Burung Merak Karya Maria A. Sardjono Bagian 1
DI suatu pagi tiga tahun yang lalu, Ana melempar
koran Minggu yang baru saja dibacanya tanpa peduli
ke mana pun jatuhnya surat kabar tersebut. Sesudah
itu ia mengempaskan tubuhnya ke sofa. Untuk beberapa saat ia membiarkan dirinya terlarut oleh perasaannya yang bergejolak. Bahkan untuk beberapa saat pula
dibiarkannya pandangannya menjadi buram oleh air
mata. Seluruh pikiran dan hatinya terserap oleh apa
yang baru saja dibacanya.
Evi menjadi berita hangat lagi untuk kesekian kalinya. Dengan perasaan tertekan, Ana menatap lembaran koran Minggu yang berserakan di atas lantai. Kata
koran itu, Evi sedang pergi berbulan madu dengan
pengusaha kaya yang usianya jauh lebih tua setelah
beberapa bulan sebelumnya bercerai dari suami keduanya. Foto yang terpampang di koran tadi memperliSatu http://pustaka-indo.blogspot.com6
hatkan betapa bahagianya pasangan baru itu berada
di Bali dalam gemerlapnya cinta dan harta.
Ana merasa amat malu. Memang di awal-awal karier
Evi, ia merasa bangga menjadi adik kandung penyanyi
yang terkenal di mana-mana dan dipuja oleh banyak
penggemar itu. Terlebih ketika Evi juga sukses menjadi
artis sinetron dan mendapat penghargaan atas
permainannya yang prima. Namun sejak sang kakak
menikah untuk pertama kalinya dengan mantan pejabat yang sudah mempunyai dua istri, kebanggaan Ana
terhadap kakaknya itu semakin memudar sampai akhirnya berganti menjadi rasa kecewa yang sangat mendalam. Terlebih tak sepatah pun Evi mengabarkan tentang rencana pernikahannya. Padahal apa pun
alasannya, seharusnya dia memberitahu Ana dan juga
ibu tirinya. Apalagi perkawinannya adalah pernikahan
pertama dalam keluarga mereka. Tetapi pada kenyataannya, tidak sepatah pun Evi mengabari mereka. Dia
menikah diam-diam. Kekesalan hati Ana semakin merebak ketika mengetahui perkawinan Evi dengan mantan pejabat itu hanya berlangsung selama lima bulan. Artinya, tidak ada
cinta sejati di dalamnya. Dan yang memalukan, menjanda baru beberapa bulan saja, Evi sudah menikah
lagi. Kali itu dengan sesama artis. Tetapi perkawinan
yang kedua itu juga tidak bertahan lama. Belum satu
tahun rumah tangganya berjalan, mereka bercerai.
Setelah itu hanya dalam waktu singkat sejak perceraiannya, beberapa kali Evi berganti-ganti pacar seperti
piala bergilir. Seakan tidak tahu makna cinta dan kehttp://pustaka-indo.blogspot.com7
setiaan. Parahnya, petualangan cinta kakaknya itu
dibicarakan di mana-mana melalui media massa. Ana
benar-benar merasa malu karenanya. Rasanya ia enggan mengakui penyanyi cantik itu sebagai kakak yang
lahir dari ibu dan ayah yang sama.
Untuk menyatakan ketidaksetujuannya terhadap
sepak terjang Evi, Ana tidak ingin bertemu dengan
sang kakak kendati mereka sama-sama tinggal di
Jakarta. Begitu juga sebaliknya, Evi tidak ingin bertemu dengan Ana. Lebih-lebih setelah sang adik memberinya saran agar ia hidup lebih santun dan tidak
mudah kawin-cerai. "Mbak, kalau alasannya tidak cccok, coba kaurenungkan, mana ada sih suami-istri yang cocok segalanya?" begitu kata Ana waktu itu. "Orangtua dengan
anak atau kakak dengan adik yang sedarah seperti
kita saja pun bisa tidak cocok satu sama lain. Jadi
selagi masih?" Belum selesai Ana berkata-kata, Evi telah merebut
pembicaraan dengan penuh emosi.
"Cukup, Ana. Aku tak mau mendengar khotbahmu. Kau tahu apa sih tentang kehidupan perkawinan"
Berpacaran saja belum pernah kok sudah berani menasihati orang. Jadi jangan ikut campur urusanku!"
Begitu sang kakak menghardik Ana. "Urusi saja persoalanmu sendiri." Ana terpaksa menelan kekecewaannya. Sejak itu
mereka tidak pernah bertemu lagi. Ana mengetahui
sepak terjang sang kakak hanya melalui televisi atau
melalui media cetak. Maka dari sumber berita itu puhttp://pustaka-indo.blogspot.com8
lalah Ana mengetahui pernikahan ketiga Evi dengan
pengusaha kaya tua yang lebih pantas jadi ayahnya.
Sungguh keterlaluan. Evi memang sangat memesona bila sedang berada
di atas panggung atau di layar televisi. Suaranya merdu. Wajahnya jelita. Tubuhnya yang molek dan berbalut gemerlap pakaian indah karya perancang busana
terkenal itu mengagumkan. Tetapi tak sedikit pun
hati Ana memiliki rasa bangga terhadapnya. Lebih-lebih setelah Evi menikah lagi untuk ketiga kalinya dengan pengusaha kaya yang usianya lebih tua daripada
ayah kandung mereka. Dan perkawinan yang begitu
berbahagia, tulis koran itu, berdiri di atas kehancuran
hati keluarga sang pengusaha, karena hanya beberapa
bulan sebelumnya laki-laki kaya itu merayakan pesta
perkawinan perak dengan istrinya. Mengetahui hal itu
Ana ikut bersedih bersama istri dan keluarga sang
pengusaha tersebut. Dua puluh lima tahun hidup
berumah tangga bukanlah waktu yang sebentar. Pasti
ada sekian banyak peristiwa suka dan duka yang telah
mereka lalui bersama di dalam rumah tangga yang
dikaruniai tiga anak dan dua cucu itu.
Sungguh, Ana tidak mengerti mengapa laki-laki
paro baya yang sudah makan asam garam kehidupan
bersama istri, anak, dan cucu itu begitu tega meninggalkan mereka hanya untuk menikah dengan perempuan semacam Evi yang lebih pantas menjadi anaknya. Ana juga tidak mengerti mengapa Evi yang
dengan mudah bisa meruntuhkan hati laki-laki mana
http://pustaka-indo.blogspot.com9
pun bukannya memilih orang yang masih single, tetapi malah merebut suami orang.
Ana semakin sedih ketika ia mendengar perkawinan
Evi dengan pengusaha kaya itu pun hanya bertahan
tiga tahun. Kelahiran seorang anak laki-laki ternyata
tidak cukup kuat untuk mempertahankan rumah tangga mereka. Begitu bercerai, Evi langsung menitipkan
anak lelakinya kepada ibunya dan tak lama kemudian
perempuan itu sudah terbang masuk ke dalam pelukan laki-laki lain yang lebih muda dan lebih ganteng
daripada sang pengusaha tua itu. Ketika Ana melihat
berita mengenai kakaknya tersebut, ia langsung mematikan televisi dengan dada dipenuhi amarah yang
membara. Tetapi sayangnya, berita mengenai Evi tak pernah
luput dari insan media. Seperti pagi ini, di halaman
depan koran yang sedang dibacanya terpampang lagi
foto Evi. Kakaknya itu sedang berpelukan mesra sambil tersenyum lebar dengan suami terbarunya, suaminya yang keempat, si ganteng yang berhasil merenggutnya dari pelukan sang pengusaha tua. Maka
peristiwa sama seperti tiga tahun yang lalu itu pun
terulang kembali. Ana melempar koran yang dibacanya ke lantai. Dan seperti waktu itu pula mata Ana
berkaca-kaca, duduk tepekur di atas sofa dengan
wajah murung. Ana benci sekali membaca berita itu. Ke manakah
perasaan Evi" Tidakkah kakaknya itu mempunyai sedikit saja kepekaan hati untuk memahami bagaimana
perasaan keluarga sang pengusaha yang setelah dua
http://pustaka-indo.blogspot.com10
puluh lima tahun hidup berbahagia ia hancurkan untuk mengecap kebahagiaan semu selama tiga tahun
saja" Apalagi ia kemudian meninggalkan anaknya. Ke
mana pula perasaannya sebagai seorang ibu, meninggalkan begitu saja anaknya yang masih kecil dalam
asuhan neneknya, yaitu ibu Evi dan Ana, di kota
lain" Memikirkan anak laki-laki yang sekarang berada di
bawah asuhan ibunya itu, Ana berharap anak itu tumbuh menjadi anak yang baik, anak yang berguna bagi
nusa dan bangsa. Mudah-mudahan ibunya mampu
memberi pendidikan yang baik kepada sang cucu meskipun perempuan itu kurang berhasil mendidik anakanaknya. Diam-diam Ana berharap di masa tuanya
sekarang ini, ibunya bisa menjadi orang yang lebih
arif dan bijaksana. Betapapun besarnya kasih Ana kepada ibu kandungnya, ia tidak pernah menaruh penghargaan terhadap
perempuan itu. Sulit baginya melupakan kenangan
pahit di masa kecilnya dulu saat ia melihat ibunya
meninggalkan ayahnya yang sederhana untuk menikah
dengan laki-laki lain yang lebih dalam segala-galanya.
Padahal ada lima anak hasil perkawinannya dengan
ayah Ana. Seharusnya ketidakcocokannya dengan ayah
Ana tidak dijadikan alasan untuk menghancurkan perkawinan mereka, terutama karena ada lima anak yang
membutuhkan kasih sayang yang lengkap dari ayah
dan ibu mereka. Meskipun ketika itu Ana masih kecil, ia sudah bisa
membedakan siapa yang patut dibelanya. Dari kelima
http://pustaka-indo.blogspot.com11
anak orangtuanya, hanya Ana sajalah yang memilih
tetap tinggal bersama ayahnya. Sama sekali ia tidak
terpikat kehidupan mewah yang kecil kemungkinannya
bisa diberikan ayah kandungnya. Rumah bagus, mobil-mobil mewah, dan berbagai kesenangan yang
dinikmati ibu dan saudara-saudara kandungnya, tak
menarik hati Ana. Ia memilih hidup bersama ayahnya
dan berpisah dengan ibunya, berpisah pula dengan
Evi, kakak perempuannya, dan dengan ketiga adik
kandungnya yang lain. Pilihannya tidak keliru. Bersama ayahnya ia merasakan kehidupan yang manis. Ayahnya yang seorang
seniman sejati banyak memberinya warna-warna kehalusan rasa dan keindahan budi pada Ana. Berkat ayahnya pulalah bakat Ana yang senang menulis, tersalurkan. Sering kali ia memenangkan lomba cerpen.
Dan sekali novelnya memenangkan lomba yang diadakan oleh salah satu majalah terkenal. Ana merasa
bahagia. Kalau bukan karena dorongan sang ayah,
bakat seninya belum tentu akan terkait keluar.
Ketika ayahnya menikah lagi dengan sanak jauhnya
sendiri"seorang guru SMP"atas desakan kerabat
mereka, kehidupan manis itu terasa semakin menyenangkan. Ibu tirinya bukan orang asing baginya. Perempuan itu sangat menyayanginya. Di bawah asuhan
dan didikan sang ibu tiri yang lembut hati, sabar, dan
bijaksana Ana hidup dengan tenang, senang, dan penuh kedamaian. Perempuan itu mampu menciptakan
kehangatan yang manis dalam kehidupan ayah dan
anak yang pernah mengalami kekecewaan. Bahkan
http://pustaka-indo.blogspot.com12
setelah ayah Ana meninggal dunia lima tahun yang
lalu, kehangatan dan kemanisan itu masih bisa disesap
oleh Ana bersama ibu tiri dan adiknya yang lahir dari
perkawinan ayahnya dengan perempuan itu. Oleh sebab itu meskipun ibu kandung dan ayah tirinya berulang kali mengajaknya tinggal bersama mereka setelah ayahnya meninggal dunia, Ana tetap setia kepada
ibu tiri yang telah merawat dan membesarkannya.
Apalagi berada di dalam rumah ini Ana masih bisa
melihat bekas-bekas jamahan dan bukti-bukti bahwa
di dalam kehidupannya pernah ada seorang ayah yang
begitu menyayanginya. Foto-fotonya, lukisan-lukisannya, sejumlah besar buku dan keping CD kesayangannya, dan lain sebagainya. Sesuatu yang sudah barang
tentu tidak ada di rumah ibu kandungnya. Begitupun
ketika dua tahun lalu ayah tirinya yang kaya meninggal dunia dalam kecelakaan, Ana masih tetap memilih
tinggal bersama ibu tirinya.
Ibu tirinya mengerti itu semua sehingga kasihnya
kepada Ana semakin mendalam. Tak pernah ia menganggapnya sebagai anak tiri. Itulah mengapa pagi itu
ia juga yang lebih dulu menangkap wajah murung Ana
sehingga langkah kakinya terhenti di ambang pintu.
"Ada apa, Ana?" tanyanya dengan lembut.
Lamunan Ana buyar. Ia menoleh ke arah ibu tirinya. Dilihatnya perempuan itu tampak rapi dengan
wajahnya yang manis penuh oleh senyum lembut.
Selembut suaranya tadi. "Ibu mau pergi?" Bukannya menjawab pertanyaan,
Ana malah melemparkan pertanyaan.
http://pustaka-indo.blogspot.com13
"Ya. Mau ke supermarket sebentar. Kita sudah tidak punya simpanan makanan," jawab ibunya. "Nah,
kau belum menjawab pertanyaan Ibu, Ana. Wajahmu
tampak muram sekali. Ada apa?"
"Mbak Evi bercerai lagi, Bu," sahut Ana. Dengan
jari telunjuknya ia menunjuk surat kabar yang berserakan di atas lantai. Ibu tirinya menatap sejenak onggokan surat kabar
yang ditunjuk Ana tadi dan dengan seketika memahami perasaan gadis itu. Biasanya Ana selalu melipat
kembali surat kabar yang dibacanya dengan rapi dan
meletakkannya di rak koran.
"Kenapa harus sedih, Ana" Yang menjalaninya saja
belum tentu merasa sedih kok," katanya kemudian
dengan suara menghibur.
Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memang tidak. Malahan sedang merasa bahagia.
Coba Ibu lihat fotonya di koran itu," sahut Ana dengan suara getir. "Kok malah berbahagia" Lucu. Memangnya kenapa?" "Karena dia sedang berbulan madu dengan suaminya yang baru. Lebih muda, lebih ganteng, dan mungkin juga lebih kaya. Siapa tahu?" Ana tersenyum sedih. "Lihat senyum lebarnya di koran itu, Bu."
Perempuan paro baya itu membungkuk dan meraih
koran yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri,
kemudian menatap foto itu.
"Astaga, Evi!" Perempuan itu menggeleng-geleng
berulang kali. "Ah, untunglah ayahmu tidak sempat
melihat kelakuan Evi belakangan ini."
http://pustaka-indo.blogspot.com14
"Itulah, Bu, kenapa saya merasa sedih. Memalukan
sekali kelakuan Mbak Evi. Tidak sadarkah dia bahwa
perbuatannya itu bisa memalukan keluarga besar
kita?" "Yah... kita bisa apa, Ana" Evi sudah dewasa dan
pasti sudah tahu mana yang buruk dan mana yang
sebaliknya. Kelakuan mana yang boleh dilakukan dan
mana pula yang tak pantas. Tetapi kepribadiannya
amat lemah, mudah tergoda oleh gemerlapnya kemewahan dan kesenangan hidup. Ibu juga yakin meskipun hanya sayup-sayup terdengar, suara hatinya pasti
telah menegurnya juga. Tetapi yah, rupanya telinga
hatinya ia tutup rapat-rapat. Jadi sudahlah, Ana, kau
tak usah terlalu memikirkannya. Doakan saja agar ia
segera insaf. Menegurnya bukan hanya akan sia-sia,
tetapi juga akan membuatmu sakit hati seperti yang
sudah-sudah. Namanya juga orang sedang lupa diri.
Mana ingat dia pada kebenaran."
"Tetapi Mbak Evi sungguh-sungguh tidak tahu
malu. Berganti suami seperti berganti pakaian. Dalam
waktu lima tahun, sudah empat kali ganti suami,"
Ana mengeluh sedih. "Itulah kalau seorang perempuan
terlalu cantik dan memiliki daya tarik kuat. Mudah
digoda, mudah tergoda, mudah pula menggoda"."
Ibu tirinya tersenyum. "Masalahnya bukan karena dia perempuan yang
terlalu cantik, Ana. Ada banyak perempuan yang lebih cantik tetapi tidak seperti Evi kelakuannya. Contohnya dirimu sendiri. Apakah kau tidak tahu bahwa
kecantikanmu sama seperti Evi" Bahkan menurut Ibu,
http://pustaka-indo.blogspot.com15
kau lebih jelita daripada dia. Tanpa make up dan pakaian gemerlap seperti Evi, kau sudah tampak amat
menawan...." "Ah, Ibu. Jangan berlebihan," Ana memotong perkataan ibunya. "Apa yang Ibu katakan tadi kenyataan, Ana. Kecantikanmu merupakan kecantikan sejati karena tidak
ada bantuan dari luar. Kecantikanmu juga berasal dari
dalam batinmu"."
"Aduh, Ibu, kok semakin menjadi-jadi," lagi-lagi
Ana memenggal perkataan ibu tirinya. Kini dengan
senyum getir yang terukir di bibirnya yang indah.
"Selain Ibu tak ada lho orang yang mengatakan Ana
memiliki kecantikan seperti yang Ibu katakan tadi."
"Itu karena kamu selalu menolak penilaian orang
yang mengatakan dirimu cantik. Ibu tidak buta, Sayang. Penolakanmu bukan sebagai basa-basi seperti
kalau seseorang dikatakan cantik lalu dia merasa sungkan. Kau lain. Penolakanmu sungguh-sungguh sangat
kentara sehingga orang tak berani lagi memujimu.
Apalagi kalau yang memujimu itu laki-laki."
"Kok Ibu tahu...?"
"Tentu saja tahu. Kau kan anak Ibu. Mana mungkin Ibu tidak memerhatikanmu, terutama setelah
ayahmu tidak ada," sahut sang ibu tiri sambil tersenyum. "Ibu perhatikan sikapmu terhadap laki-laki,
sangat dingin. Semakin laki-laki itu ingin mendekatimu, semakin sikapmu seperti orang yang siap menyerang. Ibu pernah mengatakan kepadamu kan, sikap seperti itu tidak baik."
http://pustaka-indo.blogspot.com16
"Ya. Tetapi siapa yang tidak kesal sih, Bu" Aku pergi bersama beberapa teman perempuan, tetapi selalu
saja laki-laki yang ada di sekitar kami mencari-cari
kesempatan untuk berdekatan denganku. Kan tidak
enak pada teman-temanku. Padahal mereka juga punya kecantikan tersendiri kok."
"Nak, mereka tidak hanya tertarik kepada kecantikanmu saja tetapi juga pada sesuatu yang ada di dalam
dirimu. Kepribadianmu, kecerdasanmu, kebaikanmu
dan"." "Ah, Ibu kan tidak tahu. Kebanyakan laki-laki itu
ingin mendekati Ana karena penasaran. Hih, memangnya aku sengaja jinak-jinak merpati, dijauhi mendekat
tetapi kalau didekati terbang?"
"Itu Ibu tahu. Ibu juga tidak suka kalau kau bersikap jinak-jinak merpati dan lebih tidak suka lagi kalau kau bersikap seperti Evi yang suka menantang
dan memamerkan keelokan tubuhnya," sahut ibu tirinya dengan sabar. "Tetapi sikapmu yang terlalu menjaga jarak dengan laki-laki itu pun kurang baik. Bersikap wajar sajalah. Jangan terlalu khawatir kalau-kalau
mereka mendekatimu karena kecantikanmu. Kalaupun
ada yang seperti itu, jumlahnya tidak banyak, Ana.
Laki-laki yang baik tidak hanya melihat segi lahiriah
saja kok. Nyatanya kau juga mempunyai kecantikan
yang lain." "Kecantikan lain bagaimana?"
"Ana, kan sudah Ibu katakan tadi, kau memiliki
hati yang baik, lembut, dan berkepribadian matang
yang melebihi usiamu. Sejak kecil, kau sudah mempuhttp://pustaka-indo.blogspot.com17
nyai keunikan tersendiri," jawab sang ibu tiri. "Entah
itu kausadari atau tidak, kau sudah sangat berpegang
pada prinsip dan norma-norma moral. Kalau tidak,
tak mungkin kau memilih tinggal bersama ayahmu.
Pendek kata, keseluruhan dirimu menarik."
"Aduh, Bu, untung Ana tahu siapa diriku sebenarnya." Ana tertawa geli. "Kalau tidak, sudah sejak tadi
aku terbang ke angkasa?"
Ibu tirinya juga tertawa.
"Ah, sudahlah. Berdebat denganmu tak pernah menang. Ibu mau berangkat sekarang. Tetapi ingat, Ana,
tidak semua laki-laki ingin berteman denganmu karena kecantikan lahiriahmu. Jadi jangan membatasi
pergaulan hanya karena takut pada hal-hal yang belum tentu. Begitu, ya?"
"Ya. Tetapi Ibu juga harus ingat bahwa di dunia
ini cukup banyak perempuan-perempuan cantik yang
mempergunakan kecantikannya untuk tujuan-tujuan
tertentu. Ingat Ika sajalah, Bu."
Mendengar perkataan Ana, ibu tirinya menarik napas panjang. "Itu hanya kebetulan. Susahnya, kebetulan itu
menyangkut saudara-saudara kandungmu. Tiga anak
perempuan ayahmu tergolong gadis-gadis yang jelita.
Tetapi Evi telah mengecewakan ayahmu meskipun
waktu itu belum bertingkah keterlaluan seperti sekarang. Lalu Ika, adikmu, juga telah melakukan sesuatu
yang mengecewakan. Untungnya, ayahmu tak sempat
melihatnya. Kasihan ayahmu kalau dia tahu seperti
apa kelakuan Ika sekarang."
http://pustaka-indo.blogspot.com18
Ana tercenung. Ika adalah adik kandung Ana. Gadis itu juga berwajah jelita. Dengan kecantikan dan
bantuan Evi, Ika berhasil menjadi model iklan. Kehadirannya di muka umum telah membuat banyak pemuda tergila-gila padanya. Pacarnya ganti-berganti.
Akibatnya, kuliahnya gagal di tengah jalan. Ia hamil
di luar nikah dan terpaksa menghentikan kuliahnya,
malu karena tidak ada pemuda yang mau bertanggung
jawab mengatakan dialah ayah si bayi. Dia menikah
dengan laki-laki yang mau menerima anak yang dikandungnya itu. Soal tulus atau tidaknya hati laki-laki
itu, waktu nanti yang akan menjawabnya.
"Sudahlah, jangan terlalu memikirkan saudara-saudaramu itu karena mereka toh merasa senang dengan
pilihan hidup mereka. Asal kau ingat, Ana, bahwa di
dalam pergaulan ini jangan memakai kriteria kecantikan sebagai penilaian hanya karena melihat contoh soal
dalam keluargamu. Kecantikan itu sendiri pada dasarnya baik dan netral. Orangnya sajalah yang keliru
memandang atau menilainya. Positif atau negatif, itu
tergantung dari mana sudut pandangnya. Setuju?"
"Setuju, Bu." "Nah, kalau begitu Ibu akan pergi sekarang. Kau
ingin dibelikan penganan atau apa" Buah barangkali?"
"Kalau ada uangnya, Ana mau jeruk."
"Ada" ada. Jangan khawatir. Ibu baru saja mengambil pensiun ayahmu. Lalu kemarin honor Ibu memberi kursus matematika juga sudah dibayar."
"Ah, semestinya Ana yang membantu Ibu memenuhi kebutuhan rumah tangga seperti bulan-bulan
http://pustaka-indo.blogspot.com19
kemarin. Kadang-kadang menyesal juga kenapa Ana
terlalu mengumbar emosi demi harga diri yang berlebihan. Kalau tidak, sekarang ini Ana kan masih bekerja." "Nah, mulai menyesali lagi. Kalau kau sudah memutuskan sesuatu dan menganggap keputusan itu
baik, ya sudah. Hadapi konsekuensi logisnya. Kalau
Ibu ada di tempatmu, mungkin juga akan melakukan
hal yang sama. Daripada bekerja di bawah atasan
yang memandangmu dengan kacamata negatif, kan"
Memangnya enak bekerja dalam situasi harus sering
korban perasaan dan harga diri yang terancam terus"
Jadi yang penting sekarang ini, tinggal bagaimana kita
berusaha mengatasi apa yang sudah kamu putuskan.
Lebih baik melihat ke depan daripada menoleh ke
belakang. Bisa jatuh terjerembap nanti."
Ana tersenyum, kemudian mengangguk. Bicara ibu
tirinya selalu menyejukkan hati. Apa yang dikatakannya tak hanya semata-mata menghibur, tetapi juga
membuka wawasan lain. Tanpa mengatakan secara
nyata, Ana tahu apa yang dimaksud perempuan paro
baya itu. Memang tidak mudah bekerja di bawah atasan yang mata keranjang. Apalagi laki-laki itu mengetahui bahwa Ana adalah adik kandung Evi, sang bintang yang terkenal dengan kawin-cerainya dan juga
sebagai kakak Ika, si foto model yang suka memamerkan lekuk-liku tubuhnya. Pikiran laki-laki itu pasti
penuh dengan khayalan kotor. Jadi keputusannya untuk keluar dari pekerjaan yang menyebabkan tekanan
pada perasaannya itu tidak salah.
http://pustaka-indo.blogspot.com20
Memang, alasan mengapa akhirnya Ana memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya itu karena atasannya sering melakukan pelecehan terhadapnya. Setiap
ada kesempatan, laki-laki itu suka mencubit dagu atau
pipinya. Terkadang juga mengelus lengannya. Meskipun Ana telah mengatakan dengan terus terang padanya bahwa perbuatan itu tidak sopan, laki-laki itu
hanya tersenyum-senyum saja dan tetap melakukan
perbuatan yang sama. Tetapi bulan lalu ketika Ana
sedang mengerjakan tugasnya di muka komputer menjelang istirahat makan dan tiba-tiba saja lelaki itu sudah ada di belakangnya, mengelusi rambut dan lengannya, gadis itu mulai tidak tahan. Ia langsung
berdiri dari tempat duduknya untuk menghindari
kenakalan atasannya itu. Tetapi laki-laki itu tidak
membiarkannya. "Mau ke mana?" tanyanya mesra. Kemesraan yang
membuat perut Ana jadi mual.
"Mau istirahat," Ana menjawab singkat sambil
menahan marah. "Bagaimana kalau kita berdua makan siang di hotel
yang aku tahu sop buntutnya enak sekali. Gurih, empuk dan?" "Tidak, Pak. Saya sudah janji makan siang dengan
Lestari," Ana berkata sambil menjauhi atasannya.
"Oke. Bagaimana kalau nanti malam kuajak ke
kafe?" "Saya tidak suka ke kafe," Ana menjawab tanpa
menghentikan langkah kakinya. Menoleh pun tidak.
Merasa diabaikan, atasannya menyusul langkah kaki
http://pustaka-indo.blogspot.com21
Ana dan mendahuluinya berdiri di muka pintu. Melihat itu Ana menghentikan langkahnya. Dia berharap
ada orang lain di situ agar bosnya merasa malu. Tetapi sayang, kebanyakan teman-temannya sudah keluar
mencari makan di luar. "Maaf, Pak. Saya mau lewat." Dengan susah-payah
Ana masih berusaha bicara dengan sopan.
"Baik. Tetapi izinkan aku menciummu sekali saja.
Mumpung tidak ada orang. Kau sungguh membuatku
tergila-gila, Ana." "Bapak jangan melecehkan saya," sembur Ana mulai marah. Atasannya tidak menggubris penolakan Ana. Tangannya terulur meraih kepala gadis itu, bermaksud
mencium bibirnya. Sekarang kemarahan Ana sudah
sampai di puncaknya. Dengan sigap ia merenggutkan
kepalanya dari tangan sang atasan untuk kemudian
Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan telapak tangannya yang bebas ia menampar
laki-laki itu. Atasannya kaget. Air muka Ana benar-benar menyiratkan rasa tersinggung atas perlakuannya tadi. Persangkaannya selama ini langsung buyar berantakan.
Ana tidak seperti Evi. Ana juga tidak seperti Ika. Lebih-lebih begitu usai menampar pipinya, gadis itu
langsung mengatakan pendiriannya.
"Saya akan segera mengundurkan diri dari kantor
ini. Terus terang sudah lama saya merasa Bapak menganggap saya perempuan yang gampang diajak mainmain. Saya tidak tahan diperlakukan seperti itu," katanya dengan suara tegas.
http://pustaka-indo.blogspot.com22
Begitulah, Ana segera mengundurkan diri kendati
ia memiliki prospek besar untuk merintis karier di
kantor itu. Maka sudah hampir dua bulan lamanya
gadis itu menganggur. Lamaran-lamaran yang dilayangkannya ke mana-mana belum satu pun mendapat jawaban yang menjanjikan. Rencananya, ia akan mencari bantuan teman-temannya, siapa tahu di antara
mereka mengetahui ada lowongan pekerjaan. Ia tidak
betah menganggur. Uang simpanannya di bank sudah
tidak banyak lagi semenjak ia membelikan motor untuk adik tirinya dan sebuah laptop yang bagus untuk
dirinya sendiri. Tetapi yah, siapa yang mengira ia
akan kehilangan pekerjaan gara-gara seorang laki-laki
hidung belang" "Kau harus sabar, Ana," ibu tirinya berkata lagi.
"Sekarang ini tidak mudah mendapat pekerjaan yang
sesuai dengan ilmu yang kita miliki. Jadi terus sajalah
berusaha mencari informasi. Beli koran yang banyak
iklan lowongan kerjanya. Jangan koran gosip. Nanti
sedih lagi mengetahui ulah Evi atau Ika. Belakangan
ini kau terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tak
perlu. Nanti vertigomu kumat lho."
Ana tersenyum. Seminggu lalu ia mengalami vertigo, pusing tujuh keliling. Dugaan dokter, selain terlalu
banyak bekerja di muka komputer, ada yang sedang
dipikirkan oleh Ana, karena dari hasil pemeriksaan medis tidak ditemukan sesuatu yang serius.
"Ya, Ibu betul," sahutnya kemudian. "Tetapi benarbenar tidak enak jadi pengangguran begini lho, Bu.
Capek hati." http://pustaka-indo.blogspot.com23
"Ibu mengerti bagaimana rasanya tidak punya pekerjaan, apalagi kamu orang yang tidak suka diam.
Nah, untuk mengatasi kejenuhanmu bagaimana kalau
sambil menunggu jawaban surat-surat lamaran yang
sudah kaukirim ke mana-mana itu, penuhilah dulu
permintaan mamamu. Berkunjunglah ke rumahnya di
Ungaran. Sudah berulang kali lho dia menyuruhmu
datang ke sana, tetapi tidak kautanggapi. Dan sudah
enam tahun lamanya kalian tidak bertemu. Ingat,
Ana, bagaimanapun mereka adalah keluargamu. Janganlah terlalu kaku. Selain itu kau juga memerlukan
pergantian suasana agar jangan sampai mengalami
vertigo lagi." "Baik, nanti akan Ana pikirkan. Tetapi sebelumnya,
Ana mau ketemu Oom Rusli dulu. Beliau pernah menawari Ana pekerjaan. Mudah-mudahan lowongan itu
masih ada. Kalaupun tidak, barangkali beliau bisa
merekomendasi Ana pada rekan-rekan bisnisnya."
"Bagaimana dengan tawaran teman Ibu kemarin
dulu?" "Mengajar SMP" Wah, meskipun itu pekerjaan yang
menantang dan menarik, tetapi Ana tidak berani. Jangan sampai Ana merugikan sekolah dan murid-murid
hanya karena membutuhkan pekerjaan. Profesi guru
bukan bidang Ana. Itu tidak adil bagi mereka."
"Itu pikiran yang penuh rasa tanggung jawab, Ana."
"Ternyata menjadi sarjana tidak menjamin seseorang untuk mendapat pekerjaan dengan mudah ya,
Bu. Kelihatannya para penganggur intelektual lebih
http://pustaka-indo.blogspot.com24
susah mencari pekerjaan daripada mereka yang berpendidikan lebih rendah."
"Ah, ya tergantung situasi dan kondisinya. Tukang
batu dan tukang kayu memang lebih mudah mencari
pekerjaan ketika ada pembangunan perumahan atau
pertokoan." "Ya. Mbak Evi dan Ika yang jebol kuliahnya juga
malah mendapat penghasilan yang amat besar tanpa
harus mengeluarkan banyak keringat."
"Hush. Kau mau seperti mereka?"
"Tidak!" Ana tertawa.
"Gampang lho, kalau mau. Hubungi mereka sekarang, pasti lusa kau sudah didatangi orang suruhan
produser atas rekomendasi saudara-saudaramu itu,"
goda ibu tirinya. "Ibu setuju Ana jadi foto model yang bersedia
buka-bukaan baju dan berpenghasilan besar?" Ana
ganti menggoda. "Tidak." Ibu tirinya tertawa. "Jadi, sabarlah. Pasti
akan ada jalan keluarnya kalau kita selalu berusaha."
"Ya. Cuma saja budaya patriarki yang sering menomorduakan perempuan, masih saja dipraktikkan orang
di negara kita yang katanya menjamin hak-hak setiap
warga negaranya. Nyatanya akses perempuan terhadap
kesempatan bekerja tidak seluas yang didapat laki-laki
dengan berbagai alasannya." Ana menumpahkan
kekesalan hatinya lagi. "Kalau tidak menyangkut
kodrat biologisnya yang katanya merugikan karena
cuti melahirkan, pasti menyangkut gendernya karena
dianggap lebih pandai menambal bedak dan lipstik
http://pustaka-indo.blogspot.com25
daripada profesional dalam pekerjaannya. Memangnya
perempuan bekerja dengan rahimnya atau dengan bedaknya" Mereka juga punya otak yang sama primanya
dengan otak laki-laki lho."
"Sudah... sudah..." Ibu tiri Ana tertawa. "Ibu tadi
sudah bilang kan, berdebat denganmu mana bisa menang. Jadi lebih baik aku pergi sekarang. Keburu
siang. Selama sendirian di rumah, pertimbangkan usulku tadi. Penuhilah keinginan mamamu. Bagaimanapun
dia ibu kandung yang telah melahirkanmu. Kurasa
setelah suaminya meninggal dunia, suasana di rumahnya telah jauh berbeda. Mudah-mudahan dengan
berlibur di sana, hatimu yang resah akan berkurang.
Sekali-sekali ganti suasana, perlu bagimu."
"Begitu menurut Ibu?"
"Ya. Kau bisa membawa laptop-mu dan melanjutkan novelmu di sana. Pergantian suasana perlu bagimu. Siapa tahu muncul ide-ide baru yang akan memperlancar pekerjaanmu."
"Kok Ibu tahu Ana sedang membuat novel?"
"Adikmu Deni yang mengatakannya. Dia bilang
tema ceritanya bagus dan penyajiannya memikat. Jadi
teruskanlah itu." Ana ingat, ia pernah minta pendapat Deni yang
masih duduk di kelas satu SMA mengenai novel yang
sedang ditulisnya. Siapa tahu dari anak remaja muncul pendapat yang bisa dijadikan bahan pemikiran,
sebab anak-anak remaja sekarang selain lebih kritis
juga lebih luas jangkauan wawasannya. Kemajuan teknologi komunikasi melalui televisi yang bisa mengakhttp://pustaka-indo.blogspot.com26
ses tayangan luar negeri dan juga internet, ikut menambah wawasan mereka. Belum lagi berjenis-jenis
buku pengetahuan populer yang tersedia di toko-toko
buku. Deni termasuk kutu buku dan suka belajar.
Persis seperti ayah dan Ana, kakaknya. Rupanya, anak
itu bercerita kepada ibunya mengenai permintaan
sang kakak untuk memberinya pendapat.
"Ah, pendapat Deni belum bisa dijadikan pegangan," sahut Ana kemudian. "Dia baru melihat kulit
luarnya saja." "Mungkin begitu. Umur Deni masih terlalu muda
untuk menilai tulisanmu secara lebih mendalam. Tetapi ingat, ia juga berbakat menulis sepertimu. Kurasa
apa yang dikatakannya tidak terlalu jauh dari kenyataan. Nyatanya surat-surat penggemarmu yang menanggapi cerita bersambungmu di surat kabar waktu itu
kan mengatakan hal yang sama. Meski baru sebagai
pemula, kau sudah memperlihatkan prestasi. Buktinya
beberapa kali kau memenangkan lomba mengarang.
Jadi, Ana, selagi kau belum mendapat pekerjaan, bakatmu menulis itu bisa kautekuni agar semakin berkembang. Pengarang juga suatu profesi atau pekerjaan
yang menghasilkan kok."
"Hari ini Ibu banyak sekali menghibur dan membesarkan hatiku. Rasanya keterlaluan kalau Ana mengabaikan saran Ibu supaya berlibur ke rumah Mama,"
Ana menyeringai. "Bagus." Ibu tirinya tersenyum. "Nah, Ibu pergi sekarang. Dari tadi belum juga berangkat gara-gara mengobrol denganmu." http://pustaka-indo.blogspot.com27
Dengan pandangan matanya, Ana mengikuti langkah
kaki ibu tirinya yang sedang menyeberangi halaman
rumah menuju ke pintu pagar depan. Begitu tubuh
perempuan paru baya itu lenyap dari pandangannya,
gadis itu tenggelam di dalam pikirannya.
Rasanya saran ibu tirinya agar ia mengunjungi ibu
kandungnya bisa diterima. Memang sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan ibunya. Ketika ayah tirinya meninggal dunia, Ana tidak bisa datang. Dia sedang mendapat tugas kantor ke luar negeri. Itu
alasannya yang pertama. Alasan kedua, seperti apa
yang juga disarankan ibu tirinya, dia bisa melanjutkan
menulis novel di sana. Sangat masuk akal. Perubahan
suasana bisa memunculkan ide-ide yang memperkaya
tulisannya. Semangat kerjanya juga bisa terpacu. Di
Jakarta, teman Ana banyak. Ada saja yang datang
mengunjunginya, terutama setelah dia menganggur,
untuk berbela rasa dengannya. Senang sih senang didatangi teman, tetapi waktunya untuk bekerja jadi berkurang. Apalagi kalau mereka mengajak jajan di luar.
Jadi ada baiknya kalau untuk sementara ini dia bersembunyi di Ungaran. Seperti kata ibu tirinya, pengarang juga suatu profesi yang memberi penghasilan. Namun bagi Ana,
yang penting dalam kegiatan mengarang itu ia bisa
memotret realitas melalui rangkaian kata dan kalimat
yang runtut. Melalui tulisannya yang tertata ia bisa
menuangkan pandangan, perasaan, buah-buah pikiran,
dan pergolakan batinnya melalui tokoh-tokoh ceritanya. Melalui untaian kisah yang tersaji itu ia juga bisa
http://pustaka-indo.blogspot.com28
menghadirkan berbagai macam karakter manusia dan
bagaimana cara mereka menghadapi masalah-masalah
dalam kehidupannya. Melalui tulisannya pula ia bisa
menghadirkan dirinya di dalam masyarakat dan mendapat pengakuan atas keberadaannya. Singkat kata,
selagi ada kesempatan, ia harus mengembangkan bakat menulisnya. Dengan pikiran itulah tanpa ragu lagi akhirnya
Ana memutuskan untuk pergi mengunjungi ibu kandungnya di kota kecil, Ungaran. Ia masih mengingat
dengan jelas surat ibunya yang terakhir, surat yang
diterimanya beberapa bulan yang lalu.
"Mama rindu sekali padamu. Kapan kau datang mengunjungi Mama, Ana" Kalau kau merencanakan cuti,
taruhlah permintaan Mama ini di tempat paling atas
pada daftar tempat yang akan kaukunjungi. Sekarang
setelah menjanda, Mama pindah ke Ungaran, kota kecil
di daerah yang hawanya lebih sejuk, tidak terlalu jauh
dari Magelang, kota kita dulu dan dekat kota Semarang. Kau pasti senang melihat suasananya. Penduduknya ramah-ramah. Lagi pula kau belum pernah melihat
Oki, anak kakakmu, kan" Dia persis Evi kecil dulu.
Manis dan menawan. Kau pasti jatuh hati kepadanya.
Mama sering bercerita padanya tentang saudara-saudara
mamanya, termasuk dirimu. Fotomu juga sudah Mama
perlihatkan kepadanya. Jangan biarkan kekentalan darah di antara kita semua mencair hanya karena kita
jarang berjumpa. Jadi sekali lagi, Ana, datanglah menjenguk Mama kalau kau mengambil cuti nanti. Mama
agak kesepian setelah Evi sibuk di Jakarta dan Ika dibahttp://pustaka-indo.blogspot.com29
wa suaminya ke Bandung," begitu antara lain bunyi
surat ibunya. Ana dapat merasakan kerinduan sang ibu terhadapnya. Dia juga bisa merasakan sepinya rumah ibunya
tanpa keberadaan Ika. Adiknya itu termasuk gadis
yang lincah, ramah, periang dan suka humor. Di kota
Magelang sebelum ibunya pindah ke Ungaran, kota
yang lebih kecil itu, ia seorang gadis yang populer.
Temannya banyak sehingga rumah ibunya tak pernah
sepi dengan kehadiran mereka. Jadi Ana bisa membayangkan seperti apa sepi rumah ibunya sekarang.
Maka begitulah, ketika ibu tirinya pulang dari supermarket, Ana langsung mengatakan rencananya untuk mengunjungi ibunya. "Bagus, Ana. Memang harus begitu. Nikmati hariharimu di sana dengan tenang. Nanti kalau ada balasan dari salah satu surat lamaranmu, akan Ibu beritahu," komentar ibu tirinya. "Menurut Ibu, sudah
saatnya kau menguntai kembali hubunganmu dengan
mamamu."
Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, terima kasih. Rasanya sekarang ini memang
saat yang paling tepat untuk mengunjungi Mama.
Kalau nanti Ana sudah mendapat pekerjaan, mana
sempat pergi ke sana," kata Ana sambil sibuk membantu mengurus barang-barang belanjaan ibu tirinya. "Kau benar, Ana. Selain itu, kau juga perlu menenangkan pikiranmu," ibu tirinya mengangguk. "Mumpung sekarang bukan liburan sekolah, mudah mencari
tiket kereta api." http://pustaka-indo.blogspot.com30
"Baik, Bu. Besok Ana akan mencari tiket untuk
lusa. Mudah-mudahan selama berada di rumah Mama
nanti, Ana merasa nyaman."
"Nyaman atau tidaknya perasaan kita tergantung
bagaimana sikap hati melakukan adaptasi dengan lingkungan yang ada. Kau sudah berumur dua puluh
lima tahun, Ana. Tinggalkan perasaan-perasaan seperti
ketika kau belum dewasa," tegur ibu tirinya dengan
lembut. "Kenangan pahit masa lalu sebaiknya kaubuang jauh-jauh." "Ya, Bu. Ana mengerti." Yah, memang seharusnya
demikian. Dia tidak boleh berpikir dan berperasaan
seperti dulu setiap menghabiskan liburan sekolah atau
liburan semester di rumah ibunya di Magelang. Di
sana ia selalu merasa berada di luar pagar. Sulit membuat dirinya nyaman. Tak pernah ia merasa menjadi
bagian dari keluarga ibu kandungnya. Padahal ayah
tirinya tidak pernah membedakannya dengan saudarasaudaranya yang lain. Bahkan ibunya yang merasa tak
pernah bisa terus bersama-sama dengannya, selalu menunjukkan rasa rindu dan kasihnya. Tetapi entah
mengapa Ana merasa asing berada di tengah-tengah
ibu dan saudara-saudaranya sendiri. Kehangatan yang
mereka tebarkan tak terserap ke hatinya. Tidak sama
seperti jika ia berada di rumah ayah dan ibu tirinya
di Jakarta. Sungguh lain rasanya.
Sekarang di masa dewasanya, Ana menangkap perkataan ibu tirinya tadi dengan pikiran yang lebih terbuka. Memang benar bahwa nyaman atau tidak perasaannya berada di rumah ibu kandungnya, tergantung
http://pustaka-indo.blogspot.com31
bagaimana hatinya menyesuaikan diri dengan lingkungan di sana. Jadi mudah-mudahan saja sisa-sisa
perasaan tak senangnya terhadap kelakuan Evi dan
Ika, dan juga apa yang pernah dilakukan ibunya di
masa mudanya dulu, tak lagi menodai hatinya. Memang, itu tidak mudah. Sulit melenyapkan bayangan
pahit masa lalu ketika ayahnya sibuk menenangkan
dirinya yang saat itu masih kecil, duduk di atas pangkuannya, menangisi kepergian ibunya yang pergi tanpa menoleh-noleh lagi bersama empat saudaranya.
Kini Ana mencoba melihat semua itu dari sisi lain
yang lebih objektif. Kalau dipikir-pikir, ibunya tidaklah sama seperti kelakuan Evi yang suka kawin-cerai
atau seperti Ika yang suka memamerkan kecantikannya
kendati perempuan paro baya itu juga berwajah ayu.
Kesalahannya "hanya" karena meninggalkan suaminya
untuk menikah dengan laki-laki lain. Belakangan Ana
baru tahu bahwa ternyata ayah tirinya itu bekas kekasih ibunya di masa sekolah dulu. Tampaknya laki-laki
itu merupakan cinta sejatinya. Wajah ibunya yang sering muram saat masih menjadi istri ayahnya, tidak
tampak lagi. Ia sering tertawa dan wajahnya tampak
lebih muda. Namun apa pun alasan ibunya, Ana masih tak bisa
menerima tindakan ibunya. Andaikata dirinya berada
di tempat ibunya, ia tak akan pernah meninggalkan
suami hanya untuk kebahagiaan dirinya sendiri bersama laki-laki lain. Menurutnya, meskipun ibunya tidak
kawin-cerai seperti Evi, tetapi yang dilakukannya tetap
merupakan kesalahan yang melanggar nilai-nilai mohttp://pustaka-indo.blogspot.com32
ral. Tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu dari lima
anak diabaikannya demi memenuhi kebutuhan dirinya
sendiri. Setiap ingat hal itu, Ana merasa amat malu.
Sedemikian besar perasaan malu itu sehingga ia tidak
suka ditanya orang mengenai masa lalunya. Sebagai
akibatnya, Ana enggan bergaul secara akrab dengan
kaum laki-laki. Terlebih sekarang setelah per-tualangan
cinta Evi dan foto-foto Ika yang berpakaian minim
menjadi pembicaraan orang banyak. Ana kha-watir
mereka akan tahu seperti apa keluarganya. Karena
pikiran itulah Ana bergaul dan berteman secara biasabiasa saja dengan teman-teman lelakinya. Tidak seorang yang berhasil menjalin keakraban khusus
bersamanya. Ana pandai mengambil jarak. Jika ada
tanda-tanda perhatian khusus seseorang terhadapnya,
ia segera pasang kuda-kuda sehingga aman-aman sajalah kehidupan pribadinya. Dengan demikian tak seorang pun sempat bertanya padanya tentang masa
lalunya. Yah, jangankan ditanya orang, Ana sendiri saja tidak mau mengingat-ingat masa kecilnya ketika masih
tinggal bersama ibunya. Kenangan masa kanaknya
ketika bersama adik-adiknya menonton dengan perasaan kagum bagaimana Evi kecil bergaya menyanyi di
muka cermin hias ibu mereka, ditenggelamkannya
jauh-jauh ke lubuk hatinya. Ia tidak ingin mengingatnya. Bahkan sekarang ini setiap kali berada di mal
atau di tempat-tempat umum dan kebetulan mendengar suara Evi berkumandang dari salah satu toko
yang ada di sana, rasa bangga yang dulu pernah mehttp://pustaka-indo.blogspot.com33
warnai hatinya, kini sudah tidak ada lagi. Begitu juga
setiap melihat foto-foto besar Ika dengan pakaian minim terpampang di kalender atau di suatu iklan, hatinya terasa seperti diremas-remas. Wajah molek dan
tubuh indah adiknya tak sedikit pun menyentuhkan
rasa bangga meskipun menyebabkan banyak laki-laki
berdecak kagum. Kenapa Ika tidak bisa menghormati
tubuh indah anugerah Tuhan yang tidak bisa dimiliki
setiap perempuan" Apakah karena uang" Rasanya, tidak. Dari ayah tirinya, gadis itu sudah mendapatkan
segala-galanya. Ika tidak pernah kekurangan. Apalagi
Evi sering membagi-bagi uang untuk adik-adiknya.
Ana juga pernah diberi. Tetapi sejak gadis itu menolak pemberiannya dan mengatakan bawa sebaiknya
uang itu diberikan saja kepada rumah yatim-piatu,
Evi tak pernah lagi memberinya uang.
Jadi, pasti bukan melulu karena uang yang dikejar
oleh Ika. Tetapi lebih pada ketenaran. Demi popularitas. Sungguh keterlaluan. Untung ayahnya telah
meninggal ketika Ika menyusul Evi tampil di muka
publik. Untung pula ayahnya sudah tidak bisa menyaksikan lagi ketika Ika menikah dalam keadaan sudah hamil dan kehamilan itu bukan disebabkan oleh
si suami. Sungguh, tampaknya Ika betul-betul sudah
lupa bagaimana harus bersikap santun dan menghargai
orang. Sama sekali adiknya itu tidak mengatakan apa
pun kepada Ana sebelum pernikahannya dilangsungkan. Setelah acara perkawinannya selesai, baru Ika
memberitahu Ana. Seperti terhadap temannya saja.
Sebagai gadis Jawa yang dididik agar tetap memiliki
http://pustaka-indo.blogspot.com34
keterikatan dengan adat dan kebiasaan orang Jawa
kendati hidup di zaman yang serbamodern ini, hati
Ana merasa terluka oleh sikap Ika. Adiknya itu tidak
memedulikan keberadaannya sebagai kakak. Padahal
Ana tidak mengharapkan pelangkah dalam bentuk
apa pun sebagaimana dilakukan orang Jawa jika akan
menikah lebih dulu daripada kakaknya. Lebih-lebih
lagi Ana juga tidak mengharapkan kedua calon mempelai itu datang kepadanya dan minta izin untuk
melangkahinya. Tetapi sebagai kakak kandung, sebagai
saudara yang lebih tua, apa salahnya Ika memberitahu
bahwa ia akan menikah lebih dulu. Di zaman perkembangan teknologi komunikasi yang sangat pesat ini,
mudah sekali bagi Ika untuk menelepon Ana dari
jarak yang paling jauh sekalipun. Apalagi sarananya
ada. Bagi Ana, cukup hanya pemberitahuan saja untuk menunjukkan bahwa keberadaannya sebagai kakak
kandung masih diperhitungkan. Tetapi ternyata itu
pun tidak dilakukan Ika. Parahnya, ibu kandungnya
tidak mengarahkan Ika untuk melakukannya.
Sekarang sesudah memutuskan untuk berlibur di
rumah ibu kandungnya, Ana teringat pada teguran
ibu tirinya agar sisa-sisa perasaan yang masih ada di
hatinya, dibuang. Kata ibu tirinya pula, menyimpan
kenangan pahit masa lalu hanya akan menghilangkan
rasa nyaman saat ia berlibur di Ungaran nanti. Apalagi tujuannya datang ke sana untuk mencari pergantian suasana. Yah, ibu tirinya betul. Lagi pula di sana ada Hadi
http://pustaka-indo.blogspot.com35
dan Hari, kedua adik kembarnya yang baru saja lulus
SMA. Ana berharap kehadirannya di sana nanti ada
manfatnya bagi mereka. Bahwa sekolah setinggi mungkin lebih penting daripada kehidupan gemerlap seperti yang dipilih oleh Evi dan Ika yang cuma seumur
jagung lamanya. Ana merasa bertanggung jawab untuk ikut mengarahkan kedua adik bungsunya itu.
http://pustaka-indo.blogspot.com36
"STOP, Pak," Ana berseru kepada sopir taksi yang
membawanya dari Stasiun Tawang, Semarang. Dia
telah tiba di kota kecil Ungaran dan telah menemukan nomor rumah yang dicarinya. Saat itu langit telah menyiratkan semburat rona merah manyala di
ufuk timur. Arlojinya menunjukkan pukul enam kurang tiga menit. Beberapa jam lalu, kereta api yang ditumpanginya
tiba di Semarang sekitar pukul tiga dini hari. Ana
menunggu di stasiun sampai terang tanah, baru mencari taksi. Jarak kota Semarang dengan Ungaran, tidak
jauh. Dari Stasiun Tawang sekitar satu jam lamanya.
Lebih lama perjalanan di Jakarta, dari Kebayoran ke
Kelapa Gading, misalnya. Belum lagi kalau macet.
Tetapi meskipun tidak jauh, Ana tidak mau mengambil risiko mencari alamat rumah ibunya dalam cuaca
Dua http://pustaka-indo.blogspot.com37
masih gelap. Apalagi kota Ungaran merupakan kota
yang masih asing baginya.
Sambil menunggu sopir taksi menurunkan kopernya, sekali lagi Ana melihat ke arah nomor rumah
yang tertera pada pilar pintu pagar yang masih tertutup rapat itu. Betul, nomornya cocok dengan nomor
rumah yang ada di alamat surat yang dikirim ibunya
waktu itu. Dan yang lebih menguatkan keyakinannya,
Ana melihat papan nama perusahaan konveksi yang
dipasang di balik pagar halaman. Ibunya pernah menceritakan mengenai usahanya di bidang konveksi.
Ana merasa lega, pintu pagar rumah itu sudah tidak digembok. Seraya mendorong kopernya, ia menapaki jalan setapak beraspal selebar tiga meter yang
memisahkan halaman kiri dan kanan yang luas dan
tampak asri oleh bentangan rumput hijau dan tanaman hias. Seluruhnya tertata rapi dan tampak subur.
Ana melihat rumah itu sedang-sedang saja besarnya,
tidak semegah rumah ayah tirinya yang terletak di
daerah elite kota Magelang. Tetapi halamannya sangat
luas dan rumah yang sekarang ada di hadapannya itu
tampak lebih menyenangkan. Ada beberapa pohon
besar di dekat rumah. Di antaranya pohon sawo,
mangga, jambu air, dan nangka. Semuanya tampak
menjanjikan keteduhan dan kerindangan yang menyejukkan. Terasnya luas dengan dua perangkat meja
kursi rotan dengan joknya yang cantik, warna dasar
hijau toska berbunga putih. Cocok dengan kusen-kusen rumah yang bercat putih bersih.
Suara gonggongan anjing terdengar riuh begitu Ana
http://pustaka-indo.blogspot.com38
mendekati teras. Tak lama kemudian ia mendengar
suara ibunya menenangkan anjing-anjing itu sebelum
akhirnya sosok perempuan itu muncul di ambang
pintu yang baru dibukanya.
Untuk sesaat lamanya perempuan paro baya itu
berdiri tertegun, hampir tak memercayai apa yang
dilihatnya. "Astaga, Ana!" serunya kemudian. Kedua tangannya
langsung terkembang dan Ana berlari masuk ke dalam
pelukannya. "Kenapa tidak memberi kabar lebih dulu"
Dengan siapa kau ke sini" Naik apa kok pagi-pagi
begini sudah sampai?"
Ana tertawa sambil melepaskan diri dari pelukan
ibunya. "Ma, satu per satu dong pertanyaannya."
"Baik." Sang ibu juga tertawa. "Nah, kenapa kau
tidak memberitahu Mama lebih dulu supaya Hari
atau Hadi menjemputmu."
"Memberi kabar ke sini bukan surprise namanya,
Ma. Lagi pula kepergian Ana ke sini ini tidak direncanakan. Kalau direncanakan malah sering batal sih,"
sahut Ana. "Tetapi kau kan belum pernah ke sini. Siapa tahu
salah jalan.... Tadi kau naik apa, Ana?"
"Kereta api, Mam. Begitu ingin menjenguk Mama,
Ana langsung mencari tiket kereta api. Tetapi dapatnya kereta Argo Anggrek jurusan Surabaya yang sampai di Semarang sekitar jam tiga dini hari. Daripada
batal, ya sudah Ana ambil saja meskipun agak mahal.
Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tadi Ana menunggu sampai cuaca agak terang, baru
mencari taksi." http://pustaka-indo.blogspot.com39
"Wah, beraninya."
"Kenapa mesti takut" Begini-begini Ana pernah
belajar ilmu bela diri." Ana tertawa. Kemudian ia
membalikkan tubuhnya dan mengambil kopernya
yang masih ada di bawah teras. Didorongnya kopernya melintasi teras, menuju ke pintu.
Sang ibu memperhatikan anak gadisnya dengan
penuh rasa sayang. Dari kelima anaknya, hanya Ana
seorang yang tidak dibesarkan di bawah asuhannya.
"Mama senang akhirnya kau datang mengunjungiku, Ana," katanya kemudian. Wajahnya ramai
oleh senyum dan matanya yang bergelimang rasa bahagia, menatap wajah Ana dengan saksama. "Mama bahagia, semakin dewasa kau semakin tampak matang
dan bertambah jelita."
"Ah, Mama. Air laut siapa sih yang menggarami?"
Ana tertawa. Kemudian dengan air muka serius ia
melanjutkan bicranya. "Tetapi Mama keliru menilai
Ana lho." "Keliru" Ah, kurasa tidak. Kau memang tampak
amat cantik, Ana. Bukannya mau menggarami air
laut, tetapi kenyataannya memang begitu," bantah
sang ibu. "Bagaimana Mama bisa memberi penilaian seperrti
itu padahal sudah lama kita tidak pernah berjumpa.
Mama kan belum pernah melihat wajah Ana kalau
tidak dalam kondisi kurang tidur dan letih seperti
sekarang ini." Wajah Ana masih tampak serius.
"Oh... ya...?" Sang ibu agak bingung untuk sesaat
lamanya. Tetapi Ana langsung merebut pembicaraan.
http://pustaka-indo.blogspot.com40
"Ya. Mama keliru menilai sebab kalau tidak sedang
kusut dan letih begini... wah... Ana jauh lebih cantik
daripada sekarang!" Sikap Ana masih saja memperlihatkan keseriusannya. Tetapi melihat getar-getar mata
dan bibirnya, orang yang melihatnya pasti akan segera
tahu bahwa gadis itu sedang bercanda.
"Ah... Ana, Ana!" Ibunya yang segera tersadar dari
rasa bingung langsung tertawa sambil mencium lembut pipi Ana. "Hal-hal begini inilah yang sering membuat Mama rindu kepadamu. Lidahmu yang tajam,
lelucon-leluconmu yang segar, membuat suasana rumah ini jadi segar. Mama suka gemas melihatmu."
"Ini pujian atau sebaliknya, Mam?"
Ibunya tertawa lagi. "Kau selalu tak pernah kehilangan kata-kata, ya?"
Dua ekor anjing yang sejak tadi duduk gelisah di
belakang ibu Ana, mulai menggeram. Perhatian Ana
langsung beralih pada kedua anjing itu. Ada rasa takut melihat besarnya tubuh kedua anjing itu.
"Anjing yang bagus-bagus. Galak, Mam?"
"Yah, cukup galak. Mama memelihara keduanya
kan memang untuk menjaga rumah ini. Kalau malam, Mama biarkan berkeliaran di halaman. Pagi harinya, langsung Mama ikat. Tetapi biarpun galak, mereka takut kepada Mama. Kalau Mama menyuruh diam
dan tetap duduk di tempat, mereka tidak berani bergerak meskipun ada orang asing. Ini tadi baru saja
mau diikat ketika mereka membaui orang asing mendekati rumah. Ana, kau harus berkenalan dulu supaya
mereka tidak galak terhadapmu."
http://pustaka-indo.blogspot.com41
"Bagaimana caranya?"
"Dekati mereka. Elus kepala masing-masing sambil
menyebut namanya. Yang hitam mulus, Pedro. Yang
cokelat, Bravo. Tetapi tunggu aba-aba dari Mama
dulu." "Baik." Ana mengangguk. Meskipun agak takut,
Ana menunggu aba-aba dari ibunya.
"Pedro, Bravo, nona cantik itu majikanmu juga.
Ayo beri salam kepadanya," kata ibunya sambil menunjuk ke arah Ana. Kedua anjing itu langsung menjulurkan kedua kakinya ke depan sehingga Ana tertawa.
"Baik, kenalan ya. Namaku Ana."
"Pegang sebentar kakinya, Ana. Kemudian elus kepalanya sambil menyebut nama masing-masing. Kau
bisa mencuci tanganmu sesudah itu. Biarkan dia
mengendus bau tubuhmu, sebentar.
"Nah, acara kenalan sudah selesai. Cucilah tanganmu, kemudian bawa kopermu ke dalam, Mama akan
mengikat keduanya. Sebentar lagi karyawan konveksi
akan berdatangan." "Mereka juga melalui acara perkenalan seperti tadi,
Mam?" "Mereka kukenalkan dengan cara lain. Tidak kubiarkan mereka mendapat tempat di hati kedua anjing
itu." "Kenapa, Mam?" tanya Ana sambil mendorong masuk kopernya ke dalam rumah.
Mendengar pertanyaan itu sang ibu tertawa agak
tersipu. http://pustaka-indo.blogspot.com42
"Mungkin Mama terlalu hati-hati," sahutnya kemudian. "Tetapi sebagai pengusaha kelas menengah yang
tidak mempunyai banyak simpanan di bank, Mama
harus mempunyai kewaspadaan yang lebih. Siapa tahu
di antara pegawaiku ada yang berpikiran nakal, misalnya. Pedro dan Bravo pasti akan menggonggong kalau
ada orang datang pada malam hari ke pabrik meskipun mereka sudah mengenalnya. Kedua anjing itu
sudah kusekolahkan untuk tidak memercayai orang
yang kukenalkan tanpa cara seperti yang kaulakukan
tadi." "Oh, begitu. Pabriknya di mana sih, Mam?"
"Di belakang. Yah, hanya pabrik-pabrikan saja.
Bangsal seluas kira-kira dua belas kali dua puluh meter. Di dalamnya terdapat enam belas mesin jahit,
lima mesin obras, beberapa meja kerja dan lemari-lemari kaca. Di samping bangsal, ada satu kamar ukuran dua belas kali empat meter untuk showroom dan
ruang kerja Mama. Di situ transaksi jual-beli atau
pesan-memesan dilakukan."
"Wah, itu sih bukan pabrik-pabrikan tetapi pabrik
betulan. Kedengarannya Mama seperti seorang pengusaha sungguh-sungguh," komentar Ana sambil tersenyum. "Lho, Mama memang pengusaha sungguhan. Walau belum menjadi perusahaan besar, tetapi usaha ini
telah menunjukkan hasil yang lumayan. Karya pabrik
Mama sudah sampai ke Jakarta, Semarang, Surabaya,
Bali, Sumatra, bahkan Malaysia dan Brunei. Mudahmudahan bisa terus berkembang ke mana-mana."
http://pustaka-indo.blogspot.com43
"Ana yakin, usaha Mama pasti akan semakin berkembang." Suara langkah kaki dari arah tengah rumah menghentikan pembicaraan ibu dan putrinya. Seorang pemuda keluar tergesa dari dalam. Melihat pemuda itu,
Ana tertawa sambil merentangkan tangannya.
"Hari," katanya sambil memeluk dan mencium sayang pipi adik lelakinya. "Tinggi betul kau sekarang."
"Wah" ini benar-benar kejutan besar," sahut Hari
sambil membalas ciuman kakaknya. "Sudah lama
sekali kita tidak bertemu."
"Ya. Terakhir ketemu ketika kau mengunjungi
Mbak Evi tetapi dia sedang shooting di luar kota. Lalu
kau menginap di rumah Ibu. Masih ingat, Hari?"
"Tentu saja aku ingat. Di rumah Ibu aku menemukan kehidupan yang menyenangkan bersamamu dan
Deni. Tiga tahun yang lalu kalau tak salah. Kapan-kapan aku ingin ke sana lagi."
"Bagus." Ana tersenyum. Hari yang waktu itu terpaksa menginap di rumah ibu tirinya karena di rumah Evi hanya ada pembantu rumah tangga saja justru merasa senang bisa menghabiskan liburan di
rumah ibu tirinya. Ada kehangatan yang terasa menyenangkan di rumah itu. Ada-ada saja yang menjadi
bahan canda di antara mereka dan selalu saja ada
acara yang bisa mereka untai bersama, baik di dalam
rumah maupun di luar. Memancing di pemancingan
dekat rumah, misalnya. Kemudian membakar ikan
tersebut bersama-sama dan lalu menikmatinya bersama-sama pula. Di rumah Evi, hal seperti itu tak
http://pustaka-indo.blogspot.com44
mungkin bisa dilakukan. Evi jarang sekali ada di
rumah, sibuk dengan berbagai macam acara. Dalam
hati, Hari ingin mengajak Hadi berlibur ke tempat
tinggal Ana lagi, kapan-kapan.
"Hadi mana" Aku rindu kepadanya." Pertanyaan
Ana yang menanyakan saudara kembarnya, membuyarkan lamunan Hari. "Masih tidur. Tadi malam kurang tidur."
"Belajar untuk ikut tes masuk perguruan tinggi?"
"Dia tidak serajin itu, Mbak." Hari tertawa. "Tetapi
sibuk di rumah tetangga sebelah."
"Hadi sering berjam-jam lamanya di rumah sebelah
untuk membantu apa saja yang bisa ia bantu," sela
ibu mereka. "Dia tertarik sekali pada perusahaan yang
belum lama dibuka di situ."
"Dibayar?" "Mana mau dibayar, dia?" Hari tertawa lagi. "Di
situ dia menggali pengalaman. Setelah Mama berhasil
dengan usahanya, tampaknya Hadi punya keinginan
untuk berusaha juga."
"Jadi ceritanya, sekarang ini muncul bakat-bakat
berbisnis dalam keluarga ini ya." Ana tertawa. "Perusahaan apa sih di sebelah itu?"
"Perusahaan jasa angkutan dan penyewaan kendaraan, Mbak. Cabang dari Jakarta. Di samping itu,
pemiliknya juga mendirikan bengkel. Selain untuk
pemeliharaan kendaraan angkutan mereka, bengkel itu
juga menerima langganan dari luar. Hadi tertarik melihat usaha itu. kelihatannya dia ingin membuka usaha
sejenis di suatu saat nanti," jawab Hari.
http://pustaka-indo.blogspot.com45
"Itu kan cita-cita yang baik. Biarkan dia mencari
pengalaman di situ. Asal sekolahnya jangan sampai
putus di tengah jalan," komentar Ana. "Untuk menjadi seorang pengusaha yang baik, seseorang harus mengetahui seluk-beluknya dari bawah dan mengalaminya
sendiri. Tetapi pengetahuan akademik juga harus punya." "Kakakmu betul, Hari. Belajar ilmu pengetahuan
di bangku kuliah harus tetap menjadi prioritas utama
sambil juga menggali pengalaman di lapangan secara
konkret," sela ibunya lagi.
"Tetapi pemiliknya tidak apa-apa melihat dia di
situ seharian?" Ana bertanya lagi.
"Mereka malah senang ada yang membantu tanpa
perlu membayar." Lagi-lagi Hari tertawa.
"Mereka" Memangnya perusahaan itu bukan milik
satu orang?" "Perusahaan itu perusahaan keluarga, Ana," ibunya
menyela lagi. "Milik tiga bersaudara. Ayahnya yang
seorang pengusaha kaya telah memodali usaha ketiga
anaknya dan mereka sukses. Ada beberapa cabang
yang telah mereka buka dan yang terbaru, di sebelah
rumah kita ini." "Kedengarannya Mama tahu betul tentang mereka?" "Tentu saja. Di sudut halaman perusahaan itu
terdapat rumah kecil untuk salah seorang pemiliknya
yang merasa betah tinggal di kota kecil ini. Wawan,
namanya. Setengah tahun lebih yang lalu, begitu pindah ke rumah itu, Wawan bersama istrinya datang
http://pustaka-indo.blogspot.com46
memperkenalkan diri kepada tetangga kiri dan kanan
rumahnya. Dengan keluarga kita, mereka langsung
merasa akrab. Sudah beberapa kali istrinya membeli
seprai, memesan tirai dan minta dibuatkan jok kursi
tamu di tempat Mama. Dari dialah Mama mendengar
banyak hal mengenai keluarganya."
"Kedengarannya perusahaan mereka cukup besar."
"Ya, memang. Jasa angkutan itu bukan hanya menyewakan kendaraan angkutan atau menyiapkan jasa
angkutan barang-barang besar saja, tetapi juga menyewakan kendaraan biasa."
"Semacam travel?"
"Ya. Tetapi ah, kita kok jadi mengobrol panjang-lebar mengenai sesuatu yang bukan urusan kita." Ibu
Ana tertawa. "Ayo ah, mandi dulu, lalu sarapan samasama. Setelah kau istirahat nanti, kita bisa mengobrol
lagi tentang macam-macam hal."
Ana tersenyum dan sang ibu menoleh ke arah anak
lelakinya. "Hari, bawa koper kakakmu ke kamar depan lalu
mintalah Mbok Sosro supaya merapikan kamar itu.
Ganti seprainya." Hari mengiyakan. Ana mengikuti sang adik masuk
ke kamar depan yang disediakan untuknya. Namun
langkahnya terhenti tatkala ia menyadari dirinya sedang diawasi oleh sepasang mata penuh selidik milik
seorang anak laki-laki berumur kira-kira tiga tahun
yang sedang berdiri di samping meja. Melihat wajahnya, Ana langsung tahu, itu Oki, anak lelaki Evi dengan mantan suaminya yang pengusaha kaya itu.
Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
http://pustaka-indo.blogspot.com47
Wajah anak itu memiliki kemiripan yang nyata dengan sang kakak. Melihat keberadaan anak itu, Ana
langsung tersenyum manis. Gadis itu tidak asing dengan anak kecil. Tetangga sebelah rumahnya di Jakarta, punya dua balita yang sering dititipkan pada ibu
tirinya jika sedang repot atau kalau pembantu rumah
tangganya ke pasar. "Halo, Sayang...?" sapa Ana pada Oki sambil membungkuk. "Kamu ganteng sekali. Siapa namamu?"
Ibu Ana menoleh. Perempuan itu juga baru tahu,
cucunya ada di dekat mereka.
"Aduh, cucu Eyang sudah bangun. Sini, sini, Sayang. Beri salam pada Tante Ana. Tante Ana ini adik
mamamu," katanya terburu-buru. "Rumahnya jauh.
Tetapi sekarang mau menginap di sini."
Ana mengulurkan tangannya ke arah Oki. Dengan
malu-malu anak itu menyambut telapak tangan tantenya. "Halo," kata Ana lagi. "Kamu belum menjawab
pertanyaan Tante. Siapa namamu" Ini Tante Ana. Boleh Tante mencium pipimu?"
Sang nenek mendorong lembut cucunya ke arah
Ana sambil berkata, "Ayo Sayang, sebutkan siapa namamu. Ini Tante Ana, adik Mama juga. Sama seperti
Tante Ika, Oom Hari dan Oom Hadi."
Oki menengadah, menatap neneknya dengan mata
bulatnya. "Adik Mama yang di oto...?" tanyanya kemudian.
"Ya, betul, yang ada di foto. Bukan oto tetapi
foto," sang nenek tertawa, kemudian menoleh ke arah
http://pustaka-indo.blogspot.com48
Ana. "Mama selalu menunjukkan foto-foto keluarga
kita kepadanya, terutama fotomu karena kau belum
pernah datang ke sini. Biar anak itu kenal siapa saja
keluarganya." Ana berjongkok, kemudian mencium pipi Oki.
"Mmm... bau susu. Bangun tidur tadi terus minum
susu ya...?" Oki mengangguk. Ana mencium pipinya lagi. Hatinya tersentuh melihat anak yang tidak dibesarkan
oleh kedua orangtuanya itu.
"Siapa namamu" Dari tadi Tante Ana belum mendengar kamu menyebut namamu lho," katanya kemudian. "Oki," jawab anak itu malu-malu.
"Bagus sekali namamu?" Belum sampai Ana menyelesaikan perkataannya, Oki sudah merebut pembicaraan. "Oki Sinatrya"," katanya dengan suara bangga.
"Wah, betul-betul nama yang bagus!" Ana tertawa.
Kemudian ia menunjuk dadanya sendiri. "Ini Tante
Ana. Siapa...?" "Tate Ana." "Bagus. Tetapi bukan Tate Ana. Tetapi Tante Ana.
Coba sebutkan dengan betul. Tan"te..."
"Ta...te!" Ana tertawa geli. Ia semakin jatuh hati kepada
keponakannya itu. Diam-diam dia berharap agar anak
ini menuruni jiwa kakeknya almarhum, ayah Evi,
ayahnya juga. Bijak, sederhana, lembut, sabar, suka
belajar, dan memiliki jiwa seni yang besar. Jangan sehttp://pustaka-indo.blogspot.com49
perti Evi, ibunya. Dan jangan seperti ayahnya, si
pengusaha, yang tega meninggalkan keluarga untuk
menikahi perempuan seusia anaknya.
"Nah, kalian sudah berkenalan," ibu Ana berkata lagi.
"Oki, Tante Ana mau mandi dan beristirahat dulu. Dia
baru saja datang dari jauh, jadi pasti capek."
"Ya, Tante mandi dulu ya?" Ana menyambung.
"Nanti kita omong-omong lagi. Tante punya dongeng
yang bagus." Oki mengangguk. Matanya berbinar-binar. Ana
mengelus rambut anak itu. Tampaknya anak itu haus
perhatian. Kasih sayang sang nenek dan kedua pamannya di rumah ini masih belum bisa memenuhi kehausannya. "Si kancil?" terdengar anak itu bertanya kepada
Ana. "Bukan. Tante punya banyak dongeng yang lebih
bagus. Nanti kalau Tante sudah istirahat, akan Tante
ceritakan. Mau?" "Mau." "Sekarang Tante mau masuk kamar dulu, ya." Ana
bangkit dari jongkoknya. "Di kamar depan ada kamar mandinya, Ana. Kamar itu disediakan untuk tamu. Sebetulnya Mama
ingin kau tidur di kamar Mama, tetapi ada Oki. Tidak bebas, kau nanti."
"Ana biasa tidur sendirian, Mam. Tidak enak tidur
bersama seseorang." "Tetapi sudah saatnya kau memikirkan seseorang
http://pustaka-indo.blogspot.com50
yang istimewa, seseorang yang akan berbagi tempat
tidur bersamamu!" ibunya tertawa.
"Ah, tidak. Ana lebih suka sendirian," Ana menjawab tegas dan serius sehingga ibunya tak berani melanjutkan pembicaraan yang menyangkut urusan pribadi itu. Kamar yang akan ditempati Ana cukup menyenangkan. Jendelanya yang terbuka menghadap ke arah halaman berumput hijau yang subur. Di kejauhan, tampak Gunung Ungaran dan Gunung Telomoyo. Tepat
di bawah jendelanya ditanami beberapa bunga yang
mempersembahkan warna-warna pelangi. Merah,
kuning, jingga, putih disertai dedaunan berwarna hijau
dan kecokelatan, suatu kombinasi yang kaya, ceria, dan
cantik. Tempat itu menyambung ke teras depan yang
luas dan melebar. Sementara dari luar, udara sejuk
yang mewah menerobos masuk ke kamar. Ungaran
Selatan memang merupakan kota sejuk yang subur.
Ketika Ana menoleh ke dalam, perempuan setengah
baya yang tadi menyapu kamar mulai mengganti seprai. Melihat Ana menoleh ke arahnya, perempuan
itu tersenyum. "Panjenengan (Anda) juga putrinya Ibu?" tanyanya.
"Ya. Mbok. Ana nama saya."
"Saya Mbok Sosro. Den Ana cantik sekali."
Ana tersenyum. "Masa sih?" sahutnya kemudian. "Mbok Sosro jangan menyebut Den, ah. Tetapi panggil saja Mbak
Ana." "Mbok ini orang pucuk gunung, orang kampung.
http://pustaka-indo.blogspot.com51
Tidak biasa orang gunung memanggil anak majikan
dengan sebutan "mbak". Jadi biarkan saja saya menyebut panjenengan "den"." Mbok Sosro tertawa. "Apa sih
arti sebutan. Jadi jangan dipermasalahkan."
Untuk sejenak Ana terperangah. Itulah khas orang
desa yang sudah berumur lebih dari lima puluh tahun. Sulit berubah. "Ya sudah, kalau begitu. Terserah Mbok Sosro
saja," sahutnya sambil tersenyum. Tiba-tiba pandang
matanya membentur sosok tubuh Oki yang berdiri di
sudut kamar, hampir teraling kursi. Entah sejak kapan
anak itu berdiri di situ memperhatikan apa yang terjadi di dalam kamar tamu. Melihat kehadirannya,
Ana tertawa. "Hai, menonton Mbok Sastro mengganti seprai
ya?" sapanya. "Mbah Soso...," sahut Oki membetulkan.
"Oh, Mbah Sosro." Ana tersenyum lagi sambil
membuka kopernya. Melihat apa yang sedang dilakukan Ana, kaki-kaki kecil di sudut kamar itu mendekat, kemudian berjongkok di dekat Ana yang sedang
menarik handuk dan daster dari dalam koper. Dengan
perasaan geli, Ana melirik keponakannya. Air muka
anak itu tampak serius dipenuhi rasa ingin tahu.
"Isinya apa?" Anak itu tak bisa lagi menahan rasa
ingin tahunya. "Oh, macam-macam. Pakaian Tante, buku-buku,
saputangan, oleh-oleh dan?"
"Oleh-oleh?" Oki memotong dengan mata membesar penuh harapan. "Buat Oki, ada?"
http://pustaka-indo.blogspot.com52
Ana tertegun. Ia hanya membawa beberapa bungkus kue-kue kering dan keripik tales yang jarang-jarang ada di Jawa Tengah untuk oleh-oleh bagi semuanya. Tidak ada yang khusus untuk Oki. Ketika
mencari oleh-oleh kemarin, hal itu tak terpikirkan
olehnya. "Oh ya, ada...," sahutnya kemudian setelah berpikir
sejenak. "Tetapi nanti sore saja kita lihat. Sekarang
Tante Ana mau mandi, lalu makan pagi dan langsung
tidur," jawab Ana sambil pura-pura menguap. "Tante
mengantuk sekali karena tadi malam di kereta api tidak tidur. Jadi nanti sore setelah tidur, baru kita bongkar koper ini bersama-sama ya. Setuju?"
Oki mengangguk. Matanya berseri-seri. Melihat itu
lagi-lagi hati Ana tersentuh, ingin mengasihi anak itu.
Evi sebagai ibunya dan si pengusaha kaya sebagai
ayah Oki, pasti bisa membeli apa saja yang diinginkan
Oki. Tetapi mereka tak pernah datang sendiri membawa sesuatu untuk Oki. Ana yakin, baik Evi maupun
mantan suaminya itu pasti secara rutin mengirim
uang kepada ibu Ana untuk membeli apa saja keperluan dan kesukaan Oki. Tetapi tanpa kehadiran mereka untuk mengulurkan sesuatu dengan tangan sendiri
kepada sang anak, pasti beda rasanya. Sudah begitu,
Oki yang tidak mempunyai saudara kandung itu terpaksa hidup di bawah asuhan sang nenek yang sehariharinya sibuk dengan usahanya. Kasihan.
Ana tak bisa menahan gerak hatinya untuk memeluk dan mencium Oki dengan penuh kasih.
"Oki manis sekali, mau bersabar sampai nanti sore.
http://pustaka-indo.blogspot.com53
Sikap itu sangat terpuji. Tante Ana sayang sekali kepadamu," katanya kemudian, sadar betul bahwa Oki
pasti belum paham mengenai apa yang dikatakannya
itu. Tetapi ia yakin, Oki tahu bahwa apa pun yang
dikatakannya tadi pasti merupakan pujian untuknya.
Nyatanya, wajah anak itu tampak berseri-seri.
"Oki sayang Tate Ana," balas Oki, tak terduga.
Sederhana saja sebenarnya. Anak kecil jika diberi
sesuatu oleh orang dewasa, mudah baginya untuk mengatakan dirinya sayang kepada si pemberi. Ana sadar
akan hal itu. Tetapi Ana merasa gembira mendengar
perkataan "sayang" yang diucapkan anak itu terhadapnya. Ada sentuhan hati yang selama ini nyaris tak terasakan. Bahwa apa pun yang terjadi, bagaimanapun
penilaian atau perasaannya, tidak bisa dipungkiri bahwa dirinya mempunyai hubungan darah yang teramat
pekat dengan seluruh penghuni rumah ini, baik yang
ada di Jakarta ataupun yang ada di Bandung. Bahwa
dirinya menjadi bagian dari keluarga ini, tidak bisa
disangkal. Diakui maupun tidak olehnya.
Tiba-tiba Ana merasa bersyukur bahwa ia telah
menuruti saran ibu tirinya untuk berlibur di rumah
mamanya. Ternyata, bukan hanya pergantian situasi
saja yang akan didapatinya, tetapi juga perasaan dan
suasana hatinya. "Nah, sekarang Tante Ana mau mandi. Oki juga
mandi dan lalu makan pagi sama-sama ya?" katanya
kemudian. Oki mengangguk lagi, kemudian pergi ke belakang.
Sementara itu kamar yang akan ditempatinya sudah
http://pustaka-indo.blogspot.com54
rapi. Mbok Sosro juga sudah pergi. Cepat-cepat Ana
masuk ke kamar mandi. Begitu keluar kamar setelah
usai mandi, ibunya langsung menyuruhnya sarapan.
Ada nasi goreng Jawa buatan Mbok Sosro. Memakai
terasi, telur mata sapi, dan abon.
"Nah, beristirahatlah dulu, Ana. Semalaman kau
tidak tidur. Mama mau mengurusi pabrik dulu," kata
sang ibu. "Ya." Tetapi Ana tidak tidur seperti rencananya semula. Dia ingin mencari oleh-oleh untuk Oki. Diamdiam dia bertanya kepada Mbok Sosro di mana ada
toko yang lengkap di dekat rumah mereka.
"Dekat pasar itu, Den. Namanya Toko Maju. Tidak jauh kok. Sepuluh menit berjalan kaki," sahut
yang ditanya."Mau beli apa to?"
"Mau beli sandal jepit dan sikat gigi. Lupa bawa,"
Ana berdalih. Sikap gigi, dia tidak lupa membawanya.
Sandal jepit, memang dia sengaja tidak membawanya.
Lebih baik beli di Ungaran dan lalu nantinya ditinggal di tempat. Tidak suka dia membawa sandal yang
sudah dipakai. Begitu juga sampo, dia tidak suka
membawanya dari rumah gara-gara pernah tumpah
tanpa sepengetahuannya. "Sini, saya belikan," Mbok Sosro menawarkan
jasa. "Tidak usah. Aku mau memilih sendiri."
Mbok Sosro terpaksa membiarkan Ana pergi. Toko
yang dimaksud Mbok Sosro memang cukup lengkap
meskipun tidak besar. Setelah membeli sepasang sandal jepit, sampo, dan sebungkus kue wafer, ia mehttp://pustaka-indo.blogspot.com55
milih-milih mainan apa yang kira-kira akan disukai
Oki. Begitu asyiknya dia melihat dan memilih sampai
Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak sengaja kakinya menginjak kaki seseorang. Cepat-cepat dengan gerakan sigap ia bergerak menjauh
dan meminta maaf kepada siapa pun pemilik kaki
itu. "Maaf," katanya buru-buru. "Saya tidak melihat
Anda...." Pemilik sepasang kaki itu seorang laki-laki muda.
Ia hanya mengangguk saja untuk membalas permintaan maaf Ana. Namun dengan matanya yang tajam,
lirikan matanya menyambar wajah jelita Ana dengan
kekaguman yang tidak disembunyikannya. Melihat itu
Ana tertunduk dan cepat-cepat menjauh. Tetapi diamdiam hatinya berbicara sendiri.
Di Jakarta berjumpa dengan laki-laki ganteng yang
gagah sering sekali terjadi. Terlalu banyak manusia di
kota metropolitan itu. Tetapi di kota kecil Ungaran
ini, baru beberapa jam saja telapak kakinya menapak,
ia telah melihat seorang laki-laki yang ganteng dan
gagah. Sialnya, kaki orang itu telah diinjaknya. Sudah
begitu, sombong pula kelihatannya. Padahal konon
kata orang, mereka yang tinggal di daerah terutama
di kota kecil apalagi di desa-desanya, memiliki sikap
ramah dan memiliki toleransi yang tinggi. Tetapi lakilaki itu ketika menerima permintaan maafnya hanya
mengangguk saja. Menatapnya saja pun tidak mau.
Hanya meliriknya dengan tajam dan tanpa sungkan
pula menyiratkan rasa kagum lewat lirikan mata itu.
Padahal kalau Ana ada pada tempatnya, ia pasti buruhttp://pustaka-indo.blogspot.com56
buru akan menjawab, "Ah, tidak apa-apa...." meskipun kakinya yang terinjak terasa sakit. Itulah ajaran
ayahnya. Lebih baik menenggang perasaan orang daripada mendahulukan perasaan sendiri. Tetapi laki-laki
itu tidak memiliki kepekaan rasa. Padahal kalau seseorang telah meminta maaf dengan terburu-buru, pasti
itu disebabkan oleh perasaannya yang tidak enak. Jadi
apa susahnya sih menenangkan perasaan orang itu
dengan berkata, "Tidak apa-apa."
Memikirkan laki-laki sombong itu, Ana merasa kesal. Apalagi mengingat pancaran rasa kagum yang
sempat tertangkap matanya tadi. Ana jadi canggung
karenanya. Kenapa justru di kota kecil begini ia menemukan laki-laki seperti itu. Merasa terganggu oleh
pikiran itu, Ana segera mengembalikan perhatiannya
kepada tujuannya datang ke toko itu. Mencari-cari
mainan untuk Oki. Sebuah pistol-pistolan meraih perhatian Ana. Ia
meraih sendiri mainan yang tergantung di atas kepalanya. Karena agak tinggi, Ana berjinjit. Tetapi gerakannya telah menyebabkan sikunya menyenggol beruangberuangan dari kain yang di pajang di atas meja kaca
sehingga jatuh terguling di lantai. Untung mainan itu
dibungkus dengan plastik sehingga tidak kotor. Merasa kesal kepada dirinya sendiri, mainan itu diambilnya
dan pistol-pistolan tadi diletakkannya ke atas meja.
Tetapi karena gerakannya terburu-buru, benda itu tidak terletak dengan baik di atas meja sehingga menyusul ikut terjatuh menimpa tangannya. Semakin kesal
kepada dirinya sendiri, ia bermaksud mengambil kehttp://pustaka-indo.blogspot.com57
dua mainan yang jatuh di atas lantai itu. Tetapi sebuah tangan kekar telah mendahului gerakan tangannya, mengambilkan mainan itu dan meletakkan
keduanya ke atas meja kembali. Ketika Ana mengangkat kepalanya, menatap pemilik tangan itu, ia langsung mengenalinya. Dia, laki-laki yang kakinya ia injak tadi. Dan sinar mata lelaki itu masih saja
menyiratkan kekaguman yang tak disembunyikan.
"Terima kasih," gumamnya dengan perasaan terpaksa. "Telah dua kali Anda melakukan kesalahan," sahut
laki-laki itu. Bukannya menanggapi ucapan terima
kasihnya, dia malah mencela Ana.
"Ya," Ana mengakui kesalahannya. Tanpa senyum.
Tanpa menatap laki-laki itu. Bahkan tanpa khawatir
disebut tidak sopan, Ana langsung bergerak ke tempat
yang agak jauh. Kemudian ia pura-pura memilih
mainan lainnya. Cukup banyak pilihan mainan di
toko itu. Tetapi ketika ia sedang memegang-megang
dus berisi kereta api mainan, laki-laki tadi sudah ada
di dekatnya lagi. "Tidak jadi memilih pistol-pistolan?" tanyanya.
"Tidak. Mainan itu bisa menimbulkan sikap permisif terhadap kekerasan," Ana menjawab tanpa nada.
Seperti tadi, juga tanpa melihat orang yang mengajaknya bicara. Tanpa senyum pula. Sekilas pun tidak.
"Oh ya...?" Ana tidak menanggapi perkataan orang itu. Ia
mengalihkan perhatiannya kepada si pemilik toko,
perempuan gemuk yang sejak tadi menungguinya.
http://pustaka-indo.blogspot.com58
"Kereta api mainan ini berapa harganya, Bu?" tanyanya kepada perempuan gemuk itu.
Si pemilik toko menyebut harganya.
"Boleh kurang?"
"Sedikit." Ana menyebutkan harga tawarannya. Mula-mula si
pemilik tidak setuju tetapi ketika Ana menaikkan lagi
tawarannya, perempuan itu mengangguk. Setelah setuju, Ana melihat-lihat ke arah lemari kaca, kalau-kalau ada mainan lain yang bisa dipilihnya. Ia ingin
membeli dua macam mainan untuk Oki. Tetapi ketika pandang matanya menatap ke arah lemari kaca,
dadanya berdesir. Dari pantulan kaca, ia tahu laki-laki
ganteng tadi masih ada di belakangnya. Ah, kenapa
dia belum juga pergi dari situ sih"
"Apa lagi, Mbak?" si pemilik bertanya kepada Ana,
merebut perhatiannya dari laki-laki yang masih berdiri
di belakangnya itu. "Mobil-mobilan truk itu berapa harganya, Bu?"
Agar tidak terlalu lama di situ, Ana langsung memilih
mobil-mobilan yang terpajang tepat di hadapannya.
Lumayan juga, pikirnya. Ana menawar harga yang disebut si penjual. Untunglah, kali itu tidak perlu lama-lama menawar. Si
penjual langsung mengiyakan kemudian membungkus
kedua mainan itu dan memasukkannya ke dalam kantong plastik, disatukan dengan sandal jepit dan botol
sampo yang sudah dibayar Ana tadi. Sementara
bungkusan kue wafernya dimasukkan ke dalam kantong plastik yang lebih kecil.
http://pustaka-indo.blogspot.com59
"Untuk anaknya ya, Mbak?" Si penjual mulai beramah-tamah dengan Ana. Sejak pagi, belum banyak
orang berbelanja di tokonya. Dan tamunya ini sudah
membeli lima macam barang. Apalagi kedua mainan
itu cukup mahal harganya.
Mendengar pertanyaan itu, Ana langsung mengiyakan karena laki-laki ganteng itu belum juga beranjak
pergi dari tempatnya dan masih berdiri di belakangnya. "Ya, Bu. Untuk anak saya."
"Berapa putranya, Mbak?"
"Baru satu. Laki-laki."
"Kalau begitu sekalian saja pistol-pistolannya tadi,
Mbak. Biar senang anaknya."
"Lain kali saja, Bu. Saya tidak mau memanjakan
anak saya. Cukup dua macam saja."
"Ibu yang bijaksana," tiba-tiba laki-laki ganteng itu
memujinya. Ana merasa semakin kesal. Kenapa laki-laki itu
mencampuri urusannya" Mau marah, tidak ada alasan.
Kalau saja laki-laki itu bersikap kurang sopan, mudah
baginya untuk mendampratnya. Tetapi tidak. Laki-laki
itu bersikap sopan kendati pandang matanya masih
saja menyiratkan kekagumannya secara terang-terangan. Oleh sebab itu demi sopan santun, apalagi di dekat orang lain, Ana mengucapkan terima kasih kepadanya. "Terima kasih pujiannya, Dik. Mari, saya duluan,"
katanya. Kemudian dengan langkah cepat ia meninggalkan toko. Hatinya merasa lega bisa terbebas dari
http://pustaka-indo.blogspot.com60
laki-laki tadi. Bahkan ia merasa puas mempunyai kesempatan untuk menyebutnya "Dik" meskipun ia
tahu umur lelaki itu sekitar empat atau lima tahun di
atasnya. Suara derum sepeda motor berukuran besar yang
melintas pelan di dekatnya membuyarkan lamunannya.
Si pengemudi adalah laki-laki yang sedang dipikirkannya sambil berjalan itu. Dengan wajah gantengnya, ia
menoleh ke arah Ana sambil tersenyum manis sekali.
Kemanisan yang jelas sekali sengaja dibuat-buat.
"Saya duluan ya, Mbak...."
Ana terpaksa mengangguk walaupun hatinya mendongkol. Laki-laki itu sengaja menekan kata "Mbak"
untuk membalas sebutan "Dik" yang ia lontarkan
tadi. Kurang ajar, pikirnya. Tadi ketika si pemilik
toko menanyakan apakah ia membeli mainan untuk
anaknya, dengan lantang ia mengiyakan "Ya". Tujuannya agar laki-laki itu bersikap lebih sopan terhadap
perempuan yang sudah menikah meskipun umurnya
lebih muda. Tanpa sadar karena masih merasa kesal terhadap
laki-laki itu, Ana menatap punggung laki-laki yang
sedang melaju dengan motor besarnya itu. Dia melihat tubuh laki-laki itu begitu gagah dan gayanya
sungguh enak dipandang. Menyadari penilaian itu
Ana langsung memaki dirinya sendiri. Mengapa ia
yang selama ini tak pernah peduli terhadap laki-laki
yang sehebat apa pun, kini sekali pandang saja sudah
bisa menilai laki-laki tak dikenal itu punya wajah ganteng, bertubuh gagah, dan gayanya enak dipandang"
http://pustaka-indo.blogspot.com61
Sejak kapan dia peduli mengenai hal-hal semacam itu,
he" Sungguh memalukan.
Marah kepada dirinya sendiri, Ana mempercepat
langkah kakinya. Dialihkannya perhatiannya pada
mainan yang baru dibelinya tadi. Rencananya, ia baru
akan memberikannya kepada Oki nanti sore atau paling tidak siang nanti setelah ia beristirahat. Tubuhnya
benar-benar terasa letih. Sejak kemarin dia sibuk menyiapkan kepergiannya, termasuk membeli oleh-oleh.
Sorenya sudah berangkat ke Stasiun Gambir. Di kereta api dia tidak bisa tidur sampai tiba di Semarang
sekitar jam tiga dini hari. Praktis sepanjang malam itu
dia tidak tidur sama sekali. Sudah begitu setibanya di
Ungaran diajak mamanya mengobrol di meja makan.
Dan sekarang, dengan berjalan di bawah teriknya sinar matahari sisa-sisa tenaganya semakin terkuras.
Masih pula ditambah emosinya yang teraduk-aduk
akibat kehadiran laki-laki menyebalkan tadi.
Sambil menarik napas panjang, Ana melihat pergelangan tangannya. Saat ini arlojinya menunjuk setengah sepuluh lewat. Rencananya, begitu sampai di
rumah nanti dia akan langsung ke kamar mandi dan
lalu tidur sepuasnya. Kamar yang disediakan ibunya,
terasa menyenangkan. Angin sejuk pegunungan bisa
masuk ke kamar itu dengan bebas melalui jendela
yang akan dibiarkannya terbuka lebar-lebar. Membayangkan kamarnya yang nyaman, langkah kaki Ana
bergerak semakin cepat menuju ke rumah ibunya.
Begitu sampai di teras, telinganya disambut suara dengung mesin jahit bersahut-sahutan dengan mesin
http://pustaka-indo.blogspot.com62
obras dari arah belakang rumah yang tadi tak terlalu
diperhatikan olehnya. Kelihatannya usaha ibunya
maju. Krisis ekonomi global tak begitu berpengaruh
padanya. Tadi ketika mereka sarapan, ibunya bercerita
bahwa usaha yang dirintisnya itu telah menyerap tenaga kerja penduduk di sekitar rumah. Di belakang pasar, terdapat kampung yang agak padat, dengan penduduk dalam kondisi ekonomi yang tak begitu
menggembirakan. Melalui brosur yang disebarkan di
sekitar tempat itu, ibunya telah menerima beberapa
orang yang pandai menjahit untuk menjadi pegawai
di perusahaannya. Begitulah perusahaan itu dirintis
pertama kalinya. Mula-mula hanya enam orang jumlah pegawainya. Tetapi sekarang pegawai tetapnya sudah mencapai lima belas orang. Kalau ada pesanan
dalam jumlah besar, baru ibunya meminta bantuan
tenaga lepas yang memang sudah biasa membantu.
Selain itu, atas saran ibu Ana, banyak pegawai yang
pulang dengan membawa perca-perca kain sisa untuk
disambung-sambung oleh tetangga-tetangganya yang
mau, dijadikan kain lap untuk dijual ke bengkel-bengkel yang terdapat di Ungaran dan sekitarnya. Ada
banyak bengkel motor dan bengkel mobil yang membutuhkannya. Bahkan oleh mereka yang kreatif, kainkain perca itu disambung-sambung dengan cara khusus
untuk dijadikan taplak meja atau selimut. Sementara
perca yang agak lebar dibuat menjadi boneka atau
binatang-binatangan dengan diisi kapuk di dalamnya.
Dari kegiatan itu mereka mendapat tambahan uang
belanja, sementara pabrik ibu Ana jadi bersih, tidak
http://pustaka-indo.blogspot.com63
dipenuhi oleh sisa-sisa kain tak terpakai. Memang
tidak semua kain-kain perca atau kain sisa itu dibawa
pulang oleh para pegawai. Sebagian yang dianggap
cocok, disisihkan oleh ibunya untuk dipakai sebagai
Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kain aplikasi taplak atau bantalan kursi, membentuk
hiasan bunga-bunga, binatang-binatang, atau bentukbentuk lain yang lucu-lucu. Pendek kata, mamanya
tadi mengatakan tidak ada kain yang terbuang sia-sia
menjadi sampah yang tak terurai oleh alam.
Sesampai di kamarnya, Ana menyimpan mainan
yang dibelinya tadi ke dalam koper. Setelah dari kamar
mandi dan memakai daster, Ana langsung mengempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur dengan perasaan
puas. Maka hanya dalam waktu beberapa menit saja
setelah menyesuaikan tubuhnya dengan bantal guling,
Ana terseret kantuk dan tertidur pulas sampai menjelang sore. Andaikata telinganya tidak menangkap suara
Oki di muka pintu kamarnya, barangkali dia masih
tetap tidur pulas hingga tengah malam.
"Eyang... Oki mau oleh-oleh Tate Ana..." Terdengar
oleh Ana rengekan Oki sehingga matanya yang masih
berada di antara tidur dan melek, mulai terbuka.
"Buka pintunya, Eyang...."
"Jangan nakal, Oki." Terdengar suara ibunya membujuk sang cucu. "Tante Ana masih tidur. Biarkan dia
istirahat. Nanti kalau sudah bangun, kita akan ke kamar Tante Ana...." "Oki mau sekarang," Oki membantah perkataan
sang nenek. "Oki," terdengar suara Hari menyela, agak jauh dari
http://pustaka-indo.blogspot.com64
muka pintu. "Eyang bilang Oki harus menunggu sampai Tante Ana bangun. Sana main dulu dengan Oom
Hadi. Dia sedang membetulkan sepeda roda tigamu."
"Oki mau sama Tate Ana. Oki mau oleh-oleh...."
Suara Oki mulai bercampur tangis.
"Sebentar lagi, Oki. Ayo ke belakang dulu," terdengar suara ibu Ana lagi. "Mbok Sosro membuat bubur kacang hijau campur ketan hitam kesukaanmu.
Ayo, kita makan di teras depan. Nanti setelah Oki
makan bubur, pasti Tante Ana sudah bangun."
Tak berapa lama kemudian suara-suara dari depan
pintu kamar Ana menjauh. Tetapi kantuk Ana telanjur lenyap. Dia melihat jam dinding. Jam setengah
empat. Lumayan bisa tidur empat jam lebih. Setengah
meloncat, Ana meraih handuknya kemudian cepat-cepat mandi. Dua puluh menit kemudian dia sudah
keluar dengan membawa bungkusan mainan yang
dibelinya tadi. Karena mendengar suara-suara dari
arah teras, Ana langsung ke sana. Dilihatnya Oki sedang duduk bersisian dengan neneknya. Di atas meja
terdapat mangkuk-mangkuk kosong yang kelihatannya
bekas dipakai untuk makan bubur kacang hijau.
Melihat kehadiran Ana dengan bungkusan di tangannya, Oki langsung berteriak gembira dan berlari
ke arah gadis itu. "Mana oleh-olehnya...?" tanya anak itu sambil
memeluk paha Ana."Mana oleh-oleh Oki...?"
"Kamu harus belajar bersabar, tuan kecil." Ana juga
tertawa girang. "Nah, ini oleh-olehnya."
Oki menerima pemberian Ana dengan wajah berbihttp://pustaka-indo.blogspot.com65
nar-binar. Kemudian dengan tak sabar bungkusan itu
dibukanya. "Mobil tuk!" serunya. "Eyang, lihat. Mobil tuk bagus." "Truk, Oki," Ana membetulkan.
"Ya, mobil tuk." Jawaban Oki membuat Ana tertawa geli. "Bilang apa, Oki?" sang nenek menyela.
"Makasih, Tate."
"Terima kasih, Tante Ana," sang nenek membetulkan perkataan Oki sambil tertawa.
Tetapi Oki tidak memedulikan apa pun perkataan
neneknya. Perhatiannya tercurah sepenuhnya pada
bungkusan satunya yang sedang dibuka olehnya. Begitu melihat dus berisi mainan kereta api, Oki berteriak
gembira. "Oom... Oom... kereta api," serunya.
Mendengar Oki menyebut "Oom", Ana menoleh
ke arah perangkat kursi lainnya karena semula ia mengira hanya ada nenek dan cucunya saja di teras itu.
Dia belum bertemu Hadi. Mudah-mudahan orang
yang dipanggil "Oom" itu adik kembar satunya. Tetapi ternyata perkiraannya meleset jauh. Bukan adik
kembarnya yang duduk di situ. Tetapi laki-laki lain.
Darah Ana langsung tersirap melihat laki-laki itu.
Sosok tubuh itu tidak asing baginya karena dia adalah
laki-laki yang berjumpa dengannya di Toko Maju pagi
tadi. Laki-laki yang kakinya ia injak. Laki-laki yang
dipanggilnya dengan sebutan "Dik" meskipun usianya
lebih tua dari dirinya. http://pustaka-indo.blogspot.com66
Wajah Ana menjadi merah padam demi mengenali
laki-laki itu. Terlebih karena ia sempat menangkap
tawa mengejek yang tersirat dari pandangan mata dan
bibir laki-laki itu. Ana tak bisa membela diri. Omong
kosongnya di Toko Maju tadi terbongkar sudah. Oki
bukan anaknya. Sikap Ana yang canggung tertangkap oleh mata
sang ibu. Perempuan itu menyangka Ana merasa malu
berhadapan dengan laki-laki yang belum pernah dilihatnya. Meskipun belum membuktikannya dengan
mata kepala sendiri, tetapi sebagai ibu yang melahirkannya, ia dapat menangkap bahwa Ana tidak suka
bergaul akrab dengan laki-laki. Sekarang dilihatnya
Ana bagai burung terperangkap gara-gara perhatiannya
tadi hanya tertuju kepada Oki saja.
"Ana, ayo berkenalan dulu dengan tetangga dekat
kita. Nak Wibi, Ana ini juga anak saya. Baru tadi pagi
tiba dari Jakarta," kata ibunya sambil tersenyum.
Dengan amat terpaksa, Ana mengulurkan tangannya kepada laki-laki itu tanpa berniat menyebutkan
namanya. Tetapi laki-laki itu menggenggam kuat telapak tangan Ana sesaat lamanya.
"Wibisono...." Ana mendengar laki-laki itu menyebutkan namanya. Nama itu ada dalam dunia pewayangan, nama adik Rahwana. Berbeda dengan Rahwana yang bersifat angkara murka dan semena-mena,
sang adik yang bernama Wibisono itu seorang yang
bijaksana, sesuai dengan namanya. Sangat tidak cocok
dengan si pemakai nama yang ada di hadapannya
sekarang, pikir Ana. http://pustaka-indo.blogspot.com67
Pikiran seperti itu menyebabkan Ana tidak ingin
menyebutkan namanya, Tetapi Wibisono tidak membiarkan hal itu. Ia segera mencondongkan tubuhnya
ke depan. "Siapa namamu... Mbak?" Kurang ajarnya laki-laki
itu, karena mengingatkan Ana pada peristiwa di toko
tadi. "Telingaku kurang jelas menangkap suaramu."
Tambah kurang ajar dia. Sudah tahu kalau yang
dijabat tangannya memang belum menyebut namanya,
bisa-bisanya mengatakan suaranya kurang jelas.
"Namaku... Diana, Dik." Hm, memangnya dia saja
yang boleh menguasai keadaan"
Ibu Ana tertawa mendengar sebutan-sebutan yang
dilontarkan kedua muda-mudi itu. Dia tidak mengetahui peristiwa yang terjadi di Toko Maju tadi pagi.
"Ana, Nak Wibi itu usianya sudah tiga puluh tahun. Jadi panggil "mas", kepadanya. Masa "dik?"" tegurnya. Wajah Ana memerah lagi. Ah, Mama. Untunglah
saat Ana sedang salah tingkah seperti itu, Hadi keluar
dari dalam rumah dan langsung mendekati Ana yang
segera melupakan kehadiran Wibisono. Ia segera
memeluk dan mencium adik kembarnya yang sudah
lama tidak bertemu itu. "Aduh, Hadi, Mbak Ana kangen sekali padamu,"
kata Ana setelah melepaskan pelukannya.
"Aku juga kangen sekali padamu, Mbak. Tadi waktu aku bangun, Mama mengabarkan kedatanganmu.
Tetapi karena kau sedang tidur, Mama tidak membolehkan aku membangunkanmu meskipun aku kangen
http://pustaka-indo.blogspot.com68
sekali. Kenapa sih lama sekali kau tidak menjenguk
kami?" "Aku sibuk, Hadi. Kau sendiri kenapa tidak ikut
bersama Hari waktu dia menjengukku ke Jakarta,
hayo" " "Aku janji akan ke sana tahun ini juga, Mbak. Betul!" "Kalau tidak, kutagih lho janjimu. Nah, kau sibuk
apa sih tadi malam sampai kurang tidur?" tanya
Ana. "Menggali pengalaman, Mbak. Ke tempat Mas
Wawan dan Mas Wibi inilah aku sering melihat dan
mendalami bermacam pekerjaan di perusahaan mereka. Termasuk membongkar dan memasang mesin mobil. Termasuk pula cara mengatur barang-barang kiriman agar jangan ada tempat yang lowong." Hadi tertawa.
"Asyik lho, Mbak."
"Nak Wibi ini tinggal di sebelah rumah kita, membangun cabang baru dari perusahaan jasa angkutan
yang pusatnya ada di Jakarta seperti yang Mama
cerita sedikit tadi pagi," sela ibu Ana.
"Saya hanya sementara saja kok tinggal di sebelah,"
kata Wibisono. "Wawan yang akan mengelola cabang
di kota ini." "Begitu rupanya"," sahut ibu Ana.
"Kalau nanti cabang di sini sudah lancar jalannya,
Mas Wibi akan kembali ke Jakarta," sambung Hadi
yang tampaknya lebih tahu mengenai tetangga sebelah
rumah itu. Kemudian ia mengubah pembicaraan. Kali
ini ia berbicara kepada Wibisono. "Mas, masih ingat
http://pustaka-indo.blogspot.com69
ceritaku kan, aku ini lima bersaudara. Pertama Mbak
Evi yang artis itu, yang kedua Mbak Ana yang orang
kantoran ini, yang ketiga Mbak Ika yang menjadi
foto model, lalu aku dan Hari si bungsu kembar ini.
Nah, ketiga kakak perempuanku memiliki banyak
kemiripan wajah, kan?"
Mendengar perkataan Hadi yang polos itu, wajah
Ana memerah kembali. Payah si kembar ini, gerutu
Ana dalam hatinya. Tidak sadarkah kalau pertanyaannya itu akan menyebabkan Wibisono menatap wajahku. "Bagaimana, Mas?" terdengar pertanyaan Hadi lagi.
Ana semakin kesal mendengar pertanyaan Hadi
yang ditujukan kepada Wibisono. Kalau bisa, ingin
sekali ia berlari masuk ke dalam. Benar-benar dia tidak suka ditatap oleh sepasang mata laki-laki yang
sejak awal perjumpaan mereka sudah tidak disukainya
itu. "Hadi, cukup," Ana berseru jengkel. "Apa-apaan
sih membanding-bandingkan kakak sendiri. Aku
bukan sapi yang mau dijual di pasar hewan!"
Tetapi terlambat. Wibisono sudah telanjur menjawab. Atau malah disengaja"
"Mereka bertiga memang sangat mirip meskipun
masing-masing ada plus-minusnya. Tetapi belum tentu
akurat lho. Apalagi aku belum pernah melihat Evi
kecuali lewat media cetak atau televisi."
"Plusnya apa dan minusnya apa?" Hadi yang masih
polos dan menyimpan rasa bangga terhadap kelebihan
ketiga kakak perempuannya, bertanya lagi.
http://pustaka-indo.blogspot.com70
"Hadi!" Ana menyerukan nama adiknya lagi. Rasa
jengkelnya sangat nyata sehingga buru-buru pemuda
itu menjawab. "Jangan marah, Mbak. Aku bertanya seperti itu
karena Mas Wibi sering menanyakan seperti apa
kakak-kakakku," katanya. "Mengenai Mbak Evi dan
Mbak Ika, dia sudah mengetahuinya dari mana-mana.
Bahkan sudah pula melihat Mbak Ika beberapa kali.
Tetapi dia belum sekali pun melihatmu."
"Apa pun itu, aku tidak suka menjadi bahan pembicaraan orang." "Hadi, kakakmu malu," ibunya menengahi. "Eh,
tadi Nak Wibi bilang mereka bertiga ada plus-minusnya. Apa sih?" "Mama!" Ah, ibunya sama saja seperti Hadi. Tidak
peka, gerutu Ana dalam hatinya.
Ibunya menoleh ke arah Ana sambil tersenyum.
"Kenapa" Malu?"
Wibisono seperti tidak mendengar seruan Ana kepada adik maupun ibunya. Tanpa ditanya lagi dia langsung berkata, "Sejauh yang saya lihat dan baca di media massa,
Evi dan Ika termasuk perempuan-perempuan yang
ramah, supel, periang dan suka tersenyum. Sedang
Ana" wah... saya tidak berani mengatakannya secara
terus terang di depannya. Maaf..."
Ana menyambar mata Wibisono. Dia tahu apa
yang akan dikatakan laki-laki itu. Terutama karena
dia mengatakan "maaf", seakan nilai dirinya negatif
semua. Benar-benar tidak sopan. Ana langsung saja
http://pustaka-indo.blogspot.com71
mendapat kesimpulan, laki-laki itu tidak menghargai
dirinya. Baru kenal sudah berani memberi penilaian.
Seperti yang tadi dikatakannya kepada Hadi, memangnya dirinya ini sapi"
"Tidak perlu minta maaf, Dik." Ana mulai mengeluarkan perasaan tak senangnya. Wajahnya tampak
Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serius. "Saya memang tidak bisa bersikap ramah, tidak
supel, bukan orang yang periang dan sulit memberi
senyum pada banyak orang. Lebih-lebih kapada
orang-orang tertentu, orang-orang yang tidak perlu
saya perhitungkan. Itulah saya, Dik."
Usai berkata seperti itu Ana langsung pergi, bermaksud meninggalkan mereka semua. Tetapi Hadi
segera mengejarnya dan meraih tangannya dengan
lembut. "Maaf, Mbak. Jangan tersinggung," bujuknya. "Duduklah kembali. Aku dan Mas Wibi baru mau membicarakan masalah bisnis. Ikutlah mendengar, siapa
tahu ada saran-saran darimu."
"Itu urusanmu dengan dia, Hadi. Bukan urusanku." "Jangan begitu, Mbak. Sebagai kakak dan punya
pengalaman bekerja di kantor, aku membutuhkan
pendangan-pandanganmu."
"Oke. Tetapi nanti malam, kita berdua saja, ya?"
"Ana, turuti keinginan adikmu. Dia membutuhkan
masukan darimu, ke mana harus melanjutkan kuliah
nanti supaya bisa sejalan dengan cita-citanya untuk
terjun ke dunia bisnis," ibunya menengahi.
http://pustaka-indo.blogspot.com72
"Nanti malam kita bicarakan bertiga saja. Sekarang
Ana mau membereskan isi koper dulu, Ma. Mau kumasukkan ke lemari, biar tidak berantakan," jawab
Ana. Kemudian tanpa menunggu jawaban ibunya
atau Hadi, Ana segera meninggalkan teras. Di balik
pintu, dia berhenti sebentar untuk mendengar apa
yang mereka bicarakan sepeninggalnya.
"Maafkan Ana, Nak Wibi. Dia agak kaku, beda
dengan saudara-saudaranya. Apalagi dalam kondisi
capek. Dia baru saja tiba tadi pagi dari Jakarta Biasanya dia tidak begitu," terdengar oleh Ana ibunya
memintakan maaf untuknya.
Ana tersenyum getir. Apakah sang mama pernah
melihat seperti apa biasanya dia di dalam pergaulannya" "Tidak apa-apa, Bu Bambang. Saya percaya, sebenarnya Ana gadis yang ramah," Ana mendengar sahutan Wibisono. Huh, dari mana rasa percaya laki-laki itu" Apakah
karena Ana tadi pagi lekas-lekas minta maaf kepadanya setelah menginjak kakinya di Toko Maju" Tuluskah perkataannya" Atau cuma kemunafikan"
Ana mengangkat bahunya, kemudian melanjutkan
langkah menuju kamarnya. Suara kaki kecil di belakangnya menghentikan gerakan kakinya. Oki mengikutinya. Melihat itu ia merasa gembira.
"Senang mendapat oleh-oleh dari Tante?" tanyanya. "Senang. Tante Ana mau ke mana?"
"Mau mengatur koper."
http://pustaka-indo.blogspot.com73
"Oki boleh bantu?"
"Tentu saja." Ah, ada baiknya ia benar-benar mengatur barang-barangnya agar tidak berantakan. Pasti
sangat menyenangkan bisa bersama-sama dengan Oki,
daripada berdekatan dengan Wibisono.
Aneh, rasanya. Ana memang tidak menginginkan
keakraban dengan laki-laki mana pun. Tetapi sebelum
sore ini, tidak pernah dia melarikan diri dari dekat
laki-laki yang segagah Gatotkaca dan serupawan
Kamajaya sekalipun karena dia yakin sekali, hatinya
tidak akan tergerak. Tetapi sekarang, apa yang terjadi"
Kenapa melarikan diri dari dekatnya" Kenapa hanya
karena masalah kecil saja dia begitu tersinggung oleh
sikap dan perkataan laki-laki yang baru saja dikenalnya itu" Marah, malu, takut ada yang akan melukai
hatinya ataukah itu merupakan mekanisme pertahanan
jiwanya" Ana sendiri tak bisa menjawabnya. Urusan hati
adalah urusan yang pelik, bahkan bagi yang bersangkutan sendiri. http://pustaka-indo.blogspot.com74
SUARA ketukan di pintu kamarnya menghentikan
gerakan tangan Ana yang sedang asyik memijit-mijit
keyboard laptop-nya. "Siapa?" tanyanya, agak jengkel.
Tetapi ditekannya rasa jengkel yang menyusup ke
hatinya itu. Ia ingat, ini rumah ibu kandungnya. Bukan rumah almarhum ayahnya, sebab hanya orangorang di rumah itu sajalah yang tahu kebiasaan Ana.
Kalau pintu kamarnya tertutup rapat dan bukan waktunya orang tidur, tidak seorang pun berani mengetuk
pintunya. Ia tidak suka diganggu jika sedang bekerja,
kecuali oleh hal-hal penting. Waktu makan pun tak
akan ada yang berani mengingatkannya kalau bukan
atas kehendaknya sendiri.
"Saya, Den...." Itu suara Yu Mi, pembantu rumah
tangga yang bertugas mencuci dan menggosok pakaian. Tiga http://pustaka-indo.blogspot.com75
"Ada apa, Yu?" "Penting, Den."
"Masuklah, pintu tidak kukunci."
Dengan hati-hati pembantu rumah tangga itu menguakkan daun pintu kemudian masuk ke kamar
Ana. Dia cukup tahu diri, putri majikannya sedang
bekerja dan kehadirannya bisa mengganggu.
"Maaf, Den Ana. Di luar ada orang yang menanyakan barang-barang yang harus dikirim ke Surabaya.
Saya tidak bisa menjawabnya," jawab Yu Mi.
"Barang apa?" "Di ruang tengah memang ada tiga bungkusan sebesar kardus teve ukuran besar. Tetapi apakah barang
itu yang dimaksud, saya tidak tahu. Kalau betul memang barangnya itu apakah ketiga-tiganya atau hanya
dua atau malah cuma satu yang akan dikirim," jawab
Puteri Es 3 Pendekar Mabuk 065 Ratu Cendana Sutera Api Di Bukit Menoreh 28
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama