Ceritasilat Novel Online

Kleting Kuning 1

Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono Bagian 1


NAMA sebenarnya Tri Agustina Kusumawardani,
karena ia lahir pada tanggal tiga bulan Agustus. Tetapi
sejak ia remaja hingga kini di usianya yang telah dua
puluh empat tahun, keluarganya memberinya julukan
"Kleting Kuning".
Sebenarnya julukan itu memang kurang tepat padanya. Tetapi kalau dipikir-pikir lebih jauh, pengambilan
nama dari tokoh cerita Jawa kuno itu rasanya cukup
beralasan juga. Sejak Tina mulai menginjak usia remaja,
gadis itu suka sekali mengerjakan dan mengambil-alih
tugas-tugas kedua orangtuanya dengan kemauan sendiri
dan dengan penuh rasa tanggung jawab pula. Dari persoalan dapur sampai membetulkan genting bocor. Dari
urusan pernak-pernik isi rumah, seperti pintu lemari
tak bisa dibuka akibat kuncinya patah di lubangnya,
sampai urusan mesin mobil. Meskipun sudah dilarang,
ia tidak menggubrisnya, sehingga lama-kelamaan
keluarganya membiarkannya saja karena memang semua
pekerjaan itu dilakukannya dengan senang hati dan
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com6
dengan hasil yang sempurna pula. Rasanya tak ada sesuatu yang tak bisa dikerjakan oleh gadis itu.
Nama Kleting Kuning yang diberikan kepada Tina
itu berawal pada suatu hari Minggu, ketika gadis itu
memilih tinggal di rumah sendirian dengan pembantu
rumah tangga daripada ikut jalan-jalan bersama keluarga. Ketika pulang dari jalan-jalan, ayah, ibu, kakak,
dan adik-adiknya berhamburan turun dari mobil, Tinalah yang membukakan pintu untuk mereka. Pada waktu itu ia sedang membersihkan kompor-kompor minyak
tanah yang sudah lama dipensiun karena ibunya beralih
pada kompor gas. Padahal dalam keadaan tertentu,
kompor-kompor itu masih bermanfaat. Dengan celana
jins kumal, tangan dan wajah ternoda jelaga, serta
rambut awut-awutan itulah ia membukakan pintu
untuk mereka. Semua yang melihat Tina muncul di
ambang pintu dengan penampilan seperti itu, langsung
saja tertawa. Bahkan Bu Himawan, ibu mereka, tibatiba saja mencetuskan sesuatu yang dirasa sangat tepat
untuk keadaan itu. "Kamu seperti Kleting Kuning, Tina!" katanya.
"Dan kalian berempat seperti Kleting Merah, Kleting
Biru, Kleting Jingga, dan Kleting Ungu."
Sekali lagi keluarga itu tertawa berderai-derai. Kelima anak gadis kakak beradik itu masih belum melupakan dongeng-dongeng yang dulu semasa kanak-kanak
sering mereka dengar dari kedua orangtua maupun dari
kakek-nenek mereka. Jadi cetusan sang ibu tadi dengan
seketika mengungkit kembali kenangan mereka akan
cerita Kleting Kuning. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com7
Kleting Kuning adalah nama samaran Dewi
Sekartaji, putri raja yang mengembara mencari kekasihnya, Raden Panji Inukartopati. Di dalam pengembaraannya, gadis cantik itu dipungut anak oleh seorang janda.
Janda itu memiliki tiga anak gadis yang juga berwajah
rupawan. Tetapi karena kecantikan Kleting Kuning
jauh lebih cemerlang, si janda dan ketiga anak gadisnya
menjadi iri. Kleting Kuning tak diberi kesempatan
untuk memperlihatkan kecantikannya dengan menyuruh gadis itu bekerja berat. Karena selalu bekerja di
dapur, di sumur, dan di halaman belakang yang acap
kali dipenuhi daun-daun kering dari atas pepohonan
yang sengaja dihamburkan di halaman itu, wajah
Kleting Kuning sering kali penuh dengan jelaga dan
debu. Begitupun pakaiannya, selalu tampak lusuh dan
kotor. Wajah cantiknya jadi tersembunyi. Sementara
ketiga saudara angkatnya kalau tidak sedang sibuk merawat kecantikan atau sedang menikmati penganan
enak, tentu mereka tengah berjalan-jalan, bersenangsenang dan berfoya-foya. Jadi seperti itulah sepanjang hari Minggu yang cerah
tersebut. Ketika ayah, ibu, dan saudara-saudaranya pergi bersenang-senang, Tina malah sibuk di dapur berkutat dengan barang-barang kotor sampai ujung kukukuku jari tangannya ikut menjadi hitam. Karenanya,
cetusan ibu mereka tadi langsung saja menimbulkan
gelak tawa. Dan sejak hari itu nama Tina bertambah,
si Kleting Kuning. Dalam beberapa hal memang Tina memiliki persamaan dengan Kleting Kuning. Ia juga tercantik di
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com8
antara saudara-saudaranya yang juga termasuk gadisgadis cantik itu. Tetapi ia juga yang paling tidak memedulikan kecantikannya. Rambutnya yang bagus itu dipotong pendek, potongan lelaki. Penampilannya
semaunya sendiri. Semasa duduk di SMP dan SMA,
memang ia terpaksa memakai rok untuk pergi ke sekolah. Tetapi di perguruan tinggi, hampir-hampir ia tak
pernah mengenakan gaun. Selalu memilih celana yang
agak longgar. Sepatunya sepatu kets. Sepintas, ia lebih
tampak sebagai pemuda tampan yang kurang maskulin
daripada sebagai seorang gadis jelita.
Begitupun jika berada di rumah, ia paling suka mengenakan celana pendek dan kaus longgar yang enak
dipakai supaya kalau harus naik genting atau mengendarai truk ayahnya, ia dapat bergerak bebas. Atau kalau
sedang bekerja di dapur, tidak merasa panas.
Jadi dalam beberapa hal, ia memang cocok disebut
si Kleting Kuning. Lebih-lebih belakangan ini karena
dua di antara tiga adiknya yang sudah duduk di perguruan tinggi, telah punya kekasih yang tampaknya
akan berlanjut menjadi kekasih abadi. Keluarga-keluarga kedua belah pihak sudah saling mengenal dan
berhubungan dengan akrab. Sedangkan Tina, jangankan
mempunyai kekasih, berpacaran cinta monyet pun
belum pernah. Tak ada perhatiannya ke arah percintaan, sebab menurut pikirannya, hanya akan membuangbuang waktu dan energi saja.
Tetapi bukan berarti Tina tak normal sebab seperti
kebanyakan gadis lain, dia juga suka membaca bukubuku percintaan dan ikut terlarut ke dalam cerita. Te001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com9
tapi, hanya sampai di situ saja. Sesudah buku yang
dibacanya itu tamat, tamat juga perasaannya yang terbawa dan terbuai cerita itu.
Ketika kakaknya menikah dan dia ditanya oleh ibunya mengapa ia masih juga belum memikirkan seorang
pria, dengan tegas ia menjawab,
"Sabarlah, Bu. Tina belum menemukan laki-laki
idaman." "Maksudmu, laki-laki idaman itu seperti apa?" ibunya bertanya dengan penuh rasa ingin tahu. Tina agak
berbeda dengan saudara-saudara perempuannya. Jadi
sang ibu ingin menjenguk isi dadanya.
"Pokoknya, Tina hanya mau jatuh cinta kepada
lelaki yang luar biasa!"
Ibunya merasa gemas karena pertanyaannya dijawab
seenaknya saja. Apalagi jawaban itu seperti sudah tercetak di bibir Tina. "Di mana ada lelaki luar biasa di dunia ini, Tina?"
katanya ketika kegemasannya tak lagi bisa ditahan.
"Pasti ada, Bu. Setidaknya, untuk mata hati Tina!"
Ibunya menarik napas panjang ketika mendengar
jawaban Tina. Maka gadis itu pun tetap menjadi
Kleting Kuning sebab lelaki yang luar biasa memang
tidak ada di dunia ini. Paling tidak, lelaki luar biasa
menurut kriteria Tina, masih belum kelihatan ujung
hidungnya sementara yang bersangkutan tidak berusaha
mencarinya. Menunggunya pun tidak. Sebab seperti
biasanya sepulang kuliah Tina langsung mencari kesibukan apa saja yang sekiranya dapat dikerjakannya.
Jadi mana ada kesempatan dan waktu untuk urusan001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com10
urusan percintaan. Maka kalau dia tidak ada di dapur
atau di belakang, ya di halaman samping rumah mereka
yang cukup luas. Entah menata barang-barang penyewaan mereka, entah pula mengurus tanaman hias.
Keluarga Pak Himawan, orangtua Tina, mempunyai
sambilan menyewakan peralatan pesta. Dari alat-alat
makan, sampai terpal atau tendanya. Dari alat-alat yang
sederhana yang bisa disewa lebih murah, sampai peralatan yang mewah. Begitupun kursi-kursi dan mejamejanya, termasuk meja prasmanannya. Taplaknya
tinggal memilih bahan dan coraknya. Ada yang batik,
ada yang polos ada yang kombinasi, ada yang bungabunga, bahkan juga ada yang kotak-kotak. Tergantung
untuk pesta apa. Perkawinankah, ulang tahunkah, pesta
anak-anakkah, atau pesta untuk memperingati suatu
peristiwa seperti menujuhbulan kandungan, naik pangkat, dan lain sebagainya. Pokoknya lengkap. Untuk dekorasi, mereka sering menangani sendiri. Mengatur
kombinasi taplak, merangkai bunga, dan lain sebagainya. Tetapi untuk event besar, mereka bekerja sama
dengan pihak-pihak lain. Sedangkan untuk hajatan
yang tak terlalu besar, cukup Tina bersama saudarasaudaranya yang menangani. Ia suka mengombinasi
taplak dan menghiasinya menjadi meja prasmanan yang
cantik dan unik. Kecuali, kalau si empunya hajat
meminta dekorasi seperti contoh yang ada di dalam
album-album foto mereka. Itulah persamaan Tina dengan Kleting Kuning. Selalu bekerja dengan gesit, tekun, dan dengan sepenuh
hati sehingga tak mempunyai waktu untuk dirinya sen001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com11
diri. Apalagi menampilkan kecantikannya. Sedangkan
bedanya, Kleting Kuning bekerja karena dipaksa dan
diperas tenaganya, bahkan disia-sia dan ditekan. Sedangkan Tina melakukannya karena ia menyukai pekerjaannya. Jika Kleting Kuning dibenci oleh ibu dan saudarisaudari angkatnya, Tina justru disayangi oleh seluruh
keluarganya. Terutama oleh ayahnya. Tidak satu pun
tugas atau pekerjaan yang ditolak atau dijawab dengan
kata-kata "aku tak bisa" oleh Tina jika ada saudara atau
orangtuanya meminta tolong atau menghadapi kesulitan. Singkat kata, Tina orang yang ringan tangan dan
berhati tulus. Terutama terhadap keluarganya. Demi
mereka, Tina bersedia melakukan apa saja. Termasuk
membetulkan kompor, membetulkan keran bocor,
memasang lampu taman yang mati, memanjat pohon
untuk mengambil mangga, mengantar ibunya berbelanja
atau menemani dan membantu ayahnya menyelesaikan
urusan keuangan. Mulai membayar rekening listrik,
telepon, pembayaran sewa peralatan pesta dari pelanggan mereka, sampai urusan-urusan yang menyangkut
bank. Sang ayah seperti terobati keinginannya mempunyai
anak lelaki. Meskipun Tina seorang perempuan, ia tidak kalah terampilnya dengan Wardi, Pak Nurdin, dan
Johan. Ketiga lelaki pegawai ayahnya itu bisa mengangkat meja, kursi, dan peralatan makan dengan seenaknya. Tetapi Tina juga bisa melakukannya dengan sama
enaknya. Bahkan kalau Pak Somad, sopir truk yang
biasa mengirim peralatan itu berhalangan, dengan tangkas Tina dapat menggantikannya. Ia juga bisa mem001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com12
bantu Wardi, Pak Nurdin, dan Johan pegawai-pegawai
ayahnya itu memasang tenda. Pendek kata, tenaga Tina
tak ada yang sia-sia. Tak ada yang tak bisa dikerjakannya sebab kalau merasa tidak mampu melakukan sesuatu, dengan sepenuh kemauan dan ketekunannya ia
akan mencoba dan mempelajarinya hingga bisa.
Satu minggu menjelang ulang tahun Tina yang kedua puluh empat, salah satu adiknya dilamar keluarga
kekasihnya. Sebelum harinya, seluruh keluarganya berkumpul untuk membicarakan acara keluarga itu. Hampir semuanya menganggap Lusi terlalu cepat menikah.
Umurnya baru dua puluh satu tahun beberapa bulan
yang lalu dan masih kuliah.
"Apakah sudah kaupikirkan betul-betul, Lus?" tanya
mereka hampir bersamaan. "Sayang kuliahmu, Mbak!" Lina si bungsu juga
mengungkapkan perasaannya. Ungkapan yang sebenarnya ada di dalam hati keluarganya juga. Lusi memang
sudah semester tujuh sebagai mahasiswi fakultas ekonomi. Kalau ditinggalkan begitu saja memang sayang.
Padahal dulu untuk memasukkannya ke universitas
swasta favorit tempat dia kuliah, tidaklah mudah dan
tidak juga murah biayanya.
"Jangan khawatir, aku tidak akan meninggalkan
kuliahku begitu saja, Lin!" sahut Lusi penuh pengertian.
"Aku sudah bertanya ke sekretariat tentang studiku.
Mereka mengatakan aku bisa mengajukan cuti sebanyak
dua semester. Bahkan bisa lebih kalau alasannya tepat." "Ya, memang Mas Hari cuma dua tahun saja di001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com13
kirim untuk sekolah di Jerman. Tetapi kalau dari sana
kalian membawa bayi, mana bisa kau melanjutkan
kuliahmu, Mbak," kata Tiwi, adiknya yang lain. Gadis
itu lahir sesudah Lusi.

Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang belum terjadi, biar dipikirkan kelak saja,"
Tina menyela. "Yang penting sekarang ini adalah membicarakan mengenai hari H-nya!"
"Tina benar," sambung ayahnya. "Memang yang penting adalah membicarakan pelaksanaannya dulu."
"Aku lebih memikirkan soal pelangkah!" kata ibunya. Semua yang ada di ruang itu menatap ke arah Tina.
Wajah gadis itu tampak tenang dan tanpa menyiratkan
suatu perasaan apa pun. "Soal sepele begitu kok dipikir sih, Bu," sahut gadis
itu dengan acuh tak acuh. "Sudah kukatakan, aku rela
dilangkahi adikku. Berarti aku juga tidak mengharapkan
barang atau benda apa pun untuk pelangkah."
"Tetapi ini masalah adat, Tina."
"Ah, terserah sajalah. Aku cuma mau mengatakan
bahwa untukku, jangan repot-repot. Aku suka yang
praktis-praktis saja!"
"Katamu kau ingin mempunyai sepeda motor balap,
Mbak... Mas Hari mau memberikanmu sebagai pelangkah dan..." "Tidak!" ibunya menukas kata-kata Lusi. "Motor
biasa saja pun aku tak setuju, apalagi motor balap.
Lusi, kau ingin kakakmu semakin kelaki-lakian" Urungkan niatmu itu!" "Tetapi aku ingin mempunyai motor itu, entah se001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com14
bagai pelangkah atau bukan!" sela Tina. "Dan motor
tidak ada kaitannya dengan laki-laki atau perempuan.
Siapa yang suka, silakan mengendarainya."
"Tidak, Tina. Bapak juga tidak menyetujuinya. Tetapi ketidaksetujuan ini bukan berdasarkan soal kelakilakian atau yang semacam itu. Bapak hanya memikirkan
keselamatanmu saja!" sang ayah menimpali.
"Motor itu praktis, Pak. Daripada naik kendaraan
umum, bisa tua di jalan!" Tina bertahan pada keinginannya untuk memiliki sebuah motor.
"Tetapi bukan motor balap, Tina. Nah, kita sudahi
soal motor ataupun soal pelangkah!" kata sang ayah
lagi dengan suara tegas. "Menurutku, sebaiknya pembicaraan mengenai pelaksanaan itu dirapatkan saja dengan pihak keluarga Hari."
"Betul, Pak, seperti ketika kita mau menikahkan
Indri beberapa tahun yang lalu. Tetapi kan sebaiknya
kita mempunyai gambaran tertentu dulu seperti misalnya di mana resepsinya nanti diadakan, di mana kita
nanti akan memesan hidangannya, dan hal-hal lain
yang menyangkut pelaksanaannya," sahut ibunya. "Setidaknya, kita sudah bisa mengatakan usulan atau
saran-saran kepada pihak keluarga Hari sehingga pembicaraan dengan keluarga calon besan nanti bisa lebih
lancar." "Lusi tahu perusahaan katering yang enak, Bu!" sela
Lusi. "Apa namanya dan di mana?" tanya Tina.
Mendengar pertanyaan Tina, Lusi segera menyebutkan nama katering yang dimaksudkannya.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com15
"Kamu sih waktu itu sakit," katanya kemudian. "Semua yang datang ke pesta pernikahan kakak perempuan Mbak Linda itu mengatakan hal sama, Mbak. Makanannya lezat-lezat dan penataannya sangat menarik.
Kalau mau, Ibu bisa mencobanya dengan memesan sedikit makanan untuk Mbak Tina nanti."
"Aku" Aku kenapa?" tanya Tina sambil mengerutkan
dahinya. Linda adalah teman kuliah Tina. Tetapi seluruh keluarganya mengenal gadis itu dengan baik.
"Seminggu lagi umurmu sudah dua puluh empat
kan, Mbak?" Tina mengendurkan dahinya. Lalu tersenyum.
"Aku lupa," gumamnya kemudian.
Ibunya menoleh ke arahnya.
"Bagaimana Kleting Kuning, ulang tahunmu mau
dirayakan atau tidak?" tanyanya. "Ulang tahun sendiri
kok lupa." "Tergantung keadaan. Kalau Ibu dan Bapak ada
uangnya, aku ingin mengundang beberapa kawan belajarku makan-makan di sini," jawab Tina terus terang.
"Soal uang, beres. Kau berhak mendapatkannya!"
kata bapaknya menyela. "Selama ini kau sungguhsungguh seperti tangan kanan Bapak!"
"Wah, Bapak. Kalau untuk Mbak Tina selalu ada
uang!" cetus Tiwi. "Kau merasa iri, Kleting Biru?" ayahnya menggoda. Tiwi tertawa. "Tidak. Aku sadar Kleting Kuning memang berhak
diistimewakan di hari ulang tahunnya. Hanya dia se001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com16
orang yang tidak pernah minta uang kepada Bapak
atau Ibu untuk membeli kosmetik, gaun-gaun indah,
atau yang semacam itu!" katanya sesudah tawanya berhenti. Tina hanya tersenyum saja.
"Berarti kita akan memesan makanan di tempat
yang kauiklankan tadi, Lusi. Kau bisa mengurusnya,
kan?" tanyanya kemudian, mengalihkan pembicaraan.
"Bisa. Untuk berapa orang sih, Bu?"
"Tanya saja kepada Tina."
"Untuk berapa orang, Mbak?"
"Sekitar empat belas orang," sahut Tina. "Aku tidak
suka pesta yang terlalu banyak orangnya."
"Kalau begitu kita bulatkan dua puluh lima orang
ya, Mbak" Orang rumah kan juga ingin merasakannya!" Tina tertawa. "Orang rumah atau Mas Hari-mu?" godanya.
"Ya semuanya!" Lusi tersipu.
"Kalau mau dibulatkan, pesan saja untuk tiga puluh
orang, Lus!" sela sang bapak. "Kakakmu Indri pasti bukan hanya datang dengan suami dan anaknya saja,
tetapi juga dengan iparnya."
"Siap!" sahut Lusi tersenyum. "Asal jangan dengan
tetangganya." "Berarti soal pesanan makanan itu tugasmu lho,
Lus!" kata Tina mengingatkan.
"Beres!" "Kalau bisa, secepatnya ya, Lusi," ibunya juga mengingatkan. "Kalau waktunya terlalu dekat, Ibu takut
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com17
mereka menolaknya. Pasti ada banyak pesanan lain
yang sudah lebih dulu booking, padahal kita cuma pesan sedikit." "Kalau begitu besok akan Lusi urus!"
"Dengan siapa?" tanya Tiwi.
"Dengan Mbak Tina!"
Tina menoleh ke arah Lusi.
"Katamu, urusan makanan itu akan kauselesaikan
sendiri!" katanya. "Itu benar Mbakyu Kleting Kuning," sahut Lusi dengan kalemnya. "Tetapi kau tahu kan, aku tak bisa
mengemudikan mobil!"
Tina tersenyum kecut. "Kau tak mau melepaskan diri dari citra perempuan
yang selalu dinilai lemah dan perlu perlindungan sih!"
katanya kemudian. "Belajarlah mandiri, Lusi. Tunjukkan
bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan
yang sama dalam banyak hal. Kecuali yang disebabkan
oleh kodrat biologisnya. "
"Tetapi aku bahagia kok dilindungi oleh kaum lakilaki!" "Ah, dasar kau, Lus!"
"Sudahlah, Mbak. Rambut kan boleh sama hitam
tetapi kepala di balik rambut itu bisa punya pendapat
yang berbeda-beda. Dan kebahagiaan itu relatif sifatnya.
Tolok ukurnya bagi setiap orang tidak sama. Tergantung
banyak hal. Usia, kebutuhan, situasi, keadaan, dan lain
sebagainya. Unsur subjektivitas masing-masing individu
dalam memaknai kebahagiaan juga berlainan," sahut
Lusi sambil menyeringai. "Kehidupan ini misterius."
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com18
Tina berdiri sambil menertawakan adiknya.
"Siang-siang begini berfilosofi," katanya kemudian.
"Jadi, Lus, besok pulang kuliah kita langsung ke sana,
ya" Pinjam mobilnya ya, Pak."
Bapaknya mengangguk. Begitulah siang hari berikutnya, Tina dan Lusi langsung ke tempat yang dimaksud begitu keduanya pulang
kuliah. Iseng Tina meraih topi baret milik bapaknya.
Baret itu dikenakannya begitu saja di kepalanya. Lalu
mereka berdua berangkat. "Siang-siang begini agak kalem sedikit kenapa sih,
Mbak! Aku masih belum mau mati sekarang lho!" Lusi
protes ketika Tina melarikan mobilnya secara tak sabaran. Protes itu dituruti sang kakak.
"Aku memang suka ngebut begini. Tetapi aku memiliki ketepatan perkiraan, Lus!" sahutnya sambil tertawa dan melambatkan laju kecepatan mobil yang dikendarainya. "Lagi pula aku tahu, kau masih ingin
menikmati suasana pengantin baru!"
Lusi menyikut lengan kakaknya.
"Ah, Mbak!" gerutunya sambil tertawa. Lalu menoleh ke arah gadis yang sedang memegang kemudi itu.
Ada sedikit rasa bersalah bahwa ia terpaksa harus
menikah lebih dulu, melangkahi kakak perempuannya
itu. Konon menurut kepercayaan orang Jawa, kalau
seorang gadis dilangkahi kawin oleh adiknya, bisa berat
jodohnya. Sulit menemukan pasangan.
Sebenarnya Lusi tidak memercayai kepercayaan
seperti itu. Seorang gadis yang dilangkahi adiknya ko001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com19
non bisa menjadi perawan tua, menurutnya itu lebih
sebagai masalah psikologis belaka. Seorang gadis mungkin saja merasa dirinya menjadi tua ketika melihat
adiknya sudah berkeluarga dan mempunyai anak. Suatu
hal yang tidak aneh, sebenarnya.
Lusi lalu melirik lagi ke arah kakaknya dengan diamdiam. Menilik sifat dan pembawaannya, mustahil Tina
akan merasa tua. Gadis itu tak pedulian. Tingkah lakunya gesit, energik, lincah, dan tak suka berdiam diri.
Merasa tua mungkin masih sangat lama lagi akan dirasa
olehnya. Apalagi perhatiannya terhadap lawan jenisnya
hanya terbatas kepada persahabatan biasa saja. Memang,
ia sering tertawa-tawa dan dengan asyiknya mengobrol
bersama teman-teman lelakinya yang cukup banyak
jumlahnya. Apalagi kalau mereka berbicara mengenai
hal-hal yang disukainya. Tentang politik dan masalahmasalah sosial, tentang dunia seni, olahraga, tentang
mobil-mobil balap dan teknologi canggih masa kini. Ada
banyak hal yang bisa ia bicarakan bersama mereka.
Tetapi jelas sekali, Tina tidak pernah bicara tentang
cinta dan asmara yang menyangkut urusan pribadi,
bersama mereka. Bahkan yang menyerempet masalah itu
pun, tidak. Ia tak menyukainya. Dan teman-teman prianya cukup tahu diri untuk tidak memulainya jika
mereka tidak ingin kehilangan persahabatan dengan
gadis yang amat menarik itu. Mengobrol dan berdiskusi
dengan Tina yang memiliki perhatian terhadap banyak
hal itu, sungguh sangat menyenangkan.
Begitupun terhadap teman-teman perempuannya,
Tina juga memiliki keakraban yang merata. Tidak satu
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com20
pun lebih akrab daripada yang lain. Semua disukainya
dan mereka juga menyukainya. Gadis itu bisa mengajari
teman-temannya yang perempuan tentang bagaimana
cara memasak yang praktis dan enak berdasarkan
pengalaman konkret yang dialaminya. Ia mendapat
ilmu memasak dari abang sepupunya yang menjadi chef
di sebuah hotel besar bintang empat. Dengan bekal
pengalaman itu Tina mengajari resep-resep baru yang
tidak ada di buku-buku resep masakan mana pun. Dan
itu adalah hasil eksperimennya sendiri. Selain itu sering
kali pula Tina mengajak mereka, teman lelaki maupun
perempuan, memancing di laut lepas bersama-sama.
Atau mengobrol melalui internet
Jadi singkat kata, dengan banyaknya minat yang disukainya, dengan banyaknya pekerjaan yang disukainya,
serta banyaknya teman yang akrab dengannya, bagaimana mungkin Tina akan merasa tua" Hidupnya penuh variasi dan hal-hal baru. Kalau hanya dilangkahi
adik yang menikah lebih dulu, bukanlah sesuatu yang
menghebohkan perasaan. Tetapi meskipun tahu betul seperti apa kakaknya
itu, toh Lusi tetap saja mempunyai rasa bersalah dalam
batinnya. Kalau saja Hari tidak disekolahkan ke Jerman
oleh kantornya, ia belum mau menikah. Bukan saja karena umurnya yang baru dua puluh satu tahun, tetapi
juga tidak enak rasanya menikah lebih dulu. Dengan
ganjalan perasaan itu, lagi-lagi Lusi melirik diam-diam
ke arah sang kakak yang sedang sibuk mengemudi.
Tina memang memiliki kecantikan yang lebih menonjol dibanding saudara-saudaranya. Kulitnya kuning


Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com21
mulus. Hidungnya mancung, mulutnya indah dan matanya yang besar itu sangat menawan. Tetapi si empunya
kecantikan itu mengabaikannya. Rambutnya dipotong
pendek seperti potongan yang biasa disukai laki-laki.
Dia juga tidak mau memakai perhiasan barang sepotong pun sampai-sampai telinganya yang semasa kecil
dulu ditindik, sekarang lubangnya sudah menutup.
Wajahnya tak pernah kenal kosmetik. Bedak biasa pun
tidak. Apalagi mewarnai bibirnya. Sudah begitu, pakaian yang dikenakannya juga sering seenaknya sendiri.
Dengan demikian, sepintas saja orang tak akan melihat
kecantikannya. Tak heran jika ia sering disangka pemuda cilik karena penampilannya itu. Lusi sering menyayangkan kelakuan kakaknya itu. Tetapi apa mau dikata, Tina sangat kuat memegang pendapatnya. Apalagi
alasan yang dikemukakannya adalah demi kepraktisan
dan kebebasannya berekspresi diri.
Karena Lusi terlalu lama meliriknya, lama-lama
Tina tahu juga. Ia menoleh ke arah adiknya.
"Kenapa kau memandangku lama-lama, Lus?" tanyanya sambil menyeringai. "Ada kecoak di pipiku?"
"Kau cantik sekali," sahut adiknya terus terang.
"Tetapi, kenapa...?" Tina tersenyum. Tahu bahwa di
hati adiknya ada kata "tetapi".
"Tetapi sayang kecantikan itu kauabaikan. Malahan
sekarang ini dengan memakai baret begitu, kau tampak
seperti laki-laki remaja yang tampan," sahut yang ditanya. "Kata-kata seperti itu sudah sering kudengar, Lus.
Kau sendiri juga sudah pernah mengatakannya sebelum
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com22
ini. Tetapi biar sajalah. Toh yang pasti aku ini perempuan normal. Sama seperti kamu."
"Kalau kau mau bersolek sedikit saja, kau pasti
akan mengagumkan, Mbak. Seperti Kleting Kuning
ketika didandani. Semua orang pangling karena keelokan dan keindahannya. Jadi janganlah terlalu sering memakai pakaian kelaki-lakian begini!"
Tina tertawa. "Kleting Kuning... Kleting Kuning lagi!" gumamnya kemudian. "Meskipun mungkin saja kiprahku
ada kemiripannya dengan Kleting Kuning, tetapi jangan disama-samakan dengan tokoh dongeng itu.
Aku lain." "Apa pun katamu, aku berharap mudah-mudahan
kau segera bertemu dengan Raden Panji sehingga hati
Kleting Kuning terjerat dan mampu meresapi indahnya
sebuah hati yang mekar disirami cinta asmara!"
"Ya ampun, Lus, romantisnya kau ini!" tawa Tina.
Tetapi meskipun tawanya bernada ejekan, namun
harapan seorang adik yang keluar dari hati tulus itu
menyentuh perasaan Tina yang terlembut. Padahal
biasanya, Tina sungguh-sungguh tak memedulikan apa
pun yang dikatakan orang terhadapnya. Juga tidak ketika ibunya memintanya supaya ia agak lebih feminin
menurut ukuran kelaziman di masyarakat. Dengan
lebih sering mengenakan gaun, misalnya. Atau meskipun memakai celana jins, hendaknya blusnya lebih
mencirikan model perempuan. Bukan kemeja kedodoran yang lengannya digulung serampangan seperti itu.
Memang, yang memberi jenis kelamin pada bentuk
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com23
dan jenis pakaian, alat-alat permainan, lalu juga kegiatan dan bahkan pekerjaan, adalah manusia melalui
budaya dan kebiasaan. Kita boleh saja protes. Kita boleh saja berbeda dari kelaziman yang ada. Perempuan
maunya memakai pakaian laki-laki, misalnya. Perempuan mempunyai hobi yang biasanya disukai laki-laki,
misalnya pula. Tetapi sebagai makhluk sosial, sebagai
manusia yang hidup bermasyarakat, kita harus bisa dan
bersedia mengikuti aturan main yang ada. Pergi ke
suatu pesta, misalnya, jangan memakai daster dan
sandal jepit, betapapun nyamannya dipakai. Bahkan
betapapun mahalnya itu. Kita harus bisa menenggang
perasaan orang banyak. Kita harus bisa menghargai
orang banyak dengan tampil sebagaimana mestinya.
Dalam hal tersebut Tina cukup menyadari itu semua,
sebenarnya. Tetapi sekarang ini dia tidak sedang pergi
ke pesta atau ke tempat-tempat resmi seperti kantor,
seminar di hotel, atau yang semacam itu. Jadi apa
salahnya kalau sekarang dia bebas memilih pakaian
yang enak dipakai dan praktis" Apalagi dia sering
berada di ruang yang memungkinkannya memakai
pakaian yang lebih bebas. Kalau laki-laki enggan mendekati perempuan yang berpenampilan seenaknya seperti dirinya, itu bukan urusannya. Tetapi bahwa Lusi
melihat itu dengan rasa prihatin, hati Tina tersentuh
juga. Sekarang, untuk tidak membiarkan dirinya terganggu oleh perkataan Lusi yang menyentuh perasaannya tadi, lekas-lekas Tina mengalihkan pembicaraan
mereka. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com24
"Kau sudah kenal pengusaha katering itu, Lusi?"
tanyanya. "Belum. Tetapi aku bisa bilang pada pemiliknya bahwa Linda yang memberitahu aku mengenai mereka. Oh
ya, siapa nanti yang memilih menu untuk hidangan
ulang tahunmu?" "Kuserahkan padamu, Lus. Kau mau menjajagi hidangan untuk acara lamaran itu juga, kan" Eh, siapa
nama pengusaha itu?"
"Bu Saputro. Sudah janda, Mbak," jawab Lusi. "Dengan keahliannya memasak itu ia sudah berhasil membiayai sekolah tiga anaknya sampai selesai dan untuk
tiga lainnya yang masih sekolah. Ada yang sudah
kuliah, ada yang masih di SMA...."
"Jadi anaknya ada enam orang?"
"Ya. Begitu yang Linda ceritakan. Keluarganya kenal
baik dengan keluarga Bu Saputro itu," sahut Lusi seolah dia yang sudah sangat mengenal keluarga Bu
Saputro. "Masakannya bukan saja lezat tetapi juga bersih dan segar. Ia tak mau memakai bahan-bahan yang
sudah tak bagus lagi. Untuk itu, beliau selalu berbelanja
sendiri ke Pasar Induk. Malahan kadang-kadang juga
ke Bogor atau malah ke Puncak."
"Wah, lengkap juga informasi yang kaudengar," tawa
Tina. "Seharusnya kau jadi wartawan, Lus."
"Ada lagi yang belum kuceritakan," sahut Lusi tanpa
memedulikan godaan kakaknya. "Bu Saputro itu meskipun sudah berusia setengah abad lebih, tetapi masih
sangat cantik." 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com25
"Apa hubungannya dengan soal makanan?" Tina tertawa lagi. "Dengan makanan jasmani memang tidak ada. Soal
kecantikan tidak ada kaitannya dengan enak atau tidaknya makanan yang dimasaknya. Tetapi makanan rohani,
jelas ada!" sahut Lusi sambil cengar-cengir.
"Misalnya apa, hayo?" Tina bertanya ingin tahu.
Melihat air muka sang adik, pasti bukan sesuatu yang
serius untuk dibahas. "Kalau ibunya cantik, pasti anak-anaknya ada yang
mewarisi kecantikannya. Siapa tahu ada yang ganteng,"
sahut Lusi lagi. "Kan itu makanan rohani. Mata kita
bisa memandang sesuatu yang menarik!"
"Sudah mau kawin masih suka melirik pemuda
lain!" goda Tina. Tawa Lusi semakin keras. "Bukan untuk mataku, lho. Tetapi untukmu karena
kau yang perlu cuci mata," sahutnya kemudian, masih
dengan tertawa. "Kalau aku tidak perlu. Mas Hari
sudah memenuhi seluruh kriteria idamanku."
"Bagaimana kalau anak-anaknya itu semua perempuan seperti keluarga kita?" goda Tina lagi.
"Ah, kemungkinan seperti itu kecil. Masa iya ada
enam anak tak seorang pun berjenis lelaki!"
"Oke, katakan anaknya ada yang berjenis lelaki. Tetapi bagaimana kalau yang lelaki itu justru yang paling
kecil?" "Sudah begitu tak kebagian kecantikan ibunya
pula!" sambung Lusi.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com26
Kedua kakak-beradik itu tertawa sehingga ketika
sebuah mobil yang mendahului mereka, pengemudinya
menoleh ke arah keduanya, mengira anak-anak muda
itu sedang berpacaran. "Pacaran jangan di siang hari bolong begini!" gerutunya sambil membuka jendela mobilnya. "Apalagi di jalan raya." Baik Tina maupun Lusi untuk beberapa saat lamanya terdiam. Tetapi detik berikutnya, keduanya tak dapat menahan tawa mereka. "Tuh, Mbak, dikira kau pemuda, kan!" kata Lusi di
sela-sela tawanya yang berderai-derai.
"Ah, biar saja. Aku tak merasa rugi!" sahut Tina
sambil melotot ke arah mobil berpenumpang usil yang
sudah berada jauh di depannya itu.
Tetapi ketika mereka sudah sampai di rumah Bu
Saputro dan Tina menunggu di mobil, ia tak bisa lagi
mengatakan "biar saja" sewaktu ada mobil hendak masuk ke halaman rumah. Mobil Tina menghalangi mobil
merah yang akan masuk itu sehingga pengemudinya
membunyikan klakson. Dari kaca spion, Tina melihat pengemudi di belakang mobilnya itu seorang laki-laki. Gadis itu merasa
tersinggung karenanya. Laki-laki tak tahu sopan santun,
gerutunya di dalam hati. Di jalan, bolehlah orang membunyikan klakson kalau ingin mendahului atau merasa
terganggu oleh mobilnya. Tetapi ini di halaman rumah
orang. Semestinya, orang itu turun dulu dan memintanya supaya memindahkan mobilnya. Bagaimanapun
juga, orang Timur kan punya aturan main dalam per001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com27
gaulan di masyarakat. Berbasa-basilah sedikit dan
hargailah keberadaan orang lain.
Pikiran itu menyebabkan Tina pura-pura tidur dengan menyandarkan kepalanya. Maka suara klakson di
belakangnya berbunyi lagi. Tetapi seperti sebelumnya,
kali itu pun Tina tetap tak hendak memedulikan orang
yang tak tahu sopan santun itu.
Mungkin pengemudi di belakangnya itu sadar juga
bahwa ia telah bersikap kurang sopan. Sesudah tiga
kali klaksonnya tidak mendapat tanggapan, ia segera
turun dan menghampiri jendela mobil Tina.
"Pak Sopir, tolong mobilnya diparkir agak ke kiri,"
kata lelaki yang mengemudi mobil di belakang Tina
itu. "Mobil saya mau masuk!"
Usai bicara seperti itu, tanpa basa-basi apa pun lagi
laki-laki itu langsung kembali ke mobilnya.
Aneh, melihat sosok tubuh lelaki gagah berwajah
ganteng itu, Tina tak lagi bisa mengatakan "biar saja"
kepada dirinya sendiri saat dikira sebagai lelaki. Disangka sebagai sopir pula.
Tanpa berkata apa pun, ia segera memindahkan mobilnya sehingga mobil yang baru masuk tadi bisa langsung ke garasi dan parkir di dalam.
Tina meliriknya. Berarti, lelaki muda itu bukan
tamu sebagaimana dirinya. Pantas, seperti yang punya
hak lebih saja orang itu. Tetapi meskipun begitu apakah dia tidak bisa lebih ramah sedikit" Menambahi
perkataannya dengan kata maaf, misalnya. Atau tersenyum, misalnya pula. Ketika Lusi sudah selesai dengan urusannya dan
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com28
telah duduk kembali di sisinya, Tina segera memundurkan mobilnya untuk kemudian berangkat menempuh
perjalanan pulang. Rasa dongkol yang dipendamnya
tadi tercetus keluar ketika pandang matanya melayang
ke arah sedan merah yang dengan manisnya terparkir
di dalam garasi. "Siapa pemuda sombong tadi, Lus?" tanyanya.
"Lelaki yang mana" Aku tidak melihat ada laki-laki
di sana. Aku dan Bu Saputro sibuk memilih menu.
Kenapa sih kautanyakan?"
"Ada lelaki yang tak sabaran mau memasukkan
mobilnya ke garasi. Aku diklakson sampai tiga kali seperti dia tak punya mulut saja!"
"Seperti apa laki-laki itu" Mungkin saja itu anaknya
atau sanak keluarganya yang tinggal di situ. Nyatanya
dia tidak langsung menemui Bu Saputro. Jadi pasti dia
orang dalam, Mbak." "Orangnya tinggi, gagah. Wajahnya seperti tak pernah tahu bagaimana caranya tersenyum!"
Lusi tersenyum dan menatap ke arah wajah kakaknya. "Bisa juga kau menilai orang!" katanya kemudian.
"Wajahnya seperti apa, Mbak" Tampan atau...?"
"Entahlah!" Tina tak mau mengakui bahwa pemuda
yang membuatnya jengkel tadi termasuk lelaki berwajah
ganteng. Pasti Lusi akan memberikan komentar lagi


Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau ia mengatakan penilaiannya itu.
"Kok entahlah, jawabanmu. Kan kau bisa bilang apakah lelaki itu jelek, tampan, ganteng, atau biasa-biasa
saja!" 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com29
"Mmm, berwajah jantan!" sahut Tina tanpa sadar.
Lusi tertawa mendengar istilah itu.
"Aku jadi ingin tahu seperti apa wajah yang jantan
itu. Nanti kalau kau berulang tahun, aku akan ikut
mengambil masakan yang kita pesan itu. Mudahmudahan lelaki itu ada."
"Jadi, kita juga yang mengambil pesanan makanan
itu?" tanya Tina mengalihkan perhatian adiknya. "Bukannya mereka yang mengantar sampai ke rumah?"
"Tadi aku juga sudah bilang begitu. Tetapi peraturannya, kalau pesanan itu sedikit, pemesannyalah yang
mengambil sendiri ke rumah Bu Saputro. Kalau jumlah
pesanannya banyak, baru mereka yang mengantar sampai di tempat. Begitu, Non!"
Mendengar sapaan "non" yang diucapkan oleh adiknya itu, Tina teringat lagi kepada lelaki ganteng tadi.
"Kaupanggil aku "non". Tetapi orang sombong di
tempat Bu Saputro tadi memanggilku Pak Sopir. Bukannya aku merendahkan profesi sopir, tetapi sikap dia
itu lho yang menganggap sopir boleh diperlakukan kurang hormat. Memangnya dia itu siapa" Menjengkelkan
betul orang itu," gerutunya.
Lusi menoleh lagi kepada kakaknya. Lalu tertawa
keras. Tak biasanya Tina mengomel panjang-pendek
begitu. "Rupanya itu yang membuatmu lebih jengkel ya,
Mbak?" komentarnya kemudian. "Nah, kau sekarang
tak bisa bilang "biar saja" lagi, kan" Makanya, ubahlah
penampilanmu itu." "Jadi hanya karena lelaki itu aku harus mengubah
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com30
cara penampilanku" Huh, tak usah, ya!" Tina mencetuskan sikapnya dengan memelototkan matanya lebar-lebar
ke arah sang adik. "Aku tak kenal dia dan aku tidak
ingin berkenalan dengan laki-laki yang tak tahu aturan
seperti itu. Jadi buat apa aku memikirkan penampilanku
hanya karena dia mengiraku laki-laki" Mengerti, Lus?"
Untuk menguatkan pernyataannya itu, Tina lalu
membunyikan klakson mobilnya keras-keras. Entah
ditujukan kepada mobil yang mana dia sendiri pun tak
tahu, sebab meskipun lalu lintas cukup padat siang itu,
tetapi saat itu tak ada pengendara lain yang bersikap
seenaknya sendiri. Juga tak ada orang yang tiba-tiba
nyelonong menyeberang jalan seperti yang sering terjadi
dan membuat sport jantung orang yang berada di jalan
raya. Apalagi kalau sedang sibuk mengatasi kemacetan
lalu-lintas kota Jakarta yang sangat menyebalkan itu.
Maka Lusi pun meliriknya dan tertawa geli sendiri.
Di dalam hati, ia ingin sekali melihat macam apa lelaki
yang telah membuat kakaknya yang biasanya tak
pedulian itu bisa merasa jengkel seperti itu.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com31
"MBAK, sudah jam lima lho!" Dari luar Lusi memanggil-manggil nama Tina dengan tergesa.
Gadis yang dipanggil itu masih asyik membetulkan
setrika listrik yang kata Bik Benah tak bisa panas.
"Udeh dicolokin sepuluh menit juga, kagak panaspanas acan!" kata pembantu setengah tua yang asli Betawi itu. Dia tahu ke mana harus pergi kalau ada alat-alat
rumah tangga yang kurang beres. Tina akan membetulkannya sampai bisa dipakai kembali.
Sekarang, Lusi sudah ribut di luar kamarnya.
Memang pesanan makanan kepada Bu Saputro akan
diambil sekitar jam enam. Jadi sudah saatnya mereka
berangkat ke sana. Tetapi Tina tenang-tenang saja.
"Mbak, kalau ada temanmu datang dan kau masih
di jalan, kan kasihan. Masa sih yang ulang tahun tidak
menyambut kedatangan tamu-tamunya," kata Lusi
lagi. Dua 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com32
"Kau nanti malam mau pakai gaun apa, Lus?" tanya
Tina mulai kesal. Keringat sudah mengaliri punggung
dan dadanya, dan setrika listrik itu belum juga selesai
dibetulkan. "Perlu disetrika, nggak?"
"Tentu saja. Kau tahu sendiri lemari pakaianku berantakan. Tak ada gaun yang tak perlu disetrika lagi."
"Kalau begitu, diam-diam sajalah. Aku sedang membetulkan setrika!" Mendengar jawaban itu, Lusi membuka pintu kamar
kakaknya dan melihat apa yang sedang dikerjakan itu.
"Masih lama?" tanyanya sambil melirik arlojinya.
Sebenarnya, ia bukan ingin segera mengambil makanan
pesanan mereka beberapa hari yang lalu itu. Melainkan,
ingin mengetahui siapa laki-laki berwajah jantan yang
menjengkelkan hati Tina waktu itu. Ada setitik harapan
dalam hati gadis itu. Entah positif entah negatif yang
mulai muncul di hati kakaknya itu, yang jelas ia telah
bereaksi terhadap perlakuan orang terhadapnya. Lusi
tahu betul, sang kakak tidak pernah ambil pusing terhadap apa yang dikatakan tentang dirinya. Disangka
lelaki, ia hanya tersenyum saja. Disangka gadis tak
normal, ia juga hanya menanggapi penilaian semacam
itu dengan masa bodoh. Komentarnya, yang penting
dia tidak seperti itu. Tetapi kelihatannya kakaknya itu merasa tidak
senang ketika dipanggil "pak sopir" dan diklakson sampai tiga kali oleh seorang pemuda. Apa pun reaksi sang
kakak, jelas itu merupakan suatu kemajuan. Atau sedikitnya, ada perubahan sikap yang selama ini tak ada
pada gadis itu. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com33
"Eh, Mbak. Masih lama?" Lusi mengulangi pertanyaannya tadi. "Tergantung keadaan," sahut Tina menjawab pertanyaan adiknya tadi. "Kok tergantung keadaan?"
"Ya, kalau kau ribut terus di dekatku, selesainya
lama. Kalau kau dengan sabar menunggu di luar, aku
akan cepat selesai!"
Jawaban Tina itu menyembulkan seringai di bibir
Lusi. Lalu dia cepat-cepat keluar. Sepuluh menit kemudian baru Tina keluar menyusulnya.
"Bapak sudah pulang?" tanyanya.
Lusi tersentak. "Wah, aku lupa bilang kalau kita membutuhkan
mobil. Bapak pasti mampir ke rumah Mbak Indri lagi.
Sekalian menjemput mereka!" serunya. "Kalau begitu,
kita naik apa nih?" Tina tersenyum. Memaklumi bapaknya. Belakangan
ini sejak Indri mempunyai bayi laki-laki, setiap pulang
kantor, Bapak selalu mampir ke rumah anak sulungnya
itu. Keinginannya mempunyai anak laki-laki dipuaskannya dengan berlama-lama melihat cucu pertamanya
yang berjenis lelaki itu.
"Naik apa, Mbak?" tanya Lusi lagi.
"Naik truk, malu?"
"Nggak. Ayolah kita berangkat sekarang."
Dengan sama cekatannya seperti kalau sedang
mengemudikan sedan ayahnya, Tina membawa adiknya
pergi. Tiba di rumah Bu Saputro, Tina teringat pengalaman sebelumnya ketika ia memarkir mobilnya di
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com34
halaman rumah itu. Karenanya senja itu ia memarkir
truknya di luar, di tepi jalan.
"Kau turunlah dulu, Lus. Nanti kususul," katanya
sesudah menempatkan truknya di tempat yang aman.
"Susul aku sungguh lho, Mbak," sahut Lusi sambil
melompat turun. "Bawaannya banyak."
"Oke." Tetapi meskipun sudah mengatakan "oke"; Tina tidak
segera turun menyusul adiknya. Enggan dia. Ada perasaan khawatir kalau-kalau ia bertemu laki-laki yang memanggilnya "pak sopir" itu lagi. Pasti sekarang panggilan
itu akan semakin terdengar. Sebab mana ada seorang
gadis normal mau duduk di belakang kemudi truk"
Tetapi senja itu Tina memang agak sial rupanya.
Justru apa yang dihindari itu keluar dengan membawa
kotak-kotak besar keluar rumah dan langsung menuju
ke tempatnya. "Pak sopir, kok masih duduk di sini," katanya.
Suaranya terdengar lebih ramah daripada beberapa hari
lalu. Tetapi ketegasan nadanya sama. "Tolong majikannya dibantu membawa barang-barang."
Geraham Tina mengetat. Tetapi tanpa mengatakan
apa pun, ia segera meloncat turun dan dengan gerakan
kasar berjalan masuk ke rumah.
Di ruang tamu, Lusi sedang membayar kekurangan
yang belum dibayarkan ketika mereka memesan makanan waktu itu. Demi melihat Tina masuk, gadis itu melambaikan tangannya ke arah Tina.
"Ini lho, Bu, kakak saya yang sedang berulang tahun," katanya kepada nyonya rumah.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com35
Tina tersenyum. Bu Saputro menoleh kepadanya
kemudian mengulurkan tangannya.
"Oh, ini yang berulang tahun. Selamat ulang tahun
ya, Mas!" katanya. Lusi menahan tawanya demi mendengar panggilan
itu. Ia bermaksud mengatakan kekeliruan nyonya rumah yang saat itu tidak memakai kacamata seperti
biasanya. Tetapi, tidak jadi. Matanya lebih tertarik kepada lelaki gagah yang baru masuk. Wajahnya ganteng.
Demi melihat laki-laki muda itu ingatan Lusi langsung
saja lari pada pemuda yang diceritakan Tina sebagai
laki-laki berwajah jantan yang sombong itu.
"Masih ada lagi yang harus dibawa keluar, Bu"!" tanya laki-laki gagah itu kepada Bu Saputro.
Jadi laki-laki itu yang disuruh membawakan pesanan makanannya ke dalam truk, pikir Lusi. Memang dia
tidak melihat siapa yang disuruh Bu Saputro, tetapi
telinganya mendengar suruhannya.
"Masih. Ada dua dus lagi dan satu panci sayur." Terdengar suara sahutan Bu Saputro.
"Biar saya yang membawa sendiri, Bu!" Lusi cepatcepat menyela. "Sebaiknya sopirnya ini saja yang disuruh membawakan, Dik. Berat lho," kata lelaki itu kepadanya.
Bu Saputro menoleh ke arah lelaki ganteng itu.
"Kamu itu ngawur," tegurnya. "Pemuda ini kakaknya
Mbak ini kok. Bahkan kakak yang sedang berulang
tahun!" Mendengar perkataan Bu Saputro, laki-laki itu se001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com36
gera menoleh ke arah Tina dengan perhatian yang lebih
cermat. "Oh, maaf!" katanya kemudian. "Maklum, tadi di
luar gelap. Sekarang baru saya lihat kemiripan Anda
berdua." Tina menundukkan kepalanya, takut memperlihatkan matanya yang menyala-nyala karena hati yang mendongkol. Aneh, memang. Tak biasanya dia begitu. Hanya karena kesalahan yang tidak disengaja dilakukan
seseorang, ia sudah seperti orang kebakaran jenggot.
"Kau tidak mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya, Wan?" terdengar suara tawa Bu Saputro. "Maafkan anak saya ini ya, Mas. Ada gadis secantik Lusi, pasti
canggung dia sampai matanya kurang awas!"
"Ah, Ibu!" Sesudah bicara seperti itu, lelaki gagah
itu mengulurkan tangannya kepada Tina dan mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Sikapnya tampak
ramah. "Selamat ya, Dik."
Tetapi Tina menyambut ucapan itu dengan sikap
acuh tak acuh yang amat kentara sehingga Lusi hampir
tak kuat menahan tawanya. Kelihatannya, kali ini sang
kakak akan kena batunya. "Kita pulang sekarang?" tanyanya kepada sang kakak
yang sedang merasa serbasalah itu. Mau marah, mau
menunjukkan rasa jengkelnya, tetapi pemuda yang dianggapnya sombong itu malah tampak ramah.
Tina mengiyakan. Melihat itu Bu Saputro mengajak
Lusi dan Tina masuk ke bagian belakang rumah untuk
mengambil makanan yang masih belum dibawa ke
mobil. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com37
"Pancinya agak berat lho, Nak," katanya kepada
Lusi. "Biar masnya saja yang membawakan."
Karena Lusi menyangka yang dimaksud "masnya"
oleh Bu Saputro itu anak lelakinya, ia segera menolaknya. Apalagi tak masuk ke dalam pikirannya bahwa
saat itu Bu Saputro masih menyangka Tina sebagai
seorang pemuda. "Biar saja saya yang membawanya, Bu."
"Berat lho, Dik. Biar saja kakaknya yang membawakan," anak lelaki Ibu Saputro ikut bicara.


Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar itu baru Lusi sadar bahwa kekeliruan
mereka kepada Tina masih belum selesai.
"Tidak apa, kami berdua akan mengangkatnya bersama-sama," katanya. Timbul keinginan untuk menggoda kakaknya sehingga ia menoleh ke arah Tina dan
sambil menyeringai, ia melanjutkan bicaranya. "Ayo,
Mas!" Tina semakin merasa dongkol. Tetapi ia tidak mau
berkata apa pun di hadapan nyonya rumah dan anak
lelakinya itu. Diangkatnya panci dan dos-dos berisi
makanan itu dan dibawanya masuk ke dalam truk.
Baru ketika mereka sudah berada di jalan lagi, Tina
memuntahkan kejengkelannya.
"Kau sinting!" gerutunya.
"Kok marah?" sahut Lusi tertawa. "Biasanya kau tak
peduli terhadap hal-hal semacam itu."
Mendengar kata-kata yang tepat itu, Tina terdiam.
Lama kemudian barulah ia mendengus.
"Sudahlah. Anggap saja tidak ada apa-apa tadi. Aku
tidak mau membicarakannya lagi."
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com38
Dan memang tidak ada kesempatan untuk membicarakan hal-hal yang terjadi senja itu. Ketika mereka
tiba di rumah, sudah ada tamu yang datang. Rika, teman kuliah Tina. Melihat itu Tina segera lari ke kamarnya untuk menukar kemeja longgarnya yang lusuh. Rika menyusulnya. "Sekali-sekali pakai gaun, Tin. Kami ingin melihatmu feminin di malam ulang tahunmu ini!" katanya.
"Kapan-kapan saja ya. Aku sekarang akan memakai
blus kaus yang lebih feminin juga kok. Lihatlah!"
Memang malam itu Tina tampak lebih feminin dan
cantik dengan blus kaus berwarna merah yang sedikit
menonjolkan dadanya yang penuh yang biasanya tersembunyi di balik kemeja longgarnya.
"Pakai lipstik, Tin. Biar semakin cantik!" usul Rika
lagi. "Aku tak punya lipstik!" sahut Tina acuh tak acuh
sambil menyikat rambutnya yang pendek itu ke belakang. "Pinjam adikmu atau ibumu kan bisa!"
"Aku tidak suka pakai lipstik."
"Kalau begitu kado dariku akan kutambahi lipstik!" "Ssshh, jangan. Buat apa" Sayang, kan" Aku toh
tidak akan memakainya," sahut Tina cepat-cepat.
Tetapi ternyata ada teman Tina lainnya yang sengaja
memberi kado sebuah lipstik dan sekotak bedak. Rupanya, teman-teman Tina lainnya juga ingin melihat gadis
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com39
itu menunjukkan ciri-ciri keperempuanannya, yaitu
ciri-ciri yang dibentuk oleh masyarakat pada umumnya. Rika tertawa ketika melihat air muka Tina waktu
membuka kado darinya. Ia yang meminta supaya ada
acara buka kado sebelum makan malam dimulai. Rasa
ingin tahunya begitu besar untuk mengetahui apa saja
yang dihadiahkan oleh teman-temannya itu untuk Tina.
Seperti dirinya, pasti mereka agak repot memilih kado
untuk gadis yang tidak menyukai barang-barang yang
biasanya disukai oleh kaum perempuan. Tetapi begitu
melihat barang-barang itu, mereka semua merasa senang. Di meja terletak berbagai barang yang mereka ingin
Tina mau memakainya. Selain lipstik dan bedak, ada
sepasang kalung dan giwang etnik yang cantik sekali,
terbuat dari batu-batu alam. Kemudian juga ada sehelai
blus. Ada pula sehelai bahan untuk gaun. Ada bros
yang cantik. Ada dompet yang anggun. Dan sejenis
itu. "Kau harus memakainya lho, Tin!" salah seorang di
antara pemberi kado-kado itu mencetuskan keinginannya. "Kalau tidak, berarti kau tak menghargai pemberian kami." "Bahkan menghina kami, artinya!" sambung yang
lainnya. Astuti namanya. Tina menggeleng berulang-ulang dengan wajah yang
menyiratkan rasa putus asa.
"Baik... baik," katanya kemudian dengan nada suara
apa boleh buat. "Tetapi jangan memaksaku untuk me001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com40
makainya dalam waktu dekat ini lho. Aku belum siap
untuk tampil beda!" "Asal kau berjanji untuk memakainya di suatu ketika nanti, teman-teman pasti tidak keberatan. Tetapi
ayolah, Tin, kami ingin melihatmu secantik yang seharusnya. Berdosa, menyembunyikan kecantikan pemberian Tuhan!" "Ah, aku tidak menyembunyikan apa pun. Aku tidak cantik kok." "Kau itu cantik, Tina. Jangan memungkiri kenyataan," kata Linda. "Tetapi sudahlah, pokoknya kau harus
berjanji seperti kata teman-teman tadi!"
"Ya, baiklah... baiklah," sahut Tina setengah jengkel.
Meskipun ia tahu teman-temannya itu bermaksud baik,
tetapi hatinya berat untuk menuruti keinginan mereka.
Hampir semua kado itu merupakan sesuatu yang bisa
mengekang kebebasannya. Memakai lipstik" Huh, bibirnya jadi seperti dilapisi mentega. Tebal rasanya.
"Bagus," komentar Astuti ketika mendengar janji
Tina tadi. "Nah, janjimu itu bukan hanya aku saja yang
mendengar. Jadi dengan kata "ya, baiklah" yang kauucapkan tadi, kau sudah menyanggupi untuk di suatu
kesempatan nanti akan memakai kado-kado dari
sahabat-sahabatmu ini. Dan sebuah janji adalah sebuah
ucapan keramat yang harus dipenuhi!"
"Ah, kalian memojokkan aku," gerutu Tina sambil
memonyongkan mulutnya, disusul tawa teman-temannya. Kegembiraan di hari ulang tahun itu pun semakin
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com41
meningkat. Terlebih makanan yang dihidangkan di
meja makan, sangat lezat.
Melihat kenyataan itu ibu Tina memutuskan akan
memesan makanan kepada Bu Saputro lagi untuk acara
lamaran Lusi nanti. Bahkan mungkin juga untuk pesta
pernikahannya. Tidak salah apabila Lusi mengatakan
bahwa hidangan yang dibuat oleh langganan orangtua
Linda itu merupakan masakan yang bisa menggoyang
lidah. Kenyataannya memang demikian. Bukan pujian
kosong belaka. Linda tidak asal memuji saja.
Maka begitulah ketika lima bulan kemudian Lusi
menikah, hidangan yang dipersiapkan bagi tamu-tamu,
baik yang datang pada upacara siraman, upacara temu
pengantin, ataupun pada resepsi malam hari di gedung,
semuanya hasil masakan katering milik Bu Saputro.
Keluarga Hiwaman merasa puas ketika mendengar
komentar-komentar yang masuk ke telinga mereka tentang hidangan yang kata tamu-tamu serbalezat dan
jumlahnya lebih dari cukup. Tidak pelit. Apalagi segala
sesuatunya berjalan dengan mulus tanpa kesulitan-kesulitan yang berarti. Semua keharusan-keharusan yang
diminta oleh adat termasuk upacara melangkahi Tina
sebagai kakak perempuan pengantin, berjalan dengan
lancar. Gadis itu menurut saja apa pun yang harus dijalaninya. Ternyata yang merasa puas terhadap kesuksesan
pesta pernikahan itu bukan hanya keluarga pengantin
saja, tetapi juga Bu Saputro. Bukan hanya karena semua
masakannya disukai, sebab kalau bicara tentang hal itu,
pengalamannya selama bertahun-tahun di bidang kate001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com42
ring sudah memberi bukti tentang kesuksesannya.
Namun yang lebih memuaskan hati, ia melihat seluruh
peralatan pesta itu sesuai dengan hidangan yang dipersiapkannya. Peralatan makanannya juga cantik dan
penataan meja prasmanannya luar biasa indah.
Sebagai pengusaha katering, ia juga menyiapkan
berbagai jenis dan macam perlengkapan makan. Mulai
yang sederhana sampai yang supermewah. Setiap
macamnya, bisa dipakai sampai seribu lima ratus orang
tamu lebih. Tetapi belakangan ini ia sulit mengurusnya.
Bahkan sudah hampir dua tahun ini nyaris tidak ada
peremajaan sebab memerlukan penanganan khusus sementara usianya sudah semakin bertambah dan tidak
mudah mencari orang yang bisa dipercaya. Anak-anaknya mempunyai kesibukan sendiri. Sudah begitu selalu
saja ada yang hilang, tercecer atau pecah. Oleh sebab
itu ia menyatakan persetujuannya ketika keluarga calon
pengantin meminta diperbolehkan untuk memakai
peralatan mereka sendiri dalam pesta pernikahan Lusi.
Apalagi Bu Saputro mengetahui keluarga Lusi mempunyai perusahaan sewa-menyewa peralatan pesta yang
sudah berjalan selama belasan tahun. Pasti sudah berpengalaman. Maka ketika Lusi menikah, Bu Saputro melihat sendiri perlengkapan tuan rumah ternyata lebih lengkap
dan lebih cantik. Penyewa bisa memilih peralatan mana
saja yang diinginkan untuk kemudian disesuaikan dengan warna-warna taplak, dekorasi, dan bentuk penataan meja prasmanannya. Begitu juga penataan bungabunganya. Sungguh anggun, cantik dan semarak.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com43
Sepuluh hari sesudah pesta pernikahan Lusi, Bu
Saputro sengaja datang berkunjung ke rumah Tina untuk bicara mengenai bisnis dan kerja sama. Pengusaha
katering itu menyatakan keinginannya untuk bekerja
sama dalam hal perlengkapan dan peralatan makannya.
Karena Tina tidak ada di rumah, ibunya menceritakan
hal tersebut begitu gadis itu pulang. Sebab boleh dikata, masalah bisnis sewa-menyewa peralatan pesta
milik keluarga mereka, Tina-lah yang paling banyak
menanganinya. "Katanya, untuk mengurus pesanan makanan saja
sudah kewalahan. Anak-anaknya tidak bisa membantunya secara penuh. Mereka mempunyai kesibukan
sendiri-sendiri sehingga ketika melihat pesta pernikahan
Lusi, ia mempunyai pikiran untuk bekerja sama dengan
kita," begitu ibunya bercerita kepada Tina.
"Ibu menyetujuinya?"
"Ya. Bapakmu mengatakan bahwa kerja sama semacam itu akan lebih menguntungkan kedua belah
pihak. Kita akan jadi sering disewa, Tin."
"Berarti, kita memerlukan tambahan tenaga."
"Ya, tetapi untuk sementara kita tangani sendiri
dulu. Berarti Ibu dan kau akan lebih sering berada di
luar rumah dan tua di rumah orang atau di gedung
perkawinan," sahut ibunya tertawa.
"Bukan masalah, Bu. Kita bisa bekerja sama dengan
banyak pihak sebagai rekanan kerja kita. Macam dan
jenisnya kan jadi lebih banyak. Begitupun masalah
dekorasinya. Kita bisa bekerja sama dengan beberapa
florist. Jadi kita tidak perlu menanganinya sendiri kalau
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com44
keadaannya tidak memungkinkan. Seperti beberapa
bulan lalu ketika kita harus menolak salah satu permintaan karena sudah ada dua langganan yang memesan lebih dulu. Sayang, kan" Jadi kita rekam juga
macam-macam contoh penataan milik rekanan kita
sehingga bisa kita tayangkan kalau ada pelanggan yang
ingin memilih dekorasi macam apa."
"Ibu setuju. Lagi pula tidak semua orang menyukai
warna-warna dan kombinasi yang sudah kita siapkan.
Susah mengikuti selera orang banyak, Tina. Jadi kita
harus pandai-pandai menyiasatinya."
"Apa pun kesulitannya, itu adalah demi kelangsungan hidup kita di kemudian hari kalau nanti Bapak sudah pensiun!" "Kau memang penuh pengertian, Tina!" sahut ibunya lagi. Kini senyum yang tercipta di sudut bibirnya
lebih berupa senyum kasih sayang. "Tanpamu, entah
apa yang bisa kami lakukan."
"Ah, Ibu. Apa yang kulakukan itu bukan sesuatu
yang istimewa, kok. Ibu kan tahu Kleting Kuning ini
suka bekerja." Ibunya tertawa lagi. Rambut Tina ditariknya dengan
rasa sayang. "Ada satu hal yang Kleting Kuning telah lupakan!"
katanya kemudian. "Apa itu?" "Tidak mengacuhkan Raden Panji. Nah, itu kan
salah. Di dalam ceritanya, mereka berdua selalu saling
merindukan kendati keadaan memaksa mereka untuk
berpisah," jawab sang ibu.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com45
"Ah, Ibu... itu lagi, itu lagi!" Tina nyengir sambil berlalu. "Bosan ah."
"Mau ke mana kau, Tina?" tanya sang ibu ketika
melihat gadis itu pergi menjauhinya.
"Membantu Pak Somad membetulkan mesin truk!"
sahut yang ditanya.

Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya ampun, Tina, itu biar diselesaikan oleh Pak
Somad sendiri. Soal-soal mesin seperti itu, kau tak usah
ikut memegangnya. Lebih baik membantu Bik Benah di
dapur sana. Pekerjaannya sedang banyak tuh."
"Tina ingin belajar soal mesin mobil, Bu. Itu juga
penting. Kalau suatu ketika mobil kita mogok di jalan,
Tina jadi tahu juga mengatasinya. Pak Somad pernah
belajar montir. Jadi Tina ingin belajar darinya."
"Tetapi kau seorang gadis dewasa, Tin. Kurang pantas..." "Apanya yang kurang pantas?" Tina memotong perkataan ibunya. "Pantas atau tidak pantas itu kan hanya
karena kebiasaan saja. Dulu, orang merasa aneh melihat
penata rambut dan perancang pakaian berjenis laki-laki.
Apalagi untuk memotongkan rambut kepadanya. Risi
rasanya kalau rambut dipegang-pegang oleh lelaki. Tetapi sekarang hal itu sudah biasa dan tidak tampak
aneh lagi. Nah, kalau kaum pria bisa mengerjakan halhal yang memerlukan kelembutan dan cita rasa, kenapa
kaum perempuan tidak bisa memegang hal-hal yang
dianggap menjijikkan seperti minyak pelumas yang
hitam, lengket, kotor, dan bau" Dan mengapa pula
kaum perempuan harus merasa aneh kalau menyukai
mesin-mesin, sekrup, dongkrak, dan semacam itu"
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com46
Perempuan dan laki-laki tidak harus dibedakan dalam
hal pekerjaan, kegiatan, dan berbagai kiprahnya, Bu. Ini
bukan masalah emansipasi saja, tetapi masalah kesempatan dan minat sebagai seorang individu, sebagai
subjek otonom yang punya hak untuk memilih dan
menentukan." "Ya, ya...." "Jadi jangan hanya karena kebiasaan yang diwariskan secara turun-temurun oleh budaya patriarki, lalu
orang menjadi ragu untuk memilih bidang pekerjaan
yang sesungguhnya amat diminati dan menjadi cita-cita
sejatinya. Jangan menghambat perealisasian potensi dan
aktualisasi diri seseorang karena jenis kelamin yang
dimilikinya. Sebab, tidak adil," Tina masih belum puas
mengeluarkan isi hatinya.
"Itu Ibu tahu, Tina. Tetapi Ibu sungguh-sungguh
belum bisa melihatmu tidur terlentang begitu saja di
bawah kolong truk!" Tina tertawa. "Bu, Tina tidak akan melakukan hal itu kalau tidak
terpaksa sekali," sahutnya. "Tetapi itu pun bukan karena soal pantas atau tidak pantas menyangkut masalah
perempuan atau laki-laki. Melainkan karena merasa
jijik berbaring di mana saja secara sembarangan."
Usai berkata seperti itu, Tina segera pergi. Ia
sungguh-sungguh ingin melihat Pak Somad membongkar mesin. Sudah lama keinginan seperti itu ada
di hatinya, tetapi selalu saja tak pernah tuntas. Kalau
tidak sedang pergi kuliah, tentu sudah terlambat menyaksikan pekerjaan Pak Somad. Lelaki setengah baya
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com47
itu sangat cekatan. Tak rugi Bapak menggajinya dengan
gaji yang lebih besar daripada gaji sopir pada umumnya. Banyak hal bisa dihemat karena keahliannya mengutak-atik mesin mobil. Hari itu, Tina merasa beruntung karena dapat melihat pekerjaan Pak Somad sejak dari awal hingga selesai. Tanpa peduli bahwa kehadirannya akan mengganggu pekerjaan laki-laki itu, tak henti-hentinya ia
bertanya ini dan itu. Apalagi sesekali ia minta supaya
diperbolehkan melepas dan mengembalikan bagianbagian mesinnya sehingga lama-kelamaan Pak Somad
merasa agak kesal. "Lihat, Mbak, nanti kalau ada penyewa kursi yang
minta supaya barangnya diantar segera, truk ini belum
selesai saya bongkar!" katanya. "Bisa berabe. Kita
kehilangan langganan. Rugi, kan!"
"Ah... Pak Somad, begitu saja masa iya rugi!" sahut
Tina tertawa. "Padahal ini juga demi kepentingan Pak
Somad juga. Kalau nanti aku sudah ahli, kan Pak
Somad bisa kubantu dan pekerjaan jadi lebih cepat
selesai." Tina adalah gadis berpembawaan ramah yang memancarkan kebaikan dan kehangatan. Siapa pun yang
berhadapan dengannya, jarang yang bisa berlama-lama
dalam keadaan marah. Karenanya mendengar kata-kata
yang diucapkan dengan tawa yang keluar dari sanubari
itu, Pak Somad pun akhirnya ikut tertawa.
"Mudah-mudahan kekuatan Mbak Tina juga sama
dengan kekuatan tenaga kaum laki-laki," katanya kemudian. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com48
"Wah, itu karena kondisi dan kesempatan, Pak
Somad. Tidak semua laki-laki lebih kuat daripada perempuan. Perempuan yang mendapat kesempatan untuk
lebih banyak berkegiatan di lapangan seperti bermain
sepak bola, buruh gendong di pasar, petani, tukang
becak, memiliki tubuh yang jauh lebih kuat dan berotot
daripada laki-laki yang kerjanya cuma duduk di belakang
meja kantor. Begitupun aku. Asal jangan disuruh
mengangkat truk saja, aku tidak kalah dengan tenaga
laki-laki. Percayalah."
"Baiklah," sahut Pak Somad maklum. "Nah... ini
harus diganti, Mbak. Tetapi biar saya amplas saja dulu
untuk sementara. Belum terlalu rusak. Hayo, apa namanya?" "Ah, itu sih aku tahu. Platina, kan?" jawab Tina tersenyum. "Diamplas supaya rata."
"Benar." Pak Somad juga tersenyum sambil menjawab kata-kata Tina tadi. "Dan yang ini, kalau mau
lebih enak, sebaiknya juga harus diganti. Tetapi sekarang biar saya bersihkan dan disikat saja lebih dulu.
Nah, coba tebak, apa nama benda ini?"
"Busi, Pak!" Tina nyengir. "Anak kecil juga tahu!"
Pak Somad tertawa lebar. "Benar," sahutnya. "Lalu
yang ini apa namanya, hayo?"
"Karburator. Ya, kan?"
"Betul. Lalu tahu apa fungsinya, Mbak?"
"Tahu. Bagian mesin motor tempat gas bensin bercampur dengan udara. Ya, kan?"
"Aduh, hebat juga murid Pak Somad ini!" tawa Pak
Somad lagi. "Lulus belajar montir!"
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com49
Tina tersenyum. Ia juga merasa senang dapat menggali pengetahuan dari Pak Somad sehingga pada kesempatan lain, ia selalu mencoba ikut terjun bergelimang oli
dan pelumas untuk membantu lelaki itu membongkar
mesin mobil. Pengetahuan yang didapat itu benar-benar merupakan pelajaran yang berharga. Setidaknya, ia tidak hanya
tahu mengemudi saja, tetapi sedikit-sedikit tahu juga
tentang mesin. Paling sedikit, ia tidak akan mudah dibodohi orang apabila ketika nanti mobil yang dikendarainya tiba-tiba mogok di jalan dan tidak ada
orang yang bisa membantunya.
Pengetahuan baru yang didapat dari Pak Somad itu
teruji di suatu hari ketika Pak Somad minta izin pulang. Istrinya menyusul. Ada keluarganya yang sakit
keras. Padahal siang itu peralatan kursi, meja, dan
terpal, harus diantarkan ke suatu tempat yang letaknya
di pinggiran kota. "Kau tidak sedang belajar kan, Tina?" tanya ibunya.
"Nanti malam saja. Kenapa, Bu?" Gadis itu baru saja
pulang dari kuliah dan baru pula usai makan siang.
"Pak Somad tidak masuk kerja. Maukah siang ini
kau mengantar barang ke tempat yang agak jauh?"
"Harus siang ini?"
"Ya, paling tidak menjelang sore ini. Soalnya pestanya besok malam." "Asal dengan Wardi, Pak Nurdin, dan Johan."
"Itu pasti. Masa kau mampu mengerjakan semuanya
sendiri saja!" sahut ibunya sambil tertawa.
"Ya, siapa tahu orang berpikiran seperti itu. Kan
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com50
Kleting Kuning, Bu!" Tina nyengir sambil meraih kunci
mobil. "Nah, ini alamatnya. Hati-hati di jalan ya. Tempatnya agak jauh dari sini, Tina."
Tina mengangguk sambil membaca kertas bertuliskan alamat yang dimaksud.
"Dari mana orang itu tahu alamat kita?" gumamnya.
"Jauh sekali tempatnya dari sini. Jadi bukan agak jauh
seperti yang Ibu katakan tadi. Ini sih dari ujung ke
ujung, Bu!" Ibunya tertawa lagi. "Di Tangerang, Non!" katanya kemudian. "Mereka
tahu tentang kita dari Bu Saputro."
"Pasti orang itu memesan makanan dari Bu
Saputro!" "Ya, memang begitu. Nah, berangkatlah sekarang
supaya bisa lekas pulang kembali ke rumah sebelum
cuaca gelap." "Baik, Bos." Tina tertawa sambil menimang kunci di
tangannya. "Tetapi yang jelas, siang ini Kleting Kuning
tak bisa tidur siang."
Ibunya tertawa lagi. "Tetapi pasti akan ada obat untuk jerih-lelahnya,"
katanya. "Tinggal pilih. Uang atau barang!"
"Kedua-duanya!" Tina nyengir lagi, kemudian pergi
ke luar rumah. Siang itu udara terasa panas dan di sepanjang jalan
sejak berangkat dari rumah hingga ke tujuan, lalu lintas
begitu padat dan sibuk. Sementara itu pembangunan
beberapa jalan layang masih sedang giat-giatnya, me001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com51
nambah kesibukan, debu, dan kemacetan di sana-sini.
Tetapi dengan gesitnya Tina berusaha menghindar dari
keterlibatan yang menyulitkan. Hanya dalam waktu
satu setengah jam lebih sedikit saja mereka sudah
sampai ke tempat tujuan. Untuk ukuran Jakarta, jarak tempat tidaklah berpengaruh terhadap cepat-lambatnya perjalanan. Jika
jalannya lancar tanpa hambatan kemacetan lalu lintas,
jarak yang jauh bisa dicapai dalam waktu yang relatif
singkat melalui jalan tol. Sebaliknya, jarak yang dekat
dengan lalu lintas yang kelewat padat, akan memerlukan waktu yang lebih lama. Dan lamanya perjalanan
bisa memakan waktu sampai satu jam atau lebih daripada yang seharusnya. Tetapi buat masyarakat Jakarta,
keadaan seperti itu adalah hal yang biasa meskipun
sangat menjengkelkan. Sambil melepaskan lelah di belakang kemudi saat
Johan, Wardi, dan Pak Nurdin mengangkat kursi-kursi
dari atas truk, Tina memandang rumah besar di hadapannya itu. Melihat jumlah kursi yang dipinjam, Tina
menduga-duga bahwa rumah dan halaman yang akan
dipasangi tenda itu bisa memuat tamu sebanyak lima
ratusan orang. Entah pesta apa, Tina tidak tahu. Tetapi
pasti bukan pernikahan, sebab tak secuil pun tandatanda adanya perkawinan tertangkap oleh matanya.
Sedang gadis itu melamun membayangkan semaraknya pesta besok malam di rumah ini, telinganya mendengar mobil masuk. Sekarang perhatiannya tercurah
kepada orang yang baru datang itu. Ia mulai mengenali
Kijang Innova itu sebagai milik keluarga Bu Saputro.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com52
Mungkin perempuan itu datang untuk urusan pesta
besok. Mungkin masih ada yang perlu diubah menunya.
Atau ditambah jumlahnya. Atau apa sajalah. Untuk
urusan pesta, memang selalu saja ada yang perlu dibahas karena sebelumnya terlupa.
Dugaan yang bermunculan di kepala Tina buyar
ketika ia mengenali Iwan, anak lelaki Bu Saputro yang
pernah membuatnya jengkel. Lelaki itu turun dari mobilnya, disusul pemuda lain yang wajahnya memiliki beberapa kemiripan dengannya. Mungkin adik lelakinya.
Dari tempatnya Tina memperhatikan kedua lelaki
itu masuk ke rumah. Dan sekitar sepuluh menit kemudian, mereka keluar lagi. Bersama keduanya, keluar juga
sang nyonya rumah yang tadi menerima kedatangan
Tina dan rombongannya itu. Bertiga mereka memperhatikan kesibukan yang sedang dilakukan oleh Pak
Nurdin, Johan, dan Wardi. Memasang tenda dengan
cekatan dan kemudian mengatur-atur meja dan kursikursi. Menjelang pekerjaan usai, Tina melihat Iwan berjalan ke arahnya. Untuk menghindari perjumpaan dengan lelaki yang membuatnya jengkel itu, Tina purapura membaca koran. Tetapi tampaknya lelaki muda
itu memang sengaja datang menghampirinya.
"Halo?" sapanya kepada Tina.
Tina mengangkat matanya dari koran yang sedang
dibacanya. Lalu tersenyum meskipun tak menginginkannya. Jadi senyumnya hanya sekilas lintas saja. Hanya
itu tanggapannya terhadap kehadiran lelaki yang tidak
disukainya itu. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com53


Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kulihat sudah beres," kata lelaki itu lagi. "Habis ini
terus mau ke mana lagi, Dik?"
"Pulang," Tina menjawab dengan singkat dan sikap
yang tampak acuh tak acuh.
"Adik ini kakaknya Dik Lusi, kan?"
"Ya." "Apakah saya boleh ikut truknya sampai di jalan
yang paling dekat dengan rumah saya?"
Tina tidak segera menjawab. Matanya mengarah ke
mobil Iwan, di mana lelaki satunya yang mirip dengan
Iwan tadi sedang membuka pintunya. Dan melihat apa
yang sedang diperhatikan oleh Tina, Iwan segera
menjelaskan persoalannya.
"Adik saya mau langsung ke kampus. Ada kuliah
sore hari yang wajib dihadiri dan waktunya sudah
mepet," katanya menjelaskan. Jadi benarlah, pemuda itu
adiknya. Tina tak memberi komentar apa pun sehingga Iwan
berkata lagi, "Jadi mobil itu akan dipakai adik saya," katanya.
"Bagaimana, apa saya boleh ikut truk ini?"
Apa boleh buat. Tina tak bisa mengatakan apa-apa
lagi kecuali hanya mengangguk. Bagaimanapun, ia
harus mengakui bahwa sikap Iwan terhadapnya sudah
lebih baik. Apalagi tidaklah sopan menolak permohonan orang yang benar-benar membutuhkan bantuannya.
Rumah ini terletak agak jauh dari jalan raya dan rupanya pula masih merupakan daerah permukiman baru.
Masih belum ada kendaraan umum masuk ke tempat
itu. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com54
"Jadi, saya boleh ikut, kan?" untuk kesekian kalinya
Iwan bertanya lagi. Tina mengangguk lagi dengan lebih jelas. Mau mengatakan tidak boleh tak mungkin bukan"
Melihat itu Iwan memberi isyarat tangan kepada
adiknya yang masih menunggu dengan sabar.
"Oke, Deddy. Tinggal saja!" teriaknya.
Sang adik pun tersenyum untuk kemudian melambaikan tangannya dan langsung menghilang di balik
pagar halaman bersama mobilnya.
Sepeninggal sang adik, Iwan memperhatikan Pak
Nurdin, Johan, dan Wardi yang sedang menyelesaikan
pekerjaannya. Demi melihat ketiga orang itu telah
menyelesaikan tugasnya dengan baik, dengan gerakan
ringan Iwan meloncat ke dalam truk dan duduk di
samping Tina. Dan tak berapa lama kemudian ketiga
pekerja tadi pun menyusul naik ke bak belakang. Maka
tanpa menunggu apa pun, sesudah minta diri kepada
nyonya rumah, Tina segera membawa truknya ke luar
halaman. Sinar matahari sudah tak seterik semula ketika mereka berada dalam perjalanan pulang. Tetapi kesibukan,
debu, dan kemacetan lalu lintas masih tetap sama.
Dan tanpa sepatah kata pun, Tina mengemudikan
truknya dengan tenang, seolah di sisinya tidak ada
siapa-siapa. Sementara itu dengan diam-diam Iwan melirik
gadis yang tengah memperhatikan lalu lintas di hadapannya itu dengan tenang. Tetapi ia tidak menyadari
bahwa yang dilirik tahu. Bahkan merasa geli. Pikirnya,
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com55
Iwan pasti menilainya sebagai laki-laki yang tidak
macho. Ah, biar sajalah. Tetapi Iwan terus saja berpikir, alangkah berbedanya
laki-laki muda mungil ini dengan adiknya. Lusi mudah
menebarkan keakraban. Gadis itu mampu pula menelorkan humor-humor yang segar. Beda dengan kakak
lelakinya ini. Sedang Iwan berpikir seperti itu, suara mesin truk
terdengar terbatuk-batuk untuk kemudian bergerak
tersendat-sendat dan akhirnya truk berhenti.
Karena jalan yang sedang mereka lalui itu agak menurun, Tina berhasil menepikan truknya di jalur lambat
dekat sebatang pohon angsana yang rindang. Dan kemudian tanpa memberi komentar apa pun atas kejadian
itu, ia melompat dan membuka tutup mesin truk. Di
belakang, ketiga lelaki pekerja itu juga berhamburan
turun. "Ada yang tidak beres?" tanya Pak Nurdin sambil
mendekati tempat Tina sedang memeriksa mesin.
Tina nyengir. "Kalau beres sih nggak mogok, Pak!" jawabnya dengan bercanda. Iwan yang menyusul turun, ketika mendengar katakata yang diucapkan dengan kocak itu penilaiannya
terhadap "pemuda" ini bergeser lagi. Jadi, pemuda ini
pun suka humor juga rupanya. Padahal truknya mogok
dan lalu lintas masih ramai, dalam selimut teriknya
matahari dan balutan debu pula. Orang lain mungkin
akan menyumpah-nyumpah. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com56
"Akan kulihat, mana yang bandel!" kata Tina lagi
sambil mulai membongkar dan mengotak-atik mesin.
"Bisa, Non?" Pak Nurdin bertanya lagi.
"Kita lihat dulu, Pak Nurdin," sahut yang ditanya.
Di sisi Tina, Iwan tertegun. Non" Salah dengarkah
dia" Atau salah bicarakah Pak Nurdin"
Belum habis rasa heran yang masuk ke kepalanya,
Wardi juga mendekati Tina dan mengatakan sesuatu
yang lebih membuat Iwan tertegun,
"Kalau perlu bantuan, biar saya saja yang mengerjakan, Non," kata laki-laki itu sambil membungkuk ke
atas mesin. Iwan tertegun untuk kedua kalinya. Jadi ternyata,
telinganya tidak salah dengar. "Pemuda" itu ternyata
seorang gadis. Dan begitu pengetahuan itu masuk ke
kepalanya, Iwan pun mulai memperhatikan wajah Tina
dan dengan cepat mulai melihat garis-garis lembut dan
bulu mata lentik yang biasa dimiliki kaum perempuan.
Maka dengan segera ia menyadari apa arti kemarahan
dan rasa tersinggung yang dialami gadis itu ketika ia
memanggilnya dengan sebutan "Pak Sopir" beberapa
waktu yang lalu. Sekaligus juga memahami kenapa
sikap gadis itu dingin dan acuh tak acuh terhadapnya.
Setelah mengetahui bahwa kakak Lusi itu seorang
perempuan, Iwan bermaksud membantu mengotak-atik
mesin mobil. Sedikit-sedikit ia tahu juga urusan mesin. "Boleh saya bantu?" tanyanya menawarkan diri.
"Tidak. Kalau sedang bekerja, saya tidak suka di001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com57
bantu," sahut Tina ketus. "Kecuali kalau saya tidak
mampu mengatasinya sendiri."
Iwan melirik Tina. Seperti mimpi ia hampir tak
mampu berpikir apa pun kecuali terkesima menyaksikan
gadis yang disangkanya pemuda mungil itu beraksi
membetulkan mesin mobil dengan sigap. Busi dilepas
dan disikat dengan cara yang amat luwes seolah sudah
menjadi pekerjaannya sehari-hari. Kemudian platina
diamplas dan tali kipas diperiksa. Saringan bensin dibersihkan dan entah apa lagi yang diotak-atik oleh tangan cekatan gadis itu. Tetapi yang jelas, seperempat
jam kemudian ketika ia mencoba menyalakannya lagi,
mesinnya langsung hidup. "Beres," teriak gadis itu sambil tertawa lepas. Ia
benar-benar merasa gembira karena mampu mengatasi
kerusakan mesin truknya tanpa perlu harus meminta
bantuan kepada para laki-laki yang ada di sekitarnya.
"Nah, ayo naik ke truk kembali."
Gadis itu tidak sadar bahwa ia telah mengeluarkan
suara aslinya. Tetapi begitu ingat, cepat-cepat ia
menoleh ke arah Iwan dan mengubah suaranya dengan
memperberat volumenya. "Memang busi dan platinanya
sudah harus diganti...."
Iwan mengangguk tanpa berniat memberi komentar
apa pun. Tetapi di dalam hati dia merasa geli melihat
ulah Tina, karena tahu betul bahwa gadis itu belum
menyadari rahasianya telah terbuka. Bahwa, dia bukan
seorang laki-laki. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com58
DI jalan raya ketika mereka mengarungi perjalanan
kembali, Tina menduga-duga sendiri, laki-laki yang
duduk di sampingnya itu tentu sedang bertanya-tanya
di dalam hatinya. Macam apa dirinya ini" Apakah ia
seorang lelaki tulen yang kebetulan bertampang mungil
dan tak memiliki kegagahan seperti yang biasa ada
pada laki-laki ataukah dia seorang lelaki yang memiliki
unsur-unsur kelainan hormonal sehingga secara fisik
mirip perempuan. Tetapi entah apa pun yang dipikirkan oleh Iwan
tentang dirinya, Tina tak terlalu ambil pusing. Ia
enggan memikirkannya lebih jauh. Bahkan bicara basabasi pun tak ada niatnya, sehingga lama-kelamaan lakilaki yang sedang meminta jasanya itu merasa tak enak
berada dalam suasana kaku seperti itu. Maka dipecahkannya keadaan seperti itu dengan bertanya.
"Kok Adik sendiri yang membawa truk ini" Ke
mana sopirnya?" tanyanya mulai berbasa-basi.
Tiga 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com59
"Anaknya sakit!" Tina menjawab dengan suara yang
sengaja diperberat sehingga menimbulkan senyum di
hati Iwan. Diam lagi. Dan suasana kaku pun kembali lagi seperti semula. Ketika suasana seperti itu sudah berjalan
selama sepuluh menit berikutnya maka sebagai orang
yang menumpang dan sebagai orang yang berumur
lebih tua, Iwan merasa harus mengalah. Karenanya ia
mencoba lagi mengurangi kekakuan suasana dengan
mengeluarkan suaranya. "Adik masih marah karena saya pernah menyangka
sebagai sopirnya Lusi?" tanyanya.
Tina meliriknya. Berani juga lelaki itu membuka
persoalan, pikirnya. Ia menyukai kejujuran, menyukai
keterbukaan. Jadi pertanyaan itu harus dijawab dengan
terus terang pula. "Ya," sahutnya tanpa menoleh.
Sekarang Iwan yang meliriknya dan menghargai
kejujuran semacam itu. Enak bicara dengan orang yang
mau terbuka. Tak perlu berbelit-belit dan mudah menyelesaikan persoalan yang terjadi.
"Karena saya merendahkanmu secara tak sengaja?"
tanyanya lagi. "Bukan karena itu!"
"Tetapi kelihatannya Adik membedakan status dan
pekerjaan orang." "Sama sekali tidak."
"Kalau begitu kenapa hanya kekeliruan semacam itu
saja Adik merasa tersinggung?" Iwan meliriknya sesaat. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com60
"Masalahnya bukan karena hal itu. Ada sesuatu
yang lain tetapi rasanya tak perlu untuk dibicarakan."
"Kenapa?" "Karena suatu ketika nanti Anda akan tahu sendiri.
Oke?" Iwan terdiam. Tahu bahwa Tina tidak ingin berbincang-bincang dengannya. Tahu pula bahwa berbasabasi lebih lanjut bersamanya tidak akan banyak gunanya. Kelihatannya, kakak Lusi ini lebih sulit diajak
bergaul dibanding adiknya. Lusi sangat ramah dan menyenangkan. Berangsur-angsur Iwan mengembalikan perhatiannya
ke depan, ke arah lalu lintas yang semakin padat pada
jam-jam sibuk seperti saat itu. Jam orang bubar dari
kantor, saatnya bermacam kendaraan berusaha lebih
mendominasi jalan raya supaya bisa cepat sampai ke
rumah. "Kita lewat mana?" akhirnya laki-laki itu bersuara
juga ketika mereka mulai masuk jalan tol.
"Lewat tol," jawab Tina dengan sengaja.
"Itu saya tahu. Tetapi nanti keluar dari tol, kita
akan lewat mana?" "Lewat mana saja, asal sampai!" Tina menjawab lagi
dengan acuh tak acuh. Masih tanpa menoleh sedikit
pun ke arah yang bertanya.
"Kalau begitu, sesudah keluar dari tol, saya akan
turun." "Terserah." "Nah, sebelum turun, saya akan mengatakan sesuatu..." Pembicaraan terhenti di muka gerbang tol.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com61
Lelaki itu mengeluarkan uang dengan cekatan dan diulurkannya ke loket. Tina kurang gesit karena terhalang
kemudi di depannya. "Mengatakan apa?" tanya Tina sesudah mobil melaju kembali. "Mengatakan permintaan maaf kepada Anda tentang mata saya yang kurang awas. Sudah beberapa kali
kita bertemu, tetapi baru hari ini saya tahu bahwa
Anda seorang perempuan!"


Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tina terdiam. Kekeliruan semacam itu bukanlah hal
yang baru bagi Tina. Dan selama ini ia tak pernah terlalu mengacuhkannya. Tetapi terhadap Iwan, ia memang memiliki semacam rasa tersinggung ketika lelaki
itu memanggilnya "Pak Sopir".
Karenanya, kalau ia mau bersikap kesatria, permintaan maaf itu harus ditanggapi dengan semestinya.
"Kau pendendam, ya?" Terdengar oleh Tina, Iwan
berkata lagi sesudah beberapa lamanya permintaan
maafnya tadi hanya dibiarkan terbawa angin lalu hanya
karena ia masih sibuk berpikir-pikir.
Tina menoleh. Hm, "Adik" dan "Anda" sudah berganti dengan sebutan "kau". Mau berakrab-akrab, rupanya. "Tidak," jawabnya pendek.
"Kenapa permintaan maafku tidak kautanggapi?"
"Kalau aku diam saja berarti aku sudah mengiyakannya!" sahut Tina diplomatis.
Iwan tak bisa berkata apa-apa lagi. Dan dengan diamnya itu, suasana pun menjadi lengang di kabin depan
truk itu. Kesempatan itu dipakai oleh Iwan untuk
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com62
memperhatikan Tina secara lebih cermat dengan kacamata yang berbeda daripada kacamata yang dipakainya
tadi ketika ia belum tahu bahwa orang yang duduk di
sisinya itu perempuan. Seperti tadi, Tina juga tahu bahwa dirinya sedang
diperhatikan dengan diam-diam oleh Iwan. Kalau tadi
lelaki itu bertanya-tanya tentang lelaki macam apa
diriku ini, tentu sekarang dia bertanya-tanya macam
apa perempuan seperti aku ini. Begitulah Tina berpikirpikir sendiri dengan rasa geli. Dan sebagai akibatnya,
rasa geli yang semula hanya ada di dalam hatinya itu
tercetus keluar juga. Ia mengikik sendiri.
Tentu saja Iwan mendengar tawa itu. Ia menoleh.
"Apanya yang lucu?" tanyanya.
"Yang lucu ada di dalam pikiranmu," sahutnya.
"Apa itu?" Iwan bertanya, ingin tahu.
"Sedikit atau banyak, tadi sebelum kau tahu bahwa
aku seorang perempuan pasti bertanya-tanya dalam
hati, lelaki macam apa diriku yang bersifat keperempuan-perempuanan ini. Lalu sekarang, pasti juga
timbul pertanyaan senada, perempuan macam apa
diriku ini yang kelihatan begitu kelaki-lakian. Hayo,
jangan mengelak!" Dengan blak-blakan Tina menjawab
apa yang ditanyakan oleh Iwan tadi tanpa selapis pun
basa-basi di dalamnya. Untuk sesaat lamanya, Iwan agak tersipu diberondong kata-kata yang demikian terus terang itu. Tetapi
akhirnya dengan sungkan, ia terpaksa mengiyakan perkataan gadis itu. "Ya... memang," sahutnya.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com63
Mendengar itu Tina tertawa lagi.
"Sebetulnya tak penting apa dan bagaimana hasil
dan kesimpulan yang ada di pikiranmu itu," katanya
kemudian. "Tetapi perlu untuk informasi, bahwa aku
ini seratus persen perempuan. Percayalah. Bahwa aku
menyukai segala hal yang kelaki-lakian, itu bukan disebabkan adanya penyimpangan dari kewajaran. Bukan
pula adanya kelainan hormonal dalam diriku. Melainkan, karena masalah selera dan minat saja. Jelas?"
Untuk kedua kalinya Iwan agak tersipu ditelanjangi
pikirannya. Sebab apa yang dikatakan oleh Tina itu
memang tidak jauh dari kesimpulan-kesimpulan yang
ada di kepalanya. Tina lalu meliriknya dan tertawa lagi demi melihat
sikap Iwan tampak agak canggung itu.
"Jangan sungkan," katanya lagi dengan keterbukaan
yang sama. "Kau tak perlu merasa bersalah. Pikiran
seperti itu sangat wajar!"
"Terus terang aku mengalami banyak kejutan
darimu hari ini," sahut Iwan sesudah suasana menjadi
lebih santai. "Kejutan bagaimana?"
"Penilaianku terhadapmu selalu tumbang silih berganti. Nilai yang lama ditumbangkan oleh pandangan
dan nilai baru. Dan nilai baru itu tumbuh lagi begitu
menemukan sesuatu yang lebih baru lagi!"
"Penilaian itu bersifat apa" Negatif atau positif?"
"Negatif, jelas tidak. Tetapi untuk disebut positif,
aku masih harus memikirkan dan melihat lebih jauh
lagi." 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com64
Mendengar jawaban itu, Tina mendengus.
"Tetapi sebaiknya tak usah dihiraukan. Apalagi dipikirkan dan dilihat secara lebih jauh lagi," katanya
kemudian. "Ada banyak hal lain yang lebih berguna dan
bernilai untuk dipikirkan."
Iwan tidak menjawab. Matanya kembali mengawasi
lalu lintas di luar tol yang semakin padat. Aneh memang orang Jakarta ini. Katanya sekarang ini mencari
uang, itu sulit. Tetapi di jalan raya banyak sekali mobilmobil baru sehingga meskipun jalan-jalan diperlebar
dan ditambah, kemacetan masih saja terjadi. Di sana
dan di sini. "Mau turun di mana nanti?" tanya Tina akhirnya,
memecah keheningan di dalam truk.
"Sesudah keluar tol, turunkan aku di halte bus pertama yang kita lewati," jawab Iwan.
Tina mengangguk. Lalu hening lagi. Tetapi kira-kira
dua menit kemudian, keheningan itu terurai dengan
pertanyaan yang diucapkan oleh Iwan.
"Lusi sudah berangkat?"
"Sudah. Dua minggu yang lalu."
"Lalu kuliahnya ditinggal begitu saja?"
"Bukan ditinggal begitu saja. Tetapi cuti akademik.
Peraturan membolehkan cuti sampai empat semester
lamanya." Pembicaraan mulai lancar. Tina tak lagi terlalu berhati-hati bicara seperti sebelumnya. Bahkan Iwan mulai
berani menggodanya. "Lha, kau sendiri kapan menyusul Lusi?" tanyanya
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com65
sambil tertawa. Tina segera tahu apa yang dimaksud
dengan menyusul itu. "Masih lama," jawabnya dengan tenang.
"Apakah si dia mau menunggu terlalu lama?"
"Si dia yang mana?" sahut Tina bergumam. "Pacar
saja pun aku belum punya kok!"
"Terlalu banyak memilih sih!" Iwan menggoda lagi.
"Bukan begitu soalnya," sahut Tina, yang tahu bahwa dirinya sedang digoda. "Tetapi, karena tidak ada
laki-laki yang mau dengan gadis kelaki-lakian seperti
diriku..." Iwan tidak menyangka bahwa Tina akan bicara terus
terang seperti itu. Ia mulai merasa tak enak. Tetapi Tina
tahu itu. Ia tertawa. "Kenapa kok terus diam?" tanyanya. "Buatku hal itu
bukan masalah. Tidak diminati laki-laki, buatku malah
menyenangkan. Studi S2-ku bisa lancar. Mudahmudahan tahun ini aku bisa selesai. Enak, kan?"
"Kau kurang bergaul..."
"Eh, siapa bilang?" Tina segera memotong kata-kata
yang dirasa tak tepat itu. "Temanku banyak sekali. Ya
lelaki, ya perempuan. Mereka suka bergaul denganku.
Bahkan yang berjenis pria agak lebih banyak dibanding
dengan yang perempuan. Bersama mereka aku bisa
pergi mendaki gunung, kebut-kebutan di Ancol atau
bicara tentang mesin, olahraga, politik, dan lain sebagainya." Sikap Tina yang terbuka melenturkan perasaan
Iwan yang kembali merasa lebih santai lagi. Kata-kata
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com66
Tina itu ditanggapinya dengan enaknya, tanpa memakai
tabir basa-basi lagi. "Mungkin karena mereka menyangka dirimu agak
berbeda dari gadis-gadis pada umumnya."
"Mungkin. Tetapi ingat, aku tadi sudah mengatakan
bahwa diriku ini perempuan normal. Fisik maupun
mental." "Tetapi toh sedikitnya memiliki pola pikir, sikap
,dan minat yang agak lain dibanding gadis-gadis pada
umumnya." "Aku tahu itu. Tetapi aku tidak merasa itu sebagai
suatu kelainan atau penyimpangan."
"Kau bahagia dengan itu semua?"
"Oh, ya. Tentu saja."
"Eh, sejak tadi aku memanggilmu dengan Anda
atau dengan sebutan kau begitu saja. Soalnya aku tidak
tahu siapa namamu...."
"Tina. Panjangnya, Tri Agustina Kusumawardani."
"Nama yang sungguh-sungguh feminin!"
"Dengan kata lain, nama itu kurang cocok untukku.
Begitu, kan" Huh, nama saja diberi jenis kelamin.
Feminin, katamu?" Iwan tertawa sambil mengangkat dagunya.
"Sejujurnya harus kukatakan, kita ini berada dalam
arena budaya yang terkadang sulit kita lepaskan dari
kehidupan. Apa pun yang dikenakan oleh manusia diberi jenis kelamin tetapi kita tidak bisa protes banyak.
Mulai dari nama, pakaian, mainan, kegiatan, sampai
pada pekerjaan dan profesi," sahutnya "Tetapi bukan
berarti aku menganggap nama Tri Agustina Kusuma001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com67
wardani itu tidak cocok buatmu. Cuma terus terang saja
nama itu terdengar begitu feminin untukmu."
"Ah, intinya sama saja. Meski bukan dengan kacamatamu sendiri, kau tetap saja menganggap diriku
kurang perempuan menurut ukuran yang lazim. Padahal kelaziman itu kan dibuat oleh masyarakat. Begitupun penilaian mengenai apa-apa yang dianggap tidak
lazim juga dibuat oleh masyarakat. Jadi terserah orang
mau bilang apa tentang diriku. Pokoknya hatiku senang, cukuplah itu."
"Dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang harus
bisa bersikap kompromis dengan mengikuti normanorma dan penilaian-penilaian tertentu yang sudah
menjadi ukuran bersama. Bahwa kau selalu memakai
pakaian yang biasa dipakai laki-laki, tentu saja pandangan orang yang sudah memiliki patokan-patokan nilai
tertentu itu akan menganggapmu agak di luar dari
kebiasaan pada umumnya. Begitupun seorang gadis
suka mengendarai truk, mengotak-atik mesin, itu kan
juga bukan hal yang biasa terjadi."
"Sudah kukatakan, terserah orang mau bilang apa.
Bagiku yang penting tidak merugikan siapa pun. Lagi
pula soal pilihan pakaian dan hobi, itu kan hanya masalah selera dan minat saja."
"Tetapi menurutku karena kita hidup bermasyarakat
maka mau tidak mau, kita terlibat dan terkait dengan
keberadaan orang banyak. Ada sesuatu yang mau ataupun tidak harus kita indahkan demi kelangsungan hidup bersama. Kita tidak bisa terus-menerus memanjakan selera dan minat kita sendiri kalau kita mau
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com68
merasakan penerimaan yang menyenangkan dari orang
lain," komentar Iwan.
Tina tertawa bergumam. "Mas... eh, siapa namamu?" tanyanya tiba-tiba. Padahal dia tahu, nama laki-laki itu Iwan.
"Iwan." "O, Mas Iwan. Begini, aku mempunyai pendapat
yang agak berbeda. Kuakui bahwa hidup bermasyarakat
itu mengandaikan adanya orang yang saling memengaruhi, dipengaruhi, dan terpengaruh. Suka ataupun
tidak. Mau atau tidak, sengaja ataupun tidak. Oleh
karenanya perlu ada aturan main. Baik itu aturan hitam
di atas putih maupun yang tak tertulis. Namun tujuannya sama, yaitu demi adanya keteraturan dalam hidup
bersama orang lain. Setiap manusia diharapkan bahkan
dituntut untuk menjaga keteraturan, ketertiban, dan
kelangsungan hidup bermasyarakat. Jadi, setiap orang
juga tidak bisa semaunya sendiri memanjakan keinginannya. Mendengar musik yang disukainya sekeras-kerasnya sampai mengganggu ketenangan tetangga, misalnya.
Seribu satu macam hal bisa terjadi. Mulai yang biasa
sampai yang ekstrem. Nah, aku memang memanjakan
keinginan diriku. Tetapi itu karena aku tahu, orang lain
tidak merasa terganggu karenanya. Bahkan keberadaanku ini ada gunanya bagi orang lain Memperbaiki truk
rusak seperti tadi, misalnya."
"Itu benar sekali, Tina. Tapi ada sesuatu yang kaulupakan!" "Apa itu?" "Bahwa dalam banyak hal, kita tidak bisa terbebas
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com69
begitu saja dari pandangan atau penilaian masyarakat
terhadap diri kita. Ini soal perasaan. Kita memang
tidak melakukan kericuhan atau menerjang ketenangan
yang ada, dengan selera kita itu. Dalam hal ini contohnya adalah dirimu. Memang mayarakat tidak merasa


Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rugi dengan seleramu yang berbeda dari kaum perempuan pada umumnya. Tetapi karena ada nilai-nilai tertentu yang sudah menjadi pola pemikiran orang banyak, maka sedikit atau banyak kau bisa dianggap agak
aneh. Hanya orang-orang dekat yang mengenalmu dengan baik saja yang bisa bergaul enak bersamamu.
Misalnya keluarga, famili, kenalan dekat, teman-teman
kuliah.... Tetapi orang lain" Boleh jadi ada kecurigaankecurigaan tertentu dari mereka untuk langsung bergaul
akrab denganmu. Misalnya saja, maaf, aku akan bicara
blak-blakan, ya" Boleh?"
"Silakan saja."
"Misalnya, seorang ibu yang anak gadisnya suka bergaul denganmu mungkin saja merasa khawatir janganjangan kau ini bukan gadis normal, lalu merasa keberatan mengizinkan anak gadisnya bergaul denganmu. Nah,
kalau sudah begitu siapa yang salah" Kita toh tak bisa
mengubah begitu saja pola pikir dan pandangan seseorang yang sudah terbentuk dan dibentuk oleh masyarakat, entah masyarakat luas entah pula oleh keluarganya
sebagai unit terkecil masyarakat itu. Ya, kan?"
Tina mengangkat bahunya. "Itu memang sudah merupakan risiko, Mas Iwan!"
sahutnya setengah bergumam. "Tetapi aku tidak terlalu
menghiraukannya selama itu tidak benar dan tidak
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com70
merugikan orang lain. Lagi pula menghadapi hal-hal
semacam itu aku sudah memiliki kesiapan mental."
"Aku percaya kau siap menghadapi hal-hal semacam
itu. Tetapi sebagai manusia yang mempunyai akal budi
dan memiliki pula keterbukaan terhadap segala kemungkinan, entah besok entah lusa atau entah kapan pun
dalam hidup di saat kau mengalami suatu peristiwa
tertentu, bisa saja pandanganmu bergeser dari tempatnya semula. Bahkan suatu prinsip hidup sekalipun bisa
bergeser oleh hal-hal tertentu. Ingat, tiada sesuatu pun
di dunia ini yang memiliki suatu kepastian kecuali
perubahan. Sebab memang hanya perubahan saja yang
pasti ada dan terjadi. Entah itu sudah terjadi entah
pula sedang dalam proses perubahan."
"Oke, katakanlah kata-katamu itu benar, Mas.
Tetapi aku harus bagaimana?" sahut Tina sambil mengangkat bahunya lagi dengan sikap acuh tak acuh. "Setiap manusia kan memiliki martabat, yang tertuang
antara lain dalam HAM, di mana setiap individu berhak menentukan dirinya sendiri."
"Memang benar apa yang kaukatakan itu, Tina.
Tetapi jangan lupa, selain sebagai individu, manusia
juga makhluk sosial. Jadi ia harus fleksibel demi
kehidupan bersama dengan orang lain. Nah, selama itu
tak melukai hak asasinya, orang juga harus mau
berkorban demi keselarasan sosial karena di situlah
letak penghargaan kita terhadap martabat orang lain
yang sama-sama memiliki HAM."
"Baik, aku setuju itu. Tetapi beri aku suatu contoh
yang konkret!" sahut Tina menantang.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com71
"Kalau benar-benar ingin mendengar contoh konkretnya, maukah kau kujadikan contoh soal?"
"Silakan!" "Baik. Nah, kulihat kau suka sekali berpakaian seperti ini. Celana jins, kemeja gombrong, sepatu olahraga
dan potongan rambut model laki-laki. Terlepas dari
pantas atau tidak, hal itu bisa mengecoh orang walaupun kau tak bermaksud begitu. Akan ada banyak orang
yang keliru, menyangka dirimu laki-laki. Maka mereka
pasti akan merasa canggung kalau kemudian mengetahui hal yang sebenarnya. Sebaliknya kalau orang sudah tahu sebelumnya bahwa kau seorang perempuan,
pasti mereka akan berpikir lama lebih dulu untuk
menentukan sikap dalam bergaul bersamamu."
Mendengar contoh itu, Tina tertawa.
"Ah, itu agak berlebihan namanya!" katanya kemudian. "Setiap orang yang mempunyai otak pasti bisa
berpikir bahwa penampilan seperti ini adalah demi kepraktisan belaka. Lagi pula, aku tidak menyukai hal-hal
yang bersifat kenes atau yang semacam itu. Aku ingin
agar orang suka bergaul denganku karena diriku sendiri. Bukan karena sesuatu yang melekat padaku atau
karena penampilanku. Bukan pula karena kekenesanku
andaikata aku ini termasuk gadis modis. Lagi pula kalau hanya masalah ini saja, masa iya penampilanku bisa
merusak keselarasan sosial sih."
"Mungkin contohku tadi kurang tepat, Tina. Tetapi
cobalah bayangkan andaikata kau mau mengubah cara
penampilanmu. Bukan dalam arti harus berkenes diri
lho, tetapi untuk mengikuti apa yang sudah menjadi
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com72
kebiasaan umum. Misalnya, memakai pakaian yang
lazim dikenakan perempuan. Kalau memakai jins ya
atasnya memakai blus atau yang semacam itu. Pokoknya yang lebih diterima oleh masyarakat. Begitu pun
potongan rambut dan caramu menyisir yang bisa menyebabkan banyak orang mengira dirimu laki-laki itu
kauubah sedikit agar tampak lebih feminin. "
Tina tertawa lagi. "Kata-kata semacam itu entah sudah berapa puluh
kali kudengar dari keluargaku. Feminin atau tidak, itu
kan menurut pandangan orang. Bukan fakta mutlak
yang menyangkut eksistensiku sebagai manusia. Tetapi
biar sajalah. Aku lebih mencintai kebebasanku. Orang
mau mengatakan apa atau merasa tak suka melihat
penampilanku, itu urusanku. Aku toh bukan anak kecil
lagi!" katanya kemudian. "Tetapi eh... kita kok jadi bicara sampai ke situ sih tadi. Kenapa, ya?"
"Perluasan dari pembicaraan kita mengenai pernikahan Lusi," sahut Iwan sambil tertawa. "Lalu aku bertanya
padamu, kapan kau akan menyusul. Kemudian kaujawab
bahwa tidak ada yang mau pada gadis yang kelaki-lakian.
Maka pembicaraan kita jadi bertele-tele panjang begini
sampai aku lupa turun di halte pertama."
Tina melambatkan laju kecepatan truknya.
"Wah, maaf. Aku juga lupa!" sahutnya. "Jadi bagaimana?" "Turunkan saja di halte berikutnya. Tak apa!"
Seperti yang dikehendaki oleh Iwan, ketika sampai
di halte berikutnya, Tina menghentikan truknya. Iwan
lalu melompat turun. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com73
"Terima kasih ya, Tina," katanya sebelum menutup
pintu truk kembali. "Dan sekali lagi maafkan atas kekeliruanku." "Aku juga berterima kasih atas saranmu tadi, Mas
Iwan," sahut Tina. "Tetapi maaf kalau aku masih suka
begini ini saja. Enak dan praktis."
Iwan tersenyum lalu mengangguk untuk kemudian
menutup pintu truk. Begitu pintu tertutup, Tina pun
segera melarikan truknya kembali ke jalan raya. Sore
sudah semakin tua. Lalu lintas masih saja belum berkurang kesibukannya. Namun dengan sigap dan penuh
perhitungan, Tina mampu menembus kemacetan lalu
lintas dan tiba di rumah sebelum senja turun.
Pembicaraan dengan Iwan di sepanjang perjalanan
tadi telah melunturkan rasa tidak sukanya terhadap
lelaki muda yang disangkanya sebagai lelaki sombong
itu. Dan sekaligus juga melunturkan keinginannya untuk membalas kesombongannya dengan kesombongan
yang sama. Dan anehnya, sesuatu yang selama ini pernah muncul beberapa kali dalam batinnya, juga sirna
tak berbekas. Rasa penasaran itu lenyap. Rasa dongkol
itu hilang menguap entah ke mana. Tinggal perasaan
yang netral, yang biasa-biasa saja.
Tina memang tidak pernah memedulikan apa pun
pendapat orang mengenai dirinya. Dipanggil dengan
sebutan "Mas", pernah. Disebut "Oom" oleh anak-anak
kecil penyemir sepatu, pernah. Disangka seorang pemuda, sering. Tetapi hal-hal semacam itu dimakluminya
dengan baik. Baru ketika Iwan menyapanya dengan
lagak seorang tuan besar dan menganggapnya sebagai
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com74
seorang sopir, hati Tina terpengaruh. Ia merasa dongkol. Diam-diam di sudut hatinya ia merasa jengkel pula
kepada dirinya sendiri, bahwa ternyata ia jatuh juga
dalam pengaruh orang lain hanya karena orang itu seorang lelaki gagah, ganteng, dan menganggap sepi dirinya. Bahkan diam-diam muncul keinginan untuk membalas perlakuan laki-laki itu.
Tetapi aneh, sekarang tantangan semacam itu luruh
semuanya. Tak ada sisanya. Apalagi ia merasa bisa berkawan dengan pemuda itu sebagaimana ia berkawan
dengan teman-teman lainnya.
Maka begitu perasaannya menjadi netral kembali,
Tina tak lagi terbayang sosok gagah dan ganteng itu lagi
setiap ia mengantar ibunya ke rumah Bu Saputro untuk
mengurus bisnis mereka atau untuk urusan lainnya.
Maka kehidupan pun berjalan sebagaimana biasanya.
Lancar dan tak banyak peristiwa yang mengesankan.
Sebagai mahasiswa tingkat akhir paska-sarjana, ia juga
mulai sibuk menyiapkan tesis. Dan sebagai seorang anak
yang memiliki rasa keterlibatan yang mendalam dengan
keluarganya, ia selalu merasa bertanggung jawab untuk
ikut dalam semua kesibukan orangtuanya. Entah itu di
dapur, entah pula dalam urusan usaha penyewaan peralatan pesta milik ayahnya itu.
Demikianlah waktu berjalan selama bermingguminggu dan akhirnya juga berbulan kemudian. Kirakira empat bulan setelah ia mengobrol dengan Iwan di
dalam truk waktu itu, Tina disuruh ibunya mengantar Cinta Itu Ya Sup Ayam Enak 1 Pendekar Bloon 4 Betina Dari Neraka Bayangan Berdarah 9

Cari Blog Ini