Ceritasilat Novel Online

Jejak Di Balik Kabut 37

Jejak Di Balik Kabut Karya Sh Mintardja Bagian 37


"Aku mengerti, Guru" jawab Paksi. "Kami mohon doa restu" Demikianlah, maka kedua orang itu telah meninggalkan padepokan mereka di Hutan Jabung. Mereka mengenakan pakaian orang kebanyakan. Paksi membawa tongkatnya sementara Pangeran Benawa siap dengan pisau belatinya yang berada di bawah kain panjangnya. Gelang yang lebar yang dikenakan di pergelangan tangannya di bawah bajunya yang berlengan panjang. Keduanya memang tidak tergesa-gesa. Mereka meninggalkan padepokan setelah matahari menjadi semakin tinggi. Mereka berjalan menyusuri jalan di pinggir Hutan Jabung. Perjalanan mereka memang belum perjalanan yang sangat jauh. Tetapi jalan yang mereka tempuh adalah jalan yang rumit. Mereka menempuh perjalanan ke arah Gunung Merapi. Padepokan yang mereka cari mungkin berada di kaki Gunung Merapi. Tetapi mungkin pula berada di lambungnya. Mungkin padepokan itu berada di lingkungan yang berpenghuni, tetapi mungkin pula tidak. "Apakah kita akan melihat ladang kita di sisi selatan kaki Gunung Merapi?" berkata Pangeran Benawa tiba-tiba. "Apakah gubuk itu masih ada" Tanaman-tanaman yang kita tinggalkan. Rumpun-rumpun pohon pisang. Air terjun dan goa di belakangnya?" "Kita akan mencari padepokan itu lebih dahulu, Pangeran" "Ya. Kita akan mencari padepokan itu dahulu" Pangeran Benawa dan Paksi berjalan seenaknya saja. Mereka sempat memperhatikan pohon-pohon raksasa yang tumbuh di Hutan Jabung. Meskipun Hutan Jabung tidak terlalu luas, tetapi Hutan Jabung adalah hutan yang tua. Pepohonan yang terdapat di dalamnya adalah pohon-pohon yang sudah tua pula, sehingga tumbuh menjadi pohon-pohon raksasa. Di dalamnya terdapat pula binatang buas yang berkeliaran. Pangeran Benawa dan Paksi yang berjalan di sebelah pohonpohon raksasa itu merasa diri mereka seperti orang-orang kerdil.
Sekali-sekali mereka menengadahkan wajah mereka memandang rimbunnya dedaunan. Namun beberapa saat kemudian, mereka meninggalkan jalan setapak di pinggir Hutan Jabung. Mereka turun ke jalan yang sedikit lebih lebar lagi melintas padang perdu yang ditumbuhi oleh gerumbulgerumbul liar. Di sana-sini masih terdapat beberapa pohon yang besar. Bahkan berkelompok. Di dekat gumuk kecil, terdapat sekelompok pohon-pohon raksasa yang tumbuh mengitari sebuah belumbang yang airnya penuh dengan reruntuhan daun-daun kering. Namun di dalamnya terdapat ikan-ikan yang besar berkeliaran di bawah permukaan, yang sekali-sekali menyembulkan kepalanya. Ikan-ikan yang semakin lama menjadi semakin besar, karena tidak seorang pun yang pernah mengambil ikan di belumbang yang dianggap keramat itu. Apalagi tempat itu memang agak jauh dari padukuhanpadukuhan yang berpenghuni. Ketika matahari mulai turun, maka mereka telah berada di sebuah bulak yang panjang. Panjang sekali. Jalannya yang mulai naik perlahan-lahan, berkelok-kelok menghindari gumuk-gumuk padas serta lereng sungai-sungai kecil terjal dan licin. "Kita berada di daerah Manjung, Paksi" berkata Pangeran Benawa. "Ya" Paksi mengangguk-angguk. "Nampaknya jalan ini jarang dilalui orang. Hanya para petani yang sawahnya berada di bulak ini sajalah yang sering melewati jalan ini" "Jalan ini adalah jalan ke Nglungge" "Nglungge?" "Ya. Jalan ini adalah jalan yang paling dekat untuk pergi ke Nglungge. Sebenarnya jalan ini bukan jalan yang sepi. Dari Nglungge orang dapat pergi memanjat kaki Gunung Merapi atau melingkar ke Ponggok, Klalung, Jati Anom dan jika kita melingkari Gunung Merapi sepanjang kakinya, dan sampai di sisi selatan, kita akan sampai ke daerah pengembaraan kita itu"
"Tetapi dari Nglungge kita akan meneruskan perjalanan memanjat kaki Gunung Merapi. Kita tidak akan melingkar ke sisi sebelah selatan" Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Paksi terlalu gelisah karena adik laki-lakinya yang hilang itu. Sebenarnyalah jalan yang dilalui itu bukan jalan yang terlalu sepi. Mereka menyusuri jalan itu menuju ke Manjung. Dari Manjung mereka akan turun ke sebuah sungai yang tidak terlalu besar untuk menyeberang. Di sore hari mereka sampai di Manjung. Langit sudah mulai nampak buram. Pakaian Pangeran Benawa dan Paksi yang lusuh itu sudah menjadi basah oleh keringat. Meskipun sebenarnya jarak ke Manjung tidak terlalu jauh, tetapi karena jalan yang berkelok-kelok dan menanjak, maka perjalanan itu mereka tempuh beberapa lama. Dua orang berkuda mendahului Pangeran Benawa dan Paksi yang menepi. Kuda-kuda itu tidak berlari terlalu kencang. Agaknya jalan memang agak licin meskipun tidak turun hujan. Lereng-lereng batu padas itu rasa-rasanya mengandung air sehingga di satu dua tempat, batu-batu padas itu menjadi basah. Bahkan titik-titik air seakan-akan meleleh dari lubanglubang kecil pada batu-batu padas itu. "Di sini terdapat banyak air" desis Pangeran Benawa. "Ya" Paksi mengangguk-angguk. "Parit itu tentu tidak pernah kering" "Tanah persawahan itu juga merupakan tanah yang subur. Batu-batu padas itu bagaikan menyibak dan berkumpul pada gumuk-gumuk kecil yang terdapat di bulak itu" "Tentu hasil kerja keras para petani" "Ya" Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Ketika keduanya akan memasuki padukuhan Manjung, mereka harus menepi lagi. Dua orang berkuda yang lain telah mendahului
mereka pula di pintu gerbang tanpa mau menunggu Pangeran Benawa dan Paksi melewatinya. "Kaki kuda itu hampir menginjak kakiku" desis Pangeran Benawa. Paksi memandang kedua orang berkuda itu yang tanpa berpaling melanjutkan perjalanan mereka menyusuri jalan padukuhan Manjung. Ternyata Manjung adalah sebuah padukuhan yang cukup besar dan ramai. Kesejahteraan para penghuninya pun nampaknya tidak tertinggal dari para penghuni padukuhan dekat pintu gerbang kota. Rumah-rumah di sebelahmenyebelah jalan induk padukuhan Manjung itupun terdiri dari rumah-rumah yang cukup besar di halaman yang luas. Namun sayang, bahwa rumah-rumah itu nampaknya kurang terpelihara sehingga nampak kurang rapi dan kurang bersih. "Kau pernah datang ke padukuhan ini, Paksi?" bertanya Pangeran Benawa. "Belum, Pangeran. Hamba baru sekali pergi mengembara di sisi selatan Gunung Merapi" Demikianlah, keduanya memasuki Padukuhan Manjung semakin dalam. Mereka mulai melihat isi dari padukuhan itu. "Pangeran pernah datang kemari?" "Beberapa tahun yang lalu. Tetapi padukuhan ini belum seramai sekarang" "Apakah beberapa tahun yang lalu jalan ini belum merupakan jalur perjalanan seperti sekarang?" "Nampaknya sekarang jalan ini juga menjadi jalur perdagangan" Paksi mengangguk-angguk. Paksi itu bahkan tertegun ketika ia melihat sebuah kedai di pinggir jalan. Tidak hanya satu. Tetapi dua dan bahkan tiga. "Nampaknya kita akan sampai ke sebuah pasar" berkata Paksi. "Ya. Memang ada pasar di pinggir padukuhan ini. Tetapi seingatku, pasar di padukuhan ini adalah pasar yang hanya ramai sepekan sekali"
"Mungkin hari ini hari pasaran" Pangeran Benawa itupun mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin hari ini memang hari pasaran" "Apakah Pangeran akan singgah?" "Panggil aku Wijang" "Wijang" ulang Paksi. "Ya. Wijang. Kau kenal nama itu" Paksi tersenyum. Tetapi ia harus mengingat-ingat, bahwa ia berjalan bersama Wijang. Beberapa saat kemudian, mereka sudah menjadi semakin dekat dengan pasar. "Pangeran" desis Paksi. "Namaku Wijang" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Wijang, langit sudah menjadi semakin muram. Tetapi nampaknya pasar itu masih ramai" "Tetapi suasananya lain, Paksi. Ramainya tidak seperti ramainya pasar kebanyakan" Paksi mengangguk-angguk. Namun keduanyapun melangkah terus. Ketika mereka melewati kedai-kedai yang masih membuka pintunya, mereka melihat ada beberapa orang yang berada di dalam kedai itu. Mereka pun melihat beberapa ekor kuda yang terikat di lorong sebelah pasar itu. "Ada apa sebenarnya?" desis Pangeran Benawa yang lebih senang dipanggil Wijang itu. Paksipun merasa heran. Tetapi pasar itu nampak hidup meskipun menjelang malam. Paksi dan Wijangpun kemudian berhenti di pasar itu. Mereka tidak masuk ke dalam sebuah kedai yang masih terbuka dan melayani banyak orang. Tetapi Paksi dan Wijang duduk di dekat seorang penjual nasi yang menjajakan dagangannya di sebelah regol pasar. "Ada minumannya, Bibi?" bertanya Wijang. "Ada. Ada, Ngger. Wedang sere dengan gula kelapa" "Aku haus, Bi"
"Satu atau dua mangkuk?" "Dua mangkuk, Bi. Adikku ini juga haus" Sejenak kemudian, keduanyapun sudah menghirup minuman yang ternyata masih hangat. "Nasinya, Ngger?" "Nasi apa, Bi?" "Nasi megana, Ngger" "Baik, Bi. Beri kami dua pincuk nasi megana" Sejenak kemudian, Paksi dan Wijangpun telah sibuk menyuapi mulut mereka dengan nasi megana yang agak pedas. Meskipun demikian Wijang itu masih sempat bertanya, "Ada apa, Bi" Tempat ini nampaknya masih ramai meskipun matahari sudah turun" "Hari ini hari pasaran, Ngger" "O. Tetapi aku tidak melihat lagi orang berjualan di pasar seperti kebanyakan pasar. Tidak ada sayuran, tidak ada barang-barang kerajinan bambu seperti tenggok, tenong, irig dan sebagainya. Tetapi ada pula orang berjualan gula kelapa kain tenun dan lain-lainnya" "Tadi pagi ada, Ngger" "Tetapi orang-orang itu masih belum pergi, Bi. Justru orang-orang berkuda. Kedai-kedai itu masih banyak pembelinya. Bahkan nampaknya Bibipun masih mengharap beberapa orang pembeli lagi" "Apakah kalian berdua belum pernah datang sebelumnya di pasar Manjung ini?" "Aku tahu di sini ada pasar, Bi" jawab Pangeran Benawa. "Tetapi seingatku hanya ramai di hari pasaran di pagi hari" Perempuan separo baya yang menjual nasi itu tersenyum. Katanya, "Tadi pagi pasar ini ramai sebagaimana pasar yang lain di hari pasaran. Sedangkan orang-orang yang sekarang berada di pasar ini adalah orang-orang yang besok pagi akan melanjutkan perjalanan ke Nglungge di seberang sungai. Dari
sana mereka akan memencar menurut keperluan mereka masing-masing" "O" Wijang mengangguk-angguk. Sementara Paksipun bertanya, "Kenapa mereka harus berhenti disini dan justru memilih hari yang sama berbareng dengan hari pasaran?" Perempuan itu tidak segera menjawab. Tiga orang duduk pula di tikar yang dibentangkan di sebelah dagangannya digelar. "Kalian akan pergi kemana lagi?" bertanya penjual nasi itu kepada ketiga orang yang duduk di tikar itu pula. Nampaknya ketiga orang itu sudah sering datang dan makan nasi megana. "Kami mengantar pesanan Ki Demang Ponggok" jawab seorang di antara mereka. "Apa yang dipesannya?" bertanya penjual nasi itu. "Bukan barang berharga, Yu. Bahkan bagi orang lain tidak ada harganya sama sekali" "Apa?" "Kain dan baju yang sudah terhitung tua" "Untuk apa?" "Ki Demang sangat mencintai ibunya. Kain dan baju itu adalah milik ibunya yang baru saja meninggal. Ki Demang tidak minta warisan apapun, kecuali dua lembar kain panjang dan baju yang sudah tua yang sering dipakai oleh ibunya semasa hidupnya. Sementara itu ia merelakan rumah, halaman dan sawah peninggalan orang tuanya dibagikan kepada adik-adiknya. Menurut Ki Demang, ia sudah mendapatkan warisan memangkunya" "O" perempuan itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya sambil menunjuk Paksi dan Wijang, "Kedua anak muda ini heran, kenapa banyak orang yang berkumpul di pasar ini, sementara masa pasaran pagi tadi sudah lewat" Ketiga orang itu memandang Wijang dan Paksi sejenak. Seorang di antara merekapun bertanya, "Kalian dari mana, anak-anak muda?"
"Kami adalah pengembara yang tidak mempunyai papan dan tidak mempunyai tujuan tertentu" "Asalnya. Kalian berasal dari mana?" "Kami kakak beradik yang berasal dari Gunung Lawu. Tetapi sepeninggal orang tua kami, maka kami pergi mengembara. Beberapa lama kami tinggal di Pajang, mengabdi kepada seorang tumenggung. Tetapi gejolak yang terjadi di Pajang memaksa kami meninggalkan Ki Tumenggung yang ternyata telah ditangkap" "O" orang itu mengerutkan dahinya. Tanpa diduga oleh Wijang, orang itupun bertanya, "Tumenggung siapa" Aku mengenal nama beberapa tumenggung" Wijang menarik nafas dalam-dalam. Meskipun agak ragu, namun iapun berdesis, "Ki Tumenggung Sarpa Biwada" Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Tumenggung Sarpa Biwada memang sudah ditangkap" "Jadi Ki Sanak juga tahu bahwa Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu ditangkap?" "Ya. Aku mendengarnya. Waktu itu aku berada di dalam kota mencari dagangan" "Dagangan apa?" bertanya Paksi. "Wesi aji. Aku adalah pedagang wesi aji. Tetapi kali ini kami bertiga tidak membawa wesi aji itu. Yang kami bawa justru kain dan baju yang sudah lusuh" "Hanya kain dan baju yang sudah lusuh harus dibawa oleh tiga orang?" bertanya penjual nasi itu. Seorang di antara ketiga orang itu, yang rambutnya sudah keputih-putihan, berkata, "Kain dan baju lusuh itu nilainya lebih tinggi dari pusaka yang manapun juga bagi Ki Demang di Ponggok" Tetapi perempuan penjual nasi itu mencibirkan bibinya. Katanya, "Aku tidak percaya. Nampaknya kau mencurigai aku, bahwa aku akan mengatakan kepada para penyamun itu bahwa kau membawa barang berharga" "Ah, kau ini aneh-aneh saja, Yu. Aku tidak pernah mencurigaimu. Kenapa aku harus curiga kepadamu" Kau di
sini mencari nafkah. Aku setiap kali lewat di sini juga mencari nafkah. Jadi buat apa kita menjadi saling curiga?" Perempuan itu terdiam. Namun tangannya masih sibuk membuat pincuk, menyenduk nasi dan kemudian membubuhkan sayur-sayuran yang direbus bersama bumbu megana yang pedas. "Jadi apa yang dilakukan oleh orang-orang yang berkumpul di sini sekarang kecuali makan-makan di kedai, duduk-duduk sambil berbincang atau duduk makan lesehan seperti ini?" bertanya Wijang. Salah seorang laki-laki itu berkata, "Jadi kau benar-benar belum tahu, kenapa kami sekarang berkumpul disini?" Wijang mengangguk. "Anak-anak muda, kita semuanya akan ke Nglungge. Mungkin dari Nglungge kita akan menempuh jalan yang berbeda. Tetapi kami akan bersama-sama menyeberang sungai yang memisahkan Padukuhan Manjung ini dan Padukuhan Nglungge" "Di atas sungai itu terbentang sebuah sasak bambu, karena di atas sungai itu tidak ada jembatan, maka kami harus berjalan melalui sasak itu jika kaki kami dan barangkali pakaian kami tidak ingin basah" "Jadi setiap orang yang menyeberang akan melalui sasak itu?" "Ya. Kita akan dipungut uang untuk biaya memelihara sasak itu" Wijang mengangguk-angguk. Namun Paksipun kemudian bertanya, "Tetapi kenapa mereka yang akan menyeberang itu harus berkumpul lebih dahulu disini, baru kemudian menyeberang bersama-sama?" Laki-laki itu memandang Paksi dan Wijang berganti-ganti. Baru kemudian iapun berkata, "Anak-anak muda, dalam keadaan yang biasa, memang tidak ada persoalan yang perlu dirisaukan. Tetapi kadang-kadang terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Di kedua mulut sasak itu, kadang-kadang tidak hanya berdiri para petugas yang akan mengumpulkan uang
bagi mereka yang menyeberang. Tetapi ada sekelompok orang yang berwajah garang dan berhati curang. Mereka tidak sekedar memungut uang untuk memelihara sasak itu. Tetapi mereka memaksa agar orang-orang yang menyeberang itu memberikan apa saja yang mereka bawa. Bahkan kuda-kuda mereka. Sehingga karena itu, maka kami bersepakat untuk berkumpul di sini dan bersama-sama menyeberang. Jika terjadi sesuatu, maka kami akan dapat melawan bersama-sama. Selain itu kami telah mengupah beberapa orang untuk menjaga keamanan kami di kedua mulut sasak itu" "Penyamun?" bertanya Paksi dengan serta-merta. "Ya. Penyamun" Paksi dan Wijang mengangguk-angguk. Dengan nada datar Paksipun berkata, "Sekarang aku menjadi jelas" "Ya" sahut Wijang, "untunglah bahwa kita tidak mempunyai apa-apa yang dapat diminta oleh para penyamun itu" "Kadang-kadang orang yang tidak membawa apa-apa dapat menyeberang lewat sasak itu dengan selamat. Tetapi kadang-kadang mereka yang tidak membawa apa-apa itu akan menjadi bahan permainan para perampokan itu" "Maksud Ki Sanak?" bertanya Wijang. "Orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa itu sama sekali tidak berarti bagi para perampok. Karena itu, orangorang yang tidak membawa apa-apa itu dapat diperlakukan apa saja. Pernah seorang gadis yang tidak membawa perhiasan ditangkap. Kakinya diikat dan kepalanya dibenamkannya ke dalam air. Tentu saja gadis itu merontaronta. Tetapi di mata mereka, hal itu menjadi tontonan yang lucu. Baru ketika gadis itu hampir mati, ia dilepaskan. Dibiarkannya keluarganya membawanya pergi. Tetapi lebih malang lagi nasib seorang anak muda. Ia justru dibunuh dengan cara yang buruk sekali" "Tetapi kenapa Ki Sanak masih juga akan menyeberang dengan hanya membawa barang-barang yang tidak berguna
sama sekali bagi para perampok itu. Apakah dengan demikian, kalian tidak akan mengalami kesulitan" Ketiga orang itu menjadi gagap. Tetapi seorang di antara merekapun menyahut, "Kita akan menyeberang beramairamai. Para penyamun itu tentu akan berpikir ulang sebelum ia benar-benar merampok. Selain itu, bahkan mungkin sama sekali tidak ada perampokan. Karena itu, kami mempunyai kemungkinan untuk keluar dengan selamat lebih besar daripada kemungkinan untuk mengalami bencana di perjalanan" Perempuan penjual nasi megana itu tertawa. Katanya, "Ceriteramu berputar-putar. Kau tentu membawa wesi aji yang sangat berharga, atau perhiasan yang nilainya tidak terhingga, sehingga kalian bertiga harus bersama-sama mengawalnya" "Ah, kau itu, Yu. Sudah aku katakan, aku tidak membawa apa-apa selain kain dan baju yang lusuh" "Mungkin kau memang tidak membawa apa-apa. Tetapi kawanmu itu?" "Kawanku juga tidak. Yang seorang lagi juga tidak. Aku sumpah, Yu" Penjual megana itu tertawa semakin keras. Katanya, "Kenapa kau sumpah kepadaku" Membawa atau tidak membawa, bukankah sama saja bagiku asal kau bayar harga nasi megana yang kau makan itu" Ketiga orang itupun tertawa pula. Bahkan Paksi dan Wijang pun ikut tertawa. Sejenak kemudian, setelah selesai makan dan membayar harganya, ketiga orang itupun minta diri. Namun Paksi dan Wijang masih saja duduk di sebelah penjual nasi megana itu. "Nampaknya Bibi mengenal mereka dengan baik" berkata Wijang. "Mereka sudah sering lewat jalur ini. Tetapi aku juga tahu, bahwa mereka adalah orang-orang yang sering menerima upah untuk menyampaikan barang-barang berharga lewat jalur yang berbahaya"
"Menurut pengakuan mereka, kali ini mereka mengantar kain dan baju yang lusuh itu" Penjual nasi itu tertawa. Katanya, "Mereka selalu berkata tidak sebenarnya. Mereka selalu merahasiakan apa yang mereka bawa" "Tetapi apakah benar di mulut sasak di sungai itu sering terdapat sekelompok penyamun?" "Ya. Itu benar, anak-anak muda. Penyamun yang berharga" "Sering atau pernah terjadi sekali saja?" "Seringkali, anak muda. Jalur ini adalah jalur yang ramai. Namun setelah para pedagang serta mereka yang sering mengantar barang-barang berharga itu berkumpul dahulu sebelum menyeberang, maka perjalanan mereka menjadi lebih aman. Perampokan menjadi semakin jarang. Apalagi setelah mereka menemukan saat-saat menyeberang dari dua arah. Besok, saat matahari sepenggalah, maka orang-orang yang akanmenyeberang itu sudah harus berada di mulut sasak itu. Baik yang menyeberang dari arah ini maupun dari arah yang berlawanan. Merekapun kemudian menyeberang bergantian. Dengan demikian, jika terjadi perampokan, maka para perampok itu akan menghadapi jumlah orang yang lebih besar lagi, karena mereka yang menyeberang dari kedua sisi itu sepakat untuk bekerja bersama menghadapi perampokan di sisi yang manapun" "Satu cara yang baik sekali untuk melindungi diri sendiri" desis Wijang. Sementara itu, Paksipun bertanya, "Jadi baru esok pagi menjelang matahari sepenggalah mereka baru menyeberang?" "Ya" jawab penjual nasi megana itu. Dalam pada itu, langitpun menjadi semakin muram. Cahaya layung yang tajam nampak meliputi wajah langit. Perlahanlahan malampun turun menyelubungi Padukuhan Manjung. Satu dua orang telah duduk pula di tikar yang terbentang di sebelah penjual nasi megana itu. Sambil menghirup minuman, merekapun makan nasi megana dalam pincuk daun pisang.
Mereka yang tidak cukup membawa bekal, atau mereka yang sengaja ingin menghemat, memang lebih baik duduk makan nasi megana atau nasi tumpang lesehan daripada masuk ke dalam sebuah kedai yang harga minuman dan makanannya tentu lebih mahal. Pangeran Benawapun kemudian membayar harga nasi megana yang dimakannya bersama Paksi, serta harga minuman bagi mereka. Namun Pangeran Benawa yang dipanggil Wijang itu berkata, "Apakah kami boleh duduk disini, Bibi?" "Silahkan. Bukankah tikarku cukup luas?" "Terima kasih, Bibi" Beberapa saat Wijang dan Paksi masih duduk di atas tikar di sebelah penjual nasi megana itu. Sementara itu masih saja ada orang yang datang untuk membeli nasi megana. Untuk menerangi dagangannya, penjual nasi megana itu telah menyalakan lampu dlupak yang agak besar yang diisi dengan minyak kelapa. Sementara itu, di regol pasar telah dinyalakan oncor pula. "Di mana mereka nanti malam tidur, Bibi?" bertanya Paksi. "Rumah yang panjang di sebelah pasar itu adalah sebuah penginapan. Bukan saja orang-orang yang ingin menyeberang. Tetapi juga para pedagang yang tadi siang membawa barang dagangan dengan pedati, biasanya bermalam di rumah panjang itu" Paksi mengangguk-angguk. Ia melihat rumah panjang yang dimaksud oleh penjual nasi megana itu. Iapun melihat beberapa buah pedati yang berada di depan rumah yang panjang itu. "Jika kau akan menginap pula di sana, kau harus membayar, Ngger" berkata penjual nasi itu. "Membayar?" "Ya. Di dalam rumah yang panjang itu ada amben yang besar memanjang. Di tempat itu orang-orang yang menginap itu tidur. Di belakang rumah yang panjang itu terdapat
beberapa buah pakiwan bagi mereka yang menginap jika mereka akan mandi" Paksi mengangguk-angguk. "Kau akan menginap di sana?" "Kami dapat tidur di mana saja, Bibi" jawab Paksi. "Tidur di mana saja" Maksudmu" Apakah kau akan pergi ke banjar dan mohon ijin untuk tidur di sana tanpa membayar" Sia-sia. Sudah agak lama penunggu banjar itu sudah mendapat perintah agar banjar itu tidak dipergunakan untuk menumpang tidur di malam hari atau menumpang istirahat di siang hari" Wijang dan Paksi saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Paksipun berkata, "Kami dapat tidur sambil duduk bersandar dinding itu, Bibi. Kami dapat juga tidur berselimut udara dingin. Sudah terbiasa bagi kami tidur di mana saja" "Ngger, jika kalian mau, daripada kalian tidur di manamana, sementara kau harus membayar jika tidur di rumah yang panjang itu, kau dapat tidur di rumahku. Tanpa membayar. Meskipun rumahku tidak sebagus rumah yang berjajar di pinggir jalan itu, tetapi aku dapat memberi tempat kepada kalian berdua. Asal kalian mau tidur di tempat yang sederhana" "Terima kasih, Bibi. Terima kasih" sahut Paksi dengan serta-merta. "Tetapi biarlah kami di sini saja" Perempuan itu tersenyum. Katanya, "Terserahlah kepada kalian. Tetapi di malam hari, dinginnya menggigit tulang. Lebih-lebih lagi menjelang dini" "Ya, Bibi. Bahkan sekarang pun rasa-rasanya sudah sangat dingin" "Karena itu, jangan tidur di luar. Kalian akan dapat kedinginan" Paksi tidak menjawab. Sementara itu Wijangpun berkata, "Bibi, kami mengucapkan terima kasih atas kebaikan Bibi. Kami sekarang mohon diri. Kami ingin melihat-lihat tempat yang ramai di sepanjang hari ini"
"Hanya di hari pasaran, Ngger. Orang-orang itu menyeberang bersama-sama setiap sepekan sekali. Agar mereka mudah mengingat-ingat, maka waktunya dibuat bersamaan dengan hari pasaran" Wijang dan Paksipun kemudian meninggalkan penjual nasi megana itu. Mereka melihat-lihat lingkungan pasar yang menjadi semakin sepi. Tetapi kedai-kedai di pinggir jalan itu masih membuka pintunya. Masih ada satu dua orang yang datang untuk makan malam di kedai-kedai itu. Orang yang mempunyai bekal yang cukup, sehingga mereka tidak mau makan lesehan di pinggir pasar. Atau mungkin di antara mereka terdapat orang-orang yang berkedudukan. Di sebelah pasar itu terdapat sebuah halaman yang luas berdinding rendah. Di halaman yang luas itu terdapat dua buah rumah yang membujur panjang. Agaknya rumah itu belum terlalu lama dibangun. Bahkan yang satu agaknya lebih baru dari yang lain. "Mereka menginap di sini" berkata Wijang. "Ya" Paksi mengangguk-angguk. "Aku ingin melihat keadaan di dalamnya" "Apakah kita akan menginap di sini?" "Ya. Kita tidak berkeberatan jika kita harus membayar" Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk sambil berdesis, "Ya. Kita akan membayar" Wijangpun berpaling kepadanya sambil mengerutkan dahinya. Sementara Paksi berkata, "Bukankah kau membawa uang?" Wijang termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian tertawa pendek sambil menjawab, "Kau juga membawa uang" Sejenak kemudian, keduanya telah menemui orang yang mengurusi penginapan itu untuk minta ijin bermalam. "Kau tahu bahwa menginap di sini harus membayar?" bertanya orang yang mengurusi penginapan itu. Seorang yang bertubuh tinggi tegap dan berkumis lebat. "Mengerti, Paman"
"Nah, kalian harus membayar lebih dahulu. Ada dua pilihan. Yang tidur di amben lajur panjang atau di amben yang terpisah-pisah masing-masing untuk seorang" "Tentu memilih di amben yang terpisah-pisah" "Membayarnya lipat dua" Wijang memandang Paksi sekilas. Namun kemudian iapun berkata, "Kami akan tidur di amben lajuran itu saja, Paman" "Baiklah. Kau dapat memilih apakah kau akan tidur di amben lajur yang berada di sebelah barat atau di sebelah timur" Setelah membayar buat dua orang, maka keduanyapun masuk ke dalam barak yang memanjang itu. Keduanya berdiri termangu-mangu sejenak. Ada empat amben panjang yang membujur di dalam ruang itu. Kemudian beberapa amben yang terpisah-pisah buat seorang. Namun agaknya amben yang terpisah itu tinggal beberapa saja yang masih kosong. Namun agaknya tidak lama lagi, amben-amben yang terpisah-pisah itu akan terisi penuh. Keduanyapun kemudian pergi ke amben panjang yang membujur di sebelah pintu. Beberapa orang sudah lebih dahulu duduk-duduk di amben itu. Beberapa macam barang bawaan terletak di amben itu pula. Beberapa bungkusan kebakeba yang terbuat dari daun pandan. Beberapa buah keba kulit dan bahkan peti-peti kayu yang tidak begitu besar. Memang tidak semua yang menginap di rumah yang panjang itu akan menyeberangi sungai pergi ke Nglungge. Di antara mereka terdapat beberapa orang pedagang yang di hari pasaran itu menggelar dagangannya di pasar Manjung. Di ujung amben itu, beberapa orang telah berbaring sambil berbincang. Agaknya mereka adalah pedagang-pedagang yang lelah setelah di pagi hari menunggu dagangan mereka, kemudian membenahinya dan memuat di dalam pedati. Di sisi yang lain, di amben-amben yang terpisah itupun beberapa orang telah berbaring pula. Agaknya mereka adalah
pedagang-pedagang yang lebih kaya. Atau orang-orang yang berkedudukan, yang makan di kedai-kedai di pinggir jalan. Wijang yang duduk sambil memeluk lutut di sebelah paksi itupun berdesis, "Nampaknya keadaan ini menguntungkan bagi Padukuhan Manjung dan barangkali juga orang-orang Nglungge" Paksi mengangguk-angguk sambil menyahut, "Ya. Ada pemasukan khusus setiap sepekan sekali. Orang yang memiliki tanah ini ternyata penalarannya cukup trampil sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan di lingkungannya. Rumah ini tentu menghasilkan lebih banyak daripada jika tanah ini ditanami palawija atau pohon buahbuahan" "Tetapi untuk membangun rumah ini diperlukan modal yang besar" Wijang mengangguk-angguk. Namun sambil mengamati tulang-tulang bangunan itu, ia berdesis, "Semuanya kayu glugu. Yang agaknya ditebang dari halaman ini sendiri" Paksipun mengangguk-angguk pula. Beberapa saat kemudian, beberapa orang telah memasuki rumah yang panjang itu pula. Dari pembicaraan orang-orang yang ada di sekitarnya, Wijang dan Paksi mengetahui, bahwa rumah panjang yang satu lagi yang lebih kecil, dipergunakan oleh orang-orang perempuan. Ketika malam menjadi semakin dalam, maka orang-orang yang ada di rumah panjang itu mulai membaringkan dirinya. Berjajar di amben yang panjang pula. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang sudah saling mengenal. Seorang laki-laki yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan yang kemudian berbaring di sebelah Paksi yang masih duduk bersama Wijang, bertanya, "Anak muda, aku belum pernah melihat kalian sebelumnya. Siapakah kalian berdua dan kalian akan pergi ke mana sehingga kalian harus bermalam di tempat ini?"
Wijang dan Paksi saling berpandangan sejenak. Dengan nada datar Wijangpun menjawab, "Kami tidak mempunyai tujuan tertentu. Kami adalah pengembara yang menjelajahi tanah ini menurut langkah kaki saja" Orang itu tertawa. Dengan nada tinggi iapun berkata, "Tetapi kalian mempunyai banyak uang sehingga kalian dapat bermalam di tempat ini" "Kami tidak mempunyai banyak uang. Tetapi kami tidak mempunyai pilihan lain. Adikku ini tubuhnya terlalu lemah, sehingga jika kami bermalam di udara terbuka, maka ia akan dapat menjadi sakit" "O" orang itu mengerutkan dahinya. "Jika adikmu sakitsakitan, kenapa kau ajak ia mengembara?" "Kami sedang mencari satu lingkungan yang lebih baik. Di dalam pengembaraan kami, mungkin kami dapat menemukannya" "Kalian tadi yang membeli nasi megana di sebelah regol pasar itu?" "Ya. Kami tadi membeli nasi megana di sebelah regol pasar" Orang itu terdiam. Bahkan ia mulai memejamkan matanya. Sementara itu malampun menjadi semakin malam. Paksi dan Wijang telah berbaring pula. Orang-orang yang berada di dalam rumah yang panjang itu sebagian besar juga telah berbaring, meskipun masih ada yang berbincang perlahanlahan dengan orang yang berbaring di sampingnya. Empat buah pintu dari rumah panjang tanpa sekat itu telah ditutup dan diselarak dari dalam, kecuali satu yang dijaga oleh seorang petugas. Dalam penglihatan Wijang dan Paksi, beberapa orang lakilaki yang bermalam di rumah panjang itu sebagian besar membawa senjata. Bahkan para pedagang yang menggelar dagangannya di pasar Manjung di hari pasaran itu juga bersenjata. Mereka harus mengamankan uang hasil jualannya. Tetapi mereka yang tidak akan menyeberang ke Nglungge, tidak merasa begitu gelisah. Jalan-jalan yang menuju ke
tempat lain tidak segawat sasak penyeberangan yang menuju ke Nglungge. Sejenak kemudian, maka ruangan itupun menjadi sepi. Yang terdengar kemudian adalah dengkur orang-orang yang sudah tertidur lelap. Seorang yang gelisah karena tidak dapat tidur, telah bangkit dan turun dari pembaringannya. Perlahan-lahan ia naik ke amben yang lain, yang masih tersisa tempat. Agaknya ia tidak tahan mendengar dengkur orang yang tidur di sampingnya. Paksi dan Wijang berbaring diam. Tetapi mereka masih belum tidur. Baru menjelang tengah malam, Wijang mulai lelap. Tetapi Paksi masih belum tidur. Ia mulai memikirkan adiknya yang berada di sebuah padepokan yang tidak diketahuinya yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan. Padepokan yang berisi orang-orang yang tentu merupakan pendukung kuat dari Harya Wisaka. Bahkan meskipun Harya Wisaka sudah tertangkap, namun keyakinan mereka tentang perjuangan Harya Wisaka masih melekat di hati mereka. Ketika udara malam menjadi semakin dingin, maka Paksi menarik kain panjangnya untuk menyelimuti tubuhnya. Matanyapun mulai terpejam. Kesadarannya perlahan-lahan mulai menjadi kabur Tetapi tiba-tiba mata Paksi justru telah terbuka lagi. Ia bahkan terkejut, karena ia mendengar suara burung kedasih yang ngelangut. Tetapi suara burung kedasih itu agak aneh di telinga Paksi. Terdengar agak tergesa-gesa dan gelisah. Paksipun kemudian menggamit Wijang. Namun sebelum Paksi berkata sesuatu, Wijang itupun berdesis perlahan, "Suara burung kedasih itu?" "Aku kira kau tertidur" desis Paksi. "Aku memang tertidur. Tetapi suara burung kedasih itu cukup keras untuk membangunkan aku"
Paksi terdiam. Didengarkannya suara burung kedasih itu dengan seksama. "Hati-hati, Paksi. Di mana tongkatmu?" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tongkatnya diletakannya di sampingnya. "Apa yang harus kita lakukan?" bertanya Paksi. "Menunggu. Kita tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menunggu. Namun agaknya perkembangan keadaan yang akan terjadi, bukan yang kita harapkan" "Agaknya orang-orang yang terbiasa menunggu di sasak penyeberangan itu menjadi tidak sabar lagi, sehingga mereka akan datang kemari" "Selain itu, lawan merekapun tidak sebanyak jika mereka menunggu di penyeberangan itu. Di sini tidak ada orang-orang yang datang dari arah Nglungge. Bukankah mereka sepakat untuk melawan bersama-sama, baik yang datang dari Manjung maupun yang datang dari Nglungge" "Ya. Mereka mempunyai beberapa keuntungan jika mereka datang kemari. Selain orang-orang yang menyeberang, di sini ada beberapa orang pedagang yang tadi pagi menjual dagangannya di pasar ini" "Ya. Jumlah mereka tentu tidak sebanyak orang-orang yang akan menyeberang dari Nglungge. Namun uang yang ada pada mereka tentu cukup banyak. Hasil penjualan dagangan mereka pagi tadi" Keduanyapun kemudian berdiam diri. Nampaknya orang yang bertugas jaga di satu-satunya pintu yang tidak diselarak itu tertidur. Wijang itulah yang kemudian bangkit dan turun dari pembaringannya. Kemudian perlahan-lahan ia berjalan ke pintu. Dari celah-celah pintu dilihatnya orang yang menjaga pintu itu duduk di sebelah pintu. Namun agaknya orang itupun tertidur. Wijang menjadi ragu-ragu. Jika ia keluar dari rumah itu dan mencoba membangunkan orang itu, maka orang itu akan dapat mencurigainya kelak. Ia dapat dianggap keluar dari
rumah panjang itu untuk memberi isyarat kepada sekelompok orang yang mungkin akan berniat jahat. Karena itu, Wijang tidak keluar dari dalam rumah itu. Tetapi Wijang telah mendorong pintu yang sedikit terbuka itu, sehingga daun pintu lereg itu menyentuh orang yang bertugas sehingga terbangun. Ketika orang itu menggeliat dan menguap, maka Wijangpun segera kembali ke pembaringannya. Orang yang bertugas itupun bangkit berdiri. Sambil mengusap matanya ia melangkah hilir mudik untuk menghilangkan kantuknya. Sekali ia menguap. Namun kemudian, iapun duduk kembali di sebelah pintu. Tetapi tiba-tiba saja ia terkejut. Petugas itupun mendengar suara burung kedasih yang terdengar asing. Karena itu, maka iapun segera bangkit berdiri. "Suara itu terdengar semakin keras" berkata Paksi. Wijang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia justru telah berbaring kembali. Apalagi setelah ia mendengar langkah petugas di luar pintu itu tergesa-gesa pergi. "Kemana orang itu?" bertanya Paksi. "Orang itu tentu akan melaporkan kepada kawankawannya. Mungkin kepada pemilik rumah ini" "Orang yang menyuarakan isyarat itu bukan seorang penghubung yang baik. Ia tidak dapat menirukan suara burung kedasih dengan baik. Sebenarnya banyak cara untuk menyampaikan isyarat. Tetapi nampaknya suara burung kedasih sering dipergunakan" "Ya. Suara burung kedasih, burung kulik atau tuhu. Burung-burung yang berkeliaran di waktu malam. Sekali-sekali ada yang mempergunakan suara burung hantu atau suara anjing liar" "Itu tentu akan lebih baik" Keduanyapun terdiam. Suara burung kedasih itu terdengar semakin jelas. Tetapi justru karena itu, menjadi semakin jelas pula bahwa suara itu bukan suara seekor burung.
Beberapa saat kemudian, tiga orang telah memasuki rumah panjang itu. Seorang membawa pedang telanjang, seorang membawa tombak pendek dan seorang membawa bindi. Ketiga orang itupun telah membangunkan orang-orang yang bermalam di rumah panjang itu. "Ada apa?" bertanya seorang yang bertubuh gemuk. "Bangunlah. Siapkan senjata kalian" "Ada apa?" Ketiga orang itu telah mendekati seorang di antara mereka yang tidur di amben yang terpisah itu. Dengan nada berat seorang di antara mereka berkata, "Hati-hatilah, Ki Sudagar. Aku mendengar suara burung yang aneh" "Kenapa dengan suara burung" Apakah kau percaya bahwa suara burung di malam hari mempunyai pengaruh buruk bagi seseorang?" "Suara burung kedasih itu, Ki Sudagar" "Bagaimana dengan burung kedasih" Bukankah suara burung kedasih selalu seperti itu" Aku akan tidur. Jangan ganggu aku lagi. Persetan dengan suara burung kedasih itu" Seorang yang mengawal Ki Sudagar mendesak maju dengan menyibak ketiga orang yang membangunkan mereka itu. Katanya, "Ki Sudagar, dengar suara burung itu baik-baik" "Ya. Kenapa dengan suara burung itu" Apakah kau juga menjadi ketakutan seperti para petugas ini?" "Ki Sudagar belum mendengarkan suara burung itu dengan seksama" "Kenapa?" "Dengarlah" Ketika Ki Sudagar mulai mendengarkan suara burung itu, maka suara itupun terdiam. Tetapi Ki Sudagar masih mendengar suara itu dua tiga kali. Tiba-tiba wajahnya menjadi tegang. Katanya, "Apakah itu isyarat bahwa ada sekelompok penjahat yang akan datang kemari?" "Kami belum tahu pasti, Ki Sudagar. Tetapi aku minta Ki Sudagar berhati-hati. Jika orang-orang datang kemari malam
ini, tentu ada sebabnya. Selama ini mereka belum pernah datang langsung kemari" "Persetan. Tentu ada pengkhianatnya di antara kita" "Belum tentu, Ki Sudagar. Mungkin mereka sudah mengetahui bahwa malam ini Ki Sudagar ada di sini. Mereka tentu mengira, bahwa Ki Sudagar tentu membawa barangbarang berharga. Mungkin barang yang diperjual-belikan. Mungkin barang-barang berharga milik dan dikenakan oleh Ki Sudagar sendiri" "Tidak seorang pun tahu bahwa aku akan menyeberang esok" "Jangan berkata begitu. Banyak orang yang dapat mengenali ujud Ki Sudagar. Mungkin mereka tidak sengaja berkhianat. Tetapi pembicaraan dari mulut ke mulut yang menyebut bahwa Ki Sudagar ada di sini ternyata sampai ke telinga para penyamun itu" "Lalu mereka datang kemari malam ini?" "Kira-kira begitu, Ki Sudagar" "Anak iblis. Tetapi bukankah kita dapat melawan?" "Tentu. Kita sudah berjanji akan melawan bersama-sama" Wajah Ki Sudagar menjadi sangat tegang. Dipandanginya orang-orang yang bertugas di penginapan itu. Katanya, "Bagaimana pendapat kalian?" "Kita memang akan melawan bersama-sama. Mungkin Ki Sudagar merupakan umpan terbesar sehingga memancing mereka untuk datang kemari. Mereka tidak sabar menunggu esok di sasak penyeberangan. Tetapi jika orang-orang jahat itu datang kemari, berarti semua orang yang ada di sini akan kehilangan" Dua orang pengawal Ki Sudagar yang lainpun telah mendekat pula. Seorang di antara mereka bersenjata golok yang besar. Dengan suara parau orang itu berkata, "Kita tidak sendiri di sini Ki Sudagar. Jumlah kita cukup banyak" Orang-orang yang sudah terbangun itupun segera berbenah diri. Tidak seorang pun yang akan merelakan harta
mereka dirampas orang. Apalagi mereka berkumpul dalam jumlah yang cukup banyak. Ki Sudagar yang kaya itu telah dikerumuni oleh tiga orang pengawalnya. Orang yang membeli nasi megana bersamasama dengan Wijang dan Paksipun nampaknya menjadi gelisah pula. Agaknya mereka memang membawa sesuatu yang berharga. Bukan hanya dua lembar kain dan baju yang sudah lusuh. Suasana di dalam barak itu menjadi tegang. Tiba-tiba saja pemilik rumah itu masuk pula bersama seorang yang bertubuh raksasa. Sejenak ia termangu-mangu di depan pintu. Baru kemudian ia berkata, "Ternyata kalian sudah bersiaga. Aku curiga mendengar suara burung itu. Menurut pendapatku, suara itu bukan suara burung yang sebenarnya" "Ya" sahut salah seorang pengawal Ki Sudagar, "bahkan pasti. Suara itu bukan suara burung kedasih" "Aku sudah memerintahkan dua orangku untuk mengawasi jalan menuju ke sasak penyeberangan itu. Jika mereka melihat sesuatu yang mencurigakan, aku perintahkan salah seorang dari mereka melepaskan anak panah sendaren" "Bagus. Isyarat panah sendaren itu akan sangat berarti" "Sebaiknya kita bersiap. Kita akan memencar di luar rumah ini, agar kita mempunyai banyak kesempatan untuk mengayunkan senjata kita. Menurut pendapatku, setiap orang yang akan menyeberang sungai itu tentu sudah memperhitungkan bahwa kemungkinan seperti ini dapat saja terjadi. Bahkan setiap saat seperti yang kita alami sekarang" "Apakah semua di antara kita akan pergi keluar" Siapakah yang akan menunggui harta milik kita dan bawaan kita meskipun hanya selembar kain usang?" Tiba-tiba saja mata pemilik rumah itu tertuju pada Paksi dan Wijang yang berdiri termangu-mangu. "Aku belum pernah melihat kedua orang itu" berkata pemilik rumah itu. "Hampir semuanya yang menginap di sini aku kenal. Tetapi kedua orang ini rasa-rasanya asing bagiku"
Semua orang memandang Wijang dan Paksi. Sementara itu, pemilik rumah itupun melangkah mendekatinya diikuti oleh orang yang bertubuh raksasa. Sambil memandangi Wijang dan Paksi berganti-ganti pemilik rumah itupun bertanya, "Siapa kalian, he?" "Kami adalah pengembara yang tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak mempunyai tujuan. Kami terdampar ke tempat yang tidak kami mengerti ini" "Apakah kau sengaja disusupkan oleh para penyamun itu kemari?" "Kami tidak tahu apakah yang sebenarnya terjadi disini. Kami pun tidak tahu, bahwa disini berkumpul banyak orang yang akan pergi ke sungai. Aku baru mendengar dari penjual nasi megana di dekat pintu pasar" "Jangan membual. Kau tentu dua orang dari antara para penyamun itu. Kalian menyusup di antara mereka yang ingin menyeberang ke Nglungge untuk mengetahui, apakah di antara mereka yang akan pergi ke Nglungge itu ada yang membawa uang atau perhiasan atau harta benda yang lain yang bernilai tinggi" "Kami adalah pengembara yang tidak tahu apa-apa tentang tempat ini dan bahkan kami merasa sangat asing dengan keadaan ini" "Kau tentu sudah mempersiapkan jawaban sebelumnya, sehingga kau akan dapat mengelak dari tuduhan" "Kami benar-benar tidak tahu apa-apa. Kami sekedar akan lewat" Suasana di dalam rumah panjang itu menjadi tegang. Sementara itu beberapa orang sudah mendesak maju. Kemarahan mulai membakar jantung mereka terhadap Wijang dan Paksi. Wijang dan Paksi memang menjadi bimbang. Jika orangorang itu menyerang, apakah mereka tidak berhak untuk membela diri" Namun dalam pada itu, selagi belum terjadi sesuatu, terdengar anak panah sendaren bergaung di udara.
"Mereka benar-benar datang" geram pemilik rumah itu. "Kita harus bersiap menyambut mereka" "Kita harus memencar" berkata orang yang bertubuh raksasa, pengawal pemilik rumah penginapan itu. Perhatian mereka terhadap Wijang dan Paksipun pecah. Orang-orang yang berada di dalam rumah itu menjadi gelisah. Orang yang bertubuh raksasa itupun berkata kepada pemilik rumah itu, "Kita tidak boleh terjebak di dalam ruangan ini" "Baik" sahut pemilik rumah itu. Lalu katanya kepada orangorang yang berada di dalam rumah panjang itu, "Kita akan keluar dari rumah ini. Kita akan memencar. Tetapi jangan keluar dari halaman rumah ini" "Dinding rumah ini terlalu rendah untuk bertahan" berkata seseorang. "Berjongkoklah. Demikian seseorang meloncat masuk, kalian harus segera menyerang. Jika kita semuanya tidak berbuat apa-apa, maka kita semuanya akan mereka kuasai. Semua harta benda dan uang yang ada pada kalian, akan mereka rampas" Orang-orang yang ada di dalam rumah panjang itu mulai bergerak. Sementara itu, pemilik rumah itupun berkata kepada orang-orangnya, "Jaga rumah sebelah. Lindungi perempuan dan anak-anak" Beberapa orang yang dipersiapkan untuk mengantar orangorang yang menyeberang itu sampai ke sasak dan menyerahkan kepada para pengawal dari Nglungge sekaligus menerima orang-orang yang menyeberang dari arah Nglungge, telah ada di tempat itu pula. "Kalian tidak usah menunggu esok" berkata pemilik rumah itu. "Lakukan tugas kalian sekarang. Upah kalian akan tetap dibayar utuh" Beberapa orang itupun segera bersiap. Laki-laki yang ada di ruangan yang panjang itupun segera menghambur keluar. Pemilik rumah dan petugas-petugas di penginapan itu sibuk mengatur mereka dan memberikan petunjuk-petunjuk. Mereka
berlari-larian kesana-kemari dengan mengacu-acukan senjata mereka. Dua orang di antara mereka telah menutup pintu regol. Namun hampir tidak ada gunanya, karena dinding halaman penginapan itu tidak setinggi dinding halaman rumah kebanyakan. Wijang dan Paksi menarik nafas dalam-dalam, hampir saja mereka terjebak ke dalam pertentangan yang tidak berarti dan sia-sia. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?" bertanya Paksi. "Kita juga pergi keluar. Kita akan melihat keadaan" "Berhati-hatilah" Keduanyapun kemudian telah keluar dari ruangan yang panjang itu. Ketajaman mata merekapun segera melihat, dimana orang-orang yang menunggu datangnya para penyamun dan perampok itu menunggu. -ooo00dw00ooo Jilid 31 TETAPI sebagian dari mereka bukanlah orang-orang yang siap untuk bertempur. Ada di antara mereka yang justru menjadi gemetar meskipun di tangannya menggenggam pedang. Bahkan ada yang bukan menunggu lawan sambil berjongkok di balik dinding yang rendah, tetapi justru bersembunyi di pakiwan. Sebilah parang di tangannya nampak bergetar. Bukan karena kemarahan yang mencengkam jantung, tetapi karena ketakutan oleh bayangan maut. Wijang dan Paksipun kemudian telah duduk bersandar dinding di halaman samping, di bawah segerumbul pohon soka merah yang sedang berbunga. Cahaya oncor di regol halaman tidak lagi berdaya menembus bayangan-bayangan gerumbul yang rimbun itu.
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
Beberapa langkah dari mereka, Ki Sudagar yang kaya itu duduk menunggu bersama para pengawalnya yang sudah menghunus senjata mereka. "Perampok-perampok gila itu ternyata menjadi semakin ganas" geram Ki Sudagar. "Jika setiap laki-laki yang ada di halaman ini mempunyai keberanian yang tinggi meskipun kemampuan mereka tidak menyamai kemampuan para perampok, agaknya kita akan dapat mengusir mereka. Bahkan mungkin menghancurkan mereka" "Jangan berharap" sahut Ki Sudagar. "Jika saja mereka seperti kita, maka kita akan dapat mengusir mereka. Tetapi sebagian dari mereka adalah cecurut-cecurut kecil yang justru menjadi ketakutan" "Tetapi kita dapat berharap, tiga bersaudara itu akan sangat membantu" "Ya" "Bekas jagal dari Srumbung yang sekarang menjadi blantik sapi itu?" "Ya. Dua orang penjual bebatuan itu juga dapat diharapkan" "Para pedagang yang pagi tadi menjual dagangannya tentu juga akan mempertahankan uangnya. Menilik ujudnya ada dua tiga orang yang dapat diharap" "Selebihnya harapan kita ada pada pemilik penginapan ini serta orang-orangnya yang sudah siapkan untuk mengantar kita esok" Keduanyapun terdiam. Seorang di antaranya telah menjenguk keluar dinding. Tetapi mereka belum melihat apaapa. "Mereka belum datang" berkata salah seorang pengawal. "Persetan dengan mereka" geram Ki Sudagar. Wijang dan Paksi masih saja duduk bersandar dinding. Dengan nada berat Wijangpun berkata, "Aku mengantuk sekali. Rasa rasanya aku akan tidur di sini" "Nyamuknya banyak sekali" desis Paksi.
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
"Di mana-mana banyak nyamuk" Paksi tidak menjawab. Ia mendengar derap kaki sekelompok orang yang mendatangi tempat itu. "Mereka datang seperti orang yang sedang berbaris. Mereka tidak datang sambil mengendap-endap dan berloncatan memasuki halaman penginapan ini" "Sesuatu yang luar biasa dan perlu mendapat perhatian sepenuhnya" "Ya. Bukankah kita tidak menduga, bahwa mereka akan datang berkelompok seperti itu?" Sekelompok orang yang datang seolah-olah dalam sebuah barisan itu berhenti di muka pintu gerbang yang ditutup. Seorang di antara mereka, yang agaknya pemimpinnya, melangkah maju sambil mengetuk pintu gerbang. "Atas nama perjuangan kita yang sampai pada tataran yang paling sulit, buka pintunya" Tidak seorang pun yang menyahut. Apalagi membuka. Pemilik penginapan, orang-orang upahannya, para pedagang dan orang-orang yang menunggu di halaman itu saling berdiam diri. Tidak seorang pun yang berbuat sesuatu, apalagi membuka pintu gerbang. "Ki Sanak" berkata pemimpin dari sekelompok orang yang datang itu, "dinding halamanmu terlalu rendah. Kau buka atau tidak bagi kami sama saja. Tetapi sebenarnya kami ingin berbicara dan melakukan tugas kami dengan baik-baik" "Apa tugasmu?" terdengar suara seseorang dari kegelapan. "Kami adalah bagian dari perjuangan yang bercakrawala sangat luas. Kawan-kawan kami di kotaraja sedang mengalami kesulitan. Kita yang ada di sini harus mampu mengimbanginya, sehingga perjuangan kita tidak terhenti sampai di sini. Tertangkapnya Harya Wisaka bukan pertanda berakhirnya perjuangan kita" "Lalu, apa yang akan kalian lakukan?" "Kami sedang mengumpulkan dana. Kami menyiapkan angkatan mendatang untuk melanjutkan perjuangan. Beberapa orang anak muda sedang ditempa di sebuah
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
perguruan yang asing. Mereka memerlukan dukungan pembiayaan yang besar sampai saatnya mereka cukup kuat untuk terjun ke medan dan memimpin perjuangan yang untuk sementara seakan-akan terhenti" "Apa yang kalian kehendaki dari kami?" "Kami tidak akan menyakiti kalian. Berikan sebagian dari uang kalian, dari harta benda kalian, dan apa saja yang ada pada kalian sekarang ini. Karena aku yakin yang ada pada kalian sekarang ini hanyalah sebagian kecil dari kekayaan kalian" Wijang dan Paksi mendengarkan pembicaraan itu dengan seksama. Namun tiba-tiba saja Wijang berteriak, "Kau bohong. Tidak ada angkatan mendatang yang dipersiapkan. Jika kalian ingin merampok, kalian tidak usah mencari-cari alasan" "Siapa yang berteriak itu?" bertanya pemimpin sekelompok orang yang datang itu. "Aku. Bagian dari orang-orang yang bersiap untuk mempertahankan hak milik kami. Kecuali jika kalian dapat mengatakan dengan terperinci tentang angkatan mendatang" Pemimpin sekelompok orang itu terdiam. Dengan demikian maka suasana pun menjadi hening. Tidak seorang pun yang berbicara, sehingga desah angin terdengar jelas mengusik dedaunan. Namun tiba-tiba saja pemimpin dari sekelompok orang itu pun berkata, "Kami mempunyai sebuah perguruan di lambung Gunung Merapi. Dari arah ini kami memanjat naik untuk sampai di padepokan kami tempat kami menempa angkatan mendatang. Nah, jangan berusaha menentang kami, karena kami akan menghancurkan kalian" "Kekuatan kalian sudah tidak berarti lagi sekarang" teriak Wijang. "Setelah Harya Wisaka ditangkap, maka semua pengikutnya menjadi bercerai-berai dengan membuat rencananya masing-masing. Tetapi tidak sekelompok pun yang mampu mengumpulkan pengikut yang cukup kuat untuk berbuat sesuatu kecuali merampok kecil-kecilan. Sekarang,
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
kalian datang untuk merampok. Tetapi sayang, bahwa kami sudah siap untuk menghancurkan kalian" Tetapi ternyata bahwa pemimpin dari sekelompok orang itu bersikap agak tenang. Karena itu maka iapun menjawab, "Seharusnya kalian menyambut baik kesempatan untuk ikut menjunjung perjuangan ini. Kelak, pada saatnya anak-anak muda itu memegang pemerintahan, maka kalian akan mendapat peluang-peluang yang sangat menguntungkan" "Peluang itu tidak akan pernah ada. Kalian akan binasa sebelum mimpi kalian sampai ke batas tidur kalian yang nyenyak" "Cukup" teriak orang yang berdiri di depan pintu gerbang. "Aku tidak ingin berbicara terlalu panjang. Sekarang buka pintu dan serahkan semua uang, harta benda dan apa saja yang ada pada kalian, yang tentu hanya merupakan sebagian kecil dari kekayaan kalian seluruhnya" "Aku bawa apa yang aku punya sekarang ini. Jika ini kau minta, maka habislah semuanya" teriak Paksi. "Setan alas. Jika demikian, kami akan memaksa kalian" Yang memiliki penginapan itupun kemudian berteriak, "Kami akan mempertahankan harta benda milik kami. Kalian tentu tahu bahwa kami pun telah mempersiapkan diri menghadapi keadaan seperti ini. Karena itu, jika kalian masih sempat berpikir bening, urungkan niatmu" Saudagar kaya yang disertai pengawalnya itupun tiba-tiba berteriak, "Kembalilah selagi kalian masih utuh. Jumlah kami terlalu banyak untuk kau lawan" Tetapi orang yang berdiri di depan pintu itu berkata, "Jumlah bukan jaminan untuk menang. Meskipun jumlah kami tidak banyak, tetapi kami adalah orang-orang yang terlatih dengan baik" Namun seorang di dalam kegelapan pun berteriak pula, "Jangan dikira bahwa kami tidak pernah berguru kepada seorang guru yang sakti. Renungkan ini" "Sudahlah. Aku sudah jemu untuk berbicara. Buka regol ini dan kalian harus berkumpul di halaman itu. Kemudian seorang
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
demi seorang datang menyerahkan harta benda atau uang atau perhiasan atau apa saja yang kalian bawa. Ingat, kami sama sekali tidak ingin merampok kalian. Jika hal ini kami lakukan, semata-mata karena kami bertanggung jawab pada perjuangan kami yang masih harus kami selesaikan" "Tidak" teriak seorang yang baru saja menjual beberapa ekor ternak dan belum sempat membawa pulang uangnya. "Kami mencari uang dengan susah payah. Kami akan mempertahankannya" Pemimpin dari sekelompok orang itu benar-benar tidak sabar lagi. Dengan lantang iapun kemudian berkata, "Jika kalian tidak mau menyerahkannya, kami akan mengambilnya sendiri" Namun tiba-tiba saja Wijang pun berteriak, "Jadi masih adakah di antara kalian yang tertipu oleh janji-janji para pengikut Harya Wisaka" Harya Wisaka sudah tertangkap. Lalu siapa yang akan menjadi sandaran kalian jika benar kalian berjuang bagi tujuan yang sudah dirintis oleh Harya Wisaka?" "Persetan. Ternyata mulutmulah yang paling berbahaya. He, siapa kau?" bertanya pemimpin sekelompok orang itu. Pemilik rumah itu pun menjadi berdebar-debar. Ia tahu, bahwa yang berbicara itu adalah salah seorang dari kedua orang anak muda yang dituduhnya sengaja disusupkan oleh para perampok ke dalam penginapan itu. Namun ternyata mereka adalah anak-anak muda yang memiliki pandangan tertentu terhadap sikap Harya Wisaka. Biasanya orang-orang yang bermalam di penginapan itu tidak begitu banyak mempersoalkan pemberontakan Harya Wisaka. Mereka merasa menjadi lebih aman ketika Harya Wisaka sudah tertangkap. Namun ternyata bahwa perampokperampok itu telah menyebut perjuangan Harya Wisaka itu pula. Dalam pada itu, Paksilah yang menyahut, "Untuk apa kau tahu siapa kami" Kami adalah pengembara yang malam ini terdampar di penginapan ini. Jika bekal yang ada pada kami
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
harus kami serahkan kepada kalian semuanya, kami tentu akan berkeberatan" "Kami tidak akan menyerahkan apa pun milik kami" teriak seorang laki-laki yang suaranya menggelegar seperti guntur. Pemimpin sekelompok orang itupun kemudian yakin, bahwa orang-orang yang bermalam di penginapan itu tidak akan mau menyerah begitu saja. Karena itu, maka pemimpin dari sekelompok orang itupun kemudian berkata kepada orangorangnya, "Kalian sudah mendengar, bahwa orang-orang bodoh itu tidak bersedia membantu perjuangan kita. Adalah akibat dari kesediaan kita menjadi pilar dari perjuangan ini, maka kita harus bertindak tegas. Kita tidak boleh ragu-ragu. Siapa yang menghalangi kalian, harus disingkirkan" Tetapi sebelum perintah itu selesai, Wijang telah berteriak, "He, orang-orang dungu, apa yang kalian dapat dengan apa yang disebutnya perjuangan" Itu hanya satu alasan yang dibuat-buat untuk perampokan ini. Karena itu, lebih baik kalian merampok saja. Hasilnya dibagi rata. Tidak untuk sesuatu yang disebutnya perjuangan itu. Itu hanya cara pemimpinmu mengelabuhimu" "Diam" teriak pemimpin sekelompok orang itu. Wijang tertawa. Suaranya menggetarkan udara yang dingin di atas halaman penginapan itu. "Kalian harus mempertaruhkan nyawa kalian untuk sesuatu yang tidak kalian mengerti. Mimpi yang semu atau bius yang melampaui tajamnya tuak segoci penuh" "Cukup" teriak pemimpin sekelompok orang-orang itu. Lalu iapun berteriak nyaring, "Loncati pagar yang rendah itu, bunuh saja yang mencoba menghalangi kalian. Jangan raguragu" "Hati-hati" Paksilah yang berteriak, "kau akan dapat menginjak ujung pedang" "Cepat, meloncat masuk" teriak pemimpin kelompok itu. Sekelompok orang itupun segera memencar. Mereka berusaha untuk meloncati dinding yang rendah. Tetapi peringatan Paksi membuat mereka menjadi ragu-ragu. Ketika
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
seorang di antara mereka dengan serta-merta meloncat, maka hampir saja ia menginjak seorang dari tiga orang yang menginap bersama-sama, yang menurut katanya, hanya membawa kain dan baju yang sudah lusuh. Yang terdengar adalah teriakan kesakitan. Ketiga orang yang bertiarap di balik dinding yang rendah itu dengan sertamerta menyerangnya. Sejenak kemudian, pertempuranpun segera terjadi. Pemilik penginapan dan orang-orangnya pun segera menyongsong mereka. Mereka merasa bertanggung jawab terhadap orangorang yang menginap di penginapan mereka. Jika mereka tidak berusaha membantu mereka, maka usahanya tentu akan semakin menyusut. Orang-orang tidak lagi menginap di penginapan itu. Karena itu, maka dengan sungguh-sungguh pemilik penginapan itupun berusaha menghalau orang-orang yang datang untuk merampok itu. Selain pemilik penginapan dan orang-orangnya, maka orang-orang yang memiliki uang maupun harta benda yang berharga atau perhiasan emas dan berlian yang mahal harganya, berusaha untuk melindungi milik mereka pula. Saudagar kaya bersama pengawalnya itupun telah siap menyambut orang-orang yang datang menyerang. Pertempuranpun segera menebar di mana-mana di halaman penginapan itu. Ternyata bahwa jumlah orang yang mempertahankan milik mereka bersama orang-orang yang diupah oleh pemilik penginapan itu jumlahnya cukup banyak untuk mengimbangi jumlah sekelompok orang yang datang untuk merampas milik mereka itu. Itupun masih ada beberapa orang laki-laki yang bahkan bersembunyi di pakiwan atau di sudut-sudut yang gelap karena ketakutan. Ternyata bahwa sekelompok orang yang datang untuk merampas itu tidak dengan mudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Orang-orang yang mempertahankan miliknya itu ternyata ada juga yang memiliki ilmu yang
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
memadai, sehingga menyulitkan usaha orang-orang yang ingin merampas harta miliknya. Pemimpin sekelompok orang yang datang itu menjadi sangat marah ketika ia menyadari, bahwa orang-orangnya mendapat perlawanan yang berat. Karena itu, maka dengan mengerahkan kemampuannya orang itu langsung terjun ke medan. Wijang melihat kehadiran orang itu di arena. Iapun segera menjadi cemas, bahwa orang itu akan membunuh tanpa kekang. Karena itu, maka Wijanglah yang kemudian berusaha untuk menghadapinya. "Kau mau membunuh diri, anak muda?" geram orang itu. "Kaukah pemimpin dari sekelompok orang yang mengaku sedang mempersiapkan angkatan mendatang untuk melanjutkan cita-cita perjuangan Harya Wisaka?" "Kaukah orang yang telah merendahkan cita-cita perjuangan kami?" "Ya. Cita-cita perjuanganmu memang pantas untuk direndahkan, karena tidak akan ada gunanya sama sekali. Bahkan aku yakin, bahwa kau tidak tahu apa-apa tentang sesuatu yang menurut pengakuanmu sedang kau perjuangkan" "Aku koyak mulutmu" "Jika kau memang tahu apa yang kau perjuangkan, coba katakan, apakah tujuan akhir dari perjuanganmu" Mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya" Atau apa?" Orang itu tidak menjawab. Dengan serta-merta ia menyerang Wijang yang berdiri tegak di hadapannya. Tetapi Wijang pun telah siap menghadapinya. Ketika senjata orang itu berputar, maka Wijangpun telah bergeser pula. Sementara itu, Paksi pun telah bertempur sendiri. Ia bahkan berada di mana-mana. Tongkatnya berputaran dengan cepat di seputar tubuhnya. Namun kemudian terayun
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
menghantam punggung lawannya sehingga lawannya itu jatuh terjerembab. Ternyata Paksi berloncatan di halaman dari satu lingkaran pertempuran ke lingkaran pertempuran yang lain. Jika ia melihat seseorang yang berada dalam keadaan bahaya, maka iapun segera datang menolongnya. Namun demikian lawannya terpelanting jatuh, maka Paksipun telah beranjak pula dari tempatnya. Orang-orang yang jatuh oleh pukulan tongkat Paksi itu memang dapat segera bangkit kembali. Namun biasanya mereka tidak lagi dapat bertempur dengan tangkas. Jika bukan tulang belakangnya, maka dadanya atau lambung atau bagian-bagian tubuhnya yang lain yang menjadi kesakitan. Dengan demikian, maka anak muda yang bersenjata tongkat itu menjadi pusat perhatian orang-orang yang datang menyerang penginapan itu. Empat orang di antara mereka yang merasa memiliki kemampuan melampaui kawankawannya telah sepakat untuk menghancurkan anak muda yang bersenjata tongkat itu. Demikianlah, maka sejenak kemudian Paksipun telah bertempur di tengah-tengah halaman melawan empat orang lawan. Empat orang yang terhitung memiliki kelebihan dari kawan-kawan mereka. Namun dengan demikian, lima orang terkuat dari mereka yang datang untuk merampas harta milik orang-orang di penginapan itu telah terikat dalam pertempuran tersendiri. Karena itulah, maka kekuatan mereka yang lain harus terbagi menghadapi pemilik penginapan itu bersama orang-orang upahannya, serta orang-orang lain yang berusaha mempertahankan milik mereka. Dengan demikian, maka beban tugas merekapun menjadi berat. Perlawanan yang diberikan oleh pemilik penginapan dan orang-orang upahannya serta orang-orang yang menginap adalah di luar dugaan mereka. Sementara itu, keempat orang yang garang itupun tidak mampu untuk segera menundukkan Paksi. Meskipun mereka
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
bersenjata golok, parang dan bindi, namun tongkat baja Paksi sulit sekali untuk dapat mereka kuasai. "Kita bunuh kelinci ini secepatnya" geram orang yang bertubuh tinggi dan berdada bidang, penuh ditumbuhi rambut yang lebat. Kawan-kawannya tidak menyahut. Namun mereka bertempur semakin garang. Mereka meningkatkan kemampuan mereka sampai ke puncak. Ternyata keempat orang itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi pula. Mereka mampu menekan Paksi sehingga Paksi harus mengerahkan kemampuannya pula. Anak muda itu harus berloncatan dengan cepatnya menghindari seranganserangan yang datang beruntun dari keempat orang lawannya. Namun latihan-latihan Paksi yang berat, membuatnya masih mungkin melindungi dirinya sendiri. Dengan berbagai usaha, keempat orang lawan Paksi berusaha dengan cepat menghentikan perlawanannya, sehingga dengan demikian mereka segera dapat membantu kawan-kawan mereka yang lain, yang semakin terdesak oleh orang-orang yang bermalam di penginapan itu, yang tidak mau kehilangan milik mereka. Tetapi memang tidak mudah untuk dapat menundukkan Paksi. Tongkatnya berputaran semakin lama semakin cepat. Benturan-benturan dengan senjata lawan-lawan mereka pun semakin sering terjadi. Namun Paksi masih tetap bertahan. "Bunuh anak itu. Cepat" teriak pemimpin sekelompok orang yang datang ke penginapan itu. Tidak seorang pun dari keempat orang itu yang menjawab. Tetapi betapapun mereka memaksakan diri untuk segera mengakhiri pertempuran, namun anak muda itu masih saja memberikan perlawanan dengan tangkasnya. Kemarahan pemimpin kelompok itu rasa-rasanya mulai membakar ubun-ubunnya. Dikerahkannya ilmunya untuk mengakhiri perlawanan Wijang. Tetapi Wijang ternyata mampu mengimbangi ilmunya. Bahkan semakin lama semakin
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
ternyata, bahwa Wijang memiliki beberapa kelebihan dari lawannya itu. Dalam pada itu, pertempuran di halaman itu semakin lama menjadi semakin sengit. Orang-orang yang menginap di penginapan itu semakin lama semakin mempunyai kepercayaan diri. Apalagi jumlah mereka cukup banyak, sehingga mereka dapat bertempur berpasangan dengan kawan-kawan terdekat mereka untuk melawan seorang di antara mereka yang datang untuk merampas milik mereka itu. Perlawanan yang kuat itu sama sekali tidak diduga oleh pemimpin kelompok itu. Seandainya saja tidak ada anak muda yang menghadapinya itu, serta tidak ada anak muda yang mampu bertahan melawan empat orang kawan-kawannya yang terbaik, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama mereka akan dapat menundukkan orang-orang yang berusaha mempertahankan harta bendanya itu bersama pemilik penginapan dan orang-orang upahannya. Namun ternyata bahwa kedua orang anak muda itu ada di antara mereka. Bukan saja pemimpin sekelompok orang yang datang itu saja yang menyadari peran Wijang dan Paksi. Tetapi pemilik penginapan itupun melihat, bahwa kedua anak muda itu telah berhasil menahan orang-orang yang berilmu tinggi yang akan dapat mengacaukan pertahanannya. Sementara itu, Wijang yang bertempur melawan pemimpin sekelompok orang yang ingin merampas semua milik orangorang yang menginap itupun telah meningkatkan ilmunya pula. Kebenciannya kepada Harya Wisaka karena gerakannya yang telah banyak menelan korban, waktu dan harta benda itu, telah membuat Wijang tidak berpikir panjang. Semua tunas yang memungkinkan tumbuhnya apa yang mereka sebut perjuangan itu harus dipatahkan. Juga usaha untuk membentuk angkatan mendatang itu pun harus dihancurkannya pula.
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
Karena itu, maka setelah bertempur beberapa saat, maka Wijangpun telah memutuskan untuk mengakhiri perlawanan pemimpin sekelompok orang yang akan merampok itu. "Menyerahlah" geram Wijang, "ini adalah kesempatanmu yang terakhir. Kau akan dibawa ke Pajang dan dipenjara sebagai seorang pemberontak. Bukan sebagai seorang perampok" "Persetan kau, anak muda. Aku akan membunuhmu" "Jika kau berkeras, maka akan berlaku pula di sini hukuman bagi seorang pemberontak" "Tutup mulutmu" geram orang itu. Wijang tidak berbicara lagi. Tetapi iapun melihat Paksi yang harus bekerja keras untuk mempertahankan diri dari keempat orang lawannya yang berilmu tinggi. Karena itu, maka Wijangpun berniat mengakhiri perlawanan orang itu sebelum Paksi semakin mengalami kesulitan. Dengan demikian, maka Wijangpun segera meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Sepasang pisau belatinya menyambarnyambar dengan garangnya, sehingga tidak ada kesempatan bagi lawannya untuk mempertahankan diri. Ia berteriak marah ketika pisau belati Wijang menyambar dadanya. Namun kemudian justru menyentuh bahunya dan lengannya. Kemarahan pemimpin kelompok itu benar-benar menggetarkan halaman penginapan itu. Teriakan-teriakan dan umpatan-umpatan yang keras dan kasar. Perintah-perintah yang bengis meluncur dari mulutnya, justru karena ia sendiri menjadi putus asa. Sementara itu, empat orang yang berilmu tinggi yang berusaha menekan Paksi, menyaksikan kesulitan yang dialami oleh pimpinannya. Karena itu seorang di antara mereka telah meloncat meninggalkan Paksi dan berusaha untuk membantu pemimpinnya. Namun usahanya itu sia-sia. Yang dilawannya adalah Pangeran Benawa yang memiliki ilmu jauh di luar perhitungan mereka.
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
Karena itu, kehadiran seorang kawannya tidak banyak membantu pemimpin kelompok itu. Apalagi darah semakin lama semakin banyak mengalir dari luka-lukanya. Meskipun demikian, kehadiran seorang yang membantunya itu terasa mengganggu bagi Wijang, meskipun menurut perhitungannya ada baiknya pula, karena itu berarti mengurangi beban Paksi. Ketika keringat semakin membasahi punggung Wijang, maka Wijangpun benar-benar telah berniat mengakhiri pertempuran itu. Pemimpin kelompok yang semakin lama menjadi semakin lemah itu tidak berhasil menghindari sergapan pisau belati Wijang yang mengarah ke lambungnya. Sementara itu, kawannya yang berusaha membantunya dengan menyerang Wijang, tidak berhasil mengenainya. Bahkan sambi berputar, pisau belati Wijang telah menyambar dadanya. Orang itu terdorong beberapa langkah surut. Bersamaan dengan itu, pemimpin kelompok yang datang untuk merampok itupun tidak lagi berdaya untuk melawan. Lambungnya telah terkoyak oleh pisau belati Wijang, sehingga orang itupun jatuh terduduk. Tangannya berusaha memegangi lambungnya yang terkoyak. Namun darah sudah mengalir dari luka-luka yang lain di tubuhnya. Maka akhirnya orang itu tidak mampu lagi bertahan. Iapun kemudian jatuh terguling di tanah. Sementara itu, kawannya yang terdorong surut, masih berusaha untuk meloncat menyerang. Namun serangannya itupun gagal, karena senjatanya sama sekali tidak menyentuh lawannya. Bahkan pisau belati Wijang telah menghunjam di dadanya tembus ke arah jantung. Sementara itu, Paksi yang kehilangan seorang lawan mendapat kesempatan lebih banyak untuk menyerang lawanlawannya. Tongkatnyapun berputar semakin cepat. Ketika seorang lawannya luput menusuk perutnya, Paksi telah memukul tengkuk lawannya itu dengan tongkatnya. Demikian kerasnya
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
sehingga orang itupun jatuh tersungkur dan tidak akan pernah bangkit untuk selamanya. Pertempuran itu benar-benar merupakan neraka bagi orang-orang yang datang untuk merampok. Kehadiran dua orang anak muda di luar perhitungan mereka, benar-benar telah mengacaukan segala-galanya. Sementara itu, pemilik penginapan itu serta orang-orang upahannyapun ternyata telah bertempur dengan gigihnya. Orang-orang yang mempertahankan harta milik mereka pun telah bertempur dengan berani. Saudagar kaya dengan para pengawalnya itu mati-matian berusaha mengusir para perampok yang akan merampas kekayaannya. Ternyata Wijang dan Paksi tidak menghadapi orang-orang itu sebagai perampok. Tetapi mereka menganggap mereka adalah bagian dari satu pemberontakan. Meskipun pemberontakan itu sendiri telah gagal, tetapi beberapa orang pengikutnya ternyata masih bermimpi untuk menyiapkan apa yang disebutnya angkatan mendatang itu. Ternyata tanpa pemimpin mereka, serta orang-orang yang berilmu tinggi, perampok-perampok yang nampaknya garang itu tidak banyak berdaya. Apalagi jumlah mereka lebih kecil dari lawan mereka yang berusaha mempertahankan hak serta milik mereka dibantu oleh pemilik penginapan serta orangorang upahannya. Ketika kedua orang lawan Paksi yang lain pun sudah tidak berdaya pula, maka habislah sandaran kekuatan orang-orang yang datang untuk merampok itu. Beberapa orang di antara mereka telah terluka parah dan bahkan ada pula yang terbunuh. Orang-orang yang marah itu tidak lagi mampu mengendalikan diri. Apalagi mereka yang kawannya atau sanak kadangnya telah terluka pula. Orang-orang upahan yang akan mengawal iring-iringan esok pagi itu telah menjadi marah pula. Seorang di antara mereka ternyata telah terbunuh di pertempuran itu. Seorang
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
lagi terluka parah. Beberapa yang lain terluka ringan. Namun darah telah mengalir dari tubuh mereka pula. Dalam keadaan yang kalut itu, maka beberapa orang di antara mereka yang datang untuk merampas harta milik orang-orang yang menginap di penginapan itu telah berusaha untuk melarikan diri. Tidak ada lagi pemimpin yang mengatur mereka, sehingga merekapun berlari saja cerai-berai. Namun sebagian dari mereka benar-benar telah kehilangan kesempatan. Orang-orang yang marah itu tidak mau membiarkan mereka melarikan diri. Bahkan seorang berteriak dengan suara menggelegar, "Kita hancurkan mereka sampai orang yang terakhir, agar tidak ada lagi yang akan mendendam" Namun ternyata ada juga satu dua orang yang berhasil melarikan diri dari halaman penginapan yang telah menjadi neraka itu. Sejenak kemudian, maka pertempuran itupun telah berakhir. Beberapa sosok mayat tergolek di halaman. Sebagian besar dari mereka justru adalah para perampok. Pemilik penginapan bersama orang-orangnya segera mengumpulkan orang-orang yang malam itu menginap di penginapannya untuk mengetahui, apakah ada di antara mereka yang cedera. Ternyata bahwa seorang pengawal saudagar kaya itu tidak tertolong lagi jiwanya. Dengan sedih saudagar itu duduk merenungi pengawalnya yang setia. "Sudah bertahun-tahun ia bekerja padaku" desis saudagar itu. "Aku tidak mengira, bahwa hidupnya akan berakhir di sini" Kawan-kawannya pun menundukkan wajahnya pula. Pengawal yang terbunuh itu adalah orang yang baik. Hubungannya dengan kawan-kawannya pun baik pula. "Kita batalkan perjalanan kita" berkata saudagar itu. "Besok kita pulang dengan membawa sosok tubuh ini" Para pengawalnya yang lain pun mengangguk.
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
Selain pengawal itu, seorang yang diupah pemilik penginapan itu juga terbunuh. Seorang yang lain terluka parah. Pamannya yang sulit menerima kenyataan tentang kemenakannya yang terbunuh itu, masih saja mengguncangguncang tubuhnya beberapa saat setelah pertempuran selesai. "Kau masih terlalu muda untuk mati, Ngger" desah pamannya. Pamannya itulah yang mengajak kemenakannya itu bekerja pada pemilik penginapan itu untuk mengawal orang-orang yang akan menyeberang sungai lewat sasak bambu itu. Tetapi pamannya tidak mengira, bahwa pada suatu saat kemenakannya itu akan terbunuh. Dalam pada itu, selagi orang-orang masih sibuk mengurusi orang-orang yang terbunuh dan terluka, pemilik penginapan itu sempat mencari dua orang anak muda yang dianggapnya menjadi penyelamat bagi penginapannya itu. Tanpa kehadiran kedua orang itu, maka orang-orang yang menginap di penginapan itu tidak akan mampu mempertahankan harta benda mereka. Bahkan mungkin orang-orangnya akan lebih banyak lagi yang menjadi korban. Demikian pula orang-orang yang menginap yang bertahan untuk tidak mau menyerahkan milik mereka. Namun karena kehadiran kedua orang anak muda yang mampu menahan pemimpin sekelompok orang yang akan merampok penginapannya itu, sedangkan yang lain mengikat empat orang berilmu tinggi di antara para perampok itu, maka perampok itu sama sekali tidak berhasil. Bahkan sekelompok perampok itu nampaknya benar-benar telah dihancurkan, sehingga sulit untuk dapat bangkit kembali. Setidak-tidaknya mereka memerlukan waktu yang panjang untuk dapat menghimpun kekuatan sebesar kekuatan yang hancur itu. Sementara itu, pemilik penginapan itu justru telah menuduh kedua orang anak muda itu sengaja disusupkan oleh para perampok untuk mengetahui, apakah di antara mereka yang
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
menginap itu terdapat orang-orang kaya yang membawa barang-barang berharga atau mengenakan perhiasan. Tetapi pemilik penginapan itu tidak berhasil menemukannya. Wijang dan Paksi sudah tidak ada di halaman penginapan itu. Sebenarnyalah Wijang dan Paksi berusaha untuk dapat mengikuti sisa-sisa perampok yang berhasil meloloskan diri. Mereka berharap bahwa para perampok yang masih hidup itu dapat membawa mereka berdua ke padepokan yang telah mereka sebutkan. Dengan sigapnya keduanya mengikuti seorang di antara para perampok yang nampaknya sudah terluka. Namun ia masih berhasil melepaskan diri dari tangan para pengawal penginapan yang marah itu. Ternyata orang itu mengikuti lorong yang masih saja semakin naik. Semakin lama semakin tinggi di kaki Gunung Merapi. Lorong yang mereka lalui pun semakin lama menjadi semakin sulit. Bahkan akhirnya mereka memasuki jalan setapak yang sempit. Memanjat lereng yang kadang-kadang terjal, di antara gerumbul-gerumbul perdu yang tumbuh di sela-sela bongkah-bongkah batu padas yang basah. Namun akhirnya mereka sampai ke sebuah dataran yang agak luas. Mereka melihat sawah terbentang, bertingkattingkat seperti sebuah tangga raksasa menuju ke lambung Gunung Merapi. Nampaknya tanah pun cukup subur dengan tanaman padi yang nampak hijau segar. Air pun tidak kekurangan. Parit-parit yang ada di sela-sela kotak-kotak sawah itu pun mengalir cukup deras. Namun dalam pada itu, langit pun mulai menjadi terang. Wijang dan Paksi melihat orang yang mereka ikuti sudah menjadi sangat lemah. Bahkan orang itu seakan-akan tinggal dapat merangkak untuk bergerak naik lewat jalan yang justru menjadi lebih lebar dan rata dari jalan setapak yang sulit dilalui di sela-sela batu-batu padas. "Satu daerah yang nampaknya terpisah" desis Paksi.
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
"Ya. Kita tentu sudah berada di lingkungan padepokan yang kita cari. Agaknya padukuhan yang nampak itu adalah padepokan yang disebut-sebut" "Apakah kita akan mengikuti terus?" "Mudah-mudahan orang itu tidak melihat kita" "Kita akan menjaga jarak. Tetapi seandainya tanpa orang itu pun kita akan dapat sampai ke padepokan mereka" Namun Wijang dan Paksipun kemudian tertegun. Mereka melihat dua orang yang datang dari arah lambung Gunung Merapi. Dengan tergesa-gesa mereka menyongsong orang yang sudah tidak berdaya itu. "Kau sendiri?" seorang di antara mereka bertanya. Wijang dan Paksipun telah mengetrapkan ilmunya, Aji Sapta Pangrungu, sehingga mereka dapat mendengarkan pembicaraan orang-orang itu. Orang yang merangkak itu terduduk sambil berdesis, "Ya. Aku sendiri" "Sudah ada tiga orang yang aku jumpai. Keadaan mereka lebih baik dari keadaanmu. Marilah. Aku bantu kau. Tetapi apakah masih ada orang lain di belakangmu?" "Aku tidak tahu. Tetapi agaknya aku adalah orang yang mendapat kesempatan terakhir untuk melarikan diri dari neraka itu" Kedua orang yang datang itupun membantu memapah kawannya yang terluka parah itu. "Agaknya pengawasan mereka cukup ketat" berkata Wijang. "Kita tidak usah pergi sekarang. Kita tahu, bahwa padepokan mereka terletak di padukuhan itu. Sawah dan pategalan itu adalah tanah garapan mereka" "Daerah ini seperti daerah yang terpisah dari Pajang" Wijang mengangguk-angguk. Daerah itu memang disekat oleh bongkah-bongkah batu padas, gumuk-gumuk kecil, lereng yang terjal dan lorong yang rumit dilalui. Namun daerah itu sendiri agaknya merupakan daerah yang subur. Semuanya nampak hijau. Air pun tergenang di mana-mana.
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
Wijang dan Paksi tidak melanjutkan perjalanan mereka mengikuti orang yang dipapah oleh kedua kawannya itu. Mereka memandanginya sampai hilang di balik gerumbulgerumbul perdu. Namun jalan di hadapan mereka adalah jalan yang termasuk rata dan lebar meskipun memanjat naik. Agaknya jalan itu cukup terpelihara sebagaimana parit-parit yang membawa air ke kotak-kotak sawah. "Kita menunggu sampai sore" desis Wijang. "Kita menunggu di sini sehari penuh tanpa berbuat sesuatu?" "Lalu, apa yang harus kita lakukan?" "Kita pergi ke pategalan. Kita mencuri buah-buahan yang dapat membantu menyegarkan tubuh kita sehari ini" Wijang tertawa. Katanya, "Bagus. Kita tidak dapat berburu binatang, karena jika kita membuat perapian, maka kehadiran kita akan segera dapat dilihat" Namun Paksipun kemudian bertanya, "Di mana letak pategalan mereka?" "Kita akan mencarinya. Tetapi kita tidak tahu, buah-buahan apakah yang mereka tanam. Sementara itu, aku kira di lingkungan ini tidak ada orang berjualan makanan dan minuman, karena lingkungan ini seolah-olah merupakan lingkungan terpisah. Jauh dari padukuhan-padukuhan yang dihuni. Sedangkan di seberang daerah persawahan itu agaknya hutan lereng pegunungan yang lebat. Kau dapat membuka satu lingkungan kecil seperti ketika kau mengembara sebelumnya?" bertanya Wijang. "Agaknya lingkungannya berbeda. Dahulu aku dapat turun ke pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Nampaknya di sini tidak mungkin aku lakukan. Kecuali itu, akan memerlukan waktu yang cukup panjang untuk mulai dari permulaan" "Apakah kita tidak akan lama di sini?" tiba-tiba saja Wijang bertanya. Paksi termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menjawab, "Mungkin kita akan lama di sini. Tetapi mungkin
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
pula tidak. Tetapi seandainya kita harus membuka lahan kecil, dari mana kita mendapat benih" Dahulu aku dapat membeli di pasar. Apakah kita juga akan melakukannya di sini, di daerah yang terpisah ini?" "Jika perlu kita akan turun. Membeli benih dan bekal untuk waktu yang agak panjang. Kita membuka lahan kecil di hutan itu. Aku senang dengan cara yang kau lakukan di sisi selatan kaki Gunung Merapi itu" Paksi menarik nafas panjang. Memang mereka berdua dapat saja turun untuk membeli bekal dan benih tanaman yang dapat mereka tanam sebagaimana dilakukan Paksi sebelumnya. Tetapi mereka tidak dapat setiap saat pergi ke pasar, karena daerah itu seakan-akan telah disekat oleh kerasnya alam di kaki gunung. Namun Paksipun kemudian berkata, "Kita akan melihatlihat, apakah yang sebaiknya kita lakukan kemudian" Wijang mengangguk-angguk. Katanya, "Yang penting, kita akan mencoba mendekati lingkungan pategalan mereka" Paksi tertawa. "Aku sependapat" Namun keduanya tidak segera meninggalkan tempat itu. Bahkan mereka telah mencari tempat yang lebih baik untuk dapat mengatasi jalan yang memanjat itu. Beberapa saat lamanya mereka duduk bersandar batu-batu padas. Sementara itu, mataharipun memanjat semakin tinggi, memanasi kaki Gunung Merapi. Jalan membujur di antara tanah persawahan itu memang jalan yang sepi. Jalan itu agaknya semata-mata dipergunakan untuk penghuni di lingkungan itu. Lingkungan sebuah padepokan yang terpencil. Mungkin jalan itu dibuat agar hasil panenan dapat diangkut dengan pedati ke padepokan. Mungkin juga pedati itu dipergunakan untuk mengangkut pupuk atau keperluankeperluan yang lain.
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
Untuk beberapa lama Wijang dan Paksi menunggu. Tetapi mereka tidak melihat seorang pun lewat atau seorang yang lain yang bekerja di sawah. "Marilah kita tinggalkan tempat ini" berkata Wijang. "Kita akan berada di hutan itu. Nampaknya kita akan lebih aman berada di sana. Sambil melintasi bulak yang luas ini, kita akan melihat-lihat pategalan yang nampaknya berada di sebelah padepokan itu" Mereka berduapun kemudian bangkit berdiri dan melangkah meninggalkan tempat mereka. Tetapi mereka sengaja tidak berjalan melewati jalan yang sepi itu, karena dengan demikian mereka akan lebih mudah dilihat dari kejauhan. Dengan Aji Sapta Pandulu mereka memandang bulak yang luas itu. Pematang yang bertingkat-tingkat serta padepokan di kejauhan. Ternyata mereka tidak melihat seorang pun. Sehingga karena itu, maka mereka berdua menyusuri padang perdu mengitari bulak yang luas itu untuk mencapai hutan lereng gunung di seberang bulak. Wijang dan Paksi pun tidak menemui kesulitan apa-apa. Mereka memasuki hutan yang lebat yang agaknya dihuni oleh berbagai macam binatang buas. "Kau harus mempersiapkan diri menghadapi binatang berbisa" berkata Wijang. Paksi mengangguk. "Kau masih mempunyai obat penawar racun itu?" "Masih" jawab Paksi. Diambilnya reramuan obat penawar racun yang dikemas dalam butiran-butiran kecil, disimpan dalam sebuah kantong kain putih yang diselipkan pada kantong ikat pinggangnya. Ternyata peringatan Wijang itu berarti sekali. Di hutan itu banyak dijumpai berbagai jenis ular dan binatang berbisa lainnya. Termasuk ketonggeng, berbagai jenis kala serta labalaba bersabuk perak.
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
"Kita mencari tempat yang paling baik" berkata Wijang, "sebelum kita nanti mencari di mana letak pategalan dari padepokan itu" Keduanya menyusuri hutan itu beberapa lama. Telinga mereka yang tajampun mendengar suara gerojogan kecil serta aliran air yang tidak begitu deras. "Sebuah sungai kecil" desis Wijang. Keduanyapun segera menuju ke sungai kecil itu. Mereka berhenti di atas lereng yang agak curam. Di bawah lereng itu mereka melihat aliran air yang tidak begitu deras. Sebuah gerojogan kecil meluncur dari seberang, menimpa batu padas di bawahnya. "Seperti sungaimu" berkata Wijang. "Sungaiku?" "Ya, sungaimu yang banyak ikannya itu. Sebuah gerojogan yang di belakangnya ada lubang goanya" "Tetapi gerojogan itu cukup besar untuk menutup lubang goa. Gerojogan sungai ini hanyalah sebuah gerojogan kecil" "Ya" Wijang tertawa, "tetapi di genangan air di bawahnya tentu banyak ikannya" Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Marilah kita turun" Keduanyapun segera menuruni tebing yang curam. Tetapi tidak terlalu dalam. Demikian mereka sampai di tepian, maka Paksipun berdesis, "Kau benar. Di situ pun banyak ikannya" "Tempat ini belum pernah dijamah oleh seseorang. Bahkan para cantrik dari padepokan itu pun tentu belum pernah sampai ke tempat ini" Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin sekali. Tetapi lihat, ada sebuah kebun pisang" "Ya. Seperti kebun pisangmu" "Tidak hanya pisang. Di seberang juga banyak pohon nanas dan nampaknya pohon salak" "Pohon-pohon liar. Marilah kita naik ke seberang"
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
Keduanyapun segera memanjat pula sampai ke atas lereng yang berseberangan. "Apakah benar bahwa tempat ini belum pernah dijamah orang?" bertanya Paksi tiba-tiba. "Kenapa?" "Apakah tangga batu padas ini tidak dibuat oleh tangan seseorang?" Wijang mengerutkan dahinya. Memang agak aneh. Ada tiga atau empat mata tangga di tempat yang paling terjal. Nampaknya tangga pada batu padas itu bukan kebetulan saja ada di situ. Namun seandainya tangga itu dibuat oleh seseorang, maka tentu sudah lama sekali, karena permukaannya sudah kabur. Di seberang sungai kecil itu memang terdapat beberapa gerumbul pohon pisang. Namun keduanya menjadi ragu, bahwa nanas dan salak itu benar-benar liar sejak jenis tanaman itu tumbuh di sana. Meskipun saat itu tanaman itu nampaknya benar-benar liar, tetapi rasa-rasanya keduanya tumbuh di tempatnya masingmasing, sebagaimana beberapa gerombol pohon pisang. Di sebelah lain, terdapat hutan bambu yang lebat. Kemudian hutan lereng gunung yang ditumbuhi pepohonan raksasa yang sudah tua, sehingga batangnya pun menjadi sangat besar. "Kita tidak usah mencari pategalan para cantrik untuk mencuri buah-buahan. Di sini kita menemukan banyak pisang nanas dan salak yang jumlahnya tidak terhitung. Di air itu kita dapat menangkap ikan seberapa kita mau. Jika kita terpaksa membuat perapian, kita akan membuatnya malam hari" berkata Wijang. "Ya" sahut Paksi, "kita sudah mendapatkan yang kita perlukan di sini. Besok kita dapat turun untuk membeli bekal kebutuhan kita beberapa hari. Kita akan berada di sini dengan aman, karena para cantrik itu tidak pernah datang kemari" Wijang mengangguk-angguk. Namun nampaknya Wijang sedang memperhatikan sesuatu. Dengan dahi yang berkerut iapun bertanya, "Kau melihat pohon-pohon kelapa itu?"
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
"Ya" "Apakah pohon kelapa itu dapat tumbuh sendiri di situ" Mungkin di bagian atas sungai ini tumbuh sebatang pohon kelapa. Buahnya yang tua dan kering jatuh dan hanyut dibawa air. Mungkin sampai di sini dan tumbuh beberapa batang di sebelah menyebelah sungai. Namun dari mana pohon kelapa yang tumbuh di bagian atas dari sungai ini?" "Besok kita akan melihat-lihat lebih jauh" "Ya. Sekarang kita mencari tempat terbaik untuk beristirahat. Ada beberapa pohon kelapa yang dapat kita ambil daunnya. Kita akan menganyamnya dan membuat atap sebuah gubuk kecil" Wijang tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera melangkah menuju sebatang pohon kelapa. "Apa yang akan kau lakukan, Wijang?" bertanya Paksi. "Memotong beberapa pelepah" "Biarlah aku yang memanjat?" "Apa bedanya?" "Kau dapat memanjat pohon kelapa?" Wijang tertawa. Katanya, "Jika aku tidak dapat memanjat, kau akan melihatnya bahwa aku tidak akan sampai ke atas" Ternyata Wijang adalah seorang yang pandai memanjat. Dalam waktu pendek ia sudah berada di atas pelepah kelapa dengan beberapa jenjang buahnya yang sudah tua. Sejenak kemudian, dengan pisau belatinya, Wijang telah memotong beberapa pelepahnya dan mengambil dua kelapa yang masih muda. Tetapi Wijang justru tidak mengusik kelapa yang sudah tua. "Biarlah yang tua itu jatuh dengan sendiri dan dibawa aliran sungai turun ke bawah. Buah itu tentu akan tumbuh di sebelah-menyebelah sungai ini pula. Atau bahkan hanya sampai di dataran dan tumbuh di sana memagari sebuah sungai yang menjadi semakin besar" berkata Wijang kepada diri sendiri. Demikianlah, pada hari itu Wijang dan Paksi telah menyiapkan sebuah gubuk bambu kecil di atas tanah yang
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
luang di pinggir sungai yang airnya tidak begitu deras itu. Tetapi yang di lekuk-lekuknya tempat air menggenang itu terdapat banyak sekali ikannya. Setelah gubuk sederhananya siap, maka kedua orang itupun telah mandi dan membersihkan diri. Kemudian, mereka pun telah menelusuri jalan yang telah mereka tempuh, keluar dari lingkungan hutan yang lebat itu. "Sebentar lagi malam gelap. Jangan kehilangan arah jika kita nanti kembali ke gubuk kita itu" berkata Wijang. "Tidak. Aku sudah menandai beberapa batang pohon" jawab Paksi. "Hampir tiba waktunya untuk mendekati padepokan itu" Paksi mengangguk-angguk. Waktu ia menengadahkan wajahnya ke langit, maka senjapun telah mulai turun. Dengan sangat berhati-hati, kedua orang itupun menyusuri padang perdu melingkari bulak-bulak sawah yang luas. Mereka kemudian menyusuri pematang sambil terbungkuk-bungkuk, merayap mendekati padepokan. Dengan ketajaman penglihat mereka serta ketajaman pendengaran mereka, keduanya yakin bahwa tidak ada orang yang berada di dekat mereka. Dengan demikian, maka semakin lama merekapun menjadi semakin mendekati padepokan yang menurut dugaan Wijang dan Paksi adalah padepokan yang dipimpin oleh orang yang bernama Lenglengan. Namun keduanya tertegun ketika ketajaman penglihatan mereka menangkap bayangan empat orang yang berjalan sambil membawa tombak pendek. Mereka berjalan menyusuri jalan yang sepi di sekitar padukuhan mereka. "Ternyata mereka cukup berhati-hati" berkata Wijang. "Apakah mereka sedang meronda?" desis Paksi. "Nampaknya memang begitu. Agaknya mereka tidak yakin bahwa padepokan mereka telah tersekat dari dunia luar, sehingga tidak ada orang yang akan pernah datang mengunjunginya" "Ternyata kita sampai juga di sini"
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
"Ya" Wijang tertawa tertahan. Sebelah telapak tangannya menutup mulutnya. "Tetapi mungkin maksud mereka tidak begitu. Bukannya karena mereka tidak yakin bahwa tidak akan ada orang lain yang datang ke padepokan mereka. Tetapi mereka justru menjaga agar orang-orang yang ada di padepokan itu tidak melarikan diri" Wijang menarik nafas panjang. Katanya, "Jika demikian, aku harus menertawakan diriku sendiri. Tetapi bagaimana jika yang melarikan diri itu justru yang sedang meronda?" Paksilah yang tertawa pendek. Katanya, "Nasib buruk bagi padepokan itu" Sejenak kemudian, setelah orang-orang yang meronda berkeliling itu lewat, maka Wijang dan Paksipun merayap semakin dekat dengan padepokan itu. Beberapa saat kemudian, mereka telah berada di luar dinding padepokan. Sebuah padepokan yang cukup luas. Hampir seluas sebuah padepokan kecil. Di seputar padepokan itu terdapat dinding yang terbuat dari batang kelapa utuh yang berderet dipotong rampak cukup tinggi. Wijang dan Paksi dengan sangat berhati-hati mengelilingi padepokan itu. Ada beberapa pintu gerbang yang sudah tertutup rapat. Namun satu di antara pintu gerbang itu agaknya adalah pintu gerbang utama. Agaknya tidak ada tempat yang baik untuk mencoba memanjat naik. Tidak ada dahan pepohonan yang mencuat ke atas dinding. Meskipun demikian, Wijang dan Paksi masih juga berusaha meyakinkannya. Untuk beberapa saat mereka duduk melekat dinding sambil mendengarkan suara yang mungkin dapat mereka tangkap dengan Aji Sapta Pangrungu. "Ada sesorah" berkata Wijang hampir berbisik. "Ya" Paksi berdesis. Keduanya terdiam. Mereka mencoba mendengarkan apakah ada orang di balik dinding batang pohon kelapa utuh itu.
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
Namun keduanya tidak dapat melihat tembus ke dalam, karena di bagian dalam jajaran batang pohon kelapa itu ditempelkan kepang bambu yang cukup rapat "Aku akan meloncat naik" berkata Wijang. Paksi termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, "Berhati-hatilah" Sejenak kemudian, dengan sedikit ancang-ancang, Wijang meloncat menggapai bibir dinding batang pohon kelapa itu. Dengan tangkasnya iapun menggeliat, sehingga sejenak kemudian, Wijang telah berada di atas dinding. Wijangpun segera bertiarap dan melekatkan tubuhnya pada dinding kayu itu. Untuk beberapa saat Wijang mengamati keadaan. Nampaknya di sekitar tempat itu memang sepi. Tidak ada seorang pun yang bertugas berjaga-jaga. Tidak pula ada yang meronda berkeliling. Wijangpun memberi isyarat kepada Paksi untuk segera naik pula ke atas dinding padepokan itu. Beberapa saat kemudian, keduanya sudah berada di dalam lingkungan padepokan. Sementara itu malam menjadi semakin gelap. Di bangunan-bangunan yang terdapat di dalam padepokan itu, lampu minyak telah menyala. Nampaknya penjagaan di dalam lingkungan dinding padepokan itu tidak terlalu ketat. Agaknya orang-orang di dalam padepokan itu sama sekali tidak pernah menduga, bahwa ada orang lain yang datang memasuki padepokan itu. Dengan demikian, maka dugaan Wijang dan Paksipun menjadi semakin kuat, bahwa orang-orang yang meronda di luar dinding padepokan justru lebih banyak mengawasi agar tidak ada orang yang keluar dari padepokan. Beberapa saat kemudian, dengan menyusup di sela-sela gerumbul-gerumbul perdu dan tanaman-tanaman di sela-sela bangunan yang ada di padepokan itu, Wijang dan Paksi menjadi semakin dekat dengan bangunan utama padepokan itu. "Kau dengar semacam sesorah?" desis Wijang. Paksi mengangguk.
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
Namun mereka tidak perlu bertanya-tanya lebih panjang lagi. Sejenak kemudian, mereka melihat seisi padepokan itu berkumpul di depan pendapa bangunan induk padepokan itu. Beberapa buah oncor dipasang di seputar halaman yang cukup luas. Dari tempat mereka bersembunyi, mereka sudah dapat mendengarkan dengan jelas kata demi kata yang diucapkan oleh seorang yang bertubuh tinggi tegap, berdada bidang dan berkumis tebal, yang berdiri di tangga pendapa bangunan induk itu. Orang itu tidak mengenakan bajunya, tetapi disangkutkan saja bajunya di pundaknya. Sebuah keris terselip tidak di punggung, tetapi di dadanya. Namun Wijangpun kemudian menggamit Paksi ketika dilihatnya lima orang yang terikat pada patok-patok kayu di halaman itu di hadapan orang-orang yang berdiri di halaman bangunan induk padepokan itu. "Siapakah mereka" Apakah ada orang yang mencoba mendekati padepokan ini dan berhasil ditangkap?" bertanya Wijang dan Paksi di dalam hatinya. Namun merekapun kemudian mencoba untuk menangkap isi kata-kata orang yang berdiri di tangga itu. Tetapi karena mereka tidak mendengar jelas apa yang dikatakan sebelumnya, maka yang mereka dengar pun tidak terlalu banyak dapat mereka mengerti. "Laksanakan hukuman itu sekarang. Yang dapat bertahan hidup akan hidup terus. Yang akan mati, biarlah mati" Kelima orang yang diikat itu nampak letih dan lemah. Bahkan ada di antara mereka yang luka-luka. Sinar oncor di sekitarnya terayun dihembus angin. Wijangpun tiba-tiba menggamit Paksi sambil berbisik di telinganya, "Apakah mereka orang-orang yang berhasil melarikan diri saat mereka merampok di Manjung?" Paksi mengangguk-angguk kecil sambil berdesis perlahan, "Nampaknya memang begitu" Dalam pada itu, lima orang yang membawa sepotong rotan telah melangkah maju mendekati kelima orang yang akan
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
menjalani hukuman itu. Lima orang yang rata-rata memiliki tubuh yang besar dan kuat. Kelima orang yang terikat itu sama sekali tidak berdaya menghadapi nasibnya yang buruk. Mereka hanya dapat memandangi orang-orang yang berdiri di hadapan mereka dengan rotan di tangannya. Sorot mata merekalah yang seakan-akan memohon belas kasihan. Tetapi mulut mereka tetap terkatup rapat. "Mereka adalah pengecut yang membiarkan kawankawannya mati atau tertangkap. Tetapi aku yakin, tidak seorang pun di antara mereka yang tertangkap akan bersedia membuka mulutnya sampai akhir hayatnya" Orang yang berdiri di tangga itupun terdiam sejenak. Kemudian katanya, "Atas nama Ki Gede Lenglengan, aku perintahkan untuk menghukum orang-orang itu sesuai dengan keputusan yang telah dijatuhkan kepada mereka" Kelima orang yang membawa rotan itupun melangkah maju. Merekapun segera melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka, mencambuk orang-orang yang dianggap pengecut dan membiarkan kawan-kawan mereka mati atau tertangkap. Dengan demikian dugaan Wijang dan Paksi menjadi semakin kuat, bahwa kelima orang yang dipukul dengan rotan itu adalah para perampok yang telah gagal menjalankan tugas mereka. Wijang dan Paksi hanya dapat menarik nafas panjang. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa menyaksikan kebengisan orang-orang dari padepokan itu. Padepokan yang memang mereka cari, karena padepokan itu agaknya dipimpin oleh seorang yang disebut Ki Gede Lenglengan. Ternyata setiap orang harus mengalami sepuluh kali pukulan rotan oleh orang-orang yang memiliki tenaga dan kekuatan yang sangat besar. Sedangkan kelima orang itupun sama sekali tidak berbelas kasihan terhadap kawan-kawannya sendiri.
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
Namun Wijang dan Paksi harus mengagumi kesetiaan kelima orang yang sedang dihukum dengan pukulan rotan itu. Tidak seorang pun di antara mereka yang mengeluh. Mereka masih juga mengangkat wajah mereka dan memandang orang-orang yang mengayunkan rotan ke tubuh mereka itu. Namun ketika kelima orang itu selesai memukul sampai sepuluh kali, maka tiga orang di antara kelima orang itu tidak mampu bertahan. Kepala mereka terkulai dengan lemahnya. Sementara itu, tubuh merekapun bergayut pada tali-tali yang mengikatnya. Ketiga orang itu adalah orang-orang yang sebelumnya memang sudah terluka. Demikian kelima orang yang melaksanakan hukuman itu bergeser menjauh, seorang yang rambutnya putih melangkah maju. Disentuhnya tubuh-tubuh yang lemah itu di lehernya. Kemudian diangkatnya wajah-wajah yang terkulai lemah. Akhirnya orang berambut putih itupun berkata, "Dua di antara mereka tidak mampu bertahan lagi. Kedua-duanya meninggal dengan tubuh terikat di patok-patok itu. Seorang lagi pingsan dan dua yang lain masih mampu bertahan. Mudah-mudahan mereka bertiga masih dapat bertahan hidup untuk selanjutnya, sehingga dapat menebus kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya" Wijangpun kemudian berdesis perlahan, "Itukah yang disebut Ki Gede Lenglengan?" "Mungkin" sahut Paksi. Namun ternyata dugaan mereka keliru. Orang berambut putih itu bukan Ki Gede Lenglengan. Karena demikian orang itu bergeser menjauh, seorang yang keluar dari ruang dalam bangunan induk padepokan berteriak, "Ki Gede Lenglengan akan menemui orang-orang yang mendapat hukuman itu" Orang-orang yang berada di halamanpun nampak mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan pemimpin mereka yang menamakan dirinya Ki Gede Lenglengan itu. Halaman itu menjadi sepi. Tidak seorang pun yang bergerak. Bahkan ujung jari kakinya sekalipun. Anginpun rasaEbook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
rasanya ikut pula berhenti berdesir, sehingga tidak selembar daunpun yang bergetar. Nyala oncor-oncor yang ada di halaman itupun menjadi tegak dan tidak lagi menggeliat disentuh angin. Wijangpun menggamit Paksi untuk memberi isyarat bahwa merekapun harus berhati-hati. Mereka tidak boleh menyentuh apapun yang dapat menimbulkan gerak. Terutama dedaunan. Merekapun tidak boleh menimbulkan bunyi apapun, termasuk bunyi pernafasan mereka. Paksipun menyadari, bahwa Ki Gede Lenglengan adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Gerak yang paling lembutpun akan dapat dilihatnya. Demikian pula bunyi yang sangat perlahan sekali, akan dapat didengarnya. Namun Wijang dan Paksi adalah orang-orang yang terlatih pula, sehingga mereka dapat menempatkan diri mereka, agar kehadiran mereka tidak diketahui oleh Ki Gede Lenglengan. Ternyata perhatian Ki Gede Lenglengan itu ditujukannya kepada lima orang yang baru saja mendapat hukuman. Tibatiba saja Ki Gede Lenglengan yang berdiri di pendapa itu turun. Ia langsung mendekati laki-laki yang mati terikat di patok kayu itu. Wijang dan Paksi hampir saja tidak dapat menahan diri untuk saling berbicara. Mereka melihat Ki Gede Lenglengan itu memeluk seorang di antara mereka yang terbunuh oleh hukuman cambuk itu. "Gana" suara Ki Gede Lenglengan bergetar, "kenapa kau harus mati dengan cara seperti ini" Selama ini kau telah mengabdikan dirimu bagi perjuangan panjang yang tidak berkesudahan ini. Namun tiba-tiba kau tergelincir dengan membuat kesalahan sehingga kau harus dihukum. Sebenarnya aku tidak akan sampai hati menghukummu. Tetapi keadilan harus ditegakkan di sini" Ki Gede itu menangis. Benar-benar menangis. Bahkan terisak-isak. Ketika ia melepaskan orang yang disebutnya Gana itu, maka dipeluknya seorang lagi yang terbunuh pula.
Ebook Cersil http://zheraf.wapamp.com/
"Kenapa kau mati, Sombro. Kau orang baik. Hukuman yang aku berikan adalah hukuman yang paling ringan. Aku tahu bahwa daya tahan tubuhmu sangat tinggi. Tetapi kenapa kau mati?" Ki Gede Lenglengan itupun mengguncang-guncang tubuh yang bergayut pada tali pengikatnya itu. Namun tubuh itu sudah tidak bergerak sama sekali. Kemudian Ki Gede pun mendekati orang yang sedang pingsan. Dengan lantang iapun berkata, "Rawat orang ini baikbaik. Demikian pula kedua orang yang lain. Mereka harus segera sembuh. Tugas yang lain masih banyak menanti" Ki Gede Lenglengan itupun kemudian menyentuh kedua orang yang masih bertahan untuk tetap sadar sepenuhnya itu. Katanya, "Kalian akan segera sembuh. Tugas kalian akan menjadi semakin berat di masa-masa mendatang. Sadari itu" Ki Gede Lenglengan itupun meninggalkan orang-orang yang masih tetap terikat di patok-patok kayu itu. Sambil berdiri di atas tangga pendapa, Ki Gede Lenglengan itu berkata lantang, "Tidak ada tugas yang boleh gagal. Orangorang yang gagal menjalankan tugas akan dihukum meskipun aku sendiri harus menangisinya. Perjuangan kita masih panjang. Angkatan mendatang sedang kita tempa di sini untuk menjadi angkatan yang terpercaya. Tertangkapnya Harya Wisaka bukan berarti bahwa perjuangan kita terhenti. Perjuangan kita tidak tergantung kepada seseorang. Tetapi kepada kita semuanya. Karena itu, siapa di antara kita yang meremehkan perjuangan ini, akan mendapat hukuman yang pantas. Siapa yang berkhianat kepada kawan-kawannya dan membiarkan mereka terjebak dalam kesulitan, akan mendapat hukuman yang seimbang dengan kesalahan yang dilakukan" Semuanya mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Suasana di halaman itu terasa hening mencengkam. Namun sejenak kemudian terasa angin bertiup perlahan-lahan. Dedaunan nampak bergerak-gerak. Demikian pula nyala oncor-oncor di halaman itu mulai menggeliat.
Golok Sakti 7 Titik Muslihat Deception Point Karya Dan Brown Da Vinci Code 8

Cari Blog Ini