Ceritasilat Novel Online

The First Fall 2

Love Command The First Fall Karya Janice Nathania Bagian 2


Eh, kenapa, Mas" Ini bakminya. Keasyikan nonton ya, Neng" katanya ramah, sambil nyengir.
Hah" Iya, jawab Shilla seadanya.
Mas penjual itu mencibir, lalu berkata sambil mengelap tangannya. Adegan kayak gitu mah udah biasa, Neng. Pasti Neng anak baru, yah"
Shilla akhirnya hanya menjawab dengan meringis lalu merogoh kantong dan mengangsurkan uang dua puluh ribuannya. Yang segera dikembalikan dengan selembar sepuluh ribuan oleh si mas penjual.
Ia mengucapkan terima kasih sambil mengambil mangkuk yang diulurkan. Ia berjalan pelan-pelan membawa mangkuk bakminya yang masih panas. Salahnya juga sih tidak minta nampan atau tatakan. Ia mengendus. Bakminya tercium begitu menggoda, perutnya berteriak semakin keras.
Eiiiiit& PRAAAAANG... Perhatian Shilla dikacaukan kepulan menggoda dari makanan di tangannya, sehingga ia tak menyadari seseorang yang sedang sibuk memainkan ponsel dengan langkah congkak melintas di dekatnya. Mereka ternyata sama-sama tak menyadari keberadaan masing-masing. Mangkuk Shilla tersenggol dan kini terjatuh.
Gadis itu syok. Ia menatapi pecahan mangkuk dan isinya di dekat kakinya dengan tampang lemas. Tidak. Mungkin. Makanan dari sisa uang terakhirnya hari ini itu kini tergeletak tak berdaya di bawah, bercampur dengan debu, kuman, bakteri, semut, dan kawan-kawannya.
Shilla ternganga lalu mengangkat wajah, memandang Bianca yang malah meliriknya sinis dan berniat melenggang pergi dengan tatapan super membunuh.
Heh. Shilla mencekal tangan Bianca yang sudah mulai menjauh. Menyia-nyiakan makanan dari sisa uang terakhir adalah perbuatan yang sama hinanya dengan tindakan terorisme bagi Shilla. Sejak dulu, di tengah segala kekurangannya, Bunda selalu mengajari Shilla untuk tidak pernah membuang makanan, karena bisa saja itu rezeki terakhir mereka.
Apaan sih" kata Bianca setengah marah, ia menepis kasar tangan Shilla.
Itu makanan saya, kata Shilla sambil menunjuk helai-helai kuning di bawah kakinya.
Bianca menatap Shilla dengan pandangan remeh. So what" Lo mau gue beliin lagi" Gue beliin sama mas mas penjualnya sekalian juga bisa, katanya ketus.
Shilla mendengus. Lebih dari makanan itu, ada hal lain yang lebih ingin ia minta. Ia menatap tepat mata Bianca yang dihiasi lensa kontak berwarna lekat-lekat, Saya nggak butuh kesombongan kamu! Yang saya butuh hanya kamu minta maaf!
Bianca kontan memelototi Shilla, yang balas memelototinya. Elo SI-A-PA"! tegas gadis mungil itu. Gue ini... Iya, iya, potong Shilla sambil memutar bola matanya, kamu itu... Eh, salah. PAPA kamu itu salah satu majelis sekolah ini juga pemilik setengah saham kafeteria ini. Seisi kafeteria juga tau kok, katanya lalu melanjutkan, yang saya butuh... bukan jabatan dan kekuasaan PAPA kamu! Yang saya butuh, KAMU minta maaf! tekannya di poin-poin penting. Tak sadar, adegan mereka kembali menjadi tontonan.
ELO minta GUE, BIANCA THALITA PANGEMANAN minta maaf sama ELO" jerit Bianca.
Iya, kata Shilla enteng sambil bersedekap.
Bianca mengernyit tak suka, biasanya tak ada yang masih bisa berdiri tegak sehabis didampratnya. Ia berdecak lalu berteriak, E-LO GI- LA!
Saya nggak peduli saya gila, itu urusan nanti, Shilla makin menyulut emosi Bianca. Yang sekarang saya mau, kamu minta maaf, ia mendesis, meledaklah emosi yang sudah menjilat ubun-ubunnya sejak tadi. Kamu mungkin terlalu kaya, sampe nggak pernah menghargai seporsi makanan.
Bianca mencibir, tertawa sinis. Panteees. E-LO orang miskin toh"
Shilla mengernyit, sama sekali tak terhina. Paling nggak, kalopun miskin, saya masih punya karunia dari Tuhan yang namanya rasa SYU- KUR... dan MENGHARGAI orang! katanya keras. Biarin deh dibilang ngelantur, batinnya. Ia benci sekali melihat Bianca.
Bianca tiba-tiba kehilangan kata-kata, lalu menggeram dan memutuskan pergi setelah memberikan kode pada teman-temannya yang Shilla tak sadar sudah ada di dekat mereka untuk mengikuti.
This is not the end of the game. You re the one who started it, so it s you, exactly, who will pay for it, kata Bianca tajam lalu beranjak.
Shilla mengangkat sebelah alisnya dan mencibir. Ia menyapukan pandangan ke sekeliling. Ketika menyadari kepergian Bianca menghipnotis semua isi kafeteria untuk ganti memandanginya, ia berdeham salah tingkah, lalu menggeleng. Ia beralih menatapi kekacauan di lantai. Waduh... berarti, ia harus menemui mas penjual bakmi dan...
Neng keren banget... Tiba-tiba si mas penjual bakmi sudah ada di sebelahnya, membawa sapu dan pengki untuk menyapu pecahan mangkuknya.
Aduh maaf ya, Mas, kata Shilla merasa bersalah, meringis tak enak hati.
Si mas penjual bakmi ternyata malah menggeleng geleng takjub sambil terus menyapu pecahan mangkuknya. Nggak papa, Neng, ujarnya, entah kenapa terlihat antusias sekali. Nanti saya ganti deh bakminya. Gratis buat Neng...
Beneran, Mas" seru Shilla. Sedari tadi konsentrasinya tercurah untuk bertikai, hingga baru menyadari perutnya ternyata masih berteriak.
Penjual bakmi itu mengangguk setelah merapikan semua serakan. Neng duduk aja, nanti saya anterin.
Shilla tersenyum cerah lalu mengangguk. Makasih ya, Mas, katanya senang lalu kembali ke mejanya. Ia mengerutkan kening mendapati Ifa dan Devta ternyata juga memandangnya sambil membeliak.
Kenapa" tanya Shilla sambil duduk, lalu menyambar dan menyeruput es kelapa Ifa, tenggorokannya sakit.
You are awesome! kata Ifa tiba-tiba, histeris, tak percaya. Membuat Shilla mau tak mau tersenyum kecil.
Devta malah mewanti-wanti. Hati-hati aja lo sama Bianca. Dia nggak bakal bisa dipermaluin kayak tadi.
Shilla mencibir cuek. Ia sudah terbiasa hidup keras. Cewek manja macam itu bukan masalah besar baginya. Untuk saat ini, paling tidak.
o, for this assignment, I want you all to make a group of four. Please hand me the name of the members of your group by the end of the class, kata Mr. Joe, guru bahasa Inggris kelas sebelas. Pernyataan yang langsung disambut kasak-kusuk siswa-siswi kelas XI-I, semua sibuk mencari anggota grup.
Berempat sama siapa nih" tanya Ifa, menatap Devta dan Shilla bergantian.
Devta mengernyit lalu celingak-celinguk, Coba gue tanya Rama. WOI, RAM... SAMA SIAPA LO"
Sebuah suara tenor dari kejauhan terdengar menjawab, Udah berempat sama kelompok Danar. Yah, telat lo!
Ya udah deh! teriak Devta lagi, lalu kembali mengalihkan perhatian kembali pada kedua gadis di dekatnya.
Bab 5 Ifa ternyata masih membiarkan pulpennya melayang di atas carikan kertas, Jadi, siapa"
I know there are twenty-eight students in this class. So, all of the groups will consist exactly of four people. Not more or less. Is anyone absent today" kata Mr. Joe lagi.
Ryo, Sir, celetuk seorang siswa, entah siapa.
So, which group still needs a member" tanya pria hampir paruh baya itu.
Devta entah kenapa mencibir kesal, lalu terpaksa mengangkat tangan.
So, Ryo will be in your group. Don t complain. Now, back to our topic, kata Mr. Joe, saat melihat Devta akan membuka mulut untuk memprotes.
Devta mendengus kesal. Aaaaaah. Kenapa mesti sama si sombong itu sih, katanya, menatap kursi Ryo yang kosong dengan tatapan ingin mencekik.
Ifa mengangkat bahu, lalu menyelesaikan tulisan nama kelompok mereka.
Jadi kita berempat, ya. Shil, nanti lo ngomong sama Ryo, ya... kan lo... Ifa menggantung kalimatnya. Shilla hanya bisa manyun. Baginya, tugas memberitahu Ryo ini lebih sulit daripada disuruh memberi makan macan yang sudah kelaparan tiga hari.
Ifa berbisik di tengah pelajaran, Entar pulang ke rumah gue, ya. Gue print-in beberapa bahan, jadi lo kasih unjuk Ryo itu materi makalah kita, biar lo nggak usah banyak ngomong sama dia.
Shilla tersenyum agak riang, sepertinya Ifa mengerti bahwa mengajak bicara sama Ryo itu layaknya mengobrol dengan kaktus. Tidak akan didengar, apalagi kalau Shilla yang bicara.
Devta berbisik, nimbrung, Gue nggak bisa. Mau nganter nyokap ke bandara.
Yeh, sahut Ifa singkat. Ntar gue e-mail-in beberapa bahan deh. Gue kan bawa netbook. Nanti paling di mobil gue sambil nyari sama ngirim ke e-mail lo, kata Devta akhirnya, disambut jempol Ifa.
15.05 WIB, Perumahan Tampak Siring
Alphard hitam Ifa memasuki gerbang masuk ke Perumahan Tampak Siring. Rumah-rumah di sini juga besar-besar, tidak jauh berbeda dengan perumahan tempat Ryo tinggal, pikir Shilla.
Rumah Ifa yang bertingkat tiga bergaya minimalis. Tidak ada air mancur megah nan angkuh saat mereka memasuki gerbang rumah. Tampak sebuah kebun dengan patung-patung malaikat mungil tampak mata Shilla. Pemandangan ini jauh lebih indah, tenang, dan sederhana, meskipun bangunan di belakang kebun itu tak kalah mewah.
Setelah melewati ruang tamu besar yang di pojoknya terdapat sebuah grand piano cantik, Ifa mengajak Shilla memasuki sebuah ruangan. Bukan kamar tidur tampaknya, karena tidak ada ranjang. Sebaliknya, karpet bulu lebar membentang di seluruh ruangan. Sofa-sofa empuk berbentuk dadu mengisi bagian lantai yang tidak terjamah karpet.
Setelah membiarkan Shilla mengamati sejenak, Ifa akhirnya mengajaknya mendekati meja PC di sudut ruangan.
Ini ruang bermain gue, jelasnya sambil tersenyum, makanya banyak boneka, mainan, sama tempelan.
Lucu juga, pikir Shilla sambil mengangguk-angguk. Ia menyapukan pandangan lagi. Kali ini ia baru memperhatikan bahwa terdapat berbagai tempelan gambar khas anak TK di dinding ruangan tersebut. Sebuah penggaris kertas besar menempel di dinding, beberapa coretan menghiasi penggaris itu, menunjukkan pertumbuhan tinggi Ifa sejak kecil hingga sekarang.
Ada juga meja panjang di sudut dinding lain. Terdapat beberapa trofi, pigura, dan berbagai mainan di atasnya. Shilla terkejut melihat kalung dengan bandul tutup gabus, yang biasa dipakai untuk menutup botol kecap, juga mobil-mobilan dari kulit jeruk bali. Persis seperti miliknya dan teman-temannya di kampung.
Ifa ternyata sudah menyalakan PC dan mulai berselancar di internet. Ia menyalin beberapa materi ke dalam Microsoft Word, menambahkan sedikit penjelasan, lalu tak lama sudah bergerak untuk mencetaknya.
Sementara Shilla masih menatapi foto-foto pertumbuhan Ifa dengan geli, Ifa menghampirinya dan menyerahkan setumpuk kertas. Nih, Shil, kata Ifa.
Oh, iya. Makasih, kata Shilla sambil mengambil kertas dari Ifa, lalu memperhatikan jajaran pigura lagi.
Beberapa detik kemudian, Shilla beralih menatap Ifa. Kamu dari dulu cantik ya, Fa...
Ifa hanya tersenyum. Ini di mana" tanya Shilla, sehabis memperhatikan foto Ifa kecil bertiga dengan seorang teman laki-laki dan teman perempuannya, ia melihat foto Ifa kecil berbaris bersama anak-anak bule.
Oh, itu di Tulsa, Amerika. Gue sempet tinggal di sana empat tahun, kata Ifa, menjelaskan.
Oh... Shilla mengangguk-angguk. Tapi kok gaya ngomong kamu nggak kayak Cinta Laura" Hehehehe.
Ya nggak, laaaah. Gue kan lebih lama tinggal di sini. Cinta Laura mah kayak dibuat-buat...
Emang tuuuh, sahut Shilla. Lalu mereka pun mulai bergosip sambil mencela beberapa artis yang berkelakuan ih-nggak-banget menurut keduanya.
Sampe sini aja, Fa. Makasih, ya, kata Shilla, lalu menutup pintu Alphard Ifa yang dengan baik hati mengantarnya hingga tiba di gerbang istana Luzardi.
Ifa, yang sempat memandang lama tempat tinggal Shilla dari jendela mobil yang terbuka, tersenyum lalu berkata, Oke deh, Shil. Jangan lupa bilangin Ryo, ya.
Shilla meringis. Oke deh. Dah! katanya lalu melambai dan berbalik ketika Alphard Ifa meluncur meninggalkannya. Ia memencet bel yang sudah ia ketahui di mana letaknya dengan takut-takut. Tuh kaaaan, batinnya saat melihat Bi Okky yang membuka pintu kecil. Aduh bakal dimarahin nggak, ya"
Bi Okky ternyata hanya melongok saat melihat bawaan kertas Shilla lalu berkata, Masuk, dengan nada datar.
Maaf ya, Bi, aku pulang sore, kata Shilla begitu melangkah. Bi Okky kembali berkata tanpa ekspresi, Saya juga udah dipesenin sama Den Arya. Kamu kerja full-nya cuma weekend sama malam hari.
Ah. Gadis itu tersentak. Arya memang baik, pikirnya sambil tersenyum dan melangkah pelan.
Ya udah kamu mandi dulu, ganti baju, kerjain tugas. Abis itu bantu yang lain siapkan makan malam, kata Bi Okky lagi.
Iya, Bi. Makasih. Dengan takut-takut, Shilla menatap pintu jati kamar tuan mudanya yang ditempeli gambar tengkorak dan poster hitam bertuliskan ENTER WITH YOUR OWN RISK! berwarna merah darah. Ia menelan ludah. Mengirangira apakah bajak laut memang representasi yang tepat untuk pemuda itu.
Ada orangnya nggak sih ini" gumam gadis itu setelah ketukannya tidak disahuti.
Masuk aja, kata salah satu pelayan yang sedang melintas sambil membawa vacuum cleaner, Tuan Ryo belum pulang sih tadi. Kakak abis ke dalem" tanya Shilla.
Pelayan itu menunjuk vacuum cleaner yang dibawanya, Setengah jam yang lalu sih aku masuk nge-vacuum, belum ada. Tapi biasanya Tuan Ryo emang pulang malem kok, kata pelayan itu lalu beranjak ke bawah.
Shilla menghela napas lalu menempelkan telinga ke pintu. Tidak ada suara sih. Mungkin benar-benar tak ada orang, pikirnya.
Ia pun akhirnya memutuskan membuka pintu lalu melongok, memandangi kamar bernuansa hitam-putih yang cukup lapang. Berbeda dengan milik Arya, kamar ini hanya terdiri atas satu bagian. Tempat tidur Ryo juga terletak terpisah di sebagian lantai yang lebih tinggi daripada lantai yang dipijak Shilla sekarang, sehingga untuk menuju tempat tidur, ia harus melewati barisan anak tangga kecil.
Shilla melangkah masuk perlahan, tertarik melakukan pengamatan kecil-kecilan. Pandangannya seketika tertumbuk pada meja panjang di dekat pintu. Tidak banyak foto di meja panjang itu, seperti yang dikira akan dilihatnya. Hanya ada beberapa kaleng minuman kosong, beberapa kertas asing, pajangan patung kecil berbentuk abstrak, botol bening yang berisi pasir dan kerang-kerang kecil tanpa tutup ala message-in-thebottle , juga bola kristal kecil berisi pemandangan laut.
Shilla lalu menaruh tumpukan kertas dari Ifa di meja PC yang terletak berseberangan dengan meja panjang tadi. Hmm... ditulisin memo aja deh di atasnya, batin Shilla sambil mengambil kertas kecil dan pulpen yang ada di dekat meja, lalu menuliskan pesan yang menjelaskan tentang tugas mereka.
Shilla menatap puas memonya. Bagus. Dengan begini, ia tidak perlu sibuk lagi merangkai kata untuk berbicara di hadapan Ryo.
Tiba-tiba gadis itu terkesiap, akibat mendengar suara engsel pintu dari balik punggungnya. Satu kata yang terlintas di otaknya hanya Mati aku.
Eh, Shilla& Shilla tercekat lalu memutar tubuh. Diam-diam bersyukur yang dijumpainya malah Arya. Sore, Tuan, sapanya.
Arya tersenyum. Sore... ngapain" tanyanya, mengangkat alis. Ini a-ada tugas kelompok, Tuan, kata Shilla, menunjuk kertas yang tadi diletakkannya.
Arya mengangguk-angguk. Oh. Gimana hari pertama di sekolah" Gadis itu hanya bisa menjawab, Baik-baik aja, Tuan. Bagus kalau begitu. Buku kamu udah saya pesankan di Tata Usaha, besok ambil aja. Ditinggal juga nggak papa. Ryo biasanya juga taruh semua bukunya di loker sekolah kok, kata Arya.
Shilla mengangguk, tersenyum tipis lalu entah kenapa, ia tertarik memperhatikan bungkusan plastik bening kecil yang tergenggam di tangan Arya. Ia sangat mengenali benda yang tersembul dari dalamnya. Ia tak tahu ia kedengaran terlalu ingin tahu, tapi akhirnya ia tak bisa menahan keinginan untuk bertanya, Itu... apa, Tuan"
Arya mengernyit lalu mengikuti arah pandangan Shilla dan mengerti, Oh, ini bros keluarga... Pemuda itu mengangkat bungkusan di tangannya. Dipesan dan dicetak timbul eksklusif di Prancis. Oh...
Arya menggeleng kecil. Biasa, Ryo. Ini udah kedua kali dia ngilangin bros. Yang ketiga kali biar nggak usah dibikinin lagi. Yang pertama masih dimaklumi, karena waktu itu dia masih kecil, tapi...
Ucapan Arya selanjutnya mulai mengabur di pikiran Shilla karena gadis itu tersentak dengan pendengarannya sendiri. Mau tak mau ia berspekulasi. Apa maksudnya... Apa Ayi&
Setelah tersadar dari trance sesaat di kamar Ryo, Shilla akhirnya memohon diri untuk turun dan menyusuri lorong menuju kamarnya sambil terus berpikir. Kata Arya, batinnya memulai, Ryo pernah menghilangkan brosnya sewaktu kecil. Apa mungkin Ryo itu Ayi" Tapi masa Ayi yang baik itu berubah menjadi cowok searogan Ryo" Apa nama Aryo bisa jadi Ryo" Pikirannya mulai menelaah hal-hal yang lebih mudah. Tentu bisa. A-ri-yo. Ari nya bisa jadi Ayi. Tapi bukankah dari dulu panggilan si tuan muda bajak laut itu sudah Ryo" Hmm.
Ia berpikir lagi. Tapi dipikir-pikir nama Arya juga bisa. A-ri-ya. Iya, kan" Shilla merasa hatinya membuncah lalu beberapa detik kemudian memarahi diri sendiri. Itu mah kamu aja yang mau, Shil.
Ia mengerucutkan bibir. Tapi kalau sampai Ayi benar-benar si Tuan Muda Aryo yang sombong luar biasa itu, mungkin Shilla lebih memilih mengubur dan memendam semua kepercayaannya selama lebih dari sepuluh tahun. Sia-sia sih. Makanya ia jauh lebih berharap Ayi itu Arya saja.
Ah. Ya sudahlah. Lebih baik tidak usah berharap cinta masa lalunya itu salah satu dari kedua kakak-beradik Luzardi. Jika Ayi-nya ternyata terlalu jauh untuk digapai, akan makin sulit bagi Shilla untuk mempertahankan kenangan pada ranah kenyataan.
Shilla... Belum lagi membuka pintu kamarnya, gadis itu terpaksa mengurungkan niat dan menoleh. Deya ternyata. Ia tersenyum Kenapa, Kak"
Gadis berkacamata itu balas tersenyum lalu berkata, Kamu dipanggil sama Tuan Ryo.
Hah" kata Shilla spontan, Tuan Ryo udah pulang" Iya, Deya mengangguk, baru aja dia telepon ke dapur. Shilla menelan ludah. Mengira-ngira apa salahnya.
Perlahan, sambil menghela napas dalam-dalam Shilla memberanikan diri mengetuk pintu jati kamar Ryo. Ia menungu dengan cemas lalu meringis saat suara bariton nan tajam Ryo terdengar. Masuk, katanya samar.
Setelah melantun harap yang isinya kira-kira semoga ia bisa keluar dengan selamat nantinya, Shilla pun memutar kenop lalu melangkah ke dalam. Permisi, Tuan.
Ryo yang sedang berdiri di depan meja komputernya ternyata masih mengenakan seragam walau sudah berantakan, tangannya menelusuri permukaan kertas yang tadi Shilla letakkan di sana. Tiba-tiba ia menoleh ke arah Shilla dan menatap tajam. Ini apa" tanyanya, merujuk pada kertas itu.
Bahan tugas bahasa Inggris, jawab Shilla, seadanya. Eh... Tugas kelompok yang tadi dikasih Mr. Joe, jelasnya menambahkan, mengingat Ryo pasti tidak tahu-menahu.
Ryo mengernyit. Terus" Lo nyuruh gue bikin" tanyanya, dengan nada tersinggung.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Itu tugas kelompok, Tuan, katanya lagi, masa Ryo tidak mengerti apa definisi kata kelompok sih" Ia mulai kesal.
Emang siapa yang mau sekelompok sama lo"
Shilla bingung harus menjawab apa, hingga akhirnya menanggapi sambil menghela napas, Itu kelompoknya disuruh Mr. Joe... Terus"
Shilla tak tahu lagi harus berkata apa.
Selain sama lo, gue sekelompok sama siapa" tanya Ryo, akhirnya. Menyadari pelayan baru itu kehabisan kata.
Shilla melengos, berusaha menahan diri untuk tidak meledak lalu membuka mulut, Ifa sama Devta.
Ryo melengos pelan. Ini diapain"
Gadis itu menarik napas lagi sebelum melanjutkan, Itu... kata Ifa, disuruh baca-baca terus nanti Tuan yang ketik draft-nya. Nanti bentuk jadinya saya, Ifa, sama Devta yang buat.
Apa lo bilang" tanya Ryo tak percaya. Gue disuruh baca bahan sebanyak ini" Lo pikir gue ada waktu"
Shilla jadi makin jengkel. Kenapa jadi dirinya yang disalahkan" Kalau mau marah, sama Mr. Joe saja sana. Tapi toh akhirnya Shilla hanya menelan kegeramannya bulat-bulat, meski nada kecut dalam tuturannya tak bisa ditutupi, Terus gimana, Tuan"
Ryo memelototi gadis manis di hadapannya, menyadari Shilla belum juga terlatih menyembunyikan ketidaksukaannya. Ia berdecak lalu balik bertanya, Ya elo maunya gimana"
Shilla menggeram pelan. Kenapa jadi dibalikin lagi"
Pemuda itu, entah kenapa, berusaha menahan senyum memperhatikan raut Shilla yang mati-matian menahan emosi. Menarik sekali gadis itu. Ryo pun berdeham, mengendalikan suaranya agar tidak berubah menjadi ledakan tawa, lalu mengucap sok tegas, Lo nggak berhak nyuruh gue, karena gue majikan lo. Sekarang juga elo baca tuh bahan terus lo yang bikin draft-nya, perintahnya. Final. Tak bisa diganggu gugat. Ia akhirnya menebar pandangan galak, lalu melangkah menjauhi meja komputer menuju kamar mandi.
Shilla manyun. Tapi, kan...
Ryo berbalik seketika, Eh, elo ngebantah" Mau gue pecat" Gadis itu menghela napas, menahan keinginan mencakar Ryo lalu melangkahkan kakinya ke kursi di meja komputer.
Eh, nggak ada yang nyuruh lo duduk di situ. Duduk di lantai aja, kata Ryo, masih memperhatikan Shilla.
Gadis itu tersenyum paksa ke arah tuan mudanya, lalu mengambil bahan yang diberikan Ifa dari meja komputer dan duduk di lantai.
Ryo mengangguk-angguk sendiri lalu berkata lagi, Gue mandi dulu. Awas lo ya nyentuh nyentuh barang-barang gue, pesannya.
Shilla mengangguk, lalu menjulurkan lidah saat punggung Ryo menghilang di balik pintu. Ia mencibir lalu mengalihkan pandangan dan mulai membuka lembar demi lembar bahan yang diberikan Ifa. Untung saja ia selalu masuk ranking lima besar waktu di SMA-nya di Desa Apit dulu dan sering membaca literatur berbahasa Inggris hibahan pemerintah daerah di perpustakaan mungil sekolahnya untuk mengisi waktu senggang. Jadi biar tinggal di desa, ia tetap tidak tertinggal untuk belajar bahasa asing di tengah arus globalisasi begini.
Shilla menghabiskan beberapa saat menggarisbawahi beberapa inti paragraf, lalu mulai menuliskan kerangka draft. Tak lama kemudian, Ryo keluar dari kamar mandi, memakai kaus oblong dan boxer polos namun bermerek. Shilla merasakan pipinya memerah. Malu, sepertinya, tak tahu kenapa. Tanpa sadar ia memperhatikan pemuda itu, diam-diam mengakui Ryo selalu terlihat tampan mengenakan pakaian apa pun.
Ngapain lo bengong ngeliatin gue" Ryo tiba-tiba membentak. Suka" Tapi gue nggak suka sama elo, lanjutnya enteng sambil mematut diri di cermin panjang.
Shilla tersadar lalu mencibir. Ih, apa sih" batinnya, lalu kembali mengalihkan perhatian pada draft-nya.
Ryo menahan senyum lalu menjauhi cermin dan melangkah melewati Shilla, mengambil majalah otomotif yang juga terletak di meja komputer lalu menaiki undakan dan bersemayam di tempat tidurnya.
Hah" Shilla berpikir kesal lagi. Jadi begini yang dibilang nggak punya waktu"
Setelah duduk bersandar di kepala ranjang, Ryo beralih menatap siluet Shilla yang berada di lantai bawahnya. Eh, babu, panggilnya seenak jidat. Ngerti bahasa Inggris nggak lo"
Ngerti, sahut Shilla singkat. Mulai tidak bisa menahan golakan emosi lagi.
Ryo menyunggingkan senyum miring. Tak habis pikir kenapa ia malah terhibur dengan ketidakmampuan pelayan baru itu menutupi kekesalannya, bukannya marah-marah seperti pada bawahan lain yang bersikap menjurus ke kurang ajar. Getaran ponselnya membuat pikiran Ryo teralih. Ia meraih ponselnya. Astaga... Bianca lagi, batinnya datar. Cewek itu memang tipe tahan banting atau kelewat kulit badak sih"
Sudahlah. Tak ada salahnya sekali-kali menanggapi. Ryo akhirnya memutuskan membuka pesan Bianca dan terkejut mendapati cerocosan panjangnya. Ia sontak memandang lagi gadis yang sedang menulis di lantai bawahnya.
Heh, panggil Ryo. Shilla mengangkat wajahnya, terlanjur sebal. Apa lagi" tanyanya tanpa kata Tuan .
Pemuda itu mengerutkan kening. Lo apain si Bianca tadi" Shilla mencibir, diam-diam berpikir dari mana tuan mudanya itu bisa tahu. Nggak saya apa-apain, jawabnya cepat.
Serius" Lo ngelawan dia" tanya Ryo dengan nada tak percaya. Kalo iya, kenapa" tanya Shilla, kesal karena draft-nya tidak selesaiselesai akibat panggilan Ryo yang berulang-ulang.
Pemuda itu melotot garang. Eh, lo. Ditanya baik-baik, jawabnya juga dong.
Shilla menekan pulpennya ke kertas keras-keras, lalu menghela napas perlahan. Gini ya, Tuaaaan, mulainya dengan nada sabar yang dibuatbuat, saya lagi bikin tugas kelompok kita. Kalo diganggu terus nanti nggak selesai-selesai.
Ryo mencibir. Ya itu sih derita lo. Kalo gue tanya ya jawab dong. Gue kan majikan lo.
Shilla akhirnya tersenyum paksa ke arah Ryo yang tak bosan menggunakan kata gue-kan-majikan-lo untuk menggertaknya. Jadi, Tuan mau tanya apa" tanyanya sok manis.
Lo apain Bianca" Shilla mendengus, lalu baru menyadari kemarin ia melihat Bianca sempat bergelayutan di lengan Ryo. Mungkin mereka berhubungan atau sebangsanya, hingga pemuda itu kini tak terima pacarnya diapa-apakan. Ah. Sudah kadung ini. Pacar Tuan nggak saya apa-apain. Saya cuma kasih tau dia gimana caranya bersikap dan belajar menghargai orang, ujar Shilla sejujur-jujurnya sambil memandang tajam ke arah Ryo. Ryo kontan mengangkat sebelah alisnya. Elo nyindir gue" Shilla mengangkat bahu, memperhatikan draft-nya lagi. Ya nggak tahu deh kalo Tuan merasa tersindir, katanya, tak sadar membuat Ryo melotot. Shilla mengabaikannya lalu meneruskan pekerjaannya. Tidak akan ada habis-habisnya deh menghadapi orang seperti Ryo atau Bianca.
Ryo mengecilkan matanya ke ukuran semula, namun masih menatap Shilla lekat-lekat. Makin lama makin penasaran juga ia dengan sikap ceplas-ceplos gadis itu. Ia menimbang, lalu memutuskan mengisengi pelayan baru yang sedang berkonsentrasi di dekatnya.
Ia mengambil remote lalu menyalakan LCD TV-nya yang berada di salah satu dinding. Ia sibuk memencet-mencet tombol, berusaha mencari saluran yang paling berisik. Nah, ia membatin girang, menemukan salah satu siaran TV kabel yang sedang memutar film perang.
Berhasil. Suara tembakan, ledakan, dan teriakan akhirnya mengganggu konsentrasi Shilla.
Ehm, deham gadis itu sengaja, mendongak dan menatap ke arah Ryo dengan mata disipitkan, bisa dikecilin dikit nggak, Tuan"
Ryo, dalam hati bersorak senang karena rencana isengnya sukses, hanya mengangkat sebelah alis, Ini kamar gue. Suka-suka gue...
Shilla mendesah lalu beranjak bangun dari posisinya. Kalo begitu saya bikinnya di luar aja ya, Tuan.
Nggak. Enak aja. Bikin di sini, perintah Ryo cepat. Shilla berdecak lalu membenahi posisinya kembali duduk di lantai, meneruskan draft-nya sambil berusaha mengebaskan pendengaran, mencurahkan perhatian sepenuhnya pada baris-baris kata. Ampuh juga ternyata.
Ryo menatapi Shilla yang setelahnya malah makin tekun menulis, lalu mencibir. Tangguh juga, batinnya. Lalu tiba-tiba pemuda itu bergidik, merasakan panggilan alam mengusiknya. Ryo akhirnya memutuskan mematikan TV lalu beranjak menuju kamar mandi diiringi tatapan kesal Shilla.
Shilla sendiri, dengan beberapa coretan terakhir, kini berhasil menuntaskan draft-nya. Ia meregangkan tangan sambil menguap. Menulis bisa menguras tenaga juga ternyata. Tak lama, ia pun berdiri lalu meletakkan beberapa helai kertas berisi draft yang ditulisnya di meja komputer. Menunggu perintah selanjutnya dari Ryo.
Shilla memandang pintu kamar mandi. Bingung kenapa Ryo lama sekali di dalam sana. Ia memutuskan melangkah menuju meja panjang tadi, membuang kaleng-kaleng kosong yang tersisa ke dalam tempat sampah lalu memandangi botol bening yang berisi pasir dan kerang di meja. Mirip miliknya waktu kecil dulu, yang kini entah ke mana.
Ia tengah mengulurkan tangan, berniat menyentuh botol pasir itu tepat saat Ryo tiba-tiba keluar dari kamar mandi dan menghardiknya.
Jangan pegang itu! teriak Ryo tiba-tiba, keras, membuat Shilla melonjak di tempat.
Gadis itu menoleh, terperanjat mendapati mata Ryo berkilat mengerikan. Kenapa dia" Dibanding kepongahannya, raut kemarahan asli Ryo ternyata jauh lebih menakutkan, menciutkan nyali.
Keluar sana! bentak Ryo Draft itu biar gue yang ketik. Elo& keluar dan jangan pernah masuk sini lagi! sergahnya marah.
Ryo lalu berusaha mengatur napasnya yang tersengal akibat ledakan amarah, lantas memperhatikan punggung Shilla yang beranjak pergi. Ia sama sekali tidak merasa kasihan bahkan setelah menangkap kilasan ketakutan di wajah gadis itu tadi. Tidak. Tidak ada yang boleh menyentuh benda itu. Tidak boleh ada yang menyentuh kenangan masa kecil itu selain ia dan pemiliknya.
EESOKAN paginya. Shilla melambai-lambaikan satu tangannya ke depan untuk menyetop dan akhirnya menaiki angkot yang baru saja melintas di depan komplek Perumahan Airlangga. Hari ini ia tidak berangkat bersama Ryo karena enggan akibat insiden kemarin. Ia lebih memilih berangkat lebih pagi lalu bertanya pada satpam depan komplek yang dulu galak itu bagaimana cara mencapai kawasan sekolahnya dari sini. Untung saja satpam itu tahu.
Tak lama sehabis menunggu beberapa penumpang lain naik, angkot itu mulai bergerak. Shilla sedikit kewalahan memeluk tas kainnya yang berisi pakaian olahraga. Ya, hari ini ada pelajaran yang paling dibencinya itu. Ia harus mengakui ia memang paling payah kalau masalah gerak tubuh.
Bab 6 Akhirnya setelah beberapa saat, Shilla turun dan berganti kendaraan di tempat lain yang diberitahu satpam. Kali ini ia menaiki bus kota. Untung saja, karena masih pagi bus yang dinaikinya tidak begitu ramai. Ia masih kebagian tempat duduk.
Bus kota itu menyalip-nyalip dengan lincah. Gila. Shilla baru merasakan sensasi menegangkan seperti ini. Ternyata benar kata orang kampungnya dulu yang pernah ke Jakarta. Pengemudi bus kota di Jakarta itu berpotensi jadi pembalap berkelas.
Gadis itu pun lalu turun di halte terdekat dari sekolahnya dan memutuskan berjalan kaki sambil memeluk buntalan tas kain dan menyenandungkan lagu Ayi ke arah gerbang. Hari masih terlalu pagi tampaknya, sehingga belum banyak mobil mewah berseliweran di lapangan parkir.
Shilla masuk ke pintu gedung tempat kelasnya berada. Ia mengambil kartu ID dari saku lalu memasukkannya ke mesin absen di sebelah pintu utama hingga terdengar bunyi bip dua kali, lantas melangkah menuju lift. Setelah akhirnya lift berhenti di lantai tiga, Shilla melangkah memasuki kelasnya yang masih sepi. Baru ada sebagian siswa di sana, termasuk Devta.
Hai, Shil, sapa pemuda itu ringan, sambil mengutak-atik ponselnya.
Halo, kata Shilla lalu duduk di bangkunya, di sebelah Devta. Tak lama, Devta memasukkan ponselnya ke saku lantas memperhatikan muka Shilla. Ia mengernyit. Kenapa lo kusut gitu"
Hah" Shilla memperhatikan seragamnya, lalu mengerutkan dahi bingung. Emang seragamku kusut"
Devta tertawa. Bukan seragam lo. Muka lo itu kusut... Shilla hanya mengangkat bahu. Sesungguhnya di benak gadis itu masih juga terbayang ekspresi menakutkan Ryo semalam. Secara misterius, draft tugas bahasa Inggris sudah ada di kamarnya tadi pagi. Heh" Kenapa" tanya Devta lagi, masih penasaran. Nggaaaaaaak, kata Shilla sambil mencoba tersenyum. Devta mencibir. Gara-gara Ryo, ya"
Shilla mengangkat bahu lagi lalu merogoh tasnya. Nih, draftnya.
Devta mengambil kertas yang diberikan Shilla, lalu mulai membolakbalik dan menyerahkannya kembali pada gadis itu. Simpen aja dulu. Entar ke rumah Ifa, kan"
Shilla mengangguk. Kamu ikut, kan" Yang disahut Devta dengan cengiran.
Pagiiiiiiiii, sapa sebuah suara yang tiba-tiba terdengar. Shilla dan Devta mengalihkan pandangan ke pintu lalu tersenyum melihat Ifa yang tampak cerah.
Pagiii, balas keduanya serempak.
Ifa mengempaskan diri di bangku lalu mengambil kertas di meja Shilla. Ini draft-nya" Cepet amat.
Iya, jawab Shilla singkat.
Ryo yang bikin" tanya Ifa tak percaya, keningnya berlipat. Emm, kata Shilla, berdua sih, jawabnya, setengah jujur. Hitunghitung menyelamatkan muka Ryo deh, batinnya.
Oh, jawab Ifa dengan ekspresi tak tertebak.
Eh, materi OR hari ini apa" tanya Shilla tiba-tiba, merasa ingin tahu siksaan apa yang menunggunya.
Devta yang menjawab, setelah berusaha meningat-ingat, Voli kayaknya. Hari ini pake lapangan indoor.
Ifa menyipitkan mata, seperti berusaha mengingat sesuatu, lalu menepuk dahinya, Aduh gue lupa. Kayaknya gue nggak ikut OR hari ini deh. Ada rapat OSIS.
Enak bangeeeeet, kata Shilla spontan, iri pada keberuntungan Ifa yang bisa absen pada pelajaran yang ia benci setengah mati itu.
Ifa tertawa pelan. Enak dong. Untung kemaren kepala sekolah ngizininnya ambil jam pelajaran ketujuh sama kedelapan. Hehehe.
Shilla mengerucutkan bibir lalu merasa bibirnya makin maju saat melihat siapa yang baru saja datang. Ryo. Lagi-lagi aura angkuh yang menyilaukan terpancar dari majikannya itu. Dengan acuh, dia duduk di bangku di depan Shilla.
Devta memutar bola mata. Ifa hanya mengangkat bahu lalu menekuni draft di tangannya. Sementara Shilla hanya menunduk, teringat insiden kemarin lagi.
Ryoooooooooooo& Shilla sontak mengangkat wajah saat mendengar suara sok imut itu. Bianca. Kali ini dia sendirian, tidak bersama teman-temannya. Gadis mungil itu melangkah dengan gaya ratu sejagadnya lalu berdiri di depan Ryo. Dengan seenaknya, Bianca menarik bangku di depan pemuda itu, lalu duduk menghadap Ryo.
Kok kamu nggak bilang-bilang udah dateng" tanyanya menuntut. Emang lo petugas absen" balas Ryo ketus.
Bianca mencibir. Kok kamu nggak jemput aku" Nggak terima pesanku"
Terima, lah. Lo ngirim berjuta-juta kali gitu.
Terus kenapa nggak jemput aku" tanya Bianca makin manja, membuat Shilla bergidik dan memutar bola mata.
Mobil gue sekarat bensinnya. Nggak sempet ke pom bensin kemaren. Itu aja baru tadi pagi isinya. Kalo pake jemput ke rumah lo, bisa mati di tengah jalan mobil gue, jawab Ryo ngeles.
Bianca merengut. Kan di rumah aku ada pom bensin. Hah" Shilla mau tak mau takjub juga. Sekaya apa si Bianca" Sampai punya pom bensin di rumahnya"
Ryo ternyata memutuskan tidak menjawab, dan membiarkan matanya berkeliaran ke mana-mana daripada menatap makhluk mungil di depannya.
Bianca mencibir lagi. Entar malem jemput aku dong. Ada acara di Oliv.
Males, sergah Ryo tajam. Udahlah, Bi. Lo nempel mulu deh kayak lintah.
Shilla, yang diam-diam heran karena menyadari tampaknya Ryo dan Bianca tidak berpacaran, kali ini tak bisa menahan semburan tawanya, membuat Bianca melotot sadar.
Oh. Ada elo, sapanya ketus, melongok ke belakang punggung Ryo.
Shilla hanya mengangkat sebelah alis. Ngapain lo ketawa" tuntut Bianca tak terima.
Shilla mengernyitkan dahi, pura-pura bingung. Oh. Jadi di sini kalo ketawa juga harus izin kamu dulu"
Ryo, meski tak menoleh ke belakang, mau tak mau mengangkat sebelah alis mendengar ucapan Shilla. Cewek itu benar-benar mengesankan. Berani melawan Bianca, si ratu mulut cabe, pula.
Awas lo! kutuk Bianca kesal, memelototi Shilla lalu Ryo lantas beranjak dari bangku yang didudukinya.
*** Berjuang ya, Shil. Gue rapat dulu, kata Ifa lalu ngibrit ke luar begitu bel pergantian jam pelajaran berbunyi, meninggalkan Shilla bersama Devta.
Devta lalu mengajak Shilla keluar kelas dan menuju lift. Mereka menghabiskan beberapa menit sendiri untuk berpindah gedung, hingga Devta menunjuk salah satu ruangan kecil di dekat lapangan voli indoor kepada Shilla. Itu ruangan ganti cewek. Ke situ aja, katanya.
Shilla pun mengangguk, melambai pada Devta lalu memasuki ruang ganti. Lemari tinggi dengan barisan loker mungil di salah satu dinding ruangan menyambutnya. Di pintu tiap loker, ada mesin kecil dan selembar tempelan kertas yang bertuliskan nomor ID yang bisa digunakan di masing-masing loker, karena loker itu dipakai bergantian oleh semua kelas. Shilla mengambil kartu ID-nya dari kantong lalu menggesekkannya ke mesin kecil yang ada di loker dengan tempelan salah satu nomornya.
Ia berganti baju bersama teman-teman lain lalu menyurukkan tas kain berisi seragam sekolahnya ke loker dan memasukkan kembali ID ke kantong celana olahraganya.
Shilla lalu bergegas menuju lapangan karena tiupan peluit guru olahraga sudah menyalak-nyalak. Ia mengerutkan kening begitu berbaris, baru sadar ada segerombol gadis yang bukannya berada di lapangan malah duduk di bangku. Ia menyipitkan mata, lalu tersentak saat menyadari itu Bianca dan antek-anteknya. Shilla mengernyit, si Bianca itu tidak ikut pelajaran atau apa"
Gadis sombong itu balas memandangi Shilla. Penyandang julukan Queen Bi itu kini menyipitkan mata sambil memainkan rambut sementara seorang dayang mengipasinya dengan kipas elektrik.
Beberapa saat ia hanya memandangi Shilla dengan tatapan super merendahkan sambil mendesis. Si kurang ajar itu. Lantas Bianca akhirnya, seperti mendapat wangsit cemerlang kala melihat kartu ID Shilla terjatuh dari kantong celana gadis itu saat kelas XI-I melakukan pemanasan.
Lo semua tunggu di sini, katanya dengan nada memerintah pada teman-temannya.
Bianca dengan cepat berdiri lalu menghampiri lapangan tempat XI-I berada. Dengan seenaknya, ia berjalan melintasi siswa/i yang sibuk melakukan peregangan lalu berhenti tepat di belakang Shilla yang belum sadar juga. Dengan lihai, Bianca bergegas menginjak kartu ID Shilla dengan sepatu mahalnya.
Shilla hampir saja terjatuh karena tiba-tiba ada yang menghalangi ruang geraknya. Ia sontak menegakkan diri, menstabilkan posisi, lalu melotot ke arah Bianca.
Belum sempat Shilla mengeluarkan emosinya, ternyata Pak Hari, guru olahraga terlebih dulu bertanya pada Bianca, Ngapain kamu di situ"
Dengan gerakan cepat, Bianca memungut kartu ID Shilla. Kartu kredit saya jatuh di sini. Mau saya ambil. Daripada keburu diambil sama orang miskin, katanya sambil mencibir kepada Shilla.
Pak Hari mengernyit. Kok kamu bukannya belajar" Kembali ke kelas kamu sana.
Saya juga nggak mau lama lama di sini. Bau sam-pah, tegas Bianca lalu berbalik sambil tersenyum licik setelah sebelumnya menyenggol Shilla dengan sengaja. Ha. Lihat saja gadis miskin itu.
*** Nggak lucu deh, ya! Shilla mencak-mencak begitu melihat pintu lokernya berayun-ayun terbuka, kartu ID-nya terjatuh di bagian bawah lemari loker besar itu. Blazer dan kemeja seragam raib dari tas kainnya. Ia berdecak kesal.
Kenapa, Shil" tanya Zera, teman sekelasnya, tiba-tiba menghampiri.
Shilla merengut, menunjuk lokernya. Seragamku ilang, Ze. Hah" Zera ikut melongok ke arah loker Shilla. Ini udah kebuka dari tadi"
Shilla mengangguk. Sejak aku baru masuk. Ia menggeleng kesal, lalu berpikir cepat. Siapa pelakunya" Tiba-tiba Shilla teringat kelakuan Bianca di lapangan tadi. Omong kosong soal kartu kreditnya. Pasti nenek sihir itu!
Shilla bergegas memungut kartu ID dari lantai, lalu menyambar tas kain yang kini hanya berisi rok dan sepatu pantofelnya lantas membanting pintu loker tanpa ampun. Dengan emosi menggelegak, ia bergegas keluar dari ruang ganti, mengabaikan panggilan Devta, berganti gedung lalu menaiki lift, dan menuju kelas XI-II yang untungnya tidak ada gurunya.
Tanpa menghiraukan lusinan pasang mata yang memperhatikannya, Shilla tergesa mendatangi Bianca yang tengah berias di mejanya dikerubungi teman-temannya. Ia menggebrak meja Bianca, hingga peralatan make-up di meja terlompat dan pemiliknya ikut terkejut. Shilla membentak Bianca, Mana seragam saya"
Bianca menormalkan emosinya lalu memandang Shilla sok tak mengerti. Mana gue tau" PENTING kali ngumpetin SAMPAH kayak gitu.
Shilla melotot. Saya nggak lagi bercanda, tegasnya. Bianca mengangkat alis. Gue juga nggak, katanya enteng, lalu mematut diri di cermin kecil di meja.
Shilla menarik napas dalam-dalam. Berusaha tidak menjambak rambut Bianca.
Bianca kembali memasang tampang ratu sejagadnya. I ve told you. Lo yang ngajak gue main duluan.
Tapi ini nggak lucu! seru Shilla.
Emang ada yang bilang lucu" kata Bianca, mencibir sambil memperhatikan kukunya. Namun setelah mendengar dengusan ketus, ia akhirnya menatap Shilla juga. Lo mau seragam lo balik" tantangnya.
Gadis yang ditanyai itu hanya menjawab sarkatis. Menurut kamu"
Bianca mengangguk-angguk lalu bangun dari kursinya dan berdiri di hadapan Shilla yang sesungguhnya jauh lebih tinggi darinya. Gadis mungil itu menunjuk lantai, menantang mata Shilla. Elo... berlutut dan minta maaf dulu sama gue.
Shilla menganga. Ini penghinaan. Lebih baik seragamnya tidak usah kembali daripada ia harus merendahkan diri di depan nenek sihir macam Bianca. Shilla menggeleng. Tidak, terima kasih. Saya mending nggak punya seragam daripada minta maaf sama nenek sihir kayak kamu, katanya ketus lalu hengkang dari hadapan Bianca.
What did you call me" tanya Bianca histeris, saat penantangnya malah benar-benar pergi dan tak kembali lagi.
*** Shilla, kenapa kamu pake seragam olahraga" tanya Bu Tika, guru biologi mereka yang baru datang di jam pelajaran terakhirnya. Ia baru menyadari salah satu ketidakdisiplinan siswinya saat memandang seisi kelas untuk memilih penjawab soal.
Seragam saya hilang, Bu, jawab Shilla sejujurnya.
Bu Tika mengernyitkan dahi lalu memutuskan melanjutkan pelajaran. Baginya yang penting kesalahan seragam itu tidak akan menghambat muridnya untuk mencerna materi. Ia akhirnya menunjuk Zera untuk menjawab soal yang tadi ia ungkapkan.
Ifa menyenggol Shilla, berbisik, Terus gimana dong seragam lo" Shilla mengangkat bahu. Masa ia harus mengatakan hal ini pada Tuan Arya" Sungkan sekali rasanya.
Kamu punya seragam berapa" tanya Shilla, balas berbisik pada Ifa.


Love Command The First Fall Karya Janice Nathania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ada ekstra sih. Lo mau minjem" tanya Ifa, berbaik hati. Pinjam nggak, ya" batinnya menimbang. Tapi Shilla segan menyusahkan Ifa yang sudah begitu baik padanya. Akhirnya ia menggeleng menjawab pertanyaan Ifa. Nggak usah, deh... Entah bagaimana nasibnya besok.
Begitu bel pulang berdering dan Bu Tika keluar ruangan, Shilla membereskan peralatan sekolah ke dalam ransel hitam butut yang kemarin diberikan Bi Okky. Katanya sih ditemukan di gudang. Lalu ia menoleh ke arah Ifa. Jadi kan ke rumah kamu"
Ifa sibuk memenceti ponselnya. Jadi. Tapi sopir gue kok belum dateng, ya. Dev, mobil lo gimana"
Gue tadi berangkat ke sini nggak naik mobil sendiri. Kan udah tau pulangnya ke rumah elo, tadi gue sama bokap, kata Devta menjelaskan.
Oke, jawab Ifa, memasukkan ponselnya ke saku. Kita tunggu di sini aja deh ya sampe sopir gue ngabarin.
Devta tiba-tiba bangkit dari kursi, menatap kedua gadis di dekatnya, sambil menunjukkan ponselnya. Gue ke taman rusa bentar, ya. Si Rama nih tau-tau manggil. Ifa dan Shilla hanya mengangguk.
Sepeninggal pemuda itu, Ifa kembali memainkan ponselnya. Sementara Shilla memutuskan membaca draft-nya. Tiba-tiba ponsel Ifa berdering. Shilla mengamati sobatnya itu berbicara sambil memasukkan draft ke tas. Bersiap-siap, mungkin itu sopir Ifa.
Halo. Kenapa, Dev" Hah" Sabar ngomongnya pelan-pelan& Hah" Ke lapangan" Ngapain" Iya, iya...
Ifa menekan tombol merah di ponselnya lalu memandang Shilla dengan raut cemas, Shil, kata Devta kita disuruh turun ke bawah sekarang, ke lapangan.
Shilla mengernyitkan dahi, lalu mengangguk. Ia mengikuti langkah Ifa yang terburu-buru. Mereka bergegas menaiki lift lalu turun dan berjalan ke arah lapangan upacara yang kini dipenuhi murid.
Ada apa sih" pikir Shilla sambil menerobos kerumunan. Ia menyerobot ke depan bersama Ifa lalu mengikuti pandangan semua orang yang mengarah ke tiang bendera.
Nggak lucu, batin Shilla. Sebuah blazer dan kemeja berkibar-kibar di ujung tiang bendera. Miliknya.
KE . Shilla menarik napas lambat-lambat. Sangat tidak lucu melihat blazer dan kemejanya berkibar-kibar di atas tiang bendera setinggi itu. Ia berdecak. Tak bisa memikirkan nama lain yang mungkin melakukan hal segila ini. Nenek sihir itu.
Benar saja. Setelah mengedarkan pandangan, Shilla bisa melihat Bianca menatapnya angkuh sambil tersenyum meremehkan. Ratu sejagad dan teman-temannya itu berdiri tidak jauh dari tiang bendera yang kini menjadi tontonan massa.
Gila. Shilla berdecak, berpikir. Apa yang harus ia lakukan, coba" Ia bisa sih memanjat. Tapi memangnya ia mau dikira titisan Sun Go Kong" Padahal biasanya ia bangga dengan kepandaiannya itu, yang membuat dirinya menjadi juara panjat pinang abadi dan tak tergoyahkan di kampungnya dulu.
Bab Shilla menggeleng samar lalu mengalihkan pandangan lagi, memancarkan tatapan membunuh ribuan volt ke arah Bianca. Andai tatapan bisa menyerang seseorang, ia yakin pasti sekarang Bianca sudah berdarah-darah.
Gadis congkak itu sedang merasa di atas angin sehingga masih bisa balas menatap Shilla dengan merendahkan, padahal diam-diam hatinya sedikit gentar juga.
Shilla menggigit bibir, lalu menimbang-nimbang. Peraturan pertama kalau dipermalukan: Tidak boleh keliatan kalah, pikirnya. Ia beralih memandang Ifa yang sedang menatap cemas ke arahnya. Keduanya seakan berpikir sama. Di mana Devta dalam keadaan genting begini" Menghubungi untuk turun ke bawah, Devta-nya sendiri malah kabur sekarang.
Shilla lalu memandang orang-orang di belakangnya yang masih menunjuk-nunjuk blazer dan kemeja di atas mereka. Kejadian aneh kayak gini kok seneng banget, batin Shilla, mau tak mau kesal juga. Dijadiin tontonan pula. Orang kota tapi udik juga ternyata.
Shilla menarik napas lalu mendongak, menyipit menatap baju seragamnya dengan saksama. Ia kesal setengah mati karena itu baju pemberian Tuan Arya dan lebih kesal lagi saat menyadari seragam itu tidak dicantolkan ke pengait bendera, melainkan benar-benar diikat kedua ujungnya di puncak tonggak tiang sehingga tidak bisa dikerek turun.
Ia menggeram lalu memandang Bianca, memelototinya dari atas sampai bawah. Tidak mungkin gadis manja seperti Bianca memanjat tiang. Shilla yang lihai memanjat pohon saja tidak mungkin bisa memanjat tiang selurus itu, apalagi si nenek sihir tipe manja begitu.
Tiba-tiba suara menggelegar terdengar memecah udara di sela kerumunan. Para murid seketika menoleh ketakutan ke segala penjuru, mencari-cari siapa sumbernya.
Apa-apaan ini"! Shilla menoleh ke belakang, terenyak melihat kerumunan orang kini mulai membelah diri menjadi dua bagian, seakan memberikan jalan bagi sosok jangkung yang menyeruak maju. Guru, sepertinya. Dengan tambahan kata killer karena aura hitam yang terpancar darinya.
Shilla kontan mengerut saat sosok pengajar yang belum diketahuinya itu berdiri di sebelahnya. Ia hanya dapat mencicit pelan, Siang, Pak... yang dijawab tatapan ketus oleh guru itu.
Shilla menelan ludah. Kamu, Ifa. Apa ini yang ditonton" Hah" Guru itu berkacak pinggang ke arah Ifa.
Ifa yang terlihat kehabisan kata cuma bisa menunjuk tiang bendera, tempat blazer dan kemeja Shilla masih berkibar mengikuti embusan angin.
Bapak itu kontan melotot marah, lalu ganti memperhatikan Shilla yang memakai seragam olahraga. Itu seragam kamu" tanyanya tajam, sangat mengintimidasi. Matanya masih melotot saat melihat Shilla mengangguk lalu melanjutkan investigasi dengan nada menyelidik, Kok bisa ada di atas situ"
Shilla meringis. Saya nggak tahu, Pak, jawabnya.
Tidak tahu"! bentaknya. Jawaban macam apa itu"! Apa yang kamu tahu"! Bapak itu menggeleng-geleng geram, lalu masih dengan berkacak pinggang, ia memutar tubuhnya, mengalihkan pandangan ke arah muridmurid di belakangnya yang masih berkerumun.
Kalian juga! hardiknya keras, sambil mengacung-acungkan tangan. Ini namanya penghinaan kepada Sang Saka Merah Putih, tahu tidak, kalian semua"! Penghinaan terhadap harga diri kalian sebagai satu bangsa! Bukannya membantu menurunkan apa yang tidak selayaknya berkibar di ujung tiang tertinggi di negara ini malah dijadikan tontonan! Apa kalian tidak tahu untuk mengibarkan bendera Pusaka kita itu dibutuhkan perjuangan yang tidak sebentar dan tidak mudah" Di mana hasil pelajaran yang saya berikan selama ini, HAH"!
Guru kewarganegaraan. Jelas. Pantas saja. Shilla membatin, mengingat jadwalnya dan menyadari ia tidak akan mendapat pelajaran PKn sampai Jumat nanti.
Bubar, semua, bubar! Tidak lucu ini semua! amuk guru killer itu, membuat semua murid ketakutan lalu bergegas beranjak satu per satu.
Shilla kontan menoleh ke tempat Bianca berada tadi. Gadis itu dan konco-konconya sudah raib. Kurang ajar, batinnya kesal. Lantas ia memperhatikan guru kewarganegaraannya yang kini bersedekap sambil memperhatikan tiang bendera dengan sedih sekaligus tampak berpikir keras. Tak lama bapak itu malah menoleh ke arahnya, Bagaimana baju kamu itu"
Shilla hanya bisa mengangkat bahu. Sama-sama tak tahu. Pak Duta, guru kewarganegaraan itu, berdecak lagi, lalu kembali mendongak, memperhatikan posisi tiang bendera yang ujungnya terletak tidak jauh dari serambi lantai tiga.
Kamu, tunjuknya pada Shilla, ke lantai tiga sekarang. Cari pesuruh sekolah atau siapa pun, yang penting laki-laki yang ada di situ. Minta tolong lepas seragam kamu dari tiang bendera. Jangan kamu sendiri, nanti jatuh. Walau jelas baru berkata dengan kesan ucapan yang menyerempet ke kepedulian, guru itu tetap saja melotot.
Shilla mengangguk, memberikan isyarat sekilas pada Ifa, lalu langsung berlari menuju pintu gedung. Sayup-sayup, ia masih bisa mendengar gumaman Pak Duta, Penghinaan& Tidak tahu susahnya& Anak zaman sekarang...
Gadis itu menggeleng-geleng lalu bergegas memasuki lift untuk menuju lantai tiga. Setelah lift memperdengarkan nada ting , ia pun melangkah ke luar dan menyusuri koridor, lalu menyapukan pandangan, mencari laki-laki terdekat seperti yang diperintahkan guru itu tadi.
Sayangnya tak tampak satu pun pesuruh sekolah yang biasa berpakaian biru muda. Shilla menyipitkan mata lalu menimbang-nimbang dan berjalan ragu saat menangkap siluet tegap yang sedang memandang ke bawah balkon yang tepat berada di depan tiang bendera. Pas sekali, batin Shilla.
Ia lalu melangkah mendekat, dan kontan menyerukan kekecewaan dalam hati. Ternyata sosok itu bukan pesuruh sekolah, melainkan Ryo.
Pemuda itu tampak sedang merenung, pandangannya menerawang. Mau tak mau, Shilla ikut terdiam, tertegun. Apa yang Ryo pikirkan hingga aura dan pandangannya terlihat berbeda" Bola matanya berkilat dengan kobaran yang tetap membakar namun dengan perbedaan kesan, kali ini terasa menghanyutkan.
Tiba-tiba saja Ryo menoleh, melemparkan tatapan angkuhnya yang biasa kepada Shilla. Ia tercekat, merasa tertangkap basah. Ya ampun, batin Shilla samar. Kenapa berubahnya bisa secepat itu" Ngapain lo, babu" tanya Ryo ketus.
Shilla mengangkat sebelah ujung bibirnya kesal. Seketika merasa aneh pernah menganggap tatapan Ryo... Emm... Apa pikirnya tadi" Menghanyutkan" Ia bergidik.
Gue tanya, lo ngapain" Bengong mulu, ujar pemuda itu kesal. Shilla mencibir, lalu berpikir. Bagaimana ini" Gadis itu menoleh ke belakang, mencari laki-laki lain, yang tidak ada juga. Ia memandang Ryo lagi, menimbang. Masa ia harus meminta tolong Ryo" Memangnya pemuda model begini bisa apa" Tapi& Shilla mengkeret. Ia tak mau di-blacklist oleh guru killer tadi, bahkan sebelum mendapat pelajarannya.
Sa-saya mau minta tolong, kata Shilla akhirnya, setelah berhasil menghimpun segala bentuk keberanian dalam dirinya.
Ryo mengangkat sebelah alisnya. Kapan terakhir kali ia mendengar ada orang yang berani meminta tolong padanya" Bertahun-tahun yang lalu, mungkin. Ia mengerucutkan bibir, memandang gadis di hadapannya yang sedang menunduk sambil memainkan ujung kaus olahraganya, menanti jawaban. Ia malah menjawab singkat, Siapa elo"
Shilla mendengus, mengangkat wajahnya yang kini pasti terlihat kesal setengah mati. Merutuki prediksinya yang benar seratus persen. Buangbuang waktu bukan, meminta tolong kepada Ryo itu"
Ya udah, permisi, putus Shilla, melihat posisi tiang bendera tidak jauh dari tempat Ryo berdiri.
Kalo gue nggak mau" tantang Ryo.
Shilla mendengus geram lalu menarik napas perlahan untuk menyabarkan hatinya. Akhirnya ia maju, berdiri tidak jauh dari Ryo, dan memperhatikan jauh ke bawah balkon. Ia bersandar ke dinding balkon yang setinggi dagunya. Lalu di sisi dinding balkon yang satu, ada serambi terbuka berlebar beberapa meter yang tidak disekat dinding lagi. Serambi ini diisi bermacam pot tanaman dan ia harus turun lalu menjejak serambi itu agar bisa berjalan sedikit ke kanan hingga tepat berhenti di belakang tiang bendera, lalu meraih seragamnya.
Oke. Tidak ada jalan lain. Shilla menarik napas. Ia harus memanjat pegangan dinding balkon ini untuk menuju serambi.
Ia mencibir menatap Ryo yang balas memandangnya tajam. Dalam hati, Shilla mencela sikap Ryo yang tidak seperti gentleman. Diam-diam ia membandingkannya dengan Arya. Ia yakin tuan mudanya yang lain itu pasti takkan sungkan membantu jika ada di sini.
Shilla mendengus lalu mulai memanjat balkon, bersyukur masih mengenakan celana olahraga. Agak susah sebenarnya, tapi untung saja predikatnya sebagai pemenang lomba panjat pinang yang tak tergoyahkan bertahun-tahun membuatnya menguasai dinding itu dengan mudah.
Begitu bertengger di dinding balkon, Shilla merasa mendengar bunyi ceklik, lalu samar-samar kilatan putih. Ia menoleh, mengernyit melihat Ryo mengarahkan punggung ponsel kepadanya.
Beberapa kali, terlahir beberapa kilatan lagi. Shilla kontan melongo, baru menyadari Ryo mengambil gambar dengan kamera ponselnya.
Good... good. Ternyata zaman sekarang masih ada pembuktian teori evolusi Charles Darwin. Lo tinggal ditambahin properti bulu-bulu cokelat aja, kata Ryo, sambil menurunkan ponselnya, memasang wajah senang.
Shilla yang masih menganga tak percaya, kini mengertakkan gigi. Ia tak habis pikir Ryo itu titisan spesies menyebalkan dari planet mana. Ia mendengus lalu memutuskan mengabaikan pemuda itu dan melompat ringan ke serambi. Ia menggeser tubuhnya perlahan ke posisi yang berada tepat di belakang tiang bendera, sambil menahan napas dan mengingatkan diri untuk tidak melongok ke bawah.
Dengan hati-hati, ia mencondongkan tubuh lalu melepas ikatan blazer dan kemejanya. Ia menghela napas lega lalu mengernyitkan dahi lagi ketika menyadari blazer dan kemejanya terhias noda-noda cokelat berlendir.
Shilla memutuskan mengendus sesaat lalu setelahnya terpaksa menahan golakan dalam perutnya kuat-kuat. Ia menghela napas sambil bertanya-tanya mengapa seragamnya tercium samar seperti onggokan sampah. Apa sih yang dilakukan nenek sihir itu sebelum mengikatkannya"
Shilla berdecak lalu memutuskan untuk berpikir nanti saja. Ia berputar perlahan lalu menatap dinding balkon di atasnya, seketika menelan ludah. Dinding itu kelihatan tinggi sekali dari sini, batinnya. Gawat juga ia tidak memperhitungkan bagaimana cara kembalinya tadi. Duh.
Ia mendongak, berdecak melihat Ryo masih di sana, menatapnya dengan pandangan tak peduli. Ish. Maaf saja, ya. Dia juga tak sudi meminta bantuan Ryo lagi.
Gadis itu memalingkan wajah lalu melompat kecil, berusaha mencapai sisi atas dinding.
Lempar dulu seragamnya, bego. Punya otak, nggak" Lo megangin itu seragam jadi tambah susah, kan" Ryo membuka mulut.
Shilla mengerucutkan bibir lalu melempar seragamnya ke arah beranda. Entahlah jatuh di mana. Ia lantas menghela napas dan mencoba meraih dinding balkon lagi. Sebelah tangan tiba-tiba terulur di depan wajahnya.
Ia sontak mendongak, menatap Ryo yang memandangnya ogahogahan dari balkon.
Mau naik nggak" tanya pemuda itu ketus. Shilla masih menatap tangan Ryo ragu.
Nanti berabe kalo lo nggak bisa naek, terus lo mati membujur kaku di serambi situ, terus Indonesia bakal sedih kehilangan salah satu pembuktian teori evolusi Charles Darwin yang belum sempet dipatenin, hina Ryo lancar.
Shilla mengangkat satu ujung bibirnya kesal. Mau tak mau, akhirnya ia meraih telapak tangan Ryo. Besar dan hangat. Diam-diam gadis itu terkesiap juga saat Ryo membantu menariknya naik, sementara kakinya mencari-cari pijakan di sisi luar dinding balkon.
Tak lama, Shilla pun mendarat dengan selamat di lantai keramik. Berat banget sih lo. Makan apaan sampe kayak babi" rutuk Ryo pelan, mencibir ke arah Shilla kemudian berlalu.
Shilla hanya mencibir lalu mengambil seragamnya yang terjatuh di lantai sambil menatap punggung tegap Ryo yang menjauh dan berpikir. Bisa juga ya spesies seperti Ryo itu membantu orang"
Shilla mengikuti Ifa berjalan ke arah mobilnya, mengangguk-angguk kala mendengar permohonan maaf Devta yang berjalan di belakangnya.
Sumpah, sori banget, Shil. Gue bukannya nggak mau bantu, tapi abis gue telepon Ifa, gue ditelponin lagi sama Rama. Disuruh ke taman rusa.
Gadis yang dimintai permintaan maafnya itu hanya bisa terus mengangguk. Beneran gababa ko, Tev, jawabnya sengau. Lucu juga melihat posisi Shilla saat itu. Jempol dan telunjuk tangan kirinya memegang ujung blazer dan kemejanya, jauh-jauh dari tubuhnya, sementara tangan kanannya memencet hidung yang tidak dapat menoleransi bau busuk benda yang dipegangnya.
Benar-benar deh si nenek sihir satu itu, batinnya kesal. Mereka bertiga sedang menuju gedung kafeteria karena sopir dan mobil Ifa ada di sana. Meski dengan penundaan, mereka tetap pada rencana semula. Ke rumah Ifa untuk mengerjakan tugas bahasa Inggris.
Tak lama berselang, saat ketiganya tinggal beberapa meter mendekati kawasan kafeteria, Shilla mendadak berhenti. Ia menyipit lama sekali ke lantai dua bangunan yang ditujunya, merasa mendapat wangsit saat melihat Bianca dan teman-temannya duduk di bagian outdoor kafeteria, di takhta kerajaannya .
Shilla mengerucutkan bibir, lalu menatap Ifa dan Devta sambil berkata mantap, Tunggu sebentar. Aku mau beresin masalah dulu.
Ifa dan Devta yang sempat melongo tidak mengerti akhirnya memutuskan mengikuti Shilla, yang sudah memasuki kafeteria dan tengah melangkah menaiki tangga penuh semangat dendam kesumat.
Gadis itu melangkah cepat, berusaha tidak menimbulkan suara saat menuju meja berpayung tempat Bianca dan konco-konconya berada. Beruntung, Bianca membelakanginya.
Shilla menyipit penuh emosi, lalu berdeham saat berdiri tepat di belakang musuhnya itu. Tak membuang-buang waktu, ia menepuk bahu Bianca sekuat-kuatnya.
Tepat begitu Bianca memalingkan wajah ke belakang, Shilla bergegas membenamkan blazer dan kemejanya yang berbau busuk ke muka gadis pongah itu.
Keringetan ya, Tuan Putri" tanya Shilla, dengan penuh semangat mengusapkan seragamnya yang bernoda cokelat berlendir itu ke wajah Bianca yang mulai megap-megap kehabisan napas.
Kini, dengan kekuatan penuh, Shilla pun melakukan usapan terakhir lalu melempar seragamnya kuat-kuat ke muka Bianca. Ia menyempatkan waktu untuk membungkuk dengan lagak pelayan, Apakah servis saya memuaskan, Tuan Putri"
Emm... Setelahnya, Shilla tiba-tiba berpura-pura berpikir keras, ia menatap serius Bianca yang masih melongo, Tapi, emangnya ada putri yang bau banget begini" Ia mencondongkan wajah, mengendus-endus lucu ke sekitar muka pias Bianca, lalu memasang tampang berpikir keras lagi. Ada sih kayaknya...
Shilla menatap tajam Bianca dari samping, Namanya... Putri Sampah!
Lantas, ia tersenyum miring, menirukan dengan baik sekali senyum meremehkan Bianca yang biasa, lalu menegakkan diri dan berbalik sok dramatis, menjauhi sang Queen Bi.
Setengah jalan, Shilla kembali berbalik, menatap Bianca dan kawankawannya yang terdiam. Gadis itu kini tak tersenyum melainkan mengangkat sebelah alisnya, lalu mengibaskan rambut panjangnya ala Dian Sastro, dan berbalik lagi, melangkah percaya diri di hadapan semua tatapan heran dan tak menyangka.
16.45, Kamar bermain Ifa Ifa dan Devta tidak berhenti tertawa setiap mengingat perbuatan Shilla kepada Bianca tadi. Tampaknya gadis sombong satu itu harus mulai benar-benar mempertimbangkan kembali untuk mempermainkan Shilla, yang selalu bisa menyamakan skor, bahkan double point.
Gila. Harusnya tadi gue rekam terus gue upload ke Youtube hahahahaa, kata Devta sambil tergelak, walau terlihat setengah menyesal.
Shilla hanya ikut menggeleng-geleng sambil tertawa. Tiba-tiba dia terdiam. Tapi gimana ya seragamku besok" Duh, rutuknya sambil merengut.
Yah elo sih& Pake ditinggal, kata Ifa sambil beranjak kembali menuju meja komputernya, meneruskan mengetik tugas yang terhenti setelah sebelumnya tergoda untuk bergabung bersama kedua temannya di bawah, karena Devta sempat menyinggung insiden itu tadi.
Shilla hanya mengerucutkan bibir. Abis kan nggak keren. Masa udah dibuat lap muka dia gitu, terus aku ambil lagi. Nanti nggak dramatis, ucapnya polos, yang lalu disambut lagi tawa Ifa dan Devta.
Tak lama, karena bosan hanya menunggu Ifa menyelesaikan bagiannya, Devta memutuskan bangun dari posisi duduk lalu meregangkan tangan. Tertawa ternyata bisa menyita energi juga, pikirnya.
Pemuda bermata besar itu pun memutuskan berjalan-jalan kecil mengitari kamar bermain Ifa. Ia mengernyit ketika melihat tumpukan brosur di meja panjang. Event Organizer" batinnya. Mau apa Ifa" Fa, Devta memutuskan bertanya saja daripada penasaran. Hmm?" sahut Ifa, tidak mengalihkan pandangan dari PC-nya. Devta mengacungkan benda di tangannya. Ini apaan nih" Kok banyak brosur EO" Lo mau kawin" tanyanya asal.
Ifa memutar kepala lalu melotot. Enak aja. Jahat loooo& Temen macam apa" Masa lupa ulang tahun gue dua bulan lagi"
Devta buru-buru menghapus tampang melongonya, lalu menepuk dahi. Oh iya& hahaha.
Ifa mencibir, lalu menatap Shilla yang ternyata sedang memandangnya juga. Gadis itu bertanya pelan, Tujuh belas tahun ya, Fa" Dirayain" Ifa mengangguk, lalu sejenak mengalihkan pandangan lagi ke arah PC. Ia mengetik baris kalimat penutup tugas mereka, lalu mengeklik ikon printer dan membiarkan mesin pencetaknya memuntahkan naskah tugas mereka.
Ifa lantas ikut duduk di sebelah Shilla di karpet, disusul Devta yang kini bergabung kembali sambil meneliti brosur-brosur itu.
Emang bisa, Fa" EO dadakan gitu" tanya Devta, membuka salah satu lembaran mengilat dan membacanya.
Ifa mengerucutkan bibir, berpikir. Kayaknya sih sebenernya nggak bisa. Makanya Mami lagi nyari EO yang bisa dadakan gitu. Pasti ada fee ekstra sih, tapi yaaa... Mami juga berkeras mau rayain. Kan gue anak tunggal. Ia melempar pandangannya pada dua orang di dekatnya. Lo berdua bantuin gue yaaa, kecil-kecil gitu sih. Paling masalah suvenir.
Shilla hanya mengangguk-angguk sok mengerti, sementara Devta mendongak dari salah satu brosur yang sedang dibacanya. Udah tau mau pake tema apa"
Nggak tahu. Yang biasa aja lah. Paling Hollywood atau princess. Hahahaha. Ifa kontan tertawa melihat air muka Devta berubah aneh kala mendengar kata princess.
Please deh, Fa. Kayak anak TK aja, kata Devta itu sambil memutar bola mata.
Ifa menjulurkan lidah. Biarin. Jadi putri kan impian tiap cewek. Iya nggak, Shil" tanyanya, lalu menoleh untuk meminta dukungan Shilla.
Gadis itu hanya tersenyum sekilas sambil mengangguk menerawang. Kalau ia jadi seorang putri, siapa pangerannya" Ayi-kah" Atau& Arya" Hmm.
Yeh. Malah bengong gitu lo berdua. Dasar cewek, ucap Devta, tidak mengerti impian macam apa yang gadis-gadis itu miliki.
*** Petang itu, Alphard hitam Ifa kembali mengantarkan Shilla hingga ke depan istana Luzardi. Lagi-lagi Ifa menatap rumah Ryo yang kelewat besar itu sambil agak menerawang, hingga Shilla tersenyum tertahan. Tidak menyangka orang berpunya seperti Ifa bisa takjub juga. Meski wajar sih, mengingat kediaman Luzardi memang gigantis sekali.
Makasih ya, Fa, ujar Shilla yang disambut lambaian tangan dan senyum Ifa.
Sepeninggal Alphard Ifa, Shilla bergegas menekan bel rumah. Seperti biasa pula, Bi Okky yang membukanya. Namun entah kenapa kali ini wanita itu membuka pintu kecil di samping gerbang besar dengan agak terburu-buru dan menyuruh Shilla cepat masuk.
Ada apa dengan Bi Okky" tanyanya dalam hati sambil melangkah melewati gerbang. Shilla lantas kembali mengernyit saat gerbang di dekatnya tiba-tiba berbunyi dengan derakan keras, lalu Porsche Turbo hitam metalik yang biasanya hanya bertengger diam di garasi, melaju kencang melewatinya, mengepulkan pusaran debu-debu tanah yang entah muncul dari mana.
Siapa" pikir gadis itu. Kaca mobil tadi begitu gelap sehingga Shilla tidak bisa melihat siapa di dalamnya. Ah, batinnya. Paling Ryo.
Ia memasuki rumah melalui garasi dan melangkah menuju dapur. Para pelayan tampak sibuk membereskan berbagai peralatan makan berkualitas nomor satu yang biasa hanya dipakai untuk jamuan atau pesta. Masa tadi ada jamuan" pikir Shilla. Kata Kak Deya, Tuan Arya tidak terlalu sering membuat jamuan makan siang.
Shilla akhirnya memutuskan mendekati Deya yang tampak sibuk memasukan piring ke mesin pencuci. Kak, sapanya pelan.
Eh, Shil, balas Deya sambil tersenyum.
Shilla tersenyum balas lalu bertanya, Ada apa barusan" Deya memandang Shilla. Oh, kamu nggak tau, ya" Tadi Tuan sama Nyonya Besar pulang.
Yang tadi pake Porsche itu" tanya Shilla.
Deya mengangguk. Tapi mereka udah berangkat lagi. Katanya mau konferensi bisnis di Bangkok.
Terus ngapain ke sini" tanya Shilla penasaran.
Deya mengangkat bahu. Yang pasti tadi ada jamuan makan siang plus jamuan minum teh sore mereka sama relasi bisnis, gitu. Tuan Arya juga udah pulang tadi.
Oh, kata Shilla, berusaha mencegah getar-getar aneh yang hadir saat Deya menyebut nama terakhir. Ia sendiri tak habis pikir kenapa ia bisa merasakan hal seperti itu, seperti yang biasa dirasakannya pada Ayi.
Shilla menarik napas, berusaha mengenyahkan pikiran itu lalu berkata lagi pada Deya, Aku ganti baju dulu deh, Kak. Mau langsung nyiapin makan malem, kan"
Deya mengangguk. Keesokan paginya& hilla berdiri resah di depan lemari. Bagaimana ini, dia baru kembali teringat pada blazernya yang hilang. Mestinya kemarin dia pinjam saja blazer ekstra Ifa. Paling tidak blazer seragam itu bisa dia pakai sampai ada gantinya. Mungkin dia harus menabung agar bisa membeli blazer baru. Sekarang apakah dia harus berangkat sekolah tanpa blazer" Yah, mungkin itu solusinya. Shilla mendesah, menutup pintu lemari, lalu melangkah gontai sambil memanggul tasnya ke luar.
Tak dinyana, di halaman dia bertemu Arya yang sedang membicarakan sesuatu pada Ryo. Jadi gitu, Yo& Kata& Kalimat Arya terhenti di tengah ketika melihat Shilla keluar. Hai, Shil, mau berangkat" Pagi, Tuan, jawab Shilla lirih. Iya, saya mau berangkat&
Bab 6 Sama Ryo aja nih. Dia juga mau berangkat, kata Arya ramah. Eh, enak aja! sergah Ryo.
Shilla meringis. Dia juga ogah berangkat bareng tuan muda yang satu itu.
Eh, kok cuma pakai kemeja putih. Blazermu mana" tanya Arya sambil mengerutkan dahi.
Eh, itu... Shilla tergagap, bingung bagaimana menjelaskannya. Mendadak Ryo tertawa terbahak-bahak. Blazernya masuk got kemarin& hahaha&
Kerutan di dahi Arya makin dalam. Kok bisa"
Shilla tertunduk, perasaannya sangat tidak enak. Arya sangat baik padanya, dan karena kecerobohannya sendiri, dia membuat pemuda itu tampak susah.
Sudahlah. Mana Bi Okky" Bi! seru Arya ke arah dalam rumah. Yang dipanggil segera tergopoh-gopoh datang.
Bi, ambil dua set seragam Season High lagi di lemari. Berikan pada Shilla, ya, kata Arya.
Shilla tersentak. Hah, kok bisa ada stok seragam sekolah di rumah ini" Ini rumah atau toko sih"
Bi Okky mengangguk, lalu segera kembali masuk ke rumah. Sejurus kemudian, dia kembali membawa dua set seragam yang masih dalam kantong plastik.
Nah, tuh. Sana pakai. Ryo tungguin kok, kata Arya. Te& terima kasih banyak, Tuan, gagap Shilla, E& eh, Tuan Ryo tidak usah nungguin saya. Nanti terlambat. Saya mau simpan dulu yang satu set ini.
Bagus deh. Siapa juga yang mau ngasih tumpangan ke elo" kata Ryo sambil memasuki Jaguar-nya. Sejenak kemudian, mobil itu menderu pergi.
Arya cuma geleng-geleng melihat kelakuan adiknya.
Seminggu kemudian. Shillaaaaaaaaa... Suara Bi Okky yang menggelegar dan mulai terdengar familier itu kini menyapa telinga Shilla. Shilla, yang sedang membereskan serbet di meja makan menoleh ke arah kepala rumah tangga itu.
Nanti abis beresin serbet, kamu tolong bawain aspirin ke kamar Den Arya, ya. Taruh di ruang tamu kamarnya aja. Tadi Aden lagi tidur, ujar wanita itu, yang disambut anggukan Shilla.
Gadis itu berpikir sejenak setelahnya. Aspirin" tanyanya dalam hati. Tuan Arya kenapa"
Setelah melipat serbet terakhir dan meletakkannya di rak cutlery yang berada di salah satu sudut ruang makan, ia bergegas mengambil nampan hitam berelambang keluarga Luzardi dan menaruh segelas air putih di sana. Lalu ia menuju kotak P3K, mencari dan menaruh aspirin di nampan yang sama lalu melangkah cepat ke lantai empat.
Mengingat pernyataan Bi Okky yang mengatakan bahwa Arya sedang tidur, Shilla merasa tak ada gunanya mengetuk saat tiba di depan kamar tuan muda baik hatinya itu. Ia pun mengangkat bahu, lalu memindahkan nampan di satu tangan dan memutar kenop dengan tangannya yang lain.
Shilla mengernyit saat melangkah masuk dan merasa mendengar denting samar dari balik tirai, tempat ranjang Arya berada. Ia penasaran, dan akhirnya memutuskan mengintip sedikit dari celah tirai.
Oooh... ia baru sadar ada piano yang berdiri di pojok kamar di balik tirai, dan Arya ternyata sedang duduk di belakangnya. Pemuda itu memunggungi tirai sehingga tidak bisa melihat Shilla.
Katanya sakit kepala, batin Shilla. Ia heran kenapa Arya malah sedang bermain piano. Ia penasaran juga. Ia ingin tahu sehebat apa Arya Luzardi menarikan jemarinya di atas tuts-tuts piano. Kesempatan langka pula, kan" batinnya, berharap tidak ketahuan sedang menguping.
Shilla hanya bisa terpaku selama beberapa menit, terlena oleh alunan musik yang dimainkan Arya. Kemudian ia tersentak, menyadari sebaris nada yang baru terdengar. Tak salah lagi, ia selalu menyenandungkan lagu itu secara tak sempurna selama lebih dari sepuluh tahun. Yang baru saja terdengar adalah repetisi menakjubkan senandung Ayi.
Jantung Shilla mencelos. Meski tidak berharap, ia merasa asumsinya kembali mentah. Karena bros itu, kemarin ia sempat berpikir selama ini Ayi adalah Ryo, dan ia hampir siap melepas kenangannya. Tapi sekarang" Mungkinkah Arya...
Shilla ngapain di situ"
Hah" Shilla tersentak, melongo, lalu buru-buru menyambar kesadaran dan menatap Arya yang kini tersenyum bingung ke arahnya.
Kenapa bengong gitu" tanya Arya, dengan raut ramah yang membuat Shilla merasa pegangananya pada nampan bergetar pelan.
Mau antar aspirin, ya" tanya Arya, melirik nampan Shilla. Gadis itu mengangguk polos.
Pemuda itu tertawa pelan. Bawa ke sini aja.
Shilla tersenyum malu, lalu menghampiri Arya yang kini menarikan jemarinya lagi, memainkan lagu lain. Ini, Tuan, kata gadis itu pelan, membuat Arya menghentikan permainannya lagi, lalu meraih aspirin dan mereguknya dengan air putih.
Setelah menelan aspirin dan menaruh gelas di atas sudut pianonya, ia tersenyum lagi ke arah Shilla. Taruh di situ dulu aja nampannya, kata Arya, menunjuk meja kecil di dekat piano.
Shilla menuruti Arya, melangkah pelan ke arah meja yang ditunjuk tadi, menaruh nampan lalu berbalik dan berjalan pelan mendekati tuan muda yang baik hati itu.
Duduk sebentar di sini deh, kata pemuda itu, sambil menunjuk sisi kosong lain bangku panjang yang didudukinya.
Shilla menelan ludah, menatap Arya yang tersenyum meyakinkan lalu akhirnya duduk dengan sedikit ragu di sebelah pemuda itu.
Arya wangi sekali. Hanya satu pikiran itu yang melintas di benak Shilla. Setelahnya, ia benar-benar lupa cara bernapas. Kehadiran Arya yang sedekat ini seakan menghentikan semua pikiran Shilla mengenai dunia dan kebenaran, yang ada hanya angan-angan yang menjelma menjadi kenyataan.
Tuan, kata Shilla, masih di awang-awang. Ia menoleh tepat ketika Arya balas menatapnya. Gadis itu kembali mengira oksigennya habis lagi, karena jantung dan paru-parunya mulai bekerja dalam kecepatan tak tertandingi. Perlahan ia melanjutkan, Kalau boleh lancang, bisa saya meminta Tuan memainkan lagu sebelum ini" tanyanya, ingin dihipnotis lagi oleh lagu Ayi.
Arya tersenyum lalu menyanggupi tanpa kata. Ia membiarkan jemarinya kembali mendatangkan lagu itu, sementara Shilla menikmatinya, menikmati setiap alunan dan setiap detiknya berada di sisi Arya. Ternyata, senandung Ayi dulu itu hanya bagian awalnya. Tak lama, Arya menuntaskan permainannya. Suka, ya" Shilla menjawab dengan anggukan pelan.
Itu bikinan saya sendiri, kata Arya tanpa berusaha menyombong. Waktu kecil sih saya baru bisa bikin depannya pake siulan. Tapi begitu udah nguasain piano, saya beruntung bisa nyiptain satu lagu lengkap.
Shilla hanya mengangguk pelan. Masih terlalu banyak misteri dan penyangkalan dalam dirinya, yang membuatnya belum bisa meyakini benar Ayi itu Arya. Walau ingin sekali meyakini, baginya lagu tadi masih pertanda kecil, absurd, belum membuktikan apa-apa. Kamu sering berantem ya sama Ryo" tanya Arya tiba-tiba. Shilla mengernyit sebentar lalu mengangguk. Tidak habis pikir bagaimana Arya bisa tahu.
Arya tertawa pelan, sementara Shilla sembunyi-sembunyi memperhatikannya. Indah sekali, batinnya kala melihat profil wajah pemuda itu. Ia menunduk. Tipe keindahan yang takkan bisa terengkuh olehnya.
Saat itu, Shilla merasakan usapan pada puncak kepalanya. Seperti Ayi. Ia tertegun, lalu mengangkat wajah, menatap Arya yang tengah menerawang. Gemuruh di dada Shilla menggila. Apakah tadi itu perlakuan sewajarnya antara majikan dan pelayan"
Kamu baik-baik ya sama Ryo" kata Arya, tiba-tiba, mengangkat tangannya dari puncak kepala Shilla, masih menerawang.
Shilla kontan mengerutkan kening, sedikit terganggu dengan satu nama menyebalkan itu Kenapa, Tuan" tanyanya.
Arya tersenyum kecil, kali ini menatap Shilla. Saya mau pergi. Apa" Ke mana" tanya Shilla, seketika merasakan hatinya sedikit nyeri. Entah pantas atau tidak, ia tak mau lagi Ayi pergi saat ia hampir menemukannya, terlepas itu Arya atau bukan.
Arya tersenyum, kembali memainkan tuts-tuts pianonya tanpa memandang ke sana. Ke Paris& Pemuda itu kini beralih menatap Shilla. Saya... nggak tahu kenapa, percaya Ryo akan takluk sama kamu. Apa"! Kali ini Shilla hanya menggaungkan pertanyaannya dalam hati.
Arya tetap tersenyum. Minggu lalu, orangtua saya kembali ke sini. Bukan sekadar menjenguk atau jamuan makan, tapi juga menyuruh saya pergi ke Paris. Meneruskan gelar master saya... sambil part time di perusahaan di sana. Raut menawan pemuda itu terlihat sedikit sedih.
Saya sebenarnya berat meninggalkan Ryo, adik semata wayang saya yang lagi bandel-bandelnya. Makanya saya mau nitipin dia sama kamu, kata Arya. Sejak pertama ngeliat kamu... saya udah percaya sama kamu, lanjutnya.
Sesungguhnya pemuda itu sendiri tak tahu mengapa, sejak awal pertama ia melihat Shilla berbeda. Hanya dalam hitungan hari, ia yakin pelayan baru ini akan membawa angin perubahan, entah pada siapa saja. Arya tak tahu kenapa ia mengalihkan otoritasnya untuk menjaga Ryo pada Shilla. Entah. Dia hanya& percaya.
Shilla terpana, tak tahu mau berkata apa. Kenapa Tuan nggak menolak" tanyanya, menyadari Arya sendiri terlihat enggan.
Arya tersenyum lemah. Ini sesuatu yang nggak bisa ditolak. Perkataan papa saya adalah perintah...
Shilla tahu dia bukan siapa-siapa, tapi kenapa sakit hatinya begitu menjadi" Jadi... Arya akan meninggalkannya" Di sini" Dan memercayakan Ryo padanya" Apa jadinya"
Shilla menutup pintu kamar Arya perlahan. Saat itu waktu hampir menunjukan pukul delapan malam. Cukup lama mereka berbincang remeh. Ia bergegas menuruni tangga, berniat segera kembali ke dapur, saat tiba-tiba ia berhenti dan menepuk dahi.
Oh iya, masih ada tugas dari Arya. Shilla mengerucutkan bibirnya. Tugas yang lebih susah daripada memberi makan macan, lagi.
Dengan sedikit segan, Shilla beranjak ke depan kamar Ryo. Gambar tengkorak dan poster ENTER WITH YOUR OWN RISK! itu kembali menciutkan mentalnya. Padahal ia tahu jelas, makhluk yang dikerangkeng di dalam kamar itu jauh lebih seram daripada penampakan luarnya.
Tapi& sesuatu yang melintas dalam benaknya seketika membuat tangan Shilla berhenti beberapa senti dari permukaan kayu. Ia baru ingat kemarin Ryo menghardiknya supaya tidak masuk ke kamar itu lagi.
Ia mengernyit, berpikir beberapa saat lalu akhirnya memberanikan diri mengetuk pintu kamar Ryo. Toh perintahnya ia dilarang masuk, bukan dilarang mengetuk. Jadi biar saja ia mengizinkan kepalan tangannya meninju pintu berkali-kali sampai tuan mudanya itu keluar sendiri.
Sementara di dalam, Ryo ternyata sedang tidur-tiduran di ranjang sambil membuka-buka majalah otomotif edisi terbaru yang dikirim ayahnya dari Paris. Ia bersiul, ada mobil tipe terbaru yang ingin dibelinya. Belum ada di Indonesia. Dia harus jadi orang pertama yang memilikinya. Biar saja urusan birokrasi membawa ke sininya ribet. Itu bukan urusannya. Dia sih terima beres.
Tok... tok... Masuk, ujar Ryo setelah mengernyit sebentar, malas beranjak. Ia sedang meneliti lagi spesifikasi mobil yang diinginkannya itu. Tok... tok...
Masuk, budeeeeek! Siapa sih"! teriaknya kesal. Tok... tok... Ketukan di pintu terdengar makin tidak sabar. Ryo berdecak. Kalo sampe ini salah satu babu, gue pecat nih, katanya lalu mengentakkan kaki dan beranjak dari ranjang untuk membuka pintu.
Ia kontan menyipit melihat siapa yang berdiri di sana. Pelayan ini lagi. Ia berdecak, Udah gue suruh masuk, juga. Budek lo"
Setelah itu, Ryo malah mati-matian menahan senyum demi menjaga wibawa kala memperhatikan Shilla menghela napas kesal. Air muka gadis manis itu terlihat berkedut lucu.
Shilla berkata seadanya, Kan waktu itu Tuan bilang saya nggak boleh masuk ke kamar Tuan lagi&
Ryo mengernyit, sebenarnya lupa pernah mengatakan itu, lalu buruburu melicinkan dahinya dan mengangguk-angguk menyebalkan. O-oh. Bagus, bagus kalo lo inget, katanya lalu melanjutkan sok ketus. Terus lo mau apa"
Gadis itu menarik napas sebelum mengatakan, Tuan dipanggil Tuan Arya.
Ryo kontan terdiam lalu memandang pelayan di hadapannya dengan tatapan menyelidik. Benar atau tidak jika ia merasa pelayan ini kelihatannya dekat dengan Arya sejak hari pertama di sini" Aneh. Ia sendiri juga merasakan hal yang aneh terhadap pelayan itu. Hmm...
Ya udah, katanya, menyadari sudah terlalu lama diam lalu menutup pintu. Sementara Shilla mematung di luar. Bingung sebenarnya Ryo berniat ke kamar Arya atau tidak.
Ia mengangkat bahu lalu kembali ke bawah. Yang penting ia sudah menyampaikan pesannya.
Ryo tidak bisa tidur. Insomnia sialan itu kembali menyerangnya.
Ngapain, ya" pikir pemuda itu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal lalu melirik jam di sebelahnya. Hampir tengah malam.
Ryo mendesah, memutuskan kembali mengempaskan diri ke ranjang lalu memejamkan mata. Tapi ternyata kantuk enggan menyerangnya juga. Ia mendesah dan memperhatikan langit-langit kamar.
Tak lama, sebuah ingatan tiba-tiba melayang di sana. Kejadian tadi sore, ketika Arya menjelaskan soal keberangkatannya besok ke Paris.
Pemuda itu berdecak. Kenapa Arya harus pergi juga sih" Setelah Papa dan Mama yang tak pernah pulang" Mau jadi sesepi apa rumah ini" Kastel Frankenstein" pikirnya getir.
Ryo sebenarnya paling malas bernostalgia soal k-k& Ah, bahkan ia merasa tak sanggup menyebut kata keluarga , seperti Willy Wonka tidak bisa menyebut orangtua . Ia mendesah lagi lalu memutuskan beranjak dari ranjangnya perlahan sambil menggigit bibir.
Ia menuruni keempat undakan sambil menghitung dalam hati, lantas melangkah enggan menuju meja panjang di kamarnya.
Ia lalu menatap beberapa pigura yang menghiasi meja. Tidak banyak, bisa dihitung dengan satu jari. Ia memang tak mau memasang semua foto yang sebelumnya bertengger di sana sejak ia kecil, yang dulunya menjadi bagian permanen interior.
Sebagian besar ia ungsikan ke kamar Arya dan rumah pohon di halaman belakang, setelah ia sudah cukup besar untuk mengerti bahwa kepergian serta ketiadaan kontak fisik dari papa dan mamanya telah mengangakan jurang yang terlalu dalam.
Sebagian potret yang ia pertahankan adalah foto-foto perjalanan wisata ke luar negeri masa kecilnya, yang begitu... hmm... bisakah dibilang indah" Ryo tersenyum miris, mungkin iya untuk sebagian orang. Melihat cetak beku dirinya dan Arya kecil bersama orangtua mereka di tengah hamparan putih salju, di depan globe besar Universal Studios Amerika, bersama badut Mickey Mouse di Disneyland, di depan Colosseum di Roma mungkin orang-orang akan menyangka hidupnya teramat bahagia. Tapi... Ia perlahan memegang dadanya yang menggaungkan degup jantung begitu jelas dalam keheningan... hambar, sebenarnya.
Potret-potret ini terlihat palsu. Seperti portofolio agar semua orang tahu pernah ke mana saja dirinya sedari kecil, atau mungkin juga portofolio seberapa kaya orangtuanya hingga bisa mengajaknya berkeliling dunia. Ha. Ryo tertawa sinis.
Jadi, begitu juga yang ditampakkannya pada orang-orang. Bahwa ia merupakan portofolio hidup kesuksesan keluarga Luzardi. Sayangnya, ia tak seberani itu untuk mengubahnya. Biar saja ia mengikuti permainan orangtuanya. Berlagak menjadi anak bangsawan congkak yang bisa memiliki dunia. Betul begitu, kan"
Jika ditanya, sebenarnya ia jauh lebih menginginkan foto-foto ulang tahun masa kecilnya yang menghiasi meja. Saat kedua orangtuanya mencium kedua pipinya di depan sebuah kue tar besar, atau saat mereka bermain monopoli di ruang tamu berempat. Tapi apakah peristiwa sehangat itu pernah benar-benar terjadi" Pernahkah terwujud keinginan sederhananya itu"
Tidak. Maka ia tak pernah lagi berharap.
Mana bisa Tuan dan Nyonya Besar Luzardi yang supersibuk itu menemaninya dan Arya bermain monopoli saat mereka kecil" Tidak ada waktu. Mereka mungkin lebih memilih bermain monopoli asli, membeli rumah untuk investasi di negara-negara Eropa atau semacamnya. Mana bisa pula orangtuanya mencium pipinya saat ulang tahunnya"
Kehadiran mereka saja mustahil. Saat ia berulang tahun, mungkin kedua orangtuanya sedang berpesiar dalam rangka konferensi bisnis mengelilingi Kepulauan Bahama, yang ketika itu ia bahkan tak tahu di mana. Pahit.
Ryo hampir saja menyepak majalah otomotif yang tergeletak sembarangan di lantai. Majalah yang tadi dibacanya. Perlahan Ryo memungut majalah itu dan membukanya tepat di halaman mobil baru yang ia inginkan tadi.
Harga mobil itu masih sangat tinggi. Tapi Ryo tersenyum meremehkan. Ia tahu jelas nominal angka itu hanya secuil kelingking orangtuanya.
Ia memang terbiasa hidup seperti itu sejak kecil. Orangtuanya berusaha memenuhi apa pun yang Ryo inginkan. Tinggal bilang dan voila... semua muncul di hadapannya dalam sekejap. Tidak ada yang tidak bisa dibeli olehnya di dunia ini. Setelah sedikit besar, Ryo mulai mengerti. Mungkin itulah kompensasi kontak fisik ataupun batin yang tak pernah diluangkan orangtuanya.
Ryo berdecak tiba-tiba, geram ketika menyadari ia tidak pernah merasa sesepi ini lagi, mengingat materi yang tidak pernah bisa mengisi kekosongan hatinya. Entah kenapa malam ini ia mengenangnya. Biasanya, ia cukup pandai agar tidak tergoda untuk berenang-renang dalam kubangan menyakitkan itu.
Ia lantas mengalihkan pandangan, memperhatikan botol bening tanpa tutup berisi pasir dan kerang di meja panjang yang sama. Ia tersenyum tipis. Botol ini bukan hanya menyimpan pasir dan kerang, sebenarnya. Tapi juga, sejuta kenangan masa kecilnya... bersama...
Mai. Ke mana teman kecilnya yang manis itu sekarang" Entahlah.
Mai menghilang pada hari kenaikan kelas mereka dari kelas satu ke kelas dua SD. Bisa dibilang, Mai itu seperti cinta pertama Ryo. Jika tidak ada gadis kecil itu, mana mungkin bisa mengenal rasa sayang" Papa dan mamanya tidak pernah mengajarinya untuk mengerti. Waktu kecil Ryo mungkin memang belum mengerti seberapa dalam, tapi yang ia tahu pasti dulu ia selalu ingin ada di samping Mai, karena ia merasa nyaman.
Tidak ada yang bisa menggantikan Mai di hatinya. Tidak pun Bianca yang selalu mengejarnya. Hanya Mai.
Kesombongannya selama ini, pada intinya, hanya pengejawantahan dan penggumpalan dari kepahitan atas orangtuanya dan rasa sakit yang waktu itu juga belum ia pahami yang begitu pekat atas kehilangan Mai.
Ryo menggeram frustrasi. Sudah begitu lama ia tidak mengorekngorek kehampaan dalam hatinya. Ia berdecak samar lalu memutuskan keluar kamar, mencari udara segar agar benaknya pulih lagi.
Shilla tidak bisa tidur. Insomnia kembali menyerangnya.
Gadis itu menatap langit di atasnya. Hitam. Tak tampak satu pun bintang. Bulan hanya mengintip kecil dari sela kepekatan itu. Lalu tak lama ia mengernyit dan menggaruk lututnya yang agak gatal.
Semut kurang ajar, geramnya. Pasti rasa gatalnya ini hadiah dari makhluk berkoloni besar itu. Tapi tak bisa menyalahkan mereka juga sih, salahnya juga malam-malam bertengger di atas begini.
Habis bagaimana lagi" Inilah yang selalu ia lakukan setiap tidak bisa tidur di desa dulu. Bedanya, kini di bawahnya bukan rumah tetangga sebelah dulu dahan pohon di halaman rumah kontrakannya menjulang hingga dinding pembatas rumah melainkan taman bermain yang berisi kolam pasir, ayunan, jungkat-jungkit, dan hamparan taman belakang kediaman Luzardi.
Shilla menghela napas, lalu menopangkan dagu di lutut yang baru dipeluknya. Ia kembali memikirkan hal yang membuatnya resah. Ayi. Dan Arya. Pertanyaan itu masih mengganggunya. Jadi, siapa Ayi itu"
Probabilitas terbesar saat ini adalah Arya, yang menciptakan senandung itu. Tapi Ryo juga pernah menghilangkan brosnya bukan" Bagaimana Shilla bisa memastikannya sementara sebentar lagi Arya akan pergi" Ia memang tidak akan berani bertanya sih, lalu bagaima& Woi, babu!
Teriakan keras yang tiba-tiba itu sekejap menyadarkan Shilla dari lamunan. Ia sontak menengok ke bawah lalu mengernyit mendapati siluet lain berdiri di bawah pohonnya.
Ngapain si tuan muda itu di sini" batin Shilla, lalu memutuskan mengabaikan Ryo. Pertama, ini sudah bukan jam kerjanya. Kedua, ia punya berjuta pikiran yang lebih penting daripada meladeni spesies sombong satu itu.
Ryo mengerucutkan bibir. Otaknya hampir segar lagi karena menemukan objek penyiksaan yang sedang bertengger di salah satu dahan pohon di atasnya itu, tapi kenapa ia diabaikan" Ia menyipitkan mata, memperhatikan kilatan samar bulan yang terpantul dari dua mata bening Shilla yang sedang tertegun.
Sedang memikirkan apa dia" Arya-kah" Hmm. Ryo mencibir, tak bisa menghitung Shilla itu pelayan atau gadis keberapa yang jatuh hati pada senyum kakaknya.
Ryo, merasa tiba-tiba ketidaksukaan yang aneh merayapinya. Ia memutuskan mencari kerikil kecil di sela rumput, lalu melemparkannya ke arah Shilla.
Aduuuh! Shilla memelototi pemuda di bawahnya ketika sebutir kerikil tajam mengenai lengannya. Ia mencebik. Nggak bisa ya nggak ganggu orang, Tuan" katanya kesal, melupakan status pekerjaan yang mengikatnya untuk patuh pada Ryo. Biar deh, ia tak sanggup menahan kegeraman kali ini.
Ryo beberapa saat melotot. Tidak percaya Shilla berani menghardiknya. Tapi kalau ia memecat gadis itu, takkan ada objek penyiksaan lagi untuk mengisi waktu senggangnya. Lo ngapain sih" teriaknya tertahan. Mau nyari makan, jawab Shilla sedapatnya.
Ryo langsung menepuk jidatnya sambil tersenyum mengesalkan. Aaaah. Iya juga... Gue lupa lo titisan kera.
Shilla melotot lalu memutuskan mengabaikan Ryo dan kembali memperhatikan langit di atasnya. Sementara pemuda yang ada di bawah itu mencibir lagi. Kesal karena kehabisan ide mengalihkan perhatian, Ryo akhirnya mengitari pohon yang dinaiki Shilla dan mulai memanjat.
Tidak susah juga. Ryo baru ingat ia pernah belajar memanjat pohon untuk menarik perhatian papanya. Ternyata masih ada sedikit keahlian yang tersisa dalam dirinya.
Shilla mengernyit ketika mendengar suara gemeresik dari belakangnya dan hampir terjungkal karena kaget saat melihat Ryo berada di salah satu dahan pohon terdekat di belakangnya.
Ia menatap Ryo tak percaya. Kejadian langka. Jadi si tuan muda model Ryo bisa dan mau memanjat pohon" Kenapa otaknya tadi" Terbentur" Atau baru ditukar alien"
Ryo hanya tersenyum miring sambil menaikan sebelah alis. Jangan lo pikir gue nggak bisa naek pohon kayak begini. Keciiiiil, katanya menyombong lalu menjentikkan jari.
Shilla, akhirnya, tidak tahan untuk tidak tertawa. Entah karena otaknya korslet atau apa, ia jadi tidak bisa berhenti tertawa, sementara Ryo memelototinya. Jadi& Tuan titisan kera juga" tanya Shilla, tak bisa menahan diri.
Ryo sontak mencibir. Enak aja lo. Minta gue pecat, ya"! Lagi-lagi Shilla hanya menanggapi dengan ledakan tawa. Pemuda itu sendiri kini entah kenapa malah ikut tersenyum juga melihat Shilla tertawa. Tapi, ia langsung menahan senyum begitu sadar dan mengernyit. Ada apa dengan otaknya" Saking kacaunya dia hingga bersedia memanjat pohon dan menemani pelayan ini di atas sini"
Shilla ikut terdiam saat menyadari raut Ryo berubah serius. Menyadari kejadian ini benar-benar aneh. Mimpi atau bukan, ya" batinnya. Tapi mana mungkin ini mimpi" Ia kan sedang insomnia atau mungkin... ia sekarang sedang berada di dalam mimpi Ryo, begitu"
Ah. Nggak tau lah, batinnya. Lebih baik memikirkan Arya saja. Kali ini Ryo akhirnya melihat Shilla sedekat itu. Melihat kegalauan Shilla. Mungkinkah& gadis pelayan di hadapannya ini& benar-benar suka pada Arya" Ia tak bisa mengontrol mulutnya untuk menyuarakan pikiran itu.
Elo& mikirin Arya" tanyanya telak.
Shilla sontak memandang Ryo, merasakan wajahnya memanas. Sejelas itu, ya" Ia menunduk, lalu entah kenapa malah mengangguk.
Ryo menghela napas pelan. Mungkinkah kepergian Arya nantinya bagi gadis ini sama seperti kepergian Mai baginya" Tapi paling tidak, jika benar begitu gadis ini toh bakal tahu di mana Arya, sementara ia tetap tidak tahu keberadaan Mai.


Love Command The First Fall Karya Janice Nathania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ryo menatap Shilla. Lo tahu kan lo cuma pelayan" katanya, untuk pertama kali tanpa maksud merendahkan.
Tapi sayang kadar sensitif gadis itu sedang benar-benar pasang sekarang ini. Shilla langsung melemparkan pandangan kesal ke arah Ryo. Terus kenapa" tantangnya. Jadi pelayan bukan berarti nggak bisa suka sama orang, kan" Juga tuannya" Kalau rasa suka adalah rasa yang bisa diatur kehendaknya sendiri oleh manusia, saya juga nggak mau suka sama Tuan Arya. Saya sadar siapa saya, saya mengerti kok posisi saya. Tapi nyatanya, saya nggak bisa mena...
Ryo kontan membekap mulut Shilla yang kini meronta kehabisan napas. Diem, perintahnya, lalu tak lama kemudian melepas tangannya.
Shilla kini berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya sambil menatap Ryo dengan sewot. Pemuda itu malah mengangkat bahu. Gue tau, katanya sambil menatap gadis di dekatnya yang mengernyit.
Gue tau rasa suka itu sesuatu yang nggak bisa diatur-atur. Gue juga nggak nyalahin lo. Terserah elo lah. Yah, walau gue nggak yakin perasaan Arya sama. Entah kenapa Ryo mengatakan itu. Sejujurnya ia tak begitu suka Shilla menyatakan perasaannya segamblang itu. Dan yang jelas, ini tidak ada hubungannya dengan status sosial.
Shilla hanya mendesah. Kejujuran, yang begitu menyakitkan. Menyadari Ryo ada benarnya juga. Tampaknya tak mungkin Arya bisa menyukainya.
Jangan sedih, kata Ryo pelan akhirnya. Sedih nggak bakal ngubah keadaan.
Lalu pemuda itu meloncat turun dari pohon. Ia beranjak pergi, tibatiba berbalik dan menatap Shilla yang memandanginya.
Jangan ceritain apa yang terjadi malam ini sama siapa-siapa, ucapnya tajam. Anggap aja otak gue lagi rusak, lanjutnya, lalu benar-benar pergi, sementara Shilla masih tertegun.
KRIIIIIIIIIINGGGGG! Shilla kontan melonjak dari kasur saat bekernya memekik-mekik, lalu menatap benda yang membangunkannya itu. APA"! batinnya histeris. Jam 06.20"! Matilah. Bagaimana ini"
Ia menelan ludah lalu bergegas menyambar handuk dan seragamnya, keluar kamar, lantas bergegas menuju kamar mandi. Ia merutuk. Pasti karena baru tidur jam dua pagi, ia jadi telat begini. Bagaimana ini" Mana sempat ia naik angkot dan bus"
Beberapa menit kemudian, dengan kecepatan super, Shilla sudah memakai seragam. Ia bergegas menyambar ranselnya setelah menautkan kancing blazer terakhir, memutuskan berangkat sekolah tanpa menyisir rambut.
Shilla& Shilla tertegun begitu keluar dari pintu kecil di samping garasi. Ia mencari-cari siapa yang memanggilnya. Arya. Pemuda itu tampak rapi dengan setelan hitamnya, berdiri di sebelah Mercedes perak yang sepertinya siap berangkat.
Iya, Tuan" tanya Shilla pelan, menahan degup di dadanya yang berlari sedikit lebih kencang saat melihat Arya yang begitu tampan.
Kamu telat" tanya pemuda itu sambil mengangkat alis, sementara Shilla mengangguk malu. Iya, kayaknya. Arya tersenyum, memainkan kunci mobil dalam genggamannya, lalu menghampiri Shilla. Yuk, saya anter.
Hah" tanya Shilla spontan, tercekat. Nggak usah. Nggak apa-apa, Tuan.
Ayo. Arya hanya tersenyum lalu menarik lengan Shilla, yang kini wajahnya mulai memerah. Dengan sopan, Arya membukakan pintu penumpang untuk Shilla, membuat gadis itu tertegun karena tak pernah diperlakukan seperti itu. Ia akhirnya menunduk malu, lalu masuk ke mobil. Menunggu Arya yang memutari mobil setelah menutup pintunya.
Hmmm. Tuan Ryo ke mana, Tuan" tanya Shilla, berusaha memecah keheningan.
Arya menoleh, tersenyum lagi. Oh. Dia nggak masuk sekolah. Males, katanya. Nanti mau anter saya ke bandara jam dua belasan&
Oh, kata Shilla, baru ingat tuan murah senyum ini akan pergi hari ini. Ia menunduk.
Nanti kamu juga ikut, ya, kata Arya, membuat Shilla mendongak tak percaya. Nanti saya suruh Ryo jemput kamu di sekolah jam sebelas.
Shilla hanya mengangguk lalu terdiam, membiarkan Arya membawanya menerobos kemacetan Jakarta untuk sampai ke Season High.
Hah" Arya mau ke Paris" Serius" tanya Devta tidak percaya.
Shilla mengangguk meyakinkan. Dengan cemas, ia melirik jam dinding kelasnya. Hampir jam sebelas. Ryo jemput aku nggak, ya" batinnya khawatir. Ini kan& akan jadi terakhir kalinya ia melihat Arya entah hingga berapa lama.
Shilla mendesah, sadar menghitung detik jam takkan membuat Ryo tiba-tiba muncul di hadapannya. Ia lalu menoleh ke arah Devta. Kamu kenal ya sama Tu... eh, Arya" tanyanya.
Devta mengangguk sambil mengangkat bahu. Ya... rata-rata semua di sini kenal lah. Apalagi kalo rajin dateng ke pesta sosialita, katanya, sementara Shilla hanya meng-iya-juga-ya dalam hati.
Ifa tiba-tiba menoleh ke arah Shilla, mengernyit curiga. Tampang lo kenapa sedih banget gitu"
Shilla hanya tersenyum lemah.
Lo merasa kehilangan" tanya Devta bingung, lalu tiba-tiba menyambar lagi, elo & suka sama Arya"
Ya ampun, Shilla membatin. Apa memang selalu sejelas itu isi hatinya" Kemarin Ryo menyadari, sekarang Devta juga. Mungkin ia harus mulai belajar soal kamuflase perasaan atau semacamnya.
Karena telanjur basah, Shilla memutuskan sekalian tenggelam saja. Ia menghela napas lalu menutur pelan, Iya, kayaknya. Ifa dan Devta langsung memasang tampang turut berduka . Yaaaah, ujar mereka kompak.
Shilla hanya tersenyum kecil. Ya udahlah. Dia ada di sini pun, aku juga nggak akan pernah berani ngungkapinnya.
Ketiganya akhirnya mulai mencari bahan pembicaraan lain karena pelajaran biologi saat itu sedang kosong. Bu Octa, guru mereka sedang ada acara lain yang tampaknya urgent dan hanya meninggalkan tugas kelompok, yang saking mudahnya membuat semua para murid bisa menuntaskan pada satu jam pelajaran sebelumnya.
Di tengah kegaduhan kelas yang biasa, tiba-tiba semua mata memandang ke arah pintu kelas yang baru saja menjeblak terbuka. Ryo ternyata berdiri di sana dengan aura angkuhnya yang tak pernah berubah. Ia, tanpa sengaja, membiarkan semua pasang mata menikmati perawakan memesonanya yang kala ini tidak memakai seragam, melainkan setelan abu-abu yang amat menawan.
Ryo berdeham, lalu menghampiri Shilla, yang ikut terperangah. Tanpa banyak kata, pemuda itu menarik tangan Shilla untuk bangkit dari kursi dan mengikutinya ke luar kelas. Ia, entah sadar atau tidak, terus menggenggam jemari gadis itu di dalam lift sampai ke lapangan parkir dan menuju kendaraan andalannya yang lain, Jaguar hitam.
Ryo, sepertinya baru tersadar saat hendak membuka pintu mobil. Ia menoleh, menatap wajah Shilla dengan sedikit rona merah lalu melepas genggaman tangan mereka dan memerintah, Masuk sana.
Shilla mengernyitkan dahi bingung lalu menuruti kata-kata Ryo. Ia melangkah mengitari mobil ke pintu penumpang lantas membuka pintu, duduk, dan memakai sabuk pengaman.
Ryo menatap Shilla yang balas memandangnya sebentar, lalu bergegas melajukan mobilnya keluar dari lingkungan sekolah, menuju tol dalam kota ke bandara.
Hening. Aneh, Shilla tiba-tiba membatin saat menyadari keheninganlah yang menyertai mereka sekarang. Ia jadi tidak yakin kejadian semalam ketika ia tertawa bersama pemuda di sebelahnya ini adalah kenyataan.
Hei, batinnya. Bagaimana kabar ranselku" Ia menoleh ke arah Ryo lalu berkata pelan, T-tuan, boleh pinjem ponsel" tanyanya takuttakut.
Cowok Manja Merantau 8 Girls Of Riyadh Karya Rajaa Alsanea Pedang Tanpa Perasaan 1

Cari Blog Ini