13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 5
- Kenapa harus dibatasi " Hutan memang disediakan bagi mereka yang bersedia membuka dan menjadikan tanah yang lebih berarti bagi kita. Kiai Warangka mengangguk-angguk. Namun katanya -Menurut Ki Demang, hutan perlu dipertahankan keberadaannya untuk berbagai macam kepentingan. Perbatang mengangguk-angguk, sementara Pinujipun bertanya - Selama kami berada dipadepokan ini, kami melihat bahwa dua buah bangunan sanggar itu jarang sekali dipergunakan. Apabila sanggar yang terbuka dibelakang padepokan ini " Apakah dengan demikian, Kiai Warangka dapat melahirkan seorang cantrik yang memiliki kemampuan yang memadai "- Kami berharap demikian Ki Pinuji. Berharap bahwa para cantrik serba sedikit mempunyai bekal dalam berbagai macam bidang yang akan dijumpainya dalam kehidupan. Mereka memang belajar sedikit oleh kanuragan. Tetapi mereka juga mencari pengalaman dibidang pertanian. Pengetahuan serba sedikit tentang kesusastraan, pengenalan terhadap masa lalu dan kesiapan menyongsong masa depan.Kedua orang itu mengangguk-angguk. Mereka percaya terhadap keterangan Kiai Warangka, karena mereka melihat sendiri ruangan-ruangan yang dipergunakan untuk keperluan yang berbeda
Namun menurut penglihatan keduanya, para cantrik dipadepokan Kiai Warangka justru tidak begitu banyak tertarik kepada sanggar olah kanuragan mereka.
Malam itu adalah malam terakhir bagi ketiga orang akan meninggalkan padepokan kembali ke padepokan Kiai Timbang Laras.
Menjelang fajar, ketiga orang itu sudah siap. kuda-kuda mereka telah terikat didepan pendapa bangunan utama
Setelah minum wedang jahe yang hangat serta makan beberapa potong makanan yang sempat disediakan, maka Ki Resapun telah minta diri.
- Aku berharap, bahwa aku akan dapat datang lagi ke padepokan ini - berkata Ki Resa sebelum meninggalkan padepokan itu.
- Kami akan menunggu, Ki Resa. Banyak hal yang dapat kami pelajari dari Ki Resa. Ki Resa tersenyum. Katanya - Akulah yang masih harus banyak belajar dari Kiai Warangka dan bahkan kepada Ki Jayaraga. - Bagus - sahut Ki Jayaraga - aku adalah seorang petani yang berpengalaman. Di Tanah Perdikan Menoreh, banyak orang yang belajar bagaimana menabur benih padi gaga ditempat yang kekurangan air. - Itulah yang menarik pada Ki Jayaraga - berkata Ki Resa -tangannya yang dingin membuatnya menjadi seorang petani yang baik. Apa yang dipegangnya dapat menghasilkan. Bahkan tongkatpun jika ditanamnya akan tumbuh. Tetapi di pertempuran tangannya menjadi panas melampaui bara perapian pande besi. - Kau ini ada-ada saja - desis Ki Jayaraga sambil tersenyum. Demikianlah, maka kedua orang yang lainpun telah minta diri pula. Mereka akan memulai perjalanan justru sebelum matahari terbit Selagi udara masih segar.
Tetapi.ketika mereka memasuki jalan bulak, maka mereka sudah berpapasan dengan orang-orang yang pergi ke pasar. Orang-orang yang akan menjual barang dagangannya. Ada yang membawa hasil buminya, ada yang membawa barang-barang anyaman dan hasil kerajinan tangan mereka yang lain, buah-buahan dan ada pula yang menuntun kuda-kuda beban membawa gula kelapa.
Seorang laki-laki dengan hati-hati membawa sekeranjang kecil telur diatas kepalanya.
Ki Resa dan kedua orang kawannya tidak dapat berpacu secepatnya. Jalan semakin dalam justru menjadi semakin banyak dilalui orang.
Dalam pada itu, langitpun menjadi cerah. Cahaya matahari mulai tampak bergayutan pada ujung pepohonan yang tinggi. Kicau burung terdengar bersahutan, semerdu dendang perempuan yang sedang menunai padi di sawah.
Sepeninggal Ki Resa dan dua orang kawannya, maka Kiai Warangka, Serat Waja dan Ki Jayaraga mnasih duduk-duduk dipendapa. Mereka masih menilai sikap ketiga orang yang baru saja meninggalkan padepokan itu.
- Perbatang dan Pinuji adalah jelas pengikut Kiai Timbang Laras - berkata Ki Jayaraga - namun bagaimana dengan Ki Resa " Kiai Warangka mengangguk-angguk. Katanya - Orang itu justru meragukan. Tetapi mudah-mudahan ia orang yang baik, yang nuraninya tidak goyah karena kesediaan timbang Laras mengupahnya.- Kakang - desis Serat Waja kemudian dengan ragu - mudah-mudahan ia baik. Tetapi jika ia benar-benar memiliki penglihatan jiwani yang sangat tajam, sehingga ia benar-benar dapat melihat peti itu, bukankah ia dapat bersikap mendua. Kiai Warangka mangangguk-angguk. Katanya - Kau benar Serat Waja. Ia dapat melakukannya untuk kepentingannya sendiri. Tetapi untuk sementara kita tidak berprasangka buruk. Kita akan menunggu, apa yang akan dilakukan oleh Timbang laras. Mungkin ia juga mencurigai Ki Resa atau malah langkah-langkah lebih jauh dari sekedar mencurigai. - Ya. Kita memang hanya dapat menunggu lagi. - desis Serat Waja.
- Tetapi, bukankah Ki Jayaraga tidak tergesa-gesa ingin pulang ke Tanah Perdikan Menoreh " Juga karena kehadiran Jatha Beri yang sudah dikenal oleh Ki Jayaraga. aku ingin mohon agar Ki Jayaraga tetap berada di padepokan untuk sementara. Ki Jayaraga tersenyum. Katanya - Baiklah. Aku akan tinggal untuk sementara di padepokan ini. Tetapi aku ingin melihat Tanah Perdikan sebentar. Hanya hari ini. Nanti malam aku sudah kembali berada di padepokan ini - Apakah ada firasat yang memaksa Ki Jayaraga berniat untuk menengok Tanah Perdikan " - Tidak. Nampaknya tidak ada apa-apa. Tetapi karena Tanah Perdikan seakan-akan sedang kosong, maka ada baiknya aku menengok hanya untuk hari ini. Kiai Warangka memang tidak berkeberatan. Bahkan ia merasa tidak dapat menahan jika itu dikehendaki oleh Ki Jayaraga.
Ketika matahari memanjat langit, Ki Jayaraga melarikan kudanya menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Ia memang tidak mempunyai kepentingan apapun selain sekedar melihat keadaan.
Kedatangannya disambut oleh Rara Wulan dengan gembira. Sudah beberapa lama Ki Jayaraga tidak pulang.
- Dimana Sekar Mirah " - bertanya Ki Jayaraga.
- Mbokayu sedang pergi kesawah. Memetik kacang panjang. Mumpung masih belum terlalu tua. Ki Jayaraga tersenyum. Ia menanam kacang panjang disepanjang pematang. Ternyata hasilnya cukup memadai.
Ketika Sekar Mirah pulang, iapun bergembira pula. Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi kecewa, karena Ki Jayaraga sore itu juga akan kembali ke padepokan Kiai Warangka.
- Tetapi Ki Jayaraga harus menunggu, sayur kacang panjangku masak - berkata Sekar Mirah.
Ki Jayaraga tersenyum. Katanya - Aku akan menunggu. -Ketika Ki Jayaraga sedang duduk dibawah bayangan daun pohon jambu air yang rimbun, seseorang memasuki regol halaman. Orang itu mengangguk hormat ketika ia melihat Ki Jayaraga.
- Marilah - Ki Jayaraga yang telah mengenal orang itu mempersilahkan - naiklah ke pendapa. - Terima kasih Ki Jayaraga. Aku hanya ingin menyampaikan pesan dari Ki Gede. Ki Jayaraga mengerutkan dahinya. Sambil melangkah mendekat Ki Jayaraga bertanya
- Pesan apa " - - Pesan buat Nyi Agung Sedayu. - Pesan apa " Baiklah. Aku akan memanggilnya. Apakah pesan itu ada hubungannya dengan kepergian Agung Sedayu dan Glagah Putih "- Benar Ki Jayaraga. Tetapi bukan apa-apa. Hanya sekedar berita yang tidak terlalu penting. - Baiklah. Duduklah. - Sekar Mirah dan Rara Wulan yang sedang berada didapurpun segera menemui orang itu di pendapa.
- Aduk sayurnya Sukra. Santannya jangan sampai pecah. -Sukra tidak menjawab. Tetapi sebenarnya ia tidak senang. diminta untuk menunggui sayur diperapian. Ia lebih senang bekerja diluar. Membelah kayu atau mengambil air di sumur.
- Apa yang terjadi " - bertanya Sekar Mirah.
- Tidak ada apa-apa Nyi. Justru karena tidak apa-apa itu aku datang. Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih masih harus menunggu perintah menyerang kota. Seorang penghubung telah datang untuk meredam kegelisahan. Sekar Mirah dan Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam.
- Kau berkata sebenarnya " - bertanya Rara Wulan.
- Aku hanya menirukan penghubung yang sedang berada di rumah Ki Gede. Penghubung itu membawa kabar tentang hari-hari terakhir yang menjemukan di perkamahan. Lumbung yang terbakar. Udara yang panas dan perintah untuk menunggu.
Sekar Mirah, Rara Wulan dan Ki Jayaraga mengangguk-angguk.
Tetapi penghubung itu juga membawa berita yang sedikit menyengat ketenangan Tanah Perdikan ini.
- Berita apa "- - Dua orang telah gugur dalam penjajagan yang dilakukan oleh pasukan Mataram. - Siapakah mereka " - wajah Rara Wulan menjadi pucat. Tetapi ketika orang itu menyebut dua buah nama, maka Rara
Wulanpun menarik nafas panjang.
- Tetapi dalam satu dua hari ini, Mataram akan menyerang berkata orang itu.
Ki Jayaraga, Sekar Mirah dan Rara Wulanpun mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah pada saat itu, pasukan Mataram yang sedang berkemah di Pati benar-benar sudah siap. Bahkan sudah ada perintah dari panembahan Senapati, meskipun baru didengar oleh para Panglima bahwa dikeesokan harinya, pasukan Mataram benar-benar akan menyerang. Bukan sekedar penjajagan.
Tetapi menjelang sore, Agung Sedayu telah mendapat perintah untuk meninjau keadaan medan. Bersama sekelompok prajurit dari Pasukan Khususnya, Agung Sedayu berkuda mendekati pintu gerbang kota yang tertutup. Beberapa orang prajurit yang bertugas memperhatikannya dengan busur dan anak panah yang siap dilontarkan ditangan mereka.
Tetapi Agung Sedayu cukup berhati-hati. Ia tidak berada di jarak jangkau anak panah yang setiap saat dapat dilontarkan dari panggungan disebelah pintu gerbang itu.
Kuda Agung Sedayu dan sekelompok prajurit dari Pasukan khusus itu berjalan perlahan-lahan. Diamatinya dinding kota yang cukup tinggi. Di panggung para prajurit yang bertugas selalu siap menghadapi segala kemungkinan.
- Tidak ada celah-celah sama sekali - desis Agung Sedayu. Seorang pemimpin kelompok yang berkuda disebelahnya mengangguk. Katanya - Kita harus menerobos hujan anak panah. Kita telah membuat perisai-perisai bambu yang besar itu, yang akan dapat melindungi para prajurit dari sergapan ujung-ujung anak panah yang jumlahnya tentu tidak terhitung. - Kita harus bersiap sebelum fajar. Kemudian kita harus bekerja keras menggapai bibir dinding itu. Usaha memecahkan pintu gerbang tentu akan makan waktu dan korban. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Memang tidak ada pilihan. Korban tentu akan berjatuhan.
Agung Sedayu yang bertugas untuk mengamati keadaan itupun telah memperhatikan sasaran dengan seksama. Tidak ada yang terlepas dari perhatian dan terlampaui dari penglihatan Agung Sedayu.
Agung Sedayu tertegun ketika ia melihat seorang prajurit yang berada disebuah panggung melambaikan tangannya.
Agung Sedayu tertegun ketika ia melihat seorang prajurit yang berada disebuah panggungan melambaikan tangannya.
- Apa maksudnya " - bertanya pemimpin kelompok yang berkuda didepan dinding kota.
Agung Sedayu menarik kendali kudanya. Setelah termangu-mangu sejenak, maka Agung Sedayu telah melambaikan tangannya pula.
- Marilah singgah sebentar Ki Sanak - teriak prajurit yang berada diatas panggungan itu.
Agung Sedayupun menyahut - Apakah kau sudah menyediakan suguhan " - Sudah Ki Sanak. Apa yang kau sukai " Wedang jahe, wedang sere dan rujak degan. Dipanasnya terik matahari, rujak degan tentu akan memberikan kesegaran kepadamu Ki Sanak.Tiba-tiba pemimpin kelompok itu berteriak pula - Aku inginkan rujak pace. He, kau punya rujak pace " - Ada. Kemarilah, - jawab orang itu.
Agung Sedayu tertawa. Dilambaikannya tangannya. Prajurit yang ada dipanggungan itu tentu juga ingin mengusir kejemuan. Atau bahkan keseganannya untuk melihat cucuran darah. Di Prambanan darah telah banyak tertumpah.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Iapun kemudian berpesan kepada para prajuritnya agar tetap berada ditempatnya.
- Aku akan mendekat. Kalian tinggal diluar jangkauan anak panah. Jangan ada yang melanggar perintahku apapun yang terjadi. Jika seorang saja diantara kalian melanggar perintahku, maka aku akan menanggung akibat yang sangat buruk. Pemimpin kelompok itu mengangguk kecil. Namun nampak keraguan disorot matanya.
- Tidak akan terjadi apa-apa denganku. -Sebenarnyalah Agung Sedayupun telah melarikan kudanya mendekati dinding kota, sementara para prajuritnya tetap berada di tempatnya.
Namun Agung Sedayu tidak mau menjadi korban yang sia-sia Karena itu, maka iapun telah mengetrapkan ilmu kebalnya
Tetapi ternyata para prajurit yang berada diatas panggungan itu tidak menyerangnya. Beberapa orang bahkan menjengukkan kepalanya memandang Agung Sedayu yang duduk dipunggung kudanya sambil menengadahkan kepalanya.
- Apa yang ingin kau berikan" -bertanya Agung Sedaya
- Terimalah - berkata prajurit yang ada dialas panggungan. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ternyata-prajurit yang berada diatas panggung itu telah melemparkan buah manggis. Tidak hanya satu, tetapi beberapa buah berturut-turut, sehingga Agung Sedayu menjadi kesulitan. Beberapa buah jatuh ditanah.
Tetapi Agung Sedayu meloncat dari punggung kudanya. Dipungutnya beberapa buah manggis itu dan diletakkannya di pelana kudanya diatas kedua kakinya.
- Disini masih - banyak berkata prajurit yang ada diatas.
- Aku tidak dapat membawanya lagi - jawab Agung Sedayu -terima kasih. Tolong sediakan buat besok. Aku akan datang dengan membawa sebuah keranjang.- Ketika Agung Sedayu bergerak menjauh,maka prajurit itu melambaikan tangannya pula. Demikian pula Agung Sedayu dan bahkan pemimpin kelompok prajuritnya yang masih tetap berada di tempatnya.
Ternyata para prajurit berkuda yang sedang mengamati sasaran itu ragu-ragu untuk makan manggis yang dilemparkan oleh para prajurit Pati. Tetapi Agung Sedayulah yang lebih dahulu membuka manggisnya dan mencicipi daging buahnya yang putih bersih. Agung Sedayu yang tawar racun itu dengan saksama merasakan dengan ujung lidahnya apakah buah itu beracun atau tidak.
- Tidak apa-apa - berkata Agung Sedayu.
Diudara yang panas, maka manggis itu terasa segar sekali.
Pemimpin kelompok prajurit dari pasukan Khusus itupun kemudian bertanya -Apa maksud mereka memberikan buah manggis itu kepada kita"- Aku kira tidak ada maksud apa-apa. Kita tidak mempunyai persoalan apa-apa dengan para prajurit Pati. Agaknya merekapun ingin mengatasi kejemuan mereka menunggu perang berlangsung. Tetapi sebagai sesama, bukankah kita tidak bermusuhan dengan mereka "Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Secara pribadi, pemimpin kelompok itu memang tidak bermusuhan dengan
Tiba-tiba saja terbesit satu peertanyaan-Kenapa pada satu saat kami harus berperang dengan orang-orang yang tidak mempunyai persoalan dengan kami " Pemimpin kelompok itu menarik nafas dalam-dalam. Ada yang
Demikianlah, sekelompok prajurit berkuda itupun segera berpacu kembali ke pesanggerahan.
Agung Sedayupun langsung telah memberikan laporan tentang tugasnya kepada Ki Patih Mandaraka. Tetapi Ki Patihpun kemudian telah membawanya menghadap Panembahan Senapati.
Berdasarkan laporan Agung Sedayu dan para petugas sandi sebelumnya, maka Panembahan Senapatipun segera menyusun rencana serangan yang akan dilakukan oleh pasukan Mataram. Beberapa Panglima dan Senapati terpenting lebih membicarakan rencana itu dari ujung sampai ke ujung. Semua segi telah mendapat penilaian dengan seksama, sehingga jangan sampai terjadi kesalahan-kesalahan yang tidak perlu, karena taruhannya adalah nyawa.
Pasukan Mataram harus dengan cepat menyelesaikan perang itu. Persediaan makanan mereka sebagian telah terbakar. Mereka tidak yakin bahwa mereka akan mendapatkan bahan pangan yang mencukupi.
Karena itu, maka dalam waktu yang sesingkat mungkin, Pati harus dapat ditaklukan.
Ketika malam turun, maka pasukan Matarampun segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Jangan sampai ada yang mengecewakan. Segala rencana harus dapat berjalan dengan baik.
Sementara pasukan Mataram mempersiapkan diri untuk melakukan serangan yang menentukan, Ki Jayaraga justru masih dalam perjalanan menuju ke padepokan Kiai Warangka. Ternyata Ki Jayaraga agak terlalu malam kembali ke padepokan, karena Ki Jayaraga bersama Sekar Mirah dan Rara Wulan pergi ke rumah Ki Gede untuk mendengarkan langsung berita tentang pasukan Mataram yang sedang berada di Pati.
Mereka ingin berbicara langsung dengan penghubung yang datang mengabarkan keadaan medan yang mulai menggelisahkan, Justru para prajurit dan pengawal harus menunggu.
Karena itulah, maka baru menjelang malam Ki Jayaraga berangkat ke padepokan.
- Kenapa tidak besok saja, Ki Jayaraga " - bertanya Sekar Mirah.
- Aku sudah terlanjur janji, bahwa aku akan kembali. - Tetapi bukankah tidak ada masalah yang penting sekali untuk diselesaikan hari ini " - Memang tidak - jawab Ki Jayaraga - tetapi jika aku tidak kembali, orang-orang padepokan itu akan menjadi gelisah. Justru karena sedang terjadi pergolakan di padepokan itu, Kiai Warangka dapat menduga-duga. Bahkan mungkin dugaan yang kurang baik. - Maksud Ki Jayaraga " - Kiai Warangka dapat menduga, bahwa di perjalanan aku bertemu dengan para pengikut Jatha Beri. Sikapnya yang bermusuhan itu memang dapat mengundang banyak kemungkinan. - Tetapi bagiamanakah jika Ki Jayaraga benar-benar bertemu dengan orang itu dan pengikut-pengikutnya" Ki Jayaraga tersenyum. Katanya - Mudah-mudahan tidak.
Sekar Mirah dan Rara Wulan tidak dapat menahan lagi. Ki Jayaraga benar-benar kembali ke padepokan malam itu juga.
Memang tidak ada hambatan sesuatu diperjalanan. Tetapi Ki Jayaraga sempat melihat sesuatu yang tidak wajar Penglihatannya yang tajam sempat melihat bayangan seseorang dikegelapan, menghilang dibalik gerumbul.
Bahkan tidak hanya sekali. Tetapi beberapa kali. Ki Jayaraga segera teringat saat ia diikuti oleh dua orang pengikut Kiai Timbang Laras yang sedang mengawasi padepokan Kiai Warangka.
Ki Jayaraga telah memberitahukan penglihatannya itu kepada Kiai Warangka dan Ki Serat Waja, demikian ia sampai di padepokan.
- Apakah kakang Timbang Laras akan bersunggun-sungguh " - desis Serat Waja.
Kiai Warangkapun menarik nafas dalam-dalam. Namun Ki Jayaraga berkata - Aku yakin, bahwa yang berdiri dibelakang semua peristiwa ini adalah Jatha Beri. Ia benar-benar orang yang sangat licik. Ki Serat Waja mengangguk-angguk sambil berdesis - Aku Percaya Ki Jayaraga. Bagaimanapun juga ketamakan kakang Timbang Laras, tetapi ia tentu tidak akan mengambil langkah sejauh ini. Ia tentu tidak dengan semena-mena memusuhi saudara-saudara seperguruannya sendiri. Kiai Warangkalah yang menyahut dengan nada berat -Mungkin Jatha Beri telah mempengaruhinya, Serat Waja. Tetapi aku tetap kecewa terhadap Timbang Laras. Bagaimanapun juga orang lain berusaha mempengaruhinya, jika jiwanya kokoh, maka ia tidak akan terperosok kedalam sikap yang tercela itu. Disinilah letak kedewasaan sikap seseorang. Jika ia masih berada dibawah bayang-bayang sikap orang lain, maka ia masih belum cukup dewasa meskipun rambutnya sudah beruban. Serat Waja dan Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Mereka sependapat, bahwa betapapun kuatnya pengaruh orang lain, maka segala sesuatunya masih akan ditentukan oleh sikap peribadi seseorang.
Namun pemberitahuan Ki Jayaraga itu telah mendorong Ki Warangka untuk memerintahkan para cantriknya semakin berhati-hati. Beberapa orang cantrik yang semula berada di peternakan telah berada dipadepokan mereka kembali. Bahkan pengamatan disekitar padepokanpun semakin ditingkatkan. Para cantrik tidak saja mengamati keadaan disekitar padepokan dari panggungan-panggungan dibelakang dinding, Tetapi para cantrikpun, dalam kelompok-kelompok kecil telah meronda di luar dinding padepokan.
Para cantrik dengan penuh kewaspadaan melangkah didalam kegelapan menembus sepinya malam.
Sementara itu, malam itu pula, pasukan Mataram di Pati benar-benar telah bersiap. Segala sesuatunya benar-benar telah dipersiapkan dengan baik, sehingga Panembahan Senapati mengharap bahwa serangan mendatang, tidak akan mengecewakan.
Malam itu, para prajurit dan pengawal yang berada didalam pasukan Mataram itu masih Sempat beristirahat dengan baik, agar mereka tidak akan kehabisan tenaga didalam pertempuran yang akan terjadi. Para Panglima dan Senapati tahu benar bahwa pertempuran akan berlangsung dengan sengitnya. Usaha untuk memecah pertahanan Pati memerlukan pengerahan kekuatan dan kemampuan.
Demikianlah, didini hari, maka para prajurit dan pengawal Mataram telah mempersiapkan diri. Semua peralatan telah disediakan. Sehingga Setiap saat terdengar perintah, pasukan akan segera bergerak.
Menjelang fajar, maka terdengar suara bende mengumandang di induk pasukan Mataram. Kemudian panah apipun nampak menyala di langit. Para penghubung berkuda telah berderap dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain yang dipergunakan sebagai perkemahan prajurit Mataram.
Sejenak kemudian, maka terdengar suara bende berkumandang di padukuhan-padukuhan yang dipergunakan sebagai pesanggrahan dari pasukan induk Mataram sebagai pertanda agar pasukan Mataram mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Tidak seorangpun akan menyesal akan kelengahannya mempersiapkan diri memasuki perang. Tidak seorangpun yang belum sempat makan dan tidak seorangpun yang akan kelupaan apapun juga yang bakal dipergunakan di medan.
Beberapa saat kemudian, bendepun telah bergaung untuk kedua kalinya. Pasukan Mataram sudah siap untuk bergerak. Dan ketika bende berbunyi untuk ketiga kalinya, maka pasukan Mataram itu benar-benar telah bergerak.
Panembahan Senapati sendiri telah memimpin pasukannya yang besar itu. Segala pertanda kebesaran pasukan yang bergerak disaat langit mulai nampak kemerah-merahan.
Rontek, umbul-umbul, kelebet yang berkibar pada tunggul-tunggul yang mewujudkan lambang-lambang kekuatan dan keperkasaan pasukan Mataram telah membuat jantung para prajurit dan pengawal yang berada didalam pasukan Mataram itu menjadi semakin mantap. Bahkan disetiap kesatuan prajurit maupun pengawal nampak tunggul-tunggul serta kelebet lambang setiap kesatuan itu.
Mataram memang tidak merahasiakan serangannya itu. Mataram yakin bahwa Pati sudah mengetahui bahwa hari itu, Mataram benar-benar akan datang menyerang.
Panembahan Senapati yang memimpin pasukan itu berjalan di ujung pasukannya. Matanya dengan tajam menatap kedepan. Tetapi sepanjang langkahnya, Panembahan Senapati hampir tidak berbicara apa-apa. Hanya sepatah-sepatah terdengar perintahnya kepada para Senapati mengapitnya.
Ki Patih Mandaraka menyadari, betapa beban perasaan harus dipikul oleh Panembahan Senapati. Bagaimanapun juga Panembahan Senapati tidak akan dapat melupakan hubungan yang akrab antara dirinya dan Kengjeng Adipati Pragola dari Pati. Apalagi jika Panembahan Senapati mengingat hubungan antara ayahnya. Ki Gede Pemanahan dan Ayah Kangjeng Adipati Pragola yang tidak ubahnya seperti hubungan antara dua orang saudara kandung. Keduanya seakan-akan telah menyatu didalam suka dan dukanya.
Tetapi Panembahan Senapatipun kemudian harus menghadapnya sebagai lawan.
Kekecewaan Kangjeng Adipati Pragola di Madiun nampaknya tidak akan pernah dilupakannya, meskipun sampai saat terakhir, Panembahan Senapati tidak tahu pasti, apakah sebenarnya yang menyebabkan Kangjeng Adipati Pragola menjadi sangat kecewa sehingga hatinya menjadi patah arang.
Panembahan Senapati memang menyesali ketelanjurannya, bahwa ia tidak berbicara lebih dahulu dengan Kangjeng Adipati Pragola, ketika ia mengambil puteri Kangjeng Adipati Madiun menjadi isterinya. Meskipun tidak pasti, tetapi mungkin salah satu sebab kekecewaan Kangjeng Adipati Pragola adalah justru pada saat para prajurit menyerahkan nyawanya untuk satu perjuangan, Panembahan Senapati menemukan seorang puteri cantik yang kemudian diperisterikannya.
- Bukan sekedar puteri boyongan - berkata Panembahan Senapati didalam hatinya. Agaknya hal itulah yang membuat Kangjeng Adipati Pragola kecewa. Ketika darah masih belum kering dari luka, maka Panembahan Senapati telah memasuki senthong tengah Kadipaten Madiun bersama puteri Madiun itu.
Tetapi kenapa Adipati Pragola tidak berterus-terang. Seandainya Adipati Pragola bersedia menunjuk kesalahannya dan hal itu dapat dimengertinya, maka Panembahan Senapati akan bersedia minta maaf.
Tetapi semuanya itu sudah lampau. Sekarang pasukan Mataram telah bergerak mendekati dinding kota Pati yang dipertahankan oleh Kangjeng Adipati Pragola.
Perang sudah tidak mungkin dapat dihindarkan lagi.
Demikianlah, maka pasukan Mataram itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan dinding kota. Segala sesuatu telah bergerak sesuai dengan rencana.
Perisai-perisai dari anyaman bambu yang diberi berbingkai lebih kuat dari yang pernah dibuat, akan melindungi pasukan yang akan mendekati dinding. Tangga-tangga bambu berkaki yang dapat berdiri tanpa bersandar pada dinding, telah direncanakan pula dengan sebaik-baiknya.
Pada saat langit menjadi semakin terang oleh cahaya fajar, maka pasukan Mataram telah mendekati dinding kota. Para prajurit Pati telah melihat umbul-umbul, rontek dan kelebet yang berkibar pada tunggul-tunggul yang megah, melambangkan kebesaran Mataram di bawah pemerintahan Panembahan Senapati.
Kangjeng Adipati Pragola sendiri yang berada diatas panggung disebelah pintu gerbang itupun menggeretakkan giginya. Dengan geram Kangjeng Adipati Pragola itupun berkata kepada Senapati pengapitnya - Sombongnya Ngabehi Loring Pasar itu. Salah Kangjeng Sultan Pajang, bahwa ia telah mengangkat Sutawijaya itu menjadi anaknya. Ia menjadi besar kepala dan tidak lagi mengenal sangkan paraning dumadi. Senapati pengapitnya itupun mengangguk-angguk. Sementara Adipati Pragola itu berkata selanjurnya - Sekarang ia datang ke Pati dengan pertanda-pertanda kebesaran seorang Maha Prabu yang Agung. Ia merasa bahwa semua Adipati dan bahkan raja-raja yang ada itu harus tunduk kepadanya. Senapati pengapitnya masih mengangguk-angguk pula.
Sementara itu, pasukan Mataram sudah menjadi semakin dekat Para prajurit dan pengawalnya telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk mulai dengan serangannya yang sebenarnya.
Dalam pada itu, Kangjeng Adipati Pragola yang berada diatas panggungan itupun menjadi tegang. Dengan seksama ia memperhatikan setiap gerak dari pasukan Mataram. Baik induk pasukan, maupun pasukan yang bergerak disisi kiri dan disisi kanan yang kemudian merupakan sayap kiri dan sayap kanan dari pasukan yang besar itu meskipun Mataram dan Pati tidak akan terlibat dalam perang gelar yang langsung.
Ketika para pemimpin Mataram kemudian meneriakkan perintah sambung bersambung untuk menyerang, yang kemudian disusul gerak pasukan yang besar itu, maka Kangjeng Adipati Pragola memerintahkan seorang perwira penghubung untuk membunyikan pertanda. Sebuah bende dipanggungan yang ada disebelah pitnu gerbang itu telah ditabuh. Namun hampir disetiap panggungan ternyata disediakan sebuah bende yang kesemuanyapun kemudian telah ditabuh. Suaranya bergaung menggetarkan seluruh kota Pati.
Suara bende itu ternyata telah menumbuhkan gejolak yang dahsyat didalam setiap dada para prajurit. Getarnya telah menggetarkan setiap jantung, sehingga gairah perjuangan merekapun meningkat semakin tinggi. Darah mereka serasa telah mendidih didalam tubuh mereka.
Dalam waktu yang singkat, maka anak panahpun telah melekat dibusur. Beberapa langkah lagi pasukan Mataram itu maju, maka anak panah itu akan meluncur dengan derasnya.
Suara bende yang gemuruh sahut menyahut dengan gaung yang panjang susul-menyusul itu mempunyai pengaruh yang sebaliknya bagi para prajurit Mataram. Gaung suara bende itu bagaikan aum harimau yang kelaparan, merunduk dan siap untuk menerkam. ' Dengan demikian, maka tanpa ada perintah dari siapapun juga, langkah para prajurit dan pengawal dari Mataram itupun seolah-olah telah tertegun.
Panembahan Senapati yang bijaksana itupun melihat pengaruh suara beberapa buah bende yang berhasil menggetarkan udara Pati. Panembahan Senapatipun dapat melihat pengaruh suara bende itu langsung kepada para prajurit dan pengawal yang berada didalam pasukan Mataram.
Dengan penuh kesadaran, maka Panembahan Senapatipun harus mengimbanginya untuk memulihkan keberanian dan tekad yang menyala didada para prajurit dan pengawal.
Panembahan Senapati tidak mau mengalami kegagalan karena secara jiwani para prajurit dan pengawal seakan-akan telah dikalahkan sebelum bertempur. Karena itu, langkah yang diambil oleh Panembahan Senapati tidak tanggung-tanggung. Setelah berbicara dengan Ki Patih Mandaraka, maka Panembahan Senapatipun segera memerintahkan membunyikan sebuah bende yang mempunyai pengaruh sangat besar bagi para prajurit Mataram. Kiai Becak.
Demikianlah maka sejenak kemudian seorang Senapati penghubung telah melakukan sendiri, menabuh bende yang dikeramatkan itu.
Sebenarnyalah ketika bende itu ditabuh, ternyata suaranya bagaikan mengguncang langit. Gaungnya mengumandang berputar putar tiada berkeputusan. Meskipun bende yang ditabuh oleh prajurit Mataram hanya sebuah, tetapi suaranya yang melengking berkepanjangan telah mengatasi suara beberapa buah bende yang ditabuh oleh para prajurit Pati.
Jantung yang berkerut oleh getar suara bende para prajurit Pati, tiba-tiba telah mengembang kembali. Darahpun mulai bergejolak didalam pembuluhnya.
Langkah yang tertegunpun seakan-akan telah didorong dengan kekuatan yang tidak ternilai besarnya.
Suara bende Kiai Becak memang menggetarkan jantung. Dari ujung sampai keujung pasukan Mataram telah mendengarnya. Merekapun tahu pasti, bahwa suara bende itu adalah suara bende Kiai Becak.
Suasanapun telah berubah. Para prajurit Mataram tidak menjadi termangu-mangu lagi. Dengan isi dada yang membara melangkah maju mendekati dinding kota Pati.
Pada saat yang demikian itulah, maka perintahpun jatuh bagi para prajurit Pati. Anak panahpun mulai meluncur dari busurnya.
Para prajurit dan pengawal dari Matarampun bergerak semakin cepat. Mereka mempergunakan perisai dari ancaman bambu yang besar, yang diberi berbingkai dan kaki-kaki yang cukup banyak. Dibawah perisai-perisai raksasa itulah, para prajurit dan pengawal Mataram berlindung.
Anak panah memang tidak dapat menembus anyaman bambu yang rapat itu. Tetapi para prajurit Pati tidak hanya menyediakan anak panah. Merekapun kemudian telah mempergunakan batu-batu yang cukup besar dan dilontarkan dengan tali-tali yang kuat oleh tangan-tangan yang kuat pula.
Hal itu memang sudah diperhitungkan oleh para prajurit dan pengawal Mataram, sehingga mereka tidak terkejut karenanya. Ketika para prajurit Mataram menjajagi kekuatan Pati, maka para prajurit Pati sudah mempergunakan meskipun saat itu dilakukan dengan serta-merta tanpa direncanakan lebih dahulu. Sedangkan yang terjadi pada saat pertempuran yang sebenarnya, pasukan Pati telah mempersiapkannya dengan baik. Tetapi perisai-perisai bambu yang dibuat oleh para prajurit Matarampun lebih baik pula serta jauh lebih kuat.
Meskipun demikian batu-batu yang besar itu telah merusakkan perisai-perisai bambu itu. Namun pasukan Mataram telah menjadi semakin dekat dengan dinding kota.
Tetapi para prajurit Pati tidak hanya mempergunakan batu untuk merusak perisai-perisai bambu itu. Agaknya mereka telah mempersiapkan senjata yang lain untuk menghancurkan perisai-perisai anyaman bambu itu. Senjata yang belum dipergunakan
Panah api. Dengan panah api, maka para prarjurit Pati telah membakar perisai-perisai bambu yang besar, yang dipergunakan untuk berlindung para prajurit dan pengawal dari Mataram.
Namun jarak dinding kota itu sudah menjadi semakin dekat. Api itu tidak dengan cepat membakar perisai-perisai yang besar itu sehingga para prajurit dan pengawal dari Mataram yang berlari sekencang-kencangnya itu telah mencapai dinding kota.
Para prajurit dan pengawal dari Mataram itupun telah mempergunakan tangga-tangga berkaki untuk mencoba memanjat dinding.
Sementara itu para prajurit dan pengawal yang bersenjata panahpun telah berusaha untuk melindunginya. Dengan bidikan bidikan yang mapan mereka telah menghentikan perlawanan para prajurit Pati yang berada di panggungan dibelakang dinding.
Tetapi merekapun terlindung oleh dinding kota itu.
Demikianlah, maka pertempuran dengan senjata lontarpun menjadi semakin sengit. Anak panah itu seperti semburan air dari bawah serta siraman hujan dari atas dinding.
Sementara itu para prajurit Pati berusaha untuk menggapai dan mendorong tangga-tangga bambu yang dipergunakan untuk memanjat para prajurit dan pengawal Mataram tanpa mengenal takut
Korban memang berjatuhan. Tetapi gerak yang cepat dari para prajurit Mataram memang mendebarkan. Bukan hanya tangga-tangga bambu, tetapi juga jangkar yang diikat dengan tali yang panjang.
Selain usaha untuk memasuki dinding kota dengan tangga dan jembatan bambu, jangkar yang diikat tali yang panjang, juga usaha untuk memecahkan pintu gerbang telah dilakukan. Sementara para prajurit yang bersenjata panah terus-menerus tanpa henti-hetinya menghujani para prajurit Pati yang berada diatas panggungan. Sementara itu Kangjeng Adipati Pati masih berada diatas panggungan. Dengan saksama ia menyaksikan gerak pasukan Mataram yang bagaikan banjir yang melanda bendungan yang menghalanginya.
Pasukan Mataram telah melakukan apa saja yang sudah mereka persiapkan. Tangga-tangga yang berkaki dan semacam jembatar setinggi dinding itu sendiri. Arus prajurit dan pengawal yang deras. Kemampuan para prajurit yang berada diujung pasukan, telah, menggetarkan pertahanan Pati.
Sementara itu usaha untuk memecahkan pintu gerbang masih berlangsung. Sebuah balok yang besar dan panjang, dipanggul oleh beberapa orang yang kuat dan dilindungi dari hujan anak panah dan lembing oleh sekelompok prajurit khusus, masih berlangsung.
Beberapa kali balok yang besar itu surut untuk mengambil ancang-ancang. Kemudian berderap maju dengan cepatnya
Beberapa kali hal itu dilakukan, sehingga akhirnya pintu kayu yang tebal dan kuat itu mulai menjadi retak.
Ketika hal itu disampaikan kepada Kangjeng Adipati Pragola di Pati, maka telinganya bagaikan disengat lebah.
- Apakah kalian tidak dapat melindungi pintu gerbang itu. Apa yang kalian kerjakan dengan anak panah dan lembing kalian terhadap orang-orang yang memanggul sepotong kayu itu " - Kami sudah berusaha, Kangjeng. Tetapi orang-orang Mataram itu seakan-akan telah kerasukan. Mereka mampu melindungi kawan-kawannya yang memanggul balok kayu itu.
- Kenapa kalian tidak mempergunakan panah api sebagaimana kalian pergunakan untuk membakar perisai-perisai anyaman bambu itu"Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya - Kami akan mencobanya Kangjeng. Demikianlah, maka prajurit penghubung itu telah kembali kepanggungan diatas pintu gerbang. Ia telah memerintahkan untuk menyerang para prajurit Mataram yang berusaha memecah pintu gerbang itu dengan anak-panah api. Setidak-tidaknya api itu akan mengganggu orang-orang yang memanggul balok kayu itu.
Ketika para prajurit Pati mulai melontarkan anak panah api, maka para prajurit Mataram yang berusaha memecahkan pintu gerbang itu benar-benar telah tertahan.
Api yang bertebaran telah menghambar gerak para prajurit yang berlari-lari hilir mudik itu.
Namun seorang perwira dari Matarampun kemudian berteriak - Balut kaki kalian dengan apa saja yang dapat melindungi panasnya api. - ,
Beberapa orang menjadi ragu-ragu. Namun seorang prajurit yang nampaknya tidak sabar lagi, telah membuka ikat kepalanya. Merobeknya menjadi dua bagian, dan kemudian membalut kakinya dengan ikat kepalanya itu, beberapa putaran.
Para prajurit yang lain, dengan serta-merta telah menirukannya. Mereka telah membuka ikat kepala mereka dan membalut kaki mereka dengan ikat kepalanya itu.
Sejenak kemudian, maka api itupun tidak dihiraukannya lagi. Meskipun sentuhan api itupun tidak dihirauannya lagi. Meskipun sentuhan api itu dikaki mereka masih terasa panas, tetapi kaki mereka sudah merasa sedikit terlindung.
Karena itu, maka hentakkan-hentakan balok kayu itpun sudah mulai lagi mengguncang pintu gerbang. Seorang prajurit penghubung telah melaporkan pula kepada Kangjeng Adipati Pati, bahwa pasukan Mataram masih saja berusaha memecahkan pintu sampai kayu yang sudah mulai menjadi retak itu.
Dari atas panggungan disisi pintu gerbang itu, Kangjeng Adipati memang telah melihat apa yang terjadi. Karena itu, maka Kangjeng Adipati tidak dapat menyalahkan prajurit-prajurknya.
Namun sudah mulai membayang, peristiwa yang terjadi di Prambanan itu akan terulang lagi. Para prajurit Pati yang membuat benteng di Prambanan tidak berhasil mempertahankannya. - Tetapi sekarang, kami berada di rumah kami sendiri - geram Kangjeng Adipati Pati.
Karena itu, maka Kangjeng Adipati itupun telah memerintahkan dua orang Senapati yang ada dipanggungan itu untuk mempersiapkan para prajurit yang akan menahan arus pasukan Mataram yang nampaknya akan berhasil memecah pintu berbang dinding kota.
Sebenarnyalah bahwa Pati memang telah memperhitungkan kemungkinan yang terburuk itu terjadi. Karena itu, maka ketika pintu gerbang kota mulai retak, maka pasukan yang memang dipersiapkan sebelumnya itupun segera disiagakan.
Kangjeng Adipati Pragolapun kemudian turun dari panggungan. Ia akan memimpin sendiri para prajurit yang akan memberikan perlawanan habis-habisan kepada prajurit Mataram.
Hiruk-pikuk pertempuran itu terjadi semakin menggetarkan jantung. Beberapa orang prajurit Mataram berhasil memecahkan pertahanan para prajurit Pati lewat jembatan-jembatan bambu yang telah mereka persiapkan pada tangga-tangga berkaki. Jangkar-jangkar yang mengait bibir dinding dilindungi oleh semburan anak panah oleh para prajurit yang memiliki bidikan yang tepat.
Prajurit Pati memang sulit menahan arus yang demikian kuatnya. Betapapun mereka pertahan, namun arus itu mampu menyusup diantara pertahanan mereka. Satu dua jembatan pada tangga-tangga berkaki itu sempat didorong dan terguling. Tetapi yang lain telah dialiri prajurit yang jumlahnya tidak terhitung.
Satu dua tali yang terkait pada jangkar sempat diputuskan, tetapi jangkar-jangkar besi yang dilemparkan jumlahnya banyak sekali dibawah perlindungan anak panah para prajurit dan pengawal dari Mataram.
Sementara itu, usaha untuk memecahkan pintu gerbang nampaknya segera akan berhasil. Pintu yang tebal mulai retak. Hentakkan-hentakkan yang berkali-kali tidak lagi dapat ditahan.
Pada saatnya, maka terdengar derak yang keras. Pintu gerbang kota Pati telah pecah. Pintu yang tebal itupun telah terbuka.
Demikian pintu itu terbuka, maka seperti bendungan yang pecah, arus pasukan Mataram tidak tertahankan lagi. Begitu derasnya melanda pasukan Pati yang telah menunggu di dalam dinding kota.
Anak panah meluncur dengan derasnya. Tetapi perisai-perisai baja ditangan para prajurit terdepan melindungi tubuh mereka.
Demikianlah arus pasukan Mataram tidak tertahankan lagi. Dengan demikian, maka pertempuranpun telah terjadi dengan sengitnya. Namun arus yang keras itu telah mendorong pertahanan para prajurit Pati semakin surut. Medanpun semakin tuas. Dan bahkan ujung-ujung arus pasukan Mataram itu menusuk keperbagai sisi pertahanan.
Pecahnya pintu gerbang memang sangat berpengaruh. Para prajurit dan pengawal Mataram telah bersorak gemuruh seakan-akan meruntuhkan dinding itu.
Saat itu telah dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para prajurit dan pengawal dari Mataram yang berusaha menerobos pertahanan Pati. Saat para prajurit Pati terhenyak sejenak itu, akibatnya cukup besar. Pasukan Mataram menjadi semakin banyak menyusup disela-sela pertahanan para prajurit Pati yang banyak menyusup disela-sela pertahanan para prajurit Pati yang bertahan diatas panggungan dibelakang dinding kota.
Dengan demikian, maka setelah berjuang beberapa lama, akhirnya para prajurit dan pengawal dari Mataram telah berhasil memasuki kota Pati.
Tetapi itu belum berarti kemenangan akhir. Pasukan Pati tidak begitu saja menyerah. Dibawah pimpinan Kangjeng Adipati Pragola sendiri, pasukan Pati telah bertahan dengan gagah berani. Meskipun mereka terdesak mundur, namun mereka tidak dengan serta-merta melepaskan tanggung jawab mereka.
Karena itu, maka pertempuranpun telah terjadi dimana-mana. Dijalan-jalan,di lorong-lorong, dan bahkan kemudian ujung pasukan Matarampun telah memasuki alun-alun Pati.
Namun para prajurit pengawal istana telah bertahan mati-matian. Kangjeng Adipati Pragola yang kemudian mundur masuk kedalam benteng diseputar istananya, masih memimpin perlawanan tanpa mengenal gentar.
Karena itulah, maka kemudian pasukan Mataram mengalami kesulitan untuk bergerak maju. Pertempuran di alun-alun merupakan pertempuran yang sangat menggetarkan jantung. Kedua belah pihak mengerahkan kemampuan mereka dilandasi dengan tekat dan niat yang membakar jantung. Tidak seorangpun dari prajurit Pati yang dengan rela menyerahkan sejengkal tanahnya kepada Mataram.
Dalam pada itu, pertahanan di dinding kota telah retak dimana mana. Sayap-sayap pasukan Mataram telah meloncati dinding pula. Disebelah kanan pasukan Mataram merambah sisi kanan kota, sedangkan sayap kirinya menjalar sepanjang dinding kota, namun kemudian berbelok langsung menuju ke alun-alun.
Langitpun bagaikan menyala ketika matahari melewati puncak dan perlahan-lahan turun ke sisi langit disebelah Barat. Panasnya bagaikan menusuk menghunjam kedalam tubuh. Keringat para prajurit dan pengawal yang bertempur itu bagaikan terperas dari dalam kulit daging mereka.
Pakaian sebagian para prajurit dan pengawal tidak saja basah oleh keringat. Tetapi juga basah oleh darah.
Dalam pada itu, induk pasukan Mataram yang langsung dipimpin oleh Panembahan Senapati telah berada dialun-alun pula. Untuk beberapa saat pasukan itu memang tidak dapat bergerak maju. Perlawanan pasukan Pati benar-benar menggetarkan jantung. Beberapa saat pasukan Pati benar-benar menggetarkan jantung. Beberapa orang berilmu tinggi memimpin kelompok-kelompok prajurit yang tidak mau mundur setapakpun.
Bahkan kemudian sekelompok prajurit Pati, dengan mengenakan pakaian keprajuritannya lengkap dengan segala pertanda kebesarannya, telah bergerak menyusup diantara kedua belah pihak yang sedang bertempur. Sekelompok prajurit yang dipimpin oleh seorang yang justru tidak mengenakan pakaian keprajuritan.
Pertempuran itu seakan-akan telah menyibak. Mereka sadar atau tidak sadar telah memberikan jalan kepada sekelompok prajurit pilihan itu. Semua orang didalam kelompok itu menggenggam sebilah keris ditangan kirinya, sementara ditangan kanan mereka memegang berbagai macam senjata. Ada yang menggenggam nenggala yang bermata tajam dikedua ujungnya.
Setiap usaha untuk menghentikan gerak kelompok prajurit itu dengan mudah dikibaskan. Orang yang justru tidak berpakaian keprajuritan, yang memimpin sekelompok prajurit itu agaknya seorang yang berilmu sangat tinggi. Tangannya terjulur kedepan, seakan-akan sedang meraba-raba. Orang itu tidak buta. Bahkan matanya bagaikan menyala. Namun ia memang sedang mencari seseorang yang tidak dilihatnya dengan matanya itu, karena yang dicarinya berada ditengah-tengah medan pertempuran. tangannya yang seperti meraba-raba itulah yang menuntunnya bersama sekelompoknya mencari pimpinan tertinggi pasukan Mataram, Panembahan Senapati.
Sekelompok prajurit yang menggetarkan jantung itupun telah dilihat oleh para prajurit pengawal Panembahan Senapati.
Mereka segera menyadari bahwa sekelompok prajurit itu tentu akan mencari Panembahan Senapati. Seorang yang berilmu sangat tinggi memimpin mereka untuk melakukan tugas mereka itu.
Kelompok-kelompok prajurit Mataram yang berusaha menghentikan mereka ternyata tidak berhasil. Sekelompok orang itu seakan-akan memiliki kemamuan yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Ketika hal itu disampaikan kepada Panembahan Senapati, maka Panembahan Senapati itupun berkata dengan tenang - Jika mereka mencari aku, biarlah aku menerima mereka. Tetapi Ki Patih Mandarakalah yang mencegahnya. Katanya -Jangan panembahan. Tugas Panembahan masih banyak. Jika kelak kita bertemu langsung dengan Kangjeng Adipati Pragola, silahkan Panembahan untuk melawannya.- Tetapi bukankah para prajurit dan Senapati mengalami kesulitan untuk menghentikan sekelompok prajurit itu " - Biarlah seseorang mencoba mencegahnya- Siapa " - bertanya Panembahan Senapati.
- Agung Sedayu dan pasukan khususnya - jawab Ki Patih Mandaraka
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya - Baiklah. Biarlah Agung Sedayu mencobanya. Tetapi jika Agung Sedayu merasa sulit untuk mengatasinya, biarlah aku sendiri akan menghadapi orang itu. Aku sudah berada di medan perang. Buat apa aku menghindari musuh yang datang " - Baik Panembahan. Jika Agung Sedayu gagal, terserahlah Panembahan Senapati. Tetapi sebenarnya masih banyak para Senapati yang akan dapat melakukannya Panembahan Senapati mengangguk-angguk kecil. Sementara Ki Patih Mandaraka telah memanggil Agung Sedayu.
- Tiga orang Senapati pilihan akan berada didalam kelompok , Pasukan Khususmu. - Baiklah, Ki Patih. Kami akan melaksanakan perintah. -Agung Sedayupun kemudian telah menyusus sekelompok orang-orang pilihan dari Pasukan Khususnya. Tidak ada Lurah Prajurit yang memiliki ilmu yang tinggi ikut bersamanya.
Untuk menyakinkan kekuatannya, maka Agung Sedayu telah membawa prajurit dari Pasukan Khusus yang terpilih dengan jumlah lebih banyak dari sekelompk prajurit Pati yang mengikuti orang berilmu sangat tinggi itu untuk mencari Panembahan Senapati.
Dengan petunjuk beberapa orang penghubung, akhirnya Agung Sedayu sempat melihat kedatangan sekelompok prajurit Pati yang disebut-sebut oleh para prajurit yang telah melaporkan kehadiran mereka itu.
Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar melihat seseorang yang berjalan dengan tangan teracu kedepan. Tetapi Agung Sedayu mengerti, bahwa tangan itulah yang membawa sekelompok prajurit terpilih kepada Panembahan Senapati.
Orang itu seakan-akan tidak lagi dapat dicegah. Dengan ilmunya yang tinggi, orang itu telah membuka jalan.
Agung Sedayu bersama-sama sekelompok prajurit dari Pasukan Khususnyapun segera menyongsong orang itu.
Baru kemudian Agung Sedayu mengetahui, bahwa didepan orang yang seakan-akan sedang meraba-raba itu terasa menjadi panas. Ke"kuatan ilmunya telah melontarkan getar kekuatan api dari dalam dirin"ya. Tidak seorangpun dalam keadaan wajar dapat bertahan berdiri dida"lam panasnya kekuatan api itu.
Agung Sedayupun segera mengetrapkan ilmu kebalnya, Namun itu tidak cukup.Dengan kekuatan ilmunya. Agung Sedayu telah melawan kekuatan ilmu orang itu. Agung Sedayu harus-menghentikan panas itu pada sumbernya, karena getar udara panas itu akan dapat merusak kesiagaan para prajurit dan pasukan Khususnya.
Karena itu, maka Agung Sedayupun memberi isyarat kepada para prajuritnya yang berhenti. Sementara itu berselimutkan ilmu kebalnmya, Agung Sedayu melangkah mendekati orang yang tangannya teracu itu.
Ternyata orang itu berhenti melangkah. Ia merasa heran, bahwa seseorang dapat berdiri sedemikian dekat dihadapannya. Panas apinya seakan-akan sama sekali tidak berpengaruh terhadapnya.
13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang itupun berhenti melangkah. Dengan suara yang bergetar ia bertanya - Siapa kau yang berani menghentikan langkahku " - Ki Sanak. Kita berada di medan perang. Karena itu, setiap orang harus memiliki keberanian untuk mengambil langkah-langkah yang dianggapnya benar. - Sebut namamu - geram orang itu - kau masih cukup muda. Tetapi nampaknya kau memiliki ilmu yang tinggi. - Kita tidak perlu nama di medan ini. Akupun tidak akan bertanya, siapakah namamu. Tetapi yang penting, hentikan permainan apimu. Orang-orangku tidak senang melihat kau bermain api dalam keadaan yang kemelut ini. Orang itu menggeram. Katanya - Kau anak yang sombong. Tetapi ingat, suatu ketika nanti kau akan berjongkok dihadapanku, mohon ampun agar aku tidak membunuhmu. - Sebuah mimpi yang indah - sahut Agung Sedayu - di medan pertempuran seperti ini, kau tidak akan dapat bermimpi terus-menerus. - Persetan kau. Minggirlah. Aku sedang mencari orang yang disebut Panembahan Senapati. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah orang yang berdiri dihadapannya. Wajah yang sudah mulai berkerut. Kumis dan janggutnya yang jarang sudah mulai putih. Tetapi sorot matanya masih memancarkan cahaya tekadnya yang menyala.
- Ki Sanak. Didalam perang brubuh seperti ini, kita tidak perlu memilih lawan. Aku yang sekarang kau hadapi. Karena itu, maka kita akan bertempur disini. - Kau jangan salah menilai lawan di medan seperti ini - geram orang itu - jika kau sempat mengatasi panasnya getar ilmuku, bukan berarti bahwa kau adalah segala-galanya. Benar kau mampu mengatasi salah satu jenis ilmuku. Tetapi ketahuilah, bahwa ilmuku yang sebangsa akan bertimbun menindih kesombonganmu.- Aku tahu bahwa didalam dirimu tersimpan sebangsal ilmu. Tetapi bukan berarti bahwa semua orang harus minggir dan membiarkan kau meraba-raba mencari jalan yang ternyata salah, karena Panembahan Senapati tidak berada di arah petunjuk tanganmu.
- Setan kau. - - Arah tanganmu telah membawamu kepadaku, meskipun aku bukan Panembahan Senapati. - Tidak. Aku tidak datang kepadamu - jawab orang tua yang berkumis yang berjanggut jarang itu.
- Jika demikian, akulah yang datang kepadamu. Menghentikan usaha gilamu untuk menemukan Panembahan Senapati. Kau telah menghina lapis-lapis pengawalnya sehingga kau bermimpi untuk dapat bertemu dengan Panembahan Senapati itu. - Baik. Nampaknya kau tidak mau minggi. Karena itu, kau memang harus disingkirkan. Ketika orang itu bersiap untuk bertempur, maka Agung Sedayupun telah bersiap pula.
Agaknya orang itu telah mengerahkan ilmunya, sehingga getar panas yang dipancarkan oleh ilmunya itu menjadi semakin panas. Dengan demkian, maka Agung Sedayupun telah meningkatkan ilmu kebalnya pula. Pada puncaknya, maka ilmu kebal Agung Sedayu itupun telah memancarkan getar panas pula dari dalam dirinya.
Orang tua itu menggeram. Iapun kemudian telah memberikan isyarat kepada para prajurit yang menyertainya untuk bergerak.
Tetapi prajurit pilihan dari Pati itu tidak dapat mendekati Agung Sedayu, yang bertempur melawan orang tua yang kedua duanya telah memancarkan getar panas dari dalam dirinya.
Sementara itu, maka para prajurit dari Pasukan Khusus yang datang bersama Agung Sedayupun telah bergerak pula, sehingga kedua kelompok prajurit terpilih itu telah terlibat dalam pertempuran.
Diantara riuhnya pertempuran yang menebar hampir diseluruh kota, terutama di alun-alun Pati, maka dua kelompok pasukan pilihan telah terlibat dalam benturan kemampuan yang sengit.
Pasukan Pati yang terpilih yang bertekad untuk langsung menyerang kedudukan Panembahan Senapati, telah bertemu dengan prajurit Mataram dari Pasukan khusus yang bertugas mengawal Panembahan Senapati. Dua kelompok prajurit pilihan yang dipimpin masing-masing oleh seorang yang berilmu tinggi.
Namun diantara para prajurit yang bertempur itupun terdapat orang-orang berilmu tinggi pula. Tiga orang Lurah prajurit yang berada didalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu segera melibat lawan-lawannya dalam pertempuran yang garang.
Tetapi orang-orang yang berilmu tinggi diantara yang sangat seru. Kedua-belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan mereka, sehingga pertempuran itu menjadi pertempuran habis-habisan antara kedua kekautan yang tinggi.
Para prajurit dan pengawal Mataram serta prajurit Pati yang bertempur disekitarnya, tidak segera melibatkan diri. Mereka sendiri masih terlibat dalam perang. Kecuali itu, maka pertempuran antara dua kelompok terpilih itu rasa-rasanya seperti pertempuran yang terjadi di neraka jahanam.
Agung Sedayu sendiri terlibat dalam pertempuran dengan pemimpin sekelompok prajurit pilihan dari Pati itu. Keduanya adalah orang yang berilmu tinggi. Masing-masing memiliki kelebihan serta ilmu yang bertimbun didalam diri mereka.
Orang tua berjanggut dan berkumis jarang itu kemudian tidak dapat membanggakan getar panasnya, karena lawannya yang terhitung masih muda itu dapat melakukannya pula. Bahkan lawannya itu seakan-akan tidak merasa betapa panas yang dipancarkannya itu menyentuh kulitnya. Sementara itu, orang tua berjanggut jarang itu sudah menjadi basah oleh keringat
Karena itu, maka orang tua itupun segera melibat Agung Sedayu dalam benturan ilmu langsung.
Demikianlah keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Keduanya saling menyerang dan bertahan. Benturan benturan telah terjadi, semakin lama semakin keras dan semakin kuat, sehingga kedua-duanya pernah terguncang.
Namun dengan berperisai ilmu kebal Agung Sedayu mampu melindungi kulit dagingnya dari serangan-serangan lawannya. Namun ternyata lawannyapun kemudian telah mengetrapkan ilmu lembu sekilan yang memiliki kemampuan sebagaimana ilmu kebal karena setiap serangan tidak akan dapat menyentuh tubuhnya
Yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang semakin seru. Dua orang yang berlindung dibalik ilmu yang tinggi sehingga masing-masing seakan-akan tidak lagi dapat disakiti.
Tetapi keduanya tidak segera menghentikan pertempuran.
Tetapi, keduanya telah meningkatkan ilmu mereka. Mereka berusaha untuk dapat memecahkan perisai ilmu lawannya.
Tetapi ternyata serangan-serangan mereka sama sekali tidak mampu menyakiti lawannya.
Karena itu, maka orang berkumis dan berjanggut jarang itu tidak sabar lagi. Ketika benturan-benturan terjadi semakin keras namun tidak mampu menggoncang pertahanan lawannya, maka orang tua itupun segera menarik senjatanya. Sepucuk keris yang besar yang terselip dipunggungnya.
Agung Sedayu bergeser surut. Keris yang besar itu bagaikan menyala. Pamornya yang gemerlap pada daun kerisnya yang hitam kelam, menandai bahwa keris itu adalah keris pilihan.
- Tidak seorangpun pernah terlepas dari ujung kerisku ini apabila aku sudah mencabutnya dari warangkanya.Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa orang tua itu tidak sekedar membual.
Sentuhan keris itu tentu akan segera mengoyak tubuh lawannya. Agung Sedayu tidak tahu, apakah ujung keris itu mampu menembus ilmu kebalnya. Namun Agung Sedayu tidak menjadi tekebur. Ia tidak ingin mencoba, membiarkan ujung keris itu membentur langsung ilmu kebalnya.
Karena itu, maka Agung Sedayupun telah mengurai senjatanya pula. Sebuah cambuk yang berjuntai panjang.
Tiba-tiba saja terdengar juntai cambuk Agung Sedayu itu meledak. Demikian kerasnya sehingga seakan-akan telah mengoyak selaput telinga.
Tetapi orang tua itupun tiba-tiba tertawa. Katanya - Itulah yang kau andalkan untuk memenangkan pertempuran ini. Hati-hatilah. Ujung kerisku akan mampu menembus ilmu yang melindungi tubuhmu. Jenis ilmu kebal yang manapun juga. Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi sekali lagi ia menghentakkan cambuknya dengan derasnya. Langsung mengenai tubuh lawannya.
Sekali lagi lawannya tertawa. Ujung cambuk Agung Sedayu yang mampu meledak menggetarkan udara sealun-alun itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Hentakkan cambuk yang gemuruh itu tidak akan mampu menyentuh kulitnya.
Tetapi Agung Sedayu tidak berbuat licik. Ia tidak mau langsung menjajagi ilmu kebal lawannya dengan hentakan yang dilambari dengan puncak ilmunya.
Ia ingin memberi peringatan lebih dahulu kepada lawannya, sebelum ia benar-benar menyerang dengan puncak ilmunya, sehingga pertempuran antara dua erang berilmu tinggi itu tidak dinodai oleh kelicikan.
Karena itu, ketika lawannya masih tertawa berkepanjangan, maka tiba-tiba saja Agung Sedayu telah menghentakkan cambuknya sekali lagi. Agung Sedayu sengaja tidak langsung menyerang lawannya yang belum siap itu.
Hentakkan cambuk Agung Sedayu itu memang tidak meledak memekakkan telinga. Tidak pula menggetarkan udara sealun-alun. Tetapi orang tua berkumis dan berjanggut jarang itu, justru sangat terkejut
Karena itu, maka suara tertawanya tiba-tiba terputus. Hampir diluar sadarnya ia berkata - Kau licik. Kau sengaja menipuku agar aku menjadi lengah, sehingga kau dapat menyerang saat aku tidak siap. - Bukankah aku belum menyerangmu " - bertanya Agung Sedayu - aku hentakkan cambukku tanpa menyentuh ilmu kebalmu, agar aku tidak kau anggap sengaja menunggu kau lengah. Wajah orang tua menjadi tegang. Kerisnya yang besar dan panjang itupun kemudian bergetar ditangannya. Pamornya yang berkilat seakan-akan memancarkan cahaya kemerah-merahan.
- Bagus - geram orang itu - ternyata kau memiliki bekal yang cukup dapat kau andalkan. Itulah sebabnya, maka kau berani langsung menghadapi aku di medan perang ini. - Sudah aku katakan. Di medan perang kita tidak akan memilih lawan. Disini aku bertemu dengan kau, Ki Sanak. Maka aku akan menghadapimu. - Bersiaplah. Kita akan sampai ke puncak kemampuan kita masing-masing.Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Sejenak kemudian, maka lawannya itupun mulai menyerangnya dengan menjulurkan kerisnya. Tetapi dengan sigapnya Agung Sedayupun menghindar. Ia masih harus memperhitungkan kemungkinan dengan ilmu yang tinggi orang itu akan mampu menembus ilmu kebalnya.
Namun ketika orang itu meloncat memburunya, maka Agung Sedayupun telah menghentakkan cambuknya pula
Orang itu menggeliat menghindari sambaran ujung cambuk Agung Sedayu. Ternyata iapun masih belum yakin bahwa ilmu Lembu Sekilannya akan mampu melindungi dari sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu yang ternyata memiliki landasan ilmu cambuk yang sangat tinggi.
Dengan demikian maka pertempuran antara keduaorang yang berilmu tinggi itu menjadi semakin sengit. Keduanya masih berusaha menjajagi ilmu lawannya.
Dalam pada itu, Panembahan Senapati setiap saat menerima laporan dari para penghubung yang tersebar diseluruh medan pertempuran. Panembahan Senapati sendiri masih belum langsung terjun kedalam kancah benturan kekuatan antara Pati dan Mataram. Meskipun Panembahan Senapati akan dapat menggilas para prajurit Pati, namun Panembahan Senapati tidak melakukannya. Biarlah para prajurit, para Senapati dan Panglimanya yang turun langsung ke medan, Tetapi jika Kangjeng Adipati Pragola sendiri berada di arena, maka Panembahan Senapati tentu akan menghadapinya langsung.
Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi dimana-mana menjadi semakin sengit. Beberapa kelompok prajurit Mataram harus bergerak mundur ketika mereka bertemu dengan pasukan Pati yang kuat disimpang ampat Dari dua arah berdatangan prajurit Pati yang marah. Sambil berteriak marah mereka mengacu-acukan senjata mereka.
Beberapa kelompok prajurit Mataram yang menyadari kelemahannya menghadapi prajurit Pati yang jumlahnya jauh lebih banyak itupun bergerak mundur. Seorang penghubung yang ada diantara mereka telah melepaskan anak panah sendaren dua kali berturut-turut.
Glagah Putih dan pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin oleh Prastawa mendengar isyarat itu. Karena itu, maka merekapun sadar, bahwa ada sekelompok prajurit atau pengawal yang terjebak dalam kesulitan.
Karena itu, maka bersama pasukannya Glagah Putih dan Prastawa segera pergi ke arah sumber isyarat itu.
Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu datang tepat pada waktunya. Ketika para prajurit Mataram itu terhimpit, maka pasukan pengawal Tanah Perdikan segera melibatkan dirinya.
Pertempuran tidak saja berlangsung disimpang ampat. Tetapi para prajurit dan pengawalpun telah berloncatan memasuki halaman disebelah-menyebelah jalan.
Dalam pada itu, Lurah prajurit yang memimpin pasukan Mataram yang terjepit itu, ternyata tidak mampu mengimbangi ilmu lawannya, yang nampaknya seorang prajurit pilihan. Seorang prajaurit Mataram yang berusaha membantu Lurah Prajurit itu justru terlempar dan terbanting jatuh. Pundaknya tergores pedang lawannya itu. Sementara Lurah Prajurit Mataram itu sendiri telah kehilangan senjatanya. Lengannya berdarah dan keningnya tergores pula.
Pada saat yang gawat itu, Glagah Putih telah meloncat disampingnya dengan pedang teracu ditangannya.
Prajurit pilihan dari Pati itu tertegun sejenak. Ia melihat seorang anak muda yang tiba-tiba telah berada di hadapannya. Menilik dari pakaiannya, maka anak muda itu bukan bagian dari prajurit Mataram.
Lurah prajurit Mataram yang kehilangan senjata itu bergeser kesamping. Dengan telapak tangannya ia mengusap keningnya yang berdarah
Prajurit Pati itupun kemudian bertanya - Siapakah kau anak muda" Bukankah kau bukan prajurit Mataram" - Ya. Aku memang bukan prajurit Mataram. Aku adalah salah seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang ada didalam lingkungan pasukan Mataram. - jawab Glagah Putih yang kemudian ganti bertanya - Kau siapa" - Aku Rangga Dipayana. Aku bertugas untuk membersihkan pasukan Mataram disisi sebelah Barat ini. Karena itu, menyerahlah. Jika kalian tidak menyerah, maka kalian akan mati. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia melihat Prastawa telah bertempur bersama sebagian pengawal Tanah Perdikan, karena sebagian yang lain bersama dengan seorang pemimpin pengawal yang terpereaya bersama para pengawal dari Ganjur dan sekelompok prajurit Mataram, menuju ke bagian belakang istana dalam rangka usaha prajurit Mataram mengepung istana Pati.
Namun nampaknya usaha itu tidak selancar yang diinginkan. Pasukan Pati yang kuat berada disekitar istana dan berusaha dengan sekuat tenaga menghancurkan pasukan Mataram yang telah berhasil memasuki dinding kota.
Namun dengan nada dalam Glagah Putih itupun berkata -Sebaiknya kalian sajalah yang menyerah. Disegala sudut kota, pasukan Mataram bergerak keistana, sementara pasukan Mataram di alun-alun sudah semakin mendesak. - Hanya orang-orang dungu yang percaya ceriteramu anak muda. Tetapi siapa namamu" Kau memberikan kesan yang aneh kepadaku. Kau masih terlalu muda, tetapi sinar matamu memancarkan kelebihanmu. Meskipun demikin kau harus menghadapi kenyataan yang berat di medan pertempuran ini, - Namaku Glagah Putih. - - Nama yang bagus. Sekarang menyerahlah. Kau akan tetap hidup. Glagah Putih berpaling kearah Lurah prajurit yang terluka dan kehilngan senjatanya itu. Sementara itu, seorang prajurit yang lain ,tengah berusaha untuk menolong kawannya yang terluka pundaknya dilindungi oleh dua orang kawannya.
- Hentikan perlawananmu - desis Glagah Putih.
Wajah Rangga Dipajaya itu menjadi merah. Katanya - Kau terlalu sombong anak muda. Glagah Putih memandang Ki Rangga dengan tajamnya. Dengan nada berat iapun berkata - Senapati kau, maka akupun mengemban kewajiban. Mengemban kewajiban bukan satu kesombongan. - Kau masih terlalu muda untuk berdiri dihadapanku dalam pertempuran seperti ini. - Akulah yang sombong menghadapi sikapmu itu " - Aku seorang Rangga. Juga seorang prajurit yang sudah berpuluh tahun bertugas. Yang telah hidup di medan pertempuran untuk yang kesekian kalinya. Karena itu jangan bergurau dengan aku.
- Aku tidak bergurau, Ki Rangga. Apapun yang terjadi, kita sudah berhadapan di medan pertempuran. Ki Rangga Dipajaya tidak menjawab lagi. Tetapi iapun segera bersiap sambil berdesis - Bagaimanapun juga, aku kagum terhadapmu anak muda. Glagah Putih justru mulai bergeser sambil menjulurkan pedangnya, sementara Ki Ranggapun menapak selangkah surut.
Namun sejenak kemudian Ki Rangga itupun meloncat maju sambil mengayunkan senjatanya.
Demikianlah, maka keduanyapun mulai bertempur. Lurah prajurit yang telah terluka itu sempat memungut senjatanya. Sejenak ia berdiam diri memandangi Glagah Putih y"ng masih muda itu bertempur melawan seorang Rangga yang berilmu tinggi.
Tetapi Lurah Prajurit yang terluka itu ternyata merasa tidak mampu untuk melibatkan diri. Darahnya sudah banyak yang mengalir dari lukanya.
Meskipun demikian, ia masih harus mempersiapkan diri jika tiba-tiba datang seseorang menyerangnya.
Sejenak kemudian Glagah Putihpun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Ki Rangga Dipajaya yang menganggap lawannya masih sangat muda, tidak dengan serta-merta menghentakkan kemampuannya. Ia masih menjajagi sampai dimana sebenarnya kemampuan anak muda itu.
Glagah Putih yang mengetahui sikap lawannya itu, tidak ingin memanfaatkan keadaan sehingga dengan sekaligus menyerang dengan ilmu puncaknya. Tetapi Glagah Putih ingin membuat perbandingan ilmu yang sebenarnya dengan Ki Rangga Dipajaya yang sudah mengalahkan seorang Lurah Prajurit Mataram.
Karena itu, maka yang dilakukan oleh Glagah Putih adalah sekedar mengimbangi ilmu lawannya. Jika Ki Rangga meningkatkan ilmunya selapis, maka Glagah Putihpun melakukannya pula
Dengan demikian, maka pertempuranpun semakin bertambah sengit. Ki Rangga Dipajaya yang sudah meningkatkan ilmunya beberapa lapis, menjadi berdebar-debar. Anak muda yang mengaku pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu masih saja mampu men"gimbanginya.
Sementara itu pertempuran disekitarnya berlangsung semakin sengit Para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh yang sudah meli"batkan diri dalam pertempuran itu berhasil membantu para prajurit yang semula dalam kesulitan untuk tetap bertambah. Prastawa sendiri bertempur dengan garangnya diantara beberapa orang pengawal, mere"ka berusaha menutup celah-celah pertahanan para prajurit sehingga ti"dak memungkinkan pasukan Pati itu menyusup dan kemudian mengepung para prajurit Mataram. Bahkan kehadiran para pengawal Tanah Perdikan itu benar-benar telah merubah keseimbangan pertem"puran.
Para prajurit Pati memang merasa heran melihat beberapa kelompok orang yang mengenakan pakaian seragam, tetapi bukan seragam prajurit Mataram sebagaimana sudah mereka kenal dengan baik. Namun kemudian beberapa pemimpin kelompdrok sempat bertanya, siapakah mereka dan darimana mereka datang.
- Kami adalah pengawal Tanah Perdikan Menoreh - berkata salah seorang pemimpin kelompok pengawal itu.
Para prajurit Pati memang merasa heran, bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu memiliki kemampuan seorang prajurit Sebagaimana Mataram, Pati juga mengerahkan anak muda untuk bersama-sama para prajurit menghadapi serangan Mataram. Bahkan ketika Pati menyerang Mataram, anak-anak muda itu juga sudah ada bersama mereka. Tetapi anak-anak muda itu tidak memiliki ilmu sebagaimana seorang prajurit, maka mereka tentu anak-anak muda yang pernah berguru di padepokan-padepokan atau secara pribadi berguru olah kanuragan.
Dengan demikian maka pertempuran itupun berlangsung dengan sengitnya. Dentang senjata beradu, disusul oleh teriakan teriakan merah, namun juga jerit kesakitan serta umpatan-umpatan kekecewaan.
Diantara mereka yang bertempur, nampak beberapa orang sedang mengangkat kawan-kawan mereka yang terluka menepi atau bahkan diusung kebawah sebatang pohon yang rindang. Namun ada diantara mereka yang terluka tidak sempat digeser sama sekali dari tempatnya kerena pertempuran yang terlalu riuh.
Dalam pada itu, Glagah Putih yang bertempur melawan Ki Rangga Dipajaya sudah mencapai tataran ilmu yang semakin tinggi. Ki Rangga Dipajaya benar-benar menjadi heran akan kemampuan anak muda itu. Tataran Prajurit yang sudah dikalahkannya. Itulah sebabnya, maka anak muda itu berani menghadapinya tanpa seorang prajurit atau pengawal yang menyertainya.
Senjata kedua orang itu mulai berbenturan. Bunga api berloncatan memercik berhamburan. Keduanya berusaha untuk menembus pertahanan lawan. Namun keduanya mampu melindungi diri dengan rapat.
Dengan demikian maka pertempuranpun semakin lama menjadi semakin sengit. Prajurit Pati itu semakin meningkatkan kemampuannya. Namun sejalan dengan itu, Glagah Putihpun telah meningkatkan ilmunya pula.
Sebenarnyalah prajurit Pati itu menjadi semakin heran. Ia sendiri hampir sampai kebatas puncak ilmunya. Sementara itu, anak muda itu masih belum mengalami kesulitan.
- Luar biasa - berkata prajurit itu.
- Apa yang luar biasa " - bertanya Glagah Putih.
- Kau. Ternyata ilmumu lebih tinggi dari Lurah Prajurit yang telah aku kalahkan. Sebelum aku sampai kepuncak ilmuku, ia sudah kehilangan senjata serta terluka. Jika kau tidak datang membantunya, maka Lurah prajurit Mataram itu tentu sudah terbunuh. - Sekarang, akulah yang kau hadapi. - Ya. Dan aku harus mengakui, kau adalah anak muda yang luar biasa. Aku belum pernah bertemu dengan anak muda seumurmu dengan tataran ilmu setinggi ilmumu.- Kau jangan membius aku dengan pujian.
- Aku berkata sebenarnya. Kau memiliki yang tidak dimiliki oleh orang lain. Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi pedangnya harus berputar semakin cepat. Lawannya menyerang semakin garang. Benturan-benturan semakin sering terjadi. Benturan ilmu yang semakin tinggi.
Namun Glagah Putih masih belum mampu dikalahkannya. Disayap yang lain, pasukan Matarampun mendesak pasukan Pati semakin jauh. Mereka mundur mendekat ke istana. Perintah yang mereka terima, dalam keadaan terjepit, semua kekuatan akan ditarik kedalam dinding istana untuk bertahan pada lapis terakhir.
Tetapi sebagian prajurit Pati tidak berusaha mendekati pintu gerbang utama maupun pintu gerbang butulan. Mereka dengan segenap tekad pengabdian, bertempur dan bertahan ditempat mereka menghadapi lawan. Dengan demikian, mereka berharap bahwa mereka akan menghambat dan bahkan mengurangi kekuatan Mataram jika pasukan Mataram itu kemudian mengepung dan menyerang lapisan pertahanan terahir pasukan Pati.
Swandaru yang berada di Pasukan itu dengan garangnya menusuk memecah pasukan lawan bersama pasukan pengawalnya. Bahkan prajurit Mataram sendiri merasa heran, bahwa pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung, meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak, tetapi memiliki kekuatan dan kemampuan yang tinggi, yang tidak kalah dengan prajurit Mataram. Para pengawal nampaknya mempunyai landasan ilmu serta pengalaman yang cukup. Baik sebagai pribadi, maupun dalam perang gelar.
Beberapa kali para pengawal Kademangan Sangkal Putung terlibat dalam perang yang besar bersama para prajurit Mataram.
Cambuk Swandarupun berputaran dengan cepat, sehingga seakan-akan lengkung kabut putih yang menyelimuti dirinya. Namun setiap kali cambuknya itu meledak memekakkan telinga. Ledakan yang keras sekali itu ternyata memang berpengaruh pada para prajurit Pati. Hanya orang yang berilmu tinggi sajalah yang sama sekali tidak tergetar hatinya mendengar ledakan cambuk yang bagaikan memecahkan selaput telinga.
Tetapi Swandaru yang menguasai ilmu cambuk itu dengan baik, sekali-kali menghentakkan cambuknya tanpa melontarkan bunyi yang keras. Bahkan seakan-akan satu hembusan lunak saja. Tetapi mereka yang berilmu tinggi, yang tidak menghiraukan ledakan cambuk yang menggetarkan udara, justru telah tergetar jantungnya.
- Satu permainan cambuk yang luar biasa - desis seseorang yang berilmu tinggi.
Orang itupun merasa terpanggil untuk mencari sumber getaran cambuk itu. Sekali-sekali terasa meledak-ledak, kemudian suaranya menjadi lunak. Namun menunjukkan kematangan ilmu cambuknya.
Seorang yang nampaknya bukan seorang prajurit Pati, tiba-tiba saja telah berdiri dihadapan Swandaru. Dengan tongkat besi baja yang cukup panjang, orang itu bersiap menghadapi Swandaru dalam pertempuran itu.
- Cambukmu menggetarkan semua orang. Sekali-sekali bagi mereka yang tataran ilmunya tidak terlalu tinggi. Namun untuk menunjukkan bahwa kau tidak sekedar bermain-main dengan kekuatan wadagmu dalam permainan cambuk, maka kau getarkan jantungku pula.- O - Swandaru berdiri tegak sambil memegang tangkai dan ujung cambuknya dengan kedua belah tangannya - apakah jantungmu juga tergetar. - Jangan sombong. Sudah aku katakan, bahwa ilmu cambukmu matang.- Aku mempersiapkan bekal sebaik-baiknya sebelum aku berangkat ke Pati. Aku tahu, di Pati terdapat banyak sekali orang berilmu tinggi.- Kau tidak usah memuji. Sekarang, kita buktikan, siapakah yang berhasil membunuh lawannya lebih dahulu. Kau atau aku " Atau kita akan mati bersama-sama. - Marilah. Aku sudah siap - sahut Swandaru. Demikianlah, keduanyapun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit diantara perang yang semakin menggila.
Prajurit Pati ternyata tidak mudah untuk didera masuk kedalam dinding istana. Meskipun mereka mendapat perintah untuk bertahan pada lapisan terakhir jika sudah tidak mungkin menahan arus serangan para prajurit Mataram, tubuh mereka, sehingga apapun yang terjadi, mereka bertempur habis-habisan. Berbeda dengan saat-saat mereka bertempur di Prambanan. Mereka lebih cepat terdesak dan menyelamatkan diri dari medan disaat mereka tidak lagi dapat menghindari kenyataan, bahwa kekuatan Mataram lebih besar dari kekuatan mereka.
Tetapi di Pati, di bumi mereka sendiri, maka mereka menjadi tidak rela untuk melepaskan barang sejengkal sekalipun.
Karena itulah, maka pertempuran yang terjadi dimana-mana itu menjadi semakin sengit.
Glagah Putih yang bertempur melawan Ki Rangga Dipajaya masih berlangsung dengan garangnya. Semakin lama kekaguman Ki Rangga Dipajaya terhadap Glagah Putih menjadi semakin mencengkamnya. Meskipun ia masih bertempur dengan garangnya sebagai prajurit Pati, namun beberapa kali ia berkata dengan jujur, bahwa Glagah Putih adalah anak muda yang linuwih.
Semakin lama senjata mereka semakin sering berbenturan. Ki Ranggapun kemudian benar-benar telah sampai pada tataran tertinggi ilmunya. Namun Glagah Putih masih juga sanggup mengimbanginya.
Bahkan kemudian ternyata bahwa Glagah Putih masih belum sampai pada tataran tertinggi ilmunya itu.
Dengan demikian, maka tidak ada pilihan lagi bagi Ki Rangga Dipajaya selain mempergunakan ilmu simpanannya. Sebagai seorang prajurit pilihan, maka ia tidak dapat berhenti sebelum tuntas. Sementara itu sebagai prajurit Pati Ki Ranggapun tidak akan begitu saja membiarkan orang-orang Mataram menjamah Kadipaten.
Karena itu, maka Ki Rangga itupun segera meloncat surut untuk mengambil jarak. Justru menyarungkan senjata sambil berkata - Anak muda. Menyerahlah. Jika kau menyerah, aku akan mengampunimu. Kau adalah salah seorang dari sedikit anak-anak muda yang benar-benar dapat diharapkan bagi masa depan. Karena itu, sayang sekali jika kau harus berhenti disini,Glagah Putih memandang Ki Rangga itu sejenak. Ia melihat kejujuran terpancar di wajah Ki Rangga. Tetapi sebagai seorang pengawal yang berada didalam pasukan Mataram, maka ia tidak dapat memenuhinya. Karena itu, maka katanya - Terima kasih Ki Rangga. Tetapi sebagaimana Ki Rangga mengemban kewajiban bagi Pati, maka akupun mengemban kewajiban sebagai salah seorang pengawal yang berada didalam pasukan Mataram.- Aku tahu anak muda. Tetapi sulit dimengerti, bahwa pertumbuhan tunas yang sangat baik ini harus dipatahkan. - Maaf Ki Rangga. Jika itu sudah menjadi kewajiban Ki Rangga Dipajaya, kenapa masih ragu-ragu. Sebaliknya, aku mohon maaf bahwa aku harus melawannya dengan kekuatan ilmu yang aku miliki. Ki Rangga, kita sebagai sesama tidak akan sampai pada keadaan seperti ini. Tetapi justru karena kita berdiri diatas kewajiban kita masing-masing, maka kita tidak dapat mengelak - Ternyata bukan hanya kemampuanmu yang tingi, tetapi juga berpikir dewasa - sahut Ki Ranga Dipajaya. Lalu katanya pula -Baiklah anak muda. Kau tahu dimana kau berdiri dan dimana aku berdiri.Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun telah menyarungkan pedangnya pula.
Ki Rangga Dipajaya menjadi semakin heran.
-Apa yang akan dilakukan oleh anak ini - bertanya Ki Rangga didalam hatinya
Namun Ki Rangga Dipajaya tidak mempunyai pilihan lain. Apalagi ketika ia melihat pertempuran yang terjadi disekitarnya. Nampaknya prajurit-prajuritnya harus bertempur dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya. Bahkan Ki Ranga Dipajaya mulai melihat kesulitan yang terjadi pada pasukannya setelah sekelompok pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu datang membantu prajurit Mataram yang diyakininya akan dapat dimusnahkan.
Karena itu, maka Ki Rangga Dipayjaya itupun kemudian telah sampai pada satu keputusan, betapapun berat hatinya, untuk menghentikan perlawanan Glagah Putih dengan ilmu pamungkasnya.
Glagah Putih mengerutkan dahinya, ketika ia melihat Ki Rangga Dipajaya itu berdiri tegak dengan kaki renggang. Kedua telapak tangannya menelakup didepan dadanya.
Karena itulah, maka Glagah Putihpun telah memusatkan nalar budinya pula. Ia sadar, bahwa lawannya akan mengerahkan ilmu simpanannya. Glagah Putih tidak mau menjadi korban tanpa memberikan perlawanan dengan puncak ilmunya pula.
Karena itu, maka Glagah Putihpun segera berada pada kesiagaan tertinggi pula. Ia siap menghadapi segala kemungkinan. Jika ilmu simpanan Ki Rangga Dipajaya itu lebih tinggi dari ilmunya, maka Glagah Putih telah siap menghadapi segala kemungkinan, karena ia sudah berada ditengah-tengah medan pertempuran.
Demikianlah, kedua orang berilmu tinggi itu sudah siap dengan landasan ilmu mereka masing-masing, sehingga sesaat kemudian, keduanya telah mengambil ancang-ancang untuk melontarkan ilmu mereka.
Ketegangan nampak diwajah kedua orang itu. Tetapi mereka memang tidak mempunyai pilihan. Karena itu, maka Ki Ranggalah yang kemudian meloncat mengayunkan telapak tangannya mengarah kekening Glagah Putih.
Sekilas Glagah Putih melihat asap tipis yang mengepul dari telapak tangan Ki Rangga Dipajaya. Bahkan telapak tangan itu nampak menjadi kemerah-merahan seperti bara.
Glagah Putih sadar, jika tubuhnya tersentuh telapak tangan itu, maka kulit dan bahkan dagingnya akan terkelupas sampai ketulang.
Glagah Putih juga tidak mempunyai pilihan lain. Sebelum telapak tangan itu menyentuh tubuhnya, maka Glagah Putih telah menghentakkan ilmunya pula. Diangkatnya kedua tangannya dengan telapak tangan yang terbuka mengarah ke tubuh lawannya yang seolah-olah sedang melayang itu.
Ki Rangga Dipajaya benar-benar terkejut melihat seleret cahaya seakan-akan meloncat dari telapak tangan Glagah Putih itu meluncur menyongsong tubuh Ki Rangga.
Ki Rangga yang sama sekali tidak mengira, bahwa anak muda itu mampu melontarkan ilmunya dari jarak tertentu itu, tidak dapat berbuat lain. Dengan kekuatan ilmunya yang tinggi, Ki Rangga Dipajaya telah mengayunkan tangannya yang semula diarahkan kekening Glagah Putih, untuk menghantam seleret cahaya yang menyambarnya, karena Ki Rangga Dipajaya sudah tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak.
Satu benturan yang dahsyat telah terjadi. Dua ilmu yang tinggi saling berbenturan. Namun Glagah Putih mempunyai keuntungan. Ilmu yang dilontarkan telah lepas dari telapak tangannya meluncur kearah tubuh lawannya
Meskipun demikian, benturan yang terjadi, telah menimbulkan getaran panas yang besar. Getaran yang seakan-akan merupakan gelombang balik dari benturan yang terjadi itu.
Ternyata Glagah Putih telah terdorong beberapa langkah surut. Tubuhnya bagaikan terpanggang diatas api, sementara keseimbangannya telah menjadi goyah. Bahkan Glagah Putih tidak mampu lagi bertahan, sehingga karena itu, maka Glagah Putihpun telah jatuh terlentang.
Beberapa kali Glagah Putih berguling. Ia sengaja tidak melawan gelombang itu, sehingga tubuhnya bagaikan hanyut. Glagah Putih sadar, bahwa untuk melawan gelombang balik yang terjadi karena benturan itu dibutuhkan tenaga yang besar sekali, sementara getar panasnya hampir tidak terlawan oleh daya tahan tubuhnya. Sehingga karena itu, maka Glagah Putih justru membiarkan tubuhnya terlempar dan berguling-guling. Namun kemudian, dengan sisa tenaganya Glagah Putihpun berusaha untuk bangkit
Tetapi hampir saja Glagah Putih tidak mampu untuk berdiri tegak. Tubuhnya telah dicengkam oleh kesakitan yang sangat. Tulang-tulangnya seakan-akan telah menjadi retak. Sedangkan kulit dan dagingnya bagaikan menjadi matang terpanggang api.
Pada saat yang demikian, hampir saja tubuh Glagah Putih disambar ujung tombak yang dilontarkan oleh seorang prajurit Pati. Namun dengan tangkas seorang pengawal Tanah Perdikan sempat memukul tombak itu sehingga tidak mengenai sasarannya. Dua orang prajurit Pati yang meloncat menyerang Glagah Putih yang lemah itu, harus berhadapan dengan para pengawal yang dengan cepat tanggap akan keadaan Glagah Pudh. Bahkan Lurah prajurit Mataram yang terluka, yang merasa telah diselamatkan oleh Glagah Pudh, telah siap menahan serangan-serangan terhadap Glagah Putih yang lemah. Namun ketika para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan Menoreh seakan-akan telah berada disekitarnya, maka Lurah prajurit itu segera mendekati dan membantu Glagah Putih berdiri tegak.
Sementara itu, Glagah Putih sempat melihat Ki Rangga Dipajaya terpelanting dan terjatuh pula. Bahkan kemudian Ki Rangga itu sudah tidak mampu untuk bangkit lagi. Tubuhnya menjadi sangat lemah. Bahkan nafasnya menjadi sendat pula.
Beberapa orang prajurit Pati telah berlari-lari mengerumuninya dan siap membawa Ki Rangga itu menyingkir dari medan. Tetapi Ki Rangga Dipajaya itu masih mempertanyakan keadaan lawannya yang masih muda itu.
- Bukankah ia masih hidup" - bertanya Ki Ranga Dipajaya. Para prajurit Pati yang mengerumuninya termangu-mangu sejenak. Pertanyaan itu agak membingungkannya. Ki Rangga tidak bertanya apakah lawannya telah terbunuh atau cidera karenanya.
- Bukankah anak itu masih hidup dan mampu bertahan" - Ki Rangga itu bertanya pula.
- Ya, Ki Rangga - jawab salah seorang prajuritnya.
- Aku ingin berbicara. Jangan curang. Jangan berkhianat terhadapnya Para prajurit itu menjadi ragu-ragu, sementara pertempuran masih berlangsung.
Namun ketika Ki Rangga memerintahkan prajuritnya sekali lagi, maka seorang prajurit telah melangkah mendekati sekelompok prajurit dan pengawal yang berdiri disekitar Glagah Putih
Prajurit Pati itu menyarungkan senjatanya untuk meyakinkan bahwa ia tidak berniat buruk.
Ketika hal itu disampaikan kepada Lurah prajurit yang membantu Glagah Putih berdiri tegak itu, maka Lurah prajurit itu menjadi ragu-ragu.
Tetapi Glagah Putih sendiri yang kemudian menjawab - Aku minta semua prajurit minggir. Aku akan berbicara- dengan Ki Rangga Dipajaya seorang diri. Prajurit Pati itupun segera kembali menemui Ki Rangga Dipajaya dan menyatakan kesediaan anak muda yang berilmu tinggi itu untuk menemuinya.
Beberapa orang prajurit Pati serta beberapa orang prajurit dan pengawal dari Mataram berdiri beberapa langkah dari Ki Rangga yang berbaring. Lurah Prajurit yang sudah terluka itu ternyata tidak mau beranjak dari tempatnya. Ia ikut mengawasi jika terjadi sesuatu atas Glagah Putih yang masih lemah karena benturan ilmu dengan Ki Rangga Dipajaya.
Glagah Putih berjalan dengan gontai mendekati Ki Rangga yang terbaring diam.
Ketika kemudian Glagah Putih berjongkok disampingnya, Ki Rangga itupun tersenyum sambil berkata - Anak muda. Kau adalah harapan bagi masa depan. Aku benar-benar kagum kepadamu- Terima kasih, Ki Rangga. Tetapi bagaimana dengan keadaan Ki Rangga sekarang" - Kemapanan ilmumu diluar dugaanku. - Tetapi agaknya Ki Rangga tidak berada pada puncak ilmu Ki Rangga, karena Ki Rangga tidak sampai hati menciderai aku. - Tidak - Ki Rangga menyahut dengan serta-merta. Namun kemudian wajahnya menegang menahan sakit didadanya - aku sadari dimana aku berdiri, anak muda. Meskipun pada kesempatan yang lain aku tidak akan melakukannya, tetapi dalam pertempuran seperti ini, adalah kewajibanku untuk berbuat sejauh dapat aku lakukan untuk mempertahankan Pati. Tetapi ilmumu memang lebih tinggi dari ilmuku.- suara Ki Rangga menjadi parau dan bahkan hampir tidak terdengar lagi.
Glagah Putih menjadi cemas. Katanya - Biarlah para prajurit Pati merawat Ki Rangga. Mereka tentu mempunyai tabib yang akan dapat membantu Ki Rangga Dipajaya. Ki Rangga tersenyum. Tetapi ia menjadi semakin lemah.
-Anak muda. Semoga kau kelak benar-benar menjadi seorang yang dapat menjadi panutan. Bukan hanya kemampuan olah kanuragan, tetapi juga sikap dan pilihan jalan hidupmu.- Aku akan selalu mengingatnya, Ki Rangga. Ki Rangga tersenyum. Ketika tangannya mencoba untuk bergerak, ternyata Ki Rangga benar-benar sudah kehilangan tenaganya.
Karena itu, maka Glagah Pudhlah yang kemudian memegang tangan Ki Rangga. Telapak tangan itu pula yang telah memaksanya untuk menghentakkan ilmunya untuk melawannya.
Tetapi telapak tangan itu tidak lagi merah membara. Bahkan telapak tangan itu telah menjadi dingin dan lemah.
- Sudahlah - berkata Ki Rangga kemudian - aku sudah puas dapat berbicara dengan kau anak muda. Kembalilah kedalam pasukanmu. Secara pribadi kita tidak pernah bermusuhan.Glagah Pudh mengangguk. Diletakkannya tangan kanan Ki Rangga dengan hati-hati diatas dadanya yang sesak. Perlahan-lahan Glagah Putihpun bergeser sambil berdesis - Mudah-mudahan Ki Ranga dapat segera sembuh dari luka dalam iniKi Ranga tersenyum. Namun disudut bibirnya nampak darah yang mengembun.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tubuhnya sendiri terasa sangat lemah. Namun keadaannya masih lebih baik dari keadaan Ki Rangga Dipajaya.
Sejenak kemudian, maka Glagah Putihpun melangkah meninggalkan Ki Rangga Dipajaya yang terbaring diam. Tetapi nampak senyumnya masih menghiasi bibirnya.
Demikian Glagah Putih meninggalkan Ki Rangga dengan langkah yang berat, maka seorang prajurit Pati segera berlari-lari membawa bumbung berisi cairan obat yang telah dipersiapkan. Dibelakangnya seorang tua menyusul. Beberapa orang prajurit Patipun segera bersiaga melindungi Ki Rangga yang menjadi sangat lemah itu.
Glagah Putih yang kemudian berdiri ditengah-tengah beberapa orang pengawal dan prajurit itupun berkata - Biarlah para prajurit itu mencoba menyelamatkan nyawanya. Jika ada seorang tabib yang pandai, nyawanya akan dapat tertolong. Meskipun demikian, segala sesuatunya tergantung kepada Sang Pencipta. Dalam pada itu, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya Kekuatan yang tidak berselisih terlalu banyak itu justru membuat pertempuran menjadi semakin garang.
Namun kekalahan Ki Rangga Dipajaya ternyata memberikan pengaruh yang besar terhadap ketegaran prajurit Pati. Bagi mereka Ki Rangga adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Kekalahannya membuat para prajurit Pati menjadi gelisah.
Justru karena itu, maka perlahan-lahan para prajurit Pati itu mulai terdesak. Semakin lama semakin jauh mendekati dinding istana Kadipaten.
Pertempuran yang terjadi dimana-mana itupun memang mulai menjadi surut. Swandaru dengan garangnya telah menyerang lawannya yang bersenjata tongkat besi yang panjang itu. Beberapa saat lamanya mereka bertempur. Keduanya berloncatan dengan cepat. Ayunan-ayunan senjata berdesingan.
Namun akhirnya ujung cambuk Swandaru berhasil menggapai tubuh lawannya Segores luka telah menganga dilambungnya.
Tetapi sebelum orang itu sempat memperbaiki keadaannya, ujung cambuk Swandaru telah mematuk dadanya Satu hentakan ilmu yang sangat tinggi rasa-rasanya telah mengetuk jantungnya, sehingga orang itu tidak mampu lagi mempertahankan hidupnya
Lawan Swandaru itupun terpelanting beberapa langkah dan jatuh berguling ditanah. Namun tubuhnya tidak bergerak-gerak lagi. Bahkan jantungnyapun telah berhenti berdetak.
Dengan demikian, maka Swandarupun segera memasuki pertempuran yang semakin garang. Satu-satunya lawannya disingkirkan. Orang yang agak gemuk itu tertahan ketika ampat orang bersama-sama menghadapinya. Ampat orang prajurit pilihan yang memiliki kemampuan lebih tinggi dari prajurit-prajurit yang lain.
Dalam pada itu, Agung Sedayu masih bertempur melawan lawannya yang bersenjata sebilah keris yang besar dan panjang.
Benturan senjatapun telah terjadi beberapa kali. Lawan Agung Sedayu dengan sengaja mencoba membabat ujung cambuknya. Tetapi ujung tombak Agung Sedayu itu tidak terputus karenanya. Bahkan sentuhan antara keris dan ujung cambuk itu telah membuat tangannya bergetar meskipun ia masih dilindungi oleh ilmu Lembu Sekilan.
Demikianlah pertempuran antara keduanya menjadi semakin sengit. Ketika senjata-senjata mereka menjadi semakin cepat bergerak, maka keduanya menyadari, bahwa mereka sulit menembus perisai ilmu lawan mereka masing-masing. Ketika ujung keris lawan Agung Sedayu itu berhasil menyusut pertahanan cambuknya, maka ujung keris itu seakan-akan telah menggapai tubuh Agung Sedayu. Tetapi ternyata bahwa ujung keris itu belum mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu.
Orang tua yang berkumis dan berjanggut jarang itu menggeram. Sementara itu, ia harus berloncatan menghindari ujung cambuk Agung Sedayu yang menghentak-hentak meskipun tidak menimbulkan bunyi yang memekakkan telinga.
Meskipun ujung keris lawannya tidak menggores kulitnya karena perlindungan ilmu kebalnja, namun Agung Sedayu masih harus berhati-hati. Mungkin orang tua itu masih mampu meningkatkan ilmunya, sehingga mampu menyusup menembus ilmu kebalnya.
Sebenarnyalah orang tua yang berjanggut dan berkumis jarang itu telah meningkatkan segenap kemampuannya sampai ke puncak. Ia ingin benar-benar menyusupkan ujung kerisnya menembus ilmu kebal lawannya. Jika ia berhasil, maka segores kecil saja sudah cukup kuat untuk mengakhiri perlawanan lawannya yang masih terhitung muda itu.
Karena itu, orang itu benar-benar telah mengerahkan segenap tenaga, kekuatan dan kemampuan ilmu puncaknya.
Ketika ia mendapat kesempatan, maka dengan sekuat tenaga dan kemampuan ilmunya, orang itu mengayunkan senjatanya mendatar menggores ilmu kebal Agung Sedayu.
Agung Sedayu memang menggeliat. Tetapi hentakan yang dilambari dengan segenap kemampuan dan kekuatan ilmunya itu, benar-benar telah berhasil menyusup ilmu kebal Agung Sedayu.
Meskipun hanya segores tipis, namun ujung keris itu telah mampu melukai kulit Agung Sedayu.
Agung Sedayu berdesah tertahan. Ia merasakan goresan itu dikulitnya. Ketika ia mengusap goresan itu, maka terasa cairan yang hangat di telapak tangannya.
Agung Sedayu menyadari, bahwa ia telah terluka.
Orang tua berkumis dan berjanggut jarang itu meloncat selangkah mundur untuk mengambil jarak. Terdengar orang itu tertawa sambil berkata - Betapapun tinggi ilmunya, namun akhirnya aku berhasil membunuhmu. Agung Sedayu tidak menyahut. Hampir saja ia menyerang lawannya dengan sorot matanya yang menurut perhitungannya akan dapat menembus ilmu Lembu Sekilan lawannya. Tetapi niatnya diurungkan. Sebagai murid utawa dari perguruan orang bercambuk, maka Agung Sedayupun yakin, bahwa ilmu cambuknya akan mampu memecahkan ilmu Lembu Sekilan lawannya
Karena itu, maka selagi lawannya masih dicengkam oleh kebanggaan karena menduga bahwa Lurah Prajurit dari Mataram itu akan segera mati, maka Agung Sedayupun telah menyerangnya. Seperti lawannya, maka Agung Sedayupun telah menghimpun segala kekuatan dan kemampuan ilmu cambuknya. Dengan ancang-ancang yang mapan maka iapun segera meloncat sambil menghentakkan cambuknya
Dengan derasnya cambuk itupun terayun menghantam tubuh orang tua yang berjanggut dan berkumis jarang itu.
Orang itu memang terkejut. Dengan serta merta iapun meloncat menghindar. Namun ujung cambuk Agung Sedayu ternyata masih mampu menggapainya.
Ternyata hentakan segenap kekuatan dan kemampuan ilmu Agung Sedayu itu berhasil memecahkan ilmu Lembu Sekilan lawannya
Terdengar orang tua itu berteriak kesakitan. Dengan loncatan panjang ia mengambil jarak. Namun ujung cambuk Aung Sedayu yang berhasil mengoyak ilmu Lembu Sekilannya itu mampu melukai lambungnya, sehingga seakan-akan lambungnya itu telah menganga
Perasaan sakit dan petiih telah menggigitnya. Dengan sebelah telapak tangannya ia mencoba menahan lukanya itu. Namun darah mengalir dengan derasnya.
- Iblis kau- geram orang itu - tetapi jangan merasa gembira karena kemenangan kecilmu. Siapa yang tertawa terakhir di peperangan, ialah yang menang. Sebentar lagi tubuhmu akan terbaring membeku di medan ini. Agung Sedayu tidak menjawab. Hampir saja ia mengulangi serangannya. Tetapi melihat keadaan lawannya, maka Agung Sedayupun mengurungkan niatnya. Bahkan kemudian Agung Sedayu itupun melangkah surut.
Keadaan lawannya nampaknya menjadi semakin parah. Darah mengalir dari lukanya yang menganga. Namun orang itupun kemudian berkata dengan suara yang gemetar - Kau jangan berbangga dengan sedikit kemampuanmu itu, Ki Sanak. Meskipun ilmu cambukmu dapat memecahkan ilmu Lembu Sekilanku, tetapi sebentar lagi kau akan mati. Serambut luka oleh ujung kerisku, sudah berarti maut, karena kerisku mengandung warangan yang sangat tajam. Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia sadar, bahwa kulitnya telah tergores ujung senjata lawannya. Namun Agung Sedayu sama sekali tidak menjadi cemas.
Beberapa saat lamanya, orang yang terluka lambungnya itu mencoba bertahan. Ia ingin melihat Agung Sedayu itu terjatuh dan mati karena racun warangan kerisnya yang besar dan panjang itu.
Tetapi Agung Sedayu masih tetap berdiri saja ditempatnya.
Sementara itu, beberapa orang prajurit Pati yang berusaha untuk membawa orang itu pergi, telah ditolaknya Katanya - Aku akan pergi setelah orang itu mati. Aku inin melihat bagaimana ia terjatuh dan kemudian menggeliat sehingga akhirnya membeku. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya - Ki Sanak. Yang Mana Agung masih melindungi nyawaku. Waranganmu tidak dapat membunuhku. - Omong kosong. Kau akan mati dalam sekejap. - Tetapi yang sekejap itu telah lewat. Dan aku masih tetap hidup. Orang itu menggeram. Tubuhnya sendiri semakin lama menjadi semakin lemas.
Ketika orang tua yang berjanggut dan berkumis lebat itu tidak lagi mampu bertahan lebih lama, maka ia mulai bersandar pada salah seorang prajurit yang memapahnya. Dengan sendat orang itu bertanya - Kenapa kau tidak mati" - Sudah aku katakan. Yang Maha Agung masih melindungi nyawaku. - Dengan lantaran apa" - desak orang tua itu.
- Darahku tawar akan segala jenis racun. Wajah orang tua itu menegang sejenak. Namun kemudian tubuhnya menjadi lunglai. Dengan nada rendah ia berkata - Kau mendapat kurnia kelebihan dari sesama, Ki Sanak. Ternyata kau harus mengakui kekalahanku. Agung Sedayu tidak menjawab. Namun orang itu benar-benar menjadi lemah.
Beberapa orang prajuritpun kemudian telah membawa orang itu menepi. Tetapi sekelompok pasukan Pati yang terpilih, dipimpin oleh orang tua yang berjanggut dan berkumis tipis itu sudah berada agak dalam dibelakang medan pertempuran. Orang tua itu telah membawa pasukannya yang terpilih langsung menusuk medan, untuk dapat bertemu dengan Panembahan Senapati. Namun sebelum ia dapat langsung berhadapan dengan Panembahan Senapati, maka seorang Lurah prajurit Mataram dari Pasukan Khusus telah menghentikannya.
Dengan demikian, maka pasukan kecil itu justru mengalami kesulitan. Ketika pemimpin pasukan kecil itu dapat dikalahkan, maka pasukan itu seakan-akan tidak lagi mempunyai kekuatan meskipun mereka terdiri dari orang-orang pilihan.
Dalam pada itu, maka di segala medan, pasukan Pati menjadi semakin terdesak. Kelompok demi kelompok yang tidak dapat mengingkari kenyataan telah membawa pasukannya memasuki lingkaran pertahanan terakhir. Dinding istana Kadipaten Pati,
Menjelang sore hari, maka pasukan Mataram seakan-akan telah menguasai semua medan. Karena itu, maka sebelum senja, mereka telah berhasil mendesak dan memaksa pasukan Pati memasuki lingkaran pertahanan terakhir mereka.
Ketika kemudian senja turun, maka pasukan Mataram telah memperdengarkan isyarat untuk menghentikan pertempuran. Anak panah sendaren berterbangan diudara sebagai perintah untuk berhenti berperang. Apalagi para prajurit Pati telah berada di pertahanan terakhir.
Meskipun demikian, ketika pertempuran itu benar-benar berhenti, masih ada kelompok-kelompok kecil pasukan Pati yang menyusul memasuki pintu gerbang utama maupun pintu gerbang butulan.
Namun sebaliknya, ada juga kelompok-kelompok prajurit Pati yang justru keluar dari pintu gerbang sambil membawa obor dan kelebet berwarna putih.
Pasukan Mataram memang tidak mengganggu para prajurit Pati. Baik mereka yang memasuki pintu gerbang, maupun yang keluar dari pintu gerbang. Para prajurit dan pengawal yang tergabung dalam pasukan Mataram mengerti, bahwa para prajurit yang membawa obor dan kelebet berwarna putih, adalah para prajurit yang bertugas untuk mencari kawan-kawan mereka yang gugur dan bahkan terutama yang terluka dan tidak dapat beringsut dari tempatnya di medan perang.
13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Para prajurit Matarampun melakukan hal yang sama pula. Sebagai prajurit yang bersikap jantan, maka kedua pasukan dalam tugas yang sama itu tidak saling mengganggu. Bahkan mereka saling membantu dengan menunjukkan korban dari masing-masing pihak kepada pasukan yang sedang bertugas mencarinya itu.
Dalam kegelapan, Panembahan Senapati bersama beberapa orang pengawalnya berdiri termangu-mangu. Dengan mata kepala sendiri ia melihat tubuh yang terbujur lintang di bekas arena pertempuran. Sementara itu pertempuran masih belum selesai.
Besok pagi, pada saat matahari terbit, pertempuran akan ber"kobar lagi. Para prajurit dan pengawal yang tergabung dalam pasu"kan Mataram akan menyerang istana yang dikelilingi oleh dinding yang kuat.
Kenyataan yang ada di bekas arena pertempuran itu telah mem"buat jantung para pemimpin dari kedua belah pihak tergetar.
Sebenarnyalah, malam itu, dalam pakaian prajurit kebanya"kan, Kangjeng Adipati Pati juga berada di bekas medan pertempuran. Adipati Pragola itu melihat langsung sebagaimana Panembahan Sen"apati, keadaan para prajuritnya yang menjadi korban. Meskipun mere"ka gugur dalam tugas mereka sebagai seorang prajurit yang baik, namun pada saat Kangjeng Adipati itu menyaksikan langsung korban yang terbujur lintang, terasa dadanya menjadi sesak.
Karena itu, maka iapun segera mengumpulkan para Senapati dan Panglimanya Hanya yang sangat dipercayainya
Selain mereka yang berbicara langsung, tidak seorangpun tahu, apa yang telah dibicarakan oleh Kangjeng Adipati dan orang-orang tertentu itu.
Demikianlah, maka para prajurit dan pengawal dari kedua belah pihak telah beristirahat sebaik-baiknya Besok pagi-pagi mereka akan mendengar bende yang ditabuh dengan suara yang bergabung meme"nuhi udara. Ujung-ujung senjatapun kemudian telah teracu dan darah-pun akan mendidih didadalam dada Namun kemudian akan tertuang dalam bumi.
Menjelang fajar, maka para prajurit dan pengawal Matarampun telah bersiap sepenuhnya. Mereka tinggal menunggu perintah untuk menyerang. Para prajurit dan pengawal itupun telah mempersiapkan balok-balok kayu untuk membuka pintu gerbang utama dan butulan. Telah disiapkan pula tangga-tangga bambu serta perisai-perisai yang besar untuk melindungi para prajurit dari hujan anak panah dari balik dinding istana.
Para prajurit Mataram itu menjadi berdebar-debar ketika bebera"pa orang petugas sandi memberikan laporan, bahwa mereka tidak melihat kesiagaan Pati untuk menghadapi perang dikeesokan harinya Meskipun mereka melihat para prajurit yang ada di panggungan dibelakang dinding, namun tidak ada tanda-tanda bahwa perang yang besar, perang habis-habisan yang akan menentukan akhir dari perang yang besar itu, akan terjadi.
Ketika hal itu dilaporkan kepada Panembahan Senapati, maka Panembahan Senapatipun segera melihat langsung keadaan medan menjelang fajar.
Matahari masih tersembunyi ketika Panembahan Senapati dari jarak yang lebih dekat melihat kesiagaan prajurit Pati. Dengan tidak membawa pertanda kebesaran apapun, Panembahan Senapati yang mengenakan pakaian prajurit kebanyakan itu berjalan menyusuri dind"ing istana dibagian depan dari sudut sampai kesudut. Tetapi memang tidak terdapat tanda-tanda kesiagaan tertinggi pada prajurit Pad.
Panembahan Senapati menjadi bimbang. Ia tidak segera men"getahui dengan pasti, apa yang telah terjadi pada pasukan Pati itu.
Namun Panembahan Senapati tidak mau terjebak. Karena itu, maka Mataram tetap mengerahkan segenap kekuatannya. Segala per"siapan yang sudah dilakukan, telah bergerak pula mendekati dinding istana pada saat yang sudah ditentukan.
Tetapi tidak terdengar gaung bende di dalam lingkungan dind"ing istana. Tidak terdengar aba-aba dan perintah-perintah.
Para prajurit dan pengawal dari Mataram itu justru menjadi berdebar-debar. Ada diantara para Senapati yang menduga, bahwa Pati akan menyerah. Namun mereka tidak melihat isyarat bahwa Pati akan menyerah.
Dalam ketidak pastian, maka para prajurit dan pengawal Mata"ram telah berada dalam kesiagaan tertinggi.
Ketika cahaya matahari mulai membayang dilangit, maka Pa"nembahan Senapati benar-benar telah mempersiapkan diri. Segala macam alat yang diperlukan, serta senjata yang ada didalam pasukan itu telah dipersiapkan sebaik-baiknya.
Tetapi tidak ada pertanda kesiagaan pada para prajurit Pati.
Namun justru karena itu, Panembahan Senapati tidak segera memberikan perintah untuk menyerang. Meskipun demikian, dipe"rintahkannya para prajuritnya untuk bergerak beberapa langkah maju.
Gerak itupun tidak memancing perubahan pada sikap prajurit Pati. Bahkan para prajurit yang nampak di panggungpun menjadi semakin tidak meyakinkan.
Panembahan Senapatipun kemudian telah memanggil Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Mangkubumi. Sejenak mereka berbincang. Agaknya Panembahan Senapatipun kemudian telah mengambil satu keputusan.
Kelana Buana 9 Trio Detektif 14 Misteri Naga Batuk Jodoh Rajawali 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama