Ceritasilat Novel Online

Mata Air Dibayangan Bukit 2

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 2


Kendali Put ih itu bertempur semakin kasar. Mereka mencoba
untuk menyerang Daruwerdi dari dua arah yang berbeda.
Dengan demikian mereka mencoba untuk memecah perhatian
anak muda dari Lumban itu.
Tetapi ternyata mereka tidak berhasil. Daruwerdi mampu
menempatkan dirinya. Iapun mengimbangi langkah-langkah
lawannya yang panjang. Dengan tepat ia meloncat
menempatkan diri pada sisi yang lepas dari garis serangan
lawannya. Bahkan tiba-tiba saja ialah yang meloncat dan
mengejutkan lawannya dengan serangan yang tidak terduga.
"Darimana anak Lumban ini mendapatkan ilmu iblis itu,"
geramsalah seorang dari kedua orang Kendali Putih itu.
Daruwerdi yang juga mendengarnya menjawab, "Aku t idak
pernah mempelajari ilmu apapun. Tetapi karena kalian
menempuh garis hidup yang salah, maka ada sajalah yang
membantu aku untuk membunuh kalian berdua."
"Persetan dengan tahayul itu," geram orang yang tinggi
besar, "kekuatan dan ilmu kanuragan akan menyelesaikan
semua masalah. Kaupun akan segera mati dengan perut
terbelah." Daruwerdi tidak menjawab. Ia memusatkan perhatiannya
kepada serangan lawannya.
Ketiga orang itupun kemudian berputaran Senjata mereka
telah terayun menghantam dahan-dahan pepohonan.
Gerumbul-gerumbul perdu dipinggir hutan itu bagaikan
terbabat bersih, sementara batang besi orang bertubuh tinggi
itu telah mematahkan pepohonan diarena perkelahian itu.
Jlitheng menjadi cemas. Jika arena itu menjadi semakin
luas dan sempat ketempatnya bersembunyi. maka ia tidak
akan ingkar lagi. Ia harus terlibat kedalam persoalan yang
belumdimengertinya itu. Untunglah, bahwa berkisarnya arena pertempuran itu t idak
menuju kearah tempat Jlitheng bersembunyi. Karena itu, ia
tetap berada ditempatnya untuk melihat akhir dari
pertempuran yang mendebarkan jantung itu. Yang semakin
lama menjadi semakin seru. Langkah-langkah mereka menjadi
semakin cepat, sedang ayunan senjata merekapun menjadi
semakin mengerikan. Angin yang terbersit dari ayunan senjata
mereka yang bertempur itu telah dapat mengguncang dahandahan
kayu dan menggugurkan dedaunan yang mulai menjadi
kuning. Namun semakin lama menjadi semakin nyata, bahwa
Danuwerdi t idak dapat dikuasai oleh kedua orang Kendali
Putih itu seperti murid perguruan Pusparuri yang berhasil
mereka lukai. Bahkan semakin lama Daruwerdi menjadi
semakin cepat bergerak. Senjatanya semakin garang
menyambar-nyambar. Dengan sebuah loncatan panjang Daruwerdi menyerang
orang yang bertubuh tinggi besar itu dengan ayunan senjata
mendatar. Namun t iba-tiba ia menggeliat dan kakinya yang
menyentuh tanah telah melontarkannya tinggi-tinggi.
Serangannya segera berubah. Pedangnya terayun menyambar
kepala, seolah-olah Daruwerdi ingin membelah kepala itu
pecah menjadi dua. Dengan serta merta orang bertubuh tinggi besar itu
menyilangkan senjatanya untuk menangkis serangan yang
mengejutkan itu. Sambil bergeser setapak ia memiringkan
kepalanya. Ketika sebuah benturan terjadi, maka bunga apipun telah
berloncatan diudara. Kedua senjata ditangan dua orang yang
berilmu tinggi itu bergetar. Namun ternyata bahwa tangan
murid dari Kendali Putih itu terasa bagaikan tersayat.
Senjatanya hampir saja terlepas dari tangannya yang bagaikan
terkelupas. Dengan loncatan panjang orang itu menjauhi lawannya
untuk memperbaiki keadaannya. Tetapi agaknya Daruwerdi
menyadari, bahwa keadaan lawannya itu menjadi semakin
lemah. Karena itu, ia tidak mau melepaskan kesempatan itu.
Dengan cepat, iapun meloncat menyusul.
Tetapi Daruwerdi terpaksa berputar ketika ia sadar,
lawannya yang seorang lagi telah menyerangnya pula dengan
pedang terjulur. Ternyata bahwa lawannya itupun mampu
bergerak cepat dan langsung memotong serangannya.
Daruwerdi berputar. Selangkah ia bergeser, sehingga
pedang lawannya terjulur sejengkal dari lambung.
Dengan cepat Daruwerdi memperhitungkan keadaan. Ia
sengaja melepaskan lawannya yang bertubuh tinggi besar itu.
Kini ia melihat pedang yang terjulur lurus. Karena itulah, maka
dengan serta merta ia memukul pedang itu dengan, sekuatkuat
tenaganya. Getaran dari benturan pedang itu terasa menggigit telapak
tangan lawannya. Betapapun ia berusaha, namun pedang itu
telah meloncat dari genggaman.
Yang dihadapi oleh Daruwerdi adalah seorang yang tidak
bersenjata. Karena itu, maka jika ia berhasil memutar pedangnya
mendatar, maka ia akan dapat menyobek dada lawan
menyilang. Tetapi pada saat yang bersamaan, orang bertubuh tinggi
kekar itu telah mencoba menyelamatkan kawannya. Iapun
menyerang dengan serta merta. Dengan senjata ia memukul
punggung Daruwerdi sekuat-kuat tenaganya.
Daruwerdi menggeram. Ia terpaksa meloncat menghindari
serangan itu. Namun demikian kerasnya ayunan senjatanya,
maka orang itu justru terhuyung-huyung selangkah terseret
oleh ayunan senjatanya sendiri.
Kawannya melihat suatu kemungkinan untuk memungut
senjatanya yang terjatuh. Dengan satu loncatan ia berusaha
meraih pedangnya. Namun yang satu loncatan itu ternyata
telah menyeretnya kedalam pelukan maut, karena ujung
pedang Daruwerdi seolah-olah telah menunggunya dan
langsung menghunjam kedalam jantungnya.
Terdengar sebuah keluhan tertahan. Namun ketika
Daruwerdi menarik pedangnya, maka orang itu langsung jatuh
ditanah. Mati. Saat-saat yang demikian itu telah mengguncangkan hati
lawan Daruwerdi yang lain. Ia mencoba mempergunakan saatsaat
Daruwerdi menarik pedangnya yang terhunjam ketubuh
lawannya. Sebuah ayunan yang keras menghantam
tengkuknya. Namun Daruwerdi masih sempat mengelak. Demikian
pedangnya terlepas dari himpitan tubuh lawannya, iapun
segera meloncat mundur. Namun lawannya yang bagaikan
menjadi gila menyerangnya dengan serta merta. Sebuah
sambaran mendatar telah mengarah kelambung.
Daruwerdi terpaksa menghindarinya pula. karena ia belum
siap untuk menangkis serangan itu. Namun ia terlambat
sedikit sehingga ujung tongkat besinya masih juga
menyambar lengannya. Daruwerdi berdesis. Lengannya telah tersobek oleh gerigi
yang terdapat pada tongkat besi yang mengerikan itu.
Namun dengan demikian hatinya serasa menjadi terbakar.
Kemarahan anak muda itu telah memuncak, sehingga
wajahnya menjadi merah padam semerah darahnya yang
telah mangalir dari lukanya.
Tetapi Jlitheng yang melihat pertempuran itu dari
permulaan segera dapat menilai, bahwa yang seorang itu
tidak akan dapat bertahan terlalu lama. Luka dilengan
Daruwerdi tidak akan banyak mempengaruhinya. Bahkan
kemarahannya benar-benar telah memuncak, sehingga
tandangnyapun menjadi semakin garang.
Setelah murid Kendali Putih yang seorang terbunuh, maka
orang bertubuh tinggi besar itu tidak akan banyak dapat
memberikan perlawanan. Segera ia terdesak. Betapapun ia
mencoba melindungi dirinya dari sambaran pedang Daruwerdi
yang marah itu, namun ia tidak banyak berhasil. Rasarasanya,
kejaran maut telah menjadi semakin dekat ketika
ujung pedang Daruwerdi berkali-kali telah berdesing
ditelinganya. Dan waktupun rasa-rasanya menjadi semakin pendek bagi
orang bertubuh tinggi besar itu. Ia tidak dapat berteriak lagi
karena nafasnya menjadi semakin pendek. Hidungnya justru
seolah-olah telah tertutup oleh dengusnya sendiri, sementara
dadanya menjadi sesak. Daruwerdi tidak banyak memberinya kesempatan. Ia
memburu dengan garangnya, ketika lawannya mencoba
menghindarinya dengan loncatan-loncatan surut.
Jlitheng memalingkan wajahnya ketika tiba-tiba saja ia
melihat pedang Daruwerdi menyambar perut lawannya. Justru
singgungan pada ujung pedang yang tajam itu, perut
lawannya bagaikan tersayat melintang.
Orang bertubuh tinggi besar itu masih sempat menggeram.
Namun sekali lagi Daruwerdi yang marah itu meloncat dengan
pedang terjulur. Lawannya yang bertubuh tinggi besar itu tidak dapat
mengeluh lagi. Senjatanya yang mengerikan itupun terlepas
dari tangannya ketika ia mulai terhuyung-huyung dan jatuh
tersungkur ditanah. Daruwerdi berdiri termangu-mangu. Sejenak kemudian
iapun melangkah mendekati tubuh yang terbujur ditanah.
Sekilas iapun menatap mayat yang terbujur di sebelah lain
dari arena itu pula. Dua orang lawannya telah dibunuhnya.
Jlitheng memandang wajah Daruwerdi yang kelam itu
dengan hati yang berdebar-debar. Justru setelah kedua
lawannya dibunuh, Jlitheng harus menjaga dirinya, agar tidak
menimbulkan suara yang betapapun halusnya, karena ia
yakin, pendengaran anak muda itupun sangat tajamnya.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Daruwerdi teringat
kepada utusan dari Pusparuri yang telah terluka parah.
Dengan tergesa-gesa iapun segera melompat mendekati
tubuh yang terbaring diamitu.
"Ki Sanak," desis Daruwerdi sambil berjongkok di samping
tubuh itu, "he. ular sanca bertanduk genap."
Wajah Daruwerdi menjadi tegang. Diguncang-guncangnya
tubuh yang terbaring diamitu.
"He, Ki Sanak. Ki Sanak."
Dengan serta merta Daruwerdi menempelkan telinganya
didada orang itu. Namun kemudian dengan suara gemetar ia
bergumam, "Mati, iapun telah mati."
Tubuh itu masih hangat. Tetapi nafasnya lelah terputus
sama sekali. Daruwerdi kemudian berdiri termangu mangu. Ia tersadar
ketika terasa tangannya menjadi pedih oleh luka dilengannya.
"Gila," ia menggeram.
Diambilnya sebuah bungkusan kecil dikat pinggangnya.
Kemudian ditaburkannya sebangsa serbuk pada lukanya.
Beberapa saat Jlitheng masih melihat Daruwerdi termangumangu.
Sekali-kali ia masih mengamat-amati mayat yang
terbaring direrumputan dengan darah yang bagaikan
tergenang. "AKU harus mencari orang untuk menguburkan mereka,"
gumam Daruwerdi sambil melangkah pergi.
Ketika Daruwerdi telah hilang dibalik gerumbul-gerumbul
perdu untuk pergi kepadukuhan, maka Jlithengpun telah
keluar dari persembunyiannya. Didekatinya mayat-mayat itu
satu demi satu. Pada murid padepokan Pusparuri ia melihat
dipergelangannya membelit sebatang akar berwarna hitam
dihiasi dengan kepala seekor ular yang terbuat dari perak.
"Ikat pinggang orang ini telah diambil oleh murid dari
perguruan Kendali Put ih itu," desis Jlitheng.
Selebihnya anak muda itu tidak menemukan apapun juga.
Namun bagi Daruwerdi agaknya yang penting adalah sebutan
sandi dari ular sanca bertanduk genap itu, yang dijawabnya
dengan mata berlian dan bertaring baja.
"Apakah ia orang pertama setelah Kiai Pusparuri sendiri ?"
bertanya Jlitheng didalam hatinya. "Tetapi siapa-pun ular
sanca itu, namun ternyata Daruwerdi mengetahui sesuatu
rahasia tentang sebuah pusaka."
Diluar sadarnya Jlitheng melayangkan pandangan matanya
kearah bukit padas yang gundul tidak terlalu jauh dari hutan
itu. Bukit padas yang telah menarik perhatiannya.
Anak muda itupun sadar, bahwa persoalan yang ingin
diketahuinya itu agaknya telah menyangkut beberapa pihak
diluar padukuhan-padukuhan kecil yang bertebaran didaerah
yang tidak terlalu luas, di sebelah bukit. Bukit yang berhutan
lebat dan bukit batu padas yang gundul.
Ketika ia memungut senjata orang dari perguruan Kendali
Putih yang bertubuh tinggi besar itu, ia menarik nafas dalamdalam.
Orang itu tentu mempunyai kekuatan yang sangat
besar. Senjatanya, sepotong besi yang diberikan semacam
gerigi-gerigi kecil itu adalah termasuk sebatang tongkat yang
berat. Sedangkan orang yang terbunuh itu mampu
mengayunkannya seperti mengayunkan lidi.
Tetapi iapun menjadi kagum akan kekuatan Daruwerdi.
Anak muda itu mampu melawan dua kekuatan raksasa di
perguruan Kendali Put ih yang telah berhasil membunuh ular
sanca dari perguruan Pusparuri itu.
Namun Jlitheng itupun segera menyadari keadaannya.
Iapun segera dengan tergesa-gesa mengambil seonggok kayu
yang akan dibawanya pulang. Ia tidak mau terlibat kedalam
persoalan itu. Jika Daruwerdi melihatnya sedang mengamatamati
mayat-mayat itu, maka mungkin sekali anak muda itu
akan mencurigainya pula. Disepanjang jalan kembali sambil membawa seonggok kayu
diatas kepalanya, Jlitheng selaki memikirkan peristiwa yang
baru di lihatnya. Namun dengan demikian, ia menganggap
bahwa Kiai Kanthi agaknya tidak mempunyai hubungan
langsung dengan Daruwerdi.
Meskipun demikian, ia mulai digelitik oleh kecurigaan,
bahwa kedatangan Kiai Kanthi dan anaknya itu bukannya
karena padepokannya yang lama tertimbun tanah longsor dan
dihancurkan oleh badai dan banjir. Tetapi apakah tidak
mungkin bahwa kedatangan Kiai Kanthi itu juga tertarik oleh
berita yang sampai ketelinganya, bahwa anak muda yang
bernama Daruwerdi dari padukuhan Lumban telah menyimpan
satu rahasia tentang sebuah pusaka.
Ketika Jlitheng sampai dirumah, ibunya sedang sibuk
berada di dapur. Sambil bersungut-sungut ibunya
menyapanya, "Kau tentu bermain-main dikali."
"Tidak biyung. Aku langsung pergi kehutan mencari kayu."


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi lama sekali. Dan bukankah kau masih mempunyai
persediaan kayu yang cukup?"
"Langit sudah mulai kelabu. Jika sebentar lagi musim hujan
tiba, maka kita akan selalu diganggu oleh kayu bakar yang
basah, yang berasap dan yang menyakitkan mata."
Ibunya memberengut. Katanya, "Kayumu itupun masih
basah. Mataku sampai merah meniupnya."
Jlitheng tidak menjawab. Dilontarkannya onggokon kayu
yang dibawanya itu di sebelah longkangan.
"Nanti sajalah aku masukkan kebelakang lumbung."
"Jika kau mau makan, makanlah. Nasi sudah masak.
Jlitheng membersihkan dirinya di pakiwan. Kemudian iapun
masuk kedapur. Nasi dan lauknya telah tersedia di glodok
bambu. Meskipun anak muda itu sibuk menyuapi mulutnya,
namun lia masih saja memikirkan peristiwa yang baru saja
dilihatnya. Ketika matahari telah menyusup kebalik cakrawala di ujung
Barat, Jlitheng yang seperti biasanya duduk di mulut lorong
padukuhannya bersama beberapa orang kawannya, telah
mendengar ceritera tentang peristiwa yang terjadi. Salah
seorang kawannya berkata dengan sangat bernafsu, "Mereka
akan merampok Daruwerdi. Tetapi ternyata Daruwerdi
memang seorang yang luar biasa. Ia mempunyai kekuatan
dan ilmu yang tidak dipunyai oleh orang lain. Ilmu yang
mungkin langsung diterimanya dari langit."
"Dari mana kau ketahui hal itu ?" bertanya Jlitheng.
"Setiap orang mengatakannya. Beberapa orang dari
Lumban Kulon ikut membantunya menguburkan orang-orang
itu. Mereka membawa senjata yang mengerikan," jawab anak
muda yang berceritera itu.
"Apakah Daruwerdi juga bersenjata ?" bertanya Jlitheng.
"Agaknya Daruwerdi dapat melihat apa yang bakal terjadi.
Sebelum ia dirampok orang, ia selalu mempersiapkan senjata
pula. Nampaknya ia memang selalu membawa sebilah
pedang." "Tetapi ia mempunyai jimat," desis anak muda yang lain,
"Daruwerdi kebal dari segala macamsenjata."
"Tetapi ia terluka," tiba-tiba saja diluar sadarnya Jlitheng
menyahut. Semua orang berpaling kearahnya. Seorang anak muda
yang duduk didekatnya bertanya, "Siapa yang mengatakan
bahwa ia terluka?" Jlitheng termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, "Aku
justru ingin bertanya, siapakah yang sore tadi mengatakan,
bahwa Daruwerdi terluka."
Tiba-tiba saja salah seorang dari mereka yang ingin
dianggap paling tahu menjawab, "Ya. Daruwerdi memang
terluka. Tetapi luka itu sama sekali tidak berarti. Justru
lukanya itulah yang menunjukkan bahwa ia adalah seorang
anak muda yang kebal. Jika kau melihat senjata lawannya,
maka setidak-tidaknya tangan Daruwerdi seharusnya sudah
patah. Tetapi tangan itu hanya lecet saja sedikit."
Anak-anak muda yang mendengarkan ceritera itu
mengangguk-angguk. Mereka masih duduk lebih lama lagi
untuk mendengarkan ceritera-ceritera yang semakin lama
menjadi semakin jauh dari kenyataan yang telah dilihat oleh
Jlitheng. Anak-anak Lumban Kulon dan Lumban Wetan
agaknya terlalu mengagumi Daruwerdi.
Tetapi Jlitheng tidak membantahnya. Ia membiarkan anakanak
muda Lumban itu membuat khayalan-khayalan tersendiri
tentang Daruwerdi yang mereka kagumi.
Ketika kemudian malam menjadi gelap, dan anak-anak
muda Lumban itu telah mulai merasa terganggu oleh nyamuk
yang menggigit tengkuk dan lengan, maka merekapun
meninggalkan mulut lorong. Hanya mereka yang bertugas
ronda sajalah yang kemudian pergi ke gardu disudut
padukuhan. "Sayang, Daruwerdi tinggal di Lumban Kulon," desis salah
seorang dari mereka yang meronda, "beruntunglah anak-anak
muda Lumban Kulon yang mendapat perlindungan dari anak
muda seperti Daruwerdi."
Jlitheng yang juga pergi ke gardu mengangguk-angguk,
Katanya, "Jika saja ia bersedia mengajari kita semua."
Kawan-kawannya yang masih tinggal mengerutkan
keningnya. Yang seorang menyahut, "Tentui anak-anak
Lumban Kulon dahulu yang mendapat kesempatan jika ia
bersedia.Tetapi sampai saat ini, anak-anak Lumban Kulonpun
belumada yang diajarinya dalam olah kanuragan."
"Apakah mereka pernah minta kepadanya ?" bertanya
Jlitheng. "Entahlah," jawab kawannya, "tetapi ketika aku singgah di
Lumban Kulon tadi siang, nampaknya merekapun ingin
mendapat kesempatan itu. Apalagi ketika mereka menyadari,
bahwa ada juga perampok yang sampai di padukuhan ini.
Meskipun ,tidak banyak harta benda yang tersimpan di
Lumban Kulon dan Wetan, namun sebaiknya kita harus
berjaga-jaga. Jika kebetulan Darawerdi ada, maka
persoalannya akan tidak terlalu berat. Tetapi jika kebetulan ia
pergi." Jlitheng tidak menyahut. Ia hanya mengangguk-angguk
saja seperti beberapa kawannya yang lain.
Ketika malam menjadi semakin dalam, maka tiba-tiba saja
Jlitheng berkata kepada kawan-kawannya, "Aku akan pergi
kesungai sebentar. Tetapi mungkin aku akan terus menengok
sawah. Aku lupa, apakah aku sudah mengaliri air sore tadi."
"Ah, kau. Kau terlalu ceroboh dengan sawahmu. Itulah
sebabnya, kadang-kadang ibumu marah kepadamu. Air hanya
setitik, dan kau tidak memanfaatkannya."
Jlitheng tidak menyahut. Iapun kemudian berlari
menghambur kedalamgelapnya malam.
Tetapi Jlitheng tidak pergi ke sungai dan kesawah. Ia pasti,
bahwa sawahnya telah diselenggarakannya sebaik-baiknya.
Dalam gelapnya malam Jlitheng berjalan tergesa-gesa
menuju kebukit. Bahkan kadang-kadang ia berlari-lari kecil
disepanjang pematang. Namun bagaimanapun juga ia sadar,
bahwa ia harus berhati-hati. Padukuhan Lumban tenyata tidak
saja dijamah oleh Daruwerdi dan kawan-kawannya yang
masih merupakan rahasia baginya, tetapi juga oleh orangorang
dari pihak lain yang saling bermusuhan.
Jlitheng tahu pasti, bahwa perguruan Pusparuri dan
perguruan Kendali Putih tidak akan menghentikan usahanya
sampai batas kematian satu dua orang-orangnya. Yang masih
akan mereka lakukan tentu masih terlalu banyak. Bahkan
mungkin perguruan-perguruan lainpun akan segera tersangkut
pula. "Bahkan mungkin orang tua dan anak gadisnya itu," desis
Jlitheng, "dan apakah dapat diyakini kebenarannya, bahwa
gadis itu adalah benar-benar anaknya?"
Bagaimanapun juga, Jlitheng memang harus berhati-hati
menghadapi keadaan yang masih samar-samar baginya.
Sejenak kemudian anak muda itu sudah memasuki hutan di
kaki bukit. Tetapi daerah pebukitan itu telah dikenalnya
dengan baik. Karena itulah maka iapun t idak mengalami
kesulitan untuk menemukan sumber air yang dicari oleh Kiai
Kanthi dan Swasti, betapapun gelapnya malam di hutan yang
cukup pepat. Langkah Jlitheng tertegun ketika ia teringat, bahwa ia
belum membawa pesanan Kiai Kanthi untuk membawa
belanga dan tempayan. "Biarlah, besok saja aku bawa," desisnya.
Kedatangan Jlitheng agak mengejutkan Swasti yang sedang
duduk merenung dalam kegelapan. Gadis itu sedang
menggantikan ayahnya berjaga-jaga. Ketika ia mendengar
langkah mendekat, maka disentuhnya kaki ayahnya, sehingga
orang tua itupun telah terbangun.
Kiai Kanthipun segera mendengar desir lembut mendekat.
Namun untuk beberapa saat ia masih berdiam diri sambil
menunggu. Swasti menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar
seseorang berkata masih dalam kegelapan, "Aku Kiai.
Jlitheng." Kiai Kanthipun segera bangkit. Sambil menggeliat ia
bergumam, "Kau mengejutkan aku ngger."
Jlitheng yang kemudian menjadi semakin dekat menyahut,
"Maaf Kiai. Aku datang terlalu malam."
Swastipun segera beringsut menjauh, seolah-olah sengaja
duduk dibelakang sebatang pohon besar untuk memisahkan
diri. Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Namun ia tidak
memanggil anaknya. Dibiarkannya Swasti yang seakan2
berlindung dibalik sebatang pohon.
Jlithengpun kemudian duduk bersama Kiai Kanthi. Betapa
pun gelapnya malam namun seolah2 mereka saling dapat
memandang wajah masing2. "Kiai," berkata Jlitheng kemudian, "aku lupa pesanan Kiai."
Kiai Kanthi tertawa. Jawabnya, "Tidak apa ngger. Tentu
banyak yang angger yang sedang dilakukan, sehingga
meskipun masih muda, tetapi sudah menjadi seorang pelupa."
"Tidak banyak yang aku lakukan Kiai. Tetapi ada sesuatu
yang sangat menarik perhatianku."
Kiai Kanthi termangu-mangu sejenak, sementara Jlithengpun
kemudian menceriterakan apa yang dilihatnya dipinggir
hutan itu. Swasti yang mendengar juga peristiwa yang diceriterakan
oleh Jlitheng itu ternyata tertarik juga, sehingga iapun telah
beringsut setapak. Kiai Kanthi mendengarkannya dengan penuh minat. Sekalikali
ia mengerutkan keningnya, sekali-kali menarik nafas
dalam-dalam. Jlithengpun memperhatikan orang tua itu dengan saksama.
Ia ingin melihat akibat dari ceriteranya untuk menjajagi
apakah Kiai Kanthi mempunyai hubungan dengan peristiwa
yang baru saja terjadi itu.
Namun agaknya Kiai Kanthi yang tua itu dapat mengetahui,
apa yang tersirat pada tatapan mata Jlitheng, sehingga sambil
menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Apakah ada yang
angger ingin ketahui tentang aku dalam hubungannya dengan
peristiwa itu?" --ooo0dw0ooo" Jilid 02 "HE," Jlithenglah yang justru terkejut, "maksud Kiai?"
"Mungkin ada kecurigaan padamu ngger, bahwa aku
mempunyai hubungan dengan peristiwa itu. Aku sadar, bahwa
setiap orang baru yang datang ketempat yang kebetulan
mempunyai persoalannya tersendiri, akan sangat menarik
perhatian. Meskipun sekali lagi, hanya kebetulan saja."
Jlitheng mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Ternyata aku
tidak dapat bersembunyi lagi dihadapan Kiai. Banyak hal yang
Kiai ketahui dari keinginan yang sebenarnya masih tersimpan
dihati. Kali inipun Kiai ternyata dapat membaca perasaanku."
Jlitheng berhenti sejenak, lalu, "Baiklah Kiai. Terus terang aku
memang agak curiga terhadap kedatangan Kiai padi saat-saat
ini. Aku ragu-ragu apakah benar-benar Kiai datang dari
padepokan yang hancur karena tanah yang longsor, gempa,
banjir dan angin pusaran. Apakah kedatangan Kiai kemari
bukannya karena Kiai mempunyai hubungan dengan salah
satu dari kedua perguruan itu. Pusparuri atau Kendali Putih.
Atau Kiai adalah salah seorang yang mempunyai kepentingan
yang sama dengan perguruan-perguruan itu, tetapi Kiai
mempunyai pihak tersendiri."
Jlitheng terkejut ketika ternyata Swastilah yang menjawab
lantang, "Kamipun sudah mengetahui bahwa kau mencurigai
kami. Kesediaanmu menolong kami hanyalah karena kau ingin
menjajagi kemampuan kami. Sekarang kau tahu, bahwa aku
mampu melakukan apa yang dapat kau lakukan."
"Swasti," potong ayahnya.
"Kamipan tahu," Swasti meneruskan tanpa menghiraukan
kata-kata ayahnya, "kau menunjukkan tempat ini sematamata
karena kau ingin mengikat kami di tempat yang kau
ketahui dengan pasti. Setiap saat kau ingin mengamati kami,
maka kau tidak usah mencari kami diseluruh hutan ini."
"Ah," desah Kiai Kanthi, "jangan berprasangka terlalu jauh
Swasti." .Swasti memandang bayangan ayahnya dan Jlitheng
didalam kegelapan. Namun iapun kemudian terdiam.
Jlitheng mengangguk-angguk sambil bergumam, "Aku
mohon maaf Kiai, bahwa sikapku agaknya telah menyakiti hati
anak gadis Kiai." Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Ia tidak mengira
bahwa Jlitheng sama sekali t idak tersinggung oleh kata-kata
Swasti, bahkan ia masih sempat minta maaf kepadanya.
"Sebenarnyalah bahwa dalam keadaan seperti ini didaerah
terpencil seperti padukuhan Lumban ini. banyak mengundang
prasangka buruk." Jlitheng meneruskan.
"Itu bukan salahmu ngger," berkata Kiai Kanthi, "tentu
diantara kita masing-masing ada perasaan curiga karena kita
masing-masing belum mengenal lahir dan batin. Tetapi itu
bukan berarti bahwa kita masing-masing sudah melakukan
kesalahan." "Baiklah Kiai. Kita akan melihat perkembangan keadaan.
Kita masih akan saling membuktikan tentang diri kita masingmasing.
Tetapi jika benar Kiai tidak bersentuhan dengan
perguruan Pusparuri dan Kendali Putih" maka yang aku
ceriterakan itu hendaknya menjadi bahan perhitungan Kiai
menghadapi masa mendatang di padukuhan Lumban ini."
"Terima kasih ngger. Sebenarnyalah bahwa aku sudah
mendengar serba sedikit tentang perguruan itu. Tetapi isinya
aku sama sekali t idak mengerti. Apalagi hubungannya dengan
angger Daruwerdi." "Baiklah Kiai. Aku akan minta diri. Kita sudah saling
mengerti bahwa kita masih selalu dibelit oleh pertanyaan
tentang orang-orang yang sedang kita hadapi."
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Sementara Jlitheng
melanjutkan, "Kiai. Sebagaimana Kiai yang berselubung
kepapaan seorang perantau, maka terhadap siapa pun aku
mohon Kiai untuk tidak mengatakan sesuatu tentang
kemungkinan-kemungkinan yang Kiai anggap ada padaku.
Terutama apabila pada suatu saat Kiai bertemu dengan
Daruwerdi." Kiai Kanthi tertawa kecil. Jawabnya, "Aku sudah menduga


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ngger. Sejak semula aku sudah tidak dapat mengerti, bahwa
angger ini bernama Jlitheng anak seorang janda miskin dari
padukuhan Lumban Wetan. Tetapi akupun tidak akan
bertanya siapakah angger sebenarnya, karena angger tentu
akan berusaha menyembunyikan diri."
Jlithengpun tersenyum. Katanya, "Untuk sementara kita
dapat mengetahui menurut batas-batas yang kita buat sendiri
diantara kita. Tetapi aku masih tetap akan membantu Kiai
mendirikan sebuah gubug dipinggar hutan ini."
"Terima kasih ngger. Tetapi jangan lupa, besok aku
memerlukan belanga dan tempayan."
Jlitheng tertawa. Iapun kemudian minta diri kepada Swasti.
"Silahkan," jawab Swasti pendek.
Jlitheng tersenyum. Katanya kepada Kiai Kanthi, "Aku kira
Swasti tidak menganggap aneh sikap kita masing-masing,
karena iapun telah terlibat kedalamnya. Jika ia bersikap
tegang, mungkin karena aku benar-benar telah menyinggung
perasaannya. Sekali lagi aku mohon maaf Kiai."
"Tidak ngger. Anak gadisku tidak apa-apa. Itu memang
sudah menjadi sifatnya. Swasti memang jarang bergaul sejak
dipadepokan kami yang lama, yang agaknya kurang angger
percaya itu." Jlitheng tertawa semakin keras. Namun iapun kemudian
meninggalkan Kiai Kanthi dengan anaknya didalam gelapnya
malam. "Anak itu terlalu kasar," gumam Swasti.
Kiai Kanthi menggeleng lemah. Katanya, "Tidak Swasti. Ia
tidak terlalu kasar. Tetapi ia dihputi oleh kecurigaan. Mungkin
iapun mengemban suatu tugas yang memaksanya bersikap
demikian." Swasti tidak menyahut. Tetapi terdengar ia berdesah.
"Kita memang tidak dapat menghindarkan diri dari sikapsikap
demikian. Apalagi dalam keadaan seperti sekarang di
padukuhan Lumban." "Kenapa kita memilih tempat ini ayah," berkata Swasti
kemudian, "mumpung kita belum terlanjur mulai dengan
membuat sebuah padepokan, sebaiknya kita tinggalkan saja
tempat ini. Kita mencari tempat yang jauh dari persoalanpersoalan
yang menegangkan seperti ini."
Kiai Kanthi menggeleng lemah. Jawabnya, "Tidak Swasti.
Dimanapun juga hidup mempunyai tantangannya masingmasing.
Mungkin berbeda dalam ujud, tetapi semuanya
memerlukan kesediaan untuk mengatasinya. Kita sudah
bergulat dengan tanah longsor, banjir dan angin pusaran serta
gempa. Disini ternyata kita menghadapi tantangan yang
berbeda." Swasti masih tetap berdiam diri.
"Apalagi setelah aku mendengar nama perguruanperguruan
itu disebut Swasti. Perguruan Pusparuri, aku belum
banyak mengerti. Tetapi perguruan Kendali Putih, aku sudah
mendengarnya. Mungkin sekali-kali aku pernah
menyinggungnya." Swasti tidak segera menjawab. Ia mencoba mengingatingat
apa yang pernah diceriterakan oleh ayahnya tentang
perguruan Kendali Put ih.
"Apakah kau masih ingat Swasti, aku pernah mengatakan
kepadamu, bahwa perguruan Kendali Putih adalah sarang dari
orang-orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri.
Diperguruan itu berkumpul orang-orang yang memiliki
kemampuan dan ilmu yang tinggi. Tetapi hidup mereka justru
mereka habiskan untuk meneguk kepuasan duniawi. Mereka
tidak segan membunuh untuk sekedar mendapatkan sekeping
emas atau sebutir berlian," berkata ayahnya sambil
memandang wajah anak gadisnya yang menegang.
Swasti mengangguk kecil. Jawabnya, "Aku ingat ayah."
"Ternyata sekarang orang-orang Kendali Putih itu telah
menjamah padukuhan yang terpencil ini justru karena disiini
ada angger Daruwerdi." sambung Kiai Kanthi.
"Namun dengan demikian, kita harus mencari keterangan,
siapakah sebenarnya Daruwerdi itu ayah. Seperti Jlitheng. ia
tentu mempunyai latar belakang kehidupan yang jauh berbeda
dengan orang-orang Lumban itu sendiri. Bahkan menurut
dugaanku, maka Lumban justru telah menjadi korban hadirnya
Daruwerdi." Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Katanya, "Aku belum
dapat mengambil kesimpulan apapun juga Swasti. Untuk
sementara kita masih tidak akan terlibat. Kita akan melakukan
seperti yang kita rencanakan. Membuat sebuah tempat tinggal
yang kecil, namun dapat memberikan pegangan hidup. Bukan
saja buat aku yang sudah semakin tua ini, tetapi juga buatmu
dimasa yang masih panjang."
Swasti tidak menyahut. Iapun sadar, bahwa ia harus
berhati-hati menghadapi keadaan yang masih samar-samar.
"Nah," berkata ayahnya kemudian, "sekarang giliranmu
untuk tidur. Aku akan berjaga-jaga. Mudah-mudahan tidak
ada binatang buas yang tersesat sampai ketempat ini."
Swasti tidak menjawab. Iapun kemudian bersandar pada
sebatang pohon sambil memejamkan matanya, sementara
ayahnya duduk sambil berselimut kain panjangnya.
Dalam pada itu, padukuhan Lumbanpun sedang ditelan
oleh kesenyapan malam. Beberapa orang anak muda yang
sedang ronda digardu dengan gelisah menunggu Jlitheng yang
terlalu lama pergi. "Anak malas itu tentu sibuk dengan pematangnya yang
pecah," desis yang seorang.
Sedang yang lain menyahut, "Ia terlalu bodoh untuk
mengerti." Kawan-kawannya tertawa. Namun suara tertawa itu
terputus ketika salah seorang melihat Jlitheng melangkah
mendekat sambil memegang perutnya. Dalam cahaya obor
didepan gardu itu, kawan-kawannya melihat wajah Jlitheng
yang tegang. "Kenapa perutmu ?" bertanya seorang kawannya.
"Sakit," sahut Jlitheng yang langsung membaringkan
dirinya di gardu yang sempit itu.
Kawan-kawannya membiarkannya meskipun salah seorang
dari mereka bergumam, "Kau sita tempat yang hanya sempit
itu untuk dirimu sendiri."
Jlitheng tidak menyahut. Bahkan iapun melingkar sambil
menyelubungi seluruh tubuhnya dengan kain panjangnya.
Namun dalam pada itu, seisi gardu itupun terkejut ketika
mereka mendengar derap kaki kuda memecah sepinya malam.
Sejenak anak-anak muda itu tercengkam. Namun kemudaan
mereka mulai berdesak-desakan sambil gemetar.
"Kau dengar suara kaki kuda itu ?" desis seseorang.
Kawannya yang sudah gemetar menggeram, "Hanya orang
tuli sajalah yang tidak mendengar suara derap kaki itu."
Yang lainpun terdiam. Namun salah seorang dari mereka
tiba-tiba mengguncang kaki Jlitheng sambil berdesis, "Jlitheng,
bangun. Ada seekor kuda datang."
Jlitheng tidak bergerak. Nampaknya ia sudah tertidur
nyenyak. "Jlitheng, Jlitheng," yang lain ikut mengguncang.
"O," Jlitheng tiba-tiba mengeluh, "perutku sakit."
"Bangun. Kau dengar derap kaki kuda yang semakin dekat
itu?" "Peduli dengan seekor kuda."
"Gila," kawannya yang bertubuh tinggi menjadi jengkel,
"jika kau dicekiknya, terserah. Kamipun tidak peduli."
Tiba-tiba Jlitheng bangkit. Dengan suara bergetar ia
bertanya, "Apa yang terjadi " Apa ?"
"Diamlah, Kuda itu sudah dekat."
Jlitheng tidak sempat menjawab. Ketika ia turun dari gardu,
ternyata yang dilihatnya mendekat bukannya seekor kuda.
tetapi dua ekor kuda. Penunggaang2 kuda itu telah menarik kendali kuda masingmasing
ketika mereka melihat beberapa orang anak muda
berdiri dimuka gardu, sehingga kedua ekor kuda itu berhenti
beberapa langkah saja dihadapan anak-anak muda itu.
Anak-anak muda itu menjadi gemetar ketika mereka
melihat dalam cahaya obor dua wajah yang garang
memandang mereka dengan tegang. Dada mereka bagaikan
retak ketika salah seorang dari keduanya tiba-tiba saja
membentak, "He. kalian anak-anak Lumban ?"
Tidak ada yang dapat segera menjawab. Mulut-mulut
menjadi bagaikan membeku.
"He, apakah semuanya tuli," yang lain hampir berteriak.
Jantung anak-anak muda itu bagaikan rontok. Apalagi
ketika salah seorang dari kedua orang berkuda itu meloncat
turun. "He, kalian bisu atau tuli " Jawab, bukankah ini padukuhan
Lumban ?" Anak muda yang bertubuh tinggi, yang kebetulan berdiri
dipaling depan terpaksa berusaha untuk menjawab, "Ya Ki
Sanak." Orang itu tiba-tiba tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia
berkata, "Kau anak berani. Kemarilah."
Anak muda bertubuh t inggi itu menjadi semakin gemetar.
Sedangkan orang itu masih saja tertawa sambil berkata,
"Kemarilah anak muda. Kau nampaknya anak muda yang
paling berani diantara semua kawan-kawanmu."
Anak muda bertubuh tinggi itu menjadi semakin gemetar.
"Kenapa kau diam saja ?" orang berwajah garang itu
bertanya. "Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin bertanya."
Anak muda itu bagaikan menjadi lumpuh. Karena itu ia
sama sekali tidak bergeser.
"Baiklah. Jika kau tidak mau mendekat, akulah yang akan
mendekat. Tetapi setidak-tidaknya kau tidak bisu dan tidak
tuli." Ketika orang berwajah garang itu maju selangkah, diluar
sadarnya anak-anak muda Lumban Wetan itu bergeser
mundur. Karena itulah maka orang itupun tertawa semakin
keras. Katanya, "Lumban memang aneh. Ternyata anak-anak
mudanya tidak lebih dari seekor cacing."
Anak-anak muda itu menjadi semakin gemetar.
Nyawa mereka rasa-rasanya telah terloncat dari ubun-ubun
ketika tiba-tiba saja orang itu membentak, "He, siapa diantara
kalian yang melihat dua orang kawanku yang datang ke
padukuhan ini he ?" Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan.
"Kalian menjadi bisu lagi. He, kau yang paling berani yang
tidak bisu dan t idak tuli. Jawab pertanyaanku."
Tetapi anak muda yang bertubuh t inggi itu benar-benar
telah terbungkam. Keringatnya mengalir diseluruh tubuhnya,
namun badannya terasa menjadi sangat dingin seperti air
wayu sewindu. Orang bertubuh kekar dan berwajah garang itu maju lagi
selangkah. Sekali lagi ia berteriak, "Siapa yang melihat dua
orang kawanku datang kepadukuham ini " Ia tidak kembali
pada waktu yang sudah di tentukan. Dan aku pasti bahwa
keduanya telah sampai kepadukuhan ini. Tetapi aku tidak
dapat menjumpainya ditempat yang sudah di tentukan."
Anak-anak muda itu benar-benar menggigil. Mereka segera
mengetahui bahwa yang dimaksud tentu dua orang yang telah
dibunuh oleh Daruwerdi disebelah bukit, yang kemudian
dikuburkan bersama seorang yang lain yang menurut
keterangan justru kawan Daruwerdi sendiri yang mati dibunuh
oleh dua orang yang kemudian terbunuh pula itu.
Tetapi tidak ada mulut yang dapat mengatakannya. Bahkan
untuk menyebut bahwa kedua orang itu berurusan dengan
orang-orang Lumban Kulonpun tidak ada yang dapat
mengucapkannya. "He, cepat. Apakah kau merahasiakannya " Apakah terjadi
sesuatu dengan kawan-kawanku itu " Katakan. Jika kalian
mengetahui sesuatu tentang mereka."
Kediaman anak-anak muda Lumban Weton itu justru telah
menumbuhkan kecurigaan pada kedua orang berwajah garang
itu. Yang masih duduk dipunggumg kuda t iba-tiba saja
berteriak, "Cepat, sebut apa yang terjadi. Kalian tentu
mengetahui sesuatu yang kalian tidak dapat mengatakannya.
Tetapi jika kalian tidak mau mengatakan, maka kami akan
mengambil sikap. Kami akan memaksa kalian untuk
mengatakannya." Darah disetiap tubuh rasa-rasanya telah berhenti mengalir.
Wajah-wajah garang itu bagaikan menyala. Orang yang sudah
turun dari kudanya itupun menggeram, "Kalian tentu
mengetahui. Setiap peristiwa akan segera diketahui oleh
setiap orang dipadukuhan ini."
Anak-anak muda dimuka gardu itu seolah-olah telah
menjadi patung yang beku. Nafaspun rasa-rasanya tidak lagi
dapat mengalir sewajarnya, sehingga dada mereka merasa
sesak, dan kepala mereka menjadi pening.
"Cepat," tiba-tiba saja orang itu berteriak, "dipadukuhan
seperti ini tidak ada yang dapat dirahasiakan. Juga tentang
kedua orang kawanku itu. Aku berjanji untuk tidak berbuat
sesuatu atas kalian jika kalian mengatakannya, dan jika kalian
tidak terlibat dalampersoalan dengan mereka."
Tetapi mulut-mulut bagaikan tersumbat.
"Aku tidak telaten," berkata orang yang sudah turun dari
kudanya, "aku akan mengambil seorang dari mereka dan
memaksanya untuk berbicara. Jika mulutnya tidak mau
terbuka, maka aku akan memeras darahnya sampai kering."
Seorang anak muda yang kurus berwajah pucat tiba-tiba
saja telah terjatuh dan menjadi pingsan. Namun tidak
seorangpun yang berani bergerak untuk menolongnya.
Ketika orang yang berwajah, garang itu melangkah maju
sambil memandangi setiap wajah untuk menemukan
seseorang yang akan diperasnya, maka tiba-tiba saja
terdengar seseorang merintih.
Orang berwajah garang itu tertegun. Dengan tegang ia
memperhatikan suara itu. "He, kenapa kau," t iba-tiba orang itu berteriak.
"Perutku sakit," yang menjawab adalah Jlitheng sambil
memegangi perutnya yang sakit. "Apakah aku boleh pergi
kesungai ?" Pertanyaan itu benar-benar telah mengejutkan. Bukan saja
kedua orang berwajah garang itu, tetapi kawan-kawan
Jlithengpun terkejut. Pertanyaan itu akan dapat
mencelakakannya. Ternyata dugaan kawan-kawannya itu benar. Orang


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berwajah garang yang sudah tidak lagi berada dipumggung
kudanya itu benar-benar merasa tersinggung oleh pertanyaan
Jlitheng. Karena itu, maka t iba-tiba saja ia melambaikan
tangannya sambil tersenyum. Tetapi senyumnya itu
nampaknya seperti senyum iblis yang melihat sesosok mayat
yang baru diletakkan dilubang kuburnya.
"Kemarilah cah bagus," desis orang berwajah garang itu.
Tetapi panggilan itu rasa-rasanya bagaikan sembilu yang
menggores setiap jantung.
"Alangkah bodohnya Jlitheng, kawan-kawannya
menyesalinya. Tetapi tidak seorangpun yang berani
menolongnya. Tetapi Jlitheng memang seorang anak yang dungu
dihadapan kawan-kawannya. Ia melangkah maju sambil
terbungkuk-bungkuk. "Perutku sakit sekali," ia masih berdesis.
"Baiklah. Marillah. Aku antar kau kesungai. Apakah kau
dapat naik seekor kuda?"
Jlitheng menggeleng. Jawabnya, "Tidak. Aku tidak dapat
naik kuda." "Kalau begitu marilah. Aku jaga agar kau tidak terjatuh."
"Tetapi sungai itu tidak begitu jauh," jawab Jlitheng.
Orang itu tersenyum. Dibelainya kepala Jlitheng sambil
berkata, "Meskipun tidak jauh, biarlah kami berdua
mengantarmu cah bagus."
Ketika Jlitheng mendekati orang itu, kawan-kawannya
menjadi semakin berdebar-debar.
"Alangkah bodohnya," kawan-kawannya berteriak didalam
hati. Rasa-rasanya mereka ingin menggapai Jlitheng dan
menariknya, agar ia tidak mendekati orang berwajah garang
itu. Tetapi merekapun telah membeku oleh ketakutan dan
kecemasan. Tetapi Jlitheng melangkah terus sambil memegangi
perutnya. "Terima kasih," desis Jlitheng.
Orang berwajah garang itupun kemudian meloncat
kepunggung kudanya. Dicahaya obor yang kemerah-merahan
masih nampak ia tersenyum sambil berkata, "Kemarilah. Aku
tolong kau naik kuda bersamaku."
Anak-anak muda itu menggigil ketika mereka melihat
Jlitheng mendekati orang berkuda itu.
Namun yang terdengar kemudian adalah keluhan yang
panjang. Tiba-tiba saja orang itu menyambar tangan Jlitheng
dan menariknya dengan semena-mena.
"Cepat anak gila. Kau harus menunjukkan kepadaku,
dimana kedua orang kawanku itu." bentak orang itu dengan
kasar. "Aku akan pergi kesungai," Jlitheng mulai berteriak.
"Tutup mulutmu. Aku bunuh kau," senyum diwajah orang
itu sudah lenyap. Yang nampak kemudian adalah kegarangan
wajah yang mengerikan. Kawan-kawannya hanya dapat memandang dengan tegang
saat kuda-kuda itu mulai bergerak. Mereka melihat Jlitheng
meronta. Tetapi tangan orang berwajah kasar itu bagaikan
tanggembaja. Sejenak kemudian kuda itu telah berderap masuk kedalam
kegelapan. Namun hati anak-anak muda itu bagaikan teriris
ketika mereka mendengar suara teriakan Jlitheng yang
tertinggal, disela-sela derap kaki-kaki kuda itu.
Ketika kemudian Jlitheng hilang didalam kelam, maka anakanak
muda itu mulai saling berpandangan. Satu dua diantara
mereka menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba seorang
yang bertubuh gemuk berdesis, "Kasihan J litheng yang dungu
itu." Kawan-kawannya masih menggigil. Namun salah seorang
dari mereka mulai melangkah mendekati kawannya yang
pingsan. "Bawa ia naik kegardu," desisnya.
Beramai-ramai anak muda itu diangkat untuk
dibaringkannya didalam gardu. Satu dua diantara mereka
mulai memijat-mijat keningnya, sedang yang lain masih saja
berdiri kebingungan. "Marilah kita pulang," tiba-tiba seorang diantara mereka
berdesis, "bagaimana jika mereka kembali lagi kemari ?"
"Ya. Kita pulang saja."
Beberapa orang menjadi ragu-ragu. Seorang yang paling
tua berkata, "Mereka tidak akan kembali lagi. Kita menunggu
sejenak, apa yang terjadi dengan Jlitheng."
Anak-anak muda itu menjadi semakin ragu-ragu. Tetapi
tidak seorangpun diantara mereka yang meninggalkan gardu.
Hati mereka benar-benar menjadi kecut, sehingga mereka
kebingungan, apakah yang sebaiknya dilakukan.
Sementara itu, beberapa orang yang tinggal disebelahmenyebelah
gardu itu terkejut mendengar keributan yang
terjadi. Mereka mendengar beberapa orang berteriak.
Membentak, tetapi juga mengaduh.
Satu dua orang laki-laki telah keluar dari rumahnya.
Dengan hati-hati mereka mulai mengint ip. Ketika mereka
masih melihat obor digardu menyala, dan mereka masih
melihat anak-anak muda dimuka gardu itu, maka merekapun
segera mendekat. Mereka hanya dapat mendengar apa yang telah terjadi
dengan Jlitheng. "Kasihan janda itu," desis seseorang, "anak itu hilang sejak
kanak-kanak. Belum lama ia kembali. Kini ia mengalami
bencana." "Ya," sahut yang lain, "begitu lama anak itu pergi, sehingga
kita yang tua ini tidak lagi dapat mengingat bahwa janda itu
mempunyai anak laki-laki. Agaknya kini ia harus kehilangan
untuk yang kedua kalinya."
"Apakah kita akan memberitahukan kepadanya?" bertanya
seorang anak muda. Seorang laki-laki tua maju selangkah. Dengan sareh ia
berkata, "Jangan tergesa-gesa. Kita akan menunggu
perkembangan dari peristiwa ini. Jika sekarang kita datang
kerumahnya dan memberitahiulkannya kepada ibunya, maka
perempuan itu akan pingsan. Bahkan mungkin mati."
Yang lain mengangguk-angguk Seorang anak muda
berkata, "Baiklah. Kita menunggu perkembangannya. Besok
pagi-pagi kita akan menelusuri jalan-jalan di Lumban Wetan
dan kalau perlu di Lumban Kulon. Mungkin kita dapat
menemukannya." Anak muda itu tidak meneruskannya. Tetapi yang lain
menyahut, "Menemukannya hidup atau mati."
Seorang tua menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kita
akan mengatakannya kepada Daruwerdi. Apakah yang
sebaiknya kita lakukan."
"Ya. Besok kita menemui Daruwerdi di Lumban Kulon,"
hampir berbareng beberapa orang menjawab.
Sejenak kemudian, maka orang-orang tua itupun minta diri,
kembali kerumah masing-masing, sedang beberapa orang
anak muda masih tetap berada digardu. Namun tidak seorang
pun yang berani membaringkan dirinya. Jika mereka
mendengar derap kaki kuda, maka mereka sudah siap
menghambur melarikan diri.
Sementara itu, kedua ekor kuda dengan penunggangnya
telah berderap keluar padukuhan dengan membawa Jlitheng
yang meronta-ronta. Namun himpitan tangan orang berwajah
garang itu semakin lama menjadi semakin kuat mencengkam
lengan Jlitheng. "Aku akan pergi kesungai," teriak Jlitheng.
"Tutup miulutmu, atau aku bunuh kau." bentak orang
berwajah garang itu, "sekarang tunjukkan, dimana kau
melihat kedua orang kawanku. Dengan siapa mereka
berhubungan, dan apakah yang sudah terjadi."
"Aku tidak tahu, aku t idak tahu," Jlitheng masih berteriak.
"Jika kau tidak mau diam, aku cekik kau sampai mati,"
geramorang berwajah garang itu.
Sejenak Jlitheng terdiam. Yang terdengar dikesunyian
malam hanyalah derap kaki kuda yang berlari kencang dibulak
panjang itu. Namun ketika mereka sudah sampai ditengah-tengah
bulak, maka kuda itupun berjalan semakin lambat. Bahkan
akhirnya berhenti sama sekali.
Jlitheng masih tetap berada dipunggung kuda. Orang
berwajah garang yang memeganginya berdesis, "Kita berada
ditengah-tengah bulak anak manis."
Jlitheng tidak menjawab. "Nah, sekarang katakan kepadaku, apa yang kau ketahui
tentang kedua orang kawanku yang sudah mendahului aku
datang kepadulkuhan Lumban," bertanya orang berwajah
garang itu, "akan dapat berbaik hati kepadamu. Tetapi aku
juga dapat berbuat sesuatu yang barangkali belum pernah kau
bayangkan." Jlitheng masih tetap diam.
"Misalnya," orang itu melanjutkan kata-katanya,
"mengikatmu dan menarik dibelakang kaki kuda. Atau
mengikatmu erat-erat dan menelungkupkan tubuhmu diparit
yang airnya hanya mengalir sedalam mata kaki, dengan
sebuah batu besar dipunggung. Atau cara lain yang lain yang
barangkali lebih menarik."
Jlitheng sama sekali t idak menjawab.
"He," orang itu mulai kehilangan kesabaran," jawab
pertanyaanku." Adalah dihiar dugaan, bahwa tiba-tiba saja Jlitheng justru
tertawa. Bahkan kemudian dengan tangkasnya ia turun ajari
punggung kudanya sebelum orang yang berwajah garang itu
sempalt menyadari keadaannya. Pegangan tangannya yang
agak mengendor telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh
Jlitheng, sehingga dengan mudah ia melepaskan diri bahkan
orang itu hampir jatuh karenanya.
Sejenak kemudian Jlitheng telah berdiri beberapa langkah
dari orang berwajah garang yang membawanya sambil
bertolak pinggang. Sikap Jlitheng itu benar-benar telah mengejutkan orangorang
dari perguruan Kendali Putih itu. Sesaat mereka
bagaikan terpukau sehingga keduanya justru membeku
dipunggung kudanya. "Nah Ki Sanak," berkata Jlitheng dengan suara yang jauh
berbeda dengan lengkingan-lengkingan ketakutan disaat ia
meninggalkan gardu, "marilah kita berbicara dengan baik. Kau
dapat bertanya dengan sopan, dan aku akan menjawab
dengan wajar." Yang terdengar kemudian adalah geram yang melontarkan
kemarahan. Orang yang membawa Jlitheng bersamanya
disatu punggung kuda itupun bertanya dengan suara bergetar,
"Apakah kau sudah menjadi gila karena ketakutan ?"
"Tidak Ki Sanak," jawab Jlitheng sareh, "aku memang ingin
berbicara ditempat yang sepi seperti sekarang ini agar tidak
menakut-nakuti kawan-kawanku yang berada digardu. Apalagi
ketika aku menyadari, bahwa aku berhadapan dengan orangorang
dari perguruan Kendali Putih."
"Persetan," geram orang dari Kendali Putih yang seorang
lagi, "jawablah. Dimana kedua kawan-kawanku yang telah
datang lebih dahulu dipadukuhan ini."
"Mereka telah mat i," jawab Jlitheng pendek.
Jawaban Jlitheng itu terdengar bagaikan ledakan petir
ditelinga mereka. Hampir berbareng keduanya telah meloncat
turun dari kuda mereka. Sejenak keduanya memandang Jlitheng dengan tanpa
berkedip. Mereka telah menyadari, bahwa yang berdiri di
hadapannya itu tentu bukannya anak Lumban yang pingsan
karena ketakutan seperti yang terjadi, di gardu. Namun
bagaimanapun juga bagi kedua orang Kendali Putih itu,
Lumban adalah padukuhan yang tidak berarti apa-apa bagi
mereka. Karena itu, salah seorang dari keduanya membentak
dengan kasarnya, "Anak setan. Katakan, apakah yang telah
terjadi." Jlitheng memandang kedua orang itu berganti-ganti.
Kemudian katanya, "Aku melihat semua dua orang Kendali
Putih yang datang kepadukuhan Lumban Kulon. Keduanya
telah melukai seorang dari perguruan Puspapuri dan berusaha
untuk menipu Daruwerdi. Tetapi rahasia kawan-kawanmu itu
dapat diketahui, karena mereka tidak mampu menjawab istilah
sandi yang sebelumnya sudah disiapkan oleh Daruwerdi
dengan perguruan Pusparuri. Dan itu adalah kebodohan yang
menentukan bagi kedua kawan-kawanmu itu."
"Gila," geram kedua orang Kendali Putih itu, "siapakah kau
sebenarnya" Apakah kau yang bernama Daruwerdi ?"
"Bukan aku. Aku hanya melihat bagaimana Daruwerdi
membunuh kedua orang kawanmu."
"Bohong. Tentu dua puluh atau tiga puluh orang Lumban
telah beramai-ramai mengepung dan mengeroyoknya.
Mungkin diantaranya terdapat Daruwerdi dan kau sendiri."
"Aku berkata sebenarnya," jawab Jlitheng, "bukankah aku
sudah berjanji untuk menjawab dengan wajar?"
"Tidak ada orang yang dapat mengalahkan murid-murid
dari perguruan Kendali Putih," teriak salah seorang dari
mereka. "Ada. Daruwerdi. Kau dengar. Namanya Daruwerdi.
Rumahnya Lumban Kulon. Ia seorang diri telah membunuh
kedua orang kawan-kawanmu. Kau dengar."
Kata-kata Jlitheng itu membuat kedua orang Kendali Putih
itu menjadi semakin marah. Dengan garangnya salah seorang
dari keduanya membentak, "Jangan mengigau. Aku dapat
membunuhmu." Jlitheng termangu-nmngu. Ia bergeser setapak ketika ia
melihat salah seorang dari kedua orang Kendali Putih itu
mengikat kudanya pada sebatang pohon perdu. Bahkan yang
seorangpun telah berbuat serupa pula.
Jlitheng sadar, bahwa keadaan menjadi semakin gawat.
Tetapi ia sudah melakukannya dengan sengaja dan telah
memperhitungkan akibatnya pula.
"He anak gila," salah seorang dari kedua orang Kendali
Putih itu menggeram, "kau belum mengenal kami berdua. Kau
belum mengenal perguruan Kendali Putih. Karena itu,
nampaknya kau menganggap kami berdua seperti anak-anak
yang merengek minta makanan. Cobalah kau menyadari
keadaanmu. Agaknya kau belum terlambat minta ampun


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada kami dan mengatakan sebenarnya seperti yang kami
inginkan." "Ki Sanak," jawab Jlitheng, "aku sudah mengatakan yang
sebenarnya. Kedua orang Kendali Putih yang datang untuk
mencari keterangan tentang pusaka yang tidak aku ketahui
namanya, telah terbuka rahasianya sehingga kemudian telah
dibunuh oleh Daruwerdi, anak muda dari Lumban Kulon,
setelah kedua orang Kendali Putih itu berhasil membunuh
seorang dari perguruan Pusparuri yang seharusnya mendapat
keterangan dari Daruwerdi," Jlitheng berhenti sejenak, lalu, "Ki
Sanak. Jika kau bertanya sekali lagi, maka jawabku akan sama
pula dengan jawabku itu dan jawaban-jawabanku
sebelumnya. Karena itu, jangan bertanya lagi tentang kedua
orang kawanmu. Mungkin kau lebih baik bertanya siapakah
Daruwerdi dan dimanakah rumahnya."
Kedua orang itu tidak lagi dapat mengendalikan
kemarahannya. Karena itu tiba-tiba saja salah seorang dari
mereka telah mengayunkan tangannya menampar kening
Jlitheng. Tetapi orang itu terkejut. Ternyata tangannya tidak
menyetuh anak muda itu, meskipun Jlitheng tidak bergeser
dari tempatnya. Ia hanya menarik kepalanya sambil
memiringkan wajahnya. Kemudian seolah-olah seperti tidak
terjadi sesuatu ia berkata, "Jangan cepat marah. Jika kau ingin
bertemu dengan Daruwerdi, marilah. Mungkin kalian berdua
juga akan dibunuhnya seperti kedua kawanmu yang telah mati
itu." Keduanya tidak dapat menahan diri lagi. Salah seorang dari
mereka berkata kasar, "Setan alas. Aku akan membunuhmu
dengan caraku. Baru kemudian aku akan mencari Daruwerdi
yang kau katakan itu. Tetapi aku tidak percaya bualanmu,
seolah-olah anak muda dari Lumban mampu membunuh
orang-orang Kendali Put ih, apalagi seorang Daruwerdi
melawan dua orang kawan-kawanku."
"Kenapa kau tidak percaya bahwa anak muda Lumban
mampu mempertahankan dirinya meskipun ia berhadapan
dengan orang-orang Kendali Putih?"
Pertanyaan itu benar-benar tantangan dan penghinaan bagi
kedua orang Kendali Putih itu. Karena itu, maka yang seorang
dari keduanya segera meloncat menerkam kepala Jlitheng
sambil berteriak, "Aku bunuh kau perlahan-lahan didalam parit
itu." Tetapi tangannya juga tidak menyentuh sehelai rambutpun.
Jlitheng mampu menghindar secepat terkaman orang
Kendali Putih itu. "Gila," geram orang itu, "kau akan menyesal dengan
sikapmu." Orang itu tidak dapat menyelesaikan kata-katanya. Tibatiba
saja terasa lambungnya bagaikan meledak. Kaki Jlitheng
telah terjulur menghantam lambung tanpa diduga-duga.
Orang itu terdorong selangkah. Terdengar ia menyeringai
menahan sakit. Namun sekali lagi terjadi yang tidak terdugaduga
pula. Bagaikan terbang Jlitheng meloncat
menyerangnya. Orang itu tidak sempat menghindar. Karena itu, ia telah
menyilangkan tangannya menahan serangan kaki Jlitheng
yang terjulur lurus. Tetapi karena ia belum mapan pada
keseimbangan seutuhnya, maka dorongan kaki lawannya telah
melemparkannya, sehingga ia jatuh terguling ditanah.
Yang terjadi itu demikian cepatnya, sehingga murid Kendali
Putih yang seorang lagi itu sejenak justru bagaikan
tercengkam oleh keheranannya. Namun ketika ia melihat
kawannya jatuh berguling, maka dengan serta merta iapun
meloncat menerkamJ litheng pada tengkuknya.
Tetapi Jlitheng sempat menghindar. Seolah-olah
ditengkuknya itu terdapat sepasang mata yang melihat tangan
lawannya itu terjulur kearahnya. Bahkan dengan serta merta
ia sempat memutar tubuhnya dan dengan tangannya
menghantamdada. Lawannya ternyata cukup tangkas. Ia meloncat mundur
selangkah, sehingga tangan Jlitheng tidak menyentuhnya.
Pada saat Jlitheng siap untuk meloncat memburu,
langkahnya terhenti. Lawannya yang seorang ternyata telah
melenting berdiri dan siap untuk menyerangnya pula.
Jlitheng mempersiapkan diri menghadapi kedua lawannya.
Ia sadar, bahwa ia harus berhati-hati menghadapi orangorang
Kendali Putih. Di pinggir hutan ia melihat, bagaimana
orang-orang Kendali Put ih itu bertempur. Dan iapun melihat,
seorang dari perguruan Pusparuri telah terluka arang
kranjang. Ternyata kemarahan kedua orang Kendali Putih itu tidak
tertahankan lagi. Apalagi ketika keduanya sadar, bahwa anak
muda yang dihadapinya itu benar-benar memiliki bekal untuk
melawan mereka. "Gila. Ternyata anak-anak muda Lumban memang harus
dimusnakan," geram salah seorang dari kedua orang Kendali
Putih itu. "Aku bukan anak muda dari Lumban," jawab Jlitheng,
"Daruwerdi juga bukan anak Lumban. Jika orang-orang
Kendali Putih mendendam anak-anak Lumban, maka itu
adalah suatu kebodohan. Anak-anak muda Lumban adalah
anak-anak muda yang hanya mengenal cangkul untuk bekerja
disawah. Itulah sebabnya, aku merasa wajib untuk melndungi
mereka." Kedua orang lawannya menggeram. Salah seorang dari
kedua lawannya bertanya dengan nada melengking, "Siapakah
kau sebenarnya anak iblis " Apakah kau juga yang membunuh
kedua orang kawanku."
"Jangan terlampau dungu. Aku sudah menyebut beberapa
kali. Yang membunuh kawanmu adalah Daruwerdi. Dan aku
bukan Daruwerdi. Aku Jlitheng. Meskipun aku tinggal di
Lumban, tetapi jangan salahkan anak-anak muda Lumban.
Kalian, perguruan Kendali Putih hanya berurusan dengan
Daruwerdi dan aku, Jlitheng."
"Persetan," orang-orang Kendali Putih itu menggeram.
Yang seorang berteriak, "akan aku musnakan seluruh isi
padukuhan Lumban." "Ki Sanak," berkata Jlitheng, "aku tahu, bahwa kau berdua
tentu akan mencari kesempatan untuk melepaskan dendammu
atas kematian kawan-kawanmu. Karena itu, kalian merupakan
bahaya yang sungguh-sungguh bagi Lumban. Agar anak-anak
harimau tidak dibiarkan menjadi besar dan menerkam, maka
anak-anak harimau itu harus dimusnakan."
Kemarahan telah memuncak karena sikap Jlitheng. Karena
itu maka sejenak kemudian perkelahian itupun telah menyala
kembali dengan dahsyatnya. Kedua orang Kendali Putih itu
tidak lagi telaten bertempur dengan tangan. Apalagi ketika
terasa bahwa Jlitheng justru telah berhasil membuat keduanya
berkeringat. Sejenak kemudian, kedua orang Kendali Putih itu telah
mencabut senjata mereka. Yang seorang telah menggenggam
sebuah golok yang besar, sedangkan yang lain telah menarik
pedang panjangnya. "Kau akan kami cincang menjadi sayatan-sayatan daging
dan potongan tulang," geramsalah seorang dari keduanya.
Jlitheng meloncat surut. Sekilas diperhatikannya senjatasenjata
yang garang itu. Apalagi senjata2 itu berada ditangan
orang-orang Kendali Putih.
"Aku tidak boleh lengah," berkata Jlitheng kepada diri
sendiri, "dan aku t idak perlu berpura-pura. Aku harus melawan
mereka dengan senjata pula."
Karena itulah, maka Jlithengpun kemudian menggeram, "Ki
Sanak. Senjata kalian adalah ciri kekerasan dari perguruan
Kendali Putih. Kalian benar-benar ingin menyelesaikan setiap
persoalan dengan kematian. Sikap kalian telah mendorong aku
untuk berbuat serupa."
Kedua orang itu tidak menghiraukannya. Hampir berbareng
mereka meloncat menyerang dengan senjata terjulur.
Jlitheng sekali lagi meloncat agak jauh surut. Ia berusaha
mendapat kesempatan untuk mengurai senjatanya. Senjata
yang agak asing bagi lawann-lawannya.
Dari bawah kain panjangnya yang kusut, Jlitheng mengurai
sehelai ikat pinggang yang dibuatnya dari anyaman serat
sehingga menyerupai sehelai tampar yang lemas. Tetapi
karena didalam anyaman itu terdapat beberapa helai serat
lulup kayu dadap cendana abang, serta tiga helai janget yang
tipis, maka tampar yang lemas itu merupakan tampar yang
kuat sekali. Sejenak kemudian, sehelai dadung ditangan Jlitheng itu
telah berputar. Suaranya berdesing seperti ssndaren yang
terbang diudara. Kedua orang Kendali Puitih itu terkejut melihat senjata
lawannya. Apalagi setelah mereka mendengar suara berdesing
bagaikan suara sendaren. Sejenak keduanya termangu-mangu. Dalam gelapnya
malam mereka melihat sesuatu yang diujung dadung ditangan
Jlitheng itu. Ujung tampar yang berkilat-kilat itu bagaikan seekor lalat
yang berterbangan diseputar kedua lawannya. Jika sekali
benda itu hinggap ditubuh, maka tubuh mereka tentu akan
tersobek melintang. Karena itu, maka kedua orang Kendali Putih itu menjadi
semakin hati-hati. Mereka berloncatan menghindar dan sekalikali
menyerang dengan garangnya. Mereka mencoba
memecah perhatian Jlitheng pada dua sisi yang berlawanan.
Namun Jlitheng benar-benar seorang yang sangat tangkas.
Kakinya bagaikan kaki kijang, sementara tangannya dengan
senjatanya bagaikan sayap seekor burung raksasa yang
mengembang menyebarkan maut.
Pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin seru.
Jlithengpun harus bekerja bersungguh-sungguh. Seperti kedua
orang itupun semakin lama menjadi semakin kasar.
Jlitheng harus bekerja keras menghindari benturanbenturan
kekerasan yang tidak perlu. Apalagi karena ia harus
bertempur melawan dua orang.
Namun sejenak kemudian, Jlitheng berhasil menguasai
lawannya. Bukan saja karena ia telah menemukan kelemahankelemahan
lawannya, namun justru karena lawannya telah
terlalu banyak memeras tenaga mereka.
Dengan garangnya Jlitheng memutar senjatanya. Sekali-kal
ia masih harus meloncat menghindari ujung senjata kedua
orang Kendali Put ih itu. Namun kemudian, kedua orang itu
telah berada dalam libatan tampar Jlitheng yang berdesing
seperti sendaren. Benda yang tersangkut diujung dadung itu
semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin dekat dengan
tubuh lawannya. Sejenak kemudian, terdengar sebuah keluhan tertahan.
Ternyata bahwa Jlitheng telah berhasil menyentuh punggung
lawannya dengan ujung senjatanya.
"Gila," geram orang itu. Lukanya telah mengalirkan darah,
sementara perasaan pedih rasa-rasanya menggigit sampai
ketulang. Ternyata luka itu telah membuatnya seperti orang gila.
Orang yang bersenjata golok yang besar itu bertempur
semakin garang dan kasar. Namun dalam pada itu, semakin
jelas bagi Jlitheng, bahwa tenaganya telah menjadi semakin
susut karenanya. Saat-saat selanjutnya sudah tidak terlampau berat lagi bagi
Jlitheng. Luka dipunggung salah seorang lawannya itu, seolaholah
telah menyusut separo dari segenap kemampuannya.
Kecuali perasaan sakit yang menyengat, tubuhnya semakin
lama menjadi semakin lemah dan seolah-olah telah kehabisan
tenaga. Jlitheng tidak mau melepaskan setiap kesempatan. Ia tidak
mlau membiarkan kesulitan akan berlarut-larut mencengkam
padukuhan Lumban, setidak-tidaknya Lumban Wetan. Ia
berharap bahwa Daruwerdi akan bertanggung jawab bagi
keselamatan anak-anak muda di Lumban Kulon, karena ia
memang t inggal di padukuhan itu. Apalagi bahwa sumber
persoalan ini sebenarnya terletak padanya. Jika ia tidak
mempunyai hubungan dengan orang-orang dari berbagai
perguruan. maka Lumban akan tetap menjadi padukuhan
yang damai. Yang perlu dilakukan bagi padukuhan itu adalah
sekedar meningkatkan tata kehidupan mereka tanpa
mengaduknya dengan kegelisahan dan kecemasan.
"Sebenarnya yang mereka perlukan adalah sebuah parit
induk," berkata Jlitheng didalam hatinya, "bukan titik-t itik
darah seperti yang telah terjadi dipinggir hutan, dan sekarang
terpaksa disini." Tetapi Jlitheng tidak dapat ingkar. Ia harus menyelesaikan
tugas yang dipetiknya seridiri. Kedua orang itu harus dapat
dihapuskannya tanpa bekas, sehingga persoalannya tidak
akan berkepanjangan. "Untuk itu aku terpaksa membunuh mereka," geram
Jlitheng didalamhatinya. Dengan demikian maka Jliithengpun bertempur semakin
cepat dan garang. Ia harus segera menyelesaikan
pertempuran itu sebelum berkembang menjadi semakin buruk,
karena ada pihak-pihak lain yang terlibat. Apalagi Jlitheng
sendiri masih merasa perlu untuk menyelubungi dirinya
dengan sikap yang lain dari kenyataan yang sebenarnya.
Karena itulah, maka benda yang berkilat-kilat diujung
dadung yang dipergunakan oleh Jlitheng sebagai senjatanya
itu, berputar semakin cepat. Benda itu mulai menyengatnyengat
ditubuh lawannya. Dipundak, kemudian dibahu dan
bahkan kening. Kedua lawannya yang menjadi semakin lemah karena
tenaganya yang terperas habis, darahnyapun mengalir
semakin banyak. Perlahan-lahan mereka mulai kehilangan
kemampuan perlawanannya, sehingga luka ditubuh
merekapun menjadi semakin banyak.
Dalam keadaan yang tidak lagi dapat diatasi, salah seorang
dari kedua orang itu menggeram, "Anak gila. Sebutkan,
siapakah kau sebenarnya. Senjatamu dan sikapmu
mengingatkan aku kepada sebuah perguruan yang hampir
dilupa." Jlitheng meloncat surut. Namun tiba-tiba sebuah serangan
yang dahsyat telah melibat kedua lawannya. Betapapun kedua
orang itu berusaha, namun senjata anak muda itu telah
menghantam punggung dan dada, sehingga nafas mereka


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaikan terputus karenanya.
Keduanya telah terhuyung-huyung hampir bersamaan.
Senjata mereka perlahan-lahan terlepas pula, karena tangan
mereka t idak lagi dapat menggenggam.
Pada saat terakhir itulah maka Jlitheng yang berdiri tegak
dengan senjatanya ditangan berkata dengan nada berat, "Ki
Sanak. Aku tidak mempunyai pilihan lain bagi orang-orang
Kendali Put ih. Aku kenal perguruan Kendali Putih dan telah
ditegaskan pula oleh sikap kedua kawanmu yang dibunuh oleh
Daruwerdi. Dan yang terakhir adalah sikap kalian berdua.
Karena itu, bagi keselamatan orang-orang Lumban, aku telah
mengambil keputusan untuk membunuh kalian."
"Persetan," geram salah seorang dari orang-orang Kendali
Putih, "kami tahu, kami akan mati."
"Yang penting bagiku, bukan kematianmu. Tetapi
kecemasanku melihat nasib anak-anak muda Lumban."
"Siapa kau ?" suara orang Kendali Putih itu semakin lambat.
"Namaku Arya Baskara, murid dari perguruan yang
memang sudah dilupakan sepeninggal Guruku, Kiai Baskara."
"Namamu nunggak semi nama gurumu. Jadi kau murid
Baskara dari perguruan Rasa Jati yang sudah punah itu ?"
"Ya. Aku satu-satunya murid dari perguruan Rasa Jati yang
masih tinggal." "O," orang Kendali Putih itu mengeluh, "kau memang gila.
Gurumu menurut pendengaranku juga orang gila. Siapa
namamu ?" Jlitheng memandang kedua orang yang semakin lemah itu.
Selangkah ia mendekat. Kemudian katanya, "Namaku sendiri
adalah Arya Candra Sangkaya."
"He," wajah kedua orang yang sudah tidak berdaya itu
bagaikan menyala, "kau jangan mengigau. Apakah kau senang
menyebut nama-nama orang yang disegani waktu itu " Candra
Sangkaya adalah nama seorang Pangeran keturunan Perabu
Majapahit terakhir."
"Bukan Candra Sangkaya. Namanya Pangeran Surya
Sangkaya yang bergelar Raden Kuda Surya Anggama. Salah
seorang Senapati yang gagal mempertahankan Kota Raja
Majapahit dan gugur dimedan. Usianya masih muda, meskipun
waktu itu ia sudah mempunyai seorang anak laki-laki. Akulah
Candra Sangkaya yang jika aku mau, aku dapat
mempergunakan gelarku meskipun aku buat sendiri, Jlitheng."
Kedua orang itu masih menggeram. Tetapi keduanya sudah
menjadi semakin lemah. Namun salah seorang dari keduanya
masih berkata, "Aku akan mati dengan senang hati, karena
yang membunuhku adalah murid yang tersisa dari perguruan
Rasa Jati. Mungkin aku akan tersiksa disaat terakhir, jika kau
mengatakan bahwa kau adalah benar-benar anak Lumban.
Tetapi kau adalah orang yang memang pantas membunuhku."
ia berhenti sejenak, nafasnya sudah menjadi semakin sendat,
"tetapi siapakah Daruwerdi" Apakah ia orang dari perguruan
Pusparuri ?" "Pasti bukan orang Pusparuri. Tetapi aku tidak tahu.
Mungkin nama Daruwerdi itupun bukan namanya."
"Orang-orang gila. Kalian lebih senang bersembunyi dibalik
nama yang aneh-aneh itu," nafasnya menjadi semakin lambat.
Bahkan ketika Jlitheng melangkah semakin dekat, ia
melihat yang seorang dari kedua lawannya itu benar-benar
sudah tidak bernafas lagi.
"Kawanmu sudah mat i," desis J litheng.
Orang Kendali Putih yang masih hidup itu berdesah.
Katanya, "Kau cerdik. Kau berusaha menghilangkan jejakmu
dengan membunuh kami berdua. Tetapi Kendali Putih tentu
akan melacak perjalananku, karena mereka tahu. bahwa dua
orang yang kau katakan dibunuh oleh Daruwerdi itu. dan kami
berdua, telah pergi kepadukuhan ini."
"Apapun yang akan terjadi. Inilah yang. paling baik aku
lakukan saat ini untuk kepentingan orang-orang Lumban."
Orang Kendali Putih itu termangu-mangu didalam saat-saat
yang paling gawat. Dilihatnya Jlitheng mendekatinya. Namun
matanya semakin lama menjadi semakin kabur. Meskipun
demikian, disaat terakhir itu, masih terucapkan betapapun
lirihnya, "Jadi kau anak Surya Sangkaya yang bergelar Kuda
Surya Anggana itu ?"
"Ya. Mungkin aku bukan berparas bangsawan, karena ibuku
benar-benar seorang pidak pedarakan. Tetapi ibuku bukan
seorang selir. Ibuku adalah isteri Pangeran Kuda Surya
Anggana. Aku bangga atas ayahku yang berani menentang
arus, kawin dengan seorang perempuan kecil, meskipun ia
harus mengorbankan perasaan untuk waktu yang lama. Tetapi
disaat-saat Majapahit memerlukan kepemimpinannya sebagai
seorang Senapati, maka kedudukan ayahku telah pulih
kembali." Jlitheng masih akan berbicara tentang ayahnya, meskipun
sebenarnya hal itu lebih banyak ditujukan kepada dirinya
sendiri. Tetapi ditelannya kata-katanya itu kembali. Bahkan
japun segera berjongkok disampiing orang Kendali Putih itu.
Namun ia sudah mati. "Aku memerlukan kau -," desis Jlitheng, "sekali-kali aku
ingin juga menumpahkan beban yang tersumbat dihati. Hanya
kepada orang-orang mati sajalah aku dapat mengatakannya,
setidak-tidaknya untuk sementara."
Tetapi Jlitheng tidak dapat berceritera terus tentang dirinya
sendiri. Ia harus menghapus jejak. Karena itu, maka iapun
segera mengangkat kedua orang yang terbunuh itu
kepunggung kuda mereka masing-masing dan menuntun kuda
itu kekuburan. Jlitheng yang sebenarnya bernama Arya Candra Sangkaya
itu harus bekerja keras untuk menggali sebuah lubang yang
besar dan mengubur kedua orang itu kedalamnya.
"Bagaimana dengan kedua ekor kuda ini?" ia bergumam.
Akhirnya Jlitheng telah melepas pelana dan rerakit pakaian
kuda itu seluruhnya dan menguburnya pula disudut kuburan
itu. Kemudian dituntunnya kedua ekor kuda itu dan
menghadapkannya kearah yang tidak banyak dilalui orang,
bahkan menuju ke hutan. "Hiduplah bebas kuda-kuda manis," gumamnya, "meskipun
mungkin pada suatu saat kau akan menemukan jalan pulang
kekandangmu." Kemudian dilecutnya kedua ekor kuda itu, sehingga
keduanya berlari seperti dikejar hantu menuju kedaerah yang
tidak dikenalinya. Jlitheng yang berdiri di depan sebuah kuburan yang
dipergunakan oleh orang-orang Lumban itu memandang
kekejauhan. Didalam keremangan malam, ia mencoba untuk
melihat bukit padas yang gundul. Namun yang nampak
hanyalah bayangan kehitam-hitaman yang tidak jelas.
Baru sejenak kemudian ia menyadari keadaannya.
Tubuhnya tentu kotor dan bahkan bernoda darah. Karena itu,
maka iapun segera berlari-lari kecil pergi kesungai. Meskipun
dimalam yang dingin, ia memaksa diri untuk mandi dam
mencuci pakaiannya. Tetapi ia tidak dapat menunggu
pakaiannya kering. Dengan pakaian yang basah ia berjalan
kembali kepadukuhannya. Jlitheng menjadi berdebar-debar ketika menengadahkan
wajahnya. Langit telah menjadi merah. Sebentar lagi fajar
akan segera menyingsing. "Aku bekerja lamban sekali," ia bergumam, "hari sudah
pagi. Mungkin anak-anak muda itu telah memberitakukan
kepada ibuku bahwa aku telah hilang dibawa oleh orang-orang
Kendali Putih itu." Jlitheng tidak singgah lagi digardu. Ia langsung pulang
kerumahnya. Ketika ia sampai dipinta dapur, matahari sudah mulai
menjenguk di ujung Timur. Langkahnya terhenti ketika ia
melihat ibunya sedang sibuk menghembus bara di perapian
untuk menyalakan api. "Biarlah aku saja yang menyalakan biyung," berkata
Jlitheng dari pintu. Ibunya terkejut. Ketika ia berpaling dilihatnya Jlitheng yang
basah kuyup, "He, darimana kau " Apakah kau kehujanan?"
"Tidak biyung, aku telah tergelincir disungai ketika aku
sedang mencuci muka."
"Anak bengal. Berhati-hatilah. Cepat, ganti pakaianmu agar
kau tidak menjadi sakit."
Jlithengpun segera pergi kebiliknya. Ternyata ibunya belum
mengetahui peristiwa yang terjadi di gardu perondan itu.
"Tetapi sebentar lagi tentu ada seseorang yang datang
untuk memberitahukan hal itu," berkata Jlitheng didalam
hatinya. Ternyata bahwa dugaan Jlitheng tidak keliru. Baru saja ia
selesai berganti pakaian, maka ia sudah mendengar seseorang
mengetuk pintu rumahnya. Jlitheng tidak mau terlambat. Jika ibunya membuka pintu,
maka ia akan segera mendengar peristiwa yang telah terjadi.
Sehingga karena itu, maka iapun tergesa-gesa pergi keruang
depan untuk membuka pintu rumahnya yang masih tertutup.
Seperti yang diduganya, yang datang adalah seorang
kawannya diantar oleh seseorang yang telah berusia separo
baya. Alangkah terkejutnya kedua orang itu ketika mereka
melihat Jlithenglah yang telah membuka pintu untuk mereka,
sehingga untuk beberapa saat mereka berdiri termangumangu.
"Marilah, silahkan masuk," Jlitheng mempersilahkan.
Orang yang telah berusia separo baya itu menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, "Apakah aku melihat Jlitheng yang
sebenarnya ?" "Ya paman. Aku memang Jlitheng. Aku tahu, bahwa paman
tentu terkejut melihat bahwa aku sudah berada dirumah.
Karena itu silahkan duduk, aku akan berceritera sedikit
tentang peristiwa yang baru saja terjadi atasku. Tetapi aku
mohon, paman jangan berceritera kepada biyung yang sudah
tua dan sakit-sakitan itu."
"Yang terjadi seperti sekedar mimpi," gumam kawan
Jlitheng. "Duduklah." "Terima kasih. Lebih baik kita duduk diserambi saja,"
berkata orang yang sudah berusia separo baya.
Ketiganyapun kemudian duduk di sebuah dingklik bambu
diserambi. Hampir tidak sabar lagi kawannya bertanya,
"Jlitheng, apakah yang sudah terjadi. Kami semuanya menjadi
gelisah. Bahkan kami sudah mencoba mencarimu di bulakbulak
dan kesungai. Kami sudah berpikir buruk sekali."
"Aku mengerti," jawab Jlitheng, "akupun sudah menduga,
bahwa aku akan dicekiknya dan mayatku akan
dilemparkannya kesungai."
"Tetapi kau masih segar," berkata orang yang separo baya.
"Ya paman. Ternyata aku masih segar."
"Mulailah berceritera," kawannya mendesak.
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Ia harus berhati-hati
agar ceriteranya tidak menumbuhkan persoalan yang dapat
mempersulit anak-anak muda Lumban. Ia sadar, bahwa
ceritanya tentu akan segera tersebar. Bukan saja di Lumban
Wetan, tetapi tentu akan didengar oleh anak-anak muda
Lumban Kulon, dan barangkali juga Daruwerdi. Dengan
demikian maka tidak mustahil bahwa orang-orang Kendali
Putihpun akan dapat menyadap keterangan yang akan
dikatakannya itu. "He, kenapa kau diam saja ?" kawannya benar-benar tidak
sabar lagi. "Baiklah," berkata Jlitheng, "aku sudah hampir pingsan saat
aku dibawa oleh kedua orang yang menyebut dirinya muridmurid
dari perguruan Kendali Putih."
"Ya, kami sudah melihat," kawannya tidak sabar.
Jlitheng tersenyum. Kemudian iapun melanjutkannya,
"Ditengah bulak aku dipaksa untuk berceritera. Dan akupun
tidak dapat ingkar, bahwa telah terjadi peristiwa seperti yang
sudah kita ketahui di pinggir hutan itu."
"Kau menceriterakannya ?" bertanya kawannya, "apakah itu
bukan berarti bahaya bagi Daruwerdi?"
"Aku tidak dapat berbuat lain."
Kawannya dan orang yang separo baya itu menganggukangguk.
Mereka menyadari, bahwa apabila Jlitheng t idak mau
mengatakannya, ia sendiri akan dapat dibunuh oleh kedua
orang itu. "Lalu?" kawannya mendesak lagi.
"Orang-orang itu memang gila," berkata Jlitheng kemudian,
"sebelum aku dilepaskannya, maka aku telah dicekiknya.
seolah-olah mereka benar-benar ingin membunuhku.
Kemudian akupun dibenamkannya didalam parit yang airnya
hanya setinggi mata kaki. Tetapi ternyata mereka tidak
membunuhku. Mereka meninggalkan aku yang gemetar
kedinginan dan ketakutan didalam parit. Tetapi aku tidak
berceritera kepada biyung. Aku mengatakan kepadanya,
bahwa aku tergelincir disungai sehingga pakaianku basah
kuyup." Kedua orang yang datang kepadanya itu menganggukangguk.
Yang separo baya kemudian bergumam, "Bersukurlah
bahwa kau masih tetap hidup."
"Ya, aku masih beruntung bahwa aku dapat kembali
kepada ibuku." "Tetapi kami seisi gardu menjadi gelisah. Ketika fajar mulai
membayang, kami mencoba mencarimu dibulak. Tetapi kami
tidak menemukan tanda-tanda apapun, sehingga akhirnya aku
berdua telah diserahi tugas oleh kawan-kawan untuk
memberitahukan kepada ibumu, bahwa kau telah hilang
dibawa oleh dua orang yang t idak dikenal."
"Aku tidak dapat kembali kegardu dengan pakaian yang
kotor dan basah. Aku ingin berganti pakaian. Baru kemudian
menemui kalian." Kedua kawannya itupun kemudian memberikan beberapa
pesan, agar Jlitheng tidak keluar saja dahulu dari padukuhan.
Mungkin yang terjadi itu masih akan mempunyai akibat yang
berkepanjangan. "Jika mereka kemudian mencari Daruwerdi, apakah kirakira
nasib mereka akan seperti kedua orang kawannya yang
datang terdahulu?" tiba-tiba saja kawannya bertanya.
Jlitheng menggeleng lemah. Jawabnya, "Aku tidak tahu.
Aku hanya mengatakan apa yang aku ketahui tanpa
memperhitungkan apapun juga."
Akhirnya kedua orang kawannya itupun menianggalkan


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jlitheng yang nampak ketakutan. Tetapi yang dapat dilakukan
oleh kedua orang itu hanyalah beberapa pesan yang tidak
berarti. Sepeninggal kedua kawannya Jlithengpun segera pergi ke
dapur. Kepada ibunya yang bertanya tentang tamunya,
Jlitheng hanya mengatakan, bahwa keduanya menanyakan
tentang air diparit yang rusak diujung bulak, karena anak-anak
kecil yang kurang berhati-hati saat-saat mereka
menggembalakan kerbau dan menggiringnya kesungai untuk
dimandikan. Sementara itu, seperti yang diduga oleh Jlitheng, maka
ceritera yang dibuatnya itu segera tersebar diseluruh
padukuhan. Bahkan ceritera itupun telah didengar pula oleh
anak anak muda Lumban Kulon.
"Daruwerdi akan mendengarnya juga," berkata Jlitheng
didalam hatinya, "ia akan datang kepadaku dan bertanya,
apakah yang sebenarnya telah terjadi."
Dugaan Jlitheng itupun tepat. Demikian berita tentang
Jlitheng itu sampai ketelinga Daruwerdi, maka iapun dengan
tergesa-gesa telah pergi ke Lumban Wetan untuk bertemu
dengan Jlitheng. "Cariterakan," berkata Daruwerdi.
Jlitheng menceritakan peristiwa itu seperti yang
diceriterakan kepada dua orang Lumban Wetan yang datang
kepadanya. "Jadi kau dilepaskan begitu saja ?" bertanya Daruwerdi.
"Tidak. Aku telah dibenamkan didalamparit."
"Maksudku, kau t idak dibunuhnya."
"Tentu tidak. Seperti yang kau lihat, aku masih hidup.
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Ia menahan
kejengkelannya atas kebodohan Jlitheng. Namun kemudian ia
bertanya, "Apakah kau sadar, bahwa dengan demikian kau
sudah menghadapkan aku kepada kedua orang itu ?"
"Aku tidak mempunyai pilihan lain. Jika aku t idak
mengatakannya aku dicekiknya sampai mati."
Daruwerdi mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Jlitheng.
Itu memang bukan salahmu. Seandainya bukan kau namun
tentu akan ada pula orang lain yang menceritakan apa yang
telah terjadi dipinggir hutan itu. Dan akupun harus bersiap
menghadapi segala kemungkinan."
Jlitheng mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia
bertanya, "Daruwerdi. Apakah yang kira-kira akan kau lakukan
jika pada suatu saat orang-orang yang mengatakan dirinya
murid dari Kendali Putih itu datang dalam jumlah yang jauh
lebih banyak ?" Daruwerdi memandang wajah Jlitheng yang cemas. Namun
kemudian anak muda itu justru tertawa. Katanya,
"Bersembunyi. Bukankah itu cara yang paling baik untuk
melawan mereka yang berjumlah melampaui kekuatan dan
kemampuan ?" Jlitheng mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya
lagi, "Mungkin kau berhasil bersembunyi. Namun agaknya
orang-orang Kendali Putih itu adalah orang-orang yang kasar
dan jahat. Bagaimanakah jika seandainya ia melepaskan
dendamnya kepada kami. anak-anak Lumban yang tidak dapat
membela diri ?" Jawab Daruwerdi benar-benar diluar dugaan. Suara
tertawanya masih terdengar. Katanya, "Itu adalah nasib. Nasib
mereka yang menjadi sasaran itulah yang agaknya terlampau
malang." Sejenak Jlitheng terdiam. Wajahnya menegang. Namun
katanya kemudian, "Daruwerdi. Kami, setidak-tidaknya aku
sendiri, merasa sangat cemas. Aku merasa tidak tenteram lagi
karena peristiwa yang berurutan telah terjadi itu. Jika benar
katamu, maka ada kemungkinan besok atau lusa, Lumban
akan menjadi sasaran kemarahan orang-orang Kendali Putih."
Daruwerdi mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
"Aku akan memikirkannya. Aku akan berusaha agar orangorang
Kendali Putih hanya mendendam kepadaku."
"Kau dapat menjamin ?"
Jawabnyapun sangat mendebarkan. "Aku hanya dapat
berusaha. Sebaiknya kalian jangan tergantung sekali dengan
usahaku itu." Jlitheng termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
Daruwerdi yang berdiri tegak dengan wajah yang sedikit
terangkat, diwajahnya sama sekali tidak membayang
kecemasan dan kekhawatiran tentang kemungkinankemungkinan
buruk yang menimpa dirinya.
"Tetapi," Jlithengpun kemudian berkata, "kami hanya dapat
menyandarkan keselamatan kami kepadamu. Ternyata kau
adalah satu-satunya orang yang dapat melawan penjahatpenjahat
seperti yang telah kau bunuh itu."
"Jritheng," jawab Daruwerdi, "seharusnya akulah yang
menuntut perlindungan anak-anak muda Lumban. Bukankah
kau yang telah membuka rahasia pembunuhan itu " Meskipun
sudah aku katakan itu bukan salahmu, dan sudah aku
katakan, bahwa siapapun akan dapat menyebutnya demikian.
Namun karena itu, jangan kau menyalahkan aku pula bahwa
aku sudah terlibat kedalam suatu keadaan yang sebenarnya
tidak aku kehendaki pula. Juga apabila hal ini akasi
menyentuh anak-anak muda Lumban."
Jlitheng mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya,
"Jika demikian, apakah kau mempunyai cara yang akan dapat
membantu kami menghindarkan diri dari bencana ini ?"
"Jlitheng," jawab Daruwerdi, "nampaknya memang aneh,
dan barangkali tidak pernah terpikir oleh kalian. Bagaimana
jika kalian bersikap seperti seorang laki-laki. Bukankah kalian
mempunyai tenaga dan pikiran " Kenapa kalian tidak berusaha
melindungi diri kalian sendiri?"
"Kami tidak terbiasa berkelahi. Kami tidak mempunyai bekal
apapun untuk melawan langsung kepada orang-orang yang
garang itu." "Aku akan mengajari kalian untuk sekedar dapat membela
diri. Mungkin seorang-seorang kalian tidak akan dapat berbuat
apa-apa, karena untuk mencapai tingkatan orang-orang
Kendali Putih kalian memerlukan waktu satu atau dua tahun,
bahkan lebih. Tetapi jumlah kalian yang banyak itupun
mempunyai pengaruh pula. Dua atau tiga orang Kendali Putih
tentu tidak akan mampu melawan kalian seluruh padukuhan
Lumban Wetan dan Lumban Kulon."
Jlitheng memandang Daruwerdi sejenak. Namun tiba-tiba
saja ia tersenyum. Katanya, "Kau mau mengajar kami untuk
membela diri ?" Sekali lagi Daruwerdi menegaskan, "Ya. Ajaklah kawankawanmu.
Kita akan segera mulai. Selain hal itu akan dapat
melindungi kalian dan padukuhan Lumban, maka akupun akan
mempunyai kawan untuk memnertahankan diri, jika pada
suatu saat orang-orang Kendali Putih datang lagi kepadukuhan
ini." Kesanggupan Daruwerdi itupun kemudian telah
diceriterakan oleh Jlitheng kepada kawan-kawannya. Bahkan
Jlitheng telah menambahnya dengan beberapa harapan dan
kemungkinan yang dikarangnya sendiri.
"Kita akan menjadi pengawal padukuhan kita seperti
seorang prajurit mengawal Kota Raja," katanya.
"Kau pernah melihat seorang prajurit mengawal Kota Raja
?" bertanya kawannya.
Jlitheng ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia memilih
untuk tidak menjawab pertanyaan itu.
Jlithenglah yang kemudian menjadi penghubung antara
anak-anak muda yang ingin mempelajari olah kanuragan
dengan Daruwerdi. Pada hari itu juga, Jlitheng telah
memberitahukan beberapa nama kepada Daruwerdi.
"Kami siap, kapanpun akan dimulai," berkata Jlitheng.
Daruwerdi tersenyum. Katanya kepada Jlitheng, "Aku
bangga atas kalian. Tetapi sayang. Agaknya kesediaan kalian
untuk cepat-cepat memiliki kemampuan kanuragan itu karena
didesak oleh perasaan takut."
Jlitheng mengerutkan keningnya. Namun iapun tersenyum
sambil menjawab, "Mungkin kau benar Daruwerdi. Kami
menjadi sangat ketakutan. Siang malam kami merasa tidak
tenteram." "Peristiwa itu baru semalam terjadi. Tetapi kau sudah
merasa sangat tersiksa."
"Karena itu, kami cepat-cepat ingin memiliki bekal
betapapun kecilnya."
"Baik. Aku akan menyediakan sekedar waktu. Setiap sore
kalian harus datang ke padang ilalang disebelah bukit padas
yang gundul itu." "Bukit padas?" diluar sadarnya Jlitheng bertanya.
"Ya. Aku kira tempat itu adalah tempat yang paling baik.
Cukup luas dan tidak akan terganggu. Jauh dari padukuhan,
sehingga anak-anak kecil tidak akan berkerumun seperti
nonton wayang beber."
"Terima kasih," Jlitheng mengangguk-angguk.
Dengan tergesa-gesa iapun segera menemui kawankawannya.
Baik dari Lumban Wetan maupun dari Lumban
Kulon. Setiap sore mereka harus berkumpul di padang ilalang
disebelah bukit padas. Mereka akan mendapat latihan
membela diri jika benar-benar terjadi kerusuhan di padukuhan
itu. Kesediaan Daruwerdi itupun segera menjadi pusat
pembicaraan. Setiap orang merasa wajib mengikutinya.
Seperti dikatakan oleh Daruwerdi, dorongan yang paling kuat
dari diri mereka sebenarnya adalah perasaan takut.
Namun dalam pada itu, Jlitheng tidak melupakan Kiai
Kanthi yang berada dibukit sebelah. Rasa-rasanya ia sudah
terikat pada suatu kewajiban untuk datang dan melaporkan
apa yang telah terjadi. Seolah-olah orang tua di bukit itu
mempunyai pengaruh yang kuat atas darinya tanpa dapat
dihindari. Karena itulah, maka ketika malam menjadi gelap, Jlitheng
dengan diam-diam telah pergi kebukit sambil membawa
sebuah belanga dan sebuah kelenting seperti yang dipesankan
oleh Kiai Kanthi. Namun dalam pida itu, Jlitheng merasa heran kepada
dirinya sendiri. Setelah pertanyaan tiba-tiba saja timbul,
"Apakah yang aku lakukan ini sekedar didorong oleh belas
kasihan, atau perikemanusiaan. atau karena orang tua itu
melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginanku untuk
membuat saluran air yang dapat bermanfaat bagi sawah dan
ladang di padukuhan Lumban, atau sebab-sebab lain ?"
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia
menggeram, "Sebenarnya aku belum tahu pasti, apakah sudah
sewajarnya aku menempatkan diriku dibawah pengaruh
wibawanya. Aku harus tahu pasti, bahwa ia benar-benar
seorang tua yang pantas dihormati. Bukan sekedar seorang
perantau yang mencari tempat sandaran bagi hidupnya. Atau
bahkan meyakinkan bahwa ia bukan orang-orang Kendali
Putih." Jlitheng tiba-tiba saja mempercepat langkahnya. Sekilas
terbayang, betapa orang tua itu berusaha menahan anak
gadisnya, saat mereka bertemu dengan seekor harimau.
Mereka menyatakan diri mereka sebagai perantau yang perlu
dikasihani. Saat itu Kiai Kanthi tentu mengetahui bahwa
Daruwerdi ada disekitar mereka dan berusaha untuk tidak
memberikan kesan bahwa mereka memiliki ilmu. Kiai Kanthi
sempat menekan pusat syaraf anaknya, sehingga anaknya
tidak dapat berbuat apa-apa.
"Tetapi apakah benar mereka memiliki kemampuan yang
berlebih-lebihan. Apa salahnya jika aku mengetahui lebih jauh.
Bukan sekedar mengenal ketahanan jasmaniah orang itu dan
anaknya itu saat mereka mendaki bukit melalui tebing tebing
padas yang sulit." Jlitheng telah benar-benar meng ambil keputusan.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Jlitheng telah berada
di dekat sumber air dibukit itu. iapun mulai mempersiapkan
rencananya. Kedatangan Jlitheng seperti biasa disambut oleh Kiai Kanthi
dengan gembira. Sebagaimana seseorang yang terpisah dari
lingkungannya, maka setiap kunjungan merupakan suatu
kebahagiaan tersendiri, karena memang pada kodratnya,
seharusnya manusia hidup didalam suatu lingkungan bersama
diantara mereka. "Aku membawa belanga dan kelenting Kiai," berkata
Jlitheng. "O, terima kasih ngger. Terima kasih," berkata Kiaa Kanthi
sambil menerima benda-benda itu, "dengan benda-benda ini
kami akan dapat menyiapkan makanan kami lebih baik lagi,
jauh lebih baik." Jlitheng mengangguk-angguk. Sekilas dilihatnya Swasti
duduk bersandar sebatang pohon, menghadap kearah lain,
seolah-olah sedang menikmati kelamnya hutan dilereng bukit
itu. "Ia sama sekali tidak mengacuhkan kedatanganku," gumam
Jlitheng didalam hatinya, "seandainya ia tidak menghiraukan
aku, apakah ia tidak merasa senang, bahwa aku telah
membawa belanga dan kelenting baginya ?"
Jlitheng sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja ia merasa
tersinggung. Sikap itu adalah sikap Swasti sejak ia bertemu
pertama kali. Gadis itu memang tidak pernah mengacuhkan
kehadirannya. Bahkan kadang-kadang justru berlindung
dibalik batang-batang pohon.
Perasaan itu, telah membuat sikap Jlitheng agak berbeda.
Peristiwa yang terjadi di Lumbanpun agaknya telah
berpengaruh pula atasnya.
Kiai Kanthi ternyata memiliki ketajaman penglihatan.
Bukan saja atas sikap Jlitheng yang nampak, namun orang
itu seolah-olah dapat membaca kerut dikening anak muda itu.
Tetapi Kiai Kanthi bersikap hati-hati. Tentu ada sesuatu
yang telah terjadi sehingga mempengaruhi sikap anak muda
itu. Meskipun demikian Kiai Kanthi t idak menanyakannya.
Dipersilahkannya anak muda itu duduk diatas sehelai ketepe
yang dianyamnya dari daun ilalang.
"Terima kasih Kiai," Jlitheng mengangguk-angguk. Namun
sambil duduk ia berkata, "aku ingin berceritera tentang
sesuatu yang telah terjadi di Lumban, Kiai."
"Apakah ada peristiwa lain yang telah terjadi ngger ?"
bertanya Kiai Kanthi. Jlitheng termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulai berceritera tentang dua orang Kendali Putih yang
mencari keterangan tentang kedua kawannya yang hilang.
"Tidak ada pilihan lain kecuali membunuh mereka," berkata
Jlitheng. Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa
Jlitheng telah dihadapkan pada suatu keadaan yang sulit,
sehingga tidak banyak kesempatan baginya untuk memikirkan
tindakan yang lebih tepat dari membunuh mereka.
Tetapi Kiai Kanthi terkejut ketika Jlitheng kemudian
bertanya, "Kiai, apakah benar Kiai tidak mengerti apa yang
telah terjadi di Lumban itu."
Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia
bertanya, "Aku tidak tahu maksudmu ngger. Bagaimana aku
dapat mengetahui peristiwa itu, karena setiap saat siang dan
malam aku menunggui anakku disini. Sekali-kali aku mengejar
seekor binatang buruan atau mengail ditelaga itu."
Kiai Kanthi berhenti sejenak, lalu, "tetapi memang sudah
terpikir olehku, bahwa aku tidak akan dapat berada ditempat
ini seperti orang yang sedang bersembunyi untuk waktu yang
terlalu lama. Persediaan garam yang aku bawa pun telah
tinggal sedikit, sehingga pada suatu saat, aku tentu akan
datang ke Lumban." Jlitheng termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah
orang tua itu sejenak. Dalam cahaya perapian yang kemerahmerahan
Jlitheng memang melihat, kerut-kerut keheranan di
wajah orang tua itu Tetapi Jlitheng sudah bertekat untuk meyakinkan, apatah
orang tua itu pantas dicurigai atau tidak. Selebihnya, apakah
benar seperti yang diduganya sejak ia melihat orang tua itu
untuk pertama kali, bahwa ia memang memiliki ilmu yang
dapat dibanggakan sehingga sudah sepantasnya ia
menghormat inya seperti seharusnya diberikan kepada orangorang
tua dan orang-orang berilmu.
Jlithengpun sadar, bahwa keinginannya untuk mengetahui
ilmu orang tua itu, juga didorong oleh suatu kerinduan kepada
gurunya. Sejak ia terpisah dari gunung, maka rasa-rasanya ia
memang memerlukan seseorang yang dapat dianggapnya
sebagai gurunya dan lebih-lebih lagi sebagai ayahnya yang
juga sudah tidak ada lagi.
"Tetapi tidak semua orang dapat aku anggap sebagai guru
dan orang tuaku," anak muda itu menggeram didalamhatinya.
Karena itu, maka tiba-tiba saja sikap Jlitheng telah benar
berubah. Dengan suara yang lantang dan kata-kata yang agak
keras ia berkata, "Kiai, lelucon yang Kiai buat disini
seharusnya sudah berakhir. Sejak kedatangan Kiai dan anak
gadis yang Kiai katakan anak Kiai itu, Lumban bagaikan
diguncang oleh gempa. Aku tidak tahu apakah sebenarnya
yang terjadi. Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa Lumban
telah dijamah orang-orang Kendali Putih dan orang Pusparuri.
Sementara itu, Kiai yang berpura-pura sebagai seorang
perantau telah berada pula di tempat ini."
"Angger," Kiai Kanthi memotong dengan wajlah yang
tegang, "kenapa tiba-tiba saja angger menuduh aku seperti itu
?" Jlitheng seolah-olah tidak mendengar kata-kata Kiai Kanthi.
Bahkan ia menambahkannya, "Semula aku percaya dan
bahkan mengagumi rencana Kiai untuk membuka sebuah
padepokan, justru didekat mata air di bukit itu. Tetapi ternyata
kedatangan Kiai telah diikut i oleh pjeristiwa-peristiwa yang
menumbuhkan korban jiwa."
Kiai Kanthi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
Wajah anak muda itu, seolah-olah ia ingin melihat, apakah
yang tersirat pada kata-katanya itu.
"Angger," berkata Kiai Kanthi sareh, "sebagai orang tua,
aku mencoba untuk mengerti apakah yang angger maksud
sebenarnya dibalik kata-kata dan terlebih-lebih lagi sikap
angger. Mungkin angger benar-benar mencurigai kami. Tetapi
mungkin angger mempunyai maksud-maksud lain tertentu
dengan sikap itu." "Apapun tanggapan Kiai, tetapi aku akan tetap pada
sikapku. Aku ingin membawa Kiai dan perempuan yang Kiai
sebut sebagai anak gadis Kiai itu ke Lumban. Kalian berdua
harus dihadapkan kepada kedua Buyut Lumban Wetan dan
Lumban Kulon." "Jangan begitu anakmas," berkata Kiai Kanthi, "kau belum
darat membuktikan bahwa kami berdua berbuat salah. Adalah
tidak adil bahwa angger akan menangkap kami dan membawa
kami menghadap Ki Buyut. Memang kami sudah berniat untuk
menghadap Ki Buyut dan menyatakan niat kami membuka
sebuah padepokan. Tetapi bukan sebagai dua orang tawanan.
Kami akan menghadap sebagai manusia yang bebas dan
dapat menentukan sikap menurut keinginan kami."
"Jangan membantah Kiai. Aku dapat memaksa Kiai. Jika
perlu aku akan minta bantuan kepada Daruwerdi. Aku sendiri
dapat membunuh dua orang murid perguruan terkenal Kendali
Putih, dan Daruwerdipun dapat melakukannya pula. Karena
itu, tidak ada kesempatan bagi Kiai untuk melawan
kehendakku." Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau
memang aneh ngger. Malam ini kau membawa belanga dan
kelenting kepada kami. Tetapi tiba-tiba saja kau bermaksud
menangkap kami. Jika demikian maka belanga dan kelenting
ini tidak akan ada artinya."
Pertanyaan itu benar-benar tidak diduga-duga oleh
Jlitheng. Karena itu maka untuk sesaat ia justru terdiam.
Dipandanginya belanga dan kelenting yang dibawanya dengan
diam-diam dari padukuhan. Namun ternyata bahwa
perasaannya telah digelut oleh berbagai macam tanggapan
atas orang tua itu, sehingga ia telah mengambil sikap untuk
meyakinkan siapakah sebenarnya yang telah dihadapinya itu.
Apakah ia hanya sekedar seorang perantau, seorang yang
benar-benar mencari daerah baru, atau seseorang yang
memang mempunyai niat yang kurang baik seperti orangorang
Kendali Putih dan mungkin juga seperti orang-orang
Pusparuri, meskipun dengan gaya yang berbeda-beda.
Namun dalam pada itu, selagi Jlitheng merenungi
pertanyaan Kiai Kanthi. tiba-tiba telah terdengar suara dari
kegelapan, "Ayah, kenapa ayah masih juga belum berbuat
apa-apa." Jlitheng berpaling. Dilihatnya Swasti tidak lagi duduk
bersandar sebatang pohon diarah yang berseberangan,
namun ia telah berdiri tegak dengan sorot mata yang
membara. "Ayah," berkata Swasti, "aku tahu. Kita berdua
dianggapnya seperti orang-orang Kendali Putih. Atau setidaktidaknya
kita mempunyai hubungan dengan mereka. Jika
memang anak muda itu berniat menangkap kami, maka ia
harus membuktikan, bahwa ia memang mampu
melakukannya." Kiai Kanthi menegang sejenak. Namun kemudian ia
melangkah mendekati anak gadisnya sambil berkata,
"Sabarlah Swasti. Kita harus mengerti, bahwa kecurigaan yang
demikian, dapat saja timbul dihati siapapun juga. Angger
Jlitheng telah didorong oleh keadaan, sehingga ia telah
berubah sikap. Semula ia menerima kedatangan kami dengan
baik. Itu adalah nuraninya yang sebenarnya. Perubahan yang
timbul itu tentu ada sebabnya."
"Apapun sebabnya, tetapi aku tidak akan bersedia datang
kepada siapapun sebagai seorang tangkapan," geramSwasti.
"Aku sedang mencoba menjelaskan kepadanya."
Namun yang menjawab adalah Jlitheng, "Bersedia atau
tidak bersedia. Aku mempunyai alasan untuk memaksa kalian.
Pertama, karena aku adalah anak muda Lumban yang
bertanggung jawab atas keamanan dan ketenangan
padukuhanku. Kedua, karena aku memang memiliki
kemampuan untuk menangkap kalian berdua."
"Anakmas," berkata Kiai Kanthi, "sikap anakmas memang
sangat meragukan. Tentu anakmas tidak akan dapat berkata
kepada Ki Buyut Lumban Wetan apalagi Lumban Kulon, bahwa
kaulah yang telah menangkap kami karena Jlitheng adalah
sekedar anak seorang janda miskin di Lumban Wetan.
Seorang anak muda yang dungu dan sedikit malas. Seorang
pemimpi yang berangan-angan tentang air yang mengalir
diparit meskipun dimusim kemarau. Tidak ngger. Tidak akan
ada seorangpun yang mempercayaimu."
Wajah Jlitheng benar-benar menjadi tegang. Namun wajah
itu bertambah tegang ketika Swasti meloncat maju sambil
berkata lantang, "Ayah jangan bersikap terlalu lunak. Memang
kita adalah orang-orang yang aneh. Kadang-kadang kita
merasa perlu untuk hidup dan lingkungan sesama. Tetapi kita
adalah orang-orang yang telah diracuni oleh kecurigaan dan
permusuhan. Karena itu, biarlah ia memuaskan dirinya dengan
sikapnya. Aku akan membuktikan, bahwa ia tidak mempunyai
kesempatan apapun untuk menangkap kita. Apalagi ayah,
sementara aku akan membela diriku dengan kekerasan jika ia
akan memaksa dengan kekerasan pula."
"Swasti," potong Kiai Kanthi.
Tetapi Swasti sudah melangkah maju mendekati Jlitheng.
Sikapnyapun telah berubah, seperti sikap Jlitheng yang
berubah pula. Gadis itu tidak lagi berlindung dibalik sebatang
pohon, seakan-akan untuk menyembunyikan diri dari tatapan
mata anak muda yang belum banyak dikenalnya itu. Tetapi
kini ia melangkah maju dan berhenti tidak lebih dari dua
langkah dihadapannya. Dengan tajamnya ia menatap mata
Jlitheng yang hitam pekat tanpa ragu-ragu.
Ternyata dada Jlitheng menjadi berdebar-debar melihat
sikap gadis yang mantap itu. Ia baru mengetahui, bahwa
gadis itu mampu mengikutinya meloncat batu-batu padas di
tebing pegunungan saat mereka mendaki mencari belumbang
yang berair melimpah itu.
Terasa kulitnya meremang ketika Jlitheng mendengar gadis
itu berkata kepadanya, "Ki Sanak. Sekarang apa yang ingin
kau lakukan, lakukanlah. Jika kau memang mampu
mengalahkan kami, separti kau mengalahkan orang-orang
Kendali Putih, terserahlah apa yang akan kau lakukan.
Mungkin kau merasa perlu membunuh kami seperti kau
membunuh orang-orang Kendali Putih, mengubur mayat kami
didekat belumbang itu atau membiarkan mayat kami menjadi
makanan binatang buas. Kemudian, kau akan mengendalikan
air belumbang itu sebagai seorang pahlawan bagi Lumban
Wetan dan Lumban Kulon, untuk merebut perhatian rakyatnya
yang kini tertuju kepada Daruwerdi."
Dada Jlitheng tergetar. Ia tidak menduga bahwa Swasti
akan menghadapinya dengan tabah tanpa gentar sama sekali,
meskipun ia sudah menceriterakan tentang dua orang Kendali
Putih yang telah dibunuhnya. Sehingga dengan demikian,
maka Jlitheng mulai menjajagi kemampuan gadis itu menurut
sikap dan tanggapannya. Karena itu, Jlithengpun menjadi semakin berhati-hati.
Namun demikian ia harus selalu menyadari, apakah yang
sebenarnya ingin dilakukan atas kedua orang itu. Ia tidak
boleh terdorong sehingga yang terjadi kemudian akan
menumbuhkan penyesalan dihatinya.
Yang ingin dilakukan adalah sekedar meyakinkan diri,
siapakah yang sebenarnya sedang dihadapinya, sehingga ia
akan dapat menempatkan diri dengan tepat sebaik-baiknya.
Kecuali jika kemudian ternyata bahwa keduanya adalah orangorang
yang bersangkut paut dengan perguruan Kendali Putih
atau perguruan lain yang mempunyai kepentingan dengan
Daruwerdi dan bersikap seperti orang-orang Kendali Putih itu.
Namun kini agaknya Swastilah yang berdiri dihadapannya.
Bukan Kiai Kanthi. Apalagi ketika ternyata bahwa Kiai Kanthi
agaknya membiarkan anak gadisnya itu menghadapinya.
Bagaimanapun juga ternyata bahwa Jlitheng agak
tersinggung. Dengan demikian Kiai Kanthi menempatkannya
dalam tataran anak gadisnya, sehingga orang tua itu
menganggap bahwa Swasti akan dapat menyelesaikan
persoalannya. "Aku telah membunuh dua orang murid dari Kendali Put ih.
Apakah orang tua itu tidak dapat mengerti, tataran
kemampuan seseorang yang telah berhasil membunuh dua
orang murid dari perguruan Kendali Putih?"
Tetapi Jlitheng tidak dapat berpikir lebih lama lagi. Swasti
benar-benar telah bersikap untuk melawannya. Bahkan
kemudian gadis itu berkata, "Ki Sanak. Jangan menunggu lagi.
Sebelum matahari terbit, kita harus sudah dapat menentukan,
apakah yang akan kita lakukan masing-masing. Kau sudah
mengambil jalan yang paling dekat untuk mengetahui
siapakah kami. Aku dan ayah. Dan akupun akan memilih jalan
serupa untuk menyatakan diri kami."
Jlitheng tidak dapat menarik diri dari persoalan yang sudah
dimulainya. Karena itu, maka katanya kepada Kiai Kanthi,
"Kiai. Apakah Kiai sudah mempertimbangkan, bahwa Swastilah
yang harus berdiri didepan, karena tersinggung mendengar
kata-kataku?" Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak
beranjak dari tempatnya. Dengan nada yang datar ia
menjawab, "Jangan bertanya begitu ngger. Aku menjadi
bingung untuk menjawabnya. Bukankah angger dapat
menjajagi maksudku seperti aku dapat menjajagi maksud
angger ?" Karena itu, yang akan terjadi biarlah terjadi seperti
yang kau hadapi tanpa keterangan apapun."
Debar jantung didalam dada Jlitheng terasa semakin cepat
berdetak. Tetapi ia benar-benar tidak dapat mengurungkan
niatnya. Karena itu, maka katanya, "Baiklah Kiai. Jika hal ini harus
terjadi tanpa keterangan apapun juga."
Swasti yang tidak sabar lagi berkata, "Apapun yang kau
sebutkan dengan peristiwa ini, bagiku jelas."
Jlithengpun segera mempersiapkan diri. Dadanya menjadi
semakin terguncang ketika ia melihat Swasti mulai bersikap.
Ternyata bahwa gadis itu mengenakan pakaian rangkap
sehingga ia telah siap menghadapi segala kemungkinan.
Namun Jlitheng masih saja ragu-ragu menghadapi gadis
itu. Meskipun menilik sikapnya, Swasti tentu memiliki bekal
yang cukup. Apalagi gadis itu sudah mendengar, bahwa
Jlitheng baru saja membunuh dua orang dari perguruan
Kendali Putih. Karena Jlitheng masih ragu-ragu, Swasti yang tidak sabar
lagi telah memancing perkelahian. Dengan tangannya ia


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerang kening meskipun tidak bersungguh-sungguh,
karena iapun sadar, bahwa Jlitheng telah bersiap sepenuhnya.
Meskipun demikian Jlitheng harus mengelak. Ia bergeser
setapak sambil memiringkan tubuhnya.
Namun tidak diduganya, bahwa tiba-tiba saja Swasti telah
menyerang dengan kakinya langsung kelambung anak muda
itu. Serangan itu telah mengejutkan Jlitheng. Namun iapun
mampu bergerak cepat, sehingga iapun telah meloncat surut.
Tetapi Swasti tidak membiarkannya. Dengan cepat ia
memburu. Serangan berikutnya datang beruntun. Kakinya
berputar mendatar. Sekali lagi Jlitheng terpaksa bergeser. Namun yang terjadi
telah menggetarkan dadanya. Ternyata Swasti benar-banar
memiliki kelncahan bergerak dan tenaga yang besar. Jlitheng
sadar, bahwa pada bagian-bagian pertama dari perkelahian
itu, Swasti tentu masih belum mempergunakan segenap
kekuatan dan kemampuannya. Namun telah terasa desir angin
yang menyentuh tubuhnya, saat-saat serangan Swasti
menyambarnya. Jlitheng tidak dapat merenungi saja serangan-serangan
Swasti. ia merasa perlu untuk memperkecil kemungkinan yang
dapat menjadi gawat baginya.
Karena itu maka Jlithengpun bukan saja harus menghindar
terus-menerus. Tetapi ketika ia mendapat kesempatan, maka
iapun mulai menyerang pula.
Sejenak kemudian, perkelahian itupun meningkat semakin
cepat dan keras. Masing-masing telah dibumbui oleh
kehangatan darah mudanya yang mulai menggelegak.
Meskipun sejak semula Jlitheng telah menyangka bahwa
Swasti memiliki kemampuan yang cukup, namun ketika
keduanya mulai membenturkan ilmunya, barulah Jlitheng
menyadari, bahwa yang dihadapinya bukannya sekedar muridmurid
dari Kendali Putih. Meskipun ia harus melawan dua
orang murid perguruan Kendali Putih yang sudah banyak
dikenal itu, namun ia merasa, bahwa seorang gadis yang
bernama Swasti itu memiliki kemampuan yang lebih besar.
Meskipun gadis itu berasal dari daerah yang dimusnakan oleh
tanah longsor, gempa dan banjir menurut pengakuannya,
namun ia menyimpan ilmu yang luar biasa dari perguruan
yang belumdimengertinya. Dalam pada itu, perkelahian diantara kedua anak-anak
muda itu semakin lama menjadi semakin sengit. Jlitheng
terdorong oleh kecepatan gerak lawannya telah mengerahkan
kemampuannya ipula untuk mengimbanginya. Bahkan
ternyata. bahwa, kekuatan gadis itupun telah memeras
kekuatannya pula. Ketika mula-mula ia menjajagi kekuatan serangan Swasti
dengan menangkis serangannya, terasa bahwa tangannya
telah tergetar. Meskipun saat itu Jlitheng belum
mempergunakan segenap kekuatannya namun iapun
menyadari, bahwa Swasti-pun masih lebih banyak
menjajaginya pula. Tetapi semakin lama, kedua anak-anak muda itu tidak lagi
sempat membuat pertimbangan-pertimbangan. Tenaga
mereka perlahan-lahan telah tersalur semakin besar, sehingga
akhirnya, keduanya tidak lagi mampu menahan diri dengan
Selir Raja 2 Mustang Hitam Karya Dr. Karl May Rajawali Emas 1

Cari Blog Ini