Mei Hwa, Dan Sang Pelintas Zaman Karya Afifah Afra Bagian 1
Tahun 1999 Seseorang telah menyulapnya menjadi kayu. Kayu
yang kehilangan berat basahnya karena terlalu lama terpanggang di oven kehidupan. Kayu yang jangankan para penjarah mata duitan, bahkan rayap pun enggan berlangkan, karena ketiadaan saripati yang tersisa untuk digerogoti. Menjadi kayu, itu yang dia rasakan sejak mendapati dirinya pelan-pelan bermetamorfosa sebagai seonggok benda hampa rasa, yang menjelujur kaku serta mengerontang di padang gersang.
Mungkin tak benar-benar sebatang kayu, karena yang masih tegak kini sejatinya hanya onggokan belulang yang terbebat selapis tipis penuh keriut, bak lembaran daun jeruk
Prolog purut yang cairannya tersedot si kutu kebul. Hanya bedanya, daun jeruk purut penyakitan itu masih menyisakan warna kehijauan, sementara lapisan pada tubuhnya berwarna coklat kehitaman.
Sebentuk benda mirip kayu itu, telah beberapa waktu bergentayangan di hamparan semesta. Jemari yang sekurus cakar ayam, menggoresi bumi saban hari. Goresan yang kemudian dibasahi oleh tetesan keringat. Setiap langkah tercipta, setetes harapan terperas, dan makin mengeringlah dia. Seringkali kematian raga diawali dari terbunuhnya asa. Maka, depa demi depa kakinya beranjak, berbanding lurus dengan semakin mendekatnya pada kematian jiwa. Dia seperti jelangkung kayu yang sedang mendekati liang kuburnya.
Dan itu & itu dia! Suara kematian telah dia dengar. Bergenta-genta, bergaung-gaung. Lalu kelebatan-kelebatan hitam saling berseliweran. Mungkinkah mereka adalah burung-burung bangkai yang telah mencium aroma sebuah kematian"
Mulut yang juga telah menjadi kayu itu pelan-pelan menyeringai. Salah, salah jika kau mendatangiku, wahai burung bangkai. Tak ada satu pun daging busuk yang bisa kau nikmati. Mungkin, kau butuh memanggil sahabatsahabatmu, para kucing buduk kelaparan untuk menyantap
tubuhku. Karena belulang ini pasti akan membuat kucingkucing itu mendadak bermata jalang.
Manusia kayu itu kembali melangkah. Sekuat tenaga. Namun dia memang sudah tak lagi memiliki daya. Bukan sekadar daya yang muncul dari proses biokimia pada tubuhnya. Tetapi juga napas kehidupan yang terpancar dari kelindan jiwanya. Elannya telah dipagut sepasukan elang, terkapar binasa, dan telah dimakamkan dalam kubur benaknya. Kematian raga tinggal menunggu beberapa desah napas yang tersisa.
Dia benar-benar nyaris roboh, dan si pesulap pun berhitung dalam derap birama lagu mars.
Satu & dua & tiga!
Malangnya, dia sempat berpikir bahwa kerobohannya pasti tidak akan menggoda sekejap pun para pemilik wajah di sekitarnya untuk menoleh, karena dia mengerti betapa keroposnya dia. Begitu keropos, sehingga desir angin yang lembut pun akan mampu membuatnya melayang seperti daun kering yang tanggal dari pangkal, turun meliuk, tanpa menimbulkan suara, untuk kemudian bersatu dengan onggokan daun lainnya, yang sebagian telah membusuk. Dia pun akan ikut busuk. Digerogoti belatung, menjadi jasad renik yang disambut girang sekawanan cacing pekuburan.
Dan ternyata benar. Dia roboh tanpa suara. Dia percaya itu, karena dia sendiri pun tak mendengarnya. Kini dia tersuruk dalam ceruk keterpurukan yang senyap. Entah sampai kapan& .
Langit cerah, matahari tersenyum, dan angin
bersemilir pelan, menebar persahabatan. Hawa yang sebenarnya mampu membuat siapapun mampu tersenyum lebar. Apalagi, pada kalender bergambar bintang film berbusana norak, bonus dari sebuah pabrik rokok murahan milik Sutoyo pun tertera jelas angka satu. Tepatnya 1 Juli 1999. Tidakkah itu angka yang istimewa" Mulai dari CEO perusahaan ternama, manajer berdasi dan berkacamata penuh gaya, hingga para buruh di pabrik-pabrik, selalu bersorak saat merobek atau membalik kalender bulan sebelumnya, dan menemukan angka 1 bertengger dengan anggunnya di lembar selanjutnya. Keanggunan angka satu begitu menawan, sehingga lirikan kekasih hatinya pun mungkin dengan telak berhasil dienyahkannya.
Satu Oh, begitu memikatnya lembaran uang! Bukankah untuk itu, sebagian manusia rela menyeberangi lautan berapi"
Sutoyo sebenarnya bukan pegawai resmi di sebuah perusahaan, meski angan-angan untuk menjadi orang kantoran hingga kini mendekam kuat dan menduduki posisi penting di ruang benaknya. Tetapi, Sutoyo juga merayakan tanggal satu. Beberapa lembar uang sebagian kumal, selalu diterimanya dalam amplop tertutup berlogo pemerintah kota. Gaji petugas kebersihan nama yang sedikit lebih keren dibanding tukang sampah, yang tentu saja tidak banyak, tetapi cukup dia syukuri sebagai dosis yang sesuai dengan keberadaannya sebagai wong cilik.
Sayang, sebagaimana semesta gejala yang terhimpun sehingga menyerupai sindroma para pemuja tanggal pertama, kedua alis Sutoyo pun bertaut, ketika teringat sebaris panjang daftar biaya yang harus dia tutup jika dia masih ingin disebut sebagai manusia baik-baik. Ya, manusia baik-baik. Hanya manusia tidak baik-baik yang memilih untuk ngemplang alias tidak mau bayar hutang. Sutoyo sangat bersyukur, sebab meskipun pekerjaannya hanya tukang sampah, dia masih bertahan dalam status manusia absah seutuhnya. Dia tak tergoda untuk menjadi setengah manusia: manusia setengah ular, manusia setengah tikus, manusia setengah kadal, atau manusia setengah anjing. Dia
bangga menyandang status baik-baik, meski tahu persis bahwa orang baik-baik itu belum tentu benar-benar baik. Yang penting dia tidak licik, apalagi ikut larut mengikut aksi para wong gedhean orang besar yang ramai-ramai ngemplang uang negara.
Stempel orang baik-baik itu seringkali harus dibeli dengan senyum kecut. Antara lain ketika mengingat deretan panjang hutang-hutangnya. Mulai dari beras, sabun cuci, sampo, ikan asin, sayuran, minyak tanah, sesekali telur dan jeroan atau kepala ayam, dan kebutuhan sehari-hari lainnya di warung Haji Parlan. Si pelit itu tak pernah mau berkompromi dengan kemiskinan, meskipun ruang perbendaharaannya selalu saja bertambah penuh oleh barang-barang yang mampu memamerkan gengsi sebagai hartawan sejati. Si pelit itu telah delapan kali naik haji dan setiap naik haji kekayaannya semakin menumpuk. Mungkin dia telah mengawinkan rupiah dengan reyal di tanah suci, sehingga sepulang ke tanah air, rupiah itu beranak pinak. Atau barangkali dia telah menyihir butir-butir pasir menjadi mutiara dan dia keruk berkarung-karung untuk dibawa mengadu untung. Sutoyo juga pernah mendengar desas-desus, bahwa ada jin arab yang konon bisa dibeli di Mekah dan menjadi sarana pesugihan. Tapi, kepada siapa Sutoyo harus menanyakan kebenaran hal itu, dia tentu tak tahu, dan tak mau tahu. Yang jelas, semakin Haji Parlan hidup makmur, kepelitan justru semakin tumbuh subur, seakan
sifat itu merupakan kewajiban agar apa yang dimiliki itu tak lebur.
SPP Anto dan Anti, kedua anaknya yang sekolah di SD, yang sering dia pandangi dengan dada miris sebab napas yang mendadak tersengal, juga menjadi beban pemikiran tersendiri. Baru duduk di SD saja dia sudah kembang kempis membiayai, bagaimana jika sudah masuk perguruan tinggi yang bayarannya cukup untuk membeli puluhan ton beras kualitas nomor satu" Ndara Mas Sunoto Prabowo saudagar batik yang rumahnya berdiri magrongmagrong megah di dekat perkampungan kumuh itu, dengan bangga bercerita bahwa Den Bagus Guntur, anaknya yang sulung itu berhasil menembus fakultas kedokteran sebuah perguruan tinggi negeri favorit. Untuk melamar titel yang bergengsi itu itu dia mengeluarkan mahar uang tunai sebanyak Rp 150 juta. Seratus lima puluh juta itu uang semua, bukan uang-uangan, apalagi daun yang dibuat alat transaksi di permainan masak-masakan yang dilakukan si Anti, anak perempuannya.
Uang sebanyak itu hanya pernah dia pegang saat menjadi presiden direktur PT Onde-Onde di alam mimpi. Satu-satunya mimpi yang dia harap bisa didaur ulang setiap malam, namun tak pernah terulang lagi meskipun dia berdoa mati-matian untuk itu. Maka dia pun mencoba berprasangka baik, bahwa mimpi itu tidak akan dia jumpai
lagi saat terlelap, namun akan datang kelak, dalam dunia nyata.
Mungkin dari keping demi keping uang yang ditabung di dalam celengan bambu, dia akan mengumpulkan cukup uang untuk modal menjadi pengepul. Lama-lama, dia bisa mendirikan perusahaan plastik yang dia namai PT Onde- Onde.
Mengapa onde-onde" Ceritanya akan menguras air mata. Sutini, istrinya, saat hamil Anto, pernah mengidam makan onde-onde. Alasan ngidam onde-onde cukup menggelikan. Saat itu, Sutini mendengar obrolan para ibu di acara arisan PKK. Kata mereka, bule Jerman terkagumkagum saat melihat onde-onde. Bagaimana mungkin orang Indonesia begitu sabar menempelkan satu demi satu butir wijen di permukaan onde-onde. Percakapan itu sepertinya membekas di dada Sutini, dan menerbitkan keinginan yang amat sangat untuk menyantapnya.
Namun saat itu Sutoyo tak memiliki sepeser uang pun untuk membeli onde-onde, meski harga satu butir sebenarnya hanya lima ratus rupiah. Sutoyo pun hanya bisa menangis sesenggukan di depan Sutini, seraya berjanji, jika dia kaya kelak, dia akan membelikan Sutini onde-onde sebanyak jumlah rambut Sutini. Untungnya, Sutini adalah istri yang baik. Sutini pun membelai rambut Sutoyo sembari mengatakan, daripada dibelikan onde-onde, mendingan
uangnya dibuat beli kalung yang liontinnya sebesar ondeonde.
Belum lagi biaya listrik, sewa rumah yang hanya sepetak namun cukup membuat jantungnya lebih kencang berdetak, bayaran arisan yang tak pernah dia sepakati namun harus sepakat jika tak mau dibilang wong koya makhluk yang tidak tahu aturan, ongkos jagong kondangan ke sana kemari yang membuat kening berkerut kemut-kemut. Juga biaya itu, biaya ini, biaya anu....
Sutoyo tersenyum kecut. Namun dia terus mencoba menghibur diri. Dosis kamu ya memang segitu, Yo! Mbok aja ngaya... mengko ndak rekasa tak usah memaksakan diri, nanti jadi sengsara. Umpamanya, mendadak saja gajinya naik sampai satu miliar, karena kaget, dia pun pingsan. Pingsannya bablas koit berlanjut mati, kan malah jadi amburadul semuanya. Uang satu miliar jadi sama sekali tak ada gunanya. Rumah megah, mobil mewah, tak bisa dikirim ke alam kubur.
Seolah ingin melupakan secangkir brotowali cairan terpahit dari jamu yang barusan diguyurkan ke mulutnya, Sutoyo dengan sigap mempersiapkan senjata bertempurnya. Sekop, gerobak sampah, dan sapu lidi. Krisis boleh membelit, tetapi kinerja harus tetap elit. Dia tak mau merengek-rengek seperti anggota dewan, yang kerjanya keteteran namun paling giat jika menuntut kenaikan take
home pay. Meski hanya sebagai tukang sampah, dia berani menantang para pejabat untuk beradu bantah. Pertanyaan yang akan dia ajukan kepada sang pejabat itu sederhana saja.
Siapa di antara kita yang warga negara sejati" Tentu saja yang tahan meski krisis men-smack down dengan bantingan ala pedagang kue di sebelah rumahnya yang setiap hari membanting-banting adonan tepung terigu untuk kemudian dia cetak menjadi potongan kue-kue seharga 300 rupiah.
Seperti Pak Guru Sumirat, urban dari Wonogiri sama seperti dirinya, yang dari pagi hingga petang meloncat dari satu sekolah swasta ke sekolah swasta lainnya, mencerdaskan anak bangsa dengan pelajaran matematika. Bekerja 12 jam sehari untuk mendapatkan total penghasilan tak lebih dari 500 ribu per bulannya. Padahal dari segi pendidikan, Pak Sumirat jauh lebih tinggi dari Sutoyo. Pak Sumirat lulus D3, sedang dia, SMP saja tidak lulus. Apa arti uang sebanyak itu untuk modal bertahan di kota semacam Solo yang kian hari kian kehilangan elan kemanusiaannya" Meskipun beberapa orang yang dikenalnya sering mengatakan bahwa biaya hidup di kota bengawan itu relatif lebih rendah dibanding kota-kota semacam Jakarta, Surabaya atau Bandung, bagi dia yang menggantungkan hidup dari tumpukan sampah yang menggunung di
sepanjang Kali Pepe, biaya yang rendah itu masih sulit untuk dia jangkau.
Namun, kesulitan tak akan membuatnya membiarkan diri terkapar tanpa daya. Sutoyo bahkan punya analogi tersendiri yang cukup mampu membuat semangatnya terbakar. Seandainya ikan, kita ini belut. Belut harganya murah, tetapi dia bisa tinggal di dalam lumpur, berbeda dengan ikan gurami yang mahal tetapi sekarat kalau dilempar ke air yang tak jernih. Jangankan lumpur, di air yang hanya sedikit keruh saja sudah sekarat.
Demikian dia memberi wejangan kepada diri sendiri. Zaman sekarang wejangan itu mahal. Atas nama biaya hidup yang harus ditanggung, para pemberi wejangan sering mengomersialkan manik-manik hikmah yang diberikan. Karena itu, memberi petunjuk kepada diri sendiri adalah salah satu bentuk penghematan yang dilakukan olehnya.
*** Usai menyelesaikan kewajiban-kewajibannya dengan uang-uang kumalnya, Sutoyo memutuskan untuk giat penuh semangat. Meski duit sedikit, kalau ikhlas, pahala akan diguyurkan dari langit. Apalagi, Sutoyo pernah mendengar sebuah ceramah yang dibawakan oleh seorang ustadz muda di masjid dekat rumahnya. Kata sang ustadz, yang dia tak tahu namanya, kadang limpahan keberkahan itu muncul
dari arah yang tak terduga-duga, namun berawal dari usaha yang tak kenal lelah. Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim a.s., misalnya. Saat berada di padang pasir dan melihat Ismail, bayinya, menangis kehausan, Siti Hajar berusaha keras mencari air.
Beliau berlari-lari dari Bukit Shafa ke Bukit Marwa sebanyak tujuh kali karena melihat kilauan air, yang ternyata hanya fatamorgana. Ternyata, air justru didapatkan dari entakan kaki Ismail. Tetapi, Hajar meyakini, bahwa sesungguhnya kemudahan itu berawal dari usaha kerasnya berlari-lari dari Bukit Shafa menuju Marwa di tengah padang pasir yang panas membara, jelas ustadz itu. Sesungguhnya Allah hanya sedang menguji keteguhan, kesabaran, ke-tatag-an dan ketabahan hati manusia, namun hasil dari perjuangan itu, terkadang justru dari arah yang tak diperkirakannya.
Sutoyo sangat terkesan dengan perkataan ustadz itu. Ustadz yang tampan, gaya menawan, dan mengundang rasa heran. Heran, karena jika si ustadz ini mau menawarkan diri ke televisi, tentu dia akan terkenal dan mendapatkan bayaran tinggi.
Wah, Pak Sutoyo, bagi saya, onta merah yang dijanjikan Allah jauh lebih menggiurkan daripada itu semua, ujar si ustadz, ketika iseng-iseng Sutoyo menanyakan hal tersebut. Sutoyo bingung, seraya membayangkan, bagaimana
sulitnya para pemilik televisi jika harus mendatangkan onta merah sebagai bayaran jika suatu saat ustadz itu benarbenar menjadi dai kondang dan tampil di televisi.
Berharap suatu saat mendapatkan semacam air dari entakan kaki Nabi Ismail, Sutoyo melangkah pelan, diikuti istrinya, Sutini yang menggendong sebuah keranjang besar terbuat dari bambu. Mereka menyusuri gang-gang sempit, mengambil keranjang-keranjang sampah dan menumpahkannya ke gerobak. Sebuah ritme yang mencetak reflek di sumsum tulang belakang. Sedemikian lekatnya dia dengan irama yang tercipta, Sutoyo sering secara tidak sadar menirukan gerakan tersebut. Saat makan, saat termangu menunggu bus kota, bahkan saat dia berkecipak di bak mandinya yang airnya tak pernah benarbenar bersih, sebab airnya dia ambil dari Kali Pepe yang semakin hari semakin meninggi derajat pencemarannya. Untuk mengambil air dari PAM jelas tidak mungkin. Selain harganya sangat mahal, mana mungkin kaum urban yang tak tercatat sebagai penduduk kota, yang menghuni tanah negara dengan status pemukim liar, akan dikabulkan permohonannya sebagai pelanggan.
Setelah beberapa jam berjibaku, kini dia sampai di tempat pembuangan akhir di kawasan Putri Cempo, Mojosongo. Beberapa teman seprofesi menyapa, menanyakan kabar dalam bahasa jalanan yang kasar namun akrab, dia balas dengan sapaan dan pertanyaan balik. Bukan
basa-basi, sebab hubungan mereka memang serasi. Humorhumor segar, sebagian agak kotor maklum keluar dari mulut tak berpendidikan berhamburan, disambut gelak membahak, membahana, meramaikan pagi yang mulai gemuruh.
Kenapa Arab Saudi kalau main bola kalah-kalah melulu"
Soalnya jarang latihan" Bukan"
Terus, apa" Soale, bal sing dienggo main digawe saka kulit babi 1 . Begitu mau menyenggol kaki para pemain Saudi, mereka langsung lari sambil teriak, haram! haram!
Sutoyo bukannya acuh tak acuh. Soal humor, dia pakarnya. Namun dia ingin bekerja lebih keras, agar lembaran kumal namun berharga yang dia dapat lebih banyak. Maka pekerjaannya hampir memasuki fase purna, segera dia mengangkat gerobaknya, memiringkan hingga sekian derajat busur, sehingga sampah-sampah itu tumpah. Plastik-plastik berisi seribu satu jenis limbah perumahan dari nasi busuk hingga bangkai tikus yang mati keracunan, kardus-kardus bekas, pecahan botol, besi-besi, kertas, berderak meluncur untuk membentuk onggokan gununggunung kecil.
1 Soalnya bola yang dipakai bermain dibuat dari kulit babi
Nanar, sepasang matanya melacak pegunungan sampah itu, mengira-ngira barang-barang apa saja yang bisa dia punguti kembali. Status resmi Sutoyo sebenarnya tukang sampah, bukan pemulung seperti istrinya. Namun rasanya tak ada undang-undang yang melarang seorang tukang sampah membantu kerja seorang pemulung dalam mengumpulkan sampah-sampah yang bisa didaur ulang seperti kertas-kertas, kardus, besi-besi, plastik, dan sebagainya. Untuk yang satu itu, tak ada yang meragukan bahwa mereka adalah pasangan serasi. Anto pernah ditanya gurunya, apa pekerjaan orangtuanya" Lantang dia menjawab, Bapak tukang sampah, Ibu pemungut sampah!
Klop! Profesi mereka memang menggambarkan betapa kedekatan Sutoyo dan Sutini seperti Mimi dan Mintuno. Mereka saling membutuhkan. Saling mencintai. Bau sampah yang busuk bahkan membuat cinta mereka semakin wangi. Meski hanya wong cilik, mereka memproklamasikan diri mereka sebagai pasangan Bapak- Ibu dengan dua anak yang percaya bahwa orang-orang terhebat di dunia adalah ayah dan ibu mereka. Sutoyo yakin bahwa anak yang mencintai orangtuanya adalah anak yang percaya bahwa objek yang dicintai tersebut adalah orang terhebat di dunia, meskipun profesi mereka hanya pemulung, hanya tukang sampah. Dan dia sangat mensyukuri hal itu. Pada kenyataannya, banyak direktur,
pejabat tinggi, serta orang-orang borjuis yang gagal mendapatkan rasa hormat dari anak-anaknya.
Untung saja Anto dan Anti tidak pernah menjawab jadi pemulung atau tukang sampah jika ditanyai gurunya tentang cita-citanya. Bisa berabe!
Sutoyo mengacak-acak tumpukan sampah dengan sekopnya. Lantas Sutini dengan cekatan memilah-milah barang yang ada. Kertas, plastik, besi, logam lainnya.... Hanya ketekunan dan kesabaran yang akan membuat orang-orang semacamnya mampu bertahan hidup di tengah himpitan zaman yang begitu arogan. Mungkin ketekunan dan kesabaran itulah yang membuat Anto berpendapat semacam itu. Orang tekun memang termasuk langka di zaman yang serba tergesa-gesa ini. Pada zaman di mana orang berharap menjadi kaya hanya dengan ucapan sim salabim! Sekali tepuk duit menumpuk!
Seonggok plastik membuat mata Sutini melebar, ditindaklanjuti dengan sumringah geraknya. Kemarin dia pernah mendapati onggokan tertutup plastik hitam, dan oleh karenanya dia panen uang, karena onggokan itu ternyata rongsokan beberapa barang elektronika berupa radio bekas dan tabung TV hitam putih, serta sepeda bekas yang harganya lebih mahal dibanding sampah apapun. Meski onggokan yang kemarin ditemukan tidak memancarkan
aroma busuk, dia percaya bahwa hari ini akan mendapatkan keberuntungan yang sama. Maka dia pun segera menarik ujung plastik hitam itu, dan serangkum bau yang sangat khas busuknya menyengat, membuat jidatnya tertekuk, napasnya gemuruh dan sarafnya melakukan senam poco-poco.
Goncang, dan sebuah letusan keras membuatnya tegang. Letusan yang tidak berasal dari ledakan granat, tetapi teriakan mulutnya sendiri.
Sutini terpekik. Pekiknya memenuhi kaidah stratifikasi, semula pelan lalu bertambah keras, bertambah keras.... Sambil memekik, mata Sutini melotot. Tak berkedip memandangi objek di depannya.
Ternyata plastik besar itu menutupi sesosok mayat... yakni mayat seseorang yang sebelum roboh mengira bahwa dirinya telah disulap menjadi kayu.
Pak ... mayat! Itu mayat! Mayat"
Iya, mayat! Betul. Mayat. Tetapi kenapa mayat" Entahlah, yang jelas itu mayat. Ya, ada mayat di sini!
Mayat siapa" Ya ndak tahu. Yang jelas bukan mayatku... .....
Kisah yang telah berlangsung seminggu lalu itu ternyata tak menyisakan apapun, kecuali sepetak kontrakan Sutoyo yang semakin marak oleh hadirnya TV 14 inci second yang dia beli dari sisa uang kafan. Sutoyo sebenarnya tidak mata duitan, tetapi melihat mayat di tempat pembuangan akhir itu, tiba-tiba otaknya bergerak cepat. Selalu ada celah untuk mendapat rezeki, begitu bahasa Sutoyo. Seperti itu juga yang diyakininya terjadi pada para pejabat yang begitu jeli melihat peluang. Ada tikus di depan mata, kebangetan sekali jika seekor kucing tidak langsung menyikatnya. Jangankan di depan mata, menyelinap di sudut gelap saja tetap memikat untuk disergap. Apalagi tikus memang tak pernah beranakpinak di tempat yang benderang. Sudut gelap adalah gudang harta bagi kucing yang cerdas, karena di sana mereka akan mendapati istana-istana tikus yang penuh dengan bayi-bayi tikus alias celurut yang tentu sangat sedap untuk dimangsa sebagai dinner-nya. Dan mencari sudut gelap adalah sebuah tantangan tersendiri bagi seekor kucing....
Untuk yang satu itu, yakni dalam persoalan mendapatkan celah rezeki Sutoyo sering memuji diri
sendiri, bahwa dia sebenarnya punya insting bisnis yang cukup kuat. Dia semakin memuji diri sendiri karena untuk itu, dia tak perlu berubah menjadi kucing. Dia masih bergerak di area halal, meskipun mungkin agak samar-samar. Tak apalah, area abu-abu jelas lebih baik daripada kelamnya malam pekat.
Dia pun memasang tratag tenda besi, meminjam kursi di tempat Pak RT serta membagikan surat lelayu. Meskipun para tetangga mengerti betul bahwa lelayu itu bukan anggota keluarga Sutoyo, mereka tetap datang dan memasukkan amplop di kotak sumbangan. Apalagi, Sutoyo dan istrinya termasuk orang-orang yang rajin melayat, menghadiri pengajian akikah ataupun pernikahan, yang tentu saja selalu dibarengi dengan amplop sumbangan. Mereka telah merasa kepotangan memiliki hutang dan wajib membayar hutang itu dengan mendatangi griya duhkita rumah duka yang hanya sebuah rumah petak dengan dua ruangan yang dibeli secara ilegal dari seorang makelar tanah.
Dari hasil sumbangan tetangga-tetangga serta temanteman satu profesi, Sutoyo pun berhasil mengumpulkan uang cukup banyak. Uang yang ternyata hanya dia gunakan sebagian kecil untuk mengganti pembelian kain kafan yang sebelumnya diambilkan dari celengan Anto. Selanjutnya, penguburan orang asing itu banyak mendapat bantuan dari
pemerintah setempat. Dari uang itu, Sutoyo sanggup membeli televisi yang meskipun bekas, tetapi cukup layak. Dia dan keluarga tidak perlu mengungsi ke rumah tetangga untuk menonton sinetron kesayangan mereka di salah satu stasiun TV. Sinetron yang tak mengenal ending, karena begitu habis satu episode, maka akan disambung episode lainnya, tak habis-habis.
Sebenarnya, yang paling berminat dengan sinetron itu adalah Sutini dan Anti, karena Sutoyo dan Anto lebih senang menonton sepak bola, badminton atau balapan mobil Formula 1 sembari membayangkan, suatu saat dia bisa menjadi sopir mobil sport itu dan menjajal kedahsyatan medan tempur skala dunia. Ada cita-cita tersendiri pada para perempuan itu dengan tontonan yang mereka lihat.
Aku pengin ngelamar jadi salah satu pemerannya, Pakne, kata Sutini yang spontan dijawab dengan tawa cekakakan sang suami.
Alaaaah, wong badan saja kayak tong mau melamar jadi artis.
Lho, jadi artis itu ndak harus cantik dan bertubuh semok. Tuh, ada peran jadi babu. Meskipun jadi babu, bayarannya pasti gedhe. Lebih gedhe daripada susah-payah jadi pemulung.
Anti yang punya paras lumayan manis lebih tinggi lagi standarnya. Dia ingin melamar menjadi peran pembantu, teman si artis utama misalnya. Terkait dengan keinginan Anti itu, Sutini mendukung habis-habisan. Anti ini sakjane ayu 2 lho. Kalau di mik-ap dengan kosmetik sing luarang tur uapik 3 , pasti wajahnya mencor-mencor!
Satu kebiasaan baru Sutoyo dan Sutini pasca penemuan mayat yang terjelma menjadi harta karun itu, mereka lebih gencar mengobrak-abrik sampah, berharap ada mayat lain tergeletak, sehingga mereka kembali mendapatkan rezeki nomplok. Kehidupan yang keras telah menjadikan manusianya bermental mesin. Mesinnya beraneka ragam, mulai dari mesin ketik kuno yang bunyi ketak-ketuknya mengalahkan suara stik yang dihantamkan ke perangkat drum, hingga mesin web pencetak lembaran koran termodern yang harganya mencapai puluhan miliar. Oleh karenanya, segala pernik hidup tersketsa dan disajikan dalam sudut pandang rasio. Bukan kesalahan Sutoyo jika tertulari mazhab ketidakpedulian. Tidak peduli bahwa kegencaran mereka dalam mengomersilkan mayat temuannya, barangkali akan mencipta luka pada orang-orang yang merasa kehilangan.
2 Sebenarnya cantik 3 Maksudnya larang tur apik , mahal dan bagus
Hingga pada suatu hari, seorang gadis datang menyentakannya. Gadis itu membuatnya tersadar, bahwa kematian pasti selalu meninggalkan tetesan air mata. Gadis itu ngotot mengenali mayat yang fotonya tertera di halaman sebuah surat kabar kriminal itu. Dia bahkan memaksanya untuk membongkar kubur si mayat.
Itu gila menurut Sutoyo. Tetapi, gadis itu tak mau peduli. Sutoyo geleng-geleng kepala dibuatnya. Betapa banyak orang edan yang tidak mengira bahwa dirinya itu sebenarnya edan. Ya betul, to... kalau orang edan tahun dirinya edan, berarti dia tidak edan.
Gadis itu datang dengan rambut awut-awutan. Dia menggedor satu-satunya pintu di rumah Sutoyo pagi-pagi buta. Tangisnya telah menyublim menjadi gumpal kesedihan yang dia sembunyikan di balik mata sipitnya. Apakah kau telah mengubur kayu"
Apa" Kayu" Ya, kayu. Tepatnya manusia yang disulap menjadi kayu. Kehidupan, dan aku sendirilah yang telah menjadikan dia sebagai kayu. Tetapi percayalah, aku akan mengubahnya. Aku akan mengubah kayu itu menjadi manusia, manusia baru!
Sutoyo bengong. Percayalah& aku akan mengubahnya menjadi manusia baru& .
Dan Sutoyo terbelalak ketika gadis itu menyodorkan sesuatu padanya. Setumpuk uang yang sangat banyak.
Bongkar kuburan itu. Bongkar! Berikan kayu itu padaku, dan aku akan mengubah kayu itu menjadi manusia. Mayat itu& .
Kayu. Dengar itu, kayu. Bukan mayat. Kau mengerti"
Solo, 1936 Sore itu adalah tanggal 25 Pasa. Saat yang membuat kota Solo gemah ripah oleh keramaian yang diselenggarakan oleh Keraton Kasunanan, terutama saat malam hari di Sriwedari. Belum juga bom pertama dibunyikan, sekitar Kebon Raja itu telah dimeriahkan oleh delman-delman, sepeda kebo, dan oto yang dinaiki para priyayi dengan busana warna-warni dan perhiasan gemerincing. Yang laki-laki kebanyakan mengenakan jas bukak lengkap dengan horloge di saku dan blankon iket kethu, yang perempuan dengan kain sutera atau batik, serta kebaya berenda-renda. Namun, ada juga sebagian dari mereka yang mengenakan busana ala barat, dengan celana panjang, kemeja serta jas, dan yang perempuan
Dua mengenakan rok panjang, kemeja berkerah bulat serta topi lebar.
Entah apa yang membuat mereka memutuskan untuk berbusana gaya Jawa ataupun Eropa, yang jelas wajah mereka, para priyayi itu cerah ceria. Sama halnya dengan sebagian warga kelas bawah kota Solo yang ikut berjejal di keramaian Sriwedari. Jika para priyayi itu tampak bersinar oleh pesona kemuliaan yang dimiliki, maka mereka cukup terceriakan dengan tubuh yang minimal tidak beraroma tengik sebab seharian bekerja, sebagai buruh pabrik gula di Colomadu, pekerja pabrik batik di Laweyan, kuli di pasar Gede, pegawai kereta api, atau penggarap lahan yang tidak produktif di sekitar Solo, semisal Sukoharjo, Wonogiri atau Sragen yang tanahnya pelit menghadiahkan humus. Mereka riang oleh hiburan rakyat yang cukup mengentaskan peluh yang seharian terkuras.
Keramaian yang digelar malam itu bermacam-macam. Ada wayang kulit, ketoprak, wayang orang, serta film yang diputar di bioscoop. Suara gamelan berpacu irama dengan musik waltz dan chaca yang diputar dari piringan hitam. Sebuah perkawinan budaya yang terkesan dipaksakan. Bagaimanapun, telinga orang yang biasa mendengar gending Jawa memainkan Kendangan, Kutut Manggung atau adegan Jejer Wayang hingga Tancep Kayon, tentu akan
sulit beradaptasi dengan denting piano rancak yang menyuguhkan simfoni Mozart, atau keroncong morisko dengan syair dalam bahasa Belanda yang dikhususkan untuk para meneer yang juga banyak terdapat di Kebon Raja itu.
Raden Mas Kertapati melirik sejenak keramaian itu ketika lewat di depan Sriwedari. Dia menaiki kereta kuda yang dikusiri Paimin bersama Raden Nganten Kertapati yang ketika masih gadis bernama Raden Ajeng Sunarsih. Raden Mas Kertapati sebenarnya suka sekali melihat film di bioscoop, demikian juga Raden Nganten yang selalu mewajibkan diri menyaksikan pagelaran wayang orang yang ditampilkan di malam keramaian itu. Namun ada peristiwa besar yang sedang terjadi hari itu, di rumah mereka di kampung Laweyan. Peristiwa itu membuat mereka tergesa-gesa pulang, setelah seharian meninjau toko-toko batik mereka di Pasar Klewer.
Kebon Raja ramai, Diajeng.... desis Raden Mas Kertapati. Suara kendangan-nya benar-benar indah. Sepertinya judul wayang yang dipentaskan di pendapa joglo itu Babad Ramayana. Ning Dewi Sinta-ne kok ejik ning kene"! 4 Raden Mas Kertapati atau biasa dipanggil dengan singkatan Denmas Kerta melirik istrinya yang ayu itu dengan senyum simpul.
4 Tapi Dewi Sintanya kok masih di sini"
Namun Raden Nganten benar-benar sedang tercengkeram gelisah, hingga tak berminat menanggapi guyon sang suami. Dia bahkan berkali-kali, dengan suara tak sabar menyuruh Paimin mempercepat laju kereta kudanya.
Min, jarane ndang kon mlayu cepet! Kok lelete bangetbanget 5 , keluhnya.
Diajeng, Sabar to... secepat-cepat jalannya dokar, ya nggak bakalan nandingi oto atau sepur. Sabar to, Sunarsih....
Sabar, sabar! ketus Raden Nganten. Genduk wedhok 6 sedang menyabung nyawa di rumah, masih disuruh sabar" Mestinya tadi ndak ikut ke Klewer, menunggui Gunarti, tapi panjenengan memaksa, seakan-akan kain batik itu lebih penting dari anak sendiri.
Denmas Kerta memicingkan mata. Lalu tertawa perlahan, memperlihatkan giginya yang putih cemerlang, tanpa ada bekas-bekas nikotin sedikit pun apalagi candu, seperti yang banyak terdapat pada para lelaki Jawa. Istriistri Raden Mas lainnya, apalagi juga berasal dari kalangan priyayi, tak ada yang mau sembrono kepada suaminya, apalagi sampai berperilaku seperti Sunarsih. Namun Denmas Kerta yang pernah beberapa tahun tinggal di Nederland itu memandang sikap Sunarsih sebagai kemajuan yang cukup berarti. Wong wedhok juga berhak ngomong,
5 Min, kudanya disuruh berlari cepat, kok lambat sekali 6 Anak perempuan
ujarnya selalu. Perempuan juga berhak berbicara. Pendapat yang ditentang habis-habisan oleh kaum lelaki, khususnya dari kalangan ningrat.
Wong wedok 7 itu, ya, dapur tempatnya, selain sumur dan kasur.
Semulia-mulianya wanita adalah yang mampu menempatkan diri sejajar dengan turangga, kukila, curiga lan griya 8 di mata lelaki. Jika kelima hal itu telah dimiliki, seorang lelaki akan menjadi seorang lanang sejati.
Denmas Kerta seorang priyayi modern. Sikapnya yang lebih memilih menjadi saudagar batik dibanding menjadi amtenar atau pegawai gubernemen banyak dicibir, terutama oleh keluarga besarnya yang darah ningratnya sekental kopi tubruk. Saudagar itu bukan pekerjaan terhormat, hanya profesi kaum menengah yang tentu saja bukan jatahnya orang-orang ber-trah luhur alias berdarah biru. Kalau dalam tradisi Hindu dahulu, saudagar atau pedagang itu masuk kasta ketiga, yaitu waisya.
Raden Mas Kertapati yang pernah sekolah ekonomi di Rotterdam tentu saja tergelak mendengar komentar orangorang di sekitarnya. Bathiku dagang bathik 9 jauh lebih
7 Perempuan 8 Kuda, burung, keris dan rumah. Dalam tradisi Jawa, para lelaki dianggap telah sempurna dalam pencapaiannya jika telah berhasil memiliki kuda, burung, keris, rumah dan perempuan (istri).
9 Keuntungan saya berjualan batik
besar dari gaji regent atau sinder, kalau saja mereka tahu. Zaman sekarang ini, uang segalanya. Orang-orang Eropa datang jauh-jauh ke Hindia kan juga buat cari uang. Dan VOC itu apa kalau bukan kompeninya para saudagar"
Dan bahkan karena laba yang besar itu, Raden Mas Kertapati bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai Eropa. Raden Gunardi, anaknya yang sulung belajar di sekolah ingenieur insinyur di Delf, Nederland. Prestasinya konon sangat bagus, terlalu bagus untuk menetap di Hindia yang masih sangat terbelakang. Gunardi pun memilih tinggal di Den Haag, setelah kepincut dengan perempuan bermata biru dan berambut jagung, Betje Angela Walter. Gunardi tidak peduli dengan ibunya yang misuh-misuh marah besar, karena memilih mengawini orang asing dibanding gadis-gadis ningrat yang disodorkannya.
Anak kedua, Raden Gunarto, satu almamater dengan kakaknya. Namun dia memilih untuk pulang ke Jawa, dan kini bekerja sebagai asisten residen alias bupati di sebuah afdeling di timur Jawa. Dia seorang laki-laki muda yang penurut, tunduk pada kemauan sang ibu, oleh karena itu dia menjadi anak kesayangan. Sampai usia lebih dari 30 tahun, Gunarto belum menemukan kembang yang tepat untuk dia persunting. Dia selalu mundur teratur jika kembang yang ditawarkan kepada orangtuanya ternyata tidak mendapatkan pandangan sumringah dari sang ibu.
Payahnya, bunga yang disodorkan sang ibu juga tak ada yang membuat Gunarto menangguk setuju.
Anak ketiga, Raden Karyadi, lulusan HBS dan kini bekerja di Solo sebagai pegawai gubernemen. Berbeda dengan kedua kakaknya yang moderat, Karyadi sangat kolot. Dia dekat sekali dengan Raden Mas Sunaryo Kartalegawa, kakeknya, ayah Raden Nganten Sunarsih yang paling keras menentang Raden Mas Kertapati.
Bapakmu itu keblinger, Le... mentang-mentang sudah pernah ke Nederland, terus bertindak seenak hatinya. Begitu cara RM Sunaryo memanas-manasi Karyadi. Raden Nganten Kertapati yang pada dasarnya juga sependapat dengan ayahnya itu, sangat mendukung keinginan Karyadi untuk mengangkat kembali citra keluarga yang rusak karena Denmas Kerta memilih menjadi saudagar. Namun sejauh itu, Karyadi juga menganggap citra yang rusak itu juga disebabkan oleh sikap sang ibu.
Anak bungsu Raden Mas Kertapati, seorang wanita cantik lulusan MULO. Raden Ajeng Gunarti. Gunarti telah menikah dengan seorang pemuda yang satu sekolah dengannya, Muhdhor bin Abdurrahman Alattas. Si bungsu itu sekarang sedang hamil tua. Itu yang membuat Raden Nganten gelisah. Tadi pagi, rewang pembantu Gunarti datang dengan tergesa, mengabarkan bahwa sang puteri itu mau melahirkan.
Gunarti babaran 10 , Kangmas..., desahnya gelisah. Gunarti babaran. Anak pertama. Biasanya sulit. Dulu pas aku melahirkan Gunardi, dua hari dua malam sakitnya dan si Gunardi ndak mau keluar-keluar. Baru setelah dipanggilkan dokter dan disuntik & apa itu, Gunardi mau keluar. Sakiiiitnya luar biasa.
Orang melahirkan, kan memang selalu sakit, to, Narsih, ujar Denmas Kerta, terlihat santai. Ndak usah terlalu cemas.
Panjenengan, para lelaki selalu dengan gampang mengatakan hal itu. Coba kalau panjenengan jadi perempuan! Raden Nganten kian gelisah. Siapa yang mendampingi Gunarti" Ayo, cepat, Kusir!
Lha ... kan, di sampingnya ada Muhdhor, suaminya itu. Kenapa bingung"
Huh! Si Mudor. Bisa apa dia" ketus Raden Nganten, selain dia tak terlalu fasih menyebut kata Muhdhor, dia juga sengaja menggunakan tekanan kata yang tak nikmat didengar itu sebagai bentuk kebenciannya kepada sang menantu. Paling-paling cuma melompong seperti macan ompong!
Pernikahan Gunarti dengan Muhdhor Alattas memang serasa kiamat bagi sang Raden Nganten. Bagaimana tidak" Muhdhor hanya seorang guru partikelir dengan gaji kurang 10 melahirkan
dari 10 gulden. Muhdhor memang juga memiliki pekerjaan lain, yakni saudagar batik. Tetapi saudagar bukanlah posisi terhormat seperti amtenar. Padahal Raden Nganten Sunarsih sangat berambisi untuk menjadikan anakanaknya sebagai ningrat sejati. Kesalahan ayahnya tidak akan terulang pada anak-anaknya.
Apalagi Muhdhor bukan ningrat. Dia berdarah Arab, tepatnya Hadramaut. Ayahnya, Kyai Haji Abdurrahman Alattas adalah seorang muslim yang taat. Dia memiliki sebuah madrasah tempat belajar Al-Quran dan kitab-kitab salaf seperti Bulughul Maraam, Riyadhus-Shalihin, dan Subulus-Salaam di Kauman. Sebagaimana orang-orang Arab pada umumnya, Kyai Abdurrahman Alattas juga berdagang. Dia saudagar batik, seperti Raden Kerta. Hubungan mereka sangat dekat, oleh karenanya perjodohan itu bagi mereka adalah berkah. Raden Nganten tidak mampu berbuat apa-apa untuk menentang hubungan mereka. Apalagi Gunarti dan Muhdhor telah saling jatuh cinta. Konon cinta itu sudah muncul ketika Gunarti yang masih menjadi salah satu siswa di madrasah Kyai Abdurrahman Alattas. Gunarti belajar alif-ba-ta, dan Muhdhor menjadi ustadz-nya.
Resah itu berbongkah-bongkah di hati Raden Nganten. Pada zamannya dulu, sepertinya tabu seorang wanita jatuh cinta, dan memilih orang yang dicintainya sebagai suami.
Dia tidak pernah jatuh cinta kepada laki-laki, karena sejak dia mulai kelihatan dewasa, dia telah dipingit. Kehidupannya telah dijauhkan dari keriuhan manusia. Dia belajar membatik, memegang canting hingga prigel, belajar meramu jamu tradisonal, luluran, hingga memasak dan menjahit pakaian. Usia 13 tahun, seorang laki-laki meminangnya, dan dia tidak punya hak apapun untuk berkata tidak.
Jadilah dia istri Raden Kertapati. Beruntunglah karena Raden Kerta tidak seperti lelaki-lelaki ningrat lainnya. Dia sabar, mau mengajari istrinya dan banyak memberinya wawasan baru. Raden Nganten pun mulai merasakan cinta yang menelusup ke relung hatinya setelah lima tahun menikah dan melahirkan Gunardi serta Gunarto. Sejatinya, diam-diam merasa iri, karena Gunarti bebas memilih lelaki yang dicintainya untuk menjadi suami. Suatu hal yang sering dinisbatkan sebagai sebuah kekualatan.
Sebenarnya tidak sesuatu yang dia benci dari sikap Raden Kerta, kecuali kemoderatannya. Sayangnya, kemoderatan itulah yang justru sering membuat mereka harus berbeda pendapat. Dia masih mau menerima keberadaan suaminya sebagai saudagar, meski dia benarbenar melarang anak-anaknya mengikuti jejak ayahnya. Dia juga tidak banyak protes ketika Raden Kerta memilih aktif di Sarekat Dagang Islam, yang kemudian menjadi Sarekat Islam, mengikuti jejak para saudagar batik di Solo pada
umumnya. Itu urusan laki-laki, katanya. Namun ketika Raden Kerta menikahkan Gunarti, permata hatinya dengan Muhdhor, amarahnya meledak.
Muhdhor kuwi punya apa" Cuma guru, tidak ada darah ningrat.
Tetapi dia anak kyai, Narsih....
Huh, kyai. Terus nanti dia akan dipanggil Nyai, begitu" Panjengan niku pancen sampun keblinger, Kangmas.... 11
Tetapi lagi-lagi, Sunarsih akhirnya menganggap bahwa dia adalah wanita Jawa sejati yang harus nrimo, pasrah ing pandum, alias menerima bulat-bulat apa kehendak suami. Dia telah mencoba bersabar dan belajar menerima kenyataan. Namun tingkah Muhdhor sering benar membuatnya naik darah.
Sebulan setelah menikah, Muhdhor memboyong istrinya untuk tinggal di rumah mereka yang dibuatkan oleh ayahnya di kampung Sondakan. Raden Nganten menganggap, guru di sebuah HIS Muhammadiyah itu telah menculik puteri kesayangannya. Perang dingin pun tak terhindarkan.
Berbulan-bulan Raden Nganten tidak mau datang ke rumah itu. Ketika mereka berkunjung ke dalem Kertapaten di Laweyan, Raden Nganten hanya mau menemui Gunarti. 11 Anda memang sudah keblinger, Kangmas&
Muhdhor tidak dia izinkan masuk ke dalam rumah, dan hanya mencakung diam di atas kereta anginnya. Ketika hari raya Idul Fitri tiba dan Muhdhor bermaksud sungkeman kepada ibu mertuanya, Raden Nganten pun menolak bertemu. Semula Muhdhor mencoba mengalah, namun lama-lama hatinya diliput amarah. Perang pun menjadi lebih ramai karena dua pihak yang bertikai sama-sama melancarkan serangan.
Kericuhan itu berlangsung beberapa selang waktu yang cukup panjang. Tak ada tanda-tanda akan dimulainya gencatan senjata, sampai Minah, rewang Gunarti datang tergopoh-gopoh ke dalem Laweyan tadi pagi.
Den Ayu mau melahirkan! Gunarti mau melahirkan. Artinya, Raden Nganten akan punya cucu. Cucu pertama. Gunardi di Den Haag sana benarbenar mengecewakan, karena tak mampu membujuk sang istri untuk menyempatkan diri mengandung anak-anak mereka. Betje si mata biru itu memang tidak mau hamil, takut tubuhnya jadi rusak katanya. Dan Raden Nganten memang pada dasarnya, meski baru membayangkan, enggan untuk menimang-nimang bayi indo yang dalam pemikirannya pasti akan blonteng 12 cokelat-putih. Ayo, Min. Ndang 13 sampai di rumah, desaknya lagi.
12 Belang 13 Segera Kita harus segera ke Sondakan, ke rumah Gunarti. Diajeng, insya Allah Narti pasti selamat. Iya, kalau yang menangani bukan Muhdhor goblok itu. Muhdhor itu pintar. Alim. Dia anak kyai, lulusan Holland Indische Kweek School.
Tetap tidak sepintar anak-anak kita. Dia pasti bingung, bagaimana cara mencari dokter yang hebat. Kalaupun dapat, dia pasti tidak punya duit buat membayarnya. Wong kerjaannya cuma guru. Gajinya berapa" Paling sepuluh gulden.
Jangan lupa, Muhdhor itu saudagar lho. Kau tahu, duitnya saudagar itu lebih banyak dari regent 14 lho. Buktinya, aku ini....
Panjenengan berbeda. Panjenengan ini saudagar ningrat, saudagar pintar.
Walaah, kau ini tahu ndak, Kyai Haji Abdurrahman Alattas itu guru saya dalam masalah berdagang.
Kan Kyai Abdurrahman Alattasnya, bukan Muhdhor, sentak Raden Nganten Sunarsih, ngeyel.
Paimin yang mengemudikan dokar itu hanya angkat bahu melihat pertengkaran kecil itu yang baginya sudah terasa biasa itu. Bukan suami istri Raden Kertapati namanya jika tidak 14 Bupati
mengarahkan pembicaraan yang bahkan awalnya riang gembira menjadi percekcokan yang panas dan menjengkelkan. Meski berwajah cantik dan keturunan ningrat, bagi Paimin, Raden Nganten itu sosok yang menyebalkan.
Bukan urusanku! Desis Paimin, sembari sesekali mengekang tali kendali, menahan laju dokar, menghindari jalan yang berlubang sekaligus padat oleh berbagai kendaraan. Jalan yang menghubungkan Pasar Klewer dengan Kampung Laweyan memang jalan yang ramai. Jalan itu membelah Kota Solo menjadi dua, sejajar dengan rel kereta api dari Wonogiri yang juga menjadi batas teritorial antara Keraton Kasunanan dengan Puri Mangkunegaran. Sedan para meneer dan orang kaya pribumi, delman, kuda, sepeda onthel, dan yang terbanyak ... para pejalan kaki bersliweran. Mereka kebanyakan adalah para pedagang yang barusan mencari nafkah di Pasar Gedhe dan Pasar Klewer, buruh pabrik batik di Laweyan, serta penduduk Kota Solo lainnya yang bergerak dalam alun dinamis.
*** Kampung Laweyan berasal dari kata Lawe. Sebagian penduduk di sana memintal benang lawe menjadi kain, oleh karena itu kampung tersebut diberi nama Laweyan. Kain-kain yang dipintal itu lantas digoresi dengan canting yang berisi cairan malam, untuk kemudian berubah menjadi batik berbagai motif. Beberapa jenis batik, kini
dilukis menggunakan cap. Tentu saja harganya tidak semahal batik yang benar-benar digores dengan canting, dalam sebuah ketelitian dan ketekunan yang luar biasa. Kesibukan yang telah menradisi itu membuat Kampung Laweyan terkenal sebagai pusat industri batik terkemuka, yang cukup menyemarakkan perekonomian kuta Sala.
Raden Kertapati adalah salah seorang saudagar batik yang cukup berhasil, oleh karena itu hidupnya pun sangat makmur. Sebenarnya bukan sebuah kebiasaan yang wajar jika seorang priyayi, apalagi berpendidikan barat seperti Raden Kertapati memilih pekerjaan sebagai saudagar. Biasanya profesi itu dipilih oleh kalangan santri semacam Haji Samanhudi, tokoh saudagar batik yang mendirikan Sarekat Dagang Islam beberapa tahun silam. Kalangan priyayi lebih banyak mendominasi kantor-kantor pemerintahan, menjadi pegawai, orang-orang yang dekat dengan meneer Belanda.
Sebagai seorang saudagar kaya, rumah Raden Kertapati sangat besar dan indah, meski dari luar tak terlalu tampak, sebab dikelilingi dengan benteng tinggi, sebagaimana umumnya rumah-rumah di daerah Laweyan. Sebuah rumah joglo luas berdinding kayu jati dan atap sirap, berlantai marmer dengan masjid yang cukup besar di halaman. Masjid itu dia bangun setelah menunaikan ibadah haji bersama Haji Abdurrahman Alattas, besannya sendiri lima tahun silam. Namun berbeda dengan Haji Abdurrahman
Alattas yang menetap selama beberapa tahun untuk berguru di Mekah seusai berhaji, Raden Kertapati memilih pulang ke Hindia Belanda. Dia pun menolak dipanggil Haji Kertapati karena tahu sekali apa makna jika seseorang dipanggil haji di tanah Jawa ini, khususnya di Sala.
Entah mengapa, Haji yang sebenarnya hanya sebuah sebutan untuk muslim yang telah menunaikan rukun Islam kelima di tanah suci itu, telah menjadi simbol kefakihan seorang muslim. Raden Kertapati ingin membantah anggapan itu, oleh karenanya dia separuh nekad mengikuti besannya itu berhaji di tanah suci, meski saat itu dia belum bisa lancar mengaji Quran.
Naik haji itu kewajiban orang Islam, ujarnya, jadi bukan jaminan seorang yang naik haji itu telah mendalami Islam dengan baik.
Meskipun demikian, jelas terdapat perubahan yang cukup nyata pada Raden Kertapati. Dia menjadi sosok yang cukup saleh, tak lagi mau menengak arak, menari tayub, dan hanya bisa tersenyum geli saat para tetangga dan kongsi bisnisnya memanggil dengan panggilan Raden Haji.
Kini Raden Haji Kertapati dan sang istri memasuki regol rumah jati yang sering disebut Dalem Kertapaten itu dengan langkah tak seperti biasanya. Raden Nganten akibat kecemasan yang bertalu-talu, sedang Raden Haji karena debar menanti cucu pertama yang akan terlahir.
Pendapa yang luas itu sepi, namun sesosok tubuh yang sedang termangu duduk di atas kursi penjalin sudut kanan depan. Dia seorang laki-laki muda berkopiah dan berkemeja putih bersih. Wajahnya yang lelah memperlihatkan kantuk yang luar biasa. Mungkin beberapa malam dia terpaksa menunggui sang istri melahirkan.
Muhdhor, lelaki itu memang terkenal sangat perhatian kepada istrinya. Sikap itulah yang pada satu sisi sering menimbulkan konflik dengan sang ibu mertua.
Muhdhor, sudah lama menunggu" tanya Raden Haji, ramah. Baginya, Muhdhor adalah menantu yang hebat. Aktivis Sarekat Islam yang masih kerabat jauh Haji Samanhudi itu memang saleh dan penuh tanggung jawab. Raden Kertapati yang muak dengan pergaulan para priyayi yang kebarat-baratan, terkadang bahkan lebih Belanda dari Belanda yang sebenarnya, termasuk para anak-anaknya sendiri, seakan menemukan seberkas telaga penawar pada diri Muhdhor. Dia jelas bukan pribumi asli, tetapi nasionalismenya lebih membara dari pribumi pada umumnya. Muhdhor aktif dalam pergerakan nasional menuju kemerdekaan, selain juga seorang dai yang cukup mumpuni. Oleh karena itu, tanpa pertimbangan yang berbelit-belit, sang Raden Haji pun menerima dengan baik, begitu Haji Abdurrahman Alattas mengutarakan maksud untuk menjodohkan puteranya itu dengan Gunarti. Meski
Raden Nganten dan keluarga besar mereka menentang keras-keras, sebuah pernikahan yang sederhana namun penuh berkah pun tergelar di Masjid Jami Laweyan.
Muhdhor bangkit menyambut kedatangan mertuanya itu. Saya ingin menyampaikan sebuah kabar gembira, bahwa Gunarti sudah melahirkan, Romo, Ibu& .
Apa" Pekik Raden Nganten. Rasa sukacita yang meledak-ledak sesaat membuatnya lupa, bahwa dia pernah berjanji untuk tidak berucap sekecap pun kepada menantunya itu. Dia juga terlupa, bahwa sebelum ini, dia tak pernah mengizinkan menantunya itu masuk ke dalam rumahnya. Gunarti wis babaran"
Injih. Laki-laki atau perempuan" Kali ini Raden Kerta yang bertanya.
Perempuan, jawab Muhdhor, tanpa menyembunyikan raut bahagia di wajahnya.
Duh, matur nuwun Gusti Pangeran& . Begitu gembira sang Raden Nganten, sampai ucapan itu terlepas dari mulutnya di depan sang menantu. Dia selalu berharap agar anak Gunarti adalah perempuan. Jika perempuan, dia masih punya kesempatan untuk memperbaiki trah dengan menikahkan dengan laki-laki bangsawan kelak. Dengan demikian, cucu yang akan terlahir suatu saat, akan kembali
memiliki gelar Raden atau Raden Rara. Darah biru itu anugerah tuhan, dia harus pertahankan.
Istrimu sehat-sehat saja" tanya Raden Kerta. Ya, Romo. Sehat. Bayinya juga sehat, dan cantik. Muhdhor tersenyum bangga. Tentu, siapa dulu eyang puterinya, gerutu Raden Nganten.
Akan kau beri nama apa anakmu" tanya Raden Haji. Siti Fathimah Az-Zahra, Romo. Sebab dia mirip dengan neneknya yang tinggal di Hadramaut, namanya juga Fathimah Az-Zahra.
Jadi anak Gunarti itu berwajah Arab" Ini benar-benar kecelakaan, pekik hati Raden Nganten, marah. Bagaimana mungkin calon istri seorang Raden Mas yang menjad bupati di salah satu telatah Jawa berwajah serta bernama Arab"
Nama macam apa itu" Jelek. Tidak! Saya sudah punya nama untuk cucuku. Ayu. Sekar Ayu Kusumastuti. Dia itu orang Jawa. Tidak boleh namanya jadi aneh begitu.
Fathimah itu nama puteri Kanjeng Nabi Muhammad, lho& . ujar Raden Kertapati. Dan nama itu doa, Sih. Kalau cucu kita bernama Fathimah, berarti kita sedang berdoa agar cucu kita itu besok bisa semulia Siti Fathimah.
Pokoke ora! 15 sengit Raden Nganten. Nama cucuku 15 Pokoknya tidak!
itu harus Sekar Ayu Kusumastuti. Kalau tidak, aku tidak akan mengakui sebagai cucuku! Sambil menggebrak pintu, Raden Nganten masuk ke dalam rumah.
Raden Kertapati angkat bahu, Muhdhor menunduk. Jika kemarahan sang ibu mertua telah diterjemahkan dalam ledakan, cara yang terbaik untuk menghadapinya adalah diam. Saat itu, Supinah, rewang di dalem Kertapaten keluar dengan dua cangkir teh panas. Namun Muhdhor tak memiliki keinginan sedikit pun untuk menyentuhnya, apalagi menyeruput dan menikmatinya, meskipun teh buatan Supinah sangat terkenal dengan kelezatannya. Teh nasgitel, panas legi tur kenthel. Panas, manis dan kental. Dalam keadaan normal, Muhdhor yang sangat menggemari teh, bisa mencecap habis hingga satu teko.
Sepertinya saya harus segera pulang, Romo& . desah Muhdhor. Ibu tampaknya tidak senang saya ada di sini. Tetapi mungkin saya tidak jadi menamai puteri kami itu Fathimah. Sekar Ayu Kusumastuti, nama itu juga indah.
Baiklah kalau begitu& , Raden Kertapati menganggukangguk. Tetapi bersabarlah, Muhdhor. Perempuan itu ya, seperti itu.
Injih, Romo& . *** Perputaran jagad memang senantiasa memberi korban. Detik-detik yang terlewatkan, sering membuat orang berpikir untuk memposisikan diri sebagai penengah dari dua kutub ekstrim. Namun di mana pun, berada di tengah-tengah itu sulit, sebab membutuhkan energi yang lebih banyak. Sementara pasokan energi manusia itu jumlahnya terbatas.
Jika terlalu banyak energi yang terkuras, maka yang muncul adalah lungkrah, lelah. Seperti itu juga yang tengah dirasakan oleh Raden Kertapati.
Kelahiran Sekar Ayu Kusumastuti yang diharapkan oleh seantero manusia, ternyata menjadi sumber perpecahan keluarganya. Raden Nganten tiba-tiba seperti bangkit kembali keinginannya merebut sang puteri begitu melihat sosok cucunya yang jelita bak kuntum mawar yang merah segar itu. Setiap saat ledakan-ledakan emosinya memancing-mancing kemarahan Raden Kerta untuk terlontar.
Dia harus dididik sebagai gadis ningrat. Harus! ujarnya, sengit. Aku tidak rela jika dia harus menjadi orang asing yang berbaur dengan orang-orang Arab itu. Lantas, apa maumu, Diajeng"
Aku rela kalau Gunarti ikut suaminya yang rakyat jelata itu. Tetapi Ayu" Tidak! Dia harus jadi puteri sejati yang tahu tata krama. Yang mengerti adat keningratan.
Raden Kerta melirik istrinya, senyumnya terlempar. Kau sendiri sudah lama kehilangan keningratanmu, Sih... bagaimana bisa berkoar-koar seperti itu. Seorang istri yang ningrat itu selalu menjaga sikap dengan ngajeni suami, pasrah sumarah yang terkadang berlebihan. Suami adalah dewa bagi wanita Jawa.
Kalau Muhdhor ndak mengizinkan, kamu mau apa" Apa haknya dia untuk tidak mengizinkan" Raden Kerta tertawa. Justru sikap ketus Sunarsih itulah yang terkadang memicu kerinduannya. Kowe ini bagaimana" Wong Muhdhor itu bapaknya, kok. Ya tentu saja dia punya hak atas Ayu.
Pokoknya, apapun caranya, Ayu harus ikut bersama eyang puterinya.
Semula Raden Kerta tidak terlalu mempedulikan ucapan sang istri. Selama hampir tiga puluh tahun hidup bersama membuat dia sangat mengerti gejolak hati Sunarsih. Dan dia cukup bijak untuk memahaminya. Namun ketika suatu hari Muhdhor datang dengan wajah pucat pasi, dia ikut khawatir juga.
Romo, Ayu... hilang! Apa" Hilang"
Saat itu Gunarti sedang mandi. Ayu di-emong oleh
rewang. Nah, ketika ditinggal rewang sebentar ke dapur itulah, Ayu tiba-tiba lenyap. Rewang ngotot bilang, kalau Ayu diculik Bethara Kala. Kata rewang, Ayu harus diruwat, ditanggapke wayang dengan lakon Murwa Kala.
Tawa Raden Kerta meledak. Kowe iki, santri tapi percaya Bathara Kala. Itu sirik namanya. Ingin kutunjukkan di mana Bathara Kala menyimpan anakmu" Dados, Romo sampun mangertos 16 "
Baru saja Bathara Kala berubah jadi seorang wanita. Paras Muhdhor menunjukkan kebingungan. Tawa Raden Kerta semakin keras. Ayo, ikut saya ke dalem Kertapaten!
Dengan jelas Raden Kerta menyaksikan wajah sang menantu memerah padam melihat seorang wanita ningrat tengah menimang seorang bayi cantik di pendapa Kertapaten, Raden Nganten.
Dados, punika Bethara Kalanipun" 17 dengusnya, tampak tidak senang. Raden Kerta tercekat, dadanya berdesir. Tidak biasanya Muhdhor berkata sinis. Apakah kesabaran lelaki itu telah terkikis habis"
Maaf Ibu! ujar Muhdhor, keras. Ayu harus disusui Ibunya. Jadi, dia harus pulang sekarang!
Sunarsih yang sedang bersenandung lagu tak lelo lelo
16 Jadi, Bapak sudah tahu" 17 Jadi, itu Bathara Kalanya"
lelo ledhung berbalik. Parasnya yang tadi begitu sumringah berubah membuar amarah.
Ini cucuku, ngerti"! sentaknya. Dia harus ikut eyangnya.
Tidak! tegas Muhdhor. Saya adalah ayahnya. Saya yang bertanggung jawab mendidik Ayu!
Kau tidak punya hak apa-apa! Setelah kau rampok Gunarti, Ayu harus kalian serahkan sebagai ganti!
Wajah Muhdhor merah padam. Lelaki muda itu marah, desis Raden Kerta, getir. Tentu. Dua tahun menikah dengan Gunarti, dan haknya sebagai seorang suami selalu dirongrong. Tak pernah berhenti. Mereka berebut cinta. Ujung-ujungnya yang jadi pertaruhan adalah harga diri. Sunarsih sebagai seorang ibu yang telah melahirkan dan membesarkan, Muhdhor sebagai seorang suami yang merasa punya hak memiliki sang istri.
Sebuah konflik yang cukup melelahkan. Dan tentu saja mencabik-cabik harga diri seorang lelaki. Raden Kertas sangat memahami. Oleh karenanya, dengan sabar lelaki yang sudah beranjak senja itu mendekati Muhdhor, menekan pundaknya dengan pijatan lembut. Muhdhor, Romo memahami perasaanmu. Tetapi coba kau juga memahami perasaan Ibumu. Dia itu kesepian. Anakanaknya jauh, tidak bersama dengannya. Cobalah menerima kenyataan ini, Muhdhor... Romo mohon!
Biasanya lelaki muda itu akan langsung surut begitu mendengar nasihat ayah mertuanya itu. Tetapi, kali ini Muhdhor terlihat sangat kesal. Meski mencoba berkali-kali menenangkan diri dengan menghela napas panjang, raut wajahnya masih tampak keruh.
Baiklah. Sampai beberapa hari, saya akan membiarkan Ayu ikut eyangnya. Tetapi pekan depan, usai salat Jumatan, saya akan jemput Ayu.
Ternyata ucapan Muhdhor tidak pernah menjadi kenyataan. Dua hari setelah dia mengucapkan kata-kata itu, dia jatuh sakit. Keras. Raden Kerta tidak tahu sebelumnya bahwa Muhdhor memiliki sebuah penyakit yang cukup parah. Setelah tiga hari terbaring di rumah sakit, dia menghempuskan napas terakhir.
Gunarti pun menjadi janda muda.
Mei 1998 Jika ada jiwa yang terkoyak saat ini, salah satu
diantaranya adalah aku, kutilang mungil yang sering memimpikan tumbuhnya sayap di atas lengan. Sayap yang membuatku mampu terbang mencari manik-manik makna yang bertebaran di angkasa raya. Aku tak pernah mengerti, seberapa tipis batas kematian dan kehidupan, meski aku sangat paham, bahwa keduanya memang berjalan seiring sejalan. Makna tentang keseiring-sejalanan itulah yang sejak kecil ingin kutemukan. Dan seiring bersama perjalanan waktu, kutilang mungil ini memang seringkali menjumpai makna itu berserakan mendatangiku.
Tiga Mendatangiku. Namun selalu saja harus kutebus dengan harga teramat mahal.
Seperti saat ini. Aku menemukan diriku tergeletak di tengah puingpuing yang semula adalah bangunan megah yang sering kupandangi dengan segenap kebanggaan. Kebanggaan semu, karena dalam keadaan terjepit seperti ini, kebanggaan itu tak mampu menyelamatkanku. Bahkan untuk sekadar menghiburku, menghidupkan kematian jiwa yang kini menimpaku.
Dari amuk. Dari jerit kebinasaan. Yang membuatku menjadi separuh manusia. Aku telah kehilangan separuh jiwaku. Tangis di sekitarku telah tergumpalkan menjadi luka yang dalam. Aku telah berteriak sekeras lengkingan serigala yang tampaknya menyeramkan, padahal bagi sang serigala itu adalah lengking bertanda kesakitan. Sakit dari perut lapar yang tak terisi. Sakit dari kodrat yang ditetapkan atas keberadaannya sebagai binatang yang mengerikan.
Aku pun menggigil. Kumparan malam telah menyihirku dalam kebekuan. Bahkan panas matahari yang
mencengkeram segenap persada, seakan tak mampu mencairkan salju yang melingkupi hatiku, jiwaku. Puncak Mount Everest seakan telah berpindah memayungiku. Menjadi salju abadi yang membuat gigil yang tercipta pun abadi.
Dia korban pemerkosaan, bisikan seorang lelaki berjas putih itu menyakiti hatiku.
Korban pemerkosaan. Aku mengerang. Meradang. Seakan ingin memapas sosok-sosok beringas yang semalam itu menghempaskan aku kepada jurang kenistaan.
Kasihan dia, ujar lelaki itu lagi, samar-samar kutangkap, meski gumpalan salju itu menghalangi seluruh organ tubuhku untuk bekerja normal seperti sediakala.
Kenapa" tanya seorang wanita, juga berpakaian serba putih.
Rumahnya dibakar. Tokonya dijarah. Ayahnya stres, masuk rumah sakit jiwa. Dan ibunya bunuh diri, tak kuat menahan kesedihan.
Aku tak mengerti, kenapa para manusia menjadi seganas itu. Mereka telah kehilangan separuh jiwanya.
Itukah gambaran dari hidupku" Ayahku, Papa Ruddy yang tampan seperti David Chiang masuk rumah sakit jiwa. Mama Elena bunuh diri. Dan aku..." Aku terbaring tanpa daya. Jemariku mendadak terkepal. Kepedihan menjalar
begitu deras, menebarkan aroma giris yang mematikan segenap asa.
Tidaaaakk!! teriakku tiba-tiba. Dengan segenap lengking, lengking tersempurna. Tak perlu Bang Dion, pelatihku di teater sekolah membentak-bentak agar aku bisa mengaum seperti serigala, sekarang aku telah sanggup menjadi lebih ganas dari macan sekalipun.
Tidaaaaakkk!! Dokter dan perawat itu tersentak mendengar katarsis yang kumuntahkan. Mereka tergesa-gesa menghampiriku. Namun aku tak mau membuka mata. Aku tak mau mereka tahu, bahwa aku telah terbangun dari lelap dan mendengarkan pembicaraan mereka. Kurasakan perawat itu memeriksa tubuhku, infus, serta berbagai alat kedokteran yang mereka pasang.
Mungkin dia bermimpi buruk.
Mimpi buruk" Ya... dan aku tak tahu, kapan aku bisa mengenyahkan mimpi buruk itu. Aku tak tahu! Mungkin byte-byte mimpi buruk itu bahkan telah ter-copy pada salah satu neuron, tanpa aku mampu men-delete-nya. Setiap kali sebuah icon tersentuh, maka mimpi itu akan muncul, terprogram dengan sendirinya. Kurasakan mataku tiba-tiba mengalirkan cairan hangat.
Kasihan, desah lelaki itu, sang dokter. Dia masih
terlalu muda. Baru semester enam di fakultas kedokteran. Nilai-nilainya bagus. Sebenarnya masa depan gadis ini sangat gemilang, jika saja....
Jika saja anjing-anjing itu tidak menerkamku. Tidak menghancurkan hidupku.
Aku tak pernah mengerti, mengapa mereka setega itu.
Mei Hwa, Dan Sang Pelintas Zaman Karya Afifah Afra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** Namaku Cempaka. Lengkapnya Suryani Cempaka Ongkokusuma. Papaku, Ruddy Ongkokusuma, seorang keturunan China bermarga Ong. Sedang Mama Elena Mayanita adalah gadis keturunan Jawa-Minahasa yang jelita. Keturunan China dan Minahasa, lengkap sudah paras Asia Timurku. Mata sipit, kulit putih, tulang pipi agak menonjol, bibir merah dan rambut lurus. Meski ada darah Jawa, aku sama sekali tidak mirip orang Jawa. Kata orang aku cantik, tetapi yang sering memujiku habis-habisan adalah Papa.
Aduhai Mei Hwa, betapa indah parasmu terpandang dari sepasang mata Papamu ini, ujarnya setengah berpuisi. Nama asliku memang Mei Hwa, Ong Mei Hwa. Karena alasan pembaharuanlah Papa dan keluarga menetapkan nama Jawa untukku, serta dua orang kakakku, Leo alias Suryadi Leonardo, dan Zak alias Suryanto Zakaria.
Semula aku tak pernah menganggap lebih pujian Papa, karena dia pun sering mengatakan Leo ganteng, padahal
menurutku ia jelek. Jerawat yang terlalu banyak, seperti bulir-bulir kacang hijau pada rempeyek yang sering dibuat Bik Nah, pembantu rumah tangga kami. Papa juga sering mengatakan Zak gagah seperti Arnold Swachzeneger, padahal mengangkat barbel seberat lima kilogram saja dia kelimpungan.
Tetapi ketika Ryan Ardan, lelaki bermata bintang kejora itu mengatakan aku cantik, saat itu aku kelas 1 SMU, diam-diam aku menyelinap ke kamar mandi sekolah, memandangi wajahku secara teliti di balik cermin. Saat itu kutemukan wajah dengan mata sipit yang sering kubenci gara-gara waktu TK aku sering diejek teman-teman yang berlarian sambil berteriak, China... China!
Waktu TK, kami sekeluarga memang pernah tinggal di sebuah kota kecil yang jumlah warga keturunan Tionghoanya sedikit. Papa saat itu berprofesi sebagai pedagang besi tua. Di kota itulah, aku menghabiskan waktu hingga kelas 2 SD. Ketika bisnis Papa mulai maju, dan itu aku lihat sendiri, memang berasal dari kerja keras dan disiplinnya yang sangat kuat, kami sekeluarga berpindah ke Jakarta.
Aku merasa Ryan Ardan hanya mengejekku, persis teman-teman di TK dulu.
Aku sadar bahwa aku cantik ketika Anita Mui, aktris
Hongkong itu dipuji-puji oleh kawan-kawanku. Seharian kupandangi wajah Anita Mui yang tergambar di sebuah poster yang kubeli di tepi jalan, dan kubandingkan dengan wajahku. Ternyata mirip. Jadi, aku memang cantik. Aku mulai percaya diri.
Dan ternyata, kecantikan itu membuat para lelaki berebut mendekatiku.
Setelah Ryan Ardan gagal memikatku karena aku menuduh dia hanya meledekku, muncul setahun kemudian, Andi Wirawan. Dia ketua OSIS, idola teman-teman di SMU. Ketika kami memutuskan untuk jadian seluruh sekolah gempar.
Bintang kelas itu ternyata bisa jatuh cinta juga. Yang disebut bintang kelas itu tentu saja aku, karena sejak kelas 1, aku selalu berhasil menyabet predikat juara umum. Ternyata aku lebih dikenal sebagai gadis yang genius, peraih beberapa medali emas olimpiade fisika dan matematika daripada gadis berwajah seperti Anita Mui. Hanya sekitar 3 bulan kami jalan bersama, dengan cinta monyet yang untuk sekadar bergandengan tangan saja sekujur tubuh terasa gemetar, ketakutan setengah mati. Padaku tentu saja. Andi sendiri tampak begitu santai. Mungkin dia sudah sangat berpengalaman dalam pacaran, tidak seperti aku yang culun dan kuper. Pada saat nilaiku merosot, serta merta aku menuduh hubungan itu sebagai
penyebab. Aku pun menjauhi Andi. Pacaran pertama pun berlalu tanpa kesan, kecuali sebuah kenangan, bahwa Andi adalah orang yang pertama kali mengajakku nonton bersama di bioskop Twenty One. Saat itu Andi mencoba menciumku, namun aku menghindar seraya berlari separuh ketakutan. Dalam pandanganku, mendadak bibir Andi telah berubah menjadi paruh elang yang akan mengoyak-moyak jika mampir ke pipiku.
Saat kelas tiga, aku begitu tersibukkan dengan target. Aku ingin menembus Fakultas Kedokteran PTN tanpa tes. Cita-citaku, jika bukan Universitas Airlangga, Universitas Gajah Mada atau Universitas Indonesia, minimal Universitas Diponegoro, yang konon bagus fakultas kedokterannya. Papa sebenarnya ingin aku belajar di luar negeri, mewujudkan obsesinya yang sempat patah. Selepas sekolah menengah atas di Macao, Papa sebenarnya diterima di faculty of medicine Harvard University, sebuah jurusan yang menurutku sangat prestisius. Akan tetapi, ketiadaan biaya membuat Papa terpaksa hanya bisa menggigit jari kuat-kuat untuk mereduksi ngilu di hati. Saat muda, Papa Ruddy memang bukan pengusaha sukses seperti sekarang ini. Dia hanya seorang remaja yatim piatu yang meninggalkan kampungnya di pinggiran kota Macao untuk mengadu untung di tengah gemerlapnya metropolitan Hongkong. Ya, Papa sangat menginginkan aku menjadi penerus citacitanya yang terputus.
Dokter lulusan Harvard, keren banget, Mei Hwa! Sayangnya Mama, Leo dan Zak kompak untuk tidak sepakat. Mei Hwa tidak akan sanggup tinggal di negeri orang. Dia masih culun begitu!
Mama, aku percaya bahwa pelarangan itu memang berdasar atas rasa takut berpisah denganku. Sedangkan Zak dan Leo, selain perasaan yang sama, kupikir ada hal lain yang tersembunyi di balik ketidaksepakatannya. Mereka cemburu, itu jelas. Zak pernah meminta Papa membiayainya kuliah di Australia, sedangkan Leo di Paris. Kedua proposal itu ditolak mentah-mentah. Untuk Zak, seratus persen, karena Papa menilai, Zak tidak terlalu pintar dalam masalah akademik.
Kamu ikut Papa saja latihan kerja, jualan di Glodok, cari skill! ujar Papa, pedas tapi berdasar realita.
Sedangkan proposal Leo, Papa memang juga menolak, tetapi dia tetap diizinkan menempuh pendidikan tingginya di Singapura. Untuk Leo, pasti ada alasan lain. Papa ingin Leo yang pintar berbisnis itu lebih banyak mendampingi beliau di Jakarta.
Tetapi kerja kerasku ternyata tidak menghasilkan sesuatu yang kudambakan. Aku tidak berhasil menembus PMDK, dan itu membuatku hampir putus asa. Akhirnya aku ikuti UMPTN, dan diterima di FK Universitas Sebelas Maret
yang terletak di tepi Bengawan Solo. Sebuah kota yang tak pernah masuk dalam anganku sebelumnya, namun ketika menetap di sana, mendadak aku merasa kerasan setengah mati. Apalagi, UNS juga ternyata kampus negeri yang cukup berkelas. Selain itu, kota Solo adalah kota yang menurutku sangat dinamis. Di kota ini pula aku mulai mengenal dia & sosok lelaki yang mencipta cinta, sekaligus luka.
Berpisah dengan orangtua banyak menyadarkanku tentang keterkungkungan yang aku alami selama ini. Ternyata aku hanya seekor kutilang mungil yang selalu mendekam ketakutan di sangkar emas, padahal alam semesta begitu luas dan terlukis dengan indahnya di atas kanvas kehidupan. Kutilang mungil itu pun mulai tumbuh besar, terutama setelah bertemu dengan seorang lelaki bersayap garuda.
Wibowo. RM Wibowo Sukmawijaya.
Lelaki ber-trah keraton yang memukauku setengah mati. Aku geli melihat parasmu yang pucat melebihi mayat ini! Apakah kau takut" Kau mengira begitu kita memegangmegang tubuh mayat ini, maka dia akan bangun dan berubah menjadi vampire yang mengejar-ngejarmu" ucapnya ketika berdua tengah menghadapi sesosok kadaver tanpa identitas yang barusan diambil dari panti lelayu RSUD Muwardi yang lebih mirip bangunan sebuah play group karena cat-cat meriahnya yang berwarna hijau muda,
kuning gading dan merah jambu. Kata beberapa petugas, warna-warni meriah itu dimaksudkan untuk menghilangkan kesan suram dan menakutkan.
Kau bicara sama aku" tanyaku, bloon. Tiga temanku yang sama-sama anggota kelompok entah beranjak kemana, sementara dosen barusan izin ke kamar mandi.
Tentu. Masak aku bicara sama kadaver. Di sini hanya ada kita berdua kan"
Mengapa kau bicara padaku" Aku tak mengenalmu. Itulah satu hal yang ingin kukritik darimu. Sikapmu yang lebih senang menyendiri, seakan tak ingin mengenal dan bergaul dengan orang selain yang sama-sama rasnya, bisa menjadi preseden kurang baik terhadap kaum Chinese yang tinggal di negeri ini.
Preseden kurang baik"
Yah. Selama ini banyak yang menganggap bahwa orang China itu sombong, tak mau berbaur dengan pribumi, karena menganggap kaum pribumi itu rendah.
Saya tidak pernah punya pemikiran semacam itu, sahutku, dengan suara meninggi. Ucapan lelaki itu membuatku merasa tersinggung. Dan maaf, aku tak suka kau sebut China. Aku orang Indonesia, meski aku keturunan Tionghoa. Aku senang bergaul dengan siapapun, tak pernah membeda-bedakan status orang berdasarkan warna kulit.
Tetapi, selama ini kau memang senantiasa mengasingkan diri. Tak pernah mau bergaul. Kau bahkan tak mengenalku, padahal kita teman satu angkatan dan sudah hampir 3 semester kita sama-sama kuliah di tempat ini. Yang kutahu, gumamku, ragu, Namamu Wibowo" Ya. Aku tahu, kau Cempaka bukan"
Kita satu angkatan. Tetapi jarang ngobrol. Kau tertutup sekali. Sebenarnya bukan begitu, gagapku dalam hati. Andai kau tahu, betapa terbukanya aku kepada Papa, Zak, Leo atau Mama. Aku hanya tidak biasa bicara masalah pribadi dengan orang yang tidak begitu kenal dekat. Padahal aku jarang bisa dekat dengan orang lain.
Sebenarnya, aku juga ingin dekat dengan temanteman. Akan tetapi, aku takut mereka tak mau menerimaku. Karena kau Cina"
Tionghoa. Atau China, memakai H. Aku tak suka kau sebut Cina.
Kenapa kau tak mau disebut Cina" Apa beda Cina dengan China dengan H, atau dengan Tionghoa"
Cina adalah sebutan yang merendahkan untuk bangsa Tionghoa. Dahulu, orang-orang Jepang menyebut bangsa Tionghoa dengan Cina. Jika kau tak mau disebut sebagai
indon oleh orang Malaysia, jangan sebut kami dengan Cina. Akan tetapi, kau harus tahu, bahwa aku hanya separuh Tionghoa. Ayahku keturunan Jawa-Minahasa. Tetapi paras Tionghoa kamu mendominasi. Salahkah itu"
Tidak. Siapa yang bisa menyalahkan seseorang hanya karena seseorang itu terlahir sebagai China pakai H ya Jawa, Jepang atau semit. Kau ini cantik, menarik dan pasti pintar! Jika kau sedikit membuka diri, akan banyak orang yang suka padamu.
Aku merasakan cuping hidungku melebar. Wajahku memanas. Pasti semburat kemerahan tengah menghias sepasang pipiku yang putih mulus tanpa jerawat.
Kurasa aku pun telah menjadi salah seorang yang suka padamu. Aku jatuh cinta padamu. Maukah kau jadi pacarku"
Begitu sederhana. Tidak ada setangkai kembang rumput atau cincin dari daun kelapa seperti yang ada pada puisi-puisi Zak yang romantis. Tidak ada ungkap mendayudayu, apalagi tembang cinta. Ternyata jatuh cinta itu sangat mudah. Tidak membutuhkan enzim-enzim dengan struktur kimiawi yang rumit. Cukup sebuah persatuan dua unsur sederhana, Na + dan Cl , dan jadilah sebuah persenyawaan yang begitu terkenal, NaCl alias garam dapur.
Tetapi yang terjadi kemudian ternyata tak sesederhana awalan. Padahal, seringkali terjadi, untuk membuat sebuah awalan, susahnya luar biasa.
Keluarga Wibowo yang berdarah keraton tak mau menerima kehadiran seorang gadis berdarah China. Sebuah kisah yang klise, basi, kuno, bauhela... namun menyakitkan. Keluarga keraton Surakarta tentu masih ingat bahwa karena pemberontakan besar yang melibatkan orang-orang Tionghoa pada tahun 1740-an hingga 1750-an telah berhasil menghancurkan pusat kerajaan Mataram di Kartasura. Keraton saat itu hancur luluh, dan pusat Mataram pun berpindah ke Solo, atau yang kemudian dinamai sebagai Surakarta.
Perseteruan itu ternyata diwariskan hingga berabadabad kemudian. Meski Wibowo tak sanggup meninggalkanku dan bersikeras untuk tetap melanjutkan hubungan, tetapi aku menganggap cerita itu telah finish. Time is up! Aku punya harga diri, selemah apapun kepakan sayapku. Aku memutus hubungan dengan Wibowo hanya dengan satu buah SMS. Sederhana. Sesederhana awalan itu.
Tetapi, patah hati itu di mana-mana tersketsa rumit. Bahkan, patah hati paling sederhana sekalipun. Jika kau pernah merasakan patah hati, kau akan sependapat denganku. Patah hati nyaris membuat jiwaku mati. Untungnya aku tak mau terjerembab dihantam badai
frustasi. Aku memilih pengalihan yang menurutku baik. Aku terus belajar, belajar, dan belajar. Sesekali aku pergi ke gereja, mengadukan kehidupanku yang tak punya variasi ini kepada Yesus, meski keluargaku lebih percaya kepada Dewi Kwan Im. Namun aduan itu tidak pernah dijawab, meski hanya dengan lintasan semangat.
Untuk beberapa saat lamanya, hatiku dikeringkan dengan cinta, sampai kemudian muncullah pendekar jalanan itu. Firdaus Yusuf. Entah mengapa, aku tergila-gila kepada lelaki itu, padahal tak ada keistimewaan sedikitpun yang mampu menawan hatiku. Dia tidak terlalu tampan, bahkan terkesan dekil, dan juga bukan mahasiswa kedokteran. Padahal aku sering berangan-angan, jika besok menikah, suamiku haruslah dokter, seperti diriku. Entah mengapa, aku selalu mengobsesikan sebuah kesempurnaan dalam sosok seorang dokter. Nyata-nyatanya, aku melihat teman-temanku, baik putera maupun puteri di kelasku, ratarata persis seperti bayanganku. Rapi, pintar, analitis, cekatan, rajin& dan beberapa memiliki tampang rupawan.
Tetapi, saat bertemu pendekar jalanan itu, aku merasakan sebuah sensasi lain yang mengobrak-abrik obsesi itu. Aku menyukainya dengan celana jeans yang lusuh, kemeja yang tak pernah dimasukkan, rambut yang sedikit menyentuh bahu meski tak bisa dikatakan gondrong, dan kumis serta jenggot yang sedikit berantakan.
Beberapa perbedaan yang lain juga semestinya masuk dalam pertimbangan agar aku tidak bersikap tolol dengan menjatuhkan harapan padanya. Pertama perbedaan agama. Dia Islam, sepertinya agak fundamentalis, dan kabarnya dia berasal dari keluarga ulama yang terpandang di daerahnya, sedang aku Kristen, meskipun jarang mendatangi gereja. Pencarianku terhadap makna ketuhanan yang tak terpuaskan oleh beberapa agama yang kupelajari, nyaris membuatku ateis. Kedua, Firdaus seorang aktivis mahasiswa. Tulen. Konon darah aktivis juga diturunkan dari ayah dan ibunya, serta kakek-neneknya yang aktif terlibat dalam pergerakan nasional.
Firdaus jelas aktif di senat. Bahkan menjabat sebagai ketua senat. Dia giat turun ke jalan untuk berdemo dan berani menggugat kebijakan-kebijakan para pemegang keputusan yang dia rasa bertentangan dengan rasa keadilan yang tentu saja keadilan versi dia, karena aku percaya bahwa para eksekutif itu bukanlah orang-orang bodoh yang begitu saja membuat sebuah kebijakan. Ya, Firdaus adalah gambaran mahasiswa yang mendewakan idealisme kepahlawanan sebagai tujuan hidupnya. Sangat berbeda dengan aku yang hanya mengerti, bahwa tugas mahasiswa sebenarnya belajar, belajar, dan belajar. Klop dengan konsep normalisasi kehidupan kampus yang diterapkan oleh rezim orde baru untuk membungkam sikap
kritis golongan yang berkali-kali menciptakan sejarah, sebagai biang perubahan dari masa pergerakan, revolusi kemerdekaan 45, pergantian rezim tahun 66 hingga kasus MALARI.
Sejarah pergerakan mahasiswa itu aku tahu beberapa saat kemudian, ketika Firdaus menyodorkan setumpuk makalah kepadaku. Sebelumnya, mata pelajaran itu sungguh tak punya daya tarik, terutama jika dibanding dengan fisika, matematika, kimia, dan biologi. Jika nilai sejarahku selalu di atas delapan, itu terjadi hanya karena otakku memang telah terbiasa ditempeli ingatan yang terkadang begitu instan sehingga mudah menguap begitu hati tak menyentuhnya dengan persentuhan yang membuat semakin lekat.
Maka bergelintir kekaguman pun memaksa bibirku untuk sesering mungkin berdecak. Kekaguman pada mata jiwa yang tiba-tiba terbuka lebar saat menatap realita. Firdaus Yusuf ternyata begitu mahir menjadi juru kunci hatiku. Dia telah membuka pintu hatiku yang semula tertutup rapat selebar-lebarnya. Maka hari-hariku pun menjadi penuh gemuruh.
Gemuruh itu diawali ketika mendengarnya berorasi pada sebuah demo yang diikuti hanya oleh segelintir mahasiswa di boulevard kampus. Demo menentang kebijaksanaan kampus yang berniat menaikkan SPP. Dia begitu lantang, begitu gagah, memesona. Aku yang saat itu
memasuki boulevard kampus dengan sedan honda accord-ku diam-diam menepi, lalu turun dan bersandar di badan mobil, memperhatikan jakun laki-laki itu turun naik seirama dengan teriakannya.
Kita harus bela kaum yang tak mampu! serunya. Pendidikan adalah hak setiap warga bangsa. Mestinya pemerintah mengalokasikan dana yang lebih untuk pencerdasan para anak bangsa. Anda tahu Mesir" Mesir adalah negara miskin, tetapi biaya pendidikan di sana gratis, Saudara-saudara!
Tentu aku tidak tahu, apakah yang dia katakan itu benar atau tidak. Apakah betul sekolah di Mesir itu gratis. Kalaupun gratis, tampaknya aku tak tertarik untuk bersekolah di sana. Tak ada universitas yang menjanjikan kehidupan pasca kampus yang gemilang seperti Harvard atau Oxford. Lagipula, Papa Ruddy, dengan kekayaannya, sangat sanggup untuk membiayai sekolahku sampai tingkat apapun, di negeri dengan biaya pendidikan semahal apapun.
Namun, kata-kata itu senantiasa mengiang-ngiang di telingaku. Kadangkala tercetak dengan latar melodi Kitaro Matsuri. Gagah. Maka, begitu dia selesai berorasi dalam demo tersebut, tak lepas kupandangi sosoknya yang saat itu terlihat sangat gagah dengan jas almamater, celana jeans dekil, ikat kepala berwarna putih, kacamata hitam, serta
megaphone yang membantu suaranya menjadi berlipat desibelnya.
Dia begitu menarik hatiku.
Namun aku tak tahu, bagaimana aku bisa melabuhkan ketertarikan itu, hingga dia mau hinggap di sampingku, menjadi milikku.
Dia begitu terbang jauh, tak terjangkau.
Dia adalah elang perkasa yang senantiasa mengepakkan sayapnya.
Sedangkan aku hanya kutilang mungil, yang baru saja keluar dari sangkar emasnya, dan tengah tertatih mengarungi dunia luas yang begitu ganas.
*** Akhir tahun 1997 Senja di kota Solo terlihat jingga, ketika aku mencoba mengendarai mobil baru hadiah dari Papa yang masih in reyen. IP-ku semester itu 3,89. Nyaris summa cum laude. Prestasi yang luar biasa, apalagi untuk mahasiswa fakultas kedokteran, fakultas yang menjadi mimpi sebagian besar siswa SMU di segenap negeri ini. Sebuah mimpi yang terbangun dari imej yang tertanam mulai dari ayunan. Cobalah ingat, kebanyakan para bayi senantiasa
dininabobokan oleh para ibunya dengan senandung, Anak pinter, kalau gedhe jadi dokter&
Ingat, Mei, ujar Papa yang lebih senang memanggilku dengan nama asli, Mei Hwa. Kita ini China, minoritas. Kalau kita tidak pintar, tidak kaya, maka kita tidak punya arti apaapa. Kita akan tertindas. Kebijakan pemerintah membuat kita tak punya pilihan lain kecuali menjadi yang terbaik. Ingat itu, Mei Hwa, Bunga Cantik.
Kata-kata itu kuterjemahkan sebagai belajar keras, keras dan keras. Jika ada software yang membuat mimpi bisa direkayasa sebagai bentuk belajar seraya istirahat, semahal apapun software itu, pasti aku akan membelinya.
Tetapi sore itu mendadak aku ingin keluar dari kosku yang sebenarnya sangat nyaman itu. Bukan kos, tetapi rumah kecil dengan dua kamar, serta fasilitas lengkap. Kulkas dengan segala isinya yang menjamin kebutuhan giziku dalam tataran high class, mesin cuci keluaran terbaru, TV layar datar lengkap dengan DVD player dan soundsystem canggihnya, komputer keluaran terbaru, serta aneka bentuk kemajuan teknologi lainnya. Aku tinggal bersama seorang pembantu yang bertugas mencuci, menyeterika, membersihkan rumah, memasak, dan melayani segenap keperluanku. Sebagai seorang pengusaha kaya raya, Papa bisa melakukan apa saja untukku. Apalagi aku adalah anak
kesayangannya. Si bunga cantik yang diidam-idamkan mampu mengangkat gengsi keluarga setinggi mungkin dengan kecerdasan yang dimilikinya.
Maka aku pun berputar-putar di jalanan kota Bengawan yang selalu ramai baik pagi, siang maupun petang itu. Mulai dari kampus di Kentingan, jalan Sutami, jalan Sutarto, Urip Sumoharjo, Sudirman, Slamet Riyadi, Suharso, Adi Sutjipto, Slamet Riyadi, dan kembali menuju arah kampus.
Pada saat kembali menyusuri jalan Urip Sumoharjo itulah, sebuah kerumunan manusia menarik perhatianku. Ini sebenarnya aneh, karena sebelumnya aku tak pernah peduli segala bentuk kerumunan manusia, apapun aktivitas mereka. Tanpa sadar aku menghentikan laju mobil, membuka kaca jendela dan melongok keluar.
Sebuah kecelakaan. Cukup mengerikan karena memakan korban. Seorang wanita tua tergeletak berlumuran darah. Tabrak lari! Sebenarnya aku tidak punya niat untuk menolongnya, namun ketika seorang laki-laki yang merengkuh tubuh itu, membiarkan darah melumuri baju putihnya mendekatiku, entah mengapa secara reflek aku keluar, membukakan pintu.
Aku antar ke rumah sakit, ya"! ujarku, memasang wajah simpatik. Lelaki itu menatapku sejenak. Mungkin kechinaan parasku membuat dia ragu. Seringkali orang memandang sangsi, jika ada orang China berbuat kebaikan,
seakan semua China itu dilahirkan identik dengan keculasan dan kepelitan. Padahal orang-orang China memiliki Dewi Kwan Im yang lembut dan penyayang. Betapa menyedihkan....
Nggak papa pakai mobil Cici" suaranya merdu, seperti denting piano. Dia memanggilku Cici. Sebuah penegasan bahwa aku adalah seorang China. Tetapi terminologi itu jelas salah. Cici berasal dari kata enci, artinya kakak perempuan. Sedangkan dia, kurasa lebih tua dariku. Mestinya dia memanggilku siauwmoy, adik perempuan.
Tentu, aku tersenyum. Tepatnya mencoba tersenyum, karena aku jarang sekali mampu tersenyum tulus, kecuali kepada orang-orang yang kukenal dengan baik. Mau dibawa kemana"
Rumah sakit terdekat saja... Muwardi juga boleh! Bagus. Di Muwardi banyak kakak-kakak kelasku yang co-ass di sana. Aku bisa minta pertolongan kepada mereka untuk mengurusi pasien ini dengan cepat.
Tanpa komentar, aku pun meluncur ke arah rumah sakit milik pemerintah yang berdiri megah tak jauh dari kampusku itu. Kelak, jika aku sudah menyelesaikan sarjana kedokteranku, aku harus tinggal di sana untuk menempuh program co-ass selama dua tahun sehingga aku benar-benar diizinkan memakai titel dokter di belakang namaku. Lelaki
itu duduk di belakang, memangku kepala korban yang terluka cukup parah, membiarkan darah membasahi sebagian bajunya. Dia membisu, tampak bingung, senada dengan diriku yang mendadak salah tingkah. Tanpa prolog yang jelas, aku tiba-tiba mengangkut dua orang yang tidak dikenal dalam mobilku. Suatu hal yang tak pernah kulakukan sebelum ini. Apakah aku telah bersikap sok pahlawan" Atau Dewi Kwan Im mendadak merasuki jiwaku"
Maaf, apa yang sebenarnya telah terjadi" tanyaku, formal, sekadar mencari jawab atas beberapa tanda tanya dalam hatiku.
Eh..., lelaki muda itu tampak kaget. Anu... tabrak lari! Yang ditrabrak ini & siapanya kamu"
Lagi-lagi si lelaki terlihat gagap. Eh, bukan siapa-siapa. Aku mengerutkan kening. Jadi, kamu juga nggak kenal, ya" Ngg& saya sedang naik bus kota ketika sebuah motor menabrak ibu ini. Motor itu lari, sedang si ibu terkapar. Karena tidak ada yang mau menolong, akhirnya... saya bermaksud membawa ke rumah sakit. Kemudian muncul kamu. Eh, maaf... nama saya Firdaus. Nama Mbak siapa" Cempaka.
Masih kuliah" Semester lima.
UNS" Ya. Kedokteran. Saya di sastra, semester sembilan.
Tiga tahun lebih tua. Jadi kamu juga nggak kenal ibu ini" Ya, begitulah!
Kenapa mau nolongin" Sesaat kemudian aku menggigit lidahku, menyadari pertanyaan tolol yang barusan terlontar itu. Tetapi bukankah zaman memang telah mencetak manusia menjadi tak berperasaan. Doktrin manusia sibuk yang ditularkan Papa sebenarnya cukup mengooptasiku, meski kotbah-kotbah pendeta di gereja sering menganjurkan agar kita peduli kepada sesama manusia. Tetapi seberapa besar sih, pengaruh ucapan seorang pendeta, ulama, biksu atau pedande mewarnai umatnya masing-masing pada zaman materialistis seperti sekarang ini"
Kamu sendiri, kenapa juga mau menolong" tanya lelaki itu, dengan suara yang lebih santai. Mungkin gagapnya sudah hilang.
Entah. Entah" Saraf bawah sadarku menyuruh aku membantumu.
Kau membuatku heran. Kenapa" tanyaku polos. Karena kau China.
Karena kau China. Jawaban yang lebih dari cukup. Ngg& maaf, ya" Bukan berarti aku merendahkan kamu. Tapi, mohon maaf, selama ini aku ngelihat orangorang China di negeri ini banyak yang nggak peduli pada hal-hal seperti ini. Tetapi kamu tidak. Kamu memberikan pertolongan secara spontan. Kau orang kedokteran, pasti tahu, kan, bahwa sesuatu yang muncul dari alam bawah sadar itu menandakan standar perilaku yang telah menjadi kebiasaan. Jika saraf bawah sadar yang menyuruhmu bertindak menolong korban ini, berarti kau memang memiliki kebiasaan yang baik. Akhlak yang mulia.
Aku tertawa kecil, sekaligus kecut. Ingin kusampaikan kepadanya, betapa Papa adalah orang yang sangat dermawan. Kakak-kakakku, meski sering slebor dan manja, mewarisi kedermawanan Papa. Betul, Papa memang teliti dan hemat. Tetapi, sejak kapan teliti dan hemat itu berlawanan dengan karakter dermawan"
Tetapi, tampaknya sia-sia saja aku mengungkapkan segala protes dalam benakku. Segala sesuatu yang tertuding pada masyarakat Tionghoa, seperti telah menjadi stigma yang sulit dikelupas. Stigma yang seringkali juga justru
ditebalkan oleh kelakuan sebagian dari teman-temanku. Terlalu panjang sejarah perseteruan antara China-Pribumi, yang tak mungkin bisa diredakan hanya dari beberapa menit aku bersama lelaki ini.
Siapa namamu" Aku memberanikan diri untuk bertanya.
Firdaus. Firdaus Yusuf. Aku mengerling sesaat ke arah sosok itu, sebuah gerakan yang membuat mobilku sesaat oleng. Nama itu, sepertinya cukup familiar. Aku mencoba memeras ingatan sejenak, dan akhirnya aku berhasil menyimpulkan siapa lelaki itu. Ya, tentu familiar. Lelaki yang sebagian bajunya berlumuran darah itu, adalah mahasiswa terpenting di kampusku. Ketua senat mahasiswa.
Tak dinyana, pertemuan itu membingkaskan sebuah kisah terindah dalam hidupku. Indah, sekaligus penuh luka.
*** Ada banyak hal aneh di dunia ini. Terkadang, keanehan itu ada di luar batas alam pemikiran manusia saking sintingnya. Pemahaman yang kemudian kuperoleh itu membuat aku bersikap cuek bebek ketika menyadari bahwa Firdaus pada akhirnya tersulap menjadi lelaki yang kuharapkan dalam mimpi untuk menjadi pendampingku, meskipun dia tak pernah memberi secuil harapan pun. Dia
terlalu santun kepada wanita, membuatku sering merasa kikuk. Aku berharap dia mendatangiku, mengucapkan katakata meski sesederhana ungkapan cinta Wibowo dahulu, tetapi menjelaskan status hubunganku dengannya.
Aku jatuh cinta padanya. Itu pasti. Meski sekuat tenaga aku menyimpan perasaan itu dalam-dalam, mengikat dalam sudut hati tergelap, menggembok pintunya dengan selusin anak kunci, toh hawa cinta itu menguar juga. Diam-diam aku sering melukis wajahnya, dalam sketsa sederhana. Lelaki berambut sedikit gondrong, dengan kumis tipis dan jenggot agak berantakan, dan kacamata bundar. Selalu, disamping sketsa itu, akan tergores coretan berbentuk gadis China bermata sipit dan kacamata minus tiga yang sedang tersenyum dengan awan berbentuk hati. Mei love F, demikian tulisan itu melengkapi coretannya. Aku terlampau malu untuk mengakui pada diri sendiri, bahwa F adalah kependekan dari Firdaus.
Dan sketsa itu bertaburan di mana-mana. Di textbook, mobil, pintu, jendela, tirai, diktat, jas lab, dan yang terbanyak adalah pada diary. Semestinya sketsa itu akan berkembang biak dengan dahsyat, melebihi endemi yang berasal dari ledakan kuman penyakit, sehingga akan meluapi setiap ruang di mana aku mendesahkan nafas &
Kau pernah merasakan jatuh cinta" Jika pernah, aku tak perlu menceritakan kepadamu bagaimana rasanya
terpanah asmara. Apalagi asmara yang berlimpah kadarnya, seperti yang aku rasakan kepada Firdaus. Saat bersama Wibowo, aku hanya merasakan suasana persahabatan yang nyaman. Namun saat membayangkan Firdaus, aku mendapati tatanan jiwaku telah porak-poranda.
Ya, porak poranda yang mempesona. Andai saja musibah itu tidak terjadi. Musibah besar! Bukankah hanya musibah besar yang mampu menumbangkan dengan sadis pohon cinta yang tumbuh subur di hati kita"
Solo, Januari 1998 Benih itu mulai tertanam saat pertemuan heroik itu.
Tetapi, tanpa sepenggal sore yang indah itu, tampaknya benih itu hanyalah sebutir spora yang ditebarkan di Padang Sahara. Bolehkah aku bercerita tentang peristiwa yang terjadi sore itu"
Sore itu, langit sedang cerah-cerahnya. Matahari yang meluruk ke barat, masih mencoba mengucapkan salam perpisahan dengan tebaran teja jingganya. Aku masih bersantai di teras rumah, memangku sebuah novel terjemahan yang berkisah tentang seorang dokter perempuan yang bertugas di pedalaman Amerika Selatan, sedangkan dia sebenarnya puteri seorang milarder kaya raya.
Empat Kopi susu dingin di cangkir tinggal cecapan terakhir ketika kulihat sepeda motor itu berjalan memasuki halaman rumah. Sesosok tubuh jangkung yang turun dari motor itu dengan cepat menyedot perhatianku. Keterjerumusanku ke dalam pusaran perhatian itu bahkan nyaris membuatku terlupa, bahwa lelaki itu tak datang sendiri. Ada seseorang di sampingnya. Tampaknya teman lelaki itu.
Selamat sore, Cempaka! lelaki itu menyungging senyum.
Aku tergagap. Seolah-olah sketsa yang kubuat dan bertaburan di mana-mana itu terkumpul dan sekarang mendudukkan aku sebagai sesosok maling yang tertangkap basah tengah mencuri. Ya, meski yang tengah kucoba kucuri adalah balasan dari gejolak rasa yang menggelora di hatiku.
D-dari mana kamu tahu alamat rumahku" tanyaku, sangat gugup. Oh, bukan hanya gugup. Jantungku seperti berkelonjotan. Wajahku memanas, dan aku tak tahu harus melakukan apa agar aku terhindar dari goncangan rasa yang aneh namun sangat indah ini.
Dari data di rektorat. Rektorat" Kok bisa" Sejurus kemudian pikiran negatifku terlontar. Aku China, dan aku kuliah di kampus negeri. Di jurusan yang sangat elit, pula. Pasti dengan mudah dataku bisa dilacak, karena pasti diletakkan di folder khusus.
Lelaki ini ketua senat, mungkin sekali dia pun menyimpan data dalam folder khusus itu.
Aku nggak dipersilakan duduk, nih" Eh i-iya, silakan duduk!
Firdaus tersenyum santun. Bersama temannya, yang akhirnya kutahu bernama Syahrizal, dia melangkah menuju kursi putih yang tertata rapi di teras rumah yang berbatasan dengan halaman penuh rumput dan bunga-bunga. Di luar kesibukannya kuliah, praktikum, belajar, dan membaca novel-novel klasik, aku memang suka sekali bercocok tanam. Berbagai tanaman hias kurawat dengan tekun. Adiantum, anthurium, aglonema, dan begonia, berjajar teratur dan tumbuh subur.
Jadi, gini& Ka, kemarin aku dipanggil sama rektor. Beliau secara khusus meminta kepada panitia, agar di acara studium generale yang digelar senat bulan depan, ada satu wakil pembicara dari kalangan mahasiswa berprestasi. Nah, mahasiswa yang direkomendasikan oleh rektor itu adalah kamu.
Kusibak poni yang mendadak terasa begitu rewel dengan berkali-kali terjatuh, memberantaki dahiku. Mulutku membentuk huruf O, berbalikan dengan mataku yang justru kian menyipit. Aku" But, why"
Kan kamu sering mewakili kampus di ajang kompetisi
antarmahasiswa. Barusan, kamu mengharumkan nama almamater dengan meraih medali emas di Asia Pasific Medical Olympiad di Singapura, kan"
Pikiran negatifku seketika rontok. Eh, iya sih& tapi& . Kata Pak Rektor, semakin bagus, karena selain mahasiswa teladan, kau juga China.
Karena aku China" Lagi-lagi karena aku China. Aku diam-diam mengeluh. Memangnya kenapa kalau aku China"
Siap-siap ya" Kamu bakal tampil bersama rektor, wakil dari senat, dan seorang wakil alumni kampus ini yang dianggap sukses. Waktu untukmu sekitar tiga puluh menit. Kau akan berbicara di depan sekitar dua ribuan mahasiswa.
Berbicara di depan ribuan mahasiswa" Aku seperti hendak pingsan. Seumur hidup, aku belum pernah menjadi pembicara publik, terlebih membawakan tema serius di depan ribuan orang. Ribuan! Jangan ajari aku untuk menyulap mereka menjadi semut-semut atau rayap belaka, seperti yang pernah dikatakan pelatih baca puisiku saat SD dulu. Supaya kamu tak demam panggung, anggap saja semua penontonmu itu semut atau rayap belaka!
Aku terserang demam yang aneh. Hampir saja aku menolak, tetapi Papa ternyata sangat mendukung dan bahkan memaksaku. Ini kesempatan bagus untukmu, Mei Hwa! Seorang mahasiswa keturunan Tionghoa menjadi
wakil mahasiswa di sebuah ajang yang begitu keren dan prestisius. Jarang ada, lho, kesempatan seperti itu. Buatlah makalah sebagus-bagusnya. Berlatihlah! Ingat kata Papa, tak ada pilihan lain untuk orang seperti kita kecuali menjadi yang terbaik. Menjadi yang terbaik! Camkan itu, Mei Hwa, anakku!
Untuk melatihku, Papa sempat hendak membayar konsultan, tetapi dengan tegas kutolak. Bukan apa-apa. Adanya seorang pelatih, justru akan menghindarkan aku untuk lebih intens berdekatan dengan Firdaus. Aku ingin Firdaus sendiri yang melatihku berbicara di depan forum. Bukankah dia seorang orator yang sangat baik" Ketika di berbicara di atas podium, perkataannya menggelegar. Suaranya yang indah menyihir pendengar. Kata-katanya yang puitis namun penuh motivasi berhasil membangkitkan gejolak dalam hati siapapun.
Firdaus. Firdaus. Ya, Firdaus. Aku malu bertemu, tetapi dada selalu dipenuhi rindu. Aku sering merasa salah tingkah, tetapi sehari saja tak bertemu, hati seperti menggelepargelepar tak berdaya. Kepala ini mendadak dipenuhi oleh nama itu. Dia hadir di setiap saat. Sosoknya merebut seluruh ruang dalam hatiku, mencaploknya, mengunyahnya tanpa sisa. Aku kadang berpikir sinting, bahwa ketika menatap langit dan kulihat segumpal awan yang indah, mendadak saja aku berperasaan bahwa Firdaus mengirimnya khusus
untukku. Saat rembulan muncul di kala purnama, aku dengan Ge-Er mengira ada puisi terucap dari bibir Firdaus, lalu dipantulkan bulan kepadaku.
Ketika dering telepon terdengar, hatiku seakan tersengat, dan berharap bahwa itu telepon darinya. Meski pada kenyataannya aku hanya mendapatkan tiga kali telepon darinya, dering di ruang tamu itu telah berhasil menteror ketenangan jiwaku. Demikian juga, suara deru motor yang lewat di jalan depan rumahku, hampir-hampir menjadi sesuatu yang mampu mengacaukan konsentrasiku. Padahal, sejak kunjungan sore itu, hanya sekali Firdaus mendatangi rumah ini, itu pun hanya sesaat, mengantar surat pembicara. Lagi-lagi aku hampir saja Ge-Er dengan menduga bahwa dia pasti sangat ingin berjumpa denganku, pasti di hatinya aku sangat spesial, sampai-sampai untuk mengantar surat pembicara saja harus seorang ketua senat yang turun tangan.
Tak dinyana, dengan santai dia berkata. Maaf, mestinya Syahrizal yang bertugas mengantar, tetapi karena aku kebetulan lewat depan rumahmu, sekalian saja aku bawa.
Kebetulan lewat. Hanya kebetulan. Tetapi, yang kebetulan itu, telah cukup membahagiakan hatiku.
Ya, aku bahagia, sangat bahagia, sebahagia-bahagianya. Seumur hidup, tampaknya aku belum pernah merasa sebahagia ini. Saat mobilku melintas di depan fakultas
sastra, dadaku berdebar tak menentu, padahal belum tentu saat itu dia ada di sana. Saat menatap sekretariat senat mahasiswa, seakan-akan aku melihat wajahnya tersenyum di sana.
Aku pun mulai menggemari lagu-lagu cinta yang melankolis. Aku mengoleksi lagu-lagu romantis dari KLA Project, Dewa, Celine Dion, Mariah Carey, atau Mandy Moore. Terkadang, saat aku tengah tenggelam dalam tumpukan buku-buku kedokteran, mendadak aku bersandar di dinding, lalu tersenyum dan bernyanyi&
I want to be with you There s nothing more to say
There s nothing else I want more than to feel this way I want to be with you
Akhirnya, saat yang mendebarkan itu tiba. Kakiku bergetar saat melangkah ke panggung. Di depan ribuan mahasiswa yang semua menatapku, aku merasa berubah ujud sebagai sosok kelinci yang tersesat di pinggir sungai dan hendak ditelan oleh seekor buaya raksasa. Untungnya, Firdaus, yang ternyata juga menjadi salah seorang narasumber di acara tersebut, dengan tenang mengarahkan aku untuk berbicara sesuatu yang telah kupersiapkan. Dia juga sering membantu saat aku mendadak kehilangan konsentrasi saking tegangnya.
Bercerita saja dengan santai. Apa kebiasaan kamu sehari-hari, apa yang membuat kamu termotivasi untuk selalu berprestasi. Apa cita-cita kamu, dan apa anjuran kamu buat teman-teman mahasiswa baru, bisik Firdaus yang pagi itu menurutku terlihat tampan dengan jas almamater yang disetrika rapi, kemeja putih, celana hitam dan dasi hitam. Rambutnya sudah dipangkas rapi, dan dia berkopiah hitam seperti Bung Karno. Aku sendiri tampil elegan dengan rok hitam panjang, blouse putih, syal batik yang melilit di leher, dan rambut yang kubiarkan tergerai. Sebelum maju tadi, beberapa dosen meledek kami, katanya tinggal mengundang penghulu, resmilah kami menjadi suami istri saat itu juga. Wajahku jelas tersipu-sipu, sayangnya Firdaus terlihat tenang-tenang saja.
Siap, Kak! ujarku, sambil melempar senyum tegang. Mikrofon yang awalnya serasa menjadi benda terberat yang pernah kupegang, mendadak terasa ringan saat aku dengan fasih menceritakan jadwal belajarku yang bisa 12 jam lebih dalam sehari. Tentang kebiasaan tidurku yang hanya 3 atau 4 jam saja, juga kebiasaanku tidur di awal waktu dan bangun dini hari. Kuceritakan tentang keinginanku menggabungkan konsep pengobatan ala barat dengan konsep pengobatan timur seperti yang terjadi di rumah-rumah sakit di Tiongkok sana. Kuselipkan juga pesan dari Papa, agar para mahasiswa tidak antipati terhadap etnis China di negeri ini.
Walhasil, acara studium generale berlangsung sukses! Dan usai itu, aku mendadak merasa menjadi orang terkenal. Banyak orang yang semula cuek, mendadak menyapaku dan tersenyum menghormat. Para mahasiswa baru memanggilku kakak, dan terlihat mengagumiku.
Beberapa kali aku diundang dalam acara diskusi terbatas di senat mahasiswa.
Jangan pernah ragu untuk memberikan sumbangan terbaik untuk bangsa ini, meski kau seorang Tionghoa, Cempaka! ujar Firdaus, yang terus saja menyemangatiku. Kau pasti tahu, dahulu, sebagian orang Tionghoa ikut bersama-sama kaum nasionalis pribumi memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Kau tahu Koran Sin Po"
Aku mengangguk. Sin Po adalah koran Melayu Tionghoa yang sangat gencar memihak perjuangan bangsa ini melawan penjajah Belanda. Di koran itu, kata inlander yang cenderung menghinakan bangsa pribumi, dihapus dan diganti dengan bumiputera.
Ya, dan karena hal itu, pers nasionalis pun mengganti kata Cina menjadi Tionghoa. Sebuah bentuk saling menghargai antar sesama anak manusia. Seharusnya begitu. Di dalam agama yang kuyakini, kami bahkan dianjurkan untuk memanggil seseorang dengan panggilan yang sangat dia sukai.
Aku& aku juga memiliki panggilan yang sangat aku sukai, mendadak perkataan itu terluncur dari bibirku begitu saja. Ngg& maukah kau memanggilku dengan panggilan itu"
O, ya" Bukankah namamu Cempaka"
Papa memanggilku& Mei Hwa. Itu nama asliku. Dan aku merasa& merasa terhormat jika kamu mau memanggilku Mei Hwa. Aku tertunduk, semburat panas merayap di epidermis pipiku. Aku bisa menebak, bahwa pipiku saat itu pasti memerah jambu.
Firdaus tersenyum. M-mei Hwaa& nama yang bagus. Baiklah. Mulai sekarang, aku akan memanggilku Mei Hwa.
Reaksi yang kuperlihatkan hanya sebuah senyum kecil. Tetapi, persaksikan wahai langit, di lenganku seperti tumbuh sepasang sayap, dan lantas aku meluncur terbang mengangkasa. Tetapi, pengubahan panggilan dari Cempaka menuju Mei Hwa, rupanya hanya sebuah topik kecil untuk Firdaus. Dia kembali bersemangat melanjutkan pembicaraan hebat nya.
Jadi, solidaritas antarbangsa Asia telah terbina sedemikian baiknya pada masa itu. Gebrakan yang dilakukan Dokter Sun Yat Sen, juga menginspirasi para kalangan terpelajar di negeri ini. Di masa revolusi, juga ada seorang tentara bernama Mayor John Lie yang membiayai
Hati Budha Tangan Berbisa 7 Satria Gendeng 10 Nisan Batu Mayit Kedele Maut 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama