Ceritasilat Novel Online

Nasionalisme 1

Nasionalisme Karya Pandji Pragiwaksono Wongsoyudo Bagian 1


http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
Terima kasih kepada Yang membawa saya keliling Indonesia
dan Yang menemani saya keliling Indonesia
Juga Kepada NOKIA LIFEBUOY Definisi Nasionalisme Diambil dari wikipedia.org
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah
negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk
sekelompok manusia. Dari Sebuah Permintaan Sampai Sebuah Perenungan...
Hari itu, jalanan Sudirman - Thamrin sepi sekali.
Sedang ada demonstrasi Hari Anti Korupsi Sedunia.
Saya duduk di tempat favorit saya di Plaza Indonesia Extension.
1 Canteen, deket jendela. Minuman yang paling saya suka di Canteen adalah Hot Chocolate.
Selain air putih tentunya, tapi air putih mah di mana-mana juga sama :P
Setiap kali saya di sana untuk wawancara, saya meminum minuman yang sama. Hot Chocolate.
Saking seringnya, pelayannya saja sampe hafal.
Selain karena mereka punya kemampuan mengingat yang baik, saya memang minumnya selalu
ketebak. Itu-ituuuuu mulu.
Kalau saya masuk Starbucks mereka juga langsung bertanya "Caramel Machiatto?"
Pada prinsipnya, minuman hangat membantu saya menenangkan diri.
Setiap menghadapi wawancara, saya ingin memastikan bahwa saya berada dalam kondisi yang
tenang, fokus, dan siap untuk menjawab pertanyaan wartawan.
Maklum, ketidakmampuan saya untuk konsentrasi membuat saya sering melenceng ke mana-mana
kalau berbicara. Apalagi kalau bertemu wartawan media cetak.
Yang pernah wawancara saya pasti paham apa yang saya maksud
Ketenangan memang saya perlukan, berhubung, hampir bisa dipastikan saya selalu bertemu
dengan pertanyaan yang sama.
Wajar memang, karena saya ingin ditanya pertanyaan yang sama itu,
"Apakah IndonesiaUnite sebenarnya?"
Tapi hari itu, saya mendapatkan pertanyaan yang rada berbeda..
"Kok bisa sih Mas optimis sekali dengan Indonesia di saat kebanyakan pesimis?"
Setiap kali saya ditanya, saya mengulang pertanyaannya di dalam kepala saya, lalu mencari
jawabannya.. Saya berpikir "Kenapa gue bisa optimis" Hmmmm...."
Terus terang, saya bingung karena pertanyaan itu mengesankan: yang aneh itu saya. Bukan justru
mereka yang pesimis terhadap Indonesia.
Saya, seperti jadi minoritas. Sebuah anomali.
2 Maka yang keluar dari mulut saya sambil menatap wartawan itu kebingungan adalah..
"Kalau orang-orang tahu apa yang saya tahu tentang Indonesia, mereka juga akan optimis.."
Kemudian pertanyaan susulan muncul "Apakah Mas Pandji sering bertemu dengan orang yang
pesimis dengan Indonesia?"
Pertanyaan itu memicu sebuah ingatan lama...
Ingatan akan sebuah kejadian yang sudah lama berlalu...
Kejadian itu terus membekas dalam benak saya, bahkan sampai saya tulis di blog saya...
Di bawah ini adalah tulisan saya yang ditulis untuk kebutuhan blogging, mohon maaf gaya
penulisannya sedikit "slenge-an"
THE LAND OF THE FREE, THE LAND OF HOPE AND DREAMS
Elo kenal gue. Pandji Pragiwaksono Wongsoyudo
Elo tau pesan gue. Provocative Proactive Elo tau tumpah darah gue Indonesia I just had an eye opener.
My eyes were wide open, and it almost bursted with tears.
Sepasang suami istri datang menjumpai gue.
I don't know them really well.
But I do know them. They came to me. They need help. For 3 years they have been asking God for something.
3 That something came by one day; in a form of a mail.
The letter, that were almost thrown away, was actually a notification.
A good news. Well, sorta...
They are granted a green card.
They are now, eligible to live in the United States of America.
They told me, that they were very happy and confused at the same time.
Now, they have to come up with some money. A lot of money.
Mereka yang dapat green card, harus deposit uang sebesar Rp 100.000.000,- sebagai tanda bahwa
mereka akan bisa bertahan 3 bulan hidup di sana...
Mereka harus juga menyiapkan uang sebesar Rp 50.000.000,- untuk birokrasi tetek-bengek.
Terakhir mereka harus menyiapkan tiket mereka sendiri.
Masalah deposit, walaupun susah, mereka berhasil mendapatkan pinjaman. Karena toh uangnya
tidak dipakai, uangnya hanya sebagai jaminan saja. Secepatnya setelah birokrasi lewat, maka uang
tersebut akan langsung dikembalikan kembali kepada sejumlah orang yang telah meminjamkan
mereka. Tiket sudah diusahakan oleh sang suami.
Kini, di antara mereka dan Amerika, adalah uang Rp 50.000.000,Di tengah-tengah, ada gue.
Mereka (yang tidak dekat dengan gue) memohon bantuan.. mengharapkan kepercayaan. "Uangnya
pasti dikembaliin, kalau nggak, rumah jadi jaminan."
Kemudian sang istri berkata "Kami mau merobah nasib..."
Kalimat singkat itu, tidak menusuk kuping, tapi justru ke mata. Entah apa yang terjadi, tapi tiba-tiba
gue mau nangis. "Di sini, kami ga jadi apa-apa, hanya dengan mengandalkan gaji suami seorang dosen, bagaimana
cara kami memberikan pendidikan dan kehidupan yang layak kepada anak-anak kami?"
"Di sana, kami akan kerja. Kami akan kerja keras! Jadi apa aja deh, yang penting kerja, jadi tukang
cuci piring kek, tukang koran kek..."
Keluarga ini memang bukannya secara finansial tidak mampu. Hanya saja, saat ini, keadaan
memang rumit sekali untuk mereka.
Di antara keluarga si istri, ada satu adik yang akan menikah... jelas butuh uang. Kemudian satu
juga punya kebutuhan uang yang sangat besar. Visa pelajar mereka hampir habis. Yak, betul sekali.
4 Di antara adik-adik si istri itu, ada yang sudah tinggal di Amerika dengan visa pelajar.. Memilih untuk
tidak mau pulang. Mereka bertahan sekuat kemampuan mereka, belajar terus, S2, S3 sampai green
card yg mereka tunggu datang. Sejauh ini, dengan visa pelajar, mereka tidak bisa kerja. Maka yang
terjadi adalah, mereka kerja sambil kuliah.
Kerja apa" Banyak. Loper koran. Cuci mobil. Masak. Baby sitting. Apapun. Dengan itu, mereka
ternyata berhasil bangun rumah di Bogor. Berat, tapi apapun mereka lakukan untuk tidak pulang
dari Amerika. Bermodal dengan kisah tersebut, maka suami istri yang ada di hadapan gue ini berniat untuk juga
mengadu nasib ke Amerika. Sekali lagi, si istri berkata "Kami ingin merobah nasib..."
Kepala gue berputar... Pikiran gue melayang... Total uang yang mereka harus kumpulkan adalah lebih dari Rp 150.000.000,Dengan gigih, pantang menyerah, pantang lelah, mereka cari uang tersebut. Bahkan, mereka
sampai membuang rasa terakhir yang menempel dalam tubuh manusia ketika semua rasa sudah
mati. Rasa malu. Pasti berat untuk mereka; datang ke gue dan meminta bantuan. I'm much younger. We're not even
that close! Still, here they are. Asking. If not begging.
Padahal, dengan uang sejumlah Rp 150.000.000,- mereka pun bisa mengubah nasib dengan tetap
tinggal di Indonesia. THEY COULD!
Cuma masalah cara aja. Dan memang, uang RP 150.000.000,- tidak akan serta merta mengubah
hidup mereka jadi baik, indah, dan berkecukupan, tapi menggunakan uang dengan jumlah itu untuk
ke Amerikapun tidak menjamin hidup mereka jadi mudah di sana.
Tentu gaji mereka besar dibandingkan dengan di sini, tapi pengeluaran juga besar. Tentu ada
segala macam jaminan yang lebih jelas dan pasti dan akan membuat mereka bertahan.. Jay Z pun
waktu kecil hidup dari food stamps.. sejenis voucher yang bisa ditukarkan dengan makanan.
Kasarnya, mereka di sana akan kayak orang miskin. Orang susah.
"Dengan bekerja sebagai tukang koran, saudaraku bisa bangun rumah di Bogor."
Apa bedanya dengan... "Saya merantau ke Jakarta dari Ngawi untuk mengubah nasib... biarin di Jakarta jadi tukang koran,
tapi saya bisa menghidupi keluarga di Ngawi, bisa bangun rumah."
Bedanya hanya.. yang satu dari Ngawi ke Jakarta, dan yang satu Jakarta ke Amerika. Entah kota
apa. 5 Gamila bilang, bagaimanapun juga, orang susah di Indonesia beda dengan orang susah di Amerika.
Sekolah lebih banyak yang gratis.
Tapi menurut gue, itu cuma masalah skala.
Di Jakarta juga banyak sekolah gratis, cuman aja sekolah gratis di Jakarta (mungkin) bukan sekolah
unggulan. Bukan sekolah bergengsi.
Sama aja, di Amerika gue rasa gue berasumsi) sekolah gratis ya sekolahnya rakyat...
sekolah-sekolah bergengsi Amerika pasti mahal..
Kenapa kalau di Jakarta ga mau masuk sekolah rakyat tapi di Amerika mau"
Hanya karena Amerika"
Andaikan orang-orang di Indonesia tahu bahwa Amerika Serikat sampai sekarang masih
memegang rekor untuk tingkat penembakan dan pembunuhan tertinggi di dunia dalam lingkungan
sekolah... "Ya Ampuuuun di sini uang masuk kuliah mahal bangeeeeettt, 80 jutaaaaa" kata mereka.
Sekali lagi, wawasan akan menentukan keputusan. Sebenarnya kalau mereka mau
berinvestasi-pun Insya Allah kekejer kok. Anak mereka masih SD... Besar sih angka investasinya,
tapi daripada nabung lebih nggak mungkin lagi" Lebih kasian lagi mereka yang merasa aman
setelah menggunakan asuransi pendidikan.. Kelak mereka akan sadar, bahwa ternyata uangnya
juga ga cukup untuk bisa bayar kuliah. Padahal jumlah uang yang mereka sisihkan untuk asuransi
pendidikan itu, kalau di investasikan akan lebih mungkin sampe angkanya...
Sigh I can't blame them for not having financial literacy early on.
It's not going to help them.
Memang, kuliah itu mahal... ITB memang mahal. Jauh lebih mahal daripada ketika gue masih kuliah
di sana.. Tapi DEMI TUHAN, beasiswa di kampus ITB BUANYAK BUANGEEEETTTTT...
Gue punya BUANYAAAKK teman yang dari awal masuk kuliah sampai dia lulus, mengandalkan
beasiswa. Tidak mengeluarkan uang sendiri sama sekali untuk bayar kuliah.
Bahkan, saking banyaknya, temen-temen gue yang relatif mampu-pun, sampe dapet juga!
Gue aja bego, ga ngeh sama yang begituan.. setelah lulus baru gue tau, temen-temen gue banyak
yang pake beasiswa Nyesel juga jadi orang self center !importanted ...
Sebenarnya, paginya, di GMHR (Good Morning Hard Rockers Show) kami membahas orang-orang
yang pernah di luar negeri cenderung skeptis sama Indonesia. Ga mau pulang. Ga suka Indonesia.
Katanya di sini infrastruktur kurang, pajak ga jelas ke mana, jalanan rusak, public transportation
buruk... Jepang dan Indonesia sama-sama dalam keadaan tidak baik di tahun (19)45, tapi kini
Jepang melesat dan Indonesia masih begini-begini aja.
6 Dalam hati ketika siaran gue berpikir, DON'T COMPARE INDONESIA TO OTHERS! IT'S NOT FAIR
IT'S NOT AN APPLE TO APPLE COMPARISON
Jepang penduduknya berapa sih" Seluas apa" Terbagi atas berapa pulau" Berapa banyak
bahasa" Berapa banyak tradisi" Berapa banyak kultur" Berapa banyak kebutuhan"
Di tahun 1945 Jepang memang mulai dari titik yang sama dengan Indonesia akibat bom Hiroshima
dan Nagasaki yang merupakan lumbung beras mereka.
Tapi sebelum itu" Jepang adalah penguasa dunia, mereka menguasai negara-negara termasuk
Cina dan kita di Indonesia. Pengetahuan mereka dan kita jauh berbeda sebelum tahun 1945.
THE PROBLEM IN OUR COUNTRY IS, WE DO NOT THINK AS ONE.WE ARE TOO MUCH
APART. THAT IS THE FACT. Thank God we are united in the same language.
Or maybe we do not have a strong leader. I don't know.
All I know is, there's NOTHING we can do by blaming the past.
WHAT WE ARE RIGHT NOW, IS A PRODUCT OF OUR PAST. IF WE DON'T LIKE WHAT WE
SEE TODAY, WE CHANGE IT. WE MAKE IT HAPPEN. IT MAY NOT BE FOR THE BENEFIT OF
OUR OWN, BUT BY GOD, IT WILL BE FOR THE BENEFIT OF OUR CHILDREN'S CHILDREN.
GA ADA PENDIDIKAN GRATIS" KITA DONG, PERBANYAK BEASISWA. KITA DONG, INISIATIF
PADA KANTOR KITA UNTUK PUNYA CSR DI BIDANG PENDIDIKAN.
FASILITAS KESEHATAN MASIH MAHAL" BIKIN DONG, YAYASAN. JANGAN KOMPLEN
DOANG. WHAT WE DO, WILL EFFECT OTHERS.
Walaupun gue akui, sesuatu yang baik tidak akan tersebar secepat sesuatu yang buruk. Itulah
mengapa, kita harus sama-sama kerja keras.
Evil is controling time, we should not let ourselves be controled by time.
WE CONTROL OUR TIME. Sebenarnya, gue ga mau ngomong ini, takut dibilang sombong dan pamer, tapi motivasi gue beda,
Insya Allah ga ketangkep salah ... Gue aktif di C3, Community for Children with Cancer
(www.C3friends.com) karena gue ingin menjadi salah satu dari orang yang membantu menjadikan
Indonesia tempat yang lebih baik. Tempat yang punya harapan. I want to make Indonesia the land
of the free, the land of hope and dreams. Ada orang ga mampu yang anaknya sakit kanker" Ada
C3. Insya Allah, ada harapan.
By doing this, I'm hoping others would be inspired and do the same thing, in other fields.
Pendidikan, bidang kesehatan lain seperti AIDS, dll...
Demi Tuhan, gue mau sebenarnya bikin yayasan yang menyediakan pendidikan gratis, tapi gue
7 harus fokus. My calling, is C3.
Gue harus fokuskan perhatian gue kepada anak-anak penderita kanker, sambil tangan gue
menggandeng anak-anak ini, mata gue menoleh ke luar, berharap orang lain di luar sana juga
tergerak untuk membantu orang lain di Indonesia yang butuh pertolongan.
Yang butuh harapan... Yang tidak bisa ke Amerika Serikat untuk mengubah nasib mereka...
... "Gimana, Mas Pandji?" Tolong kami yaa?" Pertanyaan itu menyadarkan gue kembali dari
lamunan... Gue kembali fokus kepada mereka dan obrolan yang sedang berjalan... Tapi mata gue masih
menahan tetesan air mata sedih...
Ketika kembali sampai di rumah, Gamila berkata, "Mas, kamu nggak harus menolong mereka, lho...
jangan merasa terbebani untuk HARUS menolong..."
But I'm a man of dreams. I dream 'em , and then I make it happen.
And for me, there is every dream for every man. Who am I to blame what your dreams might be"
Who am I to judge it" People have the right to dream. Whatever THAT might be.
I would love to see that family get that dream.
If living in America is their dream. I would love to help them live it.
I just hope, in the near future, my own country could be just like America...
THE LAND OF THE FREE, THE LAND OF HOPE AND DREAMS
Saya meyakini sebuah prinsip
"I am what I know"
"We are what we know"
"Aku adalah wawasanku"
Diri kita adalah hasil dari pengambilan keputusan kita.
Tuhan memang selalu ada dalam setiap langkah kita tapi saya meyakini Tuhan menyerahkan
kepada diri kita sendiri dalam mengambil setiap keputusan hidup.
Keputusan- keputusan kita, dalam keseharian kita, begitu banyak.
8 Setiap keputusan yang kita ambil menentukan arah kehidupan kita selanjutnya.
Seperti buku "Pilih Sendiri Petualanganmu".
Di jalan menuju kerja, kita berpikir, "Belok kiri atau kanan, yaa?"
"Ambil jalan Sudirman aja dan berharap polisi ga merhatiin, atau nyari jalan lain yg ga 3 in 1" Atau...
ambil joki?" Setiap keputusan tersebut langsung berkaitan dengan apa yang terjadi dalam kehidupan kita.
Detik demi detik. Keputusan kita yang besar tentunya akan memberikan dampak yang lebih besar lagi dari sekedar
belok kanan atau kiri. Tapi besar ataupun kecil keputusan itu, akan membentuk hidup kita.
Diri kita adalah koleksi keputusan kita.
Saya jadi seperti hari ini, karena suatu hari saya memutuskan untuk meninggalkan pacar saya yang
tidak suka saya melawak (dan ingin saya jadi pengusaha atau pekerja profesional).
Saya lalu memutuskan untuk pindah ke Jakarta.
Saya lalu memutuskan untuk casting program-program TV.


Nasionalisme Karya Pandji Pragiwaksono Wongsoyudo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keputusan demi keputusan mengantarkan saya menjadi diri saya yang Anda kenal.
Lebih penting lagi... Pengambilan keputusan kita sangat berhubungan dengan apa yang kita tahu atau wawasan kita.
Misalnya, saya dihadapi dengan sebuah situasi:
Saya nyetir sendiri, dari arah Patung Pak Tani, mau ke Sarinah-Thamrin jam 08.00 pagi.
Kalau saya tidak tahu ada 3 in 1, kemungkinan besar saya akan nembus Thamrin saja.
Tapi kalau saya tahu, saya terbuka dengan 3 opsi tadi yang saya sebut di atas.
Lalu kalau saya tahu bahwa polisi tidak terlalu memperhatikan kendaraan ketika 3 in 1, maka saya
akan nekat menembus area 3 in 1.
Kalau saya pernah kena tilang karena nembus 3 in 1 sendirian, kemungkinan saya akan mencari
jalan alternatif atau ambil joki.
Kalau saya tahu bahwa joki 3 in 1 itu rata-rata badannya bau, dan apalagi saya nggak tahan
dengan bau badan, maka pilihan saya hanyalah lewat jalan alternatif.
9 Intinya adalah, apa yang kita tahu, akan jadi sekumpulan data yang membantu kita dalam
mengambil keputusan dan pada akhirnya, keputusan kita akan menguak jalan hidup kita.
Artinya, apa yang kita tahu, atau dengan kata lain, wawasan, sangat sangat penting.
Karena itu, kita seharusnya - seperti juga diperintahkan agama - terus belajar.
Terus membuka diri terhadap hal-hal baru.
Terus menambah wawasan kita karena itulah alat terpenting kita kalau kita ingin hidup kita berjalan
dengan baik, ke arah yang lebih baik lagi.
Pada suatu hari, saya memutuskan untuk menulis lagu yang mengajak orang untuk lebih fokal
dalam menunjukkan kecintaannya terhadap Indonesia.
Keputusan itu, berdasarkan wawasan saya, yaitu bahwa banyak sekali orang di Indonesia yang
sebenarnya cinta terhadap Indonesia tetapi lingkungannya membuat mereka menahan diri karena
takut dibilang sok, atau malah dibilang naif.
Lagu itu, adalah "Untuk Indonesia".
Chorus lagu tersebut adalah "Angkat tanganmu untuk Indonesia, Angkat tanganmu untuk Indonesia,
Angkat tanganmu untuk Indonesia, Ha-haa, Angkat tanganmu untuk Indonesia, Angkat tanganmu
untuk Indonesia, Angkat tanganmu untuk Indonesia, Angkat tanganmu untuk Indonesia, Ha-haa,
Angkat tanganmu untuk Indonesia"
Chorusnya, ternyata begitu provokatif.
Ajakan yang sangat literal itu jarang sekali didengar orang, apalagi dengan cara diteriakkan lantang
di atas panggung. Reaksinya, beragam sekali. Umumnya positif.
Banyak yang bilang, mereka menyukai semangat saya karena sama dengan semangat mereka dan
karena itu, mereka minta agar saya terus melakukan hal ini. Menyuarakan aksi kecintaan saya
terhadap Indonesia. Sejak album pertama yang rilis April 2008, saya menulis beberapa lagu yang membakar semangat
ke-Indonesiaan seperti "GBK" , "Kami Tidak Takut", dan "Harus Bersatu".
Tapi perjuangan saya untuk Indonesia tidak berhenti hanya pada menulis lagu.
Beberapa karya saya adalah untuk Indonesia, yang akhirnya membuat orang bertanya-tanya
kenapa saya melakukan ini..
Tepatnya, mengapa saya memutuskan untuk melakukan ini.
Wawasan saya yang mendasari keputusan itu, adalah isi dari buku ini.
10 Harapan saya, setelah membaca buku ini, Anda memiliki wawasan yang sama dengan saya
mengenai Indonesia. Dengan itu, semoga Anda akan mengambil keputusan yang sama dengan saya.
Yaitu melakukan sesuatu, mengambil tindakan, berkarya, untuk Indonesia, sebagai buah dari
optimisme terhadap Indonesia.
Buku ini bukan saya tulis untuk saya, bukan untuk Anda..
Tapi, Untuk Indonesia. Dari Tahun 1990 Sampai Tahun 1999...
Wawasan yang membantu saya mengambil keputusan didapatkan tentunya sepanjang perjalanan
saya hidup di dunia ini. Wawasan itu saya dapatkan "ketengan".
Sedikit demi sedikit... tapi terus bertambah.
Dekade terpenting dalam hidup saya, yang mengisi kepala saya dengan pengalaman dan wawasan
adalah tahun 1990 sampai tahun 1999.
(untuk yang kepikiran, 1 dekade itu dihitung dari, misalnya, 1990 -1999 bukan 1990 - 2000 karena
itu malah jadi 11 tahun. Lagipula, 2000 sudah masuk ke dekade berikutnya yaitu 2000-2009)
1990 saya baru mau lulus SD (Sekolah Dasar), 1999 adalah tahun ke-3 saya kuliah.
Di antaranya adalah tahun-tahun saya melewati masa SMP (Sekolah Menengah Pertama), SMU
(Sekolah Menengah Umum), hingga menjalani kuliah.
Kehidupan SMP cukup jomplang ... hehehe
Karena untuk pertama kalinya saya masuk ke sekolah negeri.
Kenapa jomplang" 11 Jadi begini... saya terlahir di Singapura.
Kota/Negara dengan penduduk yang beragam kewarganegaraan dan beragam keturunan.
Ada yang Melayu, ada yang bule, ada yang keturunan Cina, ada yang berdarah Arab, ada yang
India, ada yang beragama Islam, Katholik, Kristen, Hindu, Buddha, semua tinggal
berdamping-dampingan, berjalan beriring-iringan..
Ketika keluarga saya kembali ke Jakarta, saya tinggal di Simprug Golf. Salah satu area yang elit di
Jakarta pada jamannya. Tepatnya Simprug Golf 8/ BZ-3
Nomor telfonnya 716275 (waktu itu tentunya)
Hehehe, saya masih ingat.
Playgroup saya, adalah Playgroup Internasional di Kemang dengan guru bernama Mrs. Calff.
Ketika dewasa, saya bertanya kepada Ayah saya, "Kok, Mas Pandji dulu disekolahin di sekolah
Internasional, aku 'kan orang Indonesia"
Ayah saya menjawab, "Biar kamu ga kaget.."
TK dan SD saya adalah swasta.. Triguna nama sekolahnya.
Gurunya bagus, lingkungan sekolahnya sehat dan baik, jajanannya juga enak-enak, dan anak
perempuannya bening-bening
Waktu saya masuk SMP, saya bercampur aduk perasaannya..
Pertama, saya 7 tahun (dengan TK) ada di lingkungan yang sama. Ketemu dengan teman yang
sama. Sekarang saya musti masuk ke lingkungan yang beda.
Kedua, saya masuk siang.. itu aja aneh banget rasanya... Sebelum sekolah, sempet nonton
Postman Pat di TPI dan Mahabharata serta Ramayana..
Ketiga, saya harus pakai celana biru. Pakai celana biru, tidak membuat saya senang... malah
khawatir... pikiran saya, anak SMP 'kan sering tawuran..
Saya ingat hari pertama saya pakai celana merah.
Saya masuk area SD sambil menoleh ke area TK yang dibatasi oleh pagar kawat... Sambil jalan
saya berpikir "Aku udah gede.."
Sumpah, ga boong. Itu pikiran saya waktu itu... hehehe... sekarang lucu rasanya kalimat itu.
Waktu masuk area SMP saya, yaitu SMP 29, Jln. Bumi, Jakarta, saya jalan sambil berpikir, "Mati
gue.." 12 karena saya tidak kenal siapa-siapa ketika saya memasuki sekolah itu.
Memang beberapa teman saya ada yang masuk SMP 29 juga, tapi saya belum melihat mereka saat
itu. Sisanya terpencar-pencar.. ada teman saya yang masuk SMP 11 dan SMP 19 yang berdekatan
dengan SMP saya. Ketika berjalan menyusuri gedung sekolahan menuju kelas, saya memperhatikan anak-anak SMP
tersebut, "Kok sangar-sangar gini, ya, mukanya..."
Saya perhatiin kelasnya, "Kok mejanya corat-coret begini, ya?"
Saya lihat sekitar tembok ruang kelas saya dan merasa, foto-foto pahlawan yang menempel saja
wajahnya kayak sedih semua gitu...
Ada beberapa murid yang sudah melawak dan nampak mencari perhatian..
Merekalah yang membuat saya nyaman...
Hari pertama ditandai dengan pemilihan ketua kelas, dan entah mengapa..
Entah mengapa... saya masuk dalam nominasi.
Padahal saya rasanya tidak banyak omong..
Akhirnya, dalam pemilihan suara, saya urutan ke-3. Posisi saya: Bendahara.
Kiamat. Entah di hari ke-berapa sekolah, saya disuruh mengumpulkan uang murid-murid kelas untuk beli
buku. "Ayo uangnya kasih ke Pandji ana- anaaak.."
BLARRRRR tiba-tiba meja saya penuh dengan anak-anak ... ada yang menyodorkan uang.. ada
yang berteriak.. ada yang dorong-dorongan..
Setelah itu guru saya bertanya, "Sudah semuaaaa?"
Murid pun kompak berteriak, "Sudah Buuuuu!"
Saya kumpulin semua uang yang ada di tangan saya... Sampai rumah saya hitung.. uangnya
kurang. Ayah saya terpaksa nalangin uang yang kurang sambil berkata, "Besok kamu bilang,
mengundurkan diri jadi bendahara"
13 Untuk pertama kalinya, saya merasa kecurian, dicurangi.
Sensasi itu masih ingat. Bahkan sepanjang SMP, saya untuk pertama kalinya mengenal hal-hal yang negatif.
Setelah SD hidup dilingkungan yang baik-baik saja, saya seperti tumbuh jadi anak yang polos.
Di SMP, saya pertama kali dipukuli kakak kelas.
Di SMP, saya pertama kali dipalak.
Di SMP, pertama kali saya coret-coret.. termasuk nyoret atap KWK hehehe.. pada masanya
ngetrend banget tuh.. Di SMP saya pertama kali ngerjain guru (saya pernah ngelem pegangan pintu berharap kalau guru
pegang gagang pintu lalu nempel kayak kartun... itu rada gagal, tapi ketika saya naro lem di kursi
guru berharap guru saya ga bisa berdiri saya sukses... sukses bikin guru saya ngamuk karena
roknya yang beliau jahit sendiri rusak.. dianya sih bisa bangun dari kursinya)
Di SMP saya nembak cewek.. tidak untuk pertama kali karena kalau yang pertama itu ketika saya
lulus SD... Tapi di SMP saya nembak cewek terbanyak dalam hidup saya.
Selama 3 tahun di SMP, saya nembak 9 cewek, gagal semuanya.
Di SMP saya juga melihat anak-anak sekelas dengan saya pake megadon, pil BK, ganja, dll..
Saya lihat efeknya terhadap teman-teman saya.
Sebanyak-banyaknya hal buruk yang saya lakukan, saya sampai sekarang tidak pake obat-obatan
terlarang.. bahkan rokokpun tidak.
Tapi yang paling menempel dan menyisa di benak saya, adalah bukan hal-hal buruk yang saya
lihat.. Yang menempel adalah perbedaan kelas ekonomi yang mencolok.
Di SD Triguna yang swasta, rata-rata datang dari keluarga yang mampu.
Tapi di SMP negri ini, tidak seperti itu..
Ketika SMPlah saya mengenal makna dari kata 'miskin'.
Ketika saya SMP, kondisi keluarga saya sendiri tidak berjalan dengan baik..
Orang tua saya bercerai sehingga saya harus pindah dari rumah kami yang besar di Simprug ke
Bintaro Jaya. 14 Rumahnya jauuuh lebih kecil daripada rumah kami di Simprug.
Saya agak shock dengan sempitnya ruang gerak di rumah kami.
Dulu, saya bisa main bulutangkis di lantai atas rumah kami..
Sekarang boro-boro ada 2 lantai.
Ibu saya harus kembali bekerja dan saya beserta kakak dan adik saya hidup lebih prihatin.
Dulu beli segala macem hal, sekarang tidak bisa begitu.
Saya, merasa miskin. Satu-satunya yang membahagiakan saya saat itu adalah basket.
Lagi demam-demamnya NBA kala itu, apalagi (tahun) '91 Michael Jordan untuk pertama kalinya
menjuarai NBA. Semua anak di SMP main basket kalau lagi istirahat..
Waktu itu belum ada 3 on 3.. dan karena murid SMP saya banyak, ketika main basket yang terjadi
adalah 10 lawan 10! Sumpah! Saya aja sekarang geli sendiri kalau ingat.
Kalau kita mau main, syaratnya cari temen untuk masuk ke tim yang satunya lagi sehingga tetap
genap. Kalau kepenuhan baru yang bermain menolak "Gak aaah, ga nambah, ini aja udah ... 1, 2, 3, 4, 5...
udah 15 lawan 15!!" LOL!! Tapi di lapangan basket saya dilecehkan secara ekonomi.
Saya, dibelikan sepatu Warrior oleh Ibu saya.
Harganya mungkin Rp15.000,00 waktu itu.
Saya sih tidak keberatan sama sekali.
Ibu saya juga tidak melihat ada masalah dan memang tidak ada.. waktu itu.
Di lapangan basket, saya diketawain ketika ikutan ekskul (ekstra kurikuler) basket.
Wahhh saya masih ingat hari pertama ikut ekskul basket..
15 "Inilah langkah pertama saya jadi atlet basket"
Saya sudah pernah dengar Sekolah Atlet Rawamangun, maka saya yakin saya akan jadi atlet..
Kenyataannya, di lapangan saya diketawain karena sepatu saya Warrior, yang dibilang orang
plesetannya Converse All Star..
Saat itu anak-anak yang kaya, kalau nggak pake Air Jordan, mereka pake Air Max dengan
gelembung plastik tembus pandang di samping solnya... pemandangan yang super canggih pada
jamannya.. Saya tiba-tiba merasa malu..
"Memangnya jelek banget, ya sepatu ini?" pikir saya..
Lebih malu lagi karena udah mah sepatu saya jelek, mainnya saya juga jelek..
Sementara yang jago-jago dan masuk tim, sepatunya mahal-mahal...
Tambah terpuruk mental saya..
Saya menjauh dari lingkungan 'anak-anak mampu' karena rasa malu, dan mulai berteman dengan
orang-orang yang tidak main bareng dengan anak-anak kaya itu..
Mereka merasa (mungkin dari tas, warna seragam saya yang tidak kucel) saya anak kaya yang
nongkrong sama anak-anak miskin..
Salah satu teman saya bermain basket pas istirahat sekolah adalah bagian dari geng "kurang
mampu" itu.. Kami hanya bisa main pas istirahat sekolah.. itulah tempat di mana semua yang suka basket terjun
dan bermain.. kaya dan miskin gabung..
Memang kalau pake seragam , nggak begitu keliatan mana yang kaya dan miskin, tapi pas ekskul
pas udah pake baju masing-masing, sepatu andalan dikeluarkan utk gaya, baru terasa strata
ekonomi kita.. Nah, ada teman saya, nampak biasa-biasa saja.. bajunya rapih, bersih, kulitnya agak putih..
Memang dia agak kurus dibandingkan teman-teman yang lain.
Kami cukup dekat, sehingga suatu saat setelah dia beberapa kali main ke rumah saya, saya diajak
ke rumahnya.. Betapa kagetnya saya ketika masuk ke rumahnya, rumahnya adalah rumah kosong yang tidak
ditempati orang... Pintunya seperti dijebol..
Rumahnya kosong-melompong dan hanya 1 ruangan ada barang-barangnya..
16 Itulah rumah mereka.. sebuah kamar di dalam rumah yang tidak dipakai..
Mereka tidur di atas tikar.. di sekitar, adalah lukisan-lukisan ...
Ternyata bapaknya adalah pelukis.
Mungkin ini adalah seniman-seniman jalanan yang suka menjual lukisannya di pinggir jalan sambil
menawarkan jasa lukis wajah..
Saya kaget. Tapi saya berusaha untuk tidak menampakkan..
Dia nampak canggung karena takut saya kaget..
Dia ke rumah untuk bertemu bapaknya untuk ambil entah apa saya lupa, yang saya ingat, Ibunya
tidak ada di rumah.. mungkin memang tidak ada, mungkin pergi bekerja..
Keluar dari rumah itu, kami tidak berbicara..
Tapi besok-besoknya kami kembali seperti biasa..
Ada lagi seorang teman, dia anak Cina..
Umumnya anak Cina kaya-kaya, maka saya tidak menyangka ketika diajak ke rumahnya, dia tinggal
di rumah kumuh yang temboknya terdiri dari kayu papan dan seng..
Rumahnya kecil sekali, tapi tingkat.. dengan mata saya yang awam rasanya mudah untuk saya
menilai, rumah ini dibangun oleh tangan mereka mereka sendiri...
Setiap omongan orang terdengar di manapun kita berada di rumah itu..
Keluar dari rumah itupun kami tidak banyak berbincang..
Aneh, setiap kali teman-teman seperti itu mengajak saya ke rumah mereka, selalu hanya saya
seorang. Tidak pernah rame-rame.. bahkan tidak pernah bertiga.
Selalu hanya saya. Pengalaman saya ke rumah teman-teman saya membuka mata saya,
"Saya tidak miskin..."
Masih banyak teman-teman saya yang jauh serba kekurangan daripada saya.
Di sekolah mereka nampak biasa-biasa saja..
Tapi mereka hidup dengan kondisi yang lebih buruk daripada saya..
17 Setiap kali keluar dari rumah mereka atau setidaknya tempat mereka tinggal, saya menangkap


Nasionalisme Karya Pandji Pragiwaksono Wongsoyudo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesan bahwa mereka sebenarnya... malu.
Tidak ada 1 pun anak di dunia yang ingin terlahirkan dalam keadaan miskin.
Saya bisa membayangkan apa yang ada di kepala mereka setiap kali mereka mau tidur sambil
menatap langit-langit rumah mereka.
Saya bisa membayangkan apa yang mereka rasakan setiap kali main ke rumah teman-teman yang
lain atau bahkan saya yang rumahnya lebih nyaman..
Saya selalu jamu mereka sebaik-baiknya ketika di rumah saya..
Saya keluarkan semua makanan saya.. kasih minum sirup.. Coca-cola..
Saya ajak main Nintendo, semua yang saya punya.
Ketika mereka asik dan nyaman di rumah saya, saya merasa bahagia..
Mulailah saya punya bawaan untuk melawak, kalau mereka tertawa, saya bisa melihat raut mereka
dengan kegembiraan.. senang rasanya..
duh.. Mau nangis rasanya nulis ini..
Kami seumuran, tapi kami terpisah oleh keadaan ekonomi.
Tapi ketika kami sedang tertawa sama-sama, kami sama.
Sama-sama bahagia. Kemiskinan hanya terasa ketika mereka pulang ke rumah.. kini saya paham mengapa mereka suka
tidak mau langsung pulang ke rumah.
Di SMP, saya akhirnya berkenalan dengan kehidupan secara lebih lengkap.
Di SD wawasan saya minim, terlindungi oleh kenyamanan, di SMP saya melihat kenyataan hidup.
Tapi apa yang saya terima di SMP akan bertabrakan dengan kehidupan saya ketika SMA..
Kehidupan SMA agak lucu ceritanya.. 18 Lucu karena; saya hampir tidak sekolah sebenarnya.
Saya tidak diterima oleh semua SMA incaran saya.
SMA 82, SMA 6 dan SMA 70.
NEM (Nilai Evaluasi Murni) saya tidak cukup untuk masuk ke sana..
Nilai saya buruk. Ibu saya nanya, "Kamu mau sekolah di mana?"
Saya jawab SMA 46. Maka Ibu bawa saya ke sana... di sana ibu saya dibilang harus bayar sejumlah uang untuk masuk.
Ibu saya menolak. Atau mungkin tidak ada uangnya.
Ayah saya mengajak saya ke sebuah sekolah yang dia dengar dari temannya.
Namanya SMA Gonzaga. Saya tidak pernah dengar sekolah itu tapi saya akui namanya terdengar keren.
Pas dateng pertama kali, saya terkesima lihat sekolahnya..
Luas.. asri.. bersih.. ada hall basketnya!!! Indoor!! Untuk anak basket, itu sangat cukup untuk bikin
betah.. tapi saya punya kekhawatiran.. saya bertanya kepada ayah saya,
"Ayah, brapa uang sekolahnya di sini?"
Ayah saya malah tertawa sambil terus berjalan.. saya bingung saat itu. Belakangan saya pikir
mungkin beliau ketawa karena beliau juga memikirkan hal yang sama..
Saya ikut ujian masuk ke sana dan masuk ke kelompok cadangan.
Kelompok cadangan ke-3 ! Artinya harapan tipis sekali.
Saya sudah mau nangis, "Kalau aku ga diterima, aku sekolah di mana ini..." keluh saya kepada
Ayah saya.. Sekarang Ayah saya paaaaaling suka menggoda saya dengan kisah dan pertanyaan itu..
Ayah saya, setelah mendapatkan kabar bahwa saya masuk kelompok cadangan ke-3 setiaaaaap
hari datang ke Gonzaga. Saya tahu ayah saya tidak punya uang. Karena itu, menyogok, jelas di luar pilihan beliau.
Tapi setelah setiap hari selama seminggu menyatroni Romo Rudi (wakil kepala sekolah) saat itu,
19 saya akhirnya diajak ketemu beliau bersama dengan ayah saya.
Saya masih ingat pertanyaan beliau,
"Kamu mau sekolah di sini?"
Berhubung saya tau ini adalah kesempatan satu-satunya utk sekolah saya jawab "Mau Romo"
"Kalau mau, kamu tinggal aja di asrama seminari... melakukan semua hal yang seminari lakukan.
Nyapu, ngepel, mereka belajar untuk melakukan pelayanan.. lingkungan sekolah ini adalah rumah
mereka.. karena itu mereka harus ikut membersihkan.."
Melihat tanda tanya di wajah saya, beliau lalu bertanya "Kamu tau, apa itu seminari?"
Saya menggeleng.. beliau lalu menjawab "Sekolah Pastor..."
Tambah bingung saya... saya 'kan muslim.. kok disuruh sekolah pastor.
Langsung Romo Rudi tertawa, "Saya bercanda... hehehe.. kamu diterima di Gonzaga. Sekolah
yang benar, ya" Jangan kecewakan ayahmu.."
Lemes badan saya ... Akhirnya saya bisa sekolah.
Masalahnya adalah.. seumur hidup saya sekolah di sekolah umum.
Dan di Indonesia umumnya orang beragama Islam.
Kolese Gonzaga, adalah Sekolah Katholik.
Yang membuat keadaan jadi lebih sulit untuk saya adalah
saya sama sekali tidak punya teman di sana.
Teman-teman SMP saya banyak yang masuk SMA negeri atau swasta lainnya, tapi bukan
Gonzaga. Khawatir dengan ketidaknyamanan yang akan saya rasakan, saya sudah bilang di awal kepada
Ayah saya, "Aku hanya akan satu tahun di sini lalu pindah lagi ke SMA negri"
Ayah saya mengiyakan saja keinginan saya..
Setelah satu tahun berlalu...
Saya tidak mau ke mana-mana lagi di dunia ini selain di Kolese Gonzaga.
20 Saya jatuh cinta dengan SMA ini.
SMA ini punya kebanggaan yang besar terhadap almamaternya.
Bangga sekali dengan budayanya.
Dan salah satu dari budaya kami adalah: kedewasaan dalam bersikap.
Murid di Gonzaga tidak suka coret-coret tembok atau meja sekolah.
Bagi kami, vandalisme itu kampungan.
Tawuran; juga sesuatu yang kami nilai aneh.
Kalau mau berantem, ya yang bener. Jangan timpuk-timpukan massal sambil teriak-teriakan.
Gonzaga mengenal istilah "partai" yaitu bertarung 1 lawan 1.
Beberapa kesempatan saya dan teman-teman di Gonzaga pernah bertemu dengan segerombolan
murid Pangudi Luhur (PL). Musuh bebuyutan kami.
(Lucunya, kalau sudah lulus SMA, ketika kuliah, anak Gonzaga dan Pangudi Luhur malah
bersahabat. Karena ternyata, kami memiliki banyak persamaan.. Jadi bingung sendiri mengapa
kami dulu harus berkelahi...)
Dalam budaya kami, Gonzaga dan Pangudi Luhur menyelesaikan konflik kami tidak dengan
tawuran... tapi dengan partai.
Gonz memajukan 3 wakil. PL memajukan 3 wakil.
Masing masing bertarung 1 lawan 1, kemudian dihitung "best of 3".
Siapapun yang menang atau kalah, pulang tanpa harus ada tawuran.
Lebih mirip olahraga daripada kenakalan remaja.
Gonzaga juga memiliki kultur kebebasan berpendapat.
Murid-muridnya cenderung lebih vokal. Lebih berani.
Tapi kalau salah, tidak pernah lari dari tanggung jawab.
Saya terkesima dengan kedewasaan yang dipercayakan kepada kami oleh para guru.
Ya, oleh para guru. Pada saat itu, murid-murid mungkin tidak ada yang sadar, tapi pengembangan kedewasaan itu
21 dikondisikan oleh sekolah dan jajaran gurunya.
Gonzaga sebenarnya tidak setuju dengan penyeragaman.
Ini sebuah pendekatan baru yang saya rasakan, apalagi datang dari SMP negeri.
Dulu, strata ekonomi dibuat kabur dengan seragam. Tidak terlihat jelas mana yang kaya dan mana
yang miskin. Ternyata, Gonzaga menawarkan cara pandang baru...
Di Gonzaga diajarkan lebih baik kita melihat perbedaan itu, mengenali perbedaan itu dan menerima
perbedaan itu bukan sebagai sesuatu yang membuat canggung, tapi sesuatu yang harus kita terima
dan kita jaga. Bahwa yang benar adalah bukan dijadikan SATU tapi dijadikan BERSATU.
(Kelak ini akan jadi inspirasi untuk menulis sebuah lagu untuk sebuah tim sepakbola divisi utama
PRODUTA) Jauh sebelum kantor-kantor mulai memberlakukan pakai batik sehari dalam seminggu (biasanya
Kamis). Jauh sebelum batik sempat muncul versi modisnya dan dijual untuk kebutuhan para wanita di ITC.
Jauh sebelum batik kemudian "dicuri" oleh Malaysia.
Jauh sebelum Indonesia bereaksi atas "kecurian" itu.
Jauh sebelum Indonesia bersorak karena UNESCO (United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization) menetapkan teknik batik sebagai World Heritage asal Indonesia.
Jauh sebelum semua itu, saya sudah terbiasa pakai batik setiap Senin dan Selasa dengan
bawahan celana panjang bebas.
Batiknya pun bukan batik seragam.
Batiknya bebas. Kemudian setiap Hari Sabtu kami berpakaian bebas (selama ada kerah-nya) dengan bawahan
celana panjang bebas. Hehehehe Saya masih ingat hari pertama saya masuk sekolah.
Lagi jamannya Piala Dunia 1994.
Hari pertama adalah final Piala Dunia antara Brazil dan Italia yang diselesaikan dengan adu penalti.
22 Di mana Taffarel muncul jadi pahlawan karena mampu menahan beberapa tendangan penalti.
Salah-satunya adalah ketika Roberto Baggio tendangannya melesat jauh ke atas gawang.
Epic. Hari itu saya nyaris terlambat karena bela-belain ingin tahu siapa juara dunia.
Sehari sebelumnya, saya pergi bersama keluarga ke Sarinah Thamrin (lucu juga mengingat kelak
saya bekerja di gedung ini) untuk mencari batik.
Saya begitu kuatir karena takut pakai batik yang "tua" dan tidak cocok dalam lingkungan sekolah.
Akhirnya saya mondar-mandir mencari batik yang sedikit "muda".
Sampailah saya di depan sebuah batik hitam dengan gambar banyak sekali kepala tengkorak.
Saya pikir "Naah ini aja, nih.. rada sangar dan ga batik kawinan"
Ketika saya masuk sekolah dengan batik tersebut, semuanya justru pakai batik yang saya sebut
sebagai batik "tua" dan hanya saya yang batiknya agak "nyeleneh"
Hehehe Gara-gara batik tengkorak itu saya pulang hari pertama sekolah dengan panggilan dukun.
Hehehehehe Awalnya, di tahun pertama, saya mulai memperhatikan teman-teman saya yang setiap Senin dan
Selasa batiknya selalu sama.
Kesimpulan saya, mereka hanya punya 2 batik.
Awalnya mereka nampak canggung setiap Senin dan Selasa, tapi melihat ke senior kami, mereka
nampak tidak peduli dengan hal-hal seperti itu.
Mereka nampak biasa-biasa saja.. bahkan, bahagia-bahagia saja...
Lama-lama kamipun tidak pernah mempermasalahkan apa yang kami pakai.
Yang lebih kami perhatikan adalah sikap kami.
Kita semua sama-sama tidak ingin membuat teman-teman kami yang batiknya itu-itu saja
canggung. Dengan cara kami berteman, kami tunjukkan bahwa itu tidak jadi masalah.
Apalagi setelah saya dan teman-teman mengenal seorang kakak kelas..
Anggaplah namanya Keke. 23 Keke ini setiap hari ke sekolah pakai baju yang sama..
Setiap selesai sekolah kemejanya dibuka dan kaosnya belel.
Celananya juga belel.. ada tambalan pakai sejenis plester.
Sepatunya, sepatu injak dan, heheh ini paling seru... buku pelajarannya dibawa dengan kantong
kresek. Belakangan kami tahu, bahwa Keke ini anak yang sangat kaya.
Saya pernah ke rumahnya sekali waktu..
Kakak dan adiknya gayanya keren-keren..
Rumahnya besar. Mobilnya mewah. Tapi dia gayanya begitu..
Saya tidak tahu apakah ini benar atau tidak, tapi yang pasti menarik ketemu dengan seseorang
yang sangat kaya, tapi tidak punya keinginan sama sekali untuk menunjukkan kekayaannya..
nyaman dengan 'kebelelan'nya..
Dia tidak menyembunyikan strata ekonominya, tapi dia juga tidak menunjukkannya..
Di Gonzaga yang seperti itu banyak, walaupun tidak se-ekstrim Keke..
Akhirnya kami berpikir, capek juga terjebak dengan penampilan orang.
Toh yang diajak berteman adalah manusianya, bukan pakaian atau mobil yang dia pakai.
Bagi saya, ini justu pendewasaan.
Lebih baik kita mengenali perbedaan, tapi tidak menjadikannya masalah.
Daripada demi hilangnya masalah, perbedaan itu disamaratakan. Dijadikan satu.
Ayah saya, sampai dengan hari ini memuji kolese Gonzaga.
Menurut beliau, saya hari ini adalah peran SMA saya.
Saya tidak memungkiri itu.
Banyak hal positif yang saya dapatkan dari tempat itu.
Banyak yang membentuk saya seperti sekarang ini.
24 Waktu saya SMA, kami diperkenankan untuk gondrong.
(Entah angkatan sekarang)
Rambut tidak ada kaitannya dengan kenakalan seperti yang selalu diidentikkkan oleh orang-orang.
Dari dulu SMA kami sudah jadi pergunjingan guru-guru SMA lain yang tidak setuju dengan
kebebasan kami dan rambut kami.
Rambut tidak ada hubungannya dengan ketidakrapihan.
Dulu rambut lebih dari kerah dibilang tidak rapih.
Teman-teman laki-laki saya, rambutnya gondrong-gondrong tapi rajin banget keramas hehehe
Rambutnya berkilau dan walaupun mungkin tidak tersisir dengan rapi tapi sama sekali tidak bisa
dibilang jorok. Tapi suatu saat, sekolah kami akan menjalankan sejenis ujian (entah ujian apa) di mana guru-guru
dari sekolah lain di wilayah kami akan menjadi penjaga ujian di sekolah kami.
Sejak lama, guru-guru SMA lain (terutama SMA negeri pada masa itu) selalu mengkritisi sekolah
kami yang rambutnya gondrong.
Wakil Kepala Sekolah kami berbicara di depan para murid, bahwa para guru khawatir, apabila
guru-guru itu datang ke Gonzaga dan melihat muridnya gondrong-gondrong, maka mereka akan
melapor kepada entah badan atau lembaga apa sehingga akreditasi kami akan diturunkan. Beliau
meminta kami untuk memotong rambut kami pendek pada hari ujian.
Ketika hari itu tiba, semua berambut pendek.
Tanpa harus dipaksa. Menjelang hari-H, kalau ada yang rambutnya masih gondrong, kami tegur sendiri karena dia
membahayakan akreditasi SMA kami.. Terbukti kami lebih cinta SMA kami daripada rambut kami,
daripada ego kami. Hari itu, saya merasakan kedewasaan kami dalam berpikir.
Sebuah SMA yang (terkesan) isinya anak-anak badung, bengal, bebas, gondrong ternyata memiliki
kedewasaan dalam bersikap.
Puncak dari pengalaman di SMA yang membekas dan bahkan membentuk saya, adalah ketika kami
study tour atau istilahnya karya wisata.
Ini terjadi di tahun 1996 kalau saya tidak salah..
Saya kelas 3 SMA dan masuk IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) ..
Angkatan saya adalah angkatan pertama yang mengalami perubahan dari sistem jurusan FIS
25 (Fisika) dan SOS (Sosial) menjadi IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dan IPS.
Tibalah waktunya kami untuk Study Tour sesuai dengan jurusan kami masing-masing.
Kami anak IPS dapat informasi bahwa anak IPA akan ke Sea World.
Saya pribadi belum pernah ke Sea World dan anak-anak IPA nampak begitu antusias...
Lalu kami dapat informasi.. study tour anak-anak IPS: home stay di sebuah desa di Lampung
selama 5 hari Hahahahahahahaaa... anak-anak IPA nampak lucu dengan perjalanan ke Sea World mereka.
Di saat foto-foto mereka isinya foto di depan kolam hiu, kami foto-fotonya naik pohon kelapa
Perjalanan ke Desa Sumberjo Lampung Utara adalah salah satu pengalaman terindah saya.
Sebelumnya, paling jauh saya keluar kota adalah ke puncak..
Ke Bogorpun saya tidak pernah.
Mungkin ke Bandung, tapi tidak lama. Surabaya" Belum.
Tidak ada acara atau kegiatan yang mengharuskan saya pergi lama ke kota-kota tadi...
Kali ini, saya pergi ke Lampung!
Kami berperjalanan naik bis dari Jakarta ke Lampung.
Perjalanan panjang itu saya jadi kisah yang tidak terlupakan dan karena kami bersama
teman-teman kami yang sudah saling kenal selama 3 tahun, rasanya perjalanan lebih banyak
lucunya daripada letihnya...
Saat itu, saya bukanlah anak yang manja kalau urusannya harus buang air.
Tapi selama perjalanan saya menahan diri untuk buang air besar.
Karena pemberhentian kami tidak pernah lama dan WC-nya selalu penuh
Saya pikir, "Ah, masih bisa tahan gue..."
Tapi menjelang sampainya kami di Lampung.. perut saya semakin melilit.


Nasionalisme Karya Pandji Pragiwaksono Wongsoyudo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika perjalanan panjang kami akhirnya sampai di sebuah Kantor Kelurahan di sebuah kota kecil
kami diinformasikan : "Kita masih harus jalan dari sini sampai ke desa masing-masing."
1 angkatan jurusan IPS terbagi ke 2 desa.. dan dari tempat bis itu berhenti kami harus berjalan kaki
selama 1 jam lebih, kayaknya, ke desa kami...
Perjalanan panjang dengan barisan murid-murid yang banyak jadi seperti sebuah long march.
26 Teman-teman beberapa mulai mengeluh lelah apalagi ditambah dengan perjalanan bis kami yang
panjang.. Tapi keluhan saya bukan pada kelelahan, tapi kebelet !!!
Orang-orang berkeringat kepanasan dan kelelahan karena perjalanan panjang.
Saya keringat dingiinn! Sesampainya di Desa Sumberejo, kami dibagi-bagi dalam kelompok rumah dan orang tua asuh,
dan diminta untuk mulai menetap di sana...
Sesampainya di rumah tempat saya menginap bersama 1 orang teman saya yang lain, saya
bertemu dengan Ayah asuh saya selama di sana.. namanya Pak Sudiro, seorang guru SD.
Pertanyaan pertama saya, "Pak, kalau ingin buang air ke mana ya?"
Pak Sudiro menunjuk ke arah belakang rumahnya..
"Di sana, Dek" katanya, "tapi tempatnya sih ga bagus lho yaa.."
Saya mengangguk sambil tersenyum, dalam hati saya, "Aaaaah yang penting bisa dipake buat
"nyetor" "
Sambil berjalan ke belakang rumah, saya melihat ada dua buah kandang... kandang kambing dan
kandang sapi (ataukah lembu ya")
Lebih ke belakang lagi ada seperti sebuah tembok setinggi dengkul saya terbuat dari batu bata...
Ukurang kotaknya sekitar... 1.5 m X 1.5 m
Persis seperti tempat sampah depan rumah yang terbuka..
Bedanya adalah... di tengah-tengah kotak tersebut adalah sebuah lubang.
Hanya lubang. Tanpa ada sebentuk melengkung seperti layaknya toliet.
Hanya lubang di atas batu bata yang disusun rata menjadi lantainya..
Lubangnya bundar dengan diameter sekepalan tangan saya..
Saya pikir "i... ii.. ini toiletnya?"
Berhubung saya sudah menahan begitu lama, maka saya beraksi di situ, sambil nge-pas-pasin
dengan lubang tersebut...
Ketika saya sedang "beraksi" tiba-tiba saya sadar,
27 "AIRNYA DARI MANA?""
Saya lupa, di desa ini saya musti menimba air dari sumur dulu..
Sambil malu kepada diri sendiri saya membersihkan bokong saya dengan daun sebersihnya, lalu
memakai celana dalam saja pergi ke sumur yang letaknya di samping rumah...
Saya menimba secepatnya (dan ini pengalaman pertama kali menimba sumur) sambil berharap
orang-orang masih pada sibuk di dalam rumah.
Yang baru sampai lagi mengeluarkan barang dari tasnya, tuan rumahnya lagi sibuk menyuguhi atau
berkenalan.. Sukses menimba seember penuh saya kembali ke "crime scene" dengan membawa gayung yang
terbuat dari batok kelapa..
Sambil saya mulai membersihkan diri, saya melihat seekor lembu menatapi saya dari dalam
kandangnya. "Apa liat-liat?" tanya saya sewot.
Lembu itulah saksi ke-bloonan saya di hari pertama tinggal di Desa Sumberejo.
Makan malam adalah kesempatan makan bersama pertama kami di Desa Sumberejo
Saya sebelumnya TIDAK PERNAH mau makan sayur..
Ibu saya selalu memaksa saya.
Tapi malam itu, yang dihidangkan hanya nasi dan sayur kangkung.
"Makannya seadanya ya, Dek?"
Kalimat itu sering sekali saya dengar "Ayo, makannya seadanya ya.."
Tapi malam itu, benar benar terasa maknanya..
Malam itu, saya makan nasi dengan sayur kangkung..
Dan saya sangat menikmatinya.
Setelah itu, saya dan teman sekamar saya berjalan ke luar rumah dan menatap ke atas..
Demi Tuhan, saya tidak pernah melihat langit dengan bintang sebanyak itu...
28 Lebih terang dan lebih banyak daripada di Planetarium.
Di kota, kita jadi korban tidak hanya polusi udara, polusi suara, tapi juga polusi cahaya, sebuah
kondisi di mana cahaya di kota kita terlalu terang sehingga tidak bisa melihat keluar dengan lebih
jelas.. Saya dan teman saya Vincent terkesima. Mangap.
Saya menoleh ke rumah tetangga di sana teman saya menatap langit yang sama... dengan
mulutnya yang mangap. Desa Sumberejo, belum ada listrik dan jalannya belum diaspal.
Penduduk setempat bercerita kalau mereka pilih Golkar (Golongan Karya), Golkar janji akan bawa
listrik masuk ke desa mereka.
Kesempatan berikutnya, Golkar janji akan mengaspal jalan kalau seluruh desa memilih Golkar.
Hingga hari itu, janji tadi belum terlaksanakan. Entah sekarang.
Desa ini penuh dengan orang yang begitu ramah. Mereka sama ingin tahu tentang kami seperti
kami ingin tahu tentang mereka.
Pagi hari ketika saya bangun, saya berjalan ke luar rumah dan duduk di bale-bale depan rumah...
Dan saya tidak melebih lebihkan ini: Ketika saya menghirup udara pagi, hidung saya sampai dingin
karena udaranya begitu bersih..
Tidak ada kebisingan.. Tidak ada asap knalpot kendaraan..
Sambil saya duduk, pohon-pohon kelapa di depan saya dipanjati orang orang yang, mengambil
aren kelihatannya.. saya juga tidak yakin.
Kecepatan mereka dalam memanjat pohon kelapa luar biasa..
Rumah tempat saya tinggal menggunakan listrik dari aki.
Di tembok dan di atas meja adalah foto-foto Nike Ardilla dan Dina Mariana.
Tidak ada TV, hanya ada radio.
Setiap siang radio itu selalu berbunyi melantunkan lagu-lagu dangdut..
Saya jalan-jalan keliling desa bersama Pak Sudiro.
Manjat pohon kelapa dan memetik kelapanya sendiri, membuka kelapanya dengan golok..
Kami pergi ke kebon kacang tanah dan mencabut kacangnya langsung dari dalam tanah.. Kami
29 buka kulitnya dan memakannya langsung..
Mandi dan buang air di kali ( temen-temen saya, sih, bukan saya )
Main sepakbola dengan pemuda setempat.
Ngobrol-ngobrol di malam hari...
Menyenangkan sekali. Suatu malam, tepatnya malam ke-3 , kami sedang makan siang bersama dan Pak Sudiro bertanya
"Kalian 'kan besok malam makan malam terakhir di rumah ini... Mau makan apa?"
Malam ke-4 adalah malam terakhir kami karena besoknya di hari ke-5 kami pulang..
Saya dan teman saya menjawab, "Apa ajalah, Pak, nggak usah repot-repot.."
"Besok kita makan ayam, ya..."
Saya dan teman saya langsung kaget. Makan daging adalah sesuatu yang jarang sekali terjadi di
rumah ini... Setiap malam makannya sayur, tahu, tempe, nasi.. terkadang dicampur mie instan..
Setelah kami menolak karena takut merepotkan Pak Sudiro menjawab, "Nggak apa-apa, sekali-kali
makan enak" sambil tersenyum..
Besok pagi sekitar jam 10, teman saya sudah entah di mana, saya bangun kesiangan.. ketika keluar
rumah, Pak Sudiro memanggil saya dari jauh "Pandji, bantu Bapak yuk?"
"Ayo Pak, mau ngapain kita?" jawab saya dengan antusias..
"Bantu saya nangkap ayam trus menggal ayamnya buat dimakan malam ini."
?"?"" saya si anak kota cengeng ini canggung untuk menyembelih ayam..
Bukan apa apa, takutnya kalau ayam itu saya yang menggal, saya yang motong, takut jadi nggak
selera pas mau dimakan nanti malam...
Akhirnya saya ngeles dengan segala jurus dan pamit kepada Pak Sudiro.. meninggalkan beliau
yang tersenyum seperti memaklumi kelakuan saya..
Malamnya, haru sekali rasanya.. Ketika piring berisi ayam goreng disuguhkan saya seperti
terhenyak.. Bermalam-malam makan di sana, tidak pernah lihat daging. Hanya kangkung, tempe, tahu, mie
instan... Malam itu lihat ayam goreng rasanya mewah sekali.. bayangkan.. padahal saya cuma 5
hari 4 malam di sana... teman saya menangis di meja makan karena disuguhi ayam..
Kami lama memulai makan malam karena menangis di depan meja.
30 Betapa banyak pelajaran yang kami dapatkan di desa kecil ini.
Di sinilah saya mengerti, ketika kita memberi dalam keterbatasan, muncullah pengorbanan.
Di situlah pemberian terasa besar artinya.
Pengorbanan, harusnya diberi penghargaan yang teramat besar.
Sayang, saya tidak tahu malam itu penghargaan apa yang bisa saya berikan kepada beliau..
Saya mati angin.. Saya hanya bisa mengucapkan terimakasih berkali-kali... itupun terasa sangat kurang..
Di malam terakhir kami berbincang-bincang di depan rumah ... teman-teman saya dari tetangga
sebelah bergabung bersama kami dan seorang pemuda desa ikut ngobrol..
Kami saling bertukar cerita tentang teman-teman kami di rumah yang lain dengan orang tua asuh
yang lain, di desa yang lain..
Ceritanya lucu-lucu.. ada yang anak gadisnya cantik..
Ada yang bapak angkatnya dukun..
Ada yang, di tengah-tengah ruang keluarganya, ada peti mati (kosong tentunya hehe)
Ada yang main gamelan tapi membawakan lagu Zombie-nya The Cranberries.
Ada teman kami sebut saja namanya Geoffrey, setiap sore ketika jam mandi, jalan-jalan keliling
rumah rumah sambil bawa handuk...
Teman kami ini gemuk, nakal tapi lucu.. Dia nampaknya malas menimba sumur sehingga dia
berkeliling mencari satu di antara kami yang hampir selesai menimba.. Lalu dia akan berlari, masuk
ke kamar mandi dan mengunci dari dalam .. hahahaha...
Kami yang nimba, dia yang mandi..
Kami yang menjadi korbannya sih ketawa-ketawa saja dengan kelakuannya.
Ketawa-ketawa sambil menimba lagi hehehe..
Setelah saling bertukar cerita, seorang teman bertanya kepada si pemuda desa,
"Di sini ada cerita-cerita yang aneh ga?"
"Aneh?" tanya si pemuda "Nggak ada.."
"Masak ga ada" Pasti adaaa.. cerita-cerita mistis gitu, Maass"
"Hmmm.... nggak ada" jawabnya singkat
31 Kami lalu terus memaksa, berharap ada kisah-kisah seru untuk dibawa pulang.
Lalu, mungkin karena terdesak oleh kami, tiba-tiba si pemuda berkata,
"Oh, ada!" Kamipun langsung antusias ,"Wah" Di mana, Mas?"
"Nih.." ujarnya sambil menunjuk ke arah hutan pohon bambu tepat di hadapan kami, "Di sini waktu
itu ada..." Kami pun terkejut, ternyata tempat yang dimaksud TEPAT berada di depan rumah kami ...
"Ada apa, Mas di situ...?" tanya kami sambil menahan rasa yang mencekam.
"Ada Naga" ?"?"?"?"?"?"" Naga?"?"?"
HAHAHAHA kami berharap cerita mistis, dan memaksa-maksa, sekalinya keluar ceritanya malah
lebay... Seketika kami agak malas untuk melanjutkan.. "oh.."
Saya masih ingat raut wajah dan tawa kami ketika si pemuda itu kemudian meninggalkan kami
ketika malam mulai larut..
"Elo sih maksaaa.. jadi ngarang-ngarang deh dia!"
Tawa kami menemani suara jangkrik di Desa Sumberejo, Lampung Utara..
Saya kemudian melihat ke atas dan melihat langit yang penuh dihiasi bintang.
Kami semua kemudian melihat hal yang sama..
Dan untuk pertama kalinya kami melihat 3 bintang jatuh berturut-turut..
Indahnya... Indahnya Indonesia... Esoknya kami berpisah dengan orang tua angkat kami masing-masing selama 5 hari 4 malam di
Desa Sumberejo. Berpisahan ditandai dengan tangisan para ibu..
Teman saya meninggalkan Ibu angkatnya dengan rambut dikepang dua panjang... hasil kepangan
si ibu.. 32 Ketika saya melihat pemandangan perpisahan ini yang terjadi di halaman rumah Kepala Desa, saya
melihat teman-teman saya, yang saya tahu sangat kaya.. dari yang berdarah Cina sampai yang
berdarah bule, semuanya begitu larut dengan haru dan begitu enggan untuk berpisah..
Nampaknya orang tua angkat kami juga tidak lagi melihat kami sebagai anak kota yang datang ke
desa.. tapi anak mereka yang sempat tinggal bersama..
Pulangnya, kami tidak seramai dan seberisik ketika kami berangkat..
Mungkin masih tersisa sedih..
Lucunya, sesampainya di Jakarta, ketika kembali bersekolah, kami tidak pernah mengumpulkan
tugas yang berhubungan dengan perjalanan kami ke Lampung.
Tapi tidak berarti kami tidak belajar.. Kami belajar.. Bahkan belajar banyak.
3 tahun saya di SMA benar-benar mengajarkan saya banyak hal...
Guru-guru saya, salah satunya Pak Dewa (namanya saja sudah "menggelegar") sering bercerita di
kelas, hal-hal yang tidak berhubungan secara langsung dengan pelajaran.. hal-hal seperti sejarah,
sosial, kontroversi negara, dll
Ketika beliau sedang bercerita, satu kelas senyap mendengarkan...
Beliau adalah guru Sosiologi dan Antropologi..
Beliau punya ikan arwana yang (menurut beliau) joged kalau dimainin musik
Beliau pernah menggampar saya karena saya kebanyakan ngomong di kelas
HAHAHAHA Tidak ada dendam dari saya.. saat itu saya menerima perlakuannya tanpa ada kesal.. malah lucu
rasanya.. Sampai hari ini masih lucu bahkan kalau diingat..
Hari ini beliaupun masih ingat dengan saya...
Saya pernah ngemsi di acara SMA saya suatu hari belum lama ...
Ketika ngemsi saya lihat beliau berdiri menonton saya di antara para murid sambil berpangku
tangan dan tersenyum. Belakangan ketika acara selesai, seorang murid Gonzaga cerita pada saya bahwa dia sempat
bertanya kepada Pak Dewa "Pak, waktu mas Pandji SMA sudah keliatan belum kalau dia akan jadi
artis?" Pak Dewa menjawab "aaah, si Pandji mah waktu SMA cemen"
33 HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA Kuliah merupakan pengalaman yang terpenting saya karena untuk pertama kalinya, saya hidup terpisah
dari orang tua. Saya hidup sendiri. Belajar hidup mandiri.
Dari pertama kali saya menginjakkan kaki di Bandung saya sudah cinta dengan kota ini.
Dingin! Tahun 1997 sih masih dingin.. bahkan pagi pagi masih ada kabut yang begitu tebal sehingga
gedung SABUGA hilang ditelan kabut.
SABUGA adalah singkatan dari Sasana Budaya Ganesha.
Sebuah kompleks fasilitas paling megah yang pernah saya lihat hingga pada saat itu.
Ada lapangan sepakbola yang begitu hijau dikelilingin lintasan lari, kolam renang dengan papan
lompat indah, sejumlah lapangan tenis, sejumlah lapangan basket, dan sebuah gedung megah
multiguna. Dari proses wisuda mahasiswa sampai konser musik dihelat di sana.
Saya ingat waktu pertama kali saya lihat kompleks itu.
Supir saya masih Pak Wito, bersama dengan Ibu saya kami ke Bandung.
Ketika melintasi jalan mata saya tiba-tiba terbelalak melihat kompleks itu yang posisinya lebih
rendah dari jalan seperti di bawah lembah.
Saya minta mobil untuk berhenti sebentar di lahan parkiran.
Kami kemudian turun. Saya berjalan ke ujung bukit dan melihat ke lembah di bawahnya.. menatap fasilitas olahraga yang
ada. Dalam hati saya "Suatu hari gue akan masuk tim basket ITB dan bermain di lapangan itu"
(kelak saya tahu bahwa lapangan itu bisa dipakai umum dan bahkan lapangannya licin karena salah
menggunakan jenis cat ) 34 Supir saya bertanya kepada Ibu saya dengan pelan tapi saya tetap mendengar,
"Bu, kalau Mas Pandji nggak masuk ITB gimana jadinya?"
Saya tidak mendengar jawaban ibu saya tapi saya tidak peduli... Saya sedang berangan-angan.
Sedang bermimpi. Pada akhirnya saya masuk tim basket ITB walau kami tidak juara apa-apa selama saya di sana.
Kuliah di ITB (Institut Teknologi Bandung) memberikan sebuah pengalaman baru untuk saya.
ITB betul-betul melting pot.
Dari Sabang sampai Merauke , perwakilan pemuda dan pemudinya ada di sana.
Teman-teman saya beragam suku dan keturunan, dari Irto (Irja Toba, teman saya bermain basket
dari Papua yang sangat, sangat lucu) sampai Icut (nama aslinya Cut siapaaa gitu, saya lupa) teman
perempuan saya dari Aceh yang selalu kelihatan sibuk dengan segala aktivitasnya.
ITB punya kebanggaan semu yang agak aneh tapi menarik.
Lingkungan dan penilaian sekitar membuat mahasiswa ITB merasa seperti anak-anak terbaik
bangsa, isinya mahasiswa pintar yang HARUS punya kepedulian terhadap masyarakat sekitar.


Nasionalisme Karya Pandji Pragiwaksono Wongsoyudo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dari ospek baik ospek gabungan ataupun ospek fakultas dan jurusan kami mendapatkan kesan itu.
Sejujurnya, menurut saya anak ITB tidak lebih cerdas daripada anak-anak di kampus yang lain.
Sama saja. Perbedaannya mungkin memang ada, tapi lebih kepada fasilitasnya.
Itupun sebenarnya juga sangat relatif, apalagi kalau dibandingkan dengan fasilitas di UPH
(Universitas Pelita Harapan) misalnya.
ITB itu yang bagus brandingnya
Toh dari dulu saya meyakini 'Hard work beats talent, when talent doesn't work hard'.
Jadi memang jatuhnya kepada usaha kita masing-masing.
Yang juga menguntungkan dari ITB adalah bahwa beasiswanya teramat sangat banyak.
Saya saja kaget. Seperti yang sempat saya tulis di atas, begitu banyaknya beasiswa sehingga yang relatif mampu
pun bisa dapat. ITB pun pada jaman saya tidak terhindar dari tawuran antar jurusan.
35 Kala itu, gara-gara sudah dikondisikan Gonzaga, saya merasa tawuran itu sudah gak jaman dan
absurd. Tapi di fakultas saya, tawuran justru sebuah hiburan.
Kami tidak pernah benar-benar membenci. Kami hanya senang dengan seru-serunya.
Kalau ada tawuran, teman-teman di FSRD sering terjun ke "kancah perang" dengan kostum!
Mukanya benar-benar terlihat garang... tapi pakai kuping-kupingan kelinci!"
Ada lagi yang kalau tawuran kerjanya lari-larian di antara orang yang tawuran tapi sama sekali tidak
memukul dan (di sini seninya) sama sekali tidak kena pukul.
Jadi hanya lari-larian saja di antara orang orang yang ramai tawuran.
Saya sama sekali tidak pernah ikutan tawuran.
Saya masuk ke rombongan lapis III.
Hehehe Di FSRD ada 3 lapisan kalau mau tawuran.
Lapisan pertama yang paling depan dan sok-sok ngajak berantem.
Lapisan kedua adalah yang sok-sok menahan.
Lapisan ketiga adalah yang ketawa-ketawa sambil nonton adegan lucu itu.
Fakultas saya memang rada aneh.
Kami sering mengumpamakan gedung FSRD sebagai Desa Galia di tengah-tengah jajahan romawi.
Desa riuh ramai yang kadang suka berantem dengan sesamanya tapi kalau ada serangan dari luar
kami bersatu dengan begitu kuatnya.
Ospek saya tidak seperti ospek yang lain.
Ospek kami lucu. Saya dengan suka rela ikut serta karena saya senang.
Saya sering dihukum karena kebanyakan ketawa.
Hukumannya, dibikin ketawa oleh senior.
Lalu kalau saya ketawa lagi, saya dihukum lagi dengan cara yang sama: dibikin ketawa.
Intinya, senior-senior saya senang "tampil".
36 Anak baru dijadikan penonton karya-karya mereka yang memang saya akui sangat menghibur.
Ospeknya selalu bertema. Selalu lucu. Selalu niat.
Tidak hanya sekedar teriak-teriakan dan bentak-bentakkan. Ada sih kadang kadang, tapi bagi saya
sih masih biasa. FSRD adalah kampus dengan semangat berkesenian yang tinggi.
Dan seniman bukanlah seniman kalau tidak berkarya.
Maka berkarya sangatlah dianjurkan dan didukung di fakultas kami.
Situasi kampusnya dikondisikan agar enak berkarya.
Dengan karya karya kami, maka kampus selalu ramai. Selalu ada acara. Selalu ada kelucuan dan
pada akhirnya, selalu ada kisah menarik dan indah untuk diceritakan dan dikenang.
Acaranyapun dinilai dengan sangat demokratis. Kalau acaranya bagus, ramai. Kalau jelek, sepi.
Sudah. Itu saja tolok ukurnya.
Tapi kesederhanaan penilaian itu tidak menyurutkan semangat setiap individu kami untuk berkarya
Terlalu banyak acara acara dan karya teman-teman selama kuliah yang bisa saya ceritakan.
Tidak akan muat masuk buku ini dan juga takutnya akan melenceng.
Intinya adalah, FSRD-lah yang meyakinkan saya bahwa saya bisa dan harus berkarya.
Kami datang dari universitas negeri dengan segala keterbatasan dana.
Tapi dari kuliahpun kami diajarkan untuk melabrak keterbatasan itu.
Uang akan selalu jadi masalah, kalau kita biarkan menjadi masalah, maka uang akan memasung
kreativitas kami. Maka kami selalu mencari jalan lain.
Jalan yang lebih keras, tapi pantas untuk kami ambil.
Gara-gara kampus inilah saya pertama kali belajar menebang pohon bambu dan menggotong
bambu dari hutan ke kota demi membawa bahan baku yang kami gunakan untuk membangun
sebuah perupaan acara. Saya kuliah 4.5 tahun dan betapapun saya banyak sedih dan kesal di kampus ini, hari ini kalau saya
ingat, saya selalu bahagia masuk kampus tersebut.
Selama 4.5 tahun itu ada 1 tahun di mana saya kemudian menambah wawasan akan
37 ke-Indonesiaan dan itu adalah pada tahun 1998.
Seperti yang kita semua ingat, pada tanggal 12 Mei, mahasiswa Trisakti tewas diterjang peluru.
Yang terjadi setelah itu adalah salah satu bagian dari sejarah paling paaaaaaling buruk di Indonesia
Selama tanggal 13 - 15 mei terjadi kerusuhan di beberapa kota yang sangat memilukan.
Kadang kalau saya pikir, saya tidak habis pikir bangsa saya bisa seperti ini.
Pemerkosaan, pembunuhan di TENGAH JALAN RAYA.
1998 jadi bagian yang paling menyedihkan terutama untuk saudara-saudara kita yang berdarah
Cina. Banyak teman saya yang berubah drastis hidupnya setelah itu.
Saya menyalahkan pihak yang tersembunyi di balik semua ini, pihak yang bertanggung jawab
menjadikan Rakyat Indonesia seperti itu.
Pihak yang hingga kini masih misterius.
Bangsa Indonesia tidak seperti itu.
Saya akan pastikan kami tidak seperti itu.
Bahkan di Bandung, saya malah benar-benar melakukan sesuatu yang akan menghindari kejadian
yang sama terjadi di Bandung. Karena di kota-kota lain kerusuhan telah terjadi.
Ibu kost saya, seorang nenek-nenek, nangis gara-gara nonton berita kerusuhan itu di TV dan beliau
berkata kepada saya sambil menaruh tangannya di pundak saya "Nak, tolong nak... hentikan
kerusuhan itu.. hentikan"
Saya shock. Mau bayar kostan kok malah dapat pesan seperti itu"
Balik ke kamar saya terngiang-ngiang ucapan ibu kost saya.
Saya pikir, dengan kapasitas saya, apa yang saya bisa lakukan untuk menghentikan semua itu.
Saya tidak keluar kost kostan seharian.
Malam-malam saya baru terpikir.
Mungkin saya tidak bisa menghentikan kerusuhan di Indonesia,
Tapi saya bisa berusaha untuk menjamin kerusuhan itu tidak terjadi di Bandung.
Saya akan sumbangkan apa yang jelas jelas saya punya.
38 Kemampuan saya sebagai mahasiswa senirupa dan desain.
Saya mengajak teman-teman di kampus untuk bikin Kampanye Anti Kekerasan.
Kami bikin iklan yang dengan usaha lobi dari tim kami akhirnya masuk koran Pikiran Rakyat.
Iklan kami masuk bioskop-bioskop 21 di Bandung.
Kami menyampaikan pesan damai lewat humor, dan 2 ikon yang tepat untuk menyampaikan pesan
adalah Cepot dan Orang Utan.
Saya sampai hari ini tidak tahu apakah Kampanye kami berhasil atau tidak. Yang saya tahu, di
Bandung pada akhirnya tidak terjadi kerusuhan.
Dan kami bersyukur tinggal di kota yang damai ini.
Mahasiswa di Bandung memang tidak sekeras mahasiswa di kota lain.
Kami relatif damai. Relatif Memang kadang (dan saya melihat dengan mata kepala saya sendiri) beberapa mahasiswa kalau
lagi demo sengaja memanas-manasi polisi, sengaja memancing-mancing, lalu ketika kepala mereka
kena pukulan tongkat bambu, mereka lari keatas podium dan berteriak lantang "LIHAT!!! LIHAT
KEPALA SAYAA! SAYA DIPUKULI POLISIIII!!! MEREKA TELAH BERLAKU ANARKIS KEPADA
MAHASISWA!! MEREKA PEMBUNUH MAHASISWA!!!"
Tapi jenis-jenis mahasiswa seperti itupun tidak disukai oleh mayoritas mahasiswa ITB.
Saya sendiri, selalu senang melihat mahasiswa yang berorasi.
Kampus kami memiliki orator luarbiasa. Laki DAN perempuan.
Seorang teman, mahasiswi ITB , sering berorasi.. Kalau dia lagi orasi saya seperti melihat Cut Njak
Dhien. Semangatnya berkobar-kobar.
Kadang memang dia jadi cemoohan mahasiswa laki-laki.
Sekali waktu ketika dia turun dari panggung, segerombolan mahasiswa nyeletuk dengan tidak
sopan kearah teman saya. Teman wanita saya itu berhenti berjalan, kemudian mendekati
mahasiswa yang nyeletuk dan PLAK!
Setelah menampar, teman saya berlalu tanpa bilang apa-apa..
Meninggalkan mahasiswa yg nyeletuk tadi dengan wajah malu, teman temannya yang bersama dia
juga diam. Sementara kami cekikikan dari jauh.
39 Salah satu orator adalah teman saya, senior saya. Namanya Khalid Zabidi.
Kalau dia berbicara, semua diam dan mendengar.
Badannya tidak terlalu besar, tapi kharismanya menambah gelegar suaranya ketika berorasi.
Ketika mahasiswa mulai berantakan tidak beraturan, mulai rame dan mulai dorong-dorongan, dia
berdiri di atas mobil atau mimbar atau apapun yang bisa menambah ketinggiannya dan berteriak
dengan megaphone ditangannya "SI-LA-KAN-DU-DUK!"
Teriakannya itu khas sehingga mahasiswa ITB pada jamannya sampai hafal dan malah jadi
becandaan. Omongannya jauh dari hinaan dan umpatan.
Karena itu, saya enggan sekali melihat mahasiswa jaman sekarang yang bahasanya kasar.
Coba jawab pertanyaan ini: Bagaimana caranya Anda akan mendapat simpati, kalau anda
berusaha berbuat benar dengan cara yang salah" Seperti teriak ANJING! SETAN! BANGSAT!
MONYET! BABI! Dan hal-hal lain yang tidak pantas masuk buku saya. Bagaimana caranya Anda akan mendapatkan
hati rakyat" Bagaimana kami mau hormat kepada Anda kalau bahasa Anda tidak terhormat"
Sesalah-salahnya umat manusia, Tuhanpun tidak mau kita mengucapkan umpatan dari mulut kita.
Saya lupa pastinya, tapi karena saya follow @AyatSuci di twitter saya, saya ingat sebuah ayat yang
berbunyi kurang lebih "Allah tidak pernah suka apapun yang berlebihan".
Rasanya, pemikiran itu menempel di benak saya hingga hari ini.
Ketika demonstrasi, posisi saya adalah jadi pagar betis.
Saya dan teman-teman senirupa bikin barisan sambil bergandeng tangan dengan siku kami
membatasi mahasiswa dengan polisi agar tidak terjadi bentrok.
Tidak jarang saya berada di antara baku hantam mahasiswa dan polisi.
Lucunya, dalam kondisi seperti inipun, mahasiswa fakultas saya kelakuannya beda sendiri.
Di saat yang lain sibuk baku hantam, beberapa anak senirupa masuk kedalam inti dari dorong
dorongan itu lalu keluar bawa "barang curian" seperti masker gas dan pentungan yang diambil dari
sabuk para polisi.. hehehehehe
40 Lalu, pada 1 hari... para mahasiswa saling menyebarkan informasi "Hari ini kita ke Gedung Sate!
Polisi akan mengawal!"
Kabar itu tersiar dengan begitu cepat dan begitu luas di dalam lingkungan kampus sehingga
mahasiswapun berlarian keluar kampus dan menemui rombongan yang sudah siap melaju.. di
samping kami, adalah yang tadinya kami anggap sebagai lawan kami. Kepolisian.
Mereka berbaris di samping sementara kami berjalan dari ITB menuju Gedung Sate.
Hari itu, kami tidak sendirian, di kota-kota lain di Indonesia pun melakukan hal yang sama.
Di jalanan, ibu-ibu keluar dari rumah mereka, orang-orang keluar dari kantor mereka melihat
pemandangan yang jarang sekali mereka lihat.
Biasanya, kami tidak pernah bisa keluar dari Jalan Ganesha. Tidak bisa berjalan ke luar area
kampus seperti ini. Kali ini, ITB bergabung dengan kampus-kampus lain dengan tujuan akhir Gedung Sate.
Dan ibu-ibu melambaikan tangannya kepada kami. Seakan-akan ini adalah sebuah arak-arakan
para pahlawan dan kami adalah pahlawanannya.
Perjalanan kami akhirnya sampai ke lapangan Gasibu... kami datang dari arah Jalan Dipati Ukur
melintasi Gasibu dan ketika kami sampai di ujung Gasibu mengarah ke Gedung Sate, saya melihat
pemandangan luar biasa. Gasibu letaknya lebih tinggi dari jalan. Dari atas melihat ke bawah, gedung sate penuh dengan
manusia. Mahasiswa dari seluruh universitas, perguruan tinggi di Bandung.
Semuanya berkumpul di titik yang sama.
Semuanya melakukan hal yang sama.
Semuanya memiliki kesadaran yang sama.
Tidak hanya di Bandung, tapi di seluruh Indonesia.
Tidak lama dari hari ini, Presiden ke-2 Republik Indonesia yang diberi julukan Bapak Pembangunan
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden.
Epik. Saya masih di kostan waktu mendengar kabar pengunduran diri tersebut.
Saya tidak punya TV, secara tidak sengaja waktu keluar kamar mau ke kampus pintu kamar
tetangga kostan terbuka dan di dalam dia dan teman-temannya sedang menonton berita
pengunduran diri Soeharto.
41 "YESSSS!!!!" "MAMPUS LOOO" "BERHASIL MAN! KITA BERHASIL!!!"
Teriakan-teriakan seperti itu keluar dari mulut mereka.
Saya sendiri, masih kebingungan.
Hal pertama yang di kepala saya adalah "Okay, now what?"
Ketika tiba di kampus, ternyata reaksi pun beragam.
Ada yang berpesta pora Ada yang kebingungan Ada yang berpelukan Ada yang bernyanyi Lama lama.. Seminggu Sebulan.. Sekretariat reformasi yang asalnya ramai, kini sepi.
Tujuan mahasiswa telah terlaksana, rezim terlama yang memerintah Indonesia akhirnya turun.
Menandai sebuah cerita baru dalam demokrasi Indonesia.
Menyisakan pemikiran dan mentalitas baru dalam hidup saya.
Dari Menjadi Penonton Sampai Menjadi Pelaku...
Orang Indonesia senang olahraga.
Bulu tangkis, Sepakbola, Bola Voli, Bola Basket , dll.
Seperti agama bahkan. 42 Antusiasme orang Indonesia adalah salah satu ciri positif bangsa
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
kita. Dan tidak ada lagi arena yang lebih tepat untuk menunjukkan itu selain arena olahraga.
Olahraga tidak ada artinya tanpa pendukungnya.
Dari jaman Gladiator di Colosseum, suara dukungan, sorakan, elu-elu penonton jadi bumbu
perjuangan. Lucunya, antusiasme tidak selamanya hadir di setiap negara.
Negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura misalnya, tidak memiliki antusiasme seperti kita.
Kadang memang ada nilai positifnya. Bambang Pamungkas dalam sebuah wawancara pernah
berkata pada saya, stadion sepakbola di Malaysia itu tidak pernah sehingar-bingar di Indonesia.
Memberi kesan aman, sehingga di sana pertandingan sepakbola jadi seperti tempat piknik keluarga.
Orang-orang bawa anaknya, sekeluarga dan menonton sepakbola.
Di sisi lain, kadang kalau penonton sepakbola terlalu dingin, nggak enak juga bertandingnya.
Waktu Liverpool ke Singapura, rombongan The Reds dari Indonesia berbondong-bondong ke sana.
Sampai sana, ternyata yang sorak sorai bernyanyi lagu-lagu kebangsaan Liverpool secara lengkap,
ramai dan tanpa putus adalah hanya orang-orang Indonesia.
Tapi antusiasme yang berlebihan memang cenderung merugikan.
(Sebenarnya apapun yang berlebihan memang selalu merugikan)
Kisah-kisah mengenai bonek yang rusuh adalah salah satunya.
Tawuran di lapangan, wasit digebukin, dll. malah jadi sering menghiasi media..
Banyak orang hari ini menjadikan hal-hal seperti ini sebagai alasan untuk apatis terhadap dunia
olahraga Indonesia. Apalagi ditambah dengan prestasi kita di banyak cabang yang seperti tidak pernah maju.
Bagi saya pribadi, itu hanya masalah cara pandang.
Seseorang bisa saja memilih untuk membuang muka terhadap Indonesia, tapi toh ketika prestasi itu
tiba, mereka juga akan kembali lagi.
Di mata saya, mencintai sebuah tim, mencintai sebuah cabang olahraga, mencintai dan mendukung
seorang atlet, adalah bukan hanya karena harapan kemenangan.
Saya mendukung karena dukungan itu adalah bentuk dari keinginan saya untuk bersatu bersama
Bangsa Indonesia yang lain.
1 Saya hadir di GOR Ctra arena, atau hadir di Stadion Utama Gelora Bung Karno, untuk menjadi


Nasionalisme Karya Pandji Pragiwaksono Wongsoyudo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagian dari sebuah semangat persatuan.
Di masa ketika Indonesia banyak dipecah belah, berada di antara bersatunya masyarakat Indonesia
mengingatkan kembali betapa indahnya persatuan.
Di masa ketika TV isinya kerusuhan, baku hantam antar sesama saudara sedarah atau konflik
politik, rasanya segar sekali berkumpul bersama dengan atribut merah putih dan sama-sama
berteriak IN-DO-NE-SIAAAA!! Saya adalah pecinta olahraga.
Olahraga apapun. Cinta saya adalah bola basket dan selingkuhan saya adalah sepak bola.
Kecintaan saya terhadap olahraga adalah turunan dari orang tua saya.
Dari keciiiiil banget saya sudah diajak mereka ke lapangan tenis, menyaksikan Ayah dan Ibu saya
main tenis. Ibu saya sebenarnya jagoan bowling.
Waktu kami tinggal di Singapore, pialanya banyak.
Saya paling senang lihat ibu saya bermain bowling, dari kecil hingga sekarang saya dewasa
(walaupun sekarang sudah sangat jarang) Kalau lagi main bowling Ibu saya terlihat percaya diri dan
semangat. Ibu saya juga suka volley.
Sementara Ayah saya adalah atlet.
Koes Pratomo Wongsoyudo adalah 1 dari 7 orang Indonesia yang membawa Karate untuk pertama
kali ke Indonesia. Ayah saya dapat beasiswa untuk kuliah di Tokyo Denki University dan di situ beliau belajar Karate.
Mungkin karena memang suka olahraga dari kecil (beliau kecilnya main sepakbola dan basket)
ketika kuliah beliau bisa menyerap karate dengan cepat bahkan jadi salah satu yang terbaik di
angkatannya. Yang menarik adalah, bahwa guru beliau merupakan murid dari M. Nakayama. Sementara
M.Nakayama adalah murid langsung dari Gichin Funakoshi.
Gichin Funakoshi adalah orang yang menciptakan Karate Do.
2 Jadi Ayah saya dapat turunan langsung dari pencipta karate.
Lucu, waktu saya kuliah di ITB bahkan ada soal ujian yang berbunyi seperti ini:
"Sebutkan 7 serangkai yang pertama kali membawa karate ke Indonesia"
Nama Ayah saya di samping nama Sabeth Muchsin, orang yang pada akhirnya jadi ketua INKAI
yang pertama. Dulu, karate hanya ada INKAI, lalu muncul cabang-cabang lainnya. Lalu berhubung Karate
dianggap sebagai sebuah poros kekuatan yang penting, maka pemerintah mendirikan FORKI untuk
menaungi semua organisasi karate di Indonesia dan selalu... sekali lagi, selalu memasang jendral
sebagai ketuanya Ada kesan yang muncul lewat FORKI, pemerintah berusaha "menggawangi" karate.
Saya sendiri juga sempat ikut karate... sampai ban hijau hehehehe...
It's not my cup of tea. Waktu saya karate, sempai saya sering bertanya "Bapak kamu siapa namanya?"
Kalau saya jawab "Koes Pratomo Wongsoyudo" mereka lalu langsung manggut-manggut...
Kelihatannya mereka melihat Ayah saya ngedrop saya latihan.
Besok-besok, kalau Ayah saya datang, mereka memberikan hormat dalam-dalam kepada Ayah
saya. Sebenarnya, saya sudah diajak berolahraga sejak kecil jauh sebelum saya mulai Karate.
Bahkan olahraga saya yang pertama adalah SENAM.
Bukan senam ritmik sejenis SKJ gitu, tapi senam lantai.
Saya ikut PERSANI waktu saya SD kelas 1 karena kata Ayah saya, senam adalah dasar dari
semua olahraga dan saya harus mulai olahraga sejak kecil.
Setelah itu saya dibawa masuk klub atletik namanya FMM atau Fajar Mas Murni.
Di sini saya melakukan semua cabang atletik dari lari 100 m, 200m, lompat jauh, dan andalan saya:
estafet. Hehehehe, di sini saya pertama kali ikutan kompetisi dan merasakan bangganya dapat medali dan
piala. Ketika SD kelas 3 saya sudah bermain bola, kelas 6 saya mengenal Ary Sudarsono dan NBA.. lalu
mulailah saya bermain basket.
Sejak itu 2 olahraga tadi tidak pernah lepas dari hidup saya, terutama bola basket.
3 Nah, kecintaan saya terhadap olahraga membuat saya selalu memantau perkembangan olahraga
Indonesia di televisi. Salah satu alasannya adalah karena ayah saya juga suka nonton pertandingan apapun terutama
pertandingan Indonesia melawan negara lain.
Salah satu olahragawan yang tidak pernah lolos dari tontonan kami adalah Elyas Pical.
Bung Ely pada masa itu mengagumkan.. melihat pukulannya merobohkan lawan, merobek pelipis,
luar biasa. Beliaulah juara dunia tinju Indonesia yang pertama saya kenal.
Saya jadi ngefans (seperti juga semua orang pada masa itu) karena beliau adalah orang Indonesia,
yang JUARA DUNIA. WOW. Waktu saya sering latian atletik bersama FMM di Lapangan PASI(Persatuan Atletik Seluruh
Indonesia), saya melihat seseorang yang miirip dengan Bung Ely Pical. Bukan hal yang aneh
karena saya memang sering bertemu dengan Ardi B. Wiranata, Alan Budikusuma, Joko Supriyanto
lagi lari keliling lapangan.
Lapangan itu sering digunakan atlet untuk berlatih.
Saya lalu bertanya kepada Ayah saya "Ayah, itu Elyas Pical ya?"
Ayah saya (dasar usil) bilang "Iya, itu Elyas Pical.. sana minta diajarin tinju.."
Cukup lama saya menyangka pria itu Bung Ely, sampai saya sadar sendiri ternyata namanya
adalah UNTUNG. HAHAHAHAHAHA
"Pantesan kok lama-lama bedaaa.."
HAHAHAHAHAHA Hati saya hancur menyaksikan Bung Ely roboh oleh Khaosai Galaxy..
Saya masing ingat celana garis-garis putih biru yang dipakai Elyas Pical.
Saya masih ingat raut wajahnya.
Bahkan saya sampai menggambar kejadian itu dengan krayon.
Sejak itu, beliau susah untuk bangkit kembali.
Saya juga sering nonton tenis, salah satu pertandingan tenis yang saya sangat ingat adalah ketika
saya nonton Suharyadi dan Wailan Walalangi di pertandingan Piala Davis.
4 LUAR BIASA. Pertandingannya begitu gigih dan perjuangan kedua pemain tenis itu betul-betul mengagumkan.
Mereka dengan kompak saling bantu membantu, menutupi kelengahan yang lain..
Mereka sampai menjatuhkan diri untuk menggapai bola, sampai melakukan pukulan 'behind the
back' karena sempat salah langkah, pada satu kesempatan ketika keduanya sudah mati langkah,
Wailan Walalangi melempar raketnya untuk menggapai bola..
Saya terpana. Mereka betul-betul melakukan APAPUN untuk melawan.
Dari layar kaca saya melihat penonton sampai berdiri memberikan tepuk tangan kepada
pemain-pemain Indonesia ini.
Ayah saya berkata kepada saya "Lihat mereka,Mas... Gigihnya luar biasa"
Saya terpaku menyaksikan bagaimana Suharyadi dan Wailan Walalangi berjuang membawa nama
Indonesia. Kalaupun mereka kalah, mereka kalah terhormat.
Dan pertandingan itu mereka kalah, tapi mereka tidak kehilangan rasa hormat dari lawan dan dari
siapapun yang menyaksikan hari itu.
Salah satu kebanggaan saya dulu adalah Tim Primavera Indonesia
Wah saya ikutiiiiin terus perkembangannya.
Indriyanto Nugroho, Kurnia Sandy, dan tentunya Kurniawan Dwi Julianto. Striker idolanya Bambang
Pamungkas. Kurniawan DJ di Primavera, adalah urutan kedua top scorer, di bawah Alessandro Del Piero
Mainnya memang luar biasa saat itu.
Skillnya bagus, larinya cepat, pengambilan keputusannya tajam dan gerakan tanpa bolanya bikin
pusing lawan. Bangga sekali waktu tahu Kurniawan sempat bermain bersama Sampdoria.
Waktu Sampdoria datang ke Indonesia bersama Atillio Lombardo, Kurus (panggilan Kurniawan)
mencetak 1 gol... dan saya menyaksikan gol tersebut.
Momen itu seperti penobatan raja baru.
Ketika Kurus mencetak gol, seperti sebuah pesan "pahlawan sepakbola Indonesia yang baru telah
lahir". Namun saya tidak pernah mengamati secara "religius" sepakbola Indonesia, saat itu saya masih
5 gelap oleh kilaunya bola basket
Saya hanya ingat beberapa momen, salah satunya adalah gol spektakuler Widodo C. Putra di Piala
Asia kalau tidak salah, atau Tiger Cup" Atau sama saja"
Pokoknya saat itu, Widodo C, Putra melakukan 'bicyle kick' tapi dari ujung luar kotak penalty!
Luar biasa. Nah kalau pertandingan sepakbola, yang paling berkesan adalah ketika saya menonton Piala Asia.
Timnas melawan Korea Selatan.
Saya akan co-pas tulisan saya untuk blog, yang saya tulis tidak lama setelah pertandingan..
"KAMI PERCAYA!"
Indonesia Sabtu malam kalah dari Arab Saudi.
It was a devastating loss.
I don't know what's worse: fakta bhw kita sebenarnya hampir berhasil menahan mereka tapi gagal di
menit terakhir, Pitoy yg brilian sepanjang 92menit tapi scara ironis gagal menahan sundulan tepat di
dpn kepalanya, atau performa luar biasa yg akhirnya tidak tersisa. Kalah ya kalah. Tidak dpt angka.
Tapi siapapun yg bilang, "Indonesia pasti kalah dari Arab Saudi" seharusnya malu sepanjang
pertandingan. I will tell you again why I believe in this team. Umpan kaki ke kaki mereka mengalir
dgn sangat baik, mereka tidak panik dan yg paling nyata adalah mereka jago merebut bola. Jago
bgt. Ditambah determinasi yg memang tinggi. Mereka bermain imajinatif. Untuk yg tidak mengerti,
imajinatif berarti tidak gampang kebaca, byk umpan terobosan yg matang, dan mengejutkan dlm arti
yg menyenangkan. Pertahanan kita kemarin jauh lebih baik daripada ketika melawan Bahrain. Gol sundulan Arab saudi
(yg memang bgs bgt) adalah dari keunggulan postur. Pemain yg mukanya mirip Mohinder Suresh
itu menyundul bola dgn sgt sgt tajam. Tapi siapapun, yg ngerti bola ataupun tidak, akan mengakui
bhw gol Elie Aiboy jenius.
Dimulai dari kegigihan Syamsul Bachri yg mencuri bola dan menyodorkan bola ke Elie, dgn tenang
dia mengecoh kiper dan mencetak gol yg hanya dijaga 1 pemain belakang.
Once again we proved them that we are not in an awe of a 3 time Asia Cup Champion. Ya, betul.
Arab Saudi adalah juara 3kali Piala Asia, langganan Piala Dunia. Mereka memang seharusnya
menang. Mereka cukup berhasil mematikan Bambang Pamungkas dan Firman Utina. Tapi yg lain
mampu muncul ke permukaan dan merepotkan Arab Saudi. We played great. Kami bangga. Mreka
butuh 93 menit utk menundukkan Indonesia. That is an accomplishment in its own way.
Even though we've lost, that day was magical.
6 Semua orang yang nonton di TV (terima kasih banyak RCTI dan Global TV)Semakin percaya akan
kemampuan Timnas dan semakin merasa bahwa mereka perlu nonton langsung di Gelora Bung
Karno. Here's a secret: Kemarin di partai Indoesia vs Korsel gue baru pertama kali nonton di dalam Stadion secara
langsung. Sebelumnya sama sekali tidak pernah.
WHY SHOULD I" Dulu gue tahu Timnas akan kalah dengan tolol dan memalukan.
Tapi sekarang beda. I want to be a part of it.
I want to be a part of history.
I believe. Begitu juga Gamila yang menangis ketika kita kalah kemarin lawan Arab Saudi
Maka gue beli baju Timnas (untuk pertama kalinya juga) dan berangkat bersama teman teman dan
istri ke Gelora Bung Karno.
Di sana, rasanya seperti ... Duh, sulit untuk dijelaskan. EVERYBODY WAS THERE. Ada orang
yang pake kursi roda, ada cewe-cewe mall dengan dandanan mereka, ada orang yang bawa
bendera guwede buanget. Sementara ketika kita sampai di dalam atmosfernya semakin meningkat. Orang-orang sudah mulai
penuh dan semua bernyanyi dan bersorak. Sementara gue masuk stadion waktu itu baru jam 15.45
PERTANDINGAN BARU MULAI JAM 17.20!!!!
Di sebelah kiri gue, salah satu bendera raksasa sedang di bentangkan (lihat dibelakang gue) Dan di
tribun itu pula, baligo Elie Aiboy, yang sempat gue dengar roboh ke jalan,
7 dibentangkan di sana. It was a magnificent sight. Temen temen gue yang lain juga menonton, gue
udah telfon-telfonan, termasuk adik gue Handriya, dan teman teman kantornya. Mereka menyebar
di seluruh pelosok Stadion.
I was happy to be a part of such a historical day. I was happy Gamila was with me that day.
Gue bertemu dengan saudara-saudara sebangsa Indonesia. Tidak ada yang saling kenal tapi
semua sama-sama meneriakkan nama bangsa dan negara yang sama : INDONESIA. Gue ktemu
dengan salah seorang Hardrockers.
Besoknya istrinya sempet SMS ke 0811876876 dan bilang suaminya seneng banget ketemu gue
sampai-sampai mimpinya indah. Sayang gue rada lupa namanya. Sayang gue juga ga sempet
membacakan SMS yang masuk ke Hardrock tsb. Gapapa, moga-moga dia baca blog ini.
Anyway, pertandinganpun dimulai tepat waktu. Kali ini panita membuat giant screen di Parkir Timur
kalau ga salah untuk mereka yang tidak berhasil masuk. Di dalam, stadion mencapai kapasitas
maksimum. Lihat foto di bawah... Coba di klik gambarnya untuk mendapatkan efek maksimum
Gila. Orang semua. Ketika pemain Indonesia pemanasan, kami di stadion mulai bersorak. Kemudian mereka masuk dan
keluar kembali sudah dengan seragam Timnas.
Ketika Lagu "Indonesia Raya" berkumandang,
gue menangis. Di sana, bersamaan dengan ratusan ribu orang yang berdiri di kursi mereka. Sama-sama dengan
lantang menyanyikan lagu kebangsaan kita. Kami semua lupa betapa malasnya menyanyikan lagu
ini ketika upacara di SMP .
Ada yang sambil mengibarkan bendera.
8 Ada yang sambil bertepuk tangan
Ada yang sambil hormat Ada yang sambil menutup matanya
Ada yang sambil mengepalkan tangannya ke udara
Ada yang sambil berteriak sekuat tenaga
Ada yang sambil perlahan dan hikmat.
Tidak ada cara yang salah dalam menyanyikan lagu kebangsaan. Semua orang berhak untuk
bernyanyi dengan cara apapun yang mereka rasa bisa membangkitkan semangat mereka.
Sambil lagu tersebut berkumandang, giant screen di dalam stadion menampilkan seorang
bapak-bapak yang bernyanyi dengan lantang sambil bercucuran air mata.
Selesainya dia melihat ke arah kamera, jari telunjuk ditunjukkan yang artinya "Nomor satu", masih
dengan air mata berurai di berteriak INDONESIAAAAAAAAAAAAAAAA!
Seketika gue merinding. Seiring dengan ratusan ribu orang berteriak di Gelora Bung Karno.
Gue tahu kini mengapa Stadion Senayan diubah menjadi Gelora Bung Karno. Seisi stadion itu
akhirnya diisi oleh orang orang dengan semangat nasionalisme dan kecintaan terhadap bangsa
yang sekelas dengan semangat Bung Karno. Pendahulu kita tentunya bangga.
Apa yang terjadi kemudian pada pertandingan tersebut, adalah sebuah perjuangan 11 ksatria
Indonesia. Tubuh mereka lebih lemah akibat perjuangan keras sebelumnya melawan Arab Saudi, Sejumlah
dari mereka sudah dihiasi kartu kuning dari pertandingan sebelumnya. Ketika lawan Bahrain, terasa
bahwa mereka di bawah kita. Ketika lawan Arab Saudi, rasanya kita imbang, namun tidak mujur.
Ketika lawan Korea Selatan, terasa sekali bahwa mereka di atas kita.
Namun ternyata mereka tidak mampu mempermalukan Indonesia. Mereka tidak mampu
mematahkan semangat kita. Mereka hanya mampu mencetak 1 gol.
Mereka, Tim Asia kelas dunia yang pernah menjadi semifinalis Piala Dunia dan langganan tetap
9 Piala Dunia, hanya mampu menembus gawang kita sekali.
Selamat Ponaryo Astaman. Selamat Bambang Pamungkas.
Selamat Elie Aiboy, Budi Sudarsono, Syamsul Bachrie, Firman Utina, Maman Abdurachamn, Richardo Salampessy, Markus Horison, Muhammad Ridwan, Charis Yulianto, Eka Ramdani, Yandri Pitoy, dan terima kasih Ivan Kolev.
Ratusan ribu pendukung yang memadati adalah saksi akan sebuah prestasi.
Kalian sudah berhasil melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh Timnas sebelumnya.
Kalian berhasil, membuat kami semua...
PERCAYA. ps: Ivan Kolev masih akan memimpin timnas Indonesia sampai 2009...
SEA Games is coming,

Nasionalisme Karya Pandji Pragiwaksono Wongsoyudo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

And when SEA Games arrives, we'll be ready.
*** 10 Kegemaran saya terhadap sepakbola suatu hari memberikan pengalaman baru yang menurut saya
luarbiasa. Manajemen saya menerima telefon.
Sebuah klub sepakbola baru akan berdiri dan meramaikan Divisi Utama.
Namanya PRODUTA. Mereka membutuhkan ambassador dan saya dihubungi.
Awalnya, saya kurang paham maksud dari penunjukkan saya sebagai duta dari tim sepakbola.
Karena sebelumnya saya tidak pernah mendengar ada orang yang jadi duta untuk sebuah tim
sepakbola. Kami kemudian bertemu dan saya diceritakan tentang banyak hal mengenai PRODUTA.
Ternyata, PRODUTA adalah sebuah tim yang tidak mewakili daerah tertentu.
Seperti misalnya PERSIB, Bandung.
PERSIJA, Jakarta. PERSIPURA, Jayapura. Dan seterusnya. PRODUTA membuka dirinya terhadap siapapun di seluruh Indonesia.
Seperti AREMA yang sekarang bukan lagi Arema Malang tapi Arema Indonesia
Begitupula PRODUTA FC Indonesia.
Menjadikan dirinya sebagai ikon perubahan dalam dunia sepakbola yang belakangan ini mulai
dinodai dengan fanatisme kosong akan daerahnya.
Kekerasan menghiasi berita berita sepakbola Indonesia.
PRODUTA bekerja sama dengan UNICEF PBB untuk menambah komitmen mereka terhadap
perbaikan sikap dan perilaku mereka di lapangan.
Memahami bahwa para pemain sepakbola diidolai anak-anak Indonesia, maka mereka mengikat
kerjasama dengan UNICEF dan akan menjadi teladan bagi anak-anak Indonesia lewat cara mereka
bersikap di lapangan. 11 PRODUTA meminta saya menulis lagu untuk mereka dan jadilah "HARUS BERSATU" yang
dijadikan anthem untuk mereka.
Kalau Anda perhatikan, ke manapun mereka pergi, ada banner bertuliskan potongan lirik saya
"Bukan Satu, Harusnya: Bersatu"
Sebuah pesan yang mengajak kita untuk tidak menutup mata terhadap perbedaan dan dianggap
satu, tapi menerima perbedaan dan kemudian bersatu. Sebuah prinsip yang saya dapatkan dari
SMA Gonzaga Hari ini, saya seperti memiliki tim tersebut. Kalau mereka kalah saya ikut sedih, kalau mereka
menang saya ikut girang Mainnyapun bagus banget. Siapapun yang menonton akan merasakan hal yang sama.
Saya tidak akan lupa ketika saya di Maguwoharjo (markas Sleman, berbagi dengan PRODUTA)
pada hari PRODUTA resmi diluncurkan. Hari itu PRODUTA berhadapan dengan PSIS Semarang.
PRODUTA menang 2-0. Menarik melihat seorang pemain Indonesia berdarah Cina bermain di PRODUTA. Irvin Museng bisa
jadi akan menginspirasi banyak saudaranya untuk juga bermain sepakbola di Indonesia.
Satu lagi perubahan yang diharapkan untuk sepakbola Indonesia.
Nah, menjadi duta untuk tim sepakbola memang menyenangkan, tapi berafiliasi dengan tim basket
favorit adalah impian menjadi nyata.
Perusahaan clothing saya Ref Basketball Clothing berlokasi di GOR C-tra Arena.
Kami sudah di sana dari 2005, perusahaannya sendiri dari 2004.
Dari jualan keliling-keliling lapangan basket hingga memiliki toko sendiri.
Perusahaan ini belum bisa dibilang besar apalagi sukses.
Kami masih harus banyak belajar, kami masih membuat kesalahan-kesalahan yang kadang
memperlambat gerak kami tapi kami bertahan karena kami PERCAYA.
Ref sendiri hadir karena perasaan aneh.
Aneh, karena di Indonesia banyak anak basket, tapi tidak ada perusahaan pakaian yang mengarah
kepada pasar tersebut. Anak basket di Indonesia seperti tidak punya pilihan selain Nike, Adidas, And1, Reebok, dll. untuk
beli kaos. Ref memang fokus pada kaus saat ini.
Kaus adalah identitas diri.
12 Orang bukan beli kaus, mereka beli identitas.
Ref menawarkan itu kepada anak basket.
Merk Indonesia dengan desain Indonesia.
GOR C-tra Arena, adalah juga rumah dari tim basket Garuda Bandung.
Dulu dia dikenal dengan nama Hadtex Bandung.
Saya jatuh cinta pertama kali dengan tim ini ketika IBL (Indonesian Basketball League) masih
bernama Kobatama (Kompetisi Basket Utama) dan saya menonton pertandingan final Kobatama
antara Aspac Jakarta (sekarang Aspac Putra Riau) dan Hadtex bandung (sekarang Garuda
bandung). Hadtex diperkuat oleh Thomas Tedy Kurnaedi dan Wayman Strickland (saat itu boleh pakai pemain
asing. Salah satu pemain asing terhebat adalah Bobby Parks yang bermain di Aspac)
Hall A Senayan penuh dengan penonton dan ledakan teriakan menghiasi malam tersebut.
Hadtex keluar sebagai pemenang dan saya jatuh cinta kepada tim ini untuk pertama kali.
Di pertandingan ini pula saya melihat Thomas Tedy melakukan DUNK. Melihat orang Indonesia
nge-dunk tidak aneh bagi saya. Dari SMA juga saya sudah lihat teman-teman saya melakukan itu,
tapi Thomas Tedy melakukannya di tengah-tengah pertandingan final dengan tegangan tinggi dan
melewati beberapa pemain.
Beranjak dewasa, saya sering nonton pertandingan Garuda Bandung.
Waktu Final IBL (entah tahun berapa) antara SM (Satria Muda) dan Garuda saya pernah duduk
manis di Britama Arena untuk mendukung Garuda Bandung bersama istri saya.
Saya teriak teriak GARUDAAAAAAAAA!!!! Pendukung Garuda (yang jumlahnya tidak banyak) di
seberang lapangan ikut ramai.. Ketika saya duduk saya baru sadar... saya duduk di area kubu SM.
HAHAHAHAHAHA Tahun itu akhirnya Garuda kalah. Tapi mereka tetap jawara di benak saya.
Pada rangkaian pertandingan final itu, ada beberapa kesempatan (2 kali kalau tidak salah) SM
bertandang ke kandang Garuda, dan penonton yang hadir untuk mendukung Garuda jumlahnya luar
biasa. Memang, siapapun, pemain manapun, pelatih tim apapun, akan mengakui, tidak ada kandang
seramai dan seangker GOR Ctra Arena milik Garuda Bandung.
Penontonnya ruamai! Saya dan Idan (salah satu owner dan juga penulis blog basket nomor 1 di Indonesia
13 mainbasket.wordpress.com) paling antusias menonton Garuda bertanding. Biasanya bersama
sahabat kami Richard Leo Latunussa atau dikenal dengan nama NSANE , pemiliki dan pengajar
sekolah freestyle/streeball bernama MASA DEPAN.
Ref Basketball suatu hari memberanikan diri untuk maju ke Bang Simon Pasaribu dan menawarkan
diri jadi Official Merhandiser dan kami disetujui.
Sejak itu, saya mulai lihat pemain Garuda dan official pakai kaos Garuda buatan Ref. Tapi perasaan
yang paling mengagumkan adalah ketika ada fans yang nonton Garuda bertanding memakai kaos
tersebut. Walaupun saya penggemar Garuda, tapi kalau SM sedang bertanding mewakili Indonesia, saya
tidak kalah antusias. Hampir selalu saya tonton pertandingan mereka di TV kabel. Lalu waktu mereka bertanding
Semifinal di Britama Arena, saya hadir dengan bendera merah putih dan kaos GARUDA Bandung
(hehehe agak saltum tapi saya sengaja karena saat itu Mario Wuysang pemain Garuda dipinjamkan
ke SM selama ABL - Asian Basketball League - berlangsung )
Teriakan saya sama lantangnya kalau saya mendukung Garuda.
Nyanyian saya sama kerasnya.
Dukungan saya sama tingginya.
Rasanya, memang tidak ada yang bisa menandingi menonton sesuatu secara langsung.
LOVE IT LIVE Entah itu musik ataupun olahraga.
LOVE IT LIVE. Perhelatan olahraga, terutama kalau mewakili Indonesia memang selalu jadi sesuatu yang sangat
indah. Menjadi sebuah budaya. Menjadi sebuah alat pemersatu paling indah.
Olahraga memang tidak seharusnya jadi alasan atau pemicu sebuah konflik, justru sebaliknya.
14 Saya sangat yakin, olahraga memegang peranan yang sangat penting untuk bersatunya Indonesia.
Dari Sabang Sampai Merauke
Saya selalu berpendapat: tidak boleh kita membenci sesuatu yang tidak kita pahami.
Saya terus terang bingung dengan orang-orang yang terang-terangan kepada saya mengaku
pesimis terhadap Indonesia, mengaku skeptis, mengaku kehilangan harapan, bahkan (dan ada
beberapa yang bilang ke saya langsung) bahwa mereka benci Indonesia.
Saya bingung karena kalau ditanya, apakah mereka pernah ke kota lain selain Jakarta, kebanyakan
jawab "belum". Beberapa lagi bilang pernah ke Bandung, Jogja, dan Bali.
Aneh sekali. Bagaimana mereka bisa bilang mereka benci Indonesia kalau yang mereka tahu hanya Jakarta.
Bagaimana mereka bisa bilang benci Indonesia kalau yang mereka tahu tentang Indonesia
hanyalah dari apa yang mereka baca di media dan tonton di TV.
Indonesia begitu luas. Begitu banyak hal yang terjadi di Indonesia.
Media tidak akan bisa meliput dan mengungkap semuanya. Dan terus terang mengingat mereka
tetap butuh menjual medianya dan faktanya berita buruk lebih seru dibaca dan tonton maka porsi
akan kebaikan Indonesia sangat sangat minim.
Banyak hal dari Indonesia yang tidak akan bisa orang ketahui kalau mereka hanya tahu Indonesia
dari media. Beruntung saya punya pekerjaan yang membawa saya keliling Indonesia.
Saya meyakini Anda tidak harus jadi entertainer untuk bisa keliling Indonesia, apapun pekerjaan
Anda, kalau Anda jadi salah satu yang terbaik di bidang Anda, ada kemungkinan Anda akan bisa
keliling Indonesia (bahkan dunia) setidaknya dengan mengajar keilmuan yang Anda punya.
Nah, pengetahuan saya akan kota-kota di Indonesia ini yang juga ikut membentuk kecintaan dan
optimisme saya terhadap Indonesia, perkenankan saya berbagi pengalaman keliling Indonesia yang
saya alami 15 Bandung Mari kita mulai dari kota terindah di mata saya, Bandung
Mohon maaf, kota kota lain juga indah dengan caranya masing-masing, tapi bagi saya Bandung
punya ikatan batin dengan saya
Sebelum saya kuliah di sana, saya hanya pernah 1 kali ke Bandung dan itu juga saya tidak ingat
banyak kecuali nasi timbel yang disuguhkan Tante Etty (tante saya) dan naik kuda di Jalan
Ganesha. Sudah. Bahkan saya tidak ingat perjalanannya.
Ketika saya diterima kuliah di FSRD ITB, hati saya bahagia luar biasa. Tubuh saya bersemangat.
Sebentar lagi saya akan hidup sendiri.
Mandiri. Mengatur uang sendiri. Cari makan sendiri. Tidur sendiri. Hidup sendiri. Sesuatu yang belum tentu dirasakan oleh orang seumuran saya saat itu, bahkan mungkin sampai
dewasa dan menikah. Rasulullah S.A.W. pernah menyarankan untuk hijrah.
Pindah tempat tinggal. Pemahaman saya terhadap agama memang tidak tinggi, tapi pemaknaan saya dari hijrah adalah
berpindah tempat dan tinggal di tempat yang lain.
Bagi saya, hijrah saya ke Bandung bisa jadi salah satu faktor yang mendewasakan saya.
Tinggal pada lingkungan yang baru akan memberikan kita pengalaman hidup baru dan dengan itu,
pelajaran baru. Bandung, adalah kota yang tepat untuk saya hijrah.
Kota ini pada tahun 1997 masih begitu dingin di pagi dan malam hari.
Sekarang memang panas, tapi tetap relatif lebih dingin dibandingkan dengan Jakarta.
Intermezzo sedikit: Di hampir setiap kota yang saya datangi di Indonesia, penduduk setempatnya
selalu menanyakan hal yang sama "Panas ya kota saya ini?"
16 Mau saya di Bandung, Makassar, Medan, Semarang, Surabaya, Kupang, Balikpapan, Jayapura,
dll... Semua selalu bertanya seakan akan kota mereka paling panas... kecenderungan yang aneh.
Mungkin karena mereka belum pernah keluar dari kota mereka sendiri jadi tidak punya
perbandingan. Bandung punya tata kota yang menarik walaupun agak mirip dengan banyak kota di Indonesia.
Konturnya berbukit bukit. Agak pe-er kalau Bike to Work di sini.
Saya pernah pulang dari kampus malam-malam dengan meminjam sepeda teman saya. Saya
bilang besok pagi pas kuliah saya kembalikan.
Pas pulang dari ITB ke Cihampelas memang enak karena kebanyakan turunan (kecuali pas
mendekati gandok) tapi pas berangkat ke ITB buseeeeeett... nanjak mulu terutama di Siliwangi.
Sampe kampus saya serahkan sepeda itu dan bilang, "Nanti-nanti kalo elo punya motor gue pinjem
ya, tapi untuk sekarang, gue ogah minjem sepeda lo lagi.."
Hehehehe Bandung memiliki sebuah karakteristik yang unik.
Kotanya itu penuh dengan masyarakat yang ekspresif dan apresiatif.
Contoh ekspresif adalah banyaknya dan maraknya komunitas yang ada di kota ini.
Pada Malam Minggu, nyaris semua komunitas tumpah ruah ke jalanan dan menjadikan Bandung
menjadi kota yang ramai (dan macet).
Cari komunitas apapun di Kota Bandung, pasti akan anda temukan, dan dengan jumlah massa
yang tinggi. Contoh apresiatif adalah sejauh pengalaman saya, penonton paling keren selalu penonton di kota
Bandung. Orang Bandung itu ekspresinya muncul kalau lagi nonton musik, dari yang anak muda sampai yang
dewasa, yang mampu dan tidak mampu, terlebih karena mereka sangat apresiatif terhadap apa
yang mereka tonton. Bikin acara kesenian di Bandung juga menyenangkan karena apresiasi mereka terutama kepada
kesenian dan industri kreatif sangat tinggi.
Makanya media media Bandung seperti majalah atau radio terutama, akan sering sekali bikin acara
acara untuk mengumpulkan massa mereka.
Salah satu yang juga sangat terasa dari kota Bandung adalah jiwa kompetitif-nya dengan Jakarta.
Saya ingat pada masa-masa awal saya kuliah di ITB, ada isu "Anak Jakarta" yang bersirkulasi...
17 Anak Bandung biasanya agak nggak suka dengan Anak Jakarta.
Sok keren. Sok eksis. Sok eksklusif. Sok kaya.
Padahal nggak selamanya seperti itu juga.
Saya pun merasakan itu, tapi saya berusaha untuk menepis itu dan masuk ke dalam lingkungan
Anak Bandung dengan mendekati mereka dan minta diajari Bahasa Sunda.
Kalimat pertama yang diajarkan kepada saya adalah, "Aing teu boga ka era"
Yang artinya "Saya tidak punya malu"
Kata teman saya, "Kalau kenalan, biasanya ngomong gitu.."
Saya tahu kalau saya lagi dikerjain, tapi saya terima-terima saja..
Jiwa kompetitif itu terasa juga dalam bidang olahraga.
Baik Persija vs Persib atau Satria Muda vs Garuda masing-masing memang merupakan rival yang
abadi. Bagi saya ini sehat. Saya tidak pernah melihat rivalitas ini menjadi sebuah masalah besar.
Bahkan, efeknya banyak yang positif.
Bandung kini lebih cocok disebut sebagai kota kreatif daripada Jakarta.
Mungkin memang karena Jakarta terlalu plural.
Tapi Bandung industri kreatifnya benar-benar luar biasa.
Rumah dari begitu banyak merk clothing besar dan seniman muda terkenal, Bandung sudah dilihat
oleh negara Inggris menjadi salah satu kota kreatif teratas di dunia.
Saya tidak bohong! Ada lagi fenomena menarik.
Di Bandung kalau kita perhatikan ada banyak wisatawan dari Malaysia.
Itu karena, di Malaysia, Bandung lagi ngetop-ngetopnya.
Seorang teman pernah bercerita tentang sebuah survey kecil yang dia dapatkan, anak muda
Malaysia kalau ditanya 2 kota yang paling ingin dikunjungi jawabannya New York dan Bandung.
18 Bayangkan Hari ini, Bandung sudah berbeda sekali dari kota Bandung yang saya lihat dan tinggali selama
1997-2005. Tapi ada beberapa hal yang tidak berubah.
Semangat kompetisinya Apresiasinya Ekspresinya Dan kemajuannya yang tiada henti.
Sejak Cipularang dibuka, percepatan peningkatan ekonominya luar biasa.
Bayangkan kalau Bandung memiliki Bandara Internasional.
Orang Bandung, secara umum menolak kemajuan ini.
Mereka rindu Bandung yang dingin. Mereka rindu Bandung yang sepi. Mereka rindu Bandung yang
dulu. Saya ingat waktu Jalan Layang Pasopati mau dibangun, ada buuuuaaaanyaaaaak banget
pendengar saya di Hard Rock FM Bandung yang menyatakan tidak setuju dengan berbagai alasan.
Padahal saat itu, kota Bandung tidak punya sama sekali jalan layang.


Nasionalisme Karya Pandji Pragiwaksono Wongsoyudo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka menolak dibangunnya jalan layang.
Saya bilang pas siaran "Okay, boleh deh elo ga setuju sama jalan layang Pasopati, tapi nanti kalau
udah jadi elo ga boleh pake yaa.."
Sekarang jalan layang itu malah jadi tempat pacaran hehehehehe
Kalau saya ditanya, Bandung itu kota yang tepat untuk apa, maka jawaban saya adalah
"PACARAN" Bandung adalah kota yang paling tepat untuk jatuh cinta.
Dan saya bisa bicara seperti ini setelah saya pergi ke begitu banyak kota di Indonesia.
Memang, jatuh cinta terasa menyenangkan di mana saja, tapi jatuh cinta di kota Bandung, tidak ada
duanya. Pertama-tama, Bandung adalah kota yang enak sekali untuk berjalan kaki.
19 Trotoar tersedia cukup layak untuk digunakan berjalan.
Sepanjang Jalan Dago dari BIP (Bandung Indah Plaza) sampai Dago Atas, selalu ada tempat untuk
berjalan kaki. Sepanjang Cipaganti juga ada trotoar di mana kita bisa berjalan diteduhi pohon-pohon tinggi dan
tua, sambil melihat rumah-rumah besar di kiri-kanan jalan.
Saya sering sekali jalan kaki menyusuri Cihampelas dari Sultan Plaza (sekarang sudah berubah)
sampai bawah lalu naik Cipaganti dan kembali ke kostan.
Saya pernah jalan dari RS (Rumah Sakit) Borromeus di Dago sampai Dago Atas.
Menyenangkan sekali, apalagi kalau jalannya berdua dengan pasangan
Kedua, Bandung itu gudangnya makanan. Lebih keren lagi, tempat makan di Bandung itu disiapkan
dengan baik. Tempatnya enak, bahkan seringkali interiornya unik (karena mungkin memang
orangnya punya apresiasi terhadap kesenian yang tinggi).
Lebih lengkap lagi karena Bandung memiliki tempat makan yang banyak dengan harga yang
bervariasi. Mau yang murah, enak, tapi tetap romantis" Ada banyaak.
Kurang cocok apa coba untuk anak kuliahan yang lagi jatuh cinta"
Kemudian kontur Kota Bandung yang berbukit membuat anak Bandung punya pilihan untuk melihat
city view, atau kalau malam, city lights
Ketiga, karena Kota Bandung yang memang relatif lebih dingin daripada kota-kota lain, anak
mudanya jadi punya pilihan berdandan yang lebih variatif daripada misalnya di Jakarta.
Karena itu, dandanan anak-anak Bandung selalu seru-seru. Cardigans, sweater, jaket di pinggir
jalan" Hanya di Bandung. Di Jakarta kayak gitu mah kepanasan. Mati gaya.
Karena hal yang sama, industri fashion atau berbusana di Bandung berkembang pesat.
Memenuhi kebutuhan anak-anak Bandung untuk bergaya.
Akhirnya lahirlah clothing dan distro yang memberikan pilihan untuk anak muda bergaya dengan
harga yang lebih enak di kantong daripada merk-merk terkenal yang mahal itu.
Karena faktor inilah, anak Bandung juga lebih apresiatif terhadap value. Terhadap desain.
Keempat, kota Bandung yang tidak terlalu besar ini membuat perjalanan ke mana-mana relatif
dekat. Naik mobil enak, naik angkot juga bisa, naik motor juga pas.
20 Ini faktor yang sangat pas untuk orang yang berpacaran.
Terakhir, banyak anak muda di Bandung tinggal sendiri, jauh dari orang tua.
Ini membuat pacaran terasa tanpa batas dan bebas.
Kapanpun bisa pacaran, tidak harus 'malam mingguan'.
Memang kadang ini dimanfaatkan dengan kurang "bijak" (hehehe) oleh anak muda Bandung.
Seks bebas adalah isu di kota ini sejak lama.
Saya tidak akan pungkiri, bahkan waktu saya masih di Bandung, sempat ada berita Jatinangor
melakukan pembersihan saluran got karena sempat banjir.
Ternyata setelah dibersihkan, got -got di Jatinangor tersumbat oleh : tumpukan kondom
Yah, setidaknya mereka menggunakan pengaman
Semarang Ini adalah kota yang kereeeeeennn
Salah satu yang terkeren dari kota ini adalah sebuah bangunan yang sering dianggap sebagai
bangunan horor. Lawang Sewu Tulisan di atas ini dapat ditemui sebelum kita memasuki area bangunan.
Gedung ini jadi korban stasiun TV yang menggunakan gedung ini untuk kebutuhan acara-acara
mistis mereka. Sehingga bangunan yang luar-biasa-indah ini malah jadi buruk citranya.
Anda tidak percaya bahwa gedung ini luar biasa indah"
Lihat di bawah ini... 21 Ini adalah kaca patri yang sangat besar...
Akan terlihat menyapa Anda ketika memasuki bangunan dari pintu utama. Letaknya tepat di ujung
tangga yang akan membawa Anda naik ke atas.
Bayangkan, kaca patri sebesar dan seindah ini (Anda bisa lihat detil keindahannya pada foto di
atas) di IMPORT dari Belanda.
Bentuk besar utuh seperti iti dibawa dari Belanda. Padahal kaca patri itu mudah sekali rusak.
Susah sekali membawanya ke sini.
Disebut 1000 pintu atau Lawang Sewu karena memang pintunya banyak sekali. Pintu itu membawa
kita antara selasar luar (yang terlihat diatas ini) dan selasar dalam. Pintu dan jendela serta selasar
itu di desain untuk membuat bangunannya sejuk dan berhembus angin.
Jaman dulu orang Belanda pasti kepanasan di sini sehingga mereka ciptakan bangunan dengan
arsitektural demikian. Jaman dulu 'kan belum ada AC
Susahnya, bangunan ini keburu rusak citranya karena acara-acara TV brengsek.
Bukti citra buruk yang sudah menempel adalah lapak jualan DVD seperti foto di atas.
Di sini, roda perekonomian orang-orang adalah dari keadaan "mistis" yang digembar-gemborkan.
Bukan hanya dari DVD bahkan di sini ada wisata mistisnya!
Seperti yang diceritakan, katanya terowongan bawah tanah yang ada di Lawang Sewu ini banyak
hantunya.. Karena banyak yang penasaran akhirnya disewakanlah lampu senter dan sepatu boots
seharga belasan ribu. Pelajar harganya 5000. Sumpah.
Nanti, dengan modal sepatu boots dan senter, mereka akan turun memasuki terowongan dan
ditunjukin oleh guidenya di mana saja yang katanya ada penampakan.
Nanti guidenya akan bilang, "Waktu acara A ada penampakan di sana.. waktu acara B ada
sekelebat bayangan di sini.. waktu acara C ada suara-suara dari daerah sana..."
Terowongan itu sendiri sebenarnya dibangun atas 2 alasan.
Di bawah bangunan ada sistem Sponge yang membantu bangunan menghindari pergeseran
lapisan bumi. Lalu di atasnya ada terowongan yang didesain untuk memuat buangan air hujan dan
dijadikan pendingin untuk bangunan di atasnya. Memang pada masa kependudukan Jepang
22 terowongan itu digunakan untuk para tahanan, tapi itu tidak membuat Lawang Sewu jadi sah untuk
dijadikan wisata hantu-hantuan. Cukuplah itu di bioskop dengan judul-judul absurdnya seperti
TIREN (mati kebanyakan duren) dan TIRAN (mati karena tiduran di jalan) dan Diapit Dua Pocong
Genit... Menyedihkan. Semoga pemerintah Kota Semarang menindak tegas hal-hal seperti itu.
Demi kebaikan kota Semarang sendiri.
Naaaah ada lagi nih yang keren banget di Semarang.
Masjid Agung Jawa Tengah.
Hanya ada 2 tempat di dunia Anda bisa melihat payung raksasa seperti di foto ini..
Semarang dan Madinah. Masjid ini adalah salah satu masjid terindah dan tercanggih yang saya pernah lihat.
Banyak hal-hal spektakuler seperti beduk terbesar di Indonesia.
Dan nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalam sejumlah elemen.
Pilar yang Anda lihat itu mewakili jumlah Nabi dalam Islam.
Lalu sebuah menara setinggi 99 meter bernama Al Husna terinspirasi dari Asmaul Husna yang
jumlahnya memang 99 itu. Di dalam Al Husna ada Museum perkembangan Islam di Indonesia.
Semarang juga salah satu kota yang menyimpan bangunan-bangunan kuno.
23 Pastikan untuk sempat berkunjung ke kota ini...
Yogyakarta Sejak saya SMA orang selalu melabeli Yogyakarta sebagai kota yang romantis atau kota yang sarat
budaya tradisional. Tapi saya, yang selalu dijejali kisah-kisah perjuangan oleh ayah saya, malah mendapatkan kesan
bahwa Yogyakarta adalah kota perjuangan.
Raja Silat 20 Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Giri 2

Cari Blog Ini