Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
Segera Kun Hong kecewa sekali karena di dalam rumah batu yang besar itu ia tidak melihat siapapun juga. Rumah kosong, pikirnya. Telah ada tiga buah kamar dimasukinya, namun di dalam kamar - kamar itu tidak terdapal apa-apa. Ia memeriksa terus, penasaran.
Kwee Sun Tek yang mengikuti gerak-gerik pemuda itu dengan pendengarannya, tahu belaka ke mana Kun Hong bergerak dan diam - diam tersenyum mendengar "pencuri" itu memasuki kamar-kamar kosong. Akan tetapi ia terkejut sekali ketika mendengar gerakan pendatang itu yang membuka pintu kamar Thian Te Cu ! Benar - benar mencari celaka orang itu, pikirnya dengan hati berdebar. Ia menanti dengan penuh perhatian, mendengarkan dengan kepala dimiringkan, la. mendengar pintu kamar itu dibuka dari luar dan gerakan kaki maling itu memasuki kamar dan...... tidak terjadi sesuatu, sunyi saja ! Sun Tek terheran - heran, apa lagi ketika ia mendengar maling itu keluar dari kamar Thian Te Cu dan menggerutu. "Sialan benar, rumah setan ini kosong agaknya ...... !"
Jelas bahwa Thian Te Cu tidak Berada di dalam kamarnya. Ke mana perginya orang tua itu " Sun Tek benar - benar merasa heran sekali, baru saja tadi ia mendengar gerakan kakek itu di kamarnya. Akan tetapi orang selihai Thian Te Cu memang tak mungkin diikuti gerak-geriknva.
Kun Hong memang tidak melihat siapa-siapa di dalam kamar tadi dan kini ia memasuki kamar terakhir yang berada di belakang. Melihat orang memasuki kamar belakang. Kwee Sun Tek menjadi khawatir, karena di ruangan belakang inilah ia menyimpan barang - barang dan juga pedang Cheng-hoa-kiam ! Cepat ia menyelinap dan bersembunyi di balik dinding, mengintai dari sebuah lubang yang sengaja dibuat untuk mengintai ke dalam ruangan.
Begitu memasuki ruangan ini, Kun Hong mengeluarkan seruan tertahan.
"Aahhh, tempat ini tentu ada penghuninya ........." pikirnya melihat kotak - kotak dan peti-peti yang berjajar di situ. Ia teringat akan pedang Cheng-hoa-kiam yang dahulu dirampas oleh Thian Te Cu dari tangan Bu-ceng Tok-ong. Timbul harapannya untuk mencari pedang itu. Siapa tahu berada di antara peti-peti itu. Kun Hong bukan seorang pencuri, akan tetapi sekarang terpaksa ia membuka - bukai peti orang lain. Hatinya berdebar dan tangannya sedikit gemetar, Ia melihat pakaian-pakaian orang, pakaian sederhana, tapi tidak melihat pedang. Ia membuka peti ke dua dan seterusnya. Isinya selain pakaian, hanya perabot-perabot dapur dan makan. Ia tiba pada peti terakhir, peti kecil panjang yang terletak di sudut, dekat pintu. Tepat di atas peti itu terdapat lubang pada dinding dari mana Sun Tek mengintai. Tentu saja ia menyelinap pergi ketika mendengar orang di dalam ruangan itu mendekati lubang, dan mengintai lagi dengan hati - hati.
Kun Hong membuka peti, bergerit bunyi tutup peti dibuka saking sudah lama tidak pernah dibuka. Sinar putih berkilauan keluar dari peti itu. sinar pedang Cheng-hoa-kiam yang tidak bersarung. Kun Hong mengeluarkan seruan girang. Ia tidak tahu apakah pedang ini betul Cheng-hoa-kiam, akan tetapi tak dapat disangkal lagi sebuah pedang pusaka yang amat baik. Pada saat itu ia mendengar suara angin menyambar, suara yang datangnya dari pintu. Ia menengok dan matanya masih melihat bayangan berkelebat. Akan tetapi ia tidak yakin apakah betul ia melihat bayangan orang tadi lewat di pintu. Kalau betul orang mengapa tidak terdengar tindakan kakinya dan bayangan itu majunya demikian lambat mengapa tidak kelihatan orangnya " Memang betul bentuknya seperti sosok tubuh manusia, akan tetapi mana ada manusia bisa terbang dan menghilang" Bergidik juga pemuda gagah ini dan bulu tengkuknya berdiri. Ia mempunyai bermacam dugaan. Entah matanya yang melihat bayangan karena memikirkan yang bukan - bukan, entah betul telah melihat setan di siang hari atau ....... melihat bayangan manusia yang luar biasa saktinya. Saking tercengang dan kaget, ia sampai tidak melihat orang lain yang berdiri tepat di depannya, hanya terpisah tembok batu, orang yang kepalanya melongok dari balik lubang di depannya. Perhatiannya sudah seluruhnya habis ditujukan kepada bayangan aneh di pintu tadi maka Kun Hong tidak memperhatikan lubang di atas kepalanya. Kalau ia melihat wajah yang berjenggot lebat, sepasang mata yang melotot di depannya itu, tentu ia akan menjadi kaget sekali. Akan tetapi wajah itu hanya sebentar saja mengintai, kemudian lenyap.
Kun Hong tidak segera mengambil pedang. Ia berlaku hati - hati, maklum bahwa pedang pusaka tidak digeletakkan begitu saja. Kalau tidak ada orang menjaganya, tentu ada rahasianya. Ketika ia mengamat - amati, alangkah girang hatinya melihat gagang pedang itu ada ukiran dua huruf kecil "Cheng Hoa". Tak salah lagi, inilah Cheng-hoa-kiam yang dimaksudkan oleh suhunya. Inilah pedang pusaka yang harus ia rampas. Alangkah mudahnya, tinggal mengambil saja ! Akan tetapi belum juga tangannya menjamah pedang, terdengar bentakan keras,
"Maling rendah ! Kau hendak mencuri apa ?"
Kun Hong kaget sekali, apa lagi ketika orang itu menggerakkan tangan mencengkeram ke pundaknya dengan tenaga dahsyat sampai mendatangkan angin, ia cepat melompat ke samping dan terus kabur ! Kun Hong bukan seorang penakut, akan tetapi ia bukan pencuri dan sekarang ia kepergok sedang hendak melakukan pencurian, ia menjadi malu sekali dan tidak mau melayani orang. Lebih baik lekas-lekas kabur sebelum orang mengenalnya. Alangkah malunya kalau kelak ia disohorkan sebagai seorang pencuri ! Kun Hong memang dididik oleh dua orang manusia iblis yang tidak segan-segan membunuh orang, menyiksa orang atau mencurangi orang, akan tetapi mencuri" Ini adalah perbuatan rendah yang manusia-manusia macam Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li sekalipun tidak sudi melakukannya ! Mereka mau merampas, mau merampok, akan tetapi tidak sudi mencuri. Mempergunakan kesempatan selagi orang tidak ada atau tidur untuk mengambil barangnya, inilah perbuatan pengecut dan tak tahu malu. Sebaliknya, merampas atau merampok dilakukan mengandalkan kepandaian, setelah lebih dulu mengalahkan pemiliknya, inilah perbuatan yang termasuk perbuatan gagah. Demikian jalan pikiran orang - orang macam mereka. Sudah tentu saja jalan pikiran yang dipengaruhi oleh hukum rimba, hukum liar yang menentukan bahwa siapa kuat dia berkuasa. Sudah tentu saja jalan pikiran macam ini tidak betul, karena mencuri, menyopet, merampas atau merampok bagi seorang manusia sama buruknya, sama jahatnya karena mengambil hak milik orang.
"Maling busuk, kau hendak lari ke mana" bentak Kwee Sun Tek yang cepat mengejar. Biarpun kedua matanya sudah buta. namun Sun Tek dapat bergerak cepat sekali dan pendengarannya yang tajam dapat membuat ia tahu ke mana larinya maling itu. Dia sudah tinggal di puncak ini selama sepuluh tahun lebih, biarpun ia buta, namun ia sudah hafal benar akan keadaan di situ dan dapat bergerak leluasa sekali tanpa dibantu tongkat. Tentu saja kalau ia pergi ke tempat lain, atau turun dari puncak, ia takkan dapat bergerak secepat itu. harus berhati - hati agar' jangan terjeblos ke dalam jurang.
Kun Hong makin bingung. Ternyata pengejarnya itu cepat sekali gerakannya. Untuk melawan, ia merasa malu karena ia telah melakukan perbuatan mencuri. Di depannya terdapat batu-batu gunung yang besar dan cepat ia menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah batu besar.
Aneh ! Orang yang mengejarnya tiba-tiba berhenti di dekat batu itu, mengerutkan kening dan miringkan kepala, berdiri tegak tidak bergerak sedikitpun. Matanya tetap melotot memandang ke depan tanpa sinar, hanya telinga kiri yang dipasang ke arah depan. Melihat hal ini. Kun Hong terheran - heran. Sekarang ia mulai mengenal muka ini. Benar, tak salah lagi. Inilah Kwee Sun Tek yang dulu pernah membawa Thio Wi Liong ke puncak Kun-lun-san ! Akan tetapi mengapa agaknya orang ini menjadi buta " Memang dulu Kun Hong tidak tahu bahwa Sun Tek yang matanya melotot itu sebetulnya telah buta. Ia telah dibawa pergi Tok-sim Sian-li dari puncak ketika orang - orang lain mendapat kenyataan tentang kebutaan Sun Tek.
Melihat bahwa orang yang mengejarnya adalah Kwee Sun Tek paman dari Thio Wi Liong dan orangnya buta lagi, lenyap rasa malu di hati Kun Hong. Kalau pengejarnya buta, ia takut apa " Malah ia bisa mempermainkannya, pikir pemuda nakal ini. Perlahan ia keluar dari tempat sembunyinya, akan tetapi betapapun perlahan gerakannya, masih terdengar oleh Kwee Sun Tek yang cepat melompat mendekat dan membentak,
"Maling cilik, kau hendak lari ke mana " "
"Orang tua, aku tidak lari karena takut, hanya aku tidak tega melawan seorang buta," jawab Kun Hong penuh ejekan.
"Setan keparat ! Apa kau tidak tahu bahwa kau telah datang di tempat kediaman Thian Te Cu Lo-siansu " Mengapa kau berani berlaku kurang ajar" Siapakah kau " "
"Aku tidak kurang ajar. Memang aku datang hendak mengambil Cheng-hoa-kiam. Akan tetapi bukankah pedang itu dahulu juga dapat orang merampas dari tangan orang lain" Sekarang giliranku untuk memilikinya. Mau tahu aku siapa " Cari saja di kota Poan-kun, keluarga Kwa ......"
Memang Kun Hong sengaja mempermainkan. Dalam menghadapi Kwee Sun Tek itu ia teringat akan pengalamannya di dalam hutan dekat kota Poan-kun ketika ia dikeroyok anjing - anjing kepunyaan Ciok Kim Li gadis manis itu. la teringat ketika Ciok Sam, ayah gadis itu yang kemudian dibunuhnya, marah- marah dan menyatakan bahwa anjing - anjing itu didapat dari Kwa-lo-eng-hiong di Poan-kun. Maka nama inilah ia pergunakan untuk mempermainkan Kwee Sun Tek. Tidak nyana sama sekali bahwa Kwee Sun Tek kelihatan terkejut mendengar nama ini.
"Apa kau bilang " Kau maksudkan Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek yang tinggal di Poan-kun " "
Tentu saja Kun Hong melengak. Ia tidak mengenal siapa itu Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek, juga tadi nama keluarga Kwa di Poan-kun ia bawa - bawa secara ngawur saja. Akan tetapi sudah kepalang membohong, sambil tertawa ia berkata,
"Tentu saja, mana ada orang she Kwa lainnya ?"
Kwee Sun Tek kelihaian bingung dan terheran-heran. "Kau ......... kau apanya " "
Kun Hong memang seorang yang berwatak nakal, suka mempermainkan orang dan suka melihat orang menderita. Kini menghadapi Kwee Sun Tek yang buta, ia ingin mempermainkan kakek ini, maka ditanya begitu ia menjawab makin melantur lagi.
"Aku " Ah, aku mantunya ! "
Sungguh sama sekali tidak dinyana oleh Kun Hong bahwa jawabannya ini membuat Sun Tek tiba-tiba menjadi pucat mukanya.
"Ucapan apa ini " ! Kau mau bilang bahwa kau suami Kwa Siok Lan ...... ?" Untuk kedua kalinya Kun Hong tercengang. Bagaimana ada hal yang begitu kebetulan " Dia tadi, ngawur saja mengaku mantu dari orang bernama Kwa Cun Ek tanpa mengetahui apakah orang she Kwa itu punya anak perempuan ataukah tidak. Dan ternyata orang itu betul - betul punya anak perempuan yang agaknya bernama Kwa Siok Lan !
Sambil menahan ketawanya, pemuda nakal itu menjawab,
"Tentu saja !" "Kau bohong ! Penipu ! !" Kwee Sun Tek membentak sambil menyerang hebat dengan pukulan tangan kiri, disusul cengkeraman tangan kanan. Serangan ini dahsyat sekali dan tenaga lweekang dari Kwee Sun Tek tak boleh disamakan dengan dahulu sebelum ia menerima petunjuk dari Thian Te Cu. Kun Hong sampai menjadi kaget sekali dan cepat-cepat ia melompat mundur untuk menyelamatkan diri dari pukulan dan cengkeraman berbahaya itu.
"Nanti dulu !" ia berseru, masih belum hilang kagetnya menyaksikan penyerangan demikian hebatnya dari kakek ini. "Bagaimana kau bisa bilang aku pembohong dan penipu " "
"Kwa Siok Lan itu tunangan keponakanku Wi Liong, dia masih gadis mana bisa kau bilang bahwa kau suaminya " " bentak Kwee Sun Tek.
Memang hal ini betul. Kwa Cun Ek pernah datang mengunjungi Thian Te Cu di Wuyi-san untuk sekedar menyampaikan hormat dan kagumnya kepada tokoh besar ini. Dia bertemu dengan Kwee Sun Tek dan juga melihat Wi Liong. Timbul rasa sukanya melihat pemuda itu, apa lagi melihat bahwa Wi Liong adalah murid Thian Te Cu. Ia lalu berunding dengan Kwee Sun Tek, mengusulkan perjodohan antara puteri tunggalnya, Kwa Siok Lan dengan Wi Liong. Tadinya Kwee Sun Tek belum dapat mengambil keputusan, akan tetapi Thian Te Cu menyatakan bahwa memang Wi Liong berjodoh dengan puteri Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek ini, maka ikatan jodoh diikatlah. Ketika itu Wi Liong baru berusia tigabelas tahun dan sampai dewasa anak ini belum pernah bertemu muka dengan gadis yang menjadi tunangannya, sungguhpun ia telah tahu hahwa tunangannya bernama Kwa Siok Lan, puteri dari tokoh besar di dunia kang-ouw yang berjuluk Siang-jiu Lo-thian (Sepasang Kepalan Mengacau Langit).
Keterangan Lu tentu saja membuat Kun Hong kaget sekali juga girang karena ia mendapat kesempatan mempermainkan paman dari Wi Liong ini, bahkan dapat mengacaukan urusan perjodohan Thio Wi Liong, orang yang ia benci semenjak mereka saling bertemu sepuluh tahun yang lalu.
"Aku dan nona Kwa belum menikah, akan tetapi sudah saling mencinta dan berjanji kelak akan menikah. Apakah itu tidak sama halnya dengan ikatan perjodohan " " ejeknya dan pemuda yang curang ini tiba - tiba mengirim pukulan ke arah dada Kwee Sun Tek.
"Bukkk ! !" Pukulan itu tepat mengenai dada orang buta itu. Hal ini tidak mengherankan karena ketika mendengar ucapan Kun Hong. Kwee Sun Tek menjadi demikian kaget, heran dan marah sampai ia berdiri melenggong, perhatiannya terpecah dan ketajaman telinganya terganggu.
Tentu saja ia tidak dapat melihat datangnya pukulan yang tepat mengenai dadanya. Pukulan itu hebat bukan.main. Pukulan Toat-sim-ciang (Pukulan Tangan Pencabut Hati) warisan Tok-sim Sian li yang amat hebat, selain mengandung tenaga lweekang juga mengandung hawa beracun. Orang biasa takkan sanggup menahan dan akan tewas seketika kalau terkena pukulan ini. Akan tetapi tubuh Kwee Sun Tek sudah memiliki kekuatan sinkang yang tangguh. Apa lagi karena matanya huta, ia selalu melindungi tubuhnya dengan aliran sinkang untuk menjaga serangan gelap. Terkena pukulan hebat itu ia terjengkang dan roboh bergulingan: Dadanya terasa sakit, akan tetapi tidak mengganggu pernapasannya, berarti ia tidak menderita luka terlalu hebat. Sekali berpoksai (bersalto) ia sudah berdiri lagi !
Kun Hong tercengang. Pukulannya tadi hebat sekali dan kakek ini ternyata hanya terguling saja dan dapat segera bangun kembali. Dari kenyataan ini saja sudah jelas bahwa ia tidak akan dapat menangkan kakek aneh ini maka ia cepat lari, mengambil jalan memutar dan ...... kembali ke rumah batu untuk mengambil pedang Cheng hoa kiam ! Ia sengaja lari dulu turun dari puncak, ketika melihat kakek itu mengejar ia menyelinap dan memutar kemudian lari naik lagi sebelum Kwee Sun Tek maklum akan siasatnya.
Dengan mudah ia mendaki puncak dan memasuki rumah batu, langsung menuju ke ruangan belakang di mana pedang Cheng-hoa-kiam tersimpan. Akan tetapi matanya terbelalak kaget ketika ia melihat bahwa peti tempat pedang itu terbuka, sedangkan pedang itu sendiri telah lenyap !
"Celaka ......... !" ia berseru dan membanting kaki. Ia telah didahului oleh orang lain. Tiba - tiba ia teringat akan bayangan aneh yang ia lihat sekelebatan ketika ia pertama kali datang di tempat itu. Cepat ia melompat melalui pintu dan mencari ke seluruh isi rumah. Namun hasilnya sia - sia belaka. Ia tidak melihat seorangpun manusia.
"Kwee Sun Tek manusia celaka ! " Ia memaki marah. "Kalau tidak karena dia. tentu pedang itu sudah kubawa tadi !" Kun Hong menjadi marah sekali dan kemarahan ini memuncak ketika ia melihat kedatangan Kwee Sun Tek dari jauh. Ia tidak perduli lagi akan kelihaian orang tua itu yang tadi sudah ia rasai, saking marahnya ia malah lari memapaki orang tua itu sambil berseru,
"Manusia celaka, karena kau pedang yang hendak kubawa telah hilang !"
Kwee Sun Tek berhenti dan terkejut.
"Hilang " Kalau bukan kau maling kecil yang mengambil, siapa lagi ?" bentaknya.
"Setan ! Kalau aku yang ambil tak perlu aku berdiam lebih lama di sini !" Kun Hong marah sekali dan menyerang dengan hebat. Karena usahanya untuk merampas pedang dan mencoba kepandaian Wi Liong gagal, ia menumpahkan kemarahannya kepada Kwee Sun Tek.
Sementara itu, Sun Tek heran sekali. Kalau pemuda ini betul mantu atau masih ada hubungan dengan Kwa Cun Ek, tak mungkin macam ini orangnya. Dan pemuda yang datang hendak mencuri pedang ini mengapa bilang pedangnya hilang dan marah - marah kepadanya" Benar - benar pemuda aneh sekali !
"Kau benar-benar manusia tak tahu diri! Kepandaianmu masih begini rendah berani naik ke Wuyi-san untuk berlagak. Jangan kaukira aku orang tua yang sudah lemah takut kepadamu ! " jawab Sun Tek sambil menangkis dan dua orang ini bertempur dengan hebat.
Namun, baru duapuluh jurus lebih saja Kun Hong terpaksa harus mengakui kehebatan ilmu silat dan tenaga lawan. Setiap kali lengannya beradu dengan lengan lawan, ia merasa tulang - tulangnya sakit semua. Kalau dia tidak memiliki kegesitan yang ia warisi dari Tok-sim Sian-li, kiranya sukar baginya untuk masih dapat bertahan. " Pukulan yang dilakukan oleh kedua tangan kakek itu menyambar-nyambar dahsyat. Kun Hong mulai terdesak hebat dan setelah lewat iimapuluh jurus, ia hanya dapat mengelak dan menangkis, main mundur saja. Sama sekali ia tidak diberi kesempatan untuk membalas. Hebat sekali kemajuan Kwee Sun Tek selama sepuiuh tahun ini. Dia telah menjadi seerang sakti yang tinggi sekali ilmunya.
"Kun Hong jangan khawatir. Biar aku yang membikin mampus anjing buta ini !" terdengar suara nyaring sinar putih berkelebat menyilaukan mata ketika sebatang pedang menyambar leher Kwee Sun Tek.
Kaget sekali Kwee Sun Tek ketika tahu - tahu ada hawa dingin menyambar cepat. Ia mengibaskan lengan bajunya dan melompat mundur. Kun Hong cepat memandang dan melihat gurunya. Tok-sim Sian-li, sudah berdiri dengan pedang di tangan ! Yang membikin Kun Hong kaget dan heran adalah melihat pedang itu. Bukan lain pedang Cheng-hoa-kiam yang lenyap tadi. Kiranya Tok-sim Sian-li yang mengambil!
Kun Hong menjadi merah mukanya. Ia malu dan penasaran. Masa melawan seorang buta saja ia kalah " Dari malu dan penasaran ia menjadi marah. Dengan seruan keras ia menerjang maju lagi, menyerang Kwee Sun Tek yang masih berdiri miring. Namun kakek buta itu dengan mudah menangkis bahkan mengerahkan tenaga dalam targkisannya ini, membuat Kun Hong terhuyung ke samping, hampir roboh. Pada saat itu, Tok-sim Sian-li sudah menerjang maju dengan pedang Cheng-hoa-kiam, menyerang Sun Tek dengan tusukan pada leher dibarengi cengkeraman tangan kiri dengan pukulan Toat-sim-ciang yang berbahaya. Sun Tek cepat menggeser kaki mengelak dan mcngebutkan lengan bajunya menangkis pukulan ini. Di lain saat, orang buta itu sudah dikeroyok dan dihujani serangan oleh Tok-sim Sian-li dan Kun Hong.
Biarpun tingkat kepandaiannya masih menang setingkat kalau dibandingkan dengan Kun Hong atau Tok-sim Sian-li, namun dikeroyok dua Sun Tek merasa berat juga. Terutama sekali penyerangan dengan pedang oleh wanita iblis itu Benar-benar berbahaya. Orang buta ini hanya mengaudalkan pendengarannya yang tajam dan pedang itu begitu tipis dan ringan sampai suaranya ketika menyambar tidak begitu dapat ditangkap oleh pendengaran.
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Kwee Sun Tek yang buta itu, tiba-tiba berkesiur angin dan terdengar Kun Hong bersama gurunya berseru kaget, lalu memutar tubuh dan keduanya lari tunggang-langgang turun dari puncak Wuyi-san seperti orang dikejar setan ! Kwee Sun Tek tidak mengejar bahkan segera memutar tubuhnya dan menjatuhkan diri berlutut ke arah rumah. batu.
"Terima kasih atas pertolongan Siansu. Akan tetapi mengapa Siansu membiarkan saja mereka pergi membawa pedang Cheng-hoa-kiam " "
Terdengar suara halus dari dalam rumah batu, suara Thian Te Cu.
"Pedang itu haus darah, belum sampai waktunya menjadi milik Wi Liong. "
Kwee Sun Tek menarik nanas panjang, maklum bahwa orang sakti itu tidak mau banyak bicara seperti biasanya dan .akan percuma saja kalau ia bertanya tentang pemuda yang mengaku suami Kwa Siok Lan itu. Hatinya gelisah bukan main dan setiap hari ia mengharapkan kembalinya Wi Liong, keponakannya.
Sementara itu. Kun Hong dan Tok-sim Sian-li lari secepatnya turun dari puncak. Setelah tiba di dalam sebuah hutan di lereng, baru mereka berhenti dan terengah-engah mengambil napas.
"Berbahaya sekali ........." kata Kun Hong sambil menghapus peluh dingin dari dahinya dengan lengan baju.
"Apa kubilang dulu !" kata Tok-sim Sian-li wajahnya yang masih cantik itu agak pucat. "Thian Te Cu benar sakti dan lihai sekali. Hanya Thai Khek Siansu yang sanggup melawannya. Baiknya Thian Te Cu tidak bermaksud membunuh kita, kalau dia bermaksud demikian, apa kaukira kita bisa melarikan diri " Karena itu. kita harus cepat-cepat pergi ke pantai timur mencari Thai Khek Siansu di Pulau Pek-go-to.
Kun Hong mengangguk - angguk. Memang pengalamannya yang tadi hebat sekali. Ketika dia dan Tok-sim Sian-li sedang mendesak Kwee Sun Tek yang buta namun cukup tangguh itu, tiba - tiba dia dan Tok-sim Sian-li merasa didorong- dorong orang dari depan. Pendorongnya tidak kelihatan, namun semacam tenaga aneh yang tidak tampak mendorong - dorong; mereka, mengacaukan semua serangan mereka bahkan telinga mereka mendengar suara perlahan namun jelas sekali "Pergilah ...... Pergilah ....... !"
Maklum bahwa mereka menghadapi orang yang memiliki kesaktian luar biasa baik Kun Hong maupun Tok-sim Sian-li menjadi keder bergidik dan tanpa banyak cakap lagi melarikan diri tunggang-langgang.
"Kau harus menjadi mund Thai Khek Siansu, baru kau dapat mengimbangi kepandaian pemuda yang menjadi murid Thian Te Cu." kata pula Tok-sim Sian-li yang maklum akan isi hati pemuda murid dan kekasihnya itu. "Inikah pedang yang kau idam-idamkan " Boleh kauterima memang kuambil untukmu."
"Niocu, bagaimana kau bisa sampai di sini dan mengambil pedang ini ?" tanya Kun Hong dengan suara halus sambil menerima pedang. Betapapun jemunya kepada Tok-sim Sian-li. wanita cabul yang dahulu menjadi gurunya ini benar-benar cinta kepadanya.
Tok-sim Sian-li tertawa, memperlihatkan giginya yang masih berderet bagus menarik. "Anak baik, kaukira mudah begitu saja meninggalkan aku" Aku tahu bahwa kau yang keras hati tentu melanjutkan perjalanan ke Wuyi-san ini, maka aku segera mengejar secepat mungkin. Ketika kau dikejar oleh si mata buta, aku mempergunakan kesempatan itu untuk mengambil Cheng-hoa-kiam lalu datang membantumu."
Kun Hong mengangguk - angguk lalu mereka berdua melanjutkan perjalanan turun Gunung Wuyi-san untuk menuju ke pantai laut timur mencari Thai Khek Sian. Lama Kun Hong diam saja setelah menyelipkan pedang di punggung. Ia masih mengenang pertemuan dan pertempuran melawan Kwee Sun Tek tadi. Baru Kwee Sun Tek saja setelah tinggal dekat dengan Thian Te Cu sudah menjadi demikian kosen. apa lagi Wi Liong, pikirnya gelisah. Kemudian ia teringat akan percakapannya dengan Sun Tek tentang Kwa Cun Ek. Ia menengok kepada Tok-sim Sian-li yang berjalan di sampingnya. Kebetulan wanita ini sejak tadi menatap wajahnya yang tampan, dari samping, tatapan mata penuh kasih mesra dan sayang.
"Niocu. apakah kau mengenal nama Kwa Cun Ek ?"
Secara tiba-tiba ditanya tentang nama orang yang tentu saja dikenal amat baik itu, Tok-sim Sian-li menjadi terkejut bukan main sampai alisnya terangkat tinggi dan digerak-gerakkan. Bagaimana ia tidak mengenal Kwa Cun Ek" Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek dahulu adalah kekasihnya, maiah menjadi calon suaminya ! Akhirnya entah mengapa Kwa Cun Ek meninggalkannya dan menikah dengan Tung-hai Sian-li sampai mempunyai seorang anak perempuan bernama Kwa Siok Lan. Untuk menenteramkan hatinya yang berdebar, ia pnra - pura bertanya.
"Kwa Cun Ek yang manakah" " .
"Kwa Cun Ek yang tinggal di Poan-kun dan yang dijuluki Siang-jiu Lo-thian. "
Mendengar ini, Tok-sim Sian-ii tidak kaget lagi karena ia memang sudah dapat memulihkan hatinya. Dengan sikap tenang ia menjawab,
"Dia seorang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal. Tentu saja aku mengenalnya. Akan tetapi. mengapa kau tanya tentang dia ?"
Kun Hong tertawa. "Kwee Sun Tek yang buta itu mengira aku betul - betul calon mantu Kwa Cun Ek, tunangan dari nona Kwa Siok Lan yang katanya telah ditunangkan dengan keponakannya !" Sambil tertawa-tawa geli Kun Hong menceritakan bagaimana ia mempermainkan Kwee Sun Tek dan tanpa disengaja membawa - bawa nama Kwa Cun Ek yang sama sekali tidak dikenalnya.
"Bagaimana ada hal demikian kebetulan ?" Tok-sim Sian-li berseru heran. "Dan lebih kebetulan lagi. aku dengan Kwa Cun Ek adalah......adalah kenalan baik sekali. Dia memang mempunyai anak perempuan, anak dari Tung-hai Sian-li. isterinya yang kini sudah dicerainya. Sudahlah, kelak kau akan dapat bertemu dengan mereka. Sekarang, paling perlu mari kita mencari Thai Khek Siansu agar kau diberi pelajaran lebih mendalam karena kepandaianmu masih jauh ketinggalan kalau dibandingkan dengan murid Thian Te Cu."
Kun Hong maklum akan kebenaran ucapan ini. Memang semenjak bertanding dengan Kwee Sun Tek yang buta, kemudian merasai bekas tangan Thian Te Cu yang sakti, ia bergidik dan dapat menduga bahwa menghadapi Wi Liong ia tentu akan kalah lagi. Thai Khek Sian adalah sucouw-nya, karena tokoh ini masih paman guru dari Bu-ceng Tok-ong, tentu kepandaiannya hebat. Kalau dia bisa mewarisi kepandaian sucouw ini, alangkah baiknya.
Maka berangkatlah Kun Hong bersama Tok-sim Sian-li menuju ke pantai laut timur, ke Puiau Pek-go-to yang berada di antara Kepulauan Couw-san-to. Kedatangan mereka disambut dengan gembira oleh Thai Khek Sian dan selir- selirnya. Thai Khek Sian sendiri masih belum hilang rasa cintanya kepada Tok-sim Sian-li. maka kedatangan wanita ini tentu saja menggembirakan hatinya. Adapun selir - selirnya yang jumlahnya belasan orang, muda-muda dan cantik- cantik itu, juga diam - diam merasa amat gembira menerima tamu seorang pemuda ganteng seperti Kam Kun Hong ! Dalam waktu singkat saja Kun Hong sudah menjadi "sahabat baik" dari Cheng In dan Ang Hwa, dua orang selir berbaju hijau dan ungu yang merupakan selir - selir kepala, juga murid-murid terkasih dari Thai Khek Sian.
Kembali Tok-sim Sian-li membuktikan cinta kasihnya yang mendalam terhadap Kun Hong. Mempergunakan pengaruhnya di depan Thai Khek Sian. ia membujuk dan memperingatkan Thai Khek Sian akan janjinya dulu untuk menurunkan kepandaian kepada Kam Kun Hong.
"Anak itu bakatnya luar biasa. Golongan kita masih belum mempunyai ahli waris. Kalau kau tidak menurunkan kepandaiamnu kepada seorang murid yang betul - betul pandai, siapa kelak yang akan menjaga nama kita " Siapa yang akan mengimbangi murid Thian Te Cu yang juga sudah menurunkan kepandaiannya kepada seorang pemuda bernama Thio Wi Liong ?" Demikian antara lain Tok-sim Sian-li membujuk gembong Mo-kauw itu. Mendengar bahwa musuh sejak mudanya, Thian Te Cu, sudah menurunkan kepandaian kepada murid tergerak hati Thai Khek Sian Tentu saja segala macam ianji dengan aiudah dapat ia bataikan. akan terata kenyataan oahwa Thian Te Cu sudah menurunkan kepandaian kepada seorang murid, tak boleh ia biarkan begitu saja. Melawan Thian Te Cu sama-sama tuanya ia masih tidak gentar, akan tetapi kalau ada murid muda yang menggantikannya, inilah berat. Ia harus mendapatkan murid yang baik pula untuk menyaingi musuh besar itu
Demikianlah, setelah puas mendapat kenyataan bahwa Kun Hong betul- betul memiliki "tulang baik" Thai Khek Sian mulai menurunkan kepandaiannya kepada pemuda itu yang belajar dengan amat tekunnya. Kun Hong selama ini sudah mendapat bimbingan Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li. maka kini ia hanya menerima tambahan - tambahan saja, yaitu ilmu pukulan-pukulan yang aneh dan sakti dari sucouwnya. Thai Khek Sian yang aneh luar biasa dan bukan seperti manusia biasa itu. Di lain fihak. Thai Khek Sian girang sekali melihat kemajuan murid baru ini.
"Setahun saja kau belajar seperti ini. kutanggung kau tidak akan kalah oieh murid si tua bangka Thian Te Cu !"
Mendengar ini Kun Hong girang sekali dan belajar makin giat. Sementara itu. Tok-sim Sian-li selalu mcndampinginya dan tentu saja dalam segala hal ia membantu muridnya yang terkasih. Hanya satu hal yang menyakitkan hatinya, yaitu adanya hubungan yang tidak wajar antara muridnya itu dengan para selir muda Thai Khek Sian Akan tetapi, anehnya. Thai Khek Sian sendiri tidak apa-apa. menganggap hal itu "biasa" saja, malah menganjurkan Cheng In dan Ang Hwa melayani murid baru ini baik-baik karena kelak murid baru inilah yang akan menggantikan kedudukannya sebagai gembong Mo-kauw !
Ketika pada suatu heri kebetulan Thai Khek Sian melihat pedang di tangan Kun Hong tokoh besar ini berseru heran. "Aahhh. bukankah itu Cheng-hoa-kiam ?"
Sebelum Kun Hong sempat menjawab tahu-tahu pedang itu seperti "terbang" dari tangannya dan pindah ke tangan guru besar itu. Thai Khek Sian mengamat-amati pedang itu dan mengangguk - angguk. "Tak salah lagi. ini Cheng-hoa-kiam! Mengapa pedang ini bisa terjatuh ke tanganmu " Apa Gan Tui sudah mati ?"
Kun Hong tidak tahu siapa itu Gan Tui yang disebut sucouwnya. "Teecu mendapatkan pedang ini dari tangan seorang bernama Kwee Sun Tek." katanya, kemudian Kun Hong menceritkan apa yang ia ketahui dari pedang itu. Mula-mula dari tangan Sun Tek dirampas oleh Bu-ceng Tok-ong. kemudian dari Bu-ceng Tok-ong berpindah ke tangan Thian Te Cu sampai akhirnya ia dan Tok-sim Sian-li berhasil mengambil pedang itu dari Wuyi-san, merampasnya dari tangan Kwee Sun Tek.
Thai Khek Sian memutar - mutar matanya. menimang - nimang pedang itu dan bibirnya tersenyum aneh. "Kalau Thian Te Cu merampas pedang ini tidak aneh dan itu berarti dia masih ingat urusan lama. Akan tetapi ia membiarkan kau merampasnya itu berarti hatinya sudah dingin lagi. Cheng hoa kiam ........ Cheng-hoa-kiam kau benar-benar tak pernah tu ! Dulu mengacaukan hati orang-orang muda. Ha-ha-ha ! Dan orang-orang muda yang dulu kau permainkan sekarang sudah menjadi kakek-kakek seperti Thian Te Cu !" Kembali Thai Khek Sian tertawa bergelak.
Kun Hong terheran-heran. Baru sekarang ia melihat Thai Khek Sian tertawa dan bicara agak panjang. Biasanya orang aneh ini hanya bicara seperlunya saja dan tak pernah tertawa. Ketika ia bertemu dengan Tok-sim Sian-li, ia menceritakan pengalamannya tadi.
"Niocu. apakah kau tahu akan riwayat Cheng-hoa-kiam yang agaknya dikenal baik oleh Sucouw ?" tanyanya.
Tok-sim Sian-li menggeleng kepalanya, akan terapi iapun tertarik sekali."
"Biar aku akan mencoba supaya sucouw-mu suka menceritakannya kepadaku," jawabnya.
Kekuasaan wanita terhadap pria memang luar biasa. Betapapun keras hati seorang pria, pada suatu waktu akan datang seorang wanita yang akan sanggup menghancur-luluhkan hatinya yang keras itu. Thai Khek Sian terkenal seorang yang keras hati, seorang aneh yang tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun juga. Belasan erang selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik juga tidak dapat mempengaruhinya. Akan tetapi agaknya Tok-sim Sian-li merupakan kelemahannya. Agaknya wanita inilah satu-satunya wanita yang dapat mempengaruhinya dan menembus kekerasannya. Setelah dirayu oleh Tok-sim Sian li luluh juga hati Thai Khek Sian dan setengah malam lamanya ia bercerita tentang pedang Cheng-hoa-kiam yang menyangkut riwayatnya di waktu muda. Agar kita semua mengenal Cheng-hoa-kiam dan tokoh - tokoh besar itu di waktu muda, mari kita ikuti ceritanya yang singkat-seperti di bawah ini.
@@dewikz^Budi@@ Pedang Cheng-hoa-kiam sebetulnya adalah pedang rampasan dari Suku Bangsa Yucen (Nu-cen) yang bertempat tinggal di sebelah utara Shansi, yaitu ketika terjadi pertempuran hebat antara bala tentara Sung dan bala tentara Nucen. Panglima Besar Sung yang terkenal gagah perkasa Gak Hui, merampas pedang ini dan selanjutnya pedang ini jatuh dari tangan ke tangan panglima-panglima besar sampai yang terakhir sekali, puluhan tahun yang lalu, terjatuh ke dalam tangan seorang panglima she Bu yang kemudian menjauhkan diri dari pergaulan ramai dan menjadi pertapa di Wuyi-san bernama Bu Tek Cinjin. Dia pergi bertapa diikuti oleh dua orang kawannya, juga panglima - panglima yang berilmu tinggi, she Yap dan she Kui Aklirnya tiga orang ini menjadi kakek-kakek pertapa dan amat disegani orang, terkenal dengan sebutan Wuyi Sam-lojin (Tiga Orarg Kakek Gunung Wuyi).
Rupanya takdir sudah menentukan bahwa di antara tiga orarg kakek berusia lima puluh tahun ini akhirnya terjadi perpecahan. Dan sebab perpecahannya benar- benar membikin kaget seluruh dunia kaag-ouw, sebab yang amat memalukan dan tak masuk di akal yaitu sebabnya adalah karena ...... seorang gadis ! Gadis itu seorang yatim piatu yang hidup sengsara, menjadi pelayan seorang kaya raya digoda oleh majikannya, melarikan diri dan hendak membunuh diri di dalam hutan. Akan tetapi ketika tubuhnya sudah tergantung dengan leher diikat dengan ikat pinggang sendiri, datang Wuyi Sam-lojin menolong dan menyelamatkan nyawanya. Kemudian gadis ini dibawa ke Wuyi-san dan di sinilah mulai terjadinya percekcokan. Mereka saling berebut untuk mengangkat gadis itu sebagai ..... murid, tak mau saling mengalah sampai terjadi adu kepandaian yang hebat.
Dan gadis itu lari ke dalam pondok, ketakutan dan makin berduka karena dia hanya menimbulkan keributan di antara tiga orang kakek sakti yang tadinya hidup tenteram. Dapat dibayangkan betapa menyesal dan sebal hatinya karena ia mengira bahwa tiga orang kakek itu memperebutkannya untuk maksud yang tidak baik. mengira bahwa tiga orang kakek ini tergila-gila kepadanya !
Oleh karena itu. ketika akhirnya tiga orang tua ini agak mereda nafsu marahnya dan mencari gadis itu, mereka mendapatkan gadis itu telah tewas dengan leher hampir putus di dalam pondok. Gadis itu dengan nekat telah membunuh diri, menggorok leher sendiri menggunakan pedang pusaka yang tergantung di tembok !
Bu Tek Cinjin marah sekali. "Kita menolong gadis ini hanya untuk membunuhnya ! Alangkah rendahnya ! Pedang ini menjadi saksi akan kebodohan kita !" Ia lalu mengusir dua orang sahabatnya itu yang pergi berpencaran dengan marah pula. Pedang pusaka itu lalu disimpan oleh Bu Tek Cinjin dan pada gagangnya diukir dua huruf "Cheng Hoa" yaitu nama gadis yang tewas itu ! Demikianlah, mulai saat itu pedang pusaka rampasan Gak Hui dari Suku Bangsa Nucen yang tadinya tidak diketahui apa namanya sekarang menjadi Cheng-hoa-kiam.
Tiga orang kakek dari Wuyi-san yang sakti itu setelah berpencaran; tidak pernah dapat melupakan peristiwa itu. Mereka saling marah dan berpisah karena berebut murid, maka setelah mereka hidup sendiri - sendiri mereka masing-masing mengambil seorang murid. Bu Tek Cinjin menjadi guru Thian Te Cu, kakek she Yap menjadi guru Thai Khek Sian, sedangkan kakek she Kui menjadi guru Gan Yan Ki yang kemudian menjadi tokoh besar dunia kang-ouw pula. Sayang sekali Gan Yan Ki ini meninggal dalam usia tigapuluh tahun lebih, mengikuti isterinya yang telah meninggal lebih dulu karena sakit. Lebih sayang lagi. ilmunya yang tinggi, yang ia pelajari dari kakek she Kui, hanya sebagian saja yang dapat ia turunkan kepada putera tunggalnya yang baru berusia tiga-belas tahun. Puteranya ini adalah Gan Tui yang kemudian lebih terkenal dengan nama Beng Kun Cinjin !
Rupa - rupanya permusuhan atau dendam karena urusan kecil antara "tiga orang kakek" ini turun - temurun. Setelah mereka tidak ada lagi di dunia, murid - murid mereka juga tidak akur malah bersaing. Terutama sekali Thai Khek Sian murid kakek Yap yang sudah mewariskan seluruh kepandaiannya, selalu mencari kesempatan untuk mengadu kepandaian dengan dua orang murid lain. Akan tetapi ia kalah jauh oleh Gan Yan Ki maupun oleh Thian Te Cu. Dengan hati sakit akhirnya Thai Khek Sian merantau ke barat, mempelajari ilmu silat tinggi dari partai hitam dan kembali dengan membawa ilmu yang amat tinggi dan menyeramkan. Akan tatapi, tetap saja ia harus mengakui keunggulan Thian Te Cu yang masih terhitung suhengnya itu.
Pedang Cheng-hoa-kiam tetap dijadikan rebutan. Tadinya oleh Bu Tek Cinjin pedang itu diberikan kepada Thian Te Cu. Beberapa kali Thai Khek Sian mencoba untuk merampasnya, akan tetapi selalu ia kalah oleh Thian Te Cu, sungguhpun kekalahan itu hanya terjadi setelah melalui pergulatan yang sengit dan seni. Boleh dibilang tingkat kepandaian mereka seimbang, hanya Thian Te Cu lebih matang tenaga dalamnya dan lebih murni hawa sakti di dalam tubuhnya.
Makin tua mereka makin dingin terhadap urusan pedang itu. Akhirnya ketika Gan Yan Ki meninggal dunia, sebagai seorang suheng. apa lagi sebagai seorang yang mulai tertarik oleh iimu kebatinan. Thian Te Cu menjadi kasihan dan datang menengok. Ia amat kasihan melihat Gan Tui, malah ia lalu memberikan pedang Cheng-hoa-kiam kepada Gan Tui dan menurunkan beberapa macam ilmu pukulan kepada anak yang baru belasan tahun usianya itu.
Demikianlah riwayat singkat dari Cheng-hoa-kiam. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, pedang Cheng-hoa-kiam itu oleh Gan Tui atau Beng Kun Cinjin diberikan kepada murid perempuannya, Kwee Goat. Kemudian ketika Beng Kun Cinjin tersesat dan tergila-gila oleh Kui Hui Niang sehingga rela diperalat oleh penjajah menjadi kepala pengawal, pedang itu dibawa oleh Kwee Sun Tek yang menyelamatkan Thio Wi Liong. Kemudian pedang itu dirampas oleh Bu-ceng Tok-ong dari tangan Kwee Sun Tek, kemudian dari tangan Raja Racun ini diambil kembali oleh Thian Te Cu.
Karena mengingat akan riwayat pedang itu yang membawa nama orang yang menjadi biang keladi permusuhan antara tiga orang saudara sendiri. Thian Te Cu membiarkan saja pedang itu dibawa pergi oleh Tok-sim Sian-li, sungguhpun kalau dia mau, tentu saja dengan mudah ia dapat mencegahnya.
Demikian pula, tentu saja Thai Khek Sian terheran-heran melihat pedang Cheng-hoa-kiam berada di tangan muridnya yang baru, Kun Hong. dan diam-diam ia pun heran sekali mengapa Thian Te Cu mendiamkan saja pedang beriwayat itu diambil oleh Kun Hong, padahal dahulu beberapa kali ia mencoba untuk merampas selalu gagal. Alangkah banyaknya perubahan pada sikap Thian Te Cu, pikirnya.
Cerita tentang pedang ini yang dituturkan oleh Thai Khek Sian kepada Tok-sim Sian-li, oleh wanita ini disampaikan pula kepada Kun Hong. Pemuda itu mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Ah, kalau begitu, Thian Te Cu sebetulnya masih suheng (kakak seperguruan) dari sucouw. Yang tidak kumengerti mengapa pedang yang katanya oleh Thian Te Cu diberikan kepada Gan Tui atau Beng kun Cinjin kemudian berada pada Kwee Sun Tek" Benar-benar aku tidak mengerti !"
"Aku sendiripun tidak mengerti, dan Thai Khek Siansu sendiri tidak dapat menceritakan hal itu. Sudah amat lama dia tidak mengadakan hubungan, baik dengan Thian Te Cu maupun dengan GanTui yang kemudian bernama Beng Kun Cinjin."
"Beng Kun Cinjin itu, apakah juga selihai sucouw atau Thian Te Cu" Dan dia sekarang di mana " "
"Aku sudah mendengar tentang dia. Lihai juga biarpun tidak selihai Thai Khek Siansu tentunya. Pernah dia membasmi Lima Siluman Huang-ho dan banyak sudah orang - orarg kang-ouw yang kalah olehnya. Dahulu dia amat ganas dan suka berkelahi, suka sekali mencoba kepandaian orang lain. Sayang aku sendiri belum pernah bertemu dengan dia sehingga belum dapat mengatakan sampai di mana lihainya. Akan tetapi pernah aku mendengar dia diangkat menjadi koksu oleh Kaisar Mongol dan akhir-akhir ini katanya ia meninggalkan kedudukannya dan entah berada di mana tak seerangpun pernah membicakannya lagi. "
Entah mengapa, hati Kun Hong tergerak dan ia ingin sekali mengetahui siapakah Beng Kun Cinjin dan orang macam apa adanya dia. Nama Gan Tui dan Beng Kun Cinjin amat menarik hatinya, apa lagi orang itu pernah diwarisi beberapa macam ilmu pukulan oleh Thian Te Cu. Ingin ia bertemu dengan orang itu. Tentu saja baik dia sendiri maupun Tok-sim Sian-li tak pernah menyangka bahwa sesungguhnya Beng Kun Cinjin Gan Tui itu bukan lain adalah ayah pemuda itu !
Maklum bahwa di bawah bimbingan Thian Te Cu tentu ilmu kepandaian Wi Liong amat tinggi, Kun Hong lalu belajar dengan amat tekun sehingga menyenangkan hati Thai Khek Sian. Apalagi di situ terdapat Tok-sim Sian-li yang merayu hati gembong Mo-kauw itu supaya menurunkan ilmunya yang tinggi - tinggi kepada Kun Hong.
Sementara itu. telah terjadi perobahan besar dalam pimpinan bala tentara Mongol yang pada waktu itu sedang berkembang hebat dan melakukan penyerbuan ke barat sampai menggegerkan setengah dunia. Seperti telah dituturkan di bagian depan ketika Beng Kun Cinjin Gan Tui masih aktip membantu pergerakan bala tentara Mongol, bala tentara yang perkasa ini sedang melakukan penyerbuan ke barat. Kemudian Beng Kun Cinjin mendapatkan ketidaksetiaan Kiu Hui Nian dan membuat ia mata gelap, membunuh Hui Niang yang dicintainya itu lalu minggat tidak kembali ke kota raja.
Jengis Khan kecewa mendengar bahwa Beng Kun Cinjin melarikan diri karena kakek itu sebetulnya merupakan tenaga bantuan yang amat kuat. Akan tetapi kehilangan seorang pembantu saja tidak melemahkan bala tentara Mongol yang hebat. Sebagian besar dari negara barat ditundukkan dan dikalahkan, negara- negara besar mereka gilas hancur seperti Sin-kang, Iran, Afganistan. Kota-kota besar jatuh satu demi satu dalam penyerbuan bala tentara Mongol. Akhirnya setelah puas dengan petualangannya. Jengis Khan memimpin bala tentaranya kembali ke timur melalui Pegunungan Ural di sebelah utara Laut Kaspia menuju Sin-kiang.
Setelah tiba kembali di Mongol, Jengis Khan menumpahkan dendam hatinya kepada Suku Bangsa Hsi-hsia yang tidak memperlihatkan kesetiaannya dan tidak mau menbantu secara memuaskan ketika bala tentara Mongol itu menyerbu ke barat. Suku Bangsa Hsi-hsia yang pernah ditundukkan itu kini diserbu lagi, banyak orang dibunuh tanpa pilih bulu. Malah ibu kota Hsi-hsia dijatuhkan, dibakar dan semua penduduknya, tidak ada kecualinya tua muda besar kecil laki perempuan dibunuh ! Akan tetapi di tengah-tengah kekejian ini, Jengis Khan meninggal dunia dalam usia tujuh puluh dua tahun.
Akan tetapi kematian pemimpin besar Bangsa Mongol ini tidak melemahkan semangat mereka. Di bawah pimpinan putera ke tiga dari Jengis Khan yang bernama Oguthai, bala tentara Mongol malah mengadakan penyerbuan ke selatan yaitu Kerajaan Cin. Perang hebat terjadi selama tiga tahun lebih. Akan tetapi juga bala tentara Kerajaan Cin dihancurkan dan seluruh kerajaan terjatuh ke dalam tangan bala tentara Mongol. Semenjak jatuhnya Kerajaan Cin (tahun 1234) seluruh Tiongkok utara menjadi wilayah Kerajaan Mongol. Tiongkok selatan masih tetap menjadi wilayah Kerajaan Sung.
Setelah Kerajaan Cin roboh rakyat Tiongkok baru dapat bernapas lagi karena perang dihentikan. Biarpun tidak dapat dikatakan bersahabat, namun antara pemerintah Mongol dan pemerintah Sun tidak terjadi perang, hanya saling menjaga tapal batas masing-masing. Rakyat mulai dapat bekerja lagi tentu saja di utara harus tunduk kepada pemerintah baru. pemerintah penjajah baru, yaitu Kerajaan Mongol. Mengapa bala tentara Mongol tidak menyerang terus ke selatan" Oleh karena seperti juga ayahnya, Oguthai Khan amat tertarik oleh dunia barat dan melakukan penyerbuar besar-besaran ke dua menuju ke barat. Iran ditundukan, Rusia selatan dikalahkan. Kota-kota besar Kiey dan Moskou direbut dan dibakar (tahun 1240), terus menyerang Polandia, bahkan sampai menghancurkan dan membakar kota Pest di Hongaria.
Karena kesibukan-kesibukan di barat inilah maka balatentara Mongol untuk sementara tidak menghiraukan Kerajaan Sung di selatan dan rakyat boleh menarik napas lega, karena untuk sementara waktu tidak ada perang. Biarpun begitu terasa sekali pertentangan dan persaingan, juga terasa di dunia kang-ouw adanya fihak yang bertentangan, sebagian mengakui Kerajaan Mongol sebagai kerajaan baru yang baik, sebagian pula tetap setia kepada Kerajaan Sung dan menentang pengaruh Mongol.
Di puncak Wuyi-san. Wi Liong sedang duduk berlutut di atas lantai menghadap suhunya Thian Te Cu. Mereka berada di dalam kamar guru besar itu. kamar sempit yang agak gelap akan tetapi bersih karena memang kamar batu ini tidak ada apa-apanya seperti sebuah gua yang menyeramkan. Apa lagi melihat Thian Te Cu duduk bersila di atas pembaringan batu, kelihatan seperti tengkorak hidup, benar-benar menyeramkan. Muka kakek ini makin kurus saja bersinar kehijauan. Bibirnya masih selalu tersenyum mengejek dan matanya memandang lembut. Pakaiannya berwarna putih melibat - libat tubuh yang kurus dan kuku-kuku jarinya yang panjang-panjang itu sampai melingkar-lingkar. Benar-benar seorang yang kelihatan menyeramkan dan aneh.
"Wi Liong, pengalamanmu setahun yang lalu itu kuharap sudah dapat membuka hatimu untuk menyadari sepenuhnya bahwa di dunia ini tidak .ada manusia yang terpandai. Di atas puncak Gunumg Thai san masih ada awan dan di atas awan masih ada bulan, bahkan di atas bulan masih ada bintang - bintang dan matahari, tanda bahwa kekuasaan alam tiada terbatas. Demikian pun dengan kepandaian manusia, sudah tinggi ada yang lebih tinggi, sudah pandai ada yang iebih pandai. Kepandaian manusia juga merupakan sebagian kecil dari pada kekuasaan alam, oleh karena itu kita sekali - kali tidak boleh merasa diri sendiri paling pandai"
Wi Liong menundukkan mukanya. Ia teringat akan peristiwa setahun lebih yang lalu, pengalaman pahit sekali ketika untuk pertama kalinya ia mendapat penghinaan dan kekalahan. Seperti telah dituturkan, setahun yang lalu ketika suhunya mengasingkan diri di dalam kamar. Wi Liong turun dari puncak Wuyi-san untuk memenuhi permintaan pamannya, yaitu untuk mencari keterangan perihal seorang bernama Beng Kun Cinjin Gan Tui, dan kebetulan sekali di dalam sebuah rumah makan Tung-thian di kota Ningpo ia bertemu dengan Seng-goat-pian Kam Ceng Swi yang hampir celaka menghadapi Cheng In dan Ang Hwa dua orang nona utusan Pek-go-to. Kemudian Wi Liong mengalahkan dua orang nona itu dan Kam Ceng Swi membawanya pergi dari Ningpo karena tokoh Kun-Iun ini takut kalau- kalau Thai Khek Sian datang melakukan pembalasan atas kekalahan dua orang utusannya. Akan tetapi Wi Liong yang baru saja turun gunung, sebagai seorang pendekar muda yang belum berpengalaman dan belum pernah mendengar nama Thai Khek Sian, mana merasa takut " Ia bahkan cepat kembali ke Ningpo dikejar oleh Kam Ceng Swi yang merasa khawatir sekali karena kakek ini merasa amat sayang dan suka kepada Wi Liong.
Dugaan dan kekhawatiran Seng-goat-pian Kam Ceng Swi ternyata betul sekali. Ketika mereka memasuki kota Ningpo, dari jauh sudah kelihatan, asap bergulung naik dan orang - orang panik berlari - larian sambil bercerita bahwa rumah makan Tung-thian dibakar siluman !
Dengan hati tabah Wi Liong mempercepar larinya menuju ke rumah makan itu. Makin dekat dengan rumah makan, makin sunyilah karena orang - orang yang tinggal berdekatan agaknya ketakutan dan lari bersembunyi. Sekarang sudah kelihatan api bernyala membakar rumah makan di mana tadi Wi Liong makan minum dan loteng tempat berpibu tadi sudah mulai runtuh.
"Kurang ajar." Wi Liong memaki marah, "siapakah yang berhati keji membakar rumah makan umum ?" Pemuda ini tidak memperhatikan Kam Ceng Swi yang tertinggal di belakang karena orang tua ini kelihatan jerih sekali, dapat menduga bahwa yang dimaksudkan orang - orang dengan "siluman" tentulah Thai Khek Sian atau anak buahnya
Betul saja setelah dekat dengan tempat kebakaran itu. Wi Liong melihat serombongan wanita-wanita cantik dan muda sebanyak tigabelas orang berbaris rapi dan menarik, dengan pedang terhunus di tangan. Yang berjalan paling depan adalah Cheng In dan Ang Hwa dan di tengah - tengah mereka berjalan seorang laki-laki yang amat aneh dan menggelikan, lucu sekali keadaan orang itn. Usianya sudah enampuluh tahun lebih namun kelihatan masih muda, bertubuh kekar, berkulit hitam sekali dan kepalanya gundul pelontos. Celananya hitam.diikat dengan ikat pinggang mutiara indah, akan tatapi ia tidak berbaju ! Sepatunya juga indah, demikian pula celananya terbuat dari pada sutera mahal. Pendeknya, sebatas pinggang ke bawah ia merupakan seorang yang betul - betul pesolek dan gagah, akan tetapi dari pinggang ke atas amat sederhana, telanjang dan tak terpelihara. Kuku - kuku jari tangannya runcing, kalau di-beri warna merah tentu seperti tangan perempuan! Matanya lebar bundar, mukanya halus tidak ada rambutnya, sama halusnya dengan kepalanya yang gundul licin itu.
Inilah dia Thai Khek Sian. seorang di antara gembong - gembong Mo-kauw kelas teratas ! Sudah puluhan tahun dia jarang sekali keluar dari tempat bertapanya, yaitu Pulau Pek-go-to. Semua keperluannya disediakan dan dilayani oleh belasan orang selir-selirnya yang cantik-cantik lagi muda. Memang, sebagian besar orang kang-ouw tahu belaka bahwa Thai Khek Sian adalah seorang bandot tua yang anehnya amat disuka oleh wanita - wanita muda ! Ada yang bilang dia mempunyai ilmu. pandai mempergunakan guna-guna pengasihan untuk membikin wanita- wanita muda tergila-gila. Tentu saja berita ini kosong belaka. Boleh jadi dahulunya di waktu muda Thai Khek Sian memang gagah dan tampan, hitam-hitam manis, akan tetapi dia sekarang sudah tua, biarpun tubuhnya masih kekar tetap saja kelihatan tuanya. Kalau dilihat macamnya wanita - wanita muda yang menjadi selirnya dan wanita - wanita lain yang menjadi kekasihnya, mudah saja diketahui mengapa Thai Khek Sian disuka. Tentu karena wanita - wanita itu memang genit dan cabul, juga mereka mendekati Thai Khek Sian dengan banyak maksud, pertama - tama tentu saja karena dengan kedudukan mereka menjadi selir, mereka akan dihormati dan disegani orang - orang, melebihi kedudukan seorang isteri pembesar tinggi. Juga Thai Khek Sian memiliki harta benda yang besar, membuat para selirnya dapat hidup secara mewah dan berlebihan. Selain ini, juga mereka ini ingin sekali mewarisi ilmu kepandaian Thai Khek Sian yang memang amat tinggi dan luar biasa. Di samping semua alasan ini, masih ada hal lucu dan aneh lagi yang membuat wanita-wanita muda itu suka diselir kakek - kakek ini, yaitu bahwa Thai Khek Sian yang aneh itu sama sekali tidak perduli kalau selir-selirnya berlaku serong, tidak perduli selir-selirnya suka kepada laki - laki lain asal saja terhadap dia bersikap manis dan menurut ! Memang sukar dicari keduanya laki - laki seperti Thai Khek Sian ini.
"Heh - heh. puas hatiku dapat membasmi rumah makan bangsat itu'' Wi Liong mendengar orang gundul aneh itu bicara seorang diri. "Sayangnya tidak ada Seng-goat-pian di sini, kalau ada akan kupatahkan batang lehernya dan kepalanya kujadikan penghias pintu gapura. Biar kapok dia menghina selir-selirku!"
Mendengar ucapan ini. tahulah Wi Liong bahwa orang aneh ini yang disebut Thai Khek Sian dan amat ditakuti Kam Ceng Swi. Kemarahannya memuncak.
"Manusia siluman bertangan keji, kau harus dibasmi !" bentak Wi Liong sambil melompat maju, menerjang dan menyerang Thai Khek Sian yang diapit di kanan kirinya oleh Cheng In dan Ang Hwa. Ia dapat menduga bahwa orang gundul hitam itu tentu berilmu tinggi maka Wi Liong tidak berani memandang ringan. Begitu melakukan serangan, ia mengerahkan semua tenaga memukul dada orang gundul hitam itu.
"Buk ! Buk ! " Wi Liong terkejut setengah mati karena tubuhnya terpental ke belakang dan kedua tangannya sakit sekali, bengkak-bengkak dan ototnya terkilir ! Adapun orang gundul hitam itu mundur tiga langkah, membuka matanya lebar-lebar dan membentak,
"Hee ...... kau murid siapa ?" Ia melangkah maju dengan tangan terkepal.
Cheng In dan Ang Hwa cepat melompat maju menghalangi Thai Khek Sian. Cheng In berkata.
"Harap ampunkan dia, dia masih muda, kasihan kalau dibunuh ......"
"Siapa dia ini ?" bentak Thai Khek Sian.
Kalau saja Cheng In mengatakan terus terang bahwa inilah pemuda yang mengalahkan mereka di loteng rumah makan, tentu Thai Khek Sian tak-kan mau memberi ampun dan akan membunuhnya. Akan tetapi entah bagaimana, melihat munculnya Wi Liong, dua orang wanita muda itu menjadi tidak tega untuk melihat pemuda ganteng itu tewas.
"Dia tentu orang muda yang merasa diri berkepandaian dan tidak suka melihat rumah makan dibakar. Sudahlah, harap lepaskan dia. tidak ada harganya untuk kita membunuh orang macam ini." kata pula Cheng In.
Sementara, itu, Ang Hwa menghampiri Wi Liong dan berbisik. "Bodoh mana kau bisa melawan Thai Khek Siansu " Hayo lekas pergi dan lain kali harap jangan lupa kepada kami .... ".
Wi Liong masih belum lenyap rasa kagetnya, akan tetapi maklum bahwa ia berhadapan dengan orang yang jauh lebih tinggi ilmunya, ia tidak mau melawan lagi, apa pula kedua tangannya sudah bengkak - bengkak. Tanpa banyak cakap ia lalu pergi dari tempat itu. Tentu saja ia tidak suka membawa-bawa nama gurunya dan tidak mengaku bahwa dia murid Thian Te Cu. karena hal ini berarti akan merendahkan nama besar gurunya.
Thai Khek Sian tertawa bergelak, "Hemm. pantas kalian melindunginya, dia memang tampan !" Kemudian sambil mengerutkan kening, dia berkata lagi, "Ah, mengapa tadi dilepas sebelum ditanya " Pukulannya tadi ...... aneh kalau dia bukan murid Thian Te Cu atau Gan-susiok ......" Yang dimaksudkan Gan-susiok oleh kakek ini tentu saja Gan Yan Ki ayah Gan Tui. "Hayo kejar dia ! Seret ke sini, hendak kutanya !" bentaknya.
Biarpun amat sayang kepada Wi Liong, baik Cheng In, Ang Hwa maupun selir yang lain, tak seorangpun berani membantah perintah Thai Khek Sian. Membangkang berani mati, demikian hukum di tangan tokoh Mo-kauw ini. Maka, mendengar ini, cepat Cheng in dan Ang Kwa mengepalai sebelas orang selir lain untuk berlari cepat mengejar Wi Liong yang sudah tidak kelihatan bayangannya lagi. Andaikata tersusul, tentu Cheng In dan kawan-kawannya akan menyeretnya kembali, takkan terpengaruh oleh ketampanan wajah pemuda itu. Akan retapi biarpun mereka mencari sampai jauh dan cermat, mereka tidak berhasil mendapatkan Wi Liong. Ke mana perginya pemuda ini" Bukan lain Seng-goat-pian Kam Ceng Swi yang menolongnya Kebetulan sekali Kam Ceng Swi yang tidak berani mendekat Thai Khek Sian, melihat dari jauh akan semua kejadian itu. Ketika ia melihat Wi Liong dapat melepaskan diri dengan selamat dari tangan kakek siluman itu. ia cepat menemui Wi Liong dan mengajaknya bersembunyi ke dalam sebuah kelenteng yang pengurusnya telah ia kenal baik. Di sini aman karena wanita - wanita Pek-go-to itu tidak mau memasuki kelenteng. Juga Kam Ceng Swi merawat kedua tangan Wi Liong, memberinya obat Kun-lun-pai yang memang amat manjur terhadap luka-luka kena pukulan atau urat - urat yang terkilir. Wi Liong amat berterima kasih kepada tokoh Kun-lun ini.
"Lo-enghiong berkata benar. Thai Khek Sian itu ternyata memiliki ilmu seperti iblis." kata Wi Liong.
Kam Ceng Swi menarik napas panjang. "Ilmu kepandaian itu tidak ada batasnya. Melihat kepandaian dua orang wanita kaki tangan Thai Khek Sian. aku sudah takluk, kemudian melihat kepandaianmu yang membuat aku kagum sekali. Kini bentemu dengan Thai Khek Sian, entah di dunia ini siapa orangnya yang akan dapat melawan dia. Guruku sendiri, Kun-lun Lojin yang menjadi ketua dari Kun-lun-pai, pernah menyatakan bahwa ilmu kepandaian Thai Khek Sian sukar dicari lawannya. Mungkin hanya susiok-couw yang bertapa di belakang puncak dapat menandinginya, inipun belum tentu. Kembali ia menarik napas panjang, teringat akan anak pungutnya ketika ia mengobati tangan Wi Liong.
"Anak muda, sebetulnya kau hendak pergi ke manakah ?"
Wi Liong juga amat tertarik kepada orang tua yang baik budi ini. Teringat ia kepada Kwee Sun Tek pamannya, dan dibandingkan dengan pamannya, orang tua ini sama baiknya, berbudi dan ramah-tamah serta jenaka pula. Oleh karena itu ia merasa tidak perlu membohong, jawabnya terus terang,
"Aku hendak mencari seorang di kota raja memenuhi permintaan pamanku."
"Ke kota raja di utara ?" Kam Ceng Swi mengerutkan keningnya. "Di sana tidak begitu baik keadaannya, orang muda. Orang - orang selatan amat dicurigai dan salah - salah kau akan ditangkap. Bukan hanya serdadu-serdadu Mongol itu yang membenci orang selatan seperti kita, malah orang-orang kang-ouw di utara yang sudah menjadi kaki tangan Mongol, juga selalu memusuhi kita. Kau tahu, orang - orang seperti Thai Khek Sian itupun kabarnya membantu pemerintah Mongol ....... "
Wi Liong menjawab tenang. "Tidak apa, lo-enghiong ......"
"Wi Liong, terhadap kau aku merasa seperti berhadapan dengan keluarga sendiri, jangan kau menyebut lo-enghiong (orang tua gagah) segala. Sebut saja paman, lebih sedap didengar."
Wi Liong tersenyum. Benar-benar kakek ini menarik hati dan menyenangkan.
"Baiklah. Kam-siok-siok (paman Kam). Sebetulnya aku memenuhi perintah paman Kwee Sun Tek untuk mencari keterangan perihal orang bernama Beng Kun Cinjin Gan Tui yang kabarnya menjadi panglima di istana Kaisar Mongol."
"Aahhh ......., dia ....... ?" Kam Ceng Swi mengerutkan kenangnya. "Untuk apakah kau mencari dia "'
"Paman Kwee belum memberi tahu kepentingannya, hanya minta supaya aku menyelidiki di mana dia sekarang berada."
"Kalau begitu tak usah kau ke utara. Wi Liong."
"Eh, kenapakah " Apa dia sudah mati ?"
"Tidak. Dia itu dahulunya seorang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sayang sekali, ia dapat dibujuk oleh Kaisar Mongol menjadi kaki tangannya, malah menikah segala di istana ! Sungguh memalukan dan mengecewakan sekali, apa lagi kalau diingat bahwa hal itu terjadi setelah dia menjadi seorang hwesio !"
"Apa dia sekarang masih di istana. Kam-siok-siok ?" tanya Wi Liong, dalam hati terheran - heran mengapa pamannya menyuruh dia mencari orang macam itu.
"Kurasa tidak. Pernah aku mendengar bahwa dia telah meninggalkan Jengis Khan beberapa tahun yang lalu dan semenjak itu tak seorangpun mendengar di mana adanya Beng Kun Cinjin." Memang Kam Ceng Swi dahulu tidak mendapat kesempatan mendengar tentang perbuatan Beng Kun Cinjin terhadap murid-muridnya, juga tidak tahu bahwa Kwee Sun Tek itu murid Beng Kun Cinjin. Kalau ia mendengar akan hal itu tentu ia sudah menceritakannya kepada Wi Liong.
"Kalau begitu memang percuma saja aku pergi ke utara, " kata Wi Liong.
"Memang tidak ada gunanya. Semenjak melarikan diri dari istana. Beng Kun Cinjin tentu saja dianggap musuh dan dicari oleh.orang - orang Mongol. Maka dapat dipastikan bahwa dia tentu melarikan diri ke selatan. Kalau hendak mencari dia, sebaiknya di selatan menanyakan kepada orang-orang kang-ouw di daerah selatan tentu ada yang tahu."
Wi Liong menurut akan petunjuk ini. Mereka lalu berpisah setelah Wi Liong menghaturkan terima kasihnya dan berjanji kelak akan mengunjungi Kun-lun-san. Akan tetapi dia tetap menyembunyikan nama gurunya karena tahu bahwa gurunya tidak menghendaki namanya disebut - sebut di luaran. Dia sendiri lalu kembali ke Wuyi-san, menceritakan pengalamannya kepada Kwee Suu Tek kemudian setelah suhunya keluar, ia bercerita pula sambil menangis tentang kekalahannya yang amat memalukan terhadap Thai Khek Sian.
"Tentu saja kau kalah. Mana bisa menang melawan susiokmu " " komentar Thian Te Cu singkat, membuat Wi Liong terkejut bukan main.
Setelah menuturkan tentang kekalahannya terhadap Thai Khek Sian kepada gurunya sambil menangis. Wi Liong lalu menerima latihan-latihan lagi selama satu tahun. Ilmu - ilmu tinggi yang tadinya disimpan saja oleh Thian Te Cu. sekarang diwariskan kepada pemuda itu, di samping nasihat - nasihat dan gemblengan ilmu batin yang sekaligus merobah watak Wi Liong menjadi lebih pendiam dan masak.
Demikianlah, seperti telah dituturkan dalam bagian yang lalu. Thio Wi Liong; duduk berlutut di hadapan suhunya yang bersila di tempat samadhinya. Hati Wi Liong amat terharu namun ia dapat menekannya karena pemuda ini sekarang telah memiliki kekuatan batin untuk menekan dan mengalahkan segala perasaan yang datang dalam kalbunya. Baru sekarang selama belasan tahun hidup di dekat Thian Te Cu. ia mendengar orang aneh ini bicara agak banyak. Biasanya Thian Te Cu hanya bicara sedikit sekali singkat dan yang perlu saja. Bahkan ada kalanya kakek luar biasa ini hanya mempergunakan gerak tangan dan kepala untuk menyatakan kehendaknya, seperti orang gagu. Baru hari itu. setelah gurunya menyatakan bahwa kepandaiannya sudah cukup untuk menandingi Thai Khek Sian gurunya bicara panjang lebar memberi nasihat - nasihat. Perasaannya
membisiki bahwa ini merupakan tanda bahwa gurunya hendak memisahkan diri, mungkin untuk selamanya.
"Mulai sekarang kau boleh turuni gunung dan mulai hidup baru. Ingat, pekerjaan apapun juga yang kaulakukan kerjakanlah dengan hati bersih, dengan semangat besar dan dengan kesadaran sepenuhnya bahwa yang kau kerjakan tidak berlawanan dengan kebajikan dan keadilan. Jangan kau mudah dimabok kesenangan dan kemuliaan dunia yang palsu dan yang mudah menyelewengkan batin manusia. Ingat bahwa segala kejahatan manusia yang terjadi di dunia ini selalu ditimbulkan oleh ketidak-sadaran karena mabok dan silau oleh kesenangan, kemuliaan dunia, karena lemah dan tak berdaya terhadap nafsu sendiri." Kakek aneh itu berhenti, agaknya lelah sekali karena terlalu banyak bicara. Memang sudah lama dia menghemat suaranya dan bicara agak banyak ini amat melelahkannya.
"Suhu teccu mendengar dari paman Kwee, juga dari luaran ketika teecu turun gunung bahwa sekarang ini negara sedang dalam keadaan terancam dan tidak aman. Orang - orang kang-ouw saling bermusuhan, ada yang memihak pemerintah baru di utara dan ada yang memihak Kerajaan Sung. Kalau teecu turun gunung dan sampai terlibat ke dalam persaingan atau permusuhan ini teecu harus membantu yang mana ?"
Terdengar kakek itu menarik napas panjang. "Manusia tiada hentinya berebut kekuasaan. Hanya mereka yang bekerja dengan penuh kesadaran bahwa apa yang mereka lakukan itu demi kebenaran adalah orang-orang bahagia. Perang ....... perang ....... semenjak nenek moyang kita ribuan tahun yang lalu, negara kita selalu dilanda perang. Siapa menang siapa kalah " Belum tentu yang benar menang. Biarpun kemenangan sementara, sepuluh tahun seratus tahun, seribu tahun, namun ada kalanya yang jahat menang dan rakyat menderita. Semua ditentukan olen Thian !". Kembali kakek itu berhenti dan Wi Liong tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh gurunya. Akan tetapi ia tidak merasa heran oleh karena sudah biasa mendengar kata - kata yang aneh dan penuh rahasia dari kakek itu.
"Suhu, andaikata bala tentara Mongol menyerbu ke selatan, teecu harus membantu yang mana" Mongol atau Sung" Dan pertentangan antara orang-orang kang-ouw teecu harus memihak yang mana?" Ia mendesak oleh karena biarpun hatinya sendiri sudah menemukan bagaimana ia harus bertindak, tetap saja ia hendak mendengar petunjuk suhunya sebagai pegangan.
Anehnya, kakek itu hanya menggeleng-geleng kepala dan keningnya berkerut.
"Suhu. siapa yang harus teecu bantu " " tanya pula pemuda itu.
Sekali lagi Thian Te Cu menggeleng kepala dan lebih aneh lagi ia kelihatan berduka sekali. Kembali mereka diam sampai lama. Akhirnya Wi Liong memberanikan diri bertanya untuk ke tiga kalinya.
"Suhu. nasihat suhu akan teecu jadikan obor bagi perjalanan teecu agar teecu tidak sampai sesat jalan. Keadaan dunia sedang bergolak, kalau teecu salah tindak, bukankah berarti akan melakukan dosa besar dan suhu akan terbawa nama suhu kalau tidak memberi petunjuk ?"
"Obor berada di tangan rakyat. Selama kau dekat dengan rakyat dan memihak mereka yang tertindas, mengulurkan tangan kepada mereka yang lemah sengsara, kau takkan tersesat. Inilah sebabnya mengapa dunia selalu dilanda perang, karena manusia selalu lupa diri, kalau sudah mendapatkan yang besar lupa kepada yang kecil. Orang - orang berebut kedudukan, berebut kesenangan dan kemuliaan tanpa mau menoleh kepada rakyat kecil yang tak pernah mengetahui sesuatu, tak pernah diberi kesempatan untuk tahu akan sesuatu. Coba ada yang berebut untuk mengangkat mereka dari penderitaan, coba segala usaha dikerahkan untuk bersatu dengan mereka, satu nasib satu penderitaan, iblispun takkan berani mengganggu tanah air karena akan berhadapan dengan rakyat yang merasa kebahagiaan dan keamanannya terganggu. Sekarang bagaimana " Setiap kerajaan merupakan penindas baru......ahhh, Wi Liong, jangan tanya kerajaan mana yang harus kau bantu. Asal kau tidak lupa bahwa kau mempelajari ilmu untuk bertugas sebagai pemberantas kejahatan dan pembela si lemah yang tertindas, cukuplah. Segala di dunia yang nampak besar-besar itu belum tentu betul-betul besar. Aku lebih suka melihat engkau menjadi seorang petani miskin yang berbatin bersih dan berjiwa gagah pembela keadilan dari pada melihat engkau menjadi seorang berpangkat, kaya raya dan mulia akan tetapi batinmu kotor oleh suau emas dan jiwamu bejat, lupa akan keadilan. Nah. pergilah, kelak kita bertemu sekali lagi kalau aku datang nntuk minta kembali Cheng-hoa-kiam."
Tentu caja ucapan terakhir ini membingungkan Wi Liong. Tentang Cheng-hoa-kiam tadi ia benar tidak mengerti. Ketika ia pergi turun gunung, pedang itu dicuri orang, mengapa suhunya bilang kelak hendak mengambil kembali dan bertemu dengannya " la hendak bertanya akan tetapi kakek itu sudah meramkan kedua mata dan berada dalam keadaan samadhi lagi, maka ia tidak berani mengganggu.
"Semua petunjuk akan teecu ingat betul" katanya sambil berlutut memberi penghormatan terakhir, kemudian keluar dari kamar suhunya. Pamannya segera menemuinya.
"Bagaimana " Sudah boleh turun gunung " " tanya Kwee Sun Tek penuh gairah.
"Sudah dan kuharap paman suka pergi bersamaku. Aku tidak tega meninggalkan kau orang tua seorang diri di sini."
Kwee Sun Tek menghela napas panjang. "Apa sih perlunya aku turun gunung " Di puncak gunung, atau di dusun maupun di kota raja sekalipun bagiku sama saja ......"
Wi Liong kasihan memandang pamannya. Ia dapat menangkap maksud kata-kata pamannya ini. Memang apa sih bedanya bagi seorang buta "
"Tak usah aku ikut pergi, Wi Liong. Kau pergilah dan cari manusia jahanam Beng Kun Cinjin itu, balaskan sakit hati ayah bundamu, kemudian kau carilah nama untuk menjunjung nama orang tuamu. Kau sudah meudengar semua riwayat orang tuamu, kalau kau berhasil membinasakan manusia jahanam Beng Kun Cinjin. baru hatiku puas dan aku tidak penasaran biarpun aku hidup tak bermata lagi !" Kata-kata ini diucapkan dengan keras penuh semangat, membayangkan sakit hati yang dipendam bertahun-tahun.
Wi Liong menundukkan mukanya. Pemuda inipun merasa berduka sekali, baru setelah ia pulang dari perjalanannya mencari Beng Kun Cinjin, pamannya menceritakan pengalaman ayah bundanya yang tewas ketika mereka berusaha menyadarkan Beng Kun Cinjin dari kesesatannya.
"Wi Liong, belasan tahun aku bertahan hidup menderita hanya untuk dapat menyaksikan bahwa pada suatu hari putera enciku akan dapat berhasil membalaskan sakit hati ayah bunda dan pamannya. Kuharap kau tidak akan gagal. Wi Liong."
"Akan kuusahakan sedapat mungkin, paman." jawab Wi Liong.
"Dan jangan lupa, kau harus mampir di Poan-kun dan tengok calon mertuamu. Sampaikan hormatku dan jangan lupa bilang bahwa pernikahan baru dapat dilangsungkan kalau kalau sudah berhasil membalas dendam kepada Beng Kun Cinjin. "
Kwee Sun Tek memang sengaja tidak mau menceritakan tentang obrolan maling pedang yang mengaku - aku menjadi kekasih Kwa Siok Lan, dan sekarang ia menyuruh Wi Liong ke sana untuk melihat apakah obrolan itu betul - betul ataukah hanya omong kosong belaka. Selain itu memang ia tidak rela Wi Liong melangsungkan pernikahan sebelum pemuda itu sempat berdarma bhakti kepada ayah bundanya yaitu membalaskan sakit hati mereka.
Setelah menerima banyak nasihat dari pamannya. Wi Liong lalu turun gunung membawa bekal pakaian dan senjata satu - satunya hanya suling pemberian gurunya. Suling ini bukan suling biasa, melainkan sebuah senjata yang istimewa sekali.
Ketika Wi Liong turun gunung, matahari baru mulai timbul. Ia turun melalui lereng sebelah utara gunung dan matahari muncul dari sebelah kanannya muncul dari permukaan laut yang jauh berada di timur. Hawa pegunungan yang sejak ditimpa cahaya matahari yang hangat nyaman benar - benar mendatangkan suasana yang menggembirakan. Daun-daun pohon seperti disepuh air emas kuning kemilau tapi sejuk sinarnya tidak menyilaukan mata.
Burung - burung berkicau di dahan pohon dan kelihatan beberapa ekor burung bermain-main dengan riangnya merupakan keluarga yang amat berbahagia menyambut darangnya matahari. Wi Liong sengaja berhenti berjalan untuk menikmati pemandangan itu, pemandangan keluarga burung kuning yang kebahagiaannya membuat ia tersenyum dan juga iri. Dua ekor anak burung mencicit diloloh oleh biangnya sedangkan bapak burung menyisiri bulu si biang dari belakang !
Wi Liong tersenyum lalu melanjutkan perjalanannya. Ingin ia berdendang. Hawa dan keadaan semeriah itu memang menimbulkan selera orang untuk berdendang dan bernyanyi seperti burung, atau lari berlompat - lompatan seperti anak kijang. Tiba - tiba Wi Liong mendengar pekik burung dari udara. Ia mendongak dan melihat seekor burung berbulu kehitaman terbang lewat sendiri, merupakan titik hitam pada langit yang bersih cerah. Wi Liong mengerutkan keningnya, ada sesuatu menusuk pada ulu hatinya. Burung itu sendiri kelihatan begitu sunyi tak berkawan, hidup menyendiri di alam yang luas. Teringat Wi Liong akan keadaan dirinya, yatim-piatu dan seorang diri pula di dalam dunia. Sedih hatinya dan bangkit rindunya kepada pamannya Tidak tega rasanya meninggalkan pamannya satu - satunya orang yang semenjak ia kecil berada di sampingnya, pengganti orang tuanya.
"Beng Kun Cinjin jahanam busuk, kau pembunuh ayah ibuku dan kau yang membikin buta sepasang mata pamanku. Tunggu saja pembalasanku !" kata hatinya yang menjadi panas karena pembunuh orang tuanya itu yang menjadi biang keladi sehingga ia sekarang hidup seorang diri dan kesepian.
Teringat kepada musuh besarnya bangun kembali semangat Wi Liong dan ia segara mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk berlari cepat sekali turun gunung.
Seperti telah dituturkan di depan biarpun kekuasaan Bangsa Mongol berkembang pesat dan Tiongkok utara telah diduduki, namun Tiongkok bagian selatan masih berada dalam kekuasaan pemerintah lama, yaitu Kerajaan Sung selatan. Pemerintah Mongol tidak melanjutkan penyerbuannya ke selatan adalah karena ia sedang memusatkan bala tentaranya untuk menyerbu lagi ke barat. Untuk sementara waktu keadaan dalam negeri menjadi aman, kecuali hentrokan-bentrokan di antara para pengikut pendukung dua kerajaan itu yang saling bersaing dan bermusuhan sendiri.
Kaisar Mongol Oguthai. yang berhasil merebut wilayah Cin di Tiongkok utara masih menggunakan kota Mongol bernama Karakorum sebagai ibu kota kerajaannya. Istananya megah dan indah, penuh barang - barang berharga hasil perampasan dari macam -macam negara yang diserbu oleh bala tentaranya yang amat kuat. Juga di istana bekas Kaisar Cin. yaitu di Peking, dijadikan istana ke dua, dan kerusakan - kerusakan telah dibangun dan diperbaiki kembali, malah sekarang lebih mewah dari pada dahulu. Peking merupakan kota raja ke dua dan kota besar ini menjadi semacam tempat beristirahat kaisar dan para pembesar tinggi. Akan tetapi kaisar sendiri jarang sekali berada di Peking, atau kalau kebetulan berada di situ juga hanya untuk beberapa minggu saja. Yang sudah pasti, di situ menjadi sarang para pembesar Mongol dan kaki tangannya, yaitu penghianat - penghianat bangsa yang bermuka - muka terhadap penjajah menjual bangsa sendiri untuk mencari kedudukan dan harta. Banyak jumlahnya pembesar-pembesar penghianat macam ini, orang - orang Tiongkok yang lagak-lagunya sudah pula meniru - niru lagak penjajah. Amat lucu melihat orang Tiongkok itu berpakaian seperti pembesar Mongol bertopi Mongol. aksinya seperti orang Mongol. bahkan bicaranya di pelo-pelokan meniru-niru logat orang Mongol ! Bukan main ! Dan mereka menganggap mereka telah menjadi orang berkuasa yang gagah. Inilah macamnya orang - orang yang kehilangan kepribadiannya, beginilah manusia yang menjadi bujang nafsu kesenangan, mengejar kesenangan diri dengan pengorbanan apapun juga, rela bersikap palsu, hidup bertentangan dengan hati nurani dan jiwa sendiri, asal bisa memperoleh kedudukan bisa memperoleh kemuliaan dan harta dunia !
Sudah tentu saja manusia - manusia macam begini ini memuakkan perasaan setiap orang yang sedikit saja mempunyai kepribadian manusia-manusia macam penghianat - penghianat bangsa yang sudah seperti badut - badut menari menurut irama musik majikannya kaum penjajah tentu saja menimbulkan rasa benci kepada setiap orang yang sehat pikirannya. Untuk menyenangkan majikan-majikannya, para bangsawan Mongol itu, para penghianat ini tidak segan-segan untuk menangkap - nangkapi bangsa sendiri dengan tuduhan memberontak, dengan ketawa - tawa sambil menuangkan arak di cawan majikannya melihat bangsa sendiri dipenggal batang lehemya sebagai hukuman seorang pemberontak. Alangkah rendahnya akhlak mereka ! Untuk mendapatkan kedudukan dan uang. tidak segan - segan penghianat bangsa ini mencari dan menangkapi gadis - gadis cantik anak bangrsanya, untuk dijadikan umpan dan mangsa bagi bangsawan - bangsawan Mongol yang liar seperti bandot tua ! Bahkan ada beberapa orang tikus kaki dua macam ini yang tidak sayang - sayang memberikan anak gadisnya sendiri kepada bangsawan Mongol. hanya agar dia mendapat kedudukan, kekuasaan dan kekayaan !
Dunia sudah tua ..... manusia sudah gila ..... demikian keluh rakyat jelata yang hanya pandai berkeluh-kesah tanpa berani berkutik. Tak dapat disalahkan rakyat jelata, tidak boleh mereka ini disebut lemah atau kurang semangat. Apa daya mereka kalau berkutik sedikit saja berarti kepala mereka dipenggal " Apa daya-mereka kalau di sana tidak ada pahlawan - pahlawan bangsa yang sanggup mempersatukan dan memimpin mereka " Yang bermunculan malah bangsa sendiri yang menjadi penghianat dan lincah darat !
Kalau orang - orang biasa saja sudah merasa penasaran dan kemarahan mereka hanya dipendam dalam dada. lebih - lebih lagi para pendekar perkasa yang tadinya hidup sebagai penghuni-penghuni hutan di gunung-gunung. Mereka merasa marah dan penasaran sekaii. Mereka maklum bahwa terhadap kaum penjajah Bangsa Mongol yang memiliki bala tentara kuat dan besar sekali itu. mereka tidak berdaya. Akan tetapi melihat bangsa sendiri menjadi penghianat. mereka tak dapat menahan kemarahan hati dan segera para enghiong pendekar ini turun gunung. Gegerlah di Peking setelah secara aneh. beberapa orang "pembesar" Bangsa Han yang menjadi penghianat ini tahu-tahu kedapatan tewas dipenggal orang lehernya di dalam kamar, tanpa ada tanda - tanda siapa adanya pembunuh- pembunuh itu.
Kemudian, setelah diketahui bahwa yang melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap para "boneka" penjajah itu adalah orang-orang kang-ouw, mulailah para.pembesar mendatangkan jagoan-jagoan, untuk menjadi pelindung dan penjaga keamanan dan mulailah kerusuhan - kerusuhan terjadi, pertempuran-pertempuran kecil dan pertentangan-pertentangan antara orang-orang kang-ouw yang membenci para penghianat dan para jagoan yang dapat dijadikan kaki tangan mereka.
Thio Wi Liong tiba di Peking pada saat sedang gawat - gawatnya karena beberapa hari yang lalu seorang pembesar boneka she Ciu terbunuh ketika sedang melakukan perjalanan dalam keretanya. Pemuda ini sengaja datang ke Peking karena setelah berbulan - bulan mencari keterangan di selatan, ia mendengar bahwa Gan Tui atau Beng Kun Cinjin lari dari istananya setelah membunuh seorang pangeran muda she Liu. Semenjak melarikan diri, tak seorangpun mendengar ke mana perginya bekas koksu itu" Oleh karena berita ini Wi Liong langsung menuju ke Peking untuk melakukan penyelidikan. Kalau dari orang-orang kang-ouw ia tidak bisa mendapat keterangan, mungkin dari pembesar- pembesar dan kaki tangan Kerajaan Mongol ia bisa mendapatkan jejak musuh besarnya. Kalau perlu ia akan menyusul ke kota raja di utara.
Sebagai seorang yang berpakaian seperti seorang pemuda pelajar yang lemah lembut gerak- geriknya. ia tidak banyak menarik perhatian orang. Ia menginap dalam kamar sebuah rumah penginapan sedernana dan kelihatannya tidak mencurigakan. Akan tetapi setiap hari ia berkeluyuran ke tempat ramai, setiap kali ada kesempatan ia mencoba untuk bicara kepada orang - orang tua dan memancing tentang keadaan Koksu Beng Kun Cinjin. Di waktu malam ia keluyuran pula dan di waktu malam gelap begini lenyap sifatnya yang lemah lembut berubah menjadi seorang yang gerak - geriknya gesit seperti burung walet.
Pada suatu pagi Wi Liong sudah nampak duduk di bangku rumah makan kecil menghadapi scmangkok bubur panas. Bukan kebetulan bahwa ia berada di warung itu, karena warung itu berada di seberang jalan di mana berdiri sebuah rumah gadung besar sekali milik keluarga Liu. Pemuda ini ternyata berhasil mendapat keterangan bahwa keluarga dari pemuda she Liu yang dahulu dibunuh oleh Beng Kun Cinjin, sekarang telah pindah ke Peking, di dalam rumah gedung itulah. Akan tetapi hanya sampai sekian saja keterangan yang ia peroleh. Tak seorangpun rupanya mengetahui mengapa pemuda Liu itu dibunuh.
"Tentu ada rahasianya." pikir Wi Liong dan bukan tidak bisa jadi kalau anggauta keluarga Liu itu ada yang tahu atau setidaknya dapat menduga ke mana perginya Beng Kun Cinjin yang kabarnya lari pergi membawa isteri dan anaknya.
Warung itu cukup besar dan di situ sudah ada belasan orang tamu yang semua ingin mengisi perut dengan bubur panas yang sedap.
"Buburnya satu mangkok lagi !" terdengar suara keras dari belakang tempat duduk Wi Liong. Suara ini nyaring akan tetapi tidak menarik perhatian. Wi Liong yang sedang melamun sambil pandang matanya selalu menatap ke arah pintu halaman gedung keluarga kaya raya Liu itu.
"Hebat betul orang itu, sudah habis tujuh mangkok masih tambah terus." terdengar pelayan berkata perlahan sekali ketika memberi Wi Liong semangkok bubur lagi yang dimintanya. "Dengan arak lagi ....... !"
Ucapan ini menggerakkan hati Wi Liong. Tidak aneh orang banyak makan, di mana-mana juga ada orang gembul. Akan tetapi pagi - pagi menghabiskan tujuh mangkok bubur dengan arak " Lucu juga. Ia melirik ke belakang dan melihat bahwa orang gembul itu ternyata adalah seorang laki - laki tua berusia limapuluh tahunan, bertubuh tinggi besar tegap dan sikapnya gagah sekali. Hampir semua orang di dalam warung itu memandang kepada kakek ini dengan muka kagum. Memang kakek itu benar-benar gagah, pakaiannya ringkas dan kuat. Mukanya kemerahan dengan kumis dan jenggot seperti pahlawan besar di jaman Sam-kok, Kwan In Tiang atau Kwan Kong ! Golok besar bersarung indah tergantung di pinggang kiri. Duduknya tegak dan gerak-geriknya membayangkan bahwa dia bukan orang sembarangan.
Sekaligus Wi Liong tertawan hatinya oleh orang tua gagah perkasa ini. Tidak sukar untuk diduga bahwa orang ini tentulah seorang yang berjiwa gagah, seorang kang-ouw yang patut dijadikan kawan.
Mangkok bubur panas mengepul sudah diantar lagi ke depan kakek itu. Sambil mengibaskan tangannya yang besar, kakek itu berkata tak senang. "Hemm. di Peking sekarang menjadi sarang lalat hijau !"
Wi Liong tersenyum diam-diam. Sebagai orang yang sudah beberapa hari berada di situ, tentu saja ia segera dapat mengenal tiga orang "mata - mata'" kerajaan yang sejak tadi memperhatikan kakek itu sambil saling bisik - bisik. Akan tetapi tak seorangpun kecuali Wi Liong melihat betapa kibasan tangan yang lebar itu sekaligus membuat tiga ekor lalat menempel pada telapak tangan.
"Lalat makan lalat, sudah sepatutnya." kembali kakek itu berkata.
Kecuali Wi Liong, tidak ada yang melihat bagaimana kakek itu menggerakkan jari - jari tangannya. Di lain saat. tiga orang mata - mata itu berseru marah,
"Heeei.........pelayan ! Dalam mangkok bubur ini ada lalatnya !"
"Di sini juga ada."
"Ini juga !" Tiga orang itu melotot dan memandang jijik.
Pelayan berlari - lari menghampiri dan melihat bahwa betul dalam mangkok tiga orang itu terdapat masing - masin seekor lalat hijau yang besar! Ini betul - betul aneh dan tak dapat dimengerti karena sungguh kejadian yang langka ada lalat sampai masuk ke dalam mangkok bubur. Akan tetapi mata pelayan ini juga tajam, ia mengenal siapa adanya tiga orang itu, maka sambil membungkuk - bungkuk ia mengambil tiga mangkok itu dan berkata
"Maaf loya. Biar saya mengambilkan gantinya." Buru - buru ia mundur dan tak lama datang lagi membawa tiga mangkok bubur panas di atas baki. Dengan hati - hati ia menaruh tiga mangkok bubur itu di depan tiga orang tamunya yang segera mengaduk - aduk dengan sumpit untuk melihat kalau - kalau ada lalatnya, sedangkan pelayan itu mengusir lalat yang mendekat dengan kain lapnya. Setelah melihat betul bahwa di dalam mangkok mereka tidak terdapat lalat, tiga orang itu mulai makan buburnya dan kembali mereka mulai melanjutkan pengawasan terhadap kakek gagah tadi.
Kini Wi Liong sudah selesai makan dan sengaja duduk miring agar ia dapat mengawasi gerak - gerik kakek aneh itu. Kakek itu tersenyum kepadanya tangannya kembali mengebut lalat dan kini tidak kurang dari enam ekor lalat hijau "menempel" pada jari - jari tangannya.
"Lalat hijau menjemukan !" kakek itu kembali menggerutu dan tangannya bergerak perlahan.
"Auupphhh ...... !!" Seorang di antara tiga mata - mata itu membawa tangan ke mulut sambil melepaskan mangkok buburnya di atas meja, lalu terbatuk - batuk dan matanya mendelik.
"Ada apa......... " " tanya dua orang kawannya sambil menunda makannya.
"Ada ....... lalat ........ ma ........ mahukk ........ " kata orang yang mulutnya kemasukan lalat besar yang menempel di kerongkongannya itu.
Dua orang kawannya tertawa bergelak akan tetapi tiba - tiba mereka inipun terengah-engah, malah yang seorang terus muntah-muntah karena ada lalat memasuki mulut terus tanpa permisi masuk ke dalam perutnya !
Kejadian yang lucu ini tentu saja menarik perhatian banyak orang dan tak dapat dicegah lagi meledaklah suara kerawa orang - orang yang sedang makan di situ, sampai ada yang tersedak-sedak dan terbatuk - batuk. Tiga orang mata-mata itu marah sekali, akan tetapi kepada siapa harus marah " Dengan mata melotot dan mulut memaki-maki tiga orang itu meninggalkan rumah makan tanpa membayar harga makanan. Pelayan yang menghadangnya menerima semprotan.
"Mau minta bayaran " Tidak kulaporkan dan tidak ditutup rumah makanmu masih enak kau ! Pedagang bubur lalat !!"
Pelayan itu buru-buru mundur membiarkan mereka pergi dan kembali orang-orang di situ gelak tertawa. Mereka sebagian besar adalah penduduk aseli Peking maka mereka tahu belaka hahwa tiga orang itu adalah kaki tangan manusia-manusia penghianat yang suka menangkap-nangkapi bangsa sendiri yang dicurigai. Orang-orang macam ini kerjanya hanya keluyuran setiap hari mencari orang yang kiranya dapat dijadikan korban. Bagi para tamu. kejadian tadi adalah hal yang kebetulan saja dan mungkin sebagai hukuman atas dosa - dosa mereka. Kalau tidak begitu, masa hanya mereka saja yang diserbu lalat "
"Mulut mereka terlalu busuk baunya sampai-sampai menarik lalat - lalat hijau." kata seorang tamu sambil tertawa terpingkal - pingkal.
"Lalat juga tahu mana sahabatnya !" kata orang lain.
Akan tetapi senda - gurau dan ejekan terhadap tiga orang mata - mata itu berhenti seketika setelah mereka melihat bahwa tiga orang itu ternyata tidak pergi jauh hanya berhenti di depan warung dan berdiri di seberang jalan dekat pintu halaman rumah gedung keluarga Liu.
Sementara itu, kakek aneh itu menggapaikan tangan kepada seorang pelayan tua. Pelayan itu cepat menghampiri membungkuk - bungkuk merendahkan diri seperti sikap seorang pelayan rumah makan yang pandai.
"Duduklah, mari temani aku minum arak." kata kakek itu.
Pelayan tua kaget, menggeleng-gelengkan kepala. "Mana berani saya berlaku kurang ajar terhaaap tamu " Silahkan loya minun, saya yang melayani. "
"Duduk kataku mengapa bantahan ?" Kakek gagah itu menarik lengan si pelayan yang terduduk di atas bangku seperti bukan atas kehendaknya sendiri, tahu-tahu ia telah duduk begitu saja. "Minum secawan arak !"
Pelayan itu dengan wajah berobah terpaksa minum, dan ternyata diapun seorang setan arak karena sekali tuang saja arak secawan itu sudah amblas ! Ia menaruh cawannya yang sudah kering di atas meja wajahnya yang tadi agak pucat menjadi kemerahan dan ia tersenyum-senyum."Terima kasih. loya (tuan tua), arak ini enak sekali "
Akan tetapi diam - diam Wi Liong mengerutkan kening karena ia melihat bagaimana secara cepat dan diam - diam tadi kakek aneh itu menaruh sebutir pel ke dalam cawan arak pelayan. Agaknya pel itu mudah cair dan tidak ada rasanya, buktinya pelayan itu minum habis tanpa merasa apa - apa. Apakah niat kakek itu melakukan hal ini " Apa kehendaknya " Wi Liong benar-benar merasa heran sekali.
Akan tetapi tak lama kemudian ia segera mengerti. Kakek pelayan itu melihat caranya minum arak, terang bukan seorang yang tak pernah minum arak kalau tak mau dikata masuk golongan setan arak. Akan tetapi mengapa baru minum dua cawan saja sudah merah sekali mukanya dan suara ketawanya menandakan bahwa ia telah mabok berat " Kalau baru dua cawan saja, arak yang bagaimana tua pun takkan dapat memabokkan seorang ahli minum ! Pelayan itu mulai bicara tidak karuan diselingi ketawa - tawa dan kini ia tidak begitu merendah-rendah seperti tadi.
Wi Liong menjadi tak senang. Kakek tua aneh itu boleh jadi seorang tokoh kang-ouw yang nakal, akan tetapi tidak semestinya kalau ia mempermainkan seorang, pelayan yang tidak punya desa. Selagi ia hendak menegur, ia tersentak kaget dan tidak jadi bergerak ketika mendengar kakek itu berkata.
"Nah. loheng (kakak tua), sekarang kau dongengkan tentang orang-orang ternama seperti misalnya keluarga Liu pemilik rumah gedung di depan itu."
Pelayan itu tertawa terkekeh - kekeh, tawa seorang mabok yang tidak sadar lagi.
"Bandot tua bangka itu " Heh-heh-heh. apanya yang patut didongengkan" Bandot mata keranjang sampai ke tulang sumsum, bapak anak seringgit dua-rupiah-setengah, sama saja ! "
Wajah kakek aneh itu nampak berseri dan penuh harap. "Mengapa kau bisa bilang keluarga itu mata keranjang " Apa buktinya " "
"Heh-heh-heh. bukti " Mau bukti " Hanya orang buta yang tidak melihat. Siapa tidak tahu tentang gadis desa yang tahu - tahu mati dan dikubur diam - diam di tengah malam" Dan belum lama ini setiap malam terdengar tangis wanita, kabarnya ada lagi gadis yang diculiknya. Padahal usianya sudah enampuluh lebih. Kalah tua aku! Tapi tua-tua keladi makin tua makin menjadi! Heh-heh-heh."
"Semua orang tahu memang kalau Liu-wangwe hartawan Liu mata keranjang, akan tetapi kau bilang ayah anak sama saja, apa artinya itu " Bukankah anaknya hanya seorang yang sudah remaja puteri ?"
"Oooo kau keliru ........."
Pada saat itu pengurus rumah makan itu datang menghampiri dengan langkah lebar. "A Sam. jangan mengganggu tamu ........."
Kakek aneh itu melotot kepada pengurus rumah makan. "Apa mengganggu " Aku yang mengundangnya menemani aku minum. Kau mau apa" "
"Maaf, loya........." pengurus itu merendah dan wajahnya memperlihatkan kekhawatiran dan beberapa kali ia menengok ke arah tiga orang mata - mala yang sejak tadi berdiri di depan. "akan tetapi A Sam kami beri upah bukan untuk mengobrol, melainkan untuk bekerja ....... dan ........"
"Berapa sih upahnya " Nih gantinya !" Kakek aneh itu melemparkan sepotong perak yang barangkali cukup untuk membayar upah A Sam selama sepekan ! "Sudah, enyah ! Teruskan Sam-ko !"
Pengurus itu tidak berani berkata apa - apa lagi dan pergi. Ia maklum bahwa kakek yang seperti Kwan Kong dan membawa-bawa golok itu tentu seorang kangouw maka ia tidak berani memaksa. "Celaka, pikirnya. A Sam sudah mabuk: dan membuka - buka rahasia orang sedangkan anjing - anjing pemburu itu masih berada di depan pintu. Celaka, celaka ......... apa yang akan menimpa rumah makan kita ?" Demikian pengurus itu menggerutu seorang diri.
Adapun A Sam setelah longak-longok dan tersenyum-senyum puas melanjutkan kata-katanya. "Kau keliru loya. Keluarga Liu itu dahulunya mempunyai seorang putera, dalam hal watak cabulnya tidak kalah oleh si bandot tua ayahnya sendiri."
Pengurus rumah makan itu membanting - banting kaki melihat tiga orang mata-mata kaget mendengar seorang pelayan warung berani memaki - maki Liu-wangwe (hartawan Liu) atau boleh juga disebut Liu-taijin (pembesar Liu). Saking herannya mereka ini sampai tidak bertindak apa-apa. hanya membuka telinga ikut mendengarkan.
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Di mana puteranya itu sekarang ?" tanya kakek aneh penuh perhatian.
"Ho - ho. sudah tidak ada lagi. Sudah mampus ! Akibat mata keranjangnya. Masa dia berani main gila dengan isteri koksu baru."
"Kau maksudkan Beng Kun Jinjin ?"
"Namanya siapa aku tidak tahu, mana aku bisa tahu " Kabarnya koksu itu seorang hwesio tua, diberi hadiah selir kaisar yang disebut Puteri Harum ! Ha - ha - ha lucunya manusia ! Puteri Harum bekas selir kaisar dijodohkan dengar seorang hwesio gundul tua, mana puas" Diam - diam main gila dengan putera keluarga Liu yang muda dan ganteng. Semua orang tahu belaka, hanya hwesio tua bangka itu goblok seperti kerbau...... Ha - ha. tentu saja aku juga tahu, dahulu aku berdagang di kota raja, sampai jatuh gulung tikar karena aku keedanan judi dan ........."
Mendengar cerita itu melantur tidak karuan, kakek tadi lalu menyetop.
"Main gila dengan isteri koksu lalu bagaimana " "
"Akhirnya hwesio koksu itu tahu juga rupanya. Pada suatu malam si hwesio minggat setelah membunuh pemuda she Liu itu di kamarnya. Dengar baik - baik loya, dibunuh di dalam kamar tidur koksu itu sendiri. Ha-ha itu saja sudah menerangkan keadaan sebenarnya. Hwesio itu membunuh si pemuda lalu minggat bersama Puteri Harum dan anaknya."
"Sudah punya anakkah Puteri Harum dan hwesio itu " "
"Bukan anak si hwesio !"
"Anak orang she Liu "
"Juga belum tentu."
"Habis anak siapa " "
"Ha-ha-ho-ho, bapaknya banyak ......... ha-ha . Tadinya selir kaisar, lalu isteri hwesio dan kekasih Liu-kongcu. Coba bilang, siapa bapaknya " "
"A Sam, cukup ! Bantu aku di sini !" teriak si pengurus rumah makan dengan muka pucat. A Sam agaknya masih ingat akan pengaruh bentakan majikannya ini, cepat-cepat ia berdiri menjura kepada kakek aneh itu dan menghampiri majikannya untuk membantu pekerjaan lain.
Kakek aneh itu tertawa seorang diri sambil menenggak araknya. "Bandot tua ....... mata keranjang ...... !" terdengar ia bersungut - sungut. Akan tetapi kakek itu tersentak kaget ketika memandang ke depan. Terlihat tiga orang mata - mata itu sedang bercakap-cakap dengan seorang kakek tinggi besar dan buruk rupa, bengis kelihatannya, alisnya tebal menutupi mata.
"Dia di sini ....... ?" kakek itu berbisik, buru-buru membayar harga makanan dan segera pergi dari warung itu. Akan tetapi Wi Liong masih dapat melihat bagaimana kakek itu menekan, pinggir meja yang segera melesak ke bawah dan meja itu menjadi miring!
Wi Liong diam - diam merasa kagum dan tidak mengerti akan sikap yang aneh ini. Ia masih terlampau tertegun mendengar penuturan pelayan tua yang benar-benar sangat menguntungkan baginya itu. Jadi sudah jelas bahwa keluarga Liu ini pernah berurusan dengan Beng Kun Cinjin dan kiranya kakek pelayan atau keluarga itu akan dapat memberi petunjuk kepadanya ke mana perginya Beng Kun Cinjin.
Ketika ia melihat lagi, kakek aneh bermuka Kwan Kong itu sudah tidak kelihatan lagi bayangannya dan sebagai gantinya, dengan langkah lebar masuklah kakek tinggi besar yang tadi bercakap-cakap dengan tiga orang mata-mata di halaman gedung keluarga Liu. Kakek ini tidak kalah anehnya oleh yang tadi. Tubuhnya tinggi besar, mukanya segi empat alisnya tebai menutupi mata, kulit tubuhnya mbengkerok seperti kulit buaya kudisan.
"Mana dia A Sam si mulut busuk ?" tanya kakek tinggi besar itu sambil terus melangkah menghampiri pengurus warung yang kelihatan ketakutan melihat kakek ini. Pengurus itu menudingkan telunjuknya ke kiri dan ...... A Sam telah tidur mendengkur di atas bangku panjang !
Kakek itu menghampiri A Sam yang mabok berat sekali, melihat sebentar lalu menepuK kepalanya beberapa kali. Aneh. A Sam lalu membuka matanya dan agaknya sudah sadar sama sekali dari pengaruh arak. Wi Liong yang menyaksikan ini semua membuka mata lebar - lebar. Ternyata kakek itu telah membuka hawa murni pelayan itu sehingga semua hawa pengaruh arak telah buyar dan lenyap. Hanya seorang berilmu tinggi saja yang sanggup menotok urat-urat kecil di bagian kepala untuk memberi jalan kepada hawa arak yang memenuhi kepala ! Lagi-lagi seorang pandai di depannya ! Ia memandang terus dan makin lama ia merasa makin tidak asing, seakan - akan ia pernah bertemu dengan kakek ini, entah di mana.
A Sam memandang bingung, kemudian kelihatan ketakutan
"Hayo katakan, kau yang tahu akan riwayat dahulu, di mana adanya Beng Kun Cinjin sekarang ! " tanya kakek tinggi besar itu dengan suaranya yang parau dan kasar.
"Saya ....... hamba ....... tidak tahu. Nama itupun baru sekarang hamba dengar ........"
"Bulus ! Kalau tidak tahu mengapa tadi mengobrol tidak karuan " "
"Hamba tidak mengobrol, loya. Sejak tadi melayani para tamu dan ........."
Terdengar beberapa orang tamu tertawa geli, akan tetapi segera diam kembali seperti jengkerik terpijak ketika kakek tinggi besar itu mengerutkan kening dan membentak,
"Siapa orang muka merah yang kau ajak mengobrol tadi " "
"Orang muka merah yang mana " Aahhhh ......." A Sam teringat. "dia kan tamu di sini tadi......... ?" A Sam benar-benar kelihatan bingung sekali. "Hamba tidak kenal dan tidak tahu ke mana perginya ........." A Sam memandang ke arah meja yang sudah miring.
Melihat meja itu, kakek tinggi besar menghampiri dengan langkah lebar, lalu tertawa bergelak menyeramkan. "Yang beginian saja dipamerkan?" Jari telunjuknya mengungkit ujung meja yang segera terangkat dan rata kembali berdirinya.
Kemudian kakek itu menyambar kedua kaki pelayan tua, mengangkatnya ke atas sehingga pelayan itu tergantung dengan kepala di bawah! Tentu saja A Sam menjerit - jerit seperti babi disembelih minta diampuni.
Sambil tertawa - tawa kakek itu membawa A Sam ke dekat tempat godokan bubur dan menggantung kepala A Sam di situ. mengancamnya hendak memasukkan kepala yang kecil gepeng (tipis) itu ke dalam bubur yang mendidih !
"Aduuhhh ...... aaa ...... aadduuhhh ....... loyaa ....... panas .......!" A Sam menjerit-jerit, ngeri melihat bubur yang panas mendidih, yang setiap pagi menjadi permainannya kalau ia melayani para tamu. Belum juga kepalanya menyentuh bubur, ia sudah hampir pingsan dan berteriak-teriak kepanasan! Para tamu memandang penuh kengerian pula. Betul - betulkah kepala itu hendak dimasukkan ke dalam bubur mendidih " Sementara itu pengurus rumah makan berdiri dengan kaki menggigil dan muka pucat.
Kakek kejam itu agaknya mengalami kegembiraan benar melihat A Sam yang ketakutan. Ia tertawa-tawa geli seperti meiihat sesuatu yang lucu. Tangan kirinya yang memegang dua pergelangan kaki A Sam sebentar diturunkan sampai kepala itu sudah mulai terkena uap lalu diangkat lagi, dipermainkan.
"Ampuuunn ...... am ..... ampun, tuan besaaarrr ......"
"Ha - ha - ha. mana bisa ada ampun" Kau kemarin memberi bubur yang terlalu panas sampai lidahku serasa terbakar, sekarang kau rasakan bagaimana kalau kepalamu kumasukkan ke dalam bubur panas" kata kakek itu membuat semua orang terheran - heran. Tadinya mereka mengira bahwa kakek itu hendak menghukum A Sam karena tadi A Sam membongkar rahasia keluarga Liu, tidak tahunya sekarang mendadak si tinggi besar itu mempersoalkan lidah terbakar oleh panasnya bubur. Benar-benar hal yang amat mbo-cengli (tiada aturan) !
"Bu-ceng Tok-ong ....... !" tiba - tiba terdengar suara ini dan kakek itu seperti dipagut ular, melemparkan tubuh A Sam ke samping, membuat pelayan itu mengaduh kesakitan dan kepalanya benjol sebesar telur bebek. Cepat ia merayap dan menymgkirkan diri ke belakang, terus bersembunyi masuk ke kolong meja dapur !
Adapun kakek itu yang sebetulnya bukan lain memang Bu-ceng Tok-ong. meraba-raba siku tangan kirinya sambil memandang ke sekelilingnya. Sinar matanya yang bersembunyi dari balik alis tebal itu menyambar-nyambar penuh bahaya. Akan tetapi, para tamu di dalam warung itu hanya orang - orang biasa, tidak ada yang mencurigakan. Diam-diam ia bergidik sendiri. Sudah terang baginya bahwa ada orang pandai yang baru saja menyerangnya dengan pukulan dari jauh, tepat mengenai siku tangan kirinya, membuat tangan kirinya terasa lumpuh. Orang yang mampu melakukan hal ini sudah tentu seorang pandai sekali. Akan tetapi ternyata orang itupun tidak bermaksud jahat, kalau tidak demikian kiranya pergelangan sikunya dapat terluka lebih hebat lagi. Setelah mendapat kenyataan bahwa di tempat itu tidak terdapat orang yang patut memiliki kepandaian tinggi dalam pandangannya, Bu-ceng Tok-ong dengan langkah lebar keluar dari warung itu, sedikitpun tidak menengok lagi kepada A Sam.
Para tamupun bubaran cepat - cepat dan sehari itu warung yang biasanya ramai ini menjadi sepi. Berita tentang peristiwa itu cepat sekali tersiar dan orang-orang tidak berani berbelanja di situ, takut kalau terbawa - bawa. Juga Wi Liong diam - diam pergi dari tempat itu. Tadi dia yang menolong A Sam dan diam-diam dia mengirim pukulan jarak jauh, tidak terlalu kuat akan tetapi cukup memberi peringatan kepada Bu-ceng Tok-ong bahwa kalau Raja Racun ini melanjutkan perbuatannya, menggodok kepala A Sam hidup-hidup, tentu akan ada orang yang menolong pelayan itu. Wi Liong bukan seorang bodoh. Dia tidak mau berlaku ceroboh di dalam kota yang selalu terjaga kuat dan penuh dengan mata-mata pemerintah Mongol. Ia hendak menyelidiki urusan pribadinya dengan diam-diam tanpa banyak menimbulkan keributan. Ia sudah mengambil keputusan untuk menemui A Sam malam nanti dan minta penjelasan lebih jauh tentang Beng Kun Cinjin.
Malam hari itu kota raja ke dua itu nampak indah di bawah sinar bulan yang sore-sore telah muncul di langit biru. Suasana remang-remang romantis menimbulkan kegembiraan dalam hati. Sayang sekali hawa amat dinginnya, orang-orang tidak sda yang berani keluar kalau tidak mempunyai keperluan penting. Lebin enak berdiam di rumah menghadapi hangatnya api di perapian. Apa lagi menjelang tengah malam setelah bulan jauh terbang ke arah barat, dinginnya bukan kepalang.
Akan tetapi bagi Wi Liong yang sudah memiliki kepandaian tinggi, dengan hawa sinkangnya ia dapat mempertahankan kedinginan itu. Malah ia melompat ke sana ke mari dari genteng rumah ini ke genteng rumah itu bagaikan seekor burung beterbangan. Gerakannya gesit bukan main dan bagi mata biasa sukarlah mengikuti gerakan - gerakan Wi Liong. Sebentar saja ia sudah tiba di atas genteng rumah makan yang pagi hari tadi menjadi tempat keributan. Wi Liong mengintai dari atas genteng. Di bawah gelap saja. tanda penghuninya sudah tidur. Ia melompat turun dan sekali raba terbukalah jendela rumah itu. Wi Liong terheran karena mendapat kenyataan bahwa jendela itu memang tidak terkunci dari dalam. Ia melompat masuk bagaikan seekor kucing tanpa menerbitkan suara sedikitpun dan di lain saat ia hampir mengeluarkan seruan kaget ketika di bawah sinar bulan yang menerobos masuk ia melihat tubuh A Sam terbujur kaku dan tak bernyawa di atas bangku panjang ! Ia cepat melompat lagi dan kini ia menuju ke rumah gedung di depan warung itu. A Sam sudah tidak bisa dimintai keterangan dan orang satu - satunya yang dapat memberi keterangan kiranya hanya orang she Liu yang oleh A Sam disebut bandot tua.
Dari jauh ia sudah melihat pertempuran hebat terjadi di atas genteng tebal rumah gedung keluarga Liu. Ia mengenal kakek aneh bermuka merah yang pagi tadi makan di warung. Kakek itu dibantu oleh seorang gadis muda mengeroyok Bu-ceng Tok-ong yang lihai, menggunakan golok besarnya sedangkan gadis muda itu menggunakan sebatang pedang, ilmu silatnya cepat dan cukup lihai. Namun Bu-ceng Tok-ong yang bertangan kosong itu dapat melayani dua orang lawannya yang bersenjata dengan baik, malah dengan pukulan - pukulan yang mengandung hawa beracun ia dapat mendesak dua orang lawannya yang bersikap hati - hati dan main mundur !
Wi Liong tahu akan kejahatan Bu-ceng Tok-ong dan ia memang tidak suka kepada tokoh Mo-kauw yang sudah pernah menculiknya dari puncak Kun-lun-san itu. Akan tetapi ia tidak mengenal kakek bermuka merah dan gadis berpedang itu. maka merasa tidak pada tempatnya kalau ia membantu mereka tanpa mengetahui sebab - sebab pertempuran. Tanpa diketahui oleh mereka yang sedang bertempur seru, Wi Liong menyelinap dan terus melompat ke bagian lain dari rumah gedung keluarga Liu. Dia hendak menyelidiki dan mencari musuh besarnya, tak perlu melibatkan diri dengan urusan orang lain, pikirnya.
Akan tetapi baru saja kedua kakinya menginjak genteng di bagian belakang, tiba - tiba ia berjongkok dan bersembunyi di balik wuwungan ketika dari bawah melayang naik dua bayangan orang, juga seorang gadis dan seorang kakek pengemis. Gadis manis itu belum pernah Wi Liong mengenalnya, akan tetapi melihat kakek pengemis yang tangan kiri memegang tongkat bambu dan tangan kanan memegang mangkok, pengemis bertubuh kecil pendek dan bermata besar ini. ia teringat akan penuturan pamannya bahwa di dunia kang-ouw terdapat seorang tokoh besar bernama Pak-thian Koai-jin. Inikah orangnya "
Patung Iblis Banci 2 Pendekar Mabuk 062 Misteri Malaikat Palsu Badai Laut Selatan 19
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama