Jejak Di Balik Kabut Karya Sh Mintardja Bagian 10
dalam rumahmu untuk melihat, apakah kau menyembunyikan cincin itu atau tidak." "Ada banyak perguruan yang mengaku perguruan terbesar. Sebutkan, apakah kau murid Sima Pracima atau Wira Bangga atau Kebo Serut atau siapa" Tetapi aku kira kau bukan murid Melaya Werdi atau Megar Permati." Tetapi orang bermata merah itu tertawa. Katanya, "Kau sebut nama para pemimpin dari perguruan-perguruan kerdil itu" Jika mengenal nama-nama itu, seharusnya kau juga mengenal nama yang lebih besar dari mereka." "Apakah ada yang lebih besar dari mereka?" bertanya Paksi di luar sadarnya. "Ternyata pengalamanmu masih terlalu picik. Apakah kau belum pernah mengenal nama Ajag Pinunjung?" Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian tiba-tiba saja berkata, "Jadi kau murid utama Ajag Pinunjung" Pantas kalian datang berempat." "Kenapa?" bertanya orang bermata merah itu. "Bukankah sejenis serigala itu selalu bergerombol?" "Iblis kau. Sebut namamu dan perguruanmu. Jika kau mengenal nama-nama pemimpin perguruan-perguruan kerdil itu, maka kau tentu terlibat dalam pertemuan yang gagal itu." "Namaku Sumirat. Aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan perguruan-perguruan yang mengadakan pertemuan itu." "Tikus-tikus itu menjadi seperti semut disiram air. Mereka berpencar tanpa tujuan. Bercerai-berai kalang-kabut ke segala arah hanya karena kehadiran Harya Wisaka." Tetapi tiba-tiba saja kawannya menyahut, "Harya Wisaka itulah yang menyebarkan berita hilangnya seorang pangeran dari istana." Orang bermata merah itu tertawa. Katanya, "Mereka memang dungu. Mereka mencari pangeran yang hilang itu. Sementara cincin itu tersembunyi disini." Paksi memang menjadi berdebar-debar. Orang-orang yang mengaku dari perguruan yang dipimpin oleh Ajag Pinunjung
itu mengetahui banyak hal tentang peristiwa yang terjadi di kaki Gunung Merapi itu. Bahkan mereka sudah mengetahui pula, bahwa seorang pangeran telah hilang dari istana. Seorang pangeran yang hilang bersamaan dengan hilangnya sebuah cincin yang sangat berarti bagi kerajaan Pajang. Tetapi agaknya mereka mempunyai jalannya sendiri. Perguruan ini tidak ikut dalam pertemuan yang gagal itu. Wijang yang mendengarkan di belakang pintupun kemudian meyakini bahwa mereka bukan orang-orang dari istana yang sedang mencarinya atau para pengikut Harya Wisaka yang mungkin sudah mengenalinya. Dari celah-celah pintu yang sedikit terbuka Wijang dapat melihat pula ujud dari orang-orang yang sedang mencari cincin yang hilang dari istana itu. Karena itu, maka sejenak kemudian, Wijangpun telah keluar pula dari gubuk itu. Keempat orang itu terkejut. Seorang lagi yang keluar dari gubuk itu dengan wajah yang disamarkan. Dengan dahi yang berkerut seorang di antara mereka berkata, "Ternyata kau tidak sendiri." "Ini kakakku," berkata Paksi, "namanya Sumirat." Wijang tertawa. Katanya, "Sumirat adalah namamu." "O," Paksi termangu-mangu sejenak. Katanya, "Ya, ya. Namaku Sumirat. Ini kakakku." Orang bermata merah itu tiba-tiba membentak, "Buat apa kau menyebut sebuah nama. Jika kau sudah menyamarkan wajahmu, maka kau tentu tidak akan menyebut yang sebenarnya." "Itulah sebabnya aku tidak bertanya, siapakah namamu." "Aku bukan pengecut," berkata orang yang bermata merah, "namaku Kerta Ambal dari Perguruan Rajah Malang. Sebuah perguruan yang besar yang dipimpin oleh Ki Ajag Pinunjung." "Baik, baik," sahut Wijang, "justru karena kau bukan muridmurid dari perguruan yang berkumpul disini, maka kau telah menelusuri lingkungan yang berbeda. Selama ini belum pernah ada orang yang menyentuh halaman rumah kami ini."
"Justru karena itu kau menganggap bahwa cincin itu masih kalian sembunyikan disini." "Sejak kecil kami tinggal disini. Sejak bapak dan biyungku meninggal, kami hidup berdua disini. Karena itu, maka kami tidak tahu menahu tentang cincin yang kau sebut-sebut itu." "Persetan," geram orang yang bertubuh tinggi besar yang nampaknya seorang pendiam. "Minggir. Aku akan melihat isi rumahmu. Atau aku akan mencabut rumah itu dan melemparkannya ke dalam jurang sebelah." "Jangan Ki Sanak," sahut Wijang. "Jika kau rusak rumahku, maka aku tidak mempunyai tempat tinggal lagi." "Karena itu, biarkan aku masuk." "Tetapi dengan syarat." "Syarat apa?" "Jangan memindahkan satu barang pun dari tempatnya. Apalagi merusaknya." "Aku akan melihat apa saja yang ingin aku lihat. Kami sedang mencari cincin." "Cincin itu tentu berharga sekali," berkata Wijang. "Tetapi dengan caramu itu, kalian tentu tidak akan dapat menemukan. Kalian tidak dapat mencari cincin itu seperti mencari kecik di bawah pohon sawo. Cincin itu mungkin akan kalian dapatkan dengan menjalani laku. Berpuasa tiga hari tiga malam. Atau bertapa di atas gumuk kecil itu atau dengan tapa ngalong, bergayut pada sebatang pohon dengan kepala di bawah atau berendam di dalam air selama sepekan. Dengan demikian maka kau akan mendapat pertanda jika cincin itu benar-benar ada disini. Mungkin kau akan melihat cahaya atau getaran atau teja atau apapun." Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Kerta Ambal menyahut, "Persetan dengan sesorahmu. Sekarang, biarkan kami masuk ke dalam gubukmu. Apapun yang akan kami lakukan, kalian tidak akan dapat mencegahnya." "Jangan berkata begitu, Ki Sanak," jawab Paksi. "Kami dapat menerima kalian dengan baik jika sikap kalian baik."
Orang yang bertubuh tinggi besar itu agaknya tidak telaten lagi. Karena itu, maka iapun segera melangkah mendekati gubuk Paksi. Tetapi Paksi tidak membiarkannya. Iapun melangkah menghadang orang yang bertubuh tinggi besar itu. Namun orang itu tidak mau dihentikan. Dengan tangannya ia mendorong Paksi menyamping. Orang yang bertubuh tinggi besar itu terkejut sekali ketika tangannya seakan-akan telah menyentuh sebuah tugu batu yang tidak bergetar oleh dorongan tangannya itu. Orang yang bertubuh tinggi besar itu justru melangkah surut. Dipandanginya Paksi dengan tajamnya. "Kau jangan mencoba bermain api. Jika kau membuat aku marah, maka kau akan menyesal." "Aku tidak ingin membuat kalian marah. Tetapi kau pun tidak dapat berbuat semaumu di rumahku." Orang itu seakan-akan tidak mendengar kata-kata Paksi. Bahkan orang itu membentak, "Minggir, kau dengar." Paksipun telah kehilangan kesabarannya. Tiba-tiba iapun membentak, "Jangan ganggu kami. Pergi atau kami harus mengusir kalian?" Kata-kata Paksi itu membuat orang bertubuh tinggi besar itu terkejut lagi. Orang itu telah berani mengusirnya. "Kau ternyata terlalu sombong. Kau berani mengusir aku?" "Rumah ini rumahku. Jika seseorang ingin melangkahi hakku, maka aku akan mengusirnya, siapapun orang itu." "Aku masih mencoba bersabar. Minggirlah." "Kau yang harus pergi," jawab Paksi. Orang yang bertubuh tinggi besar itu tidak dapat menahan diri lagi. Orang yang mencoreng-coreng wajahnya dengan jelaga itu membuatnya marah. Karena itu, maka orang yang bertubuh tinggi besar itu telah mengayunkan tangannya menampar mulut Paksi. Tetapi Paksi tidak membiarkan mulutnya kesakitan. Karena itu, maka Paksi telah bergeser sambil menarik wajahnya,
sehingga tangan orang bertubuh tinggi besar itu tidak menyentuhnya. Ternyata orang yang bertubuh tinggi besar itu benar-benar merasa tersinggung karena tangannya tidak menyentuh sasarannya. Karena itu, maka orang itu telah mengayunkan kakinya ke arah dada Paksi. Tetapi Paksi sudah benar-benar siap menghadapinya. Karena itu, maka ketika kaki itu terjulur, dengan sigapnya Paksi meloncat surut. Sekali lagi orang itu tidak menyentuh sasaran. Karena itu, maka ia tidak berniat lagi mengekang diri. Dengan serta-merta orang bertubuh tinggi besar itu telah menyerang Paksi. Tetapi Paksi yang telah menggenggam tongkatnya itu tidak terlalu sulit untuk menghindar. Dengan tangkasnya ia berloncatan menghindari serangan-serangan orang bertubuh tinggi besar yang kemudian datang beruntun. Kerta Ambalpun menggeram. Katanya, "Ternyata kalian bukan orang kebanyakan. Justru karena itu, aku menjadi semakin curiga, untuk apa kalian tinggal disini hanya berdua. Tentu ada hubungannya dengan cincin yang telah jatuh di tempat ini." Paksipun berloncatan semakin cepat. Orang bertubuh tinggi besar itu menyerangnya semakin garang. Kemarahannya telah menghentak-hentak di dadanya. Dalam pada itu, Kerta Ambalpun berkata kepada Wijang, "Sebaiknya kau tidak usah turut campur." "Sumirat adalah adikku." "Justru karena itu. Jika adikmu mati, kau dapat menguburkannya. Tetapi jika kau juga mati, maka tidak akan ada orang yang akan dapat menguburkan kalian, karena kami tidak ingin membuang-buang waktu untuk melakukannya," berkata Kerta Ambal kemudian. "Tentu saja kami tidak mau mati," jawab Wijang. "Tidak ada pilihan lain. Jika kau melawan, maka kau akan mati."
Wijang termangu-mangu sejenak. Sesudah sekian lama Wijang dan Paksi bertahan untuk tidak terlibat dalam benturan kekerasan ternyata mereka disudutkan ke dalam satu keadaan yang memaksa mereka harus bertempur. "Apaboleh buat," berkata Wijang di dalam hatinya. Dengan demikian, maka Wijang dan Paksi itupun kemudian telah terlibat dalam pertempuran. Sementara itu, dua orang di antara keempat orang itupun justru telah melangkah menuju ke pintu gubuk Paksi. "Jangan mencoba untuk memasuki rumahku," teriak Paksi. Tetapi kedua orang itu tidak menghiraukannya. Mereka melangkah terus. Namun mereka terkejut ketika tiba-tiba saja Paksi meloncat meninggalkan lawannya langsung menyerang kedua orang yang sudah menjadi semakin dekat dengan pintu rumahnya. Serangan Paksi yang datang bagaikan sambaran seekor burung alap-alap itu sangat mengejutkan kedua orang itu. Tongkat Paksi menyambar dada seorang di antaranya sehingga orang itu terhuyung-huyung surut beberapa langkah. Kemudian serangan berikutnya telah menghantam punggung yang seorang lagi, sehingga orang itu jatuh tertelungkup. Kedua orang itu terkejut sekali. Orang yang bertubuh tinggi besar, yang semula bertempur melawan Paksipun terkejut. Bahkan Kerta Ambalpun telah meloncat surut untuk mengambil jarak. Ia hampir tidak percaya, apa yang telah dilihatnya. Dua orang saudara seperguruannya itu tidak mampu menghindar atau menangkis serangan tongkat orang yang telah menyamarkan wajahnya itu. Namun dalam pada itu, Kerta Ambal tidak mempunyai banyak kesempatan. Lawannya itupun telah menyerangnya dengan cepat. Hampir saja tangannya menyambar wajah Kerta Ambal. Untunglah bahwa Kerta Ambal masih sempat mengelak. Kerta Ambal tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk memperhatikan saudara seperguruannya lagi. Serangan Wijangpun datang semakin cepat, sehingga Kerta Ambal terdesak beberapa langkah surut.
Orang yang bertubuh tinggi besar, yang semula bertempur melawan Paksi menjadi termangu-mangu sejenak. Tetapi ketika ia melihat Kerta Ambal terdesak, maka iapun segera meloncat mendekatinya sambil berkata, "Marilah, kita habisi saja orang gila ini." Tetapi belum lagi mulutnya terkatup rapat, Wijang telah melenting menyongsongnya sambil menjulurkan kakinya. Demikian cepatnya, sehingga orang yang bertubuh tinggi besar itu tidak sempat mengelak. Tetapi orang itu masih mencoba untuk menangkis serangan itu. Disilangkannya kedua tangannya di dadanya. Namun serangan Wijang demikian kuatnya, sehingga justru kedua tangan yang bersilang itu telah menekan dadanya dengan kuatnya, sehingga nafasnya terasa sesak. Bahkan orang yang bertubuh tinggi besar itu telah terdorong beberapa langkah surut. Tanpa dapat menjaga keseimbangannya lagi, maka orang itupun telah jatuh berguling. Tetapi Wijang tidak dapat memburu orang itu. Kerta Ambal telah meloncat menyerangnya. Karena itu, maka Wijang harus bergeser menghindarinya. Dalam pada itu, orang yang bertubuh tinggi besar itupun telah melenting berdiri. Meskipun nafasnya masih terengahengah, namun ia sudah mempersiapkan dirinya untuk bertempur. Sementara itu, Paksi memang membiarkan kedua lawannya berdiri. Namun demikian mereka tegak, maka merekapun telah menarik senjata mereka. Masing-masing sebuah golok yang panjang. Paksi harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kedua orang lawannya yang bersenjata itu tentu akan bertempur dengan garang. Mereka tentu menjadi sangat marah setelah mereka bukan saja disakiti. Tetapi kedua-duanya telah terjatuh pula. Sebenarnyalah kedua orang lawan Paksi itu menjadi sangat marah. Serangan yang tiba-tiba itu tidak diduganya.
Karena itu, maka seorang di antara mereka sambil menggeram berkata, "Kau akan menyesal. Aku hanya akan melihat isi rumahmu dan mencari cincin itu. Tetapi kau telah memaksaku untuk mengambil nyawamu pula." Paksi tidak menjawab. Tetapi tongkatnyalah yang bergetar di tangannya, sehingga kedua orang itu harus bergeser surut sambil memutar goloknya. Dengan demikian, maka Paksipun segera terlibat dalam pertempuran melawan kedua orang murid utama dari Perguruan Rajah Malang itu. Ternyata bahwa kedua orang murid utama Perguruan Rajah Malang itu memang telah dibekali dengan ilmu yang cukup. Ketika mereka tidak lagi meremehkan lawannya, maka keduanya mulai mampu memberikan perlawanan. Dengan golok di tangan, maka kedua orang itu bertempur berpasangan. Mereka menyerang silih berganti. Namun kadang-kadang mereka menyerang bersama-sama dari arah yang berbeda. Paksi harus berhati-hati menghadapi keduanya. Murid Perguruan Rajah Malang itu semakin lama menjadi semakin garang. Mereka menyambar-nyambar sambil mengayunkan goloknya. Dengan tangkasnya mereka melenting, berputar di udara dan kemudian menjulurkan golok mereka. Tetapi Paksi mampu bergerak lebih cepat dari kedua orang lawannya, sehingga karena itu, maka serangan-serangan mereka masih dapat dielakkan. Semakin lama murid-murid dari Perguruan Rajah Malang itu bukan saja menjadi semakin garang, tetapi juga menjadi semakin kasar. Semakin meningkat ilmu mereka, maka mereka semakin tidak mengekang diri. Tetapi Paksi tidak menjadi kehilangan akal. Ia sudah ditempa dengan menjalani laku yang sangat berat. Karena itu, maka Paksi tidak mudah untuk dapat ditaklukkan. Namun melawan dua orang murid utama dari Perguruan Rajah Malang memang terasa sangat berat. Karena itu, maka Paksipun harus mengerahkan tenaga dan kemampuannya.
Namun dengan tongkatnya, perlahan-lahan Paksi dapat menguasai keadaan. Sementara itu, kedua lawannya telah memeras seluruh tenaga dan kemampuan mereka, sehingga dengan demikian, keringat merekapun telah membasahi pakaian mereka. Dalam pada itu, kedua orang murid Rajah Malang yang lain telah bertempur melawan Wijang. Seperti kedua orang lawan Paksi, maka kedua orang itupun telah menggenggam golok yang panjang pula. Untuk melawan mereka, Wijang telah mencabut kedua bilah pisau belatinya, sementara penutup bagian atas pergelangannya telah dipakainya pula. Kedua orang lawan Wijang itu menjadi heran. Berdua mereka tidak segera dapat mengalahkan lawannya. Bahkan sekali-sekali kaki lawannya itu sempat singgah di tubuhnya. Ketika lambung Kerta Ambal itu terkena serangan kaki Wijang maka Kerta Ambal itu telah terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja ia terpelanting jatuh. Namun untunglah bahwa orang itu masih sempat mempertahankan keseimbangan. Tetapi seorang kawannya yang bertubuh tinggi besar itu, harus berloncatan surut. Ujung pisau belati Wijang telah menyentuh bahunya. Sambil mengumpat kasar orang itu meloncat mengambil jarak. Sementara itu Wijang tidak sempat memburunya, karena Kerta Ambal telah mampu memperbaiki kedudukannya dan bahkan meloncat menyerang sambil menjulurkan goloknya Wijang dengan cepat bergeser menyamping untuk menghindari ujung golok lawannya. Pada saat yang bersamaan, Kerta Ambal telah meloncat menyerang pula. Goloknya terayun dengan deras sekali mengarah ke lehernya. Wijang tidak sempat mengelak. Namun kemudian dengan pelindung bagian atas pergelangan tangannya, Wijang menangkis ayunan golok lawannya.
Satu benturan yang keras sudah terjadi. Wijang memang tergetar, namun tangan lawannya bagaikan menyentuh bara. Hampir saja goloknya terlepas. Namun sambil meloncat mengambil jarak Kerta Ambal sempat memperbaiki keadaannya. Sementara itu kawannyalah yang telah menyerang Wijang, sehingga Wijang tidak sempat memburu Kerta Ambal. Demikianlah, maka pertempuran di kaki Gunung Merapi itu berlangsung semakin cepat. Murid utama dari Perguruan Rajah Malang itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Sebagai murid utama dari sebuah perguruan yang membanggakan dirinya, maka keempat orang itu merupakan orang-orang yang berbahaya. Meskipun demikian, baik Wijang maupun Paksi masih mampu melindungi diri mereka dengan senjata-senjata mereka yang khusus. Betapapun juga benturan-benturan keras terjadi, tetapi golok murid-murid utama dari Perguruan Rajah Malang itu tidak mampu mematahkan tongkat Paksi yang ujudnya hanyalah sebuah tongkat kayu. Sementara itu, lawan Wijangpun menjadi heran, bahwa lawannya itu menangkis tajam goloknya, seakan-akan hanya mempergunakan pergelangan tangannya. Dalam pada itu, para murid dari Perguruan Rajah Malang itu menjadi semakin heran bahwa di kaki Gunung Merapi itu tinggal dua orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Sayang bahwa mereka tidak sempat melihat wajah-wajah mereka dengan jelas, karena kedua orang itu telah menyamarkan wajah mereka dengan jelaga. Namun dengan demikian, keempat orang itu menjadi semakin marah. Mereka yang merasa diri mereka bagian dari orang-orang terpenting di perguruan, ternyata tidak mampu menguasai dua orang penghuni lereng Merapi itu. Namun betapapun juga mereka berusaha dengan mengerahkan kemampuan mereka, namun mereka justru menjadi semakin terdesak. Kedua orang lawan Paksi justru menjadi mata gelap. Beberapa kali tongkat Paksi mengenai
tubuh mereka, sehingga tulang-tulang mereka serasa menjadi retak. Meskipun demikian, sekali Paksi terlambat menghindar, sehingga golok lawannya itu sempat menyentuh lengannya. Paksi meloncat beberapa langkah surut menjauhi lawannya. Dirabanya lengannya yang terluka. Darah yang hangat telah mengalir dari lukanya itu. Luka itu telah membakar jantung Paksi. Karena itu, maka dalam pertempuran selanjutnya, Paksi benar-benar telah menghentakkan kemampuannya. Sementara itu kedua orang lawannya yang melihat bahwa Paksi sudah terluka, telah berusaha untuk semakin menekannya. Mereka semakin berpengharapan untuk dapat menghancurkan lawannya yang bersenjata tongkat itu. Pertempuran selanjutnya memang menjadi semakin sengit. Tongkat Paksi berputaran semakin cepat. Tetapi kedua orang lawannya yang semakin berpengharapan itupun bertempur semakin keras pula. Dengan demikian, maka pertempuran itupun semakin meningkat. Kedua belah pihak agaknya tidak lagi mengendalikan diri. Kedua orang yang bersenjata golok itu benar-benar berusaha untuk mengakhiri perlawanan Paksi dengan membunuhnya. Tetapi Paksipun tidak lagi membuat pertimbanganpertimbangan lain. Ia harus melindungi nyawanya dengan segenap kemampuannya. Dalam pada itu, Wijang mulai menunjukkan kemampuannya yang sangat tinggi. Ketika kedua orang lawannya sampai pada puncak kemampuan mereka, maka Wijangpun harus mengimbanginya. Kedua orang murid utama Perguruan Rajah Malang itu bertempur dengan menghentak-hentakkan ilmu mereka. Sekali-sekali Kerta Ambal meloncat sambil berteriak. Namun kemudian kawannyalah yang menyerang dari sisi yang berbeda.
Tetapi tidak banyak yang dapat mereka lakukan. Ketika pisau belati Wijang menjadi semakin garang, maka keduanya semakin mengalami kesulitan. Sementara itu mereka menjadi semakin heran, bahwa lawannya itu mampu menangkis serangan-serangan mereka dengan pergelangan tangannya. Sekali-sekali jika lengan baju Wijang tersingkap, kedua lawannya memang melihat pelindung yang menutupi bagian atas pergelangan tangannya, sehingga mereka mengira bahwa pelindung pergelangan tangan itu terbuat dari baja. Tetapi keempat orang murid dari Perguruan Rajah Malang itu benar-benar mengalami kesulitan. Seorang lawan Paksi terpelanting jatuh ketika tongkat Paksi memukul punggungnya. Dengan serta-merta ia berusaha untuk bangkit. Namun terasa tulang punggungnya menjadi sangat nyeri. Meskipun demikian ia telah memaksa diri untuk bertempur terus. Ia tidak mempunyai waktu untuk mengeluh dan mencoba untuk mengatasi rasa sakitnya. Sementara itu, Paksi justru menjadi semakin garang. Seorang lawannya yang berhasil melukai pundaknya, membuat Paksi menjadi semakin marah. Sambil meloncat Paksi telah menjulurkan tongkat kayunya. Demikian cepatnya sehingga lawannya tidak dapat menghindar dan bahkan tidak sempat menangkisnya pula. Dengan derasnya tongkat Paksi yang menembus pertahanan lawannya itu telah menghantam pundak salah seorang lawannya. Akibatnya ternyata cukup parah. Orang itu terpelanting jatuh. Kepalanya telah membentur sebongkah batu. Perasaan sakit pada tulangnya yang pecah menyengatnya. Namun kepalanya yang membentur batu itu telah menentukan segalagalanya. Darah telah memancar dari luka di kepalanya. Paksi tertegun sejenak. Demikian pula lawannya yang lain, yang membeku melihat kawannya berlumuran darah. Ia melihat kawannya menggeliat. Namun kemudian terdiam.
Bukan hentakkan tongkat Paksi yang membunuhnya, tetapi justru kepalanya yang membentur batu itu. Lawan Paksi yang lain berdiri dengan tegang. Namun Paksi tidak berbuat apa-apa. Ia berdiri saja di tempatnya. Bahkan ketika lawannya yang seorang lagi melangkah dengan raguragu mendekati tubuh kawannya yang terbaring diam. Ketika orang itu berjongkok di samping kawannya yang terbunuh itu, Paksi sama sekali tidak mencegahnya. Bahkan seakan-akan ia telah memberi waktu kepadanya untuk melihat keadaan kawannya. Orang itu meraba leher kawannya yang terbaring diam. Kemudian dadanya. Tidak ada detak. Tidak ada tarikan nafas. Orang itu benarbenar telah mati. Dalam pada itu, maka kedua orang lawan Wijangpun merasa semakin tidak berdaya. Kedua-duanya telah terluka. Seorang di antaranya lukanya cukup parah. Goresan ujung pisau Wijang telah menyilang di dadanya. Karena itu, maka mereka menganggap bahwa pertempuran selanjutnya tidak akan menguntungkannya. Apalagi setelah seorang kawannya terbunuh. Dengan demikian, maka Kerta Ambalpun telah memberikan isyarat kepada kawannya untuk mengambil jarak. Wijang tidak memburunya. Dipandanginya kedua orang lawannya itu berganti-ganti. "Kami akui kekalahan kami," berkata Kerta Ambal. "Seorang kawanku telah terbunuh. Sekarang, jika kalian kehendaki, kalian dapat membunuh kami, meskipun kami akan tetap memberikan perlawanan sampai batas kemampuan kami." "Apa yang sebenarnya kalian kehendaki" Menyerah" Atau minta ampun" Atau justru menantang untuk bertempur terus?" "Kami mengakui kekalahan kami," jawab Kerta Ambal, "terserah kepadamu. Apakah kau akan membunuh kami meskipun kami tidak akan begitu saja menyerahkan leher kami, atau membiarkan kami pergi tetapi dengan
kemungkinan buruk bagi kalian, karena pada suatu saat kamilah yang akan membunuh kalian." Wijang tertawa. Katanya, "Satu cara yang bagus sekali untuk melepaskan diri. Kalian tetap menjaga harga diri kalian, karena kalian tidak minta ampun. Tetapi dengan mengancam, kalian yakin bahwa kami akan melepaskan kalian. Kalian mengira bahwa ancaman itu akan mengungkit harga diri kami, sehingga kami justru akan melepaskan kalian." Wajah Kerta Ambal menjadi semakin tegang. Ia melihat Wijang melangkah mendekat sambil berkata, "Kalian telah menitikkan darahnya dari luka-lukanya." Kerta Ambal tidak menjawab. Tetapi jantungnya seakanakan telah berhenti berdetak. Nampaknya Kerta Ambal dan saudara-saudara seperguruannya itu benar-benar telah terjebak ke dalam jeratan maut. Namun tiba-tiba saja Wijang berkata, "Baiklah. Ancaman kalian berhasil membebaskan kalian. Tetapi sama sekali bukan karena kami tersinggung harga diri kami dan melepaskan kalian agar kami jangan dianggap ketakutan, tetapi yang kami lakukan adalah karena kami merasa kasihan melihat kalian. Kalian yang merasa murid-murid utama dari sebuah perguruan yang kalian bangga-banggakan, harus mengalami kenyataan pahit disini." "Aku tidak perlu dikasihani." "Sudahlah. Jangan mencoba-coba. Jika kau salah ucap, maka kau akan benar-benar mati. Karena itu, pergilah. Kami membebaskan kalian. Tetapi bawa kawanmu yang mati itu. Agaknya ia mati bukan karena senjata adikku. Tetapi karena salahnya sendiri, bahwa ia telah membenturkan kepalanya pada sebuah batu hitam." Kerta Ambal tidak menjawab. Tetapi sesuatu telah menyelinap di dalam dasar hatinya. Orang-orang yang tinggal di gubuk di lereng Gunung Merapi itu sudah membuatnya heran karena kemampuannya. Kemudian mereka pun melihat kenyataan, bahwa keduanya tidak membunuhnya serta tidak membunuh saudara-saudara seperguruannya pula.
Dalam pada itu, maka Wijangpun telah berkata sekali lagi dengan lantang, "Cepat. Tinggalkan tempat ini dan jangan kembali lagi. Jangan ganggu ketenangan kami yang untuk waktu yang sangat lama tidak terusik." Ketiga orang murid utama dari Perguruan Rajah Malang itupun kemudian telah mengangkat kawannya yang terbunuh untuk membawanya pergi meninggalkan tempat tinggal Paksi dan Wijang itu. Sepeninggal murid-murid utama Rajah Malang itu, maka Wijangpun kemudian telah mendekati Paksi yang terluka. Dibimbingnya anak muda itu sambil berkata, "Aku akan merawat luka-lukamu." "Lukaku tidak seberapa," berkata Paksi. "Meskipun tidak seberapa, tetapi luka itu harus diobati." Paksi tidak menolak. Iapun kemudian duduk di teritisan gubuknya. Dibukanya bajunya yang terkoyak oleh senjata lawannya. Dengan hati-hati Wijangpun kemudian mengobati luka di tubuh Paksi itu. Sambil mengobati luka di tubuh Paksi, Wijangpun berkata, "Kehadiran mereka telah mengganggu kedamaian tempat tinggalmu, Paksi." "Ya," Paksi mengangguk. Namun katanya kemudian, "Justru pada saat kita menjadi bimbang, apakah kita akan meninggalkan gubuk ini atau tidak." Wijang mengangguk-angguk. Katanya, "Apakah menurut pendapatmu, kedatangan beberapa orang murid utama dari Perguruan Rajah Malang itu mempertegas niat kita untuk meninggalkan tempat ini?" "Ya," jawab Paksi, "aku tidak boleh menjadi cengeng, sehingga hidupku dan masa depanku akan terikat oleh tanaman jagung, padi gaga dan kebun pisang itu. Sejak semula aku memang sudah yakin, bahwa pada suatu saat aku akan pergi." "Baiklah," berkata Wijang, "jika demikian, kita akan menetapkan niat kita untuk pergi. Kita harus merelakan
segala-galanya yang pernah kau miliki disini. Perabot-perabot yang pernah kau beli dan tanaman yang pernah kau pelihara. Kelapa itu kelak akan mengeluarkan buahnya jika tidak disadap legennya lagi. Sedangkan kebun pisang itu akan menjadi liar." "Apaboleh buat," desis Paksi. "Malam nanti kita akan bersiap-siap. Besok pagi pagi kita berangkat," berkata Wijang kemudian. "Mudah-mudahan jika orang-orang Rajah Malang itu ingin datang kembali, tidak datang malam nanti." Wijang tertawa. Katanya, "Jika mereka kembali malam nanti, kita akan menyambutnya dengan baik." "Jika mereka datang, mereka tentu akan membawa kawan lebih banyak. Bahkan mungkin guru merekapun akan datang pula." Wijang mengangguk-angguk. Katanya, "Kita harus berhatihati. Jika perlu malam nanti kita tidak tidur di dalam gubuk ini. Kita akan mengamatinya untuk malam yang terakhir dari gubuk kecil itu." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sudah membulatkan tekad untuk meninggalkan gubuk kecilnya itu. Di sisa hari itu, Paksi dan Wijang menyempatkan diri untuk melihat-lihat tanaman yang akan mereka tinggalkan. Jagung dan padi gaga. Di sekitarnya ketela pohon yang sudah waktunya mencabut. Beberapa jenis sayuran. Kacang panjang yang merambat pada lanjarannya. Lombok rawit yang buahnya seakan akan lebih banyak dari daunnya. Hijau dan merah. Ketika mereka berada di antara batang-batang pisang di kebun pisang mereka, beberapa batang telah berbuah. Bahkan ada yang dalam beberapa hari lagi, akan suluh, sehingga tinggal menebang dan menyimpan buahnya sampai benar-benar masak di gubuknya. Tetapi semuanya harus ditinggalkannya. Sebenarnyalah Paksi merasa sangat berat meninggalkan gubuknya serta tanaman yang dipeliharanya dengan baik.
Tetapi setiap kali ia selalu digelitik oleh kegelisahan, bagaimana dengan masa depannya. Apakah ia akan tetap saja berada di kaki Gunung Merapi dan hidup dalam keterasingan" Apakah ia akan membiarkan dirinya tenggelam dan tidak lagi timbul dalam lingkungan yang lebih luas di Pajang" Setiap kali Paksi harus memantapkan keputusannya, meninggalkan gubuk kecilnya. Bagi Paksi, usaha untuk menemukan cincin bermata tiga butir batu akik itu sudah dipupusnya. Yang dicarinya itu sudah ada di depan hidungnya. Tetapi tidak mungkin baginya untuk mengambilnya, karena Paksi tahu bahwa cincin itu berada di tangan yang aman dan yang memang seharusnya. Menjelang malam, seperti biasa Paksi telah menyalakan dlupak minyak kelapanya dan menempatkannya di ajug-ajug di sudut gubuknya. Kemudian ia masih menyempatkan diri untuk membenahi barang-barangnya. Yang ada di luar gubuk disimpannya di dalam. Sementara itu, ia masih juga menanak nasi dan membuat sayur lembayung dan kacang panjang. Sedikit lombok rawit dan santan. Kemudian dibuatnya pula pepes ikan dengan kelapa muda. Paksi dan Wijang itupun kemudian makan selagi nasi dan sayurnya masih hangat. "Kita tidak sempat membuat gula," berkata Paksi. "Biar sajalah. Kita simpan saja legen itu di dalam bumbung." "Legen itu akan menjadi tuak kelak." "Yang sempat minum akan menjadi mabuk." Setelah mencuci dan mengatur mangkuk dan alat-alat dapurnya, maka seperti yang dikatakan Wijang, merekapun telah pergi ke gumuk kecil. Tidak jauh dari gubuk mereka. Dari gumuk kecil itu mereka dapat melihat gubuk yang akan mereka tinggalkan itu. Dari celah-celah dindingnya nampak cahaya lampu minyak memancar keluar. Namun tidak akan dapat dilihat dari jarak yang agak jauh, karena hutan lereng pegunungan yang mengelilinginya.
Meskipun malam terasa sangat dingin, namun keduanya tidak beranjak dari tempat mereka. Bagaimanapun juga mereka harus berhati-hati. Lewat tengah malam, sebelum Paksi dan Wijang tertidur, mereka telah dikejutkan oleh desir langkah kaki beberapa orang. Meskipun dalam kegelapan, namun mereka dapat melihat beberapa orang kemudian berdiri di depan gubuk kecil itu, karena mereka memiliki penglihatan yang sangat tajam dengan landasan ilmu mereka. Sapta Pandulu. "Ternyata mereka benar-benar kembali," desis Wijang. Paksi mengangguk-angguk. Dengan ketajaman ilmu Sapta Pangrungu, maka mereka mencoba mendengarkan pembicaraan di antara mereka yang berdiri di depan gubuk itu. "Kita akan menemui mereka," seseorang berdesis, "aku tidak akan membiarkan salah seorang muridku dibunuh oleh siapapun dengan alasan apapun." "Guru," terdengar suara yang lain. Wijang dan Paksi saling berpandangan. Menurut pendengaran mereka, suara itu adalah suara Kerta Ambal, "saudaraku itu meninggal karena kepalanya membentur batu. Bukan karena dibunuh oleh salah seorang dari kedua penghuni gubuk ini." "Tetapi bukankah itu terjadi karena ia bertempur melawan salah seorang dari mereka berdua?" "Tetapi mereka bukan pembunuh, Guru. Dalam keadaan yang panas itu, mereka membiarkan kami bertiga pergi meninggalkan medan." "Sejak kapan hatimu menjadi serapuh kayu randu itu, he." Kerta Ambal termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Guru, aku menjadi bimbang, justru karena aku belum pernah bertemu dengan orang-orang seperti itu. Jika saja mereka seperti kebanyakan orang yang pernah aku temui, maka aku tentu sudah menjadi mayat. Bahkan mungkin tubuhku akan diseret dan diceburkan ke dalam jurang, sehingga esok paginya, tubuh itu sudah hancur dikoyak-koyak oleh binatang buas atau burung pemakan bangkai."
"Diam," bentak orang yang disebutnya guru itu, "kau menjadi cengeng. Bersiaplah. Kita akan memasuki rumah ini jika penghuninya tidak mau keluar." Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jika mereka tidak menemukan kita berada di dalam rumah itu, maka mereka tentu akan mencarinya. Mungkin akan sampai ke tempat ini." Paksi mengangguk-angguk. Ia melihat Wijang telah mengenakan penutup pergelangan tangannya. Nampaknya ia sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. "Mereka datang bersama guru mereka," berkata Wijang kemudian, "bahkan dengan jumlah orang yang lebih banyak lagi." "Tetapi Kerta Ambal dan tentu juga kedua orang kawannya agak ragu." "Tetapi jika pertempuran benar-benar sudah mulai, keraguraguan merekapun akan hilang." "Tetapi apakah kita akan menunggu sampai mereka menemukan kita disini?" "Tidak. Jika mungkin kita akan menghindar. Kita jangan membiarkan diri kita mati tanpa arti." Paksi mengangguk-angguk. Meskipun demikian, mereka tidak segera meninggalkan gumuk kecil itu. Mereka masih ingin melihat, apa yang akan dilakukan oleh orang-orang yang mengaku dari Perguruan Rajah Malang itu. Jika mereka mengetahui bahwa penghuni dari gubuk itu tidak ada di dalam. "Mungkin gubuk itu akan dibakarnya," berkata Paksi di dalam hati. Alangkah sakit hatinya jika ia melihat gubuk itu menjadi seonggok api yang menjilat-jilat langit. Tetapi Paksi tidak boleh kehilangan perhitungan. Berdua mereka tidak akan mampu melawan sekelompok orang dari Perguruan Rajah Malang yang langsung dipimpin oleh seorang yang disebutnya guru itu. "Mungkin orang itulah yang disebut Ajag Pinunjung," berkata paksi di dalam hatinya.
Sementara itu Wijangpun mengamati sekelompok orang itu dengan tegang. Mereka mulai mengepung gubuk kecil itu. Sementara orang yang disebut guru itu telah berdiri di muka pintu. "Bersiaplah," desis Wijang, "jika kita harus menyingkir, kita akan menuruni tebing sungai itu. Kita akan menelusuri arus dan naik beberapa ratus patok di sebelah selatan. Mudahmudahan kita dapat melepaskan diri dari mereka." Paksi mengangguk-angguk. Tetapi seperti Wijang, ia tidak terlalu cemas, karena berdua mereka telah menguasai medan dengan baik. Karena itu, maka keduanya masih tetap berada di gumuk kecil itu untuk melihat, apa yang akan terjadi kemudian. Dalam pada itu, maka orang yang disebut guru itu mulai mengetuk pintu dan berkata lantang, "He, penghuni gubuk ini, keluarlah. Aku ingin berbicara dengan kalian." Tetapi tidak seorangpun yang menjawab. Karena itu, maka orang itupun tidak lagi mengetuk pintu. Tetapi dengan kasarnya, mereka mendorong pintu lereg itu ke samping, sehingga pintu yang memang tidak diselarak itu terbuka. Yang terjadi benar-benar sangat mengejutkan. Orang yang disebut guru itu meloncat surut. Dari dalam gubuk itu, seorang yang membawa tongkat dan mengenakan caping yang besar melangkah keluar. Tongkat teracu ke arah perut orang yang mendorong pintu gubuk itu. "Gila," geram Wijang, "siapakah orang itu?" Demikian terkejutnya, maka untuk sesaat Paksi justru diam membeku. Ia seakan-akan melihat dirinya sendiri keluar dari gubuk itu. Bahkan kemudian disusul oleh seorang lagi yang juga mengenakan caping yang besar. "Apakah mataku sudah kabur?" desis Wijang. Lalu digamitnya Paksi sambil berdesis, "Kau lihat dua orang yang keluar dari gubuk itu" Sejak kapan mereka ada di dalamnya dan bagaimana mereka masuk tanpa kita ketahui?"
"Ya. Aku melihat mereka. Seorang di antaranya bersenjata tongkat. Keduanya mengenakan caping yang kita tinggalkan di dalam gubuk itu. Tetapi kapan mereka masuk ke dalam?" Wijang menarik nafas dalam-dalam. Perhatian merekapun kemudian tertuju kepada orang-orang yang berdiri di depan gubuk kecil itu. Dalam pada itu, terdengar orang yang membawa tongkat itu bertanya, "Apakah kau yang disebut Ajag Pinunjung?" "Ya," jawab orang yang telah mendorong dan membuka pintu gubuk itu. "Apa maumu datang kemari" Jika kau merusakkan pintu gubukku, kau harus memperbaikinya." "Bukan hanya pintunya. Aku akan merusak gubukmu." "Kenapa" Apakah kau iri melihat gubukku dan bahkan ketenangan hidupku disini?" "Jangan berpura-pura. Kau sudah membunuh seorang di antara murid utamaku." "Bukan aku yang membunuh." "Saudaramu itu?" "Juga bukan. Kami bukan pembunuh. Tetapi murid utamamu itu membunuh dirinya sendiri. Ia mengantukkan kepalanya pada sebuah batu. Jika kau sempat melihat, batu itu tentu masih diwarnai dengan darah kering." "Persetan. Tetapi itu tidak terjadi jika muridku tidak bertempur melawan salah seorang dari kalian." "Mereka datang kemari. Mereka menyerang kami. Bertanyalah kepada ketiga orang murid utamamu yang masih hidup. Jika kami mau membunuh mereka, maka mereka tentu sudah mati. Tetapi kami bukan pembunuh." "Omong kosong," geram Ajag Pinunjung. "Kalian harus menebus kematian muridku dengan nyawa salah seorang dari kalian." "Kau jangan mencari persoalan. Kami tidak bersalah." "Aku tidak peduli," jawab Ajag Pinunjung.
Wijang yang berada di gumuk kecil itupun menggamit Paksi sambil berkata, "Orang bertongkat itu mengetahui apa yang telah terjadi dengan keempat murid utama Ajag Pinunjung." "Rasa-rasanya tidak masuk akal." Wijang tidak menjawab. Keduanyapun semakin tegang ketika mereka mendengar Ajag Pinunjung itu berkata, "Siapa yang bertanggung jawab atas kematian muridku?" "Muridmu itu sendiri," jawab orang bertongkat itu. Tetapi Ajag Pinunjung itu menggeram. Katanya, "Aku menuntut salah seorang dari kalian harus menebus kematian muridku dengan kematian pula. Bukankah lebih baik salah seorang di antara kalian masih tetap hidup daripada aku harus membunuh kalian berdua." "Tidak," jawab orang bertongkat itu, "kami tidak mau mati. Juga tidak salah seorang di antara kami." "Jika demikian, maka kalian berdua justru akan mati." "Jika kemudian benar-benar terjadi kematian lagi di antara murid-muridmu, itu bukan tanggung-jawab kami pula. Kalian datang dengan sikap yang bermusuhan." Ajag Pinunjung itu tidak banyak berbicara lagi. Iapun segera memberi isyarat kepada murid-muridnya untuk bersiap. "Apaboleh buat," berkata Ajag Pinunjung, "kita akan membunuh keduanya." Murid-murid Ajag Pinunjung itupun segera mempersiapkan diri. Sementara itu Kerta Ambal masih juga nampak ragu-ragu. Demikian pula kedua orang saudara seperguruannya. Kecuali mereka merasa bahwa nyawa mereka diselamatkan, tubuh merekapun masih terasa sakit dan nyeri. Tetapi mereka tidak berani melawan perintah gurunya. Karena itu, maka ketika saudara-saudaranya seperguruannya bersiap, Kerta Ambalpun bersiap pula. Dalam pada itu, kedua orang yang berdiri di pintu gubuk itupun telah bergeser merenggang. Merekapun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, Ajag Pinunjung segera mengeluarkan perintah kepada murid-muridnya, "Hancurkan mereka berdua jika mereka tetap keras kepala." Sejenak kemudian, maka murid-murid Ajag Pinunjung itupun mulai bergerak untuk menghadapi orang yang bersenjata tongkat, sedangkan yang lain bersiap menghadapi yang seorang lagi. Dalam pada itu, Ajag Pinunjung sendiri justru mundur beberapa langkah. Agaknya ia sendiri tidak ingin segera memasuki arena pertempuran. Ajag Pinunjung itu ingin melihat, seberapa jauh murid-muridnya menguasai ilmu yang diajarkannya. Ketika Ajag Pinunjung itu memberikan isyarat, maka muridmuridnyapun segera mulai bergerak. Beberapa orang yang bersenjata golokpun mulai memutar goloknya. Beberapa orang di antara mereka mempergunakan senjata lain. Semacam bindi yang panjang. Namun ada pula yang bersenjata kapak bertangkai panjang. Pertempuranpun segera terjadi dengan sengitnya. Kedua orang yang keluar dari gubuk itu tidak dapat bertahan untuk tetap menjaga pintu gubuknya. Lawannya terlalu banyak untuk memaksakan kemauan mereka bertempur di depan pintu. Karena itu, maka pertempuran itupun kemudian bergeser semakin lama semakin menjauhi pintu gubuk kecil itu. Sehingga dengan demikian, maka pintu yang terbuka itu terbuka pula bagi Ajag Pinunjung untuk memasukinya. Kedua orang yang keluar dari dalam gubuk itu tidak mendapat kesempatan untuk mencegah ketika Ajag Pinunjung melangkah memasuki gubuk kecil itu sementara pertempuran berlangsung terus. Sementara itu, Wijang dan Paksi masih memperhatikan pertempuran yang sedang terjadi. Baik orang yang bersenjata tongkat maupun yang seorang lagi, bertempur menghadapi beberapa orang yang garang murid-murid Ajag Pinunjung.
Namun kedua orang yang memakai caping dan keluar dari gubuk itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Wijang dan Paksi seakan-akan mengenali ciri-ciri ilmu mereka. Seorang memiliki ciri ilmu sebagaimana Paksi sedangkan yang lain memiliki ciri ilmu sebagaimana Wijang. Meskipun ada beberapa warna lain yang nampak, rasa-rasanya kedua orang itu adalah saudara-saudara seperguruan Paksi dan Wijang. Dengan demikian maka pertempuran itu menjadi semakin sengit. Meskipun harus bertempur melawan beberapa orang sekaligus, namun kedua orang yang berada di gubuk itu masih mampu mempertahankan diri mereka. Wijang dan Paksi tidak tahu apa yang dilakukan oleh Ajag Pinunjung di dalam gubuk kecil itu. Namun agaknya ia sedang sibuk mencari cincin yang diduga berada di lereng sebelah selatan Gunung Merapi itu. Sementara itu, pertempuran menjadi semakin sengit. Setiap kali para murid dari Perguruan Rajah Malang yang mengepung kedua orang yang mengenakan caping itu harus berloncatan mundur. Mereka mengalami kesulitan untuk mempersempit kepungan mereka. Bahkan kadang-kadang kepungan mereka telah pecah dan orang yang berada di dalam kepungan itu meloncat keluar dan berdiri di luar kepungan. Tetapi kedua orang itu tidak meninggalkan medan. Keduanya masih tetap bertempur dan orang-orang dari Rajah Malang itu selalu berusaha untuk melingkari kedua orang itu. Jika kepungan mereka pecah dan orang yang berada di dalam kepungan itu sempat meloncat keluar, maka dengan sertamerta merekapun segera berlari-larian mengepung orang bercaping itu lagi. Dari tempat persembunyiannya, dengan landasan Aji Sapta Pandulu, Wijang dan Paksi mampu melihat, seorang yang bercaping dan yang tidak membawa tongkat panjang itu juga bersenjata sepasang pisau belati sebagaimana Wijang. Pisau yang ujudnya sederhana saja. Tetapi keduanya tidak melihat,
apakah orang itu juga mempergunakan selapis pelindung pada pergelangan tangannya. Dalam pada itu, pertempuran yang sengit masih saja berlangsung. Orang-orang dari Perguruan Rajah Malang itu bertempur semakin keras. Namun kedua orang yang keluar dari dalam gubuk itu berloncatan semakin cepat. Tongkat di tangan salah seorang dari mereka itupun menyambarnyambar dengan garangnya. Seorang yang mengepungnya terpelanting jatuh ketika tongkat itu menyambar tengkuknya. Seorang yang lain terdorong beberapa langkah surut. Namun akhirnya orang itupun jatuh terduduk. Pangkal tongkat itu terjulur mengenai perutnya, sehingga rasa-rasanya isi perutnya itu akan tumpah. Sedangkan seorang yang bertempur melawan orang yang bersenjata pisau belati itu meloncat sambil mengaduh tertahan. Pisau belati itu telah menyentuh bahunya, sehingga lukapun telah menganga. Darah telah mengalir dari luka itu. Tetapi sejenak kemudian seorang lagi telah berteriak kesakitan sambil mengumpat kasar. Darah meleleh dari lengannya yang tergores senjata lawannya. Agaknya Ajag Pinunjung mendengar teriakan dan umpatan murid-muridnya. Apalagi ia tidak menemukan apa-apa di dalam gubuk itu. Karena itu, maka Ajag Pinunjung itupun segera melangkah keluar. Di depan pintu ia berdiri beberapa saat. Diamatinya pertempuran yang sedang terjadi itu. Namun tiba-tiba saja terdengar ia berteriak, "Lepaskan orang yang memakai tongkat itu. Aku akan menyelesaikannya." Beberapa orang muridnyapun segera menyibak. Ajag Pinunjung itupun dengan tangkasnya meloncat menghadapi orang yang bersenjata tongkat, "Kau sudah membunuh muridku. Sekarang aku akan membunuhmu." Orang yang bersenjata tongkat itu tidak menjawab. Tetapi beberapa langkah ia meloncat surut. Ia tidak menghiraukan murid-murid Ajag Pinunjung yang mulai menjauhinya. Dengan suara yang parau ia menjawab, "Aku tidak membunuh
muridmu. Muridmu yang mati disini itu terjadi karena ulahnya sendiri." "Aku akan mengampunimu jika kau dapat menyerahkan cincin itu kepadaku." "Cincin apa" Cincin istana itu" Sudah aku katakan, aku tidak tahu-menahu tentang cincin yang kalian cari itu." "Jangan berbohong," geram Ajag Pinunjung. "Satu-satunya cara untuk menebus nyawamu adalah cincin itu." "Aku tidak perlu mengulang-ulang keteranganku." "Bagus," geram orang yang disebut guru itu, "jika demikian kau memang harus mati. Saudaramu itu juga harus mati. Cincin itu adalah satu-satunya syarat untuk membebaskan nyawamu dan nyawa saudaramu." "Kau tidak usah membebaskan nyawaku," jawab orang bersenjata tongkat itu. Suaranya masih tetap parau. "Karena aku sendiri akan membebaskannya. Demikian pula saudaraku." Ajag Pinunjung itu menjadi semakin marah. Karena itu, maka iapun berteriak lebih keras lagi ditujukan kepada muridmuridnya, "Minggir. Selesaikan yang seorang lagi itu. Aku akan menyelesaikan yang ini. Aku sendiri yang akan membunuhnya." Murid-muridnya yang masih termangu-mangu segera berloncatan meninggalkan lingkaran di seputar orang bertongkat itu. Mereka beramai-ramai menuju dan ikut dalam kelompok yang bertempur melawan orang yang bersenjata sepasang pisau belati itu. Namun demikian mereka bergabung, dua orang telah terlempar dari kepungan. Darah mengalir dari luka-luka mereka di dada dan lambung. "Marilah," berkata orang yang bersenjata sepasang pisau belati itu, "semakin banyak jumlah kalian, maka akan semakin banyak pula korban yang jatuh." Yang menggeram adalah Ajag Pinunjung. Dengan suara melengking ia berteriak, "Cepat, bunuh orang itu. Kalian harus dapat membunuhnya lebih cepat dari aku."
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya orang yang bersenjata tongkat. "Membunuhmu dengan caraku," jawab Ajag Pinunjung. "Kau tidak akan mempunyai kesempatan untuk hidup, kecuali cincin itu." "Kau tidak perlu mengulang-ulang ancamanmu. Jika kau ingin bertempur, marilah kita bertempur." Ajag Pinunjung itupun segera menarik pedangnya yang panjang. Sambil menggeram orang itu berkata, "Kau telah mempercepat kematianmu sendiri." "Kau tidak akan mampu melakukannya." Tetapi orang bersenjata tongkat itu tidak dapat berbicara lebih panjang lagi. Ajag Pinunjung dengan serta-merta telah meloncat menerkamnya. Dengan sigapnya orang bersenjata tongkat itu menghindar. Namun sambil merendahkan diri, tongkatnya terjulur mengarah lambung lawannya. Tetapi Ajag Pinunjung itu dengan sikap menghindarinya pula. Dengan demikian, maka pertempuranpun menjadi semakin meningkat. Ajag Pinunjung semakin mengerahkan ilmunya untuk segera mengakhiri perlawanan orang bertongkat itu. Tetapi orang bertongkat itu tidak segera menjadi silau menghadapi ilmu Ajag Pinunjung yang garang itu. Sebagaimana seorang yang sangat yakin akan kemampuannya, maka Ajag Pinunjung itu langsung berusaha untuk menghentikan perlawanan orang bertongkat itu. Pedangnya berputaran, menyambar dan menikam dengan garang. Tetapi ternyata orang yang bersenjata tongkat itu cukup tangkas. Kakinya bagaikan tidak menyentuh tanah. Dengan tangkasnya ia meloncat, melenting dan bahkan berputar di udara untuk menghindari ujung pedang Ajag Pinunjung itu. Sementara putaran tongkatnya mampu menangkis, menepis dan membentur serangan-serangan Ajag Pinunjung. Ajag Pinunjung akhirnya harus menyadari, bahwa ia berhadapan dengan orang yang berilmu tinggi, yang mampu
mengimbangi ilmunya. Sementara itu di tangannya tergenggam senjata yang sangat berbahaya. Meskipun ujudnya tidak lebih dari sepotong kayu, namun tajamnya pedang tidak mampu mematahkannya. Dengan demikian, pertempuran antara Ajag Pinunjung dengan orang yang bersenjata tongkat itu menjadi semakin sengit. Ajag Pinunjung berloncatan menyambar-nyambar. Sementara itu, orang bertongkat itu menghadapinya dengan ketenangan seorang yang melandasi kemampuannya dengan ilmu yang tinggi. Sementara itu, para murid Ajag Pinunjung masih bertempur dengan seorang yang lain, yang keluar dari dalam gubuk itu pula. Kedua tangannya memegang pisau belati. Meskipun pisau itu tidak sepanjang senjata-senjata lawannya, tetapi pisau itu ternyata menjadi sangat berbahaya di tangannya. Beberapa kali pisau itu telah menyentuh tubuh lawanlawannya. Seorang yang berjambang tebal, terlempar dari arena pertempuran. Dadanya terkoyak menyilang meskipun tidak terlalu dalam, senjata kapak di tangannya telah terlempar beberapa langkah Orang itu masih berusaha menggapai senjatanya. Namun darah terlalu banyak mengalir dari lukanya. Semakin banyak ia bergerak, maka darah itupun menjadi semakin banyak mengalir. Karena itu, maka iapun menyempatkan diri untuk merangkak menjauhi arena. Sejenak kemudian, maka diobatinya sendiri luka di dadanya itu dengan obat yang dibawanya. Sebagaimana murid-murid dari Perguruan Rajah Malang yang lain, maka orang berjambang lebat itu juga membawa obat untuk memampatkan darah pada luka-luka yang baru. Demikianlah darah orang itu mulai pampat, sehingga ia mencoba untuk bangkit dan melangkah kembali ke arena sambil menyeringai menahan pedih, seorang yang lain terdorong dengan derasnya menimpa orang itu, sehingga keduanya terpelanting jatuh.
Orang yang berjambang tebal itu berusaha untuk dengan cepat bangkit. Didorongnya kawannya yang menimpanya sehingga berguling di sisinya. Namun demikian orang itu bangkit, maka ia sadar, bahwa darahnya yang semula sudah pempat, telah mengalir lagi. Karena itu, ia harus menaburkan obatnya sekali lagi. Kawannya yang menimpanya itupun telah terluka pula. Karena itu, maka iapun harus mengobati luka-lukanya itu Namun ternyata seorang yang lain lagi telah terluka pula. Yang lain terdorong beberapa langkah surut sambil memegangi perutnya yang telah dikenai tendangan orang yang membawa sepasang pisau itu. Ternyata sekelompok murid Ajag Pinunjung itu tidak segera dapat mengalahkan lawannya. Bahkan setiap kali ada saja yang terdorong keluar dari arena. Ada di antara mereka yang dapat kembali memasuki arena pertempuran, tetapi ada yang karena luka-lukanya tidak mampu lagi bertempur. Dalam pada itu, Ajag Pinunjung sendiri ternyata tidak dengan segera mampu mengalahkan orang bertongkat itu. Pedangnya tidak mampu menembus pertahanannya. Tongkat yang ujudnya seperti sepotong kayu itu ternyata menjadi sangat berbahaya. Beberapa kali tongkat itu mematuk pundak, lengan dan lambung Ajag Pinunjung. Meskipun bukan serangan-serangan yang menentukan, tetapi rasa sakit dan nyeri telah menyengatnya. Wijang dan Paksi mengamati pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Wajah mereka menjadi semakin tegang. Mereka melihat sekelompok murid Ajag Pinunjung yang mengeroyok orang yang bersenjata sepasang pisau itu. Wijangpun kemudian menggamit Paksi sambil berdesis perlahan, "Seandainya kita yang ada di dalam gubuk itu saat mereka datang, apakah kita mampu melawan mereka?" Paksi menggeleng. Dengan jujur ia berkata, "Orang bertongkat itu memiliki ilmu lebih tinggi dari ilmuku."
"Tetapi tidak berarti bahwa kau dapat dikalahkan oleh Ajag Pinunjung," jawab Wijang. Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya. "Kau akan dapat melawan murid-murid Ajag Pinunjung sebagaimana dilakukan oleh orang bersenjata sepasang pisau itu." "Aku tidak yakin," desis Wijang. Sementara itu, Ajag Pinunjung yang tidak segera dapat mengalahkan orang bertongkat itu menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja terdengar isyarat dari mulutnya. Isyarat yang tidak dimengerti oleh orang lain kecuali murid-muridnya. Namun kedua orang yang sedang bertempur, bahkan Wijang dan Paksipun segera mengetahuinya, bahwa isyarat itu merupakan perintah kepada beberapa orang muridnya untuk membantunya. Tiga orang murid terpilihnya telah berloncatan mendekatinya. Mereka segera menempatkan dirinya untuk ikut bertempur melawan orang bersenjata tongkat itu. Dalam pada itu, Kerta Ambal yang bertempur bersama saudara-saudara seperguruannya melawan orang yang bersenjata sepasang pisau itu masih tetap ragu-ragu. Meskipun demikian, ia tidak ingin mengalami kesulitan di lingkungan perguruannya. Karena itu, maka iapun membenamkan diri dalam pertempuran yang masih saja berlangsung itu. Salah seorang murid di antara murid-murid terbaik telah bertempur pula bersamanya. Murid itulah yang memimpin kawan-kawannya melawan orang bersenjata sepasang pisau itu. Tetapi usahanya untuk menguasai orang bersenjata sepasang pisau itu nampaknya tidak segera berhasil. Bahkan saudara-saudara seperguruannya satu-satu telah terluka dan tidak mampu lagi kembali memasuki gelanggang. Akhirnya Wijang dan Paksi harus mengakui, bahwa kedua orang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Orang bersenjata tongkat itu sama sekali tidak mengalami kesulitan meskipun ia
harus bertempur melawan Ajag Pinunjung itu sendiri serta tiga orang murid terbaiknya. Demikianlah, maka pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa Ajag Pinunjung tidak akan mampu mengalahkan kedua orang itu. Meskipun ia sudah membawa sekelompok muridnya yang beberapa di antaranya adalah murid-murid utamanya, namun kedua orang yang berada di dalam gubuk itu adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Karena itu, maka Ajag Pinunjung tidak mau mengalami kesulitan yang semakin parah lagi. Beberapa orang muridnya sudah terluka. Jika ia dan murid-muridnya memaksa diri untuk bertempur terus, maka mereka akan mengalami kesulitan yang paling parah. Demikianlah, maka sejenak kemudian, terdengar Ajag Pinunjung itu memberikan isyarat lagi kepada murid-muridnya, isyarat yang juga hanya diketahui oleh murid-muridnya saja. Wijang dan Paksi yang menyaksikan pertempuran itu melihat beberapa orang murid Ajag Pinunjung yang bertempur melawan orang yang bersenjata sepasang pisau belati itu telah menghentakkan serangan-serangan mereka. Namun beberapa orang yang lain justru telah meninggalkan arena. Mereka berusaha menolong saudara-saudara mereka yang terluka dan membawanya menyingkir meninggalkan gelanggang pertempuran. Mereka membawa kawan-kawan mereka ke tempat yang terlindung. Menembus semak-semak belukar dan kemudian memasuki hutan lereng pegunungan. Wijang dan Paksipun kemudian dapat menerka apa yang akan terjadi. Ketika kemudian Ajag Pinunjung itu memberikan isyarat sekali lagi, maka dugaan merekapun benar. Ajag Pinunjung telah membawa murid-muridnya meninggalkan medan. Masih ada yang pantas dipuji pada Ajag Pinunjung. Ia tidak begitu saja melarikan diri menyelamatkan jiwanya. Tetapi ia masih tetap mengingat, bahwa ia sedang mengundurkan diri bersama murid-muridnya.
Orang bertongkat itu memang memburunya beberapa puluh langkah. Tetapi demikian Ajag Pinunjung memasuki celah-celah gerumbul dan semak-semak, maka orang bertongkat itupun berhenti. Demikian pula kawannya yang bersenjata sepasang pisau itu. Iapun tidak mengejar muridmurid Ajag Pinunjung itu. Bahkan ia tidak lagi berusaha untuk menangkap satu atau dua orang di antara mereka, meskipun hal itu tentu dapat dilakukannya jika ia menghendakinya. Sesaat kedua orang itu berdiri termangu-mangu. Namun kemudian Wijang dan Paksi melihat kedua orang itu melangkah ke pintu gubuk mereka dan melangkah masuk ke dalamnya. Wijang dan Paksi saling berpandangan sejenak. Dengan nada ragu Wijangpun berkata, "Apakah kita akan menemui mereka?" "Ya," desis Paksi, "rasa-rasanya ingin tahu, siapakah mereka berdua. Apakah mereka melihat apa yang telah kita lakukan sebelumnya ketika Kerta Ambal dan ketiga orang kawannya itu datang ke gubuk kita." Wijang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Marilah, berhati-hatilah. Keduanya memiliki ilmu yang tinggi. Lebih tinggi dari ilmu kita masing-masing." "Lebih tinggi dari ilmuku. Tetapi belum tentu lebih tinggi dari ilmumu yang tidak dapat dijajagi." "Jangan mengigau," sahut Wijang. Paksi mengerutkan dahinya. Namun ia tidak menjawab lagi. Keduanyapun kemudian telah bangkit berdiri. Dikibaskannya pakaiannya yang kotor dan basah oleh embun yang lekat di dedaunan dan rumput alang-alang. Sejenak kemudian Wijang dan Paksi itupun melangkah meninggalkan gumuk kecil menuju ke gubuknya. Pintu gubuk itu masih terbuka. Lampu minyak di dalamnya masih menyala, meskipun nyalanya meliuk-liuk dihembus angin perlahan-lahan.
Dengan hati-hati keduanya mendekati pintu yang terbuka itu. Kemudian Wijangpun menyentuh dinding gubuk itu sambil bertanya, "Siapa yang ada di dalam?" Tidak terdengar jawaban. Paksi yang berdiri di belakangnya melangkah dengan hati-hati untuk menengok ke dalam lewat pintu yang terbuka. Wijang mengamatinya sambil memberi isyarat agar Paksi berhati-hati. Tetapi Paksi tidak segera melihat seseorang. Karena itu, maka iapun bergerak semakin maju. Bahkan Wijangpun telah berdiri pula di depan pintu. Namun mereka memang tidak melihat seorang pun. Keduanya menjadi semakin berhati-hati. Ruangan gubuknya tidak terlalu luas. Tidak ada dinding penyekat. Karena itu, jika ada orang di dalamnya, maka satu-satunya tempat untuk melindungi dirinya adalah justru melekat dinding di sebelah menyebelah pintu. Karena itu, maka keduanya tidak langsung meloncat memasuki gubuk itu. Tetapi sekali lagi Wijang bertanya, "Siapa yang ada di dalam?" Masih tetap tidak ada jawaban. Karena itu, maka Wijangpun kemudian memberi isyarat kepada Paksi untuk berhati-hati. Namun Paksipun kemudian berkata, "Dinding ini tidak terlalu rapat, jika ada orang yang bersembunyi di dalamnya dan berada di sebelah-menyebelah pintu, maka bayangannya akan nampak dari luar karena lampu minyak itu ada di sudut sebelah dalam." "Ya. Aku juga sudah memikirkannya. Tetapi aku tidak mengerti bahwa kedua orang itu begitu saja hilang." "Memang aneh," desis Paksi. Namun demikian, Wijang masih tetap berhati-hati. Ia masih juga berkata, "Jika ada orang di dalam, kami ingin berbicara." Tetapi masih tetap tidak ada jawaban. Karena itu, maka Wijangpun memberi isyarat kepada Paksi untuk bersiap-siap.
Wijang akan memasuki rumah itu. Sementara Paksi harus tetap berada di luar. Demikianlah, maka sejenak kemudian, Wijangpun telah meloncat masuk. Dengan cepat ia berguling dan melenting berdiri sambil mempersiapkan kedua pisaunya, sementara Paksi melangkah berdiri di ambang pintu dengan tongkatnya yang siap terayun. Tetapi ternyata rumah itu memang kosong. Tidak ada seorang pun di dalamnya. Wijang dan Paksi yang kemudian melangkah masuk berdiri termangu-mangu. Mereka melihat isi rumah itu berserakan. Mereka memang sudah mengira bahwa Ajag Pinunjung akan mencari cincin di dalam rumah itu. Namun bahwa kedua orang itu tidak ada di dalamnya, benar-benar membuat keduanya heran dan bahkan bingung. "Apakah mereka penunggu Gunung Merapi," desis Paksi. Wijang tidak menyahut Tetapi keningnya nampak berkerut. Untuk beberapa saat keduanya termangu-mangu. Namun agaknya keduanya tidak menyerah. Keduanya telah meneliti dinding gubuk itu dari sudut sampai ke sudut. Tetapi seekor kucing pun tidak akan dapat masuk dan keluar. Namun ketika Wijang menyentuh dinding pada sudut gubuk itu, iapun tertegun. Sambil menarik nafas dalam-dalam Wijangpun berkata, "Ternyata kitalah yang terlalu bodoh." Paksi tertegun sejenak. Namun kemudian iapun melangkah mendekat. Sementara itu Wijang menunjuk dinding pada sudut gubuknya itu. "Kenapa?" bertanya Paksi. "Lihatlah sendiri," jawab Wijang. Paksipun kemudian menyentuh dinding itu pula. Paksi kemudian menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, "Ya. Kitalah yang dungu." Wijangpun kemudian mendorong dinding itu sehingga terbuka lebar dan cukup untuk menyusup seseorang. "Mereka keluar dan masuk lewat sudut dinding ini."
Keduanyapun kemudian telah duduk di dalam gubuk itu. Sambil memandangi barang-barangnya yang berserakan, Paksi berkata, "Aku tidak akan mengaturnya lagi." "Kenapa?" bertanya Wijang. "Aku menjadi semakin mantap untuk meninggalkan tempat ini. Bukannya karena aku menjadi ketakutan. Tetapi Pangeran Benawa itu harus dijauhkan dari keadaan seperti ini." "Kenapa dengan Pangeran Benawa?" "Persoalannya akan dapat beralih. Jika gubuk ini kemudian menarik perhatian banyak orang, maka kita akan diributkan oleh hal-hal yang tidak kita inginkan." Wijang tertawa. Katanya, "Aku mengerti. Mungkin pada suatu saat ada orang yang menduga bahwa Pangeran Benawa itu ada disini. Bahkan mungkin paman Harya Wisaka. Paman tentu juga menduga bahwa cincin itu ada di sekitar tempat ini, sementara disini ada orang yang diselubungi rahasia." Paksi mengangguk-angguk kecil. Namun Wijang itupun kemudian berkata, "Namun kitalah sekarang yang dihadapkan pada sebuah teka-teki. Siapakah kedua orang yang telah berada di dalam gubuk ini pada saat kita meninggalkannya. Aku menjadi malu kepada mereka." "Kenapa malu?" bertanya Paksi. "Bukankah kita telah melarikan diri dan bersembunyi di gumuk itu" Merekapun tentu melihat, bagaimana kita menjadi ketakutan untuk memasuki gubuk ini. Bahkan sekarang pun mereka tentu masih berada di sekitar kita." Paksi mengerutkan dahinya. Namun kemudian katanya, "Tidak. Kita tidak perlu malu. Bukankah seorang prajurit sekalipun akan membuat perhitungan jika mereka akan maju berperang" Dua orang prajurit tidak akan menyerang begitu saja sebuah pasukan yang terdiri lebih dari sepuluh orang. Apalagi dipimpin oleh seorang senapati yang mumpuni." Wijang mengangguk-angguk. Sementara Paksi berkata selanjutnya, "Dasar perhitungan itulah yang membuat seseorang mengatasi kesulitan-kesulitannya."
"Kau benar. Kau akan menjadi seorang senapati yang baik. Lebih baik dari ayahmu." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba saja ia berdesis, "Doakan saja. Mudah-mudahan ada seorang pangeran yang mengangkat aku menjadi seorang senapati kelak." Wijang tertawa berkepanjangan. Katanya, "Jika ada orang yang bersedia menempatkan kau pada kedudukan itu, apakah kau bersedia memberikan gajimu selama setahun kepadanya?" "Jangankan setahun," berkata Paksi. Namun katanya kemudian, "Orang-orang yang demikian tentu cepat menjadi kaya." "Ya, meskipun menghisap darah sesamanya," sahut Wijang. "Tetapi jangan terkejut jika kau pada suatu saat menjumpai orang yang benar-benar berbuat demikian." Paksi terdiam. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil. Namun dalam pada itu, tiba-tiba Wijangpun bertanya, "Menurut pendapatmu, siapakah mereka berdua?" Paksi merenung sejenak. Katanya, "Aku hanya mengenal dua orang yang pernah datang kemari." "Ki Marta Brewok," desis Wijang. "Ya. Dan seorang lagi yang pernah datang mencobaiku." Wijang mengangguk. Katanya, "Aku setuju." Namun tiba-tiba saja Paksi bertanya, "Siapakah sebenarnya mereka itu?" "Bagaimana aku tahu?" jawab Wijang. Namun katanya kemudian, "Tetapi pada saatnya kita akan mengetahuinya." "Ya. Pada suatu saat." Wijang mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun tertawa, "Jadi, aku harus menjawab bagaimana?" Paksi tidak menjawab. Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Namun kemudian Wijang itupun bertanya, "Apakah kita akan tidur di ujung malam" Kita masih mempunyai sedikit waktu tersisa sebelum fajar menyingsing."
"Jika kita mencoba tidur, maka kita hanya akan menjadi pening, karena sesaat kemudian kita harus sudah bangun lagi. Karena itu lebih baik kita tidak tidur. Aku akan mandi." "Jangan berendam. Semalam kita tidak tidur. Jika kita berendam terlalu lama, kita akan menjadi kedinginan." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Untuk terakhir kalinya kita mandi disini." Wijang menarik nafas. Katanya, "Ya. Untuk terakhir kalinya." Demikianlah, maka keduanyapun telah mandi dan berbenah diri. Ketika kemudian matahari terbit, maka keduanya telah siap untuk meninggalkan gubuk yang telah dihuni oleh Paksi lebih dari setahun itu. Namun ketika Paksi melihat barang-barangnya berserakan, rasa-rasanya memang menjadi iba. Karena itu, maka katanya, "Tunggu. Aku tidak dapat meninggalkan gubukku dalam keadaan berserakan seperti ini." Wijang tersenyum. Namun iapun kemudian ikut membantu membenahi barang-barang yang berserakan itu. Baru ketika matahari sepenggalah, mereka selesai. Namun Paksi masih juga ingin melihat-lihat tanaman-tanamannya yang tumbuh subur, yang memang harus ditinggalkannya. Baru sejenak kemudian, maka kedua orang itu benar-benar telah melangkah meninggalkan gubuk itu. Paksi membawa tongkatnya. Tetapi karena tongkat itu adalah tongkat kayu, maka tongkat itu tidak menarik perhatian. Kedua orang itupun melangkah menuruni kaki Gunung Merapi. Mereka mengikuti jalan setapak. Kemudian menelusuri jalan yang lebih besar. Tetapi mereka tidak akan singgah di pasar berdua. Hanya Paksi yang akan melihat keadaan di pasar, sementara Wijang akan menunggu di tempat yang agak terlindung. Namun Paksi tidak menjumpai orang-orang yang dikenal atau dimengerti. Paksi itu berjalan seperti biasa. Tidak ada hal-hal yang menarik perhatian. Kinong masih juga berlari-lari
dengan keranjang kecilnya. Agaknya ia sudah mendapat beberapa keping uang sehingga ia dapat membeli makan paginya. Wajahnya sudah nampak cerah ketika ia bertemu dengan Paksi. "He, kau nampak gembira hari ini," sapa Paksi. "Kami mendapat banyak rejeki pagi ini." "Sukurlah. Mudah-mudahan tidak hanya hari ini." "Kakang membawa tongkat," desis Kinong. Paksi tertawa. Katanya, "Aku sering bertemu dengan anjing hutan yang berkeliaran sampai ke padukuhan-padukuhan. Aku takut terhadap anjing. Jangankan anjing hutan. Kepada anjing di padukuhan-padukuhan itupun aku takut." "Tetapi biasanya Kakang tidak membawa tongkat," berkata Kinong. "Aku akan pergi ke rumah pamanku. Rumahnya agak jauh, sehingga aku harus berjalan melalui lorong sempit di pinggir padang perdu. Di gerumbul-gerumbul dan semak-semak hidup banyak anjing hutan." "Bukankah anjing hutan itu sangat berbahaya, Kakang. Menurut orang-orang tua, anjing hutan itu hidupnya bergerombol-gerombol." "Ya itulah sebabnya aku membawa tongkat." Kinong tidak bertanya lagi. Namun Paksilah yang kemudian berkata, "Karena aku akan pergi ke rumah paman, maka mungkin untuk waktu yang agak lama aku tidak akan mengunjungi pasar ini." Kinong mengerutkan dahinya. Namun kemudian katanya, "Tetapi bukankah kelak Kakang akan datang lagi ke pasar ini?" "Ya. Jika aku sudah pulang dari rumah pamanku, maka aku tentu akan sering datang ke pasar ini lagi." Kinong mengangguk-angguk. Katanya, "Pasar ini semakin menakutkan." "Kenapa?" "Kadang-kadang ada orang-orang yang berkeliaran dengan membawa senjata. Kadang-kadang ada di antara mereka yang mengambil barang-barang di pasar ini tanpa membayar.
Bahkan kadang-kadang barang-barang yang berharga. Sementara itu, Uwa Reja, orang yang diserahi tanggung-jawab atas pasar ini, tidak berani mengambil tindakan apa-apa." "Apakah hal seperti itu sering terjadi?" "Sering, Kakang. Aku sendiri memang tidak penuh dirugikan. Tetapi jika karena ketakutan pada suatu saat pasar ini ditutup, maka aku tidak akan dapat mencari makan lagi disini." "Ah," desah Paksi, "sumber pekerjaan tidak hanya di pasar ini. Dimana-mana ada kerja. Mungkin kau dapat membantu bekerja di sawah atau pekerjaan-pekerjaan lain." "Sawah siapa" Ayah sudah tidak mempunyai sawah lagi. Semuanya sudah habis untuk judi. Yang tinggal hanyalah isteri dan anak-anaknya. Aku benci kepada ayah." "Jangan begitu, Kinong. Kau tidak boleh benci kepada ayahmu. Kau harus menghormatinya. Tanpa ayahmu kau tidak akan pernah ada di bumi ini." "Ibu juga berkata begitu, Kang. Tetapi aku lebih baik tidak mempunyai seorang ayah daripada ayah yang satu itu." "Kau tidak dapat memilih seorang ayah, Kinong. Baikbaiklah terhadap ayahmu, apapun yang dilakukannya. Berdoalah agar pada suatu saat ayahmu dapat berubah." Kinong terdiam. Sementara itu, Paksipun bertanya, "Tetapi bukankah hari ini tidak ada orang-orang yang menakutkan itu?" "Tidak, Kakang." "Kemarin" Juga tidak?" Kinong mengingat-ingat. Katanya, "Bukankah kemarin Kakang juga ada di pasar ini?" "Ya." "Ya. Kemarin juga tidak ada." "Nah, mudah-mudahan orang-orang itu tidak datang lagi kemari. Bukan hanya kemarin dan sekarang. Tetapi juga besok, besok lusa dan seterusnya." "Mudah-mudahan, Kakang," jawab Kinong. Paksi mengusap kepala Kinong. Kemudian iapun mengambil beberapa keping uang dan diberikannya kepada Kinong.
Kinong terkejut. Tetapi sebelum Kinong bertanya, Paksi sudah mendahuluinya berkata, "Jangan bertanya apa-apa. Kau dapat menambah tabunganmu dengan uang itu. Bukankah kau masih menabung?" "Ya, Kakang," Kinong mengangguk. "Baiklah. Aku minta diri. Katakan kepada biyungmu, bahwa aku akan pergi untuk beberapa pekan." Kinong mengangguk. Namun kemudian Paksipun berkata, "Nah, itu ada orang memanggilmu. Mudah-mudahan rejeki banyak, Kinong." "Terima-kasih, Kakang. Terima-kasih." Kinongpun kemudian berlari meninggalkan Paksi yang termangu-mangu. Dalam pada itu, Paksipun sempat singgah pada penjual nasi tumpang, penjual dawet, pande besi dan orang-orang yang dikenalnya yang lain. Penjual garam dan ikan yang diasinkan sempat bertanya, "Kau akan pergi kemana, cah bagus." "Menengok pamanku, Bibi. Agak jauh." "Kau akan kembali, kan?" "Ya, Bibi." "Aku sudah terlanjur berkata kepada anak gadisku, bahwa kau akan aku ambil menantu." "Ah, Bibi ini ada-ada saja. Aku kan tidak dapat berbuat apaapa. Selain itu juga tidak punya apa-apa kecuali tongkat ini." "Kau anak yang baik, Ngger. Kalau kau menjadi menantuku, kau dapat membantu berjualan di pasar. Aku tidak harus mencari tenaga untuk mengusung garam, ikan asin dan barang-barang dagangan yang lain." Paksi tertawa. Katanya, "Bibi dapat mengambil menantu seorang anak muda yang lebih baik dari aku. Apalagi anak gadis Bibi itu adalah gadis yang cantik. Bukankah gadis itu yang sering ikut berjualan disini?" "Ya. Anak gadisku sering ikut membantu aku berjualan disini. Hampir setiap hari pasaran ia ada disini."
"Sampaikan salamku kepadanya, Bibi. Tetapi aku tidak pantas untuk menjadi jodohnya." "Kau terlalu merendah," berkata penjual garam dan ikan asin itu. Namun Paksipun kemudian telah mohon diri. "Kau akan pergi ke mana, anak muda?" bertanya penjual empon-empon di sebelah penjual garam itu. Seperti kepada yang lain, Paksipun minta diri pula kepada penjual empon-empon dan reramuan jamu itu. Namun perempuan penjual jamu itu kemudian berbisik, "He, kau tahu gadis yang mana anak penjual garam itu?" "Yang sering ikut berjualan disini itu, kan." "Ada dua orang gadis yang sering membantu berjualan di pasar ini." Paksi termangu-mangu. Sementara penjual empon-empon itu berbisik, "Anaknya bukan yang langsing dan cantik itu. Itu adalah kemenakannya." "Jadi?" "Yang seorang lagi." "Ah." "Untung kau belum menyatakan kesediaanmu menjadi menantunya. Ditambah lagi, gadis itu angkuhnya bukan main. Manja dan tidak tahu diri. Ia memang merasa cantik sekali, sebagaimana ibunya menilainya." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Untunglah aku belum dengan serta-merta menyatakan kesediaanku." Penjual empon-empon itu tertawa. Namun tiba-tiba saja penjual garam itu berteriak, "Apa yang kau tertawakan?" Penjual empon-empon itupun berteriak pula, "Anak ini tidak mau makan kencur. Padahal hampir semua orang suka beras kencur." Penjual garam itu mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Sejenak kemudian, maka Paksipun telah meninggalkan pasar itu. Wijang tentu sudah mulai memberengut, karena ia terlalu lama berada di dalam pasar itu.
Karena itu, maka Paksipun kemudian dengan tergesa-gesa melangkah meninggalkan gerbang pasar. Ketika Paksi keluar dari kesibukan orang-orang yang ada di depan pasar itu, maka ia merasa seseorang sedang mengikutinya. Tidak jauh di belakangnya. Jika ia berjalan cepat, orang itu juga berjalan cepat. Jika ia memperlambat langkahnya, maka orang itupun berjalan lambat. Karena itu, Paksi tidak mau berteka-teki lebih lama. Tibatiba saja ia menepi, berhenti dan berbalik. Paksi menarik napas dalam-dalam. Yang mengikuti beberapa langkah di belakangnya adalah Wijang. "Kau," desis Paksi. Wijang berhenti selangkah di hadapan Paksi. Katanya, "Kau menghukum aku di bawah pohon duwet itu. Aku menunggu sambil duduk membelakangi jalan agar wajahku tidak dilihat orang lewat. Tetapi nampaknya kau tertidur di pasar." Paksi tersenyum. Katanya, "Jangan marah. Aku melihatlihat seisi pasar itu. Aku tidak ingin ada yang terlampaui, justru orang-orang yang seharusnya mendapat perhatian kita. Selebihnya, aku bertemu dengan Kinong dan penjual nasi tumpang." "Kau makan nasi tumpang?" "Tidak. Aku hanya memberitahukan kepada Kinong bahwa untuk beberapa pekan aku tidak akan datang ke pasar ini." "Aku menunggu sampai tertidur." "Nah, sekarang kita lanjutkan perjalanan." "Kau harus singgah dan berhenti sebentar di bawah pohon duwet itu." "Baiklah," jawab Paksi. Keduanyapun kemudian melanjutkan langkah mereka. Keduanya memang berhenti sejenak di bawah pohon duwet itu. "Duduklah," berkata Wijang. Paksipun kemudian telah duduk di bawah pohon duwet itu. "Letakkan tongkatmu, agar tidak menarik perhatian orang yang akan lewat." Paksipun meletakkan tongkatnya di sisinya.
Wijangpun kemudian menggamit Paksi sambil berkata, "Aku menduga bahwa orang itu akan kembali melalui jalan ini." "Orang yang mana?" bertanya Paksi. Wijang tidak menyahut. Namun ketika Paksi memandang ke arah pandangan Wijang, maka agak jauh dari tempat mereka duduk, nampak kedai yang berada di ujung jajaran kedai di depan pasar itu. Dengan mempertajam penglihatannya, maka Paksi dapat melihat dengan jelas kedai itu. "Siapakah yang berada di kedai itu?" "Dua orang yang tentu dari lingkungan perguruan yang mengadakan pertemuan itu." "Apakah kau tidak mengenal ciri-cirinya?" bertanya Paksi. "Bukan hanya ciri-cirinya. Tetapi aku mengenali kedua orang itu." "Siapa?" bertanya Paksi. "Kau tentu juga mengenalnya." Paksi termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak bertanya lebih jauh. Ia tinggal menunggu saja kedua orang itu keluar dari kedai itu berjalan lewat jalan di depan mereka. Namun keduanya terkejut ketika tiba-tiba saja mereka melihat seseorang terlempar dari kedai itu. Kemudian seorang lagi terbanting jatuh dan tidak segera dapat bangkit berdiri. "Apa yang terjadi?" bertanya Paksi. Beberapa orangpun segera berlari-larian. Beberapa orang di antaranya berlari-lari di jalan di depan Paksi dan Wijang itu duduk menunggu. "Suasana menjadi buruk," desis Wijang. "Nampaknya memang demikian." "Agaknya kitapun lebih baik menyingkir." Demikianlah, maka Paksi dan Wijangpun ikut pula bersama orang-orang yang melarikan diri dan bersembunyi di celahcelah tanaman pepohonan perdu di tanggul parit atau meloncat memasuki halaman rumah sebelah-menyebelah yang dinding halamannya tidak terlalu tinggi.
Paksi dan Wijangpun ikut meloncati dinding halaman dan bersembunyi di balik tanaman yang ada di dalamnya. Beberapa saat mereka menunggu. Suasananya dicengkam oleh keheningan yang tegang. Dalam pada itu, pendengaran Paksi dan Wijang yang tajampun sudah mendengar langkah dua orang yang menyelusuri jalan di sebelah dinding itu. Langkah dua orang perempuan. Bahkan merekapun mendengar salah seorang di antara kedua perempuan itu berkata, "Tangan yang usil itu seharusnya dipotong saja." "Kenapa tidak kau lakukan?" "Orang itu sudah mau memberi keterangan tentang Repak Rembulung dan Pupus Rembulung yang kemarin juga berada di pasar ini. Aku hargai keterangannya, sehingga aku tidak memotong tangannya." "Ia salah mengerti. Pernyataan terima-kasihmu dikiranya mempunyai ungkapan yang lebih dalam dari pernyataan terima-kasih biasa." "Orang itu memang gila. Seandainya ia tidak mau berbicara sebelumnya tentang sepasang suami isteri yang ciri-cirinya seperti Repak Rembulung dan Pupus Rembulung." -ooo00dw00ooo Jilid 10 "YA, Repak Rembulung dan Pupus Rembulung dalam ujudnya sebagai seorang ayah dan ibu yang baik." "Repak Rembulung dan Pupus Rembulung juga gila." Terdengar suara tertawa seorang perempuan. Namun kemudian orang yang tertawa itu bertanya, "Nah, apakah kau yakin bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tidak pergi ke Panjatan." "Aku yakin." "Jadi mereka akan pergi ke mana?"
"Darimana aku tahu. Kita tidak terikat untuk menemukan mereka. Bukankah kita mencari Pangeran Benawa" Kita hanya menduga bahwa Pangeran Benawa ada di tangan pengikut Repak Rembulung dan Pupus Rembulung." "Kita pergi ke Panjatan. Kita cari Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Jika keduanya tidak ada disana, kita akan memaksa orang-orangnya untuk menunjukkan di mana mereka menyimpan Pangeran Benawa." "Jangan tergesa-gesa. Dalam keadaan seperti ini, sebaiknya kita tidak membuka permusuhan. Kecuali dalam keadaan terpaksa." "Jadi apa yang harus kita lakukan?" "Jangan memaksa diri untuk menemukan jawabnya sekarang juga. Kita mempunyai banyak kesempatan untuk berpikir." "Lalu kita kemana?" "Ke Panjatan." Kemudian mereka terdiam. Langkah mereka sudah menjadi semakin jauh. Ketika kemudian Paksi dan Wijang menjengukkan kepala mereka, mereka tinggal melihat punggungnya saja. Dua orang perempuan dengan mengenakan pakaian sebagaimana kebanyakan perempuan justru pada saat-saat mereka pergi mengunjungi sebuah perhelatan. Namun, meskipun dari belakang, keduanya langsung dapat menerka, bahwa keduanya adalah Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati. Dua orang perempuan yang cantik namun yang sekaligus garang seperti serigala betina. Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jika kemarin Repak Rembulung dan Pupus Rembulung mengenakan pakaian rapi sebagaimana seorang suami isteri dari keluarga yang baik, maka sekarang Melaya Werdi dan Megar Permati juga mengenakan pakaian sebagaimana perempuan yang akan pergi ke perhelatan." "Suasananya berubah," berkata Paksi. "Mereka nampaknya sudah bersiap-siap untuk meninggalkan lingkungan ini. Mereka
tidak lagi mencari cincin itu disini. Tetapi mereka akan mencari Pangeran Benawa yang dapat berkeliaran sampai kemanamana." "Satu permulaan dari sebuah malapetaka," desis Wijang "Sebuah tantangan." Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Mereka akan pergi ke Panjatan. Jika kau memperhitungkan bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tidak kembali ke Panjatan, maka kedua perempuan iblis itu akan dapat menghancurkan padukuhan itu untuk mencari Pangeran Benawa." "Bukankah mereka tidak ingin membuka permusuhan?" desis Paksi. "Masih ada kecualinya. Kecuali jika tidak dalam keadaan terpaksa." "Tetapi aku kira, dua orang itu tidak akan melakukan kekerasan. Bukankah di Panjatan banyak sekali pengikut Repak Rembulung dan Pupus Rembulung?" Wijang mengangguk-angguk. Katanya, "Ya, aku kira Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati tidak sedang mabuk sehingga mereka akan membuka benturan kekerasan. Menilik cara mereka berpakaian, mereka memang tidak sedang mencari perkara." Keduanyapun terdiam. Namun kemudian Wijang berkata, "Marilah kita lihat orang-orang yang terpelanting itu." Paksi dan Wijangpun kemudian telah pergi ke kedai di ujung dari jajaran kedai di depan pasar. Mereka melihat dua orang yang nampak kesakitan duduk di dalam kedai. Beberapa orang masih berkerumun di luar kedai itu. "Sudahlah, pergilah," teriak pemilik kedai itu. "Jika kedua perempuan itu kembali, maka kalian akan mengalami sebagaimana dialami oleh kedua orang ini." Beberapa orang memang segera pergi. Paksi dan Wijangpun kemudian mencoba bertanya kepada mereka apa yang telah terjadi.
"Salah mereka sendiri," berkata seorang yang berkumis tipis. "Keduanya mencoba mengganggu kedua orang perempuan itu. Bahkan mereka mencoba untuk menyentuhnya." "Lalu, apa yang dilakukan oleh kedua orang perempuan itu?" bertanya Wijang. "Entahlah, apa yang dilakukan oleh kedua orang perempuan itu. Yang aku lihat, keduanya telah terlempar dan terbanting jatuh. Nampaknya yang seorang agak parah. Mudah-mudahan punggungnya tidak patah." Paksi dan Wijang mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian Wijang itupun berdesis, "Terima kasih. Aku lebih baik pergi saja. Lebih baik untuk selamanya tidak bertemu dengan perempuan segarang itu." Wijangpun kemudian telah mengajak Paksi meninggalkan tempat itu. Sementara masih ada satu dua orang yang berdiri di luar kedai itu. Di dalam kedai itu, dua orang masih saja nampak kesakitan duduk sambil menyeringai. "Kita kemana sekarang?" bertanya Paksi. "Rasa-rasanya aku juga ingin pergi ke Panjatan," jawab Wijang. "Sekarang?" "Tentu tidak. Kita akan dapat bertemu dengan Nyi Melaya dan Nyi Megar Merpati. Sebaiknya kita masih harus menghindari benturan kekerasan dengan mereka. Juga dengan pemimpin-pemimpin perguruan yang lain." "Jadi?" bertanya Paksi. "Nanti siang kita pergi ke Panjatan." "Jadi kemana kita selama menunggu siang?" "Berkeliaran atau mencari tempat untuk berbaring sambil merenungi nasib." Paksi menarik nafas panjang. Ia mengerti, bahwa Wijang akan mengunjungi Panjatan, setelah Melaya Werdi dan Megar Permati meninggalkan padukuhan itu. Dengan demikian, maka keduanyapun telah pergi ke sebuah belik kecil di pinggir sebuah sungai.
"Kita sempat mencuci pakaian." Di tempat yang nampaknya memang sepi itu, keduanya menyempatkan diri untuk mencuci baju dan kain panjang mereka. Kemudian menjemurnya di atas sebuah batu besar. Sinar matahari yang panas telah menghisap air yang melekat pada pakaian itu sehingga dengan cepat menjadi kering. Baru lewat tengah hari keduanya bersiap untuk melanjutkan perjalanan menuju ke Panjatan. Keduanya berharap bahwa Melaya Werdi dan Megar Merpati telah meninggalkan padukuhan itu. "Kita tidak akan membuat keributan, kecuali jika terpaksa. Mungkin kita bertemu dengan kedua perempuan itu, tetapi mungkin para pengikut Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Atau bahkan Repak Rembulung dan Pupus Rembulung sendiri yang ada di padukuhan itu," berkata Wijang. Paksi hanya mengangguk-angguk saja. Demikianlah, maka keduanyapun melangkah terus menuju ke Panjatan. Meskipun jantung mereka menjadi berdebardebar, tetapi mereka berketetapan hati untuk pergi ke padukuhan itu. Debar di jantung mereka itu telah membuat mereka lebih banyak diam. Apalagi ketika mereka sudah melihat pintu gerbang padukuhan. Wijang memandang padukuhan itu dari ujung sampai ke ujung sambil berdesis, "Hati-hatilah. Kita tidak tahu apa yang tersembunyi di dalam padukuhan itu. Mungkin Melaya Werdi dan Megar Permati. Mungkin Repak Rembulung dan Pupus Rembulung." Paksi mengangguk-angguk, dipeganginya tongkatnya eraterat seakan-akan seorang akan merebut dari tangannya. Ketika mereka sampai ke pintu gerbang padukuhan, mereka berhenti sejenak untuk mengamati suasana. Tetapi rasa-rasanya suasana di padukuhan itu tetap tenang. Tidak terjadi pergolakan apapun yang dapat menggoncang ketentraman padukuhan itu. Mereka masih mendengar suara
orang menumbuk padi. Mereka masih mendengar teriak anakanak yang sedang bermain meskipun matahari mulai melayang di belahan langit sebelah barat. Ampat orang anak tengah bermain benthik di tengahtengah jalan padukuhan. Wijang dan Paksi memang merasa ragu. Namun kemudian merekapun melangkah memasuki padukuhan itu. Anak-anak yang bermain benthik itu terhenti sejenak, merekapun menepi, memberi jalan kepada Wijang dan Paksi. Demikian Wijang dan Paksi lewat, maka anak-anak itu segera mulai bermain lagi. Tidak ada kesan apapun kepada keempat anak itu terhadap orang-orang yang dianggap asing di padukuhan itu Ketika mereka melangkah semakin dalam, maka mereka berpapasan dengan laki-laki muda yang membawa sekeranjang rumput di atas kepalanya. Tetapi laki-laki itupun tidak menghiraukan Wijang dan Paksi yang termangu-mangu. "Apa sebenarnya yang ada di padukuhan itu?" desis Paksi. "Tanggapan orang-orang padukuhan ini terhadap orang yang mereka anggap asing telah berubah sama sekali," sahut Wijang. "Ya. Mereka tidak segarang saat kita memasuki padukuhan ini untuk pertama kali." "Apakah padukuhan ini memang berubah, atau kita yang berubah," gumam Wijang kemudian. Paksi mengangguk-angguk, tetapi ia tidak menyahut. Sebenarnyalah ketika keduanya berjalan di sepanjang jalan padukuhan, maka orang-orang yang berpapasan sama sekali tidak menghiraukan mereka. Sama seperti padukuhanpadukuhan yang lain. Tidak ada kecurigaan. Tidak ada sikap permusuhan. "Aneh," desis Paksi. Namun Wijangpun kemudian berdesis, "Aku dapat menduga sebabnya. Hanya menduga. Aku tidak tahu, apakah dugaanku ini benar atau salah." "Apa?" bertanya Paksi.
"Orang-orang padukuhan ini menjadi garang jika Repak Rembulung dan Pupus Rembulung ada disini. Tetapi jika keduanya pergi, maka sikap merekapun kembali ke dalam kewajaran sikap dan kepribadian mereka masing-masing. Mungkin masih ada yang garang, tetapi pada umumnya mereka akan melepaskan segala kecurigaan karena mereka tidak sedang melindungi keselamatan dua orang yang mereka anggap sangat penting," berkata Wijang dengan ragu. Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Agaknya memang demikian. Kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tidak ada di padukuhan ini sekarang." Untuk beberapa lama keduanya berjalan di jalan di sepanjang jalan padukuhan. Mereka memang tidak merasakan suasana yang lain dari suasana di kebanyakan padukuhan. Dengan demikian merekapun berkesimpulan bahwa kehadiran Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati di padukuhan itu juga tidak menimbulkan gejolak. Ketika keduanya bertemu dengan tiga orang remaja yang memanggul sebatang bambu, maka Wijangpun bertanya, "Adi, apakah kau melihat kedua orang bibiku yang tadi berkunjung kemari?" Ketiga orang remaja itu termangu-mangu sejenak, sementara Wijang menjelaskan, "Bibiku merencanakan untuk mengunjungi padukuhan ini. Apakah kalian melihatnya?" "Dua orang perempuan dengan pakaian bagus," bertanya salah seorang dari ketiga orang remaja itu. "Ya," Paksi menyahut dengan serta-merta. "Aku melihat mereka tadi." "Dimana?" "Nampaknya mereka telah pergi." Wijang menganggukangguk. Katanya, "Terima kasih." Ketiga orang remaja itu termangu-mangu sejenak. Sementara Wijang mengusap kepala salah seorang dari mereka sambil bertanya, "Untuk apa bambu itu?" "Kami sedang membuat egrang."
"O, hati-hati bermain egrang. Jika ujung jari kakimu terinjak, maka kukunya akan dapat terlepas." "Ah, tidak pernah ada di antara kami yang menginjak kaki kawannya," jawab seorang di antara mereka. Wijang tertawa. Katanya, "Mudah-mudahan memang tidak akan mudah terjadi." Ketiga orang remaja itu termangu-mangu. Sementara Wijangpun berkata, "Kami minta diri. Kami sedang mencari bibi kami." Ketiganya mengangguk kecil. Tetapi mereka tidak menjawab. Wijang dan Paksipun kemudian meninggalkan padukuhan itu. Mereka berkesimpulan, bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung memang sedang tidak berada di padukuhan itu. "Sekarang, kita akan pergi kemana?" bertanya Paksi. "Bukankah kita tidak mempunyai tujuan" Kita berjalan saja ke selatan, menuruni kaki Gunung Merapi. Mungkin kita akan sempat melihat-lihat keadaan Alas Mentaok. Satu daerah yang luas yang dijanjikan akan diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan oleh ayahanda Sultan." "Menarik sekali," Paksi mengangguk-angguk. "Mendahului Ki Ageng Pemanahan, kita akan melihat-lihat isi dari Alas Mentaok. Pada suatu saat, Ki Gede Pemanahan dan barangkali juga Kakangmas Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, akan membuka hutan yang masih gelap itu." "Satu kerja yang sangat berat," desis Paksi. "Ki Penjawi mendapat bagian yang lebih baik," desis Wijang. Paksi mengangguk-angguk, sementara Wijang berkata, "Pati sudah lebih dahulu menjadi ramai." "Kapan kita melihat Pati?" bertanya Paksi. Wijang menarik nafas panjang. Katanya, "Aku tidak ingin pergi ke Pati. Ada beberapa orang Pajang yang ikut Ki Penjawi ke Pati. Ada di antara mereka yang akan dengan mudah
mengenali aku, meskipun orang-orang itu tidak berniat buruk, tetapi aku akan kehilangan sesuatu dengan pengenalan itu." "Seperti Ki Rangga Suraniti yang akan dengan mudah mengenalmu?" "Ya. Untunglah bahwa aku tidak dengan sengaja menemuinya. Ternyata ada sesuatu yang perlu mendapat perhatian khusus pada Ki Rangga Suraniti. Salah seorang prajurit pilihan yang mendapat banyak kepercayaan itu." "Wijang," berkata Paksi dengan tiba-tiba, "apakah kita dapat menemui panglima pasukan Pajang di Jati Anom dan memberikan keterangan tentang Ki Rangga Suraniti?" "Mereka tidak akan dengan mudah mempercayai kita. Sementara itu, aku tidak akan dapat melanjutkan pengembaraan ini. Aku akan ditangkap dan dikembalikan ke istana." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia merenung. Namun kemudian iapun bertanya, "Apakah pernah kau pergi ke Kembang Arum?" Wijang termangu-mangu sejenak. Ia pernah mendengar ceritera Paksi tentang seorang gadis, yang menjadi anak angkat Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Dengan nada rendah Wijang itu bertanya, "Apakah kau berniat untuk menemui gadis itu sekaligus menemui Repak Rembulung dan Pupus Rembulung?" Paksi tersenyum. Katanya, "Tidak. Aku tidak ingin menemui Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Ada kemungkinan bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung telah pergi ke Kembang Arum untuk menemui anak gadisnya itu?" Wijang mengerutkan dahinya. Ia mengingat-ingat ceritera Paksi tentang gadis yang pernah ditolongnya itu. Dengan ragu ia bertanya, "Apakah Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tahu bahwa anak gadisnya telah berada di Kembang Arum bersama pemomongnya yang sebenarnya adalah ibunya sendiri itu?" Paksipun mengingat-ingat pula. Katanya, "Mungkin Repak Rembulung dan Pupus Rembulung belum mengetahuinya.
Gadis itu meninggalkan rumahnya setelah Repak Rembulung dan Pupus Rembulung pergi." "Apakah kau akan mencoba melihatnya" Jika keduanya ada di Kembang Arum, niat kita akan kita batalkan." "Bagaimana caranya kita dapat mengetahui bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung ada di Kembang Arum atau tidak?" "Jika perlu kita akan mengintai rumah gadis itu sehari semalam. Jika keduanya ada di rumah itu, maka mereka atau salah seorang dari mereka tentu akan pernah keluar dan turun ke halaman selama satu hari satu malam itu." Paksi tertawa. Namun sebenarnya ia memang ingin pergi ke Kembang Arum. Menurut perhitungannya, maka Repak Rembulung dan Pupus Rembulung akan pulang dahulu ke rumahnya. Baru ketika ia mengetahui bahwa anaknya tidak ada, maka ia akan mencarinya. Mungkin ke Kembang Arum. "Nah, kita ambil saja keputusan. Kita pergi ke Kembang Arum," berkata Wijang kemudian. "Baiklah," sahut Paksi kemudian, "aku menurut saja." Tiba-tiba saja langkah Wijang terhenti, sehingga Paksipun harus berhenti pula. Dengan nada tinggi Wijang berkata, "Kau harus menjawab. Setuju atau tidak setuju. Bukan hanya sekedar menurut. Kau harus ikut bertanggung jawab atas keputusan ini." "Baik, baik, aku setuju sekali." "Nah, dengan demikian, jika terjadi sesuatu atas diri kita, maka kau tidak dapat membebankan tanggung jawabnya kepadaku sendiri." "Marilah," berkata Paksi, "tidak usah merajuk seperti itu." "Bukan sekedar merajuk. Tetapi ada kemungkinan kau ditangkap oleh Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Lebih pahit lagi jika kau ditangkap oleh Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati yang sedang berusaha mengikuti Repak Rembulung dan Pupus Rembulung."
"Baik. Baik. Kita akan mempertanggung-jawabkan bersama." "Nah, kau tidak akan menyalahkan aku jika kau besok berada di kerangkeng dalam sarang Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati." "Nama itu mirip dengan nama pemomong yang sebenarnya adalah ibu Kemuning itu sendiri." "Siapa namanya?" "Nyi Permati." "O," Wijang mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Ada ribuan orang yang mempunyai persamaan nama." Paksi menarik nafas panjang. Namun kemudian ia berdesis, "Untunglah bahwa Bahu Langlang tentu akan dilumatkannya menjadi debu." Wijangpun berdesis, "Itu namanya nyawa Bahu Langlang cukup liat." Paksipun kemudian terdiam. Merekapun kemudian melangkah semakin cepat menelusuri jalan yang lengang. Hanya ada satu dua orang sajalah yang berjalan cepat ke arah yang berlawanan. Wijang dan Paksipun kemudian telah berketetapan hati untuk pergi ke Kembang Arum. Mereka berjalan jauh lebih cepat dibandingkan dengan perjalanan Paksi bersama Kemuning dan ibunya. Terik matahari yang menyengat membuat mereka menjadi haus. Meskipun di depan beberapa regol halaman rumah di padukuhan yang mereka lewati terdapat gentong berisi air bersih serta sebuah siwur yang tergantung di dinding halaman, namun keduanya lebih senang untuk singgah barang sebentar di sebuah kedai. "Aku tidak saja haus," berkata Wijang, "tetapi aku juga lapar." "Kita singgah di sebuah kedai di dekat sebuah pasar. Mungkin pasar itu telah menjadi lengang. Tetapi mudahmudahan masih ada kedai yang membuka pintunya."
Sebenarnyalah keduanya masih menemukan kedai yang membuka pintunya. Bahkan masih ada dua tiga kedai, sehingga mereka dapat memilih tempat yang terbaik. Sesaat kemudian, merekapun telah duduk di dalam kedai. Ada dua tiga orang yang telah duduk di dalamnya. "Kita dengarkan, apa yang mereka bicarakan," bisik Wijang. Paksi mengangguk. Mereka kemudian memesan makanan dan minuman. Sementara itu mereka berusaha untuk mendengarkan pembicaraan orang-orang yang telah lebih dahulu berada di kedai itu. Mungkin ada hal-hal yang menarik perhatian mereka. Tetapi yang mereka bicarakan adalah persoalan mereka sendiri. Barang dagangan mereka yang agak sulit untuk dipisahkan pada saat-saat terakhir karena persaingan menjadi semakin ketat. Karena itu, maka Wijang dan Paksipun tidak menghiraukan pembicaraan mereka lagi. Apalagi ketika minuman dan makanan yang mereka pesan telah dihidangkan. Namun selagi mereka makan, perhatian mereka telah tertarik pada seorang laki-laki muda yang berhenti di depan kedai itu. Tiga orang laki-laki menyertainya. Nampaknya ketiganya adalah para pengiringnya. Menilik sikapnya, maka laki-laki muda itu adalah seorang yang mempunyai pengaruh di lingkungannya. Apalagi ketika penilik kedai itu dengan tergesa-gesa menyongsongnya. Sambil membungkuk hormat, pemilik kedai itu mempersilahkan laki-laki muda itu untuk masuk ke dalam kedainya. Tetapi laki-laki muda itu kemudian bertanya, "Apakah kedua perempuan itu tidak ada di kedai ini?" Pemilik kedai itu termangu-mangu. Dengan dahi yang berkerut ia bertanya, "Kedua perempuan yang manakah yang anak muda maksudkan?"
Laki-laki muda itu tidak menyahut. Tetapi diamatinya bagian dalam kedai itu. Agaknya yang dicarinya memang tidak ada disitu. "Lihat di kedai yang lain," berkata laki-laki muda itu kepada pengiringnya. Dua di antara ketiga pengiringnya itupun segera melangkah meninggalkan laki-laki muda itu, sementara seorang di antaranya berdiri termangu-mangu di sisinya. Pemilik kedai itu sekali lagi mempersilahkannya, "Marilah anak muda. Silahkan duduk." "Diam," laki-laki itu tiba-tiba membentak. Pemilik kedai itu terkejut. Wijang dan Paksipun terkejut pula. Laki-laki itu menjadi marah tanpa sebab. Ketika Wijang dan Paksi sempat berpaling, maka dilihatnya orang-orang yang sudah lebih dulu di kedai itupun nampak menjadi gelisah. "Kenapa mereka menjadi seperti melihat hantu?" desis Paksi. "Sst," Wijang memberi isyarat agar Paksi tidak ribut. Paksi terdiam. Tetapi ia juga menjadi gelisah, meskipun alasannya berbeda dengan orang-orang yang sudah lebih dahulu berada di kedai itu. Beberapa saat kemudian kedua orang pengiringnya yang melihat-lihat kedai yang lain itupun kembali. Seorang di antara mereka berkata, "Mereka ada di kedai sebelah." Laki-laki muda itu tidak mengucapkan sepatah jawabpun. Tetapi dengan serta-merta ia melangkah ke kedai sebelah. Pemilik kedai itu menarik nafas dalam-dalam. Demikian laki-laki muda pengiringnya itu pergi, maka iapun melangkah kembali masuk ke dalam kedainya. "Siapakah mereka itu?" tiba-tiba Paksipun bertanya. Pemilik kedai itu mendekatinya sambil berdesis, "Ki Sanak orang asing disini?" "Kami hanya kebetulan saja lewat disini," jawab Paksi.
Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Katanya, "Anak muda itu adalah anak Ki Demang Sekar Turi. Pasar ini terletak di lingkungan Kademangan Pasar Turi." "O," Paksi mengangguk-angguk. Tetapi iapun bergumam seolah-olah ditujukan pada diri sendiri, "Nampaknya ia seorang yang sangat dihormati disini." "Ya. Ia memang sangat dihormati. Kecuali ayahnya seorang demang yang sangat berpengaruh, anak muda itu sendiri mempunyai kebiasaan yang membuat orang lain harus menghormatinya." "Apakah anak muda itu telah berhasil membuat kademangan ini besar dan sejahtera?" Paksi bertanya. Wijang yang lebih tua dari Paksi sempat menggamitnya. Tetapi pertanyaan itu sudah terlanjur dilontarkan. Pemilik kedai itu sempat memandang orang-orang yang sudah lebih dahulu berada di kedainya. Sambil menarik nafas panjang ia berkata, "Ki Demang adalah seorang yang besar." Pemilik kedai itupun melangkah meninggalkan Paksi yang agaknya masih ingin bertanya. Tetapi Wijang menggamitnya sambil berdesis, "Sudah." Paksi memang berhenti bertanya meskipun gejolak dadanya masih membayang di kerut keningnya. Sejenak suasana di kedai itu menjadi lengang. Namun seorang di antara orang-orang yang sudah lebih dahulu berada di kedai itu bangkit berdiri dan melangkah mendekati Paksi dan kemudian bahwa duduk di sebelahnya. "Laki-laki itu ditakuti disini," desis orang itu. "Kenapa?" bertanya Paksi yang semakin tertarik pada lakilaki muda itu. Wijang menarik nafas panjang. Ia tidak berniat mengetahui lebih banyak tentang laki-laki muda itu untuk menjaga perasaan Paksi yang masih muda itu. Tetapi orang itu justru telah bicara lebih jauh tentang laki-laki itu. "Justru karena ayahnya seorang demang yang mempunyai wibawa yang besar, maka anak itu merasa dapat berbuat apa saja. Yang mencemaskan penghuni kademangan ini adalah
kesenangannya terhadap gadis-gadis. Bahkan perempuanperempuan yang lebih tua dari laki-laki itu sendiri, sering diganggunya. Ia tidak peduli apakah perempuan itu sudah bersuami atau belum." Dahi Paksi berkerut semakin dalam. Dengan nada tinggi ia bertanya, "Selama itu tidak ada orang pernah menegurnya" Ki Jagabaya atau Ki Demang itu sendiri?" "Anak itu manja. Aku sendiri bukan penghuni kademangan ini. Karena itu, aku dapat berbicara lebih bebas tentang lakilaki muda itu. Tetapi sebenarnya pemilik kedai itupun ingin berbicara sebagaimana aku katakan ini. Tetapi karena ia penghuni kademangan ini, maka ia lebih senang berdiam diri." Orang itu terdiam sejenak. Ketika pemilik kedai itu memandang orang yang sedang berceritera kepada Paksi itu, orang itupun tersenyum sambil bertanya, "Bukankah begitu?" Pemilik kedai itu berpaling sambil berdesis, "Berceritera atau tidak, itu urusanmu." Orang yang duduk di sebelah Paksi itupun berceritera lebih lanjut, "Tadi ada dua orang perempuan yang masuk ke dalam kedai sebelah. Dua orang perempuan cantik dengan pakaian yang rapi dan menarik. Aku tidak tahu, siapakah mereka, karena agaknya baru kali ini ia singgah disini. Nah agaknya anak Ki Demang ini atau pengiring-pengiringnya yang sering mencari muka, melihatnya. Jika tidak ada orang yang menyelamatkan, kedua perempuan itu akan bernasib malang. Sementara itu orang sekademangan ini tidak ada yang berani menentang kehendaknya." Paksi dan Wijang terkejut mendengar ceritera itu, sehingga dengan serta-merta di luar sadarnya Wijang bertanya, "Dua orang yang berpakaian rapi seperti orang yang hendak pergi ke perhelatan perkawinan sahabatnya." "Ya." Wijang memandang Paksi dengan tegang. Agaknya Paksipun mengerti bahwa kedua orang perempuan itu adalah Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati.
"Jika itu benar, maka nasib laki-laki muda itu sudah dapat diramalkan," berkata Wijang dalam hatinya. Orang yang berceritera itulah kemudian yang kemudian bertanya, "Kau mengenal kedua perempuan itu?" Dengan cepat Wijang menjawab, "Tidak. Aku tidak mengenalnya. Kami hanya melihat sepintas. Kami juga merasa heran, bahwa dengan pakaian seperti itu, keduanya pergi ke pasar." "Cara mereka berpakaian dan merias diri memang sangat menarik perhatian. Ada beberapa kesan yang timbul. Bahkan ada kesan yang agak buram. Agaknya keduanya sengaja menarik perhatian." Wijang dan Paksi mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Wijangpun berkata, "Mungkin keduanya memang orang-orang dari lingkungan orang berada atau berkedudukan sehingga mereka terbiasa mengenakan pakaian dan rias yang demikian." "Jika hal itu benar, maka kasihan mereka. Mereka akan mengalami perlakuan yang paling buruk dari anak Ki Demang itu." "Tetapi apakah anak itu tidak memikirkan kemungkinan yang dapat terjadi kemudian. Jika kedua perempuan itu keluarga seorang senopati prajurit, bukankah itu berarti anak Ki Demang itu membunuh dirinya betapapun besar pengaruh Ki Demang di padukuhan ini. Anak Ki Demang itu akan dapat ditangkap. Jika ia melawan atau ayahnya berusaha melindunginya, maka para prajurit itu akan dapat mempergunakan alat-alat kekuasaan mereka." Orang yang berceritera itu menggeleng. Katanya, "Anak Ki Demang itu tidak akan sempat berpikir sampai sekian. Tetapi jika hal itu terjadi, agaknya ada baiknya juga untuk sedikit memberi pelajaran kepada anak Ki Demang itu. Bahkan ayahnya sekaligus." Namun di luar sadarnya Paksi berkata, "Sebentar lagi anak itu akan mendapat pelajaran pula." "He?" orang yang berceritera itu bertanya. "Maksudmu?"
Llano Estacado 5 Pendekar Rajawali Sakti 135 Peri Peminum Darah Balada Di Karang Sewu 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama