Ceritasilat Novel Online

It Takes Two To Love 2

It Takes Two To Love Karya Christina Juzwar Bagian 2


saku celana, dan kamera disampirkan melintang di tubuhnya.
Kami berjalan, hingga akhirnya sampai di pantai yang berpasir
putih. Aku berjalan sambil melompat-lompat menghindari
beberapa bebatuan. Aku juga mencari-cari kerang di celah-celah
pasir. "Sar?" "Hm?" "Iya... gue takut kehilangan lo...," kata Jans dengan suara
yang tidak begitu jelas secara tiba-tiba. Aku menoleh ke arahnya, ternyata dia lagi menunduk sambil menendangi pasir dengan sepatunya. Seketika juga aku berhenti dan menatapnya.
"Ha?" teriakku pura-pura tidak mendengar. "Lo ngomong
sesuatu barusan?" Jans malah tersenyum, dan dengan sigap dia menarik tanganku dan mengajakku pergi ke pantai dengan karang-karang
menjulang tinggi yang terletak sedikit lebih jauh. "Yuk, kita ke
sana." Tentu saja aku tidak bisa melupakan kata-kata yang barusan
http://pustaka-indo.blogspot.com80
diucapkannya. Meskipun dia mengatakannya pelan dan hampir
berbisik, tetapi aku bisa mendengarnya dengan jelas, dan aku
yakin seratus persen isi ucapannya tersebut. Tanpa sadar kupukupu merayapi perutku kembali. Tak terasa kami berjalan
hingga jauh sekali sambil asyik berbincang.
"Sar, kamu punya pacar?"
"Kok nanyanya begitu sih?" Aku mulai menyadari Jans
sudah mulai beraku-kamu dalam pembicaraannya denganku.
"Nggak papa dong, kan pengin tahu."
"Apa sih yang pengin lo tahu?" aku menantangnya sambil
tersenyum. Jans memandangku. "Semuanya."
"Diinterogasi dong gue," candaku.
"Biar, yang penting aku bisa tahu semua tentang kamu."
"Jadi, mau tahu apa dulu?"
"Kamu sudah punya pacar?" dia mengulangi pertanyaannya.
Aku menggeleng. Jans tersenyum. "Kapan terakhir pacaran?"
Aku melotot. "Lo serius ya sama ucapan lo, benar-benar
mau menginterogasi gue" Memangnya lo mata-mata ya?" aku
menuduhnya sembarangan. Jans tertawa. "Aku sudah minta izin loh, dan izin sudah diberikan." Aku mencibir. "Kira-kira empat tahun yang lalu... I don"t
remember exactly..."
"Alasan putus?"
"Jangan tanya gue, tanya mereka." Aku mengangkat bahu.
Jans mengangguk dengan penuh pengertian, "Aku mengerti.
Your parents?" "Bercerai. Papa di Surabaya, Mama di Singapura, sudah menikah lagi dan dia tinggal di sana bersama adik gue, Simon."
Jans mengangkat alisnya sebelah. "Kamu punya adik?"
"Yes, he"s ten years old."
http://pustaka-indo.blogspot.com81
Jans mengangguk, lalu tidak bertanya apa-apa lagi. Kami
berjalan dalam diam. Sesekali aku mengambil batu dan kerang
yang terbenam di pasir, kemudian melemparkannya ke laut.
Aku menunggu, tetapi Jans sepertinya menyudahi pertanyaannya. "Sudah itu saja?" tanyaku heran.
Sebagai jawaban, Jans mengambil kamera dan mulai membidikkannya ke arahku. Aku berlarian menghindarinya dan dia
pun menyerah karena usahanya mengambil fotoku gagal.
Kemudian, kami mulai asyik dengan kegiatan masing-masing.
Aku lebih banyak mengambil gambar untuk lokasi dengan
menggunakan kamera poketku. Sedangkan Jans juga asyik dengan kameranya menangkap momen-momen yang bisa dia
dapatkan, dari ombak, batu karang, wisatawan yang sedang
berlibur, sampai hal sepele seperti pasir.
Matahari mulai menghilang. Aku dan Jans pulang sambil
tertawa-tawa hingga memasuki hotel. Angel yang sedang asyik
menonton televisi di salah satu kamar rupanya mendengar
tawa kami dan keluar dari kamar dengan terheran-heran.
"Kalian pergi nggak ngajak-ngajak ya!" serunya seenak udel,
sama seperti pakaian yang dikenakannya, kaus singlet dan
celana pendek. "Siapa suruh lo langsung molor," selaku. Aku pun masuk ke
kamar Angel dan langsung naik ke ranjangnya.
"Ih, ngarang! Iya deh, yang mau berduaan," ledek Angel
agak bergumam tapi terdengar oleh aku dan Jans. Mukaku
kembali memerah, sedangkan Jans hanya diam, barangkali dia
lebih memilih untuk berpura-pura tidak mendengarnya. Aku
memelototi Angel yang tidak digubrisnya sama sekali. Angel
malah asyik bersiul-siul sumbang sambil memeluk guling lusuh
kesayangannya yang dibawanya ke mana-mana.
"Dina ke mana?" tanyaku.
"Sudah molor kali di kamarnya," sahut Angel. "Udah, ah!
Pada keluar sana! Gue mau tidur nih!"
http://pustaka-indo.blogspot.com82
Sebelum keluar, Jans memberikan salam perpisahan dengan
menimpuk bantal ke arah Angel, dan dengan terburu-buru
keluar sebelum terjadi pertumpahan darah, namun rupanya
terlambat karena sudah terlanjur terjadi pertumpahan sumpah
serapah. Belum juga pintu tertutup, suara nyinyir Angel bergema ke seluruh kamar, membuat kuping terasa ngilu. Aku
segera menutup pintu sebelum polusi suara Angel keluar ke
lorong hotel, yang pastinya akan memalukan karena terdengar
dari jarak yang cukup jauh.
Aku dan Jans tertawa terbahak-bahak sampai aku berjalan
terhuyung-huyung dan berlinang air mata. Tanganku melambai-lambai hendak mencari pegangan, tetapi yang kuraih
adalah lengan Jans. Cepat-cepat aku menarik tanganku.
Ternyata tinggal aku saja yang masih tertawa.
Jans sudah berhenti tertawa dan menatapku sangat lekat.
Jadi... dari tadi aku asyik tertawa sendiri"
Sungguh memalukan! Mau ditaruh di mana wajahku ini,
omelku dalam hati. "Kamu sudah ngantuk, Sar?" Jans bersuara.
Aku menggeleng dengan sedikit gugup.
"Ngobrol dulu yuk di kamarku," tanpa basa-basi, Jans sudah
berjalan menuju kamarnya. Entah karena ada magnet yang tak
terlihat atau apa, tubuhku tanpa disadari berjalan mengikutinya. Begitu masuk, aku agak terpana. Kamarnya tergolong rapi
untuk kamar yang ditempati pria, karena sepengetahuanku,
baik kamar hotel maupun kamar pribadi yang ditinggali oleh
kaum adam, pastilah berantakan. Aku jadi teringat dengan
kondisi mobil Jans yang rapi dan wangi. Semua ini menunjukkan Jans bukanlah pria sembrono. Mungkin dia memang menyukai kebersihan. Aku mengambil tempat duduk di
ranjangnya dan segera meraih remote control televisi.
"Jadi apa tema pemotretan besok?" tanya Jans. Dia duduk
http://pustaka-indo.blogspot.com83
di belakangku dan menyandarkan tubuhnya di bantal, lalu
melepas sepatunya. "Yang pasti mesti suasana liburan yang santai, tapi fun dan
colorful," aku menjelaskan, "tidak ada tampang bete, manyun,
harus gembira, tertawa lebar. Makeup pun harus tipis tetapi
berwarna yang cerah. Penekanan warna yang bold hanya pada
mata." "Kamu sudah punya ide?"
Aku mengangguk. "Banyak! Gue juga membawa beberapa
contoh pose yang gue print di kantor. Gue terlalu semangat
mengerjakan pemotretan ini. Kalo lo?"
"Sudah ada di sini." Ia meletakkan jarinya di dahinya. Aku
tersenyum. Lalu suasana sunyi kembali. Hanya suara televisi yang mengisi kekosongan. Aku menjadi gugup dan berusaha menutupinya
dengan menyibukkan diri menganti-ganti channel televisi.
Keheningan di antara kami membuat suasana mulai tak terasa
enak dan janggal. Lalu aku mendengar Jans bergerak dan secara pasti mendekatiku. Aduh... apa yang harus kulakukan"
aku bergumul dalam hati. Perasaanku tidak enak dan bercampur aduk. Kemudian tanpa disangka-sangka, Jans sudah memelukku
dari belakang. Saking terkejutnya, tubuhku malah menjadi kaku seakan
tidak menerima pelukan yang diberikan Jans.
"Jans..." Suaraku tercekik saking terkejutnya. Aku mencoba
melepaskan pelukannya, tetapi dia makin erat memelukku.
Lengannya mantap melingkari pinggangku.
"Nggak papa ya, Sar, biarkan seperti ini dulu ya." Suara Jans
yang agak terpendam mengembus tengkukku. Aku merinding.
Selanjutnya yang kurasakan adalah dia merebahkan kepalanya
di punggungku. Napasnya yang teratur secara tak sadar menghttp://pustaka-indo.blogspot.com84
atur juga irama napasku yang tadinya memburu karena pelukannya. Aku merasa kami seperti dua orang bodoh yang kaku selama
beberapa saat. Akhirnya karena tidak tahan dengan posisi ini,
juga punggungku yang mulai kram dan pegal, aku memberanikan diri untuk bergerak. Aku mengambil tangannya yang
berada di pinggangku. Pipiku yang tadinya sudah tidak memerah, perlahan mulai memanas lagi. Tangan Jans mulai mengendur. Dia berdiri dan berlutut di hadapanku. Dia memandangku dengan matanya yang tajam, tetapi sinarnya
menyiratkan sedikit perasaan bersalah.
"Sar... maaf..."
"Jans... gue... gue..."
"Aku sayang kamu, Sar. Maaf kalau aku lancang, tapi aku
benar-benar tidak bisa menahan diri..."
"Sejak kapan" Tapi kan..." Pikiranku menjadi tidak fokus.
Rasanya aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Pelukannya,
tatapannya sungguh memabukkan.
Jans tersenyum. Senyum itu... Duh... benar saja, kepalaku
menjadi tambah pusing. "Sejak pertama kali aku melihat kamu enam bulan yang
lalu. Meskipun kamu judes dan tak bersahabat, tapi entah
kenapa, aku suka. You are different... dan kamu apa adanya.
Jadi, sejak hari ini, aku ingin mengenal kamu lebih jauh...
lebih dekat... Tentu saja dengan persetujuan kamu." Jans mengelus pipiku dengan lembut.
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, tepatnya aku tidak tahu
harus berkata apa kepada Jans. Sejujurnya aku memang menyukainya. Tetapi apakah benar dan apakah aku yakin"
"Nggak perlu jawab apa-apa, Sar...," kata Jans seakan menjawab kegundahan hatiku. "Just, take it easy. Apa pun jawaban
kamu, akan aku terima. Yang penting sekarang aku lega sudah
mengutarakan isi hatiku."
http://pustaka-indo.blogspot.com85
Aku mengangguk seperti orang bodoh dan tak berdaya. Jans
mengecup keningku perlahan. Bibirnya yang basah sungguh
mendinginkan hatiku yang bergejolak karena perasaan yang
bercampur aduk. "Sudah malam, besok banyak kerjaan."
"Oke." Dengan berat hati, aku beranjak pergi dari kamarnya.
Sebenarnya aku ingin memberikan jawabanku. Aku juga ingin
mengutarakan perasaanku yang sudah terpendam ini.
Lalu Jans mengantarkanku ke kamar.
"Have a good dream ya."
Aku menutup pintu dan terdiam. Berjalan seperti robot, kemudian aku duduk di ranjang. Aku tak percaya dengan apa
yang telah terjadi. Namun, seperti yang kukatakan, aku tidak
begitu yakin dengan perasaanku sendiri. Keraguan masih menyelimuti hatiku. Jans memang tampan, sangat tampan,
malah. Dia juga charming dan sangat baik. Tetapi, apakah aku
benar-benar "suka" padanya, ataukah aku hanya luluh dengan
semua perhatian dan sikapnya yang baik dan begitu memanjakan" Bagaimana dengan rasa sayang atau jatuh cinta
kepadanya" Apakah ada rasa tersebut untuk Jans" Apakah aku
bersedia membuka hatiku untuknya" Jika ada, siapkah aku
untuk memulainya" Aku mengambil bantal, menutup wajahku, dan berteriak
kencang-kencang. ARGHHH! Mana jawabannya! Lalu aku melempar bantal tersebut dan merebahkan tubuhku. Sekarang
pikiranku memutar kembali semua peristiwa yang kualami bersama Jans. Sejak pertama kali kami bertemu, dan betapa jutek
dan galaknya aku padanya" hiks... Teringat akan hal ini aku
sungguh menyesal. Pemotretan bersama, makan siang bersama,
semua SMS yang terkirim, hingga beberapa menit yang lalu
ketika Jans mengutarakan perasaannya. Aku harus membuat
pilihan secepatnya... Tetapi apa"
http://pustaka-indo.blogspot.com86
?"" TOK! TOK! TOK! Ketika Jans membuka pintu kamarnya selebar mungkin,
pandangan kami bertemu. Aku melihat raut wajahnya sedikit
terkejut dan penuh tanya. Yup, di sinilah aku. Berdiri di depan
kamarnya. Tidak ada kata, di antara kami hanya ada tatapan
yang beradu seolah ingin mengungkapkan segalanya. Aku pun
mencoba mengeluarkan isi hatiku.
"Hai... hm... Sori ganggu lagi. Bbegini... soal yang tadi... gue
sudah memikirkannya, semuanya. Dan gue rasa... gue" sebenarnya gue nggak tahu apa yang gue rasakan sekarang ini
sama lo... hanya... gue rasa..."
Jans tersenyum dan menaruh telunjuknya di bibirku yang
menyemburkan kata-kata tidak keruan saking gugupnya.
Kemudian Jans berkata dengan lembut.
"Sar... kalau kamu nggak bersedia, tidak menjadi masalah.
It"s all about me... my feelings for you."
Aku menyingkirkan jarinya dari bibirku. "Bukan begitu,
Jans" Gue mau bilang... kenapa kita tidak mencobanya" Hanya saja, gue sudah nggak pacaran selama empat tahun... Gue
nggak tahu gimana rasanya... Gue nggak tahu lagi apa rasanya
pacaran. Yang pasti, yang gue rasakan adalah gue selalu
nyaman bersama lo, gue selalu senang, dan..."
Sedetik kemudian, aku tidak bisa menyelesaikan apa yang
ingin kuucapkan. Kali ini bibir Jans yang menghentikannya.
Kami berciuman, bibir kami bertaut, perlahan namun pasti.
Dia menarikku masuk kamarnya, dan menutup pintu. Dia merapatkan tubuhku dengan pintu. Tangan kanannya bertumpu
pada pintu, sedangkan tangannya yang satu lagi memeluk ping

It Takes Two To Love Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gangku erat, yang menarik tubuhku agar merapat dengan
tubuhnya. Ciuman ringan itu berubah menjadi lebih bergelora
dan lebih dalam. Aku benar-benar menikmatinya. Oh Tuhan,
http://pustaka-indo.blogspot.com87
beginikah rasanya berciuman lagi setelah empat tahun absen
dari dunia percintaan"
"Aku sayang kamu, Sar," bisik Jans di sela ciuman kami.
Lalu kami tenggelam dalam kehangatan bibir masing-masing.
?"" Aku terbangun dengan sinar matahari mengintip lewat sela-sela
jendela yang sedikit terbuka. Sinar matahari menerpa wajahku.
Aku mengucek mata untuk mendapatkan penglihatan yang
lebih baik. Kemudian aku melihat ke sebelahku. Jans masih
tertidur dengan pulas. Aku tersenyum dan memandangnya
lekat-lekat. Hatiku berdegup kencang.
Mulai hari ini, secara resmi aku punya pacar lagi setelah
empat tahun menjomblo. Aku takjub dengan diri sendiri. Aku
teringat lagi semalam setelah kami berciuman, aku menginap
di kamar Jans, kami ngobrol hingga larut dan begitu banyak
yang kami obrolkan sambil berpegangan tangan, berpelukan,
dan tertawa lepas hingga kami berdua tertidur. Aku masih
memandanginya hingga dia terbangun dan menguap seperti
anak kecil. Begitu Jans menyadarinya, dia tertawa kecil.
"Kamu lagi ngeliatin apa?"
"Pacarku," sahutku dengan polos.
"Kita tidak melakukan hal-hal di luar batas, kan?" tanya
Jans sambil mengucek matanya. Aku melotot dan memukul
lengannya, "Memangnya kamu mabuk sampai tidak bisa ingat
apa pun?" Tawanya menjadi lebih keras. Dia menarikku lebih dekat ke
pelukannya, sementara jemariku bermain dengan rahangnya
yang kasar. "Sar, kita jalanin saja apa adanya. Biarkan semua bergulir
dengan waktu, diri kita, perasaan kita, aku nggak akan memaksa kamu. Biarlah semua berkembang dengan sendirinya."
http://pustaka-indo.blogspot.com88
Kata-kata yang sangat bijak keluar dari bibir Jans. Aku mengangguk dengan haru. Ya, aku baru saja melangkah pada sesuatu yang baru, yang sudah lama tidak kumiliki, yaitu perasaan dimiliki, dicintai, dan disayangi.
Tiba-tiba pintu kamar Jans digedor dengan keras, dan terdengar suara Angel yang cempreng membahana dari luar,
"Hoii! Bangun, Jans! Sudah pagi nih! Gue tadi ngegedor kamar
Sarah nggak disahut, lagi mandi kali ye! Cepetan, katanya mau
mulai jam sembilan. Keburu panas, entar gosong gue."
Aku dan Jans menahan tawa. Waduh, jangan sampai Angel
tahu aku di kamar Jans... Bisa menjadi masalah besar. Mulutnya kan seperti ember bolong. Jika Angel sudah berbicara, pasti
gosip itu menyebar hingga seluruh penjuru negeri. Aku dan
Jans bergegas bangun dan berberes. Setelah Angel berlalu, aku
menyelinap keluar, tak lupa Jans menitipkan ciuman di bibirku. Pagi yang indah. Kujalani pemotretan dengan hati senang dan lapang. Rasanya seperti ada taman bunga yang tumbuh subur di hatiku.
Aku seakan menemukan diriku yang baru. Hati dan jiwa yang
baru. Bahkan aku tidak merasakan lelahnya pemotretan yang
kujalani selama dua hari ini, karena setelah pemotretan selesai,
diam-diam kami menghilang hanya untuk menghabiskan
waktu berdua, entah untuk makan malam, berjalan-jalan di
sepanjang pantai sambil mengobrol dan bergandengan tangan,
atau melihat-lihat hasil pemotretan di kamar hotel dan bercerita seru serta tertawa lepas. Sesederhana itu. Aku dan Jans
ingin membangun hubungan ini perlahan, namun pasti.
http://pustaka-indo.blogspot.com89
AKU kembali ke kantor pada hari Selasa. Dengan hati riang
seakan tidak ada beban, aku memasuki lobi kantor dan menyapa semua orang yang kutemui. Aku datang dengan kemeja
putih bersih, celana jins, sepatu kets putih, serta dandanan
yang segar. Mataku menangkap sosok Jans yang sedang mengabsen. Kami melirik satu sama lain dan saling tersenyum
simpul. Kami berdua memutuskan untuk tidak memberitahu
siapa-siapa dulu, biarlah semua orang tahu dengan sendirinya,
tanpa kami tunjukkan gamblang. Sebenarnya Angel sudah
curiga melihat tingkah laku kami berdua di Lombok, bahkan
dia sempat dengan gamblang mempertanyakan kecurigaannya
kepada kami, "Lo berdua pacaran ya?" Aku dan Jans tidak
menjawab. Angel terus bertanya dengan kepo, tetapi tidak
mendapatkan jawaban yang diinginkan, dan berujung ambekan
yang dilancarkan oleh Angel karena terus-menerus digoda oleh
Jans untuk menutupi kecurigaan Angel. Biarlah hubungan ini
diberitakan oleh waktu. "Mbak Sarah, dipanggil sama Ibu ke ruangan," Dini menyapaku berikut pesan dari Ibu Dinar begitu aku menginjak
http://pustaka-indo.blogspot.com90
ruang redaksi yang mulai penuh sesak dengan manusia-manusia kreatif. Aku mengangkat bahu, kerjaan sudah kembali menunggu. Aku menaruh tasku di meja, dan merapikan beberapa berkas
serta berbagai faks yang ditujukan kepadaku. Aku membacanya
dengan saksama, kebanyakan undangan launching produk. Kemudian ada beberapa produk menumpuk di meja kerjaku, yang
kebanyakan adalah produk baru dari berbagai merek yang
ingin dimasukkan ke rubrik info di majalah. Aku menyempatkan diri untuk membereskannya. Setelah itu, barulah aku
beranjak ke ruangan Ibu Dinar.
"Pagi, Bu," sapaku sesaat sesudah aku mengetuk pintu yang
terbuka itu. "Masuk, Sar," sahut Ibu Dinar. Aku duduk di bangku yang
berada tepat di depan mejanya.
"Bagaimana pemotretannya?"
"Semua berjalan dengan lancar, Bu. Kami menemukan lokasi
pantai yang bagus, dengan enam frame yang akan masuk ke
halaman majalah. Semua foto sudah ada di Jans. Ibu mungkin
sudah bisa lihat di folder fotografer."
"Good. Nanti akan saya lihat. Kamu sudah pilih fotonya?"
"Saya sudah pilih beberapa yang bagus, mungkin bisa Ibu
persempit lagi pilihannya."
"Oke, nanti saya cek. Thanks, Sar. Oh iya, jangan lupa serahkan laporan perjalanannya ya," ujar Ibu Dinar.
Aku pun mengangguk. Kemudian aku keluar dan kembali ke
kubikelku. Aku meregangkan tubuh sedikit. Suasana santai meliputi ruangan kerja karena deadline sudah berlalu. Sambil memilih-milih undangan yang akan kudatangi, aku pun menyalakan komputer. Lalu aku teringat Igi. Segera aku mengambil gagang telepon
dan menelepon Igi. "Halo?" http://pustaka-indo.blogspot.com91
Suara wanita. Aku cepat-cepat menutupnya. Menepuk jidat
sendiri karena dengan bodohnya salah menekan nomor telepon, kemudian aku meneleponnya kembali. Kali ini aku memastikan bahwa aku menekan nomor yang benar.
Tetap seorang wanita yang mengangkatnya. Wanita yang
sama dengan yang pertama kali mengangkat telepon sebelumnya. Siapa pula sih perempuan ini" Pacar Igi"
"Halo, Igi-nya ada?"
"Bentar," sahut cewek itu dengan nada suara yang malasmalasan. Tak lama kemudian, terdengar suara Igi.
"Halo?" "Siapa tuh yang angkat?"
"Halo, Sarah, gimana di sana" Enak nggak" Oleh-oleh apa
buat gue?" Suaranya menyambutku dengan bersemangat dan
riang. Aku tidak memedulikan semua pertanyaannya. Aku penasaran dengan perempuan itu. "Eh, kuya! Lo lagi di mana
dan ngapain" Siapa tuh yang angkat telepon" Pacar lo ya?"
"Wow... wow... tenang, Sar, itu Mita, model gue. Tadi gue
lagi ngangkat telepon yang lain dari temen gue, jadi gue minta
dia ngangkatin telepon gue."
"Lo di mana sih?"
"Di kantor, habis selesai pemotretan."
"Oh. Gue kira lo lagi di hotel."
"Sialan! Memangnya lo kira gue cowok nakal?"
"Bukan, cowok gatel!"
"Udah deh, lo nelepon gue cuma mau ngeledekin gue" Gue
marah nih!" Igi merajuk.
"Hehehe... Enggak kok! Nanti malam ke rumah ya?"
"Ngapain?" "Mau nyuruh lo nukang, genteng gue bocor... hehehe... Kagak deh, ada yang pengin gue omongin sama lo."
http://pustaka-indo.blogspot.com92
"Apaan sih?" tanya Igi penasaran.
"Ada deh! Pokoknya tunggu saja nanti. Pulang bareng ya,
dahhhh." ?"" "Hayok! Cepetan cerita sama gue, ada apaan?"
Igi duduk di sofa. Aku yang baru mandi dan sedang mengeringkan rambutku segera duduk tepat di sebelahnya. Wajah
Igi diliputi rasa penasaran.
Aku tersenyum. "Gini loh... hmm?"
"Duilehh, itu muka, kok tersipu-sipu begitu," sahutnya sambil mencolek pipiku. "Berisik ah!" Aku mengibaskan tangannya dari pipiku. Aku
menarik napas lalu, "Gi, Jans nembak gue," aku berkata dengan cepat lalu diam dan menunggu reaksi Igi, kemudian
cepat-cepat aku melanjutkannya, "gue sudah menerimanya."
Reaksinya tepat seperti bayanganku. Mulut Igi terbuka seperti ikan mas koki yang kehabisan air saking terkejutnya. Setelah menelan ludah beberapa kali, dia pun bisa berkata
juga. "Lo... lo... serius, Sar?"
"Sejak kapan gue bohong sama lo?" sahutku sambil mengunyah nasi goreng yang sudah tersedia dari tadi di meja
kecil di depan sofa. "Dari dulu lo memang rajin bohongin gue, kan" Makanya,
jangan becanda dong, nggak lucu, tahu." Igi mencolek lenganku. Aku mendelik kesal. Sialan! Aku dikira berbohong. Aku
menarik napas panjang dan akhirnya meletakkan sendokku
dan melihat langsung ke matanya.
"Gue nggak bohong sama lo, Gi."
Muka Igi berubah lagi. "Benar?" http://pustaka-indo.blogspot.com93
Aku mengangguk. "Suer?" Aku mengangkat tangan dan kedua jariku membentuk huruf
"Cross your heart?"
Aku membuat tanda silang di dadaku sambil mengangguk.
Lalu tak ada suara. Aku melanjutkan menghabiskan nasi
gorengku, dan Igi menyibukkan diri dengan remote control televisi di tangannya. Aku tahu dia agak syok mendengar berita
ini. Terlihat dari gelagatnya yang gelisah, dan raut wajahnya
yang berbeda. Sedih iya, kecewa iya, tegang iya... Kenapa sih
Igi" Dia juga tidak mengucapkan apa pun kepadaku. Selamat,
hati-hati, Jans baik kok, atau sebangsanya.
"Gi?" "Hm?" "Kok langsung mingkem" Kenapa sih" Ngiri ya gue duluan
yang dapat pacar hehehe..." Aku mencoba mencairkan ketegangan ini dengan melucu. Aku sedikit heran melihat sikap
Igi. Tetapi tiba-tiba dia tertawa dengan kencang yang membuatku hampir tersedak nasi goreng.
"Hush! Jangan seperti itu, kenapa" Uhukk... uhukk... Kan
gue kaget... Sial lo!" Aku segera meneguk air putih untuk melancarkan nasi yang sempat tersangkut di tenggorokanku.
Setelah tawanya reda, Igi mulai bersuara, "Betul banget, Sar,
gue ngiri keduluan lo buat dapat pacar..." Suaranya melemah.
Di wajahnya terukir senyum yang sepertinya sedikit dipaksakan. "Makanya, cari pacar ya, Gi," kataku.
"Gue ngiri juga sama Jans karena bisa memiliki lo sepenuhnya," sahutnya dengan mata tetap tertuju pada televisi.
Telingaku sedikit panas mendengar kata-kata itu. Maksud Igi
apa" "Maksud lo?" http://pustaka-indo.blogspot.com94
"Nggak kok, Jans beruntung ngedapetin lo." Igi meraih kepalaku yang masih basah dan mengacak-acak rambutku.
"Lo kira gue piala bergilir?" Aku merengut sambil merapikan
rambutku yang menutupi wajah.
"Jadi kalau gue perlu lo mesti minta izin dulu dong, soalnya
sudah ada yang punya sih... hehehe..." Igi mulai merebahkan
tubuh di sofa. Aku duduk bersila di sampingnya, mengambil
bantal. "Ngapain" Dia tahu kok kalau gue sahabatan sama lo. Kita
masih tetap bisa pergi kok. Lagian, Jans kan juga teman lo."
Igi tidak menanggapi kata-kataku. Kami asyik dan tenggelam
dalam acara televisi di hadapan kami. Lalu Igi mengenggam
tanganku dan berkata, kali ini aku mendengar perkataannya
yang tulus, "Selamat ya, Sar, pecah telor setelah empat tahun
nggak pacaran. Gue doain lo dan Jans bahagia."
Aku terharu. "Thanks ya, Gi. Gue doain juga supaya lo
nyusul gue dan punya pacar juga."
"Amin!" Kami tertawa dan melanjutkan obrolan kami hingga malam
larut. ?"" "Non?" Mbak Nah sudah berdiri di depan pintu kamarku. Aku menurunkan buku yang sedang kubaca. "Ada apa, Mbak?"
"Ada telepon." "Dari siapa?" Keningku berkerut. Tumben sekali ada yang
meneleponku pagi-pagi begini, di hari Minggu pula.
"Dari Nyonya." "Mama?" Aku tambah bingung lagi.
Mbak Nah hanya mengangguk. Aku bergegas keluar dan
mengambil gagang telepon.
http://pustaka-indo.blogspot.com95


It Takes Two To Love Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Halo?" "Sarah?" "Hai, Ma!" "Apa kabar" Kamu baik-baik saja?"
"Yah... begini aja, Ma, biasa-biasa saja." Aku merebahkan
tubuhku di sofa. "Simon apa kabar?"
Tak ada sahutan. Di ujung sana, Mama tidak mengeluarkan
suara, yang terdengar hanya suara napasnya. Perasaanku mulai
tidak enak. "Ma" Kenapa" Simon kenapa?"
Terdengar Mama menghela napas. "Simon lagi sakit, Sar."
Aku menegakkan tubuh. "Sakit apa?"
"Ada masalah dengan tulang belakangnya. Mama nggak
tahu kenapa bisa begitu."
"Sekarang Simon di mana?"
"Kami sekarang di Jakarta."
"Kok nggak bilang sama aku dari tadi" Lagi berobat" Kenapa
juga mesti di Jakarta" Di Singapura kan lebih bagus?" aku
memberondongkan pertanyaan kepada Mama. Aku agak kesal
karena Mama tidak menghubungiku sejak dia mendarat di
Jakarta. "Mama dengar di sini ada dokter spesialis tulang belakang
yang bagus, jadi Mama coba ke sini dulu. Ini juga rekomendasi
dari teman Mama, tetapi sepertinya hasilnya kurang memuaskan." "Mama sekarang di mana?"
"Kami ada di rumah Pondok Indah, Simon dirawat jalan."
"Aku ke sana sekarang."
Mama menghela napas lagi. "Baiklah... tapi, Sar..."
"Ada apa, Ma?" "Masih suka dengar kabar papamu?" Mama bertanya pelan. Aku heran, kenapa Mama masih menanyakan Papa"
"Masih, aku menelepon ke sana sebulan sekali."
http://pustaka-indo.blogspot.com96
"Papamu masih suka kasih uang?"
Keningku berkerut. "Kadang, meskipun aku juga tidak meminta. Kenapa, Ma?" Mama hanya diam. Terdengar suara di seberang sana menghela napas. "Tidak apa-apa, Mama tunggu ya sekarang, hatihati." Setelah menutup telepon aku bergegas menuju Pondok
Indah yang merupakan kawasan rumah keluarga kami dulu.
Aku mengendarai mobilku dengan hati yang galau dan penuh
kecemasan. Simon, aku memikirkan Simon. Semoga dia baikbaik saja, doaku dalam hati. Belum lagi tiba-tiba aku teringat
dengan pertanyaan Mama, Papamu masih suka kasih uang" Apa
sih maksud pertanyaan Mama" Apakah... Mama kesulitan keuangan" Setelah tiba, aku menemui mereka berdua. Mama terlihat
agak kurus, dan Simon sedang tidur nyenyak.
"Sarah...," panggil Mama. Aku menghampirinya.
Mama memelukku sejenak. Aku memperhatikannya dengan
saksama. Mama banyak berubah. Wajahnya tidak segar lagi
seperti dulu, dan dia terlihat rapuh. Mama dulu sangat tegas
dan cenderung galak, tetapi kenapa sekarang terlihat sangat
lemah. Aku duduk di sisi ranjang Simon dan mengelus dahinya.
Mama juga ikut duduk di sampingku.
"Apakah Simon akan baik-baik saja?"
"Mama tidak tahu. Kata dokter, penyakit Simon lumayan
serius, mungkin harus menjalani terapi yang cukup lama."
Hatiku bergetar. Serius itu bisa berarti agak parah atau lumayan parah bahkan bisa jadi sangat parah. Kasihan sekali
Simon. "Kamu sehat, Sar?" Mama mengelus rambutku.
Aku mengangguk. "Mama tidak usah mengkhawatirkan
Sarah, sekarang Mama fokus saja agar Simon sembuh."
http://pustaka-indo.blogspot.com97
Mama ikutan mengangguk. "Besok sudah seminggu Simon
terapi, kalau di sini tidak ada hasil, Mama akan bawa Simon
ke Malaysia." "Yang penting, yakinkan dulu hasil yang di sini, Ma. Gantiganti dokter kan juga tidak baik, setidaknya tinggal sebulan di
sini untuk terapi, dan jika tidak ada kemajuan, baru Mama
bisa bawa Simon ke Malaysia," aku melontarkan pendapatku.
"Enggak, Mama mau segera bawa Simon ke Malaysia saja,"
kata Mama berkeras. Aku menangkap gelagat yang tidak mengenakkan. Aku sedikit curiga ketika Mama ngotot untuk tetap
pergi ke Malaysia. "Ma?"
"Ada apa, Sar?" tanya Mama. Wajahnya terlihat begitu lelah.
Kantong matanya terlihat jelas. Dia begitu rapuh.
"Mama sedang ada masalah?"
Mama menatapku dan mendesah. "Tidak apa-apa, Sar, bisa
Mama selesaikan." "Apakah ini ada hubungannya dengan Om Ferdy?" tanyaku
lagi. Om Ferdy adalah suami Mama yang tinggal di Singapura.
Mama menatapku dan hanya mengangguk pelan.
Aku menatap Mama tajam dan berkata dengan tegas,
"Mama tahu harus ke mana jika Mama ada masalah. Ini
rumah kita. Di sini ada aku, ada Igi. Kami tidak akan membiarkan Mama sendirian."
"Pokoknya harus Mama selesaikan dahulu, Sar. Kamu jangan
khawatir ya." Aku mendesah, Mama memang keras kepala. Kemudian aku
mengambil amplop dari tasku dan memberikannya pada
Mama. Dia sempat menolaknya, tetapi aku memaksanya, "Terima, Ma, ini buat pengobatan Simon. Bawa Simon ke Malaysia
ya... dan terus kabari aku... Oh ya, kapan Mama akan pergi?"
"Seminggu lagi."
Aku mengangguk dan mencium pipi Mama lagi. Kemudian
Mama berkata perlahan, "Sar, kalau bisa ajak Igi kemari. Simon
http://pustaka-indo.blogspot.com98
menanyakan Igi terus." Aku terpekur mendengar perkataan
Mama. Lalu aku melihat Mama menangis dan mencoba untuk
tegar. Aku memeluk Mama dan memberinya kekuatan. Tetapi
sebenarnya hatiku runtuh, aku pun menangis sepulang dari
Pondok Indah. Aku menghubungi Igi, tetapi tidak tersambung.
Berulang kali aku meneleponnya, dan selalu gagal, hingga
akhirnya aku tertidur. ?"" Keesokan harinya di kantor, aku menelepon Igi untuk memberitahunya tentang keadaan Simon. Tetapi keberadaan Igi
masih belum kutemukan juga. Aku pun menelepon Jans.
"Kok nggak semangat?" Dia bisa membaca suaraku yang menyapanya dengan datar. "Mama dan Simon ada di Jakarta," aku memberitahu Jans.
"Oh ya" Kapan tibanya?" tanyanya antusias.
Aku tidak mengubris pertanyaannya.
"Sar" Kok diam" Ada apa?" Suara Jans berubah serius.
"Simon lagi sakit, Jans." Suaraku bergetar.
Jans sungguh baik, dia langsung berinisiatif, "Kita ketemu di
bawah ya. Kita cari kopi di luar sambil cerita." Lalu dia pun
mematikan teleponnya. Usul yang bagus. Aku sedang tidak mood memikirkan pekerjaan. Untung semua pekerjaanku sudah selesai, meskipun deadline belum berakhir, setidaknya aku bisa lebih santai dan menghilang sebentar dari kantor. Lagi pula, kantor juga sedang sepi,
entah pada ke mana semua orang. Mungkin mereka juga berpikiran sama denganku. Aku dan Jans menaiki mobilnya. Aku lebih banyak diam,
sedangkan Jans mengenggam tanganku terus hingga kami tiba
di Starbucks, tempat pelarian favoritku.
"Jadi kapan mereka datang, Sar?"
http://pustaka-indo.blogspot.com99
"Sudah seminggu."
"Mereka tidak menghubungi kamu?" tanya Jans heran.
Aku mengangkat bahu. "Mama memang begitu, terkadang
dia merasa kuat untuk melakukan semuanya sendiri, tanpa
sadar sebenarnya dia membutuhkan pertolongan, dukungan,
serta tempat untuk bercerita. Meskipun hanya sedikit, tetapi
nilainya bisa sangat berarti besar, kan?"
Jans menyetujuinya. Dia mengenggam tanganku. "Be strong
ya, Sar. Andaikan ada yang bisa aku lakukan."
Aku mengangguk. "Andaikan ada yang bisa aku lakukan..."
Aku termenung, kemudian melanjutkan, "Aku merasa kasihan
kepada Mama dan Simon. Mereka kelihatannya tidak berdaya...
belum lagi masalah yang dihadapi Mama dengan Om
Ferdy..." "Aku tahu..." "Kemungkinan besar mereka akan pergi ke Malaysia. Di sana
ada dokter yang bagus untuk Simon, mudah-mudahan dokter
yang di sana cocok dan bisa menyembuhkan Simon."
"Mudah-mudahan Simon sembuh."
Jans mengelus punggungku hangat. "Banyak doa ya, dear.
Tuhan pasti dengar untuk kesembuhan Simon."
Aku tersenyum. Kata-katanya benar-benar memberiku kedamaian dan kehangatan di hati. Aku meminum kopiku dengan hati yang sedikit ringan, setelah masalah yang terpendam
di hati sudah keluar. "Oh iya, kamu ketemu Igi hari ini?"
Jans menggeleng. "Nggak tuh, aku tadi pemotretan pagi.
Kamu?" Aku juga menggeleng. "Igi tidak kelihatan dari kemarin, dan
teleponnya susah dihubungi." Aku mengigit bibirku dengan
bingung. "Mungkin lagi sibuk, atau ada side job, jadi nggak mau diganggu." Jans berasumsi sendiri.
http://pustaka-indo.blogspot.com100
"Segitunya! Berasa orang penting!" seruku dengan kesal dan
kecewa. "Hahahaha... sudahlah, jangan terlalu dipikirkan, dear." Jans
tertawa melihatku sewot. Sampai malam tiba, Igi masih tidak menampakkan batang
hidungnya. Ke mana sih tuh anak" gerutuku dalam hati. Bagus
sekali, memilih waktu untuk menghilang pada saat yang sangat
tidak tepat! Aku akhirnya menyerah dan berhenti mencari Igi.
Mungkin benar apa yang dikatakan Jans, kemungkinan besar
Igi sibuk dengan banyak project. Biarlah dia menyelesaikan
kesibukannya sampai bisa menghubungiku.
Namun, baru saja aku memejamkan mata untuk menikmati
mimpi indah, handphone-ku berbunyi nyaring. Aku menatap
layar untuk membaca nama si penelepon. Ternyata dari Igi!
"Igi, nyong" ke mana sih?"" seruku dengan gemas dan
sebal. "Heiii" maaf ya"," jawab Igi dengan mengantuk.
"Lo ke mana aja sih, Gi" Gue cariin lo berasaaa kayak lagi
cari buronan." "Hehehe, gue kan memang buronan cinta," goda Igi.
"Serius nihh" kok menghilang dari kemarin?"
"Nggak ke mana-mana, Sar, ada urusan sedikit."
"Gitu lo ya, main rahasia-rahasiaan sekarang ama gue, sekalian nggak usah ngomong lagi aja ama gue." Aku ngambek.
Aku kesal sekali dengan tingkah lakunya. Igi tidak pernah
merahasiakan apa pun dariku.
Herannya, Igi tidak menanggapi ambekanku. Tidak seperti
biasanya. Dia menarik napas dengan berat, "Gue tidur dulu ya,
Sar, gue ngantuk..."
"Are you okay?" tanyaku heran.
"I"m fine. It"s okay kok. Sudah ya, bye."
Dengan tidak rela dan setengah hati, aku pun menutup telepon. Igi kenapa ya" http://pustaka-indo.blogspot.com101
Keesokan harinya di kantor, aku melihat sosok Igi yang sedikit-banyak menjadi aneh. Dia tidak lagi ceria seperti biasanya. Dia lebih banyak melamun, terkadang sibuk dengan
handphone-nya dan menelepon dalam waktu yang lama dengan
mimik serius. Dia seperti bukan Igi. Apakah dia sedang punya masalah"
Aku benar-benar harus berbicara dengannya.
?"" "Gi" lo aneh?"
Igi melirikku sekilas ketika aku mengadangnya di sore hari
dan langsung menyeretnya ke coffee shop di lantai bawah
gedung kantor kami untuk kuinterogasi. "Emang gue aneh kan
tiap hari?" Aku mencubit lengannya. "Huh! Gue serius!"
Igi nyengir jelek melihatku kesal. "Sayangku, gue nggak
aneh, gue nggak papa. Benar kok. Cuma gue lagi sibuk."
"Sibuk ngapain sih, tumben amat" Biasanya lo paling males." Lagi-lagi jawaban yang kudapatkan dari Igi, adalah senyuman. Ughh! Ingin rasanya gue tampol Igi pakai cangkir kopi.
Karena tidak tahan dan air mata mulai menggenang di pelupuk mata, akhirnya aku berdiri. "Ya sudah, simpan saja tuh
senyum lo buat orang lain. Gue nggak butuh senyum lo."
"Sar, jangan gitu dong."
Aku tidak berkata apa-apa karena meninggalkannya. Setelah
beberapa langkah, aku kembali lagi dan berdiri di hadapannya.
"Asal lo tahu, gue mencari lo karena Mama dan Simon lagi
ada di sini dan Simon lagi sakit. Gue cari lo karena gue butuh
dukungan lo, karena lo sahabat gue yang sudah mengenal gue
sejak lama. Dan gue cari lo karena... karena Simon terus menanyakan lo..." Air mata mulai mengalir di pipiku.
http://pustaka-indo.blogspot.com102
Raut wajah Igi langsung berubah penuh rasa bersalah dan
dia berdiri memegang pundakku. "Sarah, sori ya, gue benarbenar nggak tahu." Aku menepis tangannya dan berbicara dengan sedikit
lantang, "Bagaimana lo bisa tahu kalau lo enggak pernah ada"
Gue hanya menelepon untuk bercerita dan lo nggak pernah
ada!" Aku pergi diiringi pandangan penuh tanya dari para pengunjung lain. Igi mengejar dan menghentikanku sebelum aku
pergi. Ia menarik tanganku. "Sarah! Tunggu!" Igi terus menarikku sampai masuk ke mobilnya yang berada di basement.
Aku hanya bisa menangis. Igi memelukku serta mencium
rambutku untuk menenangkan diriku.
"Sar, maain gue. Gue nggak peka, gue egois. Jangan marah,
please... Gue benar-benar menyesal."
Setelahnya, Igi membiarkanku menangis sepuasnya hingga


It Takes Two To Love Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku tenang kembali. Igi tidak melepaskan pandangannya dariku. Suara musik yang mengalun dari radio mengisi kesunyian
di antara kami berdua. Aku mengangkat wajahku untuk melihatnya, Igi tersenyum.
"Sekarang kita tengok Simon yuk."
Igi menyalakan mesin mobilnya dan kami pun berlalu
menuju daerah Pondok Indah. Sesampainya di sana, Mama
dan Simon menyambut Igi dan aku. Mama memeluk Igi dan
begitu Simon melihat Igi langsung tersenyum memanggilnya,
"Kak Igi!" lalu meminta pelukan dari Igi. Igi memeluknya erat
dan sangat lama. Mama dan aku terharu melihat pemandangan
ini. Kami melihat kekuatan Simon seperti diisi ulang dengan
hadirnya Igi. Mereka memang sangat akrab.
Dulu, ketika Mama memutuskan untuk pindah ke Singapura,
Simon-lah yang paling menentang rencana ini. Dia tidak mau
tinggal di sana, karena ingin tetap di Jakarta bersama Igi.
Tentangan Simon berlangsung cukup lama. Kami tidak berhasil
http://pustaka-indo.blogspot.com103
membujuknya. Bahkan Simon sempat mengancam untuk kabur
dari rumah kalau terus dipaksa pindah. Tidak heran, Simon
yang memang sangat mendambakan kakak laki-laki, ingin Igi
selalu berada di dekatnya, sedangkan Igi selalu bisa mendekatkan diri dengannya. Sampai suatu ketika, ketika aku dan
Mama menyerah untuk membujuk Simon, kami yang frustrasi
akhirnya meminta Igi yang berbicara dengan Simon. Igi pun
membawa Simon pergi dan berjalan-jalan, cukup lama, hingga
sore hari. Ketika pulang, akhirnya Simon berkata kepada Mama
bahwa dia akan ikut menemani Mama. Sungguh ajaib! Aku
sampai tak bisa berkata apa pun. Entah apa yang dikatakan Igi
kepada Simon, sampai sekarang aku pun tidak mengetahuinya,
namun yang pasti ucapan Igi didengarkan oleh Simon.
Aku mendengar gelak tawa Simon yang sedang bercanda
dengan Igi. Dari pintu, aku memperhatikan mereka berdua,
dan tentu saja hatiku sangat tenang melihat pemandangan di
depanku ini. Yang penting senyum cerah kembali menghiasi
wajah Simon hari ini. http://pustaka-indo.blogspot.com104
SETELAH mengunjungi Simon, Igi berangsur-angsur membaik
alias kembali normal. Perasaanku juga membaik. Jans sudah
kuajak menemui Mama dan Simon, dan mereka sangat menyambut baik kehadirannya dalam hidupku. Jans, seperti juga
Igi, mampu mengambil hati Simon, dan mereka pun langsung
akrab dalam hitungan menit.
Jans, yang kebetulan membawa kameranya mengajari Simon
bagaimana membidik dan memotret. Mereka langsung asyik
dengan kegiatannya. Mama dan aku tidak banyak bicara, namun bisa kulihat raut wajah Mama yang senang melihat
Simon tertawa-tawa bersama Jans.
Tepat seminggu kemudian, Mama dan Simon berangkat ke
Malaysia. Terapi Simon di sana berjalan dengan baik dan
mengalami kemajuan. Mama bahkan mengabari bahwa Simon
membaik dan akan segera pulang ke Singapura. Aku sungguh
lega. ?"" http://pustaka-indo.blogspot.com105
Hari Minggu yang cerah kulewati dengan berdiam diri di
dalam rumah. Sedari pagi, berdua dengan Mbak Nah, aku membereskan rumah. Setelah dua jam, akhirnya kami berhasil memisahkan begitu banyak barang yang sudah tak terpakai untuk
disumbangkan, dibuang, atau diloakkan. Tepat ketika aku
menaruh barang-barang tersebut di garasi, Igi muncul. Dia melihat-lihat barang-barang tersebut dengan terkagum-kagum.
"Wah, barang bekas! Mesti gue pilih-pilih dulu nih," ujar Igi
sambil mengaduk-aduk satu boks berisi patung-patung hias
yang sudah tidak berguna, kertas-kertas, majalah, boneka,
bantal, dan masih banyak lainnya. "Gila, lo ngumpulin beginian, Sar" Nyampah aja di rumah."
Aku mencubit pipinya. "Kayak lo nggak nyampah aja. Sekarang lagi ngapain tuh milih-milih loakan gue kalau nggak
nyampah?" "Tapi gue kan selektif dalam memilih barang. Cari yang
unik, antik, dan yang lain dari biasanya." Lalu Igi mengambil
sebuah jam tua yang sudah sedikit rusak, dan memisahkannya
dari yang lain. Ternyata setelah lewat dari satu jam"setelah
aku pergi ke dapur untuk menyeduh kopi dan Mbak Nah membuatkan jus jeruk favorit Igi, bahkan aku sudah sempat
mandi"Igi masih asyik memilah barang yang diinginkannya.
Tetapi bukannya selektif, barang-barang yang dipilih oleh Igi
malah muat dalam satu boks.
"Lo beneran milih buat keperluan pribadi atau memang lo
punya usaha sampingan jual loakan?" tanyaku kepada Igi ketika melihat begtu banyak barang yang dipilihnya. Igi terlihat
puas dengan barang hasil jarahannya. "Bisa buat macammacam." Begitu alasan yang dikemukakannya.
Setelah selesai, kami pun beristirahat di dalam rumah sambil
menikmati makan siang. Kemudian kami menonton maraton
DVD serial How I Met Your Mother, hingga mataku rasanya
butek dan perih. http://pustaka-indo.blogspot.com106
"Ngomong-ngomong, Jans ke mana" Kok nggak kelihatan?" "Lagi ke Bandung, saudaranya ada yang masuk rumah sakit." Malam sudah tiba. Akhirnya kami berhasil menamatkan
season terbaru serial komedi tersebut. Igi pergi ke kamar mandi
untuk mencuci muka. "Sar, kita jalan-jalan yuk!" ajak Igi tiba-tiba begitu dia keluar
dari kamar mandi. Aku menatapnya dengan bingung, sambil
melirik ke arah jam dinding.
"Mau ke mana malam-malam begini" Males ah, enakan di
sini," sahutku sambil asyik memeluk bantal sofa. Mulutku
sibuk mengunyah kacang rebus yang dibuatkan oleh Mbak
Nah. Tetapi Igi malah mengambil kunci mobil. "Sudahlah, ikut
saja!" Igi menyeret tanganku tanpa menunggu persetujuanku
lagi. "Igiii! Mau ke mana sih" Ini sudah jam delapan malam!
Eh... eits, tunggu... gue masih pake piama nih" Kalau mau
pergi ya ganti baju dulu dong!" aku protes berat.
"Gue cuma mau keliling-keliling naik mobil kok, siapa juga
yang mau lihat lo pakai piama" Gak ada yang nafsu!"
Aku cemberut. "Ngajak sih ngajak, tapi nggak perlu menghina orang, kali." Dengan ogah-ogahan dan kantuk yang menyerang, aku
masuk ke mobil Igi dan mulai bergelung di kursi samping
sopir yang nyaman dan empuk. Igi mengendarai mobilnya
dengan diam. Wajah Igi terlihat muram dan sedikit gelisah.
Kemudian dia menyalakan radio di mobil dan terdengarlah
suara Beyonce. Bisa dibilang Igi is her number one fans. Dia
mengoleksi semua albumnya, sejak Beyonce masih tergabung
dengan Destiny"s Child hingga album solonya.
"Sarah, ini Beyonce gitu lho! Seksi buanget!" teriak Igi sok
http://pustaka-indo.blogspot.com107
bergairah ketika aku dulu menanyakan alasan dia bisa tergilagila dengan Beyonce. Ck, aku menatap Igi dengan sinis.
"Terus, lo ngeliatin body-nya aja?" protesku.
Igi menggeleng sambil mengoyang-goyangkan tubuh mengikuti irama lagu Beyonce. "Yang penting enak dilihat, bo!"
sahutnya lagi, kali ini dia menggoyang-goyangkan kepala.
Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah lakunya.
Dasar Igi, kemudian dengan tangannya membuat lekukan
tubuh Beyonce yang baginya sungguh yahud. "Masa lo nggak
bisa lihat sih, Sar..." Body-nya Beyonce tuh sempurna. Bagi gue,
nilai dia tuh sepuluh, seperti lekuk gitar yang seolah dipahat
seorang maestro," jelasnya lagi. Ih, sama saja dong!
Sekarang aku melirik ke arah Igi. Dia masih asyik mendendangkan lagu Beyonce. Aku terhanyut juga dan ikut menikmati lagu tersebut. Tak terasa, kami sudah sampai di daerah
Sudirman. Sekarang sudah jam sembilan malam. Igi mengendarai mobilnya menyusuri jalanan Sudirman yang mulai
lengang dan menuju Thamrin. Di antara kami tak ada obrolan
yang berarti, lebih banyak keheningan yang berbicara. Dan
lagu-lagu Beyonce-lah yang memecah kesunyian. Tiba-tiba Igi
mematikan radionya dan suara Beyonce pun hilang begitu
saja. "Kok dimatiin sih, Gi?" aku protes karena masih asyik menikmati suara istri Jay-z itu. Tetapi Igi diam dengan mata tetap
lurus menatap ke depan. Aku memutar tubuh dan menghadap
ke arah Igi serta memukul lengannya dengan gemas. What"s
wrong with him" "Igi" helow" Are you there?" Aku mengibas-ngibaskan tanganku di depan wajahnya. Lalu dia menoleh ke arahku, memegang tanganku, dan menciumnya. Hah! Darah di tubuhku
rasanya langsung naik ke kepala yang menyebabkan mukaku
memerah malu. Lalu aku menarik tanganku sambil protes.
"Igi! Apa-apaan sih" Lo aneh banget deh malam ini!"
http://pustaka-indo.blogspot.com108
"Sar...," akhirnya Igi bersuara juga.
"Apa" Mau ngomong apa" Cepetan! Jangan buat gue penasaran." Herannya, Igi mengambil tanganku lagi dan menggenggamnya dengan lembut. Kali ini dia menatapku dengan sorot
mata yang berbeda sekali. Kemudian dia memarkir mobilnya
di Starbucks Sarinah. "Lo mau kopi" Enak kali ya, minum yang hangat malam
begini..." Kemudian Igi keluar dari mobil tanpa persetujuanku,
meninggalkanku yang bengong melihat tingkahnya yang semakin aneh. Kopi" Aku menggeleng. Igi kan tidak suka kopi,
lalu untuk apa dia pergi ke Starbucks" Reseh! Gue kan nggak
bisa turun pakai piama begini... Monyong" katanya mau
jalan-jalan saja dengan mobil, aku mendumel panjang-lebar di
dalam mobil. Tak lama, Igi kembali ke mobil dengan membawa dua gelas
kopi dan satu kue brownies yang tebal dan menggugah selera.
Dalam seketika harum aroma kopi panas langsung memenuhi
mobil Igi. Dia memberiku segelas coffee mocha kesukaanku. Aku
memegang gelas kertas itu, hangat sekali. Igi juga memegang
gelas kertas yang sama. "Sejak kapan lo minum kopi?" Aku menyuarakan rasa penasaranku. Igi mengangkat gelasnya dan mulai meminumnya sedikit
demi sedikit. "Sejak sekarang."
Sepertinya dia membeli coffee latte, aku melihat ke dalam
gelasnya yang berwarna cokelat terang. Melihatnya begitu asyik
menikmati kopinya, aku pun mengikuti jejaknya. Kami menikmati kopi masing-masing dalam diam lagi.
"Sar?" "Hm?" "Sar" gue mau pergi?"
http://pustaka-indo.blogspot.com109
Keningku berkerut mendengar perkataan Igi. "Ha" Mau ke
mana" Pemotretan?"
"Gue mau pergi ke luar negeri."
Aku berhenti menghirup kopiku. "Ngapain ke luar negeri"
Pemotretan di sana" Enak benar! Ikut dong gue..." Aku merajuk. Igi menaruh kopinya di tempat gelas yang terdapat di mobilnya. Dia mengubah posisi duduknya, menghadap ke arahku,
dan menatapku dengan gundah.
"Sar... gue mau pergi. Gue dapat pekerjaan di sana. Di sana
gue akan tinggal dengan tante gue..."
Tiba-tiba hatiku langsung hampa. Igi pergi" Igi tidak akan
berada di sini lagi" Gelas kertas yang kugenggam itu dalam
seketika tidak terasa panas lagi, telapak tanganku malah terasa
dingin karena mendengar berita itu.
"Ke mana" Berapa lama?" tanyaku dengan suara yang tercekat. "Ke Inggris, Sar..."
Aku sedikit terkesiap. Jauh sekali. "Berapa lama?" tanyaku
perlahan. Suaraku sudah menyerupai bisikan.
"Gue nggak tahu untuk berapa lama."
"Untuk selamanya?" aku mendesaknya.
Igi diam saja dan tangannya mengenggam kantong kertas
berisi brownies-nya dengan gelisah.
"Kapan perginya?"
Igi menghela napas, menatap aku dengan pandangan yang
sangat sukar diartikan. "Besok..." Aku sungguh terkejut. "Besok, Gi" Besok" BESOK! Lo kok
tega banget sama gue" Dan lo baru sekarang ngasih tau gue"
Lo pikir gue ini siapa lo sih?" Aku mulai naik darah. Suaraku
mulai naik setinggi roller coaster, napasku sudah memburu menahan kemarahan yang begitu dalam.
http://pustaka-indo.blogspot.com110
"Sar, bukannya begitu..." Igi meraih tanganku tetapi aku menepisnya. Kopiku sudah terasa pahit di lidah. "Buat apa lo
kasih tahu gue sekarang kalau lo memang nggak menganggap
gue penting" Buat apa lo bawa gue ke sini" Mendingan lo pulang saja dan anggap gue nggak pernah ada!" aku berteriak
dengan kesal. Igi diam saja, membiarkanku menyalurkan amarahku. "Gue benci sama lo, benci banget!" Mataku terasa panas,
dan air mata pun mengalir dengan sendirinya. Tetesan air
mata jatuh ke tanganku. Makin lama tangisku makin deras.
Akhirnya pertahananku runtuh juga. Kekesalan dan kemarahanku berubah menjadi kekecewaan dan kesedihan, serta kehilangan. Aku terus menangis.
"Kok... lo tega sama... gue salah apa, Gi" Sampai hal besar...
seperti ini lo nggak kasih tahu gue..."
Igi mengelus kepalaku dan memelukku. Aku pun menangis
di bahunya dengan tersedu-sedu. Makin lama, tangisku mulai
mereda dan aku hanya terpaku di bahu Igi yang besar. Tangan
Igi masih mengelus rambutku dengan pelan dan lembut. Baru
kali ini aku merasa nyaman dalam pelukannya. Begitu hangat,
tetapi aku segera menyadari bahwa malam ini adalah malam
terakhir aku melihatnya. Kehangatan itu penuh dengan rasa
kehilangan. "Lo akan tetap jadi sahabat gue yang terbaik kan, Sar?"
tanya Igi dengan lembut sambil tetap mengelus rambutku. Aku
mengangguk. Air mataku mengalir lagi di pipi.


It Takes Two To Love Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan lupakan gue ya..."
Aku mengangguk lagi, terisak.
"Gue akan tetap telepon lo setiap hari."
Aku mengangguk lagi. Rasanya lidahku masih kaku dan kelu
untuk bisa berbicara. Igi melepaskan pelukan dan menyodorkan
brownies-nya yang sudah tinggal setengah potong ke hadapanku. http://pustaka-indo.blogspot.com111
"Nggak mau!" aku menemukan suaraku kembali.
"Kok?" "Nggak niat banget sih ngasihnya" Masa ngasih gue yang
sudah tinggal setengah" Sana beli yang baru lagi!" seruku
sambil menghapus air mataku.
Igi tertawa terbahak-bahak. "Sarah is back!!! Nah gitu dong,
jangan cengeng! Jelek, tahu!" sahut Igi. Telunjuknya menjawil
hidungku. Lalu dia kembali turun untuk membeli brownies lagi.
Aku menatap sosok Igi yang berjalan menjauhi mobil dan berlalu ke dalam Starbucks. Aku menghela napas dengan berat.
Bagaimana bisa" Bagaimana bisa secepat itu" Bahkan kami
tidak diberi kesempatan untuk meluangkan waktu bersama.
Berapa lama waktu yang aku dan Igi miliki" Kurang dari 24
jam" Tanpa sadar air mataku meleleh lagi. Ketika Igi kembali,
dia mendapatiku dibanjiri air mata lagi.
"Yah" kok nangis lagi sih, Sar?" Igi bergegas duduk dan
memelukku kembali. "Huhhuhuhu" Tau, ah! Hhuhuuhu" Terserah deh lo mau
ke mana, mau ke bulan kek, mau ke Planet Mars kek, mau ke
pedalaman Papua kek, mau ke laut kek" gue nggak peduli!
Huhuhuhu" pergi... sana!"
Igi jadi tersenyum mendengar kata-kataku. Dia mengelus
kepalaku dengan lembut dan menciumnya lagi. Lalu aku melepaskan pelukan Igi. Wajahku sudah tak berbentuk karena
belepotan air mata. Hidung dan mataku juga memerah dan
bengkak. Rambutku pun berantakan. Aku meraba-raba ke
bangku belakang untuk mengambil tisu dan membuang ingus
yang berkumpul di hidungku.
"SROOOTTT!!! Aduh" hidung gue mamped" hiks" hiks...
Mana brownies gue?""
Igi menyerahkan kantong cokelat berisi brownies. Aku langsung mengunyahnya. Igi memperhatikanku yang sedang makan dengan saksama. http://pustaka-indo.blogspot.com112
"Pulang yuk," ajak Igi.
Igi menyalakan mobilnya. Sekarang lagu Alicia Keys yang
mengiringi kami pulang. Malam semakin kelam bagiku. Suara
Alicia Keys pun mengalun dan menusuk hingga ke sukmaku.
Aku menatap jalanan ibu kota dengan nelangsa.
Ah... hidup... Kenapa sih harus ada yang namanya perpisahan" Mengapa juga harus ada kesedihan" Tidak bisakah
kita hidup tanpa air mata serta rasa takut ditinggal oleh orang
yang kita kasihi" Malam ini Igi menginap di rumahku. Kami mengobrol sampai subuh hingga kami kelelahan. Begitu matahari naik, aku
mengantar Igi yang hendak pulang untuk mempersiapkan kepergiannya. Aku mengantar Igi hingga ke depan pagar rumahku. "Entar malam lo bakal datang kan buat antar gue?" tanya Igi.
Aku menonjok lengannya pelan. "Pasti dong!"
Kami sama-sama tersenyum. Aku menunggu hingga mobil
Igi tak terlihat lagi. Begitu masuk ke rumah, aku menelepon
Jans yang sedang dalam perjalanan pulang menuju Jakarta.
Kemarin dia memberitahuku bahwa dia akan pulang pagi ini
dan langsung ke kantor. "Aku sedih..." "Sedih kenapa, dear?"
"Igi mau pergi nanti... dan dia baru kasih tahu aku kemarin
malam." Jans menghela napas. "Kita bertemu di kantor ya, then we
talk, oke?" ?"" Hei, mestinya hujan itu turun dari langit, betul" Tetapi di dalam kantor, tepatnya di kantor majalah sekeren Women"s Style,
hujan air mata tak henti-hentinya turun, bahkan banjir sudah
http://pustaka-indo.blogspot.com113
melanda akibat air mataku. Alhasil, tampangku sudah bisa ditebak, bengkak dan merah, tisu pun berserakan di mejaku.
Percuma juga menutupi wajahku dengan makeup, tidak akan
menolong, yang ada malah amburadul!
Dini memandangku dengan belas kasihan yang teramat
sangat sambil menyerahkan sekotak tisu tanpa bertanya apa
pun. Angel yang kebetulan lagi ada di kantor membantu Maya
untuk pemotretan fashion juga memberiku sekantong tisu,
sepertinya aku akan panen tisu di mejaku. Bahkan Ibu Dinar
yang menangkap basah mukaku yang lagi nggak banget itu
hanya mengangkat alisnya sebelah dan berlalu tanpa berkata
apa-apa. "Lo kayak Rudolf the Red Nose Raindeer deh, Sar." Dimas,
fotografer yang jenggotan bak Bang Rhoma Irama meneliti
wajahku dengan saksama. "Iya, trus kenapa" Lo mau foto gue dengan tampang begini?" sahutku dengan suara yang bindeng. Iseng sekali orangorang ini, gerutuku. "Boleh aja, trus gue masukin ke lomba foto bareng Santa
Claus, pasti menang deh."
Aku menimpuknya dengan tisu bekasku yang langsung berserakan di lantai dan membuat mata Karen, staf bagian keuangan yang kebetulan lewat melotot kepada kami berdua.
Aku segera membereskan tisu-tisu tersebut dan membuangnya
di tong sampah. Kepalaku pun jatuh di mejaku. Semangatku
sedang luntur. "Are you okay, Sar?"
Suara yang teduh menyapa telingaku. Aku mengangkat kepalaku yang sudah seberat batu dan menoleh ke belakang. Aku
mendapati wajah Jans yang menatapku dengan sorot khawatir.
Aku mengeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Jans. Air mata
mengalir lagi, dan dalam seketika aku menangis kembali. Jans
cepat-cepat memberiku tisu.
http://pustaka-indo.blogspot.com114
"Kopi?" Jans sungguh tahu apa yang kuperlukan pada saat-saat seperti ini. Secangkir... eh... bisa jadi bercangkir-cangkir kopi
yang akan kuteguk dan kuhirup, serta teman untuk bercerita.
Aku hanya mengangguk pasrah dan berjalan mengikuti Jans.
Di dalam mobil, Jans tidak berkata apa-apa, hanya sesekali melirik ke arahku. Mungkin untuk memastikan bahwa aku baikbaik saja. Nope, I"m not okay... actually" It still hurts. Apa yang harus
kulakukan tanpa Igi" Besok sosok Igi tidak akan ada lagi di
sampingku. Dia sungguh-sungguh tidak ada. Dia akan berada
jauh di seberang benua dengan waktu yang berbeda, iklim
yang berbeda. Ternyata Jans membawaku ke Bakoel Kofie, kedai kopi yang
tak jauh dari kantorku. Pilihan yang tepat. Nyaman dan tenang. Benar saja, ternyata Bakoel Kofie sedang sepi. Hanya
terlihat dua orang yang sibuk dengan kegiatannya masingmasing. Jans menatapku lekat. Dia menyeruput kopi hitam panasnya,
lalu berkata, "Kamu sedih Igi pergi" Aku bisa mengerti, Sar,
tetapi kamu harus merelakannya. Dia kan sudah dewasa dan
sudah bisa menentukan hidupnya sendiri."
"Aku tahu." Aku mengangguk pelan. Aku menatap Jans
dengan mata yang berkaca-kaca. Oh God, this is so hard! Aku
tidak menyangka akan terpuruk seperti ini mendengar kepergian Igi. Seharusnya aku mendukung dan mendoakannya.
Bukannya menahannya dengan bersedih seperti ini.
Jans mengelus-elus tanganku untuk menenangkanku. "Sudahlah, Sar, kamu masih bisa berhubungan dengannya, lagian
teknologi sekarang kan sudah canggih!"
"Tapi beda, Jans"," kataku dengan keras kepala.
"Aku tahu, tetapi tidak selamanya kamu akan selalu bersama
dengannya. Dia akan mempunyai kehidupan sendiri, keluarga
http://pustaka-indo.blogspot.com115
sendiri, dan begitu juga kamu, jadi kamu harus membiasakan
diri untuk tidak terlalu tergantung kepadanya."
Aku merenungi kata-kata Jans. Benarkah aku terlalu tergantung kepada Igi" Memang, he"s been with me for my
whole life. Igi hadir selama separuh kehidupanku. Tetapi mau
tidak mau aku mengakui perkataan Jans memang benar. Bagaimanapun, kelak Igi akan berkeluarga. Tentu saja dia tidak
akan bisa seterusnya berada di dekatku dan selalu mendampingiku. "Jans, malam ini aku mau antar Igi ke bandara."
"Aku temani, ya?"
"Nggak usah..."
"Bagaimana caranya kamu pulang" Masa sendirian" Nggak,
pokoknya aku antar."
"Aku kan bisa bawa mobil, Jans," kataku memelas.
"Dalam suasana hati kamu seperti ini?" tanya Jans.
Aku melotot dan berdecak kesal mendengar penuturannya.
"Memang aku mau ngapain" Bunuh diri?"
"Bisa jadi." Aku melotot, sinting, ternyata dia benar menganggap aku
akan bunuh diri. Ck, buat apa aku bunuh diri" Rasanya aku
belum segila itu, aku menggerutu dalam hati.
"Pokoknya nanti aku antar," Jans berkeras dan nada suaranya tegas. Yah, apa mau dikata. Aku enggan berdebat dengan
orang. Aku turuti saja keinginannya. Aku kembali teringat dengan kepergian Igi yang tinggal menghitung jam. Aku tidak
bisa menahan air mataku lebih lama lagi.
"Kok nangis lagi sih, Sar..." Sudah... sudah..." Jans memberiku tisu. "Mata kamu udah bengkak tuh, kayak ikan mas
koki... nanti lama-lama kamu tidak bisa melihat loh."
"Biarin! Biar tidak usah melihat Igi pergi."
"Jangan begitu. Aku belikan kopi lagi ya, asal kamu berhenti
nangis." http://pustaka-indo.blogspot.com116
"Kembung, tahu!"
"Daripada nangis, mendingan kembung."
"..." ?"" "Aduh, Sar... aduh! Udah ah! Busyet! Sakit, nyong!" teriak Igi
kesakitan dan mengelus lengannya yang besar. "Heran deh,
tangan lo masih gatal juga ya. Kalau gue nggak ada, tangan
siapa dong yang jadi sasaran lo" Si Jans" Kasihan amat! Tangan
gue yang banyak dagingnya aja tidak mempan, bagaimana
dengan... aduhhh!" Bandara udara Soekarno-Hatta menjadi ramai dengan
teriakan-teriakan Igi yang mengaduh-aduh kesakitan akibat
cubitan mautku. Pokoknya sampai detik terakhir berada di
Indonesia, dia tidak akan terlepas dari cubitanku. Lumayan
untuk mengobati rasa kangenku nanti.
"Kapan lagi gue bisa nyubit lo" Nunggu dua tahun lagi"
Tiga tahun lagi" Jari tangan gue bakal keburu lumutan dan
jamuran." "Usul gue, lebih baik jari-jari lo diamputasi, soalnya, akan
sering terjadi pertumpahan darah kalau masih ada."
Aku berusaha mencubitnya lagi, tapi dengan lincahnya dia
berlari menghindariku. Tak lama Mama, Papa, serta adik Igi
datang menghampiri kami. "Sudah... sudah...! Kalian itu suaranya sampai ke ujung
sana." Mama Igi melerai kami berdua yang disambut lega oleh
Igi. Aku hanya bisa cemberut. Dari balik tubuh mamanya, Igi
meledekku bak anak kecil yang berhasil merebut permen dari
temannya. Reseh sekali! Kelakuan seperti ini mau merantau ke
luar negeri" "Nih, Mama bawain bekal buat di pesawat." Mama Igi menyerahkan sebuah bungkusan berwarna cokelat.
http://pustaka-indo.blogspot.com117
"Nggak usah lah, Ma, kayak di pesawat nggak bakal dikasih
makan saja," protes Igi.
"Siapa bilang makanan di pesawat enak-enak" Bawa saja,
kalau kamu nggak mau, kasih ke pramugarinya," sahut Mama
Igi asal. Aku mengulum senyum mendengar ucapan Mama Igi,
Yaelah... like mother like son dah!
"Tante, kalau Igi tuh nggak kenal yang namanya makanan
nggak enak, bagi dia semuanya makanan enak, air kobokan
saja dia bilang rasanya kayak Coca-Cola."
"Yah, nyari ribut nih anak!" Igi menoyor kepalaku. Aku
membalas menoyor kepalanya. Astaga, kelakuan kami sudah
seperti anak kecil. Jans yang melihatnya sampai geleng-geleng.
Tetapi, inilah sebagian dari kelakuan iseng yang biasa kami
lakukan. Namun begitu menyadari pesawatnya akan berangkat, Igi
menarik tanganku dan mengajakku menjauh dari mereka.
"Gue pinjam Sarah dulu ya, Jans."
Aku memandang Jans memohon pengertian. Untung Jans
mengangguk memaklumi dan tidak keberatan aku berbicara
berdua saja dengan Igi. Kami berjalan pelan menjauhi mereka.
Aku memeluk lengan Igi dengan erat.
"So..." Igi mulai mengeluarkan suara.
"Yeah..." Aku berusaha menahan tanggul air mata yang sebentar lagi pasti akan jebol. Aku menengadah agar air mata tidak
meleleh. Aku tidak ingin Igi melihatku menangis lagi. Tetapi...
"This is it." Aku memeluk lengannya lebih erat lagi seakan
enggan untuk melepaskannya. Kami tepat berada di depan
gerbang. Langkah kami terhenti dan kami berhadapan. Igi memegang tanganku. "Gue tahu lo akan kuat, Sar, so be a strong girl, will you?"
Bendungan air mataku pun akhirnya jebol. Tangisku tak bisa
dihindari lagi. "Igi, gue takut! Selama ini gue kuat karena ada
lo, Gi?" http://pustaka-indo.blogspot.com118
"Salah, lo selama ini kuat karena diri lo sendiri. Be brave,
okay?" Aku memeluknya erat... erat sekali... Aku merasakan Igi mencium ubun-ubun kepalaku. Aku pasti akan merindukan napasnya, wangi tubuhnya, tawanya...
"Gue nggak mau mengucapkan selamat tinggal...," kata Igi
ketika dia melepaskan pelukanku. Igi menghapus air mata yang
jatuh di pipiku dengan jarinya. "It"s not forever, Sar." Lalu Igi


It Takes Two To Love Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memegang kedua pipiku. "Sar, ingat ya... selama waktu masih
terus berjalan, selama kesempatan masih terbentang luas, selama hati selalu merindu, dan selama pikiran tak henti untuk
mengukir nama kita masing-masing, kita pasti akan bertemu
kembali. " Kata-kata yang indah sekali dari seorang sahabat. Aku tersenyum, "So long..."
"See you later"," sahut Igi
"We"ll meet again..." Aku menonjok lembut lengannya.
Igi berbisik di telingaku, "I"ll be watching you, Sar" Don"t
worry. Gue akan selalu ada buat lo."
Kata-kata Igi membuatku bertambah sedih. Aku memeluknya
lagi. Kali ini semua keluarganya sudah berkumpul di belakang
kami berdua. Waktunya memang tinggal sedikit lagi.
"Gue titip Sarah, ya," kata Igi sambil menyalami Jans.
"Gue akan jaga dia baik-baik," sahut Jans sambil memeluk
bahuku. Igi pamitan dengan semua keluarganya. Lalu ia menyeret
koper dan menyandang ranselnya yang sangat besar di bahu.
This is it, untuk terakhir kalinya aku akan melihat sosoknya.
Tanpa sadar aku berjalan mengikutinya. Tepat ketika aku berhenti melangkah, Igi juga berhenti dan menoleh ke arahku. Ia
tersenyum, mengembungkan pipinya dengan konyol, dan melambaikan tangannya. Aku melambaikan tanganku dan ikut
tersenyum. Sosok Igi pun menghilang.
http://pustaka-indo.blogspot.com119
So long, sahabat" ?"" Empat bulan kemudian... Siang itu aku sedang melakukan pemotretan produk dan
fashion bersama Maya. Pokoknya ribet dan ramai! Rambutku
yang panjang dan tidak pernah kupotong sejak Igi pergi, berantakan dan terlihat kacau di kepalaku. Aku sudah tak sempat
berpikir lagi seperti apa bentuknya. Aku meniup beberapa helai
poni yang tiba-tiba jatuh menutupi mataku.
"Sudah bisa lupain Igi belum?" tanya Maya tiba-tiba ketika
aku sedang membantunya memilih aksesori yang akan dipakai
siang itu. Aku menyingkirkan poniku yang berjatuhan kembali
di kening. Aku sibuk menghitung jumlah aksesori yang ada,
kemudian memadupadankan kalung, cincin, gelang, dan anting
yang terlihat mirip dan serasi satu sama lain.
"Tuyul, omongan lo kayak gue baru patah hati aja." Akhirnya aku pun menyerah dan menjepit poniku yang nakal itu.
"Ember..." Maya tersenyum-senyum jail.
"Jual tuh ember! Yah gitu deh, hanya belum terbiasa.
Mudah-mudahan nanti akan terbiasa tanpa Igi."
"Kan sudah ada Jans..." Maya menyenggol lenganku dan
mengerling nakal. "Lo nggak bakal kesepian kok."
Aku tersenyum. "Beda, May. Jans cowok gue sedangkan Igi
sahabat gue. Dua hal yang sangat berbeda, keberadaan mereka
sudah pada tempatnya masing-masing."
"Sar, Jans itu bisa menjadi sahabat sekaligus pacar, bukan"
Lagian, kenapa juga lo nggak jadian sama Igi dari dulu?"
Aku menjawil pipinya. "Ngasal lo! Gue sudah tahu jelekjeleknya, busuk-busuknya Igi. Ngapain juga jadian" Bakalan
aneh deh. Dia sahabat gue!"
"Lho, siapa bilang sahabat tidak bisa jadi kekasih" Kalian
http://pustaka-indo.blogspot.com120
kan sudah tahu kelebihan dan kekurangan masing-masing...
enak dong! Itu baru pas banget!"
"Tidak mungkinlah. Gue dan Igi gitu loh! Gue yakin dunia
tidak akan selamat kalau kami jadian!" Aku menertawakan
ucapanku sendiri. "Atauuu"," terlihat Maya berpikir keras, "gue sedang bertanya-tanya akan kepergian Igi yang terkesan mendadak.
Jangan-jangan... Igi sakit hati melihat lo jadian sama Jans,
makanya dia kabur, mungkin saja lo nggak tahu kalau sebenarnya dia suka sama lo."
Aku menepisnya. "Ah, nggak mungkin! Gila aja lo!"
Namun setelah mengatakannya, aku malah tercenung. Entah
kenapa, hatiku menjadi gundah dengan pernyataan Maya, dan
hal itu semakin mengganggu hati dan pikiranku.
Kenapa lo nggak jadian aja sama Igi"
Iya, kenapa ya" Tapi kayaknya nggak mungkin deh.
Jangan-jangan Igi sakit hati ngeliat lo jadian sama Jans.
Masa sih" Kok gue nggak ngeliat Igi seperti itu" Memangnya
benar ya" Tenang, Sar... nggak usah dipusingin! Lo dan Igi akan selamanya menjadi sahabat. Kayaknya nggak mungkin banget kalau
Igi suka sama lo dan cemburu... Igi adalah sahabat yang paling
baik buat lo! aku berkata sendiri untuk menenangkan diri. Aku
menarik napas dalam-dalam dan membuangnya. Untungnya,
aku menjadi lebih tenang.
Tetapi... Mengapa relung hatiku yang paling dalam tetap memberontak karena pertanyaan itu" Akhirnya, aku memilih untuk
menutup mata dan membuang semua pikiran itu sejauh mungkin. http://pustaka-indo.blogspot.com121
Dua tahun kemudian.. "MAY!" Aku menepuk punggungnya. Sore itu di sebuah
mal di daerah Senayan, aku bertemu Maya saat aku melihatlihat kumpulan sepatu yang sedang didiskon besar-besaran.
Maya menjerit senang begitu melihatku. Alhasil, jeritannya
membuat ibu-ibu gemuk di sebelahnya terlonjak kaget dan
menjatuhkan sepatu yang sedang dipegangnya. Tidak heran,
aku saja terkejut mendengar jeritan tersebut, meskipun seharusnya aku terbiasa mendengar jeritan khasnya yang melengking
dan nyaring di kantor. Norak dan agak memalukan, oleh karena itu aku segera menariknya menjauh dari kerumunan
orang dan dari tatapan sangar sang ibu gemuk yang menjadi
korban jeritan Maya tadi.
"Sarah! Pa kabar, nek" Gue kangen deh sama elo...," serunya
sambil cium pipi kanan dan pipi kiri serta memberiku pelukan
hangat. Maya baru saja pulang bepergian keliling Eropa. Tidak bisa
dibilang cuti juga, tapi tak sepenuhnya kerja juga. Yah, sehttp://pustaka-indo.blogspot.com122
tengah cuti setengah kerja deh. Baru saja digelar Europe
Fashion Week yang mengharuskannya meliput ke benua itu.
Enak memang, bahkan seisi kantor berteriak iri begitu mengetahui Maya dan Darius, yang bertugas sebagai fotografer, diserahi mandat oleh Ibu Dinar untuk keliling Eropa atas
undangan beberapa desainer dalam negeri yang hendak mengadakan fashion show di Eropa, maupun desainer luar negeri
yang menghendaki kami meliput show mereka. Eropa! Siapa
juga yang tidak mau" Lombok kalah deh! Aku juga iri ketika
mengetahui kepergiannya. "Najis loh, May... enak banget! Eropa!" seru Flo dengan
mata membulat. "Gue banyak titipan nih!" teriak Erik, desainer grais yang
ditimpali oleh teman seperjuangannya, Doni.
"Lah, ngapain nitip" Oleh-oleh dong! Pasti gratis, ya nggak,
Sar?" Doni meracuni.
Sebagai jawabannya, sebuah pulpen hadiah dari Maya melayang hampir mengenai kepala Doni. Untung saja Doni cepat
menghindar. Anyway, sewaktu bertemu dengan Maya di mal, ya ampun,
nih anak tambah subur, aku sendiri sampai pangling melihatnya. Aku langsung memberondongnya dengan banyak pertanyaan. "Kok lo nggak ke kantor dulu?"
"Sstt...," ia berbisik, "capek ah! Hari Senin saja nanti masuknya, sekarang nikmati dulu saat-saat santai sebelum harus
menyerahkan laporan ke Ibu Dinar dan menjadi zombi kantor
kembali," ujar Maya sambil tersenyum licik dan jail.
"Tambah subur sih lo!"
"Iya nih, kebanyakan makan," jawabnya malu-malu. "Naik
lima kilo, Sar!" "Lima kilo" Sinting lo!" Kami berdua menertawakan kegendutan Maya yang disebabkan rasa senang berlebihan itu.
http://pustaka-indo.blogspot.com123
"Gimana berat badan gue nggak naik, Sar" Makanan di sana
enak-enak, nggak tahan gue nggak mencicipinya... hehehhe..."
Maya beralasan. Aku mencolek pipinya, uh, dasar gembul!
Kami pun saling bercerita. Dia cerita tentang kegiatannya
selama di sana, aku tentang gosip terhangat seputar keadaan
kantor selama Maya tidak berada di tempat.
"Eh iya, gue lupa kasih tahu elo..."
"Apaan?" Akhirnya kami berdua terdampar di sebuah kafe. Pilihan
kami adalah Amadeus Kafe. Kami memilih duduk di luar, karena pemandangan matahari yang mulai turun dan berganti
senja, warna jingga yang menyelimuti langit Jakarta tak bisa
terlewatkan. Selain itu, Maya yang seorang perokok tidak mau
mengorbankan kenikmatannya merokok.
"Gue ketemu Igi sewaktu di London," kata Maya di sela-sela
meniupkan asap rokoknya. Saking terkejutnya, aku hampir menumpahkan minumanku
ketika mendengar nama Igi.
"Ha" Serius lo, May" Igi" Igi gue" Ketemu di mana?"
"Waktu after party setelah selesai fashion week."
"Trus... trus... dia gimana" Maksud gue dia sedang apa" Dan
bagaimana penampilannya sekarang?" Aku mengeser posisi
duduk menjadi lebih dekat ke Maya. Ini sungguh kejutan.
Bagaimana bisa Maya bertemu dengan Igi di somewhere outside
Jakarta" Ini kejadian langka. Memangnya Inggris kecil" London
kan juga tidak seluas Jakarta. Tetapi, dunia memang selebar
daun kelor, apa pun bisa terjadi, siapa pun bisa bertemu.
Tiba-tiba hatiku dipenuhi kerinduan. Aku kangen sekali sama
Igi. Sudah hampir dua tahun kami tak bertemu sejak kepergiannya. Selama ini kami berkomunikasi hanya lewat messenger,
telepon, atau SMS. Sekarang aku benar-benar mendengar laporan
pandangan langsung dari seseorang yang melihatnya secara utuh,
dari rambut hingga ujung jempol kakinya.
http://pustaka-indo.blogspot.com124
"Yang negur duluan sih Igi, gue kaget lah, kok bisa ketemu
di sana, sangat tidak disangka. Ternyata dia diundang oleh
temannya yang membuat acara fashion week di London itu,"
jelas Maya. "Gila, enak benar ya. Untung buat gue juga sih,
jadi bisa mendapatkan akses ke backstage dan..."
"Terus... terus...," dengan tidak sabar aku memotong omongan Maya, "dia kelihatan seperti apa sekarang, May" Gendutan"
Kurusan" Tambah tinggi" Atau jangan-jangan menyusut, lagi,
heuheuehueu?" aku menertawakan leluconku sendiri.
Maya terlihat berpikir, mungkin sedang membayangkan
sosok dan rupa Igi. "Agak gemukan sih, tapi tetep ganteng
kok. Dan tambah gaya tuh anak sekarang. Pakaiannya keren,
dan... oh iya, dia datang sama ceweknya. Ceweknya itu?"
DEG! Suara Maya yang masih nyerocos menjelaskan mengenai Igi,
tiba-tiba saja terdengar berdengung di telingaku, dan lamakelamaan semakin menghilang. Apa" Igi punya cewek" Punya
pacar" Tiba-tiba dadaku terasa sesak...
Kok... Sialan! Kenapa Igi nggak pernah kasih tahu aku"
Shitt...! Dia lupa apa"
Tapi nggak mungkin lupaaa! Masa punya pacar bisa lupa"
Memangnya punya pacar itu kayak punya peniti yang bisa dia lupakan" Apa... dia lupa dia punya sahabat yang mesti dikasih tahu
kalau dia punya pacar"
Apa... dia... ahhh" brengsek!
"Sar... Sar! Woi! Earth is calling Sarah! Eh, kenapa lo" Kok
bengong gitu" Fokus, jeng! Fokus!" Maya menjentikkan jarinya
tepat di depan wajahku. Suara Maya terdengar jelas kembali.
"Eh... nggak... nggak papa kok..." Aku jadi gelagapan. Aku
meneguk kopiku dengan gundah. Sialnya, Maya bisa membaca
sikapku yang berubah dalam sekejap ini. Keningnya berkerut
http://pustaka-indo.blogspot.com125
curiga menatapku. "Lo nggak tahu Igi sudah punya gandengan?" Aku memutuskan untuk jujur kepada Maya dan menggeleng
lemas. Raut wajah Maya langsung terlihat prihatin dan terkejut. "Bohong! Masa sudah hampir dua tahun begini, tidak
secuil pun Igi memberitahu lo kalau dia sudah punya pacar?" Aku kembali menggeleng. Yup... that"s my best friend! kataku
dalam hati dengan penuh kesal, kecewa, serta gemas.
"Dasar emang nggak tahu diri, baru ke luar negeri aja, belagunya minta ampun! Lupa sama semuanya, sama kampung
halaman, sama teman, sama sahabatnya sendiri, sama keluarga... hu-uh! Bete! Reseh!"
Sementara Maya nyerocos kembali dan ngomel-ngomel, aku
menyandarkan tubuhku ke bangku. Aku memandangi lautan
lampu yang terbentang di hadapanku dengan nanar. Akhirnya
aku pulang dengan tidak bersemangat. Akhir pekanku menjadi
tidak menyenangkan sama sekali. Pikiranku dipenuhi oleh
bayangan Igi. Igi... is that true"
?"" Aku menyalakan komputerku sambil tak lupa menyeruput kopi
pagiku. Aku memasuki akun e-mail untuk mengecek semua
e-mail yang masuk. Tak lupa aku menyalakan messenger-ku.
Belum lama aku membukanya tiba-tiba, Ding!
Aku melototi gambar smile berwarna kuning yang muncul
di layar komputerku. Dari Igi. Igi_gerald: Hai... dear... long time no see?"
http://pustaka-indo.blogspot.com126
Aku tertegun menatap layar komputer. Ingatan akan berita
yang dibawa oleh Maya melayang-layang kembali di pikiranku.
Balas tidak" Perlu ditanyakan tidak ya mengenai pacarnya"
Sesaat aku bergumul dengan hatiku sendiri.
BUZZ! Igi_gerald: Sar" Lo masih hidup, kan" Heloo...
heeellloooooo" Aku menarik napas dan menjawabnya.
Rah_007: Hidup dongg... tumben, pak, udah
nyapa pagi-pagi begini... hehehe...


It Takes Two To Love Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Igi_gerald: yee... sono pagi... sini... tengah
malam buta... Rah_007: jadi kalong dong...
Igi_gerald: Kagak, jadi vampir... "
Rah_007: Ahh... jadi vampir apa pacaran nih"
Igi_gerald: Pacaran my ass... huehuehuehu...
banyak kerjaan nih gue... mana
sempet pacaran... Aku termenung membaca tulisan Igi di messenger tersebut.
Kok dia nggak mau mengakui ya" Kenapa sih dia harus menyembunyikan fakta tersebut dari aku" Aku mengigit bibirku
dengan cemas dan penasaran. Lalu Igi kembali menulis pesannya. Igi_gerald: Sar, guess what" Gue pulang bulan
depan... Surprise! Aku hampir menumpahkan kopi yang sedang kuhirup. Igi
pulang" Bulan depan" Aku melirik ke kalender mejaku dan
menatapnya lekat-lekat. Bulan Oktober.
http://pustaka-indo.blogspot.com127
Rah_007: Beneran, Gi" Kok dadakan sih" Back
for good" Igi_gerald: Hope so... napa" Udah kangen banget
sama gue ya" Heuehueu" Banyak yang
mau gue ceritain sama lo, Sar...
Yeah, you better told me everything, especially about your hidden
and mysterious girlfriend! Aku memaki dalam hati.
Rah_007: Gue pikir lo bakal di Inggris
sampai merit dan jadi kakek
kakek...:) Igi_gerald: Kagak lah! Bagaimanapun, Indonesia
is my homeland! Hehehe... jemput
gue ya, Sar... gue pulang tanggal
21, nyampe jam tujuh malem...
sekalian ajak si Jans. Eh, btw, lo
masih jalan sama dia kan"
Heueheuheu" Rah_007: Sialan! Masih lah! Nyumpahin gue
putus lo" Igi_gerald: Heuehuehu... kagak laah... ya
dah... gue bobok dulu ya... we talk
again later, okay... Selesai ber-chatting ria, aku masih sibuk melamun. Igi akan
pulang dalam sebulan. Seperti apa ya dia sekarang" Akankah
sama seperti dahulu" Ya ampun, tak terasa ya sudah dua tahun
tidak bertemu dengannya. Diam-diam aku merindukan kebersamaanku dengannya. Saat
dia menginap, kami nonton televisi di sofa sampai tertidur,
saat kami bercanda... Saat kami... http://pustaka-indo.blogspot.com128
Tiba-tiba hatiku membeku ketika aku menyadari bahwa...
Jangan-jangan... Igi akan membawa pacarnya sekalian untuk
pulang kemari. Aduh! Perasaan cemas mulai meliputi hatiku.
Sepertinya aku tidak akan siap melihatnya.
Aku akan kuat nggak ya kalau ketemu pacarnya"
Seperti apa sih wujud pacarnya" Aduhh, aku penasaran berat!
Kemudian, hatiku mulai tidak bisa menerima kenyataan
yang sangat berat. Jika nanti, dalam waktu dekat, tidak akan
ada lagi yang namanya Sarah dan Igi. Di antara kami sudah
ada seseorang, yaitu kekasihnya Igi.
Hei, memangnya kamu tidak memikirkan Jans" jerit hatiku mengingatkan diriku. He"s been your loyal boyfriend for two
years! hatiku memaki otakku yang tidak berperasaan ini.
Ingin rasanya aku menampar diri sendiri! Sungguh tolol aku
sampai melupakan Jans, sesalku dalam hati. Aku mengigit
bibirku. Terimalah, Sar, it"s gonna be a different story. Sepenting apa
pun hubungan aku dan Igi, seberapa dekatnya kami berdua,
aku harus bisa dan mulai menerima, bahwa cerita kami akan
menjadi sedikit berbeda, aku kembali mengingatkan diriku. Di
antara kami sudah ada dua orang yang mengisi celah kosong
yang tak bisa diisi oleh satu sama lain, dan sudah terisi oleh
dua orang yang juga kami kasihi, yang bernama kekasih.
Kepalaku jadi pening. Aku perlu kopi lagi. ?"" Suasana di bandara begitu sibuk dan ramai. Padahal belum
juga memasuki musim liburan. Aku mondar-mandir dengan
gelisah. Sedangkan Jans duduk dengan tenang dan santai sambil membaca majalah yang sengaja dibawanya untuk membunuh waktu di kala menunggu mendaratnya pesawat yang Igi
http://pustaka-indo.blogspot.com129
tumpangi. Aku melirik pergelangan tanganku. Lima menit lagi,
pesawat Igi akan mendarat, tetapi rasanya aku sudah menunggu lebih dari lima jam. Tubuhku belum juga berhenti
bergerak, dan aku terus berjalan tak menentu.
Jans hanya geleng-geleng melihat tingkahku. Mungkin
karena tidak tahan melihatku tidak bisa duduk dengan tenang,
serta berjalan terus seperti orang linglung, akhirnya dia menegurku. "Sar, duduk saja dulu, kamu ngapain sih kayak setrikaan
begitu" Nggak capek?"
Aku tidak mengubrisnya. Tak lama, ada tangan yang dengan
lembut menyentuh tanganku dan menariknya pelan. Rupanya
Jans sudah menyusulku dan hendak menyuruhku untuk duduk
bersamanya. "Kamu kok jadi gelisah begitu" Ini kan Igi...," kata Jans sambil membelai rambutku dan tertawa geli, "kok kayak nungguin
orang melahirkan saja."
Aku melotot ke arahnya. Daripada dia berkomentar seribu
satu macam lagi, lebih baik aku mengalah dan duduk manis
di sebelah Jans. Aku gelisah karena aku yakin, kepulangan Igi
kali ini bukan sekadar back for good, tetapi aku aku yakin Igi
akan membawa kejutan, yaitu membawa kekasihnya pulang ke
Indonesia. Gadis itu akan berjalan mendampingi Igi ketika
mereka keluar dari pesawat, dan berjalan melewati pintu keluar
tersebut. Akhirnya, muncul juga orang yang kutunggu-tunggu. Aku
segera mengenalinya, meski kulihat ada sedikit yang berubah
darinya. Aku memperhatikan Igi dari jauh yang sedang melambaikan tangannya kepadaku dengan gembira dan senyum
yang superlebar. Tetapi bukan Igi yang kuperhatikan sepenuhnya, melainkan makhluk cantik di sampingnya. Mana" Kok
nggak ada ya" Kenapa si Igi jalan sendirian" Mana kekasih
yang dikatakan oleh Maya tempo hari"
http://pustaka-indo.blogspot.com130
"Sarah!" teriak Igi. Terlihat dia menyeret dua koper yang
sangat besar, tak ketinggalan tas ransel yang juga tak kalah
besarnya di punggungnya. Begitu aku melihatnya dari dekat, busyet, kok nih anak
tambah kurus, ya" Kata Maya tambah gemuk" Dan tambah
ganteng pula! Apa saja yang dikerjakannya di London"
"Hai!" sapaku sambil melambaikan tangan. Kemudian aku
melemparkan tubuhku ke pelukannya. Hm... wangi Igi tetap
sama, tidak berubah. Di dalam pelukannya, aku baru merasakan betapa aku merindukan sahabatku ini. Perlahan, air mataku pun mulai turun. "Yah, kok malah mewek sih?" Igi mengucek-ngucek rambutku sambil tersenyum lebar. "Gimana sih lo, kok gue pulang,
malah makin cengeng?" Lalu dia beralih dan menyalami Jans
yang setia menunggu di sampingku. "Hai Jans, apa kabar?"
serunya hangat. "Baik. Lo gimana, Gi" Back for good nih?" sahut Jans.
"Ya, mudah-mudahan. Tapi kalau Sarah mewek terus seperti
ini, mendingan gue pergi lagi deh... hahahaha!"
Aku menonjok lengan Igi sambil mengusap air mataku.
Sialan! Masih sempat-sempatnya meledek! Karena masih penasaran, kemudian aku melongok ke sana kemari mencari-cari
pacar yang Igi bawa dari London. Kelakuanku ini membuat Igi
kebingungan. "Lo nyari apaan sih?"
"Enggak... kirain... ada sesuatu..."
"Sesuatu apaan?"
"Apa kek... oleh-oleh kek... pacar lo kek..."
Igi agak terkesiap mendengar penuturanku, namun dengan
pintarnya langsung menutupinya dengan tertawa sekencangkencangnya. "Hahahaha! Gak ada pacar kok, Sar, tapi oleh-oleh
buat lo segunung nih!" sahut Igi sambil menepuk-nepuk tas
ranselnya yang saking besarnya bisa memuat satu orang dehttp://pustaka-indo.blogspot.com131
wasa. Kemudian kami mulai berjalan menuju mobil. Igi mulai
berceloteh dengan Jans dan berjalan mendahuluiku. Aku mengekor dari belakang sambil terus memperhatikan punggung kedua lelaki itu. Tetapi entah kenapa mataku inginnya tertuju
kepada Igi terus, mungkin karena sudah sekian lama aku tidak
melihatnya. Aku memperhatikan sosoknya dari belakang. Dari
ujung kepala hingga ujung kakinya yang tertutup sepatu kulit
mengilat. Hah" Sepatu apaan tuh" Sejak kapan nih anak memakai sepatu model begitu" Perasaan dulu nggak punya deh!
aku bertanya dalam hati. Lalu mataku menjalar ke pergelangan
tangannya yang membuat mataku melebar, dan lebih tepatnya
mendelik. Arloji yang melingkar di tangannya bukanlah jam
sporty seperti favoritnya sejak dahulu, tetapi berupa jam dengan tali rantai yang terkesan elegan dan dewasa. Aku mendesah. Igi memang sudah berubah.
?"" Aku tidak tahu apakah Jans memang benar-benar baik atau dia
bisa membaca pikiranku, karena sepertinya dia tahu bahwa aku
butuh waktu untuk berbicara berdua saja, dan melepas rindu
dengan Igi, karena itu, begitu menurunkanku dan Igi di rumahku, dia pamitan untuk pergi. Aku tidak menyangka. Aku mengira dia akan ikut turun.
"Kamu mau ke mana" Kok nggak masuk dulu?" protesku
ketika Jans malah berpamitan kepadaku dan Igi.
"Aku ada janji ketemuan dengan temanku, mau bicara tentang acara nikahannya."
"Kok nggak bilang dari tadi?" aku masih protes.
"Ini juga dadakan kok, baru tadi dia telepon sewaktu kita di
bandara. Kamu di sini aja dulu ngobrol sama Igi." Jans mencium keningku. Lalu menatapku dengan saksama. "Nggak
http://pustaka-indo.blogspot.com132
papa, kan" Aku telepon begitu aku selesai. Kamu bisa puas
ngobrol dengan Igi," bisik Jans di telingaku.
Aku mengangguk saja. Namun, di dalam hati aku sedikit
lega karena kalau masih ada Jans, aku tidak akan bisa bebas
berbicara dengan Igi, terutama dengan topik yang selama ini
Igi simpan rapat-rapat, yaitu tentang pacarnya. Kami berdua
langsung masuk ke rumah begitu mobil Jans menghilang dari
pandangan. Begitu berada di ruang tamu, Igi menjatuhkan semua barangnya dengan lega. Dia tersenyum menatap seisi rumahku seakan
kerinduannya terkumpul dalam pandangannya.
"Nggak berubah ya..." Aku mendengarnya sedikit bergumam
dan menjatuhkan diri di sofa yang nyaman di ruang keluarga. "Kenapa, Gi" Lo ngomong sesuatu?"
Igi tersenyum menatapku. "Nggak..."
"Gue ganti baju dulu ya. Lo kalau mau makan, panggil
Mbak Nah aja." Sepertinya Igi tidak begitu mendengarkanku dengan cermat.
Dia hanya mengangguk sambil mengelus-elus bantal yang ada
di sofa. Matanya masih berkeliling ruangan.
Lima menit kemudian, aku sudah berganti baju dengan
pakaian rumah yang supernyaman. Sandal rumahku yang
beradu keras dengan lantai terdengar begitu bergema.
"Igiiii! Lo sudah makan belum" Mbak Nahhh! Ada makanan
apa?" teriakku. Yang menghampiriku terlebih dahulu tentu saja Mbak Nah.
Tidak sampai lima detik, dia sudah muncul di depanku.
"Iya, Non" Mau makan" Sudah disiapin," sahutnya beruntun. "Igi mana?" Mbak Nah malah garuk-garuk kepala dengan kebingungan.
"Memangnya ada Mas Igi?"
http://pustaka-indo.blogspot.com133
"Lho?" Aku bergegas ke ruang keluarga tempat aku meninggalkan
Igi lima menit yang lalu. Ternyata...
"Ya, helah! Dia malah tidur!" seruku gemas.
Di sofa sudah ada pemandangan yang sulit diartikan. Di
antara tumpukan tas serta koper-koper yang berserakan di bawah maupun di atas sofa, tubuh Igi yang besar terlihat nyaman tidur dengan memeluk salah satu bantal. Aku menghela
napas. Perlahan senyum tersungging di bibirku. Aku menghampirinya dan melepas sepatu serta kaus kakinya. Kemudian
barang-barang yang masih ada di sofa kusingkirkan agar Igi
bisa leluasa tidur. Kacamatanya kulepas perlahan karena takut
membangunkannya. Aku menatapnya selama beberapa saat.
Aku hanya bisa tersenyum. Melihatnya seperti ini membawa
kembali kenanganku akan dua tahun yang lalu, lima tahun
yang lalu, serta tahun-tahun yang sudah kami lewati bersama. Ah, Igi... http://pustaka-indo.blogspot.com134
SUASANA di dalam kantor majalah Women"s Style tidak
pernah sepi dan sunyi seperti kuburan. Sejak aktivitas pagi berjalan, entah suara musik yang mengalun dari sebuah player di
pojok ruangan, suara printer, jari-jari beradu dengan kibor,
maupun obrolan penghuninya yang sedang berdiskusi.
Sungguh dinamis, begitu juga dengan para karyawan yang
mengisi kantor redaksi ini. Terkadang aku suka memperhatikan
mereka satu per satu, juga barang-barang di dalamnya. Saking
hafalnya dengan ruangan yang sudah begitu akrab denganku
sejak tiga tahun yang lalu, aku jadi mengetahui dengan cepat
ketika ada yang tidak beres di dalamnya.
"Dear!" seru sebuah suara.
"Hm"!" Aku terkejut dan terbangun dari lamunanku. Aku
melihat Jans berdiri di depan ruanganku yang mungil.
Aku sudah berganti posisi dan sejak dua bulan yang lalu,


It Takes Two To Love Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehari setelah kepulangan Igi, aku menduduki posisi sebagai
managing editor di Women"s Style. Letak ruanganku yang cukup
strategis ini ternyata menjadi tempat yang menyenangkan, terutama untuk melampiaskan hobi baruku, yaitu melamun. Hobihttp://pustaka-indo.blogspot.com135
ku ini rasanya semakin berkembang, dan aku semakin jago
melamun, terbukti aku tidak menyadari Jans sudah berdiri di
hadapanku, menyandarkan tubuhnya di pintu ruangan sambil
tersenyum lebar. "Hei...," sapaku. Seperti kembali lagi ke bumi, aku membereskan mejaku yang penuh kertas berserakan, kemudian menyalakan komputer yang kumatikan sejak istirahat makan siang
tadi. "Ngelamunin apa" Aku sudah panggil sampai tiga kali loh,
tapi sepertinya kamu lagi asyik melamun."
Mukaku langsung memerah. "Ngelamunin kamu," sahutku
asal. Sial, ketangkap Jans lagi ngelamun di tengah siang bolong
begini. Aku pura-pura menyibukkan diri dengan komputerku.
"Sarah?" "Ya" Iya, aku kan udah bilang tadi ngelamunin kamu,"
sahutku sambil cemberut. "Masa" Sepertinya sudah sekian lama kita pacaran, baru kali
ini aku tahu kamu ngelamunin aku," jawab Jans jail. "Kenapa"
Muka kamu kok sepertinya lagi banyak pikiran sih?"
Aku menggeleng dan tersenyum, berusaha membawa
suasana menjadi enak dan ceria lagi. "Nggak heran jadi banyak
pikiran. Jabatan baru, kerjaan baru, stres baru, deadline
baru..." "...Ruangan baru... wah... komputer baru lho!" Tiba-tiba
sebuah suara jelek dan sangat akrab di telingaku berkumandang
di belakang tubuh Jans. Aku mengangkat mukaku dan Jans
menoleh ke belakang. Kami sama-sama mendapatkan sosok
tinggi besar Igi. Oh ya, bicara tentang Igi, pria bertubuh besar
ini kembali bergabung di majalah Men"s Style, tempat dia dulu
bekerja. "Wah, mesti gue laporin nih ke Ibu Dinar, managing editornya lagi pacaran... hehehe..."
Aku melempar pulpen yang dihindari Igi dengan gesit dan
http://pustaka-indo.blogspot.com136
meliuk-liuk sambil mengumpat-ngumpat. Jans hanya tertawa
sambil menduduki kursi di depan mejaku.
"Lo masih norak aja ya kalau ngeliat ruangan gue. Ngapain
sih" Kaya muntaber aja lo! Muncul tanpa berita begitu."
Igi menyerahkan pulpen yang kulemparkan kepadanya
barusan. Aku mengambilnya sambil menjulurkan lidah. Igi
cuek, menepuk pundak Jans lalu duduk di sebelahnya. Dia
melihat sekeliling ruanganku dan mengaguminya.
"Wah, ruangan lo oke juga, Sar. Nyaman, sejuk, dan rapi.
Gue jamin lo pasti tambah betah di tempat seperti gini. Dulu
waktu di kubikel lo yang kumuh itu aja lo betah... hehehe..."
"Eh, tuyul gede! Itu bukan betah, tapi terpaksa, keharusan
untuk menyelesaikan pekerjaan!"
Tapi dasar Igi, begitu aku meledeknya, dia malah cuek. Sekarang dia asyik mengajak ngobrol Jans seputar pekerjaan
mereka, fotograi. Sementara bibir bawahku manyun karena
menjadi kambing congek di antara dua lelaki yang gila fotograi ini. Lalu, diam-diam aku memperhatikan mereka berdua. Antara
Jans dan Igi. Antara Igi dan Jans. I just relize that they are two
different people. Jans yang kalem, sabar, a sweetheart berbanding
terbalik dengan Igi yang dinamis, tidak bisa diam, penuh
semangat, dan doyan sekali tertawa. Wajah Igi kelimis bersih
dan berkacamata, sedangkan Jans berjenggot dan bermata
tajam tapi meneduhkan hati. Kok aku bisa ya click dengan dua
kepribadian yang jauh berbeda ini" Tetapi aku sungguh bersyukur bisa memiliki keduanya dalam kehidupanku.
"Sarah" Hellooo!" Igi mengibas-ngibaskan tangannya tepat
di depan wajahku. Aku terlonjak kaget dan menepuk tangan
Igi. "Apaan sih, Gi" Tangan lo bau!"
"Ye... siapa juga yang bau?" Igi mencium tangannya sendiri
yang membuatku menyengir jijik. "Lo tuh yang ngelamun
http://pustaka-indo.blogspot.com137
nggak jelas sambil ngeliatin kami berdua. Entar disamber sama
kuntilanak kantor lho!"
Aku merinding begitu mendengar Igi menyebut-nyebut
kuntilanak. "Igi! Udah gue bilang jangan sebut-sebut kuntilanak! Awas lo ya!" "Lho, gue bicara fakta, Sar! Di sini tuh beneran ada." Sekarang Igi malah berbisik untuk menakutiku.
"Igi! Reseh lo!" Aku menutup kuping, semakin merinding.
Igi tertawa terbahak-bahak yang menular ke Jans. Yeah... tertawalah sepuas lo! Gue emang penakut! Siapa suruh, nyebarin
isu jelek kayak gitu" Aku mengerutu panjang-lebar.
"Lo ngelamunin apa sih, Sar?" Igi ternyata mengulang pertanyaan yang sama dengan Jans.
Tetapi, sebelum aku menjawab, Jans malah memberi jawaban yang pasti akan membuat Igi semakin meledekku, "Tadi pas
gue masuk juga lagi ngelamun, Gi. Katanya sih lagi ngelamunin gue." Terus, bisa ditebak dong, tawa Igi langsung menggema di
seluruh ruanganku sampai aku parno sendiri, karena merasa
kaca-kaca di sekeliling ruanganku ikut bergetar.
"HUAHHAAHAHA! Sarah... Sarah" wake up!"
"Shut up! Dan kamu"," aku menunjuk ke arah Jans, "ngapain sih kamu malah belain Igi" Kamu kan sudah tahu
mulutnya nggak bisa ditutup, dan bacotnya yang superbesar
itu... sudah ah!" Aku berdiri dan segera kabur dari ruangan,
tentunya dengan muka memerah. Dari jauh aku masih bisa
mendengar dua lelaki itu tertawa di ruanganku. Monyettt,
babon, kuntilanakk! ?"" Kringgg! Telepon di ruangan kerjaku berdering, beradu keras dengan
http://pustaka-indo.blogspot.com138
suara nyanyian Rihanna yang kuputar dengan cukup keras dari
speaker yang tersambung dengan komputerku. Aku menghentikan pekerjaanku di komputer dan menjawabnya.
"Sarah is speaking."
"Helo, darling!" sapa suara di seberang.
"Apa?" tanyaku begitu tahu siapa yang menelepon.
"Dengerin gue ya..."
"Harus ya?" aku memotongnya.
"Harus dong! Begitu pulang dari kantor sore ini, Jans akan
jemput lo di rumah, terus kita akan makan malam yang
uenakk!" "Kenapa sejak pulang dari London, lo jadi baik banget sih
sama gue?" tanyaku. "Nooo, gue kan selalu baik sama lo, masa lupa" Ingat, jam
delapan kita akan makan malam, so get ready, dan dandan
yang cantik, oke?" "Mau makan di mana sih?" sahutku penasaran.
"Ada deh. Gue sudah kasih tahu Jans. Sampai nanti ya,
byeeee!" Yang ada aku malah terpana, menatap telepon yang sudah
ditutup oleh Igi. Aku membuang napas dengan kesal karena
kelakuan Igi. Ampunn... Igi... mau ngapain lagi sih" Mau ngapain
juga makan bertiga" Memangnya ada acara apa sih" Aku mencoba
mengingatnya, siapa tahu aku melupakan hari spesial. Tidak juga.
Ulang tahun Igi sudah lewat, sedangkan ulang tahun Jans dan
diriku juga masih jauh. Hm, mau makan di mana ya" Gue boleh
usul nggak ya ke Igi" Duh, enakan sih di restoran chinesse food di
Pondok Indah, dimsum-nya mantap. Tetapi jangan deh, apa
makan nasi gila di Menteng saja ya" Aku membayangkan makanan enak-enak tersebut sambil tersenyum. Tetapi kalau mau lebih
enak lagi nih, mendingan di...
"Sarah! Dipanggil sama Ibu Pemred!" teriak Flo tepat dari
luar ruangan kerjaku. http://pustaka-indo.blogspot.com139
"Ngapain sih?" teriakku balik.
"Ketahuan ngelamun kali di tengah deadline gini," canda Flo
sambil terkikik melihat wajahku menjadi pucat.
Celaka! ?"" Tepat pada pukul setengah delapan malam, aku sudah bersama
Jans di mobil yang melaju menuju Thamrin.
Begitu sampai di rumah sore harinya, handphone-ku berbunyi
nyaring, ada SMS masuk. Ternyata dari Igi yang mengabarkan
bahwa kami akan makan malam di Sushi Tei Plaza Indonesia.
Yah, dikirain tempat mewah gitu dengan makanan keren,
nyatanya lari-larinya juga ke makanan mentah, keluhku sambil
membaca SMS Igi. Tetapi karena hendak ditraktir, keinginanku
untuk protes lebih baik ditahan saja. Untung saja restoran
Jepang itu tidak hanya menjual sushi. Aku tidak begitu suka
sushi dan paling anti menyentuh makanan mentah, berbeda
dengan Igi yang memang tergila-gila dengan sushi, sashimi,
dan teman-temannya itu. Satu jam kemudian, Jans sudah tiba di depan rumah dan
aku bergegas masuk ke mobil. Kami berdua memutuskan untuk
berjins ria. Aku menggunakan kaus putih Zara kesayanganku,
dengan sepatu merah kebanggaanku. Kalau kata Igi sih, sepatuku saking merahnya, dia jadi bernafsu untuk menginjaknya...
Kebangetan deh tuh genderuwo raksasa! Ada saja barang milikku yang dihina olehnya. Sedangkan Jans memutuskan memakai
polo shirt warna hitam yang baru kubelikan seminggu yang
lalu. "Kamu keren," aku memuji Jans.
"Thanks to you, dear..." Jans mengecup pipiku dengan lembut. Jalanan agak tersendat begitu kami tiba, tetapi untung saja
http://pustaka-indo.blogspot.com140
tempat parkir di Plaza Indonesia belum terlalu ramai. Dengan
cepat, kami menemukan parkiran yang strategis tanpa perlu
berlama-lama mengantre serta mencari.
Kami bergegas menuju Sushi Tei, tapi ternyata yang mengundang serta yang punya acara belum juga datang. Ha! Si Mr.
telat itu tidak mengubah kebiasaannya meskipun sudah tinggal
di London selama dua tahun. Kami mencari tempat duduk dan
memutuskan untuk tidak memesan makanan terlebih dahulu
sebelum Igi datang. Ocha dingin menemani kami sambil
mengobrol seru, dan baru lima belas menit kemudian, aku
mendengar suara Igi menyapa kami.
"Halo, sudah lama?"
Posisi dudukku yang membelakangi pintu masuk, membuatku harus menengok dan aku sudah bersiap untuk mencela
kebiasaan telatnya. Tetapi coba tebak, apa yang kudapatkan"
Igi yang terlihat keren, tampan" dan mengandeng seorang
perempuan. Aku yakin raut wajahku detik itu pasti berubah
dari ceria menjadi bengong dan tegang tanpa senyum sama
sekali. Aku bisa menafsirkannya seperti itu karena perempuan
yang dibawa Igi, yang tadinya menebar senyum, sekarang menunduk dengan salah tingkah, dan seperti biasa, Igi yang saraf
sensitifnya sudah rusak entah sejak kapan, masih mempertahankan keceriaannya dan menebar senyum lebarnya.
"Kenalin, ini sahabat gue...," sahut Igi sambil menarik
tanganku untuk berdiri. This is it. Gue, Igi, dan the other girl
yang akan mengisi kehidupan Igi untuk seterusnya. Selamanya.
Seumur hidupnya. Aneh rasanya, karena biasanya belum
pernah ada perempuan yang dijadikannya pacar. Setahuku,
semua perempuan di sekeliling Igi hanyalah berstatus TTM,
teman tapi mesra, tidak pernah sekali pun Igi memperkenalkan
mereka sebagai pacar. Yang kali ini sungguh berbeda. Aku
merasa janggal dengan pemandangan nyata di hadapanku,
http://pustaka-indo.blogspot.com141
rasanya seperti menonton televisi garing yang episodenya
sudah terlalu lama dan berulang-ulang.
"Sar..." Igi menatapku sambil mendelik. Aku menatapnya
balik, lalu berpindah ke perempuan di hadapanku. Tangannya
sudah terulur, tapi tanganku masih berada di samping tubuhku. "Sarah." Akhirnya aku mengulurkan tangan dan menyalaminya. "Andien." Suaranya terdengar lembut.
Hm... Andien, nama yang ayu. Seayu orangnya. Secantik
orangnya. Meskipun aku enggan mengakui, tetapi ternyata
selera Igi cukup hebat. Andien sangat cantik. Rambutnya yang
pendek sebahu itu dibentuk potongan bob, dipadu dengan
poni ala Cleopatra yang lurus. Tubuh rampingnya dibalut dengan terusan berwarna hijau yang segar. Tanpa sadar aku menatapnya dari atas sampai ujung kaki, yang ternyata juga dicat
dengan kuteks berwarna jingga lembut.
Kemudian, perkenalan pindah ke Jans. Aku mungkin tidak
melihatnya dengan jelas, tetapi bisa merasakan gelagat Jans
yang sedikit aneh. Mukanya memerah ketika dia diperkenalkan
ke Andien. Dan dia agak gugup.
"Hm... hai" Jans..."
"Hai... kita memang sudah kenal kok..." Tiba-tiba si nona
ayu itu nyeletuk dan tersenyum kepada Jans.
Ha" Sudah kenal"
Kenal dari Hong-Kong" Kapan kenalnya"
Aku melotot ke Jans untuk meminta penjelasan. Tapi makin
dipelototi, Jans makin cuek. Untung saja Igi cepat-cepat bersuara sebelum suaraku bergema di seluruh Sushi Tei.
"Oh ya" Kenal di mana, dear?" tanya Igi. Dear, begitu Igi
memanggilnya. Terasa sangat aneh, karena biasanya aku mendengarnya memanggilku seperti itu dan panggilan itu khusus
ditujukannya kepadaku. http://pustaka-indo.blogspot.com142
"Jans kakak kelas di SMA," Andien menjelaskannya.
Setelah perkenalan dan sedikit basa-basi, Igi mengajak kami
duduk kembali dan mulai memesan makanan. Aku duduk berdampingan dengan Jans dan berhadapan dengan Andien, sedangkan Jans berhadapan dengan Igi. Andien sendiri agak
pendiam. Jadi yang lebih banyak berbicara, pastilah Igi. Sedangkan aku" Aku memutuskan hanya menjadi pengamat malam
ini. Andien tidak bisa lepas dari tatapanku. Terkadang, ketika
sedang tidak melihat ke arahnya, aku merasakan dia juga sedang mengamatiku. Setelah makan malam berakhir, kami pun berpisah. Di dalam mobil, aku dan Jans berdiam diri. Kami sibuk dengan


It Takes Two To Love Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pikiran masing-masing. Sampai akhirnya, aku yang menegur
Jans terlebih dahulu. "Kok dari tadi diam aja sih?"
"Kamu juga," sahutnya. "Mikirin apa?"
"Pacarnya Igi," jawabku jujur.
"Kenapa" Nggak rela?" tanya Jans dengan senyum dikulum.
Plak! Hatiku serasa ditampar dengan pertanyaan Jans barusan.
"Ih, siapa juga yang nggak rela?" Aku langsung cemberut. "Kalau
kamu kenapa" Terpesona ya sama kecantikannya?"
Jans tertawa kecil dan menjawil pipiku. "Cemburu ya?"
"Habis kamu terang-terangan sekali sewaktu bertemu dengannya. Gugup gitu."
"Aku dan Andien memang satu SMA dan dia adik kelasku.
Tapi kami nggak dekat kok, sama-sama saling tahu saja. Dia
salah satu cewek favorit. Jadi, bagaimana aku bisa dekat sama
dia, wong bodyguard-nya banyak."
"Oh jadi pernah mau deketin dia dong," pancingku.
"Dulu, Sar, sudah lama, zaman masih culun. Itu pun nggak
dapat." Jadi kesimpulannya nih, ternyata Jans tadi agak kaget dan
http://pustaka-indo.blogspot.com143
malu melihat Andien yang sudah lama tidak bertemu, tepatnya
sejak lulus SMA. Maklum, mantan gebetan.
"Kalau kamu, kenapa jutek begitu?"
Aku terkejut. "Memangnya aku jutek" Nggak ah!"
Jans tertawa. "Aku sudah cukup lama mengenal kamu. Kamu
dingin sekali kepada Andien. Memangnya kamu tidak suka
dengannya?" Aku memilih tidak menjawab pertanyaan Jans. Bukannya
tidak suka, untuk apa aku tidak menyukainya" Aku tidak punya alasan untuk tidak menyukainya, tetapi... rasanya sedikit
aneh ketika fakta terungkap dengan pasti, bahwa sekarang aku
sudah bukan lagi Igi"s number one girl. Aku harus bersiap bahwa
posisi ini sudah ditempati oleh Andien.
http://pustaka-indo.blogspot.com144
YES, it"s all wrap, guys!
Tepuk tangan bergema di seluruh penjuru studio foto. Pemotretan hari ini selesai. Aku mengawasi, serta membantu
seluruh pemotretan hari ini yang full seharian. Dimulai dari
pukul delapan pagi dan baru selesai pada pukul lima sore.
Kami sedang melakukan pemotretan fashion dan beauty
maraton untuk edisi ulang tahun majalah Women"s Style.
Benar-benar hari yang melelahkan, karena aku harus turun
tangan. Beauty editor kami baru bergabung selama sebulan.
Dengan lesu, aku melangkah ke pojok studio untuk mengumpulkan barang-barang yang sempat kubawa ke studio. Tas
besar berisi peralatan makeup yang kupinjam dari perusahaan
kosmetik untuk difoto, beberapa aksesori kepunyaan pribadi
maupun pinjaman, atau kepunyaan kantor untuk melengkapi
pemotretan produk tadi, dan agenda kerjaku yang berwarna
hitam butut. Suara tawa dan cekikikan sesama model masih
terdengar, begitu juga suara Maya yang lincah sedang asyik
berbicara dengan stylist assistant serta beauty editor yang baru,
Mila. http://pustaka-indo.blogspot.com145
Aku mendapati sebuah bangku menganggur, dan menjatuhkan bokongku di sana, sambil melihat-lihat ke segala penjuru.
Aku menangkap sosok Jans, yang kebetulan menjadi fotografer
untuk pemotretan hari ini. Dia terlihat sibuk membereskan
beberapa barang, sesekali mengeluarkan senyumnya mendengar
ocehan centil dari para model yang menggodanya. Tidak
heran, Jans memang tampan, perempuan mana sih yang tahan
untuk tidak menggodanya" Untung saja Jans bukan model
lelaki yang menanggapi lebih jauh godaan para model tersebut.
Dia meladeni mereka demi hubungan kerja yang baik.
"Mas Jans, duluan ya, thanks!" Seorang model menghampiri
dan mencium pipi Jans. Jantungku berdenyut sedikit cepat
ketika melihatnya. Sebenarnya aku tidak suka melihat keakraban itu. Cemburu itu pasti, tetapi mereka memang tidak
mengetahui bahwa hubunganku dengan Jans lebih dari sekadar
rekan kerja, sehingga aku hanya bisa memalingkan wajah dan
tidak perlu melihatnya. "Mbak Sarah, kita duluan ya" Thanks, Mbak!" seru salah
seorang model yang melambaikan tangan. Aku pun membalasnya dengan ucapan terima kasih dan lambaian tangan. Tak
lama, Maya menghampiriku. Tampangnya sudah berantakan
serta kumal. Sepertinya dia juga sangat lega pemotretan hari
ini telah selesai. "Sar, ngapain lo mojok di situ?"
Aku tidak menghiraukannya, "Sudah beres, Bu?"
Maya mengangguk. "Sudah, gue mau langsung cabut, mau
pulangin semua barang pinjaman, sama ada beberapa yang
mau di"laundry. Tadi nggak sengaja kena lipstik sewaktu mereka membuka baju." "Baiklah." Aku merelakannya.
"Thanks ya buat bantuannya hari ini," seru Maya sebelum
menghilang di balik pintu.
Aku sudah siap berdiri untuk meninggalkan studio. Baranghttp://pustaka-indo.blogspot.com146
barang yang sebelumnya kubereskan sudah terlebih dahulu
dibawa oleh Mila, karena dia yang akan mengembalikannya.
Tak lama, Jans berdiri di sampingku.
"Sudah mau ke lantai atas?"
Aku mengangguk. Tanpa kuminta Jans membawakan tas
hitamku, dan sebelum kami keluar dari studio, Jans mencuri
sebuah ciuman di bibirku. Sekejap, tetapi sungguh menyenangkan, dalam seketika rasa lelahku langsung hilang.
"Kamu nakal!" "Supaya kamu tersenyum. Habisnya, kuperhatikan bibir
kamu itu tidak bergerak sama sekali, seperti garis lurus."
Kami tertawa lepas. ?"" Urghhh!!! Aku merentangkan tangan hingga mencapai puncak tertinggi. Sejenak aku menikmati saat-saat ototku yang rapat dan
berbelit itu seperti terlepas dari ikatannya ketika aku merenggangkan tangan dan tubuhku. Aku melihat ke depan melalui
ruanganku yang berkaca bening. Hanya tinggal segelintir orang
yang masih setia dengan pekerjaannya, karena yang lainnya
memilih untuk pulang on time. Tetapi aku berani menjamin
tidak semua dari mereka yang seutuhnya mengerjakan tulisan
dan artikel, karena setahuku deadline belum juga dimulai dan
pekerjaan menjadi sedikit longgar. Mungkin mereka sedang
menunggu jemputan, atau sedang gerah dengan keadaan rumah. Browsing internet menjadi kesenangan tersendiri untuk
mencari berita menarik atau bahan bacaan.
Aku memutuskan untuk melarikan diri dari kepenatan
kantor dan segala pekerjaannya. Waktu sudah menunjukkan
pukul enam sore. Sepertinya toko buku bakal menjadi tempat
pelarian yang nyaman dan tenang. Aku ingin membeli sebuah
http://pustaka-indo.blogspot.com147
buku, kemudian pulang ke rumah dan menikmatinya dengan
ditemani secangkir kopi panas. Membayangkannya saja sudah
membuat air liurku tergugah. Aku membereskan sedikit pekerjaanku, kemudian pamit kepada beberapa orang yang masih
tinggal dan melaju dengan mobilku. Aku mengarahkan mobilku menuju mal terdekat. ?"" Suasana nyaman, sunyi, dan dingin menyergap langkahku
ketika memasuki toko buku Kinokuniya. Aku paling suka ke
toko buku ini, karena suasana yang kusebutkan tadi. Oh iya,
ditambah dengan keharuman buku yang tak bisa kujelaskan.
It smells nice. Membuatku semakin betah tenggelam di antara
ribuan buku yang terpajang di sini. Aku berkeliling dari satu
rak ke rak lain, sambil memperhatikan tiap judul dari buku
yang ada, dan terkadang mengambil serta membukanya untuk
melihat-lihat secara singkat cerita di dalamnya.
Namun, ketika aku sibuk memilih buku yang ingin kubeli,
seseorang menegurku. "Sarah?" Orang tersebut menepuk lembut bahuku.
Aku menoleh dan mendapati sosok Andien yang sedang menebar senyum. "Hai..." Aku sedikit terkejut. Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini. "Apa kabar?" tanya Andien dan dia menyalamiku serta mencium pipi kanan dan kiriku. Duh, sebenarnya aku sedikit
enggan untuk beramah-tamah dengannya, tetapi sudahlah, toh
sudah terlanjur bertemu dengannya.
"Sendirian saja?" tanya Andien.
Aku mengangguk sambil menilai cepat penampilannya.
Hm" mungkin aku bisa memberi nilai delapan dari sepuluh
secara keseluruhan. Dia terlihat lebih kasual, dengan celana
http://pustaka-indo.blogspot.com148
pendek, sepatu mary-jane, dan kaus berwarna hitam. Rambutnya juga memakai bandana hitam.
"Kamu" Sendirian?"
Kali ini giliran Andien yang mengangguk. Poni lucunya ikut
bergerak. "Kok tumben" Igi mana?" tanyaku basa-basi.
"Igi lagi ada pemotretan, gue juga nungguin dia nih. Nanti
dia jemput gue di sini."
Setelah Andien selesai berbicara, aku baru teringat. Aku
belum bicara dengan Igi lagi sejak makan malam kami di Sushi
Tei. Aku belum menginterogasinya lebih jauh. And yes, he"s
been lying to me! Dulu sewaktu aku menjemputnya di bandara,
dia mengatakan bahwa dirinya tidak punya pacar. Tetapi sekarang, dua setelah minggu kepulangannya, tiba-tiba dia punya
pacar" Secepat itu"
"Eh, kita ngopi yuk di luar, bosan nih..."
Bosan" Aku baru lima belas menit di sini, dan bagiku, ini
pemanasan. Tetapi, masa aku menolak ajakannya" Nanti malah
disangka aku menjaga jarak serta bersikap dingin terhadapnya.
Aku teringat ucapan Jans sepulangnya kami dari makan malam
bersama mereka bahwa aku bersikap dingin terhadap Andien.
Aku pun menerimanya, dan mengangguk, "Boleh saja."
Andien mengajakku ke salah satu kedai kopi yang terdapat
di dalam mal. Kami duduk berhadapan, dengan secangkir kopi
di depan kami masing-masing. Sungguh aneh, kami seperti sepasang sahabat yang sedang bercengkerama berdua ditemani
secangkir kopi nikmat. Suasana menjadi sedikit canggung, atau
lebih tepatnya, aku yang sedikit canggung, sedangkan Andien
terlihat seperti biasanya, ceria, santai, dan selalu tersenyum.
"Lo sudah sahabatan lama ya sama Igi?" Andien bertanya
kepadaku setelah dia menyesap kopinya.
Aku menatap Andien. Seharusnya aku sudah menduga
bahwa topik pembicaraan kami hari ini pasti tidak akan jauh
http://pustaka-indo.blogspot.com149
dari Igi. Tegukan kopiku yang pertama ternyata ampuh untuk
melancarkan tenggorokanku. Ceritaku jadi mengalir selancar
air. "Gue kenal Igi sejak sama-sama kecil, mungkin sejak kami
masih memakai popok," aku tertawa kecil, "no, sebenarnya
kami dulunya tetangga. Kami tidak akrab, malah sering kali
bertengkar. Sampai suatu ketika Igi menolong gue ketika gue
akan dipalak. Sejak itulah kami menjadi dekat. Kami selalu
bermain bersama, meskipun sama-sama iseng, kami selalu menikmati kebersamaan kami." Aku mengenang persahabatanku
dengan Igi, dan tertawa kecil, "Coba, bagaimana nggak bosan,
sepanjang hidup gue, yang gue lihat selalu dia, ada masalah
apa pun, Igi yang selalu datang dan menolong, bahkan sampai
sekarang. Sepertinya nasib kami saling terikat."
Andien tertegun mendengar penuturanku, lalu hanya berkata
singkat, "Wow" berarti persahabatan kalian sudah sangat
lama, ya?" "Kalau lo gimana" Di mana ketemu Igi?" aku ganti bertanya. Wajah Andien langsung berbinar-binar, seakan Igi berada di
depannya, matanya menerawang. "Gue bertemu Igi pertama
kali sewaktu di London."
Damn! Berarti benar dong kata Maya yang bertemu Igi bersama seorang perempuan yang diakuinya sebagai pacar. Berarti
perempuan itu adalah Andien.
Andien masih meneruskan ceritanya, ?"ceritanya sih agak
lucu, gue waktu itu lagi liburan sama kakak gue, terus sewaktu
gue lagi ngopi di Notting Hill, secara tidak sengaja, Igi tersandung tas belanjaan gue."
Tersandung" Duileh" sinetron banget sih! Aku berkomentar
serta tertawa dalam hati. Aku tidak bisa membayangkan seorang Igi tersandung belanjaan seorang perempuan. Pastilah
sangat lucu. http://pustaka-indo.blogspot.com150
"Belanjaan gue jadi berantakan semua. Tadinya sih mau
marah, tapi begitu melihat mukanya yang innocent dan penuh
penyesalan, bukannya mau marah, malah jadi ingin tertawa."
Wajah Andien melembut. Dia pasti terkenang dengan peristiwa
"tak terlupakan" itu.
"Igi membantu membereskan belanjaan gue, dan kami pun
berkenalan. Karena tahu sama-sama orang Indonesia, kami pun
senang dan bertukar nomor telepon. Sejak itu, hubungan kami
terus berlanjut." Andien meminum kopinya lagi. "Tetapi, sejak
gue melihat raut innocent pada wajah tampannya, gue sudah
jatuh cinta, benar-benar pada pandangan pertama."
Jadilah sore itu menjadi sore aku dan Andien. Aku tidak
banyak bicara, lebih menjadi tipe pendengar setia saja. Yang
pasti, aku ingin tahu Andien tuh orangnya seperti apa. Aku
punya banyak prasangka buruk terhadapnya sewaktu pertama
bertemu. Namun sayangnya, aku tidak menemukan satu pun
kekurangannya yang bisa membuatku langsung berkonfrontasi
dengan Igi untuk tidak memacarinya. Setelah duduk kuranglebih satu jam bersamanya, aku melihat sebenarnya ia orang
yang menyenangkan. Ngomong-ngomong soal Igi, aku belum sempat melabrak dia
nih soal kebohongannya punya pacar. Awas ya!
?"" Hari ini hari Sabtu. Bersantai di rumah menjadi pilihanku pada
hari ini. Masih dengan celana pendek dan tank top, baju
kebangsaan untuk tidur, aku menyalakan televisi pada jam
delapan pagi ini. Tangan kiri memegang segelas kopi yang
harum, tangan kanan memegang remote control televisi. Secara
acak, aku mengubah-ubah saluran televisi tanpa berminat


It Takes Two To Love Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menonton salah satu tayangan. Payah! Tidak ada acara
yang bagus yang diputar pada hari Sabtu.
http://pustaka-indo.blogspot.com151
Kemudian aku beralih kepada koran yang tergeletak di hadapanku. Aku membacanya dengan asal. Hm... handphone baru,
donut rasa baru, korban lumpur Lapindo yang masih berjuang...
para koruptor yang melenggang bebas, artis yang terkena kasus
korupsi, bla... bla... isi berita yang sangat membosankan.
Detik berikutnya, aku mendengar suara klakson di depan
rumahku. Aku heran, siapa yang mau datang jam segini" Aku
menaruh koran yang kubaca, dan berteriak kepada Mbak Nah
untuk membukakan pintu. Aku ikut keluar dan duduk di
beranda. Mobil hitam besar memasuki halaman parkir. Lalu,
keluarlah pemiliknya, yaitu Igi.
"Woi! Mau pamer mobil baru nih!" ledekku begitu Igi keluar
dari dalam mobil tersebut. Sebuah Toyota Harrier dengan
gagahnya bertengger di halamanku.
"Yah, payah, lo sudah bangun, ya" Tadinya gue datang mau
gangguin lo tidur." "Makanya niat jelek jangan dipelihara!"
"Tumben, bangunnya samaan sama matahari" Biasalah lo
kalah... hehe?" "Kalau pagi-pagi begini cuma mau ngomong yang tidak
jelas, lebih baik pulang lagi gih, tapi mobil ditinggal, buat gue
maksudnya... hehehe..."
"HUH! Maunya!" Igi duduk di sebelahku sambil menodong Mbak Nah untuk
membuatkan jus jeruk untuknya. Aku memperhatikan Igi yang
terlihat santai dengan celana pendek cokelat serta polo shirt
hijau. "Lo mau ke mana sih" Wangi benar?"
"Mau kemari dong, gue kan sampainya juga ke rumah lo."
"Biasanya juga lo nggak pernah mandi kalau ke sini," cibirku. "Sori, sekarang gue sudah punya kesadaran diri. Emangnya
elo yang nggak berubah dari dulu?"
http://pustaka-indo.blogspot.com152
"Iya deh, yang baru pulang dari London, jadi berubah..."
Kemudian aku memonyongkan bibir sebagai balasannya. Aku
memilih untuk menikmati kopiku sebelum dingin.
Tiba-tiba... tanpa kami sadari, kami berdua bicara bersamaan.
"Gue ingin ngomong, Sar..."
"Gue mau ngomong, Gi..."
Kami berpandangan dan tertawa cekikikan menertawakan
kekompakan kami. Setelah lelah tertawa hingga keluar air
mata, Igi mempersilakanku untuk berbicara terlebih dahulu,
"You first, Sar."
Aku terdiam, cukup lama dan Igi dengan sabar menunggu.
"Kenapa harus bohong sama gue, Gi?" Rasa sesak yang selama ini tertahan di dada keluar juga. Aku pasti bicara dengan
gemetar, karena setelah itu, Igi menoleh ke arahku dengan raut
wajah yang serius lalu ada penyesalan di dalamnya.
"Maain gue ya," jawab Igi. Dia pasti tahu apa yang kubicarakan. Secara tidak sadar, air mataku mulai turun, mataku yang
memanas sedari tadi akhirnya runtuh juga pertahanannya.
Igi pindah duduk ke dekatku. Aku sesengukan dan ingusku
sudah meler ke mana-mana. Aku sudah tidak peduli lagi. Aku
mengeluarkan semua unek-unekku.
"Gue... bete" sebelll! Huhuhu... masa" lo... sahabat" gue...
sendiri begitu... huhuhu" Kenapa nggak mau kasih tau gue...
kalau lo sudah punya cewek?"
Igi masih terdiam. Dia mengambil tisu dan menyerahkannya
kepadaku. "Gue... huhuhu... waktu jadian sama" Jans aja kasih tahu
lo" huhu?" Igi tetap terdiam sampai aku selesai dengan tangisku.
"Sar, sebenarnya gue nggak bermaksud untuk bohong sama
lo... hanya gue belum siap..."
"Maksud lo?" tanyaku tidak mengerti.
http://pustaka-indo.blogspot.com153
Igi menarik napas panjang. "Selama ini perempuan yang
betul-betul ada dalam hidup gue cuma lo, Sar, yang lain cuma
numpang lewat. Tak ada satu pun yang berarti. Tapi begitu gue
ketemu Andien..." Igi menghentikan ucapannya yang sedikit
menggantung, kemudian melanjutkannya, "I don"t know, she"s
different dan gue takut mengecewakan lo. Gue takut lo tidak
akan menyukainya..."
Sebenarnya aku masih belum mengerti apa yang dibicarakan
Igi. Kenapa juga aku mesti kecewa" Bisa dikatakan ini adalah
pilihan Igi, dia yang berhak untuk menentukan pilihannya,
aku tidak punya andil apa pun.
"Gi... gue?" Igi memotong ucapanku, "Tunggu, Sar. Sekarang gue ingin
bertanya sesuatu sama lo."
Igi menatapku dengan serius. Matanya tajam, dan menusuk
hingga ke hatiku. Tidak pernah sebelumnya raut wajah Igi
seperti sekarang ini. Aku jadi agak takut.
"Gue mau tahu pendapat lo tentang Andien. Kalau lo nggak
suka, just tell me. Gue nggak akan marah dan kalau lo nggak
suka dan nggak nyaman... gue akan sangat mengerti dan... gue
akan putusin dia." DEG! Jantungku langsung berdetak tak keruan. Apakah Igi
serius mengatakan hal itu" Ada apa sih sebenarnya" Rasanya
apa yang dikatakan oleh Igi sangat tidak masuk di akal. Bahkan otakku juga tidak bisa menangkapnya secara jelas, karena...
he"s seriously nuts! Aku menatap Igi dengan nanar.
"Sar" Bagaimana?"
Aku sebenarnya tergoda untuk mengatakan bahwa aku tidak
menyukainya. Dengan mengatakan bahwa aku tidak menyukainya, mereka pun akan berpisah, sehingga persahabatan gue
dan Igi tidak akan terganggu. Tetapi, kalau aku mengingat semua kata-kata Andien ketika bercerita tentang Igi, dan Igi yang
tidak mempermasalahkan sewaktu aku jadian dengan Jans,
http://pustaka-indo.blogspot.com154
serta apa yang dikatakan oleh Jans bahwa suatu saat kami pasti
akan mempunyai keluarga masing-masing, dan hidup kami
akan menjadi berbeda, aku menjadi berpikir dua kali. Aku
menjadi tidak tega. Lagi pula jika aku berpikiran seperti itu
kok rasanya egois sekali.
"Gue nggak ngerti, Gi..." Aku memijit keningku yang mulai
berdenyut. Kepalaku menjadi pening mendengar penuturan Igi.
Hikmah Pedang Hijau 11 Pendekar Rajawali Sakti 4 Kitab Tapak Geni Menuntut Balas 16

Cari Blog Ini