataram! Ha... ha... ha! Tunggu kedatangan Malam Jahanam!" Setelah puas tertawa Sedayu Galiwardhana angkat tangan
kanannya. "Tunggu! Sedayu, kalau kau ingin aku memberi kesaksian katakan apa yang sebenarnya terjadi dengan dirimu.
Siapa yang menguasai dan mengendalikan rohmu"! Lalu malapetaka apa yang kau
maksudkan akan menimpa Bhumi Mataram?"
"Delapan Sukma Merah adalah penguasa tujuh samudera, tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi! Ha... ha... ha."
Itulah jawaban Sedayu Galiwardhana yang tidak dimengerti Empu Semirang Biru.
"Sedayu! Kembalikan keris itu!"
Suara Empu Semirang terputus sampai di situ. Dari ujung ibu jari tangan kanan
Sedayu Galiwardhana melesat selarik cahaya merah. Begitu cahaya ini menyentuh
Empu Semirang tak ampun lagi orang tua ini terkulai lemas, roboh dan masuk
kembali ke dalam reruntuhan gubuk.
Sebelum jatuh pingsan Empu Semirang masih sempat mengucapkan doa, "Sang Hyang
Jagat Bathara. Kalau saya memang harus mati saat ini saya pasrah. Tapi tolong
selamatkan Keris Kanjeng Sepuh pelangi yang dirampas Sedayu Galiwardhana.
Mungkin dia tidak sadar apa yang dilakukannya. Untuk itu wahai Yang Maha Kuasa
tolong sahabat saya itu. Selamatkan rohnya dari kungkungan amarah murka yang
menguasainya."
Siang itu di langit mendadak muncul mendung tebal.
Udara di puncak Gunung Bismo berubah kelam dan siuran angin menderu kencang. Tak
lama kemudian hujan lebat turun membasahi bumi. Ketika malam tiba Empu Semirang
masih berada di antara reruntuhan gubuknya. (Mengenai riwayat Sedayu Galidharna
silahkan dibaca serial Mimba Purana Satria Lonceng Dewa. Telah terbit episode
"Perawan Sumur Api", "Arwah Candi Miring", "Pangeran Bunga Bangkai", "Dewi
Tangan Jerangkong", dst.)
WIRO SABLENG MALAM JAHANAM DI MATARAM
Wiro Sableng 171 Malam Jahanam Di Mataram di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
10 AK LAMA setelah Empu Semirang pingsan di tengah reruntuhan atap gubuk, seseorang
berkelebat dari Tlereng timur Gunung Bismo. Dalam waktu singkat dia sudah berada
di bagian belakang gubuk. Dengan cepat orang ini mengeluarkan Empu Semirang dari
bawah rerun- tuhan atap lalu memanggulnya di bahu kiri. Sebelum meninggalkan tempat itu dia
memeriksa lebih dulu terutama sekitar tempat Empu Semirang mengerjakan pembuatan senjata. Dengan beberapa kali tendangan saja dia melempar jauh reruntuhan
gubuk, melanjutkan pemeriksaan. Namun dia tidak menemukan apa yang dicarinya.
"Kalau takdir Yang Maha Kuasa telah terjadi. Tidak satu insan pun di muka bumi
ini mampu menolak. Semoga Para Dewa memberi petunjuk..."
Habis keluarkan ucapan orang ini segera berkelebat pergi, membawa Empu Semirang
Biru. Empu Semirang Biru tidak tahu berapa lama dia berada dalam kedaaan pingsan.
Ketika siuman dia dapatkan diri terbaring di atas kasur empuk di dalam satu
kamar tidak seberapa besar. Orang tua ini coba mengingat-ingat. Dia ingat apa
yang telah terjadi sebelumnya. Namun dia tidak mengetahui di mana dia berada
saat itu dan bagaimana bisa sampai di tempat itu. Selagi dia menduga-duga tibatiba pintu kamar terbuka. Seorang berpakaian prajurit lengkap dengan tombak di
tangan masuk mengiringi seorang pelayan membawa secangkir minuman dan sepiring makanan. Pelayan ini juga
membawa sehelai pakaian berwarna biru. Kepada Empu Semirang pelayan memberitahu kalau dia selesai makan dan
minum, dia harus mengganti pakaiannya yang basah lalu keluar dari kamar. Kedua
orang itu keluar dari kamar tanpa Empu Semirang sempat bertanya.
"Jangan-jangan aku berada di dalam istana raja," kata sang Empu dalam hati.
"Lalu bagaimana aku bisa berada di sini" Siapa yang membawa?"
Empu Semirang hanya meneguk minuman hangat
dalam cangkir. Dia sama sekali tidak menyentuh makanan di atas piring. Ketika
dia keluar dari kamar, perajurit dan pelayan tadi sudah ada di depan pintu.
Pelayan masuk ke dalam kamar, si prajurit meminta Empu Semirang mengikutinya. Sewaktu melewati satu taman terbuka baru dia tahu kalau saat itu siang
hari. Orang tua ini tidak bisa menduga apakah ini hari yang sama saat keris
sakti dirampas orang atau ini adalah hari keesokannya. Hanya satu hal yang
diyakininya. Saat itu dia memang berada di istana Sri Maharaja Mataram di
kotaraja. "Secepat inikah aku bisa sampai di kotaraja dan masuk ke dalam istana" Pasti ada
orang sakti yang menerbangkan diriku dari Gunung Bismo ke sini," pikir Empu Semirang. "Prajurit, aku mau dibawa ke mana?" Empu Semirang bertanya. Orang yang ditanya
hanya menoleh sebentar tapi tidak menjawab.
Ternyata orang tua ahli pembuat senjata itu diantar memasuki sebuah ruangan
pertemuan besar. Di dekat pintu banyak pengawal melakukan penjagaan. Di dalam
ruangan itu telah berada lebih dari sepuluh orang. Salah seorang di antaranya
duduk di atas sebuah kursi besar di lantai yang agak tinggi sementara yang lainlain duduk berderet di atas bangku panjang dialas kasur.
Empu Semirang merasa agak tegang. Orang yang duduk di atas kursi besar bukan
lain adalah Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Dalam hati Empu Semirang
berkata, "Orang membawa aku ke hadapan Raja Mataram.
Pasti ada sangkut pautnya dengan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang hilang.
Agaknya Raja dan semua orang yang ada di sini akan memberi putusan hukum atas
diriku. Aku pasrah menerima hukuman. Aku telah berlaku lalai hingga keris sakti
milik kerajaan lenyap dirampas orang."
Empu Semirang jatuhkan diri, bersujud sedekat mungkin di hadapan Sri Maharaja Mataram sambil mulutnya berucap. "Sembah sujud dan
hormat saya untuk Sri Maharaja Mataram. Saya sadar kesalahan saya. Saya Empu Semirang Biru siap menerima
hukuman." Tiba-tiba ada orang mendatangi dan menyuruhnya berdiri. "Empu Semirang, kita
tidak punya waktu lama. Ini pertemuan sangat penting dan sangat rahasia.
Menyang- kut keselamatan Mataram dan rakyatnya. Kau dibawa ke istana ini, menghadap Sri
Maharaja Mataram bukan untuk diadili atau dijatuhi hukuman. Sri Maharaja Mataram
dan kami semua yang ada di sini ingin mendapat penjelasan mengenai apa yang
terjadi dengan dirimu. Lalu ke mana lenyapnya Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Aku
akan mewakili Sri Maharaja Mataram sebagal juru tanya."
Empu Semirang perlahan-lahan berdiri. Di hadapannya tegak seorang lelaki separuh
baya yaitu orang yang barusan bicara dan membantunya berdiri. Orang ini mengenakan topi tinggi, pakaian lurik hitam sebatas pinggang dan empat kalung
tergantung di leher. Inilah Raden Ageng Daksa. Karena masih ada perasaan
khawatir Empu Semirang memperhatikan mata kiri orang. Seperti yang pernah
dilihat sebelumnya salah satu bagian putih mata orang itu terdapat tanda atau
bintik berwarna hitam.
Berarti dia memang sebenarnya Raden Ageng Daksa.
"Raden..."
Raden Ageng Daksa memberi tanda agar Empu Semirang tidak bicara dulu. Dia diantar dan dipersilahkan duduk pada satu bantalan
tinggi di deretan paling depan tak jauh dari duduknya Sri Maharaja Mataram.
Raden Ageng Daksa sendiri kemudian mengambil tempat duduk di hadapan Empu
Semirang. Pintu ruangan ditutup pengawal dari luar.
Di atas sebuah meja di tengah ruangan, Empu Semirang melihat sebuah mangkok besar terbuat dari porselin putih. Di dalam mangkok
yang hampir sebesar pelukan tangan ini terdapat air berwarna kehijau-hijauan. Di
atas air mengambang asap tipis yang juga berwarna hijau. "Air Penjajak Bala..."
Ucap sang Empu dalam hati begitu mengenali mangkok dan isinya karena dia telah
pernah melihat sebelumnya. Di atas meja juga terletak gagang dan sarung keris
berlapis emas serta kotak kaca. Orang tua ini kemudian perhatikan orang-orang
yang ada dalam ruangan.
Sri Maharaja Rakai Kayuwangi duduk di atas kursi kebesaran. Walau sikapnya
gagah, Raja yang baru berusia tiga puluh tahun ini agaknya sedang dalam
kegelisahan karena sambil duduk berkali-kali dia mengusapkan dua telapak
tangannya satu sama lain.
Di deretan bangku panjang sebelah depan duduk seorang kakek berjubah biru gelap.
Rambut, kumis dan janggut sangat putih hampir menyerupai kapas. Dia duduk dengan
tubuh bungkuk bertopang sebuah tongkat tembaga yang ujungnya berbentuk
lingkaran. Kening, leher dan pinggang diikat sehelai kain hitam yang penuh
sulaman aksara bertuliskan huruf Palawa. Usianya sulit diduga.
Empu Semirang mengenali orang tua ini bernama Umbut Watukura dan di Bhumi
Mataram biasa dipanggil dengan sebutan Eyang Dukun. Sebelum dan sampai Sri
Maharaja Rakai Kayuwangi memegang tahta kerajaan, Eyang Dukun dipercaya untuk
menjaga keselamatan kerajaan dan rakyat. Konon Eyang Dukun mempunyai hampir lima puluh murid atau anak buah tersebar
di seluruh Bhumi Mataram.
Di samping Eyang Dukun duduk seorang lelaki bertubuh tinggi tegap, berkumis
melintang dan berjanggut tebal, membekal dua bilah keris di belakang pinggang.
Di dada kirinya yang berotot ada jarahan gambar burung rajawali mengembangkan
sayap. Orang ini adalah Garung Parawata, panglima pasukan kerajaan. Pada ujung bangku yang diduduki Empu Semirang
duduk seorang perempuan yang walau usia sudah lebih dari setengah abad tapi
masih berpenampilan cantik dan segar. Tubuh tinggi semampai dibalut kulit sawo
matang. Di atas pinggul yang besar terdapat pinggang ramping. Lalu di sebelah atas menonjol dada yang montok. Rambut
yang sebenarnya sudah putih dicat hitam, dikuncir tinggi di atas kepala. Di
bawah alis kereng melengkung, perempuan ini memiliki sepasang mata yang agak
jereng. Konon mata yang jereng ini menjadi daya tarik sendiri bagi orang laki-laki di kalangan istana.
Perempuan bernama Ratu Randang ini dikenal sebagai penasihat Sri Maharaja dan
masih merupakan kerabat sangat dekat pada garis keturunan raja-raja Mataram.
Selama hidup sampai seusianya sekarang Ratu Randang belum pernah mempunyai
suami. Namun tersiar kabar yang tidak sedap di kalangan istana bahwa Ratu
Randang punya simpanan beberapa orang pemuda gagah. Hanya saja sebegitu jauh
tidak ada satu orangpun yang bisa membuktikan hal itu atau mengetahui siapa
adanya pemuda-pemuda tersebut. Sambil menunggu dimulainya pembicaraan Ratu
Randang mempermainkan cincin emas berbatu permata yang berderetan di jari-jari
tangan kanan kiri. Selagi Empu Semirang memperhatikan tak sengaja Ratu Randang
memandang ke arahnya. Perempuan ini layangkan senyum dan kedipkan mata. Sang
Empu hanya balas mengangguk lalu cepat-cepat alihkan padangan ke jurusan lain.
Pandangan Empu Semirang kemudian tertuju pada seorang lelaki tua gemuk bercelana
dan memakai baju rompi berwarna merah. Di atas kepalanya bertengger topi yang
juga berwarna merah. Rambut merah menjulai di bawah topi panjang sekuduk. Si
gemuk ini memiliki sepasang mata yang sangat sipit hingga tampak seolah-olah dia meram terus-terusan
sepanjang hari. Pipinya yang tembam bergerak-gerak karena mulutnya tak bisa diam
selalu berkomat kamit. Sepuluh jari tangan selalu digesek-gesekkan satu sama lain. Dalam kalangan Istana Mataram si gemuk ini dikenal sebagal
tabib sakti bernama Soka Kandawa berjuluk Sepuluh Jari Dewa.
Kecuali beberapa tokoh silat istana yang memiliki jabatan tinggi. Empu Semirang
tidak mengenal siapa adanya orang-orang lain yang ada di tempat itu. Tapi adalah
pasti mereka orang-orang yang sangat dipercaya hingga diminta hadir dalam
pertemuan penting dan rahasia itu. Raden Ageng Daksa berdiri dari duduknya.
Lelaki berusia enam puluh tahun ini punya ilmu kesaktian tinggi dengan kedudukan
sebagai pejabat penting kepercayaan Sri Maharaja. Boleh dikatakan setingkat
lebih tinggi di atas Panglima Pasukan Kerajaan Garung Parawata. Membungkuk ke arah Sri Maharaja kaku menanyakan apakah pertemuan penting dan rahasia itu bisa segera dimulai. Raja memberi jawaban dengan
anggukan kepala.
WIRO SABLENG MALAM JAHANAM DI MATARAM
11 ETELAH menatap sebentar ke dalam mangkok
porselen putih berisi Air Penjajak Bala, Raden Ageng SDaksa berpaling pada Empu
Semirang Biru. "Empu, kami di Istana Mataram tadi malam mendapat petunjuk dari
Para Dewa di Swargaloka kalau Empu telah berhasil menyelesaikan pembuatan Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi hanya dalam waktu dua hari. Ini adalah aneh tapi sungguh
luar biasa. Namun menyusul petunjuk yang menggembirakan itu telah terjadi sesuatu di tempat kediaman Empu di Gunung Bismo. Jelasnya
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang baru saja Empu selesaikan pembuatannya hilang.
Namun kami tidak mengetahui jelas bagaimana kejadiannya. Sri Maharaja
memerintahkan aku melakukan penyelidikan.
Ketika fajar menyingsing ketika aku datang ke tempat kediaman Empu di lereng
Gunung Bismo, Empu aku temukan dalam keadaan pingsan, tertimbun di bawah runtuhan atap dan dinding gubuk.
Bersyukur kepada Yang Maha Kuasa Empu masih dipanjangkan umur walau mengalami
cidera. Selagi Empu masih dalam kedaaan pingsan, Tabib Sepuluh Jari Dewa telah
mengobati hingga tidak ada yang perlu Empu khawatirkan lagi..."
Embu Semirang memandang ke arah Tabib Soka
Kandawa alias Sepuluh Jari Dewa. Dua telapak tangan dirapatkan di depan dada
lalu tubuh dibungkukkan memberi penghormatan sebagai tanda ucapan terima kasih yang tulus. Tabib bertubuh
gemuk berambut merah itu tersenyum. Manggut-manggut sambil mata yang sipit
dikedap-kedip. Tampangnya tampak lucu.
Raden Ageng Daksa lanjutkan ucapan. "Empu Semirang, saat ini Maharaja Mataram dan kami semua di sini ingin mengetahui apa yang
terjadi. Harap Empu menerangkan sejelas-jelasnya. Jangan ada satu halpun yang terlupa atau terlewatkan..."
Setelah menghatur sembah kepada Sri Maharaja Rakai Kayuwangi dan membungkuk
hormat pada orang-orang yang ada dalam ruangan, Empu Semirang segera memberi
penuturan. Orang tua ini memulai ceritanya dari kedatangan orang tua misterius bersorban dan berjubah kelabu ke gubuknya di lereng
Gunung Bismo. "Orang tua yang tidak saya kenal itu pertama kali datang tidak menjejakkan kaki
di tanah. Tubuh mengambang di udara. Dia menyuruh saya memasukkan dua tangan ke dalam tumpukan bara
menyala. Walau mula-mula saya merasa takut namun saya ikuti juga. Ketika dua
tangan saya tarik ternyata dua tangan saya telah berubah menjadi bara api yang
sangat panas. Tapi tidak menciderai.
Dengan tangan seperti itu saya bisa lebih mudah dan lebih cepat mengerjakan
pembuatan keris..."
Sri Maharaja Mataram berpaling pada Umbut Watukara.
"Eyang Dukun harap kau memeriksa ke dalam Air Penjajak Bala. Selidiki siapa
orang itu." Lalu Sri Maharaja berpaling pada Ratu Randang. "Ada sesuatu yang
akan kau katakan Ratu Randang..."
"Jika dua kaki tidak menginjak tanah berarti ada dua kemungkinan. Pertama orang
itu sebangsa jin putih yang menjelma jadi manusia. Atau kedua, mungkin dia
adalah orang yang sangat dekat dengan kekuasaan Para Dewa di Swargaloka. Yang
manapun dia sebenarnya maka dia adalah makhluk baik. Tapi dalam jaman edan
seperti sekarang ini musang bisa saja berbulu domba. Ular bisa berkepala
sepuluh. Jerangkong bisa jadi perempuan cantik, tapi bukan aku ya... Hik...
hik... hik..."
"Terima kasih Ratu Randang," ucap Sri Maharaja lalu dia memberi tanda pada Eyang
Dukun. Kakek bungkuk si dukun sakti membungkuk hormat, lalu berdiri dan melangkah ke
hadapan mangkok porselen di atas meja. Sebelum memandang ke dalam air di dalam
mangkok terlebih dulu dia berkata pada semua orang yang ada di tempat itu untuk
membantu. Maka semua orang segera rangkapkan dua tangan di atas dada, ada juga
yang merapatkan dua telapak tangan lalu diletakkan di atas kepala. Mereka
serentak mengerahkan tenaga dalam dan kesaktian yang dimiliki.
Eyang Dukun sapukan tongkat tembaga di atas mangkok porselen, dari kiri ke kanan tiga kail berturut-turut.
Kepulan asap putih menebal. Air hijau di dalam mangkok bergejolak seperti
mendidih. Sesaat kemudian asap lenyap dan air tenang kembali.
Eyang Dukun lebih membungkukkan diri lalu menatap ke dalam air. Sesaat kemudian
dengan wajah tampak merah dan keringatan dia melangkah mundur lalu membungkuk ke arah Sri Maharaja Rakai Kayuwangi.
"Sri Maharaja Mataram, ilmu kepandaian saya tidak dapat menjajaki keberadaan
orang itu, melihat ujud atau mengetahui siapa adanya. Saya hanya melihat kilatan
cahaya putih beberapa kali di dalam air. Satu pertanda siapapun adanya orang tua
itu dia berasal dari alam arwah dan memiliki roh putih. Agaknya keberadaannya
mendapat perlindungan dari Para Dewa di Kahyangan. Tongkat saya telah meresap
kilatan cahaya putih di dalam air. Kita hanya bisa mengharap paling cepat tujuh
hari di muka baru bisa mengetahui atau paling tidak mengadakan sambung rasa
dengan roh tersebut..."
Sri Maharaja berpaling pada Raden Ageng Daksa.
Lalu orang kepercayaan Raja itu berkata. "Waktu kita sangat pendek. Kita tidak
bisa menunggu sampai tujuh hari. Sesuatu yang mengerikan akan terjadi sebelum
tujuh hari. Mungkin nanti malam, besok pagi atau lusa..."
Raden Ageng Daksa kemudian berpaling pada Ratu Randang, satu-satunya perempuan
di ruangan itu.
"Ratu, bagaimana menurut jalan pikiranmu?"
"Aku akan menemui makhluk bernama Arwah Ketua begitu selesai pertemuan ini. Aku
rasa dia bisa memberi petunjuk. Bukankah petunjuk yang kita terima sebelumnya
berasal dari dirinya...?"
"Terima kasih Ratu Randang. Lakukan hal itu secepat pertemuan ini selesai," kata
Raden Ageng Daksa pula (Siapa adanya Arwah Ketua harap baca "Arwah Candi Miring"
serial kedua Satria Lonceng Dewa).
Ratu Randang susun sepuluh jari di atas kepala.
"Perintah akan aku laksanakan."
Empu Semirang lalu melanjutkan penuturan. Dia menceritakan munculnya seorang perempuan muda berwajah cantik sekali mengaku
bernama Sri Padmi Kameswari.
Perempuan ini merayu dan membujuknya untuk menukar besi sakti biru dengan besi
hijau. Karena terus-terusan menolak perempuan itu kemudian coba merampas besi
biru cikal bakal Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang belum jadi, masih berbentuk
besi kasar panjang dan polos.
"Sosok perempuan muda cantik itu kemudian berubah menjadi nenek buruk dengan
Wiro Sableng 171 Malam Jahanam Di Mataram di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
delapan benjolan merah di kening. Dia mengaku bernama Gendeng Pakumati. Dia
menyerang saya dengan sepuluh senjata berbentuk paku yang keluar dari ujung
jarinya. Saya tidak mungkin menyelamatkan diri. Tiba-tiba terjadi kehebatan yang aneh. Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi yang masih merupakan lempengan besi kasar melesat ke udara menghancurkan
sepuluh paku. Sebelum pergi si nenek meneriakkan semacam kutukan. Bahwa Mataram
akan dilanda bencana. Berubah menjadi neraka. Semua orang akan menemui ajal
secara mengerikan..."
Ketika Empu Semirang hentikan ceritanya, keadaan di ruangan besar itu untuk
beberapa lama menjadi hening.
Sampai akhirnya Raden Ageng Daksa meminta sang Empu melanjutkan penuturan.
"Ujian dan bahaya rupanya belum berhenti atas diri saya. Pagi hari sesaat
setelah fajar menyingsing yaitu setelah saya menyelesaikan pembuatan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi, saya kedatangan
Raden Ageng Daksa..."
Raden Ageng Daksa terkejut, langsung berdiri dari duduknya. Sri Maharaja Mataram
kerenyitkan kening.
Semua orang yang ada di ruangan itu menatap ke arah orang kepercayaan Raja
Mataram itu. "Empu Semirang," ujar Raden Ageng Daksa pula. "Aku tidak mendatangimu pada pagi
hari. Tapi baru pada malam hari. Bagaimana kau bisa mengatakan..."
"Saya tahu Raden. Yang datang memang bukan Raden, tapi seseorang yang merubah
ujud seperti Raden." Jawab Empu Semirang. "Pertama kali melihat saya sudah tahu
kalau dia bukan Raden yang asli. Ada beberapa hal yang membuat saya curiga. Di
antaranya Raden tidak datang membawa sarung dan gagang keris serta kotak kaca
untuk menyimpan senjata itu. Kemudian, ini yang paling tidak masuk akal. Di mata
kiri orang itu tidak ada bintik hitam seperti keadaan mata kiri Raden..."
"Ahh..." Raden Ageng Daksa menghela nafas lega. "Kau cerdik Empu."
"Karena saya menolak memberikan keris, dalam marahnya orang itu tiba-tiba
merubah diri. Ujudnya kini menjadi ujud Resi Karbayana. Di kepalanya ada delapan
benjolan merah..."
Semua orang termasuk Sri Maharaja terkejut mendengar ucapan Empu Semirang.
Sang Empu lanjutkan cerita. "Ketika saya menegur mengapa dia jadi berkeadaan
seperti itu makhluk itu mengatakan kalau dia bukan Resi Karbayana karena resi
itu telah dibunuhnya tiga hari lalu. Lalu ujud sang resi berubah menjadi sosok Sedayu Galiwardhana pertapa sakti dari Gunung Merbabu.
Seperti yang lain-lainnya, di keningnya juga terdapat delapan benjolan merah berasap..."
Sri Maharaja Mataram bangkit berdiri dari kursinya.
"Empu Semirang ini satu keanehan yang dahsyat. Kecuali kalau semua ceritamu
adalah dusta belaka! Semua orang di Mataram tahu kalau pertapa suci Sedayu
Galiwardhana telah tewas beberapa waktu lalu dalam perkara yang ada hubungannya
dengan Sumur Api dan Empat Gading bersurat..." (Baca serial Mimba Satria Lonceng Dewa, "Pendekar Bhumi Mataram").
Mendengar teguran sang Raja, Empu Semirang segera jatuhkan diri, berlutut dan
berkata. "Ampun beribu ampun wahai Sri Maharaja Mataram. Saya ini orang bodoh,
tetapi saya tidak pernah berani bicara dusta di hadapan Sri Maharaja."
Hening seketika. Sang Empu lanjutkan bicaranya. "Yang muncul kali ini memang roh
sahabat saya Sedayu Galiwardhana karena ujudnya tidak berubah menjadi ujud makhluk lain. Dia mengatakan sengaja tidak membunuh saya karena dia ingin saya
menjadi salah seorang saksi atas malapetaka besar yang akan menimpa Bhumi
Mataram. Dia berteriak. Tunggu kedatangan Malam Jahanam. Saya bertanya siapa yang
menguasai dan mengendalikan rohnya. Malapetaka besar apa yang akan terjadi di Mataram.
Dia menjawab bahwa Delapan Sukma Merah adalah penguasa tujuh samudera, tujuh
lapis langit dan tujuh lapis bumi. Sedayu Galiwardhana kemudian lenyap bersama
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang ada dalam bungkusan kain putih. Saya mengaku
salah karena saya tidak bisa mempertahankan senjata bertuah itu. Saya siap
menerima hukuman..." Empu Semirang meratap.
"Hal buruk telah terjadi di Mataram tanpa kita bisa mencegah. Tapi yang lebih
buruk agaknya segera akan datang," Sri Maharaja Rakai Kayuwangi duduk kembali ke
kursi lalu berkata. "Malam Jahanam. Apa yang akan terjadi.
Delapan Sukma Merah! Makhluk apa itu" Ratu Randang, coba kau periksa. Eyang
Dukun lihat dalam Air Penjajak Bala. Satu hal yang jadi pertanyaan, mengapa roh
Sedayu Galiwardhana, siapapun yang mengendalikannya, merampas Keris Kanjeng Sepuh Pelangi..."
Ratu Randang segera pejamkan mata. Kepala mendongak. Dua tangan dikembang ke depan, agak ke samping. Kakek yang disebut Eyang Dukun cepat melangkah dan menunduk di depan
mangkok porselen putih.
Keadaan di dalam ruangan kembali diselimut kesunyian. Semua mata memperhatikan Ratu Randang dan Eyang Dukun. Tiba-tiba tubuh
Ratu Randang terdorong dua langkah ke belakang. Mata masih terpejam nafas
mengengah. Dada turun naik. Dia berteriak keras.
"Jahanam kurang ajar! Siapa yang meraba dadaku!"
Jeritan perempuan berusia lebih setengah abad ini membuat semua orang melengak
kaget. Raden Ageng Daksa cepat mengusap kening Ratu Randang lalu menuntunnya ke tempat duduk.
"Ratu Randang, tak ada yang meraba dirimu. Duduk dan tenanglah. Katakan apa yang
kau lihat..."
Ratu Randang buka kedua matanya, memandang mendelik pada Raden Ageng Daksa.
"Ageng Daksa, apa kata Raden"! Lihat ini!" teriak Ratu Randang. Lalu brettt! Dia
robek dada pakaiannya sendiri.
Semua mata memandang membeliak besar. Di kiri kanan dada montok yang tersingkap
itu kelihatan tanda jari tangan berwarna merah. Jumlahnya hanya delapan tanpa
jari tengah! "Kenapa cuma delapan jari" Tidak utuh sepuluh"!"
Hampir semua orang yang melihat bertanya-tanya seperti itu. Di depan mangkok
besar Eyang Dukun mengangkat tongkat tembaganya tinggi-tinggi. Dari mulut keluar
suara menggembor. Ketika dia memutar tubuh kelihatan bagaimana kedua matanya telah digenangi darah merah dan kental!
"Delapan Sukma Merah! Makhluk itu ada di sini!" Eyang Dukun berteriak.
Semua orang menjadi geger! Di atap ruangan tampak cairan merah kental meleleh
berjatuhan ke lantai. Di saat bersamaan seluruh ruangan bergoyang keras. Dinding
dan lantai retak-retak.
"Selamatkan Sri Maharaja Rakai Kayuwangi!" Teriak Ratu Randang.
Garung Parawata segera melompat merangkul raja lalu melarikannya ke arah pintu.
Raden Ageng Daksa mendahului membuka jalan dengan melepas pukulan sakti tangan kosong hingga pintu
ruangan hancur berantakan.
WIRO SABLENG MALAM JAHANAM DI MATARAM
12 EMAKIN jauh sang surya menggelincir ke ufuk tenggelamnya di sebelah barat, keadaan di kotaraja terSutama di kawasan istana tampak semakin mencekam. Di luar tembok istana puluhan prajurit melakukan perondaan. Pasukan
kerajaan di bawah pimpinan Garung Parawata dalam jumlah besar ditempatkan di
beberapa kawasan untuk berjaga-jaga. Sampai ke desa-desa termasuk beberapa candi besar pasukan kerajaan terutama yang menunggangi kuda
melakukan pengawasan. Hal ini mendatangkan tanda tanya besar bagi rakyat. Untuk menghindarkan kekacauan Raden Ageng Daksa memang memberi perintah agar tidak memberi
tahu adanya bahaya. Selain itu memang belum diketahui malapetaka apa yang akan
terjadi atau kapan akan terjadinya. Namun rakyat Mataram yang rata-rata memiliki
tingkat pemikiran cukup tinggi tidak mau berdiam diri. Sejak matahari terbenam
mereka ter- utama orang laki-laki berada di luar rumah. Kentongan siap dipukul jika mendadak
muncul bahaya. Kebanyakan dari mereka menduga akan ada serangan dari kaum pemberontak dari wilayah selatan. Karenanya orang laki-laki rata-rata membekal
senjata berupa golok atau tombak.
Menjelang malam tiba Sri Maharaja dan semua pejabat penting kecuali Panglima
Garung Parawata berkumpul di sebuah ruangan rahasia. Sementara istri-istri Sri
Maharaja bersama puluhan perempuan lain dan anak-anak dikumpulkan di Kaputren, dijaga hampir seratus pengawal.
Ruangan bekas tempat pertemuan kini dalam keadaan porak-poranda. Atap runtuh,
dinding dan lantai jebol. Selain itu cairan aneh berwarna merah yang menebar bau
busuk menggenang di lantai.
Di satu ruangan dalam kawasan istana, Umbut Watukura alias Eyang Dukun ditemani Tabib Soka Kandawa alias Sepuluh Jari Dewa
tengah melakukan penyelidikan.
Dari dalam ruang pertemuan yang telah ambruk Eyang Dukun sebelumnya mengambil
secawan air merah yang menggenangi lantai. Dua orang sakti itu duduk saling
berhadapan. Sang Dukun letakkan dua tangan di bahu sang Tabib sementara Tabib
ini juga melakukan hal yang sama, meletakkan dua tangan di bahu kiri kanan Eyang
Dukun. Cawan berisi cairan diletakkan di lantai di antara keduanya.
Setelah beberapa lama saling mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti, Eyang
Dukun duluan bicara.
"Aku melihat banyak Gunung..."
"Aku melihat banyak sungai," berucap Tabib Soka Kandawa. "Ada delapan lingkaran merah aneh di langit gelap..."
Menimpali Eyang Dukun.
"Aku medengar suara jeritan-jeritan angker seolah keluar dari dalam jurang batu
yang dalam..."
Eyang Dukun turunkan dua tangannya dari bahu Tabib Soka Kandawa.
"Kita harus segera menemui Sri Maharaja. Aku khawatir Malam Jahanam yang
dikatakan roh Sedayu Galiwardhana kepada Empu Semirang akan terjadi malam ini.
Malam Selasa Pahing..."
"Aku juga menduga begitu," menyahuti Tabib Soka Kandawa. "Tapi apa yang
sebenarnya akan terjadi"
Bagaimana caranya kita menolak dan menangkal..."
"Aku akan meminta Sri Maharaja mengeluarkan Kereta Kencana Kanjeng Ratu Adil.
Meletakkan kereta itu di wuwungan istana. Selain itu kita juga harus memagari
seluruh Bhumi Mataram dengan doa Empat Penjuru Angin Menolak Bala. Kita harus
melakukannya malam ini juga!"
Kedua orang itu segera meninggalkan ruangan
bergegas menemui Sri Maharaja Mataram dan para tokoh kerajaan lainnya.
*** LANGIT di atas Mataram gelap tidak berbintang. Angin dari selatan, jauh dari
arah laut bertiup kencang. Cabang pepohonan bergoyang, ranting berderak dan
dedaunan bergesekan mengeluarkan suara gemerisik berkepanjangan. Ketika hujan rintik-rintik mulai turun di halaman istana, ratusan orang
kebanyakan di antaranya adalah anak murid Eyang Dukun duduk di halaman seputar
tembok istana. Mereka melafatkan doa memohon perlindungan pada Yang Maha Kuasa untuk Sri Maharaja Rakai Kayuwangi dan keluarga
serta kerabat istana dan juga seluruh rakyat Mataram. Sekitar tiga puluh orang
terpencar di empat sudut halaman, menabuh gendang kecil, mengikuti naik turun, panjang pendek suara doa bersama. Upacara sakral itu dipimpin oleh Eyang Dukun. Diikuti oleh Sri Maharaja, Raden
Ageng Daksa, Empu Semirang, Ratu Randang, Tabib Sepuluh Jari Dewa dan banyak
lagi para pejabat serta petinggi kerajaan. Hujan yang mulai turun agak lebat
tidak mereka perdulikan.
Mendekati tengah malam sebagaimana yang direncanakan Eyang Dukun dan disetujui Sri Maharaja, Kereta Kencana Putih dikeluarkan
dari tempat penyimpanannya di halaman samping kiri istana. Kereta putih tanpa
kuda ini dibawa ke bagian depan istana, dikelilingi oleh empat tokoh kerajaan
yaitu Raden Ageng Daksa, Eyang Dukun, Ratu Randang dan seorang kakek berkepala
botak, ber- jubah kuning yang merupakan tokoh disegani karena ketinggian ilmunya. Orang ini
bernama Klingkit Kuning karena selalu mengenakan pakaian dan ikat kepala berwana kuning. Keempat orang itu berdiri sambil tangan kanan masing-masing memegang roda Kereta
Kencana. Raden Ageng Daksa dan Ratu Randang di sebelah depan sementara Eyang
Dukun dan Klingkit Kuning di bagian belakang.
Eyang Dukun angkat tangan kiri ke atas. Suara doa dan tabuhan gendang serta
merta berubah perlahan. Raden Ageng Daksa, Klingkit Kuning dan Ratu Randang
letakkan tangan kanan di atas kepala. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi silangkan dua tangan di depan dada, kepala ditundukkan, mulut berucap.
"Wahai Para Dewa di Swargaloka. Jika memang ada bahala dan bencana yang akan
menimpa kerajaan dan rakyat Mataram, kami mohon perlindungan dariMu. Buang jauhjauh bencana itu ke tengah laut dan hukum orang-orang atau makhluk yang telah
melakukan kejahatan.
Wahai Yang Maha Kuasa, hanya kepadaMu tempat kami meminta tolong dan berlindung.
Dengarkan dan kabulkan permintaan kami..."
Begitu selesai Raja Mataram mengucapkan doa permohonan, empat orang yang memegang roda kereta berteriak keras lalu tubuh mereka melesat ke udara. Semua mata yang ada di tempat
itu menyaksikan bagaimana Kereta Kencana Putih ikut naik ke udara lalu perlahanlahan diturunkan di atas wuwungan istana. Empat orang yang tadi mengangkat
kereta segera melayang turun kembali.
Angin dari laut yang semula bertiup kencang kini mereda. Langit yang tadi gelap kini mulai terang.
"Terima kasih Yang Maha Kuasa. Engkau telah mendengar permohonan kami." Berkata Sri Maharaja Mataram yang kini berdiri
dikelilingi keempat orang yang tadi membawa terbang Kereta Kencana Putih ke atas wuwungan.
Empu Semirang yang juga berada di tempat itu mengusap muka tengkoraknya berulang kali. Sewaktu dia mengusap rambutnya yang
berwarna biru tak sengaja dia menatap ke langit. Saat itu juga dia tersentak
kaget. Muka berubah pucat. Tadi langit yang gelap telah berubah terang dan
bersih. Tapi kini di langit kelihatan lingkaran besar awan berwarna kelabu.
"Astaga. Dewa Jagat Bathara..." Empu Semirang mengucap. Wajah tak berdaging orang tua ini tampak pucat.
"Ada apa Empu...?" Tanya Tabib Soka Kandawa yang berdiri di sebelah Empu
Semirang. "Memandanglah ke langit. Ada lingkaran besar awan kelabu. Pertanda buruk itu
muncul kembali..."
Tabib gemuk bermata sipit menatap ke langit. "Aku tidak melihat apa-apa. Langit
bersih..." Kata si gemuk.
Empu Semirang tidak puas. Dia memegang bahu
seorang perajurit di samping kirinya. "Prajurit coba kau melihat ke langit.
Apakah kau melihat ada lingkaran awan berwarna kelabu?"
Si prajurit melakukan apa yang disuruh. Sesaat kemudian dia menggeleng. "Saya tidak melihat apa-apa Empu..."
"Ada yang tidak beres. Mengapa cuma aku sendiri yang melihat pertanda buruk itu.
Sekarang juga ada suara lolongan srigala di kejauhan..." Empu Semirang segera menemui Raden Ageng Daksa. Menceritakan apa yang dilihat dan didengarnya serta arti
pertanda semua itu.
"Empu, kau tak usah khawatir. Bumi Mataram telah dilindungi seribu doa Empat
Penjuru Angin Menolak Bala.
Kereta Kencana Ratu Adil sudah naik ke atas wuwungan istana untuk menangkal
segala macam kejahatan. Para Dewa tidak mungkin berlepas tangan tidak melindungi
Mataram dan rakyatnya..."
"Tapi Raden..."
"Sudahlah Empu, lebih baik kita sama-sama ikut merapal doa walau saat ini keadaan cuaca sudah cerah. Hujan mulai berhenti turun..."
Baru saja Raden Ageng Daksa mengeluarkan ucapan tiba-tiba di kejauhan terdengar
suara bergemuruh. Tanah halaman istana terasa bergetar. Semua orang tercekat
merinding. Saat itulah satu bayangan kelabu entah dari mana datangnya melesat
menyambar tubuh Empu Semirang. Dalam sekejapan mata saja orang tua ahli pembuat senjata itu telah
dipanggul dibawa melompat melewati tembok halaman istana sebelah timur.
Wiro Sableng 171 Malam Jahanam Di Mataram di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada yang menculik Empu Semirang. Lekas cegah!"
Teriak Raden Ageng Daksa. Lalu dengan cepat melesat ke arah lenyapnya sang Empu.
Beberapa orang berkepandaian tinggi termasuk Ratu Randang ikut mengejar.
Namun sang Empu dan si penculik tidak kelihatan lagi.
"Jangan-jangan si penculik itu yang telah meraba dadaku meninggalkan bekas..." Ucap Ratu Randang perlahan.
"Kau tak usah mengawatirkan bekas itu. Kalau kau izinkan aku bisa mengobati
hingga hilang."
Ratu Randang berpaling pada Soka Kandawa si tabib sakti yang barusan bicara.
Tabib gemuk ini kedipkan mata sipitnya sambil sunggingkan senyum.
"Aku lebih baik tidak sembuh daripada kau raba-raba!"
Kata Ratu Randang dengan wajah bersungut. Lalu dia mendekati Raden Ageng Daksa.
"Raden, kurasa ini saatnya aku harus pergi menemui Arwah Ketua di Candi Miring."
Raden Ageng Daksa yang tidak bisa memberi keputusan minta persetujuan Sri Maharaja. Raja anggukkan kepala tanda mengizinkan
namun disertai ucapan agar Ratu Randang cepat kembali.
Sementara di kejauhan suara bergemuruh terdengar semakin keras.
"Seperti suara arus sungai mengamuk deras..." ucap Klingkit Kuning.
"Lekas semua kembali ke istana," kata Raden Ageng Daksa.
WIRO SABLENG MALAM JAHANAM DI MATARAM
13 ADA malam hari saat ratusan orang memenuhi halaman Istana Mataram mulai memanjatkan doa Empat PPenjuru Angin Menolak Bala, jauh
dari kotaraja terjadi keanehan dashyat di hulu tiga sungai besar yang mengalir
ke selatan melewati Bhumi Mataram. Hulu sungai yang bermula di puncak tiga
gunung tenggelam dalam hujan lebat tiada tara. Arus sungai membuntai tinggi dan
deras, mengalir dengan cepat ke arah hilir. Lapat-lapat di kejauhan terdengar suara raungan srigala. Lalu lingkaran awan kelabu besar yang sejak
tadi menggantung di langit bergerak memecah menjadi delapan lingkaran lebih kecil.
Perlahan-lahan delapan lingkaran awan kelabu ini bergerak turun mendekati hulu
tiga sungai. Sementara melayang ke bawah warnanya yang kelabu berubah menjadi
merah. Petir menyabung, guntur menggelegar. Delapan lingkaran merah tiba-tiba memancarkan sinar merah terang. Lalu ribuan percikan aneh
bersama curahan hujan melayang ke bawah, masuk ke hulu sungai di tiga gunung.
Dalam waktu singkat air sungai yang tadinya kecoklat-coklatan dan penuh buntalan
lumpur kini berubah menjadi merah seperti darah!
Penduduk belasan desa yang dilewati tiga aliran sungai menjadi geger dan sangat
ketakutan ketika banjir besar datang melanda lewat tengah malam itu. Pekik jerit
ter- utama perempuan dan anak-anak terdengar di mana-mana menegakkan bulu kuduk.
Suara berbagai ternak menambah kengerian. Ratusan rumah dan pepohonan diterabas hanyut tanpa ampun. Suara
kentongan memberi tahu datangnya bahaya terdengar di berbagai penjuru. Penduduk yang berhasil menyelamatkan diri berusaha lari ke bukit. Namun arus banjir
datang lebih cepat menyapu semua yang menghalang.
Menjelang tengah malam Garung Parawata, panglima pasukan kerajaan bersama
selusin anak buahnya menghambur masuk ke dalam istana. Dia memberi tahu terjadinya banjir aneh di utara Bhumi Mataram.
"Lewat tengah malam banjir akan sampai di kotaraja.
Sri Maharaja dan semua orang yang ada di sini sebaiknya lekas pergi ke Bukit
Batu Hangus. Rasanya itu satu-satunya tempat paling tinggi dekat kotaraja yang
bisa dijadikan tempat penyelamatan..."
Malam itu juga Sri Maharaja Rakai Kayuwangi bersama para istri dan putera
puterinya, para kerabat istana, ditemani Kepala Pasukan Kerajaan, dukun sakti Umbut Watukura alias Eyang Dukun, Tabib Sepuluh Jari Dewa alias Soka Kandawa, Klingkit
Kuning, puluhan pejabat tinggi kerajaan, dengan dikawal ratusan prajurit
berangkat me- nuju Bukit Batu Hangus yang terletak di barat laut kotaraja.
Bukit Batu Hangus merupakan satu bukit yang banyak batu-batu besar berwarna
hitam gosong. Keadaan di sini sangat panas pada siang hari sedang pada malam
teruta- ma menjelang pagi dingin luar biasa. Angin bertiup kencang dari berbagai penjuru. Di bukit ini terdapat beberapa mata air jernih dan
cegukan-cegukan batu membentuk goa besar yang dapat dipergunakan untuk
berlindung. Sebelum meninggalkan istana Sri Maharaja menyempatkan diri menatap ke wuwungan istana di mana diletakkan Kereta Kencana Putih. Raja Mataram ini hela nafas dalam. "Kesaktian Kereta
ternyata tidak mampu menolak bencana yang datang. Insan hanya berusaha. Yang
Maha Kuasa yang jadi penentu..."
Tiba-tiba ada delapan larik sinar merah menyambar disertai gelegar laksana suara
petir. Kereta Kencana Putih hancur berkeping-keping. Meninggalkan kepulan asap
putih dan merah di udara.
Sepasang mata Sri Maharaja tampak berkaca-kaca.
Lalu dia memberi tanda pada kusir kereta untuk segera meninggalkan tempat itu.
Sementara di kejauhan terdengar suara gemuruh air tanda banjir besar semakin dekat.
Sepanjang perjalanan menuju Bukit Batu Hangus pasukan Mataram menolong penduduk banyak desa dan diikutsertakan naik ke bukit.
Tepat tengah malam, banjir besar tiga aliran sungai yang airnya berwarna merah
mencapai kotaraja. Walau gejolak derasnya agak berkurang namun tetap saja mendatangkan bencana mengenaskan.
Ratusan rumah hancur dihanyutkan. Ratusan pohon bertumbangan. Sebagian bangunan
istana roboh. Ke mana mata memandang yang terlihat hanya air berwarna merah
setinggi dada manusia, apungan mayat orang-orang yang tidak mampu menyelamatkan
diri serta bangkai binatang.
Bau busuk menghampar di mana-mana. Dalam keadaan seperti itu dari delapan arah
di kejauhan terdengar suara lolongan srigala seperti saling bersahut-sahutan.
Malam Jahanam seperti yang dikatakan roh Sedayu Galiwardhana benar-benar
kejadian, menimpa Bhumi Mataram! Namun kejahanaman itu agaknya tidak berhenti
hanya sampai di situ.
Di Bukit Batu Hangus Sri Maharaja duduk termenung di atas sebuah batu besar.
"Sri Maharaja, untuk sementara Sri Maharaja cukup aman di sini. Izinkan saya
kembali ke kotaraja untuk mengawasi keadaan. Secepatnya banjir surut saya akan
datang memberi tahu. Saya membawa serta sepuluh prajurit..." Panglima Pasukan
Garung Parawata berkata sambil memegang tali kekang kuda tunggangannya.
Untuk beberapa lama sang Maharaja hanya berdiam diri, tak bisa menjawab.
"Sri Maharaja, kalau Sri Maharaja tidak mengizinkan, saya tidak memaksa..."
"Panglima kau boleh pergi. Bawa serta Eyang Dukun.
Kita harus terus mencari tahu siapa penyebab semua bencana ini. Malam Jahanam
bukan kehendak alam. Tapi ada makhluk jahat yang melakukan. Malam ini aku akan
bertapa di puncak bukit batu. Aku akan mencoba masuk ke alam roh agar dapat
berhubungan dengan roh pertapa Sedayu Galiwardha. Dia satu-satunya makhluk yang
me- nyebut-nyebut Malam Jahanam ketika mendatangi Empu Semirang di Gunung Bismo dan
mencuri Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Kalau kita bisa menemuinya rasanya kita
mungkin akan mendapatkan senjata sakti itu kembali.
Panglima, tunggu sampai aku berada di puncak bukit.
Setelah itu baru kau dan Eyang Dukun boleh pergi..."
Panglima Garung Parawata dan Eyang Dukun sama-sama membungkuk. Keduanya, para
istri dan putra putri serta semua orang yang ada di tempat itu memperhatikan
kepergian raja mereka menuju puncak Bukit Batu Hangus.
Di puncak bukit Sri Maharaja Mataram tampak sebagai sosok hitam samar yang duduk
bersila sementara hujan lebat terus mendera dan tiupan angin kencang sekali.
"Sri Maharaja berada di tempat tinggi dan terbuka. Aku khawatir kalau-kalau
terjadi sesuatu atas dirinya..." Berkata Eyang Dukun setengah berbisik pada Panglima Garung Parawata.
"Kita semua yang ada di sini memiliki jimat bertuah dalam tubuh masing-masing.
Mari sama kita keluarkan dan kita pergunakan untuk memagari puncak bukit. Mudahmudahan dengan kuasa Para Dewa dapat membantu melindungi raja kita..."
Habis berkata begitu Garung Parawata membuat gerakan seperti mengorek mata kanan. Dari mata itu keluar sebentuk benda bulat
bercahaya biru.
Eyang Dukun segera pula meletakkan tangan kanan di atas dada kiri. Tangan itu
membuat gerakan mencengkeram lalu dibetot. Ketika genggaman dibuka terlihat benda berbentuk bintang
bersudut empat berwarna putih.
Tabib Sepuluh Jari Dewa tidak mau ketinggalan. Dia rentangkan sepuluh jari.
Sepuluh sinar hijau mencuat keluar. Ditangkap dengan kedua tangan lalu digulung
hingga berubah menjadi bulat sebesar kelereng.
Klingkit Kuning gosok-gosok ubun-ubun di atas kepala botak. Lalu dia mendehem
tiga kali. Saat itu juga dari batok kepalanya melesat sebuah benda berbentuk
mata tombak. Dengan cepat orang tua berjubah kuning ini menangkap benda itu.
Setelah semua orang yang memiliki jimat mengeluarkan jimat tersebut dari tubuh
masing-masing maka didahului dengan rapalan doa meminta pertolongan Para Dewa,
semua jimat dilempar ke arah Puncak Bukit Batu Hitam.
Sekejapan di udara tampak berbagai warna cahaya jimat melesat menembus hujan
lebat. "Eyang, kita pergi sekarang," kata Panglima Garung Parawata pada Eyang Dukun
sambil mengendus. Dia mencium bau sesuatu. "Ada bau aneh..."
"Aku sudah mencium dari tadi," jawab Eyang Dukun.
Kedua orang ini naik ke atas kuda tunggangan masing-masing. Namun belum sempat
dua kuda itu melangkah menuruni bukit, tiba-tiba kedua binatang ini meringkik
keras lalu roboh. Terguling di tanah hanya mampu menggerak-gerakkan kepala dan ekor sementara empat kaki masing-masing tak berkutik
sedikitpun alias lumpuh!
Garung Parawata dan Eyang Dukun dengan sigap melompat. Namun begitu dua kaki
mereka menyentuh tanah, kedua orang ini serta merta roboh karena sepasang kaki
mendadak terasa lemas dan tak kuasa digerakkan lagi. "Dewa Jagat Bathara! Apa
yang terjadi dengan kedua kakiku"!" Teriak Garung Parawata.
Tabib Sepuluh Jari Dewa dalam kejutnya segera mendatangi kedua orang itu dengan maksud hendak menolong.
Tapi setengah jalan si gemuk ini jatuh terguling. Dua kakinya juga mendadak lumpuh!
Semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus berpekikan. Karena secara bersamaan mereka juga mengalami kejadian yang sama. Lumpuh,
tak mampu berdiri, tak bisa menggerakkan kaki!
Jerit pekik kembali memenuhi Bukit Batu Hangus ketika semua orang entah
bagaimana kejadiannya tahu-tahu di kening mereka muncul delapan benjolan sebesar
ibu jari berwarna merah. Saat itu pula tubuh mereka menggigil laksana diserang
demam panas! Benjolan serupa juga tampak di kening belasan kuda yang ada di atas
bukit! Apa yang dialami orang-orang yang berada di Bukit Batu Hangus malam itu ternyata
menimpa pula semua orang dan binatang yang berada dan masih hidup di Bhumi
Mataram. Lumpuh dan ditumbuhi delapan benjolan di kening serta diserang demam
panas. TAMAT Dapatkah kerajaan dan rakyat Mataram diselamatkan dari bencana yang datang
menimpa pada Malam Jahanam" Apakah Mimba Purana, Satria Lonceng Dewa yang baru berusia dua belas tahun
mampu menjadi penyelamat" Bagaimana nasib Sri Maharaja Rakai Kayuwangi yang tengah bertapa di puncak
Bukit Batu Hangus" Apakah dia juga mengalami malapetaka yang sama" Siapa
sebenarnya dalang di balik semua kejadian mengerikan itu" Apa atau siapa adanya
Delapan Sukma Merah"
Ikuti serial berikutnya:
EMPAT MAYAT ANEH
Pahlawan Dan Kaisar 6 Pendekar Gila 23 Kemelut Di Karang Galuh Ratu Intan Kumala 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama