10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 14
masih juga berusaha menyembunyikan perasaannya yang
tersentuh sikap Swandaru.
Namun sejenak kemudian, maka Pandan Wangi telah hadir
pula sambil membawa minuman hangat serta beberapa
potong makanan. Sambil tersenyum Pandan Wangi berkata
"Selamat datang di Kademangan ini kakang. Apakah kakang
tidak bersama dengan Sekar Mirah" Barangkali ia merasa
rindu pula kepada kampung halamannya. "
Agung Sedayu tersenyum pula sambil menjawab "
Kali ini aku berdua saja dengan Glagah Putih. Mungkin
pada kesempatan lain yang tidak terlalu lama, Sekar Mirah
akan datang. Setidak-tidaknya untuk menengok bayi yang
akan segera lahir. "
"Terima kasih "jawab Pandan Wangi. Lalu katanya t pula
"Bahkan aku ingin Sekar Mirah ada disini disaat aku
melahirkan nanti. " Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil menjawab
"Aku akan menyampaikannya. Tetapi aku harus memberikan
ancar-ancar, kapan anakmu itu akan lahir. "
"Pada saatnya aku akan memberitahukannya "jawab
Pandang Wangi. Namun dalam pada itu, Swandarupun telah memberitahukan
pula kepada Pandan Wangi, bahwa gurunya telah
memanggilnya. Ia akan pergi ke Jati Anom. Tetapi ia tidak
tahu, apakah ia harus bermalam atau tidak. "
"Silahkan kakang "jawab Pandan Wangi "tetapi jika kakang
bermalam lebih dari satu malam, bukankah kakang dapat
meminta satu dua orang cantrik memberitahukan kepadaku" "
"Ya "jawab Swandaru "sementara kakang Agung Sedayu
juga belum tahu, apa saja yang akan dibicarakan oleh Guru. "
Namun dalam pada itu, Swandaru telah minta waktu
barang setengah hari untuk bersiap-siap. Ia harus
memberikan beberapa pesan para pemimpin pengawal Kademangan
sebelum ia pergi ke Jati Anom. Namun karena
jaraknya memang tidak terlalu jauh, maka Swandarupun
berpesan kepada kepercayaannya "Beritahu aku jika ada
sesuatu yang penting sekali. Aku berada di padepokan Guru
di Jati Anom. Demikianlah setelah makan siang, maka Swandarupun
telah berangkat ke Jati Anom bersama Agung Sedayu dan
Glagah Putih. Perjalanan ke Jati Anom memang tidak terlalu lama.
Namun diperjalanan Swandaru sempat bertanya "Apakah kau
telah memerlukan menyediakan waktu untuk mempelajari isi
kitab Guru lebih mendalam kakang" "
Agung Sedayu tersenyum. Katanya "Aku sudah berusaha
sebaik-baiknya. " "Apakah menurut penilaian kakang sendiri, ilmu kakang
sudah meningkat meskipun serba sedikit" "bertanya
Swandaru pula. Pertanyaan itu memang sulit dijawab oleh. Agung Sedayu.
Namun kemudian sambil mengangguk-angguk Agung Sedayu
berkata "Mudah-mudahan usahaku itu berhasil. Memang sulit
untuk menilai diri sendiri. Tetapi agaknya meskipun hanya
setebar rambut ada juga gunanya. "
"Itu sudah baik kakang "jawab Sandaru "lebih baik
melangkah setapak-setapak betapa kecilnya tapak itu
daripada berhenti sama sekali. Sebenarnya menurut
penilaianku, kakang Agung Sedayu memiliki kesempatan
untuk jauh maju kedepan. Namun segala sesuatunya
tergantung kepada kakang Agung Sedayu sendiri. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"Sekarang aku sudah dapat melimpahkan sebagian dari
tugas-tugasku kepada anak-anak muda Tanah Per-dikan
Menoreh. Glagah Putih dapat pula membantu mereka
bersama dengan Prastawa, kemenakan Ki Gede, yang
sekarang baru digelisahkan oleh hubungannya dengan
seorang gadis. Tetapi nampaknya ia telah berusaha mengisi
kegelisahannya itu dengan kerja. Dengan demikian maka aku
mempunyai waktu lebih banyak dari masa-masa sebelumnya.
" "Sokurlah "berkata Swandaru "kakang akan dapat
memberikan sedikit kebahagiaan kepada Guru disaat-saat
terakhir jika kakang dapat menunjukkan peningkatan itu
kepada Guru. " Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Glagah Putih rasa-rasanya menjadi sangat gelisah di
punggung kudanya. Namun ia telah berusaha menahan diri
untuk tidak mencampuri percakapan dua orang saudara
seperguruan itu. Beberapa saat lamanya kuda-kuda mereka berlari-lari kecil
menyusuri bulak bulak panjang, menuju ke sebuah padepokan
kecil di Jati Anom. Perjalanan itu memang bukan perjalanan yang panjang.
Jarak antara Jati Anom dan Sangkal Putung memang tidak
terlalu jauh. Ketika mereka memasuki halaman padepokan, maka para
cantrikpun telah menerima kuda-kuda mereka, sementara Kiai
Gringsing ternyata sudah menunggu mereka di pendapa.
Dengan wajah yang cerah Kiai Gringsing menyongsong
kehadiran kedua orang muridnya dan mempersilahkan mereka
naik ke pendapa bersama Glagah Putih.
Untuk beberapa saat lamanya, mereka masih berbicara
tentang keselamatan masing-masing. Sementara itu, seorang
cantrik telah menghidangkan minuman dan makanan.
"Apakah kau dapat bermalam nanti" bertanya Kiai
Gringsing kepada Swandaru.
"Ya Guru. Untuk semalam aku dapat bermalam. Tetapi jika
perlu dua atau tiga malam aku akan memerlukan tinggal
meskipun aku mohon seorang cantrik dapat memberikan
kabar ke Sangkal Putung "jawab Swandaru.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya "So-kurlah.
Mudah-mudahan aku tidak harus menahanmu lebih dari
semalam. " Swandaru mengangguk hormat. Katanya "Aku akan
menyediakan waktu secukupnya bagi Guru jika itu memang
sangat penting. " "Baiklah "berkata Kiai Gringsing. Dan seperti kebiasaannya,
maka Kiai Gringsing akan lebih senang berbicara
di malam hari. Namun agaknya ada sesuatu yang ingin
ditunjukkan kepada kedua orang muridnya dan Glagah Putih.
Karena itu, setelah minum beberapa teguk dan makan
beberapa potong makanan, Kiai Gringsing telah mengajak
kedua muridnya dan Glagah Putih ke sanggar.
Seperti yang dijanjikan kepada Agung Sedayu, maka Kiai
Gringsingpun telah mempertunjukkan sebuah pistol kepada
kedua muridnya. Senjata yang datang dari seberang lautan
dengan kemampuan melampaui senjata tajam yang sering
mereka pergunakan. "Memang bukan berarti bahwa senjata semacam ini tidak
terlawan. Jenis senjata ini yang lebih besarpun nampaknya
sedang diusahakan oleh Madiun lewat beberapa orang
pemimpin daerah pesisir. Senjata yang disebut meriam itu
memang mempunyai banyak kelebihan. Namun
bagaimanapun juga tetap mempunyai keterbatasan. Aku yakin
bahwa Panembahan Senapati telah memahaminya. "berkata
Kiai Gringsing. Murid-muridnya itupun mengangguk-angguk. Dengan nada
rendah Agung Sedayu berkata "Kita harus berusaha
memahami watak senjata itu "
Swandaru mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia
bertanya "Apakah Mataram sama sekali belum ada senjata
sejenis itu" " Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku
telah terpisah dari kegiatan istana Mataram. Mungkin aku
akan mendapatkan keterangan kelak jika aku sempat
menghadap. " "Guru akan menghadap" "bertanya Swandaru.
Kiai Gringsing mengangguk kecil. Sambil tersenyum ia
menjawab pertanyaan Swandaru "Ya Swandaru. Rasarasanya
ada dorongan untuk menghadap Panembahan
Senapati yang telah lama sekali tidak pernah bertemu. "
"Bukankah keadaan kesehatan Guru kurang baik"
"bertanya Swandaru. "Dalam beberapa hari ini aku merasa kesehatanku baik
sekali. Apalagi jarak antara Jati Anom dan Mataram tidak
terhitung jauh. Agaknya dengan duduk diatas punggung kuda
aku tidak akan merasa letih "jawab Kiai Gringsing.
"Kapan Guru akan menghadap" "bertanya Swandaru.
"Kita akan membicarakannya nanti "berkata Kiai Gringsing
"aku juga belum menemukannya "jawab Kiai Gringsing.
Swandaru termangu-mangu. Namun kemudian katanya
"Guru sebenarnya tidak perlu pergi. Guru dapat
memerintahkan kami berdua untuk menghadap. Selain
keadaan kesehatan Guru, Panembahan Senapati tentu akan
kurang memperhatikan kehadiran Guru. Guru adalah orang
yang kami hormati. Sehingga karena itu, maka biar kami
sajalah yang pergi ke Mataram. Seandainya tanggapan
Panembahan Senapati yang telah memegang kendali
pemerintahan itu tidak sebaik yang kita harapkan, maka
bagiku dan kakang Agung Sedayu tidak akan terasa sangat
pahit. Agak berbeda jika hal itu terjadi atas Guru. "
Tetapi Kiai Gringsing tersenyum. Katanya "Agaknya
Panembahan Senapati tidak akan memperlakukan aku seperti
itu Swandaru. Bagaimanapun juga, ia akan selalu mengingat
apa yang pernah terjadi serta hubungannya dengan kita. ""Kita yang akan selalu ingat akan hal itu Guru. Tetapi
agaknya berbeda dengan Panembahan Senapati "jawab
Swandaru. Kiai Gringsing masih saja tersenyum. Katanya "Aku masih
yakin akan hal itu Swandaru. Karena itu, aku ingin
menghadap. Aku ingin bertemu langsung dengan
Panembahan Senapati. "
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun
mengangguk-angguk kecil sambil berdesis "Jika itu yang
dikehendaki oleh Guru "
Tetapi Swandaru masih juga berpaling, kepada Agung
Sedayu. Bahkan kerut keningnya menunjukkan keheranannya,
bahwa Agung Sedayu tidak membantunya mencegah gurunya
pergi ke Mataram. "Nampaknya perhatian kakang Agung Sedayu sekacang
sepenuhnya telah tertumpah kepada Tanah Perdikan itu. Ia
tidak menghiraukan lagi apakah guru akan pergi ke Mataram
atau bahkan pergi untuk tidak kembali sekalipun "berkata
Swandaru didalam hatinya.
Namun mereka tidak berbincang lagi. Merekapun
kemudian telah kembali duduk di pendapa. Kiai Gringsing
sama sekali tidak lagi menyinggung tentang rencananya pergi
ke Mataram serta persoalan-persoalan lain berhubungan
dengan kehadiran Swandaru di padepokan itu. Tetapi Kiai
Gringsing lebih banyak berbicara tentang pade-pokan kecil itu.
Tentang para cantrik dan tanah yang telah mereka garap bagi
kepentingan para cantrik di padepokan itu.
"Mereka telah menjadi trampil "berkata Kiai Gringsing
"mereka sudah menguasai berbagai macam pengetahuan
tentang bercocok tanam. Tentang musim dan tentang
kebiasaan beberapa jenis tumbuh-tumbuhan, pupuk dan cara
memilih benih. " "Apakah Guru masih juga memberikan pengetahuan
tentang olah kanuragan kepada para cantrik" "bertanya
Swandaru. "Serba sedikit. Sekedar untuk melindungi diri mereka
sendiri jika mereka kelak dirumahnya didatangi orang-orang
yang ingin merampas haknya "jawab Kiai Gringsing.
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya "Tentu ada
baiknya Guru. Apalagi jika keadaan kesehatan Guru
sedang kurang baik. Mungkin Guru memerlukan mereka.
Padepokan ini mungkin juga didatangi oleh orang-orang yang
berniat buruk. Dikiranya di padepokan ini tersimpan harta
benda. Tetapi untuk menjaga segala kemungkinan, agar
mereka tidak justru menyalah gunakan, maka tingkat ilmu
merekapun harus dibatasi. "
"Ya Swandaru "berkata Kiai Gringsing "pada saatnya aku
akan menunjukkan kepada kalian berdua, siapakah di antara
mereka yang perlu mendapat pengawasan. Aku akan
memberitahukan kepada kalian berdua, kebiasaan-kebiasaan
para cantrik dan tingkat pengetahuan yang sudah mereka
miliki. Pengetahuan yang beberapa jenis itu. Termasuk
pengetahuan tentang obat-obatan "Kiai Gringsing berhenti
sejenak, lalu "pengetahuan obat-obatan adalah pengetahuan
yang langsung dapat dipergunakan untuk menolong sesama.
Seperti yang sudah aku tawarkan kepada Agung Sedayu,
barangkali kaupun memerlukan pengetahuan itu Swandaru. "
Tetapi Swandaru tertawa. Katanya "Mungkin bukan aku
yang pantas untuk mengenalinya Guru. Daya ingatku agak
kurang baik untuk mengingat jenis tanaman akar-akar dan
dedaunan yang dapat dipergunakan sebagai obat. Mungkin
kakang Agung Sedayu akan dapat menjadi pewaris yang baik
dari ilmu obat-obatan yang guru miliki sehingga ilmu itu tidak
akan hapus begitu saja. "
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya "Memang
mungkin kau akan kekurangan waktu untuk meneliti jenis-jenis
dedaunan dan akar-akaran. Aku memang sudah menawarkan
pula kepada kakangmu Agung Sedayu. "
"Apakah kakang sanggup" "bertanya Swandaru sambil
berpaling ke arah Agung Sedayu.
"Ya. Aku akan mencoba "berkata Agung Sedayu "aku
sudah mempunyai seorang pembantu yang mempunyai
kesenangan menyelusuri rumpun-rumpun perdu di pinggir
hutan. " Ketika Swandaru mengerutkan keningnya, maka Agung
Sedayupun telah berpaling pula kepada Glagah Putih.
Kiai Gringsing tersenyum. Dipandanginya Glagah Putih
yang ikut dalam pembicaraan itu sambil berkata "Kalau kau
melakukan dengan tekun, maka akhirnya kaulah yang akan
memiliki pengetahuan itu. "
Glagah Putihpun mengangguk hormat. Katanya "Aku akan
merasa senang sekali jika aku diperkenankan mengetahui
serba sedikit tentang beberapa jenis tanaman
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang dapat dipergunakan sebagai obat-obatan. "
"Baiklah "berkata Kiai Gringsing kemudian "kalian dapat
beristirahat sekarang. Malam nanti kita dapat berbincangbincang
lagi. " Tetapi Swandaru menjawab "Aku ingin melihat kebun di
bagian belakang padepokan ini Guru. "
"Silahkan "Kiai Gringsing mengangguk-angguk "ada
beberapa jenis tanaman baru. Sebuah belumbang baru, tetapi
dengan bentuk yang lain dari belumbang yang lama. "
"Marilah "berkata Agung Sedayu "kita berjalan-jalan
dikebun. " Ketika Kiai Gringsing yang wadagnya sudah lemah itu pergi
ke biliknya untuk beristirahat, maka Agung Sedayu, Swandaru
dan Glagah Putih telah pergi ke kebun di belakang padepokan
itu melihat beberapa jenis tanaman yang ditanam oleh para
cantrik. Tetapi mereka tidak terlalu lama berjalan mengelilingi
kebun. Merekapun kemudian telah duduk di sebuah gubug
didekat kolam sehingga saatnya mereka pergi ke pakiwan
untuk mandi. Ketika lampu-lampu minyak telah dinyalakan, maka Kiai
Gringsing, kedua orang muridnya dan Glagah Putih telah
duduk dipendapa padepokan kecil itu. Sambil menghadapi
minuman hangat dan beberapa potong makanan, mereka
mulai berbicara tentang keadaan terakhir yang tentu akan
mempunyai pengaruh, baik atas Kademangan Sangkal
Putung, maupun atas Tanah Perdikan Menoreh.
Tekanan pembicaraan Kiai Gringsing memang ditujukan
kepada Swandaru, karena sebagian dari pembicaraan itu telah
di katakannya kepada Agung Sedayu sebelumnya.
"Jadi menurut perhitungan Guru, Madiun dan Mataram
tidak akan dapat menemukan jalan yang baik untuk
memecahkan persoalan mereka" "bertanya Swandaru.
"Nampaknya memang begitu, Swandaru. Namun kita
memang tidak dapat dengan pasti menutup kemungkinan lain.
Tetapi orang-orang Madiun agaknya telah bersiap-siap
menghadapi kemungkinan yang paling keras itu "berkata Kiai
Gringsing. Swandaru mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian
"Nampaknya perang itu memang harus terjadi. Penempatan
Pangeran Gagak Baning agaknya telah mempercepat
pecahnya perang itu. "
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya "Karena
itu Swandaru. Kau harus bersiap-siap menghadapi setiap
kemungkinan. " Jika perang itu terjadi, maka ada dua kemungkinan yang
akan kau hadapi. Sepasukan pengawalmu akan ikut serta
dalam pasukan Mataram menuju ke Madiun atau pasukan
madiun yang menyerbu ke Mataram akan melalui
Kademanganmu. Meskipun kemungkinan yang kedua itu kecil,
tetapi mengingat kekuatan Madiun yang besar, hal itu mungkin
terjadi. Jika Madiun memecah pertahanan Pajang, maka
pasukannya akan bergeser ke Barat. Seandainya
Panembahan Senapati dengan cepat mengerahkan pasukan
pertahanannya, maka kemungkinan terbesar Panembahan
Senapati akan bertahan diseberang Kali Opak
sebagaimana pernah dilakukan melawan Pajang. "
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Sangkal
Putung akan mempersiapkan diri Guru. Jika pasukan yang
besar datang dari Timur, maka para pengawal Sangkal Putung
akan bertahan sampai orang yang ter akhir. "
Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya "Aku akan
menganjurkan lain Swandaru. Jika pasukan itu datang dengan
kekuatan yang besar, maka sebaiknya para pengawal akan
menyatukan diri dengan kekuatan Untara dari Jati Anom,
kemudian bergeser ke Barat dan memperkuat pertahanan
diseberang Kali Opak. Jika pasukan-pasukan kecil dari
Mataram harus bertempur sekelompok demi sekelompok,
maka pasukan Madiun akan menggilasnya dengan mudah.
Beberapa orang Adipati telah menyatukan diri karena agaknya
mereka telah dihasut oleh orang yang sama. "
"Apakah para Adipati itu terlalu bodoh untuk dengan mudah
mempercayai seseorang" "bertanya Swandaru.
"Tentu tidak "jawab Kiai Gringsing "tetapi pada dasarnya
benih perlawanan terhadap berdirinya satu kekuatan di
Mataram itu memang sudah ada. Kemudian seperti api yang
menyala, maka seseorang telah mengipasi-nya sehingga
nyala itu akan cepat membesar. "
Swandaru mengangguk-angguk. Sambil berpaling kepada
Agung Sedayu, Swandaru bertanya "Bagaimana dengan para
pengawal di Tanah Perdikan, kakang" "
"Aku akan mempersiapkan mereka "jawab Agung Sedayu
"namun letak Tanah Perdikan agak lebih baik dari
Kademangan ini dipandang dari garis serangan dari Madiun. "
"Tetapi jika Mataram yang berangkat ke Madiun" "bertanya
Swandaru. "Sekelompok pengawal telah siap untuk berangkat. Di
Tanah Perdikan ada barak Pasukan Khusus Mataram
sehingga para pengawal akan dapat bersama dengan mereka
"jawab Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun
bertanya kepada Kiai Gringsing "Guru, apakah Guru datang
secara khusus ke Mataram dalam hubungannya dengan
persoalan Madiun" "
"Terutama memang persoalan itu "jawab Kiai Gringsing
"aku tidak ingin melihat Mataram yang dibangun dengan
susah payah, bahkan dengan restu Sultan Hadiwijaya di
Pajang itu akan runtuh begitu saja. "
Swandaru masih saja mengangguk-angguk. Namun iapun
kemudian bertanya "Kapan Guru akan pergi menghadap ke
Mataram" " "Rencanaku, aku akan pergi bersama dua orang cantrik.
Semata-mata untuk kawan berbincang diperjalanan "jawab
Kiai Gringsing. "Bukankah Guru dapat pergi bersama-sama saat kakang
Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan" "bertanya
Swandaru. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Ya.
Memang lebih baik bagiku. Tetapi aku akan tetap mengajak
dua orang cantrik bersamaku. "
"Ada juga baiknya Guru. Mungkin Guru memerlukan
sesuatu di perjalanan "jawab Swandaru.
"Agaknya aku perlu bertanya kepada Agung Sedayu, kapan
ia akan kembali ke Tanah Perdikan "berkata Kiai
Gringsing kemudian. "Mungkin besok lusa Guru "jawab Agung Sedayu "besok
aku ingin bertemu dengan kakang Untara. Glagah Putih
agaknya juga ingin singgah barang sebentar di Banyu Asri. "
"Baik "desis Kiai Gringsing "besok lusa kita bersama-sama
pergi. Mungkin aku akan bermalam satu malam di Mataram.
Tidak untuk apa-apa. Tetapi dengan demikian aku tidak akan
merasa terlalu letih. "
"Guru akan bermalam dimana" "bertanya Swandaru.
"Banyak tempat di Mataram. Jika Panembahan Senapati
tidak memberi aku tempat bermalam, maka aku dapat pergi ke
rumah Ki Juru atau Ki Lurah Branjangan. Atau di penginapan
sekalipun "jawab Kiai Gringsing.
Swandaru mengangguk-angguk pula. Katanya kepada
Agung Sedayu "Sebaiknya kakang ikut bermalam di Mataram.
Mungkin Guru mengalami kesulitan untuk mencari tempat
penginapan. " Agung Sedayu mengangguk kecil. Jawabnya "Baik-lah. Aku
akan menemani Guru barang semalam. "
"Bukankah Guru juga hanya bermalam semalam"
"bertanya Swandaru. "Ya "Kiai Gringsinglah yang menjawab. Swandarupun
kemudian berkata "Jika demikian,
maka beberapa hari lagi aku akan datang menghadap Guru
setelah Guru kembali dari Mataram. Mungkin ada sesuatu
yang perlu segera aku lakukan "
*** API DI BUKIT MENOREH SERI III
JILID 239 "ITU baik sekali Swandaru." sahut Kiai Gringsing, "aku
memang sudah memikirkan kemungkinan untuk singgah di
Sangkal Putung dari Mataram. Tetapi agaknya memang lebih
baik kau datang kemari."
"Atau barangkali Guru singgah di Sangkal Putung,
kemudian baru kembali ke padepokan ini?" bertanya
Swandaru. "Kau sajalah yang datang kemari. Bukankah kau dapat
segera kembali tanpa bermalam disini" Aku memang
memikirkan juga tentang Pandan Wangi." berkata Kiai
Gringsing. "O, belum waktunya Guru. Masih memerlukan beberapa
bulan lagi." jawab Swandaru.
"Tetapi kau tentu tidak akan meninggalkannya terlalu lama."
berkata Kiai Gringsing. "Ya Guru." jawab Swandaru.
Dalam pada itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata,
"Aku kira, tidak ada lagi yang ingin aku bicarakan. Aku
memang hanya ingin menyampaikan beberapa pesan kepada
Swandaru untuk berhati-hati menghadapi perkembangan
keadaan. Dalam keadaan seperti sekarang ini, maka
peperangan sebenarnya sudah dimulai. Tetapi bukan dalam
ujud kewadagan. Mungkin dengan desas-desus. Dengan
hasutan-hasutan. Atau dengan janji-janji. Bukan saja
dilakukan oleh Madiun, tetapi juga oleh para pengikutnya.
Karena itu kita harus tetap berhati-hati menghadapi setiap
perkembangan keadaan, setiap berita dari setiap pernyataanpernyataan
yang tidak jelas sumbernya. Apalagi bagi Sangkal
Putung yang telah banyak dikenal sejak perang antara Jipang
dan Pajang." "Baik Guru." jawab Swandaru, "aku akan melakukannya
dengan sebaik-baiknya."
"Syukurlah. Aku percaya bahwa kau akan dapat
melakukannya. Jika besok Agung Sedayu menemui kakaknya,
maka ia akan dapat menyesuaikan keadaan ini dengan
perintah-perintah yang diterima Untara langsung dari
Mataram. Mungkin Mataram telah mengambil langkah-langkah
tertentu, meskipun baru khusus bagi para prajurit." berkata
Kiai Gringsing kemudian. "Aku juga akan menyesuaikan diri Guru. Jika ada hal yang
penting aku mohon kakang Agung Sedayu sempat singgah.
Tetapi jika tidak, terserah saja kepada kakang." berkata
Swandaru kemudian. Tetapi Agung Sedayu menjawab, "Maaf adi Swandaru.
Mungkin aku akan langsung kembali ke Tanah Perdikan
bersamaan dengan keberangkatan Guru tanpa singgah di
Sangkal Putung." "Baiklah. Asal setiap ada perkembangan baru yang terjadi,
aku dapat diberi tahu. Terutama dari padepokan ini." berkata
Swandaru kemudian. Kiai Gringsing mengangguk kecil. Katanya, "Aku akan
selalu mengusahakan hubungan yang lebih rapat. Para cantrik
akan lebih sering pergi ke Sangkal Putung."
"Terima kasih Guru." jawab Swandaru.
Sementara itu maka Kiai Gringsingpun berkata, "Rasarasanya
aku sudah terlalu lama duduk berbincang. Aku ingin
beristirahat." "Silahkan Guru." jawab Agung Sedayu dan Swandaru
hampir berbareng. Sepeninggal Kiai Gringsing, Swandaru masih berbincang
beberapa lama dengan Agung Sedayu. Bahkan Swandaru
sempat bertanya kepada Glagah Putih, "Bagaimana dengan
ilmumu?" Glagah Putih memang menjadi bingung untuk menjawab.
Namun sambil tersenyum Agung Sedayulah yang menjawab,
"Anak ini agak malas."
Swandaru tersenyum. Dipandanginya Agung Sedayu dan
Glagah Putih berganti-ganti.
Agung Sedayu mengerti perasaan Swandaru. Karena itu,
sambil tersenyum pula ia berkata, "Bukankah kau akan
mengatakan, bahwa Glagah Putih malas seperti kakak
sepupunya." Swandaru tertawa. Katanya, "Bukan aku yang
mengatakannya. Tetapi kakang Agung Sedayu sendiri."
Agung Sedayu mengangguk. Iapun tertawa. Tetapi ia
berkata, "Meskipun malas, tetapi ada kelebihan Glagah Putih
dari aku." "Apa?" bertanya Swandaru.
"Setiap malam ia turun ke sungai. Bahkan kadang-kadang
dua kali dalam semalam." jawab Agung Sedayu.
"Untuk menjalani laku dalam penempaan ilmu?" bertanya
Swandaru mulai bersungguh-sungguh.
Tetapi jawab Agung Sedayu membuat Swandaru tertawa
lagi. "Ya. Memang menjalani laku. Membuka pliridan."
"O" Swandaru justru tertawa lebih keras. Glagah Putih
sendiri bahkan ikut tertawa pula.
"Peringatan Guru merupakan cambuk bagi kita." berkata
Swandaru kemudian. Lalu katanya bersungguh-sungguh,
"Biarlah kitab itu ada pada kakang Agung Sedayu sampa
saatnya Pandan Wangi melahirkan. Karena selama itu, aku
tidak akan mempergunakannya. Aku akan lebih banyak
memperhatikan Pandan Wangi disamping tugas-tugasku
sehari-hari membantu ayah yang sudah menjadi semakin tua
pula seperti guru." Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Terima
kasih. Aku akan memanfaatkan kitab itu sebaik-baiknya.
Tetapi kaupun harus mulai memikirkan Tanah Perdikan. Ki
Gedepun menjadi semakin tua pula sebagaimana Ki Demang
dan Guru." Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, "Aku sangat terikat dengan Kademangan Sangkal
Putung. Karena itu aku minta kakang Agung Sedayu dapat
berbuat lebih banyak bagi Tanah Perdikan itu."
"Tetapi sudah tentu pada suatu saat memerlukan
pemecahan." berkata Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi katanya, "Kita akan
memikirkannya kelak. Sesudah Pandan Wangi melahirkan,
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau sesudah persoalan antara Mataram dan Madiun selesai."
"Kelahiran anakmu dapat diperhitungkan. Tetapi kapan
persoalan Mataram dan Madiun selesai, masih harus ditunggu
tanpa batas waktu. Mungkin sebulan, mungkin setengah tahun
bahkan mungkin lebih lama lagi." jawab Agung Sedayu.
Namun Swandaru masih saja mengelak, "Besok kita
pikirkan lagi. Sekarang kita menghadapi persoalan yang lebih
penting selain kelahiran anakku itu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya
Swandaru masih segan untuk memikirkan persoalan yang
pada suatu saat akan timbul. Meskipun persoalan itu belum
memerlukan pemecahan segera, namun Agung Sedayu
berharap bahwa setidak-tidaknya Swandaru memberikan
perhatian. Tetapi Agung Sedayu memang tidak membicarakannya
lagi. Bahkan pembicaraan mereka justru telah beralih pada
keadaan kesehatan Kiai Gringsing.
Namun beberapa saat kemudian, ketiga orang yang duduk
dipendapa itu terkejut. Mereka melihat cantrik yang masih
menunggui murid-murid Kiai Gringsing berbincang di tangga
pendapa dengan serta merta telah bangkit berdiri sambil
berteriak tertahan, "Lihat."
Agung Sedayu, Swandaru dan Glagah Putih masih sempat
melihat dalam keremangan cahaya obor dua orang yang
meloncat turun dari atas regol. Agaknya pintu regol telah
ditutup, sehingga kedua orang itu telah meloncat tanpa mau
mengetuk pintunya. Cantrik yang ada di gardu regol itupun terkejut. Dua orang
cantrik setiap malam bertugas menjaga regol. Mungkin ada
tamu dimalam hari, sehingga mereka harus membuka
selaraknya. Namun karena kedua orang itu memasuki halaman dengan
meloncat dari atas regol, maka kedua orang cantrik itu telah
meloncat mendekat. "Siapa kau?" bertanya salah seorang diantara kedua cantrik
itu. Kedua orang itu tidak menghiraukannya. Ketika kedua
orang cantrik itu akan menahannya, maka keduanya telah
dikibaskannya sehingga jatuh terpelanting.
Mereka yang ada di pendapa itupun segera turun
menyongsong mereka. Agung Sedayu yang merasa tertua
diantara murid-murid Kiai Gringsing itupun segera
menghentikan mereka sambil menyapa, "Siapakah kalian"
Untuk apa kalian malam-malam begini memasuki padepokan
kami?" Salah seorang diantara kedua orang itu justru bertanya,
"Siapakah kalian?"
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun Swandaru
nampaknya tidak senang dengan sikap orang itu. Karena itu,
maka ialah yang menyahut, "Kamilah yang harus bertanya
kepada kalian. Siapa kalian dan dengan maksud apa?"
"Jangan keras kepala." geram orang itu.
Tetapi Swandaru menjawab, "Jika kau tidak menjawab
pertanyaan kami, kami persilahkah kalian pergi. Bahkan
dengan kekerasan sekalipun."
Kedua orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang
diantara kedua orang itu berkata, "Dimana orang bercambuk
itu. Aku akan berbicara dengannya. Tidak dengan orang lain."
Swandaru menjadi semakin tersinggung. Karena itu maka
katanya dengan lantang, "Jawab dahulu, siapakah kalian. Atau
tinggalkan tempat ini. Atau kami harus mengusir kalian."
"Anak iblis. Tidak seorangpun pernah berkata kasar
kepadaku." geram seorang diantara mereka.
Namun seorang yang lainlah yang menyahut, "Agaknya
orang itu belum tahu, siapakah kita."
"Aku tidak peduli. Tetapi anak itu sudah menghinaku."
berkata orang yang pertama.
Orang yang lain itu telah bergeser maju sambil berkata,
"Anak-anak muda. Kami adalah orang-orang tua yang digelari
Garuda-garuda dari Bukit Kapur. Kami adalah dua orang
diantara mereka yang berada di bukit kapur itu. Nah, setelah
kalian tahu siapakah kami, maka kalian tentu akan bersikap
lain." "Kami akan bersikap baik selama kami belum pernah
mendengar gelar itu."
"Mungkin belum. Hanya orang-orang yang memiliki tempat
dalam dunia kanuragan sajalah yang dapat mengenali kami."
jawab orang itu. Namun kemudian orang itupun bertanya,
"Siapakah kalian bertiga" Cantrik-cantrik padepokan ini atau
benar dugaan kami, bahwa dua orang diantara kalian adalah
tamu dari Mataram?" "Kami adalah murid-murid dari perguruan ini." jawab
Swandaru. "O" orang itu mengangguk-angguk, "jadi kalian adalah
murid-murid orang bercambuk itu. Kalau begitu aku salah
duga. Aku kira ada diantara kalian tamu dari Mataram. Atau
setidak-tidaknya utusan dari Mataram. Orangku melihat
kehadiran itu. Ia melihat kehadirannya kemarin. Hari ini orangorang
yang dikira orang Mataram itu telah meninggalkan
padepokan ini dan kembali lagi bersama orang ketiga.
Sementara aku melihat kalian bertiga di pendapa ini."
"Jadi apa keperluanmu?" bertanya Swandaru.
"Aku akan bertemu dengan gurumu." berkata orang itu.
"Katakan keperluanmu." sahut Swandaru, "aku baru akan
mengatakannya jika aku tahu keperluanmu. Jika keperluanmu
tidak penting, maka kami akan menyelesaikannya."
"Kau terlalu sombong anak gila. Kebodohanmulah yang
membuatmu tidak mengenal Garuda-garuda dari Bukit Kapur.
Kau akan menyesal jika kami kehabisan kesabaran." geram
yang lain. Tetapi Swandaru sama sekali tidak mau mengalah. Ia
sudah terlanjur marah. Karena itu maka katanya, "Katakan
keperluanmu." Kedua orang itu memang menjadi marah. Namun tiba-tiba
saja terdengar suara Kiai Gringsing yang berdiri di pringgitan,
"O, nampaknya ada tamu."
Kedua orang itu tertegun sejenak. Baru sejenak kemudian
seorang diantara mereka berkata, "Orang bercambuk."
"Ya. Akulah yang disebut orang bercambuk itu. Di
padepokan ini aku dipanggil Kiai Gringsing." berkata Kiai
Gringsing. "O" kedua orang itu mengangguk-angguk. Seorang diantara
mereka berkata, "Maaf jika aku tidak mengenal nama Kiai.
Karena kami hanya mengenal Kiai sebagai orang Bercambuk
itu." "Marilah Ki Sanak, silahkan. Aku sudah mendengar
sebutan Ki Sanak berdua. Dua orang diantara Garuda-garuda
dari Bukit Kapur. Tetapi Ki Sanak berdua tentu mempunyai
tetenger disamping sebutan itu." berkata Kiai Gringsing.
"Namaku Wirasana dan adik seperguruanku ini dipanggil
Kertabaya." jawab orang itu.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. lapun kemudian
menyongsong kedua orang itu turun ke halaman, sementara
Agung Sedayu, Swandaru dan Glagah Putih telah bergeser.
"Aku dengar, Ki Sanak salah duga." berkata Kiai Gringsing,
"muridku yang datang kemarin kalian sangka utusan dari
Mataram. Nampaknya kalian telah lama mengamat-amati
padepokan kecil ini, sehingga kalian melihat kedatangan
muridku yang tua dan kemudian muridku yang muda.
Demikian besar perhatian Ki Sanak atas padepokanku ini,
sehingga aku wajib mengucapkan terima kasih."
"Ya. Kami memang menaruh perhatian terhadap
padepokan kecil ini sejak Kiai Gringsing pergi ke Madiun."
jawab orang itu. "Marilah. Silahkan duduk." Kiai Gringsing mempersilahkan
mereka. Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian merekapun telah naik dan duduk di pendapa.
Agung Sedayu, Swandaru dan Glagah Putih duduk pula di
belakang Kiai Gringsing berhadapan dengan kedua orang
tamu yang datang malam-malam itu.
"Ki Sanak." berkata Kiai Gringsing, "aku memang pernah
mendengar gelar Garuda dari Bukit Kapur. Tetapi hanya untuk
seorang yang berilmu sangat tinggi pada waktu itu. Bukan
Garuda-garuda dari Bukit Kapur yang jumlahnya agak menjadi
banyak." "Kami adalah murid-muridnya. Kami mewarisi ilmu yang
tinggi itu, sehingga atas ijin guru, kami digelari Garuda-garuda
dari Bukit Kapur. Beberapa orang murid dari perguruan Bukit
Kapur telah memiliki ilmu yang tuntas sehingga kami memang
pantas memiliki gelar yang sama dengan guru kami." berkata
seorang di antara keduanya.
"Dimana gurumu sekarang?" bertanya Kiai Gringsing.
"Guru sudah tidak ada. Sudah terlalu tua untuk hidup pada
masa ini." jawab orang itu.
"Apakah gurumu lebih tua dari aku?" bertanya Kiai
Gringsing. Kedua orang itu termangu-mangu. Namun kemudian
seorang diantara mereka berkata, "Aku tidak tahu berapa
umurmu. Tetapi guruku, benar-benar seekor Garuda yang
garang dari Bukit Kapur telah meninggal. Ketuaannya tidak
dapat dilawannya dengan ilmunya yang sangat tinggi. Tetapi
meninggalnya Guru bukan berarti lenyapnya ilmu dari
perguruan Bukit Kapur. Kami murid-muridnya akan
menebarkan sayap keseluruh tanah ini."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Murid-murid dari
Garuda Bukit Kapur yang pernah dikenalnya itu sudah
nampak lebih tua dari orang-orang separo baya. Apalagi yang
bernama Wirasana. Sehingga menurut dugaan Kiai Gringsing,
Garuda itu memang lebih tua daripadanya.
Sementara itu orang yang menyebut dirinya bernama
Wirasana itu berkata, "Aku mengenal nama Orang
Bercambuk, dari guruku. Guruku menyebutnya sebagai orang
yang paling berbahaya dari semua orang berilmu di tanah ini."
"O" Kiai Gringsing tersenyum, "kenapa gurumu
menganggap aku sangat berbahaya" Bukankah kita tidak
pernah berhubungan" Apalagi saling merugikan?"
"Perguruan kami memang belum pernah bersentuhan
dengan perguruanmu. Tetapi Guru menganggap bahwa kau
adalah orang yang hanya menuruti kemauanmu sendiri. Kau
adalah orang yang sulit untuk diajak berbicara." berkata
Wirasana kemudian. Kiai Gringsing tertawa. Katanya, "Gurumu tentu yang
berpendirian aneh. Orang-orang yang tidak sependapat
dengannya dianggapnya berbahaya dan menuruti kemauan
sendiri." "Tidak. Guruku cukup bijaksana." berkata Wirasana.
"Baiklah." berkata Kiai Gringsing, "apapun anggapan
gurumu, namun aku ingin tahu apakah maksud,
kedatanganmu sekarang?"
"Sudah aku katakan." jawab Wirasana, "jika yang datang itu
utusan dari Mataram, maka aku akan membunuhnya. Tetapi
karena mereka adalah murid-muridmu, maka tentu saja aku
tidak akan melakukannya."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dengan heran ia
bertanya, "Seandainya keduanya utusan dari Mataram,
apakah salah mereka?"
"Aku tidak menghitung salah mereka. Tetapi kematian
utusan itu akan menjauhkan jarak antara padepokan ini
dengan Mataram." jawab Wirasana.
"Tetapi apakah maksudmu sebenarnya?" bertanya Kiai
Gringsing. "Kiai." berkata Wirasana, "kami berniat untuk memaksa Kiai
bergabung dengan kami. Mau tidak mau."
Swandaru sudah beringsut. Tetapi Kiai Gringsing justru
tertawa berkepanjangan. Katanya, "Kalianlah agaknya yang
termasuk orang yang paling berbahaya. Bukan saja menuruti
kemauan sendiri, tetapi memaksa orang lain mengikuti
kemauannya. Itu tentu ajaran gurumu."
"Kiai Gringsing yang bergelar Orang Bercambuk." berkata
Wirasana, "niatku bukannya tidak beralasan. Kami tahu bahwa
kau mempunyai pengaruh atas dua daerah yang luas dan
kuat. Adalah kebetulan bahwa murid-muridmu ada disini
sekarang. Aku sudah mengumpulkan keterangan, bahwa
murid-muridmu mempunyai pengaruh yang besar bahkan
menentukan di Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan
Sangkal Putung. Dua daerah yang ada di sebelah Barat dan
sebelah Timur Mataram. Nah, jika kau berpijak kepada kami,
maka kau dapat menggerakkan kedua muridmu untuk
menghimpit Mataram dari dua sisi. Tentu tidak hanya dengan
kekuatan sendiri. Madiun akan dapat mengirimkan kekuatan
yang menurut perhitungan dengan pasti akan berhasil."
"Ternyata kau tidak berbeda dengan orang-orang Nagaraga
dan beberapa orang dari padepokan yang lain yang berada
dibawah pengaruh Madiun. Usaha mereka selama ini tidak
berarti apa-apa. Aku justru ingin memperingatkanmu, bahwa
usahamu tentu juga akan sia-sia." berkata Kiai Gringsing.
"Karena itu aku melangkah dengan hati-hati." berkata orang
itu, "aku mulai dari padepokan ini."
Swandaru menjadi semakin gelisah. Tetapi Kiai Gringsing
masih juga tertawa. Katanya, "Kau benar bahwa muridmuridku
ada disini sekarang, sebagaimana pengakuan
mereka. Kaupun benar bahwa muridku yang seorang adalah
anak Ki Demang Sangkal Putung dan seorang lagi menantu Ki
Demang Sangkal Putung yang berada di Tanah Perdikan
Menoreh, membantu Ki Gede memerintah Tanah Perdikan
yang luas itu." "Bukankah itu satu kebetulan" Mereka ada disini sekarang.
Kita dapat membicarakannya dengan terbuka dan berterus
terang, sehingga kita akan mendapat satu keputusan yang
menguntungkan kita semuanya." berkata Wirasana.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Agaknya
kalian telah melakukan penyelidikan yang cermat tentang
kami. Tetapi nampaknya kalian baru mendengar beberapa hal
tentang perguruan kecil yang tidak berarti apa-apa ini, namun
kalian belum pernah melihat orang-orang yang sedang kalian
selidiki itu. Kalian sudah tahu bahwa murid-muridku
mempunyai pengaruh yang bahkan menentukan di Sangkal
Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Benar-benar satu hasil
penyelidikan yang cermat. Tetapi kalian belum tahu, yang
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
manakah muridku yang ada di Tanah Perdikan Menoreh dan
yang manakah yang ada di Sangkal Putung. Orang-orangmu
tentu tidak akan dapat menggambarkan keduanya dengan
tepat atau barangkali keterangan terperinci tentang mereka
belum ada." "Tidak terlalu sulit." berkata Wirasana, "tentu orang yang
kami sangka orang Mataram itulah yang berada di Tanah
Perdikan Menoreh." Kiai Gringsing tertawa. Namun ia masih bertanya, "Tetapi
apakah orang-orangmu yang mengamati padepokan kecil ini
untuk beberapa hari dapat mengatakan kepadamu sehingga
kau mampu mengenali, yang mana muridku yang kau sangka,
tamu dari Mataram itu?"
Kedua orang itu termangu-mangu. Namun seorang diantara
mereka yang bernama Kertabaya itu berkata, "Kau jangan
membicarakan soal-soal yang, remeh seperti itu. Bukankah
sekarang kau dapat mengatakan yang mana muridmu yang
ada di Menoreh dan yang mana yang ada di Sangkal Putung"
Kau tidak perlu berteka-teki seperti berbicara dengan anakanak."
"Cukup." Swandarulah yang tidak dapat menahan diri lagi,
"ingat. Kau berbicara dengan Guru. Kau kira kami, muridmuridnya
tidak dapat berbuat kasar seperti yang kau lakukan
itu."Wajah Kertabaya menjadi merah. Tetapi Kiai Gringsing-pun
kemudian berkata, "Sudahlah. Sekarang katakan niatmu untuk
memaksaku berpihak kepadamu. Apakah keuntungannya dan
kemungkinan-kemungkinannya?"
"Mustahil kalau kau tidak tahu, bahwa jalur kekuasaan
Demak mengalir dalam diri Panembahan Madiun. Tidak dalam
tubuh Panembahan Senapati. Kau tahu, Senapati anak
Pemanahan itu berdarah gembala dari Sela, sehingga tidak
pantas untuk disembah seluruh rakyat Mataram dan bahkan
seluruh tanah ini." berkata Kertabaya.
"Itulah alasan kalian kalian satu-satunya" Jika itu yang kau
maksud, maka sebenarnya kalian sudah menyadari sikap
Panembahan Madiun sendiri. Panembahan madiun sama
sekali tidak berkeberatan kekuasaan berpindah dari Pajang ke
Mataram karena wahyu keraton memang sudah berpindah."
berkata Kiai Gringsing. "Jika demikian, tentu Panembahan Madiun tidak akan
menghimpun kekuatan untuk melawan Mataram." berkata
Kertabaya. "Itulah justru yang harus diketahui. Siapakah sebenarnya
yang telah berdiri dibelakang tabir kemelut diatas Madiun itu."
berkata Kiai Gringsing. "Jangan mengada-ada." berkata Wirasana, "semua Adipati
di daerah Timur sudah sepakat, bahwa mereka akan
memadamkan api yang mulai menyala didalam sekam.
Meskipun baru sepelik kecil, tetapi akhirnya akan dapat
membakar seluruh bumbung di tanah ini. Nah, bukankah kau
sadari, bahwa Senapati di Mataram yang mengangkat dirinya
sebagai Panembahan itu sama sekali bukan sesembahan
kita?" "Jangan menelusuri darah keturunan semata-mata. Nilai
seseorang ditentukan oleh banyak hal yang ada pada dirinya.
Keturunan, tetapi juga tingkah laku, sikap dan pandangan
hidupnya dan masih banyak lagi. Katakanlah kepribadiannya."
berkata Kiai Gringsing. "Kiai." berkata Wirasana, "baiklah aku berterus terang.
Mungkin akan dapat membantu Kiai mengambil keputusan.
Disamping para Adipati yang dihimpun langsung oleh
Panembahan Madiun, maka seorang yang sangat
berpengaruh telah ikut pula menghimpun kekuatan. Bukan
kekuatan prajurit dari Kadipaten-kadipaten, tetapi kekuatan
dari padepokan-padepokan yang tersebar di daerah Timur."
Tetapi Kiai Gringsing sama sekali tidak terkejut. Katanya,
"Aku sudah mengira. Seseorang tentu berusaha untuk
menghimpun kekuatan yang sebelumnya seakan-akan telah
bergerak sendiri-sendiri. Ada beberapa padepokan yang
sudah berpacu untuk mendapat pujaan dari Panembahan
Madiun dengan mengambil langkah sendiri-sendiri. Tetapi
tidak satupun yang pernah berhasil. Mereka lupa bahwa
Panembahan Senapati adalah seorang yang selain menjadi
pemimpin pemerintahan di Mataram, jika seorang yang pernah
menjalani laku melampaui seorang pertama sehingga
Panembahan Senapatipun secara pribadi memiliki ilmu yang
sangat tinggi. Selain ilmu yang diwarisinya dari ayahandanya
Sultan Pajang, juga ilmu yang disadapnya dari mana-mana."
"Tetapi bukankah Kiai belum tahu, siapakah yang telah
menyatakan dirinya menjadi pimpinan tertinggi dari kekuatankekuatan
yang ada di padepokan-padepokan itu?" berkata
Wirasana. "Apakah orang itu telah mendapat restu dari Panembahan
Madiun?" bertanya Kiai Gringsing.
"Tentu." jawab Wirasana, "orang itu adalah sandaran
kekuatan rohani dari Panembahan Madiun."
"Siapa?" bertanya Kiai Gringsing pula.
"Orang itu pulalah yang telah menunjuk kami agar
menemui. Orang Bercambuk, karena pemimpin kami itu belum
mengetahui bahwa Kiai disini disebut Kiai Gringsing." berkata
Wirasana. "Siapakah orang itu?" desak Kiai Gringsing.
"Ki Bagus Jalu yang bergelar Panembahan Cahya
Warastra." jawab Wirasana.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sambil
menggeleng ia berkata, "Aku belum pernah mendengar nama
itu." "Mungkin. Orang itupun mengatakan bahwa jika aku
sempat bertemu dengan orang bercambuk, maka ia berpesan
untuk menyebut nama Kecruk Putih yang bergelar Sang
Saka." berkata Wirasana.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian tertawa berkepanjangan. Disela-sela derai
tertawanya itu terdengar ia berkata, "Jadi orang itulah yang
berdiri disisi Panembahan Madiun selain para Adipati" Pantas,
kau dan beberapa padepokan telah melibatkan diri pula.
Seandainya gurumu masih ada, mungkin Garuda Bukit Kapur
itu akan bersikap lain. Tetapi gurumu sudah tidak ada. Dan
kalian tidak tahu apa-apa tentang masa lampau yang panjang
tentang Kecruk Putih itu."
Kedua orang yang mengaku Garuda Bukit Kapur itu
termangu-mangu sejenak. Namun diantara mereka yang
bernama Kertabaya itu berkata, "Tidak. Gurukupun akan
berkata sebagaimana kami katakan sekarang. Perguruan
Bukit Kapur akan menyatakan diri dibawah pimpinan
Panembahan Madiun dan Ki Bagus Jalu yang bergelar
Panembahan Cahya Warastra."
Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, "Sayang,
Ki Sanak. Aku telah mengenal Kecruk Putih yang bergelar
Sang Saka itu dengan kesan tersendiri."
"Agaknya guruku benar. Kau adalah orang yang tidak
mudah untuk diajak bicara." berkata Kertabaya, "Tetapi aku
minta kau meyakini kata-kataku. Lebih baik kau berpihak
kepada kami. Jika Panembahan Madiun berhasil, maka
kepemimpinannya para olah laku di padepokan-padepokan
bukan saja akan berpengaruh di Sangkal Putung dan Tanah
Perdikan Menoreh, tetapi Kademangan Sangkal Putungpun
akan menjadi Tanah Perdikan pula. Beberapa Kademangan
disekitarnya akan termasuk kedalam kuasa Tanah Perdikan
Sangkal Putung sementara muridmu yang lain akan berkuasa
di Tanah Perdikan Menoreh yang diperluas. Bukankah
Panembahan Madiun akan berhak memberikan wewenang
atas berdirinya sebuah Tanah Perdikan dengan kuasanya jika
Mataram sudah dihancurkan?"
Kiai Gringsing tertawa pula. Katanya, "Jangan seperti
berbicara dengan kanak-kanak yang menuruti kemauan orang
lain dengan sepotong gula aren di tangan. Ingat Ki Sanak.
Yang kami lakukan sampai saat ini adalah satu sikap dengan
satu keyakinan. Karena itu, sadarilah bahwa kalian tidak akan
berhasil. Nasib kalian tidak akan lebih baik dari Nagaraga."
"Dengan mengirim Pangeran Singasari ke Bukit Kapur?"
desis Kertabaya, "satu langkah yang mustahil dilakukan. Jika
pasukan Mataram saat ini memasuki Madiun dan
lingkungannya, maka perang itu akan pecah. Seandainya
dengan sembunyi-sembunyi prajurit Mataram merayap naik ke
Bukit Kapur, maka kalian tidak akan menjumpai apa-apa lagi
disana selain sebuah padepokan yang kosong."
"Sudahlah Ki Sanak." berkata Kiai Gringsing, "waktunya
terbuang sia-sia." "Bukannya sama sekali tidak mempertimbangkan
kemungkinan sebagaimana yang kalian tawarkan. Tetapi yang
kalian tawarkan itu bertentangan dengan keyakinan kami.
Karena itu, maka maafkan kami. Sampaikan kepada Ki Bagus
Jalu, bahwa kami tidak dapat bekerja bersama dengan
mereka." berkata Kiai Gringsing.
"Jika demikian untuk apa kau pergi ke Madiun" Atau
barangkali kaulah yang ingin mendampingi Panembahan
Madiun dan memimpin para pemimpin padepokan di daerah
Timur?" Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Itulah pokok persoalan
yang sebenarnya. Kalian lebih baik tidak berbelit-belit. Kalian
dan barangkali Ki Bagus Jalu yang bergelar Panembahan
Cahya Warastra itu cemas mendengar kehadiranku di
Madiun." "Agaknya guruku benar." desis Wirasana, "yang disebut
Orang Bercambuk adalah orang yang keras kepala."
"Cukup." Swandaru tidak dapat menahan diri lagi. Namun
dengan isyarat Kiai Gringsing menahannya ketika ia ingin
bergeser maju. Dengan nada rendah Kiai Gringsing berkata, "Kapan
gurumu berkata kepadanya, bahwa Orang Bercambuk itu
keras kepala" Kemarin, atau ketika aku berada di Madiun"
Atau jauh sebelum itu, karena gurumu sudah meninggal"
Dalam hubungan apa gurumu berkata kepadamu bahwa
Orang Bercambuk itu keras kepala" Atau tiba-tiba saja, tanpa
sebab dan tanpa persoalan apapun juga Ki Sanak" Aku tidak
pernah berhubungan apalagi saling merugikan dengan orang
yang pernah digeluti Garuda Bukit Kapur. Adalah mustahil jika
tiba-tiba saja tanpa sebab beberapa waktu yang lalu, sebelum
gurumu itu meninggal, telah mengatakan tentang aku. Karena
itu, ada beberapa kemungkinan. Bukan gurumu yang
mengatakan tentang aku. Orang Bercambuk. Sedangkan
kemungkinan lain, kau bukan murid Garuda Bukit Kapur. Atau
Garuda Bukit Kapur itu masih hidup sampai sekarang tetapi
tersisih dan dibayangi oleh kekuatan lain sehingga ia tidak
dapat berbuat apa-apa lagi."
"Kiai." wajah Kertabaya menjadi merah, "kau jangan asal
saja berucap. Kau berbicara dengan murid-murid terpercaya
dari Bukit Kapur. Bahkan guru telah membenarkan kami
disebut Garuda-garuda dari Bukit Kapur."
Swandaru benar-benar telah sulit dicegah. Iapun beringsut
beberapa jengkal sambil menggeram. "Kalian mau apa"
Kalian berada di perguruan Orang Bercambuk. Jika kalian
ingin membuat persoalan, maka kami akan melayani kalian.
Kami tahu, bahwa kalian tidak hanya berdua. Tentu ada orang
lain. Setidak-tidaknya orang-orang yang selama ini mengamati
padepokan ini. Tetapi jika kalian ingin dihancurkan disini maka
kami akan melakukannya."
Kedua orang itupun agaknya menjadi marah. Tetapi Kiai
Gringsing berkata, "Bukankah kalian adalah sekedar utusan"
Kembalilah. Katakan kepada Ki Bagus Jalu yang pernah
disebut Kecruk Putih dan bergelar siapapun menurut
kesukaannya itu, bahwa aku Orang Bercambuk, tidak dapat
mempertimbangkan sarannya. Sebaiknya ia tidak mencampuri
persoalan yang berkembang antara Mataram dan Madiun
sekarang ini, karena apa yang dilakukannya itu hanya akan
menambah korban saja."
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Sementara
Kiai Gringsing berkata selanjutnya, "Lakukanlah apa yang aku
katakan." Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Nampaknya
keduanya tidak dapat menerima begitu saja saran Kiai
Gringsing, sehingga karena itu, maka Wirasanapun berkata,
"Kiai. Sebaiknya Kiai jangan besikap begitu keras. Seolah-olah
Kiai menganggap bahwa Ki Bagus Jalu sama sekali tidak
mampu berbuat sesuatu atas padepokan ini."
"Aku tidak berpendapat seperti itu." berkata Kiai Gringsing,
"tetapi menurut pendapatku, kalian adalah utusan yang telah
melakukan tugas kalian dengan baik. Kalian diperintahkan
untuk menemui aku dan kalian sudah bertemu dengan aku.
Kalian telah menyampaikan pesan Ki Bagus Jalu yang
bergelar Panembahan Cahya Warastra. Bukankah kewajiban
kalian telah kalian lakukan" Tugas itu akan kalian lengkapi
dengan membawa jawabanku kepada Ki Bagus Jalu itu. Nah,
apalagi yang akan kalian lakukan?"
"Kiai." berkata Wirasana, "menurut pendengaran kami, Kiai
yang dikenal dengan Orang Bercambuk itu kini telah menjadi
tidak berarti lagi setelah Kiai menjadi semakin tua. Meskipun
Kiai masih mampu pergi ke Madiun, tetapi menilik ujud
lahiriah, Kiai sudah menjadi semakin lemah. Karena itu, maka
nampaknya Kiai bukan lagi Orang Bercambuk beberapa saat
yang lalu." "Apa maksudmu?" bertanya Kiai Gringsing.
"Kiai berhadapan dengan duta ngrampungi. Jika Kiai tidak
bersedia bergabung dengan kami, maka sebaiknya
padepokan ini kami lenyapkan saja dari lingkungan Mataram."
berkata Kertabaya. Swandaru benar-benar tidak menahan diri lagi. Dengan
geramnya ia berkata, "Baik. Baik. Lakukan jika kau mampu."
Tetapi Kiai Gringsing masih tertawa. Katanya, "Kalian
adalah anak-anak burung yang meskipun Garuda yang
garang, tetapi baru saja menetas dari butir-butir telur. Kalian
seakan-akan belum berbulu yang dapat membawa kalian
terbang tinggi. Kalian belum mempunyai kuku-kuku yang
tajam yang dapat mencengkeram lawan jika lawan itu kalian
hadapi. Paruh kalian masih lunak sehingga tidak akan mampu
mematuk daging kelinci sekalipun. Meskipun ujud lahiriah
kalian-kalian adalah orang-orang yang barangkali lebih tua
dari murid-muridku, tetapi dalam olah kanuragan kalian tidak
akan dapat mengimbanginya. Kalian harus menyadari, bahwa
Garuda Bukit Kapur itu mernang seorang yang berilmu tinggi.
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi bukan termasuk keberapa orang yang berada dalam
puncak kemampuan di bumi Pajang, apalagi Demak pada
masa itu. Karena itu, tinggalkan tempat ini selagi kalian
sempat." Wayah kedua orang itu menjadi merah. Sementara itu
Swandaru berkata, "Guru, biarlah mereka membuktikan,
apakah benar mereka Garuda-garuda Bukit Kapur atau tidak
lebih dari burung kutilang yang memang pandai berbicara.
Suaranya memang merdu dan menawan. Tetapi sama sekali
tidak akan mampu melepaskan diri dari terkaman burung alapalap.
Silahkan Guru melihat dan menilai. Sementara aku akan
melawan seorang diantara mereka dan kakang Agung Sedayu
bersama Glagah Putih akan melawan seorang yang lain.
Bahkan seandainya mereka akan memanggil kawankawannya
yang sejak beberapa hari berkeliaran disekitar
padepokan ini, kita tidak akan berkeberatan."
Kiai Gringsing masih tertawa, Katanya, "Itu tidak perlu."
Wajah Swandaru menjadi tegang. Demikian pula wajah
Glagah Putih. Telinganya sudah panas mendengar kata-kata
orang yang menyebut diri mereka dengan gelar Garudagaruda
dari Bukit Kapur itu. Namun menjadi semakin panas
mendengar cara Swandaru membagi tugas. Seolah-olah
Agung Sedayu tidak akan mampu melawan salah seorang
diantara kedua orang itu. Tetapi Glagah Putih tidak dapat
berbuat apa-apa, karena Agung Sedayu yang seharusnya
langsung tersinggung itu juga tidak berbuat apa-apa.
Sebenarnyalah Agung Sedayu memang tersinggung.
Tetapi apakah ia akan membuat persoalan justru dihadapan
orang-orang yang akan memusuhi padepokan itu" Karena itu,
maka Agung Sedayu yang sudah terbiasa menahan diri ini,
tidak memberikan tanggapan apapun juga, sehingga seolaholah
ia mengakui pernyataan Swandaru itu.
Sementara itu Glagah Putih mengharap bahwa perselisihan
itu benar-benar akan menimbulkan benturan-benturan. Ia
bahkan akan minta kepada Agung Sedayu untuk melawan
seorang diantara kedua orang dari Bukit Kapur itu sendiri. Jika
Swandaru mampu mengalahkan salah seorang dari mereka,
maka Glagah Putihpun akan melakukannya pula.
Tetapi baik Glagah Putih maupun Swandaru menjadi
kecewa, karena agaknya Kiai Gringsing tidak menghendaki
benturan kekerasan itu. Kiai Gringsing sendiri kemudian telah
mengurai cambuknya sambil berkata, "Anak-anak Garuda dari
Bukit Kapur. Cambuk inilah yang agaknya membuat orang
memanggilku Orang Bercambuk. Nah, barangkali kau juga
ingin melihat, apakah cambukku pantas mendapat perhatian
begitu besar sehingga menjadi sebutan bagiku."
Kedua orang dari Bukit Kapur itu tidak tahu maksud Kiai
Gringsing. Namun akhirnya merekapun menjadi berdebardebar.
Cambuk yang juntainya melingkar di hadapan Kiai
Gringsing sedangkan tangkainya ada di dalam genggaman
orang tua itu, perlahan-lahan terurai sendiri. Bahkan kemudian
cambuk Kiai Gringsing itu telah memancarkan semacam asap
tipis yang semakin lama semakin banyak, sehingga akhirnya
asap itu menjadi semacam kabut yang tebal yang
menyelubungi pendapa itu. Demikian tebalnya kabut itu,
sehingga orang-orang yang berada di pendapa itu tidak dapat
melihat yang satu dengan yang lain, kecuali Kiai Gringsing
sendiri dan Agung Sedayu yang memang mempunyai Aji
Sapta Pandulu meskipun hanya remang-remang.
Orang-orang dari Bukit Kapur itupun menjadi berdebardebar.
Mereka tidak melihat lagi Kiai Gringsing yang duduk
dihadapannya. Bahkan rasa-rasanya pendapa itu bukan saja
menjadi gelap karena kabut, tetapi menjadi sesak pula. Nafas
mereka rasa-rasanya menjadi terganggu oleh kabut yang
semakin padat di sekitarnya.
Agung Sedayu mengerti bahwa kabut itu bukannya asap
yang keluar dari cambuk Kiai Gringsing. Tetapi salah satu
diantara ilmu Kiai Gringsing yang telah dikenalnya. Namun
agaknya Kiai Gringsing telah mempergunakan cambuknya
sebagai tekanan bahwa cambuk itu memang benar sehingga
ia disebut Orang Bercambuk.
Dalam kegelisahan itu terdengar suara Kiai Gringsing, "Nah
Ki Wirasana dan Ki Kertabaya, apakah kalian masih juga ingin
memaksakan kehendakmu?"
"Kenapa kau bersembunyi Kiai?" bertanya Wirasana.
"Aku tidak bersembunyi. Aku disini. Jika kau memang
berilmu tinggi, maka kau tentu mampu menembus gelapnya
kabutku ini." jawab Kiai Gringsing.
Swandaru dan Glagah Putih yang juga mendengar suara
Kiai Gringsing itupun menjadi berdebar-debar pula. Ternyata
merekapun tidak mampu menembus kabut itu sampai jarak
yang hanya dua tiga depa dihadapannya. Sementara Agung
Sedayu yang dengan kekuatan Aji Sapta Pandulunya mampu
melihat orang-orang yang duduk di sekitarnya meskipun
remang-remang itu, ternyata diam saja ditempatnya.
"Tetapi dalam keadaan seperti ini, apa yang dapat kau
lakukan selain bersembunyi" Kita tidak saling melihat. Jika
kau anggap bahwa kami tidak dapat berbuat apa-apa atasmu,
maka kaupun tidak dapat berbuat apa-apa atasku." berkata Ki
Kertabaya. "Penalaranmu terlalu dangkal anak-anak. Itu satu bukti
bahwa umurmu yang banyak tidak mendukung
pengetahuanmu sehingga kau menanggapi keadaan ini
dengan nalar yang jauh dari pantas. Jika dalam keadaan
seperti ini akupun tidak melihat kalian, maka akulah yang
dapat disebut orang yang paling dungu di bumi Mataram."
jawab Kiai Gringsing. "Jika demikian, lakukan sesuatu." tantang Kertabaya.
Kiai Gringsing tertawa. Katanya, "Baiklah. Aku ingin
menunjukkan kepada kalian, bahwa dalam keadaan seperti ini
dengan mudah aku dapat membunuh kalian."
Ki Wirasana dan Ki Kertabaya itupun segera
mempersiapkan diri ditempatnya. Ia mengira bahwa Kiai
Gringsing akan menyerangnya dengan cara yang belum
diketahui. Namun Wirasana itu terkejut ketika tiba-tiba saja ujung
cambuk Kiai Gringsing menyentuh lehernya. Hanya
menyentuh saja. Sementara itu Kiai Gringsing berkata, "Kau
rasakan itu Ki Wirasana. Ujung cambukku telah menggamit
lehermu. Nah, kemudian lenganmu, Lambungmu dan apalagi
yang kau ingin. Sentuhan itu sekedar pembuktian bahwa tidak
seperti yang kau sangka, akupun tidak dapat melihatmu."
Jantung Ki Wirasana memang berdenyut semakin keras. Ia
memang merasa ujung cambuk Kiai Gringsing itu menyentuh
lehernya. Ketika ia menutup lehernya dengan telapak
tangannya, maka lengannya yang dikenai ujung cambuk itu.
Memang hanya perlahan-lahan. Kemudian tiba-tiba saja
lambungnya yang disentuh oleh ujung juntai cambuk itu. Agak
keras sehingga lambungnya terasa pedih, meskipun dilambari
bajunya yang cukup tebal.
Selagi jantung Ki Wirasana masih berdebaran, maka ujung
cambuk Kiai Gringsing telah berpindah meraba tubuh Ki
Kertabaya, sehingga Ki Kertabaya menjadi sangat gelisah.
Beberapa jengkal ia bergeser. Namun ujung cambuk itu masih
saja menggapainya. Bahkan terakhir terdengar Kiai Gringsing
itu tertawa sambil berkata, "Maaf Ki Kertabaya, aku ingin
melepaskan ikat kepalamu."
Sebenarnyalah bahwa ikat kepala Ki Kertabaya itu telah
terlepas oleh ujung cambuk Kiai Gringsing yang menyentuh
sendal pancing. Ki Kertabaya mengumpat didalam hati. Tetapi ia tidak dapat
berbuat sesuatu karena ia tidak melihat Kiai Gringsing. Tetapi
ia terkejut ketika ia merasa tangan seseorang menggamitnya
dan mengembalikan ikat kepalanya yang jatuh, tetapi tidak
dilihatnya dimana ikat kepalanya itu terletak.
Kiai Gringsing tertawa. Katanya, "Terima sajalah."
Ki Kertabaya termangu-mangu. Yang menyerahkan ikat
kepalanya itu tentu bukan Kiai Gringsing. Tetapi muridnya.
Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu melihat apa yang
terjadi. Ternyata ia dapat bermain-main sebagaimana gurunya
melakukannya. Ia melihat Ki Kertabaya yang kebingungan.
Karena itu, maka iapun telah bangkit dari duduknya,
mengambil ikat kepala itu dan menyerahkannya kembali
kepada Ki Kertabaya. Namun tidak seorangpun yang
melihatnya kecuali Kiai Gringsing. Swandaru dan Glagah
Putihpun tidak melihatnya.
"Nah." berkata Kiai Gringsing kemudian, "kau sudah
melihat, apakah yang dapat aku lakukan dengan cambukku.
Karena itu, urungkan niatmu untuk memaksaku dengan
kekerasan. Kembalilah kepada orang yang sekarang
menyebut dirinya Ki Bagus Jalu itu. Bahwa aku keberatan
menyatukan diri dengan orang itu."
Ki Wirasana dan Ki Kertabaya tidak menjawab. Mereka
masih dilingkari kabut tebal. Pandangan matanya masih
terbatas sampai keujung hidungnya saja.
Namun sejenak kemudian, maka kabut itu semakin lama
menjadi semakin tipis, sehingga perlahan-lahan mereka dapat
melihat lagi keadaan di sekelilingnya. Mereka yang ada di
pendapa itu dapat lagi saling melihat. Ternyata tidak
seorangpun bergeser dari tempat duduknya, kecuali Ki
Kertabaya yang beringsut beberapa jengkal.
Demikian kabut itu lenyap, maka Kiai Gringsing telah
menggulung juntai cambuknya lagi. Dengan nada rendah ia
berkata, "Jangan mencoba mempergunakan kekerasan disini.
Aku memang tidak suka pada kekerasan, meskipun pada
keadaan yang memaksa akupun masih dapat
mempergunakannya meskipun aku sudah terlalu tua untuk
melakukannya." Kedua orang itu menjadi bingung sesaat. Mereka tidak
dapat mengingkari kenyataan bahwa Kiai Gringsing yang tua
itu ternyata masih memiliki kemampuan yang sangat tinggi
diluar dukungan kewadaganhya. Sebagaimana telah
dibuktikan, tanpa mempergunakan wadagnya yang lemah,
Kiai Gringsing dapat berbuat sesuatu atas mereka. Ujung
cambuknya akan dapat mengoyak kulit mereka pada saat
mereka sama sekali kehilangan kesempatan untuk
mengadakan perlawanan. Seandainya mereka datang dengan
jumlah yang lebih banyak sekalipun, mereka tidak akan
mampu mengalahkan Kiai Gringsing yang meskipun tidak
mempergunakan Aji Panglimunan sehingga seakan-akan ia
dapat melenyapkan diri, namun dengan ilmunya yang aneh
itu, rasa-rasanya akibatnya hampir sama.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing berkata selanjutnya, "Ki
Sanak berdua. Aku masih memberi kesempatan kepada kalian
untuk meninggalkan padepokan ini. Seandainya kalian tidak
juga ingin bersikap baik, maka kamipun dapat berbuat keras
dan kasar. Bahkan seandainya kau sempat memanggil
kawan-kawanmu yang selama ini berkeliaran di sekitar
padepokan ini untuk mengintip kehidupan yang sebenarnya
terasa tenang, maka kami dapat memukul kentongan yang
akan langsung memanggil prajurit Mataram di Jati Anom,
karena Panglima prajurit Mataram itu telah menempatkan
kelompok khusus tidak jauh dari padepokan ini. Orangorangmu
itu tentu tahu akan hal itu. Bukan sekedar menakutnakutimu
saja." Namun Swandaru tiba-tiba saja memenggal kata-kata
gurunya, "Tanpa prajurit Mataram, kami akan menyelesaikan
mereka." Tetapi Kiai Gringsing tertawa. Katanya, "Tidak akan terjadi
benturan kekerasan. Kami akan mempersilahkan tamu-tamu
kita untuk meninggalkan padepokan ini."
Mereka memang tidak dapat berbuat lain. Apalagi
Kertabaya yang menganggap bahwa dalam gelapnya kabut
itu, murid-murid Kiai Gringsing itu dapat melihat mereka
dengan jelas, karena seseorang yang bukan Kiai Gringsing
sendiri telah menyerahkan kembali ikat kepalanya yang
terjatuh karena kaitan gerak sendal pancing cambuk Kiai
Gringsing itu. Sebenarnyalah bahwa kedua orang yang menyebut diri
mereka Garuda dari Bukit Kapur itu merasa betapa kecilnya
mereka di hadapan perguruan Orang Bercambuk itu. Namun
demikian, keduanya tidak mau merendahkan dirinya. Karena
itu, maka Ki Wirasana itupun berkata, "Kau, kali ini kami masih
mau mendengarkan permintaan Kiai. Aku masih menganggap
perlu untuk memenuhi permintaan Kiai menyempatkan
keputusan Kiai kepada Ki Bagus Jalu. Tetapi jika lain kali Ki
Bagus Jalu memerintahkan kami datang lagi maka kami akan
bersikap lain. Kami akan melakukan apa yang harus kami
lakukan." "Kenapa tidak kau lakukan sekarang, jika kau memang duta
ngrampungi?" potong -Swandaru.
Wajah kedua orang itu memang menjadi marah. Bukan
kebiasaan mereka membiarkan diri mereka direndahkan
seperti itu. Namun dihadapan Kiai Gringsing mereka harus
berpikir berulang kali untuk bertindak.
Namun dalam pada itu, Ki Wirasanapun berkata, "Aku
minta diri. Bersiap-siaplah, mungkin aku akan segera
kembali." Ketika Swandaru beringsut, maka Kiai Gringsing
memberikan isyarat agar ia menjadi tenang. Namun
merekapun kemudian berdiri dan turun ke halaman ketika
kedua orang itu meninggalkan pendapa. Di halaman Ki
Wirasana masih juga berkata, "Jangan merasa diri kalian
terlalu besar." Swandaru menggeram. Tetapi Kiai Gringsing sama sekali
tidak menyahut. Ternyata kedua orang itu tidak menuju keregol. Dua orang cantrik yang berdiri di regol sudah siap untuk membuka selarak pintu. Namun agaknya keduanya masih inginmenunjukkan, bahwa mereka adalah Garuda-garuda dari Bukit Kapur. Karena itu, maka hampir bersamaan keduanyapun meloncat bagaikan seekor burung yang terbang hinggap di dinding padepokan.
Tetapi tidak seperti saat mreka masuk. Demikian mereka menginjak dinding padepokan, maka tiba-tiba saja bibir dinding itu telah pecah dan runtuh tepat dibawah kaki mereka berurutan sepanjang beberapa jengkal saja. Namun karena keduanya tidak menduga hal itu akan terjadi, maka hampir saja mereka terjatuh seperti sebongkah batu padas.
Untunglah dengan tangkas keduanya berusaha untuk tetap berdiri di atas tanah, meskipun Wirasana harus berpegangan sebatang pohon perdu dan yang hampir saja patah.
Sementara itu Kertabaya mengalami kesulitan yang lebih besar. Lututnya telah membentur dinding yang pecah itu sehingga terluka meskipun dengan susah payah iapun kemudian mampu tetap berdiri setelah terhuyung-huyung beberapa saat.
Tetapi dengan jantung yang berdengupan keduanya telah meloncat dinding yang pecah itu dan hilang di seberang.
Meskipun mereka mendengar juga Kiai Gringsing tertawa dan berkata, "Hati-hati. Ilmumu meringankan tubuh masih mentah.
Bahkan justru sebaliknya sehingga dindingku pecah.
Seharusnya kalian memperbaikinya lebih dahulu."
Jilid 239 "ITU baik sekali Swandaru." sahut Kiai Gringsing, "aku memang sudah memikirkan kemungkinan untuk singgah di Sangkal Putung dari Mataram. Tetapi agaknya memang lebih baik kau datang kemari."
"Atau barangkali Guru singgah di Sangkal Putung, kemudian baru kembali ke padepokan ini?" bertanya Swandaru.
"Kau sajalah yang datang kemari. Bukankah kau dapat segera kembali tanpa bermalam disini" Aku memang memi"kirkan juga tentang Pandan Wangi." berkata Kiai Gringsing.
"O, belum waktunya Guru. Masih memerlukan beberapa bulan lagi." jawab Swandaru.
"Tetapi kau tentu tidak akan meninggalkannya terlalu lama." berkata Kiai Gringsing.
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya Guru." jawab Swandaru.
Dalam pada itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian ber"kata, "Aku kira, tidak ada lagi yang ingin aku bicarakan. Aku memang hanya ingin menyampaikan beberapa pesan kepada Swandaru untuk berhati-hati menghadapi perkembangan keadaan. Dalam keadaan seperti sekarang ini, maka peperangan sebenarnya sudah dimulai. Tetapi bukan dalam ujud kewadagan. Mungkin dengan desas-desus. Dengan hasutan-hasutan. Atau dengan janji-janji. Bukan saja dilakukan oleh Madiun, tetapi juga oleh para pengikutnya. Karena itu kita harus tetap berhati-hati menghadapi setiap perkembangan keadaan, setiap berita dari setiap pernyataan-pernyataan yang tidak jelas sumbernya. Apalagi bagi Sangkal Putung yang telah banyak dikenal sejak perang antara Jipang dan Pajang."
"Baik Guru." jawab Swandaru, "aku akan melakukannya dengan sebaik-baiknya."
"Syukurlah. Aku percaya bahwa kau akan dapat melakukannya. Jika besok Agung Sedayu menemui kakaknya, maka ia akan dapat menyesuaikan keadaan ini dengan perintah-perintah yang diterima Untara langsung dari Mataram. Mungkin Mataram telah mengambil langkah-langkah tertentu, meskipun baru khusus bagi para prajurit." berkata Kiai Gringsing kemudian.
"Aku juga akan menyesuaikan diri Guru. Jika ada hal yang penting aku mohon kakang Agung Sedayu sempat singgah. Tetapi jika tidak, terserah saja kepada kakang." berkata Swan"daru kemudian.
Tetapi Agung Sedayu menjawab, "Maaf adi Swandaru. Mungkin aku akan langsung kembali ke Tanah Perdikan bersamaan dengan keberangkatan Guru tanpa singgah di Sangkal Putung."
"Baiklah. Asal setiap ada perkembangan baru yang terjadi, aku dapat diberi tahu. Terutama dari padepokan ini." berkata Swandaru kemudian.
Kiai Gringsing mengangguk kecil. Katanya, "Aku akan selalu mengusahakan hubungan yang lebih rapat. Para cantrik akan lebih sering pergi ke Sangkal Putung."
"Terima kasih Guru." jawab Swandaru.
Sementara itu maka Kiai Gringsingpun berkata, "Rasa-rasanya aku sudah terlalu lama duduk berbincang. Aku ingin beristirahat."
"Silahkan Guru." jawab Agung Sedayu dan Swandaru hampir berbareng.
Sepeninggal Kiai Gringsing, Swandaru masih berbincang beberapa lama dengan Agung Sedayu. Bahkan Swandaru sem"pat bertanya kepada Glagah Putih, "Bagaimana dengan ilmumu?"
Glagah Putih memang menjadi bingung untuk menjawab. Namun sambil tersenyum Agung Sedayulah yang menjawab, "Anak ini agak malas."
Swandaru tersenyum. Dipandanginya Agung Sedayu dan Glagah Putih berganti-ganti.
Agung Sedayu mengerti perasaan Swandaru. Karena itu, sambil tersenyum pula ia berkata, "Bukankah kau akan menga-takan, bahwa Glagah Putih malas seperti kakak sepupunya."
Swandaru tertawa. Katanya, "Bukan aku yang mengata-kannya. Tetapi kakang Agung Sedayu sendiri."
Agung Sedayu mengangguk. Iapun tertawa. Tetapi ia ber"kata, "Meskipun malas, tetapi ada kelebihan Glagah Putih dari aku."
"Apa?" bertanya Swandaru.
"Setiap malam ia turun ke sungai. Bahkan kadang-kadang dua kali dalam semalam." jawab Agung Sedayu.
"Untuk menjalani laku dalam penempaan ilmu?" ber"tanya Swandaru mulai bersungguh-sungguh.
Tetapi jawab Agung Sedayu membuat Swandaru tertawa lagi. "Ya. Memang menjalani laku. Membuka pliridan."
"O" Swandaru justru tertawa lebih keras. Glagah Putih sendiri bahkan ikut tertawa pula.
"Peringatan Guru merupakan cambuk bagi kita." ber"kata Swandaru kemudian. Lalu katanya bersungguh-sungguh, "Biarlah kitab itu ada pada kakang Agung Sedayu sampa saatnya Pandan Wangi melahirkan. Karena selama itu, aku tidak akan mempergunakannya. Aku akan lebih banyak memperhatikan Pandan Wangi disamping tugas-tugasku sehari-hari membantu ayah yang sudah menjadi semakin tua pula seperti guru."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih. Aku akan memanfaatkan kitab itu sebaik-baiknya. Tetapi kaupun harus mulai memikirkan Tanah Perdikan. Ki Gedepun menjadi semakin tua pula sebagaimana Ki Demang dan Guru."
Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Aku sangat terikat dengan Kademangan Sangkal Putung. Ka"rena itu aku minta kakang Agung Sedayu dapat berbuat lebih banyak bagi Tanah Perdikan itu."
"Tetapi sudah tentu pada suatu saat memerlukan pemecahan." berkata Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi katanya, "Kita akan memikirkannya kelak. Sesudah Pandan Wangi melahirkan, atau sesudah persoalan antara Mataram dan Madiun selesai."
"Kelahiran anakmu dapat diperhitungkan. Tetapi kapan persoalan Mataram dan Madiun selesai, masih harus ditunggu tanpa batas waktu. Mungkin sebulan, mungkin setengah tahun bahkan mungkin lebih lama lagi." jawab Agung Sedayu.
Namun Swandaru masih saja mengelak, "Besok kita pikirkan lagi. Sekarang kita menghadapi persoalan yang lebih penting kelain kelahiran anakku itu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya Swandaru masih segan untuk memikirkan persoalan yang pada suatu saat akan timbul. Meskipun persoalan itu belum memerlu"kan pemecahan segera, namun Agung Sedayu berharap bahwa setidak-tidaknya Swandaru memberikan perhatian.
Tetapi Agung Sedayu memang tidak membicarakannya la"gi. Bahkan pembicaraan mereka justru telah beralih pada keadaan kesehatan Kiai Gringsing.
Namun beberapa saat kemudian, ketiga orang yang duduk dipendapa itu terkejut. Mereka melihat cantrik yang masih menunggui murid-murid Kiai Gringsing berbincang di tangga pendapa dengan serta merta telah bangkit berdiri sambil berteriak tertahan, "Lihat."
Agung Sedayu, Swandaru dan Glagah Putih masih sempat melihat dalam keremangan cahaya obor dua orang yang meloncat turun dari atas regol. Agaknya pintu regol telah ditutup, sehingga kedua orang itu telah meloncat tanpa mau mengetuk pintunya.
Cantrik yang ada di gardu regol itupun terkejut. Dua orang cantrik setiap malam bertugas menjaga regol. Mungkin ada tamu dimalam hari, sehingga mereka harus membuka selaraknya.
Namun karena kedua orang itu memasuki halaman dengan meloncat dari atas regol, maka kedua orang cantrik itu telah meloncat mendekat.
"Siapa kau?" bertanya salah seorang diantara kedua cantrik itu.
Kedua orang itu tidak menghiraukannya. Ketika kedua orang cantrik itu akan menahannya, maka keduanya telah diki-baskannya sehingga jatuh terpelanting.
Mereka yang ada di pendapa itupun segera turun menyongsong mereka. Agung Sedayu yang merasa tertua diantara murid-murid Kiai Gringsing itupun segera menghentikan mereka sam"bil menyapa, "Siapakah kalian" Untuk apa kalian malam-malam begini memasuki padepokan kami?"
Salah seorang diantara kedua orang itu justru bertanya, "Siapakah kalian?"
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun Swandaru nam"paknya tidak senang dengan sikap orang itu. Karena itu, maka ialah yang menyahut, "Kamilah yang harus bertanya kepada kalian. Siapa kalian dan dengan maksud apa?"
"Jangan keras kepala." geram orang itu.
Tetapi Swandaru menjawab, "Jika kau tidak menjawab pertanyaan kami, kami persilahkah kalian pergi. Bahkan dengan kekerasan sekalipun."
Kedua orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang diantara kedua orang itu berkata, "Dimana orang bercambuk itu. Aku akan berbicara dengannya. Tidak dengan orang lain."
Swandaru menjadi semakin tersinggung. Karena itu maka katanya dengan lantang, "Jawab dahulu, siapakah kalian. Atau tinggalkan tempat ini. Atau kami harus mengusir kali"an."
"Anak iblis. Tidak seorangpun pernah berkata kasar kepadaku." geram seorang diantara mereka.
Namun seorang yang lainlah yang menyahut, "Agaknya orang itu belum tahu, siapakah kita."
"Aku tidak peduli. Tetapi anak itu sudah menghinaku." berkata orang yang pertama.
Orang yang lain itu telah bergeser maju sambil berkata, "Anak-anak muda. Kami adalah orang-orang tua yang digelari Garuda-garuda dari Bukit Kapur. Kami adalah dua orang dian"tara mereka yang berada di bukit kapur itu. Nah, setelah kalian tahu siapakah kami, maka kalian tentu akan bersikap lain."
"Kami akan bersikap baik selama kami belum pernah mendengar gelar itu."
"Mungkin belum. Hanya orang-orang yang memiliki tem"pat dalam dunia kanuragan sajalah yang dapat mengenali kami." jawab orang itu. Namun kemudian orang itupun bertanya, "Siapakah kalian bertiga" Cantrik-cantrik padepokan ini atau benar dugaan kami, bahwa dua orang diantara kalian adalah tamu dari Mataram?"
"Kami adalah murid-murid dari perguruan ini." jawab Swandaru.
"O" orang itu mengangguk-angguk, "jadi kalian ada"lah murid-murid orang bercambuk itu. Kalau begitu aku salah duga. Aku kira ada diantara kalian tamu dari Mataram. Atau setidak-tidaknya utusan dari Mataram. Orangku melihat kehadiran itu. Ia melihat kehadirannya kemarin. Hari ini orang-orang yang dikira orang Mataram itu telah meninggalkan padepokan ini dan kembali lagi bersama orang ketiga. Sementara aku melihat kalian bertiga di pendapa ini."
"Jadi apa keperluanmu?" bertanya Swandaru.
"Aku akan bertemu dengan gurumu." berkata orang itu.
"Katakan keperluanmu." sahut Swandaru, "aku baru akan mengatakannya jika aku tahu keperluanmu. Jika keper"luanmu tidak penting, maka kami akan menyelesaikannya."
"Kau terlalu sombong anak gila. Kebodohanmulah yang membuatmu tidak mengenal Garuda-garuda dari Bukit Kapur. Kau akan menyesal jika kami kehabisan kesabaran." geram yang lain.
Tetapi Swandaru sama sekali tidak mau mengalah. Ia sudah terlanjur marah. Karena itu maka katanya, "Katakan keperluanmu."
Kedua orang itu memang menjadi marah. Namun tiba-tiba saja terdengar suara Kiai Gringsing yang berdiri di pringgitan, "O, nampaknya ada tamu."
Kedua orang itu tertegun sejenak. Baru sejenak kemudian seorang diantara mereka berkata, "Orang bercambuk."
"Ya. Akulah yang disebut orang bercambuk itu. Di pade"pokan ini aku dipanggil Kiai Gringsing." berkata Kiai Gring"sing.
"O" kedua orang itu mengangguk-angguk. Seorang di"antara mereka berkata, "Maaf jika aku tidak mengenal nama Kiai. Karena kami hanya mengenal Kiai sebagai orang Bercam"buk itu."
"Marilah Ki Sanak, silahkan. Aku sudah mendengar sebutan Ki Sanak berdua. Dua orang diantara Garuda-garuda dari Bukit Kapur. Tetapi Ki Sanak berdua tentu mempunyai tetenger disamping sebutan itu." berkata Kiai Gringsing.
"Namaku Wirasana dan adik seperguruanku ini dipanggil Kertabaya." jawab orang itu.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. lapun kemudian menyongsong kedua orang itu turun ke halaman, sementara Agung Sedayu, Swandaru dan Glagah Putih telah bergeser.
"Aku dengar, Ki Sanak salah duga." berkata Kiai Gringsing, "muridku yang datang kemarin kalian sangka utusan dari Mataram. Nampaknya kalian telah lama mengamat-amati pade"pokan kecil ini, sehingga kalian melihat kedatangan muridku yang tua dan kemudian muridku yang muda. Demikian besar perhatian Ki Sanak atas padepokanku ini, sehingga aku wajib mengucapkan terima kasih."
"Ya. Kami memang menaruh perhatian terhadap pade"pokan kecil ini sejak Kiai Gringsing pergi ke Madiun." jawab orang itu.
"Marilah. Silahkan duduk." Kiai Gringsing mempersilahkan mereka.
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemu"dian merekapun telah naik dan duduk di pendapa.
Agung Sedayu, Swandaru dan Glagah Putih duduk pula di belakang Kiai Gringsing berhadapan dengan kedua orang tamu yang datang malam-malam itu.
"Ki Sanak." berkata Kiai Gringsing, "aku memang per"nah mendengar gelar Garuda dari Bukit Kapur. Tetapi hanya untuk seorang yang berilmu sangat tinggi pada waktu itu. Bukan Garuda-garuda dari Bukit Kapur yang jumlahnya agak menjadi banyak."
"Kami adalah murid-muridnya. Kami mewarisi ilmu yang tinggi itu, sehingga atas ijin guru, kami digelari Garuda-garuda dari Bukit Kapur. Beberapa orang murid dari perguruan Bukit Kapur telah memiliki ilmu yang tuntas sehingga kami memang pantas memiliki gelar yang sama dengan guru kami." berkata seorang di antara keduanya.
"Dimana gurumu sekarang?" bertanya Kiai Gringsing.
"Guru sudah tidak ada. Sudah terlalu tua untuk hidup pada masa ini." jawab orang itu.
"Apakah gurumu lebih tua dari aku?" bertanya Kiai Gringsing.
Kedua orang itu termangu-mangu. Namun kemudian se"orang diantara mereka berkata, "Aku tidak tahu berapa umurmu. Tetapi guruku, benar-benar seekor Garuda yang garang dari Bukit Kapur telah meninggal. Ketuaannya tidak dapat dilawannya dengan ilmunya yang sangat tinggi. Tetapi meninggalnya Guru bukan berarti lenyapnya ilmu dari perguruan Bukit Kapur. Kami murid-muridnya akan menebarkan sayap keseluruh tanah ini."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Murid-murid dari Garuda Bukit Kapur yang pernah dikenalnya itu sudah nampak lebih tua dari orang-orang separo baya. Apalagi yang bernama Wirasana. Sehingga menurut dugaan Kiai Gringsing, Garuda itu memang lebih tua daripadanya.
Sementara itu orang yang menyebut dirinya bernama Wira"sana itu berkata, "Aku mengenal nama Orang Bercambuk, dari guruku. Guruku menyebutnya sebagai orang yang paling berbahaya dari semua orang berilmu di tanah ini."
"O" Kiai Gringsing tersenyum, "kenapa gurumu menganggap aku sangat berbahaya" Bukankah kita tidak pernah berhubungan" Apalagi saling merugikan?"
"Perguruan kami memang belum pernah bersentuhan dengan perguruanmu. Tetapi Guru menganggap bahwa kau adalah orang yang hanya menuruti kemauanmu sendiri. Kau adalah orang yang sulit untuk diajak berbicara." berkata Wirasana kemudian.
Kiai Gringsing tertawa. Katanya, "Gurumu tentu yang berpendirian aneh. Orang-orang yang tidak sependapat dengannya dianggapnya berbahaya dan menuruti kemauan sendiri."
"Tidak. Guruku cukup bijaksana." berkata Wirasana.
"Baiklah." berkata Kiai Gringsing, "apapun anggapan gurumu, namun aku ingin tahu apakah maksud, kedatanganmu sekarang?"
"Sudah aku katakana." jawab Wirasana, "jika yang da"tang itu utusan dari Mataram, maka aku akan membunuhnya. Tetapi karena mereka adalah murid-muridmu, maka tentu saja aku tidak akan melakukannya."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dengan heran ia bertanya, "Seandainya keduanya utusan dari Mataram, apakah salah mereka?"
"Aku tidak menghitung salah mereka. Tetapi kematian utusan itu akan menjauhkan jarak antara padepokan ini dengan Mataram." jawab Wirasana.
"Tetapi apakah maksudmu sebenarnya?" bertanya Kiai Gringsing.
"Kiai." berkata Wirasana, "kami berniat untuk memaksa Kiai bergabung dengan kami. Mau tidak mau."
Swandaru sudah beringsut. Tetapi Kiai Gringsing justru tertawa berkepanjangan. Katanya, "Kalianlah agaknya yang termasuk orang yang paling berbahaya. Bukan saja menuruti kemauan sendiri, tetapi memaksa orang lain mengikuti kemauannya. Itu tentu ajaran gurumu."
"Kiai Gringsing yang bergelar Orang Bercambuk." berkata Wirasana, "niatku bukannya tidak beralasan. Kami tahu bahwa kau mempunyai pengaruh atas dua daerah yang luas dan kuat. Adalah kebetulan bahwa murid-muridmu ada disini sekarang. Aku sudah mengumpulkan keterangan, bahwa murid-muridmu mempunyai pengaruh yang besar bahkan menentukan di Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Sangkal Putung. Dua daerah yang ada di sebelah Barat dan sebelah Timur Mataram. Nah, jika kau berpijak kepada kami, maka kau dapat menggerakkan kedua muridmu untuk menghimpit Mataram da"ri dua sisi. Tentu tidak hanya dengan kekuatan sendiri. Madiun akan dapat mengirimkan kekuatan yang menurut perhitungan dengan pasti akan berhasil."
"Ternyata kau tidak berbeda dengan orang-orang Nagaraga dan beberapa orang dari padepokan yang lain yang berada dibawah pengaruh Madiun. Usaha mereka selama ini tidak ber"arti apa-apa. Aku justru ingin memperingatkanmu, bahwa usahamu tentu juga akan sia-sia." berkata Kiai Gringsing.
"Karena itu aku melangkah dengan hati-hati." berkata orang itu, "aku mulai dari padepokan ini."
Swandaru menjadi semakin gelisah. Tetapi Kiai Gringsing masih juga tertawa. Katanya, "Kau benar bahwa murid-mu"ridku ada disini sekarang, sebagaimana pengakuan mereka. Kaupun benar bahwa muridku yang seorang adalah anak Ki Demang Sangkal Putung dan seorang lagi menantu Ki Demang Sangkal Putung yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, membantu Ki Gede memerintah Tanah Perdikan yang luas itu."
"Bukankah itu satu kebetulan" Mereka ada disini sekarang. Kita dapat membicarakannya dengan terbuka dan berterus terang, sehingga kita akan mendapat satu keputusan yang menguntungkan kita semuanya." berkata Wirasana.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Agaknya kalian telah melakukan penyelidikan yang cermat tentang kami. Tetapi nampaknya kalian baru mendengar beberapa hal tentang perguruan kecil yang tidak berarti apa-apa ini, namun kalian belum pernah melihat orang-orang yang sedang kalian selidiki itu. Kalian sudah tahu bahwa murid-muridku mempunyai pengaruh yang bahkan menentukan di Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Benar-benar satu hasil penyelidikan yang cermat. Tetapi kalian belum tahu, yang manakah muridku yang ada di Tanah Perdikan Menoreh dan yang manakah yang ada di Sangkal Putung. Orang-orangmu tentu tidak akan dapat menggambarkan keduanya dengan tepat atau barangkali keterangan terperinci tentang mereka belum ada."
"Tidak terlalu sulit." berkata Wirasana, "tentu orang yang kami sangka orang Mataram itulah yang berada di Tanah Perdikan Menoreh."
Kiai Gringsing tertawa. Namun ia masih bertanya, "Tetapi apakah orang-orangmu yang mengamati padepokan kecil ini untuk beberapa hari dapat mengatakan kepadamu sehingga kau mampu mengenali, yang mana muridku yang kau sangka, tamu dari Mataram itu?"
Kedua orang itu termangu-mangu. Namun seorang dianiara mereka yang bernama Kertabaya itu berkata, "Kau jangan membicarakan soal-soal yang, remeh seperti itu. Bukan"kah sekarang kau dapat mengatakan yang mana muridmu yang ada di Menoreh dan yang mana yang ada di Sangkal Putung" Kau tidak perlu berteka-teki seperti berbicara dengan anak-anak."
"Cukup." Swandarulah yang tidak dapat menahan diri lagi, "ingat. Kau berbicara dengan Guru. Kau kira kami, murid-muridnya tidak dapat berbuat kasar seperti yang kau lakukan itu."
Wajah Kertabaya menjadi merah. Tetapi Kiai Gringsing-pun kemudian berkata, "Sudahlah. Sekarang katakan niatmu untuk memaksaku berpihak kepadamu. Apakah keuntungannya dan kemungkinan-kemungkinannya?"
"Mustahil kalau kau tidak tahu, bahwa jalur kekuasaan Derhak mengalir dalam diri Panembahan Madiun. Tidak dalam tubuh Panembahan Senapati. Kau tahu, Senapati anak Pemanahan itu berdarah gembala dari Sela, sehingga tidak pantas un"tuk disembah seluruh rakyat Mataram dan bahkan seluruh tanah ini." berkata Kertabaya.
"Itulah alasan kalian kalian satu-satunya" Jika itu yang kau maksud, maka sebenarnya kalian sudah menyadari sikap Panembahan Madiun sendiri. Panembahan madiun sama sekali tidak berkeberatan kekuasaan berpindah dari Pajang ke Mata"ram karena wahyu keraton memang sudah berpindah." berkata Kiai Gringsing.
"Jika demikian, tentu Panembahan Madiun tidak akan menghimpun kekuatan untuk melawan Mataram." berkata Kertabaya.
"Itulah justru yang harus diketahui. Siapakah sebenarnya yang telah berdiri dibelakang tabir kemelut diatas Madiun itu." berkata Kiai Gringsing.
"Jangan mengada-ada." berkata Wirasana, "semua Adipati di daerah Timur sudah sepakat, bahwa mereka akan memadamkan api yang mulai menyala didalam sekam. Meski"pun baru sepelik kecil, tetapi akhirnya akan dapat membakar seluruh bumbung di tanah ini. Nah, bukankah kau sadari, bah"wa Senapati di Mataram yang mengangkat dirinya sebagai Panembahan itu sama sekali bukan sesembahan kita?"
"Jangan menelusuri darah keturunan semata-mata. Nilai seseorang ditentukan oleh banyak hal yang ada pada dirinya. Keturunan, tetapi juga tingkah laku, sikap dan pandangan hidupnya dan masih banyak lagi. Katakanlah kepribadiannya." berkata Kiai Gringsing.
"Kiai." berkata Wirasana, "baiklah aku berterus terang. Mungkin akan dapat membantu Kiai mengambil keputusan. Disamping para Adipati yang dihimpun langsung oleh Panem"bahan Madiun, maka seorang yang sangat berpengaruh telah ikut pula menghimpun kekuatan. Bukan kekuatan prajurit dari Kadipaten-kadipaten, tetapi kekuatan dari padepokan-padepokan yang tersebar di daerah Timur."
Tetapi Kiai Gringsing sama sekali tidak terkejut. Katanya, "Aku sudah mengira. Seseorang tentu berusaha untuk menghimpun kekuatan yang sebelumnya seakan-akan telah bergerak sendiri-sendiri. Ada beberapa padepokan yang sudah berpacu untuk mendapat pujaan dari Panembahan Madiun dengan mengambil langkah sendiri-sendiri. Tetapi tidak satupun yang pernah berhasil. Mereka lupa bahwa Panembahan Senapati adalah seorang yang selain menjadi pemimpin pemerintahan di Mataram, jika seorang yang pernah menjalani laku melampaui seorang pertama sehingga Panembahan Senapatipun secara pribadi memiliki ilmu yang sangat tinggi. Selain ilmu yang diwarisinya dari ayahandanya Sultan Pajang, juga ilmu yang disadapnya dari mana-mana."
"Tetapi bukankah Kiai belum tahu, siapakah yang telah menyatakan dirinya menjadi pimpinan tertinggi dari kekuatan-kekuatan yang ada di padepokan-padepokan itu?" berkata Wirasana.
"Apakah orang itu telah mendapat restu dari Panem"bahan Madiun?" bertanya Kiai Gringsing.
"Tentu." jawab Wirasana, "orang itu adalah sandaran kekuatan rohani dari Panembahan Madiun."
"Siapa?" bertanya Kiai Gringsing pula.
"Orang itu pulalah yang telah menunjuk kami agar menemui. Orang Bercambuk, karena pemimpin kami itu belum mengetahui bahwa Kiai disini disebut Kiai Gringsing." berkata Wirasana.
"Siapakah orang itu?" desak Kiai Gringsing.
"Ki Bagus Jalu yang bergelar Panembahan Cahya Warastra." jawab Wirasana.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sambil menggeleng ia berkata, "Aku belum pernah mendengar nama itu."
"Mungkin. Orang itupun mengatakan bahwa jika aku sempat bertemu dengan orang bercambuk, maka ia berpesan untuk menyebut nama Kecruk Putih yang bergelar Sang Saka." berkata Wirasana.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa berkepanjangan. Disela-sela derai tertawanya itu terdengar ia berkata, "Jadi orang itulah yang berdiri disisi Panembahan Madiun selain para Adipati" Pantas, kau dan beberapa padepokan telah melibatkan diri pula. Seandainya gurumu masih ada, mungkin Garuda Bukit Kapur itu akan bersikap lain. Tetapi gurumu sudah tidak ada. Dan kalian tidak tahu apa-apa tentang masa lampau yang panjang tentang Ke"cruk Putih itu."
Kedua orang yang mengaku Garuda Bukit Kapur itu termangu-mangu sejenak. Namun diantara mereka yang bernama Kertabaya itu berkata, "Tidak. Gurukupun akan berkata sebagaimana kami katakan sekarang. Perguruan Bukit Kapur akan menyatakan diri dibawah pimpinan Panembahan Madiun dan Ki Bagus Jalu yang bergelar Panembahan Cahya Warastra."
Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, "Sayang, Ki Sanak. Aku telah mengenal Kecruk Putih yang ber"gelar Sang Saka itu dengan kesan tersendiri."
"Agaknya guruku benar. Kau adalah orang yang tidak mudah untuk diajak bicara." berkata Kertabaya, "Tetapi aku minta kau meyakini kata-kataku. Lebih baik kau berpihak kepada kami. Jika Panembahan Madiun berhasil, maka kepemimpinannya para olah laku di padepokan-padepokan bukan saja akan berpengaruh di Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, tetapi Kademangan Sangkal Putungpun akan menjadi Tanah Perdikan pula. Beberapa Kademangan disekitarnya akan termasuk kedalam kuasa Tanah Perdikan Sangkal Putung sementara muridmu yang lain akan berkuasa di Tanah Perdikan Menoreh yang diperluas. Bukankah Panembahan Madiun akan berhak memberikan wewenang atas berdirinya sebuah Tanah Perdikan dengan kuasanya jika Mataram sudah dihancurkan?"
Kiai Gringsing tertawa pula. Katanya, "Jangan seperti berbicara dengan kanak-kanak yang menuruti kemauan orang lain dengan sepotong gula aren di tangan. Ingat Ki Sanak. Yang kami lakukan sampai saat ini adalah satu sikap dengan satu keyakinan. Karena itu, sadarilah bahwa kalian tidak akan ber"hasil. Nasib kalian tidak akan lebih baik dari Nagaraga."
"Dengan mengirim Pangeran Singasari ke Bukit Kapur?" desis Kertabaya, "satu langkah yang mustahil dilakukan. Jika pasukan Mataram saat ini memasuki Madiun dan lingkungannya, maka perang itu akan pecah. Seandainya dengan sembunyi-sembunyi prajurit Mataram merayap naik ke Bukit Kapur, maka kalian tidak akan menjumpai apa-apa lagi disana selain sebuah padepokan yang kosong."
"Sudahlah Ki Sanak." berkata Kiai Gringsing, "waktunya terbuang sia-sia."
"Bukannya sama sekali tidak mempertimbangkan kemungkinan sebagaimana yang kalian tawarkan. Tetapi yang kalian tawarkan itu bertentangan dengan keyakinan kami. Ka"rena itu, maka maafkan kami. Sampaikan kepada Ki Bagus Jalu, bahwa kami tidak dapat bekerja bersama dengan mereka." berkata Kiai Gringsing.
"Jika demikian untuk apa kau pergi ke Madiun" Atau barangkali kaulah yang ingin mendampingi Panembahan Ma"diun dan memimpin para pemimpin padepokan di daerah Timur?"
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Itulah pokok per"soalan yang sebenarnya. Kalian lebih baik tidak berbelit-belit. Kalian dan barangkali Ki Bagus Jalu yang bergelar Panembahan Cahya Warastra itu cemas mendengar kehadiranku di Madiun."
"Agaknya guruku benar." desis Wirasana, "yang disebut Orang Bercambuk adalah orang yang keras kepala."
"Cukup." Swandaru tidak dapat menahan diri lagi. Namun dengan isyarat Kiai Gringsing menahannya ketika ia ingin bergeser maju.
Dengan nada rendah Kiai Gringsing berkata, "Kapan gurumu berkata kepadanya, bahwa Orang Bercambuk itu keras kepala" Kemarin, atau ketika aku berada di Madiun" Atau jauh sebelum itu, karena gurumu sudah meninggal" Dalam hubungan apa gurumu berkata kepadamu bahwa Orang Bercambuk itu keras kepala" Atau tiba-tiba saja, tanpa sebab dan tanpa per"soalan apapun juga Ki Sanak" Aku tidak pernah berhubungan apalagi saling merugikan dengan orang yang pernah digeluti Garuda Bukit Kapur. Adalah mustahil jika tiba-tiba saja tanpa sebab beberapa waktu yang lalu, sebelum gurumu itu meninggal, telah mengatakan tentang aku. Karena itu, ada beberapa kemungkinan. Bukan gurumu yang mengatakan tentang aku. Orang Bercambuk. Sedangkan kemungkinan lain, kau bukan murid Garuda Bukit Kapur. Atau Garuda Bukit Kapur itu masih hidup sampai sekarang tetapi tersisih dan dibayangi oleh kekuatan lain sehingga ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi."
"Kiai." wajah Kertabaya menjadi merah, "kau jangan asal saja berucap. Kau berbicara dengan murid-murid terpercaya dari Bukit Kapur. Bahkan guru telah membenarkan kami disebut Garuda-garuda dari Bukit Kapur."
Swandaru benar-benar telah sulit dicegah. Iapun beringsut beberapa jengkal sambil menggeram. "Kalian mau apa" Kalian berada di perguruan Orang Bercambuk. Jika kalian ingin membuat persoalan, maka kami akan melayani kalian. Kami tahu, bahwa kalian tidak hanya berdua. Tentu ada orang lain. Setidak-tidaknya orang-orang yang selama ini mengamati pade"pokan ini. Tetapi jika kalian ingin dihancurkan disini maka kami akan melakukannya."
Kedua orang itupun agaknya menjadi marah. Tetapi Kiai Gringsing berkata, "Bukankah kalian adalah sekedar utusan" Kembalilah. Katakan kepada Ki Bagus Jalu yang pernah disebut Kecruk Putih dan bergelar siapapun menurut kesukaannya itu, bahwa aku Orang Bercambuk, tidak dapat mempertimbangkan sarannya. Sebaiknya ia tidak mencampuri persoalan yang berkembang antara Mataram dan Madiun sekarang ini, karena apa yang dilakukannya itu hanya akan menambah korban saja."
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Sementara Kiai Gringsing berkata selanjutnya, "Lakukanlah apa yang aku katakan."
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Nampaknya keduanya tidak dapat menerima begitu saja saran Kiai Gring"sing, sehingga karena itu, maka Wirasanapun berkata, "Kiai. Sebaiknya Kiai jangan besikap begitu keras. Seolah-olah Kiai menganggap bahwa Ki Bagus Jalu sama sekali tidak mampu berbuat sesuatu atas padepokan ini."
"Aku tidak berpendapat seperti itu." berkata Kiai Gring"sing, "tetapi menurut pendapatku, kalian adalah utusan yang telah melakukan tugas kalian dengan baik. Kalian diperintahkan untuk menemui aku dan kalian sudah bertemu dengan aku. Kalian telah menyampaikan pesan Ki Bagus Jalu yang ber"gelar Panembahan Cahya Warastra. Bukankah kewajiban kalian telah kalian lakukan" Tugas itu akan kalian lengkapi dengan membawa jawabanku kepada Ki Bagus Jalu itu. Nah, apalagi yang akan kalian lakukan?"
"Kiai." berkata Wirasana, "menurut pendengaran kami, Kiai yang dikenal dengan Orang Bercambuk itu kini telah menjadi tidak berarti lagi setelah Kiai menjadi semakin tua. Meskipun Kiai masih mampu pergi ke Madiun, tetapi menilik ujud lahiriah, Kiai sudah menjadi semakin lemah. Karena itu, maka nampaknya Kiai bukan lagi Orang Bercambuk beberapa saat yang lalu."
"Apa maksudmu?" bertanya Kiai Gringsing.
"Kiai berhadapan dengan duta ngrampungi. Jika Kiai tidak bersedia bergabung dengan kami, maka sebaiknya pade"pokan ini kami lanyapkan saja dari lingkungan Mataram." ber"kata Kertabaya.
Swandaru benar-benar tidak menahan diri lagi. Dengan geramnya ia berkata, "Baik. Baik. Lakukan jika kau mampu."
Tetapi Kiai Gringsing masih tertawa. Katanya, "Kalian adalah anak-anak burung yang meskipun Garuda yang garang, tetapi baru saja menetas dari butir-butir telur. Kalian seakan-akan belum berbulu yang dapat membawa kalian terbang tinggi. Kalian belum mempunyai kuku-kuku yang tajam yang dapat mencengkeram lawan jika lawan itu kalian hadapi. Paruh kalian masih lunak sehingga tidak akan mampu mematuk daging kelinci sekalipun. Meskipun ujud lahiriah kalian-kalian adalah orang-orang yang barangkali lebih tua dari murid-muridku, tetapi dalam olah kanuragan kalian tidak akan dapat mengimbanginya. Kalian harus menyadari, bahwa Garuda Bukit Kapur itu mernang seorang yang berilmu tinggi. Tetapi bukan termasuk keberapa orang yang berada dalam puncak kemampuan di bumi Pajang, apalagi Demak pada masa itu. Karena itu, tinggalkan tempat ini selagi kalian sempat."
Wayah kedua orang itu menjadi merah. Sementara itu Swandaru berkata, "Guru, biarlah mereka membuktikan, apa"kah benar mereka Garuda-garuda Bukit Kapur atau tidak lebih dari burung kutilang yang memang pandai berbicara. Suaranya memang merdu dan menawan. Tetapi sama sekali tidak akan mampu melepaskan diri dari terkaman burung alap-alap. Silahkan Guru melihat dan menilai. Sementara aku akan melawan se"orang diantara mereka dan kakang Agung Sedayu bersama Glagah Putih akan melawan seorang yang lain. Bahkan seandainya mereka akan memanggil kawan-kawannya yang sejak bebe"rapa hari berkeliaran disekitar padepokan ini, kita tidak akan berkeberatan."
Kiai Gringsing masih tertawa, Katanya, "Itu tidak perlu."
Wajah Swandaru menjadi tegang. Demikian pula wajah Glagah Putih. Telinganya sudah panas mendengar kata-kata orang yang menyebut diri mereka dengan gelar Garuda-garuda dari Bukit Kapur itu. Namun menjadi semakin panas mende"ngar cara Swandaru membagi tugas. Seolah-olah Agung Sedayu tidak akan mampu melawan salah seorang diantara kedua orang itu. Tetapi Glagah Putih tidak dapat berbuat apa-apa, karena Agung Sedayu yang seharusnya langsung tersinggung itu juga tidak berbuat apa-apa.
Sebenarnyalah Agung Sedayu memang tersinggung. Tetapi apakah ia akan membuat persoalan justru dihadapan orang-orang yang akan memusuhi padepokan itu" Karena itu, maka Agung Sedayu yang sudah terbiasa menahan diri ini, tidak memberikan tanggapan apapun juga, sehingga seolah-olah ia mengakui pernyataan Swandaru itu.
Sementara itu Glagah Putih mengharap bahwa perselisihan itu benar-benar akan menimbulkan benturan-benturan. Ia bahkan akan minta kepada Agung Sedayu untuk melawan se"orang diantara kedua orang dari Bukit Kapur itu sendiri. Jika Swandaru mampu mengalahkan salah seorang dari mereka, maka Glagah Putihpun akan melakukannya pula.
Tetapi baik Glagah Putih maupun Swandaru menjadi kecewa, karena agaknya Kiai Gringsing tidak menghendaki benturan kekerasan itu. Kiai Gringsing sendiri kemudian telah mengurai cambuknya sambil berkata, "Anak-anak Garuda dari Bukit Kapur. Cambuk inilah yang agaknya membuat orang memanggilku Orang Bercambuk. Nah, barangkali kau juga ingin melihat, apakah cambukku pantas mendapat perhatian begitu besar sehingga menjadi sebutan bagiku."
Kedua orang dari Bukit Kapur itu tidak tahu maksud Kiai Gringsing. Namun akhirnya merekapun menjadi berdebar-debar. Cambuk yang juntainya melingkar di hadapan Kiai Gringsing sedangkan tangkainya ada di dalam genggaman orang tua itu, perlahan-lahan terurai sendiri. Bahkan kemudian cam"buk Kiai Gringsing itu telah memancarkan semacam asap tipis yang semakin lama semakin banyak, sehingga akhirnya asap itu menjadi semacam kabut yang tebal yang menyelubungi pendapa itu. Demikian tebalnya kabut itu, sehingga orang-orang yang berada di pendapa itu tidak dapat melihat yang satu dengan yang lain, kecuali Kiai Gringsing sendiri dan Agung Sedayu yang memang mempunyai Aji Sapta Pandulu meskipun hanya remang-remang.
Orang-orang dari Bukit Kapur itupun menjadi berdebar-debar. Mereka tidak melihat lagi Kiai Gringsing yang duduk dihadapannya. Bahkan rasa-rasanya pendapa itu bukan saja menjadi gelap karena kabut, tetapi menjadi sesak pula. Nafas mereka rasa-rasanya menjadi terganggu oleh kabut yang se"makin padat di sekitarnya.
Agung Sedayu mengerti bahwa kabut itu bukannya asap yang keluar dari cambuk Kiai Gringsing. Tetapi salah satu dian"tara ilmu Kiai Gringsing yang telah dikenalnya. Namun agaknya Kiai Gringsing telah mempergunakan cambuknya sebagai tekanan bahwa cambuk itu memang benar sehingga ia disebut Orang Bercambuk.
Dalam kegelisahan itu terdengar suara Kiai Gringsing, "Nah Ki Wirasana dan Ki Kertabaya, apakah kalian masih juga ingin memaksakan kehendakmu?"
"Kenapa kau bersembunyi Kiai?" bertanya Wirasana.
"Aku tidak bersembunyi. Aku disini. Jika kau memang berilmu tinggi, maka kau tentu mampu menembus gelapnya kabutku ini." jawab Kiai Gringsing.
Swandaru dan Glagah Putih yang juga mendengar suara Kiai Gringsing itupun menjadi berdebar-debar pula. Ternyata merekapun tidak mampu menembus kabut itu sampai jarak yang hanya dua tiga depa dihadapannya. Sementara Agung Sedayu yang dengan kekuatan Aji Sapta Pandulunya mampu melihat orang-orang yang duduk di sekitarnya meskipun remang-remang itu, ternyata diam saja ditempatnya.
"Tetapi dalam keadaan seperti ini, apa yang dapat kau lakukan selain bersembunyi" Kita tidak saling melihat. Jika kau anggap bahwa kami tidak dapat berbuat apa-apa atasmu, maka kaupun tidak dapat berbuat apa-apa atasku." berkata Ki Ker"tabaya.
"Penalaranmu terlalu dangkal anak-anak. Itu satu bukti bahwa umurmu yang banyak tidak mendukung pengetahuanmu sehingga kau menanggapi keadaan ini dengan nalar yang jauh dari pantas. Jika dalam keadaan seperti ini akupun tidak melihat kalian, maka akulah yang dapat disebut orang yang pa"ling dungu di bumi Mataram." jawab Kiai Gringsing.
"Jika demikian, lakukan sesuatu." tantang Kertabaya.
Kiai Gringsing tertawa. Katanya, "Baiklah. Aku ingin menunjukkan kepada kalian, bahwa dalam keadaan seperti ini dengan mudah aku dapat membunuh kalian."
Ki Wirasana dan Ki Kertabaya itupun segera mempersiapkan diri ditempatnya. Ia mengira bahwa Kiai Gringsing akan menyerangnya dengan cara yang belum diketahui.
Namun Wirasana itu terkejut ketika tiba-tiba saja ujung cambuk Kiai Gringsing menyentuh lehernya. Hanya menyentuh saja. Sementara itu Kiai Gringsing berkata, "Kau rasakan itu Ki Wirasana. Ujung cambukku telah menggamit lehermu. Nah, kemudian lenganmu, Lambungmu dan apalagi yang kau ingin. Sentuhan itu sekedar pembuktian bahwa tidak seperti yang kau sangka, akupun tidak dapat melihatmu."
Jantung Ki Wirasana memang berdenyut semakin keras. Ia memang merasa ujung cambuk Kiai Gringsing itu menyentuh lehernya. Ketika ia menutup lehernya dengan telapak tangannya, maka lengannya yang dikenai ujung cambuk itu. Memang hanya perlahan-lahan. Kemudian tiba-tiba saja lambungnya yang disentuh oleh ujung juntai cambuk itu. Agak keras sehingga lambungnya terasa pedih, meskipun dilambari bajunya yang cukup tebal.
Selagi jantung Ki Wirasana masih berdebaran, maka ujung cambuk Kiai Gringsing telah berpindah meraba tubuh Ki Ker"tabaya, sehingga Ki Kertabaya menjadi sangat gelisah. Beberapa jengkal ia bergeser. Namun ujung cambuk itu masih saja menggapainya. Bahkan terakhir terdengar Kiai Gringsing itu tertawa sambil berkata, "Maaf Ki Kertabaya, aku ingin melepaskan ikat kepalamu."
Sebenarnyalah bahwa ikat kepala Ki Kertabaya itu telah terlepas oleh ujung cambuk Kiai Gringsing yang menyentuh sendal pancing.
Ki Kertabaya mengumpat didalam hati. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu karena ia tidak melihat Kiai Gringsing. Tetapi ia terkejut ketika ia merasa tangan seseorang menggamitnya dan mengembalikan ikat kepalanya yang jatuh, tetapi tidak dilihatnya dimana ikat kepalanya itu terletak.
Kiai Gringsing tertawa. Katanya, "Terima sajalah."
Ki Kertabaya termangu-mangu. Yang menyerahkan ikat kepalanya itu tentu bukan Kiai Gringsing. Tetapi muridnya.
Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu melihat apa yang terjadi. Ternyata ia dapat bermain-main sebagaimana gurunya melakukannya. Ia melihat Ki Kertabaya yang kebingungan. Karena itu, maka iapun telah bangkit dari duduknya, mengam"bil ikat kepala itu dan menyerahkannya kembali kepada Ki Ker-tabaya. Namun tidak seorangpun yang melihatnya kecuali Kiai Gringsing. Swandaru dan Glagah Putihpun tidak melihatnya.
"Nah." berkata Kiai Gringsing kemudian, "kau sudah melihat, apakah yang dapat aku lakukan dengan cambukku. Karena itu, urungkan niatmu untuk memaksaku dengan kekerasan. Kembalilah kepada orang yang sekarang menyebut dirinya Ki Bagus Jalu itu. Bahwa aku keberatan menyatukan diri dengan orang itu."
Ki Wirasana dan Ki Kertabaya tidak menjawab. Mereka masih dilingkari kabut tebal. Pandangan matanya masih terbatas sampai keujung hidungnya saja.
Namun sejenak kemudian, maka kabut itu semakin lama menjadi semakin tipis, sehingga perlahan-lahan mereka dapat melihat lagi keadaan di sekelilingnya. Mereka yang ada di pendapa itu dapat lagi saling melihat. Ternyata tidak seorangpun bergeser dari tempat duduknya, kecuali Ki Kertabaya yang beringsut beberapa jengkal.
Demikian kabut itu lenyap, maka Kiai Gringsing telah menggulung juntai cambuknya lagi. Dengan nada rendah ia berkata, "Jangan mencoba mempergunakan kekerasan disini. Aku memang tidak suka pada kekerasan, meskipun pada keadaan yang memaksa akupun masih dapat mempergunakannya meskipun aku sudah terlalu tua untuk melakukannya."
Kedua orang itu menjadi bingung sesaat. Mereka tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa Kiai Gringsing yang tua itu ternyata masih memiliki kemampuan yang sangat tinggi diluar dukungan kewadaganhya. Sebagaimana telah dibuktikan, tanpa mempergunakan wadagnya yang lemah, Kiai Gringsing dapat berbuat sesuatu atas mereka. Ujung cambuknya akan dapat mengoyak kulit mereka pada saat mereka sama sekali kehilangan kesempatan untuk mengadakan perlawanan. Seandainya mereka datang dengan jumlah yang lebih banyak sekalipun, mereka tidak akan mampu mengalahkan Kiai Gringsing yang meskipun tidak mempergunakan Aji Panglimunan sehingga seakan-akan ia dapat melenyapkan diri, namun dengan ilmunya yang aneh itu, rasa-rasanya akibatnya hampir sama.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing berkata selanjutnya, "Ki Sanak berdua. Aku masih memberi kesempatan kepada kalian untuk meninggalkan padepokan ini. Seandainya kalian tidak juga ingin bersikap baik, maka kamipun dapat berbuat keras dan kasar. Bahkan seandainya kau sempat memanggil kawan-kawanmu yang selama ini berkeliaran di sekitar padepokan ini untuk mengintip kehidupan yang sebenarnya terasa tenang, maka kami dapat memukul kentongan yang akan langsung memanggil prajurit Mataram di Jati Anom, karena Panglima prajurit Mataram itu telah menempatkan kelompok khusus tidak jauh dari padepokan ini. Orang-orangmu itu tentu tahu akan hal itu. Bukan sekedar menakut-nakutimu saja."
Namun Swandaru tiba-tiba saja memenggal kata-kata gurunya, "Tanpa prajurit Mataram, kami akan menyelesaikan mereka."
Tetapi Kiai Gringsing tertawa. Katanya, "Tidak akan terjadi benturan kekerasan. Kami akan mempersilahkan tamu-tamu kita untuk meninggalkan padepokan ini."
Mereka memang tidak dapat berbuat lain. Apalagi Kertabaya yang menganggap bahwa dalam gelapnya kabut itu, murid-murid Kiai Gringsing itu dapat melihat mereka dengan jelas, karena seseorang yang bukan Kiai Gringsing sendiri telah menyerahkan kembali ikat kepalanya yang terjatuh karena kaitan gerak sendal pancing cambuk Kiai Gringsing itu.
Sebenarnyalah bahwa kedua orang yang menyebut diri mereka Garuda dari Bukit Kapur itu merasa betapa kecilnya mereka di hadapan perguruan Orang Bercambuk itu. Namun demikian, keduanya tidak mau merendahkan dirinya. Karena itu, maka Ki Wirasana itupun berkata, "Kau, kali ini kami masih mau mendengarkan permintaan Kiai. Aku masih menganggap perlu untuk memenuhi permintaan Kiai menyempatkan keputusan Kiai kepada Ki Bagus Jalu. Tetapi jika lain kali Ki Bagus Jalu memerintahkan kami datang lagi maka kami akan bersikap lain. Kami akan melakukan apa yang harus kami lakukan."
Neraka Gunung Bromo 1 The Heroes Of Olympus 2 Son Of Neptune Pemisahan Separation 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama