Ceritasilat Novel Online

Burung Merak 3

Burung Merak Karya Maria A. Sardjono Bagian 3


apa-apa sebelumnya. Sialan. Sialan. Kenapa aku begini
rapuh, keluh Ana di dalam hatinya. Seharusnya begitu
selamat dari empasan ke batang pohon tadi, ia langsung menarik tubuhnya dari pelukan Wibisono. Bukannya membiarkan rasa kagetnya berubah menjadi
keterpukauan pada lelaki itu.
"Kau tampak lelah, Ana," kata sang ibu. "Ayo sana,
segeralah mandi dengan air panas lalu makan dan cepat istirahat." "Tadi Ana sempat mengalami vertigo, Bu."
"Oh ya?" Ibu Ana tampak khawatir ketika menatap
lagi anak gadisnya itu. "Lalu?"
http://pustaka-indo.blogspot.com146
"Sudah tidak apa-apa, Mam. Sudah minum obat.
Kepala Ana tadi tersengat panas matahari sampai berjam-jam lamanya. Jadi bukan sesuatu yang harus dicemaskan," sahut Ana. Kemudian ia menghadap Wibisono. Tanpa berani menatap matanya, ia berkata pada
laki-laki itu. "Terima kasih ya atas kebaikanmu mengantarkanku ke candi."
Wibisono mengangguk dalam-dalam, tahu bahwa
Ana cuma berbasa-basi karena ada di dekat ibunya.
"Terima kasih kembali. Kalau mau, kapan-kapan
kita pergi ke Bandungan atau ke Kopeng, melihat
pemandangan indah," sahutnya.
Ana terpaksa menatap mata Wibisono untuk melepaskan sinar kemarahannya. Tetapi kurang ajar sekali.
Mata laki-laki itu malah berbinar-binar dan mengandung tawa. Berani-beraninya menggoda.
"Terima kasih," sahutnya dengan sikap sopan yang
dibuat-buat. "Tetapi sayang, sewaktu-waktu aku sudah
akan pulang ke Jakarta."
"Tak apa. Pasti masih akan ada kesempatan lain."
Gombal. Tak akan pernah ada waktu lain buat mereka berdua. "Masuk dulu, Nak Wibi. Mbok Sosro tadi membuat wedang ronde, masih panas. Enak lho," ibu Ana
menyela. "Terima kasih, Bu. Saya ingin segera mandi dan
istirahat." "Kami yang harus berterima kasih karena Nak
Wibi telah menyediakan diri untuk mengajak Ana
jalan-jalan." http://pustaka-indo.blogspot.com147
Wibisono hanya tersenyum saja. Setelah pamit,
cepat-cepat ia meninggalkan tempat. Melihat itu Ana
juga segera masuk ke rumah.
Aneh, pikirnya. Biasanya meskipun sudah tidur
setelah minum obat pusing, sisa-sisa pengaruh obat itu
masih belum hilang, sehingga begitu kepalanya menyentuh bantal lagi, ia akan langsung terlelap lagi.
Tetapi kali itu tidak. Sepanjang malam itu ia berbaring
gelisah. Ada perasaan asing yang baru pertama kali ia
alami dan membuatnya sulit tidur, perasaan asing itu
bergelut dengan perasaan-perasaan lain yang mengharubiru. Marah, jengkel, terhina, malu, dan semacamnya.
Ditambah pula degup jantungnya yang bertalu-talu
setiap teringat mata Wibisono yang berbintang-bintang
saat dirinya berada di dalam pelukannya.
Ana benci sekali pada situasi yang tak diinginkannya
itu. Terutama kepada biang keladinya. Wibisono!
http://pustaka-indo.blogspot.com148
TIGA hari telah berlalu lagi ketika Wibisono masuk
ke rumah sambil bersiul-siul menyenandungkan lagu
asmara. Saat itu hari telah memasuki malam. Kunci
mobil ia timang-timang sesaat lamanya di atas telapak
tangannya sebelum digantungkannya ke rak kunci
tempat penyimpanan kunci-kunci kendaraan-kendaraan lainnya. "Gembira betul, Mas. Dari mana seharian ini tadi
sih?" Wawan yang baru saja keluar dari ruang kerjanya, bertanya. Siulan Wibisono terhenti. Dia menoleh ke arah
sang adik. "Pokoknya dari tempat yang indah dipandang
mata," sahutnya sambil tersenyum. Ia tahu, adiknya
hanya menggodanya saja. Belakangan ini dia sering
digoda olehnya. Lima http://pustaka-indo.blogspot.com149
"Dengan gadis yang kaubawa ke Borobudur beberapa hari yang lalu, kan?" Wawan menembakkan apa
yang diketahuinya. "Nah, kalau sudah tahu kenapa bertanya?"
Wawan tertawa sambil mengempaskan tubuhnya ke
atas sofa. Setelah mencabut sebatang rokok dan menyalakannya serta mengisapnya seembusan, ia berkata
lagi, "Hati-hati lho, Mas, jangan sampai jatuh cinta."
Wibisono mengangkat bahunya tinggi-tinggi.
"Bahaya jatuh cinta memang ada, Wan. Ia benarbenar menarik," sahutnya kemudian.
"Kuakui, gadis-gadis Bu Bambang memang cantikcantik dan menarik. Tetapi ingat lho, Mas, bunga
mawar selalu berduri!"
Wibisono hanya tertawa saja. Disambarnya teh manis yang disiapkan untuknya. Sekali minum, isi gelas
itu langsung kosong. "Mas, aku bilang hati-hati lho," Wawan mengingatkan lagi. "Kulihat, sikapmu benar-benar seperti
orang yang sedang tenggelam di lautan asmara."
"Jangan suka menebak-nebak!"
"Aku bicara atas dasar kenyataan yang kulihat,"
kata Wawan lagi. "Menurut rencanamu semula, seharusnya kau sudah berada di Jakarta sekarang ini. Sudah tidak ada yang penting lagi untuk kautangani.
Tetapi begitu ada bunga mekar yang indah di samping rumah, rencanamu langsung berubah. Mau tambah satu bulan lagi di sini?"
http://pustaka-indo.blogspot.com150
"Kau ingin aku cepat pergi?" Wibisono menyeringai. "Kau tahu bukan itu yang kumaksud. Aku belum
selesai mengutarakan pikiranku."
"Baik." Wibisono tertawa. "Kalau kau sedang serius
seperti itu aku jadi ingat Eyang Kakung almarhum.
Persis!" Wawan ganti menyeringai. "Aku begini karena mengkhawatirkan dirimu, Mas,"
katanya kemudian. "Maka kuminta, jagalah kewarasan
akalmu. Jangan terlarut pesona yang bisa membahayakan dirimu sendiri. Ingat, sejarah jangan sampai terulang kembali." "Aku selalu ingat itu, Wan. Jadi, jangan terlalu khawatir. Seperti dirimu, aku juga tidak ingin melihat
sejarah terulang di dalam keluarga kita."
"Syukurlah kalau kau masih mengingat hal itu. Terus terang aku mengkhawatirkan dirimu. Sikapmu
seperti orang mabuk kepayang."
"Aku baik-baik saja. Apa yang terjadi tidak seheboh
yang kelihatan dari luar. Kuakui, aku memang terpukau oleh Ana. Dia berbeda dengan kedua saudara
perempuannya. Bahkan, dia memiliki sesuatu yang
tidak ada pada Evi maupun Ika."
"Apa kelebihannya?" Wawan menjulurkan lehernya,
ingin tahu apa jawaban Wibisono. Sang kakak bukan
laki-laki yang mudah memberi penilaian positif, bahkan terlalu berhati-hati untuk membiarkan hatinya
tertarik oleh kelebihan seorang gadis. Gadis yang sehttp://pustaka-indo.blogspot.com151
perti apa pun hebatnya sulit menembus hatinya. Kalau
tidak, sudah sejak kemarin-kemarin dia menikah.
"Dia itu tidak hanya jelita, tetapi wawasannya luas
dan otaknya sangat cemerlang," jawab Wibisono. "Aku
sering berdikskusi tentang macam-macam hal bersamanya tanpa ada habisnya. Pengetahuannya banyak.
Dia itu kubu buku. Aku sering tidak sadar telah berjam-jam beradu argumentasi dengan dia. Caranya
menganalisis sesuatu dan logikanya amat terperinci,
cermat dan runtut alurnya.?"
"Ccckk... cckk... ccckkk..." Wawan berdecak. "Luar
biasa sekali dia." "Jangan menggoda. Aku mengatakan kenyataan
sebenarnya. Tetapi juga ada segi lain dari dirinya yang
membuat gigiku sering gemeletuk menahan emosi.
Ana itu mempunyai sikap yang angin-anginan, sulit
ditebak ke mana bertiupnya. Sudah begitu, sikapnya
sering tampak angkuh... sombong... sulit didekati."
"Masa sih?" "Ya, dia bagai burung merak yang mengangkat kepalanya tinggi-tinggi sambil memamerkan keindahan
bulu-bulunya. Siap menghindar jika didekati, persis
seperti gadis remaja yang masih suci. Baru disentuh
tangannya saja sudah ketakutan. Padahal munafik dia
itu. Pasti sama saja seperti Evi dan Ika."
"Tetapi kau berhasil meraih simpatinya, kan?"
"Kadang-kadang aku merasa begitu, Wan. Tetapi
kadang-kadang, tidak. Sudah kukatakan, dia itu sulit
ditebak. Berubah-ubah seperti cuaca. Tetapi justru
karena itu aku ingin menundukkannya meskipun aku
http://pustaka-indo.blogspot.com152
sadar itu tidak mudah. Bayangkan saja. Kudekati secara lembut, dia lari. Kudekati dengan kasar, dia menantang," jawab Wibisono sambil tersenyum masam.
"Apakah maksudmu dia itu jinak-jinak burung merpati, Mas?" "Yah, semacam itulah meski tidak persis begitu."
"Kalau begitu tangkap sajalah ketika dia sedang
kurang waspada lalu masukkan ke dalam kurungan
sebab jangan-jangan itu hanya taktiknya saja untuk
meraih perhatianmu," Wawan mengingatkan lagi.
"Yah, mungkin saja. Aku memang ingin menangkapnya selagi ia lengah. Tetapi yah, bicara sih mudah.
Kenyataannya nanti, entahlah," sahut Wibisono sambil
mengangguk. "Tetapi sudahlah, aku mau mandi."
Wawan menatap punggung sang kakak dengan pikiran melayang ke mana-mana sampai ahirnya berlabuh kepada sang istri yang sedang bermain dengan
kedua anaknya di ruang tengah. Nia adalah seorang
perempuan yang amat manis. Tak banyak masalah
yang terkait dengan dirinya. Lembut, tenang, sabar,
dan menerima apa adanya. Persis seperti ibunya. Ibu
Wawan memang perempuan yang menyejukkan. Berada di dekatnya, apa pun masalah yang membuat
rambut berdiri karena amarah yang berkobar, bisa
menjadi damai oleh siraman kata-katanya. Nia mempunyai banyak kemiripan dengan ibunya itu. Mudahmudahan Wibisono, sang kakak, dan Kresno, adiknya,
akan mendapatkan istri seperti itu juga. Tidak perlu
terlalu cantik tetapi baik budi, tidak meterialistis, tidak pula melihat kegantengan wajah.
http://pustaka-indo.blogspot.com153
Wawan sadar bahwa dibanding Wibisono yang ganteng dan gagah, wajahnya biasa-biasa saja. Begitupun
Kresno. Mereka tak banyak dilirik gadis-gadis. Tetapi
Wibisono selain ganteng juga cerdas, pengetahuannya
luas, pandai bergaul dan pintar berbisnis. Banyak gadis yang jatuh cinta kepadanya. Selama ini, Wibisono
yang sadar akan kelebihan-kelebihannya itu, tak pernah mau menjalin hubungan yang serius. Terlebih
kalau gadis itu cantik. Sejarah keluarga telah membuktikan betapa berbahayanya gadis jelita yang suka memakai kecantikannya sebagai senjata ampuh untuk
menaklukkan kaum pria. Wibisono tak mau sejarah
seperti itu terulang lagi.
Namun Wawan masih saja tetap mengkhawatirkan
Wibisono. Belakangan ini sikap sang kakak yang biasanya sangat hati-hati bergaul itu, mulai longgar. Sejak
kedatangan Ana, sejak itu pula sang kakak tidak betah berada di rumah. Selalu saja ada alasan untuk
bisa datang ke sebelah. Sementara Wawan sedang memikirkan kakaknya
yang sedang mandi, di rumah sebelah Ana sedang
duduk menonton acara televisi bersama ibu dan kedua adik kembarnya. Dia baru saja selesai mandi.
Aroma wangi sabun masih menempel pada kulit tubuhnya. "Masih capek?" tanya ibunya tanpa mengalihkan
matanya dari layar kaca. "Setelah mandi dengan air panas terasa lebih segar,
Mam." Sang ibu memindahkan pandangnya ke arah Ana
http://pustaka-indo.blogspot.com154
beberapa saat lamanya. Ana tampak cantik dan segar
alami. Sedap dipandang walau cuma mengenakan
baju sederhana. Tidak seperti Evi dan Ika yang suka
memakai make up dan berpakaian mewah. Bahkan di
rumah pun, mereka selalu tampak "wah".
"Bagaimana jalan-jalanmu tadi" Menyenangkan?"
"Yah, lumayanlah. Ada banyak hal yang baru pertama kali Ana lihat," jawab Ana.
"Mama senang ada yang menggantikan Mama,
mengajakmu jalan-jalan. Tampaknya Wibisono mengetahui bahwa Mama sedang banyak pekerjaan sehingga
mengambil alih tugas Mama. Yah, untunglah dia belum kembali ke Jakarta..."
"Mama," Ana memotong perkataan ibumya, "sudah
berulang kali Ana bilang, kedatangan Ana ke sini ini
hanya untuk mencari suasana lain. Bukan untuk


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalan-jalan. Jadi Mama tidak perlu merasa bersalah."
"Ya sudah"." Sang ibu tersenyum.
Ana membalas senyum ibunya, kemudian menyandarkan kepalanya ke jok kursi kembali. Meskipun
matanya mengarah ke layar kaca tetapi pikirannya
melayang pada kejadian yang dialaminya bersama
Wibisono seharian ini. Tadi pagi laki-laki itu sudah
muncul di teras saat Ana sedang membaca koran pagi
terbitan Semarang. "Mama sedang mandi. Duduklah dulu," sapanya
sambil menurunkan sebentar koran dari mukanya.
Kemudian melanjutkan lagi keasyikannya membaca.
"Aku tidak mencari Bu Bambang. Aku ke sini sengaja mau menemuimu," jawab Wibisono sambil
http://pustaka-indo.blogspot.com155
mengambil tempat duduk di depan Ana. Tempat
mereka duduk hanya dipisahkan oleh meja.
"Untuk apa lagi?" Ana menjawab dengan perhatian
yang cuma separo. Tidak suka dia melihat kedatangan
Wibisono. Sedang ingin menikmati kesendiriannya,
laki-laki itu datang. "Untuk minta maaf lagi kepadamu atas kejadian
malam itu," jawab Wibisono. "Seharusnya aku tidak
emosional. Tetapi karena kau menganggapku seolah
punya kebiasaan mengecup pipi perempuan, aku jadi
tersinggung." "Jadi bukan kebiasaanmu mengecupi pipi orang?"
Ana bertanya sambil lalu. Matanya masih tetap melekat ke koran pagi yang ada di hadapannya.
Wibisono sangat gemas melihat sikap Ana yang
seenaknya itu. Tetapi ia menahan dirinya kuat-kuat.
Ia tidak ingin membuang kesempatan yang masih ada
sebab mungkin saja esok atau lusa, Ana sudah kembali ke Jakarta. "Aku tidak seburuk penilaianmu," katanya kemudian. "Mudah-mudahan memang begitu," sahut Ana.
Masih tanpa mengalihkan pandangnya kepada yang
diajaknya bicara. Memang tidak sopan. Tetapi siapa
suruh laki-laki itu datang ke sini di saat ia sedang
ingin menyendiri. "Terserah apa penilaianmu, tetapi aku datang ke
sini dengan maksud baik. Maukah kau pergi berjalanjalan lagi denganku ke...?"
http://pustaka-indo.blogspot.com156
"Tidak." Belum selesai Wibisono bicara, Ana sudah
menjawab. Wibisono mengetatkan gerahamnya. Gadis itu satu
ini memang pandai sekali mengaduk emosi orang.
Tetapi dia harus bersabar kalau mau meraih perhatiannya. "Mau atau tidak, sepenuhnya tergantung padamu,"
katanya kemudian sambil mencoba untuk tetap bersabar. "Tetapi, Ana, dengarkan dulu kata-kataku. Jangan
belum-belum sudah bilang tidak."
"Ya, sudah. Bicaralah." Ana tetap tidak mau menolehkan ke arah tamunya. "Sudah pernahkah kau melihat suatu resort yang
bisa melihat tujuh gunung dari tempat itu?"
"Belum." "Tetapi pernah mendengar?"
"Tidak." Ana mulai meletakkan korannya. Bukan
karena tertarik, tetapi karena lama-lama tidak enak
juga bersikap tak sopan. "Tetapi maaf, tempat apa
pun dan seindah apa pun, aku tidak tertarik."
"Itu tempat wisata yang terletak di antara kota
Semarang dan Yogya. Pemandangannya sangat indah
dan hawanya dingin sekali dengan angin gunung yang
terasa menyengat kulit," Wibisono terus bercerita tanpa memedulikan sikap Ana yang tidak simpatik. "Tak
jauh dari tempat itu kita bisa mampir ke Ketep Pass
yang terletak di antara Gunung Merbabu dan Gunung Merapi. Pemandangannya juga indah. Di kiri
dan kanan jalan banyak pepohonan, perkebunan kopi
dan tembakau. Di Ketep Pass ada museum dan teater
http://pustaka-indo.blogspot.com157
yang menyajikan film tentang meletusnya Gunung
Merapi yang terjadi di tahun berapa dan tahun berapa lagi...." "Tidak tahu persis kok bercerita...."
"Aku belum pernah ke sana. Wawan yang sudah
ke sana dan menceritakannya. Terus terang aku ingin
ke sana tetapi tidak ada temannya. Jadi aku ingin
mengajakmu." Ana diam saja. Sebetulnya hatinya mulai tertarik.
Tetapi pergi dengan Wibisono, malas dia.
"Nanti kita cari makanan yang aneh-aneh, yang tidak ada di Jakarta. Bagaimana?" Wibisono menyambung bicaranya. "Hari ini aku akan melanjutkan novelku...."
"Masih ada hari lain, kan" Hari ini aku sedang tidak banyak pekerjaan. Besok belum tentu bisa pergi,"
kata Wibisono lagi. "Aku sudah tidak punya hari lain. Sebentar lagi
aku akan pulang ke Jakarta. Jadi hari ini aku akan
melanjutkan novelku."
"Mundur beberapa hari kan tidak apa-apa. Aku
yakin, kalau kau melihat pemandangan indah, ide
ceritamu bisa berkembang semakin bagus. Bahkan
siapa tahu pula di suatu kesempatan lain kalau kau
ingin membuat cerita dengan latar belakang kehidupan pegunungan yang unik, kau sudah punya gambaran yang jelas mengenai hal itu. Apa-apa yang akan
kita lihat di sana nanti kan bisa menjadi tambahan
ide ceritamu." Wibisono tak mau menyerah dengan
http://pustaka-indo.blogspot.com158
bujukannya. "Kapan lagi kau punya kesempatan melihat semua itu dengan mata kepalamu sendiri?"
Ana terdiam lagi. Apa yang dikatakan Wibisono
ada baiknya juga, pikirnya. Kali ini Wibisono menangkap perasaan bimbang yang ada di hati gadis itu.
"Ana, jangan karena kau tidak suka kepadaku jadi
menghambat hal-hal yang bisa menambah wawasanmu
mengenai tanah air kita, khususnya yang ada di sekitar tempat ini. Kau juga belum melihat museum
kereta api, kan?" Ana menoleh ke arah Wibisono.
"Tempatnya jauh dari sini?"
"Tidak terlalu jauh. Aku janji, sebelum senja nanti
kau sudah berada di rumah kembali."
"Tetapi ini sudah hampir menjelang siang. Bagaimana?" "Tidak apa-apa. Begitu sampai nanti, kita langsung
mencari rumah makan untuk makan siang dulu."
Begitulah akhirnya, Ana terbujuk oleh Wibisono.
Meskipun tidak dengan sepenuh hati, ia ikut pergi
bersama laki-laki itu. Yah, kapan lagi ada kesempatan
melihat tempat-tempat seperti itu mengingat tempat
tinggalnya yang jauh di Jakarta dan entah pula apakah dia akan ke Ungaran lagi tahun depan, misalnya.
Kalaupun kemungkinan itu ada, siapa yang akan
mengantarkannya pergi ke tempat wisata itu"
Sesampainya di Losari, tepat di mana bisa menatap
tujuh gunung di sekitarnya, mereka makan siang dulu
baru kemudian melihat-lihat tempat indah itu dan
menikmati pemandangan yang disuguhkan alam. Ana
http://pustaka-indo.blogspot.com159
tidak menyesal pergi bersama Wibisono karena apa
yang dilihatnya memang amat indah. Dari tempat
mereka berdiri di saat menatap hamparan tanaman
kopi dan bermacam bunga, di antaranya bunga sepatu
berwarna jingga, ia bisa menyaksikan Gunung
Telomoyo, Gunung Ungaran, Gunung Sumbing, Gunung Sundoro, Gunung Bismo, Gunung Merbabu
dan Gunung Merapi. Mereka seakan dikepung oleh
gunung-gunung itu. "Kalau tidak salah, yang tampak di kejauhan itu
Gunung Butak, Gunung Perahu, Gunung Kejajar
yang keseluruhannya disebut pegunungan Dieng dengan gunung yang tertinggi, Gunung Slamet. Sayang
tak terlihat dari sini. Di dekat Dieng, terdapat beberapa candi yang terkenal meskipun banyak yang telah
rusak," kata Wibisono.
"Ilmu bumimu dulu pasti dapat nilai bagus," komentar Ana. "Bukan hanya ilmu bumiku saja," tawa Wibisono
sambil menatap langit yang tampak cerah. "Semua
nilai pelajaranku sejak di SD sampai perguruan tinggi,
selalu jauh di atas rata-rata."
"Jangan sombong. Aku juga begitu. Bahkan ujian
skripsiku mendapat penghargaan cum laude," sahut
Ana, ganti menyombong. "Kalau begitu, Indonesia boleh merasa bangga
mempunyai kita," Wibisono tertawa lagi. "Sekali-sekali
menyombong, enak juga ya."
"Ah, sepertinya kau paling sering menyombongkan
diri." http://pustaka-indo.blogspot.com160
"Masa sih" Kapan itu?"
"Baru kemarin lusa, sudah lupa. Kau bilang jangankan cuma mengecup pipi gadis yang jauh lebih cantik
dariku, lebih dari itu pun kau bisa," Ana mengingatkan. "Kan tadi pagi aku sudah minta maaf padamu bahwa apa yang kukatakan itu cuma karena emosiku saja.
Seperti pepesan kosong."
"Tak ada asap kalau tak ada api."
"Apa maksudmu?" Wibisono menoleh.
"Kau bisa bilang begitu kan pasti ada alasannya.
Menurut perasaanku, ucapanmu itu tak sekadar hanya
luapan emosi. Ya, kan?"
Wibisono agak tersipu. "Iya sih," sahutnya kemudian. "Terus terang, cukup
banyak gadis-gadis yang tertarik kepadaku.?"
Ana tertawa. "Akhirnya kau mengaku. Pasti kau merasa bangga.
Terutama karena ada beberapa di antaranya yang begitu kentara mengejar-ngejarmu. Ya kan?" katanya kemudian, hanya menebak-nebak saja.
"Wawan yang menceritakannya padamu?" Wibisono
menoleh ke arah Ana, penuh rasa ingin tahu. Adiknya
itu lancang juga kalau sampai bercerita seperti itu
kepada Ana yang belum lama kenal.
"Mas Wawan tak mungkin bercerita seperti itu kepadaku. Selama berada di sini, baru beberapa kali aku
bertemu dengannya," sahut Ana. "Orangnya pendiam.
Terus terang aku tadi cuma menebak-nebak saja. Ternyata betul ya?" http://pustaka-indo.blogspot.com161
"Yah... begitulah..." Wibisono tersenyum sekilas.
"Tebakanmu jitu juga. Tetapi aku jadi yakin, memang
tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Seperti katamu tadi." "Apa maksudmu?" Ana melontarkan pertanyaan
sama seperti yang tadi ditanyakan Wibsono kepadanya. "Kau bisa menebak begitu karena pengalamanmu
juga begitu, kan?" Wibisono ganti menebak.
"Serupa tetapi tak sama."
"Jelaskan maksudmu," pinta Wibisono.
"Kuakui, memang banyak laki-laki yang berusaha
meraih perhatianku. Tetapi berbeda dengan pengalamanmu, tidak seorang pun di antara mereka yang berani mengejar-ngejarku. Melanjutkan usaha mereka
untuk meraih perhatianku pun tidak."
"Kenapa?" Wibisono merasa heran.
"Maaf, itu rahasia pribadiku. Aku tak mau menceritakannya. Kita bicarakan hal-hal lainnya saja," Ana
menjawab dengan sikap serius sehingga mau tak mau
Wibisono harus mematuhinya.
Maka begitulah, pembicaraan mereka beralih kepada hal-hal yang umum. Sementara itu Wibisono memarkir mobilnya di dekat sebuah rumah makan, di
sana mereka minum wedang ronde dan membeli makanan ringan untuk dibawa jalan-jalan sambil menikmati pemandangan di antara pekebunan. Sesekali
mereka menyapa penduduk asli yang berpapasan dengan mereka. "Alangkah damainya hidup di pedesaan begini,"
http://pustaka-indo.blogspot.com162
gumam Ana. "Sayangnya kita ini masih terikat pada
urusan dan berbagai fasilitas yang hanya ada di kotakota besar." "Yah, kau betul." Mereka sedang berdiri di bawah
pohon waru yang rindang, di tepi lembah yang dipenuhi perkebunan kopi. Subur sekali kelihatannya. Di
kejauhan, Ana sempat melihat kebun buah naga dengan warna kulitnya yang bagai sisik naga berwarna
merah. "Udaranya segar dan sehat, tanpa polusi udara, tanpa berisiknya suara kendaraan, tanpa semrawutnya
lalu-lintas, tanpa berisiknya manusia yang berjubel di
mal atau di tempat umum," sambung Ana.
"Sudah begitu pemandangannya indah pula. Wah,
kalau saja tidak takut kemalaman, maulah aku tinggal
di sini untuk menyaksikan matahari terbenam."
"Kenapa, takut kemalaman" Apa ada yang menunggumu atau kau harus mengerjakan sesuatu?"
"Tidak. Eh, apakah dengan pertanyaanmu itu kau
juga ingin melihat matahari terbenam dari tempat


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini?" "Ya, aku juga ingin menyaksikannya."
"Baik. Kalau begitu ayo kita kembali ke parkiran
mobil. Lalu kita cari tempat yang paling strategis dan
paling indah," kata Wibisono penuh semangat. "Kemalaman pulang tidak apa-apa kan meskipun berarti aku
tak menepati janji untuk membawamu pulang sebelum senja?" "Untuk melihat pemandangan indah, aku tidak
keberatan." http://pustaka-indo.blogspot.com163
"Oke." Di rumah makan yang juga menjual penganan untuk oleh-oleh, mereka membeli lagi beberapa botol
minuman dan beberapa bungkus kue. Baru setelah itu
mereka naik mobil kembali, mencari tempat yang
strategis untuk menyaksikan matahari terbenam. Mereka sama-sama setuju menjauhi vila atau cottage yang
dibangun dengan cita rasa seni dan banyak memakai
bahan-bahan dari kayu. Takut mengganggu. Ada beberapa orang asing yang kelihatannya sedang menginap
di sana. Waktu telah menunjuk pukul setengah enam kurang sedikit ketika mereka menemukan tempat yang
dianggap paling enak untuk melihat keindahan alam
saat matahari tenggelam, yaitu di tepi jalan setapak
dekat perbukitan. Pemandangan indah yang terhampar
di hadapan mereka. Tempat itu sepi, jauh dari tempat
tinggal penduduk. Dengan menghamparkan sehelai
surat kabar yang diambil Wibisono dari dalam mobilnya, mereka duduk berdampingan dengan nyaman
setelah sesiang dan sesore tadi berjalan-jalan ke sana
kemari. Sementara itu angin gunung yang dingin mulai turun mengusap tubuh keduanya. Mereka sudah
melihat teater Ketep dan sudah pula memotret di
sana-sini. Kini, waktu yang seharusnya dipergunakan
untuk pulang kembali ke Ungaran, dimanfaatkan untuk menunggu saat-saat matahari terbenam, yang tak
lama lagi. "Udara dingin mulai terasa," gumam Wibisono.
"Ya. Mudah-mudahan jangan ada kabut yang mehttp://pustaka-indo.blogspot.com164
nutupi pemandangan kita saat bola merah masuk ke
perut bumi," sahut Ana sambil menaikkan kelepak
leher bajunya. "Dingin?" Wibisono bertanya setelah melirik perbuatan Ana tadi. "Sedikit...." "Duduklah bergeser ke dekatku supaya aku bisa
menahan embusan angin dingin ke tubuhku," kata
Wibisono lagi. "Ah, tidak usah. Aku kuat kok menahan rasa dingin," sahut Ana cepat-cepat.
"Nanti masuk angin lho. Kau tadi sempat membawa jaket atau baju hangat?"
"Aku tidak punya jaket, tidak punya baju hangat.
Di Jakarta aku tak memerlukannya. Tetapi seperti
kataku tadi, aku kuat kok menahan rasa dingin."
"Tetapi sebentar lagi udara akan semakin dingin.
Duduklah merapat ke dekatku. Hangat tubuhku bisa
mengusir rasa dingin...."
Tawaran itu menyenangkan, sebenarnya. Udara dingin memang telah menyebabkan lengan, ujung hidung, dan telinganya terasa dingin. Tetapi ia merasa
ragu untuk memenuhi tawaran Wibisono. Tetapi lakilaki itu menangkap keraguannya. Ia tertawa.
"Hanya duduk berdampingan saja, apa sih keberatannya" Kau aman di dekatku. Atau menurutmu ada
yang cemburu kalau kita duduk bersisian?"
"Jangan ngawur."
"Aku tidak ngawur. Aku pernah mendengar nada
http://pustaka-indo.blogspot.com165
mesra dari mulutmu ketika menerima telepon dariku
dan kau mengira itu dari laki-laki lain. Ingat?"
Ana mengerutkan dahinya. "Laki-laki yang mana?" tanyanya kemudian.
"Waktu itu kau menyebutnya Deni...."
Oh, itu. Ana tersenyum di dalam hatinya. Beberapa
minggu yang lalu Ana memang menyebut nama adiknya
itu dengan suara gembira dan mesra ketika mendengar
suara "halo". Dia tak mengira itu telepon dari Wibisono.
Ia mengira telepon itu dari Jakarta. Dari Deni.
"Kok diam?" Wibisono bertanya setelah beberapa
waktu lamanya tidak mendengar suara Ana.
"Memangnya aku harus mengatakan apa?"
"Yah... misalnya kau khawatir ada yang cemburu
kepadaku kalau kau duduk merapat padaku," sahut
Wibisono. "Seandainya pun kekhawatiran itu ada, dia toh tidak ada di sini," gumam Ana, tertahan-tahan.
"Kalau begitu, kenapa kau ragu duduk merapat
padaku" Bukankah sudah kukatakan, kau aman berada di dekatku." Ana menoleh ke arah Wibisono. Dalam cuaca yang
semakin teduh, ia melihat wajah ganteng itu tengah
menatapnya. Tidak ada kesan menggoda seperti yang
sering dilihatnya. Maka tanpa sadar Ana mulai beringsut mendekat ke tubuh laki-laki itu sehingga lengan mereka saling bersentuhan. Berada begitu dekat
satu sama lain, Ana mulai mencium bau lelaki di sampingnya. Campuran antara bau tembakau dan parfum
yang beraroma segar. http://pustaka-indo.blogspot.com166
"Masih dingin?" tanya laki-laki itu, memecah perhatian Ana. "Tidak," sahut Ana. Tetapi tanpa disadarinya, tubuhnya menggigil. Cuaca memang terasa semakin
dingin. Wibisono yang merasakan dinginnya tiupan
angin gunung, tahu bahwa Ana berbohong ketika
mengatakan "tidak".
Sementara itu langit di ufuk barat tampak semakin
memerah di sela-sela gunung di kejauhan. Matahari
yang tampak seperti bola berwarna jingga tua, pelanpelan semakin turun dan semakin turun. Pantulan
cahaya merahnya seperti memulas punggung-punggung
bukit yang dipenuhi bermacam pepohonan. Sungguh
tampak indah dan mengagumkan ciptaan Tuhan ini.
"Lihat itu," bisik Ana. "Indah sekali...."
"Wow... seakan permukaan bumi disepuh emas merah. Bahkan kabut yang menggantung di bawah sana
sebagian ikut menjadi merah. Sungguh kombinasi
alam yang menakjubkan."
"Betapa besarnya kekayaan Tuhan," Ana berbisik
lembut. Sama-sama merasakan keindahan yang sama dan
sama-sama pula merasakan hawa dingin yang semakin
menggigit, tanpa sadar Wibisono mengangkat lengannya untuk kemudian melingkarkannya ke bahu gadis
yang duduk merapat di sisi tubuhnya itu. Ana yang
juga merasakan pesona yang sama, tak mampu merenggut tubuhnya dari pelukan laki-laki itu. Cara
Wibisono memeluknya tidak terkesan adanya kekurangajaran atau yang semacam itu. Bahkan terasa
http://pustaka-indo.blogspot.com167
adanya kebersamaan yang begitu kental dalam menangkap pesona alam yang menakjubkan, seakan
mereka berdua ikut menyatu dengan keindahan itu.
Betapa tidak" Menyaksikan matahari terbenam bukan sesuatu yang aneh buat keduanya. Setiap hari
kalau mereka sempat memperhatikannya, gejala alam
yang terjadi menjelang senja itu bisa mereka nikmati.
Tetapi melihat matahari terbenam di tempat yang
begitu indah dan alami, yang sunyi-sepi tanpa makhluk lain kecuali mereka berdua, dan di antara sejumlah gunung yang mengirimkan angin dingin beraroma
batang pinus dari perbukitan nun di sana, baru sekali
itu mereka alami. Pesonanya membuat keduanya terbius, seakan menjadi bagian dari alam semesta yang
begitu indah itu. Akibatnya, lengan Wibisono semakin erat memeluk bahu Ana. Dan ketika matahari
tiba-tiba seperti tergelincir di balik kaki gunung dan
meninggalkan rona merah yang semakin lama semakin
samar, laki-laki itu menjadi lupa diri. Direngkuhnya
kepala Ana sehingga gadis itu menatapnya dengan
agak bingung. Namun sebelum yang bersangkutan
menyadari apa yang akan terjadi, tiba-tiba saja bibirnya telah dikecup oleh Wibisono. Maka darahnya
langsung tersirap dan jantungnya seperti berhenti berdetak. Mimpikah ini" Apakah ini bagian dari keindahan yang ditatapnya tadi" Atau justru kecelakaankah
ini" Tetapi ketika akhirnya menyadari apa yang terjadi,
Ana merasa seperti terperosok ke dalam lubang yang
gelap. Ia tidak tahu harus marah ataukah harus menahttp://pustaka-indo.blogspot.com168
ngis saat bibirnya yang masih perawan itu dikulum
oleh bibir laki-laki yang bukan apa-apanya. Yang jelas,
ia merasa amat kecewa. Kenapa ciuman pertamanya
harus dialaminya bersama Wibisono, laki-laki yang
sering menatapnya dengan sebelah mata itu" Aduh,
ke manakah perisai yang selama ini selalu dibawanya
setiap bergaul dengan laki-laki" Tetapi sudah terlambat
bagi Ana untuk menjawab pertanyaan yang merajai
kepalanya saat itu. Kuluman bibir Wibisono tak lagi
cuma ada di permukaan bibirnya tetapi terus merasuk, menikmati bibir lembut Ana. Caranya menyentuhkan lidah, caranya memainkan bibirnya membuat
Ana terkejut-kejut dan kebingungan karena ia merasa
se-perti terhanyut ke dalam pusaran entah apa yang
membuatnya jadi kehilangan kewarasan otaknya. Berpikir saja pun ia tidak mampu sehingga betapapun
besar kemauannya untuk mengingkari pesona yang
ditebarkan Wibisono namun tubuhnya mengkhianatinya. Maka dibiarkannya laki-laki itu terus mengecupinya. Bahkan meski kecupan bibir itu tak hanya menelusuri mulutnya saja tetapi juga bergerak mengecupi
kelopak matanya yang terpejam, kemudian menelusuri
sisi wajahnya dan dengan tangannya yang juga bergerak mengelusi pipi, leher, rambut, dan bahunya dengan cara yang begitu intim, Ana membiarkannya.
Seluruh dirinya bagai mati, tak punya daya tolak atas
perlakuan seintim itu. Seakan mereka berdua bagai
sepasang kekasih yang sedang asyik masyuk memadu
cinta. Apa yang dialami Ana itu belum pernah sekali pun
http://pustaka-indo.blogspot.com169
terjadi, bahkan terpikirkan olehnya saja pun tidak,
maka tanpa maunya tubuhnya mulai menggigil dan
gemetar. Merasakan gadis itu menggigil, Wibisono
mengangkat kepalanya. "Kau seperti gadis yang belum pernah dicium saja,"
godanya dengan suara mendesah.
Mendengar perkataan Wibisono, Ana tersentak. Di
balik kata-kata itu, Ana menangkap apa yang tersirat
di dalamnya. Laki-laki itu mengira ia sudah berpengalaman. Maka begitu lintasan pikiran itu menguasainya,
dengan gerakan cepat Ana langsung melepaskan diri
dari pelukan dan pagutan Wibisono. Kemudian dengan gerakan yang sama cepatnya pula, ia berdiri.
"Kurasa, sudah waktunya kita pulang," katanya
kemudian dengan suara parau. "Kalau tidak, kita bisa
kemalaman." Tanpa menjawab perkataan Ana, Wibisono menyusul berdiri sesudah mengibaskan beberapa helai rumput kering yang menempel ke celananya. Ia menangkap adanya sesuatu yang sedang bergolak di hati Ana.
Tetapi apa itu, Wibisono tidak tahu. Jadi ia membiarkan saja dirinya mengikuti ke mana arah mana angin
sedang bertiup. Ana meliriknya. Tetapi ketika lirikan matanya itu
membentur bibir Wibisono, dengan seketika pipinya
menjadi merah padam. Malu dia kepada dirinya sendiri. Malu dia kepada alam semesta yang menjadi
saksi ciuman pertamanya. Ingin sekali ia menangis
sekeras-kerasnya. Tetapi, apa gunanya" Semua telah
telanjur terjadi. http://pustaka-indo.blogspot.com170
"Ayo... kita pulang," katanya sambil mulai melangkah. Suaranya bergetar, menahan tangis.
Masih tanpa bersuara, Wibisono mengangguk dan
mulai menjajari langkah kaki Ana menuju ke tempat
parkir. Saat itu cuaca mulai meredup. Di langit, tampak berbondong-bondong burung terbang melintasi
kepala mereka, menuju ke sarangnya entah di mana.
Celoteh bunyi mereka menodai keheningan alam.
Tetapi kedua orang itu berjalan bergegas tanpa berniat
menyaksikan situasi pegunungan saat senja mulai
menebarkan sayapnya. Ketika mereka tiba di tempat parkir, tempat itu
tampak sepi. Hanya ada beberapa motor diparkir di
depan rumah makan. Masih tanpa bicara, keduanya
langsung masuk mobil begitu pintunya telah dibuka.
Ana menyandarkan kepalanya di jok mobil dengan
perasaan yang masih saja galau oleh pengalaman pertamanya tadi. Di sampingnya, Wibisono mengemudikan
mobilnya dengan tenang. Namun setengah jam
kemudian ketika laki-laki itu belum juga mendengar
suara Ana, tiba-tiba saja ia menepikan mobilnya dan
berhenti di tepi jalan yang agak landai. Saat itu cuaca
mulai remang petang. Bahkan di kejauhan, gunung

Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gunung yang tadi tertangkap oleh mata mereka, telah
lenyap ditelan kegelapan.
Merasakan mobil yang ditumpanginya berhenti di
tepi jalan begitu saja tanpa ada pemberitahuan dan
tanpa alasan, Ana menoleh ke arah Wibisono. Tempat
itu sepi. Tidak ada rumah, tidak ada toko, dan tidak
ada orang. Mau beli sesuatu atau mau bertanya kepahttp://pustaka-indo.blogspot.com171
da seseorang, jelas tidak mungkin. Mogok, juga pasti
tidak. Suara mobil yang rewel dan yang tidak, mudah
dibedakan. Atau merasa capek" Rasanya juga tidak
mungkin. Laki-laki seperti Wibisono termasuk orang
yang memiliki kekuatan dan vitalitas yang tinggi.
"Kenapa berhenti?" Rasa ingin tahu mengalahkan
keinginannya untuk tetap membisu sampai di rumah. "Cocok kan dengan penumpangnya" Kau membisu
saja sejak tadi tanpa aku tahu apa sebabnya," jawab
Wibisono. "Aku sedang tidak ingin bicara."
"Begitu juga mobil ini, sedang tidak ingin berjalan." "Jangan mengada-ada," sahut Ana.
"Aku tidak mengada-ada. Siapa sih yang suka
mengemudi dalam cuaca mulai gelap, di jalan yang
berliku-liku pula tanpa diajak bicara penumpangnya.
Bisa bosan dan mengantuk."
Ana diam saja, tak mau menanggapi perkataan
Wibsono. Tetapi laki-laki itu tidak mau menghentikan
pembicaraan. "Sebetulnya, ada apa sih" Kau marah karena kucium?" tanyanya langsung pada apa yang dipikirkannya. "Ya, aku memang marah. Tetapi kepada diriku sendiri. Jadi kau tak usah sibuk berpikir macam-macam,"
jawab Ana. "Kenapa marah pada dirimu sendiri" Apakah karena kau mau saja kuciumi" Begitu, kan?" Masih tanpa
http://pustaka-indo.blogspot.com172
basa-basi Wibisono menyerang Ana. Kemarin malam
sepulang mereka dari Borobudur, Ana juga mengatakan hal yang sama, marah pada dirinya sendiri karena
membiarkan pipinya dicium olehnya.
Ana tidak mau menjawab. Tetapi seperti tadi,
Wibisono tidak suka bicaranya dianggap angin. Apalagi
ada tanda-tanda ketidakrelaan Ana atas ciuman-ciumannya tadi. Seakan dia tidak pantas menyentuh bibirnya yang mungil, lembut, dan cantik itu. Padahal,
jelas-jelas Ana tadi tidak menolak ketika dicium.
"Kenapa mesti marah kepada dirimu sendiri sih?"
Wibisono mengulang serangannya lagi. "Masalahnya
apa?" "Aku berhak untuk tidak menjawab pertanyaanmu,
kan" Jadi, berhenti bertanya-tanya seperti itu."
"Tetapi aku merasa heran atas sikapmu yang mendadak sontak berubah begini. Sepertinya kau tadi tidak merasa keberatan ketika kucium. Meskipun dari
pihakmu tidak ada respons untuk membalas ciumanciumanku, tetapi kau tidak menolak."
"Sebab... aku... aku tadi... bingung...," akhirnya
Ana mau berterus terang. "Otakku tiba-tiba menjadi
bebal... tidak tahu harus marah atau harus menangis." Perkataan Ana yang diucapkan dengan gagap seperti itu tidak membawa pikiran Wibisono pada satu
pengertian bahwa ciuman tadi adalah ciuman pertama
gadis itu. Sesuatu pikiran yang wajar sebetulnya sebab
mengingat usia Ana dan mengingat pergaulan anak
muda kota Jakarta, mana mungkin Wibisono berpikir
http://pustaka-indo.blogspot.com173
bahwa itu tadi ciuman pertamanya. Jadi pikirannya
lebih terarah pada diri sendiri, bahwa Ana tidak suka
menerima ciuman darinya. Apalagi ingatannya terkait
pada peristiwa di bawah pohon sawo dekat teras rumah ibu Ana. Baru dicium pipinya saja gadis itu sudah begitu tersinggung sampai-sampai permintaan
maafnya tidak segera diterima. Sombong, angkuh,
seperti burung merak. Teringat peristiwa tersebut mata elang Wibisono
langsung menukik ke arah Ana yang duduk setengah
meringkuk di dekat jendela mobil. Gadis satu ini memang sulit ditebak perasaannya. Tadi dicium olehnya,
dia diam saja. Tetapi tiba-tiba marah, merasa terhina
karena ciumannya itu. Sungguh, sangat munafik.
"Kau bilang otakmu tiba-tiba menjadi bebal, bingung, dan tidak tahu harus marah atau harus menangis. Menurutku, itu urusanmu," katanya kemudian
dengan perasaan kesal. "Tetapi pada kenyataannya kau
telah membiarkan aku menciummu. Bahkan, kaubiarkan pula dirimu larut di dalam cumbuan-cumbuanku..." "Wibi!" bentak Ana, memotong perkataan Wibisono.
"Aku tidak mau mendengar pembicaraan tak senonoh
seperti itu." "Apanya yang tidak senonoh" Ana, kau jangan melebih-lebihkan masalah," Wibisono juga membentak.
"Aku tidak membesar-besarkan masalah. Aku memang tidak suka kejadian mesum yang memalukan
tadi diungkit-ungkit lagi ke dalam pembicaraan.
Titik." http://pustaka-indo.blogspot.com174
"Astaga, Ana! Kau tahu atau tidak sih apa arti kata
mesum" Kau jangan memperburuk dan menghina
perbuatan sendiri lho."
"Aku memang menganggap mesum perbuatan kita
tadi. Oleh sebab itulah aku marah pada diriku sendiri
kenapa membiarkan hal semacam itu terjadi."
"Kau menghinaku."
"Aku tidak menghinamu...."
"Lalu apa artinya kalau kau menganggap perbuatan
kita tadi mesum" Pujian untukku?" sindir Wibisono.
"Bukankah itu artinya kau menganggap dirimu begitu
tinggi sehingga ketika aku menciummu, kau merasa
bibirmu jadi tercemar karenanya?"
Ana tertegun. Meskipun dia tidak mengucapkannya,
memang dari perkataan, dan terutama dari perasaannya sendiri, ia menganggap Wibisono tidak masuk
hitungan untuk mengecup dan mencium bibirnya
yang masih perawan. Laki-laki itu bukan kekasihnya.
Bukan teman akrabnya. Bukan pula apa-apanya. Bahkan bukan tergolong laki-laki idaman.
Melihat Ana tertegun dan melihat sikapnya yang
serbasalah, tahulah Wibisono bahwa tebakannya itu
benar. Ia merasa tersinggung karenanya. Di Jakarta,
ada banyak gadis yang mencoba meraih perhatiannya
dengan berbagai cara. Bahkan tak kurang-kurang pula
yang mengejar-ngejarnya dengan berbagai alasan yang
intinya supaya keberadaannya diperhatikan. Tetapi di
sini, gadis menyebalkan ini telah menganggap bibirnya tercemar oleh ciumannya. Sungguh keterlaluan
penilaian gadis itu. http://pustaka-indo.blogspot.com175
Kemarahan Wibisono kali itu lebih meninggi dibanding kemarin malam ketika ia merasa tersinggung
oleh sikap dan protes Ana atas ciuman di pipinya.
Akibatnya, otak Wibisono tak bisa lagi diajak berpikir
normal. Gadis satu ini telah menghinanya. Memangnya siapa dia" Siapa pula keluarganya" Ratu dari negara antah berantah"
Sedemikian besar rasa terhina Wibisono sampai ia
tak mampu lagi menahan diri. Maka dilampiaskannya
dengan menyentak lengan Ana sehingga tubuh gadis
itu oleng dan rebah ke dalam pelukannya. Dan secepat kilat sebelum Ana sempat berpikir dan bereaksi
apa pun, Wibisono langsung menyergap bibirnya dengan ciuman yang bergelora. Pikirnya, kepalang basah
mandi sajalah dia. Toh tidak bermaksud menghina
pun, dianggap mencemarkan bibirnya.
Untuk beberapa saat lamanya Ana tergagap-gagap
karena tidak menyangka Wibisono akan memperlakukan dirinya seperti itu. Bahkan sempat menikmati
kemesraan dan geloranya asmaranya yang nyaris melumpuhkan otaknya. Tetapi pada detik berikutnya, ia
mulai meronta dan mendorong dada laki-laki itu dengan sekuat tenaganya. "Wibi, lepaskan aku!" bentaknya sambil berusaha
membebaskan wajahnya dari pagutan Wibisono. "Bersikap santunlah sebagaimana mestinya. Seburuk apa
pun diriku, aku ini perempuan baik-baik yang kauajak pergi dari rumah. Bukan kaupungut dari jalanan." Mendengar bentakan dan perkataan yang diuucaphttp://pustaka-indo.blogspot.com176
kan dengan sepenuh hati itu, Wibisono tertegun. Ia
merasa malu telah bersikap sekasar itu. Tetapi ia masih mempunyai sikap kesatria.
"Maaf," katanya dengan suara parau. "Aku... lupa
diri karena merasa terhina oleh anggapanmu bahwa
aku telah mencemari dirimu. Itu kan berarti aku ini
semacam penyakit!" Ana terdiam. Bahwa Wibisono merasa terhina, rasanya memang wajar. Oleh karenanya, jika lelaki itu
melampiaskan kemarahannya juga tak bisa disalahkan.
Hanya caranya saja yang tak bisa ia terima.
"Mungkin tanpa kusadari aku memang telah menghinamu sehingga kau merasa tersinggung dan marah
karenanya. Namun kau harus mengerti bahwa sesungguhnya aku juga menghina diriku sendiri karena tidak
mampu menjaga diri. Tetapi, apakah pantas kalau rasa
terhina dan kemarahanmu itu harus kaulampiaskan
dengan menciumku secara... maaf... agak brutal seperti
tadi?" Wajah Ana terasa panas saat berkata seperti itu.
"Aku sudah minta maaf tadi."
"Ya. Tetapi tadi ketika kita masih di atas, semestinya kau tidak menciumku. Bukan dengan maksud
untuk menghinamu, tetapi perbuatan itu sungguh tidak pantas. Kita bukan sepasang kekasih. Jadi janganlah ciuman diobral-obral sehingga terkesan seperti
murahan. Padahal berciuman bagi sepasang kekasih
merupakan salah satu bentuk ungkapan kasih sayang."
Lagi-lagi kulit wajah Ana terasa panas. Kalau tidak
berada di dalam kegelapan, pasti rona wajahnya tampak merah padam. http://pustaka-indo.blogspot.com177
"Kalau memang begitu, kenapa kau tadi tidak mendorong dadaku kuat-kuat atau merenggut tubuhmu
dari pelukanku seperti yang baru saja kaulakukan di
sini tadi?" Wibisono mengingatkan. "Kalau kau tadi
menolakku, pasti aku tidak akan melanjutkannya."
"Aku... aku... tadi bingung sekali... tak tahu harus
bagaimana karena sama sekali tidak menyangka kau...
akan menciumku," Ana mengakui. "Aku sudah mengatakannya tadi, kan?"
"Terus terang, aku tadi amat terpengaruh oleh keindahan alam yang sedemikian menakjubkan. Rasanya,
kita berdua menjadi bagian dari seluruh keindahan
alam sehingga aku lupa diri. Saat itu aku hanya merasakan adanya desakan yang amat kuat untuk melengkapi keindahan alam itu bersamamu dengan... menciummu. Maaf, aku berjanji untuk tidak melakukan
perbuatan semacam itu lagi."
"Baik. Aku juga minta maaf kalau sikap dan perkataanku tadi mengesankan penghinaan terhadapmu.
Seperti yang sudah kukatakan tadi, aku tidak bermaksud menghinamu." "Apakah itu berarti kita sudah mengadakan semacam gencatan senjata?" tanya Wibisono.
Ana mengangguk. "Ya," sahutnya. "Dengan syarat, kejadian hari ini
akan kita lupakan dan jangan pernah diungkit-ungkit
lagi ke dalam pembicaraan. Setuju?"
"Setuju." Setelah menyepakati perjanjian itu Wibisono segera
melanjutkan perjalanan menuju ke Ungaran kembali.
http://pustaka-indo.blogspot.com178
Ketika mereka tiba di rumah, hari telah menjelang
malam. Setelah mandi, Ana lalu duduk bersama sang
ibu di muka televisi dan melamunkan peristiwa seharian bersama Wibisono tadi dan terhenti oleh suara
perempuan tengah baya itu.
"Makan sekarang ya, Ana" Mbok Sosro sudah selesai menghangatkan rawon untukmu. Tinggal kamu
sendiri yang belum makan lho." Begitu, suara ibunya
merenggut Ana dari lamunannya. Maka ingatannya
mengenai kepergiannya dengan Wibisono selama seharian tadi tersingkir. "Tak enak makan sendirian."
"Nanti Mama temani makan buah."
"Atau mau ditemani oleh Mas Wibi" Aku yakin,
dia juga belum makan," Hadi menyela. Suaranya mengandung godaan. "Jangan macam-macam, Hadi. Antara diriku dan
Wibi tidak ada apa-apa. Kami hanya berteman biasa
saja." "Ada apa-apa pun kami merasa oke-oke saja kok,"
Hari ganti menyela. Juga dalam nada menggoda.
"Tidak mungkin. Laki-laki seperti dia bukan tipe
idamanku," jawab Ana serius.
"Tetapi orangnya baik sekali lho, Ana," sambung
ibunya. "Enteng tangan, ramah, rendah hati, dan me

Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyenangkan dalam pergaulan."
"Kriteria seperti itu tidak mencukupi untuk dijadikan alasan terjadinya suatu hubungan istimewa dengannya, Mam. Benar-benar tidak ada apa-apa di
antara kami berdua."
http://pustaka-indo.blogspot.com179
"Kau tak usah malu pada Mama. Saling tertarik itu
wajar. Kalau saling ketertarikan itu berkembang menjadi sesuatu yang lebih khusus, Mama akan gembira
sekali dan akan menjadi orang pertama yang akan
mendukung kalian. Mempunyai menantu seperti
Wibisono, merupakan idaman bagi setiap ibu."
"Tetapi sungguh, Mam, kami hanya berteman biasa," Ana membantah tegas-tegas.
"Baik, akan kita lihat nanti kebenarannya," sahut
sang ibu sambil tersenyum.
Ana melihat di dalam senyum ibunya itu terkandung suatu keyakinan. Melihat itu, Ana merasa sakit
di dalam perutnya. Ah, ibunya tidak tahu apa yang
sebenarnya terjadi di antara dirinya dengan Wibisono.
Tak akan pernah ada kecocokan di antara mereka.
Sudah begitu keduanya sama-sama menaruh rasa kurang menghargai terhadap masing-masing pihak.
"Mama jangan terlalu jauh menduga," sahutnya
kemudian. "Wibisono tidak berminat untuk menjalin
hubungan dengan Ana. Begitupun sebaliknya. Percayalah, Mam." Mendengar Ana terus bertahan dengan jawabannya
yang itu-itu saja, sang ibu tertawa sambil mengibaskan
tangannya ke udara. "Sudahlah," katanya. "Waktu yang akan membuktikan nanti. Ada hal lebih penting yang Mama ingin
katakan kepadamu. Tadi siang adikmu di Jakarta
menelepon ke sini." "Oh ya?" Ana menoleh ke arah sang ibu. "Kok dia
http://pustaka-indo.blogspot.com180
tidak menelepon langsung pada Ana" HP Ana tidak
dimatikan seharian tadi."
"Ya, Deni mengatakan pada Mama bahwa ia sudah
beberapa kali menelepon ke HP-mu tetapi tidak sampai. Mungkin karena tidak ada sinyal di tempatmu
tadi." "Masuk akal. Apa katanya, Mam?"
"Dia akan meneleponmu lagi besok pagi. Katanya,
dia ingin mengatakannya sendiri kepadamu," jawab
ibunya. Ana mengangguk. Ah, apa kira-kira yang akan dikatakan oleh Deni kepadanya"
Pagi hari berikutnya ketika baru saja Ana selesai
sarapan nasi goreng istimewa, telepon berdering. Dengan perasaan gembira, Ana langsung mengangkatnya. "Halo, Deni, kemarin kau meneleponku ya?""
"Ini Wibisono, Ana. Bukan Deni, kekasihmu!" Itu
bukan suara Deni. Tetapi suara Wibisono.
"Oh, kau. Mau bicara dengan Hadi?"
"Tidak. Aku ingin bicara denganmu," sahut
Wibisono. "Setelah gencatan senjata di antara kita
tadi malam, maukah kau kuajak jalan-jalan ke Semarang" Akan kubawa kau ke sebuah rumah makan
yang enak-enak masakannya di daerah Candi sambil
melihat laut dari ketinggian."
"Ada candi di Semarang?"
"Candi itu sebuah nama tempat di kota Semarang,
terletak di perbukitan yang tinggi. Jadi bukan candi
seperti Candi Borobudur," jawab Wibisono.
http://pustaka-indo.blogspot.com181
"Daerah wisata?"
"Boleh saja disebut begitu karena banyak hotel dan
rumah makan di sana. Tetapi sebenarnya lebih merupakan permukiman penduduk. Kota Semarang terdiri
atas dataran rendah dan perbukitan yang disebut dengan nama Candi. Mau kuajak ke sana?"
"Maaf, Wibi. Aku harus menyelesaikan novelku.
Sudah kukatakan kepadamu kemarin, kan" "
"Baiklah kalau begitu. Mungkin lain kesempatan." Begitu Ana dan Wibisono selesai bicara, telepon
berdering lagi. "Halo...?" Ana tidak berani menyebut nama Deni.
Khawatir Wibisono menelepon lagi karena ada yang
lupa disampaikan. "Mbak Ana?" Hm. Ternyata memang Deni. Senang
sekali Ana mendengar suara adiknya. Hampir empat
minggu lamanya mereka tidak bercanda seperti biasanya. "Ya, aku. Wah, kangen sekali aku padamu, Den."
"Aku juga, Mbak. Kok lama sekali sih tinggal di
Ungaran" Rumah jadi sepi sekali."
"Pandainya adikku merayu!" Ana tertawa. "Nah,
kenapa kau mencariku, Den?"
"Mbak, hari Senin nanti kau mendapat panggilan
untuk wawancara di sebuah penerbitan majalah...."
"Oh ya?" Ana berseru gembira. "Kau tahu dari
mana, Den?" "Dari balasan surat lamaranmu. Kau menulis ke
sebuah majalah juga, kan?"
http://pustaka-indo.blogspot.com182
"Oh, suratku terbang ke mana-mana, Den. Namanya juga mencari lowongan pekerjaan. Kaubuka suratnya?" "Bukan, aku. Tetapi Ibu."
"Aku memang meminta Ibu supaya membuka semua surat balasan lamaran yang ditujukan kepadaku.
Nah, ada surat lainnya?"
"Ada beberapa lagi."
"Isinya...?" tanya Ana, penuh harapan.
"Permintaan maaf, bahwa lowongan telah terisi."
"Ah, memang susah mencari pekerjaan sekarang
ini. Jadi berarti yang memberi jawaban positif cuma
kantor penerbitan itu?"
"Ya. Bagaimana...?"
"Bilang Ibu, aku akan pulang hari Sabtu."
"Asyik. Berarti lusa, ya Mbak. Oleh-olehnya jangan
lupa." "Beres, Pak. Terutama makanan kesukaanmu, kan?"
"Ya, bandeng asap Semarang." Deni tertawa. "Syukur-syukur ditambahi makanan khas lainnya, ya Bu."
"Sudah kukatakan tadi, beres, Pak."
"Baik, Bu. Hati-hati di jalan ya." Terdengar tawa
Deni sebelum pemuda itu menghentikan pembicaraan
dengan sang kakak. Ana meremas-remas kedua belah tangannya. Ada
perasaan gembira, tetapi juga ada perasaan cemas. Pikirannya mulai mengembara. Ia tidak menyangka lamarannya yang ditujukannya ke kantor penerbit, justru ditanggapi. Padahal ia bukan sarjana publisistik
atau sejenisnya. Bidang komunikasi massa merupakan
http://pustaka-indo.blogspot.com183
sesuatu yang agak asing baginya. Apa yang diketahuinya mengenai dunia penerbitan hanya diketahuinya
dari Asti, temannya yang menjadi wartawan surat kabar dan dari Toni, sepupunya yang bekerja di stasiun
televisi. "Telepon tadi dari Deni?" Ibunya yang baru keluar
dari kamar, bertanya. "Apa katanya?"
"Ya, Mam," jawab Ana. "Katanya hari Senin ini
nanti Ana diminta datang ke kantor suatu majalah
untuk wawancara, berkaitan dengan surat lamaran
yang Ana kirim. Jadi, Mam, Sabtu siang besok Ana
akan pulang ke Jakarta dengan kereta api Argo
Anggrek dari Surabaya."
"Kok begitu cepat?"
"Tidak cepat lho, Mam. Ana di sini sudah hampir
empat minggu. Doakan agar Ana mendapat pekerjaan." "Pasti, Ana. Tetapi mulai sekarang kau harus sering
datang ke Ungaran. Mama senang sekali kau datang
mengunjungi Mama. Bahkan terus terang Mama sudah mempunyai rencana, seandainya kau belum mendapat pekerjaan, bekerjalah di sini bersama Mama.
Kita kembangkan usaha Mama ini dengan membuka
toko di Semarang, misalnya. Atau apa sajalah yang
kauinginkan.?" "Maaf, Mam. Dunia usaha bukan duniaku. Sedikit
pun jiwaku tidak ada di situ," jawab Ana tegas.
"Darah ayahmu yang banyak menurun padamu."
"Ya, Papa juga pernah bilang begitu. Bahkan Eyang
Kakung juga mengatakan hal sama waktu mendengar
http://pustaka-indo.blogspot.com184
Ana menyanyi sambil main piano," senyum Ana. "Sayangnya beliau tidak sempat melihat karya Ana menjadi buku. Oh ya, Mam, Ana mau mencari karcis
kereta api, sekarang. Boleh pinjam mobil?"
"Suruh Hadi atau Hari mengantarkanmu. Jangan
sendirian. Bisa salah jalan, nanti."
"Kasihan, Mam. Belakangan ini mereka sibuk mencari sekolah." "Kalau begitu suruh saja si Eko mengantarkanmu.
Dia bisa diandalkan," kata sang ibu. "Sekalian saja
kau beli oleh-oleh."
"Mama tidak membutuhkan Eko?"
"Hari ini Mama tidak pergi ke mana-mana," sahut
sang ibu lagi. "Kamu ingin sesuatu dari dagangan
Mama" Nanti Mama ambilkan."
"Daster seperti yang Mama berikan untuk Ana kemarin, ya" Bordirannya cantik, ada ikat pinggangnya
pula sehingga bisa untuk baju rumah juga. Bahannya
sejuk dan modelnya sederhana."
"Nanti Mama ambilkan beberapa potong. Barangkali kau mau memberi oleh-oleh buat ibu tirimu."
"Nanti Mama rugi."
"Kalau rugi, Mama tidak akan menawarimu." Sang
ibu tertawa. "Nah, mau blus juga" Mama baru saja
mendesain blus-blus batik untuk kebutuhan santai
dan setengah resmi. Mau mencoba yang sudah
jadi?" "Kalau ada yang sportif, polos, sopan, berwarna
cerah dan bisa dipakai untuk wawancara, Ana mau
http://pustaka-indo.blogspot.com185
sepotong, Mam. Blus batik, boleh juga. Satu, saja.
Tidak usah banyak-banyak."
"Ya." Sambil berkata seperti itu sang ibu mengulurkan beberapa lembar uang ratusan. "Ini Mama mengiurimu untuk biaya tiket kereta api dan oleh-oleh."
"Banyak betul, Mam. Ana sudah menyiapkan uang
untuk itu kok. Jangan terlalu memanjakan Ana, ah!"
"Biarkan Mama memanjakanmu, Ana. Selama ini
Mama tidak pernah merawatmu. Jadi tolong, jangan
menolak pemberian Mama."
Suara ibunya yang terdengar begitu memohon
membuat Ana tak tega untuk menolak lagi.
"Baiklah. Tetapi hanya untuk kali ini saja lagi lho,
Mam. Mudah-mudahan Ana cepat mendapat penghasilan," sahutnya. Kemudian ia mengubah pembicaraan.
"Omong-omomg, boleh kan Ana memberi masukan"
Soal diterima atau tidak, seratus persen terserah
Mama." "Masukan apa?" "Mengenai dagangan Mama. Pertama, jangan membuat secara massal sehingga terkesan pasaran. Kedua,
jahitan harus kuat sehingga tidak mudah lepas. Ketiga, jangan memakai bahan yang luntur, nanti orang
kapok membeli. Keempat, Mama buat desain yang
eksklusif tetapi enak dipakai. Kelima, jangan membuat
sesuatu yang tidak jelas. Seperti kimono batik itu
misalnya, untuk jas kamar, untuk jas kamar mandi,
jas habis berenang atau apa" Kan harus disesuaikan
dengan jenis bahannya. Keenam, untuk desain seprai
http://pustaka-indo.blogspot.com186
sebaiknya diklasifikasi. Untuk kamar anak, remaja,
dan dewasa." Sang ibu tertawa. "Mama juga sudah memikirkan hal itu. Produksi
kimono akan Mama fokuskan sebagai jas kamar," katanya kemudian. "Mendengar perkataanmu, sebetulnya
kau mempunyai bakat untuk berbisnis lho."
"Tidak, Mam. Ana lebih melihat segi keindahan
dan kualitasnya saja. Nah, Ana akan berangkat sekitar
jam sebelas nanti. Mama betul-betul tidak akan memakai mobil?" "Kan ada beberapa mobil di garasi. Sepertinya, Hari
dan Hadi juga tidak punya rencana pergi kok. Bilang
pada Eko supaya sejam lagi dia siap mengantarmu."
"Memangnya mau ke mana, Mbak?" Hadi yang
tiba-tiba muncul dari dalam kamarnya, menyela.
"Aku mau membeli tiket di Stasiun Tawang Semarang, sekalian beli oleh-oleh."
"Lho, sudah mau pulang?"
"Ya, besok lusa."
"Sabtu?" "He-eh." "Bagaimana kalau aku yang mengantarkanmu ke
Semarang" Tidak usah dengan Eko. Aku masih ingin
kangen-kangenan denganmu, Mbak. Sebab siapa tahu,
beberapa tahun kemudian baru kau datang lagi menjenguk kami." "Kalau kau mau mengantarkanku ke Semarang
tentu saja aku lebih senang, Hadi. Untuk makan
http://pustaka-indo.blogspot.com187


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

siang nanti, beritahu aku makanan enak apa saja yang
ada di Semarang." "Beres. Aku mandi dulu ya. Aku kesiangan bangun." "Ya ampun, sesiang ini belum mandi?" Ana menjinjitkan alis matanya. "Jauh jodoh lho."
"Ah, mitos itu kan untuk anak gadis."
"Pandangan yang keliru, Hadi. Mitos itu untuk
perempuan dan laki-laki. Aku tidak mau memilih
laki-laki yang suka bangun siang," tawa Ana. "Kesannya malas." "Aku jarang sekali bangun siang lho, Mbak." Hadi
menyeringai. "Gara-gara membetulkan televisi sampai
malam, tidurku jadi lambat."
"Televisimu rusak?"
"Teve Mas Wawan. Daripada menyuruh tukang
dan membayar, kan lebih baik aku yang membetulkan. Gratis." "Sejak SD Hadi selalu memperhatikan orang membetulkan ini dan itu," ibu mereka menyela dengan
suara bangga. "Dia cepat sekali belajar."
"Papa juga begitu, Mam. Mulai dari membetulkan
arloji sampai lemari es. Beliau itu unik. Ya seniman,
ya tukang." Ana tertawa membayangkan ayah tercinta.
"Rupanya Hadi menurun dari beliau."
"Mengotak-atik sesuatu juga seni kok, Mbak."
"Ya, memang. Nah, mandi dulu sana. Aku tidak
mau pulang kesorean nanti."
"Ya. Setelah mandi, aku akan mengembalikan teve
Mas Wawan lebih dulu, baru kita berangkat."
http://pustaka-indo.blogspot.com188
"Oke. Sementara itu aku akan ganti pakaian dan mencatat apa-apa yang akan kubeli di Semarang nanti."
"Tetapi sarapan dulu, Hadi," ibunya menyela lagi.
"Ada nasi goreng yang masih hangat."
"Kalau ada, roti saja, Mam. Sebentar lagi makan
siang. Kalau perut kenyang kan rugi. Mau ditraktir
Mbak Ana di Semarang."
Ibu dan kakak perempuannya tertawa mendengar
perkataan Hadi. Begitulah, setengah jam kemudian
pemuda itu sudah siap untuk mengantar sang kakak
mencari karcis kereta api. Karena bukan masa liburan
sekolah dan juga bukan hari besar, dengan mudah
Ana mendapat karcis. Sesudah itu barulah Ana minta
diantar Hadi ke tempat pusat oleh-oleh. Di sana Ana
membeli beberapa macam makanan khas Semarang
untuk oleh-oleh. "Saya minta ikan bandeng duri lunak yang baru
dimasak hari ini ya. Satu ekor yang asap, dua ekor
yang dipindang," pintanya kepada penjual. "Karena
baru besok lusa saya bawa ke Jakarta."
"Ini baru saja masak. Masih panas. Nanti kalau
sudah dingin, masukkan saja ke dalam lemari es."
"Ya. Terima kasih."
"Saya juga minta yang baru matang, Mbak." Terdengar oleh Ana suara yang dikenalnya. Suara itu persis
suara Wibisono. Tanpa sadar dia menoleh, ingin tahu seperti apa
wajah orang yang suaranya persis suara Wibisono itu.
Tetapi alangkah herannya dia ketika melihat orang
tersebut memang Wibisono.
http://pustaka-indo.blogspot.com189
"Lho kok di sini?" sapanya. "Beli apa?"
"Beli oleh-oleh untuk ibuku."
"Oleh-oleh untuk ibumu" Bukankah beliau ada di
Jakarta?" "Betul sekali. Aku memang akan membeli oleh-oleh
untuk ibuku. Aku akan pulang ke Jakarta," jawab
Wibisono dengan suara kalem dan sikap tenang.
Ana terkejut. "Kau mau pulang ke Jakarta?" tanyanya kemudian.
"Ya. Rumahku di sana, kan" Kenapa merasa heran."
"Tidak apa-apa." Ana menahan diri untuk tidak
mengatakan bahwa dia juga mau pulang ke Jakarta.
"Kapan berangkatnya?"
"Sabtu pagi." "Sabtu pagi?" Ana mengerutkan dahinya. "Ah, jangan main-main, Wibi!"
"Mau pulang ke Jakarta kok dibilang main-main.
Memangnya kenapa, Ana?"
"Cuma sekadar bertanya saja. Soalnya seharian kemarin kau tidak bilang kalau mau pulang ke Jakarta
dalam waktu dekat ini," jawab Ana terus terang.
"Memang kepulanganku ini termasuk mendadak,
Ana. Kantor pusat membutuhkan penangananku.
Baru saja aku ditelepon dari sana," jawab Wibisono.
Ana terdiam. Tetapi perasaannya mulai bergolak.
Betulkah apa yang dikatakan oleh Wibisono bahwa ia
mendadak harus pulang ke Jakarta" Tahukah laki-laki
itu bahwa Ana akan pulang ke Jakarta hari Sabtu
juga" Suatu kebetulankah itu atau apa" Berpikir seperti itu Ana langsung menoleh ke arah Hadi. Jangan-jahttp://pustaka-indo.blogspot.com190
ngan ketika adiknya mengembalikan televisi Wawan,
dia memberitahu akan mengantar Ana ke Semarang
untuk beli tiket kereta dan oleh-oleh" Tetapi wajah
pemuda itu tampak biasa-biasa saja.
"Kau sendiri belanja apa, Ana?" Wibisono ganti
bertanya setelah memilih satu besek wingko babat,
penganan khas Semarang yang rasanya gurih dan
legit. "Cari camilan buat iseng kalau lagi lapar," sahut
Ana berdalih. "Dari sini terus ke mana?" Wibisono bertanya lagi.
Mata elang laki-laki itu menyambar wajah Ana yang
tanpa sungkan-sungkan memperlihatkan ketidaksukaannya melihat keberadaan Wibisono.
"Kami mau makan siang, Mas." Hadi yang menjawab. "Mau gabung bersama kami?"
"Hadi, kita belum tahu mau makan di mana," Ana
ganti menyela. Kesal dia pada Hadi karena tanpa
seizinnya mengajak Wibisono. "Lagi pula Mas Wibi
kan punya rencana lain."
"Tidak. Aku tak punya acara lain. Bahkan perutku
juga lapar seperti kalian. Jadi aku mau bergabung dengan kalian. Hadi, aku ikut mobilmu, ya?"
Ana menyambar Wibsono dengan pandang matanya. "Mobilmu ke mana?"
"Aku tidak bawa mobil. Tadi aku ikut mobil angkutan Wawan yang kebetulan lewat sini. Soal pulangnya, gampang. Ada banyak taksi. Bahwa ternyata aku
bertemu kalian, ini rezeki namanya."
http://pustaka-indo.blogspot.com191
"Oke, Mas. Kita bisa jalan bertiga," Hadi lagi yang
menjawab. "Lebih asyik jadinya."
Ana mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Sepertinya,
Wibisono memang sengaja datang ke Semarang agar
bisa bergabung bersamanya. Namun sulit untuk menuduhnya. Lagi pula dia tak mau dibilang GR. Jadi, dia
diam saja. Tetapi kegembiraannya telah luruh. Entah
kenapa Wibisono selalu saja melintas di tengah perjalanannya. Mulai dari perjumpaan awal mereka di
Toko Maju sampai hari ini, sebelum dia kembali pulang ke Jakarta. Sungguh, menyebalkan sekali.
Tetapi, apa boleh buat. Tidak sopan dan tidak
semestinya andaikata dia menolak keinginan Wibisono
untuk bergabung makan siang bersamanya.
http://pustaka-indo.blogspot.com192
HARI sudah menjelang senja tatkala kereta api Argo
Anggrek yang ditumpangi Ana memasuki Stasiun
Gambir. Suara hiruk-pikuk dan gerakan manusia yang
menyemut di peron menyambut kehadiran kereta api
yang baru datang dari Surabaya itu. Kereta api eksekutif yang berangkat sekitar jam sembilan pagi dari
Surabaya menuju Jakarta tersebut hanya berhenti di
beberapa stasiun. Semarang, Pekalongan, dan
Cirebon. Melihat kesibukan di luar jendela kereta api itu,
bibir Ana menguakkan secercah senyum tertahan. Setelah merasakan suasana tenang tanpa melihat hiruk-pikuk kota besar selama empat minggu lamanya, situasi
yang dilihatnya itu menimbulkan rasa hangat berbaur
rasa geli di hatinya, bagaikan seorang ibu yang sudah
lama tidak melihat anak kesayangannya yang cerewet
Enam http://pustaka-indo.blogspot.com193
dan nakal. Dengan perasaan itu Ana menghayati kehadirannya kembali di Ibukota. Dengan sabar pula ia
menanti sebagian besar sesama penumpang yang menjadi teman seperjalanannya itu turun satu per satu.
"Perlu kuli, Non?" Seorang kuli menawarkan jasanya. Ana menoleh, menatap pakaian seragam yang dipakai kuli itu. Tubuh laki-laki itu masih tampak kekar
kendati usianya telah memasuki usia paro baya.
"Kuli, Non?" laki-laki itu mengulangi lagi tawarannya. "Ya. Tetapi tunggu agak sepi, boleh ya, Pak?"
"Baik. Tetapi sebentar lagi kereta api eksekutif
Taksaka pagi dari Yogya akan masuk."
"Ramai sekali ya, Pak...."
"Ya. Biasanya kalau akhir Minggu begini, banyak
orang bepergian. Ini tadi kereta api jurusan Bandung
baru saja masuk. Lalu sebentar lagi kereta api dari
Solo juga akan tiba."
"Ya sudahlah, Pak, angkat saja sekarang," kata Ana
setelah biaya mengangkat barang telah disetujui bersama. "Baik." Di dalam hati, Ana tersenyum sendiri. Secara tak langsung, si kuli hendak mengatakan agar
Ana segera turun karena sebentar lagi dia harus mencari penumpang lain yang baru datang.
Kuli itu mengangkat koper berisi pakaian Ana dan
satu tas besar berisi berbagai macam barang pemberian sang ibu seperti beberapa potong seprai, dua set
taplak meja makan, baju-baju, sarung bantal kursi,
http://pustaka-indo.blogspot.com194
dan lain sebagainya. Di dalam tas itu juga ada macam-macam oleh-oleh yang dibeli Ana di Semarang.
Selain itu juga terdapat buku-buku pengetahuan pemberian Wibisono dan beberapa keperluan pribadi yang
dibelinya di Ungaran. Di belakang kuli, Ana membawa tas tangan yang
ia gantungkan ke bahu kiri, satu tas berisi laptop
yang digantungkannya di bahu kanan dan tas jinjing
kecil berisi peralatan pribadinya. Maka begitulah setelah menyenggol manusia di depan, di kiri dan kanannya saat melangkahi peron di antara sekian banyak
orang, ia menuruni tangga. Di lantai dasar, arus penumpang sudah tidak seramai seperti di atas. Di depan halaman parkir sebelah utara, kuli tadi berhenti
kemudian membalikkan tubuhnya ke arah Ana.
"Ada yang menjemput, Non?" tanyanya kemudian.
"Tidak, Pak." "Naik taksi?" tanya kuli itu lagi. "Perlu dicarikan?" Ana baru akan mengatakan persetujuannya ketika
tiba-tiba telinganya mendengar suara yang tak asing
bagi telinganya. "Tidak perlu, Pak. Nona ini sudah ada yang menjemput," kata suara itu.
Dengan gerakan secepat kilat Ana menoleh ke arah
asal suara, ingin mengetahui siapa pemilik suara yang
mirip sekali dengan suara seseorang itu. Alangkah kagetnya dia ketika mengetahui siapa orang yang berdiri
tegak di dekatnya itu. Hampir-hampir ia tak memercayai pandang matanya. Di tempat yang sama sekali
http://pustaka-indo.blogspot.com195
tidak disangka-sangka akan bertemu lagi dengan
Wibisono, ia melihat laki-laki itu berdiri tegak di hadapannya. Jadi, suara yang sudah ia kenal itu memang milik orang itu. "Kau!" serunya.
"Ya, aku. Sudah sejak tadi aku tiba di Jakarta dengan pesawat terpagi. Rasanya tak setia kawan kalau
aku tidak menjemputmu di stasiun," jawab Wibisono
dengan kalem. Ana merasa isi dadanya mulai bergolak. Ingin sekali ia mengusir Wibisono dari hadapannya sebab sudah
bulat tekad hatinya untuk tidak akan melanjutkan
pertemanannya dengan laki-laki itu. Rencananya, begitu kembali ke Jakarta, begitu pula ia akan kembali
pada kehidupannya yang lama. Apa yang terjadi di
Ungaran, termasuk pertemanannya dengan Wibisono,
hanyalah bagian dari liburannya saja. Bahkan boleh
dibilang hanya selingan dalam hidupnya. Oleh sebab
itu dengan tegas ia menolak ajakan laki-laki itu.
"Itu tidak perlu, Wibi. Ada banyak taksi di luar
sana. Aku bukan orang asing di kota Jakarta karena
lahir dan dibesarkan di sini. Jadi tidak ada sesuatu
pun yang bisa membuatku merasa gentar berada di
kota ini meskipun serbasemrawut. Jadi jangan mengajariku hidup manja," katanya dengan suara tegas.
Wibisono melekatkan pandang matanya yang tibatiba tampak dingin ke bola mata Ana. Tetapi tidak
sepatah kata pun diucapkannya. Kalaupun ia berbicara, perkataannya itu ditujukan kepada kuli yang masih berdiri menunggu di dekat mereka.
http://pustaka-indo.blogspot.com196


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tolong, Pak, ikuti saya," katanya tanpa menoleh
sekilas pun ke arah Ana. "Nona ini akan ikut mobil
saya." Melihat itu lidah Ana yang semula kelu, kini mulai
terurai. Kedua alis matanya nyaris bertaut di atas batang hidungnya. "Wibi, jangan memaksakan kehendakmu sendiri,"
katanya. "Aku tidak suka merepotkan orang."
"Jalan terus, Pak." Wibisono tetap tidak mau menanggapi perkataan Ana. Ia hanya berbicara kepada
kuli tadi. Maka kedua laki-laki itu terus melangkah menuju
ke tempat mobil Wibisono diparkir. Karena merasa
tidak enak menunjukkan protesnya di tempat umum,
dengan amat terpaksa Ana mengikuti mereka sampai
di dekat mobil Wibisono. Mobil laki-laki itu tampak
mewah, berwarna hitam mulus mengilat. Entah pamer ataukah memang semua mobil laki-laki itu tak
ada yang biasa-biasa saja, Ana tidak tahu. Tetapi sedikit pun dia tidak tertarik.
Setelah membuka bagasi mobilnya dan meminta
kuli tadi meletakkan bawaan Ana, Wibisono mengulurkan uang kepadanya. Jumlahnya dua kali lipat
daripada ongkos yang sudah disepakatinya bersama
Ana sehingga laki-laki paro baya itu berulang kali
mengucap terima kasih dengan wajah cerah. Tetapi
ketika telinganya yang sudah terlatih itu menangkap
suara kereta api yang baru saja datang untuk memuntahkan para penumpangnya keluar, buru-buru ia pamit meninggalkan tempat. http://pustaka-indo.blogspot.com197
Sepeninggal kuli tadi, Wibisono menutup pintu
bagasinya. "Nah, ayo naik. Aku sengaja pergi jauh-jauh dari
rumahku untuk menjemputmu," katanya.
Ana diam saja dengan mulut terkatup rapat, merasa
amat frustrasi karena tidak bisa mengungkapkan kekesalan hatinya. Dia benar-benar tidak ingin melihat
Wibisono lagi. Baginya, kembali ke Jakarta berarti
kembali pula dia pada kehidupannya yang lama. Dan
Wibisono tidak termasuk di dalamnya. Akibatnya,
tanpa maunya tiba-tiba saja air mata sudah memenuhi
bola matanya. Ia berdiri tegak di sisi mobil tanpa bergerak-gerak. Wibisono terkejut melihat mata Ana penuh air
mata. Belum pernah ia melihat Ana dalam kondisi
seperti itu. "Aku berniat baik," katanya, mulai merasa tak
enak. "Aku tahu. Tetapi tidak semua niat baik, baik juga
buat orang bersangkutan," sahut Ana dengan suara
pelan namun tegas. "Aku ini orang yang tidak suka
terikat oleh kebaikan siapa pun, sebab itu akan menjadi beban buatku. Mestinya kau sudah bisa menangkap hal itu. Kalau aku menolak bantuan orang, itu
artinya aku benar-benar menolak. Bukan cuma sekadar basa-basi belaka."
Wibisono tertegun. Dia tidak menyangka Ana bersungguh-sungguh dengan perkataannya itu.
"Maaf kalau kelihatannya aku seperti memaksakan
kehendak sendiri," sahutnya kemudian sambil menihttp://pustaka-indo.blogspot.com198
mang-nimang kunci mobilnya. "Padahal aku tidak
bermaksud demikian. Andai tahu kau akan tersinggung begini, pasti aku tidak akan menyuruh kuli tadi
mengikuti aku sampai di sini. Akan kuantar kau mencari taksi. Tetapi sekarang, segalanya telah telanjur.
Bawaanmu sudah masuk ke mobilku. Jadi dengan
hormat, izinkan aku mengantarkanmu sampai ke rumah." Ana menggeleng. Tetapi karena Wibisono orang
yang pandai menguasai keadaan dan menyentuh hati
orang, akhirnya setelah beberapa kalimat bujukan
yang masuk akal, Ana terpaksa mengalah. Dengan air
muka masam dan perasaan terpaksa, ia naik ke mobil
Wibisono. Kemudian dibiarkannya laki-laki itu membawanya keluar halaman stasiun untuk kemudian
mengarungi lalu-lintas jalan raya.
"Kau mau membawaku ke mana?" Ana bertanya
setelah mereka berada dalam perjalanan sekitar lima
belas menit lamanya. "Pulang ke rumahmu, kan?" Wibisono menaikkan
alis matanya. "Tetapi kenapa arahnya berbeda?" Ana berkata dengan perasaan jengkel yang semakin bertumpuk.
"Lalu ke arah mana kalau begitu?" Wibsono menjawab sambil bersungut-sungut. "Aku kan belum tahu
di mana rumahmu!" Ana tertegun, sadar bahwa apa yang dikatakan oleh
Wibisono benar. Tadi tak sepatah kata pun dia mengatakan di mana alamat rumahnya pada laki-laki itu.
Tetapi, dia tidak mau mengakui kesalahannya itu.
http://pustaka-indo.blogspot.com199
"Kalau begitu, kenapa kau tidak menanyakannya
padaku?" ia ganti menggerutu.
"Karena sejak tadi kau sibuk berdoa jadi aku tidak
mau mengganggumu," sahut Wibisono kalem.
Kalau tidak sedang jengkel begitu, Ana pasti tertawa. Laki-laki itu selalu saja mempunyai jawaban untuk memenangkan dirinya sendiri. Menjengkelkan
sekali. "Belokkan kendaraanmu ke kanan setelah perempatan jalan itu. Kemudian carilah sendiri jalan-jalan
menuju ke rumahku yang paling dekat atau paling
lancar lalu-lintasnya. Pokoknya, rumahku di Duren
Sawit," jawab Ana. "Duren Sawit berapa" Kan banyak bloknya."
Ana menyebutkan alamat rumahnya secara lengkap.
Sesudah itu ia membisu lagi seperti sebelumnya. Pandang matanya lurus ke depan, ke arah lalu-lintas yang
padat merayap pada jam-jam sibuk pulang kantor itu,
sementara kedua belah telapak tangannya bertaut di
atas pangkuannya. Lama situasi seperti itu berlangsung
sampai akhirnya Wibisono merasa tak tahan.
"Khusyuk sekali. Apa yang sedang kaudoakan?"
Suara Wibisono yang tiba-tiba terdengar memecah
kesunyian di antara mereka.
Kurang ajar. Ana mengumpat di dalam hati. Bisabisanya dia menggoda orang yang sedang kesal hati
begini. Malas dia menanggapi pertanyaan menyebalkan
itu. Tetapi Wibisono tak mau tahu.
"Hei, Ana, apa isi doamu?" Ia menggoda lagi.
http://pustaka-indo.blogspot.com200
"Kau sungguh ingin tahu apa isi doaku?" Ana menyambar mata Wibisono dengan tatapan tajam.
"Ya. Doamu begitu khusyuk. Aku juga ingin bisa
saleh sepertimu," Wibisono menggoda lagi.
"Aku berdoa terus-menerus di sepanjang jalan tadi,
mohon agar aku bisa segera sampai ke rumah dan
perjalanan yang terasa amat panjang ini lekas berakhir," sindir Ana. Tak terduga, Wibisono tergelak mendengar sahutan
Ana. Tetapi Ana tidak mau terlarut di dalam suasana
santai yang diciptakan laki-laki itu. Dia tetap berdiam
diri dan duduk dengan tegak menatap jalan raya di
hadapannya. "Ana, aku ingin bertanya lagi," kata Wibisono setelah suara tawanya lenyap. "Selama hampir satu bulan
kau di Ungaran, kita telah sering bersama-sama. Pada
hari-hari terakhir sebelum kepulanganmu ke Jakarta,
kita juga telah mengadakan gencatan senjata. Tetapi
kemarin dulu ketika kita bertemu di kota Semarang,
kauu tampak mengambil jarak terhadapku. Kemudian
hari ini, sikapmu terhadapku bahkan seperti sikap
seseorang yang sedang menghadapi musuh besar. Terus terang, aku bingung menghadapi sikapmu yang
seperti cuaca. Sebetulnya, apa sih maumu?"
"Harus kujawab dengan jujur?"
"Ya. Lebih baik."
"Oke," Ana mengangguk. "Dari awal mula perkenalan kita, aku kan sudah bilang berulang-ulang bahwa
kita berdua ini bagai penumpang dua kapal berbeda
yang berpapasan di tengah laut. Sama-sama melamhttp://pustaka-indo.blogspot.com201
baikan tangan untuk kemudian semakin menjauh dan
semakin menjauh, mengikuti perjalanan kapal masingmasing. Ingat kan perkataanku waktu itu?"
"Ya. Tetapi tolong jelaskan secara terperinci perkataanmu itu." "Rasanya aku sudah sering mengatakannya kepadamu. Entah kau lupa, entah tak masuk ke dalam ingatanmu, entah pula kau tidak memedulikannya, aku tak
tahu. Tetapi aku betul-betul sering mengatakan kepadamu bahwa setelah aku kembali ke Jakarta, maka
semua yang terjadi di Ungaran dan semua kenalan-kenalan baruku di kota itu kuanggap sebagai bagian
dari lintasan peristiwa. Atau bagian dari acara liburanku. Dengan demikian, aku akan melanjutkan kehidupan lamaku seperti sedia kala. Oleh sebab itu munculnya dirimu di depanku sekarang ini membuatku
kesal." "Begitu rupanya," Wibisono bergumam.
"Ya. Maaf, kalau aku bicara terus terang begini.
Sejujurnya, saat ini aku merasa kau telah menghambat
langkahku. Jadi jangan heran kalau sikapku tampak
buruk sekali ketika tiba-tiba melihatmu muncul lagi
di depanku," jawab Ana sesuai keinginannya. "Aku
ingin baik kau ataupun aku melanjutkan perjalanan
ke tempat tujuan masing-msing."
"Tetapi apakah setelah kita menjadi lebih akrab,
kau masih tetap memegang prinsip seperti itu?"
"Ya." "Apakah terhadap orang lain kau juga menerapkan
prinsip yang sama, Ana?"
http://pustaka-indo.blogspot.com202
Ana tertegun ditodong pertanyaan seperti itu. Sejujurnya, dia tidak pernah memperlakukan orang-orang
yang baru dikenalnya seperti itu. Seakan dia tidak
memiliki rasa kehangatan di dalam pergaulannya. Seakan pula dia tidak pernah memiliki kesadaran bahwa
memiliki banyak teman itu merupakan kekayaan yang
luar biasa. "Hei, kau belum menjawab pertanyaanku, Ana,"
Wibisono mengulangi pertanyaannya tadi.
Ana menarik napas panjang. Dia harus bersikap
jujur. "Yah... terus terang terhadap orang lain aku tidak
bersikap begitu. Tetapi kau harus mengerti, Wibi, bahwa sepanjang hidupku aku ini tinggal di Jakarta sehingga jarang sekali aku berkenalan dengan seseorang
di tempat lain." "Memangnya kenapa kalau tinggal di Jakarta?"
"Yah, seandainya pun aku menganggap kenalan-kenalanku di Jakarta sebagai penumpang dua kapal yang
berbeda, tetapi situasi dan kondisinya tidak memungkinkan aku bersikap seperti itu. Di kota yang sama
dan di dalam lingkup pergaulan yang sama pula, terjadinya perjumpaan demi perjumpaan antara diriku
dengan orang-orang itu tak terhindarkan. Jadi sungguh keterlaluan kalau aku menganggap mereka bagai
angin lalu," sahut Ana.
"Dengan perkataan lain, baru terhadapku saja kau
menganggapku seperti itu, kan?"
"Ya." "Memangnya apa beda diriku dengan yang lain?"
http://pustaka-indo.blogspot.com203
Ana tertegun lagi, bingung bagaimana menjawab
pertanyaan tersebut. Tentu saja tidak mungkin mengatakan bahwa sejak awal perjumpaan mereka di Toko
Maju, dia sudah merasakan adanya bahaya yang bisa
ditimbulkan oleh laki-laki itu. Entah bahaya apa, Ana
sendiri tak bisa mengatakannya secara tepat. Ia hanya
dapat merasakannya. Sebagai contoh adalah kenyataan
yang dialaminya pada perjumpaan pertamanya dengan
Wibisono di Toko Maju. Belum pernah sebelumnya
Ana merasa begitu terhina dipandang dengan sebelah
mata oleh orang yang tidak dikenalnya seperti yang
dilakukan laki-laki itu terhadapnya. Kalaupun pernah,
dengan cepat ia akan mengabaikannya. Biarlah anjing
menggonggong, kafilah tetap berlalu. Tidak ada relevansinya dengan dirinya. Tetapi berbeda dengan
Wibisono. Pergaulannya dengan laki-laki itu meskipun
hanya singkat saja, tetapi mengalami pasang-surut
yang melelahkan. Misalnya ketika hubungan mereka
menjadi lebih baik, pelan-pelan rasa tersinggung itu
bisa diatasinya dengan pengertian bahwa memang seperti itulah gaya dan cara Wibisono memandang
orang. Terlebih setelah mereka sering berdiskusi mengenai banyak hal dengan asyiknya. Tetapi ketika
tanpa disangka-sangka Wibisono mencium pipinya
bahkan di hari-hari berikutnya bibirnya yang masih
perawan telah pula dicium oleh laki-laki itu, muncul
kemarahan yang membara di balik dadanya. Wibisono
telah mengobrak-abrik prinsip hidupnya untuk tidak
terlalu intim bergaul dengan laki-laki. Dengan demikian keberadaan Wibisono bisa membahayakan dirihttp://pustaka-indo.blogspot.com204
nya karena berpotensi sebagai bibit penyakit yang
akan menggerogoti kekuatan dirinya dan bisa menjadi
ancaman yang sangat serius. Oleh sebab itu satu-satu

Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya yang masih bisa dipertahankan adalah hatinya
yang masih perawan jangan sampai dirusak oleh lakilaki itu. Ada semacam bisikan di lubuk hatinya yang
terdalam, agar ia jangan memercayai Wibisono. Maka
menganggap laki-laki itu seperti penumpang kapal
yang cuma dijumpainya saat kapal mereka berpapasan
di tengah laut, mutlak perlu baginya. Karenanya ketika tadi melihat lagi Wibisono di hadapannya saat
menyangka dirinya telah aman dari bahaya yang
dikhawatirkannya, ia merasa sangat frustrasi.
"Hei, kok diam saja" Apa jawabanmu mengenai
pertanyaanku tadi?" Wibisono yang tidak sabar melihat diamnya Ana, mengusik lamunan gadis itu.
"Apa pertanyaanmu tadi?" Ana balik bertanya.
Pura-pura lupa. "Kau melamun, rupanya. Aku tadi bertanya padamu, apakah bedanya diriku dengan orang lain" Kenapa kauanggap aku bagaikan penumpang kapal yang
hanya berpapasan denganmu di tengah laut?"
Ana menghela napas panjang dengan diam-diam.
Sulit menjawab pertanyaan itu. Tetapi ia akan mencoba menjawab dengan jawaban yang paling bisa dipahami kendati bukan itu jawaban sebenarnya.
"Karena kau tinggal di sebelah rumah ibuku," sahutnya kemudian. "Sebagai tetangga terdekat keluargaku, seharusnya aku bersikap baik dan ramah terhadapmu. Tetapi sekarang ini aku sedang tidak ingin
http://pustaka-indo.blogspot.com205
menambah kenalan. Terutama yang bukan dari lingkup
kehidupanku. Meskipun aku ini anak Mama, tetapi
lingkup pergaulan kami lain. Mama tinggal di Ungaran
dan memiliki pergaulan yang berbeda dengan diriku,
terutama setelah beliau terjun di dunia bisnis. Sedangkan seumur-umurku aku selalu tinggal di Jakarta."
"Kenapa sih menambah kenalan saja kok dipilahpilah. Punya teman banyak itu terasa kaya lho,"
Wibisono menyela. "Aku tahu. Tetapi karena aku tidak tinggal di
Ungaran maka orang-orang yang kutemui di sana hanyalah bagian dari lintasan kehidupanku. Tidak
menetap di hati dan tidak memiliki keterkaitan dengan
sejarah hidupku," dalih Ana. "Dan, terus terang saja
keberadaanmu membuatku kehilangan rasa nyaman."
"Kenapa kau merasa begitu, Ana?" Wibisono terus
mendesakkan pertanyaan. "Kalau ditanya secara logika, aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu karena ini bukan masalah logika,
rasio, atau penalaran. Melainkan masalah naluri dan
perasaan. Sedangkan yang namanya perasaan kan tidak bisa dipertentangkan atau diperdebatkan."
"Aku tidak bisa memahami dirimu, Ana."
"Kau tak perlu memahami diriku. Aku juga tidak
memintamu untuk memahamiku."
"Meskipun ada perbedaan besar antara dirimu dengan Ika tetapi aku juga melihat persamaannya,"
Wibisono bergumam. Ada nada geram di dalam suaranya. Ana menoleh cepat ke arah Wibisono. Inilah pertahttp://pustaka-indo.blogspot.com206
ma kalinya ia mendengar nama Ika disebut secara
akrab oleh Wibisono. Maka ingatannya langsung melayang pada apa yang pernah mereka obrolkan di Borobudur beberapa waktu yang lalu. Ketika itu Ana menangkap bola mata Wibsono tampak berkabut ketika
nama Evi dan Ika ia sebut. Jangan-jangan Wibisono
pernah tertarik kepada salah seorang di antara mereka.
Tetapi terhadap Evi, kemungkinan seperti itu kecil
karena kakak perempuannya itu sudah menikah. Dengan demikian kemungkinan Wibisono menaruh
perhatian terhadap Ika lebih besar. Tetapi, terlambat.
Ika hamil dan harus segera menikah. Wah, jangan-jangan karena kekecewaan dan kemarahannya terhadap
Ika, Wibisono memindahkan perasaan itu kepadaku,
pikir Ana dengan perasaan cemas. Aku harus semakin
berhati-hati, pikinya lagi. Kurang ajarnya, berani-beraninya dia membanding-bandingkannya dengan Ika.
Sungguh tidak etis. Tetapi sialnya, dia malah ingin
mengetahui apa pendapat laki-laki itu.
"Apa persamaanku dengan Ika dan apa perbedaannya?" tanyanya kemudian, terdorong oleh rasa ingin
tahu itu. "Secara lahiriah, kalian sama-sama memiliki kecantikan yang luar biasa. Bedanya, Ika selalu tampil wah,
mulai dari ujung rambut hingga ujung jemari telapak
kakinya, selalu tampak sempurna. Sedangkan kau, senang tampil apa adanya. Jelita alami?"
"Kau tidak perlu membahas mengenai fisik," dengan menggerutu, Ana menyela perkataan Wibisono.
"Aku tidak suka mendengarnya."
http://pustaka-indo.blogspot.com207
"Baik. Aku mau menunjukkan perbedaan antara
dirimu dengan Ika dalam hal lain. Kau dan Ika samasama memiliki vitalitas yang tinggi dan penuh semangat. Bedanya, Ika lebih menaruh perhatian dan berkutat pada hal-hal yang menyangkut segi fisik terkait
dengan profesinya sebagai model, sementara kau lebih
berkutat dalam segi kognitif. Nyatanya, kau seorang
kutu buku, pengarang, suka belajar apa saja, pemikir,
dan suka melakukan penelitian. Caramu menganalisis
sesuatu, tajam dan terpola secara sistematis."
"Sudahlah, aku tak suka mendengar kau membanding-bandingkan aku dengan adikku. Di dunia ini
tidak ada orang yang persis sama. Saudara kembar
pun tidak. Contohnya, Hadi dan Hari. Setiap orang
mempunyai keunikan masing-masing," Ana memotong
lagi perkataan Wibisono. "Tunggu, aku masih belum selesai bicara," Wibisono
nekat melanjutkan bicaranya. "Ika adalah seorang yang
lincah, periang, pandai bergaul, dan sangat ramah. Dia
bisa menghangatkan suasana dengan sikap dan
suaranya yang hangat. Sebaliknya dirimu. Kau selalu
saja mengambil jarak, sulit dimengerti, acuh tak acuh
dan sangat sombong, tetapi sekaligus juga anggun.
Persis burung merak. Tetapi meskipun begitu, kalian
berdua memiliki persamaan dalam hal perasaan."
"Persamaan perasaan apa?" Tanpa sadar Ana melontarkan pertanyaan yang dipicu oleh rasa ingin tahunya. Lupa, baru saja dia mengatakan tidak suka dibanding-bandingkan dengan adiknya.
http://pustaka-indo.blogspot.com208
"Kalian berdua sama-sama suka meremehkan lakilaki." Mendengar penilaian itu Ana tertegun. Ia disamakan dengan Ika dalam hal berperasaan" Gila si
Wibisono! Laki-laki itu telah keliru menilainya. Mungkin saja memang benar bahwa Ika sering bersikap
meremehkan laki-laki yang menurutnya "tidak masuk
hitungan". Adiknya itu terlalu dimanja oleh kepopulerannya dan sering dipuja oleh penggemar-penggemarnya sehingga menganggap dirinya begitu tinggi. Akibatnya, dia mudah menilai rendah orang yang
dianggapnya tak setara. Dalam bergaul, Ika sering memilih-milih teman. Ana mengeluh dalam hati. Dirinya tak bisa disamakan dengan Ika. Sikapnya yang mengambil jarak dengan kaum laki-laki bukan karena ia meremehkan
mereka, tetapi sebagai upayanya untuk mempertahankan diri dari bahaya jatuh cinta. Bahwa terhadap
Wibisono sikapnya seperti burung merak yang angkuh, itu hanyalah upaya mekanisme pertahanan dirinya terhadap laki-laki itu. Tidak ada maksud untuk
melecehkannya. Lebih-lebih sekarang setelah laki-laki
itu berhasil mengajaknya pergi lebih dari sekali. Lakilaki itu juga telah berhasil memancing kesukaannya
bertukar pikiran dan adu argumentasi mengenai banyak hal. Lebih dari itu semua, laki-laki itu juga telah
menodai keperawanan bibirnya, sesuatu yang tak pernah terbayangkan olehnya. Terpikir sedikit saja pun,
tidak. Sepanjang hidupnya, baru sekali ini ia mengalami situasi yang nyaris tak terkendali itu. Kewarasan
http://pustaka-indo.blogspot.com209
otaknya yang selama ini terjaga dengan baik, hampirhampir tak berfungsi saat berhadapan dengan
Wibisono. Namun demikian Ana mengakui dalam hatinya bahwa bersama Wibisono ia merasa senang. Selain bersama
laki-laki itu, belum pernah ia mengalami suasana
pembicaraan yang begitu "hidup" dengan teman-teman
prianya. Dengan Wibisono ia menemukan pemahaman-pemahaman baru yang meluaskan cakrawalanya.
Sebenarnya hal itu bukan sesuatu yang istimewa karena
selama ini Ana selalu membatasi pergaulannya dengan
laki-laki sehingga kesempatan untuk mengobrol akrab
dengan mereka tidak ada. Sedangkan terhadap Wibisono, Ana telah memberi kelonggaran-kelonggaran lebih dengan pemikiran bahwa mereka tidak akan bertemu lagi begitu pulang ke Jakarta karena masing-masing
akan kembali pada kehidupannya sendiri-sendiri.
Tetapi ternyata ia telah keliru langkah. Kelonggaran
yang diberikannya kepada Wibisono itu telah memerangkap dirinya. Tanpa disangka-sangka, laki-laki itu
sudah ada di hadapannya lagi hanya beberapa menit
sejak kedua kakinya menapak kembali di kota Jakarta.
Itulah antara lain yang memicu kemarahannya. Amarah yang bukan hanya ditujukan terhadap Wibisono
saja tetapi terlebih tertuju pada dirinya sendiri. Kewaspadaan yang selama ini begitu kuat membentengi
dirinya, tak diperhatikannya. Tidak terpikirkan oleh
Ana bahwa Wibisono akan muncul di jalur kehidupan
yang selama ini dianggapnya nyaman dan aman.
http://pustaka-indo.blogspot.com210
Ingin sekali ia mendorong laki-laki itu agar menyingkir dari pandang matanya.
"Kok diam lagi" Menyadari perkataanku benar,
kan?" Terdengar oleh Ana, Wibisono berkata lagi. Ada
ejekan di dalam suaranya.
"Menyadari atau tidak, itu bukan urusanmu," akhirnya Ana menjawab sekenanya. Tak mungkin ia mengatakan kebenaran yang sesungguhnya, bahwa sikap dingin dan angkuhnya itu hanya sebagai benteng
pertahanan diri. Buat apa diceritakan" Tak ada gunanya. "Tetapi kau tahu kan, sikapmu sering meremehkan
laki-laki karena menganggap diri terlalu tinggi untuk
didekati," Wibisono menyerang lagi.
Ana mendengus. "Terserah apa pun penilaianmu. Tak ada ruginya
buatku," Ana menjawab dengan suara dingin.
"Tersinggung?" "Tersinggung atau tidak, kau tak perlu mempersoalkannya. Aku punya prinsip bahwa setiap orang memiliki hak untuk memberi penilaian terhadap sesamanya.
Mau dibatinkan saja ataukah mau diucapkan, bolehboleh saja. Jadi kau mau bilang apa pun mengenai
diriku, aku tak peduli karena yang penting bagiku
adalah kesadaran moralku. Kesadaran moral yang
seperti apa, kau tak usah bertanya karena aku tak
akan menjawabnya!" Suara Ana semakin terdengar
dingin dan ketus, namun terkendali.
Wibisono terdiam. Sekilas ia melirik Ana. Wajah
gadis itu tampak keras dengan rahang menegang dan
http://pustaka-indo.blogspot.com211
bibir terkatup tapat sehingga membuatnya merasa heran. Meskipun Ana mengatakan tidak peduli terhadap
apa pun penilaiannya tetapi tampak jelas oleh
Wibisono, ada kemarahan dan rasa tersinggung yang
ditahan agar tidak tersirat keluar. Kenapa"
Beberapa saat lamanya keheningan menyergap kedua orang itu. Suara klakson, derum kendaraan, teriakan kondektur bus, dan kemacetan lalu-lintas di
sekitar mobil mereka yang masuk dari luar, tak terasakan oleh keduanya. Padahal kesibukan semacam itu
sudah agak lama tak mereka alami. Terutama
Wibisono yang sudah hampir empat bulan lamanya
berada di Ungaran yang relatif sepi.
"Ana...?" Akhirnya Wibisono tak tahan untuk tetap
membiarkan situasi tak menyenangkan itu ada di sekitar mereka. "Apa...?" Ana menjawab dengan keengganan yang
nyata. "Sebetulnya aku ingin tahu... kenapa kau mempercepat kepulanganmu ke Jakarta?"
"Sepertinya kau sudah tahu bahwa aku akan pulang dalam waktu dekat. Jadi kenapa sih hal sepele
begitu kaumasalahkan?"
"Aku memang sudah tahu bahwa kau akan pulang
dalam waktu dekat," sahut Wibisono. "Sudah beberapa kali kau mengatakan hal sama, akan pulang dalam
waktu sehari atau dua hari, namun ternyata tidak jadi
sehingga?" "Hal seperti itu kaumasalahkan juga" Memangnya
tidak ada hal lain yang lebih penting?" Ana merebut
http://pustaka-indo.blogspot.com212
pembicaraan. "Bisa saja kan aku mengubah rencana
semau hatiku. Mungkin memenuhi keinginan Mama
yang belum mau melepaskan aku pulang, misalnya.
Atau mungkin aku sedang enak-enaknya mengarang
sehingga sayang kalau aku pulang karena proses kreativitasku akan terhenti. Pokoknya ada seribu satu
macam alasan yang menyebabkan aku menunda kepu

Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langanku. Begitupun ketika aku tiba-tiba ingin pulang
ke Jakarta. Bukan hal aneh, kan" Setiap orang pasti
pernah mengalaminya."
"Tetapi aku merasa, kau cepat-cepat kembali ke Jakarta setelah aku menciummu."
Ana melengos. Sulit menahan agar semburan darahnya tidak menyerbu ke pipinya. Dalam cuaca menjelang senja, rona merah di pipinya tetap saja tertangkap
oleh Wibisono sehingga laki-laki itu merasa heran lagi.
Betapa mudahnya pipi Ana memerah, seperti gadis
remaja tak berpengalaman saja. Sungguh, gadis satu ini
penuh dengan teka-teki yang sulit terpecahkan.
"Betul kan tebakanku?" Wibisono menyerang lagi.
"Jangan menganalisis sesuatu yang tidak kauketahui
dengan jelas," sahut Ana, masih dengan menatap ke
luar jendela, berharap Wibisono tidak melihat pipinya
yang memanas itu. Kurang ajar sekali laki-laki itu.
Kenapa peristiwa ciuman itu disinggung lagi"
"Kalau begitu, karena Deni?" Wibisono memancing
lagi. "Apa maksud pertanyaanmu?" Ana lupa bahwa Wibisono menyangka Deni adalah nama teman istimewanya. http://pustaka-indo.blogspot.com213
"Laki-laki bernama Deni itu menjadi penyebab
kepulanganmu ke Jakarta, kan" Kau pasti sudah sangat merindukan dia."
"Oh, ya. Tentu saja!"
"Dia juga pasti sudah sangat merindukanmu!"
"Itu pasti. Kenapa kautanyakan?"
Wibisono tersenyum sekilas.
"Aku sedang bertanya-tanya dalam hati. Apa perasaan Deni kalau dia mengetahui bagaimana kekasihnya telah membiarkan diri dicium laki-laki lain ketika
dia sedang berlibur di rumah ibunya," gumamnya dengan suara mengejek. Ana menahan napas. Ingin sekali ia menampar pipi
laki-laki kurang ajar itu.
"Wibisono, tidak bisakah kau bersikap lebih sopan
terhadapku?" semburnya.
"Maaf... kadang-kadang aku sering kehilangan kendali kalau berada di dekat gadis-gadis semacam dirimu." "Macam apa diriku ini menurutmu?" Ana menoleh
ke arah Wibisono. Hatinya terasa panas. Ini pasti
gara-gara Evi dan Ika. Inilah pula yang dikhawatirkannya selama ini, orang akan menganggapnya rendah
gara-gara kedua saudaranya itu.
"Entahlah. Tetapi yang jelas seperti yang sudah sering kukatakan, kau ini sangat cantik, angkuh, sombong seperti burung merak tetapi juga seperti burung
merpati...." "Seperti burung merpati?" Ana mendelik. "Apa maksudmu?" http://pustaka-indo.blogspot.com214
"Kau pernah mendengar peribahasa lama, kan" Kau
itu seperti jinak-jinaknya burung merpati. Didekati,
terbang. Dijauhi, hinggap di dekat-dekat?"
"Kau sungguh kurang ajar, Wibi!" Ana mulai membentak. "Tidak malukah kau membeli penilaian seenak perutmu sendiri" Memangnya kau tahu apa
mengenai diriku?" "Katamu, kau tak peduli apa pun penilaian orang
terhadap dirimu" Kok sekarang marah?"
Ana langsung terdiam. Bahkan apa pun yang dikatakan oleh Wibisono sesudah itu, dia tidak mau menjawabnya. Kecuali ketika laki-laki itu menanyakan letak rumahnya saat mereka telah memasuki daerah
Duren Sawit. Bukan main lega hati Ana ketika akhirnya mereka telah berada di muka rumahnya. Setelah
Wibisono membuka bagasi mobilnya, Ana segera
mengangkat barang-barang bawaannya. Tetapi laki-laki
itu merebutnya dan mengangkat kedua barang bawaan Ana dan membawanya sampai ke teras rumah
tanpa memedulikan protes pemiliknya.
"Sudah sampai," akhirnya begitu barang-barangnya
sudah terletak di lantai teras, Ana berkata dengan suara mendongkol. "Terima kasih kau telah mengantarku.
Sekarang, pulanglah. Aku akan segera beristirahat
dan..." "Tidak disuruh minum dulu sebagai ucapan terima
kasih yang lebih konkret?" Wibisono menatap tajam
mata Ana. "Aku tidak suka berbasa-basi. Lagi pula belum tentu di rumah ada minuman."
http://pustaka-indo.blogspot.com215
"Alangkah sopannya kau terhadap tamu."
"Kau bukan tamuku," Ana menjawab ketus. "Nah,
sebelum kau pulang, aku ingin mengatakan sesuatu
kepadamu. Boleh?" "Silakan." Wibisono membungkukkan tubuhnya
dalam-dalam. Ana mengabaikan sikap menggoda yang tidak tepat
waktunya itu dengan melanjutkan bicaranya.
"Wibi, kita telah bergaul cukup akrab selama aku
berlibur di rumah Mama. Tetapi meskipun demikian,
tolong disimak kembali apa yang pernah kukatakan
kepadamu, bahwa kita bagaikan dua orang asing yang
kebetulan bertemu di jalan. Dan apa yang telah kita
lakukan bersama-sama selama ini adalah bagian dari
liburanku, bagian dari serpih kecil seluruh sejarah
hidupku. Dengan demikian bersikap dan bertindaklah
seperti penumpang kapal yang saat-saat kebersamaan
telah berakhir karena masing-masing mempunyai jalan
masing-masing. Dunia kita berbeda, Wibi."
"Hanya begini sajakah perkenalan kita...?"
"Ya. Aku sungguh berterima kasih kepadamu karena telah banyak berbuat baik kepadaku, antara lain
mengantar ke Borobudur. Tetapi aku akan lebih berterima kasih lagi jika kau mau mencerna kata-kataku
tadi. Maaf, kalau ucapanku ini kauanggap kasar. Tetapi seperti yang sudah berulang kali kukatakan, aku
tidak suka berbasa-basi."
"Aku hanya semacam selingan dalam hidupmu.
Begitu kan inti perkataanmu itu?" Wibsono menyela
bicara Ana. http://pustaka-indo.blogspot.com216
"Jangan sinis," sahut Ana. "Semua yang kukatakan
tadi, tidak memuat maksud-maksud tertentu. Apalagi
merendahkan dirimu. Aku hanya ingin bersikap jujur
dan terus terang, tanpa kemunafikan. Terserah kau
mau menganggapku tak sopan, mau memakiku, atau
apa pun, itu hakmu sepenuhnya. Pokoknya aku sudah
mengutarakan apa yang ingin kusampaikan agar tahu
di mana kita menapak di dunia masing-masing. Nah,
tanpa bertele-tele dan tanpa kemunafikan, aku ingin
bersikap jujur sesuai dengan suara hatiku. Yaitu, silakan pulang. Maafkan keterusteranganku ini dan terima kasih banyak atas kebaikanmu mengantarkan aku
sampai ke rumah." "Kalau begitu, selamat kembali kepada Deni
dan?" Suara Wibisono terhenti oleh suara kunci diputar
dan gerakan pintu rumah yang tiba-tiba terbuka. Di
ambang pintu muncul sosok tubuh perempuan paro
baya yang segera saja tampak berseri-seri ketika melihat keberadaan Ana. "Ana, Ibu sudah menduga ketika mendengar suara
mobil berhenti di depan. Tetapi Deni bilang, bukan,"
katanya dengan senyum lebar. Matanya menatap ke
arah Wibisono, kemudian melayangkan pandang matanya ke arah sedan mewah yang diparkir di depan rumah. "Lho" kau tidak naik taksi?"
"Ini... ini... tadi kebetulan bertemu seorang teman
lama, Bu. Dia menjemput sepupunya di Gambir, lalu
Ana diajak dan diantar sampai rumah setelah menurunkan saudaranya itu," Ana berdalih sekenanya saja.
http://pustaka-indo.blogspot.com217
Dia tidak mengerti kenapa harus berbohong begitu
kepada ibu tirinya. Ah, gara-gara Wibisono!
"Oh, begitu..." Ibu tiri Ana menatap lekat- lekat ke
arah Wibisono."Wah, terima kasih banyak lho, Nak,
telah merepotkan diri mengantar anak saya sampai ke
rumah dengan selamat. Mari masuk. Minum-minum
dulu, baru boleh melanjutkan perjalanan. Minum teh
hangat atau yang dingin" "
"Ana tidak merepotkan saya kok, Bu. Ini tadi saya
sekalian jalan," Wibisono mengikuti arus pembicaraan
yang dibuat Ana. Sikap dan cara ibu tiri Ana berbicara menyebabkan laki-laki itu menaruh rasa hormat.
"Terima kasih atas tawaran Ibu, tetapi maaf saya harus segera pergi. Lagi pula Ana ingin segera beristirahat. Tetapi sebelumnya biar saya angkat dulu bawaan
Ana ke dalam...?" "Tidak usah, Nak. Terima kasih," kata ibu tiri Ana,
kemudian perempuan itu memanggil nama seseorang.
"Denii...!" Seorang pemuda yang masih remaja langsung muncul di ambang pintu dan demi melihat sang kakak
ada di hadapannya, pemuda itu langsung menyerukan
kegembiraan hatinya. "Mbak Ana...!" "Benar kan, Den, Ibu tadi bilang itu pasti kakakmu. Kan katanya dia akan sampai di Jakarta sore ini,"
Llano Estacado 2 Pendekar Slebor Dendam Jasad Dedemit The Devils Dna 6

Cari Blog Ini