Ceritasilat Novel Online

Si Midah Bergigi Emas 2

Si Midah Bergigi Emas Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 2


restoran: Bagaimana orangnya, pak Hadji"
Mukanya bulat; Wajahnya manis.
Ada tahi lalat di kupingnya"
Ya! Itu dia. Selalu menggendong anak"
Menggendong anak" Haji Abdul hampir berteriak terkejut.
Menggendong anak" Yang kulihat, dia selalu membawa anak.
Berapa umurnya anak itu"
Kurang lebih tiga bulan. Tiga bulan! Haji Abdul mulai menghitung-hitung waktu sejak anaknya
melarikan diri dari suaminya. Kemudian menggeleng-geleng. Ya Tuhanku, dan dari
mulut orang lain aku dengar aku telah Kauberi seorang cucu.
Cucu" Dia anak pak Hadji"
Dia anakku Tapi bapak kan seorang haji" Seorang saleh" Seorang beribadah"
Biar binatang sekalipun kalau dia anakku, dia tetap anakkuAku lihat dia sehat, hanya setelah menggendong anak nampak kurus. Tapi
anaknya merah, sehat, walafiat.
Tentunya dia tuan usir kalau datang kemari.
Sekali dua memang aku usir.
Anakku! Dari restoran ke restoran. Diusir di sini diusir ke sana! Anakku!
Semua itu telah melampaui batas, terlampau berat untuk jantung Hadji Abdul
yang dihembalang kegagalan dari kiri dari kanan. Ia terjatuh di meja dan tidak
bergerak-gerak. Dan apabila ia bangun kembali ia telah terbujur di ranjang rumah
sakit. Aku cari anakku"si Midah, kata-kata yang mula-mula sekali keluar dari
mulutnya. Ia hendak bangun, tapi tenaganya telah habis. Seorang perawat
menahannya. Tuan tidak boleh bergerak, katanya.
Tapi aku harus pergi. Tuan sakit. Aku sehat. Aku mau cari anakku.
Dengarlah, tuan sakit. Tuan tidak boleh bergerak.
Aku tidak sakit. Lihatlah ini, perawat itu memperlihatkan grafik panas dan detik darah.
Detikan darah lebih dari seratus tiga puluh dan panas lebih dari empat puluh
satu. Aku tidak sakit. Aku tidak mengerti itu, dan ia jatuh tak sadarkan diri
lagi. Dan aku sudah punya cucu. Baru aku ketahui! Igaunya waktu ia agak sadar.
Kompresan es meleleh-leleh di pipi dan keningnya. Tangan kakinya diikat
dan hanya kepalanya yang dapat bergeleng-geleng.
Ini suaminya, nyonya" Tanya perawat itu waktu isteri Hadji Abdul masuk.
Mengapa dia diikat" Apa salah dia"
Suami nyonya tak boleh bergerak. Dia sakit keras.
Tidak mungkin! Dia tak pernah sakit. Waktu berangkat dari rumah dia begitu
sehat dan kuat. Tapi sekarang sakit. Sakit apa dia" Jantung. Tidak mungkin. Biarlah aku bawa pulang dia.
Tidak mungkin! Dia tak boleh meninggalkan rumah sakit ini.
Sampai kapan" Ah, tuan dokter, cuma dia yang bisa cari uang untuk kami.
Lama sekali dia harus tinggal di sini. Mungkin setahun.
Tapi dia sedang mencari anaknya.
Ke mana anaknya" Lari. Sudah lebih dari empat bulan.
Suruh saja polisi mencarinya.
Cucuku! Perempuan atau lelaki engkau" Hadji Abdul mengigau lagi.
Cucu" Aku punya cucu" Seru isteri Abdul. Tapi orang sakit yang ditanyainya
tidak menjawab. Nyonya lihat, dia sakit. Di mengigau tapi tak mendengar suara nyonya.
Riah! Riah! Dan Riah masuk ke dalam kamar itu. Ada engkau lihat Midah
punya anak" Ya, nyonya. Mengapa tidak diceritakan pada kami"
Riah tidak menjawab. Sebaiknya jangan rebut-ribut di sini.
Tapi isteri Abdul yang begitu kebingungan itu kehilangan sifatnya yang
biasa, yang tidak pernah ikut campur dalam segala perkara dan tidak pernah
menyumbangkan suara. Kini ia bangkit jadi wanita yang berontak waktu dihadapkan
kepada kenyataan-kenyataan yang merupakan batas kekurangajaran nasib.
Aku mesti tunggu dia. Nyonya tidak akan kuat menunggu.
Aku mesti tunggu dia. Nyonya tidak kuat menunggunya sampai seminggu.
Seminggu" Barangkali sebulan. Kalau begitu kubawa pulang dia.
Dia tak boleh bergerak. Dia suamiku. Kalau ada terjadi apa-apa, nyonya akan lebih susah lagi. Di sini dia akan
diurus sebaik-baik mungkin. Lebih baik nyonya pergi ke kantor polisi.
Untuk apa" Untuk apa" Minta mencarikan anak nyonya. Setidak-tidaknya ada kemungkinan
nyonya dapat menyelamatkan kedua-duanya dan bukan sebaliknya: kehilangan keduaduanya.
Ah, Midah! Sampai hati engkau menyusahkan orang tuamu.
Ya, lebih baik nyonya pergi ke kantor polisi.
Barulah perempuan itu mengalah. Dengan bimbang hati ia meninggalkan kamar
itu dalam iringan Riah. Mereka berjalan tanpa bercakap. Dan Hadji Abdul
meneruskan igauannya: tentang Riah, tentang anak-anaknya, tentang Midah, tentang
menantunya yang selama ini menyemaikan dendam dalam hatinya, tentang cucunya,
tentang kemunduran perusahaannya. Kadang-kadang tertawa, mengeluh. Akhirnya
jatuh pingsan kembali. Hanya karena mempercayakan nasib kepada takdir ia dapat menumpas perasaan
celaka dan sengsara. Tujuh hari kemudian ia telah diperbolehkan duduk. Dan waktu
isterinya datang menengok cuma satu permintaannya.
Bawa tasbihku kemari. Dan sejak itu Hadji Abdul nampak menutup mata, dengan bibir terus-menerus
berkecumik dan tangan menghitung buah tasbih. Dalam keadaan demikian itu lebih
suka ia menjadi buta hingga tak melihat apapun juga. Ia menyerahkan segalagalanya kepada kebijaksanaan Tuhannya. Apabila ia mulai diserang kegugupan kala
terkenang akan anaknya yang melarikan diri, buru-buru ia kuatkan doanya, dan
hitungan pada tasbih menjadi lebih cepat, dan lambat-laun gerak itu menjadi
berirama kembali sebagaimana biasanya. Akhirnya semua orang yang biasa dalam
ruang itu mengetahui keadaan Hadji Abdul dari cepat tidaknya jari-jari itu
mendorong-dorong buah tasbih.
Berhari-hari dalam mistik itu membuat ia tak mendengar apapun juga yang
dikatakan orang kepadanya. Bahkan sekali waktu isterinya datang menengok, ia pun
tak menyadari kehadiran itu. Dan sekali waktu, kala isterinya menengok
mengabarkan bahwa ia telah minta pertolongan dari polisi, nama Midah yang
diucapkan oleh isterinya itu masuk dalam kuping Hadji Abdul ke dalam otak dan
menjadi sebagian dari alam tasaufnya. Ia berhenti berdoa, dan dari mulutnya
keluar bisikan. Dia akan selamat. Bapaknya mendoakan, dan Tuhan mengabulkan. Tidak ada di
antara anak-anakku runtuh dalam kehinaan.
Isterinya bergirang hati melihat ucapannya mendapat sambutan. Ia bertanya
lagi, tapi Hadji Abdul kembali tenggelam dalam tasaufnya. Wanita itu telah
menyangka suaminya berubah ingatan. Tetapi ia tak pernah menyampaikan
sangkaannnya itu kepada siapapun juga. Dalam keadaan seperti itu tidak ada satu
orang pun bisa menolongnya. Yang kuasa menolong hanya satu kekuatan gaib. Dan
kekuatan gaib itu adalah rahmat dari Tuhannya. Dalam keadaan kurang makan dan
kurang tidur wanita itu terus berdoa dan tiap sampai waktunya ia bersembahyang.
Bukan untuk dirinya! Tapi untuk keselamatan suami dan Midah, dan semua anakanaknya.
Sebulan kemudian Hadji Abdul boleh meninggalkan rumah sakit. Ia mendapat
keterangan dari dokter, bahwa ia mempunyai penyakit jantung. Ia tak boleh
bekerja kasar dan sebaik-baiknya tinggal duduk-duduk dan berjalan-jalan sedikit
sampai kuat benar, mungkin dalam setahun mungkin dalam dua tahun ia harus
berbuat begitu terus-menerus.
Dan apabila ada apa-apa ia boleh datang kembali.
Hadji Abdul mengucapkan terima kasih dengan amat sopannya-sesuatu yang
baru terjadi atas dirinya. Dalam papahan perawatnya ia naik mobil rumah sakit
dan diantarkan pulang. Anggapannya bahwa dirinyalah orang yang paling suci di dunia ini dan
paling dikasihi Tuhan, dan paling baik serta paling beribadah, kini hilang sama
sekali. Ia merasa menjadi kecil dalam hubungan segala-galanya. Pandangan hidup
dan dunianya berubah hingga seratus delapan puluh derajat.
Sejak Midah melarikan diri, menantunya tak pernah datang mengabarkan hal
itu kepadanya. Dan dendam itu dilenyapkannya dalam ketawakalannya pada kekuasaan
Tuhannya. Ah, tanpa ketawakalan ini dirinya sebenarnya sudah lama hancur.
Ia pun tak mengharapkan lagi adakah anaknya akan kembali kepadanya atau
tidak. Perusahaan kulitnya diteruskannya dengan sikap fatal. Kekuasaannya
membualkan segala kebesarannya lenyap. Buruhnya yang tinggal seorang itu bekerja
sendiri, sedang tokonya ia hanya duduk dan melayani pembeli atau pemesan. Nafsu
untuk mengerjakan segala usaha untuk memperbesar perusahaannya ini telah lenyap.
Hanya tenaga damai yang yang kemistik-mistikan ada dalam dadanya. Dan itu sudah
cukup untuknya. Bila aku mati, pikirnya, biarlah aku mati kapan juga Engkau hendakkan. Tak
ada lagi di dunia ini yang aku sesalkan dan inginkan.
Perubahan itu tidak membuat jalan perusahaannya lebih baik lagi. Tambah
lama tambah mundur. Dan akhirnya tak kuat lagi ia membayar buruhnya. Tak mau ia
mencari usaha bagaimana ia harus memperbaiki keuangan rumah tangganya yang juga
ikut memburuk itu. Kasihnya pada suaminya yang menderita menyebabkan isterinya
dengan tidak setahunya mencari pekerjaan jahit-menjahit di luar rumah.
Hadji Abdul tidak pernah berpikir dari mana saja keluarganya bisa makan
tiap hari. Juga ia tak pernah bertanya kepada isterinya, apakah ada uang untuk makan
besok. Sebaliknya Hadji Abdul, isterinya berubah menjadi wanita giat yang
menolong keluarga dalam masa kehancuran kian lama kian menghampiri. Tak bosanbosannya ia datang ke kantor polisi untuk menanyakan bagaimana hasil mereka
dalam mencari anaknya. Tunggu! Tunggu! Kalau dapat mesti kami kabari!
Kalimat yang berulang-ulang itu tidak mematahkan harapannya.
Dengan relanya Riah kadang-kadang datang membantu menyelenggarakan dapur.
Ia pun dengan diam-diam ikut berdoa dan apabila harus pergi ke kota atau ke
Jatinegara tidak lupa ia mempergunakan matanya mencari majikannya.
Tetapi terjadi akan dengan bebas lain cuma ia semua usaha sia-sia, karena Midah telah mengetahui apa yang akan
dirinya setelah pertemuan itu. Ia mencari daerah lain di mana ia
dapat menyanyi: untuk dirinya sendiri, untuk anaknya. Orang-orang
harapkan sedekahnya. Bagian Ketujuh Daerah Simanis bukanlah di jantung kota di mana banyak terdapat restoran.
Ia memilih daerah Jatinegara yang aman unuk keselamatannya. Dan di sini tidak
banyak terdapat restoran. Ia menyanyi di depot-depot. Ia pergunakan senyum
pemikat sebaik-baiknya. Kadang-kadang ia menyanyi dari rumah ke rumah dan lebih
banyak diusir daripada menerima rezeki.
Tapi walau apapun jua yang terjadi, dengan anaknya sendiri dalam gendongan
itu, ia merasa lebih kaya daripada siapapun juga. Suaranya yang cynis hilang,
dan ia pun tidak lagi menyanyi untuk hati sendiri dan anaknya. Yang tersuarakan
oleh hatinya kini adalah lagu yang bernafaskan kebebasan dan keberuntungan.
Dan pada suatu hari waktu ia sedang menyanyi di depot, depot orang
Tionghoa, seorang memberinya tepuk tangan. Ia malu. Selama ini baru sekali
inilah ia menerima tepuk tangan. Dari depot kemudian muncul polisi lalu lintas
yang telah dikenalnya. Suaramu bagus, Manis. Mari makan bersama aku.
Perut yang lapar menyebabkan ia menerima tawaran itu.
Anakmu tetap sehat aku lihat. Syukurlah. Mengapa sendirian" Diusir juga
dari rombongan" Ya, tentulah diusir. Tapi itu tidak mengapa. Apa kabar tentang
dirimu" Baik" Hai, mengapa belum juga buka suara" Malu"
Polisi itu tidak menghiraukan pandangan orang-orang lain.
Tidakkah malu makan di dekatku"
Malu" Mengapa malu"
Keramahannya itu melenyapkan kemalu-maluan Midah terhadapnya.
Juga terhadap orang-orang lain yang menonton mereka makan.
Kopi" Mau kopi" Taoke, kasih kopi dua gelas.
Tadinya kami masih punya harapan dilatih dan kemudian dibawa ke radio.
Tapi yang ditunggu tak pernah muncul.
Haha. Kroncong jalanan itu tidak berharga apa-apa. Cuma meributi kuping.
Kan suaraku bagus" Suaramu memang bagus, penuh penyerahan pada seni suara.
Bisa aku menyanyi di radio"
Aku tadi dengar suaramu. Memang baik. Tapi, dimana engkau tinggal"
Di mana-mana saja. Polisi itu tertawa senang. Kemudian meneruskan ucapannya:
Aku mengerti maksudmu. Tidak, Manis, aku takkan datang ke tempatmu untuk
mengganggu engkau. Aku juga sudah dengar dari kawan-kawanmu bagaimana sebenarnya
kelakuanmu. Buruk bukan" Buruk bagi yang benci kepadamu. Ya, tentu.
Dan tuan benci juga kepadaku, bukan"
Benci" Engkau manis dan suaramu baik.
Aku tak mengerti dengan semua maksudmu.
Tunggulah aku nanti jam lima di depan stasiun Jatinegara. Mau"
Untuk apa" Sekarang aku masih dinas. Nanti sore kubawa engkau. Engkau harus dilatih
menyanyi dahulu. Suaramu baik, dan engkau bias menyanyi di radio.
Kita menyanyi di radio,yang, Midah berbisik pada anaknya.
Yang" Mengapa dipanggil yang" Siapa namanya"
Bukan main kaget Midah. Teringat olehnya, bahwa ia belum lagi menamai
anaknya, dan bahwa ia belum lagi menyedekahinya.
Sekali waktu aku namai dia. Tetapi bagaimana menyedekahinya"
Sedekahi di rumahku. Aku cuma punya satu kamar, tapi aku kira cukup baik
kalau kuundang kawan-kawanku sepekerjaan. Setuju"
Begitu baik pada orang yang tidak dikenal"
Apa yang tidak dikenal" Walau kecil-kecilan, kita berdua adalah seniman.
Dan tiap seniman adalah kawan satu sama lain.
Apa seniman" Polisi lalu lintas itu menerangkan. Dan Midah mengerti.
Jadi, engkau mau menunggu aku jam lima sore di stasiun, bukan"
Insya Allah. Tapi aku tak mau diganggu.
Apa aku punya tampang buaya"
Kehidupan bebas selama ini menyebabkan wanita ini berubah menjadi seorang
yang bebas dalam percakapan, sekalipun berpegangan pada norma-norma kesusilaan
yang dibawanya dari rumah. Hatinya lega menemui seorang bebas pula sebagai
polisi lalu lintas yang ada di dekatnya itu.
Kalau saja engkau lelaki, engkau akan kubawa pulang dan tidur bersama-sama
dengan aku. Tapi kalau engkau suka, mau juga aku carikan kamar untukmu. Mau"
Midah mengangguk. Setidak-tidaknya, anakmu tidak selamanya kena angin.
Cukup penghasilanmu dengan menyanyi sepanjang jalan itu.
Dan Midah teringat pada pria-pria yang memberinya uang yang kadang-kadang
melampaui batas royalnya, dengan senyum di bibir kemudian dengan ajakan yang
diucapkannya amat perlahan dan berisi perasaan. Dan selamanya Midah menerima
uang itu dengan segera untuk pergi dengan segera pula. Ia teringat pada sopir


Si Midah Bergigi Emas Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

taksi yang selalu mencegatnya di perempatan jalan di sebuah tempat di
Jatinegara. Tapi dalam keadaannya seperti itu Midah tidaklah memaki atau
mengucapkan kata-kata yang kurang sopan, tapi ia tersenyum. Dan sekali waktu
sopir itu mengajaknya bermalam di suatu tempat dan dengan sopannya ia menjawab:
Sayang aku bukan perempuan jalang, cuma nasibku seperti ini. Dan setelah itu ia
meneruskan pekerjaannya. Sekali ia ingat bagaimana anaknya jatuh sakit karena
masuk angin, dan dengan beraninya ia pergi ke tempat dokter kanak-kanak, dan
kemudian membeli obat di apotek. Di waktu itu segala ketakutannya pada barang
siapa yang mengenalnya hilang lenyap.
Baiklah. Itu tak kutanyakan lagi, kata polisi itu kemudian. Sekarang aku
harus pergi berdinas lagi. Sampai nanti, ya"
Setelah membayar ia melompat di atas sepedanya dan Midah meneruskan
perjalanan yang tiada bertujuan. Hari itu telah cukup ia memperoleh peghasilan
untuk makan dua hari. Hampir-hampir Midah tak mengenali polisi lalu lintas itu dalam pakaian
preman. Dengan becak ia dibawa ke sekitar daerah Matraman, di mana sebuah kamar
telah disediakan untuknya. Sekali lihat ia telah dapat menentukan, bahwa kamar
ini akan memberinya tempat teduh dan kedamaian. Ia letakkan anaknya di ambin
kayu yang dialasi tikar, dan kemudian berdua mereka duduk di kursi yang telah
tersedia. Aku harap engkau tak menjual murah suaramu, kata polisi itu.
Apa harus aku sebut kau"
Ahmad. Dan siapa namamu sebenarnya"
Panggil sebagaimana biasa engkau memanggil aku.
Baiklah. Itu rahasiamu sendiri. Senang engkau disini"
Terima kasih untukmu. Apa harus kami makan kalau tak boleh menjual suara"
Mula-mula, engkau harus kulatih menyanyi yang baik. Engkau harus bisa baca
not balok. Engkau mau belajar, bukan" Masih mau belajar, bukan"
Mereka berhadap-hadapan. Keduanya berpandang-pandangan. Kini masanya
datang bagi Midah untuk jatuh cinta. Kalau hatinya tidak bergerak, biarlah
hatiku sendiri yang goncang. Akhir-akhirnya aku sudah punya anak dan dia masih
bujangan. Nyonya rumah masuk membawakan minuman.
Aku harap nyonya senang tinggal di sini. Aku percaya nyonya orang baikbaik yang akan ikut memelihara kesopanan rumah tanggaku.
He, ibu, apa ibu pikir tentang dia"
Perempuan itu menghadapi polisi lalu lintas dalam pakaian preman itu dan
meneruskan dengan suara tuanya yang hati-hati:
Semua sudah berubah, nak. Tidak seperti dulu.
Kan ibu tahu juga dia bakal isteriku"
Midah memandang pemuda itu, dan sebentar saja pemuda itu membalas
pandangannya. O, kalau dari tadi atau sebelumnya sudah menceritakannya, itu lain lagi.
Dengan membawa baki ia meninggalkan kamar itu.
Dan waktu pemuda itu menengok padanya, ia telah bercucuran airmata. Midah
sangat berbahagia di masa hidupnya terkurung oleh kekerasan. Dan ia tidak
mungkin menyampaikan perasaannya itu untuk mengajak orang lain merasainya.
Kak Ahmad" Ya" Benarkah yang kau katakan itu"
Ahmad tertawa girang. Dari mulutnya terdengar:
Tentu saja tidak. Kalimat yang diucapkan dengan riang itu menggugurkan perasaannya yang
mulai bersemi di dalam dada.
Mengapa menangis" Dan Midah tersedan-sedan. Dirangkulnya anaknya. Tak ada orang yang dengan
sejujur hatinya mencintai daku. Dan waktu aku mencintai, cinta itu hanya
disambut dengan ucapan bermain-main. Air matanya membasahi muka anaknya.
Begitu mudahnya engkau menangis. Ahmad memperingatkan. Tapi biarlah,
seorang seniman terlampau lembut perasaannya. Minumlah kopimu.
Midah tak juga bangkit dari kursi. Dan Ahmad membawakan cangkir itu
kepadanya. kuat. Ia teguk minum hangat itu dan merasa badannya agak nyaman dan hatinya agak
Tapi ia tak berani memandang pemuda itu lagi.
Terhinakah engkau karena aku begini kasar"
Dalam merangkul anaknya, Midah membayangkan merangkul Ahmad. Begitu lurus
hati dia, begitu terus terang. Tak ada aku lihat kepalsuan terkandung dalam tiap
gerak-geriknya. Tapi dia tidak boleh aku cintai. Dia tak boleh jadi suamiku.
Engkau! Engkau anakku! Engkau yang menyebabkan! Tapi biarlah, aku kurbankan
segala-galanya untukmu. Biarlah hatiku goncang sendirian. Dan biarlah gunung
dalam hatinya tetap agung tidak terganggu oleh apapun juga. Dan dengan demikian
mulailah Midah berkenalan dengan perasaan cinta. Perasaan sakit dan pahit. Tapi
walau bagaimanapun jua kesakitan dan kepahitan itu ia kasihi dan ia berjanji
akan tetap menyimpannya untuk selama-lamanya: sakit dan pahit untuk selamalamanya.
Sekarang sudah malam, Manis. Biarlah aku pulang.
Midah belum juga kuasa, belum juga berani, menghadapinya.
Jangan marah padaku, Manis. Aku takkan mengganggumu. Biarlah, engkau tak
perlu mengantarkan aku aku sampai ke pintu. Suara Ahmad menjadi rendah dan
serak. Aku harap tak tersinggung hatimu oleh tingkahku yang kasar ini.
Ia terdiam berdiri di pintu. Ia ingin mengetahui jawaban wanita itu. Tapi
Midah tidak berkata apa-apa. Ia kembali ke dalam dan berkata sopan:
Engkau makan di sini nanti dengan ibu yang punya rumah.
Dan waktu Midah tak juga menjawab, ia bertanya:
Engkau butuh uang" Barulah Midah menggelengkan kepalanya.
Anakmu tidur sekarang. Kalau engkau lelah, tidurlah saja.
Midah menyelimuti anaknya dengan selendang.
Mengapa engkau menangis terus" Mengapa tidak bicara sedikit pun juga"
Marah padaku barangkali" Marah karena apa" Tangannya diletakkannya di bahu
wanita itu. Tak tahan lagi Midah. Hatinya terasa pecah. Apakah aku tak boleh berbagi
perasaan" Dan mengapa tidak" Air matanya terus menderas. Ia tak kuat menahan
kesakitan dan kepahitan di dalam dadanya, dan diletakkan tangannya di atas
tangan pemuda itu. Tapi engkau tahu, Manis, takkan mungkin aku jadi-Ya, tahulah aku sekarang,
engkau cin-Tapi itu tidak boleh. Kita berdua adalah orang dari lain-lain sifat,
asal, dan daerah. Tangan Midah ditariknya kembali. Hanya terasa olehnya ucapan pemuda yang
terakhir itu merupakan hinaan baginya, hinaan untuk membentengi diri pemuda di
sampingnya. Ia kumpulkan tenaganya untuk menggagalkan hinaan dan benteng itu. Tetapi
yang keluar hanya kata-kata lesu:
Aku bukan orang hina, dan aku tak pernah menjalani kehinaan.
Aku girang mendengar itu. Setidak-tidaknya engkau kelak takkan menyusahkan
daku. Aku takkan ditertawakan orang karena menolong engkau.
Kembali Midah merangkul anaknya.
Apa akan kaunamai anakmu itu"
Dan untuk melanjutkan usaha menggagalkan hinaan dan benteng itu, Midah
berkata agak kehilangan kelesuannya:
Kalau saja bapaknya ada disini-itu tidaklah akan susah.
Dimana bapaknya" Di suatu tempat yang aku ketahui.
Mengapa dia tak kau kabari, atau engkau pergi ke tempatnya"
Apapun penghidupan akan kutempuh asalkan tidak lagi bertemu dengannya.
Dan orangtuamu" Aku takut karena meninggalkan suamiku.
Ha! Mengerti aku sekarang. Mengerti aku sekarang, polisi itu menjadi
girang kembali. Bagaimana kalau kuantarkan kau ke rumah orangtuamu"
Aku suka tinggal disini, jawab Midah. Tapi ia tahu, ia suka terus ada di
dekat pemuda itu, tapi tak berani mengatakannya.
Aku kenal bapakmu. Apa salahnya kalau engkau kenal dia"
Hadji Abdul. Aku tahu sekarang.
Midah menyembunyikan kekagetannya dalam rangkulan pada anaknya.
Sudah lama polisi mencari-cari engkau.
Polisi" Tentu saja polisi. Aku tak pernah melakukan kejahatan!
Tapi orangtuamu meminta pertolongan polisi.
Engkau mau tangkap aku"
Aku bisa adukan engkau dan kemudian engkau ditangkap. Tapi kalau engkau
tak suka kembali pada orangtuamu, tentu saja engkau takkan kuadukan.
Kapan kau mulai beri aku pelajaran nyanyi dan membaca not balok"
Besok. Besok aku datang lagi. Mengapa kau tinggalkan suamimu"
Pulanglah sekarang, aku lelah.
Ahmad memperbaiki letak pakaiannya. Mencubit pipi anak itu dengan hatihatinya, mengangguk pada Midah, kemudian lenyap dari kamar.
Segera Midah mengunci pintu dari dalam. Segera merubuhkan diri di ambin
dan meneruskan tangisnya. Kehidupan keras dan kejam selama itu ia hadapi dengan
keberanian, karena ada modalnya untuk berani. Karena ada modal untuk
menghadapinya: keyakinan, bahwa ia bias juga hidup dari tangannya sendiri. Tapi
dalam kepahitan dan kesakitan cinta ini, siapakah yang punya modal untuk
menghadapinya" Siapa yang mempunyai kekuatan untuk menghancurkannya"
Waktu pintu diketok dan dari luar terdengar ajakan makan, ia meneruskan
tangisnya-menangisi sesuatu yang ia tidak mengerti. Tapi kesakitan dan kepahitan
itu terus membanjirkan airmatanya. Dan malam itu adalah malam panjang yang
berisi satu tubuh satu jiwa: Ahmad dengan sikapnya yang lurus dan tingkah
lakunya yang bebas.Ia rangkum itu untuk takkan dilepas-lepaskannya untuk selamalamanya.
Bagian Kedelapan Hampir tiap hari Ahmad datang untuk mengajar menyanyi. Dan wanita ini
merasa aman di dekat pemuda itu. Cinta yang terpendam dalam dadanya memperlunak
kekerasan kehidupannya selama itu. Kadang-kadang ia telah merubah dirinya
sekaligus, dalam berbagai hal. Tiap hari ia mengharapkan-sekalipun harapan
kosong, tapi harapan itu ada-suatu kali ia menjadi isteri Ahmad: suami-isteri
penyanyi, pemusik. Kemarin anaknya diselamatkan dan dinamai Rodjali. Semua kawan-kawan
pemusik Ahmad datang. Waktu itulah ia berkenalan dengan mereka. Dan waktu itu
pulalah ia mempunyai kawan yang tidak terpisah-pisahkan oleh kesadaran bahwa
dirinya wanita dan mereka pria.
Ia senang mendengar tertawa mereka. Ia senang menyediakan minum untuk
mereka. Dan ia senang anaknya kini mempunyai nama. Si anak itu dipanggil Djali,
dan tak ada seorang pun di antara tamunya membantah pemberian nama panggilan
itu. Hanya Ahmad yang tidak memperdengarkan pendapatnya. Kini ia jadi pendiam.
Gerak-geriknya kaku seperti orang bangun sakit. Dan matanya cekung.
Waktu para tamu telah pulang, Ahmad tinggal di kamar tamu bersama Midah.
Djali ada di pangkuan ibunya mempermain-mainkan kuping.
Engkau sakit, kak" Ya, aku sakit. Mengapa tidak pergi ke dokter"
Penyakitku sama dengan yang kau deritakan.
Midah terdiam. Ia mengerti maksud pemuda itu.
Aku boleh mencintai engkau, bukan, Midah" Ah aku tak berani lagi menyebut
engkau Manis, karena-Mengapa engkau diam saja" Bukankah engkau cinta juga
kepadaku" Ya, aku tahu, yang kau katakana dahulu tidaklah percuma. Dan aku
mengerti mengapa engkau dahulu menangis. Aku pun kesakitan.
Tidaklah lebih baik kita bicara tentang hal-hal lain.
Keduanya tidaklah bicara apa-apa. Masing-masing merasakan kesakitan di
dalam dada. Kemudian Midah menyanyi dan Ahmad pun menyanyi.
Aku menyesal kau menangis
Aku menyesal kau merana Tapi apa hendak dikata Katalah jadi peristiwa Katalah jadi pertemuan Katalah jadi perpisahan Tapi musik lebih berharga
Bersama gendang dan biola
Kedua-duanya tak bercakap-cakap lagi. Kemudian nyonya rumah datang
menemani, dan suasana mendung digagalkan:
Engkau Nampak berubah, nak. Biasanya begitu gembira. Sekarang begitu layu.
Sakit, bu. Kalau begitu nyanyilah lagi.
Mereka berdua mengulangi nyanyiannya.
Sayang tak ada gendang di sini, nyonya rumah menyesali. Gendangku dipinjam
tetangga untuk main gambus. Mendiang suamiku dahulu mempunyai harmonium. Tiap
malam sehabis kerja dimainkannya. Waktu meninggal tidak ada yang memainkannya
lagi. Karena itu kujual. Ya, bu, aku masih ingat waktu pegang gendang dulu.
Kemudian percakapan mati sama sekali. Sayup-sayup terdengar radio tetangga
menyanyikan lagu rakyat populer.
Kapan kalian kawin" Itulah,bu. Kami belum mendapat rumah.
Kawinlah dan tinggal di sini.
Percakapan mati lagi. Waktu nyonya rumah melihat mendung menyapu wajah
kedua orang muda itu, nampak terkejut.
Mengapa kalian berdiam-diam saja" Ah, barangkali aku hanya mengganggu. Dan
tanpa menunggu jawaban ia pun pergilah.
Kita sudah tahu riwayat masing-masing, akhirnya Midah memulai. Aku tahu
kita tak mungkin kawin. Ya. Aku adalah milik diriku dan anakku. Engkau milik orangtuamu.
Ya. Engkau bisa saja menyerahkan kesulitanmu pada mereka. Dan pada diriku
sendiri. Ya. Kita tak bisa kawin. Ya, aku tahu. Karena itu tak perlu dibicarakan lagi.
Aku tak punya apa-apa, Midah. Kawanku banyak, kawan orangtuaku banyak. Aku
tak berani jadi buah bibir mereka.
Aku tahu kesulitanmu. Lebih baik bicara tentang lain-lain hal.
Tentang apa, Midah" Kapan aku mulai menyanyi"
Besok. Lebih baik kita ulangi latihan kita.
Dan mereka pun menyanyi bersama. Ahmad memberikan irama dengan pipa rokok
ke atas meja. Dan di luar malam telah merasuk. Berulang keduanya menyanyi.
Nyonya rumah tak memperdengarkan bunyi atau suara lagi.
Tidurkanlah si Djali, Midah.
Midah bangkit dan membawa anaknya masuk ke dalam kamar.
Ahmad tinggal di kamar tamu.
Nampak ia sedang berjuang melawan pikirannya sendiri. Djali menjerit.
Terdengar Midah: Tidur, Djali, tidur. Semua orang sudah tidur. Kemudian ia menyanyi.
Ahmad menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian ia bangkit. Matanya yang redup
menyala. Sudah tidur" Lebih baik engkau di luar saja. Aku pun hendak keluar.
Tetapi Ahmad telah menghampirinya. Ia rangkul wanita itu dan diciuminya.
Kita takkan jadi suami-isteri, kak. Lebih baik engkau keluar.
Midah, Manis. Engkau tahu bagaimana hancur hatiku.
Lawanlah. Lawanlah. Aku tidak kuasa melawan, Manis. Tidak bisa!
Engkau harus kuat! Mari keluar.
Tapi Ahmad tak mau keluar.
Lain kali ada waktu yang banyak untukmu, dan lain kali ada waktu yang
lebih banyak memenuhi kebutuhanmu.
Engkau begini beradab, Midah.
Walau aku hidup di jalanan, kak, aku bukanlah orang jalanan. Itu engkau
ketahui.

Si Midah Bergigi Emas Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Janganlah kau sebabkan aku jadi wanita sepeti itu.
Midah, Manis, Midah"Ahmad sambil menciumi. Lebih dari itu ia tak bisa.
Aku tahu apa engkau maksudkan. Karena itu marilah keluar.
Manisku! Midahku"sambil terus menciumi.
Kak siapakah yang tidak bahagia dengan seorang yang dicintainya. Tapi
engkau harus ingat pada diriku, anakku.
Midahku! Midahku! Aku adalah seorang ibu, dan engkau tak pernah merasa menjadi ayah.
Biarlah aku bersama engkau, Manis. Ijinkanlah.
Aku berikan segala-galanya yang mungkin. Tapi janganlah aku kaunodai.
Kalau aku kembali?"".
Janganlah banyak bicara, Midah. Biarlah kita?""..
Kalau aku kembali kepada orangtuaku?"".
Sebuah ciuman yang mesra menghalangi ucapannya. Kemudian:
Biarlah aku masih suci sebagaimana aku pergi.
Tapi Ahmad tak dapat menahan berangsang hawa nafsunya lagi. Midah
menangis. Apalagi yang dapat diperbuatnya selain menangis!
Aku tidak rela! Aku tidak rela! Walau bagaimanapun jua cintaku padamu,
bisiknya. Kemudian ia tenggelam. Ahmad tenggelam. Malam tenggelam. Begini cantik engkau Midah. Begini manis. Tak ada satu cacatpun merusakkan
kulitmu. Midah hanya memperdengarkan keluhan.
Midahku! Midahku! Aku tahu, engkau hendak menghancurkan aku. Dan engkau sampai hati.
Hancurkanlah aku. Jangan aku terlampau kau siksa, Midah.
Engkau terlampau memikirkan dirimu sendiri.
Kemudian tak terdengar percakapan lagi. Mereka lebih larut tenggelam.
Waktu sayup-sayup terdengar lonceng, barulah terdengar bisikan lagi:
Besok saja aku pulang. Ya besok! Besok saja. Engkau pulang dan membawa pulang cintamu pula. Aku
tahu itu. Engkau takkan balik kembali membawa cinta. Engkau akan datang hanya
sebagai tamu?". sebagai tamu"mungkin juga sebagai tamu yang hanya menagih
hutang. Sampai hati engkau
Diamlah, Midah, diamlah. Aku kira engkau akan menyesal"dan untuk selama-lamanya.
Tidak. Aku tidak menyesaal.
Tidak" Ya, mungkin aku yang menyesal.
Mengapa" Mengapa" Perbuatan ini menghancurkan cintamu. Dan aku berbahagia dengan
cintamu. Baiklah, aku tidur, Midah.
Tidurlah. Besok engkau bukan orang yang mencintai Aku lagi.
Besok" Barangkali sekarang engkau bukan Ahmad yang tadi.
Biarlah aku tidur. Kemudian tak terdengar mereka berbisik ataupun bergerak. Lama. Beberapa
jam. Kemudian Djali menangis. Ketiga-tiganya bangun. Mulai pula berangsang nafsu
mengamuk dalam dada Ahmad. Dan mulai lagi kedua orang itu jatuh tenggelam. Dan
anak kecil itu terus menangis, menjerit, kaki dan tangan menghentak-hentak.
Tahu kan apa artinya"
Apa" Djali menangsis! Tidak. Dia menyaksikan bagaimana untuk pertama kali karena cintanya ibunya rela
dinodai. Dan yang menodai adalah engkau.
Ayam pun berkeruyuk. Sudah pagi sekarang. Sudah pagi sekarang, engkau mau pulang" Pulanglah.
Dan setelah Ahmad mengenakan pakaiannya, Ahmad pulang. Kelesuannya hilang.
Ia kembali jadi pemuda yang periang dahulu. Dan waktu ia telah hilang dari
kamar, Midah meneruskan menyusui anaknya. Kembali airmata meleleh-leleh melalui
pipi jatuh ke bantal. Apakah cuma ini yang engkau berikan kepadaku" Bisiknya. Ia tersedan-sedan.
Dan bila demikian, apa lagikah yang bisa diperbuat oleh suamiku atas diriku"
Ia tahu orang tuanya tak perlu mengalami apa yang baru saja dialaminya.
Karena mereka punya rumah yang tetap, dan mereka mencintai rumahnya. Berbeda
denga Midah, anak mereka, yang tidak mempunyai rumah tetap dan juga tidak
mencintai yang tak dimilikinya.
Hingga ayam berhenti berkeruyuk ia tak memejamkan matanya lagi. Pikirannya
mengembara ke mana-mana, terutama membayang-bayangkan kemungkinan perhubungan
dengan Ahmad sekalipun ia tahu takkan ada perhubungan apa-apa dengannya. Dengan
perbuatannya semalam, segala-galanya yang pahit dan sakit tetapi membahagiakan
itu telah punah. Waktu pintu diketok nyonya rumah, ia baru bangkit. Kemudian menangis lagi.
Dan setelah menyeka mata, ia pun pergi ke kamar mandi.
Dan benarlah dugaannya. Sejak itu Ahmad bukan saja melatihnya menyanyi,
tetapi juga bertindak sebagai tamu yang terus-menerus menagih.
Bagian Kesembilan Dari kiri dari kanan nyonya Hadji Abdul memperoleh kabar bahwa sekarang
anaknya menyanyi di radio. Ia mencoba menutupi kupingnya dari berita itu. Tapi
keterangan Riah bahwa Midah menyanyi di depan-depan restoran mau tak mau membuat
ia jadi bimbang. Kalau saja menjadi penyanyi seperti Umi Kalsum"itu lain perkara.
Sekali waktu tetangganya berlari-larian menemuinya. Kemudian:
Ayolah kalau tidak percaya. Ayolah. Dan ditariknya perempuan itu diajak
ikut mendengarkan radio. Dan kedua perempuan itu mendengarkan.
Engkau dengar" Itu adalah suara anakmu. Aku tak bimbang. Aku pernah dengar
anakmu menyanyi nyayian itu. Dengarkan.
Nyonya Abdul mendengarkan. Dan terbayang di matanya perawan manis dan
cantik yang beberapa tahun yang lalu masih bergaun pendek dan berkerudung putih.
Anak itu adalah anaknya. Dan anak itu kini menyanyikan lagu yang kini
didengarnya. Akhirnya orkes Irama Bakti akan mengakhiri permainannya dengan suara
Simanis Bergigi Emas dalam lagu Jali"jali! Kata radio.
Ya, anakmu memang manis. Tapi dia tak bergigi mas.
Nyonya Abdul pulang kembali ke rumahnya. Tiba-tiba timbul keinginannya
untuk membuktikan sendiri. Buru-buru ia berpakaian. Dan dengan beca ia menuju ke
studio. Malam waktu itu. Ia tak berani masuk ke studio. Ia hanya menunggu di
gapura, menunggu, dan menunggu. Tapi di antara mereka yang meninggalkan gedung
itu tak ada yang dijumpainya Midah. Akhirnya ia pulang kembali ke rumah, dan
bersamaan dengan itu hilang pula harapannya untuk dapat bertemu dengan anaknya.
Pada suatu hari tetangganya datang pula untuk mengajaknya mendengarkan
suara Simanis bergigi emas. Lambat laun ia yakin akan kebenaran tetangganya.
Kalau engkau mau, katanya, anakku bisa mengantarkan engkau ke gedung
radio. Dan dengan demikian nyonya Abdul pergi diantarkan anak tetangganya.
Nyonya Abdul telah dapat membayangkan apa yang akan terjadi bila bertemu
dengan anaknya. Midah akan menghadapinnya dengan benteng kecurigaan. Dan ia
dengan kegoyahan perasaan yang terguncang-guncang antara dua ujung: kebencian
pada pekerjaan anaknya dan cinta ibu terhadap seseorang yang dahulu pernah
dilahirkannya dengan kesakitan dan menumpahkan sebagian dari darahnya.
Sebenarnya ia takut pada pertemuan itu. Tapi suara yang memanggil-manggil dari
hati kecilnya menarik-nariknya untuk berbuat. Berbuat! Berbuat! Orang akan tetap
gelisah bila tidak berbuat.
Seharusnya aku pergi sendirian, pikirnya. Anak ini akan menjadi saksi
pertemuan kami. Ah, moga-moga anakku selamat. Moga-moga ia tidak bernoda. Tuhan,
kembalikan anakku padaku dalam keadaan seperti waktu ia meninggalkan rumah kami.
Suci dan manis, cantik dan baik budi.
Ibu menggigil, kata anak itu.
Dingin, nak. Anak itu menutupkan pada tubuhnya selendangnya sendiri. Dan ia menolak.
Baru jam setengah enam sekarang, bu. Ibu sakit"
Malaria. Aku juga pernah malaria. Pulang saja kita"
Biar-biar. Kita pergi terus.
Bukankah ibu harus menelan pil dahulu"
Nanti saja. Nanti saja. Nanti, ya nanti.
Nyonya Abdul tak ingin berbicara. Ia terlampau sibuk dengan angan-angannya
sendiri. Di pertengahan jalan baru ia ingat bahwa jam enam suaminya nanti datang.
Dia akan marah. Dan ia takut hati suaminya terganggu. Mungkin membangkitkan
sakit jantungya kembali. Ia ingin kembali untuk keselamatan suaminya. Tapi ia
pun ingin terus untuk keselamatan anaknya. Tak ada diantara keduanya ia pilih
dan beca terus meluncur. Seperempat jam kemudian sampailah mereka di gedung
studio. Nyonya Abdul gemetar. Dan anak itu memapahnya. Mereka menaiki jenjang
menuju ke kantor. Nyonya, rombongan Irama Bakti baru saja pulang. Naik pikap.
Gigilan nyonya tak dapat ditahan lagi. Dan tanpa disilangkan ia telah
duduk saja di atas kursi.
Sakit, nyonya" Dan nyonya hanya menggeleng.
Nyonya Abdul mencari anaknya, tuan.
Dalam rombongan Irama Bakti"
Ya. Tuan, anakku Midah"anakku"dia ikut menyanyi"
Midah" Siapa sebenarnya Simanis Bergigi Emas"
Biduan Simanis" Aku tidak tahu. Di buku namanya begitu juga.
Tidak! Tidak! Dia anakku! Aku kenal dari suaranya. Aku kenal suaranya
sejak dia kulahirkan". Bendungan nyonya Abdul telah pecah. Ucapan-ucapan
emosinya berhamburan dalam kantor studio. Akhirnya: Minum, beri aku minum.
Segelas air dingin diteguknya habis. Ia bernapas lega dan memperoleh
kendalinya kembali. Hadji Terbus itu memang bangsat, kembali ia kehilangan kendali. Anakku
juga begitu cantik, begitu manis"tidak mungkin! Kalau dia tak kejami, tidak
mungkian dia lari. Tidak mungkin dia jadi penyanyi.
Nyonya sakit, tuan, bawa pulang saja buru-buru.
Anak itu tak meladeni. Berkata:
Akupun kenal suara itu. Suara Midah. Aku kenal Midah.
Aku tak mengerti maksud kalian.
Berilah kami alamatnya. Dia adalah ibunya. Sudah lama terpisah, tuan.
O, kalau Cuma alamatnya, tentu saja aku dapat berikan. Dan ia pun
menyerahkan sesobek kertas berisi alamat.
Mari, bu, mari kita pergi, dan dipapahnya perempuan itu. Kemana ibu mau
sekarang" Pulang" Ke Matraman"
Napas besar-besar mendesak-desak di hidung orang tua itu.
Aku mau bertemu dengan anakku. Antarkan aku, nak.
Pegawai itu memandangi perempuan itu dari jendela kaca kantornya. Dan
matanya tetap memandangi hingga kedua-duanya hilang ke dalam beca.
Malam mulai menggantikan siang. Tanah lapang gambir telah diselubungi
rembang dan lampu jalanan telah menyala, berbaris seperti serdadu membawa obor.
Mereka mau menipu. Siapa mereka, bu" Nyonya Hadji sendiri tak tahu siapa mereka itu. Waktu ia dapat menguasai
dirinya kembali terdengar ia menyebut beberapa kali, kemudian tenang. Dan beca
terus meluncur dengan amannya kearah Matraman.
Selama itu tidak disadarinya betul rasa cinta-ibu-terhadap-anak. Tetapi
waktu menurut anggapannya ada bahaya kebatinan akan menimpa anaknya, cinta itu
melonjak keluar dari persembunyiannya. Antara sebentar ia menyuruh cepatkan
kendaraan yang ditumpanginya. Dan kala sampai di Matraman, barulah mereka
berputar-putar mencari alamat. Dari gang ke gang Nampak kegugupan nyonya Hadji
tampil kembali pada airmukanya dan dengan kegigilan yag tertahankan di dalam
hati, ia terus-menerus mendoa agar bertemu dengan Midah, dengan cucunya yang ia
belum pernah melihatnya. Sini tinggal seorang penyanyi"
Ya, tuan. Gigilan dalam hati nyonya Abdul tak tertahan lagi bagi jantungnya. Ia
hanya berpegangan di tiang pintu. Kakinya pun agak menggigil, dan ia membutuhkan
kursi. Kepalanya tak ubahnya dengan lalulintas Senen sehabis waktu kantor.
Midah" Ya, tuan. Setengah orang orang memanggilnya Midah. Setengah lagi Simanis.
Ada dia di Rumah" Belum pulang, tuan. Boleh aku masuk, nyonya" Nyonya Abdul bertanya.
Mereka masuk. Segera ibu menyemburkan segala pertanyaan mungkin dan tidak
mungkin. Kemudian: Nyonyarumah mengeluarkan seorang anak kecil yang kurus dan nampak tak
terpelihara. Masya Allah! Inikah cucuku" Alangkah kurus.
Ya, nyonya, Midah terus-menerus sibuk dengan musiknya. Tapi anak ini tidak
sakit. Dia sehat, nyonya.
Sehat" Ah, cucuku. Begini kuus engkau! Dan diciuminya anak kecil itu.
Djali menjerit-jerit. Alangkah amis baumu. Alangkah amis. Barangkali tidak pernah dimandikan.
Nyonyarumah tak menyatakan pendapatnya.
Mengapa anakku tinggal disini"
Mengapa tinggal disini" Kemauannya sendiri.
Mengapa begini hari dia belum datang"
Mengapa" Dia penyanyi. Hari ini nyanyi di rumah Tionghoa kawin.
Nyanyi di rumah Tionghoa kawin! Midah! Anakku!
Nyonya, aku sendiri suka menyanyi. Dulu! Aku kira taka da jelaknya orang
menyanyi untuk mencari penghasilan.
Aku bawa pulang anak ini.
Nyonya akan bawa pulang" Apa kataku nanti terhadap dia"
Bilang neneknya yang ambil.
Jangan, nyonya. Jangan. Aku berhak mengambilnya. Aku kawinkan dia dengan Hadji Terbus. Ini anak
Hadji terbus dan dia. Aku berhak mengambilnya.
Apa kataku kalau ditanya"
Suuh dia datang ke rumah orangtuanya. Di sana akan dia dapati anaknya.
Sebelum nyonyarumah sempat menyatakan pendapatnya lebih lanjut, nyonya
Abdul telah membawa keluar anak kecil itu dan Djali terus menjerit-jerit. Dengan
tiada tawar-menawar ditumpanginya beca yang mula-mula didapatinya, dan dengan
demikian mereka pun menyebrangi malam menuju ke rumahnya. Dalam hatinya ia
merasa bersyukur. Djali ini bisa jadi pengganti Midah. Sekalipun Midah mau
mengambil anaknya, sekalipun perempuan itu tak mau pulang ke rumahnya lagi,
setidak-tidaknya ia dapat menebus segala kesalahannya dengan memperlakukan anak
itu sebaik mungkin. Tiba-tiba ia terkejut. Ada keinsyafan menyelinap ke dalam pengertiannya,
ke dalam kesadarannya: usahanya mencari Midah tidak lain daripada usaha
memperbaiki kesalahannya terhadap anaknya sendiri.
Anak yang begitu cantik, begitu manis, begitu berbudi, bisiknya. Abdul
merasa bersalah karena gila pujian. Aku bersalah karena tidak pernah
mempedulikannya. Tapi sekarang semua bisa diperbaiki kembali.
Hatinya menjadi lega. Seluruh keruwetannya hilang. Djali terus-menerus
menjerit kedinginan di malam gelap itu. Dan jeritan itu mengembalikan kenangankenangan nyonya Abdul waktu untuk pertama kalinya ia mempunyai anak. Dan anak
itu adalah Midah. Perasaan syukur kepada Tuhannya karena telah diberi
keselamatan waktu melahirkan, kini datang kembali. Diciuminya anak itu sambil
mengelus-elus kepalanya yang kecil.
Raja, raja, manisku, alangkah amis baumu. Diam-diam jangan menangis. Nanti
kubuatkan kau bubur hapermot dengan susu.
Karena capek menangis, akhirnya Djali diam dengan sendirinya. Kemudian
tertidur dalam pangkuan neneknya. Tapi nyonya Abdul terus menciuminya. Di waktu


Si Midah Bergigi Emas Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu ia terlupa sama sekali pada suaminya yang sudah lama menunggunya. Ia
terlampau sibuk dengan kegirangannya. Ia terlampau bersemangat dengan maksudmaksudnya hendak menebus segala dosa-dosanya kepada anaknya, ia tidak ingat sama
sekali, bahwa di sampingnya duduk anak tetangganya. Lalu lintas di
sekelilingnya, bahkan gedung-gedung yang megah mengapiti jalan raya yang
dilaluinya, hilang tidak Nampak sedikitpun juga. Yang ada hanya kegirangannya,
cucunya, dan semangatnya.
Ia terkejut waktu dari sampingnya terdengar suara:
Bu, kita telah sampai. Ya, kita telah sampai, bisiknya pada cucunya. Diperbaikinya rangkulannya
dan kemudian ia turun, tanpa melihat beca yang ditinggalkannya. Langsung ia
masuk ke dalam rumah. Menjerit:
Cucuku! Lihat cucuku. Sekaligus seluruh isi rumah datang merubung. Berbagai seruan keluar dari
berbagai mulut. Mana bapakmu" Nyonya Abdul bertanya kepada anak-anaknya.
Di khalwat. Belum juga habis sembahyang! Tidak disambutnya cucunya yang semanis ini.
Akhirnya dengan tiada meminta ijin terlebih dahulu ia pun sampai masuk ke dalam
khalwat. Lihat dulu, ini cucumu! Cucumu!
Hadji Abdul terkejut dari zikirnya. Ia menoleh ke belakang.
Cucumu! Hamper-hampir lelaki itu melompat. Tapi segera ia dapat menegndalikan
diri. Diletakkan tasbihnya di atas permadani. Lambat-lambat ia bangkit dan
menghampiri anak kecil yang disebut cucunya. Ia amat-amati makhluk kecil itu.
Djali menjerit ketakutan melihat kirut-mirut wajah kakeknya.
Diam-diam, kakek tidak mengganggumu. Dan dielusnya pipi cucunya. Senyum
manis tersungging pada bibirnya"senyum untuk pertama kali selama ini.
Manis seperti ibunya, nyonya meyakinkan.
Hadji Abdul mengangguk. Kemudian:
Mana ibunya" Ah, anak ini terlampau sering ditinggalkan ibunya. Tidak terurus. Coba
cium baunya. Tapi dia manis. Lihatlah, bagaimana kurus dia. Barangkali seminggu
tidak diteteki. Mana ibunya" Saying manisku sayang, jangan takut sama nenek. Kakek juga tidak jahat.
Mana ibunya" Aku rangkul terus di beca tadi. Kedinginan rupanya. Barangkali dia tak
pernah diajak keluar. Mana ibunya" Nyonya sekali ini terpaksa mendengarkan pertanyaan suaminya. Masih juga
dicobanya menghindari pertanyaan dengan bertanya kembali:
Ibunya" Mengapa menanyakan ibunya"
Mana ibunya" Aku belum bertemu. Aku ambil dari rumahnya"dari pondokannya.
Hadji Abdul menarik napas keluh. Ia punggungi isteri dan cucunya, kemudian
pergi lagi ke tempatnya semula, mengambil tasbih dan meneruskan zikirnya.
Nyonya memandangi tingkah suaminya dengan diam-diam. Pada parasnya nampak
kekecutan. Tapi ia tak bilang apa-apa. Ditinggalkannya khalwat setelah menutup
pintu dengan hati-hati. Dinah, buatkan bubur hapermot dengan susu.
Hapermot kita tak punya, ibu. Susu juga kita tak punya.
Beli di toko. Begini malam semua toko juga sudah tutup.
Beli! Biar mahal tak apa, dan dikeluarkanya uang dari sakunya.
Dengan wajah tak bersenang hati anak yang disuruhnya pergilah. Nyonya
segera memasak air, membasuh cucunya dengan air hangat kemudian mengganti baju
Djali dengan baju yang tersimpan di dalam lemari.
Dan sejak itu hanya dua perhatian nyonya Abdul: pekerjaannya sendiri dan
cucunya. Yang lain-lain ia tak peduli.
Bagian Kesepuluh Taman Chairil Anwar itu sudah gelap. Tetapi buat Midah ada bagian yang
terangbenderang. Dan di dalam cahayanya itu ada makhluk tergolek dan pada
wajahnya tertarik garis-garis kegoyahan. Mulutnya kejang seperti telah terlampau
capai menangis. Makhluk itu adalah anaknya: Rodjali! Tapi ia kini tidak tertarik
pada cahaya dalam kegelapan itu. Ia hanya tertarik pada nasibnya sendiri.
Dicengkeramnya baju lelaki yang ada di sampingnya. Berbisik:
Aku tahu. Engkaulah satu-satunya hartabenda orangtuamu.
Kita pulang saja, Manis. Aku lelah aku ingin tidur.
Walau bagaimanapun juga, Ahmad, engkau harus dengarkan aku sekali ini. Aku
minta waktumu sebentar saja.
Katakan. Katakan. Aku begini cape sekarang.
Ada makhluk aku simpan dibawah jantungku sekarang. Dan makhluk ini adalah
anakmu. Anakku" Ahmad! Mengapa engkau terkejut" Bukankah ini akibat sewajarnya dari
perbuatanmu atas diriku"
Lelaki itu tidak berkata apa-apa lagi. Nyata sekali ia terkejut. Ia
menjadi bapak" Ia" Anak muda yang riang gembira dan tidak pernah tersenggol masalah yang
dalam. Tidak mungkin! Tidak mungkin ada anak yang akan mengakui dirinya sebagai
anakku! Selama ini fitnahan. Midah ingin diperistri.
Tiba-tiba meledak dari mulutnya:
Tidak mungkin! Engkaulah satu-satunya orang yang kucintai.
Tidak mungkin aku memperistri engkau.
Bukan itu maksudku. Untuk cinta ini segala-galanya kuberikan kepadamu.
Juga diriku. Apa kaupinta daripadaku sekarang"
Apa yang kupinta" Akui ini anakmu. Beri aku surat sah, bahwa ini anakmu.
Aku dengan kejadian ini akan bertanggung jawab. Tetapi akui ini anakmu.
Engkau mau jebak aku. Menjebak" Ini hanya akibat perbuatanmu.
Tidak! Engkau mau jebak aku. Engkau mau paksa aku kawini kau.
Ah, mengapa engkau tidak mengerti maksudku" Aku tahu engkau orang baikbaik, engkau anak dari keluarga baik-baik. Itu tidak kusinggung-singgung. Yang
kupinta hanyalah, akui anak ini anakmu. Kelak, nanti kalau engkau sudah tua,
mungkin dia akan bertanya kepadaku siapa bapaknya. Dan dengan tiada ragu aku
akan dapat katakana, engkaulah bapaknya.
Engkau mau jebak aku. Apa gunanya menjebak engkau" Apakah keuntunganku" Pengakuan itu hanya
untuk anak itu sendiri. Untuk kau sendiri" Untukku, aku sanggup derita segala-galanya karna cintaku kepadamu.
Penipu! Mengapa baru sekarang kau ucapkan. Mengapa tidak dahulu"
Penipu! Apakah jahatnya menipu untuk kepentingan anakmu sendiri"
Aku tidak punya anak! Tidak!
Cahaya di mana ada makhluk tergolek menjadi terang. Midah dengan makhluk
itu menjerit-jerit memanggilnya. Ia ingin segera pergi. Tapi ia harus selesaikan
urusannya duli. Sebelum anak ini lahir, bapaknya sudah tak mengakui. Apakah jadinya anak
ini kelak" Jangan kau coba agar aku mengakui ini lagi.
Anak siapa ini" Anak siapa" Bukankah ada banyak lelaki lain di ranjangmu"
Ya, Tuhan! Midah menyebut. Kemudian ia tak bisa meneruskan. Dadanya sesak.
Cengkeramannya pada baju lelaki itu dilepaskannya. Dan akhirnya:
Kalau betul tuduhanmu itu, setidak-tidaknya karena cintaku kepadamu semua
itu terjadi. Omongkosong. Kau mau tipu aku.
Lama Midah tak bisa berkata apa-apa. Kembali airmatanya yang lama
bercucuran Akhirnya lambat-lambat ia keluarkan suara dari mulutnya:
Aku tidak keberatan apabila engkau tak mau mengakui anakmu sendiri. Akupun
tidak keberatan kau tuduh bercampur dengan lelaki-lelaki lain. Baiklah semua ini
aku ambil untuk diriku sendiri. Dan engkau, kak, engkau boleh terpandang sebagai
orang baik-baik untuk selama-lamanya. Biarlah segala yang kotor aku ambil
sebagai tanggung jawabku sendiri.
Ahmad pun terdiam oleh ucapan itu.
Setidak-tidaknya aku mengerti, bukan engkau tidak mau mengakui anakmu
sendiri. Bukannya engaku membimbangkan cintaku kepadamu. Tapi aku kini
mengetahui bahwa seorang yang kucintai itu adalah pengecut yang tidak punya
keberanian sedikitpun juga. Itupun aku tak menyesal, karena tak ada gunanya
lagi. Biarlah semua itu. Hanya satu yang tidak akan terlupa olehmu: anak ini
adalah anakmu. Ia bangkit dan lambat-lambat berjalan ke arah jalan besar. Dipanggilnya
beca, dan dengan tiada menawar segera ia beri perintah untuk menuju ke Matraman.
Sepanjang jalan ia dengar pekikan Rodjali. Airmatanya telah kering. Dan akhirnya
orang sadar, bahwa sekalipun bahwa sekalipun penderitaan itu ditambah lima
derajat lagi, jiwanya akan tetap kuat menghadapi. Sebab kalau tidak, orang tak
lagi berpikir, orang dengan sendirinya telah berjalan dan berbuat tanpa
sepengetahuannya: ia telah gila.
Di pintu rumah ia disambut nyonyarumah dengan ucapan gopah-gapah:
Ah, Midah Manis"anakmu diambil ?"".
Midah tak kesempatan untuk mendengar ucapan itu.
Ia terlampau sibuk dengan diri dan kepentingannya sendiri. Waktu ia
memasuki kamarnya anaknya tidak ada.
Ia terhenyak. Ia lihat jendela yang masih terbuka. Kemudian:
Djali! Djali! Djaliku! Djali, ibu! Di mana"
Ah, Manis, anakku"nyonyarumah mengulangi ucapannya di lubang pintu.
Dengarkan dulu ibumu ini. Anakmu diambil oleh ibumu.
Ibuku! Ia terhenyak terduduk di ranjangnya.
Apa yang sebenarnya telah terjadi antara engkau dengan ibumu"
Dan setelah mendengar cerita perjalanan hidup Midah, nyonyarumah
menyuarakan lagi: Anakku, apak untungnya beretak-retak dengan orangtua sendiri. Pergilah
padanya, Manis. Ibu, aku tidak berani. Mari aku antarkan. Aku tak bisa lupa tamparan ayahku. Tapi bukan tamparan pada pipiku yang
kurasakan, tetapi tamparan yang mengenai hatiku.
Tidak bisa anakku. Engkau harus maafkan mereka. Kalau engkau tahu
bagaimana seorang tua harus membanting tulang mencari penghasilan, engkau akan
mengerti bagaimana keruh hatinya bila tak dapat diterima apa yang sudah meminta
banyak dari tenaganya. Orangtua ingin kembali ke rumahnya yang damai, dimana ia
beristirahat dengan senang. Pekerjaan sehari melelahkan. Dan kalau di rumah
terjadi yang tidak menyenangkan, tidak menghiburnya, dia gampang marah. Maafkan
mereka. Tentu saja aku maafkan. Kalau begitu ayolah aku antarkan.
Aku takut. Biarlah kupanggil Ahmad, biar kau diantarkannya.
Jangan, bu. Biarlah dia tidak akan terganggu lagi.......
Apa" Apa pula yang terjadi antara kau dan dia"
Pecah seluruh pertahanan Midah. Ia ceritakan segala yang terjadi.
Anakku! Anakku! Alangkah panjang jalan penderitaannmu.
Dan itu belum berakhir. Apakah mungkin Ahmad berbuat semacam itu atas dirimu! Dia harus kawini
kau! Harus! Kalau tidak mau, aku yang akan repotkan pada polisi. Dia sendiri
polisi. Dia akan banyak mendapat susah. Dan engkau, mengapa engkau begitu bodoh
menyerahkan dirimu padanya"
Aku cinta padanya. Kau telah pernah kawin. Engkau telah punya anak. Tidak mungkin itu karena
cinta. Kalau engkau tahu, Midah, bagaimana rasa hatiku. Engkau telah nodai
kehormatan rumah tanggaku.......
Apakah bisa melawan cinta"
Cinta" Dan apakah akhirnya cinta itu"
Midah kebingungan. Dari segala sudut datang topan. Anaknya, cintanya,
ketakutannya terhadap orang tuanya, dan cinta yang melukai kehormatan rumah
tangga nyonya rumah. Apa akhirnya" Tidak tahu aku! Tidak tahu aku! Midah menggelengkan kepalanya, karena
hanya itu yang kuasa ia perbuat.
Rumahku jadi rumah cabul!
Tuhan, ampuni aku. Dan engkau cabulnya! Tuhan, bimbing aku! Tahu aku sekarang mengapa engkau takut sama orangtua sendiri!
Tambah lama suara nyonya rumah tambah meningkat. Para tetamu kiri dan
kanan mulai datang menonton seorang demi seorang. Semangat nyonya rumah tambah
menderu dalam hasrat melabrak.
Midah tidak tahu lagi apa yang harus dipikirkan. Berpasang-pasang mata
yang memandangnya seperti hendak mengorek isi dadanya. Cahaya terang yang
menyala-nyala di taman tadi kini berada dimana pun juga matanya ditebarkan. Dan
seruan Djali yang mendayu-dayu tak dapat ditolaknya dengan kekuatan apapun juga,
Kalau engkau tak kawini Ahmad, seru nyonya rumah sekali lagi, sekarang
juga kau mesti angkat pantat dari sini.
Dengan tiada menjawab ia langsung menuju pintu, menguak penontonnya ke
kiri dan ke kanan, kemudian melenyap ke dalam malam gelap gulita. Juga waktu itu
air matanya sudah tak sanggup mengalir lagi. Kelenjarnya telah kecapaian. Tapi
serangan terus menderum-derum di atas kepalanya. Pikirannya timbul tenggelam
dalam bayang-bayang Djali, Ahmad, Terbus, dirinya sendiri kemudian bayang-bayang
itu digantikan oleh pengertian-pengertian yang dibenci dan disukainya: cinta,
dendam, ketakutan, kekuatiran. Dan beca terus meluncur tak tentu arahnya.
Kebalauan itu berhenti sejenak waktu terdengar suara dari belakang.
Ke mana, nyonya" Baru ia memerintahkan tukang beca menuju ke rumah orangtuanya. Sayup-sayup
ia dengar jam sebelas yang dipukul bersambut-sambutan. Dan lalu lintas kota
telah lama mengendur. Lama ia berhenti di depan rumah, dimana pernah sekali ia dilahirkan oleh
ibunya. Sebelum ia mengetuk pintu banyak masa lalu yang dikenangnya. Apalagi!
Rumah adalah rumah masa lalu, apabila untuk beberapa waktu ia tinggalkan. Rumah
adalah kenang-kenangan itu sendiri baik sebagai isi ataupun tempat. Mereka akan
labrak aku. Mereka akan sindir aku. Bapak akan tempeleng aku entah beberapa kali
dan ibu memandang aku tanpa ada kesan terbaca pada wajahnya. Ia dengan Djali
menjerit. Segera tangannya meraih kenop pintu. Tetapi lemas tangan itu terkulai
kembali. Sekeli lagi terdengar jerit. Apakah yang akan menyambung kepahitan ini
lagi, Djali" Djaliku" Anakku sendiri! Ia tegak ke belakang. Nampak bayangan
pagar dalam rembang cahaya bintang. Ia lihat pelataran sempit dimana dahulu ia
pernah bermain-main dan memanggil penjaja lewat. Sekali lagi terdengar jeritan
dari dalam. Anakku! Anakku! Ia belum juga berani mengetuk pintu. Potonganpotongan hidup yang terenggut oleh waktu dan compang-camping bersebaran ke manamana datang kembali berduyun-duyun dalam kepalanya.
Tuhan, beri aku kekuatan.
Ya, aku beri engkau kekuatan, masuklah, ia dengar suara sayup-sayup dari
hatinya sendiri. Tetapi ia belum berani. Tuhan, berilah aku kekuatan.
Mereka orangtuamu sendiri, terdengar lagi suara sayup-sayup. Tiap orangtua
akan mengampuni kejahatan anaknya, asal saja dia pandai menyatakan alasan yang
sebenarnya. Tiap orangtua akan mencuci anaknya hingga bersih setelah anak itu
terjatuh dalam selokan lumpur.
Djali menjerit lagi. Rajaku! Manisku! Sayangku! Ia dengar ibunya. Dan suara itu menggempur
segala kerisauan, ketakutan, dan segala-galanya yang menekan kepribadiannya.
Sebelum ia sempat berpikir tangannya telah mencekam kenop pintu dan digoncanggoncangkan.
Midah" Suara dari dalam dan berat.
Ya, pak. Midah di sini. Pintu terbuka. Dan tahu-tahu ia telah masuk ke dalam ruang depan yang
rembang-rembang.

Si Midah Bergigi Emas Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ruang depan yang telah beribu-ribu kali dilintasinya dulu!
Alangkah lamanya engkau. Ada terasa kasih sayang dalam suara itu. Tiba-tiba kembali jiwanya yang
membantu itu cair tertimpa sinar belas kasihan itu. Ia kembali merasa sebagai
dahulu-dahulu waktu meninggalkan rumah untuk pertama kali dengan tak ada dosa
tersimpan dalam dirinya. Ia kembali merasa sebagai kanak-kanak yang merasa
berhak atas orangtua, atas kasih-sayang dan belas kasihan. Airmatanya cair
kembali, dan kelenjarnya bekerja. Sekali ini bukan air mata yang keluar karena
kepahitan, tapi yang keluar dari hati terbuka seorang anak yang datang kembali
ke perasaan kanak-kanaknya yang indah di masa dahulu. Ia cium tangan bapaknya.
Dan lelaki itu mengusap rambut anaknya.
Ampuni segala kesalahanku, bapak.
Suara Hadji Abdul kian menjadi dalam. Lambat-lambat terdengar: seorang tua
telah mengampuni anaknya sekalipun dia belum menjalani kesalahan, Midah.
Kalau saja aku dahulu telah mendengar itu....
Temuilah ibumu. Midah pergi sambil menyeka matanya.
Ibu! Ah, Midah begitu lama aku cari-cari engkau. Dan ucapan itu diselesaiakan
dengan rangkulan, seakan perempuan tua itu hendak mengembalikan tubuh itu
menjadi bibit dalam tubuhnya kembali. Oleh karenanya terbayang masa pengantin
dahulu, dahulu! Ia ingat waktu tubuh itu dilahirkan dan dimanjakan. Selain itu
tak teringat apa-apa. Ambillah anakmu, katanya kemudian. Menangis saja dari tadi.
Midah mengambil anaknya. Sekaligus Djali terdiam. Ia mendapat dada emaknya
kembali. Kedua orangtuanya menyingkir di ruang depan. Mereka berunding dengan hati
masing-masing, juga bertanya dalam batin masing-masing, mengapa cucu mereka
begitu kurus, begitu tak terpelihara, apa saja dikerjakan Midah selama itu.
Tapi keduanya tak berani mengucapkannya melalui mulut. Dan perundingan
antara hati dan hati itu ditutup dengan janji: mereka tak akan bertanya-tanya
tentang hal anaknya selama itu. Mereka akan diam saja sampai Midah datang dan
menyerahkan pengakuannya seperti biasanya di hari lebaran dia menyerahkan
hidupnya kembali kepada orangtuanya untuk disucikan.
Anak-anak lain telah tidur di tempat masing-masing. Mereka tidak
menyaksikan kedatangan kakak mereka yang selama itu membuat sejarahnya sendiri,
dengan diri sendiri dan tanggung jawab sendiri.
Di waktu menyusukan anaknya terbayang-bayang wajah Ahmad di pikirannya.
Tapi ia sedia mengampuni kepengecutan pemuda itu untuk memikul tanggung
jawabnya. Dan dibawah jantungnya gatranya itu mendetikkan darahnya lebih lambat
dari biasanya. Apa kataku pada mereka tentang anak ini" Dahulu kandungannya
menjadi tempat ia minta kekuatan. Kini kandungan baru ini tak menimbulkan
keyakinan di hatinya. Tapi pada anak kedua ini akan sediakan cintanya lebih
daripada yang disediakan untuk bapaknya.
Pikiran-pikiran dalam kepalanya beranak-anak, bercucu, dan berpiut. Tak
terasa lagi olehnya bahwa Djali telah tergolek tidur dan tak mengisap dadanya
lagi. Apa kaupikirkan Midah"
Midah bangkit, dan tampak olehnya ibu dan bapaknya berdiri di pintu.
Engkau ada di bawah atap rumahmu sendiri.
Midah menghampiri mereka dengan tiada berani memandang wajah mereka.
Ibu, katanya. Bapak, sambungnya.
Katakanlah apa yang engkau mau katakan
Tak ada gunanya bicara tentang kesalahan, Midah, bisik bapaknya. Itu sudah
banyak aku pikirkan. Kita bukan pemilik-pemilik hal-hal yang lalu, tapi hal yang
akan datang. Pikiran Midah kembali ditarik oleh anak di bawah jantungnya. Apa akan kata
mereka tentang anak ini" Seorang haji yang begitu salah punya anak jadah. Apa
akan kataku" Katakan, anakku, Katakan.
Tapi Midah tak punya cukup keberanian untuk mengatakan. Ah, mengapa cinta
melahirkan anak yang dikutuki dan yang bukan melahirkan anak yang sah, yang
diakui oleh semua orang" Apakah perasaan bapak dan ibu bila pada suatu kali anak
ini lahir dengan jeritan sehat! Mereka akan tutup kupingnya. Mereka akan memohon
keselamatan pada Tuhan untuk diriku, dan maut untuk bayiku.
Hadji Abdul mengelus kepala anaknya untuk memberikan.
Bapak, Midah mencoba sekali lagi. Aku mencintai seorang lelaki.
Apa salahnya, Midah"
Mengapa diam" Aku mengerti, Midah, Hadji Abdul memberanikan, dimana belas kasihan dan
kasih sayang jauh dari seseorang, dia akan kepahitan, dan dalam kepahitan
dicarinya gula yang disangkanya kebahagiaan. Tapi gula itu adalah bungkus dari
racun yang lebih pahit. Ya, bapak. Bapak dan ibu sanggup mengampuni "
Anakku, Midah, jangan bicara tentang ampun.
Tapi ketika aku memasuki pintu rumah ini, telah aku bawa dosa baru.
Dosa" Dosa untuk pandangan orang lain. Hanya untuk aku tidak.
Anakmu yang ada di depanmu ini"mengandung.
Mengandung" Dengan siapa"
Pak, nyonya Abdul berkata, pergilah engkau kembali ke kamarmu.
Tapi Hadji Abdul tak mau pergi, berkata:
Dengan menyerahkan segala-galanya kepada Tuhan, aku cukup kuat untuk
menghadapi apapun juga. Ah, pak. Biarlah aku bicara sendirian dengan anakmu.
Tidak! Hadji menggeleng. Dahulu aku takut penyakit karena itu aku jatuh
jadi kurbannya. Sekarang tidak. Aku tidak-ta-ta-kut penyakit. Aku hanya takut
pada Tuhan yang mahabesar. Katakan anakku, katakan semuanya pada bapakmu.
Genderang perang berdentaman di hati Midah. Segala perjuangannya, cinta,
kekuatan, dan kelemahan mengahadapi hidup dan hawa nafsunya sendiri ia
ceritakan, berderet berbaris memasuki sanubari kedua orang tuanya.
Biarlah kita terima semuanya sebagaimana adanya, nyonya Abdul mengatakan.
Anakku, buatku sendiri itu bukanlah dosa sekiranya engkau cinta benarbenar kepadanya. Tapi agama ada hukum, dan hukum itu menyalahkan perbuatanmu.
Bila aku bersalah, hukumlah aku. Tapi aku sanggup melepaskan cintaku
kepadanya. Dan anak yang kukandungkan ini adalah anak yang dirahmati cinta.
Engkau mesti kawin dengannya, ibunya meyakinkan pendapatnya.
Aku tidak akan kawin dengannya. Dia hanya satu-satunya milik orang tuanya.
Dan aku tak akan ajak dia tercemar.
Tapi engkau lebih suka membawa kita tercemar, ibu melontarkan panas
hatinya. Tidur, Midah. Besok Tuhan hendaknya memberi engkau cahaya terang dalam
hatimu, Hadji Abdul berkata. Dan setelah itu ditariknya isterinya keluar dari
kamar. Bagian Kesebelas Mempunyai pendirian sendiri adalah berhadapan dengan pendapat umum.
Bertambah kuat pendirian seorang, bertambah banyak ia memanggil penentang.
Dan Midah terpancang kuat di atas bumi dan pendiriannya. Wanita ini
akhirnya menjadi pemeluk kepercayaan cinta yang fanatik. Ah, mengapa tidak kalau
cinta itu menjadi satu-satunya harapan baginya"harapan akan berkahnya kedamaian
jiwa! Sejak ia kembali ke rumah orangtuanya, telah begitu sering pendiriannya
miring. Hampir-hampir ia tak sanggup berhadapan dengan para tetangganya yang
datang menengok. Mereka semua musuh! Musuh kepercayaannya. Musuh pendiriannya! Musuh
kedamaian jiwa yang dengan susah payah ia pupuk.
Ia dapat mengira-ngira apa saja yang dipercakapkan mereka atas dirinya. Ia
pun sudah bisa mengira-ngirakan bahwa mereka, karena sifat berkuasanya, akan
membuat dirinya menjadi aduan yang bisa dibuat kue sekehendak hati mereka. Tidak
mengherankan kalau ia lebih suka menyembunyikan dirinya di dalam kamar.
Berbulan-bulan kemudian kemudian setelah dianggapnya semuanya telah
menjadi reda, baru ia memperlihatkan dirinya. Itupun tidak lama. Perutnya yang
bertambah besar memaksa dirinya mengurung dalam kamar kembali. Tapi semua orang
sudah tahu. Dan tiap ada pasang mata memandang perutnya, jiwanya melayang jauh
dan kepercayaannya merangkul cintanya erat-erat agar tidak terbongkar segalagalanya yang ia kasihi.
Rodjali seakan-akan lenyap dari perhatiannya. Lagipula anak itu serasa
telah melekat pada neneknya. Hadji Abdul, yang tiada berbeda dengan pertapa,
kehilangan kekuatan untuk menginjakkan kaki di atas dunia dan memasuki
sangkutpaut segala, kini hanya memandang segala-galanya dari jauh dengan
pengertian-pengertian mutlak yang silangsiur dalam cintanya. Kadang-kadang
apabila ia dengar sindiran atas kelakuan anak sulungnya dengan mengambil
perbandingan dengan kesalehanyna, segera keluar dari mulutnya:
Ah, saudara, manusia ini kenal satu sama lain, tapi tidak dengan dirinya
sendiri. Kali aku mencoba mengenal diriku, tentu saja perbuatanku akan lain
dengan sekiranya engkau yang hendak mencoba. Memang tidak ada hasilnya untuk
kemakmuran kita hendak mengenal diri, karena dia takkan menghasilkan kekayaan.
Tapi percobaan orang-orang lain dan kadang-kadang menyalahi kesukaan orang
banyak, namun dia telah mencoba yang orang lain tidak berani mencobanya.
Lambat laun Hadji Abdul dianggap keramat oleh kelilingnya. Sekali dua kali
datang orang meminta berkah. Dan keikhlasannya ia berkahi orang itu dalam usaha
atau dalam mencapai cita-cita. Akhirnya namanya demikian populer dan di depan
gelar hajinya orang tambahi dengan kiai dukun.
Hormat keliling kepada bapaknya, membuat Midah tak tertahankan lagi
mengingat kandungannya. Ah, cucunya yang kedua ini akan merusakkan segalagalanya. Dan itu tidak boleh. Bapak juga mempunyai hak untuk memiliki kedamaian
hati "bukan aku saja. Juga ibu berhak memilikinya. Alangkah daif dan sekakarku
kalau semua hendak kurampas untuk diriku dan kandunganku belaka.
Midah ingat pada semua orang yang menengoknya. Dengan kejap dan pandangan
mata mereka terasa olehnya menghukum perutnya, kandungannya, cintanya. Dan itu
tetap tak tertahankan olehnya. Kekuatan kepercayaannya kepada cinta bukanlah
kekuatan untuk melawan pendapat umum. Dan pada suatu hari ia mandikan anaknya "
si Djali, ia beri pakaian paling baik. Dan setelah ia sendiri merapikan dirinya,
dibawanya sebuah bungkusan dan Djali ke" tetapi belum lagi ia meninggalkan
rumah, ibunya telah menegur:
Kemana lagi" Midah menyatakan kandungan hatinya. Ia tak boleh mengganggu kedamaian
orang tuanya karena hal-hal yang tak disetujui orang banyak ada padanya.
Midah, apalagi yang hendak kau perbuat ini"
Aku hendak pergi, bu. Biarlah bapak dan ibu hidup tenang di sini. Tambah
lama aku tambah yakin, bahwa aku tidaklah sebaik orangtuaku.
Dan apakah hasilnya keyakinan itu untuk dirimu sendiri"
Bahwa tidak sepatutnya aku merusakkan nama baik orangtuaku sendiri.
Ah, Midah. Ya, ibu. Tunggulah orangtuamu. Kalau bapakmu pulang dari pekerjaannya bicaralah
dengannya. Kalu aku bicara dengan bapak, aku takut aku harus tarik kembali niatku.
Engkau tak pernah pikirkan bagaimana si Djali begitu terlantar. Bukanlah
lebih baik ada yang memeliharanya" Dan neneknya sedia memelihara dia.
Ibu, ibu dan bapak telah mengampuni segala dosa dan kesalahanku.
Ijinkanlah aku pergi, seperti dahulu aku pergi meninggalkan rumah ini. Janganlah
tahan aku, karena aku tahu benar apa yang akan aku perbuat.
Apakah engkau akan siksa hati bapakmu dengan nyanyianmu melalui radio"
Menyanyi bukan kesalahan, ibu. Juga bukan dosa.
Midah! Tunggulah bapakmu.
Sampaikan saja pada bapak semua yang telah menjadi niatku, ibu.
Jangan, Midah. Jangan pergi.
Anakmu mesti pergi, ibu. Paling sedikit, si Djali tak boleh engkau bawa.
Bukankah dia anakku, ibu"
Anak itu akan mati terlantar, bila kau bawa dia ke mana-mana yang tak ada
tujuan tertentu itu. Bukankah di sini ada rumah, Midah" Ah, kalau saja kami
sekaya dahulu pasti engkau kami buatkan rumah, agar tak perlu lagi engkau
bernaung di bawah atap orang.
Apapula ibu katakan itu" Ijinkanlah aku pergi. Hanya itu satu-satunya
permintaanku sebagai anak, ibu.
Aku tak ijinkan, Midah. Dan aku kira bapakmu pun tak mengijinkan.
Midah duduk di kursi memangku anaknya. Bawaannya diletakkan di lantai.
Ibunya berdiri menghadapi dia dengan kekuatiran orangtua atas kegoyahan hari
depan anaknya"anak yang baru kembali menjadi miliknya.
Ibu, pada suatu kali aku akan melahirkan anak tiada bapak. Apabila anak
itu turun ke atas dunia, dan dia menjerit"apakah akan rasa ibu, apakah akan kata
bapak dan apakah akan cerita orang-orang lain. Aku sendiri tidak berani mengirangirakan, dan bakalnya aku cinta pada anak ini. Aku kira aku bakal lebih cinta
padanya daripada kepada Djali. Dia adalah anak yang akan dilahirkan dengan cinta
ibunya dan dia diadakan oleh cinta orangtuanya.
Akan aku terima dia sebagai cucu-cucuku yang lain. Apakah itu belum cukup
kujanjikan, Midah" Ibu, sebelum anak ini lahir, tidaklah susah untuk berjanji demikian. Tapi
sekali dia lahir, sepanjang hidupnya dia akan mengotori hati ibu dan bapak. Dan
itu aku tak suka. Midah! Apa pula kaukatakan itu"
Semuanya belum terjadi, ibu. Tapi sekali terjadi, ibu akan rasa bagaiamana
pahit bercucukan anak seperti yang kukandung sekarang.
Midah, bukankah telah kutanyakan padamu, siapa nama lelaki itu, biar aku
datang kepada orangtuanya dan mengawinkan kalian"
Jangan, jangan pergi, anakku. Rumah ini akan memberi engkau kedamaian.
Bukan rumah, ibu, tapi anak! Tangan Midah meraba perutnya, dan kekuatannya
tak diperolehnya. Djali menangis di pangkuan. Ia lapar
Lihat, anakmu lapar. Dan sebelum Midah sempat membantah, tangan ibunya telah mengambil cucu dan
dibawanya masuk ke dalam. Midah terdiam dengan mengawasi jalan di depan rumah.
Angin beliung mengamuk di dalam batinnya. Aku harus pergi! Dan anak itu
tak boleh kutinggalkan. Tentu saja tidak boleh. Tapi bila kubawa, dia akan
terlantar seperti kata ibu. Benar! Itu memang benar! Di tangannya anak itu lebih
selamat daripada di tanganku. Setidak-tidaknya dia anak sah, walaupun lahir
beserta kebencianku pada Terbus"dia akan mendapat rawatan yang baik dari
neneknya, dari kakeknya, dari pamannya, dan dari bibinya. Tapi ini!! Dia harus
kuselamatkan! Harus! Dia tak boleh dihina orang, sekalipun dunia akan menamainya
anak haram. Dia anakku yang ada karena cinta, karena kerelaan, karena aku butuh
dicintai orang, sekalipun akhirnya hanya aku sendiri yang mencintai orang yang
sebenarnya tidak cinta padaku. Tapi semua ini lebih baik daripada hidup dengan
hati kosong dan keras dibatukan oleh segala-galanya.
Rodjali akan selamat di tangan nenek dan kakeknya. Dia takkan menghadapi
musuh. Dia takkan menghadapi hukuman semua orang yang kenal riwayatnya. Dia lahir
sebagai warga norma dan kesusilaan pergaulan.
Lambat-lambat ia bangkit. Hatinya mendoakan keselamatan abadi untuk
anaknya yang sedang disuapi neneknya. Kakinya dengan bimbang melangkah ke gapura
pagar, kemudian ia menengok ke arah rumah orangtuanya dan berhenti lagi. Lama ia
berhenti. Ada ia dengar suara Djali menjerit, dan ia berjalan kembali masuk ke
dalam, menemui anaknya. Apakah akan sampai hati aku tinggalkan dia tanpa menciumnya"
Aku hampiri anaknya. Ia cium pipi dan ubun-ubunnya. Anak itu kini telah
menjadi gemuk, kedua pipinya merah menjingga. Ia tertawa dan minta digendong. Ia
letakkan barang bawaannya dan menggendongnya. Nyonya Abdul memandangi anaknya.
Ia tidak mengerti tingkah laku anaknya. Ia mau bertanya tapi nampak olehnya
Midah begitu hilang, begitu lenyap dalam pikirannya sendiri. Ia kini dapat
merasai apa yang terjadi dalam jiwa anaknya. Kini ia pun mengerti betapa Midah
mencoba menyelamatkan keluarga orangtuanya dari buah percakapan orang-orang
sekeliling. Keinsyafan itu melahirkan sebilah pisau yang menggurat hatinya. Dan
ia terdiam. Kini ia pun tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kadang-kadang
pengertian orang tentang sesuatu selayak air keras memakan batinnya sendiri"
sedikit demi sedikit. Juga pegertian itu memakan batin nyonya. Begitu sakit terasa di dalam
dada. Tetapi ia tak berkata apa-apa.
Djali, Midah berbisik, ibu mau pergi. Engkau tinggal di sini dengan nenek.
Anak itu tertawa. Barangkali ibu datang lagi menengok. Barangkali juga tidak, Djali.
Midah, tak bisakah engkau menangguhkan niatmu"


Si Midah Bergigi Emas Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semuanya sudah kupikirkan baik-baik, ibu.
Nyonya tak bisa meneruskan.
Aku tahu ibu kini mengerti maksudku.
Ya, aku mengerti. Tapi sebaiknya aku tidak mengerti. Dan kalau engkau
tidak dapat dicegah lagi, bukankah engkau sering datang menengok anakmu"
Ibu, aku tahu"kedatanganku kemari selamanya akan merupakan tikaman yang
melukai bapak dan ibu dan pendidikan yang diterima oleh adik-adik, bahkan juga
anakku sendiri. Jadi, tidakkah engkau akan datang kemari lagi"
Ibu, walaupun bukanlah maksudku menodai nama keluarga kita, tetapi apa
boleh buat"semua itu telah kukerjakan. Aku sendiri tidak menyesal telah
mengerjakan semua itu. Dan itu malah yang pasti disesalkan oleh ibu dan bapak.
Apa maksudmu, Midah"
Biarlah aku pergi sekarang. Ibu, sampaikan kepada bapak, bahwa bukan
maksudku melukai hatinya.
Midah! Midah meletakkan Rodjali dalam pangkuan neneknya.
Midah! Perempuan muda itu lambat-lambat dengan gerak bimbang mulai menjauh
meninggalkan ibu dan anaknya sendiri. Sampai di teritis rumah, ia menengok ke
belakang, berkata dengan suara hampir tak kedengaran.
Hanya doa ibu aku harapkan. Hanya restu bapak aku inginkan.
Ia pun memandang kembali ke tujuannya: jalan raya di depannya. Dengan
kepala tunduk seperti memandangi perutnya yang bunting, ia berjalan lambatlambat. Seakan ada terdengar suara memanggil-manggilnya.
Midah! Midah! Ia tak menengok lagi dan terus berjalan.
Ada seakan terdengar tetangga samping-menyamping menyapanya:
Mau ke mana, Midah" Ia pun tak menengok dan terus berjalan.
Dengan langkah goyah tapi ke arah tujuan yang pasti ia berjalan. Sampai di
halte trem, ia berhenti, bercampur dengan orang banyak. Dan waktu datang trem
yang dikehendakinya, ia naik, duduk di pojok, dengan mata tak memandang apapun
jua. Yang terpandang olehnya hanya satu: setumpuk sinar yang tampak oleh orang
lain. Dan bermandikan sinar itu berdiri sesosok tubuh. Dan tubuh itu adalah
kepunyaan Ahmad. Ia tersenyum. Dan trem terus berjalan.....
Bagian Keduabelas Bertambah jauh Midah melalui jalan hidupnya, terasa olehnya bertambah
tidak berarti kepahitan yang berulang-ulang menimpa dirinya. Dengan anak kedua
di tangan kanan ia mencoba, dan terus mencoba, untuk menyanyi bagi dirinya, bagi
anaknya yang kedua dan bagi Rodjali, dan bagi semua orang yang sudi, dan bagi
semua orang yang mendengarnya. Hanya di waktu ia menyanyi itu ia merasa dirinya
berjasa. Setelah beberapa bulan lamanya nama Simanis Begigi Emas tak pernah
tedengar di peralatan-peralatan atau radio, kini nama itu menggelumbang dari
penjuru ke penjuru. Midah dalam sepotong hidupnya yang sekarang, telah banyak bertemu lelaki"
pertemuan antara segala-galanya. Ia tidak mempersoalkan cinta atau tidak, karena
cintanya pada Ahmad mengikutinya barang ke mana ia pergi dan merupakan satusatnya harta benda yang mengisi kekosongan jiwanya. Bertemu dengan begitu banyak
lelaki, hatinya tawar. Sekali ia hidup untuk beberapa bulan di villa
peristirahatan dengan hartawan Indonesia, Tionghoa, Arab, dan bangsa apalagi
yang tidak. Kesusilaan dan ketertiban peradaban antara baik dan buruk yang dibawanya
dari rumahnya, kini tidak membangkitkan pikiran lagi padanya. Dan tambah hebat
rasa kangennya pada Djali, tambah sering pula ia coba untuk bertemu dengan
lelaki yang sonder cinta, dapat mendesirkan darahnya.
Kepopuleran namanya berkuda dengan kepopulerannya dalam pergaulan dengan
lelaki. Setelah studio radio menjadi gelanggangnya yang biasa, ia merambahi jalan
baru ke gelanggangan film. Kemanisannya membangkitkan kekaguman ratusan ribu
orang. Dan namanya dibisikkan sebagai ucapan cita dari banyak pemuda dan pemudi.
Tetapi: Selain bapak dan ibu dan dirinya, tak ada seorangpun di dunia pernah
mencoba mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi dan telah terjadi dalam
jiwanya. Sejarah Midah"Simanis Bergigi Emas"mulailah dari sini sebagai penyanyi.
Sejarah Midah"Simanis Bergigi Emas"telah lenyap, sebagai wanita.
PENGHARGAAN 1988 -- Freedom to Write Award dari PEN American Center, Amerika Serikat.
1989 -- Anugerah dari The Fund for Free Expression, New York, Amerika
Serikat. 1995 -- Wertheim Award, "for his meritirous services to the struggle for
emancipation of Indonesian people", dari The Wertheim Foundation, Leiden,
Belanda. 1995 -- Ramon Magsaysay Award, "for Journalism, Literature, and Creative
Arts, in recognition of his illuminating with brilliant stories the historical
awakening, and modern experience of the Indonesian people", dari Ramon Magsaysay
Award Foundation, Manila, Filipina.
1996 -- UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in recognition of his outstanding
contribution to the promotion of tolerance and non-violance", dari UNESCO,
Paris, Prancis. 1999 -- Doctor of Humane Letters, "in recognition of his in recognition of
his remarkable imagination and distingushed literary contributions, his example
to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual
freedom", dari University of Michigan, Madison, Amerika Serikat.
1999 -- Chanceller"s Distinguished Honor Award, "for his outstanding
literary archievements and for his contributions to etnic tolerance and global
understanding", dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat.
1999 -- Chevalier de l"Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de
la Culture er de la Communication Republique Francaise, Paris, Prancis.
2000 -- New York Foundation for the Arts Award, New York, Amerika Serikat.
2000 -- Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang.
LAIN-LAIN 1978 -- Anggota Nederland Center, ketika itu masih di Pulau Buru.
1982 -- Anggota kehormatan seumur hidup dari International P.E.N.
Australia Center, Australia.
1982 -- Anggota kehormatan P.E.N. America Center, USA.
1988 -- Deutschswizeriches P.E.N. member, Zentrum, Switzerland.
1992 -- International P.E.N English Center Award, Great Britain.
1999 -- International P.E.N. Award Association of Writers Zentrum,
Deutschland. The Proposal 5 Rumah Bercat Putih A Painted House Karya John Grisham Nasionalisme 1

Cari Blog Ini