Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 10
Panembahan Wukir Gading. Sementara itu, orang yang cacat
itu masih berdiri disisi pintu, dan bersama Sanggit Raina dan
puteranya, maka Yang Mulia itu masih tinggal di sanggarnya.
"Hanya itukah perintahnya?" bertanya Jlitheng kepada
Rahu. Setelah mereka berada diluar Sanggar.
"Ya" jawab Rahu.
"Persoalannya penting yang manakah yang dapat
dibicarakan dan dapat diurai bersama Untuk nienghadapi
tugas itu" bertanya Jlitheng pula.
"Apa yang perlu dibicarakan?"
"Perintah sudah jatuh Perintah itu mudah jelas" desis Rahu.
"Hanya bersiap bersama kuda masing-masing menjelang
matahari terbit" desak Jlitheng.
"Bukankah itu sudah jelas?" jawab Rahu. Jlitheng
mengumpat dengan geramnya, Meskipun tidak terlalu keras
tetapi terasa betapa hatinya bergejolak.
Kalian benar-benar patung-patung yamg tidak dapat
menyatakan sikap pribadi" geramJlitheng.
"Apakah kau juga berbuat demikian?" bertanya Rahu.
Sekali lagi J litheng mengumpat. Katanya "Aku orang baru
disini Aku masih perlu melihat suasana dan keadaan"
"Alasan yang paling bagus. Tetapi jangan kau pikirkan lagi.
Bagiku lebih senang untuk tidak usah memikirkannya. Biarlah
orang lain melakukannya, memperhitungkan dan
mempertimbangkan. Kita tinggal melaksanakannya" jawab
Rahu. Tetapi mungkin diontara kita ada yang dapat mengajukan
pikiran yang lebih baik dari yang mereka rencanakan" bantah
Jlitheng. "Itu tidak mungkin. Yang Mulia Panembahan Wukir Gading.
Sanggit Raina dan anak muda putera Yang Mulia itu tentu
sudah mampu memikirkan dan merencanakan segala
sesuatunya lebih baik dari kita. Mereka mempunyai lebih
banyak bahan dari kita, mereka mempunyai lebih banyak
pengalaman dan mereka mempunyai ilmu yang tebiih tinggi
dari kita" "Sikapmu adalah sikap seorang budak. Ketika aku berada di
pendapa aku merasa agak lapang dada, karena beberapa
orang diantara para murid di padepokan ini dapat menyatakan
pikirannya. Tetapi ternyata pada saat yang gawat, kalian
hanya dapat menunduk dan mengangguk" geram Jlitheng.
Rahu tertawa. Katanya "Sudahlah. Jangan terlalu
bersungguh-sungguh. Kau akan cepat menjadi tua"
"Kau gila" Rahu masih tertawa. Tetapi ia t idak berkata apapun juga.
Keduanyapun kemudian kembali ke dalam bilik mereka.
Ketika mereka, melihat orang yang disebut kancil itu, mereka
sama sekali tidak memghiraukannya, sementara orang itupun
justru berpaling kearah lain.
Demikianlah, Jlitheng justru menjadi semakin gelisah di
dalam biliknya. Pertanyaannya ternyata tidak terjawab.
Pertemuan itu t idak memberikan apa-apa baginya, selain
perintah yang sangat menjengkelkan.
"Apakah mungkin aku akan terjebak ke dalam tugas-tugas
yang tidak ada hubungannya dengan Daruwerdi dan pusaka
itu?" pertanyaan itu selalu bergelut di dalam hatinya.
Tetapi Jlitheng tklak ingin melepaskan kesempatan yang
sudah dicapainya dengan susah payah, memasuki sarang
Serigala yang bernama Padepokan Sanggar Gading itu.
Seandainya ia harus mengorbankan harga dirinya dengan
melakukan t indakan yang barangkal bertentangan dengan
nuraninya, namun masih dalam batas-batas yang dapat
dilakukannya, maka ia akan melakukannya meskipun dengan
tidak sepenuh hati. "Tetapi jika aku harus mengorbankan kemanusiaan, tata
hubungan antara sesama dalam pengertian yang mendalam,
maka aku tentu akan berkeberatan, meskipun akan dapat
berakibat gawat" berkata Jlitheng didatamhatinya.
Dalam pada ku, Rahupun nampaknya sedang merenungi
dirinya sendiri. Meskipun tidak begitu jelas, namun Jlithengpun
dapat melihat, bahwa ada juga semacam kegelisahan
diihatinya. Keduanya ternyata tidak banyak berbicara lagi. Meskipun
ada juga semacam kecurigaan, namun akhirnya Jlitheng
sempat juga memejamkan matanya,
"Jika ia berniat jahat, aku tentu sudah melihat tandatandanya"
berkata Jlitheng di dalam hatinya.
Tetapi Jlitheng tidak dapat tidur terlalui lama. Ia terbangun
sebelum ayam jantan berkokok di akhir malam,
Ketika ia bangkit, maka dilihatnya Rahu masih tidur
nyenyak. Sejenak Jlitheng termangu-mangu. Tiba-tiba saja ia selalu
dibayangi oleh pesan Rahu, agar ia tidak terlalu banyak
berada diuar bilik. Karena itu, ia menjadi ragu-ragu untuk ke
pakiwan. Dengan demikian, maka Jlitheng itupun menunggu dengan
kesal sampai saatnya Rahu bangun. Tetapi akhirnya ia tidak
sabar lagi. Dengan sengaja ia mendesak pembaringannya
dengan lututnya sehingga berderak membentur dinding
meskipun tidak terlalu keras.
Ternyata Rahu cukup tangkas dan berpendengaran tajam.
Tiba-tiba saja ia sudah duduk di bibir pembaringannya suap
menghadapi segala kemungkinan.
"Kau mengejutkan aku" geram Rahu "Bukankah masih
terlalu malam untuk bangun?"
"Tidak" jawab Jlitheng "sebentar lagi akan terdengar kokok
ayam. Kita harus bersiap sebelum matahari terbit"
"Matahari masih lama terbit"
"Tidak" bantah Jlitheng.
Rahu bangkit sambil menggeliat. Dengan nada dalam ia
bergumam "Ternyata kau adalah seorang penakut. Bukankah
maksudmu agar aku mengantarmu ke pakiwan" Disitu tidak
ada hantu. Pergilah sendiri"
"Aku sobek bibirmu" geram Jliltiheng "Tetapi sebaiknya kita
pergi ke pakiwan sekarang. Kita bersiap palng awal dan kita
akan mendapat pujian dari Sanggit Raina"
Rahu menarik nafas sambil berdesis "Marilah. Meskipun aku
masih malas" Keduanya kemudian keluar dari biliknya. Mereka melhat
orang bertubuh raksasa tidur disebeiah pintu hanya
beralaskan sehelai tikar yang tidak cukup melambani panjang
badannya. "Kenapa ia tidur disitu?" bertanya Jlitheng.
"Itu adalah kegemarannya. Tidak ada orang yang
menyuruhnya berbuat demikian. Sementara kancil itu merasa
lebih hangat tidur di dalam amben beralaskan tikar rangkap
empat" Jlitheng berpaling sejenak. Disudut sebuah ruang yang luas
ia melihat orang itu tidak sedang tidur.
Ketika mereka turun ke halaman, maka Jlithengpum
berkata "Kenapa aku tidak menghubungi Cempaka untuk
mengetahui, apakah yang akan kita lakukan sekarang"
Rahu tersenyum. Katanya "Memang mungkin iapun
mengetahui. Tetapi ia tidak akan mengatakan apapun juga
kepadamu" "Kenapa?" tanya Jlitheng.
"Kau seperti kanak-kanak. Kau terlalu, banyak bertanya"
Jlitheng menggeram. Tetapi ia tidak bertanya. Ia memang
menyadari bahwa orang-orang Sanggar Gading t idak akan
senang mendengar pertanyaan yang terlalu banyak, yang
menyangkut rencana yang mungkin masih dirahasiakan.
Dalam pada itu, Rahu seolah-olah mengetahui perasaan
Jlitheng sehingga tiba-tiba saja ia berkata "Rahasia yang
mereka simpan tidak boleh diketahui oleh siapapun. Jika ada
diantara kita yang berkhianat, maka segala rencana itu akan
gagal. Bahkan mungkin akan dapat jatuh korban yang tidak
terduga-duga. "Aku tahu" potong Jlitheng "Kau tidak usah mengajari aku"
"O" Rahu mengangguk-angguk "J ika demikian seharusnya
kau diam saja" "Ya. Ya" geram Keduanya tidak berbicara lagi. Apalagi
ketika mereka melihat beberapa orang telah bangun pula.
Demikianlah, persiapan di Sanggar Gadang itu berlangsung
tanpa kesan yang menarik perhatian. Ternyata Jlitheng
melihat betapa orang Sanggar Gading telah terlalu biasa
dengan tugas-tugasnya, sehingga segalanya terjalan dengan
cepat dan wajar. "Kita makan pagi" desis Rahu ketika keduanya telah
bersiap. "Jlitheng yang belum tahu apa yang harus dilakukan, hanya
mengikut i saja, ketika Rahu pergi ke dapur.
Ternyata bahwa di dapur itu telah berkumpul beberapa
orang yang akan berangkat bersama mereka menuju ketugas
yang masih belum jelas bagi Jlijtheng.
Nrangsarimpat yang melihat kedatangan Jlitheng segera
menyambutnya sambil tertawa. Katanya "Marilah. Makanlah
sekenyang-kenyangnya. Mungkin kita tidak akan makan
apapun juga sampai malam. Bahkan mungkin sampai saatnya,
kita melakukan tugas kita yang sangat penting itu"
"Tugas apa?" tiba-tiba saja Jlitheng bertanya.
Terasa Rahu menggamit lambungnya. Namuin kata-kata itu
sudah diucapkannya Nrangsarimpat memandang Jlitheng
dengan heran. Dengan nada datar ia berkata "Apakah aku
tidak salah dengar. Kau masih bertanya tentang tugas itu"
"Tidak" Jlitheng memotong "begitu saja kata-kata itu
meloncat dari bibirku. Aku tidak bermaksud bertanya.
Maksudku, kau tidak usah menyebutnya. Aku sudah tahu"
Nrangsarimpat tertawa. Katanya "Bagus. Makanlah"
Jlithengpun kemudian duduk disebelah amben besar
bersama-sama dengan orang-orang yang sedang makan.
Iapun makan seperti yang dilakukan olah orang Sanggar
Gading. Sejenak kemudian, maka terdengar suara isyarat di
halaman depan, Sebuah kentongan kecil dalam nada dara
muluk. "Kita harus bersiap" desis Rahu.
Orang-orang yang berada di dapur itupun kemudian satu
demi satu melangkah keluar. Mereka mempersiapkan diri
dengan senjata-senjata masing-masing. Sementara Jlitheng
telah menyandang pedang tipisnya pula. meskipun dengan
pertanyaan yang bergelut dihatinya "Untuk apa aku membawa
pedang ini" Apakah aku akan sampai kesasaran yang
sebenarnya?" Ketika kemudian terdengar suara kentongan yang kedua
dalam irama yang datar mendekati irama titir. maka orangorang
yang telah ditentukan itupun segera berkumpul di
halaman. Masing-masing telah menuntun kudanya dan segala
perbekalan yang diperlukan.
Sanggit Raina dan Yang Mulia Panembahan Wukir Gadang
telah berada di tangga pendapa padepokan itu. Ternyata
bahwa Yang Mulia Panembahan tidak ikut dalam tugas yang
beberapa kali mereka sebut sebagai tugas yang pentang itu.
"Sanggit Raina akan memimpin kalian" berkata Yang Muilia
"lakukanlah perintahnya seperti kalian melakukan perintahku.
Kali ini kalian benar-benar akan memikul tugas yang agak lain
dari tugas-tugas kalian sebelumnya, karena tugas kalian kali
ini akan menyangkut tugas kalian bagi hari depan"
Tidak banyak pesan-pesan yang diberikan. Sejenak
kemudian Sanggit Rainalah yang memegang pimpinan.
Katanya "Kita akan berangkat. Seperti yang aku katakan, kita
akan berpencar. Kita akan berkumpul di dekat Sendang
Gambir, sebelum kita memasuki Kota Raja. Siapa yang
terlambat akan kita tinggalkan"
Tidak ada perintah lain. Sejenak kemudian Sanggit Raina
itupun minta diri kepada Yang Mulia Panembahan serta mohon
restu bagi semua orang yang ikut dalamperjalanan itu.
Demikian Sanggit Raina meloncat ke punggung kudanya
setelah ia berada di depan regol, maka yang lainpun telah
berloncatan pula. Tanpa aba-aba apapun juga, maka iringiringan,
itupun kemudian meninggalkan padepokan Sanggar
Gading yang aneh itu. "Ternyata yang ikut dalam iring-iringan ini lebih banyak dari
yang kemarin berada di Sanggar" desis Jlitheng.
"Ya. Nrangsarimpat membawa seorang sahabat paling
dekatnya. Sementara yang lain ada pula yang mengajak
adiknya yang juga tinggal di padepokan ini. Tetapi kelompok
ini dapat dipertanggung-jawabkan. Yang pergi bersama orangorang
yang tidak disebut namanya, atau yang kemarin berada
di sanggar, tentu sudah mendapat ijin dari Sanggit Raina"
jawab Rahu. Jlitheng rasa-rasanya menjadi semakin bingung dengan
susunan dan urut-urutan kepemimpinan di padepokan
Sanggar Gading ini. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.
"Kita akan mulai berpencar dimana?" bertanya Jlitheng.
"Di seberang padang kematian. Kita akan memilih jalan kita
masing-masing. Kita akan diberi kebebasan untuk melalui
jalan yang manapun juga" berkata Rahu.
"Kita dapat berpencar dalam kelompok-kelompok kecil atau
seorang demi seorang" bertanya Jlitheng.
"Kita dapat berdua, atau paling banyak bertiga" Rahu
berhenti sebentar, lalu iapun bertanya "Kau akar pergi
bersamaku atau bersama Cempaka?"
"Tidak ada bedanya. Hanya kawan dalam perjalanan.
Kaupun tidak apa. asal kau tidak melakukan perbuatan tercela
disepanjang jalan" jawab Jlitheng.
Rahu tertawa. Tetapi iapun berkata "Kau tamu Cempaka
disini. Seharusnya kau selalu dekat dengan orang itu"
Jlitheng memandang Rahu dengan tajamnya. Kemudian
katanya "Jangankan kira aku tidak tahu. Cempaka hampir
tidak sempat menghiraukan aku. Dan ia sudah memerintahkan
kepadamu untuk selalu mengawasi aku. Karena itu, kau tidak
perlu berbicara lagi tentang Cempaka dalam hubunganmu
dengan aku" Rahu masih tertawa Katanya "Penggraitamu benar-benar
tajam. Kau menyadari bahwa aku adalah mata dan telinga
Cempaka. He, jika demikian kecurigaanku kepadamu sangat
berbahaya bagimu" "Sama sekali tidak. Aku dapat membunuhmu. Bahkan
membunuh Cempaka" jawab Jlitiheng.
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rahu tertawa semakin keras. Beberapa orang telah
berpaling kepadanya. Juga. Sanggit Raina yang berkuasa
dipaling depan. Bahkan justru Nrangsarimpat mendekati Rahu
sambil bertanya "Apa yang lucu, atau apa yang salah?"
Rahu masih tertawa. Jawabnya "Bantaradi ternyata seorang
pengecut. Ia sangat takut kepada perempuan yang bakal jadi
isterinya" Nramgsarimpatpun tertawa. Tetapi ia masih juga
mengumpat disela-sela tertawanya "Anak demit. Aku kira
kalian berbicara tentang apa"
Ketika Nrangsarimpat kembali kepada kawan-kawannya
maka Jlithenglah yang mengumpat "Kau kira aku sudah
mempunyai pasangan?"
"Jadi aku harus menjawab apa" Mengatakan bahwa kau
merasa dirimu tidak dihiraukan lagi oleh Cempaka meskipun
orang itu yang mengundangmu kemari" Atau aku harus
menjawab bahwa kau selalu dibayangi oleh kebingungan
tentang tugas kita sekarang ini" Rahupun bertanya pula.
"Kau memang gila" geram Jlitheng.
Namun keduanya tidak berbicara lagi. Mereka sudah
mendekati padang yang mereka sebut padang perburuan,
tetapi kadang-kadang juga padang kematian. Padang yang
seolah-olah merupakan tempat yang tidak dijamah oleh
ketentuan dan batasan-batasan tentang hidup dan tata
kehidupan manusia. Siapapun dapat berbuat apa saja menurut
kehendak dan keinginan mereka sendiri meskipun hal itu akan
dapat berarti kesulitan bahkan korban pada pihak lain.
Jlitheng menjadi berdebar-debar. Sekilas teringat olehnya
apa yang telah terjadi di padang itu pada saat ia datang
bersama Rahu. Namun selanjutnya ia tidak melihat lagi orangorang
yang pernah dilukainya di padang itu.
"Apakah mereka kemudian tidak lagi tertolong, atau
mereka berada di tempat yang kebetulan tidak aku lihat di
padepokan" berkata Jlitheng di dalam hatinya.
Namun demikian mendesaknya ingatan itu, sehingga ketika
padang itu sudah terbentang dihadapannya, ia bertanya
kepada Rahu "Apa kau tahu, dimaina ketiga orang yang aku
lukai di padang ini?"
"Mereka sedang dalamtataran penyembuhan" jawab Rahu.
"Jadi mereka tidak mati?"
Rahu tidak menjawab. Tetapi ditatapnya wajah Jlitheng
sambil tersenyum, sehingga Jlitheng tiba-tiba menggeram
"Kau benar-benar anak setan. Kau telah mengumpulkan satu
lagi angka kemenanganmu. Kau bertambah curiga lagi
kepadaku karena pertanyaan itu"
Rahu menutup mulutnya. Kemudian katanya tertahantahan
"Jika aku tertawa lagi, Nrangsarimpat akan bertanya lagi
kepadaku. Dan aku tidak akan mempunyai jawaban yang lebih
baik dari jawabanku yang pertama"
Jlitheng tidak menyahut. Terdengar ia mengumpat
meskipun tidak jelas. Iring-iringan dari Sanggar Gading itupun kemudian
memasuki padang yang gersang. Bukan saja dedaunan yang
menjadi kekuning-kuningan, tetapi juga karena di padang itu
seolah-olah beribu jiwa melayang-layang karena kematian
mereka yang tidak wajar, sehingga mereka masih tetap
berkeliaran untuk mencari kesempatan membalas dendam.
Kemarahan dan gejolak jiwa mereka itu menambah padang itu
semakin gersang dan bagaikan membara.
Tetapi Sanggit Raina sama sekali tidak menghiraukannya.
Ia tidak mengenal lagi kuningnya dedaunan. Dan iapun tidak
menghiraukan lagi berapa banyak jiwa yang telah melayang di
padang itu. Bahkan orang-orang tersesat yang sama sekali
tidak tahu menahu arti padepokan Sanggar Gadingpun telah
terbunuh pula di padang yang tandus itu.
Demikianlah, maka seperti iring-iringan untuk mengubur
mayat, orang-orang berkuda itu melintasi padang kematian.
Hampir t idak ada seorangpun yang berbicara diantara mereka.
Sebenarnyalah bahwa betapapun dalamnya, namun
terberat pula ingatan tentang peristiwa-peristiwa yang pernah
mereka alami di padang itu.
Beberapa saat lamanya mereka melintasi padang itu.
Akhirnya merekapun sampai pada seberang yang lain. Satu
dua orang diantara mereka memalingkan wajah mereka untuk
memandang padang itu dari sisi yang berseberangan. Namun
rnerekapun segera melanjutkan perjalanan mereka menuju ke
tugas mereka yang masih belum dapat mereka ketahui
dengan pasti. Beberapa puluh langkah dari padang, Sanggit Raina
berkata lantang "Kita memilih jalan kita sendiri-sendiri. Aku
ingin mengingatkan sekai lagi, bahwa kita akan berkumpul
kembali untuk satu tugas yang penting, yang mungkin akan
membunuh satu dua orang diantara kita, atau bahkan
mungkin kita semuanya. Siapa yang terlambat akan kita
tinggalkan, dan siapa yang ragu-ragu, aku harap untuk
dengan sengaja datang terlambat. Tetapi umur mereka yang
terlambat itupun akan terbatas sampai esok pagi"
Sanggit Raina tidak berbicara terlalu banyak. Dan iapun
sama sekali t idak ingin mendengar sebuaih pertanyaanpun.
Karena itu, demikian ia selesai berbicara maka iapun segera
menggerakkan tali kekang kudanya. Beberapa langkah
kudanya bergerak perlahan-lahan. Namun ketika kaki Sanggit
Raina kemudian menyentuh perut kudanya, maka kuda itupun
segera meloncat berlari. Beberapa orangpun kemudian memacu kudanya pula.
Tetapi masih ada beberapa orang yang maju perlahan-lahan.
Agaknya mereka sedang berbicara satu dengan yang lain,
jalan manakah yang akan mereka tempuh, dan dengan
siapakah mereka akan berpencar.
Ternyata Cempaka masih juga menghampiri Jlitheng sambil
berkata "Pergilah bersama Rahu. aku akan menempuh jalan
lain sendiri. Aku akan menyusul kakang Sanggit Raina"
Jlitheng termangu-mangu sejenak Kemudian katanya "Aku
datang memenuhi undanganmu. Kau berharap bahwa aku
akan dapat melibatkan diri dalam tugas yang penting. Tetapi
katakan Cempaka, tugas apa yang sekarang akan kita
lakukan?" "Yang aku ketahui tidak lebih banyak dari yang kau ketahui.
Kau mendengar keterangan dari Yang Mulia Panembahan
Wukir Gading, dan kemudian kaupun mendengar keterangan
dari kakang Sanggit Raina sebanyak yang aku dengar" jawab
Cempaka. Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Ia harus menahan
hatinya agar tidak terloncat dari mulutnya, apa yang pernah
didengarnya, pembicaraan antara Cempaka dengan
Darawerdi. Jika yang diketahuinya itu, diluar sadarnya
terucapkan, maka mungkin sekali ia akan diseret kembali ke
padang kematian oleh beberapa orang yang masih belum
berjarak terlalu jauh dan hidupnyapun akan diakhiri.
Tetapi karena Jlitheng tidak bertanya lebih banyak lagi,
maka Cempakapun kemudian berkata "Kita akan mengetahui
dengan pasti, apa yang akan kita lakukan, jika kita sudah
berkumpul kembali. Marilah, agar kita tidak terlambat,
sehingga kita akan mendapat hukuman dari kakang Sanggit.
Riana" Jlitheng mengangguk sambil menjawab "Baiklah. Aku akan
menempuh perjalanan ini bersama Rahu, meskipun bagiku
Rahu tidak lebih dari momongan"
Cempaka mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah
Rahu yang nampak menegang. Tetapi Rahu tidak menjawab.
Cempakapun tidak bertanya sesuatu. lapun kemudian
meninggalkan Rahu dan Jlitheng berdua. Sejenak kemudian
iapun sudah berpacu searah dengan jalan yang ditempuh oleh
Sanggit Raina. "Kau memang bodoh sekali" desis Rahu "Kau kira Cempaka
senang mendengar kelakarmu itu" Aku adalah orang yang
mendapat kepercayaannya. Gurauanmu dapat menyinggung
perasaannya" Tetapi Jlitheng menjawab "Aku talak peduli. Jika ia
tersinggung dan marah, aku bunuh ia di padang kematian
yang masih belum terlalu jauh kita t inggalkan"
"Ingat" berkata Rahu kemudian "J ika kau selalu memaksa
dirimu untuk bersikap kasar dan sombong, maka pada suatu
saat kau akan benar-benar menjadi seorang yang kasar dan
sombong. Seandainya pada suatu saat kau meninggalkan
padepokan ini, meskipun hal itu akan suit sekali kau lakukan,
maka kau akan menjadi orang yang sangat asing dipergaulan
yang sewajarnya" Jlitheng memandang Rahu dengan kerut di dahinya.
Katanya "Kau mau menggurui aku" Semuanya itu tidak perlu
kau katakan. Aku sudah tahu bagimana mengatur diriku
sendiri" "Tetapi aku bukan orang yang terlalu bodoh seperti yang
kau sangka. Jika yang kau lakukan itu sekedar ingin
menyesuaikan diri dengan sifat orang-orang Sanggar Gading,
maka kau tidak perlu berbuat demikian jika kita hanya berdua
saja" "Kenapa" bertanya Jlitheng.
"Aku sudah mengetahui sifat-sifatmu yang sebenarnya
sejak kau melibatkan diri dalam perkelahian yang terjadi di
perjalanan itu. Kau telah dengan sengaja melepaskan
lawanmu dan tidak berusaha mengejarnya. Kaupun tidak
membunuh di padang kematian itu. seperti yang kau lakukan
di padukuhan" "Cukup" bentak Jlitheng "Sebenarnya aku Ingin
membunuhmu agar kau tidak mengigau saja seperti itu
sehingga aku muak mendengarnya,. Berapa kait hal itu kau
katakan. He, Rahu. Apakah kau bermaksud memerasku?"
"Apa yang dapat aku peras dari padamu" Sudahlah marilah
kita menuju, ke tempat yang sudah ditentukan. Sebenarnya
jarak itu tidak terlalu jauh, sehingga tidak akan memerlukan
waktu yang terlalu panjang. Kita masih mempunyai sisa waktu
yang cukup banyak" berkata Rahu kemudian
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah ia
memang tidak dapat berpura-pura terlalu lama. Ia menjadi
lelah dan selalu dicengkam oleh ketegangan jiwa. Namun
untuk berbuat wajar, seperti yang selalu dikatakan oleh Rahu
itu, iapun merasa cemas. Mungkin Rahu sengaja memancing
agar ia melihat sifat-sifatnya yang sebenarnya sebelum Rahu
mengambil sikap yang pasti.
Karena itu, maka Jlitheng bertekad untuk tetap berbuat
seperti yang dilakukannya. Ia sudah terlalu sering berpurapura.
Di padukuhannyapun ia berpura-pura menjadi seorang
yang bodoh dan dungu, meskipun kadang-kadang ia
menunjukkan juga sikap yang lebih baik, seperti saat-saat ia
bersama orang tua di bukit itu, berusaha menyalurkan air ke
sungai yang akan dapat mengairi sebagian dari tanah
persawahan di padukuhannya.
Keduanyapun kemudian berkuda lebih cepat lagi. Beberapa
orang kawan mereka telah menjadi semakin jauh. Namun
diantara mereka yang berkuda di depan, ada juga beberapa
orang yang nampaknya tidak tergesa-gesa.
"Aku akan singgah sebentar ke rumah" berkata Rahu
"karena tugas ini menurut Sanggit Raina adalah tugas yang
berat yang mungkin akan dapat membunuh sebagian dari kita,
bahkan mungkin kita semuanya, maka aku akan meninggalkan
pesan kepada adikku"
"Apakah kau sudah bermimpi buruk?" bertanya Jlitheng.
Rahu tertawa. Katanya "Aku sering bermimpi buruk. Aku
kira semua orang-orang Sanggar Gading selalu bermimpi
buruk, seperti juga orang-orang dari Kendali Putih, orangorang
Pusparuri dan orang-orang dari Gunung Kunir. Meskipun
kadang-kadang mimpi kami, orang-orang Sanggar Gading
masih juga diwarnai dengan cita-cita yang jauh lebih baik dan
padepokan-padepokan yang lain"
Jlitheng tidak menjawab lagi. Mereka kemudian berkuda
semakin cepat menuju ke sebuah padukuhan yang memiliki
ciri yang tidak jauh berbeda dengan Sanggar Gading.
Meskipun ilmu orang-orang Sanggar Gading tentu jauh lebih
baik dari orang-orang padukuhan itu, namun kekasaran dan
sifat-sifat kediriannya mempunyai banyak persamaan.
Meskipun Jlitheng bcrusana uiniluk tidak terlalu banyak
bertanya, namun ada juga satu dua pertanyaan yang
dilontarkannya. Bukan saja tentang padukuham yang aneh itu,
tetapi juga tentang sifat-sifat orang Sanggar Gading.
Beberapa saat kemudian, kedua orang itupun menjadi
semakin dekat dengan padukuhan tempat tinggal Rahu.
Padukuhan yang memiliki ciri-ciri yang sulit dimengerti.
Ketika mereka memasuki daerah persawahan padukuhan
itu, maka mereka melihat orang-orang yang bekerja di sawah
tanpa menghiraukan siapapun yang lewat di bulak.
"Tidak hanya padukuhanku saja yang memiliki sifat aneh"
berkata Rahu kemudian. "Aku sudah tahu. Tentu satu dua padukuhan yang lain yang
berdekatan mempunyai beberapa persamaan meskipun juga
beberapa perbedaan" sahut Jlitheng.
"Ya. Agaknya kau mengerti juga" desis Rahu kemudian.
Jlitheng tidak menyahut. Tetapi dahinya berkerut ketika ia
melihat dua orang yang, sedang bertengkar tidak terlalu jauh
dari jalan yang mereka lalui.
"Apa lagi yang mereka lakukan?" tiba-tiba saja Jlitheng
menggeram. "Itu urusan mereka?" desis Rahu.
Jlitheng manarik nafas dalam-dalam Tetapi ia tidak dapat
tinggal diam ketika pertengkaran itu menjadi semakin
memuncak. Bahkan tiba-tiba yang seorang telah memukul
yang lain, sehingga orang yang dipukulnya itu jatuh
terjerembab. "Gila" geram Jlitheng "agaknya kau yang membuat
padukuhan ini menjadi gila"
"Kenapa aku?" bertanya Rahu.
"Kau orang Sanggar Gading. Kau ajari tetanggatetanggamu
hidup dalamsuasana gila ini"
Rahu tertawa, Katanya "Kau jangan menganggap aku dapat
berbuat demikian. Aku jarang sekali, berada dipadukuhan.
Bagaimana mungkin aku dapat melakukannya"
Jlitheng menggereitakkan giginya. Ia melihat sebuah
perkelahian yang t idak seimbang. Tetapi orang yang lebih kuat
itu justru berbuat sesuka hatinya, sementara orang-orang lain
bekerja seperti tidak terjadi sesuatu di dekat mereka.
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi Jlitheng tidak tahan lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat
dari punggung kudanya. Kemudian iapun berteriak "He orangorang
gila. Aku adalah orang yang pernah berbuat sesuatu
yang kalian anggap aneh di padukuhan ini. Sekarang akupun
akan melakukannya pula. Kalian tidak usah turut campur. Aku
akan memukuli orang yang menang dalam perkelahian itu
nanti. Kedua orang yang berkelahi itupun berhenti sejenak.
Mereka memperhatikan Jlitheng yang berdiri bertolak
pinggang. Demikian pula beberapa orang yang bekerja di
sawah disekitar kedua orang itu berkelahi.
Kedua orang yang berkelahi itu mengerti, bahwa orang itu
adalah orang yang pernah mengalahkan gegedug
padukuhannya. Karena itu, bagaimanapun juga merekapum
merasa ngeri melihat orang yang berdiri bertolak pinggang di
pinggir jalan, sementara seorang yang mereka kenal dan
mereka takuti pula, duduk di pungung kudanya.
Karena itu, maka perkelahian itupun telah terhenti. Orang
yang menang dan berbuat sewenang-wenang itupun telah
melepaskan korbannya dan mendorongnya ke dalam lumpur.
Namun lawannya yang sudah menjadi sangat lemah itu masih
sempat merangkak menjauh.
"Jika perkelahian itu terulang lagi, kalian akan tahu
akibatnya. Akupun dapat membunuh tanpa sebab" desis
Jlitheng. Kedua orang yang berkelahi itupun tidak menjawab. Yang
lainpun kembali ke pekerjaannya, sementara yang telah
menjadi bengkak-bengkak wajahnya dengan susah payah
meninggalkan arena itu. "Kegilaanmu itu memang harus dihentikan" berkata Rahu
kepada Jlitheng setelah orang-orang yang berkelahi itu
beranjak. "Apa maksudmui?" bertanya Jlitheng.
"Kau telah terlalu banyak membuat kesalahan disini Karena
itu kesalahanmu harus diakhiri. Jika kau tetap keras kepala,
maka kau akan dapat aku bunuh disini, tidak di padang
kematian" geram Rahu.
Jlitheng mengerutkan keningnya. Nampaknya Rahu
bersungguh-sungguh. Ia tidak melihat senyum di bibir orang
itu. Bahkan yang nampak adalah kerut-merut di dahinya.
Tetapi Jlitheng justru mcnjawab "Kenapa tidak kau lakukan
sekarang" Aku sudah gatal untuk sekali-kali mencoba, apakah
kau tidak hanya pandai berbicara"
Rahu tidak menjawab. Tetapi iapun segera menyentuh
perut kudanya dengan tumitnya.
Jlitheng menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi iapun segera
meloncat ke punggung kudanya mengikuti Rahu yang berada
beberapa langkah di depannya.
Sambil menyusul Jlitheng menggeram "Kau jangan banyak
tingkah Rahu. Apa maumu sebenarnya. Aku memang sudah
menduga, bahwa kau sedang menunggu saat yang tepat
untuk berbuat sesuatu, yang tentu akan berarti suatu
pengkhianatan. Tetapi jangan kau kira bahwa aku takut
menghadapi pengkhianatanmu itu"
Rahu tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba kudanya berpacu
semakin cepat, sehingga Jlithengpun diluar sadarnya telah
mengikut inya pula mempercepat langkah kudanya.
Tetapi keduanya tidak berbicara apapun lagi. Kuda mereka
menjadi semakin cepat berlari menuju ke rumah Rahu di
padukuhan yang aneh itu. Jlitheng yang menjadi berdebar-debar melihat sikap Rahu
itupun berusaha untuk berkuda disamping Rahu sambil
berkata "O, aku tahu. Kau tentu ingin segera sampai ke
rumahmu. Kau ingin berkelahi berpasangan dengan adikmu.
Baiklah Aku tidak takut melawan siapapun juga, dan meskipun
kau mengerahkan semua gegedug di padukuhan ini"
"Jangan banyak bicara" geram Rahu kemudian "Kau benarbenar
memuakkan. Aku sudah berulang kali memberimu
peringatan. Di hadapanku kau jangan selalu berpura-pura. Aku
menjadi jemu dan muak. Karena itu aku telah mengambil
keputusan lain tentang dirimu "
"Persetan" Jlitheng hampir berteriak "berhentilah. Kita
menentukan siapa yang lebih baik diantara kita"
Rahu sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia berkuda terus
memasuki padukuhannya. Sementara Jlitheng masih
mengikut inya meskipun sambil mengumpat-umpat.
"Rahu, apakah maksudmu sebenarnya" Jika kau
menantang aku berkelahi melawan kau berdua dengan
adikmu, katakanlah" geram Jlitheng.
Tetapi Rahu tidak menjawab. Ia justru berpacu lebih cepat,
sementara Jlitheng mengikutinya terus.
Akhirnya keduanya memasuki halaman rumah Rahu di
ujung padukuhan. Rumah yang terhitung bersih dan rapi.
Halamannyapun nampak bersih ditanami dengan jenis-jenis
tanaman yang sejuk. "Ikatkan kudamu" berkata Rahu "disini kita mendapat
tempat untuk berbuat apa saja tanpa ada yang mengganggu"
Wajah Jlitheng menjadi tegang.
"Sudah waktunya bagiku untuk mengatakan kepadamu,
bahwa kau sangat memuakkan bagiku. Kau memang perlu
sedikit petunjuk, bagaimana kau harus bersikap diantara
orang sanggar Gading. Bukan sekedar menunjukkan
kekasaran dan keliaran yang gila" geramRahu.
Jlitheng menjadi semakin tegang. Namun iapun kemudian
meloncat turun pula dari kudanya seperti juga Rahu.
Keduanya kemudian mengikat kuda masing-masing di tepi
halaman itu. Tiba-tiba saja Rahu berteriak "Semi. Semi"
Seorang laki-laki yang bertubuh raksasa keluar dari rumah
itu lewat pintu samping. Kemudian berdiri dengan ragu-ragu
memandang sikap kakaknya dan sikap Jlitheng yang
dikenalnya bernama Bantaradi
"Kau menjadi saksi" kata Rahu kemudian "Aku akan
mengajari anak ini untuk berlaku sedikit sopan kepadaku"
"Gila" geram Jlitheng "Aku akan membunuhmu" Meskipun
orang-orang padukuhan ini tidak akan menghiraukan kita,
tetapi aku tantang kau berkelahi di longkangan di belakang
seketeng" "Persetan" jawab Jlitheng dimanapun aku dapat
membunuhmu" Rahupun kemudian berjalan mendahului Jlitheng memasuki
longkangan lewat seketeng kiri, sambil berkata kepada
adiknya "Kau, jangan mengganggu kami, apapun yang terjadi.
Aku hanya mempunyai sedikit waktu sebelum aku harus
berkumpul bersama kawan-kawan dari Sanggar Gading, agar
aku tidak dianggap bersalah oleh Sanggit Raina"
"Jangan banyak bicara" Jlithenglah yang memotong.
Rahu tidak menjawab. Tetapi Jlitheng menjadi termangumangu
ketika ia melihat Rahu melepaskan pedangnya, dan
melemparkannya kepada adiknya.
Kemudian iapun melepaskan beberapa pisau kecilnya yang
terselip di ikat pinggangnya, yang terakhir Rahu melepaskan,
seuntai rantai yang membelit pinggangnya dengan bandul
sebuah bola besi kecil yang bergerigi sebesar buah salak.
"Senjata-senjata ini dapat berbahaya bagimu. Kadangkadang
aku tidak sengaja telah .mempergunakannya" berkata
Rahu. "Kau takut aku membunuhmu jika kita bertemu dengan
senjata" bertanya Jlitheng.
"Jika kau akan mempergunakan pedang tipismu
pergunakanlah. Atau barangkali kau mempunyai senjata lain?"
"Persetan" sahut Jlitheng "Aku tidak akan mempergunakan
senjataku. Aku dapat membunuhmu, tanpa senjata. Tetapi
aku tidak akan terpancing menyerahkan senjataku kepada
orang lain. Rahu menarik nafas panjang. Katanya "Bagus. Apapun
yang akan kau lakukan, lakukanlah. Aku adalah Iblis
bertangan Petir yang dapat memperlakukan apa saja terhadap
seseorang dengan tanganku"
Jlitheng termangut-mangu sejenak. Diluar sadarnya ia
meraba ikat pinggangnya. Iapun mempunyai pisau-pisau kecil
atau lebih tepat dapat disebut semacam paser-paser kecil
yang dapat dipergunakan untuk bertempur dengan jarak jang
lebih panjang. Tetapi agaknya ia benar-benar tidak akan mempergunakan
senjatanya. Meskipun demikian, Jlitheng menggantungkan senjatanya
lebih tinggi, la sadar bahwa ia akan bertempur dengan
tangannya, beradu kekuatan ketrampilan dan kecepatan
bergerak. Karena itu, maka pedangnya tidak boleh
mengganggunya. "Apakah kau sudah siap?" t iba-tiba saja Rahu bertanya.
"Aku sudah siap sejak aku memasuki padang kematian, di
saat aku menuju ke Sanggar Gading" sahut Jlitheng.
"Baiklah. Pandanglah langit dan tataplah bumi. Mungkin
kau tidak akan sempat memperhatikannya lagi.
Jlitheng menggeram. Tetapi ia terpaksa menilai lawannya
dengan hati-hati. la pernah melihat Rahu bertempur sebagai
pengiring Cempaka di bulak panjang, saat ia melibatkan diri
tanpa diminta, justru karena ia ingin berhubungan dengan
Cempaka, Kemudian Rahupun telah melibat, bagaimana ia
mengalahkan beberapa orang Sanggar Gading di padang
perburuan itu. Dengan demikian, jika Rahu itu kemudian menantangnya,
maka ia tentu mempunyai penilaian tersendiri atas
kemampuannya. "Mungkin ia akan memanfaatkan kemampuan adiknya"
berkata Jlitheng di dalam hati. Bahkan kemudian "Atau secara
sandi ia menyuruh adiknya melakukannya dengan
memberikan senjata-senjatanya kepada orang bertubuh
raksasa itu" Tetapi Jlitheng sudah bersiap menghadapi apapun juga,
Jika terjadi sesuatu, adalah akibat yang wajar dari
perjuangannya memasuki Sanggar Gading yang memang
berbahaya. Sejak semula ia sudah diperingatkan, bahwa
memasuki Sanggar Gading sama artinya dengan memasuki
sarang serigala yang buas dan licik.
Sejenak Jlitheng memperhatikan lawannya. Ketika Rahu
mulai bergeser setapak, maka iapun bergeser pula.
Tetapi Rahu tidak menunggunya lagi. Tiba-tiba saja ia lelah
meloncat menerkam. Geraknya cepat dan mantap. Sehingga
jantung Jlithengpun berdesir karenanya.
Namun Jlithengpun mampu bergerak cepat pula. Ia sempat
menghindar selangkah kesamping. Bahkah dengan cepatnya
pula, ia telah menyerang Rahu dengan kakinya.
Tetapi Rahu cepat berkisar. Serangan Jlithengpun t idak
menyentuhnya pula. Sejenak kemudian maka kedua orang itu telah terlibat
dalam perkelahian yang sengit. Keduanya memiliki
kemampuan bertempur yang tinggi, sehingga benturan
kekuatan yang terjadi apabila salah seorang dari kedua orang
itu tidak sempat mengelakkan serangan, seakan-akan telah
menggetarkan udara diseputarnya. Bahkan dinding rumah
Rahu itupun seolah-olah telah terguncang.
Jlitheng yang sebenarnya tidak mempunyai niat yang
mendalam untuk berkelahi melawan Rahu yang dianggapnya
mempunyai sifat yang disebut oleh seribu macam pertanyaan
itu, terpaksa mengerahkan segenap kemampuannya, karena
Rahu semakin lama telah semakin mendesaknya.
"Jangan takut bahwa aku akan melibatkan adikku" berkata
Rahu sambil meloncat menyerang.
"Persetan. Jika kau ingin berkelahi berpasangan,
lakukanlah" geram Jlitheng.
Tetapi dengan serta merta, Jlitheng harus meloncat surut
Serangan Rahu bagaikan badai.
Dalam beberapa saat, Jlitheng harus sudah mandi keringat
la menyadari bahwa ia tidak boleh mengerahkan segenap
kemampuannya tanpa memperhitungkan waktu. Meskipun
Jlithengpun sadar, bahwa waktu mereka tidak terlalu banyak,
karena mereka harus segera berkumpul sesuai dengan waktu
yang diberikan oleh Sanggit Raina.
Namun dalam pada itu, Jlitheng mulai dijalari oleh
pertanyaan yang semakin rumit tentang orang yang menyebut
dirinya bernama Rahu itu. Ketika ia sempat melihat
kemampuan bertempur orang itu di bulak panjang, pada saat
Rahu itu mengiringi Cempaka, maka ia tidak akan menduga,
bahwa Rahu dalam beberapa saat sudah berhasil
mendesaknya. "Orang ini benar-benar Gila" desah Jlitheng di dalami
hatinya. Sebenarnyalah bahwa Jlitheng memang sudah
berpura-pura dalam hubungannya dengan orang-orang
Sanggar Gading. Tetapi ia t idak mengira, bahwa Rahu telah
benar-benar marah kepadanya, dan menantangnya berkelahi.
Apalagi bahwa ternyata kemampuan orang itu jauh melampaui
kemampuan seperti yang dilihatnya di bulak panjang.
Beberapa saat kemudian, Jlitheng merasa semakin
terdesak. Ia sudah mulai mengerahkan tenaga cadangan yang
ada di dalami dirinya. Bahkan ia sudah mulai mendekati ilmu
puncaknya. Namun Rahu benar-benar seorang yang pilih
tanding, yang memiliki kemampuan mengherankan.
"Apakah dengan demikian Cempaka memiliki ilmu yang
tidak terkalahkan, apabila Rahu yang dianggap berada pada
tataran dibawahnya memiliki ilmu yang luar biasa" berkata
Jlitheng di dalam hatinya.
Tetapi sebenarnyalah bahwa. Jlitheng memang belum
sampai pada puncak tertinggi dari ilmunya. Namun ketika
Rahu menjadi semakin mendesaknya, maka hampir diluar
sadarnya, maka ilmu Jlithengpun merangkak ke tingkat yang
lebih t inggi, sehingga akhirnya, Jlitheng benar-benar telah
berada pada puncak tertinggi dari ilmunya.
Dengan demikian maka yang terjadi kemudian adalah
pertempuran yang dahsyat, melampaui kedahsyatan
pertempuran di padang kematian. Jlitheng yang sudah berada
pada puncak tertinggi dari ilmunya, benar-benar merupakan
seorang anak muda yang luar biasa. Latihan-latihan yang
pernah diakukan pancingan yang pernah didapatkannya tanpa
disadarinya untuk mempercepat gerak kakinya diatas
bebatuan sungai, petunjuk-petunjuk dari orang-orang tua
yang pernah dikenalnya, telah membuatnya menjadi seorang
anak muda yang memiliki ilmu yang tidak ada taranya
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun ternyata berhadapan dengan Rahu, yang semula
tidak terlalu menarik perhatian Jlitheng itu, ia mulai
mengalami kesulitan. "Aku terlalu meremehkannya" berkata Jlitheng di dalam
hatinya "Mungkin ada kesengajaan padanya, untuk
menunjukkan bahwa kemampuannya tidak begitu tinggi.
Tetapi dengan demikian, maka sikap itu tentu bukannya tidak
mempunyai maksud tertentu"
Karena itu, maka Jltlheng harus menjadi semakin berhatihati.
Selama ia bergauil dengan Rahu, ia memang telah
berpura-pura. Tetapi ia menganggap bahwa Rahu merasa
dirinya berada di bawah tataran anak muda yang diketahuinya
bernama Bantaradi itu. Karena anak muda itu adalah tamu
dan tentu diangapnya memiliki ilmu setingkat dengan
Cempaka. Tetapi yang dihadapinya adalah lain. Rahu semakin lama
telah semakin mendesaknya. Hanya dalam waktu yang
terhitung, singkat. Betapapun Jlitheng mengerahkan
kemampuannya pada puncak ilmunya, namun ia tidak dapat
mengatasi desakan kekuatan lawannya.
Tiba-tiba saja Jlitheng menjadi gelisah. Mungkin Rahu
mempunyai rencana tersendiri dengan sikapnya. Bahwa
mungkin Rahu benar-benar ingin mencelakainya dengan
tujuan yang tidak diketahuinya. Bahwa Rahu telah melepaskan
senjatanya, Jlitheng memang menjadi berteka-teki. Tetapi
agaknya Rahu benar-benar akan menunjukkan kepadanya,
bahwa ia akan dapat membunuhnya tanpa senjata.
Tetapi Jlitheng t idak menyerah pada keadaan. Iapun
kemudaan menghentakkan kemampuannya, menyerang
dengan cepat pada saat Rahu justru berusaha mendesaknya.
Sikap itu agaknya tidak diperhitungkan oleh Rahu. Karena
itu maka iapun agak terkejut karenanya. Dengan demikian, ia
tidak sempat menghindari tangan Jlitheng yang terjulur lurus,
dengan hentakkan selangkah maju langsung mengarah ke
dadanya. Tetapi ternyata Rahu berusaha melindungi dadanya dengan
tangannya. Ia menangkis serangan Itu dengani mengangkat
tangan Jlitheng pada lengannya. Dengan demikian justru
lambung Jlitheng telah terbuka, Dengan kuatnya Rahulah
kemudian melangkah maju sambil menghantam lambung.
Namun Jlitheng melihat serangan itu. Dengan serta merta
ia menarik tangannya dan bergeser selangkah kesamping
pada setengah putaran. Dengan demikian, maka serangan
Rahu itu tidak menyentuhnya sama sekali,
Dengan cepatnya, Jlithenglah yang justru kemudian
menyerangnya. Selagi Rahu masih menjulurkan tangannya.
Jlitheng mengayunkan kakinya menghantam lambung.
Sekali lagi Rahu tidak menghindar. Tetapi ia menggeser
kakinya selangkah dan menekuk lututnya merendah. Dengan
sikunya ia menangkis serangan kaki Jlitheng yang keras.
Benturan yang terjadi ternyata mengejutkan Jlitheng. Ia
telah terdorong surut. Bahkan hampir saja ia kehilangan
keseimbangannya. Pada saat yang demikian, Rahu memburunya. Sebuah
serangan pada dada Jlitheng, telah mendorong Jlitheng jatuh
berguling. Namun dengan tangkasnya ia melent ing berdiri.
Tetapi Rahupun meloncat dengan cepatnya. Demikian
Jlitheng berdiri, Rahu telah menjulurkan tangannya
menghantam perut anak muda itu. Demikian kerasnya,
sehingga Jlitheng terbungkuk sambil berdesis.
Rahu tidak melepaskan kesempatan itu. Dengan sekuat
tenaga ia menekan kepala, Jlitheng dan membenturkannya
dengan lututnya. Tetapi Jlitheng tidak menyerah. Sebelum kepalanya
membentur lutut Rahu ia justru mendorong perut Rahu
dengan kepalanya, sehingga Rahu yang sudah siap
mengangkat sebelah kakinya, terdorong jatuh. Tetapi karena
Rahu tidak melepaskan tangannya yang memegangi kepala
Jlitheng maka keduanyapun telah jatuh terguling di tanah.
Hampir berbareng pula keduanya melenting berdiri Adalah
kebetulan sekal, bahwa keduanyapun berbareng telah
meloncat menyerang, sehingga kekuatan keduanya sekal lagi
berbenturan. Kedua orang yang memiliki kemampuan yang tinggi itupun
telah terdorong beberapa langkah surut. Jlithenglah yang
terhuyung-huyung. Tetapi ia cepat dapat memperbaiki
keadaannya, sehingga iapun segera bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Kedua orang itupun telah berdiri dengan kaki renggang,
sedikit merendah pada lututnya. Tangan merekapun telah
bersiap, menyerang atau menangkis serangan.
Pada saat-saat yang demikian, Jlitheng harus mengakui
bahwa Rahu bukannya orang yang dapat dianggap lemah,
meskipun ia murid yang tidak terlalu dekat dengan gurunya,
Agak berbeda pula kedudukannya dengan Cempaka, apalagi
Sanggit Raina. Bahkan nampaknya Rahu tidak lebih baik
kedudukannya di Sanggar Gading dari Nrangsarimpat. Namun
karena Rahu agaknya bersahabat baik dengan Cempaka,
maka setiap kesempatan yang didapat oleh Cempaka.
Rahupun akan dibawanya pula.
Dalam pada itu. untuk beberapa saat kedua orang itu
berdiri tegak dengan kesiagaan mereka menghadapi segala
kemungkiinan. Jlitheng yang merasa terdesak, lebih baik
menunggu apa yang akan dilakukan oleh lawannya, sekaligus
mempergunakan kesempatan itu untuk mengatur
pernafasannya yang mulai berdesakan.
Adik Rahu yang bertubuh raksasa, yang berdiri di dekat
arena perkelahian itupun menunggu dengan tegangnya. Iapun
dapat menilai bahwa perkelahian itu ternyata seimbang,
meskipun Rahu mempunyai kesempatan lebih baik. Tetapi jika
pertempuran itu berlangsung terus, belum berarti bahwa Rahu
akan dapat menang. Masih banyak kemungkinan yang dapat
terjadi. Namun sampai saat keduanya berhenti dan berdiri
berhadapan dengan tegangnya Rahu telah berbasil mendesak
lawannya. Untuk beberapa saat keduanya masih saling berdiam diri.
Keduanya tidak bergerak, tidak berbicara dan seolah-olah
keduanya telah menjadi patung yang mati.
Ketegangan itu tiba-tiba dipecahkan oleh suara Rahu
"Bantaradi. Kenapa kau tidak menarik pedangmu membela
dirimu dengan senjata, karena tanpa senjata kau tidak akan
mampu berbuat sesuatu atasku. Sudah dapat dipastikan,
bahwa akhir dari perkelahian ini adalah kematianmu"
"Jangan banyak bicara" jawab Jlitheng "lakukanlah apa
yang ingin kau lakukan jika kau mampu. Bahkan jika kau ingin
mempergunakan senjatamu, pergunakanlah"
"Jangan berpura-pura pula dalam keadaan yang gawat ini.
Kau harus menyadari, bahwa kau bukan orang yang memiliki
keajaiban sehingga tidak akan dapat terkalahkan" berkata
Rahu dengan garangnya. "Aku tidak merasa bahwa aku tidak dapat dikalahkan"
jawab Jlitheng "Tetapi aku akan mempertahankan hidupku
dengan cara apapun juga. Bahkan jika terpaksa, aku memang
dapat membunuh" Rahu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kau sudah
mulai mempergunakan kalimatmu sendiri"
"Gila. Aku tidak tahu maksudmu" Jlitheng hampir berteriak.
Tiba-tiba Rahu tersenyum. Katanya "Kau memang hanya
membunuh jika terpaksa. Jangan selalu mengatakan bahwa
kau akan membunuh" "Aku memang akan membunuhmu" teriak Jlitheng.
-ooo0dw0oooTiraikasih Karya : SH Mintardja Convert by : Dewi KZ Editor : Dino
Jilid 09 "Ya. Kita. akan meneruskan pertempuran ini. Kau atau aku
yang akan dapat berkumpul bersama dengan orang-orang
Sanggar Gading untuk melakukan tugas yang penting itu.
Tugas yang akan menentukan hari depan Sanggar yang
dipenuhi dengan dorongan cita-cita bagi masa depan.
Jlitheng termangu-mangu sejenak. Seolah-olah ia
mendapat peringatan, bahwa yang ingin dilakukannya itu
adalah mengetahui apakah yang akan dilakukan oleh
Cempaka. Tetapi jika Rahu memaksa untuk bertempur terus,
maka sudah barang tentu ia tidak akan dapat mengelak.
"Bantaradi" berkata Rahu kemudian "Sebenarnyalah aku
tidak mengira, bahwa kau masih dapat bertahan untuk waktu
yang terhitung lama. Aku kira, jika kita bertempur terus, kita
akan terlambat. Aku atau kau yang dapat bertahan hidup,
akan mati juga kita terlambat berkumpul. Aku kira, persoalan
kita dapat kita tunda setelah kita selesa dengan tugas kita.
Kita akan sampai pada takaran tertinggi dari kemampuan kita
masing-masing" "Persetan" geram Jlitheng "Aku tidak akut kepada orangorang
Sanggar Gading. Jfika aku terlambat, aku sama sekali
tidak gentar. Jika aku mulai dengan ketakutan-ketakutan
semacam itu, maka aku tidak akan dapat menyelesaikan
tugasku" Rahu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kalimat-kalimat
semacam itulah yang kurang menarik kau ucapkan. Kau dapat
mengundang seribu pertanyaan buat orang-orang Sanggar
Gading" Jlitheng menjadi semakin heran terhadap orang yang bernama
Rahu itu. Sifatnya seolah-olah beiubah-rubah penuh dengan
teka-teki. Bahkan penuh dengan rahasia.
Karena itu, maka Jlitheng kemudian berkata lantang "Rahu,
apakah sebenarnya yang kau kehendaki. Kaupun seharusnya
berterus terang. Kita akan dapat berbuat sesuatu dengan
landasan yang wajar dan meskipun kita akan membunuh salah
seorang diantara kita, tetapi kita sudah yakin, apakah yang
akan kita lakukan" Rahu justru tertawa. Katanya "Kita masing-masing memang
penuh dengan teka-teki. Tetapi baiklah, kita akan
memecahkan teka-teki itu. Namun kita masih harus melakukan
kewajiban kita atas nama Sanggar Gading"
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Ia mengarti bahwa
perintah Sanggit Raina bukannya sekedar main-main. Karena
itu. maka iapun tidak menentang niat Rahu untuk menunda
persoalan mereka sendiri.
"Marilah, kita akan makan dahulu sebelum kita melanjutkan
perjalanan" berkata Rahu tiba-tiba.
"Gila, kau benar-benar Gila" geramJlitheng.
"Meskipun kita sudah makan sebelum kita berangkat, tetapi
setelah kita bertempur dengan mengerahkan segenap
kemampuan kita masing-masing maka aku, merasa lapar lagi.
jawab Rahu. Rahu menjadi semakin aneh bagi Jlitheng, seperti juga
Jlitheng adalah orang yang diselubungi oleh seribu macam
rahasia bagi Rahu. Namun Jlitheng tidak membantah lagi.
Iapun mengikuti Rahu masuk ke dalam rumahnya, sementara
adiknyapun membawa senjata-senjata Rahu masuk pula ke
ruang belakang. "Kita akan makan" berkata Rahu sambil membuka tenong
digeledeg bambu. Kemudian iapuni mengeluarkan beberapa
makanan dan ceting nasi. Tetapi dalam pada itu, yang sangat menarik bagi Jlitheng
bukannya beberapa makanan dan ceting nasi. Ketika Rahu
membuka tenong bambu, sepintas Jlitheng melibat sebuah
lukisan pada tutup tenong bambu itu. Karena itu, dengan
serta merta Jlitheng meloncat menghentakkan tutup tenong
itu dari tangan Rahu. Rahu sama sekali tidak mempertahankannya. Bahkan
seolah-olah iapun telah memberikan tutup itu kepada Jlitheng
sambil bertanya "Apa yang menarik perhatianmu Bantaradi?"
Jlitheng mengamat-amati lukisan itu dengan saksama Ia
melihat kikisan dua lingkaran, matahari dan bulan yang
berdampingan. Matahari yang berwarna putih dan bulan yang
berwarna merah. Kemudian diantara matahari dan bulan itu ia
melihat garis hitam tebal dengan sebuah bulatan pplda
pangkalnya, dengan lima buah gerigi"
Sejenak Jlitheng termangu-mangu. Bahkan kemudian
wajahnya menjadi tegang. Dengan suara bergetar ia berkata
"Surya Candra He, dari mana kau dapatkan gambar semacam
ini?" "Gambar apa?" berkata Rahu dengan wajah kosong.
"Dua lingkaran" Matahari dan Bulan, serta sebuah cakra"
Rahu memandang Jlitheng dengan tajamnya. Kemudian
ialah yang bertanya "Dimanakah ada gambar matahari, bulan
dan sebuah cakra?" "Ini" geram Jlitheng. Namun dalam pada itu, Jlithengpun
merasa bahwa ia telah terlanjur mengucapkan bentuk gambar
itu. Karena itu, maka iapun harus mempertanggung
jawabkannya. Jika yang dikatakan itu ternyata menuntut sikap
yang khusus, maka Jlithengpun akan berbuat apa saja sesuai
dengan bekal yang dibawanya"
Tetapi Jlithengpun kemudian ragu-ragu ketika Rahu
bertanya "Ki Sanak, dari manakah kau mengetahui bahwa
lingkaran putih itu dimaksud dengan matahari dan yang merah
itu matahari dengan bulan. Kemudian garis hitam dan bulatan
bergerigi itu adalah cakra?"
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun
kemudian malangkah mendekati Rahu sambil berkata "Apakah
aku dapat melibat telapak kakimu?"
"Kenapa dengan telapak kakiku?" bertanya Rahu,
"Tidak apa-apa. Tetapi aku ingin melibat telapak kakimu"
jawab Jlitheng. "Kau memang orang aneh Bantaradi. Setelah kau melihat
gambar pada tutup lenong tempat makanan itu. kau ingin
melihat tapak kakiku. Tapak kaki yang tentu saja seperti tapak
kaki orang-orang kebanyakan" berkata Rahu dengan nada
datar. Namun iapun kemudian duduk diomben sambil
mengangkat kakinya, menunjukkan telapak kaki kirinya.
"Kakiku kotor" katanya,
Wajah Jlitheng menegang sejenak. Ia melihat pada telapak
kaki yang kotor itu, lamat-lamat sebuah lingkaran hitam yang
dibuat dengan melukai kaki itu.
"Apakah kau dapat melihatnya dengan jelas, atau aku
harus mencuci kakiku dahulu" berkata Rahu.
"Aku melihatnya " sabut Jlitheng.
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nah, sekarang kaupun harus memperlihatkan telapak
kakimu. Kau sudah mengetahui tentang aku. Sekarang akupun
ingin mengetahui tentang dirimu. Tanda atau ciri apakah yang
ada padamu. Kau tabu, bahwa hal ini menuntut tanggung
jawab yang berat. Jika ternyata kau mempunyai ciri yang tidak
sejalan dengan ciri-ciri yang kau lihat, maka kau tidak akan
pernah keluar dari rumah ini. Orang yang aku sebut adikku itu
sama sekali bukan adikku, Ia mempunyai ebi seperti yang aku
punya. Dan ia adalah orang yang memiliki kemampuan yang
sulit untuk dilawan. Karena itu, kami berdua t idak akan
mengalami kesulitan apapun juga, itu kami terpaksa harus
membunuhmu Aku sekarang bersungguh-sungguh.
Kaupun tidak perlu berpura-pura lagi. Dengan
pengenalanmu sepintas pada gambar ditutup tenang itu, dan
bahwa kau tahu di telapak kakiku ada ciri khusus, maka kau
tentu mengetahui tentang hubungan kami sebenarnya.
Kaupun tentu tahu bahwa ciri-ciri itu bukan ciri dari
padepokan Sanggar Gading"
Jlitheng termangu-mangu sejenak. Ia sadar, bahwa ia
berhadapan dengan pihak yang lain dari padepokan Sanggar
Gading, namun yang telah berhasil pula memasuki Sanggar
itu. Untuk beberapa saat Jlitheng tidak menjawab. Tetapi ia
telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Iapun menjadi
semakin ragu-ragu terhadap orang yang menyebut dirinya
Rahu itu, "Ki Sanak" berkata Rahu "Siapapun namamu, apakah kau
bernama Bantaradi, atau Hantu berlidah Api, atau Bertangan
Guruh atau siapapun juga, namun aku ingin tahu, siapakah
sebenarnya kau. Aku yakin bahwa kau memang tidak
bcssungguh-sungguh untuk berada di dalam linggkungan
orang-orang Sanggar Gading"
Jlitheng menjadi semakin tegang. Tetapi ia masih sibuk
mengurai keadaan yang sedang dihadapinya
"Jawablah. Waktu kita tidak terlalu panjang. Sebelum gelap
kita sudah akan meninggalkan sendang Gambir. Karena itu,
maka persoalan ini harus cepat kita selesaikan" berkata Rahu
kemudian. Namun tiba-tiba saja Jlitheng berkata "Kau takut terlambat"
Kau takut mati dibunuh oleh Sanggit Raina?"
"Gila" jawab Rahu "Kau tentu tahu jawabnya. Bukan karena
aku takut dibunuh Sanggit Raina atau cempaka atau orang
yang disebut Yang Mulia itu sekalipun. Tetapi aku kira seperti
yang ingin kau lakukan pula, bahwa jika kita terlambat, kita
kehilangan kesempatan untuk mengetahui, apakah yang akan
dilakukannya malam nanti"
Jlitheng menarik nafas. Katanya "Kau benar. Ataupun ingin
mengetahui apa yang akan dilakukan"
"Tetapi sebut dahulu atau tunjukkan ciri-cirimu. Siapa kau"
Jlitheng masih ragu-ragu. Tetapi gambar matahari bulan
dan cakra itu telah meyakinkannya. Apalagi ketika ia melihat
tanda ditelapak kaki orang yang menyebut dirinya bernama
Rahu dan bergelar Iblis bertangan Petir itu.
"Cepat" Rahu hampir kehilangan kesabaran "Jika kita
ternyata orang lain, maka kita akan segera saling membunuh"
Jlitheng menjadi tegang. Namun iapun kemudian
menyingsingkan kain panjangnya. Dari bawah kain
panjangnya da mengurai sehelai tali anyaman seperti sehelai
dadung. Pada ujungnya terikat sebuah benda yang berkilatkilat"
"Kau tahu, siapakah yang memiliki senjata seperti ini"
bertanya Jlitheng. Tetapi Rahu menggeleng lemah Katanya "Aku t idak
mengerti" Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Kemudaan iapun
mengambil sesuatu dari kantong ikat pinggangnya yang besar.
Kemudian diambilnya sebuah lencana berwarna dasar kuning.
Katanya sambil melontarkan lencana tiitu keamben bambu di
sebelah mereka berdiri "Lihatlah. Jika kau mempunyai gambar
pada ceting nasimu, maka akupun mempunyai ciri yang
mungkin pernah kau kenal. Jika kau tidak mengenalnya pula,
maka kita memang akan saling membunuh. Akupun tidak
ingin dikenal oleh orang yang asing"
Wajah Rahu menjadi tegang. Diambilnya lencana yang
dilontarkan oleh Jlitheng itu. Diamatinya tiga buah warna
lingkaran bersusun yang terdapat pada lencana itu. Yang
bergerigi, kemudian berwarna lingkaran berwarna put ih, dan
yang terbesar bergerigi, kemudian lingkaran berwarna putih,
dan yang tengah adalah lingkaran berwarna merah.
Wajah Rahu yang tegang menjadi semakin tegang. Dengan
suara yang bergetar ia berkata "Ini adalah lambang yang
terdapat pada kelebet pasukan paling tangguh dari masa
Majapahit akhir" "Ya. Itu adalah lambang pada sebuah panji-panji, tetapi
juga sebuah tunggul. Dan yang kau lihat itu adalah sebuah
lencana. Apakah kau mengenalnya?" bertanya Jlitheng.
"Kelebet dari pasukan yang dipimpin, oleh Pangeran Kuda
Surya Anggana" desis Rahu "He dari mana kau dapatkan
lencana itu" Mungkin kau menemukannya di pinggir jalan
bekas kota Majapahit akhir. Mungkin kau telah menyaru un
orang yang kebetulan membawa pertanda itu"
"Kau dapat mengenalinya?"
"Cakra, matahari dan bulan" desis Rahu.
"Mirip dengan gambarmu pada tenong itu" desis Jlitheng.
"Ya. Tetapi siapakah kau sebenarnya" Apakah aku benarbenar
harus membunuhmu atau tidak"
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Kemudian Katanya
"Pertanda itu adalah pertanda keluargaku. Mula-mula kelebet
Surya Anggana tidak memakai bulatan ketiga. Tetapi ketika
anaknya lahir, dan diberinya nama Candra Sangkaya, maka
timbullah bulatan ketiga. Matahari dan bulan. Surya dan
Candr" "Ya. Tetapi siapakah kau?"
"Akulah Candra Sangkaya"
"He" wajah Rahu yang tegang itu menjadi semakin tegang.
Lalu dengan ragu-ragu ia bertanya "Apakah benar aku
berhadapan dengan Raden Candra Sangkaya"
"Ya Akulah anak Pangeran Surya Sangkaya yang bergelar
Kuda Surya Anggana. Aku memiliki tunggul dari tiang panjipanji
Surya Candra ku. Lengkapnya Tunggul dari Kelebet
Cakra Surya Candra. Dan tunggul itu adalah yang kau amati
itu" Rahu terniangu-mangu sejenak. Sekali-kali dipandanginya
wajah Jlitheng yang berkeringat. Namun kemudian
dipandanginya lencana yang ternyata adalah tunggul pada
panji-panji Cakra Surya Candra,
"Nampaknya aku memang harus percaya" desis Rahu.
"Karena itu aku mengenal, bahwa pada telapak kakimu
terdapat satu ciri yang dapat aku mengerti" berkata Jlitheng.
Rahu mengangguk-angguk. Katanya "Aku adalah salah
seorang prajurit pada pasukan di bawah Kelebet Cakra Surya
Candra. Waktu itu aku memang masih muda, jauh lebih muda
dari Pangeran Surya Sangkaya" Jlitheng mengangguk-angguk.
Laki iapun bertanya "Sekarang" Di pihak manakah kau
sebenarnya berdiri?"
"Aku adalah pasukan sandi Demak. Aku memang
menempatkan diriku pada pasukan sandi. Aku mendapat tugas
untuk mengumpulkan pusaka Majapahit yang masih tercecer.
Selebihnya, aku juga harus mengamati kemungkinankemungkinan
yang dapat menggoyahkan sendi ketenangan
Demak sekarang" Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia bertemu
dengan orang yang tidak disangka-sangkanya sama sekali.
Namun dalam pada itu, Rahulah yang kemudian bertanya
kepadai Jlitheng "Ki Sanak, jika benar kau adalah putera
Pangeran Surya Sangkaya yang bergelar Surya Anggana di
peperangan, apakah yang sekarang sedang kau lakukan" Apa
kah kau masih merindukan suatu masa seperti pada masa
kebanggaan Pangeran Surya Sangkaya, atau kau sudah berdiri
dialas satu sikap yang lain"
"Pertanyaanmu kurang menyenangkan bagiku. Aku anak
Candra Sangkaya. Aku ingin mewarisi sifat-sifat ayahku. Aku
ingin. Aku tidak tahu, apakah keinginanku ini terpenuhi
dengan sikapku sekarang ini. Tetapi aku adalah seorang
kesatria yang mempunyai tugas darma. Ada atau tidak ada
ikatanku dengan Demak. Ada atau tidak ada ikatanku dengan
tugas-tugas sandi seperti yang kau lakukan. Namun aku
adalah orang yang berdiri pada satu sikap darah seorang
Senopati Agung Majapahit. Dan akupun tidak begitu bodoh
untuk merindukan masa lampau dalam keadaan dan suasana
sekarang. Tetapi aku merindukan yang akan datang dengan
kebesarannya sendiri sesuai dengan beredarnya jaman.
Namun demikian, aku tidak dapat ingkar, bahwa aku adalah
anak yang dilahirkan oleh masa lampau untuk masa depan.
Karena itu, masa depanku tentu berlandaskan dengan masa
lampau itu sendiri" Rahu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya "Aku
memang harus yakin, bahwa kata nuraniku tentang kau
adalah benar. Sejak aku bertemu dengan kau di tengah bulak
itu, aku sudah menduga, bahwa kau mempunyai tugas
tensediri Kehadiranmu di Sanggar Gadingpun tentu membawa
pesan khusus, meskipun dari nuranimu sendiri"
"Nah, sekarang terserah kepadamu" berkata Candra
Sangkaya "Apakah aku kau anggap orang lain yang harus
saling membunuh, atau kau dapat membiarkan aku dan
sebaliknya aku dapat membiarkan Ikjau berada bersama-sama
di dalam Sanggar Gading"
Rahu tersenyum. Katanya "Pada suatu saat kau akan
benar-benar menjadi seorang yang sombong, kasar dan tinggi
hati justru karena kau ingin menyesuaikan diri dengan sifat
orang-orang Sanggar Gading. Bagiku, kilta dapat bersikap
wajar. Dan pertanyaanmu itu akan dapat kau jawab sendiri"
"Persetan?" geram Jlitheng "Tetapi baiklah. Dalam batasbatas
tertentu kilta akan dapat bekerja bersama"
"Aku berharap demikian Biarlah kilta mencoba mengikuti
tingkah laku orang-orang Sanggar Gading. Selama ini,
ternyata aku telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari
Cempaka. Aku mendapat tugas untuk mengawasimu"
"Aku sudah tahu bahwa kau memang harus mengawasi
aku. Persoalannya sekarang, apakah kau benar-benar orang
yang kau katakan. Jika kau sekedar memancing kebenaran
yang ada padaku, maka aku harus berhati-hati sekali"
"Baiklah. Jika, kau masih saja ingin bersikap benar-benar
seperti orang Sanggar Gading Sekarang, kita betul-betul
makan Kita akan segera berpacu ke Sendang Gambir. Kita
tidak boleh terlambat supaya kita tidak kehilangan jejak"
Meskipun tidak begitu banyak, tetapi Jlitheng dan Rahupun
makan bersama orang yang bertubuh raksasa, yang semula
disebutnya adik Rahu, tetapi ternyata juga seorang petugas
sandi dari Demak. Sejenak kemudian, maka Rahu dan Jlithengpun telah
meninggalkan padukuhan yang aneh itu. Mereka berpacu
menujui ke Sandang Gading. Tetapi agaknya Rahu telah
mengenal jalan dengan baik, sehingga mereka menempuh
jalan memintas. Namun dalam pada itu, disepanjang jalan itu Jlitheng
sempat bertanya "Siapa namamu?"
"Rahu yang bergelar Iblis bertangan Petir" jawab Rahu
sambil tersenyum. "Persetan. Siapa namamu" Jlitheng hampir berteriak. Rahu
tertawa. Anak muda yang bernama Candra Sangkaya itu
memang menarik sekali baginya. Jawabnya kemudian
"Namaku adalah Ranggah Wira Murti"
Jlitheng mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia
bertanya "Itu benar namamu?"
"Ya, kenapa?" Rahu tertawa "Mungkin kau tidak percaya.
Seperti kau aku dapat membuat nama yang paling sederhana
tetapi juga yang paling bagus kedengarannya. Tetapi Ranggah
Wira Murti memang namaku. Seperti juga Candra Sangkaya
adalah namamu, nama pemberian Pangeran Surya Sangkaya,
Senapati Agung dari Majapahit yang berjuang sampai saat
terakhirnya" Jlitheng tidak menyahut. Tetapi terdengar ia mengumpat
Dalam pada itu, maka kuda merekapun berpacu semakin
cepat. Ketika di tengah bulak panjang ia melibat seekor kuda
berpacu menyilang jalan mereka, matra Jlitheng berdesis
"Apalagi yang terjadi He, apakah penunggangnya itu juga
orang Sanggar Gading?"
"Bagaimana menurut penglihatanmu?"
"Gila" geram Jlitheng "Tetapi aku kira ia bukan orang
Sanggar Gading" "Ya. Ia memang bukan orang Sanggar Gading"
"Apakah penunggangnya sedang mengejar seseorang"
"Jangan membuat persoalan baru lagi. Nanti kita terlambat"
desis Rahu. Jlitheng tidak menyahut. Tetapi diamatinya kuda yang
berpacu itu sempat hilang dibabk kepulan debu yang tebal.
"Kau selalu tertarik kepada setiap peristiwa yang kau
jumpai Tetapi kali ini kita benar-benar tidak ingin kehilangan
waktu lagi. Matahari sudah condong. Kita tidak boleh
terlambat, agar kita tidak kehilangan kesempatan. Mungkin
kali ini kesempatan yang kita peroleh tidak memadai Namun
demi kran disaat lain kita akan sampai juga pada persoalan
yang lebih pent ing" gumam Rahu.
Jlitheng tidak menjawab. Namun kuda yang berpacu itu
memang sangat menarik Jika ia tidak terikat dengan
keinginannya untuk mengikuti orang-orang Sanggar Gading,
maka ia tentu sudah mengikuti derap kuda yang berpacu itu.
Demikianlah, maka Jlitheng dan Rahupun semakin lama
menjadi semakin dekat dengan tempat yang sudah ditentukan
oleh Sanggit Raina, Sanggar Gading.
Ternyata karena mereka melalui jalan memintas, maka
mereka tidak terlambat sampai ke tempat yang sudah
ditentukan. Bahkan keduanya bukanlah orang terakhir yang
datang. Ketika Rahu dan Jlitheng sudah duduk bersandar batu
dengan mata sedikit terpejam, dua orang kawan mereka
datang dengan nafas terengah-engah. Demikian mereka turun
dari kuda. maka keduanya segera duduk diantara mereka
yang datang terdahulu sambil berdesis "Aku sudah cemas,
bahwa aku akan terlambat "
"Darimana saja kalian sehingga baru sekarang kalian
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
datang?" bertanya Rahu,
Keduanya tertawa. Namun yang seorang berdesis "Anak itu
singgah sebentar ditrumah isterinya"
"Isterinya" He, apakah ia beristeri?" desis Rahu.
Keduanya menahan tertawanya Tetapi keduanya tidak
menjawab, "Gila" geram Rahu.
Tiba-tiba saja yang muda itupun berkata "Isteriku memang
seorang yang sangat baik. Aku telah dibekali dengan kancing
gelung emas bermata intan"
Rahu menggeram Katanya "Kau merampok lagi. Kau
menodai nama Sanggar Gading"
Tidak ada yang tahu, bahwa kami orang-orang Sanggar
Gading "Ia berhenti sejenak, lalu "Tetapi kenapa menodai"
Bukankah bukan hanya aku saja yang melakukannya?""
"Mereka memang bertugas melakukan. Bukan kita yang
akan mengemban tugas yang penting" jawab Rahu.
Yang muda itu tertawa. Katanya "Apa salahnya"
"Tetapi jika kau tertangkap, dan kau tidak tahan mengalami
tekanan, maka rencana ini akan bocor. Saingi kau diseret di
belakang punggung kuda oleh para pengawal padu-kuhan,
maka sekelompok prajurit Demak telah mengepung kita disini,
karena ada diantara mereka yang melaporkannya" Ramu
hampir membentaknya. Orang itu terdiam. Mereka tahu bahwa Rahu adalah orang
terdekat dari Cempaka. Dan Cempaka adalah adik Sanggit
Raina yang ditakuti oleh setiap orang di Sanggar Gading.
Karena orang itu tidak menjawab, maka Rahupun terdiam
pula. Ia telah menempatkan badannya sebaik-baiknya kembali
seperti saat kedua orang itu belum datang, sambii
memejamkan matanya. Jlitheng yang mendengarkan pembicaraan itu menahan
perasaannya. Memang sulit untuk dihindari, bahwa orangcrang
dalam kelompok yang demikian akan melakukan
kejahatan terpisah menurut kehendak mereka masing-masing.
Jlitheng tidak tahu, jika Sanggit Raina mengetahuinya, apakah
ia akan marah, atau membiarkan saja hal seperti itu terjadi.
"Persetan" Jlitheng mengumpat di dalami hatinya. Namun
ia tidak memikirkannya lagi. Iapun mencoba beristirahat
sebaik-baiknya sebelum mereka akan melanjutkan tugas
mereka, yang masih belum mereka ketahui dengan jelas.
Ternyata Sanggit Raina yang telah berada diantara orangorang
itupun segera memberikan perintah. Iapun agaknya
masih ingin beristirahat. Sementara Cempaka yang telah ber
ada di tempat itu pula berjalan hilir mudik dengan pandangan
kosong. Langit yang menjadi kelarnpun semakin bertambah kelam.
Bintang-bintang bertebaran dari sudut langit sampai kesudut
yang lain Batang ilalang yang tumbuh dengan liar berayunayun
disentuh angin yang sejuk,
"Kita akan memasuki Kota Raja menjelang tengah malam"
desis Sanggit Raina kepada Cempaka ketika adiknya itu lewat
di depannya. "Apakah yang masih kita tunggu?" bertanya Cempaka.
"Biarlah Kota Raja itu benar-benar tertidur" jawab
kakaknya. Cempaka tidak menyahut. Iapun melangkah lagi hilir
mudik. Sekah-kali dipandanginya langit yang cerah Namun
kemudian dilayangkannya tatapan matanya kekejauhan
menembus gelap. Ketika lintang Gubug Penceng nampak tegak di ujung
selatan, maka Sanggit Rednapun kemudian bangkit dan
membenahi pakaiannya. Beberapa orang pengikutnya telah
tertidur. Cempakapun tidak lagi berjailan hilir mudik, tetapi ia
sudah duduk diatas sebuah batu yang besar.
"Kita akan bersiap" berkata Sanggit Raina,
"Apakah kita akan memberitahukan tugas kita sekarang?"
bertanya Cempaka. "Ya. Kita akan memberikan beberapa pesan. Kuta harus
bekerja dengan cermat. Yang kita hadapi bukan saja kekuatan
yang terdapat di istana itu yang agaknya tidak terlalu besar
Tetapi jika rencana ini sudah tercium oleh orang-orang Pusparuri
atau orang-orang Kendali Putih yang juga sudah siap,
maka kita akan menghadapinya. Selebihnya, jika prajurit
peronda Demak mengerti bahwa kita memasuki Kota Raja,
maka kitapun akan mengalami kesulitan" jawab Sanggit Raina.
"Jadi, apakah semuanya kita kumpulkan?" Cempaka
bertanya pula. "Ya. Aku akan memberikan penjelasan" Cempakapun
kemudian membangunkan seorang yang bertubuh tinggi
kekurus-kurusan yang tertidur disebelah batu tempat ia
duduk. Lalu disuruhnya orang rtu membangunkan kawankawannya
dan berkumpul untuk mendengarkan penjelasan
terakhir. "Kita. akan melakukannya sekarang" berkata Sanggit Raina
setelah semuanya berkumpul mengitarinya "kuda-kuda kita
akan kita tinggalkan disini. Kita akan merayap mendekati kota.
Kita tidak akan melalui pintu gerbang yang tentu diawasi oleh
para prajurit meskipun barangkali tidak akan dijaga terlalu
ketat" Orang-orangnya mendengarkan perintah itu dengan
saksama. Kemudian Sanggit Rainapun melanjutkan "Kita akan
memasuki sebuah istana seorang Pangeran. Kalian tidak perlu
mengetahui apa maksudnya. Tetapi yang perlu kalian ketahui,
bahwa kita ingin membawa Pangeran itu ke padepokan kita
Pangeran itu mempunyai nilai yang tiada taranya Karena itu,
maka beberapa pihakpum akan melakukan seperti yang kita
lakukan sekarang" Beberapa orang menjadi tegang. Namun Jlitheng menarik
nafas dalam-dalam. Agaknya ia tidak mendapat tugas yang
bertentangan dengan niat kehadirannya, dfi Sanggar Gading.
Namun ternyata bahwa Sanggit Raina masih belum selesai
Ia masih berkata "Agar kuda-kuda kita tidak hilang, maka dua
diantara kita yang paling tidak berarti akan tinggal disini
Karena itu, aku tidak berkeberatan ketika ada diantara kalian
yang membawa orang-orang yang sebenarnya tidak aku
kehendaki" Wajah-wajah menjadi tegang. Jlithengpun menjadi
berdebar-debar. Jika ia ditunjuk untuk sekedar menunggui
kuda-kuda itu, maka rencananya akan pecah
"Dua orang yang aku tunjuk menunggui kuda harus
bersyukur, karena kemungkinan mereka untuk mati, jauh lebih
kecil dari kita yang akan pergi memasuki Kota Raja" berkata
Sanggit Raina. Jlithengpun kemudian menarik nafas dalam-dalam, ketika
ternyata Sanggit Raum menyebutkan namanya
Sejenak kemudian, maka orang-orang Sanggar Gading
itupun telah bersiap sepenuhnya. Ketika Sanggit Raina
memberikan aba-aba, maka merekapun segera berangkat
menuju ke Kota Raja pada saat Demak sedang tertidur
nyenyak. Kota Raja itu pada keadaan sehari-harinya adalah kota
yang tenang. Tidak banyak masalah yang timbul. Meskipun di
daerah yang jauh masih kadang-kadang terjadi pertempuran
melawan mereka yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan
perkembangan keadaan dan berusaha untuk memisahkan diri
namun keadaan pada umumnya telah menjadi baik.
Karena itu, maka para pengawal kota tidak terlalu ketat
mengawasi jalur-jalur jalan masuk dan keluar kota. Banyak
jalan-jalan kecil dan regol-regol padukuhan yang tidak
mendapat pengawasan. Apalagi jalan-jalan budak yang
langsung menusuk masuk ke dalam kota. Dengan demikian
maka sulit untuk menyusup masuk ke dalam kota. Sanggit
Raina yang berjalan dipating depan sempat memberikan
petunjuk, kemana mereka harus pergi.
"Tidak ada lain yang harus kalian kerjakan. Menangkap
hidup-hidup Pangeran yang bergelar Sena Wasesa yang
usianya sudah menjelang tiga perempat abad. Tetapi ia adalah
seorang Pangeran yang sakti berkata Sanggit Raina.
Tidak seorangpun yang berani bertanya, kenapa Pangeran
rtu harus ditangkap hidup-hidup.
"Apakah namanya memang Sena Wasesa?" bisik J litheng.
Rahu menggeleng sambil berdesis "Ia bergelar Sena
Wasesa karena sesuatu yang pernah dilakukannya. Namanya
sendiri bukan Sena Wasesa
"Siapa?"" bertanya JKitheng pula
"Aku tidak tahu. Aku hanya menduga"
Jlitheng tidak bertanya lagi. Namun ia merasa jantungnya
berdebaran semakin keras.
"Bantaradi" bisik Rahu "Apakah menurut pertimbanganmu,
kita akan benar-benar ikut menangkap Pangeran itu atau
justru membebaskannya?"
"Tentu kita akan menangkapnya" desis Jlitheng "He,
apakah kau sedang menjajagi aku"
Jlitheng tidak menyahut. Tetapi terdengar ia mengumpat.
Dalam pada itu, maka kuda merekapun berpacu semakin
cepat. Ketika di tengah bulak panjang ia melibat seekor kuda
berpacu menyilang jalan mereka, maka Jlitheng berdesis
"Apalagi yang terjadi. He apakah penunggangnya itu juga
orang Sanggar Gading?"
"Hentikan kegiatanmu. Dalam keadaan seperti ini, kau
jangan berpura-pura lagi" Rahu menggeram.
Jlitheng mengerutkan keningnya. Namun ia merasa, betapa
Rahu sudah menahan hati. Maka, dalam keadaan yang gawat
itu, Jlithengpun menyadari, bahwa ketegangan diliati masingmasing
akan mudah membuat mereka merasa tersinggung
Karena itu, maka katanya kemudian "Maaf. Tetapi qku
bersungguh-sungguh. Aku ingin Pangeran itu benar-benar
ditangkap" "Itu akan menggemparkan Demak. Aku akan menjadi salah
seorang yang kelak harus mempertanggung jawabkan, jika
Pangeran Sena Wasesa itu. mengalami sesuatu" berkata Rahu.
Jlitheng tidak segera menyabut. Mereka berjalan diujung
paling belakang Namun dengan demikian mereka dapat
berbicara diantara mereka.
"Rahu, jika kau ingin membebaskannya, bagaimana cara
yang sebaik-baiknya kau lakukan?" bertanya Jlitheng.
"Tentu aku akan berpihak kepada Pangeran itu" berkata
Rahu "selebihnya aku harus melontarkan isyarat ke udara"
"Apa yang akan kau lontarkan" Apakah kau membawa
panah sendaren atau membawa panah api?"
"Tidak, aku harus melontarkan sesuatu keairab tertentu.
Kira-kira tigapuluh langkah kearah Barat"
"Barat mana. Apakah kau sudah tahu, bahwa kita akan
pergi ke istana Pangeran Sena Wasesa"
"Semi mengikuti kita sekarang ini. Nah, apa katamu"
Akulah yang sekarang bertanya kepadamu apakah kau sedang
menjajagi aku" "Aku juga muak mendengar pertanyaan seperti itu" jawab
Jlitheng "Tetapi aku tetap pada pendirianku, Pangeran itu
harus ditangkap. Jika kau berusaha untuk membatalkannya
dengan isyarat kepada orang yang kau sebut adikmu yang
barangkali sekarang membawa dua atau tiga orang kawan,
aku tidak sependapat"
"Jadi kau benar-benar akan berbuat sesuai dengan perintah
orang-orang Sanggar Gading?" bertanya Rahu"
"Ya Kita akan tahu, apakah yang mereka kehendak dari
Pangeran tua itu" desis JiKtheng.
"Kenapa kita tidak membebaskanya saja, kemudian kita
hubungi langsung Pangeran itu?" bertanya Rahu.
"Tentu masalahnya bukan masalah yang sederhana. Jika
kita gagal mempertahankan Pangeran itu, maka kita akan
kehilangan segala kesempatan. Bahkan kita harus
menyingkirkan dim dari tindakan orang-orang Sanggar Gading.
Sementara niat mereka dengan menawan Pangeran itu dapat
mereka lakukan dUuar pengawasan kita" gumam Jlitheng.
Rahu mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah. Jika
demikian, aku tidak akan memberikan isyarat apapun juga
kepada adikku" "Tetapi apakah hal seperti itu sering kau lakukan?"
Membatalkan usaha yang dilakukan oleh orang-orang Sanggar
Gading?" bertanya Jlitheng.
"Tidak terlalu sering. Tetapi karena sekarang masalahnya
menyangkut seorang Pangeran, maka aku dapat mengambil
satu sikap Biasanya kami hanya sekedar mencari dukungan
dana untuk kepentingan Sanggar Gading tanpa menyentuh
orang-orang penting apalagi seorang Pangeran?"
Jlitheng mengerutkan keningnya. Dengan sungguhsungguh
ia berunya "Tetapi sekali-kali pernah juga kau
lakukan" Meskipun tidak terlalu sering?"
"Ya" jawab Rahu "dalam keadaan yang memaksa aku telah
berusaha menggagalkan rencana orang-orang Sanggar Gading
dengan memberikan keterangan kepada Semi. Tetapi Semipun
mengerti bahwa kegagalan itu jangan menumbuhkan
kecurigaan kepada orang dalam"
Jlitheng mengangguk-angguk. Tetapi kali ini ia tidak ingin
rencana orang-orang Sanggar Gading untuk mengambil orang
yang dikehendaki oleh Daruwerdi itu gagal. Ia harus
mengetahui siapakah orang itu. Baru kemudian ia akan
menentukan sikap. Ternyata Rahu tidak berkeberatan meskipun mungkin ia
harus mempertanggung jawabkan kepada pimpinannya,
bahwa ia tidak dapat mengatasi rencana yang tumbuh di
dalam lingkungannya, dan justru menyangkut kepada seorang
Pangeran. Dalam beberapa hal Rahupun telah mendengar hubungan
Cempaka dengan orang yang tinggal didaerali Sepasang Bukit
Mati. lapun mendengar serba sedikit, bahwa orang yang ber
ada di daerah Sepasang Bukit Mati itu mempunyai jalur
hubungan dengan pusaka yang masih belum dikotemukan.
Tetapi yang diketahuinya ternyata sangat sedikit. Namun yang
sedikit itu ternyta telah mendorongnya untuk menyetujui
pendapat Jlitheng, "Jika kemudian terjadi sesuatu dengan Pangeran itu, maka
mungkin aku akan mendapat hukuman pula" berkata Rahu di
dalam hatinya "Tetapi jalan ini agaknya akan membawa aku
kepada sebuah pusaka yang mungkin penting sekaki bagi
Demak" Meskipun keduanya kemudian tidak sempat lagi berbicara
meskipun berbisik, namun keduanya seolah-olah telah
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menemukan jalan yang sesuai, meskipun mungkin pada saatTiraikasih
saat terakhir mereka akan menentukan jalan mereka masingmasing.
Dalam gelapnya malam, maka sekelompok orang-orang
Sanggar Gading itupun menyusup semakin dalam kejantung
Kota Raja. Jalan yang mereka tempuh harus diingat sebaikbaiknya
oleh setiap orang yang ikut serta di dalam kelompok
itu. Dalam keadaan yang gawat, mungkin sekali mereka harus
berpisah dan berpencar. Tetapi mereka harus dapat
menemukan jalur jalan keluar dan berkumpul kembali di
Sendang Gambir. Tetapi bagi mereka yang sudah mengenal
dengan haik sudut-sudut di Kota Raja maka bagi mereka tidak
terlalu banyak kesulitan jika mereka terpisah dari kawankawan
mereka yang lain. Rahu adalah salah seorang yang mengenal jalan-jalan di
Kota Raja dengan sebaik-baiknya Sedangkan J lithengpun
mengenalnya pula, meskipun firjak sebaik Rahu. Karena Rahu
memang membekali dirinya dengan pengenalan yang luas
atas berbagai macam keadaan. Termasuk jalan-jalan yang
menyusup diantara rumah-rumah dan istana-istana besar di
seluruh Kota Raja. Bahkan Rahu hampir mengenal setiap pintu
di seluruh Kota. Karena itu, maka ketika mereka memasuki jalan yang
langsung menuju ke tempat yang mereka tuju, Rahu segera
meyakini, istana siapakah yang akan mereka datangi.
"Diujung jalan ini ada sebuah istana" berkata Sanggit
Ratina kepada para pengikutnya dengan perlaban-lahan tetapi
cukup jelas "Kita akan memasuki istana itu. Kita akan
menghindari korban sejauh-jauh dapat kita lakukan. Karena
itu, maka kita harus berbuat dengan hati-hati. Orang-orang
kita sudah terlalu banyak menjadi korban. Mungkin karena
pokal mereka sendri di padang kematian, tetapi juga karena
tugas-tugas yang berat"
Para pengikutnya mendengarkan dengan saksama.
Sementara itu Sanggit Raina berkata selanjutnya "Kita tidak
akan memasuki regol. Kita akan memasuki istana ita dari
segala penjuru. Kita menyergap para penjaga Mereka akan
kita lucuti dengan cepat dan kita ikat pada pohon-pohon sawo
yang terdapat di halaman astana itu. Baru kemudian kita
memasuki istana dan mengambil Pangeran penghuni astana
itu" Semua orang hanya mendengarkannya. Tidak ada yang
bertanya. Tidak ada yang memberikan pendapatnya. Perintah
itu sudah cukup jelas, sementara orang-orang Sanggar Gading
tidak perlu mengetahui, untuk apa mereka melakukannya.
Dengan hati-hati sekelompok orang Sanggar Gading itu
mendekati sebuah istana yang tidak terlalu besar
dibandingkan dengan beberapa istana yang lain. Dihalaman
depan terdapat dua batang pohon sawo kecik yang besar dan
rindang. Dengan isyarat Sanggit Raina memerintahkan orangorangnya
memencar mengelilingi istana itu. Ia sendiri dengan
Cempaka dan dua orang lainnya, bersiap-siap untuk
menyergap para penjaga di regol meskipun mereka tidak akan
mengetuk pintu regol. Tetapi seperti yang lain, merekapun
akan meloncat dan langsung menguasai para penjaga dan
mengikat mereka seperti yang akan dilakukan oleh orangorang
Sanggar Gading yang lain, apabila mereka menjumpai
para pengawal. Orang-orangnya itupun telah mendapat pesan isyarat
apakah yang harus mereka perhatikan. Jika mereka
mendengar suara burung hantu, berarti bahwa mereka harus
memasuki halaman istana. Tetapi jika yang terdengar suara
burung kedasih, mereka harus meninggalkan istana Itu.
Sejenak Sanggit Raina menunggu. Iapun kemudian dengan
sangat hati-hati mendekati regol istana yang diputari dengan
dinding yang cukup tinggi. Tetapi yang masih akan dapat
diloncati oleh orang-orang Sanggar Gading yang cukup
terlatih. Telinga Sanggit Raina yang tajampun kemudian
menangkap suara desah orang yang beringsut di balik regol.
Nampaknya satu dua orang penjaganya masih terjaga sambil
duduk bersandar pintu regol.
Dengan isyarat Sanggit Raina memberikan tanda kepada
Cempaka agar ia menunggu. Sementara Sanggit Raina sendiri
telah bersiap untuk meloncat masuk disebelah regol, sehingga
ia akan langsung dapat menguasai para penjaganya.
Beberapa saat suasana menjadi tegang. Setiap orang
menunggu isyarat yang akan diberikan oleh Sanggit Raina,
sementara Sanggit Raina sendiri sudah siap untuk meloncat.
Cempaka dan dua orang lainnya telah bersiap pula. Dengan
hati yang berdebar-debar mereka menunggu isyarat pula.
Ketika saatnya sudah tiba menurut perhitungan Sanggit
Raina, maka di dalam kelamnya malam, terdengar suara
burung hantu merobek sunyi.
Hampir bersamaan dengan itu, Sanggit Raina sendiri telah
meloncati dinding halaman disusul oleh Cempaka dan dua
orang pengikutnya, sementara dibagian lain beberapa orang
telah berloncatan masuk pula.
Suara burung hantu itu memang telah menarik perhatian.
Sementara itu, dua orang penjaga yang berada di regol
halaman itupun terkejut ketika tiba-tiba saja seseorang telah
meloncat berduri beberapa langkah dari padanya.
Dengan sigapnya para penjaga itupun bangkit berdiri.
Dengan tangkasnya pula keduanya telah mengacukan senjata
mereka. Namun dalam pada itu, mereka melihat tiga orang
telah menyusul pula. Tidak ada kesempatan untuk membunyikan kentongan.
Karena itu, maka t iba-tiba saja terdengar salah seorang dari
keduanya berteriak nyaring "Para pengawal, bersiaplah"
Suaranya terputus ketika Sanggit Raina telah meloncat
menyerang. Namun penjaga itu sempat mengelak. Bahkan
dengan satu putaran yang cepat, penjaga itu telah
menyerangnya kembali Cempaka dan dua orang kawannyapum telah melangkah
mendekat. Sementara itu, penjaga yang lainpun telah bersiap
pula menghadapi segala kemungkinan. Bahkan iapun telah
menyambung teriakan kawannya justru lebih nyaring
"Bersiaplah, kita akan bertempur"
Tetapi pengawal itupun tidak dapat melanjutkan katakatanya
Cempakapun telah menyerangnya pula dengan
cepatnya. Tetapi serangannya itupun tidak langsung dapat
menikam jantung. "Menyerahlah" geram Sanggit Raina. Kami adalah
pembunuh-pembunuh. Tetapi jika kalian menyerah, kalian
tidak akan kami bunuh. Kami hanya akan mengikat kalian
pada pohon sawo itu"
"Persetan" geram para penjaga.
Namun ternyata bahwa keempat orang yang memasuki
regol itu memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga sejenak
kemudian mereka seolah-olah telah tersudut tanpa dapat
bergerak. Namun dalam pada itu, ternyata suara kedua penjaga itu
telah didengar oleh kawan-kawannya. Beberapa orang telah
berlari-lari menuju ke regol halaman itu.
Tetapi pada saat yang bersamaan, maka halaman belakang
istana itupun telah dirayapi oleh beberapa orang murid
Sanggar Gading. Mereka dengan tergesa-gesa telah mendekati
istana dari arah belakang.
Sanggit Raina ternyata tidak segera dapat menguasai para
penjaga. Ketika dua orang penjaga telah sampai ke regol,
maka iapun berkata "Tahan mereka. Aku akan memasuki
istana itu" Ketika Sanggit Raina meloncat meninggalkan regol,
beberapa orang pengawal nampak dalam keremangan malam.
Tetapi orang-orang Sanggar Gading yang sudah berloncatan
masuk itupun telah menyergapnya, sehingga sejenak
kemudian telah terjadi pertempuran di beberapa tempat di
dalam halaman istana itu.
Cempaka yang melihat kakaknya telah berlari ke pintu
butulan itupun segera menyusulnya dengan, meninggalkan
murid-murid Sanggar Gading yang lain, yang segera berusaha
menyesuaikan diri. Sanggit Raina yang kemudian disusul oleh Cempaka
tertegun ketika mereka melihat Rahupun telah berlari-lari ke
pintu butulan itu pula disusul oleh Bantaradi yang menyebut
dirinya sehari-hari di padukuhannya dengan Jlitheng.
"Ikut aku" Sanggit Raina tidak pikir panjang. Iapun
memperhitungkan bahwa di dalam istana itu tentu ada pula
beberapa pengawal dalamyang bertugas.
Sementara itu, maka Sanggit Raina tidak sabar menunggu
pintu itu dibuka. Ia tidak berhasil menguasai para penjaga
dengan diam-diam. Karena itu, maka ia tidak mempunyai
kesempatan lagi. Ia harus mempergunakan kekerasan untuk
menguasai seluruh isi istana.
Dengan kakinya. Sanggit Raina menghentakkan daun pintu
yang masih tertutup. Terdengar suaranya berderak keras
sekali. Namun Sanggit Raina tidak perlu mengulanginya lagi.
Pintu itu sudah pecah berserakkan.
Rahu mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah Jika demikian,
aku tidak akan memberikan isyarat apapun juga kepada
adikku" Dengan loncatan pendek, Sanggit Raina memasuki pintu
bututan. Seperti yang diperhitungkan, maka beberapa orang
pengawal telah menyongsongnya. Namun dalam pada itu.
Cempaka, Rahu dan Jlithengpun telah ada di dalam pula.
Sesaat kemudian telah terjadi pertempuran. Para pengawal
yang terpilih itupun telah melawan dengan gigihnya,
Seperti yang sudah didengar oleh setiap orang Sanggar
Gading, bahkan oleh kelompok-kelompok yang lain, maka para
pengawal di istana itu sebenarnyalah pengawal-pengawal
yang terpilih ilmu yang tinggi. Itulah sebabnya, maka tidak
setiap orang Sanggar Gading boleh mengikuti tugas yang
berat itu. Demikianlah, maka pertempuran telah terjadi d beberapa
tempat di halaman istana itu. Bahkan kemudian di dalam
istana itu pula. Beberapa orang pengawal harus bertempur
melawan orang-orang Sanggar Gading yang garang. Namun
karena merekapun cukup terlatih, maka merekapun telah
melawan dengan sengitnya.
Meskipun demikian, tetapi bahwa kekasaran orang-orang
Sanggar Gading telah membuat para pengawal senjadi
berdebar-debar. Hentakan senjata dan kadang-kadang gerak
dan liar, membuat para pengawal harus berhati-hati.
Pertempuran telah terpaksa membakar halaman itu.
Darahpun tidak dapat lagi terbendung, menitik dari luka-luka
yang menganga. Satu dua orang pengawal dan orang-orang
Sanggar Gading telah mulai tersentuh senjata.
Dalam pada itu, maka Sanggit Raina bersama Cempaka.
Rahu dan Jlitheng telah bertempur dengan dahsyatnya di
ruang dalam istana yang tidak terlampau besar itu.
Seperti yang sudah diperhitungkan, maka istana yang tidak
terlalu besar dibandingkan dengan istana-istana kepangeranan
yang lain itu, telah dijaga oleh sekelompok pengawal yang
kuat Orang-orang Sanggar Gading yang terbaik, harus
berjuang dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka
untuk dapat menguasai para pengawal.
Namun jumlah orang-orang Sanggar Gading yang lebih
banyak dari para pengawal, telah berhasil mendesak mereka.
Satu dua orang telah terluka dan t idak mampu lagi melawan.
Tetapi dalam pada hu, di ruang dalam. Sanggit Raina.
Cempaka, Rahu dan Jlitheng harus bertempur dengan
gelisahnya. Para pengawal dli ruang dalam itu, ternyata
adalah benar-benar orang pilihan.
Dengan segenap kemampuan mereka bertahan. Mereka
bertempur tanpa gentar, meskipun orang-orang Sanggar
Gading adalah orang-orang yang kasar dan garang.
Namun, sejenak kemudian beberapa orang Sanggar Gading
yang lain telah masuk pula lewat pintu yang sudah menganga.
Mereka yang sudah melumpulilkan lawan-lawannya telah
berloncatan menyusui memasuki ruang dalam istana. Ms kipun
mulamula, mereka terhenti karena kekaguman menka melihat
perabot istana itu, namun kemudian merokopun telali
berusaha melibatkan diri kedaiampertempuran itu.
Sementara orang-orangnya memasuki ruang dalam, maka
tiba-tiba saja Sanggit Raina telah menyelinap. Iapun kemudan
memasuki ruang depan dan langsung menuju kesebuah bilik
yang tertutup rapat "Pangeran" desis Sanggit Raina diluar pintu "pangeran tidak
akan dapat berbuat apa-apa lagi. Sebaiknya Pangeran
menyerah dan keselamatan Pangeran akan aku pertanggung
jawabkan" Tidak terdengar jawaban. Karena itu sekali lagi terdengar
Sanggit Raina "Pangeran, sebelum para pengawalmu
terbunuh, bukalah pintu. Akhir dari pertempuran ini sudah
pasti. Jika Pangeran tidak melawan, maka para pengawal
Pangeran akan selamat. Mungkin ada satu dua yang terluka.
tetapi itu sudah wajar sekali bagi para pengawal yang
menggenggam senjata telanjang di tangannya"
Sejenak Sanggit Raina menunggu. Kemudian terdengar
jawaban dengan suara yang dalam "Siapa kau?"
"Sanggit Raina. orang Sanggar Gading"
"Aku tidak mengenalmu" sahut suara dari dalam.
"Tentu. Pangeran tidak mengenal aku. Tetapi bukalah pintu
sebelum istana ini menjadi karang abang" desak Sanggit
Raina. Sejenak ruang itu menjadi hening. Namun kemudian
terdengar pintu berderit.
Perlahan-lahan pintu itupun terbuka. Sanggit Raina berdiri
tegak dengan senjata di tangannya teracu kepada seseorang
yang berdiri di muka pintu sambil memegang selarak pintu
Seorang gadis. Sanggit Raina menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Aku mohon perkenan puteri untuk menghadap
ayahanda" Gadis itu mengerutkan keningnya. Namun terdengar suara
seorang yang sedang berbaring "Biarlah ia masuk"
Sanggit Raina termangu-mangu sejenak. Namun dengan
senjata yang teracu iapun melangkah memasuki bilik itu.
Demikian kakinya melangkah, maka iapun melihat gadis
yang membuka pintu itu berlari memeluk seorang perempuan
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang berdiri disudut ruang itu dengan ketakutan.
Perempuan itu berusaha menalian tangis. Sambil mengucap
rambut gadis itu. ia berkala "Sudahlah puteri. Selalu
kebijaksanaan ada di tangan ayahanda"
Perempuan yang gemetar itu memandang Sanggit Raina
yang mendekati pembaringan. Kemudian dengan suara datar
ia berkata "Pangeran. Aku mohon pengertian Pangeran, agar
tugasku dapat selesai dengan cepat. Juga untuk kepentingan
Pangeran dan para pengawal"
Orang yang berbaring itu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya "Kau datang pada saat aku tidak dapat
memberikan perlawanan. Mungkin kau memang sudah
memperhitungkannya" "Kami mohon maaf. Kami memang memperhitungkan
keadaan ini Pangeran. Karena kami tahu, bahwa untuik dapat
mengalahkan Pangeran dalam keadaan yang siap menghadapi
lawan, diperlukan kekuatan yang tidak ada taranya"
"Bawalah aku kepada para pengawalku. Tetapi dengan janji
seorang laki-laiki, bahwa kalian tidak akan membunuh
mereka" "Jika hal itu segera kita lakukan, maka kemungkinan untuk
tidak mengurangi seorang pengawalpun masih ada. meskipun
tentu beberapa orang pengawal Pangeran telah terluka.
"Bawalah aku kepada mereka" desis Pangeran yang sedang
sakit itu. Sanggit Rainapun kemudian menyarungkan pedangnya, la
membuka selimut Pangeran itu selelah ia yakin bahwa
Pangeran yang sakit itu tidak bersenjata. Kemudian
menolongnya bangkit dan membantunya berjalan menuju ke
ruang dalam. Ketika Sanggit Raina dan Pangeran yang sedang sakit itu
muncul di ruang dalam, maka tiba-tiba saja pertemparan
itupun terhenti. Meskipun masing-masing telah melangkah
surut tetapi senjata mereka masih tetap dalam genggaman.
"Hentikan perlawanan" terdengar perintah Pangeran ang
sedang sakit itu "Orang ini. yang agaknya pemimpin perampok
yang memasuki rumah kita, berjanji sebagai seorang laki-laki",
bahwa kalian tidak akan diusik"
Para pengawal termangu-mangu. Namun mereka t idak
melanggar perintah itu. "Nah. sekarang katakan" berkata Pangeran itu kepada
Sanggit Raina, lalu "Apakah yang kau kehendaki?"
"Pangeran" jawab Sanggit Raina singkat.
"Aku?" bertanya Pangeran itu.
"Ya Pangeran. Aku memerlukan Pangeran"
Pangeran itu termenung sejenak, sementara gadis yang
selalu mengikutinya tiba-tiba berjongkok dihadapannya sambil
menangis "Ayahanda. Jangan pergi"
Pangeran itu termenung. Dibelainya rambut anaknya yang
berjongkok dihadapannya. Namun ketika sekilas
dipandanginya ruangan itu, ia melihat orang-orang yang tidak
dikenal berdiri bertebaran dengan senjata di tangan. Lebih
banyak dari pengawal-pengawamya. Bahkan Pangeran yang
sedang sakit iiupun dapat membayangkan, bahwa pengawalpengawalnya
di halaman tentu sudah tidak mampu lagi
membendung orang-orang yang tidak dikenalnya itu, sehingga
mereka memasuki ruangan dalam.
"Ayahanda" gadis itu menangis semakin keras.
Namun dalam pada itu. Nrangsarimpat yang telah berada di
dalam ruangan itu pula tertawa sambil melangkah maju Tibatiba
saja ia berjongkok disamping gadis itu sambil berdesis
"Jangan menangis puteri. Meskipun ayahanda pergi, banyak
orang yang akan bersedia menemanimu disini"
Puteri itu beringsut. Namun kemudian Nrangsarimpat
sambil tertawa telah memegang lengan puteri itu.
Tetapi tiba-tiba saja Nrangsarimpat terkejut la sadar,
bahwa tiba-tiba saja ia telah terlempar karena hentakkan di
dadanya. Ternyata kemarahan Pangeran yang sakit itu tidak
tertahankan lagi, sehingga kakinya telah menghantam dada
Nrangsarimpat. Terasa dada itu menjadi sesak. Tetapi orang itu ternyata
tangkas pula. Dengan melenting ia bangkit berdiri sambil
mengumpat. Suaranya melengking tinggi. Kesan senyum dan
tawanya telah lenyap dari wajahnya
Namun yang menggeram kemudian adalah Sanggit Raina
"Kau gila Nrangsarimpat "Lalu katanya kepada Pangeran yang
masih menggeretakkan giginya itu "Maaf Pangeran. Aku akan
mempertanggung jawabkan keselamatan keluarga Pangeran
dan para pengawal. Tetapi aku mohon Pangeran bersedia
pergi bersama kami" Terdengar Nrangsarimpat menggeram. Tetapi ia t idak
berani berbuat sesuatu dihadapan Sanggit Raina, La mengerti
apa yang dikatakan oleh Sanggit Raina bukanlah pura-pura.
Jika ia melindungi anak buahnya iapun bertindak tanpa raguragu.
Tetapi jika ia ingin menghukumnya, maka iapun
melakukannya seperti yang dikehendakinya.
Sejenak ruangan itu dicengkam oleh ketegangan. Pangeran
yang sedang sakit itu tidak dapat membuat pertimbangan lain.
Jika ia menolak, maka akibatnya akan sangat buruk bagi para
pengawalnya. Bahkan juga bagi keluarganya, lebih-lebih anak
gadisnya yang sedang meningkat dewasa
Tetapi jika ia membiarkan dirinya dibawa, ia tidak tahu.
kemana dan untuk apa. Ia tidak dapat membayangkan, apa
yang akan terjadi atas dirinya.
"Pangeran tidak usah menyebut siapa aku, sesuai dengan
pengakuanku, dihadapan para pengawal" berkata Sanggit
Raina "karena itu pengenalan Pangeran atasku dan kawankawanku.
biarlah Pangeran bawa bersama orang-orangku.
Sekali lagi, aku akan mempertanggung jawabkan keselamatan
Pangeran dan seisi istana yang akan Pangeran tinggalkan,
kecuali yang sudah terlanjur terluka atau barangkali terbunuh
dalam pertempuran yang baru saja terjadi, karena mungkin
ada juga orang-orangmu yang akan terpaksa aku tinggalkan,
karena ia sudah terbunuh pula"
Pangeran itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
puterimya yang kemudian berpegangan lututnya, sementara
embannya telah berjongkok pula disampingnya.
"Sudahlah" desis Pangeran itu sambil mengusap kepala
puterinya "apaboleh buat. Biarlah aku pergi bersama orangorang
ini. Mudah-mudahan aku akan dapat kembali lagi ke
istana ini" "Ayahanda" desis puterinya.
"Barangkali jalan ini adalah jalan yang lebih baik aku
tempuh. Aku masih percaya, bahwa orang ini adalah seorang
yang jantan, yang kata-katanya dapat dipercaya. Nampaknya
ia bukan seorang perampok yang sekedar menghendaki harta
dan benda, tetapi tentu ada kepentingan lain yang mungkin
akan dapat aku selesaikan"
"Tetapi, bagaimana jika ayahanda meninggalkan aku
sendiri?" tangis puterinya.
Sejenak Pangeran itu tertegun. Gadis itu sudah tidak beribu
lagi. Ia adalah ayah-bundanya yang menjadi tempatnya
bergantung. Tatapi Pangeran itu melihat bayangan yang lebih
buruk akan dapat terjadi atas anak gadisnya, jika ia
mengadakan perlawanan. Meskipun nampaknya pemimpin dari
orang-orang yang datang itu adalah seorang laki-laki yang
dapat dipercaya dalam ujudnya tersendiri., namun orangorangnya
bukanlah orang-orang yang mempunyai sifat-sifat
serupa. Karena itu, maka katanya "Sudahlah anakku. Lepaskan aku
pergi. Aku ingin juga melihat, apakah sebenarnya keinginan
mereka" "Tetapi, aku takut ayahanda" tangis anak gadisnya.
"Berdoalah. Mudah-mudahan aku akan segera kembali"
jawab ayahandanya. Tetapi tangis puterinya tidak mereda. Karena itu, maka
perlahan-lahan Pangeran itu melepaskan tangan anak
gadisnya sambil berdesis "Cobalah menguasai dirimu sendiri
anakku" Puteri itu meronta ketika embannya menahannya. Namun
tiba-tiba saja ia tertegun ketika ia mendengar orang yang
menolong ayahnya berjalan itu berkata "Puteri, waktuku
hanya redikit. Jangan memaksa kami mengambil jalan lain
yang akan capat menyakiti hati puteri"
Pangeran yang sedang sakit itulah yang kemudian
menggeram. Namun Sanggit Raina telah mendorongnya
sambil berkata "Marilah Pangeran. Kuda bagi Pangeran telah
tersedia. Aku sendiri akan menjaga agar Pangeran yang lemah
tidak terjatuh jika kuda itu berpacu. Tetapi untuk beberapa
puluh tonggak kita akan berjalan agar kita tidak mengejutkan
dan membangunkan seisi kota" kemudian kepada puteri yang
masih menangis itu Sanggit Raina berkata "Ingat puteri,
ayahanda puteri ada bersama kami. Jangan berbuat sesuatu
yang akan dapat mengancam keselamatan ayahandamu
sendiri" "Oh" suara puteri itu bagaikan terputus di kerongkongan.
Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat melihat
ayahandanya berjalan dipapah oleh orang yang nampaknya
pemimpin dari sekelompok orang yang telah memasuki
istananya. Sejenak kemudian, maka ayahandanya itu telah
menghilang di balik pintu butulan. Satu-satu orang-orang yang
memasuki istananya itupun melangkah surut dan lenyap pula
ke dalam gelapnya malam. Demikian orang terakhir dari sekelompok orang yang
memasuki istana itu lenyap, maka puteri itupun menjatuhkan
kepalanya ke dada perempuan yang selalu mendampinginya.
Tangisnya tidak tertahan lagi melontar seperti tumpahnya air
dari sebuah bendungan yang pecah.
Beberapa orang pengawal istana itu berdiri termangumangu.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka
tidak dapat berlari mengejar orang-orang yang membawa
Pangeran yang sedang sakit itu. meskipun mereka rela
mengorbankan jiwa mereka. Karena dengan demikian, bukan
saja mereka yang terancamjiwanya, tetapi juga Pangeran itu.
Seorang pengawal yang sudah berusia setengah umur
kemudian mendekati emban yang masih memeluk
momongannya, yang menangis itu sambil berkata "Bawalah
puteri ke pembaringannya. Mungkin ia memerlukan ist irahat.
Jika mungkin biarlah puteri tidur barang sejenak"
Embannya memandang pengawal itu sekilas. Kemudian
iapun mengangguk kecil. Namun ia berkata kepada diri sendiri
di dalam hati "Maksudku juga begitu. Tetapi puteri ini sedang
berduka, sehingga sulit untuk menenangkannya"
Meskipun demikian, emban itu mencoba juga untuk
membujuknya. Namun untuk beberapa saat puteri itu masih
tetap menangis tanpa beranjak dari tempatnya.
Dalam pada itu, para pengawalpun kemudian keluar pula
dari ruangan itu, kecuali dua orang pengawal dalam yang
kemudian berdiri di muka pintu butulan. Bagaimanapun juga,
mereka masih harus tetap berhati-hati. Mungkin yang terjadi
itu baru sebuah permulaan yang masih akan disusul oleh
peristiwa-peristiwa lain yang lebih kasar dan liar.
Ternyata, diluar para pengawal harus menolong tiga orang
kawan mereka yang terluka. Seorang dari Tereka terluka
parah. Sementara itu seorang dari kelompok yang memasuki
istana itu. juga telah terluka parah. Bahkan tidak ada lagi
kemungkinan untuk dapat diselamatkan. Orang itu sudah
berada dalam keadaan pingsan sementara darahnya terlalu
banyak mengalir. Dengan segera para pengawal yang terluka itupun
mendapat perawatan seperlunya sementara seorang lawan
yang sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk dapat hidup
itu dibaringkannya di serambi gandok. Nyawa orang itu, tidak
akan dapat bertahan sampai ayam jantan berkokok menjelang
fajar. Dalam pada itu, maka emban pemomong puteri yang
menangis itu akhirnya berhasil membujuknya memasuki bilik
tidurnya dan membawanya duduk di pembaringan.
"Puteri, silahkan untuk berbaring. Tentu puteri mengalami
kelelahan lahir batin" embannya mempersalahkan.
Tetapi momongannya itu tidak menghiraukannya Ia masih
saja duduk menundukkan kepalanya sambil tersedu-sedu.
"Puteri" berkata emban itu "ayahanda tentu tidak akan
lama. Yang dilakukan adalah satu dari sifat-sifat kesatria yang
dimiliki oleh ayahanda puteri. Dengan demikian, maka puteri
jangan terlalu bersedih. Ternyata puteri memang tidak sendiri.
Selan aku, maka para pengawal akan tetap setia melindungi
puteri" Puteri itu masih menangis. Disela-sela isaknya terdengar ia
berkata "Bibi, apa yang dapat mereka lakukan tanpa
ayahanda. Selagi ayahanda masih ada disini, mereka tidak
mampu lagi berbuat apa-apa"
"Itu justru atas perintah ayahanda karena ayahanda
mempunyai perhitungan tersediri" jawab embannya "tetapi
puteri, perhitungan ayahanda adalah perhitungan seorang
yang mumpuni. Apalagi ayahanda puteri sedang dalam
keadaan sakt, sehingga tidak mungkin dapat berbuat sesuatu.
Yang dipilih tentu yang terbaik, bukannya bagi Pangeran
tetapi tentu juga bagi puteri"
Puteri itu mengusap matanya Tetapi agaknya masih terasa
luka yang sangat pedih di hatinya.
Selagi emban di istana Itu sedang sibuk menenangkan hati
puteri yang ditinggalkan ayahandanya itu, maka Pangeran
yang sedang sakit itu telah dipapah oleh Sanggit Raina.
Kadang-kadang ia harus mendesaknya agar Pangeran itu
dapat berjalan lebih cepat
"Waktu kami tidak banyak Pangeran" desis Sanggit Raina.
"Tidak akan ada gunanya kalian membawa aku. Besok
prajurit Demak tentu sudah menemukan padepokanmu"
geramPangeran itu. "Tidak Pangeran, bukankah hanya Pangeran saja yang akan
mungkin mengetahui bahwa aku adalah orang Sanggar
Gading?" jawab Sanggit Raina.
"Tentu ada orang-orang yang dengan bangga
mengatakannya pula. Atau satu dua orangmu yang terluka,
yang akan dapat berbicara tentang kau dan orang-orangmu,
berkata Pangeran itu pula.
"Pangeran salah hitung. Semua yang terluka kembali
bersama kami. Seorang yang tidak akan dapat hidup telah
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kami tinggalkan. Tetapi tentu tidak akan dapat keluar dari
mulutnya pengakuan seperti yang Pangeran katakan"
"Ternyata kalian mempunyai perhitungan yang cermat Apa
yang sebenarnya kalian kehendaki?" bertanya Pangeran itu.
Sanggit Raina menarik nafas panjang. Kemudian jawabnya
"Sudahlah. Nanti Pangeran akan mengetahuinya. Kita akan
segera keluar dari kota. Kuda-kuda kita sudah menunggu. Kita
akan segera menempuh perjalanan. Meskipun tidak terlalu
jauh, tetapi akan sangat melelahkan bagi Pangeran yang
sedang sakit" Pangeran itu menggeram. Tetapi ia tidak mempunyai
kesempatan untuk berbuat apapun juga. Namun ia mulai
menyadari sepenuhnya, bahwa yang dihadapinya saat itu
adalah sebuah kelompok orang-orang kasar, orang-orang
berilmu, tetapi juga orang-orang yang mempunyai
perhitungan atas tingkah-lakunya. Karena itu. maka hatinya
menjadi semakin berdebar-debar.
Dipaling belakang dari iring-iringan yang menyusup
diantara jalan-jalan kecil kota menuju ke tempat kuda mereka
disembunyikan adalah Rahu dan Jlitheng. Dengan nada datar
Jlitheng berbisik "Apakah tidak mungkin puteri yang di
tinggalkan itu, atau pengawalnya melaporkan hal ini kepada
para prajurit?" "Kita membawa Pangeran yang sakit itu" jawab Rahu
"Tentu mereka t idak ingin Pangeran ini mengalami sesuatu"
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam, lapun sependapat,
bahwa orang-orang yang ditinggalkan di istana tidak akan
berani melaporkan peristiwa yang terjadi itu dengan segera.
Jika para prajurit kemudian berpencar mengejar orang-orang
yang telah membawa Pangeran yang sakit itu. maka nasibnya
justru akan sangat pahit. Mungkin ia akan dibunuh dan
mayatnya ditinggalkan begitu saja sebelum sekelompok orang
yang membawanya berusaha melarikan diri.
"Rahu" bisik Jlitheng pula "seandainya kau bermaksud
menggagalkannya, apakah kau mempunyai cara" Bukankah
nasib Pangeran itu juga menjadi taruhannya"
"Tidak sekarang" berkata Rahu di telinga J litheng "Tetapi
sudah barang tentu saat kita mulai memasuki istana itu Justru
sebelum mereka sempat mendekati Pangeran yang sedang
sakit itu" "Lalu apakah yang akan kau kerjakan kemudian?" bertanya
Maryamah Karpov 1 Hati Yang Terberkahi Blessed Heart Karya Adam Aksara Ilusi Scorpio 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama