Ceritasilat Novel Online

Jejak Di Balik Kabut 29

Jejak Di Balik Kabut Karya Sh Mintardja Bagian 29


pasukan Harya Wisaka. Bahkan dua tiga rumah di sebelah banjar itu juga telah dipergunakan pula. Seperti yang sudah disepakati, maka tanpa isyarat apapun juga, maka ketiga kelompok prajurit dari pasukan khusus itu mulai menyusup memasuki padukuhan. Sebagian besar dari mereka melewati sungai kecil yang mengalir di bawah dinding padukuhan. Mereka menyusup lewat sungai kecil saat memasuki padukuhan dan yang lain menyusup jalan air sungai yang keluar dari padukuhan. Tetapi para prajurit dari pasukan khusus itu tidak beramairamai menyerang pasukan yang sedang beristirahat di padukuhan itu. Tetapi seorang-seorang mereka bergerak seolah-olah sendiri-sendiri, sehingga mereka mempertanggung-jawabkan keberhasilan dan keselamatan mereka sendiri. Sebenarnyalah, seorang-seorang di antara pasukan yang menurut keterangan para petugas sandi dipimpin langsung oleh Harya Wisaka itu, tiba-tiba saja lenyap. Dua orang di antara mereka yang meronda mengelilingi padukuhan itu hilang dan tidak pernah kembali ke banjar. Tiga orang yang berada di sebuah gardu tiba-tiba telah hilang pula. Bahkan para petugas yang berjaga-jaga di rumah Ki Bekelpun telah lenyap tanpa diketahui oleh kawan-kawannya yang ada di halaman. Seperti hantu, tujuh puluh lima orang prajurit dari pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Gede Pemanahan itu menyusup di seluruh Padukuhan Jurangjero. Para penjaga di rumahrumah yang dipergunakan oleh para pengikut Harya Wisaka itupun telah hilang seorang demi seorang. Bahkan sekelompok yang terdiri dari enam orang, yang berjalan dari rumah Ki Bekel ke banjar tidak pernah sampai ke tujuan. Beberapa saat, para pengikut Harya Wisaka itu tidak mengetahui kehadiran prajurit Pajang dari pasukan khusus itu. Tetapi orang-orang mereka semakin lama menjadi semakin susut karenanya. Para petugas yang menggantikan kawankawan mereka yang bertugas di regol-regol tempat-tempat
yang mereka pergunakan, tidak pernah dapat menjalankan tugasnya. Tubuh merekapun telah diseret ke gerumbulgerumbul di sekitar regol itu setelah orang-orang itu menjadi pingsan, diikat dan disumbat mulutnya. Tetapi ada di antara mereka yang bernasib lebih buruk, sehingga para prajurit dari pasukan khusus itu harus menghunjamkan senjatanya ke dada orang itu. Namun semakin lama para pengikut Harya Wisaka yang bertugas itu merasakan keganjilan yang terjadi di padukuhan itu. Sekelompok orang yang bertugas di banjar merasakan, bahwa kawan-kawan mereka telah menyusut. Seorang yang pergi ke pakiwan tidak pernah kembali. Yang bertugas di regol sesudah diganti oleh petugas baru juga tidak kembali. "Ada apa dengan kawan-kawan kita?" desis pemimpin mereka yang bertugas malam itu di banjar. "Ada yang tidak wajar terjadi" sahut kawannya. "Lihat kedua orang yang bertugas di regol. Aku tidak melihat bayangan mereka" Orang itupun turun ke halaman. Tetapi demikian orang itu mendekati regol dan menjengukkan kepalanya keluar untuk melihat apakah kawannya berjaga-jaga di luar, tiba-tiba saja seakan-akan telah dihisap oleh tenaga yang besar yang tidak terlawan. Orang itupun kemudian jatuh berguling. Sebuah pukulan yang keras menyambar tengkuknya ketika ia mencoba untuk bangkit, sehingga orang itu telah jatuh tertelungkup dan langsung menjadi pingsan. Orang itupun segera diseret ke gerumbul di seberang jalan dan disembunyikan di balik rimbun daunnya. Karena orang itu tidak segera kembali, maka pemimpin para pengikut Harya Wisaka yang bertugas di banjar itu menjadi semakin curiga. Iapun segera memanggil beberapa orang yang bertugas dan memerintahkan mereka untuk mengamati keadaan. "Kita bersama-sama turun ke halaman. Dua orang melihat halaman sebelah kiri. Dua di belakang, dua di halaman sebelah kanan dan yang lain ke regol. Hati-hati. Agaknya ada
sesuatu yang tidak wajar. Jika terjadi sesuatu, beri aku isyarat" Demikianlah, dengan senjata terhunus di tangan, maka para petugas itupun telah memencar. Beberapa saat pemimpin petugas yang sedang berjaga-jaga itu berdiri di halaman menunggu kawan-kawannya yang memencar bersama seorang petugas. Tetapi yang kemudian datang mendekatinya adalah dua orang yang tidak dikenalnya. Seorang di antaranya masih sangat muda. "Siapakah kalian?" bertanya orang itu. Tetapi keduanya tidak menjawab. Dengan cepat keduanya menyerang orang itu. Pukulan tangan anak muda itu mengenai dada pemimpin mereka yang bertugas itu. Sedangkan yang seorang lagi meloncat sambil mengayunkan kakinya mengenai dada yang seorang lagi. Kedua orang itu terpental dengan kerasnya. Seorang di antaranya kemudian jatuh terlentang. Bagian belakang kepalanya membentur tangga pendapa banjar. Benturan itu demikian kerasnya. Sehingga tidak sempat mengaduh. Tulang kepalanya telah retak. Sementara itu, yang seorang lagi berusaha untuk bangkit. Namun ujung pedang orang yang menghantamnya dengan kakinya telah menghunjam ke dadanya. Anak muda itu mengerutkan dahinya. Tetapi sebagai seorang pemimpin sekelompok prajurit dari pasukan khusus iapun tidak dapat berbuat lain. Ia harus bersikap tegas meskipun agak menyimpang dari sikapnya sehari-hari sebelumnya. Meskipun demikian, anak muda itu masih sempat berdesis, "Kita masuk ke dalam banjar. Tetapi ingat, kita bukan pembunuh" Prajurit yang menyertai Paksi itu sudah dua kali mendengar pemimpin kelompoknya yang muda itu memperingatkannya. Sejenak kemudian terdengar isyarat suara burung tuhu yang menggetarkan udara banjar Padukuhan Jurangjero.
Beberapa orang dengan diam-diam merayap mendekati banjar padukuhan itu. Dengan cepat mereka bergerak ke pintu-pintu butulan di samping dan belakang. Sedang sebagian yang lain ke pintu depan. Paksilah yang kemudian melangkah ke pintu depan. Dengan sangat berhati-hati, Paksi telah mendorong pintu banjar itu. Ternyata orang-orang yang berada di dalam banjar terlalu yakin akan kesiagaan kawan-kawannya yang bertugas, sehingga pintu banjar itu sama sekali tidak diselarak. Demikian pintu itu terbuka, maka Paksi dan kawankawannyapun bersiap untuk melangkah masuk ke dalam. Tetapi pada saat itu, seorang di antara mereka yang tidur di dalam banjar itu terbangun. Demikian ia melihat beberapa orang berdiri di pintu, maka iapun menjadi curiga. Dengan masih tetap berbaring diam, ia mencoba memperhatikan orang-orang yang berada di pintu banjar itu. Ternyata mereka bukan kawan-kawan mereka. Dengan hati-hati ia menyentuh kawannya yang tidur di sebelahnya sambil berbisik, "Hati-hati. Kita terkepung" Kawannya itupun terbangun. Ia tanggap akan isyarat kawannya. Karena itu, ia tidak segera bangkit. Dirabanya senjatanya yang tergolek di sampingnya. Kemudian dibangunkannya kawannya di sebelahnya sambil berbisik pula, "Berhati-hatilah" Tetapi kawannya itu ternyata tidak tanggap. Karena itu, maka iapun justru dengan cepat bangkit sambil bertanya, "Ada apa?" Tidak ada pilihan lagi. Kedua orang yang sudah berteriak lebih dahulu itupun segera meloncat berdiri sambil berteriak, "Bangun semuanya. Kita berhadapan dengan musuh" Paksi yang berdiri di pintu segera berteriak, "Menyerahlah. Kami akan mempertimbangkan pengampunan" Tetapi yang dihadapi oleh Paksi adalah pengikut-pengikut Harya Wisaka yang keras. Karena itu, kesempatan yang diberikan oleh Paksi untuk membuat pertimbangan ternyata
disalahgunakan. Kesempatan itu mereka pergunakan untuk mempersiapkan senjata mereka. Orang-orang yang berada di banjar itupun segera terbangun semuanya. Mereka segera menghunus senjata mereka, sementara Paksi masih juga berkata lantang, "Menyerahlah. Kalian tidak mempunyai kesempatan lagi" Para prajurit yang dipimpin oleh Paksi itu menyesali sikap Paksi. Seandainya mereka langsung menyerang, maka para pengikut Harya Wisaka tidak banyak mempunyai kesempatan. Tetapi pemimpinnya yang muda itu telah melakukan satu sikap yang sia-sia. "Sikap itu bukan sikap seorang prajurit dalam keadaan yang gawat" berkata seorang prajurit yang masih berdiri di luar kepada kawannya. "Ia sangat perasa" desis yang lain. Namun seorang justru berkata, "Apakah ia takut bahwa di antara mereka yang ada di banjar ini adalah ayahnya?" Tetapi mereka tidak mempunyai kesempatan lagi. Justru kawan-kawan mereka yang berada di depan pintu butulanlah yang mulai lebih dahulu. Beberapa orang yang berniat untuk keluar dari pintu butulan, telah dicegat oleh para prajurit yang berjaga-jaga di muka pintu butulan. Sejenak kemudian, maka pertempuranpun telah menyala. Sambil bertempur Paksi sempat menilai sikapnya. Ia sadar, bahwa yang dilakukan adalah kesia-siaan belaka, yang justru merugikan para prajurit Pajang itu sendiri. Meskipun demikian, tetapi para prajurit Pajang itu masih juga memiliki kesempatan yang lebih baik. Beberapa orang pengikut Harya Wisaka yang keluar lewat pintu butulan dan pintu belakang, tidak mempunyai banyak kesempatan. Tibatiba saja ujung-ujung senjata telah menyentuh tubuh mereka. Namun demikian, beberapa orang sempat menggapai kentongan, sehingga sejenak kemudian, maka kentongan itupun segera berbunyi dengan irama yang tidak biasa terdengar di padukuhan itu.
Pertempuran yang sengit kemudian tidak berlangsung di ruang dalam banjar yang tidak cukup luas itu. Para prajurit Pajang itu seolah-olah telah membuka pintu dan membiarkan para pengikut Harya Wisaka untuk keluar. Tetapi para prajurit itu sudah menunggu di tempat yang lebih luas, sehingga mereka sempat bertempur dengan segenap kemampuan mereka serta dengan leluasa mempergunakan senjata mereka. Dalam pada itu, suara kentongan di banjar itu ternyata telah disahut oleh suara kentongan yang lain. Kentongan di rumah Ki Bekel. Namun kemudian juga kentongan-kentongan yang lain lagi. Tetapi adalah di luar dugaan mereka, bahwa dimanapun para pengikut Harya Wisaka berada, pasukan Pajang sudah siap menghadapi mereka. Karena itu maka pertempuranpun telah terjadi dimana-mana. Kentongan dalam irama khusus itu adalah isyarat sandi para pengikut Harya Wisaka. Meskipun para prajurit Pajang tidak mengerti arti dari isyarat sandi itu, namun mereka dapat menduga, bahwa kentongan itu adalah pemberitahuan bagi para pengikut Harya Wisaka, bahwa musuh telah berada di hadapan hidung mereka. Sebenarnyalah sergapan prajurit Pajang itu berhasil mengacaukan pasukan lawan. Para pengikut Harya Wisaka itu tidak segera mampu menempatkan diri. Apalagi sebagian dari mereka telah hilang tanpa mereka ketahui. Para penjaga dan para petugas malam itu lenyap begitu saja dari tempat-tempat tugas mereka. Sebenarnyalah bahwa jumlah para pengikut Harya Wisaka yang berada di padukuhan itu jauh lebih banyak dari prajurit Pajang yang menyerang mereka. Tetapi kedatangan mereka dengan diam-diam, menyusutnya satu persatu dari para pengikut Harya Wisaka, serta sergapan yang tiba-tiba, telah menghancurkan ketahanan jiwa para pengikut Harya Wisaka itu. Merekapun tidak dapat mengetahui dengan pasti kekuatan pasukan Pajang yang menyerang mereka. Mereka mendengar teriakan-teriakan dan sorak yang kadang-kadang meledak di
mana-mana, sehingga seakan-akan di seluruh padukuhan itu sudah penuh dengan prajurit dari Pajang. Dengan demikian, maka perlawanan para pengikut Harya Wisaka itu tidak mampu membendung serangan-serangan pasukan Pajang. Beberapa orang pengikut Harya Wisaka telah terlempar dari arena. Sebagian terluka parah. Namun sebagian lagi telah terbunuh. Raden Sutawijaya dengan pasukannya berada di sekitar rumah Ki Bekel. Raden Sutawijaya mengira bahwa Harya Wisaka ada di rumah itu. Karena itu, maka beberapa orang prajurit telah berusaha untuk langsung masuk ke dalam rumah Ki Bekel bersama Raden Sutawijaya sendiri. Sementara itu, Pangeran Benawa bertempur dengan para pengikut Harya Wisaka di halaman yang luas dari sebuah rumah yang besar. Prajurit-prajuritnya dengan cepat melindas para pengikut Harya Wisaka yang terkejut dan menjadi kacau, karena tiba-tiba saja ujung-ujung senjata sudah berada di depan hidung mereka. Pertempuran yang terjadi di Jurangjero itu adalah pertempuran yang sengit. Tetapi para pengikut Harya Wisaka tidak mendapat kesempatan untuk mengembangkan kekuatan mereka. Selain orang-orang mereka menyusut seorang demi seorang sebelum pertempuran itu terjadi, pertempuran itu sendiri sangat mengejutkan mereka. Mereka tidak bersiap sama sekali untuk memasuki pertempuran yang keras itu. Karena itu, maka korbanpun berjatuhan. Sementara itu, yang masih mendapat kesempatan berusaha untuk melepaskan diri dari putaran ujung-ujung senjata. Dalam kekalutan itu, Raden Sutawijaya masih sempat juga berteriak, "Jika kalian menyerah, maka pertempuran akan berhenti. Kalian tidak akan dihukum mati" Tetapi nampaknya para pengikut Harya Wisaka itu tidak ingin menyerah. Yang masih hidup berusaha untuk meninggalkan arena pertempuran.
Yang terdengar kemudian adalah kentongan-kentongan kecil yang berbunyi dengan irama yang lain. Namun suaranya cukup keras menggetarkan seluruh medan pertempuran. Agaknya beberapa orang penghubung dari para pengikut Harya Wisaka itu selalu membawa kentongan-kentongan kecil yang dapat mereka bunyikan sebagai isyarat dan perintah setiap waktu dan kesempatan. Suara kentongan-kentongan kecil itu menjalar dari halaman rumah yang satu ke halaman rumah yang lain. Sambung bersambung. Agaknya irama yang terdengar itu adalah perintah untuk menarik diri dari medan pertempuran. Sebenarnyalah, pasukan yang menurut keterangan para petugas sandi dipimpin oleh Harya Wisaka itu, telah mempergunakan setiap kesempatan yang ada untuk menyingkir dari medan pertempuran. Para prajurit Pajang tidak begitu saja melepaskan mereka. Apalagi mereka ingin dapat menangkap Harya Wisaka hidup atau mati. Karena itu, maka para prajurit Pajang itupun telah memburu lawan mereka yang melarikan diri. Namun gelap malam, pepohonan yang rimbun di halaman dan apalagi di kebun-kebun, rumpun-rumpun bambu, dindingdinding penyekat, agaknya memberikan perlindungan yang baik bagi mereka yang sedang melarikan diri itu. Beberapa orang memang tidak sempat keluar dari padukuhan. Ada di antara mereka yang terluka di punggung, di pundak, lambung dan bagian-bagian tubuh yang lain. Namun sebagian dari mereka sempat melarikan diri dan tidak tergapai oleh para prajurit dari Pajang. Malam itu juga para prajurit Pajang telah mengumpulkan orang-orang yang terluka dan yang telah terbunuh di peperangan. Bukan hanya para prajurit Pajang, tetapi juga para pengikut Harya Wisaka. Orang-orang padukuhan yang terbangun dari tidurnya telah dipanggil keluar oleh para prajurit Pajang untuk membantu mereka, mengumpulkan mereka yang terluka dan yang terbunuh.
Mula-mula tidak seorangpun yang berani keluar dari rumahnya. Namun para prajurit telah menyerukan agar mereka tidak takut. "Kami adalah prajurit-prajurit Pajang yang telah mengusir para pemberontak. Kami hanya ingin minta tolong mengumpulkan orang-orang yang terluka" Yang mula-mula keluar dari dalam rumah adalah Ki Bekel. Karena rumahnya dipergunakan oleh para pengikut Harya Wisaka, maka Ki Bekel dan keluarganya justru berada di rumah tetangganya. Rumah yang kecil saja, yang tidak dipakai oleh para pengikut Harya Wisaka. Ketika Ki Bekel yakin bahwa yang memanggilnya adalah para prajurit Pajang yang dipimpin langsung oleh Ki Gede Pemanahan, maka Ki Bekelpun telah memanggil orang-orang yang ketakutan di dalam rumah mereka masing-masing. Baru setelah mereka mendengar suara Ki Bekel Jurangjero, maka baru mereka berani keluar rumah. Beberapa orang laki-laki dan anak mudapun telah membawa obor bersama-sama dengan para prajurit, menyusup di halaman-halaman rumah dan kebun untuk mengumpulkan tubuh-tubuh yang tidak berdaya dan yang sudah terbunuh. Namun di antara mereka tidak terdapat Harya Wisaka. "Paman Harya Wisaka memang licin" desis Raden Sutawijaya. "Banyak kesempatan terbuka baginya" sahut Pangeran Benawa. "Sekarang apa yang harus kita lakukan" Mengejar mereka" Tetapi mereka pecah tercerai-berai" bertanya Paksi. "Tidak" sahut Raden Sutawijaya, "kita tidak memburu mereka sekarang" Demikianlah, ketika fajar naik, para pemimpin kelompok prajurit Pajang itu dapat mengetahui beberapa orang mereka yang terluka dan yang gugur. Paksi menundukkan wajahnya ketika diketahuinya seorang prajuritnya gugur. Lima orang terluka. Seorang di antaranya
agak parah. Sementara seorang prajurit dari kelompok yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya juga gugur. Sedangkan kelompok prajurit yang dipimpin oleh Pangeran Benawa tidak seorang pun yang gugur. Tetapi sepuluh di antara mereka terluka. Tiga orang terhitung agak berat. Para prajurit Pajang itu memang tidak memburu para pengikut Harya Wisaka. Mereka harus beristirahat lebih dahulu di Jurangjero. Beberapa orang terluka parah, sehingga tidak dapat meneruskan perjalanan. Sementara itu, para pemimpin kelompok tidak dapat meninggalkan mereka yang terluka itu di Jurangjero, karena para pengikut Harya Wisaka akan dapat merunduk mereka dan membantainya. Karena itu, maka para pemimpin pasukan itu memutuskan untuk tinggal di Jurangjero beberapa hari. Namun Ki Gede Pemanahan telah memerintahkan para petugas sandi untuk membayangi pasukan Harya Wisaka itu dan setiap kali memberikan laporan kepadanya. Di hari berikutnya, orang-orang Jurangjero menjadi sibuk memakamkan dua orang prajurit yang gugur. Tetapi mereka juga harus mengubur para pengikut Harya Wisaka yang terbunuh di pertempuran itu. Mereka yang tubuhnya disembunyikan di semak-semak dan di balik dinding halaman. Bahkan ada di antara mereka yang tubuhnya tersembunyi di bawah gardu-gardu perondan. Mereka justru terbunuh sebelum pertempuran yang sebenarnya terjadi. Selain yang terbunuh, ternyata banyak para pengikut Harya Wisaka yang terluka parah dan tidak dapat melarikan diri dari padukuhan itu. Mereka dikumpulkan di banjar padukuhan untuk mendapat perawatan. Raden Sutawijaya di banjar telah berpesan kepada Ki Bekel untuk memperlakukan dan merawat para pengikut Harya Wisaka dengan baik. "Pada suatu saat kami harus pergi" berkata Raden Sutawijaya. "Jika kalian memperlakukan para pengikut Harya Wisaka itu dengan baik, mereka tidak akan mendendam kalian"
Ki Bekel itu mengangguk-angguk. "Kami masih akan memburu Harya Wisaka, sehingga kami tidak akan dapat membawa mereka atau menyerahkan mereka ke Pajang. Tetapi di perjalanan pulang, kami akan singgah dan membawa mereka yang masih tinggal disini" Seperti dipesankan oleh Raden Sutawijaya, maka orangorang Jurangjero memperlakukan dan merawat para pengikut Harya Wisaka dengan baik. Seorang tabib yang pandai dari padukuhan itu merawat dan mengobati para pengikut Harya Wisaka itu sebagaimana ia merawat dan mengobati para prajurit Pajang. Ternyata para prajurit Pajang harus tinggal dua hari di Jurangjero. Mereka masih belum dapat bergerak, karena masih ada di antara mereka yang masih belum dapat meninggalkan pembaringan. Sementara itu, para pemimpin prajurit Pajang tidak dapat meninggalkan mereka, karena dendam para pengikut Harya Wisaka akan dapat mencelakai mereka, meskipun para prajurit Pajang tidak mengusik para pengikut Harya Wisaka yang terluka. "Tinggalkan kami" berkata seorang di antara yang terluka parah. "Kita tidak dapat mempercayai para pengikut Harya Wisaka itu" "Biarlah, apa yang akan mereka lakukan atas kami. Mudahmudahan orang Jurangjero dapat mencegah mereka" "Tidak" berkata Raden Sutawijaya, "kalian harus meninggalkan padukuhan ini" Setelah dua hari berada di Jurangjero bersama-sama dengan para pengikut Harya Wisaka yang terluka, maka pasukan Pajang itupun bergerak meninggalkan Jurangjero atas tuntunan para petugas sandi. Mereka sempat mengetahui, bahwa pasukan yang dipimpin oleh Harya Wisaka itu bergerak ke selatan. "Apakah kami tidak dianggap bersalah jika kami merawat dan mengobati luka-luka para pemberontak itu?"
"Kami adalah saksi bahwa kalian tidak berpihak kepada mereka" berkata Raden Sutawijaya. "Kalian untuk sementara tidak dapat berbuat lain. Jika kalian menahan mereka seperti tawanan, maka mereka akan mendendam. Sementara kami belum dapat memberikan perlindungan kepada kalian sebaikbaiknya" Ki Bekel mengangguk-angguk. "Jangan cemas bahwa kami akan memfitnah kalian" "Terima kasih atas pengertian Raden" berkata Ki Bekel itu. Namun kemudian Ki Bekel itupun bertanya, "Apa yang harus kami lakukan jika ada di antara mereka yang melarikan diri selama ditinggalkan oleh prajurit Pajang" Atau bahkan mungkin kawan-kawannya datang untuk mengambil mereka?" "Kalian memang tidak dapat berbuat apa-apa. kami tahu, jika kalian mencoba mencegahnya, maka padukuhan ini akan mengalami bencana" sahut Pangeran Benawa. "Karena itu, lepaskan saja mereka. Jika kami dapat menangkap Harya Wisaka, mereka tidak akan berarti apa-apa" "Terima kasih, Pangeran" Ki Bekel mengangguk hormat, "mudah-mudahan pasukan Pajang berhasil menangkap Harya Wisaka sehingga kekacauan yang disebarkan dimana-mana segera berakhir" Demikianlah, maka pasukan Pajang itupun telah meninggalkan Padukuhan Jurangjero sambil membawa beberapa orang terluka. Masih ada dua orang yang harus dipapah karena lukanya yang parah. "Sebenarnya Raden tidak usah bersusah payah membawa kami" berkata salah seorang yang terluka parah. "Kami hanya ingin menjauhkan kalian dari para pengikut Harya Wisaka itu" berkata Raden Sutawijaya. "Kalian akan kami sembunyikan di padukuhan yang agak jauh dari Jurangjero, agar mereka tidak dapat memburu kalian" "Kami sudah siap menghadapi segala kemungkinan" "Tetapi kita harus memilih kemungkinan terbaik dari segala kemungkinan itu" Keduanya tidak menjawab.
Sedikit lewat tengah hari, pasukan itu berhenti di sebuah padukuhan. Ketika seorang penghubung memberitahukan bahwa yang datang itu adalah pasukan khusus dari Pajang yang dipimpin langsung oleh Ki Gede Pemanahan, maka pasukan itupun diterima dengan baik oleh para penghuninya. "Apakah pasukan yang dipimpin oleh Harya Wisaka lewat padukuhan ini?" bertanya Raden Sutawijaya kepada Ki Bekel. Ki Bekel itu menggeleng. Katanya, "Tidak, Raden. Tidak ada pasukan yang lewat padukuhan ini. Tetapi ada pasukan yang melewati padukuhan di sebelah gumuk kecil itu. Mereka merampas semua isi padukuhan itu setelah mereka minta disediakan makan dan minum secukupnya" "Berapa orang menurut pendengaran Ki Bekel?" "Banyak. Seratus orang lebih" Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Sementara Paksi berdesis, "Mereka sempat mengumpulkan orang-orang mereka yang bercerai-berai" "Nampaknya mereka memiliki ikatan yang kuat yang tidak terputus saat Harya Wisaka ditahan. Demikian Harya Wisaka berhasil melarikan diri, maka ikatan itu menjadi semakin erat dan tanpa pertimbangan nalar, pengikut-pengikut Harya Wisaka melakukan semua perintah" Pasukan itu beristirahat di padukuhan itu semalam. Di hari berikutnya, pasukan Pajang yang dipimpin oleh Ki Gede Pemanahan telah meninggalkan padukuhan itu. Namun mereka telah meninggalkan kedua orang yang terluka parah dan menitipkannya kepada Ki Bekel. "Kami akan segera kembali" berkata Raden Sutawijaya. Dituntun oleh petugas sandi, pasukan itu bergerak menyusul gerak pasukan yang dipimpin oleh Harya Wisaka. Meskipun jarak mereka sudah jauh, tetapi para prajurit sandi mampu mencium jejak pasukan itu. Sehari-hari pasukan Pajang itupun bergerak. Di sore hari menjelang matahari tenggelam, pasukan itu singgah di sebuah padukuhan yang besar. Seperti di padukuhan-padukuhan
sebelumnya, pasukan itu mendapat sambutan yang sangat ramah. Bahkan agak berlebih-lebihan. "Kami sudah menyiapkan sebuah bangsal yang pantas untuk menginap pasukan ini" berkata Ki Bekel. "Bangsal?" bertanya Raden Sutawijaya. "Ya, bangsal yang besar" "Apakah kalian membuat bangsal khusus untuk menginap sepasukan prajurit?" bertanya Pangeran Benawa. "Maksud kami, kami sediakan banjar padukuhan kami sebagai sebuah bangsal bagi para prajurit. Kami sudah menyediakan tikar, bantal dan perlengkapan-perlengkapan lain seperlunya" "Terima kasih, Ki Bekel" berkata Sutawijaya. Demikianlah, maka Ki Bekel telah menempatkan para prajurit dan pasukan khusus itu di banjar padukuhan. Sebuah banjar yang cukup besar yang memang dapat menampung sejumlah tujuhpuluh lima orang. Di pendapa, di ruang dalam dan di serambi-serambinya telah digelar tikar pandan yang putih, yang nampaknya masih baru. "Silahkan beristirahat sebaik-baiknya. Kami akan menyediakan makan malam bagi pasukan ini" "Terima kasih, Ki Bekel" Ketika Ki Bekel dan dua orang bebahu meninggalkan banjar, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi telah berbicara dengan pemimpin tertinggi pasukan khusus itu, Ki Gede Pemanahan. "Aku menjadi curiga" berkata Pangeran Benawa. Sebenarnyalah, ketika senja turun, maka seorang petugas sandi telah menghadap Ki Gede Pemanahan dengan wajah yang pucat berkeringat. "Kami mohon ampun. Ada kesalahan dalam pengamatan kami" "Kesalahan apa?" bertanya Raden Sutawijaya. "Padukuhan ini dua hari yang lalu memang benar dilalui oleh pasukan Harya Wisaka itu"
"Lalu?" Petugas sandi itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya orang-orang yang ada di sekelilingnya. "Kau berada di antara kami, jangan takut" desis Pangeran Benawa. "Kami telah masuk ke dalam jebakan. Ki Bekel yang menerima kita, bukan Ki Bekel dari padukuhan ini yang sebenarnya. Padukuhan ini sudah dikuasai oleh pasukan Harya Wisaka. Kita berada di antara mereka" Wajah para pemimpin pasukan Pajang itu menegang sejenak. Namun Raden Sutawijayapun berkata, "Baik. Terima kasih atas pemberitahuan ini. Tetapi apakah kau yakin?" "Ya, Raden. Kami menjadi curiga ketika kami datang ke padukuhan ini. Aku dan seorang kawanku telah mencari keterangan. Kami berdua mendapat keterangan yang sama" "Kalian mencari keterangan bersama-sama atau sendirisendiri, tetapi mendapat keterangan yang sama?" "Sendiri-sendiri, Raden" "Dimana kawanmu itu?" "Masih berusaha untuk meyakinkan" "Dimana Ki Bekel yang sebenarnya sekarang" Dibunuh atau ditawan?" "Kami belum tahu. Tetapi kami menduga, bahwa Ki Bekel masih berada di rumahnya. Tetapi dijaga ketat" "Baik. Kami harus segera mempersiapkan diri" Berita itu segera disebarkan di antara para prajurit, tetapi dengan sangat berhati-hati. Dari seorang ke seorang yang lain, sehingga akhirnya semuanya telah mendengarnya. "Tunggu perintah selanjutnya" pesan Raden Sutawijaya. Dalam pada itu, petugas sandi itupun telah minta diri untuk mengamati keadaan dan perkembangan terakhir di padukuhan itu. "Sebelum wayah sepi bocah, kalian harus sudah berada disini dengan para petugas sandi yang lain yang ada disini" "Kami berdua saja disini, Raden" "Mereka mendahului perjalanan kita"
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Tetapi ingat, sebelum wayah sepi bocah, kalian berdua harus sudah berada disini" Petugas sandi itupun meninggalkan banjar. Tidak lewat pintu regol, karena petugas sandi itu yakin, bahwa regol itu tentu diawasi dengan baik. Sebenarnyalah menjelang wayah sepi bocah, kedua orang petugas sandi itu telah berada di banjar. Mereka menjadi yakin, bahwa keterangan yang mereka dapatkan itu benar. Ki Bekel itu bukan Ki Bekel yang sebenarnya. Sementara itu, pasukan Harya Wisaka yang kuat telah bersiap untuk mengepung dan selanjutnya menghancurkan pasukan Pajang itu. "Kita harus keluar dari banjar ini. Jika kita harus bertempur, kita akan memilih seluruh padukuhan ini sebagai medan" "Ya" berkata Pangeran Benawa, "semakin luas ruang gerak kita, akan menjadi lebih baik bagi kita" "Jika perlu kita akan keluar dari padukuhan ini. Untuk itu kita harus menentukan tempat untuk berkumpul kembali" Petugas sandi itulah yang memberitahukan bahwa tidak jauh dari padukuhan itu terdapat sebuah hutan. "Kita dapat berkumpul dan menyusun diri di hutan itu" Sementara itu, selagi mereka masih berbincang, beberapa orang telah memasuki banjar padukuhan itu dengan membawa nasi yang masih mengepul serta sayur dan laukpauknya. Agaknya nasi, sayur dan lauk-pauk baru saja masak, sehingga masih tetap hangat. Demikian pula minumannya. "Terima kasih" berkata Ki Gede Pemanahan kepada orangorang yang datang membawa makan malam mereka itu. Sepeninggal mereka, maka Pangeran Benawapun bertanya, "Apakah kita akan makan?" "Kita akan melihat, apakah nasi, sayur dan lauk-pauknya serta minuman itu dapat dimakan dan diminum" Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa, yang ternyata kebal akan racun itu telah menilik makanan dan minuman itu. Apakah makan dan minum itu beracun atau tidak.
Ternyata nasi, sayur dan lauk-pauknya serta minuman itu tidak beracun, sehingga karena itu, maka Raden Sutawijaya membiarkan para prajurit Pajang itu makan dan minum sepuasnya. Hidangan makan dan minum itupun terasa berlebihan. Beberapa ekor ayam telah disembelih. Telur itik dan ikan air tawar yang nampaknya langsung ditangkap dari belumbang. "Pokoknya sekarang makan" berkata seorang prajurit. "Kau penuhi perutmu dengan nasi dan daging ayam goreng?" "Ya. Sayang kalau tidak dimakan" "Jika kemudian perutmu dikoyak dengan ujung pedang?" "Jika aku harus mati, aku sudah menikmati daging ayam goreng, telur itik dadar dan mangut lele" Kawannya mengerutkan keningnya, sementara prajurit yang makan sekenyangnya itu tertawa. Katanya, "Jangan terlalu tegang. Nikmati saja makan dan minummu" Akhirnya kawannya itupun tertawa. Katanya, "Kau benar. Sayang kalau lauknya yang nikmat ini tersisa" Beberapa saat kemudian mereka telah selesai makan. Sementara itu malampun bertambah malam. Menurut perhitungan Raden Sutawijaya, saat itu adalah saat yang terbaik untuk meninggalkan banjar. Justru saat mereka dikira masih sibuk makan. Petugas sandi itupun telah memberikan ancar-ancar beberapa jalan menuju ke hutan sebelah. Jika mereka harus berpencar, maka mereka akan berkumpul kembali di hutan itu sebelum fajar. Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Gede Pemanahanpun telah memerintahkan para prajurit Pajang itu untuk keluar dari halaman banjar. Tetapi mereka tidak diperkenankan keluar lewat regol halaman. "Kalian harus meloncati dinding bagian belakang banjar itu. Kita tidak berhasil mengetahui jumlah kekuatan lawan kita. Tetapi menurut perhitungan, mereka tidak ingin dihancurkan lagi sebagaimana yang terjadi di Jurangjero. Karena itu, maka
kekuatan mereka tentu lebih besar sekarang ini, sementara itu, kita berada di dalam kekuatan mereka itu. Karena itu, kita akan keluar dahulu dari lingkungan mereka. Kita membuat jarak agar penglihatan kita atas mereka menjadi lebih jelas" Demikianlah, seorang petugas sandi telah mendahului meloncati dinding belakang banjar. Nampaknya lawan terlalu yakin akan keberhasilan mereka menjebak para prajurit Pajang itu, sehingga mereka tidak menempatkan pengawasan yang lebih rapat di belakang banjar. Setelah ada isyarat, maka berangsur-angsur prajurit Pajang itu keluar dari halaman banjar. Diam-diam dengan menyusup di antara pepohonan di kebun dan menyelinap di sela-sela rumpun bambu, maka para prajurit itu berusaha untuk meninggalkan padukuhan itu. Sebelum tengah malam, para prajurit itu berhasil keluar dari padukuhan. Mereka mengikuti jalan pintas yang paling dekat menuju ke hutan sebelah untuk memantapkan sikap mereka. "Kita berharap bahwa mereka akan segera mengetahui, bahwa banjar itu telah kosong. Dengan mengikuti jejak kita, kita berharap mereka akan menyusul kita. Nah, terserah kepada kita, apa yang akan terjadi kemudian. Kita tentu mendapat kesempatan lebih baik di pinggir hutan ini daripada di dalam padukuhan itu" "Aku akan kembali ke padukuhan" berkata salah seorang petugas sandi. "Aku akan melihat apa yang mereka lakukan setelah mereka mengetahui bahwa kita telah pergi" "Berhati-hatilah. Ternyata mereka juga cerdik" pesan Raden Sutawijaya. Dengan sangat berhati-hati sebagaimana dipesankan oleh Raden Sutawijaya, maka petugas sandi itu telah kembali lagi ke padukuhan. Ternyata padukuhan itu menjadi gempar. Ketika seorang pengawas merasa curiga bahwa banjar itu rasa-rasanya menjadi sepi, ia telah mendekati regol halaman dan menjenguk ke dalam. Rasa-rasanya jantungnya berhenti
ketika ia tidak melihat seorang pun di pendapa banjar. Sementara itu mangkuk masih berserakan. Sisa nasi di dalam ceting-ceting bambu masih tetap mengepul. Demikian pula sisa sayur dan lauk-pauknya. Dengan serta-merta orang itu telah memanggil seorang kawannya dan mengajaknya masuk ke dalam banjar. Sebenarnyalah banjar itu telah kosong. Berlari-lari keduanya, melaporkan kepergian pasukan Pajang yang berada di banjar itu. "Gila" orang yang mengaku Ki Bekel itu berteriak, "bukankah mereka tidak hanya dua atau tiga orang. Tetapi mendekati seratus orang" Apakah tidak ada yang melihat mereka keluar dari regol halaman dan pergi meninggalkan padukuhan ini?" "Kita akan melihat. Mereka tidak keluar lewat regol halaman banjar" Orang yang menyebut dirinya Ki Bekel dan beberapa orang dengan cepat pergi ke banjar. Mereka mengamati keadaan banjar itu dengan saksama. Para prajurit itu sempat makan secukupnya. Tidak nampak bahwa mereka menjadi tergesagesa. Mangkuk-mangkuk yang dipakai oleh para prajurit itu sudah menjadi kotor. Tetapi tidak ada makanan yang tersisa di dalam mangkuk-mangkuk itu. Bahkan nasi, sayur dan laukpauknyapun hampir habis semuanya. "Gila prajurit-prajurit Pajang" geram orang yang menyebut dirinya Ki Bekel. "Mereka habiskan makan dan minum yang kita hidangkan. Tetapi mereka sempat lenyap begitu saja seperti hantu" Orang yang menyebut dirinya Ki Bekel itupun segera memerintahkan mencari jejak para prajurit Pajang itu. "Nampaknya dengan tenang saja mereka pergi. Tidak ada benda sepotong pun yang ketinggalan" Sejenak kemudian, maka beberapa orangpun telah menemukan jejak para prajurit yang menghilang dari banjar itu. Mereka melihat jejak mereka di kebun belakang.
"Mereka meloncati dinding kebun belakang" lapor seorang di antara mereka yang mencari jejak itu. Orang yang disebut Ki Bekel itupun telah pergi ke kebun belakang banjar pula untuk melihat sendiri jejak yang ditinggalkan oleh para prajurit Pajang itu. "Setan alas" geram orang yang disebut Ki Bekel itu. Ia bahkan menemukan beberapa potong tulang ayam. Nampaknya para prajurit itu menghilang dari padukuhan itu masih sempat membawa beberapa potong daging ayam dan dimakannya sambil pergi meninggalkan banjar. Ki Bekel itupun segera memerintahkan orang-orangnya untuk mengikuti jejak para prajurit Pajang itu. "Jumlah mereka tidak sampai seratus orang" berkata orang yang disebut Ki Bekel itu. "Tetapi prajurit-prajurit itu terdiri dari orang-orang gila. Mungkin mereka adalah orang-orang yang sudah diputuskan untuk dihukum mati karena kejahatan yang pernah mereka lakukan. Mereka akan mendapat pengampunan jika mereka bersedia ikut dalam gerakan yang gila itu" "Tetapi pasukan itu dipimpin langsung oleh Ki Gede Pemanahan" "Hanya Ki Gede Pemanahan yang berani memimpin sekelompok penjahat yang seharusnya sudah digantung atau dipancung atau bahkan dihukum picis atau hukum sula" "Siapapun mereka, kita akan menghancurkannya. Bawa semua orang kita yang sudah dipersiapkan di padukuhan ini" "Semuanya sekitar seratus lima puluh orang" "Kita mempunyai kekuatan lipat dua dari para prajurit itu" "Orang-orang kita di Jurangjero jumlahnya juga sekitar seratus lima puluh orang. Tetapi mereka dihancurkan oleh pasukan Ki Gede Pemanahan itu" "Mereka diserang dengan cara yang licik. Tetapi sekarang kita akan bertempur beradu dada" Demikianlah, pasukan dari para pengikut Harya Wisaka itupun telah menelusuri jejak para prajurit Pajang. Sebagian
dari mereka adalah orang-orang yang berhasil melarikan diri dari Jurangjero. Mereka masih belum dapat menghapus bayangan kekalahan yang pernah mereka alami di Jurangjero. Karena itu, sebelum mereka bertemu dengan lawan, maka punggung mereka sudah basah oleh keringat. Mereka mencoba untuk menguatkan hati mereka dengan setiap kali mengucap ulang kata-kata orang yang disebut Ki Bekel itu. Di Jurangjero, pasukannya diserang dengan licik oleh para prajurit Pajang. Mereka merunduk dengan diamdiam. Meloncat dan menusuk dengan tiba-tiba kawankawannya yang belum siap. Sekarang pasukan para pengikut Harya Wisaka itu memburu dan menyerang mereka saling berhadapan. Seorang pencari jejak berada di paling depan. Dengan obor di tangan orang itu mengikuti jejak prajurit Pajang yang keluar dari padukuhan. "Mereka memencar" berkata pencari jejak itu. "Satu usaha untuk mengaburkan jejak mereka. Ikuti jejak yang terbanyak" Pasukan yang besar itupun kemudian bergerak mengikuti pencari jejak yang maju perlahan-lahan. Beberapa orang di antara mereka menjadi hampir kehabisan kesabaran. Tetapi mereka tidak dapat berjalan lebih cepat dari pencari jejak itu. Namun akhirnya orang-orang yang hampir tidak sabar itu berkata, "Mereka pasti pergi ke hutan. Jika kita tidak cepat, mereka mungkin sudah pergi lagi. Kita akan kehilangan makan malam kita" Mereka memang berjalan lebih cepat. Tetapi setiap kali pencari jejak itu harus merunduk mengamati jejak yang nampaknya semakin lama semakin banyak. Yang semula memencar, mulai bergabung kembali. "Kita tidak sangsi lagi. Mereka pasti berada di hutan itu. Kita akan mengamati jejak lagi setelah kita sampai ke tepi hutan. Mudah-mudahan mereka masih berada disana" "Matikan obor. Kita jangan terjebak lagi"
"Bagaimana aku dapat mengamati jejak jika obor itu dimatikan" "Tetapi kita tidak terlalu dungu dengan menunjukkan kepada para prajurit itu, bahwa kita datang menghampiri mereka" "Mereka tentu sudah memperhitungkan bahwa kita akan memburu" jawab pencari jejak itu. "Tetapi tidak sedungu dengan obor di tangan" Akhirnya orang yang menyebut dirinya Ki Bekel itulah yang memerintahkan memadamkan obor. Pasukan para pengikut Harya Wisaka itu bergerak lebih cepat. Mereka tidak mau kehilangan prajurit Pajang yang telah menghancurkan pasukan para pengikut Harya Wisaka itu di Jurangjero. Ketika mereka kemudian mendekati hutan, maka mereka menjadi semakin hati-hati. Pencari jejak itu mencoba untuk melihat jejak para prajurit itu dalam kegelapan. Dicobanya untuk mengamati ranting-ranting pohon perdu yang patah. Jejak kaki di tanah yang lembab. Tetapi setiap kali pencari jejak itu mengusap matanya. Katanya, "Aku dapat menjadi juling karenanya" "Persetan dengan matamu" sahut seorang pengikut Harya Wisaka yang bertubuh tinggi. Pencari jejak itu menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ingin mengendapkan kata-kata tajam dari orang bertubuh tinggi itu di dalam dasar hatinya, agar hatinya tidak bergejolak karenanya. Demikianlah pasukan itu bergerak terus sehingga akhirnya mereka sampai ke hutan itu. Pencari jejak itu yakin, bahwa para prajurit Pajang itu telah pergi ke hutan itu pula. Tetapi pencari jejak itu kemudian telah kehilangan arah. Tanah yang basah, setumpuk sampah dedaunan kering dan ranting-ranting patah, dahan dan pokok kayu yang roboh, menjadikan pencari jejak itu agak kesulitan. Apalagi di dalam gelapnya hutan.
"Jadi mereka masuk ke dalam hutan ini?" bertanya orang yang disebut Ki Bekel. "Ya. Mereka berada di hutan ini" Orang yang disebut Ki Bekel itu menggeram. Ia tidak dapat memerintahkan orang-orangnya untuk menyusul masuk ke dalam hutan. Jika demikian, ia akan dapat mengulangi peristiwa di Jurangjero. Para prajurit Pajang itu akan dapat menyergap mereka dengan tiba-tiba dari balik pepohonan dan gerumbul-gerumbul liar. Mungkin sebagian mereka telah memanjat pohon-pohon yang tumbuh di hutan itu dan siap meloncat sambil mengayunkan senjatanya. Namun dipanggilnya seorang kepercayaannya dan pencari jejak untuk berbicara. "Jangan masuk" berkata pencari jejak itu. "Aku yakin mereka ada di dalam hutan ini. Sangat berbahaya jika sekarang kita masuk ke dalamnya" "Jadi kita biarkan mereka lepas dari tangan?" Kepercayaan orang yang disebut Ki Bekel itu menyahut, "Kita tunggu sampai esok. Besok, begitu matahari terbit, kami akan menyusul masuk ke dalam hutan" "Orang-orang yang kita kejar itu sudah berada di seberang hutan. Kita tidak akan sempat memburunya" jawab Ki Bekel. "Itu lebih baik daripada anak-anak kita dihancurkan lagi seperti yang terjadi di Jurangjero" "Aku juga berpikir seperti itu. Tetapi rasa-rasanya hati ini tidak rela jika makanan yang sudah ada di dalam mulut ini tumpah kembali" "Orang-orang kitalah yang dungu. Seharusnya pasukan yang jumlahnya hampir seratus orang itu tidak dapat meninggalkan padukuhan tanpa diketahui. Mungkin satu dua orang dapat luput dari pengawasan. Tetapi hampir seratus orang. Hampir tidak masuk akal" "Menilik jejak mereka, para prajurit itu justru menyebar melintasi halaman-halaman dan kebun-kebun yang gelap, kemudian meloncati dinding di beberapa tempat"
"Apapun yang mereka lakukan, tetapi sedemikian banyak orang dapat lolos dari pengawasan" "Jadi sekarang apa sebaiknya yang kita lakukan?" "Kita kembali ke padukuhan. Rencana jebakan yang sudah kita susun dengan rapi itu ternyata sia-sia" "Kita beristirahat disini sebentar. Mungkin ada sesuatu yang menarik perhatian" berkata kepercayaan Ki Bekel itu kemudian. Orang yang disebut Ki Bekel itu mengangguk. Katanya, "Perintahkan untuk mengawasi keadaan. Jangan sampai kita dirunduk dan diterkam di punggung dan mati sebelum sempat mengangkat senjata" Kepercayaan Ki Bekel itupun telah memanggil beberapa orang pemimpin kelompok. Diperintahkannya untuk mengadakan pengawasan yang ketat. "Kita beristirahat sebentar disini" Namun dalam pada itu, kepercayaan orang yang disebut Ki Bekel itu telah membawa tiga orangnya yang terbaik untuk masuk ke dalam hutan bersama pencari jejak itu. Mungkin mereka menemukan sesuatu di dalam hutan itu. Tetapi ternyata mereka tidak menemukan sesuatu. Akhirnya kepercayaan Ki Bekel itu terhenyak duduk di sebelahnya sambil berdesis, "Tidak ada tanda-tanda apapun yang dapat kita kenali" "Marilah kita pulang" Demikianlah, pasukan yang jumlahnya dua kali lipat dari para prajurit Pajang itu bergerak kembali ke padukuhan. Mereka menjadi sangat kecewa. Dengan rapi mereka menyusun jebakan. Para prajurit Pajang itu sudah masuk ke dalam jebakan mereka, tetapi akhirnya sia-sia. Perjalanan kembali ke padukuhan itu jauh lebih cepat dari perjalanan mereka memburu para prajurit Pajang. Mereka tidak perlu lagi mengamati jejak. Beberapa orang di antara mereka mengumpat-umpat di perjalanan pulang. Seorang yang bertubuh raksasa menggeram, "Golokku sudah haus darah prajurit-prajurit
Pajang. Seorang saudara sepupuku terbunuh atau mungkin terluka parah di Jurangjero. Aku ingin membalas dendam. Nilai adikku itu sama dengan lima kepala prajurit Pajang" "Jika sepupumu itu terluka, mungkin ia masih akan dapat hidup" desis kawannya. "Menurut pendengaranku, kawankawan kita yang terluka mendapat perawatan yang baik di Jurangjero. Orang-orang Jurangjero tidak berani berbuat semena-mena, karena mereka sadari, bahwa jika pasukan Pajang itu pergi, mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi" "Persetan dengan orang-orang Jurangjero. Tetapi sepupuku itu tidak sempat keluar dari Jurangjero. Aku harus membalas dendam kepada prajurit-prajurit Pajang itu" Tiba-tiba saja seorang yang lain berkata, "Jika kau kehilangan saudara sepupumu, aku kehilangan adikku yang bungsu. Adikku yang sangat lucu di masa kanak-kanaknya. Akulah yang menyuapinya. Sayang, aku tidak berada di Jurangjero saat prajurit-prajurit Pajang itu dengan licik menyergapnya" Seorang kawan mereka sama sekali tidak tertarik pada pembicaraan itu. Ia masih saja berjalan sambil menundukkan kepalanya. Di tangannya dijinjingnya tombak pendeknya. Berbeda dengan kawan-kawannya yang berbincang dengan lontaran nada dendam itu, maka orang yang berjalan dengan kepala tunduk dan menjinjing tombak pendek itu merasa beruntung, bahwa pasukannya itu tidak bertemu dengan para prajurit Pajang. Orang itu mengalami sendiri betapa ganasnya pertempuran di Jurangjero. Meskipun ia memiliki pengalaman yang cukup, namun pertempuran di Jurangjero itu terasa sangat mencengkam. Rasa-rasanya orang itu tidak ingin lagi bertemu dengan sekelompok prajurit-prajurit Pajang yang ditemuinya di Jurangjero. Pasukan yang dipimpin langsung oleh Ki Gede Pemanahan. Dalam pada itu, di padukuhan di depan mereka sudah terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Meskipun malam
masih gelap, tetapi sudah mulai terasa suasana dini. Beberapa saat lagi, fajar akan menyingsing. Seorang yang bertubuh gemuk menguap sambil berdesis, "Aku mengantuk sekali" "Masih ada bulak panjang di balik padukuhan itu" "Ya. Menjemukan sekali" "Ya. Lebih baik kita bertempur. Udara dingin ini tidak akan merasuk sampai ke tulang. Aku ingin membuktikan ceritera orang tentang keganasan prajurit-prajurit Pajang itu" Kawannya yang gemuk itu tidak menyahut. Tetapi ia justru menguap lagi tanpa menutupi mulutnya dengan tangannya. Namun orang itu mengumpat-umpat karena seekor binatang telah masuk ke dalam mulutnya. Rasa-rasanya malas sekali berjalan di dini hari. Jika saja mereka berada di padukuhan, maka mereka dapat tidur nyenyak melingkar dengan berselimut kain panjang. Namun yang tidak mereka duga-duga telah terjadi. Selagi pasukan itu berjalan bermalas-malas, maka tiba-tiba saja dari balik tanaman yang hijau di sawah, beberapa orang muncul sambil mengangkat busur. Tiba-tiba saja anak panahpun meluncur seperti hujan dari sebelah-menyebelah jalan di bulak itu sebelum mereka memasuki mulut padukuhan. Beberapa orang langsung terpelanting jatuh tanpa sempat menarik senjatanya. Beberapa orang terluka dan beberapa orang lagi justru berlindung di balik tubuh kawan-kawannya. Serangan yang tiba-tiba itu sangat mengejutkan mereka. Tetapi orang yang disebut Ki Bekel itu tidak segera kehilangan akal. Dengan lantang iapun berteriak, "Masuk ke padukuhan. Cepat" Orang-orang itu tidak berpikir panjang. Dengan memasuki padukuhan, maka serangan anak panah itu tidak akan dengan mudah mengenai tubuh mereka. Dengan serta-merta pasukan itupun bergerak ke padukuhan yang tinggal beberapa langkah saja di hadapan
mereka. Sementara itu, serangan beberapa orang dari sebelah menyebelah jalan itu masih saja berlangsung. Orang yang disebut Ki Bekel itupun telah berlari masuk regol padukuhan. Demikian ia terlindung, maka iapun berteriak, "Menyebar. Dekati mereka dari beberapa arah. Berhati-hatilah terhadap orang-orang gila yang menaburkan anak panah itu" Orang-orang yang berada di bawah perintahnya itupun segera menyusup ke dalam padukuhan. Mereka meloncati dinding halaman dan menyebar. Mereka harus mengambil ancang-ancang untuk menyerang orang-orang yang bersenjata busur dan anak panah itu. "Jumlah mereka tidak terlalu banyak" berkata orang yang disebut Ki Bekel itu. "Bukan jumlah mereka tidak terlalu banyak. Tetapi agaknya hanya sebagian kecil saja dari mereka yang membawa busur dan anak panah" "Berhati-hatilah. Prajurit-prajurit Pajang yang gila itu telah mendahului kita dan menunggu kita disini" "Jumlah mereka tidak terlalu banyak. Kekuatan kita dua kali lipat. Ternyata mereka terlalu bodoh untuk menunggu kita disini, sehingga kita mendapat kesempatan untuk menghancurkannya" Dalam waktu dekat anak buah orang yang disebut Ki Bekel itu telah menyebar. Mereka bersiap untuk berlari menyerang orang-orang yang berada di sawah dan menyerang mereka dengan anak panah. Namun dalam pada itu, beberapa orang di antara mereka telah terbaring diam di tengah jalan beberapa langkah dari mulut jalan itu. Yang lain masih sempat mengerang, sedang ada pula di antara mereka yang masih berusaha merangkak masuk regol padukuhan. Sementara anak buah Ki Bekel itu memencar, masih saja meluncur beberapa anak panah ke arah mereka. Tetapi anak panah itu tidak berbahaya lagi. Dinding padukuhan serta pepohonan merupakan pelindung yang baik.
"Para prajurit Pajang itu benar-benar sudah menjadi gila" berkata salah seorang di antara mereka. "Mereka masih saja menyerang dengan anak panah pada kedudukan kita sekarang" Serangan-serangan yang masih saja meluncur dari sawah itu memang menimbulkan kecurigaan orang yang disebut Ki Bekel itu. Rasa-rasanya para prajurit Pajang memang tidak terlalu bodoh untuk menyerang terus setelah para pengikut Harya Wisaka itu berada di dalam dinding padukuhan. "Apakah mereka ingin menahan agar kita tidak menyerang mereka?" desis kepercayaan orang yang disebut Ki Bekel itu. "Mungkin. Tetapi itu satu sikap yang dungu. Tetapi ada maksud lain. Berhati-hatilah" Namun para pengikut Harya Wisaka itu tidak sempat mengurai peristiwa itu lebih jauh. Ketika serangan-serangan anak panah dari sawah itu menjadi semakin deras, maka tibatiba saja satu-satu para pengikut Harya Wisaka itu terlempar jatuh dengan luka menembus jantung. Para prajurit Pajang sempat merunduk mereka justru saat perhatian mereka tertuju kepada para prajurit Pajang di tengah-tengah sawah. Tikaman dari belakang yang tiba-tiba itu memang sangat mengejutkan. Beberapa orang tidak sempat membela diri. Sementara itu gelombang serangan yang lebih besar telah datang pula. Para pengikut Harya Wisaka itu memang sempat menjadi bingung. Tiba-tiba saja para prajurit Pajang itu telah berada di antara mereka. Tanpa jarak. Pertempuranpun segera terjadi dengan sengitnya. Tetapi ketidaksiapan para pengikut Harya Wisaka sangat berpengaruh. Meskipun jumlah mereka lebih banyak, tetapi mereka sama sekali tidak mapan. Dalam pada itu, para prajurit Pajang yang berada di sawah telah berlari-lari ke padukuhan. Merekapun segera berloncatan masuk padukuhan. Mereka telah meletakkan busur dan anak panah mereka. Tetapi di tangan mereka tergenggam pedang.
Serangan yang tiba-tiba itu telah merusak ketahanan jiwa para pengikut Harya Wisaka. Apalagi mereka yang pernah mengalaminya di Jurangjero. Hati mereka yang sudah cacat itu, segera menjadi kabur dan bahkan tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. -ooo00dw00oooJilid 24 ORANG yang disebut Ki Bekel itu dengan darah yang mendidih telah mengerahkan kemampuannya. Tetapi di hadapannya berdiri seorang anak muda dengan tongkat kayu di tangannya. "He, apa yang kau lakukan disini?" "Pertanyaan yang aneh" desis Paksi. "Kau bawa tongkat yang nampaknya baru saja kau potong dari turus pagar halaman rumah sebelah. Apakah kau kehilangan senjatamu" Bukankah di medan pertempuran ini banyak tergolek senjata yang terlepas dari tangan mereka yang terbunuh atau terluka berat?" "Aku sudah terbiasa dengan tongkatku ini" "Nampaknya kau memang sedang membunuh diri" Tiba-tiba Paksi itupun menggeram, "Menyerahlah. Kau masih mempunyai kesempatan. Bukankah kau pemimpin dari pasukanmu yang sedang mengalami kesulitan ini?" "Persetan dengan kelicikanmu. Di Jurangjero kalian merunduk dari persembunyian seperti seekor ular. Kenapa prajurit Pajang tidak berani menyerang beradu dada?" "Kenapa kau berusaha menjebak kami" Apakah itu bukan satu perbuatan yang licik?" "Persetan. Tataplah langit untuk yang terakhir kalinya. Sebentar lagi fajar akan merekah. Tetapi kau tidak akan sempat melihatnya" Paksi tidak menjawab. Tetapi tongkatnya mulai berputar.
Demikianlah merekapun segera bertempur. Orang yang disebut Ki Bekel itu telah mengerahkan kemampuannya. Kemarahannya terasa telah membakar seluruh isi dadanya. Namun ternyata bahwa ilmu orang yang disebut Ki Bekel itu tidak mampu mengimbangi ilmu Paksi. Dengan segera orang itupun telah terdesak. Tetapi kelebihan jumlah orangnya memungkinkannya untuk bertempur berpasangan. Orang kepercayaan Ki Bekel itupun segera datang membantu. Melawan kedua orang lawannya, Paksi harus meningkatkan kemampuannya. Namun ternyata bahwa ilmunya masih mampu menguasai kedua orang lawannya, sehingga keduanya telah terdesak pula. Tetapi Paksi terkejut ketika tiba-tiba saja sebuah tombak pendek meluncur ke arahnya. Dengan cepat Paksi berusaha untuk mengelak. Tetapi tombak yang meluncur dari kegelapan dan begitu tiba-tiba itu sempat menggores lengannya. Dengan cepat Paksi meloncat surut. Ketika ia meraba lengannya terasa cairan yang hangat membasahi jari-jarinya. Kemarahan Paksilah yang kemudian naik ke kepala. Sementara itu, orang yang disebut Ki Bekel dan kepercayaannya itupun telah menyerang bersama-sama. Paksi yang terluka di lengannya itu terdesak sesaat. Namun dengan menghentakkan kemampuannya, maka dengan cepat Paksi berhasil memperbaiki keadaannya. Ketika Ki Bekel meloncat menyerang langsung kepadanya, maka Paksipun bergeser ke samping. Tetapi kepercayaan Ki Bekel itu tidak memberinya kesempatan. Senjata telah terayun menebas ke arah leher. Paksi sempat merendahkan diri, mengelak dari serangan orang itu. Tetapi pada saat yang bersamaan, senjata Ki Bekel itulah yang terjulur lurus ke arah dada. Paksi tidak sempat mengelak. Tetapi dengan cepat ia memukul senjata Ki Bekel itu demikian kerasnya, sehingga senjata itu terangkat. Hampir saja senjata Ki Bekel itu terlepas dari tangannya. Dengan susah payah ia mempertahankan senjatanya itu, sementara tangannya terasa sangat pedih.
Paksi tidak melepaskan kesempatan itu. Tongkatnyapun terayun dengan derasnya. Bahkan oleh kemarahan yang membakar jantungnya, maka Paksi telah menghentakkan seluruh tenaganya. Tongkat Paksi itu telah menghantam lambung orang yang disebut Ki Bekel itu. Terdengar Ki Bekel itu mengaduh kesakitan. Namun ketika Ki Bekel itu sedang membungkuk sambil menekan lambungnya yang terasa sakit, maka tongkat Paksi telah memukul tengkuk Ki Bekel itu. Ki Bekel itupun jatuh tersungkur. Tanpa sempat menggeliat, Ki Bekel itupun telah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Agaknya tulang tengkuknya telah dipatahkan oleh tongkat Paksi. Kepercayaan Ki Bekel yang melihat keadaan pemimpinnya, tiba-tiba saja seperti orang yang kehilangan pegangan. Hampir di luar sadarnya, bahwa dari mulutnya telah terlontar isyarat untuk mengundurkan diri dari pertempuran. Isyarat itupun segera disahut oleh para pemimpin kelompok yang masih tersisa. Demikianlah, ketika cahaya matahari mulai membayang di langit, maka para pengikut Harya Wisaka itupun telah larut dari medan pertempuran. Mereka meninggalkan korban yang cukup banyak. Antara lain mereka yang terbunuh sebelum sempat memasuki padukuhan dengan anak panah menembus dada mereka. Demikian matahari terbit, maka para prajurit Pajang itu sempat berkumpul di luar regol padukuhan untuk mengetahui, berapakah korban yang harus mereka berikan. Tiga orang telah gugur. Lebih dari lima belas orang terluka termasuk Paksi. Tiga orang di antara mereka terluka agak parah "Jumlah kita semakin menyusut" berkata Raden Sutawijaya. "Sementara itu, kita belum menemukan Harya Wisaka"
"Yang memimpin pasukan ini bukan Harya Wisaka" berkata Paksi yang telah mengakhiri perlawanan orang yang disebut Ki Bekel itu. Sementara para prajurit Pajang itu bertempur, seorang petugas sandi telah melacak ke padukuhan tempat para pengikut Harya Wisaka itu menjebak para prajurit Pajang. Tetapi sejak semula Harya Wisaka tidak ada di padukuhan itu. Tetapi menurut keterangan seorang prajurit yang terluka yang dapat tertangkap, Harya Wisaka memang ada di padukuhan itu. Namun pada saat terakhir, Harya Wisaka dikawal oleh sepuluh orang pengawal khususnya telah meninggalkan padukuhan itu. Seperti di Jurangjero, maka prajurit Pajang itu telah menghubungi penghuni padukuhan itu. Mereka menitipkan para pengikut Harya Wisaka yang terluka dan tidak dapat melarikan diri dari pertempuran. Dibantu oleh para penghuni padukuhan, maka para prajurit Pajang itu telah memakamkan kawan-kawan mereka yang gugur serta para pengikut Harya Wisaka yang terbunuh. "Apakah kita akan menyusul para pengikut Harya Wisaka di padukuhan tempat mereka berusaha menjebak kita?" bertanya Pangeran Benawa kepada Raden Sutawijaya. "Tidak. Kita tidak akan menyusul mereka. Kita akan menunggu disini. Kita percayakan arah perjalanan kita selanjutnya kepada para petugas sandi" "Lalu, kita akan pergi ke mana?" "Kita akan tinggal disini semalam, sementara para petugas sandi akan mencari arah, kemana kita akan pergi" Ki Gede Pemanahanpun kemudian telah memerintahkan seluruh pasukan itu untuk beristirahat di padukuhan itu. Sebenarnyalah para penghuni padukuhan itu, termasuk Ki Bekel, menjadi cemas atas peristiwa yang terjadi di padukuhannya. Tetapi seperti kepada orang-orang di Jurangjero, Ki Gede Pemanahan minta agar orang-orang padukuhan itu bersikap baik terhadap para pengikut Harya Wisaka.
"Mereka memang pemberontak. Tetapi kami tidak dapat membantai mereka yang terluka itu. Biarlah mereka kalian rawat dengan baik, agar kawan-kawan mereka tidak mendendam. Sedangkan kawan-kawan kami yang terluka akan tetap bersama kami. Kami tidak dapat meninggalkan mereka disini" "Tetapi ada di antara mereka yang terluka parah" "Apaboleh buat" Hari itu. Ki Gede Pemanahan dan pasukannya tetap berada di padukuhan itu. Ki Bekel di padukuhan itupun telah menyediakan makan dan minum bagi para prajurit Pajang itu serta bagi orang-orang yang terluka. Dua orang tabib berusaha merawat orang-orang yang terluka itu. Seperti pesan Ki Gede Pemanahan kepada Ki Bekel, maka orang-orang padukuhan itu bersikap baik terhadap para pengikut Harya Wisaka yang terluka, agar mereka tidak mendendam kepada para penghuni padukuhan itu. Lewat tengah hari, barulah para prajurit dapat beristirahat. Tetapi Raden Sutawijaya tidak ingin pasukannya yang dirunduk oleh para pengikut Harya Wisaka. Karena itu, maka beberapa orang prajurit bergantian mengawasi setiap penjuru di luar padukuhan. Bahkan di malam hari para pengawas itu selalu berada di tempat mereka bergantian. Tetapi para pengikut Harya Wisaka yang parah itu tidak datang untuk menyerang kembali para prajurit Pajang yang ada di padukuhan itu. Dalam pada itu, di tengah malam, seorang petugas sandi telah datang memberikan laporan, bahwa pasukan Harya Wisaka itu telah meninggalkan padukuhan yang direncanakan untuk menjebak para prajurit Pajang. Mereka bergabung dengan kelompok kecil pasukan Harya Wisaka yang lain. Tetapi agaknya mereka tidak berniat untuk mengadakan serangan balasan. "Tetapi kami mohon pasukan ini jangan bergerak dahulu esok pagi" "Kenapa?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Ada gerakan pasukan lain, Raden" "Pasukan lain" Maksudmu" Pasukan baru dari para pengikut Harya Wisaka yang dipimpin langsung oleh Harya Wisaka?" "Tidak, Raden. Kami belum tahu pasti. Tetapi bukan pasukan Harya Wisaka. Mungkin mereka orang-orang dari perguruan yang tentu saja masih belum dapat melupakan cincin kerajaan yang mereka cari itu" "Berapa kekuatan mereka?" "Kami belum tahu. Kawanku itu sedang mencari keterangan lebih jauh. Tetapi sebaiknya pasukan ini tetap berada disini" Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Besok kita masih akan berada disini. Kami menunggu perkembangan keadaan" Tetapi petugas sandi itupun kemudian telah minta diri lagi untuk meninggalkan padukuhan itu untuk mencari keterangan. "Kau dan kawan-kawanmu juga perlu beristirahat. Jangan terlalu letih. Jaga ketahanan wadagmu" "Tidak apa-apa, Raden. Kami sudah terbiasa" "Dalam keadaan yang lain, kau tentu tidak sesibuk sekarang. Padahal kesibukanmu bukan sekedar mengerahkan tenaga wadagmu, tetapi juga penalaranmu. Sedangkan taruhannya adalah nyawamu. Ketegangan-ketegangan yang mencengkammu akan dapat mengganggumu" "Jika keadaan memungkinkan, kami akan beristirahat dimanapun kami sedang berada" Raden Sutawijaya tidak dapat menahan prajurit sandi itu. Sejenak kemudian prajurit sandi itu sudah pergi lagi meninggalkan padukuhan. Malam itu, Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa telah menemui Ki Bekel dan memberitahukan bahwa pasukannya akan menunda keberangkatannya. "Silahkan, Raden. Silahkan. Kami sama sekali tidak merasa berkeberatan" "Tetapi selama kami disini, kami menjadi beban Ki Bekel"
"Tidak apa-apa, Raden. Kami masih mempunyai persediaan cukup di lumbung-lumbung kami" "Terima kasih atas kebaikan hati Ki Bekel" Dalam pada itu, para petugas sandipun telah menjalankan tugas mereka dengan baik. Mereka berusaha untuk mengetahui gerakan pasukan yang semula tidak mereka kenal itu. Pasukan itu tentu bukan pasukan para pengikut Harya Wisaka. Sementara itu, para petugas sandi itupun telah berhasil melacak pasukan Harya Wisaka itu pula. Namun agaknya pasukan Harya Wisaka itupun sudah mengetahui, bahwa ada gerakan lain yang berkeliaran di daerah itu. Pasukan Harya Wisaka yang telah bergabung itu menempati sebuah padukuhan yang cukup besar. Para petugas sandi mendapat keterangan bahwa pasukan itu dipimpin langsung oleh Harya Wisaka. Dua orang prajurit sandi yang datang menghadap Raden Sutawijaya di hari berikutnya menjelang senja, telah melaporkan keberadaan pasukan itu. "Tetapi kami mohon Raden tidak membawa pasukan ini mendekati pasukan Harya Wisaka" "Kenapa?" "Nampaknya pasukan yang masih belum kita kenal itu sedang berusaha mengenali pasukan Harya Wisaka. Jika kedua pasukan itu bergabung, maka sebaiknya kita urungkan niat kita untuk menangkap Harya Wisaka" "Kenapa?" "Pasukan itu akan menjadi pasukan yang besar dan kuat" "Apakah kita perlu melarikan diri?" "Bukan melarikan diri, Raden. Tetapi kita tidak seperti serangga yang menyurukkan kepala kita ke dalam api. Jika kita mengambil sikap itu, sama sekali bukan karena ketakutan. Tetapi atas dasar perhitungan nalar yang wajar" Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Para petugas sandi itulah yang langsung menyaksikan pasukan yang dikatakannya itu. Merekalah yang sepantasnya
memberikan penimbangan apakah pasukan kecil itu berani mengambil langkah atau tidak. Karena itu, Raden Sutawijaya tidak membantah. Ia harus mempercayai petugas sandi yang sudah berpengalaman itu. Ketika hal itu kemudian dibicarakan oleh Raden Sutawijaya dengan Pangeran Benawa dan Paksi, maka merekapun telah mengambil keputusan untuk tidak bergerak lebih dahulu. Dan ketika keputusan itu disampaikan kepada Ki Gede Pemanahan, maka Ki Gedepun menyetujuinya. Sambil memberi kesempatan kepada prajurit-prajurit Pajang itu beristirahat, maka pasukan Pajang menunggu perkembangan keadaan. Sementara itu yang terluka mendapat perawatan yang sebaik-baiknya. Ki Bekel dan orang-orang padukuhan itupun berusaha untuk melayani para prajurit dengan sebaik-baiknya. Mereka mencukupi segala kebutuhannya, terutama makan dan minum mereka. Sementara itu, beberapa orang pengikut Harya Wisaka yang terlukapun mendapat perawatan yang baik pula. Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi yang harus menunda gerakan mereka, mendapat kesempatan untuk berbicara dengan para pengikut Harya Wisaka yang terluka. Seorang yang berwajah jernih, berkulit kuning dan sikapnya merendah, telah dipanggil oleh Raden Sutawijaya untuk melakukan pembicaraan khusus ditunggui oleh Pangeran Benawa dan Paksi. "Jadi kau sendiri belum pernah bertemu dengan Harya Wisaka?" "Sudah, Raden" "Maksudku setelah Harya Wisaka lari dari tahanan" "Belum, Raden" "Jadi siapakah yang selama ini memimpin pasukanmu?" "Ki Manon. Tetapi menurut Ki Manon, Harya Wisaka ada di pasukan yang lain. Juga pasukan yang kecil saja, yang bergerak dengan cepat. Hari ini Harya Wisaka berada disini. Besok Harya Wisaka sudah berada di tempat yang jauh.
Bahkan kadang-kadang Harya Wisaka dalam saat yang bersamaan berada di dua tempat yang terpisah" "Kau mulai mendongeng. Aku bukan anak-anak yang berangkat tidur. Katakan yang sebenarnya, dimana Harya Wisaka bersembunyi" "Aku tidak tahu, Raden. Sungguh, aku tidak tahu. Hanya orang-orang penting sajalah yang mengetahuinya. Bahkan aku tidak tahu ketika Harya Wisaka dan pasukan kecilnya bermalam di padukuhan yang sama dengan padukuhan tempat kami tinggal untuk beberapa hari. Baru kemudian aku mendengar, bahwa yang lewat bersama pasukan kecil itu adalah Harya Wisaka" Raden Sutawijaya, menarik nafas dalam-dalam. Ia mempercayai orang itu. Nampaknya orang itu jujur dan tidak mengada-ada. Dalam pada itu, Paksipun telah bertanya pula, "Kau pernah bertemu, berbicara atau sekedar mengetahui seorang tumenggung yang bernama Tumenggung Sarpa Biwada?" "Aku pernah mendengar namanya. Tetapi aku belum pernah mengenalnya. Ia berada di dalam pasukan kecil itu pula" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak bertanya lebih jauh. Pangeran Benawalah yang kemudian bertanya, "Kenapa kau berada di dalam pasukan yang berada di bawah perintah Harya Wisaka" Apakah kau tidak tahu bahwa Harya Wisaka telah memberontak terhadap kekuasaan Pajang?" "Harya Wisaka hanya ingin mengambil haknya dari Mas Karebet yang menyebut dirinya Sultan Hadiwijaya" "Siapapun Mas Karebet, tetapi Mas Karebet adalah menantu Kangjeng Sultan Demak. Ia berhak untuk mewarisi kedudukan mertuanya" "Ada orang lain yang lebih berhak" "Tetapi, bukankah kedudukan Kangjeng Sultan Pajang itu sah dan pantas untuk ditegakkan?"
Orang itu terdiam. Ia tahu, bahwa ia berbicara dengan putera Kangjeng Sultan Pajang itu. Tetapi Pangeran Benawa itupun mendesak, "Bagaimana menurut pendengaranmu, apakah Harya Wisaka lebih berhak dari Kangjeng Sultan Pajang yang sekarang duduk di atas tahta?" Orang itu masih tetap berdiam diri. "Baiklah. Kau tentu tidak berani mengatakannya, karena kau tahu aku adalah Pangeran Benawa. Tetapi bahwa kau dengan sadar mengikuti gerakan Harya Wisaka itu, sudah merupakan wajah dari sikapmu terhadap Kangjeng Sultan Pajang" "Ampun, Pangeran" "Aku tidak akan mengadili sikapmu itu" Orang itu terdiam. Ditundukkannya kepalanya dalamdalam. Namun kemudian iapun berkata, "Pangeran, aku berasal dari Jipang. Apa yang aku dengar tentang Pajang memang berbeda dari apa yang aku saksikan. Prajurit dan kekuasaan Pajang tidak sebengis yang aku dengar" "Apa yang kau dengar?" "Yang jelek-jelek" Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Itu tidak mengherankan. Jika kepadamu tidak diceriterakan yang jelek-jelek, maka kau tidak akan ikut memberontak" "Ya. Tetapi khususnya disini aku tidak melihat kebengisan prajurit Pajang. Mungkin karena pasukan ini dipimpin langsung oleh Ki Gede Pemanahan, sehingga sikap dan tingkah laku para prajuritnya terkendali" "Mungkin. Tetapi sebaiknya jika kau sudah sembuh, perlukan datang ke kotaraja. Kau akan melihat kehidupan yang mapan" berkata Pangeran Benawa. Namun Pangeran itupun berkata pula, "Tetapi aku tidak akan ingkar, bahwa masih ada para pejabat yang melaksanakan tugasnya lepas dari kendali. Terutama di daerah-daerah yang agak terpencil. Tetapi itu bukan kebijaksanaan pemerintahan di Pajang. Hal itu terjadi karena ada orang-orang yang menyalah-gunakan kekuasaannya. Mungkin untuk mendapat keuntungan pribadi"
Pengikut Harya Wisaka itu tidak menjawab. Tetapi kepalanya masih menunduk. "Nah, jika kau sembuh nanti, apa yang akan kau lakukan" Mencari hubungan dengan Harya Wisaka atau ingin melihat Pajang yang sesungguhnya" Khususnya di kotaraja?" Orang itu menggeleng. Katanya, "Aku belum tahu" "Baiklah. Itu terserah kepadamu. Seharusnya kau ditahan. Tetapi pelaksanaannya sulit sekali karena kami berada disini. Kalau kau kami serahkan kepada Ki Bekel, maka akibat buruk dapat terjadi bagi padukuhan ini. Jika kami pergi, maka kawan-kawanmu akan datang untuk membebaskanmu sekaligus membalas dendam kepada Ki Bekel dan penghuni padukuhan ini, meskipun mereka sebenarnya tidak bersalah. Karena itu, kami tidak dapat menahanmu dan kawankawanmu yang terluka" "Kenapa para prajurit Pajang tidak membunuh kami?" "Kau tadi sudah mengatakan, bahwa mungkin karena pasukan ini dipimpin langsung oleh Ki Gede, maka tindakan para prajuritnya terkendali" Orang itu menunduk lagi. "Tetapi perlu kau ketahui, bahwa para prajurit Pajang ditempa dalam latihan-latihan yang berat, tidak untuk menjadi pembunuh. Para prajurit Pajang di bawah pimpinan siapapun diajari untuk berpegang pada paugeran perang" Orang itu mengangguk-angguk. "Baiklah" berkata Raden Sutawijaya, "biarlah orang ini dibawa kembali kepada teman-temannya yang terluka" Dengan pembicaraan itu, maka seakan-akan bayangan wajah Harya Wisaka menjadi semakin kabur. Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi harus mengakui, bahwa jalan yang mereka tempuh bukanlah satu kepastian untuk sampai kepada Harya Wisaka itu, betapapun para petugas sandi bekerja keras. Tetapi ketika para petugas sandi kemudian menemui Raden Sutawijaya, maka para petugas sandi itupun melaporkan, bahwa jejak Harya Wisaka menjadi sulit untuk dilacak. Tetapi
setiap kali mereka mendapat keterangan bahwa pasukan yang mereka bayangi itu dipimpin langsung oleh Harya Wisaka. Dalam pada itu, para petugas sandi juga masih belum mendapatkan keterangan yang meyakinkan tentang pasukan yang tidak dikenal itu. Agaknya pasukan Harya Wisaka juga masih belum menentukan sikap, apakah mereka akan membuat benturan dengan pasukan itu. "Paman Harya Wisaka akan menghitung berulang kali untuk membenturkan kekuatannya dengan pasukan itu. Paman Harya Wisaka sendiri memerlukan kekuatan yang sebesarbesarnya untuk dapat mengganggu ketertiban di Pajang dan mengacaukan pemerintahan sebelum sampai pada saatnya menghancurkannya" berkata Raden Sutawijaya. Namun Raden Sutawijaya masih belum mulai bergerak lagi sesuai dengan permintaan para petugas sandi. Kekuatan pasukan Pajang itu ternyata tidak cukup kuat untuk menghadapi pasukan-pasukan yang ada. Pasukan Harya Wisakapun menjadi semakin kuat ketika dua pasukan bergabung menjadi satu. Meskipun yang satu merupakan pasukan kecil, tetapi bersama-sama dua pasukan itu menjadi besar. Pasukan yang belum dikenal itupun nampaknya juga sebuah pasukan yang besar. Mungkin gabungan dari beberapa perguruan. Tetapi mungkin juga hanya sebuah perguruan yang memang besar. Atau gerombolan penjahat yang ingin memanfaatkan keadaan. Sementara itu pasukan yang dipimpin langsung oleh Ki Gede Pemanahan itu menjadi semakin kecil. Ada yang gugur, dan ada yang terluka, bahkan parah. Karena itu, maka pasukan kecil itu harus menjadi lebih berhati-hati menghadapi kemungkinan-kemungkinan di medan. Dalam pada itu, di Pajang, para prajuritpun selalu bersiaga. Mereka menyadari, bahwa udara Pajang terasa menjadi semakin panas sejak hilangnya Harya Wisaka. Ada beberapa orang tumenggung yang hilang selain Ki Tumenggung Sarpa
Biwada. Mereka adalah orang-orang yang bergabung dengan Harya Wisaka. Dalam pada itu, di sebuah rumah kecil dan sederhana di sudut kota Pajang, tiga orang sedang duduk di amben bambu di ruang dalam rumah itu. Wajah mereka nampak bersungguh-sungguh. Agaknya mereka memang sedang membicarakan masalah yang sangat penting. "Orang-orang Pajang yang dungu itu percaya, bahwa Harya Wisaka sendirilah yang memimpin pasukan yang bergerak di luar kota. Ki Gede Pemanahan sendiri telah turun tangan memimpin pasukan khusus untuk memburu Harya Wisaka itu" Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Namun seorang di antara mereka tersenyum sambil berkata, "Bagaimana mungkin Pajang dapat menjadi besar di bawah pimpinan orang-orang dungu seperti itu?" "Kapan kita akan bertindak" Mumpung Ki Gede Pemanahan belum pulang" "Ya. Kita harus segera bertindak. Jika Ki Gede Pemanahan menyadari bahwa dirinya telah dikelabuhi, maka ia akan segera pulang" "Bukankah kita ingin memasuki istana?" "Ya. Aku akan membunuh Sultan Hadiwijaya dengan tanganku. Jika dua orang utusan Kakangmas Harya Penangsang pernah gagal, maka aku tidak akan gagal" "Apakah Angger Harya Wisaka yakin bahwa kita akan dapat memasuki istana?" "Kalau dua orang utusan Kakangmas Harya Penangsang dapat memasuki bilik tidur Sultan Hadiwijaya, kenapa aku tidak?" Kedua orang yang lain termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Harya Wisaka yang sebenarnya tidak pernah keluar dari kota itu berkata selanjutnya, "Aku akan membunuhnya dengan keris pusakaku sendiri" "Kapan kita akan melakukannya?"
"Jangan tergesa-gesa" jawab Harya Wisaka. "Tentu saja dalam waktu yang tidak terlalu lama agar Pemanahan yang dungu itu masih belum sempat pulang" "Apakah Ki Gede sekarang belum pulang?" "Tentu belum. Pasukan kecil itu juga belum pulang. Bahkan mungkin Ki Gede Pemanahan tidak akan pernah pulang, karena Pemanahan akan dapat terjebak oleh kesombongannya sendiri" "Maksud Angger?" "Para pengikutku bukan orang-orang yang bodoh seperti orang-orang Pajang. Mereka mempergunakan otak mereka dengan baik. Pasukan Ki Gede Pemanahan yang kecil itu tentu akan dapat dijebak oleh orang-orangku sehingga pasukan itu dapat dilumatkan menjadi debu" Kedua orang yang lainpun mengangguk-angguk. Sementara itu Harya Wisakapun berkata selanjutnya, "Sebenarnyalah aku masih menunggu Paman Jalamanik" "Apakah Resi Jalamanik akan datang?" "Ya. Paman Resi Jalamanik akan datang dalam satu dua hari ini. Kemudian kita dan beberapa orang pilihan akan memasuki istana" "Apakah kita akan dapat menembus para prajurit yang bertugas?" "Kita bukan orang-orang bodoh yang hanya mengandalkan tenaga dan kemampuan kewadagan. Karena itu aku menunggu Paman Resi Jalamanik yang telah putus saliring ilmu. Paman menguasai ilmu sirep dengan baik, sehingga dengan ilmu sirep, maka penjagaan di istana akan menjadi sangat lemah" Kedua orang yang lain mengangguk-angguk. Namun seorang di antara merekapun bertanya, "Bagaimana dengan Kangjeng Sultan sendiri" Apakah sirep itu akan berarti?" "Kita tidak melontarkan sirep di siang hari. Pada waktu Kangjeng Sultan sedang tidur, maka sirep akan membuatnya menjadi semakin nyenyak. Kangjeng Sultan tidak akan sempat membuat perlawanan atas sirep yang menyentuhnya,
sehingga sirep itupun akan mencengkamnya seperti pada orang lain" "Itu yang kita harapkan. Tetapi jika yang terjadi lain?" "Apakah di antara kita tidak ada yang dapat menghadapinya" Kangjeng Sultan memang seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tetapi Resi Jalamanik juga orang yang memiliki ilmu tidak terbatas di samping ilmu sirepnya. Seandainya kemampuan Resi Jalamanik tidak ada seorang pun di antara kita yang dapat membantunya" Setidak-tidaknya aku sendiri akan dapat mengisi kekurangan Paman Resi Jalamanik" Kedua orang itu mengangguk-angguk pula. Namun seorang di antara mereka bertanya, "Bagaimana kita tahu tentang Ki Gede Pemanahan?" "Jangan bodoh. Jika pasukan kecil itu belum kembali, Ki Gedepun tentu belum kembali" "Jadi kerja kita sekarang menunggu Resi Jalamanik?" "Ya" "Kita sudah kehilangan banyak waktu" "Apakah kau dapat menggantikan peran Paman Resi Jalamanik" Jika kau mempunyai ilmu sirep yang kuat serta tingkat ilmumu sama dengan Paman Resi Jalamanik, aku bersedia untuk melakukannya malam nanti" Orang itu tidak menjawab. Meskipun demikian, di hatinya ia tidak segera mengakui bahwa ilmunya tidak dapat menandingi ilmu Resi Jalamanik, kecuali ilmu sirep. Orang itu memang harus mengakui, bahwa ia tidak mempunyai kemampuan melontarkan ilmu sirep. Namun mereka harus tunduk kepada keputusan Harya Wisaka. Mereka harus menunggu Resi Jalamanik. Hari itu memang merupakan hari yang sangat tegang. Di rumah kecil dan sederhana itu Harya Wisaka mengatur kekuatannya. Bahkan ia mampu mengendalikan pasukannya yang berkeliaran di luar kotaraja. Setiap hari para penghubung datang menemuinya dengan seribu macam cara. Sebagian dari mereka menyamar menjadi penjual hasil bumi di pasar.
Yang lain membawa gerabah dengan kuda beban berkeliling dari padukuhan ke padukuhan. Bahkan Harya Wisaka mempunyai penghubung perempuan yang berpura-pura berjualan nasi tumpang berkeliling dari rumah ke rumah. Ternyata ketajaman penglihatan para petugas sandi Pajang masih belum mampu melihat kenyataan dari orang-orang yang menyamar itu. Mereka masih mempunyai peluang untuk keluar masuk pintu gerbang kota. Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Harya Wisaka masih berada di dalam kota. Pasukannya sengaja melontarkan kesan, seolah-olah Harya Wisaka telah berhasil melarikan diri keluar kota dan memimpin langsung pasukannya yang membuat berbagai macam kerusuhan untuk menimbulkan keresahan di wilayah Pajang. Terutama daerah yang tidak terlalu jauh dari kotaraja. Ternyata yang diharapkan datang oleh Harya Wisaka itu datang lebih cepat. Malam itu, ketika pintu rumah kecil itu sudah tertutup rapat, maka terdengar seseorang mengetuk perlahan-lahan. Harya Wisaka dan penghuni rumah itu yang lain masih belum tidur. Merekapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun tiba-tiba saja terdengar suara di luar, "Kali bening iline ngidul" Harya Wisaka menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat iapun bertanya, "Iwake?" "Bader bang" Harya Wisakapun kemudian berdesis kepada pemilik rumah itu, yang berbaring di amben bambu di ruang dalam untuk membukanya. "Bukalah. Tentu kawan sendiri" Pemilik rumah itu, seorang pengikut Harya Wisaka yang yakin akan kebenaran perjuangannya, melangkah ke pintu. Diangkatnya selarak pintu itu dan kemudian dibukanya. Dua orang berdiri di depan pintu. Seorang di antaranya adalah seorang yang umurnya sudah lebih dari setengah abad.
Janggutnya yang tidak terlalu panjang, kumis serta jambangnya yang terjulur di bawah ikat kepalanya sudah nampak memutih. Sementara itu, yang seorang lagi adalah seorang yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan. Tetapi pandangan matanya tajam setajam mata burung hantu. "Marilah Paman berdua" Harya Wisaka mempersilahkan. Kedua orang itupun kemudian melangkah masuk. Sejenak kemudian keduanya telah duduk di ruang dalam ditemui Harya Wisaka dan dua orang kawannya yang tinggi di rumah kecil itu, sementara pemilik rumah itupun telah pergi ke dapur untuk merebus air. "Selamat datang, Paman berdua" Orang yang janggut dan kumisnya sudah putih tersenyum sambil menjawab, "Terima kasih, Harya Wisaka. Bagaimana dengan keadaanmu?" "Baik, Paman Resi. Kami memang menunggu-nunggu kedatangan Paman Resi Jalamanik dan Paman Wimba Atmaka" Resi Jalamanik tertawa. Katanya, "Kau menunggu-nunggu kedatanganku jika kau sangat memerlukannya. Jika tidak, kau melupakan aku" "Tidak. Bukan begitu, Paman. Aku tidak melupakan Paman. Tetapi karena kesibukan yang mengurungku, sehingga aku tidak dapat pergi kemana-mana. Apalagi sekarang. Bukan saja kesibukanku yang mengikat aku di kotaraja, tetapi Pemanahan telah menebarkan orang-orangnya untuk mencariku" "Kau takut menghadapi Pemanahan?" "Bukan takut, Paman. Tetapi aku tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa ia mempunyai prajurit yang terlalu banyak untuk dilawan" "Jadi apa menurut rencanamu?" "Pemanahan telah aku pancing keluar" "Maksudmu?"
"Orang-orangku menebarkan dongeng bahwa aku telah menyusup keluar kotaraja dan memimpin pasukan untuk membuat resah" Resi Jalamanik mengangguk-angguk, sementara Ki Wimba Atmaka bertanya, "Ki Gede Pemanahan mencarimu?" "Ya. Ia membawa pasukan kecil yang sangat tangguh untuk memburuku. Pasukanku yang berada di luar masih terus menyebarkan ceritera itu. Dimanapun mereka berhenti, mereka selalu menyebut-nyebut namaku yang memimpin langsung pasukan yang selalu menimbulkan keresahan itu" Ki Wimba Atmaka tertawa. Katanya, "Kau memang cerdik, Harya Wisaka. Sekarang, tanpa Ki Gede Pemanahan, maka Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang perkasa itu tidak akan mampu menyelamatkan dirinya" "Apa yang akan kita lakukan?" bertanya Resi Jalamanik. "Masuk ke dalam istana dan menikam jantung Hadiwijaya dengan kerisku ini" "O" Resi Jalamanik mengangguk-angguk, "kenapa tidak segera kau lakukan?" "Aku menunggu Paman Resi Jalamanik" "Menunggu aku?" "Paman tahu itu. Paman berdua adalah orang yang berilmu tinggi. Paman Resi Jalamanik memiliki kemampuan ilmu sirep" Resi Jalamanik tersenyum. Katanya, "Jadi, kita akan memasuki istana dengan menebarkan sirep lebih dahulu?" "Ya" "Sultan Hadiwijaya tidak akan termakan oleh sirep betapapun tajamnya" "Yang penting semua pengawalnya tertidur. Kita akan dapat memasuki istana dengan leluasa dan langsung menuju ke bilik tidur Sultan Hadiwijaya. Jika ia sudah tertidur sebelum sirep ditebarkan, maka ia tidak mempunyai kesempatan untuk melawan, tetapi seandainya ia masih tetap terbangun, kita akan menyelesaikannya. Kita akan membunuhnya dalam satu pertempuran" "Perang tanding?"
http://www.mardias.mywapblog.com
"Jika Paman menghendaki" "Kau yang kau maksudkan" "Paman masih saja mempermainkan aku" Resi Jalamanik tertawa. Demikian pula Ki Wimba Atmaka yang tertawa berkepanjangan. Katanya, "Kau masih pandai merajuk" "Paman, aku sudah merasa sangat letih menghadapi permainan Ki Gede Pemanahan. Aku ingin segera berakhir. Aku ingin Sultan Hadiwijaya mati dan terjadi kekosongan pemerintah di Pajang. Sepeninggal Hadiwijaya, pengaruh Pajang akan segera menyusut. Aku tidak yakin bahwa Benawa mempunyai wibawa seperti ayahnya" "Sekarang, kau berharap aku mengakhiri permainan ini" "Ya" "Setelah Hadiwijaya terbunuh, bagaimana dengan Pemanahan?" "Pemanahan tidak akan mendapat banyak pengikut. Pajang akan terpecah. Mungkin Pemanahan dan Sutawijaya akan berdiri di satu pihak dan Pangeran Benawa di pihak lain. Sementara itu, gerakan untuk menguasai cincin yang dibawa oleh Pangeran Benawa itu masih saja terjadi. Keinginanku untuk memiliki cincin kerajaan itupun belum padam juga" Resi Jalamanik mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan membantumu membunuh Hadiwijaya. Tetapi biarlah aku beristirahat sehari besok. Baru besok malam kita akan memasuki istana" "Tentu, Paman. Tentu tidak malam ini. Besok aku akan bersiap-siap. Aku masih akan memanggil Tumenggung Sarpa Biwada untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan di luar istana" "Jangan bodoh" berkata Resi Jalamanik. "Jika kau mempersiapkan pasukan, maka rencanamu tentu akan tercium. Menurut pendapatku, lebih baik kita empat atau lima orang saja memasuki istana yang tidak dijaga, karena para penjaganya tertidur. Mungkin Sultan Hadiwijaya sendiri tidak
tertidur. Tetapi ia tidak akan dapat berbuat banyak menghadapi kita" Harya Wisaka mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah, Paman. Mana yang baik menurut Paman, akan kami lakukan" "Nah, sekarang beri aku minum dan makan apa saja yang ada. Aku haus dan lapar" "Baik, baik, Paman" Seorang dari kawan-kawan Harya Wisaka itupun pergi ke dapur. Air yang dijerang oleh pemilik rumah itupun sudah mendidih. Sejenak kemudian, maka dihidangkan wedang jahe yang bukan saja masih mengepul, tetapi wedang jahe itu akan dapat menghangatkan tubuh mereka di malam yang dingin. Dalam pada itu, di dalam pasukannya yang sudah menyusut, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi masih belum dapat menentukan, kapan mereka akan bergerak. Para petugas sandi masih memberikan pertimbangan agar mereka tetap berada di tempat. Bahkan mereka harus memperkuat pertahanan mereka, karena kemungkinan buruk dapat saja terjadi setiap saat. Busur dan anak panahpun selalu dipersiapkan. Di sudutsudut padukuhan telah ditempatkan gardu-gardu perondan. Bahkan tangga bambu untuk para peronda yang bertugas mengawasi keadaan di luar padukuhan itu. Sementara itu, kelompok-kelompok kecilpun selalu meronda di seputar padukuhan itu di malam hari. Di tengah malam, dua orang petugas sandi telah menemui Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi. Mereka memberitahukan, bahwa beberapa orang berkuda telah mendatangi dan kemudian bergabung dengan pasukan Harya Wisaka itu. "Siapakah mereka?" "Mungkin seorang di antara mereka adalah Harya Wisaka itu sendiri" Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Dengan nada datar iapun berkata, "Apakah kita akan menyergap mereka?"
"Sulit dilakukan, Raden. Kekuatan mereka terlalu besar bagi pasukan kecil ini. Pengalaman mereka terjebak sampai dua kali membuat mereka menjadi sangat berhati-hati" Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Sementara itu Pangeran Benawapun bertanya, "Bagaimana dengan para prajurit yang berada di Prambanan" Bukankah mereka telah dibersihkan dari pengaruh beberapa orang pengikut Harya Wisaka?" "Ya" petugas sandi itu mengangguk-angguk. "Tetapi Prambanan masih jauh" "Berkuda?" "Kami akan mencoba. Seorang kawan kami akan pergi ke Prambanan. Jika keadaan memungkinkan, kita akan dapat bergerak bersama-sama dengan para prajurit yang berada di Prambanan" Dalam pada itu, Ki Gede Pemanahanpun telah menyetujui rencana untuk menghubungi para prajurit di Prambanan. Demikianlah, maka salah seorang penghubung telah pergi ke Prambanan berkuda. Ia telah diijinkan mempergunakan kuda Ki Bekel yang tegar dan besar. "Kami menunggu beritamu" berkata Raden Sutawijaya. "Baik, Raden" Di tengah malam penghubung itu memacu kudanya. Ia harus memilih jalan yang aman, agar ia tidak terperosok ke dalam jebakan pasukan Harya Wisaka. Ketika petugas sandi itu sampai di Prambanan, maka mereka melihat satu kenyataan yang mendebarkan. Prambanan memang sudah diyakini bersih dari pengikut Harya Wisaka. Tetapi pasukan yang ada di Prambanan kemudian adalah pasukan yang baru tersusun. Sebagian besar dari mereka adalah prajurit-prajurit yang masih muda dan belum berpengalaman. Senapati Pajang yang ditugaskan di Prambanan adalah seorang lurah yang juga terhitung masih muda. "Kami akan melaksanakan perintah Raden Sutawijaya" berkata Ki Lurah Sanggabaya.
Petugas sandi itu mengangguk-angguk. Katanya, "Siapkan prajurit, Ki Lurah. Apa adanya. Biarlah aku memberikan laporan kepada Ki Gede Pemanahan" "Baik" berkata Ki Lurah. Namun katanya kemudian, "Kedatanganmu memberikan kemungkinan-kemungkinan baru bagi kami. Petugas sandi kami yang berpengalaman, memperhitungkan bahwa pasukan yang semula kurang jelas bagi kami, yang agaknya adalah pasukan Harya Wisaka sebagaimana kau katakan, memang bergerak ke selatan" "Ya. Mereka memang bergerak ke selatan. Tetapi apakah Ki Lurah juga menangkap isyarat kehadiran pasukan yang lain?" "Ya. Tetapi nampaknya pasukan itu tidak cukup kuat untuk menghadapi pasukan Harya Wisaka itu. Pasukan itu adalah pasukan liar yang masih belum dapat kami ketahui dengan jelas" "Apa yang sudah Ki Lurah persiapkan disini?" bertanya petugas sandi itu. "Kami mempunyai orang yang cukup. Tetapi sebagian besar belum berpengalaman. Ketika aku membawa sepuluh orang di antara mereka untuk memburu sekelompok perampok, maka ketika terjadi pertempuran, ada di antara prajuritku justru terkencing-kencing. Dalam ketakutan itu, hampir saja ia harus menyerahkan nyawanya. Untunglah seorang prajurit yang berpengalaman sempat menyelamatkannya" Petugas sandi itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam iapun berkata, "Aku akan segera kembali untuk memberikan laporan. Mungkin ada perintah dari Ki Gede Pemanahan bagi Ki Lurah" "Apapun yang diperintahkan, akan kami lakukan dengan kekuatan yang ada pada kami" "Aku mohon diri, Ki Lurah. Aku mohon Ki Lurah mempersiapkan pasukan Ki Lurah. Jika Ki Gede Pemanahan memerintahkan pasukan ini membentur pasukan Harya Wisaka, maka tugas itu memang sangat berat. Tetapi pasukan Raden Sutawijaya tentu akan bersama-sama dengan Ki Lurah"
Petugas sandi itupun kemudian telah dipertemukan dengan prajurit sandi yang bertugas di Prambanan. Mereka dapat bertukar keterangan sehingga gambaran mereka tentang pasukan Harya Wisaka itu menjadi semakin jelas. Ketika prajurit sandi dari pasukan Raden Sutawijaya itu kembali ke pasukannya, maka seorang petugas sandi dan seorang penghubung dari pasukan Pajang yang berada di Prambanan itu menyertainya. Kedua orang itupun kemudian langsung menghadap Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi untuk memberikan beberapa keterangan tentang keadaan mereka di Prambanan serta gerakan-gerakan pasukan di sekitarnya. "Nampaknya pasukan yang ternyata adalah pasukan Harya Wisaka itu memang akan menuju ke Prambanan" berkata petugas sandi dari Prambanan itu. "Kita akan bergerak bersama-sama" berkata Raden Sutawijaya. Petugas sandi dari Prambanan itu ternyata mengenal lingkungan itu dengan baik. Karena itu, maka bersama-sama dengan petugas sandi dan penghubung dari Prambanan itu, Raden Sutawijaya telah membuat rencana penyergapan atas pasukan Harya Wisaka itu. "Mudah-mudahan Harya Wisaka ada di antara mereka" desis Pangeran Benawa. Tetapi mereka tidak mempunyai waktu lagi untuk menyergap pagi itu. Sementara itu langit sudah menjadi terang. Karena itu, maka mereka merencanakan untuk menyergap pasukan Harya Wisaka itu di hari berikutnya. Raden Sutawijayapun telah mengatur padukuhanpadukuhan yang akan menjadi landasan serangan mereka. Mereka telah bersepakat, dimana pasukan dari Prambanan itu akan menempatkan diri. Kemudian di padukuhan manakah pasukan Ki Gede Pemanahan itu akan berhenti. "Kita akan menyergap pasukan itu sebelum fajar esok pagi" berkata Raden Sutawijaya.
"Baik, Raden. Ki Lurah Sanggabaya akan menyiapkan pasukannya di tengah malam" "Kita harus membuat hubungan dahulu sebelum penyergapan itu dilakukan" "Ki Lurah akan menghadap Raden nanti malam" Demikianlah, setelah mereka mendapat kesepakatan, maka kedua orang prajurit dari Prambanan itupun mohon diri. "Jika ada masalah, beritahukan kepada kami" pesan Pangeran Benawa. "Ya, Pangeran. Tetapi Pangeran jangan kecewa terhadap prajurit-prajurit dari Prambanan yang sebagian besar masih belum berpengalaman itu" "Tetapi bukankah mereka telah mendapat latihan-latihan yang cukup?" "Mereka sampai sekarang masih tetap ditempa dalam latihan-latihan. Tetapi memang agak tergesa-gesa. Ketika pasukan Prambanan dibersihkan dari pengaruh Harya Wisaka, maka Prambanan seakan-akan menjadi kosong, sehingga disusun pasukan itu dengan pertimbangan yang kurang masak" "Tetapi Ki Lurah telah menjalankan tugasnya dengan baik. Latihan-latihan itu memang tidak boleh berhenti" "Ya. Dibimbing oleh beberapa orang prajurit yang sudah berpengalaman. Tetapi kemajuannya terasa lamban sekali" "Pada suatu saat mereka akan disebut berpengalaman. Pada mulanya, semuanya memang belum berpengalaman" Petugas sandi dan penghubung dari Prambanan itu mengangguk-angguk. Ketika matahari naik, maka petugas sandi dan penghubung dari Prambanan itupun minta diri. Mereka harus segera menghubungi Ki Lurah Sanggabaya agar Ki Lurah segera mempersiapkan pasukannya. Sejenak kemudian, keduanya telah berpacu di jalan bulak. Mereka harus memperhitungkan sebaik-baiknya, jalan manakah yang dapat mereka lewati, agar mereka tidak tersesat memasuki lingkaran pengamatan pasukan Harya Wisaka.
Ketika hasil kesepakatan kedua orang prajurit dari Prambanan itu dengan Raden Sutawijaya dilaporkan kepada Ki Lurah, maka Ki Lurahpun berdesis, "Kita kumpulkan semua pemimpin kelompok. Setelah kita berbicara tentang rencana gerak pasukan kita, kalian berdua dapat beristirahat. Agaknya kalian telah menempuh perjalanan jauh dan tidak tidur semalam suntuk" Kepada para pemimpin kelompok, Ki Lurah Sanggabaya telah menguraikan rencana gerakan mereka malam nanti. Para pemimpin kelompok harus mempersiapkan para prajurit mereka sebaik-baiknya. "Kita tahu, bahwa pasukan Harya Wisaka itu adalah pasukan yang kuat dan berpengalaman. Apalagi jika dipimpin langsung oleh Harya Wisaka sendiri. Namun kita adalah prajurit-prajurit yang terikat pada tatanan keprajuritan. Kita harus menjalankan perintah yang diberikan oleh Ki Gede Pemanahan" Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. "Berikan petunjuk-petunjuk untuk bekal bagi para prajurit itu. Besarkan hati mereka agar mereka yakin, bahwa mereka adalah prajurit Pajang yang besar" Para pemimpin kelompok itu masih mengangguk-angguk. Tetapi para pemimpin kelompok itu tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa prajurit-prajurit mereka adalah prajuritprajurit muda yang benar-benar belum berpengalaman sedangkan pasukan Harya Wisaka adalah prajurit-prajurit yang sudah ditempa oleh panasnya medan pertempuran dimanamana untuk waktu yang lama. Sedangkan mereka yang tidak berasal dari keprajuritan, juga terdiri dari orang-orang yang hidupnya diselimuti oleh percikan bunga api yang memancar dari dentang senjata yang beradu. Tetapi para pemimpin kelompok itu tidak akan dapat mengingkari tugas yang dibebankan di pundak mereka. Yang kemudian dapat mereka lakukan adalah mempersiapkan pasukan mereka. Memberikan petunjuk-petunjuk serta kesadaran bahwa mereka memang prajurit-prajurit Pajang.
"Kalian telah memilih dunia pengabdian kalian. Tunjukkan kepada Pajang, bahwa kalian benar-benar ingin mengabdi" Para prajurit yang sebagian besar masih muda dan belum berpengalaman itu menjadi berdebar-debar. Mereka sadar bahwa lawan yang akan mereka hadapi adalah lawan yang keras dan kasar. Sementara itu, mereka sendiri masih merasa belum memiliki bekal yang cukup. Tetapi seperti yang dikatakan oleh pemimpin kelompok mereka, bahwa mereka telah memilih. Mereka memasuki dunia keprajuritan dengan tekad untuk mengabdi kepada Pajang yang besar. Apapun yang akan terjadi, itu adalah akibat dari pilihan mereka sendiri. Para pemimpin kelompok itupun kemudian telah memerintahkan para prajurit mereka untuk memeriksa senjata-senjata mereka serta perlengkapan-perlengkapan yang lain yang akan mereka bawa ke medan perang. "Kita akan membawa tanda-tanda kebesaran kesatuan kita. Kita bangga akan tanda-tanda kebesaran itu, sehingga tandatanda kebesaran kita itu akan memanaskan darah kita menghadapi lawan. Kita bukan tikus-tikus kecil di selokanselokan di sepanjang dinding kotaraja. Kita adalah prajurit yang mengawal kebesaran nama Pajang" Dada para prajurit itu rasa-rasanya memang mengembang. Mereka bangga terhadap pilihan mereka. Namun ketika kemudian mereka mulai mempersiapkan senjata-senjata mereka, maka jantung mereka mulai berdebaran kembali. Yang mereka hadapi bukan sekelompok pencuri ayam atau pencuri jemuran. Tetapi yang mereka hadapi adalah orangorang yang sudah berada di peperangan bertahun-tahun. Hari itu setelah memeriksa senjata-senjata serta perlengkapan mereka, maka para prajurit itu mendapat kesempatan untuk beristirahat sebaik-baiknya. Mereka akan berangkat dari barak mereka di Prambanan setelah gelap. Mereka harus menempuh jalan yang sudah disebut oleh petugas sandi dan penghubung yang telah bertemu dan berbicara dengan Raden Sutawijaya.
Dalam pada itu, pada hari itu, di kotaraja, Resi Jalamanik serta Ki Wimba Atmaka sedang memberikan beberapa petunjuk kepada beberapa orang yang akan menyertainya memasuki istana malam nanti. Atas keterangan Harya Wisaka yang sudah mengenal sudut-sudut istana Pajang dengan baik seperti mengenali rumahnya sendiri, Resi Jalamanik menentukan rencana, apa yang akan mereka lakukan. "Kita berharap bahwa para prajurit yang bertugas tertidur nyenyak, sehingga kita akan berhadapan langsung dengan Sultan Hadiwijaya. Seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tetapi bukan berarti bahwa Kangjeng Sultan Hadiwijaya tidak dapat dikalahkan. Setidak-tidaknya oleh kita bertiga" "Ya, Paman" sahut Harya Wisaka. "Nah, malam nanti kita masuki istana Pajang. Kita tidak akan mengulangi kegagalan Angger Harya Penangsang" "Hari ini kita akan meyakinkan, bahwa pasukan kecil yang dipimpin langsung oleh Ki Gede Pemanahan itu belum kembali" berkata Harya Wisaka. "Ya. Bukankah orang-orangmu dapat kau percaya?" "Ya" "Bukankah mereka akan melaporkan dengan jujur apa yang mereka ketahui?" "Ya" "Jika demikian, tidak akan ada masalah lagi. Malam nanti kita membunuh Sultan Hadiwijaya" "Akupun ingin membunuh Pemanahan. Aku mendendamnya. Mendendam kepada kesombongannya, seakan-akan ia lebih berkuasa dari Kangjeng Sultan Hadiwijaya sendiri" Resi Jalamanik tertawa. Katanya, "Kau tidak usah menjadi sakit hati. Pemanahan adalah seorang petani kecil. Karena itu, ketika ia mendapat sedikit kekuasaan, maka ia merasa bahwa dirinya adalah orang yang paling kuasa di dunia ini. Ia tentu
berusaha untuk menunjukkan kekuasaannya kepada siapapun juga" "Mungkin, Paman. Tetapi hatiku menjadi sakit atas sikapnya itu. Karena itu, maka pada suatu saat, aku akan datang kepadanya untuk membunuhnya" "Jangan kacaukan rencana yang akan kita lakukan sekarang dengan niatmu itu. Sekarang kita siap untuk membunuh Sultan Hadiwijaya. Itulah yang akan kita lakukan lebih dahulu" berkata Ki Wimba Atmaka. Harya Wisaka mengangguk-angguk. Katanya, "Ya, Paman. Kita akan membunuh Sultan Hadiwijaya" Demikianlah, maka Harya Wisaka itu telah bersiap bersama tiga orang lainnya, Resi Jalamanik, Ki Wimba Atmaka dan seorang pertapa yang dianggapnya memiliki bekal ilmu yang tinggi, Wasi Lengkara. Seorang yang sudah lebih dahulu berada di rumah kecil itu bersama Harya Wisaka. "Empat orang sudah cukup banyak" berkata Resi Jalamanik. "Harya Penangsang hanya mengirimkan dua orang. Itupun bukan orang yang ilmunya memadai" Harya Wisaka mengangguk-angguk. Namun Ki Wimba Atmaka sempat melihat keragu-raguan di wajahnya. Karena itu, maka Ki Wimba Atmaka itupun bertanya, "Apakah kau menganggap bahwa kemampuan kita berempat belum cukup?" Harya Wisaka menarik nafas dalam-dalam, sementara Resi Jalamanikpun bertanya pula, "Apakah kau masih berniat untuk memerintahkan kepada Ki Tumenggung untuk menyiapkan pasukan di luar istana?" Harya Wisaka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah. Kita berempat akan memasuki istana dan membunuh Kangjeng Sultan Hadiwijaya" Haripun kemudian terasa menjadi lamban. Matahari seakan-akan tidak bergerak di tempatnya. Bahkan untuk mengisi waktu, sudah dilakukan kerja apa saja, namun hari masih terasa terlalu lambat bergerak.
Namun akhirnya, mataharipun merendah. Kemudian hilang di balik bukit. Demikian malam turun, maka Resi Jalamanik. Ki Wimba Atmaka dan Wasi Lengkara telah siap untuk berangkat ke istana. Dalam pada itu, pada saat yang sama, pasukan Pajang yang berada di Prambananpun telah bergerak pula. Demikian juga pasukan yang dipimpin oleh Ki Gede Pemanahan itu. Kedua pasukan itu telah sepakat untuk bertemu dan bergabung menghadapi pasukan yang diduga telah dipimpin langsung oleh Harya Wisaka. Kedua pasukan dari arah yang berbeda itu telah menempuh perjalanan panjang. Mereka berusaha untuk menghindari padukuhan-padukuhan agar mereka tidak mengalami hambatan di perjalanan. Menjelang wayah sepi uwong, di kotaraja, Harya Wisakapun telah mulai bergerak pula. Mereka meninggalkan rumah kecil itu dengan sangat berhati-hati. Tidak seorang pun boleh melihat mereka. Apalagi prajurit yang sedang meronda. Namun mereka berempat adalah orang-orang berilmu tinggi, sehingga merekapun mampu menyusuri jalan betapapun rumitnya. Demikian mereka berempat sampai ke dekat istana, maka merekapun berhenti. Resi Jalamanik telah memberikan petunjuk-petunjuk kepada ketiga orang kawannya untuk membantu Resi Jalamanik memasang sirep. "Aku minta terutama kepada Wasi Lengkara. Aku yakin bahwa Wasi Lengkara mampu juga melakukannya. Jika Wasi Lengkara tidak bersedia melakukannya tanpa kehadiranku, maka itu hanya satu sikap merendah" "Aku memang tidak menekuni ilmu itu, Resi" "Baiklah. Tetapi bantu aku. Aku akan mulai melemparkan sirep itu. Nanti tengah malam, sirep itu akan mencengkam semua orang yang berada di dalam lingkungan istana itu" "Juga yang bertugas di pintu gerbang induk dan pintu gerbang samping, bahkan pintu gerbang butulan?"
"Ya. Mereka justru akan menjadi sasaran utama dari sirep ini. Jika mereka tidak terkena pengaruh sirep itu, berarti kita akan gagal" Harya Wisaka mengangguk-angguk, sementara Resi Jalamanikpun berkata selanjutnya, "Bersiaplah. Aku akan mulai" Keempat orang itupun kemudian duduk di belakang gerumbul perdu yang rimbun tidak jauh dari istana Pajang. Resi Jalamanikpun kemudian telah memusatkan nalar budinya, sementara yang lainpun ikut pula mendukungnya dengan memasuki suasana hening. Dalam pada itu, malampun bertambah malam. Langit bersih. Bintang nampak berhamburan. Resi Jalamanik duduk bersila. Kedua telapak tangannya menakup di depan dadanya. Sementara yang lainpun duduk sambil menundukkan kepalanya dan menyilangkan tangannya di dada. Sebenarnya bahwa Wasi Lengkara memang tidak mendalami ilmu sirep sebagaimana Resi Lengkara. Tetapi iapun berusaha untuk membantunya dengan sikapnya yang khusus. Dalam pada itu, dari celah-celah kedua telapak tangan Resi Jalamanik itu nampak mengepung asap yang tipis. Hanya beberapa saat saja. Asap itupun segera lenyap dihanyutkan angin malam yang lembut. Namun asap yang tipis itu menandai bahwa ilmu sirep Resi Jalamanik telah terlepas dan menghambur meliputi istana Pajang. Beberapa saat kemudian, maka Resi Jalamanikpun telah mengangkat wajahnya dan mengurai tangannya serta menarik nafas dalam-dalam. "Terima kasih" desis Resi Jalamanik. Yang lainpun telah mengangkat wajah mereka pula. Sementara Resi Jalamanikpun berkata, "Kita akan menunggu beberapa saat. Mudah-mudahan sirepku dapat memaksa seisi istana itu tertidur"
Misteri Kapal Layar Pancawarna 15 Jangan Ganggu Aku Karya Wen Rui An Petaka Gelang Kencana 1

Cari Blog Ini