Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 24

10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 24


Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, "Terima kasih atas perhatianmu adi Swandaru. Ternyata kita masih dapat bersyukur karena perlindungan Yang Maha Agung."
"Dalam keadaan yang gawat, pada kesempatan lain kakang dapat mengirimkan penghubung ke Sangkal Putung. Aku akan dapat dengan cepat mengirim bantuan." berkata Swandaru.
"Kami tidak mempunyai kesempatan. Peristiwa itu begitu tiba-tiba terjadi." jawab Agung Sedayu.
"Tetapi prajurit Mataram sempat datang ke Tanah Perdikan ini." sahut Swandaru.
"Mataram mempunyai petugas sandi yang rapi. Petugas sandi yang mengetahui sejak pasukan lawan berangkat dari Madiun. Karena itu, maka Mataram sempat menyiapkan pasukannya dan dikirim ke Tanah Perdikan. Tetapi Tanah Perdikan ini sendiri tidak dapat mengetahui sebelumnya akan kedatangan mereka." jawab Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti alasan Agung Sedayu.
Tetapi sementara itu Agung Sedayu justru bertanya, "Bagaimana kau memasuki Tanah Perdikan ini" Sepengetahuanku penjagaan diperbatasan sangat rapat."
"Semula memang agak sulit. Demikian kami turun dari rakit di Kali Praga sudah terasa bahwa jalan seakan-akan telah tertutup. Tetapi ternyata ada beberapa orang pemimpin kelompok pengawal yang telah mengenai aku, sehingga mereka justru memberikan dua orang pengawal untuk mengantar aku sampai ke padukuhan induk. Dengan demikian maka perjalananku tidak terganggu lagi." jawab Swandaru.
"Syukurlah." Agung Sedayu mengangguk-angguk, "kami tidak mengira bahwa adi Swandaru akan datang begitu cepat."
"Bagaimana dengan Guru?" bertanya Swandaru kemudian.
"Guru tidak mengalami kesulitan apapun. Sekarang Guru berada di rumah Ki Gede bersama orang-orang tua dan para pemimpin dari Mataram." jawab Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-angguk. Iapun kemudian mempertanyakan apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh orang-orang Madiun datang ke Tanah Perdikan.
Agung Sedayupun kemudian menceriterakan niat orang-orang Madiun yang dipimpin oleh Panembahan Cahya Warastra untuk membunuh Ki Patih Mandaraka.
"Tentu didorong oleh nafsu ketamakan Panembahan Cahya Warastra itu." berkata Agung Sedayu, "meskipun sayang sekali, bahwa Panembahan Mas di Madiun yang memang mengalami beberapa kekecewaan telah terbakar hatinya sehingga memberikan kesempatan kepada Panembahan Cahya Warastra itu untuk bertindak yang justru tidak menguntungkan segala pihak."
Swandaru mengangguk-angguk. Dengan nada berat ia berkata, "Seharusnya Panembahan Senapati dari Mataram segera mengambil langkah. Pasukan Mataram harus segera menyusul ke Madiun dan menghancurkan pasukan Madiun sekaligus. Kekalahannya disini merupakan permulaan dari kekalahannya dimana-mana."
Tetapi Agung Sedayu menyahut, "Tidak semudah itu adi Swandaru. Madiun tidak berdiri sendiri. Madiun berdiri diantara beberapa orang Adipati yang mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, namun yang bersama-sama menentang Mataram."
"Panembahan Senapatipun dapat mengerahkan pasukan berapapun yang dikehendaki." berkata Swandaru.
"Tetapi berapapun banyaknya, Panembahan Senapati mampu mengumpulkan pasukan, tetapi tidak akan dapat mencapai jumlah prajurit dari Madiun serta para Adipati yang berdiri dibelakang Madiun." jawab Agung sedayu.
"Jadi, apakah Panembahan Senapati harus tunduk kepada Panembahan Madiun?" bertanya Swandaru pula.
"Bukan begitu." jawab Agung Sedayu, "sebenarnya aku juga tidak cukup banyak mengetahui tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Mataram dan Madiun dalam keseluruhan. Tetapi menurut pendengaranku, Mataram harus sangat berhati-hati menghadapi Madiun. Bukan saja karena keseimbangan kekuatan, tetapi sebagaimana kita ketahui bahwa Panembahan Senapati telah dianggap putera sendiri oleh Panembahan Mas."
"Satu cara untuk mendapatkan gejolak perjuangan Mataram menentang Madiun." berkata Swandaru.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Besok, setelah Ki Mandaraka berada di istana Mataram kembali, maka segala sesuatunya tentu akan dibicarakan. Termasuk langkah yang kasar yang telah diambil oleh Panembahan Cahya Warastra."
Swandaru mengangguk-angguk. Iapun menyadari, bahwa orang-orang tua seperti Ki Patih Mandaraka, serta beberapa pemimpin Mataram yang lain, terutama para Panglima, tentu mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Sekar Mirah telah berada di dapur untuk menyiapkan hidangan bagi kakaknya yang baru saja datang dari Sangkal Putung.
"Besok pagi menurut rencana Guru akan kembali ke Jati Anom bersama dengan rombongan Ki Patih Mandaraka sampai ke Mataram." berkata Agung Sedayu kemudian.
"Kemudian dari Mataram?" bertanya Swandaru.
"Kami telah menjadi bingung. Guru tidak mau diantar oleh siapapun dari Tanah Perdikan ini. Jika adi Swan-daru tidak terlalu letih, maka Guru akan dapat bersama-sama denganmu sejak dari Mataram, atau kita minta Guru kembali ke Jati Anom tidak usah bersama-sama dengan Ki Patih Mandaraka." berkata Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Agung Sedayu. Pagi-pagi berikutnya, ia harus pergi lagi bersama-sama dengan pasukan Mataram yang akan kembali. Tetapi agaknya Swandaru memilih kemungkinan kedua. Ia akan minta agar Kiai Gringsing tinggal satu dua hari lagi di Tanah Perdikan. Kemudian ia akan membawa Kiai Gringsing kembali ke Jati Anom.
Karena itu, maka katanya kemudian, "Aku akan menemui Guru. Aku akan mohon Guru untuk tidak usah bersama-sama dengan pasukan Mataram."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Kita akan mencoba mohon kepada Guru."
"Ada beberapa keuntungan jika Guru tidak berangkat bersama-sama dengan pasukan Mataram. Kita masih mempunyai kesempatan untuk berbicara dengan Guru. Kemudian, Gurupun tidak akan mengalami perlakuan yang kurang baik. Karena Guru bukan pemimpin Mataram, maka ia tentu diperlakukan sebagai orang lain yang menumpang perjalanan mereka." berkata Swandaru.
"Tentu tidak." jawab Agung Sedayu, "hampir semua pemimpin Mataram mengenal Kiai Gringsing."
"Hanya beberapa saja. Seandainya mereka mengenalpun, mereka merasa bahwa Kiai Gringsing bukan apa-apa. Ia hanya seorang padepokan kecil di Jati Anom yang tidak perlu mendapat perlakuan yang khusus. Bahkan Guru akan dapat tersisih-sisih sampai kebelakang barisan." berkata Swandaru.
"Jangan berprasangka begitu." jawab Agung Sedayu, "Ki Patih Mandaraka sangat hormat kepada Guru."
"Kenapa Ki Patih berbuat seperti itu" Apakah ia benar-benar menghormati Guru, atau hanya pada saat-saat dibutuhkan saja?" bertanya Swandaru.
"Marilah kita berusaha untuk tidak menuruti perasaan yang tidak mendasar. Ki Patih Mandaraka memang sangat hormat kepada Guru, karena Ki Patih tahu bahwa Guru bukan orang kebanyakan. Bukan saja kemampuan ilmunya yang tinggi yang bahkan dikagumi oleh Ki Patih, tetapi Guru adalah orang yang memang dihormati karena keturunannya. Karena itu, jika kita mohon Guru untuk berangkat kemudian, tentu karena alasan-alasan lain. Bukan karena kita cemas bahwa Guru akan diperlakukan kurang baik oleh orang-orang Mataram." berkata Agung Sedayu.
Swandaru termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba saja ia berdesis, "Mudah-mudahan. Tetapi marilah, kita menghadap Guru."
Namun dalam pada itu, Sekar Mirah telah menghidang-kan minuman dan makanan bagi Swandaru dan beberapa orang pengawalnya. Meskipun makanannya tidak hangat seperti minumannya.
Beberapa saat kemudian, Swandaru meneguk minuman hangat. Tetapi rasa-rasanya ia memang ingin segera bertemu dengan gurunya. Namun Agung Sedayu berkata, "Guru tentu baru saja beristirahat. Bagaimana jika nanti pagi-pagi benar kita pergi ke rumah Ki Gede?"
"Jangan-jangan kita terlambat." berkata Swandaru.
"Tentu tidak. Guru tentu akan menunggu aku datang ke rumah Ki Gede. Atau jika kau terlambat, Guru tentu akan memanggil aku." jawab Agung Sedayu.
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Sebaiknya kita kesana sekarang. Biar saja Guru beristirahat. Kita akan menunggu."
"Apakah kau tidak letih?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku adalah murid Kiai Gringsing." jawab Swandaru.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Hampir diluar sadarnya ia berpaling kepada Sekar Mirah yang menunduk. Sementara itu Swandaru berkata, "Kita sudah mendapat latihan-latihan yang berat. Tetapi kemudian setelah kita dianggap cukup dewasa dalam penguasaan ilmu, kita memang harus menempa diri sendiri. Dengan demikian maka kita bukan orang-orang yang lemah dan mudah menjadi lemah."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi sebelum ia menjawab Swandaru telah bertanya, "Tetapi apakah kakang Agung Sedayu merasa perlu untuk beristirahat" Jika demikian tolong, antarkan saja aku ke rumah Ki Gede untuk menunggu Guru. Kakang dapat pulang untuk beristirahat meskipun waktunya tinggal sedikit."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Tidak. Aku tidak terlalu letih, karena aku tidak melakukan apa-apa hari ini. Jika kau ingin pergi ke rumah Ki Gede sekarang, marilah, aku antarkan. Biarlah pengawal-pengawalmu ada disini. Mereka dapat beristirahat diserambi sampai menjelang pagi."
Ternyata Swandaru tidak berkeberatan. Dibiarkannya para pengawalnya tinggal dirumah Agung Sedayu, sementara Swandaru sendiri telah pergi ke rumah Ki Gede bersama Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu telah sempat minta diri kepada Ki Jayaraga dan Sekar Mirah dan berpesan agar mereka menyusul setelah fajar.
"Aku pun harus mempersiapkan makan pagi sebelum para pemimpin dari Mataram serta para prajurit meninggalkan Tanah Perdikan. Beberapa orang perempuan bergantian masak di rumah Ki Gede dan di banjar." berkata Sekar Mirah, "karena itu, akupun akan segera menyusul pula."
"Biarlah Glagah Putih tinggal." berkata Agung Sedayu, "jika perlu ia dapat kau minta untuk menghubungi aku."
"Baiklah kakang." jawab Sekar Mirah, "Glagah Putih akan dapat pula mengawani para pengawal itu."
Demikianlah, maka Agung. Sedayu yang tidak jadi beristirahat itu telah mengantar Swandaru ke rumah Ki Gede. Rumah itu memang sudah nampak lengang. Hanya para petugas yang ada di regol, di halaman dan disudut-sudut kebun belakang. Digardu beberapa orang pengawal duduk dan bercerita diantara mereka, sementara di bilik belakang longkangan sekelompok prajurit yang sedang tidak bertugas, tidur untuk beristirahat sebelum pada saatnya mereka menggantikan tugas kelompok yang lain.
Kedatangan Agung Sedayu memang menarik perhatian. Pemimpin kelompok yang sedang bertugas malam itu bertanya, "Apakah ada sesuatu yang penting?"
"Tidak. Aku mengantar adik seperguruanku." jawab Agung Sedayu.
Pemimpin kelompok itu mengerutkan keningnya. Diamatinya Swandaru dengan seksama. Baru kemudian ia berdesis, "Swandaru?"
"Ya." jawab Swandaru.
Orang itupun segera telah mencengkam bahu Swandaru sehingga terasa sakit, sementara Swandarupun telah memegangi lengannya pula.
"Sudah lama kita tidak bertemu. Beruntunglah hari ini aku masih sempat melihat kau hadir disini. Jika kemarin leherku tertebas tajamnya pedang, aku tidak sempat melihat kau datang."
Swandaru tertawa. Katanya, "Aku yakin bahwa kau tidak akan mudah mati."
Pemimpin kelompok itu tertawa keras-keras, sehingga heberapa orang berpaling kearahnya. Ketika ia sadar, maka iapun telah menutup mulutnya dengan tangannya sendiri.
"Marilah." katanya kemudian, "silahkan naik kependapa. Sayang kau baru datang hari ini."
"Aku terlambat mendengar berita tentang kerusuhan yang terjadi disini." jawab Swandaru.
"Tetapi kita bersyukur, bahwa Tanah Perdikan ini masih dilindungi Yang Maha Agung. Tamu yang paling terhormat di Tanah Perdikan inipun dapat kita selamatkan." berkata pemimpin kelompok itu.
"Syukurlah." desis Swandaru, "seandainya aku tidak terlambat mendengar berita, maka aku tentu sudah datang pada saat yang tepat."
"Tetapi semuanya sudah selesai. Marilah, silahkan naik kependapa. Tetapi para pemimpin dan orang-orang tua sedang beristirahat. Belum terlalu lama." jawab pemimpin kelompok itu.
"Biarlah mereka beristirahat." berkata Agung Sedayu, "kami akan menunggu dipendapa."
Agung Sedayu dan Swandarupun kemudian telah dipersilahkan duduk di pendapa yang lengang. Tidak ada orang lain di pendapa selain mereka berdua. Sementara itu pemimpin kelompok pengawal itu berkata, "Maaf. Aku tidak dapat menemani kalian duduk di pendapa."
"Silahkan. Jangan kau tinggalkan tugasmu." jawab Swandaru.
Dengan demikian maka pemimpin kelompok itupun telah berada kembali didalam pendapa berbincang tentang berbagai macam peristiwa yang telah terjadi di Tanah Perdikan. Tetapi pembicaraan merekapun telah terhenti. Tiba-tiba pintu berderit. Seorang telah muncul dari ruang dalam.
"Guru." desis Swandaru sambil bangkit berdiri. Agung Sedayupun telah bangkit pula.
"Duduklah." desis Kiai Gringsing, yang ternyata tidak berada di gandok.
Agung Sedayu dan Swandarupun kemudian telah duduk kembali bersama Kiai Gringsing di pendapa.
"Kapan kau datang?" bertanya Kiai Gringsing kepada muridnya yang muda.
"Baru saja Guru. Aku terlambat mendengar peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan ini." jawab Swandaru.
Tetapi seperti yang lain, maka Kiai Gringsingpun berkata, "Semua sudah diselesaikan dengan baik berkat perlindungan Yang Maha Agung."
"Syukurlah." berkata Swandaru, "namun rasa-rasanya begitu mendesak keinginanku untuk melihat keadaan. Karena itu, maka aku telah memerlukan untuk berangkat ke Tanah Perdikan meskipun aku sadar, bahwa aku akan sampai ditujuan malam hari, bahkan hampir dini."
"Untunglah bahwa kau tidak bertemu dengan pecahan prajurit Madiun yang tentu sedang kembali ke Timur. Mereka tentu memecah diri dan menghilangkan kesan kesatuannya." berkata Kiai Gringsing.
"Seandainya aku bertemu dengan mereka, aku kira, aku tidak akan mengalami banyak kesulitan. Aku membawa beberapa pengawal pilihan. Sedangkan guru tentu mengetahui bahwa aku telah mewarisi sebagian besar dari ilmu dasar yang telah Guru berikan kepadaku. Tentu prajurit Madiun itu tidak akan lebih baik dari para pengawalku." sahut Swandaru. "Apalagi aku sendiri."
Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, "Tidak Swandaru. Ada diantara mereka yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ternyata bahwa Agung Sedayu harus mengerahkan ilmunya untuk mengatasinya."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebelum ia menyahut, cepat-cepat Kiai Gringsing berkata, "Seorang yang telah menempatkan diri menghadapi aku, telah menguras seluruh kemampuanku."
Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, "Guru memang sedang dalam keadaan kurang sehat. Karena itu, Guru merasa bahwa pertempuran itu telah menguras tenaga dan kemampuan Guru. Jika Guru dalam keadaan baik, maka aku kira tidak akan terjadi hal seperti itu."
"Mungkin Swandaru." jawab Kiai Gringsing, "tetapi sebenarnyalah bahwa aku ingin memberimu peringatan bahwa ada diantara orang-orang Madiun yang memiliki ilmu yang tinggi."
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti maksud Guru. Guru memperingatkan kepada kami berdua, bahwa kami harus bersiap-siap menghadapi kemungkinan yang lebih berat dimasa mendatang."
"Antara lain memang demikian. Tetapi aku benar-benar mencemaskanmu jika kau bertemu dengan orang-orang Madiun itu." berkata Kiai Gringsing.
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih Guru. Aku akan berhati-hati menghadapi keadaan ini. Untuk selanjutnya kami akan tidak mengecewakan guru. Jika dalam pertempuran ini kakang Agung Sedayu harus mengerahkan ilmunya untuk mengatasi lawannya, maka hal inipun akan merupakan peringatan bagi kami, bahwa ilmu yang kami miliki masih harus ditingkatkan. Itulah sebabnya aku dengan sengaja tidak memenuhi batasan waktu untuk menyimpan kitab sebagaimana Guru gariskan. Dengan sengaja aku membiarkan kitab itu lebih lama berada di tangan kakang Agung Sedayu. Mudah-mudahan kakang Agung Sedayu mempunyai waktu untuk membacanya dan mempelajarinya untuk selanjutnya turun ke sanggar."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Selama aku disini, kakangmu Agung Sedayu memang selalu berada di Sanggar."
"Berapa hari Guru berada disini" Tentu tidak akan dapat berpengaruh dengan tiba-tiba. Sebagaimana Guru selalu menjelaskan, bahwa ilmu tidak dapat diserap dalam waktu yang singkat. Tetapi memerlukan waktu untuk mempelajarinya, mengerti dan mengetrapkannya didasari dengan laku yang berat. Terus-menerus tidak ada henti-hentinya dan tidak menjadi jemu karenanya." sahut Swandaru. Lalu katanya pula, "Sudah barang tentu demikian pula kitab itu. Setiap saat harus di buka, dibaca, dipelajari dan diikuti dengan latihan-latihan yang berat. Meskipun kitab itu dipeluk dalam tidur setiap malam, tetapi tanpa dibuka dan ditelaah isinya clisertai dengan laku, maka kitab itu tidak akan ada artinya. Bahkan ada seribu kitab sekalipun."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya wajah Agung Sedayu. Namun Kiai Gringsing itu merasa tenang ketika ia melihat wajah Agung Sedayu tidak berubah. Ia sudah terbiasa mendengar adik seperguruannya itu mengguruinya seperti itu. Namun Kiai Gringsinglah yang justru merasa iba atas sikap muridnya yang muda itu. Tetapi ia belum dapat mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan tataran ilmu mereka.
Bagi Kiai Gringsing, apa yang dikatakan oleh Swandaru itu memang benar. Tetapi sudah tentu tidak dapat ditujukan bagi Agung Sedayu. Mungkin bagi anak-anak muda yang sedang tumbuh dan berkembang maju, sebelum mencapai tataran setingkat dengan Agung Sedayu, sebagai satu peringatan bahwa mereka tidak akan dapat mencapai tataran dilapisan terbawah sekalipun tanpa laku. Tanpa kerja keras dan tanpa kemauan yang berkelanjutan, serta cita-cita.
Tetapi semua itu sudah dilakukan oleh Agung Sedayu. sehingga Agung Sedayu sudah dapat diletakkan pada satu tataran yang tinggi diantara orang-orang berilmu.
Meskipun Swandaru juga telah menjadi masak, tetapi batasan ilmu yang dipilihnya terlalu sempit, sehingga menghadapi pergolakan dunia kanuragan, Swandaru masih harus banyak menyerap beberapa jenis ilmu yang lain.
Jilid 247 DALAM pada itu, Kiai Gringsing justru teringat kepada Pandan Wangi yang berlandaskan pada ilmu dari aliran Tanah Perdikan Menoreh. Diluar sadarnya, karena ketekunannya meningkatkan ilmu, maka Pandan Wangi telah merambah kepada sejenis ilmu yang nampaknya memperkaya kemampuannya sebelum ia mengandung. Tetapi sudah tentu pada saat-saat ia menunggu kelahiran bayinya yang menjadi semakin dekat, maka Pandan Wangi harus menghentikan segala kegiatannya dalam olah kanuragan. Ia harus melakukan gerakan-gerakan khusus sesuai dengan keadaannya.
Swandaru sendiri telah memandangi gurunya yang termangu-mangu. Tetapi. Swandaru tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh gurunya itu. Karena itu, Swandarupun telah menunggu.
Baru sejenak kemudian gurunya itu berkata, "Baiklah Swandaru. Kedatanganmu menunjukkan perhatianmu yang besar terhadap guru dan saudara seperguruanmu, juga terhadap adikmu yang kebetulan juga berada di Tanah Perdikan ini. Kita wajib bersyukur bahwa semuanya telah lewat meskipun satu dua korban telah jatuh. Agaknya Ki Jayaragapun harus memulihkan kekuatan dan ketegaran tubuhnya. Bahkan Sekar Mirahpun telah terlibat dalam pertempuran pula. Namun Tanah Perdikan ini tetap tegak. Apalagi persoalan Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan ini sekaligus sudah teratasi."
"Syukutlah Guru. Tetapi menurut pendengaranku, Guru akan meninggalkan Tanah Perdikan ini besok bersama pasukan Mataram?" bertanya Swandaru.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun Kiai Gringsingpun kemudian telah menjawab, "Ya. Besok aku akan kembali ke Jati Anom. Aku akan bersama-sama dengan Ki Patih Mandaraka sampai ke Mataram. Kemudian dari Mataram aku dapat sendiri kembali ke Jati Anom. Bukankah jaraknya tidak terlalu panjang?"
"Sangat berbahaya bagi Guru untuk kembali sendiri ke Jati Anom." berkata Swandaru.
"Aku tidak sendiri dalam arti tanpa kawan sama sekali. Aku membawa dua orang pengawal." berkata Kiai Gringsing.
"Tidak ada artinya. Bukankah Guru mengatakan bahwa mungkin masih ada pecahan orang-orang Madiun yang berkeliaran" Apalagi jika mereka mengetahui, bahwa Guru dalam keadaan yang agak lemah. Bukan kerena ilmunya, tetapi karena wadagnya yang sudah tidak mendukung kemampuan ilmu Guru. Lebih-lebih lagi, sebenarnya Guru dalam keadaan sakit." berkata Swandaru.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu Agung Sedayupun berkata, "Aku sependapat dengan adi Swandaru Guru. Meskipun jarak antara Mataram, Sangkal Putung dan Jati Anom tidak terlalu jauh, tetapi sebaiknya Guru tidak menempuh perjalanan sendiri. Dua orang pengawal itu hanya kawan berbincang diperjalanan, karena jika terjadi sesuatu, mereka belum mampu ikut berbicara sama sekali. Kecemasan Guru tentang adi Swandaru, justru membuat aku menjadi semakin cemas tentang perjalanan Guru kembali ke Jati Anom. Bahkan Ki Jayaraga telah menganjurkan kepadaku untuk mengantar Guru kembali ke Jati Anom bersama Glagah Putih, sebelum adi Swandaru datang. Dengan kehadiran adi Swandaru, maka Guru akan dapat diantar oleh adi Swandaru sampai ke Jati Anom."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tidak ingin disebut orang tua yang keras kepala. Karena itu, maka katanya, "Baiklah. Aku akan kembali ke Jati Anom bersama Swandaru. Jika kemarin aku berkeberatan diantar oleh Agung Sedayu, karena aku tahu, tanah ini memerlukan pembenahan segera. Bahkan mungkin masih akan dapat timbul persoalan-persoalan yang rumit."
"Baiklah Guru." sahut Swandaru, "tetapi aku mohon, kita tidak perlu bersama-sama dengan orang-orang Mataram. Mataram akan kembali bersama pasukan segelar sepapan. Karena itu, rasa-rasanya kita akan lebih bebas jika kita menempuh perjalanan itu sendiri."
"Tetapi aku sudah berjanji dengan Ki Patih Mandaraka untuk menyertainya." berkata Kiai Gringsing.
"Guru dapat mengatakannya, bahwa aku sudah menjemput Guru." berkata Swandaru.
Ternyata bahwa Kiai Gringsing tidak dapat menolak keinginan murid-muridnya. Karena itu, maka katanya, "Baiklah. Aku akan mencoba menyampaikannya kepada Ki Patih Mandaraka."
"Kenapa harus mencoba" Bukankah segala sesuatunya terserah kepada Guru." sahut Swandaru.
"Ya. Memang terserah kepadaku." jawab Kiai Gringsing, "tetapi bukankah aku harus mencabut kesediaanku" Aku sudah berjanji untuk berangkat bersama Ki Patih. Dan kita tahu nilai dari sebuah janji meskipun janji ini bukan janji yang mempunyai akibat menentukan."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan Kiai Gringsinglah yang kemudian bertanya, "Jika tidak sekarang, kapan kita akan kembali?"
"Terserah kepada Guru. Besok atau lusa." jawab Swandaru.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Nanti kita bicarakan kemudian. Sekarang, kita tinggal menunggu Ki Patih bangun. Karena itu, jika kita ingin beristirahat, kau dapat pergi ke rumah kakangmu Agung Sedayu. Biarlah aku disini menunggu Ki Patih untuk berbicara tentang rencanaku menunda keberangkatanku kembali ke Jati Anom."
"Waktunya tinggal sedikit. Sementara kami berjalan, matahari telah mulai memancar. Biarlah kami menunggu disini." berkata Swandaru.
"Kau tidak letih" Atau barangkali kau akan beristirahat disini?" bertanya Kiai Gringsing.
"Betapapun letihnya, dihadapan Guru tentu aku ingin menunjukkan bahwa aku adalah murid yang baik." jawab Swandaru.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa. Katanya, "Baiklah. Kita menunggu disini."
Demikian, mereka sempat berbicara tentang peristiwa yang telah terjadi di Tanah Perdikan. Tentang Senapati Pasukan Khusus yang menentang perintah dan tentang kehadiran pasukan Mataram yang hampir terlambat.
Dalam pada itu, di banjar, para pemimpin prajurit Mataram telah bersiap. Demikian pula pasukan segelar sepapan yang akan kembali ke Mataram dengan membawa kawan-kawan mereka yang terluka. Ada beberapa orang yang telah menjadi korban dan telah dibawa lebih dahulu ke Mataram.
Didapur banjar padukuhan induk, beberapa orang perempuan telah sibuk pula menyiapkan makan bagi para prajurit yang akan berangkat ke Mataram itu. Bahkan juga beberapa orang perempuan di rumah Ki Gede.
Ketika matahari mulai membayang, Sekar Mirah telah berada di rumah Ki Gede pula. Demikian pula Ki Jayaraga dan Glagah Putih. Sementara Ki Patih Mandaraka, telah duduk di pendapa pula bersama Kiai Gringsing, Ki Waskita, Ki Gede dan Ki Jayaraga. Tiga orang yang menyertai Ki Patih Mandaraka ikut pula duduk bersama mereka.
Dengan kecewa Ki Patih yang mendengar perubahan rencana Kiai Gringsing berkata, "Rasa-rasanya aku akan menjadi kesepian diperjalanan."
"Maaf Ki Patih. Muridku yang muda baru pagi ini tiba. Aku ingin mengawaninya barang satu dua hari disini." jawab Kiai Gringsing.
Ki Patih ternyata dapat mengerti. Katanya, "Baiklah. Tetapi aku mohon Kiai dapat singgah di Mataram dalam perjalanan Kiai kembali ke Jati Anom."
"Mudah-mudahan Ki Patih. Namun agaknya semua yang aku ketahui dalam hubungannya dengan Madiun karena kepergianku ke Madiun, telah aku sampaikan kepada angger Panembahan Senapati." berkata Kiai Gringsing.
"Peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan ini akan memerlukan pembahasan." jawab Ki Patih Mandaraka.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Agaknya memang demikian."
Namun pembicaraan merekapun terhenti. Sekar Mirah yang sudah berada di rumah itu telah mengatur hidangan yang harus dihidangkan ke pendapa. Minuman hangat dan beberapa potong makanan. Kemudian telah dihidangkan pula makan pagi bagi para pemimpin prajurit Mataram yang ada di rumah Ki Gede, orang-orang tua dan para pemimpin Tanah Perdikan sendiri yang menemui para tamu dari Mataram disaat-saat terakhir.
Dalam waktu yang hampir bersamaan maka para pemimpin prajurit Mataram serta seluruh pasukan yang ada di banjar dan sekitarnyapun telah mendapat hidangan minum dan makan pula sebelum mereka berangkat mening-galkan Tanah Perdikan.
Namun dalam pada itu, pasukan pengawal Tanah Perdikan diseluruh Tanah Perdikan justru telah berjaga-jaga. Mereka sepenuhnya bertanggung jawab atas perlindungan terhadap Tanah Perdikannya. Pengalaman pahit atas sikap Senapati dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan merupakan pelajaran, bahwa para pengawal Tanah Perdikan harus benar-benar mampu melindungi kampung halamannya.
Tetapi pimpinan Khusus yang baru, yang di bantu oleh Ki Lurah Branjangan yang berpengalaman luas, memberikan kemungkinan yang jauh berbeda dengan pimpinannya yang lama.
Ketika kemudian matahari naik diatas ujung pepohonan, maka pasukan Mataram telah benar-benar siap untuk berangkat. Ki Patih Mandaraka telah mohon diri kepada para pemimpin Tanah Perdikan dan orang-orang tua yang masih tinggal.
"Aku mohon maaf, bahwa karena kehadiranku, beberapa anak muda terbaik di Tanah Perdikan ini telah gugur." berkata Ki Patih.
"Tidak." jawab Ki Gede, "kamilah yang mohon maaf justru ternyata kami bukan tuan rumah yang baik."
Ki Patih tertawa. Katanya, "Kita telah melakukannya bersama-sama mempertahankan hak kita, disamping hak hidup kita."
"Semoga perjalanan Ki Patih tidak mengalami hambatan apapun." berkata Ki Gede kemudian.
Demikianlah, ketika cahaya matahari mulai terasa gatal dikulit, Ki Patih Mandaraka benar-benar telah meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan. Para pemimpin Tanah Perdikan dan orang-orang tua mengantar mereka lewat banjar padukuhan induk keluar gerbang padukuhan. Sementara itu, sekelompok pasukan pengawal berkuda Tanah Perdikan telah mendahului pasukan Mataram yang segelar sepapan itu.
Untuk membangkitkan kebanggaan penghuni Tanah Perdikan Menoreh, serta menghapuskan kesan kecemasan dan ketakutan setelah Tanah Perdikan itu di landa oleh kerusuhan yang mengguncangkan segi-segi kehidupan, maka pasukan Mataram telah berbaris dengan segenap tanda-tanda kebesaran pasukan sebagai pasukan pilihan.
Sebenarnyalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh menjadi berbesar hati melihat sepasukan prajurit Mataram dengan segala macam pertanda kebesarannya. Rontek, umbul-umbul, klebet dengan tunggul masing-masing. Dengan demikian maka orang-orang Tanah Perdikan tidak merasa cemas bahwa mereka akan mengalami kesulitan atas kehadiran orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Dalam pada itu, atas perintah Ki Patih Mandaraka, maka di barak Pasukan Khususpun telah dipasang pula pertanda kebesaran Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan itu. Selain mereka, maka para pengawal Tanah Perdikan sendiri telah menunjukkan keperkasaan mereka diantara para prajurit Mataram yang akan meninggalkan Tanah Perdikan itu.
Dalam pada itu, para pengawal telah mengantar pasukan Mataram yang segelar sepapan itu sampai ke Kali Praga. Ternyata aliran Kali Praga yang keruh itu nampak agak naik sedikit, sehingga pasukan yang segelar sepapan itu harus bersabar, bergantian menyeberang dengan rakit, meskipun semua rakit telah dikerahkan untuk Pasukan Mataram itu.
Namun akhirnya kelompok yang terakhirpun telah menyeberang pula. Sebelum naik ke atas rakit, Ki Patih Mandaraka masih sempat berpesan kepada Agung Sedayu yang memimpin sekelompok pengawal Tanah Perdikan, "Berhati-hatilah. Sebenarnyalah Kiai Gringsing sudah terlalu tua dan percayalah kepadaku, Kiai Gringsing dalam keadaan sakit. Tetapi jangan sedih, karena ia telah menempuh kehidupan wajar sebagai kebanyakan orang yang pada saatnya lahir, besar dan akhirnya kembali kepada Yang Maha Agung."
Terasa sesuatu oergejolak didalam jantung Agung Sedayu. Tetapi ia melihat Ki Patih Mandaraka itu tersenyum. Katanya, "Kau harus bertanya kepada dirimu sendiri. Tanggapan apakah yang harus kau berikan kepada Kiai Gringsing?"
Agung Sedayu tidak dapat segera menjawab. Sementara Ki Patih Mandaraka telah menepuk bahunya sambil berdesis, "Kau adalah harapan bagi masa depan. Gurumu adalah bagian dari masa yang lewat. Tetapi masa ke masa itu tidak terputus karena kau telah mewarisi ilmunya. Jangan terlalu berbangga jika gurumu pernah berkata kepadaku, bahwa kau telah memenuhi harapannya. Meskipun gurumu masih sedikit berprihatin tentang adik seper-guruanmu." Ki Patih itu berhenti sejenak, lalu, "Tetapi aku percaya bahwa kau tidak saja sekedar ingin memenuhi harapan gurumu. Tetapi juga harapan banyak orang di Tanah Perdikan Menoreh khususnya dan Mataram pada umumnya."
Agung Sedayu hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara itu Ki Patih berkata, "Sudahlah. Aku akan melanjutkan perjalanan. Bawa pasukanmu kembali ke Tanah perdikan dengan dada tengadah. Pasukan Khusus di Tanah Perdikan tidak menjadi masalah lagi bagi Ki Gede."
"Terima kasih Ki Patih." hanya kata-kata itu yang terlontar dari bibir Agung Sedayu.
Sedangkan Ki Patih berkata, "Banyak pihak di istana yang memberikan pendapatnya, agar Mataram memberikan semacam pertanda bahwa kau sudah banyak memberikan pengorbanan dan pengabdian kepada Mataram. Sudah sepantasnya jika kau mendapat kedudukan yang tinggi di bidang keprajuritan. Tetapi sepanjang pengenalanku atas sifat-sifatmu, maka diperlukan satu penghargaan lain kepadamu."
"Ah" desah Agung Sedayu, "tidak ada yang pantas mendapat penghargaan."
"Aku tahu. Itu adalah sikapmu." jawab Ki Patih, "jika kau mempunyai jiwa seperti kakakmu Untara, maka persoalannya akan berbeda. Kau dan kakakmu akan bersama-sama menerima anugerah pangkat Tumenggung."
"Tempatku ada diantara anak-anak muda yang membangun bendungan, Ki Patih. Atau diantara mereka yang membuat jalan dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain." jawab Agung Sedayu.
Ki Patih tertawa. Katanya, "Baiklah untuk sementara hal itu dapat kau lakukan Agung Sedayu. Kau dapat berada di lapangan. Tetapi sebenarnya kau dapat melakukan lebih dari itu. Membuat bendungan, jalan-jalan raya dan barangkali juga membuka tanah garapan baru. Tidak sekedar untuk satu daerah yang sempit. Tetapi kau dapat melakukannya untuk satu daerah yang jauh lebih luas. Sudah tentu tidak perlu harus kau lakukan sendiri."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia tidak dapat dengan cepat menangkap maksud Ki Patih Mandaraka. Namun kemudian Ki Patih berkata, "Agung Sedayu. Pada suatu saat, kau akan melakukan kerja yang jauh lebih besar. Bukan orang yang langsung berada didalam lumpur untuk membuat tanggul. Tetapi kau akan dapat menjadi seorang yang mempergunakan nalar budimu untuk merencanakan dan melaksanakan kerja yang besar. Bukan hanya sebuah bendungan yang akan mengairi tiga atau empat bulak persawahan. Tetapi kau dapat merencanakan lima atau enam buah bendungan. Membuat susukan yang membelah daerah yang luas serta merencanakan membuat jalan bukan dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain, tetapi dari satu kota ke kota yang lain."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak sempat menjawab, Ki Patih sekali lagi menepuk bahunya sambil berkata, "Kau akan dapat mengisi masa depan. Sudahlah. Kau dapat bekerja lebih keras. Juga kau masih akan dapat meningkatkan ilmumu pada tataran yang setidak-tidaknya sama dengan gurumu, karena pada dasarnya kau mempunyai bekal lebih banyak dari gurumu."
"Aku mohon restu." berkata Agung Sedayu.
Ki Patih tersenyum. Namun kemudian sebuah rakit telah bergerak dibarengi dua rakit yang lain. Ki Patih telah menyeberangi Kali Praga disusul oleh para prajurit yang masih tersisa di tepian.
Namun, demikian Ki Patih mencapai sisi yang lain sambil melambaikan tangannya, maka Agung Sedayupun telah melambaikan tangannya pula. Tetapi ia berkata didalam hati, "Agaknya tempatku bukan dilingkungan yang lebih luas dari sebuah Tanah Perdikan."
Ternyata semakin lama Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh, ia merasa semakin terikat dengan Tanah Perdikan itu.
Namun ketika kemudian pasukan Mataram yang mengikuti Ki Patih Mandaraka itu kemudian meninggalkan tepian Kali Praga, serta Agung Sedayupun telah berkuda bersama sekelompok pengawal kembali ke Tanah Perdikan, maka Agug Sedayu telah digelitik oleh kegelisahannya sendiri. Ia sadar, bahwa ia sama sekali tidak mempunyai hak apapun atas Tanah Perdikan itu. Jika ia berada di Tanah Perdikan itu, karena Sekar Mirah adalah adik Swandaru yang menjadi isteri Pandan Wangi.
"Satu beilitan hubungan yang panjang." berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Sementara itu, masih juga dibayangi oleh hak yang ada pada adik Ki Gede Menoreh yang meskipun seakan-akan telah mengasingkan diri, tetapi Ki Argajaya adalah orang kedua di Tanah Perdikan. Sedangkan Ki Argajaya adalah ayah Prastawa yang kini menjadi salah seorang diantara para pemimpin pengawal Tanah Perdikan.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jalan yang akan dilaluinya nampak berkabut tebal. Namun Agung Sedayu tidak dengan segera memecahkan kabut tebal itu. Ia memerlukan waktu, perkembangan keadaan dan perkembangan penalarannya sendiri.
Demikianlah, maka Agung Sedayupun telah membawa sekelompok pasukannya kembali ke padukuhan induk. Swandaru dan gurunya masih menunggunya di rumah Ki Gede. Sekar Mirahpun masih juga berada di rumah Ki Gede untuk menyiapkan hidangan bagi tamu-tamunya yang masih tinggal.
Untuk beberapa lama Agung Sedayu dan Swandaru masih berada di rumah Ki Gede. Tetapi ternyata bahwa Swandaru merasa lebih bebas untuk berada di rumah Agung Sedayu. Karena itu, maka Swandarupun kemudian telah mohon agar Kiai Gringsing bersedia untuk pergi ke rumah Agung Sedayu pula.
Tetapi Kiai Gringsing sambil tersenyum menjawab, "Pergilah dahulu. Aku masih akan berada disini bersama orang-orang tua yang sudah terlalu lama tidak bertemu. Tentu saja kita mengharap agar Ki Waskita berada di Tanah Perdikan ini untuk beberapa hari lagi. Nanti aku akan segera menyusul."
"Tetapi bukankah seharusnya Guru sudah meninggalkan rumah ini pula?" bertanya Swandaru.
"Tetapi bukankah aku belum meninggalkan rumah ini" Sementara disini masih ada tamu yang lain" Akulah yang telah memohon Ki Waskita untuk hadir. Kakakmu Agung Sedayu telah menyusulnya dan mohon agar Ki Waskita bersedia datang. Bukankah sudah seharusnya aku ikut menemui sementara Ki Waskita berada di Tanah Perdikan." jawab Kiai Gringsing.
Tetapi Ki Waskita tertawa. Katanya, "Kerinduan seorang murid kepada gurunya. Silahkan Kiai. Biarlah aku berada disini bersama Ki Gede dan Ki Jayaraga. Bukankah nanti Kiai akan datang lagi kemari" Aku tidak tergesa-gesa meninggalkan tempat ini. Apalagi karena Kiai juga menunda keberangkatan Kiai."
Namun Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Swandaru perlu beristirahat barang sejenak, seperti juga Agung Sedayu sendiri. Karena itu, biarlah mereka mendahului kembali ke rumah Agung Sedayu."
Swandaru ternyata tidak dapat memaksa gurunya untuk meninggalkan rumah itu. Tetapi seperti kata gurunya, ia memang ingin beristirahat. Karena itulah, maka Agung Sedayu dan Swandarupun telah meninggalkan rumah Ki Gede dan menuju ke rumah Agung Sedayu. Namun sementara itu. Glagah Putih telah berada di rumah Ki Gede sebagaimana Sekar Mirah dan Ki Jayaraga.
Ketika Agung Sedayu dan Swandaru sampai kerumah Agung Sedayu, ternyata para pengawal Swandarupun telah mendapat kiriman minum dan makanan dari rumah Ki Gede. Namun masih ada diantara mereka yang masih tertidur di gandok.
Namun begitu mereka mengetahui bahwa Swandaru telah datang bersama Agung Sedayu, maka kawan-kawan merekapun dengan cepat telah membangunkan mereka.
Dengan tergesa-gesa merekapun membenahi diri dan siap melakukan tugas perintah itu datang.
Tetapi Swandaru justru mendekati mereka sambil berkata, "Kita mendapat kesempatan beristirahat sekarang. Akupun akan beristirahat. Tetapi kalian jangan lengah. Tanah Perdikan ini baru saja dilanda oleh malapetaka."
Para pengawalnya tidak menjawab. Sementara Swandarupun telah dipersilahkan untuk masuk ke ruang dalam.
"Sekar Mirah berada dirumah Ki Gede." berkata Agung sedayu yang rumahnya terasa lengang. Namun ia dapat minta pembantu rumahnya untuk menyediakan minuman bagi tamunya.
"Kau sedang apa?" bertanya Agung Sedayu kepada pembantunya itu.
"Membersihkan ikan." jawab anak itu.
"0, kau dapat begitu banyak?" bertanya Agung Sedayu sambil memuji.
"Dua kali aku turun ke sungai semalam." jawab anak itu dengan bangga.
"Kau sendiri atau dengan Glagah Putih?" bertanya Agung Sedayu pula.
"Glagah Putih menjadi semakin malas sekarang ini." jawab anak itu, "ada-ada saja alasannya."
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Tetapi ternyata kau dapat menangkap ikan sebanyak itu sendiri dengan menutup pliridan dua kali semalam. Tentu hari ini Nyi Sekar Mirah tidak usah berbelanja lagi. Kendo udang dan rempeyek wader pari akan menjadi lauk yang nikmat sekali." Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu, "Tetapi tolong, kau buat minuman panas buat kami berdua. Aku dan tamuku."
Namun ternyata anak itu berdesis, "Kita akan mendapat makan yang dikirim dari rumah Ki Gede atau dari banjar seperti para pengawal di gandok itu."
"Mungkin siang ini." jawab Agung Sedayu, "nanti sore kita sempat menikmati hasil buruanmu itu."
"Tetapi siapakah yang akan membuat kendo dan rempeyek jika Nyi Sekar Mirah berada di rumah Ki Gede?" bertanya anak itu lagi.
Sambil menepuk bahu anak itu Agung Sedayu menjawab, "Nanti aku akan memanggilnya. Sediakan dahulu dua butir kelapa yang masih agak muda."
"Dua?" anak itu menjadi heran.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Jadi berapa" Tiga atau berapa saja diperlukan."
Anak itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Satu saja tentu sudah cukup."
Agung Sedayu tertawa. Namun kemudian sekali lagi ia berkata, "Tolong, kau sediakan minuman hangat. Wedang sere. Gula kelapa yang kuning."
Sementara itu, selagi pembantu dirumah Agung Sedayu itu menyiapkan minuman hangat, Swandaru sempat berbenah diri setelah pergi ke pakiwan. Demikian ia mandi terasa tubuhnya menjadi segar. Pikirannyapun terasa bertambah bening. Apalagi setelah minum minuman hangat. Maka rasa-rasanya keletihannya selama perjalanan di malam hari telah pulih kembali.
Ketika Swandaru melihat-lihat halaman dan kebun rumah Agung Sedayu yang tidak begitu luas, tiba-tiba saja ia tertarik pada sebuah bangunan tertutup yang agak besar di kebun belakang. Swandaru mengerti, bahwa bangunan itu adalah sanggar tertutup yang dipergunakan oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah, barangkali juga Glagah Putih untuk berlatih. Karenaitu,makarasa-rasanya tertarik untuk memasukinya lagi sebagaimana pernah dilakukannya.
"Apakah aku diperbolehkan untuk melihat-lihat?" bertanya Swandaru kepada Agung Sedayu yang menemaninya.
"Tentu saja. Bukankah kau pernah melihat?" sahut Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-angguk kecil. Iapun kemudian telah melangkah kepintu sanggar. Membukanya dan kemudian melangkah masuk.
Sanggar itu tidak terasa gelap, karena ada bagian yang terbuka di atasnya, sehingga sorot mataharipun telah menyuruk masuk. Sanggar itu masih belum banyak berubah sebagaimana pernah dilihatnya. Tidak jauh berbeda dengan sanggarnya di Sangkal Putung. Bahkan sanggarnya di Sangkal Putung agak lebih luas dari sanggar Agung Sedayu itu dengan perlengkapan yang juga hampir sama. Tetapi Swandaru tidak memasang beberapa benda kecil yang dianggapnya tidak banyak berarti. Namun dari Agung Sedayu ia mendengar bahwa benda-benda kecil itu adalah alat untuk melatih dan mempertahankan kemampuan bidiknya.
"Kau satu-satunya orang yang pernah mengalahkan Sidanti." berkata Swandaru.
"Ah. Itu sudah terjadi bertahun-tahun lampau. Dan kini Sidanti sudah tidak ada lagi." jawab Agung Sedayu.
"Kemampuan bidikmu tentu semakin tinggi." berkata Swandaru.
Agung Sedayu menarik nafas. Katanya, "Aku mencoba untuk mempertahankannya."
Swandaru termangu-mangu. Ia melihat seikat kecil jerami yang dibalut dengan kain sepanjang dua jengkal. Kemudian segenggam yang lain, yang dibentuk bulat, tergantung dibawah jerami yang memanjang itu. Tetapi disebelahnya terdapat semacam kitiran dengan daun yang berlainan warna.
Namun kemudian Swandaru tertarik pada sebongkah batu hitam yang besar. Diatasnya terdapat batu padas yang mengeras, meskipun tidak sekeras batu hitam itu.
Sambil meraba batu padas itu Swandaru bertanya, "Kau berlatih memecahkan batu-batu padas dengan cambukmu?"
Namun ternyata hampir diluar sadarnya Agung Sedayu menjawab, "Glagah Putih yang melakukan latihan dengan batu-batu padas yang mengeras ini."
"Apakah Glagah Putih juga mempergunakan cambuk sekarang?" bertanya Swandaru. Namun sebelum Agung Sedayu menjawab, Swandaru berkata selanjutnya, "Kakang, apakah Guru sudah mengijinkan orang lain mempergunakan ciri-ciri perguruan menurut aliran Orang Bercambuk itu" Bukankah kakang menuntun Glagah Putih dalam keturunan ilmu menurut aliran Ki Sadewa" Aliran yang tidak mempergunakan ciri senjata cambuk."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Memang tidak. Glagah Putih tidak mempergunakan ciri senjata cambuk."
"O" Swandaru mengangguk-angguk, "dengan apa ia memecahkan batu-batu padas seperti ini."
Agung Sedayu termangu-mangu. Di pinggir sanggar itu memang terdapat banyak batu padas berbongkah-bongkah. Glagah Putih memang mengumpulkan batu-batu padas itu untuk mempertajam kemampuannya memukul dari jarak jauh sebagaimana diajarkan oleh Ki Jayaraga dengan sasaran yang berbeda-beda, karena Ki Jayaraga mengajarinya menyadap inti kekuatan dari sumber yang berbeda. Api, udara, air dan bumi. Disamping laku lain yang harus dijalani diluar sanggar.
Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Swandaru telah bertanya pula, "Nampaknya inti kekuatan aliran Ki Sadewa benar-benar luar biasa. Glagah Putih tentu sudah memasuki puncak kemampuan itu, sehingga mampu memecahkan batu-batu padas dengan tangannya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Anak itu sudah berlatih dengan sungguh-sungguh. Mudah-mudahan ia berhasil."
"Apakah kau yang mengajarinya menurut aliran Ki Sadewa sudah mampu melakukannya dengan tanganmu?" tiba-tiba saja Swandaru bertanya.
Agung Sedayu memang menjadi semakin bingung. Ia memang mengajari Glagah Putih sejak semula menurut jalur aliran ilmu Ki Sadewa. Tetapi ia sendiri adalah murid Kiai Gringsing yang menganut ciri tersendiri. Tetapi didalam dirinya kedua aliran ilmu itu bahkan dengan beberapa jenis ilmu yang dikuasainya dari sumber yang ber-beda, telah luluh menyatu. Bahkan gurunya sama sekali tidak menganggap bahwa ia telah melakukan kesalahan. Gurunya justru berbangga karena Agung Sedayu telah memperkaya aliran ilmu yang diwarisinya dari Gurunya itu, asal bukan jenis ilmu yang wataknya berlawanan.
Namun karena Agung Sedayu harus menjawab pertanyaan Swandaru, maka iapun kemudian berkata, "Aku memang menuntun Glagah Putih menurut bekal yang sedikit diwarisi dari ayahnya. Ilmu yang bersumber sama dengan aliran ilmu Ki Sadewa. Tetapi sebagaimana kau ketahui, aku dimatangkan oleh ilmu dari aliran Orang Bercambuk itu, sehingga sudah tentu bahwa aku bukan Ki Sadewa meskipun aku adalah anak Ki Sadewa. Tetapi aku belum sempat menerima warisan ilmu dari ayah. Memang agak berbeda dengan kakang Untara."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kakang. Sebaiknya kau memilih salah satu jalur dari beberapa jenis ilmu yang kau pelajari. Tetapi harus benar-benar kau tekuni sampai matang dari tingkat ke tingkat. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun katanya, "Tetapi bukankah didalam kitab Guru itu pada tingkat-tingkat berikutnya terdapat juga beberapa jenis ilmu meskipun dengan landasan yang sama."
"Kau harus memilih kakang." jawab Swandaru, "Kita tidak boleh serakah, sehingga ingin menguasai dua atau tiga jenis sebagaimana Guru. Mungkin menjelang usia tua kita dapat melakukannya sebagaimana dilakukan oleh Guru. Tetapi sudah tentu memerlukan waktu dan kematangan penguasaan ilmu. Mungkin saja sekarang kita dapat mempelajari dua atau tiga jenis ilmu. Tetapi justru semuanya akan tetap masih saja mentah dan tidak menyentuh inti kekuatan ilmu dari Guru kita."
Agung Sedayu termangu-mangu. Ia tidak tahu, jawaban apa yang harus dikatakannya. Setiap kali mereka berbicara tentang ilmu, maka Agung Sedayu memang menjadi bingung. Namun Agung Sedayu itu harus mengakui kesalahannya, bahwa hatinya tidak terbuka sebagaimana Swandaru. Jika sejak semula ia terbuka, maka tidak akan terjadi kesalahan penilaian seperti itu, sehingga ia mengalami kesulitan untuk memperbaikinya.
Selagi Agung Sedayu termangu-mangu, maka Swandaru telah mengurai cambuknya. Sambil tersenyum ia berkata, "Ilmu dari Orang Bercambuk itu tidak akan kalah dari aliran ilmu yang manapun. Sebenarnya aku ingin melihat Glagah Putih berlatih. Bagaimana ia memecahkan batu-batu padas itu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Namaun sementara itu Swandaru telah memutar cambuknya. Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar. Ia tahu, bahwa Swandaru ingin menunjukkan kemampuan ilmunya kepadanya. Bahkan Agung Sedayupun berniat baik untuk mendorong agar ia berusaha untuk meningkatkan ilmunya. Namun terasa juga sikap ingin tahu dan kemudian melampaui kemampuan Glagah Putih yang menilik dari alat-alat latihannya telah menjadi semakin meningkat ilmunya.
Sejenak Swandaru masih memutar cambuknya. Kemudian dengan mengerahkan tenaga dan kemampuan ilmunya maka Swandaru telah menghentakkan cambuknya kearah batu padas yang berada di atas batu hitam sebagai bahan latihan Glagah Putih itu.
Satu ledakan yang keras telah menggetarkan sanggar yang tidak terlalu besar itu. Seperti yang diduga oleh Agung Sedayu, maka batu padas yang mengeras itu telah pecah berhamburan. Bahkan Agung Sedayu telah melihat bahwa batu hitam itupun telah terluka. Sebaris goresan menjelujur pada batu hitam itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia pernah melihat Swandaru mencambuk tanah tempatnya berpijak sehingga seakan-akan terbelah. Agung Sedayu percaya akan kekuatan yang sangat besar pada adik seperguruannya itu yang berpijak pada ilmu yang sama dengan landasan ilmu yang diwarisi dari Orang Bercambuk itu.
Dengan kekuatan ilmu yang sangat besar itu, Agung Sedayu memang berpendapat, bahwa cambuk Swandaru agaknya mampu menembus ilmu kebalnya. Tetapi dalam pertempuran yang sebenarnya, maka sisa kekuatan cambuk yang menembus ilmu kebalnya tidak akan menyakitinya, karena kekuatan Swandaru yang diungkapkannya itu adalah sekedar ungkapan kewadagan. Ternyata Swandaru masih belum menggapai inti kekuatan ilmu Orang Bercambuk itu, sehingga tenaga, kekuatan dan nilai dari ungkapan ilmunya itu justru tidak lagi menimbulkan bunyi ledakan yang sangat keras, karena semua tenaga telah terserap pada hentakan itu sendiri tanpa mengalir sedikitpun untuk mendorong getaran bunyi yang berlebihan.
Sebenarnyalah Agung Sedayupun merasa prihatin atas kelambatan perkembangan ilmu Swandaru yang memang waktunya lebih banyak dirampas bagi Kademangannya. Swandaru memang telah bekerja keras untuk menjadikan Kademangannya satu Kademangan yang besar dalam arti yang sebenarnya. Kesejahteraan hidup rakyatnya meningkat dengan pesat sehingga Sangkal Putung banyak menjadi kiblat usaha perbaikan dari beberapa Kademangan yang lain. Namun Kademangan-kademangan yang lain tidak mempunyai Swandaru. Tidak mempunyai seorang penggerak yang berpegang keras pada paugeran yang sudah disusun bersama oleh seisi Kademangan. Apalagi Kademangan yang tidak pernah ditempa oleh kerasnya kehidupan dalam pusaran pergeseran pemerintahan seperti Sangkal Putung.
Sebagai seorang pengawal ilmu Swandaru memang sudah melambung tinggi. Seandainya ia harus bertempur melawan orang-orang berilmu, maka Swandaru memang tidak mudah dikalahkan. Tetapi jika ia harus menghadapi orang-orang seperti Sabungsari, bahkan Glagah Putih apalagi Bango Lamatan, maka Swandaru masih harus melengkapi ilmunya. Ia masih harus mencapai inti kekuatan ilmu orang bercambuk, khususnya dalam ilmu cambuk itu sendiri serta ilmu pelengkap lainnya yang tidak usah dicarinya kemana-mana, tetapi dapat dicari didalam kitab yang diberikan Gurunya kepada mereka. Tetapi sudah barang tentu memerlukan laku yang berat dan memerlukan waktu khusus yang akan dapat mengurangi waktunya yang diperuntukkan bagi Kademangannya.
"Seharusnya Swandaru menyusun tenaga anak-anak muda yang akan dapat mengisi kekurangannya jika ia sendiri harus menjalani laku bagi dirinya sendiri." berkata Agung Sedayu didalam hatinya, yang melihat Swandaru seakan-akan telah memegang segala kepemimpinan di Kademangan Sangkal Putung atas nama ayahnya.
Namun demikian, Agung Sedayu tidak dapat berkata apa-apa. Ia menyadari, bahwa Swandaru tidak melihat perbandingan ilmu yang sebenarnya diantara kedua orang murid Kiai Gringsing itu. Sementara itu Agung Sedayu masih saja tertutup hatinya. Justru ia bimbang, bahwa ia akan dianggap terlalu sombong, tidak tahu diri dan membuat Swandaru marah, sehingga ia tidak dapat mengatakan apa-apa meskipun ia sadar, bahwa dengan demikian ia sudah menyembunyikan kebenaran.
Bahwa Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Swandaru telah keliru menilai pula. Ia menganggap bahwa Agung Sedayu memang menjadi kagum akan kekuatannya. Ujung cambuknya bukan saja memecahkan batu-batu padas yang mengeras, tetapi batu padas hitam yang menjadi alas batu padas itupun telah tergores oleh luka karena ujung cambuknya.
Agung Sedayu memang seperti terbangun dari lamunannya ketika ia mendengar Swandaru bertanya, "Bagaimana cara Glagah Putih memecahkan batu-batu padas itu?"
Agung Sedayu memang menjadi bingung. Namun kemudian iapun menjawab, "Ia sedang melatih diri. Ia mempergunakan senjata yang merupakan hadiah terbesarnya dari Ki Patih Mandaraka. Sebuah ikat pinggang."
"Ia memecahkan batu-batu padas dengan ikat pinggang?" bertanya Swandaru.
"Ya. Tetapi sudah tentu tidak sebagaimana kau lakukan. Glagah Putih memecahkan batu-batu padas sedikit demi sedikit seperti seorang mengupas buah-buahan." jawab Agung Sedayu dengan jantung yang berdebaran. Tetapi suara lain didalam hatinya membentaknya, "Kenapa kau tidak berkata berterus-terang?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jika ia berterusterang, maka ia menjadi cemas, bahwa Swandaru ingin menguji langsung kemampuan Glagah Putih, sementara Glagah Putih yang masih sangat muda dan sedikit terpengaruh oleh kenakalan Raden Rangga itu akan menanggapinya.
Meskipun Agung Sedayu tidak mengatakan yang sebenarnya, ternyata Swandaru telah menyahut, "Luar biasa. Masih semuda itu ia telah mempunyai kekuatan yang sangat tinggi. Tetapi sebagian besar dari kemampuannya tentu disebabkan oleh kekuatan yang tersimpan pada pusaka yang diterimanya dari Ki Patih Mandaraka. Glagah Putih tentu tidak akan dapat mempergunakan senjata lain untuk melakukannya, karena dalam senjata itu tidak tersimpan kekuatan yang sangat besar."
Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Namun ia ber-usaha sedikit menjelaskan, "Tetapi sebagaimana cambuk kita. Yang membuat adi Swandaru mampu memecahkan batu itu, bukannya cambuk itu. Tetapi kekuatan dan kemampuan adi Swandaru. Dengan pedangpun aku kira adi Swandaru akan dapat melakukannya asal dibuat dari baja yang terpilih dan tidak justru patah."
"Tentu agak lain." jawab Swandaru, "Guru memberikan cambuk kepada kita dengan perhitungan kekuatan bahan dan buatannya. Sama sekali bukan senjata yang memiliki kekuatan dukungan tersendiri sebagaimana ikat pinggang itu."
Tetapi Agung Sedayu menjawab, "Apapun ujud senjata itu, namun yang berperan akhirnya juga pemiliknya."
Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun ia menjawab, "Kakang tentu pernah mendengar berjenis-jenis senjata pusaka. Bahkan yang tersimpan di keratonpun terdapat beberapa macam benda pusaka yang mempunyai pengaruh langsung kepada orang-orang yang memilikinya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun sebagaimana pernah dikatakan oleh beberapa orang tua, bahwa terakhir, adalah orang-orang yang menguasai senjata itulah yang menentukan. Tentu saja orang-orang yang berpribadi kuat sehingga teguh kepada pegangan serta sumber hidupnya. Keseimbangan antara senjata dan para pemiliknya merupakan unsur yang menentukan. Dan Agung Sedayu sendiri ternyata dengan penuh keyakinan telah mempergunakan senjata yang tidak termasuk pusaka yang bertuah. Namun dengan kemampuan ilmunya, kepribadiannya yang tegak berpegang kepada sumber hidupnya, maka ia telah mampu melawan orang-orang yang merasa dirinya menggenggam pusaka ditangannya. Tetapi Agung Sedayu tidak menjawab. Ia mengangguk-angguk kecil.
Namun Agung Sedayu terkejut ketika tiba-tiba saja Swandaru berkata, "Nah, aku ingin melihat, kakang mempergunakan cambuk yang kakang terima dari Orang Bersambuk itu. Tentu kakang tidak boleh kalah dari Glagah Putih yang menjadi murid kakang itu."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Sudahlah. Lain kali kita bermain-main di dalam sanggar ini jika waktu kita terluang banyak. Sekarang, barangkali kita mempunyai pekerjaan lain. Aku belum melihat Sekar Mirah pulang. Aku kira tugasnya di rumah Ki Gede sudah selesai."
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tertawa, "Kakang selalu mengelak. Tetapi kakang telah menunjukkan justru kemampuan Glagah Putih, anak ingusan yang berguru kepada kakang."
"Glagah Putih tidak hanya mewarisi ilmu dari aliran Ki Sadewa. Tetapi ia juga murid Ki Jayaraga." berkata Agung Sedayu.
"Sebenarnya kakang tidak perlu menyembunyikan kenyataan dihadapanku. Kita adalah saudara seperguruan. Kekuranganku adalah kekurangan kakang. Sebaliknya kelebihanku adalah kelebihan kakang. Demikian pula sebaliknya."
Agung Sedayu justru menjadi berdebar-debar. Tetapi kelemahannya tidak memungkinkannya untuk menyatakan kenyataan tentang dirinya dan tentang adik seperguruannya itu.
Yang dikatakannya kemudian adalah, "Kita perlu beristirahat sekarang. Kita akan mendapatkan kesempatan lain untuk melihatnya kelak."
Swandaru memang menjadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat memaksa Agung Sedayu. Ia tidak ingin membuat kakak seperguruannya itu kemudian merasa rendah diri, justru saat-saat tenaganya diperlukan bagi Tanah Perdikan Menoreh.
"Ia harus yakin akan dirinya." berkata Swandaru di dalam hatinya, "Jika ia menyadari kekurangannya pada saat seperti ini, bukan saja kakang Agung Sedayu yang akan mengalami kesulitan, tetapi juga anak-anak muda diseluruh Tanah Perdikan."
Karena itu, maka Swandarupun kemudian menggulung cambuknya kembali sambil berkata, "Pada kesempatan lain kita akan membuat perbandingan ilmu. Aku kira sudah waktunya, apalagi Guru sudah menjadi semakin tua, sementara kita masih jauh dari cukup memahami ilmu yang tertulis di dalam kitab yang diberikan oleh Guru kepada kita."
"Jangankan memahami." berkata Agung Sedayu, "satu babpun kita belum sempat mencapai intinya. Tentu memerlukan waktu."
Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi menurut pendapatnya, Agung Sedayu tentu tidak dengan sengaja menyindirnya karena Swandaru sendiri sebenarnya merasa bahwa ilmu cambuknya masih harus dikembangkan dan disempurnakan untuk memasuki inti ilmunya itu.
"Kakang Agung Sedayu akan dapat menyebut ilmuku jika ilmunya sendiri mampu melampauiku." berkata Swandaru di dalam hatinya, "yang dikatakan itu memang mirip sebuah keluhan. Nampaknya lebih banyak ditujukan kepada dirinya sendiri."


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi Swandaru tidak menjawab lagi. Ketika kemudian Agung Sedayu mempersilahkannya untuk pergi ke pendapa, maka merekapun telah keluar dari sanggar, sementara Agung Sedayu sempat meraba sejenis senjata yang jarang dipergunakan. Sebuah kapak bermata dua, berujung tombak dan bertangkai agak panjang. Juga sebuah pedang yang lengkung dan tajamnya luar biasa tergantung didinding tanpa sarung.
Balas " On 7 Juli 2009 at 15:48 Mahesa Said:
Tetapi Swandaru berdesis sambil mengamati pedang itu, "Apakah pedang ini tidak mudah patah."
Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, "Tidak. Tetapi tentu membutuhkan satu cara penggunaan yang khusus, yang perlu dipelajari tersendiri. Unsur-unsur gerak yang dipergunakan harus disesuaikan dengan watak senjata itu sendiri, sebagaimana kapak bermata dua dan berujung tombak itu. Disudut itu ada pula sejenis senjata yang jarang dipergunakan disini. Dua batang tongkat pendek yang dihubungkan dengan rantai."
Swandaru mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayu berkata, "Ki Jayaragalah yang telah mempelajarinya dengan modal pengetahuan yang kecil yang diperolehnya dari seorang sahabatnya yang pernah mengembara. Ia mencoba mengembangkannya. Namun ternyata ia tidak mendapatkan banyak kemajuan, sehingga akhirnya minatnya telah hilang. Senjata itu seperti senjata-senjata asing yang lain yang sekedar menjadi kumpulan senjata disini. Ki Jayaraga masih sanggup untuk mengambil lagi beberapa jenis senjata yang disembunyikan ditempat yang tidak mudah ditemukan oleh siapapun."
"Siapakah sebenarnya orang itu?" bertanya Swandaru, "nampaknya ia tidak banyak diketahui asal-usulnya."
"Ya. Tetapi aku percaya kepadanya. Sikapnya, tingkah lakunya selama ia berada disini menunjukkan bahwa ia bukan seorang yang pantas di curigai. Ia hampir tidak pernah meninggalkan Tanah Perdikan ini sejak ia berada disini. Ia memang pernah pergi satu dua hari. Lalu kembali. Paling lama sepekan. Antara lain untuk mengambil jenis-jenis senjata yang disimpannya." berkata Agung Sedayu. Lalu berkata pula, "Guru juga mempercayainya."
Swandaru mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Sejenak kemudian mereka berada di pendapa. Ternyata di pendapa telah tersedia makanan yang agaknya dikirim oleh Sekar Mirah bagi Agung Sedayu dan Swandaru. Agaknya Sekar Mirah tidak dapat segera kembali karena masih ada yang harus dikerjakan di rumah Ki Gede. Karena itu, maka pembantu dirumah Agung Sedayu itu harus masak sendiri hasil buruannya semalam di Pliridan. Tetapi ia sudah sering melakukannya.
Tetapi ternyata dugaan Agung Sedayu, bahwa Sekar Mirah tidak segera kembali itu keliru. Baru saja mereka mulai menghiruip minuman dan mencicipi makanan, maka mereka telah melihat Sekar Mirah memasuki halaman rumah justru bersama Kiai Gringsing. Karena itu. maka dengan tergesa-gesa kedua orang muridnya telah menyongsongnya dan mempersilahkannya untuk naik kependapa.
"Kami sudah bersiap-siap untuk pergi kerumah Ki Gede." berkata Swandaru.
"Aku kira kalian justru tidur nyenyak." desis Kiai Gringsing sambil tersenyum, "bukankah kalian semalam suntuk tidak tidur" Apalagi Swandaru yang menempuh perjalanan jauh, sehingga tentu menjadi letih dan kantuk."
"Kami tidak merasa apa-apa Guru." jawab Swandaru, "apalagi setelah kami mandi. Rasa-rasanya tubuh kami telah menjadi segar kembali."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sambil naik kependapa dan kemudian duduk bersama Agung Sedayu dan Swandaru ia berkata, "Kalian memang memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa."
"Kami adalah murid Guru." jawab Swandaru.
Tetapi Swandaru menjadi agak kecewa ketika Kiai Gringsing berkata, "Tetapi anak-anakku. Sebenarnya kalian tidak perlu menghambur-hamburkan tenaga seperti ini. Aku percaya bahwa kalian mempunyai daya tahan yang tinggi. Tetapi dalam keadaan yang tidak memaksa, kalian tidak perlu melakukannya. karena pada suatu saat kalian sangat memerlukannya. Tetapi jika terasa tidak mengganggu, maka hal itupun tidak berpengaruh apa-apa."
"Aku tidak merasa terganggu sama sekali, Guru." jawab Swandaru.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi iapun berkata, "Namun bagaimanapun juga, jika kalian memerlukan istirahat, serta ada waktu untuk melakukannya, sebaiknya kalian lakukan."
"Kamipun telah beristirahat sebaik-baiknya Guru." jawab Swandaru.
"Syukurlah." berkata"Kiai Gringsing. Namun sementara itu Sekar Mirah telah pula keluar ke pendapa dan duduk bersama mereka setelah menjenguk ke dapur.
"Apakah pekerjaanmu sudah selesai?" bertanya Agung Sedayu.
"Belum. Tetapi makan pagi telah terbagi ke seluruh pasukan yang bertugas. Perempuan-perempuan yang ada di rumah Ki Gede dan di Banjar sedang niasak untuk makan siang. Sementara itu telah dibagi tugas. Para pengawal di padukuhan-padukuhan akan mendapat makan dari padukuhan mereka masing-masing. Disetiap banjar padukuhan, perempuan-perempuan dari padukuhan itu sendiri akan masak bagi anak-anak muda mereka, sehingga dengan demikian tugas di banjar dan rumah Ki Gede bagi perem-puan-perempuan di padukuhan induk ini menjadi lebih ringan. Namun bagi para pengawal khusus yang bertugas bagi Tanah Perdikan ini dan sekitarnya memang dikirim dari padukuhan induk."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Satu cara yang baik. Dimana Glagah Putih?"
"Masih di rumah Ki Gede. Ki Waskita dan Ki Jayaraga yang berada di rumah Ki Gede sedang berjalan-jalan. Mungkin nanti mereka akan singgah pula kemari, karena mereka tahu Kiai Gringsing ada disini." jawab Sekar Mirah.
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Ya. Dan aku sudah berjanji bahwa aku akan menunggu mereka disini."
"Ki Waskita nampaknya sudah begitu rindu kepada Tanah- Perdikan ini. Sawahnya, ladangnya dan parit-paritnya yang tidak pernah kering. Karena itu, Ki Waskita tidak bersama-sama dengan Kiai Gringsing datang kemari. Tetapi kami berpisah di luar regol padukuhan induk." berkata Sekar Mirah pula.
"Mereka memberi kesempatan kepadaku jika ada pembicaraan yang penting diantara aku dan murid-muridku." berkata Kiai Gringsing, "meskipun aku mengatakan bahwa tidak ada yang penting, tetapi sebaiknya aku membiarkan mereka berjalan-jalan lebih dahulu."
"Memang tidak ada yang penting." berkata Swandaru, "tetapi kesempatan seperti ini jarang terjadi. Aku dan kakang Agung Sedayu berada ditempat yang terpisah. Demikian pula Guru. Ternyata dalam kesempatan ini kita dapat bertemu."
"Kau mempunyai tanggung jawab sendiri di Sangkal Putung, Swandaru, sementara Agung Sedayu mempunyai tugas dan kewajiban disini. Karena itu, kalian memang tidak dapat berkumpul sebagaimana dua orang saudara sekandung. Dimasa kanak-kanak mereka selalu bermain bersama. Kadang-kadang bertengkar namun kemudian menjadi berbaik kembali. Namun setelah dewasa, maka merekapun akan berpisah. Mereka akan pergi ke tempat tugas dan kewajiban mereka masing-masing." berkata Kiai Gringsing.
"Bukankah dengan demikian, justru pertemuan seperti ini menjadi penting?" desis Swandaru.
"Ya, ya. Aku mengerti maksudmu. Tetapi bukankah kita mempunyai waktu" Aku memang ingin berbicara dengan kalian berdua. Tetapi sebentar lagi, Ki Waskita dan Ki Jayaraga akan datang. Mereka tentu tidak akan dapat memperhitungkan dengan tepat, seberapa lama kami membutuhkan waktu untuk berbicara. Apalagi aku memang sudah terlalu tua. Apapun yang aku lakukan, namun jalanku sudah pasti."
Agung Sedayu dan Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam Agung Sedayupun berkata, "Kami memang masih mempunyai waktu, Guru. Bukankah Guru sudah memutuskan untuk tinggal barang satu dua hari."
Kiai Gringsing mengangguk. Katanya, "Bukan maksudku menunda-nunda pekerjaan yang dapat diselesaikan hari ini, karena hal yang demikian dapat berakibat kurang baik. Tetapi mungkin karena ketuaanku, dalam setiap langkah rasa-rasanya aku harus benar-benar mempersiapkan diri."
Swandaru menundukkan kepalanya. Sebenarnya ia ingin segalanya berjalan cepat. Yang dapat dilakukan saat itu, sebaiknya dilakukan. Yang ternyata tidak, barulah dipersiapkan kemudian.
"Kakang Agung Sedayu memang akan banyak kehilangan waktu dengan cara yang demikian." berkata Swandaru didalam hatinya, "Tetapi itu sudah sifatnya. Karena itu pula maka ia tidak dengan cepat meningkatkan ilmu nya meskipun aku sudah membiarkan kitab dari Guru itu ada disini. Agaknya ia lebih mengagumi kemampuan bidiknya daripada menyempurnakan ilmu cambuknya. Sementara itu ilmu bidiknya itu hampir tidak banyak berarti dalam benturan kekerasan didunia olah kanuragan. Kecuali jika kakang Agung Sedayu sudah puas menjadi seorang pemburu yang baik sehingga akan mampu memanah burung pipit dipuncak pohon yang tinggi sekalipun."
Namun ia tidak dapat memaksa gurunya untuk berbuat lain. Apalagi setelah gurunya mulai berbicara tentang perkembangan Tanah Perdikan yang dinilainya memang agak lamban dibandingkan dengan Sangkal Putung.
"Mungkin karena Tanah Perdikan ini tidak memiliki tanah sesubur Kademangan Sangkal Putung." berkata Kiai Gringsing, "di beberapa bagian dari ngarai tanahnya memang baik. Sawah terbentang luas dan selalu basah. Tetapi ada bagian lain yang memang tandus dan kurang memberikan kemungkinan untuk dikembangkan."
"Penanganannya memang harus lain." berkata Swandaru, "garap di Kademangan Sangkal Putung belum tentu dapat ditrapkan disini yang mempunyai beberapa bagian tanah pegunungan. Agaknya Tanah Perdikan ini sebaiknya berpikir untuk memperluas tanah garapan bagi para petani."
"Kami sudah mencoba melakukannya." berkata Agung Sedayu, "memperluas tanah garapan. Tetapi kami harus memperhitungkan luas hutan yang harus tersisa. Sementara itu, kamipun telah mencoba untuk menanami lereng-lereng pegunungan gundul dengan jenis-jenis tanaman yang kami anggap sesuai."
"Aku melihat hasilnya." berkata Kiai Gringsing, "memang tidak akan dapat dilihat dengan cepat. Tetapi perkembangannya sudah nampak."
"Terimakasih Guru." jawab Agung Sedayu, "kami disini akan berusaha lebih baik lagi."
"Tetapi memang ada bedanya, bukan saja sasaran garapan." berkata Swandaru, "Tetapi sumber penggerak itu sendiri. Aku tentu merasa bertanggung jawab mutlak atas perkembangan Kademangan Sangkal Putung. Agak berbeda dengan kakang Agung Sedayu disini."
Terasa telinga Agung Sedayu memang menjadi panas. Tetapi seperti biasanya ia selalu mencoba untuk mengendalikan dirinya. Namun ternyata Sekar Mirahlah yang menyahut, "Apakah kakang Swandaru mengira bahwa kakang Agung Sedayu tidak bersungguh-sungguh?"
"Bukan begitu." jawab Swandaru, "tetapi perbedaan kedudukan antara aku dan kakang Agung Sedayu tentu berpengaruh. Aku dapat bertindak langsung sesuai dengan penalaranku tanpa harus berbicara dengan siapapun karena ayah sudah memberikan wewenang itu. Tetapi kakang Agung Sedayu tidak."
Wajah Sekar Mirah menjadi merah. Tetapi sebelum ia menjawab Kiai Gringsing telah menengahi, "Yang dikatakan oleh Swandaru adalah sekedar tentang wewenang yang ada ditangan Swandaru dan Agung Sedayu. Namun tanggung jawab dan kemauan bekerja memang harus dibedakan. Tetapi sudahlah, kita dapat berbicara tentang banyak hal yang lebih berarti daripada wewenang. Nanti malam aku akan tidur dirumah ini. Dengan demikian kita akan sempat berbicara seberapa panjang kita akan berbicara tentang sebuah perguruan kecil yang tidak berarti apa-apa di dunia olah kanuragan ini."
Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Ia merasa bahwa setiap kali gurunya telah membantu Agung Sedayu justru pada saat-saat ia ingin mendorong agar kakak seperguruannya itu menyadari kelemahannya sendiri. Namun Swandaru kemudian tidak memaksakan pembicaraan apapun lagi. Yang kemudian ditanyakan oleh Kiai Gringsing adalah justru kapan mereka akan kembali.
"Bukankah kita akan kembali tidak lebih dari besok?" jawab Swandaru yang masih merasakan sesuatu yang bergejolak didalam hatinya, "meskipun seandainya besok siang sekalipun, karena kita tidak terikat untuk berangkat pagi hari."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Besok kita akan berangkat setelah matahari turun. Kita tidak akan menjadi silau karena kita akan membelakangi matahari."
Dalam pada itu, maka seperti yang telah dijanjikan, telah memasuki halaman rumah itu Ki Waskita dan Ki Jayaraga. Dengan tergesa-gesa Agung Sedayu telah menyongsongnya dan mempersilahkan mereka duduk di pendapa. Sementara Sekar Mirah mohon diri untuk pergi ke dapur.
Untuk beberapa saat lamanya mereka berbincang-bincang. Mereka sempat mengenang masa muda mereka masing-masing. Kiai Gringsing dan Ki Waskita menjelang hari-hari tuanya banyak berhubungan dan bekerja bersama, sehingga mereka sempat bercerita tantang masa-masa itu.
Ki Jayaraga yang hadir terakhir di Tanah Perdikan itu hanya dapat mendengarkan. Sekali-sekali ikut tertawa jika terjadi hal-hal yang lucu. Namun kadang-kadang keningnya ikut berkerut jika kedua orang tua itu bercerita tentang ketegangan-ketegangan yang terjadi.
Namun sejenak kemudian Sekar Mirah telah menghidangkan minuman dan makanan bagi tamu-tamunya. Tetapi orang-orang tua yang ada di pendapa itu menghindar ketika mereka dipersilahkan untuk makan, karena mereka tahu, Sekar Mirah sudah menyediakan makan bagi mereka dirumah Ki Gede.
"Aku ada disini sekarang." berkata Sekar Mirah.
Tetapi Ki Waskita menyahut, "meskipun kau disini, tetapi kau tentu sudah meninggalkan pesan. Nanti Ki Gede kecewa jika kami tidak bersedia menemaninya makan. Bahkan dengan Ki Jayaraga."
Karena itulah, maka lewat tengan hari, Ki Waskita telah minta diri untuk kembali kerumah Ki Gede. Bahkan bersama Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Yang tinggal di rumah Agung Sedayu adalah Swandaru, sehingga yang kemudian mendapat suguhan makan dengan kendo udang adalah Swandaru. Sementara itu para pengawalnya telah mendapat kiriman makan satu jodang dari rumah Ki Gede. Tetapi Sekar Mirah sendiri tetap berada dirumahnya untuk mengawani suami dan kakaknya makan siang.
Setelah makan Swandaru memang benar-benar ingin beristirahat. Tetapi ia tidak mau beristirahat di ruang dalam. Ia memilih digandok bersama dengan para pengawalnya.
"Silahkan beristirahat kakang." berkata Sekar Mirah, "aku akan kembali kerumah Ki Gede. Sekedar menunggui perempuan-perempuan yang masih sibuk. Kakang Agung Sedayu akan berada dirumah sampai sore. Kecuali jika Ki Gede memanggilnya."
"Silahkan." berkata Swandaru, "juga kakang Agung Sedayu jika mempunyai tugas, tinggalkan saja aku disini. Aku memang ingin beristirahat diantara orang-orangku."
Tetapi Agung Sedayupun berkata, "Aku juga akan beristirahat dirumah."
Dengan demikian, maka hanya Sekar Mirah sajalah yang pergi kerumah Ki Gede untuk melakukan tugasnya. Bersama-sama dengan perempuan-perempuan di padukuhan induk menyiapkan makan bagi para pengawal yang bertugas tersebar di seluruh Tanah Perdikan.
Dalam pada itu, kehidupan di Tanah Perdikan Menoreh telah mulai menjadi tenang. Anak-anak telah bermain kembali di halaman, sementara yang telah mengungsi dari satu padukuhan ke padukuhan lainpun telah kembali. Meskipun pasar masih tetap sepi, namun jalan-jalan mulai nampak orang berjalan dari satu rumah kerumah yang lain. Namun demikian, dibulak-bulak panjang, para pengawal masih saja hilir mudik mengamati keadaan. Bukan saja para pengawal berkuda, tetapi para petugas sandipun berkeliaran di daerah perbatasan.
Beberapa Kademangan disekitar Tanah Perdikan yang ikut terguncang karena peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan itupun telah menjadi tenang pula. Ki Gede telah mengirimkan beberapa orang bebahu untuk menghubungi Kademangan-kademangan itu memberikan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi di Tanah Perdikan. Kepada Kademangan yang mengalami kerugian karena peristiwa itu, Ki Gede bersedia untuk memberikan bantuan sekedarnya. Tetapi Kademangan-kademangan itu menolak. Mereka menganggap bahwa Tanah Perdikan sama sekali tidak bersalah.
"Tanah Perdikan sendiri mengalami kerugian yang besar. Sawah yang terinjak-injak, bangunan yang rusak dan kehidupan yang terguncang. Yang sulit dinilai adalah jatuhnya beberapa orang korban diantara anak-anak terbaik dari Tanah Perdikan itu." berkata para pemimpin Kademangan itu.
Bahkan bagi mereka, Tanah Perdikan itu akan dapat menjadi tempat untuk bernaung jika terjadi sesuatu di Kademangan mereka masing-masing.
Disore hari, ketika matahari telah menjadi rendah, Swandaru telah mengajak Agung Sedayu untuk melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan itu. Berkuda keduanya berkunjung dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain. Ternyata masih banyak yang dapat langsung mengenali Swandaru meskipun diantara mereka sudah lama tidak bertemu.
Dalam kesempatan itu Swandaru telah melihat-lihat pula usaha Tanah Perdikan untuk menghutankan tanah yang semula gundul di lereng-lereng pegunungan. Usaha untuk mengatasi lereng yang sering longsor turun menimpa padukuhan-padukuhan di musim hujan. Usaha Agung Sedayu dan anak-anak muda Tanah Perdikan untuk membuat sawah bertingkat di tanah miring, namun yang dapat diairi dari daerah perbukitan, serta daerah rumput yang tersebar untuk memberikan tempat para gembala menggembalakan ternak mereka. Meskipun tidak dikatakan, ternyata Swandaru telah melihat langsung kemajuan di Tanah Perdikan yang dianggapnya lamban itu.
Menjelang senja, maka keduanya telah kembali kerumah Agung Sedayu. Ternyata beberapa saat kemudian, ketika langit mulai gelap, Kiai Gringsingpun telah datang pula bersama Ki Jayaraga.
"Apakah Ki Waskita tidak datang pula?" bertanya Agung Sedayu.
"Ki Waskita mengawani Ki Gede berbincang." jawab Ki Jayaraga.
Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Sementara itu Glagah Putih dan Sekar Mirah telah berada di rumah itu pula.
Seperti yang direncanakan oleh Kiai Gringsing, maka setelah minum minuman hangat dan makan beberapa potong makanan, maka Kiai Gringsingpun berkata, "Marilah, kita pergunakan kesempatan ini untuk berbincang-bincang. Khusus tentang perguruan kecil kita. Sudah tentu jika kita menyebut perguruan kecil kita, bukan berarti sebuah padepokan kecil di Jati Anom. Itu hanya ujud lahiriah dari sebuah perguruan."
Ki Jayaraga yang menyadari kedudukannya telah berkata, "Silahkan. Nampaknya kalian memerlukan tempat tersendiri. Mungkin kalian dapat berbicara di sanggar, sehingga tidak akan diganggu oleh orang lain."
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Terima kasih Ki Jayaraga. Aku kira tempat itu cukup baik untuk berbicara secara khusus."
"Marilah Guru." berkata Agung Sedayu, "kita pergi ke Sanggar. Biarlah Glagah Putih mempersiapkan tempat dan barangkali perlu lampu yang lebih terang."
"Untuk apa?" Kiai Gringsing justru bertanya, "jika sudah ada lampunya, meskipun tidak terlalu terang, aku kira tidak menjadi soal."
Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih selain membersihkan sanggar khususnya yang akan dipergunakan untuk duduk berbincang juga telah menyalakan lagi lampu yang lebih terang dari yang sudah terpasang.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Kiai Gringsing dan kedua orang muridnya telah berada didalam sanggar. Mereka memang ingin berbicara secara khusus, karena kesempatan untuk bertemu semakin lama ternyata menjadi semakin jarang.
"Kita hanya memanfaatkan waktu." berkata Kiai Gringsing kemudian, "tidak ada bahan pembicaraan khusus yang ingin aku sampaikan kepada kalian."
"Guru." Swandarulah yang menyahut, "aku justru ingin mengusulkan, dalam kesempatan ini sebaiknya kami, murid-murid Guru, mengadakan perbandingan ilmu. Dengan demikian Guru masih mempunyai kesempatan untuk memberikan petunjuk dan arah kepada kami untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah kami perbuat."
Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar. Setiap kali ia memasuki sebuah pembicaraan tentang ilmu, maka ia telah menjadi gelisah.
Namun Kiai Gringsing yang telah menjawab, "Aku tidak akan dengan tergesa-gesa sampai kesana. Sebenarnya, sebagai Guru, aku telah mengetahui tataran ilmu kalian masing-masing. Aku tahu pasti perbandingan ilmu diantara kalian meskipun kalian tidak menunjukkan kepadaku dengan car a apapun juga. Karena perbandingan ilmu dengan cara yang dapat kita lakukan di sini tentu bukan batas kemampuan ilmu yang sebenarnya, karena masing-masing masih harus menahan diri dan menjaga agar yang lain tidak mengalami cidera. Namun berbeda dengan aku, aku telah melihat bagaimana Agung Sedayu bertempur di medan perang dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Akupun pernah melihat Swandaru memperagakan kemampuannya dengan menunjukkan batas-batas tingkat ilmunya."
Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, Kiai Gringsing telah berkata, "Yang ingin aku katakan kepada kalian pada kesempatan ini adalah justru hasil pengamatanku itu."
Agung Sedayu memang menjadi semakin berdebar-debar. Namun Swandaru telah mendesak, "Kami memang sangat menunggu Guru."
"Aku melihat kalian berada di simpang jalan." berkata Kiai Gringsing, "kalian telah menempuh pilihan yang berbeda dalam meningkatkan ilmu kalian. Agung Sedayu ternyata tidak mengikuti satu jenis ilmu. Tetapi ia merambah ke berbagai jenis ilmu sehingga dengan demikian Agung Sedayu menguasai beberapa jenis ilmu yang ujud pengungkapannya berbeda-beda. Tetapi Swandaru telah menekuni satu jenis ilmu. Ilmu yang memang menjadi ciri perguruan yang menganut aliran Orang Bercambuk. Karena itu, maka Swandaru mampu menunjukkan kemampuan ilmu cambuk dengan sangat mengagumkan."
"Guru." Swandaru memotong, "manakah yang lebih baik menurut guru."
"Aku tidak dapat mengatakan mana yang lebih baik, karena ternyata masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya." berkata Kiai Gringsing, "namun satu kenyataan, bahwa di dunia olah kanuragan telah terdapat berbagai macam ilmu yang berbeda-beda menurut aliran masing-masing. Bermacam-macam ilmu itu harus mendapat tanggapan dengan cara yang berbeda-beda pula."
"Jadi menurut Guru, cara yang ditempuh kakang Agung Sedayu itu lebih baik meskipun hanya sepotong-sepotong dari berbagai jenis ilmu?" bertanya Swandaru.
"Bukan begitu." berkata Kiai Gringsing, "aku ingin menganjurkan kepada kalian berdua. Dengar. Kewajiban kalian hanya mendengar. Aku adalah guru kalian."
Kiai Gringsing berhenti sejenak. Ternyata dalam usianya yang tua itu, ia masih dapat bersikap mantap.
Kedua murid Kiai Gringsing itu saling berpandangan sejenak. Namun seperti yang dikatakan oleh gurunya, mereka hanya dapat mendengarkan.
Sejenak Kiai Gringsing terdiam. Dipandanginya kedua orang muridnya berganti-ganti sehingga keduanyapun kemudian telah menundukkan kepalanya.
"Anak-anakku." berkata Kiai Gringsing kemudian, "aku tidak mengatakan bahwa cara yang kalian tempuh yang satu lebih baik dari yang lain. Tetapi aku ingin mengatakan, bahwa kedua-duanya mempunyai kelemahan. Swandaru yang hanya mengenal satu jenis ilmu betapapun tinggi pemahamannya bahkan seandainya sudah sampai ke inti ilmu cambuk itu, namun masih terdapat kelemahan. Tanpa mengenal jenis ilmu yang lain, maka Swandaru kurang memiliki bekal apabila ia benar-benar terjun ke dunia olah kanuragan. Untuk menanggapi berbagai jenis ilmu maka Swandarupun harus memiliki berbagai jenis bekal yang cukup. Kemudian dengan puncak ilmu cambuknya maka Swandaru akan mendapat kesempatan mengakhiri perlawanan lawan-lawannya. Tetapi tanpa mengenal ilmu yang lain, maka kau akan menjadi sangat miskin menghadapi dunia dalam segala bantuknya. Kau akan tampil dengan bekal yang itu-itu juga, sehingga setiap orang akan mengenalinya dan dengan mudah membaca kelemahan-kelemahanmu. Sebaliknya dengan mempelajari seribu jenis ilmu sekalipun, jika semuanya hanya mengambang tanpa kedalaman, maka hal itupun tidak berarti sama sekali. Dalam benturan ilmu, maka betapapun banyaknya ilmu yang di tampilkan, namun semuanya akan dapat ditembus lawan dengan mudah. Bahkan dalam saat-saat yang menentukan, ia tidak akan memiliki alat pemukul yang mematikan."
Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya, "Karena itu, aku ingin mengatakan kepadamu Swandaru, jangan terlalu yakin akan ilmu cambukmu. Kau harus berusaha untuk melengkapinya dengan jenis-jenis ilmu yang lain yang dapat kau pelajari dari kitab yang pernah aku berikan kepada kalian berdua. Jangan hanya melihat ke permukaan dari setiap persoalan yang dikemukakan di dalam kitab itu. Tetapi kau harus menyelusup kekedalamannya. Apalagi ilmu cambuk yang kau jadikan puncak ilmu yang kau miliki. Terus terang, bahwa kau masih saja terbatas pada unsur kewadagan. Kau memang sudah memasuki laku untuk menyusup ke kedalaman, tetapi baru pada mulanya. Kau harus mempelajarinya lagi, kau harus menjalani laku yang barangkali cukup berat untuk mencapai inti ilmu cambukmu. Disamping itu kau harus mengenali jenis-jenis ilmu yang lain untuk menanggapi keanekaan dunia olah kanuragan."
Sekali lagi Kiai Gringsing berhenti sejenak. Lalu katanya lagi, "Dan kau Agung Sedayu. Kau tidak boleh sekedar bergerak mendatar. Menjelajahi jenis-jenis ilmu yang luas, tetapi tanpa memilih satu diantaranya. Akan lebih baik jika kau dalami ciri perguruan kita, ilmu cambuk. Kaupun harus menjalani laku sehingga kau akan memperoleh kedalam ilmu yang sangat kau perlukan. Bahkan sekaligus ciri dari sebuah perguruan."
Ketika kemudian Kiai Gringsing berhenti lagi berbicara, maka Agung Sedayu dan Swandaru menjadi termangu-mangu. Tetapi mereka belum berani mengatakan sesuatu. Mereka masih menunggu Kiai Gringsing meneruskan.
Sebenarnyalah Kiai Gringsing berkata, "Aku masih mempunyai waktu sedikit. Seandainya aku tidak dapat melihat kalian sampai batas sebagaimana yang aku katakan, tetapi aku ingin melihat kalian mulai menjalani laku itu. Apapun alasan kalian, tetapi aku minta kalian melakukannya. Kecuali jika kalian tidak lagi menganggap aku sebagai seorang guru. Aku tidak dapat membiarkan kalian seperti sekarang ini, menuruti pilihan kalian sendiri. Tetapi pada saat-saat terakhir dari hidupku, aku dibebani kewajiban untuk memberikan penilaian atas kalian."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil, sementara Swandaru menjadi gelisah.
"Nah." berkata Kiai Gringsing, "sekarang, siapa diantara kalian yang akan bertanya, bertanyalah."
"Guru." Swandarulah yang bertanya untuk pertama kali, "apakah menurut guru, ilmu cambukku masih terlampau dangkal?"
"Ya." jawab Kiai Gringsing tegas, "seandainya tidak terlalu dangkal, maka ilmumu masih terbatas pada permukaan. Pada ujud dan kekuatan kewadagan. Kau harus tahu itu jika kau berulang kali mempelajari kitab itu. Kau terlalu puas dengan pencapaianmu sehingga nampaknya kitab itu tidak berarti bagimu."
Wajah Swandaru menjadi merah. Tetapi ia berhadapan dengan gurunya sehingga bagaimanapun juga ia harus menahan diri. Sementara itu Kiai Gringsing berkata, "Aku minta kau memasuki tingkat berikutnya khusus dalam ilmu cambuk. Kemudian jenis-jenis ilmu yang lain yang barangkali penting kau pelajari. Kau tidak usah mendalami jenis ilmu yang lain sebagaimana ilmu cambuk. Tetapi kau perlu mengenali kekuatan alam yang dapat kau sadap. Sudah tentu bukan lewat kekuatan kewadagan. Tetapi getaran dari inti kekuatan itulah yang kau serap didalam dirimu."
Swandaru mengerutkan keningnya. Sejak semula ia tidak tertarik kepada persoalan-persoalan yang rumit seperti itu. Namun ternyata gurunya bukan saja menyarankan, tetapi rasa-rasanya yang dikatakan itu adalah perintah.
Apalagi ketika Kiai Gringsing berkata, "Lakukanlah sebaik-baiknya. Jika kau gagal, maka kau adalah muridku yang gagal pula."
Swandaru tidak mengira bahwa gurunya akan berkata sekeras itu. Selama ini ia sudah sangat berbangga dengan ilmunya. Namun ternyata gurunya merasa sangat kecewa.
Tetapi kemudian Kiai Gringsing berkata pula, "Dan kau Agung Sedayu. Banyak hal yang harus kau perhatikan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu, Kiai Gringsing berkata selanjutnya, "Kau tidak perlu merambah puluhan jenis-jenis. Tetapi kau harus mempunyai satu kekuatan yang akan dapat diandalkan untuk menyelesaikan persoalan. Seperti aku katakan, kau harus meletakkan ciri perguruanmu diatas segala macam ilmu yang kau kuasai. Seperti Swandaru, maka kau harus mempelajari tingkat-tingkat selanjutnya sesuai dengan tataran yang tertulis didalam kitab yang aku tinggalkan bagi kalian berdua."
Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing masih berkata selanjutnya, "Dalam waktu dekat kalian tidak perlu mengadakan perbandingan ilmu. Dunia kanuragan akan mengatakan kepada kalian, sampai ditingkat yang manakah kalian berdiri pada suatu saat. Tetapi aku tidak bermaksud memerintahkan kalian menjadi pengembara apalagi petualang untuk mencoba-coba kemampuan ilmu kalian. Justru kalian harus menjauhi kemungkinan benturan kekerasan. Hanya dalam keadaan terpaksa kalian mempergunakan kekerasan. Karena sebenarnyalah kekerasan bukan alat yang terbaik untuk menyelesaikan masalah. Tetapi dalam keadaan terpaksa kemampuan ilmu yang kalian miliki akan dapat kalian pergunakan untuk melawan segala bentuk kejahatan serta sikap yang bertentangan dengan kebenaran dan keadilan."
Kiai Gringsing"berhenti sejenak. Kemudian katanya, "Nah, dalam langkah-langkah yang akan kalian tempuh kalian harus selalu mendekatkan diri kepada Sumber Hidup kalian. Mohon petunjuk-Nya serta dengan tulus percaya bahwa hanya kehendak-Nya sajalah yang akan terjadi, karena sebenarnyalah apa yang datang dari pada-Nya adalah baik adanya."
Kedua orang murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk kecil. Betapapun sakit hati Swandaru, tetapi ia merasa bahwa peringatan gurunya tidak semata-mata ditujukan kepadanya. Tetapi juga kepada Agung Sedayu. Gurunya memang cukup bersikap keras terhadapnya dan terhadap Agung Sedayu.
Ternyata Kiai Gringsing itu masih berkata pula, "Anak-anakku. Kau harus menyadari, bahwa umurku tentu tidak akan panjang lagi. Bahkan berarti aku mendahului kepastian Yang Maha Agung, tetapi justru aku menyadari. bahwa tidak ada arah lain dari setiap kehidupan daripada dipanggil kembali oleh Penciptanya. Karena itu, dalam kesempatan yang sempit ini aku akan selalu melihat perkembangan kalian. Apakah kalian melakukan perintahku atau tidak. Aku tidak akan memberikan hukuman apapun bagi kalian jika kalian mengingkari perintahku. Tetapi kalian tentu akan menyesali langkah kalian itu."
Agung Sedayu dan Swandaru hanya mengangguk-angguk saja. Agaknya tidak ada lagi yang dapat mereka kemukakan kepada guru mereka, apalagi menilik kata-kata-nya, guru mereka itu sedang bersikap agak lain dari sikapnya sehari-hari. Kiai Gringsing nampak sebagai seorang guru yang kecewa melihat perkembangan ilmu murid-muridnya. Justru pada saat umurnya yang sudah terlalu tua.
Namun sejenak kemudian Kiai Gringsing itupun berkata, "Agaknya tidak ada lagi yang akan aku katakan. Tidak ada pula persoalan yang dapat kalian kemukakan. Aku hanya minta kalian lakukan perintahku kali ini menjelang hari-hariku terakhir."
Agung Sedayu dan Swandaru memang tidak dapat mengatakan sesuatu selain menundukkan kepalanya. Namun dalam pada itu, Swandaru berkata kepada dirinya sendiri, "Aku hanya tinggal melangkah satu langkah lagi. Aku harus mempelajari dan menempuh laku tingkat berikutnya ilmu cambuk yang tertulis dalam kitab guru. Tetapi kakang Agung Sedayu tentu masih harus mempelajarinya lebih banyak. Dua atau tiga tataran, khususnya ilmu cambuk. Nampaknya perintah guru kali ini akan benar-benar dijalani oleh kakang Agung Sedayu."
Tetapi sementara itu dahi Swandarupun telah berkerut ketika ia teringat pesan gurunya untuk mempelajari pula meskipun hanya pada tingkat permulaan, beberapa jenis ilmu yang lain untuk menghadapi seribu macam jenis dan bentuk ilmu kanuragan yang mungkin akan dijumpainya.
"Tetapi itupun perintah." Namun katanya kepada diri sendiri, "Tetapi tidak terlalu mengikat seperti perintah Guru, ciri ilmu perguruan ini."
Dalam pada itu, Kiai Gringsingpun kemudian berkata, "Aku kira pertemuan kita sudah cukup. Namun marilah, kita mencoba untuk menyatukan diri dalam ungkapan pernafasan sesuai dengan landasan ilmu dari perguruan kita. Apakah kita masih tetap satu atau ternyata kita sudah menempuh jalan kita masing-masing."
Kedua murid Kiai Gringsing itu tidak menjawab. Namun merekapun kemudian telah bangkit berdiri. Kiai Gringsinglah yang kemudian melangkah lebih dahulu ketengah-tengah sanggar itu. Kemudian duduk bersila. Sementara Agung Sedayu dan Swandaru telah melakukan hal yang sama dibelakangnya.
Perlahan-lahan tangan ketiga orang itu bergerak. Kedua tangan mereka telah terjulur lurus sejajar kedepan dengan telapak tangan menghadap kedalam. Kemudian perlahan-lahan pula tangan itu bergerak. Telapak tangan mereka kemudian menelungkup menghadap kebawah. Kemudian dengan cepat gerakan-gerakan mereka bertumpu pada siku mereka. Kedua tangan mereka telah melakukan unsur-unsur gerak sesuai dengan ajaran aliran ilmu mereka, sehingga akhirnya kedua tangan mereka terangkat di muka dada. Kedua telapak tangannya berada dalam satu susun yang berhadapan. Satu menghadap keatas dan yang lain kebawah. Kemudian perlahan-lahan sekali tangan itu bergerak. Tangan kiri melekat di lambung kanan sedang tangan kanan terletak di pundak sebelah kiri.
Ketiga orang itu terdiam beberapa saat. Nafas mereka berjalan teratur melalui lubang hidung mereka. Baru beberapa saat kemudian, tangan mereka telah terurai. Kemudian kedua telapak tangan mereka menelakup didepan dada. Menurun kebawah kemudian terlepas.
Ketiga orang itu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya tubuh mereka menjadi semakin segar. Darah diurat-urat nadi mereka rasa-rasanya berjalan semakin lancar.
"Kita sudah selesai." berkata Kiai Gringsing, "kita akan kembali ke pendapa. Namun aku masih akan sedikit berpesan. Lihat berkali-kali cara mengatur pernafasan ini. Lihat pula serba sedikit tentang usaha pengobatan dengan getaran ilmu yang pernah kita pelajari dan lihat pula ilmu pengobatan dengan berbagai macam cara dalam hubungannya dengan pengetahuan simpul-simpul syaraf dan jalur-jalur urat nadi. Membekukan kerja simpul-simpul syaraf dan melepaskannya kembali, serta cara pengobatan dengan wajar. Maksudnya dengan obat-obatan yang dapat kalian pelajari pula pada kitab itu. Nah, dengan demikian kalian dapat mengetahui, bahwa kitab yang aku berikan kepadamu berisi berbagai macam hal yang sangat berarti bagi kalian. Kitab ini adalah satu rangkaian dari beberapa macam ilmu yang saling berhubungan dan bersusun dengan alas ilmu yang sama. Karena itu, maka kitab itu sangat berharga. Kitab itu tidak boleh jatuh ketangan orang-orang yang tidak berhak, karena dengan demikian mereka akan dapat menyalah gunakannya."
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-angguk. Mereka mengerti nilai dari kitab itu karena sejak semula mereka telah mengerti isinya. Tidak sekedar sejenis ilmu sebagaimana tercantum dalam beberapa macam kitab yang lain. Tetapi kitab yang mereka terima dari Kiai Gringsing adalah ujud lengkap dari perguruan mereka seutuhnya.
Sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gringsing, tidak akan ada orang yang mampu menguasai semua jenis ilmu yang tercantum didalam kitab itu. Tetapi murid-murid Kiai Gringsing diperintahkan untuk menyadap isi kitab itu sebanyak-banyaknya dan yang terpenting sedalam-dalamnya. Bukan sekedar mendatar sebagaimana telah dikatakannya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing itupun telah melangkah keluar. Sementara itu, Swandaru yang berjalan disebelah Agung Sedayu berkata, "Besok kitab itu akan aku bawa. Kitab itu sudah terlalu lama ada disini."
Agung Sedayu memang sudah mengira bahwa setelah mereka mendengarkan pesan gurunya, maka Swandaru akan dengan segera memerlukan kitab itu. Tetapi Agung Sedayu tidak keberatan. Ada atau tidak ada kitab itu di rumahnya, maka ia akan dapat mempelajarinya sebagaimana dipesankan oleh gurunya.
Namun demikian, sebelum menyerahkan kepada Swandaru. Agung Sedayu masih berniat untuk membacanya sekali lagi agar isi kitab itu terpahat semakin dalam didinding jantungnya serta untuk menyegarkan kembali ingatannya atas isi kitab itu. Terutama pada bab-bab yang memang menarik baginya atau memang sudah mulai dirambahnya. Dan seperti pesan gurunya, tingkat-tingkat terakhir dari ilmu cambuknya.
Demikianlah, maka merekapun kemudian telah berada di pendapa kembali. Ternyata mereka memerlukan waktu cukup lama. Malam sudah menjadi semakin malam.
Tetapi Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sekar Mirah masih menunggu dan kemudian menemani mereka duduk dipendapa. Namun mereka sama sekali tidak mempertanyakan tentang pertemuan khusus antara guru dan kedua muridnya itu.
Bahkan setelah minum beberapa teguk dan makan beberapa potong makanan, maka Agung Sedayupun mempersilahkan gurunya untuk beristirahat.
Demikian Kiai Gringsing masuk kedalam bilik yang disediakan untuknya, maka Swandarupun telah pergi ke gandok pula. Ia sengaja berada diantara para pengawalnya. Rasa-rasanya Swandaru berada di Kademangannya, diantara para pengawal Kademangan yang sedang meronda.
Ketika Glagah Putih sempat pergi ke belakang, dilihatnya pembantu rumahnya tidak berada di dalam biliknya, disebelah dapur. Tetapi anak itu tidur di serambi berkerudung kain panjang. Disebelahnya terletak kepis yang sudah dipersiapkan untuk turun ke sungai serta cangkul dan parang.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Agaknya anak itu tertidur ketika ia menunggu tengah malam. Nampaknya anak itu hanya akan turun ke sungai sekali saja.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi ia menjadi iba kepada anak itu. Anak yang menurut pendapatnya sangat tekun. Nampaknya ia masih belum jemu dengan pliridannya. Sementara itu kawan-kawannya yang lain sudah berganti orang. Mungkin adiknya, mungkin sepupunya atau mungkin orang lain lagi yang meneruskan memelihara pliridan itu. Karena itu, maka Glagah Putih telah mengambil alat-alat itu dan pergi ke sungai tanpa membangunkannya.
Ketika ia turun ke sungai dan memasang icir serta menutup pliridannya, ternyata seorang yang sebaya dengan umurnya masih juga turun ke sungai bersama dua orang adiknya.
"Kau masih sempat juga menutup pliridan?" bertanya anak muda itu, "dimana anak yang sering melakukannya itu?"
"Tertidur. Nampaknya ia letih sekali." jawab Glagah Putih. Namun Glagah Putihpun bertanya pula, "Dan kalian juga memerlukan turun ke sungai?"
"Untuk melepaskan ketegangan." jawab anak muda itu, "selama ini urat-urat di kepalaku serasa menjadi kencang. Dengan turun ke sungai, berendam di air yang dingin sambil menutup pliridan, rasa-rasanya semuanya menjadi kendor kembali."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Terasa bukan saja tubuh. Tetapi perasaanpun menjadi sejuk."
Namun ketika anak-anak muda itu meninggalkannya, Glagah Putih terkejut. Anak yang tertidur itu agaknya telah terbangun. Karena ia kehilangan alat-alatnya, maka ia telah melihat ke sungai.
"Kau akan menutup pliridanku sendirian tanpa aku?" bertanya anak itu.
"Kau tertidur." jawab Glagah Putih.
"Aku yang membuka pliridan ini. Seenaknya kau menutupnya tanpa minta ijin kepadaku." geram anak itu.
"Aku kasihan melihatmu tertidur. Nampaknya nyenyak sekali. Barangkali kau sangat letih, sehingga aku mencoba membantumu." jawab Glagah Putih.
"Kau bohong. Besok kau tentu berceritera, bahwa kaulah yang telah mendapat ikan dari pliridan ini." sahut anak itu.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata sambil tersenyum, "Tidak. Besok aku akan berceritera kepada semua orang bahwa bukan aku yang mendapatkan ikan dari pliridan ini."
Anak itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah melihat cara Glagah Putih memasang icir. Sambil bersungut ia berkata, "Kau pasang icir terlalu tinggi. Tentu banyak ikan yang tidak masuk kedalamnya."
Glagah Putih hanya tersenyum saja. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali.
Sementara itu, di dalam biliknya, Agung Sedayu menekuni kitab yang diberikan oleh gurunya. Besok kitab itu akan dibawa oleh Swandaru ke Sangkal Putung.
"Sudah jauh lewat tengah malam kakang." Sekar Mirah memperingatkan.
Namun Agung Sedayu menjawab, "Aku ingin menyegarkan kembali ingatanku tentang isi kitab ini Mirah. Jika besok kitab ini dibawa ke Sangkal Putung. aku tidak akan merasa kehilangan sumber ilmu yang dikehendaki oleh Guru. Perintah Guru sudah tegas, bahwa baik ilmuku maupun ilmu adi Swandaru harus ditingkatkan."
Sekar Mirah yang telah berbaring dipembaringan itupun telah bangkit dan mendekati Agung Sedayu. Ia telah mendengar serba sedikit dari Agung Sedayu apa yang telah dikatakan oleh Kiai Gringsing. Karena itu, maka Sekar Mirah itupun berkata, "Kakang. Aku kira sebagian besar dari kata-kata Kiai Gringsing itu ditujukan kepada Kakang Swandaru. Sebagaimana kau ketahui bahwa kakang Swandaru masih jauh ketinggalan dari kakang Agung Sedayu. Agaknya Kiai Gringsingpun kurang terbuka. Kakang Agung Sedayu sejak semula sudah mempunyai sifat tertutup. Kebetulan guru kakangpun mempunyai sifat yang mirip dengan sifat kakang sehingga rasa-rasanya kakangpun menjadi semakin tertutup pula. Aku yang mencoba untuk mengatakan apa yang sebenarnya, kakang Swandaru tidak pernah mempercayaiku, karena aku adalah isterimu yang dianggap terlalu mengagumi suaminya. Tetapi dengan demikian anggapan kakang Swandaru terhadap kakang Agung Sedayu tidak berubah."
"Sebenarnya aku sendiri tidak berkeberatan." berkata Agung Sedayu.
"Mungkin kakang tidak berkeberatan. Tetapi bukankah hal itu telah menyesatkan kakang Swandaru, sehingga jika pada suatu saat ia berhadapan dengan satu kenyataan, maka dapat terjadi dua kemungkinan. Ia akan menutup kekurangannya atau hatinya menjadi patah sama sekali."
"Jika adi Swandaru menjalani perintah Guru kali ini, maka persoalannya akan lain. Adi Swandaru akan benar-benar mampu meningkatkan ilmunya. Sebenarnya ia masih mempunyai peluang yang sangat luas. Ia masih muda dan bekalnyapun telah cukup. Ia menguasai ilmu dasar dengan sangat baik. Khususnya ilmu cambuk." jawab Agung Sedayu.
"Dan sekarang kakang yang semalam suntuk tidak tidur. Jika kakang meningkat semakin pesat, bagaimana kakang Swandaru akan dapat menyusul kakang" Tetapi bukan maksudku menghambat kakang Agung Sedayu. Aku akan lebih senang jika kemampuan kakang Agung Sedayu meningkat sampai ke tataran tidak terbatas. Yang penting bukan memaksa kakang Swandaru untuk mengejar ketinggalannya yang sulit untuk dilakukan. Tetapi menyadarkan dimana sebenarnya ia berada dibandingkan dengan kakang Agung Sedayu." sahut Sekar Mirah.
"Bukankah kau tahu sifat kakakmu itu?" bertanya Agung Sedayu.
Sekar Mirah mengangguk. Sementara Agung Sedayu berkata, "Aku mengakui bahwa aku kurang terbuka. Tetapi aku memang terlalu memperhitungkan sifat Swandaru. Agaknya demikian pula guru, sehingga ia telah menempuh satu cara yang lain."
"Dan sekarang kakanglah yang menekuni kitab itu. Kakang perlu beristirahat." berkata Sekar Mirah.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya kepada isterinya, "Tidurlah dahulu Mirah. Aku kurang sebentar."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Meskipun suaminya mengerti maksud gurunya, tetapi ternyata bahwa iapun merasa telah dicambuk untuk meningkatkan ilmunya, khususnya ciri dari perguruannya, ilmu cambuk. Meskipun ilmu cambuknya sudah jauh lebih baik dari Swandaru yang terlalu membatasi diri pada kekuatan kewadagan.
Sekar Mirahpun tahu benar sifat suaminya. Karena itu, maka iapun telah kembali ke pembaringan. Namun sudah barang tentu ia tidak dapat tertidur. Sekali-sekali ia masih saja memandangi Agung Sedayu yang duduk menekuni kitab Kiai Gringsing yang esok pagi akan dibawa oleh Swandaru kembali ke Sangkal Putung.
Namun Sekar Mirahpun berharap sebagaimana diharapkan oleh Agung Sedayu, bahwa Swandaru akan mengadakan waktu khusus untuk meningkatkan ilmunya, merambah ketingkat berikutnya, sehingga ia tidak membatasi diri kepada unsur kewadagan semata-mata.
Dalam pada itu, Agung Sedayu telah membaca kembali bagian-bagian terpenting dari isi kitab itu. Terutama bagian-bagian yang harus didalami sebagai bagian tertinggi dari ilmu cambuknya. Ciri dari kekuatan raksasa dari perguruannya, perguruan Orang Bercambuk.
Tetapi sebagaimana telah diketahui oleh gurunya, ternyata Agung Sedayu telah mendapatkan beberapa bagian ilmu yang tidak diwarisinya dari perguruannya. Kiai Gringsing memang tidak berkeberatan sama sekali. Justru ilmu yang didapatinya semasa Agung Sedayu masih sering mengembara dan berkeliaran bersama Raden Sutawijaya atau Pangeran Benawa menyusuri tempat-tempat yang dapat dipergunakannya untuk menjalani laku serta latihan-latihan yang berat.
Namun Agung Sedayupun percaya, jika seseorang mampu menguasai beberapa jenis ilmu dari kitab Kiai Gringsing dengan landasan ilmu dasar perguruan Orang Bercambuk itu, maka ia akan menjadi orang yang pilih tanding.
Tetapi sementara itu, Agung Sedayu masih juga bertanya-tanya didalam hatinya. Kenapa gurunya belum pernah memperlihatkan penguasaannya ilmu cambuk pada tataran tertinggi. Gurunya pernah bertempur dengan orang-orang berilmu sangat tinggi sehingga terluka. Namun ilmu yang dipergunakannya belum sempat pada tataran puncak ilmu cambuk sebagaimana dapat dilihat dalam kitab itu. Padahal menurut perhitungan Agung Sedayu, gurunya tentu sudah menguasai kemampuan puncak dari ilmu cambuk itu sampai ke intinya. Namun Agung Sedayupun menyadari, bahwa pada tingkat itu, ilmu cambuk itu akan sangat dahsyat.
Dalam pada itu Agung Sedayu yang tenggelam dalam isi kitab Kiai Gringsing benar-benar tidak mengingat waktu. Agung Sedayu seakan-akan tidak mendengar ayam jantan yang berkokok sekali dan dua kali, la baru menyadari bahwa fajar hampir menyingsing ketika ayam jantan berkokok untuk yang ketiga kalinya. Agung Sedayu menggeliat. Ketika ia berpaling kepada Sekar Mirah, maka Sekar Mirah ternyata telah tertidur.
Perlahan-lahan Agung Sedayu beringsut sambil menutup kitabnya. Diletakkannya kitabnya disebelah bantalnya. Kemudian iapun telah terbaring pula untuk memberikan kesan kepada Sekar Mirah bahwa iapun telah tidur pula.
Pengadilan Perut Bumi 2 Satria Gendeng 10 Nisan Batu Mayit Misteri Elang Hitam 2

Cari Blog Ini