Ceritasilat Novel Online

Negeri Van Orange 4

Negeri Van Orange Karya Wahyuningrat Bagian 4


~287~ secara serius. Selamat siang, Pak Menteri. Saya Robert dari Universitas Cendrawasih.
Robert Pattikawa, seorang dosen asal Papua, yang memulai sesi tanya jawab siang itu. Ia mengemukakan kebimbangannya ketika harus memilih pekerjaan yang ditawarkan di Belanda atau pulang ke kampusnya. Penghargaan berupa bayaran berpuluh kali lipat dibanding standar gaji golongan IIIc yang bakal diterimanya sepulang dari Eindhoven ditambah kekhawatiran mandeknya penelitian karena peralatan laboratorium di Papua yang jauh dari standar membuat hati pria tegap itu sangat bimbang.
Logikanya, sistem penggajian dosen di Indonesia cuma akan membuatnya sibuk mengejar proyek demi mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Namun, nuraninya berkata bahwa tidak adil bila konsekuensi akhirnya adalah menelantarkan kewajiban utamanya sebagai pengajar. Bagaimana pertanggungjawaban moralnya kepada para mahasiswa yang telah membayar mahal demi mengecap bangku kuliah"
Wicak yang duduk bersebelahan dengan Banjar bisa berempati terhadap kekhawatiran sang Dosen.
~288~ Pengalaman berkelana di luar Jawa membuatnya paham perbandingan fasilitas modern di Belanda dan kondisi di bagian timur Indonesia. Terkadang, dosen andal macam Robert hanya berakhir sebagai ikon koleksi kebanggaan kampus dengan titelnya yang mentereng. Tetapi, otak cemerlang mereka membeku karena ilmu dan keterampilannya tak diberi kesempatan berkembang. Walhasil, banyak di antara mereka yang memilih menetap di Eropa meski sudah diiming-imingi posisi sebagai kepala laboratorium atau kepala jurusan di kampus.
Bang Acil yang duduk di barisan terdepan kelihatan tersentil oleh pendapat Robert. Dengan mengemukakan dalih seputar nasionalisme, ia lantang mengecam para mahasiswa yang memilih untuk menyumbangkan isi kepala dan pengetahuannya di luar negeri. Begitu Robert menutup kalimatnya, ia serta-merta berdiri untuk menyuarakan argumennya.
Saya juga dosen di Indonesia, sekaligus aktivis LSM. Tapi, saya tahu diri! Saya sudah berutang budi pada negara dan institusi yang telah membiayai pendidikan saya! Apa gunanya menimba ilmu jauhjauh dibiayai negara dengan izin institusi masingmasing bila di ujung masa studi lantas berkelok demi
~289~ kejayaan kantong pribadi" Apakah hanya uang yang jadi tujuan hidup para ilmuwan yang tadinya idealis ini" Apa buta pada kondisi saudara-saudara kita di Tanah Air yang kekurangan tenaga pendidik bermutu"
Saat Pak Menteri yang berlaku sebagai moderator meminta tanggapan dari peserta lain, Banjar yang tadinya malas mengikuti forum semacam ini tergerak untuk angkat bicara. Baginya, pendapat Bang Acil terlalu normatif. Pemuda ini akhirnya berdiri pelan, mengangkat tangan kiri sambil menyeruput segelas kopi khas Indonesia hangat di genggaman. Ia lalu memperkenalkan diri.
Siang, saya Iskandar. Kuliah di Rotterdam. Belajar manajemen pemasaran. Saya bukan dosen, pegawai departemen, atau LSM. Saya budak swasta. I love money. Beberapa pasang mata mencibir kalimat terakhir Banjar yang tidak populer, tapi ia tak menggubrisnya. Ia berhenti sebentar, menyeruput kopi di tangannya, dan menarik napas.
Saya setuju dengan rekan Acil. Pendapatnya tidak salah. Namun, tolong jangan dilupakan bahwa sumbangsih bisa bermacam-macam bentuknya. Ambil contoh, deh, India. Begitu banyak namanama India yang masyhur lewat prestasinya di luar
~290~ negaranya. Mereka bekerja mengembangkan ilmu pengetahuan atau membangun bisnis dari luar India. Mengapa" Karena, bila ngotot bertahan di dalam negeri, mereka nggak akan berkembang! Lah, nggak ada fasilitasnya! Maka, eksoduslah mereka mencari tantangan dan mengembangkan isi kepala di luar India. Setelah puluhan tahun bermukim dan menimba sukses di luar, apakah kemudian nasionalisme mereka luntur" Tidak! Banjar kembali menyeruput kopinya.
Nah, setelah para perantau itu sukses, ternyata mereka kembali untuk menginvestasikan uang dan teknologi yang dikuasainya di berbagai kota di India. Implikasinya" Transfer teknologi berjalan dengan tingkat yang sangat mengagumkan, industri mereka garap, jutaan kesempatan kerja dibuka, ekspor meningkat, devisa mengalir. Apa itu tidak dihitung sebagai bentuk sumbangsih bagi Tanah Air" Saya kini balik bertanya, apakah pembangunan di India bisa secepat sekarang tanpa sokongan putra-putrinya yang berjuang di luar negeri"
Banjar menutup argumennya dengan sebuah pertanyaan kritis yang langsung disambut tepuk tangan riuh sebagian peserta seminar.
Lintang pun terinspirasi membagi pengalamannya
~291~ saat melanglang buana sebagai duta budaya di berbagai negara. Ia mendukung argumen Banjar seraya menambahkan bahwa ia merasa keterampilannya akan lebih bermanfaat bila menerima tawaran mengajar tari di Jepang atau Korea, dua negara yang memang sempat menawarkan kesempatan baginya untuk mengajar tari.
Apresiasi bangsa lain sungguh besar terhadap kebudayaan Indonesia. Saya sampai kaget lho, ternyata orang asing yang ingin belajar tarian tradisional kita banyak sekali! Kalau saya berhasil mempromosikan kekayaan budaya Indonesia di luar negeri, apa saya masih dicap tidak nasionalis" tantang Lintang.
Tunggu sebentar, Dik Lintang, sanggah seorang peserta lain dengan cepat. Apa tidak lebih baik kita jaga eksklusivitas ilmu tari tradisional kita agar tidak dicontek negara lain" Lihat itu, begitu banyak produk budaya kita yang sudah dipaten negara lain karena kita ndak mampu menjaganya.
Kini giliran Wicak yang tergerak berkomentar. Bapak, kini saya balik bertanya. Kalau seseorang ingin belajar karate, apa ia harus tinggal di Jepang" Kalau mau belajar tari perut apa harus ke Mesir
~292~ dulu" Tolong jangan mencampuradukkan masalah hak paten dengan keinginan mempromosikan budaya Tanah Air kita!
Pendapat Wicak juga mendapat sambutan hangat dari peserta diskusi yang lain (apalagi dari mereka yang jadi membayangkan wanita-wanita penari perut).
Itulah salah satu efek mengadakan diskusi tentang Indonesia di luar negeri. Mereka yang belum tentu berani angkat bicara atau bersikap kritis di Indonesia jadi merasa bebas untuk bersuara tanpa ketakutan akan dikenai sanksi. Bersikap kritis merupakan sesuatu yang justru dianjurkan di kelas dan dalam bermasyarakat. Di pihak lain, semua peserta juga dituntut berpikiran terbuka. Karena demokrasi sesungguhnya bukan sebatas kebebasan mengemukakan pendapat, melainkan juga menyangkut akal sehat dan nurani untuk mau mendengarkan masukan orang lain. Argumentasi bisa berlangsung tanpa ngotot-ngototan, sorak-sorai merendahkan, apalagi tonjok-tonjokan.
Diskusi berlangsung hangat hingga moderator terpaksa mengakhiri karena keterbatasan waktu. Wicak, Lintang, Daus, Banjar, dan Geri sedang bersiap pulang ketika Lintang tiba-tiba dipanggil
~293~ oleh Bapak Duta Besar. Nona, boleh minta waktu untuk bicara sebentar" tanya beliau dengan sopan.
Lintang serta-merta jadi salah tingkah. I ... iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu" Lintang, kita tunggu di luar, ya! bisik Daus di telinganya sambil berlalu dan memberikan senyum ke arah Pak Dubes.
Pak Dubes memandang Lintang sambil tersenyum.
Saya memperhatikan komentarmu di acara diskusi tadi. Sangat menarik. Kamu juga salah satu panitia penyelenggara, kan" Pengurus PPI"
I ... iya, Pak. Saya Lintang, pengurus PPI dari Leiden.
Waduh, gawat. Jangan-jangan gue bakal diceramahin lagi sama Pak Dubes! pikir Lintang waswas dalam hati.
Hmmm ... jadi Lintang ini penari, ya" Penari profesional yang nasionalis!
Lintang cuma mengangguk, wajahnya perlahan bersemu merah. Nih, orang maunya apa, sih" Ternyata, apa yang terjadi kemudian sangat di luar dugaannya.
Kebetulan, KBRI mau membuka kelas tari bagi
~294~ siapa saja yang berminat. Boleh WNI, orang Belanda, atau masyarakat internasional lainnya. Kita juga ingin ikut serta mempromosikan kebudayaan Indonesia lewat tari, karena peminatnya memang banyak sekali!
Lintang menghela napas lega. Ternyata, Pak Dubes bukan bermaksud menegur, justru ingin memberikan dukungan!
Kalau berminat, kita bikin kelas satu kali seminggu, lanjut beliau.
Materi ajaran saya serahkan kepada Dik Lintang. Kamu akan digaji per jam, sesuai standar guru les di Belanda. Semua fasilitas dan uang transportasi, kita yang tanggung. Bagaimana" Kira-kira berminat, nggak"
Lintang shock sejenak. Sekali seminggu" Digaji standar Belanda" Uang transportasi ditanggung" Haaaaaah?"" Jelas mauuuuuu!
Wajah terkejutnya perlahan berubah jadi senyum berseri-seri.
Wah, tertarik sekali, Pak!
Bagus! sambut Pak Dubes dengan senyum dan jabat tangan yang penuh semangat.
Nanti hasil anak didikmu bisa sekalian tampil pas perayaan 17 Agustus! Kalau berhasil, ini bisa
~295~ menjadi sumbangsih besarmu kepada Indonesia selama di Belanda. Pasti orangtuamu akan bangga sekali, Lintang!
Lintang jadi teringat kata-kata ayahnya, Ayah selalu berharap kamu bisa membuat Indonesia bangga, Lintang!
Kini Lintang mengerti kenapa Ayah begitu teguh berpegang pada nilai-nilai nasionalisme selama ini. Untuk kali pertama dalam hidupnya, Lintang merasa bangga menjadi orang Indonesia yang kaya budaya.
I ll make you proud, Ayah. I promise, janji Lintang dalam hati.
Keempat makhluk Aagaban lain sedang menunggu Lintang di luar gedung KBRI.
Lama banget, sih! Ngapain aja" tanya Wicak penasaran.
Iya, kita sampai kehabisan rokok tahu, nungguin lo! sambung Daus.
Lintang cuma cengar-cengir bahagia.
Hmm ... nggak apa-apa, kok. Cuma ditawarin pekerjaan jadi guru tari di KBRI sama Pak Dubes.
Waaah ... selamat, Nan! Akhirnya, dapat part time job yang lo suka! sahut Geri dengan tepukan di punggung. Lintang semakin berseri. Ia memang sedang berpikir untuk mencari pekerjaan tambahan,
~296~ tapi malas untuk mengurus izin kerja yang katanya ribet itu.
Eh ... Ger. Kamu tahu, nggak, ya, standar bayaran per jam guru di Belanda" Katanya gaji gue akan disesuaikan sama standar itu.
Oh, ya" Beruntung banget lo! Setahu gue, di sini seorang guru les dibayar paling nggak lima puluh euro untuk satu sesi. Jadi, sekitar dua puluh lima euro per jam!
Haaah"! Kurang ajaaar! giliran Banjar yang shock. Dia yang sudah banting tulang memeras keringat setiap minggu di restoran hanya berpenghasilan tujuh euro per jam. Penghasilan sehari Banjar jadi kuli di restoran bisa dicapai Lintang hanya dengan dua jam bekerja! Dunia ini nggak adil!
Melihat muka Banjar yang semakin bete, Geri berupaya mendinginkan suasana dengan mengajukan usul nongkrong di Grote Marktstraat, daerah penuh kafe di bilangan Centrum Den Haag. Empat sekawan lainnya langsung mengiyakan.
1 Sepuh, bukan karena umurnya sudah tua, melainkan karena sejak lulus SMA sudah menetap di Utrecht.
~297~ Den Haag Kok, lo tadi nggak nyamperin pas mau gue kenalin sama Rahma, Jar" tanya Geri sambil menenggak segelas ginger ale.
Sia-sia kenalan sama cewek cakep yang udah keduluan ngobrol sama Geri, pikir Banjar semakin kesal. Banjar menjawab sekadarnya dengan mengangkat bahu.
Mereka berlima sudah nongkrong di Rootz Cafe di kawasan Grote Marktstraat, lapangan besar yang dipenuhi beragam bar, kafe, dan restoran. Geri, sebagaimana lazimnya warga Den Haag pun memiliki bar atau kafe yang selalu setia dikunjungi. Nama-nama seperti De Waag, Zwarte Ruiter, September, Zeta, Silly s, ataupun Rootz sangat akrab dengan keseharian warga Den Haag yang ingin rehat sambil menikmati minuman panas maupun dingin. Saat musim semi tiba, biasanya kawasan ini disulap menjadi satu area kafe outdoor raksasa. Kafe-kafenya menempati berbagai bangunan tua yang pada abad ke-17 konon merupakan sentra pertokoan dan perdagangan. Jangan kira semua hanya tumpah ruah di kawasan ini. Kafe-kafe juga bertebaran di bagian
~298~ lain dari Centrum, seperti di kawasan Haagse Bluf, Haagse Passage, Abeelplein, dan Buitenhof.
Banjar pantas kecewa dengan pertemuan hari ini. Misi mulianya gagal total. Dari dua belas nama bidadari yang ingin diajaknya berkenalan, hanya dua yang berhasil ia temui. Banjar bahkan melepas kesempatan untuk berkenalan dengan Rahma, gadis cantik yang tadi masuk mengikuti Pak Menteri.
Rupanya Rahma adalah putri bungsu Pak Menteri yang sedang kuliah di Wales, Inggris. Sejak makan siang, gadis cantik berkaki jenjang itu sibuk ngobrol seru dengan Geri. Hal itu membuat Banjar malas bergabung meski berkali-kali Geri memanggilnya untuk berkenalan. Untuk menumpahkan kekecewaannya, Banjar malah jadi terlibat argumentasi seru pada sesi tanya jawab seminar. Beberapa argumen peserta lain di seminar tadi masih mengganggu benaknya.
Yang penting action! Kalau seseorang punya jiwa nasionalis, dia akan menunjukkannya. Nggak usah dikritik-kritik. Berisik dan cuma buang duit buat beli konsumsi seminar! ucap Banjar menyuarakan ketidakpuasannya.
Ah, tapi lo juga demen bisa makan nasi uduk gratis! sanggah Daus sambil menoyor kepala Banjar.
~299~ Komentar Daus membuat wajah masam Banjar berubah jadi cengiran tersipu malu.
Tak lama kemudian, sebuah suara keras yang khas menyapa dari jauh.
Hoi! Udah beres acaranya" Bernadette rupanya tak sengaja menemukan mereka di Grote Markt. Tangannya penuh dengan kantong belanja.
Bernadette langsung bergabung duduk di samping Wicak dan Daus. Daus yang usil mencoba mengintip isi kantong plastik Bernadette. Tangan Daus kena sentilan keras Bernadette saat mencoba menarik sebuah kotak mungil berwarna abu-abu bertuliskan Rough Rider dari salah satu kantong belanja. Daus cuma kembali pasang cengiran sok polosnya.
Ber, lo bakal menetap di Belanda setelah lulus" tanya Wicak tiba-tiba.
Bernadette menatap Wicak dengan roman curiga. Emang kenapa lo nanya" Mau ngajak gue kawin" Sori, Cak, lo bukan tipe gue! tukas Bernadette cepat, yang dibalas Wicak dengan timpukan tisu dari atas meja.
Lo pikir lo tipe gue" No way! Nggak, Ber, gue nanya soalnya gue juga kepikiran mau kerja di sini dulu sebelum balik. Networking kerjaan illegal logging
~300~ di sini lumayan bagus, lanjut Wicak.
Gue pikir lo idealis, Cak. Selesai kuliah di sini langsung balik lagi, dong, bikin gebrakan! timpal Daus sambil meneguk cappuccino-nya. Tadi baru berniat pesan bir, ternyata Geri sudah memesankan cappuccino untuk semua sebagai traktiran tuan rumah Den Haag.
Bukan gitu, Us. Ini bukan masalah idealisme, melainkan lebih ke strategi. Penyelesaian masalah illegal logging tak bisa dengan hanya bermain di dalam negeri. Butuh dukungan dan tekanan yang cukup dari komunitas internasional agar pemerintah kita mau lebih serius menangani isu ini! Isu pembalakan liar kompleks, sudah berlangsung puluhan tahun dan jadi sumber pendapatan bukan cuma orang-orang kaya, melainkan kadang juga justru masyarakat di sekitar hutan. Makanya gue ngerasa lebih efektif kalau gue bisa bangun network kuat di sini juga, jawab Wicak penuh keyakinan.
Daus manggut-manggut sambil memandang bir di meja sebelah. Pesen, nggak, ya ... pesen, nggak, ya ..."
Bernadette yang segera bosan dengan diskusi substantif tersebut berusaha mengalihkan topik dengan ajakan nonton.
Allemal, gue pisah dulu, ya. Mau nonton sama
~301~ temen gue di Path". Ada yang mau ikut" tukasnya seraya mengerlingkan mata ke arah Geri.
Nggak, deh, Ber, kita masih mau lanjut, jawab Wicak mewakili yang lain.
Oke. Tot ziens! ujar Bernadette sambil berlalu dengan lambaian tangan.
Setelah Bernadette menghilang dari pandangan, Geri yang duduk di pojok melontarkan ajakan.
Ayo siapa yang mau Den Haag Centrum tour" Kita jalan-jalan keliling aja, biar nanti sore pas dinner udah laper! usul Geri yang kontan disambut antusias teman-temannya.
Mereka melangkahkan kaki melintas di Haagse Passage. Lima sekawan Aagaban sukses menciptakan keributan luar biasa ketika Wicak dengan gaya fotografer profesional mengambil foto candid kawankawannya dengan kamera SLR digital milik Geri. Pengunjung Passage kocar-kacir menyingkir agar tidak terseruduk Wicak yang kerap mendadak lari kencang dan langsung tiarap mengambil foto.
Bermodal lensa 200 mm, berbagai momen unik berhasil ditangkap Wicak. Foto favoritnya jelas Daus yang sedang asyik ngupil. Daus berupaya keras dengan segala tipu daya dan bujuk rayu agar kamera jatuh ke tangannya sehingga gambar tolol itu bisa
~302~ dihapus. Sayang sekali, tak sekali pun Wicak tertipu dan sudi menyerahkan kamera seharga 1.300 euro itu ke tangan Daus.
Perjalanan mereka melewati gedung Bioskop Path", yang merupakan konglomerasi bioskop pertama di daratan Eropa. Tak lama kemudian, tibalah mereka di Binnenhof. Wicak dan Daus yang baru kali pertama masuk kompleks Binnenhof tertegun dengan keindahan Knight Hall atau Ridderzaal sebagai atraksi utama. Lintang dan Geri yang sudah berkali-kali mengunjungi tempat ini langsung memilih duduk-duduk di bangku taman yang mengelilingi air mancur mini dari abad ke-19. Sebuah kolam air mancur artistik berhiaskan patung Willem II di atasnya.
Binnenhof memang lokasi bersejarah bagi Kota Den Haag. Di sinilah cikal bakal ibu kota administratif kerajaan Belanda bermula. Sejarah itu dimulai pada abad ke-13 ketika Count Willem II menginginkan adanya kastel sebagai pendamping rumah peristirahatan yang telah dibangun jauh sebelumnya. Willem II yang seorang raja Jerman memilih daerah yang dulunya hampir tak berpenghuni ini dengan alasan politis.
Akan tetapi, kematian sang raja dalam perang
~303~ melawan Westfrisians membuat pembangunan kastel akhirnya tidak berjalan sesuai rencana semula. Putranya, Floris V, berjanji untuk melanjutkan pembangunan kastel dan mendirikan Ridderzaal. Sejak saat itu modifikasi demi modifikasi melanda Binnenhof untuk mengakomodasi kebutuhan pemerintah Belanda yang ekspansif.
Meski demikian, pengembangan bangunan tetap hanya dilakukan hingga batas Danau Hofvijver. Danau berbentuk persegi itu memang sangat indah. Keindahannya semakin terpancar pada malam hari saat air danau memantulkan bayangan Binnenhof secara simetris. Hingga hari ini, Binnenhof tetap terjaga kemegahannya meski sehari-hari berfungsi sebagai gedung parlemen, kantor perdana menteri, serta ajang berbagai upacara kenegaraan.
Banjar dengan senang hati melayani permintaan Daus dan Wicak yang ingin berfoto di depan Ridderzaal. Beberapa momen konyol seperti Daus dan Wicak loncat kodok, serta Daus yang sedang memperhatikan serombongan turis cantik dari Eropa Timur dengan wajah mupeng berhasil ditangkap Banjar.
Lelah berpose, mereka akhirnya mengakui bahwa menjadi model adalah pekerjaan yang berat.
~304~ Sesampainya di bangku taman, Daus langsung merebahkan diri di atas kursi panjang. Baru sekejap Daus tergeletak, ia tiba-tiba berubah posisi dan duduk mengamati serombongan turis gadis-gadis SMA cantik dari Jepang yang semangat berfoto-foto. Banjar melirik ke arah Daus dan mengulum senyum. Dia yakin Daus sedang memikirkan Miyabi, Nana, Sara Aoi, dan artis-artis Japanese Adult Video lainnya ketika melihat rombongan itu.
Saat semua kembali duduk berkumpul dekat air mancur, Lintang menyuarakan pertanyaan yang sedari tadi mengusik hatinya.
Selesai master, lo beneran mau tinggal di sini dulu, Cak"
Hahaha ... masih penasaran juga" Kayaknya gitu, Tang. Lo sendiri gimana" Kayaknya semangat banget waktu di KBRI tadi"
Iya, gimana nasib lo sama Jeroen" Mau lo kalau diajak kawin, jadi guru tari di sini" Banjar bertanya, sedikit berharap hubungan Lintang dan Jeroen merenggang. Banjar sering nggak rela membayangkan jika Lintang menikah dengan Jeroen. Entah kenapa dirinya semakin hari semakin merindukan kehadiran Lintang. Terutama kala tenggelam dalam kesibukan mencuci piring di
~305~ restoran. Yah, gue pastinya nggak nolak kalau ditawarin jadi guru tari di sini. Belum tentu kesempatan itu datang dua kali, kan" Kalau masalah gue sama Jeroen ... ah, nggak tahu, deh. Lagi rada nggak jelas ..., jawab Lintang pelan menyuarakan kebimbangan hatinya.
Lo lagi ada masalah sama Jeroen" Kok, nggak pernah cerita di chatting" selidik Daus dengan nada prihatin, padahal dalam hatinya ia berharap cemas. Diam-diam Lintang juga membuat Daus penasaran, sama penasarannya terhadap teman-teman sekelas yang jauh lebih cantik.
Masalah" Ada, nggak, ya" Hehehe. Nggak tahu, deh. Udah, nggak usah dibahas ... bikin capek.
Kerenggangan hubungan Lintang dengan Jeroen bukan sesuatu yang nyaman untuk dibahas bersama keempat sahabat cowoknya. Salah-salah ngomong malah nanti Jeroen digebukin rame-rame lagi! pikir Lintang bergidik. Ia bisa menangkap kalau mereka sangat protektif terhadap dirinya. Mungkin nanti curhat sama Geri aja. Cuma Geri yang bisa ngasih masukan yang rasional.
Mending kita ngebahas lo, Us! Lintang berbalik tanya kepada Daus, mengalihkan pembicaraan. Lo harus balik, kan, setelah sekolah" Bayar utang
~306~ janji beasiswa" Hmmm ... gimana, ya" jawab Daus hati-hati. Ia paham pandangan hitam-putih nasionalisnya kerap berseberangan dengan Wicak maupun Banjar.
Kalau menurut beasiswa, gue emang disyaratkan untuk langsung pulang ke Indonesia. Biar bisa membangun Indonesia dengan modal ilmu yang kita dapatkan!
Bukan itu pertanyaannya, kucluk, nenek-nenek begadang juga tahu kalau itu, mah! tukas Wicak.
Maksudnya, apakah lo akan balik ke Indonesia karena terpaksa dan merasa utang budi terhadap instansi yang ngasih jalan lo sekolah" Walaupun lo dapat tawaran kesempatan bekerja di luar"
Hmm ... gimana, ya" Kayaknya iya. Tanpa Departemen Agama, kan, gue juga nggak mungkin bisa ke sini. Lagian, walau sekarang gue ngerti kalau orang Indonesia yang kerja di luar negeri juga bisa ikut ngasih sumbangsih, gue tetap berpendapat kalau Indonesia masih butuh orang pinter di dalam negeri. Ibaratnye rumah, ye. Biar kompleks rumahnye dibikin cakep dari luar, ada taman segala, tapi kalau dari dalem nggak ada yang piara, nggak ada yang bersihin, kan, lama-lama ambruk juga tu rumah! Keempat sahabat Daus tersenyum mendengar
~307~ analogi khas Daus. Dalam hati mereka mencatat valid point tadi.
Tiba-tiba bagai baru kerasukan ilham, Daus menengok ke arah Lintang.
Lo kenapa nggak masuk Deplu aja, sih, Tang" Pasti lo bisa jadi diplomat yang canggih banget, deh! Udah biasa urusan sama bule, bahasa Inggris lo casciscus, mana pinter nari lagi! Daripada cuman jadi guru tari di sini. Potensi lo lebih daripada itu, Tang ... gue yakin! khotbah Daus berapi-api. Dalam hati ia membayangkan menjadi suami Lintang yang mengikuti istri tercintanya bertugas di Bucharest.
Yang lain menoleh ke arah Daus. Ide brilian memang suka tersembur dari mulut Daus sewaktuwaktu tanpa peringatan.
Lintang tertawa grogi disanjung begitu rupa. Gue" Diplomat" Hahaha ... ah, yakin lo" Emang gue mampu, ya"
Geri menepuk-nepuk pundak Lintang memberi semangat.
Lo mampu melakukan apa pun yang lo mau, Nan. You just have to believe in yourself! Daus percaya lo mampu. Gue juga.
Lintang terharu. Ia tak menyangka sahabatsahabatnya yakin dirinya mampu jadi orang
~308~ sehebat itu. Diplomat! Sesuatu yang tak pernah terbayangkan olehnya. Suara lonceng trem dari halte Centrum di balik dinding Binnenhof membuyarkan angan Lintang.
Udah ah, kok, jadi ngebahas gue. Sementara ini, sih, gue masih niat cari kerja di luar. Tapi, ide lo, Daus ... gue nggak nyangka lo punya keyakinan sama gue sampai segitunya. Ide lo ... hmmm ... akan gue pertimbangkan, jawab Lintang dengan senyum manis, khusus untuk Daus. Banjar dan Wicak ikut menghadiahi Daus satu jitakan mesra di kepala yang nyaris membuat benjol kembar.
Mereka berlima kembali mengayunkan langkah menembus Binnenhof sampai di Mauritshuis. Museum peninggalan William V ini berisikan karyakarya besar maestro Belanda seperti Rembrandt, Vermeer, Potter, dan Hals. Johan Maurits, Gubernur Jenderal Kerajaan Belanda di Brazil, diabadikan sebagai nama museum karena lebih dari seabad yang lalu bangunan ini menjadi istana kediamannya.
Puas mengamati museum dari luar, mereka kembali berjalan dan melintasi lapangan Het Plein yang berhiaskan patung gagah Willem van Oranje. Letak Het Plein yang sangat dekat dari Binnenhof
~309~ menjadikan kafe-kafe di kawasan ini tempat favorit para politisi dan pejabat teras kerajaan melepas penat seusai sidang atau pertemuan di Binnenhof. Konon kabarnya, Perdana Menteri Belanda adalah pengunjung setia restoran Bertolli s Lunchroom yang terletak di salah satu sisi lapangan. Ditemani satu pint bir, ia dan rekan-rekannya biasa kongko-kongko sambil melakukan lobi strategis. Sayang, tidak pernah diberitakan apakah mereka juga ditemani kartu remi atau gaple.
Tour The Hague hari itu akhirnya ditutup dengan kunjungan ke Vredespaleis atas saran Lintang yang nggak rela mengakhiri hari sebelum matahari sempurna tenggelam di ufuk barat.
Vredespaleis apaan, sih" tanya Daus polos. Mulutnya sibuk mengunyah patat met mayo yang dibeli patungan dengan Wicak.
Lo kagak tahu" Buset! Lo, kan, anak hukum" tanya Wicak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Banjar yang juga belum tahu apa dan di mana Vredespaleis diam saja, tapi ikut memasang muka mencemooh ke arah Daus.
Kelimanya segera melompat naik trem Nomor 1 yang bergerak menuju Scheveningen. Tak lama
~310~ kemudian tibalah mereka di depan Vredespaleis yang megah.
Ooo, ini Vredespaleis. Kalau fotonya mah gue sering lihat. International Court of Justice, kan" Eh, pan kalau ke KBRI juga lewat sini, yah. Daus baru tersadar setelah mengamati gedung dengan hamparan taman rumput nan luas di hadapannya.
Vredespaleis atau Peace Palace adalah landmark kebanggaan warga Den Haag. Tempat ini disebutsebut sebagai pusat hukum internasional . Hal ini tidaklah berlebihan, mengingat di sinilah markas besar berbagai institusi hukum ternama. Sebut saja International Court of Justice, Permanent Court of Arbitration, hingga The Hague Academy of International Law.
Umur Vredespaleis belum terlalu tua. Peletakan batu pertama baru dilakukan seabad yang silam. Sebuah kompetisi desain internasional terlebih dulu digelar untuk menemukan desain Vredespaleis yang tepat. Arsitek berkebangsaan Prancis bernama L.M. Cordonnier sukses memenangkan kompetisi ini dengan rancangan bergaya neo-renaissance yang megah.
Setelah puas berfoto di depan gerbang megah berpagar besi, mereka kemudian duduk-duduk di
~311~ halaman parkir dekat taman kecil yang asri oleh tumbuhan dan pepohonan. Daus membuka tasnya dan mengeluarkan sebotol besar orange juice. Botol cepat berpindah dari satu mulut ke mulut lain. Begitu tiba giliran Wicak, tinggal sedikit air jus yang tersisa. Wicak hanya bisa mengumpat-umpat dalam bahasa Sunda ala Banten.
Kok, lo, tahan, sih, Us, jadi pegawai negeri" tanya Banjar tiba-tiba. Matanya sibuk mengamati bus-bus turis yang lewat.
Masalah gaji mungkin bisa dikadalin, tapi birokrasinya ... gue nggak bakal bertahan lebih dari satu minggu ....
Daus terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab: Sebenarnya, pekerjaan gue di Departemen Agama ngasih gue kesempatan buat mengembangkan ilmu yang gue dapet sekarang ini. Jadi, gue lumayan happy. Tapi, gue sepaham sama lo, Jar, susah adaptasi sama ribetnye birokrasi di Indonesia. Belum lagi korupsi di mana-mana yang belum tentu bisa gue hindari!
Emang susah, sih, ya, kalau mau bikin perubahan. Pilihannya kadang hanya dua, bertahan ikut arus atau hanyut jadi nobody, Wicak menanggapi curhat Daus dengan serius.
Emangnya, lo nggak bisa bikin gebrakan di
~312~ kantor" tanya Lintang.
Gue rasa bisa, Tang. Tapi, kan, butuh banyak orang dengan visi yang sama. Mungkin belum bisa sekarang, tapi nanti. Mau nggak mau, lo harus bertahan dulu sebelum bisa mencapai posisi jadi pembuat kebijakan, jawab Daus pasrah.
Guys, nggak pada laper, ya" Kita cari makan ke Centrum, yuk" ajak Geri tiba-tiba. Pembicaraan serius keempat kawannya membuat perut Geri keroncongan.
Naaah, setuju! Di mana" Gue perlu yang angetanget! sambut Banjar seraya mengelus perut.
Gimana kalau Wing Kee" Mi bebeknya is the best! ajak Geri. Tanpa berdebat, mereka langsung menuju Chinatown Centrum Den Haag.
Sejam kemudian, setelah mereka semua selesai melahap semangkuk mi bebek ditambah dua poci teh Tiongkok panas, kelima sahabat itu kembali berdiskusi.
Dari tadi tinggal Geri yang belum bahas rencana hidupnya! celetuk Lintang sambil menyeka noda kuah mi dari kemeja putihnya dengan tisu. Makan mi bebek memang rawan kecelakaan seperti tepercik kuah mi yang berminyak.
Belum tahu persis. Tapi, rasa-rasanya gue bakal
~313~ kerja dan tinggal di sini.
Selamanya" tanya Daus yang bibirnya mulai jontor memerah akibat pedasnya sambal khas Tiongkok.
Masalah selamanya atau nggak, belum pastilah. Tapi, Papi lagi nyuruh gue cari peluang bikin joint venture dengan perusahaan di sini. Gue lumayan tertantanglah.
Heee" Mau bikin perusahaan" Banjar tak lagi mampu mengendalikan volume suaranya. Kesuksesan seseorang sudah seharusnya berawal dari kerja keras dan tetesan darah, bahkan nanah. Tapi, ada beberapa orang di muka bumi ini yang begitu disayang Dewi Fortuna, hingga ditakdirkan menjadi lucky bastard yang memiliki warisan keluarga berlebih, muka ganteng absolut, kepandaian yang membuat orang bodoh menyesal dilahirkan, dan kebaikan hati yang menyaingi Dalai Lama. Contoh gampang orang macam itu adalah Geri. Untuk kali kesekian, Banjar hanya bisa mengutuk keberuntungan yang dimiliki Geri.
Masih rencana, sih, Jar, belum tentu juga, sambung Geri.
Yang pasti, gue mau cari kerja serius dulu. Gue perlu belajar kerja dengan orang sebelum gue
~314~ mempekerjakan orang. Nah, daripada ngebahas rencana gue mau cari kerja, kayaknya lebih seru mbahas rencana ngawinin anak orang! Ya, nggak, Nan" tanya Geri sambil melirik jail kepada Lintang yang sedang menyeka ingus dari hidungnya dengan tisu, kepedasan.
Ughk .... Lintang langsung tersedak mendengar komentar Geri. Mentang-mentang gue punya cowok orang Belanda, ditanyain mulu soal kawin-kawinan! Yang nanya Geri, lagi! Bikin grogi aja!
Eh, habis makan masih mau pada jalan atau udah kepingin pulang" Lintang langsung mengganti topik pembicaraan.
Jangan pulang dulu, gue mau ajak kalian ke salah satu kafe favorit gue di sini, tukas Geri cepat. Kafe apaan" Daus yang berbicara.
Namanya Dudok, asyik banget tempatnya! Gue traktir kalian ngopi, deh.
Tawaran Geri kembali disambut kor SETUJU! oleh keempat orang lainnya.
Banjar yang baru menyalakan sebatang keretek hanya bisa menggeleng-geleng atas kemurahan hati Geri. Di Jakarta, Banjar memang berpenghasilan tinggi. Tapi, itu tidak lantas menjadikannya manusia murah hati yang royal mentraktir kanan-kiri. Bagi
~315~ Banjar, kekayaan yang ia miliki harus dimanfaatkan secara optimal karena uang tersebut hasil jerih payahnya. Bukan dari bapaknya, apalagi turun dari langit.
Jam gereja di kejauhan berdentang sepuluh kali. Malam semakin larut dan lima sekawan Aagaban masih betah ngobrol di Dudok, sebuah kafe luas di jalan utama Centrum Den Haag. Geri, Wicak, Banjar, Daus, dan Lintang duduk santai ditemani bergelas-gelas espresso, koffie verkeerd, cokelat panas, dan kepulan asap keretek. Lima orang anak bangsa yang terdampar di negeri dingin berangin berdiskusi hingga larut, menimang semua opsi yang tersedia bagi masa depan mereka. Saktinya masa muda. Semua pintu kesempatan dan kemungkinan masih terbuka lebar dan terhampar luas. Ibarat slogan Adidas, Impossible is nothing .
Capek, ya, jalan sama kalian! komentar Lintang, tapi sambil menyungging senyum. Baginya, hari ini mendekati sempurna. Jalan-jalan melihat indahnya Kota Den Haag sambil berdiskusi dengan empat sahabat. Lintang juga sering menikmati jalan dengan teman-teman internasionalnya dari kampus. Namun, dengan mereka, biasanya malam akan berujung di disko atau kelab yang berlimpah alkohol. Sementara
~316~ di tengah pertemanan erat ini, Lintang bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa tekanan untuk mengikuti tuntutan jadi party girl .
Ya, udah ... hari makin malam, nih. Dudok juga udah mau tutup! Yuk, kita jalan ke Stasiun Centraal, ajak Geri mengalihkan pembicaraan.
Iya, nih, gue mesti ngebut kalau mau kejar kereta sebelum jam sebelas! Kereta berikutnya baru nongol sejam lagi! celoteh Lintang panik.
Easy, Nan. Nanti gue antar lo ke Leiden pakai mobil. Kasihan perempuan pulang tengah malam sendirian, tukas Geri.
Senyum Lintang mengembang.
Mendekati sempurna" Ah, nggak, hari ini sempurna sudah! Geri mau antar aku pulang! pikir Lintang senang. Tawaran Geri yang gentleman kembali memupuk bibit rasa sayang yang sudah mulai tertanam di hati Lintang untuk Geri.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan Lintang, Wicak, Banjar, dan Daus sama-sama menghela napas dongkol dalam hati. Perfect lucky bastard strikes again!
~317~ Wageningen greenwarrior : BUZZ!! greenwarrior : Besok, lo jadi gue jemput jam
berapa di stasiun" starlight : Nah ... baru mo gue tanyain, kok di website www.ns.nl nggak ada Wageningen, sih"
greenwarrior : Di sana namanya bukan
Wageningen, tapi Ede, Tang. starlight : Heh, kok Ede" Kan lo tinggal di
Wageningen" greenwarrior : Iyah ... tapi kita nggak punya stasiun kereta jadi numpang ma Kota Ede. Makanya nama stasiunnya Ede- Wageningen.
starlight : Wahahahaha! Serius lo" Masa kota yang ngetop karena Universitas Wageningen nggak punya stasiun kereta"
greenwarrior : Beneran ... sumpah! starlight : Duh ... emang kotanya segede apaan, sih"
~318~ greenwarrior : Hummm ... kalau gue bilang sih
... ini desa .... Wicak berjalan perlahan menuju Stasiun Ede- Wageningen. Kereta kuning biru masih belum tampak di peron 3, terlambat sepertinya. Ada yang beda dari Wicak hari itu, jaket parasut biru yang biasa ia pakai teronggok di dalam lemari. Ia menggantinya dengan jaket kasmir hitam pinjaman dari Ricky, sahabatnya yang tinggal di Lantai 4. Entah kenapa, ia tiba-tiba merasa nggak PD menemui Lintang dengan jaket lusuhnya. Padahal, jaket tebal berisi bulu angsa tersebut telah setia menemaninya melawan dingin di Gunung Bromo, Gunung Gede, Gunung Salak, hingga Gunung Rinjani. Bahkan, kala winter pun, dengan hanya menambah satu sweter, hangatnya sudah terasa. Semua jadi tak berarti sejak Ricky berkomentar Wicak mirip marshmellow tatkala mengenakan jaket tercintanya.
Akan tetapi, tampaknya jaket kasmir pun bukan pilihan tepat bagi Wicak. Alih-alih jadi keren seperti Ricky, ia malah tampak bagai beruang madu. Sayangnya, Wicak tak punya waktu lagi untuk menukar kembali dengan jaket biru di kamarnya
~319~ yang terletak di Lantai 19. Ia sudah memperhitungkan dengan pas waktu tempuh ke stasiun, dan bus telah menanti di halte. Wicak tak ingin membuat Lintang menunggu hanya gara-gara jaket.
Di antara kerumunan orang yang berambut pirang, Lintang sedang melambaikan tangan ke arah Wicak (kalaupun ada yang berambut gelap, percayalah, orang Indonesia masih mudah dibedakan dari selera bajunya yang lebih normal dibanding orang Eropa!).
Weiiitsss ... kok, ada yang beda, ya" celetuk Lintang begitu disambut Wicak.
Beda apaan" Rambut ... masih sama, keriting nggak jelas. Muka ... masih sama juga ... perlu facial. Tapi ... jaketnya, kok, gaya amat"
Hehehe ... kenapa" Keren, nggak"
Penampilan, sih, udah mirip Jude Law di film Holiday, tapi, kok, muka masih mirip Obbie Messakh, ya"
Wicak tertawa garing 1 mendengar komentar Lintang.
Biarin, daripada lo, lupa bersihin sisa cabai di gigi.
~320~ Haaah" Masa, siiih"
Serius. Lihat aja, sahut Wicak kalem sambil menyodorkan rautan pensil bercermin kepada Lintang 2 .
Huaaa! Pantesan cowok ganteng di kereta tadi senyum-senyum aja pas ngobrol ama gue! Dengan perasaan malu, Lintang membenamkan wajahnya ke bahu Wicak. Wicak mengacak rambut Lintang dengan gemas. Tanpa disangka, dalam hati ia merasakan kehangatan yang menyebar serupa hangatnya api unggun persami pramuka puluhan, eh, belasan tahun silam.
Bus biru Nomor 88 meluncur meninggalkan Stasiun Kereta Ede menuju Wageningen. Wicak menunjukkan beberapa situs menarik di sepanjang perjalanan, seperti Rumah Sakit Ede, Bioskop Ede yang berbentuk unik dengan tanah dan tumbuhtumbuhan di atapnya, dan jembatan jalan tol bertiang kawat putih yang futuristik. Peran tour guide Wicak malah berhenti saat bus yang mereka tumpangi memasuki Kota Wageningen.
Kok, diam" Giliran udah nyampe Wageningen, gue malah jadi bingung mau cerita apa.
Loh, emang kita udah masuk Wageningen"
~321~ Lintang menatap ke luar jendela. Sejauh mata memandang yang tampak hanya ladang-ladang rumput yang membentang luas di kanan-kiri jalan. Beberapa rumah dan sapi yang asyik merumput terlihat di sana sini, memecah blok hijau solid yang menghampar.
Emangnya ini Wageningen, Cak" tanya Lintang skeptis. Pemandangan di luar jendela jauh dari apa yang ia bayangkan sebagai kota bernama Wageningen.
Belum. Masuk kotanya masih sebentar lagi. Tapi, sama aja, sih. Sama-sama sepi.
.... Wageningen memang kota yang tidak terlalu besar, apalagi dibandingkan Leiden, Utrecht, ataupun Amsterdam. Tapi, setiap 5 Mei, Wageningen mendadak ramai, melebihi sesaknya pasar malam di kota mana pun. Pada hari itu, Wageningen dipenuhi para veteran perang, orang-orang berkostum tentara, mobil, motor, truk, serta senjata peninggalan Perang Dunia II. Bahkan, rombongan keluarga kerajaan Belanda pun turut hadir! Kemeriahannya sampai melebihi karnaval tujuh belasan di kampung Wicak.
Keramaian itu dalam rangka memperingati hari penandatanganan perjanjian kekalahan Jerman pada
~322~ Perang Dunia II, 5 Mei 1945, di Hotel De Werld yang masih tegar berdiri sampai sekarang. Bangsa Belanda hingga kini merayakan 5 Mei sebagai Liberation Day alias Hari Kemerdekaan. Lucu, ya" Pada saat Belanda sedang menjajah Indonesia, ternyata mereka juga tengah berjuang untuk memerdekakan diri!
Tak lama kemudian, bus yang mereka tumpangi melewati sebuah gedung yang dikenal baik oleh Wicak.
Nah, yang itu kampus gue, Tang! Wageningen University! ucap Wicak sambil menunjuk bangga.
Walaupun terletak di ujung Belanda, di tengah kota yang sedikit ndeso, Universitas Wageningen terkenal di seantero Belanda sebagai pusat riset pertanian dan kehutanan, serupa Institut Pertanian Bogor di Indonesia. Di Universitas Wageningen diajarkan antara lain bagaimana membuat ternak besar yang dagingnya banyak, cara mengembangkan teknologi makanan yang bisa bikin kenyang lebih banyak perut di muka bumi, cara membuat dan melestarikan lingkungan hidup yang manusiawi dan terbarukan, hingga siasat mengatasi kelangkaan pangan yang melilit perekonomian dunia. Wageningen University and Research Centre yang
~323~ berdiri sejak 1918 memang terkenal dengan label kampus pertanian, tak heran banyak alumni IPB yang meneruskan pendidikan mereka di sini.
Pada suatu ketika, Heineken selaku bir nasional Belanda bahkan pernah menjalin kerja sama dan menjadikan Universitas Wageningen sebagai salah satu tema iklannya. Iklan itu dengan kocaknya menggambarkan salah seorang mahasiswa Universitas Wageningen yang tampak berhasil mengcloning bir Heineken. Dahsyat, toh"


Negeri Van Orange Karya Wahyuningrat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lintang manggut-manggut melihat gedung yang ditunjuk oleh Wicak.
Itu kampus tempat lo kuliah, Cak"
Wah, kalau buat kuliah, sih, bisa sampai keliling kota, Tang!
Oh, ya" Kok, bisa begitu" tanya Lintang penasaran.
Iya! Soalnya gedung-gedung kampus kita tersebar di seantero Wageningen. Jadi, misalnya, nih, gue udah capek-capek genjot sepeda ijo gue buat kuliah di kampus Zodiak jam delapan. Eh, jam sepuluh udah mesti ikut diskusi kelompok di Perpustakaan Leeuwenborch di seberang kota. Sorenya, mesti ngesot ke kampus Biotechnion di belahan lain Wage!
~324~ Waduh. Capek banget, dong" komentar Lintang. Huuuh, bukan capek lagi! Betis gue udah beranak di sini, Tang, saking sibuknya genjot sepeda keliling kota setiap hari! komentar Wicak manyun.
Akan tetapi, untuk ukuran sebuah kota, Wageningen sangat nyaman untuk ditinggali. Saat Wicak kali pertama menginjakan kakinya di sini, pikirannya langsung melayang pada kota kelahirannya, Rangkasbitung. Keduanya sama-sama memiliki pepohonan yang menjulang di kanan-kiri jalan, mobil yang hanya lewat sesekali, dan dihuni oleh orang-orang yang ramah senyum. Oh, ya, dan jangan lupakan elemen sapi! Wageningen tanpa sapi bagai Jakarta tanpa macet. Bahkan, dengan bangganya pemerintah Kota Wageningen membuat sebuah patung sapi raksasa dan memajangnya di tengah kota sebagai ikon Wageningen.
Tidak ada kanal ataupun pusat pertokoan besar yang bisa ditemui di Wageningen. Pemandangan yang jauh berbeda dengan Den Haag atau Amsterdam, misalnya. Tapi, Wageningen terkenal akan komunitas mahasiswa yang sangat membaur, antara mahasiswa lokal dengan mahasiswa internasional. Hampir semua mahasiswa tinggal di apartemen dan asrama yang sudah disediakan.
~325~ Benar-benar kehidupan mahasiswa yang ideal. Pada akhir pekan, Wageningen kembali menjadi kota mati. Para mahasiswa lokal pulang ke kota masingmasing, sementara para mahasiswa internasional melepas penat dan kejenuhan studi ke luar kota.
Wicak merasa beruntung dapat merasakan atmosfer Wageningen. Tak jarang, dengan semangat ia mengayuh sepeda ke tempat pertapaannya di sisi Sungai Rhine atau di kafe pinggir sungai yang terkenal romantis, Blauwe Kamer. Di sana ia bisa duduk merenung atau berkhayal, sembari menikmati suasana alam nan asri.
Di sini banyak pohon, ya, Cak" Lebih banyak dari kota-kota lain di Belanda yang pernah gue lihat, Lintang kembali berkomentar. Memandang ke luar kaca busnya, Lintang sedari tadi memang lebih banyak melihat pohon-pohon berjajar ketimbang hunian manusia.
Hehehe, iyalah, namanya juga pedesaan! Lagi pula, Wageningen punya salah satu hutan lindung Belanda, jawab Wicak.
Hutan lindung" Emangnya Belanda punya hutan, Cak"! tanya Lintang heran. Tak terbayangkan olehnya negara sekecil Belanda bisa punya hutan seperti yang ia bayangkan di belantara Kalimantan.
~326~ Hehehe, nah, itu ceritanya lebih kocak lagi, Tang! Wicak menceritakan pengalaman pertamanya praktik kehutanan bersama teman-teman sekelas. Leo van Woerden, dosen mata kuliah Manajemen Kehutanan, dengan lantang mengatakan bahwa besok mereka akan berkunjung ke salah satu kawasan hutan di Wageningen, hanya lima belas menit dari pusat kota. Mereka diharapkan menyiapkan perlengkapan dan perbekalan secukupnya.
Keesokan harinya, Wicak datang dengan seragam hiking lengkap termasuk sepatu besar ala pencinta alam. Tak lupa, beberapa tangkup roti gandum dan dua liter air minum masuk di ransel besarnya. Bahkan, pisau lipat Victorinox pemberian ayahnya pun tak lupa ia selipkan di dalam saku. Persiapannya sudah setara dengan Indiana Jones yang siap menaklukkan hutan belantara.
Ternyata Wicak kecele. Tempat yang dinamakan hutan oleh dosennya tak lebih dari sebuah kebun tanaman serupa Kebun Raya Bogor. Bahkan, untuk mencapai bagian dalamnya pun hanya diperlukan waktu beberapa puluh menit, tanpa keringat. Tak ada apa-apanya dibandingkan Kampung Badui tempat ia sering berkelana. Diperlukan waktu dua jam penuh peluh dan perjuangan untuk tiba di
~327~ perbatasan Badui Dalam. Sadath, Ngu Yen, Hexy, dan beberapa rekan sekelas lain yang juga berasal dari negara-negara tropis saling bertukar pandang. Tawa mereka pun berderai keras.
Hey, guys ... you can t compare this forest with your beautiful rain forests in Asia! Come on!
Sang Dosen rupanya mafhum apa yang ditertawakan para foreign foresters itu ketika mereka tiba di tempat praktik. Mendadak, Wicak merasa bangga mengingat puluhan juta hektare hutan Indonesia yang cantik. Tapi, rasa bangga itu kemudian menjelma menjadi perasaan miris mengingat tingkah polah para cukong rakus yang membalak di belantara Kalimantan.
Naaah ... ini apartemen gue! Yang tirainya belangbelang itu kamar gue.
Lintang menengadahkan kepalanya mencari jendela yang disebut-sebut Wicak. Mereka telah tiba di gedung Bornsesteeg, asrama tempat tinggal Wicak. Gedungnya sangat unik, berbentuk segitiga dengan 20 lantai serta 33 buah kamar di setiap lantainya. Memasuki koridor, Lintang tiba-tiba mencium bau aneh.
Kok, bau banget, sih, Cak" Bau apaan, nih" Bau" Nggak, ah. Biasa aja
~328~ Masa, sih, lo nggak nyium" Menyengat banget! Ooo ... ini pasti dari kamar sebelah. Namanya juga flat internasional. Penghuninya dari seluruh dunia! Mulai dari orang Etiopia, Nepal, India, termasuk orang Belanda sendiri. Nah, bau ini pasti dari rempah dan bumbu masakan mereka yang bercampur jadi satu. Gue, sih, udah biasa, sampai nggak sadar.
Udah biasa" Ckckck ....
Memasuki kamar Wicak, Lintang terkagum-kagum dengan kebersihan kamarnya. Kamarnya cukup besar, dengan dapur yang lumayan bersih untuk ukuran cowok. Kamar itu juga dilengkapi sebuah tempat tidur, meja belajar dan kursi, serta lemari baju. Tak lupa kabel koneksi internet paling cepat seantero Belanda.
Setelah menyibak tirai dan menyalakan laptop, Wicak mengambil sepucuk surat dari Gemeente Wageningen yang disimpannya di bawah bantal. Ia tidak begitu paham isinya karena ditulis dengan bahasa Belanda. Diserahkannya surat itu kepada Lintang, berharap gadis ini dapat menebak isinya.
Gila, ya" Surat dari gemeente ini jelas-jelas ditujukan untuk warga non-Belanda yang mengurus izin tinggal, tapi dengan geniusnya mereka tulis
~329~ dalam bahasa Belanda! Nah, itu dia, Tang. Makanya, lo gue ajak ke sini. Kayaknya, ini cuma surat pemberitahuan tentang data-data diri lo, kok. Kalau salah, mereka minta lo untuk perbaiki. Emangnya lo nggak punya temen orang Belanda yang bisa jadi penerjemah" Kok, sampai perlu nungguin gue segala"
Wicak tak mampu menjawab pertanyaan sederhana itu karena tak berani menyatakan alasan sesungguhnya. Ia memilih diam, pura-pura tak mendengar.
Sejak kali pertama berkenalan dengan Lintang, Wicak sudah mulai membandingkan sosok gadis ini dengan Siti Rosmah yang sudah bertahun-tahun bersemayam di dalam otak kanannya. Rambut sebahu mereka yang sama-sama tergerai indah. Derai tawa mereka yang sama-sama renyah. Perilaku mereka yang sama-sama spontan dan tak bisa ditebak. Bahkan, hingga lesung pipit Lintang yang serupa dengan Siti Rosmah, sama-sama tersembul dari pipi kiri. Sosok di hadapannya bagai Siti Rosmah yang menjelma kembali. Tapi, dia bukan Siti Rosmah. Dia Lintang. Lintang sahabatnya, yang kini duduk manis membaca selembar surat di atas tempat tidur di dalam kamar asramanya. Sosok nyata
~330~ yang tak perlu sekadar dikagumi dari kejauhan.
Anyway, entar sebelum belanja ke Centrum, temenin gue ke Gemeente buat urus izin tinggal, ya" lanjut Wicak mengalihkan pembicaraan.
Lho, emang ada masalah apa lagi, Cak" Belum dapat kartu verblijf.
Hah" Yang bener lo" Masa udah hari gini masih belum dapat kartu izin tinggal"
Iya, makanya gue mau nanya sama mereka. Temen gue lebih parah, lho. Karena dia urus asuransi sendiri, jadi perlu verblijf untuk bikin asuransi. Masalahnya, untuk dapat verblijf kita kudu melampirkan bukti bahwa kita sudah diasuransikan! Nah, bingung, kan"!
Yah ... Wicak ... welcome to Holland!!! Hahaha! Sialan! Wicak berteriak kencang di depan kantor Gemeente Wageningen. Beberapa pengunjung yang hendak masuk menoleh pada sosok hitam keriting yang berteriak dalam bahasa aneh.
Ssshhh ... sabar, sabar .... Lintang berusaha menenangkan sahabatnya yang mulai kalap. Setelah mengantre dengan manis selama setengah jam di kantor wali kota, Wicak mendapatkan jawaban kenapa kartu verblijf-nya tak kunjung jadi.
~331~ Harusnya mereka bilang, kek, dari awal kalau dokumen gue ada yang kurang! Waktu dulu gue tanya, mereka bilang semuanya oke-oke aja! Bendungan 3 !!! Wicak melampiaskan emosinya dengan meninju dinding bata kantor itu.
Mungkin mereka lupa, Cak. Jangan meledak begitu, dong ... sabar teh subur, pan" bujuk Lintang.
Lintang cukup kaget melihat Wicak meledak tiba-tiba. Bahkan, perilaku Tyas yang menjengkelkan di Amsterdam beberapa minggu lalu pun tak sampai membuat Wicak semarah ini. Jika Wicak yang biasanya kalem sampai meledak, pasti permasalahannya sudah sedemikian parah. Mungkin bila Lintang atau orang normal lain yang mengalami, mereka akan melupakan pasal-pasal KUHP dan menyerang petugas gemeente dengan palu arit.
Masa dia nanya lagi akta kelahiran gue"! Padahal, dulu udah setuju kalau akta bisa disusul! Emang belum lo kirim ke mereka"
Belum, adik gue belum sempat ke Jakarta. Masalahnya, akses ke Jakarta buat urus legalisasi dan lain-lain itu susah, Tang. Apalagi, keluarga gue tinggal di Rangkasbitung. Jelas butuh waktu. Tapi, dulu dia bilang kalau itu bukan masalah! cerocos
~332~ Wicak emosional. Terus, gimana"
Ya, izin tinggal gue belum diproses sama mereka. Padahal, bulan depan gue mesti ke Polandia buat acara studi banding bareng rombongan kampus. Gue nggak bisa keluar Belanda tanpa verblijf itu, kan"
.... Arrrghhh!!! Wicak menjambak rambut keritingnya, melampiaskan kekesalan.
Duh ... jadi gimana, ya"
.... Nggak tahu .... Maksud gue ... rencana kita buat bikin gulai kambing ... tetap jadi, kan" tanya Lintang takuttakut. Salah satu tujuan Lintang berkunjung ratusan kilometer ke Wageningen ini memang untuk mencicipi gulai kambing buatan Wicak yang tersohor. Selama ini, ia hanya mendengar pujian selangit Daus dan Banjar yang sudah lebih dulu berkunjung ke Wageningen. Masalah ini telah membuat suasana menjadi tidak kondusif, cenderung reaktif, dan tidak komunikatif. Permisif" Alstublief.
Tatapan Lintang yang penuh kekhawatiran dan sedikit ketakutan membuat Wicak menyesal telah
~333~ memperlihatkan sisi gelapnya (selain kulitnya yang memang sudah gelap). Lintang sudah bersusah payah jauh-jauh ke Wageningen, dan Wicak bertekad membuat weekend kunjungan Lintang yang paling berkesan. Kemarahannya mereda, tekukan garang wajahnya berbalik jadi senyum ceria.
Jadi, dong! Hayu kita ke Zam-Zam belanja bahanbahannya!
Dengan semangat Wicak menyeret Lintang menuju toko Turki yang menjual daging kambing terlezat di Wageningen. Lintang hanya mampu mengulum senyum melihat Wicak yang tiba-tiba kembali ceria seperti sediakala.
Anak yang aneh ... suasana hati, kok, bisa di-switch kaya sakelar gitu" gumam Lintang dalam hati. Pukul empat sore. Langit di luar sudah mulai menggelap. Angin kencang Februari kembali menghujam Wageningen. Beruntung bagi Lintang, ia sudah kembali berada di kamar asrama Wicak yang hangat, dengan semangkuk gulai kambing di hadapannya, menunggu untuk dicicipi.
Lintang mengambil suapan pertama gulai kambing buatan Wicak. Dari ujung dapur, Wicak memandangnya dengan perasaan dag-dig-dug.
~334~ Wicaaak ... enak bangeeeeeet! Nyammm .... Lintang seketika berteriak ketika potongan pertama daging kambing meluncur melewati mulut dan menyambar indra perasa di tengah lidahnya yang kemerahan. Daging gulainya begitu empuk, meleleh di atas lidah Lintang bagai potongan daging Wagyu yang terkenal mahal. Rasa daging berbaur dengan gurihnya kuah gulai menimbulkan sensasi lezat luar biasa yang menghangatkan badan dan mengenyangkan perut 4 !
Wicak tersenyum lebar tanpa berkata-kata. Untung saja Lintang tak bisa membaca pikiran. Karena saat itu, dalam benak Wicak sedang berlangsung pertunjukan kembang api serupa perayaan malam tahun baru di Belanda 5 . Ledakan warna dan semburat cahaya saling menyambar di dalam kepala, membuat hati Wicak berbunga. Di hadapannya, seorang gadis manis berlesung pipit sedang lahap menghabiskan semangkuk gulai kambing. Dan, kali ini, Wicak merasakan nikmatnya bisa mengagumi segala keindahan itu dari dekat.
Birokrasi di Belanda merupakan hal ajaib yang butuh banyak kesabaran dan ketekunan. Yang jelas kita jadi
~335~ mafhum kenapa birokrasi di Indonesia sangat kompleks 6 ! Beberapa keterangan dasar dan kiat berikut bisa membantu kita dalam menghadapi birokrasi di Belanda.
1. Ada beberapa hal yang perlu segera diurus setibanya di Belanda, antara lain: verblijfsdocument, lapor asuransi, membuka rekening bank, serta membuat Sofi nummer (masih ingat pengalaman Banjar dengan dokumen yang satu ini")
2. Verblijfsdocument alias Residence Permit adalah syarat mutlak yang diperlukan pendatang internasional untuk tinggal secara legal di Belanda. Yang pasti, pengalaman mendapatkan kartu plastik berwarna pink ini sangatlah bervariasi. Beberapa oknum yang diberkati kasih sayang Yang Mahakuasa bisa mendapatkannya hanya dalam hitungan minggu. Orang lain harus menunggu hingga tiga bulan atau lebih. Kini sudah terdapat perjanjian antara pemerintah Indonesia dan Belanda yang (seharusnya) menjamin kelancaran proses pengurusan verblijf bagi pelajar Indonesia di Belanda. Tapi, seperti kebijakan pemerintah pada umumnya, nggak ada jaminan pasti. Banyakbanyak berdoa aja kali, ya"
3. Asuransi wajib dimiliki pelajar internasional karena semua akses fasilitas kesehatan, seperti dokter, obat, klinik, dan rumah sakit, harus melalui asuransi. Pastikan segera melaporkan alamat
~336~ tempat tinggal di Belanda pada petugas asuransi agar dokumen sakti ini bisa segera dikirim tepat waktu.
4. Yang tak kalah penting adalah huisarts, alias dokter umum. Pengobatan semua penyakit lazimnya harus melalui rujukan huisarts terlebih dahulu. (Pengecualian adalah jika kita sampai tertimpa musibah kecelakaan atau penyakit parah yang tidak sempat lagi menunggu kehadiran huisarts. Dalam situasi ini, kita diperbolehkan langsung ke UGD rumah sakit terdekat.) Karena itu, setelah lapor asuransi, segera daftarkan diri pada dokter umum terdekat dengan tempat tinggal. Daftar huisarts yang tersedia biasanya dapat diperoleh di international office kampus.
5. Dalam membuat rekening bank, biasanya masingmasing kampus memiliki bank rujukan tertentu bagi mahasiswa internasional. Beberapa bank yang umum digunakan adalah Rabobank, ABN Amro, dan Postbank. Berdasarkan pengalaman, setiap bank memiliki kelebihan dan kekurangan masingmasing. Rabobank, misalnya, memiliki biaya administrasi lebih rendah, sedang ABN Amro menawarkan kemudahan internet banking dalam bahasa Inggris sementara yang lain masih berkutat dalam bahasa Belanda. Begitu membuka rekening bank, segera daftarkan diri untuk mendapatkan fasilitas internet banking, karena hampir semua transaksi penting bisa dilakukan
~337~ online. 6. Pembuatan rekening bank membutuhkan waktu, sementara kita butuh rekening bank untuk terima kiriman uang. Kalau nggak, jatuh miskin. What to do" Salah satu jalan yang bisa dipakai untuk menyiasati situasi seperti ini adalah dengan menitipkan kiriman uang tersebut melalui rekening bank kampus, kemudian menarik kiriman itu dalam bentuk tunai. Tanyakan pada international office mengenai kemungkinan ini.
7. Afspraak atau bikin janji selalu diperlukan dalam berurusan dengan birokrasi Belanda. Mulai dari bertemu dokter, potong rambut, hingga ambil formulir dan kartu izin, semua harus dengan membuat afspraak terlebih dahulu. Sekali membuat janji pertemuan, kita harus datang sesuai janji dan tepat waktu! Kalau berhalangan, lebih baik memberi tahu dari jauh hari. Jangan sampai hilang waktu percuma karena lupa menepati afspraak. 8. Pastikan kita mengetahui tata urutan dan kelengkapan dokumen yang jelas dalam melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan birokrasi Belanda. Kalau nggak, waktu kita bakal habis terbuang percuma. Tapi, jangan kaget saat berurusan dengan petugas birokrasi kalau kebijakan yang dikeluarkan si A bisa berbeda dengan peraturan yang berlaku bagi si B, padahal mereka sama-sama satu kantor. Cara paling aman adalah dengan selalu mencatat nama lengkap
~338~ orang yang kita ajak bicara untuk referensi selanjutnya, bahkan kalau bisa mintalah tanda tangan pernyataan hitam di atas putih. Terdengar saklek" This is Holland, baby!
9. Punya rasa takut terhadap IND (Kantor Imigrasi Belanda) adalah hal yang wajar. Kelanjutan hidup kita di Belanda memang ada di tangan mereka. Even Americans have the same fear, kok. Tidak perlu takut bahwa proses kita akan diperlambat oleh diskriminasi SARAK.
10. Jika beruntung, kita akan bertemu dengan orangorang keturunan Indonesia yang bekerja sebagai salah satu officer, entah di bagian pajak, perizinan, atau apa pun. Ajaklah berbicara dalam bahasa Indonesia, sebut juga satu-dua hal yang mampu membangkitkan nostalgia si petugas pada bumi Nusantara. Bila sukses, voila! Semua urusan kita bisa menjadi lebih mudah!
11. Jangan pernah berharap bisa main sogok. Selain memalukan nama negara, tak ada pengaruhnya juga. Kalau memang lama, ya tetap aja lama. 12. Jika mendapat surat denda atau tilang yang dikirim lewat rumah, mendingan cepat-cepat dibayar. Menunda lama ataupun pura-pura lupa tak bakal bikin tagihan itu hilang. Yang ada, tagihan kita membengkak gara-gara bunga!
13. Akhir pekan sangat berharga bagi orang Belanda, termasuk bagi layanan konsumen yang katanya bekerja 24 jam. Artinya, kita tak bisa berharap
~339~ banyak apabila saat weekend mengalami hal-hal berikut: kunci pintu otomatis tertinggal di dalam rumah, penghangat ruangan rusak, atau server internet tiba-tiba down. LIBUR adalah LIBUR dan artinya: NO WORK.
1 Tahu, kan, tertawa garing" Sangat efektif mengatasi sindrom nggak-pengin-ketawa-karena-garing-tapi-nggak-enak-samayang-ngelucu.
2 Kenapa Wicak bawa-bawa rautan pensil" Good question!!! 3 Damn/dam ... sama aja, kan"
4 Ah, jadi ingat kartun Born to Cook. Gurih santannya ... ooohhh, begitu terasa ... pedas ketumbar bercampur lada membuat lidahku menariii ... oooooohhh, aku tak tahaaannn!!! 5 Yang kabarnya sampai menghabiskan dana lima juta euro. Kebayang, kan, dahsyatnya" Jelas lebih seru daripada petasan rentet yang terdengar tiap ada pesta pernikahan di kampung Daus!
6 Tentu saja, Belanda menjajah Indonesia ratusan tahun lamanya, bukan"! Nah, kalau birokrasi di negeri kita masih ruwet seperti yang dialami para mahasiswa Indonesia di Belanda sana, bisa jadi karena para birokrat kita itu belum lagi merdeka sampai sekarang, hehehe & .
~340~ Rotterdam Jarum jam hampir menunjukkan waktu tengah malam saat Banjar membuka pintu kamarnya dengan langkah gontai sehabis kerja. Mukanya yang dulu sering tampil jadi cover di majalah dinding semasa SMP kini kusam, tak terawat, dan berminyak. Peluh membasahi punggung dan ketiak sweternya. Aroma badannya makin sulit ditebak. Campuran bau karbol dan asap satai yang sulit didefinisikan. Bekerja di restoran sampai pukul 10.00 malam, dilanjutkan side job tambahan mengepel 11 ruang kelas, setara dengan satu sequel serial Mission Impossible .
Setelah membersihkan badan dan memasukkan cucian ke mesin cuci, Banjar segera mengaktifkan notebook yang hampir tak pernah ditutup. Sedetik kemudian, YM sudah terkoneksi sambungan internet. Banjar mulai men-scroll layar kontak di sisi kanan layar. Ia tajam melirik siapa saja yang masih online selarut ini. Sepi sekali. Lintang, Geri, Daus, maupun Wicak semua offline. Offline atau invisible" Pada saat yang sama di Zeist, Utrecht, Daus duduk
~341~ serius di depan tablet notebook kesayangannya. Ia sibuk menggores-goreskan pensil stylus ke layar sentuh sambil sesekali mengangguk-angguk kecil dan mengernyitkan dahi. Gayanya benar-benar meyakinkan. Teknologi canggih berlayar 12 inci itu berhasil ia dapatkan bak rezeki durian runtuh dari Selisha. Selisha yang baik hati rupanya iba melihat Daus sebagai satu-satunya mahasiswa di kelas yang belum bermodalkan perangkat notebook. Lagi pula, ia pusing mengetik di laptop berlayar mungil. Mana layarnya dibolak-balik pula. Selisha menawarkannya kepada Daus seharga 500 euro saja, tawaran dahsyat yang disambut dengan peluk cium dan loncat-loncat gembira! Mengirit beasiswa selama lima bulan sudah cukup untuk melunasi gadget impiannya.
Daus paham betul bahwa buat urusan gadget, orang Asia boleh dibilang lebih maju dibanding orang Eropa. Di benua biru, komunitas yang peduli pada fitur-fitur canggih maupun aksesori gadget tidak sebanyak di Asia. Contoh nyata, lihat saja tajir mampus-nya perusahaan telekomunikasi di Asia yang sarat dengan layanan tersier. GPRS, download wallpaper, nada dering polyphonic, dan ring back tone sebagian di antaranya. Sementara buat kebanyakan konsumen di Eropa, asal ponsel dapat menghubungi
~342~ nomor lawan bicara, itu sudah cukup. Beda dengan pengguna ponsel tanah air, fitur ponsel di Indonesia sangat lengkap tapi pulsa nol. Jangankan buat kirim SMS, untuk menghubungi lawan bicara saja masih sering menggunakan jurus missed call!
Maka dari itu, tablet notebook Daus adalah identitas modernitasnya. Dengan komputer canggih dan segepok software bajakan dari Glodok, Daus terangkat statusnya dari sekadar mahasiswa mediocre menjadi seorang dewa. Dewa IT dari Indonesia. Mahasiswa dari Zambia, Liberia, dan Namibia adalah penyembah setianya.
Daus mulai membakar keretek kelima. Semerbak bau tembakau bercampur wangi cengkih terbakar memenuhi kamar. Daus membiarkan daun jendelanya sedikit terbuka, bagaimanapun ia tak suka bila bau keretek menetap terlalu lama di kamarnya. Di luar kamar, angin segar bulan Maret masih bertiup kencang. Aroma humus dedaunan membusuk bercampur wangi bunga liar yang siap mekar menegaskan musim yang berganti. Dua menit kemudian, ia mencampakkan puntung rokok terakhirnya ke asbak keramik berornamen Antonio Gaud", pemberian Erika. Teman sekelas dari Basque itu memberikan asbak tersebut pada saat Sinterklaas
~343~ Day 1 . Daus menarik tinggi-tinggi kerah sweter bertulis Utrecht Universiteit yang dikenakannya. Sambil menarik napas dalam-dalam, ia berupaya keras memfokuskan diri pada materi ujian Human Rights Case Law yang telah lama menumpuk. Malang, sang konsentrasi rupanya masih dalam perjalanan liburan ke Hawaii.
Masya Allah, gimana caranya mau lulus kalau kagak bisa belajar gini"! Matanya menerawang jauh melampaui langit-langit apartemen. Naik ke Lantai 3, Lantai 4, lalu ke loteng. Pikirannya berlanjut pada seorang gadis. Sally" Bukan. Farah" Juga bukan. Jari telunjuk Daus dengan cepat men-scroll layar YM, hingga kursor mendarat di nama kontak yang dituju. BUZZ . Diikuti tiga huruf khas sapaan Daus: Hai . Yang dihubungi tak memberi respons. Daus menghela napas, lalu kembali menekuni tumpukan jurnal-jurnal di hadapannya.
Sambil menunggu kalau-kalau ada makhluk Aagaban yang online, Banjar menyibukkan diri dengan menjawab beberapa surel. Kebanyakan berasal dari kolega-kolega marketer rokok di Tanah Air yang menanyakan ke mana dirinya. Memang, ketika ia memutuskan untuk berangkat ke Belanda,
~344~ Banjar memilih berangkat diam-diam. Pada saat para kompetitornya kehilangan pesaing tangguh, mereka malah jadi mempertanyakan keberadaan Banjar. Sebagian tertarik untuk membajaknya, sebagian lagi berharap ia hilang dari industri ini selamanya. Dan, sungguh, Banjar menikmati aura misterius yang kini menyelubungi dirinya.
Jam menunjukkan pukul satu pagi. Nyaris tak ada suara kendaraan di luar. Sesekali terdengar teriakan nyaring segerombolan anak muda mabuk dan bersepeda sedang berusaha mencari jalan pulang ke rumah masing-masing. Banjar yang masih belum mengantuk mencoba me-review ulang proposal tesis. Berbagai fakta penting dari pengalaman luas seputar dunia pemasaran disitir seperlunya dalam proposal. Meski kenyang pengalaman, ia masih kerap merasa gamang menuliskan fakta. Banjar menganggap pasar Indonesia memiliki keunikan yang sulit dipahami. Apalagi oleh marketers Barat. Situasi itu sering kali menyeretnya dalam perdebatan sengit di kelas kala berdiskusi tentang kasus-kasus pemasaran. Ia tersenyum simpul sambil terus mengetik.
Sejam kemudian, proposal tesis telah rapi. Sedikit lebih awal daripada deadline yang diberikan dosen pembimbingnya. Jauh lebih awal dibanding seluruh
~345~ rekan seangkatannya. Kecepatan Banjar dalam mengerjakan kewajiban kuliahnya memang cukup bisa dibanggakan walaupun sibuk dengan pekerjaan sampingannya.
Ia lalu melirik sebentar ke layar messenger. Masih tak satu pun makhluk Aagaban yang muncul online. Akhirnya, ia menyambar PDA dari dalam tas dan mulai menggoreskan pensil stylus dengan lincah. Tak lama, layar 3,5 inci itu memunculkan tulisan: message sent. Semenit kemudian, tangannya kembali berpindah ke notebook. Sambil mengetik sebuah surel, ia paste sebuah link di bagian akhir surel tersebut. Surel sent. Rasa lelah membuatnya segera menarik selimut dan memejamkan mata. Empat buah BUZZ dari Lazure, Michaela, Gita, dan Goz dibiarkan tak terjawab.
Lintang baru saja mengunci sepeda mahalnya saat HP-nya meraung. Ia melirik jam tangan pemberian sang Mami sambil menggumam pelan dalam hati, Duh, Mami, lupa sama beda waktu melulu! Biasanya mama Lintang mengirim SMS tengah malam. Jam ajaib buat Lintang, tapi itu berarti jam sesudah acara senam pagi di kompleks buat mamanya.
~346~ Tumben, sepi bener malem Minggu, pada pesta mabuk-mabukan, ya! Tuh, kan, gue pasti nggak diajak ... dilupain, kan.
Lintang tersenyum membaca pesan singkat yang ternyata dari Banjar. Dengan lincah jarinya mengetikkan pesan balasan.
Ih, siapa yang mabuk" Temen sekelas tadi bikin acara makan-makan. Online, Jar" Entar ngobrol, ya.
Begitu pesan itu terkirim, sebuah pesan lain masuk.
Hoi, ada yang lihat Wicak" Kira-kira ada deketdeket situ, nggak" Gue curiga dia bosen ngobrol ama sapi lalu pergi nggak pamit.
Tanpa melepas sarung tangan, Lintang membalas pesan tersebut.
Nggak lihat, tuh. Tapi kalau nanti muncul di tempatku, pasti gue kabarin.
Banjar, Daus, dan Geri ternyata mengirim pesan
~347~ singkat kepada Lintang. Semua kehilangan Lintang yang belum online hingga pagi menjelang. Sambil memikirkan SMS terakhir dari Daus, ia mencobacoba mengingat terakhir mendengar kabar dari Wicak. Rasanya hari Rabu ... itu tiga hari lalu, gumam Lintang.
starlight : BUZZ! izbanjar : Brisik. Ganggu orang tidur! starlight : Loh" Lima belas menit lalu bilang
mau ngobrol" izbanjar : Ngobrol aja sama tutup panci! Buka
email. Jangan begadang melulu! izbanjar is offline
Ih, apa sih maunya"! protes Lintang dalam hati. Penasaran dengan pesan terakhir Banjar, Lintang segera mengakses surelnya. Sebuah pesan dari Banjar baru saja masuk ke milis Aagaban. Isinya singkat: Oom-oom yang nggak seganteng gue dan tante yang cantik jelita, klik link di bawah. Kalau tertarik mau nonton, dateng ya ke Rotty besok. Jangan lupa bawa sunblock! Baju nggak usah tebel-tebel. Baca laporan BMG sebelum
~348~ berangkat. Anyway, Lintang pasti kelihatan lebih formal dan elegan dengan bikini. Gue tunggu lo dan bikini lo ....
Groetjes, Banjargantenglagibosenpenginmolor
Bikini" Gue pake bikini" You wish! Lo aja yang pake bikini ama tutup botol, umpat Lintang dalam hati sembari mengeklik link yang diberikan Banjar.
Rotterdam Marathon" One of the top 10 marathons in the world" Nggak salah, nih" Biarpun Banjar memiliki potongan cukup atletis, rasanya dia bukan tipe manusia sporty. Rokoknya aja mirip lokomotif. Salah ngirim link kali" Apa jangan-jangan April Mop" Kan, udah 15 April" Hee" 15?"" Itu kan, ... pagi ini ..."
Lintang bukan olahragawati. Tapi, kesempatan melihat cowok-cowok bule pakai celana pendek, berkeringat, dan ngos-ngosan berlari di atas aspal panas sepertinya bukan ide buruk. Lagi pula, dengan begitu ia bisa menemui sahabat yang mulai jarang tampak batang hidungnya. Sejak Banjar sibuk bekerja sampingan, ia semakin sering absen dalam pertemuan Aagaban. Kali terakhir mereka berlima berkumpul adalah saat acara PPI Belanda di KBRI. Begitu surel balasan dari Lintang terkirim, rupanya
~349~ ketiga sahabatnya yang lain telah membalas undangan Banjar.
Dari Daus. Masya Allah, Banjar, gue terharu dengan undangan lo. Sekalinya bisa ngumpul, lo langsung beriktikad baik ngajak kita olahraga. Kagak tanggung-tanggung! Maraton! Sori Bos, gue absen dulu. Selasa besok ada ujian, mesti baca-baca, hiks.
Dari Wicak. Sial, kenapa lo baru kirim di detik-detik terakhir gini. Gue masih terjebak di Texel nerusin riset. Rabu depan baru balik. Salam aja buat para pelari, deh. Selamat menikmati balap, kalian semua berkesempatan untuk menang. Soalnya, calon juara berhalangan hadir, hehehe. Dari Geri.
Udah cek temperatur besok" Cuaca panas banget, Meneer! Gue pas dulu deh. Gue khawatir jatuh koma kena serangan gelombang panas.
~350~ Sementara surel Lintang justru ....
Waaa ... seru, gue pasti dateng! Jemput gue di stasiun yaaa .... Jam 8 nyampe di Rotty-mu. Ajak gue jalan-jalan, ya.
Matahari belum lagi muncul sepenuhnya. Ayamayam pun sepertinya masih enggan membuka paruh. Jalanan masih lengang, hanya satu-dua kendaraan melaju di atas aspal mulus yang lembap oleh embun semalam. Ransel sport milik Banjar terisi penuh botol berisi air minum, tetapi tidak mengurangi kecepatan sepeda Raleigh-nya. Dengan gigi teratas kecepatan tertingginya saat ini kira-kira ... hmmm ... lima belas kilometer per jam.
Satu-dua manula yang menguntit di belakang mulai mengayuh lebih keras dan berusaha menyalipnya. Setelah menurunkan kecepatan di Erasmusbrug, akhirnya seorang nenek sukses menyalip Banjar. Rupanya nenek tadi telah lama berusaha mendahului Banjar. Namun, karena Banjar bersepeda agak ke tengah, usaha si nenek berkali-kali menemui jalan buntu. Dering bel sepeda si nenek pun tak digubris Banjar. Lengking Freddie Mercury lewat earphone seolah menulikan kupingnya. Saat
~351~ menyalip, nenek tadi mengumpat dalam bahasa Belanda sambil menunjuk bel sepedanya. Banjar hanya melongo sambil membatin, Dasar nenek-nenek!
Pagi itu, seperti Minggu pagi lainnya, Banjar selalu menyempatkan diri bersepeda. Walau sehari-hari sudah menunggang sepeda, acara menggenjot kereta angin pada hari Minggu terasa lebih spesial. Tidak ada kelas yang mesti dikejar. Tidak ada jadwal kerja yang harus ditepati. Santai. Relaks. Murni untuk berolahraga sembari menikmati udara segar dan bersih. Karena itulah sejak pukul enam pagi, beker bebek kesayangannya telah gaduh berbunyi. Kebisingannya berhasil membangunkan separuh isi rumah (kecuali Banjar). Seperti biasa, Yves naik ke Lantai 3, menggedor kamar Banjar dan berteriak histeris menyuruhnya mematikan beker. Hanya suara gedoran dan raungan Yves yang mampu menyadarkan Banjar dari tidur lelapnya.
Di sebuah lapangan, tepat di muka gedung Rotterdam Bibliotheek, diputarnya arah laju sepeda. Pada hari-hari tertentu, lapangan ini disulap menjadi pasar. Bila sedang hari pasar, Banjar pasti menyempatkan diri datang. Sambil berbelanja seperlunya, ia tak lupa mengudap lekkerbek 2 favorit. Tapi, pagi itu suasana sungguh lengang. Hanya ada
~352~ sepasang manula yang sedang berjalan kaki ditemani anjing Rottweiler kesayangan mereka. Di ujung jalan dekat gereja tua, dua remaja sedang bermain rollerblade. Banjar memarkir sepedanya dan mulai mengambil kuda-kuda senam taichi.
Dua orang polisi yang sedang menyeruput kopi kini memperhatikan gerak geriknya. Kedua manusia berseragam biru-biru itu sepertinya khawatir jika dari kedua telapak tangan Banjar akan beterbangan lariklarik sinar yang dapat merobohkan gedung-gedung di sekitar lapangan, seperti film Jet Li yang baru mereka tonton.
Setengah jam kemudian, keringat telah mengucur deras di kening dan punggung Banjar.
Aaah ... segarnyaaa .... Sebotol air keran tandas melewati kerongkongan. Kedua polisi yang masih memperhatikan menarik napas lega. Tidak ada ledakan. Tidak ada sinar maut menyambar-nyambar.
Semburat oranye pagi telah lenyap. Awan biru membentang berhias secarik asap putih yang mengikuti laju pesawat di angkasa. Cuaca begitu sempurna pagi itu. Banjar yang baru saja menghabiskan isi botol airnya yang kedua melirik ke arah arloji digital yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Tinggal tiga puluh menit sebelum
~353~ Lintang tiba di Centraal Station. Tiga jam sebelum ledakan meriam yang menandai start maraton. Cuma Lintang seorang. Tanpa Daus dan Wicak dan Geri. Thank you, my friends.
Banjar mengayuh sepeda pelan-pelan melewati Centrum Rotterdam yang juga kondang sebagai fashion district. Dari Westblaak ia berbelok ke Lijnbaan, menyusuri Binnenwegplein, lalu belok kanan di Mauritsstraat. Ia hanya ingin membunuh waktu agar tiba bersamaan dengan kedatangan kereta Lintang di Centraal Station Rotterdam. Dua puluh menit kemudian, ia telah menambatkan sepedanya di Schouwburgplein yang berada persis di depan Bioskop Path".
Lintang sudah berdiri bersiap-siap di dekat pintu kereta. Dua menit lalu, kereta dari Leiden itu meluncur cepat melintasi Schiedam. Ia bersiap turun di perhentian berikutnya. Meski hanya berjarak 25 menit dari Leiden, Rotterdam bukanlah kota yang sering dikunjungi Lintang. Kunjungan terakhirnya ke kota pelabuhan ini sekitar dua bulan lalu. Itu pun bukan untuk pelesir melihat-lihat kota, melainkan ke acara disko dangdut yang diselenggarakan PPI Rotterdam di Mauritsstraat. Kunjungan itu malah
~354~ berakhir berantakan. Boro-boro dangdutan, Lintang yang datang bersama Venita harus menghabiskan sisa malam mereka di kantor polisi. Venita, gadis Indo- Manado yang kuliah di Amsterdam itu, tertimpa musibah. Dompetnya dicopet tangan jail di kereta. Ludeslah verblijf, uang, dan kartu ATM Venita.
Kereta mulai menurunkan kecepatan saat melewati platform 4. Setelah pintu terbuka, Lintang segera melompat keluar mendahului penumpangpenumpang lain yang berjejalan. Banjar yang pagi itu mengenakan kaus oblong biru tua, celana pendek speedo, dan bersepatu kets segera menemukan Lintang. Dihampirinya gadis yang masih celingukan mencari batang hidung Banjar.
Tang! Heiii ... Jar! Hoe gaat het met jouw" sambut Lintang ceria setengah pamer skill bahasa Belanda. Hahaha. Udah, deh. Bahasa, please.
Banjar menggerutu sebal karena akhir-akhir ini sahabat-sahabatnya mulai ber-Belanda ria. Padahal ,sejak lama ia telah mendeklarasikan bahwa lidah, mulut, jari jemari, serta seluruh organ tubuhnya menolak keras penggunaan bahasa itu. Meski demikian, sedikit-sedikit ia bisa juga berbicara bahasa Londo itu, terutama pada saat harus berkomunikasi
~355~ dengan orang yang sama sekali tidak berbahasa Inggris.
Gimana les tari lo di KBRI kemarin" tanya Banjar berbasa-basi. Dalam hati, ia masih sedikit sirik dengan keberuntungan Lintang berhasil mendapat side job mudah dengan bayaran tinggi.
Seru! sahut Lintang antusias. Ternyata, murid gue banyak banget, Jar. Dua puluh lebih! Mulai dari anak diplomat sampai ibu-ibu Londo! Kita sampai kehabisan kain buat dipinjemin latihan. Nggak nyangka deh, peminatnya segitu banyak!
Bagus, deh. Terus akhirnya lo dibayar berapa" Pertanyaan bottom line. Khas Banjar.
Lintang tersenyum simpul.
Yaaa ... pokoknya bakal kesampaian niat gue beli jaket Zara yang gue incer pas musim sale nanti!
Banjar menggeleng dalam hati. Dasar anak kecil! Sementara ia banting tulang untuk menyambung penghidupan, rezeki Lintang dengan enaknya bisa dipakai sekadar untuk fashion statement!
Tak lama, mereka langsung larut dalam arus manusia yang berebutan menerobos keluar stasiun. Stasiun utama di Kota Rotterdam ini semenjak pagi telah kedatangan puluhan ribu manusia dari segala penjuru negeri. Sebetulnya, pemandangan ini lazim
~356~ terlihat di setiap perayaan apa pun di Belanda. Dari kostum yang dikenakan, bisa ditebak sebagian dari penumpang kereta adalah pelari berstatus penggembira, sedang sisanya murni hanya ingin menonton atau anggota keluarga pelari-pelari domestik. Beberapa gelintir pria, wanita, dan anakanak terlihat sibuk menggotong-gotong cooler box berisi minuman dingin. Lintang dan Banjar menikmati suasana tersebut sambil bercanda ceria. Rame ya, Jar"
Iya, semangat banget mau ikutan lomba, jadi inget demo zaman Suharto dulu.
Kita ke mana dulu, nih" tanya Lintang. Hmmm, kalau mau nyari posisi nonton bisa entar aja. Lagi pula, start baru mulai jam sebelas nanti. Kita nontonnya di Coolsingel aja. Biar bisa lihat start ama finis.
Lho, gue pikir lo mau ikutan lari, abis kostum lo udah maraton banget setelannya.
Iye, ikutan lari. Lari dari kenyataan, jawab Banjar seenaknya.
Halah. Gue mah nggak pengin lari dari kenyataan. Capek, Jar. Kesannya terburu-buru gitu. Joging dari kenyataan aja, deh, lebih elegan gitu, balas Lintang tak mau kalah.
~357~ Banjar mengulum senyum mendengar kalimat Lintang.
Agenda kita gimana, Jar"
Hening sebentar saat Banjar memikirkan rencana yang paling pas yang nggak bakal bikin gadis ini bosan. Ia sadar dirinya bukan seorang tour guide secanggih Wicak yang bisa bikin tongseng atau Daus yang jago ngebanyol. Ia juga tidak seroyal Geri yang bisa mentraktir makan-minum di mana pun ia mau.
Kita jalan-jalan aja kali, ya, lihat-lihat Rotterdam, lalu makan soto ayam di Suriname, kemudian baru ke Coolsingel. Pas udah kelar start, kita cari es krim. Ada toko es krim yang jadi juara Belanda. Gue jamin lo bakal ketagihan! usul Banjar bersemangat.
Lintang tanpa banyak protes mengiyakan usul Banjar. Keduanya mulai mengayun langkah. Rotterdam adalah nama yang diberikan untuk kota kedua terbesar di Belanda setelah Amsterdam. Menempati lahan di tepian Sungai Nieuwe Maas, kota nan luas ini memiliki delta yang terbentuk oleh pertemuan dua sungai besar, Rhine dan Meuse. Kesibukannya didominasi aktivitas pelayaran karena keberadaan pelabuhan tersibuk kedua di dunia setelah pelabuhan Shanghai di Tiongkok.
~358~ Pada saat Belanda menjajah Indonesia, Rotterdam berkembang pesat seiring meningkatnya arus kapalkapal VOC yang mengangkut rempah-rempah dari bumi Nusantara. Namun, Rotterdam pun pernah luluh lantak saat invasi armada Luftwaffe NAZI Jerman pada 1940. Sejarah mencatat hampir seribu orang meregang nyawa dan tak kurang dari 80.000 lainnya kehilangan tempat tinggal. Sebuah patung di Leuvehaven yang diberi nama Stad zonder Hart alias kota tanpa sebuah hati karya Ossip Zadkine kini mengabadikan tragedi berdarah tersebut.
Akibat kejadian tersebut, hampir seluruh bangunan tua yang menyertai denyut nadi Rotterdam tinggal sejarah. Untunglah, City Hall Rotterdam yang indah luput dari santapan bom. Bukan karena ada kekuatan mistik yang melindunginya, melainkan karena Hitler sudah terlebih dulu mengeplot bangunan megah tersebut sebagai pusat komando bilamana Rotterdam bertekuk lutut.
Seusai perang yang dimenangkan Amerika dan sekutu-sekutunya, dimulailah proyek pembenahan. Puing-puing disapu bersih dan berganti dengan bangunan bergaya arsitektur modern. Hasilnya, Rotterdam menjadi sebuah kota modern yang kerap
~359~ menjadi sumber inspirasi arsitek-arsitek dari seluruh dunia.
Nah, ini Erasmusbrug, Tang .... Banjar memamerkan landmark terpenting Kota Rotterdam yang membentang lima puluh meter dari tempat mereka berdiri.
Waaah ... keren banget, ya! seru Lintang yang sibuk mencari tempat strategis untuk berfoto-foto.
Erasmusbrug 3 adalah jembatan berteknologi tinggi yang mencerminkan kemajuan rekayasa sipil mutakhir. Dengan mengandalkan kawat-kawat berkekuatan raksasa, konstruksi jembatan ini mampu mengatasi embusan angin laut yang senantiasa bertiup kencang.
Dari Erasmusbrug, mereka menuju Walk of Fame Rotterdam. Berbeda dengan Hollywood Walk of Fame yang menampilkan berbagai cetakan tangan selebritas dunia, yang jadi pajangan di sini justru cetakan tapak kaki. Ada seleb lokal yang asing namanya, atlet legendaris, serta artis dan musisi mancanegara.
Waaaaaa ... ini kakinya Inge de Bruijn! seru Lintang sembari melepas sandal dan mencocokkan ukuran kakinya dengan telapak kaki legenda kolam renang Belanda peraih segepok medali emas
~360~ Olimpiade itu. Hahaha, kaki lo sama ama Bon Jovi! Lebar juga ya, jempol lo" Banjar tertawa terbahak-bahak saat Lintang mematut-matut telapak kakinya di cetakan kaki vokalis band favorit Lintang semasa SD dulu.
Kaki lo kali, seukuran tutup panci, balas Lintang yang sedang terheran-heran menemui ukuran kaki Banjar ngepas dengan kaki La Toya Jackson. Sekarang matanya mulai jelalatan mencari kaki si rambut gimbal: Ruud Gullit.
Lima belas menit yang penuh dengan senda gurau seputar ukuran jempol membawa mereka ke Overblaak Straat di samping Stasiun Rotterdam Blaak yang sangat penting bagi dunia arsitektur karena keberadaan Kubuswoningen alias rumah kubus. Sebuah mahakarya arsitek Piet Blom.
Lo mau lihat dalemnya, nggak, Tang" tanya Banjar yang kembali sibuk jadi fotografer sekaligus pengarah gaya bagi Lintang.
Emang boleh, Jar" tanya Lintang dengan napas tersengal, sambil mengambil pose tari Bali.
Boleh, tuh ada open house. Lo tahan gayanya ya, Tang, gue ganti baterai sebentar.
Buruan, lo kira setengah jongkok gini nggak bikin pegel"!
~361~ Banjar tak menggubris protesnya dan sibuk berkutat dengan baterai kamera. Setelah puas berpose beberapa kali, Lintang melirik jam tangan mungilnya.
Jar, lihat jam. Udah hampir start, kalau nggak buruan kita nggak sempet ngecengin atlet-atlet bule pirang! ujar Lintang sambil menarik tangan Banjar.
Keduanya lalu menuruni tangga stasiun dan bergabung dengan ratusan penumpang yang sebagian besar turun di Coolsingel.
Coolsingel ternyata sudah dipadati ribuan manusia. Corong speaker berkali-kali menyerukan suara dalam bahasa Belanda. Entah apa yang diucapkan si MC. Yang jelas, pasti bukan menyuruh orang-orang untuk mengantre nasi bungkus dan es teh manis. Lintang dan Banjar yang memiliki dimensi di bawah ukuran rata-rata orang Belanda kesulitan menembus penonton yang ingin menyaksikan jalannya start. Di kejauhan, tampak beberapa mobil satelit berbagai stasiun televisi yang meliput event besar tersebut. Lintang akhirnya berhasil menyeret Banjar hingga lapis ketiga penonton yang berjubel. Berkali-kali keringat yang membanjiri keningnya dihapus dengan saputangan.
Buset, Jar, panasnya kayak di Afganistan!
~362~ Emang lo dah pernah nari di Afganistan, Tang" tanya Banjar kagum.
Belum, tapi pernah lewat di atasnya, naik pesawat. Satu sodokan bersarang di iga Lintang membuatnya menyemburkan air putih yang sudah di kerongkongan.
Lo kayaknya sering nyelak antrean, ya, Tang" ucap Banjar terkagum-kagum saat sadar mereka kini telah berdiri hanya lima meteran dari garis start.
Ah kurang strategis nih, di barisan depan atletatlet Afrika. Di mana bule-bule yang ganteng" Lintang bergumam sendiri tak menggubris celaan Banjar. Ia celingukan mencari lokasi lain yang menawarkan pemandangan lebih indah .
Dorongan dan desakan dari orang-orang yang berada di belakang mereka kini makin menjadi. Waktu start sudah hampir tiba. Para pelari mulai mengambil posisi start.
Buuum!!! Tepat pukul sebelas, berdentumlah meriam tanda dimulainya maraton. Para pelari di barisan depan saling sikut mencoba meloloskan diri dari rombongan untuk mengincar posisi terdepan.
Lintang berjingkrak dan bertepuk tangan terbawa suasana yang panas dan sangat meriah. Namun, tepat
~363~ saat itulah ia merasa tasnya seperti digantungi sesuatu. Refleksnya bertindak cepat. Ia berbalik dan langsung merogoh ke dalam tas.
Desss ... darahnya berdesir, jantungnya berdebar kencang. Dompet kulit warna gading pemberian Mama yang berisi ATM, verblijf, dan dua lembar lima puluh euro telah lenyap dari dalam tas. Lintang menatap nanar sekeliling. Ia mencoba mencari sesosok manusia yang kelihatan mencurigakan atau terburu-buru menjauhi mereka, tapi tak ada yang mencurigakan. Semua tampak natural. Banjar yang tidak memperhatikan masih sibuk mengambil foto dengan kameranya.
Mata Lintang mulai berair, mukanya pucat, tangannya bergetar, air mata hampir mengalir di pelupuk.
Jar, gue kecopetan ..., bisiknya lirih. Excuse me, do you know the nearest police station" tanya Banjar kepada seseorang berwajah Hispanik.
Yes, it s very close. It is next to the City Hall, I think it s just after the TNT post office.
Setelah mengucapkan terima kasih, dengan setengah berlari Banjar dan Lintang segera menuju lokasi yang disebutkan. Di dalam kantor polisi,
~364~ mereka berjumpa dengan tak kurang dari selusin orang yang mengalami nasib sial serupa. Sepertinya, keriaan ini benar-benar dimanfaatkan para tangan jail untuk panen raya. Sambil menunggu antrean untuk melapor, Banjar berusaha menghibur Lintang dengan joke-joke tolol yang pada situasi normal pun tidak lucu. Mengetahui usahanya gagal total, Banjar menghentikan ocehannya. Ditawarinya Lintang sebatang rokok mentol.
Sir, smoking is highly prohibited inside this building. You may go outside if you want to smoke! tegur seorang polwan berparas cantik dengan rambut pirang terurai.
Iye, iye, kan gue nawarin doang! sungut Banjar dalam hati.
Setelah mengantre cukup lama, tibalah giliran mereka untuk melapor. Banjar dengan sigap membantu Lintang menjelaskan kronologi kejadian pencopetan di depan Coolsingel kepada si polwan tadi. Lintang yang masih sedih, marah, bete, kesal, sekaligus cemas sedikit banyak merasa beruntung dengan kehadiran Banjar. Beruntung" Ya nggaklah! Coba Lintang seperti Aagaban lainnya tidak berkunjung ke Rotterdam, mungkin dompetnya masih aman tersimpan di dalam tas. Yah, apa pun
~365~ itu, kehadiran Banjar ternyata berguna dalam situasi seperti ini. Dua puluh menit kemudian, semua dokumen yang mereka butuhkan sudah berada di tangan.
Duh, sial banget sih gue, kan capek banget ngurus semua dokumen yang hilang itu ... mana sekarang gue udah mesti mulai mikirin tesis ..., ratap Lintang sambil menyeka air mata yang kembali mengalir.
Tang, lihat hikmahnya aja ..., ucap Banjar takzim.
Hikmah apaan"! Hikmah kalau Rotterdam emang kota yang rawan pencopetan"! Masak dalam empat bulan terakhir udah dua kali gue mesti berurusan sama kantor polisi di Rotterdam! sembur Lintang melampiaskan kekesalannya.
Yah, kalau memang itu hikmahnya, terima aja, sahut Banjar kalem. Matanya dengan cermat mengamati lokasi di sekitar mereka.
Kenapa sih lo, Jar, kok jelalatan gitu, sih" Tanpa menjawab, Banjar berjalan mendekati sebuah tong sampah. Tangannya tanpa ragu merogoh isi tong. Satu tangan lainnya memencet hidung.


Negeri Van Orange Karya Wahyuningrat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ih, jijik bener, sih, lo. Nyari sisa nasi" tanya Lintang heran.
~366~ Nggak, siapa tahu dompet lo dibuang. Copet kan, cuma butuh duit, nggak butuh dokumen dan kartu ATM, sahut Banjar. Dua puluh detik kemudian Banjar menarik tangannya sambil menghela napas.
Negatif! sahutnya. Ia pun menghampiri tong sampah berikutnya di seberang jalan.
Sejam kemudian, hampir separuh tong sampah di Coolsingel hingga Weena di depan Rotterdam Centraal telah disatroni Lintang dan Banjar. Hasilnya nihil. Lintang yang sedari tadi telah putus asa, kini semakin hilang harapan.
Udah, Jar, nggak usah diterusin nyarinya. Nggak bakalan ketemu. Suara Lintang semakin lirih.
Gue yakin satu-dua hari ini dompet lo bakal dibalikin, yakin Banjar setengah menghibur. Dalam hatinya, ia tahu kemungkinan itu sangatlah kecil.
Whatever ..., sahut Lintang tak peduli. Tangannya sibuk memencet keypad HP. Dua menit kemudian, tiba-tiba PDA Banjar berdering. Saat menjawab, mukanya meringis.
Buset, gue kena omel Wicak gara-gara dompet lo ilang. Lintang tak menoleh. Tak lama, PDA Banjar kembali berdering. Tiga panggilan telepon telah dijawab Banjar. Tiga kali ia meringis. Tiga kali ia kena semprot. Wicak, Daus, dan terakhir Geri.
~367~ Semuanya mengutuk Banjar yang dianggapnya tidak becus menjaga Lintang.
Enak kan, Tang" tanya Banjar yang sibuk memegang cone es krim di tangan kiri dan uang kembalian serta dompet di tangan kanan.
Lintang tak menjawab. Ia menjilat-jilat tepian es krim double scoop rasa blackberry dan mangga. Untuk menghibur Lintang dan memenuhi janjinya, Banjar tetap membawa gadis ini mengunjungi gerai es krim paling terkenal di Rotterdam. Di spanduk yang dipajang di depan toko, disebutkan bahwa es krim di sini telah memenangkan kompetisi es krim se- Belanda. Kampioen, begitu istilahnya.
Memang lidah para juri tidak salah. Hampir seluruh rasa es krim yang dijajakan memiliki keistimewaan. Favorit Banjar sendiri adalah pistacchio dan vanilla bailey. Namun, bila matahari bersinar terik, ia lebih memilih rasa buah-buahan, seperti pisang, mangga, atau pir. Lintang yang mengidap penyakit ice cream complex syndrom memerlukan tak kurang dari sepuluh menit sebelum menjatuhkan pilihan.
Sambil menikmati es krim, mereka duduk-duduk di bangku depan toko. Dari siaran televisi di kafe
~368~ sebelah, mereka tahu bahwa perlombaan hari itu rupanya dihentikan lebih cepat karena cuaca panas yang begitu ekstrem. Pemenangnya adalah pelari dari Kenya. Namun, di bagian putri, pelari dari Jepang berhasil mengharumkan Benua Asia dengan tampil sebagai juara.
Jar, anterin gue ke stasiun, ya, pinta Lintang. Lho, kok, mau pulang"
Iya, gue nggak tahu musti ngapain sekarang. Makan dulu ya, Tang, on me kok, no worry. Nggak usah, Jar, gue nggak laper ....
Jangan, Tang, lo belum makan siang, tadi sesiangan kan udah panas-panasan ngubek-ubek tong sampah. Sekarang makan dulu, nanti gue anterin sekaligus beliin tiket. Tiket weekend retour lo ilang, kan"
Nggak, tiketnya kebetulan gue simpen di dompet koin Winnie the Pooh.
Ooo, tiketnya nggak ilang" Anyway tetep lo musti makan dulu, yuk.
Banjar telah berdiri setengah menyeret Lintang untuk mengikutinya. Kita makan soto dulu di Centrum, enak lho.
Lima belas menit kemudian, tibalah mereka di sebuah restoran Suriname yang tak terlalu besar di
~369~ Lijnbaan. Banjar segera memesan dua mangkuk soto lengkap dengan nasi dan frikandel. Tak lama menunggu, dua mangkuk soto ayam telah terhidang. Lintang tanpa semangat menyeruput kuah soto. Banjar menatap Lintang dengan prihatin.
Sambil menghabiskan isi mangkuk sesendok demi sesendok, pikiran Banjar melayang. Empat bulan sebelum berangkat ke Belanda, ia melewatkan malam dengan Michaela, kencan terakhirnya. Michaela adalah sekretaris eksekutif sebuah perusahaan minyak yang dijumpainya saat menunggu pesawat menuju Balikpapan. Malam itu Banjar dan Michaela makan malam di restoran fine dining, dilanjutkan dengan menonton, dan kemudian ngobrol sampai pukul dua pagi sambil menikmati kopi di sebuah kafe di bilangan Senayan.
Meski semuanya tampak sempurna, pikiran Banjar sebenarnya terus melayang ke sosok Gita. Gita yang eksotis, putih, dan hampir sempurna. Sempurna bila tidak punya kakak sialan macam Goz yang matimatian mencegah aksesnya ke Gita. Tapi kali ini, menghabiskan waktu berdua dengan Lintang, bayangan Gita benar-benar tidak muncul selintas pun. Dipikir-pikir, sejak mengenal Lintang, paras Gita sudah lama tak mampir memenuhi angan~370~ angannya. Perlahan tapi pasti, wajah Gita sudah mulai tergeserkan oleh wajah sayu yang kini duduk berhadapan dengannya.
Jar, thanks ya udah nemenin ke Leiden, ucap Lintang saat berpisah dengan Banjar di Stasiun Leiden Centraal.
No problem, Tang, maap yah hari ini jadi bencana buat lo. Gue mestinya ngingetin lo untuk hati-hati sejak awal, copet memang bertebaran di Rotterdam. It s okay, gue cuman mau bisa ngelupain hari ini. Yah, Lintang pengin ngelupain hari ini .... Take care, Tang, ucap Banjar seraya memeluk Lintang. Tangannya menepuk-nepuk punggung Lintang berupaya menghibur hingga detik-detik sebelum kereta menuju Doordrecht langsir.
Waktu hampir pukul sepuluh malam saat Banjar tiba di Schouwburgplein, tempat ia menambatkan sepedanya. Suasana masih ramai. Orang-orang sudah biasa pulang lebih larut bila sebuah event habis digelar. Bar-bar penuh dengan pengunjung. Suara musik berdentum keluar dari pintu-pintu kafe dan bar. Ratusan ribu liter bir mungkin sudah ludes terjual. Sesekali tercium bau khas hashis yang menyengat di udara.
~371~ Saat Banjar sedang melepas rantai kunci sepeda, matanya tertuju pada tong sampah yang terletak di ujung slot parkir. Sesuatu menggerakkan kakinya menuju tong sampah. Iseng ah, tebak-tebak berhadiah, ujar Banjar dalam hati. Dirogohnya isi tong dan mulai meraba-raba dalam kegelapan. Tiba-tiba jemarinya menyentuh sebentuk benda persegi. Permukaannya empuk berkontur halus. Banjar menarik benda itu keluar perlahan. Saat tangannya keluar dari tong, hatinya langsung berdegup kencang. Banjar memejamkan mata dan berharap Dewi Fortuna menghampirinya.
Tanpa membuang waktu, segera dibukanya benda itu. Dilihatnya berbagai kartu tersimpan rapi di tempat yang tersedia. Ia menarik sebuah tanda pengenal plastik berwarna merah jambu. Begitu membaca deretan huruf di kartu itu, tawa Banjar kontan meledak. Ia tak peduli pada tatapan orangorang yang langsung beringsut menjauh. Nama yang terpampang di atas verblijf document itu: Anandita Lintang Persada.
1 Sinterklaas Day adalah hari besar tradisional bagi rakyat Belanda dan Belgia. Dirayakan setiap tahun pada malam Santa Nicholas tanggal 5 Desember atau 6 Desember pagi di Belgia. Sebagian ~372~
kecil dari rakyat Prancis, Luksemburg, Swiss, Jerman, Austria, Polandia, dan beberapa negara Eropa Timur juga merayakan Sinterklaas Day. Di Belanda biasanya dirayakan dengan cara bertukar hadiah. Bahasa Belanda untuk tradisi ini adalah Hari Sinterklas (Sinterklaasavond) atau Hari Bingkisan (Pakjesavond). Tradisi lain Hari Sinterklas adalah menyertakan puisi kecil bagi penerima hadiah, dari sang pemberi hadiah misterius (secret santa).
2 Lekkerbek sebenarnya sekadar versi Belanda-nya gorengan. Cuma, isinya bukan tempe, tahu, ataupun pisang, melainkan rupa-rupa seafood segar yang digoreng berbalut tepung bumbu. Beda-beda tipis dengan tempura. Harganya pun nggak mahal. Si penjaja biasanya menawarkan cabai kering atau saus mayones sebagai teman makan lekkerbek.
3 Desain yang hampir mirip juga dibangun di Indonesia. Pada saat melintasi jalan tol Cikampek, kita akan menjumpainya di sekitar Cikarang. Tapi, kalau masih penasaran, kuras celengan, beli tiket, dan mulai urus visa dari sekarang.
~373~ Kamer Te Huur [Kamar Disewakan] Walau hari itu masih terbilang musim semi, teriknya mentari membuatnya terasa bagai musim panas. Mentari pagi mulai bersinar lebih awal dari hari ke hari. Kini, saat jarum jam baru menunjukkan pukul setengah enam pagi, hari telah menjelma terang benderang. Temperatur ikut-ikutan melonjak tajam, mirip di Indonesia. Bedanya, kenaikan temperatur diiringi dengan menurunnya kuantitas kain yang membalut tubuh spesies Homo sapiens secara drastis.
Daus mungkin tinggal satu-satunya manusia ber- KTP Utrecht yang berharap autumn lekas kembali. Namun, doanya tidak mencakup area sekitar pantai, karena buatnya, biarlah pantai tetap menikmati musim panas selamanya. Daus memang belum bisa menyesuaikan kebiasaan belajarnya yang mengikuti rotasi bumi di daerah khatulistiwa. Di musim panas ini, saat jarum telah menunjukkan pukul sepuluh malam dan matahari baru mulai tenggelam, Daus baru bisa merapikan meja, menghidupkan laptop,
~374~ menyeduh kopi, lalu membaca materi kuliah atau menulis paper. Bagi Daus, belajar saat gelap memang terasa lebih afdal. Makanya, saat winter yang lalu ia begitu giat belajar hingga delapan jam setiap malam. Maklumlah, saat jarum baru menunjukkan pukul lima sore, hari sudah gelap gulita. Untungnya, sampai kini tak ada korelasi matematis yang mampu menjelaskan relasi rasional antara nilai-nilai Daus dengan jumlah jam belajar yang dilakoninya.
Sore itu dengan tubuh gontai Daus memasuki kamarnya yang acak-acakan. Tiba-tiba sebuah teriakan fals terdengar dari luar gedung.
Dauuus!!! Daus, yang merasa namanya dipanggil, langsung melongokkan kepala mencari sumber suara.
Hoi! Bel aja napa! balasnya tak kalah nyaring saat melihat sosok cungkring Wicak dengan kaus hitam Sepultura dan celana berwarna khaki.
Gue lupa nomor kamar lo! sahut Wicak makin nyaring.
Sepuluh detik kemudian, pintu depan bangunan bergeser otomatis. Wicak melangkahkan kaki memasuki bangunan Complex de Warande. Badannya lincah menaiki tangga. Sesampainya di Lantai 4, ia berbelok menuju kamar ketiga dari WC.
~375~ Hoi, tumben lo jauh-jauh kemari" sapa Daus dengan kerut wajah keheranan. Nggak biasa-biasanya Wicak datang tanpa memberi kabar sebelumnya.
Buset, ini kamar makin mirip kamp pengungsian. Wicak mengeluarkan statement sepihak.
Hehe, makin berantakan, makin hot belajar gue! sahut Daus sambil nyengir.
Gila lo, bau bener tuh keringet. Baru ngepel kereta api se-Belanda, ya" Wicak bertanya curiga sambil menutup hidung, dirinya baru sadar dengan bau badan Daus yang menyengat.
Sial. Biar bau, badan sehat. Gue baru main bola ama temen-temen kampus, terang Daus. Udah, gue mandi dulu, deh. Daus beringsut mengambil gayung berisi sabun batang, odol, sikat gigi, dan sabun muka. Meski sudah hidup di luar negeri, kebiasaan di kampung membawa gayung berisi perlengkapan mandi saat hendak mandi tetap dipertahankan. Belakangan baru ketahuan, gayung itu rupanya salah satu barang keramat yang diangkut dari kampung. Dia tak rela gayung yang sudah menemani mandinya semenjak kuliah di Depok tidak ikut menikmati kesempatan hidup di luar negeri.
~376~ Wicak langsung nongkrong di depan laptop tablet Daus. Pertama-tama dibukanya surel. Di menu bar pojok kanan terlihat messenger Daus sudah aktif. Begitu Daus tak lagi tampak batang hidungnya, tanpa ba-bi-bu langsung diketikkannya kata kunci *.jpg di kolom search. Sedetik kemudian berhamburan keluarlah ribuan gambar triple X yang dikoleksi Daus semenjak hari ketiga hidup di Utrecht.
Hehehe, Pak Ustaz kita ini ternyata juga manusia. Wicak sebenarnya tertarik untuk sekadar melihatlihat dan membandingkan koleksinya, tapi ia memilih untuk segera memencet sederetan nomor telepon.
Jar, lo kalah taruhan. Gue di depan laptop Daus. Koleksi gambarnya selengkap perpustakaan nasional!
Sial! Banjar mengumpat pelan. Gue utang, ya"
Nah, ini baru namenye seger! Dengan berseri-seri Daus memasuki kamar. Badannya sudah tidak berbau comberan. Lagi-lagi Daus mengenakan kaus Utrecht Universiteit yang berwarna kuning pupus. Mungkin ada selusin kaus berdesain serupa di lemari
~377~ bajunya. Ngapain lo sampe ke Zeist, Cak" tanya Daus curiga. Tumben amat anak ini muncul tanpa halohalo terlebih dahulu.
Nggak apa-apa, Us, emang kagak boleh gue dateng nengokin. Katanya lo abis sakit" Wicak mengarang sekenanya.
Siapa bilang" Gue sehat-sehat aja. Kan, semalem kita berlima chatting ampe jam tiga subuh" Daus menatap Wicak dengan pandangan bingung.
Ooo, gue salah yak kalau gitu! jawab Wicak enteng. Ia berdiri dari kursi lalu mengambil sebuah novel picisan yang dibeli Daus di Boekenfestijn minggu lalu. Ia merebahkan badannya di kasur dan mulai membaca. Daus cuma garuk-garuk kepala melihat tingkah sahabatnya yang aneh.
Wicak akhirnya membuka mulut. Tadi pagi ia menerima sebuah surel dari Rusman, salah seorang kawan baiknya selagi kuliah di IPB. Ia memberi kabar, Wiwin, adiknya, akan segera lulus SMU dan ingin melanjutkan studi ke Belanda. Kabarnya, Wiwin telah lulus tes dan interview sebuah program bachelor di Haagse Hogeschool. Masalahnya, berbagai pilihan pondokan yang ditawarkan pihak universitas dirasakannya terlalu mahal. Karena itu,
~378~ Rusman mohon kebaikan hati Wicak yang kebetulan sudah di Belanda untuk mencarikan pondokan yang baik, aman, dan murah bagi adik semata wayangnya itu.
Belum lagi ia menyelesaikan ceritanya, Daus langsung memotong.
Lho, ngapain lo ke sini" Kan, gampang, tinggal nanya Geri aja"
Iya sih, cuma gue khawatir terlalu ngerepotin dia. Lo tahu sendiri kan, Geri sekarang lagi abis-abisan dikerjain PPI buat nyiapin acara PPI se-Eropa. Mana bolak-balik lo baca di milis dia keteteran abis ama tesis masternya. Mata Wicak menyiratkan empati yang ia rasakan pada nasib Geri.
Iya, sih ... lagian tuh anak nggak enakan, sih, ama temen-temennya. Nanti malah repot sendiri, lagi, timpal Daus.
Nah, jadi gimana, ya" Gue nggak pengalaman nyari pondokan. Lo tahu sendiri, gue dateng terima bersih. Semua udah disiapin ama kantor LSM gue.
Lah, sama Cak, gue juga terima beres. Kagak pake acara bingung nyari pondokan. Dateng udah ada kunci kamar.
Siapa dong yang paling pengalaman di bidang ini" Keduanya bertatapan. Lalu, hampir
~379~ berbarengan berteriak, Banjar!
Pagi-pagi sekali, Wicak dan Daus bertolak ke Rotterdam. Tak hanya bertanya soal kiat mencari pondokan, Banjar ternyata malah mengundang mereka untuk ngopi di Kafe Waterfront, ditambah satu acara rahasia yang hanya mereka ketahui bertiga. Hari Minggu yang cerah itu memang sungguh pas untuk leyeh-leyeh di teras kafe menikmati segelas ijs koffieverkeerd dan siraman matahari summer.
Sepanjang perjalanan, seperti biasa Daus tertidur pulas. Wicak yang tengsin dengan suara ngorok Daus yang serak-serak sember memilih pindah ke bangku seberang. Kereta api adalah moda transportasi favorit Wicak. Kereta api yang cepat, bersih, tepat waktu, dan bebas pedagang asongan yang hilir mudik adalah kemewahan tersendiri baginya. Pemandangan sepanjang perjalanan pun tak membosankan. Hamparan rumput hijau membentang bagai karpet silih berganti dengan deretan pepohonan dan kompleks rumah-rumah taman berukuran serbamungil milik penghuni apartemen.
Racun Gugah Jantan 2 Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa Iblis Api Di Bukit Menoreh 24

Cari Blog Ini