13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 10
"Aku harus dapat berbuat seolah-olah memang demikian, Kakang, karena Jatha Berilah yang dapat menghimpun kekuatan yang akan dapat mendukung rencana itu."
Kiai Timbang Laras terkejut ketika ia mendengar Kiai Warangka tertawa. Katanya, "Apakah kau berkata sebenarnya dan tidak ada yang kau sembunyikan, Timbang Laras."
"Apakah Kakang tidak percaya?"
"Aku percaya Timbang Laras. Tetapi aku pun percaya terhadap cerita yang lain, yang pernah aku dengar sebelumnya."
"Cerita tentang apa, Kakang?"
"Sebenarnya aku ingin mendengar pengakuanmu sendiri, Timbang Laras."
"Pengakuan tentang apa lagi, Kakang?"
"Kau kira aku tidak mempunyai telinga untuk mendengarkan cerita tentang mimpimu di bawah terangnya sinar bulan purnama, Timbang Laras."
Timbang Laras menjadi bertambah tegang. Dipandanginya wajah Kiai Warangka dengan tajamnya. Sementara Kiai Warangka sambil tersenyum berkata selanjutnya, "Berapa umurmu sekarang Timbang Laras?"
Jantung timbang Laras bagaikan meledak. Kepalanya tertunduk lesu. Tubuhnya rasa-rasanya menjadi gemetar.
"Malam-malammu telah dibalut oleh mimpimu yang semerbak. Kau telah menjadi anak muda yang sedang meningkat dewasa. Nalar budimu tidak lagi mampu menembus tirai mimpi-mimpimu itu."
"Kakang. Darimana Kakang mengetahuinya?"
"Perempuan yang diaku sebagai adik Jatha Beri itu telah menjeratmu ke dalam satu petualangan yang menyuruhkanmu ke dalam petaka seperti sekarang ini. Nafsu yang membakar, jantungmu telah mengakibatkan tubuh-tubuh membeku di kuburan sekarang ini. Indahnya cahaya gebyar duniawi telah membuat beberapa orang mengerang kesakitan karena luka-lukanya yang parah. Beberapa orang berilmu tinggi telah membenturkan ilmu dan kemampuannya yang lain terluka sedangkan yang lain lagi terbunuh."
"Kakang." "Timbang Laras," suara Kiai Warangka menjadi semakin berat, "aku sudah melihat uban di sela-sela rambutmu yang hitam legam itu."
"Sudah kanang, sudah, Sekarang sudah saatnya Kakang menghukum aku. Terserah menurut kebijaksanaan Kakang. Cara apapun yang dapat memuaskan Kakang, aku tidak akan mengeluh. Aku siap untuk digantung, ditikam di arah jantung atau dihukum picis sekali pun."
"Aku masih belum berbicara tentang hukuman yang harus kau jalani, Timbang Laras."
"Tetapi kata-kata Kakang itu jauh lebih sakit dari goresan-goresan pisau dari hukuman picis itu."
Namun Kiai Warangka pun menyahut, "Manakah yang lebih pedih dari dikhianati oleh saudara sendiri?"
Kiai Timbang Laras membungkukkan badannya semakin dalam sehingga wajahnya hampir menyentuh tikar pandan tempat ia duduk. Kedua telapak tangannya menutupi wajahnya. Sementara terdengar kata-katanya dengan sendat dan terputus-putus, "Aku memang sudah tidak pantas untuk hidup di kolong langit yang sama dengan Kakang Warangka dan dengan adi Serat Waja."
Kiai Warangka menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang yang ada di ruang itu pun terdiam. Mereka merasakan penyesalan yang sangat dalam yang mencengkam jantung Timbang Laras. Namun demikian yang sudah dikuburkan tidak akan dapat bangkit kembali.
Sebenarnyalah penyesalan yang sangat dalam telah meremas isi dada Kiai Timbang Laras. Namun yang sudah terjadi itu, sudah terjadi. Betapapun ia menyesalinya, waktu tidak akan dapat diputar balik.
Dengan suara yang berat menekan, Kiai Timbang Laras itu pun berkata, "Kakang Warangka. Aku sudah menyerahkan diriku untuk menjalani hukuman apa saja. Kakang, aku mohon Kakang segera menjatuhkannya. Hanya dengan menjalani hukuman itulah, jiwaku akan terbebas dari penyesalan yang tidak berkeputusan."
"Aku tidak menghukummu, Timbang Laras."
"Kakang. Kakang tidak boleh berbuat demikian. Kakang harus menghukum aku. Hukuman mati sekali pun. Baru dengan menjalani hukuman, jiwaku akan merasa terbebaskan dari ikatan dosa yang pernah aku lakukan."
"Tidak ada gunanya aku menghukummu."
"Kakang tidak berhak menyiksa aku seperti itu."
"Kau mendapatkan kebebasanmu, Timbang Laras. Kau boleh pergi ke manapun juga. Kau juga boleh pergi ke perempuan itu."
"Kakang, bunuh aku! Bunuh aku Kakang!" tegas Kiai Timbang Laras.
Tetapi Kiai Warangka menggelengkan kepalanya. Katanya dengan nada datar, "Sudah aku katakan. Aku tidak akan menghukummu. Penyesalanmu adalah hukuman yang paling baik bagimu."
"Ternyata Kakang jauh lebih kejam dari yang aku duga. Bunuh aku Kakang."
"Tidak, kau dengar?"
"Kakang akan menyesal bahwa Kakang tidak membunuhku. Lain kali justru akulah yang akan membunuh Kakang dengan cara apapun juga."
"Kau tidak usah mengancam dan menakut-nakuti aku seperti menakut-nakuti kanak-kanak," jawab Kiai Warangka, "tetapi bahwa kau membebaskanmu dari hukuman itu, karena aku ingin melihat, apakah kau masih dapat memperbaiki tingkah lakumu. Jika aku membunuhmu, mungkin kau merasa seolah-olah kau menjadi bebas dari himpitan penyesalanmu. Tetapi kau tidak mempunyai kesempatan untuk memperbaiki tingkah lakumu. Kau tidak mempunyai kesempatan untuk mohon ampun. Bukan saja dengan kata-kata, tetapi dengan sikap dan perbuatan."
"Kakang, hukuman mati itu akan menebus dosa-dosaku."
"Jangan bodoh. Kematian akan memantapkan dosa-dosa yang telah kau perbuat. Tetapi jika kau masih hidup, kau masih mempunyai kesempatan untuk mohon ampun langsung dari dasar jiwamu yang penuh dengan penyesalan itu. Kalau kau digantung atau dipancung, kau bebas dari penderitaan batinmu oleh penyesalan, tetapi kau akan masuk ke dalam penyesalan abadi, karena kebebasan yang kau dapatkan adalah kebebasan duniawi semata-mata."
Tubuh Kiai Timbang Laras menjadi semakin lemas. Rasa-rasanya ia tidak sanggup lagi duduk di hadapan kakak seperguruannya dan beberapa orang yang memperhatikannya dengan seksama.
Sementara itu Kiai Warangka pun berkata , "Timbang Laras. Aku kira kau mengetahui hal itu, Aku kira kau tahu, bahwa bunuh diri dengan cara apapun tidak akan menolongmu dalam kehidupan abadimu. Bukankah selama ini kau tidak saja memiliki kemampuan olah kanuragan yang tinggi, tetapi kau juga melakukan olah kajiwaan" Jika pada suatu saat hatimu sedang kelam disaput oleh gelapnya ampak-ampak yang tidak tertembus oleh mata batinmu, maka kau harus mendapat kesempatan untuk melihat dengan kebeningan mata batinmu itu."
"Kakang," suara Timbang Laras hampir tak terdengar.
"Karena itu," berkata Kiai Timbang Laras, "besok atau lusa atau kapan saja kau kehendaki, kau dapat pulang ke padepokanmu, Bawa cantrik-cantrikmu. Tetapi beberapa orang tertentu, akan tetap berada di sini untuk sementara. Jika perlu mereka akan aku bawa ke Mataram, karena yang mereka lakukan itu telah menantang kewibawaan Mataram pula."
Kiai Timbang Laras telah bertahan sekuat tenaganya untuk tidak menangis. Meskipun ia mengakui betapa lemahnya ketahanan jiwanya, sehingga ia dapat terperosok ke dalam perbuatan yang hina itu.
Dalam pada itu, Kiai Warangka itu pun berkata, "Sekarang, angkatlah wajahmu. Pandanglah orang-orang yang duduk di sekelilingmu. Mereka menjadi saksi, bahwa kau berniat untuk memperbaiki tingkah lakumu. Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi yang terlibat dalam perang yang baru saja selesai. Tatap mata mereka yang sama sekali tidak menyorotkan dendam, meskipun ada di antara mereka yang terluka."
Kiai Timbang laras sama sekali tidak mengangkat wajahnya. Justru ia menjadi semakin menunduk. Keringatnya semakin banyak terperas dari tubuhnya, sehingga pakaiannya menjadi basah kuyup.
Kiai Warangka melihat betapa hati adik seperguruannya itu tersiksa. Rasa-rasanya ia sudah cukup dalam menusuk jantung Kiai Timbang Laras dengan kata-katanya. Karena itu, maka Kiai Warangka itu pun kemudian berkata, "Sudahlah. Sekarang beristirahatlah. Kau masih mempunyai waktu untuk membuat pertimbangan-pertimbangan bagi masa depanmu."
Kiai Timbang Laras tidak menunggu lebih lama lagi. Semakin cepat ia meninggalkan tempat itu, adalah semakin baik baginya. Hatinya telah penuh dengan luka. Kata-kata saudara seperguruannya itu menusuk-nusuk dengan tajamnya. Sementara itu tatapan mata orang-orang yang duduk di sekitarnya itu pun menghunjam pusat jantungnya.
Seorang cantrik kemudian telah diperintahkan untuk mengantarkan Kiai Timbang Laras ke bilik yang disediakan baginya.
Sepeninggal Kiai Timbang laras, ruangan itu menjadi hening. Kiai Warangka sendiri duduk tepekur dengan kepala tunduk.
Baru kemudian Kiai Warangka itu pun berkata, "Aku persilakan kalian beristirahat."
Sejenak kemudian, ruangan itu telah menjadi sepi. Semua orang telah meninggalkan ruangan itu ke dalam bilik masing-masing.
Namun Kiai Warangka masih duduk di ruang itu. Sendiri. Serat Waja yang menemaninya telah diminta oleh Kiai Warangka untuk pergi ke biliknya pula.
Dalam kesendiriannya, Kiai Warangka menyesali tingkah laku adik seperguruannya. Ternyata ketahanan jiwaninya terlalu rapuh. Sejak semula ia sudah mengetahui, bahwa hati Timbang Laras mudah bergulir dari satu sikap ke sikap yang lain. Tetapi Kiai Warangka tidak mengira bahwa kepribadian saudara seperguruannya itu tidak lebih kokoh dari batang ilalang. Ke mana angin bertiup, maka ke arah itu pula daunnya merunduk.
"Pengalaman ini terlalu mahal," berkata Kiai Warangka di dalam hatinya. Ia tahu ada dua orang prajurit dari pasukan khusus yang gugur. Lima orang pengawal tanah perdikan. Lebih dari dua puluh orang terluka cukup parah. Selain mereka itu, maka beberapa orang cantrik pun menjadi korban. Gugur dan terluka. Di pihak lawan, ternyata jauh lebih banyak lagi yang terbunuh dan yang terluka. Mereka pada umumnya hanya mengandalkan keberanian, kekasaran dan kekuatan badaniah. Namun mereka kurang mempergunakan otak mereka.
Bahkan bukan saja yang terbunuh di dalam dinding padepokan, bahwa ada di antara mereka yang tidak sempat memasuki pintu gerbang padepokan karena mereka telah terbunuh sebelum mereka melekat dinding. Di dada mereka terhunjam anak panah atau lembing.
Namun akhirnya, Kiai Warangka itu pun telah bangkit berdiri. Sambil berdesah ia melangkah meninggalkan ruangan dalam bangunan utama padepokan itu pergi ke biliknya.
Meskipun kemudian Kiai Warangka sudah berbaring, tetapi semalam suntuk ia tidak dapat tidur.
Menjelang fajar, padepokan itu sudah terbangun. Para penghuninya segera menggunakan kewajiban mereka masing-masing.
Ketika fajar menyingsing, maka Kiai Warangka telah teringat kepada Kiai Timbang Laras. Beberapa orang yang terluka bahkan telah terbangun dan melakukan kewajiban mereka. Namun Kiai Timbang Laras masih belum keluar dari biliknya.
Kiai Warangka dan Serat Waja yang juga merasa heran, bahwa Kiai Timbang Laras masih belum bangun, segera menghampiri biliknya.
Perlahan-lahan Kiai Warangka mengetuk pintu bilik itu.
Sekali dua kali. Namun tidak ada jawaban dari dalam.
Wajah Kiai Warangka berkerut. Ada semacam kecemasan membayang di wajahnya. Ketika ia memandang Serat Waja, maka Serat Waja pun berdesis, "Kakang, apa yang terjadi.?"
Kiai Warangka mengetuk pintu itu semakin keras. Tetapi sama sekali masih belum terdengar jawaban dari dalam.
Ternyata Serat Waja tidak tahan lagi. Dengan serta-merta itu pun telah mendorong pintu lereg itu.
Pintu lereg itu tidak diselarak dari dalam. Karena itu, pintu itu pun segera telah terbuka.
Kedua-duanya terkejut demikian pintu bilik itu terbuka.
"Kakang!" Serat Waja meloncat ke pembaringan. Diguncangnya tubuh Kiai Timbang Laras yang terbaring diam. Membeku.
"Kakang!" suara Serat Waja menjadi keras. Namun Kiai Timbang Laras itu benar-benar telah membeku.
Kiai Warangka menarik nafas dalam-dalam. Sementara Serat Waja dengan gugup bertanya, "Kakang. Apa yang terjadi dengan Kakang Timbang Laras?"
"Betapa rapuh hatinya," desis Kiai Warangka "Luka hatinya sangat parah."
"Hanya orang-orang yang lemah jiwanya sajalah yang mengambil keputusan untuk membunuh diri.
"Ia tidak melihat jalan untuk kembali merambah dunia yang jernih."
Wajah Kiai Warangka pun menjadi basah oleh keringat. Dengan nada dalam ia berkata, "Serat Waja, beritahukan para cantrik, terutama cantrik Timbang Laras sendiri. Perbatang dan Pinuji serta beberapa orang lainnya."
Padepokan Kiai Warangka menjadi gempar. Orang-orang di padepokan itu terkejut, ketika mereka mendengar bahwa Kiai Timbang Laras membunuh diri.
Banyak di antara mereka menjadi heran. Justru Kiai Warangka sudah menyatakan, bahwa Kiai Timbang Laras tidak akan dihukum. Kiai Timbang Laras boleh meninggalkan padepokan itu kapan saja di kehendaki.
Namun seorang di antara para cantrik itu berkata, "Justru karena Kiai Warangka menyatakan bahwa Kiai Timbang Laras tidak dihukum itulah, maka Kiai Timbang Laras telah membunuh diri. Seandainya Kiai Warangka menyatakan bahwa Kiai Timbang Laras dihukum gantung, maka Kiai Timbang Laras tidak akan membunuh dirinya."
Seorang kawannya mengangguk-angguk. Katanya, "Kiai Timbang Laras sudah merasa dibebani kesalahan yang tidak terhitung besarnya."
Hari itu, maka seisi padepokan Kiai Warangka menjadi sibuk. Seandainya Kiai Timbang Laras kemarin terbunuh, kematiannya tidak akan menyerap perhatian sedemikian besarnya.
Hari itu, Kiai Warangka menjadi lebih banyak duduk diam sambil merenung. Kiai Warangka memang menyalahkan dirinya, bahwa sikap-nyalah yang membuat Kiai Timbang Laras tidak mampu lagi bertahan untuk hidup lebih lama lagi.
Dengan upacara seperlunya, maka tubuh Kiai Timbang Laras pun telah dikuburkan. Perlakukan atas dirinya memang agak khusus. Ia tidak dikubur bersama-sama dengan orang-orang yang telah menyerang padepokan itu. Tetapi Kiai Timbang Laras dikuburkan di kuburan yang satu lagi. Kuburan yang berisi para prajurit, pengawal tanah perdikan serta para cantrik dan putut yang telah gugur.
Malam itu juga Kiai Warangka telah memanggil para putut dan cantrik yang paling berpengaruh di padepokan itu. Kepada mereka Kiai Warangka memberitahukan, betapa pahitnya akhir dari kehidupan Kiai Timbang Laras.
Ia tidak dapat mengendalikan pribadinya. Seandainya ia tidak pernah melakukan kesalahan sebagaimana telah terjadi, maka jalan hidupnya tentu akan sangat jauh berbeda.
"Tetapi yang terjadi itu sudah terlanjur terjadi," berkata Kiai Warangka, "namun bagi mereka yang belum terjerumus ke dalam perilaku yang tidak sewajarnya, peristiwa ini akan dapat menjadi cermin yang paling baik."
Para putut dan cantrik yang memimpin padepokan itu mengangguk-angguk Sementara itu, Kiai Warangka berkata selanjutnya, "Karena itu, sebelum melangkah, kalian harus berpikir dengan sungguh-sungguh."
Mereka yang mendengarkan pesan Kiai Warangka itu mengangguk-angguk. Para putut dan cantrik itu pun telah mendengar apa yang sebenarnya terjadi dengan Kiai Timbang Laras. Mereka sudah mendengar bahwa Kiai Timbang Laras sudah terjerat oleh seorang perempuan yang diaku sebagai adiknya Jatha Beri. Kelemahan jiwaninyalah yang telah menuntun Kiai Timbang Laras menuju kehancuran.
"Ingatlah pesan ini sebaik-baiknya!" berkata Kiai Warangka kemudian.
Sejenak kemudian, maka para pemimpin padepokan itu telah meninggalkan ruang pertemuan, yang tinggal kemudian adalah para pemimpin prajurit dan pasukan khusus. Pemimpin pasukan pengawal tanah perdikan dan orang-orang berilmu tinggi yang ada di padepokan itu.
Dengan ikhlas Kiai Warangka mengucapkan terima kasih kepada mereka, serta mohon maaf bahwa perang yang terjadi di padepokan itu telah menelan korban.
"Pengorbanan para prajurit, para pengawal serta para cantrik bukan pengorbanan yang sia-sia. Tetapi pengorbanan kalian akan sangat berarti bagi mereka yang menegakkan kebenaran."
Namun demikian, Kiai Warangka masih minta para prajurit dan pengawal untuk tinggal beberapa hari lagi di padepokan itu sambil menunggu mereka yang terluka menjadi semakin baik.
Glagah Putih sendiri memang segera sembuh. Goresan kapak itu tidak terlalu dalam Sementara itu, Glagah putih telah dibekali dengan obat yang sangat baik.
Sementara itu, Kiai Jayaraga pun sudah menjadi semakin baik pula. Tetapi nampaknya Kiai Jayaraga memerlukan waktu yang lebih panjang dari Glagah Putih.
Kepada Glagah Putih Ki Jayaraga berkata, "Aku dapat tinggal di sini. Jika kau sudah baik, demikian pula para pengawal dan prajurit yang terluka, maka kalian dapat segera meninggalkan padepokan ini. Kelak, jika aku sudah baik, aku akan pulang sendiri."
Glagah Putih hanya dapat mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah, Guru."
"Sampaikan kepada Kiai Lurah Agung Sedayu serta Ki Gede Menoreh, bahwa untuk sepekan dua pekan aku masih akan tinggal di padepokan."
"Baik, Guru," jawab Glagah Putih.
Demikianlah dari hari ke hari keadaan mereka yang terluka itu pun menjadi semakin baik. Ketika pemimpin prajurit dan pengawal merasa sudah tiba waktunya, maka mereka pun telah minta diri.
Ki Warangka berulang kali mengucapkan terima kasih kepada mereka. Kepada para pengawal tanah perdikan dan kepada para prajurit dari pasukan khusus yang telah menyelamatkan padepokan itu dari ketamakan saudara seperguruannya. Kerapuhan hati Kiai Timbang laras telah menimbulkan malapetaka yang besar bagi dua padepokan yang dipimpin oleh dua orang kakak beradik itu. Namun bersamaan dengan itu, beberapa gerombolan dari orang-orang yang menempuh jalan sesat telah hancur pula.
Namun seperti yang dikatakan, Ki Jayaraga masih akan tinggal di padepokan itu untuk beberapa hari. Ki Jayaraga masih ingin meningkatkan kesehatannya yang sudah hampir pulih kembali.
Sementara itu, Serat Waja dan Ki Resa masih juga berada di padepokan itu. Sedangkan Perbatang dan Pinuji telah bersiap untuk kembali ke padepokan Kiai Timbang Laras.
"Padepokan itu harus tetap berdiri," berkata Kiai Warangka, "Jika tidak berkeberatan, biarlah Serat Waja memimpin padepokan itu. Ilmunya sejalan dengan ilmu Timbang Laras karena mereka adalah saudara seperguruan."
Kepada Glagah Putih, Ki Jayaraga berkata, "Aku dapat tinggal di sini. Jika kau sudah baik, demikian pula para pengawal dan prajurit yang terluka, maka kalian dapat segera meninggalkan padepokan ini."
Perbatang dan Pinuji ternyata mendukung sekali gagasan itu. Demikian pula para cantrik yang masih berada di padepokan Kiai Warangka. Baik yang telah datang ke padepokan itu sebelumnya, maupun yang datang kemudian bersama Kiai Timbang Laras. Namun mereka telah mendapat penjelasan apa yang sebenarnya terjadi.
Mula-mula Serat Waja berkeberatan untuk melakukan tugas yang sangat berat itu. Namun akhirnya ia tidak dapat menolak. Ia menjadi tidak sampai hati melihat para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras itu seperti sapu lidi yang kehilangan ikatannya. Tentu akan berserakan cerai berai.
Dengan demikian, maka beberapa saat kemudian, padepokan Kiai Warangka itu menjadi sepi. Ketika para prajurit dari pasukan khusus meninggalkan padepokan itu bersama-sama dengan para pengawal, maka mereka telah membawa orang-orang yang dianggap masih berbahaya. Orang-orang dari sisa-sisa gerombolan yang telah dihancurkan. Mereka akan dibawa ke barak pasukan khusus untuk selanjutnya dibawa ke Mataram. Mereka bukan saja orang-orang yang telah merampok sebuah padepokan, tetapi tujuan jauh mereka adalah merongrong kewibawaan Mataram.
Sementara itu, para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras telah kembali ke padepokannya yang kemudian akan dipimpin oleh Ki Serat Waja. Saudara muda Kiai Timbang Laras.
Ketika Glagah Putih kemudian berada di tanah perdikan kembali, maka Agung Sedayu telah sembuh benar. Setiap hari ia sudah berada di barak pasukan khususnya.
Kedatangan para pengawal dari padepokan Kiai Warangka telah mengguncang ketenangan tanah perdikan itu lagi. Beberapa orang perempuan telah menitikkan air matanya karena mereka kehilangan sanak kadang mereka di padepokan Kiai Warangka.
Tetapi Tanah Perdikan Menoreh tidak akan pernah kehilangan kekuatannya. Setiap kali ada yang tumbang, maka beberapa puncak terubus telah tumbuh dan menjadi besar pula.
Para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh, tidak jemu-jemunya mempersiapkan kekuatan yang akan dapat menjadi perisai bagi tanah perdikan itu. Ki Gede dan para pemimpin tanah perdikan itu masih memperhitungkan, bahwa gejolak masih akan datang beruntun.
Namun untuk sementara keadaan tanah Perdikan menjadi tenang. Demikian pula Mataram. Sejak perang dengan Pati berakhir, agaknya para pemimpin Mataram dapat beristirahat. Mereka mendapat kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan serta tata kehidupan rakyatnya.
Demikian pula Tanah perdikan Menoreh. Prastawa dan para pengawal sempat meletakkan senjata mereka. Dengan tenang mereka dapat turun kembali ke sawah dan ladang. Meskipun mereka masih tetap waspada dan setiap saat bersiap menghadapi segala kemungkinan yang mengganggu ketenangan tanah perdikan mereka.
Di malam hari, di banjar setiap padukuhan, beberapa orang pengawal masih tetap melakukan tugas mereka, sedangkan di gardu-gardu, anak-anak muda yang bertugas meronda, tidak pernah ingkar akan kewajiban mereka. Bahkan gardu-gardu peronda juga menjadi tempat anak-anak muda yang segan tidur di ujung malam, duduk-duduk berbincang dan bergurau sesama mereka
Dalam kesempatan yang demikian anak-anak muda yang pernah ikut dalam pasukan pengawal tanah perdikan turun ke medan perang telah menceritakan pengalaman mereka. Ada yang menceritakan pengalaman mereka dalam pertempuran di Prambanan, ada yang bercerita tentang pasukan pengawal yang ikut menyerang ke Pati dan ada di antara mereka yang menceritakan betapa ganasnya orang-orang dalam gerombolan yang menyerang padepokan Kiai Warangka. Bahkan ada di antara mereka yang sempat ikut dalam ketiga peristiwa itu.
"Sekarang kami sempat beristirahat," berkata salah seorang dari mereka, "kami sempat ikut turun ke sawah, meskipun pada hari-hari tertentu kami harus berada di banjar sebagai anggota pasukan pengawal tanah perdikan serta mengikuti latihan-latihan."
Kawan-kawannya yang belum sempat mendapat pengalaman turun ke medan yang sebenarnya, mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya mereka tidak ingin ketinggalan. Cerita yang mengandung nilai-nilai perjuangan dan kepahlawanan itu sangat menarik hati mereka sehingga kadang-kadang ada di antara mereka yang sempat berangan-angan untuk menjadi seorang pahlawan.
Dalam pada itu, selagi keadaan tanah perdikan itu tenang, maka Rara Wulan telah minta lebih banyak waktu untuk meningkatkan ilmunya. Atas izin Sekar Mirah, maka Rara Wulan telah melakukan latihan-latihan khusus dengan Glagah Putih. Meskipun sumber ilmu mereka berbeda, tetapi atas petunjuk dari Agung Sedayu, maka Glagah Putih mampu menyesuaikan dirinya, sehingga dengan demikian, tidak terjadi guncangan-guncangan ilmu di dalam diri Rara Wulan.
Dengan bekerja keras, maka dari hari ke hari kemampuan Rara Wulan pun telah meningkat semakin tinggi.
Apapun yang harus di jalani, telah dijalaninya. Sehingga karena kemauannya yang sangat besar, maka kemampuan Rara Wulan pun dengan cepat telah meningkat.
Sekar Mirah sendiri sama sekali tidak berhenti. Pada setiap kesempatan bersama Agung Sedayu, Sekar Mirah pun masih juga mengembangkan ilmunya. Meskipun senjata utama Sekar Mirah adalah sebuah tongkat, namun karena ilmu Agung Sedayu yang tinggi, maka Agung Sedayu mampu memberikan jalan untuk mengembangkan ilmu Sekar Mirah.
Namun dalam pada itu, ketika Glagah Putih sedang sibuk menimba air di pagi-pagi menjelang fajar, ia melihat seorang remaja yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan melintas dengan kepis di tangannya.
Tangan Glagah Putih tiba-tiba saja berhenti. Dengan ragu ia memanggil, "Sukra."
Remaja yang sudah memasuki dunia anak muda itu berhenti. Selangkah ia mendekati Glagah Putih sambil bertanya "Kenapa kau memandang aku seperti itu?"
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia justru melepaskan sengot timbanya. Sambil melangkah mendekati Sukra ia menepuk bahunya. Katanya, "Selama ini aku kurang memperhatikan kau, Sukra. Ternyata kau sudah memasuki dunia anak-anak muda."
"Aku tahu, kau selalu sibuk. Perhatianmu selalu tertuju ke luar lingkungan kecil ini."
"Ya," Glagah Putih mengangguk-angguk.
"Karena itu, maka kau terkejut melihat aku sekarang,"
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Kau masih turun kesungai."
"Ya. Aku baru saja naik."
"Kau tidak mengajak aku lagi?"
Sukra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku sudah harus menyesuaikan diriku. Tentu aku tidak lagi dapat menggelitikmu untuk turun ke sungai, perhatianmu tertuju kepada persoalan-persoalan yang jauh lebih besar dari sekedar pliridan."
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Sikapmu pun sudah jauh berubah. Kau tidak lagi merengek dan marah jika aku menolak pergi ke sungai."
"Tentu tidak selamanya seseorang bersikap kekanak-kanakan. Dari hari ke hari aku tentu tumbuh sebagaimana kau pada umur seperti aku sekarang ini."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Sukra berkata, "Bedanya, kau tumbuh di tanah yang subur, dan aku tumbuh di tanah yang tandus. Karena itu, kau memiliki sesuatu yang dapat kau banggakan, aku tidak. Tidak sama sekali."
"Maksudmu?" bertanya Glagah putih.
"Kau mempunyai ilmu yang tinggi, aku sama sekali tidak memiliki apapun juga."
"Kau menilai seseorang dari tingkat ilmu kanuragannya saja?"
Sukra tidak segera menjawab. Sementara itu Glagah Putih berkata selanjutnya "'Ilmu kanuragan hanyalah salah satu dari beberapa sisi penilaian atas sebuah kepribadian."
"Tetapi sisi yang menentukan," jawab Sukra.
"Tidak. Betapapun tinggi ilmu kanuragan seseorang, tetapi bila ilmunya itu justru dipergunakan untuk melakukan kejahatan, maka ilmu itu tidak mendukung penilaian atas orang itu."
Sukra mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian katanya, "Aku akan membersihkan ikanku ini."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia masih juga bertanya, "Sukra, apakah anak-anak remaja sebayamu masih ada juga yang turun ke sungai untuk membuka pliridan sebagaimana kau lakukan?"
"Tinggal dua orang. Aku dan Nriman."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Sukra berkata selanjutnya, "Yang lain sudah dilakukan oleh adik-adiknya, sepupunya atau kemenakannya."
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Baiklah. Bersihkan ikan itu. aku akan meneruskan kerjaku. Jambangan itu belum penuh."
Sejenak kemudian, maka Sukra pun telah meninggalkan Glagah Putih yang berdiri termangu-mangu sejenak. Namun Glagah Putih itu pun kemudian telah kembali menggapai senggot timba untuk mengisi jambangan di pakiwan.
"Sebentar lagi, Sukra itu akan menginjak masa dewasanya," berkata Glagah Putih di dalam hatinya, "Alangkah cepatnya. Jika demikian, bagaimana dengan aku?"
Glagah putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, tangannya sibuk dengan senggot timbanya.
Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putih itu pun telah selesai mandi dan berbenah diri, sementara di langit mulai membayang cahaya fajar.
Demikianlah, seisi rumah itu pun telah terbangun pula. Sukra sudah menyimpan ikan hasil tangkapannya di dapur dan telah digarami pula. Ia masih mempunyai tepung beras yang akan dipergunakannya untuk menggoreng ikannya yang malam itu agak lebih banyak dari yang didapat malam sebelumnya.
Ketika kemudian matahari terbit, Sekar Mirah telah menyiapkan minuman hangat dan makan pagi bagi Agung Sedayu yang akan pergi ke baraknya.
Seperti biasa Sekar Mirah selalu mengantar Agung Sedayu yang berangkat ke barak sampai ke halaman. Jika Agung Sedayu sudah meloncat ke punggung kudanya di regol, maka Sekar Mirah pun baru kembali naik ke pendapa rumahnya.
Ketika kemudian matahari naik semakin tinggi, maka Glagah Putih pun telah pergi pula ke banjar untuk bertemu dengan para pemimpin pengawal yang akan menyelenggarakan pertemuan yang langsung dipimpin oleh Prastawa sendiri. Prastawa tidak ingin para pengawal justru tertidur ketika keadaan tanah perdikan itu menjadi tenang. Bagaimanapun juga para pengawal harus tetap waspada dan bahkan kesempatan untuk meningkatkan keterampilan dalam olah kanuragan. Baik secara pribadi maupun keterampilan dalam gelar perang.
Dengan demikian, maka yang tinggal di rumah adalah Sekar Mirah dan Rara Wulan saja, sementara Sukra berada di kebun belakang membelah kayu bakar.
Dalam pada itu, ketika Sekar Mirah baru membersihkan ruang dalam rumahnya, sementara Rara Wulan berada di dapur, terdengar pintu depan telah diketuk orang.
Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun melangkah membuka pintu pringgitan.
Sekar Mirah agak terkejut. Dua orang laki-laki telah berdiri di pendapa. Demikian mereka melihat Sekar Mirah, maka keduanya pun telah mengangguk hormat.
"Maaf, Nyi. Kami datang untuk bertemu dengan Nyi Lurah Agung Sedayu."
Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Ia belum pernah mengenal kedua orang itu. Namun demikian Sekar Mirah itu pun telah mempersilakan mereka untuk duduk.
Demikian keduanya duduk, maka Sekar Mirah telah pergi ke dapur untuk memanggil Rara Wulan.
"Ada apa Mbakayu?" bertanya Rara Wulan.
"Ada tamu. Dua orang laki-laki yang belum aku kenal. Marilah, kita temui bersama. Bawalah minuman ke pringgitan dan sekaligus ikut menemui tamu-tamu itu. Rasanya kurang enak aku menemui mereka sendiri."
Rara Wulan mengerti. Mungkin Sekar Mirah memerlukan kawan untuk berbincang dengan tamu yang belum dikenalnya itu. Atau mungkin saksi bagi satu pembicaraan penting.
Sejenak kemudian Sekar Mirah telah duduk bersama dengan kedua tamunya. Namun sejenak kemudian Rara Wulan telah menyusulnya pula sambil membawa minuman. Namun Sekar Mirah menahannya. Katanya, "Duduk sajalah di sini, Wulan. Kita temui tamu kita bersama-sama."
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka tidak berbicara apa-apa.
"Marilah, Ki Sanak. Silakan minum mumpung masih hangat," Sekar Mirah mempersilakan.
Kedua tamunya termangu-mangu sejenak. Mereka belum menggantikan sesuatu. Tetapi mereka lebih dahulu sudah dipersilakan untuk minum.
Yang tertua di antara kedua orang itu pun berkata kepada yang lain, "Marilah. Kita tidak boleh menolak rezeki."
Keduanya pun kemudian telah minum beberapa teguk.
Namun dalam pada itu, Sekar Mirah mulai menjadi gelisah. Ia melihat salah seorang dari kedua orang itu membawa sesuatu di dalam selongsong kain putih. Sebuah benda yang panjang, sepanjang tongkat penyangga tubuh orang-orang tua yang mulai sulit berjalan karena
Setelah minum beberapa teguk, maka yang tertua berkata, "Maaf Nyi. Jadi aku sekarang berhadapan dengan Nyi Lurah Agung Sedayu?"
"Ya, Ki Sanak," jawab Sekar Mirah.
Sambil memandang Rara Wulan orang itu bertanya, "Yang ini" Bagaimana aku harus memanggil" Nyi atau Nini."
"Ia masih gadis, Ki Sanak. Adikku."
"Oh," orang itu mengangguk-angguk.
Sementara Sekar Mirah-lah yang kemudian bertanya, "Siapakah Ki Sanak berdua ini dan apakah maksud kedatangan Ki Sanak?"
"Namaku Ki Saba Lintang. Adikku ini bernama Ki Welat Wulung. Apakah Nyi Lurah pernah mendengar?"
Sekar Mirah menggeleng sambil berdesis, "Belum, Ki Sanak. Aku belum pernah mendengarnya."
"Baiklah. Tetapi aku boleh memperkenalkan diri sebagai saudara-saudaramu yang menyadap ilmu dari sumber yang sama," berkata orang ketuaannya. yang mengaku bernama Saba Lintang itu. Lalu katanya, "Nyi Lurah seharusnya menyebutku, kakang."
"Aku tidak mengerti," desis Sekar Mirah dengan dahi berkerut
"Nyi Lurah. Bukankah Nyi Lurah memiliki ciri landasan kekuatan sebuah tongkat baja yang berkepala tengkorak kecil yang berwarna kekuning-kuningan."
Sekar Mirah menjadi semakin heran. Sekilas dipandanginya kedua orang itu berganti-ganti. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Dari mana kalian mengetahuinya?"
Orang yang menyebut dirinya Ki Saba Lintang itu pun menjawab, "Sudah aku katakan, Nyi. Bahwa kita bersaudara."
"Apakah alasan Ki Sanak menganggap kita bersaudara" Maksud Ki Sanak tentu dalam hubungannya dengan perguruan kita?"
"Kita mempunyai warisan yang sama dari perguruan kita. Mungkin tongkatku sedikit lebih panjang dari tongkat Nyi Lurah Agung Sedayu," jawab Ki Saba Lintang.
Wajah Sekar Mirah menjadi semakin tegang. Bahkan Rara Wulan pun menjadi berdebar pula
Sementara itu, Saba Lintang itu pun telah membuka selongsong kain putihnya. Dari dalam selongsong itu telah dikeluarkannya sebuah tongkat baja putih sebagaimana tongkat milik Sekar Mirah.
"Apakah dengan menunjukkan tongkat ini masih belum cukup untuk membuktikan bahwa kita bersaudara?"
"Dari mana kau dapatkan tongkat itu?" bertanya Sekar Mirah.
"Nyi Lurah tidak usah mengetahuinya dari mana aku mendapatkannya. Tetapi hanya murid-murid terpercaya sajalah yang akan mendapat warisan tongkat seperti ini. Nyi Lurah tentu mendapat tongkat itu dari paman Sumangkar."
"Tongkat yang satu lagi pada jalur Kepatihan Jipang pada waktu itu."
"Ya. Meskipun sejak kekalahan Adipati Arya Penangsang jalur Kepatihan Jipang tidak pernah disebut-sebut lagi, tetapi bukan berarti telah lenyap. Karena itu, aku datang untuk membuka hubungan di antara saudara-saudara seperguruan. Jika Nyi Lurah memiliki tongkat itu berarti Nyi Lurah adalah salah seorang yang pantas mendapat kehormatan tertinggi dari saudara-saudara seperguruan kita. Karena tongkat itu hanya ada dua, maka dua orang yang memiliki tongkat itulah yang harus bertanggung jawab atas kelanjutan perguruan ini."
"Maksud Ki Saba Lintang?"
"Nyi Lurah. Sudah lama aku menelusuri tongkat yang satu itu. Setelah sekarang kita bertemu, maka sudah sewajarnya jika kita berusaha untuk membangun perguruan kita kembali agar perguruan kita tidak akan terhapus dari permukaan bumi."
Sekar Mirah merenung sejenak. Sekali-sekali ia memperhatikan tongkat baja putih yang berada di pangkuan orang lain.
Ternyata Ki Saba Lintang seakan-akan dapat membawa keraguan di hati Sekar Mirah. Sambil mengangkat tongkat baja putih itu ia pun berkata, "Apa Nyi Lurah meragukan keaslian tongkat ini. Sebagai salah satu pemilik ciri tertinggi perguruan kita, maka Nyi Lurah tentu dapat mengenali, apakah tongkat itu benar-benar tongkat pertanda murid utama perguruan kita atau bukan."
Buku 308 SEKAR MIRAH tidak segera menjawab. Tetapi Saba Lintang itu justru menyerahkan tongkat itu sambil berkata, "Lihatlah Nyi Lurah. Dengan memegang langsung tongkat ini, Nyi Lurah akan merasakan getaran keaslian tongkat itu. Sengaja atau tidak sengaja."
Seakan-akan di luar sadarnya, Sekar Mirah telah menerima tongkat itu. Diamatinya tongkat itu dari pangkal sampai ke ujungnya. Memang hampir tidak ada bedanya dengan tongkat miliknya sendiri, kecuali panjangnya yang berselisih sedikit saja.
Sambil menyerahkan kembali tongkat itu, Sekar Mirah berkata, "Aku percaya, bahwa tongkat itu adalah tongkat yang asli. Tetapi bagaimana tongkat ini sampai ke tangan Ki Saba Lintang juga merupakan persoalan tersendiri."
"Maksud Nyi Lurah, mungkin tongkat ini aku curi atau aku rebut dengan kekerasan dari orang yang berhak?"
Ki Saba Lintang tertawa. Katanya, "Memang mungkin. Tetapi jangan takut bahwa aku telah mencuri tongkat ini, karena memang akulah yang berhak atas tongkat ini. Tetapi biarlah lain kali saja aku ceritakan sejak kapan aku menerima tongkat ini. Bukan sekedar menerima dan berhak memilikinya, tetapi juga bertanggung jawab atas kelangsungan ajaran dari perguruan kita."
Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Saba Lintang itu berkata selanjutnya, "Tetapi karena bukan hanya aku sendiri yang memiliki pertanda kepemimpinan ini, tetapi juga Nyi Lurah Agung Sedayu, maka aku berusaha untuk dapat bertemu dengan Nyi Lurah.
"Hal seperti itu akan dapat terjadi," jawab Sekar Mirah.
Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Dengan ragu ia pun kemudian bertanya, "Lalu apa yang harus aku lakukan?"
"Kita harus merencanakan bersama, Nyi Lurah. Bukan aku sendiri yang menentukannya. Tetapi kita berdua. Untuk membuat rencana kita lebih sempurna, maka kita akan dapat mengajak beberapa orang saudara kita, antara lain Welat Wulung ini," jawab Ki Saba Lintang.
Sekar Mirah tiba-tiba menjadi gelisah. Tetapi sejenak kemudian menjawab, "Ki Saba Lintang. Aku adalah seorang perempuan yang sudah bersuami. Karena itu, maka aku akan berbicara dengan suamiku lebih dahulu."
"Persolan ini adalah persoalan perguruan kita, Nyi Lurah. Agaknya memang tidak ada hubungannya dengan Ki Lurah Agung Sedayu yang ilmunya bersumber dari perguruan orang bercambuk."
"Tetapi aku tidak dapat melepaskan diri dari kewajiban sebagai seorang istri."
Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Katanya, "Aku hargai sikap Nyi Lurah sebagai seorang istri. Aku pun beristri pula. Seperti Nyi Lurah, setiap kali istriku mengambil langkah penting, ia selalu minta izin, setidak-tidaknya memberitahukan kepadaku. Tetapi untunglah bahwa istriku dan aku bersumber pada mata air yang sama. Kami menyadap ilmu dari garis perguruan yang sama."
"Jika demikian, maka biarlah nanti jika kakang Agung Sedayu pulang, aku akan berbicara."
"Dalam hal ini, justru Nyi Lurah dapat minta bantuan Ki Lurah Agung Sedayu. Dengan demikian, maka Ki Lurah akan dapat kita libatkan dalam usaha kita mengembangkan perguruan kita," berkata Ki Saba Lintang. Namun kemudian katanya, "Tetapi aku tahu bahwa Ki Lurah Agung Sedayu tentu sangat sibuk dengan tugasnya. Karena itu, sebaiknya kita tidak mengganggu dengan tugasnya. Kita tidak perlu membuat Ki Lurah menjadi bertambah sibuk."
"Maksud Ki Saba Lintang?"
"Sebagai seorang istri yang tahu benar kesibukan suaminya, maka justru untuk membantu agar suami Nyi Lurah tidak terganggu baik waktunya maupun pikirannya. Nyi Lurah dapat saja melakukannya sendiri. Maksudku tidak usah mengganggu Ki Lurah Agung Sedayu. Aku tahu
bahwa Nyi Lurah bukan seorang istri yang manja sehingga tidak dapat berdiri sendiri."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, justru Rara Wulanlah yang menjadi sangat tegang menghadapi sikap orang itu. Seandainya ia tidak merasa segan kepada Sekar Mirah, maka ia tentu sudah menjawabnya.
Sementara itu, Sekar Mirah pun nampak menjadi ragu-ragu. Setelah merenung sejenak, maka Sekar Mirah itu pun berkata, "Aku akan memikirkannya, Ki Saba Lintang."
Ki Saba Lintang tersenyum. Katanya, "Sejak semula aku yakin, bahwa Nyi Lurah tidak akan menolak tugas yang seharusnya memang wajib kita pikul bersama. Sehingga tongkat yang ada di tangan kita tidak sekedar menunjukkan hak kita sebagai pewaris utama dari perguruan kita, tetapi juga dapat kita buktikan, bahwa kita juga pengemban utama dari kewajiban terberat dari perguruan kita itu."
Sekar Mirah tidak segera menyahut. Di wajahnya nampak keragu- raguan yang bergejolak di dalam dadanya
Namun Sekar Mirah pun kemudian telah mempersilakan tamunya untuk meneguk hidangan yang telah dihidangkan.
Beberapa saat kemudian, maka Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung itu pun telah minta diri. Sambil mengangguk hormat Ki Saba Lintang itu pun berkata "Lain kali kami akan datang lagi, Nyi Lurah. Tetapi sekali lagi, kami tidak ingin mengganggu tugas serta kesibukan Ki Lurah Agung Sedayu."
Sekar Mirah pun kemudian mengantar tamunya sampai ke regol halaman bersama Rara Wulan. Mereka memandangi kedua orang itu berjalan menjauh dengan dahi yang berkerut.
Rara Wulan yang menahan diri selama ikut menemui kedua orang itu pun kemudian bertanya, "Mbakayu, apa maksud mereka sebenarnya menemui Mbakayu?"
"Bukankah kau dengar sendiri, apa yang mereka inginkan" -jawab Sekar Mirah.
"Tetapi rasa-rasanya ada yang aneh."
"Aku akan berbicara dengan Kakang Agung Sedayu. Aku justru merasa kurang senang bahwa Ki Saba Lintang mengatakan tidak ingin mengganggu kesibukan Kakang Agung Sedayu. Mungkin aku hanya sekedar berprasangka. Tetapi rasa-rasanya ada niatnya untuk menyeret aku dalam kerja di luar pengetahuan Kakang Agung Sedayu."
"Aku juga merasakan demikian. Itulah sebabnya aku menganggap orang itu agak aneh."
"Ya. Agaknya memang ada yang disembunyikannya."
"Mungkin mereka sengaja datang di saat seperti itu. Saat kakang Agung Sedayu tidak ada. Atau bahkan orang itu tahu bahwa kakang Glagah Putih dan Ki Jayaraga juga tidak ada."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, "Untung aku mengajakmu menemuinya sehingga kau ikut mendengar pembicaraan ini. Agaknya penerimaan kita terhadap sikap orang itu bersamaan."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Nyi Lurah Agung Sedayu pun berkata, "Kita menunggu kakang Agung Sedayu."
Meskipun kemudian keduanya telah kembali pada kerja mereka masing-masing, tetapi keduanya masih merenungi sikap dan kata-kata kedua orang tamu itu. Terutama Ki Saba Lintang. Sekar Mirah juga mencoba untuk menelusuri kemungkinan dari manakah Ki Saba Lintang itu mendapatkan tongkat yang menurut pemilikan Sekar Mirah sepintas, memang tongkat asli sebagaimana tongkatnya.
"Ada banyak cara untuk memiliki tongkat itu," berkata Sekar Mirah di dalam hatinya. Bahkan kemudian ia pun berkata kepada diri sendiri, "Bahkan mungkin tongkat itu memang lebih dari dua buah."
Tetapi sikapnya kemudian akan ditentukan setelah berbicara dengan Agung Sedayu.
Namun Sekar Mirah pun telah berpesan kepada Rara Wulan agar tidak mengatakan kepada siapa pun sebelum ia bertemu dengan Agung Sedayu.
"Jangan beri tahukan Glagah Putih. Biarlah ia ikut mendengar bersama kakang Agung Sedayu sore nanti," pesan Sekar Mirah.
Sebenarnyalah Rara Wulan tidak mengatakannya kepada Glagah Putih ketika Glagah Putih pulang dari banjar.
Baru di sore hari, setelah Agung Sedayu beristirahat, mandi dan duduk di serambi, Sekar Mirah yang duduk bersamanya berkata, "Kakang, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."
Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Nampaknya Sekar Mirah bersungguh-sungguh. Karena itu, maka Agung Sedayu pun bertanya, "Apa ada persoalan yang penting yang harus segera kita tanggapi?"
"Ya, Kakang. Sebaiknya kita berbicara dengan Glagah Putih dan Rara Wulan."
Dahi Agung Sedayu berkerut. Wajahnya pun menjadi bersungguh-sungguh.
"Ada apa dengan Glagah Putih dan Rara Wulan?"
Pertanyaan itu mengejutkan Sekar Mirah. Ia segera menyadari arah tanggapan Agung Sedayu. Karena itu dengan serta merta ia pun menyahut, "Bukan persoalan Glagah Putih dan Rara Wulan. Tetapi aku ingin keduanya ikut mendengarkan persoalan yang ingin aku sampaikan kepada Kakang."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah. Aku sudah menjadi berdebar-debar. Sebenarnyalah kita harus semakin memperhatikan mereka. Bagaimanapun juga kita menyadari bahwa keduanya telah dewasa sepenuhnya. Meskipun aku percaya kepada keduanya, bahwa keduanya mempunyai ketahanan jiwani yang teguh, tetapi semakin lama semakin terasa betapa keduanya menuntut segera adanya penyelesaian yang tuntas."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Meskipun demikian ia tidak mau mengecewakan Agung Sedayu. Karena itu, maka katanya, "Ya, Kakang. Kita harus menyisihkan waktu untuk berbicara tentang mereka berdua."
"Aku akan berbicara dengan Ki Lurah Branjangan. Ki Lurah itu sudah menjadi semakin tua. Tetapi untungnya Ki Lurah tidak menjadi pikun. Kesadarannya masih tetap segar. Bahkan tubuhnya pun masih nampak sehat dan tegar."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, "Kakang. Selain itu, masih ada satu hal yang ingin aku bicarakan. Meskipun tidak menyangkut langsung Glagah Putih dan Rara Wulan, aku minta Kakang mengizinkan mereka ikut mendengarkan."
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian Agung Sedayu pun berkata, "Sekar Mirah, aku belum mengetahui persoalan apa yang ingin kan katakan. Tetapi jika kau menganggap bahwa sebaiknya keduanya ikut mendengarnya, maka sudah tentu aku tidak akan berkeberatan."
"Baiklah Kakang. Aku akan memanggil keduanya."
Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah duduk bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Tetapi mereka telah berpindah tempat. Mereka berempat pun kemudian duduk di ruang dalam.
13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekar Mirah pun kemudian menceritakan tentang kedua orang tamu yang datang menemuinya sambil membawa tongkat baja putih sebagaimana dimiliki oleh Sekar Mirah.
Agung Sedayu mendengarkan cerita Sekar Mirah itu dengan seksama. Demikian pula Glagah Putih.
"Pada suatu saat, mereka akan datang lagi, Kakang," berkata Sekar Mirah kemudian.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya, "Apakah kau dapat mengenali, apakah tongkat yang dibawanya itu bukan sekedar tongkat yang dibuat mirip dengan tongkatmu?"
"Menurut penglihatanku sekilas, tongkat itu memang tongkat asli, Kakang. Meskipun demikian, mungkin saja aku telah dikelabuinya. Bahkan seandainya tongkat itu asli, namun cara untuk memiliki tongkat itu pun dapat dilakukan dengan banyak cara," jawab Sekar Mirah.
Glagah Putih yang sangat tertarik kepada cerita Sekar Mirah itu pun bertanya, "Apakah yang mereka kehendaki dari Mbakayu Sekar Mirah yang juga memiliki tongkat seperti itu" Mendirikan sebuah perguruan" Orang bernama Saba Lintang dan Mbakayu Sekar Mirah bersama-sama memimpin perguruan itu?"
"Sudah aku katakan, segalanya akan direncanakan lebih dahulu. Orang itu akan datang lagi kemari. Agaknya ia akan mengajak menyusun rencana itu."
"Baiklah," berkata Agung Sedayu, "sebaiknya kau tidak menolaknya. Kita masih belum tahu, apakah maksudnya itu baik atau tidak. Jika maksudnya memang baik, sudah tentu kau dapat membantunya, tentu saja dengan keterbatasanmu sebagai seorang yang sudah berkeluarga. Bahkan aku akan dapat membantumu menurut kemampuanku dan keterbatasan waktuku."
Sekar Mirah mengangguk-angguk kecil. Namun ia pun kemudian berkata, "Ada sesuatu yang mengganggu perasaanku. Ki Saba Langit selalu mengatakan kepadaku, agar kau tidak mengganggu Kakang Agung Sedayu. Ki Saba Langit seakan-akan berusaha untuk memisahkan persoalan ini dengan kedudukanku sebagai seorang istri. Itulah yang membuat perasaanku kurang mapan."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Baru kemudian ia berkata, "Aku mengerti keragu-raguanmu. Tetapi justru untuk mengetahui maksudnya kau jangan tergesa-gesa menghindari orang itu."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Sementara dengan serta merta Rara Wulan berkata, "Bagus. Mbakayu dapat berpura-pura."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Tidak sepenuhnya berpura-pura. Kalau maksudnya ternyata baik, maka maksud itu dapat di tanggapi dengan baik pula. Meskipun demikian, kita harus yakin, bahwa kebaikan itu tidak sekedar di permukaan."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Tetapi nampaknya ia masih tetap ragu-ragu. Karena itu, maka katanya, "Tetapi aku minta Glagah Putih dan Rara Wulan untuk membantuku di saat-saat Kakang Agung Sedayu tidak berada di rumah. Bukan karena aku takut kepada orang itu meskipun ia memiliki tongkat yang pada dasarnya lebih tua, setidak-tidaknya demikianlah anggapan orang-orang yang berkiblat pada perguruan ini. Tetapi mungkin aku akan mengambil langkah yang salah."
"Baik Mbakayu. Aku akan berusaha untuk ikut mengawasi orang itu. Jika orang itu bertindak di luar kewajaran, maka aku tidak akan membiarkannya."
"Terima kasih," berkata Sekar Mirah, "pada pertemuan pertama aku sudah merasa, bahwa sikap orang itu tidak wajar."
"Kau masih mempunyai waktu untuk mengamati lebih dalam lagi," berkata Agung Sedayu selanjutnya.
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun bagaimanapun juga, Sekar Mirah harus sangat berhati-hati menghadapi orang itu.
Justru karena sikap itu, maka Sekar Mirah pun telah menjadi semakin sering berada di sanggarnya. Malam itu juga Sekar Mirah dengan mengenakan pakaian khususnya telah pergi ke sanggar.
Agung Sedayu tidak membiarkan istrinya berlatih sendiri. Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah berada di dalam sanggar itu pula.
"Bagaimanapun juga aku harus mempersiapkan diriku," berkata Sekar Mirah, "jika hal yang tidak dikehendaki itu terjadi, maka aku sudah siap menghadapinya."
"Kau terlalu berprasangka, Mirah," sahut Agung Sedayu.
"Mungkin Kakang. Tetapi apa salahnya untuk berhati-hati."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Bagus. Setidak-tidaknya kehadiran orang itu telah mendorongmu untuk berlatih lebih banyak dari
"Tetapi bagaimanapun juga, ilmumu sudah jauh lebih maju. Kau sudah merambah pada puncak ilmumu sehingga apa yang dapat dilakukan Ki Sumangkar sudah hampir kau kuasai seluruhnya."
"Kakang ingin menyenangkan hatiku."
"Aku mempunyai cara lain untuk menyenangkan hatimu. Cara yang wajar, yang tidak usah harus menimbulkan kesan yang salah. Bukankah selama ini aku selalu berkata jujur kepadamu jika kita berada di sanggar?"
"Ya, Kakang," suara Sekar Mirah menurun.
"Nah, kita akan mulai."
Sekar Mirah pun segera bersiap, mumpung masih belum terlalu malam. Sementara itu. Agung Sedayu pun telah bersiap pula. Ia akan menjadi kawan berlatih bagi Sekar Mirah, sekaligus membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi perkembangan ilmunya.
Sejenak kemudian, maka keduanya pun telah mulai berlatih. Agung Sedayu yang memiliki ilmu lebih tinggi dari Sekar Mirah, lebih banyak melayani. Tetapi sekali-sekali Agung Sedayu juga mengejutkan Sekar Mirah dengan serangan-serangannya yang tiba-tiba. Tetapi sebagian besar serangan Agung Sedayu justru untuk melatih kecepatan berpikir dan bertindak bagi Sekar Mirah menghadapi pendadakan.
Dengan demikian, maka ilmu Sekar Mirah menjadi semakin terbuka. Perkembangan ilmu Sekar Mirah memang menjadi bukan saja semakin meningkat, tetapi juga menjadi semakin melebar. Unsur-unsur geraknya menjadi semakin mantap dan landasan geraknya pun menjadi semakin mapan.
Semakin lama, maka keduanya pun bergerak semakin cepat. Tenaga dalam mereka pun mulai terangkat ke permukaan, sehingga dengan demikian, tenaga mereka menjadi semakin besar. Setiap gerak tubuh mereka, telah menggetarkan udara di sekitarnya, sehingga udara itu pun telah mengalir pula sepanjang garis serangannya.
Sambil mengimbangi serangan-serangan Sekar Mirah, Agung Sedayu memperhatikan tataran kemampuan Sekar Mirah. Beberapa bulan terakhir, Sekar Mirah benar-benar telah memasuki tataran tertinggi dari landasan ilmu yang pernah disadapnya.
Beberapa saat kemudian, maka Sekar Mirah telah sampai ke puncak kemampuannya. Serangan-serangannya menjadi semakin berbahaya. Agung Sedayu yang memiliki ilmu lebih tinggi dari istrinya itu pun harus berhati-hati, karena sentuhan serangan Sekar Mirah benar-benar akan dapat menyakitinya jika Agung Sedayu tidak mengenakan lapisan kebalnya
Tetapi Agung Sedayu memang sengaja tidak mempergunakannya. Ia ingin tahu, sejauh mana kekuatan Sekar Mirah yang didukung dengan tenaga dalamnya itu mampu menggetarkan pertahanan lawannya.
Ternyata Sekar Mirah memang sudah sampai ke puncak. Serangan-serangannya menjadi sangat berbahaya. Ketika serangan Sekar Mirah itu sempat menyentuh pundak Agung Sedayu, maka pundak itu benar-benar terasa menjadi nyeri.
Namun demikian, sekali-sekali Agung Sedayu juga mengenainya. Sekar Mirah harus siap dengan ketahanan tubuhnya sehingga serangan lawan yang sempat mengenainya tidak dengan serta merta menghentikan perlawanannya.
Ternyata Sekar Mirah benar-benar seorang perempuan yang luar biasa. Tataran ilmunya sudah benar-benar berada pada tataran yang tinggi.
Tetapi sebenarnyalah bahwa ilmu Sekar Mirah sudah tidak murni lagi. Pengaruh ilmu dari jalur perguruan orang bercambuk serta perguruan Ki Sadewa nampak mewarnai ilmu Sekar Mirah. Namun semua itu nampak luluh menyatu sehingga tidak merasa saling menghambat. Bahkan sebaliknya, keragaman unsur-unsur gerak yang dikuasai Sekar Mirah telah membuat ilmunya menjadi semakin matang.
Sebagaimana Agung Sedayu sendiri, maka Sekar Mirah juga tidak membatasi diri pada bingkai ilmu yang sempit. Tetapi ilmu dari jalur perguruan yang manapun jika watak dan sifatnya sesuai akan dapat menjadi bahan untuk menyempurnakan ilmunya.
Agung Sedayu tidak menganggap bahwa cara itu menunjukkan ketidaksetiaannya kepada perguruan yang dianutnya, tetapi Kiai Gringsing sendiri pernah berkata, "Jangan berpandangan sempit. Setiap orang berhak meningkatkan ilmunya dengan cara yang paling sesuai dengan orang itu sendiri. Jika tidak demikian, maka ilmu kanuragan akan sampai ke batas dan tidak akan dapat berkembang lagi. Menerapkan unsur-unsur dari jalur perguruan lain bukan merupakan pertanda ketidaksetiaan. Tetapi justru akan dapat mengembangkan ilmu itu sendiri. Tentu saja dengan sangat berhati-hati agar tidak terjadi benturan di dalam diri. Lebih dari itu dalam watak dan sifat ilmunya, serta tujuan dari sebuah perguruan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapainya dalam ruang lingkup kehidupan di antara sesama."
Dengan demikian, sejalan dengan pendapat Agung Sedayu, maka Sekar Mirah pun telah mengembangkan dan menyempurnakan ilmunya.
Sedikit lewat tengah malam, maka Sek ar Mirah dan Agung Sedayu telah menghentikan latihan mereka. Pakaian Sekar Mirah telah menjadi basah oleh keringat.
"Aku kira cukup untuk malam ini, Mirah. Besok kita dapat berlatih lagi."
Sekar Mirah mengangguk. Namun beberapa saat ia masih duduk bersila dengan kedua belah tangannya diletakkan di lututnya, setelah beberapa kali ia berjalan mengelilingi sanggarnya,
Baru kemudian setelah segala sesuatunya berjalan wajar, Sekar Mirah itu pun bangkit berdiri dan melangkah keluar sanggarnya bersama Agung Sedayu.
"Kau sama sekali tidak berkeringat, Kakang," desis Sekar Mirah. "Ah, raba bajuku yang basah ini," sahut Agung Sedayu.
"Tetapi bagi Kakang, latihan ini tidak lebih banyak mengeluarkan tenaga dari mengisi jambangan di pakiwan."
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Tetapi anggapan itu baik bagimu Sekar Mirah. Itu berarti bahwa kau masih belum puas dengan tataran kemampuan yang kau capai."
"Tetapi bukankah itu berarti bahwa segala-galanya bergerak dengan sangat lamban" Sampai umurku sejauh ini, ilmuku masih saja berkisar di antara menyapu halaman dan mengisi jambangan pakiwan."
"Kau memandangnya dari sisi yang buram, Mirah. Sebaiknya kau memandangnya dari sisi yang lain. Sudah aku katakan, bahwa kau sudah mewarisi semua yang ditinggalkan oleh Ki Sumangkar. Bahkan jika kau percaya, maka kau memiliki beberapa kelebihan."
"Tetapi aku belum setingkat dengan Ki Sumangkar."
"Ya. Aku tidak ingin memberikan kesan yang salah. Kau masih harus meningkatkan tenaga dalammu. Penguasaanmu terhadap pengaruh keadaan di seputarmu. Getar timbal balik antara tenaga dalam yang mendukung kemampuanmu dengan tenaga yang melandasinya."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayu pun berkata, "Jika kau ingin menukik lebih dalam lagi, maka kau harus menjalani laku khusus sebagaimana pernah aku jalani. Tetapi kau dapat menempuh jalan lain, karena laku yang aku jalani itu sebenarnya tidak lebih dari mempercepat runutan perkembangannya."
Sekar Mirah memandang wajah suaminya sejenak, sehingga langkah mereka terhenti. Dengan nada tinggi Sekar Mirah bertanya, "Jadi maksud Kakang, peningkatan ilmu itu dapat dicapai tanpa menjalani laku sebagaimana Kakang jalani?"
"Bukan begitu maksudku, Mirah. Laku itu harus tetap di jalani. Tetapi dengan cara yang lain."
"Cara lain yang mana yang Kakang maksudkan?"
"Tidak seberat cara yang pernah aku jalani. Tetapi memerlukan waktu yang lebih panjang dan bertahap."
Sekar Mirah mengerutkan dahinya Katanya, "Apakah Kakang sependapat jika aku menjalani laku itu?"
Sekar Mirah memandang wajah suaminya sejenak, sehingga langkah mereka terhenti. Dengan nada tinggi Sekar Mirah bertanya, "Jadi maksud Kakang, peningkatan ilmu itu dapat dicapai tanpa menjalani laku bagaimana Kakang jalani"
"Aku tidak berkeberatan Sekar Mirah. Jika aku harus menjalani laku beberapa kali dalam waktu yang singkat, maka kau akan dapat menjalaninya untuk waktu yang lebih panjang. Tidak dalam waktu tiga hari tiga malam pati geni, tetapi kau dapat menempuhnya dalam waktu selapan atau
lebih." "Jika demikian, besok aku akan mulai."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Kau tidak dapat dengan tergesa-gesa mulai menjalani laku itu Sekar Mirah. Tetapi kau harus membuat persiapan-persiapan lebih dahulu. Persiapan-persiapan itu sendiri sebenarnya sudah merupakan bagian dari laku yang harus kau jalani."
"Maksud Kakang?"
"Kau harus mempersiapkan diri sehingga kau berada dalam satu keadaan yang siap untuk mulai menjalani laku itu."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Itu pun merupakan laku yang harus aku jalani. Mungkin laku pendahuluan atau laku awal."
Agung Sedayu tertawa pendek. Katanya, "Baiklah. Sebut saja laku awal. Tetapi cara ini bagimu lebih baik dari cara yang pernah aku tempuh. Bukan maksudku kau tidak memiliki ketahanan untuk menjalani laku seperti yang aku jalani. Tetapi laku itu akan mengurungmu selama tiga hari tiga malam. Kemudian untuk beberapa hari kau harus memulihkan kewajaran wadagmu. Nah, dalam waktu yang sekian lama itu, maka aku akan menjadi kesepian."
"Ah, kau ini ada-ada saja Kakang. Jika baru kemarin sore kita menikah, perasaan sepi itu, terasa wajar. Tetapi kita sudah menikah ber-tahun-tahun."
Agung Sedayu justru tertawa berkepanjangan. Katanya, "Justru kita sudah menikah bertahun-tahun."
"Kau ini Kakang," desis Sekar Mirah. Namun katanya kemudian, "Aku akan menurut mana yang terbaik menurut Kakang."
Agung Sedayu pun kemudian berkata, "Sekarang, kita akan mandi. Kau sajalah yang mandi lebih dahulu."
"Keringatku masih belum kering Kakang."
"Aku akan mengisi jambangannya dahulu."
Sekar Mirah tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun kemudian duduk di undakan pintu butulan rumahnya sambil menunggu keringatnya kering.
Setelah keduanya mandi, serta duduk beristirahat sejenak sambil minum, barulah keduanya pergi ke dalam bilik mereka.
Di hari berikutnya, Sekar Mirah benar-benar mulai mempersiapkan dirinya untuk memasuki suatu keadaan yang siap mulai menjalani laku. Dengan petunjuk Agung Sedayu, maka Sekar Mirah mulai mengatur kebiasaannya. Latihan-latihan kewadagan yang harus di jalani pada saat-saat tertentu. Jenis makanan yang harus dimakan, tetapi yang juga tidak boleh dimakan. Saat-saat untuk mengheningkan nalar dan budinya serta penelusuran jalur kehidupannya menjelang masa-masa yang akan dijalaninya. Menambatkan diri kepada satu kesadaran dari keberadaannya dalam hubungannya dengan Maha Penciptanya. Mempelajari dan mengenali lingkungan serta watak dan tabiatnya.
Meskipun demikian, Sek ar Mirah tidak meninggalkan tugasnya sehari-hari. Sekar Mirah masih tetap bangun pagi-pagi meskipun berada di sanggar sampai lewat tengah malam. Ia harus menyediakan minuman dan makan pagi bagi suaminya. Sekar Mirah pun kemudian masih harus bekerja di dapur sepeninggal Agung Sedayu. Belanja ke pasar dan membersihkan perabot rumahnya bersama Rara Wulan. Namun karena Rara Wulan mengetahui bahwa Sekar Mirah menjadi semakin sering berada di sanggar, maka Rara Wulan berusaha untuk dapat membantu lebih banyak pula. Rara Wulan tidak menuntut terlalu banyak kepada Sekar Mirah untuk meningkatkan ilmu gadis itu dengan latihan-latihan yang panjang.
Demikianlah, maka kehadiran dua orang yang mengaku sebagai saudara yang mewarisi ilmu dari jalur yang sama itu, justru telah mendorong Sekar Mirah untuk berlatih semakin banyak. Bahkan mulai menjalani laku awal untuk mencapai tataran tertinggi dari ilmunya.
Sebenarnyalah bahwa sambil menjalani laku awal Sekar Mirah menunggu kehadiran orang yang mengaku saudara seperguruannya itu. Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, ia harus mengetahui dengan pasti maksud yang sebenarnya dari kedua orang itu.
Tetapi kedua orang itu tidak segera datang. Namun hal itu justru yang diharapkan oleh Sekar Mirah. Ia berharap bahwa orang itu akan datang lagi setelah ia selesai menjalani laku.
Tetapi ternyata orang itu datang lebih cepat dari yang diharapkan oleh Sekar Mirah. Belum lagi sebulan, kedua orang itu telah datang lagi. Pada saat rumah itu kosong, karena Glagah Putih pergi ke banjar dan Rara Wulan pergi berbelanja.
Setelah keduanya duduk di pringgitan, maka Ki Saba Lintang pun berkata, "Aku hanya sebentar Nyi Lurah. Aku hanya ingin tahu, apakah persoalan yang kami sampaikan beberapa waktu yang lalu sudah Nyi Lurah renungkan."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sudah, Ki Saba Lintang. Aku juga sudah menyampaikannya kepada Kakang Lurah Agung Sedayu."
Ki Saba Lintang mengerutkan dahinya. Nampak pada sinar matanya gejolak di hatinya. Namun Ki Saba Lintang itu kemudian berusaha untuk menghilangkan kesan itu dari wajahnya. Bahkan Ki Saba Lintang itu pun tersenyum sambil berkata, "Nyi Lurah memang seorang istri yang baik. Tetapi seharusnya Nyi Lurah tanggap akan keadaan suaminya. Sudah aku katakan, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu tentu terlalu sibuk dengan tugas-tugasnya, sehingga jika hal itu Nyi Lurah sampaikan, mungkin akan justru dapat mengganggu perasaannya"
"Kakang Agung Sedayu nampaknya tidak merasa terganggu. Tetapi kakang Agung Sedayu tidak dapat menanggapinya dengan sikap yang pasti."
"Baiklah Nyi Lurah, jika Nyi Lurah sudah terlanjur menyampaikannya. Tetapi untuk selanjutnya kita akan dapat bekerja sendiri."
"Apa sebenarnya yang akan kita kerjakan?"
"Sudah aku katakan, bahwa kita akan membicarakannya."
"Baiklah. Marilah sekarang kita bicarakan," jawab Sekar Mirah.
Tetapi Ki Saba Lintang itu tertawa Katanya, "Tidak begitu tiba-tiba, Nyi Lurah."
"Jadi bagaimana menurut rencana Ki Saba Lintang?" bertanya Sekar Mirah kemudian.
"Jika kita ingin berbicara tentang satu rencana yang besar, maka kita harus membuat persiapan-persiapan yang matang."
"Maksud Ki Saba Lintang?"
"Kita harus menentukan, di mana pembicaraan itu dilakukan. Kita harus menentukan siapa yang akan hadir dalam pertemuan itu dan kita harus menentukan waktunya. Dengan demikian, maka pembicaraan kita akan menghasilkan keputusan yang berarti."
"Jadi maksud Ki Saba Lintang, kita sekarang akan membicarakan rencana pertemuan itu?"
Ki Saba "Lintang mengangguk sambil menjawab, "Ya, Nyi Lurah. Kita akan menentukan, di mana pertemuan itu diadakan."
"Aku dapat menyediakan tempat bagi pertemuan itu," berkata Sekar Mirah.
"Di mana?" bertanya Ki Saba Lintang.
"Ki Gede Menoreh tentu tidak akan berkeberatan jika aku meminjam banjar padukuhan ini. Di banjar itu segala keperluan telah tersedia. Selain pendapa yang luas, pringgitan dan ruang dalam, maka di belakang terdapat serambi yang dapat dipergunakan untuk bermalam beberapa orang yang ikut dalam pembicaraan itu. Ada dapur dan ada pakiwan. Sumur yang airnya tidak pernah susut di segala musim."
Ki Saba Lintang tersenyum sambil menjawab, "Nyi Lurah. Pertemuan ini adalah pertemuan dari keluarga satu perguruan yang besar yang anggotanya telah tersebar. Karena itu, maka pertemuan itu harus diselenggarakan di tempat yang khusus."
"Jadi?" bertanya Sekar Mirah.
"Pertemuan itu harus dapat berlangsung tanpa terganggu."
"Lalu pertemuan semacam itu dapat dilakukan di mana menurut Ki Saba Lintang?"
"Kita harus memilih tempat terbaik, Nyi Lurah."
"Tempat terbaik itu di mana?" desak Sekar Mirah.
"Beberapa orang terpenting dari perguruan kita berada di kaki Gunung Kendeng, Nyi Lurah."
"Kaki Gunung Kendeng" Jadi pertemuan itu akan dilakukan di kaki Gunung Kendeng?"
"Salah satu di antara beberapa tempat yang dapat dipilih," jawab Ki Saba Lintang.
"Selain di kaki Gunung Kendeng?"
"Jika tidak di kaki Gunung Kendeng, pertemuan itu dapat dilakukan di Anggebayan, di kaki Gunung Kukusan. Di sana ada satu dua orang saudara kita yang berpengaruh."
Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Dengan nada berat ia pun bertanya, "Selain kedua tempat itu?"
"Tidak jauh dari Anggebayan, di ujung kaki Geduwang."
"Siapa yang tinggal di sana?"
"Seorang saudara kita tinggal di tempat itu."
"Ki Saba Lintang. Jika ada satu orang saja tinggal di ujung Kaki Geduwang, maka tempat itu dianggap baik untuk menyelenggarakan pertemuan itu, kenapa tidak di sini saja" Di sini ada aku. Aku tentu lebih berharga bagi perguruan ini daripada orang yang tinggal di ujung Kali Keduwang."
"Orang itu terhitung salah seorang terpenting dari perguruan kita Nyi Lurah."
"Jika demikian, apa artinya tongkat yang ada padaku" Menurut Ki Saba Lintang, justru karena aku memiliki tongkat itu, maka aku adalah salah satu dari orang terpenting dari perguruan kita. Sedangkan satu lagi tongkat itu ada pada Ki Saba Lintang."
Wajah Ki Saba Lintang menegang sejenak. Sementara itu, Ki Welat Wulung pun berkata, "Orang yang tinggal di ujung Kali Geduwang itu adalah seorang yang akan dapat ikut menentukan masa depan perguruan kita. Jika pertemuan itu diselenggarakan dekat dengan tempat tinggalnya, maka ia akan tidak berkeberatan untuk datang."
"Aku berkeberatan," berkata Sekar Mirah, "aku minta pertemuan ini diselenggarakan di sini. Ingat, aku adalah orang terpenting dari perguruan ini di samping Ki Saba Lintang. Kalian tidak dapat menentukan lain. Jika aku dan Ki Saba Lintang tidak menemukan kesepakatan, maka aku tidak akan ikut campur."
"Jangan begitu, Nyi Lurah," berkata Ki Saba Lintang, "Kita memang sedang melakukan penjajakan-penjajakan. Karena itu, maka kita akan dapat membicarakannya."
"Jika Ki Saba Lintang mengakui bahwa aku, Sekar Mirah, salah seorang pewaris tongkat pertanda perguruan kita, maka Ki Saba Lintang harus mengakui, bahwa kedudukanku lebih penting dari orang yang tinggal di ujung Kali Geduwang itu, aku juga mempunyai kedudukan lebih penting dari orang yang tinggal di kaki Gunung Kemukus atau yang tinggal di kaki Gunung Kendeng."
Ki Saba Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku mohon Nyi Lurah merenungkannya. Segala sesuatunya itu kita lakukan untuk kepentingan perguruan kita. Semakin kuat dukungan saudara-saudara kita, maka kedudukan kita akan menjadi semakin kuat pula."
Tetapi Sekar Mirah menggelengkan kepala. Katanya, "Aku tetap pada pendirianku, Ki Saba Lintang. Jika Ki Saba Lintang ingin aku hadir dalam pertemuan itu, maka pertemuan itu akan diselenggarakan di kaki Pegunungan Menoreh."
Ki Saba Lintang menarik nafas dalam-dalam. Ki Welat Wulung bergeser setapak. Tetapi Ki Saba Lintang menggamitnya.
"Nyi Lurah," berkata Ki Saba Lintang, "Kita memang belum menetapkan, di mana kita akan bertemu dan berbicara. Kita juga belum menentukan kapan pertemuan itu diadakan serta siapa saja yang akan kita undang. Karena itu, masih ada waktu bagi Nyi Lurah untuk merenung sekali lagi. Namun agaknya kita sudah melangkah maju. Nyi Lurah sudah menyatakan kesediaan Nyi Lurah untuk bertemu dengan berbicara. Namun satu hal yang ingin aku sampaikan kepada Nyi Lurah, bahwa di manapun nanti kita bertemu untuk berbicara, maka yang akan hadir dalam pertemuan itu adalah hanya saudara-saudara kita. Aku kira perguruan manapun juga akan mempunyai ketentuan yang sama. Bahwa hanya saudara-saudara seperguruan sajalah yang akan hadir untuk berbicara dalam pertemuan yang penting."
"Aku mengerti, Ki Saba Lintang," jawab Sekar Mirah, "Namun Ki Saba Lintang pun aku harap dapat mengerti. Sebagai seorang istri aku tidak akan dapat dengan leluasa pergi ke tempat yang jauh seorang diri."
"Segala sesuatunya juga akan tergantung kepada suami Nyi Lurah. Menurut pendapatku, Ki Lurah Agung Sedayu juga seorang yang berilmu tinggi. Ia tentu akan menghargai perguruan istrinya, sehingga ia tidak akan berkeberatan untuk mengizinkan Nyi Lurah melakukan kegiatan bagi perguruan Nyi Lurah."
Sekar Mirah tersenyum. Katanya, "Seandainya Kakang Agung Sedayu tidak berkeberatan, maka agaknya akulah yang berkeberatan untuk meninggalkan keluargaku untuk menempuh perjalanan jauh dan panjang sendiri. Kecuali jika aku masih seorang gadis. Aku tidak merasa terikat oleh apapun juga."
Ki Saba Lintang tertawa pendek. Katanya, "Nyi Lurah ternyata seorang istri yang dimanjakan oleh suaminya"
"Aku tidak ingkar. Aku memang seorang istri yang manja. Dan aku justru merasa bersyukur bahwa suamiku telah memanjakan aku," jawab Sekar Mirah.
"Biarlah Nyi," berkata Ki Saba Lintang, "namun kita sudah. selangkah maju. Lain kali aku akan datang menemui Nyi Lurah lagi. Kami berharap bahwa kami akan mendapat kemajuan setapak lagi dan setapak lagi."
"Mudah-mudahan," berkata Sekar Mirah, "sementara itu, aku akan mulai menyiapkan tempat di kaki Pegunungan Menoreh ini."
Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Ki Welat Wulung itu pun berkata, "Sebenarnya Nyi Lurah mempunyai banyak kesempatan. Mumpung Nyi Lurah masih belum mempunyai momongan."
Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Namun pandangan matanya menjadi semakin tajam, seakan-akan menembus langsung ke jantung
"Ki Welat Wulung," dengan suara parau Nyi Lurah itu pun berkata lantang, "Untuk .apa kau sebut-sebut itu Ki Welat Wulung" Aku sampai sekarang memang belum mempunyai momongan. Tetapi buat apa kau menyindirku. Jika kau ingin mengatakan bahwa aku atau suamiku mandul, kenapa kau tidak menyatakannya berterus terang" Tetapi aku masih tetap berpengharapan, bahwa Yang Maha Agung akan memberi aku momongan. Bahkan seandainya tidak pun, Ki Welat Wulung tidak berhak menyinggung dengan cara yang kasar itu."
Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung terkejut. Mereka tidak mengira bahwa perkataan Ki Welat Wulung itu telah membuat Sekar Mirah menjadi marah.
Dengan cepat Ki Saba Lintang pun berkata, "Maaf Nyi Lurah. Bukan maksud kami untuk menyinggung perasaan Nyi Lurah. Kami hanya ingin menekankan, bahwa kemungkinan Nyi Lurah untuk hadir dalam pertemuan itu sangat besar. Hal ini didorong oleh satu harapan bahwa Nyi Lurah benar-benar, akan hadir."
"Sudah aku katakan bahwa aku akan hadir jika pertemuan itu diselenggarakan di sini. Aku tidak akan mengubah sikapku. Terserah kepada kalian, apakah kalian bersedia atau tidak"
"Kami akan mempertimbangkan. Nyi Lurah. Tetapi sasaran yang ingin kami gapai adalah berlangsungnya pertemuan itu. Karena itu, kami akan berusaha untuk mengatasi segala macam persoalan yang timbul atau yang dapat menghambat pertemuan itu."
"Baiklah," berkata Sekar Mirah, "aku menunggu kesediaan kalian. Barangkali juga beberapa orang lain yang dianggap penting untuk hadir."
Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian berkata, "Nyi Lurah. Agaknya kami sudah terlalu lama mengganggu Nyi Lurah. Karena itu, maka kami akan mohon diri."
"Ki Saba Lintang, pada kesempatan lain aku harap Ki Saba Lintang datang di sore hari. Dengan demikian Ki Saba Lintang akan dapat bertemu dan berbicara dengan suamiku."
"Baik, baik, Nyi Lurah, besok pada kesempatan lain aku akan berusaha untuk dapat bertemu dan berbicara dengan Ki Lurah. Agaknya akan merupakan satu kehormatan bagiku untuk dapat berbincang dengan pewaris utama dari perguruan orang bercambuk."
"Aku akan mengatakannya kepada kakang Agung Sedayu. Kakang Agung Sedayu tentu akan dapat senang hati menerima kalian."
Demikianlah, maka kedua orang itu pun telah minta diri. Sekar Mirah mengantar mereka sampai ke regol halaman. Bagaimanapun juga Sekar Mirah harus berhati-hati, apalagi tidak ada orang lain di rumah itu.
Namun kedua orang itu tidak berbuat apa-apa. Keduanya meninggalkan regol halaman.
Untuk beberapa lama Sekar Mirah masih berdiri di regol halaman rumahnya Diamatinya jalan yang membujur lewat di depan rumahnya itu. Tetapi ia tidak melihat sesuatu yang menarik perhatian.
Sementara itu kedua orang tamunya berjalan semakin lama semakin jauh.
Sekar Mirah itu pun menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia kemudian melangkah ke pendapa, ia melihat Sukra berdiri di pintu seketheng.
Sekar Mirah tersenyum memandang anak itu. "Kau mencari aku?" bertanya Sekar Mirah.
Sukra tidak menjawab. Tetapi ia justru bertanya, "Mereka sudah pulang?"
"Kedua tamu itu maksudmu?" Sukra mengangguk.
"Ya. Jika kau sejak tadi berada di situ, bukankah kau melihat aku mengantarkan sampai ke regol?"
"Mereka tidak berbuat apa-apa?"
"Maksudmu?" "Nyi Lurah hanya sendiri di rumah. Jika keduanya orang yang berniat kurang baik. Mereka berpura-pura menjadi tamu sementara mereka tahu bahwa yang tinggal di rumah hanya Nyi Lurah sendiri."
Sekar Mirah tertawa pendek. Ternyata anak itu cukup berhati-hati. Sambil mendekati anak itu, Sekar Mirah berkata, "Jika keduanya berbuat tidak sewajarnya, maka sudah tentu kau akan membantu aku."
"Tidak Nyi Lurah. Aku tidak dapat berbuat apa-apa jika keduanya orang berilmu. Tetapi aku tentu dapat memukul kentongan di longkangan itu."
Sekar Mirah benar-benar tertawa. Sambil menepuk bahu anak itu Sekar Mirah berkata, "Kau anak baik, Sukra. Kau akan menjadi orang yang baik pula kelak."
Sukra justru menundukkan kepalanya. Sementara Sekar Mirah tidak jadi naik ke pendapa. Tetapi ia masuk ke dalam lewat longkangan.
Baru beberapa saat kemudian Rara Wulan datang sambil menjinjing keranjang. Gadis itu langsung pergi ke dapur, sementara Sekar Mirah berada di ruang dalam.
Sukra yang sedang mengisi jambangan itu pun kemudian bercerita bahwa ada dua orang tamu datang menemui Sekar Mirah.
"Mereka sudah pergi?" bertanya Rara Wulan,
"Ya. Mereka sudah pergi."
"Di mana Mbakayu Sekar Mirah sekarang?"
"Di dalam." Rara Wulan pun kemudian dengan tergesa-gesa masuk ke ruang dalam. Sementara itu Sekar Mirah masih sibuk meneruskan kerjanya yang tertunda. Membersihkan perabot rumahnya yang dilekati debu.
"Apakah yang datang kemari Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung itu lagi, Mbakayu?" bertanya Rara Wulan.
Sekar Mirah mengangguk. Katanya, "Ya. Mereka berdua,"
"Bukankah mereka tidak mengganggu Mbakayu?"
Sekar Mirah tersenyum. Sambil menggeleng ia berkata, "Tidak. Seperti kedatangannya yang pertama, mereka menawarkan sebuah pertemuan."
"Sebuah pertemuan" Kapan dan di mana?"
Sekar Mirah pun kemudian menceritakan pembicaraannya dengan kedua orang itu. Sekar Mirah pun menceritakan sikapnya pula.
"Aku sependapat. Jika pertemuan itu diselenggarakan di sini, Mbakayu tidak usah pergi jauh yang tentu memerlukan waktu berhari-hari. Kita belum tahu sifat dan watak orang-orang yang akan datang berkumpul itu. Jika mereka datang kemari, maka mereka akan dapat diawasi."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, "Mereka masih akan datang lagi. Aku sudah minta agar mereka datang di saat kakang Agung Sedayu ada di rumah."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun gadis itu kemudian akan kembali ke dapur.
"Aku membeli terong Mbakayu."
"Bagus. Kakang Agung Sedayu senang lodeh terong. Tetapi Glagah Putih tidak begitu senang meskipun ia tidak pernah menolak apa saja yang dihidangkan padanya."
"Aku juga membeli kacang panjang buat Kakang Glagah Putih."
"Ya. Ia senang kacang panjang. Tetapi Glagah Putih tentu akan mengatakan, kenapa tidak memetik sendiri di sawah. Ia menanam kacang panjang di pematang."
"Tetapi buahnya masih terlalu muda untuk dipetik."
"Ya. Memang masih terlalu muda. Kau sudah melihatnya?"
"Aku kemarin memetik daunnya," jawab Rara Wulan.
"Oh, ya. Kemarin kau membuat urap lambayung."
Demikianlah, maka Sekar Mirah pun telah kembali ke dapur.
Sementara Sekar Mirah berkata, "Aku selesaikan kerjaku ini dahulu Wulan. Kedua orang itu datang terlalu pagi, sehingga mengganggu pekerjaanku."
"Silakan Mbakayu," jawab Rara Wulan sambil melangkah ke dapur.
Di sore hari, ketika Agung Sedayu duduk di serambi sambil menghirup minuman hangat, Sekar Mirah telah duduk pula bersamanya untuk menceritakan kedatangan kedua orang yang sebelumnya telah pernah datang pula ke rumah itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Sikapmu sudah benar, Mirah. Jika pertemuan itu diadakan di tanah perdikan ini, maka semua kegiatan orang-orang itu dapat diawasi."
"Aku sama sekali tidak tertarik dengan pertemuan itu Kakang. Tetapi jika mereka memenuhi permintaanku untuk bertemu di sini, jika Kakang tidak leberatan aku akan datang"
"Aku setuju, Mirah. Meskipun kau harus berhati-hati."
"Seandainya mereka setuju, maka aku pun akan menentukan waktu. Tentu sesudah aku selesai menjalani laku."
"Ya," desis Agung Sedayu, "kau sudah berada di separuh jalan. Lalu awal telah hampir selesai kau jalani. Malam nanti kita akan melihat, apakah laku awal yang kau jalani sudah lengkap."
Sekar Mirah mengangguk kecil.
Sementara itu, Glagah Putih pun telah duduk pula bersama mereka. Kepada Glagah Putih, Agung Sedayu berpesan, "Kau juga harus ikut menjaga ketenangan keluarga ini, Glagah Putih. Kita belum tahu pasti, apakah kedua orang itu berniat baik atau tidak. Jika mereka berniat kurang baik, maka jauh sebelum hal-hal yang tidak kita inginkan terjadi, kita harus berusaha mencegahnya."
"Baik, Kakang," jawab Glagah Putih.
Dalam pada itu, ketika senja mulai turun, maka Sekar Mirah pun segera mempersiapkan diri. Ia masih menjalani laku awal sebelum menjalani laku yang sebenarnya Namun menurut pendapatnya tidak ada batas yang jelas antara laku awal dan laku yang sebenarnya itu.
Malam itu, Sekar Mirah dan Agung Sedayu sampai lewat tengah malam berada di dalam sanggarnya. Sekar Mirah telah mengerahkan segenap kemampuannya dalam olah kanuragan. Sekar Mirah pun telah menghentakkan kemampuannya mempergunakan senjatanya.
Agung Sedayu mengamati dengan seksama. Dengan jelas Agung Sedayu melihat betapa pengaruh ilmu dari perguruan lain mewarnai ilmu yang dimiliki oleh Sekar Mirah. Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak menyesalinya. Demikian pula Sekar Mirah. Unsur-unsur gerak Sekar Mirah justru nampak menjadi semakin kaya. Lubang-lubang kelemahan pada ilmu Sekar Mirah seakan-akan telah tersumbat oleh pengaruh yang menjadi mapan itu.
Sedikit lewat tengah malam, maka Sekar Mirah telah duduk di amben bambu di sudut sanggar. Sementara itu Agung Sedayu telah memberikan beberapa petunjuk bagi Sekar Mirah yang akan segera menjalani laku yang sebenarnya.
"Kau telah siap menjalani laku mulai besok lusa Mirah," berkata Agung Sedayu.
"Kenapa besok lusa?"
"Besok kau dapat beristirahat. Lusa kau akan mulai. Tetapi seperti yang akan aku katakan, kau tidak akan menjalani laku sebagaimana aku jalani. Dalam menjalani laku, kau dapat melakukan kegiatanmu sehari-hari. Mencuci pakaian, pergi ke pasar dan kesibukan di dapur. Tetapi sudah tentu bahwa waktumu tidak lagi selonggar sebelum kau menjalani laku. Pada saat-saat tertentu kau harus sudah berada di sanggar."
Sekar Mirah mengangguk. "Tetapi seperti yang aku katakan, kau memerlukan waktu sepuluh kali lipat dari waktu yang aku perlukan."
"Sepuluh kali?" bertanya Sekar Mirah.
"Ya Jika dalam salah satu jenis laku yang aku jalani berlangsung tiga hari tiga malam, maka kau akan menjalani laku selama tiga puluh hari tiga puluh malam."
Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, "Kenapa tidak yang tiga hari itu saja, Kakang?"
"Sudah aku katakan, laku itu sangat berat. Sementara kau akan benar-benar terbenam di dalam sanggar selama itu. Sedangkan laku yang aku tawarkan tidak demikian."
Sekar Mirah mengangguk kecil. Ia sadar, bahwa agaknya masih ada alasan yang lain yang tidak disebutkan oleh Agung Sedayu. Mungkin Agung Sedayu memperhitungkan, bahwa laku itu terlalu berat baginya. Tetapi Agung Sedayu tidak ingin menyinggung perasaannya.
Demikianlah, Sekar Mirah pun benar-benar telah mempersiapkan dirinya untuk memasuki satu masa yang sangat berat. Tetapi laku itu juga merupakan pertanda kesungguhan usahanya untuk mencapai satu tujuan. Hanya dengan laku yang berat, maka ilmu itu akan dapat digapainya
Di hari berikutnya, Sekar Mirah benar-benar menikmati masa istirahatnya. Meskipun demikian, secara jiwani, Sekar Mirah tidak beristirahat. Ia justru telah mempersiapkan dirinya untuk memasuki satu masa yang sulit. Hanya dengan tekad yang membaja, maka laku itu akan dapat dijalaninya sampai tuntas.
Hari pun rasa-rasanya berjalan dengan lambat Sekar Mirah memang lebih banyak berada di sanggarnya daripada di luar sanggar. Sekar Mirah tidak lagi mempunyai waktu untuk membimbing Rata Wulan. Tetapi untuk mengisi waktu, Rara Wulan selalu berlatih dengan Glagah Putih.
Ternyata latihan-latihan itu pun banyak memberikan arti bagi kemajuan ilmu Rara Wulan. Wawasannya menjadi semakin luas. Kecepatannya menanggapi keadaan pun menjadi semakin tinggi. Selain itu latihan-latihan itu sendiri telah meningkatkan ketahanan tubuh Rara Wulan itu pula.
Hari dan hari pun telah dilalui. Laku yang di jalani Sekar Mirah pun menjadi semakin panjang. Sementara ilmunya pun menjadi semakin meningkat
Di saat Sekar Mirah menjalani laku, maka ia pun telah melupakan segala-galanya. Bahkan Sekar Mirah tidak ingin lagi bahwa dua orang pada suatu saat akan datang menemuinya untuk berbicara tentang pertemuan yang akan diselenggarakan, menghimpun kembali kekuatan dari sebuah perguruan yang seakan-akan telah dilupakan orang.
Sekar Mirah tidak lagi mempunyai waktu untuk membimbing Rara Wulan. Tetapi untuk mengisi waktu, Rara Wulan selalu berlatih dengan Glagah Putih.
Meskipun di pagi hari Sekar Mirah masih mempunyai waktu untuk melakukan kegiatannya sehari-hari, tetapi sebenarnyalah waktunya sangat terbatas. Rara Wulanlah yang seakan-akan telah mengambil alih semuanya.
Namun Rara Wulan pun telah menjadi terampil pula. Di dapur, ke pasar serta menyediakan makan dan minuman bagi seisi rumah.
Sukra pun mengetahui pula kesibukan Rara Wulan. Karena itu, maka ia pun ikut menjadi sibuk. Ia banyak mengurangi kegiatannya di sungai di malam hari agar ia dapat bangun pagi-pagi sekali untuk mencuci mangkuk, kuwali, dan dandang dan peralatan dapur yang lain.
Setiap malam Sukra hanya turun ke sungai sekali saja agar ia tidak terlambat bangun di pagi harinya.
Dengan tekun dan dengan kesungguhan hati Sekar Mirah menjalani laku yang berat itu. Tetapi karena jiwanya yang bergelora, maka segala hambatan dapat diatasinya.
Karena itu, maka setapak demi setapak Sekar Mirah pun telah memanjat sampai ke puncak.
Agung Sedayu yang membimbing Sekar Mirah mencapai tataran tertinggi dari ilmunya, merasa kagum atas kemauan Sekar Mirah. Nampaknya kedatangan orang yang mengaku saudara seperguruannya itu benar-benar mendorongnya untuk benar-benar pantas disebut sebagai salah satu dari dua orang terbesar di lingkungan perguruannya. Sebagai pemegang tongkat ciri dari perguruannya, maka Sekar Mirah memang harus mempertanggungjawabkannya, bahwa ia benar-benar salah satu dari dua orang terbaik dari perguruannya.
Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu sendiri adalah bukan orang dari jalur perguruan yang sama dengan Sekar Mirah. Tetapi karena ilmunya yang tinggi dan mapan, maka Agung Sedayu mampu membimbing Sekar Mirah sampai ke puncak.
Demikianlah Sekar Mirah telah mendekati hari-hari terakhir. Kemampuannya benar-benar telah jauh meningkat. Laku yang dijalaninya dengan kesungguhan hati itu telah membuatkan hasil yang diharapkan.
Akhirnya Sekar Mirah pun sampai pada hari-hari terakhir dari laku yang dijalaninya. Semakin dekat dengan hari terakhir, maka laku yang dijalaninya menjadi semakin berat. Bukan saja latihan-latihan di sanggar yang hampir makan waktu semalam suntuk di setiap hari. Tetapi di luar sanggar pun Sekar Mirah harus melengkapi laku dengan berbagai macam kewajiban.
Sementara itu di siang hari Sekar Mirah pun mempunyai kewajiban untuk berada di dalam sanggar seorang diri. Agung Sedayu sudah memberikan beberapa petunjuk, apa yang harus dilakukannya sehingga dapat mendukung pembajaan diri yang dilakukan di dalam sanggar.
Ketika Sekar Mirah kemudian sampai di hari terakhir, maka Agung Sedayu telah minta kepadanya untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
"Besok, sejak dini hari, kau akan berada di sanggar. Aku sudah memberitahukan kepada para pemimpin kelompok di barakku, bahwa aku tidak datang."
"Maksud Kakang, Kakang besok akan berada di rumah sehari penuh?"
"Bukan hanya di rumah sehari penuh, tetapi seperti yang aku katakan kita akan berada di sanggar sejak dini hari"
Wajah Sekar Mirah menjadi cerah Betapapun wajahnya nampak letih, namun tekadnya yang membara di hatinya, membuatnya tetap tegar menghadapi laku yang betapapun beratnya Apalagi Sekar Mirah tahu, bahwa ia sudah berada di ujung keberhasilan.
"Berdoalah," berkata Agung Sedayu, "mudah-mudahan kau dapat melampaui hari terakhirmu dengan baik."
Sekar Mirah mengangguk. Tetapi wajahnya nampak bersungguh- sungguh.
Malam itu, Sekar Mirah justru tidak berada di sanggar. Ia harus mempersiapkan dirinya untuk menjalani laku di hari terakhir mulai dini hari.
Menjelang tengah malam, Sekar Mirah telah bersiap. Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka Sekar Mirah pun telah makan sebuah pisang koja. Minum air putih semangkuk. Kemudian Sekar Mirah pun telah melakukan segala kewajibannya menjelang saat ia memasuki sanggar.
Sebelum fajar, Sekar Mirah dan Agung Sedayu telah berada di sanggar. Beberapa saat keduanya mempersiapkan badan dan jiwanya. Mereka memohon bimbingan kepada Yang Maha Agung untuk menjalani laku di hari terakhir bagi Sekar Mirah.
Tepat pada saat matahari terbit, ketika sinarnya yang kekuning-kuningan mulai meraba dinding, maka Sekar Mirah pun segera mulai dengan puncak laku yang harus dijalaninya.
Ternyata bukan hanya Sekar Mirah sajalah yang harus memusatkan segala nalar budinya. Agung Sedayu pun harus melakukannya pula. Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulan pun menjadi tegang pula. Mereka seakan-akan ikut hanyut ke dalam puncak laku yang sedang di jalani oleh Sekar Mirah itu.
Sehari itu Sekar Mirah dan Agung Sedayu sama sekali tidak keluar dari sanggar. Sampai matahari merunduk dan menyusup cakrawala
Sukra yang menyalakan lampu di dalam rumah, di pendapa dan gandok, bertanya kepada Glagah Putih, "Apakah aku juga harus menyalakan lampu di dalam sanggar."
"Jangan masuk"Jawab Glagah Putih
"Jadi, apakah kita biarkan saja sanggar itu tetap gelap?"
"Jika Kakang Agung Sedayu nanti memerintahkan untuk menyalakan lampu di sanggar, barulah kau menyalakannya."
Sukra mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian pergi ke dapur. Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan duduk di serambi belakang sambil mengamati pintu sanggar yang berada di halaman belakang.
Tetapi pintu sanggar itu masih belum terbuka ketika gelap malam mulai turun.
Glagah Putihlah yang kemudian menyalakan lampu di sudut luar sanggar dekat dengan pintu sanggar yang tertutup.
Namun kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan melihat lewat sela-sela dinding, cahaya lampu di dalam sanggar.
13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Agaknya Agung Sedayu sendiri telah menyalakan lampu di dalam sanggar.
Namun dengan demikian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan menduga, bahwa keduanya tentu tidak akan segera keluar dari dalam sanggar itu meskipun malam telah turun.
Dalam pada itu, saat terakhir yang menegangkan itu berjalan maju setapak demi setapak. Glagah Putih yang juga pernah menjalani laku, dapat membayangkan betapa letihnya Sekar Mirah. Meskipun Sekar Mirah tidak memilih laku yang harus dijalani langsung tiga hari tiga malam, namun yang sehari penuh itu pun tentu sangat melelahkan.
Sementara itu, Rara Wulan telah menyediakan air abu merang untuk mandi keramas jika Sekar Mirah itu keluar dari dalam sanggarnya.
Dalam ketegangan itu, Glagah Putih dan Rara Wulan tersentak ketika mereka mendengar suara Sekar Mirah yang menghentak. Kemudian di dalam sanggar itu bagaikan telah memancar kilat yang sangat terang. Kilat yang pecah dan menghambur bertaburan memancar menerpa dinding
Tetapi suasana pun kemudian menjadi hening, tidak terdengar desir yang lembut sekali pun.
Glagah Putih yang sudah pernah menjalani laku pun dapat membayangkan, apa yang sudah terjadi. Nampaknya Sekar Mirah benar-benar telah mengakhiri laku yang dijalaninya Selanjutnya Sekar Mirah dan Agung Sedayu tentu sedang mengendurkan tatanan urat dan syaraf mereka serta kemudian mengatur pernafasan sebelum segala-galanya benar-benar selesai.
Beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan menunggu. Sementara itu, malam pun menjadi semakin malam.
Angin yang sejuk berhembus menggamit dedaunan yang bergayut di tangkainya. Selembar daun kuning melayang dan jatuh di tanah. Bintang-bintang menebar memenuhi langit yang biru. Sehelai mega putih mengalir lewat, dihanyutkan angin ke utara.
Beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan tiba-tiba telah bangkit ketika mereka melihat pintu sanggar itu terbuka.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berlari ke pintu sanggar, mereka melihat Agung Sedayu dan Sekar Mirah berdiri di pintu sanggar itu. Sekar Mirah menjinjing tongkat baja putihnya, sementara Agung Sedayu berdiri di sisinya.sanggar.
"Mbakayu," desis Rara Wulan.
Sekar Mirah tersenyum. Di bawah cahaya lampu di sudut luar sanggar itu, wajah Sekar Mirah nampak pucat. Pakaiannya basah oleh keringat yang bagaikan diperas dari tubuhnya
"Apakah kau sudah menyediakan air abu merang?" bertanya Agung Sedayu.
"Sudah, Kakang," jawab Rara Wulan.
"Aku akan mandi keramas lebih dahulu Wulan," desis Sekar Mirah.
"Marilah Mbakayu," sahut Rara, Wulan.
Tetapi ketika ia akan membimbing Sekar Mirah itu pun berkata sambil tersenyum, "Aku akan berjalan sendiri, Wulan"
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Sekar Mirah itu melangkah ke pakiwan. Langkahnya masih tetap tegak, meskipun Agung Sedayu mengikutinya di belakang.
Berlari-lari Rara Wulan mengambil air abu merang yang sudah disiapkannya dan dibawanya ke pakiwan, sementara Glagah Putih telah menyiapkan lampu di muka pintu pakiwan.
Sejenak kemudian, maka Sekar Mirah pun telah mandi keramas. Rara Wulan menunggunya di depan pintu, sementara Glagah Putih dan Agung Sedayu telah pergi ke serambi belakang.
Sukra pun kemudian ikut menjadi sibuk pula. Ia pun telah menyiapkan minuman hangat serta beberapa potong makanan lunak. Beberapa saat kemudian, maka seisi rumah itu pun telah duduk di ruang dalam, sementara Sukra berada di dapur memanasi makan yang disediakan bagi Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Tetapi dalam ketegangan, Glagah Putih dan Rara Wulan pun masih juga belum makan, sehingga mereka akan makan bersama-sama
Sekar Mirah yang telah mandi keramas serta meneguk minuman hangat nampak mulai menjadi segar kembali, meskipun tubuhnya masih lemah.
Meskipun wajah Sekar Mirah masih nampak pucat, tetapi di bibirnya nampak senyumnya yang cerah. Laku yang berat telah dijalaninya hingga sampai ke puncaknya.
Sambil mengucap syukur, Sekar Mirah itu pun kemudian berkata, "Segala sesuatunya telah lampau. Dengan bimbingan-Nya aku telah berhasil memanjat sampai ke puncak kemampuan menurut tatanan ilmu perguruanku, Rara. Pada suatu saat kau pun akan mampu melakukannya."
Rara Wulan mengangguk sambil berkata, "Mudah-mudahan aku mempunyai kesempatan sebagaimana Mbakayu Sekar Mirah."
"Kau akan mendapat kesempatan Wulan," jawab Sekar Mirah.
Rara Wulan menarik nafas panjang sambil berpaling kepada Glagah Putih. Namun hanya sekilas.
Malam itu, Rara Wulan masih belum banyak bercerita. Tubuhnya masih terlalu lemah. Setelah makan makanan yang lunak serta menghirup minuman hangat, maka Agung Sedayu pun minta Sekar Mirah untuk beristirahat.
"Kau dapat tidur nyenyak di sisa malam ini, Mirah," berkata Agung Sedayu.
"Ya, Kakang. Aku memang merasa sangat letih."
"Apakah Kakang tidak merasa letih?" bertanya Glagah Putih kepada Agung Sedayu.
"Tentu. Tetapi aku tidak mengerahkan tenaga lahir batin sebagaimana Sekar Mirah."
Demikianlah, maka Sekar Mirah pun telah pergi ke biliknya, sementara Agung Sedayu dan Glagah Putih masih duduk di ruang dalam. Rara Wulan yang juga merasa lelah setelah menunggu dengan tegang Sekar Mirah hingga selesai menjalani laku, juga telah berada di dalam biliknya.
"Mbakayu Sekar Mirah akan menghadapi orang-orang yang mencarinya kemari itu dengan lebih tenang setelah ia mencapai tataran puncak ilmunya," berkata Glagah Putih.
"Ya. Bahkan Sekar Mirah memiliki unsur-unsur yang lebih kaya, justru karena Sekar Mirah dengan terbuka menerima pengaruh dari luar perguruannya. Sudah tentu yang memberikan dukungan dan manfaat bagi ilmu Sekar Mirah sendiri."
"Itu akan mengejutkan saudara-saudara seperguruannya yang berpegangan teguh pada dasar ilmunya yang menganggap kesediaan menerima pengaruh itu adalah ketidaksetiaan pada sumbernya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Aku, kau dan bahkan Ki Jayaraga, juga tidak berpegangan teguh pada satu jalur perguruan."
Glagah Putih Sempat merenungi ilmunya sendiri. Sebagaimana dikatakan Agung Sedayu, maka ilmunya justru menjadi semakin mapan dengan menyerap pengaruh ilmu dari jalur perguruan yang lain. Jika pada dasarnya ia mempelajari landasan ilmu kanuragan dari jalur ilmu Ki Sadewa, namun kemudian ia adalah juga murid Ki Jayaraga. Bahkan ia adalah salah satu murid utama dari perguruan orang bercambuk. Namun dengan demikian, maka ia telah menguasai unsur-unsur dari ketiga jalur ilmu itu. Sementara itu pengaruh Raden Rangga pun nampak kuat pula di dalam dirinya.
Justru karena itu, maka ilmu yang dikuasainya justru nampak menjadi kaya. Sementara itu, pengalamannya pun telah ikut membentuk ujud dari ilmunya itu.
Meskipun demikian, ilmunya bukanlah gumpalan-gumpalan ilmu yang sekedar saling menopang. Tetapi telah menjadi luluh di dalam dirinya, sehingga menjadi kesatuan ilmu yang utuh dengan kelebihan-kelebihannya
Dalam pada itu, Agung Sedayu itu pun kemudian berkata, "Glagah Putih, meskipun Mbakayumu sudah berhasil menggapai puncak ilmunya namun kau harus mengamatinya. Meskipun kita tidak boleh berprasangka buruk kepada seseorang sebelum kita melihat tanda-tandanya, namun kita dapat saja berhati-hati menghadapi persoalan-persoalan .yang samar-samar."
"Ya Kakang. Tetapi kedatangan mereka yang sudah dua kali itu, justru pada saat kita tidak ada. di rumah. Bahkan terakhir Mbakayu hanya sendiri di rumah, sehingga Sukra sempat menjadi cemas dan berdiri saja di pintu seketeng."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Mbakayumu juga bercerita tentang Sukra. Ia sudah siap memukul kentongan jika perlu."
"Tetapi ia mempunyai sifat yang baik. Jika Kakang tidak berkeberatan, biarlah aku serta sedikit memberikan latihan kepadanya. Mungkin ia akan dapat menjadi seorang pengawal yang baik. Atau bahkan lebih dari itu. Ia dapat menjadi seorang prajurit"
"Aku tidak berkeberatan. Tetapi juga agar ia tetap dalam keseimbangan nalar dan perasaannya, sehingga ia tidak menjadi terlalu yakin akan dirinya sehingga karena itu menjadi sombong."
Glagah Putih mengangguk. Katanya, "Aku akan berusaha Kakang."
"Nah, malam telah larut, beristirahatlah."
Glagah Putih mengangguk kecil sambil menjawab, "Aku juga sudah mengantuk, Kakang."
Glagah Putih pun kemudian telah pergi ke biliknya pula. Dibaringkannya tubuhnya di pembaringan. Beberapa saat ia sempat berangan-angan. Namun kemudian Glagah Putih itu pun telah tertidur nyenyak pula. Meskipun ia tidak lebih dari menunggu di luar sanggar selama Sekar Mirah menjalani laku, namun rasa-rasanya ia menjadi letih juga.
Di hari berikutnya, seperti biasa, Glagah Putih telah bangun di dini hari. Seperti biasa ia pun segera melakukan kewajiban-kewajibannya.
"Sebaiknya Mbakayu beristirahat saja dahulu. Biarlah aku selesaikan pekerjaan di dapur bersama Sukra," berkata Rara Wulan.
"Aku sudah hampir pulih, Rara. Jika aku duduk saja tanpa berbuat apa-apa, maka justru akan merasa tubuhku lemah."
Rara Wulan tidak dapat mencegah Sekar Mirah yang ikut sibuk di dapur, karena Sekar Mirah sendiri menghendakinya.
Sementara itu Sukra dan Glagah Putih telah sibuk mengisi gentong di dapur. Glagah Putih yang menimba air, sementara Sukra yang membawa kelenting yang telah penuh air ke dapur. Tetapi Sukra tidak mau membawa kelenting di lambungnya seperti kebanyakan yang dilakukan oleh perempuan. Tetapi Sukra membawa kelenting di atas kepalanya.
Ketika Agung Sedayu sudah selesai berbenah diri, maka ia pun duduk di ruang dalam bersama dengan Sekar Mirah. Sambil menghirup minuman hangat Agung Sedayu pun berkata, "Kau masih harus banyak beristirahat. Ketahanan tubuhmu memang luar biasa. Meskipun demikian jangan memaksa diri. Besok kau tentu sudah pulih kembali."
Sekar Mirah mengangguk kecil sambil tersenyum, "Aku nanti akan tidur sampai sore."
Agung Sedayu pun tertawa pula. Katanya, "Biarlah Glagah Putih tetap berada di rumah hari ini."
"Ya, Kakang," jawab Sekar Mirah.
Sejenak kemudian, Agung Sedayu telah siap untuk berangkat ke baraknya.
Seperti kepada Sekar Mirah, maka Agung Sedayu pun berpesan pula kepada Glagah Putih, agar ia tidak pergi ke mana-mana hari itu, karena Sekar mirah belum pulih sepenuhnya.
"Besok, Mbakayumu tentu sudah pulih kembali. Ia memiliki ketahanan badan yang luar biasa. Apalagi setelah terlatih dengan baik."
"Baik Kakang," Glagah Putih mengangguk, "hari ini aku akan tinggal di rumah saja."
Sebenarnyalah, bahwa hari itu Glagah Putih tidak pergi ke banjar. Tidak pula pergi ke rumah Ki Gede atau bersama Prastawa pergi ke padukuhan-padukuhan. Tetapi sehari penuh Glagah Putih berada di rumah. Ia ikut membelah kayu bakar dengan kapak. Glagah Putih pun ikut membuat tempat pembuangan sampah di halaman belakang karena yang sudah ada sudah hampir penuh.
Ketika Glagah Putih duduk di serambi belakang sambil mengusap keringatnya, kemudian menghirup air gendi yang segar, Sukra pun mendekatinya sambil berkata, "Jika kau setiap hari berada di rumah, aku tentu merasa senang."
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Hanya hari ini. Meskipun besok aku berada di rumah, tetapi besok aku tidak akan melakukan apa-apa"
Sukra pun tertawa pula. katanya, "Besok aku yang akan membelah kayu bakar, memotong dahan yang merunduk ke atas jalan di sebelah, kemudian memotong-motong dan membelahnya. Kau besok harus memetik kangkung, mengupas bawang merah dan bawang putih, memotong buncis dan kerja lain di dapur membantu Rara Wulan."
Glagah Putih mendorong dahi Sukra sambil berdesis, "Sudah sana. Bukankah kau belum membersihkan pakiwan" Kuras airnya. Nanti aku yang mengisinya."
Sukra pun kemudian melangkah ke pakiwan.
Hari itu Sekar Mirah masih banyak beristirahat. Ia tidak terlalu lama berada di dapur. Sebelum tengah hari Sekar Mirah telah berada di ruang dalam. Namun Sekar Mirah tidak telaten duduk sendiri. Ia pun kemudian telah pergi ke serambi belakang duduk di lincak panjang melihat Sukra yang telah sibuk kembali dengan kerjanya. Ia sudah selesai membersihkan pakaian, sementara Glagah Putih menimba air mengisi jambangan, Sukra telah sibuk menjemur kayu bakar yang telah dibelah-belah.
Namun beberapa saat kemudian, Sekar Mirah telah berada di pembaringannya, tubuhnya memang masih terasa lemah.
Tetapi seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka setelah hari itu Sekar Mirah banyak beristirahat, maka di keesokan harinya, ia telah menjadi pulih kembali.
Bahkan wajahnya seakan-akan menjadi semakin cerah sejalan dengan peningkatan ilmunya.
Meskipun Sekar Mirah telah pulih kembali, tetapi hari itu Glagah Putih masih tetap berada di rumahnya. Ia hanya pergi sebentar menemui Prastawa untuk mengatakan hari itu ia tidak pergi ke banjar
"Bukankah kau tidak sakit?" bertanya Prastawa.
"Tidak. Aku hanya ingin beristirahat. Ada sesuatu yang dilakukan di rumah."
"Apa?" bertanya Prastawa.
Glagah Putih menjadi bingung. Karena itu, ia hanya tertawa saja tanpa menjawab pertanyaan Prastawa.
Dalam pada itu, Glagah Putih yang mempunyai lebih banyak waktu luang di saat-saat tanah perdikan tenang, telah memanggil Sukra di serambi belakang.
Sukra yang kemudian duduk bersama Glagah Putih di serambi itu pun berkata, "Aku sedang memberikan makanan buat kuda-kuda di kandang. Kudamu makan banyak sekali. Hampir dua kali lipat kuda yang lain"
"Ah, kau ini mengada-ada saja," sahut Glagah Putih.
"Kudamu lebih besar dan lebih tegar dari kuda-kuda yang lain."
"Seberapa jauh selisihnya"
Sukra termangu-mangu Baru kemudian ia menjawab, "Seperti aku dan kau. Kalau makan, kau pun jauh lebih banyak dari aku."
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Pantas kau tidak seperti aku. Kau akan tetap kerdil dan bahkan kau akan dapat menjadi sakit-sakitan kelak."
"Mulai besok, aku akan makan sebanyak kau makan," berkata Sukra sambil tertawa pula.
"Sudahlah," berkata Glagah Putih, "duduklah. Kita akan berbicara bersungguh-sungguh."
"Tentang apa?" "Kita akan meningkatkan latihan-latihan kita. Untuk beberapa saat ini, aku tidak mempunyai tugas-tugas penting, sehingga waktuku agak longgar."
"Beberapa saat yang lalu, kau juga berkata begitu. Tetapi kau bahkan pergi ke padepokan yang sedang kalut itu."
"Tetapi sekarang persoalan itu sudah selesai. Para pemimpinnya sudah menemukan kata sepakat."
"Tetapi sebentar lagi tentu ada persoalan baru."
Mudah-mudahan tidak."
"Nampaknya yang akan menjadi pusat persoalannya sekarang adalah Nyi Lurah Agung Sedayu."
"Kenapa?" bertanya Sukra
"Kedua orang yang datang itu nampaknya orang-orang aneh. Tidak seperti tetangga-tetangga kita."
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi."
"Ki Lurah juga berilmu tinggi. Tetapi sikapnya wajar. Tidak berbeda dengan tetangga-tetangga kita yang tidak berilmu tinggi," Sukra seakan-akan hanya sekedar bergumam bagi dirinya sendiri.
"Sudahlah. Selagi ada waktu," berkata Glagah Putih kemudian, "sebaiknya kau tidak usah turun ke sungai. Berikan pliridanmu kepada salah seorang kawanmu."
Sukra mengerutkan dahinya Katanya, "Pliridan itu memberikan kewajiban yang khusus bagiku. Ada keterikatan sehingga aku seakan-akan harus melaksanakannya pada waktu-waktu yang sudah ditentukan. Tanpa pliridan itu aku akan menjadi sangat malas. Aku akan segera tidur begitu gelap turun, dan baru bangun setelah fajar. Tetapi justru karena ada pliridan itu aku tidur agak lebih malam dan bangun di dini hari."
Dua Nyawa Kembar 1 Mustika Lidah Naga 3 Dendam Sepasang Gembel 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama