Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 8

12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 8


Seperti yang direncanakan maka setelah Wayah Sepi Wong, maka Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sabungsaripun segera berangkat. Sementara itu Ki Jayaraga dan Wacana berada dirumah bersama Sekar Mirah dan Rara Wulan. Wacana yang telah menyesali perbuatannya telah berjanji untuk membantu dan berbuat apa saja bagi keluarga dan Tanah Perdikan.
Agung Sedayu dan kedua orang anak muda yang pergi bersamanya sengaja mengambil jalan yang tidak melewati padukuhan-padukuhan apalagi setelah ia mendekati perbukitan. Dengan cepat mereka memanjat lereng perbukitan, melintasi puncaknya dan ketika mereka mulai menuruni tebing disisi sebelah Barat, maka mereka mulai berhati-hati.
Dari atas tebing mereka telah melihat sinar lampu minyak. Nampaknya orang-orang yang di perkemahan itu memang berusaha agar lampu-lampu di perkemahan tidak terlalu terang, sehingga nyalanya akan dapat dilihat dari jauh.
"Mereka berusaha menyembunyikan sinar lampu digubug-gubug itu," desis Sabungsari.
"Tetapi mereka membuat perapian disiang hari," berkata Agung Sedayu.
"Agaknya mereka tidak dapat menghindari mengepulnya asap, karena mereka harus memanggang binatang buruan yang mereka dapatkan. Mereka juga harus merebus air dan menanak nasi," berkata Glagah Putih.
"Ya," desis Agung Sedayu sambil memandangi perkemahan itu. Ternyata ia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya.
"Lihat agak ke Utara," berkata Agung Sedayu. Perhatian mereka semula memang tertuju pada sekelompok gubug yang berada di sebuah lekukan lereng bukit. Ketika mereka memandang kearah yang lain, maka mereka melihat pula sinar lampu yang temaram disebuah kelompok gubug-gubug yang lain.
"Marilah, kita mendekati kelompok yang lain itu." ajak Agung Sedayu.
Ketiganyapun kemudian mendekati kelompok gubug-gubug yang lain. Bahkan mereka masih juga melihat kelompok-kelompok gubug yang lain lagi. Disiang hari mereka dapat melihat jelas, kelompok-kelompok gubug itu berderet justru memasuki daerah Kademangan Kleringan."
"Jumlahnya cukup banyak," desis Glagah Putih yang belum melihat perkemahan itu disiang hari.
"Ya. Karena itu, kita harus berhati-hati. Maksudku Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Kleringan."
Ketika mereka bertiga bergeser lebih ke Utara, maka kerekapun melihat sesuatu yang menarik. Ketiganya yang merayap semakin dekat itu melihat beberapa orang yang meninggalkan satu tempat diantar gubug-gubug itu, berjalan perlahan-lahan.
Dengan cepat mereka telah berlindung dibalik gerumbul-gerumbul liar dibawah pepohonan hutan. Malam yang pekat menjadi lebih pekat didalam hutan meskipun huta itu tidak terlalu rapat sebagaimana hutan yang tidak berada dilereng bebatu padas dan mengandung kapur.
"Kenapa iblis itu tudak segera dibunuh saja," terdengar salah seorang dari mereka bergumam.
"Resi Belahan masih ingin menemuinya. Resi Belahan baru akan datang esok atau lusa," sahut yang lain.
"Lusa orang itu sudah mati dengan sendirinya. Luka-lukanya menjadi semakin banyak. Anak-anak tidak dapat dikekang lagi." terdengar suara yang lain.
"Tetapi kita harus menjaga agar setan itu tetap hidup. Jika ia mati sebelum Resi Belahan menemuinya, maka kita semua akan dianggap bersalah. Dengan susah payah beberapa orang terbaik kita berusaha menangkapnya." terdengar jawaban.
Pembicaraan itu memang sangat menarik. Sementara itu yang lain berkata, "Apakah iblis itu itu tidak akan dapat melarikan diri dari tempatnya ?"
"Ia memang berilmu sangat tinggi. Tetapi ia tidak diikat dengan tali tampar, serabut atau ijuk. Tetapi iblis itu diikat dengan janget. Ia tidak akan dapat memutuskan janget yang dirangkap tiga itu. Bahkan seandainya ia memiliki Aji Guntur Geni sekalipun." terdengar jawaban.
"Bukankah penjagaannya cukup baik?" terdengar seseorang bertanya.
"Ya. Dua orang mengawasinya terus-menerus. Sementara itu, Ki Tempuyung Putih ada digubug disebelahnya. Jika iblis itu berusaha melarikan diri, maka yang mengawasinya akan dapat memanggil Ki Tempuyung Putih."
"Aku kurang yakin kepada Singa Larap dan Wirasandi. Mereka kadang-kadang kehilangan kewaspadaan." berkata seorang diantari mereka.
"Tidak apa-apa. Janget itu tidak akan dapat putus."
Namun Agung Sedayu dan kedua orang anak muda yang bersamanya itu tidak dapat mendengar pembicaraan mereka selanjutnya, karena mereka menjadi semakin jauh. Jika dikehendaki Ki Agung Sedayu dapat mengikuti pembicaraan itu dengan mengetrapkan ilmunya Sapta Pangrungu. Namun baginya persolan yang terpenting telah dapat didengarnya.
"Ternyata mereka menyimpan seorang tawanan," desis Agung Sedayu kemudian.
"Ya," sahut Sabungsari. "ditunggui oleh seorang yang berilmu tinggi yang bernama Ki Tempuyung Putih."
"Kita akan mencoba untuk melihatnya," desis Agung Sedayu.
Bertiga mereka beringsut. Sementara Agung Sedayu berpesan agar mereka sangat berhati-hati. Di perkemahan itu tentu terdapat beberapa orang lain yang meninggalkan tempat itu pergi ke gubug-gubug dikelompok yang lain.
Demikianlah, maka mereka bertigapun dengan sangat berhati-hati mendekati sekelompok perkemahan itu. Mereka sadar, bahwa didalam salah satu dari beberapa gubug yang ada itu, tinggal seorang berilmu tinggi yang bernama Ki Tempuyung Putih.
Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka mereka melihat bahwa diantara be berapa gubug itu terdapat lingkungan yang sedikit terbuka. Dengan mempergunakan kemampuan ilmu Sapta Pandulu Agung Sedayu dapat melihat remang-remang seseorang yang terikat pada sebatang pohon yang cukup besar. Dua orang yang menjaganya duduk tidak jauh dari orang yang diikat itu bersandar pohon pula.
Agung Sedayu menyadari bahwa kedua orang anak muda yang menyertainya itu masih belum melihat orang yang terikat itu.
Karena itu, dengan berbisik Agung Sedayu memberitahukan apa yang dilihatnya dan mengajak kedua orang anak muda itu lebih mendekat lagi. Tetapi sudah tentu mereka harus semakin berhati-hati. Mereka tidak boleh mengejutkan kedua orang yang sedang berjaga-jaga itu merekapun tidak boleh menimbulkan desir yang dapat didengar oleh orang yang disebut Ki Tempuyung Putih itu.
Demikianlah, Sesuai dengan penglihatan Agung Sedayu, maka mereka bertigapun mendekati orang yang sedang terikat pada sebatang pohon ditempat yang sedikit terbuka itu.
Dengan sangat berhati-hati pula mereka menghindari beberapa gubug yang berkelompok itu untuk mencapai tempat yang agak terbuka yang dipergunakan untuk mengikat orang yang nampaknya sudah sangat lemah itu.
Untunglah bahwa ketiga orang itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga mereka dapat bergeser mendekat tanpa menimbulkan suara yang dapat didengar oleh kedua orang yang sedang berjaga-jaga. Namun Agaknya keduanya memang tidak terlalu menghiraukan orang yang terikat itu. Selain orang itu sudah diikat dengan janget yang kuat rangkap tiga, orang itupun nampaknya sudah terlalu lemah sehingga kedua orang yang bertugas itu menganggap bahwa orang itu tidak akan mungkin dapat melepaskan diri.
Karena itu, maka kedua orang itu sempat asyik berbincang untuk menghilangkan perasaan kantuk yang mulai menjamah mata mereka.
"Bagaimana kalau aku tidur sejenak?" seorang diantara mereka berdesis.
"Jika kau tidur, aku bunuh kau," geram kawannya.
Kawannya tertawa. Katanya, "Nanti kita bergantian. Bukankah orang yang terikat itu sudah akan mati?"
"Tetapi ia orang berilmu sangat tinggi. Jika orang itu lepas, justru saat kita bertugas, maka kitalah yang akan rnati."
"Tetapi melihat ujud dan keadaanya, bukankah ia tidak akan dapat melepaskan dari ikatannya ?" sahut kawannya.
"Ya. Meskipun demikian, kita harus tetap berjaga-jaga."
"Tugas yang paling aku benci. Lebih baik aku ditugaskan pergi ke padukuhan untuk mencari bahan makan atau merampok sama sekali."
Keduanyapun kemudian terdiam. Mereka bersandar sebatang pohon menghadap kearah yang berbeda. Seorang diantara mereka membawa tombak pendek sedangkan yang lain membawa parang yang besar.
Tetapi sejenak kemudian, seorang diantara mereka mulai berbicara lagi tentang mimpinya semalam.
"Aku mimpi diterkam seekor burung elang raksasa semalam."
"Kau akan digantung besok," jawab kawannya.
Orang yang bermimpi itu tertawa. Katanya, "Kau jadi bengis sekali malam ini."
"Aku juga jemu dengan tugas ini," jawabnya.
"Kita tidak dapat memilih tugas," desis yang lain.
Agung Sedayu dan kedua orang anak muda yang menyertainya memang masih menunggu. Kedua orang itu agaknya memang tidak akan berani tidur meskipun bergantian. Orang yang terikat itu adalah orang yang mereka anggap sangat berbahaya Meskipun kedua orang yang menungguinya itu menganggap bahwa orang itu tidak akan mungkin mampu melepaskan diri, tetapi orang itu harus tetap diawasi.
Agung Sedayu memberi isyarat kepada Glagah Putih dan Sabungsari untuk bersabar. Mereka juga menunggu orang yang ada di gubug-gubug itu sampai mereka tertidur, setidak-tidaknya mereka telah terbaring dipembaringan mereka masing-masing.
Glagah Putih dan Sabungsari memang menjadi hampir tidak sabar. Nyamuk ternyata terlalu banyak, sehingga keduanya menjadi gatal ditangan dan dikaki mereka.
Baru beberapa saat kemudian, ketika gubug-gubug itu benar-benar menjadi sepi, Agung Sedayu berbisik, "Kita akan mulai."
"Apa yang akan mula-mula kita lakukan ?" bertanya Glagah Putih. "Apakah kita akan melihat siapakah orang yang diikat itu ?"
"Ya," berkata Agung Sedayu, "Tetapi sebelunya kita harus membungkam kedua orang itu."
"Apakah kita harus membunuhnya ?" bertanya Glagah Putih.
"Tidak perlu. Kita akan membuat mereka pingsan," desis Agung Sedayu.
Agung Sedayupun kemudian telah membagi tugas. Glagah Putih dan Sabungsari harus dengan cepat menguasai kedua orang itu. Keduanya tidak perlu dibunuh. Pukulan pada tengkuk mereka akan membuat mereka pingsan untuk waktu yang cukup lama.
Sementara itu Agung Sedayu akan mendekati orang yang terikat itu.
Demikianlah, maka dengan isyarat Agung Sedayu, maka ketiganya mulai bergerak. Glagah Putih dan Sabungsari dengan sangat berhati-hati mendekati kedua orang yang duduk bersandar pohon itu. Hampir berbareng keduanya menggamit kedua orang itu sehingga kedua orang itu terkejut. Namun keduanya bangkit berdiri, maka Glagah Putih dan Sabungsari hampir berbareng pula telah menghantam tengkuk kedua orang itu.
Orang itu tidak sempat mengaduh. Keduanyapun segera jatuh tersungkur. Namun Glagah Putih dan Sabungsari dengan cepat menangkap mereka sehingga tubuhnya yang terjatuh itu tidak menimbulkan bunyi yang menarik perhatian, karena mereka yakin bahwa didalam gubug itu tentu masih ada orang yang belum tidur nyenyak.
Sementara itu Agung Sedayupun mendekati orang yang masih terikat itu. Semakin dekat Agung Sedayu memang menjadi semakin tertarik. Bahkan ia sempat mengira bahwa yang terikat itu adalah orang yang masih sangat muda menilik tubuhnya yang nampaknya masih terlalu kecil bagi seorang dewasa. Bahkan mungkin seorang remaja. Tetapi orang-orang yang menjaganya itu menyebutnya bahwa ilmunya sangat tinggi.
Ketika Agung Sedayu berhenti beberapa langkah dihadapanya, dalam keremangan malam ia melihat orang itu mengangkat wajahnya. Dengan mata yang sayu ia memandangi Agung Sedayu yang mendekat.
"Kau," desis Agung Sedayu.
Orang itupun terkejut melihat Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sabungsari yang mendekat. Hampir diluar sadarnya orang itu berdesis lambat, "Kenapa kalian sampai ketempat ini ?"
"Bajang Bertangan Baja," gumam Sabungsari.
"Ya. Aku ditangkap oleh anak buah Resi Belahan. Aku dianggap bersalah karena aku melibatkan Ki Manuhara dalam persoalan yang sebenarnya tidak bersangkut paut dengan kepentingan Ki Manuhara. Bahkan Ki Manuhara justru terbunuh karenanya."
"Mereka mampu menangkapmu ?" bertanya Glagah Putih hampir berbisik.
"Beberapa orang berilmu tinggi memburuku," desis Bajang Bertangan Baja.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak mempunyai banyak waktu. Karena itu, maka katanya perlahan-lahan, "Kami akan melepaskanmu. Kami tidak tahu apa yang akan kami lakukan kemudian. Mungkin kami juga akan membunuhmu kelak."
"Terima kasih," jawab Bajang itu, "aku lebih senang kalian bunuh daripada aku harus mengalami siksaan yang hampir tidak tertahankan lagi disini."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia masih bertanya, "Kenapa kau tidak mampu memutuskan tali pengikatmu itu ?"
"Tali janget itu terlalu kuat. Apa lagi tenagaku sudah hampir habis. Aku telah mengalami siksaan habis-habisan sambil menunggu kehadiran orang yang disebut Resi Belahan."
"Jadi kau belum betemu dengan Resi Belahan ?" bertanya Glagah Putih.
"Belum," jawab Bajang Bertangan Baja.
Agung Sedayupun tidak membuang waktu lebih banyak lagi. Ia-pun kemudian telah melepaskan ikatan yang kuat itu. Agaknya memang sulit untuk memutuskan janget yang rangkap tiga itu. Sedangkan untuk melepaskan ikatan tali patinya saja memerlukan waktu yang cukup lama.
Sebelum kedua orang yang pingsan itu sadar, maka Agung Sedayu serta kedua anak muda yang menyertainya telah membawa Bajang Bertangan Baja untuk menyingkir. Mereka secepatnya telah menjahui perkemahan itu. Meskipun jalan dilereng pegunungan itu agak sulit, apalagi ditempuh dimalam hari, sementara tubuh Bajang Bertangan Baja itu sudah menjadi lemah sekali, namun ternyata kemauan Bajang yang sangat besar untuk menghindarkan diri dari tangan para pengikut Resi Belahan telah membuatnya sanggup berjalan sendiri meskipun sekali-sekali Glagah Putih dan Sabungsari membantunya juga.
Ketika mereka melewati puncak bukit, maka merekapun berhenti sejenak untuk beristirahat.
"Marilah, aku bantu kau berjalan," berkata Glagah Putih setelah mereka duduk beberapa saat sambil menghirup segarnya udara malam yang dingin.
"Aku masih sanggup berjalan sendiri," desis Bajang Bertangan Baja sambil terengah-engah.
"Kau terlalu lemah," berkata Sabungsari.
"Tidak," jawab Bajang yang kerdil itu, "keculai jika kalian takut aku melarikan diri. Tetapi biarlah aku berjanji, bahwa aku tidak akan melarikan diri. Aku akan menerima hukuman apapun yang akan kaluan berikan padaku, termasuk hukuman mati, karena sepeti yang sudah aku katakan, aku akan berterima kasih jika kalian membunuhku daripada membiarkan aku berada di tangan para pengikut Resi Belahan itu."
"Baiklah, marilah kita berjalan terus," kata Agung Sedayu.
Keempat orang itupun kemudian mengerumuni lereng pebukitan dan langsung melintasi bulak-bulak di Tanah Perdikan menuju kerumah Agung Sedayu di Padukuhan Induk Tanah Perdikan.
Sementara itu langitpun mulai dibanyangi oleh bayangan fajar. Namun hari masih gelap ketika mereka memasuki pintu gerbang Padukuhan Induk.
Beberapa orang peronda masih berada di gardu. Mereka melihat ampat orang memasuki gerbang Padukuhan Induk. Mereka memang bertanya, dari mana mereka malam-malam baru kembali ke Padukuhan Induk.
Sementara itu sambil tersenyum Agung Sedayu menjawab, "Sekali-sekali kami ingin melihat-lihat keadaan di Tanah Perdikan di-waktu malam."
Anak-anak muda itu juga tertawa. Tetapi mereka tidak memperhatikan orang keempat yang bersama mereka. Apalagi Glagah Putih dan Sabungsari sengaja menutup-nutupi orang kerdil yang berjalan dengan lemah, meskipun ia berusaha untuk tidak memberikan kesan demikian. Sinar lampu oncor yang berkeredipan di gardu itu tidak cukup terang untuk memperlihatkan luka-luka di tubuh Bajang Bertangan Baja itu. Juga bajunya yang kotor dan lusuh. Bahkan bernoda darah.
Menjelang fajar, mereka berempat memasuki halaman rumah Agung Sedayu. Ketika mereka naik kependapa, maka pintu pringgi-tanpun telah terbuka. Agaknya Ki Jayaraga telah mendengar geremang orang-orang yang baru datang itu. Dengan cepat Ki Jayaraga dapat mengenali suara Agung Sedayu dan kedua anak muda yang pergi bersamanya.
Ketika pintu terbuka serta keempat orang itu naik kependapa, maka Ki Jayaraga terkejut melihat orang kerdil yang datang bersama Agung Sedayu.
"Bajang Engkrek," desis Ki Jayaraga.
Bajang Bertangan Baja menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah tahu kalau Ki Jayaraga ada dirumah itu. Dengan nada dalam ia berdesis, "Ya. Ini aku."
Ki Jayaraga termangu-mangu ketika ia melihat tubuh Bajang Bertangan Baja yang kotor, lusuh dan terluka. Darah telah mengotori pakaian dan kulitnya.
Menurut dugaan Ki Jayaraga, Bajang Bertangan Baja itu telah bertempur melawan Agung Sedayu dan kedua anak muda yang menyertainya atau salah seorang dari mereka. Namun Agung Sedayu yang seakan-akan dapat membaca perasaan Ki Jayaraga itu berkata, "Aku menemukannya dalam keadaan demikian."
"Kenapa ?" bertanya Ki Jayaraga.
"Sebaiknya kita duduk saja lebih dahulu. Ceriteranya cukup panjang."
Sementara itu Wacana yang berada digandok telah mendengar pula kehadiran Agung Sedayu bersama Glagah Putih dan Sabungsari. Karena itu, maka iapun telah keluar pula dari biliknya digandok untuk menemui mereka. Tetepi iapun terkejut melihat orang kerdil yang datang bersama mereka dengan penuh luka ditubuhnya.
Dengan serta-merta Wacana berkata, "Siapa orang ini ?"
Agung Sedayu yang tidak memikirkan akibat dari jawabannya berdesis, "Inilah orangnya, Bajang Bertangan Baja."
"Jadi orang ini yang telah mengambil Raras " Jika demikian biarlah ia tetap hidup. Aku akan menantangnya berperang tanding." geramnya.
"Duduklah," berkata Agung Sedayu, "Kau tidak boleh tergesa-gesa mengambil sikap. Bukankah pengalaman mengajarmu, bahwa tergesa-gesa mengambil sikap sama sekali tidak menguntungkan. ?"
Apapun yang terjadi atas diriku, aku tidak akan menyesal. Aku tahu Bajang Bertangan Baja seorang yang berilmu tinggi. Tetapi aku tidak akan gentar menghadapi."
"Aku tahu," berkata Agung Sedayu, "tetapi duduklah. Dengarlah, biarlah aku berceritera mengapa aku membawa Bajang itu kemari."
Wacana yang wajahnya telah menjadi merah itu berkata, "Aku tidak akan membunuhnya saat ia tidak berdaya. Aku akan menunggu sampai keadaannya menjadi pulih kembali."
"Dengarlah," berkata Agung Sedayu pula.
Wacana menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian duduk pula bersama mereka di pendapa rumah Agung Sedayu. Sementara itu langitpun menjadi terang oleh fajar yang menyingsing.
Agung Sedayupun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi dengan Bajang Bertangan Baja itu. Agung Sedayupun menceriterakan bahwa ia menemukan Bajang Bertangan Baja itu dalam keadaan terikat dan terluka seperti itu.
"Ia telah ditangkap setelah diburu untuk beberapa saat oleh beberapa orang pengikut Resi Belahan yang juga berilmu tinggi, sehingga mereka mampu menangkap Bajang Bertangan Baja itu."
Ki Jayaragapun mengangguk-angguk. Agaknya dendam Resi Belahan tidak terkekang lagi karena kematian Ki Manuhara. Bagi Resi Belahan kegagalan Ki Manuhara adalah karena telah terbujuk untuk ikut serta membantu Bajang Bertangan Baja, justru untuk tugas yang sama sekali tidak berhubungan dengan yang sebenarnya di Mataram.
Namun justru karena itu, maka Ki Jayaraga menganggap bahwa untuk mengambil tindakan terhadap Bajang Bertangan Baja masih harus dipikirkan, cara yang sebaik-baiknya untuk mengambil tindakan terhadap Bajang yang dikenalnya bernama Bajang Engkrek itu.
"Orang ini masih mungkin berubah," berkata Ki Jayaraga dalam hatinya. Namun Ki Jayaraga sadar, bahwa dengan serta-merta mempercayai orang itu adalah satu keputusan yang sangat tergesa-gesa.
Ketika kemudian Sekar Mirah dan Rara Wulan hadir pula dipendapa, maka tengkuk Rara Wulanpun terasa meremang. Bajang itulah yang sebenarnya ingin mengambilnya karena ia telah diupah oleh Raden Antal. Jika saja Bajang itu berhasil, maka nasibnya akan menjadi sangat buruk di tangan Raden Antal.
Ketika Rara Wulan bersama dengan Sekar Mirah, Glagah Putih dan Sabungsan bertemu dengan orang itu di Mataram, Bajang itu nampak lain dengan Bajang yang dijumpainya sekarang. Meskipun waktu itu Bajang Bertangan Baja itu dalam keadaan utuh baik tubuhnya maupun tenaganya, namun karena ia berniat meninggalkan Mataram, maka rasa-rasanya Bajang itu tidak menakutkan seperti saat itu. Justru karena Bajang Bertangan Baja itu dalam keadaan lemah dan luka yang agak parah, maka diwajarinya membayang dendam dan kebecian.
Namun ketika Sekar Mirah dan Rara Wulan mendengar ceritera tentang Bajang yang berhasil diburu dan ditangkap oleh beberapa orang berilmu tinggi yang mendapat perintah langsung dari Resi Belahan, maka merekapun merasa sedikit iba melihatnya.
Dalam pada itu, maka sejenak kemudian Sekar Mirah dan Rara Wulanpun telah menyiapkan minuman hangat bagi mereka. Juga Bagi Bajang Bertangan Baja. Ketika Bajang itu sempat menghirup minuman hangat dengan gula kelapa, maka terdengar suara berdesah.
"Kenapa ?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku sudah tidak berharap untuk dapat meneguk minuman hangat dengan gula kelapa seperti ini. Ketika tubuhku terikat, maka aku hanya berharap agar lekas mati. Tetapi ternyata aku masih sempata duduk di pendapa ini sambil meneguk minuman hangat dan gula kelapa. Aku merasa bahwa seolah-olah aku telah hidup kembali setelah aku duduk dimulut diliang kubur."
"Minumlah secukupnya. Bukankah aku sudah mengatakan kepadamu, bahwa mungkin kami juga akan membunuhmu?" desis Agung Sedayu.
"Bukan lagi soal bagiku," jawab Bajang Engkrek itu. Katanya kemudian, "Tetapi aku sudah sempat menikmati segarnya minuman hangat ini."
"Nah, mana yang lebih nikmat. Kau tanpa harta benda yang bertumpuk yang kau kumpulkan bahkan dengan melakukan apa saja, membunuh menculik dan apa saja, namun seperti sekarang ini bangkit dan berpengharapan dan sekedar minum minuman hangat dengan gula kelapa, atau kau dengan harta bendamu itu tetapi terikat dibatang pohon dengan janget yang kuat rangkap tiga, dengan badan yang penuh luka yang menjadi sangat pedih karena titik-titik embun yang runtuh dari dedaunan."
"Aku tidak mengerti," desis Bajang Bertangan Baja.
"Bajang Bertangan Baja," berkata Agung Sedayu, "bukankah kenikmatan itu tidak selalu kau dapatkan dari harta benda yang barangkali menumpuk disarangmu" Dengan susah payah kau kumpulkan uang, benda-benda berharga dan apa saja dengan cara yang justru bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku, bahkan tanpa segan-segan mengorbankan nyawa orang lain, namun yang akhirnya justru telah menyeretmu kedalam kesulitan."
"Itu adalah kemungkinan yang sudah diperhitungkan sebelumnya," jawab Bajang Bertangan Baja itu sambil menunduk.
"Tetapi suatu saat kau merasa bahwa seolah-olah kau hidup kembali setelah duduk dimulut liang kubur. Apakah itu terjadi karena kau memiliki harta benda dan uang yang banyak sekali ?"
Bajang Bertangan Baja itu mengangguk-angguk. Sudah berpuluh bahkan beratus kali ia mendengar tegoran, nasehat dan pendapat bahwa ia telah menempuh jalan sesat. Tetapi memang ia telah memilih jalan itu, sehingga beratus kali ia mendengar hal yang buruk dari tingkah lakunya, maka sebanyak itu pula ia mencibir dan mentertawakannya. Namun ketika ia tersudut dalam keadaan yang pahit itu, maka apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu itu bagaikan langsung menikam sampai kepusat jantungnya. Bajang Bertangan Baja itu memang bertanya kepada diri sendiri, apa arti semua yang telah dilakukannya itu, jika akhirnya ia terikat tanpa dapat berbuat apapun juga selama ia mengalami siksaan yang hampir tidak tertahankan lagi.
Agung Sedayu yang melihat Bajang itu merenung, tidak segera berbicara lagi. Agung sedayu sengaja memberi kesempatan Bajang itu untuk menilai kembali tingkah lakunya.
Diluar sadarnya Bajang itu memandang kepada Ki Jayaraga seakan-akan ingin melihat jauh kedasar hatinya. Ki Jayaraga yang melihat tatapan mata Bajang itu berkata, "Bajang Engkrek. Nasibmu memang mirip dengan nasibku. Jika harta bendamu telah menjerumus-kanmu kedalam kesulitan, apalagi ketamakanmu itu, maka kesombongan dan kebanggaanku atas ilmukupun telah membuat hatiku sakit. Mungkin kau telah mendengar bahwa semua murid-muridku, telah terjerumus kedalam dunia yang kelam. Semuanya. Bahkan ada di-antara mereka yang telah menjadi bajak laut yang ganas. Karena itu, aku harus menilai kembali langkah-langkah yang pernah aku tempuh untuk sebagian besar waktuku selama aku hidup. Baru kemudian aku menemukan sesuatu yang berarti, setelah aku menjadi semakin tua, bahkan hampir renta sekarang ini. Aku menemukan seorang murid yang benar-benar mampu menebus kegagalan-kegagalanku sebelumnya. Maksudku, aku menompang mengakunya sebagai muridku meskipun kepribadiannya sudah terbentuk sebelumnya."
Bajang Bertangan Baja menarik nafas dalam-dalam. Katanya hampir kepada dirinya sendiri, "Seandainya aku masih mempunyai waktu untuk merenungi keadaanku."
"Kenapa seandainya ?" bertanya Agung Sedayu.
"Jika kalian mengambil keputusan untuk membunuhku, maka aku tidak akan sempat merenunginya apalagi memperbaikinya," jawab Bajang Bertangan Baja.
"Ya," Agung Sedayu mengangguk-angguk, "kemungkinan itu memang ada. Sampai sekarang persoalan Raras masih belum tuntas. Jika Resi Belahan mendendammu karena Ki Manuhara telah kau seret kedalam becana, bahkan kematian, maka kamipun mendendam karena persoalan Raras sampai sekarang justru berkembang semakin buruk. Raras sendiri masih terganggu ketenangannya. Ia selalu dibayangi ketakutan. Bahkan setiap saat."
Bajang itu menundukkan kepalanya.
"Semua itu adalah karena kau menginginkan upah," desis Agung Sedayu.
Bajang Bertangan Baja itu mengangguk-angguk. Katanya dengan nada berat, "Ya. Sekarang aku sempat melihat. Itulah yang aku lakukan."
"Baiklah," berkata Agung Sedayu, "untuk sementara kau berada disini bersama kami. Aku belum tahu apa yang ingin kami lakukan. Salah satu kemungkinan adalah membunuhmu. Tetapi kami tidak ingin mengurungmu seperti mengurung seorang tawanan. Meskipun kau diawasi, tetapi kau bebas bergerak dihalaman rumahku. Tetapi ingat, disini ada Rara Wulan yang justru merupakan sasaran utama dari kerjamu selama kau di Mataram. Bukankah kau mendapat upah untuk mengambil Rara Wulan " Jika kau masih mencoba untuk menjualnya, maka kau akan tahu akibatnya. Kami dapat berbuat lebih buruk dari Resi Belahan."
"Tidak," jawab Bajang Bertangan Baja, "aku tidak akan berbuat apa-apa lagi. Bukankah Tumenggung Wreda Sela Putih Sudah ditangkap ?"
"Jadi karena tidak ada lagi orang yang mengupahmu maka kau urungkan niatmu?" berkata Agung Sedayu, "bagaimana jika kelak ada orang lain yang mengupahmu untuk mengambil Rara Wulan atau Raras atau mungkin isteriku ?"
"Tidak. Tentu tidak," jawab Bajang Bertangan Baja, "Tetapi beri kesempatan aku untuk merenungi jalan hidupku. Jika kalian akan membunuhku, lakukanlah setelah tenggang waktu beberapa lama. Sebelum mati aku ingin mengenali diriku dan menyembuhkan luka-lukaku. Bahkan seandainya aku harus berada didalam bilik yang sepi dan gelap."
"Sudahlah. Sekarang, jika kau ingin membersihkan dirimu, lakukanlah. Jika kau mencoba untuk melarikan diri, maka hidupmu akan diakhiri. Bukankah kau tahu bahwa Glagah Putih hampir saja membunuhmu dipinggir susukan Kali Opak itu?" berkata Agung Sedayu sambil berpaling kepada Glagah Putih.
Diluar sadarnya Bajang Bertangan Baja itu memandang Glagah Putih pula. Anak itu masih sangat muda. Tetapi ilmunya bukan kepalang. Anak itu pula yang disebut oleh Ki Jayaraga anak muda yang diakunya sebagai muridnya, meskipun kepribadiannya sudah terbentuk sejak sebelumnya.
"Aku tidak akan melarikan diri," berkata Bajang Bertangan Baja, "aku berjanji meskipun disini ada kemungkinan bagiku untuk dihukum mati."
"Kami belum dapat dengan serta-merta mempercayaimu," desis Agung Sedayu pula.
"Aku mengerti," sahut Bajang Bertangan Baja.
Kemudian diantar oleh Glagah Putih, Bajang Bertangan Baja itu pergi ke pakiwan. Ternyata bukan hanya Glagah Putih yang mengawasinya. Tetapi juga Sabungsari dan bahkan Wacana.
Tetapi Bajang Bertangan Baja memang tidak berniat untuk melarikan diri. Ketika ia mandi, maka alangkah pedihnya luka-luka ditubuhnya. Tetapi Bajang itu membersihkan dirinya dari noda-noda darah dan debu dan kotoran lainnya. Sementara itu Agung Sedayu telah meminjaminya pakaian meskipun terlalu besar.
Demikian Bajang Bertangan Baja selesai mandi, maka iapun tidak menemui Agung Sedayu lagi dirumahnya. Ternyata Agung Sedayu telah pergi ke barak.
Karena itu kepada Ki Jayaraga ia berkata, "Apakah aku diijinkan untuk mengobati luka-lukaku ?"
"Dengan apa ?" bertanya Ki Jayaraga.
"Aku kira disini ada obat apapun juga," jawab Bajang Bertangan Baja itu.
"Bukankah kau memiliki pengetahuan yang tinggi tentang obat-obatan " Ki Manuhara tidak akan bertahan hidup jika ia tidak kau obati. Kami yakin akan hal itu," jawab Ki Jayaraga.
"Ya. Aku telah menolongnya. Aku telah menyelamatkan nyawanya. Karena itu, maka ia bersedia membantuku meskipun agak terpaksa sehingga justru telah merenggut nyawanya, sehingga membuat Resi Belahan menjadi sangat marah kepadaku," jawab Bajang Bertangan Baja, "tetapi apakah kau sempat membuatnya sekarang " Dalam keadaan seperti ini."
"Jika kau ingin membuat, buatlah jika bahannya dapat kita temukan di halaman rumah ini," berkata Ki Jayaraga, "tetapi angger Agung Sedayu memang mempunyai tanaman berjenis-jenis empon-empon karena murid Orang Bercambuk itu juga mempelajari serba sedikit tentang pengobatan."
Bajang Bertangan Baja itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Tolonglah, jika kau tidak berkeberatan, aku ingin melihat tanaman empon-empon itu."
Glagah Putih dan Sabungsari kemudian membawa Bajang Bertangan Baja itu kekebun dibelakang. Ternyata bahwa dikebun itu ditemukan jenis empon-empon yang diperlukan Bajang Bertangan Baja untuk mengobati luka-lukanya yang cukup parah.
"Kami juga mempunyai obat yang sudah jadi jika kau memerlukannya," berkata Glagah Putih.
Tetapi Bajang itu berdesis, "Aku telah menemukan bahan obat-obatan yang sangat baik. Disini tentu ada pipisan."
Dengan pipisan Bajang itu telah membuat obat bagi dirinya sendiri. Justru karena Bajang itu memiliki pengetahuan yang tinggi tentang ilmu obat-obatan, maka ia lebih yakin akan obatnya sendiri.
Sementara itu, dibarak Pasukan Khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayu telah menyiapkan satu kelompok khusus yang dapat bergerak setiap saat. Melihat jumlah gubug-gubug yang tiba-tiba saja dilereng bukit itu, maka Agung Sedayu memperkirakan bahwa jumlah orang yang membuatnya dan yang tinggal didalamnya cukup banyak. Mungkin mereka memang orang-orang yang peradabannya agak tertinggal dibelakang dibanding dengan penghuni Tanah Perdikan Menoreh, tetapi mungkin juga justru orang yang memiliki kecerdikan namun licik sehingga ujud itu hanya sekedar topeng untuk mengelabuhi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Kleringan.
"Kita harus berjaga-jaga. Segala kemungkinan dapat terjadi," berkata Agung Sedayu. Kepada Ki Lurah Branjangan yang ada di barak itu ia berpesan, "Mungkin besok aku tidak datang atau terlambat datang di barak ini. Dirumahku ada Bajang Bertangan Baja."
"Bagaimana mungkin Bajang itu ada dirumahmu ?" bertanya Ki lurah Branjangan.
Dengan singkat Agung Sedayu menceriterakan malapetaka yang menimpa Bajang Bertangan Baja itu, sehingga orang kerdil itu jatuh ke tangan Agung Sedayu.
"Memang mungkin seseorang itu berubah," berkata Ki Lurah Branjangan, "Tetapi bagaimanapun juga kau harus berhati-hati dengan Bajang itu. Ia tentu orang yang licik, cerdik dan sama sekali tidak berbelas kasihan apa lagi merasa berhutang budi."
"Ya Ki Lurah," berkata Agung Sedayu, "Kami semua tidak begitu saja mempercayainya."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Namun persoalan yang disampaikan Agung Sedayu bukan saja tentang kehadiran Bajang Bertangan Baja dirumahnya, tetapi juga persoalan antara Wacana dan Sabungsari.
"Tetapi persoalan Wacana dan Sabungsari telah dapat diselesaikan. Ternyata Sabungsari cukup bijaksana meskipun sebelumnya perasaan seperti terbakar oleh sikap Wacana," berkata Agung Sedayu kemudian.
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "sokurlah. Mudah-mudahan persoalan Raras itu cepat dapat diselesaikan. Namun sementara itu persolan Resi Belahan telah mulai membayangi Tanah Perdikan ini."
"Ya. Itulah sebabnya aku telah menyiapkan sekelompok prajurit pilihan dari antara Pasukan Khusus ini yang setiap saat dapat digerakkan sebagaimana ketika Tanah Perdikan ini diganggu oleh Ki Manuhara."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, "Ternyata masih banyak yang harus kita lakukan. Justru kita mengaku bagian dari keutuhan Mataram."
"Ya," sahut Agung Sedayu, "itu merupakan tanggung jawab kita disini."
"Besok aku akan pergi Kepadukuhan Induk," berkata Ki Lurah Brajangan pula.
Demikianlah hari itu Agung Sedayu memang pulang lebih cepat dari biasanya. Kehadiran Bajang Bertangan Baja dirumahnya tetap merupakan persoalan baginya. Agung Sedayu masih belum tahu, apa yang akan dilakukannya kemudian atas Bajang Bertangan Baja. Atau kemudian ia harus mempercayainya bahwa Bajang Bartangan Baja itu akan berubah.
Demikian Agung Sedayu sampai dirumah, maka yang pertama-tama ditanyakan adalah Bajang Bertangan Baja yang ternyata ada diserahi samping bersama Ki Jayaraga.
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil, sementara Sekar Mirah menghidangkan minumannya, maka iapun berdesis perlahan, "Yang memerlukan perhatian bukan Bajang Bertangan Baja itu."
"Jadi siapa ?" bertanya Agung Sedayu.
"Sabungsari, "jawab Sekar Mirah.
"Kenapa ?" Agung Sedayu mendesak.
"Ia lebih banyak diam dan termenung, aku tidak tahu apa yang dipikirkannya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Sekar Mirah yang duduk disebelahnya berdesis, "Tetapi kepada Glagah Putih ia bertanya, kenapa Raras justru tertarik kepadanya sebagaimana dikatakan oleh Wacana."
Agung Sedayu tersenyum sambil berdesis, "Ia justru mulai memikirkan gadis itu."
"Tetapi bagaimana dengan Raden Teja Prabawa ?" bertanya Sekar Mirah.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Dengan nada rendah ia menjawab, "Sebenarnya Sabungsari tidak ingin menyakiti hati Raden Teja Prabawa. Sebelum Wacana datang kepadanya dan mempersoalkan hubungan Sabungsari dengan Raras, Sabungsari sudah berniat untuk menyingkir dari garis hubungan antara Raras dengan Raden Teja Prabawa meskipun sebenarnya hatinya memang terarik kepada gadis itu. Namun sekarang keadaannya jadi berbeda. Justru karena Sabungsari mendengar bahwa Raras tertarik kepadanya, maka ia mulai memikirkan kembali gadis yang memang menarik perhatiannya itu."
Sekar Mirah mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Sebenarnya aku merasa kasihan kepada Sabungsari, tetapi juga kasihan kepada Raden Teja Prabawa."
"Kita memang tidak dapat terlalu banyak ikut campur dalam persoalan ini. Berbeda dengan persoalan hilangnya Raras."
Sekar Mirah bangkit dari tempat duduknya sambil berdesah, "Mudah-mudahan diketemukan jalan yang terbaik." Namun demikian ia berkata, "Kau makan lagi kakang?"
"Tidak. Aku sudah makan di barak. Nanti saja bersama-sama dengan yang lain."
Sekar Mirahpun kemudian meninggalkan Agung Sedayu sambil berkata, "Aku akan mempersiapkan makan malam. Rara Wulan sudah berada di dapur."
Sepeninggal Sekar Mirah, maka Agung Sedayu meneguk minumannya sampai kering. Kemudian iapun pergi ke serambi pula dan duduk bersama Ki Jayaraga dan Bajang Bertangan Baja.
Bajang Bertangan Baja sudah nampak lebih tenang. Wajahnyapun sudah tidak nampak terlalu pucat lagi.
"Aku telah mengambil beberapa jenis akar empon-emponmu," berkata Bajang itu.
"Kau telah meramu obat-obatan bagimu sendiri?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya," jawab Bajang Bertangan Baja, "dikebunmu terdapat berjenis-jenis empon-empon dan perdu yang baik sekali untuk membuat obat-obatan. Bahkan jenisnya terlalu banyak, sehingga apapun yang diperlukan bagi obat-obatan terdapat di kebunmu."
"Hanya sekedarnya sesuai dengan pengetahuanku yang sempit tentang pengobatan," jawab Agung Sedayu. Bahkan katanya kemudian, "Sedangkan kau tentu memiliki ilmu pengobatan yang tinggi sehingga kau mampu mengobati Ki Manuhara setelah orang itu berbenturan ilmu dengan Ki Jayaraga."
"Ki Jayaraga juga berkata demikian," sahut Bajang itu.
Agung Sedayu itupun kemudian bertanya kepada Bajang Bertangan Baja itu, "Nah, keadaanmu sekarang sudah menjadi lebih baik. Apa rencanamu?"
Bajang Bertangan Baja itu mengerutkan dahinya. Pertanyaan itu justru membuatnya heran. Sejenak kemudian maka iapun menjawab, "Aku tidak mempunyai rencana apapun. Bukankah kau yang akan menentukan nasibku" Bahkan mungkin kau akan membunuhku. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, aku sudah merasa sangat berterima kasih, bahwa aku masih sempat mengecap asinnya garam dan manisnya gula untuk sehari ini. Jika aku masih saja terikat dibatang pohon itu, maka yang akan aku terima tidak kurang dari lecutan cambuk dan sayatan pisau ditubuhku."
Agung Sedayu menarik nafas panjang. Dipandanginya Bajang Bertangan Baja itu sekilas. Ternyata orang itu sudah benar-benar pasrah. Agung Sedayu tidak lagi melihat sepercik apipun di matanya.
Namun dengan demikian, kepercayaan yang memang mulai tumbuh didada Agung Sedayu justru menjadi semakin besar. Meskipun demikian Agung Sedayu tetap berhati-hati menghadapi orang selicin Bajang Bertangan Baja itu. Ia dapat mengenakan berpuluh kedok diwajahnya untuk menyamarkan warna hatinya yang sebenarnya.
Dalam pada itu, orang-orang yang berada di perkemahan telah menjadi gempar. Tawanan mereka yang dianggap tidak akan dapat lolos itu ternyata telah hilang.
Dua orang yang bertugas jaga malam itu telah dihadapkan langsung kepada Ki Tempuyung Putih.
" Kami telah diserang dengan tiba-tiba," Singa Larap mencoba membela diri.
Tetapi Ki Tempuyung Putih membentak, "Kau tentu tertidur nyenyak. Demikian pula Wirasandi."
"Tidak Ki Tempuyung Putih. Kami duduk bersandar pohon. Tiba-tiba saja kami disentuh oleh orang-orang yang tidak kami ketahui datangnya. Ketika kami bangkit, maka tengkuk kami telah dipukulnya sehingga kami menjadi pingsan."
"Jadi begitu mudahnya Singa Larap dan Wirasandi dijatuhkan lawan" Lalu apa artinya nama yang selama ini kau sombongkan kepada kawan-kawanmu?" bentak Ki Tempuyung Putih.
"Tetapi yang terjadi benar-benar diluar kemampuan kami," jawab Wirasandi.
Agaknya Ki Tempuyung Putih benar-benar sudah menjadi marah, sehingga tangannya telah menyambar mulut Wirasandi sehingga ia mengaduh kesakitan.
"Jika kau tidak tertidur, telingamu yang kau banggakan itu tentu mendengar langkah orang itu mendekat." Ki Tempuyung Putih hampir berteriak.
Wirasandi tidak berani menjawab lagi. Kepalanya justru menunduk dalam-dalam. Demikian pula Singa Larap yang garang itu.
Sebenarnyalah, bahwa Ki Tempuyung Putih memang menjadi bingung. Ia bertanggung jawab atas hilangnya Bajang Bertangan Baja, meskipun ia masih merasa beruntung, bahwa ia pulalah yang memimpin beberapa orang berilmu tinggi saat memburu Bajang Bertangan Baja, sehingga Resi Belahan tentu akan memperhitungkannya pula. Meskipun bagaimanapun juga Resi Belahan akan menanyakannya, tetapi kesalahan itu tentu akan diperhitungkan dengan hasil penangkapannya pula.
Tetapi Ki Tempuyung Putih memang merasa sangat kecewa, bahwa usahanya dengan susah payah memburu Bajang Bertangan Baja itu akhirnya sia-sia.
Tetapi Ki Tempuyung Putih tidak menghukum Wirasandi dan Singa Larap lebih berat lagi, karena iceduanyapun telah membantunya memburu Bajang Bertangan Baja itu.
Ketika kemudian Ki Tempuyung Putih mengumpulkan orang-orang yang dianggap berilmu di lereng pebukitan itu, maka semuanya tidak dapat memberikan keterangan bahkan dugaan, tentang hilangnya Bajang Bertangan Baja itu. Tidak seorangpun dapat mengatakan atau menduga-duga, apakah yang telah terjadi.
"Bajang Bertangan Baja adalah seorang yang bekerja seorang diri. Ia tidak mempunyai kelompok atau gerombolan yang merasa kehilangan saat ia kita tangkap. Tidak ada pula saudara-saudara seperguruannya apalagi pedepokan atau perguruan yang akan menuntut balas atas penangkapan atas dirinya," berkata Ki Tumpuyung Putih.
"Ya," jawab seorang tua yang berjanggut putih, "memang suatu hal yang aneh bahwa ada orang yang memerlukan memberikan pertolongan kepada Bajang Bertangan Baja itu."
Namun dalam pada itu, dua orang telah memberikan laporan tentang dataran diantara dua bukit kecil.
"Adalah kebetulan kami sampai ketempat itu saat kami berburu babi hutan. Diantara dua bukit kecil itu agaknya telah terjadi pertempuran antara dua orang berilmu tinggi. Batu-batu padas berguguran. Ranting dan cabang pepohonan yang ada berpatahan dan tumbang," berkata seorang diantara mereka.
"Siapa yang telah bertempur ditempat ini?" bertanya Ki Tempuyung Putih, "tentu bukan salah seorang diantara kita."
"Tidak ada seorangpun diantara kita yang terlibat dalam pertempuran tanpa memberikan laporan," jawab salah seorang diantara mereka yang berada drruang itu dan berbicara dengan Ki Tempuyung Putih.
"Kita harus lebih berhati-hati," berkata Ki Tempuyung Putih kemudian, "hilangnya Bajang Bertangan Baja mengisyaratkan kepada kita, bahwa tempat ini sudah diketahui oleh seseorang dari manapun datangnya. Dengan demikian maka kita harus meningkatkan pengamatan dan panjagaan disekitar perkemahan ini."
"Mungkin orang yang mengambil Bajang Bertangan Baja itu tidak bermaksud menolongnya, tetapi orang itupun berniat untuk membunuhnya, sehingga terjadi pertempuran diantara kedua bukit kecil itu," berkata salah seorang diantara mereka.
"Memang mungkin terjadi. Tetapi kemungkinan itu kecil sekali. Membunuh Bajang Bertangan Baja dalam keadaan sekarat itu tidak memerlukan pertempuran yang meruntuhkan batu-batu padas ditebing. Dengan memijit hidungnya saja. Bajang itu tentu akan mati," jawab Ki Tempuyung Putih.
Yang lain mengangguk-angguk. Bajang Bertangan Baja memang sudah menjadi lemah sekali. Jika ia dapat meninggalkan tempatnya menurut perhitungan Ki Tempuyung Putih tentu harus dibantu oleh orang lain.
Namun pertemuan itu tidak dapat membuat kesimpulan apapun juga kecuali harus menjadi semakin berhati-hati.
"Kita menunggu Resi Belahan. Mudah-mudahan besok ia datang. Kita harus dengan cepat mengambil alih kekuasaan di Tanah Perdikan. Jika benar Kangjeng Adipati Pati akan bergerak ke Mataram, maka Tanah Perdikan ini akan dapat menjadi landasan penyediaan bahan makanan karena Tanah ini ternyata cukup subur," berkata Ki Tempuyung Putih.
"Tetapi barak Pasukan Khusus itu harus kita perhitungkan," berkata salah seorang dari mereka.
"Sudah kita perhitungkan," jawab Ki Tempuyung Putih. Yang lain mengangguk-angguk. Meskipun mereka sadar, bahwa jumlah orang mereka tidak sebanyak pengawal Tanah Perdikan Menoreh ditambah dengan prajurit dari Pasukan khusus itu, namun orang-orang berilmu sangat tinggi yang ada diantara mereka masing-masing dapat dihitung sama dengan " nya duapuluh lima orang prajurit. Bahkan jika mendapat kesempatan mungkin akan dapat diperbandingkan lebih dari itu. Dengan kemampuan ilmu Guntur Geni seorang berilmu tinggi akan dapat menghalau dan bahkan menghancurkan sekelompok pengawal Tanah Perdikan dalam satu kali lontaran ilmu. Yang lain lagi mempunyai kekuatan ilmu Gelap Ngampar atau Sapu Angin, Rog-rog Asem dan sebagainya.
Orang-orang itulah yang diharapkan akan dapat menghancurkan kekuatan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan prajurit Mataram yang ada di Tanah Perdikan disamping para pengikut yang jumlahnya juga cukup memadai. Diantara mereka juga terdapat orang yang dianggap masih memiliki tata cara hidup yang sedikit agak tertinggal. Namun orang-orang itu ternyata dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Resi Belahan, Ki Tempuyung Putih dan beberapa kawannya yang bertekad untuk menghancurkan Mataram.
"Anak Pemanahan itu memang tidak seharusnya memegang pimpinan tertinggi diatas Bumi Demak," desis Ki Tempuyung Putih.
Dalam pada itu, maka Agung Sedayu di rumahnya telah berbincang pula bersama seisi rumahnya. Mereka sadar, bahwa hilangnya Bajang Bertangan Baja dari perkemahan disebelah bukit itu tentu akan membuat penghuninya semakin berhati-hati. Mereka tentu menyadari bahwa Bajang Bertangan Baja itu tidak terlepas karena ia berhasil melepaskan diri. Bahwa dua orang yang menjaganya menjadi pingsan adalah pertanda bahwa ada orang yang melepaskan Bajang Bertangan Baja itu.
"Karena itu, apapun maksud mereka datang ke bawah bukit di wilayah Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Kleringan itu, tentu akan terjadi perubahan-perubahan perencanaan. Mereka agaknya akan mempercepat rencana mereka yang nampaknya tentu bukan hal yang baik bagi Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Kleringan."
"Nampaknya persoalannya tidak lagi sesempit persoalan Raras dan Rara Wulan," berkata Agung Sedayu.
Bajang Bertangan Baja hanya dapat menundukkan kepalanya, sementara Ki Jayaraga berkata, "Ya. Persoalan yang telah dirintis oleh Ki Manuhara, namun telah gagal. Resi Belahan agaknya datang untuk mentuntaskan tugas Ki Manuhara seandainya Ki Manuhara berhasil membuat kekisruhan di Mataram."
"Satu hal yang masih harus diperhitungkan. Apakah hal ini ada hubungannya dengan sikap Kangjeng Adipati Pati. Sejak semula kita menganggap bahwa Kangjeng Adipati Pati tidak akan mempergunakan cara seperti ini. Namun mungkin ada pihak-pihak yang berusaha mengambil keuntungan dengan kabut yang semakin tebal bertiup dari Pati kelangit Mataram yang mulai buram," berkata Agung Sedayu.
Yang lain mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun berkata, "Aku harus memberikan laporan ke Mataram selaku Lurah pada Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan. Aku akan mohon petunjuk dan perintah-perintah untuk menghadapi orang-orang itu. Sementara itu, Tanah Perdikan Menorehpun harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
"Apakah kau akan pergi ke Mataram?" bertanya Ki Jayaraga.
"Ya," jawab Agung Sedayu, "besok pagi aku berangkat. Siang hari aku sudah berada di Tanah Perdikan kembali."
"Dengan siapa kakang akan pergi?" bertanya Glagah Putih.
"Biarlah aku pergi bersama Ki Lurah Branjangan. Kalian diperlukan disini," jawab Agung Sedayu. Lalu katanya pula, "Nanti malam kita berbicara dengan Ki Gede."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia mengerti kenapa Agung Sedayu tidak membawanya. Dirumah itu ada Bajang Bertangan Baja, sementara di lereng pegunungan itu terdapat perkemahan yang dapat bergerak setiap saat.
Meskipun Glagah Putih tidak akan ikut ke Mataram, namun pada malam harinya Glagah Putih telah menghadap Ki Gede bersama-sama dengan Agung Sedayu. Kepada Ki Gede telah dilaporkan apa yang telah mereka lihat di perkemahan. Mereka juga telah melaporkan bahwa mereka telah membebaskan Bajang Bertangan Baja yang ternyata telah ditawan oleh orang-orang yang berada diperkemahan itu. Mereka adalah para pengikut orang yang disebut Resi Belahan.
Ki Gede mengangguk-angguk. Namun laporan Agung Bedayu dan Glagah Putih telah memberikan gambaran kepada Ki Gede, bahwa orang-orang yang ada di perkemahan itu dipimpin oleh orang-orang berilmu tinggi.
"Kita memang harus berhati-hati Ki Gede," berkata Agung Sedayu, "agaknya mereka ingin menghancurkan atau menguasai Tanah Perdikan Menoreh."
"Jika demikian persoalannya tentu tidak sekedar terbatas persoalan angger Agung Sedayu atau Glagah Putih atau yang lain. Tetapi tentu ada sangkut pautnya dengan kedudukan Tanah Perdikan Menoreh di bumi Mataram," berkata Ki Gede.
"Nampaknya memang begitu Ki Gede," jawab Agung Sedayu, "karena itu, maka besok aku dan Ki Lurah Branjangan akan pergi ke Mataram untuk memberikan laporan tentang orang-orang dilereng pebukitan itu."
Ki Gede mengerutkan dahinya. Katanya, "Apakah bukan kewajiban kita disini untuk mengatasinya?"
"Ya Ki Gede," jawab Agung Sedayu, "namun Mataram sebaiknya mengetahui apa yang terjadi disini. Seandainya kita mendapat kesulitan, maka sudah menjadi kewajiban Mataram untuk memberikan perlindungan kepada kita disini."
"Ya," desis Ki Gede sambil mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Tetapi sejauh dapat kita atasi sendiri, maka kita tidak akan mengganggu ketenangan Mataram."
"Tetapi nampaknya apa yang kita hadapi adalah kekuatan yang besar Ki Gede. Karena itu, maka aku merasa perlu untuk memberikan laporan kepada Mataram."


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah," berkata Ki Gede, "sementara itu Prastawa akan mengatur pengawasan atas lingkungan itu. Penjagaan akan dilakukan disepanjang puncak-puncak pebukitan. Sementara itu, aku akan menghubungi Ki Demang di Kleringan."
"Besok aku akan pergi ke Mataram. Sementara itu dirumahku ada Bajang Bertangan Baja. Tetapi Ki Jayaraga, Sabungsari dan Glagah Putih akan mengawasinya."
"Jadi besok Glagah Putih tidak ikut pergi ke Mataram," bertanya Ki Gede.
Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, "Ya Ki Gede. Glagah Putih tidak akan pergi meninggalkan Tanah Perdikan. Karena itu jika diperlukan, ia ada dirumah atau mungkin berada diantara anak-anak muda dan para pengawal. Selain Glagah Putih dirumah juga ada Ki Jayaraga, Sabungsari dan Wacana, selain Bajang Bertangan Baja."
"Baiklah," Ki Gede mengangguk-angguk, "Prastawa akan mengatur para pengawal yang akan mengawasi daerah pegunungan itu."
Demikianlah, Agung Sedayupun kemudian telah minta diri. Bersama Glagah Putih ia menyusuri jalan padukuhan induk. Beberapa orang pengawal yang langsung dipimpin oleh Prastawa telah bersiap-siap didepan rumah Ki Gede. Sebagian dari mereka akan meronda bukan saja dipadukuhan induk, tetapi mereka akan pergi ke padukuhan terdekat dengan pebukitan yang rawan karena dibalik pebukitan itu telah tinggal kelompok-kelompok orang yang tidak dikenal.
Glagah Putih yang bertemu dengan Prastawa diregol halaman rumah Ki Gede berkata, "Panggil aku jika perlu."
"Untuk sementara kami hanya akan mengawasi lingkungan yang rawan itu," jawab Prastawa, "tetapi jika memang diperlukan, aku akan memanggilmu. Atau bahkan padukuhan-padukuhan terdekat itu akan membunyikan isyarat."
Malam itu Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak meninggalkan rumah. Sedangkan dirumah itu ada Sabungsari, Ki Jayaraga, Wacana dan bahkan Bajang Bertangan Baja selain Sekar Mirah dan Rara Wulan.
Sementara itu Prastawa bersama lima orang pengawal pilihan telah pergi ke padukuhan terdekat dengan tempat-tempat perkemahan diseberang bukit sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu. Tetapi sadar bahwa di perkemahan itu ada otang-orang berilmu tinggi, maka Prastawa hanya akan mengalasi mereka dipuncak-puncak pebukitan tanpa menuruni lereng disisi Barat.
Di padukuhan terdekat Prastawa beristirahat sejenak sambil menunggu malam semakin larut. Dua orang pengawal terbaik dari padukuhan telah ikut pula bersamanya mendaki pebukitan, sehingga kelompok itu kemudian terdiri dari delapan orang. Ampat orang berjalan didepan dan ampat orang yang lain beberapa langkah dibelakang.
Ketika mereka sampai dipuncak-puncak pebukitan, maka mereka tidak segera melihat sesuatu. Mereka sadar, bahwa perkemahan itu berada dibawah kaki pebukitan itu. Sedang hutan lereng pegunungan meskipun tidak begitu lebat, tetapi telah menutupi pandangan mata mereka.
Prastawa memutuskan bahwa mereka tidak turun kebawah. Mereka hanya akan berada dipuncak-puncak pebukitan itu untuk mengamati keadaan. Apalagi Agung Sedayu memang berpesan, bahwa orang-orang di perkemahan itu tentu juga menjadi semakin berhati-hati menanggapi keadaan setelah hilangnya Bajang Bertangan Baja dari tangan mereka.
Karena itu maka mereka kemudian telah menebar kelinglungan yang agak luas agar penglihatan mereka menjadi lebih luas pula. Namun tidak lebih dari jangkauan bunyi suitan.
Beberapa saat mereka duduk di kegelapan. Mereka sibuk mengusir nyamuk yang rasa-rasanya mengerumuni mereka dari ujung kaki sampai keujung rambut. Bahkan sekelompok di-antara nyamuk-nyamuk itu telah berterbangan disekeliling telinga mereka.
Namun tiba-tiba dua orang yang duduk diujung tebaran pengamatan mereka itu terkejut. Mereka mendengar desir langkah orang. Bahkan orang yang sedang bercakap-cakap. Tiba-tiba saja seakan-akan telah berada diujung hidung.
Keduanya tidak sempat beringsut. Bahkan keduanya justru diam mematung, agar kehadiran mereka tidak segera diketahui.
Tetapi yang terjadi tidak seperti yang mereka harapkan.
Orang-orang itu justru berjalan menyusuri sela-sela pepohonan hutan pegunungan kearah kedua orang itu.
Keduanya tidak mempunyai pilihan. Keduanya berusaha untuk menghindarkan diri sambil merangkak ketepi.
Tetapi agaknya orang-orang yang berjalan dipaling depan diantara orang-orang mendatang itu melihat mereka dan mendengar desir sentuhan tubuh mereka dengan tanah dan dedaunan kering.
Karena itu, dua orang diantara mereka dengan cepat meloncat mendekat sambil bertanya lantang, "He, siapa kalian?"
Kedua orang pengawal Tanah Perdikan itu tidak dapat mengelak lagi. Mereka harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. Apalagi menilik sikap dan pakaian yang tidak begitu jelas dalam kegelapan, mereka bukan orang-orang Tanah Perdikan atau orang Kleringan.
Karena itu, maka kedua orang itupun kemudian berdiri tegak sambil bersiap sepenuhnya. Seorang diantara mereka bertanya tidak kalah lantangnya, "Siapa kalian berkeliaran disini malam-malam begini?"
"Setan kau," geram orang-orang yang datang itu, "kami bertanya siapa kau?"
"Kamilah yang harus bertanya, karena kami adalah orang-orang Tanah Perdikan ini. Siapa kalian" Jawab, karena kami adalah peronda yang mempunyai wewenang diatas tanah ini."
"Jadi kalian orang-orang Tanah Perdikan Menoreh?"
"Ya. Siapakah kalian" Kalian belum menjawab," bertanya salah seorang pengawal itu semakin keras, sehingga dua orang yang lain, yang duduk tidak terlalu jauh mendengarnya pula.
Dalam pada itu beberapa orang yang datang bersama dengan dua orang yang terdahulu itupun dengan cepat mengepung dua orang pengawal Tanah Perdikan itu. Seorang diantara mereka berkata, "Adalah kebetulan bahwa kami bertemu dengan peronda dari Tanah Perdikan Menoreh. Kami telah kehilangan tawanan kami. Barangkali kalian dapat menunjukkan kepada kami, dimana tawanan kami yang hilang itu. Atau bahkan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh tahu, siapa yang telah mengambil tawanan kami itu."
Tetapi pengawal itu justru bertanya semakin keras, "Siapakah kalian" Jawab atau kami akan menangkap kalian."
"Kau tidak akan dapat menangkap kami," jawab orang itu, "kami berenam sementara kau hanya berdua."
Tetapi pengawal itu masih saja membentak, "Sebut, siapakah kalian dan siapakah tawanan yang kalian maksud?"
"Sudahlah," berkata orang itu, "marilah, ikut kami. Kami hanya ingin berbicara dengan kalian. Kami ingin keterangan kalian. Tidak lebih."
"Kalian sajalah yang ikut kami. Kami ingin mendapat keterangan kalian. Siapakah kalian dan untuk apa kalian memasuki Tanah Perdikan Menoreh dengan cara yang tidak wajar."
"Jangan banyak bicara," salah seorang dari mereka membentak, "kau tidak mempunyai pilihan lain. Jangan menunggu kami marah. Kami dapat berbuat kasar."
Bahkan tiba-tiba dua orang diantara mereka melangkah maju sambil berkata, "Berikan keduanya kepada kami. Kami akan mematahkan lehernya."
Kedua orang pengawal itu terkejut melihat kedua orang yang melangkah maju itu. Dalam keremangan kedua pengawal itu melihat samar-samar bahwa pakaian kedua orang itu, sikap serta kata-katanya lebih kasar dari orang-orang yang lain.
Mereka membawa bindi yang lebih besar sebagai senjata mereka.
Tetapi seorang diantara kelompok itu berusaha mencegahnya. Katanya, "Jangan bunuh orang itu. Kami memerlukan keterangan mereka."
Kedua orang yang berpakaian lain dari kawan-kawannya itu termangu-mangu. Dengan heran seorang diantara mereka bertanya, "kenapa orang-orang itu tidak dibunuh saja" Jika perlu kami berdua akan menangkap lagi orang-orang Tanah Perdikan besok atau malam nanti di padukuhan. Berapa orang yang kalian butuhkan."
"Tidak perlu," jawab seorang yang lain diantara mereka yang termangu-mangu, "kami tidak perlu berburu lagi. Kita sudah mendapatkannya sekarang. Karena itu, kita tidak akan membunuhnya. Kita memerlukan keterangannya."
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Seorang diantara mereka kemudian berkata, "Di Tanah Perdikan ini terdapat banyak orang. Kenapa kita harus berhemat" Apa arti dua orang ini" Jika kedua orang ini kau serahkan kepada kami malam ini, maka kami akan merasakan bahwa malam ini tidak terlalu dingin. Besok kami akan mengganti dengan sepuluh orang."
"Belum waktunya kita membunuh sekarang. Marilah, kita bawa orang itu ke perkemahan. Kita paksa mereka berbicara tentang tawanan kita yang hilang. Orang-orang Tanah Perdikan tentu mengetahuinya," berkata yang lain.
Tetapi salah seorang dari kedua orang yang nampaknya tidak sabar itu berkata, "Terserahlah kalian. Tetapi sesudah kalian tidak memerlukan mereka, maka serahkan mereka kepadaku."
"Itu tergantung pada keadaan nanti," jawab orang yang lain itu. Sementara ia memberi isyarat kepada kawan-kawannya sambil berkata, "Marilah. Kita bawa mereka berdua."
Tetapi kedua orang pengawal itu telah bersiap. Seorang diantara mereka berkata, "Kau jangan bersikap dungu. Kau kira aku sebodoh kerbau untuk dicocok hidungku" Dengar, kami adalah pengawal-pengawal Tanah Perdikan. Daripada kami harus ikut bersama kalian untuk diperas keterangan kami dan kemudian dibunuh, bukankah lebih baik kami mati disini dengan pedang ditangan kami?"
Orang yang nampaknya memimpin sekelompok orang-orang yang berkemah dilereng pebukitan itu berkata, "Kalian lah yang bodoh. Kalian tentu tahu apa yang dapat kami perbuat atas kalian. Jika kalian menyerah perlakuan kami tentu berbeda dengan jika kalian melawan kami."
"Ya aku tahu. Jika kami menyerah, maka nasib kami akan sama dengan seekor kerbau dungu. Tetapi jika kami melawan, maka kalian akan terbunuh disini. Itulah perbedaannya."
"Jangan membuat kami kehilangan kesabaran," desis orang yang memimpin kelompok orang-orang yang datang dari perkemahan itu, "kami tidak mempunyai banyak waktu untuk bergurau."
"Letakkan senjata kalian," seorang dari kedua orang pengawal itu justru membentak.
Kedua orang kasar yang sudah melangkah maju itu benar-benar sulit mengekang diri. Seorang diantara mereka berteriak, "Tutup mulutmu. Aku remukkan kepalamu." Lalu katanya kepada pemimpin kelompoknya, "aku akan membunuh satu. Yang satu biar hidup jika kalian perlukan."
"Jangan dibunuh. Tangkap saja. Seret mereka ke perkemahan. Itu sudah cukup," jawab pemimpin kelompok itu.
Kedua orang yang paling kasar itu menggeram. Tetapi mereka tidak dapat melanggar perintah itu.
Enam orang itupun mulai bergerak. Tetapi kedua orang pengawal itu segera menarik senjata mereka. Dengan senjata teracu seorang diantara mereka berkata, "Jangan memaksa kami membunuh. Jika kalian menurut perintah kami, maka kalian berenam akan tetap hidup."
"Cukup. Kau tidak usah membual lagi," bentak pemimpin kelompok dari para pendatang itu.
Keenam orang itupun kemudian benar-benar mulai bergerak dari enam arah. Merekapun telah mengacukan senjata mereka pula.
Tetapi mereka terkejut ketika tiba-tiba ketika tiba-tiba saja mereka mendengar suara dibelakang mereka, "Jangan melawan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Kami mempunyai wewenang yang luas untuk berbuat apa saja atas mereka yang melawan kami."
Orang-orang itu berpaling kearah suara itu. Yang muncul adalah seorang anak muda dari antara beberapa orang.
"Aku Prastawa. Pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Aku perintahkan kalian menyerah dan mengikuti kami menghadap Ki Gede. Ki Gede akan mendengarkan keterangan kalian. Jika kalian tidak bersalah, maka kalian akan segera dibebaskan."
Orang yang memimpin sekelompok orang dari perkemahan itu menjadi tegang. Dengan lantang ia berkata, "Kalian tikus-tikus Tanah Perdikan jangan terlalu sombong. Kami adalah orang-orang yang bertualangan diantara tajamnya senjata. Jangan menganggap kami seperti pencuri ayam yang dengan mudah kau paksa untuk menyerah dan kau bawa menghadap pemimpinmu."
"Kami tidak dapat berbuat lain," jawab Prastawa.
Pemimpin kelompok itu memang menjadi termangu-mangu. Ternyata pengawal itu tidak hanya berdua. Tetapi dalam kegelapan mereka melihat bayangan beberapa orang yang lain.
Tetapi sudah tentu bahwa mereka tidak akan menyerah. Karena itu, maka pemimpin kelompok itu segera berteriak, "Bunuh mereka semuanya. Sisakan satu atau dua orang saja agar dapat memberikan keterangan kepada pemimpin kami diperkemahan."
Orang-orang itupun segera bergerak. Dua orang yang kasar dan bersenjata bindi itu telah menyerang kedua orang pengawal yang mereka jumpai pertama. Sementara yang lain telah menebar dan bertempur dengan pengawal yang lain, yang telah dikumpulkan oleh Prastawa yang mendapat laporan tentang kehadiran orang-orang dari perkemahan itu,
Sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit. Ternyata jumlah para pengawal lebih dari orang-orang yang datang dari perkemahan itu.
Tetapi orang-orang dari perkemahan itu adalah orang-orang yang sudah terbiasa hidup dalam bayangan kekerasan dan pertempuran. Karena itu salah seorang dari mereka berteriak, "He, tikus-tikus kecil. Kenapa kalian menjadi kehilangan akal" Apa yang kalian harapkan dari pertempuran seperti ini selain kematian yang pahit?"
Tetapi para pengawal Tanah Perdikan itu sama sekali tidak menjadi gentar. Meskipun pada umumnya mereka masih muda, tetapi bukan berarti bahwa mereka tidak mempunyai pengalaman menghadapi orang-orang kasar sebagaimana yang mereka hadapi itu. Mereka justru mempunyai bakal yang cukup mantap dengan latihan-latihan yang diberikan oleh para pemimpin pengawal Tanah Perdikan dan sekali-sekali mereka mendapat tuntunan langsung dari Agung Sedayu atau Glagah Putih. Bahkan Agung Sedayu pernah mengirimkan beberapa orang prajurit khusus untuk memberikan latihan-latihan kepada para pengawal Tanah Perdikan itu.
Apalagi jumah para pengawal itu lebih banyak dari orang-orang yang datang dari perkemahan itu. Sehingga karena itu, maka para pengawal itu sama sekali tidak berniat untuk melangkah surut. Prastawa bahkan telah meneriakkan perintah, "Tangkap mereka hidup atau mati."
Sejenak kemudian pertempuran didalam kegelapan itu berlangsung semakin sengit. Meskipun demikian, mereka yang sedang bertempur itu harus berhati-hati. Justru karena jumlah mereka tidak sama, maka setiap orang harus memperhatikan benar-benar siapa lawan dan siapa kawan.
Orang-orang kasar dari perkemahan.itu memang menjadi heran. Para peronda yang mereka anggap anak-anak muda padukuhan yang hanya memiliki keberanian tanpa perhitungan itu ternyata mampu bertahan beberapa lama. Bahkan kadang-kadang mereka mampu membuat lawan-lawannya terdesak surut.
Dengan demikian pertempuran itu menjadi semakin sengit. Orang-orang yang datang dari perkemahan itu berteriak-teriak dengan kasarnya. Dua orang yang bersenjata bindi itupun berkelahi seperti orang kesetanan. Keduanya sama sekali tidak memperhatikan paugeran apapun dan bahkan benar-benar tanpa tatanan. Meskipun demikian, keduanya justru berhasil mendesak kedua orang pengawal yang melawan mereka berdua. Bindi mereka terayun-ayun mengerikan. Nampaknya kekuatan kedua orang itu memang sangat besar. Ranting dan cabang pepohonan yang tertebas oleh bindi mereka ternyata telah berpatahan.
Prastawa melihat kesulitan kedua orang pengawal yang melawan kedua orang kasar itu. Karena itu, maka iapun segera meloncat mendekati mereka sambil berkata, "Serahkan seorang diantaranya kepadaku."
Kedua orang pengawal itu dengan cepat tanggap. Sebenarnya mereka berdua tidak menjadi gentar menghadapi kedua orang itu. Tetapi kekasaran orang itu membuat mereka memang agak mengalami kesulitan.
Demikian Prastawa mendekat, maka kedua orang itupun segera bergabung. Berdua mereka menghadapi salah seorang dari antara kedua orang bersenjata bindi itu.
Ternyata tanpa Iandasan ilmu kanuragan, kedua orang itu mampu membuat lawan-lawannya terdesak. Bindi mereka berputaran terayun deras, menebas mendatar dan sekali-kali mematuk kearah dada. Ketika terjadi benturan, maka senjata pengawal itu hampir saja terlepas dari tangannya.
Namun Prastawa tidak terpancing oleh kekasaran itu. Dengan tangkasnya ia berloncatan mengambil arah. Baru kemudian pedangnya terayun menyerang.
Tetapi ternyata tidak semudah yang diduga untuk dapat mengenai lawannya. Orang berbindi itu seakan-akan membentengi dirinya dengan putaran senjatanya. Karena itu, maka hampir setiap serangan Prastawa itu sulit untuk menyentuh sasaran, karena ia harus segera mengambil jarak.
Namun demikian, bindi orang itupun tidak dapat menyentuh tubuh Prastawa. Jika orang yang bersenjata bindi itu maju mendesak dengan ayunan senjatanya, maka dengan tangkas Prastawa meloncat kesamping dan bahkan kemudian tiba-tiba saja ia sudah berada di belakang lawannya. Tetapi secepat itu pula bindi yang berat itu terayun memburunya.
Namun Prastawa tidak kehilangan akal. Ia bertempur bukan saja dengan ketangkasannya, tetapi ia harus mempergunakan penalarannya sebaik-baiknya.
Karena itu, maka lawannya itu semakin lama menjadi semakin marah. Jantungnya serasa terbakar, sementara darahnya mendidih didalam tubuhnya.
Dengan demikian, maka ayunan bindinyapun menjadi semakin lama semakin cepat. Sambil berteriak-teriak dan mengumpat kasar ia berusaha memburu lawannya.
Tetapi Prastawa yang mempergunakan nalarnya sebaik-baiknya, mampu mengatasinya. Ketika orang itu memburu Prastawa yang meloncat beberapa langkah surut, maka Prastawa justru meloncat kesamping. Demikian orang itu bergeser, maka Prastawa justru menjatuhkan dirinya berguling. Namun demikian ia melenting bangkit dan melihat lawannya meloncat kearahnya, maka pedangnya dengan cepat terjulur lurus.
Bindi lawannya terayun deras sekali ke arah kepalanya. Jika bindi itu benar-benar mengenai kepalanya, maka kepalanya tentu akan pecah. Karena itu dengan cepat Prastawa meloncat surut.
Namun dalam pada itu, orang itu berteriak marah sekali. Ternyata ujung pedang Prastawa telah menyentuh pundaknya.
Hangatnya darah telah membuat orang itu bagaikan kehilangan akal. Sambil berteriak-teriak ia mengayun-ayunkan bindinya yang berat itu.
Sementara itu, dua orang pengawal yang bertempur melawan salah seorang dari antara orang yang bersenjata bindi itupun menjadi semakin sengit. Berdua para pengawal itu tidak lagi mengalami kesulitan karena kekasaran dan kekuatan orang bersenjata bindi itu. Dengan landasan ilmu kanuragan, maka kedua orang pengawal itu mampu membuat orang bersenjata bindi itu menjadi bingung. Kedua orang lawannya itu setiap kali berloncatan berputaran. Namun tiba-tiba saja mereka meloncat menyerang dengan cepatnya. Senjata mereka yang teracu mulai terasa menyentuh kulitnya.
Karena itulah maka kedua orang bersenjata bindi itu telah mengamuk. Dalam kegelapan malam bindinya terayun-ayun berputaran. Cabang dan ranting pepohonanpun berpatahan. Bahkan batang-batang perdu bagaikan dicerai-beraikan angin pusaran.
Disisi yang lain, maka orang-orang yang datang dari perkemahan itupun telah bertempur dengan para pengawal. Setiap orang harus menghadapi seorang pengawal, sementara seorang diantara para pengawal itu telah berloncatan diantara pertempuran itu membantu kawan-kawannya yang terdesak.
Orang-orang dari perkemahan itu telah bertempur dengan keras dan kasar. Ternyata bukan saja kedua orang bersenjata bindi itu. Tetapi yang lainpun telah bertempur dengan kasarnya pula.
Namun para pengawal yang terlatih itu masih mampu menempatkan diri mereka. Mereka tidak segera terseret dalam pertempuran yang tidak berbentuk. Para pengawal itu masih mampu mempergunakan penalaran mereka dengan bening, sehingga betapa keras dan kasarnya lawan-lawan mereka, namun para pengawal itu masih tetap bertahan dan bahkan kadang-kadang mereka telah mendesak lawannya. Apalagi salah seorang diantara para pengawal itu dapat menempatkan diri sesuai dengan kebutuhan.
Sementara itu, kedua orang yang bersenjata bindi itu menjadi semakin terdesak. Prastawa telah berhasil memantapkan diri menghadapi lawannya itu. Meskipun lawannya masih tetap bertempur seperti seekor harimau yang terluka. Namun Prastawa mampu mendapatkan sela-sela pertahanannya. Pedangnya sekali lagi menyusup diantara putaran bindi yang berat itu dan menggapai lambungnya. Meskipun hanya segores kecil karena Prastawa harus segera meloncat menghindari ayunan bindinya, namun luka itupun telah menitikkan darah sebagaimana luka dipundaknya.
Orang itu mengumpat kasar. Kemarahannya telah membakar ubun-ubunnya. Apalagi ketika luka-lukanya menjadi pedih karena keringatnya sendiri.
Yang harus melawan dua orang pengawalnya ternyata menjadi semakin bingung. Betapapun kuatnya, tetapi kedua pengawal itu ternyata bergerak lebih cepat dan lebih tangkas.
Karena itu, maka kedua orang bersenjata bindi itu mulai mengalami kesulitan. Bagi orang itu Prastawa sulit untuk dapat dikuasainya. Seperti bayangan, Prastawa berloncatan diantara pepohonan. Namun tiba-tiba saja anak muda itu telah meloncat dengan pedang terjulur.
Semakin lama maka luka-luka ditubuh orang berbindi itu menjadi semakin banyak. Karena Prastawa masih sulit untuk menyerang dari jarak yang lebih dekat, maka luka-luka yang timbul oleh sentuhan ujung pedangnyapun masih saja goresan-goresan tipis saja. Meskipun demikian perasaan pedih semakin menyengat-nyengat kulitnya.
Ampat orang yang datang dari perkemahan itupun tidak berhasil segera menguasai para pengawal. Bahkan pertempur-anpun semakin lama menjadi semakin sengit. Seorang diantara para pengawal itu bertempur seperti hantu. Tiba-tiba saja ia menyerang dari arah yang tidak terduga-duga. Namun kemudian hilang didalam kegelapan. Bahkan serangannya telah menimbulkan goresan-goresan kecil ditubuh orang-orang perkemahan itu.
Namun pemimpin dari kelompok kecil orang-orang perkemahan itu ternyata juga memiliki kelebihan dari kawan-kawannya. Serangannya kadang-kadang sulit diperhitungkan.
Anak muda yang berhadapan dengan orang itu memang mengalami kesulitan. Dalam kegelapan orang itu seakan-akan memiliki pasangan mata rangkap, sehingga kemampuan pengawal itu meloncat, ujung senjatanya selalu mengejarnya.
Meskipun pengawal itu cukup tangkas untuk menghindar dan menangkis serangan-serangannya, namun ujung senjata lawannya itu sempat melukai lengannya pula.
Pengawal itu meloncat surut. Lengannya terasa menjadi pedih. Sementara itu darahnya yang hangat telah meleleh membasahi kulitnya.
Pengawal itupun menjadi marah. Tetapi ia tidak dapat ingkar dari kenyataan bahwa lawannya memang memiliki kemampuan olah senjata.
Sejenak kemudian, pengawal yang telah terluka itupun menjadi semakin terdesak. Senjata lawannya rasa-rasanya menjadi semakin sering berdesing ditelinganya. Seperti seekor nyamuk yang terbang berputaran dan bahkan sekali-sekali menyentuh kulitnya.
Seorang pengawal yang berdiri bebas dan yang berloncatan dari satu lawan kelawan yang lain, sempat melihat keadaan kawannya yang mengalami kesulitan itu. Karena itu, maka iapun dengan cepat mendekatinya dan menempatkan diri bersama kawannya itu.
Pemimpin sekelompok orang perkemahan itu menggeram. Namun ia tidak mempunyai kesempatan lagi. Dua orang lawannya menyerang bersama-sama dari arah yang berbeda.
Karena itu, maka iapun harus mengerahkan kemampuannya untuk menghadapi dua orang lawan yang terasa menjadi cukup berat baginya.
Pertempuran dibukit itu semakin lama memang menjadi semakin sengit. Prastawa semakin mendesak lawannya yang bersenjata bindi, sementara dua orang pengawal yang bertempur bersama itupun semakin menguasai lawannya pula.
Demikian pula dua orang pengawal yang bertempur berpasangan melawan pemimpin kelompok orang-orang perkemahan itu.
Namun dua orang pengawal Tanah Perdikan masih saja mengalami kesulitan karena lawannya yang keras dan kasar.
Beberapa saat kemudian, maka dua orang bersenjata bindi itu benar-benar tidak mempunyai kesempatan lagi. Demikian pula pemimpin kelompok orang-orang dari perkemahan itu. Mereka menjadi semakin terdesak. Bahkan tubuh merekapun telah tergores oleh luka. Tetapi dalam pada itu, seorang pengawal Tanah Perdikan telah terkoyak pula lambungnya. Dengan memaksa diri ia masih berjuang untuk memperhatikan hidupnya betapapun perasaan sakit dan pedih menggigit lukanya itu.
Namun agaknya maut semakin membayanginya, ia semakin terdesak sementara darah semakin banyak mengalir.
Prastawa yang bertempur tidak jauh daripadanya, tidak sempat menyaksikannya. Ia sendiri masih terlibat dalam pertempuran. Apalagi malam yang gelap meliputi lingkungan hutan pegunungan.
Buku 282 MESKIPUN PRASTAWA tidak mengikuti apa yang terjadi atas seorang kawannya itu, namun nalurinya seakan-akan telah memperingatkannya agar ia cepat menyelesaikan lawannya. Ketika ia mendengar seseorang mengaduh kesakitan tidak jauh dari padanya, maka Prastawa telah mengerahkan segenap kemampuannya. Dengan cepat ia berusaha untuk menyerang lawannya di sela-sela putaran bindinya. Ketika ujung pedangnya berdesing dekat kening lawannya, maka lawannya yang marah itu telah mengayunkan bindinya kearah dahi Prastawa. Tetapi dengan cepat Prastawa merendah. Demikian bindi itu terayun lewat di atas kepalanya, maka pedangnya-pun menebas dengan cepatnya.
Orang bersenjata bindi itu berteriak nyaring. Bahkan kemudian mengumpat kasar. Pedang Prastawa sempat tergores menyilang di dadanya.
Orang itu terhuyung-huyung sejenak. Tetapi dengan cepat ia berusaha untuk menguasai dirinya. Betapa luka itu terasa sakit. Namun orang bersenjata bindi itu berusaha untuk mengatasinya.
Namun bersamaan dengan itu, seorang pengawal yang terluka lambungnya dan berusaha mengambil jarak dari lawannya telah kehilangan keseimbangan sehingga ia terjatuh selangkah dari Prastawa.
Agaknya kakinya telah menyentuh akar yang menjorok keluar sementara keadaan tubuhnya sudah menjadi semakin lemah.
Prastawa yang kemudian melihat seseorang memburunya dengan senjata teracu, tidak dapat tinggal diam. Ia-pun segera meloncat menyongsong orang itu sambil berteriak memberi isyarat kepada salah seorang dari kedua orang yang bersenjata bindi itu.
Pengawal yang bertempur berpasangan itu-pun segera tanggap pula. Seorang diantara mereka dengan cepat meloncat mengambil alih lawan Prastawa yang ditinggalkan. Namun orang itu telah terluka di dadanya. Luka yang tergores menyilang, sehingga darah-pun menjadi semakin banyak mengalir.
Orang yang memburu pengawal yang terjatuh itu memang terkejut. Seorang pengawal yang lain telah menyongsongnya dengan pedang yang terayun cepat.
Hampir saja ujung pedang itu mengoyak tubuhnya. Karena itu, maka orang itu dengan cepat melangkah surut.
Tetapi Prastawa tidak membiarkannya. Dengan cepat ia memburu sambil menjulurkan pedangnya. Orang itu telah melukai kawannya sehingga keadaannya menjadi gawat.
Orang itu harus berusaha untuk membebaskan diri dari kejaran senjata Prastawa. Dengan cepat orang itu berputar dan berlindung di balik sebatang pohon yang cukup besar.
Untuk sementara orang itu mamang selamat. Tetapi Prastawa tidak melepaskannya. Karena itu, maka ia-pun segera berusaha untul memburunya. Ia merasa wajib untuk menuntut balas atas keadaan kawannya yang nampaknya terluka parah.
Pertempuran-pun tidak dapat di elakkan lagi. Orang yang telah berhasil.melukai salah seorang pengawal itu hatinya memang mengembang. Seakan-akan ia akan dapat memperlakukan para pengawal yang lain sebagaimana yang telah dilukainya itu.
Tetapi ternyata Prastawa lain. Prastawa memiliki kemampuan lebih tinggi dari pengawal yang terluka itu. Apalagi kemarahannya yang membuatnya semakin garang. Karena itu, maka lawannya itu semakin lama menjadi semakin terdesak.
Dalam pada itu jerit kesakitan, kebencian dan kemarahan telah menggetarkan hutan itu. Salah seorang yang bersenjata bindi itu benar-benar tidak mampu bertahan lagi. Betapa-pun keras dan kasarnya orang itu, namun pada batas tertentu ia benar-benar kehilangan kesempatan untuk mempertahankan hidupnya. Orang yang telah dilukai Prastawa yang ternyata tidak mau mengakui keadaannya itu masih saja bertempur dengan kasar dan bahkan liar. Karena itulah, maka lawannya tidak mau memberinya kesempatan. Ketika orang sudah terluka itu dengan membabi buta mengayun-ayunkan bindinya, maka pengawal itu sempat meloncat ke samping. Namun dalam pada itu pedangnya telah menyambar lambung orang bersenjata bindi itu.
Orang itu berteriak sambil mengumpat nyaring. Namun diluat dugaan, bahwa bindinya masih sempat terayun deras menyambar kepala yang melukainya itu.
Pengawal itu terkejut. Secepatnya ia berusha menghindar sambil menangkis serangan itu. Tetapi ayunan bindi itu terlalu kuat. Meski-pun bindi itu tidak mengenai sasarannya, namun bindi itu sempat mengenai pundak kiri pengawal itu.
Betapa perasaan sakit menggigit pundaknya. Bahkan terasa tulangnya menjadi retak. Namun pada kesempatan itu, pengawal itu-pun telah meloncat justru mendekat. Sambil berteriak pula oleh kemarahan dan sakit yang hampir tidak tertahankan, maka senjatanya telah mematuk menikam langsung ke arah jantung.
Orang bersenjata bindi itu masih berusaha untuk mengangkat senjatanya. Tetapi jantungnya telah terkoyak, sehingga yang dapat dilakuakan hanyalah mengerang kesakitan dan langsung roboh ke tanah.
Pengawal yang marah dan kesakitan itu-pun kemudian menarik pedangnya. Ia masih sempat berdiri tegak beberapa saat Namun kemudian perasaan sakit itu-pun rasa-rasanya tidak tertahankan lagi. Karena itu, maka pengawal itu-pun kemudian telah tertunduk lemah bersandar sebatang pohon beberapa langkah didekat orang bersenjata bindi yang sudah tidak bernafas lagi itu.
Sementara itu kawannya masih bertempur melawan orang-orang yang bersenjata bindi yang lain. Namun orang yang bersenjata bindi yang sebelumnya harus bertempur melawan dua orang itu-pun telah menjadi semakin lemah. Tubuhnya-pun telah terluka dibeberapa tempat. Darah memang telah mewarnai pakaiannya yang kasar dan apalagi telah terkoyak oleh senjata lawannya.
Melihat kawannya yang juga bersenjata bindi itu terbunuh, maka kemarahannya telah memuncak sampai ke ubun-ubun. Tetapi tenaganya sudah jauh susut, sehingga meski-pun lawannya tinggal seorang, namun sulit baginya untuk dapat memenangkan pertempuran itu.
Dalam pada itu, Prastawa yang marah itu-pun telah menyerang lawannya habis-habisan. Ia sama sekali tidak memberi kesempatan bagi lawannya untuk membela diri. Jika semula ia merasa bahwa ia akan dapat mengalahkan para pengawal, tetapi melawan Prastawa ia benar-benar mengalami kesulitan.
Dalam pada itu, pemimpin sekelompok orang dari perkemahan itu-pun harus melihat kenyataan yang dialaminya. Ia sadar bahwa orang-orangnya tidak akan mampu mengimbangi para pengawal yang selain jumlahnya lebih banyak, juga memiliki bekal olah kanuragan yang baik. Apalagi ternyata bahwa beberapa orang kawannya telah terluka parah bahkan ada yang telah terbunuh pula.
Karena itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain. Ketika keadaan menjadi semakin buruk, maka terdengar orang itu bersuit nyaring. Sementara ia sendiri ialah berloncatan surut sambil berlindung dibelakang pepohonan, melingkari gerumbul-gerumbul perdu dan sambil memberikan isyarat terakhir, maka ia-pun segera berlari menuruni tebing bersama dengan kawan-kawanya.
Tetapi dua orang diantaranya justru terjatuh dan bergguling-guling di sepanjang lereng. Untunglah bahwa pepohonan dan pohon-pohon perdu telah menahan mereka, sehingga mereka tidak terlajur menyelusur sampai ke kaki bukit berpadas. Sementara itu seorang di antara mereka telah terbunuh di pertempuran.
Orang-orang dari perkemahan itu memang sudah merasa tidak akan mampu berbuat sesuatu untuk mengatasi para pengawal itu. Karena itu, maka demikian ia mendengar isyarat, maka mereka tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan serta-merta mereka-pun secepatnya telah meninggalkan arena.
Tetapi mereka yang telah terluka, justru karena terlalu tergesa-gesa, apa lagi para pengawal tampaknya tidak akan melepaskan mereka begitu saja, maka mereka-pun telah terjatuh. Tubuh mereka yang len-ah tidak mampu untuk dipaksa melarikan diri bersama dengan kawan-kawannya. Tetapi mereka-pun tidak mau tinggal sebagai tawanan para pengawal. Karena itu, mereka-pun justru telah terguling diantara pepohonan diantara bukit itu.
Sementara itu Prastawa telah meneriakkan perintah agar para pengawal tidak memburu mereka. Prastawa memang mempunyai pertimbangan tersendiri. Orang-orang itu akan berlari ke lereng dan jika satu saja diantara mereka lepas dan sampai ke perkemahan, maka dalam waktu pendek, sekelompok orang akan segera datang.
Karena itu, maka Prastawa justru memerintahkan agar para pengawal itu segera berkumpul.
"Kenapa kita biarkan mereka berlari ?" bertanya salah seorang diantara para pengawal.
Prastawa-pun dengan singakat menjelaskan alasanya kenapa mereka tidak usah memburu orang-orang perkemahan itu. Bahkan kemudian katanya, "Kita-pun harus meninggalkan tempat ini. Dalam Waktu dekat, mereka akan segera kembali dengan kawan-kawan mereka. Apalagi diantara kawan-kawan kita ada yang terluka. Bahkan ada yang cukup parah. Kita harus segera mencapai padukuhan terdekat dan bersiap menghadapi segala kemungkinan jika orang-orang itu datang ke padukuhan untuk membalas dendam."
"Tetapi bagaimana dengan orang bersenjata bindi yang terbunuh itu. Sementara itu, ada juga diantara mereka yang terguling dilereng bukit ?" bertanya pengawal yang lain.
"Kita terpaksa meninggalkan mereka. Jika kita terlambat meninggalkan tempat ini, maka kitalah yang aka dibantai habis. Mungkin ada satu dua orang yang disisakan diantar kita, tetepi yang tersisa itu akan mengalami nasib yang sangat buruk di perkemahan itu." jawab Prastawa. Lalu katanya pula, "Karena itu, marilah, kita meninggalkan tempat ini secepatnya. Tolong kawan-kawan kita yang terluka. Kita akan mengobatinya dipadukuhan yang terdekat."
Para pengawal-pun segera bersiap meninggalkan tempat itu. Mereka berharap bahwa orang yang terbunuh dan terluka itu akan segera diambil oleh kawan-kawan mereka yang tentu akan berdatangan setelah mereka mendapat pengaduan dari mereka yang harus meninggalkan pertempuran itu.
Tiga orang pengawal telah terluka. Seorang diantaranya cukup parah. Lambungnya telah terkoyak senjata lawannya. Sementara itu, seorang pengawal rasa-rasanya tulangnya telah retak ketika pundaknya tersentuh bindi lawannya. Sedangkan yang lain telah terluka dilengannya. Tajamnya kapak telah menyayat lengannya sehingga menganga.
Sedangkan tiga orang yang lain juga terluka, tetapi sekedar goresan-goresan yang tidak berbahaya meski-pun darah telah meleleh dari luka itu.
Beberapa saat kemudian, maka para pengawal itu-pun telah menuruni lereng disebelah Timur langsung menuju ke padukuhan terdekat. Demikian mereka sampai ke banjar, maka Prastawa segera memerintahkan untuk mengadakan pengawasan diluar padukuhan. Mungkin sekali kelompok orang akan menyusul para pengawal itu untuk membalas dendam sampai ke padukuhan itu.
Para pengawal dan anak-anak muda di padukuhan itu-pun segera bersiap. Tetapi Prastawa masih mencegah agar mereka tidak usah membunyikan tanda bahaya agar tidak seluruh tanah Perdikan menjadi ribut dan gelisah.
Sementara itu, para pengawal yang terluka, yang telah dipapah oleh kawan-kawannya sampai ke banjar, segera mendapat pengobatan untuk sementara. Prastawa dibantu oleh seseorang yang memahami serba sedikit tentang obat-obatan di padukuhan itu telah mengobati luka-luka mereka, sehingga menahan arus darah yang mengalir dari luka-luka itu.
"Beristirahatlah," berkata Prastawa kalian telah berada ditempat yang aman. Para pengawal padukuhan ini telah berjaga-jaga diluar padukuhan sehingga orang-orang dari perkemahan itu tidak akan dapat mengejar kalian."
Para pengawal yang terluka memang menjadi tenang meski-pun perasaan sakit masih mencekam tubuh mereka. Namun darah mereka telah menjadi pampat.
Dalam pada itu Prastawa telah memerintahkan dua orang untuk segera pergi ke padukuhan induk. Keduanya harus melaporkan apa yang terjadi pada Ki Gede dan kepada Agung Sedayu. Sementara itu, Prastawa sendiri tetap berada dipadukuhan itu. Bukan saja menunggui para pengawal yang terluka, tetapi bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan bersama para pengawal dan anak-anak muda dari padukuhan terdekat dari pebukitan disisi Barat Tanah Perdikan Menoreh itu.
Ketika kedua orang pengawal berederap berpacu diatas punggung kuda menuju ke padukuhan iduk, maka orang-orang diperke-mahan itu-pun telah diguncang pula oleh laporan orang-orang yang telah betempur dipuncak pebukitan. Pemimpin sekelompok orang yang telah bertemu dengan peronda dari Tanah Perdikan Menoreh itu telah memberikan laporan apa yang telah terjadi. Bahkan ia-pun telah menu jukkan bahwa tubuhnya sendiri juga telah terluka. Beberapa orang kawannya bahkan tidak kembali bersama mereka.
"Bagaimana dengan mereka ?" bertanya Ki Tempuyung Putih.
"Kami tidak tahu pasti. Mungkin mereka terluka parah. Tetepi mungkin juga terbunuh. Jumlah para peronda itu lebih banyak dari jumlah sekelompok orang-orang kita," jawab pimpinan kelompok itu.
Ki Tempuyung Putih tidak berpikir terlalu lama. Ia-pun segera memerintahkan sekelopok orang-orang yang mendapat perintah itu adalah seorang anak muda yang berilmu tinggi. Seorang Putut yang sudah ditempa dengan berbagai macam ilmu. Putut Sawega.
Dengan cepat Putut Sawega bersama sepuluh orang diantara para penghuni perkemahan itu dengan petunjuk jalan pemimpin kelompok yang telah dikalahkan oleh sekelompok pengawal yang dipimpin oleh Prastawa itu telah memanjat tebing. Ketika mereka sampai ke puncak, maka mereka tidak melihat seorang-pun lagi. Para pengawal yang dipimpin oleh Prastawa telah meninggalkan puncak bukit yang menjadi lengang itu.
Orang-orang perkemahan itu memang sudah mengira bahwa para pengawal tentu sudah pergi. Yang mereka kerjakan kemudian adalah mencari kawan-kawan mereka yang tidak kembali bersama mereka ke perkemahan.
Setelah bekerja beberapa lama akhirnya mereka menemukan seorang yang bersenjata bindi terbunuh dan dua orang yang lain luka parah. Seorang masih sempat mengerang, tetapi yang lain telah pingsan.
Putut Sawega menjadi sangat marah. Ia sudah memerintahkan untuk memburu para pengawal yang membawa kawan-kawannya yang telah terluka pula. Tetapi pemimpin kelompok yang kelompoknya telah dikalahkan oleh para pengawal itu mencoba mencegahnya.
Katanya, "Mereka tentu sudah turun dari bukit dan bahkan berada di padukuhan. Agaknya kita tidak akan dapat berbuat banyak."
"Kita hancurkan padukuhan itu jika para penghuninya berusaha melindungi para pengawal." jawab Putut Sawega.
"Jumlah mereka cukup banyak. Agaknya diantara mereka terdapat pula para pengawal yang akan siap melawan kita."
"Kau menjadi ketakutan ?" bertanya Putut itu.
"Tidak tetapi tidak ada gunanya membunuh diri." jawab pemimpin kelompok orang yang terdahulu itu.
Putut Sawega termangu-mangu sejenak. Dipandanginya orang-orang yang menyertainya. Mereka memang nampak tegar dan siap untuk bertempur. Tetapi jumlah mereka memang hanya sepuluh orang. Jika ia memaksa untuk turun ke padukuhan, maka nasibnya akan sama seperti dialami oleh kelompok yang terdahulu.
Karena itu, maka Putut Sawega telah mengurungkan niatnya untuk memburu para pengawal sampai ke padukuhan. Namun bukan berarti bahwa Putut Sawega akan tetap berdiam diri menghadapi keadaan. Apalagi ia merasa mendapat kepercayaan diri Ki Tempuyung Putih.
Dengan geram ia berkata, "Aku akan kembali ke perkemahan. Aku akan membawa orang lebih banyak lagi. aku harus turun ke padukuhan dan mencari para pengawal yang telah membunuh dan melukai orang-orang kita. Aku tidak mau terlambat. Besok mereka tentu sudah dibawa ke padukuhan induk mereka."
Pemimpin kelompok yang terdahulu itu mengangguk-angguk. Jika Putut itu akan membawa orang lebih banyak, maka hal itu memang mungkin dilakukan. Ia-pun memperhitungkan bahwa para pengawal, terutama yang terluka tentu masih berada di padukuhan terdekat sampai esok pagi.
Karena itu, maka orang itu-pun berkata, "aku setuju. Tetapi kita kita harus melakukannya dengan cepat. Sebelum fajar kita harus memasuki padukuhan itu. Bahkan mungkin mereka-pun sudah memperhitungkan bahwa kita akan memasuki padukuhan itu."
"Kita akan melakukan beberapa pekerjaan sekaligus. Menangkap para pengawal, mencari bahan makanan dan mungkin ternak yang akan dapat kita sembelih disini dan agaknya diperkemahan ini perlu juga beberapa orang perempuan. Bukankah selama ini tidak ada perempuan yang masak untuk kita ?"
Seorang anak muda yang bertubuh kasar-pun bertanya lantang, "Hanya untuk masak ?"
"Setan kau," geram Putut Sawega, "aku akan berbicara dengan Ki Tempuyung Putih."
"Tidak perlu. Kita tidak boleh terlambat," jawab anak muda yang bertubuh kasar itu.
Tetapi Putut Sawega tidak mendengarkan pendapat anak muda bertubuh kasar itu. Ia-pun kemudian berkata, "Kita akan turun dan membawa lebih banyak orang lebih banyak. Aku akan membawa dua-puluh atau tigapuluh orang. Padukuhan-padukuhan itu akan aku hancurkan. Dengan demikian maka padukuhan-padukuhan yang lain akan menjadi ketakutan sebelum datang giliranya kita menghancurkan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh jika mereka tidak menyerah."
Putut Sawega tidak menunggu tidak lama lagi. Ia-pun segera berbalik ke perkemahan untuk bertemu dengan Ki Tempuyung putih.
Ketika Ki Tempuyung Putih mendengar niat Putut Sawega untuk pergi ke padukuhan sekaligus mengambil bahan makanan dan ternak, maka Ki Tempuyung Putih itu berkata, "Pergilah. Kita tidak usah bersembunyi lagi. Mereka sudah tahu bahwa kita ada disini. Aku menjadi curiga, bahwa yang mengambil Bajang Engkrek juga orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. "
"Baik Ki. Selain ternak dan bahan makanan aku juga akan mengambil beberapa orang perempuan untuk membantu kita memasak. Perempuan tentu lebih pandai dari pada orang-orang kita yang kebanyakan orang-orang kasar itu."
Tetapi wajah Ki Tempuyung Putih menjadi tegang. Dengan lantang ia berkata, "Tidak. Jika kau bawa perempuan seorang saja, maka itu berarti bencana bagi perkemahan kita disini."
"Tetapi kita memerlukan orang-orang yang dapat masak," jawab Putut Sawega.
"Tidak, kau dengar " Atau aku batalkan perintahku atasmu." geram Ki Tempuyung Putih.
Putut Sawega mengangguk-angguk. Sementara Ki Tempuyung Putih berkata, "Diperkemahan ini tinggal orang-orang gila yang buas. Mereka akan berkelahi satu dengan yang lain jika disini ada perempuan. Kecuali jika kau dapat membawa perempuan sebanyak orang yang ada disini."
Putut Sawega mengangguk-angguk. Ia mengerti alasan Ki Tempuyung Putih. Karena itu, maka Putut itu-pun kemudian berkata, "Baiklah. Aku batalkan niatku mengambil perempuan sebagai juru masak atau sebagai apapun."
"Nah, jika demikian pergilah. Bawa duapuluh lima orang untuk memasuki padukuhan terdekat kau akan menemukan orang-orang yang telah membunuh kawan-kawan kita dan juga melukai orang-orang diantara mereka. Bawa orang-orang yang telah membunuh dan melukai kawan-kawan kita itu kemari. Kita akan mencari keterangan dari mereka, apakah orang-orang Tanah Perdikan telah mengambil Bajang kerdil itu."
Demikianlah, maka dalam waktu singkat Putut Sawega telah menyiapkan duapuluh lima orang. Satu jumlah yang diangap lebih dari cukup untuk memasuki dan menguasai sebuah padukuhan. Tetapi karena mereka akan membawa bahan makan dan ternak yang ada di padukuhan itu, maka mereka memerlukan orang yang cukup banyak selain mereka yang akan membawa beberapa orang pengawal.
Sesuai dengan rencana, maka Putut Sawega akan memasuki padukuhan itu sebelum fajar. Agar orang-orng yang semalam bertempur di puncak bukit itu masih ada di padukuhan itu. Jika fajar datang, maka ada kemungkinan orang itu sudah berangkat ke padukuhan induk.
Sementara itu, dua orang pengawal yang berkuda ke padukuhan induk telah menghadap Ki Gede bersama Agung Sedayu yang telah mendapat laporan lebih dahulu, karena rumah Agung Sedayu ternyata dilewati oleh kedua orang pengawal yang akan menghadap Ki Gede Menoreh itu.
"Apakah menurut Prastawa ada kemungkinan orang-orang itu menyusul ke padukuhan terdekat ?" bertanya Ki Gede.
"Kemungkinan itu memang ada. Seorang diantara mereka terbunuh dan dua orang terluka parah, sehingga disaat mereka akan melarikan diri, mereka terguling dilereng pebukitan," jawab pengawal itu.
"Baiklah," berkata Ki Gede, "kembalilah ke padukuhan. Bawa beberapa orang pengawal terpilih dari padukuhan induk selain pengawal yang ada di padukuhan itu."
"Glagah Putih akan menyertai mereka," berkata Agung Sedayu.
Demikianlah, maka kedua orang pengawal itu bersama dengan sekelompok pengawal terpilih dari Tanah Perdikan yang berjumlah tujuh orang telah berangkat menuju ke padukuhan terdekat dengan kaki bukit itu. Mereka singgah di rumah Agung Sedayu untuk mengajak Glagah Putih bersama dengan mereka. Namun ternyata bukan hanya Glagah Putih yang berangkat tetapi juga Sabungsari.
Sebelas orang berderap dengan cepat menuju ke padukuhan yang terdekat dengan kaki bukit yang disebelah yang lain menjadi tempat orang-orang yang tidak dikenal itu berkemah.
Ternyata mereka datang lebih dahulu dari Putut Sawega yang harus berjalan mendekati bukit dan kemudian turun disisi yang lain bersama duapuluh lima orang. Sebenarnyalah Putut Sawega menganggap bahwa limabelas orang saja sudah terlalu banyak untuk menghancurkan sebuah padukuhan. Apalagi duapuluh lima orang. Penghuni padukuhan itu tentu akan tidak berdaya sama sekali meski-pun dipadukuhan itu tentu ada beberapa orang anak muda dan barang kali beberapa orang laki-laki yang memiliki keberanian untuk melawan. Tetapi mereka tentu akan tidak banyak berarti. Mereka akan segera menjadi ketakutan dan menyerah jika satu dua diantara mereka telah menjadi korban. Karena itu Putut Sawega dan orang-orangnya tidak akan segan membunuh.
Kedatangan sebelas orang dipadukuhan itu telah membesarkan hati Prastawa. Menurut dugaan Prastawa, orang-orang dari perkemahan itu akan dapat menyusul ke padukuhan itu karena mereka merasa kehilangan. Selain itu, maka nampaknya orang-orang di perkemahan itu menganggap bahwa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh mengetahui tentang Bajang Bertangan Baja yang hilang di tangan mereka.
Karena itu sebelas orang, justru termasuk Glagah Putih dan Sabungsari itu memang akan sangat berarti jika orang-orang perkemahan itu benar-benar menyusulnya ke padukuhan itu.
Sementara itu, beberapa orang pengawal padukuhan itu tengah mengamati keadaan. Mereka berada di sebuah gubug kecil ditengah bulak yang tidak begitu luas. Namun mereka dapat melihat langsung jalan yang menuju ke kaki bukit.
Karena itu, ketika duapuluh lima orang beriringan menuju ke padukuhan, mereka yang berada di gubug kecil itu sempat melihat mereka.
Dua orang diantara mereka menyelinap dibalik tanaman jagung yang tumbuh subur menyusuri pematang berlari-lari menuju ke padukuhan. Diregol padukuhan ia berkata kepada para peronda, "Mereka telah datang."
"Ya," sahut salah seorang peronda, "mereka telah berada di banjar."
"Jangan bergurau. Aku melihat mereka datang. Sekelompok orang yang jumlahnya cukup banyak. Lebih dari duapuluh orang," berkata orang yang datang berlari-lari dari bulak itu.
"Siapakah yang kau maksud?" bertanya peronda itu.
"Orang-orang dari bukit," jawab yang baru datang dari bulak.
"Jadi?" peronda itu memang menjadi agak gugup, "jadi mereka benar-benar datang?" bertanya peronda itu.
"Jadi kau kira aku menyebut siapa?" yang baru datang itu justru bertanya.
"Aku kira kawan-kawan kita dari padukuhan induk," jawab peronda itu.
"Jadi mereka juga datang?"
"Ya. Mereka baru saja datang. Sebelas orang."
"Jika demikian aku akan pergi ke banjar," berkata orang yang haru datang dari bulak itu.
Dengan tergesa-gesa kedua orang pengawas itu-pun segera pergi ke banjar. Sementara itu para peronda di regol padukuhan-pun segera bersiap-siap. Lima orang peronda itu telah turun dari gardu dan justru berada diluar padukuhan.
Ketika kedua orang pengawas itu sampai ke banjar dan melaporkan kedatangan orang-orang dari bukit, maka Prastawa-pun segera memerintahkan para pengawal dan anak-anak muda di padukuhan itu bersiap. Ki Bekel yang berada di banjar, telah ikut pula bersama para pengawal dan anak-anak muda yang berada di banjar dengan beberapa orang bebahu. Mereka dengan cepat pergi ke regol padukuhan dan bergabung bersama para peronda yang sudah berada diluar padukuhan.
Dengan cepat mereka menebar dan siap menyergap orang-orang yang bakal datang ke padukuhan itu. Diantara mereka terdapat sebelas orang dari padukuhan induk termasuk Glagah Putih dan Sabungsari.
Tetapi selain mereka yang bersiap menunggu diluar padukuhan, maka beberapa orang telah berjaga-jaga dipadukuhan pula. Beberapa orang yang terluka masih berbaring di banjar padukuhan. Mereka harus memperhitungkan bahwa diantara mereka yang datang menyerang padukuhan itu akan dapat menerobos menembus pertahanan dan memasuki padukuhan. Bahkan mungkin mereka akan langsung pergi ke banjar. Atau ingin merusak bangunan-bangunan yang ada di padukuhan itu.
Dalam pada itu, duapuluh lima orang yang memiliki pengalaman yang luas dalam dunia petualangan serta beberapa orang kasar yang berpengaruh dan menjadi pengikut Resi Belahan itu semakin mendekati padukuhan. Putut Sawega yang memimpin iring-iringan itu berada dipaling depan. Putut Sawega telah melihat batang-batang jagung yang bergoyang ditengah-tengah bulak. Karena itu, ia sudah tahu bahwa sudah ada orang yang mendahului kedatangan iring-iringan itu dan melaporkannya ke padukuhan. Tetapi bagi Putut Sawega, hal itu sama sekali tidak berarti apa-apa baginya dan bagi kelompok orang yang dipimpinnya. Meski-pun orang-orang padukuhan itu mengetahui kedatangannya, mereka tidak akan mampu berbuat banyak. Kemungkinan terburuk yang dihadapinya adalah kemungkinan para pengawal melarikan diri dari padukuhan itu. Seandainya demikian, maka orang-orangnya harus mengejar mereka. Yang terluka tentu akan dapat melarikan diri dengan cepat
Namun Putut Sawega-pun tidak mengabaikan kemungkinan perlawanan yang keras pula dari para penghuni padukuhan itu. Putut Sawega juga pernah mendengar bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh berbeda dengan anak-anak muda pedesaan yang lain. Mereka memiliki kemampuan bertempur lebih baik karena Tanah Perdikan Menoreh telah ditempa oleh peristiwa-peristiwa yang memaksa penghuninya memiliki kemampuan olah kanuragan.
"Tetapi seberapa jauh mereka memiliki kemampuan itu" Seandainya jumlah mereka tidak terlalu banyak, maka mereka tidak akan dapat mengalahkan kawan-kawan kita dipuncak bukit itu," berkata Putut Sawega kepada orang-orang yang menyertainya.
Tetapi ia-pun memperingatkan, bahwa bagaimana-pun juga para pengawal itu mampu juga bertempur sebagaimana telah terjadi diatas bukit itu.
Ketika iring-iringan itu menjadi semakin dekat dengan padukuhan maka Putut Sawega itu-pun memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk berhati-hati Justru karena Putut Sawega mengetahui bahwa kedatangan mereka tentu sudah ditunggu, maka ia-pun telah mengatur orang-orangnya untuk siap menghadapi sergapan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, khususnya yang ada di padu-kuhan yang menjadi sasaran serangan itu.
Mereka berjalan berurutan dikedua sisi jalan mamanjang ke belakang. Seakan-akan mereka siap menghadapi serangan dari kedua sisi jalan yang menuju ke regol padukuhan.
"Jika kita tertahan diluar padukuhan, maka ampat orang harus berusaha untuk dan langsung menuju ke banjar. Para pengawal yang terluka dipuncak bukit itu tentu berada di banjar padukuhan. Jika di banjar tidak ada, maka mereka berada di rumah Ki Bekel. Cari banjar dan rumah itu sampai ketemu. Jika perlu seret seseorang keluar dari rumahnya untuk menunjukkan banjar atau rumah Ki Bekel. Bahkan, perempuan atau kanak-kanak sekalipun," berkata Putut Sawega.
Ia-pun kemudian telah menunjukkan ampat orang pilihan diantara duapuluh lima orang yang dibawanya itu, untuk menyusup langsung ke padukuhan.
Demikianlah, maka iring-iringan dikedua sisi jalan memanjang belakang itu menjadi semakin dekat dengan regol padukuhan. Prastawa yang memimpin langsung para pengawal dan anak-anak muda padukuhan itu telah siap pula memherikan perintah untuk menyergap.<">
Namun menilik tatanan iring-iringan itu, maka Prastawa menganggap bahwa pemimpin sekelompok orang itu cukup berhati-hati.
Ketika orang-orang dari pebukitan itu telah masuk ke dalam batas kesiagaan para pengawal, maka Prastwa-pun segera memberikan isyarat. Demikian para pengawal mendengar suitan nyaring memecah keheningan malam, maka mereka-pun segera bangkit. Bergegas mereka menyusup lewat pematang-pematang sawah keluar dari lingkungan tanaman jagung yang subur.
Putut Sawega ternyata tanggap terhadap akan keadaan. Ketika ia mendengar suitan nyaring, maka ia-pun telah meneriakkan perintah, agar orang-orangnya segera bersiap.
Demikian, sejenak kemudian, maka benturan kekuatan telah terjadi. Orang-orang dari balik bukit itu tidak terkejut ketika mereka melihat para pengawal dan anak-anak muda dari padukuhan itu jumlahnya agak lebih banyak dari jumlah mereka. Meski-pun mereka sadar, bahwa para pengawal itu juga memiliki kemampuan bertempur bahkan mampu membunuh dan melukai kawan-kawannya, tetapi orang-orang itu tetap yakin bahwa hanya beberapa orang pilihan sajalah yang mampu berbuat demikian.
Sementara itu orang-orang yang kasar yang ada diantara mereka yang datang dari bukit itu-pun segera menyongsong para pengawal. Kebanyakan diantara mereka bersenjata bindi. Tetapi ada pula yang bersenjata kapak yang besar dan berat.
Para pengawal memang terkejut menyaksikan cara mereka bertempur. Namun Prastawa yang serba sedikit sudah memberikan keterangan tentang orang-orang yang berada dibalik bukit, maka mereka-pun segera berusaha menyesuaikan diri. Namun bahwa ternyata yang mereka hadapi benar-benar orang yang keras, kasar dan agaknya mempunyai kekuatan badani yang sangat besar, maka para pengawal itu harus sangat berhati-hati.
Putut Sawega sambil berteriak memberikan aba-aba, langsung menyergap ke arah para pengawal yang berloncatan naik ke jalan dari pematang-pematang. Senjatanya langsung berputar menyambar orang yang pertama mendekatinya.
Pengawal itu berteriak nyaring. Bukan saja karena kesakitan. Telapi ia benar-benar terkejut mengalami serangan yang tiba-tiba itu. Ujung pedang Putut Sawega ternyata langsung menyilang menggores dadanya.
Pengawal itu terdorong surut. Hampir saja ia jatuh menelentang ke dalam parit yang akan dapat menenggelamkan kepalanya, meski-pun parit itu hanyalah parit kecil. Namun pengawal yang terluka itu tentu tidak akan dapat keluar dari parit itu justru karena lukanya. Bahkan mungkin pengawal itu akan segera menjadi pingsan jika terlambat memberikan pertolongan.
Namun untunglah bahwa Glagah Putih ada dibelakangnya. Dengan tangkas Glagah Putih penangkap pengawal itu. Dengan tangkas pula Glagah Putih meloncat kembali sambil memapahnya.
Putut Sawega telah siap memburunya. Namun Sabungsari telah meloncati tanggul dan tiba-tiba saja sudah berdiri dihadapan Putut Sawega itu.
Dendam Si Anak Haram 6 Pendekar Cambuk Naga 4 Gerhana Tebing Neraka Muka Tanah Liat 3

Cari Blog Ini