Ceritasilat Novel Online

Sayap Sayap Terkembang 23

02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 23


Ketika Wira Gending dengan cepat berhasil mengelabui Gandar sehingga Gandar kehilangan pengamatan arah serangan Wira Gending, maka tangan Wira Gending yang terayun mendatar sempat mengenai pundak gandar. Demikian kerasnya, sehingga Gandar harus berputar sekali untuk meredam kekuatan tangan lawannya. Namun demikian ia berdiri tegak menghadap ke arah lawannya, maka kaki Wira Gending telah menyambar lambungnya.
Sekali lagi Gandar terdorong surut. Tetapi Gandar masih tetap berdiri tegak dengan keseimbangan yang mantap.
Beberapa kali lagi serangan-serangan Wira Gending mengenai tubuhnya. Meskipun Gandar juga kadang-kadang harus mengaduh kesakitan. Tetapi iapun segera dapat mengatasinya dengan daya tahannya yang sangat tinggi.
Namun ketika sekali Gandar mendapat kesempatan untuk menyerang, maka serangannya datang dengan derasnya.
Wira Gending yang mampu bergerak cepat, sempat melindungi dadanya dengan kedua tangannya yang bersilang. Namun ternyata bahwa kekuatan Gandar sangat besar, sehingga kedua tangannya yang bersilang itu justru menekan dada Wira Gending.
Wira Gending terdorong beberapa langkah surut. Bahkan Wira Gending tidak dapat mempertahankan keseimbangannya. Karena itu, maka Wira Gendingpun telah jatuh berguling di tanah.
Tetapi dengan tangkas Wira Gending cepat melenting dan bangkit berdiri. Namun ternyata Gandarpun sempat meloncat memburunya. Dengan kerasnya tangan Gandar terjulur memukul kening Wira Gending.
Sekejap mata Wira Gending menjadi gelap. Sekali lagi ia terlempar beberapa langkah. Ketika ia terjatuh, maka dengan sengaja Wira gending berguling beberapa langkah untuk mengambil jarak. Namun Gandar tidak membiarkannya. Gandar justru memburunya secepat dapat dilakukannya. Ketika Wira Gending siap meloncat bangkit, maka Gandarpun telah meloncat pula mendekatinya. Demikian jika Wira Gending bangkit, maka Gandar telah siap untuk menyerangnya dengan kakinya.
Tetapi ternyata Wira Gending tidak bangkit berdiri. Ia justru bertumpu pada sebelah tangannya. Kedua kakinya seakan-akan meluncur dan menjepit kedua kaki Gandar. Dengan cepat Wira Gending memutar tubuhnya.
Gandar yang tidak menduga mendapat serangan Wira Gending yang nampaknya akan bangkit itu memang terkejut. Putaran tubuh dan kaki Wira Gending demikian kuatnya, sehingga seakan-akan lutut Gandar telah tidak mampu bertahan untuk tetap tegak berdiri. Karena itu, maka tubuh Gandar itupun segera terbanting jatuh.
Wira Gending telah mempergunakan kesempatan itu untuk meloncat bangkit. Ketika Gandarpun kemudian berdiri tegak, maka Wira Gending telah bersiap menghadapinya.
Gandar menggeram. Namun ia harus mengakui bahwa lawannya memiliki ketangkasan yang tinggi. Namun Wira Gendingpun harus mengakui bahwa Gandar adalah seorang yang memiliki kekuatan yang sangat besar dan daya tahan yang sangat tinggi.
Namun Wira Gending masih belum sampai ke puncak kemampuannya sebagaimana Gandar, Karena itu, maka Wira Gendingpun telah meningkatkan kemampuannya selapis demi selapis. Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya menjadi semakin lama semakin sengit. Wira Gending menjadi semakin cepat bergerak, sementara Gandar yang mencoba mengimbanginya menjadi semakin kuat dan daya tahannya menjadi semakin tinggi.
Risang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin tegang. Kedua belah pihak telah meningkatkan kemampuan mereka semakin tinggi. Namun Risang sendiri masih belum melibatkan diri dalam pertempuran itu, justru karena Ki Sabawa dan kawan-kawannya sebenarnya menginginkan untuk menangkapnya sebagai umpan untuk memancing Ki Lurah Mertapraja keluar dari tahanannya di Pajang.
Risang sendiri menyadari, bahwa kemampuannya yang sudah menjadi semakin tinggi itu, masih belum dapat setingkat dengan kemampuan Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandar. Namun bukan berarti bahwa Risang tidak mempunyai kesempatan untuk ikut menentukan keseimbangan dari pertempuran itu.
Tetapi sejak semula Sambi Wulung dan Jati Wulung yang pernah melihat ketiga orang itu sebelumnya telah menganjurkannya, agar ia tidak memasuki arena pertempuran jika kemudian memang benar-benar terjadi.
Karena itu, maka Risang masih saja berdiri termangu-mangu.
Seorang pengawal yang berdiri di sebelahnyapun menjadi semakin tegang pula. Pengawal yang masih penuh dengan lumpur itu bahkan sulit untuk mengikuti pertempuran yang terjadi itu dengan jelas. Sekali-sekali ia seakan-akan kehilangan alur urutan gerak mereka, sehingga pengawal itu terkejut ketika tiba-tiba benturan terjadi dan salah seorang di antara mereka terdorong surut atau bahkan terbanting jatuh.
Ki Sabawa memang seorang yang berilmu tinggi. Semakin lama kekuatannya tidak menjadi semakin susut. Bahkan rasa-rasanya tangan dan kaki Ki Sabawa itu menjadi semakin berat. Ayunan serangannya telah menggetarkan udara di sekitarnya. Bahkan getar itu rasa-rasanya menampar tubuh Sambi Wulung semakin keras.
Dengan demikian Sambi Wulung menyadari, betapa besar tenaga Ki Sabawa jika getar udara karena ayunan serangannya terasa menusuk kulit.
Tetapi Sambi Wulung telah meningkatkan ilmunya pula. Semakin besar tenaga serangan Ki Sabawa, maka pertahanan Sambi Wulungpun menjadi semakin rapat.
Dengan demikian, maka pertempuran di tengah-tengah bulak itupun menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak menjadi semakin garang dan keras. Orang-orang yang ingin menangkap Risang itu mulai menjadi gelisah.
Ternyata justru merekalah yang telah terjebak, sehingga mereka telah berhadapan dengan pengawal-pengawal pilihan dari Tanah Perdikan Sembojan.
Tetapi mereka sudah terlanjur menyuruk ke dalam lumpur. Apakah mereka akan menyeberang terus atau berbalik kembali, pakaian mereka telah terlanjur basah kuyup dan bahkan kotor berbercak-bercak. Karena itu, maka merekapun telah memilih untuk melangkah terus.
Apalagi merekapun merasa orang-orang yang berilmu dari sebuah perguruan yang disegani. Karena itu, maka merekapun telah mengerahkan kemampuan mereka untuk menundukkan lawan-lawannya.
Tetapi baik Sambi Wulung dan Jati Wulung maupun Gandar adalah orang-orang yang menguasai ilmunya dengan matang. Karena itu, ketika lawan-lawan mereka meningkatkan ilmu mereka, maka ketiga orang itupun telah meningkatkan ilmu mereka pula.
Dalam puncak ilmunya, maka Ki Sabawapun telah membuat Risang berdebar-debar. Sambil berloncatan menyerang, maka Ki Sabawa telah melepaskan ilmu puncaknya. Dari sela-sela jari-jari tangan dan kaki Ki Sabawa nampak asap putih yang tipis bagaikan mengembun. Namun Sambi Wulung yang bertempur melawannya merasa bahwa kekuatan Ki Sabawa bagaikan telah berlipat.
Tetapi Sambi Wulung tidak membiarkan dirinya menjadi korban kemampuan ilmu Ki Sabawa. Dengan mengerahkan kemampuannya, Sambi Wulung telah meningkatkan daya tahan tubuhnya. Namun disamping itu, tubuh Sambi Wulung rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin keras. Benturan-benturan yang terjadi telah membuat kedua belah pihak semakin mengerahkan kemampuan dan ilmu mereka.
Demikian pula yang terjadi dengan Jati Wulung dan Gandar. Mereka telah sampai pada tataran yang paling tinggi dalam tatanan ilmu mereka.
Ki Sabawa yang tangan dan kakinya yang berasap dan mampu menimbulkan getaran panas itu memang menjadi heran. Kulit daging Sambi Wulung bagaikan menjadi sekeras batu hitam.
Demikian sengitnya pertempuran yang terjadi antara keduanya, sehingga Risang mulai menjadi gelisah menyaksikannya. Ia mulai ragu-ragu, apakah Sambi Wulung mampu menyelesaikan lawannya yang ternyata juga berilmu tinggi.
Bahkan sejenak kemudian Risang seakan-akan telah membeku. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah pertempuran antara Ki Sabawa dan Sambi Wulung yang menjadi semakin menegangkannya.
Namun Sambi Wulung adalah seorang yang matang akan ilmunya. Meskipun Ki Sabawa berbekal ilmu yang tinggi, tetapi semakin lama ia harus meyakini kenyataan, bahwa lawannya benar-benar memiliki ilmu yang sangat mapan.
Meskipun Ki Sabawa seakan-akan memiliki jalur nafas rangkap, namun ketika ia harus, mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya, maka akhirnya tenaganya menjadi susut pula. Keringat yang bagaikan terperas membasahi pakaiannya. Sementara asap yang mengepul di sela-sela jarinya menjadi semakin pekat.
Sementara itu Sambi Wulung justru berusaha menekannya. Dengan perhitungan yang cermat, maka Sambi Wulung masih memiliki cukup tenaga untuk mempertahankan ketegarannya.
Sekali-sekali serangan Sambi Wulung mulai menyusup pertahanan Ki Sabawa. Demikian pula serangan-serangan Ki Sabawa yang bahkan seakan-akan memancarkan getaran panas dari ayunan tangan dan kakinya. Tetapi serangan Sambi Wulunglah yang lebih banyak menembus pertahanan lawannya.
Bahkan jika terjadi benturan antara kekuatan dari kedua orang yang bertempur itu, ternyata bahwa Ki Sabawa harus mengakui kelebihan Sambi Wulung.
Tetapi Ki Sabawa masih mempunyai kepercayaan diri. Ia berusaha untuk mempercepat tatanan geraknya. Serangan-serangannya datang beruntun dari segala arah. Ki Sabawa yang sudah berada di puncak kemampuannya itu berloncatan dengan tangkasnya seperti loncatan-loncatan anak menjangan di padang.
Sambi Wulung kadang-kadang hanya dapat bertahan untuk beberapa saat. Serangan kaki Ki Sabawa yang menyambar lambungnya telah mendorong Sambi Wulung melangkah surut. Namun Ki Sabawa tidak melepaskannya. Dengan tangkasnya Ki Sabawa meloncat memburunya. Tangannya terjulur lurus mengarah ke dadanya.
Sambi Wulung bergeser ke samping untuk menghindari serangan itu. Tetapi Ki Sabawa justru berputar dan bertumpu pada satu kakinya, sedangkan kakinya yang lain terayun mendatar setinggi kening.
Sambi Wulung yang tersengat getaran panas serangan Ki Sabawa harus meningkatkan daya tahannya. Tetapi ia kehilangan waktu sekejap menanggapi ayunan kaki lawannya. Karena itu, maka kaki Ki Sabawa itu benar-benar telah mengenai kening Sambi Wulung.
Sekejap mata Sambi Wulung menjadi gelap, semen tara sentuhan kaki itu terasa sakit dan panas. Tetapi Sambi Wulung masih mempunyai kesadaran penuh ketika ia terlempar ke samping.
Karena itu, maka dengan keliatan tubuhnya, Sambi Wulung tidak terbanting jatuh seperti sebatang pisang yang roboh. Tetapi ia justru sempat melingkar dan berguling di atas tanah. Dengan tangkasnya iapun segera meloncat bangkit.
Namun Sambi Wulung sudah memperhitungkan bahwa lawannya tentu memburunya dan menyerangnya saat ia tegak di atas kedua kakinya.
Karena itu, maka Sambi Wulungpun telah bersiap menghadapi kemungkinan itu. Seperti yang diperhitungkan, maka Ki Sabawa memang meloncat menyerangnya demikian Sambi Wulung berdiri.
Tetapi Sambi Wulung benar-benar telah bersiap. Demikian kaki lawannya terjulur, maka Sambi Wulung yang sudah mempersiapkan diri itupun segera menjatuhkan dirinya. Kakinya justru menyapu kaki lawannya yang lain, tempat tubuh lawannya itu bertumpu.
Ki Sabawa terkejut. Tetapi ia terlambat. Sapuan kaki Sambi Wulung yang cepat dengan tenaga yang sangat besar, telah melemparkannya, sehingga Ki Sabawa itu jatuh terguling.
Ketika Ki Sabawa itu meloncat bangkit, Sambil Wulung yang sudah memperhitungkannya, ternyata lebih cepat berdiri dan bahkan menyerangnya. Tangannya sempat menyusup dan dengan pangkal telapak tangannya, Sambi Wulung menyerang dagu Ki Sabawa. Demikian kerasnya sehingga wajah Ki Sabawa itu terangkat. Sebelum Ki Sabawa sempat memperbaiki keadaannya, maka tangan Sambi Wulung yang lain yang menjadi sangat keras dan kuat, telah memukul perut Ki Sabawa sehingga orang itu terbungkuk kesakitan. Kesempatan itu dipergunakan oleh Sambi Wulung sebaik-baiknya. Dengan puncak kekuatan dan kemampuannya yang tersalur pada sisi telapak tangannya, maka Sambi Wulung telah memukul tengkuk Ki Sabawa.
Terdengar Ki Sabawa berdesah tertahan. Sejenak Ki Sabawa mencoba bertahan. Namun kemudian iapun menjadi terhuyung-huyung jatuh tertelungkup.
Sambi Wulung berdiri termangu-mangu. Meskipun ia masih saja bersiap menghadapi segala kemungkinan, tetapi ia tidak langsung menyerang orang yang sudah tidak berdaya lagi itu.
Ternyata pukulan pada tengkuk Ki Sabawa itu akibatnya sangat menentukan. Ki Sabawa yang memiliki kekuatan dan daya tahan yang tinggi, tidak mampu menahan pukulan Sambi Wulung yang bukan saja mempergunakan tenaga kewadagan sewajarnya.
Tetapi dengan kemampuan puncaknya, maka Sambi Wulung telah mengakhiri pertempuran itu.
Dalam pada itu, ketika Ki Sabawa itu menjadi pingsan, maka asap yang nampak di sela-sela jari-jari tangan dan kakinya itupun telah lenyap pula.
Risang yang menyaksikan akhir dari pertempuran itupun menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa Sambi Wulung berhasil mengatasi kemampuan Ki Sabawa.
Tetapi belum berarti bahwa pertempuran itu berakhir. Gandar masih bertempur melawan Wira Gending sedangkan Jati Wulung masih harus melawan Kerta Wirit.
Namun kekalahan Ki Sabawa memang mempengaruhi ketahanan jiwani kedua orang itu. Apalagi keduanya memang tidak terlalu yakin, bahwa Ki Lurah Mertapraja adalah orang yang sangat penting yang harus diperjuangkan dengan mempertaruhkan nyawa mereka.
Karena itu, setelah kekalahan Ki Sabawa, maka baik Wira Gending maupun Kerta Wirit, perlahan-lahan mulai terdesak. Mereka seakan-akan tidak mempunyai dorongan kekuatan untuk menghentakkan ilmu pamungkas mereka. Bahkan semakin lama perlawanan mereka menjadi semakin lemah.
Dengan demikian, maka Gandar dan Jati Wulungpun seakan-akan mendapat banyak kesempatan untuk mendesak mereka dan menekan mereka, sehingga Wira Gending dan Kerta Wirit menjadi semakin terdesak. Serangan-serangan Gandar dan Jati Wulung menjadi semakin sering menyentuh sasaran, sehingga beberapa kali Wira Gending dan Kerta Wirit terdorong surut, bahkan tergetar keseimbangannya dan jatuh terguling.
Meskipun bukan berarti bahwa Wira Gending dan Kerta Wirit tidak dapat memberikan perlawanan sama sekali, atau serangan-serangannya tidak pernah mengenai sasaran. Tetapi perlawanan mereka memang menjadi semakin surut.
Bahkan akhirnya keduanya tidak ingin bertahan lebih lama lagi. Ketika Wira Gending terlempar beberapa langkah surut dan jatuh berguling di tanah maka punggungnya serasa akan patah karenanya. Meskipun ia sempat meloncat bangkit berdiri dan siap menghadapi lawannya, namun kekuatan dan kemampuannya sudah menjadi jauh berkurang.
Ketika itu, ketika Gandar memberinya kesempatan untuk menghentikan perlawanan, maka Wira Gendingpun telah menyerah.
"Aku menyerah," berkata Wira Gending tanpa menghiraukan Kerta Wirit yang masih bertempur. Namun ternyata bahwa Kerta Wirit sudah tidak bersungguh-sungguh lagi. Sementara Jati Wulung yang menekannya terus, berkata, "Kau harus melihat kenyataan. Ki Sabawa menjadi pingsan. Wira Gending sudah menyerah. Apakah kau masih ingin bertempur terus."
Kerta Wirit memang meloncat mundur mengambil jarak. Ia memang teringat senjata yang tergantung di lambungnya. Namun iapun kemudian merasa bahwa senjatanya tidak akan banyak berarti, karena lawannya itupun tentu memiliki ilmu pedang yang tinggi.
Karena itu, maka iapun harus menyadari kenyataan yang dihadapinya. Apapun yang dilakukannya dengan ilmu yang ada padanya, namun ia tidak akan dapat mengatasi lawannya dan bahkan yang lain, yang telah menyelesaikan pertempuran.
Karena itu, maka Kerta Wiritpun berkata dengan nada rendah, "Baiklah. Aku menyerah."
"Jika demikian, serahkan senjata-senjata kalian. Tarik pedangmu perlahan-lahan. Letakkan di tanah. Kemudian kau mundur beberapa langkah," berkata Jati Wulung.
Kerta Wirit tidak membantah. Iapun kemudian menarik pedangnya, meletakkan di tanah, kemudian melangkah surut.
Jati Wulungpun memungut pedang itu. Diperintahkannya Kerta Wirit untuk duduk di pinggir jalan.
Gandar ternyata berbuat lain. Ia sendirilah yang menarik pedang di lambung Wira Gending. Namun kemudian, iapun memerintahkan Wira Gending duduk di sebelah Kerta Wirit.
Gandarlah yang kemudian menjaga kedua orang yang duduk di pinggir jalan itu, sementara Sambi Wulung dan Jati Wulung telah membawa tubuh Ki Sabawa yang ping san itu menepi.
"Cari tali yang kuat," perintah Risang kepada seorang pengawal yang ikut menunggui pertempuran itu.
Pengawal itupun kemudian turun meniti pematang menuju ke sebuah gubuk kecil. Di gubuk itu terdapat beberapa utas tali ijuk.
Dengan tali ijuk itu, tangan para tawanan itupun telah diikat, bahkan juga Ki Sabawa yang masih belum sadar. Meskipun mereka berkeberatan, namun mereka memang tidak dapat menolak ketika Gandar dan Jati Wulung meletakkan tangan mereka di belakang tubuh serta mengikatnya.
Dalam pada itu, silirnya angin telah mengusap wajah Ki Sabawa. Perlahan-lahan matanya terbuka. Ia berusaha mengingat apa yang telah terjadi atas dirinya.
Namun yang terjadi kemudian adalah bahwa kedua tangannya terikat di belakang tubuhnya.
Ki Sabawapun tidak dapat berbuat apa-apa. Ia harus menerima kenyataan itu. Bukan ia yang berhasil mengambil Risang, tetapi justru ia sendiri bersama kedua kawannya telah terjebak.
Dengan diiringi oleh Risang, Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung serta pengawal Tanah Perdikan Sembojan yang ikut menyiangi sawah Risang, ketiga orang tawanan itu dibawa ke padukuhan induk. Beberapa orang yang menyaksikannya di sepanjang perjalanan saling bertanya-tanya, siapakah mereka bertiga itu.
Tetapi ternyata tidak seorangpun yang mengetahuinya. Sementara mereka segan untuk bertanya langsung kepada Risang atau orang-orang yang membawa tawanan itu menuju ke rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
Demikian mereka sampai ke rumah Risang, maka Risang telah memerintahkan untuk membawa mereka ke pringgitan. Di bawah pengawasan Sambi Wulung dan Jati Wulung mereka duduk dengan tangan yang masih terikat.
Sementara itu, Risang telah menemui ibunya dan memberitahukan apa yang telah terjadi di bulak persawahan. Ternyata usaha mereka menjebak orang-orang yang akan menculiknya itu telah berhasil.
"Dimana mereka sekarang?" bertanya Nyi Wira-dana.
"Mereka berada di pringgitan," jawab Risang.
Nyi Wiradana mengangguk-angguk. Katanya, "Menarik sekali. Apa sebenarnya yang mereka cari dengan berusaha melepaskan Ki Lurah Mertapraja. Apakah Ki Lurah itu termasuk orang terpenting di perguruan mereka, sehingga mereka dengan segala cara berusaha membebaskannya?"
"Mudah-mudahan orang-orang itu mau berbicara tentang hal itu, ibu," jawab Risang.
"Baiklah. Biarlah dihidangkan minuman dan makanan bagi mereka. Mereka tentu haus sebagaimana kau."
Risang mengangguk. Katanya, "Ya. Aku memang haus."
"Gandar langsung pergi ke dapur. Air di dalam kendi itu telah diminumnya sampai habis," berkata ibunya.
Risang tersenyum. Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung masih harus menahan hausnya karena mereka harus mengawasi ketiga orang tawanan yang ada di pringgitan.
Namun ketika kemudian dihidangkan minuman dan makanan, maka tali pengikat tangan mereka telah dilepaskan. Namun tidak akan ada kesempatan bagi mereka untuk berbuat sesuatu sebagai usaha untuk melarikan diri. Bersama mereka kemudian duduk pula Sambi Wulung, Jati Wulung, Gandar, Risang dan bahkan Nyi Wiradana. Sedangkan di halaman beberapa orang pengawal telah berjaga-jaga secara khusus.
Ketiga orang itu memang merasa heran, bahwa mereka diperlakukan dengan baik. Mereka telah mendapat minuman dan makanan. Namun merekapun sadar, bahwa mereka harus menjawab beberapa pertanyaan dengan baik.
Namun Ki Sabawa memang tidak mudah pasrah, meskipun kegagalan mereka telah membuatnya seakan-akan menjadi berputus asa. Apalagi Wira Gending dan Kerta Wirit. Sejak semula keduanya sudah meragukan kedudukan Ki Lurah Mertapraja itu sendiri.
Minuman hangat dan beberapa potong makanan telah membuat tubuh Ki Sabawa yang baru saja pingsan itu agak menjadi segar kembali. Ruas-ruas tulangnya tidak lagi terasa terlalu nyeri. Demikian pula kepalanya yang terasa pening. Namun dadanya masih terasa sakit dan sesak. Ki Sabawa itu sadar, bahwa benturan ilmu yang terjadi, telah membuat bagian dalam tubuhnya terluka. Untunglah, bahwa daya tahannya cukup tinggi, sehingga isi dadanya tidak menjadi hancur karenanya.
Dalam kesempatan itu, Risang dan Nyi Wiradana memang ingin mengetahui kenapa Ki Sabawa dan kedua orang kawannya begitu bernafsu untuk membebaskan Ki Lurah Mertapraja.
"Ki Sabawa," berkata Risang kemudian, "mungkin kau berniat merahasiakan kedudukan Ki Lurah Mertapraja di dalam lingkunganmu. Tetapi kami benar-benar memerlukan keterangan itu. Kami ingin tahu, begitu besar usaha lingkungannya untuk membebaskannya sehingga untuk itu harus jatuh beberapa orang korban."
Ki Sabawa termangu-mangu sejenak. Ia tahu bahwa ia akan menerima pertanyaan seperti itu. Namun untuk beberapa saat Ki Sabawa masih saja berdiam diri.
"Ki Sabawa, apakah nilai Ki Mertapraja bagi lingkunganmu lebih tinggi dari beberapa korban yang jatuh itu" Bahkan sekarang kalian bertigapun termasuk di antara deretan orang-orang yang dikorbankan. Atau setidak-tidaknya mungkin akan menjadi korban pula," desis Risang.
Namun tiba-tiba saja Ki Sabawa itu berdesis, "Angger Risang. Sebenarnyalah bahwa aku tidak tahu, apa yang menyebabkan Ki Lurah Mertapraja harus dibebaskan. Wira Gending dan Kerta Wiritlah yang mendapat tugas untuk itu. Mereka datang kepadaku untuk minta bantuanku Karena itu, sebenarnyalah bahwa aku tidak mengerti, kenapa mereka dengan segala cara ingin membebaskan Ki Lurah Mertapraja."
Jawaban Ki Sabawa itu telah mengejutkan Wira Gending dan Kerta Wirit. Perubahan wajah mereka segera dapat dilihat oleh Risang, Nyi Wiradana dan orang-orang lain yang duduk bersama mereka di pringgitan itu.
Risang menarik nafas dalam-dalam. Namun keningnya mulai berkerut. Risang adalah seorang Kepala Tanah Perdikan yang masih muda, sehingga, caranya menanggapi persoalanpun masih dipengaruhi oleh kemudaannya meskipun ia berusaha untuk selalu menahan diri di dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Namun Nyi Wiradanalah yang kemudian bertanya masih dengan nada sareh, "Ki Sanak. Ki Sanak sudah berada di tangan kami. Sementara itu Ki Lurah Mertaprajapun telah berada di tangan para prajurit Pajang. Apakah masih ada gunanya bagi Ki Sanak untuk mengelak?"
"Tentu tidak Nyai," jawab Ki Sabawa.
"Jadi kenapa Ki Sanak melemparkan tanggung jawab Ki Sanak kepada kedua orang kawan Ki Sanak?" bertanya Nyi Wiradana.
"Tidak Nyai. Aku tidak melemparkan tanggung-jawab. Tetapi aku memang tidak bertanggung jawab atas persoalan ini."
Nyi Wiradana mengangguk-angguk. Katanya, "Jika demikian kami minta maaf atas kekeliruan kami. Kami mengira bahwa Ki Sanaklah yang bertanggung jawab, sehingga Ki Sanak akan menerima akibat yang paling pahit dari peristiwa ini. Tetapi jika bukan Ki Sanak yang bertanggung jawab, maka biarlah orang itu yang mengalami. Mungkin Ki Sanak memang harus dilepaskan setelah kami tahu pasti siapakah yang akan memikul beban terberat dalam persoalan ini."
Namun tiba-tiba saja Wira Gending berkata lantang, "Bukan kami yang bertanggung jawab. Tetapi Ki Sabawa. Mungkin kami memang melakukan bersama-sama. Tetapi yang tertua di antara kami adalah Ki Sabawa."
Bahkan Kerta Wiritpun menyambungnya, "Justru kami pernah bertanya kepada Ki Sabawa, apakah ada sesuatu yang memaksa kami untuk berusaha membebaskan Ki Lurah Mertapraja sehingga kami tidak mempedulikan kemungkinan adanya korban yang jatuh" Apakah harga Ki Lurah Mertapraja lebih mahal dari kami atau salah seorang dari kami apabila jatuh korban?"
"Jangan bohong," bentak Ki Sabawa. "Kalian tidak boleh ingkar. Lidah kalian akan dapat putus karenanya."
Nyi Wiradanalah yang memotong, "Jangan mengancam Ki Sabawa. Mereka tentu tidak ingin menjadi kuda beban Ki Sabawa. Jika demikian maka tentu Ki Sabawa yang telah menyusun rencana untuk menangkap Risang atau bahkan mungkin aku sendiri untuk kau tukarkan dengan Ki Lurah Mertapraja?"
"Tidak. Bukan aku," jawab Ki Sabawa. Risang yang mulai tidak sabarpun membentak, "Katakan terus terang Ki Sabawa. Aku dapat berlaku sopan dan barangkali bersikap baik. Tetapi aku juga dapat bersikap kasar dan bahkan yang belum pernah kau bayangkan sama sekali."
Ki Sabawa mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun berkata, "Lalu apa yang harus aku katakan. Apakah Angger Risang dan Nyai memang menghendaki aku berbohong."
"Cukup," bentak Risang.
Tetapi Ki Sabawa justru tertawa. Katanya, "Angger tidak perlu marah. Itulah kenyataan yang kau hadapi."
Wajah Risang menjadi merah. Hampir saja ia bergeser mendekat dan meraih baju Ki Sabawa. Namun Sambi Wulung berkata, "Kau memang tidak perlu marah Ngger. Apapun yang dikatakannya, aku dan Jati Wulung adalah saksi. Kami dapat memberikan kesaksian yang sejujurnya."
Tetapi Ki Sabawapun berkata masih sambil tertawa, "Apakah arti saksi sebagaimana kalian berdua" Seandainya kau menyebut dirimu sebagai saksi, maka kesaksian kalian tentu diragukan. Karena kesaksian kalian tentu tidak jujur."
Sambi Wulung mengerutkan dahinya. Tetapi kemudian ia menjawab, "Aku mendengar apa yang kalian bicarakan di sebuah kedai. Setidak-tidaknya kalian bertiga mempunyai tanggung jawab yang sama. Tetapi karena kau adalah orang yang tertua di antara kalian bertiga, maka kau memang mempunyai tanggung jawab yang terberat."
Tetapi Ki Sabawa menyahut dengan nada tinggi, "Kau dapat mengarang ceritera apapun sebagai kesaksianmu. Bahkan kau dan Angger Risang dapat menyusun bersama-sama. Karena sebenarnyalah kalian dapat secara bersama-sama memfitnah aku."
Risang benar-benar menjadi marah. Bukan saja karena jawaban Ki Sabawa, tetapi juga sikap Ki Sabawa yang seakan-akan tidak menghargainya dan bahkan tidak menghargai ibunya sama sekali.
Tetapi Sambi Wulunglah yang menjawab, "Kau berada di Tanah Perdikan Sembojan. Seandainya jika kami memfitnah sekalipun, tetapi pemimpin tertinggi di Tanah Perdikan ini percaya, maka keputusannya akan tetap berlaku atasmu."
"Tetapi Tanah Perdikan ini bukan ladang dari mereka yang hidup tanpa peradaban. Jika kalian mengaku orang-orang beradab, maka peradilan harus berjalan sejujur-jujurnya?" jawab Ki Sabawa.
"Apakah yang kau maksud dengan sejujur-jujurnya" Kelicikan" Kebohongan atau pemutar-balikan kebenaran?" berkata Sambi Wulung.
"Jangan berpura-pura tidak tahu," Ki Sabawa tertawa pula. "Nampaknya kau bukan orang dungu Ki Sanak."
Risang benar-benar telah kehilangan kesabarannya. Sementara itu Nyi Wiradana masih berusaha menahan diri.
Namun yang kemudian menyahut adalah Jati Wulung, "Sudahlah. Kita tidak usah merisaukan apa yang pantas kita lakukan. Kita lupakan saja apakah yang pantas, yang seharusnya, yang paling baik dan adil, atau apapun. Sekarang serahkan orang ini kepadaku. Aku akan memukulinya sampai mati. Sesudah itu aku akan menjawab semua pertanyaan sambil tertawa. Semua itu fitnah. Nah, silahkan Angger Risang dan Nyi Wiradana mempercayainya dan membebaskan aku dari segala hukuman. Bukankah itu adil?"
"Gila," potong Ki Sabawa dengan serta-merta. Tetapi Jati Wulung tidak menghiraukannya. Ia mulai bergeser dan mengambil tali yang sebelumnya dipergunakan untuk mengikat tangan Ki Sabawa. Katanya, "Biarlah aku mengikatnya kembali. Atau jika ia ingin mencoba sekali lagi, biarlah ia bertempur lagi dengan Kakang Sambi Wulung. Baru kemudian aku akan mengikatnya dan memukulinya sampai mati."
"Apakah kau termasuk seseorang yang tidak beradab?" bertanya Ki Sabawa.
"Aku tidak peduli," jawab Jati Wulung, "apakah dengan demikian aku disebut beradab atau tidak, apaboleh buat. Bagiku sebutan itu tidak berpengaruh apa-apa. Jika aku ingin memukuli orang, maka hal itu akan aku lakukan."
"Itu bukan tingkah laku seseorang yang hidup dalam dunia peradaban," Ki Sabawa mulai cemas.
Jati Wulung sama sekali tidak menghiraukan. Ia bahkan mulai mengikat tangan Ki Sabawa. Ketika Ki Sabawa mengibaskannya, maka Jati Wulung justru memilin tangan itu. Katanya, "Kau tidak dapat melawan kami. Disini masih ada Kakang Sambi Wulung. Bahkan disini ada Nyi Wiradana yang-memiliki ilmu tidak terbatas."
"Tetapi kau tidak dapat berbuat sekehendakmu," Ki Sabawa hampir berteriak.
"Apa peduliku dengan pendapatmu" Kau bukan Kepala Tanah Perdikan ini. Kau bukan orang yang aku segani dan kau bukan orang yang jujur menurut pendapatku. Tidak seorangpun dapat mencampuri pendapatku tentang seseorang," berkata Jati Wulung sambil mengikat tangan Ki Sabawa. Lalu katanya, "Seorang yang tidak jujur memang harus dipukuli."
"Apa buktinya bahwa aku tidak jujur?" bertanya Ki Sabawa hampir berteriak.
"Tidak ada. Untuk memukulimu aku tidak perlu bukti," jawab Jati Wulung.
"Tunggu, tunggu," teriak Ki Sabawa ketika Jati Wulung akan menariknya dari pringgitan.
"Apa yang harus ditunggu?" justru Jati Wulung bertanya.
Ki Sabawa itupun kemudian bertanya kepada Risang, "Inikah yang terjadi di Tanah Perdikanmu?"
Risang yang sudah marah itu menjawab, "Ya. Aku senang melihat sikap paman Jati Wulung."
"Tetapi ini melanggar keadilan."
"Aku tidak peduli," jawab Risang.
Ketika kemudian Jati Wulung menariknya, maka Ki Sabawa itu berkata, "Jangan, jangan."
"Kau tidak berhak melarang aku," jawab Jati Wulung.
"Tetapi, tetapi, baiklah. Baiklah aku akan berkata sebenarnya," Ki Sabawa itu hampir berteriak.
Tetapi Jati Wulung masih bertanya, "Apa yang akan kau katakan" Tentang kejujuran" Tentang saksi palsu atau tentang fitnah atas kejujuranmu?"
"Tidak. Aku akan menjawab pertanyaan kalian dengan baik," jawab Ki Sabawa.
Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku akan mendengarkannya. Jika kau ternyata tidak melakukannya, maka aku sudah tidak akan mempedulikan apapun juga."
"Ya, aku akan mengatakan yang sebenarnya tentang Ki Lurah Mertapraja," sahut Ki Sabawa.
Jati Wulungpun kemudian duduk di belakang Ki Sabawa. Katanya, "Aku tidak akan melepas tali di tanganmu lebih dahulu sebelum kau menjawab pertanyaan-pertanyaan kami dengan baik."
"Tetapi pergelangan tanganku akan menjadi sakit," berkata Ki Sabawa.
Jati Wulung menjawab sekenanya, "Tidak apa-apa. Bukan tanganku yang sakit."
"Kau telah berbuat semena-mena," berkata Ki Sabawa.
"Kau kira, kau tidak berbuat demikian" Kau seakan-akan menertawakan pertanyaan-pertanyaan kami. Meskipun aku sudah tua, tetapi darahku kadang-kadang masih panas," jawab Jati Wulung.
Ki Sabawa tidak dapat berkata apa-apa lagi. Sementara Jati Wulung berkata, "Kau dalam keadaan yang lemah sekarang ini. Karena itu, jika kau masih saja ingin menunjukkan kelebihanmu, maka kau benar-benar akan menyesal."
Ki Sabawa menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga ia memang harus menerima kenyataan itu.
"Nah, Ki Sanak," berkata Nyi Wiradana, "kau telah mempersulit keadaanmu sendiri. Mungkin kau merasa bahwa keteranganmu sangat kami butuhkan, sehingga kami berusaha memanjakanmu. Jika kami berbuat baik, menjamu kalian dengan minuman dan makanan, justru karena kami tidak ingin berbuat semena-mena. Bukan karena kami menganggap kalian orang-orang penting bagi kami. Karena seperti yang kalian ketahui, ada dua cara untuk memeras keterangan dari seseorang. Dengan memberikan apa yang dibutuhkan, atau dengan menyakitinya. Nah, Ki Sanak. Ingat. Kami dapat melakukan kedua-duanya."
Ki Sabawa termangu-mangu sejenak. Namun keringat mulai mengembun di keningnya.
"Sekarang, dengarlah pertanyaan kami. Bukankah kau yang bertanggung jawab atas perbuatan kalian bertiga?" bertanya Nyi Wiradana.
Ki Sabawa tidak dapat berbuat lain kecuali menganggukkan kepalanya sambil menjawab, "Ya. Akulah yang bertanggung jawab."
"Nah, sebenarnya hal itu tidak penting siapapun yang bertanggung jawab. Tetapi yang penting adalah, bahwa yang bertanggung jawab tentu mengetahui, kenapa kalian berusaha dengan segala cara, bahkan mengorbankan orang-orang yang berilmu tinggi melampaui ilmu Ki Lurah Mertapraja sendiri," bertanya Risang kemudian.
Ki Sabawa menjadi tegang. Namun tangannya masih terikat di belakang. Sementara Jati Wulung yang duduk di belakangnya telah menyentuh tangan itu pula. Katanya, "Jika kau berkeberatan untuk menjawab, maka nasibmu tidak akan lebih baik dari nasib seorang pencuri yang jatuh ke tangan orang banyak."
Ki Sabawa menarik nafas dalam-dalam katanya, "Baiklah. Aku memang harus menjawab." Ki Sabawa berhenti sejenak, lalu katanya pula, "Ki Lurah sendiri memang bukan orang yang mempunyai banyak kelebihan. Tetapi Ki Lurah Mertapraja mengetahui, dimana pamannya menyimpan harta benda, perhiasan emas dan permata serta pusaka-pusaka milik perguruan Wukir Gading."
Orang-orang yang mendengar jawaban itu mengangguk-angguk. Risang menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, "Itukah sebabnya kenapa Ki Lurah Mertapraja menjadi orang penting" Jadi kalian dikirim oleh perguruan Wukir Gading atau atas kehendak kalian sendiri melakukan rencanamu mengambil aku dan menukarnya dengan Ki Lurah Mertapraja?"
Ki Sabawa memandang Risang sejenak. Namun katanya, "Aku memang ditugaskan oleh salah satu kelompok di perguruanku."
"Salah satu kelompok?" bertanya Risang pula.
"Ya. Perguruan Wukir Gading memang sudah pecah. Ketika terjadi pergolakan antara kelompok-kelompok yang pecah itu maka paman Ki Lurah terluka parah. Sementara gurunya yang sedang sakit tidak tertolong lagi. Sekarang paman Ki Lurah itu dalam keadaan yang sangat gawat, sehingga Ki Lurah Mertapraja sangat diperlukan. Ia mengetahui dengan pasti, dimana semua kekayaan Perguruan Wukir Gading disimpan."
"Apakah perguruan Wukir Gading sekarang menjadi perguruan besar dan terbuka seperti perguruan Watu Kuning?"
"Tidak. Murid perguruan Wukir Gading hanya beberapa orang. Tetapi beberapa orang itu masing-masing mempunyai pengikut-pengikutnya sendiri. Ketika terjadi pergeseran pendapat di antara murid-murid utama perguruan Wukir Gading, maka pengikut mereka masing-masing juga telah ikut melibatkan diri."
Orang-orang yang mendengarkan keterangan itu mulai mengerti tentang kedudukan Ki Lurah Mertapraja. Ternyata yang diperlukan oleh Ki Sabawa dan kawan-kawannya, agaknya juga oleh sekelompok orang yang lebih dahulu berusaha melepaskannya, bukan kemampuan Ki Lurah. Tetapi bahwa Ki Lurah mengetahui dimana harta benda perguruan Wukir Gading itulah yang menyebabkan orang-orang itu berusaha mendapatkannya.
Dalam pada itu Sambi Wulung yang duduk dekat Wira Gendingpun bertanya, "apakah benar keterangan itu?"
"Yang kami tahu serba sedikit adalah keadaan yang keruh dalam perguruan Wukir Gading. Tetapi kami sama sekali tidak tahu, bahwa Ki Lurah Mertapraja menjadi penting karena ia mengetahui dimana harta benda perguruan Wukir Gading disimpan."
"Orang itu berkata sebenarnya," jawab Ki Sabawa. "Hanya satu dua orang saja yang mengetahui persoalan yang sebenarnya."
"Kenapa hal itu kau beritahukan kepada kami?" bertanya Nyi Wiradana. "Bukankah kau dapat memberi pengakuan yang lebih aman dari pengakuanmu itu?"
"Aku benar-benar telah berputus asa menghadapi kenyataan ini. Bagaimanapun juga aku bersikap, namun akhirnya aku memang harus mengatakannya," jawab Ki Sabawa.
"Baiklah," berkata Jati Wulung. "Meskipun kami belum yakin sepenuhnya bahwa yang kau katakan ini benar, namun kau sudah dapat dilepaskan dari tali pengikatmu."
Ki Sabawa hanya berdiam diri saja ketika tali yang mengikat tangannya itu dilepaskan.
"Ki Sabawa," berkata Risang kemudian, "apakah selain Ki Lurah menurut pendapatmu, benar-benar tidak ada orang lain yang mengetahuinya?"
"Ya. menurut pendapatku memang demikian. Juga pendapat pihak lain. Kami memang sedang berpacu untuk mendapatkan Ki Lurah Mertapraja. Bahkan bukan saja dari perguruan kami yang saling berebut untuk menemukan Ki Lurah Mertapraja, tetapi dari perguruan lain ternyata sudah ada yang mengetahui, bahwa Ki Lurah Mertapraja merupakan satu-satunya orang yang mengetahui harta benda yang tidak terhitung nilainya dan bahkan pusaka-pusaka yang sangat dihormati oleh padepokan Wukir Gading."
"Coba katakan, apakah ujud pusaka-pusaka itu, dan apakah pusaka-pusaka itu mempunyai tetenger nama?"
"Ya," jawab Ki Sabawa. "Sebatang tombak yang disebut Kiai Wisa Raditya dan sebuah perisai yang dinamai Nyai Lar Sasi. Kecuali bahwa pusaka-pusaka itu dianggap bertuah, namun pusaka-pusaka itu tentu sangat mahal harganya. Kedua pusaka itu dihiasi dengan emas dan permata."
Risang menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kepada ibunya, maka Nyi Wiradana itupun mengangguk-angguk kecil. Dengan nada dalam ia berkata, "Kita harus menghubungi Pajang. Mereka harus tahu, bahwa Ki Lurah Mertapraja masih diburu oleh beberapa orang. Bahkan orang-orang di luar perguruan Wukir Gading."
Risang mengangguk-angguk. Ada yang ingin dikatakannya kepada ibunya. Tetapi tidak di hadapan Ki Sabawa dan kedua orang kawannya. Meskipun mereka sudah tertawan, namun mungkin mereka masih dapat membuat persoalan di kemudian hari.
Karena itu, maka sejenak kemudian Risangpun telah memerintahkan untuk menyimpan Ki Sabawa dan kedua orang kawannya. Namun untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka Ki Sabawa telah ditempatkan di tempat terpisah dari kedua orang kawannya itu. Ki Sabawa agaknya menjadi kecewa karena kedua kawannya tidak mau mengambil alih tanggung jawab. Sedangkan kedua orang kawannya tentu juga tersinggung karena Ki Sabawa ingin meletakkan beban tanggung jawab di atas pundak mereka.
Baru ketika ketiga orang itu sudah disingkirkan, maka Risang pun berkata, "Kita menghubungi Kasadha. Ia akan dapat berbuat banyak di Pajang. Bukan saja untuk mengamankan Ki Lurah Mertapraja, tetapi mungkin Pajang dapat menyadap keterangan dari Ki Lurah Mertapraja tentang harta benda yang diketahuinya."
"Ya," ibunya mengangguk-angguk. "Sebaiknya kita memang menghubungi Angger Kasadha."
"Jika demikian, aku akan pergi ke Pajang," berkata Risang.
"Jangan kau sendiri, Risang," berkata ibunya. "Kita mengetahui bahwa orang-orang Wukir Gading sedang berusaha mendapatkan Ki Mertapraja yang dianggap satu-satunya orang yang mengetahui tempat harta-benda itu disembunyikan. Mungkin di antara orang-orang yang ingin mengambil Ki Lurah Mertapraja itu mempunyai rencana yang sama seperti Ki Sabawa."
"Jadi, maksud ibu?" bertanya Risang.
"Biarlah kedua pamanmu saja pergi ke Pajang menemui Angger Kasadha. Untuk sementara kau harus tetap berhati-hati," berkata ibunya.
Risang menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah ia memang ingin pergi ke Pajang. Selain persoalan Ki Lurah Mertapraja, Risang memang ingin dapat singgah di rumah Ki Rangga Dipayuda. Sudah agak lama ia tidak bertemu dengan Riris.
Namun pertimbangan ibunya itu memang masuk akal. Bukan karena Risang menjadi ketakutan, tetapi jika rencana Ki Sabawa atau rencana orang lain seperti itu berhasil, maka Pajang tentu akan menjadi kebingungan. Sulit bagi Pajang untuk membiarkan Risang mengalami kesulitan jika ia jatuh di tangan orang-orang yang sedang memburu Ki Lurah Mertapraja itu. Tetapi Pajang tentu juga akan berpikir ulang untuk menyerahkan Ki Lurah Mertapraja. Harta-benda yang banyak sekali akan dapat membantu usaha-usaha untuk merongrong kekuasaan Pajang.
Karena itu, maka Risang memang memutuskan untuk minta kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung untuk pergi ke Pajang, menemui Kasadha dan mengatakan apa yang terjadi di Tanah Perdikan Sembojan. Mereka juga harus memberitahukan bahwa Ki Lurah Mertapraja memang sedang diburu oleh orang-orang yang menganggap bahwa Ki Lurah itu adalah satu-satunya orang yang mengetahui setumpuk harta-benda yang tersembunyi serta dua pusaka yang dianggap bertuah, setidak-tidaknya oleh perguruan Wukir Gading.
"Apakah kami harus berangkat sekarang?" bertanya Sambi Wulung.
"Besok pagi-pagi sajalah," jawab Risang. "Malam nanti kita akan membicarakan apa saja yang perlu kau sampaikan kepada Kasadha sehingga tidak akan ada yang terlampaui."
Kesempatan yang sempit itu masih juga dipergunakan oleh Risang untuk berbicara dengan Wira Gending dan Kerta Wirit. Nampaknya keduanya memang tidak terlalu banyak mengetahui tentang Ki Lurah Mertapraja. Yang mereka ketahui hanyalah, mereka harus berusaha untuk mengambil Ki Lurah itu dari Pajang dengan cara apapun juga.
"Ki Sabawa tidak pernah mengatakan, bahwa Ki Lurah adalah satu-satunya orang yang mengetahui tentang harta-benda dan pusaka-pusaka itu," berkata Wira Gending.
"Yang kami ketahui adalah, bahwa Ki Lurah Mertapraja adalah kemenakan murid tertua dari pemimpin perguruan Wukir Gading," sambung Kerta Wirit.
"Apakah kalian juga murid dari perguruan Wukir Gading?" bertanya Risang.
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Kerta Wirit itu berkata, "Kami bukan murid-murid perguruan Wukir Gading. Kami berada di lingkungan perguruan itu karena kami justru sedang dipersiapkan untuk menjadi keluarga perguruan Wukir Gading. Sedangkan Ki Sabawa adalah calon murid utama dari perguruan itu."
Risang mengangguk-angguk. Agaknya perguruan Wukir Gading sengaja membuat tataran-tataran bagi orang-orang yang ingin menjadi murid di perguruan itu.
Namun kemudian Risang berdesis, "Tetapi agaknya telah terjadi pemberontakan dan pengkhianatan di perguruan Wukir Gading."
"Ya," jawab Wira Gending. "Dalam pemberontakan itu, paman Ki Lurah Mertapraja dan gurunya mengalami kesulitan. Bahkan gurunya yang sedang dalam keadaan sakit telah terbunuh."
"Apakah paman Ki Lurah itu akan dapat tertolong?" bertanya Risang.
"Semua pihak menghendaki paman Ki Lurah itu tetap hidup. Tetapi keadaannya sudah sangat gawat, sehingga orang-orang Wukir Gading itu menghendaki hadirnya Ki Lurah Mertapraja."
Risang mengangguk-angguk. Namun keterangan yang didapatkannya dirasanya sudah cukup. Yang penting Pajang mengetahui bahwa Ki Lurah memang sedang diburu oleh beberapa pihak, karena Ki Lurah mengetahui dimana pamannya menyimpan harta-benda dan pusaka-pusaka yang tidak ternilai harganya.
Malam itu segala sesuatunya sudah diputuskan. Sambi Wulung dan Jati Wulung akan berangkat ke Pajang untuk menemui Kasadha dan menyampaikan pesan tentang kedudukan Ki Lurah di antara para murid perguruan Wukir Gading.
"Ki Lurah sendiri bukan murid utama dari perguruan Wukir Gading," berkata Risang. "Agaknya segala sesuatunya itu terjadi karena paman Ki Lurah adalah murid tertua dan terpercaya dari pemimpin perguruan itu."
"Juga karena Ki Lurah adalah seorang pemimpin dari lingkungan keprajuritan di Madiun, sehingga kedudukannya akan dapat dimanfaatkannya," berkata ibunya.
"Ya. Itulah agaknya sebabnya, kenapa Ki Lurah menjadi sangat penting di antara orang-orang Wukir Gading."
Demikianlah, malam itu Sambi Wulung dan Jati Wulung telah mempersiapkan-diri sebaik-baiknya untuk menempuh perjalanan yang panjang. Mereka akan berangkat pagi-pagi sekali sehingga udara masih akan terasa segar. Meskipun mereka tentu akan memasuki saat-saat matahari membakar langit, namun perjalanan mereka sudah cukup jauh dan semakin mendekati tujuan.
Ketika fajar mulai membayang di langit di keesokan harinya, maka Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah bersiap untuk berangkat. Mereka telah makan pagi secukupnya. Merekapun telah menerima pesan-pesan dari Risang dan Nyi Wiradana, apa yang sebaiknya mereka lakukan. Baik di perjalanan maupun setelah mereka berada di Pajang.
"Jika Kasadha tidak ada di baraknya atau sedang bertugas kemanapun dalam keadaan yang gawat seperti sekarang ini dalam hubungannya antara Mataram dan Madiun, maka kau dapat menemui Ki Rangga Dipayuda," pesan Risang..
"Baik Ngger," jawab Sambi Wulung. "Tetapi jika Ki Rangga juga tidak ada, bukankah aku dapat melaporkannya kepada Ki Tumenggung Jayayuda."
"Ya," jawab Risang. "Yang penting persoalan ini dapat diketahui oleh pimpinan keprajuritan Pajang karena persoalannya bukan persoalan yang sederhana."
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk. Dengan bekal pesan-pesan yang cukup, maka keduanyapun segera meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan menuju ke Pajang.
Dalam pada itu, Nyi Wiradana juga selalu berpesan kepada Risang, agar ia tidak meninggalkan kewaspadaan. Kemungkinan-kemungkinan yang buruk masih saja dapat terjadi di Tanah Perdikan Sembojan itu sendiri.
Dalam pada itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah memacu kudanya langsung menuju ke Pajang. Namun mereka harus berhenti di perjalanan untuk memberi kesempatan kuda mereka beristirahat, makan dan minum secukupnya sebagaimana Sambi Wulung dan Jati Wulung itu sendiri.
Di sepanjang perjalanan mereka, keduanya tidak mengalami hambatan yang berarti. Ketika mereka berada di kedai, mereka memang mendengar pembicaraan antara beberapa orang yang mencemaskan perkembangan keadaan antara Mataram dan Madiun. Mereka seakan-akan terombang-ambing oleh satu keadaan yang tidak pasti. Bayangan-bayangan yang muram di masa mendatang serta kecemasan yang mencekam.
Ketakutan akan terjadi perang memang terasa dimana-mana. Selamanya perang akan membawa bencana bagi kehidupan. Darah dan air mata akan menyiram bumi yang banyak kehilangan hasil tanaman karena rusak dilanda arus kaki-kaki kuda yang membawa prajurit bersenjata serta terinjak-injak kaki orang-orang yang sedang berjuang di antara hidup dan mati.
Namun lebih dari itu bumi juga akan menerima kembali putera-putera terbaiknya yang gugur di pertempuran dengan tubuh yang koyak oleh senjata dan bahkan dengan luka arang-keranjang.
Demikianlah, ketika matahari turun ke kaki langit di ujung Barat, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung telah berada di Kota Pajang. Sebelum mereka memasuki barak prajurit yang dihuni oleh Kasadha, mereka sekali lagi telah singgah di sebuah kedai. Selain untuk mengeringkan keringat, merekapun merasa sangat haus.
Karena itu, maka baru menjelang senja mereka sampai ke pintu gerbang barak Kasadha.
Ketika mereka menanyakan kepada prajurit yang bertugas, ternyata bahwa Kasadha ada di barak itu, sehingga dengan demikian maka tugas mereka tidak akan menjadi lebih sulit.
Kedatangan mereka memang mengejutkan Kasadha. Karena itu, maka keduanya langsung diterima di tempat yang khusus.
Setelah menanyakan keselamatan perjalanan keduanya serta keluarga di Tanah Perdikan Sembojan, maka Kasadha yang ingin segera mengetahui kepentingan mereka, bertanya, "Paman, apakah kedatangan paman berdua ini sekedar menengok keselamatan kami di Pajang, atau ada kepentingan lain yang penting?"
"Kami memang datang untuk menyampaikan pesan yang menurut penilaian kami di Tanah Perdikan cukup penting, Ngger," jawab Sambi Wulung.
Kasadha mengangguk-angguk, sementara Sambi Wulung berkata, "Masih menyangkut Ki Lurah Mertapraja?"
"Apakah ada perkembangan baru tentang Ki Lurah atau barangkali perguruan Wukir Gading atau perguruan Watu Kuning?"
Sambi Wulung termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mulai menceriterakan peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan Sembojan, tentang tiga orang berkuda serta pengakuan mereka tentang hubungan mereka dengan Ki Lurah Mertapraja.
Kasadha mendengarkan keterangan Sambi Wulung itu dengan saksama. Sekali-sekali alisnya berkerut. Sekali-sekali Kasadha itu mengangguk-angguk kecil.
Demikian Sambi Wulung selesai menyampaikan pesannya, maka Kasadhapun berdesis, "Jadi itulah latar belakang dari usaha orang-orang Wukir Gading untuk mengambil Ki Lurah Mertapraja?"
"Ya Ngger," jawab Sambi Wulung. "Angger Risang memerintahkan kami datang untuk menyampaikan hal itu, agar dapat diteruskan kepada pimpinan keprajuritan Pajang, khususnya yang menangani penahanan Ki Lurah Mertapraja. Agaknya mereka masih belum akan menghentikan usaha mereka. Mungkin dengan cara sebagaimana akan mereka lakukan atas Angger Risang. Mungkin mereka akan menangkap atau mengambil orang-orang yang dianggap penting, sehingga cukup berharga untuk ditukar dengan Ki Lurah Mertapraja. Bahkan mungkin mereka akan mengambil keluarga salah seorang pemimpin di Pajang ini."
"Terima kasih paman," jawab Kasadha. "Hal itu akan dapat mendorong kami untuk berhati-hati."
"Mungkin Pajang dapat menyadap keterangan Ki Lurah agar menunjukkan simpanan itu. Sebelum harta benda itu jatuh ke tangan orang yang tidak berhak, maka sebaiknya Pajang dapat menguasainya lebih dahulu. Jika ternyata harta-benda itu adalah harta-benda yang tidak sah, maka Pajang dapat merampasnya dan dipergunakan untuk kepentingan negara. Karena di tangan orang-orang yang tidak berhak apalagi di tangan orang yang berniat jahat terhadap Pajang, harta-benda itu akan dapat menimbulkan persoalan yang gawat. Setidak-tidaknya dalam keadaan yang gawat sekarang ini, orang-orang yang berniat jahat itu akan dapat membuat keadaan semakin rumit," berkata Sambi Wulung.
"Ya, paman. Paman benar. Uang itu akan dapat ditabur untuk dapat menumbuhkan kesulitan," desis Kasadha.
"Agaknya memang demikian, Ngger," jawab Sambi Wulung. Lalu katanya, "Karena itu, segala sesuatunya terserah kepada Angger. Mungkin Angger akan berhubungan dengan para pemimpin keprajuritan di Pajang."
"Tentu. Aku akan menghadap Ki Rangga Dipayuda. Kemudian tentu Ki Tumenggung Jayayuda," jawab Kasadha.
"Mudah-mudahan persoalan ini akan segera dapat diatasi. Jika harta-benda dan pusaka-pusaka itu sudah berada di tangan Pajang, maka persoalannya tentu akan segera selesai," berkata Sambi Wulung. "Orang-orang yang memburu Ki Lurah Mertapraja akan menghentikan kegiatan mereka, sehingga tidak akan mengancam beberapa orang lagi."
"Aku setuju dengan pendapat itu, paman. Mudah-mudahan para pemimpin keprajuritan Pajang segera tanggap dan dengan cepat menangani persoalan ini."
Demikianlah, maka Sambi Wulungpun kemudian menyerahkan segala sesuatunya kepada Kasadha. Namun menanggapi persoalan itu, Kasadha yang ingin berbuat sesuatu dengan cepat, justru mengajak Sambi Wulung dan Jati Wulung untuk menghadap Ki Rangga Dipayuda.
Ternyata Ki Ranggapun tanggap pula. Namun ia menganggap sudah terlalu malam untuk menghadap Ki Tumenggung Jayayuda.
"Kapan kalian akan kembali ke Tanah Perdikan Sembojan?" bertanya Ki Rangga Dipayuda.
"Besok Ki Rangga. Jika mungkin besok pagi-pagi benar."
"Jangan terlalu pagi. Sebaiknya hal ini cepat ditangani. Karena itu, besok kita menghadap Ki Tumenggung. Sebelum matahari sepenggalah, maka kalian sudah dapat berangkat meninggalkan Pajang," berkata Ki Rangga kemudian.
Sambi Wulung dan Jati Wulung yang pada dasarnya memang ingin agar hal itu diselesaikan dengan cepat, tidak menolak. Mereka bersedia untuk tinggal sampai mendapat kesempatan bertemu dan berbicara dengan Ki Tumenggung Jayayuda.
Malam itu Sambi Wulung dan Jati Wulung bermalam di barak itu atas ijin Ki Rangga Dipayuda. Namun pagi-pagi benar keduanya telah berbenah diri. Meskipun demikian, mereka harus menunggu sampai ke Tumenggung duduk di ruang khusus yang diperuntukan baginya serta untuk menerima tamu-tamunya.
Ketika Ki Tumenggung sudah berada di ruangannya, maka Ki Rangga Dipayuda telah minta waktu untuk dapat menemuinya mendahului segala acara Ki Tumenggung yang lain.
Ternyata Ki Tumenggung tidak berkeberatan, sehingga Sambi Wulung, Jati Wulung dan Kasadha langsung dapat diterimanya bersama Ki Rangga Dipayuda.
Ketika persoalan yang dibawa oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung itu disampaikan kepada Ki Tumenggung, maka Ki Tumenggungpun telah memperhatikannya dengan sungguh-sungguh.
"Bukan saja soal harta-benda itu sendiri. Tetapi bahwa ada niat sekelompok orang untuk melakukan perbuatan jahat memang harus mendapat perhatian yang khusus," berkata Ki Tumenggung. Namun katanya kemudian, "Tetapi sayang, bahwa letak perguruan Wukir Gading itu berada di daerah Madiun. Seandainya kita dapat menyadap keterangan dari Ki Lurah Mertapraja, maka kita harus menyusup ke daerah Madiun."
"Mudah-mudahan harta-benda yang disimpan Ki Lurah itu tidak berada di daerah Madiun," desis Sambi Wulung.
"Kemungkinannya memang kecil sekali. Tetapi kita harus mencoba memastikannya," berkata Ki Tumenggung.


02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, Ki Tumenggung," desis Sambi Wulung kemudian.
Dalam pembicaraan itu, maka Ki Tumenggungpun telah bersedia untuk membicarakan persoalan itu dengan para pemimpin keprajuritan di Pajang, terutama yang langsung bersangkutan dengan penahanan Ki Lurah Mertapraja. Ki Tumenggung juga memperhatikan cara yang telah ditempuh oleh Ki Sabawa dengan mencoba untuk mengambil Risang yang akan diusahakan untuk dapat ditukar dengan Ki Lurah Mertapraja.
"Cara seperti itu memang dapat saja dilakukan di Pajang ini," berkata Ki Tumenggung. Bahkan Ki Tumenggungpun sependapat bahwa mungkin sasarannya adalah keluarga orang-orang yang berpengaruh di Pajang.
Demikianlah, setelah Ki Tumenggung Jayayuda menyatakan kesediaannya untuk menangani persoalan itu, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung telah mohon diri.
"Apakah Ki Sanak tidak akan bermalam lagi semalam di Pajang sehingga Ki Sanak sempat melihat-lihat keadaan kota hari ini?"
"Kami mendapat pesan dari Angger Risang, agar kami segera kembali," jawab Sambi Wulung.
"Baiklah," sahut Ki Tumenggung, "aku mengucapkan terima kasih atas ketrampilan kalian di Tanah Perdikan Sembojan untuk mengatasi persoalan yang timbul. Keterangan kalian sangat berarti bagi kami."
Demikianlah, maka Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah minta diri. Meskipun Kasadha masih mempersilahkan mereka untuk menunda keberangkatan mereka sejenak.
"Kita pergi ke dapur," berkata Kasadha.
Tetapi Sambi Wulung dan Jati Wulung sambil mengucapkan terima kasih, minta diri untuk segera dapat kembali ke Tanah Perdikan Sembojan.
Sebagaimana mereka berangkat, maka di perjalanan kembalipun keduanya tidak mengalami hambatan. Jika sekali-sekali mereka berhenti adalah karena mereka atau kuda mereka menjadi letih, haus atau lapar.
Dengan perkembangan terakhir, maka Tanah Perdikan Sembojan masih harus tetap berhati-hati. Risang masih harus tetap memperhatikan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi di Tanah Perdikan Sembojan, bahkan atas keluarga Risang itu sendiri.
Dalam pada itu, ketika hal itu didengar oleh Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyi Soka yang sudah semakin tua, maka merekapun berpendapat, bahwa sudah waktunya untuk menempa Risang dengan mewarisinya ilmu Janget Kinatelon sepenuhnya. Dengan demikian, maka Risang akan mempunyai bekal yang lebih baik untuk mengatur pemerintahan di Tanah Perdikan Sembojan.
"Tetapi ia masih terlalu muda," berkata Nyi Soka. "Darahnya masih terlalu cepat menjadi panas. Meskipun Risang termasuk seorang yang mengerti dan dapat mendudukkan dirinya pada jabatannya, namun umurnya yang muda itu memang sangat berpengaruh."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi ia akan menghadapi persoalan yang semakin bersungguh-sungguh dengan tugasnya sebagai Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Karena itu, dengan pengawasan yang terus-menerus oleh ibunya, maka aku kira ilmu itu akan sangat berarti baginya."
Nyai Soka memang tidak menentang. Apalagi ketika Kiai Soka berkata, "Kitapun menjadi semakin tua. Meskipun ibunya juga sudah menguasai ilmu Janget Kinatelon, namun sebaiknya kitalah yang mewariskan langsung kepada Risang. Karena sebenarnyalah ilmu itu selama ini telah berkembang. Namun sebelumnya, kita memang perlu menyempurnakan kemampuan Iswari lebih dahulu?"
"Apakah itu penting?" bertanya Nyai Soka. "Bukankah beban tugas terberat sekarang berada di tangan Risang."
"Kemudaannya memang memerlukan imbangan," jawab Kiai Soka. "Jika ilmu Iswari menjadi lebih sempurna, sementara itu pengalamannya juga mampu memberikan warna-warna khusus, maka ia akan tetap dapat mengendalikan Risang, sementara Iswari juga akan tetap mempunyai wibawa yang tinggi di mata Risang, karena Iswari akan dapat membantu perkembangan ilmu Risang dengan tataran yang lebih baik."
"Aku sependapat," berkata Kiai Badra, "maksudmu, jika pada sesuatu saat ada sesuatu yang mendorong Risang untuk melakukan sesuatu yang tidak sepatutnya dilakukan, ibunya masih mempunyai cukup wibawa untuk meredamnya."
Akhirnya ketiga orang tua itu sepakat. Dalam waktu yang dekat, segala rencana itu akan dilaksanakan. Namun ketiganya juga sepakat, bahwa apa yang akan mereka lakukan tidak perlu diketahui oleh orang lain.
Ketika hal itu di hari berikutnya disampaikan kepada Iswari, maka Iswaripun menjadi termangu-mangu. Bahkan dengan nada berat ia bertanya, "Kenapa harus aku yang mendapat kesempatan lebih baik dari Risang" Aku sudah semakin tua, sementara Risang sedang tumbuh sekarang ini."
Kiai Badralah yang memberi penjelasan kepada Nyi Wiradana kenapa orang-orang tua itu berniat untuk meningkatkan ilmunya.
"Peningkatan ilmumu itu disertai dengan tanggung jawab yang besar," berkata Kiai Badra kemudian.
Nyi Wiradana tidak membantah lagi. Meskipun ia sudah menjadi semakin tua, namun ia merasa bahwa hal itu merupakan satu tugas dan tanggung-jawab baginya.
Karena itu, maka sebagaimana dikehendaki oleh ketiga orang tua itu, maka Iswari harus menyisihkan beberapa hari secara khusus untuk berada di dalam sanggar bersama ketiga orang gurunya yang masih akan menempanya justru di masa umurnya menjadi semakin tua.
Namun bagi Iswari, tidak ada kelambatan untuk menambah ilmu. Bahkan dengan demikian, pada saat-saat ia tidak lagi mampu berbuat sesuatu nanti, masih ada yang dapat diwariskan kepada anak satu-satunya itu. Kalau saja Risang tidak mengembangkan ilmunya. Tidak banyak orang yang tahu apa yang dilakukan oleh Nyi Wiradana. Hanya Risang dan satu dua orang tertentu mengetahui, kenapa ibunya di hari-hari terakhir lebih banyak menutup diri di dalam sanggar.
Bahkan tiga hari terakhir, Nyi Wiradana sama sekali tidak nampak keluar dari sanggar. Bersama ketiga orang gurunya Nyi Wiradana menekuni puncak dari kemampuan ilmu Janget Kinatelon yang telah disempurnakan oleh ketiga orang yang berilmu tinggi itu.
Sementara itu, Risang juga telah diberitahu bahwa akan datang giliran baginya untuk memasuki sanggar sebagaimana ibunya. Namun yang sudah pasti, karena apa yang harus diterima oleh Risang adalah kebulatan ilmu Janget Kinatelon, maka bebannya akan terasa lebih berat. Ia harus berangkat dari landasan ilmu itu, sementara ibunya sudah hampir berada di puncak.
Namun Risang adalah seorang anak muda yang unsur kewadagannya justru sedang berkembang, sehingga ia tentu akan dapat memanggul beban yang lebih berat itu. Apalagi sejak beberapa lama Risang memang sudah dipersiapkan sehingga landasan dan dasar ilmu itu sudah mapan di dalam dirinya.
Sementara itu, di Pajang terasa udara seakan-akan menjadi semakin panas. Langit bagaikan terbuka sedangkan dari puncak Gunung Merapi asap lahar yang mendidih mengepul dan menebar sampai ke atas Pajang.
Dalam keadaan yang demikian, maka kesiagaanpun menjadi semakin tinggi. Para prajurit telah mengasah kemampuan mereka masing-masing. Di setiap barak prajurit, latihan-latihanpun berlangsung setiap saat. Jika terjadi perang, maka para prajurit itu telah benar-benar bersiaga.
Dalam keadaan yang demikian, maka guru Kasadha, memutuskan untuk memberikan bekal terbaik bagi muridnya. Kasadha memang hampir setiap sore datang ke rumah gurunya yang disediakannya di Pajang, atas ijin Ki Rangga Dipayuda.
"Kasadha," berkata gurunya, "persoalan yang memanas antara Mataram, termasuk Pajang, dengan Madiun harus kau tanggapi dengan sungguh-sungguh. Sebagaimana kau ketahui, di Madiun banyak terdapat orang-orang berilmu tinggi, sehingga karena itu, maka jika terjadi perang, maka kau harus mempunyai bekal yang cukup."
"Maksud guru?" bertanya Kasadha.
"Kau harus mencapai tataran yang pantas untuk pergi ke Madiun jika kau ditugaskannya," berkata gurunya. "Karena itu Kasadha, aku berniat untuk meletakkan bekal terbaik yang dapat aku berikan."
Kasadha hanya dapat menundukkan kepalanya. Sementara gurunya berkata, "Kau sudah matang dengan ilmu yang kau kuasai sekarang. Karena itu, maka aku ingin agar kau juga mewarisi ilmu yang terbaik yang aku miliki." Gurunya berhenti sejenak, lalu katanya pula, "Semula aku memang merasa ragu, bahwa kau masih terhitung muda. Namun untuk turun ke medan perang di Madiun, maka kau tentu memerlukannya."
Kasadha masih belum menjawab. Kepalanya justru semakin menunduk. Sementara itu gurunya berkata selanjutnya, "Kau akan menerima warisan ilmu Guntur Geni."
Jantung Kasadha menjadi berdebar-debar. Sementara itu ia sadar, bahwa waktunya tidak terlalu longgar, karena ia harus berada di baraknya setiap hari. Di sore hari ia memang mendapat ijin untuk menemui gurunya, karena ia memang berterus-terang, bahwa ia masih ingin menambah ilmunya.
Namun untuk menerima ilmu puncak dari gurunya, maka ia tentu memerlukan waktu yang khusus.
Gurunya memang melihat keragu-raguan di wajah muridnya. Gurunya tahu, bahwa keragu-raguan itu bukan karena Kasadha tidak sanggup untuk menjalani laku saat ia harus mewarisi ilmu puncaknya itu. Tetapi apakah ia mempunyai waktu untuk itu.
Karena itu, maka gurunya itupun berkata, "Kasadha. Sebaiknya kau berterus-terang kepada Ki Rangga Dipayuda. Bukankah ia selalu bersikap baik terhadapmu" Untuk mempersiapkan diri kau tidak perlu mempergunakan waktu lebih dari yang sudah kau dapatkan sampai saat ini. Hanya di saat terakhir, kira-kira dua pekan mendatang, kau memerlukan waktu khusus selama tiga hari tiga malam."
Kasadha mengangguk-angguk kecil. Dengan nada rendah iapun kemudian berkata, "Aku akan mencoba guru."
"Katakan, bahwa kau memerlukan bekal lebih baik seandainya kau mendapat tugas untuk pergi ke Madiun. Ki Rangga Dipayuda tentu tidak mau membiarkan kau gugur di medan pertempuran."
Kasadha mengerutkan dahinya, sementara gurunya berkata, "Kasadha, menurut keteranganmu, Ki Rangga bersikap terlalu baik kepadamu. Bahkan Ki Rangga justru sering menyebut-nyebut nama anak gadisnya di hadapanmu. Bahkan menurut ceriteramu, kau pernah, bahkan tidak hanya sekali, diperintahkan oleh Ki Rangga untuk pergi ke rumahnya, antara lain menyampaikan bingkisan permintaan anak gadis itu kepada Ki Rangga Dipayuda."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu gurunya berkata, "Kau memang masih terlalu hijau. Bahkan mungkin kau terlalu berhati-hati. Tetapi meskipun yang dilakukan oleh Ki Rangga itu tanpa maksud tertentu, namun satu hal yang kau ketahui, setidak-tidaknya bahwa Ki Rangga itu tidak membencimu."
Kasadha mengangguk kecil. Jawabnya, "Ya, guru."
"Nah, jika demikian, maka Ki Rangga tentu akan berusaha membantumu, bahwa kau akan mendapat waktu untuk menerima warisan ilmu tertinggi yang ada padaku. Dan itu akan sangat berarti jika pada suatu saat kau pergi ke Madiun."
Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Ya, guru. Aku akan mencoba menyampaikannya kepada Ki Rangga Dipayuda."
"Baik Kasadha. Selebihnya, dalam kesibukan ini, kau tidak usah merasa terganggu perasaanmu oleh kehadiran gadis itu di dalam hatimu. Seperti yang sudah aku katakan, maka kau harus berbuat sebagai seorang laki-laki. Sikap gadis itu baik kepadamu, bahkan menurut pendapatku, ia memang memberikan harapan kepadamu dengan sikapnya yang manja itu. Kau tidak usah terlalu banyak menilai dirimu sendiri. Segan, rendah diri atau perasaan-perasaan lain yang dapat menjadi hambatan," berkata gurunya. Namun kemudian gurunya itu menambahkan, "Meskipun demikian, aku minta untuk sementara kau pusatkan perhatianmu pada pewarisan ilmumu itu lebih dahulu."
"Ya, Guru," Kasadha mengangguk lemah.
"Nah, waktumu tidak terlalu banyak lagi. Sebelum pecah perang yang sebenarnya antara Mataram dan Madiun, maka kau harus sudah mewarisi ilmu Guntur Geni."
Demikianlah, maka ketika Kasadha kembali ke baraknya, berbagai persoalan telah bergejolak di dalam dadanya. Di luar sadarnya ia telah menilai kembali sikap Ki Rangga Dipayuda, sikap Riris dan keluarganya yang lain. Namun kemudian Kasadha terhenti pada satu masalah yang dianggapnya sangat penting. Pewarisan ilmu Guntur Geni.
Sebenarnyalah bahwa Kasadha tidak ingin terlambat. Di hari berikutnya ia sudah menghadap Ki Rangga untuk menyampaikan permohonan agar ia mendapat kesempatan mewarisi ilmu puncak dari perguruannya. Ilmu Guntur Geni.
Ki Rangga Dipayuda termangu-mangu sejenak. Sulit bagi seorang prajurit untuk mendapatkan waktu tiga hari tiga malam berturut-turut dalam keadaan yang gawat seperti itu. Sekali-sekali Kasadha memang meninggalkan barak untuk pergi ke rumah Ki Rangga jika Ki Rangga mengutusnya untuk berbagai macam keperluan. Bahkan keperluan yang tidak penting sekalipun. Namun itu dilakukan di sore hari dan hanya memerlukan waktu yang singkat, karena jarak rumah Ki Rangga dengan barak itu tidak terlalu jauh.
Namun dalam pada itu, Kasadhapun berkata, "Tetapi dalam waktu tiga hari itu, aku tidak keluar dari Kota-raja Ki Rangga. Aku akan berada di sanggar guruku."
"Meskipun tidak keluar Kotaraja, namun kau tidak berada di barak," sahut Ki Rangga.
Kasadha mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab..
"Baiklah," berkata Ki Rangga, "aku akan berusaha. Tetapi aku belum menyatakan kesanggupanku."
"Terima kasih Ki Rangga," jawab Kasadha yang kemudian minta diri untuk kembali ke pasukannya.
Permintaan Kasadha itu ternyata telah menjadi beban bagi Ki Rangga. Ia mengerti, bahwa dengan ilmu itu, maka Kasadha akan dapat melindungi dirinya dengan lebih baik. Ki Ranggapun menyadari, bahwa banyak prajurit pilihan di Madiun, sehingga seorang Lurah prajurit memang harus mempunyai bekal yang cukup. Seorang Lurah prajurit, memang harus memiliki bekal kanuragan yang tinggi karena pada umumnya Lurah prajurit harus ada di tengah-tengah prajuritnya di medan perang. Lurah prajurit harus memiliki kemampuan mengatur prajurit-prajuritnya.
Tetapi karena ia sendiri ada di antaranya, maka Lurah prajurit itu sendiri bukan saja harus mampu mengatur gelar dalam perang gelar, namun juga memiliki kemampuan. Dalam perang gelar, maka pada umumnya Lurah prajurit akan menjadi paruh gelar atau Senapati pengapit. Namun dalam gelar perang yang tertutup, maka Lurah prajurit akan dapat menjadi ujung gelar yang pertama-tama berbenturan dengan lawan.
Ki Rangga memang memikirkan kemungkinan itu dengan sungguh-sungguh. Pada saat terakhir, ia sudah banyak memberi kesempatan kepada Kasadha untuk bertemu dengan anak gadisnya. Justru sejak Jangkung pergi ke Tanah Perdikan Sembojan. Ia memang tidak yakin, bahwa Jangkung tidak mengatakan sesuatu tentang hubungan antara Riris dan Kasadha, serta sikap Ki Rangga itu sendiri.
Namun ternyata bahwa sampai hari-hari terakhir, Risang tidak pernah datang ke rumahnya, apalagi menunjukkan sikap yang berlebihan.
"Agaknya Jangkung berkata sebenarnya, bahwa ia tidak mengatakan sesuatu kepada Risang tentang adiknya," berkata Ki Rangga kepada diri sendiri.
Sebenarnyalah bahwa Risang memang tidak mendapat kesempatan untuk mengunjungi Riris di rumahnya. Keadaan di Tanah Perdikan Sembojan ternyata tidak segera tenang. Risang masih dibayangi oleh usaha beberapa orang yang memburu Ki Lurah Mertapraja, sehingga ia harus tetap tinggal di Tanah Perdikan.
Di saat-saat terakhir, Risang juga tidak dapat meninggalkan Tanah Perdikannya sejak ibunya dipersiapkan untuk menyempurnakan ilmu di dalam dirinya, ilmu Janget Kinatelon. Karena ibunya yang sedang ditempa oleh ketiga kakek dan neneknya, maka Risang memang sepenuhnya harus memimpin Tanah Perdikan itu.
Sehingga datang saatnya, Nyi Wiradana harus menjalani laku patigeni, tiga hari tiga malam.
Meskipun umur Nyi Wiradana sudah sampai pada separo baya, maka unsur kewadagannya memang sedikit menghambatnya. Meskipun demikian, karena Nyi Wiradana pada dasarnya sudah memiliki ilmu yang tinggi, maka jenjang terakhir dari ilmunya itu memang tidak terlalu menyulitkannya.
Demikianlah, ketika laku terakhir sudah dijalani, maka keseluruhan laku bagi Nyi Wiradana sudah menjadi tuntas.
Dalam keadaan yang letih, Nyi Wiradana telah mewarisi ilmu Janget Kinatelon yang telah disempurnakan itu dengan utuh. Lengkap dan bulat.
Di hari yang sudah ditentukan, maka telah disediakan landa merang bagi Nyi Wiradana untuk mandi keramas. Ia harus membersihkan seluruh tubuhnya sebagaimana hatinya harus menjadi bersih pula. Karena ilmu Janget Kinatelon bukannya ilmu yang dapat dipergunakan untuk melakukan kejahatan.
Ketika Nyi Wiradana keluar dari sanggar, maka Risang telah menjemputnya. Ia tahu bahwa ibunya tentu akan menjadi sangat letih. Ilmu Janget Kinatelon memang harus diwarisi dengan laku. Dengan sikap dan perbuatan. Ilmu Janget Kinatelon tidak dapat diwarisi dengan hanya sekedar ditiup ubun-ubunnya, atau menirukan satu dua kalimat saja.
Karena itu, sesuai dengan kemauan yang baik di saat ilmu itu ditekuni, serta keyakinan yang bulat, bahwa hasil terakhir dari laku yang dijalani disertai doa dan permohonan kepada Yang Maha Agung itu ada di tangannya, maka ilmu itu harus memberikan arti bagi orang banyak.
Namun ketika Risang akan membimbing ibunya untuk mandi keramas sebelum melakukan yang lain, ibunya itu berdesis, "Panggil orang lain. Kedua kakek dan nenekmu yang sudah menjadi semakin tua itupun menjadi sangat letih. Biarlah mereka membantu membimbing mereka keluar dari sanggar."
*** JILID 56 RISANG termangu-mangu sejenak. Namun ibunya berkata, "Aku tidak apa-apa. Aku hanya merasa letih. Tetapi aku masih tetap kuat untuk melakukan kewajiban terakhir ini sendiri."
Risangpun dengan serta-merta telah memanggil Sambi Wulung dan Jati Wulung. Bertiga mereka membimbing ketika orang tua itu keluar dari sanggar.
Mereka memang nampak letih sekali. Tetapi mereka tetap tersenyum. Nyi Sokapun tersenyum dan bahkan berkata, "Satu tugas yang melelahkan. Tetapi hasilnya telah memberikan penghiburan dan kepuasan tersendiri bagi jiwaku."
Demikianlah, maka keempat orang yang baru keluar dari sanggar itu telah berbenah diri. Seperti juga Nyi Wiradana, maka guru-gurunyapun telah mandi keramas pula.
Tetapi Risang menjadi sedikit kecewa, karena dengan demikian maka ia harus menunggu. Kedua kakek dan neneknya harus beristirahat beberapa hari untuk memulihkan kekuatan mereka, sebelum mereka dapat membimbing Risang memasuki sanggar dan mewariskan ilmu Janget Kinatelon sebagaimana yang mereka wariskan kepada Nyi Wiradana. Namun karena Nyi Wiradana mempunyai pengalaman yang luas dengan ilmu itu, maka ilmu Nyi Wiradana tentu akan jauh lebih masak.
Namun sementara itu, Nyi Wiradana yang lebih cepat menjadi segar kembali setelah menjalani laku termasuk patigeni tiga hari tiga malam, telah diminta oleh Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyi Soka untuk mempersiapkan Risang sebaik-baiknya.
"Risang harus segera mempunyai ilmu yang dapat melindungi dirinya. Seandainya tidak secara kebetulan Sambi Wulung dan Jati Wulung mendengar pembicaraan Ki Sabawa dengan Wira Gending dan Kerta Wirit, mungkin keadaannya akan berbeda," berkata Kiai Badra.
Nyi Wiradana dapat mengerti sepenuhnya. Karena itu, maka Nyi Wiradanapun ikut berusaha sejauh dapat dilakukan, agar Risang segera dapat menerima warisan ilmu Janget Kinatelon itu juga.
Setelah beristirahat tiga hari, maka Nyi Wiradana mulai membimbing Risang untuk memasuki jenjang terakhir dari tataran tertinggi ilmu yang diturunkan oleh Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka. Ilmu yang mereka susun bersama-sama berdasarkan atas unsur-unsur dari ilmu yang mempunyai landasan berbeda, tetapi yang sudah luluh menjadi satu.
Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyi Soka sendiri telah merencanakan, bahwa mereka baru akan mulai sepekan lagi, setelah mereka bertiga beristirahat sepenuhnya, serta segala keletihan telah hilang. Sementara itu, Risang sendiri benar-benar telah siap untuk menjalani laku cukup berat.
Sementara itu, di Pajang Kasadhapun telah dipersiapkan sebaik-baiknya oleh gurunya. Jika Kasadha mendapat ijin selama tiga hari tiga malam untuk menjalani laku terakhir, maka pewarisan ilmu tertinggi dari perguruannya akan segera dilaksanakan.
Sementara itu, Ki Rangga Dipayuda juga sedang berusaha untuk mendapatkan waktu yang tiga hari tiga malam itu. Ia memang merasa agak segan untuk menyampaikan permohonan itu kepada Ki Tumenggung Jayayuda tanpa alasan yang mapan.
Pada saat-saat yang gelisah bagi Kasadha itu, maka Ki Rangga Dipayuda telah dipanggil oleh Ki Tumenggung Jayayuda.
Ki Rangga yang sempat menemui Ki Lurah Kasadha itupun berkata, "Aku tidak tahu, apakah ada persoalan yang penting atau dalam rangka tugas-tugas harianku."
"Jika saja Ki Rangga sempat menyinggung kesempatan bagiku," berkata Kasadha.
"Aku akan melihat suasana. Bahkan mungkin ada perintah yang justru menutup kemungkinan itu," jawab Ki Rangga.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Meskipun demikian, ia masih tetap berpengharapan bahwa ia akan mendapat kesempatan itu.
Dengan jantung yang berdebar-debar Ki Rangga Dipayuda menghadap Ki Tumenggung. Sudah berapa ratus kali ia dipanggil untuk menghadap. Namun Ki Rangga tidak pernah merasa gelisah seperti itu. Justru karena ia membawa beban kesediaannya kepada Kasadha untuk menyampaikan permohonannya kepada Ki Tumenggung.
Ternyata yang diterima Ki Rangga Dipayuda adalah satu perintah yang sangat khusus.
"Ki Rangga," berkata Ki Tumenggung Jayayuda, "aku sudah berhubungan dengan mereka yang bertanggung jawab atas penahanan Ki Lurah Mertapraja. Aku telah menyampaikan laporan tentang tiga orang yang ingin menculik Kepala Tanah Perdikan Sembojan untuk dipertukarkan dengan Ki Lurah Mertapraja. Aku juga telah memberikan laporan tentang kedudukan Ki Lurah Mertapraja di lingkungannya, serta harta-benda yang telah disembunyikan itu."
Ki Rangga Dipayuda mengangguk-angguk. Tetapi Ki Rangga tidak bertanya sesuatu. Ia menunggu saja apa yang akan di katakan oleh Ki Tumenggung Jayayuda.
Dalam pada itu, maka Ki Tumenggung itupun kemudian berkata, "Ki Rangga. Ternyata mereka menaruh perhatian yang sangat besar pada laporan itu. Karena itu, maka mereka telah memberikan wewenang kepadaku, agar aku berusaha untuk mendapatkan keterangan dari Ki Lurah Mertapraja tentang harta-benda yang disembunyikannya itu. Sudah tentu aku tidak perlu melakukannya sendiri."
Ki Rangga Dipayuda menarik nafas dalam-dalam, ia sudah menangkap arah pembicaraan Ki Tumenggung Jayayuda. Agaknya ia akan diperintahkan untuk melaksanakan tugas itu.
Sebenarnyalah maka Ki Tumenggung itupun berkata, "Ki Rangga. Aku ingin melimpahkan tugas ini kepada Ki Rangga. Tetapi Ki Rangga tidak akan sendiri. Sebaiknya Ki Rangga membawa Ki Lurah Kasadha untuk melakukan tugas ini. Tugas ini nampaknya tugas yang biasa-biasa saja. Namun sebenarnyalah tugas ini amat penting. Harta benda itu memang akan dapat dipergunakan untuk kepentingan yang merugikan Pajang. Karena itu, maka harta benda yang banyak itu beserta pusaka-pusaka yang disebut-sebut, sebaiknya dapat kita ketahui, dimana disembunyikannya. Kecuali harta-benda itu akan dapat kita manfaatkan serta mengurangi kesulitan yang dapat ditimbulkannya, maka usaha untuk memburu Ki Lurah dengan segala cara itupun akan dihentikannya pula."
Ki Rangga hanya dapat menunduk sambil sekali-sekali mengangguk-angguk. Sudah tentu bahwa ia tidak akan dapat mengajukan permohonan bagi Kasadha, justru karena Kasadha mendapat perintah bersamanya untuk menyadap keterangan dari Ki Lurah Mertapraja.
Dalam pada itu, Ki Tumenggungpun berkata selanjutnya, "Ki Rangga, karena waktu yang sudah sangat mendesak, maka waktu yang diberikan untuk kepentingan itu adalah setengah bulan. Jika hari ini kita menapak pada bulan baru, maka tugas Ki Rangga akan berakhir pada saat bulan purnama. Adalah lebih baik jika waktunya dapat lebih cepat dari itu."
Ki Rangga mengangguk-angguk. Tetapi ia masih berdiam diri.
"Nah, Ki Rangga. Aku tidak bertanya apakah Ki Rangga bersedia melaksanakan atau tidak, karena ini adalah perintah," berkata Ki Tumenggung selanjutnya.
"Aku akan menjalankan segala perintah, Ki Tumenggung," jawab Ki Rangga.
"Terima kasih," berkata Ki Tumenggung. Hampir saja Ki Rangga itu menjawab, bahwa untuk kesediaannya menjalankan perintah Ki Tumenggung tidak usah mengucapkan terima kasih. Tetapi kata-kata yang hampir terlepas itu telah ditelannya kembali.
Sementara itu Ki Tumenggungpun berkata, "Ki Rangga, untuk menjalankan tugas ini, Ki Rangga dapat mempergunakan beberapa cara yang tidak menyalahi paugeran. Ki Rangga dapat memilih. Jika perlu Ki Rangga dapat memerintahkan beberapa orang lain untuk membantu tugas Ki Rangga."
"Baik Ki Tumenggung. Selain Kasadha, mungkin aku memang memerlukan orang lain," jawab Ki Rangga.
Namun tiba-tiba saja Ki Rangga teringat sesuatu. Maka dengan serta-merta Ki Rangga berkata, "Ki Tumenggung. Untuk melakukan perintah ini, mungkin aku melakukannya di saat-saat yang tidak sewajarnya. Mungkin aku akan berbicara dengan Ki Lurah Mertapraja di pagi hari. Tetapi mungkin di malam hari atau saat-saat yang justru bukan saatnya untuk berbincang. Aku akan menggoncang ketabahan hati Ki Lurah Mertapraja. Sebagaimana kita ketahui, bahwa meskipun Ki Lurah Mertapraja adalah seorang prajurit yang baik, namun pada saat-saat yang menghimpit, jiwanya dapat terguncang sehingga Ki Lurah itu kehilangan kendali atas perasaannya."
Ki Tumenggung mengerutkan dahinya. Dengan nada rendah ia bertanya, "Maksud Ki Rangga."
"Kami, maksudku, aku dan Kasadha, serta satu dua orang yang akan aku tunjuk, mohon dibebaskan dari tugas kami sehari-hari justru agar tugas kami yang berat itu dapat kami selesaikan pada waktunya," minta Ki Rangga.
Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, "Tetapi bukankah Ki Rangga tetap berada di barak?"
"Tentu Ki Tumenggung. Tugas ini akan kami lakukan dari barak ini. Tetapi tanpa batasan waktu, maksudku, mungkin pagi, mungkin siang, mungkin malam," jawab Ki Rangga.
Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah Ki Rangga. Karena yang akan kalian lakukan juga merupakan tugas yang penting, maka aku beri kalian kebebasan. Kalian berhak menentukan cara yang kalian pilih. Namun purnama bulan ini adalah batas waktu yang tersedia bagi Ki Rangga dan Ki Lurah Kasadha."
Ki Rangga mengangguk-angguk sambil menyahut, "Baik, baik Ki Tumenggung. Kebebasan ini akan memberikan kemungkinan lebih baik bagi kami untuk dapat menyelesaikan tugas kami sampai batas waktu yang ditentukan itu."
"Kecuali jika ada perintah lain serta perintah yang terdahulu ini dicabut kembali," berkata Ki Tumenggung selanjutnya.
Demikianlah, maka Ki Ranggapun kemudian meninggalkan Ki Tumenggung Jayayuda. Perintah itu memang terasa berat. Tetapi ada satu kesempatan yang agaknya dapat memberi peluang kepada Kasadha untuk memperdalam ilmunya, bahkan untuk mendapatkan waktu tiga hari tiga malam.
"Pembagian lugas itu tergantung kepadaku," berkata Ki Rangga di dalam hatinya.
Karena itulah, maka iapun segera memanggil Ki Lurah Kasadha pula. Ki Rangga ingin segera membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan berdasarkan atas perintah Ki Tumenggung.
Kasadha yang kemudian menghadap memang menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika kemudian Ki Rangga menyampaikan perintah Ki Tumenggung untuk menyadap keterangan dari Ki Lurah Mertapraja tentang harta-benda yang disimpan oleh para pemimpin dari perguruan Wukir Gading.
Ki Lurah Kasadha kemudian menundukkan kepalanya dengan lesu. Bahkan Kasadha hampir menjadi berputus-asa, bahwa ia tidak akan dapat mewarisi ilmu gurunya dalam waktu yang pendek. Bahkan mungkin ia akan berangkat ke Madiun dengan kemampuan yang dimilikinya sekarang, sementara itu, dengan ilmu puncaknya, tentu ia akan dapat berbuat lebih banyak lagi.
"Tetapi jika itu perintah, apaboleh buat," katanya di dalam hati.
Namun dalam pada itu, Ki Rangga justru tersenyum sambil bertanya, "Kasadha. Apakah kau masih berniat untuk mewarisi ilmu gurumu sampai ke puncak?"
Ki Lurah Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Biarlah aku menunda keinginanku itu, Ki Rangga. Jika aku harus melakukan tugas yang penting itu, biarlah aku melakukannya."
Ki Rangga mengangguk-angguk. Kasadha merasa heran, kenapa Ki Rangga itu justru tersenyum. Apakah sebenarnya Ki Rangga sendiri tidak setuju memberikan ijin kepadanya selama tiga hari tiga malam" Bukankah yang dilakukannya itu juga akan berarti bagi kesatuannya"
Namun dalam pada itu Ki Rangga berkata, "Kasadha, sebenarnyalah bahwa perintah ini sangat menguntungkanmu. Kau akan mendapat kesempatan itu meskipun dengan diam-diam dan tanpa mohon ijin kepada Ki Tumenggung."
"Maksud Ki Rangga?" bertanya Kasadha.
"Aku mendapat wewenang menunjuk satu dua orang untuk membantu kita menyadap keterangan dari Ki Lurah Mertapraja. Kita mendapat waktu setengah bulan. Karena itu, maka sepuluh hari yang pertama, biarlah aku sendiri serta seorang yang dapat kau tunjuk mewakilimu. Dalam waktu sepuluh hari itu kau harus dapat menyelesaikan tugasmu, menerima warisan ilmu dari gurumu. Sudah tentu di hari-hari sebelum hari patigeni yang tiga hari tiga malam itu datang, sekali-sekali kau juga harus ikut bersamaku menemui Ki Lurah Mertapraja. Namun kemudian kau akan mendapatkan waktu yang tiga hari tiga malam itu sepenuhnya."
Wajah Kasadha tiba-tiba bagaikan menyala. Keterangan Ki Rangga itu sangat membesarkan hatinya. Karena itu, dengan gagap Kasadha itu bertanya, "Jadi, menurut Ki Rangga, aku akan mendapat kesempatan itu?"
"Ya," jawab Ki Rangga.
"Tetapi bagaimana akibatnya jika Ki Tumenggung mengetahui bahwa aku telah meninggalkan tugas tanpa ijinnya?"
"Aku akan ikut bertanggung jawab," jawab Ki Rangga.
Kasadha mengangguk dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak akan melupakan kesempatan ini. Aku mengucapkan terima kasih yang tidak ada taranya. Karena dengan kesempatan ini, maka aku akan mendapat bekal yang lebih banyak lagi bukan saja jika aku harus berangkat ke Madiun, tapi juga bagi masa depanku."
"Aku selalu berdoa agar kau berhasil membina masa depanmu, karena aku yang akan menjadi semakin tua, tidak dapat berbuat lebih banyak lagi. Pada suatu saat aku tentu harus mencari tempat untuk menitipkan tubuhku yang rapuh jika aku sempat keluar dari pertempuran yang mungkin akan terjadi antara Mataram dan Madiun."
"Jika Yang Maha Agung memberikan kesempatan kepadaku untuk menerima ilmu puncak perguruanku, maka Yang Maha Agung agaknya akan memberikan kesempatan pula kepadaku untuk berbuat sesuatu bagi kita di pertempuran seandainya kita harus memasukinya kelak."
Ki Rangga Dipayuda mengangguk kecil. Tiba-tiba saja terbayang wajah anak gadisnya. Sebenarnyalah bahwa ia berharap, anak gadisnya dapat menerima Kasadha sebagai suaminya, karena bagi Ki Rangga Dipayuda, Kasadha adalah seorang anak muda yang memiliki banyak unsur kebaikan di dalam dirinya. Apalagi Kasadha adalah salah seorang prajuritnya yang dekat, mengerti dan memiliki kelebihan dari para prajurit yang lain. Bahkan Ki Rangga Dipayuda yakin, bahwa para Pandegapun tidak akan dapat mengimbangi kemampuannya dalam olah kanuragan secara pribadi.
Tetapi sudah tentu Ki Rangga tidak dapat mengatakan langsung kepada anak gadisnya, apalagi kepada Kasadha. Tetapi sadar atau tidak sadar, Ki Rangga Dipayuda telah memberikan beberapa isyarat bahwa Ki Lurah Kasadha adalah orang yang sangat dekat padanya. Bukan saja dalam tugas sehari-hari, tetapi juga secara pribadi.
Dengan demikian, maka Ki Lurah Kasadha menjadi berpengharapan kembali. Ia mendapat waktu sepuluh hari. Tiga hari di antaranya untuk melakukan patigeni.
Sementara tujuan hari sebelumnya, ia memang harus bekerja keras. Tetapi di saat-saat tertentu ia masih akan berada di baraknya. Setidak-tidaknya untuk menampakkan diri kepada Ki Tumenggung dan para prajurit yang lain. Namun para Pandega dan para pemimpin kelompoknya tentu mengetahui, bahwa ia telah mendapat tugas khusus yang tidak lagi terikat oleh waktu. Sehingga kapanpun ia tidak berada di barak, maka para prajurit tentu akan menganggap bahwa ia sedang berada dalam tugas khususnya.
Demikianlah, maka Ki Rangga Dipayuda dan Ki Lurah Kasadha telah mengatur waktu mereka. Sementara itu Ki Ranggapun bertanya, "Siapakah menurut pendapatmu, orang yang terbaik yang dapat kita libatkan dalam tugas kita?"
Bagi Kasadha tidak ada orang lain kecuali pemimpin kelompok yang tertua di dalam pasukannya. Orang itu ternyata sangat baik sikapnya kepada Kasadha. Bukan saja karena Kasadha adalah Lurah Prajurit yang menjadi pemimpin langsungnya, tetapi orang itu justru bersikap sebagai seorang kakak yang umurnya lebih tua terhadap adiknya.
Karena itu maka Kasadhapun telah mengajukannya sebagai salah seorang yang akan dapat melakukan tugas bersamanya.
"Bukankah orang itu tidak akan menjadi ribut jika ia tahu bahwa kau telah mengambil waktumu untuk kepentinganmu sendiri selama tiga hari tiga malam?" bertanya Ki Rangga Dipayuda.
"Tentu tidak. Ia terlalu baik kepadaku. Ia selalu berusaha untuk membantuku membawa beban perasaanku jika aku sedang gelisah," jawab Ki Lurah Kasadha.
Namun tiba-tiba saja Ki Rangga bertanya, "Gelisah tentang apa saja?"
Kasadha memang tidak segera dapat menjawab.
Namun kemudian katanya, "Aku pernah mengalami kesulitan dengan ayah tiriku."
"O," Ki Rangga mengangguk-angguk. Ia memang tidak ingin mencampuri persoalan pribadi Kasadha.
Dalam pada itu, maka Ki Ranggapun telah minta kepada Kasadha untuk menemuinya lagi bersama orang yang ditunjuk. Mereka akan segera menghadap Ki Tumenggung untuk memberikan laporan, bahwa mereka akan segera mulai melakukan tugas khusus mereka.
Atas restu Ki Tumenggung maka Ki Rangga Dipayuda bersama Ki Lurah Kasadha dan seorang pemimpin kelompoknya telah mulai dengan tugas khusus mereka.
Waktu mereka memang tidak terlalu banyak. Sementara itu, kepada orang-orang yang terkait, Ki Tumenggung telah memberitahukan tentang ketiga orang prajuritnya yang akan menjalani tugas khusus.
Dalam pada itu, Kasadhapun telah menghadap gurunya pula untuk memberitahukan bahwa ia mempunyai waktu sebagaimana diperlukan oleh gurunya, selama tiga hari tiga malam. Sementara itu ia mempunyai waktu pula tujuh hari sebelumnya untuk mengadakan persiapan meskipun pada saat-saat tertentu ia harus berada di baraknya atau sekali-sekali berbicara dengan Ki Lurah Mertapraja di ruang tahanannya.
"Waktumu sempit sekali Kasadha," desis gurunya.
"Bukankah guru memerlukan tiga hari tiga malam untuk menjalani laku termasuk patigeni," desis Kasadha.
"Ya. Tetapi sebenarnya diperlukan persiapan yang lebih panjang. Tetapi jika waktumu memang hanya itu, maka kita akan melakukannya. Namun kau harus bekerja lebih keras selama sepuluh hari ini," berkata gurunya.
"Apapun yang harus aku jalani sebagai laku, akan aku jalani guru," jawab Kasadha.
Gurunya mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Persiapkan dirimu lahir dan batin. Pada saatnya kita akan memasuki sanggar dalam laku selama tiga hari tiga malam."
Sebenarnyalah sejak saat itu, maka Kasadha memang harus bekerja sangat berat. Tetapi ia sadar, bahwa ilmunya hanya akan dapat digapai dengan bekerja keras. Menjalani latihan-latihan, persiapan-persiapan lahir dan batin, menjalani laku yang berat dan baru kemudian ia akan menerima warisan ilmu dari gurunya itu.
Namun sementara itu, pada pertemuan pertama antara Ki Rangga Dipayuda dengan Ki Lurah Mertapraja, maka Ki Lurah Kasadha yang memang sudah dikenal oleh Ki Lurah Mertapraja serta seorang pemimpin kelompoknya telah dibawa serta oleh Ki Rangga Dipayuda.
Satu pertemuan yang sama sekali tidak diinginkan oleh Ki Lurah Mertapraja. Namun ia tidak dapat menolak ketika penjaga biliknya membuka selarak pintu dan mempersilahkan Ki Lurah keluar dari ruang tahanannya untuk menemui ketiga orang yang mencarinya untuk melakukan satu lugas yang penting.
"Ki Lurah," berkata Ki Rangga Dipayuda, "kami menemui Ki Lurah dalam rangka lugas kami."
"Siapakah yang menugaskan kalian menemui aku" Aku tidak lagi berada dalam wewenang kalian," berkata Ki Lurah.
"Aku menjalankan tugas yang dibebankan oleh Ki Tumenggung Jayayuda berdasarkan atas perintah dari Pangeran Gagak Baning di Pajang," jawab Ki Rangga Dipayuda. Namun kemudian katanya, "Tetapi apakah sebaiknya kita berbicara sebagai seorang prajurit yang mengemban tugas, atau berbicara sebagai sesama prajurit bahkan seorang yang sudah saling mengenal jika kau berkeberatan jika aku sebut seorang sahabat."
"Kita memang tidak bersahabat. Jika kau menyebut aku seorang sahabat, tentu kau mempunyai pamrih untuk membujukku atau untuk mengelabuhi aku, atau niat-niat lain yang menguntungkanmu atau menguntungkan orang yang memerintahmu."
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya dengan nada dalam, "Ki Lurah. Kita adalah prajurit. Kau prajurit dan aku prajurit. Kedua orang yang datang bersamaku juga prajurit. Tetapi meskipun kita semuanya prajurit, namun sudah tentu bahwa pribadi pembawaan kita berbeda."
Ki Lurah Mertapraja mengangguk-angguk. Katanya Ya. Pribadi kita memang berbeda. Tetapi dalam tugas, maka kalian akan melakukan hal yang banyak persamaannya yang satu dengan yang lain. Apalagi aku tahu bahwa kalian mendapat tugas untuk memeras keterangan dari aku, apapun yang ingin kalian ketahui.
"Satu tugas yang tidak menyenangkan, Ki Lurah," berkata Ki Rangga. Lalu katanya pula, "Ki Lurah Mertapraja tentu juga pernah mendapat tugas sebagaimana tugas kami sekarang. Aku tidak tahu pasti, apakah yang akan dilakukan oleh Ki Lurah mula-mula."
"Seorang prajurit mempunyai banyak cara untuk memeras keterangan dari seseorang. Tetapi para prajurit juga mengetahui bahwa kadang-kadang seseorang lebih baik berdiam diri untuk tidak memberikan keterangan apapun juga."
"Tetapi bukankah Ki Lurah mengatakan bahwa banyak cara yang dapat dilakukan oleh seorang prajurit?"
"Ya. Tetapi seseorang yang sudah berniat untuk berdiam diri tidak akan menghiraukan cara apapun yang akan dipergunakan untuk memeras keterangannya," jawab Ki Lurah Mertapraja.
Tetapi Ki Lurah Kasadhapun berkata, "Ki Lurah Mertapraja. Setiap orang yang ingin merahasiakan sesuatu tentu berniat untuk berdiam diri. Tetapi banyak orang yang terpaksa mengatakan sesuatu karena berbagai macam pertimbangan. Rahasia yang akan dipertahankannya tidak lagi berarti baginya, bagi kelompoknya atau bagi orang lain. Mungkin juga karena ada orang lain yang dapat membuka rahasia itu pula, sehingga dengan berbagai pengorbanan niat untuk berdiam diri itu tidak ada artinya selain merugikan diri sendiri. Atau seseorang menyadari bahwa dengan membuka rahasia itu ia sudah melakukan hal yang paling baik bagi sesamanya. Bahkan masih ada berbagai macam pertimbangan lain."
Tetapi Ki Lurah Mertapraja tersenyum. Katanya, "Kau memang cerdik prajurit muda. Di umurmu yang masih muda kau sudah mempunyai kedudukan yang baik."
"Ia juga seorang Lurah," desis Ki Rangga.
"Agaknya karena kecerdikanmu maka kau dapat memanjat ke jenjang jabatanmu sekarang, yang bagi orang lain terlalu cepat. Aku, pada umurku setua ini, belum juga berhasil naik ke jenjang yang lebih tinggi."
"Tetapi kau mempunyai kedudukan yang tinggi di padepokan Wukir Gading," sahut Kasadha.
Ki Lurah Mertapraja itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Agaknya kalian bernafsu untuk mengetahui keadaan padepokan Wukir Gading."
"Memang ada sedikit yang ingin aku ketahui," jawab Ki Rangga Dipayuda.
"Sudahlah. Jangan melakukan satu kerja yang sia-sia. Apapun yang akan kalian lakukan, namun aku tidak akan mengatakan sesuatu tentang padepokan Wukir Gading. Tetapi beruntunglah aku, bahwa keterangan yang ingin kauketahui tidak banyak aku ketahui, sehingga seandainya aku berniat berdiam diri, bukan karena aku ingin menyembunyikan satu rahasia. Tetapi justru karena aku memang tidak mengetahuinya. Karena itu, jika pada suatu saat aku memberikan pengakuan karena cara-cara yang kalian lakukan ternyata berhasil membuka mulutku, itu tentu sekedar ceritera rekaan saja," berkata Ki Lurah Mertapraja.
Tiba-tiba Ki Lurah Kasadha tertawa. Katanya, "Ternyata jenjang kepangkatan tidak diberikan karena kecerdikan seseorang."
Ki Lurah Mertapraja mengerutkan dahinya. Dengan nada rendah ia bertanya, "Apa maksudmu?"
"Ternyata kau jauh lebih cerdik dari aku, Ki Lurah. Kau sudah membuat perisai yang sangat manis agar apapun yang terlontar dari mulutmu kami anggap bukan keterangan yang sebenarnya. Jika pada suatu saat kau kehilangan ketabahan hati sehingga terlontar dari mulutmu pengakuan serta petunjuk yang kami butuhkan, maka kami akan ragu-ragu mempercayainya. Tetapi hal itu akan dapat menyulitkan dirimu sendiri Ki Lurah. Karena kami masih akan tetap memaksamu berbicara meskipun kau sudah mengatakan yang sebenarnya."
"Kau kira pendirianku dapat kau goyahkan dengan ancaman-ancaman seperti itu" Sejak aku berangkat menyerang Tanah Perdikan Sembojan, aku sudah bersiap untuk menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Mati atau lebih dari kematian itu. Karena itu, jangan mengharapkan lebih banyak dari sekedar berbincang-bincang seperti ini, atau sekedar berbicara tentang cara-cara yang paling baik untuk memaksa seseorang berbicara atau saling berusaha mempengaruhi penalaran kita, atau berbicara tentang mimpi-mimpi yang mengasyikkan."
"Aku setuju Ki Lurah," jawab Ki Rangga. "Agaknya kita dapat berbicara tentang apa saja. Yang penting atau yang tidak penting. Bukankah kita dapat bertukar pikiran tentang berbagai macam ilmu keprajuritan?"
"Kebiasaan yang juga sering aku jumpai untuk memancing dan kemudian menjebak keterangan orang lain," berkata Ki Lurah Mertapraja. Namun kemudian katanya, "Tetapi maaf. Aku sedang tidak berminat untuk berbicara panjang lebar. Aku merasa sangat letih selama aku dikungkung di dalam bilik tahanan itu."
"Apakah kau diperlakukan tidak wajar?" bertanya Ki Lurah Kasadha.
"Tidak. Aku diperlakukan dengan baik. Tidak ada tekanan dan apalagi tindak kekerasan. Memang orang-orang beradab tidak akan mengandalkan kekerasan untuk mencapai maksudnya," berkata Ki Lurah Mertapraja.
"Tetapi kau dan kawan-kawanmu mempergunakan kekerasan terhadap Tanah Perdikan Sembojan. Namun ternyata kau kalah," desis Ki Lurah Kasadha.
"Ya. Tanah Perdikan Sembojan berhasil mempertahankan dirinya untuk sementara," jawab Ki Lurah.
"Kenapa untuk sementara?" bertanya Ki Rangga.
"Pada satu saat Tanah Perdikan itu memang akan digilas oleh kekuatan yang tidak terbendung. Kemudian Madiun, Pajang dan Mataram. Bukankah hal ini pernah aku katakan?" desis Ki Lurah Mertapraja.
Namun tiba-tiba Ki Rangga berkata, "Ki Lurah. Dengarkan. Aku membawa berita yang tidak kau harapkan. Sebenarnya aku tidak senang menyampaikannya kepadamu. Tetapi agaknya penyampaian berita ini merupakan hal yang terbaik bagimu sekarang. Justru selagi kau dalam keadaan yang tidak menyenangkan ini."
Tetapi Ki Lurah Mertapraja tersenyum. Katanya, "Apapun yang kau katakan, tentu dalam rangka usaha kalian untuk mendapatkan keterangan dari aku."
"Ya. Kami tidak akan pernah mengingkarinya. Bahkan kamipun sependapat dengan Ki Lurah bahwa kami dapat mempergunakan segala cara untuk memaksa Ki Lurah berbicara. Bahkan jika seandainya sampai Ki Lurah justru tidak dapat berbicara lagi."
Wajah Ki Lurah itu berkerut. Dengan tegas ia berkata, "Tetapi kita adalah orang-orang beradab. Tindakan di luar paugeran akan menjadi bahan pembicaraan orang. Bukan saja terhadap orang-orang yang melakukan, tetapi juga bagi lingkungan yang diatasnamakan oleh orang-orang yang tidak berperikemanusiaan itu. Karena dengan cara-cara yang dipergunakan, maka kepribadian seseorang dan lingkungannya akan dapat dinilai."
Tetapi Ki Rangga tertawa. Katanya, "Jika kami melakukan cara-cara yang tidak pantas, tentu tidak akan kami tunjukkan kepada orang lain. Jika akhirnya orang lain mengetahuinya, maka kami dapat saja mengatakan yang tidak sebenarnya. Ki Lurah Mertapraja berusaha untuk membunuh diri dengan membenturkan kepalanya berulang-ulang pada sudut tiang kayu jati. Atau sengaja menyakiti dirinya sendiri atau terjatuh ketika berusaha melarikan diri atau, he, bukankah kita mempunyai seribu cara?"
"Setan kau," geram Ki Lurah Mertapraja.
"Kenapa Ki Lurah menjadi heran" Bukankah Ki Lurah juga pernah melakukannya?" bertanya Ki Lurah Kasadha.
"Tidak. Aku mempunyai harga diri sebagai seorang prajurit di Madiun. Aku bukan seorang yang mempunyai nafsu rendah, yang merasa puas melihat penderitaan orang lain. Semakin menderita orang lain, maka kepuasan batinnyapun menjadi semakin tinggi," geram Ki Lurah Mertapraja.
"Baiklah. Aku hormati sikap Ki Lurah. Tetapi dengarlah, aku ingin menyampaikan berita itu," berkata Ki Rangga Dipayuda.
"Tidak ada gunanya," sahut Ki Lurah Mertapraja.
"Terserahlah kepada Ki Lurah. Tetapi sebenarnyalah bahwa kedatanganku kemari memang untuk menyampaikan berita itu kepada Ki Lurah. Tetapi tidak apalah bahwa kita sempat berbincang panjang lebar. Dengan demikian aku mengetahui lebih banyak tentang Ki Lurah. Terutama sikap Ki Lurah yang Ki Lurah katakan terakhir, bahwa Ki Lurah bukan orang yang memanjakan nafsu rendahnya dengan mendapatkan kepuasan karena penderitaan orang lain," berkata Ki Rangga Dipayuda kemudian.
Ki Lurah Mertapraja mengerutkan keningnya. Sementara Ki Rangga berkata selanjutnya, "Ki Lurah. Bukankah Ki Lurah mengenal seorang yang bernama Ki Sabawa, Ki Kerta Wirit dan Ki Wira Gending?"
Wajah Ki Lurah menegang sejenak. Namun kemudian wajahnya tidak mengesankan apa-apa lagi. Bahkan kemudian Ki Lurah itu menggeleng sambil menjawab, "Aku belum pernah mendengar nama itu."
Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Dengan nada tinggi iapun kemudian berkata, "Aneh. Orang-orang itu mengaku mengenal Ki Lurah dengan baik. Tetapi tidak apalah jika Ki Lurah memang belum mengenal mereka. Mereka datang untuk menyampaikan sebuah pesan."
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian di luar sadarnya ia bertanya, "Pesan apa?"
"Hubungan kita sudah diwarnai oleh ketegangan. Aku cemas bahwa kau tidak akan percaya," jawab Ki Rangga.
"Percaya atau tidak, itu persoalanku. Jika kau memang mendengar pesan seseorang bagiku, kewajibanmu adalah menyampaikan pesan itu kepadaku," geram Ki Lurah.
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Aku akan menyampaikan pesan itu kepadamu. Kau boleh percaya atau tidak, karena persoalannya tidak menyangkut kepentinganku. Juga tidak menyangkut kepentingan Pajang. Mungkin Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi tentu hanya sedikit."
Ki Lurah Mertapraja hanya termangu-mangu saja.
Tetapi sebenarnyalah bahwa ia menunggu dengan berdebar-debar.
"Ki Lurah," berkata Ki Rangga kemudian, "jika Ki Rangga percaya, Ki Sabawa dan kedua orang kawannya telah datang untuk minta agar diijinkan menemui Ki Lurah Mertapraja."
"Dimana mereka sekarang?" bertanya Ki Lurah.
"Tetapi jika Ki Lurah memang belum mengenal mereka, maka menurut pendapat kami, mereka tentu orang-orang yang sekedar mencari-cari persoalan," jawab Ki Rangga.
Ki Lurah tidak segera menjawab. Wajahnya menunduk sementara keningnya berkerut dalam-dalam.
"Ki Lurah," berkata Ki Rangga Dipayuda kemudian, "Ki Sabawa dan kawan-kawannya itu menyadari bahwa mereka tidak akan diijinkan menemui Ki Lurah. Meskipun demikian mereka masih berharap bahwa pada suatu saat ia dapat berbicara langsung meskipun persoalannya sudah disampaikan kepada Ki Tumenggung Jayayuda."
"Persoalan apa?" bertanya Ki Lurah.
"Ki Tumenggung kemudian memerintahkan kami untuk bertemu dengan Ki Lurah," berkata Ki Rangga kemudian.
Dahi Ki Lurah Mertaprajapun berkerut. Ditatapnya wajah Ki Rangga Dipayuda. Dengan nada rendah hampir tidak terdengar ia bertanya, "Persoalan apa yang harus kau katakan kepadaku?"
Ki Rangga sengaja menunggu sejenak. Ia melihat ketegangan di wajah Ki Lurah meskipun ia berusaha untuk menyembunyikannya.
Baru kemudian Ki Rangga itu berkata, "Ki Lurah, menurut Ki Sabawa dan kedua orang kawannya, keadaan perguruan Wukir Gading sedang goncang. Terjadi persoalan ke dalam, sehingga murid-murid perguruan Wukir Gading yang sedikit itu telah terpecah. Bahkan mereka sempat mencari pengikut masing-masing, sehingga perpecahan itu menjadi semakin luas. Nah, dalam keadaan yang kalut itu, maka pemimpin perguruan Wukir Gading yang sedang sakit itu tidak dapat diselamatkan, sementara paman Ki Lurah Mertapraja yang mendapat kepercayaan dari gurunya itu terluka parah."
Wajah Ki Lurah benar-benar menjadi tegang. Bagaimanapun juga ia berusaha menyembunyikannya, namun Ki Rangga, Ki Lurah Kasadha dan seorang pemimpin kelompok yang menyertainya melihat ketegangan di wajah Ki Lurah Mertapraja.
Namun ternyata Ki Lurah itupun kemudian tersenyum sambil menjawab, "Aku mengenal cara sebagai-mana kau lakukan Ki Rangga. Tetapi kau tidak dapat menipu aku dengan cara itu."
Penguasa Gunung Lanang 1 Jaka Sembung 4 Raja Rampok Dari Lereng Ciremai Misteri Surat Setan 1

Cari Blog Ini