Ceritasilat Novel Online

Sayap Sayap Terkembang 33

02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 33


"Menyerahlah," geram Senapati itu.
Risang tertawa. Katanya, "Jika hanya sekedar untuk menyerah, aku tidak akan memasuki pertempuran ini. Aku akan merasa lebih aman berada di Tegal Jarak."
"Kau tidak dapat mengingkari kenyataan. Padukuhan indukmu telah aku duduki. Rumahmu, banjar padukuhan ini dan semua bagian dari padukuhan induk ini telah aku kuasai."
"Maaf, bahwa kami terpaksa membantai orang-orangmu yang berusaha menduduki rumahku. Apakah mereka prajurit, pengawal Kademangan atau orang-orang upahan yang garang, keras dan bahkan buas itu. Kami memang tidak dapat berbuat lain untuk mengusir mereka."
"Omong kosong," geram Senapati itu.
"Terserah, apakah kau percaya atau tidak. Tetapi kematian yang tidak terhitung jumlahnya di padukuhan induk ini adalah tanggung jawabmu."
"Persetan dengan igauanmu," geram Senapati itu. Iapun segera memberi isyarat kepada beberapa prajurit yang menyertainya, "Tangkap orang ini hidup-hidup. Tetapi jika terpaksa senjata kalian menghunjam di dadanya, itu adalah karena salahnya sendiri. Aku sudah memberikan kesempatan untuk menyerah."
Para prajurit itupun mulai bergerak. Demikian pula Senapati yang nampak garang itu.
Namun Risangpun telah bersiap pula. Sehingga sejenak kemudian, maka telah terjadi pertempuran yang mendebarkan.
Namun pertempuran yang terjadi itu telah mengurangi tekanan para prajurit atas Nyi Wiradana dan beberapa orang pengawal karena sebagian dari mereka harus bergeser mengepung Risang dan dua orang pengawal yang menyertainya.
Dalam pada itu, maka Risangpun mulai merasakan tekanan yang berat dari para prajurit yang mengepungnya, termasuk Senapatinya. Karena itu, maka Risangpun selapis demi selapis harus meningkatkan ilmunya pula.
Dalam keadaan yang memaksa, maka Risangpun ternyata harus mulai merambah ilmu pamungkasnya, sebagaimana yang dimiliki oleh ibunya, Janget Kinatelon. Bahkan karena kemarahan dan keterpaksaan untuk melindungi dirinya, dibumbui oleh kemudaannya, maka Risangpun menjadi lebih garang dari ibunya yang masih mencoba untuk bertindak atas dasar berbagai macam pertimbangan.
Dengan demikian, maka Senapati serta beberapa orang prajurit yang mengepungnya, justru mulai menjadi gelisah. Usaha mereka untuk melumpuhkan Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu ternyata tidak segera dapat berhasil, bahkan kepungan mereka semakin lama menjadi semakin longgar.
Karena itu dalam keadaan yang suit dimengerti oleh Senapati Madiun itu, Senapati itupun berteriak, "Mereka hanya bertiga. Kita harus segera menyelesaikannya."
Para prajurit itupun kemudian bertempur semakin garang. Mereka menyerang dari segala arah. Bahkan orang-orang baru telah berdatangan mengepung dan menyerang Risang dengan para pengawal yang bertempur bersamanya.
Semakin sulit keadaannya, maka Risangpun semakin meningkatkan ilmunya. Tetapi prajurit Madiun itu seakan-akan justru semakin lama semakin bertambah-tambah.
Justru karena itu, maka kemarahan Risangpun menjadi semakin memuncak. Ditingkatkannya ilmu yang diwarisi dari kedua kakek dan seorang neneknya itu, sehingga dengan demikian maka senjata Risangpun semakin sering mengoyak kulit lawan.
Tetapi ternyata kulit Risang sendiri telah tergores senjata. Keringatnya membuat luka itu menjadi pedih.
Namun pertempuran justru menjadi semakin sengit.
Dalam pada itu, beberapa orang pengawal yang telah memecahkan serangan terhadap rumah Kepala Tanah Perdikan sempat menemukan Risang yang sedang bertempur melawan sekelompok prajurit. Karena itu, maka merekapun segera melibatkan diri ke dalam pertempuran itu.
Justru karena itu, maka keseimbangan pertempuranpun menjadi terbalik. Bukan orang-orang Madiun yang mengepung Risang, tetapi para prajurit Madiun itu justru mulai terdesak. Kepungannya telah pecah dan keseimbangan pertempuran menjadi semakin jelas.
Senapati dari Madiun yang memimpin serangan itu mengumpat-umpat di dalam hati. Ternyata pasukan pengawal yang berada di padukuhan induk itu masih mampu bertahan beberapa lama. Bahkan kehadiran Kepala Tanah Perdikan Sembojan telah membuat mereka menjadi semakin tegar.
Dalam pada itu, maka pasukan Tanah Perdikan yang berada di Tegal Jarak yang berlari-lari menuju ke padukuhan induk telah menjadi semakin dekat. Meskipun sebagian dari mereka justru telah mulai merasa letih dan nafas mereka mulai memburu. Namun gejolak perasaan mereka telah membuat para pengawal itu seakan-akan mendapatkan kekuatan baru demikian mereka melihat padukuhan induk mereka.
Seorang yang mendapat kepercayaan untuk memimpin para pengawal itu telah memerintahkan untuk tidak tergesa-gesa memasuki padukuhan induk. Mereka harus tahu suasana di dalam padukuhan itu, agar mereka tidak terjebak dalam kesulitan.
Pemimpin pengawal itupun kemudian telah memerintahkan dua orang untuk mencari hubungan dengan para pengawal yang ada di dalam dinding padukuhan induk.
Kedua orang itu terkejut ketika mereka melihat kenyataan, bahwa banjar padukuhan mereka telah diduduki oleh sekelompok prajurit Madiun, pengawal Kademangan sebelah dan orang-orang upahan dari para pedagang gelap. Namun mereka sedikit berlega hati karena rumah Kepala Tanah Perdikan masih tetap dikuasai oleh para pengawal Tanah Perdikan.
"Apakah Risang ada di dalam?" bertanya kedua penghubung itu.
"Tidak. Risang turun ke medan pertempuran. Demikian pula Nyi Wiradana dan yang lain."
Kedua penghubung itu segera mencari Risang di medan.
Menurut penglihatan kedua pengawal itu, keadaan di padukuhan induk itu benar-benar tidak menentu. Masih belum dapat disebut siapakah yang berhasil mengalahkan lawannya. Beberapa kali keduanya harus bersembunyi, jika mereka bertemu dengan kelompok-kelompok prajurit Madiun. Namun merekapun masih juga melihat, para pengawal yang tiba-tiba saja menyerang dari dalam kegelapan.
Di beberapa bagian padukuhan induk itu, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Di beberapa tempat, para pengawal masih saja mengalami kesulitan. Namun ketika keduanya melihat Risang yang bertempur bersama beberapa orang pengawal tidak jauh dari arena pertempuran yang melibatkan Nyi Wiradana, maka keduanya melihat bahwa para pengawal berhasil mendesak tawan-lawan mereka.
Namun kedua penghubung itu memperhitungkan kemungkinan lain segera terjadi. Jika prajurit Madiun yang di banjar itu mulai bergerak, serta para pemimpin prajurit Madiun, pengawal Kademangan dan orang-orang upahan itu Berhasil menyatukan gerakan mereka, maka para pengawal Tanah Perdikan akan mengalami kesulitan.
Demikianlah, maka kedua orang penghubung itu segera kembali memberikan laporan kepada pemimpinnya.
"Awasi semua jalan keluar," perintah pemimpin pengawal itu. "Sebagian di antara kita berada di depan pintu gerbang, yang lain di regol-regol butulan. Sebagian lagi akan memasuki padukuhan induk lewat pintu gerbang yang sudah terbuka itu."
Demikianlah, para pengawal itu bergerak dengan cepat. Mereka segera terbagi dalam kelompok-kelompok sesuai dengan rencana pemimpin pengawal itu.
Sejenak kemudian, maka tiga kelompok pengawal telah menebar mengelilingi padukuhan induk. Mereka mengawasi pintu gerbang dan regol-regol butulan utama yang memang sudah terbuka. Sebagian yang lain segera memasuki pintu gerbang yang telah terbuka.
Untuk memberikan hentakkan jiwani, maka pemimpin pengawal itu telah memerintahkan para pengawal untuk bersorak demikian mereka memasuki pintu gerbang utama.
Sorak itu memang mengejutkan. Kedua belah pihak yang sedang bertempur itu telah digoncang oleh perasaan yang berlawanan. Para pengawal Tanah Perdikan merasa bahwa mereka akan segera menyelesaikan pertempuran, sementara mereka yang menyerang padukuhan induk itu menjadi cemas akan kegagalan yang sudah terbayang.
Sebenarnyalah bahwa ketika para pengawal yang datang itu mulai menebar, keadaan para penyerang segera menjadi sulit. Mereka mulai terdesak di mana-mana. Apalagi mereka yang bertempur melawan Risang serta beberapa orang pengawal yang bertempur bersamanya. Juga yang bertempur melawan Nyi Wiradana, Sambi Wulung dan Jati Wulung.
Para pengawalpun kemudian berusaha untuk menebar dan menyumbat semua jalan keluar. Bahkan pengawasan atas dinding padukuhan induk.
Senapati Madiun yang memimpin serangan itupun menjadi kehilangan harapan. Tidak banyak lagi yang dapat dilakukannya. Kedatangan pasukan pengawal dari Tegal Jarak yang menurut perhitungannya terlalu cepat itu, telah membuat semua rencananya berhamburan. Pasukan-pasukannya benar-benar telah bercerai berai, sehingga sulit untuk dapat dihimpun dalam satu gerakan yang berarti. Apalagi para pengawal kademangan-kademangan di sekitar Tanah Perdikan yang masih belum berpengalaman itu, sedangkan orang-orang upahan para pedagang gelap lebih banyak bergerak menurut kehendak mereka masing-masing.
Karena itu, maka Senapati prajurit Madiun itupun tiba-tiba saja telah memberikan satu isyarat sandi yang hanya dimengerti oleh para prajuritnya. isyarat itupun kemudian telah diteriakkan oleh para prajurit Madiun. Sambung bersambung dari kelompok ke kelompok, dari seorang ke orang yang lain.
Para pengawal Tanah Perdikan Sembojan juga tidak tahu maksud isyarat itu. Mereka hanya dapat menduga, bahwa sesuatu akan dilakukan oleh para prajurit Madiun. Dan yang paling mungkin dilakukan pada keadaan seperti itu adalah melarikan diri.
Ternyata dugaan itu tepat. Demikian isyarat itu tersebar, maka para prajurit Madiun benar-benar berusaha untuk meninggalkan medan. Dengan kemampuan seorang prajurit, maka mereka berusaha lepas dari arena pertempuran.
Sementara itu para pengawal Kademangan Jerukgede tidak segera mampu menyesuaikan diri. Meskipun mereka mengetahui maksud isyarat sandi itu, namun mereka tidak mempunyai ketangkasan yang cukup untuk melakukannya.
Karena itu, merekalah yang justru terjerat dalam tangan para pengawal Tanah Perdikan Sembojan. Sementara itu orang-orang upahan yang bergabung dengan mereka, sama sekali tidak mau tahu apa yang terjadi dengan orang lain. Yang penting bagi mereka adalah keselamatan mereka sendiri.
Demikianlah, untuk beberapa saat telah terjadi saling memburu. Para pengawal yang telah menyumbat segala pintu gerbang dan butulanpun telah berusaha untuk menangkap mereka yang melarikan diri. Tetapi prajurit Madiun yang memiliki perhitungan yang lebih baik dari para pengawal kademangan Jerukgede dan sekitarnya telah berusaha melarikan diri dengan meloncati dinding padukuhan induk.
Meskipun demikian, sebagian dari para prajurit Madiun itu memang dapat ditangkap. Namun sebagian yang lain berhasil melarikan diri.
Nyi Wiradana yang kemudian menemui Risang telah menasehatkan agar ia mengumpulkan orang-orangnya. Tidak ada gunanya mengejar mereka yang melarikan diri.
"Tetapi yang tertangkap jangan sampai melepaskan diri. Terutama para prajurit Madiun," berkata Nyi Wira dana.
Risangpun kemudian telah memerintahkan untuk memukul kentongan, memanggil para pengawal Tanah Perdikan untuk berkumpul.
Demikianlah maka langitpun menjadi semburat. Sementara para pengawal berkumpul di halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan, maka beberapa kelompok di antaranya berusaha untuk menemukan kawan-kawan mereka yang terluka atau gugur di pertempuran, sedangkan yang lain mengurusi para tawanan.
Dalam pada itu, Ki Demang Jerukgede sama sekali tidak dapat menolak, ketika tiba-tiba saja Gandar telah menodongkan pedang di dadanya. Seperti yang diduga, maka Ki Demang tetap saja berada di rumahnya. Ia tidak ikut dalam pasukan yang menyusup ke padukuhan induk Tanah Perdikan.
Gandar dengan para pengawal yang mendapat tugas mengambil Ki Demang telah berhasil membungkam para petugas yang berjaga-jaga di rumah Ki Demang. Mereka agaknya memang lengah, karena mereka sama sekali tidak menduga bahwa beberapa orang Tanah Perdikan Sembojan akan datang mengambil Ki Demang. Sedangkan sebagian terbesar dari para pengawal Kademangan telah ikut menyusup ke padukuhan induk Tanah Perdikan.
"Bukankah kau orang Tanah Perdikan Sembojan?" bertanya Ki Demang dengan suara bergetar.
"Ya," jawab Gandar. "Bukankah kita sudah saling mengenal?"
"Apa maksudmu datang kemari dan sekaligus mengancam aku dengan senjatamu?"
"Ikut aku," geram Gandar.
"Kemana?" bertanya Ki Demang.
"Ke Tanah Perdikan Sembojan. Risang menunggumu. Semula kau ditunggu di Tegal Jarak. Namun kemudian Risang terpaksa pergi ke padukuhan induk, karena Tanah Perdikan Sembojan mendapat beberapa orang tamu."
Ki Demang tidak dapat menolak. Ia tahu, bahwa Risang telah pergi ke padukuhan induk karena padukuhan induk itu mendapat serangan.
Dengan nada tinggi, Ki Demang itu berkata, "Tetapi yang akan menerima aku di padukuhan induk Tanah Perdikanmu tentu bukan Risang lagi. Tetapi Senapati prajurit Madiun yang ada di Jerukgede ini."
"Mungkin. Tetapi tidak apa. Siapapun yang ada disana, akan dapat aku hubungi."
Ki Demang memang tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Ketika ia dibawa keluar dari rumahnya, maka ia melihat beberapa orang pengawalnya terbujur lintang di halaman.
"Mereka tidak mati," berkata Gandar. "Mereka hanya pingsan. Karena itu, marilah. Kita cepat-cepat pergi sebelum mereka menjadi sadar."
"Jika mereka sadar, maka kalian tidak akan pernah keluar dari halaman rumahku."
"Bukan begitu. Jika mereka sadar, dan berusaha mencegah aku, maka mereka semua akan terbunuh. Bukankah hal itu akan sangat menyedihkan" Beberapa orang mati karena ingin menyelamatkan seseorang?"
Ki Demang tidak menjawab. Tetapi ia mengerti ancaman itu, karena para pengawalnya tentu tidak akan dapat melawan orang-orang Tanah Perdikan yang dikirim untuk mengambilnya itu. Bahkan seandainya mereka sempat membunyikan kentongan, maka para pengawal Kademangan itu tidak akan dapat berbuat apa-apa, jika orang-orang Tanah Perdikan itu mengancamnya.
Dengan demikian, maka Ki Demang itupun tidak dapat mengelak lagi. Betapapun jantungnya berdenyut semakin cepat. Satu-satunya harapannya adalah, bahwa Risang atau keluarganya ada yang dapat ditangkap oleh para prajurit Madiun, sehingga kemungkinan untuk mengadakan tukar-menukar tawanan dapat terjadi.
Tetapi Ki Demang itu menjadi sangat kecewa. Ternyata bahwa serangan prajurit Madiun yang disertai para pengawal beberapa Kademangan dan orang-orang upahan para pedagang gelap itu tidak berhasil. Bahkan beberapa orang di antara mereka telah ditawan.
Jantung Ki Demang Jerukgede menjadi semakin berdebaran ketika kepadanya ditunjukkan korban pertempuran yang terjadi semalam.
"Katakan kepadaku, siapakah yang bertanggung jawab?" bertanya Risang dengan suara yang bergetar. "Mereka telah gugur. Yang lain luka parah dan bahkan ada yang menjadi cacat. Semuanya ini karena ketamakan kalian yang terbius oleh perdagangan gelap. Kalian telah menginginkan untuk mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa segan mengorbankan sekian banyak orang yang sebagian terbesar adalah anak-anak muda. Mereka adalah anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan. Anak-anak muda Kademangan Jerukgede. Anak-anak muda Kademangan Jati Arang dan Kademangan yang lain. Anak-anak muda yang sebenarnya akan dapat menjadi harapan di masa mendatang."
Ki Demang Jerukgede hanya dapat menundukkan kepalanya saja. Sementara itu Risang berkata, "Atas nama Kangjeng Adipati Pajang berdasarkan Surat Kekancingan yang diberikan kepadaku, yang memuat wewenang untuk mengambil langkah-langkah tertentu, maka aku telah menahan Ki Demang sebagaimana Ki Demang Jati Arang."
Ki Demang menjadi pucat. Ia sadar, bahwa ia benar-benar telah berhadapan dengan paugeran yang berlaku di Pajang. Sedangkan tuduhan yang dapat ditimpakan kepadanya adalah melakukan pemberontakan.
Demikianlah, maka Tanah Perdikan Sembojan telah menawan dua orang Demang, dan beberapa orang prajurit Madiun serta orang-orang upahan dari para pedagang gelap. Sementara itu, para pengawal Kademangan yang tertawan telah dikembalikan ke Kademangan mereka masing-masing.
Dalam pada itu, untuk memulihkan ketenangan di padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan itu telah diperlukan beberapa hari, sehingga kehidupan menjadi wajar kembali. Sementara itu, Risang telah memutuskan untuk pergi ke Pajang, memberikan laporan tentang peristiwa terakhir yang terjadi di Tanah Perdikan Sembojan.
"Apakah kau akan membawa kedua orang Demang itu ke Pajang?" bertanya Nyi Wiradana.
"Belum sekarang, ibu," jawab Risang. "Aku akan memberikan laporan lebih dahulu. Kemudian menunggu perintah dari Pajang, apa yang harus aku lakukan atas para tawanan itu. Jika Pajang memerintahkan menangkap beberapa orang Demang yang lain, maka aku akan segera melakukannya pula. Mungkin mereka harus dibawa dan dihadapkan kepada para pemimpin Pajang. Tetapi mungkin justru satu dua orang Senapati dari Pajang akan datang ke Tanah Perdikan ini untuk mengambil sikap terhadap para tawanan itu."
Nyi Wiradana mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Setelah keadaan benar-benar menjadi tenang, serta para prajurit Madiun yang lepas dari tangan kita sudah pasti tidak akan mengganggu lagi, maka kau dapat pergi ke Pajang bersama pamanmu, Sambi Wulung dan Jati Wulung."
Demikianlah Risang menunggu tiga hari lagi. Ternyata petugas sandinya tidak menemukan tanda-tanda bahwa para prajurit Madiun yang tersisa masih akan melakukan serangan. Kademangan Jati Arang dan Kademangan Jerukgede benar-benar telah kehilangan kekuatan untuk dapat melakukan sesuatu. Apalagi berusaha membebaskan kedua orang pemimpin mereka yang tertawan di Tanah Perdikan Sembojan, sementara para prajurit Madiun telah hilang dari Kademangan mereka.
Dengan demikian, maka seperti yang direncanakan, maka Risangpun telah bersiap-siap pergi ke Pajang untuk melaporkan hasil dari tugas yang dibebankan kepadanya. Selebihnya, maka ada sesuatu yang lain yang telah mendorong Risang untuk pergi ke Pajang. Ia ingin membuktikan kemampuannya kepada Ki Rangga Dipayuda. Mungkin satu kebanggaan akan menyentuh hatinya. Sementara itu Risang akan mendapat kesempatan pula untuk bertemu dengan Riris.
Pada hari yang telah ditentukan, maka Risang telah minta diri kepada ibunya. Ia akan pergi ke Pajang bersama Sambi Wulung dan Jati Wulung. Sementara itu ia telah memerintahkan Gandar untuk berjaga-jaga dengan sebaik-baiknya di Tanah Perdikan.
"Sergapan para prajurit Madiun yang menyertakan para pengawal beberapa Kademangan ke padukuhan induk Tanah Perdikan merupakan satu pengalaman yang sangat pahit," berkata Risang kepada Gandar. "Peristiwa itu menunjukkan, betapapun kita mempersiapkan diri menghadapi bahaya, namun ternyata bahwa pada suatu saat kita dapat menjadi lengah."
"Satu pelajaran yang sangat berharga, Risang," berkata ibunya. "Dengan peristiwa itu, maka kita telah diperingatkan, bahwa kita memiliki seribu kelemahan betapapun kita merasa kuat. Yang Maha Agung telah menunjukkan kepada kita, agar kita tidak merasa bahwa kita telah mampu berbuat segala-galanya."
Risang mengangguk-angguk sambil berdesis, "Ya, ibu."
"Nah, kau landasi sikapmu dengan kesadaran tentang kekurangan yang ada di dalam diri kita," pesan ibunya pula.
Dalam pada itu, maka sejenak kemudian Risang, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah memacu kudanya menuju ke Pajang. Satu perjalanan yang memang agak panjang.
Di Pajang, bertiga mereka akan langsung menemui Kasadha yang kemudian akan mempertemukan mereka dengan Ki Rangga Dipayuda dan selanjutnya menghadap Ki Tumenggung Jayayuda.
"Mungkin kita akan langsung dipanggil untuk menghadap Kangjeng Adipati," berkata Sambi Wulung.
"Ah. Tentu Ki Tumenggung Jayayuda yang akan menyampaikannya kepada Kangjeng Adipati di Pajang," jawab Risang.
Demikianlah, maka kuda merekapun berpacu semakin cepat. Matahari yang memanjat semakin tinggi, terasa semakin menggatalkan kulit. Apalagi setelah punggung mereka mulai basah oleh keringat.
Betapapun keinginan Risang untuk segera sampai di Pajang, namun kuda-kuda mereka harus beristirahat di perjalanan.
Ketika kemudian bertiga mereka memasuki kota Pajang, maka Risangpun menarik nafas dalam-dalam. Perjalanan mereka yang panjang telah mereka lalui betapapun tubuh mereka merasa letih. Kuda-kuda merekapun nampak letih pula. Meskipun mereka telah berhenti dan beristirahat di perjalanan, namun kuda-kuda itu nampaknya masih juga merasa haus. Karena itu, maka ketika mereka sempat berhenti, mereka memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk minum.
Kedatangan mereka di barak prajurit Pajang yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Jayayuda itu di malam hari disambut oleh beberapa orang prajurit yang memang sudah mengenai Risang dan kedua orang yang bersamanya itu dengan baik. Mereka telah diajak ke barak yang dipergunakan khusus oleh Kasadha dan prajurit-prajuritnya.
Tetapi Risang tidak segera melihat Kasadha di antara mereka.
Karena itu, kepada salah seorang pemimpin kelompok yang telah dikenalnya dengan baik, maka Risangpun bertanya, "Apakah Kasadha tidak ada di barak?"
Pemimpin kelompok itu tersenyum. Katanya, "Ia mendapat ijin dua hari untuk tidak datang ke barak."
Risang mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya pula, "Apakah kami dapat menghadap Ki Rangga Dipayuda?"
Pemimpin kelompok itu masih saja tersenyum. Jawabnya kemudian, "Ki Rangga juga tidak ada di barak ini. Seperti Ki Lurah Kasadha, maka Ki Rangga juga mendapat kesempatan untuk tidak datang dua hari."
Wajah Risang berkerut. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, "Apakah ada hubungannya antara ijin bagi Ki Lurah Kasadha dan ijin bagi Ki Rangga Dipayuda?"
"Ya," jawab prajurit itu. "Persoalannya berkaitan antara keduanya."
Jantung Risang menjadi berdebar-debar. Sejenak ia ragu-ragu untuk bertanya, apakah keperluan Kasadha dan Ki Rangga Dipayuda yang berkaitan itu. Namun kemudian jantungnya seakan-akan mendesaknya untuk bertanya lebih jauh, "Apa mereka mempunyai keperluan khusus?"
"Ya," jawab pemimpin kelompok itu. "Hari ini Ki Lurah Kasadha dengan resmi melamar anak gadis Ki Rangga Dipayuda. Gurunya mewakili orang tua Ki Lurah datang ke rumah Ki Rangga. Meskipun mungkin hari-hari perkawinan Ki Lurah dengan anak Ki Rangga itu masih akan dibicarakan dan disesuaikan dengan keadaan yang nampaknya menjadi semakin panas ini."
Jawaban itu rasa-rasanya seperti segumpal bara dihempaskan ke wajah Risang. Jantungnyapun terasa berdentangan dan darahnya seakan-akan mendidih di dalam tubuhnya.
Sejenak Risang justru diam mematung. Sementara Sambi Wulung dan Jati Wulungpun menjadi berdebar-debar pula. Kedua orang tua itu mengerti, gejolak perasaan Risang mendengar keterangan itu.
Dengan susah payah Risang masih berusaha untuk menahan diri di hadapan prajurit itu.
Namun tiba-tiba saja ia berkata, "Baiklah, jika demikian, kami mohon diri."
Pemimpin kelompok itu termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, "duduklah lebih dahulu. Kau baru saja menempuh perjalanan jauh. Kau akan dapat bertemu langsung dengan Ki Tumenggung Jayayuda jika persoalan yang kau bawa memang penting."
"Terima kasih," jawab Risang. "Aku akan datang pada kesempatan lain."
Sambi Wulung mencoba untuk meredam sikap Risang itu. Katanya, "Ngger. Kita akan menunggu sampai esok. Jika kita dapat bertemu dengan Ki Tumenggung, maka persoalan yang kita bawa kemari akan dapat ditanggapi. Kita akan segera dapat menentukan sikap di Tanah Perdikan."
Risang sama sekali tidak menjawab. Kepada pemimpin kelompok itu ia berkata, "Kami mohon pamit."
"Ngger," desis Jati Wulung.
Risang sama sekali tidak mendengarkannya lagi. Dengan tergesa-gesa ia melangkah ke tempat kudanya ditambatkannya.
Pemimpin kelompok itu mengikutinya dengan berlari-lari kecil. Ia tidak mengerti, kenapa Risang tiba-tiba saja ingin kembali.
Ketika Risang sudah menggapai kendali kudanya, maka pemimpin kelompok itu bertanya, "Apakah kau akan pergi ke rumah Ki Rangga Dipayuda?"
"Ya," jawab Risang tanpa berpikir sama sekali.
"O," pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. "Kau akan diterima dengan baik."
Risang tidak menghiraukannya lagi. Dituntunnya kudanya dengan langkah-langkah panjang menuju ke regol barak.
Prajurit yang bertugas di regol yang sudah mengenainya pula bertanya, "Kau akan pergi ke mana?"
"Aku minta diri," jawab Risang tanpa berpaling. Demikian Risang berada di luar regol, maka iapun segera meloncat ke punggung kudanya dan berpacu meninggalkan barak itu. Sambi Wulung dan Jati Wulung harus berpacu pula menyusul Risang yang menyusuri jalan-jalan kota Pajang.
Untunglah bahwa malam menjadi semakin dalam, sehingga jalan-jalan kotapun menjadi sepi. Tetapi bahwa bertiga mereka berpacu di malam hari, justru telah menarik perhatian.
"Ngger," Sambi Wulung yang melarikan kudanya di sampingnya berkata, "kita berada di Kota Pajang. Kota yang sedang bergejolak dan bersiap untuk perang. Apapun yang terjadi dengan diri kita, maka sebaiknya kita mengingat akan hal itu."
Ternyata bahwa Risang masih mampu mempergunakan nalarnya. Karena itu, maka ia memperlambat lari kudanya. Meskipun demikian, wajah Risang masih nampak gelap segelap itu.
Ketika mereka mendekati pintu gerbang kota, Risang masih menyadari kehadirannya di satu kota yang sedang bersiap-siap untuk perang. Karena itu, maka ia tidak lagi berpacu dengan kecepatan yang tinggi. Tetapi dengan kecepatan yang wajar Risang melintasi pintu gerbang kota sehingga tidak menarik perhatian para prajurit yang bertugas.
Namun demikian mereka sampai di luar pintu gerbang kota, Risang sudah siap untuk berpacu lagi. Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung dengan cepat mendekatinya dari kedua sisi, sehingga Risang seakan-akan telah dijepitnya di tengah.
"Ngger," berkata Sambi Wulung, "aku mengerti gejolak perasaanmu. Meskipun demikian, aku minta, kau menghadap lebih dahulu kepada Ki Tumenggung Jayayuda untuk menyampaikan laporan tentang keadaan Tanah Perdikan Sembojan."
"Tidak, Buat apa aku harus menghadap orang-orang Pajang yang tidak mengenai terima kasih," jawab Risang.
"Persoalan yang terjadi, bukan persoalan Tanah Perdikan Sembojan dengan Pajang. Tetapi persoalan antara pribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan Pajang. Itupun mungkin sekedar salah paham yang masih dapat ditelusuri sehingga dicari jalan keluarnya."
"Paman tidak usah mencari-cari. Aku tahu pasti apa yang terjadi. Bukan sekedar salah paham. Tetapi justru satu penghinaan oleh orang-orang Pajang. Bukan atas aku, Risang secara pribadi, tetapi tentu atas Tanah Perdikan Sembojan," jawab Risang.
"Bagaimana Angger dapat berkata seperti itu," jawab Jati Wulung. "Selama ini Pajang memberikan kepercayaan yang tinggi kepada Tanah Perdikan Sembojan. Bukankah wewenang yang belum lama ini diberikan kepada Angger membuktikan, bahwa Pajang mempercayai Angger Risang sebagai Kepala Tanah Perdikan Sembojan?"
"Tetapi itu bukan kepercayaan yang sungguh-sungguh. Pajang sekedar memperalat dan memanfaatkan Tanah Perdikan Sembojan untuk kepentingannya, untuk menegakkan wibawanya."
"Ngger," suara Sambi Wulung merendah, meskipun kuda mereka masih tetap berlari di gelapnya malam, "sebaiknya kita berhenti sejenak. Kuda-kuda ini tentu lelah. Sementara itu kita dapat berbincang dengan lebih baik."
"Tidak. Aku akan kembali ke Tanah Perdikanku. Sembojan dapat berdiri tegak tanpa Pajang."
"Ngger," Jati Wulung masih juga berusaha menenangkan Risang, "jika Angger bersikap keras, maka salah paham ini akan menjadi semakin sulit untuk dipertautkan. Karena itu, kita memang harus membicarakannya dengan baik."
"Kalau paman ingin berbicara, berbicaralah. Dengan siapa, kapan dan dimana, aku tidak peduli. Aku akan pulang."
Risang tidak memberi kesempatan Sambi Wulung dan Jati Wulung untuk berbicara. Risangpun segera menghentakkan kudanya untuk berlari semakin cepat.
Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak dapat mencegahnya lagi, Yang dapat mereka lakukan adalah mengikuti saja derap kaki kuda Risang yang berpacu seperti di kejar hantu.
Namun bagaimanapun juga, tenaga kuda yang berpacu itu terbatas. Semakin lama, kuda-kuda itu menjadi semakin letih, sehingga derap kakinyapun menjadi semakin lamban.
Risang tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Ternyata iapun masih mempunyai perasaan iba atas kudanya yang tidak lagi dapat berlari lebih cepat karena letih, haus dan lapar.
Karena itu, maka Risangpun terpaksa berhenti di tengah-tengah bulak. Dibiarkannya kudanya minum air jernih yang mengalir di parit di pinggir jalan. Kemudian dibiarkannya pula kudanya makan rerumputan segar yang tumbuh di tanggul parit itu.
Sambil menunggu kudanya minum dan makan, Sambi Wulung dan Jati Wulung duduk di sebelah Risang yang merenung. Tetapi tidak banyak yang dapat mereka katakan. Risang yang merenung memandang ke kejauhan itu seakan-akan tidak mendengar lagi kata-kata kedua orang yang menyertainya itu.
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 65 DEMIKIANLAH, maka malam itu bertiga mereka meneruskan perjalanan. Mereka tidak berniat untuk berhenti dan apalagi bermalam dimanapun juga. Risang ingin segera sampai ke Tanah Perdikan Sembojan.
Sambi Wulung dan Jati Wulung yang menyertainya menjadi sangat cemas. Dalam kekacauan penalaran, Risang akan dapat mengambil langkah-langkah yang tidak menguntungkan Tanah Perdikan Sembojan.
Lewat tengah hari, maka Risang telah memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan. Sikapnya sangat mengejutkan ibunya. Demikian Risang turun dari kuda di halaman rumahnya, maka dilepaskannya saja kudanya yang sangat letih di halaman, sehingga Jati Wulung harus menyerahkannya kepada seseorang yang kemudian juga menerima kudanya dan kuda Sambi Wulung. Sementara itu, Risang segera naik ke pendapa.
"Risang," desis ibunya, "bukankah kau tidak apa-apa?"
"Tidak. Aku tidak apa-apa. Kenapa?"
"Tetapi sikapmu mengejutkan aku, Risang," berkata ibunya kemudian.
"Ibu," berkata Risang kemudian, "silahkan duduk. Aku minta paman Sambi Wulung, paman Jati Wulung dan Gandar untuk ikut mendengarkan penjelasanku."
"Kau letih Ngger," berkata ibunya. "Beristirahatlah dahulu. Nanti sore kita dapat berbicara panjang setelah kau menjadi semakin segar."
"Tidak ibu," jawab Risang. "Aku akan berbicara sekarang."
Ibunya yang menyadari, bahwa sesuatu sedang bergejolak di jantung anaknya tidak dapat menolak, Iapun kemudian duduk di pringgitan bersama Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandar.
"Ibu," berkata Risang kemudian, "ternyata sia-sia sajalah pengabdianku kepada Pajang selama ini. Apa saja yang telah aku kerjakan bagi Pajang, namun akhirnya aku dihempaskan seperti sampah."
"Apa yang telah terjadi?" bertanya ibunya.
"Ibu tidak perlu mengetahui lebih banyak dari keteranganku itu. Sekarang aku telah mengambil keputusan, bahwa tidak ada lagi gunanya aku mengabdi kepada Pajang. Apa yang aku lakukan dengan mempertaruhkan nyawaku di Madiun pada pengabdianku yang terakhir, sama sekali tidak berarti. Karena itu, maka aku juga merasa berhak atas harta benda berharga yang telah aku selamatkan itu."
Nyi Wiradana menjadi tegang melihat sikap Risang itu. Sementara itu Risangpun berkata selanjutnya, "Aku, paman Sambi Wulung dan paman Jati Wulung mengetahui dengan pasti, dimana harta benda berharga itu disimpan."
"Ngger, apa yang telah terjadi. Katakan. Aku ibumu," desis Nyi Wiradana yang menjadi sangat cemas.
"Tidak ada apa-apa. Tetapi kenyataan sikap Pajang yang sangat menyakitkan hati itu harus aku tanggapi. Akupun tidak lagi bersedia diperalat oleh Pajang untuk menegakkan wibawanya di sekitar Tanah Perdikan ini. Bahkan di atas Tanah Perdikan ini."
Nyi Wiradana memandang Sambi Wulung dan Jati Wulung berganti-ganti. Dengan ragu Nyi Wiradana itu bertanya, "Katakan kepadaku, apa yang telah dialami oleh anakku."
"Tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa," Risang hampir berteriak.
Sikap itupun sangat mengejutkan Nyi Wiradana. Anaknya tidak pernah membentaknya. Namun tiba-tiba saja anak itu berteriak dengan tatapan mata yang bagaikan menyala.
Dengan sikap seorang ibu Nyi Wiradana masih bertanya, "Risang. Tentu ada sesuatu yang terjadi. Kenapa kau Ngger. Jika kau masih menganggap aku sebagai ibumu, maka kau tentu akan bersedia berbagi rasa. Aku mengenalmu dengan baik sejak kau lahir dari rahim ibumu ini. Karena itu, maka ibupun menangkap dengan pasti pula sekarang ini, bahwa sesuatu telah terjadi atas dirimu."
"Sudah aku katakan. Tidak ada apa-apa," teriak Risang. Namun kemudian dipandanginya Sambi Wulung dan Jati Wulung dengan tajamnya. Katanya, "Paman berdua, bersiaplah. Kita akan pergi ke Madiun. Kita akan mengambil harta-benda yang sangat berharga itu untuk membangun Tanah Perdikan ini. Aku tidak peduli lagi dengan Pajang. Persetan pula dengan Kasadha. Ki Rangga Dipayuda dan bahkan Adipati Pajang. Sekarang baru aku tahu betapa bodohnya aku menghalangi perdagangan orang-orang itu dengan Madiun."
"Risang, Risang," desis Nyi Wiradana.
Nyi Wiradana adalah seorang perempuan yang berhati baja, yang telah ditempa oleh berbagai macam pahit-getirnya kehidupan dan pengalamannya selama ia memangku jabatan Kepala Tanah Perdikan. Namun melihat keadaan Risang, hatinya benar-benar menjadi bingung.
Dalam pada itu, maka Risangpun berkata, "Paman, aku ulangi perintahku. Bersiaplah. Setiap saat kita akan berangkat ke Madiun setelah aku selesaikan tugasku di sini. Aku harus melepaskan para Demang dan semua tawanan yang ada di Tanah Perdikan ini."
Nyi Wiradana tidak menyahut. Betapapun hatinya bergejolak, namun ia berusaha menahan diri. Ia sadar, bahwa jantung Risang sedang terbakar. Nyi Wiradana berharap bahwa panas di dada Risang itu akan mereda.
Sejenak kemudian Risangpun segera bangkit dari tempat duduknya. Tanpa mengucapkan sesuatu, Risang itupun melangkah masuk ke ruang dalam, langsung ke dalam biliknya.
Dijatuhkannya badannya di atas pembaringannya. Risang mulai merasa letih. Badannya maupun jiwanya. Tetapi justru di atas pembaringannya itu Risang berangan-angan.
Ketika Nyi Wiradana akan menyusul anaknya, maka Sambi Wulungpun berdesis, "Nyi."
Nyi Wiradana mengurungkan niatnya menemui Risang. Tetapi ia kembali duduk bersama Sambi Wulung dan Jati Wulung.
Dengan sorot mata yang memancarkan kecemasannya, Nyi Wiradana berdesis, "Apa yang terjadi?"
Sambi Wulung menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun menceriterakan apa yang telah terjadi atas Risang. Bahwa Risang tidak berhasil menemui Kasadha dan Ki Rangga Dipayuda, justru karena Kasadha sedang melamar anak Ki Rangga.
Wajah Nyi Wiradanapun menegang. Jantungnya terasa berdegup semakin keras. Perasaan kecewa Risangpun telah menjalar pula di dadanya.
Tetapi Nyi Wiradana tidak mengalami tamparan itu langsung di wajahnya sebagaimana Risang. Karena itu, maka Nyi Wiradana masih sempat membuat pertimbangan-pertimbangan di dalam dirinya, sehingga ia tidak kehilangan kendali dirinya sebagaimana Risang sendiri.
Sebenarnyalah bahwa Nyi Wiradana sendiri berharap bahwa gadis yang pernah berada di Tanah Perdikan justru berperan saat Risang diwisuda sebagai Kepala Tanah Perdikan itu akan datang kembali ke Tanah Perdikan. Nyi Wiradana itu dapat merasakan getar perasaan anaknya terhadap gadis itu. bahkan Nyi Wiradana mengira bahwa gadis itupun mempunyai perhatian khusus terhadap anaknya. Namun tiba-tiba Nyi Wiradana harus menyaksikan satu kenyataan yang lain. Anaknya terlempar dari mimpinya tentang masa depannya.
"Anak Warsi itu," desis Nyi Wiradana di dalam hatinya.
Tiba-tiba kenangan pahit telah menjalar di angan-angannya. Warsi pada suatu Saat pernah datang untuk merebut suaminya. Bahkan sampai saat terakhir dari hidup suaminya, ia tidak mendapatkan kebahagiaannya kembali. Dan kini, anak Warsi itu telah merebut mimpi indah anaknya laki-laki satu-satunya itu.
Hampir saja jantung Nyi Wiradana itu ikut terbakar. Namun hatinya yang sudah mengendap mampu meredamnya.
Meskipun demikian, gejolak perasaannya itu dapat dibaca oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung lewat sorot matanya.
"Apa yang dapat aku lakukan untuk menenangkan Risang?" desis Nyi Wiradana dengan suara yang Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Risang memang dapat mengambil langkah-langkah yang membahayakan hubungan antara Tanah Perdikan ini dengan Pajang, Nyi," Sambi Wulung berhenti sejenak sambil mengusap keringatnya. Baru kemudian ia melanjutkan, "Tetapi agaknya memang diperlukan waktu untuk menyejukkan hatinya yang terbakar."
Nyi Wiradana mengangguk-angguk. Penalarannya masih tetap utuh mengendalikan gejolak perasaannya. Katanya, "Tetapi jika Risang benar-benar mengambil langkah-langkah sebagaimana dikatakannya, apa yang harus kita lakukan?"
"Kita harus membujuknya. Angger Risang harus dapat membedakan sikap Kasadha dan Ki Rangga Dipayuda dengan sikap Pajang kepada Tanah Perdikan ini," berkata Sambi Wulung.
Nyi Wiradana mengangguk-angguk. Sementara Jati Wulung berkata, "Mungkin kita memerlukan waktu."
"Tetapi jika Risang sendiri mengambil sikap dengan tergesa-gesa. Misalnya sebagaimana dikatakannya akan mengajak paman berdua ke Madiun untuk mengambil benda-benda berharga itu" Atau melepaskan para Demang dan para tawanan?"
Sambi Wulung dan Jati Wulung saling berpandangan sejenak. Kemudian merekapun memandang Gandar yang masih saja berdiam diri. Namun agaknya ada sesuatu yang memang ingin dikatakannya meskipun nampak agak ragu.
Nyi Wiradana yang melihat sikap Gandar itu bertanya, "Bagaimana pendapatmu Gandar?"
Gandar termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Katanya, "Kasihan anak itu. Risang tidak menduga bahwa ia akan kehilangan harapan justru pada saat-saat ia sudah mempertaruhkan segala-galanya bagi Pajang."
"Tetapi bukankah persoalannya tidak ada hubungannya dengan kebijaksanaan Pajang."
"Benar, Nyi. Tetapi aku-mencoba menempatkan diriku sebagaimana terjadi pada Risang," berkata Gandar. "Meskipun aku belum pernah menggenggam harapan sebagaimana Risang. Tetapi aku dapat mengerti, betapa kacaunya hati anak itu."
"Meskipun demikian, seharusnya Risang tidak mengacaukan hubungan dengan Kasadha, Ki Rangga Dipayuda dengan Pajang."
"Hati yang bening segera dapat melihat perbedaan itu. Tetapi hati yang kacau sebagaimana Risang, maka sulit untuk dapat melihat batas yang jelas antara Kasadha, Ki Rangga Dipayuda dan Pajang. Yang Risang ingat adalah, bahwa jalurnya untuk berhubungan dengan Pajang, terutama melalui Kasadha, Ki Rangga Dipayuda dan selanjutnya."
"Aku mengerti perasaan anakku. Aku adalah ibunya. Tetapi juga orang yang pernah memangku jabatan Kepala Tanah Perdikan ini untuk waktu yang panjang. Karena itu, maka aku tahu bahwa hubungan antara Tanah Perdikan ini dengan Pajang cukup baik dan wajar, sehingga sebaiknya Risang tidak merusak hubungan itu karena persoalan yang sebenarnya sangat pribadi."
Gandar mengangguk kecil. Tetapi ia masih bergumam, "Seharusnya memang demikian."
"Jadi bagaimana menurut pendapatmu?"
"Nyi," suara Gandar menjadi berat, "kita sebaiknya menunggu sampai hati Risang menjadi tenang."
"Yang aku cemaskan justru tindakan-tindakan yang segera diambilnya sebelum hatinya tenang. Atau justru semakin bergejolak," sahut Nyi Wiradana.
Gandar menarik nafas panjang. Katanya, "Kita memang berdiri di jalan yang rumit."
"Aku akan mencoba berbicara dengan Risang sebagai ibunya."
Gandar termangu-mangu sejenak. Sementara Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak berkata apapun juga.
Meskipun dengan jantung yang agak berdebar-debar, Nyi Wiradana melangkah masuk ke ruang dalam. Ia tahu, bahwa Risang berada di dalam biliknya. Karena itu, maka iapun telah melangkah ke pintu bilik anaknya.
"Risang," desis Nyi Wiradana ketika ia sudah berdiri di luar pintu bilik itu.
Tidak segera terdengar jawaban.
"Risang," ibunya mengulangi.
Risang yang berbaring di pembaringannyapun dengan malas bangkit dan berdiri untuk membuka pintu biliknya.
"Ada apa ibu?" bertanya Risang di depan pintu biliknya.
"Aku ingin berbicara Risang," berkata ibunya.
"Bukankah baru saja kita berbicara tadi?" Risang justru bertanya.
"Aku tidak akan berbicara dengan Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi aku adalah seorang ibu yang ingin berbicara dengan anaknya."
"Aku letih ibu. Aku akan tidur."
Nyi Wiradana memang melihat mata Risang yang sayu. Agaknya ia memang letih lahir dan batinnya. Karena itu, maka Nyi Wiradana itupun berkata, "Baiklah Risang. Tidurlah. Nanti, jika kau bangun, aku akan berbicara kepadamu. Kau tidak dapat menyembunyikan perasaanmu terhadap aku, ibumu, yang mengandungmu dan kemudian melahirkanmu."
Risang tidak menjawab. Sementara ibunyapun melangkah pergi sambil berkata, "Beristirahatlah dengan baik."
Risang tidak menjawab. Ditutupnya lagi pintu biliknya. Sejenak ia berdiri dengan gejolak yang gemuruh di dadanya. Namun kemudian dihentakkannya tangannya sambil menggeram.
Sejenak kemudian Risang sudah berbaring lagi di pembaringannya. Namun Risang masih belum berhasil menata gejolak di dalam dadanya.
Nyi Wiradana yang kembali menemui Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandar berkata, "Risang ingin beristirahat. Biarlah ia mencoba untuk tidur barang sebentar. Mudah-mudahan ia menjadi sedikit tenang." Nyi Wiradana berhenti sejenak. Lalu katanya kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung, "Paman berdua tentu juga sudah ingin beristirahat. Silahkan. Mungkin nanti kita masih akan berbicara lagi."
"Baik Nyi," sahut Sambi Wulung, yang kemudian bersama Jati Wulung telah beringsut dari tempatnya.
Gandarpun kemudian telah turun pula ke halaman. Namun seperti orang yang kebingungan, Gandar telah pergi ke Banjar.
Gandar sendiri termangu-mangu ketika ia berada di banjar. Ada beberapa orang anak muda duduk-duduk di banjar itu. Bagaimanapun juga, keadaan Tanah Perdikan masih dibayangi oleh persoalan-persoalan yang nampaknya belum tuntas dengan Kademangan-kademangan di sekitarnya.
Ketika Gandar berada di banjar, maka seorang anak muda telah bertanya, "Apakah ada perkembangan baru setelah Risang kembali dari Pajang?"
"Belum," jawab Gandar. "Kita masih harus menyelesaikan beberapa persoalan."
"Jadi bagaimana dengan Demang Jeruk Gede dan Jati Arang itu?"
"Kita tunggu saja perintah Risang. Nampaknya ia masih terlalu letih sehingga ia sekarang berada di dalam biliknya."
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti, bahwa perjalanan dari Pajang ke Tanah Perdikan Sembojan adalah perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan.
Namun sikap Gandar terasa agak aneh bagi anak-anak muda itu. Ia lebih banyak duduk merenung daripada berbincang dan apalagi bergurau dengan anak-anak muda itu.
Meskipun demikian, anak-anak muda itu tidak mengganggunya.
Tetapi kegelisahan Gandar menjadi semakin nampak, ketika sejenak kemudian iapun telah bangkit dan melangkah pergi sambil berkata tanpa memandang seseorang, "Aku masih akan menyelesaikan tugasku yang lain."
Anak-anak muda yang ada di banjar itu termangu-mangu sejenak. Mereka memang tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh Gandar.
"Paman Gandar. Paman akan pergi ke mana?" bertanya seseorang hampir di luar sadarnya.
Gandar menjadi gagap. Tetapi katanya kemudian, "Aku dipanggil oleh Nyi Wiradana."
Anak-anak muda itu tidak bertanya lebih jauh. Pikiran Gandar tentu sedang kacau sebagaimana kata-katanya yang tidak runtut.
Gandar yang keluar dari regol banjar ternyata tidak menuju ke rumah Risang. Ia justru melangkah ke arah yang lain.
"Apa yang telah terjadi?" bertanya seorang di antara anak-anak muda itu kepada kawan-kawannya.
Yang lain menggelengkan kepalanya. Seorang yang berkumis tipis berdesis, "Paman Gandar nampaknya menjadi bingung."
Sebenarnyalah bukan hanya Gandar yang menjadi bingung. Seisi rumah Risang memang menjadi bingung melihat sikap Risang yang nampaknya telah lepas dari kendali.
Dalam pada itu, Nyi Wiradana telah menemui Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka yang sudah semakin tua itu. Dengan mata yang basah Nyi Wiradana berkata, "Aku mohon maaf kakek dan nenek. Seharusnya aku tidak lagi membuat hati kakek dan nenek tergelitik oleh keadaanku, keadaan keluarga ini dan bahkan keadaan Tanah Perdikan Sembojan. Seharusnya kakek dan nenek sudah menikmati masa istirahat dengan tenang."
"Apa yang telah terjadi?" bertanya Kiai Badra sambil mengusap dahinya yang berkerut.
Dengan suara yang bergetar oleh gejolak perasaannya, Nyi Wiradana telah menceriterakan keadaan Risang yang gelisah dan bahkan seakan-akan tidak lagi dapat dikendalikan.
Ketiga orang tua itu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Kiai Soka bertanya, "Dimana Risang sekarang?"


02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ia berada di biliknya. Ketika aku mengetuk pintunya untuk berbicara, Risang menolak. Katanya ia sangat letih dan ingin istirahatnya tidak terganggu."
"Biarlah ia tidur. Mudah-mudahan ia mendapatkan ketenangan. Sehingga nanti jika ia bangun, maka gejolak perasaannya itu sudah mereda."
"Tetapi bagaimana jika tidak, Kakek?" bertanya Nyi Wiradana dengan suara sendat.
"Biarlah nanti aku ikut berbicara dengan anak itu, jika kau menemuinya," berkata Nyai Soka.
Nyi Wiradana mengangguk. Betapa tegarnya hati perempuan itu, namun ia masih saja mengusap pelupuknya yang mengembun.
Ketika senja turun, Nyi Wiradana melihat Risang sudah berbenah dm. Ia sudah berpakaian rapi. Bahkan dengan keris terselip di punggungnya.
"Risang," sapa ibunya, "kau akan pergi ke mana?"
"Bukankah aku Kepala Tanah Perdikan ini?" Risang justru ganti bertanya.
"Ya Risang. Tetapi bukankah wajar jika aku bertanya, kau akan pergi ke mana?"
"Aku bertugas tanpa batasan waktu," jawab Risang.
"Aku minta waktumu sedikit untuk berbicara, Risang," desis ibunya.
"Aku baru sibuk, ibu," jawab Risang. "Ibu pernah memangku jabatan Kepala Tanah Perdikan."
"Aku mengerti kesibukanmu Risang. Tetapi aku ingin berbicara serba sedikit sebelum kau pergi."
"Nanti saja ibu," jawab Risang. "Aku harus segera menyelesaikan tugasku lebih dahulu."
"Risang," berkata ibunya, "ada sesuatu yang penting aku bicarakan. Aku minta kau bersedia untuk duduk sebentar. Berbicara dengan baik."
"Bagaimana aku dapat berbicara dengan baik, jika tugas yang mendesak menungguku."
"Aku pernah memangku jabatan Kepala Tanah Perdikan. Aku tahu betapa sibuknya seorang Kepala Tanah Perdikan. Tetapi akupun tahu, bahwa Kepala Tanah Perdikan dapat menyisihkan waktunya sedikit untuk berbicara."
"Dahulu, ketika ibu memangku jabatan Kepala Tanah Perdikan ibu juga tidak pernah sempat menyisihkan waktu buat aku jika ibu sedang sibuk. Bahkan ibu selalu marah jika aku mencoba memaksa agar ibu memperhatikan aku sebentar saja. Waktu yang ibu berikan tergantung kepada kepentinganku," jawab Risang.
"Risang," desis Nyi Wiradana, "tetapi kepentinganku kali ini melampaui kepentinganmu saat itu."
"Ibu selalu memandang kepentingan di antara kita dari sisi ibu sendiri. Sejak ibu memangku jabatan Kepala Tanah Perdikan hingga sekarang, setelah aku menjadi Kepala Tanah Perdikan. Ibu, sekarang aku akan pergi. Aku masih harus memanggil paman Sambi Wulung dan paman Jati Wulung. Aku tidak mempunyai waktu lagi untuk berbicara dengan ibu sekarang."
"Aku hanya memerlukan waktumu sedikit, Risang."
"Tidak sekarang. Aku akan pergi."
Namun ketika Risang mulai beranjak, Nyi Wiradana itu memanggilnya, "Risang. Dengar kata-kataku. Kau tidak boleh pergi."
Risang terkejut mendengar kata-kata ibunya itu. Wajahnya menjadi tegang. Di luar sadarnya ia menjawab, "Aku Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Tidak seorangpun berhak memerintah aku."
Tetapi ibunya menjawab, "Meskipun kau menjadi Adipati Pajang, atau bahkan Sultan di Mataram sekalipun, kau tetap anakku. Aku tetap ibumu yang melahirkanmu dan membesarkanmu."
Sesaat Risang mematung. Ia tidak dapat segera menjawab. Apa yang dikatakan ibunya memang tidak dapat diingkarinya. Sementara itu ibunya berkata selanjutnya, "Sekarang terserah kepadamu. Apakah kau seorang anak yang baik, atau seorang anak yang kehilangan tempat berpijak setelah kau menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan."
Risang masih berdiri mematung. Jantungnya terasa berdegup semakin keras. Apalagi ketika ibunya berkata, "Jika kau tidak mau mendengarkan kata-kataku, maka seperti ketika kau kecil, aku mencubitmu, sekarangpun aku akan melakukannya. Aku akan memaksamu duduk untuk berbicara dengan aku dan dengan nenekmu, yang juga salah seorang gurumu."
Degup jantung Risang terasa memukul dadanya. Ia sadar sepenuhnya, bahwa ibunya menjadi marah kepadanya. Betapapun lembut dan kasih yang serasa melimpah, tetapi ketika Risang masih kecil, ibunya memang pernah marah kepadanya, mencubitnya dan memaksanya mendengarkan kata-katanya.
Sekarang ibunya juga marah. Seperti yang dikatakannya, ibunya memang dapat memaksanya untuk duduk dan mendengarkan kata-katanya. Ibunya juga dapat mencubitnya jika ia mau. Meskipun Risang telah mewarisi ilmu Janget Kinatelon, namun perempuan itu adalah ibunya. Bahkan seandainya ibunya itu tidak memiliki ilmu yang sama dan bahkan lebih matang dari ilmunya, perempuan itu berhak memaksanya untuk mendengarkan kata-katanya.
Karena itu, maka Risang itupun menundukkan kepalanya. Ketika ia mendengar suara ibunya lagi, maka rasa-rasanya ia tidak berani mengangkat wajahnya.
"Duduklah," suara ibunya menjadi berat seakan-akan menekan kedua pundaknya, sehingga Risangpun kemudian telah duduk di ruang dalam sambil menunduk.
"Sudah aku katakan, jangan pergi dahulu. Aku dan nenekmu akan berbicara," berkata ibunya yang kemudian melangkah pergi memanggil Nyi Soka.
Risang serasa melekat di tempat duduknya. Rasa-rasanya ia memang tidak dapat bangkit berdiri dan pergi meninggalkan ruang itu meskipun ibunya meninggalkannya seorang diri.
Beberapa saat kemudian, Nyi Soka dan ibunya telah duduk menghadap Risang yang menundukkan kepalanya. Dengan suara lembut Nyai Soka itu bertanya, "Risang. Apakah yang sebenarnya telah terjadi" Sebaiknya kau berterus terang kepada ibu dan nenekmu. Bagimu kami bukan orang lain, Risang. Jika kau menjadi sedih, kamipun bersedih pula. Jika kau menjadi gembira, kamipun gembira pula. Mungkin kau berpikir, bahwa kau lebih baik membawa bebanmu sendiri karena kau tidak ingin menyusahkan orang-orang tua ini. Tetapi dengan demikian, kami justru menjadi semakin tertekan. Kami justru berteka-teki tanpa pernah dapat mengetahui tebakannya. Nah, karena itu, sebaiknya kau berterus-terang Risang."
Wajah Risang menjadi semakin menunduk. Namun jantungnya serasa bergejolak. Dadanya menjadi semakin gemuruh oleh deru perasaannya yang berguncang-guncang.
"Risang," berkata neneknya, "kau adalah tumpuan harapan kami. Bagi kami kau adalah segala-galanya. Bukan saja keturunan yang akan dapat melangsungkan nama ibumu, kelangsungan hidup ilmu kami, kakek-kakek dan nenekmu ini, tetapi kau juga tumpuan harapan bagi Tanah Perdikan ini."
Risang masih tetap menunduk, sementara neneknya berkata, "Nah, sekarang katakanlah, Risang."
Nafas Risang serasa menjadi sesak. Namun ia tidak lagi dapat berdiam diri, sementara dengan lembut neneknya mendesaknya. Neneknya yang telah memeras ilmunya bersama kedua orang kakeknya untuk melahirkan ilmu Janget Kinatelon yang diwariskan kepada ibunya dan kemudian kepadanya pula.
"Nenek," desis Risang tersendat, "apakah paman Sambi Wulung dan paman Jati Wulung belum mengatakannya?"
"Apapun yang mereka katakan, tetapi aku ingin mendengar dari kau sendiri, Ngger," jawab neneknya.
Risang menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin mengendapkan segala gejolak di dalam dadanya.
Namun kemudian, dengan suara yang bergetar Risang berkata, "Nenek. Aku merasa terbuang seperti sampah. Justru setelah aku mempertaruhkan nyawaku bagi Pajang."
"Kenapa?" bertanya neneknya.
"Selama ini aku telah meletakkan harapan atas seorang gadis yang menurut pendapatku pantas untuk aku ajak hidup bersama. Bahkan aku melihat isyarat bahwa harapanku itu bukan harapan sekedar seperti sebuah mimpi. Aku tidak mengada-ada nek. Mungkin ibu juga dapat merasakan isyarat itu. Namun tiba-tiba aku telah terlempar ke lubang sampah."
"Menurut pendapatmu, siapakah yang telah menyingkirkan kau sehingga harapan-harapan itu terlepas dari tanganmu?" bertanya Nyai Soka. "Risang, katakan apa yang telah terjadi sehingga kau merasa harapan-harapanmu telah dirampas dari tanganmu dan bahkan kau merasa dihempaskan seperti sampah."
Risang tidak dapat ingkar lagi. Ia telah menceriterakan apa yang dijumpainya di Pajang. Ternyata bahwa Kasadha telah mendahuluinya melamar gadis yang diharapkannya untuk dapat hidup bersamanya. Bahkan katanya pula, "Bahwa Kasadha telah melamar gadis itu, tentu bukan sekedar mimpi. Ki Rangga Dipayuda tentu sudah memberikan isyarat bahwa lamaran itu akan diterima, karena Ki Rangga justru telah mendapat ijin untuk waktu yang sama serta kepentingan yang sama pula dengan Kasadha. Atau bahwa Ki Ranggalah yang telah mengatur semuanya itu."
Nyai Soka menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan nada dalam ia berkata, "Risang. Kau adalah seorang laki-laki. Kau harus memandang dunia ini dengan wawasan yang luas. Kau jangan terpancang kepada seorang gadis saja, sehingga ketika kau merasa kehilangan, maka kau menjadi kehilangan pegangan."
"Jadi bagaimana menurut pendapat nenek?" bertanya Risang.
"Bukankah di Tanah Perdikan ini atau di Pajang atau dimanapun banyak terdapat gadis-gadis cantik yang akan dapat kau harapkan untuk menjadi sisihanmu?"
"Apakah aku harus menyusun lagi harapan-harapan baru dari permulaan" Kemudian setelah tumbuh bersemi direnggut lagi dari tangkainya?"
"Kau jangan memandang kehidupan ini dengan tatapan mata yang buram."
"Nek. Apakah nenek mengira bahwa perasaan yang demikian dapat ditanggalkan dan kemudian dikaitkan di tempat yang lain begitu mudahnya seperti orang menjemur pakaian dari jemuran yang satu ke jemuran yang lain?"
"Bukan maksudku begitu, Ngger," jawab neneknya. "Tetapi kau tidak boleh hancur karena seorang gadis yang tidak dapat kau harapkan untuk hidup bersamamu?"
"Bukan hanya sekedar kehilangan seorang gadis. Tetapi harga diriku sudah terinjak, nek."
"Tidak Risang," sahut ibunya. "Peristiwa ini tidak menyinggung harga dirimu. Kecuali jika kau pernah melamar dan melamarmu itu diterima. Kemudian tanpa setahumu, orang tua gadis itu telah menerima lamaran orang lain dan membatalkan lamaranmu."
"Bukankah yang terjadi mirip dengan itu" Orang tua gadis itu telah mengetahui hubunganku dengan gadis itu. Mereka sama sekali tidak berkeberatan. Tetapi tiba-tiba gadis itu telah diserahkannya kepada orang lain."
"Risang," berkata ibunya pula, "agaknya selama ini kau dan Kasadha telah menjadi kawan yang akrab dengan Riris. Sudah tentu orang tua Riris harus memilih. Mereka tentu tidak akan dapat menerima kalian berdua menjadi menantunya. Selama ini kedua orang tuanya tentu menunggu, justru karena anak mereka seorang perempuan. Ternyata yang datang lebih dahulu adalah Kasadha."
"Jadi kenapa ibu tidak datang sebelumnya?" bertanya Risang dengan nada tinggi.
"Risang," jawab ibunya, "kau belum pernah berkata berterus terang kepada ibu, agar ibu datang melamar gadis itu. Karena itu, maka ibu tentu juga menunggu ketegasanmu. Aku kira kau sedang menjajagi kemungkinan, apakah gadis itu benar-benar sesuai bagimu dan apakah kau sesuai bagi gadis itu."
"Sekarang semuanya sudah terlambat," geram Risang.
"Risang," berkata neneknya, "kau jangan bertolak dari sikap dan tanggapanmu semata-mata dalam soal ini. Kau harus mengetahui perasaan gadis itu. Jika Riris memang mencintai Kasadha, bukankah wajar jika lamaran Kasadha itu diterima" Tentu gadis itu berhak memilih, karena ia tidak akan dapat menerima kedua-duanya."
"Tetapi selama ini sikapnya hampir meyakinkan, bahwa Riris dapat menerima aku. Ia bersedia datang dan justru berperan ketika aku diwisuda. Bukankah itu sudah merupakan satu isyarat?"
"Kau dapat salah paham, Risang. Jika ia bersedia itu, dapat terjadi karena rasa persahabatan yang mendalam. Kau tentu tahu bedanya persahabatan dan kesediaan untuk hidup bersama."
"Apapun yang dikatakannya kemudian, aku tidak peduli. Yang jelas aku merasa terhempas seperti sampah. Harga diriku telah direndahkan. Karena itu, aku berhak untuk mengangkat martabatku sebagai Kepala Tanah Perdikan ini."
"Dengan melawan kekuasaan yang sah?" bertanya neneknya, lalu katanya pula, "Risang. Yang membuatmu kecewa bukan Pajang atau para pemimpin Pajang. Tetapi satu atau katakan dua orang di antara beribu prajurit Pajang."
"Aku tidak peduli," berkata Risang. "Kedua orang prajurit itu telah banyak aku bantu, bahkan dengan mempertaruhkan nyawaku dalam tugas mereka bagi Pajang. Ibu dapat bertanya kepada paman Sambi Wulung dan paman Jati Wulung. Apa yang dapat dilakukan oleh Kasadha dan seorang prajuritnya yang terbunuh itu ketika ia bertugas di Madiun untuk menyelamatkan harta benda itu. Pajang telah memberikan pula tugas bagiku untuk menegakkan wibawa Pajang di sekitar Tanah Perdikan Sembojan yang sedang dilanda oleh pengaruh para pedagang gelap itu."
"Aku mengerti Risang," jawab ibunya. "Dan kau sudah berhasil. Karena itu jangan kaurusakkan keberhasilanmu itu hanya karena kesalah-pahaman. Mungkin kau merasa di kecewakan oleh Ki Rangga Dipayuda. Tetapi jika kau tetap mendapat perhatian khusus dari para pemimpin di Pajang, maka pada suatu saat, kau tidak lagi memerlukan Ki Rangga Dipayuda."
"Tidak ibu," berkata Risang. "Untuk selanjutnya aku tidak dapat lagi bekerja bagi Pajang. Aku justru ingin menuntut bahwa harta benda itu sebagian terbesar adalah milikku. Bahkan Pajang tidak lagi dapat memperalat aku untuk menegakkan wibawanya di sekitar Tanah Perdikan ini, atau bahkan aku tidak lagi harus memikirkan kerugian yang akan dialami Pajang jika aku membuka perdagangan dengan Madiun, terutama bahan pangan."
"Risang," berkata ibunya kemudian, "apakah kau tidak memikirkan kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas Tanah Perdikan ini" Tanah Perdikan ini akan dapat hancur menjadi debu jika Pajang mengirimkan pasukannya untuk menegakkan wibawanya disini. Jika semula Pajang percaya kepadamu, maka yang akan terjadi adalah, bahwa Pajang akan menghancurkanmu."
"Tidak. Pajang tidak akan dapat melakukannya justru saat pasukan Madiun dan berpuluh ribu prajurit dari Timur itu siap untuk menghancurkan Pajang dan kemudian melangkah maju ke Mataram. Karena itu, maka tidak sekelompok prajurit Pajangpun yang dapat meninggalkan Pajang untuk dapat ke Tanah Perdikan ini."
"Risang. Tetapi aku tidak sependapat dengan caramu melepaskan perasaan kecewamu," berkata ibunya.
"Terserah kepada ibu. Tetapi hatiku sudah tetap."
"Tidak," jawab ibunya tegas. "Tanah Perdikan ini tidak boleh kau jadikan alat untuk melepaskan dendammu."
"Aku Kepala Tanah Perdikan ini," jawab Risang. "Aku dapat menentukan kebijaksanaan apapun atas Tanah Perdikan ini."
"Kau tidak boleh kehilangan akal seperti itu Risang," berkata neneknya.
"Bukan kehilangan akal, nek. Tetapi ini adalah harga diri."
"Kau tidak menyadari arti harga diri menghadapi persoalan seperti ini. Jika seorang laki-laki yang ditolak oleh seorang perempuan, dan kemudian ia kehilangan akal dan membunuh dirinya dengan cara apapun, nah, orang itu adalah seorang yang tidak mempunyai harga diri. Tetapi seorang laki-laki yang membuktikan dirinya mampu menguasai perasaan dan kemudian menemukan jalan yang lebih baik, barulah ia dapat dikatakan sebagai seorang laki-laki yang mempunyai harga diri yang tinggi," desis neneknya.
Wajah Risang menegang. Tiba-tiba saja sebuah pertanyaan bergejolak di dalam hatinya, "Apakah benar Riris telah menolak aku dan memilih Kasadha?"
Namun bagaimanapun juga perasaan kecewa itu telah mengaburkan penalaran Risang. Sulit baginya untuk menerima kenyataan, bahwa tiba-tiba saja ia harus mendengar bahwa Kasadha telah melamar Riris. Sedangkan orang tua Riris agaknya akan menerimanya dengan baik.
Dalam pada itu, Risang yang sedang dicengkam oleh kegelisahan yang menyesakkan dadanya itu mendengar ibunya berkata lembut, "Risang. Yang harus kau lakukan sekarang adalah menenangkan hatimu. Kau harus berpikir ulang atas keputusan-keputusan yang kau ambil. Karena itu, aku minta dalam keadaan seperti ini, kau jangan mengambil keputusan apapun, karena keputusan yang kau ambil tidak berdasarkan atas penalaranmu yang bening. Jika kau kemudian telah menjadi tenang, maka kau akan dapat melihat permasalahannya dengan terang, sehingga keputusan yang kau ambilpun tidak akan kau sesali di kemudian hari."
Risang menarik nafas dalam-dalam. Sementara ibunya berkata selanjutnya, "Risang. Aku hanya minta kau menunda keputusan-keputusan yang kau ambil."
Risang tidak menjawab. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam. Keringatnya mengalir membasahi tubuhnya.
Di luar sadarnya, Risang mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Betapa tegarnya hati seorang ibu, namun ketika ia menyaksikan hati anaknya yang terguncang itu, rasa-rasanya telah ikut terguncang pula.
Namun Nyi Wiradana dan Nyai Soka itu dapat menarik nafas dalam-dalam ketika kemudian mereka melihat Risang itu mengangguk. Bahkan dengan suara parau Risang itu berkata, "Baiklah. Aku tidak akan mengambil keputusan sekarang."
Nyi Wiradana mengangguk kecil. Ia tidak berbicara lebih banyak lagi. Nyi Wiradana itu menyadari, jika ia lebih lama berbicara tentang perasaan anaknya, maka ia tidak akan mampu menahan gejolak perasaannya lagi, sehingga matanya akan dapat menjadi basah.
Dalam pada itu, Risangpun kemudian berkata, "Ibu, biarlah aku keluar sebentar. Aku memang memerlukan ketenangan. Nek, aku minta diri."
"Kau akan kemana?" bertanya ibunya.
"Aku akan keluar sebentar ibu."
"Ingat, sebaiknya kau tidak mengambil keputusan apa-apa sekarang," pesan ibunya.
"Ya ibu," jawab Risang.
"Ingat pula Risang," pesan neneknya, "kau bukan seorang laki-laki yang cengeng. Yang tenggelam dalam gejolak arus perasaannya tanpa penalaran."
Risang mengangguk kecil. Namun kemudian iapun beringsut dan melangkah meninggalkan rumahnya.
Di halaman, Sambi Wulung dan Jati Wulung menemuinya. Dengan nada berat Sambi Wulung berkata, "Ngger. Apakah Angger memerlukan kami berdua untuk menemani Angger?"
Tetapi Risang menggeleng. Katanya, "Tidak paman. Aku ingin sendiri."
"Tetapi...," desis Jati Wulung.
"Paman tidak usah cemas. Aku sudah berjanji kepada ibu dan nenek, bahwa aku tidak akan melakukan sesuatu sekarang ini. Aku juga tidak akan mengambil satu keputusanpun."
Sambi Wulung dan Jati Wulung termangu-mangu. Sementara Risang berjalan terus ke regol halaman rumahnya. Rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
Demikian Risang keluar dari regol, Gandar dengan berlari-lari kecil menyusul Risang yang berjalan dengan langkah panjang. Sambil berjalan di sebelahnya, Gandar bertanya, "Apakah aku boleh menemanimu?"
"Aku ingin sendiri. Aku ingin berbicara dengan diriku tanpa ada orang lain," jawab Risang.
Gandar tidak dapat memaksa untuk menyertainya. Karena itu maka di depan gardu ia berhenti. Beberapa orang anak muda yang melihat Risang berjalan dengan tergesa-gesa telah mendekati Gandar. Seorang di antara mereka bertanya, "Risang itu akan kemana" Seorang diri dan tergesa-gesa?"
"Tidak. Tidak kemana-mana," jawab Gandar. Jawaban itu memang membingungkan anak-anak muda yang mengerumuninya. Mereka melihat Risang berjalan begitu cepat, sementara Gandar menjadi seperti orang bingung.
Namun Gandar segera menyadari keadaannya. Karena itu, maka iapun kemudian tersenyum sambil berkata, "Risang adalah seorang yang berilmu tinggi. Ia merasa berkewajiban untuk setiap kali mengasah ilmunya agar tetap tajam. Nah, sekarang ia pergi seorang diri ke tempat yang sepi untuk berlatih. Bukankah sudah menjadi kebiasaannya jika ia tidak mau dilihat oleh siapapun dalam latihan-latihan khususnya."
"Kenapa tidak di sanggarnya?"
"Untuk melakukan latihan kadang-kadang Risang memang memerlukan tempat terbuka dan luas. Biasanya Risang memilih tempat di lereng pegunungan."
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi seorang di antara mereka yang bertubuh kekurus-kurusan berbisik kepada kawannya, "Tetapi suasananya terasa lain."
"Sst," desis kawannya.
Anak muda yang bertubuh kekurus-kurusan itu tidak bertanya lagi. Sementara Gandarpun berkata, "Baiklah. Berhati-hatilah bertugas. Meskipun keadaan sudah membaik, tetapi kita tidak boleh lengah."
Dalam pada itu, Risang berjalan dengan cepat menuju ke lereng bukit sebagaimana dikatakan oleh Gandar. Kakinya bergerak dengan cepat. Risang tidak berjalan menyusuri jalan-jalan yang rata yang menghubungkan padukuhan dengan padukuhan melalui bulak-bulak yang panjang dan pendek. Tetapi Risang memilih jalan pintas. Dilaluinya lorong-lorong sempit dan jalan setapak. Bahkan tanggul parit yang membelah kotak-kotak sawah. Justru karena Risang berusaha untuk menghindari padukuhan-padukuhan yang tersebar di ngarai yang luas.
Meskipun keringat mulai mengalir di punggungnya, tetapi Risang masih saja berjalan dengan cepat.
Malam menjadi semakin malam. Risang mulai memanjat kaki pebukitan, menyusur jalan sempit di sela-sela batu-batu padas.
Akhirnya Risang sampai ke tempat yang agak lapang. Di sana-sini teronggok batu-batu padas yang bergumpal. Pohon perdu tumbuh di mana-mana. Tetapi di tempat yang agak lapang yang terdiri dari dataran berbatu padas, tidak terlalu banyak ditumbuhi gerumbul dan ilalang.
Risang menarik nafas dalam-dalam, Iapun kemudian duduk di atas segumpal batu padas. Dipandanginya dataran yang terbentang di hadapannya. Dalam keremangan malam, ia melihat padukuhan yang menebar di Tanah Perdikannya.
Risang merasa terganggu ketika ia melihat bulan yang seakan-akan mengintip dari balik mega. Sekali-sekali hilang tertutup awan. Namun kemudian muncul kembali memancarkan cahayanya yang terang.
Tetapi bulan itu rasa-rasanya justru sedang mengganggunya. Sekali-sekali nampak tersenyum menggelitik hatinya yang pahit. Bahkan mengejeknya.
Risang, seorang anak muda yang berilmu tinggi dan bertanggung jawab atas sebuah Tanah Perdikan yang terhitung besar itu, benar-benar sedang dipermainkan oleh perasaannya sendiri.
Risang masih duduk di atas seonggok batu padas. Ia masih berusaha untuk menguasai perasaannya dengan penalarannya sebagaimana pesan neneknya.
Dalam pada itu, jauh dari Tanah Perdikan Sembojan, rumah Ki Rangga Dipayuda nampak terang benderang. Beberapa lampu minyak menerangi pendapa, sementara beberapa oncor terpasang di regol dan sudut-sudut halaman rumahnya.
Memang tidak terlalu banyak orang yang duduk di halaman. Selain keluarga Ki Rangga, ada satu dua orang sanak kadang Ki Rangga Dipayuda yang dituakan. Mereka diminta untuk hadir, menjadi saksi, bahwa anak gadis Ki Rangga Dipayuda telah dilamar oleh seorang anak muda, Lurah prajurit Pajang yang kebetulan berada di bawah kepemimpinan langsung Ki Rangga Dipayuda sendiri.
Secara resmi, lamaran itu telah disampaikan pagi tadi oleh Ki Ajar Paguhan, guru Kasadha yang mewakili orang tua Kasadha. Sedangkan malam itu, keluarga Ki Rangga Dipayuda telah menyelenggarakan sebuah pertemuan untuk mensyukuri peristiwa yang bagi keluarga Ki Rangga merupakan satu keberuntungan.
Wajah-wajah mereka yang duduk di pendapa nampak cerah. Di bibir mereka nampak senyum yang memancarkan kegembiraan. Sekali-sekali meledak suara tertawa di antara pembicaraan yang ramai. Hidanganpun mengalir tidak henti-hentinya. Minuman, makanan dan bahkan kemudian makan dan buah-buahan.
Riris Respati sendiri nampak gembira. Ia sibuk ikut membantu beberapa orang perempuan menghidangkan minuman dan makanan. Sekali-sekali seorang tamu mengganggunya, "Duduk sajalah Riris. Bukankah kau yang menjadi pusat dari kesibukan hari ini. Bujana hari ini menghormati keberuntunganmu dan Angger Lurah Kasadha."
Riris tersenyum cerah. Matanya berbinar meskipun mulutnya berdesis, "Ah, paman."
Ki Rangga sendiri hanya tersenyum saja. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia merasa berbahagia pula.
Yang menjadi kecewa adalah Jangkung Jaladri. Tetapi ia adalah anak yang taat. Karena itu, maka meskipun keinginannya berbeda dari ayahnya, tetapi ia sama sekali tidak berbuat sesuatu yang dapat mengganggu kegembiraan keluarganya itu. Bahkan ia ikut sibuk membantu dengan sepenuh hati.
Namun kadang-kadang di luar sadarnya, ia duduk termenung. Di luar sadarnya pula ia membayangkan apa yang dilakukan oleh Risang pada saat itu di Tanah Perdikan Sembojan.
Jangkung yang duduk di antara orang-orang yang sibuk menyiapkan minuman panas untuk menggantikan minuman yang sudah dingin dihidangkan sebelumnya, ternyata sempat juga merenung membayangkan luka di hati Risang.
"Tetapi jika malam ini yang duduk di pendapa itu adalah Risang, Kasadhapun akan mengalami keadaan yang sama," berkata Jangkung di dalam hatinya.
Namun Jangkung terkejut ketika seseorang menggamit pundaknya. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya ibunya berdiri di belakangnya.
"O," Jangkung tergagap.
"Duduklah di pendapa. Beberapa orang paman dan uwakmu menanyakan kau," berkata ibunya.
Jangkung memandang ibunya dengan kerut di keningnya. Kemudian iapun berdesis, "Bukankah aku sudah hilir mudik ikut menyuguhkan hidangan kepada para tamu?"
"Bukan itu. Bukan sekedar melihat kau, wajahmu dan sikapmu yang manis. Tetapi mereka ingin berbicara denganmu. Berbincang atau sedikit bergurau," jawab ibunya.
Jangkung menarik nafas panjang. Ia tahu bahwa ibunya memperhatikannya. Jika ibunya memujinya, maka ibunya tentu melihat sesuatu yang masam di dalam dirinya, sehingga ibunya perlu sedikit menghiburnya.
"Marilah," berkata ibunya. "Biarlah orang lain menghidangkan minuman dan makanan."
"Ibu," berkata Jangkung, "sedangkan Riris yang sedang kita syukuri kebahagiaannya saja ikut membantu menghidangkan minuman dan makanan."
"Ia seorang perempuan. Sepantasnya ia memang berada di dapur."
"Tetapi tidak pada hari-hari seperti ini."
Ibunya tersenyum. Tiba-tiba saja ditariknya lengan Jangkung sambil berkata, "Marilah."
Jangkung tidak dapat menolak, Iapun kemudian melangkah di samping ibunya.
"Apa yang kau pikirkan?" bertanya ibunya kemudian. Tangannya masih berpegangan lengan Jangkung.
"Tidak. Aku tidak memikirkan apa-apa. Aku sedang menunggu minuman yang baru dibuat itu siap untuk dihidangkan."
Tetapi ibunya berdesis, "Kau memikirkan Risang?" Jangkung termangu-mangu sejenak. Ternyata ketajaman perasaan seorang ibu mampu menembus dadanya betapa ia melapisinya dengan kepura-puraan. Karena itu, maka Jangkung tidak mengelak lagi. Katanya, "Ya. Aku memang memikirkannya. Tidak lebih. Aku hanya membayangkan, apa yang sedang diperbuatnya sekarang di Tanah Perdikan Sembojan. Berjaga-jaga" Meronda" Atau masih dalam kesibukan menegakkan wibawa Pajang di sekitar Tanah Perdikannya" Atau bahwa Risang itu terluka dalam pertempuran-pertempuran yang terjadi, karena menurut ayah, prajurit Madiun mungkin telah terlibat dalam perdagangan gelap di sekitar Tanah Perdikan Sembojan."
Ibunya mengangguk-angguk kecil. Katanya dengan nada rendah, "Aku tahu Jangkung. Kau tentu membayangkan, bahwa Risang sekarang sedang sibuk dengan tugas-tugasnya, bahkan mempertaruhkan nyawanya, sementara kita disini menyelenggarakan pertemuan keluarga yang merah. Makan, minum, tertawa dengan wajah-wajah cerah."
"Ya. Tetapi lebih dari itu ibu. Aku membayangkan hati Risang yang akan pecah menghadapi satu kenyataan tentang Riris," berkata Jangkung dengan nada merendah. "Bukankah kita sama-sama mengetahui perasaan Risang terhadap Riris."
Dan jawaban ibunya ternyata sebagaimana telah dipikirkannya pula, "Bukankah kita harus memilih satu di antara kedua orang anak muda itu" Jika ayahmu memilih Kasadha, itu bukan berarti bahwa Risang tidak pantas untuk menjadi sisihan Riris. Tetapi yang paling sesuai bagi ayahmu di antara keduanya yang sama-sama baik itu adalah Kasadha. Ia seorang prajurit sebagaimana ayahmu. Ia setiap hari berada bersama-sama dengan ayahmu di barak. Dan mungkin persesuaian-persesuaian yang lain yang tidak terdapat pada Risang."
"Aku mengerti ibu," jawab Jangkung.
"Jika demikian, lupakan Risang. Maksudku, kau jangan terlalu banyak memikirkannya. Setidak-tidaknya malam ini."
Jangkung mengangguk. Sejenak kemudian, Jangkungpun telah berada di pendapa bersama beberapa orang sanak kadangnya. Sesaat ia berusaha menyesuaikan suasana hatinya dengan suasana di pendapa itu. Sehingga kemudian, Jangkung itupun mulai tertawa sebagaimana orang-orang lain yang duduk di sebelah-menyebelahnya.
Kegembiraan itu berlangsung sampai lewat tengah malam. Namun kemudian suara riuh pembicaraan dan tawapun mulai menyusut. Mereka yang duduk di pendapa itu mulai letih dan mengantuk.
Dengan demikian, maka malam yang berkesan terutama bagi Kasadha dan Riris itupun kemudian telah berakhir. Beberapa orang tua yang hadir di pendapa itupun sudah nampak letih. Karena itu, maka satu-satu mereka telah minta diri meninggalkan pendapa yang masih saja tetap terang.
Ki Rangga Dipayudapun kemudian telah mempersilahkan Ki Ajar Paguhan dan Kasadha untuk beristirahat di gandok. Sebagaimana Ki Rangga Dipayuda, besok Kasadha harus sudah berada di baraknya kembali. Ijin yang diberikan kepada keduanya telah mereka lewati dengan hati yang cerah.
Di dalam biliknya, di gandhok sebelah kanan di rumah Ki Rangga Dipayuda, Kasadha berbaring sambil berangan-angan. Terbayang hari-hari yang cerah terbentang di hadapannya. Gurunya masih duduk bersila sambil bersandar dinding. Pandangannya terpancang pada tiang kayu yang berdiri tegak di sebelah pintu yang tertutup rapat.
Kasadha tidak berkata sepatah katapun. Ia mencoba memejamkan matanya. Tetapi ternyata malam itu tidur bagi Kasadha tidak semudah yang diinginkannya.
Pada saat yang bersamaan, di lereng pebukitan yang gelap, Risang berdiri tegak. Kedua tangannya yang menelakup di depan dadanya sudah tergeser menurun dan lepas tergantung di sisi tubuhnya. Nafasnya yang ditarik dalam-dalam, terhembus lepas dari rongga dadanya.
Risangpun kemudian melangkah perlahan-lahan dan kemudian duduk di sebongkah batu padas tempat ia meletakkan bajunya yang dilepas.
Terasa angin malam berhembus mengusap tubuhnya yang berkeringat. Matanya yang tajam memandang berkeliling. Yang nampak dalam keremangan cahaya bulan di belakang kabut tipis adalah lereng pegunungan dan gerumbul-gerumbul perdu. Beberapa ratus tonggak nampak hutan pegunungan yang lebat memanjang di kaki bukit. Di bawah nampak padukuhan yang bertebaran di sela-sela tebaran sawah yang membentang.
Risang masih saja merenungi dirinya. Kepergian Riris dari jagad mimpinya terasa begitu cepat dan tiba-tiba.
Risang menghentakkan tangannya. Tetapi yang terjadi itu bukan sekedar mimpi buruk yang akan terhapus jika ia terbangun. Yang terjadi itu benar-benar telah terjadi.
Tiba-tiba saja Risang itu bangkit berdiri di atas sebongkah batu padas. Sambil mengangkat wajahnya, Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu telah berteriak nyaring. Suaranya melengking bagaikan meruntuhkan tebing-tebing di lereng pegunungan.
"Riris, kau telah berkhianat."
Getar suara Risang itu membentur lereng menyusuri lembah dan terucap kembali sebagai gema yang didengarnya seolah-olah sahut-menyahut, bergaung menggelepar di udara.
Namun akhirnya Risang menjadi letih. Ia terduduk kembali dengan kepala tunduk. Di luar sadarnya, ia membayangkan rumah Ki Rangga Dipayuda yang terang-benderang. Beberapa orang tamu duduk di pendapa, ikut mensyukuri hari yang penting bagi Kasadha dan Riris Respati.
Tetapi Risang tidak melihat dirinya sendiri duduk di antara mereka.
Risang memang hampir kehilangan akal. Tetapi setiap kali terngiang kembali pesan ibu dan neneknya yang juga salah seorang gurunya.
Karena itu, maka kemudian telah dikenakannya bajunya. Setelah dengan garangnya Risang melepaskan gejolak perasaannya lewat unsur-unsur gerak ilmunya sampai ke batas tertinggi, maka Risangpun kemudian melangkah dengan kepala tunduk menuruni lereng pebukitan.
Seperti saat ia berangkat, maka ketika ia pulang, telah ditelusurinya jalan pintas. Lorong-lorong sempit, pematang dan tanggul-tanggul parit. Menapak di jalan setapak, menyeberangi sungai dan melintasi padang ilalang.
Risang menapak di halaman rumahnya saat fajar mulai membayang di langit, langsung menuju ke pakiwan untuk membersihkan dirinya.
Ketika ia masuk ke dalam rumahnya, maka seisi rumah itupun ternyata telah bangun pula. Bahkan agaknya ibunya semalaman duduk di ruang tengah menunggu kedatangannya.
"Ibu menunggu aku?" bertanya Risang.
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Dengan lembut ia bertanya, "Dari mana saja kau Risang. Kau membuat hatiku cemas."
"Aku berada di bukit ibu. Sebaiknya ibu tidak usah mencemaskan aku. Aku sudah berjanji untuk tidak mengambil langkah-langkah yang penting dalam waktu dekat ini."
Ibunya memandang Risang dengan tatapan mata yang sayu. Tetapi ibunya itu mengangguk sambil berkata, "Syukurlah Risang. Kau masih mau mendengarkan kata-kata ibu dan nenek."
Risang menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun melangkah ke dalam biliknya.
Di saat perasaannya sedang terguncang, maka rasa-rasanya segala-galanya menjadi suram.
Di halaman mulai terdengar suara sapu lidi. Sementara itu, derit senggot timba di pakiwan membuat irama tersendiri.
Dalam pada itu, seisi rumah Ki Rangga Dipayuda telah terbangun pula. Bahkan Kasadha, Ki Ajar Paguhan dan Ki Rangga Dipayuda sendiri telah bersiap-siap untuk berangkat menuju Pajang. Hari itu juga Ki Rangga dan Kasadha harus sudah berada di dalam baraknya lagi.
Di ruang dalam telah tersedia minuman hangat buat mereka yang akan berangkat. Telah tersedia pula nasi yang mengepul beserta lauk-pauknya.
Demikianlah, sebelum matahari terbit, maka bertiga, Ki Rangga Dipayuda, Ki Ajar Paguhan dan Kasadha telah meninggalkan halaman rumah itu.
Nyi Rangga, Jangkung dan Riris melepas mereka di luar regol halaman. Dengan wajah cerah Riris melambaikan tangannya mengantar kepergian ayah dan laki-laki yang akan menjadi sisihannya.
Ketika ketiganya hilang di balik tikungan, maka Nyi Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil berkata kepada Jangkung, "Kapan kau minta ayahmu melamar seorang gadis?"
Jangkung menarik nafas dalam-dalam. Ririslah yang justru mulai menggodanya, "Kakang, bukankah Kakang sering pergi ke padukuhan di seberang sungai itu?"
Riris sudah bersiap untuk bergeser ke belakang ibunya jika Jangkung akan menangkapnya. Tetapi ternyata sikap Jangkung agak berbeda. Dipandanginya wajah Riris sekilas. Namun Jangkung masih berusaha untuk tersenyum, meskipun senyumnya tidak terlalu cerah.
Riris yang melihat sesuatu yang lain pada kakaknya mengerutkan keningnya. Namun Jangkungpun kemudian berkata, "Orang yang tinggal di padukuhan di seberang sungai itu membatalkan pembicaraan dengan semena-mena. Orang itu berjanji untuk membeli kuda dawuk itu dengan harga tinggi. Sementara aku sudah membayarnya kepada pemiliknya dengan harga yang tinggi pula dengan mengharapkan keuntungan yang cukup, ternyata orang itu ingkar."
"Kenapa?" bertanya ibunya.
"Katanya, ia sudah mendapatkan seekor kuda yang lebih baik," jawab Jangkung.
"Sudahlah," berkata ibunya. "Besok kau akan mendapatkan pembeli lain yang lebih baik."
Jangkung mengangguk. Katanya, "Mudah-mudahan. Tetapi aku sudah terlanjur membeli dengan harga lebih tinggi dari seharusnya menurut harga pasaran."
"Kakang terlalu tergesa-gesa," desis Riris. "Tetapi jika kuda itu baik, kenapa tidak Kakang pakai sendiri saja?"
Jangkung memandang wajah adiknya. Ia tahu adiknya ingin membantu meringankan perasaan kecewanya. Karena itu, maka iapun menjawab, "Ya. Barangkali kuda itu pantas untuk aku pakai sendiri. Tetapi tentu saja selama masih belum ada orang yang mau membelinya dengan harga yang baik."
Riris mulai bersungut-sungut. Namun Jangkungpun berkata, "Bukankah aku seorang belantik kuda?"
"Bagaimana dengan belantik kuda," Riris mulai mencibir.
"Kau tahu bahwa seorang tukang kayu yang membuat pintu bagi rumahnya sendiri, bahkan sudah terpasang sekalipun, jika ada orang yang ingin membelinya dengan harga yang baik, pintu itu akan dilepas dan dijualnya, sementara ia sendiri akan memakai pintu anyaman bambu?"
"Ah kau," Riris mulai bergeser. Sementara Jangkung melangkah menjauhinya.
"Ada-ada saja kau Jangkung," desis ibunya sambil melangkah. "Marilah. Aku tadi merebus air. Tentu sudah mendidih."
Merekapun kemudian telah melangkah memasuki regol halaman. Nyi Rangga Dipayuda langsung pergi ke dapur bersama Riris, sementara Jangkung pergi ke kandangnya. Di Kandang itu memang ada seekor kuda dawuk. Tetapi ia sama sekali tidak sedang terlibat dalam pembicaraan jual beli tentang kuda dawuknya itu.
Sebenarnyalah ibunya mengerti, bahwa Jangkung sekedar membelokkan pembicaraan saja, justru karena ia menyadari bahwa sikapnya akan dapat memancing pertanyaan di hati adiknya.
Sementara itu, Ki Rangga Dipayuda, Ki Ajar Paguhan dan Kasadha tengah memacu kudanya melintasi jalan-jalan bulak. Pajang memang tidak terlalu jauh, sehingga karena itu, maka perjalanan mereka memang tidak terlalu lama.
Ketika mereka memasuki kota, maka Ki Ajar Paguhanpun telah memisahkan diri. Ki Ajar akan langsung kembali, sementara Ki Rangga Dipayuda dan Kasadha akan langsung pergi ke barak.
Di baraknya, sejak Kasadha memasuki pintu gerbang, kawan-kawannya mulai tersenyum-senyum memandanginya. Tetapi karena Kasadha masih bersama Ki Rangga Dipayuda, maka mereka masih belum menyambutnya. Apalagi mereka harus memberi hormat sebagai kewajaran terhadap para perwira.
Baru kemudian, ketika Kasadha kembali ke dalam lingkungan kesatuannya setelah menempatkan kudanya di kandang, maka kawan-kawannya, para pemimpin kelompok dan prajurit dalam pasukannya telah mengerumuninya untuk mengucapkan selamat kepadanya. Beberapa orang di antaranya mulai menggoda disambut oleh tawa yang riuh.
Kasadha sendiri hanya tersenyum-senyum saja. Sekali-sekali ia mengucapkan terima kasih atas ucapan selamat dari para pemimpin kelompok dan para prajuritnya.
Tetapi justru karena suasana yang gembira itu, maka beberapa orang prajurit yang menerima kehadiran Risang tidak segera menyampaikannya kepada Kasadha.
Sehari itu, Kasadha rasa-rasanya memang belum memasuki suasana tugasnya meskipun ia sudah berada di barak. Ia masih saja menerima ucapan selamat dari lingkungannya di dalam barak itu.
Baru di keesokan harinya, ketika suasananya sudah berbeda, sementara Kasadha dan Ki Rangga benar-benar telah berada di dalam lingkungan tugasnya, seorang prajurit telah menyampaikan kehadiran Risang kepada Kasadha.
Kasadha memang terkejut mendengar pemberitahuan itu. Bahkan kemudian jantungnya menjadi berdebar-debar.
"Apa katamu kepadanya?" bertanya Kasadha.
"Aku mengatakan bahwa Ki Lurah dan Ki Rangga sedang tidak ada di barak," jawab prajurit itu.
"Hanya itu?" desak Kasadha.
"Tidak," jawab prajuritnya. "Aku juga mengatakan bahwa Ki Lurah dan Ki Rangga sedang mendapat ijin meninggalkan barak selama dua hari."
"Tidak ada yang lain," Kasadha mendesak lagi.
"Ada. Aku juga mengatakan keperluan Ki Lurah dan Ki Rangga," jawab prajurit itu mulai ragu-ragu. Ia melihat sesuatu yang lain membayang di mata Kasadha sebagaimana ia melihat tanggapan di mata Risang ketika ia mendengar bahwa Kasadha dan Ki Rangga sedang tidak ada di barak.
Dengan suara yang mulai bergetar Kasadha bertanya, "Apa yang dikatakannya kemudian?"
Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Aku mempersilahkannya menunggu atau bahkan jika ia tergesa-gesa mungkin pada Pandhega yang lain atau bahkan Ki Tumenggung Jayayuda dapat menerima langsung jika persoalan yang dibawanya memang penting."
"Lalu?" Kasadha rasa-rasanya menjadi tidak sabar.
"Tetapi Risang tidak mau. Ia akan menyusul Ki Lurah dan Ki Rangga di rumah Ki Rangga. Apakah Risang dan kedua orang pengiringnya tidak pergi kesana?"
"Tidak. Ia tidak pergi kesana," jawab Kasadha yang merasa gelisah.
Namun kemudian Kasadha itupun berkata, "Baiklah. Terima kasih atas pemberitahuan ini. Agaknya Risang memang membawa berita penting sesuai dengan tugas yang dibebankan kepadanya."
"Jika demikian, kenapa Risang itu tidak jadi singgah di rumah Ki Rangga Dipayuda?" bertanya prajuritnya.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Aku melaporkannya kepada Ki Rangga."
Dengan dada yang berdebar-debar Kasadha telah menghadap Ki Rangga Dipayuda. Dengan gelisah Kasadha memberitahukan kedatangan Risang bersama dua orang pengiringnya. Sambi Wulung dan Jati Wulung.
"O," Ki Rangga mengangguk-angguk. "Kenapa ia tidak mau menunggu?"
"Risang mengatakan kepada para prajurit yang menemuinya, bahwa ia akan menyusulku ke rumah Ki Rangga."
"Tetapi bukankah ia tidak pergi ke sana?"
"Tidak, Ki Rangga," jawab Kasadha.
"Jika demikian, kita akan menunggu satu dua hari. Mungkin ia akan kembali."
"Tetapi mungkin juga tidak, Ki Rangga," desis Kasadha.
"Kenapa tidak" Bukankah ia mengemban tugas dari Pajang untuk menegakkan wibawa Pajang di sekitar Tanah Perdikan itu" Risang tentu akan memberikan laporan tentang tugas yang dibebankan kepadanya itu."
"Tetapi bagaimana dengan perasaan Risang setelah ia tahu, bahwa aku telah melamar Riris?"
"Maksudmu?" bertanya Ki Rangga Dipayuda.
"Ia akan menjadi kecewa," jawab Kasadha.
Ki Rangga menarik nafas panjang. Kemudian iapun berkata, "Ya. Mungkin ia memang menjadi kecewa. Tetapi lalu apa yang harus kita lakukan" Bukankah kita tidak dapat menggantungkan segala rencana kita kepada kepentingan Risang?"
"Ia sudah terlalu banyak membantu kita dalam tugas-tugas kita," berkata Kasadha kemudian.
"Aku mengerti. Kita memang berhutang budi kepadanya. Bahkan Pajang juga wajib mengakui jasa-jasanya. Tetapi apakah dengan demikian kita tidak wenang menentukan langkah dengan irama yang sesuai dengan keinginan kita sendiri" Apakah dengan demikian, kita harus selalu mengingatnya, apakah ia setuju atau tidak. Apakah ia senang atau tidak. Setiap langkah kita, kita harus minta persetujuannya?"
"Tetapi aku harus menjelaskan kepadanya, Ki Rangga."
"Maksudmu?" bertanya Ki Rangga.
"Aku akan pergi ke Tanah Perdikan untuk memberikan penjelasan kepada Risang."
Tetapi Ki Rangga menggelengkan kepalanya. Katanya, "tidak perlu, Kasadha. Dalam waktu dekat ia akan datang. Ia akan memberikan laporan tentang tugas yang dibebankan kepadanya itu."
"Jika aku pergi ke Tanah Perdikan, maka sekaligus aku akan dapat berbicara dengan Risang dalam rangka tugasnya. Sehingga kepergianku ke Tanah Perdikan akan dapat dianggap sebagai sedang bertugas. Dengan demikian, maka agaknya Ki Tumenggung tidak akan berkeberatan meskipun aku baru saja mendapat ijin dua hari."
Tetapi Ki Rangga berkata, "Tidak sekarang Kasadha. Meskipun kau dapat saja pergi atas nama tugas keprajuritanmu, tetapi rasa-rasanya masih segan untuk menyampaikannya sekarang, justru kau baru kemarin memasuki tugasmu. Sementara itu, para prajurit Pajang dikekang untuk tidak meninggalkan baraknya."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia menjawab, bahwa jika ia meninggalkan baraknya, bukankah ia juga sedang bertugas dan bukan sekedar minta ijin meninggalkan barak seperti kemarin"
Tetapi niat itu diurungkannya. Ki Rangga akan dapat tersinggung jika seolah-olah ia memaksanya, justru hubungannya dengan Ki Rangga bukan sekedar hubungan dalam tugas keprajuritan.
Sementara itu, Ki Ranggapun berkata, "Kasadha. Aku mengerti maksudmu. Tetapi menurut pendapatku, sebaiknya kau temui Risang setelah hatinya mulai mengendap. Aku tahu, sekarang hatinya tentu sedang diguncang oleh perasaan kecewa."
Kasadha mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia mengangguk kecil sambil menyahut, "Ya, Ki Rangga."
"Nah, kembalilah dalam tugasmu. Sehari dua hari kita menunggu. Aku masih berharap Risang akan datang kemari."
Kasadha tidak dapat membantah lagi. Iapun kemudian meninggalkan Ki Rangga kembali ke tugasnya. Meskipun demikian, namun Kasadha tidak juga dapat merasa tenang. Ada semacam beban yang memberati perasaannya. Jika hati Risang terguncang, maka Kasadha akan merasa bersalah.
Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Ki Rangga sendiri tidak dapat begitu saja mengesampingkan persoalan yang disampaikan oleh Kasadha. Ki Rangga Dipayuda mempunyai hubungan yang sangat baik dengan Risang dan Kasadha menjadi prajurit di bawah pimpinannya yang saat itu masih berkedudukan sebagai Lurah Prajurit.
Tetapi Ki Rangga pun merasa bahwa ia tidak dapat berbuat lain. Ia harus memilih. Salah seorang di antara keduanya. Risang atau Kasadha. Dan ia telah memilih Kasadha.
"Aku tidak dapat dianggap bersalah," berkata Ki Rangga Dipayuda kepada dirinya sendiri. "Apakah karena dua orang anak muda bersama-sama tertarik kepada anak gadisku, lalu aku harus mengorbankan anak gadisku karena aku tidak boleh memilih saat di antara keduanya dan membiarkan gadisku perawan sampai tua?"


02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun bagaimanapun juga Ki Rangga Dipayuda tidak dapat begitu saja menyingkirkan Risang dari ingatannya.
Sejak hari itu, maka sikap Kasadha dan Ki Ranggapun berubah. Kegembiraan yang mereka bawa pulang dari rumah Ki Rangga itu seakan-akan telah larut dari wajah-wajah mereka. Yang nampak kemudian adalah kemuraman dan bahkan kegelisahan.
Tetapi para prajurit dan pemimpin kelompok dalam kesatuan yang dipimpin oleh Ki Lurah Kasadha itu tidak ada yang bertanya, apa yang sebenarnya telah terjadi.
Dalam pada itu, Risang di Tanah Perdikan Sembojan sama sekali tidak berniat untuk pergi ke Pajang. Setiap kali jantungnya melonjak, maka darahnya terasa menjadi panas mengalir di pembuluh yang mengakar di seluruh tubuhnya. Namun Risang memang mencoba untuk memenuhi keinginan ibunya. Ia tidak mengambil keputusan-keputusan penting. Ia tidak melepaskan para Demang yang disekapnya. Ia masih juga tetap menahan tawanan-tawanannya. Sikap Risang itu justru telah berubah menjadi kasar terhadap para tawanan. Bahkan sekali-sekali Risang telah memukul mereka.
Seorang tawanan yang tidak segera datang menghadapnya ketika dipanggil, telah dipukulnya hingga pingsan. Demikian pula terhadap kedua orang Demang yang berada di Tanah Perdikan Sembojan. Risang tidak lagi menahan diri di hadapan mereka. Dengan kasar Risang membentak-bentak mereka jika jawaban-jawaban keduanya atas pertanyaan Risang tidak memuaskan.
Perubahan sikap Risang itu terasa benar bukan saja bagi para tawanan. Tetapi para bebahu Tanah Perdikan dan bahkan para pengawal yang sering berhubungan langsung dengan Risang. Wajahnya nampak gelap dan kata-katanya sering terasa menusuk perasaan orang lain.
Para pengawal yang masih muda kadang-kadang merasa aneh. Beberapa orang mulai bersungut-sungut. Tetapi para bebahu yang umurnya sudah lebih tua, menanggapinya dengan hati-hati.
Seorang di antara mereka berkata, "Tentu ada sesuatu telah terjadi atas anak muda itu."
Yang lain mengangguk-angguk. Bahkan seorang Bekel berkata, "Kasihan Nyi Wiradana. Justru di saat-saat ia menikmati masa istirahatnya, anak laki-laki satu-satunya itu mulai bertingkah. Selama ini Angger Risang menunjukkan silatnya yang baik. Lembut dan penurut. Tetapi tiba-tiba ia berubah menjadi kasar, pemarah dan sulit untuk ditebak, apakah yang dikehendakinya."
Seorang Bekel yang lain menyahut, "Ya. Hanya dalam beberapa hari, Nyi Wiradana nampak kurus dan tua."
Seorang bebahu yang lain berkata, "Aku tidak pernah melihat lagi Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka. Bukankah mereka masih sehat-sehat saja."
Ki Bekel menyahut, "Bagaimanapun juga mereka tentu juga terpengaruh oleh perubahan silat Angger Risang."
Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandarpun merasa sangat berprihatin. Sambi Wulung pernah mencoba memperingatkan Risang akan sikapnya. Ketika ia memukul lagi seorang tawanan, maka Sambi Wulungpun menemuinya setelah Risang keluar dari Banjar.
Sambil berjalan Sambi Wulung berkata dengan ragu, "Ngger. Aku mohon Angger Risang sempat sekali-sekali melihat ke dalam diri sendiri."
"Kau akan mengatakan bahwa aku sekarang menjadi gila. Begitu paman?" sahut Risang.
"Bukan begitu Ngger. Aku mengerti perasaan Angger. Apa yang bergejolak di dalam hati Angger. Tetapi aku masih mohon agar gejolak perasaan Angger tidak menghentak-hentak di setiap saat, dimana-mana dan terhadap siapapun juga."
"Apa yang pernah aku lakukan terhadap paman" Terhadap ibu dan terhadap guru-guruku. Kenapa paman dapat menuduhku bahwa aku kehilangan kendali diri terhadap siapapun juga, dimanapun juga pada saat kapanpun."
"Maksudku, Ngger, sikap Angger terhadap lingkungan Angger telah berubah. Sikap Angger terhadap Nyi Wiradana, terhadap Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka. Sikap Angger kepada para bebahu dan apalagi kepada para tawanan."
"Tetapi aku telah menepati janjiku terhadap ibu dan nenek. Aku tidak akan mengambil sikap dan keputusan apapun juga. Bukankah ibu dan nenek menasehatkan agar dalam waktu dekat ini aku tidak mengambil keputusan?"
"Tentu Ngger. Kau memang tidak mengambil keputusan apapun juga. Tetapi perubahan sikap Angger dapat meresahkan kehidupan di Tanah Perdikan ini. Selama ini Angger dianggap seorang pemimpin yang bijaksana meskipun masih terhitung muda. Namun tiba-tiba Angger berubah tanpa sebab. Bukankah bagi rakyat Tanah Perdikan, apa yang terjadi pada Angger ini tanpa sebab."
"Aku tidak peduli tanggapan orang atas kebijaksanaanku. Aku Kepala Tanah Perdikan disini."
"Meskipun Angger Kepala Tanah Perdikan, tetapi bukankah seorang pemimpin sekali waktu juga dapat berbuat salah."
"Paman tidak usah mengatakan apa-apa lagi. Paman disini membantu aku. Lakukan itu sebaik-baiknya. Itu sudah cukup bagi paman," Risang mulai bersikap keras.
"Angger," berkata Sambi Wulung, "adalah menjadi kewajibanku untuk memperingatkan Angger. Jika aku bertugas untuk membantu Angger, apakah aku harus selalu melakukan apa saja yang dapat menyenangkan Angger, benar atau salah" Ngger, jika aku tetap akan menjadi seorang pembantu yang baik, maka aku harus berkata benar kepada Angger. Baik aku katakan baik, kurang baik harus aku katakan kurang baik."
"Apakah sikapku akhir-akhir ini kau nilai kurang baik?" bertanya Risang.
"Maaf Ngger, aku terpaksa mengatakan demikian," jawab Sambi Wulung.
"Paman," Risang berhenti melangkah, "sekarang terserah kepada paman. Apakah paman masih menganggap pantas untuk tinggal di Tanah Perdikan ini atau tidak. Tetapi paman tidak dapat mengubah sikapku. Aku Kepala Tanah Perdikan."
"Itu bukan soal yang membebani perasaanku. Aku dapat tinggal dimana saja. Hari ini aku disini, besok aku di lereng Gunung Lawu atau di Pegunungan Kendeng atau di Pegunungan Kidul. Tetapi aku memang bukan orang yang sekedar menyenang-nyenangkan perasaan orang lain. Ngger. Maaf, aku tidak dapat mengatakan apa saja asal Angger, Kepala Tanah Perdikan ini menjadi senang dan kemudian memberi aku kedudukan yang tinggi. Tetapi aku ingin mengatakan apa yang terkandung di relung-relung jantungku."
Wajah Risang menjadi panas. Tetapi ketika ia memandang wajah Sambi Wulung, maka iapun terkejut. Sambi Wulung memandanginya dengan tajamnya. Orang tua itu tidak lagi mengangguk-angguk sebagaimana biasa dilakukannya. Sambi Wulung tidak lagi berkata, "Ya, ya Ngger," seperti biasanya. Tetapi Sambi Wulung sudah menilainya menurut sikap batinnya.
Risang tidak menjawab lagi. Iapun dengan serta-merta telah melangkah dengan cepat meninggalkan Sambi Wulung yang termangu-mangu.
Sambi Wulungpun menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia merasa telah melakukan apa yang wajib dilakukannya. Ia tidak dapat membiarkan Risang berlarut-larut hanyut di arus perasaannya.
"Ia harus bangkit," berkata Sambi Wulung di dalam hatinya.
Tetapi Sambi Wulungpun menyadari bahwa yang sebaliknya dapat terjadi. Risang dapat mengusirnya dari Tanah Perdikan itu, karena Kepala Tanah Perdikan itu tidak lagi memerlukannya.
Seperti yang dikatakannya, Sambi Wulung dan Jati Wulung sama sekali tidak terikat oleh tempat dan kedudukan. Mereka dapat berada dimana saja. Tetapi setelah beberapa lama ia berada di Tanah Perdikan, maka seakan-akan Tanah Perdikan itu sudah menjadi tempat kelahirannya.
Sambi Wulung dan jati Wulung telah melakukan banyak hal bagi Tanah Perdikan itu.
Meskipun demikian, Sambi Wulung tidak dapat memaksa dirinya untuk melawan kata hatinya sekedar untuk menyenangkan Risang. Jika selama ini ia melakukan apa saja bagi Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu, karena sikap Risang sejalan dengan sikap batinnya.
Tetapi tiba-tiba ia menghadapi sikap Risang yang berubah.
Ketika kemudian Jati Wulung menyusulnya, maka Sambi Wulung pun telah menceriterakan apa yang telah dibicarakannya dengan Risang.
"Kasihan anak itu," desis Jati Wulung. "Ia merasa sangat kehilangan. Ia merasa tersisih dan dilempar seperti sampah. Di Tanah Perdikan ini ia mulai tersudut pula."
"Jadi, menurut pendapatmu, apa yang harus aku katakan kepadanya" Aku ingin Angger Risang bangun dari mimpi buruknya. Ia tidak boleh cengeng dan merengek berlarut-larut karena ditinggalkan oleh seorang gadis, seolah-olah hidupnya tergantung kepada gadis itu."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Satu keadaan yang sulit bagi Risang. Tetapi seharusnya ia dapat mengatasinya."
Dalam pada itu, Risang melangkah tergesa-gesa pulang. Di serambi gandok ia melihat Gandar duduk merenung.
Gandar itupun segera bangkit ketika ia melihat Risang memasuki regol halaman seorang diri. Bahkan ketika Risang itu melihat Gandar duduk di serambi, maka iapun telah mendekatinya.
Tanpa mengatakan sesuatu maka Risangpun justru duduk di amben panjang. Gandar termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian telah duduk pula di sebelah Risang.
Beberapa saat keduanya berdiam diri. Gandar memang merasa agak segan untuk mulai bertanya. Apalagi ia melihat wajah Risang yang nampak muram.
Namun kemudian Risanglah yang bertanya kepadanya, "Paman Gandar, apakah benar aku telah berubah di saat terakhir" Apakah sikap dan tingkah lakuku menjadi kurang baik?"
Gandar terkejut. Ia tidak mengira bahwa ia akan mendapat pertanyaan seperti itu. Karena itu, maka untuk beberapa saat ia tidak segera menjawab.
Risanglah yang kemudian mendesaknya, "Katakan, apakah aku berubah menjadi semakin buruk pada saat-saat terakhir justru setelah aku banyak ikut menyelesaikan beban yang ditanggung oleh Pajang?"
Gandar tidak dapat mengelakkan pertanyaan itu. Dengan ragu Gandar justru bertanya, "Apakah aku harus menjawab sesuai dengan tanggapan nuraniku?"
"Kenapa kau bertanya begitu?" dahi Risang nampak berkerut.
Gandar menjadi semakin berdebar-debar. Namun kemudian iapun berkata, "Sulit bagiku untuk menjawab pertanyaanmu."
"Kenapa?" desak Risang.
Gandar menarik nafas dalam-dalam. Baru kemudian ia menjawab, "Sebenarnyalah kau telah berubah. Tetapi aku tahu, kenapa kau berubah."
"Menurut pendapatmu, aku menjadi semakin baik atau semakin buruk pada saat-saat terakhir."
"Risang," berkata Gandar yang sejak Risang masih kanak-kanak telah menjadi pemomongnya, "pada saat-saat terakhir kau telah hanyut dalam arus perasaanmu."
Risang termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian telah menundukkan kepalanya. Risang mengenal Gandar sebagai seorang yang jujur. Ia tidak memiliki pamrih pribadi apapun, sehingga apa yang dikatakannya itu benar-benar tanggapan nuraninya atas dirinya.
Dalam pada itu telah terngiang kembali kata-kata Sambi Wulung. Meskipun dengan istilah yang-lain, tetapi apa yang dikatakan Gandar itu tidak terlalu jauh maksudnya dari apa yang dikatakan oleh Sambi Wulung.
Sejenak Risang duduk merenungi dirinya sendiri. Namun kemudian iapun berkata di dalam hatinya, "Apakah orang lain memperhatikan bahwa hatiku telah hancur karena sikap Ki Rangga Dipayuda, Kasadha dan Riris. Mereka hanya mengatakan, bahwa mereka dapat mengerti. Apa artinya sekedar dapat mengerti saja?"
Tiba-tiba saja Risang itu bangkit. Ketika Gandar juga bangkit berdiri, Risang sudah melangkah meninggalkan serambi gandok, naik ke pendapa dan hilang di balik pintu pringgitan masuk ke ruang dalam.
Risang itupun langsung menuju ke biliknya. Dijatuhkannya tubuhnya di pembaringan. Meskipun Risang memejamkan matanya, tetapi sulit baginya untuk dapat tidur. Apalagi udara terasa panas. Tetapi Risang masih saja tetap berbaring.
Nyi Wiradana menjadi semakin berprihatin melihat keadaan anak laki-lakinya. Dari hari ke hari, Risang tidak menjadi semakin tenang. Tetapi ia justru nampak semakin gelisah dan melakukan tindakan-tindakan yang dapat meresahkan banyak orang. Setiap kali Nyi Wiradana berusaha untuk berbicara, maka Risang selalu berkata, "Bukankah aku tidak mengambil keputusan apa-apa?"
Riwayat Lie Bouw Pek 10 Remember When Karya Winna Efendi Tumbal Penguasa Samudera 1

Cari Blog Ini