Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono Bagian 3
keras yang lain. Dan itu menjengkelkan, tahu?" sambil
berkata seperti itu Irawan menyeringai dengan cara
melecehkan yang amat kentara.
Tina ingin melempar lelaki itu dengan sepatunya.
Tetapi dikendalikannya. Lebih-lebih karena seorang
pembantu rumah tangga keluar membawa dua gelas
teh hangat dan kue-kue. "Silakan diminum," katanya dengan logat Sunda
yang kental. "Terima kasih, Bik!" ucap Tina. Bukan saja berterima
kasih atas kesediaannya menyediakan sesuatu untuk
penawar haus dan lelah akibat perjalanan panjang tadi,
tetapi juga atas tepat waktu kemunculannya. Sebab
kalau tidak, sudah pasti sepatunya akan melayang ke
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com147
kepala Irawan dan bisa ramai akibatnya. Sebab biasanya
laki-laki seperti Irawan takkan sungkan-sungkan bersikap kasar terhadap perempuan. Apalagi perempuan
yang berpenampilan kelaki-lakian macam dirinya.
Untung pula di belakang pembantu rumah tangga
itu, Bu Padmo tampak menyusul ke teras. Wajah perempuan itu ceria. "Kalian akan kuperkenalkan dengan penyewapenyewa kamarku. Mau, ya?" tanyanya.
"Silakan, Bu. Saya senang sekali berkenalan dengan
putri-putri Bandung," sahut Tina tulus.
"Mereka bukan orang Bandung, Nak. Ada yang dari
Jakarta. Ada yang dari Sumedang, Sukabumi, dan
Cirebon. Jadi, pendatang semua."
"Tetapi sekarang kan jadi putri Bandung," senyum
Tina. "Ya, betul. Nah, Irawan, kau mau juga kan kuperkenalkan dengan anak-anak itu?"
"Boleh saja!" "Tetapi yang sedikit ramahlah, Ir. Kau itu kok sejak
dulu masih saja belum berubah menjadi orang yang lebih ramah dan hangat. Bersikap manislah terhadap
para gadis!" Irawan tidak menjawab. Seringainya saja yang menunjukkan bahwa ia mendengar kata-kata perempuan
tua itu. "Tunggu, akan kupanggil mereka!" kata Bu Padmo
lagi sambil masuk ke dalam kembali. "Minumlah tehnya dan cicipilah kuenya sambil menunggu aku memanggil mereka." 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com148
Tina mengiyakan. Irawan mengangguk. Sekitar lima
menit kemudian, Bu Padmo keluar lagi. Di belakangnya
ada enam gadis yang tampak segar-segar dan wangi.
Pasti mereka baru saja mandi. Melihat itu, Tina jadi
merasa dirinya begitu kotor. Ia bukan hanya belum
mandi, tetapi juga berkeringat campur debu. Di sepanjang perjalanan tadi jendela truknya ia buka lebarlebar untuk mendapatkan AC alam yang segar. Maka
debu pun ikut masuk dan mengotori wajah dan rambutnya. "Ayo, kenalan satu per satu," terdengar suara Bu
Padmo yang ramah sambil mendorong lembut keenam
gadis itu. "Yang ini ibu guru, namanya Nining. Lalu ini
dosen, Wita. Dan yang ini mahasiswa tingkat akhir,
Diah. Lalu yang tiga ini karyawati bank. Masingmasing Nina, Yanti, dan Ita."
Bergantian Tina dan Irawan berjabat tangan dengan
keenam gadis itu. Lalu Bu Padmo ganti memperkenalkan Tina dan Irawan kepada mereka.
"Mereka adalah keponakan-keponakan Ibu," katanya
kepada keenam penyewa kamar itu. Agar tidak berpanjang-panjang kata, Tina dikenalkan sebagai keponakannya juga. "Mereka tinggal di Jakarta. Lelaki ganteng
ini bernama Irawan Listiadi. Dan yang ini bernama
Tina." "Tina?" tanya gadis yang bernama Ira.
Tina tersenyum, lembut, mengerti bahwa gadis itu
terkejut mendengar nama perempuan sementara si pemilik nama tidak menunjukkan penampilan yang sesuai. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com149
"Ya, Tina nama saya. Panjangnya Tri Agustina
Kusumawardani," katanya kemudian. "Masih gadis."
"Oh!" Hanya "oh" memang yang diucapkan oleh
kelima gadis lainnya di dalam hati. Tetapi maknanya
luas, sehingga diam-diam Irawan melirik Tina dengan
penuh arti. Tina tahu bahwa lelaki itu mau menunjukkan bahwa pendapatnya tadi benar. Tetapi lirikan mata
lelaki itu dibalasnya dengan pandangan melecehkan
untuk menyatakan ketidakpeduliannya.
Ketika perhatian keenam gadis itu beralih kepada
Irawan, Tina segera terlupakan. Lewat pandangan matanya yang cermat, ia menyadari bahwa hampir semua
gadis itu terkesan pada kegagahan dan kegantengan
Irawan. Lebih-lebih karena sikapnya yang dingin dan
mahal senyum itu mengungkit tantangan dalam hati
mereka. Setidaknya, ada semacam kesan bahwa lelaki
semacam Irawan tidaklah termasuk lelaki yang mudah
tergoda oleh daya tarik lawan jenisnya. Lebih-lebih
mengingat hasil penelitian yang pernah dipopulerkan
bertahun-tahun yang lalu, bahwa dua di antara tiga
suami pernah melakukan penyelewengan di luar perkawinan. Lelaki sedingin dan seangkuh Irawan yang
nyata-nyata memiliki harga diri yang kuat, tentulah
termasuk yang satu di antara tiga lelaki yang tak pernah menyeleweng. Penyelewengan akan melukai harga
dirinya, sebab hanya lelaki yang menyeleweng sajalah
yang tak memiliki kemantapan, kestabilan, penguasaan
diri, dan rasa ksatria untuk tetap komitmen kepada
janji setia yang pernah ia ucapkan sendiri.
Salah seorang di antara keenam gadis itu kelihatan
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com150
lebih menarik daripada yang lain. Wajahnya cantik dan
penampilannya sungguh-sungguh tampak serasi. Serasi
dengan bentuk tubuhnya yang langsing tetapi berisi
dan serasi pula dalam warna dan suasana di malam
Minggu yang tampak cerah dan berudara sejuk ini.
Nina, namanya. Kehadiran Irawan yang berduaan dengan Tina tidaklah terlalu mereka pikirkan. Bu Padmo telah memperkenalkan gadis kelaki-lakian itu sebagai keponakannya
juga. Berarti ia juga berkeluarga dengan Irawan sehingga keenam gadis penyewa kamar itu tidak perlu
memperhitungkan keberadaannya. Apabila mereka
ingin lebih jauh mengenal lelaki itu, bukan masalah.
Lagi pula Tina yang tak memiliki daya tarik kewanitaan itu bukanlah orang yang perlu diperhitungkan sebagai saingan. Pikiran yang wajar. Keberadaan lelaki muda seperti
Irawan yang penuh dengan daya tarik dan tantangan
adalah sesuatu yang baru kali itu mereka alami. Dan
entah kapan hal semacam itu akan terjadi lagi. Karenanya, tanpa mereka sadari telah timbul semacam persaingan untuk bisa lebih mendapat perhatian dari lelaki
itu. Terutama bagi yang masih muda-muda dan belum
mempunyai teman pria yang tetap. Termasuk Nina.
Nina mempunyai banyak kawan. Baik pria maupun
wanita. Tetapi ia belum memiliki kemantapan untuk
menjatuhkan pilihan kepada salah seorang di antara
mereka yang menaruh hati terhadapnya. Sekarang ini
ia masih dalam taraf menyeleksi. Justru karena itulah
kehadiran Irawan cukup menarik minatnya.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com151
"Lama akan berada di kota Bandung ini, Mas?" tanya Nina dengan suaranya yang hangat.
"Mm, hanya satu malam saja. Besok sore sudah harus kembali." "Karena Senin sudah harus bekerja kembali?"
"Ya," Irawan menjawab pendek.
"Bekerja di mana sih?"
"Saya bekerja di sebuah pabrik, sebagai buruh di
tempat itu," sahut Irawan acuh tak acuh.
"Dia insinyur teknik industri!" sela Bu Padmo menyela. "Kakak saya juga insinyur teknik industri. Mas
Irawan dulu dari UI atau malah dari ITB sini?" Ita
menyambung pembicaraan. "Bukan kedua-duanya," lagi-lagi Irawan menjawab
pendek. "Saudara kembarnya yang kuliah di ITB, Ita!" Lagilagi Bu Padmo menyela. "Iwan, namanya. Waktu itu ia
tinggal bersamaku di sini."
"Oh, Mas Irawan ini lahir kembar?"
"Betul." "Sama gantengnya?" sela Wita yang sejak dari tadi
hanya tersenyum-senyum saja.
"Ya!" Bu Padmo lagi yang menjawab.
"Lain waktu, suruh dia datang kemari, Bu!" gurau
Ita. "Kenalkan dia pada kami."
"Boleh-boleh saja," senyum Bu Padmo. "Tetapi jangan membuat tunangannya cemburu lho."
"Oh, sudah bertunangan?" Nining menyambung.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com152
"Kira-kira sebulan yang lalu!" Kata-kata itu juga
dari Bu Padmo karena Irawan hanya membisu saja.
"Kalau Mas Irawan, sudah bertunangan juga barangkali?" Yanti memancing.
"Belum," kini Tina yang menjawab. "Dia sedang
mencari-cari yang cocok untuk menjadi orang terdekatnya." Irawan melirik kesal ke arah Tina, tetapi gadis itu
melengos sambil menahan senyum di bibirnya yang
bagus itu. Tetapi yang lain-lain tidak memperhatikan
mereka. Perhatian keenam gadis itu ada pada kata-kata
yang baru saja dikatakan Tina.
"Boleh juga kalau begitu," gumam Nina berani. "Siapa tahu dia akan menemukannya di Bandung ini.
Gadis-gadis kota kembang cantik-cantik lho, Mas. Percayalah." "Mudah-mudahan!" Tina lagi yang menjawab pertanyaan itu sehingga Irawan melempar lirikan kesal
yang semakin tajam kepadanya. Tetapi kali itu pun
Tina melengos. Keenam gadis itu yang tak tahu apa-apa itu tertawa
segar tanpa menyadari rasa jengkel yang sedang menggelayuti hati Irawan. Sungguh, gadis-gadis itu tampak
cerah dan segar keseluruhannya. Sedikit-banyak hal itu
membuat Tina merasa risi juga sehingga ia minta diri
untuk mandi. "Silakan kalau mau mengobrol," katanya. "Saya sudah ingin sekali mandi. Nanti saya akan bergabung
lagi." "Ah, pantas bau!" goda Wita. "Belum mandi sih!"
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com153
Tina tertawa. "Nanti sehabis mandi, sedikitnya saya akan sewangi
kalian semua!" katanya kemudian.
"Ah, belum tentu. Tergantung merek apa parfumnya!" sela Diah, disambung tawa teman-temannya.
"Juga tergantung berapa lamanya kau mandi!" kata
Nina lagi. Gadis itu cepat sekali menjadi akrab. Seolah
ia sudah lama mengenal Tina.
"Apa hubungannya dengan lama atau tidaknya aku
mandi?" tanya Tina, mulai merasa senang kepada temanteman barunya yang ramah, akrab, dan suka bercanda
itu. "Jawab dulu pertanyaanku baru nanti pertanyaanmu
itu akan kujawab," Nina yang juga suka menjalin keakraban dengan banyak teman itu tak mau kalah.
"Pertanyaan apa?"
"Sudah berapa lama sebelum hari ini kau pernah
berkunjung ke kota kami ini?"
"Enam tahun lebih yang lalu!" jawab Tina.
Nina tertawa. "Berarti, kau tak akan lebih wangi daripada kami
kecuali kalau kau mandi minyak wangi!" katanya.
"Sebabnya?" tanya Tina tak mengerti.
"Sebab, kau pasti tak akan tahan lama-lama mandi
dengan air sejuk kota Bandung karena terbiasa mandi
di Jakarta yang berhawa panas. Apalagi sore-sore begini. Nah, mandi secepat kilat begitu mana bisa wangi?" Tina tertawa. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com154
"Air yang dingin di Puncak saja pun aku tak takut,
Non!" katanya kemudian. "Lihat saja nanti buktinya!"
Bu Padmo berbisik di telinga Tina, tetapi bisikannya sengaja diperkeras agar semua ikut mendengar.
"Jangan takut, Tina, di kamarku ada air panasnya!"
"Wah, gugur deh argumentasiku tadi. Ada sang
penyelamat." Mendengar pembicaraan yang penuh canda itu, semua tertawa-tawa sampai akhirnya Tina benar-benar
masuk untuk membersihkan badan. Dan yang ditinggal,
meneruskan mengobrol dengan Irawan. Atau lebih
Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tepatnya, berceloteh di depan Irawan yang kalau tidak
ditanya, lebih banyak berdiam diri. Ditanya pun jawabannya hanya pendek-pendek saja.
Ketika akhirnya Tina keluar lagi, harum sabun yang
masih lekat di tubuhnya terbawa angin. Begitupun
aroma shampo yang tersiar dari rambutnya yang masih
setengah basah itu. Nining dan Diah mencium-cium
udara. "Lumayan juga wanginya," kata mereka.
"Dan tampak lebih segar dan cantik!" komentar
Nina menyambung. Mendengar komentar terakhir itu, pipi Tina sedikit
dironai warna merah. Sebab berarti apa yang dilakukannya di kamar tadi membuahkan hasil. Padahal ia tidak
ingin orang tahu. Sebagai gadis yang normal, kesegaran dan kecantikan gadis-gadis yang baru dikenalnya itu memengaruhi
dirinya. Penampilannya tadi bukan saja lusuh dan
kelaki-lakian, tetapi juga menenggelamkan kecantikan001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com155
nya. Karenanya, sesudah mandi tadi, ia memilih blus
kaos berlengan tiga perempat yang agak ketat sehingga
mencetak dadanya yang masih ranum. Dan bukan
hanya itu saja. Ia tadi juga telah menyisir rambutnya
yang berpotongan pendek dan masih agak basah itu
dan menyisakan sebagian untuk poni. Dan itu membuatnya tampak lebih feminin. Sesuatu yang amat
jarang dilakukannya. Maka, ia merasa agak malu kepada dirinya sendiri.
Lebih-lebih ketika Irawan meliriknya agak lama. Dan
lebih-lebih lagi karena ada komentar dari salah seorang
teman-teman barunya itu. "Sekarang aku mulai yakin bahwa kau perempuan,"
ucapnya secara spontan. "Perempuan yang cantik pula," komentar yang lain.
Untuk menutupi rasa canggungnya, ia duduk di
salah satu kursi dan berkata kepada Irawan.
"Kalau kau mau mandi, mandilah," katanya mengalihkan perhatian. Tanpa disuruh sampai dua kali, lelaki itu segera berdiri. Bisa terlepas dari kicauan para gadis itu, dia
merasa lega. Tetapi Yanti sengaja menahan langkah
kaki laki-laki itu dengan pertanyaan kepada Tina yang
disuarakan dengan nyaring. Tujuannya agar terdengar
oleh yang bersangkutan. "Tina, apakah Mas Irawan ini juga sependiam itu
kalau sudah lebih kenal?" Begitu Yanti bertanya.
"Tidak," sahut Tina sekenanya. Nada jawabannya
terdengar meyakinkan, seolah ia sudah lama sekali mengenal Irawan. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com156
"Kok tadi kalau tidak dipukul tidak berbunyi. Seperti gong saja!" kata Yanti lagi.
"Dia sedang sakit gigi!" sahut Tina serius.
"Kasihan, apakah dia mau kuajak ke dokter gigi?"
sela Wita. "Aku punya teman dokter gigi."
"Tidak perlu. Sudah ada obatnya kok. Mana tadi,
Tin" Kau kan yang menyimpankan untukku?" sela
Irawan sambil menjulurkan kepalanya dari balik pintu.
Jadi meskipun sudah ada di dalam, telinganya masih
menangkap pembicaraan orang mengenai dirinya.
Tina tertegun sesaat. Kurang ajarnya Irawan. Bukan
saja memanggil namanya begitu saja seolah sudah begitu akrab, tetapi juga membalikkan godaannya. Godaan yang bagi orang lain pasti dianggap sebagai suatu
kebenaran sebab Irawan dan Tina pergi ke Bandung ini
bersama-sama. Jadi pasti ada kerja sama sehubungan
dengan kepergian mereka. Tetapi bukan Tina kalau dia tidak bisa membalas.
Dengan air muka layaknya bayi yang tak berdosa, ia
menyahuti kata-kata Irawan tadi.
"Ya... kusimpan," katanya sambil melotot dengan
diam-diam ke arah lelaki itu. Dan yang dipelototi tersenyum menang. "Di mana kau menyimpannya?"
"Di peti tempat alat-alat perbaikan mobil," sahut
Tina, ganti tersenyum menang. "Kuletakkan dekat kotak obeng." "Kok ditaruh di situ sih?" Wita tak tahan untuk
tidak bertanya. "Karena Mas Irawan menganggap gigi sakit seperti
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com157
mesin mobil yang sedang rewel," Tina menjawab seenaknya. Tentu saja sambil matanya melotot diam-diam
ke arah Irawan yang kesal mendengar perkataannya itu.
"Terima kasih ya, Tin, kau telah menyimpan obat
sakit gigiku serapi dan secermat itu. Kalau tidak, pasti
sudah tertinggal waktu kita minum di tempat peristirahatan tadi," kata laki-laki itu sambil membalikkan
tubuhnya. Tina hanya tersenyum sekilas saja menanggapi
perkataan Irawan yang diucapkan dengan hati dongkol
itu. Tetapi di dalam hati, dia tertawa geli.
Sesudah Irawan pergi, Nina menaruh perhatiannya
kembali pada Tina. "Di antara kami berenam, hanya dua orang yang
sudah punya kawan pria yang tetap. Sebentar lagi mereka pasti datang untuk bersama-sama menghabiskan
malam Minggu. Nah, kami yang empat orang ini tak
punya acara apa-apa. Aku ingin kita pergi berjalan-jalan
bersama. Kau tentu ingin melihat perubahan kota
Bandung selama lima tahun ini, kan?" kata gadis itu.
"Nah, siapa di antara kalian yang menyetujui usulku?"
"Siapa pengawal kita?" tanya Ita.
"Kan ada Mas Irawan," Yanti yang menjawab.
"Apakah dia mau mengawal kita?" tanya Diah, menyambung. "Harus mau!" sahut Nina sambil menoleh ke arah
Tina. "Dia kan satu-satunya lelaki di sini. Kau mau
membujuknya kan, Tina?"
"Oke. Tetapi mau atau tidaknya, itu tergantung sepenuhnya padanya. Sebab jangan lupa, kami baru saja
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com158
tiba dan masih agak lelah. Lagi pula kami naik truk
lho, jangan lupakan itu pula."
"Kita pinjam saja Kijang-nya Bu Padmo!" usul
Diah. "Ada apa?" Bu Padmo yang sejak tadi masih saja
mondar-mandir di sekitar teras itu bertanya demi mendengar namanya disebut. "Kami ingin jalan-jalan melihat kota Bandung bersama-sama. Tentunya lucu kalau naik truk, Bu!" rayu
Nining. Bu Padmo tersenyum. "Mau pinjam mobil Kijang-ku, kan?" sahutnya. "Pakailah!" "Hore!" seru Ita dan Diah hampir serempak.
"Ibu kita ini sungguh penuh pengertian terhadap
anak-anak muda," rayu Nina lagi. "Nanti pasti kami
bawa oleh-oleh untuk Ibu."
"Ibu kita ini memang sangat murah hati!" sambung
Ita. Bu Padmo hanya tertawa saja disanjung oleh gadisgadis yang sedang gembira karena dituruti kemauannya
itu. Ia maklum bahwa pujian itu keluar dari hati yang
sedang senang. Ketika Irawan belum juga keluar meski sudah setengah jam lamanya ditunggu, Nina mulai kehilangan
rasa sabar. "Tina, mana saudaramu yang ganteng itu?" tanyanya
tak sabar. "Kalau cuma mandi saja masa selama ini?"
"Mana aku tahu?" Tina mengangkat bahunya.
"Panggillah kemari dan bujuklah dia supaya mau
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com159
mengawal kita jalan-jalan menghabiskan malam panjang
yang cerah ini!" sambung Ita.
"Setuju!" Diah juga menyambung.
Karena terus-menerus didesak oleh gadis-gadis itu,
Tina terpaksa bangkit mencari Irawan. Orang yang dicari ternyata sedang enak-enak nonton teve sambil
makan kacang rebus di ruang tengah.
"Aduh, enaknya," komentarnya.
Irawan menengadahkan kepalanya, menatap Tina
sejenak lalu menanggapi komentar gadis itu.
"Kalau ya, kenapa" Kau keberatan?" tanyanya.
"Tidak. Tetapi gadis-gadis cantik di teras itu pasti
merasa keberatan. Kau ditunggu oleh mereka!" katanya. "Mau apa mereka?" sahut Irawan tanpa mengalihkan
pandang matanya dari layar teve. "Aku tak suka mengobrol!" "Mereka menginginkanmu sebagai pengawal sekaligus pengemudi. Bu Padmo meminjamkan Kijang-nya
untuk kita pakai!" "Ini usulmu atau usul mereka?"
Tina mendengus. "Kau sudah tahu kan, aku tak membutuhkan pengawal atau semacam itu. Kalau aku mau, aku bisa pergi
sendiri. Apa enaknya sih pergi dengan laki-laki," katanya berungut-sungut. "Naik truk pun jadi. Apa susahnya?" Irawan tidak menjawab. Ia lebih sibuk dengan
kacang-kacang dan mulutnya sehingga Tina merasa
kesal. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com160
"Mas Irawan, kau dengar tidak sih kata-kataku tadi"
Kau sedang ditunggu gadis-gadis cantik itu," katanya
mengingatkan. "Bersikap ramahlah barang sedikit. Mereka bermaksud baik dengan menjadi penunjuk jalan
tempat-tempat yang menarik sambil bermalam Minggu.
Jawablah sendiri kalau kau tidak ingin pergi."
"Kota Bandung bukan tempat asing bagiku. Aku
sering sekali ke sini."
"Ya ampun, Mas, kau punya perasaan atau tidak
sih" Mereka mengharapkanmu ikut pergi bersama."
"Lalu mereka punya perasaan atau tidak" Tahu kan
kalau kita baru saja sampai sesudah perjalanan yang
cukup melelahkan karena naik truk."
"Kalau begitu katakan sendiri jawabannya. Aku bukan bola pingpong dan bukan pula penyambung
lidahmu," gerutu Tina.
Sambil berkata seperti itu, Tina keluar lagi. Mungkin karena merasa tak enak, akhirnya Irawan keluar
juga menyusul Tina. Tetapi begitu ia menampakkan
dirinya di hadapan gadis-gadis itu, begitu telinganya
diserbu oleh bujukan, rayuan, permintaan, dan bahkan
desakan agar ia mau mengawal mereka bermalam
Minggu, Irawan tak mampu berkata apa pun untuk
mengatakan keberatannya. Dan karena mereka terusmenerus membujuknya dan Bu Padmo ikut pula merayu sang kemenakan, akhirnya Irawan tak lagi bisa
mengelak. Sesudah mencicipi snack yang terhidang di
atas meja, mereka berenam langsung berangkat dengan
Kijang milik Bu Padmo. Meskipun pada awalnya ada perasaan enggan tetapi
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com161
ternyata acara malam Minggu itu cukup menyenangkan
mereka semua. Terutama bagi Tina yang sudah lama
tidak melihat kota Bandung. Banyak perubahan yang
dilihatnya. Bukan saja perubahan perwajahan yang memang nyata ada akibat kemajuan zaman dan pembangunan, tetapi juga karena perubahan wawasannya.
Tentulah sangat berbeda cara pandang gadis remaja
berusia delapan belas tahun dengan gadis berusia dua
puluh empat tahun yang telah matang. Misalnya tentang daya kreativitas anak-anak muda Bandung yang
patut diberi acungan jempol. Sebagian besar di antaranya memadukan karya seni mereka dengan bisnis yang
menjanjikan. Kaus oblong, misalnya.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com162
"Siap?" tanya Irawan kepada Tina yang masih asyik
berbicara dengan Bu Padmo. Laki-laki itu sudah berdiri
di sisi truk dengan air muka yang memperlihatkan ketidaksabaran. "Tunggu sebentar, masih ada yang perlu kubicarakan
dengan gadis bandel ini," Bu Padmo yang menjawab
sehingga Tina tertawa. Keenam penyewa kamar yang
sekarang juga sedang bersama-sama berdiri di teras
untuk mengantar kepergian kedua penduduk Jakarta
itu, ikut tertawa. Perkenalan mereka dengan Tina dan Irawan cukup
memberi kesan tersendiri. Terutama terhadap Tina.
Meskipun kalau dilihat secara sepintas gadis itu mengesankan kelaki-lakian, tetapi hatinya sangat lembut
dan manis. Bahkan juga bisa betah berdiri di muka
kompor berjam-jam lamanya hanya untuk mencoba
beberapa masakan. Seperti tadi pagi sebelum mereka
pergi ke Tangkuban Perahu untuk melihat kawahnya
Enam 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com163
yang memesona, Tina-lah yang menyiapkan sarapan
Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk semuanya dengan mencoba membuat soto
Bandung istimewa resep Bu Padmo. Mereka semua
heran akan keanekamampuan dan minat yang dimiliki
gadis kelaki-lakian itu. Semalam, ketika para gadis itu
sibuk memilih sepatu, Tina hanya berdiri di sisi Irawan
dan tersenyum-senyum memandang ulah para gadis itu
seolah ia seorang pemuda remaja yang baru pertama
kalinya mengawal gadis-gadis cantik. Bahkan Irawan
pun tak bisa menahan rasa ingin tahunya.
"Kau tidak tertarik membeli sepatu-sepatu cantik
itu?" tanyanya memancing. "Sepatu berwarna hijau
lumut itu cantik sekali."
"Memang cantik. Dan warnanya bukan hijau lumut
kalau menurut pendapatku. Warna itu warna hijau tahi
kerbau." Irawan tak dapat menahan senyumnya.
"Apa pun nama warnanya, tetapi kan cantik. Kenapa
kau tidak tertarik untuk membelinya?" tanyanya kemudian, memancing apa kira-kira jawaban Tina. "Tak
bawa uang" Kalau itu masalahnya, aku bisa meminjamimu!" "Kalaupun aku ingin membelinya, itu bukan untukku. Tetapi untuk Tiwi. Tetapi kalau Tiwi kubelikan
oleh-oleh dan Lina tidak, pastilah si Kleting Ungu itu
akan iri setengah mati!" sahut Tina tersenyum.
"Si Kleting Ungu?"
"Julukan si Lina."
"Hanya dia yang diberi julukan?"
"Kami semua punya julukan. Kleting Jingga, Kleting
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com164
Biru, Kleting Kuning, Kleting Hijau dan Kleting Ungu.
Kau tahu tidak sih cerita "Ande-Ande Lumut" dan para
Kleting warna-warni itu?"
Irawan meliriknya. "Tentu saja tahu. Nah, kau pasti Kleting Kuningnya!" katanya. "Kok tahu kalau aku yang Kleting Kuning?"
"Kira-kira saja. Tetapi perkiraan yang punya dasar!"
sahut Irawan. "Sedikit-sedikit aku sudah mulai mengenalmu!" "Rupanya kau mengenal dongeng juga!"
"Bukan hanya kau saja yang didongengi orangtua
waktu masih kanak-kanak. Bahkan ibu angkatku selalu
membawakan buku-buku dongeng dari seluruh dunia,
selain dongeng-dongeng asli Indonesia. Temanku di
masa kecil hanya buku-buku," sahut Irawan lagi. Kali
ini sahutannya begitu spontan. Tak biasanya ia mengungkapkan masa kecilnya kepada orang lain.
"Jadi tahu tentang Kleting Kuning kalau begitu."
"Tentu saja. Tetapi Kleting Kuning yang kuketahui
dari dongeng sangat feminin. Beda dengan Kleting
Kuning di dekatku ini."
"Tetapi kalau kau mau mempelajari lebih jauh,
perbedaannya hanya sedikit saja. Sebab Kleting Kuning
dalam dongeng itu juga bersikap tegas, mandiri, dan
berani. Ciri-ciri seperti itu kan sering dilekatkan sebagai ciri laki-laki" Padahal itu terbentuk oleh asuhan
budaya patriarki. Bukan kodrat. Jadi jangan mendikotomi antara feminitas dengan maskulinitas. Apalagi
kalau itu dikaitkan dengan diriku."
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com165
Irawan terdiam untuk mengingat-ingat dongeng
yang pernah dibacanya. Maka teringatlah dia bagaimana
sepak terjang Kleting Kuning ketika ia minta tolong
diseberangkan oleh kepiting raksana dari sisi kali lebar
yang satu, ke sisi lain. Yuyu Kangkang atau si kepiting
raksasa yang menjadi penjaga kali itu minta upah
sekecup ciuman dari gadis-gadis yang diseberangkan.
Ketiga saudari Kleting Kuning setelah diseberangkan,
masing-masing memberi upah sekecup ciuman pada Si
Yuyu Kangkang kurang ajar itu. Tetapi Kleting Kuning
tidak sudi disentuh bibirnya. Biarpun sungai itu begitu
lebar dan deras airnya, ia memilih menyeberang sendiri.
Maka dengan sebatang lidi pemberian bidadari, ia
menyabet air kali yang langsung kering dengan seketika
sehingga dapat diseberangi dengan aman.
Dongeng itulah yang sekarang muncul kembali ke
dalam ingatan Irawan. Ia menoleh.
"Aku sudah melihat kemandirian dan daya juang
Kleting Kuning ketika menyeberangi sungai. Begitupun
dalam upayanya meraih kebahagiaan yang nyaris hilang
dari hidupnya," katanya.
"Jadi menurutmu, cocok denganku?" Tina memancing lagi. "Tidak seluruhnya."
Begitulah percakapan Irawan dengan Tina kemarin.
Saat melihat gadis itu sibuk menyiapkan sarapan buat
mereka semua dengan gesit, tangkas dan dengan hasil
masakannya yang lezat, Irawan teringat kembali percakapan mereka tersebut. Dia juga ingat apa yang diceritakan Tina mengenai julukan Kleting Kuning yang
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com166
diberikan keluarganya untuknya. Menurutnya, memang
ada persamaan antara Tina dengan tokoh dongeng itu.
Gadis itu pandai memasak dan mengerjakan apa saja
dengan suka hati untuk orang lain. Dia juga memiliki
kemandirian dan prinsip hidup yang kuat.
Kini tak mengherankan lagi bagi Irawan kalau gadis
serbabisa yang kaya dengan humor dan menyenangkan
dalam pergaulan itu lekas sekali mendapat tempat di
hati para penyewa kamar di rumah Bu Padmo. Kini
mereka berebut bicara untuk mengungkapkan beratnya
hati berpisah dengannya. Bahkan Bu Padmo pun tampak sayang kepada gadis itu. Tak biasanya ia mau berbagi kamar dengan orang lain. Apalagi dengan orang
yang baru dikenalnya. Malahan dari kamarnya, Irawan
bisa mendengar suara dan tawa dari kamar perempuan
tua itu hingga jauh larut malam.
Pada saat Tina pamit pulang, tampaknya Bu Padmo
masih merasa kurang cukup mengobrol dengan gadis
itu. Entah apa saja yang dibisikkan perempuan tua itu
di sudut terasnya. Tetapi jelas tertangkap oleh mata
Irawan, Tina tersenyum-senyum. Dan itu membuatnya
semakin kehilangan rasa sabar.
"Tin, kalau tak ingin kemalaman, ayolah berangkat
sekarang!" kata lelaki itu sambil melirik arlojinya.
"Ingat, kita tidak naik sedan baru, tetapi truk tua.
Apalagi mengingat usulmu tadi, kita akan lewat Puncak
biar ganti pemandangan."
"Baik," sahut Tina sambil tertawa. Lalu ia mencium
kedua belah pipi Bu Padmo dengan akrab dan tulus
yang nyata terasa oleh perempuan tua itu. Kemudian
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com167
dengan cara yang sama, ia juga memeluk dan mencium
pipi keenam gadis yang berdiri di teras itu.
"Selamat tinggal," katanya kepada mereka. "Kalau
pergi ke Jakarta, jangan lupa mampir ke rumahku.
Nanti kuajak jalan-jalan sampai puas."
"Dengan truk!" sela Yanti, disusul tawa temantemannya. "Masih bagus daripada naik becak," balas Tina tangkas. "Bisa sepuluh tahun kalian baru selesai menjelajahi
kota Jakarta!" "Tapi kan puas. Truk mana bisa masuk-masuk ke
gang-gang dan kampung-kampung di Jakarta yang
jumlahnya aduhai itu?" Nina turun tangan dalam pembicaraan itu, disusul tawa teman-temannya.
"Hei, Kleting Kuning, ayolah segera berangkat!"
suara Irawan menyela pembicaraan yang seperti tak ada
habisnya itu. "Kleting Kuning" Nama apa itu?" tanya Nina heran. "Itu cerita dari suku Jawa, Non!" sahut Yanti.
"Bagaimana ceritanya" Kenapa Tina dipanggil dengan nama itu?" tanya Nina lagi.
"Nanti Ibu dongengkan," sela Bu Padmo, tertawa.
Lalu kepada Tina, ia melanjutkan bicaranya, "Irawan
pandai memberimu julukan, Tin. Kau memang seperti
Kleting Kuning, kalau mendengar cerita-ceritamu semalam!" "Julukan itu bukan dari Mas Irawan kok, Bu, tetapi
dari keluarga saya. Mas Irawan hanya membeo saja."
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com168
"Hei, masih lama lagi mengobrolnya?" Irawan menyela lagi. Semua nyengir mendengar ungkapan tak sabar dari
lelaki itu. Di atas truk, semuanya juga sudah siap.
Sepeda motor, dipan dengan kasur busanya, dan dua
peti buku milik Iwan sudah siap untuk kembali ke pemiliknya. Dan dua tas pakaian milik Tina dan Irawan
berikut oleh-oleh juga sudah diatur. Semuanya ditutup
rapi dengan terpal oleh Tina. Sedangkan di jok depan
sudah tersedia pula bekal perjalanan. Tina juga yang
menyiapkannya. Irawan mengakui di dalam hati betapa
cekatan dan cermatnya gadis itu menghadapi apa pun
yang ada di hadapannya. Setelah sekali lagi Tina mengucapkan selamat berpisah, akhirnya ia berlari-lari kecil ke arah Irawan.
"Siapa yang mengemudi?" tanyanya begitu berada di
dekat lelaki itu. "Terserah." "Kalau begitu, aku dulu ya" Nanti kalau cuaca sudah gelap, ganti kau!" kata Tina sambil mengambil
kunci truk dari tangan Irawan. Kemudian dengan gesit
ia meloncat ke dalam kendaraan yang siap berangkat
itu. Irawan lalu menyusul naik. Pelan-pelan Tina membawa truk itu ke luar halaman. Sesudah sekali lagi
melambaikan tangannya, dengan sama gesitnya seperti
ia meloncat tadi, dibawanya truk itu melaju ke jalan
raya. "Permintaanmu supaya aku yang mengemudi kalau
cuaca sudah gelap nanti, berdasarkan apa" Apakah
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com169
karena perempuan harus didahulukan, diberi prioritas
lebih dan diistimewakan?" tanya Irawan sesudah mereka agak jauh dari rumah Bu Padmo. Ia ingin
mengetahui apa jawaban gadis itu.
Tina meliriknya, baru menjawab.
"Tidak satu pun dugaanmu yang betul," jawabnya
tegas. "Keinginanku ini cuma demi kepraktisan saja.
Tubuhmu kan tinggi. Dari balik kemudi, kau akan bisa
melihat apa-apa yang tak bisa kutangkap dengan tubuhku yang lebih pendek pada malam hari. Tentunya kau
tak mau kalau perjalanan kita jadi tak lancar hanya
karena fisikku yang kurang menunjang ini, kan?"
Irawan mengangguk. "Aku semakin lebih mengenalmu," gumamnya kemudian. "Aku tidak suka dinilai, apa pun sifat penilaian itu.
Apa yang kuusulkan tadi hanya didasari oleh hal praktis yang realistis saja kok."
"Aku juga tidak suka menilai seseorang dengan sengaja. Tetapi sebagai manusia biasa, mau ataupun tidak
penilaian itu muncul begitu saja secara otomatis dalam
otakku. Kalau tidak, orang akan sulit membayangkan
atau menghadirkan sosok seseorang ketika namanya
disebut. Memori kita kan terbatas. Tetapi kalau ada
hal-hal tertentu yang mengait nama orang itu, maka
serta-merta gambaran mengenai si empunya nama itu
akan hadir kembali dalam ingatan kita. Ya, kan?"
Tina terdiam menyadari adanya kebenaran kata-kata
Irawan. Tetapi tiba-tiba timbul rasa ingin tahunya.
"Lalu bagaimana penilaian otomatis otakmu me001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com170
ngenai gadis-gadis cantik penyewa kamar Bu Padmo"
Khususnya Nina!" Mendengar pertanyaan itu, Irawan menyeringai.
"Sehari ini sudah tiga kali aku mendengar dan melihat kekhasan perempuan pada dirimu," katanya. "Ternyata, kau tetap saja seorang perempuan dengan beberapa ciri meskipun menurutmu itu hasil dari asuhan
budaya patriarki. Padahal menurutku, itu masalah
psikologis atau kejiwaan sebagai konsekuensi logis yang
diakibatkan oleh kondisi fisik laki-laki atau kondisi
fisik perempuan." "Aku tidak ingin berdebat denganmu seperti orang
kurang kerjaan. Aku cuma sekadar ingin tahu, kekhasan perempuan seperti apa yang ada pada diriku
menurutmu. Beri contohnya!"
"Oke," jawab Irawan. "Tadi pagi, ketika semua orang
sibuk berebut kamar mandi, kau malahan berlama-lama
di dapur hanya untuk menyenangkan orang serumah
dengan masakanmu yang ternyata memang lezat. Itu
yang pertama. Kekhasan kedua, kulihat baru saja tadi
sebelum kita berangkat, kau berlama-lama mengobrol
padahal sudah pamit. Kenapa" Karena perpisahan dengan teman-teman baru yang kaurasa cocok itu telah
mengungkit perasaan lembutmu. Maka meski sadar
kita sudah terlambat pulang akibat terlalu lama
menikmati keindahan kawah Tangkuban Perahu tadi,
kau tidak mempermasalahkannya."
"Lalu yang ketiga?" Tina bertanya dengan suara me
Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nantang. "Lalu yang ketiga adalah pertanyaanmu baru saja
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com171
tadi mengenai kesanku terhadap Nina. Itu adalah rasa
ingin tahu yang khas dimiliki oleh kaum perempuan
mengenai perempuan lainnya."
Tina ganti menyeringai. "Maaf ya, Mas, argumentasimu itu tidak kuat.
Sebab apa yang kulakukan, apa yang kuucapkan, dan
apa yang kurasakan sebagaimana katamu tadi, juga bisa
dialami laki-laki. Dengan kata lain, ciri-ciri seperti itu
bersifat individual," gumamnya kemudian. "Tetapi
memang harus kuakui dan dimengerti oleh siapa pun
bahwa apa pun pendirian dan bahkan proses konsep
diri yang terbangun oleh seseorang termasuk diriku,
pasti sedikit-banyak terbauri juga oleh sistem nilai hasil
produksi budaya patriarki. Aku toh tidak hidup di
hutan sendirian. Walaupun hanya sebagian, tetapi pengaruh ajaran, pendidikan, harapan, dan bahkan tuntutan masyarakat mengenai bagaimana seharusnya menjadi
perempuan dan seperti apa pula seharusnya menjadi
laki-laki, masuk juga ke otakku."
"Apakah itu merupakan masalah bagimu?" Irawan
yang kurang bergaul, mulai terbuka pikirannya ketika
mendengar perkataan Tina. Ia ingin mengetahui pengalaman gadis itu. "Tidak bagiku karena aku sudah mempunyai prinsip hidup sendiri. Budaya apa pun pasti banyak positifnya di samping juga terdapat kekurangannya. Bagaimanapun, tujuannya kan baik meskipun kata "baik" itu
masih perlu dikupas dulu apakah memang baik buat
setiap manusia tanpa kecuali. Budaya patriarki pun
demikian. Tetapi yang jadi masalah, ada banyak sistem
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com172
patriarkis yang tidak adil bagi salah satu jenis kelamin.
Maka yang penting, kita harus bersikap kritis terhadap
ajaran apa pun agar tidak menerimanya begitu saja.
Apalagi menerapkan dan mentransferkannya ke generasi
berikut. Ya, kan" "
"Entahlah..." "Lho, kok bilang begitu sih, Mas?"
"Yah, untuk menjawab dengan sempurna kan perlu
proses. Lagi pula kau tidak memberi contoh manamana yang katamu tidak adil itu."
"Banyak, Mas. Seperti apa yang kukatakan tadi, bersikaplah kritis. Jangan menerima begitu saja ajaranajaran yang ada di masyarakat secara mentah-mentah.
Misalnya, bahwa perempuan tidak boleh memanjatmanjat pohon atau laki-laki tidak boleh menangis.
Kalau anak perempuan ingin mengambil buah misalnya, apa ya harus menunggu laki-laki yang mengambilkannya kalau dia bisa memanjat sendiri. Kalau laki-laki
ingin menangis karena kecewa atau sangat sedih, kenapa harus ditahan-tahan" Bisa jadi penyakit nanti.
Tuhan menciptakan kelenjar air mata kan bukan hanya
ada pada mata perempuan saja."
"Yah, kita memang harus mengasah kepekaan untuk
menangkap pelbagai hal yang menyangkut kehidupan
manusia." "Syukurlah kalau kau bisa menerima apa-apa yang
kukatakan tadi. Nah, mau kue?"
"Nanti saja." "Minum?" "Nanti saja." 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com173
"Kalau begitu tolong jawab pertanyaanku tadi!"
"Pertanyaan yang mana?"
"Tentang pendapatku mengenai Nina tanpa mengungkit semua hal yang kukatakan tadi. Jadi apa adanya
yang kaupikirkan tentang dia. Aku cuma mau melihat
apakah penilaian kita sama."
"Baiklah. Kesanku, dia gadis cantik yang menyadari
betul daya tariknya itu. Aku melihat adanya gejala perburuan pada dirinya!" jawab Irawan sesudah berpikir
sejenak. "Perburuan" Apa maksudmu perburuan?"
"Maksudku, dia sudah berniat untuk segera mendekatkan dirinya pada seorang pria yang sekiranya
cocok menjadi suaminya. Kurasa, pilihannya banyak
dan dia bingung menentukan mana yang harus ia pilih.
Jadi meskipun barangkali sudah ada pilihan di hatinya,
tetapi ia masih ragu untuk memutuskannya. Oleh karenanya ia masih mencari hubungan-hubungan baru
yang diharapkannya akan memiliki nilai lebih dibanding
pilihan sebelumnya. Dengan kata lain, gadis itu sudah
ingin menikah tetapi ingin mencari lelaki terbaik
baginya." Tina tertawa. "Hebat juga analisamu. Mmm, bagaimana kalau dia
melihat kriteria terbaik itu ada pada dirimu?"
"Aah, masih terlalu pagi untuk bicara seperti itu!"
"Dia ingin datang ke Jakarta suatu ketika lho. Aku
sudah menawarkan tempat untuknya kalau ia berkunjung ke Jakarta. Bahkan aku sudah pula berjanji
akan mengajaknya jalan-jalan dan juga berkunjung ke
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com174
tempatmu. Jadi kurasa, itu tak lagi bisa disebut terlalu
pagi." "Wah, kalau itu benar dilaksanakannya, hebat juga
daya juang gadis itu!" komentar Irawan. "Tetapi apa
yang dia lihat padaku" Kalau cuma yang begini saja, di
kota Bandung segudang banyaknya!"
Tina tertawa lagi. "Tetapi kalau ada sesuatu yang khusus padamu menurut pandangannya, dia pasti akan mengejarnya sampai dapat. Kalau aku tak salah mengartikannya, tampaknya kau memiliki daya tarik tertentu baginya,"
katanya kemudian. "Memangnya apa daya tarikku?" Irawan bertanya
dengan nada tinggi yang menyebabkan Tina jadi
menoleh ke arahnya. Pertanyaan Irawan menimbulkan
kesan di hatinya, laki-laki itu tidak banyak memiliki
pengalaman bergaul dengan para gadis. Bahwa dirinya
memiliki daya tarik bagi lawan jenisnya pun dia tidak
menyadarinya. "Terus terang aku tidak tahu, Mas!" jawab Tina dengan senyum di dalam hatinya. "Tanyakan saja kepada
orang lain kalau kau memang ingin tahu. Sebab aku
tak bisa mengatakan seperti apakah laki-laki yang memiliki daya tarik dan lelaki yang tidak memiliki daya
tarik. Pengalamanku nol dalam hal ini."
Irawan bergumam tak jelas lalu menyandarkan tubuhnya ke jok. Tina meliriknya lagi.
"Tetapi bagaimanapun juga, yang jelas kau pasti
memiliki daya tarik bagi Nina. Tampaknya ia tergilagila padamu," katanya kemudian.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com175
"Kaupikir aku bangga karenanya?" dengus Irawan.
"Mana aku tahu isi hatimu kan, Mas?" sahutnya.
"Nina itu gadis yang amat menarik dan menyenangkan.
Cantik dan bergaya, pula."
"Aku tidak menyukainya. Titik."
"Itu karena kau menutup pintu hatimu dengan besi
berlapis-lapis," sindir Tina.
"Terserah kau mau bilang apa. Tetapi jawablah pertanyaanku, apa perasaanmu andaikata kau ada pada
tempatku, menjadi perhatian seorang laki-laki tampan
yang tak kausukai," kata Irawan lagi. Kali ini dengan
nada suara setengah jengkel. "Senang?"
"Terus terang, tidak!" sahut Tina tegas. Tetapi kemudian suaranya berubah menjadi lemah ketika melanjutkan kata-katanya, "Tetapi tunggu sebentar. Kurasa
yang jadi patokan senang atau tidak dalam masalah
semacam ini tergantung siapa yang menganggapku
memiliki daya tarik. Jadi biarpun ada seorang laki-laki
yang sama sekali tidak tampan tetapi aku menyukainya,
pasti hatiku akan senang dianggap memiliki daya tarik
yang memukau dirinya."
"Pengalamanmu, kelihatannya?"
"Wah, jangan terlalu cepat membuat kesimpulan.
Kan sudah kubilang, pengalamanku nol dalam masalahmasalah seperti ini. Aku tadi cuma mau mengatakan
tentang adanya suatu kemungkinan saja. Jadi bukan
berarti ada seseorang yang khusus bagiku," jawab Tina
cepat-cepat. "Setidaknya untuk saat ini, setitik debu
pun aku tak ingin memikirkan ada laki-laki khusus di
hatiku. Buang-buang waktu dan energi saja."
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com176
"Aku juga berpikir begitu!" cetus Irawan. "Memang
membuang-buang waktu dan energi saja. Ada banyak
hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan dan dikerjakan." "Akan kulihat sampai di mana keteguhan hatimu
terhadap kata-katamu itu," tawa Tina. "Kau tidak sama
denganku, Mas. Godaanmu banyak. Sedangkan aku,
tidak ada. Laki-laki akan berpikir seribu kali lebih dulu
untuk mendekati gadis kelaki-lakian macam diriku
ini!" Diam-diam Irawan melirik dan menelusuri tubuh
Tina dengan sudut matanya. Gadis itu memakai celana
pendek berbunga-bunga corak Hawaii dengan warnawarni meriah. Bagian atasnya, kaus putih longgar.
Rambutnya yang tebal dan berpotongan pendek itu
dibiarkannya terburai angin tanpa memakai topi baret.
Pada saat itu ia tampak lebih feminin daripada biasanya. Garis rahang yang lembut, leher jenjang, dan paha
mulus seperti itu, bukanlah milik laki-laki. Raut wajahnya juga terlihat lembut. Hidungnya mungil tetapi
mancung. Matanya, besar dan wah... ternyata bulu
matanya pun lentik dan tebal. Tanpa tambahan make
up, gadis itu cantik sebenarnya. Tetapi kenapa semua
itu ditutupinya" Setelah melihat kelebihan-kelebihan yang tertangkap
oleh matanya, Irawan ingin mengetahui satu hal yang
terasa menggelitik hatinya.
"Apakah penampilanmu yang kelaki-lakian itu memang kausengaja agar tidak didekati lelaki?" tanya
Irawan memancing. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com177
"Aku bukan tipe orang yang suka melarikan diri
dari kenyataan. Apalagi dengan tujuan tertentu. Kan
tadi aku sudah bilang, aku ini punya prinsip dan teguh
memegang pendirian."
"Dalam hal yang sedang kita bicarakan ini, prinsip
seperti apa yang kaupegang?" Irawan bertanya lagi.
"Maksudku, aku berpenampilan atau berpakaian
apa pun, itu bukan demi orang lain apa pun alasannya.
Melainkan karena diriku sendiri. Aku senang tampil
begitu. Itu saja. Tak ada embel-embel lainnya!" sahut
Tina. "Sungguh. Jadi orang mau bilang apa tentang
diriku, biar saja." "Benar. Aku dan Iwan yang lahir hanya selisih lima
menit dan kami lahir dari bapak dan ibu yang sama
saja bisa memiliki perbedaan sifat, kebiasaan, kesukaan,
dan selera yang cukup besar meskipun wajah kami begitu mirip satu sama lain. Juga dalam hal prinsip."
"Nah!" "Kok nah?" Tina tertawa. Tetapi tawanya terhenti ketika sebuah
bus besar melesat mendahuluinya dengan cara memepetnya. Kaget sekali dia. Klaksonnya yang memekakkan
telinga ketika menyalip truknya, seperti menampar kepalanya. "Kurang ajar sopir bus itu!" gerutunya dengan hati
panas. Dengan marah bus besar tadi dikejarnya. Dan
dengan kecepatan yang sama, ia mampu mendahului
bus tadi dan ganti memepetnya sehingga bus itu nyaris
menyenggol pohon di tepi jalan.
"Tina!" seru Irawan. "Kalau kau sudah ingin mati
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com178
sekarang, silakan. Tetapi jangan bawa-bawa aku. Aku
masih ingin hidup lama."
"Turunlah kalau takut," geram Tina masih panas.
"Aku mau memberi pelajaran kepada kerbau itu!"
"Turunkan suhu amarahmu itu," kata Irawan lagi.
"Kau boleh saja marah terhadap kerbau atau kuda nil
di belakang kemudi itu. Tetapi ingat, ada puluhan
nyawa orang lain dalam bus itu. Kalau sopirnya semakin menggila, kasihan mereka."
Peringatan Irawan memang manjur. Mendengar
kata-kata yang masuk akal itu, Tina langsung mengendurkan laju truknya. Dibiarkannya bus tadi melesat di
sisinya dan meninggalkan bunyi klaksonnya yang panjang dan tak tahu sopan santun berlalu lintas.
Sesudah laju truk normal kembali, Irawan meliriknya lagi. "Kau benar-benar tak punya rasa takut," komentarnya. "Sesuatu yang hampir tak dimiliki oleh kaummu." "Aku hanya takut satu hal, yaitu kalau aku berbuat
salah." "Kriteria salah itu kriteriamu sendiri, kan?"
Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan mengejek ah!"
"Aku tak mengejek. Aku mengatakan kenyataan belaka. Menurut pengenalanku terhadapmu selama ini,
kau ini betul-betul memiliki kombinasi kekerasan. Keras hati, keras berpegang pada pendirian, dan keras
kepala." Tina tertawa menyeringai.
"Kata-kata sama yang pernah kudengar sebelumnya.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com179
Dari banyak orang maupun darimu kemarin. Jadi aku
tak peduli. Emang gue pikirin?"
Sambil berdebat, saling mengejek dan bahkan
mengobrol tentang macam-macam hal, perjalanan yang
cukup jauh karena melewati Puncak ditempuh dengan
laju kendaraan yang mantap. Aneh juga rasanya mengingat keduanya saling tidak menyukai pada awalnya.
Menjelang remang petang, Irawan meminta kemudinya. "Sekarang giliranku," katanya. "Senja sudah turun."
"Biar saja. Nanti kalau sudah melewati Cipanas,
kemudi akan kuserahkan kepadamu."
"Masih kuat?" "Biarpun perempuan, kekuatanku cukup bisa dibanggakan. Jadi jangan takut. Aku punya napas yang
panjang sesudah selama tiga tahun lebih selalu lari pagi
setiap hari." "Kita makan malam di mana?" tanya Irawan mengalihkan pembicaraan. "Menurutku, kita makan di Cipanas saja," sahut
Tina. "Oke, aku setuju. Mudah-mudahan masih ada nasi
tim istimewa kesukaanku di sana."
Cuaca sudah gelap ketika mereka tiba di Cipanas.
Seperti yang sudah mereka rencanakan, keduanya makan malam di tempat itu. Dan seperti yang mereka
inginkan, nasi tim istimewa itu juga mereka dapatkan.
Udara dingin yang terasa menggigit kulit agak teratasi
dengan nasi tim panas dan cokelat susu hangat yang
mereka pesan. Tetapi bagi Tina, keadaan itu hanya
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com180
sesaat saja. Sebab meskipun ia sudah mengenakan
jaket, ia tak bisa menutupi pahanya yang telanjang.
Lupa dia bahwa mereka pulang tidak lewat jalan tol
Cikampek. Maka hawa dingin pun menggigiti kulitnya
sehingga ia nyaris menggeletuk.
Irawan tahu itu tetapi ia hanya meliriknya saja
tanpa sedikit pun niat mengomentarinya. Komentar
apa pun pasti akan dibantah Tina. Apalagi mengenai
pakaian yang dikenakannya. Semestinya gadis itu ingat
bahwa mereka akan melalui pegunungan yang berhawa
dingin. Lebih-lebih pada malam hari.
Tanpa bicara apa pun mengenai udara yang dingin,
akhirnya mereka berdua melanjutkan perjalanan. Kini,
Irawan yang mengemudikan kendaraan.
Perut kenyang, ditambah udara dingin, menimbulkan kantuk pada diri Tina yang seharian itu hampir
tak pernah berhenti dari kegiatan. Pagi-pagi sudah
bangun dan menyiapkan sarapan. Lalu pergi ke kawah
Gunung Tangkuban Perahu. Padahal malam sebelumnya ia mengobrol sampai jauh larut malam dengan Bu
Padmo. Tetapi meskipun matanya begitu berat dan kepalanya terangguk-angguk, gadis itu enggan mengakuinya.
Sekali, sisi kepalanya terantuk kaca jendela sehingga
Irawan menertawakannya. "Kalau mengantuk, sandarkan kepalamu ke jok, lalu
tidur. Tak usah gengsi-gengsian. Aku cukup punya toleransi kok. Aku tahu semalam kau kurang tidur, lalu
seharian ini tak sempat duduk santai barang sekejap
pun!" katanya. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com181
"Udaranya kelewat dingin sih!" sahut Tia terpaksa
terus terang. "Mana perut kenyang. Mana pula kakiku
dingin. Bodoh sekali aku ini. Sudah tahu berada di
tempat yang dingin dan dalam perjalanan malam hari
pula, tetapi mau gaya-gayaan mengikuti mode."
Irawan tak dapat menahan senyumnya demi mendengar kata-kata Tina yang polos.
"Bagus kalau kau menyadari itu," komentarnya kemudian. "Nah, sekarang tidurlah."
Tina tidak menjawab. Matanya sudah terasa semakin berat sehingga tanpa disuruh oleh Irawan pun
akhirnya ia harus menyerah dan meletakkan kepalanya
ke jok untuk kemudian terseret ke alam mimpi. Kedua
belah kakinya yang terasa dingin diangkatnya ke atas
sehingga saat itu ia tampak seperti anak kecil yang
tidur bergelung. Irawan pun mengembalikan perhatiannya ke jalan
raya. Kabut mulai turun di sekitar Puncak. Mata betulbetul harus awas dalam cuaca seperti itu, di malam
hari pula. Dan perhatian harus tercurah sepenuhnya
pada medan yang berat, yang naik-turun berkelok-kelok
dengan truk yang tua dan terengah-engah saat menanjak. Namun meskipun perhatiannya sudah tercurah ke
depan, toh ia masih dapat merasakan adanya sebentuk
kepala yang terjatuh ke lengannya. Kepala Tina yang
tampaknya terlelap begitu nyenyak. Kepala yang rambutnya berbau harum shampo. Kepala seorang gadis yang
ciri-ciri kewanitaannya mulai tertangkap oleh mata
Irawan. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com182
Sekarang, kepala gadis itu menyandar ke lengannya
dengan kepasrahan yang tidak disadari oleh yang
bersangkutan. Pemiliknya sedang tertidur dengan nyenyak. Boleh jadi karena pemilik kepala itu sedang berada
dalam keadaan tertidur, atau boleh jadi pula karena
Irawan belum pernah berdekatan sungguh-sungguh
dengan seorang gadis, sentuhan kepala, pipi, dan
rambut pada lengannya tersebut menimbulkan semacam
sensasi yang aneh pada dirinya.
Memang kedengarannya agak lucu, di usia yang dua
puluh delapan tahun itu, Irawan belum sekali pun berdekatan dengan lawan jenisnya secara khusus. Ia
termasuk lelaki yang kaku dan lugas dalam menghadapi
teman-teman putrinya, dan itu dimengerti oleh dirinya
sendiri maupun oleh kerabat dan kenalannya dengan
baik. Ia kurang bergaul. Ia terlalu banyak menyendiri
dan lebih banyak bergaul dengan buku dan alat-alat
olahraga maupun alat-alat musik. Di rumah budenya,
semua barang ada. Perpustakaan pakdenya sangat
lengkap dan berlebihan untuk ukuran milik pribadi.
Dan jumlahnya masih saja selalu bertambah. Untuk
menyimpan buku-buku itu, lemari-lemari kaca besar
dan tinggi di ruang berukuran lima kali delapan meter
itu dilengkapi dengan lampu-lampu baca, meja dan
kursi yang nyaman dengan AC yang bersuara lembut.
Dan di ruang tengah yang luas tersedia grand piano
dengan sayapnya yang anggun, yang harganya pasti
mahal sekali. Sedangkan di sudut satunya siap pula
sebuah organ yang harganya hampir sama dengan
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com183
mobil bekas yang masih bagus. Pendek kata, semua
tersedia bagi Irawan. Kecuali, kehangatan. Dan meskipun selalu ada sedan bagus untuk lelaki yang beruntung dalam segi materi itu, pakde dan budenya
terlalu mengkhawatirkan kepergiannya. Takut dipengaruhi oleh kawan-kawan yang kurang baik. Takut
terbawa arus pergaulan yang terlalu bebas. Takut ini
dan itu. Rasa kasih sayang kedua orangtua angkat itu
lebih banyak bersifat terlalu melindungi dan rasa
memiliki daripada kehangatan dan pengertian. Begitulah Irawan tumbuh menjadi lelaki yang kaku, mudah
curiga, dan tak mengerti tentang kehangatan kasih.
Maka ketika akhirnya ia mulai menemukan nilai-nilai
baru dan perkembangan jiwa yang lebih luas, ia sudah
telanjur sulit merangkul keakraban dengan orang lain.
Terutama dengan gadis-gadis.
Jadi begitulah, disandari kepala seorang gadis seperti
yang dialaminya malam itu benar-benar merupakan
pengalaman baru baginya. Suatu pengalaman yang
konkret dialaminya. Bukan dalam angan-angan. Bukan
dalam gambaran sebagaimana jika ia membaca cerita
percintaan. Atau menonton film. Atau mendengar
cerita orang. Sungguh, Irawan tidak tahu apakah karena sensasi
itu yang jadi penyebab kesalahannya, ataukah karena
memang mesin truk itu sedang saatnya rewel, ketika
belum lama keluar daerah Cisarua, mesin truk tiba-tiba
saja terbatuk-batuk dan jalannya mulai tersendat-sendat.
Bahkan kemudian agak terlonjak-lonjak sehingga ia memilih menepikan truk itu dan mematikan mesinnya.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com184
Untuk beberapa saat lamanya ia ragu mau melakukan apa. Membangunkan Tina yang masih tidur dengan nyenyak ataukah membiarkannya sampai terbangun dengan sendirinya. Lama ia termangu sehingga
kedekatan fisik dengan gadis itu jadi semakin terasakan.
Pipinya yang hangat. Napasnya yang lembut. Rambutnya yang harum. Lengannya yang halus. Pahanya yang
mulus. Dan... Stop. Irawan memaki pikirannya sendiri. Betapa
rakusnya aku, pikirnya. Sudah begitu hausnyakah ia
pada kedekatan dan keakraban dengan seorang gadis"
Atau sedikitnya, hasrat yang sebenarnya ada tetapi direpresikan dalam keadaan tak disadarinya" Mungkin
saja. Mengingat itu ia langsung menghadirkan Nina, si
cantik yang menarik itu. Bagaimana rasanya andaikata
gadis itu yang kini tertidur di lengannya. Apakah juga
akan ada sensasi dalam batinnya"
Irawan menarik napas panjang. Rasanya tidak. Ia
tidak tertarik kepada gadis itu. Boleh jadi, andaikata
gadis itu tak terlalu agresif, ia bisa juga tertarik kepadanya. Nina cantik, pandai, enak dalam pergaulan, dan
pintar memantas diri. Tetapi sedikit agak bersikap
bebas. Irawan tidak menyukai gadis-gadis yang mudah
dilirik. Lalu, apakah sensasi seperti yang kini dirasakannya itu hanya terjadi karena kepala yang menyandar
pada tubuhnya itu milik Tina"
Irawan tidak mampu menjawab. Terhadap gadis
satu ini ia juga tak memiliki rasa tertarik. Tetapi itu
bukan karena sikap gadis itu. Bukan juga karena pe001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com185
nampilannya yang seenaknya, dan lebih-lebih bukan
juga karena bicaranya yang terus terang dan ceplasceplos. Tetapi, karena Irawan memang tak memiliki
atau katakanlah, belum memiliki keinginan semacam
itu. Ia masih belum mengizinkan hatinya terkait oleh
segala hal yang berhubungan dengan urusan asmara.
Sebab pikirnya, apabila hatinya telah terkait kepada
seseorang yang khusus, itu artinya ia akan kehilangan
kebebasannya. Batinnya, waktunya, tenaganya, dan
pikirannya. Lalu apa kelebihan Tina jika ia memiliki dugaan
bahwa hanya gadis itu saja yang bisa menimbulkan semacam sensasi dalam hatinya seperti yang kini sedang
dialaminya" Apakah karena ada sedikit rasa kagumnya
terhadap gadis yang memiliki kemandirian, kehangatan,
kegesitan, dan sepak-terjang yang lain daripada lainnya
itu" Rasanya juga tidak tepat seperti itu. Ia pernah mengagumi sepak-terjang Marina, teman kuliahnya dulu.
Marina membiayai sendiri kuliahnya dengan cara mengajar matematika dan bahasa Inggris dari rumah ke
rumah. Ia juga mengagumi daya juangnya yang besar.
Dalam keadaan yang paling sulit pun, Marina tak
pernah mengeluh dan tetap tegar di jalur tempatnya
melangkahi kehidupan yang berat ini.
Tetapi Irawan yakin seyakin-yakinnya bahwa hatinya tak akan tergerak seandainya ia dan Marina duduk
bersisian dalam cuaca gelap, dingin, dan berkabut seperti malam ini. Jadi, apa kelebihan Tina"
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com186
Irawan menarik napas panjang lagi. Menurutnya,
beda Tina dengan gadis lain adalah sikapnya yang acuh
tak acuh, tak pedulian, memiliki keberanian, cara kerjanya yang praktis, dan memiliki pendirian sendiri yang
kuat dengan segala argumentasinya yang rasional. Apakah karena hal-hal seperti itu yang menyebabkan irama
degup-degup jantungnya jadi lebih kuat. Sungguh,
Irawan tak bisa menjawab pertanyaan hatinya sendiri.
Bingung. Tubuh Tina yang mulai bergerak-gerak di pangkal
lengannya itu mengembalikan Irawan kepada kekinian
yang dihadapinya. Ditunggunya gadis itu membuka
matanya. Sudah terbayang olehnya, gadis itu akan menarik kepalanya dengan tersipu-sipu karena tanpa
sengaja telah menyandar ke lengannya.
Tetapi ternyata, tidak. Tina masih memejamkan
Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
matanya. Malah kedua kakinya yang terlipat itu semakin diangkatnya hingga menyentuh dagu.
"Dingin...," bisik gadis itu dalam tidurnya.
Tanpa sadar, Irawan membuka jaketnya dan menyelimutkannya ke kaki Tina yang terlipat itu. Merasakan ada sesuatu yang menyentuh tubuhnya, gadis itu
bergerak dalam tidurnya dan menggumamkan sesuatu
yang tak jelas. Irawan menarik napas panjang, menenangkan sensasi yang semakin menggayuti perasaannya. Sebab keadaan seperti itu sungguh tak menyenangkan baginya.
Ada yang mencuil kebebasan hatinya. Karenanya, ia
membangunkan Tina agar kepala gadis itu tak menyandar ke bahunya lebih lama lagi. Lalu dia bisa me001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com187
nenangkan debur jantungnya yang tak berdetak seperti
biasanya itu. " Tina... bangun," katanya setengah berbisik.
"Tina!" Suara Irawan masuk ke telinga Tina dan menembus
ke kesadarannya. Matanya terbuka untuk kemudian
sadar bahwa kepalanya terletak di bahu Irawan dan
pahanya berselimutkan jaket lelaki itu. Maka dalam
sekali sentakan, Tina menjauhkan tubuhnya. Jaket
Irawan disingkirkannya. "Ya ampun, aku tertidur nyenyak sekali," serunya
dengan suara yang menyiratkan sesal. "Maaf, aku mengganggumu. Kenapa aku tidak kaubangunkan dari
tadi?" "Kau kelihatan mengantuk, lelah, dan kedinginan.
Aku tak tega." "Lama aku tertidur tadi ya?" Tina melemparkan
pandang matanya ke luar jendela truk dan menatapi
apa yang bisa ditangkap oleh penglihatannya.
"Lumayan lama."
"Sekarang jam berapa?"
"Setengah delapan lebih."
"Kenapa berhenti?" tanya Tina untuk kesekian kalinya. "Mesin truknya rewel!"
"Mogok?" "Hampir. Mesinnya terbatuk-batuk dan jalannya
terlonjak-lonjak!" "Sudah dilihat apa sebabnya?"
"Aku baru saja menepikannya, lalu membangun001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com188
kanmu. Mana bisa bergerak kalau ada kepala di lenganku?" Irawan menyeringai.
"Maaf. Semestinya kau tadi mendorong kepalaku
jauh-jauh," Tina menjawab seadanya.
Irawan tidak menyahuti kata-kata itu. Sebagai gantinya, ia meloncat turun dan membuka tutup mesinnya. "Wah, gelap!" gerutunya. "Kau punya senter?"
Tina membuka laci dan mengambil senter untuk
kemudian menyusul Irawan turun. Udara dingin segera
saja menyergapnya dan membuatnya menggigil. Tetapi
ditahannya rasa dingin itu dengan cara mengalihkan
perhatiannya kepada apa yang sedang dilakukan Irawan.
Dengan senter di tangan, ia meneranginya.
"Lampu sein sudah dinyalakan?" tanyanya kemudian. "Sudah." "Jangan-jangan bensin tak naik karena tersumbat
kotoran, Mas!" kata Tina lagi.
"Saringannya bersih kok!"
"Coba aku ganti yang melihatnya!" kata Tina pula.
Senter di tangannya diserahkan kepada Irawan, kemudian dia langsung membuka kotak peralatannya, dan
mulai mengutak-atik mesin truk nakal itu. Tetapi di
dalam gelap dan dengan senter yang nyalanya tak terlalu terang itu, tidaklah mudah mengerjakan sesuatu
yang tak jelas. Apanya yang rusak dan menimbulkan
kerewelan sukar dicari. Meskipun mereka sudah mengutak-atik beberapa waktu lamanya, suara mesinnya
ketika distarter lagi tetap saja terbatuk-batuk.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com189
"Sayang waktu sudah malam begini," komentar Tina
mulai putus asa. "Kalau siang hari, aku mungkin bisa
menemukan kerewelannya!"
"Kau cukup ahli juga ya menangani mesin-mesin!"
komentar Irawan yang tak menyangka gadis di dekatnya itu mau juga mengotori tangannya dengan oli, minyak pelumas, dan semacamnya.
"Ahli sih tidak. Tetapi aku selalu ingin tahu mengenai pekerjaan-pekerjaan semacam ini. Jadi aku belajar mengenai mesin kepada sopir kami, sehingga sedikit-sedikit aku bisa mengatasi kerewelan Mbah
Bejo." "Mbah Bejo?" "Ya, truk tua ini Mbah Bejo namanya. Aku yang
memberinya nama. Biar sesuai namanya, bejo kan "beruntung" dalam bahasa Jawa."
Irawan tertawa mendengar jawaban Tina. Gadis
satu itu lucu juga rupanya.
"Tetapi sekarang Mbah Bejo sedang rewel. Jadi bagaimana" Berani nekat pulang dengan mesin terbatukbatuk?" Irawan mengalihkan lagi pembicaraan. Dia
tidak ingin kemalaman di jalan.
"Coba, kulihat dulu!" sahut Tina. "Mana kuncinya!" Seperti yang dialami oleh Irawan, mobil itu masih
juga terbatuk-batuk mesinnya. Maka Tina pun menyerah. "Sekarang kita sudah sampai di mana sih?" tanyanya. "Baru saja keluar Cisarua!"
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com190
"Wah, gawat. Masih jauh dari rumah. Bagaimana,
Mas, mau nekat?" "Terus terang, aku nggak berani. Jalan masih naikturun begini!" sahut yang ditanya. "Kenapa sih kita tadi
lewat Puncak?" "Jangan menyesali yang sudah-sudah. Orang itu
harus berpikir ke depan. Ke belakang bukan untuk
disesali, tetapi untuk dijadikan bahan pertimbangan
dan pelajaran. Lain kali kalau naik Mbak Bejo, ya
jangan lewat Puncak. Begitu sajalah," Tina menggerutu
dengan cara yang membuat Irawan hampir tertawa.
Lagaknya seperti orang tua. Padahal dia yang mengusulkan lewat Puncak. Padahal pula selain jalannya
turun-naik dan medannya berat, jaraknya juga lebih
jauh. Bukankah sekarang ada jalan tol Cipularang
yang mempercepat perjalanan karena tidak harus lewat Puncak seperti sebelumnya" Cari penyakit saja,
gadis itu. "Jadi kita betulkan dulu mesinnya, ya?" Tina mengusulkan. "Ya. Kalau kita tidak sanggup mencari letak kerewelan mesin truk ini, sebaiknya kita mencari montir!" "Di mana mau mencari montir malam-malam
begini" Sudah begitu, kita tak bisa meninggalkan truk
ini begitu saja untuk mencari montir."
"Kau menunggu di sini. Aku akan mencari montir." "Aku menunggu di sini?" Tina membesarkan bola
matanya. "Wah, aku tak berani ditinggal sendirian da001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com191
lam gelap dan sepi begini. Sudah tak banyak lagi mobilmobil yang lalu-lalang di sini!"
"Kau takut apa" Dirampok, diperkosa, atau apa?"
"Idih, bukan itu. Jelek-jelek begini aku bisa menjaga
diri. Aku pernah jadi juara karate di kampusku selama
tiga tahun berturut-turut. Aku cuma takut... setan...."
"Wah, kau itu penakut rupanya. Jadi bagaimana?"
"Terserah padamu asal aku jangan kautinggal
sendirian menjaga truk ini. Di belakang ada motor, ada
beberapa barang milik Mas Iwan. Tanggung jawab keselamatan barang-barang itu hingga tiba di tempat
terletak pada kedua bahu kita!" sahut Tina. "Jadi, terserah padamu, Mas. Kalaupun kau mau nekat dan
berjalan setapak demi setapak dengan mesin terbatukbatuk, aku akan mengikutimu."
"Sudah kukatakan, aku tak berani mengambil risiko.
Jadi aku akan mengatakan hal yang sama, tak berani
berjalan dalam medan perjalanan yang berat dengan
truk rewel begini." "Lha kalau kau tidak setuju, kita mau apa" Menunggu mukjizat jelas suatu perbuatan yang tolol."
"Ada satu hal yang ingin kutanyakan kepadamu."
"Apa itu?" tanya Tina.
"Seandainya kita terpaksa menginap di sini, apakah
kau merasa keberatan?"
"Di atas truk ini?" Mata Tina membelalak lagi.
"Tentu saja tidak. Kita akan nekat berjalan beberapa
puluh meter lagi dan mencari penginapan dekat-dekat
sini. Nah, katakan kalau kau merasa tak setuju dengan
usulku. Sebab menurut pendapatku, besok pagi-pagi
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com192
kita perlu mencoba lagi memeriksa mesin. Kalau belum
juga berhasil baru kita cari montir. Bagaimana?"
Tina terdiam, mencerna usul itu. Satu-satunya keberatan yang ada adalah kecemasan orangtuanya. Pasti
mereka akan merasa cemas. Ia sudah menjanjikan kepada mereka bahwa selambatnya pukul enam atau tujuh malam hari ini ia sudah pulang kembali ke rumah. Melihat Tina belum juga menjawab, Irawan menoleh kepada gadis itu. "Takut kepadaku?" tanyanya dengan suara di hidung. Tanpa Irawan menjelaskan apa yang dimaksud dengan kata takut itu, Tina tahu apa artinya. Karenanya
ia segera membantahnya dengan gesit.
"Jangan lagi kau, Mas, pada lelaki lain yang terkenal
hidung belang pun aku tidak takut. Kan sudah kukatakan, aku pernah jadi juara karate," katanya. "Tetapi
masalah takut atau tidaknya aku kepadamu, bukan
seperti yang kausangka lho."
"Lalu apa?" Irawan bertanya dengan penuh rasa
ingin tahu. "Pertama, secara fisik tentulah aku bukan jenis yang
membangkitkan gairah di hati lelaki. Jadi, amanlah aku.
Lebih-lebih bagimu!"
"Bagiku" Memangnya, aku kenapa?" Irawan semakin
ingin tahu. "Yang secantik dan semenarik Nina saja kau kelihatannya dingin-dingin saja, apalagi menghadapi aku
yang jelek begini!" 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com193
Irawan tersenyum dalam gelap. Gadis satu ini terlalu meremehkan dirinya sendiri, pikirnya. Suatu cara
meremehkan yang jauh dari sikap rendah diri. Hanya
keliru menilai saja. "Lalu alasan kedua?" tanyanya kemudian.
"Alasan kedua, kau juga tak memiliki daya tarik
bagiku, meski harus kuakui bahwa kau termasuk lelaki
ganteng dan gagah. Nah, daya tarik kan soal selera.
Susah mengatakan mengapa seseorang lebih suka makan ikan asin sedangkan yang lain melihat ikan asin
saja pun tak mau." Sekali lagi Irawan tersenyum sendiri di dalam gelap.
Sungguh, gadis satu ini memang lucu. Lelaki disamakan
dengan ikan asin. "Jadi, kita menginap?" tanyanya kemudian.
"Kalau memang itu jalan satu-satunya yang bisa kita
tempuh, yah apa boleh buat. Kita akan menginap."
"Oke kalau begitu. Sekarang dengan memaksa truk
berjalan sambil terbatuk-batuk, kita cari penginapan
yang terdekat!" kata Irawan memutuskan. Sambil berkata seperti itu, tutup mesin ditutup kembali ke tempatnya. "Tetapi aku tak punya uang untuk membayar sewa
kamarnya. Tolong Mas Ir bayari aku, nanti sesampai di
Jakarta kuganti." "Itu soal mudah," sahut Irawan sambil naik ke truk
kembali. Tina menyusulnya. "Tak usah dipikirkan."
Malam semakin merangkak. Ketika mereka akhirnya
menemukan sebuah rumah kecil berhalaman yang bertuliskan "disewakan", Irawan langsung menemui pemilik001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com194
nya tanpa mendengar protes keberatan yang diajukan
Tina. Menurut gadis itu, menyewa rumah kecil lebih
mahal daripada kalau mereka menyewa dua kamar.
"Kita membawa truk dan besok pagi-pagi akan
mengotak-atik mesinnya, Tin. Kalau kita menyewa
kamar di penginapan, tamu-tamu lainnya pasti akan
marah-marah kalau kita mengganggu tidur mereka!"
kata Irawan sesudah menyelesaikan urusannya dengan
pemilik rumah penginapan itu. "Sekarang sebaiknya
kau menelepon ke rumah. Jangan sampai orangtuamu
Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cemas. Hari sudah malam sekarang ini."
Karena alasan yang dikemukakan oleh Irawan susah
dibantah, Tina pun akhirnya hanya menurut saja. Apalagi ia masih belum puas tidur dalam perjalanan tadi.
Matanya pedih dan tubuhnya letih. Maka, tanpa banyak bicara lagi ia meniru Irawan, mengeluarkan tas
pakaiannya dan langsung masuk ke rumah setelah menelepon kedua orangtuanya dan menceritakan keadaan
mereka. Irawan menatap punggung gadis itu, memuji kelugasan dan kesederhanaannya berpikir dan bertindak.
Barangkali kalau Nina yang berada di tempat Tina, dia
akan lebih memilih menginap di hotel atau vila yang
lebih baik segalanya daripada penginapan sederhana
ini. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com195
MALAM masih bermegah-megah di permukaan
bumi Cisarua ketika Tina terbangun entah berapa jam
kemudian. Udara dingin terasa menggigit seluruh permukaan kulitnya sehingga ia sadar bahwa selimut yang
disediakan penginapan itu tak lagi membungkus tubuhnya. Dengan perasaan enggan karena udara yang dingin
itu, tangannya meraih selimut yang tersepak olehnya
dalam keadaan tidur tadi untuk kemudian menyelimutkannya kembali ke tubuhnya. Kemudian dicobanya
untuk tidur lagi. Namun, ternyata tidak mudah melanjutkan tidurnya. Dia tidak terbiasa tidur terlalu sore sementara di
dalam perjalanan tadi cukup lama dia tertidur pulas
kemudian disambung di penginapan ini. Sekarang baru
beberapa jam saja tidur lelap, ia sudah terjaga. Apalagi
ia merasa asing berada di kamar yang ditempatinya itu.
Ditambah suasana malam yang begitu sepi pula. Tak
Tujuh 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com196
ada suara apa pun, seakan dia berada di bawah tanah. Pada dasarnya, Tina termasuk penakut. Berada di
alam pegunungan yang dingin, sunyi senyap, dan agak
jauh dari tetangga dalam situasi yang asing pula bukanlah pengalaman yang biasa diakrabinya, yaitu berada di
tengah keluarga, dalam kamar yang nyaman dan menyenangkan. Tetapi bukan Tina kalau ia lalu menyerah pada perasaan-perasaan semacam itu. Dengan sepenuh usaha,
dikuat-kuatkannya hatinya yang mulai resah itu. Salah
satu usaha itu adalah menghadirkan kembali peristiwa
yang terjadi semalam dan seharian ini. Terutama tentang obrolannya bersama Bu Padmo kemarin malam.
Tina merenungkan kembali kebijaksanaan Bu
Padmo yang ditangkapnya lewat intuisi dan melalui
sikap serta kata-katanya.
Malam itu Bu Padmo menceritakan mengapa ia
langsung menyukai Tina. Sebab, Bu Padmo dulu juga
suka berpenampilan seperti lelaki kalau saja ada kesempatan untuk itu. Pada zamannya, jangankan seorang
gadis berpenampilan seperti lelaki, bersikap kurang
anggun saja pun sudah mendapat kecaman kiri dan
kanan. Seorang gadis selalu dikaitkan dengan urusan
merias diri, urusan dapur, urusan rumah-tangga, urusan
anak, dan urusan suami. Macak, masak, manak. Merawat kecantikan, memasak, dan mempunyai anak.
Atau pupur, dapur, kasur. Tak lebih dari itu. Dengan
demikian, ia juga disiapkan untuk menjadi istri "sejati". 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com197
"Betapa dulu aku selalu harus mengekang keinginan
liarku yang mendambakan kebebasan di mana aku
boleh memanjat pohon di belakang rumah sebagaimana
yang dilakukan oleh saudara-saudara lelakiku," begitu
Bu Padmo bercerita kepada Tina. "Dan bukan itu saja.
Tetapi juga keinginanku untuk tertawa lepas atau pergi
bermain bola atau apa saja yang hanya boleh dimainkan
anak laki-laki, selalu dihalangi. Semua orang khawatir
aku akan menjadi banci. Padahal, aku ini seratus persen
perempuan." "Saya bisa memahami hal itu, Bu Padmo. Rasanya
dunia ini tidak adil terhadap perempuan. Kalau larangan ini dan itu untuk laki-laki cuma ada lima aturan
misalnya, untuk perempuan tiga atau empat kali banyaknya." "Ya. Bahwa aku menyukai hal-hal yang biasanya
tidak disukai anak perempuan, itu kan masalah selera
belaka. Siapa sih yang bilang bahwa bola itu permainan
milik laki-laki. Siapa sih yang bilang masak-masakan
itu permainan anak perempuan. Sekarang kenyataannya,
acara kuliner atau masak-memasak di televisi banyak
diperagakan oleh laki-laki yang bertubuh gagah. Bukan
lelaki yang keperempuan-perempuanan."
Banyak lagi yang diceritakan oleh Bu Padmo mengenai masa kanak-kanak dan remajanya dulu. Juga
mengenai kerinduan-kerinduan yang ada padanya. Kemudian juga dia menceritakan bagaimana ia merasa
begitu terkesan oleh Tina yang memiliki keberanian
untuk memilih apa yang sungguh-sungguh disukainya
meskipun masih banyak yang menganggapnya kurang
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com198
lazim bagi perempuan. Karena kesan itulah maka Bu
Padmo memberinya pandangan dan masukan sebagai
seorang perempuan yang sudah banyak makan asamgaram kehidupan. "Ini bukan nasehat, Tina. Ini adalah pandanganpandanganku yang siapa tahu dapat kaupakai sebagai
cara untuk menemukan nilai-nilai tertentu sebagai
tambahan pegangan hidupmu. Begini, meskipun aku
memahami dan bisa ikut merasakan bagaimana kamu
ingin melepaskan diri dari ikatan-ikatan yang membelenggu, tetapi sesudah tua ini aku memiliki suatu
pandangan yang lebih baru. Bahwa seorang perempuan
meskipun mendambakan kebebasan untuk memilih dan
menentukan dirinya sendiri dan bisa saja mengabaikan
aturan-aturan baku yang didiktekan padanya, tetapi
hendaknya jangan sampai itu melangkahi kodrat. Sebagai contoh, seorang gadis yang suka kepada hal-hal
yang kelaki-lakian lalu mengerjakan pekerjaan berat
yang melampaui kodrat fisiknya, kurasa itu sudah melewati takaran kesemestian. Wanita hamil tetapi tak
peduli dengan kehamilannya karena ingin memanjat
pohon untuk memetik buah misalnya, itu juga sudah
melampaui takaran kesemestian. Dalam hal dirimu,
Tina, bolehkah aku mengemukakan suatu pandangan
dengan terus terang?" begitu Bu Padmo berbicara tadi
malam sambil berbaring menunggu kantuk.
"Silakan, Bu. Saya senang sekali kalau Bu Padmo
mau menunjukkan suatu pandangan yang mungkin belum saya ketahui!" jawab Tina kemarin malam. Juga
sambil berbaring di dipan satunya.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com199
"Aku sendiri tidak tahu apa persisnya, tetapi begitu
melihat dirimu aku langsung saja teringat masa remajaku dulu. Banyak hal pada dirimu yang mengingatkanku
pada cita-citaku yang tak pernah tersalurkan akibat
situasi zaman. Aku merasa dekat denganmu dan dengan
diam-diam dalam waktu beberapa jam saja sesudah
mendengar obrolanmu dan melihat sepak terjangmu,
aku punya pandangan tertentu mengenai dirimu. Boleh
jadi penilaian itu salah. Tetapi juga boleh jadi penilaian
itu benar. Begini, Tina, mendengar adikmu sudah
menikah dan sepertinya kau sama sekali tidak berminat
untuk memikirkan hal itu, aku menduga ada persamaan
antara dirimu dengan aku semasa muda dulu. Ada
kesombongan atau semacam keangkuhan yang berkaitan
dengan harga diri untuk tidak membiarkan hati dipanah
asmara. Jatuh cinta dan hal-hal yang berkaitan dengan
cinta dianggap sebagai belenggu yang menghambat
kebebasan, sebab dengan adanya panah asmara yang
tertancap di hati, pikiran kita akan banyak sekali tersita
oleh laki-laki khusus itu. Misalnya, meski kita tidak
suka mengenakan gaun, apalagi yang tidak enak dipakai,
tetapi karena ingin tampak memesona dan menarik di
mata kekasih, maka gaun itu terpaksa kita kenakan.
Lalu. agar kekasih senang dekat-dekat, maka terpaksalah
memakai minyak wangi, pengharum rambut, dan lain
sebagainya. Bukankah itu menghambat kebebasan kita"
Nah, itulah yang mungkin juga kaurasakan, Tina."
"Bu Padmo tidak salah," Tina menjawab sambil tersenyum. "Melihat adik-adik saya yang sudah berpacaran
sering sibuk sendiri dan berusaha begini dan begitu,
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com200
lalu menahan diri agar tidak dicela sang kekasih, wah,
rasanya kok seperti diperbudak cinta. Saya tidak suka
keadaan seperti itu."
"Persis seperti yang kutangkap," Bu Padmo tertawa.
"Aku lihat, kau tidak berani jatuh cinta. Padahal itu
adalah salah satu kebutuhan dasar manusia."
"Kebutuhan dasar" Apa maksudnya?"
"Setiap orang, bahkan sejak usia dini pun, ingin
agar kehadirannya dibutuhkan sebagai sesuatu yang ada
nilainya. Tidak sebagai outsider. Jadi eksistensinya sebagai individu diakui orang. Bayangkan kalau seseorang
merasa keberadaannya diabaikan dan disepelekan. Jelas?" "Ya. Memangnya ada berapa kebutuhan dasar manusia, Bu" Ibu tadi mengatakan bahwa cinta itu merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia."
"Ada lima. Pertama, kebutuhan rasa aman. Kedua
kebutuhan rasa bernilai, bahwa dirinya mempunyai
nilai di mata orang. Nah, yang ketiga adalah kebutuhan
akan rasa dihargai."
"Bedanya dengan kebutuhan akan rasa bernilai tadi
apa, Bu Padmo?" "Arti dihargai di sini adalah bagaimana penghargaan
orang terhadap keberadaannya, karya-karyanya,
pandangan-pandangannya, bicaranya, dan seterusnya.
Penghargaan orang terhadap dirinya akan memotivasinya untuk lebih berprestasi lagi. Maka jangan pernah
menjatuhkan seseorang atas apa yang dilakukannya.
Misalnya, hargailah pendapatnya meski bertolak belakang dengan pandangan kita, bahkan andaikata berbeda
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com201
sama sekali dengan pandangan umum sekalipun. Suatu
saat mungkin saja ternyata dia yang benar. Nah, yang
keempat adalah kebutuhan akan rasa dipahami. Kelima,
kebutuhan akan rasa dicintai."
"Kalau begitu semua masalah yang timbul dalam
kehidupan bersama itu terjadi apabila seseorang mengalami hambatan dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya. Mirip dengan lima tingkat kebutuhan dasar manusia menurut Abraham Maslow. Setelah kehidupan vital
seperti makan, minum, tidur, dan seterusnya, kemudian
kebutuhan yang kedua adalah kebutuhan akan rasa
aman. Selanjutnya kebutuhan akan rasa memiliki dan
dimiliki. Berikutnya yang keempat adalah kebutuhan
akan cinta, dicintai dan mencintai, dan yang kelima
adalah kebutuhan akan aktualisasi diri. Ini menyangkut
eksistensi dan kebutuhan untuk merealisasikan potensinya sebagai individu."
"Ya. Maka boleh jadi tanpa kausadari, di dalam
dirimu terdapat dua kutub yang bertolak belakang. Di
satu pihak, sebagaimana manusia biasa kebutuhan dasar untuk dicintai dan mencintai itu juga ada padamu.
Tetapi di pihak lain, kau mempunyai anggapan bahwa
cinta akan menghalangi banyak hal dalam dirimu, terutama kebebasan dirimu. Tentu saja itu kebebasan
menurut pandangan subjektif dirimu sendiri. Kelihatannya, kau selalu berusaha membawa benteng pertahanan
diri ke mana-mana." Dengan diam-diam namun dengan sepenuh perhatian, Tina mendengarkan semua yang dikatakan oleh
perempuan yang kaya pengalaman hidup itu. Baru se001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com202
karang ia menemukan seseorang yang begitu penuh
pengertian dan kemampuan untuk menelusuri lorong
hatinya dengan penelusuran yang hampir tepat semua.
Ibu dan ayahnya saja pun tak sanggup melakukannya.
Kadang-kadang, ia masih dianggap sebagai Kleting
Kuning yang lain daripada lainnya bagi mereka, yang
keluar dari kelaziman tetapi tidak masalah sejauh
masih bisa diterima akal sehat mereka.
Sekarang di malam yang hening, senyap, dan mencekam serta jauh dari siapa pun kecuali dengan Irawan
yang tidur di kamar sebelah, semua yang dikatakan
oleh Bu Padmo itu seperti kembali bergema di rongga
pendengarannya. Banyak sekali yang dikatakan perempuan itu kepadanya dan sebanyak itu pula pengertian yang masuk ke sanubarinya. Di sela keasyikan pembicaraan mereka semalaman kemarin, mata Tina masih
sempat juga melirik jam duduk di sebelah tempat tidur
Bu Padmo. Hampir setengah dua. Tetapi mereka masih
belum juga berhenti mengobrol meski malam telah
merangkak ke dini hari.
Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata wanita tua itu, hati Tina seperti diberi benteng
pertahanan ke mana-mana. Yah, penilaian itu tak jauh
dari kenyataan yang ada sebenarnya. Bukankah ia
pernah berpendapat bahwa orang yang jatuh cinta adalah orang yang mau diperbudak perasaannya sendiri"
Contohnya, Lusi. Demi cintanya ia melepaskan kuliahnya dan membiarkan teman-teman seangkatannya dua
tahun lebih dulu menyelesaikan studinya dan diwisuda.
Demi cinta kepada satu orang lelaki, Lusi mau meninggalkan keluarganya yang penuh kehangatan kasih
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com203
dan pergi bersama lelaki itu ke negeri yang jauh. Demi
cinta itu pula ia berjanji akan memanjangkan rambutnya sebab Hari suka pada rambut panjang. Demi
cinta... bla bla bla bla... Huh.
"Lihat nanti, Mbak Tin, pulang dari sana rambutku
pasti sudah mencapai punggung!" katanya waktu itu.
Dengan bangga pula, seakan apa yang diinginkan Hari
merupakan sesuatu yang paling bagus.
Itu baru contoh di dalam rumahnya. Contoh-contoh
yang lain bahkan mencuil perasaan Tina sebagai sesama
perempuan. Berapa banyak kaum perempuan yang dengan patuh meninggalkan segala hobi dan kariernya
demi seorang lelaki. Lalu berapa banyak pula perempuan yang terbelenggu oleh perasaan cemburu, waswas,
curiga terhadap perempuan lain karena suami atau kekasihnya seorang lelaki yang ganteng, yang berhasil
kariernya, hangat, dan pandai bergaul. Bukankah semua
perasaan semacam itu menghilangkan kebebasan perasaannya" Bukankah perasaan semacam itu menghilangkan
keleluasaannya sebagai pribadi otonom karena membiarkan dirinya dikuasai oleh cinta dan rasa takut ditinggal suami atau rasa waswas kalau-kalau sang suami
mempunyai istri muda" Seluruh hidupnya seakan tergantung sepenuhnya kepada suami. Termasuk kebahagiaan dan ketenangan hidupnya.
Tina tak sudi mengalami hal-hal semacam itu. Ia
berbahagia dengan kebebasan batinnya, dengan keleluasaan pikirannya dan dengan kemandiriannya seperti
yang dijalaninya sekarang. Tak akan ada lelaki yang bisa
berkata demikian, "Tin, kau milikku, kau kekasihku."
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com204
Sebab ia adalah milik dirinya sendiri. Ia seseorang
yang mandiri dan berhak menentukan kemauan dan
dirinya sendiri tanpa harus memikirkan perasaan lakilaki. Dalam gelap kamarnya, Tina tersenyum seorang
diri. Ia memang merasa senang dengan kebebasan itu.
Maka pikirannya ia kembalikan pada bagian lain dari
perkataan-perkataan Bu Padmo kemarin malam. Tetapi
sial, yang tiba-tiba masuk ke dalam pikirannya justru
perkataan beliau yang mengungkit dan menuntut
perhatiannya. "Tetapi, Tina, bagaimanapun hendaknya kita jangan
melangkahi kodrat. Kalau kau lahir sebagai seorang
perempuan, janganlah terlampau jauh lewat dari kesemestian yang diberikan oleh hukum alam dengan
sifat pembawaan yang mau tak mau menjadi bagian
kita itu. Sebab, ada hal-hal yang berkaitan dengan sifat
bawaan yang menyertai kodratmu sebagai perempuan
normal. Misalnya, panggilan naluri atau hasrat pembawaan yang datangnya dari dalam yaitu naluri keibuan. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh rasio. Naluri
yang datang begitu saja, yang bisa kita lihat juga pada
binatang yang paling liar dan paling ganas sekali pun,"
begitu antara lain yang dikatakan oleh Bu Padmo.
"Tetapi, Bu, selama ia masih seorang manusia yang
kemisteriusannya tak pernah tuntas terungkap oleh
ilmu apa pun, selama itu pula pasti ada kekecualiannya!"
Tina masih membantah malam itu. "Saya bahagia dengan cara pandang yang saya miliki."
"Bahagia itu relatif, Sayang. Suatu saat pasti kau
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com205
akan mengalami pergeseran sesuai dengan bertambahnya umur, pengalaman, dan hal-hal tertentu lainnya yang
bersifat situasional," komentar Bu Padmo. "Apalagi betapapun kelaki-lakiannya dirimu dan betapapun mandirinya dirimu, mata tuaku masih dapat menangkap bahwa
kau tetap seorang gadis yang normal. Hanya saja kau
memiliki minat dan selera yang agak berbeda daripada
minat dan selera gadis-gadis pada umumnya!"
Tina waktu itu terdiam. Sama seperti sekarang
dalam kesendiriannya, tiba-tiba saja ia juga seperti dibungkam. Senyum yang sempat merekahkan sudutsudut bibirnya tadi lenyap seketika. Seolah kata-kata
Bu Padmo barusan seperti hendak menjawab senyum
bahagia Tina ketika merasakan bahwa dirinya memiliki
kebebasan, kemandirian, dan yang belum pernah diperbudak oleh apa pun atas nama cinta. Seolah pula, Bu
Padmo seperti mengingatkannya bahwa kebahagiaan
semacam itu bukanlah kebahagiaan yang menetap. Ada
sesuatu yang tak bisa dielakkan sebagai insan berjenis
kelamin perempuan, yaitu menjadi ibu, hamil, melahirkan, dan menyusui. Merasa enggan memikirkan kenyataan itu, Tina segera menutup kepalanya dengan bantal dan mencoba
untuk tidur kembali. Seperti tadi, hal itu pun sulit
dilakukannya. Sementara itu malam semakin menggelincir menuju ke dini hari. Di kejauhan, sayup-sayup
Tina mendengar suara kokok ayam. Ia merasa jengkel
karena tidak juga bisa tertidur kembali sehingga akhirnya ia duduk untuk meraih arlojinya. Jam setengah
empat. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com206
Sungguh jam yang tanggung, gerutunya dalam hati.
Andaikata ia dapat tidur kembali, pasti itu akan terjadi
pada saat hari menjelang terang tanah. Padahal Irawan
sudah mengatakan akan mencari montir pagi-pagi sekali supaya dapat melanjutkan perjalanan secepatnya
sehingga kalau mungkin, dia masih bisa mengejar
waktu kuliah, tak perlu membolos. Ada satu mata
kuliah wajib yang masih belum dipenuhinya. Tanpa itu,
ia tidak diperkenankan menggelar seminar materi tesisnya. Jadi setidaknya, kalau mesin truk bisa diatasi, mereka dapat segera kembali ke Jakarta sebelum pagi
menjadi siang. Kalaupun terlambat ke tempat tugas
mereka, tidak terlalu lama. Begitulah kata Irawan menjelang mereka masuk ke kamar masing-masing tadi
malam. Mengingat hal itu, Tina segera melemparkan selimut yang masih membungkus tubuhnya itu jauh-jauh
di bawah kakinya. Kemudian meloncat dari tempat
tidur dan pelan-pelan keluar kamar. Udara dingin
sungguh-sungguh menggigit tubuhnya. Lebih-lebih ketika ia ke kamar mandi untuk mencuci muka dan
menggosok gigi. Seolah ia mencuci muka dengan air es
saja rasanya. Di penginapan seperti ini, mana ada air
panas" Tetapi toh begitu keluar dari kamar mandi, ia
merasa tubuhnya segar sekali. Lebih-lebih sesudah ia
menukar celana dan blusnya serta menyisir rambut
pendeknya itu. Dan menjelang jam empat pagi hari itu,
Tina sudah keluar penginapan dengan jaket yang
menyelimuti tubuhnya. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com207
Udara pagi pegunungan yang demikian sejuk dan
segar itu menyambutnya. Cuaca masih gelap dan kabut
masih menggantung di mana-mana, menghalangi
pemandangannya ke arah gunung, bukit, dan lembah
yang terletak nun di sana. Tetapi cahaya lampu teras
yang ada cukup menerangi sekitar. Truknya masih tegar
berdiri di bawah pohon, seolah tak ada kerewelan
padanya. Dan tanaman-tanaman hias di halaman itu
terlihat jelas pula oleh pandang matanya.
Tiba-tiba Tina merasa sangat lapar. Ia teringat
masih ada beberapa makanan di dalam truk. Juga ada
bungkusan makanan kering untuk oleh-oleh. Teringat
itu, ia masuk kembali ke rumah untuk mengambil
kunci truk. Dengan kunci itu Tina masuk ke dalam
truk dan mulai mencari-cari makanan. Disandarkannya
tubuhnya ke jok truk itu sambil menikmati makanan
yang kemarin sore dibeli untuk bekal iseng-iseng di
jalan. Sayang tidak ada musik dalam truk itu, pikirnya.
Kalau ada, alangkah nikmatnya. Cuaca yang semakin
remang, menyingkapkan malam dan memunculkan
sosok-sosok di kejauhan yang semula tak tertangkap
oleh pandangan matanya. Dan akhirnya juga cahaya di
langit yang merona kemerahan yang lembut mulai bersemburat di ufuk timur. Sungguh indah. Padahal
mentari belum lagi muncul.
Sesudah puas menatapi keindahan yang masih belum begitu nyata karena remang sisa malam masih
belum seluruhnya lenyap, Tina meloncat turun kembali.
Rasa laparnya sudah agak terpuaskan meski belum
tuntas. Iseng dibukanya tutup mesin.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com208
Semalam, matanya masih berat karena kantuk dan
cuaca begitu gelap sehingga tak memungkinkan ia melihat bagian-bagian mesin truk itu dengan baik. Sekarang ia merasa penasaran. Siapa tahu ia dapat menemukan kerewelan mesin truk itu sebelum Irawan
terbangun dan memanggil montir.
Demikianlah, menjelang mentari muncul di garis
permukaan bumi, Tina sudah sibuk membongkar mesin truk itu. Begitu asyiknya sampai-sampai ia tak tahu
bahwa Irawan sudah ada di belakangnya dan melihat
perbuatannya. "Ketemu?" tanya lelaki itu.
Tina tersentak, lalu menoleh.
"Ketemu apa?" ia ganti bertanya.
"Ketemu yang rewel, tentu saja."
"Kan sedang kucari."
"Ayo, kubantu. Siapa tahu kita berdua bisa menemukannya. Kan jadi tak perlu memanggil montir!"
"Itulah yang kupikirkan," sahut Tina. Kali itu sambil
melepaskan busi dan menyikatnya dengan sikat gigi
bekas yang memang selalu ada dalam peti perkakasnya. Irawan memeriksa bagian lainnya. Tetapi sedang ia
melepaskan salah satu bagian dari mesin truk itu, perutnya berbunyi. Tina tertawa mendengarnya.
"Lapar?" tanyanya.
"He-eh." "Aku tadi juga kelaparan. Tetapi sekarang sudah
kenyang setelah kuisi dengan bekal kita kemarin. Aku
menyisakan untukmu. Masih ada roti isi daging, kue
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com209
bolu, keripik pisang, dan oncom goreng yang kita beli
di toko oleh-oleh kemarin sore. Makanlah dulu. Lumayan buat pengganjal perut lapar."
"Roti isi dagingnya tidak bau?"
"Nggak. Kan kemarin sore baru matang ketika kita
membelinya. Lagi pula di udara dingin begini, makanan
lebih lama basinya!"
"Oke, aku mau makan dulu kalau begitu. Sebentar,
aku akan cuci tangan," kata Irawan dengan hati lega.
Perutnya yang lapar ada yang akan menenangkannya.
Ketika Irawan sudah duduk di atas batu besar
sambil sarapan, Tina mengembalikan seluruh perhatiannya kepada pekerjaannya. Dan sesudah mengembalikan
semua bagian yang tadi dilepas pada tempatnya masingmasing, ia menyalakan mesin. Mesin itu langsung menyala dan suara terbatuk-batuk itu sudah hilang sehingga ia bersorak. "Lihat, Mas!" katanya kemudian. "Hebat ya aku?"
Irawan menyeringai melihat kegembiraan gadis itu.
Tetapi mau tak mau ia toh harus mengakui juga kehebatan Tina. Tak banyak gadis-gadis yang mau berurusan dengan soal-soal mesin, apalagi mesin truk seperti itu. "Coba, jalankan!" katanya kemudian.
Tina menurut. Tetapi ternyata, jalannya masih saja
tersendat-sendat dan sesekali suara mesinnya masih
terbatuk. Maka kegembiraannya mulai surut kembali.
Mesin truk dimatikannya. "Wah, apa lagi nih yang belum ketemu?" gerutunya
sambil meloncat turun kembali.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com210
"Sekarang giliranku yang mencarinya, Tin!" kata
Irawan. Roti yang tinggal sedikit di tangannya itu dimasukkannya ke dalam mulut. Kemudian ia berdiri
dan berjalan ke arah truk kembali.
"Biar aku yang mencarinya!" sahut Tina, masih merasa penasaran. "Masa sih nggak ketemu. Sebab meskipun kadang-kadang rewel, tetapi biasanya truk ini
mudah dikuasai kerewelannya. Mbah Bejo nyaris tak
pernah mogok. Dia sahabat sejatiku kok."
"Tanganmu sudah kotor semua, Tin. Biar aku sekarang yang mengerjakannya meskipun kau hebat dan
mampu mengerjakannya sendiri," desak Irawan.
"Tidak. Aku harus menemukan kerewelan itu!"
Tina membantah.
Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudahlah, jangan gengsi-gengsian untuk menunjukkan kehebatanmu. Aku mau segalanya cepat selesai!"
"Dengan kata lain, cara kerjaku lambat, kan?"
"Barangkali!" Irawan menjawab sambil menyeringai
lagi. "Kata barangkali bukanlah suatu kepastian!" gerutu
Tina. "Minggir, biar aku yang mengerjakannya. Dan tak
ada soal gengsi-gengsian atau pamer kehebatan di sini.
Aku memang suka mengerjakannya. Tahu?"
"Tin, jangan seperti anak kecil. Kita diburu waktu
nih!" "Aku juga bisa cepat mengerjakannya!"
"Kau keras kepala!" Sekarang Irawan yang menggerutu. Tetapi tangannya tetap bergerak mengambil
perkakas. "Minggirlah."
"Kau yang harus minggir, Mas. Ini trukku!" seka001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com211
rang Tina yang menyuruh Irawan minggir. "Minggirlah." Tetapi Irawan tetap berdiri tegak di muka mesin
truk dan melirik kesal ke arah Tina.
"Kau yang minggir!" katanya. "Seperti anak kecil
saja." "Tidak. Kau yang harus minggir. Dan kau yang
seperti anak kecil keras kepala!" balas Tina.
Merasa tak ada gunanya berdebat, Irawan tak lagi
bicara tetapi bertindak. Dibukanya lagi saringan bensinnya seperti semalam. Tetapi Tina mendahuluinya.
"Tak perlu," katanya. "Kemarin kan sudah diperiksa.
Tak ada kotoran di situ." Tangannya menghalangi tangan Irawan. "Kemarin malam kan gelap, Tin. Siapa tahu kotoran
bensinnya baru sampai ke saringan sekarang sesudah
kita paksa berjalan sampai ke penginapan ini."
"Oke, aku yang akan melihatnya!"
Tetapi tangan Irawan yang bebas mulai bergerak
lagi. Dan karena takut didahului oleh tangan Tina,
lelaki itu segera mencekal tangan sang gadis yang sudah
mulai menjulur. "Aku yang akan melihatnya!" katanya.
"Aku!" "Aku!" Kedua tangan itu berkutat. Akhirnya Irawan tertawa kesal. "Kau seperti anak kecil!" gerutunya.
"Kau juga!" "Kau lebih-lebih lagi. Keras kepala pula!"
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com212
"Kau juga!" Sekarang Irawan tertawa lagi. Sifat tawanya lebih
sebagai rasa geli daripada kesal seperti sebelumnya.
"Kita berdua seperti anak kecil yang keras kepala!"
"Tidak. Kau yang seperti itu. Aku tidak!" sahut
Tina. "Apalagi buktinya kuat. Tanganmu masih juga
memegangi tanganku."
"Aku tak akan melepaskannya sebelum kau mengalah!" ancam Irawan sambil menyeringai.
"Tetapi aku tak akan mengalah selamanya!" Tina
menjawab dengan nada kemenangan. "Kau akan capek
memegang tanganku!" "Tidak. Aku tak akan capek hanya karena memegang tanganmu. Hayo, siapa yang lebih tahan!" Irawan
juga menantang. Ditantang seperti itu, Tina mana mau mengalah"
Kepalanya ditengadahkannya dan dipandangnya mata
Irawan dengan berani. "Akan kita lihat kenyataannya!" katanya.
Kedua bola mata mereka pun saling bertatapan. Satu
hal telah mereka lupakan. Tempat itu sunyi. Udara di
tempat itu begitu sejuk. Dan kedua belah tangan mereka
mengalirkan kehangatan tubuh masing-masing sementara wajah mereka begitu dekat satu sama lain.
Maka terkejutlah Tina ketika tiba-tiba ia menyadari ada
desiran aneh melewati hatinya. Begitu juga dengan hati
Irawan yang diserbu oleh sensasi seperti yang tadi
malam dirasakannya ketika Tina tanpa sengaja tertidur
dengan kepala menyandar ke lengannya.
Tina melihat getar pada bola mata Irawan. Hatinya
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com213
bertanya-tanya, apakah lelaki itu tahu bahwa ia sedang
merasakan desiran aneh yang tiba-tiba lewat, bahkan
datang dan pergi dalam hatinya"
Berpikir seperti itu, meronalah pipi gadis itu dengan
semburat merah alami dan yang tanpa ia sadari telah
menonjolkan kecantikannya.
Melihat itu, hati Irawan berdebar. Betapapun tak
berpengalamannya dia, melihat pipi seorang wanita
yang tiba-tiba memerah itu ia toh tanggap juga terhadap sesuatu yang mungkin melintasi pikiran Tina
saat itu. Untuk menetralisir debar-debar dalam dadanya, ia segera bersuara. "Kau sudah mau menyerah?" tanyanya.
"Belum." Selesai menjawab itu, Tina kaget. Ia merasa asing kepada suaranya sendiri yang agak bergetar.
He, ada apa ini" "Belum?" Kali ini kepala Tina yang menggeleng sebagai ganti
jawaban terhadap pertanyaan Irawan itu. Ia takut bersuara lagi. Jangan-jangan suaranya masih bergetar. Dan
jangan-jangan pula Irawan menangkap getaran itu.
Wah, memalukan jadinya. Kentara kalau kedekatan
fisik di antara mereka berdua itu cukup berpengaruh
pada ketenangan yang biasanya ada pada dirinya.
"Oke," sahut Irawan perlahan. "Kalau kau memang
belum merasa kalah, aku juga tak mau melepaskan
tanganmu. Tetapi karena aku merasa lelah berdiri lama
begini, aku akan duduk di atas rumputan lebat itu."
"Aku?" Mata Tina agak terbelalak menatap mata
Irawan yang masih saja berpijar-pijar.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com214
"Kubawa duduk!"
Selesai bicara seperti itu, Irawan menghela tangan
Tina. Karena pegangan dan helaan tangan lelaki itu
begitu kuat, mau tak mau Tina ikut berjalan dan kemudian duduk di sisi Irawan. Tetapi kini, keduanya
seperti kehilangan kata-kata. Kedekatan itu begitu terasakan oleh mereka. Kehadiran masing-masing pihak
begitu disadari. Lama-kelamaan Irawan menjadi tak
tahan. Sensasi yang tadi hanya melintas sesaat demi
sesaat, kini datang seperti air bah yang datang bergulung-gulung. Ini sungguh suatu pengalaman baru
baginya. "Aku gemas kepadamu!" katanya dengan suara bergetar dan parau. Ya ampun, jangan-jangan telinga Tina
menangkap suaraku yang bergetar ini, pikirnya. Wah,
celaka. Ia pasti tahu bahwa kedekatan dengannya mulai
memengaruhiku. Tina meliriknya. Mata mereka bertemu lagi.
"Aku juga gemas kepadamu!" kata Tina. "Amat sangat. Belum pernah ada orang yang bisa membuatku
tidak tahu harus melakukan apa dan bagaimana. Menarik tanganku dengan paksa, seolah kau menganggapku
telah kalah padahal aku tak mau dinilai kalah. Tetapi
membiarkan tanganku berada di dalam genggaman
tanganmu, seperti... seperti..."
Tina yang memang suka bicara polos dan blak-blakan itu mendadak menghentikan bicaranya. Ia sadar
bahwa bicaranya kali itu telanjur jujur. Tetapi Irawan
mana mau tahu itu" Kejujuran gadis itu diterimanya
dengan suka hati. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com215
"Seperti apa?" tanyanya dengan nada mendesak.
"Ah, tidak..." "Hayo, katakan, seperti apa!" sambil berkata seperti
itu tangan Tina disentakkannya. "Kau sudah telanjur
mengatakan ujung kalimatnya. Ayo, jujurlah."
"Tidak!" "Harus. Kau tak ksatria!"
Disinggung jiwa keksatriaannya, menimbulkan keberanian di hati Tina. Ia harus bersikap jujur.
"Oke, maksudku... tangan berpagutan begini, seperti
kita ini sedang pacaran saja!" katanya.
Irawan terdiam sesaat lamanya.
"Kau pernah pacaran?" tanyanya.
"Belum. Eh, tidak!"
"Aneh," sahut Irawan. "Aku juga belum. Kita samasama belum berpengalaman rupanya."
"Lalu kenapa kalau begitu" Jangan mencari-cari
alasan lho." "Alasan apa yang kaumaksudkan?"
"Alasan supaya aku menarik tanganku dan menyatakan kalah!" sahut Tina, sesuai dengan apa yang sedang
dipikirkannya. Pembicaraan terakhir yang lancar itu sedikit mengurangi perasaannya yang tadi agak kacau karena pengaruh pagutan tangan Irawan. Begitupun halnya
dengan Irawan. Bahkan ia masih bisa tertawa.
"Jadi kau belum menyatakan kekalahanmu, kalau
begitu?" tanyanya. "Idih, siapa yang mau menyatakan bahwa aku sudah
kalah" Kau yang kalah, Mas. Bukan aku."
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com216
"Oke, aku akan terus menggenggam tanganmu kalau
begitu. Kalau perlu, kita tidak usah membetulkan mesin truk dan terus duduk di sini sampai besok. Setuju?"
tanya Irawan dengan nada menggoda.
Tanpa sadar, Tina tersipu sehingga untuk kesekian
kalinya Irawan melihat ciri-ciri perempuan hasil didikan budaya patriarki yang ternyata masih memengaruhi
gadis itu. Meskipun jika dilihat sepintas Tina mirip
seorang pemuda tampan, namun tampaknya budaya
yang mendikotomi laki-laki dan perempuan dalam cara
berkegiatan, bersikap, berperilaku, dan membangun
perasaan, masuk juga ke dalam pikiran Tina.
"Bagaimana?" tanyanya ketika Tina belum juga bersuara. "Terserah." "Oke," tawa Irawan. "Sekarang dua orang dewasa
yang seperti anak kecil dengan sifat keras kepala, duduk
di atas rumputan dengan tangan saling berpegangan."
"Hanya yang seorang saja yang keras kepala. Bukan
dua orang!" balas Tina tak mau menyerah kalah.
"Oh, ya. Kau benar. Dan yang keras kepala itu bukan aku!" Mendengar sahutan itu, Tina menyentakkan tangannya dengan mulut meruncing. Tetapi tangan Irawan
mempertahankannya dengan kuat sehingga daya sentakan itu berbalik. Tanpa dapat dicegah, tubuh Tina
bagian atas menjadi oleng dan rebah ke atas dada
Irawan. Keduanya, si lelaki dan si gadis yang tak berpengalaman dalam hal pacaran itu, menangkap bau tubuh
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com217
masing-masing. Irawan dengan harum kelelakiannya
yang khas, campuran asap rokok dan deodoran. Tina
dengan bau harum hair tonic dan bedak bayi yang
selalu dipakainya setiap habis mandi. Maka terpanalah
keduanya. Bahkan secara tiba-tiba tanpa yang bersangkutan mengerti apa sebabnya, Irawan merasakan
dirinya menjadi penuh dan kematangannya sebagai
laki-laki dewasa merekah. Tangannya yang bebas bergerak tanpa ia mampu menguasainya dan melingkari
bahu gadis yang masih tersandar di atas dadanya.
Pendekar Pedang Dari Bu Tong 9 Pendekar Naga Putih 63 Duel Jago Jago Persilatan Pendekar Wanita Baju Merah 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama