Pendekar Rajawali Sakti 182 Dendam Sepasang Gembel Bagian 2
"Apa yang kau lakukan"!" desis laki-laki setengah baya itu tak habis pikir.
"Menurutmu, apa" Aku menginginkan kematiannya di tanganku! Dia akan kugantung di depanmu," bentak Retno.
"Kalaupun kau hendak mengukumnya, hu-kumlah dia. Tapi, jangan di depanku...," sahut Ki Putut Denawa lemah.
"Ayah.... Apakah..., apakah kau benar-benar hendak membunuhku" Hendak menyerahkanku kepada mereka?" tanya Tirta Janaka, lirih.
"Kenapa tidak" Kesalahanmu telah kelewat batas. Dan tidak semestinya kau hidup untuk me-ngotori dunia dengan perbuatan-perbuatan bejadmu!"
"Tidak, Ayah! Jangan lakukan itu. Aku bersumpah tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk! Aku bertobat, Ayah! Aku bertobat!" ratap pemuda itu, sambil bersimpuh dan merangkul kaki ayahnya.
Ki Putut Denawa terdiam memandangi putranya. Untuk beberapa saat dia tak tahu mesti berbuat apa. Namun hati kecilnya memang tak ingin melihat kematian anaknya. Biar bagaimanapun, rasa sayangnya terhadap Tirta Janaka tak dapat menipunya. Dan kini, Tirta Janaka bertobat mohon ampun. Lantas bila Tuhan saja adalah Maha Penerima Tobat, kenapa manusia justru tak saling memaafkan"
"Orang tua, serahkan dia padaku!" tegas Retno.
Ki Putut Denawa terdiam.
"Serahkan dia padaku untuk kugantung!" ulang wanita gembel itu menegaskan.
"Tidak, Ayah! Kau tidak boleh menyerahkanku padanya. Dia akan membunuhku. Padahal aku sudah bertobat dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk itu lagi! Kau harus melindungiku, Ayah!" ratap Tirta Janaka bemlang-ulang.
"Serahkan dia padaku, Orang Tua! Atau, kau mesti menanggung perbuatannya!" bentak Retno garang.
Ki Putut Denawa memandang wanita itu dengan bola mata sayu.
"Setiap manusia punya nurani suci, karena pada dasarnya ditakdirkan untuk berbuat kebaikan. Karena, Yang Maha Kuasa menghendaki kebaikan. Tidak heran kalau Dia amat pemaaf. Maka, mengapa kita sebagai hambanya tidak memiliki sifat pemaaf...?" ujar Ki Putut Denawa lirih. Kalau tadi laki-laki setengah baya ini sangat ingin menghukum, namun begitu melihat ratapan Tirta Janaka, hatinya luluh juga.
"Serahkan putramu untuk kugantung! Atau kau akan menanggung akibat bersamanya"!" hardik Retno.
"Bukannya begitu, Nisanak. Lepas dia adalah anakku, setiap manusia berhak bertobat untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Tidakkah kau bisa memaafkannya?" kilah Ki Putut Denawa.
Wanita itu agaknya tidak sabaran. Melihat Ki Putut Denawa coba membujuk untuk menghalangi niatnya, maka dia sudah mengambil keputusan. Jelas, laki-laki setengah baya ini patut disingkirkan!
"Kau akan mati bersamanya!" desis wanita itu geram. "Heaaa...!"
Disertai bentakan menggelegar, Retno langsung melompat menerjang. Tangannya langsung dikibaskan ke wajah Ki Putut Denawa.
Namun, Ki Putut Denawa cepat mengibaskan sebelah tangan menangkis.
Plak! Betapa terkejutnya Pendekar Budiman Bertangan Maut begitu merasakan tangannya bergetar saat berbenturan. Belum lagi dia sempat berpikir, mendadak wanita itu telah melepas tendangan ke dada. Karuan saja, Ki Putut Denawa terpaksa melompat ke samping untuk menyelamatkan diri.
"Hiih!"
Namun, akibatnya justru Tirta Janaka yang menjadi sasaran ketika Retno melanjutkan serangan yang justru bukan ditujukan ke arah Ki Putut Denawa. Serangan itu berbelok, dan....
Prak! "Aaa...!"
Tak ayal lagi, pemuda itu memekik pelan, takkala tangan wanita itu menghantam kepalanya.
Batok kepala Tirta Janaka kontan retak. Pemuda itu memegang kepalanya. Tampak dari sela-sela jarinya merembes darah segar. Tak lama, dia ambruk Sepasang matanya melotot, ketika nyawanya terbang meninggalkan raga.
"Tirta Janaka..."!" sentak Ki Putut Denawa dengan wajah kaget.
"Kakang! Tolong urus orang tua itu!" seru Retno ketika melihat Ki Putut Denawa menghampirinya dengan gusar.
"Jangan khawatir! Biar kubereskan dia!" sahut Barata.
"Heaaa...!"
Barata tidak menunggu sampai Ki Putut Denawa menyerangnya. Dia langsung lompat menye-rang.
? *** ? "Hup!"
Ki Putut Denawa mencelat ke belakang meng-hindari tendangan. Tapi, Barata terus mengejar dengan tendangan berputar.
Mau tak mau Ki Putut Denawa terpaksa mengibaskan tangan, menangkis.
Plak! "Hiih...!"
Baru saja terjadi benturan, Barata sudah melanjutkan serangan berupa sapuan. Dengan gerakan cepat, Ki Putut Denawa melompat ke samping.
"Yeaaa...!"
Barata terus mengejar dengan sebuah kibasan tangan menuju perut.
Namun Ki Putut Denawa kembali mengibaskan tangan untuk menangkis. Dia bermaksud membalas, namun Barata lebih cepat menyerangnya secara bertubi-tubi.
"Kurang ajar!" dengus Pendekar Budiman Bertangan Maut geram ketika melihat tendangan Barata nyaris meremukkan kepala.
"Ternyata kalian sungguh-sungguh hendak membunuhku, he"!"
"Syukurlah kalau memang kau telah sadar," sahut Barata singkat.
Ki Putut Denawa menggeram. Dibukanya jurus baru ketika melompat ke belakang untuk mengambil jarak. Sebuah jurus andalan yang selama ini amat dibanggakannya,
"Terimalah jurus 'Gelombang Selaksa Tangan' ini. Yeaaa...!" bentak Pendekar Budiman Berta-ngan Maut nyaring seraya melompat menerjang.
Kedua tangan Ki Putut Denawa bergerak lincah menyambar-nyambar menimbulkan desir angin cukup hebat. Dalam serangannya itu, seolah-olah kepalan tangannya menjadi berjumlah banyak, mengepung dari segala penjuru.
"Hiih!"
Untuk sesaat Barata agak kerepotan. Tapi sejurus kemudian, tubuhnya telah bergerak lincah menangkis semua serangan dengan mantap. Bahkan begitu mendapat kesempatan, dia balas menyerang dengan gencar.
Tubuh Barata melenting melewati kepala Ki Putut Denawa dengan gerakan cepat bukan main. Dan sebelum Pendekar Budiman Bertangan Maut berbalik, Barata telah melepaskan tendangan ke belakang yang begitu keras.
Duk! "Aaakh...!"
Ki Putut Denawa mengeluh tertahan ketika punggungnya terhajar tendangan keras. Namun Pendekar Budiman Bertangan Maut cepat melom-pat ke depan sambil berjumpalitan beberapa kali. Sedangkan begitu menjejak tanah, Barata langsung berbalik. Tanpa memberi kesempatan, dia segera mengejar, dengan sebuah hantaman bertenaga dalam tinggi.
"Hiih!"
Bukan main terkejutnya Ki Putut Denawa. Sebisa-bisanya tangannya mengibas menangkis.
Plak! Namun begitu terjadi benturan, Barata telah melepas tendangan ke perut.
Desss...! "Aaakh...!"
Bahkan kemudian pengemis itu menyusuli dengan sodokan tendangan keras ke dada.
Desss...! "Aaakh...!"
Kembali Pendekar Budiman Bertangan Maut terpekik. Tubuhnya melayang seperti gedebong pi-sang ambruk. Dari mulutnya menyembur darah segar.
"Retno! Kau sudah selesai dengan urusan-mu"!" teriak Barata lantang ketika melihat istrinya telah menjerat leher korbannya dengan seutas tambang.
"Sudah, Kakang! Sekarang bagianmu!" sahut istrinya seraya melemparkan seutas tambang yang lain.
Barata menangkap tambang dengan sigap. Kemudian bibirnya menyeringai buas kepada Ki Putut Denawa yang tengah megap-megap tak berdaya.
"Mestinya kau tidak mengalami ini kalau berpikir waras. Tapi, ternyata kau memang sama saja dengan putramu, sehingga nasibmu pun akan sama dengannya!" desis Barata.
Ki Putut Denawa tak menjawab, namun berusaha untuk duduk. Barata menghampiri, lalu menjambak rambut kepala Pendekar Budiman Bertangan Maut.?
"Huh...!"
"Aaakh...!"
Barata lantas menghadapkan wajah Ki Putut Denawa ke arah Tirta Janaka yang telah tewas tergantung di cabang pohon dengan rumahnya.
"Kau harus lihat kematian anakmu!" dengus Retno ketika Retno telah selesai dengan tugasnya.
"Ohhh...!"
Ki Putut Denawa terkulai lesu sambil mengeluh pilu. Bagaimanapun Tirta Janaka adalah putranya. Darah dagingnya sendiri. Mana mungkin dia tega melihat anaknya diperlakukan demikian mpa" Tapi begitu muka berpaling, Barata Menghadapinya kembali dengan sentakan keras.
"Dia merupakan bagian dosamu! Kau bertang-gung jawab atas perbuatannya. Maka, lihatlah kematiannya sebelum kau mati dengan cara sama!"
"Biadab! Kalian benar-benar biadab...!" umpat Pendekar Budiman Bertangan Maut geram.
"Aku tidak menyuruhmu memaki, Bangsat!"
Begitu kata-katanya habis, Barata langsung menjeratkan tambang di tangannya, menjerat leher Ki Putut Denawa.
"Eekh!"
Ki Putut Denawa menjerit pendek, kemudian terkulai lesu ketika nyawanya melayang dari tubuh.
Barata langsung menyeret tubuh Pendekar Budiman Bertangan Maut kemudian menggantungnya di sebelah Tirta Janaka.
"Huh! Itu akibatnya kalau melindungi anak biadab!" dengus Retno.
"Apakah kau senang, Sayang?" tanya Barata, setelah menyelesaikan pekerjaannya.
"Belum tuntas, Kakang. Masih ada tiga lagi."
"Ya, aku tahu. Bagaimana dengan putranya yang seorang lagi?"
"Dia telah melarikan diri...."
"Aku bisa mengejarnya kalau kau mau?"
"Tidak perlu. Dia lari menghindar, itu sudah cukup membuktikan kalau tidak mau terlibat urusan ini. Untuk apa kita mengejarnya" Lagi pula sempat kudengar awal pertarungan mereka tadi. Dia pun rupanya mengutuk perbuatan kakaknya itu.
"Baiklah kalau memang demikian keinginan-mu.....
"Lebih baik kita bereskan tiga orang yang tersisa. Ayo kita pergi dari sini!" ajak Barata.
? *** ? ? 6 ? Kematian Ki Putut Denawa yang mengenaskan, benar-benar membuat dunia persilatan gem-par. Terutama, bagi kawan-kawan seangkatan Pendekar Budiman Bertangan Maut itu sendiri. Memang tak seorang pun yang mengetahuinya. Bahkan istri Ki Putut Denawa sendiri, baru tahu pada pagi harinya karena baru kembali dari bepergian.
Kebetulan pada pagi harinya, Adiguna yang diutus oleh ayahnya, Ki Genduk Mani untuk me-ngabarkan kejadian yang menimpa Ki Danang Mangkuto, telah sampai pula di rumah Ki Putut Denawa. Dan ternyata laki-laki setengah baya yang juga kawan seperjuangan Ki Genduk Mani itu telah tewas. Hal ini tentu saja membuat Adiguna dan rombongannya terkejut.
Mereka hanya sebentar di sana. Setelah itu dalam pemakaman Ki Putut Denawa, sebagian rombongan kembali pulang. Sementara sebagian lain, melanjutkan perjalanan menuju seorang sahabat Ki Genduk Mani yang bemama Ki Jaladara.
Sepanjang perjalanan, rombongan yang dipim-pin Adiguna lebih banyak diam. Terlebih-lebih pemuda itu. Hatinya merasa ngeri mendengar kejadian yang menimpa dua sahabatnya, Joko Gending dan Tirta Janaka.
"Kenapa mesti mereka?" gumam Adiguna tak sabar.
"Kenapa, Kang?" tanya salah seorang pemuda anak buah Ki Genduk Mani ayahnya, yang berada di dekatnya.
"Eh! Tidak apa-apa, Bujana!" elak Adiguna.
"Kakang masih memikirkan kejadian yang menimpa keluarga Ki Putut Denawa?" tanya pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun bemama Bujana itu.
"Ya, sedikit..."
"Memang. Mengerikan sekali! Menurut Kakang, apakah pelakunya sama dengan yang menimpa keluarga Ki Danang?" tanya Bujana, ingin tahu.
"Mungkin juga...," desah Adiguna.
"Tapi, kenapa mesti mereka" Keduanya adalah kawan-kawan dekat Ki Genduk Mani...."
"Jangan tanyakan itu, Bujana! Mana aku tahu!" sahut Adiguna dengan suara tinggi.
Bujana terdiam. Dia tidak tahu, perubahan apa yang menyebabkan Adiguna tiba-tiba saja seperti enggan membicarakan soal itu. Sehingga untuk begitu beberapa saat, mereka kembali terdiam. Begitu juga empat orang pemuda yang menyertai mereka. Di tengah keheningan mereka, mendadak....
"He he he...! Dua orang mati percuma! Dua orang mampus karena perbuatan bejad anaknya! Rasakan!"
Tiba-tiba saja terdengar suara bernada mengejek, yang disusul berkelebatnya satu sosok bayangan. Dan tahu-tahu sosok itu telah berdiri di depan rombongan Adiguna. Namun bukan pemandangan itu yang membuat Adiguna terkejut. Tetapi isi kata-kata sosok yang ternyata seorang laki-laki tua berpakaian pengemis yang menyentak hatinya.
"Kenapa, Kang?" tanya Bujana melihat keter-kejutan di wajah Adiguna.
"Hm.... Mungkin ini yang disebut adikku...," sahut Adiguna setengah bergumam.
"Pengemis Sinting?" tebak Bujana.
Adiguna mengangguk.
"Dua telah mampus. Dan tiga lainnya akan menyusul! He he he...! Manusia bejad memang mestinya mampus. Mereka yang berdiri di atas penderitaan orang lain!" lanjut sosok pengemis tua yang tak lain memang Pengemis Sinting.
Entah kenapa, Adiguna merasa kalau kata-kata laki-laki tua itu ditujukan padanya. Maka wajahnya kelihatan geram bercampur kesal. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa mengingat peristiwa yang diceritakan Wiraguna. Kalau benar pengemis ini yang diceritakannya sebagai si Pengemis Sinting, maka percuma saja mencari gara-gara.
"Hei" Kenapa kau memandangku begitu rupa" Apa kau kesal melihatku mengoceh sendiri"!"
Tiba-tiba Adiguna yang menatap tajam ke arahnya.
"Maafkan aku, Kisanak...," ucap Adiguna, tersentak.
"Aku bukan sanak keluargamu, Setan! Enak saja kau menganggapku sebagai sanak keluarga-mu!" tukas Pengemis Sinting, membentak garang.
"Lalu, aku mesti memanggilmu apa?" tanya Adiguna heran.
"Kau lihat aku sebagai apa"!"
"Eh! Pe..., pengemis," sahut pemuda itu ragu.
"Nah! Cukup kau memanggilku begitu!"
"Pengemis?"
"Iya! Kenapa"!" tukas pengemis itu sambil melotot lebar.
"Ah, tidak. Tidak apa-apa."
"Jadi kenapa kau memandangiku" Apa kau kira ada yang aneh padaku"!"
"Eh, tidak. Aku..., aku hanya senang dengansyairmu...."
"Kunyuk! Siapa bilang itu syair" Aku hanya mengoceh sendirian!"
"Mengoceh" Tapi ocehanmu bagus!" puji Adiguna lagi.
"Ya! Bagus karena aku mengoceh tentang dua orang bejad yang sudah mampus!"
"Siapa yang kau maksudkan?" tanya Adiguna, ingin tahu meski mengerti siapa yang dimaksudkan pengemis itu.
"Kau sudah tahu, kenapa tanya-tanya segala"!"
"Apakah Ki Danang dan Ki Putut Denawa?"
"Ya, mereka juga! He he he...! Dasar orang tua tidak tahu diri! Sudah tahu anaknya bejad, ma-lah melindunginya!" sahut Pengemis Sinting sambil tertawa-tawa sendirian.
Dan ocehan pengemis itu semakin jelas tujuannya, membuat Adiguna jadi tidak enak hati. Jangan-jangan Pengemis Sinting mengetahui kelakuannya pula.
"Orang-orang bejad akan menerima balasan atau perbuatan mereka!" lanjut Pengemis Sinting.
"Maaf, Pengemis! Kami tengah mengadakan perjalanan. Harap kau tidak tersinggung bila kami berangkat lebih dulu," ucap Adiguna, buru-buru memotong.
"He he he...! Silakan! Silakan saja. Tapi kau mesti hati-hati, Anak Muda!" ingat Pengemis Sin-ting.
"Apa maksudmu?"
"Orang-orang itu mengincar pemuda-pemuda bejad! Kalau merasa dirimu bejad, maka kau pun akan diincarnya! Ha ha ha...!"
Setelah berkata begitu, Pengemis Sinting berkelebat cepat meninggalkan mereka.
"Dasar pengemis gila!" umpat Adiguna setelah Pengemis Sinting cukup jauh darinya.
Tapi bagaimana pun ucapan pengemis itu membekas di hati pemuda ini. Dan itu membuatnya jadi tidak tenang!
? *** ? Seekor rajawali putih keperakan menukik ke bawah dengan gerakan cepat laksana kilat. Tiba di tempat cukup luas, burung raksasa itu mendarat di atas kedua kakinya yang kokoh. Dari lehernya, tampak melompat seorang pemuda berbaju rompi putih dengan sebilah pedang bergagang kepala burung tersampir di balik punggung.
"Kau terus saja terbang, Rajawali Putih!" teriak pemuda yang tak lain Rangga yang di kalanganpersilatan terkenal sebagai si Pendekar Rajawali Sakti.
"Kraagkh...!"
Rajawali Putih memekik pelan. Lalu dengan sekali mengepakkan kedua sayapnya, burung raksasa berbulu putih itu telah melesat tinggi ke angkasa. Maka tak urung batang-batang pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang seperti dilanda angin kencang.
"Jangan jauh-jauh dariku, Rajawali Putih!" teriak Rangga sambil melambaikan tangan.
"Kreaagkh!"
Rajawali Putih kembali menjerit pelan di ang-kasa sambil berputar-putar di sekitar tempat itu.
"Hm.... Mudah-mudahan Dewa Bayu mengikuti aku," gumam Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti lantas menempelkan ujung jari tangan dan jempolnya ke ujung lidah. Dan....
"Suiiittt...!"
Terdengar suitan keras dari mulut Rangga. Ketika tidak ada tanda-tanda ada yang datang, dia bersuit nyaring kembali.
"Suiiittt...!"
"Hieee...!"
"Nah, itu dia!" seru Rangga girang ketika mendengar ringkikan kuda dari kejauhan.
Tidak lama muncul seekor kuda hitam dari kejauhan yang berlari kencang mendekatinya. Sesaat terdengar hewan itu meringkik kecil. Sambil mendengus kasar, diusap-usapnya dada pemuda berbaju rompi putih itu.
"Syukurlah kau bisa mengikutiku ke sini, Dewa Bayu," kata Rangga seraya balas mengusap-usap leher kuda bernama Dewa Bayu sebelum melompat ke punggungnya.
Begitu digebah, Dewa Bayu telah berlari kencang meninggalkan tempat itu bersama Rangga di punggung menuju desa yang tidak seberapa jauh. Sebentar saja, Rangga telah tiba di mulut desa. Dari tapal batas, dia yakin kalau desa inilah yang ditujunya.
"Desa Kedal...!" sebut Rangga pelan, lalu mempercepat lari Dewa Bayu.
? *** ? Tidak sulit mencari rumah yang paling besar di tempat ini, karena semua penduduk mengenal baik pada keluarga itu. Keluarga Ardisoma.
"Selamat sore...!" sapa Rangga ketika tiba di halaman rumah besar yang ditujunya.
Seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang tengah merawat tanamannya di pekarangan dengan segera menghentikan pekerjaannya. Kepalanya mendongak. Matanya memandang tajam sebentar, lalu kembali sibuk dengan tanamannya.
"Mau cari siapa?" tanya gadis itu, acuh tak acuh.
"Ki Ardisoma," sahut Rangga datar.
"Apa keperluanmu?"
Rangga menarik napas kesal. Hatinya mulai merasa jengkel melihat sikap gadis itu. Meski wa-jahnya cantik, namun wataknya sombong. Bahkan sama sekali tidak bisa berlaku hormat kepada tamu.
"Aku yang hendak bertanya begitu kepada beliau," sahut Rangga, enteng.
"Huh! Orang-orang sepertimu paling-paling hanya pura-pura mengaku kenal, lalu buntutnya minta uang!" cibir gadis itu, menyebalkan.
"Wajahmu cantik, Nisanak. Tapi mulutmu kotor. Jangan sembarangan menuduh kalau belum tahu duduk persoalan yang sebenarnya!" sahut Rangga keras.
"Aku banyak kenal orang-orang sepertimu. Dan semuanya sama saja. Meski kelihatannya berbeda, tapi ujung-ujungnya akan sama!" bentak gadis itu.
"Baiklah. Sebaiknya tidak kita bicarakan soal itu. Nah! Katakan pada beliau, undangannya telah kuterima."
"Beliau tidak ada di rumah?"
"Ke mana?"
"Apakah kau kira aku penjaganya?"
Rangga semakin sebal melihat tingkah gadis ini yang kelewat angkuh. Namun baru saja membalikkan arah kudanya yang hendak pergi meninggalkan rumah itu, tapi tiba-tiba saja dari dalam rumah, besar ini muncul seseorang.
"Kisanak, ada urusan apa" Dan siapakah kau ini sebenarnya?" sapa orang itu dengan suara lebih ramah.
"Angkoro! Apa-apaan kau ini"! Dia sudah mau pergi! Biarkan saja dia pergi!" bentak gadis itu.
"Tapi...."
"Tidak ada tapi-tapian! Biarkan dia pergi!" sentak gadis itu, memotong.
Laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun yang dipanggil Angkoro kelihatan serba salah menghadapi gadis galak itu.
"Kisanak! Eh..., maaf. Aku tidak bermaksud kasar. Tapi kalau benar tidak punya urusan penting, maka kau diperbolehkan meninggalkan tempat ini," ujar Angkoro.
"Sebenarnya bukan aku yang punya persoalan, tapi Ki Ardisoma yang telah mengundangku. Tapi kalau memang beliau berubah pikiran, tidak masalah. Aku pergi sekarang juga...," jelas Rangga, seraya memutar arah kudanya kembali.
"Eh, tunggu dulu! Maksudmu..., Ki Ardisoma sendiri yang mengundangmu ke sini"!" cegah Ang-koro.
"Benar!" sahut Rangga, tanpa menoleh.
"Siapakah kau sebenarnya, Kisanak?" tanya Angkoro, bernada lebih sopan.
"Angkoro! Tidak perlu tanya-tanya namanya segala! Dan kau, Kisanak! Kenapa tidak lekas angkat kaki"!" bentak gadis itu dengan mata melotot lebar.
Dan laki-lagi Angkoro dibuat tidak berkutik oleh gadis itu. Dia memandang Rangga dengan sikap serba salah.
"Tidak apa. Aku akan segera pergi. Maaf, telah mengganggu ketenteraman tempat ini."
Rangga baru saja akan menggebah kudanya, tiba-tiba....
"Kisanak, tunggu dulu!"
Pendekar Rajawali Sakti menghentikan laju kudanya ketika terdengar seruan lantang dari belakangnya.
"Hmm...."
Terpaksa Rangga membalikkan kudanya kembali. Dan dia langsung melihat ke arah datangnya seruan tadi.
Kini di dekat gadis itu berdiri seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih. Berbaju surjan putih, memakai blangkon coklat serta kain panjang berwarna coklat pula.
Dahi Rangga berkerut, ketika melihat laki-laki itu mendatanginya dengan tergopoh-gopoh. Meski belum pernah bertemu sebelumnya, namun bisa diduga kalau laki-laki itu adalah tuan rumah ini.
? *** ? "Aku Ardisoma! Selamat datang di tempatku, Kisanak!" sambut laki-laki bersurjan itu, ramah.
Rangga melompat dari punggung kudanya. Dibalasnya salam penghormatan itu.
"Ayah! Kenapa mesti repot-repot" Pemuda ini sudah hendak pergi karena ada urusan penting!" celetuk gadis sombong itu.
"Mahadewi, bicara apa kau"! Dia tamu Ayah! Tamu penting yang memang telah Ayah tunggu-tunggu!" bentak laki-laki bernama Ki Ardisoma itu.
"Huh! Paling-paling sama seperti yang lain! Hendak menggerogoti harta kita!" dengus gadis yang dipanggil Mahadewi.
"Mahadewi jaga mulutmu! Tahukah kau tengah berhadapan dengan siapa"!'' hardik Ki Ardisoma berang.
"Huh! Kenapa tidak?"
"Anak tidak tahu diri!" umpat Ki Ardisoma semakin geram. "Kau tengah berhadapan dengan seorang pendekar besar yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Dia tidak butuh harta karena dia memiliki harta yang lebih banyak ketimbang kita. Cobalah kau bersikap lebih sopan sedikit padanya!"
Tapi Mahadewi memang tinggi hati. Bukannya merubah sikap atau meminta maaf, malah berlari meninggalkan mereka sambil menggerutu kesal.
"Maafkan putriku itu, Pendekar Rajawali Sakti. Dia memang suka begitu. Adatnya keras. Persis seperti almarhum istriku," jelas Ki Ardisoma lirih.
"Tidak apa.... Oh, ya. panggil aku Rangga saja, Ki...." ujar Rangga, seraya menyerahkan kudanya pada Angkoro yang langsung membawanya ke istal di samping rumah besar ini.
"Baik, Pendekar Rajawali Sakti..., eh! Rangga.... Kau tidak tersinggung, bukan?"
"Tidak..."
"Syukurlah. Mari. silakan masuk ke dalam!" Ki Ardisoma kelihatan repot menyambut tamunya. Bahkan segalanya telah ditata apik. Demikianpula hidangan-hidangan yang disediakan untuk Pendekar Rajawali Sakti.
"Ki Ardisoma.... Ada apakah gerangan" Segalanya tampak gemerlap. Apakah Kisanak tengah menanti seorang pembesar" Kalau begitu kehadiranku tentu mengganggu," tanya Rangga, ketika telah dipersilakan duduk di ruang utama.
"O, tidak! Sama sekali tidak! Aku memang tengah menunggu seorang pembesar."
"Hm.... Kalau boleh tahu, siapa pembesar itu?"'
"Kaulah orangnya!" sahut Ki Ardisoma sambil tersenyum lebar.
Rangga agak terkejut. Tidak heran kalau semua orang yang berada di tempat ini membungkuk hormat ketika dia tadi berjalan melewati mereka.
"Ki Ardisoma, aku tidak mengerti semua ini" Kuterima surat undanganmu dari salah seorang anak buahmu. Aku tidak mengenalmu sebelumnya. Bahkan aku tidak tahu apa maksud undanganmu ini. Lalu tiba-tiba kau memperlakukanku seperti tamu agung. Ada apa sebenarnya?"
"Rangga. Aku amat berterima kasih atas keha-diranmu di tempatku ini. Dan aku tahu, kau adalah pendekar besar yang patut diberi penghormatan, mengingat jasamu yang memerangi keangkaramurkaan. Pada mulanya aku sungkan untuk mengharapkan bantuan darimu. Tapi belakangan banyak kudengar bahwa kau sering membantu tanpa pamrih. Maka itulah aku mengundangmu ke sini," sahut Ki Ardisoma, menjelaskan.
"Persoalan apa sehingga kau memerlukan ban-tuanku?" tanya Rangga.
"Langsung saja, Rangga. Aku ingin bantuanmu dalam suatu hal menyangkut keselamatan diriku dan keluargaku," jelas Ki Ardisoma lagi.
"Ada apa rupanya?"
"Ada dua orang akan mengancam keluargaku!" sahut Ki Ardisoma.
"Siapa mereka?"
"Itulah sulitnya! Aku tidak mengetahuinya."
"Lalu, dari mana kau tahu bahwa mereka mengancam keselamatan kalian?"
"Dua kawan dekatku tewas secara mengerikan. Digantung bersama putra-putranya!"
"Hm, ya. Aku juga mendengar berita itu, karena cukup menggegerkan dunia persilatan. Tapi mungkin saja itu urusan mereka. Lalu, kenapa kau ikut sibuk" Apakah Kisanak pernah berselisih dengan mereka?"
"Berselisih tentu saja pernah. Tapi kurasa tidak akan sampai kepada persoalan membunuh. Tapi, pembunuh kedua sahabatku itu datang bersama dendam, sehingga tega membantai korbannya dengan cara-cara biadab!" dengus Ki Ardisoma geram.
"Apakah Ki Ardisoma tidak pernah berbuat aniaya kepada seseorang sampai kelewat batas?"
"Tidak! Aku tidak pernah menganiaya seseorang. Kalaupun kesal, aku hanya marah. Namun, tidak pernah sampai memukul."
"Putramu barangkali?"
Bratasena" Ah! Dia memang brangasan. Tapi sejauh itu, kurasa dia belum pernah menganiaya seseorang."
Pendekar Rajawali Sakti 182 Dendam Sepasang Gembel di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rangga terdiam untuk sejurus lamanya, sebelum melanjutkan kata-katanya.
"Ki Ardisoma.... Kudengar kau seorang berkepandaian hebat. Dan kau pun memiliki anak buah cukup banyak untuk melindungiku. Kurasa kalau sekadar menghadapi musuhmu itu, tidak perlu bantuanku...."
"Benar apa yang kau katakan, Rangga. Tapi kedua kawanku yang terbunuh juga berkepandaian yang sama tinggi dengan kepandaianku. Mereka juga memiliki anak buah. Tapi yang mati hanya kawanku, serta seorang putranya. Bukankah itu pertanda kalau mereka mudah sekali melakukan niatnya" Dan besok atau lusa, giliranku yang menjadi korbannya. Tak seorang pun yang akan membelaku. Apalagi setelah kudengar, beberapa anak buahku berhenti bekerja. Mereka takut dan tidak mau menanggung akibatnya...," jelas Ki Ardisoma.
Rangga terdiam untuk beberapa saat.
"Bagaimana, Rangga" Bersediakah kau mem-bantuku?" tanya Ki Ardisoma, ketika Pendekar Rajawali Sakti menatapnya.
? *** ? Selanjutnya Bagian 7-8 (selesai)
? Dendam Sepasang Gembel
? Daftar Isi ? Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 182. Dendam Sepasang Gembel ~ Bag. 7-8 (selesai)
26 mars 2015, 07:13
7 ? "Aku tidak bisa mengatakannya sekarang...," jawab Rangga.
"Itu artinya..., kau tidak bersedia membantuku, Rangga?" desak Ki Ardisoma lirih.
"Aku tidak berkata begitu."
"Lalu?"
"Persoalan ini belum jelas bagiku. Apa alasan-nya mereka membunuh kedua sahabatmu itu" Kalau kau katakan mereka mempunyai anak buah, kenapa tidak ikut terbunuh" Mestinya sebagai anak buah, mereka akan membela majikannya mati-matian. Bahkan sebelum menjumpai majikannya, kedua pembunuh itu akan berhadapan lebih dulu dengan anak buahnya."
"Itulah yang tidak kumengerti, Rangga. Tapi kata beberapa orang, mereka kabur ketika pembunuhan itu terjadi," jelas Ki Ardisoma.
"Hmm...."
"Bagaimana, Rangga?" desak laki-laki tua ini.
"Aku akan cari tahu dulu siapa para pembunuh itu," sahut Rangga.
"Bagaimana caranya?"
"Beberapa orang yang kau perkirakan akan menjadi korbannya kemudian?"
"Lima...."
"Coba sebutkan!"
"Ki Jaladara, Ki Genduk Mani, dan aku sendiri. Sementara Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa telah tewas seperti yang kau ketahui," jelas laki-laki tua ini.
Rangga mengangguk.
"Dari tempat Ki Danang Mangkuto, maka tempat siapa yang lebih dekat di antara empat sahabatmu yang lain?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Tentu saja tempat kediaman Ki Putut Denawa," jawab Ki Ardisoma, langsung.
"Dan dia jadi korban. Lalu, dari rumah Ki Putut Denawa, rumah siapa lagi yang lebih dekat?"
"Ada dua. Ke arah timur rumah Ki Genduk Mani, dan ke barat tempat Ki Jaladara. Sementara ke selatan..., tempatku ini," sahut Ki Ardisoma.
"Menurutmu, pembunuh itu akan mendatangi salah seorang dari kalian?"
Ki Ardisoma mengangguk.
"Maaf.... Aku tidak bermaksud menyinggung perasaan kalian. Tapi di antara kalian bertiga, siapa kira-kira yang keamanannya lemah?" tanya Rangga.
"Sulit diperkirakan. Ki Genduk Mani memiliki anak buah cukup banyak. Demikian pula di sini. Ki Jaladara hanya memiliki anak buah kurang dari sepuluh orang. Tapi di antara kami bertiga, beliau memiliki kepandaian lebih tinggi," jelas Ki Ardisoma.
"Menurutmu, apakah mereka berdua tahu akan ancaman ini?" cecar Rangga.
"Entahlah. Tapi utusan Ki Genduk Mani telah tiba di sini, mengabarkan kematian Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa."
"Hanya kabar itu yang dibawa?"
"Tidak. Katanya, Ki Genduk Mani memerintah-kan pencarian kepada anak buah Ki Danang Mangkuto yang menghilang untuk mencari tahu siapa pembunuh majikannya...."
Baru saja kata-kata Ki Ardisoma tuntas....
"Kenapa jauh-jauh mencarinya" Aku tahu pembunuhnya! Aku tahu pembunuhnya! Ha ha ha...!"
Mendadak terdengar sahutan dari atas atap. Walaupun atap genteng belum terbuka. Rangga dan Ki Ardisoma mendongak ke atas.
Ki Ardisoma sudah hendak beranjak dari du-duknya, namun.... .
"Jangan!" cegah Rangga.
"Kenapa?" tanya Ki Ardisoma.
"Aku tahu siapa dia."
"Kau tahu" Siapa?"
"Pengemis Sakti."
"Pengemis Sakti" Apa urusannya di sini?" sentak Ki Ardisoma.
"Aku tidak berurusan denganmu, Tua Bang-ka!" Tiba-tiba suara dari atas genteng itu membentak kesal. "Aku tengah berurusan dengan pemuda itu. Suruh dia keluar!"
"Pengemis Sinting! Untuk apa kau sampai di sini?" tanya Rangga seraya mengajak Ki Ardisoma bergegas keluar
"He he he...! Kau kira bisa menghindarinya?"
Rangga baru saja keluar pintu depan bersama Ki Ardisoma di halaman mereka melihat seorang pengemis tua dengan rambut panjang awut-awutan telah berdiri di halaman. Tangannya tampak memegang tongkat seperti bekas ranting. Entah kapan tubuhnya berpindah dari atas genteng ke halaman rumah ini.
"He he he...! Kita bertemu, Bocah!" seru laki-lald tua berpakaian pengemis yang memang Pe-ngemis Sinting.
"Pengemis Sinting! Aku tidak punya urusan denganmu."
"Enak saja kau bicara!" bentak Pengemis Sinting. "Kau tinggalkan aku begitu saja, sebelum pertarungan kita tuntas. Mana hewan sial itu" Biar kucabut semua bulunya!"
Memang, dalam perjalanannya ke rumah Ki Ardisoma, Pendekar Rajawali Sakti sempat bertemu Pengemis Sinting. Dasar orang sinting, tak ada masalah apa-apa, laki-laki tua berpakaian pengemis itu menyerang Rangga.
Untuk beberapa jurus Pendekar Rajawali Sakti melayani. Tapi untuk kemudian, dia berhasil melepaskan diri dari Pengemis Sinting, dan kabur bersama Rajawali Putih.
"Pengemis Sinting! Lebih baik kita tunda dulu urusan ini, karena aku ada sedikit urusan dengan tuan rumah," ujar Rangga.
"Persetan! Itu bukan urusanku!" sentak Pengemis Sinting.
"Ini soal hidup mati seseorang. Kuharap kau mengerti."
"Phuih! Memangnya kau yang menentukan hidup mati seseorang" Kalau si Ardisoma mampus, itu sudah takdir. Dan kau tidak bisa mencegahnya!" bentak pengemis itu sambil meludah.
Sementara itu melihat keributan di luar, beberapa anak buah Ki Ardisoma telah berkumpul. Dan mereka siap menunggu perintah. Tapi Ki Ardisoma memberi isyarat agar mereka tidak berbuat apa-apa. Sebab dia tahu, Pengemis Sinting bukan tokoh sembarangan. Kalau tokoh itu mengamuk, mereka tidak akan mampu menahannya.
"Memang tidak. Tapi, aku akan berusaha mencegah bila seseorang berbuat sewenang-wenang...."
"Siapa yang berbuat sewenang-wenang"! Tanyakan padanya! Sadarkah dia akan kesalahan-nya"!" tuding Pengemis Sinting pada Ki Ardisoma.
? *** ? Rangga terdiam. Untuk beberapa saat dia ter-menung memikirkan kata-kata pengemis tua itu. Sementara, Ki Ardisoma memandang mereka berdua berganti-ganti dengan dahi berkerut.
"Rangga! Aku sungguh-sungguh tidak mengerti apa yang dimaksudkan Pengemis Sinting. Kurasa dia hanya mengada-ada saja!"
"Brengsek! Jadi mentang-mentang namaku Pengemis Sinting, lalu kau anggap aku ngomong seenaknya" Begitu"!" bentak Pengemis Sinting.
"Bukan begitu, Kisanak...."
"Aku bukan sanak saudaramu!" tukas si Pengemis Sinting dengan suara keras.
"Lalu, aku mesti memanggil apa padamu?"
"Kau lihat aku apa" Pengemis, bukan" Nah, panggil saja begitu."
"Pengemis...?"
"Kenapa" Heran"! Apa orang tidak boleh ber-nama Pengemis"!"
"Ah, tidak. Baiklah, Pengemis. Aku tidak mengerti kalau kau menimpakan kesalahan padaku. Kesalahan apakah yang kuperbuat?" tanya Ki Ardisoma, masih dengan nada ramah.
"Kau sama saja dengan kedua kawanmu yang sudah mampus!" umpat Pengemis Sinting. "Mereka pura-pura tidak mengerti kesalahan apa yang telah diperbuat" Huh! Memuakkan! Dan mereka telah menebusnya dengan kematian. Maka, kau pun akan mengalami nasib sama!"
"Apakah kau tahu pembunuh mereka?" tanya Ki Ardisoma, mengesampingkan kejengkelannya dengan ocehan-ocehan pengemis tua itu.
Saat itu, ada yang lebih penting ketimbang balas marah-marah atau memaki pengemis tua itu. Dia sepertinya tahu banyak. Atau paling tidak, mengetahui siapa pembunuh kedua sahabatnya, Dan itulah yang diperlukan saat ini.
"Kalaupun aku tahu, tidak akan kuberitahupadamu! Biar kau menebak-nebak sendiri, sambil menunggu kematianmu dengan hati berdebar-de-bar! Ha ha ha...!" sahut Pengemis Sinting sambil tertawa nyaring.
Setelah berkata begitu Pengemis Sinting langsung berkelebat dari tempat itu. Seolah-olah urusannya dengan Pendekar Rajawali Sakti terlupakan.
"Suiuttt!"
Rangga bersuit nyaring. Dan dari dalam istal, meringkik keras Dewa Bayu yang segera mendepak pintu istal, lalu berlari kencang menghampirinya!
"Ayo, Dewa Bayu! Kita kejar orang tua itu!" ujar Pendekar Rajawali Sakti seraya melompat ke punggung kuda yang terus berlari tanpa berhenti lebih dulu.
"Rangga! Mau ke mana kau"!" teriak Ki Ardisoma.
"Aku akan menyusulnya! Ada yang perlu kuta-nyakan. Jangan khawatir, aku akan kembali lagi!" teriak Pendekar Rajawali Sakti, terus menggebah kudanya.
Ki Ardisoma hanya mampu memandangi tanpa bisa berbuat apa-apa. Bayangan Pendekar Rajawali Sakti bersama kudanya telah semakin hilang di kejauhan.
Meski lari Dewa Bayu amat kencang, tapi untuk menyusul si Pengemis Sinting agaknya bukan soal mudah. Karena beberapa saat kemudian, Rangga telah kehilangan jejak.
"Kurang ajar! Ke mana perginya orang itu"!" dengus Pendekar Rajawali Sakti kesal.
Rangga berhenti sebentar. Kepalanya celinguk-an mencari ke sana kemari, sebelum memutuskan untuk memacu kuda ke utara. Tapi baru saja berada kurang lebih sepuluh tombak dari tempatnya berhenti tadi, mendadak terlihat Pengemis Sinting terkekeh-kekeh di atas cabang sebuah pohon.
"He he he...! Kau penasaran padaku, Bocah?" ejek Pengemis Sinting.
"Aku ingin minta beberapa keterangan darimu!" ujar Rangga, tak mempedulikan kata-kata pengemis tua itu.
"Keterangan apa?"
"Siapa pembunuh Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa?"
"Mereka yang membunuh Joko Ginting dan Tirta Janaka!" sahut Pengemis Sinting seenaknya.
"Ya, aku tahu. Tapi, siapa yang membunuh mereka?"
"Kenapa tidak tanyakan saja kepada mereka?"
"Mereka" Siapa yang kau maksudkan?"
"Ya, siapa lagi kalau bukan ayah dan anak yang sudah mampus itu"!" sahut Pengemis Sinting, sekenanya sambil tertawa.
Rangga menarik napas panjang. Dan kekesalan hatinya disembunyikan rapat-rapat.
"Kurasa kau tidak tahu, tapi pura-pura tahu saja!" pancing pemuda itu.
"Kau meremehkan aku, heh"!" bentak laki-laki tua pengemis dengan mata melotot lebar
"Memangnya apa yang mesti kupandang darimu?" sahut Rangga, memanasi.?
"Kurang ajar! Kurang ajar! Bocah busuk, kuhajar kau!" teriak Pengemis Sinting kalap seraya melesat turun ke bawah.
"Kalau kau mau menghajarku, silakan saja. Tapi aku tidak akan melawan. Sebab akan sia-sia saja melawanmu," sahut Rangga.
"He he he...! Akhirnya kau mengakui juga kehebatanku, bukan" Makanya jangan sombong!" kata Pengemis Sinting, terkekeh girang sambil berkacak pinggang.
"Eh, jangan salah! Siapa bilang aku mengakui kehebatanmu" Kukatakan melawanmu sia-sia saja. Karena dengan sekali sentil, kau akan kubuat jungkir balik keliling dunia!" sahut Rangga sambil menunjukkan kelingkingnya.
"He, apa"! Kurang ajar! Kurang ajar..!"
Pengemis Sinting menghentak-hentakkan kakinya.
"Ayo, mari kita tarung! Buktikan ucapanmu itu, cepaaat...!" lanjut laki-laki tua ini sambil menuding geram.
"Aku tidak akan bertarung denganniu," sahut Rangga, kalem.
"Pengecut!"
"Syukur kalau kau mengetahuinya."
"Brengsek! Brengsek! Ayo, lawan aku! Lawan aku...!" bentak Pengemis Sinting sambil mencak-mencak sendiri.
"Tidak! Aku tidak akan melawanmu, kecuali?"
"Kecuali apa" Ayo, katakan cepat!"
"Kecuali kau katakan, siapa yang telah membunuh Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa."
"Apa"!"
Mata Pengemis Sinting melotot lebar Tapi tiba-tiba dia tersenyum lebar.
"He he he...! Aku tahu! Kau mau mengakali, bukan" Kau ingin mengorek keterangan dariku!" tebak Pengemis Sinting, cerdik.
"Untuk apa mengorek keterangan darimu" Aku hanya ingin membuktikan bahwa kau hanya berbohong. Dan ternyata benar. Kau tidak tahu apa-apa soal pembunuh itu," tukas Rangga, memancing kembali.
"Huh, enak saja! Aku berani ngomong, karena aku tahu apa yang kuomongkan!" sergah Pengemis Sinting kelihatan berang.
"Kalau begitu katakan padaku, siapa pembunuh itu?"
"Mereka suami istri. Atau mungkin juga sepasang kekasih. Pokoknya, mereka selalu bersama. Berbaju dekil sepertiku. Dan mungkin juga mereka pengemis!" sahut Pengemis Sinting lantang.
"Mereka pasti punya nama!" desak Rangga.
"Yang laki-laki kalau tidak salah bernama.... Barata. Ya, Barata! Dan yang perempuan bernama Retno!" sahut Pengemis Sinting, menjelaskan.
"Urusan apa yang membuat mereka membuat Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa?" desak Rangga lagi.
"Kenapa tidak kau tanyakan saja kepada mereka?"
"Kau tahu, mereka sudah mati. Bagaimana mungkin aku bisa menanyakan pada mereka?"
"Tidak. Tiga orang lagi masih hidup. Kau bisa tanyakan!"
"Ki Ardisoma tidak tahu-menahu soal mereka."
"Dia tahu! Terlebih lagi putranya!"
"Persoalan apa sebenarnya?"
'Tanyakan saja. Dan kau pasti akan tahu! Kalau mereka tidak mengaku, maka berarti mereka berdusta. Dan kau tak perlu repot-repot membantu mereka. He he he...!"
Setelah berkata begitu, Pengemis Sinting berkelebat meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti. Sepertinya urusannya dengan pemuda itu kembali terlupakan.
Rangga termangu beberapa saat merenungkan ucapan pengemis itu. Laki-laki pengemis tadi tahu pembunuh-pembunuh itu. Tapi dia diam saja dan tidak berniat menolong" Mungkin saja, karena Pengemis Sinting memang bersifat angin-anginan. Kalau suka dia akan menolong kesusahan. Dan kalau lagi tak suka, maka tak peduli orang mati dan teraniaya di depannya. Tapi apa tidak mungkin dia bersekutu dengan kedua pembunuh itu"
"Ayo, Dewa Bayu! Kita kembali ke tempat tadi!" ajak Pendekar Rajawali Sakti seraya menepuk kuda tunggangannya, bergegas kembali ke tempat Ki Ardisoma.
? *** ? Hari telah sore ketika Pendekar Rajawali Sakti tiba di rumah Ki Ardisoma. Namun laki-laki setengah baya itu agaknya tengah menunggu di halaman depan rumah, bersama beberapa orang anak buahnya. Wajahnya tampak cerah begitu mebhat kehadiran Rangga.
"Ah, Rangga! Syukurlah kau kembali. Kukira kau akan terus mengejarnya!" desah Ki Ardisoma, ketika Rangga telah turun dari kudanya dan menghampiri.
"Aku memang mengejarnya," sahut Rangga.
Salah seorang anak buah Ki Ardisoma tampak mengambil Dewa Bayu untuk kembali dibawa ke istal.
"He, jadi kau bertemu lagi dengannya?" tanya Ki Ardisoma dengan kening berkemt.
'Ya! Bahkan kami sempat berbicara."
"Bicara soal apa?"
"Soal urusan ini."
"Apa yang kau dapat darinya?"
"Banyak. Tapi lebih baik kita bicarakan hal ini di dalam. Dan..., berdua saja," pinta Rangga.
"Baiklah," desah Ki Ardisoma, menyetujui.
Ki Ardisoma bergegas mengajak Pendekar Rajawali Sakti ke dalam. Dan dia sudah tak sabar ingin mengetahui berita yang dibawa Pendekar Rajawali Sakti. Dipersilakannya pemuda itu duduk di ruang tamu.
"Nah! Di tempat ini kujamin aman, Rangga. Apa yang hendak kau ceritakan?"
Rangga menarik napas panjang, sebelum memandang orang tua itu lekat-lekat.
"Kenalkah kau pada orang yang bernama..., Barata dan Retno, Ki?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Barata dan Retno" Tentu saja. Mereka dulu bekerja padaku," sahut Ki Ardisoma terus terang.
"Ke mana mereka kini?" cecar Pendekar Rajawali Sakti.
"Entahlah. Terakhir mereka kabur dari rumah, karena mencuri barang-barang berharga milikku. Untung Bratasena mengetahui dan melakukan pengejaran," jelas Ki Ardisoma.
"Apakah ada peristiwa lain, yang menarik per-hatian ketika Bratasena mengejar kedua orang itu?"
"Kurasa tidak. Tapi.., entah juga. Bratasena tidak berhasil meringkus mereka. Dan ketika pu-lang, dia bersama empat kawannya...."
"Empat kawannya?"
'Ya! Saat itu ada pertemuan di rumahku. Dan pertemuan itu dihadiri keempat sahabatku, yaitu Ki Genduk Mani, Ki Putut Denawa Ki Danang Mangkuto, dan Ki Jaladara. Masing-masing saat itu mereka membawa putra tertuanya," sahut Ki Ardisoma menjelaskan lebih lanjut.
"Pada saat pengejaran berlangsung, apakah Bratasena didampingi kawan-kawannya.
"Tidak. Tapi, keempatnya saat itu memang tengah bermain. Bratasena mengatakan bahwa mereka bertemu di tengah jalan."
"Satu lagi pertanyaan, Ki. Apakah Barata dan Retno mengerti ilmu oleh kanuragan?"
"Tidak! Mereka sama sekali tidak tahu apa-apa soal itu," sahut Ki Ardisoma yakin. "Tapi, kenapa kau duga bahwa mereka yang melakukannya" Jangankan membunuh Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa. Bahkan menjatuhkan anak buah mereka saja, kedua orang itu tak mampu."
"Pernahkah mendengar pepatah yang mengatakan, seekor semut akan melawan kalau terinjak. Dan seekor babi akan menyerang bila terdesak?"
"Aku tidak mengerti, Rangga."
"Panggilah Bratasena. Dan tanyakan padanya, apa yang telah diperbuatnya kepada dua orang itu?" ujar Rangga, lebih lanjut.
"Eh"! Apa maksudnya...?"
"Panggil saja. Dan akan kita lihat apakah dia berdusta atau tidak."
"Baiklah."
Ki Ardisoma keluar kamar sebentar, menemui seorang anak buahnya. Lalu dia kembali lagi. Mereka menunggu sebentar. Dan tidak berapa lama, muncul seorang pemuda berusia dua puluh delapan tahun. Tubuhnya kekar dan berkumis tebal. Sepasang matanya bulat dengan hidung kelihatan kokoh. Rambutnya keriting halus dan pendek.
"Hormatku untuk Ayah! Ada apa gerangan se--hingga Ayah memanggilku?" tanya pemuda bernama Bratasena seraya menjura hormat.
"Bratasena! Ayah ingin ajukan beberapa pertanyaan kepadamu. Maukah kau menjawabnya dengan jujur?" ujar Ki Ardisoma.
"Sejauh ini aku selalu jujur pada Ayah. Dan rasanya tidak berguna membohongi Ayah. Kata-kanlah.... Pertanyaan apa yang hendak Ayah ajukan padaku?"
"Beberapa tahun lalu, ketika pertemuan tengah berlangsung di sini, ada keributan kecil ketika dua pegawaiku tiba-tiba kabur. Kau katakan, mereka mencuri. Lalu, kau mengejar mereka. Kemudian ketika pulang, kau katakan mereka lolos. Hal itu masih mengganjal di pikiranku. Ceritakan pada Ayah, apa sebenarnya yang terjadi ketika itu?"
? *** ? ? ? 8 ? Bratasena mendongak seraya memandang ayahnya. Wajahnya sedikit kaget. Setelah sekian tahun peristiwa itu berlalu, tiba-tiba saja ayahnya menanyakan kembali. Tapi dalam sekejap, rona wajahnya berubah. Sikapnya berusaha dibuat setenang mungkin.
"Eh! Kenapa tiba-tiba Ayah menanyakan itu?" tanya Bratasena, pura-pura.
"Seperti yang kukatakan, tiba-tiba saja hal itu mengganggu pikiran. Dan aku ingin tahu, apakah kau berkata benar atau tidak," sahut Ki Ardisoma kalem.
Bratasena tidak langsung menjawab. Matanya melirik sejenak kepada Pendekar Rajawali Sakti. Dan dia merasa yakin kalau pemuda berbaju rompi putih ini punya andil, sehingga ayahnya mengajukan pertanyaan yang tidak disukainya!
"Apakah Ayah tidak mempercayai laporanku?" tukas Bratasena.
"Bukan begitu.... Hanya sekadar meyakinkan."
"Mereka benar-benar lolos dari pengejaranku."
"Kau tahu mereka tidak punya ilmu kedigda-yaan" Rasanya kurang masuk akal kalau kau tidak mampu meringkus mereka?"
"Saat itu mereka menuju ke selatan. Seperti Ayah ketahui, di wilayah itu terdapat banyak jurang. Mungkin saja mereka terperosok ke dalam dan mati," kilah Bratasena.
"Apakah menurutmu mereka mati?" tanya Rangga, setelah Ki Ardisoma memberi isyarat agar melanjutkan pertanyaan pada putranya itu.
"Kurasa begitu...," sahut Bratasena enggan.
"Tahukah kau, bahwa mereka masih hidup hingga kini?"
"Apa"! Mereka masih hidup" Tidak mungkin!"
Mendadak terlihat perubahan wajah Bratasena. Dia langsung memandang Rangga serta Ki Ardisoma berganti-ganti. Tapi tiba-tiba saja keke-liruannya disadari dan berusaha memperbaiki si-kap.
"Eh! Mereka masih hidup" Oh, syukurlah! Apakah kau tahu di mana mereka sekarang?" tanya Bratasena, buru-buru.
"Tidak. Tapi mereka akan datang ke sini me-nemuimu. Katanya, ada persoalan yang perlu di-selesaikan. Kau mungkin tahu persoalan apa itu?" sahut Rangga, memancing.
"Mungkin saja mereka menyadari kekeliruan-nya, dan ingin minta maaf."
"Minta maaf?"
"Ya! Apakah ayahku tidak bercerita" Mereka kabur dari rumah karena mencuri barang berharga milik keluarga kami!" sentak Bratasena.
"O, begitu!" Rangga mengangguk. "Tahukah kau bahwa Barata dan Retno juga mendatangi ka-wanmu si Joko Gending dan Tirta Janaka" Dan mereka mati setelah mendapat kunjungannya."
"Apa" Maksudmu..., Barata dan Retno si pembunuh itu"!" tanya Bratasena kembali dengan wajah kaget.
"Aku tidak berkata begitu. Tapi mungkin saja mereka yang melakukannya...."
"Tidak mungkin! Mereka sama sekali tidak mengerti ilmu olah kanuragan!"
"Itu dulu. Tapi sekarang, mereka telah menjadi tokoh hebat," sergah Rangga.
"Jadi..., jadi mereka yang membunuh Joko Gending dan Tirta Janaka?" gumam Bratasena lirih dengan wajah tak percaya.
"Mungkin tidak, tapi mungkin juga iya."
Bratasena tidak menjawab. Dia terdiam untuk sejurus lamanya.
"Kenapa, Bratasena" Apakah persoalan inimengganggumu?" tanya Ki Ardisoma.
"Eh, apa" Oh, tidak! Tidak, Ayah...!" sahut Bratasena tergagap.
"Lalu, kenapa termenung?" cecar Ki Ardisoma.
"Eh! Aku cuma kasihan pada nasib mereka...," kilah pemuda ini.
"Kau tidak perlu mengasihani mereka. Tapi, sebaiknya kasihani nasibmu sendiri!" timpal Rangga.
"Apa maksudmu, Rangga?"
"Mungkin saja nasibmu tidak berbeda dengan kedua kawanmu."
"Kenapa kau berkata begitu" Kita belum lama kenal. Dan tiba-tiba saja, kau menginginkan kematianku!" dengus Bratasena, geram.
"Untuk apa aku menginginkan kematianmu"!" sahut Rangga kalem. "Aku tidak kenal denganmu. Dan sebaiknya begitu. Kau bukan orang jujur, karena kepada orangtuamu sendiri kau tega berdusta!"
"Dusta apa yang kuperbuat" Buktikan omong-anmu!"
"Mereka tidak punya ilmu olah kanuragan. Sedangkan kau sebenarnya bisa dengan mudah meringkusnya, tapi tidak kau lakukan. Dan yang paling penting, kau takut akan kehadiran mereka di sini!" sahut Rangga, seraya tersenyum dingin.
"Siapa bilang"! Bawa mereka ke sini. Dan akan kusuruh mereka minta maaf atas kesalahan yang diperbuat!" sentak Bratasena.
"Jangan sombong, Bratasena! Bila mereka datang, maka saat itulah persoalan jadi terang. Nah, aku mohon diri!" sahut Rangga, seraya bangkit dan memberi salam hormat kepada pemilik rumah. Lalu kakinya melangkah pergi.
"Rangga, tunggu dulu!" tahan Ki Ardisoma, seraya mengejar pemuda itu.
"Maaf, Ki Ardisoma! Aku tidak bisa membantu-mu!" sahut Rangga tanpa menghentikan langkah-nya.
"Tapi, Rangga...."
Suara Ki Ardisoma. terhenti, ketika mendengar suara gaduh dari belakang rumahnya. Secepat kilat laki-laki tua itu melesat ke belakang. Tampak Bratasena telah bertarung melawan satu sosok berpakaian pengemis. Sedangkan sosok lainnya yang juga berpakaian pengemis tetap berdiri tegak dengan kedua tangan bersedekap, terkepung oleh anak buah Ki Ardisoma.
? *** ?
Pendekar Rajawali Sakti 182 Dendam Sepasang Gembel di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang muncul adalah dua orang bertubuh kurus. Dan samar-samar Ki Ardisoma mengenali mereka berdua, walaupun berpakaian seperti itu.
"Barata dan..., Retno!" desis laki-laki tua ini.
Ki Ardisoma tak tahu mesti berbuat apa. Tampak wanita yang bernama Retno tengah bertarung melawan Bratasena. Sementara anak buahnya telah mengurung Barata. Bahkan beberapa orang telah menyerangnya.
"He he he...! Anjing-anjing buduk! Kalian lebih baik memilih mati ketimbang meladeni majikan bejat"!" ejek laki-laki berpakaian dekil yang me-mang Barata.
"Barata! Aku tahu memang kau orangnya!" sahut salah seorang pengeroyok. "Pergilah dari sini. Majikan telah mengusir kalian!"
"He he he...! Memang betul, Seno. Tapi aku kemari untuk menagih hutang kepada majikan muda kalian. Makanya jangan ikut campur kalau kalian ingin selamat!" sahut Barata.
"Kami digaji untuk melindungi mereka. Jangan sembarangan kau bicara! Dulu saja aku tidak takut padamu. Dan sekarang masih tetap sama. Kuper-ingatkan padamu, jangan main gila di sini!" tandas anak buah Ki Ardisoma yang dipanggil Seno.
"Huh! Dasar tidak tahu diri!" dengus Barata. "Aku telah memberi peringatan. Dan kalian tidak mematuhinya. Maka jangan salahkan kalau aku bertindak keras!"
Seno tidak bisa menjawab karena saat itu juga Barata langsung membuktikan kata-katanya. Tubuhnya berkelebat cepat dengan kedua telapak tangan bergerak menhantam dua lawan terdekat, termasuk Seno.
Begkh! Des! "Aaakh...!"
Mereka kontan tersungkur ke belakang sambil menyemburkan darah segar. Lalu ketika Barata kembali berkelebat, dan dalam waktu singkat tiga lain menyusul. Barata mengamuk dahsyat dan tidak tertahankan oleh semua pengeroyoknya. Hingga tak seorang pun yang mampu bangkit lagi.
Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti yang tadi sudah berada di luar telah mencelat ke atas atap rumah Ki Ardisoma. Dari atap, dia memperhatikan jalannya pertarungan, Rangga tak ingin buru-buru turun tangan, sebelum tahu benar duduk permasalahannya. Dia tak ingin bertindak gegabah dengan menjatuhkan tangan pada orang yang belum tentu bersalah.
Berdasarkan pengamatan Pendekar Rajawali Sakti, semua yang terjadi bermula dari dendam. Besar dugaan, kalau anak Ki Ardisoma telah menyembunyikan suatu rahasia, Rangga yakin itu.
Lantas, buat apa sepasang suami istri menuntut balas, kalau sebelumnya tak pernah disakiti" Pastil Pasti suami istri bernama Barata dan Retno yang dulu bekerja di rumah Ki Ardisoma ini, telah dianiaya oleh Bratasena. Dan mereka lantas menuntut balas.
Kalau sudah urusan dendam yang tak ada sangkut pautnya dengan ketenteraman dunia per-silatan, apakah Rangga mesti turun tangan" Apalagi, tak terdengar kabar kalau Barata dan Retno membunuhi orang-orang lemah tak berdaya. Jelas keduanya bukan tokoh sesat. Ini hanya urusan dendam lama semata, dari sepasang pengemis.
Dan rasanya, Rangga tak mau melibatkan diri. Itulah sebabnya, dia terang-terangan menolak memberi bantuan pada Ki Ardisoma.
Desss...! "Aaakh...!"
Pada saat yang bersamaan, Retno berhasil mendaratkan hantaman kaki ke dada Bratasena. Pemuda itu terjungkal roboh. Dari mulutnya muncrat darah segar. Ketika berusaha bangkit, wanita pengemis itu telah berada di dekatnya. Langsung dijeratnya leher Bratasena dengan seutas tambang yang selalu dibawa.
"Eekh...!"
'Tahan!" teriak Ki Ardisoma melihat anaknya menjerit pendek.
"Huh! Apa kau ingin ikut campur dalam urusart ini, Juragan Ardisoma yang terhomat"!" dengus Retno.
"Retno! Persoalan ini belum jelas betul. Dan tiba-tiba saja, kalian datang mengamuk...," sergah Ki Ardisoma.
"Kenapa tidak kau tanyakan padanya"!" dengus wanita itu seraya menghadapkan wajah Bratasena yang masih dijerat ke hadapan ayahnya.
"Dia hanya mengatakan, bahwa kalian mela-rikan barang-barang berharga milik keluarga ka-mi...," kata Ki Ardisoma.
"Apa" Begitukah" Coba dengar, Kakang! Beta-pa hebatnya laporan majikan muda kita pada ayahnya!" kata Retno seraya menoleh pada suaminya.
"Ha ha ha...! Hebat sekali!" sahut Barata sam-bil tertawa keras. "Bagus, Juragan Ardisoma! Kau mempunyai anak hebat. Setelah menggilir istriku bersama kawan-kawannya, lalu menyiksaku dan membuang kami ke dalam jurang, enak saja dia melaporkan kalau kami mencuri barang-barang milikmu. Meski miskin, kami tidak pernah mencuri sedikit pun dari kalian!"
Suara Barata melengking nyaring penuh den-dam.
"Apa"! Benarkah begitu"!" sentak Ki Ardisoma, seperti tidak percaya dengan apa yang telah dide-ngarnya.
"Tanyakan saja padanya!" dengus Retno, seraya menginjak punggung Bratasena.
Buk! "Aaakh...!"
Pemuda itu menjerit kesakitan, ketika Retno menekan punggungnya.
"Katakan pada ayahmu, Bangsat! Katakan apa yang telah kau perbuat kepadaku bersama kawan-kawanmu!" bentak Retno, sambiil menghantamkan punggung Bratasena.
"Tidak! Kau tidak boleh berbuat begitu padanya!" bentak Ki Ardisoma, merasakan pilu mendengar jerit kesakitan Bratasena.
"He, kau ingin ikut campur dalam urusan ini, Juragan Ardisoma"!" dengus Retno. Pandangan matanya tajam dengan sikap mengancam.
"Aku tidak bersalah, Ayah! Apa yang mereka katakan dusta belaka! Aku..., eekh...!" teriak Bra-tasena terhenti, ketika tali yang menjerat lehemya semakin kuat.
Sepasang mata pemuda ini mendelik garang. Mulutnya terbuka lebar. Urat di sekujur wajahnya menegang menahan rasa sakit hebat
"Hup!"??????
Ki Ardisoma yang semula terdiam mendengar teguran Retno, tergugah juga hatinya melihat putranya mendapat siksaan begitu rupa di depan batang hidungnya sendiri. Maka semangatnya segera dikempos hendak membantu. Namun sebelum tubuhnya sampai....
"He he he...!"
Mendadak terdengar suara tawa nyaring yang diikuti sesosok tubuh kurus berkelebat cepat memapaki serangannya.
Plak! Ki Ardisoma terkesiap. Gerakan sosok itu cepat bukan main. Bahkan tahu-tahu kaki sosok itu telah lebih menghantam dadanya.
Duk! "Aaakh...!"
Ki Ardisoma mengeluh tertahan dan terjajar ke belakang. Masih untung dia mampu menguasai diri, sehingga bisa menjejakkan kakinya dengan mulus di permukaan tanah di belakangnya sejauh kurang lebih lima langkah.
"He, Pengemis Sinting! Ini urusan pribadi kami. Untuk apa kau ikut campur"!" seru Ki Ardisoma, ketika mengetahui siapa penghadangnya.
? *** ? "Kalau sudah menyangkut mereka, maka menjadi urusanku pula!" sahut Pengemis Sinting se-enaknya.
Sementara itu ketika melihat kehadiran Pengemis Sinting, Barata langsung memberi hormat. Demikian pula Retno, tanpa melepaskan tawanya.
"Hormat kami, Paman Guru!" ucap Barata dan Retno hampir berbareng.
"Hm, pantas! Rupanya mereka murid kepona-kanmu. Tapi meski begitu, kau tidak tahu-menahu persoalan ini. Dan kuharap jangan membela secara membabi-buta," desis Ki Ardisoma.
"Kata siapa aku tidak tahu" Ketika aku menggunjungi saudara seperguruanku yang berjuluk Naga Langit, Barata dan Retno kutemukan di sana. Suadaraku bercerita, kalau kedua muridnya ini diselamatkannya dari kematian, ketika mereka terjatuh dari jurang. Kemudian aku mendengar lebih lanjut pengalaman mereka yang menyeramkan. Khususnya, apa yang dialami Retno. Maka, kujaga mereka dari siapa saja yang hendak mencelakai, agar bisa menuntut balas kepada siapa saja yang telah menganiaya," jelas Pengemis Sinting.
Ki Ardisoma terdiam. Dipandanginya wajah putranya yang kelihatan amat memelas menahan rasa sakit hebat.
"Katakan padaku, Bratasena! Apakah benar kau telah berbuat demikian keji kepada Retno dan suaminya"!" bentak laki-laki ini garang.
Kali ini Bratasena tidak berusaha membantah. Tapi, tidak juga menjawab.
"Ayo katakan, Bratasena! Kalau kau tidak bersalah, maka mesti nyawaku melayang, tidak akan kubiarkan mereka memperlakukanmu dengan cara begini!" bentak Ki Ardisoma.
"Aku..., aku tidak bersalah, Ayah...," sahut Bratasena lemah.
"Keparat busuk! Hiih!"
Retno hilang kesabarannya. Serta merta, dice-kiknya Bratasena sampai tulang-belulangnya ber-derak patah.
"Brata...!"
Ki Ardisoma terkesiap. Amarahnya langsung menggelegak. Seketika tubuhnya meluruk menye-rang Retno.
Set! Set! Pada saat yang hampir bersamaan, Retno merasakan dua angin sambaran dari belakang. Matanya sedikit melirik. Dan ternyata, dua buah pisau belati yang dilemparkan seseorang dari belakang telali melesat ke arahnya.
Dengan gerakan mengagumkan, Retno memu-tar tubuhnya dengan tangan bergerak.
Tap! Begitu pisau tertangkap wanita pengemis ini menjatuhkan diri untuk menghindari terjangan Ki Ardisoma.
"Hih...!"
Tepat ketika bangkit, Retno melemparkan satu pisau pada soosk di depan pintu yang merupakan pemiliknya.
Crab! "Aaa...!"
Tepat sekali pisau itu menancap di dada sosok gadis yang tadi melemparkan pisau pada Retno. Terdengar jerit kesakitan yang mengikuti robohnya tubuh.
"Mahadewi..."!" seru Ki Ardisoma kaget.
Betapa geramnya Ki Ardisoma. Sudah serang-annya dapat dihindari, dan kini putrinya malah tewas. Otaknya jadi kacau. Dan dia tidak mampu mengatur amarah yang bergejolak di hatinya. Kembali diterjangnya perempuan pengemis itu. Dan pertarungan sengit pun kembali berlangsung.
? *** ? "Ayo, Dewa Bayu. Mari kita pergi! Tidak ada yang bisa dikerjakan di sini!" ajak Rangga, ketika telah berkelebat kembali ke halamann depian rumah Ki Ardisoma.
Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat ke punggung kudanya dan meninggalkan tempat ini perlahan-lahan. dari kejauhan, telinganya mendengar teriakan Ki Ardisoma yang marah-marah.
"He he he..! Kenapa kau telah pulang, Pendekar Rajawali Sakti. Padahal pertunjukan belum selesai"!"
Mendadak terdengar teguran yang disusul berkelebatnya satu sosok berpakaian pengemis yang tak lain Pengemis Sinting.
"Aku tak ada kepentingan di sana," sahut Rangga pendek.
"He he he...! Aku menyesal, karena kita tidak terlibat pertarungan langsung," kata Pengemis Sinting.
"Kalau aku dianggap takut menghadapi ga-bungan kalian bertiga, maka kau salah menilai. Aku pergi karena yakin kalau Bratasena bersalah."
"Dia memang bersalah. Dan dendam mereka telah terlaksana. Palguna putra Jaladara telah kupancing dari dalam rumahnya, dan telah dibereskan mereka. Kemudian ketika menuju ke sini, kebetulan sekali putra si Genduk Mani yang bernama Adiguna, tengah melakukan perjalanan ke sini pula.
Maka keduanya segera membereskannya. He he he...! Sungguh pekerjaan yang memuaskan!"
Rangga tidak begitu suka mendengar ocehan Pengemis Sinting. Tapi, dia tidak berusaha menyela.
"Pengemis Sinting! Kalau tidak ada keperluan lain, aku mohon diri hendak melanjutkan per-jalanan," pamit Rangga ketika pengemis itu telah selesai bicara.
"He he he...! Silakan, silakan...! Tapi kujamin, kita akan bertemu lagi," ucap pengemis tua ini.
"Mudah-mudahan, pada saat itu kau dalam keadaan baik, Sobat."
"Brengsek! Siapa yang menganggap kau sebagai sobatku"!"
"Baiklah.... Kalau begitu, kuanggap kau mu-suhku saja."
"Sial! Aku tidak punya urusan denganmu, sehingga menganggapmu sebagai musuh!"
"Terserahmu sajalah...."
Setelah berkata begitu, Rangga menggebah kudanya sekencang-kencangnya.
"Heaaa...!"
"Hei, tunggu! Tunggu! Brengsek kau, Anak Muda...!" teriak Pengemis Sinting memaki-maki sambil mengejar.
Rangga menyadari kalau orang sinting itu tak akan mampu mengejar lari kuda Dewa Bayu. Benar saja. Sebentar kemudian tidak terlihat juga batang hidung Pengemis Sinting.
? SELESAI ? ? Segera terbit serial Pendekar Rajawali Sakti selanjutnya:
JAHANAM BERMUKA DUA
? ? Dendam Sepasang Gembel
? Daftar Isi Pendekar Rajawali Sakti
Articles de Pendekar Rajawali Sakti
English (UK) Bahasa Indonesia
s ? 2017 Bende Mataram 5 Pendekar Naga Putih 28 Laba Laba Hitam Pedang Kiri 21
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama