Jejak Di Balik Kabut Karya Sh Mintardja Bagian 36
Lurah prajurit itupun kemudian telah memerintahkan tiga orang prajurit yang bersenjata tombak untuk membawa orang yang mengaku bernama Kriyatama itu. "Bawa orang ini ke Pandean. Kalian harus langsung menemui Ki Bekel di Pandean. Kalian harus bertanya, siapakah orang yang kau bawa itu. Apakah orang itu orang Pandean atau bukan. Jika orang itu orang Pandean, serahkan ia kepada Ki Bekel. Tetapi kalian harus tahu di mana rumahnya. Apakah ia mempunyai kambing seperti dikatakannya atau tidak. Jika tidak, ia telah menipu sekelompok prajurit Pajang yang telah bertugas. Tetapi jika orang itu bukan orang Pandean, maka ia harus dibawa kembali kemari. Orang itu adalah Harya Wisaka" "Baik, Ki Lurah" "Hati-hatilah. Tugas kalian adalah tugas yang berat. Apalagi jika orang itu benar-benar Harya Wisaka" "Baik, Ki Lurah" "Kalian tidak boleh menyimpang dari perintahku. Jangan pergi ke manapun juga selain ke Pandean. Kalian dengar?" "Ya, Ki Lurah" "Jangan hiraukan jika orang itu membujuk kalian" "Ya, Ki Lurah" Demikianlah maka ketiga orang itupun segera membawa orang yang menyebut Kriyatama itu meninggalkan pintu gerbang. "Bagaimana dengan ikatan tanganku ini?" bertanya orang itu ketika mereka berangkat. Namun Ki Lurah itupun menjawab, "Ikatan itu tidak akan dilepas sampai kau bertemu dengan Ki Bekel Pandean" Orang yang mengaku bernama Kriyatama itu mengangguk. Katanya, "Baiklah. Nampaknya Ki Lurah belum yakin, bahwa aku adalah orang Pandean. Tetapi baiklah, aku tidak berkeberatan dibawa dengan tangan terikat sampai bertemu dengan Ki Bekel Pandean" Sejenak kemudian, maka orang yang menyebut dirinya Kriyatama itu diawasi oleh tiga orang prajurit telah menembus
kegelapan menuju ke Pandean, sebuah padukuhan yang tidak terlalu jauh dari pintu gerbang kota. Dalam pada itu, di dalam kota, tidak jauh dari pintu gerbang kota. Raden Sutawijaya dan Paksi mengawasi apa yang telah terjadi di pintu gerbang. Dengan mengetrapkan ilmu Sapta Pandulu dan Sapta Pangrungu mereka dapat melihat dan mendengar apa yang telah terjadi di pintu gerbang kota itu. Ketika mereka melihat Harya Wisaka itu dibawa oleh tiga orang prajurit menuju ke Pandean, maka Raden Sutawijaya itupun berkata, "Kau tunggu Dimas Pangeran Benawa disini. Aku akan mengikuti mereka" "Bagaimana Raden akan keluar?" "Perhatian mereka sepenuhnya tertuju kepada Harya Wisaka. Aku akan meloncati dinding. Demikian Dimas Pangeran datang, kalian harus segera menyusul aku. Aku percaya bahwa mereka pergi ke Pandean. Namun ketiga orang prajurit itu tentu akan terjebak ke dalam sarang serigala itu. Aku menduga, bahwa Pandean yang memang agak tersembunyi di balik gumuk kecil itu merupakan sarang para pengikut Harya Wisaka di luar kotaraja. Mungkin di Pandean terdapat beberapa orang terpenting dari para pengikut Harya Wisaka" "Tetapi kenapa Harya Wisaka dengan ringan menyebut padukuhan itu selagi kita masih ada di penjagaan itu" "Mungkin Harya Wisaka tidak segera dapat menyebut nama padukuhan yang lain. Namun mungkin juga ia menyebutnya di luar sadarnya" "Baik, Raden. Aku akan menunggu Pangeran Benawa disini" "Hati-hatilah. Kita harus mengepung Padukuhan Pandean rapat-rapat. Jangan sampai ada yang lolos. Sementara itu, biarlah aku mengawasi Paman Harya Wisaka. Jika ia tidak pergi ke Pandean, maka aku akan menghentikannya dan menunggu kedatangan kalian" "Baik, Raden" jawab Paksi.
Demikianlah, maka Raden Sutawijaya itupun telah meninggalkan Paksi yang harus menunggu Pangeran Benawa yang telah menghubungi langsung Ki Tumenggung Yudatama di baraknya. Ki Tumenggung Yudatama adalah salah seorang di antara para pemimpin Pajang yang mendapat tugas untuk menangkap Harya Wisaka yang tempat tinggalnya terdekat dengan pintu gerbang kotaraja. Kedatangan Pangeran Benawa dengan pakaiannya yang kusut di lewat tengah malam, bahkan menjelang dini memang mengejutkan. Hampir saja Pangeran Benawa tidak dapat dikenali. Namun pemimpin kelompok prajurit yang bertugas untuk berjaga-jaga malam itu meskipun semula agak ragu, namun akhirnya ia langsung meyakininya, bahwa ia memang sedang berbicara dengan Pangeran Benawa yang telah menyatakan dirinya. Karena itu, maka Pangeran Benawa itupun segera dihadapkan kepada Ki Tumenggung Yudatama yang segera dibangunkan. Ternyata kesiagaan Ki Tumenggung Yudatama cukup tinggi. Dalam waktu yang pendek, sekelompok prajurit dari pasukan berkuda yang berada di bawah perintah Ki Tumenggung telah bersiap. Sejenak kemudian, maka pasukan berkuda itupun telah berderap menggetarkan jalan-jalan kota menuju ke pintu gerbang. Pangeran Benawa menghentikan sekelompok prajurit dari pasukan berkuda itu di tempat Paksi menunggu. Dengan cepat Paksi pun memberitahukan, bahwa Raden Sutawijaya berhasil meloncati dinding kota tanpa diketahui oleh para prajurit yang bertugas di pintu gerbang, karena perhatian mereka justru tertuju kepada Harya Wisaka. Sementara itu, prajurit peronda yang setiap saat mengelilingi jalan di sepanjang dinding kotapun tidak sedang lewat. Paksipun segera meloncat ke punggung kuda yang telah disediakan baginya, yang dibawa dari barak para prajurit. Dengan cepat pasukan itupun berderap menuju ke pintu gerbang.
Para petugas di pintu gerbangpun mendengar derap kaki kuda dari sekelompok pasukan berkuda. Namun mereka tidak dapat menghentikannya. Kuda itu berlari kencang menerobos para prajurit yang bertugas, yang harus berloncatan menepi. "Gila pasukan berkuda itu" geram Ki Lurah. "Dua orang di antara mereka adalah dua orang yang membawa tawanan yang disebutnya Harya Wisaka itu" teriak seorang prajurit yang bertugas di pintu gerbang. "Setan alas" geram Ki Lurah. "Aku melihat Ki Tumenggung Yudatama sendiri memimpin pasukan itu" "Ya" geram Ki Lurah, "Ki Tumenggung sudah diperalat orang-orang gila itu" "Ia akan menyesali ketergesa-gesaannya. Jika ia nanti membawa orang Pandean itu, maka besok ia akan menyesal" "Tetapi Ki Tumenggung Yudatama tentu dapat mengenali Harya Wisaka. Jika orang itu bukan Harya Wisaka, ia tentu tidak akan membawanya. Bahkan ia tentu akan menjadi sangat marah kepada orang-orang yang telah membawanya ke Pandean itu" "Tetapi jika orang itu benar-benar Harya Wisaka?" bertanya seorang prajurit. "He?" Ki Lurah tercenung sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Jika orang itu Harya Wisaka, ia tidak akan dapat berkata dengan meyakinkan, bahwa ia orang Pandean. Ia tentu menjadi gelisah ketika aku memerintahkan kawankawanmu itu membawanya langsung kepada Ki Bekel. Tetapi nampaknya ia sama sekali tidak tersentuh" Para prajurit itu mengangguk-angguk. Namun Ki Lurah itu memang menjadi gelisah. Dengan ragu iapun berkata, "Tetapi orang itu dibawa dengan tangan terikat. Jika ia benar Harya Wisaka, maka kawan-kawanmu akan segera dapat mengatasinya" Dalam pada itu, Ki Tumenggung Yudatama dan pasukan berkudanya melarikan kuda mereka seperti sedang berpacu.
Meskipun dini hari masih gelap dan udara terasa dingin menusuk tulang, namun para prajurit itu tidak mengurangi kecepatannya. Setelah agak jauh dari pintu gerbang, Raden Sutawijaya berhasil menyusul ketiga orang prajurit yang mengiring Harya Wisaka yang tangannya masih terikat. Menurut pengamatan Raden Sutawijaya, mereka memang pergi ke arah Pandean. "Jika mereka benar-benar pergi ke Pandean, maka Pandean itu tentu merupakan sarang bagi para pengikut Paman Harya Wisaka" berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya. Namun Raden Sutawijayapun segera berhenti dan menyusup di balik semak-semak di pinggir jalan ketika Harya Wisaka itu berhenti. "Kenapa berhenti?" bertanya prajurit yang menggiringnya sambil mengacukan tombaknya, sementara kedua kawannya berdiri di sisi lain sambil merundukkan tombak pendeknya pula. "Ki Sanak" berkata Harya Wisaka, "aku tidak berkeberatan untuk diikat tanganku. Tetapi aku ingin mengalihkan tanganku ke depan tubuhku" "Kenapa?" "Jika tanganku di belakang, aku tidak dapat berbuat apaapa sama sekali dengan tanganku. Bahkan aku tidak dapat menggaruk leherku yang terasa gatal sekali" "Kami tidak akan melepas pengikat tanganmu itu" "Aku tidak minta melepas ikatan tanganku. Aku hanya minta, tanganku terikat di depan, agar aku dapat berbuat serba sedikit dengan tanganku. Tetapi tanganku akan tetap terikat sebagaimana perintah Ki Lurah" Ketiga orang prajurit itu saling berpandangan. Sementara Harya Wisaka itu berkata, "Aku hanya minta sekedar belas kasihan Ki Sanak bertiga. Barangkali ada hubungannya dengan peri-kemanusiaan" Yang tertua di antara ketiga orang prajurit itupun kemudian berkata, "Menelungkuplah" "Untuk apa?"
"Kami akan melepas ikatan tanganmu dan akan memindahkan tanganmu terikat di depan" "Terima kasih" berkata Harya Wisaka. Harya Wisaka itupun kemudian berbaring menelungkup. Dua ujung tombak melekat di lambung kiri dan kanan, sementara seorang di antara para prajurit itu melepaskan ikatannya. "Sekarang berputar menengadah. Perlahan-lahan. Jika kau berbuat macam-macam, maka ujung-ujung tombak ini akan menembus dadamu" Harya Wisakapun kemudian menelentangkan tubuhnya, sementara dua ujung tombak masih saja siap menghunjam ke tubuhnya jika ia berbuat sesuatu yang mencurigakan. Seorang di antara para prajurit itupun kemudian telah mengikat tangan Harya Wisaka dengan ikat kepala itu di depan tubuhnya. Ikatan itu demikian kuatnya, sehingga Harya Wisaka itu berdesis, "Kau sakiti tanganku" Tetapi prajurit itu tidak menghiraukannya. "Bangkit. Kita berjalan lagi" "Jangan perlakukan aku seperti seorang penjahat" berkata Harya Wisaka. "Yang terjadi hanyalah salah paham. Kalian akan segera yakin setelah kalian sampai di Pandean" Prajurit itu tidak menghiraukan kata-katanya. Dengan tegas ia berkata, "Bangkit, cepat. Kita akan meneruskan perjalanan" Harya Wisaka tidak menjawab. Iapun kemudian bangkit berdiri dan melangkah tertatih-tatih dengan tangan terikat, tetapi di depan. Sejenak kemudian maka mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Pandean. Raden Sutawijaya yang mengikuti merekapun kemudian yakin, bahwa mereka memang pergi ke Pandean. Jantung Raden Sutawijaya menjadi berdebar-debar. Apakah ia akan membiarkan Harya Wisaka masuk ke padukuhan, atau ia harus menangkapnya sebelum ia masuk ke dalamnya. Jika Raden Sutawijaya membiarkan mereka masuk ke padukuhan, maka para prajurit yang malang itu tentu akan dibantai oleh para pengikut Harya Wisaka. Tetapi jika ia
menghentikannya maka Raden Sutawijaya itu justru akan bertengkar dengan ketiga orang prajurit itu. Ketiga orang prajurit itu tentu tidak akan mempercayai segala keterangannya. Sementara Harya Wisaka tentu akan memanfaatkan keadaan. Selagi Raden Sutawijaya ragu-ragu, maka Harya Wisaka dan ketiga orang prajurit itu sudah menjadi semakin dekat dengan pintu gerbang Padukuhan Pandean. Padukuhan yang tidak begitu besar, dan yang seakan-akan tersembunyi di balik sebuah gumuk kecil yang ditumbuhi berbagai macam pepohonan dan gerumbul-gerumbul perdu liar. "Terlambat" desis Raden Sutawijaya. "Jika aku langsung melibatkan diri, mungkin aku harus berhadapan dengan beberapa pengikut Harya Wisaka, sementara ketiga orang prajurit itu masih belum menyadari, apa yang sebenarnya terjadi" Sebenarnyalah, pada saat mereka hampir sampai di regol padukuhan, terdengar suitan nyaring. Harya Wisaka telah menaruh jari-jari tangannya yang sudah tidak terikat lagi di mulutnya. Para prajurit yang menggiringnya terkejut. Mereka tidak melihat Harya Wisaka itu menggosok-gosokkan ikat kepala yang mengikat tangannya itu pada timang ikat pinggangnya yang bergerigi sehingga rantas. Ketiga orang prajurit yang melihat Harya Wisaka terlepas serta isyarat yang dilontarkan, dengan sigap menyerangnya. Tetapi Harya Wisaka yang meskipun tenaganya masih belum pulih kembali itu dapat mengelak. Bahkan dengan cepat Harya Wisaka meloncat semakin mendekati pintu gerbang padukuhan. Sekali lagi terdengar suitan nyaring dari sela-sela bibir Harya Wisaka itu. Tiba-tiba saja beberapa orang muncul dari balik pintu gerbang. Dengan serta-merta mereka menyerang ketiga orang prajurit yang mengantar Harya Wisaka ke Pandean.
Raden Sutawijaya hanya dapat memalingkan wajahnya sejenak. Para pengikut Harya Wisaka tidak memerlukan waktu yang panjang untuk melumpuhkan ketiga orang prajurit itu. "Kangmas Harya Wisaka" terdengar seseorang bertanya, "apa yang telah terjadi?" "Orang-orang dungu itu tidak dapat mengamankan jalan keluar dari dalam kota, sehingga aku tertangkap. Tetapi aku dapat mengelabuhi para prajurit yang bodoh itu" "Bukankah segala sesuatunya sudah aman" "Tidak. Perintahkan semua orang yang berada di Pandean untuk meninggalkan tempat ini sekarang juga" "Sekarang?" "Ya. Para prajurit Pajang tentu akan segera memburu aku kemari" "Tetapi apakah yang sebenarnya telah terjadi?" "Tidak ada waktu untuk berbicara sekarang. Siapkan semua orang. Kita akan pergi" "Apakah Kakangmas akan singgah barang sebentar untuk minum atau makan?" "Tidak ada waktu, kau dengar" "Baik, baik, Kangmas. Aku akan memerintahkan mereka untuk meninggalkan tempat ini" "Katakan kepada Kiai Gadungbawuk. Aku tidak singgah" "Aku disini" berkata orang yang disebut Kiai Gadungbawuk. "O, kebetulan Kiai. Pasukan Pajang segera datang. Hindari mereka" Orang yang disebut Kiai Gadungbawuk itu tertawa. Katanya, "Seberapa banyak orang Pajang yang akan datang kemari" Siapa pula yang akan memimpinnya" Aku justru menunggu mereka" "Jangan begitu, Kiai. Aku sendiri belum mampu untuk bertempur karena keadaanku yang parah beberapa waktu yang lalu" "Barangkali Angger belum tahu kalau Ki Santen Ireng ada disini juga. Termasuk Kiai Madujae" "Kapan mereka datang?"
"Kami tahu Harya Wisaka akan datang malam ini. Tetapi tentu saja tidak dalam keadaan seperti ini" "Ya. Sekarang aku minta semuanya menyingkir" "Kenapa Angger Harya Wisaka seakan-akan menjadi ketakutan?" "Bukan ketakutan. Tetapi kita harus mempunyai perhitungan yang mapan serta melihat kenyataan yang terjadi" "Baik. Baik. Kami akan pergi meskipun menurut pendapatku tidak perlu. Aku justru ingin menghancurkan pasukan Pajang yang tentu datang dengan tergesa-gesa karena mereka memburu Harya Wisaka yang berhasil mengelabuhi para prajurit dungu itu" "Ya. Aku pun dungu, karena aku telah menyebut nama padukuhan ini. Tetapi waktu itu aku tidak mempunyai pilihan" "Baik, baik. Kita akan pergi" "Aku akan meninggalkan padukuhan ini lebih dahulu" "Kangmas, aku akan menyiapkan beberapa orang pengawal pilihan untuk melindungi Kangmas di perjalanan. Yang lain akan segera menyusul. Tetapi kita akan pergi ke mana, Kangmas" Garis pertama atau ke cakrawala putih?" "Kita akan pergi ke tepian angin" Raden Sutawijaya yang mengetrapkan Aji Sapta Pandulu dan Aji Sapta Pangrungu menjadi gelisah. Ia tidak mengerti dan tidak segera dapat memecahkan kata-kata sandi yang mereka ucapkan. "Jika para prajurit itu terlambat datang, maka Harya Wisaka akan terlepas lagi dari tangan para prajurit Pajang" berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya. Sementara itu, beberapa orang sudah siap mengawal Harya Wisaka. Bahkan seorang yang nampaknya sangat meyakinkan berkata, "Aku akan pergi bersama Angger Harya Wisaka" "Jaga Angger Harya Wisaka yang masih lemah itu baikbaik, Kiai Madujae" "Namaku bukan Madujae" "Sebutan itu pantas untukmu"
Raden Sutawijaya tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus mengikuti Harya Wisaka kemana pun ia pergi dan mencari kesempatan untuk dapat menangkapnya. Namun dalam pada itu, Raden Sutawijaya yang masih mengetrapkan Aji Sapta Pandulu dan Sapta Pangrungu itu mendengar lamat-lamat suara burung kedasih dengan cirinya yang khusus. "Adimas Pangeran Benawa" desis Raden Sutawijaya. Raden Sutawijayapun kemudian menyahut isyarat itu. Tetapi tidak dengan suara burung kedasih. Yang terdengar kemudian bagaikan suara katak yang ditangkap seekor ular. Dengan demikian, maka Raden Sutawijayapun menjadi sedikit tenang, meskipun ia tidak tahu apakah Pangeran Benawa membawa prajurit atau tidak. Pangeran Benawa yang mendengar suara seekor katak yang ditangkap oleh seekor ular itupun mengerti, bahwa Raden Sutawijaya mendengar isyaratnya. Bahkan Pangeran Benawa itupun segera merayap mendekatinya. Dengan isyarat akhirnya Pangeran Benawa menemukan tempat persembunyian Raden Sutawijaya. "Kau datang seorang diri atau dengan sepasukan prajurit?" bisik Raden Sutawijaya. "Aku datang dengan sekelompok prajurit berkuda yang langsung dipimpin oleh Ki Tumenggung Yudatama sendiri" "Apakah Paksi bersamamu?" "Ya" "Dimana ia sekarang?" "Bersama Ki Tumenggung" Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Namun iapun bertanya pula, "Aku tidak mendengar derap kaki kuda. Di mana pasukan itu sekarang?" "Kami tinggalkan kuda-kuda kami di belakang gumuk kecil itu. Kamipun segera merayap kemari" "Di mana para prajurit itu sekarang?" "Mereka terpencar mengawasi padukuhan ini dari beberapa arah"
"Ada beberapa orang berilmu tinggi di padukuhan ini" Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Sementara Raden Sutawijaya berkata selanjutnya, "Selain itu tentu ada pula para pemimpin dari lingkungan keprajuritan" "Kita sudah mengepung padukuhan ini" "Ternyata masih ada sedikitnya tiga tempat persembunyian mereka" "Di mana?" "Mereka menyebutnya dengan kata-kata sandi" Pangeran Benawa tidak bertanya lagi. Mereka melihat orang-orang yang sudah siap untuk pergi bersama Harya Wisaka. "Siapa yang akan memberikan perintah?" "Ki Tumenggung" "Tetapi Ki Tumenggung tidak melihat apa yang terjadi disini" "Aku akan memberikan isyarat. Semua orang sudah diperintah untuk memberikan isyarat jika perlu" Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Harya Wisaka itu tidak boleh terlepas lagi. Demikian pula beberapa orang pemimpin dari para pengikutnya yang ada disini. Jika kita berhasil, maka sebagian besar dari kekuatan Harya Wisaka sudah dapat dikuasai" Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Ketika ia melihat Harya Wisaka mulai bergerak, maka Pangeran Benawa itupun telah memberikan isyarat kepada Ki Tumenggung Yudatama dengan suara burung kedasih yang mempunyai ciri tersendiri pula. Ki Tumenggung yang mendengar isyarat itupun segera mempersiapkan beberapa orang yang terdekat. Kemudian iapun telah memerintahkan seorang penghubung untuk melontarkan panah sendaren ke udara. Isyarat itu memang sangat mengejutkan. Harya Wisaka tersentak sehingga jantungnya berguncang. Ia tidak pernah mengalami keadaan seperti saat itu. Kecuali ia merasa tubuhnya masih lemah, Harya Wisaka itupun menyadari,
bahwa di dalam pasukan yang menyusulnya itu tentu terdapat Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi hatinya menjadi sedikit tenang ketika ia mengingat bahwa di tempat itu terdapat pula Kiai Gadungbawuk, Ki Santen Ireng dan orang yang lebih sering disebut Kiai Madujae meskipun orang itu sendiri tidak begitu senang disebut dengan nama itu. Kiai Gadungbawuk nampaknya melihat kegelisahan itu di wajah Harya Wisaka. Karena itu, maka katanya, "Jangan cemas, Ngger, meskipun Pemanahan dan Hadiwijaya sendiri datang ke tempat ini" "Aku merasa bahwa aku sendiri tidak dapat berbuat apaapa, Kiai" "Kami ada disini, Ngger" berkata Ki Santen Ireng yang juga telah berada di tempat itu. Sebenarnyalah bahwa isyarat panah sendaren itu merupakan perintah bahwa para prajurit untuk mempersiapkan diri. Mereka harus memperketat pengawasan terhadap padukuhan itu. Tidak boleh ada seorang pun yang keluar dari padukuhan. Sementara itu langit sudah menjadi semakin terang. Cahaya fajar sudah memancar. Mega-mega yang mengalir perlahan menjadi merah kekuning-kuningan. "Jika sudah demikian, Kiai, kita harus cepat menyelesaikan mereka. Kita tidak boleh terjebak oleh pasukan Pajang yang akan datang menyusul" "Jangan cemas, Ngger. Aku tidak pernah melihat Angger Harya Wisaka menjadi sangat cemas seperti sekarang ini" Harya Wisaka menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk iapun berkata, "Baik, Kiai. Aku akan mencoba tetap tenang menghadapi keadaan ini" Sementara itu, para pengikut Harya Wisakapun telah mempersiapkan diri mereka sebaik-baiknya. Mereka yang masih berada di dalam padukuhan telah menempatkan diri menghadap ke semua pintu regol padukuhan. Sedangkan di pintu gerbang induk, Harya Wisaka dan para pemimpinnya
telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Dalam pada itu, Ki Tumenggung Yudatama pun telah menggerakkan para prajurit yang berada di sekitarnya untuk mendekat. "Kita akan mendekati pintu gerbang utama" "Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa ada disana" "Ya. Kita mendekati mereka" Demikianlah, maka Ki Yudatama dan Paksipun telah bergerak mendekati pintu gerbang utama Padukuhan Pandean diikuti oleh para prajurit yang berada bersama mereka. Sementara itu, para prajurit yang berada di sekitar padukuhan itupun telah bergerak pula semakin dekat. Mereka menunggu isyarat kedua untuk bersiap-siap menyerang. Jika terdengar isyarat ketiga, maka para prajurit itu akan menempuh memasuki padukuhan. Tetapi Ki Tumenggung Yudatama nampaknya dengan sengaja mengulur waktu. Ketika mereka sudah berada di dekat Raden Sutawijaya, maka Raden Sutawijayapun berkata, "Marilah, kita sergap mereka, Ki Tumenggung" Tetapi Ki Tumenggung itupun berkata, "Kita mengulur waktu" "Apakah masih ada yang diharapkan?" "Ketika kami berangkat dari barak, kami mengirimkan penghubung untuk menghadap Ki Gede Pemanahan" Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata, "Apakah Ki Tumenggung yakin, bahwa Ayah akan datang?" "Mungkin sekali, Raden, jika yang kita buru sekarang adalah Harya Wisaka sendiri" "Bukankah yang berada di pintu gerbang di antara para pengikutnya itu Harya Wisaka?" "Ya. Karena itu, aku masih berharap bahwa Ki Gede Pemanahan akan datang ke tempat ini" "Tetapi Harya Wisaka dan para pengikutnya itu akan datang menembus kepungan ini di sisi lain, Ki Tumenggung"
"Aku sudah menebarkan kelompok-kelompok di sekitar padukuhan ini" Namun Pangeran Benawapun menyahut, "Jika mereka menembus kepungan di sisi lain dari padukuhan ini, dengan mengerahkan orang-orang yang berilmu tinggi, para prajurit tidak akan dapat bertahan" Ki Tumenggung itu mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Pangeran benar" "Jadi?" Paksipun kemudian menyela, "Kita mempunyai waktu sepanjang Harya Wisaka masih berada di pintu gerbang. Sepanjang kita masih dapat melihatnya" Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya, "Kau pintar, Paksi. Kita akan mengulur waktu sepanjang kita masih melihat Harya Wisaka di sana" Namun pada saat yang sama, Harya Wisaka itupun berkata, "Jangan menunggu lebih lama lagi. Orang-orang Pajang nampaknya sengaja mengulur waktu. Mungkin mereka masih menunggu kedatangan kawan-kawan mereka" Kiai Gadungbawuk mengangguk-angguk. Katanya, "Kau benar, Ngger. Agaknya mereka sengaja memperpanjang waktu" "Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan, Kiai Gadungbawuk?" "Kita menembus kepungan. Kita lihat, apakah kepungan ini rata. Jika tidak, kita akan mencari sisi yang paling lemah" "Kita akan kehilangan waktu" sahut Kiai Madujae. "Menurut pendapatku, kepungan yang paling lemah adalah kepungan di arah yang berlawanan dengan gerbang utama ini" "Aku sependapat" berkata Harya Wisaka. "Kita akan menembus kepungan di arah selatan" Mereka tidak menunggu lebih lama lagi. Bersama orangorang berilmu tinggi di antara mereka, maka Harya Wisakapun telah masuk ke dalam padukuhan.
Raden Suminar yang memimpin empat orang terbaik berjalan di paling depan. Kemudian Harya Wisaka berjalan di sebelah Kiai Madujae. Kiai Gadungbawukpun kemudian berkata, "Jika demikian, biarlah aku juga pergi bersama Angger Harya Wisaka" "Aku?" bertanya Santen Ireng. "Kita semuanya akan pergi sekarang" jawab Harya Wisaka. "Jangan menunggu kita berada di dalam jebakan dan tidak akan dapat keluar lagi" "Tetapi bukankah kita tidak membiarkan para prajurit dari arah yang lain menerkam kita dari belakang?" berkata Ki Santen Ireng. "Ya" Harya Wisaka mengangguk-angguk. "Biarlah aku mengamankan perjalanan kalian dengan beberapa orang pengawal" berkata Ki Santen Ireng. "Silahkan" berkata Harya Wisaka, "tetapi Ki Santen Ireng pun harus segera meninggalkan tempat ini sebelum terlambat" "Baik. Aku akan segera menyusul mereka. Aku juga akan pergi ke arah selatan" Demikianlah, maka sejenak kemudian Harya Wisaka itupun telah hilang dari mulut pintu gerbang. "Nah" berkata Paksi, "agaknya sudah sampai pada waktunya" "Kita peringatkan para prajurit agar bersiaga untuk menyerang" desis Ki Tumenggung yang segera memerintahkan seorang penghubungnya untuk melepaskan panah sendaren kedua. Panah sendaren itu benar-benar telah menyentuh hati setiap prajurit. Mereka sadar, bahwa mereka harus segera bersiap untuk menyerang. Dengan demikian, maka semua senjatapun telah menjadi telanjang di tangan yang bergetar. Darah di dalam tubuh para prajurit itu mulai memanas. Mereka telah siap untuk meloncat menerkam lawan-lawan mereka yang tentu sudah siap pula menunggu kehadiran mereka.
Ki Tumenggung memang tidak akan menunggu orangorang berilmu tinggi itu keluar dari padukuhan dan menyerang kepungan pada sisi yang lemah. Tetapi mereka harus tertahan di dalam padukuhan dan bertempur dalam perang brubuh yang mengandalkan kemampuan setiap pribadi yang terlibat. Namun Ki Tumenggung juga sudah memerintahkan kepada setiap prajurit untuk bertempur di dalam kelompok-kelompok kecil jika mereka bertemu dengan orang yang berilmu tinggi. Tetapi Ki Tumenggung pun sudah memerintahkan kepada mereka, bahwa tidak semua orang harus melibatkan diri dalam pertempuran di dalam padukuhan. Harus ada yang tetap berada di luar padukuhan untuk mengawasi jika ada orang yang berusaha melarikan diri dan terlempar dari jangkauan mereka yang bertempur di dalam dinding padukuhan. "Marilah, Raden" berkata Ki Tumenggung kemudian sambil menarik pedangnya, "kita akan menyergap memasuki pintu gerbang utama ini" "Marilah, Ki Tumenggung" desis Raden Sutawijaya. Namun Ki Tumenggung itupun berkata, "Aku mohon Pangeran memasuki padukuhan itu lewat regol di sisi yang lain. Jika kami tertahan di pintu gerbang, maka Pangeran dapat berusaha menemukan Harya Wisaka di dalam padukuhan" "Baik, Ki Tumenggung" jawab Pangeran Benawa. Lalu katanya, "Mari, Paksi, kita memasuki padukuhan itu dari regol di sisi barat" "Nampaknya Harya Wisaka akan keluar dari regol di sisi selatan, Pangeran" "Siapa yang berada di sisi selatan?" "Ki Lurah Pringgayuda dan Ki Lurah Suwena" "Apakah mereka cukup kuat?" "Jika Harya Wisaka dan orang-orang berilmu tinggi akan keluar dari arah selatan, mereka agaknya memerlukan bantuan" "Baik. Aku dan Paksi akan sampai kesana"
Demikianlah, maka Ki Tumenggung Yudatamapun segera memerintahkan para prajurit itu bergerak. Sementara itu, seorang penghubung telah melontarkan panah sendaren yang ketiga ke udara, meluncur di atas padukuhan Pandean dan jatuh hampir di halaman banjar. Panah sendaren yang bergaung di udara itu telah didengar oleh para pemimpin kelompok prajurit Pajang yang mengepung Padukuhan Pandean. Gaung panah sendaren itu merupakan perintah kepada para prajurit untuk bergerak menyerang padukuhan itu dari segala arah. Ketika para pemimpin kelompok meneriakkan aba-aba, maka para prajuritpun telah berteriak nyaring. Mereka berlarilarian sambil bersorak-sorak. Senjata mereka teracu-acu sehingga nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari pagi yang baru saja terbit. Dalam pada itu, Pangeran Benawa dan Paksi telah berlari ke arah pintu gerbang yang lain dari Padukuhan Pandean. Di tangan Pangeran Benawa dan Paksi telah tergenggam sebatang tombak pendek yang mereka dapat dari para prajurit. Dalam pada itu, Raden Suminar yang berjalan di paling depan, melangkah lebih cepat lagi. Tetapi sebelum mereka keluar dari pintu gerbang di sisi selatan, maka para prajurit Pajang telah menyumbat pintu gerbang itu dengan ujungujung senjata. Pertempuranpun segera berkobar. Para prajurit Pajang adalah prajurit yang terlatih, sehingga mereka dengan trampil memutar senjata mereka. Tetapi para pengikut Harya Wisaka adalah orang-orang yang seakan-akan telah kehilangan diri mereka sendiri. Apapun yang bakal terjadi pada diri mereka, sama sekali tidak mereka hiraukan. Bahkan mati tidak lagi menjadi persoalan yang penting. Pertempuranpun segera berlangsung dengan sengitnya. Di pintu gerbang utama, para prajurit telah bertempur menghadapi sekelompok pengikut Harya Wisaka yang kuat
dipimpin oleh Ki Santen Ireng. Seorang yang meskipun janggut dan kumisnya sudah memutih, tetapi tandangnya masih menggetarkan jantung. Raden Sutawijaya yang melihat orang itu bertempur dengan garangnya, telah mendekatinya. Ia sadar, bahwa orang yang bernama Ki Santen Ireng itu adalah orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka iapun harus berhati-hati. Ki Santen Ireng yang melihat seseorang menyibak beberapa orang prajurit yang bertempur melawannya, mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi iapun berkata, "He, siapakah kau Ki Sanak yang nampaknya dengan sengaja datang menemui aku?" "Siapapun yang bertemu di pertempuran" jawab Raden Sutawijaya. "Tetapi kau nampaknya telah memilih lawan. Agaknya kau melihat bahwa tidak seorang prajurit pun yang akan dapat mengalahkan aku. Bahkan prajurit dalam kelompok-kelompok" "Ya" "Betapa sombongnya kau" "Apakah menghadapi lawan di pertempuran dapat disebut kesombongan?" "Tidak. Tetapi memilih lawan seorang yang berilmu tinggi seperti yang kau lakukan, adalah satu kesombongan. Kau merasa dirimu dapat mengimbangi kemampuanku" "Aku tidak peduli apakah aku sombong atau tidak sombong. Tetapi kita akan bertempur" "Jangan menyesal jika di pertempuran ini kau bertemu dengan Ki Santen Ireng" "He?" Raden Sutawijaya mengerutkan dahinya. "Kau menyesal?" Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Sementara itu Ki Santen Irengpun berkata, "Akulah Ki Santen Ireng. Nampaknya kau sudah menjadi gemetar baru mendengar nama itu disebut" "Tidak. Aku tidak menyesal telah bertemu dengan orang yang bernama Santen Ireng, apalagi menjadi gemetar"
"Jadi kau kenapa" Demikian kau mendengar nama itu, wajahmu nampak menjadi tegang" "Nama itu aneh bagiku. Santen itu biasanya putih. Seperti susu. Jika yang diambil santannya kelapa ijo, maka santannya menjadi agak kebiru-biruan. Tetapi tidak menjadi hitam" "Persetan" geram Ki Santen Ireng. "Tetapi orang yang tidak yakin akan kemampuannya sendiri, kadang-kadang memang dengan sengaja membuat nama yang aneh-aneh. Agaknya mereka berharap bahwa nama yang aneh-aneh itu akan membuatnya disegani atau bahkan ditakuti" "Anak iblis. Siapa kau yang telah berani merendahkan namaku, he" Kau harus menyadari sikapmu itu yang harus kau tebus dengan harga yang sangat mahal" Ternyata Raden Sutawijaya tidak menyembunyikan kenyataan tentang dirinya. Dengan lantang iapun berkata, "Namaku adalah Sutawijaya" Ki Santen Irenglah yang terkejut. Di luar sadarnya iapun mengulanginya, "Maksudmu Raden Sutawijaya anak Ki Gede Pemanahan yang telah membunuh Harya Penangsang dari Jipang?" "Ya. Aku adalah Sutawijaya, anak Ki Gede Pemanahan yang telah membunuh Paman Harya Penangsang" Sejenak Ki Santen Ireng itu memperhatikannya. Namun kemudian iapun tertawa sambil berkata, "Jadi inilah anak muda yang mana telah mengumandang di langit Demak, Pajang dan Jipang" "Apakah kau meragukannya?" "Tidak. Justru aku meyakini bahwa kau memang Raden Sutawijaya. Dengan demikian, maka aku akan mendapat kesempatan untuk membalas dendam atas kematian Harya Penangsang. Tumpuan harapan rakyat Demak sepeninggal Kangjeng Sultan Trenggana" "Membalas dendam" Kenapa kau akan membalas dendam atas kematian Paman Harya Penangsang?"
"Sudah aku katakan bahwa Harya Penangsang adalah seorang yang akan dapat membuat masa depan Demak menjadi lebih cerah. Tetapi kau telah membunuh harapan rakyat Demak. Karena itu, maka kaupun harus disingkirkan dari bumi Demak. Pemanahan dan Hadiwijayapun harus disingkirkan. Harya Wisaka adalah satu-satunya orang yang pantas menggantikan Harya Penangsang untuk menjadi pengayoman rakyat Demak dan Pajang" -ooo00dw00oooJilid 30 RADEN SUTAWIJAYA menarik nafas dalam-dalam. Begitu dalam kesetiaan para pengikut Harya Wisaka, sehingga seorang yang berilmu tinggi seperti Ki Santen Ireng itu tidak dapat membuat pertimbangan-pertimbangan lain kecuali berjuang untuk menempatkan Harya Wisaka pada kedudukan yang tertinggi, apapun yang harus dikorbankannya. "Tetapi jika hal itu dilakukan oleh Ki Santen Ireng, tentu bukannya tanpa pamrih apa-apa" berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya. Namun Raden Sutawijaya tidak menjawab lagi. Sambil bergeser ke samping, Raden Sutawijaya telah bersiap sepenuhnya untuk bertempur melawan Ki Santen Ireng. Ki Santen Ireng pun tidak berbicara lagi. Iapun segera meloncat menerkam Raden Sutawijaya. Jari-jari pada kedua tangannya yang mengembang menyambar ke arah wajahnya. Raden Sutawijaya dengan cepat menghindar. Hampir di luar sadarnya iapun berdesis, "Kau mengenakan kuku-kuku baja itu, Ki Santen Ireng. Juga kau lapisi telapak tanganmu" "Kau dapat melihatnya?" "Tentu. Anak-anak pun dapat membedakan antara kuku aslimu dan kuku-kuku baja itu. Bahkan telapak tanganmu" Ki Santen Ireng tidak menjawab. Tetapi seranganserangannya menjadi semakin cepat. Tangannya dengan jarijari yang mengembang menyambar-nyambar menggapai tubuh Raden Sutawijaya. Tetapi di tangan Raden Sutawijaya telah tergenggam tombak pendek. Meskipun senjata itu bukan senjata khusus, tetapi tombak itu menjadi sangat berbahaya di tangan Sutawijaya. "Raden" desis Ki Santen Ireng kemudian, "aku tahu, bahwa kau bunuh Harya Penangsang dengan ujung tombak. Tetapi tentu bukan tombak mainan seperti yang kau pakai sekarang ini. Yang kau pakai untuk membunuh Harya Penangsang adalah tombak berlandean panjang. Tombak pusaka terbaik di Pajang, Kangjeng Kiai Pleret" Tetapi Raden Sutawijaya itu menjawab, "Meskipun tombakku sekarang tombak mainan, Ki Santen Ireng, tetapi ujungnya akan dapat mengoyak dadamu, menembus sampai ke jantung. Di tanganku, mainan kanak-kanak pun akan dapat menjadi sangat berbahaya bagimu dan bagi semua lawanlawanku" Ki Santen Ireng tertawa berkepanjangan. Namun tiba-tiba saja suara tertawanya terhenti. Dengan tangkasnya ia meloncat mengambil jarak. Hampir saja ujung tombak pendek Raden Sutawijaya menyentuh lengannya. "Kau memang tangkas bermain tombak, Raden" Raden Sutawijaya tidak menjawab. Tombaknya terjulur lagi mengarah ke dada, sehingga Ki Santen Ireng harus meloncat mundur lagi beberapa langkah. Namun Raden Sutawijaya tetap memburunya. Ujung tombaknya semakin lama rasarasanya menjadi semakin dekat dengan kulit Ki Santen Ireng. Dengan telapak tangan yang dilapisi baja hitam serta kukunya yang tajam kehitam-hitaman, Ki Santen Ireng berusaha melawan tombak pendek Raden Sutawijaya. Ditepisnya tombak yang terjulur itu. Bahkan dengan baja hitam di telapak tangannya, Ki Santen Ireng telah menangkis ujung tombak yang mematuknya. Tetapi ternyata bahwa Raden Sutawijaya memiliki kemampuan yang tinggi, sebagaimana namanya yang
mendebarkan. Semakin lama maka Ki Santen Ireng itu harus mengakui kenyataan, bahwa Raden Sutawijaya yang masih terhitung muda itu benar-benar seorang berilmu tinggi. Dengan demikian, maka Ki Santen Ireng itupun menjadi semakin terdesak. Ia tidak lagi dapat mengandalkan lapisan baja hitam di telapak tangannya, serta kuku-kuku bajanya. Karena itu, untuk melawan ujung tombak pendek yang seakan-akan mempunyai mata dan memburunya kemana saja ia berloncatan, Ki Santen Ireng harus mempergunakan senjatanya yang lain. Dengan demikian, maka Ki Santen Ireng telah meloncat mengambil jarak. Dilepasnya lapisan baja di telapak tangan serta kuku-kuku baja di jari-jari tangan kanannya. Kemudian dicabutnya sebuah luwuk yang besar dan panjang. Raden Sutawijaya yang melangkah satu-satu mendekatinya sambil merundukkan ujung tombaknya tertegun. "Aku tidak lagi main-main, Raden" geram Ki Santen Ireng. "Jadi selama ini kau hanya main-main?" "Ya. Sekarang aku bersungguh-sungguh dengan luwuk peninggalan guruku ini" Raden Sutawijaya memandangi luwuk di tangan Ki Santen Ireng. Nampaknya pamornya berkeredipan ditimpa cahaya matahari. Luwuk itu memang luwuk yang sangat baik. "Tetapi segala sesuatu akan tergantung pada orang yang mempergunakannya" berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya. "Bukan sebaliknya" Sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat lagi dalam pertempuran yang sengit. Disamping harus memperhatikan luwuk di tangan Ki Santen Ireng, Raden Sutawijaya masih juga harus memperhatikan tangan kirinya, yang masih mengenakan lapisan baja hitam di telapak tangannya, serta kuku-kuku baja di ujung jari-jarinya. Sementara itu, pertempuranpun menjadi semakin sengit. Pasukan Ki Tumenggung Yudatama telah mendesak para pengikut Harya Wisaka. Apalagi setelah Ki Santen Ireng terikat dalam pertempuran melawan Raden Sutawijaya.
Sementara itu, Pangeran Benawa dan Paksi telah memasuki padukuhan dari sisi yang lain, bersama para prajurit yang ada di arah lain dari Padukuhan Pandean itu. Meskipun mereka mendapat perlawanan dari para pengikut Harya Wisaka, tetapi para pengikut Harya Wisaka itu tidak mampu menghentikan gerak maju Pangeran Benawa, Paksi dan para prajurit. Di dalam Padukuhan Pandean, Pangeran Benawa dan Paksipun segera berusaha menemukan Harya Wisaka yang mereka yakini masih berada di padukuhan itu. Sementara itu, Harya Wisaka sendiri, bersama para pengawalnya yang kuat telah siap untuk keluar dari padukuhan di arah selatan. Mereka siap untuk menembus kepungan yang tidak terlalu kuat di sisi selatan. Bahkan mereka pun telah bersiap menghalau prajurit Pajang yang berusaha menyumbat pintu gerbang di arah selatan itu. Raden Suminar dengan orang-orang terpilih telah merintis jalan, menyibak pasukan Pajang yang berusaha menyumbat pintu gerbang. Dengan kemampuannya yang tinggi, Raden Suminar bersama para pengikut Harya Wisaka telah berhasil mendesak pasukan Pajang yang berusaha menahan mereka untuk tetap berada di dalam padukuhan. Tetapi para pengikut Harya Wisaka itu terkejut. Selagi mereka berusaha membuka jalan serta siap untuk keluar dari padukuhan, maka mereka telah mendapat serangan dari belakang. Pangeran Benawa dan Paksi yang berhasil menyusup memasuki padukuhan itu telah berhasil mengguncang para pengikut Harya Wisaka yang akan menyertainya keluar dari padukuhan dan menembus kepungan yang lemah di sisi selatan. "Gila" geram Gadungbawuk, "siapakah mereka itu?" "Prajurit Pajang" berkata salah seorang penghubung yang memberikan laporan kepada Harya Wisaka. "Siapakah pemimpinnya?" bertanya Harya Wisaka. "Pangeran Benawa"
"Pangeran Benawa?" suara Harya Wisaka meninggi. "Jangan cemas, Ngger" desis Kiai Gadungbawuk. "Aku akan menghentikannya" Tetapi penghubung itu berkata pula, "Bersama Pangeran Benawa adalah seorang anak muda yang berilmu tinggi" "Siapa?" bertanya Harya Wisaka. "Aku tidak tahu namanya" jawab penghubung itu. "Raden Sutawijaya?" bertanya Harya Wisaka. "Bukan" "Tentu Paksi" geram Harya Wisaka. Ki Madujaelah yang menyahut, "Jadi ada gunanya pula aku pergi bersama Harya Wisaka. Biarlah aku menghentikan anak itu. Sebaiknya Harya Wisaka melanjutkan rencana memecah kepungan di sisi yang paling lemah. Apalagi sebagian dari mereka sudah berada di sisi. Biarlah Raden Suminar menjadi ujung tombak kelompok yang akan mengantar Harya Wisaka" "Baiklah, Ki Madujae" sahut Raden Suminar. "Percayalah, bahwa aku dapat menghancurkan pasukan yang akan menahan gerak kami" Demikianlah, maka Raden Suminar dan beberapa orang kepercayaannya telah menembus perlawanan para prajurit Pajang. Mereka berhasil keluar dari pintu gerbang padukuhan. Dengan garangnya Raden Suminar yang berilmu tinggi itu menyibak jalan dengan ujung pedangnya. Sementara itu beberapa orang yang menyertainya bertempur dengan garangnya seperti sekelompok serigala yang sedang lapar. Dalam pada itu, Pangeran Benawa dan Paksi yang berusaha untuk dapat menangkap Harya Wisaka di dalam padukuhan telah bertempur dengan sengitnya. Mereka berusaha untuk dapat menembus pertahanan para pengikut Harya Wisaka yang bertempur tanpa mengenal surut. Mereka benar-benar siap untuk mengorbankan apa saja yang mereka miliki, termasuk tubuh dan nyawa mereka. "Orang-orang itu benar-benar kehilangan pribadi mereka" berkata Paksi di dalam hatinya. "Jika aku tidak berhasil
menemukan adikku, maka ia akan menjadi seperti orangorang itu" Gerak maju Pangeran Benawapun terhambat ketika seorang tiba-tiba menghadangnya. "Bukankah aku berhadapan dengan Pangeran Benawa?" berkata Ki Gadungbawuk. Pangeran Benawa memandang orang itu dengan tajamnya. Dengan nada datar iapun menjawab, "Ya. Aku adalah Benawa" "Apakah Pangeran sedang memburu Harya Wisaka?" "Ya. Aku memang sedang memburu Paman Harya Wisaka. Paman adalah buruan yang harus ditangkap" "Kenapa Harya Wisaka harus ditangkap?" "Aku tidak mempunyai waktu untuk menjawab pertanyaan seperti itu. Minggirlah. Jangan korbanku dirimu untuk melindungi Paman Harya Wisaka" Tetapi Ki Gadungbawuk tertawa. Katanya, "Siapakah yang akan mengorbankan dirinya" Aku akan bertempur dengan sungguh-sungguh. Siapa yang menghalangi aku, akan aku singkirkan" Ki Gadungbawuk masih akan mengulur waktu untuk memberi kesempatan Harya Wisaka meninggalkan padukuhan. Karena itu, maka iapun berkata selanjutnya, "Karena itu, aku mohon Pangeran mengurungkan niat Pangeran untuk menangkap Harya Wisaka" Pangeran Benawa sadar, bahwa orang itu sengaja mengulur waktu. Karena itu, maka Pangeran Benawa tidak berbicara lagi. Dengan tombak pendeknya Pangeran Benawapun segera menyerang Ki Gadungbawuk. Tetapi Ki Gadungbawuk sudah bersiap sepenuhnya. Karena itu, ketika ujung tombak Pangeran Benawa mematuknya, Ki Gadungbawukpun bergeser ke samping. Namun ujung tombak Pangeran Benawa itupun berputar. Seperti menggeliat, ujung tombak itu menyambar mendatar ke arah dada Ki Gadungbawuk.
Tetapi Ki Gadungbawuk masih sempat meloncat surut, sehingga dadanya tidak tersentuh. Pangeran Benawa yang marah itupun memburunya. Ia harus segera menyelesaikan pertempuran itu, agar ia tidak kehilangan Harya Wisaka. Tetapi Ki Gadungbawuk bukan orang kebanyakan. Iapun memiliki ilmu yang tinggi, sehingga perlawanannyapun benarbenar harus diperhitungkan oleh Pangeran Benawa. Sementara itu, langkah Paksipun telah tertahan pula. Ki Madujae berusaha untuk menghalanginya. "Namamu siapa, anak muda?" bertanya Ki Madujae. Paksi tidak menghiraukan pertanyaan itu. Ia tidak mau kehilangan waktu sekejap pun. Karena itu, demikian seseorang berdiri di hadapannya sambil bertolak pinggang, maka Paksi yang telah mendapatkan sebatang tombak pendek itu langsung menyerangnya. "Jangan terlalu garang, anak muda" berkata Ki Madujae sambil tersenyum. "Kau akan menjadi terlalu cepat tua" Paksi tidak menghiraukannya. Serangannyapun kemudian justru semakin garang. Ki Madujae berusaha untuk melawannya dengan mengerahkan segenap tenaganya. Iapun seorang yang berilmu tinggi dan terlatih untuk terjun di segala medan. Meskipun demikian, Ki Madujae harus mengakui kelebihan Paksi yang bergerak dengan tangkasnya. Tombaknya berputaran dengan cepat, menyambar mendatar, kemudian terjulur mematuk dengan cepat. Ki Madujae harus mengerahkan kemampuannya untuk mengimbangi ketangkasan anak muda itu. Ia tidak boleh terlalu cepat tersinggung jika anak muda itu mendesaknya dan bahkan ujung tombaknya mulai menyentuhnya. Ia tidak boleh kehilangan akal sehingga penalarannya menjadi kabur. Dengan demikian, maka perlawanannya akan menjadi semakin lemah. Seperti Pangeran Benawa, maka Paksipun ingin segera menyelesaikan lawannya agar ia sempat memburu Harya
Wisaka. Tetapi Ki Madujae ternyata tidak mudah ditundukkannya. Dengan tangkasnya Ki Madujae berusaha mengimbangi kemampuan Paksi yang masih sangat muda itu. Dengan demikian, bagi Pangeran Benawa dan Paksi tidak terlalu mudah untuk menyelesaikan lawan-lawan mereka. Ki Gadungbawuk telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menahan Pangeran Benawa. Setidak-tidaknya untuk mengulur waktu. Meskipun ujung tombak Pangeran Benawa sempat menyentuh tubuh Ki Gadungbawuk, namun perlawanan Ki Gadungbawuk sama sekali tidak menyusut. Demikian pula Ki Madujae. Ia tidak memikirkan dirinya sendiri. Tetapi ia lebih banyak memikirkan keselamatan Harya Wisaka. Sementara itu Harya Wisaka telah bergerak keluar dari padukuhan. Raden Suminar dan para pengawal terpilihnya telah berhasil menyibak para prajurit Pajang yang berusaha menahan mereka untuk tetap berada di padukuhan. Sementara itu, Pangeran Benawa dan Paksi masih belum berhasil menghentikan perlawanan lawan-lawan mereka. Demikian pula Raden Sutawijaya. Lawannya tidak lagi hanya seorang Ki Santen Ireng. Tetapi dua orang murid Ki Santen Ireng telah membantunya melawan Raden Sutawijaya. Baru kemudian, setelah pasukan Ki Yudatama berhasil menghancurkan sebagian dari lawan-lawannya, maka Ki Yudatamapun telah bergabung dengan Raden Sutawijaya menghentikan perlawanan Ki Santen Ireng dan muridmuridnya. Dengan demikian, maka Raden Sutawijaya dan Ki Tumenggung Yudatama bersama pasukannya telah memasuki Padukuhan Pandean. Di dalam padukuhan mereka masih tertahan oleh beberapa orang pengikut Harya Wisaka. Namun merekapun segera dapat diatasi. Dengan cepat maka Raden Sutawijayapun bergerak ke pintu gerbang di sisi selatan. Ternyata Pangeran Benawa dan Paksi masih bertempur melawan Ki Gadungbawuk dan Ki Madujae.
"Biarlah aku ikut bermain, Adimas" berkata Raden Sutawijaya ketika ia berada di belakang Pangeran Benawa yang masih bertempur. Namun Pangeran Benawapun menjawab, "Susul Paman Harya Wisaka. Ia berada di pintu gerbang padukuhan di sebelah selatan" Dengan cepat Raden Sutawijayapun segera meninggalkan Pangeran Benawa dan Paksi. Menurut pengamatannya, Pangeran Benawa dan Paksi akan dapat menguasai lawanlawan mereka, meskipun masih memerlukan waktu. Karena itu, maka Raden Sutawijayapun tidak merasa perlu untuk membantu mereka. Namun ketika Raden Sutawijaya sampai di pintu gerbang, maka yang ditemuinya adalah pertempuran antara prajurit Pajang dan para pengikut Harya Wisaka yang berusaha menahan mereka yang berusaha untuk memburu Harya Wisaka itu. Tetapi Harya Wisaka sendiri sudah tidak ada di arena pertempuran itu. Raden Sutawijayapun kemudian bertanya kepada seorang prajurit, "Di mana Paman Harya Wisaka?" "Harya Wisaka berhasil melarikan diri keluar pintu gerbang selatan" "Apakah tidak ada yang memburunya?" "Kami tertahan dalam pertempuran ini" jawab prajurit itu. Raden Sutawijaya menggeram. Bersama Ki Tumenggung Yudatama dan beberapa orang prajurit terpilih, mereka berusaha menyibak medan pertempuran yang menjadi semakin tipis itu. Sejenak kemudian mereka telah berhasil menerobos pintu gerbang dan keluar dari padukuhan. Masih belum terlalu jauh dari pintu gerbang, Raden Sutawijaya melihat arena pertempuran yang tidak begitu besar. Hanya kelompok-kelompok kecil sajalah yang terlibat di dalamnya. "Agaknya Paman Harya Wisaka ada di sana" berkata Raden Sutawijaya. Dengan cepat Raden Sutawijaya bergerak diikuti Ki Tumenggung Yudatama. Mereka berlari ke arah arena
pertempuran di tengah-tengah bulak persawahan yang kering itu. Namun langkah Raden Sutawijaya tertegun. Pertempuran itu tidak berlangsung lama. Ketika Raden Sutawijaya mendekat, maka rasa-rasanya semuanya telah selesai Harya Wisaka itu berdiri dengan kepala tunduk. Raden Suminar ternyata telah mengorbankan segala-galanya bagi Harya Wisaka. Tubuhnya terkapar di tanah. Nafasnya pun telah terhenti sama sekali. Di hadapan Harya Wisaka itu berdiri Ki Gede Pemanahan. Beberapa orang pengiringnya, bertebaran di sekitarnya bergabung dengan beberapa orang prajurit Pajang yang datang bersama Ki Tumenggung Yudatama, mengepung padukuhan itu. "Ayah" desis Raden Sutawijaya. "Di mana Pangeran Benawa dan Paksi?" "Mereka masih bertempur di padukuhan itu, Ayah. Padukuhan itu adalah salah satu sarang Paman Harya Wisaka" "Apakah mereka tidak memerlukanmu?" "Tidak, Ayah. Aku baru saja menemui Adimas Pangeran Benawa. Adimas Pangeran Benawa minta aku menyusul Paman Harya Wisaka. Ternyata Ayah sudah ada disini" Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Kemudian dipandanginya Harya Wisaka yang menunduk. Dengan nada dalam Ki Gede Pemanahanpun berkata, "Harya Wisaka, kau lihat korban yang masih saja berjatuhan. Kematian demi kematian mengiringi jejak langkahmu, kemana pun kau pergi. Sekarang, Raden Suminar yang baru tumbuh itu sudah kau korbankan pula" Harya Wisaka memandang tubuh yang terbujur itu. Perlahan Harya Wisaka melangkah mendekatinya dan berjongkok di sampingnya. "Suminar" desisnya sambil meraba dahi tubuh yang terbujur diam itu. Ditengadahkannya wajahnya sambil berdesis, "Kau telah membunuhnya meskipun tidak dengan
tanganmu sendiri. Tetapi prajurit-prajuritmu yang licik telah mengeroyoknya dan membunuhnya dengan kejam" "Suminar tidak mau mendengarkan peringatan-peringatan yang diberikan kepadanya. Jika ia mau meletakkan senjatanya, maka ia tidak akan terbunuh" "Suminar adalah seorang laki-laki sejati. Ia pantang menyerah meskipun harus mengorbankan nyawanya" "Untuk apa" Apakah kau bangga bahwa Suminar bersedia mati untukmu" Jika kau memerintahkannya menyerah, ia tentu akan menyerah. Tetapi kau biarkan Suminar berbuat sebagaimana kau sebut sebagai laki-laki sejati. Apakah ukuranmu bagi seorang laki-laki sejati" Orang yang mau mati untukmu, sementara kau hanya memburu keinginanmu sendiri yang kau dasari nafsu ketamakan semata-mata?" "Kau salah, Ki Gede" jawab Harya Wisaka. "Jika itu yang terjadi, maka hanya orang-orang dungu saja yang mau mendukung perjuanganku. Tetapi lihat, orang-orang berilmu tinggi dan bernalar tajam bersedia berjuang bersamaku karena mereka melihat kebenaran di dalamnya" "Kebenaran yang dilihat dari satu sisi, tidak mungkin dipaksakan bagi segala pihak di Pajang, Harya Wisaka. Kau melihat kebenaran itu dari tempatmu berpijak tanpa menghiraukan sisi-sisi lain. Sementara itu, orang-orang yang mendukungmu, kau sangka mempunyai pandangan yang sama dengan kau sendiri" Mereka mempunyai kepentingan mereka sendiri, sementara yang lain terbius oleh harapanharapan yang kau taburkan meskipun kau sendiri tahu, bahwa harapan-harapan itu kosong semata-mata" "Itu dugaanmu, Ki Gede. Tetapi bagi aku dan kawankawanku, dugaanmu itu salah. Kami berjuang bersama-sama untuk menegakkan satu cita-cita yang luhur" "Harya Wisaka. Apakah kau tidak melihat, betapa banyaknya korban yang telah jatuh dalam perselisihan ini" Kematian bertebaran di mana-mana. Sementara itu tujuanmu sangat kabur. Jika Kangjeng Sultan Hadiwijaya itu kemudian duduk di atas tahta, bukankah itu sudah merupakan hasil satu
permufakatan. Mungkin tidak memuaskan segala pihak. Mungkin Sultan Hadiwijaya sendiri bukanlah orang yang tidak bercacat. Tetapi itu adalah yang terbaik bagi Pajang. Terbaik dari kemungkinan-kemungkinan yang lain. Katakan, bahwa aku pun tidak merasa puas sepenuhnya atas kepemimpinan Sultan Hadiwijaya. Bahkan anaknya sendiri, Pangeran Benawa juga melihat cacat-cacat ayahandanya. Tetapi apakah kita harus menghancurkan Pajang" Menebarkan kematian di mana-mana?" Harya Wisaka menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, "Adakah perjuangan tanpa pengorbanan?" "Sesuaikah pengorbanan yang kau berikan dengan tujuan perjuanganmu yang kabur dan tidak mendasar" Yang kau berikan hanya berlandasan dendam dan kebencian" Dendam karena kematian Harya Penangsang dan kebencianmu kepada Sultan Hadiwijaya. Tetapi kau tidak mengingat orang-orang yang terbunuh karenanya. Termasuk Raden Suminar. Seorang anak muda yang akan dapat tumbuh menjadi pilar masa mendatang. Tetapi tunas itu harus dipatahkan sekarang, karena merambat di lanjaran yang salah" Harya Wisaka memandang wajah Raden Suminar. Darah membasahi tubuhnya, mengalir dari luka di dadanya, di lambungnya, di bahunya dan di perutnya. Tetapi wajahnya masih saja menunjukkan gereget perjuangannya yang diyakininya. "Suminar" Harya Wisaka itu berdesis. Tetapi Raden Suminar tidak mendengarnya. Harya Wisaka itupun kemudian bangkit berdiri. Dijulurkannya kedua tangannya sambil berdesis, "Jika Ki Gede akan mengikat tanganku, ikatlah dengan apa saja" "Tidak" berkata Ki Gede. "Kita akan bersama-sama pergi ke istana menghadap Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Kangjeng Sultan bukan seorang pendendam. Ia akan berusaha untuk tegak di atas paugeran"
Dalam pada itu, sebelum Ki Gede beranjak dari tempatnya membawa Harya Wisaka langsung ke istana, maka Pangeran Benawapun telah datang pula. Ketika ia melihat Ki Gede, maka iapun berdesis, "Paman sudah disini?" "Ki Tumenggung Yudatama telah memberikan laporan kepadaku" berkata Ki Gede Pemanahan. "Agaknya Paman datang tepat pada waktunya" "Ya. Dan perhitungan para penghubungpun benar, bahwa Harya Wisaka akan keluar dari padukuhan lewat arah selatan, karena induk pasukan Pajang berada di sisi utara" "Ya, Paman. Jika saja Paman datang beberapa saat kemudian, maka semuanya tentu sudah lewat" "Di mana Paksi, Pangeran?" bertanya Ki Gede kemudian. "Paksi masih berada di padukuhan itu, Paman. Paksi sedang mencari adiknya" Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Anak-anak muda yang sedang tumbuh itu akan kehilangan pribadinya. Mudah-mudahan Paksi dapat menemukannya" Harya Wisaka menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja dari sela-sela bibirnya terdengar ia berdesis, "Anak itu telah dibawa pergi. Ada tiga orang anak muda pergi bersamanya" "Ke mana, Paman?" bertanya Pangeran Benawa. "Jika Paman bersedia membebaskan mereka, Paksi tentu akan sangat berterima kasih. Jika mereka tidak dapat dibebaskan dari cengkeraman keyakinan Paman Harya Wisaka, maka mereka akan kehilangan dirinya dan masa depannya" "Anak itu akan dapat menjadi korban tanpa arti seperti Suminar, Paman" berkata Raden Sutawijaya pula. Harya Wisaka menarik nafas panjang. Sementara itu Ki Gedepun berkata, "Apalagi setelah kau berada di tangan kami. Perjuangan yang diyakininya pada dasarnya sudah terhenti. Yang mereka lakukan kemudian tidak lagi bertujuan sama sekali. Bahkan tujuan yang kabur pun tidak. Karena itu, mereka akan dapat melakukan apa saja untuk mendapatkan kepuasan batin, sementara itu batinnya dilandasi oleh perasaan dendam dan kebencian, sehingga yang lahir dari
ungkapan batinnya adalah nafsu menghancurkan apa saja tanpa tujuan" Harya Wisaka termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Aku tidak tahu pasti, ke mana mereka dibawa pergi. Tetapi ada niat untuk membawa mereka kepada seorang guru yang akan dapat menempa mereka menjadi orang-orang yang berilmu tinggi" "Siapakah guru yang dimaksud?" Harya Wisaka nampak ragu-ragu. Namun kemudian iapun berkata, "Ki Gede Lenglengan" "Ki Gede Lenglengan" Aku belum pernah mendengar nama itu" desis Ki Gede Pemanahan. "Paman Harya, jika saja Paman Harya sudi menunjukkan, ke mana Paksi harus pergi mencarinya?" Harya Wisaka termangu-mangu sejenak. Ada dorongan di dalam hatinya untuk mengatakan sesuatu. "Tolonglah Paksi, Paman, agar adiknya, anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidak mengalami nasib seperti Suminar. Bahkan Suminar masih dapat berbangga karena ia mati untuk satu keyakinan. Apalagi ia mati di hadapan Paman Harya Wisaka. Tetapi apa jadinya adik Paksi itu kelak jika jiwanya tidak segera dapat diselamatkan. Apakah memang tujuan Paman untuk membiarkan Paksi dan adik laki-lakinya kelak saling mendendam dan seorang di antaranya membunuh yang lain?" Tiba-tiba saja terasa kaki Harya Wisaka itu bergetar. Dengan sendat iapun berkata, "Aku akan berkata dengan jujur, Pangeran. Aku belum tahu letak padepokan Ki Gede Lenglengan. Aku pun tidak tahu nama perguruannya, yang aku dengar, padepokan itu berada di arah Gunung Merapi" Pangeran Benawa memandang wajah Harya Wisaka dengan tajamnya. Sebelum ia mengatakan sesuatu, Ki Gede Pemanahanpun berkata, "Aku percaya kepadamu, Harya Wisaka. Agaknya kau benar-benar belum tahu letak padepokan yang dipimpin oleh orang yang menyebut dirinya Ki Gede Lenglengan itu. Tetapi jika saja kau bersedia
mengatakan, siapakah di antara orang-orangmu yang mengenal dan mengetahui letak padepokan itu?" "Suminar adalah murid Ki Gede Lenglengan" "Jika demikian, perguruan itu tentu sebuah perguruan yang mempunyai tataran yang tinggi. Suminar adalah anak muda yang berilmu tinggi" "Apakah ada orang lain yang seperguruan dengan Suminar, Paman?" bertanya Pangeran Benawa. Harya Wisaka mengerutkan dahinya. Dipandanginya orangorangnya yang ada di sekitarnya. Namun kemudian iapun menggeleng, "Aku tidak melihatnya sekarang, Pangeran. Tetapi aku berjanji, jika aku dapat mengenali seseorang di antara saudara seperguruan Suminar, aku akan mengatakannya" "Terima kasih" Ki Gede Pemanahanlah yang menyahut, "sekarang kita akan kembali ke kota, bahkan langsung ke istana" Ki Gedepun kemudian memerintahkan untuk menyediakan kudanya dan seekor kuda bagi Harya Wisaka. "Apakah Pangeran akan kembali bersama kami?" bertanya Ki Gede. "Tidak, Paman. Aku akan menunggu Paksi. Kami akan kembali bersama-sama" Dengan demikian, maka Ki Gede Pemanahan segera meninggalkan tempat itu sambil membawa Harya Wisaka. Sekelompok prajurit pengawal yang kuat menyertainya. Bagaimanapun juga mereka masih memperhitungkan kemungkinan buruk dapat terjadi, karena para pengikut Harya Wisaka yang mungkin masih berkeliaran. Sementara itu, Raden Sutawijayapun sempat berceritera kepada Ki Gede, apa yang terjadi di pintu gerbang kota ketika ia membawa Harya Wisaka memasuki pintu gerbang itu. Dalam pada itu, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Ki Tumenggung Yudatama masih tetap tinggal. Bukan saja menunggu Paksi. Tetapi mereka harus merawat para prajurit
yang terluka dan mengumpulkan mereka yang gugur di pertempuran. Bahkan juga para pengikut Harya Wisaka. Sementara yang menyerah telah dikumpulkan di banjar padukuhan dengan tangan terikat di bawah pengawasan yang kuat. Di banjar itu pula Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi mengamati para tawanan. Sebagian dari mereka adalah anak-anak muda yang sedang tumbuh. Namun ternyata mereka telah terperangkap ke dalam lingkungan yang salah. "Aku menjadi sangat cemas akan nasib adikku" berkata Paksi kemudian. "Kesempatanmu untuk menemukan adikmu memang kecil sekali, Paksi. Tetapi tidak tertutup sama sekali. Harya Wisaka pada saat-saat terakhir memberikan sedikit petunjuk yang barangkali dapat dipakai sebagai alas usaha pencaharian itu" berkata Pangeran Benawa. Paksi memandang Pangeran Benawa dengan karut di kening. Dengan singkat Pangeran Benawapun kemudian telah memberitahukan kepada Paksi, bahwa ada kemungkinan adiknya berada di sebuah padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan. Padepokan yang berada di arah Gunung Merapi. Tetapi Harya Wisaka tidak dapat memberikan keterangan lebih banyak lagi, sementara itu, Suminar, salah seorang pengikut setia Paman Harya Wisaka yang berasal dari perguruan itu sudah terbunuh. Paksi menarik nafas panjang. Ia menjadi semakin cemas, bahwa adiknya akan berada di bawah bimbingan seorang guru yang telah membentuk seseorang yang seakan-akan tidak lagi sempat mempergunakan penalarannya meskipun ia berilmu tinggi sebagaimana Raden Suminar. "Anak itu harus diselamatkan" berkata Paksi seakan-akan kepada diri sendiri. "Ya. Kau memang tidak akan dapat membiarkan anak itu tenggelam di dalam dendam"
"Hamba tidak dapat menunda-nunda lagi, Pangeran. Hamba harus segera pergi" "Aku tahu, Paksi. Tetapi sebaiknya kita berbicara lebih mendalam. Mungkin kita perlu berbicara dengan Guru, dengan Paman Pemanahan dan mungkin dengan Ayahanda sendiri" Paksi mengangguk hormat. Hampir tidak terdengar ia berdesis, "Hamba, Pangeran" Dalam pada itu, para prajurit Pajangpun telah sibuk dengan kawan-kawan mereka yang terluka dan yang gugur. Lewat tengah hari, telah datang pasukan baru yang akan menggantikan pasukan yang letih itu. Pasukan yang baru itu harus menyelesaikan tugas-tugas pasukan yang terdahulu, yang akan segera kembali ke barak mereka. Setelah serah terima tugas, maka Ki Yudatama dan pasukan berkudanya segera kembali ke barak mereka. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksipun berkuda bersama mereka pula. Di pintu gerbang kota mereka berhenti. Ki Yudatama bertanya kepada pemimpin prajurit yang bertugas, siapakah yang memimpin tugas para prajurit di pintu gerbang semalam. Dalam pada itu, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksipun telah ikut pula memasuki barak Ki Tumenggung Yudatama. Mereka merencanakan, menjelang malam mereka akan mohon menghadap Kangjeng Sultan untuk melengkapi laporan tentang tertangkapnya Harya Wisaka. Sementara itu, pemimpin prajurit yang bertugas di pintu gerbang semalam yang dipanggil oleh Ki Tumenggung Yudatama telah menghadap pula. "Kau kenal dengan ketiga orang ini?" bertanya Ki Tumenggung Yudatama. "Ampun, Ki Tumenggung. Semalam aku tidak dapat mengenal ketiganya" "Seandainya bukan mereka, kau telah menyebabkan Harya Wisaka terlepas" "Ampun, Ki Tumenggung. Aku sama sekali tidak tahu, bahwa orang itu adalah Harya Wisaka"
"Bukankah Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi sudah memberitahukan bahwa yang ditangkap itu adalah Harya Wisaka?" "Ya, Ki Tumenggung" "Kau terlalu bernafsu untuk memiliki hadiah bagi siapa yang dapat menangkap Harya Wisaka. Bahkan kemudian kau telah terjebak oleh daging seekor kambing yang akan disembelih, jadi kau tukar Harya Wisaka dengan seekor kambing" "Ampun, Ki Tumenggung" "Bukan itu saja. Tiga orang prajuritmu mati sia-sia di pintu gerbang Padukuhan Pandean. Mereka terjebak karena kebodohan dan ketamakanmu" Pemimpin prajurit yang bertugas di pintu gerbang semalam itu menundukkan kepalanya. Ia sangat menyesal. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Tiga orang kawannya meninggal tanpa arti terjebak di sarang para pengikut Harya Wisaka. "Sekarang pulanglah" berkata Ki Tumenggung. "Tetapi setiap saat kau akan dipanggil untuk mempertanggungjawabkan kebodohanmu itu" "Aku pasrah, karena aku memang telah melakukan kesalahan yang besar" "Kau dapat membayangkan, karena kesalahanmu itu, maka Harya Wisaka harus ditangkap setelah terjadi pertempuran yang menelan banyak korban di kedua pihak. Jika kau tidak melakukan kesalahan itu, maka Harya Wisaka sudah berada di tangan kami tanpa harus menambah korban" Wajah pemimpin kelompok prajurit itu menunduk dalamdalam. Waktu sudah berlalu, sehingga ia tidak akan dapat mengulanginya lagi. Kematian itu sudah menerkam beberapa orang dan menelannya, sehingga tidak akan dapat dimuntahkan kembali. Yang kemudian harus dihadapinya adalah pengadilan yang akan menentukan, hukuman apakah yang harus disandangnya. Dalam pada itu, ketika malam turun, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya, Paksi, diantar Ki Tumenggung Yudatama
telah pergi menemui Ki Gede Pemanahan. Bersama-sama mereka akan menghadap Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Berlima mereka diterima oleh Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang nampak letih. Kangjeng Sultan sendiri bersama Ki Gede Pemanahan menjelang senja telah berbicara langsung dengan Harya Wisaka. Namun Ki Gede Pemanahan telah memberitahukan, jika diperkenankan, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi akan mohon waktu untuk menghadap. Meskipun Kangjeng Sultan merasa letih, tetapi Kangjeng Sultan tidak menolak. Apalagi di antara mereka terdapat Pangeran Benawa. Sebenarnya Pangeran Benawa sendiri mempunyai kesempatan yang luas untuk menghadap ayahandanya. Namun karena ia akan datang bersama Paksi, maka ia memerlukan perkenan ayahandanya untuk menerimanya. Pada dasarnya Kangjeng Sultan sendiri juga ingin mendengar laporan langsung dari Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi yang telah berhasil menangkap Harya Wisaka, dan yang kemudian harus dilepaskannya kembali. Namun dengan demikian, mereka justru dapat menemukan salah satu sarang dari para pengikut Harya Wisaka. Bahkan beberapa orang terpenting di antara mereka telah menyerah dan yang lain terbunuh di pertempuran. Berganti-ganti Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya menceriterakan apa yang sudah terjadi sejak mereka bertemu dengan adik laki-laki Paksi di rumahnya sehingga pertempuran yang terjadi di Padukuhan Pandean serta kedatangan Ki Gede Pemanahan serta tertangkapnya kembali Harya Wisaka. Terakhir Paksi telah melaporkan, bahwa ia benar-benar telah kehilangan adiknya. Kangjeng Sultan Hadiwijaya mengangguk-angguk. Katanya, "Aku telah berbicara dengan Harya Wisaka yang dibawa menghadap oleh Kakang Pemanahan. Kakang Pemanahan juga sudah menyinggung tentang adik Paksi yang sudah terlanjur dibawa pergi"
"Jika hamba tidak segera dapat menemukannya, maka nasib adik hamba itu tidak akan menjadi lebih baik dari nasib Raden Suminar" "Nampaknya Harya Wisaka menyesali kematian Suminar" berkata Kangjeng Sultan kemudian. "Agaknya ada sesuatu yang tumbuh di hati Harya Wisaka. Ia berusaha memberikan petunjuk sejauh yang diketahui tentang sebuah padepokan yang mungkin akan menjadi tempat berguru adikmu, Paksi. Mungkin Harya Wisaka juga sudah mengatakan kepadamu serba sedikit tentang Ki Gede Lenglengan" "Hamba, Sinuhun" "Aku mengenal Ki Gede Lenglengan meskipun Kakang Pemanahan nampaknya belum. Ki Gede Lenglengan di masa kecilnya adalah seorang anak muda yang binal. Anak muda yang tidak mau terikat oleh paugeran yang berlaku dalam tatanan kehidupan. Aku pernah mengembara bersamanya. Tetapi kami berselisih dan berkelahi. Aku hampir saja membunuhnya. Nampaknya Lenglengan itulah yang kini mendirikan sebuah padepokan di kaki Gunung Merapi itu" Paksi mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Hamba ingin mencari adik hamba" "Tetapi kau harus sangat berhati-hati berhubungan dengan Lenglengan. Menilik kelebihannya di masa muda, Lenglengan sekarang tentu memiliki ilmu yang sangat tinggi" "Tetapi hamba tidak dapat membiarkan adik hamba berada di tangannya. Hamba tidak dapat membiarkan adik hamba mengalami nasib seperti Raden Suminar" "Aku mengerti akan kecemasanmu itu, Paksi. Tetapi sebaiknya kau berbicara lebih dahulu dengan guru-gurumu" "Hamba, Sinuhun" "Kau harus mendengarkan nasehat dan petunjukpetunjuknya. Tugas yang akan kau sandang mungkin akan memerlukan waktu yang agak panjang" "Hamba, Sinuhun"
"Meskipun demikian, aku ingin berpesan kepadamu, Paksi. Jika kau sudah mendapatkan kepastian bahwa kau akan mencari adikmu, aku minta kau datang kepadaku" "Hamba, Sinuhun" "Kau juga harus minta diri kepada Ki Gede Pemanahan" "Hamba, Sinuhun" Demikianlah, maka Ki Gede Pemanahanpun minta diri. Ternyata atas permohonan Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi malam itu diperkenankan bermalam di istana. Karena itu, maka Ki Gede Pemanahan dan Ki Tumenggung Yudatamapun segera minta diri. "Mudah-mudahan dengan tertangkapnya Harya Wisaka, keadaan akan dapat menjadi semakin tenang. Apalagi beberapa orang pemimpinnya telah tidak berdaya pula. Bahkan sebagian dari mereka telah terbunuh" berkata Kangjeng Sultan. "Tetapi kita masih akan membersihkan Pajang dari sisa-sisa pengikutnya, Sinuhun" sahut Ki Tumenggung Yudatama. "Tentu, Ki Tumenggung. Semisal sapu lidi, mereka telah kehilangan ikatannya. Tetapi bukan berarti bahwa semuanya sudah selesai. Jika pada suatu saat tampil seorang kuat yang sanggup mengikat mereka, maka mereka akan timbul lagi. Bahkan mungkin yang timbul itu akan menjadi lebih keras dan buas" berkata Kangjeng Sultan selanjutnya. "Hamba, Sinuhun" Ki Tumenggung Yudatama mengangguk dalam-dalam. Demikianlah, maka Ki Tumenggung Yudatama dan Ki Gede Pemanahanpun segera meninggalkan istana. Mereka sepakat untuk tidak mengendorkan usaha untuk menumpas sisa-sisa para pengikut Harya Wisaka. Justru pada satu saat yang sangat menentukan. Saat mereka kehilangan harapan dan kehilangan tempat bergantung karena Harya Wisaka sudah tertangkap.
Malam itu, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi bermalam di istana. Pangeran Benawa telah membawa mereka ke kasatrian. Namun Pangeran Benawa tidak tidur di dalam biliknya. Biliknya sebagai seorang putra terpenting dari Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Tetapi Pangeran Benawa tidur bersama Raden Sutawijaya dan Paksi di serambi samping bangsal kasatrian Pajang. Esok pagi-pagi mereka bertiga sudah bersiap untuk meninggalkan istana kembali ke padepokan mereka di Hutan Jabung. "Pergilah" berkata Kangjeng Sultan kepada mereka bertiga ketika mereka minta diri. Lalu kepada Paksi Kangjeng Sultan itupun berkata, "Aku ingin mengingatkan, jika kau pergi mencari adikmu, jangan lupa, datanglah kepadaku dan kepada Ki Gede Pemanahan" "Hamba, Sinuhun" Sejenak kemudian, maka ketiga orang itupun telah meninggalkan istana. Mereka masih saja mengenakan pakaian orang kebanyakan dan berjalan kaki keluar pintu gerbang kota. Para prajurit yang bertugas tidak memperhatikan mereka bertiga. Merekapun tidak menghentikan mereka bertiga, apalagi setelah Harya Wisaka tertangkap. Namun seorang lurah prajurit yang bertugas memimpin para prajurit yang bertugas itu sempat mengenali mereka. Terutama Pangeran Benawa. Karena itu, maka lurah prajurit itupun mengangguk hormat sambil berkata, "Ampun, Pangeran. Kemana Pangeran ini hendak pergi sepagi ini?" "Kau kenal aku?" bertanya Pangeran Benawa. "Hamba, Pangeran" jawab Lurah prajurit itu. "Sudahlah. Kau simpan saja sendiri" "Hamba, Pangeran" Tetapi ketika Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi itu melanjutkan perjalanan, prajurit-prajuritnyapun bertanya, "Siapakah mereka, Ki Lurah?"
"Orang-orang dungu. Seorang di antara mereka adalah Pangeran Benawa" "Jika demikian, yang seorang lagi itu tentu Raden Sutawijaya dan yang satu lagi Paksi, anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang sudah tertangkap itu" "Ya. Ya" Para prajurit itu hanya dapat memandang mereka dari kejauhan. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksipun sudah menjadi semakin jauh. "Kenapa mereka berpakaian seperti orang kebanyakan?" bertanya seorang prajurit. Lurahnya menggeleng sambil berkata, "Entahlah. Namun justru karena itu, pemimpin prajurit yang bertugas kemarin malam telah melakukan kesalahan yang besar sekali" "Mereka tentu sedang menyamar" berkata prajurit yang lain. "Sebelum Harya Wisaka tertangkap, mereka tentu sedang menyamar. Tetapi setelah Harya Wisaka tertangkap, mereka masih saja mengenakan pakaian seperti itu" "Mereka menyatakan dirinya sebagai cantrik padepokan di Hutan Jabung" "Ya, kau benar" berkata lurah prajurit itu. "Pakaian seperti itulah mungkin yang dianggap paling pantas bagi seorang cantrik padepokan Hutan Jabung" Ki Lurah tersenyum. Kawan-kawannyapun menganggukangguk. Sementara itu, Pangeran Benawa Raden Sutawijaya dan Paksipun melangkah terus menuju ke Hutan Jabung. Namun ketika mereka sampai di Hutan Jabung, yang ada hanyalah Ki Panengah. Ki Waskita sendiri masih berada di kota. "Sayang sekali. Ketika kami meninggalkan kota, kami tidak berusaha menemui Ki Waskita lebih dahulu" desis Pangeran Benawa. "Tidak apa-apa" sahut Ki Panengah. "Ki Waskita tentu akan segera kembali"
Dalam pada itu, Paksi masih belum menyatakan keinginannya untuk pergi mencari adiknya. Ia menunggu Ki Waskita datang di padepokan. Baru kemudian ia akan mengatakan kepada kedua orang gurunya itu, bahwa ia akan pergi mencari adiknya. Di sore hari, Ki Waskita ternyata sudah datang pula. Pada hari itu Ki Waskita bertemu dengan Ki Gede Pemanahan untuk mendapatkan penjelasan tentang tertangkapnya Harya Wisaka. "Ki Gede mengatakan bahwa hari ini kalian bertiga merencanakan untuk kembali ke Hutan Jabung. Karena itu, maka aku pun segera menyusul kalian" Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi mengangguk-angguk mengiakan. Sementara itu, Ki Waskitapun berkata, "Selain itu, Ki Gede mengatakan, bahwa ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikan oleh Paksi kepadaku dan kepada Ki Panengah" "Ya, Guru" sahut Paksi. "Apakah kau sudah mengatakannya kepada Ki Panengah?" "Belum, Guru. Aku memang menunggu Guru, agar aku dapat menyampaikannya sekaligus kepada kedua orang guruku" "Sekarang kami sudah lengkap" berkata Ki Panengah. "Apa yang ingin kau sampaikan kepada kami, Paksi?" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Guru, aku tidak berhasil menemukan adikku. Ketika aku ikut memburu Harya Wisaka ke Padukuhan Pandean, ternyata adikku sudah dibawa pergi. Karena itu, aku mohon ijin untuk pergi mencari adikku itu" Ki Panengah menarik nafas panjang. Katanya, "Kemana kau akan mencari, Paksi" Bukankah tidak seorang pun tahu, kemana adikmu dibawa pergi" "Ada beberapa petunjuk yang diberikan oleh Harya Wisaka, Guru" "Harya Wisaka?"
"Ya. Agaknya ada sentuhan-sentuhan halus di dalam dadanya ketika ia melihat tubuh Raden Suminar yang terbunuh di pertempuran" "Raden Suminar?" desis Ki Panengah. "Ya. Tubuhnya yang terbaring dipenuhi oleh luka-luka, sehingga seluruh pakaiannya menjadi merah" "Apa petunjuk Harya Wisaka?" bertanya Ki Waskita. "Harya Wisaka menyebut sebuah perguruan yang mungkin akan menjadi tempat persinggahan adikku, dan bahkan mungkin ia akan berguru di perguruan itu" "Perguruan apa, Paksi?" bertanya Ki Waskita pula. "Harya Wisaka tidak dapat menyebut nama perguruan itu. Ia hanya mengatakan bahwa letak perguruan itu di arah Gunung Merapi. Sedangkan pemimpinnya bernama Ki Gede Lenglengan. Tetapi Harya Wisaka tidak dapat memberikan keterangan lebih jelas. Sedangkan Raden Suminar adalah salah seorang murid dari perguruan itu" "Ki Gede Lenglengan" Ki Waskita mengulang. "Aku belum pernah mendengar nama itu" Sambil berpaling kepada Ki Panengah, Ki Waskita itupun bertanya, "Apakah Ki Panengah pernah mendengarnya?" Ki Panengah menggeleng, "Belum, Ki Waskita" "Kangjeng Sultan Hadiwijaya justru sudah mengenalnya" Paksi menyela. "Keduanya justru bertengkar dan bahkan Kangjeng Sultan selagi masih mudanya, hampir saja membunuhnya. Tetapi Kangjeng Sultan berhasil mengekang diri. Namun setelah itu, mereka tidak pernah bertemu lagi. Kangjeng Sultan menduga, bahwa Ki Gede Lenglengan itu adalah kawannya mengembara yang bernama Lenglengan pula" Ki Panengah dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Dengan nada datar Ki Waskita bertanya, "Memang mungkin sekali. Nama itu jarang sekali dipakai orang, sehingga kemungkinannya di Pajang, Demak dan sekitarnya hanya ada
satu orang yang bernama Lenglengan. Sejak dahulu sampai sekarang. Meskipun tidak tertutup kemungkinan bahwa ada orang lain yang bernama sama. Tetapi kemungkinannya kecil sekali" "Ya, Guru" sahut Paksi. "Jika demikian, apakah rencanamu?" bertanya Ki Waskita. "Aku akan mohon diri, Guru. Aku ingin mencari adikku itu" "Kau sadari jalan yang akan kau tempuh?" "Aku sadari, Guru" "Seandainya kau dapat menemukan padepokan itu, apakah kau akan dapat mengambil adikmu keluar" Kau harus memperhitungkan kemungkinan, bahwa orang-orang di padepokan itu akan memusuhimu, apalagi jika mereka mendengar bahwa salah seorang muridnya terbunuh di pertempuran melawan orang-orang Pajang di Pandean. Sedangkan kau berdiri di pihak Pajang, meskipun Ki Tumenggung Sarpa Biwada berdiri di pihak Harya Wisaka bersama-sama dengan Raden Suminar. Apalagi jika sikap adikmu tetap memusuhimu" "Aku mengerti, Guru. Tetapi aku tidak dapat berdiam diri jika adikku akan mengalami nasib seperti Raden Suminar. Meskipun Harya Wisaka sudah tertangkap, tetapi akan dapat timbul orang lain untuk menggantikannya. Mungkin orang lain itu mengemban keyakinan sebagai pengikut Harya Wisaka, tetapi mungkin orang lain itu sekedar memanfaatkan keadaan. Orang lain itu berhasil memasang kendali dan mengarahkan gejolak yang sudah tersimpan sebelumnya untuk kepentingannya sendiri, meskipun orang itu juga menyebutnyebut nama Harya Wisaka" "Sukurlah jika hal itu kau sadari" berkata Ki Waskita. "Dengan demikian kau pun menyadari, bahwa beban tugasmu akan menjadi sangat berat" "Ya, Guru" "Lalu apa rencanamu?" "Aku akan mohon diri" "Sendiri?"
"Ya, Guru" "Aku ikut bersamamu, Paksi" berkata Pangeran Benawa. "Kita pernah menjelajahi kaki Gunung Merapi meskipun di sisi selatan. Sekarang kita akan memanjat kaki Gunung Merapi di sisi timur dan mungkin utara" "Pangeran" berkata Paksi, "Pangeran tentu mempunyai tugas-tugas tertentu di istana sebagai putera Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang kelak akan menggantikan kedudukan ayahanda Pangeran. Sebaiknya hamba pergi sendiri" "Tidak" berkata Pangeran Benawa, "aku tidak mempunyai tugas apa-apa. Ketika masih muda, Ayah juga seorang pengembara. Dengan demikian pengalamanku akan menjadi semakin luas. Pengenalanku atas bumi Pajang akan menjadi semakin akrab" "Tetapi jika terjadi sesuatu di perjalanan, taruhannya akan menjadi sangat mahal. Pangeran mempunyai nilai yang sangat tinggi bagi Pajang. Berbeda dengan hamba, Pangeran. Hamba adalah seorang yang tidak mempunyai arti apa-apa bagi Pajang. Persoalan yang hamba hadapi adalah persoalan keluarga hamba. Persoalan yang sangat pribadi, yang tidak selayaknya menyentuh ujung kain panjang Pangeran Benawa" "Sudahlah, jangan berpikir terlalu jauh. Kita lanjutkan pengembaraan kita yang sangat menarik itu. Aku senang hidup di kaki Gunung Merapi yang sejuk itu" Ki Waskita dan Ki Panengah mendengarkan pembicaraan itu dengan jantung yang berdebaran. Dengan ragu-ragu Ki Waskitapun kemudian menyela, "Pangeran, sebaiknya Pangeran tidak pergi. Paksi akan pergi untuk waktu yang tidak ditentukan. Perjalanannya pun sangat berbahaya. Sementara itu persoalan yang dihadapinya adalah persoalan keluarganya. Persoalan yang sangat kecil untuk menyangkut Pangeran Benawa" "Ki Waskita jangan memilah-milahkan kepentingan seseorang berdasarkan pada kedudukannya. Mungkin persoalan yang ingin ditangani oleh Paksi adalah persoalan keluarga dalam hubungannya dengan adik laki-lakinya. Tetapi
persoalan ini menyangkut keselamatan seseorang. Mungkin tidak hanya seorang adik Paksi, tetapi ada beberapa orang anak muda yang harus diselamatkan jiwanya. Menurut Paman Harya Wisaka, adik laki-laki Paksi itu telah dibawa ke padepokan Ki Gede Lenglengan bersama-sama dengan tiga orang anak muda. Setidak-tidaknya bertiga dengan adik lakilaki Paksi itu. Dengan demikian aku mempunyai kesimpulan, bahwa selain mereka tentu sudah ada anak muda yang lain yang dibawa ke padepokan Ki Gede Lenglengan itu" Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, Ki Panengahpun berkata, "Jika Pangeran sudah kukuh untuk pergi bersama Paksi, maka Pangeran harus minta ijin lebih dahulu kepada Ayahanda. Jika Pangeran pergi tanpa ijin Ayahanda, maka aku akan terbebani tanggung jawab, karena selama ini Pangeran dianggap menjadi seorang cantrik di padepokan ini" "Baik, Ki Panengah. Aku akan minta ijin Ayahanda" Sambil berpaling kepada Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa berkata, "Tolong, bantu aku Kakangmas, agar aku diijinkan. Baik oleh Ayahanda Sultan maupun oleh Paman Pemanahan" Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sebenarnya aku juga ingin pergi, Adimas. Tetapi tidak mungkin. Ayah tentu tidak mengijinkan. Kami harus mulai memikirkan Tanah Mentaok yang dibuka. Ayahanda Sultan telah memberikan isyarat, jika persoalan Harya Wisaka selesai, maka Ayahanda Sultan akan mulai memikirkan Hutan Mentaok" "Waktunya masih lama, Kakangmas. Ayah nampaknya terlalu lamban menangani Hutan Mentaok. Setelah persoalan Paman Harya Wisaka selesai, Ayahanda baru akan mulai menangani Hutan Mentaok. Akan mulai bagi Ayahanda dapat berarti setelah setahun tetapi juga dapat berarti setelah sepuluh tahun" Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya, "Tetapi jika akan mulai itu tiba-tiba datang" Sayang sekali, Adimas. Dalam keadaan seperti sekarang ini, aku tidak boleh pergi
meninggalkan Pajang. Setiap saat aku dan Ayah Pemanahan dapat dipanggil oleh Ayahanda Sultan untuk membicarakan persoalan Hutan Mentaok" "Baiklah, Kakangmas. Namun aku minta Kakangmas membantu aku agar aku dapat pergi bersama Paksi ke kaki Gunung Merapi" "Sampai kapan, Dimas?" "Tentu tidak dapat menyebut, berapa lama aku akan mengembara bersama Paksi" Raden Sutawijaya menarik nafas panjang. Katanya kemudian, "Baiklah, Dimas. Aku akan membantu. Mudahmudahan Ayahanda Sultan tidak berkeberatan sehingga Paksi tidak pergi seorang diri" "Besok kita menghadap Ayahanda. Bukankah Ayahanda berpesan, jika Paksi jadi akan pergi mencari adiknya, ia harus minta diri kepada Ayahanda Sultan?" "Ya. Kita besok menghadap Ayahanda. Bukankah begitu, Paksi" Sesuai dengan pesan Ayahanda" "Hamba, Pangeran" "Baiklah, Paksi. Jika kau memang berkeras untuk pergi mencari adikmu, demikian pula jika Pangeran Benawa berkeras untuk pergi bersama Paksi, maka kami tidak akan dapat mencegah kalian. Tetapi sebaiknya kalian jangan pergi esok pagi. Esok pagi dapat saja kalian menghadap Kangjeng Sultan. Tetapi kami, aku dan Ki Waskita, minta kalian masih kembali ke padepokan ini. Besok malam kami akan memberikan beberapa pesan kepada kalian berdua sebagai murid-murid dari padepokan ini" Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah, Ki Panengah. Paksi tentu juga tidak akan berkeberatan" Demikianlah, maka Ki Panengah dan Ki Waskita telah sepakat untuk melepaskan Paksi dan Pangeran Benawa pergi, meskipun mereka menyadari, bahwa perjalanan yang akan ditempuh oleh Pangeran Benawa dan Paksi itu adalah perjalanan yang sangat berbahaya.
Malam itu Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi tidur di barak mereka. Ketika mereka berada di tengah-tengah para cantrik maka berganti-ganti mereka bertanya, bagaimana mereka bertiga mampu menangkap Harya Wisaka yang disebut memiliki ilmu yang tinggi. Bahkan Harya Wisaka itu tidak sendiri pada saat itu. Ia dikawal oleh beberapa orang pengawalnya yang setia. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi tidak mau mengecewakan kawan-kawannya para cantrik padepokan Hutan Jabung itu. Karena itu, maka berganti-ganti mereka berceritera untuk saling melengkapi. Para cantrik itupun menjadi sangat kagum kepada ketiga orang itu. Namun mereka berkata di dalam hati, "Tentu saja putera Kangjeng Sultan dan putera Ki Gede Pemanahan itu mempunyai banyak kelebihan. Sedangkan Paksi telah mendapat tempaan khusus dari Ki Panengah dan Ki Waskita" Baru sedikit lewat malam para cantrik itupun pergi ke pembaringan mereka masing-masing. Di hari berikutnya, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi pergi menghadap Ki Gede Pemanahan dan Kangjeng Sultan untuk mohon diri. Sebagaimana diperintahkan oleh Kangjeng Sultan, jika Paksi benar-benar akan pergi mencari adiknya, supaya datang menghadap untuk mohon diri. Ki Pemanahan memang menjadi terharu melihat kesediaan Paksi menempuh bahaya untuk menemukan adiknya. Dengan nada berat Ki Gede Pemanahan itu berkata, "Kau sadari sikap adikmu terhadapmu, Paksi?" "Ya, Ki Gede. Selagi belum terlanjur, aku ingin membawanya kembali dari jalan sesat yang dipaksakan kepadanya itu, Ki Gede" "Aku hormati ketetapan hatimu itu, Paksi. Kebesaran jiwamu dan cintamu kepada keluargamu. Tetapi kau pun harus menghargai hidupmu sendiri" "Ya, Ki Gede" "Kau harus dapat menilai dengar wajar padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan itu. Jika kau memasuki
padepokan itu, maka kau akan sama saja dengan memasuki sarang ular naga yang siap menyambutnya dengan mulut menganga" "Aku mengerti, Ki Gede" "Pikirkan sepanjang perjalananmu cara terbaik untuk membawa adikmu pulang, Paksi" "Ya, Ki Gede" Setelah memberikan banyak pesan-pesan yang sangat berarti bagi Paksi, maka Ki Gede itupun kemudian berkata, Kita pergi ke istana untuk menghadap Kangjeng Sultan sekarang, Paksi" Demikianlah, bersama Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan, Paksipun pergi ke istana memenuhi perintah Kangjeng Sultan. Seperti Ki Gede Pemanahan, Sultan Hadiwijaya merasa kagum akan kesetiaan Paksi terhadap keluarganya. Meskipun ia sadar, bahwa padepokan itu merupakan tempat yang sangat berbahaya, namun ia akan berusaha untuk menemukan adiknya yang sudah tersuruk ke dalamnya. Seperti Ki Gede, maka Kangjeng Sultan yang juga sudah kenyang pengalaman pengembaraan di masa mudanya, memberikan banyak sekali pesan-pesan yang sangat berarti bagi Paksi. Namun tiba-tiba saja Pangeran Benawa berkata, "Ayahanda, hamba ingin mohon ijin untuk menemani Paksi" Kangjeng Sultan memang agak terkejut. Dipandanginya Ki Gede Pemanahan untuk mendapatkan pertimbangannya. "Pangeran" berkata Ki Gede Pemanahan, "Pangeran harus mempersiapkan diri untuk tugas-tugas kerajaan mendatang" "Apakah Ayahanda dahulu juga pernah mempersiapkan diri seperti itu di istana?" Pangeran Benawa itu justru bertanya. "Tetapi sebagai menantu Kangjeng Sultan Trenggana di Demak, aku banyak belajar di lingkungan istana, Benawa" sahut Kangjeng Sultan.
"Baru setelah Ayah berada di istana. Tetapi sebelumnya" Sampai kapan waktu itu Ayah mengembara?" Kangjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa darah pengembaranya telah mengalir di tubuh anaknya. Meskipun berbeda dengan dirinya yang lahir di padukuhan kecil yang bernama Tingkir, sedangkan Pangeran Benawa lahir di istana, namun ia tidak dapat mencegah mengalirnya darah pengembaranya ke tubuh anaknya. Sementara itu Pangeran Benawa telah menggamit Raden Sutawijaya, agar ia membantunya mendesak ayahnya, Ki Gede Pemanahan dan ayahanda angkatnya, Kangjeng Sultan Hadiwijaya, agar mereka mengijinkan Pangeran Benawa pergi bersama Paksi. Namun ternyata Raden Sutawijaya tidak berkata apa-apa. Bahkan Raden Sutawijaya itu justru semakin menunduk. Karena itu, maka Pangeran Benawa itu berkata pula, "Hamba mohon, Ayahanda" "Menurut ceriteramu, ketika kau mengembara bersama Paksi sebelumnya, kau dan Paksi telah menyamarkan diri. Tidak ada yang tahu bahwa kau adalah Pangeran Benawa. Namun sekarang kau tidak dapat melakukannya, karena adik Paksi itu akan dapat segera mengenalimu. Dengan demikian, maka seisi padepokan itu akan segera tahu, bahwa kau adalah anak Sultan Hadiwijaya yang memenjarakan Harya Wisaka. Apalagi jika Ki Gede Lenglengan itu benar-benar Lenglengan yang aku kenal. Ia sangat berhati-hati" Kangjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Namun Kangjeng Sultan itupun kemudian berkata, "Baiklah, Benawa. Kau boleh pergi bersama Paksi. Tetapi aku ingin menasehatkan kepada Paksi dan kau, Benawa. Sebaiknya yang kalian lakukan adalah sekedar mencari dan menemukan padepokan itu. Kemudian setelah kalian menemukannya, maka kalian harus membawa sekelompok prajurit untuk memasuki padepokan itu"
"Maksud Ayahanda, jika kami menemukan padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan, kami harus kembali ke Pajang untuk mengambil dan kemudian membawa sekelompok prajurit menyerang padepokan itu?" "Ya" Sementara itu Ki Gede Pemanahanpun berkata pula, "Itu adalah jalan yang paling baik untuk ditempuh, Pangeran" "Tetapi kalau Ki Gede Lenglengan tidak berniat memusuhi kami?" "Bukankah pasukan itu tidak menyerang padepokan itu dengan serta-merta. Kalian harus membuat hubungan dengan Ki Gede Lenglengan. Jika Ki Gede Lenglengan tidak ingin memusuhimu, maka dalam hubungan itu, ia tentu akan bersedia menyerahkan adik laki-laki Paksi. Tetapi jika tidak, maka persoalannya akan menjadi lain" Pangeran Benawa termangu-mangu sejenak. Di luar sadarnya ia berpaling kepada Paksi. "Kalian tidak mempunyai pilihan lain" berkata Kangjeng Sultan. "Jika kalian memaksa diri karena kemudaan kalian, sehingga darah kalian mudah mendidih, maka kalian akan mengalami kesulitan yang mungkin tidak teratasi" "Bagaimana pendapatmu, Paksi?" Paksi memang tidak dapat mengelak. Jika ia menolak petunjuk Kangjeng Sultan, maka mungkin Kangjeng Sultan justru tidak dapat mengijinkan Pangeran Benawa pergi. Pangeran Benawa tentu akan menjadi sangat kecewa. Karena itu, maka Paksipun kemudian berkata, "Segala sesuatunya terserah kepada Pangeran" Pangeran Benawa memandang Raden Sutawijaya sekilas. Namun Raden Sutawijaya itu justru berkata, "Adimas, nampaknya jalan itu adalah jalan yang terbaik. Kita tidak dapat membanggakan diri melampaui keterbatasan kita masing-masing. Padepokan Ki Gede Lenglengan tentu berisi beberapa orang cantrik dan putut yang sudah mewarisi sebagian besar ilmu Ki Gede Lenglengan sebagaimana Raden Suminar. Karena itu, seberapa pun tinggi ilmu Adimas
Pangeran dan Paksi, namun adalah sangat berbahaya jika Pangeran dan Paksi ingin memaksakan kehendak kalian kepada Ki Gede Lenglengan di padepokannya sendiri yang dikerumuni oleh para cantrik, putut dan jejanggan" Akhirnya Pangeran Benawa mengangguk-angguk sambil berdesis, "Baiklah, Ayahanda. Hamba dan Paksi akan menjalankan petunjuk Ayahanda" Kangjeng Sultan Hadiwijaya menarik nafas panjang. Katanya, "Jika kalian berjanji, maka Benawa akan aku ijinkan pergi bersama Paksi. Bagaimanapun juga Benawa mempunyai kedudukan khusus di Pajang, sehingga keselamatannya harus mendapat perhatian. Bukan berarti aku mengabaikan keselamatan Paksi. Tetapi kedua-duanya tidak boleh terperosok ke dalam panasnya api yang menyala di dalam dada kalian. Aku sekarang selalu mengucap sukur, bahwa aku dapat melampaui masa-masa gejolak mudaku dengan selamat, karena waktu itu aku kadang-kadang hanyut dalam arus kemudaanku, sehingga aku sering kehilangan penalaran yang wajar. Karena itu, aku dapat memperingatkan kalian, agar kalian lebih berhati-hati dari sikap dan tingkah lakuku di masa muda. Bahkan aku kadang-kadang masih merasa ngeri atas sikap dan tingkah lakuku sendiri di masa muda itu" Pangeran Benawa dan Paksi menundukkan wajah mereka. Mereka mengerti maksud pesan-pesan Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang di masa mudanya telah melakukan pengembaraan yang sangat panjang. Banyak sekali pengalaman-pengalaman yang didapatnya dalam pengembaraan itu. Namun Kangjeng Sultan itu berkata lebih lanjut, "Jika aku mendapat kesempatan untuk menjadi muda kembali, aku tidak akan berani melakukan sebagaimana pernah aku lakukan itu" Peringatan itu terasa sangat keras di hati Pangeran Benawa dan Paksi. Namun dengan demikian, maka Pangeran Benawa dan Paksi akan mempertimbangkan segala tingkah lakunya dengan lebih seksama lagi.
Dalam pada itu, maka Ki Gede Pemanahanpun berkata, "Jika demikian, Kangjeng Sultan, hamba akan menyiapkan sekelompok pasukan khusus. Hamba ingin mengumpulkan kembali para prajurit yang pernah mendapat tempaan khusus untuk memburu Harya Wisaka bersama Pangeran Benawa, Sutawijaya dan Paksi. Mereka akan berada kembali dalam satu kelompok yang siap untuk menjalankan tugas apabila datang perintah untuk pergi ke padepokan Ki Gede Lenglengan" "Baiklah, Kakang. Kakang dapat menyusun sebuah kelompok khusus yang akan dilengkapi dengan kuda agar dapat bergerak lebih cepat. Namun jika kekuatan padepokan Ki Gede Lenglengan itu jauh lebih besar dari kelompok yang sudah Kakang siapkan, maka Kakang akan dapat berhubungan dengan Ki Yudatama. Bukankah sebagian dari pasukannya terdiri dari pasukan berkuda yang akan dapat bergerak dengan cepat pula?" "Hamba, Sinuhun" Ki Gede Pemanahan menganggukangguk. Kangjeng Sultan itupun kemudian bertanya kepada Paksi, "Kapan kau akan berangkat, Paksi?" "Secepatnya, Sinuhun. Jika guru-guru hamba memperkenankan, hamba akan berangkat esok pagi" "Baiklah. Aku akan berdoa untukmu, Paksi, agar kau berhasil menemukan adikmu itu" Kemudian Kangjeng Sultan itupun berpaling kepada Pangeran Benawa. "Bawalah bekal secukupnya. Mungkin kalian memerlukan uang. Bukan saja untuk bekal perjalanan, tetapi mungkin kalian dapat mempergunakannya untuk memperlancar usaha kalian membebaskan adik laki-laki Paksi. Bukan saja seorang anak muda. Tetapi mungkin di perguruan itu ada beberapa anak muda yang akan disiapkan untuk satu perjuangan berjangka panjang. Dan bahkan mungkin di perguruan itu pula diharapkan akan tumbuh tunas untuk menggantikan kepemimpinan Harya Wisaka"
"Terima Kasih, Sinuhun. Hamba mohon doa restu" "Tugas yang dibebankan kepadamu kali ini bukan saja menyangkut kepentingan pribadimu dan keluargamu, Paksi. Tetapi juga untuk kepentingan yang lebih besar lagi bagi Pajang" "Hamba, Sinuhun" "Nah, sekarang persiapkan segala-galanya bersama Benawa" "Hamba, Sinuhun" Dengan demikian, maka Pangeran Benawa, Paksi dan Raden Sutawijayapun mohon diri. Namun mereka tidak langsung keluar dari lingkungan istana. Tetapi Pangeran Benawa telah membawa mereka ke kasatrian. Sementara itu, Ki Gede Pemanahan masih berbincang dengan Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Dalam pada itu, Pangeran Benawapun segera mempersiapkan segala sesuatunya menjelang keberangkatannya bersama Paksi untuk mencari padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan. Padepokan yang belum diketahui tempatnya selain sekedar arahnya saja. Seperti pesan ayahandanya, maka Pangeran Benawa dalam pengembaraannya akan membawa uang yang cukup. Bukan saja sebagai bekal, tetapi juga untuk keperluan-keperluan yang lain. "Sayang sekali, aku tidak dapat ikut bersama kalian" berkata Raden Sutawijaya. "Doakan saja kami dapat berhasil dan selamat di perjalanan, Kakangmas" "Tentu, Adimas. Aku yakin, kalian adalah pengembarapengembara yang berpengalaman. Meskipun demikian, jangan lupa kalian mohon perlindungan serta petunjuk-petunjuk-Nya di sepanjang jalan" "Ya, Kakangmas. Nampaknya perjalanan kami kali ini tidak akan terlalu lama. Kami akan segera menemukan padepokan Ki Gede Lenglengan. Seterusnya seperti kanak-kanak, kami akan pulang sambil merengek-rengek menyampaikannya
kepada orang tuanya tentang anak-anak yang nakal yang tidak dapat kami lawan sendiri" "Maksud Ayahanda tentu tidak begitu, Adimas. Tetapi Ayahanda yang sudah sangat berpengalaman mengembara itu justru ingin berhati-hati. Penglihatan Ayahanda tentang padepokan itu memaksa Ayahanda untuk mengambil langkahlangkah pengamanan. Apalagi Adimas Pangeran Benawa seperti yang dikatakan oleh Ayahanda mempunyai kedudukan yang khusus bagi Pajang" Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, "Kakangmas benar. Kamipun akan mematuhinya" Beberapa saat kemudian, maka Pangeran Benawapun telah selesai. Karena itu, maka Pangeran Benawapun telah minta diri kepada Raden Sutawijaya. Demikian pula Paksi. "Selamat jalan" desis Raden Sutawijaya yang juga memiliki pengalaman mengembara yang luas. Seperti pada saat-saat mereka mencari Harya Wisaka, maka keduanya telah mengenakan pakaian orang kebanyakan. Mereka keluar dari pintu gerbang samping. Para prajurit yang bertugas di pintu gerbang itu sama sekali tidak menjadi heran melihat Pangeran Benawa mengenakan pakaian yang lusuh itu, karena Pangeran Benawa memang sering melakukannya. Dari istana, maka Paksi mengajak Pangeran Benawa untuk singgah di rumah Paksi. Paksi ingin menemui ibunya sebelum berangkat mencari adik laki-lakinya itu. "Berapa lama kau akan pergi, Paksi?" "Aku tidak dapat mengatakannya, Ibu" "Bukankah kau berjanji untuk menemani kami tinggal di rumah ini?" "Tetapi adikku itu harus diselamatkan dari tangan para pengikut Harya Wisaka. Meskipun Harya Wisaka sudah tertangkap, namun keyakinan sesatnya masih akan dapat tumbuh lagi setiap saat. Karena itu, aku ingin adikku dan mungkin beberapa orang anak muda yang lain, dapat terlepas dari pengaruh yang jahat itu, Ibu"
Ibunya mengangguk kecil. Sementara itu adik perempuan Paksipun bertanya, "Kakang Paksi akan membawa Kakang itu pulang?" "Berdoalah. Semoga aku dapat membawanya pulang" "Tetapi Kakang Paksi juga harus pulang" "Tentu. Doamu tentu akan didengar oleh Yang Maha Agung, sehingga Kakang akan pulang dengan selamat" "Paksi" berkata ibunya, "apa saja yang akan kau bawa" Kau mempunyai simpanan yang dapat kau pakai sebagai bekal" Paksi berpaling kepada Pangeran Benawa yang berdesis, "Kau tidak usah membawa apa-apa, Paksi. Aku kira bekal kita sudah cukup" Namun Paksi itupun menyahut, "Jika kita terpisah dengan tiba-tiba tanpa kita kehendaki, maka aku akan kekeringan di pengembaraan" Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, "Baiklah. Terserah kepadamu" Paksipun kemudian telah menyiapkan bekal pula sebagaimana ia menempuh pengembaraan yang terdahulu. Ketika kemudian Paksi minta diri, maka mata adik perempuannyapun menjadi berkaca-kaca. Katanya, "Jangan terlalu lama pergi, Kakang" Paksi mencium adiknya di kening sambil berdesis, "Aku akan segera pulang. Jangan menangis" Ibunya serta adiknya melepas Paksi dan Pangeran Benawa di regol halaman. Setelah berjalan beberapa langkah Paksi berpaling sambil melambaikan tangannya. Adik perempuan dan ibunya pun melambaikan tangannya pula. Namun kemudian Paksi dan Pangeran Benawapun mempercepat langkahnya. Mereka akan menuju ke Hutan Jabung. Menurut kedua orang gurunya, malam itu mereka diminta untuk berada di padepokan sebelum mereka berangkat mencari sebuah padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan. Ketika malam turun, maka Pangeran Benawa dan Paksi yang sudah berada di padepokan, segera menghadap Ki
Panengah dan Ki Waskita. Kedua orang itu tidak hanya sekedar memberikan beberapa petunjuk tentang perjalanan yang akan mereka tempuh. Tetapi keduanya juga memberikan beberapa petunjuk tentang ilmu yang sudah mereka kuasai. Ki Panengah dan Ki Waskita telah membuka beberapa celah-celah dari ilmu yang mereka ajarkan, yang masih mungkin dikembangkan. Sehingga dengan demikian, mereka akan dapat mencari tataran yang lebih tinggi dari tataran sebelumnya. "Kalian berdua mempunyai banyak kesempatan di dalam pengembaraan kalian untuk mencobanya. Tetapi kalian harus berhati-hati. Kalian tidak boleh tergesa-gesa. Tetapi kalian harus memperhitungkan segala kemungkinan yang dapat terjadi. Kalian harus memperhitungkan kesediaan wadag kalian mendukung perkembangan ilmu kalian, karena kalian tidak dapat memaksa kemampuan kewadagan kalian melampaui yang seharusnya" Keduanya mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Panengahpun berkata, "Aku tahu, bahwa ilmu dan kemampuan Pangeran Benawa sulit untuk dijajagi. Karena itu, aku mohon Pangeran dapat membimbing Paksi mengembangkan ilmunya melalui celah-celah yang sudah kami sebutkan itu" "Terima kasih atas pujian ini, Ki Panengah. Tetapi apakah yang dapat aku lakukan" Apakah aku mempunyai kelebihan dalam olah kanuragan?" Ki Panengah dan Ki Waskita tertawa. Dengan nada rendah Ki Waskita berkata, "Jika saja kami belum mengenal Pangeran" Pangeran Benawa hanya menarik nafas dalam-dalam. Demikianlah mereka berbincang sampai jauh lewat tengah malam. Ki Waskita bahkan berkata, "Kalian tidak usah tergesagesa beristirahat. Meskipun besok kalian akan pergi, tetapi kalian tidak terikat oleh waktu. Kalian dapat saja berangkat pagi-pagi sekali. Tetapi kalian dapat berangkat lewat tengah
hari. Sementara itu jika kalian lelah di perjalanan, maka kalian dapat saja beristirahat kapan saja" "Ya, Guru" desis Paksi. Karena itu, maka Ki Panengah dan Ki Waskita masih saja memberikan petunjuk-petunjuk terpenting bagi perjalanan Paksi dan Pangeran Benawa serta petunjuk-petunjuk untuk dapat mencapai tataran tertinggi dari ilmu mereka. Baru ketika terdengar ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya, Ki Panengahpun berkata, "Nah, sekarang kalian boleh beristirahat" Pangeran Benawa dan Paksipun telah pergi ke pembaringan mereka. Namun malam tinggal sejemput lagi. Meskipun demikian, keduanya masih sempat tidur beberapa saat. Namun merekapun segera terbangun ketika kawankawannya, para cantrik padepokan itu bangun. Pangeran Benawa dan Paksi memang tidak nampak tergesa-gesa. Mereka dapat berangkat kapan saja. Jika mereka ingin berangkat pagi-pagi, bukannya karena mereka dikejar waktu. Tetapi mereka ingin berjalan sebelum sinar matahari menggatalkan kulit mereka. Baru setelah matahari naik, serta setelah mereka bersama-sama para cantrik makan pagi, maka Pangeran Benawa dan Paksipun minta diri. Ki Panengah memberikan ucapan selamat atas nama para cantrik. Ia mengharap bahwa Pangeran Benawa dan Paksi segera kembali ke padepokan. "Kami akan segera kembali" berkata Paksi di hadapan para cantrik dan kedua orang gurunya. "Selama ini Raden Sutawijaya akan tetap berada di padepokan ini. Mungkin sore nanti atau esok pagi, Raden Sutawijaya telah berada disini" Kedua orang guru Paksi itu mengantarnya sampai ke regol padepokan. Demikian pula para cantrik, bahkan beberapa orang yang bertugas menyelesaikan padepokan itu. Di regol, Ki Waskita sempat berdesis, "Sekarang kalian benar-benar hanya berdua. Kami tidak dapat mengikuti perjalanan kalian sebagaimana pernah kami lakukan"
Jodoh Rajawali 22 Pendekar Rajawali Sakti 10 Pengantin Berdarah Bloon Cari Jodoh 24
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama