Ceritasilat Novel Online

Menyemai Harapan 2

Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono Bagian 2


kena guna-guna karena seluruh akal sehatnya seperti
tidak berfungsi baik. Begitu yang dikatakan Sonny
kepadaku," kata Dion lagi.
Dewi terdiam sehingga Dion ikut terdiam dan
meng hentikan bicaranya. Lama, keheningan yang terasa
menyesakkan dada itu mengudara di kamar pengantin.
Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Tetapi kemudian Dion mulai bicara lagi, mengutarakan
apa yang tadi belum sempat dikatakannya.
"Mbak, terlepas dari semua itu, aku sungguh sangat
salut kepadamu karena mampu menguasai keadaan
sehingga Ibu tampak lebih tenang," katanya.
"Aku memang hanya memikirkan perasaan Ibu kok."
http://pustaka-indo.blogspot.com79
"Tetapi bagaimana dengan perasaanmu sendiri,
Mbak?" "Ini hanya untukmu sendiri ya, Dion. Terus terang,
perasaanku sendiri sangat kacau. Rasanya sungguh
tidak rela membiarkan diriku melaksanakan perkawinan dengan Mas Puji meskipun itu hanya untuk menghindari jatuhnya nama baik keluarga. Tetapi demi Ibu,
demi keluarga besar kedua belah pihak... aku ikhlas."
"Aku sangat prihatin, Mbak...."
"Ya... tetapi betapapun buruknya pengalaman pahit
ini, aku masih bisa menangkap pelajaran berharga tentang kehidupan di balik semua itu. Ibu kan mengatakan bahwa ini semua hukum karma atas perbuatan
Bapak. Soal kebenarannya, kita manusia biasa ini tidak
tahu," kata Dewi. "Tetapi nasihat Ibu selama ini bahwa
janganlah menyakiti hati orang kalau hati kita tidak
suka disakiti, sungguh sangat mengena. Begitu juga
nasihat beliau bahwa apa yang kita panen adalah hasil
apa yang kita pernah tanam. Kalau kita ba nyak
menabur kebaikan, pasti kita akan menuai kebaik an
yang sama. Itu bukan cuma peribahasa saja, tetapi sesuatu yang logis, Dion. Asalkan kita berbuat kebaik an
tanpa pamrih dan dengan hati tulus, pasti ada saja
orang yang akan membalas kebaikan kita. "
"Iyalah, Mbak. Ketulusan hati itu jauh lebih penting," sahut Dion sambil mengangguk. "Nah, kembali
ke soal Ibu... tampaknya beliau masih menumpahkan
penyesalannya pada Bapak, bahwa gara-gara Bapak-lah
kita mengalami masalah seperti ini."
"Kasihan Ibu. Sudah terlalu banyak kepahitan yang
http://pustaka-indo.blogspot.com80
di terimanya. Ibu sangat mencintai Bapak, tetapi cinta
dan kesetiaannya dibalas dengan kebalikannya. Kita
ingat berapa lama Ibu mencoba bertahan dan mencari
pijak an dan pegangan yang bisa membuatnya tampak
berharga di mata Bapak. Berbagai upaya dilakukannya
sampai akhirnya beliau mampu mandiri dengan menjadi pribadi yang lepas dari Bapak, tampil sebagai
peng usaha kue dan guru kursus masak yang andal dan
disukai. Namun, peristiwa dua hari ini membuatnya
kembali te r ombang-ambing, bahkan lebih daripada sebelumnya, sehingga aku segera mengambil keputusan
yang bisa membuat Ibu tenang."
"Ya...." Dion menarik napas panjang. "Kita anakanak nya berutang banyak kepada Ibu yang selalu berusaha mengisi kekurangan perhatian maupun waktu
Bapak yang seharusnya untuk kita. Kita harus selalu
ber usaha agar Ibu sadar bahwa beliau sangat berarti
buat kita semua. Juga berarti bagi para murid di tempat kursus dan langganan-langganannya. Beliau juga
harus sadar bahwa dirinya adalah pribadi yang tak
perlu menyangkutkan diri pada Bapak. Suami-istri adalah dua pribadi yang masing-masing memiliki otonomi
pribadi." "Dion, kau sedang menguliahi aku, ya?" Dewi tersenyum. "Kau tak perlu khawatir. Aku berbeda dengan
Ibu. Mas Puji berada di luar diriku, kalau itu yang
kau maksud. Apalagi sekarang setelah aku tahu kelakuan nya." "Aku menyayangimu, Mbak. Kau telah berkorban...."
Dewi menatap Dion dengan mata yang tiba-tiba
http://pustaka-indo.blogspot.com81
menjadi basah. Tangannya terulur untuk kemudian
meng usap-usap lembut kepala sang adik yang usianya
hanya dua tahun lebih muda darinya itu.
"Terima kasih," katanya parau. "Kasih sayangmu dan
juga kasih sayang adik-adik kita akan sangat membantuku untuk tetap berdiri tegak me nyelesaikan sandiwara hidup ini besok. Begitu juga, kita berempat harus
selalu bergandengan tangan men dampingi Ibu."
Dion mengangguk. Matanya memerah menahan
tangis. Dia tahu betul apa yang dirasakan kakak. Mas
Puji memang keterlaluan, pikir nya. Kalau tidak memikir kan ibunya dan nama baik keluarga, ingin sekali
ia membawa lari kakaknya agar tidak perlu menikah
dengan laki-laki me nyebal kan itu.
"Aku akan menyampaikan pesanmu kepada Doni
dan Dana, Mbak," sahutnya kemudian dengan suara
yang juga parau. Dewi tersenyum lembut. "Inilah keadilan Yang Mahakuasa, Dion. Dia tidak
pernah memberi kesusahan dan kesulitan yang sungguh
utuh dan bulat. Selalu ada celah yang disebut hikmah.
Tinggal kita saja yang harus bisa menemukannya,"
sahut nya. "Dalam keadaan nyaris tak berdaya begini,
merasakan kasih sayang dari adik-adikku dan juga dari
sepupu-sepupuku, terutama Astri, aku sungguh merasa
amat terhibur." "Ah, kau benar-benar orang Jawa," Dion berusaha
melucu agar mereka tidak tenggelam dalam ke sedihan
yang bercampur keharuan. "Selalu mencoba melihat
segi untungnya." http://pustaka-indo.blogspot.com82
"Ya, memang." Dewi tersenyum lagi menanggapi perkataan sang adik. "Sebagai orang Jawa, aku juga selalu
berusaha mengadakan kompromi dengan realita yang
ada agar bisa tetap seimbang demi mencapai keselarasan batin. Mungkin saja menurut psikologi, hal itu yang
di namakan defence mechanism atau mekanisme pertahanan jiwa. Itulah sebabnya orang-orang Jawa lebih
mudah mengatakan "untung" begini atau begitu."
"Ya. Kalau dia ketabrak motor misalnya, masih bisa
mengatakan untung hanya kakinya yang patah. Bukan
kepalanya," sambung Dion sambil tersenyum.
"Betul, Dion. Untung aku punya tiga adik lelaki
yang rukun, saling menyayangi, dan mendukung ku di
saat-saat seperti ini."
Dion tersenyum lagi. "Sekarang sudah malam, Mbak. Cobalah tidur atau
setidaknya beristirahat. Tak perlu menunggu bidadari
turun, kau sudah sangat cantik... lahir dan batin,"
katanya sambil berdiri. "Apa pun yang terjadi besok,
akan kita hadapi bersama-sama."
"Terima kasih atas dukunganmu, Dion. Aku siap
kok menghadapi apa pun yang paling buruk selama
kalian semua ada di sampingku." Dewi mengangguk.
"Bagus. Aku dan adik-adik kita bangga punya kakak
yang meskipun dari luar tampak lemah lembut, namun
keuletan dan kekuatan batinnya luar biasa. Gadis lain
pasti sudah menangis meng gerung-gerung.."
"Hush..." Dion tersenyum lagi, kemudian keluar dari kamar
pengantin. Dewi menatap punggung adiknya sampai
http://pustaka-indo.blogspot.com83
pemuda itu lenyap dari pandangan. Yah, malam
midodareni yang konon katanya merupakan malam
ketika calon pengantin tidak boleh tidur se belum jam
dua belas agar kecantikan para bidadari turun
kepadanya, bagi Dewi hanyalah bagian dari upacara
belaka. Apalagi dalam kondisi seperti ini. Kalaupun
betul, untuk apa dia menjadi secantik bidadari" Belum
tentu pula bidadari mau meminjam kan kecantikannya
pada calon pengantin pria yang se karang entah ada di
mana. Dewi menarik napas panjang. Seluruh kamar
pengantin ini tampak begitu indah, semarak dan wangi
oleh taburan bunga melati di atas karpet dan teruntai
menjadi hiasan indah di dalam vas cantik yang diletakkan di meja rias yang juga telah dihias.
Untuk apa" pikirnya menertawakan semua yang ada
di hadapannya itu. Maka ia bermaksud tidur lebih
cepat. Setelah keletihan lahir-batin yang dialami dalam
dua hari terakhir ini, ia perlu mengistirahatkan tubuh
dan otaknya. Besok apa pun yang terjadi, harus
dihadapinya dengan kekuatan ekstra. Dia tidak peduli
apakah akan ada bidadari yang turun untuk mem berikan kecantikan mereka ataukah hanya iblis yang akan
datang untuk menertawakan nasibnya. Masa bodoh.
Jadi meskipun baru jam setengah sebelas, ia telah melepas kan satu per satu pakaiannya. Mulai dari sanggulnya, sampai kebaya berwarna pink yang mem buatnya
semakin bertambah jelita. Ketika ia sudah me makai
pakaian tidur dan sedang membersihkan wajah nya dari
berbagai riasan, Astri masuk ke kamar nya.
http://pustaka-indo.blogspot.com84
Perempuan itu menatapi pakaian midodareni yang
terlipat di atas kursi, kemudian menarik napas panjang.
"Baru jam setengah sebelas..." bisiknya.
Dewi menoleh ke arah adik sepupunya itu. Kemudian tersenyum manis. "Aku tidak mengharapkan kecantikan dari bidadari,"
sahutnya mencoba bercanda. "Belum tentu pula mereka
akan mampir ke sini. Jadi lebih baik aku mencoba tidur
agar memiliki kekuatan untuk menghadapi apa pun
yang akan terjadi besok."
"Kau perempuan yang luar biasa, Mbak Wik," kata
Astri. "Tabah, kuat, dan berani menghadapi kenyataan.
Malam ini, aku akan tidur di sini, me ne mani perempuan hebat ini." "Aku senang sekali kau mau menemaniku tidur di
sini," sahut Dewi. "Kau pasti lelah dengan beban berat
di tubuh dan perasaan yang sedih karena apa yang kualami. Berbaringlah lebih dulu."
Astri mengambil bantal dan digelarkannya di karpet.
Tetapi cepat-cepat Dewi mencegahnya.
"Kita akan tidur di tempar tidur, Tri. Bukan di
bawah. Ingat kandunganmu."
"Ini kan tempat tidur pengantin..." Suara Astri terhenti oleh tawa Dewi. "Ini tempat tidurku, Tri. Aku berhak menyuruh
siapa pun tidur di sini. Jangan lagi dirimu yang
saudara ku sendiri, orang di jalan sana kalau ingin tidur
di sini, akan kupersilakan untuk merasakannya," kata
gadis itu. "Mbak Wik!" http://pustaka-indo.blogspot.com85
"Aku cuma ingin bercanda. Tidurlah duluan. Aku
masih belum selesai membersihkan riasan wajah ku."
Ketika akhirnya Dewi menyusul berbaring di samping Astri yang sudah lebih dulu mengistirahatkan
tubuhnya, tiba-tiba pintu kamar diketuk seseorang, dan
Dion masuk dengan tergesa-gesa.
"Mbak Wik," katanya tergesa-gesa. "Baru saja Mas
Sonny menelepon. Katanya, Mas Puji sudah pulang."
Tidak ada rasa gembira di hati Dewi ketika mendengar berita itu. Ia tahu betul, Puji pulang bukan
karena dirinya, melainkan untuk memenuhi gencarnya
panggilan melalui berjenis media yang dilakukan keluarganya. Ah... perkawinan macam apa ini" Bisakah
perkawinan yang landasannya seburuk ini bertahan"
Dewi sangat meragukannya. Tetapi..."
"Lalu...?" tanyanya kemudian, tanpa semangat sedikit
pun. "Kau dipanggil Bapak dan Ibu. Keluarga kita sudah
menunggu di ruang tengah untuk membicarakan acara
besok. Dan di rumah Mas Puji, seluruh keluarga
sedang rapat dan menunggu jawabanmu..."
"Keluarga Mas Puji" Apa kaitannya?" Astri menyela.
"Mas Sonny mengatakan bahwa jadi atau tidaknya
upa cara perkawinan besok, tergantung kepadamu,
Mbak Wik. Mereka tidak berani memaksakan kehendak. Maka mereka menunggu jawabanmu, Mbak."
Dewi mengangguk sambil meraih kimono sutranya.
Setelah mengenakannya, ia menoleh ke arah Astri.
"Kalau kau capek, tiduran saja, Tri. Tidak usah ikut
rapat," katanya sambil beranjak meninggalkan ka mar.
http://pustaka-indo.blogspot.com86
"Tidak. Aku ingin mengetahui perkembangannya,"
sahut Astri. Perempuan yang sedang hamil tua itu
menyisir rambutnya yang agak berantakan, kemudian
mengekor di belakang Dewi.
Di ruang tengah telah berkumpul seluruh keluarga
inti maupun para sepupu serta kakak dan adik orangtua Dewi. Melihat seluruh keluarga siap membahas
perkembangan baru itu, Astri berbisik ke padanya.
"Jawab lah apa yang sungguh-sungguh kau ingin kan,
Mbak. Jangan memikirkan untung-rugi siapa pun, tetapi pikirkanlah kebahagiaanmu sendiri."
Dewi mengangguk. Dia sudah punya jawaban sendiri. Tinggal menentukan keputusannya. Tetapi sebelum nya ia ingin mendengar dan mempelajari semua
hal yang akan dikatakan keluarga besarnya.
Sambil menempati kursi yang kosong, Dewi melirik
ibunya. Meskipun matanya agak sembap, na mun Dewi
menangkap sinar kepasrahan dan kelegaan yang


Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemarin tidak ada di mata perempuan paro baya itu.
Rupanya berita kembalinya Puji telah mem buat
perasaannya lebih baik. "Wik, kau pasti sudah mendengar dari Dion mengenai kepulangan Puji," kata ibu begitu Dewi duduk
manis. "Menurut rencana, besok pagi adalah upacara
pernikahan dan kemudian malam harinya resepsi di
gedung. Nah, kami semua, bahkan juga keluarga Puji,
ingin mendengar jawaban mu, jawaban yang sungguhsungguh keluar dari hatimu. Apakah seluruh acara
perkawinan itu kita batalkan ataukah terus dilanjutkan,
kedua belah pihak keluarga semua akan mendukung
http://pustaka-indo.blogspot.com87
dan menghormati apa pun jawabanmu. Sekali lagi,
Nduk, jawaban itu harus benar-benar sesuai dengan
kata hatimu sendiri karena dirimulah yang akan menjalaninya. Kami kan hanya mengantarkanmu...."
Suara Ibu Sulistyo terhenti gelombang tangis yang
mulai naik ke tenggorokannya. Melihat itu, sang suami
mengambil alih pembicaraan.
"Seperti yang dikatakan ibumu, kami hanya ingin
mendengar jawaban yang betul-betul keluar dari hatimu. Kalau kau menolak menikah, kami akan menyetujui keputusanmu karena memang hanya dirimulah
yang berhak menentukan kehidupanmu sendiri. Bukan
Bapak, Ibu, atau yang lain betapapun eratnya hubungan darah kita. Juga jangan sampai keputusanmu nanti
di pengaruhi hal-hal yang cuma bersifat materi. Berapapun besarnya biaya yang sudah dikeluarkan, tidak
masa lah bagi kami. Kalaupun itu akan mubazir, abaikan saja, karena yang paling utama adalah kebahagiaanmu." "Kata-kata orangtuamu betul, Nduk. Masalah aib
atau rasa malu, biarlah kita tanggung bersama-sama.
Anjing menggonggong, kailah berlalu," paman Dewi
dari pihak ayahnya menyambung.
"Ya," adik Ibu Sulistyo juga menyumbangkan
pendapat. "Pasti gagalnya perkawinan ini akan menjadi
buah bibir di belakang kita. Biarkan saja. Lama-kelamaan mereka akan bosan sendiri. Apalagi kalau mereka berpandangan luas, sadar bahwa pengalaman pahit
seperti itu bisa saja terjadi pada keluarganya atau
keluarga mana pun." http://pustaka-indo.blogspot.com88
Dengan tenang, Dewi mendengarkan pendapat
keluarga besarnya. Dia masih menunggu apa yang akan
dikatakan ketiga adiknya. Meskipun mereka masih
muda, terutama si bungsu Dana, mereka pasti juga
punya pendapat. Ia ingin mendengar pen dapat mereka
satu per satu. "Wik, katakanlah apa maumu," Ibu Sulistyo berkata
lagi. "Ya, Wik," kakak ibunya ganti bicara. "Pakde juga
ingin mengetahui jawabanmu. Jangan takut atau ragu
untuk mengatakannya. Sekali lagi kukatakan, kami
semua berada di belakangmu."
Dewi mendongak dan menatap orang-orang tercinta
di sekelilingnya, kemudian tatapannya terhenti pada
ketiga adik lelakinya. "Bagaimana pendapat kalian bertiga?" tanyanya kemudi an. "Sama seperti perkataan Bapak dan Ibu," Dion menjawab. "Kau harus menjawab apa yang benar-benar
ke luar dari hatimu tanpa melihat hal-hal lain yang bukan prinsip." "Ya, Mas Dion betul." Doni ganti angkat bicara.
"Kami menghormati apa pun keinginanmu, Mbak.
Jangan ragu, jangan memikirkan hal-hal lain termasuk
perasaan kami. Pakde tadi sudah mengatakan, kami
semua akan berada di belakangmu apa pun yang kauputuskan karena kau yang menjalaninya. Bukan kami.
Jadi, kalau Mbak Wik mengatakan tidak ingin melanjut kan acara-acara perkawinan ini, tanpa ba nyak
komentar kami akan menyetujuinya."
http://pustaka-indo.blogspot.com89
"Ya, betul sekali. Jadi, jawablah terus terang se suai
keinginanmu," ujar ibunya. Suara nya terdengar pelan.
Dewi meliriknya sejenak. Ia yakin, sebenarnya di hati
ibunya itu masih tertinggal ke inginan untuk menyelenggara kan acara pernikahan yang anggun dan semarak. Namun kasih sayangnya kepada Dewi telah
mengalahkannya. Dewi mengalihkan perhatiannya pada Dana, adik
bungsunya yang masih duduk di SMA, menatapnya
sesaat, baru kemudian bertanya kepadanya. "Dana, kau
belum mengeluarkan pendapat untuk kakakmu ini,"
katanya lembut. "Aku sama saja dengan pendapat yang lain, Mbak.
Jawabanmulah yang paling penting dan paling utama.
Apa pun itu, akan kami dukung. Jangan mengkhawatirkan kerugian materi atau tenaga, pikiran dan waktu
yang sudah kita keluarkan. Bahkan meski demi nama
baik keluarga sekali pun, karena semua itu tidak ada
artinya jika dibandingkan dengan kebahagiaan hidupmu. Ambil saja hikmahnya. Kita nanti bisa membagibagi kan makanan yang sudah telanjur kita pesan. Dibagi kan pada anak-anak yatim piatu, misalnya. Kita
juga bisa makan enak...."
Dewi tersenyum manis, menatap si bungsu yang
bicaranya cukup berisi itu.
"Terima kasih atas buah pikiranmu," komentarnya.
Kemudian ia menatap semua yang hadir di ruang
tengah itu bergantian. Namun hanya wajah ibu nya
yang terpeta dalam ingatannya. Wajah yang sendu,
letih, namun ada kepasrahan yang tampaknya belum
http://pustaka-indo.blogspot.com90
lama diraihnya. "Nah, masih ada yang ingin memberikan pendapat?" "Cukup, kurasa," Ary menjawab. "Kurasa semua berpendapat sama, bahwa yang paling pen ting adalah
jawabanmu, Mbak Wik."
Dewi terdiam beberapa saat. Dilayangkan nya pikiran nya ke rumah Puji. Ibu Pambudi pasti se dang mengeluarkan luapan kekecewaan dan amarahnya kepada
Puji. Dewi bisa membayangkannya. Perempuan itu
sangat menyayanginya dan berharap banyak untuk
men jadikannya sebagai menantu. Tertapi sekarang, anak
lelakinya sendiri telah merobek-robek harapannya.
Anaknya sendiri pula yang telah menjejalkan kepahitan
dan rasa malu yang harus dia tanggung. Kasihan
perempuan itu. Mudah-mudahan penyakit jantungnya
tidak terpengaruh karena hal tersebut.
"Bagaimana, Wik?" terdengar lagi suara Pak Sulistyo.
"Baiklah kalau begitu. Secara tersirat, saya bisa
meng ambil kesimpulan bahwa keluarga besar ini berharap acara perkawinan ini batal. Kalaupun tidak,
perkawinan ini hanya ada di atas kertas. Saya dan Mas
Puji akan hidup sendiri-sendiri sambil menunggu
berakhirnya perkawinan kami, alias bercerai..." kata
Dewi, kemudian menghentikan kata-katanya. "Tetapi
saya punya pendapat sendiri yang agak berbeda."
"Pendapat apa?" Hampir bersamaan keluarga yang
sedang duduk di ruang tengah itu bertanya.
"Saya tahu pasti keluarga ini akan men dukung
sepenuhnya jika saya ingin membatalkan pernikahan,
ini karena semua sepakat untuk menanggung akibatnya
http://pustaka-indo.blogspot.com91
bersama-sama. Saya sungguh amat terharu dan
berterima kasih kepada Tuhan bahwa ternyata saya
punya keluarga yang kompak, saling mendukung, saling
berbagi, dan saling menyayangi...." Dewi meng hentikan
sesaat perkataannya. Ada tangis yang mulai pecah.
Beberapa orang yang hadir di situ lang sung meneteskan
air mata. "Tetapi saya tidak akan membatalkan pernikahan ini. Dengan perkataan lain, acara pernikahan
besok, akan tetap dilangsungkan.."
"Mbak Wik!" Astri dan ketiga adik lelaki Dewi
langsung protes. Begitu juga yang lain.
Sekali lagi Dewi menatap wajah-wajah di sekitarnya.
Kemudian tersenyum lembut dan membalas komentar
mereka. "Aku tidak ingin menyia-nyiakan apa pun yang sudah
kita rintis berbulan-bulan lalu bersama-sama," katanya.
"Aku juga tidak ingin menyia-nyiakan tenaga semua
orang dan semua pihak yang telah menyiapkan segala
sesuatunya untuk acara be sok...."
"Sudah Ibu katakan, semua itu tidak ada artinya
dibanding dengan kebahagiaanmu, Nduk," Ibu Sulistyo
menyela. Dewi menatap mata ibunya. Entah sejak kapan perempuan itu mampu menguasai diri dan menyingkirkan seluruh dirinya, termasuk harga diri dan semua
upaya untuk menjadikan seluruh rangkaian acara pernikahan Dewi menjadi bagian dari keberhasilannya
sebagai seseorang yang patut dihargai. Seseorang yang
tidak sekadar hanya sebagai Nyonya Sulistyo atau ibu
dari anak-anaknya. Untuk sampai ke sana, pastilah itu
http://pustaka-indo.blogspot.com92
melalui pergulatan batin yang menyita seluruh energi
isik dan psikisnya. Itu artinya, kebahagiaan Dewi
dengan penentuan hidup yang dipilihnya sendiri
merupakan hal yang paling utama dan paling atas dari
seluruh prioritas yang ada di dunia batin sang ibu yang
sering kehilangan kepercayaan diri itu. Kasihan...
Melalui pemikiran itu Dewi mencoba me ngatakan
pendapatnya. "Ibu, aku tahu Ibu sangat mencintaiku," katanya
pelan, takut suaranya terdengar gemetar. "Oleh karena
itu, biarkanlah aku memilih jalan hidupku sendiri dan
menempa diri dan menjalani kehidupan ini dengan
penuh tanggung jawab..."
"Oke," Dion menyela tak sabar. "Tetapi setelah acara
perkawinan, kau harus tetap hidup sendiri sambil menunggu perceraian lho, Mbak."
"Semula aku berpikir seperti itu, Dion. Tetapi tibatiba aku dilecut oleh kesadaran moralku. Perkawinan
adalah upacara yang suci karena menyertakan Tuhan di
dalam upacara itu. Maka aku tidak boleh meleceh kannya." "Mbak!" Sekali lagi ketiga adiknya dan Astri menyerukan protes mereka hampir bersamaan. Bagai
paduan suara. "Sudahlah... jangan terlalu banyak berpikir ini dan
itu. Aku sudah mengambil keputusan yang tidak bisa
diubah lagi, betapapun beratnya itu. Oleh sebab itu,
tolong beri aku dukungan agar tekad ini semakin
menguat. Kepada para sesepuh, saya mohon keikhlasan keluarga besar ini untuk rela membiarkan saya
http://pustaka-indo.blogspot.com93
tetap meneruskan rencana menikah dengan Mas Puji
besok." "Kau masih mau menikah dengan buaya darat itu,
Mbak?" Doni menyela lagi. Kini dengan suara keras.
"Doni, jangan menyebut calon kakak iparmu seperti
itu," Dewi menegur dengan lembut.
"Dia tidak menginginkanmu, Mbak," Dion ganti menyela. "Dia menginginkan aku, Dion. Aku tahu dan yakin
mengenai hal itu. Bahwa dia melakukan perbuatan
yang keterlaluan sampai minggat dari rumah, itu
merupakan kecelakaan di luar dan perkiraan dirinya
sendiri. Bagaimanapun juga, toh sekarang ini dia sudah
pulang kembali ke rumahnya."
"Mbak, dia itu pulang bukan karena dirimu. Tetapi
hanya demi menjaga nama baik keluarga."
"Apa pun alasannya, aku tetap mengingat apa yang
dikatakan Sonny kemarin, yang mengisyaratkan bahwa
Mas Puji akan tetap bertanggung jawab me menuhi
kewajibannya. Di atas itu semua, aku yakin dia masih
mencintaiku." "Huh, tanggung jawab apa" Dia itu justru orang
yang tidak mengerti betul apa artinya bertanggung
jawab!" Doni menyela lagi dengan suara menggeram.
"Dia itu tidak tahu makna cinta dan tak bisa membeda kannya dengan nafsu."
"Yang Doni, katakan itu betul. Aku tidak rela membiarkan Mbak Wik hidup bersama laki-laki beriman
setipis kertas dan yang tak punya kesetiaan seperti itu,"
Dion berkata lagi. "Menilik keelokan isik dan pribadihttp://pustaka-indo.blogspot.com94
mu, Mbak, kau patut mendapat suami yang seratus kali
lebih baik daripada Puji."
"Betul sekali," Astri menyambung.
Dewi tersenyum sabar menatapi mereka satu per
satu. "Jangan sombong, jangan meninggikan diri sendiri,"
katanya kemudian. "Setiap manusia punya ke lebihan
dan kekurangan." "Aku cuma mau mengatakan ketidakrelaan hatiku
menyerahkanmu pada laki-laki yang tak ada apa-apanya
buatku itu. Sebab sama saja artinya, kau akan mengorbankan diri untuk sesuatu yang sama sekali tak
ada nilainya," kata Dion lagi. Pemuda itu paling menyayangi Dewi. "Dion adikku sayang, kau masih muda. Pengorbananku kalau itu disebut sebagai pengorbanan, bukanlah
pengorbanan yang mati. Juga bukan kepasrahan yang
apatis. Kepasrahanku jauh dari rasa putus asa atau
yang semacamnya. Ada kepasrahan yang hidup di sana.
Ada kesadaran di dalamnya, bahwa dalam kehidupan


Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini acap kali terjadi sesuatu yang harus dijalani karena
adanya semacam hukum sebab-akibat...."
"Ah, malas aku memikirkannya, Mbak. Pokoknya
aku hanya tahu, kakakku yang cantik tidak bisa menghargai dirinya sendiri, mau-maunya menikah dengan
laki-laki yang tak layak buatnya." Lagi-lagi Dion yang
paling menyesali keputusan kakaknya, mengeluarkan
kejengkelannya. "Dion, keputusan itu sudah kupikirkan masakhttp://pustaka-indo.blogspot.com95
masak, karena memiliki bobot yang lebih di banding
jika aku memilih untuk meninggalkannya."
"Bobot apa sih, Mbak" Jangan mengada-ada," Dana
yang tidak banyak bicara, mulai berkomentar lagi.
"Ssshh... sudah... sudah. Sekarang sudah larut
malam. Kita semua membutuhkan istirahat," sang ayah,
menengahi. "Tunggu sebentar. Sebelum kita beristirahat, aku
ingin mengetahui sekali lagi apa yang sungguh-sungguh
Wiwik inginkan," Ibu Sulistyo memotong perkataan
suaminya. "Nah, Sayang, kami ingin mendengar sekali
lagi, apakah keputusanmu untuk melanjutkan acara
per nikahan besok itu sungguh-sungguh merupakan keinginanmu?" "Ya, Bu." "Jadi kau ikhlas menerima laki-laki seperti itu menjadi suamimu?" "Ya, Bu. Harus."
"Kau sadar atau tidak, bahwa hidupmu bersama dia
tidak akan berjalan semulus kehidupan perkawinan
yang normal atau wajar?" ibunya bertanya lagi.
"Sadar, Bu. Sadar sekali."
"Tetapi apakah kau sanggup menjalaninya, Nduk?"
ibunya bertanya lagi, kali ini dengan suara bergetar.
"Harus sanggup. Ibu juga sanggup kan menjalaninya...?" Dewi menatap mata ibunya dengan tatapan
lembut namun mengandung makna yang dalam.
Mendengar perkataan Dewi, pipi Bapak Sulistyo
lang sung memerah. Begitu juga sang istri. Sementara
se mua orang yang mendengar ucapan Dewi, terhttp://pustaka-indo.blogspot.com96
perangah sesaat, sadar keputusan Dewi untuk melanjut kan pernikahan itu tidak sekadar ber henti sampai
di situ. Justru di situlah akan dimulainya berbagai persoalan seperti yang pernah dialami Ibu Sulistyo selama
lima belas tahun lebih. Bahwa di tempat lain juga ada
perempuan yang menyandang nama sama sebagai
Nyonya Pujisatriya, baru mereka pahami. Bahkan juga
ada anak yang akan lahir di dalam perkawinan Puji
dengan perempuan itu. Namun kelihatannya, Dewi
sudah memperhitungkan itu semua dan siap menghadapinya, sesuatu yang justru menyulut kemarahan
Dion. "Mbak, kau tidak boleh menikah dengan Mas Puji,"
katanya, mencetuskan ketidakrelaannya. Dia tahu betul
betapa pahit hidup ibunya yang selama hampir dua
puluh tahun mengarungi perkawinan yang pincang dan
nyaris tiada masa depan itu. Jangan sampai kakaknya
mengalami hal sama. "Mbak Wik harus membatalkan rencana perkawinan
dengan laki-laki brengsek itu," ganti Doni mencetuskan
kekhawatirannya. Dia juga berpikir yang sama seperti
Dion. "Mau dibawa ke mana perkawinan yang sudah
ada istri lain sebelumnya itu?"
"Ya, setuju seratus persen denganmu, Mas. Kalau
tidak, Mbak Wik akan mengalami banyak penderitaan
dan aku tidak rela menyaksikannya," Dana menyambung. "Aku juga sependapat dengan kalian bertiga," Astri
tak mau tinggal diam. Dewi tersenyum menyabarkan keempat orang itu.
http://pustaka-indo.blogspot.com97
"Kalian jangan seperti orang kebakaran jenggot. Aku
bukan anak kecil. Aku juga bukan orang yang pendek
pikiran. Apa yang kuputuskan itu sama sekali bukan
sesuatu yang impulsif sifatnya. Segala baik dan buruk,
segala risiko dan konsekuensinya sudah kuperhitungkan. Jadi sekali lagi aku memohon kepada kalian, relakan aku besok menikah dengan Mas Puji. Percayalah,
dari pengalaman konkret yang kita pernah alami bersama di rumah ini, Aku punya cara-cara tersendiri
untuk mengatasinya," katanya tegas.
"Yah... kalau itu memang sudah menjadi pilihan
hidupmu, Nduk, Pakde hanya bisa merestui..." akhirnya
kakak ibunya mulai menengahi. "Sebaiknya, dari pada
kalian bersitegang begini, lebih baik mendoakan agar
Wiwik bisa hidup tenang, damai, dan bahagia."
"Ah, di mana sih ada kebahagiaan dalam rumah
tangga dengan dua orang istri," gumam Doni. Tetapi
sebagian keluarga yang ada di dekatnya men dengar
gumaman itu. Wajah Pak Sulistyo mulai me merah lagi.
Dewi menarik napas panjang. Sejujurnya, dia juga
memahami seluruh kekhawatiran yang dilontarkan
ketiga adiknya dan Astri. Bahkan jauh di relung hatinya, ia juga menyimpan keraguan apakah ke putusannya
untuk melanjutkan rencana perkawin annya dengan Puji
itu betul. Sama seperti ketiga adik nya, Dewi juga tahu
betul seperti apa gamangnya ibu mereka menjalani
hari-hari dalam kehidupannya ber sama sang suami
yang punya istri lagi di tempat lain. Tetapi, dibanding
dirinya, ada perbedaan yang cukup mendasar. Sejak
awal, ia tidak per nah menyerahkan seluruh hatinya
http://pustaka-indo.blogspot.com98
kepada Puji. Apalagi sekarang setelah nilai laki-laki itu
merosot drastis di matanya. Jadi paling tidak, dia tak
akan mengalami rasa cemburu yang akan meng gerogoti
batinnya secabik demi secabik, seperti yang dialami
ibunya selama ini. "Sudahlah, sekarang sebaiknya kita semua beristirahat," katanya kemudian. "Hari sudah semakin larut."
"Keputusanmu sudah pasti, Nduk?" ibunya menyela,
ingin sekali lagi mendengar keputusan Dewi.
"Sudah, Bu." "Tidak akan berubah?" sang ayah ganti bertanya.
"Ya. Tidak akan berubah."
"Kalau begitu, tolong salah satu dari kalian bertiga
mengabarkan berita ini kepada keluarga Puji. Mereka
sedang menunggu hasil rapat kita," kata sang ayah
kepada ketiga anak lelakinya.
"Saya saja yang bicara," sahut Dion.
"Jangan Dion," sergah Dewi. "Kau saja, Dik Ary,
yang mengabari. Adik-adikku masih tinggi emosinya."
"Biar aku yang menelepon Sonny," Doni menawarkan diri. "Aku akan bicara dengan tenang, Mbak. Jangan khawatir." Dewi terpaksa membiarkan. Diam-diam pemuda itu
sudah meminta kepada Sonny untuk memasang speaker
ponselnya agar bisa didengar seluruh ke luarga mereka.
Alasannya, agar tidak ada sepatah kata pun yang
terlewat. Tetapi tujuan sebenarnya, ia ingin Puji ikut
mendengar seluruh pembicaraan mereka.
"Acara pernikahan besok tetap diselenggarakan,"
begitu katanya kepada Sonny. "Dengan berbagai alasan,
http://pustaka-indo.blogspot.com99
yang intinya demi menjaga nama baik keluarga besar
masing-masing dan demi tidak menyia-nyiakan semua
upaya yang telah dirintis berbulan-bulan lalu, Mbak
Wik telah mengorbankan seluruh perasaannya sendiri
ketika mengambil keputusan itu. Tetapi tidak seorang
pun di antara kami di sini yang rela...."
"Doni..." tegur Dewi. "Jangan bertele-tele dan jangan
mengata kan hal-hal yang tak perlu diucapkan. Itu
urusan keluarga kita. Tepatnya, urusanku sendiri."
Doni senang sekali mendengar perkataan Dewi.
Gadis yang duduknya tak berjauhan dengannya itu
pasti tidak mengira suaranya akan terdengar oleh
keluarga Puji meskipun mungkin tidak terlalu ke ras.
"Baik, Mbak..." sahutnya untuk kemudian melanjutkan bicaranya dengan Sonny. "Jadi, Son, intinya
kami semua terpaksa memenuhi keinginan Mbak
Dewi, yang dengan ikhlas hati demi hal-hal yang
sebetulnya menurut kami bukan hal yang prinsip."
"Doni!" Dewi memenggal lagi perkataan adiknya.
Sekali lagi Doni senang karena keluarga Puji pasti
men dengar suara Dewi yang keras dan menyadari
bahwa keputusan Dewi untuk melanjutkan pernikahan
itu melalui proses yang sengit karena ditentang keluarga, tetapi yang karena kelembutan dan kebaikan
hatinya, ia tidak ingin orang lain, termasuk keluarga
Puji, mengetahuinya. Mudah-mudahan seperti itulah
yang terpikirkan oleh Puji sekeluarga, begitu Doni berharap. "Ya, Mbak. Maaf..." kata Doni lagi. "Oke, Son. Be sok
upacara pernikahan dan resepsi pada malam harinya
http://pustaka-indo.blogspot.com100
tetap akan dilaksanakan sesuai rencana. Tetapi masalah
perkawinan itu sendiri, entah lah."
"Entahlah bagaimana, maksudnya?" Sonny menyela.
"Maksudku... apakah itu untuk sementara ataukah..."
"Doni." Untuk ketiga kalinya Dewi memotong pekata an adiknya dengan nada menegur. "Hentikan
omonganmu yang sudah melantur ke sana kemari itu."
"Oke... oke... "
Begitu pembicaraan Doni dengan Sonny berakhir,
Pak Sulistyo menatap Dewi dengan mata menyipit.
Hatinya sedang bergolak. Sadar bahwa perkawinan
yang hendak dijalani Dewi akan terasa berat bagi gadis
itu. "Nduk, kau tidak menyesal dengan keputusanmu
itu" Masih ada waktu untuk mengubah pikiranmu,"
katanya. "Soal menyesal atau tidak, waktu yang akan membuktikan kebenarannya, Pak. Saya hanya berpikir
simpel. Banyak pernikahan yang berangkat dengan
penuh kebahagiaan dan prosesnya lancar, tetapi berakhir dengan penyesalan dan bahkan perceraian. Tetapi
tidak sedikit pula pernikahan yang berangkat dengan
sejumlah keraguan dan ketidakpastian, malah berakhir
menyenangkan dan bahagia. Jadi, Pak, saya bertekad
akan menghadapi apa pun akhir dari per nikahan ini.
Saya sadar kok, Pak, setiap kiprah untuk menentukan
suatu keputusan selalu menyimpan risiko dengan berbagai konsekuensinya."
Pak Sulistyo menatap anaknya, dengan penuh penghargaan. Penghargaan kepada istrinya yang telah berhttp://pustaka-indo.blogspot.com101
hasil men didik satu-satunya anak perempuan mereka
dengan baik. Padahal sebagai suami, dirinya tak banyak
men dukung dan mendampingi istri dalam hal pendidikan anak-anaknya. "Wik, andai kata di dalam perjalanan hidup perkawinanmu dengan Puji kamu mengalami hal-hal yang
mem buatmu menderita atau yang semacam itu, sehingga ada keinginan untuk mengakhirinya, bapak dan
ibumu sudah sepakat akan mendukung apa pun pilihan
hidupmu," katanya kemudian dengan suara ber getar.
"Bagi kami yang penting adalah kebahagiaanmu."
"Ya, Pak..." "Nah, sebaiknya rapat keluarga ini bubar dan semua nya segera beristirahat. Besok kita semua akan
di sibukkan bermacam hal yang mau ataupun tidak,
harus kita tangani."
Ketika kembali ke kamarnya bersama Astri, Dewi
tidak mengatakan apa pun. Begitu juga Astri. Tetapi
pikiran keduanya penuh sesak rasanya. Ter utama Dewi.
Sejujurnya ia harus mengakui pada diri sendiri bahwa
sebetulnya ia merasa gamang me masuki pernikahan
dengan laki-laki yang sudah lebih dulu menikah
dengan perempuan lain, bahkan mengandung anaknya
pula. Hatinya bagai ditusuk-tusuk, sadar bahwa dengan
keputusannya untuk tetap men jalani pernikahan, ia
telah mengkhianati diri sendiri. Ia juga telah merobohkan kekuatan prinsip hidupnya untuk tidak menjalin
hubungan cinta dengan laki-laki yang sudah mempunyai istri. Terlebih lagi, sumpahnya untuk tidak akan
pernah menoleransi poligami, runtuh dan hancur
http://pustaka-indo.blogspot.com102
berkeping-keping. Bahkan rasanya ia seperti diempaskan dan ditimbun puing-puing kehancuran prinsip
hidup yang selama ini dipegangnya, namun ia langgar.
Ia benar-benar malu pada diri sendiri. Tetapi yah... apa
mau dikata. Ia tidak punya pilihan lain. Demi ibu nya
dan demi ke luarganya, ia rela berkorban.
http://pustaka-indo.blogspot.com103
SUDAH hampir tengah malam tatkala Dewi meletakkan sikat rambutnya kembali ke meja rias yang
masih terhias indah itu. Baru saja perias pengan tin
membantunya melepas berbagai hiasan rambut, untaian
bunga melati, dan kebaya pengantin yang tadi
dikenakannya. Sesudah perias pengantin itu pergi,
perlahan dikibaskannya rambutnya yang tergerai
melampaui bahu dengan nyaman. Rasa nya sungguh
menyenangkan terbebas dari segala macam rias wajah,
hiasan rambut, dan pakaian pengantin yang meskipun
serbaindah dan telah me nambah kejelitaannya namun
terasa begitu menyiksa nya. Bukan hanya dalam arti
hariah karena semua itu membuat geraknya tidak
bebas, namun juga dalam arti yang lebih mendalam.
Seakan semua itu me rupakan simbol keterikatan
hidupnya dengan laki-laki yang sekarang tak lagi me

Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

miliki harga di matanya. Empat http://pustaka-indo.blogspot.com104
Kini pakaian dan berbagai hiasan rambut itu sudah
tersusun rapi di dekat pakaian pengantin yang dikenakan Puji dalam resepsi di gedung tadi. Sebagai ganti
pakaian pengantinnya, Dewi mengenakan kimono sutra
berwarna kekuningan di atas pakaian tidur yang terasa
lembut di kulitnya. Meskipun model dan warnanya
cantik, namun pakaian tidur itu bukan baru, bukan
yang dibelinya bersama Puji beberapa bulan lalu.
Mereka berdua memang telah memesan tiga set
pakaian tidur sarimbit, kembaran suami dan istri, di
toko batik langganan keluarga. Pakaian tidur itu terdiri
atas gaun tidur dan kimono untuk Dewi dan piama
lengan pendek berikut jas kamarnya untuk Puji.
Semuanya terbuat dari bahan batik halus meski bukan
batik tulis. Namun di malam pengantinnya ini, tak satu
pun dari ketiga pakaian tidur kembaran itu Dewi
kenakan. Sebaliknya, Puji telah mengambil salah satunya dari
lemari yang telah Dewi sediakan. Dan setelah
mengenakan piamanya di bawah jas kamar batiknya,
Puji keluar dan merokok di teras untuk menenangkan
hatinya yang tertekan. Ia memberikan kesempatan
kepada perias pengantin untuk membantu Dewi
melepas seluruh perlengkapan busana pengantinnya. Ia
juga memberi Dewi kesempatan untuk me nyiapkan diri
menerima keberadaan dirinya sebagai bagian dari
kehidupannya sebagai perempuan yang telah bersuami.
Namun, hatinya sungguh amat galau. Sejak tadi pagi
di sepanjang upacara pernikahan yang disaksikan
keluarga dekat, tak sekali pun mata Dewi singgah di
http://pustaka-indo.blogspot.com105
matanya. Memang, petang tadi setelah mereka melewati
serangkaian upa cara bernuansa budaya Jawa sebelum
para undangan rese p si berdatangan, beberapa kali mata
me reka terpaksa bertatapan. Namun saat tatapan mereka bertemu, tiba-tiba saja Puji merasa asing, seakan
ada jarak yang amat jauh dan dalam di antara mereka.
Tatapan gadis itu tampak dingin dan kosong. Perih
sekali hatinya. Ia sadar, ia telah ke hilangan Dewi sebagaimana yang dikenalnya selama hampir dua tahun
ini. Beberapa waktu kemudian ketika Puji masuk kembali ke kamar pengantin, dilihatnya Dewi sedang menumpuk kado-kado yang diterimanya dari para tamu
tadi. Tampaknya sekarang ini ada sebagian orang yang
kembali pada kebiasaan lama mereka, memberikan
kado berupa barang karena katanya lebih bersifat personal daripada memberi amplop berisi uang. Karenanya, di sudut kamar pengantin, ada sekitar delapan
puluhan kado yang sekarang sedang diatur Dewi agar
tidak berantakan. Di sudut yang lain, terdapat empat
kotak yang dihias indah. Di dalamnya berisi amplopamplop uang dari para tamu undangan.
Mendengar pintu dibuka dan ditutup kembali tadi,
Dewi tahu, Puji sudah masuk kembali kamar. Tetapi
tidak sedikit pun kepalanya menoleh dan tidak sepatah
kata pun ia bicara. Puji memperhatikan tubuh ramping Dewi yang berjinjit, membungkuk dan berdiri berulang kali, sibuk
me lanjutkan pekerjaannya. Laki-laki itu yakin, Dewi
sudah mengetahui keberadaannya namun pura-pura
http://pustaka-indo.blogspot.com106
tidak tahu. Ah, mereka memang berdekatan, namun
terasa amat jauh. "Sudah larut malam, Wik. Orang lain di rumah ini
sudah tidur kelelahan," katanya dengan perasaan masih
ter tekan. Itu kata-kata pertama yang diucap kannya
pada Dewi semenjak mereka bertemu tadi pagi, sebelum upacara pernikahan berlangsung. "Istirahatlah.
Kau pasti sudah capek."
"Aku" Capek" Dilayani orang, bahkan berpakaian
dan dandan pun dibantu dua orang seperti raja besar,
masa capek sih?" Dewi menjawab, masih tanpa membalikkan tubuh. Menoleh pun tidak mau.
"Tetapi ini sudah larut malam, Wik. Kalau mau
meng atur barang dan yang lain-lainnya, kan bisa
dikerja kan besok." Dewi tidak menjawab. Ia tetap melanjutkan pekerjaannya dan baru berdiri tegak sesudah kado-kado itu
tertumpuk rapi di sudut kamar.
"Nah, sekarang lebih enak dilihat," gumamnya, lebih
pada dirinya sendiri. "Aku tidak lagi khawatir menendang bungkusan kado."
Puji terdiam. Setelah melihat Dewi menghentikan
pekerjaannya, ia melepas jas kamarnya. Dari cermin
hias, Dewi dapat melihat, laki-laki itu hanya memakai
piama berlengan pendek. Dia yang mengusulkannya
karena menurutnya, piyama lengan panjang kurang
praktis untuk dipakai tidur. Kalau dingin, toh masih
ada selimut. Atau suhu AC jangan dipasang terlalu
dingin. Tetapi sekarang, Dewi tidak lagi peduli apa pun
http://pustaka-indo.blogspot.com107
yang dikenakan Puji. Mau lengan pendek, mau lengan
panjang, mau batik, atau mau garis-garis seperti corak
piama konvensional, apa urusannya" Apalagi dia yakin,
Puji pasti tahu betul mengapa ia tidak me ngenakan
gaun tidur kembaran sebagaimana rencana mereka
ketika memesannya beberapa bulan lalu. Puji pasti
sadar juga mengapa ia memilih pakaian tidurnya yang
lama dan melanggar sendiri ucapannya waktu dengan
puas hati membuka bungkusan pakaian tidur yang
mereka pesan. "Warnanya bagus-bagus ya, Mas. Aku puas," begitu
yang dikatakan Dewi berbulan lalu.
"Ya. Aku juga," sahut Puji, menanggapi komentar
Dewi. "Anggaplah ini simbol bahwa kita memiliki satu hati
yang selaras," kata Dewi lagi, tersenyum manis sambil
menyampirkan gaun tidur itu ke bahunya.
"Ya. Hatimu dan hatiku akan menyatu." Puji tertawa
mendengar perkataan Dewi waktu itu. "Kau benarbenar romantis, Sayang."
Peristiwa itu beberapa saat sebelum Puji bertemu
kembali dengan mantan kekasihnya. Sekarang, Puji
memang mengenakan piama batik sesuai rencana
mereka ketika memesannya, tetapi Dewi tidak bisa
menduga apa yang sesungguhnya ada di hati laki-laki
itu. Terlebih sesudah beberapa hari yang lalu menikah
siri dengan mantan kekasih yang sedang me ngandung
anaknya. Sedang di sanakah pikirannya" Tetapi yang
Dewi yakin, Puji pasti tahu mengapa ia tidak ingin
memakai pakaian tidur yang sama. Bahwa sekarang,
http://pustaka-indo.blogspot.com108
sudah ada yang berubah di hatinya. Ia tidak ingin
mengenakan simbol bersatunya hati mereka.
Dewi melirik lagi ke arah cermin hiasnya. Ia melihat
Puji sedang membaringkan tubuhnya ke atas tempat
tidur pengantin mereka. Lekas-lekas ia mencegahnya.
"Tunggu, penutupnya belum dibuka," tegurnya.
"Oh, ya. Aku lupa," Puji menjawab dengan sedikit
senyum di bibirnya. Kemudian bangkit kembali untuk
melipat penutup tempat tidur yang agak berat itu. "Aku
sudah lelah." Dewi tidak menanggapi perkataan Puji. Ia tetap
berdiri di tengah kamar dengan sikap canggung yang
amat kentara. Air mukanya sulit ditebak.
"Tidurlah, Wik." Puji berkata lagi.
Dewi mengangguk. Dilepaskannya kimononya yang
sewarna dengan gaun tidur sutranya, kemudian disangkut kannya ke kapstok. Kini terlihat bentuk tubuhnya yang indah dan kulit kuning langsatnya yang
mulus. Melihat itu, Puji menelan ludah. Memang
cantik dan menarik perempuan ini. Ah, kenapa ia
harus bertemu kembali dengan Indah yang menyebabkan kekacauan seperti ini" Padahal dibanding Dewi,
Indah tidak ada apa-apanya. Tak hanya isiknya, tetapi
juga isinya. Tetapi entahlah, kenapa ia bisa tergoda oleh
tangis Indah saat perempuan itu mengetahui rencana
pernikahannya dengan Dewi. Meskipun cuma sesaat ia
terlena oleh godaan perempuan itu, na mun ternyata
dampaknya begitu meluas dan ber pengaruh pada segala
hal yang menyangkut pernikah annya dengan Dewi.
Terlebih karena dia tahu betul seperti apa Dewi dan
http://pustaka-indo.blogspot.com109
bagaimana caranya menilai segala sesuatu yang menyangkut kehidupan ini. Karenanya dia tahu mengapa
perempuan itu masih berdiri canggung di tengah
kamar. Mengingat itu rasa bersalahnya se makin menyebar hingga ke sudut-sudut hatinya.
"Ayo, Wik. Ke sinilah berbaring di dekatku. Jangan
canggung seperti itu. Aku tidak akan menggigitmu,"
katanya dengan perasaan tak enak. "Justru aku ingin
me mohon kesediaanmu untuk mendengar pengakuanku...." Mendengar itu Dewi mulai merebahkan tubuhnya
ke atas tempat tidur dan mengambil guling untuk
diletak kan di antara mereka. Biarlah Puji tahu bahwa
di antara mereka terdapat jurang yang sulit diseberangi.
"Katamu tadi capek, kok sekarang mau mem bicarakan hal-hal yang tidak suka kudengar. Tidur sajalah,"
katanya kemudian. Nada bicaranya terdengar datar,
menampilkan rasa enggan yang begitu kentara.
"Tetapi sebelum aku menyampaikan pengakuan
mengenai seluruh kejadian yang kualami, aku tak akan
bisa tidur," sahut Puji. "Jadi, aku harus mengatakannya
sekarang." "Aku tidak ingin tahu kok. Itu bukan urusanku. Jadi
untuk apa dibicarakan sih?"
"Tetapi aku ingin kau mendengar seluruh kejadiannya dari mulutku sendiri. Tetapi sebelumnya, aku ingin
lebih dulu menyampaikan penyesalan dan permohonan
maafku yang teramat dalam kepadamu. Sungguh, Wik,
aku benar-benar menyesal dan tidak mengira akan
begini jadinya...." http://pustaka-indo.blogspot.com110
"Ah, sudahlah. Aku letih membicarakan hal-hal seperti itu." "Wik, tolonglah. Beri aku kesempatan untuk menjelaskannya. Kalau tidak, segalanya akan mengganjal di
setiap langkah hidup kita."
Dewi tertawa pelan sehingga Puji menghentikan
bicaranya. "Apa yang membuatmu tertawa?" tanyanya, semakin
merasa tertekan. "Karena kaubilang bahwa semua yang terjadi itu
akan mengganjal di setiap langkah hidup kita. Lucu
kan, Mas?" Dewi menjawab apa adanya. "Bagaimana
tidak" Segalanya toh sudah menjadi ganjalan di depan
langkah kita semua, termasuk keluarga besar masingmasing. Jadi bukan baru dalam tahap akan, melainkan
sudah mengganjal langkah semua orang. Terutama
langkahku. Seandainya sebelum ini kau mau berterus
terang kepadaku, mungkin tidak akan seburuk ini
akibatnya. Mas sudah kenal betul seperti apa diriku ini,
kan?" "Maafkanlah aku, Wik. Aku benar-benar sangat
bingung kemarin-kemarin ini. Terlalu besar tekanan
yang kualami. Oleh sebab itulah dalam kesempatan
ber dekatan begini, aku ingin menyampaikan rasa terima kasihku yang tak terhingga atas kesediaanmu
me lanjutkan rencana pernikahan ini, apa pun alasannya. Aku berutang budi kepadamu karena segala sesuatu nya berjalan hampir sesempurna sebagaimana
yang telah kita rencanakan."
http://pustaka-indo.blogspot.com111
Dewi tertawa lagi sehingga seperti tadi, Puji juga
menanyakan alasan tawanya itu. Kini dengan perasaan
tersinggung. "Aku sudah merasa diriku ini seperti anjing melata
yang ketahuan mencuri daging di dapur dan me nyesalinya, kenapa kau masih saja menertawakannya?"
"Karena aku merasa geli. Rencana kita yang mana"
Rasanya itu sudah berantakan sejak beberapa hari yang
lalu. Bukankah begitu juga yang ada pada dirimu, Mas"
Seandainya tidak mendengar dan membaca panggilan
maupun seruan dari keluargamu, pasti kau tidak akan
pulang untuk melakukan pernikahan ini, sebab tentunya pernikahan bagi Mas pernikahan mu dengan
mantan kekasih yang kini telah menjadi istrimu itu."
"Sudah kukatakan tadi, saat itu aku sedang bingung
dan amat tertekan karena benar-benar tidak menyangka apa yang kami lakukan tanpa rencana telah
me nimbulkan dampak yang sedemikian besar. Aku menikahinya karena rasa tanggung jawab. Bukan ka rena
cinta. Dia sangat ketakutan. Begitupun aku sangat
takut terhadap keluarganya dan kepada keluarga kita
berdua karena hal tersebut." Suara Puji terdengar bergetar. "Tetapi meskipun demikian, aku juga punya rasa
tanggung jawab moral untuk segera pulang. Jadi, Wik,
iklan-iklan panggilan itu hanya pendorong belaka.
Tanpa itu pun aku pasti akan kembali."
"Oh ya, tentu saja," Dewi menyela dengan nada menyindir. "Sudahlah. Aku mau tidur. Lelah seluruh
tubuhku dan lelah pula seluruh batinku. "
"Tunggu sebentar lagi. Seperti yang kukatakan tadi,
http://pustaka-indo.blogspot.com112


Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku ingin kau mendengar seluruh kejadiannya dari mulut ku sendiri, termasuk penyesalan yang jauh menembus ulu hatiku ini."
"Mas, kan ada peribahasanya. Sesal dahulu pen dapatan, sesal kemudian tak berguna. Ya, kan" Segala nya toh
telah terjadi. Jadi, untuk apa dibicarakan, apa lagi malammalam begini saat orang lain sudah tidur lelap. "
Puji terdiam. Lama sesudah keheningan itu terasa
se makin menekan perasaan, ia tidak tahan lagi.
"Kumohon pengertianmu," desahnya. "Aku ingin
kau..." "Tanpa penjelasanmu lebih lanjut, aku sudah mengerti kok," Dewi memotong. "Tetapi kau juga harus
mengerti kenapa aku memilih perkawinan ini tetap
dilanjutkan. Intinya, aku tak ingin melihat jerih payah,
waktu, dan biaya yang telah dikeluarkan oleh siapa pun
yang terkait dengan pernikahan ini menjadi sia-sia dan
terbuang begitu saja. Bayangkan, ada banyak keluarga
dekatku dan juga keluarga dekat mu yang sengaja
datang jauh-jauh dari kota lain hanya untuk melihat
pernikahan kita. Mungkin kau tidak memikirkankan
betapa banyak biaya, waktu, tenaga, pikiran dan perasaan yang mereka berikan pada kita. Aku tidak tega
melihat pengorbanan mereka. Bagiku, lebih baik aku
yang berkorban daripada melihat pengor banan mereka
sia-sia." "Maaf..." pipi Puji memerah. Ia semakin sadar apa
dam pak perbuatannya. Sekaligus sadar pula, bahwa
Dewi mau menikah dengannya bukan karena cinta.
Dewi meliriknya sejenak. Ah, seandainya setiap
http://pustaka-indo.blogspot.com113
orang mau berpikir dalam-dalam lebih dulu tentang
baik-buruk perbuatan yang akan dilakukannya dan apa
saja dampak yang bisa diakibatkan, hidup di dunia ini
pasti penuh kedamaian, pikir Dewi.
"Aku sudah ngantuk," katanya kemudian dengan
enggan. "Lebih baik aku tidur daripada bicara omong
kosong begini." "Kita tidak sedang bicara omong kosong, Wik."
"Entah apa pun nama pembicaraan ini, terus terang
bagiku terasa amat menjemukan. Jadi, maaf... aku mau
tidur." Usai bicara seperti itu, Dewi langsung membalikkan tubuhnya, membelakangi Puji. Ia ber harap
dengan sikapnya itu, Puji mengerti bahwa meskipun ia
sudah bersedia menjadi istrinya, namun bukan berarti
ia bersedia memberinya kemesraan. Se tidaknya, untuk
sementara ini. Semula, Puji bisa memahaminya dan menerima itu
sebagai konsekuensi atas perbuatannya menikahi Indah
lebih dulu. Tetapi ketika ia membaui aroma jamu dari
gelas yang terletak di nakas, ia mulai bertanya-tanya
sendiri di dalam hati. Puji tahu betul, ibu Dewi yang
sekarang menjadi mertuanya, selain keahliannya memasak dan membuat penganan, sangat ahli meramu
jamu. "Itu jamumu, Wik?" tanyanya, terdorong oleh keingin tahuannya itu. Tebersit dugaan, itu jamu pengantin. Dia pernah mendengar cerita Wiwik, bagai mana
ibunya sering diminta keluarga untuk mem buat kan
jamu. Termasuk jamu pengantin. Begitupun ketika
Astri akan menikah setahun lalu.
http://pustaka-indo.blogspot.com114
"Ya. Wah... baunya mengganggumu, ya" Aku lupa
me nutup kembali gelasnya. Kalau mengganggu, akan
kututup." "Aku tidak merasa terganggu. Menurutku, baunya
khas dan ada aroma sedapnya. Jangan lupa, ibuku juga
biasa meramu jamu meskipun tak seahli ibumu," sahut
Puji. "Membaui aroma semacam itu bukan hal asing
bagiku." "Tetapi rasanya pahit."
"Jamu apa sih?"
"Katanya sih jamu pengantin. Aku sudah meminumnya selama satu minggu. Tetapi menurutku sih
rasanya sama tidak enaknya seperti jamu-jamu yang
lain. Jamu sesudah haid, misalnya."
"Untuk apa jamu itu" Apakah khasiatnya... besar?"
tanya Puji dengan dada yang tiba-tiba bergemuruh. Ia
mulai terpengaruh oleh bayangan-bayangannya sendiri.
Dewi melirik Puji dengan lirikan melecehkan yang
tak diketahui oleh yang bersangkutan. Ah, kenapa tadi
aku menjawab pertanyaan Puji dengan terus terang"
pikirnya. Sekarang ia mulai menyesal karena menangkap adanya pengaruh tertentu dalam kepala Puji.
Dan ia jadi cemas karenanya.
"Aku tidak tahu apa khasiatnya dan apa tujuannya,"
sahutnya kemudian, acuh tak acuh. "Tetapi yang jelas,
aku sama sekali tidak peduli. Jamu itu kuminum hanya
untuk menghargai yang telah bersusah payah membuat
dan menyediakannya untukku. Entah itu Ibu atau si
Icih yang membuatnya, aku harus menghargai hasil
pe kerja an mereka. Apalagi malam ini. Sudah capek
http://pustaka-indo.blogspot.com115
dengan banyaknya pekerjaan dan kerepotan hari ini,
masih juga merebuskan jamu untukku. Rasanya
sungguh berdosa kalau jamu itu kubuang begitu saja."
Mendengar jawaban Dewi, darah yang sempat
mengalir lebih cepat dalam tubuh Puji mereda. Perkataan perempuan itu jelas sekali menunjukkan bahwa
baginya minum jamu itu bukan sesuatu yang terkait
dengan kehidupan sebagai perempuan yang bersuami.
Apalagi sebagai pengantin.
"Aku sangat menghargai kepatuhan dan cintamu
terhadap orangtua, Wik. Di zaman sekarang ini, jarang
sekali anak muda yang mau menghargai jerih payah
orangtua yang tidak sesuai dengan kemauannya," pujinya setelah pikirannya mulai normal.
"Ah, itu bukan sesuatu yang istimewa. Setiap anak
yang mencintai orangtuanya pasti memahami bahwa apa
pun yang dilakukan mereka untuknya adalah demi kebahagiaannya. Jadi lihat sajalah tujuannya. Soal perbedaan pendapat dan kemauan, itu kan bisa dicari jalan
tengahnya tanpa orangtua harus tahu. Apa sih su sahnya
menyenangkan dan memuaskan hati orangtua yang
entah tinggal berapa lama lagi bisa hidup bersama kita."
"Ya, aku setuju. Tetapi... kelihatannya, aku malah
menyusahkan mereka," Puji bergumam pelan.
"Aku tadi tidak bermaksud menyindirmu. Yang kukatakan itu kenyataan. Setidaknya, ke nyata an yang
kualami dan kujalani dengan ikhlas," sahut Dewi.
Puji terdiam. Mengetahui itu, Dewi lega. Ia tidak
ingin melanjutkan pembicaraan yang tak me nyenangkan
ini. Karenanya, ia pura-pura menguap, ke mudian
http://pustaka-indo.blogspot.com116
mematikan lampu besar. Sebagai gantinya, ia menyalakan lampu tidur berwarna kehijauan dengan kap berbentuk etnik yang dipasang di dinding bagian atas
tempat tidur. "Selamat tidur," katanya.
Puji menoleh ke arah tubuh Dewi yang terbaring
memunggunginya, sementara sebuah guling berada di
tengah tempat tidur, seakan menjadi batas di antara
me reka. Ia merasa tak puas karenanya.
"Wik, masih ada satu hal lagi yang belum kukatakan," katanya kemudian.
"Apa?" tanya Dewi malas dan tanpa keinginan untuk
berbalik. Tetap memunggungi Puji.
"Mengapa kau memakai baju tidur yang bukan
kembar an kita?" Ah, akhirnya hal itu disinggung juga. Me nyebalkan,
gerutu Dewi dalam hati. Tidak bisakah laki-laki itu
membiarkannya tidur"
"Kuakui, aku memang sengaja tidak me ngenakannya.
Kenapa" Karena aku tidak ingin muna ik," jawabnya.
Puji langsung mengerti maksud perkataan Dewi.
Seketika perasaannya yang paling lembut ter sentuh.
Tak enak rasanya. "Berarti... sudah tidak ada persatuan hati di antara
kita berdua kan, menurutmu?" tanyanya agak tersendat.
"Sudah kukatakan, aku tidak ingin munaik. Jadi,
untuk apa memakai pakaian tidur yang sama?"
Puji terdiam. Perasaannya semakin tidak enak. Secara terang-terangan Dewi telah menyatakan isi hatinya. http://pustaka-indo.blogspot.com117
"Aku... sungguh menyesal," gumamnya lama kemudian. "Te... tetapi bagaimana dengan perasaan cintamu
ke padaku" Masih adakah?"
Dewi menarik napas panjang. Pertanyaan itu memojok kannya. Sejujurnya, sejak hilangnya penghargaan
dirinya terhadap Puji, cintanya yang selama ini memang tak per nah utuh menyusut drastis. Se sungguhnya, ia sendiri pun tak mampu memahami perasaannya
sendiri. Seperti apa sebenarnya yang di sebut cinta"
Mengapa perasaan yang seharusnya indah itu bisa begitu rapuh" Karena tidak segera mendengar jawaban dari Dewi,
Puji mengulangi pertanyaannya. Kali itu dengan nada
mendesak. "Katakanlah sejujurnya, Wik. Kau selalu mengedepan kan kejujuran, kan?"
"Baiklah," sahut Dewi terpaksa. "Terus te rang, perasa an cintaku memang sudah tidak sepenuh semula.
Maaf. " "Berarti, perasaan itu masih ada, kan?"
"Yah... mungkin saja. Lagi pula, tidak mungkin aku
mau menikah dengan seseorang yang sama sekali tidak
kucintai. " "Tetapi...?" Puji bertanya lagi dengan nada mendesak. Lagi-lagi Dewi menarik napas panjang. Ternyata
mengatakan sesuatu dengan jujur tidak selalu mudah
baginya. Puji pasti akan terluka.
Puji cukup mengenali liku-liku cara Dewi menilai
sesuatu. Maka ketika mendengar helaan napasnya, ia
http://pustaka-indo.blogspot.com118
mengetahui bahwa hati perempuan itu dipenuhi
ganjalan-ganjalan yang sedikit-banyak telah menghambat pengungkapan kasih di antara mereka berdua.
Sekarang dia mulai memahami mengapa Dewi berbaring memunggunginya. Dia juga mengerti bahwa saat
ini entah sampai kapan, perempuan itu tidak merelakan
tubuhnya mengkhianati perasaannya sebagaimana ucapannya tadi. Dewi memang tidak ingin munaik, Puji
tahu itu. Maka seperti musair mengharapkan seteguk
air, ia bertanya lagi. "Sekali lagi kuminta padamu mengatakan sejujurnya
perasaanmu padaku, apa pun itu. Kuakui, kejujuran
memang sering terasa menyakitkan. Tetapi aku siap
mendengarnya." "Yah... apa boleh buat." Sekali lagi, Dewi menarik
napas panjang. "Maaf, kalau aku terpaksa mengakui
bahwa kasihku padamu memang... sudah surut banyak
sekali. Begitupun penghargaanku terhadapmu. Tetapi...
semua yang berkaitan dengan manusia dan kehidupannya di dunia ini kan bersifat dinamis. Selalu memiliki keterbukaan terhadap berbagai kemungkinan
yang biasanya merupakan bagian dari hukum sebabakibat. Jadi bisa saja perasaanku akan berubah."
"Asal jangan berubah semakin jauh dariku," sahut
Puji lemah. Ada kekecewaan yang ter sangkut di hatinya. "Tetapi aku sendiri... aku masih sangat mencintaimu, Wik." "Ah... cinta itu apa sih, Mas?" Dewi bergumam.
"Sering kali aku merasa bingung mengartikan dan memahaminya. Terutama sekarang ini."
http://pustaka-indo.blogspot.com119
"Cinta tidak untuk dipikirkan dan diartikan, Wik.
Tetapi dirasakan dan dihayati," kata Puji cepat.
"Ah!" "Kok, ah. Memangnya kenapa?"
Dewi malas menjawab. Bahkan kemudian dipejamkannya pelupuk matanya rapat-rapat. Siapa yang mau
memercayai kata-kata cinta Puji kalau baru beberapa
hari lalu dia menikahi perempuan lain. Namun, sikap
Dewi yang mengabaikan pertanyaannya me nyebabkan
laki-laki itu merasa penasaran.
"Apa arti "ah" yang kausemburkan tadi, Wik?" tanyanya. "Kurasa, tanpa penjelasan dariku pun Mas akan
tahu apa artinya," jawab Dewi acuh tak acuh.
"Tidak, aku tidak tahu," kata Puji, semakin penasaran. Lebih-lebih karena sikap Dewi yang acuh tak
acuh itu. "Jadi tolong kaujelaskan maknanya."
"Masa sih Mas tidak bisa menangkap apa makna
"ah" yang kuucapkan tadi?" Suara Dewi mulai me ninggi.
Ia ingin tidur dan melarikan kelelahan hatinya ke
dalam mimpi, tetapi Puji terus saja mengganggunya
dengan berbagai perkataan dan pertanyaan yang mubazir. "Daripada aku hanya menduga-duga saja, kan lebih
baik kalau kau menjelaskannya kepadaku," Puji berkata
lagi. Masih dengan nada mendesak.
"Oke... oke..." Dewi terpaksa menjawab. Hatinya
mulai jengkel. "Kata "ah" yang terucap dari mulutku
tanpa kontrol tadi, artinya gombal."
"Apanya yang gombal?"
http://pustaka-indo.blogspot.com120
"Pengakuan cintamu tadi."
Merasa tersinggung, Puji meraih lengan Dewi dan


Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghelanya agar perempuan itu menghadap ke arahnya. Karena sakit dan tidak ingin lengannya terkilir,
Dewi terpaksa membalikkan tubuhnya.
"Kau bisa juga membuatku jengkel, Wik," desisnya
di muka Dewi. "Lha, kan sudah kukatakan tadi bahwa semua yang
menyangkut manusia dan kehidupannya di dunia ini
tak pernah statis, tetapi selalu dinamis dan terbuka
pada berbagai kemungkinan. Jadi kalau lidahku menjadi
lebih tajam daripada biasanya, itu kan bagian dari hukum sebab-akibat seperti perkataanku tadi."
"Kau menyimpan sakit hati atas perbuatanku
kemarin-kemarin ini rupanya," Puji mendesis lagi. Tampak nya dia mulai kehilangan kesabaran. Ia tahu, Dewi
sedang melecehkannya. "Kurasa sangat tidak tepat kalau disebut sakit hati,"
Dewi juga mulai mendesis. Memangnya hanya Puji
yang boleh tersinggung" "Kau kan sudah tahu persis
bagaimana pandanganku mengenai perkawinan. Dua
tahun kita bergaul akrab dan kau telah melihat dengan
mata kepalamu sendiri seperti apa keluargaku dan apa
prinsip hidup yang kupegang erat-erat karena bercermin dari kehidupan perkawinan orangtuaku itu.
Tetapi hari ini, karena dirimu... aku terpaksa menginjak-injak sendiri prinsipku itu. Tidakkah itu memukul telak perasaanku" Sakit rasanya, Mas."
Puji menahan napas. Apa yang masih menjadi pertanyaan di kepalanya, perlahan mulai tersibak.
http://pustaka-indo.blogspot.com121
"Tetapi bagaimana jika yang kulakukan beberapa
hari lalu itu karena keterpaksaan, Wik" Sama sekali
aku tidak bermaksud membuatmu meng injak-injak
sen diri prinsip hidupmu. Terutama karena aku tahu
be tul bagaimana pandanganmu me ngenai arti perkawin an. Apakah kaupikir aku senang punya dua istri...
apalagi dalam waktu berselang beberapa hari saja"
Apalagi dalam kondisi ekonomi yang masih belum
stabil!" "Karena kau telah menyinggung masalah prinsip ini,
mari kita lanjutkan pembicaraan ini secara lebih
gamblang." "Oke. Aku setuju."
"Begini." Dewi meremas tangannya sendiri, menghimpun kekuatan untuk menumpahkan ganjalanganjal an hatinya. "Ketika aku mengambil keputusan
untuk tetap melanjutkan rencana pernikahan, tak seorang pun di antara keluargaku setuju. Secara serempak mereka semua membulatkan tekad un tuk menangung rasa malu dan kerugian dalam bentuk apa
pun. Tetapi, aku tetap bersikukuh pada keputusan
sampai akhirnya sebagian besar keluargaku, terutama
keluarga intiku, yang tahu persis seperti apa hidup
dalam perkawinan poligami, memberiku jalan keluar.
Perkawinan tetap dilanjutkan tetapi hanya untuk semen tara...." "Sementara apa maksudmu?" Ada rasa dingin mulai
menjalari punggung Puji saat mendengar pengakuan
Dewi. "Sementara yang dimaksud adalah... sesudah perhttp://pustaka-indo.blogspot.com122
kawinan ini berjalan beberapa waktu lamanya, akan
di akhiri. Alias, bercerai. Oleh karena itulah mereka
me nyarankan agar kita berdua tidak hidup sebagai
suami-istri...." "Maksudmu... perkawinan ini hanya sebagai upaya
untuk menghindari gunjingan dan pembicaraan orang
banyak atau... sebagai penutup rasa malu...?"
"Yah, semacam itulah. Kau harus tahu, membatalkan
acara pernikahan sungguh luar biasa dampaknya. Ada
banyak teman-teman adikku yang sudah siap menjadi
pagar ayu dan pagar bagus dengan pakaian yang akan
mereka kenakan. Banyak pula para among tamu dan
panitia lain yang juga sudah disiap kan sejak lama dan
mengikuti rapat ini-itu sampai geladi resiknya. Belum
termasuk dekorasi dan sekian banyak makanan yang
telanjur dipesan. Mungkin untuk resepsi masih bisa
diselamatkan meskipun ada ganti rugi yang lumayan
besar di pihak katering. Tetapi makanan untuk siraman
dan malam mido dareni" Jadi intinya, membatalkan
acara yang sudah di susun sedemikian rupa bukan hal
yang mudah di tempuh. Bukan masalah nominal
biayanya, tetapi bagai mana kami menghadapi banyak
orang, termasuk seluruh panitia yang jumlahnya lebih
dari seratus orang itu" Maka akhirnya dengan berbagai
per timbangan, ke luarga ku terpaksa menuruti keputusan ku untuk tetap melanjutkan pernikahan lalu... mengakhirinya dalam kesempatan berikutnya."
"Wik!" Puji menatap mata Dewi, nyaris tidak memer cayai apa yang didengarnya. "Apa... apakah keluarga ku mengetahui hal itu?"
http://pustaka-indo.blogspot.com123
"Aku tidak tahu," jawab Dewi. "Mungkin saja Sonny
tahu, karena dia akrab sekali dengan adik-adikku.
Tetapi yang jelas, saran yang diajukan keluargaku itu
ku tolak." "Apa?" Puji terperangah.
"Ya, aku menolak saran mereka meskipun mereka
marah karenanya. Terutama adik-adikku. Mereka marah sekali kepadaku."
"Apa alasan penolakanmu?"
"Karena aku menghormati pernikahan. Aku tidak
ingin menjadikannya sebagai penutup malu lalu mengakhirinya begitu saja. Dengan kata lain, aku tidak ingin
mempermainkan lembaga pernikahan... apa pun alasannya." "Jadi...?" "Jadi... seperti inilah jadinya. Kita menikah meskipun rasanya aku ini sedang dipermainkan nasib," sahut
Dewi terus terang. Suaranya terdengar agak ber getar.
Ada tangis yang mulai ikut bicara. "Di satu pihak, aku
menghormati pernikahan. Di lain pihak, aku merasa
pengorbananku ini terlalu berat kutanggung. Terutama
karena menyangkut prinsip hidupku sendiri, yaitu tidak
akan membiarkan diriku, adik-adikku sam pai keturunan kami, masuk ke dalam kehidupan per kawinan
poligami." "Wiwik!" "Nah, setelah mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan pernikahan kita, aku ingin mengetahui
apa pendapatmu," Dewi terus berbicara tanpa memeduli kan reaksi Puji tadi.
http://pustaka-indo.blogspot.com124
Puji terdiam. Meskipun Dewi berkata-kata seakan
yang sedang mereka bicarakan itu orang lain dan bukan dirinya sendiri, laki-laki itu tahu betul betapa hancur perasaan perempuan itu. Ada dilema amat berat
yang terpaksa ditempuhnya dan keduanya mem bahayakan prinsip penting dalam hidupnya. Maka untuk
menjawab pertanyaannya, harus dipikirkan masakmasak. Dia tidak ingin menambah beban berat yang
Dewi pikul. "Kau... sendiri... bagaimana pandanganmu?" sahutnya, lama kemudian. "Lho, kok ganti bertanya padaku. Kau sudah tahu apa
saja prinsip hidup yang kupegang dan seperti apa
perasaan yang kualami selama hidup dalam rumah
tangga orangtuaku, kan" Tetapi kalau yang ingin kauketahui itu apa pendapatku mengenai perceraian, jawabnya adalah tidak setuju. Sama, seperti pendapat Ibu yang
terus tetap bertahan di dalam rumah tangga nya kendati
perasaannya sering tercabik-cabik. Namun demi kian,
kalau ada alasan yang kuat dan tidak ada anak di dalam
pernikahan, perceraian boleh saja di tempuh."
"Jadi kau tidak anti-perceraian sepenuhnya?"
"Aku tetap anti-perceraian, sebab menurutku, orang
yang menempuh perceraian adalah orang yang tidak
me ngerti makna perkawinan, ko mit men, tanggung
jawab, dan kesadaran untuk meng hadapi konsekuensi
atas pilihannya menikah. Tetapi, kalau memang suatu
perkawinan sudah tidak bisa di pertahankan lagi dan
yakin betul bahwa jalan itu akan lebih baik, yah...
untuk apa berkubang derita di dalam nya, bukan?"
http://pustaka-indo.blogspot.com125
"Lalu bagaimana dengan perkawinan kita" Akankah
ada perceraian sebagaimana yang disarankan oleh
keluargamu?" Dewi tersenyum sekilas. Senyum yang dingin dan
hambar. "Bagaimana jika pertanyaan itu kubalikkan kepadamu, Mas" Apa pandanganmu mengenai perceraian?"
tanyanya. "Aku juga termasuk orang yang anti-perceraian. Perceraian tak pernah terlintas dalam pikiranku," jawab
Puji. "Pasti kau juga berkata begitu kepada Indah."
Mendengar pertanyaan yang mengandung kebenaran
itu, Puji terpana. Dewi tahu dengan jelas apa yang ada
di hati laki-laki yang sedang terpana itu. Artinya, baik
Dewi maupun Indah sama-sama mempunyai tempat
dan akar yang kuat dalam kehidupan Puji. Artinya
pula, perkawinan poligami akan tetap ber langsung.
Melihat Puji terdiam dengan pipi merona merah,
Dewi tersenyum lagi. Kalau tadi dengan senyum dingin
dan hambar, kini dengan sedikit melecehkan.
"Hm... kau sama seperti ayahku," gumamnya kemudian. "Tetapi ingat, aku berbeda dengan ibuku.
Alasan mengapa aku tetap ingin agar perkawinan tetap
dilangsungkan, itu sama sekali bukan masalah perasaan.
Bukan pula masalah ketidakmampuan untuk menghadirkan otonomi diriku sebagai subjek. Me lainkan
terkait dengan prinsip-prinsip hidupku. Aku tidak
seperti ibuku yang ikhlas dijadikan objek ke senangan
dan kemudahan bagi kehidupan suaminya. Jadi bahwa
http://pustaka-indo.blogspot.com126
aku terpaksa berada di dalam perkawinan yang maaf,
kubenci ini, itu kecelakaan yang tak terhindarkan. Ada
sesuatu di luar jangkauan kemampuanku untuk mengelakkannya. Tetapi kalau itu dikaitkan dengan pandangan ku mengenai perceraian, perkawinan kita sangat
memiliki keterbukaan untuk itu. Ada banyak masalah
mendasar yang sangat kuat untuk menggempur sikap
anti-perceraian yang kuanut. Terlebih, pengorbanan apa
pun yang telah kuberikan demi menyelamatkan banyak
orang, aku masih tidak rela jika martabatku sebagai
manusia ter cemari."
Puji menarik napas panjang. Dia sudah kenal bagaimana sistem nilai yang dimiliki Dewi. Tetapi saat mendengar sendiri perempuan itu mengatakan pendiriannya
dengan jelas, ia merasa dirinya bagaikan pe cundang.
"Tetapi, Wik, aku tidak pernah menganggap perempu an sebagai objek kesenangan dan kemudahan
hidup," katanya sesudah mengumpulkan kekuatan
untuk menanggapi perkataan Dewi tadi. "Aku termasuk
laki-laki yang menghargai keberadaan perempuan sebagai sesama subjek."
"Oh, ya?" "Apa arti "oh ya" yang kaukatakan itu?" tuntut Puji.
"Banyak sekali laki-laki yang dengan pongah
mengatakan dia sangat menghormati perempuan karena
katanya, ibunya atau adiknya juga perempuan dan
seterusnya dan seterusnya. Tetapi dalam perbuat an nya,
diam-diam dia mengawini perempuan lain, entah secara
pernikahan siri atau menikah terang-terangan, dengan
bermacam alasan yang ke dengar annya masuk akal
http://pustaka-indo.blogspot.com127
tetapi sebetulnya hanya men cari pembenaran. Jadi,
itulah sebagian arti "oh ya" yang kuucapkan tadi."
"Sudahlah, Wik, jangan menyindirku terus," Puji
menyela. "Sudah dini hari lho. Sudah jam satu lebih."
Dewi melayangkan pandangnya ke jam dinding di
depan tempat tidurnya. Memang sudah men jelang dini
hari. "Ya..." gumamnya.
"Tidurlah..." kata Puji lagi. Suaranya terdengar
mesra. Laki-laki itu memang selalu bersikap mesra
pada Dewi. Tetapi kini mendengar suara mesranya lagi
malah membuat hati Dewi menciut. Ia tidak ingin
suara mesra itu berlanjut pada kemesraan-kemesraan
lainnya. Ka rena nya cepat-cepat ia membalikkan tubuh
dan kem bali me munggungi Puji.
"Ya... aku memang sudah mengantuk... dan sangat
lelah," sahutnya. Kemudian dengan menahan napas, ia menarik selimut hingga ke bawah dagu, berharap Puji menge tahui
bahwa sikap tidur dan selimut yang menutupi tubuhnya itu merupakan pemberitahuan bahwa ia tidak ingin
"diapa-apakan" oleh Puji meskipun mereka kini sudah
suami-istri. "Selamat tidur, Mas," sambungnya. Usai berkta begitu, ia mulai memejamkan mata rapat-rapat.
Maka Puji pun menarik napas panjang. Sadar betul
bahwa Dewi sekarang bukan lagi seperti Dewi-nya
yang dulu. Bahkan, kini ada jarak lebar yang terbentang
di antara mereka. Sadar pula Puji sekarang bahwa
tidak ada lagi kebersamaan untuk saling berbagi, saling
http://pustaka-indo.blogspot.com128
memberi, saling mendukung seperti saat-saat yang lalu.
Bahkan cinta Dewi kepadanya, entah ting gal seberapa
banyak yang masih ada di hatinya.
Yah, dalam tempo beberapa hari saja kehidupan


Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang harus dilaluinya sekarang, bukanlah kehidupan
seperti yang pernah dibayangkannya seperti semula.
Mau tak mau. Suka atau pun tidak.
http://pustaka-indo.blogspot.com129
SESUNGGUHNYA tidak mudah bagi Dewi untuk
segera tertidur dengan berbagai pikiran yang membebaninya. Setiap membayangkan kehidupannya di
masa depan, seluruh isi dadanya langsung digayuti rasa
gamang. Selain itu, sulit baginya mengabaikan orang
lain yang saat itu terbaring di sisinya. Di sepanjang
usianya yang seperempat abad, belum pernah ia tidur
bersama orang lain. Kalau Astri atau sepupunya yang
lain berkunjung dan ingin tidur sekamar dengannya,
mereka selalu tidur di tempat tidur sorong di kolong
dipannya. Dan sekarang di kamar yang sama, ia harus
berbagi tempat tidur dengan seseorang yang tidak lagi
dikenal sebagai Puji-nya yang dulu, karena Puji yang
sekarang adalah Puji yang beberapa hari lalu menikahi
perempu an lain. Puji yang karena perbuatannya itu
telah meng goreskan pertanyaan di hatinya, apakah esok
Lima http://pustaka-indo.blogspot.com130
atau lusa ia akan mengalami kehidupan sepahit kehidupan yang pernah dialami ibunya.
Dengan berbagai pemikiran itulah Dewi baru bisa
terlelap setelah telinganya mendengar suara kokok ayam
jago milik tetangga di kejauhan. Itu pun tidak ter lalu
lama. Belum jam enam pagi, ia sudah ter bangun.
Merasa tidak ada gunanya untuk tetap berbaring di
tempatnya, ia turun dari tempat tidur dengan hati-hati.
Ia tidak ingin Puji terbangun karena gerakannya. Karena itu pula ia memilih mandi di kamar mandi yang
terletak di luar kamar tidurnya. Ia tidak ingin menimbulkan suara yang akan mem bangun kan Puji lalu
mengganggu perasaannya. Keber adaan Puji di dekatnya,
membuatnya benar-benar tidak enak.
"Pagi-pagi kok sudah bangun dan mandi berkeramas, Mbak?" Suara Astri yang tiba-tiba menyapanya
begitu ia keluar dari kamar mandi, membuat Dewi
tersentak. "Kau mengagetkan aku, Tri." Dewi menyeringai.
"Kau kan sudah tahu kebiasaanku. Bangun tidur langsung mandi, biar segar. Sedangkan rambut bekas sasakan dan berbau hair spray ini, menggangguku. Jadi kukeramas." Astri menatap wajah Dewi dengan saksama. Bibirnya terkatup rapat dan tatapan tampak sedih.
"Mbak Wik, sebenarnya aku merasa sangat tidak
rela," katanya kemudian.
"Karena pernikahanku dengan Mas Puji?" tanya
Dewi dengan alis terangkat alis.
"Ya. Semalam... aku merasa sakit memikirkan dirihttp://pustaka-indo.blogspot.com131
mu. Kau begitu cantik, begitu murni, dan prinsipmu
un tuk menjaga keperawanan begitu kuat... namun semua itu sia-sia karena kauberikan buat laki-laki seperti
dia!" Mendengar keluhan itu, Dewi tersenyum lembut.
"Kau terlalu perasa, Tri. Kalau yang kaupikirkan itu
soal keperawananku, sekarang ini aku masih perawan."
sahutnya kemudian. "Dia tidak berani melakukannya
karena aku sengaja menunjukkan ketidaksukaanku."
"Tetapi sampai berapa lama kau bisa memper tahankannya, Mbak?" Nada sedih dan prihatin itu terdengar
lagi. "Sejujurnya aku tidak tahu, Tri. Tetapi semalam aku
sudah berpikir keras sampai akhirnya kutemukan
jawabannya. Tri, apalah arti tubuh yang fana ini, bu kan"
Dia boleh saja memilikinya, tetapi tidak hatiku. Aku
sudah bisa memisahkan antara kewajiban dan perasaan."
"Artinya, cintamu kepadanya sudah mengalami erosi,
Mbak?" "Ya. Kita berdua sudah bicara panjang-lebar mengenai perasaanku pada Mas Puji sebelum peristiwa
tak enak itu terjadi. Kaubilang, aku tidak tampak seperti calon pengantin yang bahagia. Nah, ternyata
irasat ku benar, kan" Jadi Tri, dengan ikhlas ku jalani
ke hidupan seperti ini demi sesuatu yang jauh lebih berharga. Kau sudah tahu itu ketika kita rapat keluarga
kemarin malam. Kira-kira, begitulah. Puas mendengar
alasanku?" Astri menggeleng. "Puas apanya" Kau terlalu memberinya kelonggaran,
http://pustaka-indo.blogspot.com132
kemudahan, dan peluang, Mbak. Pasti dia merasa lega
karena mengira apa yang dilakukannya bersama Indah
sudah bisa kauterima. Itu yang juga membuatku tidak
rela," desisnya. "Kau terlalu suci dan terlalu baik untuknya." Dewi menarik napas panjang. Matanya basah, terharu pada kasih sang sepupu terhadapnya.
"Aku mengerti perasaanmu, Tri. Tetapi kau terlalu
mengagungkan sesuatu yang fana sifatnya..." katanya
kemudian dengan suara serak.
"Ya. Karena menurutku, tubuh fana yang paling hina
sekali pun adalah tempat tinggal batin yang sifatnya
luhur. Maka kau wajib menjaganya dengan hati-hati
dan menghormatinya agar jangan sampai tercemar.
Ingat, kalau bukan kita sendiri yang menghargainya,
siapa lagi kan, Mbak?"
"Ya, Tri. Terima kasih...."
Sekembalinya di kamar, Dewi duduk di muka meja
rias dengan perasaan tertekan. Ditatapnya wajahnya
yang sendu di cermin. Astri benar. Tubuh fana seburuk
apa pun harus dijaga karena merupakan wadah keluhuran jiwa seseorang. Tubuh adalah sarana untuk
mengekspresikan dunia batinnya. Tetapi, bagaimana
cara menjaganya" Bagaimana pula ia harus terusmenerus menolak Puji dan menjauhinya" Bukan kah itu
sama saja seperti melecehkan lembaga pernikahan
karena ia dan Puji telah menikah secara sah" Tidak ada
yang memaksa. Jadi harus bagai manakah ia menentukan langkah menghadapi ke hidupan perkawinan yang
seperti ini" http://pustaka-indo.blogspot.com133
Dewi memejamkan mata, mengalirlah air matanya.
Ter nyata memang tidak mudah menjalani kehidupan
seperti ini. Umur pernikahannya baru sehari, tetapi ia
sudah bisa melihat bahwa kehidupan perkawinan yang
dilaluinya nanti akan penuh dengan benturan-benturan
yang sangat kompleks. Bukan mustahil, benturan itu
terjadi antara prinsip hidup yang satu dengan prinsip
hidupnya yang lain. Namun ironisnya, ia tidak bisa
me ngeluhkannya kepada siapa pun karena sebelum keputusannya untuk tetap melaksanakan acara pernikahan nya dengan Puji diselenggarakan, seluruh keluarganya
sudah mengingatkan. Dengan perasaan semakin tertekan, Dewi menghapus pipinya yang basah. Dari cermin meja riasnya, ia
melihat Puji masih tidur dengan wajah damai. Ah,
mungkin Astri benar, pikirnya sedih. Tampaknya lakilaki itu merasa lega, mengira perbuatannya selama
beberapa hari sebelum hari ini telah dimaafkan dan
keberadaan Indah telah diterimanya. Terpaksa ataupun
tidak. Kalau Puji memang berpikir seperti itu, berarti dia
belum mengenalku dengan baik, kata Dewi dalam hati.
Dua tahun mereka telah bergaul akrab. Semesti nya
laki-laki itu tahu bagaimana cara ia berpikir dan berpen dapat. Ataukah jangan-jangan dia memang sudah
tahu, namun pura-pura tidak tahu dengan me manfaatkan Dewi yang tersudut prinsip hidupnya sendiri"
Sambil menyisir rambutnya dengan jemari agar
cepat kering, Dewi mengeluh lagi dalam hati. Memakai
hair dryer, pasti akan membangunkan Puji. Lalu,
http://pustaka-indo.blogspot.com134
sampai kapan ia harus berhati-hati melakukan apa saja
di kamarnya sendiri hanya agar Puji tidak terbangun
dan melihat keberadaannya" Ada ke takut an yang
menghuni lubuk hatinya, kalau-kalau...
Dewi menarik napas panjang dan mengembuskannya
pelan-pelan. Perih hatinya. Di hari pertama nya sebagai
istri, ia malah takut pada suami sendiri. Esok, entah
apa lagi yang akan dirasakan dan dialaminya, entah itu
dari dirinya sendiri, entah dari luar. Namun ia merasa
gentar menghadapinya. Kekuatan, keberanian, kemantap an, dan ketabahannya ketika mengatakan
keputusan untuk tetap melanjutkan seluruh rencana
perkawinannya, entah hilang ke mana. Bahkan tiba-tiba
ia teringat kehidupan rumah tangga orangtuanya di
masa lalu. Gunjingan, cemoohan, tatapan iba, dan
pandang an yang melecehkan telah dialaminya bersama
ibu dan ketiga adiknya. Na mun ternyata kepahitan semacam itu masih belum lenyap dimakan waktu maupun kondisi zaman yang telah berubah. Tetapi lebih
tragis lagi, kondisi semacam itulah yang tampaknya
akan menjadi bagian dari hidup perkawinan poligami
bersama Puji, yang telah telanjur dimasukinya.
Dengan perasaan hampa, Dewi memutar kursi berkaki roda yang didudukinya dan menghadapkannya ke
arah tempat tidur tempat Puji masih tergolek nyenyak.
Hm, pastilah setelah hari-hari yang menegangkan, harihari yang melelahkan selama laki-laki itu menghilang
dari rumah, telah menyita isik dan mentalnya. Dan
kini ia bisa beristirahat dengan lega di kamar istrinya
yang lain. http://pustaka-indo.blogspot.com135
Dengan tatapan tajam, Dewi menatap wajah dan
tubuh Puji yang pernah membuatnya jatuh hati. Lakilaki tampan, gagah, cerdas, dan menawan itu hadir
tepat saat hatinya yang porak-poranda karena putus
hubungan kasihnya dengan Pramono, mulai tertata.
Maka kekecewaan, kesepian batin, kesengsaraan, dan
amarah dalam dadanya saat itu seakan terserap oleh
pelukan hangat Puji. Ada dada bidang tempat ia bisa
meletakkan kepalanya yang letih. Di dada itu pulalah
ia pernah menyesap rasa nyaman, damai, dan harapan.
Namun sekarang ia merasa laki-laki yang sama, lakilaki yang pernah dicintainya, meskipun tidak sebesar
cintanya kepada Pramono dulu, bagai orang asing. Ada
jarak lebar dan dalam yang tiba-tiba terbentang di
antara mereka. Padahal wajah yang sedang ia pandang
itu sudah begitu kenal. Bibirnya juga masih bibir sama
yang pernah me ngecupnya dengan mesra. Lengannya
yang kekar ada lah lengan sama yang sebelum ini sering
memeluk Dewi dengan hangat. Tetapi kini, semua itu
seperti bukan wajah, bibir, lengan, dan pelukan seperti
yang pernah ia akrabi. Sungguh asing rasanya. Apalagi
saat mengingat bahwa semua yang ada pada Puji bu kan
miliknya seorang. Tetapi juga milik Indah. Ke sadaran
yang semakin pekat seperti itulah yang mem buat Dewi
tertegun. Bahkan juga ber gidik dengan kegamangan
yang semakin men cengkeramnya.
Ah, alangkah peliknya hati manusia, pikir Dewi.
Hanya dalam waktu beberapa hari perasaannya
terhadap Puji bisa berubah. Dan dia tidak tahu persis
mengapa perasaannya bisa begitu. Seperti apakah sehttp://pustaka-indo.blogspot.com136
benarnya isi sebuah hati sehingga bisa menjadi begitu
rapuh" Padahal baru dua minggu lalu mereka jalan
bersama sambil bergandengan memasuki toko yang
satu ke toko yang lain untuk me milih berbagai perabot
rumah, tirai-tirai, dan ber macam keperluan rumah
tangga lainnya. Mereka saling melemparkan olok-olok
dan canda setiap kali berbeda pen dapat. Sungguh menyenangkan hari-hari seperti itu. Tetapi sekarang, masih adakah perasaan senang dan penuh harapan tersemai di hatinya" Ya Tuhan, bisa-bisanya Puji bersikap "tanpa dosa"
saat mereka berduaan seperti itu, padahal di tempat
lain dia telah menyebabkan perempuan lain mengandung anaknya. Ketika itu, Puji sendiri pasti belum tahu
apa akibat perbuatannya bersama Indah.
Sambil menatap Puji yang masih tidur nyenyak,
Dewi terus bertanya-tanya sendiri di hatinya, men cari
kebenaran yang tersembunyi di sana. Namun ter nyata
memang tidak mudah menjawabnya. Terlebih setelah
penghargaannya terhadap laki-laki itu runtuh. Jadi
dapatkah jawabannya kepada Astri beberapa hari lalu
dipertanggungjawabkan suara hatinya"
"Tidak mungkin aku menikah dengan seseorang
tanpa cinta sama sekali...." Begitu waktu itu ia berkata.
Tetapi sekarang apakah dia masih bisa menjawab pertanyaan tersebut dengan setegas itu seandainya Astri
bertanya lagi" Dengan sedih Dewi kembali memejamkan mata. Dia
tidak menyukai kemunaikan. Namun se karang saat
memandang Puji dengan berbagai perasaan negatif
http://pustaka-indo.blogspot.com137
yang berkecamuk, ia merasa dirinya telah menjadi muna ik. Ah, seharusnya ia mempelajari dalam-dalam
lebih dulu apa yang ada di dalam batinnya sebelum
ke putusan untuk tetap me lanjutkan pernikahan itu terucap. Kalau memang sudah tidak ada cinta lagi, mengapa ia tetap mau menikah dengan Puji" Tetapi kalau ia
masih mempunyai rasa cinta, mengapa ia tidak cemburu pada per nikahan Puji dengan perempuan lain"
Apa lagi dia tahu betul, kemarahan yang ditumpahkannya pada laki-laki itu bukan disebabkan kecemburuan,
melain kan karena kekecewaan yang mendalam. Laki

Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laki yang diharapkan akan menjadi suami yang patut
dihargai dan nantinya akan diberinya cinta itu seakan
telah lenyap dari hadapannya. Pujisatriya yang dikira
Dewi akan menjadi suami yang lebih berkualitas daripada ayahnya, telah musnah dari hatinya. Laki-laki itu
telah merusak prinsip hidup Dewi yang paling mendasar. Karena kelakuan Puji pulalah Dewi ter paksa
menjalani kehidupan rumah tangga poligami yang
paling ditentangnya selama ini. Seakan dia telah merobek-robek sendiri pandangan hidupnya dengan membiarkan dirinya menikah dengan laki-laki yang sudah
menikah dengan perempuan lain.
Mengingat semua itu, telapak tangan Dewi mendadak berkeringat dalam udara dingin kamarnya yang
ber-AC. Hatinya semakin galau dan gamang. Sampai
saat ini, pendiriannya sama. Tidak menyetujui pernikah an poligami. Tidak dulu, tidak kemarin, tidak
hari ini, dan tidak untuk selanjutnya. Sudah terlalu
kenyang ia menelan berbagai kepahitan akibat sang
http://pustaka-indo.blogspot.com138
ayah memiliki istri lain. Belum lagi rasa malu yang
harus ditelannya saat melirik tatapan orang-orang ketika mendengar jawaban ibunya yang tak sesuai dengan
kenyataan setiap ditanya ten tang keberadaan suaminya.
Dewi dan ketiga adiknya tidak menyukai kehidupan
perkawinan yang mengakibatkan hilangnya rasa nyaman seperti itu. Maka mereka berempat bertekad agar
kelak anak-anak mereka harus hidup dalam suasana
yang aman, nyaman, hangat, dan damai. Agar jangan
sampai ada dusta dan kepahitan hanya karena salah
seorang orangtua mereka berselingkuh, mendua hati,
dan me lecehkan pernikahannya sendiri. Tetapi kini, apa
yang terjadi" Dia memilih tetap me lanjutkan rencana
pernikahannya dengan Puji meski sudah ada istri lain
dalam kehidupan laki-laki itu. Tidak heran ketiga
adiknya begitu ngotot me nentang keputusannya. Tetapi
apa boleh buat. Demi menjaga nama baik keluarga
besar dan me nyelamatkan harga diri sang ibu yang
nyaris terpuruk kembali setelah berhasil mencapai kepenuhannya, ia rela mengabaikan kebahagiaannya sendiri. Namun, apakah semua itu sebanding dengan
pengorbanannya" Dewi tertegun ketika pertanyaan itu menohok batinnya. Maka untuk ke sekian kalinya ia memejam kan
mata. Sambil memutar kembali kursi yang didudukinya
menghadap meja rias, ia terus berpikir dan berpikir.
Mengapa ia memilih kehidupan yang berlawanan
dengan pandangan hidup nya" Mengapa ia tetap mau
menikah dengan Puji, pada hal batinnya menolak untuk
menerima Puji sebagai suami seutuhnya"
http://pustaka-indo.blogspot.com139
Lama sekali Dewi memejamkan mata, me ngumpulkan jawaban atas pertanyaan itu sampai akhir nya ia
ter sentak saat kesadarannya mampu menggali dunia
batin nya yang paling dalam. Ternyata, selain demi menjaga nama baik keluarga besar dan menjaga perasaan
ibunya tercinta, keputusannya untuk tetap melangsungkan pernikahan dengan Puji juga di moti vasi dorongan
hati untuk menunjukkan protesnya. Protes terhadap
laki-laki yang kelakuannya lebih dikendalikan emosi
dan kebutuhan jasmani dari pada kemampuan otak dan
kesadaran moral. Ya, ternyata Dewi juga menggunakan perkawinan itu
sebagai sarana menunjukkan protesnya. Bahwa dirinya
tidak seperti ibunya atau seperti perempuan-perempuan lain yang meski terpaksa menempuh ke hidupan perkawinan poligami namun pasrah menerimanya,
apa pun alasannya. Dia mau menikah dengan Puji
karena ingin menunjukkan pada laki-laki itu siapa
dirinya. Dan itu hanya bisa dia lakukan di dalam perkawinan. Entah bagaimana caranya, tergantung situasi,
kondisi, dan perjalanan hidupnya nanti.
Tubuh Puji yang tiba-tiba bergerak membuyarkan
ke sibukan pikiran Dewi yang seakan tidak ada hentinya itu. Cepat-cepat kesibukan pikirannya dialihkan
pada gerak tangannya. Membedaki wajah, merata kan
garis alisnya, menyisir rambutnya yang masih se tengah
basah, dan melirik ke tempat tidur dengan diam-diam.
Dilihatnya Puji sedang meregangkan tubuh.
"Mmmm... sudah siang kelihatannya," gumam lakilaki itu. http://pustaka-indo.blogspot.com140
Dewi tidak ingin menanggapi. Masih pura-pura
sibuk dengan rias wajahnya. Sesaat Puji memperhatikan Dewi, dalam hati mengakui bahwa perempuan
itu memang sangat cantik dan me miliki bentuk tubuh
indah. Itu soal keindahan isiknya. Hati nya, tak kalah
indahnya. Meskipun kadang-kadang ia terlalu keras
bersikukuh pada prinsip dan nilai-nilai kehidupan yang
mengacu pada keutamaan, Puji tahu itulah pegangan
hidupnya. Sungguh ber untung ia bisa menikah dengan
perempuan itu. Namun sayang, perempuan yang pada
kenyataannya sudah menjadi istrinya itu seperti berada
di atas awan yang sulit dijangkau.
"Jam berapa sekarang, Wik?" Puji bertanya untuk
me nenangkan perasaannya yang mulai bergejolak.
"Sudah hampir jam tujuh," sahut Dewi, tanpa
menoleh barang sekali pun.
"Wah, bau harum," komentar Puji. "Kau sudah
mandi rupanya." "Ya." "Aku tidak mendengar suara orang mandi."
Seperti tadi, Dewi juga tidak mau menanggapi. Tak
perlu rasanya mengatakan bahwa ia tadi mandi di luar
kamar. Tetapi rupanya Puji tidak mau diabaikan.
"Bau harum... apakah itu aroma sabunmu atau...
apa?" tanyanya. "Campuran aroma, barangkali. Sabun mandi, sam po,
body lotion, dan bedak. Entah mana yang lebih domi nan,
aku tidak tahu," Dewi menjawab seadanya tanpa berniat
menoleh ke arah Puji. Melalui cermin pun tidak.
"Tetapi yang jelas kau tampak segar, cantik, dan
http://pustaka-indo.blogspot.com141
harum.. Mmm... apakah itu juga termasuk ajar an ibumu" Kau pernah bilang, tidak mau mandi de ngan air
panas kecuali kalau sedang sakit. "
"Ya." "Apa alasannya?"
"Banyak. Air dingin yang segar dan bersih menyebab kan kulit mendapatkan kejutan-kejutan yang
yang bisa mengencangkan otot-otot di bawah kulit
tubuh. Dimulai dengan tangan, kaki, wajah, dan
tubuh." "Pantas ibumu awet muda dan masih tetap cantik,"
Puji berkomentar lagi. "Beliau memang punya banyak
kelebihan." "Tetapi kecantikan dan kelebihan-kelebihan yang
dimiliki ibuku tak cukup kuat untuk mengikat hati
suami agar tidak melirik perempuan lain," sahut Dewi
tajam. "Jadi kita lihat, sesempurna apa pun seorang
istri, tak pernah cukup kuat untuk se orang suami.
Penyelewengan seorang suami memang lebih banyak
disebabkan kelebihan energinya. Energi apa, kau pasti
lebih tahu daripada aku."
"Pagi-pagi sudah menyindirku, seperti tidak ada
pem bicaraan yang lebih enak didengar," gerutu Puji.
"Lebih baik aku mandi."
"Kau membawa perlengkapan mandi dari rumah?"
"Ya. Kenapa?" "Kalau tidak, di lemari kecil itu ada handuk baru
yang sudah dicuci satu minggu yang lalu. Sedangkan di
lacinya, kau bisa mengambil sikat gigi baru, odol, dan
sampo khusus laki-laki. Itu juga sudah kusiap kan
http://pustaka-indo.blogspot.com142
seminggu lebih yang lalu. Kemarin kukira benda-benda
itu tidak akan dipakai."
"Wik... tolong..." Puji mengeluh sambil meraih jas
kamar. Dewi tidak menanggapi perkataannya. Setelah menyelesaikan rias wajahnya dan mengembalikan alat-alat
ke cantikan di meja rias, ia berdiri meng hadap Puji.
Sekali lagi laki-laki itu meng akui pada diri sendiri,
betapa elok wajah Dewi. "Koperku diletakkan di mana tadi malam?" tanyanya
mengalihkan pembicaraan. "Kalau tidak salah ada di samping lemari pakaian.
Kenapa?" "Aku mau mengambil pakaian."
"Di lemari pakaian itu ada beberapa baju baru yang
sudah dicuci. Itu juga kusiapkan seminggu lebih yang
lalu. Kebetulan karena keakraban kita di masa lalu, aku
mengetahui ukuran kemeja, pantalon, dan celana
pendek untuk di rumah. Bahkan juga ada pakaian
dalam sesuai dengan ukuranmu. Semua ada di dalam
lemari pakaian itu."
Puji menatap Dewi sesaat, kemudian menarik napas
panjang. Perempuan itu sangat cermat dan mengetahui
kebutuhan orang. Meskipun caranya mengatakan kurang enak didengar, ia yakin semua itu pasti dilakukan
Dewi dengan penuh keikhlasan, sebelum peristiwa
dengan Indah terjadi. Ah, meng apa ia harus bertemu
lagi dengan Indah" Mengapa ia bisa tergoda oleh
situasi penuh nostalgia yang ditimbulkan Indah saat
http://pustaka-indo.blogspot.com143
perempuan itu tampak begitu sengsara ditinggal kekasih barunya" Sungguh, ia tak menyangka rasa iba
yang cuma sesaat itu mengubah hubungan mesranya
dengan Dewi dan memengaruhi perkawinan mereka
yang seharusnya bisa bahagia dan menyenangkan. Perempuan itu telah menyerap ajaran-ajaran ibunya, yang
memberikan banyak kemudahan dan kenyamanan bagi
sang suami. Tetapi sekarang meski pun hubungan mereka rapuh, Puji merasa ia harus tetap berterima kasih.
"Wik, terima kasih atas semua yang telah kaulakukan sehingga membuatku lebih mudah untuk memulai
hari-hariku... " Belum selesai Puji bicara, Dewi sudah menyela.
"Kau tidak perlu berterima kasih padaku, Mas.
Semua itu kusiapkan ketika aku masih meng anggapmu
sebagai calon suamiku sepenuhnya," kata nya dingin.
"Suami sepenuhnya" Apa maksudmu?"
"Suami yang kumiliki se penuhnya. Suami yang menjadi bagian dari hidupku dan hatiku. Sigaring nyowo,
kalau orang Jawa bilang. Belahan jiwa."
Puji terdam sesaat. Kemudian menoleh ke arah
Dewi. "Jelaskan maksudmu itu," katanya kemudian.
"Jangan pura-pura tidak tahu, Mas," Dewi menjawab
agak kesal. "Tidak sadarkah kau bahwa dengan adanya
istrimu yang lain, apakah bisa kau menjadi belahan
jiwa ku" Apakah mungkin kau menjadi suamiku sepenuhnya" Nah, aku tidak ingin berdebat mengenai hal
ini. Silakan kalau kau mau mandi. Aku mau merapikan
kamar." http://pustaka-indo.blogspot.com144
Begitu Puji masuk ke kamar mandi, Dewi termenung seorang diri di kursi. Pikirannya mulai berkecamuk lagi. Dia tahu, Puji tadi merasa tersudut oleh
sikap dan kataan-katanya yang pedas. Te tapi sulit
baginya untuk mengekang lidahnya. Ke ke cewaan hatinya sudah merasuk ke seluruh sudut hati nya dan
mengikat seluruh serat tubuhnya. Kalau saja perasaan
cintanya masih ada, barangkali tidak akan begini yang
dirasakannya. Seperti ibunya, misalnya. Apa pun yang
dideritanya, beliau masih bisa menahannya ka rena ada
cinta di hatinya, ada keikhlasan untuk me maafkan, dan
ada kerelaan untuk memberikan berbagai kemudahan
dan kesenangan bagi sang suami kendati hatinya terkoyak-koyak. Namun Dewi melihat hubung an antara
ibu dan ayahnya bukanlah hubungan yang sehat, karena merupakan hubungan antara subjek dan objek,
meskipun kedengarannya agak ekstrem. Mung kin akan
lebih tepat jika dikatakan hubungan mereka berada
pada tataran yang tak setara, bagaikan majikan dan
pelayan. Tetapi apa pun itu, Dewi tidak ingin hidup
seperti mereka. Baginya, hubungan cinta adalah
hubung an timbal balik antara dua subjek yang setara.
Dan yang seperti itu tak akan mungkin ia alami dalam
pernikahannya dengan Puji. Itulah yang mem buat perasa annya semakin sengsara.
Alangkah ingin hatinya memasuki kehidupan perkawinan yang penuh cinta. Antara subjek dengan
subjek lain. Sebab semakin pe rasaan itu bernilai, semakin subjek lain itu memberi ke mungkinan untuk
me ngembangkan diri bersama-sama. Bahkan ada sehttp://pustaka-indo.blogspot.com145
orang ilsuf mengatakan bahwa ber hadapan atau perjumpaan yang bernilai antara subjek dengan subjek
yang lain, akan membawa mereka kepada Subjek yang
Absolut. Dengan perkataan lain, Allah akan terjumpai
pada perjumpaan antara subjek dengan subjek yang
lain, karena di dalam cinta sejati manusia akan menemukan kepadatan hakikat dirinya. Itulah harapan
Dewi saat menerima lamaran Puji lebih dari setahun
lalu. Paling tidak, cinta sejati yang tidak pernah terlihat
di rumah tangga orangtuanya akan ia rasakan di dalam
rumah tangganya bersama Puji. Tetapi sekarang
hubung an ideal antara dirinya dengan Puji sudah tidak
bisa diharapkan lagi. Begitu pun ajaran-ajaran yang diberikan ibunya sebagai bekal untuk memasuki kehidup

Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

an rumah tangga yang baha gia. Dia tidak ingin menjadi
objek buat Puji. Kesal oleh pikiran yang terus saja meng ganggu nya,
Dewi mengalihkan pikirannya pada tempat tidur yang
berantakan. Ia melipat selimut, merapikan seprai, untuk
kemudian menggerai kembali penutup tempat tidur
sehingga tampak rapi seperti se belum ditiduri. Setelah
itu dimatikannya AC dan dibukanya jendela kamar
lebar-lebar. Angin pagi langsung menerobos masuk dan
membawa wangi bunga melati yang ditanam di dekat
jendela. Sementara bunga melati yang ada di kamar
bekas pesta kemarin mulai tampak layu. Aroma nya
juga sudah tidak seharum kemarin. Perlahan ia
mengumpulkan sebagian rangkaian bunga itu ke sudut
kamar. Puji keluar dari kamar mandi saat Dewi sedang
http://pustaka-indo.blogspot.com146
meng ikat pita tirai jendela kamar sehingga dari dalam
kamarnya ia bisa melihat keindahan taman di luarnya.
Melihat kamar sudah tampak rapi, Puji memuji dengan
suara lembut. "Kamar ini tampak cantik dan rapi. Pemandangan
di luar juga tampak indah bermandikan cahaya mentari
pagi," katanya. "Tetapi yang paling indah dari semua itu
adalah dirimu, Wik."
"Terima kasih," sahut Dewi. Pendek dan tanpa nada.
"Resmi betul." Dewi tidak ingin berbasa-basi. Perhatiannya ditumpah kannya pada apa saja yang bisa dikerjakannya
agar keberadaan Puji tak terlalu terasa. Tetapi ketika
baru saja ia menempatkan selop berwarna emas yang
dipakainya semalam ke dalam kotak, pintu kamarnya
diketuk. "Siapa?" tanyanya.
"Saya, Den Wik." Itu suara Icih. Pasti Icih disuruh
Ibu memanggil dia dan Puji untuk sarapan. Tetapi ternyata ketika pintu kamarnya terbuka, pembantu yang
masih muda itu membawa baki dengan gelas berisi
jamu. "Kusangka kau disuruh Ibu untuk memanggil kami
sarapan," kata Dewi.
"Baru disiapkan Mbok Jum, Den. Baru jam tujuh
lewat sedikit kok," sahut Icih sambil meletakkan gelas
berisi jamu itu ke meja rias.
"Ya sudah kalau begitu. Terima kasih ya...."
"Terima kasih kembali, Den."
http://pustaka-indo.blogspot.com147
Aroma jamu yang baru diantar mulai ikut meramaikan udara di kamar pengantin itu.
"Itu jamu pengantin lagi, Wik?" tanya Puji, ingin
tahu. "Ya.." "Kok belum kauminum?"
Dewi menarik napas panjang, berusaha keras agar
jangan sampai kemarahannya mencuat keluar. Dia tahu
apa yang ada di kepala Puji.
"Sebentar lagi," sahutnya kemudian. Ah, untuk apa
sebenarnya jamu itu" Sudah pahit rasanya, belum tentu
ada hasilnya. Dan kalaupun ada hasilnya, apa tuju annya" Dia toh tidak mau menjadi objek kesenangan buat
Puji. Tetapi agar Puji tidak terus-menerus memperhatikan gelas itu, Dewi terpaksa meminumnya sampai
habis. "Pahit ya, Wik?" Aduh, masih saja laki-laki itu menumpahkan perhatiannya pada segelas jamu yang
warna nya amat tidak menarik itu. Antara hitam dan
hijau tua. "Ya, pahit. Tetapi ada rasa segarnya." Dewi tidak
ingin meremehkan jamu buatan ibunya.
"Bagaimana dengan khasiatnya?"
Puji sudah menanyakan itu sema lam. Dengan tatapan melecehkan yang tak disadari Puji, ia menjawab
per tanyaannya. "Soal khasiatnya, aku tidak tahu. Belum pernah kubuktikan," jawabnya ketus. "Dan itu tidak penting buatku. Jamu itu kuminum hanya untuk meng hargai orang
http://pustaka-indo.blogspot.com148
yang membuat dan menyediakannya sam pai ke sini.
Rasanya tadi malam aku sudah menjawab pertanyaanmu itu, kan" Lupa, ya?"
"Lupa sih tidak," bisik Puji dengan suara serak.
"Tetapi... aku ingin melihat seperti apa buktinya...."
Dewi bergidik. Laki-laki yang beberapa hari lalu
tenggelam dalam pelukan Indah, mulai merayunya. Ia
tidak suka itu. Karenanya lekas-lekas ia menjauh.
"Tidak perlu dibuktikan. Sebentar lagi kita akan
di panggil untuk sarapan," sahutnya. Ada kekecewaan
yang tersirat di wajah Puji saat mendengar nada penolakan Dewi. "Rasanya aku tidak mengenalmu lagi, Wik. Kau
tam pak begitu berubah dan seperti bukan yang kukenal
selama ini," kata laki-laki itu.
"Ada sebab tentu ada akibat kan, Mas" Ada aksi
pasti ada reaksi. Itu sudah hukum alam," sahut Dewi.
Puji terdiam. Melihat itu Dewi cepat-cepat keluar
dari kamar, berusaha menghindari hal-hal yang tidak
diinginkannya karena tampaknya pikiran Puji masih
saja mengarah pada jamu pengantin dan ingin tahu apa
khasiatnya. Pikiran Dewi agak tenang setelah berada di
luar kamar. Untuk mengisi waktu, sesudah sarapan, ia
ikut membantu membereskan segala sesuatu yang
belum berada di tempatnya kembali. Semuanya tampak
berantakan. Bekas-bekas upacara siraman kemarin dulu
masih belum dibereskan. Melihat Dewi sibuk bekerja,
mau tidak mau Puji ikut turun tangan bersama yang
lain kendati mereka berdua dilarang ikut-ikutan behttp://pustaka-indo.blogspot.com149
kerja. Sampai makan siang tiba, barulah semuanya rapi
kembali dan telah berada di tempatnya semula.
Ketika Dewi sedang meletakkan pajangan di rak
buku, ia melihat Astri keluar dari kamar yang dipakai
Dewi sebelum pernikahan. Perempuan itu tampak rapi
dan cantik. "Mau ke mana, Tri?" tanyanya.
"Mau pulang ke Bandung," sahut Astri de ngan
ekspresi wajah yang hanya bisa dimengerti oleh Dewi.
Perempuan itu masih belum merelakan Dewi menikah
dengan Puji. Mendengar itu, Dewi menelan ludah. Ia betul perasa an sepupunya itu. Biasanya ia sangat keras an tinggal di rumah ini dan suka berlama-lama tinggal berdekatan dengan Dewi. "Katamu kemarin kau... baru akan pulang lusa,
paling cepat," komentarnya sedih. "Kok sekarang sudah
mau pulang?" Astri menatap Dewi dengan pandangan sedih.
"Maafkan aku, Mbak. Kuharap kau bisa me maklumiku." katanya dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak
sanggup melihat... keberadaan Mas Puji di sini...."
"Aku memaklumimu, Tri. Kau tidak usah merasa
sedih dan jangan merasa bersalah. Bela rasamu jauh
lebih kuterima daripada keberadaan isikmu di sini.
Pulanglah. Nanti kalau bayimu akan lahir, aku akan
datang ke Bandung," kata Dewi dengan suara serak.
Astri mengangguk. Air matanya yang tak menggenang kini, tergelincir ke pipinya. Melihat itu tenggorok an Dewi terasa sakit, menahan tangis.
http://pustaka-indo.blogspot.com150
"Kalau ada sesuatu... yang tidak bisa kaukatakan
ke pada yang lain, atau kalau ada yang mengganjal perasa an, teleponlah aku. Kalau kau merasa hatimu penuh dan tidak tahu harus bagaimana, datanglah ke
Bandung. Rumah kami terbuka lebar untukmu," kata
Astri. Dewi mengangguk. "Terima kasih, Tri. Aku menyaya ngi mu." Ketika Ary menyusul keluar dari kamar dengan
mem bawa tas mereka di tangan kanan dan kunci mobil
di tangan kiri, Astri langsung memeluk Dewi dan mencium kedua pipinya. Tenggorokan Dewi semakin terasa
sakit. Di tahannya agar tangisnya jangan sampai
meledak, sebab kalau dia menangis pasti hati Astri
yang sedang galau itu akan semakin sedih.
"Hati-hati di mana pun kau berada ya, Tri. Ingat
kandunganmu. Dan kau, Dik Ary, hati-hati menyopir
di jalan ya...." "Pasti, Mbak." Puji yang baru masuk ke ruang itu melihat punggung Astri dan Ary yang sedang menuju ke luar lewat
ruang tamu. "Mereka mau pulang ke Bandung, ya?"
"Ya." Dewi mengiyakan sambil menyusul langkah
kaki Astri dan Ary. "Kok tidak pamit padaku?"
Dewi malas menjawab. Dewi tahu itulah cara
pasang an suami-istri itu menunjukkan kasih sayang
dan bela rasa mereka kepadanya. Nyata sekali ketidakrelaan Astri. Selain ketiga adiknya, Astri yang paling
http://pustaka-indo.blogspot.com151
menentang mati-matian keputusannya menikah dengan
Puji. Memikirkan hal itu hati Dewi bagai diremasremas rasanya. Hubungannya dengan Astri telah
ternodai. Setelah mengantarkan pasangan suami-istri itu sampai di pintu pagar rumah dan mobil mereka lenyap
dari pandangan, lekas-lekas Dewi masuk dan langsung
menuju ke kamar mandi untuk me numpahkan tangisnya di sana. Perih hatinya. Pedih jiwanya. Baru hari
per tama menjadi istri Puji, hatinya sudah tercabikcabik sedemikian rupa. Entah apa yang akan dialaminya besok atau lusa. Tetapi meskipun kegamangan yang
dirasakannya sejak kemarin semakin menjadi-jadi, ia
tidak ingin seorang pun tahu apa yang sedang dirasakannya itu. Terutama keluarganya. Jangan sampai mereka melihat bekas-bekas tangisnya.
Agar bekas-bekas tangis itu tidak menimbulkan
kecurigaan siapa pun, Dewi mandi lagi dan membasuh
wajahnya berulang kali. Beruntung ada alasan yang
masuk akal. Tadi bersama yang lain, dia ikut bekerja
merapikan rumah sehingga perlu membersihkan tubuh.
Melihat itu, Puji ikut-ikutan mandi juga.
"Segar ya, mandi berkeramas sesudah keringatan
tadi," kata laki-laki itu begitu keluar kamar mandi.
Rambutnya yang basah dikeringkannya dengan handuk. "Ya." Ah, untunglah Puji tidak memperhatikan
suara nya yang masih serak karena habis menangis tadi.
Tetapi ketika dari cermin meja rias ia melihat pelupuk
matanya agak sembap, rencananya untuk keluar kamar
http://pustaka-indo.blogspot.com152
lagi dibatalkannya. Jadi terpaksa ia duduk di kursi yang
terletak di dekat jendela dan membaca buku yang
diambilnya secara acak dari meja. Ada beberapa buku
di tempat itu. Mungkin buku kepunyaan salah seorang
adiknya. Kamar tamu yang kini dipakai untuk kamar
pengantin ini sering menjadi tempat persinggahan mereka kalau sedang jenuh tidur di kamar sendiri. Karena
keluarga mereka termasuk keluarga kutu buku, selalu
saja ada buku yang tercecer di mana-mana. Dewi
senang karena bisa memanfaatkannya untuk me rintang
waktu sampai sembap di matanya berkurang.
Puji memperhatikannya. Ia sempat melihat mata
Dewi yang sembap, namun tidak berani menanyakannya. Jadi ia menanyakan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan hal itu. "Kau tidak istirahat siang, Wik?" tanyanya.
"Tidak. Aku sedang menyelesaikan bacaan yang tertunda selama kesibukan beberapa hari kemarin," sahutnya tanpa mendongak. Untungnya, buku itu cukup
lumayan menarik perhatian.
"Buku apa, itu?"
"Roman sejarah," Dewi menjawab pendek.
"Novel?" "Ya." "Tumben. Biasanya kau suka buku-buku pengetahuan populer." Dewi enggan menjawab. Untungnya Puji cukup mengenali Dewi. Kalau sudah membaca, dia tidak suka
di ganggu. Padahal kalau perkataan itu diucapkannya
dua minggu lalu misalnya, pasti Dewi akan mem berikan
http://pustaka-indo.blogspot.com153
tanggapan meriah. Bahwa dengan membaca novel pun
orang bisa mendapat pengetahuan yang tidak ter dapat
dalam buku-buku pengetahuan baku. Bahkan lebih
detail karena diuntai dengan kalimat"kalimat deskrip tif.
Puji melirik Dewi lagi. Meskipun perempuan itu
tidak mau mengangkat wajahnya, ia melihat wajah
cantik di dekatnya itu tampak murung.
"Apakah ada yang mengganggu perasaanmu?" tanyanya mengubah pembicaraan. Suaranya terdengar lembut. Apa pun yang terjadi belakangan ini, Puji masih
tetap mencintai Dewi. "Banyak." "Boleh aku tahu" Wajahmu kelihatan sedih sekali."
Lagi-lagi Dewi tidak menjawab pertanyaan itu sehingga timbul dugaan di hati Puji bahwa perempuan
itu merasa tertekan oleh pernikahan mereka. Ia tahu
betul, Dewi sangat antipoligami. Mengingat hal itu,
rasa tak enak yang sering menyelinap ke hatinya datang
lagi. Perlahan ia menghampiri Dewi, kemudian di

Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peluk nya bahu pe rempuan itu dari belakang.
"Maafkanlah aku, Wik," bisiknya.
Untuk kesekian kalinya, Dewi tidak ingin menjawab.
Maka Puji mengeratkan pelukannya, bermaksud mengulangi permintaan maafnya. Tetapi ketika tatapannya
tertambat pada gelas kosong yang tadi berisi jamu
pengan tin, pikirannya mulai berbelok. Lebih-lebih saat
melihat leher Dewi yang kuning mulus itu. Di ciuminya
tengkuk perempuan itu dengan penuh hasrat. Lupa
akan niatnya untuk mengucapkan lagi perminta an
maafnya. http://pustaka-indo.blogspot.com154
Bukan baru sekali itu Puji melakukannya. Biasanya
kemesraan itu disambut hangat oleh Dewi untuk
kemudian dilanjutkan dengan peluk dan cium. Lalu jika
Puji mulai menunjukkan suhu ke mesraan yang meningkat, sambil tertawa Dewi akan mendorong dada nya
dan memijit hidung laki-laki itu sambil meng ingatkannya untuk menahan diri. Tetapi sekarang, Dewi
merasa risi. Ia melepaskan diri dari pelukan Puji.
"Aduh, Mas, sedang seru nih cerita yang kubaca,"
katanya berdalih. Padahal itu tidak betul.
"Wik... jangan menghindariku," bisiknya mesra. "Aku
mencintaimu...." Dewi masih berusaha menghindar, tetapi Puji segera
Tumbal Mahkota Ratu 2 Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari Lintang Kemukus Dinihari 1

Cari Blog Ini