Ceritasilat Novel Online

Sunset Bersama Rosie 6

Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye Bagian 6


nyamuk, mengisi senyap. Diam sejenak. "Apa kau ingin menceritakan sesuatu, Tegar?" Rosie bertanya pelan.
Aku menoleh, menatap wajah Rosie yang ingin tahu. Menghela napas.
Apakah aku akan mengatakannya malam ini" Memberitahu Rosie tentang Sekar
dan rencana pertunangannya besok. Aku menatap langit-langit rendah koridor.
Tidak. Mungkin belum. Aku sama sekali belum tahu akan kemana muara seluruh
permasalahan ini. Mungkin setelah esok baru terlihat terang-benderang. Setelah
Sekar membuat kesempatan sendiri untuknya.
Aku menggeleng, "Maafkan aku, Ros. Tidak malam ini."
Rosie tersenyum, mengangguk, "Kalau begitu kita harus mengarang
penjelasan ke anak-anak besok pagi. Hmm, bilang kau tiba-tiba sakit perut, tidak
tahan lagi harus ke kamar mandi, bergegas ke toilet convention center. Sialnya,
ketika mau keluar, pintu kamar mandi macet, tidak bisa dibuka. Dan kau tidak
bisa keluar tiga jam kemudian hingga petugas tidak sengaja mendengar teriakan
minta tolong yang semakin tidak terdengar karena kau hampir pingsan di dalam
toilet itu." Aku tertawa. Ide bagus. Meski Lili pun tak akan percaya dengan cerita konyol
tersebut. Anak-anak lebih pandai mengarang cerita untuk urusan ngeles seperti
ini. "Sakura hanya merajuk. Besok pagi dia pasti sudah riang kembali. Anak-anak
tidak akan pernah bisa membenci Paman paling hebat, super dan kerennya.
Mereka akan lupa. Besok pagi, seperti biasa sudah sibuk berceloteh di meja
makan." Rosie tersenyum.
Aku mengangguk. Aku tidak pernah khawatir soal itu.
Manajer hotel bersama seorang pelayan lewat di depan kami. Mendorong
trolley besar keperluan kamar. Aku mengenalinya. Manajer itu yang mengurus
konser Sang Maestro serta kamar untuk pendukung acara, termasuk kamar kami.
"Kalian berdua tidak kehilangan kunci kamar, bukan?" Manajer itu bertanya.
Aku dan Rosie menggeleng, tertawa.
"Anak yang membanggakan. Aku tadi menonton siaran langsungnya di
televisi. Lagu yang indah. Kalian berdua benar-benar orangtua yang hebat."
Manajer itu berhenti sejenak, bercakap tentang konser tadi.
Aku dan Rosie mengangguk.
Mereka beranjak pergi setelah basa-basi dua-tiga kalimat lagi.
Malam semakin naik. Lima belas menit kemudian Rosie masuk kembali ke
kamarnya. Tidak banyak yang kami bicarakan di sisa percakapan. Hanya tentang
konser. Rosie menceritakan detail pernampilan Sakura. Aku juga melangkah
masuk ke kamarku setelah lima belas menit duduk sendirian. Saatnya memaksa
diri untuk tidur. 18. KEPUTUSAN KEPUTUSAN Rosie sepenuhnya benar. Besok pagi, saat aku mengetuk kamar mereka,
Anggrek membukakan pintu, wajah-wajah itu sudah terlihat riang, sudah mandi.
Lili bahkan sudah siap dengan baju terusan berwarna biru, syal kecil di leher,
memakai sepatu, kostum jalan-jalan hari ini. Jasmine sedang mengaduk tas
bawaan. Mencari topi kesukaannya. Sakura memperbaiki kepang rambut di
depan cermin. Lili berdiri. Mata hijaunya berkerjap-kerjap. Bertanya. Kita jadi jalan-jalan,
kan" Aku mengangguk. Tersenyum.
Sempat sarapan di hotel, anak-anak mengambil porsi besar. "Eh, Paman, betul
boleh ambil semaunya?" Jasmine menyeringai melihat menu. Aku tertawa,
mengangguk. "Kan semalam nggak sempat makan, Paman." Jasmine membela
diri saat aku menatap ngeri piringnya. Makan malam sebelum konser memang
terburu-buru, takut terlambat, apalagi Rosie dan anak-anak yang tegang,
sekaligus antusias, tidak berselera makan.
Sepanjang sarapan, Jasmine dan Sakura ribut soal rencana perjalanan. "Kita
hanya punya waktu seharian, Sayang. Tidak semua tempat bisa dikunjungi.
Nanti terlambat ke bandara." Rosie menengahi. Lili mengangguk-angguk,
menyetujui ibunya. Mereka riang naik mobil, ransel sudah dimasukkan, kami sekalian check-out
dari hotel. Mereka berloncatan duduk, memasang sabuk pengaman. Aku segera
menekan pedal gas, menuju pemberhentian pertama, dunia fantasi. Mobil gesit
menyalip jalanan yang padat. "Paman, Paman, kapan Jasmine boleh belajar
nyetir?" Jasmine bertanya, senang dengan gerakan mobil yang lincah. Rosie
langsung menjawab, kapan-kapan.
"Yee, Ibu, apa susahnya belajar nyetir mobil. Jasmine kan sudah bisa nyetir
kapal cepat. Jasmine sudah bisa bawa lebih dari satu menit malah." Ups, Jasmine
buru-buru menutup mulutnya. Rosie mendelik padaku, meminta penjelasan. Aku
tertawa. Untuk urusan ini Rosie dan Oma sama saja. Mereka tidak tahu kalau
Anggrek bahkan sudah bisa membawa kapal cepat itu bolak-balik tanpa
kesulitan. Tiba di wahana permainan dunia fantasi satu jam kemudian, rombongan
pertama yang datang. Lili berseru-seru riang, menggerakan tangan dan
kepalanya, melihat seluruh permainan. Semangat berlari di depan, tapi seruannya
segera menghilang. Wahana pertama yang ingin mereka naiki hanya boleh
dilewati anak-anak dengan ketinggian minimum 120 centimeter. Cuping Lili
terangkat, mukanya mendengus sebal. Rosie tertawa, mengajaknya duduk
menonton di kursi taman. Sakura, Jasmine dan Anggrek jahil melambaikan
tangan ke Lili, naik ke atas wahana. Rosie membujuk Lili, menunjuk permainan
lain yang bisa mereka lakukan nanti.
Aku melirik pergelangan tangan, pukul 10.05.
Menghela napas. Itu berarti sekarang, acara pertunangan itu sedang
berlangsung. Semoga Sekar berani mengambil keputusan itu. Semoga Sekar
berani membuat kesempatan dengan tangannya. Sakura, Jasmine, dan Anggrek
berteriak-teriak di atas sana. Perahu itu meluncur bolak-balik, mengaduk isi
perut. Lili mendongak, menatap dengan wajah iri.
Aku tidak tahu apa yang akan kujelaskan kepada anak-anak. Belum. Lagi pula
mereka sepagi ini tidak bertanya lagi. Tapi kalau Sekar benar-benar mengambil
keputusan itu, tinggal menunggu waktu anak-anak mendapatkan penjelasannya.
Itu tidak akan mudah bagi mereka, tapi Oma benar, mereka akan baik-baik saja.
Dulu baik-baik saja, sekarang tetap akan baik-baik saja. Mereka memiliki Rosie.
Ada badut lewat, berusaha membuat atraksi. Lili menyeringai galak, tidak
tertarik. Aku nyengir melihatnya. Lili berbeda dengan kakak-kakaknya, tanpa
bicara selama ini, kemampuan ekspresi muka dan gesture tubuhnya luar biasa.
Mengendalikan siapa saja yang melihat. Gadis kecil itu sekarang sibuk berjalan
memutari kursi taman. Menatap dunia fantasi yang masih lengang. Rambut
hitam indahnya berkilauan diterpa cahaya matahari pagi. Lili selalu punya cara
untuk membuat hatinya riang. Bernyanyi misalnya. Atau seperti sekarang, sibuk
mengamati sekitar. Aku tersenyum, tidak ada yang tahu apa yang bisa diperbuat
gadis kecil ini kalau suatu hari nanti ia akhirnya mau bicara.
Aku melirik pergelangan lagi, pukul 10.15.
Acara itu benar-benar sedang berlangsung sekarang.
Semoga Sekar mengambil keputusan terbaik. Dua tahun lalu, saat Sekar dan
keluarganya menunggu untuk acara besar itu di mana aku" Aku justru sedang
panik di rumah sakit, di Bali. Acara penting itu terlupakan. Dan Sekar waktu itu
pelan bertanya melalui telepon genggam, "Kau tidak lupa kalau kita tunangan
hari ini, kan?" Seharusnya kami sudah menikah. Tinggal di rumah Kemang.
Melewati hari demi hari dengan bahagia. Aku mengusap wajah.
Sakura dan Jasmine pura-pura berjalan sempoyongan, mendekat, tertawa,
"Untung Lili nggak ikut. Lihat, Kak Jasmine saja sudah mau pingsan." Jasmine
pura-pura mau roboh. Lili menyeringai jahat. Kak Jasmine bohong. Sakura dan
Anggrek tertawa. Anak-anak terlihat riang. Setelah wahana pertama, mereka berlari-lari
mencoba wahana lainnya. Berempat berjalan berpegangan, sengaja seperti
membuat jaring. Aku dan Rosie mengikuti dari belakang. Anggrek akhirnya
menyuruh Sakura dan Jasmine hanya naik wahana yang membolehkan Lili ikut.
Aku dan Rosie sekali dua ikut naik. Masuk rumah kaca. Wajah anak-anak
menggelembung. Gepeng. Bengkak. Panjang. Pendek. Lili tertawa. Menunjuknunjuk wajahku. Sakura jelas sudah lupa dengan kejadian semalam, ia jahil
meletakkan tangannya di atas kepalaku. Membuat tanduk. Tertawa.
Memukul berang-berang. Gedebak-gedebuk. Kali ini berang-berang itu
mendapatkan musuh setara. Sakura tertawa lebar saat berhasil memukul semua
kepala berang-berang yang muncul. Mendapatkan hadiah boneka besar dari
penjaga permainan. Jasmine juga melakukan hal yang sama. Dua kali malah.
Termasuk Anggrek. Lili ingin mencoba, tapi penjaga berang-berangnya
menggelengkan kepala. Cukup. Nanti bonekanya habis diambil mereka semua.
Lili mendelik ngotot, kan nggak ada aturan minimum 120 cm-nya" Kurang lebih
begitu maksud tatapannya. Aku dan Rosie tertawa. Jasmine menyerahkan salah
satu bonekanya untuk Lili.
Mereka tidak lelah mengelilingi setiap jengkal dunia fantasi.
Aku sejak dua jam lalu juga tidak lelah melirik pergelangan tangan. Menghela
napas pelan, mengusap dahi. Apakah Sekar mengambil keputusan itu. Aku tidak
tahan ingin menelepon Linda. Tetapi itu tidak bisa kulakukan di hadapan anakanak. Mereka akan bertanya. Dan aku juga tidak bisa pura-pura pergi sebentar ke
manalah untuk menelepon. Anak-anak juga akan bertanya. Rosie dan mereka
selalu berada di sekitarku.
"Uncle, Uncle main itu, deh." Sakura menarik tanganku. Menunjuk permainan
tembak-kaleng. Mereka selesai saja menghantamkan mobil-mobilan listrik.
Rosie dan Lili satu mobil. Jasmine, Sakura dan Anggrek masing-masing pegang
satu mobil. Aku juga satu mobil. Bukan main, apalagi melihat ulah Jasmine.
Mobil listrik itu berdecit di atas arena permainan. Hanya Rosie yang sibuk
berteriak-teriak menyuruh mereka berhenti menabrak mobilnya. Percuma. Anakanak justru menyukai wahana itu karena bisa menabrakkan mobil semau mereka.
"Uncle nggak bisa menembak, Sakura." Aku menggeleng.
"Coba dulu. Kita nggak dibolehin sama yang jaga. Katanya yang pegang
senapan harus Uncle." Sakura menyeret tanganku.
Lili mengangguk-angguk, mendukung. Aku nyengir, baiklah.
Anak-anak berkerumun memberi semangat. Tersenyum senang melihat hadiah
yang dijanjikan, boneka Panda raksasa. Tiga kali kesempatan menembak.
Mereka berseru kecewa. Aku tertawa, kan, sudah dibilang Paman nggak bisa
menembak. Penjaga permainan berbaik hati memberikan miniatur boneka Panda
setelapak tangan. Setelah makan siang, mereka mengerumuni penjual es krim, sambil berjalanjalan di dekat kolam dengan puluhan ikan koi. Tangan Lili jahil mengaduk-aduk,
tangan yang satunya memegang es krim. Aku dan Rosie duduk di kursi kayu tiga
meter dari mereka. Bunga bugenville besar berbunga lebat. Merah. Putih.
Kuning. "Apa kau ada janji dengan seseorang?" Rosie bertanya. Aku menoleh.
Menjauhkan es krim dari mulut. "Kau berkali-kali melihat jam."
Aku menelan ludah, "Eh, bukan janji. Hanya telepon."
"Dari Made?" Aku menggeleng. Rosie mengangguk. Tidak bertanya lagi. Kembali ke es krimnya.
"Aku senang kau menemani kami hari ini." Rosie berkata sambil menatap
anak-anak yang sekarang sibuk mencipratkan air di kolam.
Aku sekali lagi menjauhkan es krim dari mulut. Menatap wajah Rosie yang
tersenyum. Sedetik seperti mengenali wajah lama Rosie yang segar dan
menyenangkan. Menghela napas, ikut menatap anak-anak.
"Aku juga senang kau tetap tinggal bersama kami setelah aku sembuh." Rosie
menoleh, tersenyum lebih lebar.
Aku mengangguk kaku. Sekarang aku benar-benar mengenali wajah itu. Es
krim di tanganku mencair. Membasahi tangan dan ujung lengan kemeja. Rosie
tertawa, membantu memegangkan es krim, menyerahkan tisu.
Dua jam lagi berlalu tanpa terasa. Tiga-empat wahana lainnya. Anak-anakberlarian. Rambut panjang Lili bergerak-gerak mengiringi langkahnya. Jasmine
dan Sakura saling jahil. Anggrek dan Ibunya banyak bergurau. Tertawa.
Sedangkan aku hanya bisa tersenyum tanggung. Semua ini terasa kontras. Ini
semua tidak akan mudah. Kenapa Linda belum mengabariku. Tidak bisakah ia
mengirimkan pesan pendek tentang kabar pertunangan Sekar. Aku sebenarnya
dari tadi sudah berpikir untuk mengirimkan SMS bertanya ke Linda. Menulis
pesan, itu tidak akan terlalu menarik perhatian anak-anak. Tapi tanganku
gemetar mengetikkan pesan itu. Aku cemas dengan pertanyaanku sendiri.
Ya Tuhan, apa yang sebenarnya kuinginkan" Anak-anak" Mereka tidak
memerlukanku lagi. Mereka akan baik-baik saja. Rosie" Aku menggigit bibir.
Apa aku masih mengharapkan Rosie" Cerita itu sudah tertinggal lima belas
tahun. Tidak ada lagi yang tersisa. Berapa kali lagi harus kukatakan itu. Dua
tahun silam aku jelas menginginkan Sekar. Amat yakin melangkah ke fase
hubungan serius. Menghela napas pelan, baiklah. Aku serahkan seluruh urusan
ini. Andaikata pertunangan itu batal, maka Kau menentukan jalan-kisah yang
harus kutempuh. Andaikata pertunangan itu terus, Kau juga menentukan jalankisah yang harus kutempuh, meskipun aku tidak tahu akan seperti apa ujungnya.
Tapi apa yang sesungguhnya kuharapkan dari pertunangan Sekar pagi ini"
Aku menatap anak-anak dan Rosie yang sekarang menaiki komidi putar.
Melambaikan tangan kepadaku.
Senja datang. Langit kota yang kotor terlihat memerah. Anak-anak duduk
menghabiskan minuman di salah satu kedai. Melihat anak-anak riang
mengelilingi dunia fantasi, Rosie memutuskan menghabiskan seluruh hari
hingga jadwal penerbangan nanti malam di sini. Sakura berceloteh tentang
roller-coaster yang baru saja dinaikinya ke Lili. Menggerakkan tangannya untuk
menunjukkan betapa seru wahana permainan tersebut. Lili menyeringai, tidak
tertarik, Anggrek dan Jasmine tertawa. Lili tidak akan pernah tertarik dengan
wahana yang melarangnya naik.
Sebelum pulang Rosie mengajak anak-anak naik wahana bianglala. Malam
datang, kota dipenuhi jutaan lampu. Siluet lampu jalanan dan mobil-mobil.
Lampu gedung-gedung pencakar langit. Lili berlarian menuju wahana itu.
Malam ini langit kota cerah. Formasi bintang meski tak sememesona kalau
dilihat dari puncak Gunung Rinjani atau pantai Gili Trawangan tetap terlihat
menakjubkan, apalagi berpadu dengan hamparan jutaan lampu. Kapsul bianglala
perlahan bergerak. Anak-anak sibuk menunjuk-nunjuk pemandangan di
kejauhan. Lili berdiri di pangkuanku.
Kapal-kapal nelayan di kejauhan terlihat, seperti kunang-kunang di tengah
lautan. Dermaga kota bermandikan cahaya, kerlip-kerlip. Keramaian di dunia
fantasi terlihat menakjubkan. Orang-orang terlihat seperti semut dari ketinggian
bianglala. Empat kali berputar, dan anak-anak selalu berseru-seru riang saat
kapsul kereta yang kami naiki tiba di puncaknya.
Beberapa detik sebelum putaran kelima atau yang terakhir tiba di titik
tertinggi bianglala, telepon genggamku tiba-tiba berdering. Anak-anak tidak
terlalu memedulikan. Toh, sepanjang siang tadi telepon genggamku juga sering
berbunyi, beberapa orang menelepon. Urusan resor dan sebagainya. Rosie
sedang menjelaskan ke Jasmine sepotong menara tinggi yang terlihat menjulang
dari kejauhan. Menara stasiun televisi. Sakura berseru-seru menunjuk lampu
pesawat terbang yang berpendar di atas langit. Anggrek ikutan menatap. Lili
mendongak, berpegangan dengan mencengkeram bahuku.
Nomor telepon yang tidak kukenali. Aku menyapa ramah.
Tidak ada suara yang menyahut. Menyapa ramah sekali lagi.
Hening. Aku menelan ludah. Bersiap mematikan telepon.
"Tegar." Suara di seberang terdengar pelan.
"Sekar." Aku refleks berseru.
Senyaplah seruan anak-anak.
Sekar tidak bicara banyak. Hanya sepotong kata menyebut namaku.
Tetapi itu cukup menjelaskan semua. Sekar sudah membuat kesempatan. Aku
juga tidak bisa bertanya banyak di kereta putar itu, tatapan ingin tahu anak-anak
membuatku hanya menunggu kalimat berikutnya dari Sekar. Lima belas detik
tanpa percakapan. Aku pelan meletakkan telepon genggam di saku pakaian.
"Itu Bibi Sekar, ya Paman?" Jasmine bertanya pelan.
Aku mengangguk. Mereka menatapku, amat ingin tahu.
"Kemarin malam Uncle pergi karena Bibi Sekar juga?" Sakura bertanya.
Aku mengangguk, menatap Sakura.
Kapsul yang kami naiki tiba di pondasi bianglala. Petugas membuka pintu dari
luar. Rosie turun lebih dulu. Diam. Membantu Lili turun. Anggrek, Sakura, dan
Jasmine menyusul. Aku yang terakhir. Tanpa percakapan.
Karena bianglala adalah wahana terakhir, anak-anak langsung berjalan menuju
parkiran. Mobil yang kukemudikan langsung meluncur ke bandara beberapa
menit kemudian. Semua ransel sudah dimasukkan ke dalam mobil tadi pagi.
Anak-anak sekali dua berbincang, menunjuk-nunjuk sesuatu yang menarik,
sisanya diam. Mereka tidak bersemangat seperti biasanya. Aku menatap
Anggrek yang duduk di sebelahku, gadis remaja itu hanya menatap jalanan
macet. Belum ada yang bertanya tentang Bibi Sekar. Meski aku tahu mereka
ingin sekali tahu. Ada banyak yang kupikirkan di atas mobil.
Salah satunya tentang rencana kepulanganku malam ini.
"Aku tidak bisa ikut penerbangan malam ini, Ros." Aku menyentuh lengan
Rosie setiba di lobi keberangkatan bandara.


Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rosie menatapku, mengangguk.
"Paman, kenapa Paman nggak ikut pulang?" Jasmine menyela.
"Ada yang harus Paman kerjakan." Aku mengusap rambut ikalnya.
"Bibi Sekar, ya?" Aku tersenyum tipis.
"Aku akan naik penerbangan besok, Ros. Kau duluan saja membawa anakanak ke Gili Trawangan kalau aku belum tiba. Aku tidak tahu akan haik pesawat
jam berapa, Made yang akan mengurus perjalanan kalian."
"Paman ingin bertemu Bibi Sekar, ya?" Jasmine menyela lagi.
Aku mengangguk, tersenyum.
"Ayo, Jasmine." Rosie menarik lengan Jasmine, sebelum Jasmine bertanya
banyak. Anggrek menatapku. Aku mengerti tatapan itu. Sulung Rosie bahkan sudah
menyatakan apa yang diinginkannya sejak di Gili Meno sebulan lalu. Semua
akan baik-baik saja. Anggrek menunduk. Sakura tidak banyak bicara lagi,
menggendong ransel dan kotak biolanya, melangkah duluan. Aku sempat
memeluk Lili, yang berkejap-kerjap ingin tahu. Aku tersenyum, menunjuk
Sakura yang sudah di pintu keberangkatan. Lili melepas pelukannya,
mengangkat ransel kecilnya.
"Salam buat Bibi Sekar." Jasmine berkata pelan. Aku mengangguk. Rosie dan
anak-anak melewati pintu detektor logam. Jika sekarang saja sudah tidak
nyaman, apalagi nanti. Semua ini tidak akan mudah dijelaskan kepada anakanak. Aku menghela napas untuk ke sekian kalinya.
Berlari-lari kecil kembali ke parkiran. Meraih telepon genggam di saku
kemeja, mencari nama Sekar. Lama sekali aku tidak pernah menelepon Sekar,
tersenyum simpul saat melihat bagaimana nama itu tertulis, dulu Sekar yang
menuliskannya sendiri. Dua kali nada panggil. "Kau ada di mana?" Aku bertanya langsung.
"Di rumah." Sekar menjawab pelan.
"Aku akan segera ke sana. Seharusnya butuh satu jam untuk tiba di rumahmu.
Tunggu tiga puluh menit. Semoga tidak ada petugas yang menghentikan laju
kendaraan. Kalau tidak, dia akan kesulitan mengejarku yang kabur." Aku
tertawa, menginjak pedal gas dalam-dalam. Mobil meluncur gesit keluar dari
parkiran bandara. Malam ini akan ada pembicaraan penting dengan Sekar. Aku tidak tahu akan
seperti apa. Tapi ini akan menjadi sedikit di antara pembicaraan kami selama ini
yang memiliki kesimpulan. Sekar telah membatalkan pertunangan itu, aku akan
melakukan bagianku. Aku menelepon Linda setelah menelepon Sekar, bertanya beberapa detail
kejadian tadi pagi. Linda menjelaskan, Pukul 10.05 saat acara pertunangan itu
siap dilangsungkan, Sekar tidak kunjung keluar dari kamar, malah menangis.
Seperti dengung lebah, keramaian segera menyeruak mendengar tangis itu.
Setengah jam orang tua Sekar membujuk, Sekar malah memutuskan
membatalkan pertunangan. Kacau-balau suasana. Keluarga lelaki amat
tersinggung, memutuskan segera pergi.
Aku menghela napas mendengar cerita Linda, semua ini tidak seharusnya
terjadi, seharusnya aku bisa memutuskan banyak hal dua tahun silam. Terus
menyalip mobil-mobil yang berjalan merayap di depan, memperbaiki posisi
handsfree di telinga. "Aku tidak tahu apakah aku harus senang melihat Sekar membatalkan
pertunangannya. Astaga, seharusnya aku tidak mengatakan rencana pertunangan
Sekar kepada Mas Tegar di convention center. Lihatlah akibatnya" Seharusnya
aku tutup mulut." Suara Linda terdengar bergetar.
"Kau melakukan hal yang benar dengan memberitahuku, Linda." Aku
menelan ludah, membanting stir ke kiri. Sekali lagi memperbaiki posisi
handsfree di telinga. Diam sejenak.
"Apa yang akan Mas Tegar lakukan?"
"Menemuinya. Sekarang."
Linda terdengar menghela napas, "Apa Mas Tegar masih mencintai Sekar?"
"Kau berkali-kali menanyakan hal serupa. Aku mencintainya, Lin. Aku
pernah berjanji untuk hidup berkeluarga dengannya. Kau tahu, aku bahkan
menyiapkan banyak hal untuk rencana besar itu."
"Tetapi itu dulu."
"Tidak ada bedanya. Dulu atau sekarang, janji itu tetap sama. Aku punya janji
kehidupan bersama Sekar." Linda terdiam. Mobil yang kukemudikan keluar dari
tol. "Apakah Mas Tegar akan meninggalkan Gili Trawangan?"
"Aku belum tahu. Yang pasti Sekar tidak akan suka tinggal di sana, bukan?"
Aku tertawa, menekan klakson, menyuruh minggir mobil di depanku yang
berhenti sembarangan. "Apakah Mas Tegar akan meninggalkan anak-anak?"
"Mereka akan baik-baik saja."
"Rosie?" Aku menginjak rem, perempatan pasar, banyak pejalan kaki menyeberang
tanpa lihat kiri-kanan. Menelan ludah.
"Aku tahu maksud pertanyaan kau, Lin. Aneh sekali, malam ini kau begitu
banyak bertanya." Tertawa pelan, "Semua itu sudah tertinggal lima belas tahun.
Kau tidak akan ikut menuduhku masih berharap punya kesempatan itu, bukan"
Tidak. Itu semua masa lalu. Berapa kali lagi harus kubilang?"
Linda terdiam di seberang sana.
"Apa Mas Tegar tahu perasaan Rosie sekarang?"
"Linda, kali ini aku tidak mengerti pertanyaanmu."
Linda menelan ludah, helaan napasnya terdengar jelas.
"Seharusnya aku tidak pernah menemui Mas Tegar. Seharusnya tidak pernah.
Semua ini sungguh keliru. Semalam aku hanya ingin bilang, agar kepalaku tidak
pecah menyimpan kabar itu. Berharap Mas Tegar tidak akan datang ke rumah
Sekar. Berharap Mas Tegar tidak peduli. Dengan demikian jelas sekali kalau
Sekar memang tidak punya kesempatan. Tapi justru sebaliknya, Mas Tegar
bergegas datang menemui Sekar."
"Lin, apa maksudmu?" Aku mendesak dengan intonasi suara sedikit tidak
terkendali. "Apakah, apakah Mas Tegar tidak menyadari kalau Rosie mencintai Mas
Tegar. Sepanjang acara festival layang-layang, aku berada di sekitar Mas Tegar
dan Rosie. Mengamati kalian. Tatapan matanya. Karena itulah aku tidak berani
memberitahu kabar pertunangan Sekar di sana, kembali ke Jakarta sia-sia."
"Kau bicara apa, Lin?" Aku memotong.
"Ya Tuhan, bagaimana mungkin Mas Tegar tidak tahu apa yang sedang aku
bicarakan" Jangan-jangan aku telah salah menduga. Aku pikir Mas Tegar
menyadari itu. Aku pikir Mas Tegar bahkan sudah membicarakan banyak hal
tentang itu dengan Rosie. Malam itu aku tidak berani bilang kabar Sekar karena
aku menyadari semuanya akan percuma setelah melihat kalian berdua. Juga saat
pertemuan kedua, aku tak kunjung berani juga mengatakannya karena Mas Tegar
jelas-jelas bilang tidak akan kembali ke Jakarta".
"Aku pikir tak ada gunanya lagi Mas Tegar tahu tentang pertunangan Sekar,
karena Mas Tegar dan Rosie pasti sudah memiliki rencana." Linda terdiam
sejenak, sedikit tersengal dengan kalimatnya, berusaha mengendalikan diri.
Aku mengusap dahi yang berkeringat.
Apa maksud semua kalimat Linda"
"Saat konser Sakura, setelah berpikir berkali-kali, dan yakin justru karena Mas
Tegar dan Rosie sudah memiliki banyak rencana maka aku lebih mudah, aku
memberanikan diri bilang. Aku hanya ingin bilang itu. Setidaknya aku tidak
harus menanggung beban cerita itu. Aku akan lega setelah bilang. Tetapi, tetapi
Mas Tegar datang malam itu juga ke rumah Sekar." Suara Linda terhenti.
Aku mengusap wajah untuk kedua kalinya satu menit terakhir. Apa maksud
semua Linda" Rosie memiliki perasaan itu" Rosie menatapku dengan tatapan
itu" Tidak. Linda pasti keliru. Aku menatap sekitar, mobilku terhenti lama di
depan pasar. Tadi terlambat untuk memutar, penjelasan Linda membuatku lupa
kalau sepotong jalan ini selalu macet.
"Kau salah, Lin. Rosie tidak mencintaiku." Aku mendesis pelan.
Linda terdiam. Hening. Rosie tidak pernah mencintaiku, ia mencintai Nathan.
"Ya, aku mungkin salah." Linda berkata pelan, "Aku sungguh berharap,
penilaianku saat di Jimbaran keliru."
Aku menggigit bibir. Omong-kosong. Rosie menatapku tidak lebih sekadar
teman lama yang amat berterima-kasih, karena aku telah mengasuh anakanaknya dengan baik, membantu melewati masa-masa menyakitkan. Rosie
menatapku tak semili berbeda dengan ia dulu menatapku, saat masa-masa kecil
kami. Kami teman baik. Teman dekat.
Aku tidak ingin memikirkan itu sedikit pun. Semua sudah tertinggal di
belakang. Tidak ada yang tersisa. Puing-puing itu memang terangkat ke
permukaan enam bulan lalu. Tetapi itu tak lebih karena anak-anak ingin tahu.
Seperti arkeolog yang ingin tahu catatan sejarah leluhurnya. Tidak lebih. Tidak
kurang. "Apa yang akan Mas Tegar bicarakan dengan Sekar sekarang?" Suara Linda
memutus lamunanku. "Belum tahu. Yang aku tahu, hari ini dengan membatalkan pertunangannya,
Sekar sudah membuat kesempatan untuknya. Maka aku akan menunaikan
janjiku." Mobilku beranjak maju sepuluh meter, lepas dari kerumunan.
"Seharusnya aku tidak bilang."
"Semua akan baik-baik saja, Lin." Aku memotong.
"Maafkan aku yang telah membuatnya kacau balau, Mas Tegar."
"Berhentilah mencemaskan diri sendiri, Lin. Semua keputusan adalah
tahggung-jawabku, aku yang memutuskannya. Dan bicara soal kacau balau,
akulah yang dulu membuat pertunangan kami kacau balau, bukan salah siapa
pun." Mobilku sempurna lepas dari kemacetan, menuju kompleks perumahan Sekar.
Aku bilang ke Linda kalau sudah dekat rumah Sekar. Linda memutus
percakapan, dengan sekali lagi minta maaf.
Aku memarkir mobil di halaman. Beberapa pekerja, sewa menyewa peralatan,
sibuk menurunkan tenda, melipat terpal, menumpuk tiang-tiang besi. Merapikan
kursi-kursi, mengangkutnya ke truk kecil di depan rumah. Aku menelan ludah,
melangkah menuju teras, melewati hamparan rumput yang selalu terpotong rapi.
Teras rumah sepi, masih ada hiasan pot bunga yang berjejer rapi, tapi kerabat
dan tetangga sudah pulang sejak tadi sore. Masih ada hiasan untuk acara tadi
pagi, tapi tamu-tamu sudah menghapus maskara dan bedak, melipat gaun
kebaya, dan sebagainya. Pernikahan itu urung digelar minggu depan.
"Selamat malam, Ma." Aku menegur Mama Sekar yang duduk di ruang
depan. Pintu terbuka lebar untuk memudahkan pekerja keluar masuk
mengangkut kursi di bagian dalam. Mama mengangkat kepala. Menatapku
lamat-lamat. Nuansa prihatin amat kental di matanya.
"Malam, Tegar." Menjawab pelan, menghela napas.
"Sekar ada di mana?" Aku menelan ludah.
"Teras samping."
Aku melangkah menuju pintu ruang tengah. Sudah tiba di bawah bingkai
pintu saat memutuskan balik-kanan, mendekati Mama Sekar, duduk di
sebelahnya. Mama Sekar menoleh, aku menggenggam jemarinya.
"Semua akan baik-baik saja, Ma. Aku janji." Tersenyum.
Mama Sekar lama menatapku, tersenyum getir.
"Seharusnya aku melakukan ini dua tahun silam. Membuat Mama bahagia
melihat kami menikah. Seharusnya Mama tidak menyaksikan ini semua. Cucu,
Mama berkali-kali bilang tentang cucu. Seharusnya rumah ini sudah jauh lebih
ramai, bukan." Aku tersenyum lebih riang, berusaha menghibur.
Mama Sekar mengangguk pelan, menyeka ujung-ujung matanya.
Aku melepaskan genggaman, berdiri.
Malam ini setelah beberapa jam tadi cerah, langit kota mulai dipenuhi
gumpalan awan tipis. Bulan gompal terselip di antaranya. Bersinar lembut.
Memberikan nuansa yang berbeda. Tenteram.
Sekar duduk di kursi taman.
Di bawah pohon palem, menatap langit.
"Kalau kau tidak keberatan, boleh aku duduk di sebelahmu?" Aku menegur
pelan. Gadis itu menoleh. Itu kalimat yang dulu kukatakan saat pertama kali berkenalan dengannya.
Acara sosial di taman kota. Aku lelah sepanjang pagi mengurus logistik.
Mencari tempat duduk untuk rehat sejenak. Hanya ada satu kursi panjang yang
tersisa, dan Sekar sedang duduk di sana.
"Kursi ini bukan milikku." Sekar menjawab pelan.
Aku tersenyum. Itu jawaban Sekar dulu.
Senyap. Aku menatap wajahnya, yang sekarang tertunduk. Mata yang merah,
sembap. Sisa menangis tadi pagi, dan mungkin juga sepanjang siang. Malam ini,
Sekar mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih. Celana panjang katun
berwarna hitam. Di lehernya terbebat syal hijau. Angin malam bertiup kencang.
Halaman samping luas terasa nyaman. Enam kali lebih luas dibandingkan kamar
kontrakan dulu. "Kau datang terlambat." Sekar berkata pelan.
"Aku memang amat terlambat. Maafkan. Dua tahun yang tersia-siakan.
Seharusnya itu tidak pernah terjadi." Aku mengusap wajah.
"Maksudku kau datang lebih dari setengah jam." Sekar masih menunduk.
Aku terdiam sejenak, mengerti apa maksudnya, lantas tertawa kecil, "Tadi
lupa memutar di depan pasar, macet sekali."
Sekar mengangguk pelan. Dulu, aku juga sering lupa berputar kalau sedang
bersamanya. Bergurau banyak hal. Ketika benih perasaan itu datang di tahun
ketiga, sekali-dua aku malah sengaja tidak memutar. Biar lebih lama melihat
wajahnya yang tersipu malu. Wajahnya yang pura-pura marah karena ingin buruburu. Aku ingin lebih lama bersamanya.
"Boleh aku memegang tanganmu?" Aku bertanya pelan.
Kepala Sekar mengangguk pelan lagi. Masih tertunduk.
Aku menggapai jemarinya. "Maafkan aku yang selama dua tahun tak pernah meneleponmu. Tak pernah
sekali pun bertanya kabarmu. Apalagi mengunjungimu."
Sekar menggeleng. Tidak apa-apa.
"Kita akan memperbaikinya. Banyak hal. Tadi pagi kau sudah memutuskan.
Maka malam ini, giliranku yang akan memutuskan. Kau pasti sudah telanjur
menyewa gedung, menyebar undangan, mengurus segala keperluan untuk
menikah minggu depan, bukan?" Aku diam sejenak.
Sekar mengangkat kepalanya.
Aku lamat-lamat menyimak setiap senti wajahnya. Tersenyum. Gadis yang
cantik. Wajah yang menyenangkan. Dua tahun silam aku yakin sekali saat
mengatakan kalimat itu. Malam ini dengan menatap wajahnya lagi, keyakinan
itu kembali tumbuh. Sekar adalah pilihan terbaik bagiku.
"Maukah kau menikah denganku?" Aku berbisik.
Gadis itu menatapku. Tidak ada kedutan di wajahnya seperti layaknya seseorang mendengar kabar
baik yang mengejutkan. Tidak ada gigitan bibir, gerakan tubuh dan sebagainya.
Hanya matanya. Mata Sekar tiba-tiba berdenting air. Merekah. Satu bulir kristal
tersebut mengalir di pipinya. Wajah itu terlihat memesona. Wajah yang terharu.
Aku pelan menghapus pipinya dengan ujung jari. Oma benar, aku punya janji
kehidupan yang lebih baik dengan Sekar. Gadis ini amat mencintaiku.
Aku mencium punggung tangannya.
"Maaf, aku tidak sempat membawa cincin tunangan kita."
"Aku masih punya yang lama. Aku masih menyimpannya. Padahal, padahal
dulu aku ingin sekali melemparnya jauh-jauh." Gadis itu tertawa kecil di tengah
sedan bahagianya. "Kau masih menyimpan gaun pernikahan itu?"
"Masih, tapi sudah tak pas lagi. Badanku sekarang kurus."
"Tidak masalah, kau tetap cantik dengan gaun kebesaran."
Sekar menyeka pipi dan ujung matanya. Wajah yang disiram cahaya bulan
gompal itu terlihat riang dan memerah.
"Aku besok pagi-pagi harus kembali ke Gili Trawangan. Anak-anak butuh
penjelasan. Berikan aku waktu beberapa hari bicara dengan mereka."
Sekar mengangguk. "Kau tahu, aku tidak akan bisa lagi tinggal di kota ini. Tak ada yang tersisa di
sini. Aku juga tahu, kau tidak akan bisa tinggal di Gili Trawangan. Maka kita
akan tinggal di Bali. Tidak persis di tengah-tengah Jakarta dan Gili Trawangan
memang, tapi pulau itu persis di tengah-tengah Jawa dan Lombok." Aku
tersenyum. Sekar mengangguk. "Kau cantik sekali malam ini." Aku berbisik pelan.
"Aku mencintaimu, Tegar." Sekar mengatakan kalimat itu.
19. MAAFKAN PAMAN, JASMINE
Aku kembali ke Gili Trawangan pagi-pagi sekali. Menumpang penerbangan
pertama dari Jakarta. Tiba di Denpasar Pukul 08.15. Tetapi Rosie dan anak-anak


Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah berangkat setengah jam lalu dengan kapal cepat. Aku terlambat menyusul
mereka karena ada masalah pembangunan enam belas bungalow. Made
melaporkan konstruksi fondasi. Pekerja bangunan kesulitan menaklukkan cadas,
kesulitan menancapkan logam penahan bangunan ke dinding Tegar.
Aku menghabiskan waktu dua jam untuk datang ke lokasi. Berdiskusi dengan
kepala mandor. Mereka khawatir dengan cara manual pondasi bungalow baru
selesai enam bulan lagi. Aku berhitung cepat, menghubungi beberapa kenalan
yang mengerti masalah itu. Memutuskan solusinya, mendatangkan bor khusus
untuk pertambangan dari Kalimantan. Butuh satu minggu untuk mengangkutnya.
Tapi itu bisa menghemat total pekerjaan konstruksi sebanyak satu bulan.
Made mengantarku ke dermaga Marina, "Anak-anak terlihat tidak terlalu
riang tadi pagi, Mas Tegar."
Aku mengangkat bahu, "Mereka mungkin terlalu lelah." Menjawab
sekenanya. Made tidak banyak berkomentar lagi.
Aku mengeluh pendek, tiba di dermaga, petugas memberitahu baru sepuluh
menit lalu otoritas pelabuhan menghentikan operasi kapal cepat. Ombak kembali
tinggi, bisa membahayakan perjalanan. Made mengantarku menuju Pelabuhan
Padang Bai. Dua jam perjalanan dari Denpasar. Aku mengambil alih kemudi
motor. Made duduk di belakang. Motor besar itu menderum sepanjang jalan bypass. Kecepatan tinggi.
Sudah lama sekali aku tidak membawa motor besar di jalanan pedesaan
seperti ini. Melintasi areal pesawahan. Pebukitan yang berselimutkan kabut.
Rumah-rumah penduduk. Jalanan yang setiap jengkal dipenuhi gapura elok.
Ukiran-ukiran. Menemui rombongan gadis-gadis yang membawa sesaji di atas
kepala. Berpakaian tradisional. Aku menyeringai tipis. Dengan kecepatan tinggi
seperti ini, pemandangan ini, angin yang menerpa wajah, semuanya terasa
menyenangkan. Membuat nyaman.
Hanya Made yang berkali-kali mencengkeram pinggangku. Berbisik kecut,
bilang jangan ngebut-ngebut. Aku tertawa, bahkan Lili jauh lebih berani. Kapan
terakhir kali aku mengendarai motor besar dengan perasaan senang" Ahiya,
bersama Sekar, juga di Bali, mengelilingi Denpasar dua tahun lalu.
Tiba di Pelabuhan Padang Bai satu jam kemudian. Made duduk menjulurkan
kakinya di parkiran. Mual. Hanya melambaikan tangan saat aku bersiap menaiki
kapal ferry. Aku tertawa melemparkan kunci motor. Ferry itu berjalan lambat.
Ombak setinggi dua meter menahan kecepatan. Aku baru tiba di pelabuhan
Lembar menjelang senja. Beruntungnya, Lian sedang menjemput rombongan
turis, dengan menyewa minibus.
Aku ikut menumpang. Menyeberang ke Gili Trawangan saat matahari siap tenggelam di kaki
cakrawala. Tapi itu perjalanan Lian yang terjadwal, dia sengaja membuatnya
demikian. Membuat rombongan turis, anak muda dari Jakarta itu menatap
terpesona. Mereka anak-anak muda seumuranku waktu kuliah di Bandung dulu.
Ada lima orang. Nampak laiknya teman dekat yang baik. Bergurau. Menggoda
temannya. Mereka pasti sedang membicarakan salah-seorang dari mereka yang
memendam hati dengan seorang gadis. "Halah, lu kan erhang nggak pernah
berani bilang, Gon." Salah seorang dari mereka berseru. Tertawa. Aku
menyeringai. Umurku berbeda hampir lima belas tahun dengan mereka. Masamasa itu sudah lama berlalu. Saatnya menjejak janji kehidupan yang lebih baik.
Matahari merah pelan bersembunyi. Empat puluh tujuh detik yang memesona.
Kapal yang dikemudikan Lian merapat di dermaga, beberapa pelayan resor
membantu menurunkan barang bawaan tamu. Aku melangkah menuju halaman,
di bawah cahaya lampion. Rombongan tamu itu setelah terpesona menatap
sekitar langsung menuju kamar yang sudah disiapkan.
Aku membuka pintu ruangan utama resor.
"Paman, Paman datang." Jasmine berseru riang, bangkit dari duduknya. Aku
tersenyum, mengacak rambut ikal Jasmine, mereka sedang berkumpul menonton
rekaman konser. Lili mengerjap-ngerjap mendekat. Aku mendekap kepala Lili, melangkah
menuju sofa. Duduk. Sakura di layar televisi sedang bersiap memainkan lagu itu,
Oma ikut menonton bersama.
"Tolong dibesarkan volumenya, Anggrek."
"Nanti terlalu berisik loh, Uncle. Tamu di resor bisa protes." Sakura yang
menjawab. "Uncle kan belum lihat, jadi biar seperti nonton langsung." Aku tersenyum,
memberikan penjelasan. Sakura nyengir.
Mengesankan. Meski dengan kualitas rekaman yang tidak terlalu baik, suara
gesekan biola Sakura terdengar hebat. Enam menit berlalu tanpa terasa.
"Paman, siapa yang pertama kali menyanyikan lagu itu?" Jasmine bertanya.
"Yang pertama kali menyanyikannya Oma. Hanya senandung sebelum tidur.
Tapi kalau yang membuatnya lengkap dengan syairnya tentu saja itu Paman
Tegar." Rosie yang menjawab.
"Oo." Jasmine dan Lili mengangguk-angguk.
Makan malam. Aku menghela napas pelan, semua terlihat seperti normal.
Jasmine dan Sakura sibuk bercerita. Lili yang duduk di kursi dengan tumpukan
buku mengerjap-ngerjap senang mendengarkan. Makan malam seperti biasa.
Tapi aku tahu, anak-anak menahan diri untuk tidak bertanya. Anak-anak terlatih
untuk bersabar menunggu. Mereka cerdas, mereka bisa merangkaikan penjelasan
dengan baik. Kepergian mendadakku dari konser Sakura, telepon Sekar di atas
bianglala, dan aku yang tidak pulang bersama mereka.
Anggrek walau sejak tadi tetap riang bersama adik-adiknya, sekali-dua
ketahuan mencuri-curi pandang kepadaku. Dengan tatapan yang amat kukenali.
Rosie" Aku tidak kuasa melihat wajahnya sepanjang makan malam. Hanya
selintas, lantas mengalihkan pandangan ke anak-anak. Entah mengapa, saat
duduk bersamanya malam ini di meja makan, aku takut sekali mengingat ucapan
Linda melalui telepon genggam. Rosie memandang dengan cara berbeda. Tidak.
Linda keliru. Lagipula itu semua tidak akan berarti apa-apa lagi. Dulu tidak.
Sekarang juga tidak. Aku mengusap wajah berkeringat.
Kami sempat duduk-duduk sebentar di teras setelah makan malam. Setengah
jam bermain, Jasmine dan Sakura bermain dengan anak-anak si Putih. Anggrek
membaca buku. Rosie memangku Lili, yang dipangku sudah menguap lebar.
Mengantuk. Anak-anak juga terlihat lelah. Mereka kurang tidur, lelah dengan
perjalanan panjang. Jasmine bertahan untuk tidak menguap karena dia sejak tadi
ingin tahu. Juga Sakura. Tetapi tubuh lelah mereka memaksa beristirahat lebih
cepat. Rosie menggendong Lili ke lantai dua. Anak-anak beringsut ikut.
Malam semakin gelap, sejak tadi langit dikungkung awan pekat. Musim
penghujan, Gili Trawangan setiap malam disiram hujan lebat. Benar saja,
berselang aku mem-benak tentang hujan deras, petir menyambar membuat akar
serabut di pekat malam. Guntur bergemeretuk panjang. Aku berdiri berpegangan
ke pembatas teras, memandang pantai di kejauhan. Hutan buatan yang gelap.
Batu-batu besar yang berserakan. Tetes pertama air hujan menerpa atap resor.
Berdenting. Disusul oleh jutaan tetes lainnya.
Cahaya lampion berpendar-pendar.
Cepat atau lambat anak-anak akan tahu. Aku mengusap wajah.
Ini musim penghujan ketiga aku di Gili Trawangan. Dua tahun aku
menghabiskan waktu di sini. Mengasuh anak-anak. Mendidik mereka dengan
caraku sendiri. Satu-dua mungkin keliru dan berlebihan, seperti membiarkan
mereka belajar mengemudi kapal cepat di umur yang hanya berbilang tujuh
tahun. Membuat mereka mencintai kecepatan, yang mungkin dalam banyak
kasus mungkin membahayakan. Tetapi mereka tumbuh menjadi anak yang
mengerti banyak hal. Mereka bisa melewati masa-masa menyakitkan itu dengan
baik. Tumbuh menjadi anak-anak yang membanggakan.
Aku mencintai mereka. Dan anak-anak itu jelas mencintaiku. Ayasa pernah
bilang, dalam banyak kasus anak-anak kadang berlebihan. Paman paling hebat,
keren, dan super. Hujan semakin deras. Lampion yang disangkutkan Jasmine di depan teras
bergoyang terkena tampias air. Plastik pembungkusnya basah.
"Aku boleh bergabung?" Rosie menegurku dari belakang.
Aku menoleh, tersenyum, "Sepanjang tanganmu tidak jahil."
Rosie tertawa kecil. Berdiri di sebelah. Ikut menatap hujan.
Hening sejenak. Hanya suara hujan.
"Apa kabar Sekar?" Rosie bertanya pelan.
Aku menoleh. Menatap wajah yang lurus memandang ke depan. Rosie
langsung ke pokok permasalahan.
"Baik. Sekar baik-baik saja." Aku menelan ludah.
Cepat atau lambat aku harus menyampaikan berita ini kepada Rosie. Lagi pula
semua sudah kuputuskan. Semalam sebelum pergi dari rumah Sekar aku sempat
berbicara dengan Mama-Papa, tentang rencana pernikahan kami minggu depan.
"Apa ada sesuatu yang ingin kau ceritakan kepadaku, Tegar?" Rosie menoleh,
bersitatap denganku. Mata itu terlihat redup.
Ya Tuhan, sejenak aku tiba-tiba merasa mungkin Linda benar. Aku bergetar
menerima tatapan itu. Buru-buru menoleh kembali ke depan. Semua ini sungguh
omong-kosong. Separuh hatiku menikam separuh hati yang lain. Bagaimana
mungkin ketika semua sudah kupastikan aku kembali berharap secuil masa lalu
itu" Bagaimana mungkin hatiku menelikung, membujuk kalau aku masih punya
kesempatan" Itu hanya kata Linda. Dan sekarang aku menatap wajah Rosie
berdasarkan kata-kata Linda. Sama persis saat aku dulu membujuk hatiku
berdasarkan prasangka yang kukarang. Dugaan yang kureka. Menyimpul banyak
penjelasan. Agar hatiku bisa berdamai.
"Sepertinya, eh, sepertinya aku tidak akan bisa tinggal di resor lagi, Ros."
Senyap. Rosie sempurna menatapku.
"Maafkan aku. Aku tidak bisa memenuhi keinginan anak-anak. Keinginan
kalian. Bahkan mungkin juga keinginanku sendiri. Aku tidak bisa tinggal lagi di
resor." "Tapi kenapa?" Suara Rosie dimakan desau angin dan buncah hujan.
Aku menoleh lagi. Menghela napas panjang. Rosie seharusnya bisa
menduganya. Dia seharusnya bisa merangkaikan banyak penjelasan.
"Baiklah, Aku akan menikah dengan Sekar, Ros."
Petir menyambar. Sejenak membuat terang lautan Siluet Gunung Rinjani
terlihat di kejuahan. Begitu kokoh Begitu misterius.
Rosie menggigit bibirnya. Matanya semakin redup.
"Kau tahu, aku bertemu dengan Sekar dua hari terakhir. Saat konser Sakura.
Saat aku membatalkan kepulangan bersama kalian. Kami membicarakan banyak
hal. Rencana pernikahan yang dulu tertunda." Aku terhenti sejenak. Tidak. Rosie
tidak perlu tahu detail Sekar yang tiba-tiba bertunangan dengan pria lain.
"Aku akan menikahinya minggu depan, Ros. Percaya atau tidak, pernikahan
itu akan dilangsungkan di tempat yang sama. Tempat yang dua tahun lalu kami
rencanakan. Konsep acara yang sama, bahkan dengan gaun yang sama." Aku
tertawa kecil. Bicaralah, Ros. Bicaralah. Apa kau senang mendengarnya"
Aku tetap berusaha tidak menatap wajah Rosie, terus menatap hujan deras.
"Dan kami tidak akan tinggal di sini. Sekar tidak suka tinggal di sini. Aku
juga tidak suka lagi tinggal di Jakarta. Kami akan tinggal di Bali. Untuk
sementara sebelum enam belas bungalow itu selesai kami akan menyewa
rumah." Kenapa kau tidak bicara, Ros" Katakanlah meski sepotong kalimat.
"Maaf, aku tidak bisa memenuhi janji kepada anak-anak untuk terus tinggal di
sini. Aku juga tidak bisa memenuhi janji denganmu. Aku tidak bisa tinggal
bersama kalian lagi."
Bicaralah, Ros. Hanya suara hujan lima menit kemudian. "Kau tidak pernah berjanji hal itu,
Tegar." Rosie akhirnya bersuara, serak.
Aku tetap menatap hujan. "Minggu depan. Cepat sekali." Rosie berbisik lirih. Aku mengusap wajah. Air
yang memercik dari atap resor mengenai wajahku, dingin. Ya, semua ini cepat
sekali. Bagai peluru yang mendesing. Seperti baru kemarin semua potongan
kejadian itu. "Apakah kau akan masih mengunjungi kami?" Rosie bertanya pelan.
"Sepanjang kau tidak keberatan," Aku tertawa, mencoba bergurau.
Rosie ikut tertawa, terdengar bergetar. "Kalau semua urusan di sini sudah
selesai, besok-lusa aku akan langsung berangkat ke Jakarta, Ros. Ada banyak
yang harus kami siapkan. Aku harap anak-anak bisa mengerti. Bisa menerima
penjelasannya." "Mereka selalu mendengar kata-kata Pamannya."
"Tetapi yang satu ini akan berat. Kau tahu, aku saja berat mengatakannya
kepadamu, jadi bagaimana mereka dengan mudah akan menerimanya?" Aku
menggeleng. "Mereka akan mengerti." Rosie berkata pelan.
Petir menyambar sekali lagi. Membuat terang hamparan lautan.
"Apakah kau akan datang di pernikahan itu?"
Ya Tuhan, sempurna sudah separuh hatiku berkhianat. Pertanyaan itu
meluncur tanpa kesepakatan bulat. Buat apa aku bertanya"
Rosie diam. Tertunduk. "Aku dan anak-anak akan turut bahagia, Tegar." Hanya itu kalimat Rosie
kemudian. Senyap. Hingga malam semakin matang. Hingga Rosie kembali ke
dalam bangunan utama. Hingga aku satu jam kemudian tetap mematung.
Aku belum bisa bilang kabar itu ketika sarapan esok pagi bersama anak-anak.
Aku tidak kuasa memotong celoteh riang mereka.
Siang harinya juga. Anak-anak sepanjang siang bermain bola pantai. Mereka
masih libur. Lili dengan Anggrek versus Sakura dengan Jasmine. Rombongan
anak-muda dari Jakarta itu iseng ikut bermain. Sakura sibuk berteriak-teriak. Dia
merangkap menjadi penyerang, kiper dan juga wasit. Wasit" Bagaimana tidak,
Sakura sok-tahu sering kali menganulir gol yang terjadi. Mengarang-ngarang
aturan, mulai dari off-side, handsball, kaki terlalu tinggi, hingga yang tidak
masuk akal. Tetapi permainan mereka berlangsung menyenangkan.
Siang ini aku hanya membicarakan kabar itu ke Lian. Itu pun tanpa penjelasan
detail. Hanya bilang aku tidak akan tinggal di resor. Rosie yang akan
mengendalikan urusan resor. Kenapa" Lian melipat dahi. Aku hanya bilang perlu
berkonsentrasi di pembangunan enam belas bungalow. Lian menutup mulutnya,
sungkan bertanya lebih lanjut.
Cepat atau lambat aku harus bilang ke anak-anak.
Tapi kapan waktu yang tepat" Pembicaraan itu pasti menyulitkan. Anak-anak
pasti akan berteriak. Mereka tidak akan menerima. Jasmine pasti menangis.
Sore dihabiskan anak-anak dengan mengupas buah kelapa muda. Duduk di
pantai sambil menghadap matahari yang bersiap tenggelam. Lili menganggukangguk senang, menerima buah kelapa yang sudah terbuka dari tanganku. Ikutikutan gaya Sakura, langsung menuangkan airnya ke mulut, tanpa menggunakan
pipet. Kurang hati-hati, air kelapa itu tumpah, membasahi seluruh baju biru
berendanya. Tertawa. Aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak-anak, Rosie sepanjang
hari seperti enggan berbicara denganku. Tidak bergabung. Entah mengerjakan
apa di dalam resor. Menjaga jarak" Entahlah. Aku tidak tahu lagi kapan sepotong
hatiku bisa menerjemahkan banyak hal dengan jujur, dan mana yang berusaha
menelikungku. Cepat atau lambat aku harus bilang ke anak-anak.
Setelah hujan deras kemarin. Malam ini langit Gili Trawangan cerah. Bintanggemintang. Bulan menyabit. Angin malam bertiup lembut. Kami makan malam
di pantai bersama pengunjung resor, Lian menghidangkan menu istimewa.
Malam ini seharusnya ada welcome games buat mereka, tapi dengan semua
kejadian beberapa hari terakhir aku kehilangan selera melakukannya. Tidak ada
pengunjung lama yang sejago Mitchell memimpin acara itu. Lian tertawa,
anggap saja rombongan yang satu ini sedang beruntung.
Aku dan anak-anak duduk di teras setelah perut kenyang. Mereka terlihat
riang di antara hamparan bantal. Anggrek membaca buku. Jasmine mengajari
Lili menyulam. Sakura tenggelam dengan komik-komiknya. Libur sekolah.
Rosie tidak keberatan dengan komik. Cepat atau lambat aku harus bilang ke
anak-anak. Setelah sekian lama mematut-matut, aku mengeluarkan empat kotak
kecil dari saku. Sejak semalam ingin memberikannya ke anak-anak. Sekarang
waktu yang tepat, sekaligus menyampaikan kabar tidak menyenangkan itu.
Anak-anak menoleh, tertarik melihat kotak-kotak kecil di tanganku.
"Jepit rambut buat, Sakura." Aku menjulurkannya.
Sakura berseru riang, "Yang seperti punya Lili?"
Aku mengangguk. Mengulurkan tiga kotak lain ke Anggrek, Jasmine, dan
Lili. Sakura sudah merobek bungkus indahnya. Terburu-buru membuka tutup
kotak. Menyeringai lebar melihat jepit rambut itu.
"Terima kasih, Uncle."
Jasmine dan Anggrek juga membuka kotak mereka. Tersenyum. Lili kesulitan
membuka plastik pembungkus. Tangan kecilnya tidak terlampau kuat merobek.
"Sini, Ibu bantu." Rosie mengulurkan tangan. Lili berkerjap-kerjap
menyerahkan kotak. Itu isinya bukan jepit rambut. Tetapi kalung. Juga dari
mutiara. Lili senang sekali melihatnya. Menjulurkan leher. Rosie tertawa,
memasangkan. Sakura sudah protes, "Yee, Uncle, kenapa Lili dibeliin kalung, yang lain
nggak?" Aku tertawa melihat Sakura. Kemarin saat singgah sebentar di Sukowati aku
tidak bisa menahan diri untuk tidak membeli kalung itu. Akan manis sekali di


Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

leher Lili. Peduli amat dengan harganya.
"Uncle selalu gitu, diskriminatif." Sakura menatapku. Ia tidak secemburu
seperti yang lalu, tapi sebal, "Lili selalu dikasih yang bagus-bagus. Uncle lebih
sayang Lili." "Wajar, kan?" Anggrek memotong.
"Apanya yang wajar?" Sakura melotot.
"Yaa, siapa pula yang lebih sayang Sakura" Orang Sakura kerjaannya cuma
cemburuan mulu. Teriak-teriak. Tukang ngadu."
Sakura semakin melotot, menunjuk-nunjuk sesuatu. Maksudnya apa lagi kalau
bukan surat cinta monyet yang disimpannya. Anggrek demi melihat ancaman itu,
mengurungkan menggoda Sakura lebih lanjut.
"Terima kasih, Paman. Jasmine suka." Jasmine memegang lenganku.
Aku mengangguk. Lili sudah tersenyum dengan kalung di leher. Sakura
menyeringai, menggaruk ujung hidungnya. Meski akhirnya tersenyum masam,
kalung itu terlihat indah di leher adiknya. Apalagi Lili berlenggak-lenggok genit,
bergaya memamerkan. Aku menatap wajah anak-anak yang riang. Malam ini mereka harus tahu.
Saatlah waktu terbaik untuk me-nyampaikannya. Kebahagiaan sejenak ini
memang tidak akan cukup untuk membayar kabar yang akan kukatakan. Tapi
sesedih apa pun mereka mendengarnya, mereka harus belajar.
"Paman ingin bilang sesuatu." Aku mendekap kepala Jasmine yang duduk
persis di sebelahku. Jasmine mengangkat kepalanya, anak-anak ikut menoleh.
Aku menatap Rosie sejenak. Rosie menghela napas.
"Seandainya". Seandainya Paman tidak tinggal bersama kalian lagi. Apakah
Jasmine tetap akan menjadi anak yang baik?"
"Maksudnya" Maksudnya apa?" Sakura memotong.
"Seandainya Paman harus pergi." Aku menggigit bibir.
"Memangnya Paman mau ke mana?" Jasmine memegang lenganku. Aku
terdiam menatap wajah Jasmine. Ia memandangku seperti lazimnya aku selama
ini bilang akan ke Bali sebentar, atau ke Mataram sebentar. Wajah yang tidak
cemas dengan kemungkinan buruk.
"Maafkan Paman. Paman tidak bisa tinggal lagi bersama kalian." Aku
menghela napas. "Memangnya Paman mau ke mana?" Jasmine bertanya sekali lagi. Kali ini
ada serunai kecemasan di matanya. Memegang lenganku lebih erat.
"Paman Tegar akan menikah dengan Bibi Sekar." Rosie yang menjawab
setelah aku sekian lama hanya menelan ludah.
Anak-anak terdiam sebentar. Mencerna masalahnya.
"Paman akan menikah dengan Bibi Sekar. Paman akan pindah." Aku berkata
pelan. "TIDAK BOLEH!" Mengejutkan sekali, Sakura berseru kencang.
"Uncle tidak boleh pindah." Muka Sakura menggelembung.
Aku menatapnya. Menggeleng. Sakura bersiap berteriak lagi. Anggrek sudah
mencengkeram lengannya. Wajah Anggrek terlihat terluka. Dalam urusan ini,
hanya Anggrek yang tahu semua bukan sekadar tentang pindah.
"Memangnya Paman dan Bibi Sekar setelah menikah tidak bisa tinggal di sini,
ya?" Jasmine berkata serak, matanya berkejap-kerjap.
Aku menggeleng lagi, "Paman akan tinggal di Bali bersama Bibi Sekar."
"Kapan Paman akan menikah?" Suara Jasmine semakin serak.
"Minggu depan."
"Jadi". Jadi tidak ada lagi yang mengantar ke sekolah."
"Kan ada bujang." Aku berkata pelan.
"Jadi". Tidak ada lagi yang mendongeng ke Jasmine."
"Kan ada Kak Anggrek." Suaraku semakin pelan. Mencium ubun-ubun
Jasmine. Rambut ikalnya wangi.
"Jadi". Tidak ada lagi yang,?" Jasmine sudah menangis, suaranya terputus
oleh sedan. Aku mendekap bahunya. "UNCLE TEGAR TIDAK BOLEH PERGI!" Sakura berhasil melepaskan
tangannya dari cengkeraman Anggrek. Berteriak.
Aku terdiam. Ya Tuhan, semua ini menyedihkan. Bagaimana mungkin aku
bisa menatap wajah-wajah ini dan menyampaikan kabar itu. Anak-anak yang
mencintaiku. Anak-anak yang selalu menghargai setiap kalimatku. Anak-anak yang selalu
membanggakanku. "Hentikan Sakura. Hentikan!" Anggrek menarik paksa tubuh adiknya yang
mendekatiku, yang berhasil memegang tanganku, menggerak-gerakkannya.
Meminta pembatalan. Rosie menunduk. Bicaralah, Ros. Aku mohon. "Uncle tidak boleh pergi!"
Aku menatap kosong wajah Sakura yang marah, menggeleng.
"Sakura tidak ingin lagi jepit rambut ini." Sakura yang tersengal melemparkan
jepit rambutnya. Berdiri. Berlari masuk ke kamarnya. Sambil menangis.
Aku menggigit bibir. Rosie menggendong Lili masuk ke kamar. Anggrek melangkah pelan
menyusul. Jasmine menatapku, menyeka pipinya, lantas berdiri tanpa berkatakata lagi. Aku memungut pelan jepit rambut yang dilemparkan Sakura. Akulah
yang mendidik anak-anak selalu eksplosif. Menyatakan perasaan mereka dengan
nyata, termasuk perasaan tidaksuka.
Dua tahun membesarkan mereka, satu-satunya yang amat mereka takuti hanya
satu. Kepergianku. Sama seperti kepergian ayah mereka dulu. Seharusnya
pembicaraan tadi bisa lebih terkendali. Tapi kata pergi amat dibenci anak-anak.
Mereka pernah merasakan sakitnya ditinggal, dan akulah teman sekaligus
Paman, Uncle, Om, Ayah, Ibu dan belasan karakter lainnya selama dua tahun
terakhir yang menemani. Menjalani hari demi hari dengan riang. Paman Tegar
tidak pernah melarang. Paman Tegar hanya memberikan pengertian. Paman
Tegar tidak pernah keberatan. Paman Tegar hanya menjelaskan.
Mereka terlatih untuk memahami sepotong kalimat dengan cepat. Termasuk
akibat kalimat itu. Apalagi yang lebih menyakitkan dibandingkan mendengar
kata pergi dariku. Aku menggenggam jepit rambut Sakura. Mendesah, menatap
lautan. Angin bertiup lembut. Malam ini indah benar. Rombongan anak-muda
dari Jakarta itu asyik mengelilingi api unggun.. Tertawa-tawa, bergurau satu
sama lain, aku tidak mendengarnya, terlalu jauh, hanya melihat gerakan tubuh
mereka yang riang. Setengah jam hanya senyap.
Seseorang mendekat. Aku yang berdiri memegang pembatas teras menoleh.
Bukan Oma. Bukan juga Rosie. Tetapi Anggrek.
Gadis remaja itu ragu-ragu maju. Tertunduk. Berdiri di sebelahku.
Hening sejenak. Aku mendekap bahunya. Tinggi Anggrek sudah selenganku.
Ia akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan Rosie suatu saat kelak.
"Jasmine masih merajuk di kamar." Anggrek berkata pelan.
Aku mengangguk. "Sakura sudah tidur. Entahlah. Anggrek tidak tahu persis, ia membenamkan
kepalanya di bantal."
Aku mengangguk lagi. Itu kebiasaan Sakura.
"Lili sudah tidur. Ibu yang menemani."
Suara ombak pecah di pantai terdengar.
"Ternyata Om tidak lagi mencintai Ibu." Anggrek berkata lirih.
Aku menelan ludah mendengar kalimat sulung Rosie.
"Ternyata Om lebih mencintai Bibi Sekar."
Aku mendekap kepala Anggrek. Berbisik. Itu tidak sesederhana itu, Sayang.
Tidak pernah sesederhana itu. Urusan ini bukan tentang lebih mencintai atau
kurang mencintai. Bukan tentang masih mencintai atau tidak lagi mencintai.
Lima belas menit berlalu, Anggrek hanya diam. Menatap ke depan. Beranjak
masuk lagi ke kamar, tanpa bicara sepotong kata pun. Aku sempat menatap
wajah terlukanya beberapa kejap. Maafkan, Om, tidak bisa memenuhi janji yang
terucapkan saat melihat tukik penyu berlarian ke lautan luas. Maafkan Om,
Anggrek. Sarapan esok berlangsung senyap. Anak-anak tidak berselera. Membiarkan
sup jagung yang dihidangkan Rosie dingin. Lili juga ikutan pendiam. Hanya
mengaduk-aduk mangkuknya. Jasmine sempat bertanya sekali kepadaku,
"Apakah Paman nanti masih sering berkunjung ke sini?" Aku mengangguk.
Jasmine tidak meneruskan pertanyaan.
Siang merangkak. Ada tiga rombongan turis yang harus diantar menyelam di
terumbu karang hari ini. Bujang dan satu orang pelayan membawa dua perahu
nelayan berbagi tugas. Aku membawa kapal cepat bersama rombongan anakmuda dari Jakarta. Anak-anak lazimnya ikut setiap kali aku mengantar
pengunjung, tapi mereka hari ini hanya duduk bermain di halaman resor.
Aku menemani lima anak-muda itu menuju palung tempat dulu Mitchell
menunjukkan tarian penyu ke anak-anak. Mereka bergurau sepanjang perjalanan.
Terampil mengenakan peralatan selam. Lantas melambaikan tangan kepadaku.
Lompat ke beningnya lautan. Matahari menanjak di atas kepala. Siluet cahaya
yang menerabas hamparan air terlihat memesona di palung itu, seperti
membentuk tirai cahaya, ribuan larik, mengambang indah. Tanpa tarian penyu
pun pemandangan ini tetap memesona. Aku menatap sekitar. Lenguhan burung
camar terdengar. Empat-lima terbang membentuk formasi.
Gumpalan awan putih tipis berserak. Cuaca terasa lebih panas dari biasanya.
Itu berarti nanti malam akan turun hujan lebat lagi. Aku duduk di salah satu sisi
kapal cepat. Kakiku menjulur ke sejuknya air laut. Kapal bergerak-gerak pelan.
Jangkar membuatnya tetap berada di tempat. Dua tahun aku melewati setiap
jengkal laut ini. Dua tahun yang menyenangkan. Lusa, paling lambat, aku harus
kembali ke Jakarta. Meninggalkan banyak hal di sini. Cepat sekali semuanya
berubah. Apakah semua ini sepatutnya terjadi"
Apakah ini pilihan terbaiknya"
Aku tidak tahu. Permukaan air laut berkecipak pelan. Salah satu kepala anak-muda dari
rombongan tadi muncul. Menyemburkan air. Aku melirik pergelangan tangan.
Baru setengah jam. "Ada yang tertinggal?" Aku bertanya.
Anak-muda itu tertawa, menggeleng, mengayuh kaki kataknya mendekati
kapal cepat. Berusaha naik. Aku membantu. Lantai kapal basah oleh percikan air
laut. Anak-muda itu melepas kacamata selam, melepas tabung oksigen di
punggung. "Kau sudah selesai?" Aku bertanya, melipat dahi. Ia mengangguk, tertawa.
Secepat itukah" "Sudah cukup, Mas Tegar. Terlalu lama maka semakin terasa hambar
kenangannya, hilang rasa spesialnya. Bagiku jauh lebih menyenangkan
menyimpan sepotong kejadian yang hanya selintas terjadinya. Itu akan membuat
penasaran saat mengenangnya, bukan" Dibandingkan kejadian yang kita rekam
dengan kamera atau foto, yang kita lihat berkali-kali. Tidak ada celah untuk
membayangkan lagi kenangan itu."
Aku menyeringai. Tidak mengerti apa maksudnya. Mengangkat bahu,
membantu merapikan tabung oksigen dan peralatan selam. Satu lagi pencinta
menyelam yang aneh seperti Mitchell. Tetapi Mitchell meski tidak memiliki
selembar pun foto bawah laut, setidaknya menghabiskan berjam-jam di bawah
sana. Anak-muda itu menerima handuk kering dariku, "Terima kasih, Mas Tegar."
"Teman-temanmu masih menyelam?"
"Tentu saja, mereka tidak akan naik ke permukaan sebelum sisa oksigen di
dalam tabung menyentuh batas berbahaya." Ia tertawa.
"Apa saja yang kau lihat selama setengah jam?" Aku bertanya, hanya ingin
tahu, setidaknya membuatku sedikit santai.
"Banyak, Mas Tegar. Serombongan barracuda, tiga ekor kuda laut, ikan pari
raksasa, gurita, tidak terhitung bintang laut, tripang, ikan badut, ubur-ubur, belut
laut, dan sebagainya. Dan, ah-ya, jangan lupakan dua ekor penyu yang sedang
menari. Bukan main. Itu amat hebat." Anak-muda itu tersenyum riang.
Aku menelan ludah. Setengah jam" Dan ia menyaksikan itu semua" Bukankah
Mitchell membutuhkan satu jam lebih bahkan hanya untuk menemukan penyupenyu itu berkumpul. Dan, hei! Ini siang hari, bukan menjelang senja, waktu
lazimnya untuk melihat penyu-penyu itu menari"
"Penyu menari?" Aku sedikit sangsi.
Anak muda itu menjelaskan sambil tertawa. Sama seperti penjelasan Sakura.
Sama seperti penjelasan Mitchell. Ia tidak berbohong.
"Kau berapa kali datang ke sini?" Aku bertanya, penasaran.
"Baru kali ini." Anak-muda itu mengangkat bahu. Setengah jam yang hebat.
"Dan kau merasa cukup hanya menyelam setengah jam?"
"Begitulah. Jauh lebih menyenangkan mengenang sesuatu yang hanya selintas
terjadinya. Bahkan dalam banyak kesempatan jauh lebih menyenangkan
mengenang sesuatu yang sepantasnya terjadi tapi kita tidak membuatnya terjadi,
meski kita bisa dengan mudah membuatnya terjadi."
Aku melipat dahi, tidak mengerti.
"Mendaki gunung misalnya. Akhir tahun lalu aku mendaki puncak Jaya
Wijaya, di Papua. Butuh enam bulan persiapan, perjalanan yang panjang,
pendakian yang melelahkan. Hanya tinggal seratus meter lagi dari puncak
tertinggi yang bersalju itu, aku memutuskan turun." Anak muda itu tertawa,
seperti mengenang kejadian yang amat menyenangkan.
Aku melipat dahi. Hanya seratus meter lagi dan ia memutuskan turun" Benarbenar tidak masuk akal. Lantas buat apa seluruh perjalanan itu kalau saat
sepelemparan batu lagi tiba di puncaknya justru dibatalkan"
"Hanya butuh lima belas menit lagi untuk tiba di puncaknya, Mas Tegar. Dan
aku bisa berfoto, bilang ke semua orang dengan perasaan bangga bahwa aku
pernah menaklukkan puncak Jaya Wijaya. Tapi buat apa" Justru semua itu lebih
menyenangkan saat dikenang bahwa aku pernah punya kesempatan menjejak
puncak itu, mudah sekali menyelesaikan sepotong sisanya, tapi aku memutuskan
untuk cukup. Memutuskan kembali. Memutuskan hanya mereka-reka seperti apa
rasanya saat tiba di puncak."
"Percaya atau tidak, membayangkan seperti apa hebatnya perasaan itu akan
jauh lebih hebat dibandingkan kalau aku benar-benar tiba di sana, bukan" Bisa
jadi aku kecewa setelah benar-benar tiba di sana, ternyata semua itu tidak
sehebat yang kubayangkan. Dengan mengurungkan menjejaknya walau tinggal
selangkah, semua itu akan membuat kenangan, bayangan dan pengharapan itu
tetap istimewa. Tetap hebat seperti yang kubayangkan." Anak-muda itu
menyeringai ringan. Aku menelan ludah, benar-benar cara berpikir yang aneh. Memutuskan untuk
tidak bertanya lebih lanjut. Bagaimana mungkin setelah belasan tahun bertanya
ke Tuhan tentang makna kata kesempatan. Hari ini ada seseorang, seseorang
yang lima belas tahun lebih muda dariku, ringannya bermain-main dengan
kesempatan. Merasa cukup justru saat kesempatan itu terbuka lebar-lebar. Esok
lusa aku baru tahu siapa anak muda tersebut.
Menjelang sore, kapal cepat itu kembali menuju dermaga Gili Trawangan.
Empat orang temannya bercerita apa yang mereka lihat sepanjang perjalanan.
Aku yang mengemudikan kapal cepat mendengarkan lamat-lamat. Empat jam
mereka, empat orang temannya, tidak seperempat lebih hebat dibandingkan
pengalaman menyelam setengah jam milik temannya yang pertama kali selesai.
Apakah dunia memang begitu" Kita tidak akan pernah mendapatkan sesuatu
jika kita terlalu menginginkannya. Kita tidak akan pernah mengerti hakikat
memiliki, jika kita terlalu ingin memilikinya.
Makan malam. Anak-anak menghabiskan makanan di atas piring tanpa
banyak bicara. Aku menceritakan kejadian menyelam tadi siang. Tarian penyu.
Bahkan Sakura tidak tertarik untuk membicarakannya. Hanya sepatah-dua kata.
Lantas diam. Usai makan, sesuai kebiasaan, kami duduk-duduk di teras resor. Langit
mendung. Hanya tinggal waktu hujan deras akan turun. Anak-anak seperti
merasa terpaksa duduk di sana.
Aku tidak tahu apa yang Anggrek katakan kepada adik-adiknya, setidaknya
Sakura tidak memasang wajah sebal. Sakura hanya menatapku datar,
menggendong si Putih. Jasmine melanjutkan rajutannya. Ditatap ingin tahu oleh
Lili. Rosie menyalakan laptop. Tadi siang sebelum mengantar rombongan anakmuda itu ke palung, aku menyerahkan seluruh file pekerjaan resor kepadanya.
Aku tidak tahu kenapa Rosie bekerja sekarang, di tengah tumpukan bantal.
Mungkin untuk mengisi lengang yang ganjil.
Sepi yang menikam perasaan.
"Besok pagi-pagi, Paman akan berangkat" Aku berkata pelan.
Wajah anak-anak terangkat, menoleh. Rosie menatap redup.
Diam sejenak. Sakura berusaha mengendalikan dirinya.
"Apakah kita akan datang ke Jakarta, Ibu?" Jasmine bertanya ke Rosie.
Rosie hanya diam. "Dulu waktu Paman mau menikah, kita juga mau datang, kan?"
Rosie menatapku lamat-lamat. Pindah menatap Jasmine. Tidak mengangguk,
tidak juga menggeleng, ia kembali menatap layar laptopnya.
Jasmine tidak menuntut jawaban.
Hening. Setengah jam tanpa perbincangan. Saat hujan mulai turun, anak-anak
melangkah masuk kamar. Jasmine sempat bertanya sebelum melangkah, "Tidak
mengapa Paman menikah, Jasmine bisa mengerti. Tetapi tidak bisakah Paman
membujuk Bibi Sekar tinggal di sini" Biar kita semua berkumpul di resor" Pasti


Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyenangkan punya bibi seperti Bibi Sekar, bukan?"
Aku menggeleng. Maafkan Paman, Jasmine.
20. OMA TAK PERLU MENGATAKANNYA
Hujan deras kembali membuncah Gili Trawangan. Lebih deras dari biasanya,
dan sepertinya akan lama.
Aku menatap hutan di depan resor. Lengang. Akar-akar merambat di
pepohonan. Paku-pakuan yang subur merekah mengisi setiap jengkal tanah. Aku
menatap langit yang gelap. Langit yang mencurahkan seluruh air dari relungnya.
Hamparan laut yang kelam.
Petir menyambar. Sejenak membuat benderang sekitar.
Malam semakin naik. Anak-anak pasti sudah tertidur di kamar besar mereka.
Malam ini Sakura tidak berteriak marah memintaku membatalkan rencana itu.
Anggrek juga tidak menatapku dengan tatapan itu. Aku tidak tahu apakah aku
senang dengan sikap penerimaan mereka. Separuh hatiku yang beberapa hari
terakhir sibuk menelikung separuh hati yang lain malah berharap mereka sekuat
tenaga menahanku di sini.
Aku juga entah mengapa mendadak bosan melihat pemandangan di depanku.
Setiap malam begitu-begitu saja, bukan" Semakin sering dilihat benar-benar
tidak ada lagi bagian yang membuatku penasaran, tidak ada lagi jengkal yang
menimbulkan perasaan ingin tahu. Malam ini aku ingin menghangatkan diri di
perapian ruang depan resor. Melangkah masuk.
Ada Oma seperti biasa duduk di kursi goyang.
Api bergemeletuk. Tadi Rosie yang menyalakan. Biar Oma merasa hangat
menghabiskan malam. Terkantuk-kantuk, menikmati malam sendirian sebelum
beranjak masuk kamar. Aku mendekati Oma.
Oma menoleh. Mata tuanya membuka.
"Kau tidak bisa tidur, Tegar?"
Aku menggeleng. Memegang belakang kursi Oma, menggerakkannya pelan,
membuat Oma nyaman di atasnya.
"Seharusnya kau tidur. Bukankah besok pagi-pagi sekali kau berangkat ke
Jakarta?" Aku mengangguk. Suara air menerpa atap resor terdengar berirama. Akan
amat menyenangkan tidur dengan ninabobo suara air hujan.
"Aku senang. Akhirnya setelah dua tahun yang sia-sia kau memilih
melakukan hal yang benar." Suara tua Oma terdengar bergetar.
"Anak-anak tidak senang dengan kabar itu."
"Anak-anak akan baik-baik saja. Mereka akan terbiasa dengan kepergian kau.
Mereka memiliki ibunya sekarang."
"Rosie juga tidak senang dengan kabar itu." Entah mengapa aku mengucapkan
kalimat itu, terucap begitu saja.
Oma menoleh. Menatapku lamat-lamat. Menggeleng.
"Dengarkan aku, anakku. Malam ini biarlah Oma ceritakan kejadian masa lalu
itu." Oma berkata pelan setelah menghela napas panjang.
Aku menggeleng. Tidak perlu Oma menceritakannya. Tidak akan ada
gunanya. "Bukankah Oma pernah bilang berkali-kali." Oma tetap meneruskan
kalimatnya, "Tidak ada mawar yang tumbuh di tegarnya karang, Anakku. Tidak
ada. Takdir kalian kejam. Tapi begitulah kenyataannya. Malam ini biarlah Oma
menceritakan sepotong kejadian itu. Agar kau mengerti. Tapi apa pun yang kau
dengar dari Oma, yakinlah keputusan terbaik bagi kau adalah kembali ke
Jakarta, menjemput janji kehidupan bersama Sekar. Yakinlah, apa pun yang kau
dengar malam ini, pilihan terbaik bagimu tetap kembali ke Jakarta."
Aku mengusap wajah kebasku. Tidak mengerti.
"Kau terlampau mencintai Rosie, Tegar. Maka hatimu terkadang sering
menipu. Kau dulu sering bertanya apakah kau punya kesempatan" Menurut
orang tua ini, kalian berdualah yang justru tidak pernah berani membuat
kesempatan itu. Betapa tidak beruntungnya. Kalian menyerahkan sepenuhnya
kesempatan itu kepada suratan nasib. Tapi itu tidak buruk. Bukan sebuah
kesalahan. Maka biarkanlah seperti itu selamanya. Juga untuk urusan malam ini,
biarkanlah seperti itu". Andaikata takdir itu memang baik untuk kalian, maka
akan ada sesuatu yang bisa membelokkan semua kenyataan. Tapi sepanjang
sesuatu itu belum terjadi, maka seperti yang aku bilang, tidak pernah ada mawar
yang tumbuh di tegarnya karang, Anakku." Oma berhenti sejenak, memperbaiki
syal di lehernya. Aku menatap diam perapian yang bergemeletuk.
"Kau tahu, setelah sekian lama menahan keinginan untuk bilang kepada
Rosie, pagi buta sebelum pernikahan itu, Oma tak-kuasa untuk tidak
mengatakannya. Lagipula awalnya Oma pikir, mengatakan itu tidak akan
membuat perubahan. Rosie paling hanya terdiam. Terkejut. Hanya itu. Tidak
lebih. Tidak kurang. Tetap melanjutkan rencana pernikahannya. Cerita Oma
tidak akan berpengaruh apa pun. Tidak akan merubah takdir, tidak akan
membuat sesuatu yang seharusnya terjadi menjadi tidak terjadi, dan sebaliknya."
"Oma tahu, kau menyimpan perasaan itu sejak kecil. Masa-masa remaja
kalian. Kau sudah amat mencintai Rosie saat itu. Saking besarnya, tidak
memberikan kesempatan sedikit pun bagi Rosie untuk sebaliknya mengenali
perasaannya kepada kau. Rosie tidak pernah merasa sedetik pun kau pergi
darinya. Kau selalu ada saat dibutuhkan". Tahukah kau, Tegar, untuk membuat
seseorang menyadari apa yang dirasakannya, justru cara terbaik melalui hal-hal
menyakitkan. Misalnya kau pergi. Saat kau pergi, seseorang baru akan merasa
kehilangan, dan dia mulai bisa menjelaskan apa yang sesungguhnya dia
rasakan." "Tetapi tidak pada kalian. Rosie tidak pernah berkesempatan mengerti apa
sebenarnya perasaannya. Hingga Nathan datang. Lazimnya gadis muda yang
melihat seorang pria menawan, atau sebaliknya seorang pemuda melihat gadis
rupawan. Rosie tiba-tiba merasakan ketertarikan yang hebat. Apakah itu cinta"
Tentu saja. Dalam pengertian yang berbeda. Dan Nathan jauh lebih agresif
dibandingkan kau. Dia berbeda. Itu kabar buruk bagimu." Oma mengusap wajah
keriputnya. "Rosie tidak pernah mengerti apa perasaannya kepadamu, dan sebelum dia
benar-benar mengerti Nathan datang dengan pesonanya. Membuatnya seolaholah mengerti. Dia menerima Nathan. Dan kau" Kau terlempar jauh sekali. Apa
yang Oma bilang tadi tentang kesempatan" Kau tidak pernah berani membuat
kesempatan itu dengan tanganmu. Kau kalah. Dan aku sungguh keliru, ternyata
Rosie juga tidak pernah punya keberanian untuk membuat kesempatan dengan
tangannya." "Subuh itu, aku tidak kuasa lagi untuk tidak bilang kepada Rosie. Ya Tuhan,
aku amat menyayangimu, Tegar. Dalam urusan ini kalau boleh jujur, Oma
menginginkanmu menjadi bagian keluarga besar resor. Seperti Anggrek yang
sekarang menginginkanmu sebagai ayahnya." Suara Oma mulai serak.
Aku menggigit bibir. Mulai mengerti apa yang akan Oma ceritakan. Cukup
Oma. Tak perlu dilanjutkan. Tidak perlu dikatakan. Semua detail itu tidak
berguna. Aku sudah memutuskan untuk menikahi Sekar.
"Tidak. Biarkan Oma meneruskan semua cerita ini." Oma menyeka pipi
keriputnya, "Biar semuanya lengkap. Biar orang tua ini tidak menyimpan rahasia
berkepanjangan. Subuh itu Oma bilang pada Rosie tentang perasaan kau. Karena
Oma tidak pernah melihat Rosie menatapmu dengan tatapan itu, maka Oma pikir
tidak akan ada masalah besar dengan mengatakannya. Dengan melihat Rosie
hanya terkejut, kemudian tetap meneruskan pernikahannya dengan Nathan, maka
semua selesai. Jelas sekali kau tidak akan pernah punya kesempatan." Oma diam
sejenak, berusaha mengendalikan perasaannya.
Aku mendongak menatap langit-langit ruangan.
"Berjanjilah Tegar, apa pun yang kau dengar malam ini, kau akan tetap
kembali ke Jakarta. Karena kau menitipkan kesempatanmu pada guratan takdir,
maka setelah kau mendengar sepotong kejadian masa lalu itu kau juga tetap akan
menitipkan kesempatan itu pada guratan takdir. Jika mawar itu akhirnya tumbuh
di tegarnya karang, maka biarlah kuasa Tuhan yang membuktikannya."
Aku menggigit bibir. Apa yang sebenarnya hendak Oma katakan"
"Subuh itu ketika orang tua ini bilang kepada Rosie. Ya Tuhan, aku sungguh
tidak menyangka apa yang akan terjadi. Rosie menangis. Gadis yang malang.
Dia tidak pernah mengerti apa perasaannya selama ini kepada kau. Rosie ingin
membatalkan pernikahan itu. Aku ingat sekali bagaimana wajahnya. Tidak.
Rosie belum sempurna bisa mendefinisikan perasaan itu. Belum sempurna
mengerti. Dia masih terpesona kepada Nathan. Dia ingin membatalkan
pernikahan itu karena merasa amat bersalah padamu."
"Dan Nathan juga melakukan hal yang sama. Dia juga ingin membatalkan
pernikahan itu. Pemuda yang baik. Tapi apa kataku tadi, kalian benar-benar tidak
pernah diguratkan untuk bersama. Malam itu aku baru menyadarinya. Kau
sempurna menghilang lima tahun. Tidak tahu rimbanya. Awalnya aku pikir itu
keputusan terbaik, tapi dengan melihat Rosie menangis." Oma mengusap
wajahnya. Matanya redup. "Pernikahan itu berlangsung setelah enam bulan ditunda. Apakah Rosie
mencintai Nathan" Rasa kekaguman itu tentu saja cinta. Dengan pengertian dan
pemahaman berbeda. Tapi seiring waktu, Rosie mulai mampu mendefinisikan
banyak hal. Kepergian kau. Maka perasaan itu mulai tumbuh. Subur sekali. Dan
betapa tidak beruntungnya, kau kembali Tegar. Kau meneleponku. Seharusnya
kau tidak pernah melakukan itu. Rosie menemukan catatan alamat apartemen itu.
Dia memaksa Nathan berangkat ke Jakarta saat itu juga."
"Lima tahun berlalu. Kau sedikit banyak sudah berdamai. Kabar baiknya, ada
anak-anak, yang amat membanggakan. Anak-anak yang menjadi jembatan baru
hubungan kalian. Aku tahu kau tidak mengharapkan Rosie lagi. Kau juga akan
menikah dengan Sekar". Aku tahu meskipun Rosie sudah bisa mendefinisikan
perasaan itu di hatinya, dia tidak mungkin mengharapkan masa lalu itu kembali.
Kalian tidak akan pernah punya kesempatan."
"Tapi gurat takdir kalian berdua kejam sekali. Kejadian di Jimbaran membuat
semuanya berubah. Nathan pergi. Anak-anak kehilangan ayahnya. Dan kau, kau
yang selalu baik dengan keluarga ini memutuskan kembali. Kau mengasuh anakanak dengan cinta yang lebih besar dibandingkan yang bisa diberikan seorang
Ayah kepada mereka. Kau sungguh Paman yang hebat, Tegar. Meski aku tidak
selalu setuju dengan cara kau mendidik mereka, mengajari mereka ngebut
misalnya." Oma tertawa getir.
"Dua tahun kau di sini, apa yang aku cemaskan itu terjadi". Kau terjebak.
Kau memang tidak pernah mau mengakuinya, tapi dengan kembali ke Gili
Trawangan kau membiarkan semua masa lalu itu pulang. Kau boleh bersikukuh
tidak mengharapkan Rosie lagi. Dan mungkin itu benar, tapi kau tidak bisa
mencegah apa yang terjadi sebaliknya di Rosie. Apa yang berkembang subur di
hati Rosie." "Apa maksud Oma?" Aku memotong kalimat Oma.
"Enam bulan terakhir". Saat kau mengatakan kalimat itu di shelter, Anggrek
yang melaporkannya padaku. Saat itu sempurna sudah kau mencungkil perasaan
masa lalu itu di hati Rosie. Aku sungguh keliru, enam bulan terakhir, semuanya
tidak terkendali lagi."
"Apa maksud Oma?" Aku mendesis kencang.
"Tidak. Kau sudah berjanji ke Sekar untuk menikahinya."
"Apa maksud Oma?" Aku menyentuh lengan Oma.
Oma menatapku nanar. Dan sekejap sudut mataku menangkap seseorang ikut
mendengar pembicaraan di ruang depan resor.
Rosie, Rosie yang sejak dari tadi tanpa aku sadari sudah berdiri di anak tangga
paling atas tidak kuasa lagi menahan kakinya yang bergetar. Dia terjatuh. Oma
menoleh. Rosie menyeka ujung matanya. Tertatih berdiri, kesakitan. Aku
menelan ludah menatap wajah menangis itu. Apa maksud semua ini" Apa
maksudnya" Berlari". Rosie tiba-tiba berlari meninggalkan ruangan.
Aku terkesiap. Menatap kembali wajah tua Oma.
Oma berseru lirih, "Rosie mencintaimu, Tegar. Rosie selalu mencintai kau.
Sejak kecil. Masalahnya, cinta kau yang terlalu besar tidak pernah
memberikannya kesempatan untuk mengerti. Tetapi dia selalu dan akan selalu
mencintaimu." Aku menggigit bibir. Ya Tuhan, semua ini benar-benar lelucon.
Aku berlari mengejar Rosie hingga teras depan.
Rosie berlari menuruni anak tangga. Menuju halaman.
Hujan deras langsung membungkus tubuhnya.
Apa yang harus aku lakukan" Aku tidak bisa berpikir rasional saat ini.
Menelan ludah, berlari melompati anak tangga. Berlari mengejar Rosie.
Rosie berlari menuju pantai. Aku menjejak pasir dengan kaki telanjang. Rosie
tertahan oleh lautan. Berdiri dengan air selutut. Membalik badannya.
"Jangan ikuti aku, Tegar. Jangan ikuti aku."
Petir menyambar. Membuat terang semesta alam.
Aku mengusap wajah. Lihatlah, wajah Rosie terlihat begitu sendu.
Aku melangkah mendekat, "Apa yang kau lakukan, Ros?"
"Aku mohon, jangan ikuti aku."
"Kenapa kau lari?"
"Pergilah. Tinggalkan aku sendirian." Rosie berkata serak. Ribuan larik air
hujan membungkus kami. Membentuk kecambah melingkar di hamparan air
laut. "Kenapa kau lari?" Aku memegang lengannya.
Rosie mengangkat kepalanya.
Petir menyambar sekali lagi. Aku menggigit bibir melihat tatapan mata itu.
Linda benar. Oma juga benar. Tapi semua ini benar-benar sudah terlambat.
Rosie tersedu. Menangis. Aku mendekap tubuh yang luruh ke bawah.
Tuhan, malam ini aku mulai belajar tentang kata kesempatan.
Siang tadi aku juga belajar satu makna kata penting yang seharusnya selalu
disampirkan dengan kata kesempatan, yaitu kata cukup. Oma benar. Semua gurat
takdir ini mungkin kejam. Aku tidak pernah berani membuat kesempatan, karena
aku telanjur mempercayai sepenuhnya janji kehidupan. Malam ini, biarlah
semuanya terasa lengkap. Sempurna. Aku titipkan seluruh urusan ini kepadaMu,
Tuhan. Jika Engkau menghendaki mawar itu tumbuh di atas tegarnya karang,
maka biarkanlah itu terjadi.
Kau akan mengirimkan keajaiban itu.
Aku sudah berjanji kepada Sekar. Tidak mungkin lagi mengurungkan
semuanya. Tidak mungkin setelah Sekar dengan berani menciptakan kesempatan
baginya. Membatalkan pertunangan. Hujan terus membungkusku dan Rosie. Air
laut menjilat-jilat betis.
Malam itu, anak-anak menatap kosong dari jendela lantai dua bangunan utama
resor. Anggrek menyeka ujung matanya. Sakura dan Jasmine menunduk. Mata
hitam Lili mengerjap-ngerjap. Mereka belum tidur. Mereka tepatnya tidak bisa
tidur. Aku membimbing Rosie masuk kembali.
Biarlah kesempatan itu datang dari langit.
Semua sudah cukup sekarang.
Esok paginya aku berangkat.
Tidak banyak barang yang kubawa. Dulu saat datang ke resor ini aku hanya
membawa apa yang kukenakan di ruang kerjaku. Jadi sekarang hanya pergi
dengan sebuah ransel kecil. Itu pun isinya hanya laptop, buku-buku dan berkas
pembangunan bungalow. Rosie menangis di dermaga. Aku hanya berbisik pelan tentang janji
kebahagiaan. Aku tidak pernah selega ini dalam urusan perasaanku kepada
Rosie. Aku akhirnya tahu.
Anggrek menatap terluka. Memelukku.
Sakura memalingkan mukanya. Menepiskan tanganku. Berlari kembali ke
resor sambil menangis. Anggrek marah ingin mengejarnya. Menahannya. Aku
berkata lirih. Biarkan. Biarkan Sakura pergi.
Jasmine memeluk leherku. Bilang titip salam untuk Bibi Sekar. Jasmine sudah
mengerti banyak hal. Ia juga benci dengan kepergianku. Tapi ia selalu
memandang banyak masalah dari sisi yang berbeda dibanding siapa pun,
termasuk orang dewasa sekalipun.
Lili menatapku lamat-lamat. Matanya berkejap-kerjap.
Ia terlihat hendak membuka mulut. Ya Tuhan, itu untuk pertama kalinya Lili
benar-benar akan membuka mulutnya.
"Lili ingin mengatakan sesuatu kepada Paman" Ingin mengatakan sesuatu
sebelum Paman pergi?" Aku membelai pipi cubby-nya.
Mulut Lili menutup lagi. Urung bicara.
Aku mendekap kepalanya. Menciumi ubun-ubunnya. Jepit rambut itu indah
benar di terpa cahaya lembut matahari pagi. Juga kalung di lehernya.
Aku beranjak naik ke kapal cepat.
Hari ini aku pergi, untuk yang kedua kalinya.
Sekar menjemputku di bandara.
Sepanjang perjalanan tadi aku sudah memutuskan banyak hal. Aku akan
menikah dengan Sekar. Itu keputusanku. Tidak dipaksakan siapa pun. Aku
membawa beban kenyataan yang baru kuketahui di Gili Trawangan. Tapi itu
tidak akan berpengaruh. Aku tidak akan berpura-pura mencintainya. Aku
memang mencintainya. Entah dengan pengertian atau pemahaman cinta yang
mana. Aku menginginkan pernikahan ini. Maka aku bergurau riang bersamanya.


Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pernikahan kami bersisa dua hari lagi.
Sekar bertanya kabar anak-anak. Aku mengangguk. Baik. Bertanya apakah
Lili sudah mau bicara. Aku menggeleng. Sekar bertanya kabar Rosie, meski
dengan suara yang berbeda. Aku tertawa. Mengangguk. Rosie baik-baik saja.
Oma benar. Seharusnya aku tidak pernah kembali ke Gili Trawangan. Tidak
pernah. Bahkan tidak seharusnya menelepon". Maka aku memutuskan untuk
mulai melupakan dengan cepat masa dua tahun terakhir. Semuanya tinggal masa
lalu, sama halnya dengan dua puluh tahun silam. Aku sekarang memiliki janji
kehidupan bersama Sekar. Gadis yang dua tahun silam ingin kunikahi. Juga sekarang.
Linda, Mama dan Papa Sekar menyambut di rumah. Mulai hari ini hingga
pernikahan dua hari lagi ada banyak yang harus kulakukan. Aku akan
melakukannya karena aku menyukainya. Bukan karena terpaksa.
Malam itu hujan turun deras di Gili Trawangan.
Anak-anak sepi di meja makan. Mereka benar-benar kehilangan selera.
Menatap kosong kursiku. Jasmine dan Lili hanya mengaduk-aduk makanan di
piring. Sakura malah tidak menyentuhnya. Anggrek tertunduk.
"Boleh Anggrek bertanya satu hal, Ibu." Anggrek berkata pelan.
Rosie menoleh. Menatap sulungnya. Apa"
"Apa arti kata cinta bagi Ibu?"
Hening. Tanpa ada yang memperhatikan, Lili tidak sengaja menumpahkan
makanan di atas meja. Jasmine membantu membersihkan.
"Apa arti kata cinta bagi Ibu?" Anggrek bertanya sekali lagi.
"Persahabatan." Rosie menjawab lirih. Suara hujan menerpa atap resor
terdengar berirama. "Apakah kita akan datang ke pernikahan Om Tegar, Ibu?"
Senyap. Rosie tidak menggeleng. Tidak juga menjawab.
EPILOG " LILI-KU AKHIRNYA BICARA
Selamat pagi. Aku tahu, saat membaca cerita ini, di tempat kalian mungkin sedang siang,
sore, atau boleh jadi malah malam hari. Di tempatku ketika memulai cerita ini
juga sebenarnya sedang senja, pukul 17.00. Matahari tengah beranjak tenggelam
di kaki cakrawala, sayangnya tak nampak keindahannya karena terhalang
gedung-gedung tinggi. Hanya semburat kemerahan yang berpadu dengan
cokelatnya langit kota terlihat memantul dari kaca-kaca raksasa, lempengan
logam, dan tiang beton pencakar langit.
Selamat pagi. Bagiku waktu selalu pagi. Di antara potongan dua puluh empat jam sehari,
bagiku pagi adalah waktu paling indah. Ketika janji-janji baru muncul seiring
embun menggelayut di ujung dedaunan. Ketika harapan-harapan baru merekah
bersama kabut yang mengambang di persawahan hingga nun jauh di kaki
pegunungan. Pagi, berarti satu hari yang melelahkan telah terlampaui lagi. Pagi,
berarti satu malam dengan mimpi-mimpi yang menyesakkan terlewati lagi;
malam-malam panjang, gerakan tubuh resah, kerinduan, dan helaan napas
tertahan. Tidak. Itu semua tinggal masa lalu.
Pagi itu, pernikahanku dengan Sekar berjalan sebagai mana mestinya. Sekar
tersenyum bahagia saat kami menaiki mobil menuju tempat acara
dilangsungkan. Gedung itu ramai. Ramai sekali. Tamu-tamu datang dengan
pakaian rapi dan wajah cemerlang.
Sekar terlihat cantik dengan gaun putihnya. Aku membimbingnya turun.
Menuju tempat acara akan dilangsungkan. Frans melambaikan tangan, memeluk
istrinya. Wajah-wajah yang kukenali. Wajah-wajah yang terlihat bahagia.
Bahkan ada Eric Theo di sana, mantan bos-ku. Tersenyum lebar. Linda menjadi
pendamping mempelai wanita. Aku tidak memiliki pendamping. Dua tahun
silam aku merencanakan Anggrek menjadi pendampingku, gadis kecil itu. Tapi
sekarang, aku tidak tahu apakah mereka akan datang atau tidak.
Dua hari terakhir meski begitu banyak potongan kejadian yang kembali
menghujam memori otakku, aku bisa menyimpulkan banyak hal dengan
sederhana. Aku akan menikahi Sekar. Menikahinya dengan sungguh-sungguh.
Biarlah kata kesempatan bagiku menjadi milik guratan nasib. Aku merasa cukup
dengan semua perjalanan cintaku.
Aku menggenggam jemari Sekar menuju tengah ruangan.
Aku tersenyum lebar. Saat itulah aku menangkap siluet mereka.
Mereka ternyata datang. Rosie. Anggrek. Sakura. Jasmine. Dan Lili.
Berdiri di antara tamu-tamu. Aku menggenggam jemari Sekar lebih erat.
Menatap wajah-wajah itu selintas. Wajah Rosie yang menunduk. Aku tidak tahu
kenapa Rosie harus memaksakan datang. Wajah Anggrek yang menatapku.
Tatapan itu datar. Sakura yang menggigit bibir. Jasmine yang tersenyum ke Bibi
Sekarnya. Lili. Gadis kecil itu menatapku berkejap-kerjap. Ada sesuatu di
matanya. Sepuluh langkah lagi sebelum tiba di tengah ruangan, aku melewati mereka.
Tidak kuasa menoleh. Sekar terus menunduk, membalas menggenggam
jemariku. Aku berbisik tentang semua akan baik-baik saja. Sekar mengangguk
pelan. Biarlah semua terjadi seperti kehendak-Mu, Tuhan. Lima langkah lagi menuju
tengah ruangan. Entah mengapa, tiba-tiba Lili berlari ke arahku. Tangannya
dengan cepat memegang celanaku.
Langkahku terhenti. Langkah Sekar juga terhenti. Semua undangan
memandang tidak mengerti. Lili tidak peduali, gadis kecil itu mendongak, aku
gentar sekali menatap wajahnya. Wajah gadis kecil berumur tiga tahun. Mulut
Lili perlahan membuka. "Kau ingin mengatakan sesuatu, Lili?" Aku duduk jongkok.
Mulutnya menutup lagi. "Katakanlah sesuatu, Sayang" Bicaralah."
Mata Lili berdenting air. Satu bilur membasahi pipinya.
"Paman." Mulut kecilnya membuka, itu kalimat pertama yang keluar dari
mulutnya, "Lili akan bicara. Lili akan mengatakan apa saja yang Paman
inginkan." Gadis kecil itu terisak.
Seluruh ruangan senyap. Ya Tuhan, gadis kecilku akhirnya bicara. Setelah dua
tahun diam. Pagi ini gadis kecilku bicara. Dengan suara yang indah,
mencelupkan hati. "Paman, Lili akan menjadi apa saja yang Paman inginkan. Lili akan menuruti
semua yang Paman katakan. Lili akan bicara apa saja yang Paman inginkan.
Asal, asal, Paman jangan pergi. Paman jangan pergi." Lili memegang lenganku.
Aku menggigit bibir, mendongakkan kepala.
"Lili tidak ingin memanggil Paman dengan sebutan Paman seperti Kak
Jasmine. Lili tidak ingin memanggil Uncle seperti Kak Sakura. Lili tidak ingin
memanggil Om seperti Kak Anggrek. Lili ingin memanggil Paman dengan".
Lili ingin memanggil Paman dengan sebutan Papa. Papa Tegar." Lili
mencengkeram lenganku. Air mata itu sempurna meleleh. Aku mendekap kepala gadis kecil itu.
Ruangan senyap. Hanya diisi oleh tangis pelan Lili. Ia tidak merajuk,
tangisnya lebih seperti gadis kecil yang sungguh tidak mau kehilangan sesuatu.
Kesempatan. Pagi itu aku mengerti arti kata kesempatan.
Ketika Rosie memaksa Lili melepaskan pelukannya. Ketika Lili menangis
tidak mau melepaskan. Ketika Lili meronta-ronta melawan.
Ketika Rosie sambil menangis menggendong paksa Lili. Mereka yang
membalik badan berusaha menjauh. Keluar dari ruangan.
Saat itulah Sekar melepaskan genggaman tangannya di jemariku. Ia
menyingsingkan gaun putih panjangnya, berlari mengejar Rosie di bawah
tatapan undangan, tidak peduli sanggulnya berubah posisi. Sekar meraih tangan
Rosie, sedikit memaksa, berusaha menariknya kembali ke tengah ruangan.
"Dua puluh tahun kelak, aku pasti menyesali telah melakukan ini, Tegar.
Tetapi, dua puluh tahun kelak juga, aku pasti lebih menyesalinya jika tidak
melakukannya." Sekar menahan tangis, tubuhnya bergetar, satu tangannya yang
lain meraih lenganku, menatapku, "Menikahlah dengan Rosie, Tegar.
Menikahlah. Pagi ini aku paham, aku mengerti, kalian ditakdirkan bersama sejak
kecil. Aku sungguh akan belajar bahagia menerimanya, dan itu akan lebih
mudah dengan pemahaman yang baru. Aku akan baik-baik saja. Menikahlah!"
Pagi itu aku akhirnya mengerti arti kata kesempatan. Mawar akan tumbuh di
tegarnya karang, jika Kau menghendakinya.
TENTANG PENULIS Penulis bisa dihubungi lewat email darwisdarwis@yahoo.com, atau akun
facebook Darwis Tere-Liye. Untuk mendapatkan koleksi lengkap buku tere-liye,
silahkan kunjungi tbodelisa.blogspot.com
Seruling Perak 2 Jaka Sembung 4 Raja Rampok Dari Lereng Ciremai Pedang Dan Kitab Suci 5

Cari Blog Ini