Ceritasilat Novel Online

Sunset Bersama Rosie 2

Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye Bagian 2


keriput tua itu terlihat sedih. Rosie menghambur memeluk Oma. Menangis tanpa
air mata dan suara. Halaman resor lengang seketika. Ya Tuhan, pemandangan ini
amat menggetarkan. Aku menggigit bibir. Penduduk yang berkerumun mulai
menyeka ujung-ujung mata.
Jasmine mengulurkan Lili kepadaku. Aku menyambutnya, menggendongnya.
Salah satu anak gadis tetangga membantu, menerima Lili dariku. Jasmine turun.
Aku membantunya. Anggrek merangkak pelan menyusul. Jasmine mengambil
lagi Lili. Anggrek yang sempat terjerembab berusaha berdiri, tidak
mempedulikan bajunya yang kotor oleh pasir. Aku memeluk kepala Jasmine.
Juga kepala Anggrek. Bertiga, bersisian melangkah menuju resor. Melangkah
pelan. Senyap. Hanya suara isak-tangis penduduk yang terdengar. Hanya suara
gemeletuk api unggun membakar kayu. Cahaya formasi obor menimpa wajahwajah kami. Peti kayu Nathan diturunkan hati-hati. Maka lebih banyak lagi isaktangis terdengar. Lihatlah, semua kesedihan ini bahkan bisa membunuh.
Seorang penduduk entah apa pasalnya mendadak berlari memeluk Rosie,
berseru. Yang sontak diikuti oleh beberapa penduduk lain. Maka meledaklah
kesedihan itu. Mereka mencintai keluarga ini. Amat mencintai. Dan sungguh
siapalah yang kuasa menatap wajah-wajah sedih dari orang-orang yang
dicintainya. Mereka ingin turut merasakan.
Lian, koki resor berusaha membantu Rosie terus melangkah di tengah
kerumunan. Aku menatap wajah-wajah itu. Mereka menatap sendu Jasmine,
Anggrek, dan Lili. Biarlah, biarlah kami lewat, aku berbisik dalam senyap.
Semua kesedihan ini sudah teramat jelas. Tidak perlu lagi dikatakan dengan
pelukan. Beberapa turis tertunduk. Aku mengenal beberapa di antaranya. Mereka
pengunjung rutin resor. Hampir setiap tahun datang. Tahun ini berarti mereka
melakukan perjalanan duka-cita.
Semua ini sungguh menyedihkan. Pemandangan yang kontras. Langit malam
Gili Trawangan seperti biasa terlihat memesona. Purnama bersinar elok, ribuan
formasi bintang bagai ditumpahkan. Angin malam bertiup lembut. Tetapi malam
ini hanya mendung yang menggelayut di wajah-wajah sekitar. Betapa cepat
siklus kehidupan berputar.
Malam ini akan terasa panjang sekali.
Peti mati Nathan disemayamkan di ruang depan resor.
Tadi Made bersama dua penduduk lokal dan dua turis membantu
membopongnya. Orang-orang berkerumun menyampaikan duka-cita. Aku yang
menerimanya. Rosie terlalu lelah, terlalu sedih, terlalu semuanya, menjelang
malam ia akhirnya mau tidur di kamar. Anggrek, Jasmine, dan Lili juga jatuh
tertidur di kamar yang sama. Berjejer. Kalau urusan ini sedikit menyenangkan
aku akan tersenyum, lihatlah, posisi tidur mereka mirip sekali dengan si Putih
dan anak-anaknya yang kebetulan juga tidur di lantai kamar yang sama, berderet
sambil menyusu. Smith dan Made langsung kembali ke Denpasar. Helikopter itu berdesing naik
ke gelapnya langit. Lampunya berkedip-kedip.
Lian sepanjang malam menyiapkan acara penguburan. Aku sudah
memutuskan. Nathan harus dikuburkan sesegera mungkin, besok pagi saat
matahari terbit. Oma tidak bisa tidur, hanya duduk di kursi goyangnya, berbisik
ke langit senyap tentang hidupnya (yang amat lama) dan hidup orang-orang yang
dicintainya (yang amat sebentar).
Malam itu setelah tiga puluh enam jam, aku juga akhirnya jatuh tertidur di
sofa. Tertidur dengan posisi tidak nyaman di depan peti mayat Nathan. Besok saat
matahari pagi muncul, semoga semua kesedihan ini berkurang sedikit. Sedikit
saja Tuhan, tidak perlu muluk-muluk.
6. PEMAKAMAN PASIR Sesuai rencana, saat matahari mulai merangkak naik, peti mayat Nathan
dibopong oleh beberapa penduduk lokal. Pagi ini seluruh kegiatan di Gili
Trawangan, pulau kecil dengan penduduk hanya berbilang dua ribu orang praktis
terhenti. Perahu-perahu nelayan yang biasanya mengantar turis-turis menjelajahi
terumbu karang tertambat, senyap. Pintu-pintu rumah tertutup dan terkunci rapat.
Kuda-kuda dan kerbau terikat di istal dan kandang. Aktivitas sekolah dan
pekerjaan tertunda. Semua orang berkumpul di halaman resor kecil, resor "Rosie"
dengan plang selamat datang berwarna biru berbentuk ikan paus.
Aku mendekap bahu Rosie. Memberikan pegangan. Melangkah pelan
menuruni anak tangga. Rosie mengenakan kerudung hitam. Matanya sembap
memerah. Tidur semalam baginya hanya kelanjutan menangis dalam bentuk lain.
Menangis dalam tidur. Kalau kalian tahu apa maksudnya itu sungguh lebih
menyakitkan. Kalian tidur, tapi menangis dalam mimpi. Kalian tidur tapi hati
tetap terisak sendu. Anggrek berjalan di belakangku. Tertunduk. Jasmine menggendong Lili. Tadi
Oma yang terlalu lelah berjaga sepanjang malam menawarkan menjaga Lili di
resor, Jasmine seperti biasa menatap galak. Aku buru-buru tersenyum,
membantu mengikatkan gendongan Lili. "Biarlah, Oma. Biarlah Lili juga
melihat semuanya. Biarlah Jasmine yang menggendong."
Iring-iringan prosesi itu melangkah pelan menuju pemakaman umum. Wajahwajah sendu mengukir jalanan berpasir. Tidak ada kidung yang dinyanyikan di
sini. Tidak ada terompet panjang di tiup melenguh. Tidak ada tifa dipukul
tertahan. Tidak ada kata sambutan. Tidak ada. Peti kayu Nathan, setiba di
pemakaman umum langsung diturunkan ke dalam liang-lahat. Senyap.
Hanya satu yang tiba-tiba memutus senyap itu.
Beberapa detik sebelum Nathan diturunkan, entah apa pasal, Lili dalam
gendongan Jasmine tiba-tiba menangis. Gadis kecil berusia satu tahun itu
menangis. Tangis itu tidak keras, tidak merengek, tangis itu lemah saja. Seperti
anak kecil yang protes lupa diberikan susu. Tapi itu cukup sudah untuk
menghancurkan tembok-tembok hati.
Lili menangis, memecah kesunyian.
Dan orang-orang bagai terhipnotis ikut menangis.
"Diam, Lili. Diam." Jasmine berbisik. Menggerak-gerakkan tangan kecilnya,
mengusap dahi adiknya, menenangkan.
Aku membeku. Prosesi pemakaman terhenti. Dua turis yang memegangi peti
mayat Nathan tak kuasa menahan sedih, menyeka hidung. Peti kayu Nathan
diletakkan sebentar. Dan Jasmine bernyanyi, berusaha meninabobokan adiknya.
"Kupu-kupu berterbangan. Melintas di bebungaan. Semerbak wangi
melambai. Menjanjikan kebahagiaan."
Aku jatuh terduduk di sebelah Jasmine. Lagu itu. "Kabut memenuhi langitlangit. Putih-indah memesona. Embun merekah kemilau. Menjanjikan
kebahagiaan." Aku gemetar merengkuh bahu Jasmine yang sedang bersenandung pelan,
Jasmine yang sedang menyanyikan lagu itu, menghibur adiknya.
"Cahaya matahari pagi.
Melintas di sela dedaunan.
Berlarik-larik mengambang.
Menjanjikan kebahagiaan."
Aku tidak pernah tahu. Sejak kapan Jasmine tahu lagu itu. Itulah lagu yang
kunyanyikan setiap pagi selama lima tahun sejak kejadian menyakitkan di atas
Gunung Rinjani. Sudah enam tahun lamanya aku tidak menyanyikan lagu itu
lagi. Itulah lagu kanak-kanakku bersama Rosie. Dulu sering dinyanyikan Oma
saat kami masih kecil. Pemakaman senyap, nyanyian Jasmine meninabobokan Lili mengambil alih
suasana. Cahaya matahari pagi yang kemerah-merahan menerabas pohon bunga
kemboja. Kabut membuatnya terlihat mengambang di atas pemakaman. Kupukupu indah berterbangan melintas di atas kepala. Warna-warni, gerakan anggunmenawan. Embun cemerlang menggelayut di dedaunan. Pagi yang hebat. Pagi
yang sungguh hebat. Bagiku waktu selalu pagi.
Pemakaman itu seketika basah oleh air mata.
Hanya Rosie yang bergeming. Tetap memandang kosong liang-lahat di
depannya. Hanya Rosie yang tepekur. Tidak bergerak.
Lili perlahan diam kembali. Matanya yang bulat-hitam menatap lucu wajah
kakaknya. Menggeliat dalam gendongan, menguap, lantas tertidur kembali.
Jasmine menghela napas. Mengangkat kepalanya, menatap lamat-lamat
padaku yang masih terduduk memegang bahunya. Jasmine berbisik lirih, "Lili
sudah tahu, Paman. Lili sudah tahu Ayah pergi selamanya." Gadis kecil itu
menyeka ujung matanya. Aku mendekap gadis kecil itu erat-erat.
Prosesi pemakaman dilanjutkan.
Lima belas menit berlalu. Anggrek menaburkan bebungaan di atas pusara.
Jasmine pelan menuangkan air. Tanah merah sudah menimbun peti mati Nathan.
Nisan kayu ditancapkan. Beberapa penduduk mulai melangkah pelan
meninggalkan pemakaman. Rosie masih diam bagai batu.
Setengah jam berlalu. Pemakaman hanya meninggalkan kami. Angin pagi
membelai anak rambut. Menelisik belakang daun telinga. Rosie masih tetap
diam membeku. Tidak bergerak satu mili pun. Wajahnya sempurna kosong.
Tanpa kedutan. Tanpa lipatan.
Satu jam berlalu. Jasmine yang kelelahan, duduk menjeplak di atas tanah.
Anggrek duduk jongkok di sebelahnya. Membantu melepas selendang
gendongan Lili. Rosie tetap membeku. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
Aku melirik menatap wajah itu. Menelan ludah, betapa jelas seluruh kesedihan.
Kerudung hitam Rosie tersingkap oleh angin. Bola mata yang sekarang menatap
kosong. Muka yang seharusnya terlihat cantik milik wanita umur tiga puluhan
sekarang hanya dipenuhi gurat sedih.
Satu setengah jam berlalu, tinggal kami yang berada di pemakaman. Lian
yang terakhir pergi lima belas menit lalu menepuk bahuku, izin pamit. Ada yang
harus diurus di resor. "Kita harus pulang, Ros." Aku berbisik.
Rosie menoleh. Menatapku kosong.
Aku menghela napas. Baiklah. Lima belas menit lagi.
Satu jam empat puluh lima menit berlalu.
"Besok-lusa, kapan pun kau mau, kau bisa menjenguk Nathan, Ros."
Rosie menoleh. Menatapku kosong.
Aku menghela napas. Baiklah! Baik, lima belas menit lagi.
Dua jam berlalu. Aku terpaksa mencengkeram tangan Rosie. Sudah saatnya pulang. Aku tahu
apa artinya sebuah kesedihan, aku pernah mengalaminya. Percuma berdiri di sini
sepanjang hari, sepanjang tahun, tidak akan membantu. Tidak ada yang bisa
membantu selain waktu. Tetapi agar waktu berbaik hati, kita juga harus berbaik
hati kepadanya, dengan menyibukkan diri. Sendiri hanya mengundang rasa sesal.
Sepi hanya mengundang lipatan-lipatan kesedihan lainnya. Apalagi berada di
pemakaman ini. Aku meneriaki anak-anak agar pulang. Jasmine sedikit terhuyung
menggendong Lili, berdiri dibantu Anggrek, terhuyung karena kakinya
kesemutan. Aku menarik tangan Rosie. Kembali ke resor, dan Rosie menurut
bagai kerbau dicucuk hidungnya.
Siang itu banyak yang harus kulakukan di resor. Sebenarnya tidak sepanik
waktu di Rumah Sakit Denpasar, tapi karena lebih banyak yang harus kupikirkan
sekarang, maka itu jauh lebih melelahkan dibanding mengurus pemakaman dan
sebagainya. Aku menelepon Sekar lagi. Mengabarkan berita terbaru.
Pemakaman. Menceritakan detailnya. Sekar lebih banyak diam. Mengakhiri
pembicaraan dengan kalimat pelan itu, "Aku mencintaimu, Tegar." Aku
menjawab kalimat serupa. Aku juga menelepon Clarice. Bertanya kabar Sakura. Clarice bilang semuanya
oke. Ia baru saja membelikan setumpuk komik dan cokelat buat Sakura. Aku
tersenyum, semoga suster tidak melarang Sakura menghabiskan cokelat-cokelat
itu. Yang membuatku mulai berpikir adalah ketika Mitchell, turis asal Inggris yang
rajin berkunjung ke Gili Trawangan untuk diving, menonton penyu di palung,
menyampaikan ucapan bela-sungkawanya. Awalnya Mitch memelukku,
membesarkan hati. Aku mengangguk, balas menepuk bahunya. "Resor ini
kehilangan besar, Teman. Semoga resor ini tetap ada. Aku tidak akan datang
berkali-kali ke Gili Trawangan kalau resor ini tutup." Mitchell menyeringai
prihatin. Beberapa menit setelah Mitchell pergi aku tertegun. Nathan sudah pergi.
Resor ini kehilangan tuannya. Ah, tidak juga, Rosie bisa meneruskan mengurus
resor. Rosie memiliki anak-buah yang setia. Lian bisa membantu banyak. Tidak.
Resor ini akan terus ada. Untuk sementara waktu sebelum Rosie pulih aku bisa
membantu mengurusnya. Turis-turis itu bilang tidak akan eksodus. Bom itu di
Bali, bukan di Lombok. Aku berterima-kasih atas pemahaman mereka.
Lian sepanjang siang melaporkan beberapa hal. Aku memang tidak tahu
pernak-pernik mengelola resor, tapi dengan sering berkunjung ke Gili
Trawangan, rasa-rasanya ini mudah. Tinggal menunggu hingga Rosie bisa
bekerja normal kembali, satu-dua minggu paling lama. Baiklah, selama Rosie
belum pulih aku bisa membantu mengerjakan beberapa hal.
Anak-anak. Aku juga harus memikirkan anak-anak. Tidak dalam kondisi
menyedihkan pun mereka butuh Nathan, apalagi dalam situasi seperti ini. Anakanak kehilangan ayah.
Aku menghela napas panjang.
"Ada apa, Mas Tegar?" Lian yang sedang menunjukkan daftar keperluan
seminggu ke depan bertanya. Aku menggeleng pelan. Menyuruhnya segera ke
Mataram untuk belanja sesegera yang ia bisa. Berkata tegas tentang lakukan
seluruh rutinitas resor seperti Nathan masih ada. Bilang ke seluruh pelayan resor.
Bekerjalah senormal mungkin seperti tidak ada yang berubah. Buat suasana
sama menyenangkan. "Kita memerlukan seluruh energi untuk melewati semua
ini Lian, kau mengerti?" Lian mengangguk mantap.
Aku membiarkan Anggrek, Jasmine, dan Lili hanya duduk-duduk di beranda
resor sepanjang hari. Untuk sementara, biarlah mereka menghabiskan waktu
dengan melamun. Si Putih sejak tadi berlalu-lalang menggoda Jasmine. Tetapi
Jasmine tidak memperhatikan. Sibuk menatap Anggrek yang menggurat tekstur
papan lantai beranda resor. Aku menghela napas, kebiasaan buruk, sama
sepertiku dulu yang sibuk "menggurat" langit-langit kamar, hanya bentuknya saja
yang berbeda. Besok-lusa tabiat buruk itu harus dihilangkan. Mungkin malam ini
juga aku harus mengajak mereka bicara.
Rosie sepanjang hari juga duduk termangu di bawah bingkai jendela lantai
dua. Menatap lautan dari kejauhan. Dari jendela itu, puncak Gunung Rinjani di
pulau Lombok terlihat jelas. Langit biru. Laut biru. Pemandangan yang
memesona. Aku juga membiarkannya. Oma duduk di kursi goyang, menegurku
tajam saat aku bertanya apa yang bisa kulakukan untuknya, "Terima kasih kau
sudah membawa Nathan pulang, Nak. Kau juga sudah mengurus Rosie dan
anak-anaknya. Meski kau amat tahu, aku tidak suka kau melakukannya." Oma
menatapku tajam. Aku hanya balas mengangguk pelan.
Hanya Oma yang tahu urusan itu. Tahu sejak kami masih remaja dulu. Oma
pulalah yang tidak suka setiap kali aku berkunjung ke Gili Trawangan sejak
enam tahun silam. Oma punya alasan yang baik, jadi aku mengangguk
menghargainya. Melangkah pergi.
Saat aku menghilang di balik pintu, Oma bergumam pelan, tentang hidupnya
(yang terlalu lama), tentang hidup orang-orang yang dicintainya (yang terlalu
sebentar). Dan tentangku. Mendesah pelan ke langit-langit ruangan, tidak pernah
ada mawar yang tumbuh di tegarnya karang. Itu suratan takdir yang
menyakitkan, Oma selalu percaya kalimat itu.
Menjelang senja Lian kembali dari Mataram. Aku menyuruh pelayan resor
membantu Lian menyiapkan makan malam yang istimewa. Cumi bakar. Nathan
punya kebiasaan mengajak turis-turis itu makan malam bersama. Maka malam
ini aku akan melakukannya. Pukul 19.30, hidangan siap. Rosie dibimbing
menuju meja makan. Anggrek dan Jasmine duduk rapi di kursinya. Lili
diletakkan di kursi bayi. Semua harus dipulihkan sesegera mungkin.
Lian dan pelayan resor mengerti betul tugas mereka malam itu. Riang-hati
melayani. Tertawa bergurau. Sembilan turis yang sedang menghabiskan masa
berlibur mereka di Gili Trawangan juga paham apa yang harus dilakukan.
Mitchell yang kenal baik dengan anak-anak mencoba bercanda. Menceritakan
banyak hal dengan bahasa Melayunya yang masih belepotan. Tertawa riang. Api
unggun menyala membuat terang meja-meja di atas hamparan pasir.
Percuma. Makan malam itu tidak berjalan seperti yang aku inginkan. Tidak
ada Sakura di sana. Kalau ada, mungkin suara cempreng Sakura bisa membuat
suasana lebih meriah. Anak-anak bergeming. Rosie sempurna menatap kosong
keramaian di depannya. Menyendok makanan dengan gerakan kaku. Seperti
gerakan mesin. Anggrek dan Jasmine juga lebih banyak diam, mengangguk
kalau ditanya, menggeleng kalau ditawarkan sesuatu.
Setidaknya makan malam ini berjalan normal. Belum ada keriangan itu, tapi
semuanya normal seperti makan malam. Bukankah lebih banyak keluarga di luar
sana yang memiliki makan malam yang dingin-dingin saja padahal keluarga
mereka utuh" Rosie kembali ke kamarnya usai meja dibereskan Lian.
Malam belum matang, tapi anak-anak sudah menguap. Jasmine tidak tertarik
melakukan banyak hal, seperti kutemani bermain scrabble seperti yang biasa
dilakukan selama ini. Anggrek juga tidak berselera membaca. Sama seperti


Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rosie, mereka masuk kamar usai makan malam. Lili sudah tertidur di ranjang
bayinya. Setelah mengantar turis-turis itu ke halaman resor, aku memutuskan bicara
kepada anak-anak. Mengetuk pintu kamar, kepalaku menyelinap di bingkai
pintu. "Boleh, Paman masuk?" Tersenyum.
Jasmine berkata pelan, "Masuk, Paman."
Aku riang loncat ke atas tempat tidur besar, di antara Anggrek dan Jasmine
berbaring. Ranjang besar itu bergoyang. Aku tertawa. Anggrek menyeringai kosong,
menyambar guling yang hampir jatuh.
"Malam ini Paman akan bercerita." Aku mengelus rambut Jasmine.
Mata gadis kecil itu seketika membulat, tersenyum. Aku sedikit menghela
napas lega, terima-kasih Tuhan, itu senyum pertama yang kulihat dari Jasmine
selama empat puluh delapan jam terakhir. Anggrek beringsut mendekat.
Memeluk gulingnya. Aku tertawa melihat kelakuannya. Sejak kapan Anggrek
memeluk guling" Sudah lama sekali.
Dalam rasa sedih yang mengungkung ada banyak kebiasaan, tabiat, perangai
baru yang tidak sadar kita lakukan, baik itu yang baik-baik maupun yang buruk.
"Hm". Apa-ya" Cerita tentang Naga-Naga?"
Jasmine menggelengkan kepala. Sudah pernah.
"Dongeng tentang Peri Awan?"
Jasmine menggelengkan kepalanya. Sudah pernah juga.
Aku berpikir lagi, "Baik, kalau begitu tentang Putri Nelayan."
Jasmine mengangguk-angguk. Anggrek merapatkan lagi tubuhnya. Ia
menyandarkan kepalanya di lenganku yang terentang.
Ini sepotong kebahagiaanku bersama anak-anak. Mendongeng sebelum
mereka tidur. Lazimnya hanya Jasmine yang menuntut setiap malam, meski
kakak-kakaknya juga pindah ke kamarnya saat aku bercerita. Menatap wajah
mereka yang polos. Menatap wajah mereka yang menjanjikan masa depan.
Malam ini aku akan mengajak mereka bicara. Mengajak bicara tentang arti
kehilangan. Menanamkan betapa kepergian itu indah. Melalui dongeng yang
terus terang aku juga belum tahu akan seperti apa bentuknya. Hanya baru
menyebut judul, dan gadis-gadis kecil ini terlihat tertarik.
Aku menarik napas panjang-panjang. Berpikir secepat yang aku bisa lakukan.
Toh, belum ada sama sekali ide ceritanya. Semua dongeng itu hanya karangan,
kuciptakan dengan cepat untuk menghibur. Malam ini mungkin sedikit berbeda.
"Kalian tahu, dulu" dulu sekali" ketika orang-orang belum mengenal mobil,
pesawat terbang, burger, internet, komputer, helikopter, atau malah buku-buku,
dan pulpen. Di sebuah pantai yang indah, di sebuah pulau yang memesona
hiduplah seorang anak kecil berumur sebelas tahun bersama ayah-ibunya. Pulau
itu indah karena setiap kali matahari tenggelam maka akan terdengar lantunan
lagu indah dari hutan-hutan lebatnya. Konon di dalam sana ada peri-peri hutan
yang selalu bercengkerama sambil bernyanyi. Pantai itu memesona karena setiap
matahari terbit terdengar nyanyian elok dari tubir pantai yang terbuat dari
gugusan karang. Konon di gugusan karang itu tinggal putri duyung yang riang
menyambut pagi. "Nama anak kecil kita itu adalah Nayla". Nayla artinya cahaya. Cahaya
indah. Aduh, Nayla anak yang manis, rasa-rasanya, kalau Paman pikir, mungkin
hanya Jasmine yang bisa mengalahkan kecantikan Nayla."
Jasmine tersipu. Aku tertawa pelan.
"Nayla juga anak yang pintar. Pintar membantu ayah-ibunya. Pintar memasak,
pintar menganyam, pintar menyulam, "
"Jasmine belum bisa menyulam, Paman." Jasmine memotong.
"Oh, ya" Nanti Paman ajarkan." Aku mengelus rambutnya. Begini pulalah aku
membuat anak-anak suka melakukan banyak hal, seperti Sakura yang pandai
memainkan biola. "Ayah Nayla adalah nelayan. Tubuhnya besar, kekar, hitam,
dan gagah. Setiap sore ia berangkat menaiki perahu besarnya. Memikul jaring
besar. Pergi mengarungi lautan mencari ikan-ikan. Esok pagi, setelah merapat di
pulau seberang dan menjual tangkapannya, ayah Nayla kembali dengan
membawa mainan baru, makanan, barang-barang, dan keperluan rumah-tangga."
"Setiap hari hidup begitu indah bagi Nayla. Ibunya berkebun di sekitar rumah
mereka. Menanam jagung, menanam rempah-rempah, "
"Paman, rempah-rempah itu apa?" Jasmine memotong, mengernyit.
"Cabe, lada, kunyit, bumbu dapur." Anggrek yang lebih dulu menjelaskan.
Aku mengangguk, tersenyum kepada Anggrek, meneruskan cerita, "Ibu Nayla
juga mencari kayu bakar di hutan. Kayu bakar yang digunakan untuk membakar
ikan-ikan tangkapan Ayah Nayla. Setiap hari mereka membakar ikan yang besarbesar. Ikan yang lezat-lezat. Keluarga mereka sungguh bahagia. Mungkin hidup
tak bisa lebih baik lagi bagi mereka." Aku menelan ludah, berhenti sejenak.
Sudah selesai sepotong. Permulaan yang baik. Segera berpikir lanjutannya.
Jasmine dan Anggrek menatap tidak sabaran. Malam ini aku ingin mereka
mengerti tentang kepergian. Aku mematut-matut jalan cerita yang sesuai.
Jasmine menggerak-gerakkan bahuku, menunggu. "Hingga suatu hari. Suatu
hari yang amat menyedihkan. Pagi itu entah mengapa tiba-tiba Putri Duyung
tidak bernyanyi. Senja juga sama. Peri Hutan juga tidak bersenandung. Pulau itu
mendadak menjadi sepi. Langit sepanjang siang gelap. Gelap menakutkan.
Seharusnya itu menjadi pertanda buruk. Tetapi malam itu Ayah Nayla tetap
memutuskan melaut. "Jangan melaut, Yah. Cuaca buruk sekali." Istrinya
membujuk. Ayah Nayla hanya tersenyum, "Ayah sudah terbiasa dengan cuaca
seperti ini. Lagipula esok saat kembali, Ayah bisa memberikan pakaian baru
untuk Nayla, sudah enam bulan lamanya Ayah menabung. Esok akan cukup
uangnya." "Tetapi di luar sepertinya akan terjadi badai, Yah." Istrinya terus membujuk,
tapi tak kuasa mencegah. Maka berangkat melautlah Ayah Nayla malam itu."
"Persis saat perahu Ayah Nayla yang berangkat melaut hilang dari pandangan
di tengah deru ombak lautan, petir mendadak menyambar memedihkan mata.
Guntur menggelegar membuat hati nyilu mendengarnya. Cuaca berubah dengan
cepat. Membuat bulu kuduk berdiri melihatnya."
Jasmine di sebelahku bahkan benar-benar berdiri bulu kuduknya
"Langit mendadak menumpahkan air hujan yang deras tak-kepalang. Nayla
yang selalu mengantar ayahnya pergi di tepi pantai berlari-lari kecil kembali ke
rumah. Sungguh malang. Itulah terakhir kali Nayla melihat ayahnya, itulah
terakhir kali Nayla memeluk ayahnya. Karena esok-pagi, saat matahari terbit,
saat Putri Duyung kembali bernyanyi seperti biasanya, ayahnya tidak pernah
kembali. Tidak pernah."
Aku menghela napas. Jasmine dan Anggrek ikut menghela napas.
"Sepanjang hari Nayla menunggu ayahnya di tepi pantai. Berdiri di bawah
terik matahari. Rambut panjangnya bergoyang ditiup angin laut. Tetapi, ayahnya
tak kunjung kembali. Tak kunjung datang membawa pakaian baru yang
dijanjikan. Malam itu Nayla baru mau pulang ke rumah setelah ibunya
memaksa. Esok paginya, esok paginya lagi, Nayla terus menunggui ayahnya.
Sayang, sia-sia." Aku diam sejenak. Memperbaiki posisi duduk.
"Kehidupan Nayla mulai berubah, ia mulai murung. Nayla sering berkata
sambil menatap lautan luas, Ayah, Nayla tidak butuh pakaian barunya, Nayla
hanya butuh Ayah kembali Nayla mohon, pulanglah!" Nayla mengatakan kalimat
itu beulang-kali, seperti mantera. Sepanjang hari sepanjang waktu. Percuma,
hingga setahun berlalu, ayahnya tidak pernah pulang, "
"Mungkin tenggelam, Paman?" Jasmine memotong.
"Mungkin. Nayla tidak pernah tahu, Ibu Nayla juga tidak pernah tahu. Tidak
ada yang pernah tahu ke mana Ayah Nayla pergi." Aku mengangkat bahu,
entahlah, toh aku belum memikirkan akan seperti apa ujung cerita ini.
"Kehidupan mereka berubah sejak hari itu. Tanpa ada Ayah yang bekerja
mencari uang, Nayla dan ibunya mengalami kesulitan. Maka suatu hari, setelah
terdesak oleh keperluan hidup, Ibu Nayla memutuskan untuk menjadi nelayan.
Ya, menjadi nelayan. Mereka membuat perahu kecil. Tidak sebesar milik Ayah
Nayla dulu, tapi perahu itu cukup kuat. Mulailah Ibu Nayla seperti Ayah Nayla
dulu, berangkat di sore hari dan esoknya kembali membawa kebutuhan seharihari. Sedangkan Nayla menggantikan tugas ibunya mencari kayu bakar, merawat
kebun jagung, dan rempah-rempah mereka."
"Hari berganti hari, tahun berganti tahun, umur Nayla sudah menjejak lima
belas tahun. Tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik-jelita. Kesedihan atas
hilangnya Ayah Nayla masih tersisa, tapi Nayla bisa melaluinya dengan baik, ia
tumbuh seperti gadis remaja lainnya. Hingga suatu hari, lagi-lagi entah mengapa
Peri Hutan mendadak enggan bernyanyi, Putri Duyung malas tak bersenandung.
Langit berubah kelam-menakutkan. "Ibu, Ibu jangan pergi, Nayla takut." Nayla
membujuk ibunya agar urung melaut malam itu. "Tidak, Nak! Ibu harus mencari
ikan, perbekalan kita sudah menipis." "Ibu jangan pergi, di luar gelap sekali,"
Nayla terus membujuk ibunya, tetapi ibunya tetap pergi. Maka malam itu
berangkatlah ibu Nayla menerobos lautan yang bergelora."
"Paman, ibunya bandel, ya?" Jasmine menggigit bibir.
Aku tersenyum, "Dan malam itu, badai hebat mengamuk di lautan. Nayla
menggigil ketakutan di rumah. Teringat masa lalu itu, empat tahun silam saat
ayahnya hilang. Nayla takut hal serupa akan terjadi pada ibunya. Dan benar,
sungguh malang nasibnya, esok pagi saat Nayla berdiri menunggui ibunya
kembali di tepi pantai, perahu kecil ibunya tidak pernah terlihat. Tidak pernah.
Malang nian nasibnya. Menyedihkan. Nayla menangis. Nayla jatuh terduduk di
atas pasir pantai, meratap memanggil ibunya. "Ibu". Ibu". Jangan tinggalkan
Nayla sendirian." Jasmine terdiam. Anggrek tertunduk. Mereka tahu apa maksudnya.
"Sejak hari itu, tidak lelah Nayla menunggui ibunya pulang. Berdiri di tepi
pantai. Lupa makan, lupa tidur, terus saja begitu sepanjang hari dibakar matahari
terik, sepanjang malam ditimpa air hujan yang turun deras. Hingga sebulan
berlalu, kondisi tubuh Nayla berubah menyedihkan." Aku menelan ludah, diam
sejenak. Tidak perlu lebih detail lagi. Jasmine dan Anggrek bisa membayangkan
apa maksud kata menyedihkan tersebut.
"Suatu hari, Nayla memutuskan untuk bertanya kepada seseorang tentang
ayah-ibunya, maka berangkatlah Nayla menerobos hutan-hutan lebat pulau.
Nayla ingin bertanya ke Peri Hutan. Tidak kenal lelah Nayla berjalan melewati
onak-duri, melewati semak-belukar, melawan binatang buas. Nayla harus
bertemu dengan Peri Hutan. Akhirnya ia berhasil, Peri Hutan yang amat cantik
itu tersenyum menyambutnya, "Wahai Nayla anakku yang malang, ada keperluan
apa kau jauh-jauh dari pantai mencariku?" Nayla memeluk kaki Peri Hutan, "Di
mana ayahku, di mana ibuku" Tolonglah beri tahu! Tolonglah kembalikan
mereka!" Nayla memohon.
"Peri Hutan tersenyum bijak, "Mereka sudah pergi, Sayang. Pergi untuk
kebahagiaanmu." Nayla berteriak, "Aku tidak bahagia dengan kepergian mereka,
lihatlah, aku berubah menjadi kurus-kering, pucat-pasi, aku tidak bahagia
dengan kepergian mereka." Peri Hutan mengelus rambut Nayla yang kotor dan
acak-acakan. "Kau memang tidak tahu apa maksudnya sekarang, Nayla. Tetapi
kau akan tahu suatu saat kelak, bersabarlah. Kami akan memberikan kau bekal
sebotol minyak wangi, suatu saat gunakanlah dengan baik." Peri Hutan
memberikan botol yang indah. Nayla menerimanya sambil menangis. Ternyata
Peri Hutan tidak bisa membantunya. Hanya memberi sebotol minyak wangi.
Buat apa" Tidak akan ada gunanya, bukan?"
"Nayla yang kecewa kembali ke pantai. Setiba di pantai Nayla teringat
sesuatu. Putri Duyung. Mungkin mereka bisa membantunya. Maka Nayla
membuat rakit dari pohon bambu. Berhari-hari. Tangannya yang kurus dan
lemah dipaksa bekerja. Berdarah-darah. Seminggu berlalu, rakit yang amat
buruk bentuknya itu selesai. Malam itu Nayla menaikinya, mengayuhnya
menuju gugusan karang yang tajam-tajam. Mencari Putri Duyung. Seminggu
lebih rakit Nayla terombang-ambing. Mulai lepas satu demi satu ikatannya dan
Nayla tak kunjung menemukan Putri Duyung. Hanya senandung lagunya yang
terdengar semakin dekat, tapi sosoknya tidak pernah terlihat. Malam itu hujan
badai, rakit Nayla hancur berantakan. Nayla berpegangan pada sepotong bambu.
Berharap sebelum kematiannya datang penjelasan di mana ayah-ibunya berada
akan ia dapatkan. Maka entah bagaimana caranya, lima ekor Putri Duyung telah
mengelilingi Nayla yang hampir jatuh pingsan."
?"Wahai Anakku yang malang, ada apa kau jauh-jauh kemari mencari kami?"
Salah satu Putri Duyung bertanya prihatin. Nayla membuka matanya. Mendesah,
"Ayah, Ibu, di mana mereka" Kembalikan mereka padaku." Putri Duyung
mengelus rambut Nayla." Ayah-ibumu telahpergi jauh anakku. Pergi demi
kebahagiaanmu." Nayla yang masih terapung di tengah badai berteriak marah,
"AKU TIDAK BAHAGIA! LIHATLAH, AKU SEDIHI" Putri Duyung menghela
napas, "Kau memang belum mengerti sekarang, Anakku. Tapi suatu saat nanti
kau akan mengerti. Terimalah bekal sebotol air kehidupan dari kami. Esok lusa,
gunakanlah dengan baik."
Aku berhenti sejenak. Menelan ludah. Jasmine dan Anggrek mendesakku
untuk terus. Aku masih mencari ending yang baik buat mereka.
"Kau tahu?" Aku mengelus rambut Jasmine, tersenyum, mengulur waktu
untuk mendapatkan ide cerita.
Apa" Jasmine bertanya lewat tatapan mata. Aduh, Om terus saja cerita, jangan
malah nanya-nanya, Anggrek memandangku protes.
Aku tersenyum lagi, "Kepergian Ayah-Ibu Nayla sungguh untuk kebahagiaan
Nayla. Ia memang belum tahu, tapi esok-lusa ia akan mengerti. Esok lusa ia pasti
tahu. Nayla yang akhirnya jatuh pingsan di tengah badai, malam itu diantar
pulang ke pantai oleh Putri Duyung. Esok paginya ia siuman di tepi pantai, air
laut menyentuh ujung-ujung kakinya. Putri Duyung ternyata juga tidak tahu di
mana Ayah-ibunya. Nayla kembali menangis di atas gundukan pasir. Bertanya ke
mana lagi ia harus mencari tahu."
"Hingga suatu hari Nayla memutuskan untuk menulis pesan. Nayla mencari
sepotong kertas, menuliskan pesan pendek di dalamnya, "Ibu, Ayah, Nayla rindu.
Nayla amat rindu."Kertas itu lantas dimasukkan ke dalam botol besar. Lantas
botol itu sekuat tenaga dia lemparkan ke lautan. Itulah yang dilakukan Nayla
setiap hari sejak hari itu. Nayla menulis surat, memasukkannya ke dalam botol,
melemparkannya. Ombak lautan "membawa botol-botol itu pergi, membawa
pesan Nayla." "Tiga tahun berlalu, Nayla sekarang berumur delapan belas tahun, tumbuh
menjadi gadis yang sayangnya kurus-kering, pucat, penyakit kulit tumbuh di
sekujur badannya, bisul, bernanah, buruk sekali. Sudah lebih dari seribu botol
yang dilemparkan Nayla ke lautan, tetap saja belum ada kabar berita dari ayahibunya, "
"Paman, dari mana Nayla dapat botol-botol itu" Kan, banyak banget?"
Jasmine tiba-tiba memotong. Berpikir.
Aku menyeringai. Ups, aku lupa, itu memang sedikit berlebihan. Aku menatap
wajah Jasmine yang antusias ingin tahu, menghela napas, "Putri Duyung yang
meletakkan botol-botol baru di tepi pantai, Jasmine. Peri Hutan yang
memberikan kertas-kertas baru setiap hari." Aku menjawab sekenanya. Jasmine
mengangguk-angguk. Aku menghela napas lega. "Kalian tahu, ternyata ribuan botol itu hanya berlabuh di satu tempat.
Tempatnya jauh sekali dari pulau Nayla. Ribuan mil. Botol-botol itu hanya
menuju Istana megah. Pangeran kerajaan itulah yang menemukan botol-botol
itu. Setiap hari saat dia berjalan-jalan di teluk istananya, botol itu datang bergerakgerak di beningnya lautan. Pangeran itu terpesona melihat botol tersebut.
Menyuruh prajurit membukanya. Botol itu indah sekali, kertas di dalamnya juga
wangi semerbak. Paman sudah bilang kan, botol dan kertas itu dari Putri Duyung
dan Peri Hutan jadi memang indah dan wangi."
"Pangeran itu mulai penasaran, siapakah gadis malang yang mengirimkan
pesan seindah ini. Pangeran itu mulai terbayang-bayang wajah gadis itu. Melihat
botol dan kertasnya pasti yang menulis pesan ini Putri yang baik hati dan cantik
jelita. Setiap hari selama tiga tahun botol-botol itu terus datang ke teluk
istananya." "Maka persis di tahun ketiga, Pangeran memutuskan mencari tahu. Dia
menyiapkan seratus kapal besar menjelajahi lautan. Tujuannya hanya satu,
menemukan Putri yang menulis surat-surat kerinduan itu. Hatinya
mendendangkan cinta. Tak sabar untuk bertemu. Berangkatlah ekspedisi raksasa
tersebut, hanya untuk menemukan muasal botol. Berbilang bulan hingga
akhirnya Pangeran tiba di pulau Nayla. Dia mengikuti jejak botol-botol itu yang
bagai rantai membuat garis dari kerajaannya hingga pulau Nayla.
"Aduh, terkejut bukan kepalang Nayla saat melihat rombongan itu datang. S-ia-p-a" Siapa mereka" Apalagi saat melihat Pangeran tampan nan gagah itu turun.
Nayla beringsut hendak lari. Pangeran melihatnya, memanggilnya, "Wahai
penduduk pulau, tahukah kau siapa yang menulis surat-surat indah ini?"
"Nayla yang ketakutan mencicit mundur. Menggeleng tidak tahu. "Dia pastilah
gadis yang cantik dan baik, gadis yang berbakti pada orangtuanya. Suratnya
sungguh menggugah perasaan. Kalau dia berkenan, ingin sekali kujadikan
pendamping hidupku." Pangeran berseru. Nayla menggeleng bilang sekali lagi
dia tidak tahu. Bagaimana mungkin dia mengakuinya" Dia tidak cantik, bukan"
Dia berwajah buruk, penuh bisul bernanah, dia tidak layak menjadi pendamping
hidup Pangeran yang gagah berani." Aku berhenti sejenak, tersenyum menatap
Jasmine dan Anggrek yang mulai menebak-nebak ujung cerita.
"Malam itu Nayla memutuskan untuk menggunakan botol minyak wangi dan


Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

botol air kehidupan dari Peri Hutan dan Putri Duyung. Dan terjadilah keajaiban
itu. Saat Nayla menuangkan botol air kehidupan di tubuhnya, gadis itu berubah
cantik jelita. Sempurna seperti sebelum semua kesedihan mengungkung
tubuhnya. Saat Nayla menuangkan botol minyak wangi itu tubuhnya mendadak
dia telah mengenakan gaun indah yang belum pernah terlihat sepanjang zaman.
Tubuhnya wangi semerbak."
"Esok paginya, saat Pangeran gagah dan tampan itu menemukan Nayla di
rumahnya, sempurna sudah Pangeran jatuh cinta kepada Nayla. Dia telah
menemukan gadis yang telah mengirim ribuan botol. Nayla juga jatuh-cinta pada
Pangeran itu. Maka senja itu berangkatlah mereka kembali ke kerajaan seberang
pulau. Semburat pelangi memenuhi langit. Indah. Kalian tahu, mereka akhirnya
hidup bahagia sepanjang masa, selamanya."
Jasmine dan Anggrek menghembuskan napas lega.
Aku mengelus rambut ikal Jasmine. Menatap wajahnya.
"Itulah buah kesabaran dan ketabahan Nayla. Kepergian Ayah dan Ibunya
menjadi jalan kehidupannya agar lebih baik. Dan Nayla tidak pernah berputus
asa. Tetap jadi anak yang baik." Aku tersenyum. Ah, anak-anak ini bahkan tidak
memerlukan kesimpulan dariku. Mereka bisa menyimpulkannya sendiri. Mereka
anak-anak yang cerdas. Kepergian tidak selalu berarti kesedihan berkepanjangan.
Jasmine dan Anggrek saling tatap satu sama lain. Mata-mata itu mulai
bercahaya. Terima kasih, Tuhan Malam ini aku sudah mengajak mereka bicara.
"Selamat tidur, Jasmine." Aku mengecup dahi Jasmine.
"Selamat tidur, Paman."
"Selamat tidur, Anggrek." Aku mengecup dahi Anggrek.
"Selamat tidur, Om."
Malam beranjak larut. Semoga esok saat matahari pagi terbit, saat cahayanya menjejak ujung-ujung
pinus pulau ini, semoga semua kesedihan ini berkurang sedikit. Tidak mulukmuluk, sedikit saja.
7. DEMI ANAK-ANAK Esok pagi aku bersemangat membangunkan anak-anak. Senin. Mereka harus
berangkat sekolah. Jasmine dan Anggrek sudah terbangun saat kepalaku muncul
di balik pintu "Pagi, semua!" "Pha-ghi!"Menguap.
"Hari ini Paman yang akan mengemudikan kapal"."
"Benar?" Jasmine berseru riang.
"Jasmine juga boleh pegang kemudi sebentar kalau mau." Aku tertawa.
Gadis kecil itu langsung loncat dari atas tempat tidur. Antusias.
Anggrek menyusul turun dari ranjang. Tertawa kecil.
Aku melangkah menuju kamar Rosie. Mengetuknya. Tidak ada jawaban.
Mungkin Rosie masih tidur. Beranjak turun. Berpapasan dengan Oma.
"Pagi Oma yang cantik." Aku tersenyum.
"Kau akan mengajak anak-anak ke mana, Tegar?"
"Sekolah, Oma."
"Sekolah?" "Mereka harus sekolah. Segera." Aku menjawab riang, "Ah-ya, Putri sudah
datang, tadi langsung kusuruh memandikan Lili."
Oma menatapku lamat-lamat. Putri, gadis tetangga yang biasa menggantikan
Rosie atau Jasmine mengurus Lili.
"Ah-ya lagi, pagi ini aku yang akan mengantar anak-anak." Tertawa.
"Kau tidak akan ngebut dengan kapal itu, bukan?" Oma menyelidik.
"Tentu tidak, Oma. Hanya bersenang-senang!" Aku menepuk bahu Oma,
bergegas pergi sebelum Oma mengomel. Nyengir.
Sarapan sebentar bersama anak-anak. Lili sudah rapi duduk di kursi bayinya.
Belepotan dengan susu. Putri, remaja tanggung penduduk setempat, tidak pernah
secakap Jasmine mengurus Lili. Sebenarnya Lili yang sedikit bandel, kalau tahu
bukan Jasmine yang mengurusnya. Rosie belum juga turun dari kamarnya. Aku
hendak memanggil, mengajak sarapan bersama. Tapi sudahlah, biarkan saja.
Nanti juga turun. Lima belas menit, anak-anak sudah berlari-lari kecil melompati anak-tangga
resor. Pagi ini, kegembiraan mereka harus kembali. Pagi ini, setelah hari-hari
melelahkan, mereka harus menjalani hidup dengan normal. Oma berteriak, aku
menoleh, Oma melangkah mengantarkan bekal anak-anak yang tertinggal.
"Terima kasih, Oma yang cantik." Jasmine tersenyum, menerima rantang
plastiknya. Gadis kecil itu selalu meniru kebiasaanku, termasuk urusan
memanggil "Oma yang cantik" ini. Harusnya anak-anak memanggil Eyang, tetapi
Oma lebih suka dipanggil Oma saja.
"Kalau Paman Tegar ngebut lapor ke Oma, ya."
Jasmine dan Anggrek tertawa. Justru mereka yang minta ngebut.
"Oma, bisa pastikan kabar Rosie di kamarnya. Ia belum bangun. Ia harus
sarapan. Seburuk apa pun perutnya menerima makanan, ia harus makan. Agar
tidak sakit. Nah, adios Oma." Aku berpamitan. Oma mengangguk. Melambaikan
tangan. Jasmine kelas satu SD. Baru masuk sekolah tiga bulan lalu. Anggrek kelas
satu SMP. Mereka bersekolah di Bangsal, Lombok. Beberapa penduduk lainnya
juga menyekolahkan anak-anak mereka di Mataram. Repot memang, karena
harus menumpang perahu nelayan. Tetapi tidak bagi anak-anak Rosie, resor itu
punya kapal-cepat berukuran kecil. Biasa digunakan Lian untuk belanja
keperluan di Lombok atau mengantar turis-turis menjelajahi gugusan pulau
untuk diving atau snorkeling. Lazimnya ada bujang yang mengantar-jemput
anak-anak. Pagi ini aku memutuskan yang mengantar mereka.
Anak-anak selalu suka kalau aku yang memegang kemudi. Apalagi Sakura.
Mereka anak-anak yang periang. Mana pernah takut dengan kecepatan. Semakin
cepat kapal cepat itu membelah lautan, semakin senang mereka berseru-seru.
Soal mengemudikan kapal dengan keren tak ada yang bisa mengalahkan Paman
Tegar. Paman Tegar mereka pernah menang lomba jet-ski di Bali. Aku
tersenyum bangga. Maka Jasmine dan Anggrek berlompatan ke atas kapal. Tertawa. Aku mantap
memegang tuas kemudi. "Janji nggak bilang-bilang ke Oma kalau Paman
ngebut, ya?" Jasmine dan Anggrek tertawa, serempak menggeleng. Mereka
memperbaiki posisi tas. Mencengkeram pegangan lebih erat. Maka, bagai seekor
lumba-lumba, kapal cepat berkapasitas sepuluh orang itu gesit-meliuk keluar
dari pelabuhan. Melesat cepat menuju Lombok dengan kecepatan tinggi. Air
berbuih tinggi dibelah moncong kapal.
Oma dari kejauhan mengelus keningnya. Selalu bandel.
Ada banyak yang harus ditelepon setelah mengantar anak-anak ke Lombok.
Dengan kecepatanku, Gili Trawangan-pelabuhan nelayan Bangsal, Lombok
hanya perlu lima belas menit. Jasmine dan Anggrek sudah loncat turun. Aku
melambaikan tangan kepada nelayan setempat yang kukenali. Dua gadis kecil itu
sigap naik odong-odong, andong. Ditatap oleh mata-mata yang ingin tahu,
mereka menyimak beritanya, juga mendengar dari mulut ke mulut dari nelayan
sekitar. Biarkan, biarkan mereka mengisi hari-hari dengan normal, aku balas
menatap wajah-wajah melongok, tidak ada yang perlu diungkit lagi dari kejadian
di Jimbaran tiga hari lalu.
Aku menelepon Clarice. Bertanya soal Sakura. "Gadis kecil itu luar-biasa,
Tegar. Semangat sembuhnya bukan main. Kata dokter yang merawatnya, dengan
kemajuan seperti ini, dua hari lagi kau bisa membawanya ke Gili Trawangan.
Rawat jalan di sana. Aku akan menyuruh Smith menyiapkan helikopter lagi."
Aku mengucapkan terima-kasih, bertanya tentang kolega tim risetnya.
"Sudah. Keluarga Jerry dan Thompson sudah datang. Mayat mereka sudah
dibawa ke Sydney. Tenang saja, sama sekali tidak merepotkan, bukankah sudah
kubilang paling cepat akhir bulan ini aku baru bisa kembali ke Aussie. Ada
banyak yang harus kukerjakan. Oh, tidak. Aku bisa melakukannya dengan
internet, kau ada-ada saja, Tegar." Clarice tertawa menjelaskan sedikit
pekerjaannya, kami mengakhiri pembicaraan.
Aku menelepon Frans. Rekan kerjaku di perusahaan sekuritas, Jakarta. Frans
seperti biasa jahil menggodaku tentang Sekar. Aku membiarkannya tertawa-tawa
selama satu menit. Saat menceritakan sepotong kejadian di Jimbaran, Frans yang
terdiam satu menit. "Sorry, aku benar-benar tidak tahu kau terburu-buru karena itu, dan aku tidak
tahu kalau kerabatmu menjadi korban."
Aku menjelaskan banyak hal. Yang paling penting adalah: cuti kerja. Paling
sedikit aku tidak masuk kerja selama seminggu. Frans mendengarkan dengan
baik. Berjanji akan mengurusnya. Mr. Eric Theo, bos-ku, masih di Singapore,
Frans berjanji memberitahu dia segera, "Serahkan seluruh pekerjaan kepadaku,
Teman. Kau ambil waktu sebanyak yang kau butuhkan."
Masih ada beberapa telepon pekerjaan lainnya yang kulakukan selepas
menelepon Frans. Aku mengontak stafku, memintanya mengirimkan beberapa
file pekerjaan. Menelepon klienku selama lima menit berikutnya. Bilang Frans
yang akan ambil alih urusan pekerjaan sementara waktu, dan urusan-urusan kecil
lainnya. Telepon itu baru diakhiri dengan menelepon Sekar.
"Selamat pagi." Aku berusaha seriang mungkin.
"Pagi," Sekar menjawab pendek.
"Kau lagi di mana" Kantor" Jalan" Macet?"
"Kamar mandi, " Suara Sekar terdengar sengau.
"Kamar mandi" Kau tidak kerja?"
"Malas. Tadi pagi kesiangan."
"Kesiangan" Semalam tidur larut" Susah tidur" Kangen" Jangan-jangan kau
mencemaskan hubungan kita?" Aku mencoba bergurau.
Sekar ikut tertawa pelan, tidak berkomentar.
"Bagaimana kabar Rosie?" Sekar bertanya pelan.
Aku menelan ludah. "Buruk. Buruk sekali."
"Pasti menyakitkan melalui semuanya."
"Ya, sejak pemakaman ia tidak bicara. Hanya menatap kosong sekitarnya.
Menghela napas panjang pun tidak."
"Anak-anak?" "Hari ini mereka sudah sekolah. Semangat. Aku harap mereka akan terus
riang. Agar Rosie pelan-pelan juga ikut riang."
"Tentu saja mereka sepagi ini sudah riang, mereka selalu memiliki kau. Paman
Tegar yang hebat, keren, dan super."
Aku tertawa, "Beri aku satu minggu, Sekar. Aku juga akan menjadi tunangan
yang hebat, keren, dan super untukmu."
Sekar tertawa ganjil. Aku sungguh lalai mengenali kalau tawa itu terdengar
ganjil. "Aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu."
Pembicaraan dengan Sekar ditutup. Sudah pukul 08.30, saatnya kembali ke
resor, aku mencengkeram tuas kemudi kapal cepat, lantas mengarahkannya
menuju Gili Trawangan. Tersenyum lebar. Sudah lama sekali aku tidak menaiki
kapal ini. Setidaknya seminggu ini, sambil mengurus resor, membantu anakanak, menemani Rosie melupakan kesedihan, aku bisa sekalian berlibur.
Lihatlah, langit biru dengan gumpalan awan putih bak kapas terlihat indah.
Serombongan burung camar melenguh di kejauhan. Air laut terlihat bening,
terumbu karang di bawahnya terlihat menawan. Gugusan pulau dan gununggunung, termasuk Gunung Agung, Bali menjadi bingkai pemandangan
memesona. Sungguh tempat berlibur yang baik.
Aku menekan pedal gas lebih kencang lagi. Tidak ada Oma ini.
Tiga belas menit tiba di pelabuhan Gili Trawangan. Kapal cepat itu merapat
dengan manuver mengesankan. Mitchell yang bersiap menaiki perahu nelayan
menuju lokasi diving menepukiku dari jauh. Mengacungkan jempol. Aku
tertawa. Dia seharusnya melihatku mengendalikan jet-ski, ada banyak gerakan
akrobatik yang bisa kulakukan.
Aku berlari-lari kecil di hamparan pasir. Tanpa alas kaki. Sensasinya
menyenangkan, seperti menginjak es krim. Hanya orang bodoh yang memakai
sandal di atas hamparan pasir senyaman ini. Menuju resor.
Bersenandung. Angin laut menerpa seluruh tubuh. Sejuk. Hari ini aku bisa
menemani Rosie. Membuatnya sedikit riang dengan gurauan, pembicaraan,
entahlah. Nanti sore anak-anak bergabung. Apa Rosie juga perlu diceritakan
sebuah dongeng agar kembali bersemangat" Aku tertawa dengan ide buruk itu.
Sayang tawa itu terputus saat aku menjejakkan kaki di halaman resor. Lian
seperti kesetanan memanggilku, "Mas Tegar! Mas Tegar!" Aku menelan ludah.
Apa maksudnya" Aku melompati anak-tangga dua-dua. "IBU ROSIE". Di
kamarnya!" Lian dengan muka pias menunjuk-nunjuk lantai dua bangunan
utama resor. Aku tidak perlu lagi diteriaki dua kali, langsung berlari secepat
mungkin. Menaiki anak tangga berikutnya.
Menyibak kerumunan di depan pintu.
Ada apa dengan Rosie"
Terkesiap. Ya Tuhan, apa yang telah Rosie lakukan. Seperti seekor elang aku
melompat ke tepi ranjang, mendekati Rosie yang terbaring dengan mulut
berbusa. Oma terlihat gemetar di dekatnya, bingung hendak melakukan apa.
Mataku buas menyapu seluruh tubuh Rosie. Selongsong botol obat tidur
tergeletak di dekat bantal. Aku panik merengkuh tubuh itu, menyeka bibirnya.
"LIAN, Panggil Mitchell. Bergegas! Dia ada di dermaga, pergi diving. Kau
kejar dia." Mitchell, turis dari Inggris itu dokter, dia satu-satunya kesempatan bagi Rosie
untuk bertahan hidup. Obat tidur ini" Aku mengutuk langit-langit ruangan.
Bagaimana mungkin Rosie berpikiran sependek itu" Aku menyumpah-nyumpah,
kenapa tadi pagi tidak mendobrak saja pintu kamar Rosie. Bukankah sudah
terlihat amat ganjil" Dua puluh empat jam lebih Rosie hanya menatap kosong.
Bahkan di pemakaman ketika Lili menangis, Rosie tetap bagai patung suci" Itu
pertanda buruk, bukan" Aku dulu memang sedih dan hanya diam membisu,
tetapi setidaknya aku masih menghela napas panjang. Rosie tidak.
Dua menit berlalu bagai lima abad. Beruntung, Mitchell yang belum naik
perahu, datang bergegas bersama Lian. Aku mencengkeram seprai saat Mitchell
berusaha menolong Rosie. Entahlah apa yang dilakukan Mitchell, beberapa detik
kemudian Rosie muntah. Muntah yang banyak. Mengotori ranjang. Mitchell
meneriaki Lian, minta diambilkan sesuatu. Aku tidak mendengarkan. Aku
telanjur takut dengan banyak hal. Satu hal saja dari ketakutan itu nyata, sudah
membuatku takut, apalagi banyak. Aku mohon. Semua ini akan benar-benar
menyedihkan kalau Rosie juga pergi.
Lima menit berlalu. Mitchell menyeka dahi yang berkeringat, keringatnya
lebih banyak dibandingkan Rosie. Memegang bahuku, "Dosis yang diminumnya
tidak banyak, Tegar. Mungkin sisa obat tidur di botol tidak banyak. Rosie akan
baik-baik saja. Untunglah."
Aku lemas jatuh terduduk di lantai. Terima kasih, Tuhan.
Terima kasih. Aku pikir mulai hari ini keluarga ini akan kembali merajut hari-hari. Aku pikir
setelah melihat Jasmine dan Anggrek semangat kembali, keluarga ini bisa
melanjutkan hari-hari mereka dulu yang indah. Tiga belas tahun yang hebat, tiga
belas tahun yang berlalu dengan kebahagiaan intensitas tinggi. Ternyata tidak.
Bagaimana mungkin Rosie berpikiran sependek itu" Apakah ia tidak
memikirkan anak-anak" Aku tahu ini semua menyakitkan. Tetapi melakukan itu"
Aku mengusap wajah kebas. Beranjak berdiri. Membantu Oma keluar dari
kamar. Menyuruh pelayan memindahkan Rosie ke kamar tamu. Aku
mengumpulkan semua orang yang melihat kejadian barusan. Menyuruh mereka
bersumpah untuk merahasiakan seluruh kejadian dari anak-anak. Bagaimanalah
anak-anak akan menanggapi kalau mereka tahu Rosie baru saja mencoba bunuhdiri" Mereka mengangguk menurut. Rosie masih belum sadarkan diri. Aku
memutuskan akan bilang ke anak-anak saat mereka pulang sekolah kalau Rosie
sedang sakit. Tidak lebih. Tidak kurang.
Ternyata pagi ini. Kesedihan itu tidak berkurang sejengkal pun.
Pukul 13.00, aku menjemput Jasmine dan Anggrek. Berusaha senormal
mungkin bicara dengan mereka. Bergurau tentang penyu. Kenapa penyu
jalannya lamban" Jasmine dan Anggrek tertawa saat aku memberitahu
jawabannya. Mereka tiba di rumah ketika semua sisa-sisa kejadian tadi pagi
telah dibereskan. Rosie masih belum sadarkan diri di kamarnya. Tetapi ia baikbaik saja, terlihat tidur nyenyak.
Jasmine dan Anggrek sempat menjenguk ibunya. Aku bilang Rosie sakit.
Jangan berisik. Jasmine menyeringai, berjinjit saat keluar ruangan. Anggrek
nyengir menatap kelakuan adiknya. Makan siang bersama Oma. Setidaknya saat
Jasmine dan Anggrek menceritakan sekolah mereka hari ini, aku tidak
mendengar keluhan tentang teman-temannya, guru, atau siapa pun yang
menyinggung-nyjnggung kejadian di Jimbaran. Mereka riang seperti biasanya.
Tetapi ini sepotong fakta yang tidak pernah aku ketahui hingga dua tahun
kemudian. Tadi di odong-odong ternyata Anggrek menyuruh Jasmine agar tidak
bilang-bilang pada Om Tegar soal betapa sibuk teman sekelasnya bertanya
tentang Ayah mereka. Sejak hari itu, disadari atau tidak Anggrek telah
mengambil tanggung-jawab yang lebih besar dalam hidup dibanding usianya.
Jasmine menghabiskan sore dengan bermain-main bersama si Putih, dan dua
anak berbulu hitamnya, sambil menunggui Lili yang tertidur. Anggrek duduk di
ayunan resor membaca buku. Aku menghela napas, lega. Urusan ini jauh lebih
mudah kalau anak-anak mulai tenggelam dalam keseharian mereka yang polos


Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa-adanya. Jadi buat apa dirusak dengan berita buruk"
Selepas makan malam, Rosie baru sadarkan diri. Anak-anak berkerumun di
atas ranjang. Jasmine menggendong Lili duduk di sebelah ibunya. Anggrek
tiduran di sebelah satunya. Aku duduk di atas kursi rotan yang diseret mendekati
ranjang. Jasmine berceloteh soal ngebut. Mendekap mulutnya saat Oma tiba-tiba
masuk. Menahan tawa. Oma menyelidik, Jasmine buru-buru bertanya, "Oma,
kenapa penyu jalannya lambat?" Oma mengangkat bahu, tidak menjawab, hanya
menatap redup Rosie. Aku menyeringai, menahan tawa. "Ya, masa" Oma nggak
tahu, sih" Nggak seru." Jasmine nyengir. Oma menggeleng.
Anak-anak masih di sana hingga lima belas menit kemudian. Tapi Rosie hanya
diam. Rosie sempurna kosong. Menatap kegembiraan anak-anak tanpa ekspresi.
Aku mengusap kening, beruntung anak-anak tidak terlalu memperhatikan ada
yang ganjil. Mereka menganggap ibu mereka terlampau lelah dengan banyak
hal, jadi malas bicara. Aku menyuruh Jasmine dan Anggrek kembali ke kamar setengah jam
kemudian. Menjanjikan akan menyusul untuk bercerita. Jasmine berseru senang.
Menggendong Lili yang sudah tertidur keluar. Disusul Anggrek.
Senyap. Tanpa mereka kamar Rosie terasa hening.
Cahaya bulan yang mulai gompal menelisik sela-sela krei jendela.
Aku berdiri. Membuka daun jendela lebar-lebar. Membiarkan angin malam
menerpa masuk ke dalam kamar. Bintang-gemintang terlihat memesona. Suara
debur ombak memecah pantai terdengar bernyanyi. Senandung indah. Itulah
yang kumaksud dengan nyanyian Putri Duyung. Sama seperti aku
menerjemahkan bising suara kunang-kunang sebagai nyanyian Peri Hutan. Tentu
tak ada legenda-legenda itu.
Lima tahun yang menyakitkan itu memberikan aku sebuah pelajaran berharga.
Ada banyak cara menikmati sepotong kehidupan saat kalian sedang tertikam
belati sedih. Salah-satunya dengan menerjemahkan banyak hal yang menghiasi
dunia dengan cara tak lazim. Saat melihat gumpalan awan di angkasa. Saat
menyimak wajah-wajah lelah pulang kerja. Saat menyimak tampias air yang
membuat bekas di langit-langit kamar. Dengan pemahaman secara berbeda maka
kalian akan merasakan sesuatu yang berbeda pula. Memberikan kebahagiaan
utuh, yang jarang disadari, atas makna detik demi detik kehidupan.
Aku mendekati kembali ranjang Rosie. Duduk di kursi rotan.
Menatapnya lamat-lamat. Rosie balas menatapku kosong.
"Apakah begitu menyakitkan, Ros?" Berbisik pelan. Rosie tidak berkedip.
"Apakah semua ini amat menyakitkan" Sehingga kau merasa tidak sanggup
lagi melanjutkan hidup. Padahal, padahal kau sungguh punya empat kuntum
bunga yang membanggakan." Aku mendesah lemah, menelan ludah. Rosie mulai
tersengal, menahan emosi. Aku tersenyum. Menyentuh jemarinya. "Aku tahu ini
amat menyakitkan. Tapi kau juga harus tahu, kita akan melalui semua ini
bersama. Aku akan menemanimu. Anak-anak akan bersamamu. Menapak hari
demi hari dengan tegar, seperti namaku, bukan" Tegar." Mata Rosie mulai basah.
Aku terdiam. "Aku tak tahan lagi."
"Bertahanlah, Ros. Demi anak-anak."
"Semuanya menyakitkan Aku menggenggam jemari Rosie. Lengang. Mata
Rosie terpejam. Aku tahu apa yang sedang dilakukannya dengan memejamkan
mata. Rosie ingin menghilang. Dia ingin pergi dari sesaknya rasa sedih. Seketika
kalau bisa. Aku mendongakkan kepala. Menahan air di sudut mataku agar tidak
tumpah. Tidak pernah terbayangkan akan menatap wajah gadis yang dulu amat
kucintai seperti saat ini. Nelangsa tanpa tahu apa yang harus dilakukan selain
pergi. Tidak pernah menatap wajah elok yang pernah dengannya aku ingin
menghabiskan sisa umur, melalui hari demi hari kehidupan dengan kondisi
mengenaskan seperti sekarang ini. Menangis menahan rasa perih. Urusan ini
berbeda benar dengan sedihku dulu. Rosie selalu punya kesempatan.
Kesempatan bersama anak-anaknya yang hebat. Aku dulu tidak pernah punya.
Malam semakin matang. Serunai nyanyian Putri Duyung terdengar semakin
sendu. Dua hari berlalu lambat. Aku menugaskan salah-satu pelayan resor khusus untuk menemani Rosie.
Sebenarnya untuk mengawasinya. Siapa tahu di tengah kecamuk hati yang masih
berkepanjangan, Rosie berniat melakukannya sekali lagi. Aku juga menyuruh
anak-anak selalu menemani Rosie. Meski Ibunya tetap bergeming tanpa bicara,
anak-anak riang bercengkerama di sekitarnya. Sekali-dua Rosie tersenyum tipis
melihat Jasmine terjungkal berlarian mengejar si Putih. Rosie harus benar-benar
menyadari kalau ia masih punya anak-anak yang membanggakan. Ia harus tetap
semangat demi mereka. Urusan resor berjalan lancar. Ada rombongan yang akan datang sebulan lagi
dari Hongkong. Mereka memesan seluruh kamar, termasuk kamar cadangan
yang biasanya ditinggali Lian. Mereka tidak tahu menahu, dan tidak perlu tahu,
kalau Nathan sudah meninggal.
Aku setiap hari mengantar anak-anak sekolah.
Kemarin pagi, Jasmine kubiarkan memegang kemudi kapal cepat selama lima
belas detik. Paman Tegarnya tidak pernah melarang mereka. Anggrek juga
bersemangat memegang kemudi itu selama satu menit. Untuk itu Jasmine protes
berkepanjangan, "Kenapa Kak Anggrek lebih lama. Paman pilih-kasih." Aku
berkilah ngasal, "Kalau Jasmine sudah tambah sepuluh senti tingginya, besok
boleh pegang lama-lama." Jasmine melotot. Besoknya ia membawa tatakan kayu
setinggi sepuluh senti untuk mencuci baju sebagai pijakan kaki.
Sakura semakin membaik. Clarice bilang hari Kamis aku sudah bisa
menjemputnya. Setelah kejadian Senin pagi, berita ini menjadi kabar pertama
yang menyenangkan. Sakura tidak kurang satu apa pun. Semuanya baik-baik
saja, semua akan pulih, kecuali jari telunjuk tangan kirinya yang tidak bisa
digerakkan lagi. Aku mendesah resah sesaat.
Frans melaporkan urusan kantor lancar. Kemajuan dan bahan-bahan IPO
dikirimkannya lewat email. Aku menggunakan laptop Nathan yang tersimpan di
kantor resor agar dapat bekerja dari jauh. Eric Theo memberikan izin cuti selama
dua minggu. "Kau tidak pernah cuti panjang selama sepuluh tahun terakhir,
bukan" Pergilah menyenangkan diri. Asal saat kembali, kau siap bekerja lagi 18
jam sehari." Ia tertawa bahak untuk lelucon itu.
Sekar. Aku tidak tahu apa yang sedang dicemaskan Sekar. Hingga hari Selasa,
Sekar masih bisa mengendalikan banyak hal. Tertawa saat aku bergurau.
Menjawab dengan baik saat ditanya. Bercerita lancar tentang apa yang
dilakukannya sepanjang hari. Tetapi Rabu malam, Sekar benar-benar berubah. Ia
mendadak hanya menjawab pendek-pendek teleponku. Dengan intonasi ganjil
pula. "Seharusnya aku senang dengan semua ini, belum pernah kau meneleponku
sesering ini selama enam tahun terakhir hubungan kita." Sekar berkata amat
pelan, kalah dengan desau angin laut. Aku terpaksa memaksimalkan volume
telepon genggam. Aku mengusap kening. Membiarkan ia bicara lebih banyak.
"Aku takut. Aku takut kau tidak akan pernah bisa menikahiku."
Dan gadis itu mulai menangis.
Aku berseru tidak mengerti. Apa maksudnya" Bukankah sudah berkali-kali
kujelaskan, aku hanya sementara waktu di Lombok. Paling lambat minggu depan
sudah kembali. Bertunangan dengannya. Lantas enam bulan kemudian menikah
sesuai rencana. "Apa aku sebaiknya langsung menikahimu setiba di Jakarta?" Aku mencoba
bergurau. Sekar tidak tertawa, malah terdengar terisak pelan.
"Tidak. Aku tidak ingin kau melakukan semua itu karena terpaksa. Kau tidak
perlu melakukan semua itu." Sekar berbisik lemah.
Ya Tuhan" Apa maksudnya"
Apa Sekar cemburu aku mengurusi Rosie dan anak-anak" Apa Sekar khawatir
kepergian Nathan membuatku seolah-olah memiliki kesempatan baru dengan
Rosie" Bagaimana mungkin Sekar berpikiran sesempit itu" Akulah satu-satunya
keluarga, teman sekaligus sahabat dekat bagi Rosie. Tidak ada siapa-siapa lagi
yang akan menemani Rosie dan anak-anak melalui kejadian menyakitkan ini
selain aku. Apa aku harus meninggalkannya sekarang juga" Tega kembali ke
Jakarta" Tidak mungkin. Bukankah gekar tahu semua itu tinggal masa lalu. Aku
sungguh mencintai Rosie, tapi itu dulu. Aku sungguh menginginkan Rosie, tapi
itu dulu. Sekarang, dengan pemahaman dan pengertian cinta yang baru, bentuk
cinta kepada Rosie itu sungguh berbeda.
Bagaimana mungkin Sekar mengucapkan kalimat barusan"
Malam itu Sekar tidak menutup pembicaraan dengan kalimat, "Aku cinta
padamu." Dia hanya bilang, "Selamat malam." Telepon diputus.
8. BERTAHANLAH ROS Hari Kamis, saatnya menjemput Sakura dari Rumah Sakit.
Aku berangkat pagi-pagi mengantar Jasmine dan Anggrek ke sekolah. Kali ini
bujang yang bertugas mengurus kapal cepat ikut, agar ia bisa membawa kembali
kapal. Aku akan ke Denpasar, turun di Bangsal, melanjutkan perjalanan menuju
pelabuhan Lembar dengan angkutan umum, dua jam perjalanan. Kemudian naik
jet-foil menuju Denpasar, dua jam perjalanan juga. Menjelang tengah hari baru
tiba di rumah sakit tempat Sakura dirawat.
"UNCLE! UNCLE!"
Sakura berteriak kencang melihatku melewati bingkai pintu, membuat dokter
yang melakukan cek terakhir kali menoleh, setengah kaget sebenarnya. Sakura
kalau teriak selalu saja tidak tahu tempat, waktu, dan suasana. Clarice yang
berdiri bersandarkan dinding ruangan tertawa. Made dan Kadek mengangguk ke
arahku. Aku melangkah mendekati ranjang Sakura, tersenyum,
"Koniichiwa." Sakura mengangguk-angguk. Baik, baik.
Tetapi tidak sebaik intonasi kalimat Sakura yang amat riang, tubuh gadis kecil
itu masih terbungkus gips dan perban. Selang infus dan belalai medis lainnya
sudah dilepas. Wajah Sakura cerah, itu membuat perbedaan banyak dengan
kondisi tubuhnya. Aku tersenyum sekali lagi. Mengelus kepalanya yang botak.
"Harusnya di sini diberi tanda enam titik hitam, Dok." Aku tertawa,
memberitahu dokter yang berdiri di sebelahku.
Dokter itu menoleh, tidak mengerti. Sakura sudah menyeringai galak.
Maksudnya apalagi, enam titik hitam tanda pendekar rahib suci. Kepala Sakura
kan botak. Pemeriksaan terakhir beres, penjelasan dokter selesai, Sakura boleh pulang.
Tidak banyak urusan administrasi yang harus kuselesaikan. Bahkan tidak ada.
Semuanya sudah diurus Clarice, "Hitung-hitung pengganti biaya sewa resor
selama bertahun-tahun terakhir yang tidak pernah kalian terima." Clarice
tersenyum. Aku mengangguk, mengalah.
Aku menggendong Sakura, memindahkannya ke kursi roda, lantas
mendorongnya menuju parkiran rumah-sakit. Agak sulit menaikkan Sakura dan
kursi rodanya ke atas helikopter, dibantu Made dan Kadek, lima belas menit
kemudian semua siap. Aku menyalami dokter dan suster rumah sakit, bilang
terima-kasih. Menepuk bahu Made, Kadek, terima-kasih banyak atas
bantuannya. Memeluk Clarice, bule itu terseyum, "Akhir bulan ini sebelum kembali ke
Aussie aku akan menyempatkan mampir menjenguk Rosie."
Aku mengangguk, loncat naik ke atas helikopter.
Smith, pilot helikopter, memberikan hormat tentara. "Nona Sakura, apa perlu
manuver melintir di atas lautan?" Smith memasang wajah pura-pura serius
bertanya. Aku buru-buru memotong Smith, "Astaga! Tidak boleh, Smith."
Sakura dan Smith tertawa.
Lima detik, helikopter itu melesat naik, menjejak langit biru, menuju Gili
Trawangan. Hari ini, keluarga Rosie utuh kembali, meski dengan pengertian utuh yang
baru. Kata dokter, Sakura memerlukan setidaknya dua bulan untuk pulih. Gips
dan perbannya bisa dilepas sebulan lagi. Luka-memar di wajahnya dalam
hitungan minggu akan pulih. Tanpa bekas. Umurnya masih sembilan tahun, jadi
ibarat gigi yang lepas, masih bisa tumbuh lagi. Sekolah" Sakura masih punya
sisa waktu untuk mengejar ketinggalan. Ia cerdas. Sakura bisa belajar sendiri di
rumah. Helikopter terus melintasi selat Bali-Lombok. Sepanjang mata memandang
yang terlihat hanya biru, biru, dan biru. Awan putih kecil bak gumpalan kapas
menambah kontras, barisan gunung membuat kesan biru semakin tegas. Laut
beriak oleh gerakan baling-baling. Smith terbang rendah, tanpa manuver
jumpalitan itu. Semua orang tahu, Smith lebih dari jago melakukan manuver
yang hebat, tetapi tidak hari ini, siapa pula yang akan memegangi kursi roda
Sakura" Gadis kecil itu tidak banyak bicara. Ia bicara dengan wajahnya yang riang.
Tersenyum lebar menatap sekitar. Setelah tiga hari di rumah sakit, perjalanan ini
menyenangkan bagi Sakura. Prospek kembali ke resor, berkumpul lagi dengan
Anggrek, Jasmine, Lili, dan Ibu membuatnya bersemangat. Bagi anak kecil
perjalanan pulang memang selalu menyenangkan. Tidak menduga-duga banyak
hal, tidak mendendang kecemasan, prasangka, dan entahlah. Hanya pulang. Bagi
orang dewasa perjalanan pulang seperti ritual suci yang penuh perhitungan.
Semakin lama perjalanan itu tidak dilakukan, semakin sesak. Penuh helaan napas
panjang. "Nona Sakura, lokasi musuh sudah terlihat." Smith melapor.
Gili Trawangan yang berjejer dengan Gili Meno dan Gili Air terlihat semakin
besar. Di hamparan laut biru bawah sana, kapal cepat resor melesat membelah
ombak. Itu pasti Anggrek dan Jasmine yang pulang sekolah dijemput bujang.
Mereka semakin dekat, terlihat sibuk melambaikan tangan. Aku tertawa,
menyuruh Sakura tidak banyak bergerak dulu.
Helikopter mendarat anggun di pelataran resor. Dikerumuni penduduk yang
ingin tahu. Jasmine dan Anggrek berlari-lari kecil dari dermaga. Beberapa
penduduk dan turis yang kebetulan berjemur di pantai membantu menurunkan
kursi roda Sakura. "Arigato, Nakamura-san." Sakura nyengir bilang terima kasih ke salah satu
turis yang membantunya turun. Nakamura, turis asal Okinawa tertawa, pura-pura
ingin memukul gips kaki kiri Sakura.
"Kak Sakura! Kak Sakura!" Jasmine tersengal mendekat. Menghambur ke
kursi roda. Disusul Anggrek.
Aku tersenyum senang. Terima kasih Tuhan, hari ini jelas sudah kesedihan itu
terusir lebih banyak. Lihatlah, mereka bertiga tertawa-tawa, berebut
menceritakan banyak hal. Terima kasih banyak. Aku mendorong kursi roda
Sakura menuju halaman resor. Masih diikuti Jasmine yang sibuk bertanya,
"Gips-nya dari apa ya, Kak" Plastik" Bukan. Idih keras," Jasmine mengeluh saat
jahil ingin tahu dengan menjentikkan jarinya.
Saat itulah, saat mereka bertiga hendak menaiki anak tangga, pelayan resor
membantu mengangkat kursi roda Sakura, Lian justru turun dengan teriakan,
dengan wajah amat tegang.
"Mas Tegar! Tolong!"
Langkahku terhenti. Mataku membulat. Anak-anak menatap sedikit bingung,
banyak takutnya. Lian seperti kesetanan menunjuk-nunjuk lantai dua bangunan
utama resor. "IBU ROSIE! IBU ROSIE!"
Aku mengeluh, seketika ulu hatiku mengirim sinyal bahaya. Apa maksudnya!
jangan-jangan Rosie sekali lagi mencoba mengakhiri semuanya. Ya Tuhan!
Bukankah ada pelayan khusus yang bertugas mengawasi" Bukankah dua hari
terakhir Rosie baik-baik saja" Mulai bisa tersenyum tipis melihat kelakuan
Jasmine" Bukankah Rosie sudah bisa mendengarkan seluruh pembicaraanku
tentang, Bertahanlah, Ros. Sekuat yang bisa kau lakukan. Sisanya serahkan pada
waktu. Waktu akan mengubur seluruh kesedihan. Waktu akan membakar setiap
jengkal rasa sakit. Demi anak-anakmu. Bertahanlah."
Aku tak perlu diteriaki dua kali. Menyuruh Anggrek mengambil alih kursi
roda Sakura, lantas berlari secepat kaki bisa membawa ke lantai dua resor.
Semoga belum terlambat. Aku menendang pintu ruangan, hampir menabrak
Putri yang meringkuk ketakutan sambil memeluk Lili. Menatap nanar sekitar.
Seperti paku dihujamkan di bilah papan, langkahku terhenti persis di ruang
depan resor. Oma tersungkur di pojok ruangan. Beberapa pelayan lain mencicit
gentar. Rosie tidak nekad bunuh-diri. Lebih buruk dari itu, dalam artian tertentu. Dia
sedang berdiri di tengah ruangan. Tertawa kesetanan. Berteriak-teriak.
Memegang sapu ijuk, mengancam siapa saja yang mendekatinya. Rambut ikal
Rosie yang panjang terlihat acak-acakan. Matanya menatap nyalang. Aku
berpegangan pada meja tamu.
"PERGI SEMUANYA! PERGIII!!" Rosie berteriak galak.
Aku memaksakan diri mendekat.
"Ros, Ros, apa yang terjadi?" Berusaha membujuk.
"PERGIII!" Rosie mengacungkan sapu ijuknya.


Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua pemandangan ini menyakitkan. Lima belas detik, Jasmine, Anggrek,
dan kursi roda Sakura, tanpa bisa kucegah, menyusul melewati bingkai pintu
utama resor, dan mereka harus menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ibu
mereka sedang berteriak-teriak kalap.
Aku menggigit bibir. Bagi Rosie, kesedihan itu tidak pernah hilang sejengkal
pun. Kesedihan itu sebaliknya malah terhujam dalam-dalam.
Celaka, Jasmine tanpa mengerti apa yang sedang terjadi, justru takut-takut
maju. "Ibu, Ibu kenapa?" Mata Jasmine berkaca-kaca. Gemetar berusaha menyentuh
ibunya. Dan balasannya, Rosie seketika memukul kepala Jasmine dengan sapu
ijuknya. Aku berteriak kencang, "JANGAN, ROS!" Terlambat. Jasmine sudah
terduduk. Bukan karena rasa sakit, tetapi lebih karena tidak menyangka ibunya
akan memukul kepalanya. Anggrek ikut melangkah maju, gemetar. "Ibu, Ibu!" berseru-seru ingin
mendekat, aku buru-buru menarik tubuh Anggrek. Lian sigap menarik Jasmine
yang masih terduduk di depan Rosie.
"Ros, itu Jasmine, Jasmine-mu. Jasmine yang pandai mengurus Lili." Aku
mendekat. "PERGI KAU!" Rosie mengancam.
"Ini aku, Ros! Tegar!" Aku mendekat lagi selangkah.
Anak-anak berkerumun bersama Oma. Sakura yang tadi wajahnya sumringah,
sekarang terlihat suram. Matanya berair. Sakura hanya mendesah berkali-kali,
Ibu, Ibu. Dan ruangan itu semakin ramai saat Lili entah mengapa mulai
menangis. Pelan saja. "Ros, aku mohon, letakkan sapu ijuknya." Aku tinggal empat langkah dari
Rosie. Hampir masuk dalam jangkauan pukulannya.
Rosie tertawa panjang. "KAU! KAU JAHAT! PERGIII!"
Aku menelan ludah. Rosie kembali menceracau kalap, memukul-mukul lantai,
berteriak, tertawa. Aku menoleh ke arah anak-anak. Tidak. Mereka tidak
semestinya menyaksikan ini. Apa yang harus kulakukan" Semakin lama,
kejadian ini semakin menyakitkan bagi anak-anak. Maka tanpa pikir panjang,
aku lompat menyambar tubuh Rosie. Menepis sapu ijuk itu jatuh. Lantas
memeluk Rosie erat-erat. Jasmine berteriak kencang melihat kami terbanting jatuh di lantai. Sakura
tersengal oleh tangisnya. Anggrek mencengkeram pegangan kursi roda.
Rosie berontak dalam pelukanku. Berusaha mencakar. Memukul. Menendang.
Aku tidak akan melepaskannya. Aku tetap memeluknya erat-erat. Ia tidak boleh
melepaskan diri. Lima menit berlalu, tenaga Rosie melemah. Bagai seekor
capung kehabisan tenaga, tubuhnya meluncur tertelungkup. Aku mendekapnya
agar tidak terjatuh. Rosie tidak sadarkan diri. Aku meneriaki Lian agar
memanggil Mitchell, yang dipanggil ternyata sejak tadi ada di tempat kejadian.
Hampir seluruh pengunjung resor juga ada di ruang depan, menyaksikan semua
kejadian dengan tatapan prihatin. Juga penduduk setempat, pelayan resor, dan
yang paling menyedihkan adalah anak-anak.
Mereka harus menyaksikan semua ini.
Senja yang terasa panjang sekali.
Anak-anak berganti pakaian dengan gerakan patah-patah. Makan siang yang
ganjil. Hanya menatap kosong hamparan hidangan di atas meja. Jasmine malah
menangis saat aku menawarinya sup jagung. "Ibu, Ibu suka sekali sup jagung!"
Dan aku kehabisan kata untuk membujuknya diam. Jasmine terisak sambil
menelan sesendok demi sesendok sup jagung itu. Seperti prosesi kesedihan.
Anggrek menggurat tekstur hiasan piring dengan ujung jemarinya. Aku
menghela napas. Kebiasaan buruk itu kembali lagi. Sakura bergeming di atas
kursi roda. Menyentuh gelas air minum pun tidak. Oma ada di kamarnya. Tadi
Rosie sempat memukul paha Oma kencang. Oma perlu beristirahat, lebih untuk
mengistirahatkan hatinya yang terguncang. Rosie dibaringkan di kamar. Tertidur,
tepatnya masih belum sadarkan diri. Dua orang pelayan khusus ditugaskan
menungguinya. Aku kali ini berusaha menjauhkan anak-anak dari Rosie.
Kesedihan itu akan semakin besar kalau anak-anak melihat langsung wajah
ibunya di atas tempat tidur.
Makan malam juga terasa ganjil. Musnah sudah kegembiraan Jasmine dan
Anggrek dua hari terakhir. Wajah yang riang mengemudikan kapal cepat.
Berteriak-teriak senang ketika kapal meliuk. Musnah sudah kegembiraan Sakura
saat di atas helikopter tadi. Mendung itu menggelayut semakin pekat. Dan kali
ini aku hanya bisa menghela napas panjang, benar-benar tidak tahu hingga kapan
semuanya akan membaik. Tadi Mitchell menjelaskan banyak hal. Aku tahu Mitchell berusaha memilih
padanan kata yang baik. Kalimat-kalimat yang halus. Tetapi pesannya jelas
sudah, Rosie depresi hebat. "Kebahagiaan selama tiga belas tahun dengan
intensitas yang hebat itu kita ibaratkan seperti gelas panas. Nah, kejadian di
Jimbaran empat hari lalu seperti air es yang tiba-tiba dituangkan. Gelas itu
pecah, teman. Eh, maksudku untuk kasus Rosie mungkin belum pecah. Tetapi
jelas sudah gelas Rosie retak." Mitchell berkata pelan.
Aku mengusap wajah. Sunset di kejauhan, dengan Gunung Agung menjadi
latar belakang tidak lagi terlihat indah. Hampa. Kosong. Gelas itu retak.
Bukankah aku sudah berkali-kali memohon Rosie agar bertahan" Aku dulu juga
dalam situasi tertentu bahkan ingin menggilakan diri saat menatap langit-langit
kamar. Ingin menggilakan diri saat menyadari aku tidak akan pernah punya
kesempatan. "Apakah itu berarti Rosie akan sering berteriak-teriak tak terkendali seperti
tadi siang?" Aku bertanya cemas, takut dengan pertanyaan sendiri.
"Itulah kabar buruknya." Mitchell menjawab pendek.
Aku menelan ludah. Dan anak-anak harus melihat kejadian itu setiap hari"
Menggurat satu-demi-satu traumanya" Menonton"
"Apa yang harus kulakukan, Mitch?" Bertanya dengan suara bergetar.
Turis asal Inggris itu diam sejenak.
"Aku tahu semua ini berat bagi anak-anak. Semua ini seperti tidak adil.
Mereka baru saja kehilangan ayah, kehilangan janji kebahagiaan kanak-kanak.
Dan sekarang mereka harus melihat Rosie kalap, tidak terkendali. Berikan waktu
dua hari agar aku bisa mengamati dan mengambil kesimpulan. Kita berharap ini
semua hanya depresi temporer. Hanya sementara waktu. Kita berharap dua hari
ini ada kemajuan. Jika tidak, maafkan aku Tegar, kau harus membawanya ke
pusat rehabilitasi yang baik."
Aku menelan ludah. Apa yang Mitchel bilang"
Membawa Rosie ke mana"
Matahari merah di kaki cakrawala siap ditelan lautan.
Dua hari yang berlalu bagai dua ratus abad.
Esok paginya Jasmine dan Anggrek enggan berangkat sekolah. Mereka
memaksa menemani ibunya. Aku kehabisan kata untuk mencegah. Biarlah,
biarlah mereka menemani Rosie. Maka aku mengizinkan mereka libur.
Mengizinkan mereka tinggal di kamar Rosie.
Rosie kali ini tidak hanya diam.
Rosie entah apa pasalnya justru menatap mereka sambil menangis.
"Maafkan Ibu, Sayang. Maafkan Ibu kemarin yang memukulmu." Rosie
memeluk Jasmine erat-erat. Jasmine yang awalnya takut-takut. Melompat
memeluk ibunya. Mereka bertangisan. Anggrek juga memeluk ibunya. Mengusap matanya yang buncah oleh air
mata. Sakura yang duduk dikursi roda hanya bisa mengelus-elus jemari ibunya,
bahunya terguncang, membuat napasnya sesak sesaat, gips di kaki kirinya terasa
sakit. Lili digendong Putri. Hanya tertawa lucu melihat semua kejadian.
Pagi ini Rosie seperti pulih seperti sedia-kala. Ia bisa bicara lebih banyak.
Menangis lagi saat melihat bekas pukulan sapu ijuk kemarin di kepala Jasmine.
Memeluk mereka berkali-kali. Bertanya banyak hal. Aku menghela napas,
bingung, meski lega. Apakah Rosie sudah kembali normal" Secepat itukah"
Apakah kejadian kalap kemarin membuatnya pulih" Entahlah. Aku justru takut
dengan banyak hal. Anak-anak menghabiskan hari berkumpul di kamar Rosie. Sakura memangku
si Putih. Sakura menatap wajah ibunya lamat-lamat. Rosie jatuh tertidur
menjelang tengah-siang, mungkin lelah. Mitchell memenuhi janjinya. Ia
melupakan semua jadwal diving yang harus dilakukan. Setiap dua jam
mendatangi kamar Rosie. Melakukan kontrol.
"Berharap sajalah akan seperti ini terus, Tegar. Aku belum bisa menyimpulkan
apa pun. Tunggu satu hari lagi. Kau tahu, aku spesialis anestesi, bukan kelainan
jiwa. Perkembangan ini entah buruk, entah baik, aku belum tahu. Kau harus
waspada, kita tidak ingin Rosie tiba-tiba kalap memukul siapa saja yang ada di
dekatnya." Mitchell mengangkat bahu saat aku bertanya tentang kecemasanku.
Anak-anak makan siang di kamar Rosie. Rosie sempat terbangun, dan ia tidak
menolak saat Anggrek menyuapinya. Pemandangan yang mengesankan. Aku
menghela napas, tidak banyak berkomentar. Sementara Jasmine menyuapi Lili,
duduk di sebelahnya. Semua terlihat baik-baik saja. Makan malam juga di kamar Rosie. Anak-anak
memutuskan untuk tidur di kamar Rosie. Aku membiarkan. Sudah dua malam
tidak ada jadwal mendongeng buat mereka. Dalam situasi seperti ini anak-anak
pun mungkin malas mendengarkan cerita.
Malam itu saat mereka akhirnya jatuh tertidur aku menelepon banyak orang.
Clarice tertegun lama saat aku menceritakan kejadian Kamis siang. "Buruk".
Buruk sekali nasib Rosie." Clarice mendesah, "Kau bisa memintaku melakukan
banyak hal, Tegar. Apa aku perlu mengirimkan psikiater yang baik dari
Denpasar?" Aku mencegahnya, biarkan Mitchell yang menangani sementara waktu,
"Mitchell hanya tahu soal pembiusan dan sepak-bola, Tegar. Rosie
membutuhkan bantuan ahlinya." Clarice memotong, tentu Clarice mengenal
Mitchell, mereka juga teman dekat.
Menelepon Frans, "Maaf, sepertinya aku harus memperpanjang cuti kerja,
Frans." Langsungmembicarakan pokok permasalahan. Frans mencoba
membesarkan hati, "Kau punya cuti tak terbatas hingga sebulan, Tegar. Bos
sedang senang. IPO perusahaan klien kau berjalan lancar. Besok pagi aku bilang
ke dia, kau masih liburan."
Menelepon penjaga rumahku di Kemang. Memintanya memastikan banyak
hal. Hanya lima menit, dan aku mendiktekan banyak pekerjaan yang tak akan
habis dikerjakannya selama lima hari, termasuk menghubungi tukang. Aku
merencanakan merenovasi rumah itu enam bulan lalu, agar siap dihuni bersama
Sekar setelah menikah. Setelah termenung setengah jam, menatap bulan yang semakin sabit di
angkasa, bintang-gemintang. Menatap hutan di depan resor yang dipenuhi
kunang-kunang. Mendengar debur ombak menerpa pantai. Aku memutuskan
berjalan-jalan di atas pasir halus. Menggulung celana. Aku akan menelepon
Sekar sambil melangkah di sepanjang bibir pantai. Itu akan membuat suasana
percakapan lebih rileks. Dua hari ini aku tidak menelepon Sekar. Percakapan terakhir yang ganjil,
dipenuhi kecemasan membuatku enggan menelepon. Khawatir hanya
memperburuk keadaan. Tapi kejadian kemarin siang, dan kemungkinankemungkinan buruk yang bisa terjadi membuatku harus menelepon Sekar.
Seganjil apa pun pembicaraan yang akan terjadi, Sekar harus tahu. Semoga gadis
itu belum tertidur. Lima kali nada panggil. Tidak ada jawaban.
Sebelas kali. Aku menghela napas kecewa, bersiap memutus.
"Malam." Suara Sekar terdengar pelan.
"Malam, kekasihku yang cantik." Aku menyapa seriang mungkin. Mencoba
membuat suasana terasa nyaman.
Senyap. Sekar tidak menjawab.
"Kau sudah tidur?"
"Belum" "Kau tidak mengantuk?"
Sekar lagi-lagi tidak menjawab. Sekar jauh dari mengantuk. Sebenarnya ia
enggan mengangkat telepon barusan.
"Kau tidak bisa tidur malam ini?" Aku bertanya, pelan.
"Bukankah kau sudah tahu" Aku selalu tidak bisa tidur sepanjang tahun.
Cemas dengan hubungan kita. Cemas dengan janji-janji yang kau berikan."
Sekar menjawab cepat. Perutku langsung melilit. Terdiam. Lama. Hingga langkah kakiku tiba di
ujung pulau Gili Trawangan. Berbalik arah lagi.
"Maafkan aku, Sekar."
Senyap. Seekor burung hantu melenguh. Sekejap, terbang bersama
pasangannya dari pohon tinggi. Aku menatap siluetnya di bawah bayangan
cahaya bulan. Baiklah, Sekar mungkin tidak senang mendengarnya, tapi aku
harus bilang kemungkinan-kemungkinan itu.
"Kemarin siang Rosie berteriak kalap. Mengamuk." Aku menelan ludah,
mencari pilihan kata yang baik seperti Mitchell tadi sore, "Dia ibarat gelas retak
sekarang. Eh, maksudku, dia depresi, "
Sekar terdengar menghela napas.
"Anak-anak menangis saat melihat ibunya berteriak-teriak. Jasmine sempat
terkena pukulan Rosie," Aku terhenti sejenak. Menyakitkan mengingat
bagaimana Rosie tega memukul anaknya sendiri. Sekar juga terdengar
mengeluh-Seberapa pun ketidaksukaan Sekar mendengar nama Rosie, cerita ini
pasti membuatnya bersimpati, meskipun Sekar jelas tidak akan bersimpati
dengan akibatnya. "Aku cemas aku tidak bisa pulang Senin besok." Aku berkata lemah. Menelan
ludah. Sekar hanya diam. "Aku harus memastikan Rosie baik-baik saja. Aku tidak mungkin
meninggalkan anak-anak kalau ibunya masih tidak terkendali. Kau bisa
membayangkannya, bukan" Ada turis yang kebetulan berprofesi dokter
menangani Rosie, dia bilang tergantung besok. Kalau besok Rosie baik-baik
saja, maka depresi itu tidak serius. Aku bisa pulang minggu depan, Selasa atau
Rabu. Tetapi kalau terjadi sesuatu yang serius, mungkin aku baru pulang dua
minggu lagi." Aku mencoba menjelaskan.
Sekar masih diam. "Apa pun yang terjadi, aku janji akan pulang secepat mungkin. Kita akan
segera menikah. Semua baik-baik saja."
Senyap. "Aku mencintaimu, Sekar."
Sekar menghela napas, "Selamat malam."
Masalahnya dalam urusan seperti ini, terkadang yang terburuklah yang terjadi.
Aku yang menjelang subuh akhirnya jatuh tertidur, mendadak dikagetkan
dengan suara teriakan dari kamar Rosie. Refleks loncat dari sofa. Sialan, kakiku
tersandung kabel laptop. Laptop itu tidak jatuh, kabelnya terjepit di kaki meja,
akulah yang berdebam jatuh dengan dahi menghajar ujung meja.
Jasmine menjerit ketakutan. Anggrek berteriak memanggilku. Aku bangkit
dengan langkah terhuyung. Dahiku terasa sakit, berusaha tidak
mempedulikannya. Ada sesuatu yang membuatku lebih cemas. Berderap
menaiki anak tangga. Dua pelayan yang kebetulan tinggal bersama kami di resor
juga ikut berlarian ke lantai dua. Aku mendorong pintu kamar. Berdebam
terbuka. Terperanjat. Anak-anak mencicit ketakutan di pojok kamar. Sementara Rosie seperti dua
hari lalu, terlihat tertawa berderai, seperti tidak kenal siapa pun, di tengah kamar,
memegang kepingan vas bunga, mengarahkannya seperti sebilah belati.
"Pergi! Semua Pergiiii!!" Rosie berteriak kalap.
Tanpa pikir panjang, aku melompat di tengah-tengah mereka, menahan
gerakan tangan Rosie yang bersiap memukul anak-anaknya. Jasmine terus
menjerit-jerit ketakutan.
"Anggrek, panggil Om Lian dan Mitchell!" Aku meneriaki Anggrek yang
pias. Gadis kecil itu tergopoh-gopoh berdiri. Mukanya tegang.
Aku berhasil menangkap tangan Rosie yang memegang vas Rosie mencakar
wajahku dengan tangan kirinya yang bebas. Aduh, habis terkena ujung meja,
dahiku juga yang tergores kuku-kuku tajam Rosie.
"Ros! Ini aku! TEGAR!" Aku membentak Rosie. Rosie hanya tertawa,
menatap galak. "Ros-" Rosie berhasil menarik kaosku, leherku tersedak. Ya Tuhan, percuma semua
kemajuan tadi malam. Bukankah Rosie terlihat terkendali" Menatap penuh
perhatian anak-anaknya bercerita. Sekarang" Aku semakin tersengal, kesulitan
bernapas, baiklah, aku tidak punya pilihan. Tanganku sigap menelikung Rosie.
Lantas mendorongnya jatuh ke atas ranjang. Maafkan aku, Ros, kau bisa
membuatku kehabisan napas. Aku membanting Rosie.
Jasmine menjerit, hendak memisahkan. "Aku mohon, Ros. Sadarlah, ini aku,
Tegar!" Rosie mendengus, tubuhnya terus meronta. "Tetap di sana, Jasmine.
Jangan ke mana-mana." Aku berteriak.
Langkah kaki Jasmine terhenti, ia menangis, menatap kami nanar.


Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua menit berlalu, Mitchell yang masih memakai piyama dan Lian yang
memakai celemek bergegas masuk kamar, disusul pelayan lain. Rosie sudah
tersungkur kehabisan napas, tersengal satu-dua, keringat mengucur deras dari
tubuhnya. Aku meregangkan pegangan, menatap prihatin, sedih, tegang, takut,
entahlah. Semua ini buruk.
Pagi yang buruk. Anggrek membimbing Jasmine keluar ruangan. Oma melangkah masuk,
menatap sisa keributan, menghela napas tertahan. Rosie tertelentang di atas
ranjang. Matanya redup menatap langit-langit. Kelelahan. Aku membiarkannya.
Pelayan membereskan vas bunga yang hancur berkeping-keping.
"Ini serius, Tegar. Benar-benar serius." Mitchell mengusap dahinya, dengan
cepat memeriksa tubuh Rosie.
Aku menggigit bibir. Apa yang harus kulakukan"
"Kita tidak punya banyak waktu. Rosie harus segera dibawa ke pusat
rehabilitasi. Ini jelas kegagalan pengenalan diri atas lingkungan sekitar. Semakin
lama tidak ditangani semakin berbahaya. Gejala khas depresi akut. Rosie tidak
mampu membedakan mana yang nyata mana yang tidak, kesedihan itu menarik
pikirannya ke dalam pengertian baru akan realita keseharian. Rosie tidak tahu
lagi mana desah riang, mana tarikan napas panjang lega. Semua menjadi
simbolisasi yang merenggut kebahagiaannya."
Aku mengusap dahiku yang terluka, mengeluh. Entahlah Mitchell
menjelaskan apa, yang aku mengerti dengan cepat adalah urusan ini memang
serius. Tidak mungkin lagi membiarkan Rosie menyakiti anak-anaknya.
Melihatnya kalap berteriak anak-anak sudah terganggu secara psikis, apalagi
menyaksikan ibu sendiri yang selama ini menyenangkan, tiba-tiba
mengacungkan beling vas bunga tajam, mengancam.
Aku mendekati Oma. Berbicara sebentar dengannya. Keputusan-keputusan
yang segera diambil. Oma menatapku terluka. Bagai timbunan gunung, gundahgulana itu terlihat jelas di mata tuanya, keriput wajah yang semakin tua Rosie
harus segera dibawa ke Denpasar. Hanya di sana pusat rehabilitasi dengan
fasilitas baik, dokter baik dan penanganan terapi teruji. Tidak di Mataram.
Oma menyeka matanya yang basah. Mengangguk. Aku menyentuh bahunya.
Berbisik tentang janji kesembuhan. Memeluknya. Oma tergugu di bahuku. "Kau
baik sekali, Tegar. Selalu baik dengan Rosie. Kau seharusnya pulang ke Jakarta,
kau punya janji kehidupan di sana. Bukan di sini, Nak." Aku tersenyum getir.
Tidak. Urusan ini tidak ada kaitannya dengan masa lalu itu. Oma seharusnya
mengerti, semua sudah usai. Aku hanya menunaikan tugas sebagai sahabat yang
baik. Pagi itu juga Rosie dibawa ke Denpasar. Aku belum sempat bicara dengan
anak-anak. Nanti-nanti bisa diurus. Meraih telepon genggam di saku, menekan
nomor telepon Clarice. Kali ini aku butuh bantuannya; lagi, dan lagi. Entah apa
yang bisa kulakukan tanpa Clarice. Hanya perlu menyebutkan satu kalimat
permintaan, Clarice langsung bilang iya. Tidak perlu penjelasan. Tidak perlu
prolog. "Smith akan segera menyiapkan helikopter. Aku akan menjemput Rosie
sekarang, Tegar. Kau tidak usah cemas." Clarice membesarkan hatiku. Aku
menyeringai getir, bahkan suara Clarice tidak seyakin biasanya. Tidak cemas"
Semua kesedihan ini tidak berkurang sejengkal pun.
Lima puluh menit berlalu, kelepak baling-baling helikopter terdengar di luar.
Penduduk Gili Trawangan yang sebenarnya sudah biasa dengan helikopter dan
pesawat kecil yang bisa mendarat di air tetap berkerumun, ingin tahu, menebaknebak. Turis-turis berkerumun di halaman resor. Tidur pagi mereka pasti
terganggu, biasanya mereka baru bangun pukul 08.00-an, lantas memulai
aktivitas liburan. Maafkan, seminggu ini acara berlibur mereka terganggu
banyak oleh segala kejadian.
Clarice loncat dari helikopter. Bersalaman denganku. Menepuk bahu. Aku
melangkah di depannya, menuju kamar Rosie. Bersiap melakukan evakuasi.
Rosie tidak banyak melawan. Ia menurut saja dibimbing Clarice, malah
sempat menangis saat bertemu dengannya, "Maafkan aku, Clare. Aku merusak
semuanya. Aku menyakiti anak-anak." Aku menggigit bibir. Benar-benar
inkonsistensi perilaku. Saat kakiku hendak menuruni anak tangga resor,
membimbing Rosie menuju helikopter, Jasmine yang sejak tadi hanya menonton
semua kejadian di pojok ruang depan resor bersama kakak-kakaknya dan Oma,
mendadak berlari menarik bajuku dari belakang.
"Paman! Paman! Ibu mau dibawa ke mana?" Jasmine menuntut penjelasan,
sekarang juga, tidak pakai nanti-nanti. Ada denting kristal di matanya. Aku
menelan ludah, menyuruh Clarice membawa Rosie menaiki helikopter, berpikir
sejenak, lantas duduk jongkok, menyentuh bahunya lembut.
"Ibu harus ke rumah sakit, Jasmine."
"Jasmine tidak mau Ibu pergi!" Gadis kecil itu bersiap menumpahkan segala
kesedihan. Sakura, yang sudah dipindahkan ke kursi roda, pelan menggerakkan
kursinya, ikut mendekat. Juga Anggrek.
"Ibu tidak pergi lama, Jasmine, Ibu hanya perlu berobat. Eh, mungkin hanya
disuntik," Aku mencoba tertawa, getir.
"JASMINE TIDAK MAU IBU PERGI!"
"Jasmine, dengarkan Paman!" Aku mencoba menenangkan.
"IBU TIDAK BOLEH PERGI!!"
Astaga, aku mengusap dahi, menghela napas panjang. Jarang sekali anak-anak
berteriak di hadapanku, mereka selalu bisa kukendalikan.
Pecah sudah kesedihan itu. Jasmine menangis kencang-kencang. Kakinya
menghentak-hentak lantai resor. Aku menghela napas, mendongakkan kepala.
Urusan ini menvakitkan sekali, Tuhan. Aku mohon, kuatkan seluruh perasaanku
menyaksikan ini semua. "Baiklah. Jasmine boleh ikut menemani Ibu ke rumah sakit!" Aku tidak bisa
berpikir panjang, mengangguk.
"Sakura juga. Sakura ingin ikut, Uncle." Sakura ikut merengek.
"Tidak. Sakura tetap di sini." Aku mendesis pelan.
"SAKURA MAU IKUT!" Sakura berteriak, bandel. Aku menelan ludah.
Urusan ini. Dan pagi itu, pagi itu aku menyaksikan satu kebaikan-Mu, Tuhan. Satu
kebaikan yang menyelip di antara semua kejadian menyakitkan seminggu
terakhir. Janji masa-depan yang hebat. Janji masa-depan yang esok-lusa
membuatku bertahan atas segala kejadian ini. Aku tidak tahu bagaimana
Anggrek melakukannya. Gadis kecil itu baru berumur dua belas. Tetapi gadis
kecil itu melakukan hal yang sungguh mengesankan. Ia mengambil alih urusan.
Anggrek tidak berkata banyak. Gadis kecil itu hanya melangkah pelan,
memegang bahu Sakura, menatap lamat-lamat wajah adiknya, lantas berbisik,
"Om Tegar sudah bilang, Sakura harus tinggal." Wajah yang amat memesona.
Mereka bersitatap sekejap, dan wajah menggelembung marah Sakura padam,
menunduk. Aku bergegas menggendong tubuh Jasmine. Melangkah ke halaman resor.
Berbicara sebentar dengan Oma. Memerintahkan Lian mengambil alih urusan
resor sepanjang aku belum pulang. Mengangkat tubuh Jasmine naik ke atas
helikopter. Loncat. Menutup pintu. Smith tak bosan untuk ke sekian kalinya
melambaikan tangan memberi salam tentara, aku mengangguk pelan. Clarice
bilang semua oke, siap berangkat, dan helikopter itu meluncur ke angkasa ketika
Smith menarik tuas kemudi. Disaksikan penduduk Gili Trawangan yang
mendesah prihatin. Sakura yang tetap tertunduk di kursi rodanya. Anggrek yang
sudah menggendong Lili. Oma yang berpegangan di bingkai pintu.
Helikopter membawa Rosie pergi.
9. KAU TERLALU MENCINTAINYA
Clarice tidak sedang berbohong ketika ia bilang punya kenalan dokter
spesialis kejiwaan yang hebat. Helikopter itu tidak mendarat di Denpasar.
Helikopter itu mengarah ke utara, mengarah ke situs GWK, mendekati sekitaran
pantai dreamland. Di situ ada shelter. Sebutan lain untuk pusat rehabilitasi
kejiwaan. Milik sebuah yayasan. Setelah kuingat-ingat, aku pernah
mendengarnya dari kalimat-kalimat Frans saat bergurau tentang rekan kerja yang
stres. Masalahnya dulu aku tidak menyadari kalau Frans berkata serius. Aku
pikir semua ucapannya hanya gurauan, selingan dari penatnya pekerjaan kantor.
Shelter itu tidak besar. Tidak juga kecil. Bentuknya malah mirip resor, pilihan
yang bagus untuk berakhir pekan. Nyaman. Ada lima bangunan di tanah seluas
satu hektare. Satu yang paling besar terletak persis di tengah. Taman bunga
terlihat indah di tengah hamparan rumput hijau yang terpotong rapi, seperti
lapangan bola ukuran mini. Aku mengusap wajah, sambil sejak lima puluh menit
lalu terus memeluk kepala Jasmine, yang sibuk menatap sedih wajah kosong
ibunya sambil memainkan ujung baju.
"Apa Rosie harus dibawa ke sana?" Aku mendesah pelan.
Clarice yang duduk di depanku menoleh, tersenyum, ia mengerti benar
maksud pertanyaanku. Bagaimana mungkin Rosie dibawa ke pusat rehabilitasi
mental" Bukankah ia hanya depresi" Tidak gila.
"Tempat itu bukan hanya untuk menangani orang-orang tidak beruntung,
Tegar," Clarice memilih istilah yang lebih halus, "Percaya atau tidak, saat Ethan
meninggal dunia, aku juga menghabiskan waktu dua minggu di sini.
Menenangkan segala penat. Tempat yang bagus untuk membuat pikiran jernih,
memusatkan energi, dan semacamnya. Percayalah, tempat ini sama seperti
tempat relaksasi lainnya, kau seharusnya tidak terlalu risih melihatnya."
Aku menelan ludah, menatap Rosie yang duduk di sebelah. Wanita berumur
tiga puluh lima tahun itu hanya menatap kosong, tanpa ekspresi. Tangan kananku
merengkuh bahunya. Rosie menoleh. Aku tersenyum, "Kau akan baik-baik saja,
Ros." Berbisik pelan.
Jasmine masih memainkan ujung bajunya.
Smith mendorong tuas kemudi ke bawah. Helikopter yang mengambang
sejenak di atas halaman shelter perlahan bergerak turun.
"Berdoalah ini semua tidak akan lama. Berdoalah Rosie cepat pulih." Clarice
melepas sabuk-pengaman, tersenyum, membuka pintu.
Beberapa perawat shelter berlarian mendekati helikopter. Membantu
menurunkan Rosie. Clarice sudah menelepon kenalannya bahkan sebelum
berangkat menjemput ke Gili. Aku menggendong Jasmine, membantunya turun,
lantas berjalan menuju bangunan paling besar sambil menggenggam erat
jemarinya. Mata Jasmine penuh pertanyaan. Sayang, aku juga punya sejuta
pertanyaan yang belum terjawab. Jadi kami melangkah dengan diam, mengikuti
perawat yang memapah Rosie. Langkah-langkah kecil.
Kalau saja urusan ini lebih menyenangkan, pemandangan di tempat
rehabilitasi ini bukan main, persis terletak di tubir pantai yang berbentuk cadas
setinggi tiga puluh meter, dan di bawah cadas itu, terbentang hamparan pasir dan
ombak yang silih-berganti berdebam menghantam dinding jurang. Halaman
shelter dipenuhi bunga-bunga indah dengan pohon cemara yang tertata rapi.
Shelter ini tidak terpencil, sepelemparan batu di dekatnya, rumah-rumah
penduduk dengan bentuk khas berjejer rapi. Gapura berwarna keemasannya
terlihat elok. Berpadu dengan kabut yang masih mengambang di sela-sela pohon.
Sepagi ini, perkampungan yang dibelah jalan raya besar tersebut lengang.
Hanya suara kayu sedang diukir yang terdengar, atau nyanyian ritual sesaji, atau
senandung anak gadis yang menyiapkan keperluan rumah. Asap mengepul dari
dapur-dapur. Bergabung dengan kabut. Aku menghela napas. Seharusnya ini jadi
tempat berakhir pekan yang nyaman, bukan tempat rehabilitasi mental.
Clarice mengenalkanku pada dokter hebat itu.
Aku menelan ludah. Kupikir laki-laki, ternyata wanita. Kupikir tua, wajahnya
terlihat serius, kacamata tebal, ekspresi muka kaku, pakaian putih, dan entahlah.
Ternyata masih muda, tidak jauh denganku. Cantik. Aku sedikit kebas melihat
wajahnya. Tidak ada kacamata. Wajahnya tersenyum, berpakaian seperti
layaknya wanita yang sedang menghabiskan waktu menikmati pantai di senja
hari. Namanya Ayasa. Dokter Ayasa.
Sepertinya Clarice sudah menjelaskan banyak hal sebelum kami tiba. Dokter
itu tidak banyak bertanya, lembut menerima Rosie dari tangan perawat.
Membimbingnya masuk ke ruangan kerjanya. Ruangan itu luas. Dipenuhi
dengan sofa pasir berbentuk seperti tumpukan batu. Sofa yang berubah bentuk
saat duduk di atasnya, mengikuti bentuk tubuh.
"Anak manis, siapa namamu?" Ayasa menyentuh lembut Jasmine, memecah
keheningan sesaat saat semuanya sudah masuk ruangan.
Rosie duduk di salah satu kursi. Menatap datar.
Jasmine yang duduk di pangkuanku menyeringai, tidak merasa ditanya. Aku
menepuk bahunya. Jasmine menatap wajah Ayasa lamat-lamat, pelan menyebut
nama. "Kau mau segelas cokelat panas?" Ayasa bertanya.
Sebelum Jasmine menggeleng atau mengangguk, ia sudah menyuruh salahseorang perawat menyiapkan minuman itu.
"Dan siapa pemuda ini?" Ayasa bertanya kepadaku, tersenyum, bergurau,
"Apakah ini Paman, Uncle, Om yang hebat itu?" Ayasa menatap Clarice.
Clarice tertawa kecil. Mengangguk.
Aku sedikit menyumpahi Clarice. Ia bercerita terlalu banyak.
"Aku amat prihatin dengan situasi ini." Ayasa menangkupkan tangannya,
melupakan gurauan barusan, "Dan kau, kau harus melihat semua hal
menyedihkan ini, bukan." Ayasa menatap lembut Jasmine.
"Boleh Bibi memelukmu" Ah ya kau mau memanggil Bibi, bukan?" Ayasa
turun dari sofa, mendekati Jasmine, jongkok di hadapannya.
Aku menepuk bahu Jasmine lagi. Jasmine bingung. "Boleh Bibi memelukmu,
Jasmine?" Jasmine menoleh kepadaku. Ragu-ragu. Aku juga tidak mengerti.
Tangan Ayasa sudah terjulur. Aku mencium rambut Jasmine, berbisik, tidak apaapa. Jasmine turun dari sofa. Ayasa tersenyum tulus, lantas merengkuhnya eraterat. Mengelus rambut ikal Jasmine.
Esok-lusa aku baru tahu kalau pelukan itu salah-satu terapi yang penting, yang
sekaligus membuatku yakin, Ayasa benar-benar dokter yang hebat. Jasmine
memerlukan kepercayaan besar. Jasmine tidak mengerti banyak, tetapi ia tahu,
ibunya akan tinggal di shelter ini. Jasmine tidak mengerti definisi depresi akut
yang menimpa Rosie, tapi Jasmine tahu ibunya akan sendiri. Jasmine harus
mempercayai kalau tempat ini memberikan janji kesembuhan bagi ibunya, dan
pelukan Ayasa menjadi simbol yang indah.
Perawat datang mengantarkan lima gelas cokelat panas. Sejauh ini Ayasa
belum mengajak bicara Rosie, hanya mengamati selintas. Ia lebih asyik bertanya
pada Jasmine, sekali-dua bertanya padaku, lebih sedikit bertanya pada Clarice.
Satu jam berlalu cepat, gelas cokelat Jasmine sudah habis.
"Baiklah, kita akhirnya tiba di bagian yang tidak menyenangkan." Ayasa
tersenyum ke arah Jasmine, "Jasmine, seperti yang kau bisa tebak, ibumu harus
tinggal di sini. Bersama Bibi Ayasa. Kau bisa menitipkan ibumu ke Bibi,
bukan?" Jasmine refleks hendak menggeleng. Aku mengusap rambut ikalnya. Jasmine
menoleh padaku, menoleh, menatap lama ibunya yang masih tepekur kosong.
Menunduk. Aku menghela napas lega. "Terima kasih, Sayang." Ayasa meraih jari kecil Jasmine. "Bibi janji, akan
mengurus ibumu dengan baik. Tetapi Bibi tidak tahu hingga kapan ibumu harus
tinggal di sini. Nah, selama ibumu tinggal di sini, kau akan terus menjadi anak
yang baik. Kau akan memberitahu Kak Anggrek, Kak Sakura, Lili, dan Oma
kalau ibumu tinggal bersama Bibi Ayasa. Kalian bisa mengunjunginya kapan
saja, nanti Bibi Ayasa siapkan cokelat panas, lezat bukan" Tidak ada yang bisa
mengalahkan cokelat milik Bibi Ayasa." Ayasa tersenyum.
Aku menelan ludah, menatap Ayasa lamat-lamat. Ternyata ia amat pandai
mengendalikan anak-anak. Setengah jam kemudian habis untuk mengurus berkas-berkas. Mengantar
Rosie menuju kamarnya. Kamar yang indah. Meski tetap saja risih memikirkan
Rosie akan menginap di sini. Di shelter. Tak pernah terbayangkan.
Jasmine memeluk erat ibunya saat pulang. Rosie membalas pelukan itu.
Menatap sedih anaknya. Tidak. Jasmine tidak menangis. Jasmine hanya
menyeka ujung matanya yang berair. Setelah merajuk sebelum berangkat tadi,
setelah melihat banyak potongan penjelasan, terutama dari Ayasa, setelah
berpikir, Jasmine bisa merangkai sebuah penjelasan yang lebih baik.
Pengelana Rimba Persilatan 10 Pendekar Slebor 22 Manusia Pemuja Bulan Pendekar Mata Keranjang 5

Cari Blog Ini