Ceritasilat Novel Online

Sayap Sayap Terkembang 35

01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 35


Namun orang itu berusaha untuk dengan cepat bangkit. Ketika kemudian ia berdiri, maka terasa kepalanya menjadi pening. Untuk beberapa saat matanya menjadi berkunang-kunang.
Sementara itu, lawan-lawan Kasadha yang lain telah menyerang hampir bersamaan. Tetapi dengan tangkas Kasadha meloncat mengambil jarak. Ketika seorang yang terdekat memburunya, dengan tiba-tiba Kasadha justru menyerangnya. Sehingga dengan demikian, maka telah terjadi benturan yang keras. Namun Kasadha yang memang telah dengan sengaja meloncat menyerangnya menjadi lebih mapan.
Lawannya itu terdorong beberapa langkah surut. Sementara yang lain telah memburunya pula, sehingga Kasadha harus berloncatan menghindar. Namun sekaligus iapun telah menyerang pula.
Pertempuran memang menjadi semakin sengit. Orang bertubuh pendek itu perlahan-lahan telah dapat menguasai dirinya kembali. Namun keningnya masih terasa sangat sakit serta pandangan matanyapun menjadi agak kabur.
Jangkung memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Sementara itu, tubuhnya semakin terasa lebih baik. Kekuatannya meskipun belum pulih seutuhnya, namun terasa telah menjadi semakin baik pula. Silirnya angin yang bertiup melintasi bulak panjang itu seakan-akan telah mengipasi tubuhnya dan menyalakan kembali kemampuannya yang hampir padam.
Setrapun merasa keadaannya menjadi semakin baik. Bahkan sekali-sekali terdengar ia menggeretakkan gigi.
Hampir sepanjang umurnya ia tidak pernah berkelahi. Namun tiba-tiba saja ia begitu ingin untuk ikut dalam perkelahian itu.
Jangkung yang memperhatikan pertempuran itu dengan sungguh-sungguh melihat, bahwa belum ada tanda-tanda bahwa pertempuran itu akan berakhir dengan cepat. Kasadha masih saja berloncatan di antara kelima orang lawan-lawannya.
Sementara itu, Riris justru merasa heran menyaksikan Kasadha yang sedang bertempur. Ada beberapa persamaan dengan anak muda yang bernama Bharata. Bukan saja pada wajahnya. Tetapi juga sikapnya.
Riris hampir terpekik ketika ia melihat Kasadha yang meluncur dengan kaki menyamping lurus mengarah ke dada anak muda yang sering mengganggunya. Demikian kerasnya, sehingga anak muda itu benar-benar terpelanting dan jatuh berguling justru ke arah Jangkung yang berdiri tegak menjaga adik perempuannya.
Tetapi ketika ia melihat anak muda yang sering mengganggu Riris itu tertatih-tatih bangkit berdiri, hatinya yang bergejolak telah tergelitik untuk ikut menyelesaikan pertempuran itu. Apalagi tubuhnya telah terasa menjadi semakin baik.
Karena itu, maka iapun telah berdesis kepada Setra, katanya, "Setra. Kau jaga Riris. Aku akan menyelesaikan anak gila ini."
"Baik," jawab Setra tegas.
"Kakang," Riris memang menjadi cemas untuk ditinggalkan sendiri.
"Jangan takut. Aku tidak akan jauh darimu," jawab Jangkung.
Karena itu, demikian anak muda yang sering mengganggu Riris itu berdiri tegak, maka Jangkungpun telah mendekatinya sambil berdesis, "Nah, kesempatan seperti inilah yang aku tunggu."
Anak muda itu menggeram. Katanya dengan nada berat, "Setan kau. Ternyata kau memang dungu."
"Kita akan saling menjajagi," berkata Jangkung.
"Aku bunuh kau," geram anak muda itu.
Namun Jangkung menjawab, "Aku juga dapat berteriak, aku bunuh kau."
Anak muda itupun segera bersiap. Tetapi Jangkung ternyata bergerak cepat. Serangannya telah datang lebih dahulu sehingga anak muda itu harus meloncat menghindar dengan langkah panjang. Namun Jangkungpun dengan cepat memburunya, sehingga keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit.
Kasadha yang melihat Jangkung telah mampu untuk bertempur lagi dengan baik, telah berteriak, "Bagus. Kau akan dapat menyelesaikannya. Biarlah aku mengurus yang lain."
"Tutup mulutmu," teriak kakak anak muda yang bertempur melawan Jangkung itu, "kalian akan menyesal nanti."
Tetapi kata-katanya telah terputus. Kasadha telah meloncat menyerangnya. Meskipun orang itu berusaha menghindar, namun tangan Kasadha sempat menggapai pundaknya. Orang itu terdorong surut dan terputar setengah lingkaran. Sementara itu, Kasadha yang akan memburunya harus mengurungkan niatnya, karena lawannya yang lain telah lebih dahulu menyerangnya.
Karena itu, maka Kasadha harus menghindarinya. Beberapa kali ia harus berloncatan karena tiga orang yang menyerangnya bersama-sama.
Namun dalam pada itu, Kasadha terkejut ketika ia sempat melihat seorang lawannya yang ternyata lebih memperhatikan Jangkung daripada dirinya. Kakak anak muda yang sering mengganggu Riris itu setelah berhasil memperbaiki keadaan dirinya ternyata tidak lagi bertempur bersama dengan ketiga orang yang lain melawan Kasadha. Tetapi orang itu telah bergabung dengan adiknya melawan Jangkung.
Tetapi Jangkung sama sekali tidak berdesah. Ia telah bertempur melawan lima orang sekaligus meskipun hampir saja ia dibantai oleh mereka jika Kasadha tidak datang. Namun melawan kedua orang itu. Jangkung masih merasa akan dapat bertahan.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka telah terjadi dua lingkaran pertempuran di tengah-tengah bulak panjang itu. Kasadha melawan tiga orang dan Jangkung melawan dua orang.
Namun dalam pada itu, Kasadha yang memiliki ilmu yang cukup tinggi itu segera mendapat kesempatan untuk mengembangkan ilmunya. Karena itu, maka iapun segera mulai menekan ketiga orang lawannya. Meskipun dua di antara mereka adalah orang-orang upahan, namun Kasadha sama sekali tidak mendapat banyak kesulitan.
Bahkan beberapa saat kemudian, serangan-serangan Kasadha menjadi semakin sering dapat mengenai sasarannya. Seorang di antara lawannya, tiba-tiba saja telah dikenai serangan tumit Kasadha. Demikian kerasnya sehingga orang itu terdorong jatuh. Meskipun ia masih berusaha untuk bangkit berdiri, tetapi nafasnya yang sudah terengah-engah itu rasa-rasanya menjadi sesak.
Namun dalam pada itu. Jangkung yang baru saja bangkit, ternyata dengan cepat mulai diganggu lagi oleh kesulitan di dalam dirinya. Meskipun demikian, ternyata Jangkung masih mampu bertahan terhadap kedua orang lawannya. Bahkan sekali-sekali Jangkung berhasil mendesak anak muda yang sering mengganggu Riris sekaligus menghindari serangan-serangan kakaknya.
Tetapi kakak anak muda itu memang memiliki kelebihan dari adiknya sehingga karena itu, maka ia lebih banyak menyerang dan mengacaukan pertahanan Jangkung daripada harus menghindar.
Di arena pertempuran yang lain, ternyata Kasadha yang telah kehilangan kedua orang lawannya karena mereka bertempur melawan Jangkung, menjadi semakin bebas bergerak. Dengan tangkasnya ia menyerang lawannya seperti angin pusaran. Bahkan dalam satu serangan ketiga orang lawannya harus berloncatan menjauh.
Namun beberapa saat kemudian, ketika Kasadha melihat Jangkung setiap kali harus berloncatan menjauhi lawannya yang tua, maka Kasadhapun telah mengambil keputusan, untuk mengerahkan segenap kemampuannya, menyelesaikan pertempuran itu.
Karena itu, maka Kasadhapun kemudian bergerak semakin cepat dan garang. Serangan-serangannya semakin membingungkan ketiga orang lawannya. Dalam keadaan yang demikian, maka serangan-serangan Kasadha menjadi semakin sering mengenai mereka.
Dalam puncak serangannya yang deras, dengan mengerahkan kekuatan dan ilmunya, maka Kasadha telah berhasil mengenai seorang di antara lawannya tepat pada dadanya. Tumitnya dengan keras telah menghantam tulang-tulang iganya sehingga rasa-rasanya menjadi retak.
Orang yang bertubuh pendek itupun telah terlempar dan terbanting di tanah. Ia masih berusaha untuk cepat bangkit. Namun demikian ia berdiri, maka iapun harus menyeringai menahan sakit yang menusuk-nusuk bagian dalam dadanya. Dengan demikian, maka gerakannyapun menjadi semakin terganggu. Ia tidak lagi dapat meloncat menerkam anak muda itu. Justru jika ia bergerak, dadanya seakan-akan menjadi semakin kesakitan.
Karena itulah, maka Kasadha menjadi semakin garang. Dua orang lawannya semakin tidak berdaya. Ketika Kasadha menghindari serangan seorang di antara mereka, maka di luar dugaan, iapun telah berputar sambil mengayunkan kakinya. Begitu derasnya mengenai tengkuk lawannya yang lain, sehingga orang itupun telah terdorong dan jatuh terjerembab. Wajahnya seakan-akan telah dibenamkan ke dalam parit, sementara badannya menelungkup di atas tanggul. Demikian orang itu berputar dan berusaha untuk bangkit, maka ia justru telah berguling dan seluruh badannya justru tercebur di atas parit.
Kasadha sempat tersenyum. Sementara itu, lawannya yang tinggal seorang itu sama sekali sudah tidak berdaya. Ketika Kasadha kemudian memandanginya, maka nampak dahinya mulai berkerut. Setapak Kasadha melangkah maju, maka tiba-tiba orang itu telah meloncat berlari sekuat-kuatnya.
Kasadha ternyata tidak mengejarnya. Ia mulai berpaling kepada Jangkung yang masih berkelahi melawan dua orang lawannya. Kakak beradik yang merupakan lawan utama karena mereka berdualah yang telah merencanakan semuanya itu.
Kasadha selangkah demi selangkah mendekati arena pertempuran antara Jangkung dan kedua orang lawannya. Ketika ia melihat orang yang tercebur ke dalam parit itu tertatih-tatih berdiri dan naik ke tanggul, maka Kasadha tidak menghiraukannya lagi. Apalagi orang yang bertubuh pendek itu sudah tidak berdaya untuk melakukan perlawanan.
Anak muda yang sering mengganggu Riris serta kakaknya memang menjadi gelisah. Mereka sama sekali tidak akan mampu bertahan jika Kasadha ikut dalam perkelahian itu. Karena itu, ketika Kasadha menjadi semakin dekat, maka kedua orang itu justru telah meloncat surut mengambil jarak dari Jangkung.
Kasadha termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Nah, apakah kalian masih berusaha memaksakan kehendak kalian atas gadis itu?"
"Persetan," geram kakaknya, "aku sudah memperingatkan, kau jangan turut campur."
"Sebelum aku, sudah ada pula orang yang mencampuri persoalan kalian. Aku kira itu wajar sekali. Orang-orang yang berusaha memaksakan kehendaknya kepada orang lain akan dapat mengundang campur tangan. Jika gadis itu menolak, kenapa kalian masih saja mengganggunya" Aku peringatkan sekali lagi. Ayah gadis itu adalah seorang Senapati, meskipun telah mengundurkan diri dari lingkungan keprajuritan. Jika Ki Lurah Dipayuda yang langsung menangani persoalan anaknya, maka akibatnya akan sangat jauh lebih parah. Ia berhak untuk berbuat apa saja karena ia memang wajib melindungi anaknya."
Tetapi jawab orang itu sangat menyakitkan hati Kasadha. Seperti yang selalu diucapkannya, maka yang tua di antara kedua kakak beradik itu menjawab, "Aku tidak takut dengan bekas seorang prajurit. Bahkan kepada seorang prajurit sekalipun."
Kasadha mengerutkan keningnya. Katanya, "Sikapmu benar. Bahkan kau tidak perlu takut dengan seorang prajurit. Tetapi kau harus melihat dari persoalan yang terjadi. Secara pribadi kau boleh bersikap seperti itu terhadap pribadi yang lain meskipun ia seorang prajurit. Tetapi dalam hubunganmu dengan sikapmu sekarang ini, dikaitkan dengan ketenangan hidup di antara sesama, maka kau akan benar-benar berhadapan dengan seorang prajurit tidak sebagai pribadi. Tetapi seorang prajurit yang menjalankan tugasnya."
"Apapun yang dilakukannya," geram orang itu.
Kasadha masih menahan diri. Tetapi ia berkata, "Aku adalah seorang prajurit. Aku memang tidak mengenakan pakaian keprajuritan sekarang ini. Tetapi makna dari pesan tugas yang aku emban, maka aku wajib bertindak atasmu sekarang jika kau masih berdiri pada sikapmu."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Ia melihat mata Kasadha yang bagaikan menyala. Karena itu, maka ia harus berpikir ulang untuk menjawabnya lagi. Bagaimanapun juga ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa berlima mereka tidak dapat memenangkan pertempuran itu. Apalagi kemudian mereka tinggal berdua saja.
Karena orang itu tidak menjawab, maka Kasadhapun telah membentaknya, "Pergi. Ingat kata-kataku. Aku tidak akan pernah menganggap persoalan ini bukan persoalan yang sungguh-sungguh. Pajang yang masih ingin memantapkan landasan pemerintahannya, tidak akan membiarkan goncangan-goncangan terjadi karena sikap orang-orang seperti kalian itu betapapun kecilnya, karena sikap kalian, dengan memaksakan kehendak kalian kepada orang lain adalah sikap yang dapat mengganggu ketenangan hubungan antara sesama."
Kedua orang itu masih termangu-mangu. Karena itu Kasadha berkata, "Cepat pergi, sebelum aku menentukan lain. Tetapi sekali lagi aku katakan kepadamu, bahwa aku adalah seorang prajurit. Sikapmu akan menjadi laporan dan aku akan minta wewenang untuk bertindak di daerah ini, karena aku memang mempunyai hak untuk melakukannya."
Kata-kata Kasadha itu ternyata telah menyentuh perasaan orang-orang itu. Kesungguhan pada sikap dan kata-kata yang ditekankan, agaknya memang bukan sekedar untuk menakut-nakutinya.
Karena itu, ketika Kasadha kemudian sekali lagi mengusir mereka, maka orang-orang itupun tidak menjawab lagi. Bergegas mereka meninggalkan tempat itu. Sedangkan orang bertubuh pendek yang serasa tulang-tulang iganya retak, telah dibantu oleh kawannya yang basah kuyup karena telah terperosok masuk ke dalam parit.
Jangkung dan Kasadha memandang mereka beberapa saat. Namun kemudian Jangkung telah bertanya kepada Kasadha, "Kenapa kau lepaskan mereka?"
"Mereka tentu sudah jera," jawab Kasadha.
"Bharata yang pernah terlibat pula dalam perkelahian seperti ini juga menganggap mereka menjadi jera. Tetapi ternyata mereka masih mengulanginya lagi," berkata Jangkung.
"Kali ini adalah yang kedua mereka lakukan. Jika sekali lagi mereka melakukannya, maka yang ketiga tentu Ki Dipayuda sendiri yang akan menyelesaikannya sampai tuntas," jawab Kasadha. Namun katanya kemudian, "Tetapi aku kira, dua kali ini sudah cukup. Mereka tidak akan mengganggu lagi. Kecuali jika mereka benar-benar orang dungu."
Jangkung mengangguk-angguk. Sementara itu Riris justru hanya menundukkan kepalanya saja.
Tetapi kakaknyalah yang kemudian berkata kepadanya, "Kau harus mengucapkan terima kasih, Riris."
Riris masih saja menunduk. Sikapnya yang kaku membuat Kasadha menjadi agak segan pula. Karena itu, maka ialah yang bertanya kepada Jangkung, "Sebenarnya kalian akan pergi kemana atau dari mana?"
"Kami pergi ke bulak di seberang parit induk. Parit yang menyilang jalan ini," jawab Jangkung.
"Jika demikian, marilah, aku akan pergi bersamamu sampai ke sawah itu," berkata Kasadha.
Jangkung termangu-mangu sejenak. Ia agak merasa segan untuk mengajak Kasadha pergi ke sawah sekedar mengirim makanan. Namun jika ia pergi berdua dengan adiknya dan Setra saja, mungkin akan dapat terjadi sesuatu lagi, sementara badannya masih terasa lemah setelah ia bertempur mengerahkan tenaga. Terutama ia mencemaskan Riris yang menjadi sasaran orang-orang yang tidak berjantung itu. Tetapi sudah tentu ia tidak akan dapat menitipkan adik perempuannya pulang, sementara ia dan Setra membawa makanan ke sawah.
Dalam keragu-raguan itu. Jangkung melihat seorang yang muncul dari balik pohon perdu di tikungan. Ternyata orang itu adalah salah seorang yang bekerja di sawahnya.
Demikianlah ia mendekat, maka sebelum bertanya apapun, telah terdengar orang itu bergeremang, "He, apakah kalian memang ingin membiarkan kami kelaparan" Kami sudah bekerja sejak matahari terbit. Sampai kulit kami hangus terbakar sinar matahari kalian masih saja berbicara di situ."
"Aku tampar mulutmu," Setra berteriak, "kau tidak melihat apa yang terjadi."
"Sst," cegah Jangkung, "jangan terlalu kasar, Setra. Mereka memang sudah lapar."
"Mereka hanya lapar. Tetapi kita dapat mati disini," jawab Setra.
Orang yang datang itu mengerutkan keningnya. Namun ia memang melihat pakaian Setra yang penuh dengan lumpur. Demikian pula pakaian Jangkung yang kotor. Bukan hanya pakaiannya, tetapi wajahnya yang bernoda kebiru-biruan. Sementara sebelah matanya menjadi merah. Orang itupun melihat tanaman yang rusak di sebelah parit dan bercak-bercak lumpur dan ranting perdu yang berpatahan.
"Apa yang telah terjadi disini?" bertanya orang itu.
"Sudahlah. Bawa makanan dan minuman itu kepada kawan-kawanmu bersama Setra. Kalian berdua tidak akan diganggu. Kami berdua akan mengantarkan tamu kami," berkata Jangkung.
Orang yang bekerja di sawah itu mengangguk-angguk. Sementara Jangkung berkata, "Aku minta maaf, bahwa kiriman makan dan minum kalian terlambat hari ini."
Tetapi Setra tiba-tiba saja menyahut, "Kenapa kita harus minta maaf" Bukankah bukan salah kita jika kiriman itu datang terlambat" Kita sudah berangkat dari rumah agak lebih awal dari biasanya."
"Sudahlah," jawab Jangkung, "kau jangan begitu garang."
Setra mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian tidak menjawab lagi.
Demikianlah, maka Setra telah mengangkat makanan yang semula diletakkan. Untung tidak menjadi rusak karena pertempuran itu. Demikian pula minumannya yang kemudian dibawa oleh orang yang datang menjemput itu.
"Pakaianku penuh dengan lumpur," berkata Setra.
"Kau dapat mandi dan mencuci pakaianmu di parit induk nanti. Sambil membersihkan lumpur di tubuhmu kau dapat mengeringkan pakaianmu di atas bebatuan atau di atas rerumputan," berkata kawannya yang datang menjemputnya.
"Selama itu aku berendam di dalam air?" bertanya Setra.
"Bukankah itu lebih baik daripada kau berendam dalam lumpur seperti itu?" bertanya kawannya.
"Tutup mulutmu," bentak Setra.
Kawannya justru menahan tertawanya. Ia menjadi geli melihat kesan di wajah Setra. Tetapi ia tahu bahwa memang telah terjadi sesuatu atas orang itu. Karena itu, ia sadar, bahwa jika ia menertawakannya, maka Setra menjadi semakin tersinggung.
Jangkunglah yang berkata, "Kau sudah kejangkitan penyakit orang-orang yang menghentikan kita itu, Setra. Kau menjadi sangat garang."
Setra menarik nafas dalam-dalam. Tanpa menjawab iapun telah melangkah dengan cepat menuju ke sawah di seberang parit induk. Sementara itu, kawannya yang menjemputnya telah berlari-lari menyusulnya, setelah ia minta diri kepada Jangkung.
Jangkungpun kemudian telah berkata kepada Kasadha, "Marilah. Kita pulang. Ayah agaknya ada di rumah."
Jangkung dan Riris kemudian berjalan pula bersama dengan Kasadha yang menuntun kudanya menuju ke padukuhan.
Kedatangan Kasadha telah disambut dengan gembira oleh Ki Lurah Dipayuda. Setelah ia meninggalkan lingkungan keprajuritan dan tinggal di rumah. maka setiap tamu dari Pajang telah disambutnya dengan gembira. Seolah-olah ia akan mendapat kawan untuk setidak-tidaknya mengenang masa-masa ia masih mengabdikan diri sebagai seorang prajurit di Pajang. Apalagi yang datang adalah Kasadha yang dianggapnya memiliki kelebihan dari para prajurit yang lain.
Setelah diantar oleh Jangkung ke pakiwan untuk membersihkan diri karena pertempuran yang dilakukan telah membuatnya kusut, maka Kasadha telah dipersilahkan duduk di pendapa bersama Ki Lurah Dipayuda. Jangkungpun telah ikut pula menemuinya setelah ia mandi dan berganti pakaian. Namun memar di wajahnya masih nampak membiru. Sedang sebelah matanya masih nampak merah menyala.
Ibunya yang cemas melihat keadaan anaknya telah mendengar serba sedikit dari Riris tentang apa yang telah terjadi di bulak panjang sebelum mereka sampai ke parit induk.
Namun ibunya telah menemui Jangkung itu langsung ketika Jangkung keluar dari pakiwan.
"Bagaimana dengan kau?" bertanya ibunya.
Tetapi Jangkung justru tertawa. Katanya, "Aku tidak apa-apa ibu?"
"Tetapi wajahmu, matamu dan barangkali bagian-bagian tubuhmu yang lain?" bertanya ibunya.
Jangkung masih saja tertawa. Katanya, "Bukankah biasa saja ibu. Aku berkelahi. Aku dipukuli lawan-lawanku dan wajahku menjadi memar. Tetapi aku tidak saja dipukuli. Aku juga memukuli. Kita memang saling memukul."
"Ah," desah ibunya, "aku menjadi cemas melihat keadaanmu Jangkung. Kau jangan bergurau saja."
"Ibu tidak perlu cemas. Prajurit yang bernama Kasadha itu datang tepat pada waktunya. Tanpa Kasadha, aku mungkin telah menjadi pingsan. Riris tentu mereka bawa. Tetapi semuanya itu tidak terjadi. Bukankah aku dan Riris kembali dengan selamat?" desis Jangkung.
Sebelum ibunya menjawab. Jangkung telah meninggalkannya dan pergi ke biliknya.
Ketika Jangkung telah berada di pendapa, maka ayahnyapun menjadi cemas sebagaimana ibunya. Namun jawaban Jangkungpun sebagaimana diucapkannya kepada ibunya. Katanya pula, "Kasadha telah menyelamatkan aku dan Riris."
Ki Lurah Dipayuda mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah dadanya menjadi bagaikan bergejolak. Meskipun demikian, di hadapan Kasadha ia masih sempat tersenyum dan berkata, "Kami sekeluarga mengucapkan terima kasih."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Bukankah itu juga menjadi kewajiban kita Ki Lurah. Kita harus saling menolong di antara sesama."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Namun nada suaranya merendah, "Aku harus berbuat sesuatu. Sudah dua kali anakku diperlukan dengan kasar."
Kasadha melihat betapa Ki Lurah Dipayuda menahan perasaannya. Namun kemudian terucapkan juga dari mulut orang tua itu, "Agaknya memang sudah waktunya aku mengunjunginya. Sebaiknya aku berbicara dengan keluarganya untuk mencari penyelesaian yang terbaik."
Kasadha mengangguk-angguk pula. Ia mengerti bahwa Ki Lurah Dipayuda bukan seorang yang hatinya mudah terbakar. Tetapi Ki Lurah juga memiliki landasan-landasan sikap yang sulit untuk bergeser apabila ia sudah menentukannya.
Namun Ki Lurah itupun kemudian berkata, "Tetapi sudahlah. Kau baru saja datang ke rumah ini. Sebaiknya kita lupakan saja persoalan itu, sehingga kedatanganmu tidak mendapat kesan yang justru kurang baik. Seharusnya kau datang di rumahku dalam suasana yang lain."
Kasadha tersenyum. Katanya, "Bukankah kita terbiasa memasuki suasana yang bagaimanapun juga" Dan bukankah kita harus dapat dengan cepat menyesuaikan diri?"
Ki Lurah Dipayuda tertawa. Katanya, "Kau menjadi semakin dewasa. Bagaimana dengan seratus orang anak buahmu?"
Kasadha justru tertawa. Ketika kemudian hidanganpun telah disajikan, maka suasana memang telah berubah. Jangkung dengan cepat memasuki pembicaraan antara ayahnya dan Kasadha yang ternyata juga seorang penggemar kuda.
"Kau dapat melihat beberapa ekor kudaku," berkata Jangkung.
"Nanti dulu," cegah ayahnya, "Kasadha baru akan minum."
"O," Jangkung tersenyum, "silahkan."
Sementara Kasadha minum hidangan yang baru saja dihidangkan, dari celah-celah dinding Riris sempat mengamatinya. Gadis itu masih saja merasa heran. Kasadha dan Bharata mempunyai begitu banyak kemiripan.
"Mungkin karena mereka sudah terlalu lama berada dalam lingkungan yang sama," berkata Riris kepada diri sendiri. Namun sebuah pertanyaan telah muncul pula, "Apakah pergaulan yang betapapun lamanya akan dapat membentuk wajah-wajah mereka sehingga mirip yang satu dengan yang lain?"
Ketika Riris kemudian bergeser meninggalkan tempatnya, ia mendengar Kasadha tertawa. Memang hampir tidak ada bedanya dengan suara Bharata jika ia tertawa.
Atas permintaan Ki Lurah, maka Kasadha memutuskan untuk bermalam satu malam di rumah Ki Lurah. Ia telah mendapat ijin untuk meninggalkan tugasnya bukan hanya dua hari. Tetapi tiga hari dua malam. Justru karena tidak ada sanak kadang yang pantas dikunjunginya, Kasadha telah mengunjungi Ki Lurah Dipayuda yang sudah menganggapnya sebagai anak sendiri.
Hari itu. Jangkung sempat menunjukkan kuda-kudanya kepada Kasadha. Seperti juga dengan Bharata, maka keduanya segera menjadi akrab. Keduanya telah berada di kandang untuk waktu yang cukup lama.
"Nah, kau tinggal memilih," berkata Jangkung.
Tetapi Kasadha tertawa. Katanya, "Jika aku kelak menjadi seorang Tumenggung, maka aku akan membeli tidak hanya seekor kuda."
"Menunggu kau menjadi seorang Tumenggung, aku sudah menjadi terlalu tua untuk menjadi pedagang kuda," jawab Jangkung sambil tertawa.
"Atau aku harus menabung sedikit demi sedikit," sahut Kasadha.
"Belum tentu lima belas tahun tabunganmu cukup, karena setiap terkumpul agak banyak tabunganmu kau ambil untuk membeli kesenanganmu yang lain," jawab Jangkung pula.
Kasadha tertawa semakin keras. Katanya, "Karena itu, maka untuk sementara aku cukup mempergunakan kuda kesatuanku itu saja. Memang tidak terlalu baik. Tetapi mencukupi kebutuhan."
Jangkungpun tertawa pula. Katanya, "Kudamu cukup baik."
Sejenak kemudian keduanya telah berada di serambi gandok. Ketika Riris menghidangkan minuman di sore hari, maka kepalanya masih saja menunduk, sebagaimana dilakukannya di saat Bharata di hari pertama berada di rumah itu.
Namun demikian Riris meletakkan mangkuk. Jangkung telah berkata kepadanya, "Kau belum mengucapkan terima kasih Riris."
"Ah," Riris berdesah.
"Bukankah itu tidak perlu," sahut Kasadha.
"Kau harus belajar bersikap dewasa. Kau bukan anak-anak yang harus malu berbicara dengan orang lain," berkata Jangkung.
Wajah Riris menjadi merah. Sekilas ia memandang, wajah kakaknya. Namun Jangkung sadar, di dalam nanti, Riris tentu akan marah kepadanya dan bahkan akan mencubitnya sampai kulitnya menjadi merah biru.
Tanpa mengucapkan sesuatu, Ririspun telah meninggalkan serambi. Namun ia masih sempat berpaling sekilas. Sekali lagi penglihatannya bagaikan menjadi kabur. Sulit baginya membedakan antara Bharata dan Kasadha. Keduanya adalah anak-anak muda yang pernah menolongnya.
Kasadha sendiri, seakan-akan tidak begitu memperhatikan kehadiran Riris di serambi itu. Namun ketika kemudian Jangkung meninggalkannya beberapa saat, Kasadha sempat merenungi gadis itu.
"Riris," katanya di dalam hati, "namanya yang patut sekali sebagaimana ujudnya."
Seperti yang sudah diduga Jangkung, demikian ia masuk ke ruang dalam, maka Riris telah menunggunya. Dengan cepat Riris telah menyerangnya. Cubitan yang kuat dan bahwa kemudian telah diputar pada lengannya, membuat Jangkung menyeringai kesakitan.
"Kau memang nakal sekali," geram Riris.
"Sakit, Riris," desah Jangkung.
"Setiap kali kau menggodaku di hadapan orang lain," berkata Riris sambil memutar cubitannya.
"Riris," Jangkung menjadi semakin kesakitan, "Jangan. Nanti aku putar hidungmu."
"Kau harus menjadi jera," ancam Riris, "jika tidak, aku tidak akan melepaskannya."
"Ya. Ya," jawab Jangkung, "aku sudah jera."
"Kau harus minta maaf," geram Riris pula.
"Ya. Ya. Aku minta maaf," sahut Jangkung.
Riris kemudian memang telah melepaskan cubitannya. Namun ia masih saja mengancam, "Jika kau lakukan lagi, aku akan memberitahukannya kepada ayah dan ibu."
"Tidak. Nanti tidak lagi," jawab Jangkung.
"Kau berjanji," desis Riris.
"Aku berjanji. Nanti aku tidak akan mengganggumu lagi. Entah besok atau lusa," jawab Jangkung.
Riris menjadi marah. Tetapi ketika tangannya terjulur. Jangkung sudah berlari keluar sambil berkata, "Cukup. Aku benar-benar jera."
Riris berdiri termangu-mangu sejenak. Jangkung telah meninggalkan ruangan sambil berlari-lari.
Namun sebelum Riris meninggalkan ruangan itu mengejar Jangkung, ayahnya telah memasuki ruangan pula sambil bertanya, "Dimana kakakmu" Aku mendengar suaranya di ruang ini."
"Baru saja ia keluar ayah," jawab Riris.
"Aku memerlukannya," jawab ayahnya.
Riris melihat wajah ayahnya yang bersungguh-sungguh. Karena itu, maka iapun telah bertanya, "Apa yang terjadi ayah" Ayah nampak bersungguh-sungguh sekali."
"Panggil kakakmu Riris. Aku menunggunya disini," berkata ayahnya tanpa menjawab pertanyaan Riris.
Riris tidak menyahut. Iapun kemudian pergi ke longkangan karena kakaknya telah berlari ke longkangan pula.
Tetapi Riris baru menemukan kakaknya di sudut kandang. Nampaknya ia sedang memperhatikan kudanya yang sedang mendapat penawaran yang baik.
"Kakang," panggil Riris.
Jangkung yang sedang asik dengan kudanya yang dianggapnya paling baik itu terkejut. Hampir saja ia meloncat berlari. Namun Riris dengan cepat berkata sebelum Jangkung pergi, "Kau dipanggil ayah."
"Ayah?" desis Jangkung, "kau tentu melaporkannya. Kau tentu senang jika ayah marah kepadaku. Besok, aku tidak mau menolongmu jika kau dicegat orang lagi."
"Tidak. Aku tidak melaporkan kepada ayah," jawab Riris.
"Jadi kenapa ayah memanggilku?" bertanya Jangkung.
"Entahlah. Tetapi ayah nampak sangat bersungguh-sungguh," jawab Riris.
Jangkung termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah melangkah ke longkangan. Tetapi ketika ia lewat di sebelah Riris, ternyata Jangkung masih juga melompat menjauhinya.
"Kau tentu merasa bersalah," berkata Riris, "karena itu kau takut mendekati aku."
"Bukankah aku sudah minta maaf?" berkata Jangkung.
"Jika demikian kenapa kau harus meloncat-loncat menjauhi aku?" bertanya Riris pula.
"Tidak apa-apa. Tidak apa-apa," jawab Jangkung sambil melangkah masuk ke ruang dalam.
Ayahnya memang sudah menunggunya. Jangkung juga langsung melihat bahwa wajah ayahnya nampak bersungguh-sungguh.
"Duduklah," berkata Ki Lurah Dipayuda.
Jangkungpun kemudian telah duduk di depan ayahnya. Ia memang menjadi berdebar-debar.
"Kita akan pergi ke rumah orang itu Jangkung," berkata ayahnya.
"Maksud ayah?" bertanya Jangkung.
"Orang yang telah mencegat dan berusaha untuk menculik Riris," berkata Ki Lurah Dipayuda, "mereka telah melakukannya dua kali. Jika aku tetap berdiam diri, maka mereka akan menganggap bahwa aku tidak berani berbuat sesuatu. Mereka akan mengira bahwa kita hanya dapat menunggu kehadiran orang lain untuk menolong kita. Yang pertama, Bharata telah membebaskan Riris. Kemudian secara kebetulan Kasadha melihat perbuatan orang-orang itu, dan menyelamatkan Riris pula. Dengan demikian maka orang-orang itu akan selalu menganggap bahwa kita sendiri tidak akan dapat berbuat apa-apa untuk menghadapi mereka."
Jangkung mengangguk-angguk. Namun ia memang sependapat dengan ayahnya. Mereka sendiri harus menunjukkan bahwa mereka mampu menghadapi orang-orang yang berniat buruk itu tanpa orang lain. Karena itu, maka Jangkungpun kemudian telah menyahut, "Baik ayah. Aku akan berkemas."
Sejenak kemudian, maka keduanya telah siap dengan kuda mereka. Namun mereka sama sekali tidak mengatakan kepada Kasadha bahwa mereka akan pergi menemui orang-orang yang telah mengganggu Riris.
"Maaf Kasadha," berkata Ki Lurah, "kami mempunyai keperluan keluarga. Tetapi hanya sebentar. Kami akan segera kembali."
"Silahkan Ki Lurah," berkata Kasadha, "aku akan melihat-lihat halaman dan kebun rumah ini serta melihat kuda-kuda yang ada di kandang."
"Riris akan dapat menemanimu," berkata Jangkung.
Kasadha tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Namun sebenarnyalah, bahwa Ki Lurah telah berpesan kepada isterinya, jika ia agak lama kembali, biarlah Riris mengawani Kasadha.
"Biarlah ia bersikap sebagaimana seorang gadis yang sudah dewasa. Tidak lagi menjadi seorang pemalu yang tidak mengenal orang lain kecuali ayah, ibu dan kakaknya," desis Ki Lurah ketika ia minta diri kepada isterinya.
Kepada Nyi Lurahpun Ki Lurah Dipayuda tidak mengatakan kemana sebenarnya ia akan pergi bersama Jangkung.
Sepeninggal keduanya, Kasadha memang hanya duduk sendiri di serambi gandok. Sementara itu, mataharipun telah menjadi sangat rendah. Bahkan cahaya senja telah membayang di langit.
Sementara itu, Nyi Lurahpun telah minta kepada Riris untuk menemani Kasadha sampai malam menjadi gelap.
"Ajak anak muda itu duduk di pendapa," berkata ibunya.
Riris termangu-mangu sejenak. Namun ibunya berkata, "Kau seharusnya tidak bersikap seperti kanak-kanak lagi Riris. Temui sebagaimana ayah dan ibu menemui tamunya."
"Ibu sajalah yang menemuinya. Aku yang akan menyiapkan makan malam ayah di dapur."
"Kau jangan aneh-aneh Riris. Apakah pantas jika ibu duduk di pendapa menemui Kasadha, sementara kau sibuk menyiapkan makan malam di dapur?" bertanya ibunya.
Riris tidak menjawab. Sebenarnyalah ia merasa sangat berat untuk menemui Kasadha sendiri tanpa kakaknya.
Tetapi ketika ibunya memaksanya, maka Ririspun telah pergi ke serambi.
Ketika Riris melintasi halaman untuk pergi ke serambi, Kasadha sudah turun dari serambi dan berjalan menuju ke regol halaman. Namun ketika ia melihat Riris datang, langkahnyapun telah terhenti.
Untuk sesaat Riris memang merasa sulit untuk berbicara. Namun akhirnya ia memaksakan diri untuk berkata "Marilah, Ki sanak. Ibu mempersilahkan Ki Sanak naik ke pendapa sambil menunggu ayah dan Kakang Jangkung."
Kasadha termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menjawab, "Terima kasih."
Kasadha memang kemudian naik ke pendapa yang sudah diterangi dengan lampu minyak. Sebagaimana diminta oleh ibunya, maka Riris telah menemui Kasadha di pendapa, sementara ibunya mempersiapkan makan malam jika Ki Lurah kemudian kembali.
"Ayah sering menyebut-nyebut nama Ki Sanak yang selalu dihubungkan dengan nama Bharata," berkata Riris untuk memulai dengan sebuah pembicaraan.
"Kami memang berada dalam kesatuan yang sama, yang semula dipimpin oleh Ki Lurah Dipayuda," jawab Kasadha. Lalu katanya pula, "Namun sayang sekali bahwa Bharata telah meninggalkan lingkungan keprajuritan."
"Ia singgah kemari sebelum ia meneruskan perjalanan kembali ke keluarganya," berkata Riris kemudian.
"Apakah ia mengatakan tentang keluarganya, rumahnya atau barangkali yang berhubungan dengan tempat tinggalnya?" bertanya Kasadha.
Riris menggeleng. Jawabnya, "Ia tidak mengatakan apa-apa tentang dirinya. Kepada ayah tidak. Kepada Kakang Jangkungpun tidak."
Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Ia merahasiakannya."
"Bharata merasa dirinya terlalu kecil. Ia menganggap bahwa ia tidak pantas menyebut rumah dan tempat tinggalnya. Ia merasa segan untuk mendapat kunjungan," jawab Riris. Namun ia menambahkan, "Tetapi ia tidak mengatakannya kepadaku. Aku hanya mendengar dari ayah dan Kakang Jangkung."
Ternyata Kasadha sempat menyambung pembicaraan itu, sehingga semakin lama pembicaraan mereka menjadi semakin longgar. Perasaan mereka tidak lagi terkekang oleh keseganan. Riris yang baru saja mengenal Kasadha, seakan-akan telah mengenalnya sejak beberapa hari yang lalu, meskipun beberapa hari yang lalu ada di rumah itu adalah Bharata. Begitu banyak persamaannya antara Kasadha dan Bharata, sehingga kehadiran Kasadha itu seolah-olah sebagai kehadiran Bharata yang kembali lagi ke rumah itu.
Namun dalam pada itu, selagi Kasadha naik ke pendapa bersama Riris sambil menunggu Ki Lurah Dipayuda dan Jangkung, maka kedua orang itu telah memasuki regol rumah kakak dari anak muda yang sering mengganggu Riris, yang memang tinggal di padukuhan yang lain dari padukuhan tempat tinggal Ki Lurah Dipayuda.
Ketika kedua orang itu berada di halaman, maka rasa-rasanya rumah itu sepi sekali. Tetapi cahaya lampu yang meloncat keluar nampak masih cukup terang, sehingga menurut dugaan Ki Lurah dan Jangkung, tentu masih ada orang yang berada di ruang dalam. Sementara lampu di pendapa telah menjadi redup.
Sebenarnyalah, masih ada beberapa orang yang duduk di ruang dalam. Orang-orang itu memang mendengar derap kaki kuda. Namun suara itu bagaikan hilang begitu saja.
"Apakah kuda-kuda itu berhenti di halaman rumah ini?" terdengar seseorang bertanya.
"Entahlah," sahut yang lain.
Sementara itu, Ki Lurah dan Jangkung sempat mendengar pembicaraan itu dari luar dinding rumah itu.
"Apakah sebaiknya kita lihat?" bertanya yang lain.
"Hati-hatilah," pesan seseorang.
Namun sebelum seorang di antara mereka melangkah ke pintu, tiba-tiba saja pintu itu berderak dengan kerasnya. Pintu itu bukan saja terbuka, tetapi pintu itu telah pecah dan roboh ke dalam.
Orang-orang yang ada di ruang dalam itu terkejut. Tiba-tiba saja mereka melihat Ki Lurah Dipayuda dan Jangkung telah berdiri di pintu.
Kakak anak muda yang sering mengganggu Riris itu menjadi marah. Dengan serta-merta ia bangkit sambil berkata, "Itukah caramu masuk ke rumah orang?"
"Kenapa dengan caraku?" Ki Lurah justru bertanya.
"Kau sama sekali tidak tahu unggah-ungguh. Bukankah kau termasuk seorang prajurit yang sudah lama berada di kota" Bukankah seharusnya kau tahu serba sedikit sopan santun bagi seseorang yang akan bertamu di rumah orang lain?" geram orang itu.
Tetapi sikap Ki Lurah sama sekali tidak mencerminkan sikapnya sehari-hari yang tenang dan lembut. Bahkan Jangkung sendiri hampir tidak mengenal lagi bahwa sikap itu adalah sikap ayahnya.
Namun Ki Lurah Dipayuda yang sudah cukup lama tinggal di barak para prajurit serta menghadapi berbagai macam perangai yang berbeda-beda, tahu benar, bagaimana ia harus bersikap terhadap orang-orang itu.
Dengan lantang Ki Lurah itupun menjawab, "Unggah-ungguh yang mana yang harus aku pergunakan terhadap orang yang tidak tahu adat" Mana yang lebih pantas, merusak pintu orang atau mengganggu seorang gadis di jalanan" Bahkan berusaha untuk menculiknya dan sudah tentu akan dipergunakan untuk melakukan pemerasan dengan dalih apapun juga."
Wajah pemilik rumah itu menjadi merah. Namun orang itu sadar bahwa yang dihadapinya adalah Ki Lurah Dipayuda itu sendiri.
Dalam pada itu Ki Lurah itupun telah berkata selanjutnya, "Untung bahwa niat jahat kalian dapat digagalkan oleh salah seorang prajuritku. Ia adalah salah seorang anak buahku ketika aku masih memegang sepasukan prajurit Pajang. Tetapi aku tidak tergantung kepadanya. Aku datang untuk membuktikan, bahwa tanpa prajurit itu aku akan dapat menuntut atas perlakuan terhadap anak perempuanku."
"Tetapi itu bukan salah adikku," geram kakak anak muda yang sering mengganggu Riris, "anak gadismu selalu berusaha memanaskan hati adikku. Dengan sengaja ia selalu membawa laki-laki lewat di hadapan adikku yang memang tidak disukainya. Seharusnya ia tidak dengan sengaja mempermalukan adikku di hadapan orang lain."
Namun Ki Lurah Dipayuda segera memotongnya, "Aku datang tidak untuk berbicara. Tidak untuk mendengarkan alasan-alasan. Aku datang untuk membuktikan bahwa aku dapat berbuat dengan kekerasan pula sebagaimana kau lakukan. Aku akan turun ke halaman. Menghitung sampai sepuluh. Jika kalian memang jantan, kalian juga akan turun ke halaman, berapa orangpun yang kalian bawa. Kita akan bertempur sebagai laki-laki."
Jantung pemilik rumah itu menjadi berdebar-debar. Yang ada di ruang dalam itu tidak lebih dari lima orang yang telah gagal menculik Riris. Seorang di antara mereka masih dalam kesakitan. Iga-iganya terasa bagaikan retak.
Karena itu orang itupun berkata, "Kau harus mendengar persoalan yang sebenarnya sehingga kau dapat mengambil langkah yang paling baik."
"Seharusnya itu kau katakan sebelum kau lakukan kekerasan terhadap anakku yang pertama, yang kebetulan pula anakku dapat diselamatkan oleh prajuritku yang lain, Bharata. Sekarang sudah terlambat untuk berbicara. Aku akan turun ke halaman dan menghitung sampai sepuluh." Ki Lurah masih menggeram.
Ketika pemilik rumah itu akan berbicara lagi, Ki Lurah sama sekali tidak menghiraukan. Ia berpaling kepada Jangkung dan berkata lantang, "Kita turun ke halaman dan bersiap untuk bertempur."
Tanpa menghiraukan apapun lagi, Ki Lurah dan Jangkung telah turun ke halaman. Dari depan tangga pendapa, Ki Lurah itu menghitung dengan suara lantang pula, "Satu, dua, tiga"." Hitungan itu bagaikan mengumandang di ruang dalam rumah itu. Namun pemilik rumah itu benar-benar menjadi ragu-ragu. Meskipun mereka pernah menantang Ki Lurah Dipayuda, namun ketika mereka benar-benar berhadapan dengan orang yang ditantangnya itu, maka hati merekapun menjadi kecut. Ternyata Ki Lurah Dipayuda yang memang sudah pernah mereka kenal itu, masih belum nampak tua, pikun dan berjalan terbongkok-bong-kok. Ia keluar dari lingkungan keprajuritan bukan karena ketuaannya. Demikian Ki Lurah itu berdiri di pintu pringgitan rumahnya, maka nampak jelas, bahwa Ki Lurah masih cukup garang menghadapi mereka.
Dalam pada itu, dari halaman terdengar suara Ki Lurah itu justru mengguruh, "Lima, enam, tujuh"." Suasana menjadi bertambah tegang. Namun ternyata orang-orang yang ada di ruang dalam itu tidak beranjak dari tempatnya.
Akhirnya Ki Lurahpun menghitung sampai kehilangan terakhir, "Sepuluh."
Tidak ada orang yang keluar dan turun ke halaman. Karena itu maka Ki Lurah Dipayuda dan Jangkung sekali lagi naik ke pendapa dan melangkah ke pintu yang telah dirusakkan itu. Ketika Ki Lurah berdiri di muka pintu, ia masih melihat orang-orang yang ada di dalam bagaikan mematung di tempat mereka masing-masing.
Dengan geram Ki Lurah Dipayuda itupun berkata, "Ternyata kalian bukan laki-laki sejati. Kalian hanya berani menantangku di hadapan seorang gadis. Sekarang aku benar-benar datang, dan kalian sama sekali tidak berani keluar dari dalam rumahmu," Ki Lurah berhenti sejenak. Lalu katanya pula, "Aku akan pulang. Tidak ada minatku melayani orang-orang yang ternyata pengecut seperti kalian. Meskipun demikian, jika timbul keberanianmu, aku akan menghadapimu kapan saja. Tetapi sudah tentu sebagai seorang laki-laki sejati."
Ki Lurah Dipayuda sama sekali tidak menghiraukan orang-orang itu lagi. Bersama Jangkung merekapun kemudian telah kembali ke halaman. Mengambil kuda-kuda mereka dan sejenak kemudian melompat ke punggungnya dan melarikannya turun ke jalan.
Beberapa saat kemudian kedua orang itu telah menuju kembali ke padukuhan mereka. Sementara langit menjadi semakin gelap.
Riris yang terlalu lama duduk di pendapa menurut perasaannya, akhirnya mempersilahkan Kasadha duduk sendiri. Rasa-rasanya kurang mapan untuk berbicara berdua saja di pendapa, sementara malam mulai turun.
"Kau biarkan Kasadha itu sendiri?" bertanya ibunya.
"Aku sudah terlalu lama menemuinya seorang diri," jawab Riris.
"Kenapa ayahmu terlalu lama meninggalkan tamunya?" bertanya ibu Riris yang sudah hampir selesai menyiapkan makan malam Ki Lurah beserta tamunya.
Tetapi Kasadha yang mulai jemu duduk sendiri itu tidak menunggu lebih lama lagi. Sejenak kemudian, maka dua ekor kuda telah berderap memasuki halaman rumah itu. Ternyata mereka adalah Ku Lurah Dipayuda dan Jangkung.
Ki Dipayuda yang kemudian meloncat turun bersama Jangkung telah menyerahkan kudanya kepada anaknya. Ki Dipayuda sendiri langsung pergi ke pendapa, sementara Jangkung membawa kuda-kuda itu ke kandang.
"Apakah kau terlalu lama menunggu?" bertanya Ki Lurah.
"Tidak Ki Lurah," jawab Kasadha, "untuk beberapa lama Riris menemani aku disini. Baru saja ia pergi ke dapur membantu Nyi Lurah."
Ki Lurah tertawa. Ketika kemudian Jangkung duduk pula di pendapa, maka iapun telah melihat sikap ayahnya yang memang sudah berubah pula. Ia kelihatan ramah dan tersenyum-senyum. Sama sekali kesan kegarangan di wajahnya telah tidak berbekas sama sekali.
Sejenak kemudian, maka Ririspun telah memberitahukan kepada ayahnya, bahwa makan malam sudah disiapkan.
Setelah mencuci tubuhnya yang berkeringat di pakiwan, maka Ki Lurah telah mempersilahkan Kasadha untuk masuk ke ruang dalam.
"Kita akan makan," berkata Ki Lurah.
Jangkung ternyata ikut menemani Kasadha bersama ayahnya. Bahkan Nyi Lurah dan Ririspun telah diminta oleh Ki Lurah untuk makan bersama-sama mereka pula.
Di saat mereka makan, Ki Lurah dan Jangkung sempat berbicara tentang padukuhan mereka. Tentang sawah dan ladang, tentang parit dan airnya serta tentang kehidupan anak-anak mudanya.
Namun setelah mereka selesai makan, dan mangkuk-mangkuk serta sisa makanan telah disingkirkan, Kasadha menjadi agak bersungguh-sungguh.
"Aku mendengar, bahwa aku akan mendapat tugas yang sangat sulit," berkata Kasadha.
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, "Tugas apa?"


01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentang beberapa Tanah Perdikan," berkata Kasadha, "menurut kebijaksanaan Pajang yang sekarang, ada beberapa Tanah Perdikan yang dianggap tidak memenuhi syarat lagi. Tanah Perdikan yang tidak mempunyai pimpinan yang pasti. Tanah Perdikan yang tidak mampu membiayai hidupnya sendiri. Tanah Perdikan yang semakin lama menjadi semakin mundur."
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Hal itu sudah agak lama kita dengar. Sejak pimpinan Pajang dipegang oleh Adipati Demak, maka terjadi beberapa perubahan kebijaksanaan."
"Tetapi kebijaksanaan itu agaknya kurang sesuai jika ditrapkan di Pajang. Perubahan di Pajang itu terasa sangat mengejutkan," sahut Kasadha.
"Ya. Sebaiknya Tanah Perdikan yang dianggap kurang memenuhi syarat untuk berdiri itu, diberi peringatan satu sampai tiga kali. Baru kemudian diambil langkah-langkah yang paling baik untuk memecahkannya," desis Ki Lurah Dipayuda.
"Apakah kau tahu, ke Tanah Perdikan yang mana saja kau akan ditugaskan?" bertanya Ki Lurah itu pula.
Kasadha menggeleng. Jawabnya, "Belum Ki Lurah. Tetapi beberapa petugas telah dikirim lebih dahulu untuk melakukan pengamatan atas Tanah Perdikan yang dianggap kurang baik itu," Kasadha berhenti sejenak, lalu, "Tetapi karena patokan yang dipergunakan untuk menilai Tanah Perdikan itu kurang jelas, maka orang-orang yang mendapat tugas untuk menilai itu, mampu memanfaatkan tugas mereka bagi kepentingan mereka sendiri."
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sejak semula kita berharap bahwa Pangeran Benawa akan dapat menggantikan kedudukan ayahandanya. Setidak-tidaknya menjadi Adipati di Pajang jika Pajang dianggap bagian dari kesatuan Mataram yang benar. Kini Pajang seakan-akan memang berdiri sendiri. Tetapi ternyata kebijaksanaan yang diambilnya agak kurang sesuai dengan rakyat Pajang."
"Kenapa orang-orang Pajang tidak menghubungi Pangeran Benawa saja, Ki Lurah?" bertanya Kasadha, "bukankah Pangeran Benawa itu putera Sultan Hadiwijaya dan bahkan oleh Sultan Hadiwijaya, Pangeran Benawa sudah disiapkan untuk menjadi Putera Mahkota?"
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Itu adalah tugas para pemimpin di Pajang."
Kasadha mengangguk-angguk. Ia memang tidak dapat berbicara terlalu banyak. Apalagi ia masih seorang prajurit Pajang yang tunduk kepada perintah para senapati yang memimpin kesatuan-kesatuan keprajuritan di Pajang. Sementara Ki Lurah Dipayuda sudah bukan lagi seorang prajurit. Sehingga dengan demikian sikap mereka terhadap kepemimpinan Pajang memang dapat berbeda.
Namun kemudian ternyata Ki Lurah itupun bergumam, "Pemerintahan Pajang sekarang memang menjadi sorotan para pemimpin di Mataram dan Jipang. Bagaimanapun juga beberapa kejanggalan yang telah terjadi di Pajang tentu telah menyinggung perasaan Pangeran Benawa di Pajang, yang oleh rakyat Pajang diharapkan akan dapat menggantikan kedudukan ayahandanya Sultan Hadiwijaya, serta menarik perhatian Panembahan Senapati yang meskipun tidak dengan resmi, namun mendapat kepercayaan dari Sultan Hadiwijaya untuk mengendalikan pemerintahan menjelang masa mendatang yang tentu akan berbeda dengan masa-masa yang pernah dilewatinya. Tetapi yang terjadi justru lain, sehingga perkembangan Pajangpun tidak lagi sesuai dengan harapan orang-orang Pajang sendiri. Namun baik Pangeran Benawa maupun Panembahan Senapati ternyata masih menunggu. Mereka masih berharap bahwa akan dapat diketemukan cara yang baik untuk meluruskan kepemimpinan Adipati Demak di Pajang."
Kasadha mengangguk-angguk. Namun dengan cepat Ki Lurah Dipayuda berkata, "Tetapi kau adalah prajurit Pajang, Kasadha. Kau tidak dapat bersikap lain daripada sikap seorang prajurit. Karena itu, maka kau harus menyesuaikan dirimu dengan tugas-tugas yang dipercayakan kepadamu" Sebaliknya kau percayakan saja persoalan Pajang ini kepada orang-orang yang berkepentingan. Pangeran Benawa dan Panembahan Senapati."
Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti Ki Lurah."
Ki Lurahpun kemudian berkata, "Karena itu tentang Tanah Perdikan itupun harus kau tangani dengan baik, tetapi dengan sangat berhati-hati. Kekerasan bukan satu-satunya cara yang terbaik untuk memecahkan persoalan. Karena itu, meskipun kau membawa pasukan untuk mengambil sikap terakhir tentang salah satu Tanah Perdikan, tetapi penggunaan pasukan harus dihindari sejauh-jauhnya."
Kasadha yang telah mendapat kepercayaan untuk memimpin sepasukan prajurit Pajang itu mengangguk-angguk.
Jangkung yang tidak begitu banyak mengetahui persoalan yang dibicarakan oleh ayahnya dengan Kasadha itu tidak banyak ikut campur. Ia lebih banyak mendengarkan. Baru kemudian ketika pembicaraan itu sudah berkisar lagi, barulah Jangkung dapat ikut berbicara dengan lancar.
Dalam pada itu, Riris membantu ibunya yang sibuk di dapur, mencuci dan membenahi alat-alat yang baru mere ka pergunakan. Mereka membiarkan pembantunya beristirahat, karena nampaknya ia sudah cukup letih dan tertidur di bilik panjang di sudut dapur itu.
Ki Lurah. Jangkung dan Kasadha berbincang di ruang dalam sampai larut malam. Nyi Lurah dan Riris sudah lama masuk ke dalam bilik mereka. Namun masih saja setiap kali terdengar suara tertawa yang berderai di ruang dalam. Ternyata Jangkung seperti biasanya berceritera tentang hal-hal yang aneh-aneh di padukuhan itu.
Namun ketika malam menjadi semakin dalam, maka Kasadhapun telah dipersilahkan untuk beristirahat di gandok.
Ketika Kasadha berbaring di pembaringannya setelah menyusut lampu minyak di dalam bilik gandok itu, rasa-rasanya Kasadha justru menjadi gelisah. Sekali-sekali telah terbayang wajah Riris yang lembut. Senyumnya yang khusus di wajahnya yang agak kemerah-merahan.
"Perasaan apakah yang telah bergetar di jantung ini?" desis Kasadha sambil menelungkup. Tetapi ia tidak juga segera tidur.
Namun akhirnya, sejuknya angin malam, kelelahan dan malam yang semakin larut, telah membuainya ke dalam tidur yang nyenyak.
Sebelum matahari terbit Kasadha sudah ada di belakang rumah Ki Lurah. Terdengar derit senggot timba ketika Kasadha mengisi jambangan di pakiwan.
Riris yang melihatnya dari pintu dapur, menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi gadis itu berkata kepada diri-sendiri, "Aku sulit membedakan antara Kasadha dan Bharata. Keduanya sangat mirip. Wajahnya dan tingkah lakunya. Pagi-pagi seperti ini Bharata juga sudah berada di sumur, menimba air dan mengisi pakiwan. Baru kemudian mandi."
Namun Riris tidak beranjak dari dapur. Meskipun pembantunya juga sudah sibuk, tetapi Riris ikut membantunya, menyiapkan minuman hangat bagi Ki Lurah dan tamunya.
Ketika matahari kemudian terbit, Ki Lurah yang juga sudah mandi, telah duduk di pendapa. Kasadha dan Jangkungpun kemudian telah duduk pula bersamanya.
Namun setelah minuman dan makanan dihidangkan. Jangkungpun telah mengajak Kasadha untuk melihat-lihat keadaan padukuhannya sebagaimana ia pernah mengajak Bharata.
"Kita akan berkeliling padukuhan ini berdua," berkata Jangkung, "tetapi kau jangan memakai kudamu sendiri. Pakai kudaku yang paling baik agar kau ingin membelinya."
Kasadha tertawa pendek. Katanya, "Sudah aku katakan, bahwa aku harus menabung selama lima belas tahun dahulu."
Jangkungpun tertawa. Bahkan ia menyahut, "Setelah lima belas tahun ternyata tabunganmu masih juga belum terkumpul karena setiap tahun selalu kau buka."
"Ah, jangan begitu," berkata Ki Lurah, "siapa tahu Kasadha mendapat anugerah karena tugasnya yang dapat diselesaikan melampaui perhitungan."
Kasadha tertawa. Katanya, "Padahal aku akan mendapat anugerah seekor kuda."
Jangkungpun tertawa berkepanjangan.
Namun dalam pada itu, sejenak kemudian, seperti yang diminta oleh Jangkung, keduanya telah melihat-lihat keadaan di sekitar padukuhan. Mereka sempat menyeberangi bulak melihat sawah Ki Dipayuda yang berada di seberang parit, yang sedang disiangi. Sawah Ki Lurah cukup luas, sehingga diperlukan beberapa orang untuk membantunya.
Kasadha dan Jangkungpun kemudian mengikat kuda mereka pada sebatang pohon turi di pinggir jalan, ketika mereka berdua akan meniti pematang, melihat orang-orang yang bekerja.
Demikian Jangkung mendekati mereka yang terbungkuk-bungkuk membersihkan tanaman padi yang subur dari gangguan rerumputan liar, seorang di antara merekapun berkata lantang, "He, masih terlalu pagi, kau sudah datang mengirim makanan dan minuman."
Beberapa orang yang mendengar tertawa. Jangkungpun tertawa pula. Namun Jangkung sempat menjawab, "Ni, lihat. Mataku masih merah. Pelipisku masih membekas warna kebiru-biruan. Kalian sama sekali tidak membantuku, bahkan kalian malah memarahiku karena kiriman itu terlambat datang."
"Kami tidak tahu," jawab seseorang, "bukankah hal itu terjadi di sebelah parit induk" Coba, kami tahu apa yang terjadi, orang-orang itu tentu sudah menjadi serundeng."
Terdengar beberapa orang tertawa. Seorang di antara mereka bertanya, "Kau berani turun ke arena?"
Orang yang sesumbar itu justru telah berjongkok sambil berkata, "Bukan aku. Barangkali kau."
Terdengar lagi suara tertawa. Sementara itu, orang-orang itu masih saja menyiangi rerumputan liar di antara batang-batang padi yang hijau. Dalam waktu dua hari lagi kerja itu tentu selesai meskipun sawah Ki Lurah terbentang sampai ke pinggir sungai.
Dari melihat-lihat sawah. Jangkung mengajak Kasadha melihat-lihat pategalannya. Kemudian sempat minta seorang penunggu pategalan itu untuk memanjat sebatang pohon kelapa. Sejenak kemudian dua buah kelapa yang masih muda telah berjatuhan.
Namun dalam pada itu, Kasadha sempat bertanya, "Siapa yang akan membawa makanan dan minuman ke sawah?"
"Setra. Badannya memang masih agak pegal-pegal sedikit. Tetapi ia akan pergi ke sawah bersama seorang yang akan membantunya membawa kiriman itu," jawab Jangkung.
Tetapi ketika matahari menjadi semakin tinggi dan hampir menggapai puncak langit, Kasadha berdesis, "Sebenarnya aku ingin kembali ke Pajang hari ini. Sebelum senja aku akan masuk kembali ke dalam barak."
"Apakah hari istirahatmu hanya sampai hari ini?" bertanya Jangkung.
"Sebenarnya aku mendapat kesempatan beristirahat sampai besok," jawab Kasadha.
"Jika demikian, kau tidak usah kembali hari ini. Esok saja kau kembali ke Pajang. Malam nanti kau sebaiknya bermalam satu malam lagi disini," berkata Jangkung.
Kasadha memang menjadi ragu-ragu. Ketika ia berangkat, ia memang berniat bermalam, tetapi hanya satu malam saja. Namun tiba-tiba saja ia menjadi bimbang. Seakan-akan ada sesuatu yang menghalanginya untuk pergi.
"Jangan berpikir terlalu panjang. Kau ambil saja putusan. Pulang esok pagi," berkata Jangkung.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah. Aku akan kembali esok pagi."
"Bagus," berkata Jangkung, "nanti malam kita akan melihat tari topeng semalam suntuk."
"Dimana?" bertanya Kasadha.
"Di padukuhan seberang bulak. Seorang yang kaya di padukuhan itu mengawinkan satu-satunya anak gadisnya," jawab Jangkung.
Kasadha mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, "Bagus. Nanti malam kita melihat tari topeng."
Namun sebenarnyalah yang telah menghambat keberangkatan Kasadha sama sekali bukan tari topeng itu. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya, apakah yang sebenarnya telah menahannya untuk tidak segera meninggalkan rumah Ki Lurah Dipayuda.
Ketika matahari semakin tinggi, maka Kasadhapun telah kembali bersama Jangkung. Lewat tengah hari, Kasadha telah dipersilahkan untuk makan bersama Ki Lurah dan Jangkung. Bahkan bersama Nyi Lurah dan Riris.
Di sore hari, Kasadha sempat berbincang dengan Riris di pendapa ketika Riris sedang membersihkan lantai pendapa itu. Riris sempat duduk di tangga pendapa, sementara Kasadha berdiri di depan tangga.
Tetapi mereka tidak terlalu lama berbincang. Ririspun segera berdiri dan meneruskan kerjanya, menyapu lantai pendapa, sementara Kasadha pergi ke regol melihat-lihat jalan yang tidak begitu ramai di depan rumah Ki Lurah Dipayuda.
Namun ternyata bahwa gadis itu telah memberikan kesan tersendiri kepada Kasadha.
Ketika Kasadha kemudian duduk di serambi gandok, tiba-tiba saja ia telah menilai dirinya sendiri. Ia sadar, bahwa agaknya ia mulai dijangkiti oleh penyakit anak-anak muda yang meningkat dewasa penuh. Kasadha tidak dapat ingkar, bahwa ia telah tertarik pada seorang gadis yang bernama Riris.
Tetapi Kasadhapun kemudian telah menilai dirinya sendiri. Ia rasa-rasanya sebagai kleyang kabur kanginan. Seperti daun kering yang dihempas angin. Ia tidak berasal dari lingkungan keluarga sewajarnya. Kehidupan orang tuanya diselimuti oleh ketidakpastian dan bahkan diselubungi oleh kabut yang hitam. Orang yang mengaku ayahnya dan pernah menjadi petugas sandi Jipang itupun tidak pantas disebutnya. Apalagi saat-saat terakhir dari kehidupan ayah dan ibunya. Bayangan gerombolan Kalamerta justru selalu menghantuinya.
Seandainya ia kelak mendapat kedudukan yang cukup baik di Pajang, serta pada suatu saat ia ingin memasuki sebuah kehidupan wajar dengan berkeluarga, bagaimana ia harus datang melamar seorang gadis bersama ayah dan ibunya."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Bahkan tiba-tiba saja Kasadha yang sudah gelisah itu menjadi semakin gelisah. Tiba-tiba saja ia dibayangi oleh kemauan ibunya untuk menaklukkan sebuah Tanah Perdikan yang menu rut ibunya itu adalah haknya, yang diwarisinya dari ayahnya yang sebenarnya.
"Apakah pada suatu saat aku harus berurusan dengan Tanah Perdikan Sembojan?" bertanya Kasadha yang gelisah itu di dalam hatinya.
Namun tiba-tiba saja Kasadha memejamkan matanya. Ia ingin mengusir perasaannya yang bergejolak itu.
Ketika ia kemudian membukakan matanya, ia melihat Jangkung berjalan ke serambi itu. Ketika Jangkung kemudian duduk di sampingnya, iapun berkata, "Kau mau ikut aku?"
"Kemana?" bertanya Kasadha.
"Melihat seekor kuda. Ki Demang di Kademangan sebelah memberitahukan kepadaku lewat seorang kawan, bahwa ia akan menjual kudanya yang menurut keterangan sangat baik. Aku akan membelinya jika harganya dapat sesuai," jawab Jangkung.
Kasadha termangu-mangu sejenak. Ia memang ingin untuk tinggal di rumah saja. Sekali-sekali dapat berbicara dengan Riris. Tetapi jika gadis itu selalu berada di dalam, maka ia justru akan dibayangi oleh angan-angannya yang kelabu itu.
Karena itu, maka katanya, "Baiklah. Aku ikut."
Keduanya kemudian berderap di jalan-jalan padukuhan, menyeberangi beberapa bulak menuju ke Kademangan di sebelah.
"Bharata juga senang melihat-lihat bulak-bulak panjang," berkata Jangkung di perjalanan.
"Ya," jawab Kasadha, "ia mencintai lingkungannya, alam di sekitarnya dan lebih dari itu, sesamanya."
"Ia memang anak muda yang baik," berkata Jangkung, "sayang ia dibayangi oleh kegelisahan tentang dirinya sendiri. Ia tidak mau berterus terang, dimana rumahnya, keluarganya dan banyak hal tentang dirinya."
Kasadha menarik nafas panjang. Banyak hal tentang dirinya yang tercermin pada anak muda yang bernama Bharata itu. Betapa ia ingin ingkar, namun ia adalah seorang yang sebenarnya bernama Puguh. Tetapi ada juga orang yang mengira bahwa Bharata itu adalah Puguh. Ketika ia datang dan bertemu dengan Riris pertama kali, gadis itu juga menyangkanya Bharata. Dan kini Jangkung berkata kepadanya, bahwa Bharata telah banyak menyelimuti dirinya sendiri dengan kabut rahasia yang tidak terungkapkan.
"Bagaimana dengan aku sendiri?" bertanya Kasadha kepada diri sendiri.
*** Dalam pada itu, selagi Jangkung dan Kasadha melintasi bulak-bulak panjang, di Tanah Perdikan Sembojan, Risang yang dikenal dengan nama Bharata itupun sedang memacu kudanya melintasi bulak panjang. Risang sedang menuju ke padang perdu di lereng bukit. Sekelompok pengawal tengah menunggunya. Justru para pemimpin kelompok dari padukuhan-padukuhan yang tersebar di seluruh Tanah Perdikan.
Seperti biasanya, Bharata tengah menempa mereka dengan olah kanuragan. Pengetahuannya tentang ilmu dasar olah kanuragan, serta pengalamannya di lingkungan keprajuritan telah membuatnya menjadi seorang pelatih yang baik bagi para pemimpin kelompok pengawal di Tanah Perdikan Sembojan. Sementara itu para pemimpin kelompok yang telah ditempa secara khusus itu harus menebarkan ilmu kanuragannya itu kepada para pengawal di dalam kelompok masing-masing, sehingga sebenarnyalah para pengawal Tanah Perdikan Sembojan memiliki kemampuan sebagaimana seorang prajurit.
Sore itu, Bharata berniat untuk melihat dan menilai hasil jerih payahnya. Para pemimpin kelompok pengawal itupun telah diberitahukan, bahwa ia akan mengadakan pertarungan di antara mereka untuk menilik tingkat ilmu mereka secara pribadi. Mereka akan benar-benar bertempur. Tetapi tidak mempergunakan senjata. Risang sendiri akan menunggui dan menghentikan setiap pertempuran jika ia sudah menemukan penilaian bagi keduanya.
Demikian Risang meloncat turun dari kudanya, maka para pemimpin kelompok itu menyongsong dengan hati yang berdebar-debar.
"Apakah kalian sudah siap?" bertanya Risang.
"Sudah," jawab beberapa orang hampir berbareng.
"Kalian sudah menyediakan beberapa obor?" bertanya Risang pula.
"Sudah," jawab mereka pula.
"Kita akan melihat kemampuan yang dimiliki oleh Tanah Perdikan ini," berkata Bharata, "karena itu, mungkin kita akan berada disini sampai jauh malam."
Sejenak kemudian, maka para pemimpin kelompok pengawal itupun segera bersiap. Mereka kemudian berkumpul dan duduk dalam satu lingkaran bersusun. Risang telah memimpin pemusatan nalar budi dari para pemimpin kelompok itu. Perlahan-lahan mereka mengatupkan telapak tangan mereka di muka dada. Kemudian turun perlahan-lahan. Kedua tangan itupun kemudian mulai tegang. Kedua telapak tanganpun mengepal di samping. Dengan satu hentakan yang kuat kedua telapak tangan itu terjulur ke depan. Kemudian perlahan-lahan namun dengan kuat, tangan itu ditarik kembali. Berganti-ganti tangan itu menyilang di dadanya, sehingga akhirnya tangan itupun mengendor dan turun perlahan-lahan. Akhirnya kedua telapak tangan itu kembali mengatup dan diangkat ke muka dadanya.
Ketika mereka melepaskan nafas panjang dari lubang hidung mereka, maka Risangpun memberi isyarat kepada mereka untuk berdiri dan bergerak beberapa langkah surut. Lingkaranpun menjadi semakin luas. Lingkaran yang akan menjadi arena penilaian atas kemampuan para pemimpin kelompok itu.
Beberapa saat kemudian, langit memang menjadi suram. Senja menjadi semakin kelam. Sehingga Bharata telah memerintahkan menyalakan dua buah obor.
"Kita hanya mempergunakan dua buah obor saja. Yang lain kita sediakan apabila yang dua itu kehabisan minyak," berkata Risang.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, penilaian atas kemampuan para pemimpin kelompok itu berlangsung. Dua orang bangkit berdiri saling berhadapan. Keduanyapun kemudian telah bersiap untuk memulainya.
Bharata sendiri juga berdiri di dalam lingkaran. Ia menunggui langsung penilaian kemampuan itu. Kecuali untuk melihat dengan saksama hasil latihan-latihan yang telah diselenggarakan, Risang juga menjaga, agar tidak terjadi kecelakaan di antara mereka yang ikut serta dalam penilaian itu.
Sejenak kemudian, pasangan yang pertama telah mulai bertempur. Keduanya semakin lama semakin meningkatkan kemampuan mereka semakin tinggi, sehingga akhirnya benar-benar berada pada puncak kemampuan mereka. Keduanya berloncatan saling menyambar. Saling mendesak dan sekali-sekali serangan-serangan mereka telah menembus pertahanan lawan dan mengenai sasaran.
Yang dikenai serangan itupun telah terdorong surut. Bahkan menyeringai menahan sakit. Tetapi sebelumnya merekapun telah berlatih untuk meningkatkan daya tahan tubuh mereka.
Risang memang tidak menunggu seorang di antara mereka kalah dan menang. Tetapi setelah ia mampu menilai kemampuan keduanya yang hampir seimbang itu, maka pertempuran itupun telah dihentikannya.
Demikianlah pasangan demi pasangan telah tampil. Mereka pada umumnya telah menunjukkan kemampuan yang memadai. Bahkan Risang dapat berbangga bahwa para pemimpin kelompok pengawal di Tanah Perdikannya itu memiliki kemampuan yang tidak kalah dengan para pemimpin kelompok prajurit Pajang. Dengan demikian maka Risangpun berharap bahwa para pengawalpun memiliki kemampuan setingkat pula dengan para prajurit Pajang.
Namun ketika pendadaran itu berjalan beberapa lama, saat pasangan-pasangan berikutnya setelah lebih separo dari seluruh peserta mulai bertanding, maka mereka terkejut mendengar derap kaki kuda yang mendatang dengan cepat.
Dengan demikian, maka setiap orangpun kemudian telah bersiap, sedangkan pendadaran itupun telah berhenti dengan sendirinya.
Tiga ekor kuda muncul dalam keremangan malam. Sinar obor yang tidak terlalu terang, telah mencapai wajah-wajah dari ketiga penunggangnya setelah ketiga ekor kuda itu berhenti.
Risang menjadi berdebar-debar. Ketiga orang penunggang kuda itu adalah ibunya, Iswari, diikuti oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung.
"Ibu," desis Risang.
Ibunya melangkah mendekatinya setelah ia meloncat turun dari kudanya dan menyerahkannya kepada Sambi Wulung.
"Apa yang kau lakukan, Risang?" bertanya Iswari.
"Aku ingin melihat tataran kemampuan para pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan, ibu," jawab Risang.
Iswari mengangguk-angguk. Ia tidak dapat menegur anaknya di hadapan para pengawal itu. Karena itu, maka ibunyapun berkata, "Risang, aku memerlukanmu. Aku ingin berbicara tentang perkembangan keadaan terakhir."
"Nanti sebentar aku akan menemui ibu. Aku masih harus menyelesaikan penilaian ini sebentar lagi ibu. Sudah lebih dari separo dari para pemimpin kelompok yang sempat aku lihat kemampuannya. Aku ingin selebihnya juga dapat aku lihat kemampuannya," jawab Risang.
"Jika kau sudah melihat lebih dari separo, sebenarnyalah bahwa itu sudah cukup. Sebenarnya kau dapat mengambil tiga pasang di antara mereka dan melihat kemampuan yang tiga pasang dengan seksama. Maka yang tiga pasang itu tentu sudah cukup mewakili seluruh pemimpin kelompok yang ada di Tanah Perdikan ini. Kau dapat menilai kemampuan rata-rata mereka. Apalagi mereka telah mendapat tuntunan olah kanuragan hanya darimu. Semuanya. Sehingga dengan demikian maka tataran kemampuan mereka tentu hampir sejajar. Sementara itu, dalam latihan-latihan kau tentu juga mampu membuat penilaian terhadap mereka," berkata ibunya.
Risang masih akan menjawab. Namun ibunya berbisik, "Bubarkan permainan ini. Aku mempunyai alasan yang kuat untuk memerintahkan kepadamu."
Bagaimanapun juga Risang tidak dapat memaksa ibunya untuk membiarkan penilaiannya terhadap para pemimpin kelompok itu berlangsung terus. Karena itu, betapapun ia menjadi kecewa, namun Risang itupun akhirnya telah menutup latihan khusus itu.
"Aku minta maaf kepada mereka yang masih belum mendapat giliran," berkata Risang, "tetapi aku yakin, bahwa kemampuan kalian tidak akan terpaut banyak yang satu dengan yang lain. Sekarang pertemuan ini aku tutup sampai sekian. Kita akan mencari kesempatan lain yang lebih baik."
Beberapa orang memang menjadi kecewa. Tetapi mereka dapat mengerti, bahwa Risang tidak akan dapat menolak perintah ibunya yang masih menjadi pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
"Padamkan obor itu," perintah Iswari.
Para pemimpin kelompok itupun segera memadamkan obor di pinggir arena, sehingga keadaan menjadi sangat gelap. Tetapi mereka telah terlatih sehingga penglihatan mereka mampu mengatasi kegelapan meskipun terbatas.
"Aku minta diri," berkata Risang kemudian.
Sejenak kemudian, maka kuda-kudapun telah berderap lagi. Risang telah bergabung dengan ibunya, Sambi Wulung dan Jati Wulung.
Beberapa saat kemudian, mereka telah menyusuri jalan bulak menuju ke padukuhan induk.
"Kenapa ibu menghentikan latihan khusus itu?" bertanya Risang.
"Kita akan berbicara di rumah," jawab ibunya.
Risang terdiam. Ia sadar, bahwa berbicara sambil berkuda tentu kurang dapat bersungguh-sungguh. Apalagi jalan yang kurang memungkinkan baginya untuk selalu bekerja di samping ibunya.
Beberapa saat kemudian, Iswari telah duduk di ruang dalam. Risang, Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah duduk pula bersamanya. Kakek dan nenek tidak nampak hadir. Agaknya mereka telah beristirahat. Yang kemudian muncul adalah Bibi.
Baru beberapa saat kemudian Iswari berkata, "Risang. Aku terpaksa menghentikan latihan khusus yang kau adakan untuk mengetahui tingkat kemampuan para pemimpin kelompok."
Risang menunduk. Tetapi ia bertanya, "Kenapa latihan itu harus berhenti ibu?"
"Para petugas sandi kita melihat kehadiran orang-orang yang tidak dikenal di Tanah Perdikan ini dengan cara yang tidak sewajarnya," jawab ibunya.
"Kenapa mereka tidak ditangkap saja?" bertanya Risang.
"Mereka tidak melakukan pelanggaran apa-apa. Meskipun sikap mereka menarik perhatian, tetapi tidak ada alasan untuk menangkap mereka," jawab ibunya.
"Jadi?" bertanya Risang.
"Mungkin mereka justru petugas sandi dari Pajang. Aku tidak ingin mereka melihat latihan-latihan yang berat dilakukan di Tanah Perdikan ini. Dengan demikian maka akan dapat menimbulkan salah paham. Sudah berapa kali aku peringatkan. Jangan mengadakan latihan-latihan berat dalam suasana seperti sekarang ini," berkata ibunya.
"Justru dalam keadaan seperti sekarang ini," sahut Risang.
"Dengar Risang," berkata ibunya, "bagaimanapun juga, aku masih berusaha sejauh mungkin agar tidak terjadi perselisihan antara Tanah Perdikan ini dengan Pajang. Kau tahu, bahwa Pajang memiliki kekuatan dan kemampuan yang sangat tinggi. Apa yang dimiliki oleh Tanah Perdikan ini" Tentu saja dibandingkan dengan Pajang."
Risang tidak menjawab. Ia tahu bahwa ibunya memang tidak ingin terjadi perselisihan yang mengarah pada kekerasan. Namun Risangpun tidak ingin Tanah Perdikannya diperlakukan sebagaimana beberapa Tanah Perdikan yang lain. Tanpa mengindahkan kekancingan yang memberikan wewenang kepada Tanah Perdikan itu untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri, serta tanpa memperhitungkan alasan kelahiran sebuah Tanah Perdikan, maka dengan mudahnya pimpinan pemerintahan di Pajang yang datang dari Demak itu begitu saja memerintahkan untuk di bekukan.
"Nah," berkata ibunya, "untuk menghindari hal-hal yang tidak kita inginkan, maka kau harus sedikit mengekang diri. Aku tahu kau sudah merubah cara latihan yang selama ini kau lakukan. Kau tidak lagi memberikan latihan kepada sejumlah besar pengawal di lereng-lereng pebukitan. Kau sekarang hanya memberikan latihan secara khusus kepada para pemimpin kelompok yang harus menularkannya kepada para pengawal. Namun demikian latihan khusus di dalam hari seperti yang kau lakukan tadi akan menarik perhatian."
Risang tidak menjawab. Namun sebenarnyalah ia kurang sependapat dengan ibunya. Pajang tidak akan dapat melarang latihan-latihan yang demikian, justru hal itu akan dapat ikut menegakkan Pajang dalam keadaan yang wajar.
Tetapi sebenarnyalah Risangpun mengerti, bahwa Pajang akan dapat menjadi curiga melihat kesiagaan sebuah Tanah Perdikan yang sedang diamati dengan saksama. Bahkan Pajang telah pernah mengirimkan utusan untuk bertemu dengan pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan yang kebetulan adalah seorang perempuan.
"Sudahlah," berkata ibunya, "beristirahatlah. Kita akan dapat membicarakannya pada kesempatan lain."
Risang tidak menjawab. Ibunyapun mengerti, bahwa ada perbedaan sikap antara dirinya dengan anaknya. Namun Iswari masih mempercayai bahwa anaknya akan mau mendengarkan kata-katanya.
Risang yang setelah pergi ke pakiwan, telah berada di biliknya, rasa-rasanya selalu gelisah. Dengan debar jantung yang serasa semakin cepat, Risang justru berjalan hilir mudik di dalam biliknya itu.
Namun akhirnya Risang itupun telah berbaring di pembaringannya. Ia mencoba untuk menenangkan hatinya dengan mencoba mengenang persoalan-persoalan yang dapat menyejukkan hatinya.
Tetapi yang kemudian terlintas di kepalanya adalah wajah seorang gadis yang dijumpainya di rumah Ki Lurah Dipayuda. Gadis cantik yang bernama Riris. Betapa lembut wajahnya dan betapa bersih sikapnya.
Risang memang mencoba mempertajam bayangan wajah itu di angan-angannya. Namun wajah yang memang nampak semakin jelas itu seakan-akan semakin lama menjadi semakin jauh. Tangannya tidak lagi mampu menyentuhnya betapapun ia menggapai-gapai.
"Kenapa aku harus merahasiakan diriku" Kenapa aku harus menyebut diriku bernama Bharata, anak dari Bibis yang sama sekali bukan pijakan hidupku yang sebenarnya?" pertanyaan itu telah menerpa jantung Risang yang gelisah.
"Tidak. Aku bukan Bharata. Aku adalah Risang dari Tanah Perdikan Sembojan. Aku akan datang lagi menemui gadis itu tanpa bersembunyi di balik kepalsuan hanya karena aku ingin menyelamatkan diri dikejar oleh perasaan takut dibunuh orang. Dengan dada tengadah aku akan menyebut namaku, asal usulku dan kampung halamanku Aku akan dengan dada tengadah menantang anak muda yang bernama Puguh itu jika ia memang menghendaki kematianku," Risang tiba-tiba saja telah menggeram.
Bahkan iapun kemudian telah bangkit sambil menggeretakkan gigi. Katanya, "aku akan membuktikan, bahwa aku memiliki kemampuan untuk menegakkan namaku dan kenyataan tentang pribadiku tanpa tedeng aling-aling."
Tetapi Risang tidak puas hanya dengan menggeram di dalam biliknya. Tiba-tiba saja ia justru melangkah keluar. Ia memang berhati-hati agar tidak mengejutkan orang lain. Lewat pintu butulan Risang telah pergi ke sanggar.
Sejenak Risang termangu-mangu. Namun iapun kemudian telah duduk bersila di tengah-tengah sanggar yang diterangi oleh lampu minyak yang redup. Dengan sungguh-sungguh Risang telah memusatkan nalar budinya, mempersiapkan diri untuk melakukan latihan justru didorong oleh gejolak perasaannya.
Beberapa saat kemudian Risang telah bangkit berdiri perlahan-lahan. Kemudian ia mulai menggerakkan tangannya, kakinya, perlahan-lahan. Satu loncatan ke samping dengan tangannya yang bersilang, kemudian satu hentakkan ke depan dengan telapak tangan yang mengepal. Ketika tangan itu ditarik di samping tubuhnya, maka kedua kaki Risang menjadi renggang. Kaki kirinya agak ditarik ke belakang, sedang kaki kanannya ada di depan. Lututnya sedikit merendah.
Namun sesaat kemudian Risang sudah berloncatan di dalam sanggar yang remang-remang itu. Kakinya semakin lama semakin cepat bergerak, sementara tangannya berputaran. Dilepaskannya unsur gerak yang telah dipelajarinya sebagai landasan bagi ilmu yang akan diwarisinya, Janget Kinatelon. Ilmu yang hampir tidak ada bandingnya.
Dengan tangkasnya Risang bergerak dan berloncatan. Sekali-sekali tubuhnya berputar, sementara kakinya terayun deras. Disusul dengan ayunan tangannya dan kemudian serangan yang sangat deras menebas sisi telapak tangannya.
Risang telah menguasai berbagai macam unsur gerak dan berbagai macam jenis serangan. Risang mampu menyerang dengan telapak tangannya yang terbuka. Dengan sisi telapak tangannya, dengan jari-jari yang merapat, dengan ibu jari dan dengan berbagai macam cara yang lain. Sementara itu kakinyapun tidak kalah cekatan daripada tangannya. Bahkan keduanya dapat menyerang bersama-sama atau beruntun dalam satu rangkaian serangan ganda.
Risangpun yang jantungnya sedang bergejolak itu, ternyata justru telah mempengaruhi tenaga dan kemampuannya. Dorongan kerisauan hatinya telah membuat tenaganya bagaikan berlipat. Kekuatan tenaganya bagaikan tumbuh dan melonjak semakin tinggi. Kecepatan gerakpun menjadi semakin sulit diikuti oleh tatapan mata wadag.
Bahkan Risangpun telah melenting meloncat ke atas patok-patok bambu serta batang-batang yang menyilang. Meloncat dari satu patok ke patok yang lain, kemudian melenting hinggap di sebatang bambu yang menyilang. Bergantung dan berayun, melayang turun dan berjejak kembali di atas tanah sebelum meloncat dan berputar di udara. Dengan tangannya Risang hinggap pada tonggak kayu sebelum kemudian sekali lagi berputar di udara dan jatuh di atas kedua kakinya.
Dalam puncak kegelisahannya, tiba-tiba saja Risang telah meloncat ke sudut sanggarnya. Dengan sisi telapak tangannya, Risang telah memukul seonggok batu padas yang memang tersedia untuk berlatih bagi orang-orang yang telah memiliki kemampuan lanjut.
Namun ternyata telah terjadi sesuatu yang mengejutkan. Risang yang jantungnya sedang bergejolak itu ternyata mampu menghentakkan kekuatan melampaui takaran sewajarnya. Pukulannya dengan sisi telapak tangan itu, ternyata telah mampu memecahkan sebongkah batu padas di antara beberapa bongkah yang berada di sudut sanggar itu.
Demikian batu itu pecah, maka Risangpun telah meloncat surut. Hatinya menjadi berdebar-debar, ketika ia melihat batu padas itu berserakkan.
Risang kemudian justru berdiri termangu-mangu. Dipandanginya bekas sentuhan tangannya itu. Ia sendiri bahkan hampir tidak percaya, bahwa ia telah mampu melakukannya.
Risang menjadi semakin terkejut, ketika ia mendengar suara seseorang yang mendeham. Ketika ia berpaling, dalam keremangan cahaya lampu minyak, baru ia melihat, bahwa Kiai Badra duduk di sebuah amben bambu kecil dalam bayangan tonggak-tonggak kayu di dalam sanggar itu.
"Kakek," desis Risang.
Kiai Badra tertawa pendek. Orang tua itupun kemudian berdiri dan melangkah mendekati Risang yang termangu-mangu.
"Gejolak di dalam diri, kadang-kadang memang mampu membangunkan tenaga cadangan yang luar biasa," berkata Kiai Badra, "sebagaimana yang kau lakukan, yang menurut penilaian wajar atas ilmu dan kekuatanmu, hal itu belum dapat kau lakukan. Tetapi ternyata kau mampu melakukannya. Karena itu, maka besok, aku, kakekmu Kiai Soka dan nenekmu Nyai Soka akan membuka pintu pengenalanmu atas puncak tenaga cadangan yang ada di dalam dirimu, agar kau dapat mempergunakannya sewaktu-waktu, karena sebenarnyalah malam itu kau sudah mengenalnya. Namun kau masih harus mempelajari bagaimana kau mampu membangunkannya setiap saat kau perlukan."
Risang hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara Kiai Badra berkata selanjutnya, "beristirahatlah. Kau telah menemukan sesuatu yang sangat berharga di dalam dirimu. Jika aku tidak menyaksikan apa yang kau lakukan, maka aku kira aku masih belum akan menuntunmu dalam waktu dekat. Bahkan mulai besok."
Risang tidak menjawab. Kepalanya masih menunduk. Namun jantungnya telah bergejolak.
Kiai Badra yang kemudian melangkah ke pintu telah berkata, "Marilah. Malam telah larut. Endapkan tenagamu dan tidur."
Risangpun telah mengikuti kakeknya menuju ke pintu dengan tatapan matanya. Tetapi ia masih belum melangkah. Seperti dikatakan oleh kakeknya, maka ia masih harus mengendapkan tenaganya yang telah terungkit sampai ke tenaga cadangan di dalam dirinya.
Karena itu, maka Risangpun telah kembali duduk di tengah-tengah sanggar yang remang-remang. Kemudian kedua tangannyapun telah terangkat, perlahan-lahan telapak tangannya mengatup di muka dadanya. Hatinya semakin hening dalam tarikan nafas yang teratur. Ketika ia mengangkat tangannya kembali dan kemudian perlahan-lahan turun, maka nafasnya telah tersalur memanjang. Seakan-akan Risang itupun telah mengempaskan ketegangan di dalam dirinya, di dalam jalur-jalur urat darahnya, otot-ototnya dan jantungnya.
Baru sejenak kemudian Risang bangkit dan melangkah keluar. Sebelum Risang kembali ke biliknya, ia telah singgah di pakiwan untuk membersihkan tubuhnya yang berdebu serta mengusap keringat yang membasahi seluruh tubuhnya.
"Ternyata kakek sempat menyaksikannya," desis Risang yang dengan hati-hati masuk kembali lewat pintu butulan.
Namun Risang terkejut ketika ternyata ibunya duduk di ruang dalam bersama Bibi.
Tetapi ibunya tidak mengatakan sesuatu kecuali sepatah kata, "Beristirahatlah."
"Ya ibu," jawab Risang pendek. Sambil menundukkan kepalanya ia kembali ke biliknya. Namun Risang masih sempat mengganti pakaiannya yang basah oleh keringat. Baru kemudian ia berbaring di pembaringannya.
Tubuhnya yang menjadi letih serta angin malam yang sejuk, kemudian telah mengayunkannya ke dalam tidur yang meskipun tidak terlalu nyenyak, tetapi dapat menyegarkan tubuhnya.
*** Malam itu, Kasadhapun sempat tidur nyenyak di gandok rumah Ki Lurah Dipayuda. Namun menjelang matahari terbit, iapun sudah terbangun. Meskipun ia tidak ingin berangkat pagi-pagi sekali, tetapi sudah menjadi kebiasaannya untuk bangun pagi dan menimba air untuk mengisi jambangan.
Hari itu Kasadha masih berada di rumah Ki Lurah untuk beberapa lama. Ia masih sempat berbincang dengan Ki Lurah tentang berbagai macam hal. Kemudian berbicara tentang jenis-jenis kuda dan bahkan sempat pula untuk beberapa lama bercakap-cakap dengan Riris.
Ternyata sikap Riris sangat menarik. Ramah, lembut namun selalu membatasi diri karena ia seorang gadis.
Tetapi Kasadha tidak dapat menunda lagi keberangkatannya. Hari itu ia harus sudah berada kembali di baraknya. Waktu istirahatnya sudah berakhir.
Di saat terakhir, Kasadha masih juga mengeluh tentang tugas yang mungkin akan diterimanya tentang Tanah Perdikan yang menjadi sorotan para pemimpin di Pajang.
"Aku akan menjunjung segala perintah dengan senang hati. Bahkan perintah yang akan dapat mengancam jiwaku sekalipun. Namun perintah yang satu ini, tentang Tanah Perdikan, membuatku gelisah," berkata Kasadha.
Ki Dipayuda menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau harus mampu menempatkan dirimu. Kau batasi segala langkah dan sikapmu sesuai dengan perintah yang kau dapatkan. Jika kau tidak keluar dari bunyi perintah itu, maka kau tidak lebih dan tidak kurang adalah peraga dari pimpinan pemerintahan Pajang yang memberikan perintah kepadamu."
"Tetapi bagaimanapun juga, aku adalah orang yang langsung menghadapi para pemimpin Tanah Perdikan itu," berkata Kasadha.
"Bukankah ada petugas khusus yang lebih dahulu melakukan pembicaraan dengan para pemimpin Tanah Perdikan?" bertanya Ki Lurah Dipayuda.
"Jika dalam pembicaraan itu tidak diketemukan persesuaian pendapat, maka aku adalah bebanten yang harus tampil. Aku sama sekali tidak akan mengeluh jika tubuhku yang harus aku korbankan! Bahkan nyawaku. Tetapi bukan perasaanku," jawab Kasadha.
"Tetapi kau adalah seorang prajurit Kasadha," berkata Ki Lurah Dipayuda.
Kasadha mengangguk kecil. Dari sela-sela bibirnya terdengar ia berdesah, "Ya. Aku memang seorang prajurit."
Demikianlah, setelah makan siang, maka Kasadha tidak dapat menunda keberangkatannya lagi. Iapun kemudian telah minta diri kepada seluruh keluarga Ki Lurah Dipayuda.
Ki Lurah yang juga seorang yang pernah hidup sebagai seorang prajurit tahu benar bahwa ia tidak akan dapat mencegahnya lagi. Karena itu, maka Ki Lurahpun hanya dapat mengucapkan selamat jalan.
"Baik-baiklah kau dalam tugasmu," pesan Ki Lurah Dipayuda, "ternyata setelah perang lewat, tugasmu justru akan bertambah berat. Di masa perang tugasmu jelas. Taruhannya adalah hidup atau mati. Tetapi di masa tenang seperti ini, tugasmu merupakan beban di hatimu yang harus kau atasi dengan landasan sikap seorang prajurit."
"Ya Ki Lurah," jawab Kasadha.
"Kau sekarang adalah seorang Lurah Penatus meskipun barangkali kau belum pernah menerima kekancingan untuk itu," berkata Ki Lurah Dipayuda.
Kasadha mengangguk kecil. Namun kemudian iapun berkata, "Sudahlah Ki Lurah. Aku mohon diri."
Ki Lurahpun mengangguk sambil berkata, "Hati-hatilah di jalan."
Kasadhapun kemudian telah minta diri sekali lagi kepada Nyi Lurah, kepada Jangkung dan kepada Riris.
Sesaat kemudian, maka kuda Kasadhapun telah berderap meninggalkan rumah Ki Lurah Dipayuda. Kasadha sama sekali tidak pernah menduga, bahwa ia telah membawa kesan yang asing di dalam hatinya setelah ia mengunjungi Ki Lurah Dipayuda. Ia sebenarnya hanya ingin mendapat sedikit petunjuk, apa yang sebaiknya harus dilakukan menghadapi tugas-tugasnya yang terasa memberati perasaannya. Namun ternyata bahwa ia telah bertemu dengan seorang gadis yang juga membekas dalam di lubuk hatinya.
Matahari yang terik bagaikan menggigit kulit. Kasadha berpacu melintasi bulak-bulak persawahan dan padukuhan-padukuhan. Ia harus memasuki baraknya sebelum senja. Ia adalah pemimpin tertinggi dari seratus orang prajurit di baraknya itu, sehingga karena itu, maka ia tidak boleh melanggar paugeran.
*** Pada waktu yang sama, Risang masih berada di dalam sanggarnya. Keringatnya sudah membasahi seluruh tubuhnya dan bahkan pakaiannya. Di dalam sanggar itu terdapat pula Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka. Mereka yang telah meletakkan kemampuan dasar dari ilmu Janget Kinatelon. Yang di hari-hari sebelumnya telah menyempurnakan landasan itu. Namun ketika Kiai Badra melihat kenyataan bahwa Risang telah mampu menghentakkan kekuatan di dalam dirinya sehingga sisi telapak tangannya mampu membelah batu padas, maka rasa-rasanya Risang memang sudah menjadi semakin masak untuk menerima warisan ilmu Jangat Kinatelon.
Karena itu, maka Risang telah dijajagi semakin cermat oleh ketiga orang kakek dan neneknya yang juga menjadi gurunya. Ketiga orang itu mulai melihat kecepatan gerak, kekuatan yang terbesar dari hentakkan ilmu dasarnya serta kemampuannya menentukan sikap pada saat-saat yang paling menentukan.
Ketiga unsur utama itu masih harus dilengkapi dengan daya tahan tubuh, ketajaman memilih sasaran serta pengenalan atas kelemahan-kelemahan pada tubuh seseorang pada tingkat-tingkat tertentu, serta pernafasan yang mapan.
Kesemuanya itu, masih harus diramu dengan landasan ilmu untuk mengungkapkan kekuatan dasar di dalam tubuhnya, sehingga akan mampu menggalang satu kesatuan kekuatan, kemampuan dan penguasaan tubuh yang sangat tinggi, sehingga dalam pencapaian tataran tertinggi ilmu Janget Kinatelon, maka jarang yang akan dapat mengimbanginya.
Selapis demi selapis Risang berusaha untuk menguasainya. Dengan sungguh-sungguh ia menempa diri dengan tuntunan ketiga gurunya.
Baru ketika matahari menjadi semakin rendah, mereka telah menghentikan latihan itu. Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka telah menyatakan, bahwa mereka telah menyelesaikan latihan mereka untuk hari itu.
"Kita akan melakukannya setiap hari," berkata Kiai Badra, "sedangkan pada saatnya nanti, kau harus berada di dalam sanggar untuk waktu tertentu. Tentu lebih lama dari waktu yang diperlukan oleh ibumu. Namun sesuai dengan perkembangan ilmu itu, maka yang akan kau dapatkan tentu lebih baik dari yang terdahulu. Ibumu adalah orang yang pertama menguasai ilmu Janget Kinatelon. Dan kau adalah orang yang kedua. Adalah wajar, bahwa kau akan menjadi lebih baik dari ibumu. Namun waktu yang kauperlukan pun lebih lama."
Risang tidak menjawab. Ia mengerti sepenuhnya keterangan kakeknya. Iapun tidak akan ingkar untuk melakukannya. Sebagai seorang murid ia memang harus tunduk. Namun di samping kesediaannya untuk menerima warisan Ilmu Janget Kinatelon yang disusun oleh ketiga orang gurunya itu bersama-sama, serta kebanggaannya atas kepercayaan mereka untuk menurunkan ilmu itu pada umurnya yang masih terhitung muda, tetapi Risang masih juga dibayangi oleh usaha ibunya serta guru-gurunya untuk lebih banyak mengurungnya di dalam sanggar, agar ia tidak melakukan tindakan yang dianggap akan dapat menimbulkan salah paham antara Pajang dan Tanah Perdikan Sembojan.
Tetapi Risang tidak pernah mengungkapkannya.
Meskipun demikian, ternyata Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka masih memberinya kesempatan untuk berhubungan dengan para pengawal. Orang-orang tua itu mengerti, jika Risang benar-benar dipisahkan dari para pengawal, maka akibatnya akan kurang baik bagi jiwa Risang sendiri. Ia akan merasa sebagai seorang tawanan yang harus melakukan kerja paksa sehingga apa yang dilakukannya bukannya satu usaha untuk meningkatkan ilmu, namun sekedar melakukan perintah agar tidak mendapat hukuman yang lebih berat.
Risangpun masih mempergunakan waktunya sebaik-baiknya. Tetapi di sore hari, ia akan merasa sangat letih. Sehingga ia tidak lagi dapat melakukan latihan-latihan berat sebagaimana sebelumnya bagi para pengawal.
Sore itu, di hari pertama Risang mulai berlatih untuk membuka kekuatan cadangan di dalam dirinya sampai ke dasarnya sebelum ia mulai benar-benar mewarisi ilmu Janget Kinatelon, memang tidak berniat untuk memberikan latihan-latihan khusus kepada para pemimpin kelompok. Tetapi karena para pemimpin kelompok telah berkumpul, maka Risang hanya mengawasi saja latihan-latihan yang mereka lakukan.
"Ilmu kalian tidak boleh menjadi susut," berkata Risang, "setidak-tidaknya ilmu kalian harus tetap pada tataran yang sekarang. Jika kalian tetap berlatih dengan teratur, maka apa yang kalian miliki itu akan dapat berkembang karena pengalaman-pengalaman baru selama kalian latihan dengan pasangan yang berganti-ganti. Kalian, akan dapat mempertahankan daya tahan tubuh dan ketrampilan tangan serta kaki."
Para pemimpin kelompok itu melakukan semua perintah Risang dengan sungguh-sungguh. Merekapun dapat mengerti bahwa Risang menjadi sangat letih karena latihan yang harus dilakukannya pada hari itu, jauh lebih berat dari latihan-latihan sebelumnya, meskipun Risang tidak pernah mengatakan, bahwa hal itu dilakukan oleh ketiga gurunya karena mereka melihat Risang telah mampu menghentakkan kekuatan dasarnya, namun yang seolah-olah hal itu terjadi di luar sadarnya.
Dengan demikian ketiga gurunya justru harus memberikan tuntunan sehingga hal itu dapat dilakukan dengan sadar dan dengan cara yang benar, sehingga tidak malahan merusakkan jaringan pada tubuhnya.
*** Sementara itu di Pajang, Kasadhapun telah memasuki baraknya sebelum matahari terlalu rendah. Dengan demikian ia telah menunjukkan kepada para prajurit di bawah pimpinannya, bahwa ia telah mematuhi paugeran yang ada, meskipun sebenarnya Kasadha masih ingin berada di rumah Ki Lurah lebih lama lagi.
Namun demikian, meskipun Kasadha telah berada di baraknya, sekali-sekali bayangan wajah Riris masih saja nampak di angan-angannya.
Dalam pada itu, ketika ia sudah beristirahat setelah mandi di saat senja turun, pemimpin kelompok tertua yang diserahi tugas selama ia beristirahat telah menemuinya. Pemimpin kelompok itu selama Kasadha tidak ada di barak.
"Semuanya berjalan wajar," lapor pemimpin kelompok itu. Namun kemudian katanya, "Tetapi dalam pada itu, ada perintah bagi kesatuan ini untuk mempersiapkan diri."
"Untuk apa?" bertanya Kasadha.
"Tanah Perdikan Gemantar ternyata menentang perintah Pajang," desis pemimpin kelompok itu.
"Gemantar," Kasadha mengulang.
"Ya. Tanah Perdikan yang tidak begitu besar. Tanah Perdikan yang mendapat kekancingan sebagai Tanah Perdikan di saat Sultan Trenggana bertahta," Kasadha menarik nafas dalam-dalam.
Kasadha memang yakin, bahwa dengan seratus orang prajuritnya, ia akan dapat memaksa Gemantar mematuhi perintah Pajang. Tetapi apakah hal itu terasa adil.
Namun Kasadha masih belum tahu alasan yang mendorong para pemimpin di Pajang yang datang dari Demak itu untuk mencabut kekancingan yang diberikan oleh Kangjeng Sultan Trenggana di Demak.
Tanpa ditanya, pemimpin kelompok itupun kemudian berkata, "Menurut pendengaranku dari perwira yang datang untuk menyampaikan perintah agar pasukan ini bersiap-siap, Tanah Perdikan Gemantar tidak lagi mampu berdiri dengan kemampuan yang ada di Tanah Perdikan itu sendiri. Bukan karena penghasilannya yang menurun, tetapi tidak ada orang-orang yang dapat menjadi pemikir yang pantas di Tanah Perdikan itu."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Satu alasan yang nampaknya agak dicari-cari. Gemantar menurut pengertiannya adalah satu Tanah Perdikan yang berpenghasilan tinggi. Tanahnya subur meskipun berada di kaki Gunung. Airnya melimpah sehingga di Gemantar banyak sekali terdapat kolam untuk memelihara ikan. Beberapa orang Gemantar adalah pande besi yang baik, sehingga hasilnya banyak dikenal sampai ke Pajang.
Namun tiba-tiba saja kekancingan Tanah Perdikan itu akan dicabut.
Ketika pemimpin kelompok itu kemudian meninggalkannya, maka Kasadha menjadi sangat gelisah. Kali ini Tanah Perdikan Gemantar. Lain kali Tanah Perdikan Sembojan.
Jantung Kasadha menjadi gemetar jika ia mendengar dan teringat tentang Tanah Perdikan Sembojan. Kasadha sama sekali tidak pernah tertarik kepada Tanah Perdikan itu meskipun ibu dan orang yang mengaku ayahnya selalu membisikkan di telinganya, bahwa iapun mempunyai hak atas Tanah Perdikan itu. Bahkan dengan kasar kedua orang tuanya itu mengisyaratkan, jika Risang, saudaranya seayah tetapi lain ibu terbunuh, maka ia adalah satu-satunya pewaris Tanah Perdikan itu.
"Tetapi Tanah Perdikan Sembojanpun pada suatu saat akan mengalami nasib seperti Tanah Perdikan Gemantar," berkata Kasadha di dalam hatinya. Namun kemudian iapun mengeluh, "Jika aku yang mendapat perintah pergi ke Sembojan, maka apakah aku akan dapat melakukan tugasku dengan murni" Tanpa pamrih pribadi" Atau bahwa aku sekarang memasuki satu masa di mana aku dapat memaksakan kehendakku atas Risang itu karena aku dapat datang membawa pasukan?"
Kasadha yang letih karena perjalanannya itupun kemudian telah membaringkan dirinya, meskipun malam baru saja turun. Namun iapun segera bangkit lagi berjalan hilir mudik. Bahkan kemudian, Kasadha itu telah keluar lagi dan turun ke halaman yang sudah menjadi gelap meskipun di regol telah dipasang oncor.
Malam itupun merupakan malam yang gelisah bagi Kasadha. Berganti-ganti singgah di angan-angannya, Tanah Perdikan Gemantar yang harus mengalami nasib buruk. Wajah Riris yang cantik dan lembut, Tanah Perdikan Sembojan dan seorang anak muda yang menurut perasaannya belum pernah dilihatnya, Risang. Kasadha memang mencoba membayangkan wajah anak muda itu. Kasadhapun mencoba menilai kemampuannya. Kasadha mengerti, bahwa ibu Risang itu memiliki ilmu yang lebih tinggi dari ibunya sendiri.
Tetapi Kasadha sama sekali tidak pernah merasa dendam kepada ibu tirinya itu atau bahkan kepada anak muda yang bernama Risang, karena menurut penilaiannya, ibunyalah yang bersalah. Apalagi kemudian terpengaruh oleh sikap Ki Rangga Gupita yang tamak.
*** Sementara itu, Risang di Tanah Perdikan Sembojan, telah berada di rumahnya setelah beberapa saat lamanya menunggui latihan para pemimpin kelompok di lereng bukit. Badannya memang merasa letih. Namun Risang tidak menunjukkannya kepada ketiga orang gurunya dan kepada ibunya.
Ketika mereka kemudian makan malam di ruang dalam, bersama dengan Sambi Wulung dan Jati Wulung, Iswari telah membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Tanah Perdikan Sembojan.
"Hari ini aku telah menerima dua orang utusan dari Tanah Perdikan Gemantar," berkata Iswari.
"Untuk apa?" bertanya Risang yang menjadi gelisah, seakan-akan ia sudah tahu apa yang dikatakan oleh kedua orang itu.
Dengan nada berat ibunya berkata, "Kekancingan Tanah Perdikan Gemantar akan dicabut."
Risang menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu, Iswaripun berkata selanjutnya, "Tetapi pencabutan kekancingan itu dapat dibatalkan, jika Gemantar mau memberikan upeti langsung kepada seorang Tumenggung di Pajang."
"Aku sudah menduga," berkata Risang, "hal seperti itu akan dapat terjadi pula di Tanah Perdikan ini."
Risang berhenti sejenak. Namun tiba-tiba ia bertanya, "Bagaimana sikap Gemantar?"
"Gemantar menolak penyerahan upeti itu. Gemantarpun menolak menyerahkan kembali kekancingan yang pernah diturunkan oleh Kanjeng Sultan Trenggana itu," jawab ibunya.
"Tanah Perdikan tidak harus menyerahkan upeti dalam arti yang sebenarnya. Jika Tanah Perdikan menyerahkan upeti, justru bukan nilai upetinya yang diperhitungkan. Tetapi upeti itu merupakan pertanda ikatan kesatuan yang bulat. Namun tentu berbeda dengan upeti yang dimaksud bagi Tanah Perdikan Gemantar yang harus diedarkan kepada Tumenggung itu," berkata Risang dengan geram.
"Ya. Kau benar," sahut ibunya.
"Tumenggung siapakah yang telah minta upeti langsung itu?" bertanya Risang.
"Utusan itu tidak dapat menyebut namanya," jawab ibunya.
Risang mengangguk-angguk kecil. Dengan nada tinggi ia berkata, "Gemantar yang kecil itu telah menunjukkan sikap jantannya. Bagaimana dengan Sembojan ibu?"
Iswari termangu-mangu sejenak. Orang-orang tua yang hadir di ruang itupun nampak ragu-ragu. Sambi Wulung dan Jati Wulung sama sekali tidak berkata apa-apa. Apalagi Bibi yang juga berada di ruang itu.
"Ibu," berkata Risang, "pada saat lain, beberapa orang petugas tentu akan datang ke Tanah Perdikan ini. Mereka tentu akan menawarkan cara yang sama seperti yang mereka tawarkan kepada Tanah Perdikan Gemantar."
"Jika demikian, bagaimana sikap kita?" bertanya ibunya, "aku memerlukan pendapatmu."
"Aku akan ke Pajang menemui beberapa orang pemimpin yang aku kenal baik. Jika jalan itu gagal aku tempuh, maka apaboleh buat. Kita akan bersama-sama lenyap bersama Tanah Perdikan ini."
Ibunya termangu-mangu sejenak. Tidak pernah terbayang sebelumnya, bahwa Tanah Perdikan Sembojan berniat untuk memberontak terhadap Pajang.


01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu, Risangpun berkata, "Pajang sekarang tidak lagi seperti Pajang beberapa saat yang lalu. Meskipun wajahnya masih utuh, tetapi di dalamnya telah terpecah-pecah. Para pemimpin yang datang dari Demak serta para pemimpin Pajang sendiri kadang-kadang sulit untuk mempertemukan pendapat mereka. Sikap beberapa orang pemimpin itu telah menjalar kepada bawahannya, sehingga Pajang tidak lagi merupakan satu kesatuan yang utuh bulat."
"Kita harus mencari jalan lain. Kita tidak seharusnya melakukan pemberontakan," berkata Iswari.
Risang menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti pendapat ibunya. Tetapi justru Risang ingin bersiap untuk melakukannya. Namun demikian, sebelumnya Risang akan dapat berhubungan dengan beberapa orang yang dikenalnya dengan baik di Pajang.
Malampun kemudian menjadi semakin malam. Karena itu, maka Iswaripun kemudian telah menutup pembicaraan mereka malam itu. Dengan nada rendah ia berkata, "Sebaiknya kita beristirahat. Besok masih banyak yang harus kita kerjakan."
Orang-orang tuapun kemudian telah meninggalkan ruang dalam itu. Merekapun merasa sulit untuk memilih langkah yang paling baik mereka lakukan jika Pajang benar-benar ingin menarik kekancingan tentang Tanah Perdikan Sembojan.
Ketika mereka kemudian meninggalkan ruang dalam, maka Bibilah yang menjadi sibuk. Iswari yang akan membantunya telah dicegah oleh Bibi.
"Biarlah perempuan-perempuan di dapur itu menyelesaikannya," berkata Bibi.
"Apakah aku bukan perempuan di dapur?" bertanya Iswari.
"Kau perempuan berpedang," jawab Bibi.
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia bertanya kepada dirinya sendiri, "Manakah yang lebih baik antara perempuan di dapur dan perempuan berpedang?"
Tetapi Iswaripun menyadari bahwa masing-masing membawa bebannya sendiri dengan nilainya sendiri.
Malam itu Risang menjadi semakin gelisah. Ternyata dalam kegelisahannya, sekali-sekali juga terbayang di angan-angan Risang seorang gadis yang ditemuinya di rumah Ki Lurah Dipayuda.
"Jika perlu, aku akan minta petunjuk kepada Ki Lurah Dipayuda," berkata Risang di dalam hatinya.
Sementara itu, pada saat yang hampir bersamaan pula, Kasadha yang gelisah juga berkata kepada diri sendiri, "Jika saat-saat sulit seperti itu tiba, maka aku harus minta petunjuk Ki Lurah Dipayuda. Bagaimana aku harus menghadapi Tanah Perdikan dengan sikap seorang prajurit yang melihat kepincangan dalam pemerintahan di Pajang."
Ketika kemudian cahaya fajar mulai membayang di Timur, Risang telah keluar dari biliknya. Meskipun ia gelisah, tetapi ia sempat tidur beberapa saat. Segarnya udara pagi membuatnya menjadi segar pula. Apalagi ketika Risang itu kemudian setelah mengisi jambangan di pakiwan, langsung mandi dengan air sumur yang terasa hangat.
Seperti hari sebelumnya maka Risangpun telah bersiap-siap untuk memasuki sanggar bersama dengan ketiga orang gurunya. Sementara itu ia masih sempat makan pagi serta minum wedang sere. Ia harus beristirahat sejenak sebelum bersama dengan guru-gurunya mulai berlatih.
Tidak ada hambatan apapun dalam latihan yang berat yang dilakukan oleh Risang. Keringatnya bagaikan terperas dari tubuhnya. Namun terasa bahwa selapis ia telah mendapat kemajuan di saat-saat ia memasuki ilmu dasar Janget Kinatelon setelah landasannya dianggap cukup kuat.
Ketika matahari muai turun, di sisi Barat, Risang dan ketiga orang gurunya telah keluar dari sanggar. Mereka telah mencuci tubuh mereka yang berkeringat serta debu yang melekat.
Namun tidak seperti hari sebelumnya, demikian Risang berganti pakaian di biliknya, ia langsung dipanggil oleh ibunya di ruang dalam.
Dengan nada gelisah ibunya berkata, "Risang, tamu yang kita tunggu itu telah datang."
"Maksud ibu?" bertanya Risang.
"Tamu dari Pajang," jawab ibunya.
Jantung Risang menjadi berdebar-debar. Bahkan kemudian Risang berusaha untuk melihat, siapakah orang yang diutus untuk menemuinya itu.
Ternyata dari celah-celah pintu Risang melihat bahwa ia belum mengenal bahkan belum pernah melihat ketiga orang tamu yang datang dari Pajang itu. Karena itu, maka iapun berkata kepada ibunya, "Aku akan ikut menemui mereka ibu."
"Tetapi kau tidak boleh bersikap kasar. Kau hanya menyaksikan saja pembicaraan kami. Aku sengaja tidak membawa kakek dan nenek dalam pembicaraan ini agar para tamu itu tidak merasa harus berhadapan dengan sekelompok orang yang ingin memusuhi mereka serta menentang sikap mereka."
Risang mengangguk kecil. Sementara ibunya berkata, "Marilah. Ikut aku."
Suling Naga 18 Pedang Siluman Darah 4 Memburu Bah Jenar Samurai Berdarah 1

Cari Blog Ini