Love Command The Second Chance Karya Janice Nathania Bagian 2
Paris (GMT +2), 2013 Ketukan di pintu membuat wanita dengan blus merah tua yang duduk di ruang tamu flat mewahnya berdiri. Ia membuka pintu, tersenyum pada pengurus rumah tangga apartemen yang ternyata menanyakan apakah benar besok ia akan pulang.
Ya. Kami akan pulang besok, katanya dalam bahasa Prancis.
Ia mengangguk sebentar saat pengurus rumah tangga itu berpamitan. Merci beaucoup terima kasih banyak, jawabnya, lalu kembali menutup pintu.
Sepeninggal sang pengurus rumah, wanita itu melangkah pelan menuju ruang kerja suaminya. Ia membuka pintu, lalu melongok. Ia mendesah saat melihat suaminya tengah menatap langit malam Paris dengan pandangan menerawang.
Wanita itu berdeham, berusaha menarik perhatian suaminya. Saat lelaki itu menoleh sekilas lalu kembali membuang muka, akhirnya ia berkata, We ll be heading back tomorrow dawn. Lelaki itu berkata tak acuh, Je sais aku tahu. Wanita itu dapat menangkap kepasrahan dalam suara suaminya. Mungkin ia tahu kenapa lelaki itu selalu enggan untuk pulang. Karena di rumah yang sama itulah tempat berkumpulnya kenangan pahit yang tak pernah berhenti membayangi mereka.
Ia memandangi gurat-gurat tampan yang masih tersisa di wajah hampa suaminya. Bahkan setelah tahun-tahun terlewati, masih juga dilontarkannya pertanyaan ini dalam bahasa ibunya, Kakak& sedang memikirkan Ratya, ya"
Diam, menghindar, dan bersikap munafik adalah jalan yang dipilihnya. Jalan yang menurutnya paling baik untuk semua orang. Shilla memutuskan membuang jauh-jauh perasaannya. Ia menghindar dari kedua kakak-beradik itu dan menjadi munafik dengan bertingkah sebagai pelayan biasa yang tak punya kisah apa-apa dengan majikannya.
Shilla tidak mau memikirkan Arya atau Ryo, atau siapa pun lagi. Ia tak mau menyakiti siapa-siapa lagi dengan sikapnya yang kelewat jahat. Shilla tahu ia egois, tapi menurutnya inilah jalan satu-satunya. Ia sudah terseret ke berbagai permasalahan rumit karena hatinya sendiri. Kenapa pula hatinya plinplan sekali"
Ia memilih mengalihkan perhatiannya dengan bekerja sekeras dan sebanyak mungkin. Tetapi ia berpura-pura tuli kalau Bi Okky berteriak menyuruh salah seorang pelayan mengantarkan sesuatu ke kamar kedua tuan muda mereka. Seperti saat ini.
Shiiii... llaaaa. Deya mendekatkan mulutnya ke telinga Shilla yang sedang membantu merapikan tumpukan majalah bekas di sebelahnya.
Eh. Ya, Kak" kata Shilla, betul-betul terperanjat saking terlalu asyik berpura-pura tuli.
Deya hanya mengedikkan dagu ke arah Bi Okky yang berkacak pinggang, mengisyaratkan pada Shilla bahwa sang kepala pelayan sudah memanggilnya sedari tadi.
Shilla mendesah dalam hati. Apa lagi sih, batinnya sambil dengan enggan berdiri dari hadapan tumpukan majalah yang sedang ia kerjakan.
Ya, Bi" tanyanya sambil menghampiri Bi Okky yang masih melotot.
Kuping kamu kenapa sih akhir-akhir ini" omelnya, yang hanya dijawab dengan ringisan oleh Shilla. Tolong antarkan paket kiriman yang ada di meja depan ke kamar Den Arya. Tadi kurirnya bilang itu berkas penting, perintah Bi Okki. Tapi... kata Shilla, ingin mengelak.
Tapi apa" tanya Bi Okki. Den Arya tadi juga tanya soal kirimannya sudah sampai atau belum. Saya sudah bilang sebentar lagi ada yang akan mengantarkan ke atas.
Sebenarnya Shilla ingin mendesah kesal, tapi tahu sikap itu sesungguhnya tak pantas jika menyangkut pekerjaan. Ia memilih menggunakan cara klasik untuk menghindar.
Tapi... saya dari tadi sakit perut, Bi, kilah Shilla, sambil mulai berakting dengan memasang tampang memelas, meminta dikasihani. Udah nggak tahan! Saya ke toilet dulu, ya! katanya sebelum buru-buru kabur, meninggalkan Bi Okky yang akhirnya hanya bisa menggeleng-geleng.
Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Peribahasa tersebut benar-benar menggambarkan nasib Shilla yang pada akhirnya tidak dapat lagi mengelak dari kewajibannya.
Bi Okky sudah bosan mendengar alasan-alasan Shilla, hingga hari itu ia terpaksa pergi ke lantai atas untuk mengantar cucian bersih milik tak tanggung-tanggung Ryo dan Arya.
Sambil menghela napas dan menyembunyikan wajah di balik tumpukan baju yang menjulang dari keranjang yang dibawanya, Shilla mengendap-endap setelah menginjakkan kaki di tangga terakhir dan menggeser keranjang yang menutupi pandangannya sedikit untuk memeriksa keadaan.
Ia masih takut akan bertemu Arya atau Ryo, hingga bahkan ketika mendengar suara sekecil apa pun, ia akan bersembunyi di balik pilar atau tembok terdekat, persis buronan yang sedang dikejar polisi. Shilla berasumsi semakin jarang ia melihat kedua orang itu, maka hatinya akan berhenti terombangambing dan perasaannya akan menghilang seketika. Tap& Tap& Tap&
Shilla mencengkeram tepi keranjang kuat-kuat. Ia bersembunyi di balik tembok di dekat pantry, berusaha keras tidak bersuara sedikit pun sambil berharap tak ada yang memergokinya.
Dan beruntunglah Shilla, karena Dewi Fortuna masih berpihak padanya. Suara itu terdengar menjauh, bukan menuju tempat persembunyiannya. Shilla menghela napas lega, kemudian memberanikan diri. Namun ia langsung terenyak ketika matanya mendapati Ryo berjalan ke arah tangga.
Ada sesuatu di dalam hatinya yang belakangan ini terasa sedikit hampa. Namun ia tidak mengerti dan memilih mengacuhkannya saja, karena ia tahu untuk saat ini, tampaknya penilaian hatinya tidak bisa diandalkan.
Shilla menghela napas berat lagi seraya melangkah keluar dari tempat persembunyiannya. Lebih baik ia segera menyelesaikan tugasnya sebelum Ryo kembali atau Arya pulang.
Sejak peristwa itu, Shilla selalu berangkat pagi-pagi buta ke sekolah. Ia duduk di bangku Dara, teman sekelasnya yang duduk di paling pojok belakang, jauh dari tempat duduk aslinya yang berada di depan Ryo. Beberapa hari ini, Shilla cukup tenang menempati bangku itu karena Dara sedang sakit demam berdarah dan harus diopname di rumah sakit selama beberapa hari. Tapi akhirnya toh trombosit Dara dinyatakan kembali normal. Setelah menjalani pemulihan beberapa hari, Dara kembali ke sekolah. Senang, riang, dan ceria.
Shilla melengos, menyadari ia harus kembali duduk di depan Ryo. Tadinya ia berharap bisa membujuk Dara untuk bertukar tempat dengan alasan ia sudah kerasan di bangku itu. Sayangnya, Dara langsung menolak mentah-mentah. Soalnya kursi huniannya paling strategis untuk tidur, mengobrol, dan menyontek tanpa ketahuan sih.
Dalam hati, gadis itu merutuki kenapa Dara tidak sakit lebih lama saja. Uh. Shilla menyeret langkahnya. Perdebatan dengan Dara menghabiskan waktu cukup banyak, tinggal tiga menit lagi sebelum bel masuk berbunyi. Kini kelas sudah hampir penuh. Dan tentunya, Ryo juga sudah datang.
Shilla pura-pura tidak mengenal Ryo. Ia membanting ranselnya di meja lalu duduk di bangku dengan malas. Sial, sial, sial. Shilla melipat kedua tangan di meja dan membenamkan wajah di sana.
Drrt... drrt... terdengar getaran dari dalam ranselnya. Shilla merogoh kantong ransel lalu mengeluarkan ponsel.
Shil, Aku butuh ngomong sama kamu. Please... Ini no baruku. Ryo
Sender : +62874562xxx Shilla mendesah, meletakkan ponselnya lagi di meja, berpura-pura tidak pernah membaca pesan itu. Berpura-pura tidak sadar Ryo sedang memperhatikannya.
Sejuta kali sial. Ia meringis. Ia merana karena harus terus merasa bersalah setiap kali berada di dekat Ryo. Yang membuatnya merasa makin jahat, Ryo sama sekali tidak marah soal kejadian waktu itu. Perlu diulang" Ryo. Sama. Sekali. Tidak. Marah. Entah ada apa dengan tempramen anak itu yang biasanya meledak-ledak.
Pesan seperti tadi sudah ribuan kali diterima Shilla. Ketukan di pintu kamar diiringi pekik nyaring dan ancaman dobrakan sudah ratusan kali diacuhkannya. Tidakkah Ryo sadar" Selama Shilla belum bisa menata hatinya, Ryo akan terus tersakiti"
Derita lain bagi Ryo (bagi Shilla juga sebenarnya) adalah hadirnya sejumlah gadis cantik dari kelas lain selama jam istirahat beberapa hari ini. Sejak Bianca mundur teratur (gadis itu sudah sangat jarang berseliweran dan terdengar kiprahnya) dan keretakan hubungan Ryo-Shilla (kira-kira beginilah judul headline gosip sekolah yang beredar), banyak sekali gadis yang terang-terangan beraksi mengincar Ryo. Tak akan ada lagi yang menggencet mereka karena mendekati Ryo dan melihat Shilla yang menurut mereka segalanya jauh di bawah standar, membuat gadis-gadis itu makin percaya diri menggencarkan pendekatan.
Tetapi biasanya mereka berakhir dengan dua hal. 1) Ryo menggebrak meja dengan tempramen meledak-ledaknya yang tiba-tiba kembali, membuat gadis-gadis itu terlonjak dan kabur ketakutan. 2) Atau Ryo akan memandang para pengagumnya itu dengan tatapan dingin super mematikan, tapi mereka kemudian malah menjerit-jerit kagum karena menurut mereka Ryo tampak keren. Ryo bahkan pernah membanting ponselnya ke tempat sampah saking kesalnya dengan ratusan pesan yang bertubi-tubi dikirimkan kepadanya tiap jam. Karena itu, Ryo mengganti ponsel dan nomornya.
Shilla pura-pura tidak tahu Ryo sering melirik ke arahnya, mengharapkan sedikit kilat kecemburuan di matanya karena aksi gadis-gadis itu. Tapi Shilla tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Ia malah berharap ada salah satu gadis itu yang menarik minat Ryo dan membuat pemuda itu melupakannya.
Pelajaran terakhir. Pendidikan kewarganegaraan. Shilla menopang pipinya untuk menahan kantuk saat Pak Duta menjelaskan berapi-api soal Pancasila sebagai ideo& ideo& ideo itulah pokoknya. Sayangnya, Pak Duta berceloteh heboh soal materi pelajarannya ke papan tulis, bukan ke arah muridmurid.
Shilla sedang berusaha membuka matanya yang hampir tertutup saat seseorang menjawil bahunya dari belakang. Karena nyawanya tinggal sepertiga, Shilla lupa yang duduk di belakangnya adalah Ryo.
Ia lalu memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. Karena lebih susah untuk memutar kepalanya saja dalam keadaan superngantuk begitu. Shilla menumpukan sebelah tangannya di kepala kursi, baru sadar Ryo menatapnya. Shil...
Shilla mendengus, berniat membalikkan badannya lagi. Sayangnya sebelum niatan itu terpenuhi, Ryo menahan dan menarik tangannya hingga Shilla harus tetap duduk miring kalau tidak mau tubuhnya terkilir.
Shilla memalingkan wajah, megacuhkan Ryo yang berkata tertahan, Shil, please& aku...
EHM, Pak Duta berdeham keras-keras, menyadari dua sosok manusia yang tidak memperhatikan suara lantangnya berdemo sedari tadi.
O-ow. Shilla terdiam lalu baru sadar seisi kelas memandanginya dan Ryo yang sedang berpegangan dengan berbagai ekspresi: kebanyakan geli (contohnya Devta), takut Pak Duta meledak (contohnya Ifa), sebagian bahkan terlihat cemburu dan marah, sementara sisanya acuh tak acuh.
Shilla bergegas menarik tangannya dengan kasar lalu menunduk.
Pak Duta mendelik. Tolong kalau mau pacaran di luar saja, ya. Saya tidak perlu melihat perwujudan klarifikasi kalian waktu itu, sindir Pak Duta kurang up-to-date. Tidak sadar klarifikasi itu hampir basi.
Shilla tidak suka mendengar deham dan celetukan iseng teman-temannya. Ia menghela napas, berusaha mengusir kehangatan tangan kokoh Ryo di pergelangannya. Sungguh, pemuda itu sudah berusaha terlalu keras untuknya yang tidak berharga ini.
Tak lama kemudian, bel pulang berdering. Shilla segera membereskan buku-bukunya setelah tubuh jangkung Pak Duta menghilang di balik pintu.
Drrt& drrt& Shilla mendesah, melirik ponselnya, dan menekan tombolnya.
Maaf soal yg tadi. Maaf soal pergelanganmu. Sender : +62874562xxx
Shilla hanya mengabaikan pesan itu, kembali merapikan alat tulisnya. Ia mendongak saat tiba-tiba merasakan tepukan lembut di puncak kepalanya, melihat sosok Ryo melewatinya dan keluar tanpa berpaling lagi.
Shilla berusaha menahan air mata yang hampir merebak. Ryo betul-betul menyayanginya. Dan ia menyia-nyiakan kepercayaan Ryo.
Jakarta, 1980 Tak dinyana tahun-tahun yang berlalu perlahan membawa usaha ekspedisi kecil Luzardi berkembang menjadi perusahaan ekspor-impor berskala multinasional yang kian berkembang pesat. Ia juga mulai merambah ke dunia properti dan konstruksi yang ternyata melesat tak kalah pesat dari usaha yang pertama dirintis. Bahkan keluarga Luzardi yang punya lambang keluarga sendiri kini dinilai sebagai bangsawan modern oleh beberapa majalah bisnis yang menyoroti kesuksesan cemerlangnya.
Namun selama itu pula ia tak berhenti mencari. Juga tak berhenti merutuki diri sendiri akan kebodohannya di masa lampau. Benar-benar baru terpikir olehnya untuk mencari alamat orangtua Davara dari sang bibi, beberapa bulan setelah kepergian pemuda itu.
Dan karena orangtua Davara ternyata tinggal di Sumatera, Luzardi menyia-nyiakan pula beberapa bulan lagi dengan tidak mencari karena kesibukannya. Lalu saat Luzardi menyempatkan diri melacak ke sana, ternyata keluarga Davara yang hanya terdiri atas ayah dan ibunya juga sudah pindah ke Jawa. Dan lagi-lagi tak ada yang tahu tepatnya ke mana mereka.
Sesuai janji dan prinsipnya, kebaikan itu berbunga. Luzardi menganggap kebaikan Davara dengan seperempat modal bantuannya itu sebagai saham yang juga terus bertambah nilainya sesuai perkembangan perusahaan. Jadi, meski dianggap gila, di perusahaan ekspor-impornya ada kepemilikan seperempat saham atas nama Davara meskipun wujud fisik pemegangnya tak pernah kelihatan.
Pagi itu, Luzardi menyuap oatmeal-nya lalu memandang dua orang lain yang duduk di meja makan. Wanita yang dinikahinya, Ivona, dan putra tunggal mereka yang baru saja menginjak umur delapan belas tahun, Stefanus Luzardi.
Jadi& Luzardi memulai ceramah rutinnya, kamu harus temukan keturunan Davara kalau Papa mati, Stefan.
Stefanus yang mewarisi ketampanan Luzardi, langsung berhenti mengunyah roti. Ia mendengus lalu menelan gumpalan yang masih tertahan.
Sudahlah, Pa. Papa sudah mengulang ucapan itu jutaan kali. Lama-lama hidup kita seperti film shaolin. Ini penting, Stefan.
Ivona ikut menyambar, Lebih penting lagi kamu mencari gadis yang pantas untukmu di masa depan, Stef. Hal yang biasa bagi keluarga baik-baik untuk mendapat pasangan dari keluarga baik-baik juga. Memangnya kamu masih berhubungan dengan si rasta rasta itu"
Stefanus mengernyit. Rasti maksud Mama" Ivona mengangkat bahu. Siapa lah itu namanya. Itu bulan lalu. Sekarang pacarku namanya Tita. Ivona berdecak. Kamu ini pacaran dengan gadis yang tidak jelas asal-usulnya. Bagaimana kalau Mama kenalkan dengan anak-anak teman Mama saja"
Stefanus memandang ibunya sekilas dengan sangat tajam. Suka atau tidak, ia harus mengakui mamanya bukan tipikal yang keibuan. Mamanya lebih suka bersolek, menghamburkan uang, dan bergosip hingga pagi dengan teman-temannya daripada mengurus rumah yang memang sudah diurus sebatalion pelayan. Ia mengacuhkan ucapan Ivona lalu beralih pada ayahnya.
Papa kurang sehat, ya" tanyanya, sengaja mengganti kata gila dengan kurang sehat. Ada berapa miliar orang di dunia ini" Aku harus cari di mana"
Luzardi memandang mata anak semata wayangnya yang berbinar. Pokoknya, itu amanat Papa. Kalau tidak ketemu juga& Sampaikan amanat Papa ke anakmu, cucumu, cicitmu, kata Luzardi sambil menandaskan sarapannya.
Stefanus hanya mengangkat alis sekilas, lalu menyesap susu cokelatnya dan berdiri. Aku berangkat dulu Pa, Ma. Sementara Ivona tak acuh, Luzardi melirik jam tangannya. Papa baru sadar. Kenapa siang begini kamu baru berangkat"
Hari ini cuma ada pembahasan materi untuk ulangan akhir caturwulan nanti. Tidak penting.
Luzardi mengerutkan kening. Bukannya itu penting" Kenapa kamu seenaknya begitu"
Stefanus mencibir jail. Karena aku anak Pak Luzardi. Stefan, tegur Luzardi jengkel.
Stefanus tertawa kecil, lalu keluar dari ruang makan. Ia hampir terlonjak saat seorang gadis tak dikenal tiba-tiba melintas di depannya.
Maaf, gadis berambut hitam panjang itu menunduk. Suara lembutnya membuat Stefanus penasaran.
Maaf, Tuan, sebuah suara lain menggelegar lebih keras, menarik perhatian Stefan. Ternyata Mbok Okka, kepala pelayan kediaman Luzardi.
Stefanus mengerutkan kening.
Ini pelayan baru. Mungkin belum mengerti memberikan salam, kata Mbok Okka takzim sambil berdiri di depan Stefanus lalu menyenggol gadis yang masih menunduk di sebelahnya, memberikan isyarat untuk meminta maaf dan mengucapkan salam.
Lalu tiba-tiba, Stefanus merasakan gelombang listrik aneh menyetrumnya saat gadis itu mengangkat wajah. Mata penakluknya seakan dijinakkan mata bening gadis yang bahkan lebih cantik daripada Tita-nya. Seakan sangkalala surga baru mengabarkan berita sukacita, Stefanus terdiam saat Mbok Okka berkata pelan.
Namanya Ratya. iang ini matahari tampak malu-malu. Benda kuning yang biasanya superior itu kini terhalang sekawanan gumpalan keabuan yang berenang malas di riak langit. Anak-anak angin berlarian di sepanjang cakrawala. Kadang mengibaskan ekornya dengan nakal, mener b angkan daun-daun dari pepohonan. Tak luput karena ulahnya, selembar daun jati yang sedari tadi bergelayut lemah di pucuk ranting, kini mulai melayang zig-zag menuju rerum p utan, namun akhirnya berhenti untuk meniti jemari seorang gadis yang duduk bersila di bawah pohon.
Bab Shilla yang tengah bertopang dagu lalu memainkan daun di tangannya dengan bosan. Ini daun kelima yang gugur sejak ia duduk di bawah pohon rimbun di taman belakang Season High. Daun yang berarti Arya . Shilla merasa otaknya sudah tidak waras. Alih-alih mencoba mendengarkan lubuk nurani, ia malah memutuskan duduk di sini seperti pertapa sambil menentukan pilihan hatinya antara Ryo dan Arya dengan cara menghitungi daun yang jatuh.
Sudah seminggu berlalu sejak kejadian itu. Shilla mendesah lalu menyentil daun di tangannya, pandangannya kini menerewang. Mengingat monolog kurang menyenangkan yang terjadi beberapa hari lalu di dapur kediaman keluarga Luzardi.
Pernah suatu kali, Shilla tak sengaja memecahkan jambangan bunga Bunda. Hari itu, waktu Shilla kelas tiga SD, kelasnya baru belajar bermain kasti. Daud yang baru saja mendengar kata kasti hari itu sudah bersikap layaknya pitcher liga internasional, langsung menginvasi rumah kontrakan Shilla yang memiliki ruang tamu cukup lapang untuk diubah menjadi area permainan.
Entah bagaimana, bola lemparan Daud mengenai jambangan tua di sudut meja, yang langsung berderak pecah dan berubah menjadi potongan-potongan keramik kusam tak berbentuk. Daud beserta konco-konconya langsung melongo lalu tiba-tiba memutuskan bahwa hari sudah kelewat sore, padahal mereka masih harus melakukan kunjungan diplomatik ke rumah Rizky, meninggalkan Shilla yang harus menyembunyikan jambangan itu di bawah tempat tidurnya.
Akhirnya, Shilla memutuskan mengubah dekorasi ruang tamu, meletakkan botol air kosong menggantikan jambangan. Berharap Bunda tidak sadar dan menganggap botol air itu memang lebih cocok menjadi penghias ruangan. Tentu saja Bunda, yang baru pulang dari rumah Bu RT sehabis meminjam oven, menyadari perubahan kecil namun cukup signifikan di ruang tamu.
Bunda menghampiri Shilla yang sempat menghindar dan bersembunyi di kamar, lalu mengajaknya bicara pelan-pelan. Belum apa-apa, bahkan belum mendakwa, Shilla sudah memanjat ke pangkuannya lalu menangis tersedu di sana. Menyesal. Setelah Bunda mengusap rambut dan belakang telinganya, Shilla bisa mendengar Bunda berkata lembut bahwa ia kecewa bukan karena Shilla memecahkan jambangannya, melainkan karena ia menyembunyikan pecahannya di bawah kasur dan tidak berkata jujur. Tragedi pun diakhiri dengan permohonan maaf Shilla dan janji bahwa ia takkan mengulangi perbuatannya.
Dan beberapa hari yang lalu, hal itu terulang lagi. Tetapi, kali ini Shilla tak menepati janjinya untuk tidak menyembunyikan kejujuran. Ryo sedang mencoba menarik kepingan kebenaran itu dari Shilla. Tapi gadis itu menahannya, membiarkan pecahan itu dalam dekapannya. Tak mengacuhkan luka yang bisa ditimbulkan dari sana. Karena Shilla tak mau siapa pun mengorek kesalahannya, walau kenyataannya semua orang melihat bukti di tangannya.
Shilla sedang berada di dapur, memotong-motong beberapa gelondong tahu di talenan kayu saat suara bariton yang khas itu terdengar.
Boleh minta tolong kosongkan dapur" Nada memohon dengan aksen memerintah yang biasa.
Shilla mendesah tak kentara. Suara itu toh masih bereaksi pada aliran darahnya yang kini berkejaran. Ia meninggalkan tahu di meja, melepas celemeknya dan bergegas menyusul para pelayan yang berbisik-bisik pelan sambil keluar dapur.
Shilla baru akan melangkah melewati pintu, namun tangan Ryo mencekalnya, memaksanya menatap mata yang berkilat tajam. Pemuda itu mendesis tegas, Kecuali kamu. Shilla mengalihkan pandangan ke lantai, lalu perlahan melepas lengannya dari cengkeraman Ryo, menyusupkan serpihan beling penolakan ke hati pemuda itu. Tanpa memandang mata yang selalu melelehkannya itu, Shilla melewati Ryo, kembali menghadapi tahu yang tadi tengah dipotongnya, mengingat dia diperintah -kan untuk tidak keluar dari dapur.
Kita& harus bicara... Shilla bisa menangkap suara Ryo yang terdengar agak putus asa dari belakangnya, masih berdiri di tempat yang sama.
Yang menyahuti Ryo hanya bunyi tak, tak, tak pelan yang timbul saat pisau beradu dengan permukaan talenan. Ryo menatap punggung Shilla dengan lelah.
Bisa nggak sih kamu berhenti pura-pura aku nggak kelihatan"
Tak, tak, tak. Shil, Ryo tak bisa menutupi suaranya yang mulai bergetar karena frustrasi. It hurts me.
Seketika gadis itu menghentikan pisaunya di udara, tidak melanjutkan acara pemotongan tahunya. Ryo sedikit berharap saat dilihatnya Shilla menghela napas. Namun akhirnya gadis itu kembali melanjutkan pekerjaannya.
Oh, terserahlah, kata Ryo akhirnya, lalu bersedekap. Aku nggak akan minta kamu bicara. Aku cuma mau kamu dengerin. Yang mau kukatakan ini nggak banyak.
Shilla bisa mendengar bunyi samar langkah Ryo yang mulai mendekatinya dari belakang, dan seakan bisa mengetahui Ryo sedang menatapnya tajam.
Aku... cuma ingin kamu tahu& I ve never had this feeling for any girl. Actually, for everything. I always get what I want just by snapping my finger. Tapi ternyata& perasaan ini berharga sekali. Perasaan berjuang untuk mendapatkan dan mempertahankan sesuatu. Mempertahankan kamu. Ryo berhenti bicara, berusaha memberi Shilla waktu memikirkan ucapannya, membangun atmosfer yang menyatakan bahwa ia tidak main-main. Kamu tahu kenapa aku nggak marah waktu itu" Ryo melanjutkan, seakan bertanya sendiri. Sementara Shilla pura-pura tak acuh meski ingin tahu kenapa Ryo mendadak jadi orang yang pengertian. Sejak awal kamu memang punya perasaan buat dia, kan" Bahkan sebelum aku punya perasaan ini buat kamu. Aku& nggak mau hubungan kita jadi begini karena kamu bingung sama hatimu sendiri. Ini satu-satunya hubungan yang pernah aku jalani dengan sepenuh hati selama tujuh belas tahun aku hidup& Aku mau kasih kamu waktu... untuk berpikir dan menentukan jawaban itu. Minggu depan, di rumah pohon taman belakang, aku akan nunggu kamu, apa pun pilihan kamu.
Ryo menghampiri Shilla lagi, berhenti hanya beberapa senti di belakang punggung gadis itu. Kedua tangannya terulur sejauh jarak yang ada, lalu membelai pelan lengan Shilla, yang berusaha memberontak pelan. Ia lalu berkata lembut, Kamu nggak bisa berakting aku nggak ada padahal kamu bisa merasakan ini& yang membuktikan bahwa aku sebenarnya ada , Shilla.
Shilla mendesah dan berhenti bergerak. Berusaha mengebalkan kulitnya yang mulai menghangat.
Ryo masih menggenggam kedua telapak tangan Shilla yang sekaku papan saat berkata, Just so you know... I will never let you... or this relationship go. I ll do whatever it takes.
Kemudian Shilla bisa merasakan kening Ryo menempel di puncak kepalanya, saat pemuda itu membaui harum rambutnya dengan napas perlahan. Whatever your answer is.
Shilla memeluk lututnya, lalu mendesah saat selembar daun jati jatuh lagi di hadapannya, tergeletak pasrah di antara ujung depan sepatunya dan ujung sepatu Doc Martens hitam yang baru berhenti berderap pada saat yang sama.
Shilla mendongak dan melotot ketika mendapati siapa yang berdiri di hadapannya. Wajah cantik nan angkuh itu.
Ehm, Bianca berdeham salah tingkah, memandangi pucuk pohon karena ia menolak untuk menatap Shilla. Gue mau ngomong.
Shilla mengernyitkan dahi. Sejak kapan nona muda satu ini merasa perlu minta izin untuk bicara dengannya"
Serius, kata gadis pongah itu lagi, masih tidak menatap Shilla.
Kamu mau ngomong sama aku" Atau sama debu yang beterbangan" ucap Shilla, mengulangi sindiran antek-antek Bianca dulu.
Bianca menghela napas, akhirnya memandang Shilla. Shilla kembali bersila, saat dilihatnya Bianca membungkuk penuh antipati memperhatikan rumput di sekitarnya. Kenapa sih cewek ini" Mau nyari cacing" batin Shilla.
Elo kenapa mesti duduk di sini sih" Bianca menunjuk rumput dengan jijik. Nggak ada tempat yang lebih& higienis, gitu"
Shilla mendengus kesal. Kamu mau ngomong apa sih sebenernya" Cuma mau ngomentarin tempat pertapaan -ku" Nggak penting deh. Pindah ke istanamu aja sana. Well, Bianca merogoh tas, mengeluarkan bungkusan kecil yang ternyata kantong plastik besar yang sudah dilipat berkalikali. Bianca membentangkan plastik itu di dekat Shilla, lalu seakan penting, ia menjelaskan. Always have this in my survival kit. Yah, kalo ada kejadian nggak terduga yang nggak higienis kayak gini nih.
Shilla memandangi Bianca dengan heran saat gadis itu menepuk-nepuk rok, lalu bersimpuh di sebelahnya, seakan sedang mengikuti jamuan minum teh Jepang, bukannya duduk di bawah pohon jati di taman belakang sekolah.
Bianca meletakkan ransel mahalnya di sisi lain karpet Persia itu lalu menoleh ke arah Shilla dengan sikap formal. Yang mau gue omongin ini superpenting.
Shilla mengangkat alis. Bosan mendengar ucapan Bianca yang berputar-putar.
Bianca menatap ke depan. Soal Ryo, ujarnya, lalu menoleh ke arah Shilla lagi.
Maksudnya" Bianca memutar bola matanya. Oh, pleeaaase. Semua orang tahu soal berita lo putus sama Ryo. Itu bener"
Shilla menjawab sarkatis, Kalo bener, bukannya kamu yang seneng"
Bianca tersenyum ganjil. Whatever, ini bukan masalah gue. Bianca memandang Shilla lekat-lekat. Gue cuma mau bilang, jangan sampe lo ngecewain Ryo.
Sumpah, Shilla makin tidak mengerti arah pembicaraan ini. Ia mengangkat bahu. Berarti kamu terlambat ngasih tahu aku.
Giliran Bianca yang tersentak. Maksud lo" Shilla mendadak iseng ingin meniru Bianca. Aku selingkuh, katanya dramatis hingga Bianca tercekat. Shilla tertawa. Secara umum, maksudnya. Tiba-tiba ia bungkam, mengingat pilihan sulit yang ia hadapi.
Cerita sama gue kalo gitu.
Dan walau Bianca tetaplah Bianca yang dangkal, wajahnya judes setengah mati, dan nada bicaranya sok kuasa Shilla tak segan bicara padanya. Malah mereka kini duduk berdampingan seperti kawan lama yang saling bercerita soal kabar dan kisah cinta. Ini aneh.
Bianca memain-mainkan rambutnya. Gue nggak gitu ngerti sih.
Shilla lupa Bianca memang agak lambat berpikir jika itu bukan soal rencana liciknya sendiri.
Maksudnya, Ryo nggak cemburu gitu liat lo sama Kak Arya" Aneh. Terus, lo merasa bersalah sampe jauhin dia"
Terus sekarang lo disuruh milih antara mereka" Yah, pilih aja yang paling sreg...
Shilla menghela napas. Kamu kira ini kayak milih Aduh aku pake gaun apa ya hari ini" Gucci atau Prada" . Nggak segampang itu, Bi. Hati itu nggak pernah pasti. Terlalu banyak ruang di dalamnya untuk bisa menghitung siapa yang paling dominan di sana.
Bianca terdiam. Nggak tahu juga deh. Kalo lo aja nggak bisa jawab, gimana orang lain" tanyanya retoris.
Shilla meresapi kata-kata Bianca, lalu baru menyadari keadaan ini harusnya dimasukkan ke rekor MURI. Pertama kalinya mereka bicara tanpa ada konfrontasi.
Bianca mengedikkan bahu. Meskipun gue pengen banget ikut campur, gue tahu gue nggak berhak.
Shilla tertawa dalam hati. Tumben nyadar, batinnya. Tapi, gue kenal Ryo dari kecil. Gue tahu gimana dia nggak pernah dapet dan nggak pernah percaya perhatian dan cinta karena Om sama Tante Luzardi sibuk banget. Yah, gue juga sih. Nggak pentinglah itu. Intinya, Ryo itu kekeringan cinta. Dia jarang memberi dan menerima barang langka itu. Bianca mulai menyandang ranselnya, bersiap berdiri. Sadar atau nggak sadar, saat lo berdiri di depan dia, dia ngasih cinta itu ke elo. Semuanya. Sampai dasar hatinya pun dia keruk untuk lo.
Mungkin sekarang dia lagi nunggu lo menukar isinya dengan milik lo. Pesen gue, jangan kecewain Ryo saat dia udah kenal apa itu cinta. Perasaan Ryo nggak sedangkal itu.
Bianca bangkit lalu berdiri di hadapan Shilla yang mendongak menatapnya. Kadang gue bisa liat dia neken egonya buat lo. Kayak waktu dia ngejebak gue itu. Bianca tersenyum remeh, menanggapi Shilla yang diam-diam menatapnya penuh rasa bersalah. Seumur-umur, gue nggak pernah liat dia melakukan sesuatu buat orang lain. Dan ternyata& orang itu adalah elo. Gue nggak bisa bohong kalau gue& iri. Tapi ya, lo bener, dia udah milih elo. Bianca tersenyum miris. Seandainya Ryo tahu, obsesi terbesar gue cuma mau gantiin Mai buat dia. Obsesi yang berusaha gue capai setengah mati, walau akhirnya begini. Tapi ternyata toh penggantinya bukan gue, tapi elo Shil. Elo, batinnya.
Bianca menarik diri dari alam pikirannya, mengedikkan bahunya untuk terakhir kali lalu mulai berjalan menjauh, membelakangi Shilla yang kini berteriak tertahan, Kamu... masih punya perasaan buat Ryo"
Bianca tetap berjalan sambil mengangkat dagu dan tersenyum. Nope. I m seeing someone else.
Siapa" Shilla tak tahan untuk tak bertanya. Patra, ujar Bianca agak sayup, membuat Shilla terkagetkaget. Lalu Shilla menatap plastik di sebelahnya, entah kenapa tergelitik untuk berteriak lagi. Hei! Plastikmu ketinggalan!
Kali ini Bianca menoleh, memasang wajah angkuhnya yang tampak jengkel. Buat lo aja. Gue nggak mau, udah kotor. Plastik gituan gue beli sama perusahaannya juga bisa. Bianca berbalik lalu berjalan lagi.
Shilla tertawa pelan. Entah kenapa lega mendapati identitas asli Bianca yang sombong tidak hilang sehabis curhat colongan itu. Seiring punggung Bianca yang menjauh, keheningan mulai bersahutan dengan tiupan angin yang semakin kuat. Shilla menengadah saat dilihatnya puluhan daun jati ikut terbang bersama embusan itu. Tidak bisa ia hitung, tidak bisa lagi ia gunakan untuk menentukan pilihan. Hatinya sedang diuji dan ia harus menemukan jawabannya sendiri.
Ayah, Aku sudah di Jakarta. Beliau yang Ayah sebut namanya baik-baik saja. Beliau betul-betul baik. Sebenarnya ada hubungan apa Ayah dengan beliau" Hmm... lalu sampai kapan aku harus di sini, Yah"
eberapa hari kemudian. Ratya mengikuti langkah panjang pemuda yang berjalan cepat di depannya dengan ketukan sepatu yang bergema di dinding-dinding koridor putih yang seakan menakuti.
Bab 10 Tuan, panggilnya tertahan.
Stefanus berhenti sebentar, lalu berbalik. Kenapa& Ratya" tanya Stefanus, diam-diam menikmati getaran halus yang mengaliri pembuluh darahnya tiap melantunkan nama gadis itu.
Saya& buat apa saya ke sini" tanya gadis berambut lurus itu, memandangi seragam baru yang dipakainya dengan sedikit jengah.
Stefanus mengeluarkan senyum memikatnya. Kamu sekolah di sini, jadi adik kelasku.
Tapi... sanggah gadis itu.
Sudahlah. Sejak dulu kakekku memang menyekolahkan pekerja yang masih di bawah umur, jelas Stefanus singkat. Ratya mengembuskan napas sekilas. Baiklah. Ayo, kuantar ke kelasmu... Stefanus, entah sengaja atau tidak, menarik tangan gadis berparas ayu itu agar bergegas. Membuat debar yang sama mengaliri bilik hati Ratya.
Lalu dari sana terbentuklah bibit kisah cinta klise yang sudah ada sejak awal dunia. Terlarang. Karena di sisi Ratya, tugasnya seharusnya tak termasuk urusan hati. Stefanus baru sadar ketika tiba di depan pintu kelas yang ditujunya. Ia melepas tangan Ratya yang sedang menunduk malu. Ada sesuatu yang membuat dada Stefanus bergemuruh hebat setiap memandang gadis itu.
Ratya sosok misterius. Terlepas dari kelengkapan nama dan asal-usul yang tak pernah mau disinggungnya, gadis itu bersikap jual mahal dengan keeleganan tersendiri. Ratya memberikan tantangan untuk Cassanova seperti Stefanus. Gadis itu sama sekali tidak mudah . Bahkan Stefanus rela menerima makian menyakitkan telinga dari Tita saat gadis pesolek itu diputuskannya secara tiba-tiba hanya karena Ratya.
Seorang gadis berambut sebahu tiba-tiba keluar dari pintu kelas, menepuk dadanya sendiri karena terkejut akan kehadiran Ratya dan Stefanus. Permisi, katanya, mengacungkan gumpalan kertas takut-takut pada Stefanus, seakan meminta izin untuk membuang sampah pada pemuda yang sebenarnya tidak punya kewenangan apa-apa.
Stefanus menyingkir untuk memberikan jalan, lalu tiba-tiba mendapat ide. Setelah gadis itu membuang sampahnya, Stefanus menepuk pundaknya pelan. Bisa minta tolong"
Gadis itu sempat terperanjat, lalu akhirnya mengangguk ragu. Tahu benar siapa kakak kelas di depannya dan seperti apa reputasinya.
Stefanus mendorong bahu Ratya pelan, lalu memandang gadis lain itu sekilas. Tolong temani dia. Dia baru masuk. Gadis itu melongo sejenak, bergantian memandang Stefanus dan Ratya, lalu mengangguk lagi.
Lagi ada guru" tanya Stefanus lagi. Gadis itu menggeleng.
Stefanus mengangguk-angguk, lalu tersenyum. Sip. Tolong bantu dia, ya, kata pemuda itu, lalu memandang Ratya. Sana masuk. Aku ke kelas dulu, katanya, tersenyum pada Ratya dan gadis lain itu sekali lagi, lalu melipir pergi.
Beberapa saat setelah itu, Ratya dan gadis itu masih terpana oleh sisa-sisa karisma Stefanus, hingga akhirnya gadis itu memecah keheningan.
Halo, nama kamu siapa" tanya gadis berwajah lembut itu sambil tersenyum ramah.
Ratya, jawab Ratya sambil mengulurkan tangan. Gadis itu menjabat tangan Ratya. Aku Romi. Romilda. Lalu setelah pertemuan singkat yang tak disengaja itu, terjalinlah persahabatan erat antara Romi dan Ratya. Yang tak bisa dikalahkan sejarah, bahkan oleh Hayam Wuruk dan Gajah Mada.
Ayah, kenapa tak membalas juga" Bolehkah aku pulang sekarang" Ada sesuatu yang tak kumengerti mulai mengikat hatiku di sini. Aku tak mau sesuatu ini berubah menjadi terlalu besar, Yah. Aku takut.
Ratya tahu ada yang mulai bersemi di hatinya. Tapi karena ia tidak mengerti apa yang ia rasakan, ia mencoba bersikap biasa saja. Sementara Stefanus masih berusaha menuntaskan tantangannya sendiri. Mencoba mengalahkan keangkuhan hati gadis itu dengan merendenginya ke mana-mana. Meski sadar gadis itu cuma pelayan, ia tak kuasa memungkiri perasannya terhadap Ratya. Stefanus mengacuhkan ejekan temantemannya yang berkata ia mungkin sudah kehilangan selera dan karisma. Masakah Cassanova sekelas Stefanus tak bisa mendapat gadis sebiasa Ratya"
Tapi menurut Stefanus tidak juga. Ratya tidak biasa. Gadis itu tidak seartifisial gadis-gadis lain yang pernah dikencaninya. Bahkan bagi Stefanus, Ratya kelewat berharga. Menawarkan segenggam berlian mentah yang belum terasah padanya.
Dan akhirnya, di tengah gumpalan langit mendung siang itu, hati Ratya terbuka. Saat gemuruh keras mulai menorehkan guratan di cakrawala, Ratya tahu ada sesuatu yang tak beres dengan napasnya. Ini tak ada hubungannya dengan asmara atau perasaan yang berusaha ditutupinya. Ini gangguan pernapasan dalam arti denotatif.
Lalu seakan nasib tak membantu. Stefanus merutuk saat mobilnya mendadak tersendat. Pemuda itu melirik jarum penunjuk isi tangki bensin yang berada di garis E empty alias kosong. Sial, umpatnya. Belum selesai merutuk, Stefanus mengeluh lagi saat tiba-tiba angin berembus kencang lantas petir menggelegar lebih keras dan memerintahkan titik-titik air terjun ke bumi.
Tu& an& Ratya berusaha berbicara dengan saluran napas yang terimpit. Asmanya ternyata betul-betul kambuh. Gadis itu memegangi dadanya yang kian sesak, benar-benar tersiksa.
Ratya... Stefanus terkesiap saat melihat Ratya bernapas kepayahan. Keringat sebesar bulir jagung menuruni wajah cantik gadis itu, membuat Stefanus makin panik. Ia tak pernah melihat orang terserang asma secara langsung. Ratya... gumamnya lagi, benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Ia menarik napas sejenak, berusaha mengingat bagaimana pertolongan pertama pada penderita asma yang pernah diajarkan pada saat Pramuka dulu.
Kamu... kamu bawa inhaler" tanya Stefanus, yang dijawab Ratya dengan kernyitan sesaat lalu gelengan dan napas terengah. Stefanus akhirnya tak mampu lagi berpikir, hanya inhaler yang bisa diingat otaknya selain napas buatan. Dan yang kedua tentu tidak dapat ia lakukan. Ia melepas sabuk pengaman lalu menatap Ratya cemas. Aku cari inhaler dulu, ujarnya panik lalu membuka pintu dan bergegas berlari menembus hujan. Bahkan tak terpikir oleh Stefanus untuk membawa payung atau apa pun untuk berlindung dari hujan.
Ratya hampir menangis. Bodoh sekali dirinya meninggalkan rutinitas meminum ramuan jahe merah dan madu yang selalu ditekuninya di desa. Bukan karena apa-apa, melainkan karena madu di Jakarta mahal sekali harganya, padahal di desa ia bisa membeli dengan harga murah, bahkan gratis. Asmanya memang selalu kambuh jika udara terlalu dingin. Angin kencang serta hujan yang tak kunjung reda membuat napasnya semakin habis. Ratya tak ingin mati sekarang.
Dalam hitungan menit, Stefanus kembali memasuki mobil. Mengulurkan inhaler, yang baru dibelinya dari apotek yang untung saja ditemukannya di dekat sana, kepada Ratya. Saking bingungnya, bahkan pemuda itu lupa menutup pintu mobil.
Ratya hanya memandang dengan bingung ketika Stefanus mengulurkan inhaler tersebut. Melihat kebingungan di wajah Ratya, akhirnya Stefanus mengerti dan membukakan inhaler itu. Membiarkan kelegaan membuka jalan di sepanjang saluran pernapasannya.
Ratya masih bernapas dengan susah payah saat tiba-tiba Stefanus meraih dan menyampirkan blazer ke tubuhnya. Kali ini Ratya tercekat karena alasan lain. Blazer tersebut menguarkan wangi samar hujan dan harum pemuda itu.
Nggak apa-apa, ya" Hanya basah luarnya kok. Masih hangat, kan" tanya Stefanus cepat, menyandarkan Ratya pada jok lagi.
Ratya mengangguk, karena kehangatan bukan hanya menjalar dari blazer itu, namun juga dari mata tulus pemiliknya. Ah, Stefanus. Bahkan titik-titik air masih menempel pada pucuk rambut dan wajah tampannya.
Stefanus menoleh ke pintu sekilas, sadar benda itu masih terbuka, lalu menutupnya. Ia menoleh kembali ke arah Ratya yang tengah memandanginya.
Entah karena apa, Ratya tergerak untuk mengulurkan tangan, menyeka pipi Stefanus yang basah dan sedingin mayat karena dibekukan hujan. Terima kasih, katanya pelan.
Pemuda itu terdiam, lalu mendekap tangan Ratya yang masih bertahan di pipinya. Ia baru menyadari sesuatu. Ini bukan lagi masalah egonya dalam menghadapi tantangan. Sepertinya, ia bukan lagi Cassanova. Karena kini justru dirinya yang ditaklukkan Ratya.
Tenang saja. Itu bukan apa-apa. Karena& Tatapan Stefanus seolah menghunjam mata Ratya. Aku menyayangimu.
Wanita itu membuka mata lalu mengerjap dan meregangkan kedua tangan. Ia berguling lalu secara otomatis melirik ke samping, ke arah suaminya, yang ternyata tidak ada. Ia mengerutkan kening sambil menguap. Tak lama, ia bangkit saat mendengar suara pelan.
Bi Okky" sapanya saat melihat wanita tua tengah membawa nampan berisi semangkuk cornflakes, sekotak susu, dan gelas tinggi kosong memasuki kamar.
Nyonya, Bi Okky membungkuk takzim dan tersenyum. Sang nyonya memijat-mijat pelipis. Baru ingat semalam ia tiba di Jakarta. Sekarang jam berapa, Bi" Tuan ke mana"
Jam sepuluh, Nyonya. Tuan tadi jam setengah sembilan berangkat ke kantor.
Wanita itu mengangguk, tak heran kenapa hari Minggu begini suaminya tetap ke kantor. Lagi-lagi alasan itu. Suaminya akan melakukan apa saja agar jauh dari rumah ini. Rumah yang membuatnya enggan tinggal karena kenangan yang tak juga mau hilang. Anak-anak ke mana, Bi"
Den Ryo tadi juga pergi pagi-pagi. Saya kurang tahu ke mana. Den Arya masih di rumah. Sepertinya Tuan berpesan agar Den Arya tidak usah ke mana-mana.
Oh, wanita itu mengangguk. Baguslah, batinnya, berarti ia bisa memberitahu anak sulungnya itu tanpa harus sembunyisembunyi.
Wanita itu turun dari tempat tidur lalu menghampiri Bi Okky yang tengah mengatur bawaannya di meja kecil di depan kaki ranjang, dan duduk di sofa kecil di hadapan meja tersebut. Ia meraih kotak susu dan menuang isinya ke dalam gelas tinggi, lalu sebelum minum ia bertanya pada Bi Okky, Bagaimana anak-anak selama saya di Paris, Bi" Terutama Ryo"
Bi Okky tersenyum. Baik-baik saja, Nyonya, katanya. Den Ryo bahkan sudah punya pacar.
Ah. Benarkah" Wanita itu menurunkan gelas dan terbelalak memandang Bi Okky. Siapa"
Bi Okky terkesiap, seakan baru sadar salah bicara. Melihat sang nyonya begitu penasaran, akhirnya ia menjawab, Kecewakah Nyonya kalau saya bilang& gadis itu hanya pelayan"
Sang nyonya mengangkat alis sekilas, meneguk susunya lagi, mengangkat bahu lalu tersenyum samar ke arah Bi Okky. Untuk satu dan lain alasan& tidak juga. Mengacuhkan Bi Okky yang tampak takjub mendengar jawaban tulusnya, ia melanjutkan lagi, Bi, tolong siapkan makan siang. Saya ingin semur tahu buatan Bibi, katanya sambil tersenyum.
Ah. Iya, Nyonya. Saya permisi, kata Bi Okky lalu membungkuk pelan dan melangkah keluar dari kamar utama.
Ratya mulai terbang ke negeri mimpi. Awan putih membawanya naik begitu tinggi ke kastel imajiner yang tak pernah ia kunjungi. Romi yang baik setengah mati, berjanji menjaga rahasia Ratya rapat-rapat. Soal pekerjaan, nama lengkap (yang tak ia beritahu pada siapa-siapa lagi kecuali Romi), juga soal hubungannya dengan Stefanus Luzardi. Walau ia terpaksa tetap menyembunyikan asal-usulnya.
Sementara tentang Stefanus& Ah. Dari mana memulainya" Pemuda itu seakan membuatnya merasa menjadi putri setiap hari. Mengubur ketakutannya dulu dengan perasaan senang yang membuncah begitu hebat. Bahkan suatu hari Stefanus pernah mengajaknya duduk di bawah pohon jati di taman belakang sekolah, menunjukkan sesuatu padanya. Cincin dengan mata mahkota mungil.
Ini cincin pertunangan turun-temurun keluarga Papa. Semua laki-laki di garis keluarga inti Papa memakaikan cincin ini kepada gadis yang akan ditunangkan dengannya. Begitu juga Mama. Barulah setelah ada cincin pernikahan, cincin ini akan dilepas dan diturunkan untuk generasi selanjutnya. Ratya ingat Stefanus memandanginya setelah itu. Cincin ini juga nanti akan kupakaikan ke jari manismu, janji pemuda itu.
Tapi ternyata mimpi toh hanya mimpi, yang harus buyar ketika kesadaran membangunkan. Malam itu saat berada di kamar Stefanus untuk minta diajari materi fisika yang tak ia kuasai, Ratya baru mengerti bahwa bunga tidurnya hampir menuju akhir.
Ini bagaimana caranya" tanya Ratya pelan. Ya ampun, Ratyaaaa. Aku sudah menjelaskan materi ini berulang kali& jawab Stefanus gemas.
Ratya menggembungkan pipi. Tapi aku tetap nggak ngerti.
Ck, Stefanus berdecak pelan, lalu timbul ide jail di kepalanya. Tutup mata.
Ratya mengernyit. Untuk apa"
Tutup mata, kata Stefanus memaksa. Aku mau membisikimu mantra supaya cepat pintar.
Serius" tanya Ratya tak yakin.
Stefanus mengangkat alis, mengiyakan. Ia tersenyum semringah saat gadisnya benar-benar menutup mata. Pemuda itu baru saja mendekatkan wajahnya ke pipi Ratya saat tibatiba pintu terbuka.
STEFANUS LUZARDI! Suara Ivona melengking tajam menyakitkan telinga. Matanya berapi-api melihat Stefanus dan gadis pelayan itu. Ternyata kecurigaannya selama ini benar. KAMU SUDAH GILA" KAMU LUPA DIA ITU APA"
Ratya mengkeret saat melihat Ivona menatapnya tajam. Seakan tak bisa membaca suasana, Stefanus malah menggenggam tangan Ratya, lalu berdiri menantang ibunya. Dia manusia, Mama. Dan aku menyayanginya. Ivona menggeleng geram lalu berkata tajam. Tahu apa kamu soal kasih sayang" PUTUSKAN DIA! BESOK KAMU AKAN MAMA PERTEMUKAN DENGAN ANAK TEMAN MAMA! Ivona kembali menatap Ratya. Pelayan tidak tahu diri.
Mama! Stefanus menghardik ibunya, membuat Ratya mencengkeram tangan pemuda itu sambil berbisik pelan, Jangan...
Tak lama pintu terbuka, dan tampaklah sosok Luzardi yang kebingungan. Ada apa ini" Ivona" Stefan"
Luzardi benar-benar tengah membutuhkan ketenangan. Perusahaan properti yang baru dirintisnya untuk melebarkan nama Luzardi Group itu tengah menghadapi masalah. Ada defisit besar yang membuatnya menghadapi dua pilihan: membiarkan perusahaan itu mati perlahan atau membiarkan investor asing membeli setengah saham dengan catatan perusahaan harus dipindahkan ke negara asal sang investor, Paris.
Stefanus merasa angin surga menyapanya. Papa orang yang bijaksana, tak pernah memandang siapa pun dari status sosial. Lain dengan Mama. Sesaat Stefanus bingung, tak mengerti kenapa ayahnya bisa menikahi orang seperti ibunya. Lalu Stefanus dan Ivona berbicara berbarengan. Pa, aku dan Ratya boleh bersama, kan"
Aku mau menjodohkan Stefanus dengan anak temanku. Seperti yang akan dilakukan semua keluarga baik-baik.
Karena Luzardi sedang dilanda kepenatan, lagi pula suara Ivona lebih mendominasi perdebatan, ia angkat bicara. Apa pun itu, turuti kata Mama-mu, Stefan.
Stefanus terperanjat tak percaya.
hilla menelan ludah saat berdiri di pojok ruang makan istana Luzardi petang itu. Ada ketegangan yang sarat mencekik udara di sekitarnya. Begitu kental hingga Shilla merasa bisa menggenggam dan menyimpannya dalam kantong seragam pelayannya.
Kali ini bukan saja karena ia harus melihat sepasang sumber dilemanya berada di tempat yang sama, tapi juga karena kekakuan yang amat jelas terlihat antara wanita elegan paruh baya dengan salah satu tuan muda di sana.
Ini kali pertama Shilla melihat Nyonya Luzardi, dan ia
Bab 11 sudah bergidik ngeri. Padahal sejak tadi ia baru berdiri di belakang wanita itu, dan belum sekali pun melihat wajahnya.
Sudah nggak jetlag, Ma" tanya Arya.
Romi tersenyum dan menggeleng. Tadi Mama sudah tidur.
Papa belum pulang" Romi menggeleng lagi. Tadi Mama telepon, katanya Papa diajak makan sama teman lamanya.
Arya mengangguk lalu kembali menyantap makanan di hadapannya. Kini Romi beralih pada Ryo yang terlihat acuh tak acuh pada keadaan di sekitarnya.
Ryo" Si bungsu berjengit mendengar panggilan ibunya, lalu mendongak dari piring yang di hadapannya. Ya" jawabnya sambil mengangkat sebelah alis.
Romi terdiam saat melihat tatapan beku dari mata tajam yang terasa asing baginya. Tidak tahu mau berbicara apa, wanita itu hanya berdeham, Habiskan makananmu. Ryo mendengus.
Shilla yang bisa melihat wajah Ryo dari pojok ruangan, merinding mendengar betapa dingin interaksi antara kedua orang di sana. Ke mana sapaan hangat dan penuh kerinduan atau semacamnya" Mengingat sepertinya orangtua kakakberadik itu jarang sekali kembali ke rumah.
Beberapa menit setelahnya hanya denting garpu dan sendok beradu dengan piring yang mengisi kesenyapan di ruang makan. Ketika Ryo sudah menandaskan makanannya lebih dulu, ia memundurkan bangkunya lalu berdiri.
Shilla terkejut juga melihat tingkah Ryo tak ubahnya seperti saat di sekolah. Keluar sebelum dipersilakan, bahkan sebelum makanan penutup dihidangkan.
Romi menghela napas. Anak itu, desahnya lelah. Mungkin dia belum terbiasa, Ma, kata Arya pelan sambil mengangguk pada pelayan yang meletakkan sepiring puding roti di meja.
Shilla yang hari ini bertugas membereskan meja, namun harus tetap siap sedia sepanjang makan malam, merasa kakinya mulai kesemutan. Untung saja tak lama kemudian Arya berdiri, setelah mohon diri pada Romi.
Tapi Arya, nanti Mama ingin bicara, kata Romi. Tentang"
Wanita itu menahan napas sebelum menjawab, Kakek... Arya berpikir sebentar sebelum akhirnya mengucap Ah, pelan, ia mengangguk.
Pemuda berkacamata itu lalu diam-diam melirik gadis pelayan di ujung ruangan yang langsung menegakkan diri begitu mata mereka beradu.
Sambil tersenyum samar, akhirnya pemuda itu pun benarbenar undur dari ruang makan, meninggalkan sang nyonya besar sendirian.
Bi, panggilnya pada Bi Okky. Bisa tolong ambilkan obat saya" Meja makan juga boleh dirapikan dulu.
Bi Okky membungkuk setelah mendengar perintah Romi, lalu memberikan isyarat pada Shilla untuk melakukan bagiannya. Dengan segan bercampur sedikit takut, Shilla mendekati meja makan, lalu mulai meletakkan gelas dan piring kosong Arya di nampan yang ia bawa. Kemudian ia memutar untuk membereskan milik Ryo. Ketika saatnya ia membenahi perangkat makan Romi, Shilla berpikir sebentar. Sang nyonya berniat meminum obat. Berarti seharusnya Shilla tidak boleh mengangkat gelas wanita itu.
Permisi, ia berkata pelan, meminta izin untuk mengambil piring Romi.
Ya, jawab wanita itu, tak begitu memperhatikan. Melihat gelas Romi setengah kosong, Shilla berinisiatif bertanya, Nyonya, apa airnya mau diisi lagi"
Romi baru akan menjawab, namun ia langsung membeku saat menoleh dan akhirnya melihat wajah sang penanya. Tanpa berkedip, wanita itu bertanya dalam bisikan, Ratya"
Romilda Vernan. Stefanus tersedak minuman ringan yang sedang diminumnya, lalu memandangi gadis bergaun bunga-bunga yang baru memasuki ruang tamu rumahnya. Bukannya ini gadis yang selalu berada di sebelah Ratya tiap kali ia menjemputnya di kelas"
Romi membelalak. Ini kan kakak kelasnya, sekaligus... pacar Ratya" Pemuda inikah Datuk Maringgih -nya" Ya Tuhan. Mau mati saja rasanya.
Ivona dan Arlinda ibu Romi mulai berbincang-bincang heboh tanpa melibatkan dua muda-mudi yang seharusnya paling berwenang. Romi cemas setengah mati. Ia memainmainkan jemarinya gelisah. Sesekali melirik Stefanus yang memandangi ibu mereka dengan muak.
Love Command The Second Chance Karya Janice Nathania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba sesuatu yang paling tidak diinginkan Stefanus dan Romi terjadi. Ratya datang dengan seragam pelayan, membawa baki berisi minuman untuk Romi dan Tante Arlinda. Gadis itu sempat terkejut sejenak melihat Romi, lalu terdiam setelah menyimpulkan sendiri apa yang terjadi. Stefanus sempat mengatakan calon tunangannya akan datang hari ini.
Permisi, Ratya membungkuk ke arah Ivona yang mendelik tajam padanya.
Lalu seakan sengaja, Ivona berdeham. Ratya, kenalkan ini Nyonya Arlinda dan Nona Romilda, yang akan menjadi nyonya kamu di masa depan. Nah, Jeng Arlin. Ini pelayan saya yang paling tidak tahu diri, katanya tajam sambil tersenyum kepada Arlinda, Semoga nantinya bisa melayani Romi dengan baik dan bisa sadar levelnya di mana.
Stefanus menggenggam kaleng minuman ringannya kuatkuat saat melihat Ratya menggigit bibir.
Permisi, kata gadis itu tak lama kemudian. Sepeninggal Ratya, Stefanus tak tahan lagi. Ia berdiri lalu berkata tajam, Boleh saya ajak Romi ke taman belakang sebentar"
Ivona dan Arlinda tampak kegirangan, lalu mengganguk dan berceloteh.
Ah, tentu. Pasti kalian sudah akrab, ya" Oh, mereka kan satu sekolah. Bagaimana Jeng ini. Nah, betul kan, Stefan" Perjodohan tidak seburuk itu" Stefanus hanya tersenyum masam, lalu menarik tangan Romi menuju taman belakang. Pemuda itu menggeser pintu lalu memberikan isyarat pada Romi untuk duduk di bangku ayunan di dekat pintu, sementara ia sendiri mondar-mandir.
Kamu setuju sama perjodohan aneh ini" tanya Stefanus. Romi hanya mengangkat bahu bingung. Aku nggak setuju. Stefanus menjawab sendiri.
Romi mendesah. Tapi Mami nggak bisa dibantah. Stefanus mengerang kalah. Karena begitu pula ibunya. Apalagi ayahnya sudah ikut menyetujui. Argh.
Tiba-tiba terdengar bunyi geseran pintu lagi dan kepala Ratya muncul dari celah yang terbuka. Ketika melangkahkan kaki, gadis itu baru sadar ada Stefanus dan Romi yang tengah berpandangan di sana. Maaf, katanya pelan, lalu hendak berbalik keluar.
Ratya& Stefanus berteriak tertahan, secara refleks melangkah panjang mengejar Ratya dan menahan tangan gadis itu.
Ratya tahu ia memang tak pantas. Ucapan Ivona seakan memvonisnya dengan telak. Harusnya dari dulu ia tak kelewat berharap. Tujuannya ke rumah ini bukan untuk urusan hati. Ia berusaha menepis tangan Stefanus yang mencengkeramnya. Ratya...
Mendengar suara Stefanus yang kian memelas, akhirnya Ratya membalikkan badan. Kenapa"
Ia terkesiap saat pemuda itu memeluknya. Maaf, Ratya. Maaf, bisik Stefan.
Sudahlah. Tidak apa-apa. Stefanus membelai rambut gadis itu sekali lagi. Segalanya akan baik-baik saja. Pasti.
Hari ini, Jakarta. Jadi& Ratya sudah... Romi bahkan tidak mampu meneruskan kalimat itu. Dipandanginya Shilla yang tengah menunduk dengan tatapan iba. Mengapa ibu dan anak ini harus begitu menderita" Wanita itu mendesah sebelum melihat keremangan di sekelilingnya. Setelah Shilla bertanya heran kenapa sang nyonya bisa mengetahui nama bundanya, Romi meminta waktu untuk berbicara dengan gadis itu. Ia ingin tahu kenapa Shilla bisa sampai di rumahnya, dan menjadi pelayan pula. Akhirnya Shilla mengusulkan mereka untuk berbicara di kamarnya, sementara pelayan lain sedang sibuk di dapur.
Setelah mendengar semua kisah Shilla dan wasiat sang bunda, Romi tahu gadis itu tak mengada-ada. Wanita itu pun berkata pelan, Saya belum sempat menebus semua kesalahan saya. Ia menggeleng tak percaya, kecewa.
*** Namun ternyata segalanya tidak baik-baik saja. Karena seiring minggu berlalu, makin menganga pula bentangan jarak antara Stefanus dan Ratya. Masa penjajakan paksa yang diatur Ivona dan Arlinda membuat pemuda itu terpaksa mengurangi frekuensi pertemuannya dengan Ratya. Romi mungkin memang pribadi yang menyenangkan. Tapi bagi Stefanus, gadisnya hanya Ratya.
Sebenarnya, Stefanus pernah mencoba menyelinap menemui gadis itu, tapi ternyata Ivona betul-betul serius mengekangnya. Malam itu, selepas menemani Romi berbelanja titipan Ivona dan Arlinda yang benar-benar terlihat dipaksakan Stefanus mengendap-endap melalui dapur yang gelap, berniat pergi menyusuri lorong kamar pelayan, saat tiba-tiba lampu dinyalakan dan terlihatlah Ivona berdiri bersedekap sambil mengangkat alis.
Mau ke mana kamu, Stefanus Luzardi" tanyanya tajam.
Stefanus tergagap, M-mau...
Menemui pelayan itu" tanya Ivona lagi. Stefanus terdiam, kalah.
Kurang apa Romilda" Ivona menggeleng-geleng. Sudah tiga minggu kamu tidak bicara dengan pelayan itu. Apa sulit begitu untuk selamanya" Ivona melanjutkan, kini dengan ancaman, Sekali lagi kamu ketahuan bicara dengannya, Mama akan tendang dia jauh-jauh dari sini. Tanpa apa pun selain yang dia pakai di tubuhnya. Tanpa gaji. Bahkan& tanpa inhaler-nya. Wanita itu mengangkat dagu pongah, mengacungkan inhaler Ratya yang tadi sengaja diambilnya.
Stefanus tak tahu apakah ia memang pantas disebut pengecut. Karena setelah itu, ia benar-benar tak berani menemui Ratya lagi.
Ini kisah yang panjang, Shilla. Romi tersenyum lemah kepada gadis di hadapannya yang hanya diam dan tampak siap menerima.
Tentang saya, suami saya, dan bundamu.
Kakak sedang memikirkan Ratya, ya" tanya Romi, beberapa hari sebelum pengumuman kelulusan Stefanus. Saat itu ia sedang bertamu karena Ivona meneleponnya. Dan di sinilah ia, duduk di sebelah pemuda tampan yang jiwanya ada dengan Ratya.
Stefanus memandang Romi sekilas, lalu tak sengaja menyahut ketus, Siapa lagi" Sudah hampir beberapa ia bulan tidak mengadakan kontak apa pun dengan Ratya. Bahkan jika gadis itu berada dalam jarak pandangnya, Stefanus merasa makin tersiksa. Karena ia tak berani menghampiri gadis itu, seakan kini di mana-mana ada mata tambahan untuk Ivona.
Romi tersenyum tipis. Dia juga memikirkan Kakak, tukasnya pelan. Ia mendesah diam-diam, mengingat Ratya yang masih mau menganggapnya sahabat, seakan tak pernah ada cerita Romi merebut Stefanus dari sisi gadis itu. Sebenarnya Romi pun tak suka jadi orang ketiga. Tetapi ternyata rasa suka memang bisa timbul karena terbiasa. Beberapa bulan belakangan ini, dengan sikap ketus Stefanus sekalipun, Romi mulai merasa nyaman. Tak lama, pikiran Romi dibuyarkan sapaan seseorang.
Romilda, kata Ivona, bergegas menghampiri Romi lalu mengecup kedua pipi gadis itu. Kemudian ia mempersilakan Stefanus dan Romi duduk. Mami kamu sedang di Melbourne, kan" Jadi, biar Tante yang menyampaikan hal penting ini. Ivona berdeham, kemudian memanggil, Ratya!
Romi terkesiap, sementara Stefanus terperanjat melihat Ratya masuk dengan takut-takut, seakan memang sudah menunggu dipanggil. Ivona tersenyum palsu lalu mempersilakan Ratya duduk di sisi lain sofa.
Mama, tukas Stefanus pelan. Jantungnya berdegup kencang karena dua hal. Kerinduannya pada Ratya, dan kebingungan.
Ivona mengangkat tangan agar Stefanus berhenti bicara. Ia memberikan jeda sebelum melanjutkan, Akhir minggu ini, Mama akan mengadakan pesta pertunangan kalian.
Stefanus melotot Apa" Ini terlalu cepat, Ma! protesnya.
Ivona menjawab tenang, Tidak ada yang terlalu cepat, Stefanus. Setelah lulus, kamu langsung berangkat untuk melanjutkan studi di Paris bersama Papa yang akan merintis lagi perusahaan di sana. Harus ada yang mengikat kalian.
Ratya tidak mengerti apa maksud Nyonya Ivona memanggilnya. Untuk mendengar berita bahagia itukah" Ia sudah cukup tersiksa tak bisa bicara dengan Stefanus berbulan-bulan. Pemuda itu bahkan tak pernah sekali pun berusaha menemuinya.
Dan Mama sudah menunjuk seseorang menjadi pembawa cincin nantinya... Ratya.
Stefanus tersedak. Apa ibunya sudah gila"
Ivona tersenyum penuh arti ke arah Ratya. Tidak keberatan kan, Ratya" Gadis itu menggeleng pasrah. Ivona tersenyum lalu mengeluarkan sebuah kotak beledu. Dibukanya kotak itu, dan di dalamnya tampak cincin dengan mata mahkota mungil. Cantik, kan"
Ratya hanya mengangguk. Ivona menutup kotak itu lalu mengulurkannya pada Ratya, yang hanya bisa menerima dengan tatapan tak mengerti. Saya titipkan cincin ini padamu sampai akhir minggu nanti. Jaga baik-baik. Itu bukan untuk kamu. Ivona mengalihkan pandangan kepada Stefanus dan Romi. Mama sudah membuatkan janji dengan perancang baju yang biasa. Siang ini juga kalian ke sana. Dan ah, mungkin Ratya bisa ikut" Untuk membawakan barang-barang"
Lagi-lagi, Ratya mengangguk.
Ivona tersenyum lalu beralih memandang tajam putranya. Dan Stefanus, tetap pegang janji kamu. Mama punya banyak mata sekarang.
Ayah, apa yang kutakutkan terjadi. Aku akan pulang, Ayah. Bahkan mungkin aku sudah sampai sebelum Ayah menerima surat ini.
Tiga hari sebelum pertunangan.
Kakak" Ratya pergi" Ke mana" Romi menuntut penjelasan hari itu, saat Ratya tak dapat ia temukan di mana pun.
Stefanus menggeleng. Jangan tanya aku. Aku tak tahu. Aku tak mau tahu.
Jawaban Stefanus membuat Romi makin yakin pemuda itu tahu sesuatu. Kak"
Stefanus mendesah. Masih segar dalam ingatannya akan apa yang terjadi malam sebelumnya. Ya, ia mengusir Ratya.
Malam itu Stefanus tak bisa tidur, kantuk tak mau menyerang matanya. Akhirnya ia memutuskan mencari udara segar ke taman belakang. Ia sedikit bingung saat mendapati pintu geser tak tertutup rapat dan terkejut ketika matanya menangkap siluet yang tengah duduk berlutut di sudut lain di sebelah pintu. Ratya, desisnya tak percaya. Bulan keperakan yang menggantung di langit pekat memantulkan kilatan cahaya pada benda yang sedang dipegang Ratya. Cincin itu. Stefanus tercekat saat melihat apa yang dilakukan Ratya setelah itu.
Gadis itu memasang cincin milik Romi ke jarinya sendiri. Cincin yang pernah dijanjikan padanya oleh mimpi, namun takkan pernah ditepati. Ratya tersenyum perih saat cincin itu ternyata melingkar sempurna di jari manisnya, lalu membiarkan sebutir air mata jatuh tepat ke atas mata mahkota cincin yang dipakainya.
Stefanus memejamkan mata lalu bersembunyi kembali di balik pintu. Ia menyandarkan kepalanya di sana, ikut tersiksa. Mungkin tak ada gunanya mempertahankan Ratya di sini. Mereka hanya akan terus menyesali keadaan karena ditakdirkan menapaki jalan yang berbeda menuju masa depan.
Maka terlintaslah di benak Stefanus gagasan untuk mengakhiri kepedihan gadis itu. Perasaan ini harus mati.
Ratya" Stefanus menghampiri Ratya, yang kini terkesiap dan bergegas melepas cincin itu dari jarinya. Ratya" panggil pemuda itu lagi.
Ratya menunduk saat Stefanus meraih jemarinya dan melepas cincin itu dari sana.
Dengan segenap penyangkalan, Stefanus mengenyahkan kehangatan untuk Ratya dari matanya, dan berkata tajam, Ini bukan milikmu.
Ratya tersentak, menunduk saat pemuda itu melepaskan tangannya.
Lupakan mimpi-mimpi kita dulu, Ratya. Karena ini realita. Pergilah, Ratya. Lebih baik kamu pulang. Jangan menungguku, Stefanus menggeleng. Aku tidak akan kembali padamu. Kamu... tidak pantas untukku.
Ratya pun membiarkan air mata mengalahkan karang keteguhannya. Dan Stefanus membiarkan Ratya pergi malam itu juga. Akhirnya ia menyerah pada takdir. Melepas Ratya. Melepas cinta.
Kakak" Romi menyadarkan Stefanus hingga pemuda itu terkesiap. Jadi, Ratya...
Sudahlah, Romi. Stefanus menghela napas lalu menatap gadis di hadapannya. Aku mau belajar menyayangimu.
Romi tersenyum kala itu. Ia tahu, bahkan meski Stefanus memungkiri, dalam tahun-tahun yang akan mereka lewati bersama nanti, sesungguhnya hanya ada Ratya dalam hati pemuda itu. Takkan pernah terganti.
Shilla tidak memercayai apa yang ia dengar. Cerita itu terlihat seperti skenario drama gagal pentas. Terlalu... tragis. Satu hal menganggu pikirannya. Kalau begitu, apakah Romi dan Stefanus menikah tanpa cinta"
Senyum pilu Romi seakan mengiyakan pertanyaannya, namun karena Shilla sadar ia tak punya kapasitas untuk menghakimi, ia menelan rasa penasarannya kembali. Shilla menelan ludah. Jadi, Nyonya... benar-benar Bu Romi, ya" Romi mengangguk pelan.
Bunda berwasiat agar saya menemui Nyonya. Saya tidak tahu untuk apa. Tapi yang jelas, saya tidak ke sini untuk minta bantuan, kata Shilla menunjuk seragam pelayannya, seakan memperlihatkan bahwa ia bukan peminta-minta.
Romi tersenyum tipis. Kamu memang tidak perlu meminta bantuan. Karena keluarga Luzardi-lah yang seharusnya membayarmu. Bundamu pun tahu jelas itu.
Shilla tidak mengerti. Tak tahukah kamu siapa nama kakekmu" tanya Romi. Shilla menggeleng.
2002, Jakarta Davara. Romi pernah mendengar nama itu. Bukan. Bukan dari kata yang baru saja diucapkan ayah mertuanya tadi. Tetapi.... Ratya. Itu nama belakang Ratya, yang dulu katanya tak dia beritahukan pada siapa pun di Jakarta kecuali Romi. Ah, ternyata setelah tahu-tahun berlalu pun nama gadis itu masih saja menghantui. Romi menggenggam tangan dua anak lelakinya, Arya sebelas tahun dan Ryo baru menginjak enam tahun erat-erat. Seakan berusaha mencari kejelasan dari telapak mungil kedua pangeran kecil yang sudah lama tak ditemuinya, karena ia menemani Stefanus mengurusi perusahaan di Paris.
Ivona sudah beberapa tahun lalu meninggal karena gagal ginjal. Sementara Luzardi sendiri kini tengah menanti ajal di ruang ICU akibat paru-paru basah. Ia berkata terengah, mengulangi perintah yang sama entah untuk kesekian juta kali, Stef... an. I& ngat, ca& ri... Dav& a& ra& Ki& ta ber& u& tang.
Stefanus mengangguk, menggenggam tangan keriput ayahnya. Jauh-jauh ia datang dari Paris, meninggalkan sejenak perusahaan yang sedang berkembang demi sang ayah. Ia berusaha menegarkan diri. Lelaki tidak boleh menangis. Mungkin karena alasan dangkal itu juga ia tak pernah mengeluarkan setitik pun air mata untuk kepergian Ratya.
Sementara Romi sendiri sibuk berasumsi. Sepertinya tak banyak nama Davara di dunia ini. Jadi, utang kuno yang sering sekali disinggung Stefanus dan ayah mertuanya itu... apakah maksudnya pada ayah Ratya"
Per& u& saha& an im& por... mi& lik& Da& va& ra, bu& kan& ki& ta.
Stefanus mengangguk lagi. Ia sudah tahu itu. Ayahnya selalu mengulangi hal yang sama. Lelaki tua itu mewariskan seperempat saham atas nama Davara dan seperempat saham atas nama Luzardi dari perusahaan ekspor-impor utama di Jakarta kepada Davara. Luzardi mengatur sedemikian rupa sehingga surat wasiat untuk bagian warisan ini dikosongkan bagi nama keturunan langsung Davara yang harus sudah berusia 21 tahun. Sehingga secara de facto, perusahaan yang murni milik Stefanus kini adalah properti dan konstruksi di Paris, Jakarta, serta anak-anak usahanya di beberapa negara.
A& yi& Luzardi memanggil cucu tertuanya dengan nama yang digunakan Romi pada anak itu. Romi mendorong pundak Arya yang maju takut-takut. A& yi& ja& ga& a& dik, ka& lau Pa& pa... ti& dak& bi& sa& A...yi& yang ca& ri&
Arya hanya mengangguk mendengar racauan terakhir kakeknya. Karena setelah itu Luzardi tercekat dan pergi selamanya, dikalahkan usia yang belum seberapa.
...Ooh, Ratya maksud Ibu" Dia menikah dengan seseorang bernama Haris Randa di Jakarta beberapa tahun lalu. Jadi, Ratya... kembali ke Jakarta"
Sesuai tahun yang Ibu sebutkan, dia memang kembali ke kampungnya, tapi ternyata ayahnya sudah meninggal. Lalu dia masih menetap di sana setahun lagi, menuntaskan jenjang SMA. Setelah itu dia memang kembali ke Jakarta. Lalu"
Dia bekerja di supermarket, Bu. Lalu menikah dengan supervisornya, Haris Randa itu. Mereka punya seorang putri. Lalu suaminya meninggal karena kecelakaan, Bu. Tak lama, dia kembali ke desanya.
Di mana desa itu" Desa kecil bernama Apit, Bu. Di Jawa Barat.
Romi memutuskan melakukan perjalanan kecil. Dari detektif yang sama, ia mengontak Ratya. Sahabatnya itu sempat terkejut, tapi berkata bahwa tidak apa-apa jika Romi bertandang ke sana (dengan catatan tanpa suaminya).
Romi lalu meminta izin kepada Stefanus untuk pergi ke Bandung sebelum kembali ke Paris. Ya, ia berbohong. Karena ia tahu Stefanus takkan suka ia menyebut-nyebut nama Ratya. Bahkan untuk urusan ini. Biarlah ia memberitahu Stefanus saat segalanya sudah pasti. Ia akhirnya memberikan alasan aman, menemui saudaranya. Cukup itu. Toh Stefanus memang selalu tak begitu mau tahu urusannya.
Kamu mau ke Bandung" Ya sudah. Ajak saja Arya. Ryo biarkan di sini, kata Stefanus, sambil melirik Ryo yang sedang bermuram durja karena ditinggal teman kecilnya.
Besok aku berangkat, kata Romi, dengan harapan bisa membawa jawaban dan memenuhi keinginan terakhir ayah mertuanya.
Ratya hanya terdiam saat Romi menyelesaikan cerita panjangnya seraya menyantap penganan desa yang ia buatkan. Jadi... itu alasan kuno yang menghubungkan ayahnya dengan Pak Luzardi. Ia tak pernah tahu karena kepergian ayahnya yang mendadak. Alasan yang membuatnya harus pergi ke Jakarta. Walau Ratya yakin, ayahnya tak pernah bermaksud menagih bantuan yang pernah diberikan.
Jadi& kembalilah ke Jakarta bersamaku, Ratya. Ajak anakmu. Siapa namanya"
Ratya bangkit dari kursi meja makan yang berderit, lalu mengambil teko timah butut miliknya dari dapur kecil yang menyatu dengan ruang makan untuk mengisi cangkir Romi. Ashilla. Ashilla Rayanda. Sengaja kutambahkan y supaya tak semaskulin nama ayahnya.
Ya. A... Ashira. Nama yang cantik. Jadi& maukah" Entah kenapa Ratya begitu marah. Bukan karena Romi salah menyebut nama putrinya, tapi karena ia tak sudi memasukkan sedikit pun unsur Stefanus dalam hidupnya lagi. Ia membanting teko timahnya tanpa sengaja. Aku tidak mau lagi berurusan dengan Stefanus. Maaf.
Ratya& Aku tahu di sini kamu... Romi berusaha mencari kata yang pantas dan tidak terdengar kasar, kamu... kurang cukup.
Ratya mendengus, lalu mulai mondar-mandir. Berusaha mencari kesibukan untuk menyalurkan emosi agar tidak bersikap tak pantas pada tamunya. Tetapi itu sulit sekali karena kehadiran Romi membuat mimpi pahit yang bertahun-tahun menghantuinya kembali lagi.
Akhirnya Ratya memutuskan membuat kue. Agar adonan itu bisa ia pukuli sepuasnya dan tak ada yang tersakiti. Ia mulai menakar tepung. Aku cukup, Romi. Cukup bahagia dengan putriku. Pulanglah. Aku tak mau kembali. Sekalipun kamu mengatakan seisi Jakarta boleh jadi milikku, katanya keras, membelakangi wanita yang diajaknya bicara. Apa ayahmu punya anak lain"
Ratya mulai memecahkan telur ke dalam baskom kosong. Aku anak tunggal.
Romi menghela napas. Ratya, ini bukan untukku. Bukan untuk Stefanus. Ini untuk Pak Luzardi. Untuk& ayahmu.
Ratya menutup lemari dapurnya dengan berisik, lalu menakar gula untuk adonannya. Entah kenapa ia kesal sekali. Aku tak peduli.
Ratya, ini untuk... putrimu.
Ratya berhenti menuang terigu sejenak, lalu kembali mengaduk adonan dengan emosional. Aku tak mau menerimanya, Romi. Kalau bersikeras juga, berikan hak itu pada Shilla. Terserah apa maumu. Tandai dia.
Romi menghela napas lelah. Mungkin jahatnya takdir membuat Ratya jadi begitu keras kepala. Dilihatnya wanita itu memusatkan perhatian yang kelewat berlebihan pada adonannya. Baiklah. Mana anakmu"
Aku tidak tahu. Carilah. Dia selalu bermain di sekitar sini. Desa ini kecil sekali. Yang kuingat tadi dia memakai terusan merah.
Romi bangkit dari kursi lalu mencari-cari sebentar dan akhirnya merobek kertas kalender tua dan menuliskan alamatnya. Ini alamat kediaman Luzardi. Sebetulnya belum berubah. Tapi& kalau-kalau kamu lupa, Romi mendesah, memandang punggung Ratya. Ia melangkah ke arah pintu. Aku pulang, Ratya. Maaf mengganggu.
Romi berjalan keluar dari kontrakan Ratya, menghela napas panjang. Ia mencari-cari putranya yang tak tampak di mana-mana. Akhirnya ia harus mengitari rumah Ratya hingga menemukan anak tertuanya itu tengah memainkan pucuk pohon kecil sambil memperhatikan sesuatu di kejauhan. Romi menepuk pundak Arya yang tak berkutik. Mama... dia lagi nangis, ya" Arya menunjuk seorang gadis cilik dengan terusan merah yang terduduk di tanah, menatap tangan mungilnya sambil merengek sedih.
Romi menepuk puncak kepala Arya lalu berbisik, Temui dia. Ingat kan bagaimana dulu Mama menghibur kamu. Lalu... Romi menunjuk bros putranya. Berikan bros ini supaya kamu bisa menemuinya lagi. Cepat. Kita harus pulang.
Setelah itu Romi benar-benar lupa perihal nama anak Ratya. Lantas saat Arya menginjak usia delapan belas tahun, ia mengulangi lagi secara singkat dan serius soal kisah Luzardi-Davara (tanpa kisah Ratya), karena suaminya tampak tak berselera mengisahkan apa pun.
Sementara, Ratya tidak meletupkan kemarahan saat Shilla pulang sambil menangis dan mengatakan ia diberi hadiah oleh orang asing. Ratya mengenal betul lambang itu walau tak menceritakannya. Ia tak perlu pula meminta Shilla menjaga bros itu dengan hati-hati, karena tanpa diperintah pun gadis kecil itu sudah berniat menjaga benda tersebut dengan sepenuh hati.
Dan setelah itu, kita tahu bagaimana cerita ini berlanjut.
Kisah yang panjang, ya" Romi tersenyum simpul, menarik Shilla dari alam pikirannya.
Shilla hanya tersenyum kecil, masih terpana, belum bisa mencerna ke mana semua kebenaran itu akan membawanya setelah ini.
Nah, mulai besok, kamu nggak perlu bangun pagi-pagi dan ke dapur, Shilla. Kamu bukan pelayan lagi. Romi tersenyum saat gadis itu mendongak dengan kerutan dalam di keningnya. Karena kamu putri Ratya, berarti kamu putri saya juga. Romi menarik napas sebentar, lalu melanjutkan, Belajarlah tentang bisnis baik-baik selama jangka waktu ini. Karena sesuai wasiat Kakek Luzardi, saat umurmu genap 21 tahun, kamu, Ashilla, adalah pemilik resmi setengah dari saham seluruh perusahaan Luzardi di sini.
Lagi-lagi Shilla ternganga. Menyadari hidupnya seakan baru tersedot masuk ke dalam skenario drama Korea. Ia tidak bermimpi, kan"
Sepeninggal Romi, Shilla tepekur. Ia berusaha merunut dan mencerna segalanya dengan perlahan. Ia juga memohon agar untuk sementara Bu Romi tidak menceritakan sejarah panjang yang melibatkan mereka semua kepada Arya dan Ryo. Tidak semudah itu baginya mendadak jadi orang berada dalam kedipan mata. Rasanya seperti mendadak bertukar kepribadian dengan Bianca. Shilla bergidik
Setelah berhasil mengenyahkan pikiran mengenai nasibnya yang berbalik 180 derajat, ia tercekat saat menyadari sesuatu. Tunggu, batinnya. Serabut otaknya perlahan kembali bekerja, memintal benang-benang fakta. Shilla menatap bros yang masih berada dalam genggamannya. Ia menelengkan kepala dan mencoba mengingat cerita Romi, yang jika tak salah ia pahami berarti... Tuan Arya" Jantungnya seolah lupa berdetak ketika ia menggumamkan nama itu. Ayi. Ayi adalah Arya. Arya adalah Ayi.
Ia membisu lagi, menunggu kembang api tersulut dan meledak penuh gempita di hatinya, namun nihil. Namun sepi. Hampa, kebingungannya tak terkira.
Mendadak kepalanya sakit. *** Apa benar dia, Ma"
Romi tersentak saat menyadari kehadiran sosok jangkung yang berdiri menunggu di depan pintu kamar, entah sejak kapan. Ia mengerjap, lalu mengangguk otomatis, sedikit-banyak mengerti apa maksud Arya yang kini hanya menahan napas, ekspresinya tak tertebak.
elebatan bayangan itu memburu dalam benaknya, melucuti napasnya hingga tersengal. Untuk alasan yang kabur dan samar, ia tak mementingkan apa pun selain terus berlari, mengejar.
Dan lagi-lagi hujan, menguarkan aroma kenangan itu tanpa sungkan. Turut mengoyak apa yang pernah terbawa dalam mega keabuan: kebenaran bahwa ternyata hatinya sudah ter i kat dan terbawa harumnya rengkuhan yang memabukkan. Dan ia takkan sanggup jika harus kehilangan dekapan itu. Matanya menelanjangi bangunan tinggi cokelat tua dengan
Bab 12 cahaya kilat yang tersemburat, menyambar setiap serat. Diiringi curah hujan yang terus meningkat, ia melantunkan doa lamatlamat. Tuhan, semoga semuanya belum terlambat.
Shilla merasa seperti Christopher Columbus saat ini. Di tengah misi mengusir kebingungannya, iseng-iseng ia melakukan ekspedisi ke lantai tiga tempatnya kini tinggal, dan akhirnya memutuskan menjelajahi ruangan besar berkubah kuno mirip kapel dengan rak-rak buku tinggi menjulang. Perpustakaan.
Namun ia yakin Columbus takkan pernah repot-repot menghentikan ekspedisi hanya karena melihat sosok tampan yang sedang duduk tenang sembari menekuni bundelan perkamen kecokelatan seukuran coffee-table book dan menyesap sesuatu yang mengepul dari cangkir. Bunyi teredam yang timbul saat pantat cangkir beradu dengan permukaan meja kayu mahoni di pojok ruang perpustakaan itu membuat Shilla terlonjak dan tersadar dari keterpanaannya. Ia menelan ludah lalu berjingkat mundur, menyembunyikan diri di barisan rak buku-buku filsafat di dekat situ, sebelum sosok lain di sana menyadari keberadaannya.
Ketika baru saja berbalik dan bersiap mengambil ancangancang untuk pergi saat ia menangkap suara yang menggetarkan hatinya.
Sebentar, Shilla& Shilla baru menyadari, sosok itu bahkan belum mengangkat wajah dari bundelan di hadapannya.
Ia mengusap kepalanya yang terbentur pintu tingkap dengan sebelah tangan, meringis pelan lalu melayangkan tangannya kembali ke sisi tangga tali reyot yang bergoyang lemah dan mulai licin dilumasi hujan.
Ia menarik napas, menghirup aroma tanah basah dan keharuman hydrangea yang mengusik indra penciumannya, lalu mengacungkan satu tangannya lagi ke atas untuk meraba serta menggeser pelan bukaan pintu yang tadi menghantam puncak kepalanya tanpa ampun.
Matanya kini sejajar dengan lantai bangunan. Ia mengerjap sekali lalu menyipitkan mata, namun yang ditangkap fokusnya hanya guratan kilat yang menembus kaca jendela dan terpantul dari dinding di hadapannya. Setelah meniti satu anak tangga lagi, ia menumpukan kedua telapak tangannya di kedua sisi sebelah rongga pintu. Sambil mendorong tubuhnya dengan agak tak sabar, ia setengah melompat ke atas hingga bagian bawah tubuhnya kini menjejak salah satu sisi lantai.
Ia merapikan anak rambut yang menempel di wajahnya akibat hujan, lalu berusaha memperjelas penglihatannya. Mengapa tak ada cahaya"
Ketiga cangkir putih mengepul itu berjajar di permukaan kayu mahoni, masing-masing menguarkan keharuman asing yang berbeda, namun hampir serupa. Pemuda di sisi lain meja menyorongkan dua cangkir mendekat ke hadapan Shilla agar ia dapat menghidu tiap aroma yang bergolak terbawa udara, menggelitik penciumannya.
Yang mana" tanya pemuda itu pelan.
Shilla membenahi posisi duduknya dengan gelisah. Tak lama mendongak setelah mendengar pertanyaan itu, lalu menunduk lagi. Sedikit kalut, takut dirinya tenggelam karena teduhnya mata itu untuk kesekian kali. Terlebih setelah ia mengetahui pemuda di hadapannya ini adalah Ayi. Shilla menyumpahi debar ketakutan yang menghinggapinya.
Kamu mau minum yang mana" Yang menarik penciumanmu" Jangan takut begitu. Ini kan cuma teh, ujar Arya masih dengan senyum ramah tersungging di bibir.
Shilla mendesah pelan. Bingung kenapa dia bisa terjebak dalam kondisi seperti ini, bersama salah satu sosok yang sedang dihindarinya pula. Ia berdeham salah tingkah lalu mendekatkan kepala ke arah dua cangkir putih terdepan tadi. Secara refleks ia mulai mengendus, mengikuti nalurinya.
Arya mengangkat sebelah alis saat melihat gadis di hadapannya menerka pilihan. Ia tidak begitu terkejut saat Shilla mendorong salah satu cangkir lebih dekat. Jawabannya.
Ini& boleh diminum" tanya Shilla polos. Memandangi Arya dengan mata bulat membesar.
Arya tersenyum dan mengangguk.
Shilla baru mendekatkan bibir cangkir ke mulut saat tibatiba Arya menahannya, Eh, sebentar. Lebih baik kamu coba dulu yang ini.
Pemuda itu mengulurkan cangkir yang tadi tak dipilihnya.
Ia berdiri, merapikan bagian belakang pakaiannya lalu berjingkat pelan, gemerisik langkahnya tersamar nyanyian hujan yang merintik-rintik di atap. Pupilnya membesar, menyesuaikan diri dengan ruangan gelap itu. Karena tidak ada yang begitu membantu pencahayaan, ia berjalan sambil meraba-raba apa yang dirasanya adalah dinding dan menghela napas lega saat menemukan tonjolan yang diterkanya sebagai sakelar. Trek... Flash... Flash... Flash...
Mulutnya tak bisa berhenti melebar saat seolah ada kilatkilat buatan menyambar di hadapannya. Ia ternganga.
Itu aurora, cahaya jingga keunguan bak langit kutub utara. Terkonversi dalam bentuk galeri kotak-kotak kaca.
Kamu& betul-betul berencana menghabiskan teh itu sekaligus cangkir-cangkirnya, ya"
Shilla mendongak dengan tampang superpilon saat mendengar pertanyaan itu. Lalu tiba-tiba ia menurunkan cangkir yang sedari tadi ditiupi dan direguknya dengan semangat 45 merasa agak malu. Pasti kelihatan rakus sekali hingga Arya berkata dengan geli seperti itu.
Arya menelusuri tepi halaman bundel yang sedang dibacanya, melontarkan senyum simpul yang tampaknya terpahat abadi di wajahnya. Mau dihabisin juga nggak pa-pa sih... Tapi kan masih ada ini. Arya kini mendorong cangkir lain, cangkir yang sebelumnya dipilih Shilla.
Oh, ujar Shilla sedikit kecewa. Ia mulai menggeser cangkir yang baru diminumnya cangkir pertama agak tidak rela sebenarnya, sebab ternyata cangkir yang tak dipilihnya itu berisi teh yang walau agak asing namun bercitarasa sedikit manis meski tanpa gula.
Arya memperhatikan Shilla agak ragu mengangkat cangkir kedua, lalu tertawa kecil saat gadis itu menyesapnya dan langsung menjulurkan lidah.
Pahit, komentar Shilla sambil mengernyit, tiba-tiba agak menyesal memilih cangkir ini tadi.
Arya mengangguk pelan menyetujui pendapat Shilla, lalu tiba-tiba berdeham, berusaha menarik perhatian gadis di hadapannya. Kalo saya boleh tahu& kenapa tadi kamu milih cangkir itu"
Shilla menunduk, menghindari kontak mata dengan Arya. Sambil berpikir keras, ia memandang kedua cangkir yang baru saja diminumnya. Karena aroma cangkir ini& Shilla menunjuk cangkir kedua yang tadi dipilihnya, agak familier dan rasanya& hangat, tapi... entahlah& Shilla kini memainkan jarinya di kuping cangkir pertama, bimbang.
Jadi, Arya memotong ucapan Shilla, memulai kuisnya lagi. Kamu berubah pikiran" Sekarang kamu lebih pilih yang mana"
Keraguan Shilla terlihat lebih jelas dari air mukanya. Aroma cangkir tadi memang lebih familier, tapi yang di cangkir ini... Shilla menelusuri bibir cangkir pertama dengan telunjuk, rasanya lebih manis, jadi&
Lagi-lagi Arya menyambar, Kenapa& kamu jadi bingung" Arya mengangkat sebelah alis saat Shilla menatapnya. Kenapa kamu harus menganulir pilihanmu sendiri hanya karena... sekecap rasa"
Shilla tersentak, menyadari pertanyaan retoris yang dilontarkan Arya bukan hanya menyangkut cairan pekat di hadapan mereka.
Kotak-kotak kaca itu berisi rekam kenangan yang dibekukan. Diawetkan untuk suatu saat ditilik dan ditelaah kembali. Karena kotak-kotak kaca ini secara tak langsung adalah perkamen visual sejarah anak manusia yang ditulis bukan dengan kata, semacam fosil dua dimensi dari rekaan peristiwa.
Berbagai pigura kotak-kotak kaca itu yang kali ini membentuk mosaik cerita yang tersusun di dinding kayu dan bata, disorot lampu keunguan menyerupai aurora.
Ia mulai memperhatikan setiap foto yang tersaji di hadapannya, dan tersenyum. Kelebatan penjelasan tadi mulai membayangi benaknya lagi dan ia pun mengerti alasan di balik tiap ekspresi dalam kurungan kotak kaca ini.
Gambaran teh pahit itu tersirat dalam guratan muram, air muka kecut, dan tatapan kosong anak lelaki pada tiap paparan hasil cetakan rol film mati bertahun-tahun lalu yang sedang ia perhatikan. Pemuda cilik di foto ini... menatap kosong ke arah kamera, terlihat tak bahagia meski lolipop jumbo yang digenggamnya bisa membuat siapa pun menjerit iri. Bocah kecil di potret ini... sedikit pun tidak memasang senyum tulus walau tujuh keajaiban dunia pernah ia tapaki. Anak lelaki ini& tenggelam di balik kue ulang tahun kesepuluhnya yang setingi benteng Romawi.
Anak laki-laki dalam pigura itu, gambaran teh hijau pahit ini, adalah pemuda yang ia sadari kini ia sayangi setengah mati. Lagi-lagi hatinya terenyuh saat melihat mimpi sederhana pemuda cilik itu. Tergurat dalam tempelan gambar abstrak dari empat sosok bayang kabur yang dalam gambar itu bergandengan tangan dan mengelilingi kue bulat berwarna merah dengan angka sebelas di puncaknya. Lukisan kecil ini dijuduli pembuatnya sebagai keluarga yang ditulis dengan huruf sambung yang tak jelas terbaca khas anak kecil. Ia terdiam. Asa tak seberapa yang tidak pernah jadi nyata ini ternyata benar-benar pernah membuat sosok itu menjadi tuna rasa. Akan cinta.
Belakangan ini saya jadi tertarik belajar soal teh, Arya memulai ceritanya. Waktu saya di Paris, ada kedai teh kecil di gang mungil dekat kantor saya. Saya cukup sering ke sana. Atmosfernya yang masih tradisional cukup menenangkan dan itulah yang saya cari kalau kepala saya mulai pening dicekoki pekerjaan.
Suatu hari, sekitar satu jam sebelum kedai tutup, saya kebetulan pengunjung terakhir hari itu. Saya bertemu dengan pemiliknya, orang Jepang yang sangat ramah dan amat mencintai budaya negaranya. Beliau sempat-sempatnya mengajarkan saya soal chanoyu upacara minum teh Jepang.
Saya pikir ya, sudahlah. Mungkin beliau hanya orang tua yang ingin sekali membagikan pengetahuannya pada orangorang muda, tapi tak tahu pada siapa, dan kebetulan saya ada di sana. Hmm, lalu dia memberi saya ini. Arya mengangkat bundel di tangannya. Entah untuk apa.
Shilla mendengarkan Arya dengan saksama, berusaha menangkap hubungan teh-teh ini dengan pertanyaan yang serasa menyindirnya tadi.
Tapi ternyata saya belajar banyak dari sini. Saya baru tahu teh itu mengandung kafein. Bahkan lebih banyak daripada di kopi. Hanya saja dalam penyajiannya, kafein dalam teh memang selalu ditakar dalam jumlah kecil. Saya juga baru tahu kafein sebenarnya tidak memperlambat kinerja otak. Tugas utamanya adalah memacu pelepasan hormon epinefrin. Kamu tahu hormon itu mengakibatkan apa" Arya tersenyum kecil. Meningkatkan detak jantung, menambah penyaluran darah ke otak. Hmm, kamu tahu itu seperti akibat perasaan apa"
Ah, ya! Perasaan suka. Kafein itu merujuk pada perasaan suka atau cinta. Shilla menangkap petunjuk itu lalu tiba-tiba merutuk sendiri. Lagi-lagi analogi. Shilla jadi bingung kenapa semua orang sepertinya merasa terbebani untuk membantunya memecahkan segala sesuatu dengan perumpamaan.
Coba cicipi teh ini. Kali ini Arya mengulurkan cangkir ketiga. Karena penasaran dengan petunjuk selanjutnya, Shilla langsung mendekatkan cangkir ketiga ke bibir. Shilla mengecapnya pelan. Pahit dan...
Dan tidak begitu harum, ya... Arya mengangguk. Itu bancha, salah satu jenis teh hijau yang kasar karena dipanen pada panenan kedua. Sementara ini... Arya menunjuk cangkir kedua, cangkir yang dipilih Shilla. Gyokuro. Teh hijau kelas atas. Keduanya, baik bancha yang kasar maupun gyokuro yang angkuh terbuat dari dua sisi daun teh yang sama, pahit.
Sementara teh ini, Arya menunjuk cangkir pertama, teh putih. Jenis teh kualitas premium yang sedikit diproduksi dan tidak umum diminum. Dibuat dari daun teh yang masih muda dan terlindung dari sinar matahari. Teksturnya lebih lembut dan terasa sedikit manis, jelas Arya tersenyum. Tapi, teh hijau terbukti memiliki lebih banyak kafein daripada teh putih. Ya, teh hijau inilah yang memiliki potensi lebih banyak untuk membuatmu berdebar. Arya terdiam, menatap Shilla yang tampak mulai mengerti maksudnya. Jangan terlena dengan kelembutan sesaat yang toh nggak akan lagi terasa setelah melewati kerongkongan itu. Karena teh hijau yang kadang terlihat angkuh dan kasar inilah yang sudah melewati tahap pemanasan yang menyakitkan dan memberikan segalanya untukmu.
Shilla tertegun. Kini ia tahu merujuk pada siapa teh hijau yang kasar dan teh putih yang lembut itu.
Arya tersenyum menyemangati. Kamu yang sudah menyeduhnya, Shilla. Menekan egonya untuk mulai percaya. Jangan buat semua sia-sia. Karena kamu tahu kan, daun teh yang sudah mengeluarkan semua kandungannya akan segera jadi tidak berguna dan berakhir di tong sampah.
Shilla tepekur mendengar celotehan Arya, memberanikan diri untuk menatap mata pemuda itu dan bertanya, Apa Tuan...
Saya bukan tuan kamu lagi, Arya tersenyum, setelah mengangkat tangan untuk menyela.
Tersentak karena sadar Arya sudah tahu posisinya sekarang, Shilla mengunci mulutnya lagi. Ia menatap mata Ayi yang ternyata kini tak memiliki dampak kafein sama sekali. Apa mungkin, bahkan setelah menyadari kebenaran itu, ia sesungguhnya telah menemukan jawaban atas pilihan yang Ryo ajukan" Bahwa bahkan sosok Ayi tak bisa lagi menggoyahkan hatinya.
Shilla menarik napas sebelum merogoh kantongnya, mengeluarkan mata rantai terakhir yang menghubungkannya dengan Ayi. Ia meletakkan bros yang dijaganya selama lebih dari sepuluh tahun dengan hati-hati di meja, kembali ke hadapan pemiliknya.
Arya mengernyitkan kening. Ini untuk apa" Shilla turut mengernyit. Saya kembalikan. Arya menggeleng. Ini bukan milik saya. Shilla terdiam sebelum akhirnya bertanya lagi, Kakak nggak pernah merasa kehilangan bros ini"
Arya menggeleng lagi. Seluruh dunia tahu bahwa gelengan umumnya berarti tidak , indikasi yang membuat gadis itu kini kebingungan. Apa berarti Ayi tidak pernah mengingatnya selama ini" Lalu kenapa& ia tidak kecewa"
Shilla diam-diam lega, menyadari pelatuk terakhir yang masih menahannya di tempat selama ini terlepas juga, mungkin ini berarti hati kecilnya yang bodoh benar-benar sudah boleh dan bisa menentukan sendiri. Bahwa terkadang pilihan akhirnya dijatuhkan bukan pada siapa yang lebih dulu datang, melainkan pada dia yang paling akhir bertahan.
Arya memandang langit sore yang menggelap dari jendela besar, lalu berpaling pada Shilla. Kenapa kamu nggak mulai mencari, sebelum ada yang menghilang lagi" Shilla meresapi kata-kata itu sejenak. Lalu mulai berlari.
Shilla tak tahu bahwa dalam keheningan, Arya masih bertahan.
Senyum Arya menghilang dan digantikan desahan sepeninggal Shilla. Saya memang nggak pernah menghilangkan bros itu. Saya memberikannya pada kamu kan, Shilla"
Karena alasan samar itulah Shilla berada di sini. Lagi-lagi sedikit meringis melihat remaja tampan dalam salah satu pigura itu memasang tampang tak peduli sambil mengacungkan ijazah sekolah menengah pertamanya tanpa didampingi siapasiapa, sendirian.
Shilla terperangah saat matanya menjejaki kurung kenangan itu lebih jauh. Tangannya mulai membelai salah satu potret yang tampaknya merupakan potongan mozaik terbaru. Ada dua sosok yang sangat ia kenali di sana. Ia pun tertegun saat menyadari sesuatu.
Pemuda rupawan dalam pigura kali ini tak lagi menunjukkan wajah tanpa ekspresi. Dia tertawa hingga matanya bercahaya, melempar kerlingan manis pada seorang gadis yang juga sedang tersenyum sambil menunduk malu-malu. Dirinya. Shilla tak sempat memikirkan dari mana foto ini berasal. Di otaknya hanya satu fakta yang berputar. Ternyata benar: Pemuda itu mulai percaya pada cinta.
Shilla merasa hatinya mencelos, entah kenapa.
Kamu datang... Kehangatan suara bariton itu menyusup ke telinga, lalu hatinya. Shilla berbalik dan terdiam menatap Ryo yang sedang bersandar pada meja kayu. Entah dari mana dan kapan pemuda itu muncul.
Shilla mengangguk samar dan tiba-tiba tak tahu harus berbuat apa. Padahal tadi banyak sekali yang ingin ia katakan, tanyakan, dan lakukan pada sosok di hadapannya. Semua itu seperti tertelan atmosfer aneh yang baru saja terbangun.
Ryo berjalan pelan melewati Shilla, ikut memperhatikan deretan pigura. Sementara Shilla melangkah ke arah berlawanan, menuju meja yang tadi disandari Ryo dan berusaha tak bersuara untuk mencari sesuatu, karena ia tahu apa yang harus ia lakukan.
yo memperhatikan susunan pigura masa kecilnya yang dipajang di salah satu dinding rumah pohon tempatnya berada sekarang, sambil menahan gemuruh yang terus bergetar cemas di jantungnya, menanti jawaban gadis di belakangnya. Ia menghela napas panjang, lalu memegangi dadanya sendiri. Ia tidak mau hatinya berubah menjadi rongsokan lagi. Karena mungkin, jika kali ini muncul satu karat lagi, hatinya itu takkan pernah pulih dan terobati. Cukup lama indra pendengaran Ryo ditulikan kekalutannya sendiri, hingga saat berbalik ia tak memercayai apa yang dilihat matanya.
Bab 13 Gadis yang disayanginya sepenuh hati itu tengah merunduk, menyalakan beberapa lilin yang mungkin baru saja dia sebar di sekeliling lantai, membentuk setengah lingkaran.
Ryo mematung di tempat saat Shilla menuntaskan entah rencana apa yang sedang dikerjakannya itu. Gadis manis itu tak lama kembali ke meja kayu, mengambil sebatang lilin yang belum disulut, lalu bersandar diam pada rangka kayu dan memandang Ryo lekat-lekat. Oh. Ryo mulai mengerti. Ia segera menyiapkan hatinya untuk mendengar sebuah jawaban.
Polusi cahaya, kamu tahu" Shilla bertanya pelan lalu mulai berdeklamasi. Aku... sebenernya juga nggak begitu tahu, tapi aku pernah baca salah satu contohnya. Kira-kira begini: di luar sana, di langit malam paling cerah sekalipun kadang kita nggak akan menemukan bintang. Bukan karena mereka nggak bersinar, tapi karena lampu-lampu jalanan, lampu-lampu industri itu terlalu kuat dan terlalu terang sampai nutupin cahaya mereka. Shilla mendesah sebentar, kembali menatap Ryo. Kamu tahu aku pernah ngalamin itu" Aku... mau nunjukin itu sama kamu. Berhubung langit di luar nggak mendukung, aku mau buat reka adegan kecilnya di sini.
Ryo memperhatikan Shilla berjalan melewatinya tanpa ragu. Harum gadis itu membuat Ryo ingin memeluknya erat-erat.
Tapi ia tetap mematung. Tanpa berbalik Ryo tahu Shilla sedang mematikan sakelar lampu sorot pigura. Lalu ia mencabut steker hingga semburat oranye di sana mengabur dan mati. Dalam keremangan, Ryo bisa mendengar gemerisik langkah Shilla mendekatinya. Dipandu kerlip kecil cahaya lilin yang bergoyang tenang, ia bisa merasakan Shilla berhenti tepat di depannya. Gadis itu meraih tangannya, meletakkan lilin tadi di sana lalu menyalakan sumbu di ujung batangan putih itu dengan korek api.
Saat Ryo menangkap kilatan sinar lilin yang berkobar di mata Shilla, ia bisa mendengar gadis itu berbisik lirih sambil terus menggenggam tangannya yang kosong. Aku juga sudah menemukan cahaya kamu... berkelip seorang diri... di sini... Shilla menunjuk jantungnya sendiri.
Ryo tak mau momen ini terlewat begitu saja. Di tengah naungan bintang-bintang buatan yang sebagian sudah menjadi nebula alias mati itu, hujan mulai mereda. Meredakan pula kecemasan Ryo akan masa depan hubungannya. Ryo menarik jemari Shilla, membimbingnya hingga gadis itu duduk membelakangi meja kayu. Ia sendiri mulai bersimpuh di depan Shilla.
Thanks, ucap Ryo pelan. Sedikit kagok karena ia sejujurnya jarang sekali mengucapkan terima kasih, atau tolong.
Shilla mendongak. Untuk"
Ryo mengangkat bahu. Untuk nggak membuat hatiku jadi rongsokan lagi.
Shilla terdiam ketika lagi-lagi Ryo menatapnya lekat-lekat. Membuatnya darahnya berdesir pelan.
Jendela di atas meja berderak pelan, menyertakan tiupan angin terakhir yang membawa cahaya lilin meredup lalu terbang bersamanya, menyisakan kegelapan yang berdesau di sekeliling Ryo dan Shilla. Ia bisa merasakan Ryo tiba-tiba mempersempit jarak antara mereka, membuatnya sedikit rikuh hingga punggungnya menempel di rangka meja belakangnya. Jantungnya berdebar hebat saat Ryo melayangkan tangan ke rangka kayu yang sama, mendarat di dekat tengkuknya. Shilla kini bisa menangkap kilatan cahaya bulan yang terpantul di mata Ryo yang hanya berjarak beberapa senti darinya. Ia menahan napas saat Ryo sedikat berjingkat dari posisi duduknya, semakin mendekat ke meja hingga tangan pemuda itu naik ke dekat kepalanya dan Shilla tercekat saat telinganya mendengar bunyi gemerisik aneh.
Ryo mengernyit melihat raut Shilla yang sangat teramat tegang. Tangannya menjelajah meja, berniat mencari korek api yang tadi diletakkannya di sana. Setelah mendapatkan apa yang dicari, Ryo membetulkan posisi duduknya. Ia menyalakan lilin di dekatnya yang tadi mati dan tersenyum geli melihat Shilla menghela napas lega. Pasti tadi gadis ini berpikir dia bakal diapa-apain deh. Dasar lucu.
Kenapa sih tegang gitu" Ryo mengangkat alis, berniat iseng.
Nggak, nggak pa-pa... kata Shilla sok tenang. Dasar seksi lighting-nya payah.
Ryo mencibir, mendekat ke arah Shilla dengan wajah jail. Ah, kamu maunya diapa-apain, ya"
Shilla bergeser menjauh. Ih, apaan sih... Gadis itu manyun melihat Ryo tertawa terbahak-bahak hingga memukuli lantai.
Saat membuka mata keesokan paginya, Ryo merasa tak percaya ternyata semalam ia telah memenangkan hati gadisnya lagi. Ryo kembali memejamkan mata, menghirup udara dalamdalam dan merasakan setiap sel tubuhnya berteriak-teriak bahwa ia menyayangi Shilla setengah mati.
Ketukan pelan di pintu kamarnya membuat Ryo membuka mata dan mendengus jengkel. Ia menghela napas kesal lalu tersaruk-saruk menuruni undakan menuju pintu dengan muka mengantuk. Ryo memegangi kepalanya dan tiba-tiba tersenyum girang. Siapa tahu yang mengetuk itu Shilla. Ia membuka pintu dengan semangat Spartan.
Ternyata bukan. Ryo merasa senyumnya pupus seketika. Yang ada di hadapannya adalah pelayan yang langsung membungkuk begitu melihatnya. Kenapa" tanya Ryo mengantuk.
Ada paket untuk Tuan, kata pelayan berkacamata itu sambil mengulurkan kotak berpita ke tangan Ryo. Dari"
Maaf Tuan, saya kurang tahu. Permisi, ujar pelayan itu pelan saat melihat Ryo mengangguk tak acuh.
Ryo menutup pintu, memandangi kotak itu sambil melangkah gontai menaiki undakan lagi. Ia duduk di tepi tempat tidur, mengernyit memandangi kotak imut itu. Apaan lagi sih ini" Ryo membuka kotak tersebut dan mengerutkan dahi mendapati batangan cokelat Hershey s yang sudah terpotong setengah.
Sesuatu menyambar benaknya, membuat perut dan hatinya bertalu aneh saat menyadari sesuatu. Dengan terburu-buru, Ryo mengambil kartu kecil yang ditulis rapi jali.
Kamu ingat, Yo" Kamu marah dua hari karena aku makan setengah cokelat Hershey s-mu" Ini aku kembalikan, seperti janjiku yang belum sempat terpenuhi. By the way, aku juga menagih janjimu. Mana potongan hatiku" M.
Janji itu. Oh Tuhan. Ryo tahu siapa pengirim cokelat ini.
Sejak awal, Shilla tahu hubungannya dengan Ryo tidak
akan mudah. Pertengkaran demi pertengkaran tetap menjadi rutinitas mereka, namun bukan itu masalahnya. Shilla sadar perbedaan status mereka begitu mencolok, dan itu akan segera menjadi masalah. Di satu sisi, masih
ada sosok lain yang bercokol di hatinya. Dan hatinya kembali tak menentu ketika Arya kakak Ryo tiba-tiba kembali dari Paris, menghidupkan kembali perasaan
yang dulu tersimpan. Namun di tengah kebimbangannya, Shilla masih harus menghadapi kejutan lain. Terkuaknya rahasia besar yang umurnya lebih tua daripada dirinya. Kilas balik yang menuturkan kisah Bunda, Ayi, dan keluarga Luzardi. Kenyataan yang akan segera menjungkirbalikkan hidupnya. Juga hatinya.
Setan Bongkok 1 Telapak Setan Karya Khu Lung Tiga Dara Pendekar 29
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama