Ceritasilat Novel Online

Sunset Bersama Rosie 4

Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye Bagian 4


ibunya. Malam itu hanya sepotong ini pembicaraan kami.
Besok siang saat kapal cepat yang dikendalikan bujang merapat di Gili
Trawangan, pesawat kecil itu juga sudah tertambat di dermaga. Mengapung
anggun di atas beningnya permukaan air. Clarice sudah tiba. Lebih cepat sehari
dari jadwalnya. Aku buru-buru melompat dari kapal cepat. Tersenyum.
Sepertinya sama denganku, Clarice persis baru saja tiba. Beberapa pelayan
sedang membantu menurunkan ransel dan kotak peralatan penelitian. Tiga turis
membantu mereka. Satu orang amat kukenali. Melambaikan tangan,
memberikan hormat ala militer. Smith. Aku tertawa. Balas melambai. Mendekat.
"Ada yang bisa kubantu?"
"Semua sudah beres, Mr. Tegar." Smith mengangkat bahu.
Berdua melangkah menuju halaman resor.
"UNCLE! UNCLE! Bibi Clare sudah tiba!" Sakura yang pertama kali
melihatku berteriak. Anak-anak sedang mengerubuti Clarice, menoleh.
Aku berlari-lari kecil, meniru kebiasaan Sakura kalau sedang senang. Sakura
mendekat, memamerkan komik baru. Aku mengusap rambut berkepang Sakura,
mendekati Jasmine dan Lili yang sibuk memamerkan oleh-oleh cokelat besar.
"Selamat datang, Clare. Seperti biasa kau sempurna mendapatkan perhatian
anak-anak dengan cokelat-cokelat ini." Aku bergurau.
"Ah, ini dia Paman Terhebat." Clarice menjulurkan tangan.
Bersalaman hangat. Aku berbisik terima-kasih banyak atas segala bantuannya
selama ini. Clarice tersenyum. Hampir dua tahun Clarice tidak datang kemari.
Selama ini kami hanya berhubungan dengan email. Begitu juga anak-anak. Bibi
Clare bilang, terlalu riskan melanjutkan penelitian di Indonesia tahun-tahun
terakhir. Bukan soal bom di Jimbaran itu, tetapi kondisi hubungan kedua negara
memburuk menyusul isu jaringan terorisme, penyelundupan narkoba, suaka
politik dan sebagainya. Sekarang mereka datang lagi. Melanjutkan riset ekologi yang tertunda. Clarice
ditemani dua peneliti senior dari yayasannya.
"Kau menunaikan janjimu, Tegar. Bukan main. Anak-anak tumbuh
memesona. Ini Lili, bukan" Aduh manisnya. Masih ingat dengan Bibi Clare"
Sini Sayang, peluk Bibi." Clarice jongkok. Lili ragu-ragu mendekat. Mukanya
memerah, tersipu. Tetapi melihat kakak-kakaknya akrab, Lili pelan melangkah,
ragu-ragu memeluk Clarice.
"Kau memanggil Tegar apa, Sayang?"
Mata Lili berkerjap-kerjap. Menatapku. Menatap Clarice.
"Panggilan kesayanganmu untuk Tegar apa" Paman" Om" Atau Uncle seperti
Kak Sakura?" Clarice tersenyum, memperbaiki pertanyaannya.
Lili menatapku lamat-lamat.
"Lili memanggil Paman dengan semua panggilan, Bibi." Jasmine membantu
menjelaskan, sudah membuka batang cokelat besarnya.
Aku tertawa. Clarice tidak tahu kalau Lili masih enggan bicara dengan siapa
pun. "Bibi, Bibi kita jadi boleh ikut ke Segara Anakan, kan?" Sakura menggoyanggoyang bahu Clarice, membahas topik lain.
Clarice tertawa, melepaskan pelukan ke Lili. Mengangguk. Sakura berteriak
senang, yes. Sesuai rencana, Clarice dan tim-nya akan menghabiskan waktu seminggu di
Danau Segara Anakan. Anak-anak ikut bermalam semalam. Itu janji Clarice
lewat email. Aku menyeringai melihat wajah berbinar-binar Sakura. Urusan ini,
bisa-bisa pesawat Clarice dirantai Sakura ke tonggak dermaga kalau Clarice
menarik janjinya. "Bagaimana kabar Rosie?" Clarice berdiri, bertanya. "Kabar baik, eh, lebih
dari baik maksudku. Enam minggu lagi dia sudah boleh pulang."
"Well, itu benar-benar kabar yang hebat. Dua tahun yang panjang. Tetapi
kalian bisa melewatinya. Kau benar-benar teman yang baik, Tegar. Sahabat yang
baik. Paman yang baik. Meninggalkan banyak hal di Jakarta untuk membantu
Rosie, mengurus anak-anak, mengurus resor." Clarice menyentuh lenganku.
Memberikan tatapan penghargaan.
Aku tersenyum. Clarice tidak pernah menghitung perannya dalam kisah ini.
Kalau mau jujur mungkin ia jauh lebih baik dibandingkan siapa pun. Karena ia
bukan siapa-siapa bagi keluarga ini. Hanya kenalan.
"Ayo, Bibi Clare, jangan berdiri di halaman terus." Jasmine menjulurkan
tangan. Clarice mengangguk, kami melangkah menaiki tangga resor.
Di ruang depan, Oma memeluk Clarice erat-erat.
Malam itu Lian menghidangkan menu istimewa. Dua api unggun menjilat-jilat
langit. Meja-meja dipenuhi cumi bakar raksasa. Clarice menjadi tamu istimewa
di antara belasan turis yang berkunjung. Ia mengenalkan dua rekan penelitinya.
Sakura seperti biasa sok-tahu bertanya banyak hal ke peneliti itu. Menganggukangguk sok-mengerti saat dijelaskan tentang vegetasi, keragaman flora-fauna,
dan seterusnya. Clarice sibuk mengajak bicara Lili, yang diajak bicara hanya mengangguk dan
menggeleng. Aku tertawa, "Lili tidak pernah bicara dengan siapa pun, Clare.
Kau akan menjadi keajaiban tersendiri kalau berhasil membuatnya bicara malam
ini." Dan Clarice ikut tertawa mengangkat bahu. Menyerah setelah lima belas
menit. Aku menceritakan banyak hal selama dua tahun terakhir padanya. "Ah, kalau
begitu mainkan, Sayang. Ayo mainkan biolanya." Clarice berseru antusias ke
arah Sakura. "Jangan Bibi Clare, Kak Sakura kalau main biola nggak mau
berhenti." Jasmine dan Anggrek serempak memotong. Sakura melotot,
menimpuk Jasmine dan Anggrek dengan pipet. Aku tertawa. Menceritakan
tentang sekolah anak-anak, kenalan yang masih sering berkunjung, kabar Ayasa
dan shelter-nya, dan sebagainya.
Clarice tidak lama di Lombok. Hanya seminggu. Ia sibuk dengan
penelitiannya. Banyak pekerjaan yang tertunda. Dari Danau Segara Anakan,
mereka akan pindah ke Danau Kelimutu. Jadi hari ini hanya mampir di Gili
Trawangan untuk menjemput anak-anak.
Pukul 21.00 Lili menguap lebar. Anggrek mengajak adik-adiknya kembali ke
kamar. Sakura seperti biasa masih ingin terus di meja makan. "Besok pasti lelah,
Sakura. Tidur." Anggrek melotot. Sakura menyeringai sebal. Beranjak turun dari
kursinya. Jasmine sebelum pergi menarik tas plastik di bawah meja, tadi sengaja
disembunyikannya. Mengeluarkan rajutan syal, "Buat Bibi Clare."
Clarice terdiam sesaat menerima rajutan syal itu. Matanya bercahaya
membentangkan syal. Jasmine menyulam kalimat yang indah di syal itu, "I bless
the day I found you. Let it be me." Itu lagu kesukaan Clarice. Juga lagu
kesukaan Ethan, suami Clare yang meninggal tujuh tahun silam. Jasmine tidak
pernah tahu apa maksudnya. Hanya pernah mendengar sekali Bibi Clare-nya
bilang sekaligUs menyanyikan lagu tersebut. Jasmine menyulamnya dengan
indah. "Kau sungguh anak Rosie dengan hati paling baik " Clarice memeluk
Jasmine. Aku mengangguk. Mereka sungguh empat kuntum bunga yang baik.
Pesawat dengan kapasitas sepuluh orang itu sesak dipenuhi barang-barang dan
celoteh anak-anak. Baru berangkat lepas tengah hari. Clarice menunggu anakanak pulang dari sekolah. Anggrek, Sakura, dan Jasmine duduk berdekatan di
pojok depan pesawat. Lili duduk rapi di antaraku dan Clarice. Terlihat lucu
mengenakan topi gunung berwarna oranye. Lili sepanjang hari terlihat riang,
tidak sabaran menunggu kakak-kakaknya pulang, membawa sendiri ransel
kecilnya, memakai sendiri sepatu gunungnya.
"Siap berangkat, Nyonya Clarice." Smith memberikan kode.
Clarice mengangguk. Smith menekan tombol-tombol, memegang kokoh
kemudi. Pesawat mulai bergetar, berjalan pelan di atas air. Lampu-lampu di
kabin pesawat berkedip-kedip. Sakura sibuk mengamati. Dua peneliti ekologi
lainnya duduk di belakang bersama satu pemandu lokal. Berbicara tentang petapeta. Pesawat menambah kecepatannya.
"Apa perlu manuver F-16, Nona Sakura?" Smith bertanya riang.
"JANGAN!" Aku dan Clarice berseru serempak. Smith tertawa, hanya
bergurau, lantas perlahan menarik tuas kemudi. Moncong pesawat terangkat
naik. Dan sekejap, take-off, melesat ke birunya langit. Wajah Lili berkerjapkerjap antusias. Aku mengusap kepalanya, tertawa. Bagi Lili ini pengalaman
pertamanya terbang. Dua menit berlalu. Smith mematikan lampu tanda sabuk pengaman.
Aku melepas sabuk pengaman Lili. Membiarkan ia bergerak bebas di dalam
pesawat. Lili membalik badannya, duduk menatap pemandangan dari jendela
kaca, seperti biasa, Lili tidak banyak bicara. Jasmine yang menjelaskan banyak
hal, "Lihat! Lihat! Itu Gili Trawangan, keciiiil banget, kan." Lili menganggukangguk. Menunjuk Gunung Agung di kejauhan, potongan banyak pulau yang
menghampar, kota Mataram, dan Gunung Rinjani yang berdiri kokoh, tujuan
kami. Hanya perlu waktu tiga puluh menit. Pesawat yang dikemudikan Smith sudah
mendekati Danau Segara Anakan, Gunung Rinjani. Segara Anakan adalah
kaldera Gunung Rinjani, terletak di ketinggian tiga ribu meter. Siapa pun yang
mendaki Gunung Rinjani melalui rute Pos Senam, akan melewati Segara
Anakan. Pos terakhir sebelum naik lagi beberapa ratus meter, menjejak puncak.
Wajah Lili bercahaya melihat Segara Anakan yang mengepulkan uap. Kabut
menyelimuti hampir seluruh puncak gunung. "Sabuk pengaman, Nona Sakura."
Smith melambaikan tangan, menyalakan lampu tanda sabuk Pengaman. Anakanak bergegas kembali duduk rapi-terutama Sakura yang melongok sampai ke
kabin depan. Lili memasang sabuknya sendiri, menggeleng saat aku ingin
membantunya. Pesawat itu melintas dua kali di atas bentangan puncak Gunung Rinjani,
mencari lokasi pendaratan terbaik, lantas meluncur turun ke atas permukaan
danau. Smith lebih dari seorang pilot yang hebat, pesawat itu mendarat lembut di
atas hamparan air. Berputar sejenak menurunkan kecepatan, kemudian merapat
ke salah satu sisi danau. Dinding gunung dengan bongkahan batu besar-besar
sejauh mata memandang langsung terlihat memagari tepi-tepi danau Segara
Anakan. Pohon-pohon tinggi tumbuh subur dan lebat. Vegetasi tumbuhan
merambat menyulam tubir yang terjal. Lenguhan monyet yang bergelantungan di
tonjolan batu menyambut kedatangan. Juga dengking burung kuau dan ayam
hutan. Satu-dua terlihat berlompatan di sela-sela cadas.
Salah satu peneliti anggota tim riset Clarice melemparkan gumpalan plastik.
Menarik tombol pompa otomatisnya. Tiga puluh detik, tumpukan plastik itu
berubah menjadi perahu plastik besar berwarna oranye. Lili tertawa, menunjuk
topi gunungnya. Maksudnya sama warnanya. Aku menggendong Lili turun.
Anak-anak riang berlompatan ke atas perahu. Membawa ransel masing-masing.
Menyusul di belakang Clarice dan Smith. Mengayuh pelan perahu ke bibir
danau, hingga kandas. Berloncatan turun. Kami tiba di tepi danau.
Aku menghela napas. Menatap sekitar terpesona.
Sudah lama sekali kakiku tidak menjejak gunung ini. Menyentuh hangatnya
air Segara Anakan. Sungguh sudah lama. Lima belas tahun silam, sejak kejadian
itu. Anak-anak berlarian di pinggir danau. Anggrek memakaikan jaket tebal ke
Lili. Udara mulai terasa menusuk kulit, dingin. Sakura sok-tahu sibuk membantu
mendirikan tenda-tenda. Salah satu anggota peneliti tim Clarice tertawa
melihatnya. Menyuruhnya minggir. Sakura hanya membuat rusuh. Aku menatap
kejauhan. Menatap trek pendakian. Menghela napas lagi. Sepertinya tidak
banyak berubah. Masih seperti dulu. Mungkin pohon-pohonnya yang bertambah
tinggi, vegetasinya yang berubah, ada yang mati ada tunas yang tumbuh, tetapi
aku mengenali setiap jengkalnya.
Di sanalah tubuhku meluncur di gelapnya malam. Sesak dengan segalanya.
Terhimpit oleh beban perasaan. Di sanalah tubuhku merangkak, mencari
pegangan, tertatih melangkahkan kaki, mendesah dalam setiap helaan napas.
Lima belas tahun silam. Saat itu kepalaku dipenuhi dengan berjuta pertanyaan
yang sama: Apakah aku masih punya kesempatan. Tergugu berusaha menuruni
pucak Gunung Rinjani secepat kaki bisa membawa. Tersungkur di tepi danau ini.
Mencengkeram tanah. Meratap lemah. Menangis tanpa suara. Sungguh
menyakitkan. Hilang sudah harapan selama dua puluh tahun. Mimpi-mimpi yang
dirajut satu demi satu benangnya. Angan-angan yang disulam helai demi helai
motifnya. Hilang. Lili menarik celanaku. Aku menoleh. Gadis kecil itu menunjuk-nunjuk
beberapa monyet yang bergelantungan di dinding batu pegunungan. Aku
tertawa, "Itu kan monyet. Tidak apa-apa. Tidak jahat." Aku membaca eskpresi
muka gadis kecil itu. Lili juga menunjuk-nunjuk seekor burung yang terbang di
langit-langit danau. Besar dan anggun. Mengelepak seperti menarikan tarian
selamat datang. Lili menyeringai. Aku tersenyum. Benar, itu pemandangan yang
hebat, sungguh hebat, terima-kasih sudah memberitahu Paman.
Menjelang senja kemah-kemah sudah berjejer rapi. Ada tiga kemah. Besarbesar. Aku dan anak-anak satu kemah. Clarice sendirian dengan seluruh
peralatan penelitiannya. Satu kemah lagi untuk dua anggota tim riset, Smith, dan
pemandu lokasi. Salah satu peneliti itu mengeluarkan peralatan memancing.
Bersenandung memanggil anak-anak. Anak-anak berkerumun tanpa perlu dua
kali diteriaki. Hanya ada satu kail. Sakura dan Jasmine berebut, saling menarik
topi gunung. Anggrek menyuruh mereka bergantian.
Kami naik ke atas perahu plastik. Aku mengayuh dayung, perahu meluncur di
hamparan air yang tenang. Anggrek memegang teropong besar. Sakura semangat
memasangkan umpan kailnya, giliran dia. Jasmine dan Lili duduk di sebelahku.
Clarice dan tim risetnya mulai bekerja di pinggir Segara Anakan, mereka
membuat patok-patok. "Paman, Paman, kapan terakhir kali paman ke sini?"
Aku yang sedang takzim menatap puncak Gunung Rinjani sambil mendayung
menoleh, Jasmine yang bertanya.
"Sudah lama. Lima belas tahun silam."
"Kata Ayah dulu, Paman paling suka datang ke sini, kan" Selalu naik Gunung
Rinjani kalau musim liburan, kan?" Jasmine bertanya lagi. Lili di depannya
bergantian dengan Anggrek menggunakan teropong besar itu. Anggrek
mengajari Lili menggunakan teropong, Sayang, Lili banyakan bergidiknya
menyaksikan monyet yang tiba-tiba terlihat begitu besar melalui teropong. Buruburu melepaskan teropong. Anggrek tertawa.
"Ya, Paman dulu suka datang. Tempat yang indah, bukan."
"Kata Ibu dulu, Paman juga paling suka duduk melamun di kemah ngelihat air
danau, ya?" Jasmine mengangguk-angguk bersemangat.
Aku tertawa. Melamun" Bagiku Segara Anakan selalu memberikan nuansa
yang istimewa. Hening. Senyap. Damai. Dulu tidak ada plastik ini.. Hanya
duduk berdua bersama Rosie di tepi danau. Merapatkan jaket. Api unggun
bergemeletuk. Dulu, tempat ini seolah hanya milik kami berdua. Hanya aku dan
Rosie yang sibuk mendakinya setiap enam bulan sekali, libur semesteran,
membakar ikan hasil pancingan, tidur telentang di atas rumput menatap purnama
dan gemerlap ribuan bintang. Rosie benar, aku dulu suka melamun. Melamun
tentang betapa menyenangkan menghabiskan liburan bersamanya. Menghela
napas panjang saat akhirnya harus mengemasi tenda. Kembali ke Gili
Trawangan. Kembali ke Bandung.
Dulu, tempat ini selalu milik kami berdua. Hingga Nathan tiba. Dua bulan
Nathan setara dengan dua puluh tahun milikku. Satu kali mendaki Gunung
Rinjani Nathan setara dengan berpuluh kali aku dan Rosie mendakinya. Dan
Segara Anakan tidak pernah lagi menjadi tempat yang menyenangkan untuk
dikenang. Hatiku selalu teriris setiap kali nama ini disebut, bahkan meski hanya
selintas lalu di layar-layar televisi atau siapalah menyebutnya.
Hatiku selalu teriris. "Yee, Paman kok ngelamun?" Jasmine menarik bajuku.
Aku mengusap wajah, tersenyum kecut.
"Paman ingat kenangan masa lalu, ya?"
Aku tertawa mendengar gaya dan intonasi Jasmine saat mengatakan kalimat
itu. "Kata Ibu, Paman dan Ibu sering banget ke sini. Bakar ikan, iseng main gundu
malah! Meneriaki monyet-monyet. Paman mengenang itu ya?"
Aku mengangguk. Kesenangan-kesenangan itu. Aku malah pernah menjerat
ayam hutan bersama Rosie. Aku pikir aku sudah memiliki Rosie, aku pikir kami
bahkan lebih dekat dibandingkan bentuk hubungan apapun yang ada di dunia.
"Ah, nggak asyik nih kalau Paman hanya mengangguk, tertawa, terus
ngelamun lagi." Jasmine nyengir. Membuat yang lain menoleh.
"Sudah dapat berapa?" Aku bertanya ke Sakura, mengalihkan topik
pembicaraan. "Boro-boro dapat, Om. Disentuh pun tidak sama ikan." Anggrek yang
menjawab, "Ikan di sini nggak suka sama pemancingnya."
"Belum tentu juga Kak Anggrek dapat, kan." Sakura melotot.
Aku bergegas mencegah keributan, perahu plastik sedikit bergoyang oleh
gerakan sebal Sakura. Jasmine dan Lili berpegangan pahaku.
Semua itu tinggal masa lalu, bukan" Tertinggal jauh di belakang, lima belas
tahun. Jasmine mungkin benar, nggak asyik buat dikenang sambil menyeringai.
Hingga sore, Sakura benar-benar tidak beruntung. Jasmine-lah yang
beruntung. Malam itu, selain dari logistik yang dibawa Clarice, anak-anak juga
menikmati lima ekor ikan seukuran telapak tangan hasil tangkapan kail Jasmine.
"Wuih, tangan Jasmine seperti tangan Paman Tegar. Selalu bertuah kalau
memancing." Jasmine berseru bangga. Sakura melotot. Clarice dan anggota tim
risetnya tertawa melihat wajah Sakura menggelembung.


Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Api unggun menyala tinggi, entah apa yang dipikirkan monyet-monyet yang
tinggal di vegetasi merambat itu saat melihat keramaian ini. Lili membakar
sendiri ikannya. Riang. Wajahnya serius sekali menatap ikan bakarnya yang
gosong, matanya berair terkena asap, tapi dia tetap menyeringai senang. Sakura
dan Jasmine terus sibuk bertengkar, sekarang rebutan kentang goreng yang
diberikan Clarice. Anggrek sekali-dua menatap wajahku lamat-lamat, seperti
menyimpan sebuah pertanyaan penting.
Selepas makan malam, Clarice dan tim risetnya mengenakan peralatan
menyelam. "Bibi Clare mau menyelam" Malam-malam begini" Di sana gelap,
bukan?" Sakura bertanya bingung. Clarice melambaikan tangan, menunjukkan
senter besar di kepala. Menjelaskan singkat justru kedatangan mereka kali ini
untuk mempelajari kehidupan Segara Anakan di malam hari. Clarice dan dua
rekan penelitinya masuk ke dalam air.
Aku dan anak-anak duduk meluruskan kaki. Api unggun menjilat-jilat udara
memberikan kehangatan. Malam yang indah, purnama sempurna bundar di
angkasa, bintang-gemintang tak tertutup satu awan pun. Aku menatap wajah
anak-anak, muka-muka riang dengan topi gunung dan jaket kebesaran.
Mendekap kepala Lili. Menatap hamparan danau yang remang. Suara burung
hantu ber-uhu dari kejauhan. Jangkrik mendesing. Burung kuau melantunkan
lagu indah. Awalnya Lili takut dengan semua suara itu, tetapi melihat kakakkakaknya tenang-tenang saja, Lili lama-lama juga nyaman, duduk di
pangkuanku. Anggrek di sebelah kananku, Jasmine dan Sakura di sebelah kiri,
sudah berdamai. Entah apa yang dipikirkan Anggrek, tiba-tiba ia berdiri.
Aku menoleh. Juga Jasmine dan Sakura.
Gadis remaja itu mengambil sesuatu dari saku celananya, mengambil ancangancang, lantas sekuat tenaga melemparkan sesuatu itu ke tengah danau.
Aku melipat dahi, "Apa yang Anggrek lakukan?"
"Melempar ini." Anggrek menjawab pendek.
"Melempar apa?"
Anggrek menatapku, ragu-ragu menunjukkan sesuatu itu dari telapak
tangannya. Aku seketika terdiam. Gerakan tubuhku yang membuat Lili bergoyanggoyang nyaman di pangkuan terhenti. Mulutku bergetar. Entah apa yang sedang
dipikirkan Anggrek, di telapak tangannya tersimpan beberapa tangkai bunga
Edelweis. "Dari mana kau dapatkan bunga ini?" Aku bertanya tajam.
Jarang sekali aku memanggil anak-anak dengan sebutan kau.
"Tadi Anggrek petik dari dinding jurang." Anggrek menjawab pelan.
Aku menghela napas panjang. Bersitatap dengannya, senyap sejenak. Itu masa
lalu, tidak pantas dibahas lagi, kembali menatap Danau Segara Anakan.
Anggrek juga kembali duduk di sebelahku, menyentuh lenganku, "Maukah
Paman menceritakannya." Bahkan ia tidak menggunakan panggilan lazimnya
kali ini. Aku menggeleng. "Maukah Paman menceritakannya. Tadi Anggrek melempar Bunga Edelweis
itu dengan sungguh-sungguh. Berusaha amat membenci semuanya saat
melempar. Tapi Anggrek tetap tidak bisa merasakan kebencian sebesar itu.
Kebencian yang Paman katakan saat di shelter Ibu, enam bulan lalu. Paman
bilang, Paman ingin membenci Ibu selamanya, tapi Paman tidak bisa
melakukannya. Bisakah Paman menceritakannya."
Sempurna sudah kalimat bergetar Anggrek mengambil alih perhatian adikadiknya. Bahkan Lili ikut terdiam memegang lenganku. Mendongakkan kepala.
Aku menggeleng sekali lagi. Anak-anak justru menunggu tidak sabaran.
Astaga, lima belas tahun semuanya tertinggal di belakang, tapi mengapa aku
seperti masih merasakan tetes air dari tumbuhan paku-pakuan yang jatuh di dahi
saat aku meringkuk di akar pohon pinus raksasa. Dingin di kening, aku refleks
mengusapnya, seolah-olah masih ada tetes embun mengalir di sana.
"Semua itu tinggal masa lalu, Anggrek. Terlupakan."
"Bukankah Uncle selalu bilang kita tidak boleh melupakan masa lalu.
Berdamai tapi tidak melupakan." Sakura memotong, protes, kerlap api unggun
memantul dari wajahnya, yang amat ingin tahu.
Aku tertawa, getir. Mengusap tengkuk, seperti masih bisa merasakan ujung
daun pakis menyentuhnya. Malam itu, saat turun jatuh terguling dari puncak
Gunung Rinjani, meski aku sangat suka melamun duduk di tepinya, aku tidak
bisa berlama-lama di Segara Anakan. Kakiku meski bergetar harus terus
melangkah. Hatiku meski bagai menanggung beban berat sepuluh gunung harus
terus berjalan. Menjauh. Menjauh dari semua kenyataan yang baru kudengar.
Kalimat cinta Nathan, dan anggukan senang Rosie. Aku ingin menghilang.
"Sebesar apakah Paman mencintai Ibu?" Anggrek bertanya pelan.
Kali ini wajahnya tidak menatapku, melainkan menatap remang danau.
Anggrek tidak bertanya padaku, Anggrek lebih seperti bertanya kepada Segara
Anakan. Aku merengkuh bahu Anggrek. Kalimatnya barusan benar-benar mencungkil
semuanya. Seberapa besar aku mencintai Rosie" "Kau terlalu mencintai Rosie,
Tegar." Suara pelan Oma terngiang. Baiklah. Malam ini biarlah anak-anak tahu.
Tahu semua detail kejadian itu. Tidak mengapa. Mereka tahu mungkin juga baik.
Belajar dari kejadian menyakitkan itu. Cerita ini tidak akan membawa akibat apa
pun. Aku sudah tiga puluh tujuh tahun, semuanya sudah selesai. Sama seperti
kejadian di shelter, cerita ini tidak akan membawa akibat apa pun.
Maka meski awalnya patah-patah, meski lebih banyak terhenti karena
dipotong pertanyaan anak-anak, cerita itu tersampaikan. Masa kanak-kanak kami
yang hebat, "Aduh, Jasmine belum pernah tuh manjat pohon kelapa." Masa
sekolah yang menyenangkan. Tidak ada kapal cepat. Yang ada hanya perahu
kayu, "Uncle dan Ibu bangun jam berapa" Pasti pagi banget. Kan, perahu kayu
jalannya pelan." Kebersamaan-kebersamaan kami. Kodok hijau, anak-anak
tertawa. Anggrek biru, Sakura dan Jasmine bersitatap satu sama lain. Masa-masa
remaja yang indah. Aku berhenti sebentar. Menelan ludah. Melanjutkan sekolah
di Bandung. Kuliah. Kehidupan kampus. Pulang mendaki Gunung Rinjani setiap
libur semesteran. Pernak-pernik kecil itu. Anak-anak mulai berhenti bertanya.
Cerita mulai masuk ke bagian yang menyakitkan. Ya Tuhan, aku tidak pernah
tahu kapan aku akan siap mengatakan kalimat itu. Aku tidak pernah tahu. Aku
selalu merasa waktu dan tempatnya salah. Aku selalu gugup, dan terlalu cemas
dengan kemungkinan buruk.
Nathan. Aku berhenti lama saat menyebut nama ayah anak-anak itu untuk
pertama kalinya. Anggrek memeluk lenganku. Tersenyum tulus, membesarkan
hati. Lucu sekali mengenang saat aku mengenalkan Nathan dan Rosie satu sama
lain. Bagaimana mungkin mereka tidak pernah saling mengenal. Rosie dan aku
tinggal di Gili Trawangan, Nathan di Gili Meno. Hanya terpisahkan lautan
sepelemparan batu. Nathan teman baikku. Aku tidak tahu seberapa sering
mereka bertemu dua bulan sejak perkenalan itu, yang pasti, saat mendaki
Gunung Rinjani libur semester menjelang ujian skripsi, Nathan sengaja kuajak
ikut serta. Andaikata Rosie menolak kalimat itu, andaikata kemungkinan
buruklah yang terjadi, ada Nathan teman bicara yang memutus perasaan
canggung dan kaku, itu alasannya.
Ternyata tidak. Rencanaku hancur berkeping-keping. Lengang. Anak-anak
terdiam saat aku tiba di bagian sunset itu. Jasmine dan Sakura tertunduk.
Anggrek tetap menatapku. Lamat-lamat. Ya Tuhan, detail kejadian itu amat
menyakitkan. Aku seolah bisa merasakannya kembali. Tersungkur. Malammalam panjang di Jakarta. Helaan napas tertahan. Gerakan tubuh resah. Lima
tahun lamanya aku berjuang mengusir seluruh bayangan Rosie, tidak pernah bisa
kulakukan. Tidak pernah bisa kulupakan. Semakin menikam dalam.
Hingga malaikat-malaikat kecil ini datang.
"Kalian membuat Paman bisa berdamai. Aku ingat, waktu Anggrek datang ke
apartemen Paman pertama kalinya, Anggrek kebelet pipis. Langsung lari-lari
masuk ke dalam, seperti sudah mengenali setiap jengkal apartemen itu. Sakura,
Sakura hanya memerlukan waktu sedetik untuk berpindah ke gendonganku. Dan
tidak pernah mau turun hingga Rosie dan Nathan pulang. Begitulah semuanya,
dan sejak kedatangan kalian, aku kembali menjadi anggota keluarga, bukan"
Paman yang hebat, keren, dan super." Aku tertawa getir sambil mendongakkan
kepala, mencegah mereka melihat mataku berkaca-kaca.
Anak-anak tidak ikut tertawa, sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Lili berhenti memain-mainkan ujung topi, ia membenamkan kepalanya di
pelukanku. Sakura dan Jasmine diam. Anggrek tiba-tiba berdiri lagi. Meraih sisa
Bunga Edelweis di saku celana. Mengambil ancang-ancang, lantas sekuat tenaga
melemparkannya ke hamparan air Danau Segara Anakan.
"Anggrek bisa merasakannya sekarang, Paman."
13. LAYANG-LAYANG RAJA Anak-anak tidak banyak bertanya lagi selepas aku menceritakan kejadian itu.
Esok-lusa juga tidak, dan juga tidak ada yang berubah dalam interaksi kami.
Meski aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan setelah mengetahui detail masa
lalu itu. Malam itu, pukul 22.00, Lili akhirnya menguap, Anggrek mengajak
adik-adiknya masuk ke dalam tenda. Aku masih duduk menatap danau hingga
menjelang malam. Berpikir banyak hal. Meski tak satu pun yang kupikirkan
menjadi satu mata rantai yang utuh. Hanya potongan-potongan kejadian.
Potongan-potongan kesimpulan.
Sempurna acak mengingat segala kenangan. Clarice dan dua kolega riset
keluar dari danau persis tengah malam. Tertawa, bergurau, "Kami sepertinya
menemukan spesies baru, Tegar. Bunga yang tumbuh di atas air." Menunjukkan
Bunga Edelweis yang tadi dilemparkan Anggrek. Tidak sengaja ditemukan
Clarice. Nyangkut di kacamata selamnya. Aku tertawa. Kebetulan yang hebat,
bukan" Malam semakin lengang. Kebetulan" Apalah arti kata itu" Sama seperti aku
tidak pernah mengerti apa makna kata kesempatan.
Esok paginya setelah sarapan, setelah puas mengitari Segara Anakan, setelah
wajah anak-anak terlihat lelah naik turun bebatuan, mendekati monyet-monyet,
terpesona menatap vegetasi bunga liar, berteriak-teriak meniru suara burung
kuau dan kokok ayam hutan, kami kembali ke Gili. Hanya aku dan anak-anak,
Clarice dan koleganya terus melanjutkan riset hingga minggu depan.
Anak-anak memeluk riang Bibi Clare. Lili tidak takut-takut lagi mencium pipi
Clarice. Menyeringai riang. Lompat ke atas pesawat dari perahu plastik. Semenit
kemudian, moncong pesawat kecil itu sudah terangkat dari hangatnya hamparan
air danau, anak-anak berebut melambaikan tangan. Perjalanan pulang yang
menyenangkan. Muka-muka lelah, tapi tetap sibuk berceloteh di atas pesawat.
Smith dengan senang hati membawa anak-anak berputar-putar di atas Pulau
Lombok, menunjukkan banyak tempat. "Jangan-jangan kita kehabisan avtur,
Smith?" Aku menegur Smith saat ia membawa kami melintasi bagian selatan
Pulau Lombok untuk ketiga kalinya. Smith tertawa, akhirnya memutar kemudi
pesawat, setengah jam, pesawat kecil berkapasitas sepuluh orang itu mendarat
mulus di dermaga Gili Trawangan.
Hari-hari berjalan normal.
Seperti yang kulakukan sejak dua tahun silam, setiap hari aku mengantar dan
menjemput anak-anak sekolah. Lili sejak bisa berjalan, sejak bisa berpegangan
dengan kokoh di tiang kapal cepat selalu ikut, ia mengamuk kalau tidak diajak.
Anak-anak semakin pandai mengendalikan kapal-cepat itu. Sebulan terakhir, aku
bahkan membiarkan Anggrek yang mengemudikan kalau ia ingin
melakukannya. Kecuali Jasmine, sepandai apa pun, anak itu tidak boleh lamalama memegang tuas kemudi kapal cepat, ia dua kali lebih nekad dan bandel
dibandingkan Pamannya. Pulang dari mengantar anak-anak, aku menghabiskan hari mengurusi resor.
Memastikan logistik dan kenyamanan tamu terpenuhi. Memastikan
pembangunan 16 bungalow di dreamland berjalan lancar. Juga pernak-pernik
kecil lain, seperti memastikan anak-anak pelayan resor sekolah, mengunjungi
tetangga sakit, membantu acara kampung. Hingga terlibat dalam urun-rembug
penduduk pulau. "Wuih! Uncle Tegar sekarang jadi Kepala Desa." Itu tawa
Sakura saat melihat papan penanda rumah Kepala Desa dipindahkan ke depan
resor. Aku balas tertawa. Itu bisa menjadi selingan yang menyenangkan,
setidaknya turis-turis itu tidak perlu mengurus jauh-jauh keperluan
administrasinya. Oma semakin tua, kesibukannya jauh banyak berkurang. Ia harus memegang
tongkat ke mana pun pergi. Aku tidak tahu apakah Oma tahu kabar terakhir
hubunganku dengan Rosie. Aku enggan menceritakan kejadian di shelter. Juga
enggan menceritakan kalau anak-anak sudah tahu semua detail masa lalu. Aku
pernah ingin memastikan fakta apakah Oma memang menceritakan seluruh
perasaanku kepada Rosie menjelang pernikahannya. Tetapi menyaksikan Oma
yang tertidur di kursi goyang, aku mengurungkan diri. Undur.
Sudahlah, semua sudah berlalu.
Buat apa aku tahu detail kejadian itu" Untuk memastikan kalau saat itu Rosie
tiba-tiba ingin membatalkan pernikahan" Rosie tiba-tiba menangis" Nathan yang
juga ingin membatalkan pernikahan" Nathan yang merasa bersalah" Itu semua
hanya kemungkinan-kemungkinan yang kupikirkan selama lima tahun. Waktu
yang terlalu lama bagi si patah-hati untuk menyusun banyak angan-angan
penjelasan yang dipaksakan. Menciptakan mimpi-mimpi yang bisa membujuk
hati lega, meski itu semu. Yang bisa membuat bibir tersenyum, meski amat tahu
kalau itu dusta dan sekedar ilusi.
Aku sering menghabiskan malam bersama pengunjung resor, makan malam
bersama. Anak-anak ikut serta, menjadi pusat perhatian. Apalagi Sakura yang
pandai bicara sekaligus bandel. Selepas makan, anak-anak beranjak masuk ke
resor, mengerjakan PR, membaca buku, memainkan biola, merajut, bermain
dengan si Putih, apa saja yang mereka sukai, aku meneruskan bercakap ringan
dengan turis. Menghabiskan satu-dua gelas orange squash, tertawa melontarkan
anekdot segar. Menganggap mereka sebagai bagian keluarga besar resor, dan
mereka sejatinya sudah menjadi bagian keluarga besar itu sendiri setelah
melewati welcome games. Kurang lebih pukul 21.00 kembali ke lantai dua bangunan utama resor. Loncat
ke atas ranjang anak-anak. Sudah dua tahun terakhir mereka berempat tidur satu
kamar. Kamar dengan dua ranjang besar. Anggrek tidur bersama Lili, Sakura
berbagi dengan Jasmine. Jadwal rutin bersama anak-anak sebelum beranjak
tidur. Aku bercerita. Dulu hampir setiap malam hanya diisi dengan bercerita.
Mereka berkerumun. Sekarang tidak setiap hari. Lebih banyak anak-anak
bertanya tentang banyak hal. Bercakap tentang hari-hari mereka. Jasmine selalu
jengkel setiap kali Anggrek mulai bertanya tentang, cinta dan sejenisnya. "Idih,
Kak Anggrek tambah genit. Mending Paman Tegar dongeng aja, deh." Dan Lili
ikut mengangguk-angguk mendukung Jasmine.
Masalahnya Anggrek sudah terlampau besar untuk mendengarkan cerita. Ia
punya buku-buku. Juga Sakura, ia kadang menguap kalau aku bercerita. "Uncle,
ending-nya gampang ditebak sekarang." Aku tertawa, mengelus kepang rambut
Sakura, "Itu karena Sakura semakin pandai." Siklus menyukai cerita itu sedang
puncak-puncaknya pada Jasmine dan Lili. Jadi hanya mereka berdua yang
antusias. Kabar baiknya, kalau aku sedang sibuk, atau sedang pergi ke Bali,
Anggrek mengambil alih tanggung-jawab itu. Bercerita ke Jasmine dan Lili.
Sakura sih hanya sibuk ngacak-ngacak cerita kakaknya. "Yee, nggak logis, masa
ceritanya begitu." Dan Sakura serempak ditimpuk bantal oleh Anggrek, Jasmine,
dan Lili. Tetapi dari semua rutinitas menyenangkan itu ada yang benar-benar berubah
sejak dua bulan terakhir. Rosie. Pada kunjunganku dua bulan lalu, itu berarti
empat bulan setelah kejadian di shelter, Rosie bilang ingin punya telepon
genggam. "Jangan bilang-bilang Ayasa, nanti disita." Rosie mewanti-wanti. Aku
mengangguk. Rosie mungkin bosan setiap malam sendirian, menghabiskan harihari mengikuti terapi, mulai dari yoga, meditasi, berbagi cerita, olahraga mental,
membaca dan masih banyak lagi. Maka aku menyelundupkan telepon genggam
untuknya. Biasanya setelah pukul 22.00, Rosie baru meneleponku. Pura-pura
sudah tidur, lampu kamar dimatikan. Kalau tidak, bisa ditegur perawat yang
berjaga. Dua kali seminggu ia rajin menelepon. Bertanya tentang anak-anak. Bercerita
apa yang dilakukannya hari ini dan hari kemarinnya. Membicarakan apa-saja.
Mengenang masa kanak-kanak dulu. Tentang resor. Tentang Gili Trawangan.
Terkadang kami menghabiskan waktu setengah jam hanya untuk membicarakan
satu potong kejadian lama. Tertawa pelan, ia takut ketahuan perawat yang
berjaga. Aku tidak tahu ke mana semua arah pembicaraan ini. Aku hanya ingin
menemani Rosie. Ia pasti merasa sepi setelah dua tahun tinggal di shelter.
Lagipula ini mungkin bisa menjadi terapi tambahan baginya. Tetapi untuk
pembicaraan yang sensitif, menyinggung-nyinggung masa lalu, maka aku akan
buru-buru mengalihkan topik percakapan.
Satu minggu berlalu tidak terasa sejak kepulangan dari Danau Segara Anakan.
Jum"at siang, jadwal kami ke Bali. Kali ini bujang yang memegang tuas kemudi.
Palka kapal-cepat dipenuhi ransel pakaian milik anak-anak. Hari ini aku tidak
menjemput pulang mereka. Sepulang dari sekolah kami justru akan langsung
berangkat ke Denpasar. Oma sudah menyiapkan barang bawaan mereka tadi
pagi. Lili riang berpegangan, matanya berkerjap-kerjap senang.
"Topinya kenapa tidak dipakai?" Aku menunjuk topi mungil Lili yang
disampirkannya di pundak.
Gadis kecil itu menyeringai, menggeleng cubby. Malas.
"Dingin, kan?"

Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lili menggeleng. Tidak dingin, kok.
Ada banyak rencana kami di Bali. Sabtu besok jadwal kunjungan anak-anak
ke resor. Hari Minggu ada Festival Layang-Layang di Jimbaran. Maka, mereka
menjenguk Rosie sekalian datang ke festival. Rosie juga akan bergabung di
Pantai Jimbaran, ikut menonton festival. Ayasa mengizinkannya keluar, proses
adaptasi. Jasmine, Sakura, dan Anggrek terlihat sudah tidak sabaran duduk-duduk
menunggu di dermaga pelabuhan nelayan Bangsal. Mereka loncat, membantu
membawa ransel-ransel dari atas kapal cetak. Melambaikan tangan ke bujang.
Kami menumpang angkutan umum ke Mataram. Pindah lagi ke angkutan
umum lainnya menuju Pelabuhan Lembar. Dua jam perjalanan. Anak-anak riang
berceloteh di dalam mobil yang penuh penumpang. Membuat mata-mata
tertoleh. Aku tersenyum kepada penumpang lain, mengangkat bahu kepada satudua penumpang yang berkeberatan mendengar celoteh anak-anak, merasa
terganggu. Bagaimana mungkin kalian sebal melihat kebahagiaan anak-anak"
Separuh perjalanan Anggrek memaksa Lili memakai topi mungilnya, "Nanti
dingin, Lili!" Lili melotot, tidak mau. Anggrek tetap memaksa. Lili menunjuknunjuk aku. Jasmine membantu menjelaskan, "Paman Tegar saja nggak maksa,
kenapa Kak Anggrek maksa." Lili mengangguk-angguk. Anggrek menghela
napas pelan, mengalah. Aku akhirnya tahu alasan gadis kecil berumur tiga tahun itu menolak memakai
topinya saat kami sudah di atas kapal cepat yang membelah selat Bali-Lombok
menuju Denpasar. "Lili ingin rambut panjangnya terlihat, Paman. Kan, Paman
sendiri yang bilang rambut Lili paling indah." Jasmine berbisik menjelaskan.
Aku menatap Lili yang berdiri di atas kursi plastik, sedang menunjuk-nunjuk
riang dua ekor lumba-lumba yang berenang di depan kapal-cepat. Anak yang
hebat. Kami tiba di Denpasar ketika matahari sudah terbenam. Terlalu malam untuk
langsung menuju shelter Rosie, lagipula aku juga punya alasan sendiri kenapa
tidak langsung menuju shelter Rosie. Made sudah mengurus segala keperluan.
Menjemput di dermaga Denpasar. Kami akan menginap di rumah Made, yang
sekaligus kantor sementara pembangunan 16 bungalow. Di depan kantor dua
pekerja sedang sibuk membuat rangka layang-layang yang akan kugunakan hari
Minggu. Sempat makan malam sebentar di rumah, anak-anak lantas bergabung
menyelesaikan layang-layang itu. Memastikan proporsi bentuk dan desain
layang-layang sesuai. Bahkan bilah-bilah bambu itu harus ditimbang. Anggrek
dan Sakura membantu menggulung tali yang akan digunakan. Jasmine melukis
motif di atas kain layang-layang. Lili duduk menjeplak memperhatikan. Ya,
dengan duduk takzim seperti itu, rambut panjang tergerai, mata bulat mengerjapngerjap, wajah cubby Lili begitu menggemaskan. Aku tersenyum.
Pukul 21.30 Lili menguap lebar. Saatnya tidur, meski Sakura tetap ngotot
membantu pekerja. Anak-anak harus segera istirahat. Besok masih ada waktu
untuk menyiapkan layang-layang, festivalnya juga baru lusa, hari Minggu.
Sakura mengalah, berdiri mengikuti yang lain.
Aku sengaja datang sehari lebih cepat dari jadwal festival karena besok adalah
hari yang amat penting bagi anak-anak, sekaligus menyakitkan. Mereka harus
datang. Mereka harus menyaksikan. Mereka harus tahu indahnya proses
berdamai dengan masa lalu. Memaafkan siapa pun yang pernah menyakiti kita.
Besok adalah pembacaan vonis bagi terdakwa pelaku pengeboman Jimbaran
dua tahun lalu. Terdakwa yang dulu ditabrak oleh Sakura dan Jasmine di depan
jejeran bangunan kafe. Gambar yang tertangkap video-streaming dari kamera
Nathan di atas tripod ternyata berguna. Petugas butuh enam bulan untuk
menangkap pelakunya, dan petunjuk satu-satunya hanya rekaman kamera itu.
Satu setengah tahun proses pengadilan yang panjang, penuh histeria dan
kontroversi. Besok vonis akan dibacakan, dan aku sengaja membawa anak-anak
untuk melihatnya secara langsung.
Anak-anak harus menyaksikan vonis itu.
Memahami indahnya menerima, memaafkan, tapi tidak melupakan.
Malam beranjak sepi. Mereka sudah lelap tertidur, tumpang tindih tak
beraturan. Kaki Sakura malah jahil naik ke kepala Anggrek. Tidur nyenyak, lelah
dengan perjalanan hari ini. Aku menyelimuti Lili. Mengelus rambut panjang
hitam legamnya. Gadis kecil itu bagai puteri yang sedang tertidur.
Ruang pengadilan itu sesak oleh pengunjung.
Poster-poster di arak. Spanduk dibentangkan.
Yel-yel "Mati! Mati! Mati!" diteriakkan.
Aku membimbing anak-anak melewati penjagaan. Kamera berebut
menangkap wajah anak-anak. Satu-dua wartawan berusaha mendekat, sibuk
menyela. Sepanjang kisah ini, aku tidak pernah menceritakan bagian ini. Karena
ini menyakitkan. Aku berusaha sekuat-tenaga melindungi anak-anak dari
cecaran media massa. Berminggu-minggu sejak bom di Pantai Jimbaran, wajah
keempat bunga Rosie menghias media massa. Nasib tragis mereka. Ayah yang
pergi dengan kepala pecah. Ibu yang dirawat di shelter karena depresi. Itu amat
menarik bagi konsumsi media massa yang hipokrit.
Bagian itu menyebalkan untuk ditulis di kisah ini.
Tetapi pagi ini, aku harus mengajak anak-anak. Kehadiran mereka segera
menarik perhatian. Anak-anak memegang lenganku kencang-kencang. Takut
tercecer. Takut dengan tatapan buas pekerja media massa yang menghadang
bagai tembok. Aku tersenyum tipis kepada wartawan yang mengerumuni.
Biarkan, biarkan kami masuk. Beberapa petugas membantu. Lima menit
berkutat, aku dan anak-anak berhasil duduk di baris kedua kursi pengunjung.
Hakim mulai membacakan vonis.
Aku menatap langit-langit ruangan.
Menoleh, melirik wajah anak-anak yang menunduk. Mendekap bahu Lili,
berbisik tentang shampoo yang digunakannya pagi ini, wangi. Lili menyeringai
malu-malu. Mengelus rambut Jasmine. Anggrek menggenggam kencangkencang tangan Sakura. Tadi pagi Sakura mengamuk, ia benci sekali datang ke
sini. Sepanjang pagi berteriak tidak mau. "SAKURA TIDAK MAU! SAKURA
TIDAK MAU! SAKURA BENCI!" Membuat ramai seisi rumah. Aku menelan
ludah, berusaha membujuk. "SAKURA TIDAK MAU MELIHAT ORANG
JAHAT ITU!" Mendorong tubuhku. Dan Anggrek balas meneriakinya,
"SAKURA TIDAK SEPANTASNYA MEMBANTAH OM TEGAR! TIDAK
SEPANTASNYA." Anggrek mencengkeram kencang lengan Sakura, dan Sakura
yang tidak kuasa menatap wajah galak kakaknya menangis, menatapku merajuk.
Aku menggeleng, Sakura harus ikut. Gadis berumur sebelas tahun itu sambil
terisak memakai sepatunya. Patah-patah melangkah ke mobil. Siang ini, aku tahu
Sakura tetap benci menatap pelaku pengeboman yang duduk di depan. Tetap
benci atas semua perbuatannya. Tetapi ia harus belajar menerima, ia harus
mengerti. Anggrek terus menggenggam tangan Sakura di ruang pengadilan,
sejak dari rumah Made. Anggrek tahu, dariku, kalau genggaman tangan bisa
memberikan sugesti, semua akan baik-baik saja.
Hampir separuh ruang pengadilan diisi oleh wartawan. Salah satu televisi
nasional bahkan menyiarkan langsung pembacaan vonis itu. Wajah anak-anak
yang tertunduk berkali-kali di-close-up, yang kali ini aku tak kuasa
mencegahnya. Biarlah, biarlah banyak orang belajar dari anak-anak ini. Sungguh
orang dewasalah yang banyak belajar kepada mereka. Aku mendekap Lili
semakin erat. Hakim tiba di ujung vonisnya, "Hukuman mati." Seluruh ruang
pengadilan seketika ramai oleh sorak-sorai. Buncah oleh teriakan senang.
Beberapa keluarga korban, dari Australia, berpelukan. Menangis.
Tidak ada yang memperhatikan wajah pelaku. Pengacara pelaku langsung
menjawab banding. Enam petugas merangsek mendekati kursi tervonis. Rantai
besi dipasangkan. Muka Sakura menggelembung menyaksikannya. Entah apa
yang ada dipikirannya sekarang. Lili menatapku. Anggrek berbisik, berbisik lirih
menyebut nama ayahnya. Aku lemah mendekap bahu Anggrek.
Jasmine" Ya Tuhan, lihatlah apa yang dilakukan Jasmine.
Gadis berumur tujuh tahun itu mendadak menarik tas yang dibawanya dari
rumah Made tadi. Gadis kecil itu gemetar berdiri. Gemetar mengeluarkan
setangkai bunga dari tasnya.
Bunga mawar biru. Tervonis hukuman mati dibawa keluar ruangan. Orang-orang sibuk berteriak,
melemparinya dengan gumpalan tisu, bekas botol air mineral, satu-dua bahkan
berani meludahi wajahnya. Petugas berusaha melindungi.
Jasmineku merangsek mendekati kerumunan, ia berusaha mendekat.
"Om, tunggu! TUNGGU!" Jasmine dengan suara bergetar berseru.
Enam petugas menghentikan langkah. Membalik badan.
Jasmine mendekat. Persis berdiri di depan tervonis hukuman mati. Mata itu
berdenting menahan tangis. Ya Tuhan, gadis kecil itu sungguh menahan
tangisnya. Dan ia gemetar mengulurkan setangkai mawar biru itu.
"Kata Paman Tegar". Kata Paman Tegar, kami tidak boleh membenci Om.
Tadi pagi Paman Tegar bilang, kami tidak boleh sedikitpun membenci Om.
Meski, meski"." Jasmine tak tahan lagi, gadis kecil itu tak kuasa lagi menahan
sesak di hatinya. Ia terisak, linangan air mata mengalir di lesung pipinya.
Senyaplah seluruh kegaduhan.
Bagai hutan yang ramai oleh suara jangkrik, serangga, lenguh burung hantu,
desis binatang malam, tiba-tiba berhenti semuanya, seketika. Kesunyian magis
menggantung di seluruh sudut ruang pengadilan.
"Jasmine". Jasmine tidak akan membenci. Demi Paman Tegar yang
mengajarkan Jasmine menyulam, merajut. Jasmine" Jasmine tidak akan pernah
membenci Om. Karena Jasmine percaya apa yang Paman Tegar bilang. Sungguh
percaya. Ayah, kata Paman Tegar, Ayah tersenyum senang di surga kalau
Jasmine bisa memaafkan Om."
Dan gadis kecil itu tak kuasa lagi melanjutkan kalimatnya. Membalik
badannya. Berlari ke arahku. Melompat ke dalam pelukanku. Menangis tersedu.
Membungkam seluruh kesombongan hidup.
Anggrek masih menggenggam lengan Sakura saat keluar dari ruang sidang.
Aku menggendong Lili. Jasmine membenamkan mukanya di pinggangku,
menangis. Aku menatap terluka wartawan yang bersiap mengerubuti". Biarlah. Biarlah
kami lewat. Aku mohon. Jangan banyak bertanya. Kerumunan itu entah oleh apa
pelahan tersibak. Made gesit membukakan pintu mobil, anak-anak masuk. Made
langsung menekan pedal gas. Meninggalkan pelataran parkir.
Senyap di dalam mobil, hanya sisa isak Jasmine yang terdengar. Lili
merangkak ke kursi depan, mengambil kotak tisu. Tangan kecilnya menyerahkan
dua helai tisu pada Jasmine. Jasmine berbisik pelan, terima kasih. Sakura
menunduk. Hening. Aku membiarkan waktu berjalan lambat.
Made langsung mengemudikan mobil menuju shelter. Malam ini sesuai
rencana kami akan bermalam di sana. Aku mengusap wajah, Rosie pasti
menyaksikan pembacaan vonis tadi, juga menyaksikan sepotong kejadian yang
dilakukan Jasmine. Itu pulalah alasannya, kenapa semalam aku tidak langsung
menuju shelter Rosie. Aku tidak mau membicarakan vonis itu sebelum
waktunya. Lili masih berkerjap-kerjap menatap kakaknya, tidak tahu mengapa
Jasmine menangis. "Maafkan Sakura yang tadi pagi bandel, Uncle." Sakura tiba-tiba memecah
keheningan. Berkata pelan. Aku menoleh.
"Tidak apa-apa. Sakura kan sudah dari dulu suka bandel." Aku tersenyum,
mengacak rambut kepangnya. Sakura menunduk.
Senyap lagi. "Kalian akan tumbuh menjadi anak-anak yang mengerti. Mengerti bahwa
memaafkan itu proses yang menyakitkan. Mengerti, walau menyakitkan itu
harus dilalui agar langkah kita menjadi jauh lebih ringan. Ketahuilah,
memaafkan orang lain sebenarnya jauh lebih mudah dibandingkan memaafkan
diri sendiri." Aku berkata pelan. Mereka mungkin tidak mengerti kalimat itu
sekarang, esok-lusa pasti akan tahu.
"Lili mau bernyanyi?" Aku menatap wajah Lili yang masih berkerjap-kerjap,
yang sekarang memegang lenganku.
Lili mengangguk-angguk. Lili selalu ingin bernyanyi kalau situasi tidak
menyenangkan. Bernyanyi dengan caranya sendiri.
Aku menarik napas, mulai bersenandung. "Kupu-kupu berterbangan. Melintas
di bebungaan. Semerbak wangi melambai. Menjanjikan kebahagiaan."
Lili menggerak-gerakkan wajahnya. Tangannya. Lili ikut bernyanyi. Mata
hijaunya terlihat riang bercahaya. Bibirnya menyungging senyum. Rambut
panjang hitamnya tergerai elok. Lili bak dirigen memimpinku bernyanyi.
"Kabut memenuhi langit-langit. "
Putih-indah memesona. Embun merekah kemilau. Menjanjikan kebahagiaan."
Anggrek tersenyum melihat adiknya. Jasmine menyeka sisa air matanya.
Mobil yang dikemudikan Made terus mendaki pebukitan, menuju shelter. Kirikanan jalanan dipenuhi gerbang perumahan tradisional. Ukiran-ukiran.
"Cahaya matahari pagi.
Melintas di sela dedaunan.
Berlarik-larik mengambang.
Menjanjikan kebahagiaan"
Anak-anak mulai ikut bernyanyi bersamaku. Bernyanyi bersama Lili. Tuhan,
terima kasih banyak atas segalanya.
Rosie menyambut riang anak-anaknya di depan shelter, tidak sabaran
menunggu. Aku tersenyum lega, kesedihan tadi sudah tidak bersisa. Mereka mengerumuni
Rosie, berebut bercerita. Tentang Layang-Layang Raja yang akan kami gunakan
besok, tentang betapa tajam benang gelasan yang dipakai Uncle Tegar. Mereka
bercerita tentang Segara Anakan, Bibi Clare yang memberikan hadiah cokelat
besar-besar dan banyak. Rosie menyeringai. Ups, Sakura salah cerita. Buru-buru
meralat. Nggak banyak, sedikit kok, cokelatnya cuma sepotong doang. Aku
tertawa. Senja datang. Rosie mengajak anak-anak menuju pondok yang menghadap
tubir pantai. Anak-anak berlari antusias. Berlarian melintasi hamparan rumput.
Langit terlihat jingga. Selalu menakjubkan duduk di pondok ini. Memandang
ombak yang menghantam cadas setinggi tiga puluh meter, matahari yang bersiap
menghujam kaki langit. Tidak ada yang ingin membicarakan kejadian di ruang
pengadilan tadi siang meski hanya sepotong kalimat. Semua menatap ke depan.
Celoteh anak-anak terhenti sejak matahari bersiap beristirahat.
Dan Rosie menyentuh lenganku. Aku menoleh. Rosie tersenyum. Aku balas
tersenyum. Sakura dan Jasmine duduk di samping Rosie, Lili duduk di
pangkuannya. Anggrek duduk di sampingku melirik.
Empat puluh tujuh detik yang indah.
Ayasa mengajak anak-anak makan malam, bersama dengan penghuni shelter
lainnya. Ada lima belas penghuni shelter. Dua pertiga di antaranya orang-orang
yang ingin sejenak lepas dari segala kesibukan hidup. Retreat sebentar dari
pengapnya rutinitas. Tiga orang lainnya penderita stres ringan. Satu mengalami
disorientasi sedang. Tidak ada yang serius seperti yang aku bayangkan dulu.
Makan malam itu menyenangkan, dan selalu lebih menyenangkan kalau anakanak datang berkunjung. "Aku bisa membayar anak-anak jadi bagian terapi
shelter ini, Tegar." Ayasa pernah bergurau.
Anak-anak berkumpul di halaman bangunan utama selepas makan malam.
Duduk di atas rumput, menatap langit. Purnamanya sudah gompal, formasi
bintang. Anak-anak ribut menunjuk-nunjuk rasi-rasi, merasa paling benar;
apalagi Sakura, mengotot. Aku dulu juga suka bertengkar dengan Rosie soal itu.
Jangankan soal rasi, bopeng bulan saja bisa jadi bahan pertengkaran dengan
Rosie selama seminggu. Satu jam berlalu, Lili menguap. Anak-anak yang lain juga terlihat lelah. Aku
dan Rosie mengantar mereka ke kamar. Mereka beranjak tidur lebih dulu. Pukul
21.00, masih satu jam lagi jam malam shelter. Aku melangkah bersisian bersama
Rosie di sepanjang tubir cadas, berpegangan pagar kayu. Suara debur ombak
menghantam cadas terdengar memesona. Kerlip lampu di kejauhan terlihat bagai
ribuan kunang-kunang. Dari sini sepotong kota Denpasar terlihat menawan.
"Terima kasih sudah membesarkan anak-anak." Rosie memecah senyap,
berkata pelan. Aku menoleh. Rosie tersenyum.
"Aku bangga sekali dengan Jasmine. Bangga sekali. Dia sungguh melakukan
hal yang indah tadi siang." Rosie berkata serak.
Aku mengangguk. "Kau sungguh Paman paling hebat, keren, dan super bagi mereka." Rosie
menyeka ujung matanya yang basah.
Aku pura-pura membusungkan dada, bangga, begitulah! Tertawa.
Rosie ikut tertawa. "Kau baik sekali dengan anak-anak, Tegar. Kau selalu baik denganku. Kau
sungguh selalu baik". Maafkan aku yang membuatmu mengalami masa-masa
getir itu." Aku menoleh lagi. Tidak. Malam ini tidak sepatutnya dihabiskan dengan
membicarakan hal itu. Juga malam-malam berikutnya. Tidak pernah ada
patutnya membicarakan masa lalu itu. Aku hendak memotong Rosie, tapi ia
lebih dulu melanjutkan kalimatnya.
"Kau tahu, sebenarnya pernikahan itu ditunda selama enam bulan."


Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menelan ludah. Ditunda" Lututku mendadak gemetar.
"Tapi kami tidak pernah tahu kau ada di mana. Kau sempurna menghilang.
Kami tidak pernah tahu." Rosie mendongakkan kepalanya, suaranya terdengar
sengau menahan tangis. Aku terdiam. Ya Tuhan, aku tidak pernah tahu potongan itu. Aku tidak pernah
tahu fakta itu. Ditunda" Enam bulan" Senyap. Angin laut bertiup lebih kencang.
Penghujung musim kemarau. Minggu-minggu depan, siklus cuaca itu tidak
pernah bosan kembali memenuhi janjinya. Membawa kabar baik dari setiap tetes
airnya, menyuburkan tanaman, menumbuhkan padi-padi di sawah, membuat
kodok hijau senang berloncatan di pematang.
Pembicaraan tidak patut itu selesai saat Ayasa memanggil kami.
Saatnya istirahat. Jam malam.
Esok paginya, Pantai Jimbaran ramai. Belum pernah seramai ini selama dua
tahun terakhir. Festival layang-layang internasional membawa perubahan besar.
Ratusan pemain layang-layang berdatangan dari seluruh penjuru dunia.
Berlomba. Ada dua jenis lomba. Yang pertama adu keindahan, kegagahan, dan
nilai artistik. Yang kedua adu bertahan paling lama di angkasa, saling melibas
layang-layang lain, sederhananya adu benang gelasan. Sejak pertama kali
festival layang-layang ini digelar enam tahun lalu, aku selalu ikut jenis
perlombaan kedua. Tahun ini festival layang-layang menjadi penanda penting pulihnya Jimbaran,
sudah tidak bersisa puing-puing pengeboman itu. Anak-anak riang berlarian di
atas hamparan pasir. Mereka mengenakan pakaian warna-warni cerah. Lili manis
dengan terusan panjang berwarna biru. Topinya lagi-lagi hanya tersampir di
leher, bertelanjang kaki. Mengenakan selendang putih kecil, rambut hitamnya
berkilau ditimpa cahaya matahari pagi. Sakura seperti biasa dengan pakaian
kartunnya. Jasmine lebih kalem, terlihat anggun dengan baju bermotifnya.
Anggrek berpakaian seperti layaknya remaja tanggung yang serba tanggung,
dengan kacamata kelabu. Rambut panjangnya dikuncir. Rosie terlihat senang. Ini
untuk pertama kalinya ia beradaptasi dengan lingkungan yang lebih besar.
Made melangkah di belakang membawa Layang-Layang Raja. Anak-anak
membantu. Dari pagi sampai pukul tiga sore, langit Pantai Jimbaran dipenuhi
oleh siluet layang-layang raksasa. Indah. Lomba yang pertama. Anak-anak
duduk berjejer. Anggrek mengembangkan payung. Aku juga memegang satu.
Dua payung itu cukup untuk berenam. Duduk mendongakkan kepala.
Anak-anak berseru-seru setiap kali melihat layang-layang itu diterbangkan.
Bentuknya semakin lama semakin aneh. Paus raksasa. Pesawat terbang. Burung
garuda. Malah ada yang jahil berbentuk cumi bakar, Jasmine dan Lili tertawa
memegangi perut mereka. Juri, peserta dan pengunjung berlalu-lalang. Satu-dua
yang mengenali kami melambaikan tangan, teman sesama pecinta layanglayang, atau teman yang hanya datang menonton. Jadi anak-anak sibuk berdiri,
bersalaman, terus duduk kembali. "Nggak asyik, Uncle. Kata siapa kita kalau
salaman harus berdiri. Pinggang Sakura sakit nih." Sakura protes ketika untuk ke
sepuluh kalinya harus berdiri, bersalaman, memperkenalkan diri. Apalagi Lili,
protes pipinya sering dicubit kenalan yang gemas. Aku dan Rosie tertawa.
Anggrek mengeluarkan logistik menjelang tengah hari. Membuka bungkusan
yang disiapkan Made. Roti, potongan buah. Meneruskan menyimak formasi
ratusan layang-layang indah di langit Jimbaran. Bergurau satu sama lain. Saat
matahari mulai menyentuh garis horizon, itu berarti bagian perlombaan kedua
siap dimulai. Adu gesek benang gelasan. Sakura semangat berseru-seru. Aku
menyiapkan Layang-Layang Raja. Made membantu. Meski hanya adu gesek,
layang-layang yang dinaikkan peserta tetap rumit.
Anak-anak bersorak-sorak melihat puluhan layang-lavang kembali memenuhi
langit. Saat sirene berbunyi, maka dimulailah adu ketangkasan memainkan
layang-layang itu. Aku" Tentu saja aku jago memainkan layang-lavang.
Terampil menghindari benang lawan, mengulur benang saat lawan ganas
menyerbu. Menarik saat posisi layang-layang lawan serba-tanggung. Tes. Satu
layang-layang terjatuh oleh benang gelasanku. Jasmine bertepuk tangan-riang,
"Yes!" Lima belas menit berlalu. Sudah lebih dari separuh layang-layang berguguran.
Penonton yang memadati Pantai Jimbaran semakin antusias. Seruan tertahan
macam menonton sepak-bola semakin sering terdengar. Muka-muka tegang,
muka-muka berkeringat, muka-muka riang. Anggrek mengulurkan sapu-tangan.
Aku menerimanya, berkata terima kasih tanpa sempat menoleh. Ada dua layanglayang yang mengeroyok. "Ulur, Made!" Aku meneriaki Made, yang jadi
asisten. "PAMAN! PAMAN! PAMAN" Jasmine berseru-seru memberi semangat
sambil memukul-mukul botol air mineral kosong.
Satu dari layang-layang itu putus. Aku menyeringai. Mereka tidak setangguh
yang aku bayangkan. Mengelap wajah dan leher. Kaosku basah kuyup. Padahal
matahari semakin menukik. Satu jam lagi Pantai Jimbaran sempurna dibungkus
sunset. Lima belas menit berlalu. Tinggal sepuluh layang-layang di angkasa. Lomba
adu gesek ini tidak pernah lama. Cepat sekali, tanpa konsentrasi, dalam hitungan
detik, tali layang-layang dipegang sudah putus di potong lawan. Dan itulah yang
terjadi dengan puluhan layang-layang lain, jatuh ke atas hamparan laut kemerahmerahan. Aku menelan ludah. Mencoba memperhatikan lawan yang tersisa.
Sialan, salah-satunya adalah layang-layang Mitchell.
Mitchell tertawa melambaikan tangannya, lima puluh meter dari kami. "Yee,
itu kan Om Mitchell!" Sakura tiba-tiba menyadari sesuatu, anak-anak menoleh.
Mitchell sambil terus ganas menebas layang-layang lain membungkukkan
badan, memberikan tabik. Tertawa.
Lima menit berlalu. Tinggal lima layang-layang. Penonton semakin riuh
berseru-seru. Panitia kembali membunyikan sirene, tanda pertarungan semakin
sengit. Situasi semakin menegangkan. Aku menelan ludah. Mengulur benang.
Menghindari tebasan layang-layang Mitchell.
"Yee, Om Mitchell kok nyerang layang-layang Uncle." Sakura berseru-seru
sebal. "Iya, Om Mithcell jahat." Jasmine ikut melotot.
Mitchell tertawa. Sayang, ia terlalu banyak tertawa, lupa memperhatikan
benang gelasan layang-layang lain yang mengincarnya. Tes. Layang-layang
Mitchell yang aneh dan tak jelas bentuk itu, mungkin Mitchell sengaja
membuatnya begitu, putus. Aku menyeringai. Mitchell menyumpah-nyumpah.
Anak-anak justru bersorak senang, "Syukurin." Sakura berseru, memasang
wajah jahatnya. Lima menit lagi berlalu. Tinggal tiga layang-layang. Pertandingan memasuki
menit-menit akhir. Sirene yang dibunyikan semakin kencang, perhatian seluruh
pengunjung Pantai Jimbaran tumpah ke atas. Tidak peduli leher-leher mulai
pegal mendongak. Tidak peduli, satu-dua malah jatuh terjengkang saking
seriusnya menonton, mengikuti gerak layang-layang kemana saja meliuk. Tidak
peduli tangan tidak sengaja mencengkeram bahu orang di depannya, saking
tegangnya nonton. Tes. Tinggal dua. Aku menelan ludah, berseru lebih sering kepada Made. Ia sama tegangnya
denganku, mengusap dahinya yang berkeringat. Anak-anak berhenti berteriak.
Pertarungan yang seru. Layang-layang lawan lincah menghindari benang
gelasanku, malah kemudian balas menyerbu. Sakura mendekap mulutnya.
Anggrek melepas kacamata. Jasmine terus memukul-mukul botol bekas air
mineral, panik. Lili menyeringai, memegang lengan ibunya. Rosie tersenyum
cemas, memegangi topinya agar tidak jatuh pas mendongak.
Tes. Putus. Layang-layang raja-ku putus. "Yaaa." Sakura menghela napas
panjang sekali. Anggrek menghela napas kecewa. Gerakan tangan Jasmine
terhenti. Aku kehilangan kendali, benang gelasan lawan lebih dulu menghajar,
bagai silet memotong tanpa ampun. Made mendesah kecewa. Layang-Layang
Raja-ku akhirnya kalah. Sirene bergantikan gemuruh tepuk-tangan penonton. Ketegangan usai. Seruan
salut terdengar di setiap jengkal Pantai Jimbaran. Matahari sempurna siap
meluncur di kaki langit. Lomba itu persis berakhir ketika sunset. Pemandangan
yang memesona. Aku menghembuskan napas. Untuk kedua kalinya layang-layangku hanya
menjadi yang kedua. Gontai membalik badan, menatap wajah kecewa anakanak. Made menggulung sisa tali. Layang-Layang Raja-ku meluncur ke lautan
jingga. Digulung ombak. Empat puluh tujuh detik sunset yang indah menelan layang-layangku.
14. APA YANG AKAN KAU LAKUKAN"
Tetapi anak-anak tetap tertawa lebar saat penyerah an hadiah dilakukan.
Panggung dadakan di Pantai Jimbaran dipenuhi pengunjung. Malam
menggantikan siang, digantikan ribuan lampu-lampu. Meja-meja mulai disusun,
makanan dihidangkan. Anak-anak ikut naik ke atas panggung saat namaku
disebut. Aku menggenggam tangan Jasmine. Menerima piala berbentuk layanglayang itu. Tersenyum lebar.
Ayasa benar. Aku tidak harus selalu tampil hebat di depan anak-anak. Tidak
selalu harus juara. Menangis misalnya, tidak mengapa mereka melihatku
menangis, mereka justru akan belajar banyak dengan melihat aku menangis.
Juga urusan lomba layang-layang ini. Mereka tetap bangga, tetap menganggapku
Paman paling hebat, keren, dan super meski hanya juara dua. Hanya Sakura
yang terus mengomel harusnya benang gelasan Uncle Tegar direndam dulu di
tumbukan beling, biar tajam, seperti silet, yang lain tidak berkomentar.
"Om Mitchell Sang Pengkhianat." begitu Sakura memanggil Mitchell yang
bergabung ke meja kami. Mitchell tertawa, melempar Sakura dengan pipet.
Mitchell baru tiba di Denpasar, "Hanya transit dua hari di sini. Festival
layang-layang. Tentu saja tujuan utamaku setelah resor kalian. Apa yang
kubilang dulu, ini masa transisi musim, saat yang tepat berkunjung. Kita selalu
bisa menyaksikan pasangan penyu bercengkerama di palung lautan Gili Meno,
mereka," Aku melotot kepada Mitchell. Tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.
Mitchell nyengir, pindah membahas topik lain.
Sambil makan, meja ramai oleh celoteh anak-anak. Sakura menjepit kepiting,
berusaha merekahkan cangkangnya, muncrat mengenai Mitchell. Tertawa.
Sakura yang masih sebal sedikit pun tidak merasa perlu meminta maaf. Mitchell
melempar pipet lagi, balas tertawa, melanjutkan pembicaraan dengan Rosie.
"Kau terlihat lebih cantik sekarang, Ros. Astaga, kau seperti gadis berumur dua
puluh tahunan, lebih mirip adik-kakak dengan Anggrek." Mitchell bergurau.
Rosie tersipu. Aku menelan ludah, sekejap seperti melihat kembali wajah itu
dulu, wajah Rosie yang memerah. Buru-buru meraih sumpit.
Bertanya kabar satu sama lain. Mitchell hampir setahun tidak berkunjung ke
resor. Jadi setiap potongan berita menarik baginya. Menarik untuk dikomentari.
"Itu keputusan yang bagus, Teman. Bungalow itu akan menjadi investasi yang
hebat. Aku juga setahun ini sibuk berinvestasi. Kau tahu, aku sekarang sudah
membeli salah-satu klub bola ternama Inggris, Chelsea dari taipan minyak Rusia
itu." "Benar, Om?" Sakura bertanya, tertarik. Aku tertawa. Ya tidaklah, Mitchell
selalu bercanda. Setengah jam kemudian dihabiskan Mitchell membujuk Lili
bicara. "Lili jelek deh kalau malas ngomong." Mitchell menyeringai putus asa.
Anak-anak tertawa. Lili melengos, sakit hati dibilang jelek, mana ada yang
pernah bilang Lili jelek. Ia pindah dua kursi di dekatku, menatap galak Mitchell
dari seberang meja. Yang ditatap manyun, minta maaf.
Saat pelayan menghidangkan pencuci mulut, anak-anak berceloteh tentang
layang-layang, Rosie membantu mengelap ujung kemejaku yang terkena
cipratan saos kepiting, seseorang melangkah mendekat.
"Mas Tegar?" Menegur.
Aku menoleh, juga Rosie. Anak-anak hanya selintas melihat, paling salah-satu
dari kenalan Paman. Sakura nyengir, pasti disuruh salaman lagi. Lili juga
cemberut. Sudah dibilang jelek oleh Mitchell barusan, sekarang pasti pipinya
dicubit-cubit lagi. Aku" Aku surprise mengenali wanita yang menegurku.
Sekretarisku di perusahaan sekuritas lama.
"Linda" Apa yang kau lakukan di sini" Eh, maksudku, well, kejutan sekali"
Apa kabar?" Aku berdiri. Menyalami Linda.
Rosie ikut berdiri. Ikut menyalami.
Linda melambaikan tangan ke anak-anak. Sakura dan Lili nyengir senang,
asyik, nggak perlu disuruh salaman.
"Mitchell. Sahabat baik, Tegar. Karena kau sepertinya sahabat baik Tegar
juga, maka kita secara tidak langsung, eh, secara otomatis juga sahabat baik satu
sama lain." Mitchell tertawa lebar, mengambil inisiatif mengenalkan dirinya.
Aku menyikut perut Mitchell, menyuruhnya duduk kembali.
"Akulah yang terkejut, Mas Tegar. Sama sekali tidak disangka akan bertemu.
Rosie" Ini pasti Mbak Rosie yang sering Mas Tegar ceritakan, bukan" Apa
kabarnya Mbak Ros" Itu pasti Anggrek. Aduh, ini pasti Sakura. Eh, Jasmine,
bukan" Dan yang kecil, eh iya, Lili." Linda mengingat-ingat.
"Dan aku Mitchell, jangan lupakan." Entah mengapa malam itu aku untuk
pertama kalinya sebal dengan tingkah Mitchell. Linda hanya tertawa.
"Kau datang sendirian ke Bali?"
"Eh iya, sendirian. Tadi menonton festival layang-layang."
Giliranku yang tertawa, "Sejak kapan kau suka layang-layang?"
Linda mengangkat bahu. "Sejak Mas Tegar sering bilang di kantor dulu,
memprovokasi, membujuk seluruh lantai untuk ikut menonton festival layanglayang. Berkali-kali bilang betapa menyenangkan melihat layang-layang terbang
di langit biru." Aku mengangguk, "Bagaiman kabar Sekar?"
Bagai lilin yang padam. Pertanyaan itu sempurna membuat anak-anak
menoleh. Aku tertegun sebentar. Bagaimana mungkin pertanyaan itu keluar dari
mulutku" Refleks" Tidak juga. Linda sahabat baik Sekar, bahkan terhitung
saudara sepupu. Jadi saat melihat Linda tadi, seluruh kenangan lama bersama
Sekar kembali. Rosie pelan beranjak duduk kembali.
"Eh iya, Sekar" Baik. Dia baik-baik saja."
"Aku lama sekali tidak menghubunginya. Kau tahu, kan."
Linda tersenyum, aku lalai mengenali senyum itu amat getir.
"Sekar baik-baik saja, Mas Tegar." Terdiam sejenak.
"Kau menginap di Bali" Kapan kau kembali ke Jakarta?"
"Besok pagi. Penerbangan pagi-pagi. Harus kerja setengah-hari. Tidak ada
lagi boss sebaik Mas Tegar sekarang. Kantor dipenuhi ekspat, kerja rodi."
"Frans masih di sana?"
"Masih. Bahkan ruangan kerjanya tetap sama. Eh, aku tidak bisa lama-lama
Mas Tegar, harus segera kembali ke penginapan."
"Titip salam buat Frans." Aku tersenyum.
Linda mengangguk. "Buat teman-teman lain."
Linda mengangguk lagi, "Akan kusampaikan."
"Juga buat Sekar. Aku harap dia baik-baik selalu,"
Senyap. Anggrek menatap lamat-lamat wajah ibunya.
Linda tersenyum. Bersalaman. Bergegas pergi.
Sisa makan malam lebih lengang. Hanya Mitchell yang tetap riang. Anakanak entah mengapa kehilangan selera makan sekaligus berceloteh. Rosie lebih
banyak menunduk. Pukul 21.30 aku membawa Rosie dan anak-anak kembali ke shelter. Anakanak melambaikan tangan ke Mitchell. Made mengemudikan mobil, melesat
menuju utara Jimbaran. Tiba setengah jam kemudian. Persis batas jam malam.
Lelah. Anak-anak langsung lompat ke atas tidur. Rosie kembali ke kamarnya.
Aku juga lelah, tertidur di atas sofa shelter.
Esok pagi, setelah berkemas, memeluk ibunya erat-erat, memeluk Ayasa,
anak-anak menaiki mobil. Rosie menjabat tanganku, tersenyum datar. Beberapa
detik, Made pelahan menekan pedal gas, menuruni pebukitan. Kembali,
rombongan kami kembali ke Gili Trawangan. Perjalanan estafet yang panjang.
Anak-anak setelah tidur nyenyak semalaman, malah bangun kesiangan,
kembali riang di dalam mobil. Terlupakan, atau tidak penting lagi memikirkan
Linda dan percakapannya tentang Sekar tadi malam. Mereka sibuk
membicarakan Om Mitchell yang jahil. Panjang umur, yang dibicarakan muncul
di Dermaga Marina, Denpasar. "Aku tadi berharap akan satu kapal cepat
bersama kalian. Dan ternyata benar. Bukan main. Akan menyenangkan sekali.
Pagi Lili" Masih marah sama Om Mitchell." Bule dari London dengan aksen
Melayu itu tertawa. Lili melengos, meski tidak menatap galak lagi.
Anak-anak ramai bermain tebak-tebakan dengan Mitchell sepanjang
perjalanan. Berseru-seru protes saat Mitchell jahil. Mitchell terlalu banyak
ngarangnya. "Berapa kali kodok perlu melompati rel kereta yang lebarnya dua
meter kalau dia bisa bergerak sejauh setengah meter setiap kali melompat?"
Anak-anak mudah saja menjawabnya, perhitungan aljabar sederhana. Mitchell
menggeleng-geleng. Bukan. Bukan itu jawabnya. Sakura berseru lantas apa dong
jawabannya, gemas. "Tidak pernah. Itu kodok tidak pernah bisa melompati rel.
Orang kodoknya ditabrak kereta, mati duluan." Mitchell tertawa puas.
Anak-anak berseru-seru sebal. Aku ikut tertawa. Guru terbaik urusan ngeles
itu siapa lagi kalau bukan Mitchell. Lili menyeringai, ikut tertawa dengan tebaktebakan itu. "Nah, Lili ketahuan ketawa, katanya lagi marah sama Om Mitchell"
Nggak boleh ketawa-ketawa." Lili langsung melengos lagi.
Kami tiba lepas tengah hari di Gili Trawangan. Oma memeluk anak-anak satu
persatu. Anak-anak berebut menceritakan Rosie, festival layang-layang, makan
malam di shelter, Om Mitchell dan seterusnya. Lian membantu membawa
ransel-ransel ke dalam. Perjalanan yang menyenangkan, ada banyak kejadian


Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penting tiga hari ini. Sayang, aku tidak menyadari, bagian terpentingnya justru
saat bertemu dengan Linda.
Esok paginya, kehidupan anak-anak kembali normal, rutinitas harian. Sekolah.
Belajar. Di Gili Trawangan, detik demi detik waktu berlalu dengan cepat dan
indah. Mitchell bergabung dengan turis lain. Duduk di sepanjang pantai
menghabiskan senja. Menatap sunset yang memesona. Makan malam bersama,
menyelam, apa saja yang bisa dilakukan di pulau kecil kami.
Lian sibuk, ia sepanjang hari mengganti lampion-lampion. Beberapa plastik
pembungkus lampion yang lama sudah mulai terkelupas. Sudah saatnya diganti.
Anak-anak ikut membantu memasang lampion di teras resor. Jasmine
menggantungkan satu lampion persis di depan teras tempat kami biasa duduk
berbincang di malam hari. Membuat terang.
Seminggu berlalu tanpa terasa. Clarice meneleponku dari Kepulauan Raja
Ampat, Papua. Bertanya kabar Rosie. Aku bilang dua minggu lagi Rosie akan
pulang. Clarice berseru riang. Mitchell yang kebetulan berada dekatku
mengambil alih pembicaraan. Dua bule bicara satu sama lain. Tertawa. Aku
menatap remang pantai Gili Trawangan. Lampion-lampion yang dipasang Lian
lebih banyak, lebih rapat dibandingkan sebelumnya. Lampion-lampion itu
menjuntai di atas kawat-kawat.
Malam ini anak-anak sibuk belajar. Aku tidak menghabiskan waktu bercerita
di kamar mereka. Anak-anak sedang ujian, tenggelam dengan buku-buku
pelajaran. Sakura bahkan menempeli pintu kamar mereka dengan kertas
bertulisan, "DILARANG MASUK! APALAGI OM MITCHELL." Aku tertawa
saat pertama kali membacanya. Dua tahun terakhir, sejak kejadian Rosie kalap
dulu, Mitchell sudah seperti bagian keluarga.
Mitchell lama bicara dengan Clarice. Aku yang duduk di sebelahnya menelan
ludah. Teringat sesuatu. Telepon" Rosie sudah hampir seminggu tidak
meneleponku. Jangan-jangan telepon genggamnya disita perawat" Menghela
napas. Tidak mungkin. Rosie sudah diperbolehkan sejak dua minggu lalu
melakukan kontak keluar. Tetapi kenapa ia tidak meneleponku"
Malam semakin lengang. Beberapa turis melambaikan tangan, meninggalkan
meja makan di tepi pantai. Nyala api unggun semakin kecil. Aku merapatkan
sweater. Saatnya kembali ke bangunan utama resor. Mitchell sudah dari tadi
kembali ke kamarnya. Lelah sepanjang hari menyelam di palung Gili Meno,
seperti biasa berburu menyaksikan tarian penyu.
Malam ini ada banyak potongan kejadian yang kupikirkan. Lagi-lagi tanpa
mata rantai yang jelas. Acak. Hilang satu muncul dua. Aku juga tidak tahu
bagaimana urutan sekuensial kejadian itu bisa memenuhi kepalaku. Lompat
sana. Lompat sini. Anak-anak. Rosie. Nathan. Oma. Enam belas bungalow.
Sekar. Perusahaan sekuritas. Resor. Linda. Pertunangan. Sekar. Tiga puluh tujuh
tahun. Clarice. Sekar. Anggrek biru. Edelweis. Sekar. Anak-anak. Kejadian di
Jimbaran. Vonis pengadilan. Sekar. Sekar. Sekar.
Menghela napas. Meraih telepon genggam. Aku akan menelepon Rosie,
bertanya kabarnya, kenapa sudah seminggu tidak menghubungi.
Satu kali nada tunggu, "Malam, Tegar." Suara Rosie terdengar.
"Malam, Ros." Aku pikir ia sudah tidur. Sedikit kaget dengan cepat sekali
telepon genggam itu tersambungkan. "Kau belum tidur?"
"Secara teknis sudah. Lampu sudah dimatikan. Sudah berbaring dibalik
selimut. Memejamkan mata. Tapi tidak bisa." Rosie tertawa pelan.
Aku ikut tertawa. "Apa kabar anak-anak?"
"Anak-anak sedang belajar di kamar. Minggu ini mereka ujian. Aku harap
nilai mereka bagus-bagus."
"Anak-anak selalu menghargai apa yang kau harapkan, Tegar. Selalu
menghargai apa yang kau katakan."
"Well, begitulah pengaruh positif Paman paling hebat, keren, dan super."
Rosie pura-pura batuk. "Kenapa kau tidak menelepon selama seminggu?" Aku bertanya.
"Eh, aku, aku takut telepon-telepon itu mengganggumu." Rosie patah-patah
menjawab setelah diam sebentar.
Aku tertawa, bergurau, "Setelah hampir tiga bulan, baru sekarang kau
menyadari apakah telepon malam-malam itu menggangguku, Ros."
Rosie di seberang sana menyeringai tanggung, memerah mukanya.
"Apa yang sedang kau lakukan?" Rosie bertanya.
"Sama, secara teknis sudah tidur. Di atas sofa. Meregangkan kaki-kaki.
Memejamkan mata. Sayang tidak bisa. Aku mengkhawatirkan telepon genggam
yang kubelikan itu disita perawat. Mahal dulu membelinya."
Kami tertawa kecil. "Aku boleh bertanya satu hal?" Rosie berkata pelan selepas tawa.
"Boleh. Tapi hanya satu. Kau tahu, satu pertanyaanmu terkadang butuh satu
hari untuk dijawab."
Tertawa lagi. Diam sejenak. Aku mendengar Rosie menghela napas.
"Apa, eh, apa yang akan kau lakukan setelah aku sudah boleh pulang nanti,
Tegar?" "Apa yang akan aku lakukan?" Aku menyeringai. Tidak mengerti.
"Eh, maksudku dua minggu lagi aku sudah boleh pulang. Itu berarti anakanak". Dulu kau bilang kau hanya akan tinggal di resor hingga aku sembuh. Eh,
apakah kau akan kembali ke Jakarta" Melanjutkan kehidupan yang
menyenangkan di sana, misalnya."
"Kau bergurau, Ros, kehidupan yang menyenangkan bagiku ada di resor.
Anak-anak, Oma, kau. Maksudku, aku menyukai setiap jengkal Gili Trawangan.
Tetapi itu secara teknis. Aku kan hanya tamu. Kalau kau setelah pulang nanti
tidak keberatan, aku akan tetap tinggal di resor. Kalau kau ternyata keberatan,
aku, " "Tidak. Aku tidak keberatan." Rosie memotong. Intonasi kalimat yang ganjil
sekali. Aku terdiam. Rosie di seberang telepon menggigit bibir, mukanya
semakin merah. "Aku senang kau ada di resor. Akan menyenangkan sekali melihat kau tetap
berada di antara anak-anak saat aku pulang nanti. Menghabiskan hari-hari
bersama. Itu akan sangat menyenangkan"." Rosie berkata pelan.
"Eh, tadi Clarice menelepon, Ros." Aku menelan ludah, buru-buru
mengalihkan topik pembicaraan. Malam semakin lengang.
Ujian anak-anak berjalan lancar. Sebenarnya tidak lancar-lancar amat, Sakura
rusuh setiap kali selesai. Kebiasaan buruknya. Setiap pulang dari sekolah
berceloteh di atas kapal-cepat. Menepuk jidatnya berkali-kali saat mengecek
jawaban dari buku pelajaran. Seperti kali ini, hari terakhir ujian, Sakura sibuk
berseru kecewa. Memasang wajah menyesal, mengeluhkan jawabannya yang
keliru. "Mending mikirin diving ntar sore, Kak!"
Jasmine menyeringai melihat kakaknya. Sakura tetap saja mengeluhkan
kenapa ia tadi salah tulis. Salah baca soal. "Yee, nggak ada gunanya juga. Sudah
selesai ujiannya." Jasmine bete.
"Memangnya salah berapa?" Anggrek bertanya, nyeletuk.
"Salah dua." "Dari berapa soal?"
"Lima puluh." Anggrek menimpuk adiknya dengan kotak minuman. Ia saja yang salah dua
dari sepuluh soal nggak segitu-gitunya. Aku tertawa, menekan pedal gas lebih
dalam, kapal cepat itu melesat satu senti di atas permukaan air. Mesinnya baru
diperbaiki dua hari lalu, tenaganya jadi besar sekali. Aku melirik pergelangan
tangan, hari ini harus tembus rekor di bawah sepuluh menit.
"Lili kenapa nggak ikut, Paman?"
"Lili kan pilek. Tadi merajuk mau ikut. Daripada ingusnya meracuni ikan-ikan
di laut mending nggak usah." Aku nyengir.
"Paman, kita sore ini jadi diving, kan?"
"Tergantung Om Mitchell, kan dia yang ngajak." Aku tertawa.
"Lihat saja, kalau Om Mitchell berani batalin acaranya Sakura kunci
kamarnya, piringnya Sakura kasih merica, kursinya Sakura kasih permen karet.
Terus pintu kamarnya Sakura kasih tanda, pengkhianat." Sakura menyeringai
jahat. "Kemarin Sakura ujiannya salah tiga, kan" Kemarinnya lagi salah lima,
bukan?" Anggrek nyengir, sengaja memotong kalimat Sakura.
"Yee, Kak Anggrek jadi bikin ingat lagi." Sakura melotot.
Kapal cepat itu meliuk mendekati dermaga. Bagai burung pelikan menyambar
ikan, atau seekor angsa, kapal cepat itu merapat mulus. Sepuluh menit satu detik.
Aku menghela napas. Masih lebih satu detik. Anak-anak berloncatan.
Makan siang dengan cepat, lantas mereka beramai-ramai menyambangi kamar
Mitchell. Menggedor pintunya. Mitchell jahil sekali, pura-pura menguap keluar
dari kamarnya. "Ada apa sih" Om kan lagi tidur. Tidak tahu sopan-santun."
Sakura langsung melotot. "Om Mitchell nggak lupa janjinya, kan" Bakal
ngajak diving setelah ujian kita-kita selesai?"
"Janji apa?" Sakura sudah siap-siap memasang kuda-kuda. Mitchell tertawa.
Bagi anak-anak menyelam hal yang biasa. Anggrek, Sakura, dan Jasmine
setiap minggu sering menyelam, setidaknya snorkeling. Tetapi menyelam
bersama Mitchell selalu hebat. Mitchell mengenali setiap jengkal laut Gili. Ia
tahu persis lokasi yang memesona. Hafal potongan terumbu karang, tahu di
mana harus menemukan gurita, rombongan baracuda -meski berbahaya
mendekati mereka, ikan pari, dan pamungkasnya penyu. Mitchell seperti
memiliki indera keenam, bukan keberuntungan pemula seorang penyelam.
Satu jam dihabiskan untuk menyiapkan perbekalan.
Beberapa pelayan menyiapkan tabung-tabung oksigen, baju, kacamata selam,
fin (sepatu katak). Aku memasukkan tenda dan keperluan lainnya ke atas perahu.
Mitchell bilang waktu terbaik untuk menyaksikan tarian penyu satu jam
menjelang sunset. Kami akan bermalam di pantai Gili Meno, menyaksikan
penyu-penyu bertelur di malam hari dan melepas tukik penyu esok dini hari.
Anak-anak terlihat semangat membawa peralatan.
Aku kesulitan membujuk Lili untuk tidak ikut. Gadis kecil itu satu kali
membuang ingus, dua kali merajuk, menatap memohon, bersiap menangis. Demi
melihat matanya yang penuh harap, aku terpaksa mengizinkannya ikut.
Menyuruhnya minum obat, memakai balsem, jaket tebal dan sebagainya. Lili
menurut, mengangguk-angguk riang.
Pukul 15.30, perahu dengan lantai dibuat sedemikian rupa agar bisa melihat
dasar laut beranjak pelan meninggalkan dermaga Gili Trawangan. Kepala anakanak tertuju ke lantai kaca, menunjuk-nunjuk dasar laut yang terlihat bening.
Matahari petang bersinar terik. Kerlap-kerlip cahaya menerobos air membuat
pemandangan semakin memesona. Mitchell mengarahkan perahu ke palung
beberapa ratus meter dari Gili Meno. Melempar jangkar. Anak-anak terampil
memakai pakaian selam mereka.
Sakura bersenandung riang. Anggrek membantu memasangkan tabung
oksigen. Jasmine tidak akan menyelam. Terlalu kecil. Ia mengenakan snorkel,
melihat terumbu karang dari permukaan laut. Lili sama sekali tidak turun ke air,
meski ia sudah pandai berenang. Pilek.
Aku yang menemani di atas perahu. Lima belas menit bersiap, Sakura
melambaikan tangannya ke Lili, lantas terjun ke beningnya air, menyusul
Mitchell yang sudah duluan terjun. Anggrek melompat berikutnya.
Kepala Lili kembali ke lantai kaca. Menatap dasar lautan yang indah. Perahu
terombang-ambing pelan. Jasmine memperbaiki posisi snorkel, loncat ke air.
Aku meneriakinya agar tidak jauh-jauh. Jasmine mengacungkan tangannya.
Langit biru, burung camar melenguh di kejauhan, terbang dalam formasi limaenam, angin berhembus pelan.
Lili menarik-narik tanganku. Aku mendekat. Ia sibuk menunjuk-nunjuk ke
bawah. Aku tersenyum. Kedalaman tiga meter di bawah perahu, terlihat mekar
melambai-lambai tumbuhan anemon laut berukuran besar. Di antara kelepak
anemon itu, beberapa ekor ikan badut berenang, ikan mungil dengan garis-garis
merah. Satu teripang besar tergeletak di dekatnya, terumbu karang, bintang laut
berwarna biru. Ikan-ikan kecil terlihat berenang. Bergerak ke sana-kemari,
beberapa belut laut merayap perlahan.
Lili tertawa melihat Jasmine yang tiba-tiba meluncur di bawah perahu,
mengambil bintang laut. Melambaikan tangan melalui dasar kaca perahu. Lili
bergegas berpegangan pada tepi perahu, kepala Jasmine keluar dari sisi perahu
satunya. Menyemburkan air.
"Lihat, bagus, kan?" Jasmine mengulurkan bintang laut itu.
Lili menyentuhnya. Takut-takut.
"Lili pegang, deh. Nggak gigit." Jasmine melepaskan bintang laut itu.
Lili refleks malah ikut melepaskannya. Menyeringai. Bintang laut itu
meluncur ke dalam air. Tertawa. Sepanjang senja Jasmine sibuk menyelam,
mengambil apa saja yang bisa ditangkapnya, lantas memperlihatkan pada Lili.
Aku duduk di buritan kapal. Mengamati. Matahari semakin turun.
Aku belum pernah melihat tarian penyu seperti yang diceritakan Mitchell.
Tetapi aku percaya itu ada. Mitchell memang suka bergurau, melebih-lebihkan
sesuatu, tetapi urusan menyelam, Mitchell jagonya. Anggrek dan Sakura
mungkin sudah menjejak ke kedalaman belasan meter di bawah sana. Sedang
berburu tontonan menakjubkan itu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, mereka
bersama Mitchell, penyelam profesional bersertifikat.
Jasmine terlihat tertawa bersama Lili. Mentertawakan entahlah. Bentuk
terumbu karang yang lucu mungkin. Dulu aku dan Rosie juga suka sekali
menyelam. Dulu belum ada peralatan menyelam canggih. Kami hanya
menggunakan kacamata selam seadanya. Meluncur ke dasar lautan sekuat paruparu bisa menampung oksigen. Muncul lagi di permukaan. Menyelam lagi. Naik
lagi. Anak-anak sekitar pulau terbiasa melakukan itu. Lihatlah Jasmine, dengan
mudah melewati seluruh badan perahu dalam satu tarikan napas. Bergerak di
dalam air seperti penyelam dewasa.
Satu jam berlalu, Jasmine yang kelelahan turun-naik menyelam, naik ke atas
perahu. Melepas peralatan snorkeling. Lili menyerahkan handuk kering.
Matahari siap tenggelam di kaki langit. Lautan semakin remang. Jasmine
membuka kotak plastik berisi roti yang disiapkan Oma tadi. Lapar, menyelam
menghabiskan banyak kalori.
Aku duduk berjejer bersama Jasmine dan Lili. Menatap siluet sunset. Langit
jingga. "Hidung Lili masih mampet?"
Lili menggeleng. Aku tersenyum mengelus kepalanya yang tertutup topi rapat.
Harga kesepakatannya. Sejak kapan coba Lili mau memakai topi"
Empat puluh tujuh detik yang hebat.
Matahari sempurna hilang di batas cakrawala.
Kepala Mitchell, Anggrek, dan Sakura keluar dari remangnya lautan lima
menit kemudian. Naik ke atas perahu. Sakura tertawa lebar melepas kacamata
selamnya. "Wuih, keren habis, Uncle."
Jasmine menatap sirik kakaknya. Lili mengerjap-ngerjap.
"Penyunya benar-benar menari, Uncle." Sakura melempar kaki kataknya.
"Penyunya banyak, Kak?" Jasmine bertanya penasaran.
"Banyak." Sakura meletakkan tabung oksigen.
Mitchell tertawa, "Mereka benar-benar beruntung, bisa melihatnya dari jarak
dekat. Biasanya penyu-penyu itu menghindari kontak dengan penyelam."
Aku menghidupkan mesin perahu, menarik jangkar. Sakura sibuk
menceritakan apa yang dilihatnya barusan. Sepotong-potong. Loncat sana-sini.
Perahu bergerak pelan menuju pantai Gili Meno, malam ini kami akan
berkemah. Menunggu jadwal nanti malam, mengintip penyu-penyu naik ke
daratan untuk bertelur, dan jadwal besok pagi-pagi sekali, saat sinar matahari
menjejak pucuk-pucuk pohon Gili Meno, anak melihat tukik (anak penyu)
merangkak menuju lautan. Anak-anak kembali dengan pakaian kering, menumpang mandi di rumah
penduduk. Bungkusan plastik baju basah diletakkan di dekat tenda. Lili yang
hanya duduk-duduk melihatku dan Mitchell mendirikan tenda bergabung
bersama celoteh Sakura. Dua tenda berdiri dengan kokoh. Satu untuk anak-anak.
Satu lagi untukku dan Mitchell. Anggrek menyiapkan sleeping bag dan peralatan
lainnya. Pukul 19.30, makan malam. Aku menghidupkan api unggun. Membawa
tusukan bilah bambu. Menurunkan kotak es yang menyimpan cumi segar dari
perahu yang tertambat di bibir pantai. Makan malam yang seru. Duduk jongkok.
Lili membakar sendiri cumi jatahnya. Kali ini jauh lebih terampil dibandingkan
di Segara Anakan. Menunjukkan dengan bangga hasil bakarannya. Mitchell
menuangkan bumbu. Angin laut bertiup kencang. Suara ombak membuncah
bibir pantai terdengar menyenangkan.
Pukul 20.30 tidak ada lagi cumi yang tersisa. Anak-anak duduk menjeplak di
atas hamparan pasir, kekenyangan. Api unggun menyala terang. Aku
menambahkan beberapa potong kayu bakar lagi. Lautan terlihat remang, bulan
menyabit di angkasa, bintang-gemintang. Lampu-lampu bangunan di Gili Meno
terlihat kerlap-kerlip. Gili Trawangan terlihat di seberang sana, juga dengan
lampu yang berkerlap-kerlip. Sakura masih sibuk bercerita kepada Lili dan
Jasmine tentang penyu yang dilihatnya tadi.
"Kalian tahu, penyu adalah binatang paling setia di dunia." Mitchell
memotong cerita Sakura yang sejak tadi apa-daya hanya itu-itu saja, belum lagi
melihat gaya Sakura yang sok-menyombong pada Jasmine dan Lili.
Jasmine dan Lili menoleh, lebih tertarik kalimat Mitchell, bosan


Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengarkan cerita Sakura, diulang-ulang. Anggrek juga ikutan menoleh.
Sakura mengeluarkan puh sebal, tapi ikutan menoleh.
"Kalian bayangkan, di suatu malam yang lengang dan spesial, malam yang
gelap gulita, seekor induk betina penyu datang bertelur di pantai ini, menimbun
telurnya dengan pasir, lantas setelah semua selesai, induk penyu pergi. Telurtelur ditinggalkan begitu saja, dibiarkan berjuang sendirian. Hari demi hari
berlalu, minggu demi minggu terlampaui, hingga di suatu pagi yang juga
lengang dan spesial, telur-telur itu akhirnya menetas. Kalian mau tahu apa yang
terjadi berikutnya?" Mitchell berkata takjim.
Anak-anak Rosie serempak mengangguk, tidak sabaran.
Aku menyeringai melihat gaya Micthell bercerita.
"Nah, tukik atau anak penyu yang baru menatap dunia itu kemudian
merangkak pelan di atas hamparan pasir. Tahukah kalian, mereka sejak kecil
sudah ditanamkan perasaan setia itu. Mengenali aroma lingkungan tempatnya
dilahirkan. Mengenali udara, suhu, matahari, angin yang berhembus, setiap
jengkal muasal mereka." Mitchell mengangkat tangannya, seperti seekor anak
penyu sedang merasakan langit-langit malam.
Lili ikutan mengangkat tangannya. Aku nyengir melihatnya.
"Dengan kaki yang masih lemah, anak-anak penyu itu merangkak pelahan ke
tepi pantai. Menjemput janji kehidupan seiring cahaya matahari pagi terbit.
Bagai barisan pesawat mereka bergerak menjamah debur ombak pertama. Saat
itulah mereka mengikrarkan janji setia. Mereka akan pergi bertualang
menjelajahi samudera luas. Beranjak besar. Menjadi penyu remaja. Mengenal
setiap sudut kehidupan lautan. Tapi mereka akan pulang suatu saat nanti. Kalian
tahu, penyu bisa mengarungi beribu-ribu mil sepanjang tahun. Hingga menjejak
belahan benua lainnya. Dan ketika mereka siap untuk mencari pasangan. Penyupenyu itu akan kembali ke sini. Menunaikan janji setia yang pernah mereka
ikrarkan." Micthell berkata amat takzim.
Api unggun bergemeletuk. Anak-anak terpesona.
"Dan ajaib, inilah yang jarang diketahui banyak orang, penyu hanya memiliki
satu pasangan selama hidupnya. Saat mereka kembali untuk pertama-kalinya,
mereka secara naluriah, akan jatuh cinta dengan penyu betina yang dulu pertama
kali ditemuinya. Saat membentuk barisan di pantai dulu, saat kanak-kanak.
Itulah yang akan menjadi pasangan sehidup-semati. Saat mereka bertemu
kembali, mereka akan melakukan tarian penyu. Setelah induk betina bertelur,
pasangan itu berpisah lagi. Menjelajahi samudera luas.
"Musim berlalu, ketika musim kawin tiba, mereka akan kembali. Kembali
meski terluka, tidak peduli batok keras mereka retak, tangan-tangan lumpuh.
Kembali menemukan pasangannya dulu. Tidak tertukar. Tidak berganti. Sejauh
apa pun mereka menjelajahi lautan. Sejauh apa pun mereka melihat sudut dunia.
Secantik apa pun penyu betina lain yang ditemukannya."
Lili dan Jasmine tertawa cekikikan melihat Micthell menggerak-gerakkan
kedua tangan untuk menunjukkan secantik apa pun barusan.
"Mereka akan kembali. Kembali ke takdir pasangannya. Karena itulah janji
setia penyu. Terucapkan saat kaki-kaki kecil mereka, kaki-kaki kanak-kanak
mereka menuju lautan luas. Janji setia pada takdir pasangannya." Mitchell
takzim menangkupkan kedua belah telapak tangan, mengakhiri cerita.
Anak-anak menghembuskan napas.
Aku terdiam. Anak-anak masih asyik berceloteh setelah cerita Mitchell. Untuk pertama
kalinya Sakura memasang wajah lebih serius saat bertanya ke Mitchell. Malam
semakin naik, Lili menguap setengah jam kemudian. Saatnya tidur. Mereka juga
harus bangun tengah malam nanti untuk melihat penyu betina mendarat ke
pantai, bertelur. Anak-anak masuk ke tenda. Menyisakan aku dan Micthell.
Api unggun mulai padam. "Cerita yang hebat. Kau tidak berbohong, bukan?" Aku menyeringai.
Mitchell tertawa, "Suatu saat mereka akan tahu separuh cerita itu bohong.
Tapi mereka akan belajar banyak dari cerita itu. Setidaknya membuat mereka
mencintai penyu." Aku ikut tertawa. "Apakah penyu itu benar-benar menari?"
"Kau harus melihatnya sendiri." Mitchell bangkit, menepuk-nepuk celana dari
pasir, beranjak tidur lebih dulu, lelah setelah menemani sekaligus mengawasi
Anggrek dan Sakura menyelam tadi.
Aku masih duduk. Apa pun alasan Mitchell mengarang cerita itu, cerita
Mitchell tetap membuatku berpikir banyak. Penyu-penyu itu kembali,
menunaikan janji setia, tidak peduli meski seluruh pantai ini pelan-pelan berubah
menjadi pemukiman. Tidak peduli meski harus menempuh perjalanan jauh yang
melelahkan dan menyakitkan. Tidak peduli.
Aku menghela napas, bangkit, beranjak masuk ke tenda.
Pukul 00.30 weker yang dibawa Mitchell berbunyi. Ia semangat
membangunkan anak-anak. Anggrek dan Sakura tersuruk-suruk mengantuk
mengikuti langkahnya. Jasmine dan Lili malah seperti berjalan sambil tidur.
Mereka baru sempurna terbangun saat pelan-pelan mendekati lokasi, melihat
penyu yang satu-dua mulai mendarat di pantai. Persis seperti tank amfibi militer
yang merangkak naik, menuju tempat bertelur. Hening. Hanya terang bulan dan
bintang-gemintang yang menerangi. Anak-anak antusias mengintip dari sela-sela
pohon bakau, saling sikut.
Penyu-penyu itu memang selalu kembali ke sini untuk bertelur.
Pukul 01.30 kami kembali ke tenda, berusaha meneruskan tidur.
Menjelang subuh, Mitchell sekali lagi riang membangunkan anak-anak.
Mereka menguap. Melangkah gontai. Lili malah malas keluar dari tenda. Aku
tertawa menggendongnya. Kami akan melihat tukik, anak penyu yang menetas
dari telur yang disembunyikan induknya dua bulan sebelumnya. Bukan main,
sungguh pemandangan yang memesona. Puluhan tukik itu merangkak menuju
lautan seiring cahaya matahari menyentuh pucuk-pucuk pohon.
Anak-anak berseru-seru riang. Mitchell melarang Jasmine yang tak-tahan
gemas ingin membantu tukik-tukik itu, "Kau tidak ingin merusak takdir jodoh
mereka, bukan" Rangkakan bersama ini menggurat kisah cinta mereka,
Jasmine." Aku menyikut perut Mitchell. Kali ini ia berlebihan.
Micthell, Sakura, Jasmine,. dan Lili melangkah mengikuti tukik terakhir
menuju bibir pantai, seperti mengiringi serombongan bebek pulang kandang.
Anggrek dan aku berdiri tertinggal di belakang, agak jauh. Angin pagi bertiup
pelan. Pemandangan yang memesona. Aku menoleh ke Anggrek. Tersenyum.
Gadis remaja itu juga sedang menatapku, lamat-lamat. Entah apa yang sedang
dipikirkannya. "Om, boleh Anggrek bertanya?"
"Pertanyaan apa?" Aku menyelidik, suara Anggrek terdengar berbeda.
"Satu pertanyaan saja." Anggrek menelan ludah.
"Apa?" Aku tertawa melihat ekspresi mukanya.
Gadis remaja diam sejenak, "Anggrek dulu pernah mendengar Oma bicara
dengan Om. Maaf, Anggrek menguping. Kata Oma, Om punya janji kehidupan
yang lebih baik di Jakarta. Apakah, eh, Ibu akan pulang minggu depan, kan.
Apakah, eh, Om dulu juga pernah bilang ke Oma hanya menemani kami hingga
Ibu sembuh, lantas kembali ke Jakarta. Apakah". Apakah Om akan pergi
setelah Ibu pulang?"
Aku menatap wajah Anggrek. Ternyata pertanyaan itu. Gadis remaja itu balik
menatapku lamat-lamat. "Om akan tetap tinggal di sini."
Anggrek tersenyum lebar, senang. Ia menyentuh lenganku.
"Boleh Anggrek bertanya satu kali lagi?"
"Katanya hanya satu?"
"Eh, Anggrek senang sekali Om akan terus tinggal di sini." Anggrek
mengabaikan kalimat keberatanku, "Ibu juga akan senang". Eh, tapi Om kan
punya janji kehidupan yang lebih baik di Jakarta. Bibi Se" eh, maksud Anggrek
kenapa Om tetap tinggal" Om sudah mengorbankan banyak hal."
Aku menatap Anggrek, menghela napas pelan. Aku sungguh tahu maksud
pertanyaannya. Anggrek hampir melepas nama Sekar.
"Karena Om senang tinggal bersama kalian. Anak-anak yang nakal, bandel,
jahil. Suka teriak-teriak." Aku mengacak rambut Anggrek.
"Boleh Anggrek tanya satu kali lagi?" "Katanya hanya satu tadi?"
"Ini yang terakhir. Janji." Anggrek menelan ludah.
Aku menatapnya. Apa"
"Tapi Om tidak akan marah, kan?"
Aku menggeleng. "Benar nggak bakal marah?"
Aku tertawa. Mengangkat dua jari. Janji.
Anggrek tertunduk sebentar. Mengais-ngais pasir dengan ujung kakinya.
"Apakah, apakah Om masih mencintai Ibu seperti dulu?" Anggrek tetap
menunduk, seperti bertanya ke pasir yang diinjaknya.
Senyap seketika. Bahkan teriakan senang Jasmine di kejauhan bersama Lili
dan Mitchell tidak terdengar. Lengang. Cahaya matahari pagi yang lembut
menerpa wajah mengisi detik waktu berlalu. Aku menatap gadis remaja itu
dengan muka kebas. Anggrek setelah sekian lama tertunduk, mengangkat
kepalanya, balas menatapku.
Aku mengenali harapan dari tatapan itu.
"Maafkan Anggrek kalau pertanyaan itu mengganggu Om. Maafkan. Tapi
Anggrek tidak bisa menahan diri untuk tidak menanyakannya Anggrek ingin
bilang". Ingin bilang, kalau Anggrek senang sekali melihat Om bisa bersamasama kami terus. Sakura juga akan senang. Jasmine juga. Lili, Lili juga akan
senang sekali." suara Anggrek tersendat.
Aku mendekap bahu gadis remaja itu.
Berbisik pelan, itu tinggal masa lalu, Anggrek. Masa lalu.
Menjelang siang perahu kayu yang kukemudikan meluncur anggun menuju
dermaga Gili Trawangan, pulang. Mitchell sibuk begurau bersama Jasmine dan
Sakura tentang gerakan tukik tadi pagi. Anggrek hanya duduk diam memandang
lautan biru, memegangi Lili yang sibuk menyentuh-nyentuh permukaan air
dengan tangannya. Akhir pekan yang menyenangkan. Akhir pekan yang
menyimpan berjuta pertanyaan.
Sulung Rosie telah mengutarakan apa yang dipikirkannya.
15. IBU PULANG Sepulang menyelam di terumbu karang Gili Meno, Lili jatuh sakit. Meskipun
kegembiraan membuatnya bertahan selama berkemah, fisiknya tidak kuasa
menahan angin malam. Hidungnya mampet, kepalanya pusing, dan mulai
demam. Sepanjang hari Lili hanya bisa beristirahat di tempat tidur, memandang
lemah kakak-kakaknya dan aku yang bergantian berjaga. Ditambah lagi, dokter
yang merawat Lili, siapa lagi kalau bukan Mitchell. Jadilah ia kebanyakan
merengut sebal melihat Mitchell yang memeriksanya sambil bercanda. Aku
selama seminggu mengurangi banyak kegiatan, membiarkan orang lain
sementara mengambil alih pekerjaan. Lian mengurus resor. Made mengurus
enam belas bungalow. Kondisi Lili membaik lima hari kemudian. Sudah mulai bisa tertawa riang
bersama kakak-kakaknya. Sudah mulai merajuk ingin ikut mengantar kakakkakaknya ke sekolah. Aku melarangnya, dan Lili merengut. Aku tertawa,
menggeleng tegas, tidak boleh. Rengutan itu hanya mempan ke Mitchell, yang
belakangan memuji rambut Lili indah.
Mitchell sudah kembali ke Inggris kemarin pagi. Jadwal berliburnya habis.
Sebenarnya, ia sudah menambah dua hari karena merawat Lili. Teman yang
baik. Lili memeluk Mitchell erat, mereka sudah berdamai satu sama lain. Aku
sempat mengantar Mitchell ke Mataram.
Hari ini aku pergi ke sekolah anak-anak, mengambil rapor Anggrek, Sakura,
dan Jasmine. Sakura berceloteh riang di atas kapal cepat saat kembali ke Gili
Trawangan. Lupa kalau seminggu lalu ia selalu cemas dengan ujiannya. Tertawa
lebar memperlihatkan nilainya. Rosie benar, anak-anak amat menghargai apa
yang kuharapkan dari mereka, menjadikan kalimat-kalimatku penting.
Hari yang sibuk di resor. Dan lebih sibuk lagi malam harinya. Pelayan sibuk
menyiapkan banyak hal. Semua dibersihkan, disikat, dibuat cemerlang.
Bebungaan memenuhi setiap jengkal bangunan, terutama bunga mawar. Anakanak juga dari tadi sore ikutan sibuk. Sakura jahil memasangkan pita warnawarni ke anak-anak si Putih. Ada delapan ekor kucing dengan pita di leher. Aku
tertawa. Jasmine dan Lili membersihkan kamar tidur, menepuk-nepuk debu,
mengganti seprai dan sarung bantal, menyikat kamar mandi. Anggrek membantu
di dapur, menyiapkan menu makanan besok. Oma juga terlihat riang sepanjang
sore. Berkeliling dengan tongkatnya. Tersenyum memperhatikan.
Minggu ini ada banyak kejadian yang menyenangkan, dan besok adalah
penutup akhir pekan yang sempurna. Besok Rosie pulang. Kegembiraan meluap
hingga penduduk pulau. Aku tidak bisa menyembunyikan kalau aku amat senang dengan kabar ini.
Entahlah apa yang persisnya aku siapkan tapi semua terasa menyenangkan.
Akhirnya resor ini kembali utuh. Anak-anak akan mendapatkan ibunya kembali.
Clarice meneleponku tadi malam. Ia sudah di Denpasar. Sengaja
menghentikan riset di Kepulauan Raja Ampat, Papua, selama dua hari. Tertawa
saat kubilang seharusnya ia tidak perlu repot-repot. "Tidak, Tegar, aku yang
mengantar Rosie ke sana, jadi aku pula yang akan menjemputnya pulang. Aku
dengan senang hati melakukannya."
Malam itu semua terasa indah. Aku bersama anak-anak berjalan di sepanjang
bibir pantai selepas makan malam bersama turis-turis. Aku menggendong Lili di
pundak, imbalan tadi pagi mau mengalah tidak diajak mengambil rapor.
Anggrek, Sakura, dan Jasmine berjalan di sekitarku. Berpindah-pindah posisi,
kadang di depan. Di samping. Pindah ke belakang. Apalagi Sakura, berputarputar seperti bulan yang mengelilingi bumi. Tertawa bergurau. Main tebaktebakan.
Langit redup, awan hitam menggumpal, menutup pesona ribuan bintang.
Apalagi bulan, sabitnya sama sekali tidak terlihat. Seharusnya mingu-minggu ini
Pendekar Bego 14 Furinkazan Angin Hutan Api Gunung Karya Yasushi Inoue Brisingr 13

Cari Blog Ini