02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 34
Dari Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandar, bahkan dari beberapa orang bebahu, Nyi Wiradana mendapat laporan, bahwa Risang semakin larut dalam gejolak perasaannya.
Di dalam biliknya, jika Nyi Wiradana mulai membaringkan tubuhnya, maka angan-angannya selalu menerawang ke masa depan anaknya. Kekecewaan yang sangat itu akan dapat mempengaruhi jalan dan bahkan pandangan hidupnya. Risang nampaknya sudah mulai tidak percaya kepada budi baik dan bahkan pengorbanan bagi orang lain. Risang merasa bahwa budi baik dan pengorbanannya adalah sia-sia. Bahkan akibatnya sangat menyakitkan.
"Buat apa seseorang harus berbuat baik kepada orang lain. Buat apa aku harus bersusah payah menaruh belas kasihan kepada seseorang atau justru memberikan pengorbanan," berkata Risang dalam satu pembicaraan dengan ibunya. "Semua itu tidak ada artinya. Kebaikan seseorang adalah embun yang menitik di malam hari. Jika matahari terbit, maka embun itu hilang tidak berbekas."
"Kebaikan, pertolongan dan pengorbanan itu harus diberikan dengan ikhlas Ngger. Seperti matahari yang memancarkan sinarnya. Bukit, lembah, ngarai, padukuhan dan bahkan lautan dihangatkannya dengan sinarnya untuk membantu berlangsungnya kehidupan. Tetapi matahari itu sama sekali tidak menuntut apapun dari isi bumi ini."
"Matahari tidak memerlukan apapun bagi dirinya. Ia mempunyai segala-galanya yang diperlukan. Ia tidak membutuhkan bumi. Tidak membutuhkan gunung atau lautan. Ia tidak membutuhkan bulan atau bintang. Panasnya justru lebih dari yang diperlukan bagi dirinya sendiri," jawab Risang. "Tetapi aku tidak. Aku memerlukan beras, air, panas matahari, kehormatan dan kawan hidup."
Nyi Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau benar Risang. Tetapi bukankah kita pantas untuk berbicara tentang keikhlasan?"
"Jika aku berbicara tentang keikhlasan berkorban bagi sesama, apa yang kemudian aku dapatkan" Di saat aku mengalami hentakkan perasaan, maka orang lain sama sekali tidak berbuat apa-apa. Orang-orang terdekat sekalipun hanya dapat mengatakan "aku mengerti, aku mengerti" dan tidak lebih dari itu."
"Lalu apa yang kau harapkan dari orang lain itu Risang" Persoalan yang sangat pribadi bagimu itu, memang sulit bagi orang lain untuk melibatkan diri selain memberikan pengertian yang mendalam. Berusaha memperingan beban perasaanmu atau memberikan wawasan kepadamu untuk mencari jalan keluar."
"Aku justru tidak mengharapkan apa-apa ibu. Aku hanya ingin agar tidak seorangpun yang menghambat usahaku memecahkan persoalan pribadiku."
Ibunya menarik nafas panjang. Ia memang tidak dapat bersikap keras terhadap anaknya. Sebagaimana dikatakan oleh Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandar, bahwa Risang sudah mulai merasa disudutkan di Tanah Perdikannya sendiri. Orang-orang di sekitarnya mulai menudingnya bahwa ia sudah berubah menjadi semakin buruk. Beberapa orang mulai menganggapnya menimbulkan keresahan dan hanyut dalam arus perasaannya.
Karena itu, maka Nyi Wiradana tidak ingin semakin menjauhkan anaknya dari orang-orang di sekitarnya.
Dengan demikian, jika Risang mulai menunjukkan sikapnya yang keras, Nyi Wiradana justru menjadi semakin lembut dan bahkan kemudian diam.
Dalam pada itu, di Barak prajurit yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Jayayuda di Pajang, Kasadhapun selalu nampak gelisah. Meskipun landasan kegelisahannya berbeda dengan Risang, namun Kasadhapun kadang-kadang telah merenungi dirinya sendiri.
Apalagi ketika ditunggu beberapa hari, Risang ternyata benar-benar tidak datang lagi ke Pajang, maka kegelisahan di hati Kasadha itu menjadi semakin bertambah-tambah.
Meskipun demikian, Kasadha tidak melupakan tugasnya sehari-hari. Sebagai seorang prajurit yang baik, maka iapun selalu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik pula.
Namun akhirnya, Kasadha tidak dapat menahan gejolak perasaannya. Karena itu, maka iapun telah menghadap Ki Rangga Dipayuda untuk mendapatkan pertimbangan, apakah yang sebaiknya dilakukan dalam hubungannya dengan Risang dan Tanah Perdikan Sembojan.
Ki Rangga dapat mengerti sepenuhnya gejolak perasaan Kasadha. Tetapi ketika Kasadha minta ijin sekali lagi untuk pergi ke Tanah Perdikan Sembojan, maka Ki Rangga Dipayuda itupun berkata, "Aku tidak sependapat Kasadha. Kau dan Risang adalah anak-anak muda yang darahnya masih mudah mendidih. Karena itu, maka biarlah kita memakai cara lain untuk mengetahui perasaan Risang yang agaknya memang sedang bergejolak."
"Maksud Ki Rangga?" bertanya Kasadha.
"Aku akan minta agar Ki Tumenggung mengirimkan utusan ke Tanah Perdikan Sembojan dengan resmi untuk memanggil Risang. Kepala Tanah Perdikan itu diminta datang untuk memberikan laporan atas hasil kerjanya berdasarkan Surat Kekancingan yang diberikan kepadanya. Jika nanti Risang datang, biarlah aku yang menemuinya. Bagaimanapun juga, pembicaraan Risang dengan orang tua akan berbeda dengan pembicaraan anak-anak muda."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Tetapi seperti sebelumnya, ia tidak dapat memaksa agar Ki Rangga mengijinkannya pergi.
Seperti yang dikatakannya, maka Ki Rangga Dipayudapun telah menghadap Ki Tumenggung Jayayuda. Ki Rangga mengingatkan Ki Tumenggung akan tugas yang pernah dibebankan kepada Kepala Tanah Perdikan Sembojan, yang sampai saat terakhir belum memberikan laporan kepada Pajang.
"Bukankah kita tidak tergesa-gesa, Ki Rangga," sahut Ki Tumenggung. "Kepala Tanah Perdikan itu tentu memerlukan waktu untuk menyelesaikan tugasnya. Dalam Surat Kekancingan itu juga tidak disebut batas waktu yang diberikan kepada Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu."
"Tetapi ia beberapa waktu yang lalu pernah datang kemari, Ki Tumenggung, justru pada saat Kasadha dan aku tidak ada di barak."
"O," Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi kenapa Kepala Tanah Perdikan itu tidak langsung menemui aku?"
Ki Rangga Dipayuda termangu-mangu sejenak. Ada kebimbangan di hatinya untuk mengatakan persoalan yang sebenarnya sedang dihadapinya. Tetapi Ki Rangga Dipayuda merasa perlu untuk menyampaikannya. Seandainya Risang tidak segera datang, maka Ki Tumenggung akan dapat mengerti sehingga tidak timbul salah paham terhadap sikap Risang.
Karena itu, betapapun beratnya, Ki Rangga Dipayuda itupun akhirnya menyampaikan juga persoalan yang sebenarnya sangat pribadi itu kepada Ki Tumenggung.
"Aku sampaikan persoalan ini khusus kepada Ki Tumenggung, karena persoalannya yang sangat pribadi," berkata Ki Rangga kemudian.
Ki Tumenggung adalah seorang yang umurnya sudah merambat semakin tua. Karena itu, dengan hati seorang yang sudah matang, ia menerima keterangan yang diberikan oleh Ki Rangga Dipayuda yang juga bukan anak-anak lagi. Meskipun persoalannya adalah sangat pribadi, tetapi Ki Tumenggung menerimanya dengan sikap yang terbuka.
"Baiklah, Ki Rangga," berkata Ki Tumenggung. "Jika persoalannya akan dikaitkan dengan kepentingan Kasadha. Aku akan menghadap untuk mohon disahkannya dua orang yang akan aku tunjuk untuk memanggil Kepala Tanah Perdikan Sembojan."
"Jika ada persoalan yang timbul, Ki Tumenggung, aku mohon kelapangan hati Ki Tumenggung, untuk menimbang dengan takaran yang lain. Menurut pendapatku, pada dasarnya Risang adalah seorang anak muda yang baik."
"Aku sependapat, Ki Rangga. Kepala Tanah Perdikan yang masih muda itu memang seorang pantas untuk mendapat pujian. Untunglah Ki Rangga bersedia memberi keterangan tentang persoalan pribadinya, sehingga segala sesuatunya akan dapat menjadi bahan pertimbangan."
"Aku mengucapkan terima kasih, Ki Tumenggung. Sebenarnyalah aku menjadi bingung. Bagaimanapun juga aku tentu harus memilih satu di antara kedua orang anak muda itu."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, "Aku membantu Ki Rangga sejauh kemungkinan yang dapat aku lakukan. Bukan sekedar dalam wewenangku sebagai Senapati di barak ini. Tetapi juga sebagai orang tua yang mempunyai anak seorang gadis. Ki Rangga, aku harus juga mulai berpikir tentang anak gadisku. Apa yang terjadi pada Ki Rangga, akan dapat menjadi pengalaman bagiku."
Dengan demikian, maka Ki Rangga Dipayuda itu mulai berpengharapan dapat berbicara langsung dengan Risang. Ki Rangga menganggap bahwa sebaiknya, Ki Rangga sendiri yang berbicara dan memberikan penjelasan kepada Risang. Bukan Kasadha.
Di hari berikutnya, Ki Tumenggung Jayayuda telah mendapat pengesahan, bahwa dua orang perwiranya akan pergi ke Tanah Perdikan Sembojan untuk memanggil Kepala Tanah Perdikan Sembojan dalam hubungannya dengan Surat Kekancingan yang pernah diberikan oleh Pajang kepadanya. Kedua orang perwira yang bertugas itu telah membawa Surat Perintah resmi agar tidak terjadi salah paham.
Meskipun demikian Ki Tumenggung itu berpesan, "Kalian hanya bertugas untuk memanggil Kepala Tanah Perdikan itu. Apapun jawabnya, kalian sampaikan saja kepadaku."
"Baik Ki Tumenggung," jawab keduanya.
Ketika keduanya berangkat menjelang fajar di hari berikutnya, Kasadha sempat melihat keduanya menuntun kudanya sampai ke pintu gerbang. Kemudian keduanya meloncat ke punggung kuda dan berpacu menembus keremangan dini hari.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Seperti Ki Rangga Dipayuda, maka Kasadhapun berpengharapan bahwa Risang akan bersedia datang menemui Ki Tumenggung Jayayuda, memberikan laporan tentang hasil tugasnya sesuai dengan Surat Kekancingan yang telah diterimanya.
"Mudah-mudahan Ki Rangga dapat menjelaskan persoalannya, sehingga tidak ada masalah lagi antara aku dan Risang."
Bagaimanapun juga, Kasadha memang menaruh hormat kepada Risang. Bukan saja karena Risang telah membantu tugasnya dengan mempertaruhkan nyawanya, tetapi juga karena Risang adalah saudara tuanya meskipun jaraknya tidak terlalu jauh. Lebih dari itu, bahwa Risang dan ibunya, dengan ikhlas telah memaafkan ibunya yang telah menimbun dosa, sehingga seakan-akan tidak lagi pantas dimaafkan.
Hari-harinya dijalaninya dengan gelisah oleh Kasadha.
Dalam pada itu, kedua orang utusan dari Pajang itu telah berpacu dengan cepat ke Tanah Perdikan Sembojan. Namun sebagaimana perjalanan orang lain yang menempuh jarak yang panjang itu, maka keduanya harus berhenti dan beristirahat di perjalanan. Bukan saja karena keduanya menjadi haus dan lapar, tetapi kuda-kuda merekapun menjadi letih.
Demikianlah, maka ketika mereka sampai di rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan, Gandar yang menerimanya memang menjadi agak terkejut. Dipersilahkannya keduanya duduk di pringgitan.
"Kami prajurit Pajang yang mendapat perintah untuk menemui Kepala Tanah Perdikan Sembojan," berkata salah seorang dari keduanya.
Gandar mengangguk-angguk. Dengan jantung yang gelisah iapun berkata, "Silahkan duduk, Ki Sanak. Aku akan menyampaikannya kepada Kepala Tanah Perdikan Sembojan."
Tetapi Gandar tidak segera menemui Risang. Gandar justru menemui Nyi Wiradana.
"Baiklah," berkata Nyi Wiradana. "Beritahu Risang. Aku akan menemui mereka pula."
Gandar mengangguk-angguk. Ia memang berharap agar Nyi Wiradana bersedia ikut menemui kedua orang utusan dari Pajang itu. Tanpa Nyi Wiradana maka sikap Risang akan dapat menimbulkan salah mengerti.
Risangpun terkejut ketika Gandar memberitahukan kepadanya bahwa ada dua orang prajurit Pajang yang datang untuk menemuinya. Dengan nada berat ia bertanya, "Untuk apa mereka datang kemari?"
"Aku tidak tahu. Mereka belum mengatakan apa-apa. Tetapi sekarang Nyi Wiradana telah menemui mereka sambil menunggumu."
"Ibu menemui mereka?" bertanya Risang.
"Ya. Nyi Wiradana telah menemui mereka."
"Kenapa ibu justru lebih dahulu menemui mereka" Siapakah yang mereka cari" Ibu atau Kepala Tanah Perdikan ini?"
"Kepala Tanah Perdikan Sembojan," jawab Gandar.
"Jika demikian, tidak seharusnya ibu menemuinya jika tidak aku minta. Apalagi justru mendahului aku."
"Sambil menunggumu."
"Biar saja mereka menunggu aku sampai besok sekalipun. Jika mereka tidak sabar, biarlah mereka pergi."
Gandar tidak berkata apa-apa lagi. Jika ia masih menjawab lagi, maka Risang akan menjadi semakin marah dan barangkali ia akan membentak-bentaknya.
Dalam pada itu, kedua orang prajurit yang mendapat tugas untuk menemui Risang itu adalah prajurit-prajurit yang telah pernah mengenal Tanah Perdikan itu. Karena itu, merekapun tahu bahwa Nyi Wiradana, ibu Kepala Tanah Perdikan itu, pernah memangku jabatan Kepala Tanah Perdikan untuk waktu yang terhitung lama. Karena itu, maka ketika Nyi Wiradana itu menemui mereka, maka baik Nyi Wiradana maupun kedua orang perwira prajurit itu tidak merasa canggung lagi.
Keduanya memang berbicara tentang Tanah Perdikan Sembojan dan perkembangannya di saat-saat terakhir. Tetapi kedua orang prajurit itu masih belum menyinggung tugas yang mereka emban.
Baru sejenak kemudian Risang keluar dari ruang dalam dan duduk pula di pringgitan bersama mereka. Wajahnya nampak bersungguh-sungguh. Tidak nampak senyum di bibirnya sebagaimana sering diperlihatkannya.
Kedua orang prajurit itu terkejut ketika tiba-tiba saja Risang itu bertanya, "Tugas apa yang kalian bawa kemari?"
Keduanya saling berpandangan sejenak. Seorang di antara keduanya, meskipun ia seorang prajurit, namun ia masih juga berpijak pada tatanan unggah-ungguh. Karena itu, maka iapun kemudian menjawab, "Kedatangan kami kemari, mengemban tugas untuk pertama, mengunjungi dan menengok keselamatan dan kesejahteraan keluarga Kepala Tanah Perdikan Sembojan beserta rakyatnya. Kedua, untuk menyampaikan salam sejahtera dari para pejabat di Pajang termasuk Ki Tumenggung Jayayuda, Ki Rangga Dipayuda dan Ki Lurah Kasadha."
Risang mengerutkan dahinya. Kata-kata itu terasa menggelitik jantungnya. Menurut pendapatnya, kata-kata itu tidak perlu diucapkan oleh seorang prajurit yang bertugas.
Dalam kegelisahan dan ketidak-sabaran, Risang beringsut setapak. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab. Bahkan seolah-olah tidak mendengarnya.
Prajurit itu memang merasa bahwa sikap Kepala Tanah Perdikan itu agak berbeda dengan sikap yang pernah dikenalnya sebelumnya. Namun prajurit itu masih meneruskan kata-katanya, "Yang ketiga, kami mendapat tugas untuk melihat langsung tatanan kehidupannya Kepala Perdikan ini setelah diguncang oleh arus perdagangan gelap yang sempat mengganggu putaran perdagangan di Tanah Perdikan ini."
"Semuanya sudah aku selesaikan," jawab Risang. "Kalian terlambat datang. Kalian tidak akan menemukan apa-apa lagi disini sekarang dalam hubungannya dengan perdagangan gelap itu."
"Risang," Nyi Wiradanalah yang menyahut, "yang ingin dilihat oleh para prajurit dalam tugasnya itu adalah tata kehidupan sesudah terjadi goncangan-goncangan. Apa sudah tenang kembali atau belum. Bagaimana pengaruhnya. Jika meninggalkan bekas luka, bagaimana keadaannya."
"Semuanya sudah pulih seperti sediakala. Jika kalian pernah melihat Tanah Perdikan ini, maka keadaannya sudah seperti itu lagi. Tidak ada bekas-bekas goncangan yang terjadi karena perdagangan gelap itu."
"Syukurlah," jawab prajurit itu dengan nada yang mulai berubah. Lalu katanya pula, "Yang penting kedatanganku mengemban tugas untuk memanggil Kepala Tanah Perdikan Sembojan, menghadap di Pajang, lewat Ki Tumenggung Jayayuda."
Wajah Risang menegang. Tetapi sebelum ia menjawab, maka Nyi Wiradanalah yang menyahut, "Risang telah pernah datang ke Pajang. Tetapi ia. tidak dapat bertemu dengan Ki Tumenggung, karena Risang mengira bahwa untuk menghadap Ki Tumenggung, ia harus bertemu lebih dahulu dengan Ki Rangga Dipayuda."
"Tidak, Nyi," jawab prajurit itu. "Apabila besok atau kapan saja Kepala Tanah Perdikan ini akan menghadap, ia dapat langsung menemui Ki Tumenggung Jayayuda."
"Risang," berkata ibunya, "kau harus merencanakan, kapan kau akan pergi ke Pajang, jika kau dapat menyebutnya sebelum kedua utusan khusus itu kembali ke Pajang, maka rencana itu dapat disampaikannya kepada Ki Tumenggung Jayayuda."
"Tidak," jawab Risang. "Aku tidak dapat menentukan, kapan aku akan pergi ke Pajang."
"Kau dapat membuat ancar-ancar. Menurut katamu sendiri, keadaan di Tanah Perdikan ini sudah pulih sehingga kau tidak lagi sangat terikat dengan Tanah Perdikan ini."
"Untuk apa sebenarnya aku harus ke Pajang?" bertanya Risang kemudian.
Prajurit itu menjawab, "Pajang ingin mendengar laporanmu tentang perdagangan khusus di Tanah Perdikan ini dan sekitarnya. Selain itu, Kepala Tanah Perdikan ini juga akan diminta laporan tentang tugas yang dibebankan kepadanya, lewat Surat Kekancingan yang pernah diterima oleh Kepala Tanah Perdikan Sembojan."
"Aku ingat Surat Kekancingan itu. Tetapi jangan paksa aku menyebut saat aku datang ke Pajang. Itu tergantung sekali pada keadaanku. Kesibukan di Tanah Perdikan ini, pembicaraan-pembicaraan dengan pihak lain, apalagi dengan orang-orang dari luar Tanah Perdikan ini dan kemudian tentang kesehatanku sendiri yang memang sedikit menurun."
Kedua prajurit itu memang segera mendapat kesan, bahwa sesuatu telah terjadi. Ia ingat pesan Ki Tumenggung sebelum mereka berangkat. Mereka hanya bertugas untuk memanggil. Selanjutnya terserah kepada Kepala Tanah Perdikan itu. Apakah ia akan datang atau tidak, itu ada di luar wewenangnya.
Karena itu, maka prajurit itupun berkata, "Aku memang hanya mendapat perintah untuk memanggil Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Terserah kepada Kepala Tanah Perdikan itu, kapan ia akan pergi ke Pajang. Bahkan seandainya tidak akan pergi sama sekali."
Jantung Risang memang tersentuh. Ada sedikit kesadaran di dalam dirinya, bahwa ia berhadapan dengan prajurit Pajang yang sedang menjalankan perintah, sehingga nilai perintah yang disampaikan kepadanya itu adalah sama dengan perintah langsung dari pejabat yang memerintahkannya.
Meskipun demikian, Risang itu sama sekali tidak merubah sikapnya.
Dalam pada itu, kedua prajurit yang harus mengendalikan perasaannya itu merasa tidak ada gunanya untuk lebih lama lagi berada di Tanah Perdikan. Meskipun mereka harus bermalam di jalan, mereka berniat untuk kembali saja ke Pajang. Mereka sebagai pengemban tugas, tidak dapat membiarkan dirinya mendapat perlakuan yang tidak sewajarnya.
Karena itu, maka seorang di antara para prajurit itu berkata, "Baiklah. Kami sudah menyampaikan perintah itu. Karena itu, maka kami berdua segera akan minta diri."
"Begitu tergesa-gesa," Nyi Wiradana memang agak terkejut, "tetapi silahkan duduk dahulu. Kami sedang mempersiapkan hidangan sekadarnya. Mungkin hanya sekedar air."
Tetapi kedua prajurit itu menolak. Katanya, "Tugas kami hanya menyampaikan perintah agar Kepala Tanah Perdikan Sembojan menghadap Ki Tumenggung Jayayuda."
"Ki Sanak dapat bermalam disini. Ki Sanak dapat melihat sisi kehidupan yang beraneka disini, setelah perdagangan gelap itu dapat dihentikan."
"Itu bukan tugas utama kami. Nyi Wiradana. Kami mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang terbuka bagi kami itu. Tetapi kami sebaiknya segera kembali."
Kedua prajurit itu benar-benar meninggalkan rumah Kepala Tanah Perdikan itu sebelum sempat mendapat hidangan minuman sekalipun.
Nyi Wiradana memang menyesali sikap Risang. Namun Risang sendiri sepeninggal para prajurit itu berkata, "Buat apa ibu menahan mereka" Jika mereka ingin pergi, biarlah mereka pergi. Aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa dengan mereka. Jika mereka benar-benar membawa tugas dari Pajang dan tugas itu sudah diselesaikan, maka buat apa ia menunggu sampai esok?"
"Risang," berkata ibunya yang masih menyesali sikap Risang, "apakah kedua orang itu tahu, bahwa hatimu sedang resah" Apakah Keduanya harus ikut membawa beban kepahitan perasaanmu" Mereka sama sekali tidak mempunyai sangkut paut dengan kekecewaanmu. Keduanya tidak tahu apa-apa selain menjalankan perintah itu. Atau kau sengaja menunjukkan sikapmu agar mereka tahu bahwa kau sedang menderita" Agar mereka tahu bahwa kau sedang mengalami goncangan perasaan?"
Wajah Risang menunduk. Ia sadar, bahwa ibunya mulai marah lagi kepadanya.
Meskipun Risang tidak menjawab, tetapi di dalam hatinya ia benar-benar kecewa.
Dalam pada itu, ibunyapun kemudian berkata, "Kau harus memperhatikan perintah itu. Kau harus datang ke Pajang. Besok atau besok lusa."
"Sudah aku katakan, aku akan datang jika aku sudah siap untuk datang."
Nyi Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak puas mendengar jawaban anaknya. Tetapi ia tidak dapat bersikap lebih keras lagi. Risang yang merasa semakin terpisah dari lingkungannya itu, akan menjadi semakin jauh daripadanya. Anak muda itu akan menjadi lebih berbahaya jika ia kemudian benar-benar merasa sendiri. Setiap orang akan dianggapnya sebagai lawan yang harus dihadapinya.
Karena itu, maka Nyi Wiradana itupun tidak menyahut lagi. Iapun tidak bertanya kemana Risang pergi ketika kemudian Risang meninggalkannya duduk seorang diri.
Hati Nyi Wiradana bagaikan disentuh duri. Perempuan yang menjadi semakin tua itu tidak membayangkan kehadirannya di medan pertempuran dengan sepasang pedang di kedua lambungnya. Bukan pula seorang perempuan yang dengan dada tengadah menghadapi lawan yang betapapun tinggi ilmunya. Dengan bekal ilmu Janget Kinatelon, Nyi Wiradana sanggup menghadapi orang-orang yang namanya dicantumkan dalam tataran yang ditakuti karena ilmunya yang sangat tinggi.
Ketika Nyi Wiradana itu masuk ke dalam biliknya, maka iapun terduduk di bibir pembaringannya. Matanya mulai menjadi basah. Betapapun keras hati perempuan itu, namun Nyi Wiradana itu tidak dapat menahan isaknya lagi.
Pada saat-saat terakhir, Nyi Wiradana tidak hanya sekali menangis. Tetapi perempuan yang perkasa itu seakan-akan telah kehilangan keperkasaannya jika ia berada di dalam bilik tidurnya.
Risang yang hatinya terluka itu memang merasa semakin tersisih. Orang-orang yang sebelumnya sangat dekat, menjadi semakin sulit menyesuaikan dirinya. Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandar masih selalu berusaha untuk melayaninya dengan baik. Tetapi Risang sendirilah yang merasa, bahwa ketiga orang itu selalu menunjuk kesalahan-kesalahannya. Mencelanya dan menghalangi langkah-langkah yang akan diambilnya.
Menurut perasaan Risang, orang-orang di sekitarnya itu tidak berusaha membantunya dalam keadaan yang pedih. Mereka tidak berusaha untuk menghiburnya, memberikan jalan keluar atau langkah-langkah yang dapat mengurangi kepedihan hatinya. Tetapi sebaliknya, mereka semakin menambah luka hatinya itu semakin parah.
Dalam pada itu, para Demang yang ditawannyapun menjadi sangat cemas, mereka berharap agar mereka segera diserahkan kepada para prajurit Pajang yang akan membawa mereka dan mengadili mereka di Pajang.
Di Tanah Perdikan Sembojan semakin lama terasa semakin menakutkan. Kepala Tanah Perdikan Sembojan kadang-kadang tidak mampu mengendalikan dirinya lagi, sehingga tindakan-tindakan yang diambilnya kadang-kadang tidak terduga.
Sementara itu, para prajurit yang mendapat tugas menemui Risang di Tanah Perdikan Sembojan telah menghadap Ki Tumenggung Jayayuda, Mereka nampak sangat letih. Pakaian mereka basah oleh keringat dan bahkan wajah mereka dikotori debu.
"Begitu cepat kalian kembali?" bertanya Ki Jayayuda.
Salah seorang dari kedua orang perwira itupun telah memberikan laporan lengkap tentang tugas yang dibebankan kepadanya.
Ki Tumenggung Jayayuda menarik nafas dalam-dalam. Ia memang merasa beruntung bahwa Ki Rangga Dipayuda mau berterus-terang kepadanya, sehingga Ki Tumenggung dapat mempertimbangkan sikap yang akan diambil terhadap Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Seandainya saja Ki Tumenggung tidak mendengar langsung dari Ki Rangga tentang perasaan Risang yang sedang bergejolak, maka Ki Jayayuda akan dapat mengambil tindakan, karena Risang dapat dinilai tidak menjalankan perintah yang diberikan kepadanya, sehingga kedudukan Risang akan menjadi sama saja dengan para Demang yang telah mengguncang wibawa Pajang di sekitar Tanah Perdikan Sembojan itu.
Namun Ki Tumenggung juga tidak ingin membuat kedua orang perwira itu kecewa, seolah-olah tidak mau mendengar laporan mereka.
Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun berkata, "Baiklah. Terima kasih atas kesediaan kalian mengemban tugas ini. Aku akan membicarakan persoalan Kepala Tanah Perdikan Sembojan ini dengan Ki Rangga Dipayuda."
Kedua orang perwira itupun kemudian telah meninggalkan Ki Tumenggung di dalam bilik khususnya sambil merenungi tingkah laku Kepala Tanah Perdikan itu.
"Mudah-mudahan anak perempuanku tidak membuat ayahnya menjadi pening seperti anak perempuan Ki Rangga Dipayuda. Seharusnya sejak awal gadis itu sudah menunjukkan sikap dan pilihannya sehingga tidak menimbulkan salah paham dan bahkan persoalan yang rumit di kemudian hari. Peristiwa ini harus aku ceriterakan kepada anak gadisku itu. Baginya peristiwa ini merupakan satu pengalaman batin yang sangat berharga," berkata Ki Tumenggung Jayayuda di dalam hati.
Di sore hari, Ki Tumenggung telah memanggil Ki Rangga Dipayuda. Kepada Ki Rangga, Ki Tumenggung menceriterakan apa yang telah dialami oleh kedua orang perwira yang telah pergi ke Tanah Perdikan Sembojan.
"Akibatnya ternyata menjadi sangat jauh," desis Ki Rangga Dipayuda.
"Kita akan menunggu beberapa hari. Mudah-mudahan Risang mau datang ke barak ini. Ki Rangga Dipayuda akan mendapat kesempatan untuk memberikan penjelasan kepadanya."
"Ya Ki Tumenggung," jawab Ki Rangga sambil mengangguk-angguk. Namun wajahnya masih saja nampak muram.
Dari hari ke hari Ki Tumenggung Jayayuda, Ki Rangga Dipayuda dan Kasadha menunggu. Namun Risang tidak juga kunjung datang.
Di Tanah Hardikan, hubungan Risang dengan orang-orang di sekitarnyapun rasa-rasanya menjadi semakin jauh. Bahkan ibunya yang selalu berusaha mendekatinya, dianggapnya juga tidak lagi mengasihinya.
Ketika ibunya, Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandar menasehatkan agar Risang pergi ke Pajang, maka Risang justru menjadi marah.
"Jika ibu ingin menjabat kembali sebagai Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan, silahkan. Silahkan. Aku akan mengundurkan diri," berkata Risang yang menjadi semakin sulit mengekang diri.
"Risang," desis ibunya. Hampir saja ibunya memuntahkan air mata di hadapan anaknya. Tetapi ibunya selalu berusaha bertahan. Baru kemudian jika ia sudah sendiri, maka air mata itu akan runtuh juga.
"Ngger," desis Sambi Wulung, "jangan menangkap sikap Nyi Wiradana demikian jauh."
"Lalu siapa" Siapa yang akan menggantikan aku" Silahkan. Aku sama sekali tidak berkeberatan" Jika kemudian kalian mengusir aku, aku akan pergi. Hidupku tidak tergantung kepada Tanah Perdikan ini."
Nyi Wiradana hanya dapat menundukkan wajahnya, menyembunyikan matanya yang menjadi merah. Dalam keadaan yang demikian, maka Nyi Wiradana sering mencari kesalahan pada dirinya sendiri. Mungkin ia terlalu memanjakan anaknya, sehingga landasan kejiwaan anaknya terlalu goyah.
Jika Risang sudah menyebut tentang kedudukan dan niatnya untuk menyingkir, maka semua orang menjadi diam. Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandar menjadi seperti seekor orong-orong yang terinjak. Diam.
Yang mereka harapkan kemudian adalah ketiga orang-orang tua di Tanah Perdikan itu. Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka.
Di hadapan ketiganya, Risang tidak pernah membantah. Bahkan tidak pernah memberikan penjelasan apapun juga. Ia lebih banyak diam dan menundukkan kepalanya.
Namun setelah ia meninggalkan ketiga orang kakek dan neneknya, maka semuanya itu sudah dilupakannya.
Ketidak-hadiran Risang di Pajang ternyata semakin menggelisahkan Kasadha. Hampir setiap malam ia tidak dapat tidur. Bagaimanapun juga, maka tugas-tugas Kasadha mulai terpengaruh oleh kegelisahannya.
Ki Tumenggung Jayayuda masih harus menahan diri. Ki Rangga Dipayudalah yang memohon, agar Ki Tumenggung menjadi bersabar.
"Ki Rangga. Semula aku memang tidak tergesa-gesa. Aku menganggap bahwa Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu memerlukan waktu untuk melaksanakan tugasnya berdasarkan atas Surat Kekancingan itu Tetapi sekarang, justru setelah dua orang perwira datang memanggilnya dan Kepala Tanah Perdikan itu tidak datang, maka rasa-rasanya, sikap itu merupakan sikap yang tidak sepantasnya dilakukan."
"Aku mengerti, Ki Tumenggung. Tetapi aku mohon tenggang waktu sedikit, jika Risang tidak juga datang, maka dapat dipertimbangkan untuk mengirim utusan yang kedua kalinya, membawa peringatan pertama kepada Kepala Tanah Perdikan Sembojan."
"Ki Rangga memikirkan untuk memberikan peringatan sampai tiga kali?"
"Ya. Bukankah hal itu wajar sebagaimana sering dilakukan terhadap mereka yang tidak mematuhi tugas-tugasnya?"
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku bersedia menunggu beberapa lama lagi. Aku masih berusaha untuk memahami sikap anak muda itu. Tetapi sudah tentu, bahwa goncangan perasaannya jangan menjadi sebab niatnya untuk tidak mengakui lagi kekuasaan Pajang di atas Tanah Perdikan Sembojan itu."
"Aku mengerti, Ki Tumenggung."
"Kadang-kadang kita memang pantas untuk sedikit mengelus rambut anak manja yang cengeng jika ia mulai merengek. Tetapi sudah tentu bahwa hal itu tidak akan berakibat anak itu mencoreng arang di wajah kita."
"Aku mengerti Ki Tumenggung," jawab Ki Rangga.
"Nah, kita akan menunggu lagi. Tetapi tentu ada balasnya."
Ki Rangga Dipayuda tidak menjawab.
Malam itu juga Ki Rangga telah berbicara dengan Kasadha. Keduanya tidak segera dapat mengambil keputusan. Namun dalam kegelisahan yang memuncak, Kasadha minta ijin untuk meninggalkan baraknya untuk satu hari saja.
"Kau akan kemana?" bertanya Ki Rangga.
"Aku akan menemui ibuku. Persoalan ini, lambat atau cepat, ibu akan mengetahuinya juga. Ibu tentu akan terkejut dan barangkali menjadi lebih gelisah dari aku sendiri."
Ki Rangga Dipayuda dapat mengerti, bahwa memang sebaiknya ibu Kasadha itu mendengar dari Kasadha sendiri beserta penjelasannya. Tetapi apakah ia dapat mengijinkan Kasadha minta ijin lagi untuk meninggalkan barak meskipun hanya satu hari"
Tetapi ketika hal itu disampaikan kepada Ki Tumenggung sebagaimana adanya, maka Ki Tumenggung itupun berkata, "Biarlah ia menemui ibunya."
Ki Rangga mengerutkan dahinya. Baru beberapa saat kemudian ia dapat berkata, "Terima kasih, Ki Tumenggung. Terima kasih."
Ki Ranggapun kemudian menyampaikan ijin yang khusus itu kepada Kasadha sambil berkata, "Pergunakanlah waktumu baik-baik."
Di keesokan harinya, Kasadha telah berpacu menuju ke rumah ibunya.
Rumah ibu Kasadha tidak sejauh Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi jauh lebih dekat.
Kedatangan Kasadha telah mengejutkan ibunya. Dengan gagap ibunya mempersilahkan Kasadha masuk dan duduk di ruang dalam.
Ibunya dan bibinya telah mengucapkan selamat datang kepada Kasadha. Mereka juga menanyakan keselamatan lingkungannya di dalam barak. Sebaiknya Kasadhapun juga bertanya tentang keselamatan ibunya dan bibinya.
Dalam pada itu, Kasadha masih berusaha untuk menyembunyikan kegelisahannya. Di hadapan ibu dan bibinya, ia masih mencoba untuk selalu tersenyum dan bahkan tertawa.
Namun akhirnya Kasadha itu tidak dapat bertahan terlalu lama. Demikian bibinya menghidangkan minuman kepadanya, maka Kasadhapun telah berkata, "Ibu dan bibi. Sebenarnyalah aku datang dengan membawa kegelisahan di hati."
Ibunya mengerutkan dahinya. Dengan lembut ia bertanya, "Kegelisahan tentang apa Ngger" Apakah kau melakukan kesalahan di barakmu atau kesalahan kepada atasanmu atau bahkan kepada Pajang."
"Tidak, ibu. Aku telah melakukan tugasku sebaik-baiknya. Aku baru saja menyelesaikan tugas yang berat di Madiun bersama Risang," berkata Kasadha yang kemudian dengan singkat menceriterakan perjalanannya ke Madiun bersama Risang, Sambi Wulung dan Jati Wulung.
"Kau berhutang budi kepadanya, Kasadha. Bukan hanya karena kau telah dibantu menyelamatkan harta-benda itu dan menyimpannya, tetapi seluruhnya yang pernah dilakukannya."
Namun akhirnya, Kasadha itupun berkata, "Tetapi ibu. Pada saat terakhir aku telah membuat Risang menjadi kecewa."
"Kenapa?" Dengan singkat pula Kasadha berkata berterus terang kepada ibunya. Bahkan Kasadha berkata, "Ibu tentu pernah melihat gadis itu. Ia adalah anak Ki Rangga Dipayuda, atasanku langsung di dunia keprajuritan. Ketika kita berada di Tanah Perdikan Sembojan saat Risang diwisuda, gadis itu membawa nampan berisi benda-benda pertanda jabatan bagi Risang sebagai Kepala Tanah Perdikan Sembojan."
Wajah ibunya menjadi tegang. Ibunya segera dapat membayangkan betapa Risang menjadi sangat kecewa.
Tetapi ibu Kasadha itupun telah mendapat jawaban pula atas sikap anaknya yang pada waktu itu menggelisahkannya..
Ternyata Risang dan Kasadha, dua orang kakak beradik tetapi berbeda ibu itu telah jatuh cinta kepada seorang gadis yang sama.
"Kasadha," desis ibunya, "kenapa kau kecewakan kakakmu itu yang justru pernah membantumu dengan ikhlas dan bahkan mempertaruhkan nyawanya?"
"Ibu, aku tidak mempunyai pilihan lain."
"Tentu kau mempunyai pilihan lain. Jika kau tahu bahwa Risang juga mencintai gadis itu, kenapa kau tidak menjauhinya saja?" bertanya ibunya.
"Aku juga mencintai gadis itu dan ternyata gadis itu juga mencintai aku."
"Tetapi kau dapat membayangkan, apa yang terjadi dengan kakakmu."
"Aku memang menjadi bingung. Tetapi aku tidak dapat melepaskan gadis itu. Aku mencintainya dan rasa-rasanya hidup ini tidak akan menggairahkan lagi, jika aku tidak dapat hidup bersama dengan gadis itu."
"Kau terlalu mementingkan dirimu sendiri, Kasadha. Begitukah caramu mengucapkan terima kasih kepada kakakmu."
"Aku memang merasa berhutang budi kepada Risang. Tetapi apakah aku harus menyerahkan seluruh masa depanku kepadanya sebagai ucapan terima kasih" Lebih dari itu, jika Riris memang tidak mencintai Risang, apakah gadis itu harus dipaksa?"
"Aku tidak yakin bahwa gadis itu tidak mencintai Risang. Jika sejak semula kau jauhi gadis itu, maka kalian tidak akan terjerat dalam satu putaran peristiwa yang rumit ini."
"Ibu," berkata Kasadha, "aku datang untuk mohon dukungan ibu atas langkah yang sudah aku ambil, agar aku tidak menjadi bertambah bingung. Tetapi sikap ibu tidak seperti yang aku harapkan."
"Kasadha. Kita adalah orang-orang yang bernalar-budi. Yang mengenal kebaikan hati orang dan yang tahu mengucap terima kasih," sahut ibunya.
"Tetapi tidak dengan menyerahkan Riris. Ibu, selama ini aku sudah berusaha berbuat sebaik-baiknya. Aku tahu bahwa Risang dan ibunya adalah seorang yang berjiwa besar, yang memaafkan kesalahan ibu yang bertimbun. Tetapi bukankah kami yang merasa berhutang budi ini juga sudah tahu diri" Ibu, sebagaimana Risang, aku juga anak Ki Wiradana. Betapapun cara ibu mendapatkannya, tetapi ibu adalah isterinya. Karena itu, sebenarnya akupun berhak untuk mendapatkan warisan dari ayah sebagaimana Risang. Meskipun bukan warisan jabatan, karena Risang memang lebih tua."
"Kasadha," potong ibunya, "kau masih sampai hati mengatakan hal itu" Seberapa tinggi nilai warisan itu dibandingkan dengan kebesaran jiwa Nyi Wiradana?"
"Apakah artinya kebesaran jiwa seseorang jika ia masih mempunyai pamrih atas sikapnya itu" Jika benar Risang dan ibunya berjiwa besar, maka kita tidak pernah merasa berhutang budi kepadanya, karena apa yang mereka berikan itu timbul dari kebesaran jiwa mereka. Tetapi jika kebesaran jiwa itu harus diperhitungkan dengan peristiwa lain, maka alangkah kerdilnya jiwa mereka itu."
"Kasadha," potong ibunya, "bukankah kau yang memperhitungkan nilai kebesaran jiwanya, hutang budi kita, dengan hak yang sebenarnya kau miliki atas warisan ayahmu" Kasadha, kau sama sekali tidak berhak berbicara tentang warisan. Jika saja kau tahu, bagaimana ayahmu itu terbunuh."
"Apapun yang terjadi atas ayahku," potong Kasadha, "tetapi bukankah aku berhak atas hakku" Ibu. Aku mohon ibu merestui hubunganku ini. Bukan justru sebaliknya. Aku sudah dililit oleh kebimbangan, kebingungan dan ketidak-percayaan diri. Apakah ibu masih akan menambah beban lagi bagiku?"
*** JILID 66 "AKU memang kecewa atas sikapmu, Kasadha. Kenapa kau tempuh jalanmu tanpa berbicara lebih dahulu dengan orang tuamu."
"Aku sudah berbicara dengan guru. Gurulah yang datang ke rumah Ki Rangga Dipayuda dan menyampaikan lamaranku."
"Aku juga kecewa atas sikap gurumu. Ia tentu datang mengatas-namakan aku, orang tuamu."
"Ibu," tiba-tiba nada suara Kasadhapun meninggi, "Ibu tidak dapat berkata seperti itu. Ibu tidak berhak merasa kecewa terhadap guru. Jika ibu sempat membayangkan sejenak, apakah aku dapat menjadi orang seandainya aku tidak berada dalam asuhan guru" Ibu tentu dapat membayangkan, kira-kira aku akan menjadi apa jika aku harus tetap berada di bawah asuhan ibu dan orang yang harus aku sebut ayah itu."
"Kasadha," tiba-tiba saja tangan ibunya telah menampar pipi Kasadha.
Kasadha bergeser setapak surut. Sesaat ia justru tidak dapat berkata sepatah katapun. Sementara ibunya berdiri termangu-mangu sambil meremas tangannya. Sorot matanya membayangkan penyesalan yang dalam. Katanya, "O, maafkan aku Kasadha. Kekasaran jiwa ini masih saja tersangkut sampai sekarang dan barangkali sampai kapanpun juga. Tetapi sebenarnyalah aku sulit untuk dapat menerima kenyataan tentang hubunganmu dengan Risang."
"Ibu," suara Kasadha merendah, "apakah di dalam semua hal aku harus mengalah, justru karena kita sudah berhutang budi?"
Dengan suara sendat ibu Kasadha itu berkata, "Ketika Nyi Wiradana menyatakan memaafkan semua kesalahanku, aku merasa bahwa aku akan dapat menikmati sisa hidupku dengan tenang dan damai. Aku mengira bahwa aku akan dapat menikmati sisa hidupku dengan tenteram. Ternyata aku keliru."
"Ibu, selama hidup ini masih kita jalani, maka perubahan akan dapat terjadi. Selama ini aku memang berniat untuk tidak menuntut apa-apa. Aku sudah puas dengan sikap Risang dan ibunya terhadap aku dan ibu. Aku sangat berterima kasih. Tetapi apa yang terjadi kemudian sudah berada di luar batas hutang piutang budi itu. Aku tidak akan menyerahkan Riris kepada siapapun dengan alasan apapun."
Ibunya tidak menjawab lagi. Tetapi hatinya pecah bagaikan belanga yang jatuh di atas batu hitam. Remuk berserakan.
Bibinya mendengarkan pembicaraan itu dengan perasaan yang pahit. Ia berharap bahwa Kasadha akan mau berpaling kepada anak gadisnya yang juga sudah dewasa. Tetapi ternyata Kasadha telah mempunyai pilihan sendiri.
Tetapi justru karena itu, bibi Kasadha itu tidak dapat berkata sepatahpun. Jika ia ikut berbicara apalagi berdiri di pihak ibu Kasadha, maka Kasadha akan dapat menjadi salah paham. Kasadha akan mengira bahwa ia mempunyai pamrih dengan sikapnya itu.
Demikianlah, maka untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Ibu Kasadha itu mengusap matanya yang basah. Ia benar-benar tidak mengira bahwa jalan hidupnya yang mulai terasa tentram itu akan membentur gelombang yang akan dapat menghempaskannya ke batu-batu karang.
"Baiklah ibu," berkata Kasadha kemudian, "terserah tanggapan ibu. Tetapi setidak-tidaknya aku sudah memberitahukan persoalan ini kepada ibu, sehingga ibu tidak akan terkejut jika persoalan ini akan mempunyai ekor yang panjang."
"Aku sekarang bukan aku yang dahulu lagi Kasadha. Aku dahulu akan menjadi gembira mendengarnya, jika kau dapat menyaingi dan bahkan memenangkan satu perebutan dengan Risang. Aku akan gembira mendapat tantangan Iswari di padang perdu, di bawah bulan purnama. Suara serigala yang menggonggong di atas bukit-bukit padas, memberikan gairah yang menyala di dalam hatiku yang haus darah. Sinar bulan akan dapat membakar nafsuku yang membara di atas landasan hitamnya jiwaku," suara ibunya menjadi sendat. "Tetapi aku sekarang adalah perempuan yang berwajah lain. Aku mencoba untuk hidup tenteram di sisa umurku. Aku ingin melupakan hari-hari yang pernah aku jalani dengan tapak-tapak hitam bercampur dengan merahnya darah."
Jantung Kasadha berdesir mendengar kata-kata ibunya. Tetapi hatinya yang mengeras sudah tidak dapat diluluhkannya lagi. Karena itu, maka Kasadha itu masih juga bertanya, "Jadi, maksud ibu?"
"Kasadha. Sekarang aku tidak lagi dapat mengantarmu. Pergilah lewat jalanmu sendiri."
"Baik," jawab Kasadha. "Sejak dahulu, kita memang berjalan di jalan yang berbeda. Aku mohon diri ibu. Untuk selanjutnya ibu tidak usah mencampuri persoalanku. Persoalan yang aku hadapi sekarang adalah persoalan antara dua orang laki-laki. Meskipun demikian aku masih berharap bahwa Risang dapat berpikir bening dan dapat menerima kenyataan bahwa Riris memang tidak memilihnya, sehingga tidak akan timbul persoalan di kemudian hari. Tetapi jika Risang bersikap keras, maka akupun akan mengimbanginya. Aku tahu, bahwa Risang mempunyai ilmu yang tinggi sebagaimana ibunya. Tetapi aku tidak akan pernah gentar menghadapi apa saja untuk mempertahankan hakku sendiri."
"Cukup, cukup Kasadha," ibunya menutup kedua telinganya dengan kedua telapak tangannya.
"Baik. Baik," jawab Kasadha. "Sekarang aku minta diri. Bibi aku pergi."
Kasadha tidak menunggu jawaban ibunya, Iapun kemudian turun ke halaman dan meloncat naik ke punggung kudanya. Sejenak kemudian terdengar derap kaki kudanya menghambur meninggalkan rumah ibunya yang sederhana itu.
Sepeninggal Kasadha, maka meledaklah tangis ibunya, seperti bendungan yang tidak dapat menahan lagi genangan air yang melimpah, sehingga runtuh berserakan.
Adik sepupunya berusaha untuk meredakan tangis itu. Dengan lembut ia berusaha untuk menenangkannya.
"Kasadha sudah dewasa," berkata adik sepupunya itu. "Karena itu, maka ia sudah berhak mengambil keputusan sendiri. Ia akan dapat memilih bagi dirinya sendiri, yang mana yang baik dan yang mana yang tidak baik."
Tetapi ibu Kasadha itu menjawab, "Ketika aku memilih yang buruk daripada yang baik, saat itu aku juga sudah dewasa."
"Ada bedanya," jawab adik sepupunya. "Yang terjadi pada Kasadha adalah persoalan yang sangat pribadi antara Kasadha dan Risang. Sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan penilaian orang banyak atas sikapnya itu. Permasalahannya sangat terbatas. Sebagaimana juga Risang, Kasadha mempunyai sisi kebaikan menurut sikap dan sudut pandang searah."
Ibu Kasadha itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia berkata, "Bagaimanapun juga, kami sudah berhutang budi."
Sambil memeluk ibu Kasadha, maka adik sepupunya itupun berkata, "Sudahlah. Sebaiknya kita berdoa. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu dengan Risang dan Kasadha. Serahkan segala-galanya kepada kuasa Yang Maha Agung."
Ibu Kasadha itu mengangguk meskipun isaknya masih menyesakkan dadanya. Tangannya sibuk mengusap air mata yang masih saja meleleh dari pelupuknya.
Angan-angannya telah menyelusuri masa lampaunya yang hitam. Penyesalan yang tajam telah menghunjam dalam-dalam di lubuk hatinya. Tetapi ibu Kasadha itu sadar sepenuhnya, bahwa yang telah terjadi itu telah terjadi.
Namun, akhirnya ibu Kasadha itu memang hanya dapat bersandar kepada Yang Maha Agung, yang kuasa-Nya tidak terbatas. Tetapi yang bagi ibu Kasadha agak terlambat dikenalnya. Meskipun demikian, pengenalannya yang agak terlambat itu jauh lebih baik daripada mereka yang tidak mengenalnya sama sekali.
Dalam pada itu, Kasadha berpacu seperti dikejar hantu kembali ke Pajang. Tetapi Kasadha tidak langsung pergi ke baraknya. Dengan jantung yang berdegup semakin cepat, Kasadha menuju ke rumah gurunya.
Gurunya terkejut melihat wajah Kasadha yang tegang. Namun gurunya tidak dengan tergesa-gesa bertanya, apa yang telah terjadi dengan muridnya. Tetapi dengan sikap seorang tua, ia mempersilahkan Kasadha naik dan duduk bersamanya di ruang dalam.
Namun sebelum gurunya bertanya, Kasadha itupun berkata, "Guru. Aku baru saja menemui ibu."
"O," gurunya mengangguk-angguk. Ia sudah mulai melihat, apa yang telah terjadi dengan muridnya. Namun gurunya itu masih juga berkata, "Duduklah dahulu. Kau tentu haus. Biarlah aku mengambil minuman buatmu."
"Terima kasih guru. Terima kasih. Biarlah aku mengambilnya sendiri."
Kasadha tidak menunggu. Tetapi iapun segera bangkit untuk mengambil minum ke dapur. Ia tidak memerlukan mangkuk. Tetapi ia langsung minum air yang ada di dalam gendi.
Ketika Kasadha kembali ke ruang dalam, anak muda itu masih mengusap bibirnya yang basah.
"Duduklah dengan tenang Kasadha. Jika kau berceritera dengan perasaan yang bergejolak, maka ceriteramu menjadi kurang jelas. Bahkan mungkin ada yang terlampaui atau tersisipi angan-anganmu sendiri."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Ia memang mencoba mengendapkan perasaannya, agar ceriteranya dapat jelas dimengerti oleh gurunya.
"Guru," berkata Kasadha kemudian, "aku baru saja menemui ibu di rumahnya."
Gurunya mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia bertanya, "Kau berceritera tentang lamaranmu atas anak Ki Rangga Dipayuda?"
"Ya guru," jawab Kasadha.
"Apakah ibumu berkeberatan bahwa aku telah mewakilinya tanpa mendapat ijinnya lebih dahulu?"
"Bukan itu soalnya guru. Tetapi ibu justru memikirkan perasaan Risang."
"Apakah kau berceritera tentang Risang?"
"Ya, guru. Aku bermaksud bahwa ibu tahu segala-galanya, sehingga ibu mendapat gambaran yang utuh tentang aku, Riris dan Risang."
"Bagaimana sikap ibumu?"
"Ibu menyalahkan aku."
"Aku memang sudah mengira."
"Ibu masih saja dibebani oleh perasaan bersalah, sehingga kebaikan hati dan kebesaran jiwa ibu Risang telah menindih segala macam pertimbangannya."
"Kita tidak dapat menyalahkan ibumu, Kasadha."
"Tetapi, bagaimana dengan aku sendiri?" bertanya Kasadha.
"Maksudku, dari sudut pandang ibumu, kita memang tidak dapat menyalahkannya. Aku tahu benar, betapa besar kesalahan ibumu terhadap ibu Risang, sehingga ketika ibu Risang menyatakan memaafkan segala kesalahannya itu, maka beban hutang budi itu tidak akan dapat diletakkannya dari seluruh sisa hidupnya."
"Apakah dengan demikian, aku tidak akan pernah dapat menentukan sikap dan perbuatan bagi aku sendiri" Apakah segala sesuatunya kemudian bergantung kepada Risang dan ibunya" Juga tentang memilih seorang isteri?"
"Bukan maksudku, Kasadha," jawab gurunya dengan tenang. "Aku hanya mengatakan bahwa ibumu benar menurut sudut pandangnya. Tetapi aku juga tidak menyalahkan kau. Kau tidak dapat mengorbankan segala-galanya untuk kebaikan hati Risang dan ibunya. Karena itu, menurut pendapatku, kau tidak bersalah, bahwa kau telah melamar Riris. Apalagi kemudian Ki Rangga Dipayuda mengijinkan dan Riris sendiri ternyata juga menerimamu. Bahkan ia menyatakan bahwa ia memang mencintaimu. Hal ini penting sekali Kasadha, karena banyak perempuan dan laki-laki yang menikah tidak atas dasar cinta."
"Lalu bagaimana hubungannya dengan Risang?"
"Bukankah-kita belum tahu sikap Risang yang sebenarnya" Seandainya Risang menjadi kecewa, itupun wajar pula. Namun agaknya Risang juga harus melihat kenyataan sikap Riris kepadanya. Jika Riris memang tidak mencintainya tetapi mencintaimu, maka Risang tidak berhak lagi menuntut dan menyalahkanmu."
Kasadha mengangguk-angguk. Sementara gurunya berkata, "Aku masih mempunyai kepercayaan, bahwa Risang akan dapat berpikir bening."
"Tetapi nampaknya tidak guru," jawab Kasadha. "Ia tidak mau menghadap ketika Ki Tumenggung Jayayuda memanggilnya. Sikapnyapun menjadi gelap. Bahkan sebagai Kepala Tanah Perdikan Sembojan, ia tidak lagi melakukan tugasnya dengan baik."
"Kasadha," berkata gurunya kemudian, "penilaianmu atas Risang agaknya juga sudah terpengaruh oleh perasaanmu terhadap Risang. Tetapi segala sesuatunya masih harus dibuktikan Risang. Kita berharap bahwa antara kau dan Risang tidak akan timbul persoalan apa-apa."
"Jika akhirnya juga timbul?" bertanya Kasadha.
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Bagi gurunya, Kasadha bukan saja dianggapnya sebagai seorang murid. Tetapi Kasadha telah melekat padanya sejak kanak-kanak, sehingga baginya, Kasadha sejak ia masih disebut Puguh itu, sudah tidak kurang dari anak kandungnya sendiri.
Karena itu, maka ketika Kasadha menyudutkannya dengan pertanyaan itu, gurunyapun menjawab, "Kasadha. Kita tidak mencari persoalan dengan orang lain. Apalagi orang yang telah berbuat baik terhadap kita. Yang telah memaafkan kesalahan-kesalahan kita. Yang telah membantu kita dan bahkan dengan mempertaruhkan nyawanya. Tetapi adalah hak kita untuk menengadahkan wajah kita menyongsong hari depan kita sendiri. Meskipun demikian, sekali lagi aku berpengharapan, mudah-mudahan persoalanmu dengan Risang tidak akan berkepanjangan."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Tetapi pernyataan gurunya itu telah mempertegas sikapnya. Ia tidak akan mundur meninggalkan Riris, karena Riris sendiri sudah mengatakan kepadanya, bahwa ia mencintainya.
Dalam pada itu, maka untuk beberapa saat lamanya, Kasadha masih saja berada di rumah gurunya. Dengan lembut gurunya menasehatinya untuk tenang dan tidak tergesa-gesa mengambil sikap, karena jika ia tergesa-gesa mengambil sikap, maka mungkin sekali ia akan melakukan kesalahan.
"Ya, guru," jawab Kasadha.
"Yang penting kau perhatikan adalah sikap Ki Rangga Dipayuda sendiri. Sikapnya akan dapat memberikan petunjuk, apa yang harus kau lakukan."
02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, guru," jawab Kasadha.
"Nah, selanjutnya jangan bingung. Jangan memusuhi ibumu yang sudah cukup menderita karena ulahnya sendiri. Pengakuannya atas segala macam kesalahan yang telah dilakukannya, merupakan hukuman yang tak terhitung berat baginya. Namun karena ia menerimanya dengan ikhlas, maka pengakuan itu justru membuat hatinya menjadi tenang. Seolah-olah ia sudah berhasil meletakkan sebagian dari beban yang harus dibawanya kemana ia pergi."
Kasadha mengangguk kecil. Ia memang tidak berniat memusuhi ibunya. Tetapi iapun merasa sangat sulit untuk memenuhi keinginannya, agar ia mengalah saja terhadap Risang.
Ketika hati Kasadha kemudian menjadi sedikit tenang, maka gurunya itupun berkata, "Kembalilah ke barakmu. Tugasmu akan dapat membantumu, mengurangi kegelisahanmu."
Kasadha mengangguk sambil menjawab, "Ya, guru."
Menjelang senja, Kasadha memang sudah berada di baraknya. Namun wajahnya masih saja nampak muram. Dahinya yang selalu berkerut. Pandangan matanya yang kosong karena angan-angannya yang menerawang jauh.
Para prajuritnya sengaja tidak mengganggunya. Mereka seakan-akan ikut merasakan kegelisahan lurahnya yang masih muda itu.
Baru ketika senja turun, Ki Lurah Kasadha itu telah menemui Ki Rangga Dipayuda. Kepada Ki Rangga, Kasadha menceriterakan pertemuannya dengan ibunya. Namun Kasadha tidak dapat menceriterakan seluruhnya kepada Ki Rangga, karena memang masih ada beberapa hal yang sengaja disembunyikan.
"Kasadha," berkata Ki Rangga, "bersabarlah. Kau akan dapat meyakinkan ibumu, bahwa kau tidak melakukan kesalahan."
Kasadha mengangguk-angguk. Tetapi justru meyakinkan ibunya itulah yang sangat sulit baginya. Apa yang diketahuinya Ki Rangga Dipayuda tentang ibunya, tentang keluarganya dan tentang hubungannya dengan Risang dan Tanah Perdikan Sembojan, belum lengkap.
"Sudahlah," berkata Ki Rangga. "Beristirahatlah. Kau jangan memikirkan persoalan yang terjadi atas Risang berkepanjangan. Menurut pendapatku, kau tidak bersalah. Aku yakin akan hal itu. Agaknya Risangpun akhirnya akan mengakuinya. Jika satu dua pekan Risang masih dicengkam oleh perasaan kecewa, itu adalah wajar sekali. Tetapi pada suatu saat, ia tidak lagi akan menangisi kegagalannya itu."
"Ya, Ki Rangga," desis Kasadha. "Aku akan beristirahat. Aku akan mencoba untuk tidak terlalu terpengaruh oleh sikap Risang."
Namun ketika Kasadha kemudian meninggalkan Ki Rangga, maka seorang prajurit telah datang menemui Ki Rangga Dipayuda untuk menyampaikan perintah Ki Tumenggung Jayayuda.
"Ki Rangga dipanggil untuk menghadap," berkata prajurit itu.
"Sekarang?" bertanya Ki Rangga.
"Ya, Ki Rangga. Ki Tumenggung sudah menunggu."
"Baiklah. Aku akan segera menghadap."
Beberapa saat kemudian, Ki Rangga telah berada di bilik Ki Tumenggung. Seperti yang diduga, maka Ki Tumenggung telah memanggil Ki Rangga untuk membicarakan lagi persoalan Risang di Tanah Perdikan Sembojan.
"Kita sudah cukup bersabar, Ki Rangga," berkata Ki Tumenggung. "Kita sudah menunggu beberapa hari."
"Ya, Ki Tumenggung," jawab Ki Rangga.
"Aku sudah berniat untuk mengirim surat peringatan kepada Kepala Tanah Perdikan itu, peringatan yang pertama."
Ki Rangga Dipayuda tidak dapat mengulur waktu lagi. Karena itu, maka iapun berkata, "Ya Ki Tumenggung."
"Bagaimana menurut pendapat Ki Rangga?" Ki Rangga memang menjadi ragu-ragu. Sebagai seorang prajurit, ia menganggap bahwa Ki Tumenggung telah cukup sabar menunggu kedatangan Risang. Namun sebagai seorang tua yang langsung atau tidak langsung telah menyebabkan gejolak di hati Risang, maka ia memang merasa berat untuk mengiakannya. Bagaimanapun juga sebenarnya hati Ki Rangga juga dekat dengan Risang yang pernah menjadi prajuritnya. Tetapi dibanding dengan Kasadha, maka Ki Rangga memang memilih Kasadha.
Dalam kebimbangan itu ia mendengar Ki Tumenggung Jayayuda berkata, "Ki Rangga. Betapa kita berusaha untuk mengerti gejolak perasaan Risang, tetapi aku harus tetap memegang wibawa Pajang. Jika wibawa Pajang telah menjadi pudar di Tanah Perdikan Sembojan, maka apa yang akan terjadi di lingkungan sekitarnya yang sudah dijamah oleh prajurit Madiun, meskipun mereka tidak datang atas nama Madiun, tetapi mereka datang justru sebagai alat oleh para pedagang gelap itu."
Ki Rangga Dipayuda mengangguk-angguk. Katanya, "Ya, Ki Tumenggung."
"Nah, bukankah tindakanmu bukan tindakan sewenang-wenang?" bertanya Ki Tumenggung Jayayuda.
"Tidak. Tidak, Ki Tumenggung," jawab Ki Rangga Dipayuda yang seakan-akan menjadi gagap.
"Baiklah," berkata Ki Tumenggung. "Biarlah besok pagi-pagi aku memerintahkan dua orang prajurit untuk menyampaikan surat perintah kepada Kepala Tanah Perdikan Sembojan, agar Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu menghadap aku dan selanjutnya menghadap Kangjeng Adipati atau pejabat yang diperintahkan untuk menerimanya."
Ki Rangga tidak dapat berbuat lain. Sambil mengangguk ia berkata, "Ya, Ki Tumenggung."
"Mudah-mudahan ia menghiraukan surat perintah itu. Sementara itu pada surat perintah itu juga akan tersirat peringatan yang pertama itu, meskipun tidak semata-mata. Aku masih berusaha untuk menjaga perasaan Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang masih muda dan sedang mengalami goncangan perasaan itu."
Ki Rangga Dipayuda mengangguk hormat sambil berdesis, "Terima kasih Ki Tumenggung."
Malam itu, Ki Rangga Dipayuda menjadi gelisah. Besok pagi akan ada utusan pergi ke Tanah Perdikan Semboyan, membawa surat perintah yang juga menyiratkan peringatan yang pertama atau kelalaian Risang terhadap tugasnya.
"Surat itu tentu sudah ada pada Ki Tumenggung sekarang," berkata Ki Rangga di dalam hatinya. Tetapi adalah tidak pantas jika ia menanyakannya, apalagi ingin melihat bunyi surat itu.
Tetapi Ki Rangga Dipayuda tidak memberitahukan kepada Kasadha. Ia tidak ingin anak muda itu menjadi semakin gelisah.
Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh Ki Tumenggung, maka pagi-pagi sekali, dua orang perwira telah berpacu di atas punggung kudanya menuju ke Tanah Perdikan Sembojan. Namun untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka Ki Tumenggung berpesan, agar para perwira itu tidak mengambil tindakan apa-apa terhadap Kepala Tanah Perdikan Sembojan, sebagaimana yang pernah diberikan kepada utusan yang terdahulu.
"Kau berikan saja surat perintah ini kepadanya. Apapun yang dikatakan dan apapun yang diperbuatnya, asal tidak mengancam keselamatanmu, jangan kau tanggapi. Aku yang akan mengambil keputusan nanti."
Ki Rangga Dipayuda yang mengetahui pesan Ki Tumenggung itu hanya dapat mengusap dadanya. Ki Tumenggung sudah terhitung seorang pemimpin yang sangat sabar dan berusaha mengerti apa yang terjadi dengan prajurit-prajuritnya.
Kedatangan kedua orang prajurit itu di Tanah Perdikan Sembojan ternyata tidak membawa hasil sebagaimana diharapkan. Sikap dan kata-kata Risang agak kurang menyenangkan bagi kedua orang prajurit itu. Apalagi karena ibu Risang itu terlambat mengetahui kedatangan tamunya, karena ia sedang berada di kebun. Demikian ia diberitahu bahwa dua orang utusan dari Pajang datang, maka iapun dengan tergesa-gesa telah berbenah diri dan pergi ke pendapa. Namun ternyata utusan itu telah menyampaikan keperluannya kepada Risang dan telah menyerahkan pula surat perintah agar Risang menghadap ke Pajang.
Wajah Risang menjadi tegang setelah ia membaca surat itu. Di dalamnya memang tersirat peringatan bahwa Risang telah tidak mengindahkan perintah yang terdahulu untuk menghadap.
Tetapi sikap Risang ternyata memang tidak menyenangkan tamunya. Betapapun Nyi Wiradana berusaha menyelamatkan suasana, tetapi kedua tamunya itu benar-benar merasa tersinggung karenanya.
Seperti kedua utusan yang terdahulu, maka keduanyapun segera minta diri dan meninggalkan Tanah Perdikan itu dengan kesan yang kurang baik.
Di Tanah Perdikan, Nyi Wiradana menjadi semakin sedih melihat perkembangan keadaan anaknya. Dari hari ke hari, Risang tidak menjadi semakin tenang. Tetapi justru sebaliknya. Wajahnya menjadi semakin muram. Sikapnya semakin sulit di mengerti. Perubahan yang terjadi adalah sikapnya kepada para tawanan. Jika semula ia melimpahkan kemarahannya kepada para tawanan dan bahkan kadang-kadang ia menyakitinya, namun kemudian ia menjadi tidak peduli lagi kepada para tawanan itu. Bahkan beberapa kali ia berkata kepada ibunya, bahwa sebaiknya tawanan-tawanan itu dilepaskan saja.
"Jangan Risang," ibunya selalu mencegahnya. "Seharusnya kau pergi ke Pajang dan memberikan laporan tentang mereka."
"Ibu. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak mau lagi mendengar peringatan ibu seperti itu. Aku sudah memutuskan untuk tidak pergi ke Pajang, apapun akibatnya. Orang-orang Pajang adalah penipu-penipu yang keji. Mereka memanfaatkan tenaga dan kemampuan orang lain, karena mereka tidak mempunyai orang berilmu tinggi. Namun kemudian orang itu mereka khianati."
"Seharusnya kau sudah mempunyai waktu yang cukup untuk mengendapkan perasaanmu itu Risang."
"Perasaan apa" Ini bukan sekedar permainan perasaan. Tetapi Pajang harus menyadari kesalahannya. Memang harus ada orang yang berani berkorban untuk melakukannya. Jika tidak, maka selamanya, Pajang akan melakukan pengkhianatan-pengkhianatan kepada orang-orang yang pernah dimanfaatkan dan diperas tenaga dan kemampuannya tanpa belas kasihan."
"Risang, kenapa kau dapat hanyut dalam arus perasaanmu sampai sekian jauhnya. Menurut pendapatku, Pajang telah cukup sabar menunggu hatimu menjadi tenang."
"Itu adalah salah satu ciri dari orang-orang Pajang. Selain curang, pengecut, dengki, juga bodoh sekali," geram Risang. "Sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan ke Pajang. Alangkah bodohnya juga mereka masih juga menunggu dengan sabar sampai sekarang."
"Risang. Apakah kau tahu akibat dari penolakanmu atas perintah Pajang agar kau datang menghadap?" bertanya ibunya.
"Aku tidak peduli," jawab Risang.
"Apakah kau memang berniat untuk memberontak, Risang" Justru pada saat Pajang bersiap-siap untuk menghadapi Madiun?" bertanya ibunya.
Pertanyaan itu menghentak di hati Risang. Ia memang tidak berpikir untuk memberontak. Yang ia lakukan adalah ungkapan perasaan kecewanya terhadap kenyataan yang dihadapinya.
Ibunya mulai berpengharapan. Tetapi tiba-tiba Risang berkata, "Ibu. Aku memang ingin menunjukkan kepada para pemimpin di Pajang, bahwa orang-orangnya ternyata bukan orang-orang yang pantas dipercaya. Pada suatu saat Pajang akan berterima kasih atas sikapku, karena aku berani menunjukkan bahwa susunan kepemimpinan Pajang memang harus dirombak. Kangjeng Adipati harus dikejutkan dengan satu sikap tertentu, agar terbangun dan bersedia melihat kenyataan yang ada di sekelilingnya."
"Risang," desis ibunya.
"Mungkin aku akan menjadi tumbal karena sikapmu ini. Tetapi perubahan yang mendasar harus dilakukan oleh Kangjeng Adipati terhadap orang-orangnya."
"Kau menjadi semakin jauh dan menyimpang dari persoalanmu yang sebenarnya," berkata ibunya.
"Tidak. Sejak dahulu aku memang berniat untuk merubah susunan dan bahkan tatanan pemerintahan di Pajang."
Tetapi ibunya berkata dengan nada dalam, "Risang. Aku ingin kau bersedia mempertimbangkan sikapmu. Tidak hanya satu dua kali. Tetapi berulang-ulang kali."
"Aku selalu melakukannya, Semakin aku dalami sikapku, aku menjadi semakin yakin, bahwa aku sedang menegakkan kebenaran di atas bumi Pajang."
"Kau merasa bahwa kau sedang menegakkan kebenaran" Apakah kau sadar akan arti kebenaran?" bertanya ibunya.
"Aku bukan kanak-kanak lagi, ibu. Aku dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Aku dapat melihat nilai-nilai yang harus dipertahankan dan yang harus disingkirkan. Akupun melihat batas-batas kebenaran dalam tatanan kehidupan di Pajang."
"Tidak, Risang," jawab ibunya. "Kau melihat duniamu dengan mata yang suram karena gejolak perasaanmu."
Tetapi Risang menggeleng. Katanya, "Tidak. Justru ibu yang menjadi semakin tua tidak lagi merasa ditantang oleh kenyataan buruk yang terjadi di Pajang. Karena itu, sebaiknya ibu tidak usah membuat penilaian atas sikapku yang memandang pada kemungkinan yang bakal terjadi jauh ke depan."
Jantung Nyi Wiradana berdegup semakin cepat. Tetapi Risang tidak mau berbincang lebih lama lagi. Iapun segera bangkit dan melangkah meninggalkan ibunya sambil berkata, "Aku persilahkan ibu beristirahat. Apalagi paman Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandarpun harus sudah beristirahat pula."
Nyi Wiradana tidak sempat menjawab. Risang telah meninggalkannya duduk termangu-mangu seorang diri.
Dalam pada itu, betapapun sabarnya Ki Tumenggung Jayayuda, namun laporan kedua orang perwira yang telah menemui Risang itu telah membuat jantungnya berdetak semakin cepat.
Meskipun demikian, Ki Tumenggung tidak segera mengambil sikap. Surat perintah itu baru menyiratkan peringatan untuk yang pertama kali.
Namun ternyata Ki Tumenggung kemudian mempunyai pikiran lain. Sebagai orang tua, Ki Tumenggung Jayayuda itu ingin berbicara dengan cara lain. Ia ingin melakukan pendekatan langsung dengan Kepala Tanah Perdikan yang masih muda dan yang sedang mengalami goncangan jiwa itu.
Karena itu, maka sebelum Pajang menyampaikan perintah kedua dan apalagi ketiga, Ki Tumenggung itu ingin bertemu dan berbicara dengan Risang sebagai seorang yang lebih tua kepada orang muda.
Ketika hal itu disampaikan kepada Ki Rangga Dipayuda, maka Ki Ranggapun dengan serta-merta menanggapinya dengan ucapan terima kasih.
"Tidak ada sikap yang lebih baik dari sikap Ki Tumenggung," berkata Ki Rangga Dipayuda.
"Tetapi hasilnya masih belum dapat diperhitungkan. Anak-anak muda yang sedang kehilangan pegangan seperti Risang itu, kadang-kadang berbuat sesuatu di luar perhitungan."
"Tetapi aku berpengharapan," berkata Ki Rangga Dipayuda.
"Tetapi jika usahaku ini tidak menghasilkan sesuatu, maka aku tidak akan dapat menghindari tindakan yang seharusnya dilakukan Pajang terhadap mereka yang menentang kuasanya," berkata Ki Tumenggung Jayayuda.
Ki Rangga memang tidak dapat menentangnya. Seandainya bukan Ki Tumenggung Jayayuda, mungkin Pajang sudah mengambil langkah-langkah yang lebih keras terhadap Tanah Perdikan Sembojan.
Dalam pada itu, Ki Ranggapun bertanya, "Lalu apa yang akan Ki Tumenggung lakukan" Apakah Ki Tumenggung akan memanggil Risang sekaligus memberikan peringatan kedua dan jika ia menolak, akan segera diberikan peringatan berikutnya sebagai peringatan terakhir?"
Tetapi jawaban Ki Tumenggung membuat Ki Rangga semakin berpengharapan, "Aku akan mencoba memanggilnya secara pribadi. Aku akan membuat surat pribadi untuk memanggil Risang ke rumah. Tidak di barak ini."
Ki Rangga tertegun sejenak. Ternyata kesabaran Ki Tumenggung Jayayuda melampaui dugaannya. Karena itu, maka Ki Rangga itu tidak dapat berkata lain kecuali berulang kali terima kasih.
"Aku akan menunggu sampai tiga hari," berkata Ki Tumenggung Jayayuda. "Jika dalam tiga hari Risang tidak datang, maka aku akan memanggilnya secara pribadi. Tetapi setelah itu akan tidak akan minta Pajang memberikan peringatan lagi. Jika Risang tidak akan minta Pajang memberikan peringatan lagi. Jika Risang tidak datang, maka Pajang akan segera memberikan peringatan terakhir. Bukan sekedar ancaman lagi. Tetapi Pajang akan segera mengambil langkah-langkah tertentu justru sebelum pecah perang dengan Madiun."
Ki Rangga Dipayuda hanya mengangguk-angguk saja. Ia memang tidak mempunyai gagasan-gagasan lagi untuk mengatasi persoalan yang timbul di Tanah Perdikan Sembojan.
Ternyata batas waktu yang tiga hari sudah terlampaui. Risang memang tidak datang ke Pajang menghadap Ki Tumenggung.
Namun Ki Tumenggung tidak lagi minta surat perintah dari pimpinan pemerintahan di Pajang untuk memanggil Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi Ki Tumenggung telah membuat surat pribadi yang ditujukan kepada Risang. Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
Ki Tumenggung juga tidak memerintahkan dua orang perwira prajurit Pajang untuk pergi ke Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi Ki Tumenggung telah memerintahkan dua orang abdinya untuk pergi ke Tanah Perdikan Sembojan.
"Temui Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi kalian tidak boleh bertindak apapun juga. Kalian hanya aku perintahkan untuk memberikan surat itu saja. Kemudian kalian laporkan kepadaku jawaban dari Kepala Tanah Perdikan itu. Lesan atau dengan surat pula."
Demikianlah, dua orang yang tidak mengenakan pakaian prajurit telah pergi ke Tanah Perdikan Sembojan. Kuda mereka berpacu dengan cepat melintasi bulak-bulak panjang dan pendek. Menyusup padukuhan-padukuhan besar dan kecil.
Namun di sepanjang jalan kedua abdi itu sempat berbincang tentang tugas mereka.
Seorang yang bertubuh sedang, berkumis tipis agak keputih-putihan dan berumur setengah abad berdesis, "Kenapa kita yang harus pergi ke Tanah Perdikan?"
"Apa salahnya?" sahut yang lain, yang tubuhnya lebih tinggi sedikit. Tetapi umurnya lebih muda beberapa tahun dari kawannya.
"Kenapa bukan para prajurit," desis kawannya yang lebih tua.
"Tentu ada sebabnya," jawab kawannya.
"Ya, tentu. Sebabnya itulah yang ingin aku ketahui."
Yang lebih muda itu tersenyum. Katanya, "Jangan marah, Kakang. Aku juga ingin tahu alasan itu."
"Nah, kau tidak usah berpura-pura."
Orang yang lebih muda itu justru tertawa. Katanya, "Kita hanya berdua Kakang. Jika kita bertengkar, tidak ada orang yang akan memisah."
"Baik. Kita akan bertengkar jika kita nanti sampai di sebuah pasar."
Orang yang lebih muda itu tertawa berkepanjangan. Tubuhnya terguncang-guncang di atas punggung kuda yang sedang berlari kencang. Sementara itu, kawannya yang lebih tua itu akhirnya tersenyum pula.
Tetapi ia masih juga berdesah, "Aku sudah terlalu tua untuk menempuh perjalanan yang panjang ini."
"Tidak. Kakang masih cukup tegar. Perjalanan ini akan membuat Kakang muda kembali. Kakang akan sempat mengingat masa-masa Kakang masih sering bertualang sebelum mengabdi Ki Tumenggung Jayayuda."
"Tinggal sebuah kenangan. Tetapi untuk menjalaninya seperti sekarang ini, punggungku mulai merasa pegal."
Kawannya yang lebih muda itu tertawa. Katanya, "Kita akan sering beristirahat. He, bukankah kita mendapat bekal uang cukup untuk singgah di beberapa kedai sepanjang perjalanan.?"
"Tentu tidak akan aku habiskan di perjalanan," jawab yang lebih tua. "Aku ingin membelikan selendang anak gadisku. Selendang lurik hijau pupus sebagaimana yang diimpikannya selama ini."
Yang lebih muda itu mengangguk-angguk. Katanya, "Anakku laki-laki yang sudah meningkat dewasa. Jika ada uang tersisa, aku ingin membeli kamus dan timang perak bakar. Sudah lama ia ingin memilikinya."
"Kau kira berapa harga timang perak itu" Kecuali jika kau tidak makan dan tidak minum di perjalanan."
"Barangkali Kakang mau membelikan aku minum dan makan?" desis orang yang lebih muda.
"Enak saja kau bicara," sahut orang yang lebih tua.
"Kau marah lagi, Kakang. Nanti kau cepat menjadi tua."
"Aku akan marah, tetapi tidak sekarang. Nanti jika kita sudah sampai ke pasar."
Orang yang lebih muda itu tertawa berkepanjangan.
Ternyata pembicaraan mereka dapat mengurangi perasaan lebih yang mulai menggelitik.
Tetapi mereka masih melanjutkan perjalanan mereka sampai beberapa ratus patok lagi sebelum mereka akan beristirahat di sebuah kedai ketika perasaan haus seakan-akan mencekik leher mereka.
Panasnya matahari yang tinggi di puncak langit, debu yang berserak serta tulang-tulang mereka yang tidak terlalu sering diguncang-guncang di atas punggung kuda dalam perjalanan yang panjang, memaksa mereka segera mencari tempat untuk beristirahat, minum dan makan.
"Kita cari kedai yang kecil saja," desis orang yang lebih tua.
"Ah, jangan. Minuman dan makanan yang disediakan tentu tidak enak."
"Tetapi harganya tentu lebih murah," sahut orang yang lebih tua itu.
"Ah, kau masih saja terlalu hemat. Bahkan agak kikir. Maaf Kakang. Aku hanya mengatakan apa adanya."
"Bukankah yang penting perasaan haus dan lapar kita akan hilang?"
"Kenapa kita tidak minum air kendi yang disediakan hampir di setiap regol" Bukankah air itu air bersih yang memang disediakan buat orang-orang yang lewat dan kehausan?"
"Aku masih mempunyai harga diri," jawab orang yang lebih tua itu.
Kawannya yang lebih muda itu tertawa pula.
Namun akhirnya mereka berhenti di sebuah kedai yang tidak terlalu besar, tetapi juga tidak terlalu kecil. Kedai yang juga menyediakan makan dan minum bagi kuda-kuda mereka.
Demikianlah, maka perjalanan itu mereka tempuh dalam waktu yang lebih panjang dari waktu yang diperlukan bagi para prajurit. Mereka bukan saja berhenti untuk minum dan makan, tetapi mereka juga berhenti untuk sekedar beristirahat di bawah pohon yang rindang. Bahkan orang yang lebih tua itu sempat tertidur sejenak di segarnya angin yang semilir.
Ketika keduanya sampai di Tanah Perdikan Sembojan, maka keduanya nampak sangat letih. Keringat membasahi punggung mereka, sehingga seakan-akan mereka baru saja disiram air.
Setelah bertanya dua tiga orang di perjalanan, maka akhirnya keduanya memasuki regol rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
Kedatangan kedua orang itu mengejutkan. Keduanya kecuali memang tidak berpakaian prajurit, keduanya juga tidak menunjukkan penampilan prajurit.
Demikian kedua orang itu dipersilahkan duduk, maka yang pertama-tama menemuinya justru Nyi Wiradana.
"Kami akan menemui Kepala Tanah Perdikan Sembojan Nyi," berkata orang yang lebih tua setelah Nyi Wiradana memperkenalkan diri.
Tetapi Nyi Wiradana juga ingin tahu, siapakah kedua orang tamunya itu.
Keduanyapun segera memperkenalkan diri mereka. Yang tertua di antara mereka dengan bangga berkata, "Kami adalah utusan Ki Tumenggung Jayayuda. Salah seorang Senapati pilihan di Pajang. Namaku Wiraga. Sedangkan ini kawan sekerjaku, sama-sama mengabdi kepada Ki Tumenggung Jayayuda. Namanya Cempaluk."
"O," Nyi Wiradana mengerutkan dahinya.
"Ya, Nyi. Namanya memang Cempaluk. Bukan maksudku menjelek-jelekkan kawanku."
Kawannya yang muda itupun menyahut, "Ya, Nyi. Kawanku benar. Namaku memang Cempaluk. Kadang-kadang aku malu menyebut namaku."
"Ah, nama yang cukup baik, Ki Sanak," desis Nyi Wiradana.
"Nyi," berkata Cempaluk kemudian, "ketika ibuku mengandung, ibuku memang mengidam cempaluk. Bahkan sebelumnya dan sampai sekarang ibu senang cempaluk. Sejak aku dapat memanjat pohon asam, ibuku sering minta aku mencari asam muda itu."
Nyi Wiradana tersenyum. Nama buah asam muda memang cempaluk. Tetapi Nyi Wiradana itu berkata, "Jika sejak sebelum mengandung dan bahkan sampai sekarang ibu Ki Sanak senang cempaluk, itu berarti bahwa ketika ibu Ki Sanak mengandung, bukannya mengidam cempaluk. Tetapi sudah merupakan kegemaran sehari-hari."
"He?" orang itu mengerutkan dahinya.
Namun Wiraga menjelaskan, "Nyi Wiradana benar. Orang yang ngidam adalah orang yang ingin makan sesuatu yang tidak biasa dilakukan sebelumnya dan sesudahnya."
Cempaluk tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-angguk kecil.
Baru kemudian Nyi Wiradana berkata, "Ki Sanak. Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang Ki Sanak maksudkan baru diberitahu akan kedatangan Ki Sanak. Sebentar lagi akan datang."
Sebelum orang itu menjawab, maka Risang telah keluar lewat pintu pringgitan. Dahinya sudah berkerut dan sorot matanya membayangkan kemuraman hatinya.
Kedua orang utusan Ki Tumenggung itu terkejut melihat Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang masih muda, tetapi wajahnya nampak gelap. Jauh berbeda dengan wajah perempuan yang memperkenalkan diri sebagai ibu Kepala Tanah Perdikan itu.
"Kalian siapa Ki Sanak?" bertanya Risang singkat. Keduanya saling berpandangan sejenak. Namun Nyi Wiradanalah yang menyahut, "Keduanya adalah utusan Ki Tumenggung Jayayuda."
Risang memang menjadi heran. Keduanya bukan prajurit sebagaimana utusan-utusannya yang pernah datang sebelumnya.
Risang yang duduk bersama mereka di pringgitan, segera bertanya pula, "Tugas apa yang kalian bawa kemari" Seperti kedua orang perwira yang pernah datang, bahkan sampai dua kali itu?"
Wiraga dan Cempaluk menjadi heran melihat sikap Risang. Tetapi Wiraga kemudian menjawab, "Kami membawa surat Ki Tumenggung Jayayuda."
"Surat apa lagi" Surat perintah" Peringatan dan ancaman" apalagi?"
Wiraga dan Cempaluk menjadi bingung. Dengan nada rendah Wiraga berkata, "Kami tidak tahu isi surat itu. Aku hanya mendapat perintah untuk menyerahkannya kepada Kepala Tanah Perdikan Sembojan."
Betapapun segannya, Risang menerima surat itu dan membukanya. Namun Risang terkejut. Ia tidak melihat selembar surat dari Kangjeng Adipati Pajang atau yang diberi wewenang sebagaimana sebelumnya, tetapi yang dibacanya itu adalah surat pribadi.
Risangpun kemudian memperhatikan kedua orang utusan Ki Tumenggung itu. Keduanya memang bukan prajurit.
"Apa pula maksud Ki Tumenggung ini?" bertanya Risang di dalam hatinya. Apapun yang dilakukan oleh Ki Tumenggung, rasa-rasanya selalu menimbulkan kecurigaannya.
Tetapi ketika ia mulai membaca surat Ki Tumenggung itu, maka terasa ada yang lain tersirat di dalamnya. Nampaknya Ki Tumenggung sebagai seorang tua mengerti benar perasaannya. Karena itu Ki Tumenggung ingin berbicara dengan Risang di luar dinding barak keprajuritan.
Di dalam suratnya Ki Tumenggung minta agar Risang datang tiga hari lagi. Ki Tumenggung akan menerima di rumahnya.
Betapapun kerasnya hati Risang yang seakan-akan telah membatu itu. Tetapi sikap Ki Tumenggung itu baginya adalah sikap yang aneh.
Karena itu, di luar sadarnya, ia memberikan surat itu kepada ibunya yang duduk di sebelahnya.
Nyi Wiradanapun membaca surat itu pula. Namun Nyi Wiradana tidak segera memberikan tanggapan. Ia ingin berbicara dengan Risang tidak di hadapan kedua orang utusan Ki Tumenggung itu.
Karena itu, maka Nyi Wiradanapun kemudian berkata kepada kedua orang tamunya, "Ki Sanak. Kami persilahkan Ki Sanak duduk sebentar. Kami akan membicarakan surat Ki Tumenggung. Bukankah Ki Sanak berdua tidak tergesa-gesa kembali ke Pajang."
Keduanya saling berpandangan sejenak. Kemudian. Wiragalah yang menjawab, "Tidak Nyi. Kami mohon ijin untuk beristirahat disini malam ini. Punggung kami serasa akan patah duduk di atas punggung kuda sehari-hari."
"Silahkan Ki Sanak. Kami tentu tidak akan berkeberatan. Kami akan menyediakan tempat bagi Ki Sanak. Ada bilik di gandok yang dapat Ki Sanak pergunakan."
"Ah, tidak. Kami dapat tidur di serambi," jawab Cempaluk.
Nyi Wiradana tersenyum. Katanya, "Jangan. Kalian adalah tamu kami."
"Tetapi kami tidak lebih dari abdi Katumenggungan."
"Siapapun Ki Sanak berdua, tetapi Ki Sanak tetap tamu-tamu kami yang harus kami hormati."
"Terima kasih, Nyi. Terima kasih," jawab Wiraga dan Cempaluk hampir berbareng.
Nyi Wiradana kemudian mengajak Risang masuk ke ruang dalam. Sementara itu, seorang pembantu di rumah itu telah menghidangkan minuman hangat dan beberapa potong makanan.
Di ruang dalam, Nyi Wiradana dan Risang telah memperbincangkan surat Ki Tumenggung Jayayuda. Surat pribadi seorang tua kepada anak muda yang hatinya sedang terguncang.
"Nampaknya Ki Rangga Dipayuda telah memberitahukan persoalanku kepada Ki Tumenggung," desis Risang.
"Tentu maksudnya baik, Risang. Ki Rangga tentu berharap bahwa Ki Tumenggung dapat mengerti latar belakang dari sikapmu yang menurut ketentuan dan tatanan pemerintahan, telah melanggar paugeran."
"Aku tidak peduli," jawab Risang.
"Bukan itu yang aku maksudkan. Tetapi sebaiknya kau bertemu dengan Ki Tumenggung Jayayuda. Kau akan mendapat petunjuk dan keterangan bukan saja dari seorang Tumenggung, tetapi dari seorang tua yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas."
Risang termangu-mangu sejenak. Sementara ibunya berkata, "Risang. Ki Tumenggung telah mengambil satu langkah khusus untuk mengatasi persoalan Tanah Perdikan ini. Sebenarnya ia dapat bertindak sebagai seorang Senapati prajurit Pajang atas perintah Kangjeng Adipati dengan cara seorang prajurit. Tetapi sebelum hal itu terjadi, maka Ki Tumenggung telah minta kau datang menemuinya secara pribadi. Nah, kau harus dapat menghargainya. Bayangkan, seandainya kau menghadapi persoalan sebagaimana dihadapi oleh Ki Tumenggung itu."
Risang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Apa bedanya surat pribadi Ki Tumenggung dengan surat perintah yang dibawa oleh kedua orang prajurit itu?"
"Tentu ada bedanya. Sikap Ki Tumenggung di barak dan di rumahnyapun tentu akan berbeda," jawab ibunya. "Namun bagaimanapun juga kau harus tetap menghargai usaha Ki Tumenggung yang telah ditempuhnya. Ia tidak saja bersikap sebagai Seorang Senapati. Tetapi ia juga ingin menelusuri persoalanmu ini dari sisi kemanusiaan."
"Tetapi bukankah tujuan akhirnya sama saja?" bertanya Risang.
"Apapun tujuan akhir dari sikap Ki Tumenggung, namun cara yang ditempuh itu pantas dihargai. Jika kemudian dalam pertemuan itu, kau menemukan satu keseimbangan antara keadaanmu dan. kedudukanmu, bukankah jalan itu merupakan jalan yang terbaik bagimu?"
"Jika tidak?" bertanya Risang.
"Itu terserah kepadamu," jawab ibunya.
Risang termangu-mangu sejenak. Berbagai macam pertimbangan sempat menyusup ke hatinya yang sebelumnya terasa beku.
Namun Risang itu tiba-tiba bertanya, "Bagaimana pendapat ibu jika tiba-tiba saja Ki Tumenggung menangkap aku?"
"Menurut pendapatku, Ki Tumenggung Jayayuda bukan seorang yang licik. Jika itu yang ingin dilakukannya ia dapat mengirimkan pasukan yang kuat, sebagian dari pasukan yang dipersiapkan untuk bertempur melawan Madiun, Bahkan pasukan itu akan dapat tetap berada disini dan membayangi kekuasaan Madiun dari sisi ini."
Risang masih merenungi kemungkinan yang dapat terjadi. Namun kemudian iapun berdesis, "Baiklah. Aku akan datang ke rumah Ki Tumenggung Jayayuda. Tetapi jika di rumah itu ada orang lain, aku tidak akan bersedia untuk menemui mereka."
Nyi Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Ajukan syaratmu itu. Kau dapat membalas surat Ki Tumenggung dengan surat pula. Nyatakan kesediaanmu menghadap tiga hari lagi, tetapi tanpa ada orang lain."
Ternyata kali ini Risang mau mendengar kata-kata ibunya.
Demikianlah, maka keduanyapun kemudian telah melangkah ke pendapa. Demikian mereka duduk, maka Nyi Wiradana akan mempersilahkan kedua orang tamunya untuk minum dan makan makanan yang disuguhkan. Tetapi niatnya diurungkan. Minuman yang dihidangkan telah kering, sementara beberapa bungkus hawug-hawug diselipkan di bawah mangkuk minuman.
Nyi Wiradana tersenyum melihat kedua orang tamunya itu menundukkan wajah mereka dalam-dalam.
Namun Risanglah yang kemudian berkata, "Ki Sanak berdua. Malam ini aku akan membuat surat balasan bagi Ki Tumenggung. Pada dasarnya aku bersedia datang ke rumah Ki Tumenggung di Pajang pada waktu yang ditentukan."
Keduanya mengangkat wajah mereka. Sambil mengangguk-angguk Wiraga berkata, "Terima kasih. Meskipun aku tidak tahu isi surat itu, tetapi dengan demikian nampaknya kedatangan kami kemari itu tidak sia-sia."
"Ya. Ternyata kalian lebih berhasil dari para perwira yang datang lebih dahulu," berkata Risang.
Kedua orang itu termangu-mangu. Sementara Nyi Wiradanapun berkata, "Maksudnya, kalian datang pada waktu yang lebih tepat."
Kedua orang itu mengangguk-angguk meskipun mereka tidak tahu pasti, apa yang dikatakan oleh Kepala Tanah Perdikan serta ibunya itu.
Dalam pada itu, maka sejenak kemudian kedua orang tamu itupun telah dipersilahkan untuk beristirahat di gandok. Merekapun dipersilahkan untuk pergi ke pakiwan dan berbenah diri.
Sementara itu, pembantu Nyi Wiradana telah menyediakan makan bagi tamu-tamunya yang kelelahan.
Di malam yang tersisa, kedua utusan Ki Tumenggung itu bermalam di rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Mereka merasa mendapat perlakuan yang baik. Mereka mendapat tempat bermalam yang memadai serta makan yang pantas.
Namun justru karena itu, mereka tidak berangkat pagi-pagi sekali di hari berikutnya. Terasa keduanya agak segan segera kembali ke Pajang.
Tetapi mereka tidak berani untuk menunda sehari lagi, karena mereka takut Ki Tumenggung marah.
Ketika matahari mulai memanjat, keduanya baru berangkat dari rumah Kepala Tanah Perdikan setelah makan pagi. Mereka membawa surat Kepala Tanah Perdikan Sembojan bagi Ki Tumenggung Jayayuda.
Dengan segan mereka melarikan kuda mereka. Pinggang mereka segera merasa pegal-pegal.
Meskipun demikian, mereka berusaha untuk mencapai Pajang meskipun sampai jauh malam.
"Kita tidak usah berhenti untuk makan," berkata Wiraga.
"He, bagaimana mungkin," jawab Cempaluk. "Kita akan kehausan dan kelaparan. Kuda-kuda kitapun akan menjadi sangat letih. Bahkan mungkin pinggang kita akan patah."
"Bukan maksudku untuk tidak beristirahat. Kita akan beristirahat beberapa kali jika kita merasa letih. Demikian pula jika kuda-kuda kita menjadi haus dan lapar. Bukankah kita dapat memberi minum dan makan bagi kuda kita dimana saja?"
"Aku tidak tahu maksudmu," desis Cempaluk.
"Bukankah kita sudah makan sekenyang-kenyangnya di rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan" Jika kita haus, kita akan membeli dawet cendol atau semelak atau rujak degan saja. Kita dapat berhemat. Besok aku dapat membelikan selendang lurik hijau pupus bagi anak gadisku."
"Tetapi aku tidak akan tahan sehari-harian dalam perjalanan tanpa makan," sahut Cempaluk.
Wiraga tidak menjawab lagi. Tetapi ia berusaha melarikan kudanya lebih cepat meskipun punggungnya terasa pegal. Sementara Cempaluk bergeremang meskipun hanya didengarnya sendiri, "Orang ini semakin tua menjadi semakin kikir."
Sementara itu, di tanah Perdikan Sembojan, Risang sempat merenungi kesediaannya datang ke rumah Ki Tumenggung Jayayuda. Sekali-sekali terpercik penyesalannya, bahwa ia bersedia untuk datang. Tetapi sekali-sekali ia berharap, bahwa pertemuannya dengan Ki Tumenggung akan dapat menjadi jembatan bagi keinginannya untuk merombak tatanan kepemimpinan di Pajang.
Tetapi ketika muncul sebuah pertanyaan di dadanya, alasan serta ruas-ruas yang manakah yang harus dirombak dan jika Ki Tumenggung minta pendapatnya tentang susunan yang lebih baik, maka ia sendiri tentu akan kebingungan.
"Aku tidak peduli," setiap kali hatinya telah diliputi lagi oleh kegelapan, "tetapi aku harus mengatakan, betapa para prajurit Pajang menjadi sewenang-wenang. Perubahan dan jalan keluar harus dicari sendiri oleh para Senapati Pajang yang bertanggung jawab."
Dengan dasar itulah, maka Risang berniat berbicara dengan Ki Tumenggung Jayayuda.
Nyi Wiradana yang ingin memberikan pesan-pesan kepada Risang jika ia menghadap, hampir tidak pernah mendapat kesempatan. Risang selalu menghindar, jika tiba-tiba saja ibunya telah duduk di hadapannya sebelum ia sempat pergi, maka ia selalu memotong kata-kata ibunya. Ia selalu mengatakan, bahwa sebagai Kepala Tanah Perdikan Sembojan, ia berwenang untuk menentukan sikapnya.
"Aku sepenuhnya memegang jabatanku. Sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan, aku bukan sekedar bayangan ibu sendiri meskipun ibu pernah memangku jabatan ini untuk waktu yang lama."
Nyi Wiradana memang selalu kehilangan kesempatan. Tetapi sebagai seorang ibu, ia tidak berputus-asa. Ia selalu berusaha untuk berbuat yang menurut pendapatnya yang terbaik bagi anaknya yang sedang kecewa itu.
Pada hari yang ditentukan maka Risangpun telah berkemas untuk pergi ke Pajang.
Nyi Wiradana telah memberitahukan kepada. Sambi Wulung dan Jati Wulung akan kepergian Risang itu.
"Kami tidak mendapat perintah untuk ikut bersama Angger Risang, Nyi," berkata Sambi Wulung.
"Cobalah, bertanyalah kepadanya," minta Nyi Wiradana.
Sebagai orang tua, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung telah menemui Risang. Meskipun agak ragu, Sambi Wulungpun bertanya, "Apakah Angger akan memerintahkan kami berdua mengikuti Angger ke Pajang?"
"Tidak," jawab Risang tegas. "Mungkin pembicaraanku dengan Ki Tumenggung bersifat rahasia."
"Bukankah kami dapat menunggu di luar?" bertanya Sambi Wulung pula.
"Bukankah paman berdua dapat melakukan tugas-tugas lain disini daripada sekedar menunggu aku di luar ruang pembicaraanku dengan Ki Tumenggung" Atau paman tidak percaya bahwa aku dapat menjaga diriku sendiri selama dalam perjalanan?"
"Bukan begitu Ngger. Tetapi mungkin Angger memerlukan kawan berbincang di perjalanan," sahut Sambi Wulung.
"Aku sudah terbiasa pergi ke Pajang sendiri," jawab Risang.
Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak bertanya lebih panjang lagi. Nampaknya Risang memang tidak memerlukan mereka untuk mengiringinya ke Pajang.
Karena itu, maka kepada Nyi Wiradana Sambi Wulung itu berkata, "Nampaknya Angger Risang ingin berangkat sendiri, Nyi."
Nyi Wiradana mengangguk kecil. Namun kemudian ia berdesis, "Biarlah aku yang memintakan maaf atas kekhilafan anakku itu."
"Tidak apa-apa Nyi. Aku mengerti, bahwa jiwa Risang sedang terguncang. Namun justru karena itu, sebenarnya ia memerlukan kawan di perjalanannya. Tetapi jika ia sudah menyatakan untuk pergi sendiri, maka ia tentu benar-benar akan pergi sendiri."
Nyi Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Sementara Sambi Wulung berkata, "Sudahlah Nyi. Jangan terlalu dipikirkan. Bukan berarti bahwa yang tua-tua ini tidak berusaha mencari jalan keluar, tetapi kita sendiri jangan tenggelam ke dalamnya. Justru kita yang berdiri pada satu jarak akan dapat mengikuti persoalannya dengan wawasan yang lebih luas dari Angger Risang sendiri."
Nyi Wiradana mengangguk. Namun nampak betapa hatinya terasa pedih.
Ketika sampai pada saatnya Risang berangkat, maka Risang benar-benar ingin berangkai seorang diri. Di regol halaman, menjelang fajar, Risang memegangi kendali kudanya. Ibunya, Sambi Wulung, Jati Wulung, Gandar dan beberapa orang bebahu berdiri dengan hati yang berdebaran.
Namun sebelum meloncat ke punggung kudanya, Risang telah mencium tangan ibunya sambil berdesis, "Ibu, beri aku restu, agar aku dapat melakukan sebagaimana aku inginkan. Beri restu agar aku dapat tetap teguh pada sikap dan pendirianku. Dengan demikian maka keberadaan Tanah Perdikan Sembojan akan tetap diperhitungkan dalam setiap pemecahan masalah dalam hubungan timbal balik antara Pajang dan Tanah Perdikan ini."
Mata ibunya terasa hangat. Tetapi tidak ada setitikpun air mata yang mengembun di pelupuknya. Dengan suara yang tetap mantap ibunya berkata, "Aku doakan perjalananmu tidak menemui hambatan apapun Risang. Aku dan orang-orang Tanah Perdikan Sembojan berdoa bagi keselamatanmu. Kamipun berdoa agar yang Maha Agung memberikan kecerahan di hatimu serta kejernihan nalar budimu."
Risang mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian mengangguk sambil berkata, "Aku mohon diri ibu. Aku mohon diri semuanya. Semoga semuanya selamat."
Sejenak kemudian kuda Risangpun berderap. Debu yang tipis mengepul di belakang kaki kudanya. Sementara langit menjadi semakin terang.
Demikian Risang meninggalkan regol halaman, maka Nyi Wiradanapun segera pergi ke biliknya. Ia tidak lagi mampu membendung air matanya, sehingga tumpah seperti air di bendungan yang pecah.
Rasa-rasanya segala impiannya bagi masa depannya yang tertumpu pada anak laki-laki satu-satunya itu mulai memudar. Jika Risang tidak segera terlepas dari deraan perasaannya sendiri, maka ia tidak berani membayangkan, apa yang akan terjadi kemudian atas anaknya itu atas Tanah Perdikan Sembojan.
Kadang-kadang memang timbul penyesalannya atas sikap Kasadha yang telah merampas impian Risang. Tetapi Nyi Wiradana tidak dapat menyalahkan anak muda itu.
Dalam pengembaraan angan-angannya, Nyi Wira-dana tiba-tiba saja telah teringat kepada Bibi. Jika saja Bibi masih hidup, maka Bibi tentu akan langsung menyalahkan dan bahkan mungkin bersikap keras terhadap Kasadha. Kebenciannya kepada anak itu, sebagaimana kebenciannya kepada Warsi akan dapat timbul setiap saat. Apalagi jika persoalannya langsung menyinggung kepentingan Risang. Bagi Bibi, Risang adalah juga anaknya sebagaimana ia pernah minta agar ia diijinkan untuk ikut mengaku Risang sebagai anaknya. Mungkin Bibi akan membela Risang sampai ke ujung kemampuannya pada saat-saat yang rumit ini.
Tetapi Nyi Wiradana tidak dapat berbuat seperti Bibi. Ia tidak dapat menyingkirkan Kasadha, bahkan ibunya jika ia ikut campur.
"Tidak," suara Nyi Wiradana parau. "Aku tidak dapat berbuat seperti itu. Bukan saja karena persoalannya akan menyangkut Ki Rangga Dipayuda dan bahkan mungkin Ki Tumenggung Jayayuda, tetapi persoalan Kasadha dan Risang juga tergantung kepada sikap Riris."
Namun seakan-akan terngiang suara Bibi di telinga batinnya, "Warsi dan Kasadha berhutang budi kepadamu, jika kau ungkit kematian Ki Wiradana dan lebih jauh ke belakang, apa yang akan terjadi atasmu jika saja Serigala Betina itu benar-benar gila dan membunuh saat kau mengandung?"
"Tidak. Tidak." Nyi Wiradana itu menutup kedua telinganya dengan telapak tangannya. "Aku sudah memaafkan mereka. Apa artinya sikap itu jika aku masih juga mengungkit-ungkitnya dalam persoalan yang sama sekali tidak berkaitan?"
Nyi Wiradana itupun kemudian menangis sepuas-puasnya. Tidak seorangpun yang berani memasuki biliknya yang tertutup.
Namun akhirnya hatinya sedikit menjadi tenang ketika ia sampai pada puncak kepasrahannya kepada Yang Maha Agung, sehingga tangisnyapun kemudian mereda.
Tetapi Nyi Wiradana tidak dapat menyembunyikan bengkak di matanya yang kemerah-merahan ketika ia keluar dari biliknya dan mencuci mukanya di pakiwan.
Sementara itu, Risang berpacu di atas punggung kudanya. Padukuhan demi padukuhan dilewatinya. Ketika matahari naik, batas Tanah Perdikannya telah semakin jauh di belakang.
Risang tidak menemui hambatan apapun di perjalanan. Namun Risang yang didera oleh kegelisahannya itu masih sempat juga sekali-sekali berhenti untuk memberi kesempatan kudanya beristirahat, minum dan makan.
Dengan demikian maka perjalanan Risang rasa-rasanya menjadi lebih cepat dari perjalanan-perjalanan yang pernah ditempuhnya. Namun kudanyalah yang menjadi letih.
Seperti yang tertera dalam surat pribadi Ki Tumenggung, Risang telah langsung menuju ke rumah Ki Tumenggung Jayayuda. Rumah yang terhitung besar dan bersih. Di sebelah menyebelah pendapa terdapat gandok kiri dan kanan. Di belakang pendapa terdapat pringgitan yang dipisahkan oleh sebuah longkangan yang tidak terlalu lebar.
Ketika seorang abdi Katumenggungan memberitahukan kehadiran seorang tamu, maka Ki Tumenggung sendiri telah turun ke halaman untuk menyongsongnya. Dipersilahkannya Risang naik ke pringgitan dan duduk di helai tikar pandan yang putih bergaris-garis merah dan hijau.
Setelah duduk sejenak, maka Ki Tumenggungpun sempat mempertanyakan keselamatan perjalanan Risang serta keluarga dan rakyat Tanah Perdikan Sembojan.
Namun ketika kemudian Risang mulai menyinggung kepentingan kedatangannya, maka Ki Tumenggungpun berkata, "Kita tidak tergesa-gesa berbicara tentang kepentinganku memanggilmu, Risang. Kau dapat beristirahat. Setelah minum kau dapat membersihkan diri di pakiwan. Aku harap kau akan bermalam disini."
"Malam ini aku akan kembali ke Tanah Perdikan, Ki Tumenggung," jawab Risang.
02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi dengan tenang Ki Tumenggung berkata, "Tidak. Kau tidak akan kembali hari ini. Kau akan bermalam disini. Besok pagi kita akan berbicara tentang banyak hal. Baru setelah tuntas kau akan pulang ke Tanah Perdikan atau kau akan bermalam satu malam lagi."
"Tetapi aku sudah mengatakan kepada ibu dan para bebahu di Tanah Perdikan, bahwa malam ini aku akan kembali, sehingga jika sampai esok siang aku belum datang, maka mereka akan menjadi cemas."
"Tetapi jika kemudian kau datang, maka kecemasan mereka akan segera hilang," jawab Ki Tumenggung.
Sikap dan wibawa Ki Tumenggung ternyata telah memaksa Risang untuk tidak menolak. Malam itu, ia bermalam di rumah Ki Tumenggung Jayayuda.
Dua orang anak muda yang ternyata kemenakan Ki Tumenggung telah menemuinya berbincang setelah kepada Risang disuguhkan makan.
Sebenarnya Risang memang gelisah. Tetapi Ki Tumenggung tidak menemuinya lagi setelah makan bersama. Ketika Risang bertanya kepada anak-anak muda yang menemuinya, mereka mengatakan bahwa Ki Tumenggung sedang pergi.
"Malam-malam begini?" bertanya Risang.
"Paman Tumenggung pergi ke barak. Sudah menjadi kebiasaan paman Tumenggung untuk menengok baraknya jika paman berada di rumah. Rasa-rasanya paman selalu gelisah jika beberapa saat saja paman tidak datang ke barak, kecuali jika paman tugas keluar Pajang."
Risang menjadi semakin gelisah. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Mungkin Ki Tumenggung memberitahukan kedatangannya kepada Ki Rangga Dipayuda atau kepada Kasadha. Tetapi ia sudah mengatakan pada surat jawabannya, bahwa ia tidak mau bertemu dengan siapapun juga selain Ki Tumenggung sendiri.
Atau Ki Tumenggung Jayayuda justru sedang memanggil sekelompok prajurit untuk menangkapnya dan memasukkan ke dalam penjara sebagai seorang pengkhianat.
Namun Risang tidak mengatakan sesuatu. Ditahannya kegelisahannya itu di dalam hatinya.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka salah seorang anak muda itu berkata, "Kau tentu letih sekali setelah menempuh perjalanan panjang. Apalagi malam sudah larut. Silahkan beristirahat. Kamipun akan beristirahat pula."
"Terima kasih," sahut Risang.
Namun Risang tidak dapat segera tidur. Ada berbagai macam perasaan yang selalu mengganggunya. Bahkan ia tidak dapat menyisihkan perasaan curiganya terhadap Ki Tumenggung Jayayuda.
Tetapi karena letih, maka meskipun hanya sebentar Risang sempat juga tertidur di bilik gandok rumah Ki Tumenggung Jayayuda di Pajang itu.
Pagi-pagi benar Risang sudah bangun. Ia langsung pergi ke pakiwan. Sebelum matahari terbit, Risang sudah selesai berbenah diri.
Tetapi Risang tidak segera dapat minta diri. Ia masih belum berbicara apapun dengan Ki Tumenggung Jayayuda. Ia baru berada di rumah Ki Tumenggung itu. Minum, makan dan tidur. Berbicara tentang hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kedatangannya itu dengan orang-orang yang tidak dikenal sebelumnya.
Namun pembicaraan Risang dengan kedua orang anak muda kemenakan Ki Tumenggung itu ternyata telah membuatnya melihat kesempatan yang tidak pernah dirambahnya sebagai anak muda. Keduanya telah bercerita tentang pacuan kuda. Tentang kegemaran mereka menjelajahi hutan dan mendaki lereng pegunungan. Kegemaran mereka menari dan berbagai macam permainan anak-anak muda.
Untuk beberapa saat Risang sempat melihat ke dalam dirinya dan bertanya, "Apa yang pernah aku lakukan" Berkeliling Tanah Perdikan, menghentikan perdagangan gelap, menelusuri harta benda yang bernilai sangat tinggi di Madiun, bertempur dan kemudian kecewa."
Risang ketika duduk sendiri di dalam biliknya di gandok rumah yang besar itu, berdesah. Ia dapat berbangga karena di umurnya yang masih muda, ia sudah memegang jabatan penting untuk mengemudikan satu daerah Tanah Perdikan yang luas. Tetapi justru karena itu, maka hari-harinya di masa muda telah tertelan oleh tugas-tugasnya.
"Apakah para prajurit muda itu selain melakukan tugasnya juga sempat menikmati usia mudanya?" Risang justru bertanya di dalam hati.
Di Tanah Perdikan Sembojan Risang justru jarang berhubungan dengan anak-anak mudanya. Ia selalu berada di antara para bebahu Tanah Perdikan, para bebahu Kademangan-kademangan yang termasuk di lingkungan Tanah Perdikan dan dengan para Bekel padukuhan yang rata-rata umurnya sudah separo baya.
Risang itu terkejut ketika ia mendengar derap seekor kuda di halaman dan bahkan kemudian keluar lewat regol. Di luar sadarnya ia bangkit dan pergi ke pintu biliknya. Namun Risang tidak sempat melihat, siapakah yang melarikan kuda keluar dari halaman rumah Ki Tumenggung itu.
Sementara itu sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung telah memanggilnya untuk makan pagi bersama. Kecuali Ki Tumenggung, maka kedua orang kemenakannya telah ada bersama dengan mereka.
"Jadi siapa yang berderap di atas punggung kuda itu?" bertanya Risang di dalam hatinya.
Tetapi ia tidak mengucapkan pertanyaan itu kepada siapapun juga, karena mereka akan dapat mengartikan pertanyaan Risang itu sebagai satu kecurigaan.
Baru setelah makan, maka Ki Tumenggung telah mengajak Risang duduk di pringgitan. Sedangkan kedua orang kemenakan Ki Tumenggung itu telah diminta untuk tidak duduk bersama mereka.
Bagaimanapun juga tiba-tiba Risang menjadi berdebar-debar. Namun justru karena itu, maka Risang telah menguatkan hatinya, untuk tidak bergeser dari sikapnya.
"Apapun yang dikatakan oleh Ki Tumenggung, aku harus tetap menuntut perubahan yang mendasar dari sikap kepemimpinan para prajurit Pajang yang terlalu mementingkan diri sendiri."
Di pringgitan, sambil menghadapi minuman hangat dan beberapa potong makanan, sehingga suasananya tidak menjadi terlalu tegang, Ki Tumenggung Jayayuda mulai berbicara tentang niatnya memanggil Risang.
"Risang," berkata Ki Tumenggung Jayayuda, "bukankah kau tidak berkeberatan aku panggil namamu" Meskipun kau seorang Kepala Tanah Percikan yang terhitung besar, tetapi kau masih muda. Sedangkan umurku tidak akan terpaut banyak dengan umur orang tuamu."
"Tidak, Ki Tumenggung. Aku tidak berkeberatan."
"Terima kasih," jawab Ki Tumenggung Jayayuda, yang kemudian berkata selanjutnya, "kau tentu sudah mengetahui Risang, untuk apa aku memanggilmu kemari."
"Ya, Ki Tumenggung," jawab Risang.
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah, Ki Tumenggung mulai menyampaikan beberapa pendapat mengenai keadaan Risang. Ki Tumenggung juga berkata terus-terang bahwa ia mendengar persoalan Risang dari Ki Rangga Dipayuda yang terkait dalam persoalan ini.
"Karena itu, Risang," berkata Ki Tumenggung pula, "aku mencoba untuk mengambil cara lain. Aku berharap bahwa aku dapat berbicara denganmu sebagai seorang tua kepada seorang yang jauh lebih muda."
Tetapi Risang yang sudah membawa bekal sikap dari rumahnya memang tidak mudah untuk diluluhkan. Bahkan kemudian ia justru berpendapat, bahwa Ki Rangga Dipayuda dan Kasadha telah memperalat Ki Tumenggung Jayayuda untuk membekukan semua gejolak di dalam jiwanya.
Sementara itu, Ki Tumenggung berkata, "Risang. Sebenarnyalah kau adalah salah satu di antara Kepala Tanah Perdikan yang mendapat banyak kepercayaan dari Pajang. Apa yang telah kau lakukan selama ini untuk Pajang membuktikan kesetiaanmu. Karena itu, kami merasa heran dan bahkan hampir tidak mempercayainya, bahwa kau telah mengambil jarak dari kewajibanmu terhadap Pajang. Namun setelah aku mendapat keterangan dari Ki Rangga Dipayuda, maka aku dapat mengerti gejolak perasaanmu, sehingga aku berniat untuk berbicara denganmu tanpa dibatasi oleh kedudukan kita masing-masing. Tetapi aku ingin berbicara kepadamu sebagai seorang tua kepada seorang yang jauh lebih muda."
Jantung Risang memang tergetar. Tetapi kemudian iapun menjawab, "Ki Tumenggung. Aku tidak ingkar, bahwa ada persoalan yang timbul antara aku dan Kasadha yang menyangkut anak Ki Rangga Dipayuda."
"Nah, Risang. Aku ingin menasehatkan kepadamu, bahwa dunia ini bukan sekedar halaman rumah Ki Rangga Dipayuda. Karena itu, sebaiknya kau segera bangkit dan menyadari keadaanmu dan kedudukanmu, sehingga jelas bagimu, bahwa persoalan yang kau hadapi yang menyangkut hubunganmu dengan anak Ki Rangga berbeda akarnya dengan tugas dan kewajibanmu sebagai Kepala Tanah Perdikan. Karena itu, adalah sayang sekali, jika kedudukanmu menjadi goncang karena persoalan yang bagi seorang laki-laki bukan merupakan persoalan yang seharusnya menentukan jalan hidupnya."
Risang memang mendengarkan kata-kata Ki Tumenggung. Hatinya memang tersentuh. Tetapi kemudian justru prasangkanya tumbuh lagi. Bahkan menurut Risang, sikap Ki Tumenggung itu bukan sikap wajar seorang prajurit, jika seseorang berbuat terlalu baik, maka perbuatannya itu agaknya mengandung pamrih.
Kecurigaan yang sudah dibawanya membuat hati Risang tidak terbuka. Karena itu, maka Risang itupun menjawab, "Ki Tumenggung. Bagiku persoalanku dengan Kasadha dan Rangga Dipayuda memang bukan persoalan yang perlu dibesar-besarkan. Aku justru sudah melupakannya, karena seperti yang Ki Tumenggung katakan, bagi seorang laki-laki persoalan seperti itu tidak akan mempengaruhi sikap dan pandangan hidup seseorang."
Cumbuan Menjelang Ajal 2 Lima Sekawan 05 Petualangan Di Gunung Bencana Rahasia Kampung Garuda 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama