Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 9
pertimbangan. Mereka sama sekali tidak ragu. Senjata mereka
menyerang silih berganti, seperti datangnya ombak di pesisir.
Susul menyusul tidak henti-hentinya"
Namun Jlithengpun memiliki kemampuan bergerak seperti
burung sikatan. Kakinya semakin lama menjadi semakin
ringan. Bahkan ketika ia sudah sampai ke puncak
kemampuannya, maka kakinya itupun seolah-olah tidak lagi
berjejak dialas tanah. Tubuhnya seakan-akan tidak lagi
dibebani oleh berat yang menggantunginya.
"Bukan main" desis Rahu di tempat duduknya "anak muda
itu memiliki kelebihan dari orang-orang yang pernah akui
kenal" Sebenarnyalah bahwa latihan-latihan, yang berat telah
membuat Jlitheng menjadi anak muda yang berilmu tinggi. Ia
pernah membunuh sengaja atau tidak sengaja, orang-orang
yang dengan maksud jahat telah datang kesekitar Sepasang
Bukit Mati. Dan kini ia berhadapan dengan dua orang dari
Sanggar Gading. Rahu yang duduk menyaksikan pertempuran itu semakin
lama menjadi semakin tegang. Ia tahu, bahwa kedua orang
kawannya tidak akan dikekang oleh keragu-raguan. Bagi
orang-orang Sanggar Gading, maka para pendatang yang
tidak dapat menembus kedengkian hati beberapa orang
diantara mereka, memang tidak pantas untuk memasuki
padepokannya. Orang yang demikian memang lebih baik mati
dan dibuang di lembah kerangka yang terletak di ujung
padang kematian itu. Namun Rahupun menjadi berdebar-debar ketika ia melihat
sikap Jlitheng dalam perkelahian itu. Agaknya anak muda
mengerti bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang
tidak pernah ragu-ragu menghunjamkan senjatanya. Ternyata
bahwa Jlitheng yang dikenal bernama Bantaradi itupun
nampaknya sama sekali tidak ragu-ragu lagi.
Sebenarnyalah Jlitheng yang harus bertempur melawan dua
orang itu tidak dapat berbuat lain kecuali berusaha
mengurangi tekanan lawan. Karena itu, maka iapun telah
berusaha dengan segenap kemampuannya untuk
melumpuhkan lawannya, seorang demi seorang. Itulah
sebabnya, maka Jlitheng telah memilih orang yang paling
lemah dari keduanya, Jlitheng telah mempergunakan setiap kesempatan untuk
mengarahkan senjatanya kepada orang yang lebih lemah.
Orang yang masih menggenggam tombaknya. Kadang-kadang
orang itu menjadi bingung menghadapi kecepatan bergerak
Jlitheng. Jika kawannya terlambat menolongnya dengan
serangan-serangan yang gawat maka nampak orang itu
mengalami kesulitan untuk menangkis atau menghindari
serangan Jlitheng yang datang bagaikan badai.
Dalam pada itu, Rahu menjadi semakin berdebar-debar. Ia
sudah pernah mengatakan kepada orang yang dikenalnya
bernama Bantaradi itu, bahwa orang Sanggar Gading selalu
bertindak tegas, tidak ragu-ragu dan tidak akan berbaik hati
terhadap lawan-lawannya. "Anak muda itu memang anak yang luar biasa" desisnya.
Dan iapun mulai membayangkan, bahwa kedua orang itu pada
akhirnya tentu akan menjadi korban kedengkiannya sendiri.
Yang dilakukan oleh kedua orang itu bukannya untuk yang
pertama. Bahkan masih ada beberapa orang dengan alasan,
agar Sanggar Gading tidak menjadi sarang betina, telah
melakukan pencegatan bagi orang-orang yang akan memasuki
Sanggar Gading. Karena hal itu tidak pernah di persoalkan,
maka mereka menganggap hal itu adalah hal yang sangat
wajar. Ketika perkelahian itu meningkat semakin seru, maka tibatiba
saja Rahu mengerutkan keningnya. Ia melihat seekor
kuda berpacu melalui jalan setapak di padang yang gersang
itu. Debu yang kelabu terlempar di belakang kaki kuda itu
membubung ke udara. Namun angin yang lemah telah
meniupnya sehingga pecah berpencar bersama endeg
pangamun-amun. Rahu mengerutkan keningnya. Ia melihat seorang lagi dari
orang-orang Sanggar Gadang yang datang. Seorang yang
memiliki kelebihan dari beberapa orang kawannya.
"Jika ia langsung melibatkan diri, keadaannya tidak akan
berimbang" berkata Rahu di dalam hatinya. Dan iapun tidak
ingin terjadi pembantaian di padang kematian itui Jika setiap
pendatang harus melawan orang yang tidak dibatasi
jumlahnya, maka yang terjadi bukannya pendadaran. Tetapi
benar-benar pembunuhan oleh dengki dan kecemasan bahwa
kedudukan mereka di Sanggar Gading akan terdesak atau
kecemasan bahwa kemungkinan bagi setiap orang yang
semakin dipersempit. "Dan yang terjadi hampir seluruhnya tidak dapat
dibenarkan" berkata Rahu di dalam hatinya.
Meskipun Rahu sendiri tidak pernah melakukan pencegatami
dan pencegahan bagi orang-orang baru yang akan
memasuki Sanggar Gading, namun ia sudah sering melihat
kegagalan beberapa orang yang ingin menyatakan dirinya
bergabung dengan orang-orang Sanggar Gading.
"Tetapi kebanyakan dari mereka, pada lapis yang pertama
dari kedengkian itu, mereka sudah runtuh" berkata Rahu. di
dalam hatinya. Kemudian sambil melihat Jlitheng ia berkata
"tetapi anak ini agak lain. Kedua orang itu akan menyesal atas
sikapnya. Namun demikian orang yang datang berkuda itu sangat
mencemaskannya. Rahu tidak dapat berdiam diri jika tiba-tiba
saja orang itu langsung melibatkan diri bersama kedua orang
yang terdahulu. Jika demikian, maka Jlithengpun tentu akan
kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan Cempaka,
Karena itu, maka Rahupun segera berusaha menarik
perhatian orang berkuda itu. Iapun kemudian bangkit, berdiri
sambil menggeliat dengan mengangkat kedua tangannya.
Ternyata orang berkuda ini melihatnya. Karena itu, iapun
tertarik untuk mendekatinya sebelum ia langsung menuju
kearena. Derap kaki kuda itu berhenti beberapa langkah disebelah
Rabu. Penunggangnya, seorang yang bertubuh kekar
meskipun tidak terlalu tinggi, meloncat turun sambil berdesis
"Siapa yang memasuki daerah maut itu?"
"Orang yang diundang oleh Cempaka" sahut Rahu.
Orang itu mengerutkan keningnya. Lalu "Tetapi ia telah
mengalami pendadaran. Apakah kedua orang itu tidak tahu.
bahwa orang itu diundang oleh Cempaka"
"Mereka mengetahuinya. Tetapi seperti yang selalu mereka
lakukan" jawab Rahu.
"Jikai ia bukan tamu Cempaka, aku akan membunuhnya"
Orang bertubuh kekar itu mengerutkan keningnya. Sejenak
ia memperhatikan perkelahian itu. Namun kemudian Katanya
"Gila. Orang itu memiliki kelebihan dari kita semuanya. He,
apakah kau melihatnya?"
"Bukan orang itu yang memiliki kelebihan, tetapi kedua
kawan kita memang tidak lebih dari kelinci-kelinci tidak
berarti" jawab Rahu.
Orang bertubuh kekar itu mengerutkan keningnya. Lalu
"Dan kau-sejak tadi berada disini?"
"Aku datang bersama orang yang bernama Bantaradi itu"
jawab Rahu "Aku diperintahkan oleh Cempaka untuk
menunggunya di padukuhanku, diluar padang kematian ini"
"Tentu maksudnya agar kau membawanya menyeberang
dengan selamat sampai ke padepokan"
Rahu mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya
"Tidak ada orang yang dapat mencegah apa yang akan
dilakukan oleh orang-orang yang dengki dan iri hati itu.
Biarlah mereka mengalami seperti yang pernah dialami olah
orang orang yang memasuki daerah ini"
"Maksudmu?" bertanya orang berkuda itu.
"Bukan hanya orang-orang yang tidak berguna yang ingin
memasuki daerah ini sajalah yang sebaiknya disingkirkan ke
lembah kerangka, tetapi penghuni Sanggar Gading yang tidak
berarti itupun perlu disingkirkan"
"Rahu, apakah kau sudah mulai dihinggapi penyakit gila"
Kau kira apa yang dilakukan oleh orang-orang itu sekedar
kedengkian dan iri hati" Tidak. Akupun akan melakukannya.
Bukan karena kedengkian dan iri hati. Tetapi aku memang
tidak ingin melihat orang-orang tidak berarti memasuki
padepokan kami. Mereka hanya akan memusuhi setiap setiap
ruangan tanpa memberikan arti apa-apa"
"Aku mengerti. Kau menolak anggapan itu karena kau juga
selalu melakukannya. Tetapi baiklah, seandainya yang kalian
lakukan itu benar-benar bukan karena kedengkian dan iri hati.
Tetapi benar-benar ingin mengurangi jumlah orang-orang
yang tidak berarti. Kenapa kau tidak pernah memikirkan untuk
melakukannya pula atas orang-orang yang sudah menjadi
penghuni Sanggar Gading"
"Kau benar-benar sudah menjadi gila. Bukankah mereka
sudah ikut serta dalam suka dan duka selama bertahun-tahun.
Seandainya mereka tidak berarti sama sekalipun, mereka
harus kita anggap sebagai orang-orang yang berarti bagi kita"
Rahu tertawa. Katanya "Itu pikiran kerdil. Sejak kapan kau
menjadi seorang yang mengenal budi. Aku tidak
menghiraukannya lagi. Yang masih perlu kita pergunakan,
marilah kita pergunakan. Yang akan mati biarlah mati dalam
ketiadaan arti. Seperti kedua orang yang telah mencegat
Bantaradi itu. Merekapun akan mati. Dan aku tidak
berkeberatan, karena keduanya memang tidak berarti"
"Kau sudah kehilangan akal. Keduanya orang-orang yang
pernah berbuat sesuatu bagi Sanggar Gading. Keduanya
adalah orang yang berani dan mempunyai arti yang besar bagi
kita" "Tetapi kaku mereka terbunuh oleh Bantaradi, itu berarti
bahwa Bantaradi adalah orang yang lebih berarti bagi kita"
Orang bertubuh kekar itu menggeram. Katanya "Aku tidak
mengerti jalan pikiranmu. Kau sudah bingung dan tidak
mengenal lagi kawan-kawan kita sendiri"
"Jangan hiraukan. Biarlah yang terjadi itu terjadi" Orang
bertubuh kekar yang datang berkuda itu termangu-mangu.
Sejenak ia memandang medan yang menjadi semakin baur
oleh debu yang berhamburan. Ternyata perkelahian itu
menjadi semakin lama semakin seru.
"Orang itu memang luar biasa. Ja mampu melawan kedua
orang itu dengan sangat meyakinkan. Aku kira ia akan
menang" "Biarlah ia menikmat i kemenangannya. Biarlah ia memasuki
Sanggar Gading dan menemui Cempaka"
Orang yang datang berkuda itu termangu-mangu.
Wajahnya menjadi tegang, dan kadang-kadang ia
menggeretakkan giginya melihat perkelahian yang semakin
sengit Dalam pada itu, Jlitheng benar-benar telah berhasil
mendesak kedua orang lawannya. Meskipun ia masih harus
selalu berhati-hati, tetapi ia melihat kemungkinan telah
terbuka baginya. Kedua orang lawannya telah kehilangan
banyak tenaga, sehingga perlawanan mereka telah menyusut.
Yang dapat mereka lakukan, sebagian terbesar hanyalah
bergeser sambil meloncat menjauh Tetapi mereka tidak
mampu lagi menyerang dengan garang. Meskipun kadangkadang
masih terdengar keduanya berteriak nyaring, tetapi
teriakan-teriakan itu sama sekali sudah tidak berarti. Jlitheng
bertempur semakin garang. Pedangnya yang ringan itu
menyambar-nyambar diseputar kedua lawannya, seakan-akan
mengejar mereka kemanapun mereka pergi, meskipun
keduanya sudah berusaha berpencar.
Sementara itu, orang yang datang berkuda itupun menjadi
semakin tegang. Bahkan kemudian seolah-olah diluar
sadarnya ia bergumam "Orang itu memang harus dibunuh"
"Kau sudah kehilangan nalar. Bukan aku. Jika niat mereka
untuk mencegah orang-orang yang tidak berarti memasuki
Sanggar Gading, maka orang itu bukannya orang yang
dimaksud. Ia dapat bertahan dan menjaga dirinya. Karena itu
ia berhak memasuki Sanggar Gading dan bertemu dengan
Cempaka" Orang bertubuh kekar itu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Kau mendapat pesan dari Cempaka untuk
menyelamatkannya?" "Tidak, ia telah menyelamatkan dirinya sendiri. Dan karena
itu ia berhak memasuki Sanggar Gading" jawab Rabu.
Orang itu termangu-mangu. Wajahnya menjadi semakin
tegang ketika ia melihat kedua orang Sanggar Gading itu
hanya dapat meloncat-loncat. Bahkan seolah-olah mereka
sudah mulai mengambil jarak untuk lari.
Orang bertubuh kekar itu nampaknya menjadi gatal. Ia
tidak dapat menahan dirinya untuk melibatkan diri. Yang
dilakukan oleh Jlitheng seolah-olah merupakan tantangan dan
bahkan penghinaan baginya.
"Kau diamsaja?" bertanya orang itu kepada Rahu.
"Aku yang membawanya kemari"
"Setan" geramnya,
Sementara itu, Jlitheng benar-benar telah menguasai
lawannya. Pedang tipisnya terayun tidak lagi terkendali. Ketika
ia menggeram sambil meloncat maju. maka ujung pedang
tipisnya telah menyentuh pundah salah seorang lawannya.
Akibatnya mengejutkan. Tiba-tiba saja luka yang panjang
telah menganga dipundak orang itu. karena pedang Jlitheng
adalah pedang yang sangat tajam.
"Gila" geram orang bertubuh kekar itu ketika ia melihat
darah mulai mengalir. Sementara itu, lawan Jlitheng yang tergores, pedangnya
itupun meloncat surut Sambil menyeringai ia mengusap
pundaknya dengan tangannya. Ketika ia melihat tangannya
menjadi merah oleh darah, maka iapun menggeram "Anak
setan. Kau memang benar-benar harus mati"
Jlitheng yang melihat darah meleleh dipundak lawannya,
menjadi termangu-mangu sejenak. Namun sekilas ia teringat
kata-kata Rabu. Karena Itu maka katanya "Kenapa kau masih
berkata demikian" Apakah sejak semula kau tidak akan
membunuhku" Lakukanlah apa yang akan kau lakukan. Tidak
ada tempat disini bagi mereka yang ragu-ragu dan terlalu baik
hati" Kata-kata itu ternyata telah mendebarkan hati mereka yang
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengarnya. Rahupun menjadi berdebar-debar pula. Ia
tahu, bahwa yang di katakan oleh orang yang dikenalnya
bernama Bantaradi itu adalah kata-kata yang pernah
diucapkannya sendiri kepada Bantaradi itu.
Dalam pada itu, kedua orang yang bertempur melawan
Jlitheng itupun telah mempersiapkan dirinya pula untuk mulai
lagi dengan serangan-serangannya. Tetapi karena seorang
dari mereka telah terluka, maka bagi Jlitheng, kekuatan
merekapun tentu sudah berkurang.
"Jika kalian tidak membunuhku, akulah yang akan
membunuh kalian" teriak Jlitheng tiba-tiba.
Kedua orang itu tidak menjawab. Namun mereka segera
bersiap. Sejenak kemudian Jlitheng telah meloncat menyerang
mereka dengan garangnya, seperti angin prahara.
Pertempuran itupun segera meningkat lagi menjadi
semakin sengit. Tetapi Jlitheng telah mulai tersenyum ketika ia
melihat lawannya yang terluka itu menjadi semakin lemah.
"Aku harus melukai yang lain pula" desis Jlitheng di dalam
hatinya. Karena itu, maka serangan-serangannya kemudian
sebagian besar tertuju kepada lawannya yang lain, yang masih
belumtersentuh oleh senjatanya.
Ternyata lawannya menjadi semakin lama semakin
terdesak. Yang terluka menjadi semakin lemah, sedangkan
kawannya bagaikan selalu dikejar oleh pedang tipis Jlitheng
yang berputar. Rahu yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin
tegang. Ia melihat kemungkinan yang segera akan terjadi.
Jika Jlitheng benar-benar ingin berbuat seperti yang
dikatakannya, maka kedua orang itu tentu akan dibunuhnya
dan dilemparkannya ke dalam lembah yang disebut lembah
kerangka, karena mayat-mayat dari mereka yang terbunuh di
padang perburuan itu selalu dilemparkannya ke dalam lembah
dan menjadi makanan anjing-anjing liar dan burung-burung
pemakan bangkai Dalam pada itu, orang bertubuh kekar itupum
menggertakkan giginya. Katanya "Meskipun orang itu tamu
Cempaka, tetapi sebaiknya kita mencegah pembunuhan yang
akan dilakukannya" "Kau akan berdiri dipihak kedua orang itu?" bertanya Rahu.
Orang itu menjadi ragu-ragu. Ia mengerti, siapakah
Cempaka itu di dalam tataran para penghuni padepokan
Sanggar Gading. Namun rasa-rasanya pembunuhan yang akan
dilakukan itu telah mencemarkan nama Sanggar Gading pula,
seolah-olah Sanggar Gading itu adalah sarang orang-orang
kerdil yang tidak berarti apa-apa.
"Rahu" berkata orang itu "Aku tahu siapa orang itu. Aku
mengerti, bahwa aku tidak perlu mengganggu kepentingan
Cempaka dengan orang itu. Tetapi aku tidak mau memberi
kesempatan kepadanya menghina orang-orang Sanggar
Gading seperti itu" "Itu adalah salah kita sendiri. Kita yang merasa diri kita
tidak terkalahkan dengki dan iri hati, sehingga setiap orang
harus dibunuh agar penghuni Sanggar Gading tidak
bertambah lagi. Akupun tidak berkeberatan jika penghuni
Sanggar Gading justru menjadi susut"
"Kau memang sudah gila" geram orang itu "biarlah aku
akan menunjukkan kepada orang itu, bahwa isi Sanggar
Gading bukannya kedua orang dungu itu. Aku akan
menundukkannya dan memaksanya mengakui, bahwa ia
bukan orang yang luar biasa. Bahkan ia harus berlutut dan
mohon maaf akan penghinaannya atas orang-orang Sanggar
Gading" "Kau seharusnya dapat mengurai persoalan dengan nalar.
Kau benar-benar tidak dapat menghubungkan peristiwa
dengan akibatnya" "Apa maksudmu?"
"Jika orang itu tidak berusaha mengalahkan lawannya,
maka ia akan mati, sengaja atau tidak sengaja menghinakan
Sanggar Gading. Jika ia ingin tetap hidup, ia harus berjuang
dan membunuh lawannya yang menurut pengertianmu adalah
suatu penghinaan bagi Sanggar Gading. Apakah menurut jalan
pikiranmu, agar orang itu tidak kau anggap menghina Sanggar
Gading, ia harus membiarkan dirinya dibunuh oleh kedua
orang itu. Benar-benar dibunuh sampai mati dan dilemparkan
ke lembah kerangka?"
Orang itu menggeretakkan giginya. Katanya "Aku tidak
peduli. Aku akan memaksa orang itu mengakui kebesaran
nama Sanggar Gading"
Rabu menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum ia
menjawab, hatinya berdesir melihat Jlitheng berhasil melukai
lawannya yang seorang lagi. Bahkan kemudian serangannya
datang bagaikan banjir bandang menghantam kedua
lawannya berturutan. Ketika kedua lawannya berloncatan
surut, maka Jlitheng tidak mau melepaskannya. Dengan
tangkasnya ia meloncat memburu. Pedangnya terjulur
mengarah kelambung salah seorang lawannya yang membawa
tombak. Dengan sisa-sisa tenaganya orang itu berusaha
menangkis serangan Jlitheng. Tetapi dengan cepat Jlitheng
menarik pedangnya, dan justru kemudian diputarnya memukul
landean tombak lawannya. Demikian kerasnya, sehingga tangan orang yang sudah
menjadi semakin lemah itu tidak lagi mampu bertahan.
Tombak itu telah terlepas pada satu pegangan tangannya.
Namun sentuhan berikutnya telah melepaskan tombak itu
sama sekali. Ternyata kawannya yang melihat kesulitan itu. Karena itu,
maka iapun dengan serta merta telah menyerang Jlitheng
untuk menggeser perhatiannya. Bahkan senjatanya benarbenar
mengarah kepunggung Jlitheng yang sedang berusaha
melepaskan senjata lawanya.
Namun Jlitheng benar-benar seorang anak muda yang
tangkas. Ia sempat mengelak, justru setelah ia telah berhasil
memukul senjata lawannya yang seorang sehingga terlepas.
Rahu menahan nafasnya. Nampaknya orang yang
dikawalnya bernama Bantaradi itu benar-benar tidak raguragu
Demikian senjata lawannya terlepas, maka iapun
berusaha memburunya sambil memutar senjatanya.
Dengan loncatan panjang, lawannya menjauhinya,
sementara yang seorang lagi berusaha untuk menahan
Jlitheng. Tetapi karena keduanya sudah terluka dan yang
seorang sudah tidak bersenjata lagi, maka bagi Jlitheng
sebenarnya sudah tidak ada kesulitan apapun untuk dengan
segera mengalahkan mereka.
Namun dalam pada itu, orang yang datang berkuda, yang
kemudian berdiri dengan tegangnya disisi Rahu itupun
menggeram "Aku tidak peduli. Tidak ada orang yang pernah
menghukum salah seorang dari kita yang membunuh
dipadamg kematian ini. Cempakapun tidak akan berbuat
demikian, karena iapun ingin mengetahui tingkat ilmu tamutamunya.
Sekarang, akulah yang akan membunuhnya. Jika
tidak, biarlah aku yang dibunuhnya"
"Jangan tergesa-gesa" tahan Rahu.
Tetapi orang itu sudah tidak menghiraukannya lagi. Sambil
berteriak ia melangkah maju. Katanya "He, orang gila. Kau
sangka bahwa yang kau lakukan itu menyenangkan hati kami.
Aku tahu kau adalah tamu yang diundang oleh Cempaka.
Tetapi jika kau tidak mempunyai tataran ilmu setinggi aku,
maka tidak ada gunanya kau memasuki Sanggar Gading"
Jlitheng mengerutkan keningnya. Kemudian katanya sambil
menunjuk dengan pedangnya kearah dua orang itu "Dua
orang kawanmu telah aku lumpuhkan. Aku tinggal
membunuhnya dan melemparkannya ke lembah yang
disebutnya kerangka, meskipun aku belum tahu letaknya"
"Setan. Kau menghina orang-orang Sanggar Gading"
"Kau sendiri telah menghina kedua orang kawanmu. Biarlah
ia menemui kematian seperti ia melihat orang lain mati di
padang perburuan ini"
"Persetan. Aku yang akan membunuhmu dan membawa
kepalamu kepada Cempaka untuk mengatakan kepadanya,
bahwa kau tidak pantas mengunjunginya"
Wajah Jlitheng menjadi tegang. Ia tahu, bahwa orang ini
tentu merasa dirinya lebih baik dari kedua orang yang telah
dikalahkannya itu. Sehingga dengan demikian, maka ia benarTiraikasih
benar akan bertempur dengan segenap kemampuan yang
ada. Apalagi nampaknya orang itu adalah orang yang benarbenar
berdiri Sanggar Gading. Tanpa ragu-ragu dan tidak
mengenal kebaikan hati. Sejenak Jlitheng termangu-mangu. Sekilas diibainya kedua
orang yang sudah dilukainya. Agaknya karena darah yang
terlalu banyak mengalir, maka keduanya menjadi semakin
lemah, sehingga keduanya tidak akan banyak berpengaruh
lagi seandainya keduanya akan ikut pula bertempur bersama
orang baru itu. Sementara orang itu menjadi semakin dekat, maka mereka
telah dikejutkan pula oleh derap kaki kuda. Sejenak kemudian
dari arah orang yang berhadapan dengan Jlitheng itu datang,
telah datang pula dua orang penunggang kuda.
Sejenak orang-orang yang ada di padang itu termangumangu.
Namun sejenak kemudian orang yang sudah siap
untuk bertempur dengan Jlitheng itu berdesis "Setan.
Cempaka telah datang. Aku kehilangan kesempatan untuk
membunuhnya jika Cempaka curang"
"Kenapa, ia curang?" tiba-tiba sajai Jlitheng bertanya.
"Seharusnya, ia membiarkan apa yang dapat aku lakukan
atasmu dalam kesempatan yang sama" geram orang itu.
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak tahu, apa
yang kira-kira akan dilakukan oleh Cempaka jika ia datang
mendekat. Sejenak mereka menunggu. Rahu yang berdiri beberapa
langkah dari arena perkelahian itupun kemudian beringsut
menyongsong Cempaka yang justru langsung menuju
kepadanya. "Apa yang terjadi?" bertanya Cempaka kepada Rahu.
"Kami ingin mengetahui, apakah orang ini pantas memasuki
Sanggar Gading" Orang yang siap bertempur melawan
Jlitheng itulah yang mendahului menjawab.
Cempaka mengerutkan keningnya. Katanya "Aku
mengundangnya" "Tetapi ia harus meyakinkan kami"
Cempaka termenung sejenak. Lalu katanya "Bagus. Jika
kau tidak yakin siapakah orang bernama Bantaradi itu,
lakukanlah" ia berhenti sejenak, lalu "Kenapa yang dua orang
itu?" Rabulah yang menjawab "Merekalah yang mula-mula ingin
menahan Bantaradi. Tetapi keduanya telah terluka. Ketika
Bantaradi siap membunuh mereka, maka ia harus mendapat
lawan yang baru" Cempaka tertawa. Katanya "Sebenarnya yang kita lakukan
selama ini bukanlah untuk mengetahui tingkat kemampuan
orang-orang baru yang datang. Dengan cara demikian, apalagi
tiga empat orang bersama-sama bertempur untuk menjajagi
kemampuan orang lain, adalah sama artinya dengan
pembantaian tanpa mengetahui takaran yang sebenarnya"
"Kenapa baru sekarang hal itu kau katakan" geram orang
yang sudah siap untuk bertempur.
"Biasanya aku tidak berkepentingan. Sekarang aku
berkepentingan dengan orang itu. Tetapi jika kau anggap
perlu untuk menjajagi kemampuannya, lakukanlah. Seorang
melawan seorang, meskipun tamuku telah berhasil
mengalahkan dua orang bersama-sama"
"Tetapi kedua orang itu adalah tikus-tikus yang besar
kepala" "Dan kau adalah kelinci yang besar telinga" Orang itu
menjadi merah. Tetapi ia menggeram "Kita akan melihat. Jika
kepala orang itu terkapar di padaig ini, maka ia tidak berhak
sama sekali menyentuh padepokan Sanggar Gading, siapapun
yang mengundangnya" "Bagus " Jlitheng menjawab "Tetapi jika kepalamu yang
terpenggal berarti bahwa Sanggar Gading sudah melepaskan
orang yang tidak berhak tinggal lebih lama lagi. Aku akan
menggantikanmu dalam kedudukan yang lebih kuat, karena
aku berhasil membunuhmu dan sekaligus memotong lehermu"
"Gila" Orang itu menggeram. Sementara Cempaka berkata
"Marilah kita melihat Siapakah yang hanya besar mulutnya
saja" Orang yang sudah siap melawan Jlitheng itu menjadi
berdebar-debar. Tetapi ia tidak ingin melangkah mundur lagi.
Apalagi Cempaka membiarkannya untuk berkelahi melawan
orang yang dipanggilnya memasuki padepokan Sanggar
Gading itu. Sementara itu Jlithengpun sudah siap pula. Ia sadar, jika
tidak dilakukan saat itu, maka meskipun ia sudah berada di
dalam lingkungan Sanggar Gading, namun tentu masih saja
ada orang yang ingin menjajagi ilmunya.
Karena itu, maka Jlitheng benar-benar tidak dipengaruhi
lagi oleh keragu-raguan. Japun benar-benar telah bersiap
menghadapi segala kemungkinan. Ia bukan saja harus
mempertahankan dirinya karena lawannya agaknya benarbenar
ingin membunuhnya, tetapi iapun harus mampu
memberikan kesan bahwa ia memang seorang yang pantas
berada diantara para pemimpin Sanggar Gading. Kemudian
ikut bersama mereka menyelesaikan tugas yang berat dalam
jalur usahanya untuk memecahkan teka-teki pusaka yang
tersimpan di sekitar bukit gundul yang merupakan bagian dari
Sepasang Bukit Mati. "Tanpa meyakinkan mereka bahwa aku mampu berbuat
sesuatu seperti yang dilakukan oleh orang-orang Sanggar
Gading, maka aku tidak akan dapat menyertai mereka. Aku
harus tahu, orang yang dimaksud oleh Daruwerdi. Orang yang
telah menjadi sasaran dendamnya" berkata Jlitheng di dalam
hatinya. Karena itulah, maka Jlitheng sudah bertekad untuk
bertempur dengan segenap kemampuan yang ada padanya
dihadapan Cempaka. Sejenak kemudian kedua orang itu sudah berhadapan.
Cempaka yang kemudian diikut i oleh orang yang datang
bersama serta Rahu, melangkah maju mendekat. Agaknya
mereka ingin menyaksikan pertempuran itu dari jarak yang
cukup jelas.
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kepada kedua orang yang telah terluka itu Cempaka
berkata "Minggulah. Kalian sudah tidak berharga lagi"
Kedua orang itu tarmangu-mangu. Namun ketika Cempaka
memandang mereka dengan tajamnya, maka keduanyapun
melangkah surut "Jika kalian masih ikut campur, maka akulah yang akan
membunuh kalian" geram Cempaka.
Kedua orang itu tidak menjawab. Yang terjadi saat itu
memang agak berbeda dengan yang pernah dan bahkan
beberapa kali terjadi. Biasanya orang-orang yang melintasi
padang itu, sengaja atau tidak sengaja pergi ke Sanggar
Gading atau sekedar lewat, telah menjadi sasaran kebencian
orang-orang Sanggar Gading. Mereka membunuh orang-orang
yang mereka jumpai. Jika seorang dari mereka tidak mampu
melakukannya, maka yang lain datang membantu, seperti
yang dilakukan oleh orang yang datang berkuda yang
pertama. Tetapi agaknya Cempaka telah ikut campur, dan
bahkan menunggui pertempuran yang bakal datang.
"Cepat" teriak Cempaka yang tidak sabar lagi menunggu
"Siapa yang mampu membunuh, cepatlah membunuh"
Orang Sanggar Gading yang sudah berhadapan dengan
Jlitheng itupun maju selangkah. Ia imulai menggerakkan
senjatanya, sementara Jlitheng telah bersiap pula. Kakinya
melenggang setengah langkah, sambil sedikit merendah pada
lututnya, sementara senjatanyapun mulai bergetar.
Sejenak kemudian, maka orang Sanggar Gading itu telah
mulai meloncat menyerang. Demikian cepatnya, sehingga
orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi
berdebar-debar. Tetapi Jlitheng yang telah bersiaga sepenuhnya itu sempat
berkisar. Ujung senjata lawannya sama sekali1 tidak
menggores kulitnya. Namun dengan demikian Jlitheng dapat menduga betapa
lawannya mampu bergerak demikian cepatnya. Jika kakinya
telah basah oleh keringat, maka ia tentu akan mampu
bertempur lebih garang lagi.
Dalam pada itu, Jlitheng yang ingin menunjukkan
kelebihannya, karena ia mempunyai pamrih khusus untuk
dapat ikut serta dalam tugas yang bakal dilakukan oleh orangorang
Sanggar Gading, telah membuat perhitungan tertentu.
Ia harus dapat memberikan kesan, bahwa ia memang seorang
yang memiliki kemampuan yang tinggi, melampaui orang yang
sedang berusaha membunuhnya itu.
Dengan demikian, maka pada langkah berikutnya, Jlitheng
tidak mau menyia-nyiakan waktu. Tiba-tiba saja ia telah
membalas setiap serangan dengan serangan. Segenap
kemampuannya telah dikerahkannya pada tingkat pertama
dari pertempuran itu, dengan kesadaran sepenuhnya, jika ia
gagal mengalahkan lawannya dengan segera, maka ia akan
mengalami kesulitan, karena tenaganya telah terperas dan
nafasnya tentu akan ikut mengganggunya.
Tetapi pada langkah-langkah berikutnya, Jlitheng mulai
mempunyai harapan bahwa cara yang ditempuhnya tidak akan
jauh meleset. Dengan segenap kemampuan dan ilmunya, Jlitheng
bagaikan berloncatan memutari lawannya. Pedang tipisnya
bergetar dan mematuk dari segenap arah. Seolah-olah
lawannya sama sekali tidak diberi kesempatan untuk
menyerangnya pula. "Gila" geram lawannya
Sementara Cempaka yang berdiri beberapa langkah dari
arena, mengerutkan keningnya dengan hati yang tegang.
"Luar biasa" desisnya.
Rabu mendengar desis itu. Tetapi ia menahan senyumnya
agar tidak menumbuhkan kesan yang khusus dihati Cempaka.
Dalam pada itu, dalam waktu yang terhitung singkat,
Jlitheng telah berhasil mendesak lawannya. Lawan yang
merasa dirinya memiliki kelebihan dari dua orang kawannya
yang dapat dikalahkan oleh Jlitheng. Tetapi orang itu sama
sekali t idak menduga, bahwa anak muda itu memiliki
kemampuan yang sangat mengejutkan.
Tetapi orang itu tidak segera menjadi putus asa. Iapun
memiliki pengalaman yang luas menghadapi berbagai macam
keadaan. Karena itulah maka ia berusaha untuk mengenal
kelemahan lawannya. Namun Jlitheng sama sekali tidak memberi kesempatan
kepadanya. Setiap saat dipergunakannya sebaik-baiknya.
Sehingga dengan demikian, beberapa kali lawannya hanya
dapat berloncatan surut tanpa dapat memberikan perlawanan
yang berarti. "Anak iblis" Orang itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat
mengingkari kenyataan. Seolah-olah semuanya demikian
cepatnya terjadi. -ooo0dw0oooTiraikasih Karya : SH Mintardja Convert by : Dewi KZ Editor : Dino
Jilid 08 JLITHENG mempergunakan setiap kesempatan dengan
sebaik-baiknya. Jika ia gagal pada ujung pertempuran itu,
maka ia akan terjerumus ke dalam kesulitan yang mungkin
telah dapat diatasinya. Ia akan menjadi sangat lelah dan
kehabisan tenaga, sementara nafasnya tentu akan
berdesakkan di lubang hidungnya.
Karena itu, Jlitheng benar-benar bertekad untuk
menyelesaikan pertempuran iltu. Ia benar-benar tidak mau
memberi kesempatan barang sedikitpun. Ia mendesak
lawannya dengan garangnya dan memburunya kemana ia
pergi untuk menghidar. Dalam pada itu, lawan Jlitheng iltu benar-benar merasa
telah kehabisan ruang di padang yang luas. Ia tidak lagi
mempunyai tempat untuk berpijak, karena Jlitheng selalu
mendesaknya. Dalam keadaan yang paling sulit, maka orang itu telah
kehilangan kesempatan untuk menghindar. Karena itu, maka
ketika pedang tipis Jlitheng menyambar keningnya, maka
iapun mengangkat senjatanya untuk menangkisnya.
Yang terjadi kemudian adalah sebuah benturan yang
dahsyat. Jlitheng benar-benar telah mengerahkan segenap
kemampuan dan kekuatannya, sehingga segenap tenaganya
telah terayun pada pedang tipisnya. Ia percaya bahwa
pedangnya adalah pedang yang kuat, sehingga tidak akan
patah karenanya. Ternyata bahwa kekuatan Jlitheng memang melampaui
kekuatan lawannya. Benturan itu telah menggetarkan
kekuatan orang yang bertubuh kekar itu, sehingga tangannya
yang menggenggam, senjata rasa-rasanya bagaikan patah.
Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Jlitheng yang
memang ingin menujukkan kelebihannya itu. Sekali ia
menggeser senjatanya dan memutarnya. Sebelum lawannya
sempat memperbaiki keadaannya, maka Jlitheng telah
menjulurkan pedangnya. Orang yang bertubuh kekar itu terdorong surut. Terdengar
ia mengaduh tertahan. Dengan sisa tenaga yang ada padanya
maka iapun segera berloncatan menghindar.
Dengan garangnya Jlitheng memburunya. Namun ketika ia
melihat seleret warna merah didada lawannya, tiba-tiba saja ia
tertegun. Pedangnya yang siap menyambar lawannya
bagaikan tertahan sekejap. Namun yang sekejap itu telah
memberi kesempatan kepada lawannya untuk menjauhinya.
Namun Jlitheng tidak segera memburunya Ia melihat luka
yang menganga didada lawannya oleh goresan pedangnya.
"Pedang ini memang luar biasa" berkata Jlitheng di dalam
hatinya "tanganku hampir tidak merasa bahwa ujung pedang
ini telah menyobek dadanya"
Sejenak Jlitheng termangu-mangu. Ia melihat orang itu
mengusap dadanya dengan jari-jarinya. Kemudian wajahnya
menjadi membara. Sementara itu, sekali lagi Jlitheng disambar oleh keraguraguan.
Hampir saja ia menghentikan perkelahian. Namun
ketika dengan tidak sengaja ia melihat wajah Rahu, maka tibatiba
saja hatinya telah bergejolak semakin cepat. Ia tidak
boleh ragu-ragu jika ia ingin menjadi penghuni padepokan
Sanggar Gading. Apapun yang terjadi atas lawannya, ia tidak
boleh menghiraukannya, sehingga mempengaruhinya.
Karena itu, maka iapun segera mempersiapkan diri untuk
segera mengakhiri pertempuran dalam waktu yang singkat.
Dengan pedang gemetar ia siap untuk meloncat
menerkamnya. Meskipun lawannya telah terluka didada, namun ia masih
mempersiapkan diiri untuk menghadapi segala kemungkinan.
Karena itu ketika J litheng mulai bergerak, iapun telah bergerak
pula setapak kesamping. Sejenak kemudian, maka Jlithengpun telah meloncat
dengan pedang terjulur. Namun lawannya masih sempat
bergeser meskipun tenaganya menjadi semakin lemah.
Tetapi Jlitheng benar-benar tidak mau melepaskannya. Ia
segera menarik pedangnya yang terjulur, kemudian
memutarnya dan menebas kesamping. Demikian cepatnya
sehingga lawannya harus berloncatan tanpa sempat membuat
perhitungan, selain berusaha menjauhi lawannya pada jarak
sepanjang dapat di jangkaunya.
Namun Jlitheng masih meloncat memburu. Karena
pedangnya yang menebas mendatar tidak menyentuh
lawannya, maka iapun segera menarik serangannya. Dengan
tangkasnya iapun meloncat memotong loncatan lawannya.
Dengan gerak yang cepat sekali, iapun mengayunkan
senjatanya langsung mengarah lambung.
Lawannya masih berusaha menangkis serangannya. Tetapi
ternyata bahwa usahanya tidak banyak berhasil. Ketika
senjatanya bersentuhan sekali lagi, maka genggamannya yang
sudah lemah tidak berhasil menahan senjata lawannya.
Bahkan dengan satu hentakan berikutnya, maka senjata itu
benar-benar telah terlepas dari tangannya yang tulangtulangnya
bagaikan berpatahan itu. Tidak ada kesempatan untuk berbuat lebih banyak. Tibatiba
saja pedang Jilitheng bergetar. Tajamnya telah
menyentuh lambung lawannya, sehingga terdengar ia
mengaduh sambil berusaha meloncat kesamping.
Tetapi luka telah menganga lagi ditabuhnya. Dan darahpun
menjadi semakin banyak mengalir.
Sepercik keragu-raguan telah menyentuh hati Jlitheng.
Tetapi, ia menggeretakkan giginya sambil berkata "Aku tidak
boleh ragu-ragu. Apaboleh buat bahwa ia harus menjadi
korban Aku harus memasuki Sanggar Gading dan terlibat
dalam usaha memperebutkan pusaka di bukit gundul itu"
Karena itulah, maka Jlithengpun menggeram. Ia sudah
mengangkat pedangnya. Jika ia mengayunkannya tepat
menebas leher, maka leher itu tentu akan patah, karena orang
itu sama sekali sudah tidak berdaya lagi.
Jlitheng melihat orang itu terhuyung-huyung. Sekilas
terbersit niatnya untuk berbuat sesuatu yaing lain karena
dorongan hati nuraninya setelah ia melihat darah.
Dan yang dilakukan oleh Jlitheng benar-benar cermat,
sehingga tidak seorangpun yang mengetahui.
Jlitheng yang sudah siap menebaskan pedangnya itu
menunggu sejenak. Namun kemudian pedang iltupun terayun
pula dengan derasnya. Tetapi pada saat yang bersamaan,
orang itupun terhuyung-huyung jatuh terguling di tanah.
Dengan demikian pedang Jlitheng ternyata tidak
menyentuh lawannya. Pedang itu terayun setebal jari diatas
tubuh yang terguling itu.
Namun sebenarnyalah bahwa memang Jlitheng tidak ingin
membunuh orang itu. Karena itulah, maka yang dilakukan
kemudian adalah berdiri dengan kaki renggang. Sebelah
tangannya bertolak pinggang, sedang tangannya yang lain
berpegangan erat pada hulu pedangnya yang menunduk
mengarah ke dada orang itu.
"Aku dapat membunuhnya" teriak Jlitheng.
Cempaka ternyata tidak mencegahnya. Sambil tersenyum ia
berkata "Itu hakmu. Jika kau ingin membunuhnya, tidak ada
seorangpun yang dapat menghalangimu. Bahkan kedua orang
yang telah bertempur dan kau kalahkan itupun dapat kau
bunuh jika kau kehendaki"
Jlitheng menggeram. Sekilas dipandanginya wajah Rahu. Ia
mengumpat di dalam hatinya ketika ia melibat Rahu
tersenyum. Seolah-olah ia ingin mengatakan, bahwa Jlthang
benar-benar seorang yang terlalu baik buat Sanggar Gading.
Ia tidak akan dapat membunuh orang yang telah terkapar di
tanah itu. Jlitheng yang mengerti gerak hati Rahu itupun kemudian
berteriak "Aku ingin membunuhnya. Tetapi apakah ada
hukuman yang lebih berat daripada mati?"
"Tidak ada" Cempakalah yang menyahut.
Tetapi Jlitheng kemudian berkata "Mati adalah hukuman
yang terlalu ringan bagi orang-orang ini. Mati adalah akhir
bagi mereka tanpa berkesempatan untuk mengetahui
kebodohan yang kekerdilan diri. Karena itu aku tidak akan
membunuhnya. Biarlah ia mengerti, bahwa aku adalah orang
yang lebih perkasa dari padanya. Biarlah ia melihat, aku akan
berada pada kedudukan yang lebih baik daripadanya. Ia harus
disiksa oleh pengakuan, betapa lemahnya ilmunya. Beberapa
saat saja aku sudah berhasil mengalahkannya. Dan pada sisa
hidupnya ia harus selalu berlutut di bawah kakiku. Karena jika
ia tidak berbuat demikian, aku akan menginjak kepalanya"
Cempaka mengerutkan keningnya, Sejenak ia memandang
Jlitheng dengan sorot mata keheranan. Namun kemudian
katanya "Kau ternyata orang yang paling bengis yang pernah
aku kenal. Kau tidak mau mengakhiri hidupnya justru karena
kau mempunyai cara yang paling baik untuk membenturkan
pengakuannya pada sisa-sisa hidupnya yang tidak berarti
lagu" Jlitheng tertawa. Disarungkannya pedangnya sambil
mengguncang tubuh yang terbaring itu dengan kakinya "Jika
kau masih sempat bangun, bangunlah dan nikmatilah
kekalahanmu. Jika kau mendendam, maka aku akan
menunggumu sampai kau sembuh dan sekali lagi kita akan
berkelahi. Aku akan memberimu pelajaran yang lebih menarik
lagi dari mati dan siksaan pengakuan atas kedunguanmu. Aku
dapat membuatmu cacat sepanjang hidupmu. Dan kau akan
menjadi beban orang lain tanpa memiliki kesempatan sama
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekali untuk memperbaiki keadaan.
Orang yang terbaring itu sama sekali tidak menjawab.
Betapapun gejolak menghantam dinding jantungnya, namun
ia sudah tidak berdaya. Ia hanya dapat menggerakkan kelopak
matanya dan menggeletakkan giginya. Namun iapun tidak
dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia sudah tidak berdaya
lagi Ia telah dikalahkan dalami waktu yang terhitung sangat
singkat Jika mula-mula ia merasa dirinya niemliki kemampuan
melampaui orang kebanyakan, maka ia telah dihadapkain
pada seorang anak muda yang memiliki kemampuan iblis,
melampaui orang yang menyebut dirinya Iblis bertangan Petir
itu. Sejenak kemudian, Jlitheng ternyata benar-benar
meninggalkannya dalam keadaan yang parah itu. Sekilas ia
berpaling kepada dua orang yang telah dikalahkannya lebih
dahulu. Katanya "Kalian berdualah yang menyebabkannya.
Jika kalian tidak terlalu dungu, sehingga kalian berdua tidak
berkelahi seperti cucurut, maka orang itu tentu tidak akan
melibatkan dirinya. Karena itu terserahlah kepadamu kalian.
Aku memerlukannya untuk tetap hidup dan menikmati
kekalahannya, karena mati baginya adalah hal yang terlalu
biasa sehingga t idak dapat memberikan kesan apapun juga.
Tetapi kekalahan yang harus disandangnya akan
membebaninya sepanjang sisa hidupnya yang tidak berarti
lagi. Dan itulah yang aku butuhkah, sehingga apabila kalian
tidak dapat merawatnya sampai ia dapat hidup terus, maka
kalian akan mengalami perlakuan yang sangat menyedihkan,
karena kalian berdua ada di bawah wewenangku sejak kalian
aku kalahkan dan aku ampuni karena kemurahan hatiku"
Kedua orang itu menahan gejolak perasaannya yang
menggelegar dihatinya. Betapapun juga mereka merasa
terhina oleh ancaman yang sangat menyakitkan hati itu.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat apapun juga, karena
sebenarnya mereka memang sudah dikalahkan.
Cempaka melihat sikap Jlitheng itu dengan senyum di
bibirnya. Sekal lagi ia berkata "Kau memang iblis yang paling
licik. Kaulah yang pantas bernama Iblis berjantung Beku. Kau
menghina orang-orang Sanggar Gading dengan semenamena"
"Bukankah itu hakku seperti yang kau katakan?" bertanya
Jlitheng "Ya. Tetapi aku tidak mengira, bahwa kau mampu
mengguncang harga diri seluruh isi padepokan Sanggar
Gading" Jlitheng tertawa. Katanya "Orang-orang Sanggar Gading
memperlakukan orang lain dengan semena-mena. Apakah aku
tidak dapat berbuat sebaliknya"
"Baiklah. Memang terserah kepadamu. Tetapi jangan
mencoba menghina aku" sahut Cempaka.
"Kaulah yang mengundang aku kemari. Dan aku datang
memenuhinya. Mungkin aku akan dapat bertualang bersama
orang-orang Sanggar Gading untuk satu saat. Dan itu tentu
sangat menarik" jawab Jlitheng.
Cempaka tertawa. Katanya "Marilah. Ikutilah kami. Kami
akan membawamu memasuki Sanggar Gading. Kami. memang
sudah siap untuk berbuat sesuatu. Mula-mula aku ragu-ragu,
apakah kau dapat Ikut bersama kami. Tetapi kau sudah
melumpuhkan satu orang yang termasuk dalam tugas ini.
Karena itu, maka kau akan dapat menjadi penggantinya.
Tetapi jika kau mencoba berkhianat, maka nasibmu menjadi
lebih buruk dari padanya"
Jlitheng yang dikenal bernama Bartaradi itupun
memandang Cempaka sejenak. Namun iapun kemudian
tertawa sambil berkata "Kau sudah mulai mengancam tetapi
aku tidak berkeberatan. Agaknya memang menarik sekali
dapat berhubungan dengan orang-orang Sanggar Gading yang
aneh. Di padukuharn tempat tinggal Rahu, aku sudah
menjumpai banyak keanehan tingkah laku dan sikap
penghuninya. Agaknya Sanggar Gading juga memiliki sesuatu
yang menarik lagi" "Kau akan melihatnya. Tetapi jangan menyesal jika yang
kau lihat itu tidak sesuai dengan seteramu" potong Cempaka.
Jlitheng mengerutkan keningnya. Tetapi ketika ia akan
mengucapkan sesuatu Cempaka telah mendahuluinya "Ikutlah
aku" Namun ternyata Cempaka tidak menunggu Jlitheng. Ia
dengan tergesa-gesa menuju kekudanya dap langsung
meloncat naik diikuti oleh seorang pengiringnya.
"Biarlah ia mendahului kiita" desis Rabu.
Jlitheng menjadi termangu-mangu. Namun ia, mengikuti
petunjuk Rahu dan membiarkan Cempaka berpacu
mendahului. "Kita akan menyusul" desis Rabu.
"Ya. Marilah" sahut Jlitfaeng,
"Jangan cemas. Aku mengenal daerah ini seperti Cempaka
mengenalinya" jawab Rahu.
Jlitheng mengangguk-angguk. Sekilas dipandanginya
orang-orang yang terluka. Mereka berusaha untuk saling
menolong. Beberapa saat lamanya Jlitheng memandangi mereka. Di
luar sadarnya ia berdesis "Apakah mereka dapat
menyelamatkan diri?"
"Siapa?" bertanya Rabu.
Jlitheng mengerutkan keningnya. Lalu katanya "Aku
memerlukan mereka hidup untuk menikmati kekalahan
mereka. Rabu tertawa. Katanya "Jangan membohongi aku. Jika aku
belum melihat apa yang kau lakukan di padukuhanku,
mungkin aku percaya. Tetapi yang terjadi adalah penegasan
dari dugaanku. Kau terlalu baik hati dan ragu-ragu untuk
memasuki Sanggar Gading yang keras dan buas"
Wajah Jlitheng menegang. Katanya "Kau mulai mengigau
lagi. Sebaiknya jangan menjadi orang pertama yang akan aku
bunuh di dalam lingkungan Sanggar Gading"
"Bagus. Jika kau dapat melakukannya, maka itu akan dapat
menolongmu dari kecurigaan" desis Rahu.
"Persetan" Jlithengpun kemudian meloncat pula ke
punggung kudanya samba menggeram "cepat. Kita susul
Cempaka" Rahu masih saja tertawa. Kemudian kepada orang-orang
yang terluka ia berteriak "Berjuanglah untuk hidup. Jika kalian
menjadi putus asa, maka kailan akan benar-benar mati"
Orang-orang yang terluka itu tidak menjawab. Tetapi
sepercik pertanyaan memang telah mencengkam jantung
mereka "Kenapa kami tidak dibunuhnya. Apapun alasannya,
tetapi itu merupakan satu persoalan tersendiri. Mungkin ia
benar-benar ingin menghina kami, tetapi mungkin karena
alasan lain, karena kami bertiga telah dibebaskan seluruhnya
dari kematian" Sementara itu kuda Jlitheng dan Rata telah berderap
membelah padang yang disebut padang perburuan dan yang
kadang-kadang juga disebut padang kematian oleh orangorang
Sanggar Gading Padang yang berdebu dan berwarna
gersang. Dedaunan yang kuning nampaknya bertambah
kering. Angin yang lemah telah melepas tangkai-tangkai daun
dan berguguran di tanah berbatu padas dan berdebu.
"Apakah padepokan yang aneh itu masih jauh?" bertanya
Jlitheng. "Tidak. Diseberang padang yang tidak terlalu luas itu, Kita
akan menuruni jurang yang dangkal. Kemudian menyeberangi
sebuah sungail kecil Barulah kita memasuki daerah padepokan
Sanggar Gading yang dikelilingi oleh tanah garapan yang
menghasilkan makan kami"
Jlitheng mengangguk-angguk. Katanya kemudian "Kalian
mampu mencari tempat yang benar-benar terasing. He,
bagaimana cerita tentang dirimu, sehingga kau berhasil
memasuki Sanggar Gading?" tiba-tiba saja ia melontarkan
sebuah pertanyaan. Tanpa diduganya, maka tiba-tiba saja Rahu itu tertawa
meledak. Diantara suara tertawanya ia berkata "Aku sudah
mengira bahwa kau. akan bertanya demikian"
"He" Jlitheng mengerutkan keningnya. Lalu "Jika kau sudah
mengira sebelumnya, kenapa kau tertawa?"
"Tidak apa-apa. Pertanyaan Itu wajar sekali. Tetapi
ketahuilah, bahwa aku berada di Sanggar Gading sejak
padepokan itu dibuat. Aku ikut serta membangun padepokan
itu, aku adalah salah seorang yang berpengaruh di antara
penghuni padepokan itu, karena aku termasuk cikal bakal"
"Bohong. Wajahmu tidak membenarkan kata-katamu dan
sikapmu tidak mendukung pernyataan itu sama sekali"
"He, kau belajar kawruh kawan sehingga kau dapat
menebak isi hati orang" Kau dapat menebak pernyataan
wajah dan sikap?" bertanya Rahu.
"Tidak. Tetapi setiap orang dapat melibat kesan yang
tersirat pada wajah seseorang jika ia berbohong" bantah
Jlitheng. "Jika demikian tidak akan ada seorangpun yang dapat
ditipu oleh orang lain. Jika setiap orang dapat mengetahui
orang lain berbohong, maka kita semuanya akan hidup dalam
dunia yang lebih baik" desis Rahu kemudian.
Jlitheng memandang wajah Rahu sekilas. Ia menjadi
semakin heran melihat sikap orang itu. Namun ia segera
melepaskan kesannya dan berkata "Kau benar. Tetapi
bagaimana gambaranmu tentang dunia yang lebih baik?"
"Pembicaraan kita sudah berkisar. Kau ingin menjajlagi
sikap dan pandangan hidupku?" beritanya Rahu.
"Kau memang Gila" geram Jlitheng "Yang pantas bercuriga
adalah aku. Bukan kau. Atau memang kita harus saling
mencurigai" Rahu tertawa pula. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan
disentuhnya perut kudanya dengan tumitnya, sehingga
kudanya berlari semakin kencang. Disusul oleh Jlitheng yang
terpaksa menyesuaikan dirinya, berpacu semakin cepat di
padang yang berdebu. Untuk beberapa saat keduanya tidak berbicara. Jlitheng
berkuda agak di belakang. Tetapi ia tidak membuat jarak
dengan Rahu. Beberapa saat kemudian, Jlitheng melihat sebuah jurang
yang tidak begitu curam dan tidak begitu dalam. Seperti yang
dikatakan oleh Rahu, maka mereka akan segera menyeberangi
sebuah sungai kecil. Baru kemudian memasuki daerah
kekuasaan padepokan Sanggar Gading.
Ketika keduanya sampai ke pinggir jurang yang tidak begitu
dalam itu, Rahu memperlambat lari kudanya. Mereka
kemudian melihat Cempaka yang sudah naik di tebing
seberang sesudah menyeberangi sebuah sungai yang memang
tidak begitu besar. "Kita akan sampai ke sungai yang menjadi urat nadi dan
sumber makan bagi padepokan Sanggar Gading" berkata
Rabu. Jlitheng mengerutkan keningnya. Sungai itu memang t idak
begitu lebar dan tidak begitu dalam. Tetapi airnya yang jernih
mengalir cukup deras meskipun di musim kering.
"Sungai ini t idak pernah kering di segala musim" berkata
Rahu"di bebarapa tonggak sebelah atas sungai ini kami
membuat bendungan yang mengaliri sawah dan pategalan
kami" "Kalian memang bukan main" desis Jlitheng "kalian berhasil
menemukan tempat yang sangat balik bagi persembunyian
sebuah kelompok yang aneh dari orang-orang Sanggar
Gadang" "Cempaka sudah mengatakan, bahwa kau mampu
menyentuh harga diri kami. Karena itu. jangan terlalu sering
menghina aku" geram Rahu.
"Aku memuji kalian" sahut Jlitheng dengan serta merta
"tidak banyak orang yang mengira bahwa diseberang padang
yang kering itu terdapat sebidang tanah yang subur, yang
dialiri oleh sebuah sungai yang tidak pernah kering"
"Kaulah yang bodoh" jawab Rahu "Jika kau menempuh
perjalanan lewat padang yang kering itu, maka kau memang
akan menjadi heran, bahwa kau akan menemukan daerah
yang subur ini. Tetapi jika perjalananmu menyusur sungai
Situ, maka tidak akan terdapat keanehan apapun juga dari
tanah orang-orang Sanggar Gading. Karena tanah di
sepanjang sungai itu, dari sumbernya sampai mulutnya di
pesisir adalah tanah yang subur"
"Tetapi kenapa hanya belahan di seberang saja yang
menjadi subur dan tidak sebelah menyebelah sungai?"
"Aku kira kau tidak sebodoh itu. Bukankah itu tergantung
dari garapan manusia, kami sudah mengangkat air dari
sungau itu. Tetapi kami mengalirkan air itu pada belahan
diseberang sungai dan kami sama sekali tidak mengaliri
padang ini. Jlitheng mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian
tertawa. Katanya "Kau benar. Aku memang bodoh"
Ketika mereka kemudian menyeberangi sungai itu, maka
mereka berhenti sejenak untuk memberi kesempatan kuda
mereka untuk meneguk air. Betapa segarnya. Namun Jlitheng
tidak turun dan mencelupkan kakinya, betapapun ia ingin.
Sejenak kemudian mereka telah melanjutkan perjalanan
menuju ke sebuah padepokan. Jlitheng menebak-nebak di
hatinya, apakah kira-kira yang akan dijumpainya disebuah
padepokan yang sulit untuk dibayangkan.
Ketika mereka memanjat tebing diseberang yang tidak
terlalu tinggi maka merekapun mulai memasuki tanah
persawahan yang subur. Beberapa tonggak dari tebing,
Jlitheng telah melihat sawah yang terhampar. Batang-batang
padi yang hijau dan segar. Beberapa puluh tonggak lagi,
dilihatnya sebuah padukuhan yang hijau.
"Padukuhan itukah yang kau maksud dengan padepokan
Sanggar Gading?" bertanya Jlitheng.
"Ya. Padukuhan itulah padepokan yang terasing, tetapi
memiliki cita-cita buat hari depan, melampaui cita-cita orang
Demak" desis Rabu. Jlitheng mengerutkan keningnya. Sejauh mata
memandang, dilihatnya tebaran sawah dan ladang. Diujung
pandangan matanya, ia melihat tegal jagung dan ketela
pohon. Agaknya tanah itu tidak begitu banyak berkesempatan
mendapat aliran air, sehingga ditanami, jagung dan ketela
pohon. Sedang di sebelahnya, yang agaknya lebih jarang lagi
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
disentuh air, terdapat pategalan.
"Kami tidak akan kekurangan makan" berkata Rahu sambil
memandang kesekelilingnya "sawah ini menghasilkan padi.
Ladang itu akan memberikan jagung dan ketela pohon,
sedangkan kami dapat memetik buah-buahan dari pategalan.
Disebelah pategalan itu terdapat kebun kelapa yang luas dan
sebuah ladang rami yang memberi serat kepada kami.
Jlitheng mengangguk-angguk. Namun ia menyimpan
keheranan di dalam hatinya. Agaknya di padepokan itu
memang terdapat satu dua orang yang mampu berpikir
tentang masa lampau mereka, masa kini dan masa depan.
Sehingga ia dapat mempersiapkan rancangan yang mapan
untuk satu perjuangan "Aku tidak tahu pasti, apakah yang sebenarnya mereka
perjuangkan. Namun menilik usaha Cempaka, dengan
sungguh-sungguh untuk menguasai pusaka yang tersimpan di
daerah sekitar Sepasang Bukit Mati itu, maka agaknya ada
cita-cita dari isi Sanggar Gading untuk menujui ke tahta,
Demak" berkata Jlitheng di dalam hatinya "Tetapi apakah
mereka mempunyai cukup bekal. Mempunyai cukup pengaruh
meskipun mereka memiliki pusaka yang manapun juga"
Karena itu, Jlitheng menjadi berdebar-debar. Sebuah
pertanyaan telah timbul "Apakah ada justru orang-orang
Demak sendiri yang menjadi penggerak dari Sanggar Gading
ini" Tetapi Jlitheng tidak bertanya sesuatu. Sekilas dikenangnya
peristiwa yang pernah terjadi. Dibayangkannya kembali orangorang
Kendali Putih dan orang Pusparuri.
"Memang agak lain" berkata Jlitheng di dalam hatinya
"agaknya kelompok ini mempunyai beberapa kelebihan dari
kelompok lain. Mungkin bukan dari segi kekuatan dan jumlah
pengikutnya, tetapi agaknya orang-orang Sanggar Gading
lebih banyak berpikir dari pada orang-orang Kendali Putih dan
Pusparuri. Demikianlah mereka berdua itupun berkuda semakin dekat
dengan padepokan Sanggar Gading yang terasing. Yang
dibatasi oleh padang yang cukup luas dan buas. Tebing yang
meskipun tidak begitu dalam, sebuah sungai dan baru
kemudian sebuah bulak panjang.
"Rahu" tiba-tiba Jlitheng bertanya "Apakah kau dapat
mengatakan, apakah yang disebut lembah kematian, atau
apapun mamanya tempat pembuangan mayat itu?"
Rahu mengerutkan keningnya. Sejenak ia termangumangu,
Namun kemudian katanya "Kau sudah menyebutkan.
Tempat itu adalah tempat orang-orang Sanggar Gading
membuang mayat dari orang-orang yang telah dibunuh di
padang perburuan atau yang juga disebut padang kematian
itu. Mayat itu dibiarkan membusuk dan menjadi makanan
anjing-anjing liar dan burung pemakian bangkai"
"Apakah lembah itu kelanjutan dari lembah dangkal dari
sungai yang baru saja kita seberangi?" bertanya Jlitheng pula.
"Bukan. Lembah itu lembah mati. Bukan kelanjutan dari
lembah yang manapun juga. Lebih mirip dengan sebuah
luweng terbuka yang besar dan dalam" Rabu. berhenti
sejenak, lalu "Kau sudah menunjukkan sifatmu lebih jelas. Kau
tentu menjadi cemas bahwa bangkai yang membusuk itu akan
mengotori air yang mengalir dari sungai ini. Bukan saja
mengotori, tetapi akan dapat menumbuhkan penyakit.
Bukankah begitu?" "Kau memang anak iblis. Kau pantas dibunuh disini. Dan
mayatmupun harus dilempar ke lembah itu pula"
Rahu tertawa. Namun kemudian katanya "Marilah.
Cempaka sudah semakam jauh. Sebaiknya kita masuk regol
padepokan bersamanya, agar kita, terutama kau. tidak banyak
mengalami, kesulitan"
"Persetan. Aku akan membunuh siapa saja yang
menghalangi aku" geramJlitheng.
Tetapi Rahu justru tertawa semakin keras. Katanya "Kau
bukan seorang yang garang seperti yang kau katakan"
"Aku sudah membunuh orang-orang dari Kendali Put ih,
mungkin juga orang-orang Pusparuri dan sekarang orang
Sanggar Gading" Rahu tidak menjawab. Sambil tertawa ia berkata "Percepat
sedikit lari kudamu"
Keduanya berkuda semakin cepat Semakin lama mereka
menjadi semakin dekat dengan padepokan Sanggar Gading,
sementara jarak mereka dengan Cempakapun menjadi
semakin dekat. Beberapa puluh Jangkah dari regol, Rahu dan Jlitheng
sudah berada di belakang Cempaka bersama seorang
pengiringnya. Karena itu. ketika mereka memasuki regol,
mereka t idak mengalami kesulitan.
Ketika penjaga regol itu membentak Jlitheng, maka
Cempakalah yang menjawab "Buka matamu Ia datang
bersama aku. Jika aku, tidak dengan sengaja membawanya
masuk, ia sudah aku bunuh di padang perburuan"
Penjaga itu termangu-mangu.
"Minggir, atau aku pecah kepalamu" Cempaka, membentak
semakin keras, sementara Rahu tanpa berkata sesuatu,
langsung menyentuh kepala orang itu dengan kakinya.
Orang itu terhuyung-huyung. Matanya menyala sementara
mulutnya bergerak-gerak. Jlitheng tahu, bahwa orang itu
mengumpat, tetapi tidak terucapkan.
Jlitheng tidak berbuat sesuatu. Namun ia berdesis di dalam
hatinya "Inilah gambaran tata kehidupan yang keras, buas dan
liar di padepokan Sanggar Gading"
Namun dalam pada itu, Jlitheng mulai membayangkan, tata
kehidupan di padepokan-padepokan lain yang tentunya akan
terasa lebih kasar, lebih buas dan liar. Kendali Putih, Pusparuri
dan kehidupan orang-orang dari padepokan Gunung Kunir.
Tetapi ia tidak dapat merenung lebih lama lagi. Ketika
Cempaka memasuki regol bersama pengiringnya, maka
Rahupun mengikutinya pula. Dipaling belakang adalah Jlitheng
yang ragu-ragu. Namun dalam pada itu, dendam orang yang bertugas di
regol itu ternyata jatuh kepada Jttheng. Ketika Jlitheng berada
di regol, tilba-tiba saja orang itu mencabut pisau kecilnya dan
langsung akan menggores kaki Jlitheng pada pahanya.
Untunglah bahwa Jlitheng cukup tangkas melihat bukan
saja geraknya, tetapi juga gelagat dan sorot matanya. Karena
itu, ketika ia melihat tangan, orang itu bergerak, iapun segera
mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Sejenak kemudian, terjadi peristiwa yang mengejutkan.
Cempaka, pengiringnya dan Rata telah tertegun dan
berpaling. Mereka masih sempat melihat, pisau itu bergetar di
tangan penjaga regol. Namun ia tidak berhasil mengenai paha
Jlitheng. Bahkan Jlitheng sempat berkisar, mengangkat
kakinya dan sebuah tendangan yang keras mengenai wajah
orang itu sehingga terdengar ia mengaduh Namun sementara
itu, Jlitheng tidak puas dengan tendangan kakinya yang
mengenai wajah orang itu. Ia masih sempat meloncat turun.
Kemudian dengan kedua tangannya ia memukul perut orang
itu beberapa kali beruntun. Kemudian dengan garangnya
Jlitheng meremas rambut orang itu dan dengan cepat ia
membenturkan wajah orang itu pada lututnya.
Ketika Jlitheng melepaskan orang itu, maka orang itupun
terhuyung-huyung dan jatuh di tanah. Sementara Jlitheng
masih berdiri tegak sambil memandang beberapa orang
penjaga regol yang lain yang menjadi tegang.
"Siapa yang ikut menjadi gila bersama orang itu?"
Tidak ada yang menyahut. Sementara Cempaka dan Rahu
tersenyum memandanginya. "Ia pantas menjadi orang Sanggar Gading" desis Cempaka.
Rabu tidak menyahut. Tetapi ia tertawa di dalam hatinya,
karena ia tahu, bahwa Jlitheng melakukan bal itu. justru
karena ia ingin berbuat sebagai orang-orang Sanggar Gading.
Ia ingin menutupi sifat dan wataknya yang sebenarnya.
Sejenak Jlitheng termangu-mangu. Namun kemudian iapun
melangkah dan meloncat kembal ke punggung kudanya.
Ketika Cempaka kemudian memasuki halaman lebih dalam
lagi. Ternyata bahwa orang-orang padepokan Sanggar Gading
itu tidak turun dari kudanya ketika mereka melintasi halaman
dan kebun disamping rumah induk padepokannya, langsung
menuju ke kandang. "Dimana matamu he?" tiba-tiba saja Cempaka berteriak
ketika ia melihat seorang berdiri termangu-mangu "Kau lihat
kami datang" Orang itupun segera berlari-lari. Ketika Cempaka meloncat
turun, maka dengan tergesa-gesa orang itu menerima kendali
kudanya. Demikian juga kendali kuda pengiring Cempaka.
"Cepat" Rahupun membentak pula.
Orang itupun kemudian dengan tergesa-gesa
menambatkan kendali kuda itu pada tiang kandang kuda.
Sementara iapun berlari-lari menerima kuda Rahu.
"Layani pula kuda tamuku" perintah Rahu.
Orang itu memandang Jlitheng sejenak. Nampak ia menjadi
ragu-ragu sehingga untuk sesaat ia tidak beranjak dari
tempatnya. "Cepat, apakah kau ingin dibantai pula". Ia sudah berhasil
melewati padang pembantaian itu. Dan ia adalah salah
seorang keluarga kita yang terhormat" teriak Rahu.
Cempaka yang sudah meninggalkan kandang, tetapi masih
belum terlalu jauh itu berpaling, la masih melihat orang yang
dibentak oleh Rahu itu berlari-lari mendekati kuda Jlitheng.
Setelah menyerahkan kudanya, maka Jlithengpun
menyentuh kepala orang itu sambil berkata "Rahu sudah
memperkenalkan aku. Hati-hatilah, karena mungkin aku akan
menjadi orang yang paling buas disini"
Orang itu memandang Jlitheng dengan wajah yang tegang.
Tetapi karena Jlithengpun segera meninggalkannya, maka
iapun menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam "Satu lagi
orang paling gila di padepokan ini. Begitu ia datang, begitu da
mengusap kepalaku. Besok ia mulai mendorong dahi, dan lusa
ia akan meludahi mukaku"
Tetapi Jlitheng dan Rahu t idak mendengarnya, karena
merekapun telah meninggalkan kandang.
Beberapa langkah Jlitheng berjalan di halaman padepokan
Sanggar Gading, ia menjadi berdebar-debar. la. melihat dua
orang berdiri di sebuah lesung kayu yang tertelungkup.
Keduanya menyilangkan tangannya di dada, seolah-olah
mereka berdiri acuh tidak acuh meskipun mereka memandang
Jlitheng dan Rahu yang melintas beberapa langkah dihadapan
mereka. "Keduanya kakak beradik" desis Rahu "ketika aku
menyebut diriku Iblis bertangan Petir, maka keduanya telah
membuat nama yang tidak kalah garangnya"
"Kalian tidak lebih dari orang-orang berjiwa kerdil sehingga
untuk menutupi kekerdilan hati kalian sendiri, maka kalian
telah membuat nama yang tidak lebih dari satu kegilaan
geramJlitheng. Tetapi Rahu, tertawa. Katanya "Kau jangan mengelabui aku
dengan sikap kasarmu. Jika aku membuat nama yang
nggegirisi sekedar untuk menutupi kekerdilanku, maka kau
berbuat seolah-olah kau seorang yang kasar dan buas untuk
menutupi sifat-sifatmu yang tidak sesuai dengan sifat-sifat
orang Sanggar Gading"
"Kau memang, pantas dibunuh untuk membukukan bahwa
tangankupun selalu haus darah" desis Jlitheng.
Tetapi Rahu tertawa semakin keras. Cempaka yang
berjalan beberapa langkah dihadapannya berpaling lagi. Tetapi
ia tidak bertanya sesuatu kepada Jlitheng.
"Siapa nama mereka?" tiba-tiba Jlitheng bertanya. Sambil
tertawa Rahu bertanya "Kau ingin tahu juga?"
"Persetan" Sambil masih juga. tertawa, Rahu menjawab "Yang seorang
bernama Elang bersayap Pedang. Sedang yang lain bernama
Guntur Geni" "Gila, aku tidak bertanya istilah-istilah cengeng ini. Aku
bertanya siapakah nama mereka?" bentak Jlitheng.
"Kau memang pandai berpura-pura. Kau benar-benar
seperti orang marah"
Jlitheng menggeretakkan giginya. Namun akhirnya ia
tertawa pula sambil berkata "Kau benar-benar gila. Tetapi aku
berkata sungguh-sungguh Jika kau mengancam
keselamatanku dengan kecurigaanmu itu, aku akan membela
diri. Kau adalah sumber dari kecurigaan orang-orang Sanggar
Gading" "Jangan takut" berkata Rahu "Aku tidak akan mengatakan
sesuatu. Jika orang-orang Sanggar Gading mencurigaimu,
maka itu adalah karena mereka sendiri melihat sesuatu yang
asing padamu" "Kau mulai mencemaskan keselamatanmu sendiri. Kau
sudah melihat, bagaimana aku bermain dengan pedang
tipisku" "Kau mulai berpura-pura lagi"
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya "Aku
benar-benar ingin tahu nama kedua orang itu"
Keduanya melangkah terus. Akhirnya mereka mendekati
pendapa rumah induk padepokan Sanggar Gading itu Rahu
berkata "Namanya bagus. Yang tua, bernama Buntar Angin.
Yang muda namanya Sampar Watang"
"O, nama yang, bagus. Kenapa mereka memilih namanama
gila seperti kau. Dengar dan perhatikan namamu
sendiri, Iblis bertangan Petir. Bukankah terdengar cengeng
sekali" "Aku tidak peduli. Tetapi aku dapat menakut-nakuti orang
padukuhainku" ia berhenti sejenak, lalu "Sudahlah. Kita ikuti
Cempaka naik kepandapa"
Keduanyapun kemudian naik kepandapa. Ketika mereka
sudah duduk diatas tikar pandan yang terhampar, maka
Jlitheng masih sempat memandang kedua orang yang berdiri
diatas lesung. Buntar Angin dan adiknya Sampar Watang"
"Nampaknya keduanya bukan keturunan orang
kebanyakan" gumam Jlitheng di dalam hatinya, namun ia tidak
menanyakannya kepada Rahu. Meskipun demikian ia merasa
bahwa tatapan mata kedua orang itu seolah-olah telah
memperingatkannya. bahwa ia berada di dalam lingkungan
Sanggar Gading yang garang, buas dan kasar.
Dalam pada itu, ternyata bahwa dihalaman rumah induk itu
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah berdiri beberapa orang yang berpencar disudut-sudut.
Lebih dari empat orang. Dan Jlitheng tidak tahu, apakah yang
sedang mereka kerjakan. Namun ia merasa, bahwa ia. harus
berhati-hati menghadapi segala kemungkinan, karena di
tempat itu dapat terjadi beberapa hal yang tidak disangkasangkanya.
Beberapa saat lamanya keduanya duduk di pendapa. Tetapi
tidak ada sesuatu yang mereka lakukan kecuali duduk sambil
merenung. Akhirnya Jlitheng tidak tahan lagi. Maka iapun
kemudian bertanya kepada Rahu "Apa yang akan kita lakukan
disini?" "Duduk sajalah" berkata Rahu "Kita akan menungu. Lihat,
Cempakapun duduk menunggu"
"Cempaka berada di rumah sendiri" geram Jlitheng "Tetapi
aku orang lain disini"
"Jangan berbuat aneh-aneh. Tunggu sajalah. Kau akan
mengetahui, apa, yang akan kita lakukan disini nanti"
"Sampai kapan aku harus menunggu?" bertanya Jlitheng
Rahu tidak menjawab. Tetapi ia berpaling ketika ia
mendengar pintu pringgiitan itu berderit.
Ketika pintu terbuka, maka nampak seorang yang cacat
kaki dan tangan, keluar beberapa langkah. Kemudian dengan
suara yang terbata-bata ia berkata "Bersiaplah. Yang Mulia
sudah hampir siap. Yang sudah ada di padepokan supaya
berkumpul di bangsal ini"
Tidak ada-yang menjawab. Orang yang cacat kaki dan
tangan itupun kemudian melangkah tertatih-tatih masuk ke
ruang dalam. Sejenak kemudian pintu itupun telah tertutup
lagi. "Siapa yang akan hadir di bangsal ini?" bertanya Jlitheng.
"Pemimpin tertinggi dari padepokan kami" jawab Rahu.
"Ya, siapa orang itu?" desak Rahu.
"Tidak seorangpun yang mengetahui siapakah orang itu
sebenarnya. Yang aku ketahui, ia adalah pemimpin padepokan
ini. Apakah masih perlu dijelaskan, siapakah ia sebenarnya?"
sahut Rahu. Jlitheng tidak menyahut. Tetapi ia mengumpat di dalam
hatinya. Namun dalam pada itu, sebelum orang yang disebut Yang
Mulia itu keluar dari pintu pringgitan, seorang yang bertubuh
tinggi, kekar dan berkumis lebat naik ke pendapa. Sejenak ia
memandang berkeling Namun kemudian ia berdesis "Kau
sudah ada disitu Cempaka?"
Cempaka acuh tidak acuh saja. Ia masih duduk. Namun
iapun menjawab pendek "Ya"
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian
dipandanginya Jlitheng dengan tajamnya. Dengan nada datar
ia bertanya "Siapa orang itu?"
"Bantaradi" jawab Cempaka.
"O" orang itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"Jadi orang inilah yang kau katakan memiliki kemungkinan
untuk bersama-sama dengan kita memasuki istana itu"
Nampaknya seperti orang sakit-sakitan. Apakah benar ia akan
mampu mengimbangi permainan kita?"
Jlitheng menjadi tegang. Ia mengenal serba sedikit tentang
keadaan di padepokan itu, Karena iltu, maka ia harus
menyesuaikan dirinya agar ia tidak menjadi orang yang sangat
asing. Karena itu, maka dengan suara berat ia langsung
menjawab "Kau ingin menjajagi kemampuanku" Di depan
bangsal ini terdapat halaman yang luas dan beberapa orang
saksi" Orang itu terkejut. Ia tidak menyangka bahwa orang itu
tiba-tiba saja telah langsung menantangnya
Namun justru karena itu, maka untuk sesaat ia
terbungkam. Dalampada itu Jlitheng yang disebut bernama Bantaradi itu
berkata "jawaban yang paling baik yang dapat aku berikan
kepadamu orang yang bertubuh tinggi, adalah kenyataan aku
sebagai seorang laki-laki"
Wajah orang itu menjadi merah padam. Belum lagi ia dapat
mengatur perasaannya, Jlitheng tiba-tiba telah berdiri. Tetapi
ia tertegun karena Rahu menggamitnya sambil bertanya "Kau
mau apa?" "Orang itu menghinaku" jawab Jlitheng "Siapa orang ini?"
Cempaka tertawa sambil menyahut "Jangan menjadi liar
disini. Sejak kau mencampuri persoalanku di bulak itu sebelum
kau mengetahui persoalannya, telah menumbuhkan dugaan
padaku, bahwa kau adalah seorang yang tidak mampu
mengendalikan perasaan. Ternyata kini kau benar-benar
seorang yang liar" "Tetapi ia menghinaku. Ia menyebut aku sebagai orang
sakit-sakitan. Dan iapun meragukan, apakah aku mampu
mengimbangi kemampuan orang yang sombong itu" jawab
Jlitheng. "Duduklah" desis CempaKa "sebentar lagi Yang Mulia
Panembahan Wukir Gading akan hadir di pendapa ini. Sesudah
itu, terserahlah, apa yang akan kau lakukan"
"Jlitheng termangu-mangu. Ia masih melihat orang
bertubuh tinggi kekar dan berkumis lebat itu berdiri.
"Duduklah" desis Cempaka.
"Orang itu masih berdiri" jawab J litheng.
"Jangan hiraukan. Iapun akan duduk nanti. Apalagi jika
Yang Mulia Panembahan Wukir Gading hadir di pendapa"
desak Cempaka "Ia t idak akan berbuat apa-apa"
Jlitheng masih ragu-ragu sejenak. Namun iapun kemudian
duduk disebelah Rahu sambil berdesis "Orang-orang sombong
itu harus diberi sedikit contoh agar ia dapat sedikit
menghormat i orang lain"
Rahu tersenyum. Desisnya perlahan-lahan, sehingga hanya.
Jlitheng sajalah yang mendengar "Bagus. Kau lakukan
perananmu dengan baik. Kau pantas menjadi orang Sanggar
Gading yang kasar, liar dan buas"
"Persetan" geram Jlitheng.
Dalam pada itu, orang bertubuh tinggi, dan berkumis lebat
itu masih berdiri termangu-mangu. Ternyata orang yang
belum dikenalnya itu adalah seorang yang berhati bara.
Karena itu maka iapun tidak lagi menegurnya, karena orang
yang baru pertama kali memasuki Sanggar Gading itu sama
sekali tidak menjadi cemas dan apalagi takut menghadapi sifat
dan sikap orang orang padepokan itu.
Sejenak kemudian orang bertubuh tinggi itupun duduk pula
diantara mereka yang sudah ada di pendapa. Bahkan iapun
masih dikejutkan oleh pertanyaan Jlitheng yang tiba-tiba "He,
orang tinggi. Siapa namamu"
"Gila" Orang itu mengumpat" bertanyalah dengan baik.
"Aku adalah aku. Aku tidak dapat berpura-pura baik dan
sopan menghadapi orang lain. Apalagi menghadapi kau"
jawab Jlitheng. "Anak demit. Namaku Sawunglaga "Orang itu seolah-olah
menjawab diluar sadarnya"
"Kau sudah mengenal namaku. Tetapi kau belum mengenal
aku sepenuhnya" geramJlitheng kemudian.
Sawunglaga menggeram. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Dengan wajah yang gelap iapun kemudian duduk disebelah
Cempaka "Jangan pikirkan" desis Cempaka "ia orang baru, Aku
memerlukannya" "Kau bawa orang gila itu kemari" geram Sawunglaga "Jika
bukan karena orang itu kau perlukan, aku bunuh ia disini
sekarang juga. Justru aku ingin menunjukkannya kepada Yang
Mulia Panembahan Wukir Gading"
Cempaka tersenyum. Desisnya "Atau justru kaulah yang
dibunuhnya " "Persetan" Orang itu menggeretakkan gigi "kau sudah
kehilangan pengamatanmu yang selama ini dikagumi orang
padepokan ini" "Justru karena ketajaman pengamatanku itulah, aku dapat
mengatakan hal itu kepadamu" sahut Jlitheng.
"Kau juga sudah Gila" Orang itu menggeram sabil bergeser
sejengkal menjauhi Cempaka yang justru tertawa karenanya.
Sejenak mereka masih menunggu. Yang hadir kemudian
adalah orang bertubuh gemuk agak pendek. Tetapi wajahnya
bagaikan wajah serigala kelaparan. Disusul oleh mereka yang
semula berdiri di halaman. Sementara kedua kakak beradik
yang berdiri dialas lesung itupun telah mendekati pendapa
pula. "O" seorang yang bertubuh kekurus-kurusan dengan kulit
kuning dan mata yang bulat berdesis ketika ia naik ke
pendapa. Dengan mengangguk dalam-dalam ia berkata
kepada Jlitheng "Selamat datang di pondok kami yang buruk
ini Ki Sanak. Menurut pendengaran kami, Ki Sanak adalah
seorang pengembara yang bernama Bantaradi"
Jlitheng agak bingung menghadapi orang yang satu itu.
Nampaknya ia seorang yang ramah dan sopan. Wajahnya
tampan dan cerah. Setiap kali ia melihat senyum membayang
di bibirnya. "Benar Ki Sanak" Jlitheng menjawab sambil mengangguk
pula meskipun agak ragu dan kaku. Namun kerapu-raguannya
itu ternyata telah menumbuhkan kesan yang sejalan dengan
sifatnya yang telah dibuatnya menjadi liar dan kasar "Aku
bernama Bantaradi" "Namaku Nrangsarimpat," berkata orang itu sebelum
Jlitheng bertanya kepadanya "Aku berasal dari Singasari. Trah
Sri Maharaja Kerta Negara"
Jlitheng mengangguk-angguk. Tetapi wajahnya kemudian
nampak acuh t idak acuh. Bahkan kemudian ia tidak
memperhatikan orang itu lagi.
Tetapi orang yang menyebut dirinya bernama
Nrangsarimpat itu berkata sambil tertawa "Apakah kau belum
pernah mendengar kejayaan Singasari. Kau belum pernah
mendengar kebangkitan Singasari yang dipimpin oleh seorang
anak padesan yang semula bennaima Ken Arok" Kemudian
dari isterinya yang bernama Ken Dedes ia menurunkan rajaraja
besar di negeri yang kaya raya ini"
Jlitheng memandanginya sejenak. Lalu jawabnya "Aku tidak
pernah mendengar dongeng-dongeng semacam itu. Aku lebih
menghargai waktuku dengan bermain pedang daripada seperti
kanak-kanak yang ingin tidur nyenyak mendengarkan
dongeng-dongeng yang tidak berarti"
Tetapi jawaban orang berwajah tampan itu mengejutkan
Jlitheng "Maaf Ki Sanak. Aku tidak ingin mengganggu Ki
Sanak. Jika yang aku katakan ini tidak menarik sama sekali,
dan bahkan telah mengganggumu, maka sekal lagi aku minta
maaf" Jlitheng mengerutkan keningnya. Ia melihat satu wajah
yang berbeda dari keseluruhan wajah padepokan Sanggar
Gading. Orang yang berwajah tampan dan berkulit kuning dan
bermata cerah itu adalah seorang yang mengenal unggah
ungguh. Sejenak Jlitheng termangu-mangu. Ia merasa bingung
tentang dirinya sendiri. Ia sudah terlanjur bersikap keras,
kasar dan bahkan liar untuk menutupi perasaan dan
tanggapannya yang sebenarnya atas orang-orang yang
berhubungan dengan orang-orang Sanggar Gading. Namun
ternyata di dalam padepokan, itu sendiri terdapat juga orang
yang bersikap lembut dan ramah mengenal unggah ungguh.
Tetapi Jlitheng tidak sempat memikirkannya lebih lama.
Bahkan sebelum ia menjawab, maka semua orang telah
bersikap. Agaknya karena mereka medengar bunyi kelinting di
dalami ruang dibalik pintu pringgitan.
"Yang Mula Panembahan Wukir Gading akan hadir" desis
Rahu "O" Jlitheng membenahi dirinya. Bahkan ia telah
membenahi perasaannya. Memang mungkin sekal terjadi
sesuatu yang tidak diduganya lebih dahulu.
Sejenak kemudian maka pintu pringgitan itu telah terbuka.
Orang yang muncul adalah orang yang cacat kaki dan
tangannya. Kemudian ia bergeser kesamping pintu dua
langkah. Di susul kemudian oleh seorang anak muda yang
berwajah keras meskipun tidak nampak kasar. Anak muda
yang mengenakan pakaian orang kebanyakan. Seperti juga
orang-orang Sanggar Gading yang lain, yang memakai
pakaian seperti orang kebanyakan. Meskipun ada satu dua
orang yang nampak berpakaian aneh, dan ada juga yang
nampak mempergunakan beberapa jenis perhiasan pada
timang dan ukiran kerisnya.
"Itulah Yang Mula?" desis Jlitheng perlahan-lahan.
Rahu menggeleng. Desisnya "Itu adalah puteranya. Putera
satu-satunya. Ia tidak mempunyai anak yang lain kecuali anak
muda itu" Jlitheng mengangguk-angguk. Namun ia merasa menjadi
semakin tegang. Yang muncul kemudian adalah seorang tua yang berjalan
dengan tongkat ditangan. Ternyata bunyi kelinting itu adalah
kelint ing yang terikat pada tongkat orang tua itu.
Namun Jlitheng segera menyadari, bahwa orang tua itulah
yang disebut Yang Mulia Panembahan Wukir Gading. Tongkat
itu terbuat dari gading sepenuhnya. Dibagian kepala tongkat
itu terdapat ukiran emas intan dan berlian.
Jlitheng menjadi semakin yakin ketika ia melihat sikap
orang-orang yang berada di pendapa itu. Mereka
menundukkan kepala dalam-dalam untuk menghormat
kehadiran orang tua itu. Sejenak orang tua itu berdiri di depan pintu. Dilihatnya
setiap orang yang berada di pendapa itu seorang demi
seorang. Baru kemudian ia melangkah mendekati para
pengikutnya yang duduk di pendapa.
Pada saat itulah Jlitheng baru melihat bahwa orang tua itu
ternyata adalah orang yang timpang Nampaknya ia terlalu
payah untuk berjalan, sehingga tanpa tongkat, agaknya ia
tidak mampu lagi untuk melangkah.
Jlitheng menjadi berdebar-debar ketika sekilas ia melihat
mata orang tua itu tersangkut kepadanya. Ada sesuatu yang
terkesan pada tatapan matanya, sehingga karena itu Jlitheng
menjadi semakin berdebar-debar karenanya.
Pendapa rumah induk padepokan Sanggar Gading itu
menjadi hening. Semuamya menunggu, apa yang akan
dikatakan oleh pemimpin tertinggi dari padepokan itu.
Namun Jlitheng terkejut ketika yang pertama diucapkan
oleh orang tua bertongkat gading itu adalah "Cempaka,
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apakah anak muda itu yang telah melukai ketiga orang kita di
padang perburuhan?" Cempaka mengangkat wajahnya. Namun seolah-olah tidak
ada kesan apapun di wajahnya dan pada getar suaranya ia
menjawab "Ya guru. Anak muda yang aku sebut bernama
Bantaradi inilah yang melakukannya"
Jlitheng menjadi semakin heran. Ia belum lama sampai di
padepokan itu. Namun pemimpin tertinggi padepokan Sanggar
Gading itu sudah mendengar perist iwa yang terjadi di padang
kematian itu. Pemimpin tertinggi yang disebut Yang Mulia Panembahan
Wukir Gading itupun mengangguk-angguk Katanya "Jika
demikian, maka ia sudah melalui hambatan terakhir dari jalan
yang menuju ke Sanggar Gading"
"Demikianlah agaknya Yang Mulia" berkata Cempaka.
"Tetapi Yang Mulia" tiba-tiba saja salah seorang dari kedua
kakak beradik itu memotong "hambatan itu barulah hambatan
diperjalanan. Tetapi kesombongannya membuat hati kami
menjadi berdebar-debar. Ia sudah melukai penjaga regol,
kemudian menghinakan pemelihara kuda di kandang. Apakah
dengan demikian kami akan dapat menerima kedatangannya?"
Yang Mulia Panembahan itu kemudian menganggukangguk.
Katanya "Itu terserah kepada kalian. Apakah kalian
dapat menerimanya atau tidak. Tetapi aku sependapat, bahwa
anak muda ini memang sombong. Ia tidak membunuh tiga
orang yang sudah dikalahkannya di padang kematian itu?"
"Gila" geram Jlitheng "agaknya sudah menjadi adat disini,
bahwa orang-orang Sanggar Gading tidak mudah dapat
menerima orang-orang baru di padepokannya"
"Aku merasa keberatan atas kehadirannya" Sawunglaga
tiba-tiba saja bergeser setapak "Ia sudah melukai perasaanku"
"Itu persoalan kalian" berkata Yang Mulia Panembahan
Wukir Gading "Tetapi siapakah yang akan menanggungnya
jika ia bermaksud menghindari kesulitan di padepokan ini.
"Aku Yang Mulia" berkata Cempaka "akulah yang
membawanya kemari. Aku mohon, agar ia dibebaskan dari
segala macam permainan yang tidak akan banyak berarti apaapa,
karena semakin banyak, orang yang berusaha mendesak
kehadirannya, maka korban akan semakin banyak berjatuhan.
Aku sudah dapat menilai kemampuannya. Dan akupun cukup
mengerti tingkat kemampuan orang-orang Sanggar Gading"
Orang tua itu tertawa. Katanya "Jarang sekali kau
mempergunakan akal dan pikiranmu. Ternyata yang kau
katakan itu mendapat pertimbangan"
Sebelum Cempaka menjawab lagi, maka orang yang
menyebut dirinya bernama Nrangsarimpat itupun berkata "Aku
terima kehadirannya. Menurut pengamatanku, memiliki ujud
jasmaniahnya sorot matanya dan tingkah lakunya, aku yakin
bahwa hati orang ini bersih. Bahwa orang ini tidak membunuh
tiga orang yang sudah dilukainya, bukanlah satu hal yang
dapat dipersoalkan karena itu bukan berarti kesombongan"
"O" pemimpin tertinggi itu mengangguk-angguk " jadi kau
berbeda pendapat dengan beberapa orang lain?"
"Ya, guru" jawab Nrangsarimpat "Aku mohon maaf Tetapi
itu adalah pendapatku. Karena itu, aku sependapat dengan
Cempaka, bahwa sebaiknya ia dibebaskan saja dari segala
macam tingkah laku yang cengeng itu"
"Gila" geram orang bertubuh pendek dan gemuk
"semuanya omong kosong. Orang itu tidak pantas duduk
diantara kita disini. Kami adalah murid-murid Yang Mulya
Panembahan Wukir Gading. Tetapi orang itu bukan sama
sekali" "He" potong Nrangsarimpat "sejak kapan kau menjadi
murid Yang Mulia Panembahan, dan sejak kapan Sawunglaga
menjadi murid di padepokan ini. Sejak kapan pula aku datang
dan hampir saja aku mengurungkan niatku setelah aku
mencekik Ular Bertanduk Besi itu sampai mati karena ia
berusaha mencegah aku hadir disini. Tetapi kita semuanya kini
adalah murid Yang Mulia"
"Aku akan membunuhnya. Nanti malam, atau besok pagipagi"
desis orang bertubuh pendek itu.
"Sebaiknya kau tutup saja mulutmu" Rahulah yang
kemudian berdesis "Cempakai membawanya kemari. Bukan
tanpa sebab. Kalian sudah tahu, bahwa saat. Cempaka dan
aku menjalankan tugas itu. Maka hadirlah orang yang
bernama Bantaradi itu"
"Cempaka tidak berhak melindunginya" berkata
Sawunglaga "biarlah ia membuktikan, apakah ia pantas
menjadi bagian dari kita disini, atau orang itu harus
dilemparkan ke lembah bangkai"
Orang tua bertongkat gading itu tertawa. Katanya "Aku
senang pada anak yang sombong itu. Ia sama sekali tidak
berkata sepatah katapun selagi orang-orang sibuk
memperbincangkan. Itu pertanda bahwa ia mempunyai
kepercayaan yang kuat pada dirinya sendiri. Ia dapat
menerima segala akibat yang akan menimpanya. Ia tidak
gentar jika ia harus benkelai. Tetapi iapun tidak menjadi
gembira bila ia kita terima begitu saja"
Orang-orang yang berada di pendapa ituipun terdiam.
"Aku terima dia diantara kita" berkata Yang Mulia
Panembahan, itu "Tetapi aku akan memberikan ukuran
kemampuan kepadanya. Ia akan menjadi muridku yang ke
sembilan puluh enam"
Jlitheng mengerutkan keningnya. Ia sama sekali tidak
berniat untuk menjadi murid Panembahan Wukir Gading.
Tetapi jika hal itu menjadi satu-satunya jalan, maka ia tidak
akan menolaknya. Ia masih tetap pada tujuannya. Mengetahui
orang yang telah disebut-sebut oleh Daruwerdi di Bukit Gundul
itu. Karena itu maka ia masih tetap berdiam diri. Ia ingin
segera mengetahui keputusan Panembahan itu tentang usaha
mereka menemukan pusaka yang sedang diperebutkan
melalui segala macam cara.
Tetapi Jlitheng menjadi kecewa ketika kemudian
Panembahan itu berkata "malam nanti aku akan menerima
kalian di sanggar. Kita masih harus mematangkan rencana
kita. Kita harus bertindak lebih cepat. Agaknya orang-orang
Pusparurilah yang telah mempersiapkan segalanya, sementara
orang-orang lain masih menunggu. Tetapi kita tidak lagi dalam
tingkat persiapan dan apalagi menunggu. Kita sudah sampai
pada tahap melaksanakan"
"Malam nanti" desis Jlitheng "sementara masih mungkin
terjadi sesuatu atasku"
Namun Jlitheng tidak dapat berbuat lain kecuali menerima
segalanya. Orang-orang Sanggar Gading yang lainpun
nampaknya tidak mengusulkan sesuatu.
Sementara itu, maka. Yang Mulia Panembahan Wukir
Gading iltu berkata "Pertemuan ini adalah khusus untuk
menerima muridku yang kesembilan puluh enam ini Ia akan
ikut serta dalam pembicaraan malam nanti di sanggar,
disamping Cempaka, Niangsarimpat, Sawunglaga, Rahu dan
kakak beradik itu. Pembicaraan itu tidak perlu diikuti oleh
banyak orang, sehingga kita akan segera mendapatkan
kesimpulan. Yang lain akan menerima perintah dan petunjuk
pengarahan bagi tugas besar kalian selanjutnya"
Orang bertubuh gemuk dan agak pendek itu terdengar
mengumpat tetapi tidak jelas. Agaknya ia merasa kecewa
bahwa ia tidak diperintahkan untuk ikut berbicara di sanggar.
Sejenak kemudian maka Panembahan itupun bergumam
seolah-olah kepada diri sendiri "Badanku merasa sangat letih.
Aku akan beristirahat"
Tidak ada yang menyahut Semuanya duduk dengan tenang
seperti saat Yang Mulia Panembahan Wukir Gading itu keluar
dari ruang dalam. Sejenak kemudian, tertatih-tatih Yang Mulia Pamembahan
itu berdiri. Diikut i oleh anak laki-lakinya. Kemudian tertatihTiraikasih
tatih pula ia berdiri, menuju ke pintu pringgitan. Sementara
pengawalnya yang cacat itupun bergeser selangkah, dan
kemudian mengikutinya pula masuk ke dalam.
Ketika Yang Mulia itu sudah hilang dibalik pintu, maka
masih terdengar suara kelinting yang terkat pada tongkatnya.
Suaranya gemlinting dalam irama yang timpang.
Namun telinga Jlitheng yang tajam kemudian tersentuh
oleh perubahan irama suara kelinting itu. Meskipun tidak
segera dapat membayangkan apa yang terjadi, namun rasarasanya
ia melihat perubahan sikap dari Panembahan yang
cacat kaki itu. Tetapi Jlitheng tidak bertanya sesuatu. Ia sama sekali
dikaburkan oleh sikap dan perbuatan para pengikutnya
Panembahan itu. Dengan demikian, ia masih belum
menemukan tentang tanggapan yang pasti tentang isi dari
padepokan Sanggar Gading itu.
"Kita dapat berist irahat" berkata Rahu kemudian.
Jlitheng mengangguk-angguk Iapun melihat beberapa
orang telah bergeser dan meninggalkan pendapa. Satu dua
orang diantara mereka memandang J litheng dengan sorot
mata kedengkian, bahwa orang baru itu telah diperkenankan
untuk ikut dalampembicaraan di dalam sanggar.
"Tetapi ia tidak akan dapat ikut berbicara" gumam orang
bertubuh pendek dan agak gemuk itu kepada diri sendiri
Jlitheng melihat sambaran sorot matanya yang membina.
Namun iapun sudah bersiaga menghadapi segala
kemungkinan. Apalagi orang tertinggi di padepokan itu sudah
menyatakan, bahwa ia telah diterima di dalam lingkungan
Sanggar Gading, meskipun kata-kata Yang Mulia itu masih
mendebarkan jantung, bahwa ia akan memberikan ukuran
bagi kemampuannyaTiraikasih
"Apakah yang dimaksudkannya?" pertanyaan itu masih saja
melekat didinding jantungnya.
Sementara itu, maka Rahupun mulai bergeser pula.
Jlithengpun mengikut inya pula turun ke pendapa. Ia masih
belum tahu kemana ia harus pergi. Karena itu maka iapun
selalu mengikut i, saja kemana Rahu pergi.
"Kita akan pergi kebarak" berkata Rahu.
"Apakah ada tempait bagiku?" bertanya Jlitheng.
"Kau akan tinggal dalam satu bilik dengan aku. Cempaka
sudah menyiapkannya. Meskipun ada kemungilan bahwa bilik
itu tidak akan pernah bertambah dengan penghuni baru dan
pembaringan yang sudah disediakan itu tidak akan pernah
dipergunakan oleh siapapun" jawab Rahu.
"Kau menganggap bahwa kemungkinan terbesar, aku akan
mati sebelum memasuki bilik itu" desis Jlitheng.
Rahu tertawa. Katanya "Memang mungkin sekali. Tetapi
sekarang kita sedang menuju langsung kebilik di dalam barak
itu" Jlitheng tidak menjawab. Tetapi ia harus berhati-hati. Ia
merasa beberapa pasang mata sedang mengikutinya,
meskipun ia t idak melihat seseorang dengan jelas.
Tetapi akhirnya keduanya memasuki sebuah barak tanpa
kesulitan. Seorang yang bertubuh raksasa yang berdiri di pintu
barak itupun telah bergeser dan memberikan jalan kepada
Jlitheng, meskipun nampaknya wajahnya menjadi garang.
"Ia adalah seorang raksasa yang sangat baik" desis Rahu
ketika mereka melangkah menuju ke pintu. Namun kemudian
berhati-hatilah dengan kancil itu?"
Jlitheng mengerutkan keningnya. Ia melihat seorang
bertubuh kecil pendek sedang berbaring disebuah amben yang
besar. Tiba-tiba saja ia meloncat berdiri. Sambil tertawa ia
berkata lantang "He kau Rahu. Kau membawa seekor keledai
kemari?" Jlitheng tidak menunggu lebih lama lagi Pertanyaan itu
telah cukup membuatnya marah menurut takaran orang-orang
Sanggar Gading yang kasar. Karena itu, iapun tiba-tiba saja
telah meloncat menerkam orang bertubuh kecil dan pendek
itu. Tetapi ternyata orang bertubuh kecil itu sangat tangkas.
Sambil tertawa ia berhasil meloncat kesamping menghindari
terkaman tangan Jlitheng.
Namun Jlithengpun lelah mempersiapkannya. Rahu sudah
memperingatkan, bahwa ia harus berhati-hati terhadap kancil
itu. Karena itu, demikian Jlitheng gagal menerkam orang itu,
maka iapun segera berputar sambil mengayunkan kakinya
mendatar. Demikian cepatnya, sehingga orang bertubuh kecil
itu harus meloncat lagi menjauh. Namun Jlitheng tidak
melepaskannya. Sebuah lontaran panjang menyusul. Demikian
cepatnya, sehingga kancil itu benar-benar tidak sempat lagi
menghindar. Demikian kakinya melekat lantai, Jlitheng telah
menyusulnya dengan sebuah hantaman dengan tumit kakinya,
tepat mengenai lambung. Ternyata bahwa kancil yang cekatan itu tidak memiliki daya
tahan yang terlalu kuat. Demikian kaki Jlitheng mengenainya,
maka iapun telah, terlempar dan membentur tiang. Demikian
kerasnya, sehingga kancil itupun kemudian terjatuh dilantai
dan langsung menjadi pingsan.
Raksasa yang berdiri di pintu dan memberi jalan kepada
Rahu dan Jlitheng memasuki barak itupun melangkah masuk.
Dilihatnya kancil jitu terbaring pingsan.
Dengan mata terbelalak ia memandang Jlitheng. Namun
Rahu berkata sambil tersenyum "Salahnya sendiri" Orang
bertubuh raksasa ia masih berdiri tegang.
"Rawatlah kancil yang sombong itu. Ia telah diberi sedikit
peringatan oleh Bantaradi, tamu Cempaka"
Orang bertubuh raksasa itu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya dengan suara rendah "Jadi orang inikah yang
bernama Bantaradi?" "Ya" jawab Rahu.
Orang bertubuh rasasa itu tidak bertanya lagi. Ia kemudian
melangkah mendekati kancil yang pingsan itu. Dengan sekali
renggut, maka tubuh kecil itu telah terlempar keatas
pembaringannya. "Ia akan sadar dengan sendirinya" berkata orang bertubuh
raksasa itu" Rahu dan Jlithengpun kemudian langsung menuju ke
biliknya. Ternyata bahwa Jlitheng benar-benar telah mendapat
kesempatan untuk tinggal di dalami barak orang-orang
Sanggar Gading, "Kau tidur disini" berkata Rahu.
"Dan malamnanti kau akan membunuhku" geram Flitheng
Rahu tertawa. Katanya "Aku tidak dapat lagi membedakan,
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apakan kau bersungguh-sungguh atau sekedar berpura-pura
dan bahkan mungkin kau sedang bergurau"
"Anak iblis" Jlitheng mengumpat. Namun ia tidak
menghiraukan Rahu lagi. Dengan serta merta k menjatuhkan
dirinya keatas pembaringan.
"Malam nanti kita akan menentukan segala-galanya"
berkata Rahu "diantara kita akan hadir orang yang belum
pernah kau kenal?" "Siapa?" bertanya Jlitheng.
"Penguasa medan dari Sanggar Gading" jawab Rahu.
"Apa artinya penguasa medan?" bertanya Jlitheng.
"Ia adalah orang yang paling berkuasa di medan. Yang
Mula Panembahan hanyalah orang yang menentukan
dilingkungan Sanggar ini. Anak laki-lakinya hampir tidak
mempunyai pengaruh sama sekail Sedangkan yang paling
berkuasa dalam segala gerakan adalah orang yang belum kau
kenal itu" "Siapa?" bertanya Jlitheng dengan berdebar-debar.
"Sanggit Raina" jawab Rahu.
"Nama apa itu" Sanggit Raina" ulang Jlitheng.
"Namanya yang sebenarnya. Dua orang kakak beradik itu
agaknya mempunyai nama yang agak aneh" Rahu
menerangkan. "Kakak beradik siapa?" bertanya Jlitheng
"Orang itu adalah saudara tua Cempaka" jawab Rahu.
Jlitheng mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia
berkata "Itulah sebabnya, Cempaka nampaknya mempunyai
pengaruh pula di daerah yang sepanas perapian ini"
"Ya. Pengaruh Sanggit Raina memang besar. Juga
pengaruhnya terhadap Yang Mulia Panembahan Wukir Gading.
"Apakah ia murid yang pertama?" bertanya Jlitheng. Rahu
menggeleng. Jawabnya "Ia murid yang ke tujuh puluh t iga"
"Ketujuh puluh tiga" Jlitheng mengulang.
"Ya. Dan Cempaka adalah murid yang ke tujuh puluh
sembilan" Jlitheng mengangguk-angguk. Dengan demikian ia dapat
membayangkan, bahwa di padepokan ini terdapat beberapa
orang murid sesuai dengan urutan angkanya. Namun
Jlithengpun juga sudah menduga, bahwa tentu ada diantara
mereka yang telah meninggalkan padepokan ini
"Berapa orang yang telah pergi?" bertanya Jlitheng,
"Aku tidak ingat lagi" jawab Rahu "sebagian telah dibunuh
oleh yang datang kemudian Cempaka membunuh dua orang
saat ia memasuki padepokan ini. Orang keempat dan kelima
yang akan membunuhnya, telah mengurungkan niatnya ketika
mereka mengetahui bahwa Cempaka adalah adik Sanggit
Raina" "Apakah Sanggit Raina juga membunuh ketika ia datang.?"
"Tidak. Ia tidak membunuh seorangpun"
Demikian saja ia melimtasi padang kematian?" Jlitheng
menjadi heran. "Ia datang seperti hantu. Itulah yang telah
menggemparkan padepokan ini. Tidak scorangpun yang
mengetahui, bahwa tiba-tiba saja ia sudah berada di dalam
bilik Yang Mulia. Sambil mengancam dengan keris ia
mendesak, agar ia diperbolehkan t inggal di padepokan ini"
"Yang Mulia takut kepadanya?" bertanya Jlitheng.
"Seharusnya tidak. Tetapi kedatangannya itu sangat
menarik perhatiannya Yang Mulia senang sekali melihat
kelakuan Sanggit Raina, sehingga ia diangkat menjadi
pemimpin disini, disamping Yang Mulia itu sendiri"
Jlitheng mengumpat meskipun orang lain t idak
mendengarnya. Dengan suara datar ia bergumam "Tempat ini
benar-benar neraka jahanam yang paling kasar dan liar"
"Dan kau sudah mencoba menyesuaikan dirimu" berkata
Rahu, Jlitheng menarik nafas. Kemudian tiba-tiba saja bertanya
"He, kau murid menurut urutan angka berapa?"
"Delapan puluh satu. Aku datang kemudian dari Cempaka"
"Dan kau membunuh juga di padang kematian?"
"Kebetulan sekali, aku tidak berjumpa dengan siapapun di
padang itu. Aku juga tidak membunuh seorangpun"
"Bagaimana mungkin kau dapat memasuki padepokan ini?"
Rahu tertawa. Katanya "Aku mempunyai cara tersendiri.
Aku tidak memasuki regol halaman. Tetapi aku memecahkan
dinding dekat disebelah regol tanpa diketahui oleh para
penjaga. Mereka menganggap perbuatan itu aneh. Dan
akupun diterima disini. Tetapi selama tiga bulan aku berkelahi
hampir setiap hari. Tetapi aku tidak pernah membunuh
siapapun juga. "Gila. Kau sudah gila, Kau menakut-nakuti aku karena aku
tidak membunuh. Kau sebut aku orang yang terlalu baik dan
pantas dicurigai" geram Jlitheng.
Rahu tertawa. Semakin lama semakin keras, sehingga
Jlitheng memukul perutnya Sambil berkata "Berhentilah"
Rahu mencoba menahan tertawanya, Laki katanya "Jangan
merajuk begitu. Di padang perburuhan, hampir setiap orang
membunuh korbannya. Tetapi setelah kita berada di
padepokan ini, sudah tentu bahwa kita tidak akan membunuh
orang-orang yang kita jumpai meskipun kita, berkelai. Kau
juga tidak membunuh penjaga regol itu, demikian pula pekatik
di kandang Kancil itu juga tidak kau bunuh?"
"Persetan geram Jlitheng, lalu tiba-tiba "pada suatu saat
apakah adikmu juga akan memasuki padepokan ini, seperti
Cempaka menyusul kakaknya?"
"Terserah kepada anak itu. Tetapi aku tidak akan
menyuruhnya masuk kemari" jawab Rahu.
Jlitheng tidak menjawab lagi. Ia telah berbaring lagi.
Rahupun kemudian duduk disebuah amben bambu didalam
bilik itu. Sejenak mereka saling berdiam diri. Namun kemudian
Rahupun berkata "Aku akan pergi ke sumur. Tinggal sajalah di
dalam bilik ini. Sebaiknya kau tidak membuat persoalan
dengan siapapun sampai malamnanti"
"Apa pedulimu" jawab Jlitheng.
Rahu tidak menjawab. Tetapi senyumnya sangat
menjengkelkan Jlitheng sehingga ia berkata "Jika kau
mengejek dengan senyuman semacam itu, aku sobek bibirmu"
"Sudahlah, jika hanya ada aku, kau tidak usah berpurapura
kasar dan liar" jawab Rahu.
"Anak iblis" Jlitheng mengumpat. Namun ia kemudian
memiringakan tubuhnya dan mencoba memejamkan matanya.
Sementara itu, Rahupun telah keluar dari biliknya untuk
pergi ke pakiwan. Ketika ia lewat pintu" baraknya, dilihatnya
orang bertubuh raksasa itu duduk di sebelah pintu sambil
memeluk lututnya. Ia berpaling sejenak ketika ia mendengar
langkah kaki Rahu. Tetapi ia tidak menyapanya, dan bahkan
sama sekali tidak mengacuhkannya lagi.
Dihadapan ia melihat orang yang disebutnya kancil sedang
dikerumui oleh tiga orang kawannya, Agaknya kancil itu
sedang menceritakan, apa yang telah dialaminya dengan
orang baru itu. Tetapi Rahulah yang kemudian tidak mengacuhkannya, la
berjalan saja lewat disetelahnya tanpa berpaling sama sekali.
Namun ia berharap bahwa Jlitheng yang dikenalnya ternama
Bantaradi itu tenar -tenar tidak keluar dari biliknya.
Sebenarnyalah Jlitheng memang tidak ingin keluar dari bilik
itu. Bagaimanapun juga, ia memperhatikan nasehat-nasehat
Rahu, karena ternyata sejak ia bertemu dengan orang itu di
padukuhan yang aneh, seaneh padepokan itu, nampaknya
Rahu selalu berbuat baik terhadapnya. Ia telah
memperingatkannya beberapa kali tentang bahaya yang
mungkin dapat menerkamnya Disaat terakhir ia telah
memperingatkannya tentang orang yang disebut kancil itu.
Meskipun. Jlitheng berbaring, tetapi ia tidak akan dapat
tidur nyenyak. Apalagi bukan saatnya orang tidur. Ketika Rahu
telah keluar dari bilik itu, maka Jlitheng kembali tidur
menelentang. Namun pedang tipisnya tidak terpisah dari
padanya, karena setiap saat dapat terjadi sesuatu yang tidak
diduganya. Tetapi tidak seorangpun yang mengusik Jlitheng d dalam
bilik itu. Ketika Rahu memasuki bilik itu kembali, maka
Jlithengpun masih tetap berbaring diam
Rahu sama sekali tidak mengusiknya, lapun kemudian
duduk kembali diamben bambu. Dari geledeg bambu
diambilnya sebilah keris. Kemudian dengan angkup nangka ia
menggosok wrangka kerisnya dengan hati-hati.
Sementara itu, padepokan itupun rasa-rasanya menjadi
gelisah. Hanya orang-orang tertentu sajalah yang dapat
melihatnya bahwa kegelisahan semacam itu telah berulang
kali terjadi, jika ada orang-orang baru memasuki padepokan
yang penuh dengan kedengkian, ini dan ketamakan itu.
Namun dalam pada itu, Jlitheng dapat mengetahui, bahwa
agaknya sikap orang yang disebut Yang Mulia Panembahan
Wukir Gading itu cukup lunak, la memberi banyak kebebasan
kepada murid-muridnya. Bahkan kebebasan untuk membunuh
atau bahkan terbunuh. Iapun tidak marah ketika beberapa
orang murid langsung menyampaikan sikap dan pendiriannya
di pendapa. Dan bahkan ia dengan senang hati menerima
orang-orang yang aneh dan melanggar unggah-ungguh
menurut ketentuan orang kebanyakan.
Demikianlah, setelah dengan gelisah dan terasa sangat
menjemukan, Jlitheng dan Rahupun sampai pada suatu saat
untuk berkumpul di sanggar bersama orang-orang yang telah
ditentukan. Bagaimanapun juga hati Jlitheng menjadi sangat
berdebar-debar, la tidak tahu, apakah sebenarnya ia dapat
diterima dan bersama-sama melakukan tugas yang akan
dilakukan oleh orang-orang Sanggar Gading untuk memenuhi
permintaan Daruwerdi. Menangkap seseorang yang
disebutnya berkhianat karena telah membunuh ayahnya.
"Apakah sebenarnya yang akan mereka bicarakan?"
bertanya Jlitheng kepada Rahu "Apakah kau mengerti, tugas
yang akan dilakukan oleh orang-orang Sanggar Gading?"
Rahu menggeleng. Jawabnya "Aku tidak tahu. Aku hanya
mengetahui bahwa sesuatu yang sangat penting akan kita
lakukan. Tetapi yang sangat penting itu tidak aku ketahui
dengan pasti" "Mungkin kau tidak mengetahui dengan pasti. Tetapi kau
tentu dapat merabanya" desis Jlitheng.
"Sepuluh kali aku mencoba meraba tugas yang akan
dibebanlkan kepadaku sebelum ini Tetapi sepuluh ikal pula aku
keliru. Karena itu, lebih baiik kita hadir, mendengarkan dan
kemudian melakukian perintah itu dengan sebaik-baiknya.
Jlitheng tiidak bertanya lagi. Ia percaya, bahwa Rahu
memang belum tahu dengan pasti. Adalah kebetulan sekali ia
mendengar pembicaraan Cempaka dengan Daruwerdi,
sehingga ia dapat menduga, bahwa tugas alulah yang akan
mereka lakukan. "Tetapi mungkin tugas yang lain pula" berkata Jlitheng di
dalam hatinya "alangkah menjemukan dan memuakkan sekali,
jika aku harus melakukan tugas-tugas lain. Merampok atau
menyamun sekedar untuk merampas harta benda, betapapun
banyaknya" Namun seandainya demikian, Jlitheng tidak akan
melepaskan kesempatan, bahwa ia telah memasuki Sanggar
Gading. Hanya jika sudah pasti bahwa maksudnya memasuki
Sanggar itu tidak akan terpenuhi, barulah ia memikirkan cara
untuk melepaskan diri. Dengan hati yang berdebar-debar Jlitheng memasuki
Sanggar bersama Rahu. Ketika ia melangkahi, tJundak pintu,
di dalam telah hadir beberapa orang yang mendahuluinya.
Agak berbeda dengan saat mereka berada di pendapa. Rasarasanya
di dalam sanggar itu suasananya menjadi lebih
bersungguh-sungguh. Namun dalam pada itu, Yang Mulia Panembahan Wukir
Gading lemyata masih belum hadir. Tetapi diujung sanggar itu
duduk seorang yang masih belum separo baya. Bahkan masih
nampak gejolak kemudaannya pada sorot matanya.
Sedangkan agak kesamping nampak Cempaka duduk
bersandar dinding. "Siapa orang itu?" bertanya Jlitheng sambil berbisik Rahu
memandang Jlitheng sejenak. Kemudian desisnya "Orang
itulah yang aku katakan"
"Kakak kandung Cempaka. Ialah yang bernama Sanggit
Raina. Dan ialah yang sebenarnya memimpin padepokan ini.
Yang Mulia Panembahan Wukir Gading hanya memberinya
beberapa petunjuk. Kemudian segalanya terserah kepada
Sanggit Raina" berkata Rahu lebih lanjut.
Jlitheng mengangguk-angguk. Diluar sadarnya ia mulai
menilai dirinya. Apakah ia mempunyai kesempatan untuk
berbuat sesuatu di Sanggar Gading. Jika tumbuh persoalan
antara dirinya dan pemimpin yang bernama Sanggit Raina itu,
apakah ia akan dapat melindungi dirinya.
Tetapi ternyata Sanggit Raina sama sekali tidak
memperhatikannya, la duduk terpekur seolah-olah sedang
memikirkan sesuatu yang sangat rumit.
Setelah duduk beberapa saat, maka terdengarlah suara
kelint ing seperti yang sudah didengar oleh J litheng saat ia
berada di pendapa. Sejenak kemudian sebuah pintu sanggar
itu terbuka. Yang paling dahulu nampak adalah seorang lakilaki
yang cacat Kemudian anak muda, anak Yang Mulia
Panembahan Wukir Gading, dan baru dibelakangnya
bersandar tongkat gadingnya. Yang Mulia Panembahan Wukir
Gading tertatih-tatih memasuki sanggar itu.
Demikian Panembahan dan puteranya itu masuk, maka
suasana sanggar itu menjadi semakin hening.
Namun dalam pada itu, meskipun setiap orang yang berada
di dalam sanggar itu duduk diatas tikar, namun orang yang
cacat, yang selalu muncul lebih dahulu sebelum Yang Mulia
Panembahan Wukir Gading, ternyata tetap berdiri disebelah
pintu. Sesaat setelah Yang Mulia Panembahan itu duduk dan
memandang setiap orang yang hadir, maka mulailah ia
berkata "Pembicaraan ini adalah pembicaraan yang sangat
khusus" Orang-orang yang ada di dalam sanggar, yang namanya
telah disebut di pendapa itupun menjadi semakin bersungguhsungguh.
Mereka mendengarkan dengan saksama, apa yang
akan dikatakan oleh Panembahan Wukir Gading itu.
"Kita akan membicarakan tugas yang harus kalian lakukan
segera berkata Yang Mulia "Aku sudah memberikan
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keterangan terperinci kepada Sanggit Raina. Biarlah ia
menjelaskan kepada kalian apa yang harus kalian lakukan"
Semua orang mengangguk-angguk kecil. Mereka tidak
terkejut lagi. Sudah terbiasa bahwa segalanya diserahkan
kepada Sanggit Raina, meskipun ia bukannya murid yang
tertua. "Katakan kepada mereka apa yang harus mereka lakukan"
berkata Yang Mulia Panembahan Wukir Gading kepada
Sanggit Raina. Sanggit Raina mengangguk hormat. Kemudian katanya
"Terima kasih atas kepercayaan Yang Mulia"
"Lakukanlah" sahut Yang Mula Panembahan Wukir Gading.
Sanggit Raina bergeser setapak. Kemudian katanya "Kita
akan melakukan tugas penting. Besok, sebelum matahari
terbit, kalian harus sudah, siap dengan kuda kalian, dengan
senjata kafan dan dengan segenap tekad dan keberanian.
Tugas kita kali ini cukup berat. Kita akan berangkat tepat pada
saat matahari terbit. Kita akan berpencar dan berkumpul di
dekat sendang Gambir. Kita beristirahat sebentar, kemudian
kita akan memasuki Kota Raja menjelang malam. Kita akan
mengadakan suatu pertemuan dengan seseorang,. Besok
adalah saat yang paling tepat"
Tidak seorangpun yang bertanya. Suasananya memang
berbeda dengan saat pertemuan di pendapa. Orang-orang
yang hadir hanya menundukkan kepalanya mendengar
perintah yang keluar dari mulut Sanggit Raina. Tidak ada yang
bertanya, apalagi mengemukakan pendapatnya.
Jlithengpun termangu-mangu. Tetapi iapun tidak ingin
membuat persoalan tersendiri dengan orang yang bernama
Sanggit Raina itu, sehingga karena itu, maka iiapun tidak
bertanya pula. "Sekarang kalian boleh meninggalkan ruangan ini" berkata
Sanggit Raina kemudian. Jlitheng terkejut. Diluar sadarnya ia memandang Rahu.
Namun agaknya tidak ada kesan apapun di wajah Rahu.
Demikian pula pada wajah orang-orang lain yang berada di
sanggar itu. "Apakah artinya pembicaraan penting untuk melaksanakan
tugas besar ini. Siapakah yang akan berangkat dan siapakah
yang akan memimpin, kelompok demi kelompok atau jika
tidak, maka orang-orang laini yang tidak hadir di sini akan
menerima perintah dari siapa?" pertanyaan itu bergejolak di
hati Jlitheng. Namun ia. tidak mengucapkannya. Meskipun
dengan demikian dadanya menjadi sesak karenanya.
Seorang demi seorang, mereka yang berada di dalam bilik
itupun kemudian bangkit dan melangkah keluar lewat pintu
yang lain dari pintu yamg dipergunakan oleh Yang Mulia
Pendekar Tangan Baja 2 Pendekar Gagak Rimang 4 Rahasia Golok Cindar Buana Pedang Keadilan 19
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama