Ceritasilat Novel Online

Sunset Bersama Rosie 1

Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye Bagian 1


Selamat pagi. Aku tahu, saat membaca cerita ini, di tempat kalian mungkin sedang siang,
sore, atau boleh jadi malah malam hari. Di tempatku ketika memulai cerita ini
juga sebenarnya sedang senja, pukul 17.00. Matahari tengah beranjak tenggelam
di kaki cakrawala, sayangnya tak nampak keindahannya karena terhalang
gedung-gedung tinggi. Hanya semburat kemerahan yang berpadu dengan
cokelatnya langit kota terlihat memantul dari kaca-kaca raksasa, lempengan
logam, dan tiang beton pencakar langit.
Selamat pagi. Bagiku waktu selalu pagi. Di antara potongan dua puluh empat jam sehari,
bagiku pagi adalah waktu paling indah. Ketika janji-janji baru muncul seiring
embun menggelayut di ujung dedaunan. Ketika harapan-harapan baru merekah
bersama kabut yang mengambang di persawahan hingga nun jauh di kaki
pegunungan. Pagi, berarti satu hari yang melelahkan telah terlampaui lagi. Pagi,
berarti satu malam dengan mimpi-mimpi yang menyesakkan terlewati lagi;
malam-malam panjang, gerakan tubuh resah, kerinduan, dan helaan napas
tertahan. Senyap. Hanya embusan udara dari pendingin yang mendesis pelan melalui
lubang palka di ruangan tempat aku duduk sekarang. Jam digital bergerak detik
demi detik tanpa suara. Lantai ruangan sepi. Aku membiarkan tirai jendela kaca
terbuka lebar-lebar. Cahaya redup matahari senja menelisik sela-selanya. Mataku
sejak lima belas menit lalu tidak terlampau memperhatikan betapa sibuk jalanan
di bawah sana. Orang-orang bergegas pulang ke rumah masing-masing setelah
seharian tenggelam dalam pekerjaan. Klakson mobil melenguh. Wajah-wajah
lelah merindu lelap. Asap knalpot membungkus jalanan.
Mataku sedang menatap tak berkedip monitor yang tergantung manis di
dinding. Monitor itu tersambung dengan komputer kerjaku. Dan komputer itu
tersambung dalam jaringan internet seluruh dunia. Sore ini aku sedang
menunggu video-streaming dari Jimbaran, Bali. Menunggu dengan senyum
merekah, mata bercahaya, dan semburat kesenangan. Bersiap menyapa empat
"monster kecil" melalui tele-conference.
Lima menit lalu, Rosie menelepon, bilang ada sedikit masalah dengan
jaringan komputer di sana. Petugas Kafe Sea-fud, tempat mereka biasa makan
malam, tengah memperbaikinya. "Kau tunggulah beberapa menit lagi, Tegar,"
katanya. Sakura, anaknya yang nomor dua, seperti biasa sibuk berteriak di selasela kalimat ibunya, berteriak-teriak sok-tahu, "Uncle, komputernya kena virus.
Virus pilek, Uncle. Sebentar lagi komputernya bersin, terus ingusan seperti Lili."
Anggrek, kakaknya tertawa, berusaha ikut menyela. Sayang, Rosie buru-buru
mematikan telepon genggam. Terputus sudah keriuhan. Ah, sebentar lagi juga
suara-suara berisik gadis-gadis kecil itu keluar dari speaker ruanganku, lengkap
dengan gambar wajah menggemaskan mereka di layar.
Nathan, suami Rosie, seminggu lalu sudah bilang, mereka akan merayakan
ulang tahun pernikahan mereka di Pantai Jimbaran, Bali. Makan malam di atas
hamparan butiran pasir. Menatap matahari tenggelam dengan lilin-lilin menyala.
Menyimak purnama bundar dan bintang-gemintang menghias angkasa. Mereka
sudah memesan meja khusus jauh-jauh hari, bergabung dengan ribuan turis yang
biasanya memadati pantai tersebut.
Ulang tahun pernikahan yang ke-13.
"Bukankah itu angka sial" Seharusnya kau tidak perlu mengadakan acara
spesial," Aku bergurau. Nathan hanya tertawa kecil dari telepon genggamnya,
"Tidak ada angka sial, Tegar. Kalaupun dikumpulkan seluruh kesialan angka itu
sepanjang tahun, tidak akan cukup menandingi kebahagiaan keluarga kecil
kami."Aku tersenyum lebar mendengar jawabannya.
Nathan benar, keluarga mereka bahagia. Tiga belas tahun pernikahan dengan
intensitas kebahagiaan tinggi, tanpa henti bagai mata air di kaki pegunungan
yang memancar deras. Keluarga mereka dikaruniai empat gadis kecil yang bagai
kembang di taman bunga. Anggrek, sulung Rosie dan Nathan bulan ini genap dua belas tahun. Wajahnya
mewarisi gurat muka Rosie. Keibuan dan bisa diandalkan. Rambutnya lurus
tergerai. Senang mengisi waktu dengan membaca buku. Setiap kali aku
berkunjung ke Lombok, maka tasku dipenuhi buku-buku pesanannya.
Hanya Anggrek yang memanggilku dengan sebutan sesuai yang diajarkan
Nathan, Om. Menilik kebiasaannya, suatu saat kelak tak pelak ia berbakat
menjadi pujangga. Sejauh ini Anggrek sudah pandai menulis cerita berpuluh-puluh halaman.
Pandai menjelaskan banyak hal, dan selalu bertanya hal aneh serta ganjil. "Ibu
pusing, Anggrek. Kamu lebih baik tanya Om Tegar di Jakarta." Itu kata Rosie
kalau ia sudah tak bisa lagi menangani pertanyaan sulungnya. Maka Anggrek
bergegas menyeruak kesibukanku melalui telepon, sms, chatting, apa saja.
Apalagi aku, lebih pusing lagi dengan pertanyaannya, hanya bisa menjanjikan
buku berikutnya yang lebih tebal, yang mungkin menjelaskan pertanyaan
darinya. Sakura, anak kedua Rosie dan Nathan, dua bulan lalu menginjak usia sembilan
tahun. Sekecil itu ia lancar bicara empat bahasa asing, maksudku meski lancar
tetap dengan kosa-kata yang terbatas. Kemampuan Sakura ini bisa dimengerti,
karena Nathan dan Rosie mengurus resor kecil Gili Trawangan, Lombok. Resor
yang dipenuhi turis dari Australia, Inggris, Jepang, dan Hongkong, tak peduli
musim apa pun. Sakura selalu memanggilku Uncle. Terkadang jahil mengajakku berbincang
dengan bahasa bangsa Samurai. Tertawa senang melihat Uncle-nya yang
manyun tidak mengerti. Sakura menyukai segala hal yang berbau komik. Maka
kamarnya dipenuhi poster-poster tokoh serial favoritnya. Ia anak yang aktif,
memiliki otak kanan sama hebatnya dengan otak kiri. Sakura pandai bermain
musik, aku yang dulu mengajarinya menyukai musik. Biola adalah favoritnya
dan bulan depan Sakura ikut resital biola di Jakarta.
Belum lagi gaya bicara dan tingkahnya, semua orang tahu Sakura jahil dan
super-ngeles. "Salah siapa" Ia sempurna meniru Uncle-nya," Itu kata Rosie
sambil tertawa, setahun silam saat Sakura mengotot membawa dan
menyembunyikan kucingnya, si Putih, di balik gaun, ketika pesta keluarga
sedang berlangsung. Kucing itu kabur, dan berlarian di atas meja-meja makanan,
membuat pesta "makin meriah".
Jasmine, anak ketiga mereka, enam bulan lalu menginjak usia lima tahun.
Yang satu ini lebih pendiam, apalagi dibanding Sakura. Jasmine pemerhati yang
baik. Penurut. Tidak banyak membantah seperti Sakura. Berbeda dengan dua
kakaknya, ia memanggilku Paman. Menurutnya kata itu indah: Paman. Meski
pendiam, Jasmine sering kali melakukan hal-hal menakjubkan. Kalimatkalimatnya selalu menyentuh. Aku pernah mendongak terharu saat gadis kecil
itu memeluk leherku dan berbisik, "Seandainya, Jasmine punya empat paman
seperti Paman Tegar, maka Jasmine tidak perlu menunggu hingga larut malam
untuk mendengar Paman bercerita."
Saat itu jadwal kunjunganku ke Gili Trawangan. Gadis kecil itu sedang sakit.
Sepanjang malam dipaksa Rosie hanya beristirahat di kamar. Sementara aku
menghabiskan waktu bersama Sakura dan Anggrek membuat api unggun di
pantai, bersama turis-turis yang menginap di resor. Menjelang larut, baru aku
bisa menjenguknya. Gadis kecil itu masih terjaga, menunggu dengan wajah
cemburu. Jasmine selalu menungguku bercerita pengantar tidur setiap kali aku
berkunjung ke resor. Dan dengan muka pucatnya, ia mengatakan kalimat itu.
Tidak protes, tidak marah, hanya berharap punya empat paman sepertiku, agar
tidak berebut perhatian dengan kakak-kakak dan adiknya.
Ada yang unik dalam urusan ini. Anak terkecil Nathan dan Rosie adalah Lili,
baru genap satu tahun minggu ini. Ke mana saja mereka pergi, maka Jasmine-lah
yang menggendong Lili. Jasmine selalu mengotot membawa adiknya. Dulu saat
umurnya masih empat tahun, menggemaskan sekali melihat Jasmine membawabawa adiknya, tubuh kecil itu harus membawa adiknya yang juga kecil. Tetapi
sekarang, Jasmine jauh lebih terlatih, ia pandai mengurus Lili, dengan usia yang
masih berbilang jemari satu telapak tangan.
Bayangkan saja pemukiman terpencil di pedalaman, pemandangan seperti ini
amat lazim, anak-anak kecil yang terpaksa mengurus adik mereka karena kedua
orangtua sibuk bekerja di ladang. Tetapi Jasmine tidak terpaksa, dan resor
mereka di Gili Trawangan jauh untuk dibilang terpencil. Ia senang
melakukannya, amat menyayangi adiknya. Rajin mengajak adiknya berbincang.
Meskipun semua tahu, Lili terlalu kecil untuk diajak bicara.
Layar di hadapanku berkedip pelan.
Incoming signal. Lamunan dan senyum tanggungku terputus.
Aku bergegas memperbaiki posisi duduk. Sudah pukul 17.15. Di Jimbaran itu
berarti pukul 18.15. Berbilang menit lagi matahari akan tenggelam di sana.
Sekejap, tulisan itu bergantikan gambar, yang masih bergoyang.
"UNCLE! UNCLE! APA KABAR?" Muka close-up Sakura memenuhi layar
29 inci. Juga suara berisik khasnya, buncah di seluruh ruangan kerja besarku.
Aku segera tertawa. Melambaikan tangan ke kamera kecil di atas meja. Wajahku
pasti terlihat jelas di monitor laptop yang biasanya diletakkan Nathan di atas
meja makan. "UNCLE! UNCLE! Lihat sunset-nya, deh. Sebentar lagi." Sakura menunjuknunjuk kaki cakrawala di belakangnya.
"Sakura geser sedikit, Sayang," Suara Rosie terdengar sedikit sebal. Ah, tidak
ada yang tidak sebal melihat Sakura yang selalu memonopoli pembicaraan.
Nathan yang, sepertinya, memegang kamera tertawa.
Kamera bergerak ke arah Jasmine yang duduk memangku Lili. Jasmine
tersenyum riang melambaikan tangan, membujuk Lili yang terlihat cubby ikut
melambaikan tangan ke arah kamera. Lili hanya mengerjap-ngerjap, bola
matanya menyelidik. Sebulan yang lalu saat kami melakukan tele-conference
dari resor di Gili Trawangan, Lili sedang tidur.
"Dad-da Paman Tegar. Lili, lihat, itu Paman Tegar. Kasih da-da, Lili. Dad-da
Paman Tegar." Lili menguap. Mana pula bayi itu akan mengerti. Tapi Jasmine terus
menggenggam jemari kecilnya. Melambai-lambaikan. Aku tertawa. Kamera
bergerak lagi. "Om baik-baik saja?" Anggrek berikutnya menyapa.
Aku mengangguk. "Buku yang dipesan Anggrek sudah dibeli?"
"Aduh, Kak Anggrek bahas soal buku entar-entar, deh. Gak penting banget."
Sakura menyela, mendorong kakaknya.
"Berisik." Anggrek melotot, berusaha mencubit perut Sakura. Kamera sedikit
bergoyang, terkena gerakan Sakura yang tertawa menghindar.
"Terima kasih untuk ke sekian kalinya mau bergabung bersama kami, Tegar."
Rosie tersenyum hangat. Tangan kanannya menarik baju Anggrek yang bersiap
mengejar Sakura. Aku ikut tersenyum. Rosie terlihat cantik dengan gaun putih.
Anak-anaknya juga mengenakan gaun putih berenda.
"Papa, biar Anggrek yang pegang. Biar Papa bisa kelihatan sama Om Tegar."
Anggrek urung mengejar adiknya, menawarkan tangan untuk memegang kamera
dari Nathan. Kamera itu berganti operator. Gambar-gambar pantai Jimbaran yang dipenuhi
pengujung terlihat bergoyang di belakang. Suara-suara pengunjung ditingkahi
live music ikut terdengar. Sama seperti malam-malam sebelumnya, malam ini
Pantai Jimbaran ramai oleh turis yang menyimak sunset, meski tetap lebih ramai
meja tempat keluarga dengan empat gadis kecil itu sedang berkumpul.
"Seharusnya kau datang langsung ke Bali, Tegar. Ikut merayakan kebahagiaan
ini bersama kami." Nathan tertawa, menyapa.
Aku ikut tertawa. Tawa lebar yang amat tulus. Sungguh mengesankan melihat
keluarga Rosie dengan putri-putrinya. Pernikahan yang sempurna. Amat
sempurna. Aku mengenal Nathan sepanjang usiaku. Aku mengenal Rosie juga sepanjang
usiaku. Rosie tetanggaku waktu masih di Lombok, terpisah lima rumah.
Sebaliknya, Nathan teman sekolahku sejak sekolah dasar. Ajaibnya meski
tinggal hanya terpisah satu pulau yang jaraknya cuma sepelemparan batu. Rosie
dan aku di Gili Trawangan, Nathan di Gili Meno, mereka berdua tidak pernah
bertemu hingga kami melanjutkan kuliah di Bandung, itu pun sudah di tahuntahun terakhir.
Aku yang memperkenalkan mereka satu-sama-lain. Dua bulan berkenalan,
saat kami bertiga bersama-sama mendaki Gunung Rinjani, Nathan menyatakan
perasaannya ke Rosie. Cepat sekali. Teramat cepat malah. Dua bulan Nathan
sebanding dengan dua puluh tahun milikku. Masa lalu mereka yang indah,
sekaligus sungguh masa laluku yang getir.
Enam bulan kemudian selepas wisuda, mereka menikah. Dan aku
memutuskan pergi. Jauh-jauh hari sebelum itu terjadi.
Selepas menikah, Nathan dan Rosie kembali ke Gili Trawangan, salah satu
anak pulau di gugusan utara pulau Lombok, kata gili artinya pulau. Pulau yang
dikelilingi terumbu karang memesona. Pulau dengan air laut yang beningmembiru. Kalian bisa melihat jelas dari permukaan air ribuan ikan yang
berenang membentuk formasi. Penyu-penyu menari. Nathan melanjutkan bisnis
keluarga Rosie. Mengelola resor.
Aku memutuskan kerja di Jakarta.
Lima tahun berlalu benar-benar tanpa kabar. Aku tenggelam dengan segala
aktivitas pekerjaan. Membutuhkan seluruh kesibukan untuk membunuh semua
perasaan yang telanjur datang. Telanjur" Benar-benar ketelanjuran yang hebat,
dua puluh tahun lamanya perasaan itu menelikung hatiku.
Di tahun keenam, kejutan besar, Rosie dan Nathan tiba-tiba mengunjungiku di
Jakarta. Entah bagaimana mereka tahu alamatku. Padahal sejak kepergian itu,
aku memutuskan merahasiakan banyak hal. Aku, Nathan, dan Rosie sama-sama
anak tunggal, dengan sanak-kerabat terbatas. Tidak banyak yang tahu aku tinggal
di Jakarta. Jadi menatap wajah Rosie yang datang membawa Anggrek dan
Sakura mendadak membuatku membeku. Kesedihan itu. Kebencian itu. Aku
kebas menahan marah, menerima kehadiran mereka di depan pintu apartemen.
Tetapi ya Tuhan, keajaiban itu terjadi.
"Uncle, Sakura kebelet pup, kamar mandinya di mana?" Itu kalimat Sakura
persis saat pintu terbuka. Memandangku. Tampangnya rusuh. Tangan dan
kakinya bergerak-gerak tidak sabaran.
Hatiku sempurna meleleh. Bukankah kebahagiaan mereka sesungguhnya juga kebahagiaanku" Apalagi
melihat anak-anak mereka yang hebat. Anggrek yang baru enam tahun, namun
sudah pandai berbincang panjang-panjang. Sakura yang baru tiga tahun,
berlarian di apartemen seperti sudah kenal bertahun-tahun. Anak-anak itu hanya
membutuhkan hitungan detik untuk akrab denganku. Seperti mengenali sahabat
terbaik ayah-ibunya. Dan demi itu semua, tiba-tiba aku menyesal dulu
meninggalkan mereka tanpa pamit. Tanpa bilang. Tanpa penjelasan. Bukankah
semua itu sederhana" Bukankah masalah itu amat sederhana" Meski harus
membuat hatiku lebur berkeping-keping.
Semua tentang pilihan. Hubungan pertemanan itu tersambung kembali. Semua luka terobati. Dan
masa lalu itu, hanyalah masa lalu. Aku bahkan semakin dekat dengan putri-putri
Nathan dan Rosie yang sekarang menjadi empat. Tak ada lagi rasa yang
berbekas. Perasaan kecewa. Rasa sedih. Juga kenangan akan sekuntum kembang
edelweis yang terpaksa dilemparkan ke hangatnya air Danau Segara Anakan.
Mereka sahabat-sahabat terbaikku. Mereka sungguh keluargaku. Memandang
dan merasakannya dari sisi lain ternyata tidak kalah indah dengan semua
pengharapan dulu. Tidak kalah indah dengan mimpi-mimpi yang kuanyam
selama dua puluh tahun, mimpi-mimpi sepanjang masa remajaku.
"UNCLE, SEBENTAR LAGI SUNSET." Sakura berteriak, memotong
lamunan. "Aduh, buruan dikit sih, Kak. Biar Uncle Tegar ikut lihat sunset-nya. Kak
Anggrek selalu lambat seperti penyu." Sakura berseru, ini kebiasaan buruknya,
suka menyuruh-nyuruh. "Dasar berisik!" Anggrek melotot.
Senja sudah matang. Matahari bersiap bersembunyi.
Nathan tertawa, mengambil kamera yang jadi rebutan Sakura dan Anggrek.
Meletakkannya di atas tripod. Lantas ia meraih tangan Rosie, berdiri. Anakanaknya berdiri berjejer di sebelah mereka. Menyisakan sepotong tempat bagiku,
sepotong tempat untukku berdiri. Aku yang ikut melihat sunset di Jimbaran dari
ruang kerja lantai 47 gedung pencakar langit, Jakarta. Matahari perlahan
meluncur di kaki cakrawala.
Indah. Sungguh indah. Aku menahan napas.
Empat puluh tujuh detik berlalu. Matahari sempurna tenggelam. Menyisakan
siluet jingga, langit kemerah-merahan.
Sakura sudah berlari kembali mendekati kamera, "Uncle, Uncle si Putih
kemarin beranak. Anaknya dua. Eh, tapi dua-duanya nggak ada yang putih. Itu
pasti gara-gara kucing jalanan itu. Uncle sih dulu bilang biarin saja, jadi aneh
anak-anaknya. Harusnya tadi mau Sakura bawa, tapi Ibu melarang. Coba ada
Uncle, pasti Ibu nggak berani melarang. Ah-ya, Uncle, Kak Anggrek belakangan
juga mirip Ibu. Dikit-dikit melarang."
Rombongan itu kembali ke meja makan. Lili diletakkan di kursi bayi. Jasmine
seperti biasa duduk di dekat Lili. Nathan dan Rosie membiarkan Sakura melapor
banyak hal di depan kamera. Tetapi Anggrek tidak, mendengar namanya disebutsebut ikutan menyela, "Sakura sekarang semakin bandel, Om."
"Uncle, Kak Anggrek suka nyubit sekarang." Sakura menyeringai.
"Yee, dasar tukang ngadu!" Anggrek melotot. "Tuh, tuh, kan mau nyubit lagi."
Sakura menunjuk. Rosie melambaikan tangan. Melerai. Menyuruh Anggrek
membantu pramusaji Kafe Sea-fud membagikan kelapa muda. Anggrek


Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengus, menarik tangannya.
"Uncle, besok katanya mau tunangan, ya" Aduh, kenapa nggak tunangannya
di Jimbaran saja, seperti Ayah-Ibu dulu. Kan asyik, bisa ramai. Eh, siapa
namanya, ah-ya Bibi Sekar. Bibi Sekar nggak mau ya disuruh ke Bali" Kalau
gitu Bibi Sekar nggak asyik, nggak seru." Sakura nyengir. Wajahnya terlihat
semakin lucu semakin serius ia bicara.
"Repot, Sakura, Keluarga Bibi Sekar kan semua di Jakarta."
"Ah-ya, besok pas tunangannya bikin seperti ini juga, tele, tele, eh, teleconference. Biar Sakura bisa lihat wajah Bibi Sekar. Cantik, ya" Atau gendut
seperti Ibu" Ah-ya kenapa Uncle masih kerja hari ini" Harusnya udah siap-siap
buat besok, kan" Kata Ayah, Uncle juga sibuk belakangan" Apa" Initial, eh,
initial public" initial offering". Ah-ya initial public offering?"
Aku hanya mengangkat bahu, nyengir. Sakura terkadang tidak membutuhkan
jawaban. Sakura tidak membutuhkan komentar atas kalimatnya. Aku
membiarkan ia bercerita. Hanya tertawa menanggapi wajahnya yang riang,
rambut ikalnya yang bergoyang.
"Bunganya. Sudah dikasih?" Aku berkata pelan, memotong. Membuat kode
sekuntum bunga dengan gerakan tangan.
Kalimat Sakura terhenti demi melihat tanganku. Melipat dahinya sejenak.
Sekejap kemudian berseru kencang, seolah teringat sesuatu, membuat Nathan
dan Rosie yang sibuk mengatur makanan di atas meja menoleh.
"Iya, iya, sudah Sakura siapkan. Sebentar, ya." Sakura berbalik dari kamera di
atas tripod. Membisikkan sesuatu ke telinga adiknya, Jasmine. Jasmine
tersenyum, mengangguk-angguk, ikut loncat dari kursinya.
"Mau ke mana?" Rosie bertanya, melihat kedua anaknya yang hendak berlari
menuju jejeran bangunan kafe.
"Ada, deh." Sakura tertawa. Memainkan jemarinya di depan mulut: Ibu nggak
boleh tahu. Jasmine ikut mengangguk-angguk. Ya, Ibu nggak boleh tahu.
Rahasia. "Ada apa?" Rosie menyelidik.
"Ada yang mau diambil di mobil. Sebentar." Sakura sudah melesat. Adiknya
berusaha mensejajari. Tinggi Jasmine sedagu kakaknya. Meski kalau dilihat dari
perawakan Jasmine terlihat lebih besar, mungkin karena terbiasa menggendong
Lili. Rosie menoleh ke arah kamera, "Ada apa?"
Aku tertawa, "Paling juga ambil hadiah, bukan?"
Nathan yang duduk di sebelah Rosie ikut tertawa kecil.
"Kau tidak menyuruh mereka membeli hadiah kejutan yang aneh-aneh lagi,
kan?" Rosie menatapku galak.
Aku tertawa lebar. Teringat, dulu aku juga pernah bilang ke Sakura kalau
Rosie dan Nathan suka kodok. Waktu itu Sakura yang masih lima tahun percaya
saja. Jadi persis ulang tahun pernikahan mereka yang kesepuluh, Sakura
memberikan sekotak penuh kodok hijau. Padahal Rosie, jangankan melihat,
mendengar suaranya saja geli. Kodok hijau itu selalu penting.
Rosie menatapku semakin galak, ingin tahu. Aku melambaikan tangan, tidak
mau menjelaskan apa yang sedang diambil Sakura dan Jasmine. Tertawa.
Kamera di atas tripod sempat digerakkan Sakura menghadap meja makan
sekaligus jejeran bangunan kafe sebelum ia dengan riang lari menuju parkiran
depan. Kamera itulah yang menangkap potongan kejadian itu. Kejadian yang
menjadi muasal seluruh cerita ini.
Kejadian yang amat menyakitkan, dan esok-lusa merubah seluruh
kehidupanku. Beberapa detik berlalu, Sakura dan Jasmine sudah terlihat berlari-lari kembali
dari mobil di background layar televisi, terlihat agak samar di balik close-up
wajah Rosie dan Nathan. Nathan asyik bertanya tentang persiapan pertunanganku besok, "Akhirnya kau
berlabuh juga, Tegar." Nathan tersenyum. Aku tertawa. Anak sulungnya
Anggrek yang duduk di sebelah Nathan diam menyimak, tangan kanannya
berusaha menyelimuti Lili yang tertidur di kursi bayi.
Beberapa detik kami tertawa, tanpa menyadari di antara pengunjung yang
memadati Pantai Jimbaran, terlihat samar-samar dari layar televisi, yang tidak
terlalu kuperhatikan, Sakura sedang bertabrakan dengan seseorang yang justru
tengah bergegas keluar menuju parkiran kafe Sea-fud.
Sakura terduduk di pasir. Orang itu terjerembab di atas meja kosong.
"Ups, maaf." Sakura tertatih berdiri, menepuk-nepuk baju putihnya yang
terkena pasir. Orang yang ditabraknya menyeringai marah. Napasnya tersengal. Matanya
melotot. Persis seperti dugaan Jasmine, pasti diomeli. Sesorean ini saja,
kakaknya sudah dua kali menabrak orang. Tadi dengan pelayan kafe ketika baru
tiba, membuat kelapa muda yang dibawa si pelayan jatuh bergulingan. Sekarang
menabrak lagi. Jasmine menghela napas di samping Sakura, menunggu reaksi, menatap takuttakut lelaki di hadapannya. Orang itu baru saja meninggalkan tas ranselnya di
bawah salah satu meja makan persis di tengah keramaian. Setelah sempat
memaki pelan, cepat-cepat ia bergegas pergi, tidak mempedulikan Sakura dan
Jasmine. "Om, kacamatanya jatuh." Jasmine yang tangan kanannya menggenggam
sepuluh tangkai mawar biru menjulurkan kacamata yang baru saja diambilnya
dari gundukan pasir. Orang itu menoleh, kasar mengambilnya. Jasmine menyeringai, bukan karena
sikap kasar itu, tetapi karena kacamata itu ternyata pecah. Jasmine sudah
khawatir Sakura kena bentak. Tetapi orang itu ternyata tidak mengucapkan
sepatah kata pun, lantas membalik badannya, hendak melangkah lagi. Tidak
peduli. "Om, HP-nya juga jatuh." Jasmine membungkuk, mengambil telepon
genggam di pasir, menjulurkannya lagi ke orang itu.
Kali ini Jasmine yakin orang itu akan benar-benar marah karena layar telepon
genggamnya juga pecah. Sakura memang begitu, sembarangan. Kalau berjalan,
langkah kakinya ke mana, pandangan matanya ke mana, enggak singkron, begitu
pernah kukatakan padanya saat tracking di kaki Gunung Rinjani, kaki Sakura
sering banget tersangkut akar pohon.
Orang itu melotot. Mengambil kasar telepon genggam dari tangan Jasmine. Ia
sudah kehilangan sepuluh detik yang amat berharga. Sepuluh detik yang
menentukan. "Om sebagai gantinya, Jasmine kasih satu bunga, ya." Jasmine sambil
menyeka dahinya yang berkeringat, polosnya menjulurkan setangkai mawar
biru. Hitung-hitung pengganti barang yang pecah.
Orang itu bahkan tidak menoleh, bergegas pergi tanpa bilang apa pun. Jasmine
termangu. Loh" Kok, nggak marah" Kan mereka sudah bikin rusak kacamata
dan HP-nya" Jasmine menoleh. Sakura yang sudah berdiri sempurna di sebelah
Jasmine, menepuk-nepuk pasir, mengangkat bahu, yang penting nggak kena
omel. Mereka berlari-lari kecil melanjutkan langkah menuju meja makan.
Aku tidak memperhatikan detail ini hingga seminggu kemudian. Aku sungguh
tidak tahu detail yang ternyata belakangan amat penting untuk menyelusuri jejak
pelaku kejadian sore ini. Aku telanjur sibuk menanggapi pembicaraan Nathan
dan Rosie. "Bagaimana mungkin kau tidak pernah mengenalkan Sekar pada kami,
Tegar?" Nathan menyeringai. Rosie mengangguk ikut bertanya.
"Mungkin Sakura benar, Ayah, Bibi Sekar jelek." Anggrek memotong.
"Huss!" Rosie mendelik, meski tertawa.
"Kalian juga akan mengenalnya, Anggrek. Besok-lusa Bibi Sekar pasti mau
diajak ke Gili Trawangan. Tentu saja cantik, Bibi Sekar cantik. Meski tidak
secantik Anggrek, sih." Aku ikut tertawa. Anggrek tersipu.
00.00.05, timer itu terus menghitung mundur.
"Bagaimana buku ceritanya, sudah selesai?" Malam ini aku tidak ingin
membicarakan pertunanganku. Malam ini milik keluarga mereka, bukan milikku.
Mengalihkan menu pembicaraan. Bertanya tentang buku cerita yang ditulis
Anggrek sejak tiga bulan terakhir.
"Pusing, Om. Nggak ada kemajuan." Anggrek nyengir.
Aku tertawa. Nathan dan Rosie ikut tersenyum.
00.00.04, timer itu terus berdetak.
"Ah-ya, aku ternyata tidak bisa ikut, Tegar. Rosie yang akan menemani resital
biola Sakura bulan depan di Jakarta. Aku harus menemani Clarice," Nathan
teringat sesuatu. "Clarice" Dia datang ke Lombok?"
00.00.03. "Clarice justru sudah di Lombok, mau riset. Sekarang juga sedang di
Jimbaran, terpisah beberapa meja, berkumpul dengan teman satu foundationnya, ia bilang mau mampir menyapamu lewat streatning ini, ah-itu dia.
CLARICE!" Rosie yang menjawab, berseru memanggil. Menunjuk seseorang
yang mendekati meja makan. Kamera statis di atas tripod tidak menangkap
orang yang mendekat, tapi aku tahu, bisa membayangkan wajah dan postur
tubuhnya. Yang tertangkap di kamera hanya wajah Nathan, Rosie, dan Anggrek.
Keramaian Jimbaran terlihat di belakang mereka. Gerakan tubuh Sakura dan
Jasmine semakin dekat, terlihat semakin detail.
00.00.02. "Selamat malam, Tegar." Suara wanita bule itu terdengar mantap. Intonasi
melayunya lumayan. Clarice teman lama kami. Anak-anak memanggilnya Bibi
Clare. Peneliti biologi dari Sydney. Sakura paling suka dengan Bibi yang satu
ini, favoritnya malah. Bagaimana tidak, kalau sedang melakukan riset, Bibi
Clare suka mengajak mereka. Wuih, itu berarti berkenalan dengan semua
peralatan canggih. Termasuk pesawat udara yang bisa mendarat di air yang
sering disewa Bibi Clare. Juga helikopter. Teropong bintang hebat. Kacamata
malam seperti milik tentara. Plus bonus, cokelat. Hanya Rosie yang tidak suka
lihat anak-anaknya ikut Clarice ke mana-mana. Itu pun karena cokelat,
"Giginya! Giginya!" Rosie sering mengingatkan Clarice. Dan Clarice hanya
tertawa, balas berteriak mengingatkan anak-anak. "Awas ada Ibu! Awas ada
Ibu!" "Ibu, Sakura bawa hadiah paling spesial ulang-tahun pernikahan," Sakura dan
Jasmine menyeruak, memotong sapa hangat Bibi Clare.
00.00.01. Semua menoleh ke Sakura dan Jasmine.
"SURPRISE!" Sakura menyenggol Jasmine untuk menjulurkan mawar biru
itu bersama-sama. Jasmine buru-buru mengulurkan tangannya. Sepuluh tangkai.
Sepuluh tangkai mawar biru.
Rosie paling suka warna biru. Rosie paling suka bunga. Rosie paling suka
mawar, sesuai dengan namanya. Dan bunga mawar biru sungguh bukan bunga
biasa. Kombinasi yang hebat untuk hadiah ulang-tahun pernikahan ke-13 Rosie
dan Nathan. Kali ini, aku tidak membohongi Sakura. Sakura saja harus
mengacak-ngacak web-site selama seminggu untuk mendapatkan kembang itu,
dikirimkan khusus dari Batu, Malang.
Tetapi ya Tuhan, orang-orang jahat itu hanya butuh waktu satu detik untuk
mengacak-acak seluruh kebahagiaan Rosie. Mengacak-acak semuanya.
00.00.00. Timer bom itu sempurna menyentuh angka nol.
Dalam gerakan pelan yang menyakitkan, dalam gerakan lambat yang mengiris
hati, aku harus menjadi saksi utuh seluruh kejadian itu. Sebelum Rosie terharu
menerima tangkai bunga, sebelum Nathan mengacak bangga rambut Sakura dan
Jasmine, terdengar dentuman keras. Kamera di atas tripod mendadak bergoyang.
Karut-marut gambar terlihat. Potongan orang berlarian. Teriakan-teriakan.
Gelap. Layar 29 inci yang tergantung di dinding ruang kerjaku gelap. Dan
sedetik kemudian muncul tulisan, error connection.
Aku terhenyak, terkesiap. Loncat berdiri. Ada apa" ADA APA" Sial, kakiku
tersangkut di kursi, aku terjerembab di karpet tebal.
Ya Tuhan, apa yang telah terjadi di sana"
2. BOM JIMBARAN Sakura juga terjerembab. Sepuluh tangkai mawar biru itu terlepas dari tangan Jasmine. Berhamburan.
Menyusul suara ledakan kencang itu, asap hitam mengepul tiga meja dari
mereka. Dengan kekuatan massa kali kecepatan cahaya dikuadratkan bom itu
meledak. Partikel-partikel atom bertabrakan. Bertabrakan lagi. Lagi. Dan lagi.
Partikel itu kecil saja. Tetapi karena tabrakan itu terjadi beruntun jutaan kali,
dengan kecepatan memedihkan mata, maka ledakan yang dihasilkan sungguh
memancarkan aura kematian mengerikan. Menghajar apa saja yang ada di
sekitarnya. Potongan tubuh, bercampur potongan meja kayu yang merekah, berterbangan.
Rosie refleks memeluk Anggrek di sebelahnya, melindungi. Nathan
menyambar kursi bayi Lili, tubuhnya berusaha menjadi tameng dari segala
benda yang mendadak terlemparkan ke arah mereka seperti ciprat kembang api.
Dan sepotong kaki meja terbang menghantam kepala Nathan. Kursi bayi itu
terguling bersamaan dengan tubuh Nathan yang bagai pangkal batang pohon
kelapa tua dimakan rayap, berdebam roboh.
Jasmine yang tadi termangu mendengar suara ledakan yang membuncah
telinga demi melihat Lili terlempar sontak berteriak parau, kalap melompat,
berusaha menarik tubuh adiknya yang terlempar di atas pasir. Rosie merangkak
membantu. Anggrek gemetar memeluk lutut. Sakura gemetar dalam pelukan
Clarice. Semua ini benar-benar menakutkan. Hiruk-pikuk. Pekikan-pekikan.
Apa yang sesungguhnya sedang terjadi" Sekejap berlalu.
Sepuluh detik yang menikam.
Sepuluh detik yang menghabisi kebahagiaan malam itu.
Rangkakan Rosie terhenti. Berganti teriakan. Teriakan sendu. Lihatlah di atas
hamparan pasir lembut Pantai Jimbaran, Nathan, tergolek dengan kepala
bersimbah darah. Jimbaran, dalam sekejap dari keriangan antarbangsa berubah menjadi
kesedihan tak terhingga. Awan hitam seolah menggantung di langit-langit
malam. Mengusir pesona purnama bundar di angkasa dan ribuan lampu yang
menyala indah di sepanjang tubir pantai. Mengusir pesona ribuan formasi
bintang-gemintang. Jimbaran, malam itu sungguh mengambil semua kebahagian keluarga Rosie.
Di Jakarta, seribu mil dari tempat kejadian, aku buru-buru bangkit dari jatuh.
Menyambar telepon genggam. Gemetar menekan tombol phone-book. "Rosie".
R". R"." Perintah binari dikirimkan melalu satelit. Melesat melalui menara
BTS terdekat, menghujam ke atas, meliuk melalui titik-titik transmisi satelit,
kemudian dilemparkan ke BTS Pantai Jimbaran. Mencari di mana pun telepon
genggam yang hendak kutelepon itu berlokasi. Perintah binari itu kembali dalam
hitungan seperseribu detik, tidak aktif. Dering putus-putus memenuhi telinga.
Telepon genggam Rosie tidak bisa dihubungi.
"Kadek, Kadek, K"." Mendesis menyebutkan nama manajer Kafe Sea-fud
tempat mereka makan malam. Percuma menelepon Nathan, pasti telepon
genggamnya juga dimatikan seperti milik Rosie. Mereka tidak akan menerima
telepon di saat-saat bahagia acara ulang tahun pernikahan.
Aku gemetar mendengar nada sambung. Tegang. Mengusap dahi yang
berkeringat, padahal AC sentral di-setting 16 derajat Celcius.
Tiga kali nada panggil. Tetap tidak diangkat.
Lima kali. Please. Angkatlah. Apa yang sesungguhnya terjadi di sana.
Tujuh kali. "TEGAR! BOM! ADA BOM!" Suara Kadek terdengar panik. Tanpa salam.
Tanpa prolog. Apalagi tawa khasnya yang riang.
"BOM?" Aku termangu. Telepon genggam itu nyaris terlepas dari genggaman.
"Rosie! Rosie ada di sana, Kadek. Bagaimana mereka?" Berteriak. Suaraku
bergetar cemas. "Tiang belum tahu, Tegar. Semuanya kacau, semuanya berlarian." Kadek tidak
kalah kerasnya berteriak, berusaha meningkahi suara hingar-bingar yang
terdengar dari speaker telepon genggam.
"Rosie" Keluarga Rosie bagaimana?"
"Tiang belum tahu." Kadek tersengal.
"Kau cari di mana dia sekarang, Kadek! Kau, "
Tut! Tut! Tut! Hubungan terputus.
Astaga! Aku hampir membanting telepon genggam, memaki jaringan telepon
selular, selalu putus dalam situasi genting. Gemetar menekan kembali nomor
Kadek. Nada sibuk. Sibuk. Dan sibuk. Aku menatap layar telepon genggam
dengan perasaan jengkel. Putus asa. Hingga esok, jaringan telepon genggam
menuju Jimbaran over-loaded, seratus kali lipat. Dan hatiku saat ini juga sedang
seratus kali lipat paniknya.
Apa yang terjadi dengan Rosie" Apa ia selamat" Anggrek, Sakura, Jasmine,
Lili, Nathan" Clarice" Aku gemetar meletakkan telepon genggam. Berdiri.
Menelan ludah. Mengusap wajah. Berhitung cepat dengan situasi. Baiklah, tanpa
pikir panjang lagi langsung melesat menuju pintu ruangan. Tanpa perlu
mematikan televisi layar lebar yang menyisakan gambar semut, error. Tanpa
perlu menyambar jas di sandaran kursi, apalagi membereskan meja yang
dipenuhi berkas berantakan.
Berlari-lari di sepanjang koridor. Hampir bertabrakan dengan rekan kerja,
Frans, Manajer Portfolio Obligasi. "Lu mau ke mana, Priend!" la basa-basi


Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyapa. Aku melambaikan tangan tidak menjawab. Bergegas.
"Bukankah baru besok juga lu tunangan" Sekar belum nyuruh-nyuruh lu
pulang lebih cepat, kan" Wah, kalau iya, lu alamat bakal ikut PSSI, Persatuan
Suami Sayang Istri,"
Aku menghela napas, tidak sempat mendengarkan olok-oloknya. Tak sabar
menekan tombol lift berkali-kali. Melompat masuk. Menuju basement. Tersengal
melepas dasi sambil memandang wajah di dinding lift yang dibuat bak cermin.
Aku harus ke Bali. Malam ini juga. Aku harus memastikan. Harus melihat
langsung. Aku mengusap wajah. Lihatlah, wajahku terlihat tegang sekali. Tidak
pernah aku secemas ini. Pria berumur tiga puluh lima tahun yang selama ini
matang menyikapi banyak masalah, mapan dalam karir, tidak terbayangkan
mendesah berkali-kali memandangi wajah sendiri di cermin lift. Mendesah
menyebut nama Rosie dan anak-anaknya.
Aku berlari secepat mungkin di pelataran parkir. Melajukan mobilku menuju
bandara secepat yang bisa kulakukan. Menerabas satpam parkiran yang
berteriak, "Mas Tegar, kartu parkirnya mana?" Terhambat di jalanan protokol
yang macet. Mendesis tidak sabaran. Lantas akhirnya melesat di jalanan tol. Zigzag. Please, semoga masih ada kursi kosong. Berusaha tiba di bandara sebelum
jadwal penerbangan terakhir ke Bali.
Tentu saja masih ada, minggu-minggu ini penerbangan low-session. Aku
masih mendapatkan satu kursi di sebuah maskapai penerbangan milik negara
tetangga yang tarifnya hanya setengah dari maskapai penerbangan nasional.
Akulah orang pertama yang meluncur ke Bali malam ini setelah mengetahui
kejadian barusan. Mengalahkan kecepatan reporter stasiun televisi nasional.
Pukul 20.00. Seharusnya saat ini menjadi waktu-waktu yang hebat bagi
mereka. Membongkar kepiting besar, itu tugas Sakura. Saling melempari
potongan timun dan tomat. Bernyanyi. Bergurau. Tertawa. Dan aku seolah-olah
ikut dalam makan malam itu. Bahkan Kadek selalu menyiapkan kursi untukku di
sana. Kursi kosong. Menyiapkan piring dan gelas kosong, "Anggap saja kau
ikut, bukan?" Itu gurau Kadek dua tahun silam sejak kami mulai menggunakan
teknologi canggih tersebut.
Pukul 20.15. Ya Tuhan, pesawat ini rasa-rasanya merangkak seperti penyu.
Tidak bisakah ia terbang lebih cepat, tiba di Bali hanya dalam hitungan menit"
Atau bila perlu tiba hanya dalam hitungan detik. Aku hendak menyalakan
telepon genggam, rasa penasaran membuatku tidak sabar ingin menelepon
Kadek. Menelan ludah. Itu tidak mungkin kulakukan. Terlalu membahayakan
penerbangan ini. Pukul 20.30. Aku menatap resah wajah-wajah penumpang lain. Wajah-wajah
yang sebaliknya terlihat rileks. Senang. Satu-dua dari tampilannya mungkin
sedang melakukan perjalanan bisnis rutin. Lebih banyak lagi yang ingin
menghabiskan akhir pekan. Suka-ria berbincang dengan teman sebelah kursi.
Tidak tahukah mereka apa yang baru saja terjadi di Bali" Apakah mereka masih
riang setelah tiba di bandara nanti dan tahu beritanya" Aku mengusap wajah.
Semoga Rosie baik-baik saja. Tetapi kamera itu terpental, mati, gelap total.
Pukul 21.00. Seorang pramugari tergopoh-gopoh lari ke ruang pilot. Melintas
di kursi depan. Pramugari itu keluar lagi dari ruangan pilot dengan muka tegang.
Itu berita pertama yang diterima sistem penerbangan yang menuju dan
meninggalkan Bali. Pesannya pendek saja: Waspada. Semuanya siaga total.
Di Bandara Ngurah-Rai, kesibukan segera meningkat tajam. Puluhan petugas
dan anjing pelacak dikerahkan. Tidak ada yang tahu, boleh jadi masih ada bom
yang diletakkan di tempat lain. Bandara menjadi lokasi menarik, bukan"
Pukul 21.15. Aku mengusap wajah untuk kesekian kali. Tak sabaran melihat
jam di pergelangan tangan. Resah melihat gelap di luar jendela pesawat. Hanya
hamparan lampu-lampu perkotaan kecil yang terlihat. Terlihat bagai kunangkunang dari ketinggian ini. Aku mengusap tengkuk yang tegang. Jasmine paling
suka melihat kunang-kunang. Malam-malam, sering menggendong Lili di
halaman resor yang lanskap-nya sengaja dibuat seperti hutan kecil. Mengajak
Lili berbincang, "Lili, ada kunang-kunang. Lihat! Lihat!" Menunjuk-nunjuk. Lili
yang baru setahun hanya menguap. Mengantuk. Jasmine tertawa. Ia akan
menggerak-gerakkan badan. Membuat Lili nyaman. Melantunkan lagu ninabobo.
Pukul 21.30. Akhirnya "pesawat penyu" ini bersiap-siap mendarat.
Aku menelan ludah. Tidak. Semuanya pasti baik-baik saja.
Bergegas turun. Lari di anak tangga. Membuat penumpang lain mengomel.
Lari juga di pelataran bandara. Menerobos pintu keluar. Dan kecepatanku
terhambat. Menyebalkan. Benar-benar menyebalkan. Ke mana semua taksi,
kendaraan umum, dan segala apa pun bentuknya yang bisa digunakan menuju
Jimbaran dari bandara" KE MANA" Lobi bandara penuh oleh calon penumpang.
Bandara Ngurah-Rai mendadak berubah seperti pasar. Aku berlari-lari di
parkiran bandara. Mengumpat. Bertabrakan dua-tiga kali dengan rombongan
turis yang bergegas. Wajah-wajah panik.
"NO! We must go back, NOW!" Membujuk.
"Mom, we just one day here." Merajuk.
"More than 55 bodies has been found, My Dear. We must go home."
Aku terperangah. Menelan ludah. Lututku lemas menangkap selintas
percakapan seorang ibu dengan anak gadis tanggungnya. Semua orang
mendesiskan kejadian barusan. Tidak ada yang tahu persis. Maka
berterbanganlah kabar buruk. Pembicaraan kencang lainnya seorang gadis
dengan pasangannya yang bergegas turun dari taksi. 40" 60" Ya Tuhan,
sebanyak itukah" Tersadarkan. Taksi. Bergegas hendak masuk taksi yang
merapat ke lobi, menggantikan pasangan yang baru turun. Sialan. Ada yang
mendahuluiku. Aku hampir berteriak marah. Ke mana pula semua orang ini
bergegas hendak pergi" Rosie-ku jauh lebih penting.
Sebelum aku benar-benar ingin berteriak, ada yang lebih dulu memanggil
namaku. Aku menoleh. Motor besar itu mendekat, derum suaranya terdengar
bertenaga. Lincah menyelinap di antara padatnya kendaraan.
"Mas Tegar baru tiba?"
"Made," Aku mendesis dengan antusiasme meluap, tanpa banyak bicara
langsung loncat ke jok belakang, "Jimbaran! Segera, Made!"
Made menoleh bingung. "Ayo bergegas, kita ke Jimbaran sekarang."
"Aduh, bom-nya di sana, Mas. Tiang takut ke sana."
"SEGERA!" Aku mencengkeram kemeja Made, memaksa.
Made, kenalanku yang sejak mahasiswa bekerja menjadi guide, mengurus
perjalanan wisata di Bali itu menatap bingung, setengah takut, setengah
entahlah. "Rosie di sana, Made. Rosie dan anak-anaknya. Kau antar aku ke sana atau
aku sendiri yang merampas motor kau ini." Aku menyergah.
Demi mendengar nama Rosie, mencerna sejenak, mulut Made yang keberatan
segera tertutup. Bergumam cemas, dan tanpa banyak bicara lagi ia menekan
pedal gas dalam-dalam. Motor gede itu meraung di parkiran bandara.
Memekakkan telinga. Tetapi tidak ada yang peduli. Semua sibuk dengan urusan
masing-masing. Motor itu melesat cepat di jalanan yang tiba-tiba sibuk menuju Jimbaran. Aku
tahu, Made sama cemasnya denganku. Bisnis guide wisata Made di Pantai Kuta
banyak dibantu Nathan dan Rosie. Bagi Made, keluarga itu juga penting.
Lima belas menit yang memedihkan mata, berkendara tanpa helm, berlalu.
Aku terkesiap. Lututku lemas. Persis tiga jam tiga puluh menit sejak bom itu
meledak, akhirnya aku tiba di lokasi. Dan saat tiba di parkiran Jimbaran, di
depan jejeran bangunan kafe, lokasi yang lazimnya selalu ramai oleh turis-turis
yang berlalu-lalang, sekarang terlihat seperti bekas arena pertempuran. Senyap.
Menyedihkan. Seperti tidak ada siapa-siapa di sana, meskipun banyak orang
berlalu-lalang. Hening, meskipun lengkingan sirene mobil terdengar
memekakkan telinga. Mobil-mobil ambulans melesat keluar-masuk membawa korban. Petugas
berseragam putih terlihat cemong oleh merahnya darah. Mobil-mobil pemadam
kebakaran berjejer di mulut parkiran kafe, berusaha memadamkan kebakaran.
Mobil-mobil polisi melintang di sana-sini. Pita kuning dibentangkan. Petugas
sibuk menghalau orang-orang yang hendak mendekat. Mengacungkan pentungan
pada penonton yang satu-dua berebut memotret lokasi kejadian.
Aku nenatap semua pemandangan ini.
Aku hampir jatuh terduduk di atas gundukan pasir.
Made yang berdiri di sebelahku menghela napas. "Ibu Rosie benar ada di sini,
Mas Tegar?" Bertanya amat cemas, memastikan.
Aku mengangguk. Ya, Rosie, Nathan, dan anak-anaknya ada di sana ketika
bom itu meledak, persis di dekat tempat yang sekarang remuk. Meja-kursi
tinggal puing. Kaca kafe berguguran. Lubang hitam besar di hamparan pasir
terlihat menganga dari kejauhan.
"Aduh"." Made mengeluh dalam.
"Lebih dari seratus korban meninggal sudah ditemukan. Puluhan luka-luka
parah. Sekali lagi Bali berduka." Suara siaran langsung itu terdengar samarsamar. Aku mendengus melihat reporternya. Omong-kosong. Mereka memang
memasang wajah sok-bersimpati saat menyiarkannya, tapi mereka sesungguhnya
senang dengan berita hebat ini, berebut menayangkannya pertama-kali. Berebut
menjadi reporter yang meliput.
Seorang petugas mendorongku yang terlalu dekat dengan police line. Aku
bergeming. Menatap kosong ke depan. Made berbisik. Menarikku sebelum
petugas itu menggunakan pentungannya agar aku menyingkir. Dua kantong
mayat digotong. Kantong-kantong itu berukuran kecil. Pintu ambulans berdebam
terbuka. Aku menggigit bibir. Ya Tuhan, jangan sedikit pun pikiran buruk itu
melintas. Jangan sedikit pun. Aku mohon. Aku sungguh tak kuasa
membayangkannya. Anggrek" Sakura" Jasmine" Lili"
Jangan biarkan pikiran buruk itu sedikit pun melintas.
Belasan tahun silam. Aku berjalan terhuyung. Dingin.
Matahari tenggelam di kaki cakrawala. Langit biru meski redup terlihat bersih
memesona. Membuat sunset terlihat begitu menggetarkan hati. Sore ini puncak
Gunung Rinjani tanpa kabut sehelai pun. Seluruh mata memandang tanpa
penghalang. Itu berarti seluruh hamparan Pulau Lombok terlihat. Lengkap
dengan laut birunya. Tubuhku terjatuh. Pelan menyambar ranting pohon, mencari pegangan untuk
menopang tubuh. Gemetar. Setapak demi setapak. Gemetar lututku, tanganku.
Aku merangkak, berusaha menggapai-gapai mencari pegangan. Ransel carrier
di pundak yang dipadati tenda, sleeping-bag, dan logistik pendakian terasa berat.
Tetapi lebih berat lagi perasaan di hati.
"Rosie, aku mencintaimu. Aku tidak pernah mengerti perasaan itu, tetapi aku
mencintaimu sejak kau masih berkepang dua. Sejak kita masih cemong air
sawah. Mengejar capung. Menangkapi kodok hijau meski kau jijik sekali."
Aku tertawa getir sambil menyeka sudut mata. Berusaha terus menyeret kaki
melangkah. Terus menuruni jalur pendakian Gunung Rinjani.
Pembicaraan itu tidak pernah terjadi. Hanya ada di angan-angan.
"Aku tidak tahu apa perasaan itu, Ros. Yang aku tahu aku selalu merasa
senang bersamamu. Merasa tenteram dari semua galau. Merasa damai dari
semua senyap. Aku merasa kau membuatku setiap hari lebih baik.
Menumbuhkan semangat, memberikan energi."
Malam beranjak turun. Kaki langit mulai terlihat jingga. Lautan biru
memerah. Pemandangan hebat dari jalur turun puncak Gunung Rinjani lewat
Senaru. Tetapi aku tidak sempat memperhatikan. Tidak sempat. Kakiku
tersangkut akar pohon. Tanganku yang menggenggam dahan tak kuasa menahan
berat tubuh. Bergulingan. Biarlah, biarlah jatuh. Menimpa tunggul-tunggul.
Badanku dipenuhi dedaunan dan tanah. Terhenti oleh batang pinus raksasa.
Meringkuk. Meringkuk sambil tersengal. Tersengal sambil tersedu.
"Aku tahu ini terlalu cepat, Ros. Kau mungkin tidak nyaman. Kau mungkin
berpikir aku berlebihan. Berpikir aku hanya menuruti emosi sesaat. Aku tahu
kita baru berkenalan dua bulan. Kebersamaan yang singkat. Tetapi aku tidak
tahu, aku tidak tahan lagi untuk tidak bilang." Nathan tersenyum, menatap penuh
perasaan. Sayangnya pembicaraan yang ini nyata.
Senyata aku yang meringkuk sesak. Embun malam di ujung rotan-rotanan dan
tumbuhan paku-pakuan menetes, membasahi dahiku, membasahi pipiku. Dingin.
Rosie balas menatap lamat-lamat Nathan. Mereka berdua sedang duduk di
bebatuan. Menunggu sunset di puncak Gunung Rinjani. Mereka tiba lebih awal.
Aku tadi mampir sebentar di sumber mata air, mengisi botol-botol perbekalan.
Menyuruh mereka bergegas lebih cepat. Rosie suka sekali melihat sunset. Tidak
sedetik pun ia ingin kehilangan momen tersebut. Apalagi dari atas sini. Dari
puncak Gunung Rinjani. Maka aku mengalah yang mengambil air. Membiarkan
Nathan menemaninya. "Aku tidak tahu kapan perasaan ini datang, Ros. Mungkin sejak kita
dikenalkan satu sama lain oleh Tegar, mungkin saat itu aku sudah terpesona
padamu. Mungkin juga dari pertemuan-pertemuan ganjil itu," Nathan tertawa
sejenak, "Kita selalu bertengkar untuk urusan sepele setiap kali bertemu,
bukan?" Rosie ikut tertawa. Tidak. Semua ini sungguh tidak beres. Aku yang tiba sepuluh menit kemudian
hanya bisa gemetar berdiri di balik pohon. Menggenggam erat-erat akar pohon.
Mencari pegangan. Aku mendengar percakapan mereka. Ya Tuhan, bukankah
selama ini Rosie tidak pernah mau memalingkan wajah dari siluet matahari
menghilang di balik kaki langit. Sekarang" Rosie-ku sempurna menatap wajah
Nathan. Ini semua tidak beres.
Aku mohon jangan. "Aku tidak mengharapkan jawaban apa pun darimu." Nathan menelan ludah,
"Tidak, aku tidak mengharapkan jawaban apa pun. Aku menginginkanmu. Itu
benar. Aku teramat menginginkanmu. Maksudku dalam artian positif.
Menginginkanmu menjadi teman hidup. Melalui hari demi hari bersama-sama.
Menjejak sudut-sudut kebahagiaan dan mungkin juga pahit-getir kehidupan. Tapi
aku tidak mengharapkanmu, aku bersiap melepas semua perasaan ini kalau kau
sebaliknya ternyata tidak menginginkannya, melupakannya meskipun aku tidak
tahu bagaimana caranya, mungkin tidak akan pernah bisa. Ros, kau berhak
memutuskan apa yang akan kau tentukan senja ini. Tentu saja, maksudku, eh,
menentukan nasibku." Nathan tersenyum kikuk.
Rosie malu-malu tertunduk.
Aku hampir jatuh terduduk. Apa maksudnya" Bagaimana mungkin ceritanya
berubah seperti ini" Bagaimana mungkin Nathan menyukai Rosie" Dua bulan"
Dua bulan miliknya setara dengan dua puluh tahun milikku" Bagaimana
mungkin" "Aku". Aku mencintaimu, Ros." Nathan berkata pelan.
Aku mendekap telinga. Matahari sempurna tenggelam di ufuk sana. Matahari di hatiku juga sempurna
tenggelam saat melihat Rosie tersenyum di remang puncak Gunung Rinjani
mendengar pernyataan itu.
Akulah yang merencanakan perjalanan ini. Akulah yang merencanakan untuk
menyatakan kalimat-kalimat itu ke Rosie besok pagi. Kalimat yang sama seperti
yang diucapkan Nathan barusan. Saat matahari terbit, waktu favoritku. Aku
memang mengajak Nathan dalam pendakian ini, teman terbaikku. Rosie juga
mengenalnya, sejak dua bulan lalu. Akulah yang mengenalkan mereka satu sama
lain di Bandung. Mereka tertawa saat tahu sebenarnya tinggal berdekatan di
Lombok. Tertawa saat tahu ada banyak kebiasaan mereka yang sama, seperti
urusan ini, naik-gunung. Aku tidak pernah berpikir kalau itu akan menjadi kesalahan terbesarku.
Dua puluh tahun lamanya aku memendam rasa itu. Merasa waktu untuk
mengatakannya tidak pernah sempurna. Menunggu. Dua puluh tahun menabur
pelan-pelan semua benih. Kebersamaan yang menyenangkan.
Bukankah di mana ada Rosie di situ ada aku, dan sebaliknya, di mana ada aku
di situ ada Rosie. Esok pagi, saat aku bersiap menyatakan semuanya.
Senja ini Nathan menghabisi semuanya.
Lihatlah, Rosie ternyata juga mencintainya. Aku tergugu. Rosie juga
mencintai Nathan. Apa pun bentuk, pengertian, pemahaman, dan entahlah dari
Rosie atas cinta, Rosie menerima pernyataan itu. Mengabaikan sunset yang amat
disukainya. Mengabaikan sunset puncak Gunung Rinjani. Itu sudah cukup.
Menjelaskan semua posisi.
Aku tak kuasa lagi berdiri di balik pohon.
Aku tak kuasa harus bergabung dengan mereka di bebatuan puncak Rinjani.
Ya Tuhan, izinkanlah aku menghilang. Pergi dari semua kehidupan.
Maka, sekejap, aku bagai kesetanan lari menuruni lereng, gemetar berdiri dari
jatuh bergulingan. Terhuyung, berusaha berpegangan tangan ke batang pinus
raksasa. Malam ini juga aku harus turun dari puncak Rinjani. Malam ini juga aku
harus pergi. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan, bukan" Kakiku gemetar
kembali melangkah. "Apakah aku punya kesempatan?"
Rosie menatapku sendu. Terdiam.
"Apakah aku punya kesempatan, Ros?"
Rosie menunduk. Terdiam. "Aku tidak akan pernah punya kesempatan, bukan" Aku tahu itu." Aku


Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengangguk pelan. Amat pelan. Menyeka mata yang memerah.
Membuang ingus. Mengerti semuanya.
Itu percakapan angan-angan. Tidak pernah terjadi. Kalaupun terjadi, bukankah
demikian pula yang akan terjadi" Malam itu bulan purnama indah bersinar.
Malam itu ribuan formasi bintang memenuhi langit Gunung Rinjani.
Malam itu aku memutuskan pergi.
Sempat singgah sedetik di depan Danau Segara Anakan. Hanya untuk
melemparkan jauh-jauh sekuntum bunga Edelweis yang ingin kuselipkan di
rambutnya. Berusaha melemparkan sesak di hati, yang sayangnya tetap
menelikung hingga enam tahun kemudian.
Enam tahun. Masa-masa yang getir. Kesedihan. Kebencian.
3. NATHAN PERGI Kebakaran di jejeran kafe Pantai Jimbaran mulai bisa dikendalikan.
Telepon genggamku berdengking, membuatku tersadarkan dari lamunan.
Gelagapan meraih. Melotot melihat nama di display.
"KADEK! KAU DI MANA?" Aku berteriak. Membuat orang-orang yang
berdiri di belakang police-line menoleh. Aku tidak memedulikan mereka.
"Rumah sakit." Suara Kadek terdengar putus-putus.
Koneksi jaringan telepon genggam tetap buruk.
"Aku sudah di Jimbaran. Rosie di mana?" Aku juga tetap berteriak.
Abai dengan semua kesibukan Pantai Jimbaran yang menyedihkan. Abai
dengan wajah-wajah menatap ingin-tahu, lantas bergumam pelan, sepertinya
salah-satu keluarga korban.
Terlalu banyak percakapan yang melintas di langit Bali malam ini. Tetapi
sejelek apa pun sinyal telepon genggam penjelasan Kadek beberapa detik
berikutnya sudah cukup. Aku menelan ludah. Kadek menyebutkan tempat, diulangi tiga kali untuk
memastikan, dan tanpa menunggu sedetik pun aku menyeret tangan Made, yang
masih bengong menguping pembicaraan. Sesegera mungkin menuju rumah-sakit
yang disebutkan Kadek. Motor besar itu meraung lagi. Perasaan tegang jilid dua menimpaku. Kadek
tidak bilang apa pun soal Rosie dan anak-anak. Kadek hanya bilang Rosie
bersamanya. Di rumah sakit. Bersama puluhan korban lainnya yang dilarikan
segera. Kadek tidak bilang apa pun.
Lima menit, motor gede Made merapat ke pelataran parkir rumah sakit.
Halaman depan rumah-sakit itu berubah menjadi pasar-malam. Pemandangan
yang mengenaskan. Aku melompat. Berlarian di koridor. Menabrak beberapa
orang. Mendesiskan kata maaf. Made mengunci motornya. Telepon genggamku
mendadak berdengking. Mengumpat, siapa lagi" Aku harus bergegas melihat
Rosie dan keluarganya. Hampir bertabrakan dengan salah seorang perawat.
Telepon genggam itu terus berdengking. Aku mendengus meraihnya.
Oma, ini dari Oma Rosie. "Tegar, kau sudah tahu apa yang terjadi, Nak?" Gemetar. Suara itu terdengar
amat cemas. Suara tua yang cemas.
Aku menghentikan lari. Menelan ludah. "Sudah."
"Kau sudah tahu kabar Rosie?"
"Belum. Tapi aku sudah di Bali, Oma. Sebentar lagi aku akan tahu."
"Kau sudah di Bali?" Oma sedikit tersengal.
"Oma tenang saja. Jangan berpikir yang tidak-tidak." Aku mendesis pelan,
berusaha menenangkan. "Aku akan hubungi Oma sesegera mungkin setelah
tahu. Aku akan mencari tahu di". Sebentar lagi." Aku menyeka keringat di
dahi. Hampir terlompat kata "rumah-sakit". Urung. Tidak menyenangkan
mendengar kata itu sekarang. Telepon terputus.
Rosie hanya punya satu keluarga, Oma-nya, yang tinggal bersama di resor.
Oma sudah renta. Hampir delapan puluh tahun. Tidak bisa lagi ikut pergi ke
mana-mana, meski Sakura setengah mati memaksanya untuk selalu ikut. Itulah
orangtua yang kami miliki sejak empat belas tahun terakhir. Sejak orangtua
Rosie, Nathan, dan aku meninggal, hanya itu keluarga kami bertiga.
Koridor dipenuhi korban. Tubuh-tubuh terluka. Duduk bersandar di dinding.
Beberapa membungkuk, memegangi bebat luka. Beberapa berdiri, menghela
napas. Beberapa sembarang direbahkan di lantai. Kapasitas rumah-sakit ini
terbatas. Suster-suster dan dokternya terbatas. Mereka sebenarnya terbiasa
menghadapi situasi darurat seperti ini tiga tahun terakhir. Tetapi bom barusan
yang menghajar Jimbaran berlipat ganda merusaknya dibanding yang lalu-lalu.
Semuanya kacau-balau. Mataku nanar mencari Kadek. Kepalaku bergetar menoleh ke sana kemari,
mencari Rosie dan Nathan. Telingaku meruncing berusaha menangkap seruan
"riang" anak-anak itu. Siapa tahu ada teriakan suara khas Sakura, "UNCLE,
UNCLE KAMI DI SINI!" Bagaimanalah mungkin" Sedikit pun tidak ada
kegembiraan di sini. Yang ada hanya rintih kesakitan dan wajah-wajah sendu.
Sebuah kereta dorong dengan penumpang di atasnya melaju di koridor. Aku
buru-buru menyingkir. Tubuh di atas kereta itu menyedihkan. Kakinya hilang
separuh. Suster yang mengiringi terlihat panik. Berseru-seru. Temannya
berusaha membawa potongan" kaki" Entahlah.
Di mana Rosie" Di mana Nathan" Di mana anak-anak itu"
Made yang berjalan di belakang tiba-tiba menarik kemejaku.
Aku menoleh. Made gemetar menunjuk ruangan yang baru saja kami lewati.
Mataku mengikuti arah jemari telunjuk Made, dan semuanya terjelaskan. Aku
menatap gemetar. Kakiku patah-patah melangkah.
Di dalam ruangan itu Kadek berdiri mencengkeram rambutnya, menatapku
lemah. Di atas ranjang persis di tengah ruangan, tubuh Nathan terlihat membeku.
Tubuh itu sudah ditutup kain putih. Tiga puluh menit tadi beberapa dokter
berjuang menyelamatkan. Sia-sia. Sudah terlambat. Nathan menjemput janji
kehidupan, pergi selamanya.
Rosie tersungkur memeluk tubuh dingin itu, menciuminya.
Aku kehabisan kata-kata. Tidak sempat memikirkan apa pun. Termasuk menyadari betapa beruntungnya
Rosie yang meski hanya berbilang meter dari lokasi kejadian terlihat tidak
kurang satu apa pun. Hanya lebam di dahi, serta pakaian putihnya yang kotor
bergelimang pasir dan darah.
Mataku berputar menyapu seluruh ruangan. Jasmine memeluk Lili, duduk
meringkuk di pojok ruangan. Lili yang ya Tuhan, terima kasih, tidak kurang satu
apa pun meski tubuhnya terpental satu meter. Kau sungguh selalu baik dengan
anak-anak. Selalu baik. Anggrek" Anggrek dipeluk Clarice di sudut lainnya. Lengan Clarice dibebat
perban. Juga kakinya. Tetapi selebihnya, ia terlihat baik. Sakura" Di mana
Sakura. Aku tidak sempat bertanya. Tidak sempat. Kepalaku sempurna tertuju ke
wajah Nathan yang damai, meski rambutnya penuh gumpal darah. Otakku
sempurna tertuju ke wajah Nathan yang begitu tenteram, meski sudah pucatlayu. Dingin.
Dan Rosie, Rosie yang menangis terisak.
Aku gemetar mendekat. Berdiri di sebelah Rosie. Kadek tertunduk. Jasmine
menatap kosong ke arahku, tangan kecilnya mendekap erat adiknya. Mulutnya
mendesis hendak memanggil, Paman, tetapi hilang di antara desau kipas angin.
Anggrek menggigit bibir. Clarice menyeka ujung matanya. Made masih berdiri
di bawah bingkai pintu. Tanganku bergetar menyentuh bahu Rosie.
Rosie menoleh pelan. Pelan sekali. Muka sembap itu menoleh.
Aku seketika terluka melihatnya.
Senyap sejenak. "Nathan sudah pergi, Tegar." Rosie berbisik lirih. Aku kehilangan kalimat.
Omong-kosong kata-kata menghibur itu. Omong-kosong kata-kata
membesarkan hati itu. OMONG KOSONG! Semua kesedihan ini tidak akan
mereda dengan segala kalimat memuakkan itu. Semua kesedihan ini tidak akan
terusir oleh seribu kalimat-kalimat motivasi. Lihatlah betapa gelap kabut yang
mengungkung langit-langit ruangan ini. Lihatlah betapa menyedihkan semuanya.
Tiga belas tahun pernikahan yang hebat. Tiga belas tahun dengan kebahagiaan
intensitas tinggi. Berakhir seperti ini. Nathan pergi dengan kepala pecah. Nathan
pergi dalam sekejap, tanpa sempat kami bersiap, tanpa sempat bilang pamit.
Pergi begitu saja. Aku mendekap bahu Rosie. Mataku berkaca-kaca. Biarlah, biarlah menangis.
Aku tertunduk. Rosie menangis lagi. Aku menggenggam bahunya. Berbisik
tentang nasib, berbisik tentang jalan hidup. Malang benar semua suratan ini.
Satu detik berlalu. Lima belas detik. Satu menit.
Entah hingga kapan semua kesedihan ini terhapuskan. Hanya waktu yang
selalu berbaik hati. Sakura terbaring di ruangan sebelah. Tangan kirinya remuk. Sepasang pin
ditanamkan di lengan. Aku sepanjang malam, setelah memastikan keberadaan
Sakura, hanya bisa resah duduk bersandar di dinding. Duduk bersebelahan
dengan Jasmine di ruangan tempat Nathan disemayamkan sementara. Jasmine
hanya diam menatapku. Lili tertidur nyenyak dalam pelukannya. Tidak
terganggu dengan semua keributan.
Oma menelepon lagi dari Gili Trawangan setengah jam kemudian. Lima menit
yang terasa panjang. Percakapan itu hanya terjadi satu menit, sisanya lebih
banyak lengang. "Nathan sudah pergi." Aku memaksakan diri mengatakan
kalimat pendek itu. Suara Oma mendadak hilang. Kesunyian menggantung
menyakitkan. "Rosie baik-baik saja." Meski sebenarnya Rosie masih tersungkur,
tidak mau melepaskan pelukannya dari tubuh membeku Nathan. "Sakura sedang
dirawat. Tetapi anak-anak juga baik."
Di luar kamar, kesibukan tidak kunjung reda. Operasi dilakukan susulmenyusul di setiap sudut ruangan. Kerabat yang ingin tahu kabar berita
keluarganya membanjiri Bali beberapa jam kemudian. Kamera-kamera buas
menangkap setiap jengkal wajah dan potongan korban. Dendang kesedihan
mulai menghiasi layar televisi. Berjuta pengamat dengan berjuta komentarnya
berterbangan. Terorisme. Bom bunuh-diri. Kebencian. Tidak bisakah mereka
tahu urusan ini sederhana sekali bagi Rosie dan keluarganya"
Pukul 01.30 dini hari, Clarice menawarkan agar anak-anak ikut ia kembali ke
hotel. Di sana jauh lebih baik untuk beristirahat, tidak ada lagi yang bisa
dilakukan di sini. Kadek mengangguk, menyetujui, berusaha membujuk Rosie
melepaskan pelukan. Rosie tidak menjawab. Kadek menatapku, memintaku ikut membujuk. Aku
menatap kosong. Biarlah, biarlah Rosie di sini. Bagaimana mungkin aku akan
menyuruh Rosie pergi" Tidak sekejap Rosie mau berpisah dengan Nathan.
Biarlah beberapa jam lagi hingga esok pagi datang.
Clarice mengangguk, mencoba mengambil Lili dari pelukan Jasmine.
Maksudnya agar Jasmine bisa berdiri dan mereka bisa ikut kembali ke
penginapan. Membujuknya. Jasmine justru melotot marah, gadis kecil yang
pendiam itu mendadak berteriak, "JASMINE DAN LILI MAU DI SINI!"
Clarice menelan ludah, "Nanti kita bisa kembali, My Dear. Kau harus berganti
mandi, pakaian, ti, "
"JASMINE DAN LILI MAU BERSAMA IBU! BERSAMA AYAH!" Gadis
kecil itu menatap galak, tidak peduli. Muka imutnya terlihat tegang.
"Ibu akan menyusul ke hotel, "
"JASMINE DAN LILI TIDAK MAU! TIDAK MAUUU!" Gadis kecil itu
beringsut mundur, memeluk adiknya erat-erat, menoleh padaku, meminta
pembelaan. Clarice kehabisan kata. Menghela napas perlahan.
Jasmine tertunduk. Lantas menangis terisak.
Aku yang persis di sebelahnya mendekap kepalanya. Rambut ikal Jasmine
kotor oleh pasir. Aku berbisik menenangkan. Gadis kecil itu terisak merebahkan
kepalanya. Lili masih tertidur dalam pelukannya. Tidak ada yang bisa
membayangkan apa yang ada di kepala Lili sekarang. Sama tidak bisa
membayangkan apa yang akan terjadi di ruangan itu kalau Lili seperti bayi
berumur setahun lainnya tiba-tiba menangis kencang.
"Paman"." Jasmine berbisik lemah.
Aku mengusap rambut Jasmine. Menoleh. Mencoba tersenyum.
"Paman Tegar, Ayah sebenarnya pergi ke mana?" Aku terdiam. Kelu.
Pertanyaan itu. "Paman Tegar?"
"Ayah tidak pergi ke mana-mana."
"Tadi Paman Tegar bilang ke Oma, Ayah sudah pergi. Bukankah Ayah ada di
sana. Dipeluk Ibu. Kenapa Ayah tidak bergerak-gerak" Ayah sakit apa?"
Aku mendongak menatap desing kipas angin dalam ruangan.
"Apakah, apakah Ayah tidak akan pernah kembali." Suara Jasmine semakin
serak, memastikan pemahamannya yang terbatas soal kematian.
Aku menelan ludah. Mengangguk pelan.
Jasmine tertunduk. Satu tetes air-matanya menimpa dahi Lili. Jasmine gemetar
mengusapnya. Takut membuat adiknya terbangun. Gadis kecil itu menatap
adiknya teramat sendu, berbisik, "Ayah sudah pergi, Lili. Ayah sudah pergi".
Tidak akan kembali."
Lantas senyap. Hilang sudah keinginan Clarice untuk mengajak anak-anak kembali ke
penginapan. Bagaimana ia akan mengajak, ia malah tak kuasa menahan air
matanya sekarang. Mendongakkan kepala. Maka beberapa menit kemudian
Clarice ke luar ruangan. Kembali setengah jam kemudian dengan membawa
pakaian ganti, selimut, apa saja. Mereka akan menginap di rumah sakit malam
ini. Malam merangkak begitu lambat.
Aku menyempatkan melihat Sakura sekali lagi. Gadis itu masih belum
sadarkan diri. Dokter yang mengoperasinya menjelaskan, Sakura akan selamat.
Berdoalah tidak ada kerusakan permanen, gegar otak misalnya. Aku
menggeleng, tidak, jangan sampai.
Pukul 02.15 dini hari, Jasmine akhirnya tertidur di pojok ruangan, sambil
memeluk adiknya, Lili. Clarice menyelimutinya. Anggrek tetap diam. Hanya
menunduk menatap gurat tegel lantai rumah-sakit. Jemarinya menggurat-gurat
mengikuti retak tegel lantai. Memeluk lutut di samping Jasmine yang berbaring.
Kadek dan Made setengah jam tadi izin pergi untuk mengurus kenalan lainnya
yang jadi korban. Beberapa staf kafenya terluka. Kadek dan Made juga sibuk
menjawab beberapa telepon kenalan lain.
Clarice satu jam kemudian menghubungi Sydney, dua orang anggota tim riset
ekologinya juga meninggal. Ia beruntung karena saat bom meledak sedang
melangkah ke meja Rosie dan anak-anak.
Rosie, entahlah apa ia sudah tertidur atau belum. Rosie masih memeluk tubuh
Nathan. Tidak ada lagi isak-tangis di sana. Hanya senyap.
Aku menghela napas. Hanya waktu yang selalu berbaik hati mengobati
kesedihan. 4. PERTUNANGAN YANG BATAL
Selamat pagi. Bagiku waktu selalu pagi. Di antara potongan dua puluh empat jam sehari,
bagiku pagi adalah waktu paling indah. Ketika janji-janji baru muncul seiring
embun menggelayut di ujung dedaunan. Ketika harapan-harapan baru merekah
bersama kabut yang mengambang di persawahan hingga nun jauh di kaki
pegunungan. Pagi, berarti satu hari yang melelahkan telah terlampaui lagi. Pagi,
berarti satu malam dengan mimpi-mimpi yang menyesakkan terlewati lagi;
malam-malam panjang, gerakan tubuh resah, kerinduan, dan helaan napas
tertahan. Jasmine sudah terbangun sejak tadi.
Nathan dan Rosie selalu membiasakan anak-anaknya bangun pagi. Clarice
datang lagi menjelang subuh. Membawa keperluan. Termasuk susu bubuk dan
air panas untuk Lili. Jasmine terampil menyiapkan kebutuhan adiknya. Lili
menggeliat beberapa menit kemudian. Mulai merengek ingin minum. Jasmine
mengganti popok adiknya, cekatan memasang pampers. Tidak pernah
terbayangkan menyaksikan anak kecil berumur lima tahun itu dengan wajah
kosong karena seluruh kesedihan ini melakukan semua itu di sela-sela hingarbingar koridor rumah sakit.
Jasmine belum mengerti banyak hal, tapi ia paham, mulai hari ini ia akan lebih
banyak mengurus adiknya. Anggrek terbangun, dan kembali hanya duduk
memeluk lutut. Keramaian di luar tetap tidak berkurang, meski beberapa korban
yang tidak terlalu parah sudah boleh pulang, beberapa kantong mayat sudah
mulai diambil keluarganya.
Sepanjang pagi, aku menghubungi petugas rumah sakit. Berbincang sebentar
dengan dokter yang merawat Sakura. Memastikan Jasmine dan Lili baik-baik
saja. Beberapa petugas rumah sakit masuk ke dalam ruangan, hendak mengurus
mayat Nathan. Bersitegang sejenak. Rosie tidak mau melepaskan pegangannya.
Aku berbisik membujuk, "Lihatlah anak-anak, kau tidak ingin mereka lebih
sedih dibandingkan kita, bukan?"
Rosie akhirnya tertunduk, pelukannya terlepas. Mayat Nathan dibawa pergi,
diurus. Aku membimbing Rosie duduk di sebelah Jasmine. Wajah cantik wanita
berumur tiga puluh lima tahun itu sekarang terlihat merana. Seperti tidak ada
lagi sisa-sisa keriangan di sana. Wajah yang begitu riang saat kami dulu berlarian
mengejar capung-capung di pematang sawah. Wajah yang begitu tenteram
menatap sunset. Wajah yang tersipu malu saat membicarakan mimpi-mimpi


Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidupnya. Wajah yang pura-pura mengkal menghadapi ulah empat anaknya,
terutama Sakura. Sekarang terlihat sendu. Gurat-gurat kesedihan nampak nyata.
Aku membiarkan Rosie duduk berdiam diri. Made datang. Aku membicarakan
beberapa hal. Memintanya menyiapkan peti mayat. Menyiapkan banyak hal.
Siang ini ada banyak pekerjaan yang harus diurus. Tidak mungkin keluarga ini
berada terus di rumah-sakit. Made mengangguk. Beranjak keluar ruangan.
Aku melirik tangan, pukul 07.30 waktu Jakarta. Itu berarti pukul 08.30 di sini.
Aku belum sempat menyesuaikan arah jarum besar jam di pergelangan tangan.
Astaga! Aku benar-benar lupa. Bukankah pukul 07.30 hari ini amat penting
dalam kehidupanku" Dan persis saat aku menyadari telah melupakan agenda di
hari spesial ini, tiba-tiba telepon genggamku berdengking. Siapa lagi yang akan
menelepon" SEKAR. Ia yang meneleponku.
"Kau tidak lupa kalau kita hari ini bertunangan, kan, Tegar." Suara Sekar
terdengar sedikit merajuk.
Aku bagai dicelupkan ke dalam kolam yang dipenuhi batangan-batangan es.
"Ergh." Suaraku terputus. Kelu. Bagaimana mungkin aku lupa"
"Kau ada di mana, Tegar" Aku sudah menunggu dari tadi, maksudku Papa,
Mama, dan seluruh keluarga. Kami menunggu calon tunangan prianya. Kau
tahu, kami menunggu dengan wajah harap-harap cemas seperti di film-film itu."
Suara Sekar terdengar riang.
"Aku, aku ada di Bali." Tercekat. Semua ini benar-benar membuat lupa.
Kepanikan semalam membuatku lupa kalau hari ini hari penting bagiku.
Pertunangan kami. Suara riang Sekar mendadak hilang. Lengang.
"Eh, kau tidak tahu apa yang baru terjadi?" Aku buru-buru berusaha
menjelaskan. Panik dengan kalimat-kalimat berikutnya. Terbata-bata.
Bagaimanalah Sekar akan tahu" Sepanjang hari ia dan keluarganya sibuk
menyiapkan acara pertunangan. Antusias, amat bersemangat malah. Senang
dengan janji-janji hidup bersama yang akhirnya ia dapatkan setelah hampir
setahun tak kenal lelah membujukku.
"Ada bom di Bali. Kemarin sore. Aku buru-buru ke Bali. Penerbangan tadi
malam. Rosie," Suaraku terputus.
Rosie" Setahun terakhir, bukankah Sekar benci setiap aku mengatakan nama
itu di hadapannya. Jadi bagaimana mungkin di pagi yang seharusnya aku
meminangnya, nama itu tersebutkan.
Tidak ada jawaban di telepon seberang sana.
Rosie yang duduk di sebelahku menoleh, menatap. Matanya bertanya redup.
Aku menjawab dengan anggukan. Sekar yang menelepon. Dan urusan sepertinya
akan runyam. "Apa Rosie dan keluarganya menjadi korban?" Sejenak setelah lengang, suara
Sekar ternyata tidak berubah menjadi seruan marah. Suara itu, setelah aku
mengusap dahi cemas menunggu kalimatnya, suara Sekar terdengar terkendali.
Aku menelan ludah. "Rosie baik. Suaminya yang tidak, Nathan meninggal." Diam sesaat.
"Sakura masih belum sadarkan diri. Anggrek baik-baik saja. Juga Jasmine dan
Lili. Mereka semua ada di rumah sakit. Aku bersama mereka." Aku berusaha
merangkum semua detail dalam satu tarikan napas. Menyebutkan nama-nama.
Tentu saja Sekar mengenal nama-nama itu. Lima tahun silam saat pertama kali
berkenalan dengannya, Sekar berbaik-hati menjadi pendengarku yang setia.
Gadis itu pemilik salah satu tempat nyaman menghabiskan akhir pekan. Tempat
untuk menenangkan diri dari segala keriuhan kota. Entah itu dengan yoga,
berendam di spa, berolahraga seharian di gym yang tersedia di lokasi tersebut
dan sebagainya, dan sebagainya.
Gadis itu menyenangkan. Pendengar yang baik. Aku berkenalan tidak sengaja
dengannya di salah satu acara sosial perusahaan setahun selepas memasuki
masa-masa tenteram. Gadis itu datang sebagai undangan. Mengenakan gaun
hijau. Terlihat cantik. Serasi dengan matanya. Sungguh Sekar lebih cantik
dibandingkan Rosie, itu selalu kukatakan sambil tertawa, saat begurau
menanggapi kata-kata Sakura yang selalu bilang, Bibi Sekar jelek, ya" Ya, Sekar
memang cantik. Kami cepat akrab. Pertemuan demi pertemuan. Awalnya hanya janji makan
siang. Menghadiri acara tertentu. Menghabiskan akhir pekan bersama. Sekar
pekerja sosial yang baik. Gadis yang pintar. Teman baik yang hebat. Tidak ada
yang kurang darinya. "Maafkan aku, membuat kacau-balau rencana besar kita. Maafkan aku lupa
menelepon kau segera, Sekar." Aku mendesis lemah setelah hening sesaat.
"Tidak apa-apa. Aku akan bilang Papa dan Mama, acaranya dibatalkan."
Sekar berkata tidak kalah lirih.
Aku mendadak merasa amat bersalah.
Dalam setiap pertemuan selama dua tahun di awal perkenalan kami aku
menceritakan banyak hal tentang masa lalu itu. Maka Sekar tahu setiap
detailnya. Aku ingat sekali, Sekar terdiam lama saat aku menceritakan, betapa
menyakitkan menuruni lereng Gunung Rinjani malam-malam dengan semua
beban berat di hati setelah mendengar kalimat Nathan.
Sekar menatapku bersimpati, berkata pelan, "Aku akan beruntung sekali kalau
ada lelaki yang mencintaiku sebesar itu. Cinta yang teramat besar, meski tidak
pernah terucapkan." Maka muncullah benih-benih perasaan suka itu. Perjalanan yang panjang
memang. Tahun demi tahun yang terpotong di sana-sini oleh kunjunganku ke
Lombok. Acara-acara bersama anak-anak Rosie dan Nathan. Tetapi Sekar
bersabar dengan segala prosesnya.
Sekar tahu persis aku selalu dan akan tetap mencintai Rosie. Tidak akan
pernah bisa menghilangkan perasaan itu. Sekar tahu persis ia hanya menjadi
bayangan dari sosok Rosie, itu sering diucapkannya saat hubungan kami justru
bersiap pada komitmen yang jauh lebih serius. Meski ia tahu, perasaan cinta itu
hanya jejak masa lalu yang telah selesai. Meski ia tahu aku sudah bisa berdamai
dengan keinginan-keinginan itu.
Di tahun ketiga pertemanan kami, aku memutuskan mencintainya. Gadis itu
sempurna bagiku. Dan aku bisa belajar mencintainya. Dengan pengertian cinta
yang baru. Di tahun keempat, Sekar memintaku memberikan komitmen hubungan jangka
panjang. Tanpa lelah. Sepanjang tahun. "Akhirnya, cintaku yang teramat besar
kepadamu bisa mengalahkan cintamu yang teramat besar kepada Rosie." Sekar
tertawa, tersipu saat aku akhirnya bisa bilang iya dengan lega untuk acara
pertunangan kami. Gadis itu pilihan terbaik. Aku mencintainya, meski dengan kosa-kata dan
pemahaman cinta yang baru. Gadis itu sempurna, meski setahun terakhir mulai
tidak menyukai lagi setiap aku menyebut-nyebut nama Rosie di depannya.
Dan pagi ini, semuanya kacau balau sudah.
"Kita masih bisa menjadwal-ulang acaranya, bukan?"
Sekar tertawa pelan, mencoba bergurau, terdengar ganjil.
"Tentu saja, Sekar. Tentu, aku akan segera kembali ke Jakarta setelah semua
urusan ini selesai. Aku akan langsung datang ke rumahmu. Jadi bilang PapaMama, terus saja bersiap selama seminggu ini, calon menantunya akan datang
kapan saja, mungkin sambil terjun-payung dari pesawat." Aku mencoba balas
bergurau, tertawa. Sekar tertawa tanggung. Entahlah,
"Salam buat Rosie. Aku turut berduka cita." Sekar berbisik.
Aku mengangguk. "Jangan lupa makan, Tegar."
Aku mengangguk lagi. Hubungan telepon terputus.
Aku mengusap wajah. Memasukkan telepon genggam ke saku.
Terdiam sejenak. Rosie yang duduk di sebelah menyentuh pelan sikuku. Aku menoleh.
Maaf, semua kesedihan ini mengganggu acara pertunanganmu. Rosie
menatapku lamat-lamat, bicara lewat tatapan mata. Sejak kecil kami terbiasa
dengan percakapan hebat ini. Dulu saat kami disetrap Oma karena mencuri
mangga tetangga di Gili Trawangan, ini jadi andalan untuk melakukan
persekongkolan. Sepakat untuk tidak mengaku. Atau menggunakannya untuk
bicara dari kejauhan. Saling mengerti makna tatapan dan gesture wajah.
Makanya Oma lebih suka menghukum kami duduk terpisah tidak boleh saling
mendekat. Aku tersenyum. Menatap balik wajah sembap Rosie. Menggeleng. Tidak. Kau
tidak pernah mengganggu acara pertunangan itu. Hanya tertunda.
Senyap sejenak. Kembalilah ke Jakarta, Tegar. Sekar menunggumu. Tidak ada lagi yang tersisa
di sini. Rosie menatap redup, berkata-kata lewat matanya yang sembap.
Aku menggeleng lagi. Tidak. Aku akan menemanimu melewati semua
kesedihan ini. Rosie tertunduk. Menghela napas panjang.
Aku mendekap bahunya. Tidak berkata-kata lagi.
Kadek mendadak muncul dari bingkai pintu, berlari-lari kecil hampir
menabrak suster yang baru keluar membereskan bekas ranjang Nathan.
"Sakura, Sakura sadar Mas Tegar." Kadek belepotan memberitahu.
Apa yang Kadek bilang" Sakura sadar" Setelah hampir dua belas jam
menyimak seluruh potongan kesedihan, ini menjadi berita baik pertama. Aku
loncat berdiri. "Tidak. Biar aku saja yang melihatnya. Kau tetap di sini." Aku menyuruh
Rosie yang terhuyung ikut berdiri untuk duduk kembali.
Berlari-lari kecil di sepanjang koridor. Melewati petugas cleaning-service
yang sibuk membersihkan sisa-sisa darah semalam, menyiramkan pewangi yang
menenteramkan. Aroma terapi. Ternyata itu ada gunanya.
Aku merangsek masuk ke ruangan tempat Sakura terbaring. Tubuh gadis kecil
itu dipenuhi bebat. Kepalanya terpaksa dibotaki untuk menjahit luka. Matanya
berkerjap-kerjap silau saat menyimak seluruh ruangan. Aku melangkah
mendekat. Kebat-kebit dengan perasaan cemas, ingin tahu, dan entahlah.
"Sakura, Sakura, Uncle di sini!" Aku berbisik, segera menggenggam
jemarinya. Sakura yang kepalanya sedang tertoleh menatap jendela yang menyelipkan
ribuan larik cahaya matahari pagi menggerakkan kepalanya. Menatapku.
Awalnya hanya diam. Termangu. Pelan sekali memori otaknya kembali, seperti
sedang menerabas hutan basah berduri, melewati lautan dalam, berusaha
mengingat. Sekejap. Gadis kecil itu mendadak menangis.
"Uncle, sakit". Sakit sekali."
"It"s okey, Honey. Sakura kan kuat, jago macam Samurai." Aku mencoba
tersenyum. Gadis itu hendak menyeka matanya. Tidak bisa. Tangannya dibebat. Aku
membantunya. "Ibu di mana?" "Ibu baik-baik saja. Ada di ruangan sebelah, nanti juga ke sini."
"Ayah?" Aku menelan ludah. Terdiam. Apa yang harus kukatakan" Lantas tersenyum,
"Ayah juga baik-baik saja, ada di sebelah."
Ya Tuhan, tidak mungkin aku bilang Nathan sudah pergi, bukan" Besok-lusa
saat semuanya lebih baik, berita buruk itu lebih mudah disampaikan.
"Jasmine?" Aku mengangguk. Baik-baik saja. "Lili?"
Aku mengangguk lagi. Senyap. Sakura menyimak perban di seluruh tubuhnya.
"Kenapa Sakura tidak bertanya di mana Kak Anggrek yang suka mencubit?"
Aku mencoba bergurau. Gadis kecil itu menggeliat, nyengir tipis.
"Tangan Sakura tidak bisa digerakkan, Uncle." Gadis itu mengeluh.
"Semua akan sembuh. Pasti sembuh." Aku mengelus rambut ikal sebahunya.
Hanya Sakura yang berambut ikal, tidak lurus-hitam-legam seperti Rosie.
Gadis kecil itu lamat-lamat menatap lengan kirinya. Terdiam lagi.
"Uncle, bunga mawar birunya, apakah, apakah Ayah dan Ibu menerimanya?"
5. FORMASI RIBUAN OBOR Siang merangkak naik. Aku harus memutuskan beberapa hal. Mayat Nathan selesai dibersihkan,
dimasukkan ke dalam peti kayu. Tidak mungkin membiarkan Nathan terlalu
lama di rumah sakit, harus segera dikuburkan. Setelah bicara dengan Rosie, yang
hanya dijawab dengan anggukan, aku berdiskusi sebentar dengan Clarice yang
masih menunggui di ruang sementara tempat peti Nathan. Clarice sekalian
menunggu keluarga korban kolega risetnya dari Sydney.
Sepanjang hari, ruangan itu tidak putus oleh kunjungan. Beberapa kenalan
Nathan dan Rosie yang tinggal di Denpasar dan mengetahui beritanya dari
Kadek dan Made datang menjenguk. Menatap sendu semua pemandangan.
Menatap berduka wajah anak-anak.
Aku harus membawa Nathan pulang ke Gili Trawangan, tetapi aku tidak bisa
meninggalkan begitu saja Sakura yang masih terbaring lemah di ranjangnya,
sendirian di Rumah Sakit Denpasar. Aku berbicara dengan dokter, bertanya soal
kemungkinan membawa Sakura kembali ke Lombok, dirawat di sana. Dokter
menghela napas, perlahan menjelaskan, anak itu tidak akan bisa meninggalkan
pintu rumah sakit sebelum tiga-empat hari.
Masih terlalu lemah. Aku memotong tidak sabaran, "Kami bisa menyiapkan
helikopter untuk membawanya ke Gili Trawangan."
Dokter hanya menggeleng pelan. Menatap prihatin. Bukan masalah membawa
Sakura, tapi kondisi Sakura memang tidak mengizinkan. Kecuali seluruh ranjang
dan peralatan yang membelit tubuhnya diangkut juga, yang artinya tidak
mungkin dilakukan. Clarice menarik tanganku, berbisik menawarkan, biarkan ia
yang menunggui, "Sakura akan senang Bibi Clare yang menemaninya, Tegar.
Kau harus segera membawa Nathan pulang."
Aku menyeka dahi, berhitung sejenak, mengangguk. Nathan harus dikuburkan
di Gili Trawangan. Di pemakaman umum keluarga. Itu keinginan Rosie.
Menjelang sore keputusan diambil. Rosie, Anggrek, Jasmine, dan Lili segera
kembali ke Gili Trawangan. Membawa peti kayu Nathan senja ini juga.
Menggunakan helikopter. Tentu saja itu salah satu peralatan yang dimiliki tim
riset ekologi Clarice. Mereka menyewanya untuk penelitian dua bulan ke depan.
"Kau baik sekali, Clare." Aku memegang lengan Clarice lemah.
Mata bulat kelabu Clarice mengerjap-ngerjap, tertawa kecil, getir. Balas
menyentuh lenganku, membesarkan hati. "Kalianlah yang justru baik sekali
padaku selama ini, Tegar." Wanita bule berumur empat puluh tahunan itu
tersenyum tulus. "Aku akan menunggu sampai kau kembali, Tegar. Kau lihat, aku tak akan
eksodus pulang seperti turis lain. Apa yang kau dan Nathan bilang dulu, "Ah,
bagi Clare, Bali dan Lombok sudah menjadi bagian negaranya sendiri. Justru dia
menjadi turis kalau kembali ke Aussie." Smith akan mengurus perjalanan kalian.
Aku mungkin menghabiskan sepanjang bulan ini di Denpasar. Toh, aku harus
membereskan banyak hal di sini. Kuburkanlah Nathan. Temani Rosie. Oh God,
keluarga ini tidak seharusnya mendapatkan musibah menyakitkan ini." Clarice
tersenyum pahit, menatap lemah Jasmine dan Lili di pojok ruangan.
Tadi selepas siang, Jasmine akhirnya mau diajak kembali ke hotel. Sempat
mandi sebentar. Anggrek juga ikut. Wajah mereka sekarang terlihat lebih segar.
Sayang, mendung tidak bisa diusir dari wajah dengan mandi sejuta kali, tak bisa
dikikis dengan sabun setinggi gunung, tetap saja menggelayut. Hanya Rosie
yang sepanjang hari tetap duduk di dalam ruangan tempat peti kayu Nathan
disemayamkan. Seorang suster berbaik hati meminjamkan kursi plastik
untuknya. Rosie sudah tidak menangis lagi. Mungkin air matanya sudah kering.
Rosie hanya mengangguk lemah saat aku mengatakan banyak hal. Menyetujui
kami pulang senja ini. Kembali ke Gili Trawangan membawa Nathan.
Lima belas menit untuk persiapan.
Smith sudah bersiap di luar rumah sakit, helikopter riset sudah mendarat di
lapangan parkir, ia baru saja membawa helikopter itu langsung dari base-camp
penelitian. Aku menyuruh Jasmine dan Lili bersiap-siap. Anggrek tanpa diminta
sudah berdiri, tertunduk. Made, Kadek, dan beberapa teman lain membantu
mengangkut peti mayat Nathan. Clarice memimpin perjalanan keluar pintu
rumah sakit, ditatap puluhan keluarga korban lainnya, diterkam buas puluhan
kamera wartawan. Sementara aku melangkah menuju kamar Sakura. Gadis kecil cerdas itu
membutuhkan penjelasan. Tadi, menjelang siang, Rosie sudah menjenguknya.
Tidak banyak bicara. Hanya menangis tanpa suara memeluk tubuh anaknya.
Menciumi lengannya yang terbebat kain. Pipinya yang tergores luka. Dahinya
yang lebam. Sakura menggeliat jengah. Dulu juga Sakura sering protes, "Sakura
kan tidak sekecil Lili lagi, Ibu. Geli dicium-cium."
Jasmine dan Lili ikut menjenguk. Meski tidak banyak bicara. Saling menatap.
Hanya Anggrek yang bicara, berbisik pelan, "Maafkan Kakak yang selama ini
suka mencubit." Tersedak. Anggrek tak sanggup meneruskan kalimatnya.
Menangis pelan. Sakura ikut menangis. Mereka tidak berpelukan. Hanya jemari
Anggrek yang menggenggam jemari tangan kanan Sakura yang tidak terbungkus


Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gips. Mereka bersitatap lama sekali. Aku hanya menghela napas.
"Mana Ayah?" Sakura bertanya pelan setelah hening beberapa detik. Dan aku
sekali lagi memotong, menjelaskan Nathan baik-baik saja. Sakura hanya diam.
Meski matanya menatap bingung. Tidak mengerti apa yang aku jelaskan. Rosie
menyeka matanya yang kering. Anggrek membuang ingus, dengan tisu yang
diberikan Clarice. Sore ini, aku akhirnya harus menjelaskan sepotong berita menyakitkan itu.
Tidak mungkin meninggalkan Sakura sendirian di Denpasar tanpa ia mengerti
apa yang sesungguhnya telah terjadi. Penjelasan yang awalnya aku pikir baru
akan tersampaikan minggu-minggu depan. Ternyata harus dikatakan sore ini
juga. Gadis kecil itu riang melihatku melangkah masuk. Kalau saja kondisinya jauh
lebih baik mungkin Sakura sudah berteriak-teriak seperti kebiasaannya selama
ini, "Uncle! Uncle!"
"Kau sudah makan?" Aku menatap piring kosong di atas meja sebelah
ranjang. Sakura mengangguk, "Sudah. Tapi pahit."
"Pahit" Tapi habis?" Aku tersenyum, mencoba bergurau dengan sisa-sisa
keriangan. Gadis kecil itu ikut tersenyum. Perut Sakura selalu gentong, apa pun
situasinya. Apa kata Rosie dulu" "Makannya Sakura setara makannya Ayah
ditambah Ibu, Anggrek, Jasmine, dan Lili. Hanya Uncle-nya yang bisa ngalahin
soal perut." Seorang suster keluar dari kamar mandi. Membersihkan pispot.
Mengangguk ke arahku, merapikan nampan piring.
"Sakura". Ibu, Kak Anggrek, Jasmine, dan Lili sore ini harus segera kembali
ke Gili." Diam sejenak. Gadis itu lamat-lamat menatapku.
"Uncle ikut?" Aku mengangguk pelan. "Ayah ikut?" Aku terdiam. Dari mana aku harus menjelaskan"
Gadis kecil itu menatap nanar.
"Ayah ikut?" Bertanya sekali lagi.
Ya Tuhan bagaimana aku harus menjelaskan kalau Nathan sudah pergi"
Semua ini sepertinya lebih baik kalau mereka menyaksikan langsung, seperti
Jasmine dan Anggrek. Lebih menyakitkan memang, tapi penjelasan kehilangan
itu langsung ditanamkan di kepala mereka. Tanpa perlu pemanis kata, rangkaian
kalimat yang diharapkan bisa mengurangi rasa sakit. Mulutku hendak terbuka, .
"Apakah". Apakah Ibu kembali ke Gili untuk menguburkan Ayah?" Lemah
sekali gadis kecil itu berbisik. Kalah oleh desau angin senja yang mengalir
melalui teralis jendela. Sakura sempurna mengambil alih permasalahan.
Aku menelan ludah. Terpaku. Bagaimana ia tahu"
Mata Sakura berdenting, ada pelangi di sana. Gadis kecil itu mendadak
terisak. Isakan yang dalam. Amat menyakitkan mendengarnya.
"Tadi". Tadi saat Sakura tertidur sebentar, Ayah datang, Uncle Tegar. Ayah
bilang, Ayah bilang akan pergi". Pergi selamanya."
Aku menggigit bibir. Sakura tersengal oleh sedannya. Belalai plastik yang
menghujam dadanya terlihat turun naik. Tubuh gadis kecil itu bergetar. Bergetar
menahan sedih. Aku mengusap pipinya yang basah.
"Ya, Sakura". Ibu, Kak Anggrek, Jasmine, dan Lili harus menguburkan Ayah
di Gili. Kita tidak akan membiarkan Ayah menunggu terlalu lama, bukan. Uncle
harus ikut menemani. Uncle berjanji akan segera kembali. Membawa Sakura
pulang. Sementara Uncle belum kembali, Bibi Clare yang akan menemani
Sakura di sini, juga Om Made, Om Kadek. Kau akan sendirian, tanpa Uncle.
Sakura pasti bisa. Sakura kan hebat, selalu seperti Samurai sejati." Aku mencoba
tersenyum, mengelus pipinya yang tergores luka memanjang.
Gadis kecil itu diam sejenak. Mengatur napasnya. Sakura jarang menangis.
Malah tidak pernah. Baginya hidup hanya untuk tertawa, termasuk
mentertawakan Uncle. Jadi dua kali lebih menyedihkan saat melihat wajah yang
selama ini lazimnya tertawa riang malah sebaliknya, tersedu dengan seluruh
kesedihan. "Uncle." Sakura berbisik.
Aku menatapnya lembut. Ya"
"Uncle, Sakura tadi melihat Ayah membawa sekuntum mawar biru."
Aku berlari-lari kecil di pelataran parkir rumah sakit. Baling-baling helikopter
membuat rambut dan kemejaku berkibar. Merunduk. Clarice menepuk bahuku
sebelum loncat ke atas helikopter. "Be careful, Tegar." Aku mengangguk.
Mencengkeram pintu helikopter.
"Sore, Mr. Tegar." Smith, pilot helikopter menyapa ramah. Memasang tangan
di kening seperti memberi hormat tentara. Aku balas mengangguk.
Anggrek dan Jasmine duduk berdesakan di sebelah Rosie. Peti kayu Nathan di
telentangkan di depan mereka. Pemandangan yang mengenaskan. Mereka tahu
persis Ayah mereka terbaring kaku di dalamnya. Padahal baru semalam
menghabiskan senja di Pantai Jimbaran dengan riang. Made yang sementara ikut
dalam penerbangan, duduk di depan, di sebelah Smith. Aku menutup pintu.
Melambaikan tangan ke Clarice. "Berangkat, Smith!"
Smith melepas kait pengunci di atas kepalanya. Menekan tiga tombol
sekaligus. Baling-baling mendesing lebih kencang. Smith menggenggam erat
tuas kemudi, menarik pelan, dan perlahan helikopter itu melesat naik ke langit
Denpasar yang memerah, menjelang matahari tenggelam. Helikopter itu
mengelepak membawa rombongan kesedihan.
Aku sudah menelepon Oma di Gili Trawangan, menjelaskan kepulangan kami
sore ini. Lian, koki resor yang juga merangkap manajer resor mendengarkan
segala perintah. Kami akan mendarat empat puluh lima menit lagi. Tidak banyak
yang perlu disiapkan di sana, tapi mereka tetap harus bersiap.
Aku juga sudah menelepon Sekar. Menjelaskan semua detail yang belum
sempat dijelaskan sejak telepon tadi pagi. Sekar hanya mendengarkan. Tidak
mengeluh, apalagi berkeberatan seperti yang aku cemaskan. Mungkin ia sudah
menonton banyak potongan berita di televisi. Sejauh ini sudah ditemukan 143
korban meninggal. Sedikitnya 67 luka-luka. Sekar hanya berbisik pelan saat
kami mengakhiri pembicaraan, "Aku mencintaimu, Tegar." Aku balas bilang
kalimat serupa. Lazimnya perjalanan dari Denpasar menuju Gili Trawangan melalui dua cara,
udara dan laut. Frekuensi penerbangan dari Denpasar ke Lombok seminggu tiga
kali. Itu pun dilayani pesawat kecil. Lebih banyak penerbangan langsung dari
Jakarta-Lombok. Atau kota-kota besar, seperti Sydney-Lombok. Biasanya Rosie
dan keluarganya menggunakan jalur laut. Menumpang jet-foil yang melesat
dengan kecepatan 20 knot dari Denpasar menuju Pelabuhan Lembar, Lombok,
kurang lebih dua jam. Kemudian melanjutkan perjalanan dengan mobil menuju
pelabuhan nelayan Bangsal, satu jam. Baru menyeberang ke Gili Trawangan,
empat puluh lima menit. Dengan helikopter, perjalanan jauh lebih mudah. Gugusan pulau di utara
Lombok itu dari Denpasar hanya memerlukan waktu satu jam. Clarice, wanita
berumur empat puluh lima tahun, benar-benar teman yang baik. Senang hati
meminjamkan peralatan yang dimiliki tim risetnya. Ia hidup sendirian di Sydney,
Profesor salah satu universitas ternama. Suaminya yang pengusaha meninggal
lima tahun silam, tanpa anak, mewarisi kekayaan keluarga, yang sekarang
digunakan Clarice mendirikan foundation. Clarice sejak dulu menganggap
keluarga Rosie sebagai keluarga sendiri. Ia berkali-kali bilang betapa menyesal
dulu tidak merasa perlu mempunyai anak. Siapa pun akan menyesal tidak
memiliki anak setelah melihat empat kuntum bunga Rosie dan Nathan.
Lengang. Helikopter sudah melesat di atas selat yang memisahkan BaliLombok. Lautan biru yang kemerah-merahan terlihat memesona. Menguarkan
aura tersendiri. Desing baling-baling terdengar sendu. Seharusnya ini menjadi
pemandangan yang hebat. Kami persis berada di langit-langit saat matahari
bersiap menghujam kaki cakrawala.
Anggrek menunduk. Tangannya mengelus peti kayu. Merasakan gurat-gurat
pahat pembuatnya. Jasmine mendekap Lili, menatap jemari Anggrek.
Mataku menatap kejauhan. Siluet senja. Aku belum pernah menikmati sunset
di atas helikopter seperti sore ini. Meluncur di atas lautan yang beriak kecil oleh
angin dari baling-baling helikopter. Smith sengaja terbang rendah. Aku menoleh
wajah Rosie yang sejak tadi kosong, tanpa ekspresi. Aku mencoba tersenyum.
Menggenggam jemarinya. "Sunset yang hebat, Ros." Berbisik pelan, memberitahu.
Rosie menoleh pelan ke arah jendela helikopter.
Menatap lamat-lamat. Mata itu tanpa cahaya.
Empat puluh tujuh detik yang hening. Bola merah itu sempurna tenggelam di
balik garis langit. Menyisakan warna jingga. Gumpalan awan putih yang bagai
kapas terlihat kemerah-merahan. Helikopter terus melesat menuju Gili
Trawangan. "Miss Jasmine lapar?" Smith tiba-tiba menoleh.
Jasmine mengangkat kepalanya. Apa"
"Made, tolong ambilkan burger di kotak itu. Yap, yang persis di depan
kakimu." Smith menunjuk kotak plastik.
Made membungkuk. Mengambil lantas membuka kotak plastik itu. Isinya
burger king-size. Mengulurkannya ke arah Jasmine. Jasmine menggeleng pelan.
Tidak lapar. Anggrek juga menggeleng. Rosie menatap kosong. Made
mengangkat bahu, bingung, akhirnya menutup kembali kotak. Smith
menyeringai. Siapa pula yang merasa lapar di tengah urusan ini" Aku saja
hampir dua puluh empat jam sama sekali tidak terpikir untuk menyentuh
makanan. Kata orang bijak, kita tidak pernah merasa lapar untuk dua hal. Satu, karena
jatuh cinta. Dua, karena kesedihan mendalam. Aku pernah merasakan dua hal itu
sekaligus. Cinta dan rasa sedih. Jadi bayangkanlah betapa tidak pentingnya
urusan makan. Selepas menuruni lereng Gunung Rinjani waktu itu, aku bahkan baru
menyentuh makanan setelah tiga puluh enam jam, satu hari dua malam. Setelah
tiba di Bandung, berkemas, membereskan seluruh barang di kamar kontrakan,
akhirnya menyobek roti tawar kecil. Satu kunyahan. Hanya itu. Langsung
berangkat ke Jakarta secepat yang bisa kulakukan. Nathan dan Rosie tiba
seminggu kemudian di Bandung. Berkali-kali mereka datang. Kosong. Kamar itu
sudah dikosongkan. Mereka awalnya malah sempat berpikir aku hilang saat
mengisi botol plastik di sumber mata air. Bagaimana tidak" Setelah ditunggu
semalaman yang bersangkutan tidak muncul-muncul juga.
Rosie berseru cemas. Malam yang seharusnya indah, karena mereka baru saja
saling menyatakan perasaan, berubah menjadi kepanikan. Nathan memutuskan
turun segera. Mencari tahu di mana pun aku berada. Mereka urung
menghidupkan api unggun, urung membakar jagung manis yang sengaja dibawa.
Hilang sudah kesempatan bercengkerama di bawah purnama, diintip ribuan
formasi bintang dan aku yang biasanya menyanyikan lagu dengan ukelele, gitar
kecil yang selalu kubawa.
Pagi-pagi mereka baru tiba di gerbang pendakian, Pos Senaru. Anak muda
tanggung, penjaga pos awal pendakian itu mengatakan melihatku tadi malam
turun terburu-buru. Rosie dan Nathan menghela napas, lega. Meski mereka tidak
mengerti apa yang sebenarnya terjadi, setidaknya mereka bisa memastikan aku
baik-baik saja. Dan entahlah, apa mereka pernah mengerti apa yang terjadi
malam itu. Aku sempurna menghilang dari kehidupan Rosie. Sebulan kemudian saat
wisuda, aku memutuskan tidak ikut. Buat apa" Hanya menjadi saksi kebahagiaan
mereka" Melihat mereka bersisian berjalan dengan toga" Merekah dengan
senyuman" Sementara aku" Meratapi seluruh perasaan ini" Tidak. Aku tidak
akan pernah punya kesempatan.
Enam bulan kemudian, melalui telepon Oma, yang kusuruh bersumpah
merahasiakan banyak hal, aku tahu mereka akan menikah. Ya Tuhan, hatiku
hancur berkeping-keping. Tidak akan pernah ada kesempatan itu. Tidak akan
pernah. Aku tergugu tanpa air-mata di bawah ranjang. Meringkuk. Malammalam hanya diisi mimpi menyesakkan. Malam-malam panjang, gerakan tubuh
resah, kerinduan, dan helaan napas tertahan.
Dengan surat keterangan lulus, karena aku belum sempat mengambil ijazah
asli, berusaha mencari pekerjaan. Aku harus segera menyibukkan diri.
Membunuh dengan tega setiap kali kerinduan itu muncul. Berat sekali
melakukannya, karena itu berarti aku harus menikam hatiku setiap detik. Wajah
Rosie selalu datang menggangguku.
Aku bisa mengukir wajahnya di langit-langit kamar. Menatap wajahnya di
bening bak air mandi. Di piring kosong. Apa yang bisa kulakukan" Hingga
kapan semua ini akan berakhir. Hingga kapan aku bisa melupakannya.
Berdamai. Hanya ketika pagi datang, sedikit perasaan lega mengisi sepotong
hatiku. Hanya ketika pagi datang, semua sedikit terasa lebih indah. Sedikit saja,
tetapi itu menyenangkan. Bagiku waktu selalu pagi. Di antara potongan dua
puluh empat jam sehari, bagiku pagi adalah waktu paling indah. Ketika janjijanji baru muncul seiring embun menggelayut di ujung dedaunan. Ketika
harapan-harapan baru merekah bersama kabut yang mengambang di persawahan
hingga nun jauh di kaki pegunungan. Pagi, berarti satu hari yang melelahkan
telah terlampaui lagi. Tiga bulan tinggal di Jakarta, aku diterima bekerja di perusahaan sekuritas.
Menangani underwriting saham, obligasi, dan lain sebagainya. Apa yang dulu
Rosie bilang" Aku cerdas. Tentu saja. Aku lebih cerdas dari siapa pun. Termasuk dibanding
Nathan. Apa yang dulu juga Rosie bilang" Aku memiliki wajah mengendalikan.
Tentu saja. Aku lebih gagah dibandingkan siapa pun, termasuk Nathan. Apa
yang dulu Rosie sampaikan" Aku baik. Tentu saja. Aku lebih baik dibandingkan
siapa pun. Termasuk Nathan.
Tapi kenapa Rosie malah jatuh cinta kepada Nathan" Kenapa" Dua puluh
tahunku setara dengan dua bulannya" Apa karena selama ini aku tak pernah
menyatakan perasaan itu" Apa karena Nathan yang menyatakannya lebih dulu
maka aku tidak memiliki sisa kesempatan" Kenapa cinta tidak seperti tes masuk
Perguruan Tinggi" Semua orang menyatakan perasaannya bersamaan, lantas
yang bersangkutan memutuskan.
Perusahaan sekuritas ternama itu cocok dengan yang kubutuhkan. Mereka
menuntutku bekerja sepuluh jam sehari. Berangkat pagi pulang larut malam.
Yes, aku membutuhkan semua itu, maka seperti mesin aku membenamkan diri.
Bekerja empat belas jam sehari. Membatukan diri dengan segala rutinitas dan
pekerjaan menyebalkan. Menggunakan seluruh energiku untuk bekerja. Dengan
lelah bekerja itu berarti janji tidur yang nyenyak malam ini. Membuat seluruh
otakku melupakan Rosie. Setahun berlalu, perusahaan sekuritas ternama itu terpesona dengan
pekerjaanku. Amat terpesona. Karirku melesat bagai komet, terang-benderang.
Siapa yang tidak mengenal Tegar Karang" Junior associate yang bagai kesetanan
bekerja. Mengambil banyak inisiatif, tidak lelah dengan seluruh rangkaian
diskusi, presentasi, dan eksekusi. Maka dengan mudah titik-titik karir kulampui.
Kecintaanku mendaki gunung memberikan fisik yang prima. Lagi pula meski
sibuk bekerja aku selalu menyempatkan diri berlari setiap subuh sebelum
berangkat kerja. Aku bahkan senang sekali kalau hujan deras turun saat aku lari.
Membuat lariku lebih semangat. Hujan memberikan kedamaian. Merentangkan
tangan. Menatap langit mendung Jakarta. Aku lelah dengan perasaan ini.
"Kita hampir sampai, Mr. Tegar." Smith berkata pelan.
Aku mengusap mataku. Menghela napas, tersadarkan dari lamunan.
Menatap ke depan. Gili Trawangan terlihat berjejer di sebelah Gili Meno dan
Gili Air. Kemilau cahaya lampu rumah penduduk menghiasi permukaan pulaupulau kecil itu. Pemandangan yang indah. Helikopter terus mendekat. Anggrek
menarik tangannya yang mengelus peti mati Nathan. Jasmine mengintip keluar
jendela. Lili masih tertidur. Bayi yang hebat, mengerti dalam urusan sepelik ini
sebaik-baiknya kelakuan baginya adalah tidur.
Resor kecil itu semakin dekat. Aku tercekat, menelan ludah.
Apa yang telah dilakukan Lian"
Lihatlah, di bawah sana. Di halaman resor yang luas. Entah siapa yang
memasangnya, ribuan formasi obor dipancangkan di atas pasir. Ribuan obor
duka-cita mengelilingi pulau. Seperti lampu-lampu bandara yang menuntun
pendaratan. Dua api unggun besar menyala-nyala, terlihat merah dari atas sini.
Dan ratusan penduduk pulau menunggu, juga puluhan turis yang berada di resor.
Mereka sudah menunggu sejak sejam lalu.
Kabar menyedihkan itu telah tiba.
Aku menelan ludah, menggenggam tangan Rosie yang mulai tersengal lagi.
Smith pelan mendaratkan helikopter. Made gesit membuka pintu. Loncat
turun. Aku ikut meloncat turun. Baling-baling helikopter bergerak melamban.
Rosie patah-patah turun. Aku menyambutnya. Mendekapnya.
Oma dengan tongkat di tangan-maju melangkah dari kerumunan. Wajah
Si Kumbang Merah 13 Suro Buldog Karya Pandir Kelana Puri Rodriganda 6

Cari Blog Ini