Ceritasilat Novel Online

Sekar 4

Sekar Karya Maria A. Sardjono Bagian 4


Kalau ada rekan sesama guru atau teman-teman Den Bagus melihat kita atau malah keluarga Den Roro Dewi, wah, bisa kacau-balau, katanya.
Jakarta dan sekitarnya ini terlalu luas dan terlalu ba"nyak tempat yang akan dikunjungi orang, Sekar. Kau tidak perlu merasa khawatir, sahut Joko menenangkan
Kalau sudah begitu, apa lagi yang masih perlu dibi"- ca"rakan" Meskipun cinta mereka begitu menggelora, na"mun keduanya sama-sama sadar bahwa hanya seperti itu sajalah yang bisa mereka lakukan untuk memadu ka"sih. Jurang lebar yang dalam dan rasanya mustahil un"tuk diseberangi itu masih terbentang di antara mere"- ka. Jadi, untuk apa terlalu mencemaskan ini dan itu, ter"masuk ketakutan dipergoki orang. Bukankah mereka ting"gal dalam satu rumah sehingga mudah bagi keduanya untuk menyusun jawaban yang masuk akal andaika"ta bertemu dengan seseorang yang mengenali mereka"
Namun kendati demikian, sedikit atau banyak, wak"- tu Joko yang semestinya diluangkannya untuk Dewi, men"jadi berkurang karenanya. Akibatnya, gadis itu mera"sa kurang diperhatikan. Sampai suatu ketika ia me"- nun"tut Joko untuk mengantarkannya ke pesta ulang ta"hun sepupunya. Tetapi saat itu Joko sudah telanjur me"nyanggupi Dokter Pramono untuk menggantikan prak"tiknya Ia harus menunggui istrinya yang akan melahir"kan. Ketika mendengar kesanggupan Joko, rekan seker"janya itu merasa lega karena mereka berdua mempunyai persamaan dalam banyak hal. Terutama jika mem"bahas hal-hal yang menyangkut dunia kedokteran. Di antaranya, mengenai cara-cara menangani pasien. Teta"pi ketika hal tersebut dikatakan Joko pada Dewi, ga"dis itu langsung mengamuk.
Sudah lama Mas tidak datang ke rumah. Sudah lama Mas tidak mengajakku jalan-jalan, seolah aku ini
ta untuk menemaniku ke rumah Niken, ada saja alasan"mu untuk menolakku. Sebal aku, katanya marah-marah.
Wi, kalau kau mengatakannya kemarin-kemarin, aku pasti bisa mengatur urusan ini, sahut Joko. Tetapi sekarang aku sudah telanjur berjanji pada Pramono. Dia sangat memercayaiku untuk menggantikannya me"na"ngani pasien-pasiennya yang banyak. Kepercayaan se"perti itu harus dijunjung tinggi. Apalagi aku kan be"lum lama menik"mati senangnya praktik di negara sendiri.
Gombal. Alasanmu saja, kan" Pokoknya Mas harus meng"antarku ke rumah Niken, besok sore. Itu penting buat kita berdua karena banyak saudara-saudara yang su"dah lama tak bertemu, bahkan yang belum pernah kau"lihat, akan datang ke sana. Itu kesempatan baik untuk mengenalkanmu kepada mereka semua.
Mengenalkanku kepada saudara-saudaramu tidak ha"rus di dalam pesta ulang tahun Niken saja kan, Wi" Ku"rasa masih banyak kesempatan lain.
Aku maunya besok sore, Mas.
Wi, sudah kukatakan aku tidak bisa ya tidak bisa. Kau tahu kan, pekerjaanku ini menyangkut kesehatan ba"nyak orang, bahkan keselamatan nyawa mereka, jawab Joko.
Aduh, sombongnya, mentang-mentang sudah jadi ber"hasil membuka praktik sendiri.
Ini bukan masalah sombong atau tidak, Dewi. Joko ma"sih mencoba bersabar. Ini masalah tanggung jawab mo"ral terhadap tugas kemanusiaan yang harus kujun"dan juga aku tentu saja, tidak ingin mengecewakan pasien-pasiennya yang datang ke tempat praktik kami.
Kalau Mas Pramono bisa memindahkan tugasnya ke"padamu, berarti kau juga bisa memindahkan tugas itu kepada rekanmu yang lain, kan" Orang itu pasti se"nang karena pasien Mas Pram banyak. Rezekinya kan jadi banyak. Jadi alihkan saja tugas itu kepada salah se"orang di antara temanmu, kata Dewi dengan nada perin"tah.
Joko menarik napas panjang. Sering kali pikiran ga"- dis itu, pendek. Sering kali pula pembicaraan di antara mere"ka berdua tidak nyambung. Ah, kenapa gadis itu ma"sih saja bersifat kekanakan, tidak bisa menang"kap inti persoalan yang ada, keluh Joko di dalam hati"nya.
Dewi, Pramono hanya memercayakan pasien-pasiennya kepadaku. Itu harus kuhormati. Jadi, aku tidak akan mengalihkan tugas yang diberikannya itu kepada re"kan lainnya, katanya kemudian, mencoba untuk tetap ber"sabar.
Kalau begitu, Mas bisa menyusun dalih yang masuk akal. Nanti di saat Mas seharusnya menggantikan praktik"nya, kan bisa bilang pada Mas Pram bahwa ternyata Mas ada keperluan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan. Lalu berikan tugas itu kepada siapa saja rekanmu yang mau. Seperti kataku tadi, pasti banyak rekan yang mau karena pasien Mas Pram kan banyak. Nah, beres, kan" Dewi masih saja berusaha mematahkan keteguh"- an hati Joko.
Joko menahan diri untuk tidak marah meskipun
an seperti ini pasti akan sering dialaminya jika nanti jadi menikah dengan Dewi. Hal-hal yang sebetulnya sepe"le, bisa merambat ke mana-mana dan membesar ba"gai percikan api jatuh ke dalam tong berisi bensin.
Kau tahu aku ini bekerja sebagai apa, bukan" tanyanya kemudian dengan suara di hidung saking jengkelnya. Atau, kau belum tahu sama sekali"
Tahu sekali. Pekerjaanmu mempunyai banyak kesem"patan untuk melihat kulit mulus dan dada-dada montok, kan" Dewi, yang semakin marah karena dilontari kata-kata sindiran seperti itu, mulai kehilangan kon"trol diri.
Aduh, syukurlah kalau kau tahu itu, Joko juga mu"- lai meradang. Kalau disuruh memilih, tentu aku jauh le"bih suka melihat dada montok dan kulit sehalus sutra dari"pada mendengar kata-kata nyinyirmu dan mengantar"kanmu ke rumah Niken hanya untuk berpesta.
Omonganmu kotor, seperti bukan seorang priyayi ting"gi! Dewi membentak. Kampungan.
Lho, siapa tadi yang memulai lebih dulu" Kepriyanyian itu tidak sekadar dari keturunan saja lho, teta"pi juga isi bicara, sikap, dan perilaku seseorang. Ke"- priyayian atau keningratan itu lebih ada pada hati, se"- bab di seluruh dunia ini darah setiap manusia warnanya kan sama-sama merah.
Dewi tidak mau mendengar perkataan Joko yang ob"jektif itu. Ia ganti menyerang hal-hal lainnya.
Hm, itulah kalau kau suka memberi hati kepada pem"bantu-pembantu rumah tangga orangtuamu. Keprime"reka. Sejak dulu kau selalu membela dan menjadi pah"la"wan bagi mereka dan...
Kau mulai melantur dan sudah melewati topik pembi"caraan kita, Joko memotong perkataan Dewi dengan se"ngit. Sering sekali pembicaraan Dewi jadi melebar ke mana-mana kalau sudah mulai marah. Seakan tidak ada kendali di dalam hatinya.
Nah, Mas membela mereka lagi, kan" Kalau dulu di masa kecil kau sering membela Sekar karena orangtua"mu menyuruhmu menjaganya, sekarang setelah Sekar tumbuh menjadi gadis dewasa yang jelita.. montok pula, wah, tentu beda lagi isi pembelaanmu. Lupa ke"priyayianmu....
Dewi, jaga bicaramu! Joko sudah tidak tahan untuk ti"dak membentak gadis itu. Nama Sekar sudah dibawabawa dengan cara menghina seperti itu. Apa sih kelebih"an priyayi dan keningratan" Itu kan cuma gelar kebang"sawanan hanya karena kebetulan kita ini cucu bu"yut Raja Solo. Nyatanya, Mbok Kromo dan Lik Tinah yang sejak kecil bergaul dengan keluarga ningrat, si"kap, tutur kata, dan batin mereka bahkan lebih priyayi daripada aku. Apalagi Sekar yang sejak bayi merah sudah ada bersama kami.
Wah, Sekar memang paling top di dunia ini. Aduh, Mas, kasihan sekali sih kamu, sudut pandangmu kok tidak lurus"
Apa maksudmu" Joko mendesakkan pertanyaan. Pikir sendiri sajalah. Aku tidak ingin bertengkar de"nganmu hanya karena masalah orang-orang belakangSiapa tadi yang melantur sampai ke sana" Bukan aku, kan"
Sudahlah, aku muak bicara panjang-lebar tanpa men"dapat jawaban yang jelas darimu. Nah, bagaimana de"ngan ulang tahun Niken besok petang" Mas bisa meng"antar aku atau tidak"
Tadi aku sudah menjawab secara jelas, kan" Bukan cuma sekali lho.
Yah, barangkali saja jawabanmu akan lain. Aku harus mengutamakan tugas dan pekerjaanku, Wi. Joko mengarahkan pikiran Dewi agar berpikir jer"- nih. Aku juga harus mengutamakan janjiku terhadap re"kan yang menaruh kepercayaan dan harapan kepada"- ku. Bukankah di setiap langkah hidup ini kita sering kali dihadapkan pada pilihan-pilihan yang menuntut kita untuk menyusun skala prioritas" Jadi, biarpun kau me"maksaku pergi ke ulang tahun Niken, maaf, aku tidak bisa memenuhi keinginanmu itu. Prioritas utamaku ada"lah mendahulukan pasien di atas kepentinganku sen"diri. Apalagi, kau kan bisa minta diantar oleh sopir.
Berarti aku ada di deretan paling akhir dari skala prioritasmu ya, Mas. Kau tidak mencintaiku, sahut Dewi, mulai merengek.
Apakah kau mencintaiku, Wi" Joko membalikkan per"tanyaan Dewi.
Mengapa kau meragukannya"
Orang yang sungguh mencintaiku pasti mengerti atau paling tidak berusaha untuk mengerti berbagai hal
itu seperti apa, sikap batinku itu bagaimana, dan kondi"si yang sedang kuhadapi itu menuntut apa. Jadi, bukan hanya memikirkan kepentingan dan hal-hal seputar diri sendiri.
Aduh, pandainya bicara. Memangnya Mas mengerti, atau paling tidak, mencoba mengerti diriku" Dewi ganti membalikkan perkataan Joko.
Tentu saja. Kalau tahu, kenapa tidak mencoba untuk mengerti diri"ku bahwa aku sungguh-sungguh tulus ingin mengenal"kanmu pada sanak saudaraku. Besok Niken bukan ha"nya berulang tahun, tetapi juga merayakan kelulusannya menjadi ahli hukum.
Maksudmu, kau tetap menginginkanku untuk menja"di pendamping di pesta Niken. Begitu" Joko memicingkan matanya.
Ya. Hanya ingin didamping olehmu, itu kan bukti cinta"ku. Jelas, kan"
Ya, sejelas aku mengenali dirimu, Joko menjawab ke"sal. Meskipun bicara tentang cinta, ternyata Dewi ha"nya berputar-putar pada keinginannya sendiri saja, ya"itu pergi bersamanya ke pesta Niken. Cinta bagimu kan seiring sejalan dengan keinginanmu memonopoli diri"ku.
Terserah kau mau bilang apa tentang diriku, Dewi mem"bentak. Tetapi melihat perkembangan hubungan kita, boleh kan kalau aku meragukan cintamu. Ada banyak bukti yang kurasakan. Sekarang sajalah buktinya, kau langsung menolak menjadi pendampingku ke pesta
lain. Lalu sampai hari ini kau masih belum juga menyebut"ku dengan panggilan Jeng dengan alasaan bahwa hu"bungan kita belum menginjak pada suatu kepastian, se"hingga aku bertanya-tanya, apakah ada kemungkinan lain yang sebetulnya kauinginkan.
Untuk sesaat lamanya Joko tertegun. Kali itu apa yang dikatakan oleh Dewi mendekati kebenaran. Jauh hari sebelum ia menyadari bahwa cintanya tertuju kepada Sekar, ia memang sudah meragukan perasaannya ter"hadap Dewi dan masa depannya bersama gadis itu.
Kau mulai melantur lagi, sahut Joko untuk menu"- tupi perasaannya yang tersentuh tadi. Berbicara denganmu tidak pernah ada titik temunya. Sulit memberimu pe"ngertian bahwa sebagai dokter, aku harus menda"hulu"kan kesembuhan para pasien agar mereka bisa menjalani kembali kehidupannya sehari-hari. Terus terang, Wi, berdebat denganmu membuatku lelah dan...
Aku benci kepadamu. Dewi merebut pembicaraan un"tuk kemudian cepat-cepat mematikan ponselnya.
Joko menarik napas panjang. Tidak bisa dihindari, se"jak pertengkaran dan perdebatan panjang melalui telepon itu, hubungannya dengan Dewi mulai retak sampai akhirnya tiba pada puncaknya di suatu siang. Ketika itu Dewi yang merasa disepelekan karena Joko tak per"- nah lagi menelepon atau datang ke rumahnya, mau mem"pertontonkan posisinya dalam kehidupan laki-laki itu. Maka dia datang berkunjung ke klinik tanpa mengabari lebih dulu. Begitu mengetahui Joko sedang mengada"kan rapat bersama rekan-rekannya, Dewi menyeliber"sama itu bisa berdiri karena didukung oleh uang Joko. Karenanya dia merasa berhak untuk langsung ma"suk ke ruang rapat dan duduk menunggu di sudut. Be"gitu ada kesempatan, ia langsung mencari perhatian Joko, sehingga laki-laki itu merasa malu.
Dengan wajah memerah menahan marah dan malu, ga"dis itu diajaknya masuk ke ruang kantor pribadinya be"gitu rapat selesai.
Wi, perbuatanmu sungguh tidak pantas. Tidak bisakah kau memisahkan antara kehidupan pribadiku dengan urusan pekerjaan yang menyangkut banyak orang" katanya setelah mereka hanya berdua saja. Kau... membuatku malu.
Mereka kan tahu bahwa aku ini calon istrimu. Apanya yang tidak pantas" Begitu tiba di klinik aku langsung mengirim SMS ke ponselmu, mau periksa darah. Dari"pada menunggu bersama orang lain, kan lebih baik ma"suk ke tempatmu rapat. Lagi pula salah siapa kalau SMS-ku tidak kaubalas"
Kau tahu aku sedang sibuk, mana sempat melihat SMS-mu. Joko bertambah marah karena Dewi tidak mera"sa bahwa perbuatannya itu tidak pantas. Kalau mau datang, ya datang saja. Duduk di ruang tunggu di de"pan laboratorium. Bukannya masuk ke ruang rapat mem"buat rekan-rekanku menolehkan kepala berbarengan. Jangan menganggap diri penting di sini, Wi. Tidak ada pelayanan khusus buat siapa pun. Semua orang yang datang ke sini harus diperlakukan sama. Aku calon istrimu, kan"
nya, Joko tidak lagi menahan lidahnya. Apa saja yang dira"sakannya, ia keluarkan. Bahkan acara lamaran masih baru dipersiapkan keluargaku. Jadi, jangan menganggap diri sebagai calon istriku yang bisa berbuat seenaknya di sini. Aku benar-benar malu melihatmu tiba-tiba ma"suk ke ruang rapat, duduk menunggu, dan mendengar"kan hal-hal yang bukan urusanmu.
Mendengar perkataan Joko yang memang benar itu bu"kan meminta maaf atau setidaknya menyadari kekeliruan"nya, tetapi Dewi malah marah besar. Matanya ber"kilat-kilat menyambar Joko dengan api amarah. Aku benci padamu, katanya mendesis.
Sudah beberapa kali aku mendengar kata-kata se"- per"ti itu. Maka kuucapkan terima kasih karena sekarang aku jadi semakin tahu seperti apa perasaanmu ter"hadapku. Jadi, Wi, silakan kaukaji kembali apakah hu"bungan kita ini sehat ataukah sebaliknya.
Tidak perlu, sebab mulai detik ini hubungan kita pu"tus. Batalkan rencana keluargamu untuk melamarku. Kata"kan itu kepada kedua orangtuamu.
Baik, dengan segera, sahut Joko merasa lega. Inilah yang justru ditunggu-tunggu olehnya, Dewi berkata me"mu"tuskan hubungan mereka berdua. Kata-kata yang bu"kan dari mulutnya. Nah, mulai detik ini masingmasing kita siap untuk menjalani kehidupan sendiri.
Begitulah akhir hubungan Joko dengan Dewi. Maka jem"batan emas yang diharapkan oleh kedua belah pi"- hak keluarga untuk memperkuat hubungan kekeluargaan yang sudah berjalan puluhan tahun itu pun batal
dira"malkan oleh masing-masing keluarga, tidak ada kata-kata lain yang bisa diucapkan kecuali rasa penye"- sal"an. Mereka semua sudah cukup mengenal perangai Dewi. Hanya Ibu Suryokusumo saja yang masih menyayang"kan kejadian itu. Ia masih ingat betul bagaimana Joko pernah mengatakan kepadanya bahwa ia akan terus mencoba bersabar dan berusaha mengubah perangai gadis itu secara pelan-pelan.
Siapa tahu kelakuannya yang sering keterlaluan itu bisa berubah, demikian Joko pernah berkata kepada sang ibu. Bagaimanapun juga kita semua sudah mengenal"nya dengan baik sehingga tidak lagi terkejut.
Jadi, putusnya hubungan yang menurut Ibu Suryokusumo terasa agak mendadak itu tak luput dari per"hatiannya. Menurutnya, pasti ada sebab-sebab lain yang mempercepat proses putusnya hubungan antara Joko dengan Dewi. Perempuan setengah baya itu memiliki pandangan dan kepekaan yang lebih dibanding yang lain. Rupanya, berpuasa, mati raga, berpantang, dan mengasah batin yang sudah sering dilakukannya se"jak masa gadisnya berdampak positif pada dirinya. Maka dengan ketajaman indra keenamnya itu, ia mulai mem"perhatikan sikap, kelakuan, dan gerak-gerik Joko secara diam-diam.
Berkat keprihatinan itulah ia menangkap ada sesuatu yang kurang wajar yang terjadi di antara Joko dan Sekar. Baginya betapapun rapatnya Joko dan Sekar menyim"pan rahasia, entah apa pun itu, terasakan olehnya. Oleh karenanya, untuk membuktikan kebenaran firasatsega"la sesuatu yang terjadi di sekitar mereka berdua de"ngan diam-diam. Dengan sikapnya yang kelihatan acuh tak acuh agar tidak sampai kentara, perempuan itu mengikuti setiap gerak-gerik, pandang mata, dan se"nyum kedua insan yang saleng mencintai itu.
Karena ketajaman firasatnya itulah akhirnya perempuan setengah baya itu menemukan buktinya. Pada sua"tu malam, saat rumah sudah sepi dan lampu-lampu telah dipadamkan, ia melihat tubuh Joko menyelinap ke halaman belakang. Tak berapa lama kemudian, ia juga melihat berkelebatnya gaun Sekar di balik rimbunnya tanaman hias. Begitu melihat Sekar, Joko langsung me"narik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Meski"- pun Sekar meronta, Ibu Suryokusumo tahu bahwa peno"lakan itu hanya didasari ketakutannya terlihat orang.
Melihat itu, Ibu Suryokusumo mengelus dada dengan se"dih. Ia menyayangi Sekar. Ketika masih bayi, acap kali Sekar dibaringkannya di atas tempat tidurnya se"men"tara Mbok Kromo sibuk di dapur. Dengan mata ke"palanya ia melihat Sekar kecil tumbuh dan berkembang. Wajahnya yang cantik dan mungil, kelakuannya yang menggemaskan, kelucuannya yang menyebabkan ge"lak tawa, tak luput dari perhatiannya. Ia telah membe"ri kebebasan yang lebih kepada Sekar, melampaui apa yang didapat oleh Mbok Kromo dan Tinah. Harapan"- nya, Sekar bisa tumbuh dengan wajar, sehingga kelak jika dewasa akan menemukan laki-laki yang memiliki sta"tus terhormat di masyarakat dan menikah dengankan hanya cantik, tetapi juga memiliki banyak kele"bihan yang pasti akan meraih perhatian para pemuda. Tet"api, bahwa ternyata laki-laki itu bernama Joko, Ibu Suryokusumo tidak pernah menyangkanya. Memikirkan"nya saja pun tak pernah. Kenyataan itu memukul pera"saannya. Ia tidak sanggup menerimanya. Bukan se"perti Sekar-lah menantu yang diinginkannya. Bukan se"perti Mbok Kromo-lah besan yang diharapkannya.
Memang, Ibu Suryokusumo cukup menyadari bahwa se"tiap manusia itu memiliki hak dasar yang sama. Di mata Tuhan tidak ada orang yang lebih tinggi dan yang le"bih rendah derajatnya. Tuhan menyayangi setiap manu"sia ciptaan-Nya dengan cinta yang sama. Namun Ibu Suryokusumo yang dilahirkan dan dibesarkan dalam ling"kungan yang terbiasa memakai ukuran bobot, bibit, dan bebet khususnya terkait dengan perjodohan, tidak bisa menerima menantu yang status, kedudukan, dan latar belakang keturunannya berada jauh di bawahnya. Se"bab pada garis keturunan itu ia meletakkan cucucucu dan cicitnya, yang akan lahir sebagai pewaris trah lelu"hurnya. Keberadaan Sekar tidak setara dengan derajat kepriyayian dan keningratan Joko.
Sebenarnya, Ibu Suryokusumo tahu bahwa dibanding Dewi, Sekar memiliki banyak kelebihan, fisik maupun yang nonfisik. Sekar memiliki kematangan, kesabaran, ke"lembutan, tata aturan pergaulan yang jauh melebihi apa yang dimiliki oleh Dewi. Otaknya cemerlang, daya juang"nya tinggi dan karier pribadinya bagus. Kelak, sete"lah kuliah S2 selesai, dia akan melamar menjutkan ke jen"jang yang lebih tinggi lagi dan Ibu Suryokusumo ya"kin, gadis itu mampu meraihnya. Semua daya juang itu tidak dimiliki oleh Dewi. Namun, Dewi memiliki ke"unggulan dalam hal bobot, bibit, dan bebet. Garis ke"turunan leluhurnya meyakinkan dan mantap untuk dise"jajarkan dengan keluarganya. Eyang dari pihak ibu"nya adalah cucu raja Solo kesekian. Ayahnya adalah keme"nakan raja Yogya yang sekarang telah digantikan putra"nya.
Berpikir sampai ke sana, Ibu Suryokusumo memiliki ha"rapan bahwa Joko tidak bersungguh-sungguh terha"- dap Sekar. Jadi, kalaupun Dewi sudah tidak lagi berada da"lam lingkup pemikiran dan kehidupannya, Joko akan me"milih gadis lain yang lebih setara dengannya. Dengan pemikiran itulah sebelum hubungan antara Joko dan Sekar ada tanda-tanda perkembangan yang lebih pas"ti, Ibu Suryokusumo bermaksud menyadarkan muda-mudi itu. Jangan sampai kedua insan yang se"- dang dimabuk asmara itu melupakan kenyataan dan hal-hal lain yang akan berpengaruh dalam hidup mereka nantinya, terutama menghadapi pandangan banyak orang. Akan sanggupkah mereka menghadapinya"
Di lubuk hati Ibu Suryokusumo, ada perasaan-pera"- sa"an yang acap kali bertolak belakang. Ia berharap Joko ti"dak bersungguh-sungguh terhadap Sekar. Hubungan me"reka berdua hanyalah pelampiasan dari gejolak darah muda untuk menikmati indahnya asmara. Tetapi ketika ter"ingat siapa Sekar, hati Ibu Suryokusumo juga tidak me"relakan anak Mbok Kromo dijadikan permainan
leh merusak masa depan gadis itu. Ia akan marah besar ka"lau hal itu terjadi.
Sungguh pusing kepala Ibu Suryokusumo memikir"- kan semua itu. Untuk meredakannya, ia ingin mencoba meng"gali perasaan Sekar dan mengetahui seberapa jauh hu"bungan antara Joko dengannya, karena menggali dan men"cari kebenaran seperti itu dari Joko, sulit diharapkan. Sekar gadis yang jujur, polos, dan apa adanya. Dari"nya, ia pasti akan menemukan sesuatu yang benarbenar ingin diketahuinya.
Berlandaskan pemikiran itu, ketika melihat Sekar su"dah selesai mencuci piring bekas makan siang, ia memang"gilnya.
Kau capek tidak, Nduk" tanyanya. Sekar memang baru saja pulang mengajar dan nanti sore masih harus ku"liah.
Tidak, Ndoro Den Ayu. Sekar tersenyum. Mau dipi"jat Sekar lagi, ya"
Ya. Kakiku pegal-pegal, Sekar. Kalau kau betul ti"- dak merasa capek, tolong aku dipijat sebentar, ya"
Baik, Ndoro Den Ayu. Saya ganti pakaian dulu, ya"
Begitulah, tanpa curiga apa pun Sekar mengganti gaun yang dipakainya untuk mengajar tadi dengan gaun ru"mah. Kemudian menyusul Ibu Suryokusumo masuk ke kamarnya. Kejadian seperti itu sudah biasa. Bukan hal yang mengherankan. Bukan hal yang aneh baginya.
U DARA siang yang panas di luar tidak terasa di dalam kamar Ibu Suryokusumo yang sejuk oleh AC. Sua"sana di dalam kamar itu terasa hening. Mata perempuan setengah baya itu agak terpejam saat Sekar memijit"nya dengan gerakan lembut namun terasa mantap. Pijat"an tangan Sekar memang terasa nyaman. Sekar me"ngira, Ibu Suryokusumo mulai mengantuk seperti bia"sanya. Padahal, perempuan itu sedang menyusun kali"mat, cara bagaimana menyampaikan isi hatinya agar si lembut hati itu tidak terlukai. Kalaupun itu tak terhin"darkan, Sekar bisa memahami dan menyadari ke"- nya"taan yang ada dan mampu pula mengambil sikap kom"promis. Sikap kompromis adalah salah satu sikap hi"dup orang Jawa jika menghadapi masalah atau konflik ba"tin. Ajaran seperti itu pasti sudah dipelajari dan dipra"ktikkan Sekar.
Sepuluh Lama sesudah tangan Sekar mulai terasa pegal, gadis itu memecahkan keheningan dengan pertanyaan yang juga biasa diucapkannya.
Tangannya juga dipijat, Ndoro"
Ibu Suryokusumo tersentak. Tetapi ia sempat mengang"gukkan kepalanya sambil menyahuti pertanyaan gadis itu.
Ya. Tetapi pelan-pelan saja ya. Tanganku agak ngilu.
Asam urat barangkali. Sebaiknya Ndoro periksa darah. Terlalu banyak mengonsumsi dedaunan hijau juga ku"rang baik. Mengenai kemungkinannya, sebaiknya Ndoro berkonsultasi dengan Ndoro Den Bagus Joko.
Kebetulan nama itu disebut oleh Sekar. Kesempatan bagi Ibu Suryokusumo untuk memasuki pembicaraan yang sudah direncanakannya berhari-hari itu.
Sekar... Ibu Suryokusumo menatap wajah yang ber"- ada tak jauh dari hadapannya itu. Semakin dewasa, ga"dis itu memang semakin jelita dan memiliki daya tarik yang kuat. Tak heran jika Joko tergiur olehnya. Ya, Ndoro..."
Kau kan akrab dengan Joko, kata Ibu Suryokusumo mu"lai memasuki pembicaraan dengan hati-hati. Nah, apa"kah kau mengetahui apa kira-kira yang menyebabkan hubungannya dengan Dewi putus" Kau pasti sudah mendengar tentang batalnya rencana pernikahan me"reka, kan"
Pijatan tangan Sekar terhenti beberapa saat lamanya. Pera"saannya mulai bergolak. Apakah Ibu Suryokusumo
ber"pi"kir seperti itu, cepat-cepat ia menenangkan perasaan"nya. Jangan sampai kecemasannya terbias dari air mu"kanya.
Ya, saya mendengar hal itu. Tetapi saya tidak tahu meng"apa hal itu terjadi, jawabnya sesudah berhasil meng"atur perasaannya.
Aku tak percaya kalau kau tidak mengetahuinya, Sekar. Hubunganmu dengan Joko kan akrab sekali. Pasti dia menceritakannya kepadamu.
Sekar tidak berani segera menjawab. Telapak tangan"- nya yang semula terasa hangat karena memijit, mendadak saja terasa dingin. Mengapa Ibu Suryokusumo berkata seperti itu" Apakah beliau yang memiliki ketajam"an firasat itu mengetahui hubungannya dengan Joko"
Den Bagus Joko cuma mengatakan bahwa mereka ti"dak sesuai satu sama lain. Ada banyak perbedaan pandang"an di antara mereka. Begitu saja yang diceritakannya kepada saya, sahutnya kemudian.
Begitu" Ya. Sekar, ada yang ingin kutanyakan kepadamu. Maukah kau menjawab dengan jujur dan tanpa prasangka ne"gatif atas pertanyaanku nanti" Ibu Suryokusumo mu"lai memasuki pembicaraan yang sudah direncanakannya itu.
Dada Sekar semakin berdebar ketika melihat keserius"an Ibu Suryokusumo. Ia cukup mengenali perubahan-perubahan cara bicara dan sikap perempuan setese"sudah simboknya itu. Apa saja ajaran dan teladan yang diperlihatkannya, langsung terserap olehnya. Bahkan selera dan kesukaannya pun diambil alih olehnya. Silakan, Ndoro, sahutnya.
Ehmm... apakah kau mencintai Joko..." Sekar merasa terperangkap oleh pertanyaan yang ditem"bakkan secara tiba-tiba dan tak tersangka-sangka itu. Dengan memutar otak lebih dulu, ia mencoba menja"wab secara diplomatis.
Ya, saya mencintai Den Bagus Joko seperti saya men"cintai seluruh isi rumah ini. Termasuk keluarga Den Roro Endang dan keluarganya. Sejak bayi merah, saya sudah ada di dalam rumah ini, jadi mana mungkin saya tidak mencintai semua orang dan semua benda yang ada di dalam rumah ini, rumah di mana saya menjadi bagian di dalamnya"
Mendengar jawaban Sekar, diam-diam Ibu Suryokusumo mengakui kematangan pikiran dan kebijak?"sanaan kata-kata gadis itu.
Aku memercayai pengakuanmu , Sekar. Tetapi terhadap Joko, tentunya kau mempunyai perasaan yang khusus sifatnya, bukan" Katakan saja sejujurnya, Sekar. Aku tidak akan marah.
Sekar menelan ludah. Dengan menundukkan kepalanya, ia berusaha memberanikan diri untuk bersikap ju"jur.
Ya, Ndoro.... Sejak kapan itu"
Sejak saya remaja berumur belasan tahun..., sahut
per"lihatkan kepada siapa pun, termasuk kepada yang ber"sangkutan.
Ibu Suryokusumo terdiam sejenak. Setelah menarik na"pas panjang baru beliau bertanya lagi.
Bagaimana sebaliknya, apakah ia juga mencintaimu..."
Ya. Justru Den Bagus yang lebih dulu menyatakannya sampai saya terkejut mendengarnya. Tetapi kami ber"dua sama-sama menyadari jurang dalam yang terbentang di antara kami. Jadi, Ndoro, hati saya sudah sa"ngat bahagia mendapat cinta dari Den Bagus Joko. Ti"dak ada tebersit dalam pikiran saya untuk mendapat le"bih dari itu....
Lagi-lagi Ibu Suryokusumo mengakui kematangan dan kebijakan Sekar. Tetapi ia masih ingin menggali le"bih dalam apa yang sebenarnya terjadi di antara Joko de"ngan Sekar.
Tetapi semakin kalian berdua menjalin hubungan, akan semakin erat tali buhulannya sehingga akan semakin sulit menguraikannya kembali jika suatu saat nanti hu"bungan kalian akan terputus karena adanya jurang per"bedaan itu, katanya dengan hati-hati. Ternyata sulit se"kali memilih kata-kata yang sekiranya tidak akan menya"kiti hati Sekar, sebab apa pun kata yang diplihnya, pasti akan melukai hatinya yang lembut.
Hal seperti itu sudah saya pikirkan, Ndoro. Tak henti-hentinya pula saya mengingatkan Den Bagus Joko agar ia menyadari ketimpangan hubungan kami supaya ja"ngan terlalu sakit jika kami harus berpisah. Tetapi
nger"ti sifatnya kalau sudah menghendaki sesuatu, kata Sekar perlahan, namun masih tetap penuh kesopanan. Be"gitupun tangannya juga masih tetap memijat lengan dan kaki Ibu Suryokusumo.
Ya, aku bisa membayangkannya. Dia memang keras ke"pala dan keras kemauan, sahut Ibu Suryokusumo. Se"benarnya di lubuk hatiku, tak seharusnya aku menya"lahkan hubungan kalian berdua. Zaman telah ber"ubah jauh, tidak seperti puluhan tahun yang lalu. Hak azasi manusia, alam kemerdekaan, pikiran modern, demokratisasi, dan sebagainya telah mengubah ba"nyak pola pikir manusia dan berpengaruh pada cara se"seorang menilai kehidupan ini. Apa yang dulu diang"- gap tabu, sekarang tidak lagi karena mendapat penjelasan yang rasional...
Apa yang sebenarnya ingin Ndoro Den Ayu katakan" Silakan saja. Saya tidak apa-apa kok..., Sekar me"nye"la bicara Ibu Suryokusumo karena perempuan itu menghentikan bicaranya. Ada keraguan di dalam sua"ra"nya.
Yah... aku cuma mau mengatakan bahwa meskipun te"lah terjadi berbagai perubahan di dunia ini, tetapi ter"nyata diriku masih tetap sama seperti cara leluhurku be"rpikir dan berperasaan dalam hal-hal tertentu. Ajaran dan didikan kuno sudah telanjur terserap di dalam seluruh urat darahku. Masih banyak pertimbangan-pertimbang"an dalam diriku yang tak bisa kuabaikan. Singkat kata, meskipun aku tidak boleh dan tidak bisa menyalah"kan hubunganmu dengan Joko, tetapi aku masih
lot dan kuno ini..., Suara ibu Suyokusumo terdengar meng"geletar.
Sekar mengerti, tidak mudah bagi perempuan itu un"tuk berterus terang mengeluarkan isi hatinya. Tetapi bagi Sekar, hal itu lebih baik karena ia jadi bisa menata hati dan keberadaannya dalam suatu kepastian yang je"las. Tidak perlu ada pengandaian-pengandaian apa pun.
Ndoro... saya mengerti, sahutnya kemudian setelah meng"hirup udara kuat-kuat agar tangis yang mulai naik ke lehernya, turun lagi.
Kau kasihan kepadaku tentunya, kan"
Ya, tentu saja. Saya memahami segala sesuatunya de"ngan baik. Ndoro tidak usah mengkhawatirkan sesuatu yang tidak perlu dikhawatirkan, Sekar menjawab lagi. Dan seperti tadi, ia juga berusaha menghirup udara dalam-dalam ke balik dadanya agar jangan ada tangis ikut berbicara. Lalu, apa sebaiknya yang harus saya lakukan menurut Ndoro Den Ayu"
Ibu Suryokusumo menelan ludah. Lehernya terasa terse"kat menyaksikan kepasrahan yang diperlihatkan Sekar dengan sikap terkendali itu. Suara gadis itu tetap ter"dengar lemah-lembut dan mengandung ketulusan ken"dati ada tangis dan kepiluan yang disembunyikannya. Hati terpeka Ibu Suryokusumo amat tersentuh karenanya. Ia benar-benar tidak tega melihat pengorbanan dan penderitaan batin gadis itu. Tetapi karena ini me"- nyang"kut nama baik, kemurnian darah, dan prestise kelu ga, ia harus menabahkan hati untuk tidak terpeJauhilah Joko, Sekar, akhirnya Ibu Suryokusumo me"nuntaskan apa yang sejak tadi menjadi pokok permasa"lahan. Maafkan aku, Nduk. Maafkanlah. Itu bukan kare"na aku tak sayang kepadamu. Aku menyayangimu, Sekar. Kau pasti tahu itu. Tetapi... dalam hal ini...
Ndoro tidak usah menjelaskannya. Saya sungguh sa"ngat mengerti sepenuhnya. Sekar merebut pembicaraan karena Ibu Suryokusumo mengalami kesulitan melan"jutkan bicaranya. Ndoro Den Ayu tidak usah merasa tak enak atau semacamnya kepada saya. Jangan pula me"rasa bersalah karenanya. Saya berjanji untuk melakukan apa yang bisa saya lakukan demi kebaikan semuanya. Setelah saya lulus nanti, saya akan melamar menja"di dosen di kota Solo atau Yogya agar Den Bagus Joko tidak sering melihat saya dan... terpengaruh oleh ke"beradaan saya. Sekali lagi, ini demi kabaikan semuanya.
Ya, kecuali kebahagiaanmu sendiri, kata Ibu Suryokusumo di dalam hatinya. Ia sungguh mengerti se"perti apa pedihnya hati Sekar. Tetapi apa boleh buat, ini demi kebahagiaan semua pihak, persis seperti apa yang dikatakan oleh Sekar.
Satu hal lagi yang ingin kuminta darimu, Sekar. Pem"bicaraan kita hari ini cukup hanya menjadi pembicara"an kita berdua saja, kata Ibu Suryokusumo lagi.
Ya, Ndoro. Saya tidak akan mengatakannya kepada sia"pa pun. Tidak juga kepada Simbok.
Terima kasih. Malam harinya Ibu Suryokusumo ganti memanggil
Suryokusumo tidak merasa perlu harus memilih katakata sebagaimana yang dilakukannya ketika tadi berbicara dengan Sekar. Semakin nyata dan jelas apa yang diucap"kannya kepada Joko, semakin mudah pula meng"- urai benang kusut. Sebagai seorang ibu, perempuan sete"ngah baya itu merasa wajib untuk mengarahkan Joko yang meskipun sudah menjadi dokter dan memiliki berbagai pengetahuan tinggi, namun menurutnya ma"sih perlu diberi berbagai pengertian-pengertian lain yang menyangkut nilai-nilai kehidupan orang Jawa. Ma"- sih banyak hal yang belum masuk ke dalam perbenda"- ha"raan dan pengalaman hidupnya. Maka begitu Joko du"duk di kursi yang tidak jauh dari tempat tidurnya, Ibu Suryokusumo langsung bertanya kepadanya tanpa basa-basi lebih dulu.
Joko, Ibu ingin mendengar jawabanmu secara jujur dan terus terang atas pertanyaan ini. Ngger, apakah kau men"cintai Sekar"
Joko tertegun beberapa saat lamanya. Sama sekali ia tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dari ibunya. Maka sama seperti Sekar, laki-laki itu juga ber"pikir bahwa sang ibu yang kuat bermatiraga dan meng"asah kepekaannya itu pastilah mempunyai alasan meng"apa melontarkan pertanyaan seperti itu. Padahal, ia dan Sekar sudah berusaha sedemikian rupa agar jalin"an kasih mereka tidak diketahui oleh siapa pun. Ia dan Sekar juga sudah begitu berhati-hati menjaga agar raha"sia percintaan mereka jangan sampai terbuka. Teta"- pi ternyata baru tiga bulan saja hubungan mereka berJoko, Ibu menunggu jawabanmu. Karena tidak mende"ngar suara Joko, Ibu Suryokusumo berkata lagi.
Joko mengangkat wajahnya, menatap mata Ibu Suryokusumo. Dia kenal seperti apa ibunya. Akan percu"ma saja menghindari pertanyaannya. Jadi dibulatkan tekadnya untuk mengatakan kebenarannya. Benar, Bu. Saya mencintainya.
Dengan tatapan tajam, Ibu Suryokusumo berusaha meng"gali seberapa jauh kebenaran jawaban Joko. Dan ia tertegun karenanya. Seluruh sikap tubuh dan pandang"an mata Joko jelas mengungkapkan bahwa laki-laki itu benar-benar mencintai Sekar. Jadi, bukan sekadar keter"tarikan fisik belaka.
Sejak kapan" tanya sang ibu lagi. Tiga bulan yang lalu.
Baru tiga bulan yang lalu" Bukankah kau mengenal Sekar sejak gadis itu masih bayi merah di rumah ini"
Memang demikian, Bu. Saya baru menyadari bahwa saya menaruh perasaan cinta terhadapnya baru tiga bulan lebih yang lalu.
Apakah karena hal itu maka hubunganmu dengan Dewi yang memang kurang mesra itu putus"
Secara tidak langsung, ya. Sebab setelah saya menyadari bahwa hati saya ternyata ada pada Sekar dan merasa"kan betapa indahnya kebersamaan hati dan rasa di anta"ra kami berdua, saya sadar bahwa selama ini saya te"lah keliru mengartikan kedekatan dan rasa kekeluar"- ga"an dengan Dewi sebagai cinta, jawab Joko apa adanya. Ditambah dengan perangai Dewi yang sering
sema"kin saya sadari bahwa kami tidak bisa lagi melanjut"kan hubungan. Lebih-lebih setelah dia semakin ingin me"monopoli perhatian dan waktu saya....
Tetapi kamu sudah berjanji pada Ibu untuk bersabar dan mencoba mengarahkan dia ke arah yang semesti"nya.
Itu sudah saya lakukan berkali-kali, Bu. Tetapi dua keja"dian terakhir waktu itu sudah tidak bisa lagi saya tole"ransi. Pertama dia memaksa saya mengantarkannya ke pesta ulang tahun Niken padahal dia tahu saat itu saya harus menggantikan praktik Dokter Pramono. Kedua, dia tiba-tiba saja muncul di ruang rapat. Meskipun tidak mengatakan apa-apa, tetapi jelas sekali dia ingin me"nunjukkan kepemilikannya atas diri saya dan atas klinik yang meskipun saya mempunyai andil paling be"- sar tetapi rekan-rekan sekolega saya juga mempunyai hak yang tak bisa diabaikan.
Ibu Suryokusumo menarik napas panjang. Dia sudah me"ngetahui dua peristiwa yang dikatakan oleh Joko tadi. Dewi memang keterlaluan.
Ibu mengerti perasaanmu, gumamnya. Tetapi Ibu juga perlu memahami mengapa sekarang hati saya sudah sepenuhnya menjadi milik Sekar, kata Joko. Kemudian dengan runtut dan secara kronologis Joko menceritakan segala sesuatu yag perlu diketahui oleh sang ibu. Tentu saja minus kemesraan yang terjadi tiga bulan yang lalu di kamar Sekar. Dikatakannya ke"- pa"da Ibu Suryokusumo bahwa dirinya tidak mungkin co"cok hidup bersama Dewi. Dikisahkannya juga bagai"kan dalam hidup ini justru ada pada diri Sekar. Gadis itu sabar, mampu menenteramkan hati yang sedang panas, bisa meluruskan pikiran yang bengkok, bisa pula mem"beri masukan-masukan yang ia butuhkan jika meng"hadapi masalah. Sekar juga enak diajak berdiskusi ten"tang banyak hal, termasuk bidang kedokteran karena ga"dis itu suka mempelajari apa saja.
Sangat berbeda dengan Dewi yang setiap ada masalah malah memperuncing keadaan dengan berbagai pen"da"patnya yang kekanakan, kata Joko sebelum mengakhiri curahan hatinya. Dan perlu Ibu ketahui, Sekar jus"tru yang selalu mengingatkan saya untuk tetap melan"jutkan hubungan saya dengan Dewi. Dia mengerti be"tul siapa dirinya dan apa kedudukannya. Hati saya se"ring tre"nyuh karenanya, Bu. Di zaman sekarang ini, mana ada gadis secantik dan secerdas dia yang sedemi"- kian lugu dan sederhananya dalam menghayati perasaan cintanya.
Ibu Suryokusumo menyadari sungguh kebenaran per"kataan Joko. Memang seperti itulah Sekar. Tetapi, mur"nikah perasaan Joko terhadap gadis itu" Ataukah ha"nya karena membutuhkan figur seperti Sekar maka ia mengira itu sebagai cinta. Sama, seperti ketika Joko me"nyangka perasaannya kepada Dewi sebagai cinta kare"na manisnya hubungan kekeluargaan dan keakraban di antara keluarga ini dengan keluarga Dewi.
Joko, Ibu bisa mengerti semua perasaanmu dan se"- per"ti apa penilaianmu terhadap Sekar karena memang
Teta?"pi apakah kau tidak keliru menilai perasaanmu ter"ha?"dapnya"
Kelirunya bagaimana, Bu" tanya Joko sambil mengerutkan dahi.
Ketika kau melihat sederet panjang kekurangan Dewi maka ketika melihat deret panjang kelebihan Sekar, hatimu yang kecewa terhadap Dewi, terobati oleh Sekar. Itu yang pertama. Kedua, karena melihat ba"nyak hal pada diri Sekar yang memenuhi dan melengkapi kebutuhan hati dan perasaanmu, maka kau mengira itulah cinta.
Itulah juga pertanyaan hati saya beberapa waktu yang lalu, Bu. Tetapi ternyata saya benar-benar mencintai Sekar. Kasih persaudaraan dan hasrat saya untuk me"lindunginya waktu masih kecil, kini telah berkembang menjadi dewasa, matang, dan semakin murni, sesua"tu yang baru saya sadari sekarang. Semula saya ti"- dak tahu mengapa saya marah dan merasa tidak rela ka"lau ada laki-laki lain menaruh perhatian padanya. Ter"utama kepada Pak Hendra. Singkat kata, Bu, saya me"nya"dari bahwa saya mencintai Sekar setelah saya mem"pelajari dan meneliti perasaan saya terhadapnya. Saya tidak ingin menyakiti hatinya. Saya tidak ingin mem"permainkan perasaannya. Saya ingin dia menikmati kebahagiaan yang mungkin belum pernah dialaminya. Hatinya sangat lembut dan penuh perasaan. Tidak mu"dah baginya hidup di antara dua dunia. Pendidikan"- nya yang tinggi dan luasnya pergaulan karena status
kang dengan latar belakang keluarganya ketika berhadap"an dengan keluarga besar kita....
Ibu Suryokusumo terpana melihat dan mendengar pen"jelasan Joko yang diucapkan dengan tegas, bergantian dengan getar suara yang menandakan apa yang dika"takannya itu sungguh keluar dari lubuk hatinya. Sang ibu yang sangat menyayangi anaknya itu mempelajari dan mendengarkan patah demi patah kata yang di"ucapkannya. Dia bukan perempuan yang emosional. Ia sudah terbiasa menekan segala emosi negatif yang ia tahu bisa membahayakan rasionalitas akal sehatnya, ter"utama jika sedang menghadapi hal-hal penting yang mem"butuhkan pikiran jernih. Perlahan-lahan ia dapat me"nempatkan dirinya pada jalan pikiran dan perasaan Joko. Dan dalam pengembaraan pemikirannya itu sampai"lah Ibu Suryokusumo pada pengertian bahwa cinta anta"ra Sekar dan Joko bukan sekadar witing tresno jalaran soko kulino (tumbuhnya cinta karena terbiasa bersama-sama). Namun demikian, jurang lebar yang menganga itu tak bisa diabaikannya begitu saja. Keduanya ha"rus ingat bahwa di dunia yang luas ini, mereka tidak hi"dup hanya berdua saja.
Baiklah, Ngger. Ibu memahami perasaanmu dan juga perasaan Sekar, komentarnya kemudian. Sekarang satu hal lagi yang ingin Ibu ketahui dari dirimu. Apakah cintamu kepada Sekar itu akan kauarahkan pada satu tujuan, yaitu menjadikannya sebagai istrimu" Tentu saja, Joko menjawab dengan cepat.
Joko menjawab. Ditindasnya emosi negatif yang hampir mun"cul di permukaan.
Ngger, apakah kau tidak merasa malu mempunyai mer"tua seorang pembantu rumah tangga" tanyanya ke"mu"dian dengan hati-hati.
Bagi saya pribadi, tidak. Mbok Kromo adalah perem?"puan yang telah memperlakukan dan menyayangi saya seperti anaknya sendiri. Bahkan mungkin lebih, ka"re?"na dia juga memuja saya sementara terhadap Sekar ti"dak begitu, Joko menjawab apa adanya. Tetapi, kare"- na saya mencintai Ibu dan tidak ingin melukai hati Ibu atau"pun keluarga lainnya, keinginan saya untuk menikahi Sekar itu masih saya simpan di hati. Jangan sampai Romo dan Ibu mengetahuinya. Tetapi malam ini Ibu telah menanyakannya sehingga saya terpaksa menjawab sesuai dengan keinginan hati saya.
Itu artinya kau masih memiliki kesadaran adanya ju"rang pemisah di antara dirimu dengan Sekar. Begitu, kan"
Ya... Kalau begitu sebelum perasaan kalian berdua semakin berkembang, cobalah untuk berpikir secara rasional dan pikiran jernih tentang apa saja akibat-akibatnya ka?"lau kau dan Sekar nekat mau menikah. Pernikahan bagi orang Timur adalah pernikahan antara dua keluarga besar. Artinya, jika ada kebanggaan keluarga kita, maka itu adalah juga kebanggaan keluarga besar. Sebalik"nya, jika ada aib keluarga, itu juga jadi aib ke"luar"ga
kata lagi dengan pijakan yang sudah mengakar pada pola pikir dan pola rasa di hatinya.
Dengan perkataan lain, ibunya mau mengatakan bahwa kalau ia menikah dengan Sekar maka itu adalah aib keluarga besar mereka. Menyadari pengertian itu, pipi Joko langsung merona merah. Ketika melihat perubahan wajah sang anak, lekas-lekas Ibu Suryokusumo melan"jutkan bicaranya .
Joko, Ibu sudah berbicara dengan Sekar secara pan"- jang-lebar mengenai hal yang sama. Dia lebih mema"- hami masalah yang ada ini daripada dirimu. Dia mengata"kan bahwa baginya sudah cukup berbahagia bisa men"cintai dan dicintai olehmu. Dia tidak menginginkan le"bih dari itu. Ia menyadari kedudukannya. Maka Ibu mem"beri saran kepadanya untuk tidak membiarkan diri se"makin tenggelam dalam cinta sehingga jika terpaksa ha"rus berpisah, hati kalian tidak terlalu dalam lukanya..., katanya.
Jadi maksud Ibu, sebaiknya hubungan percintaan kami putus" Joko menyela perkataan ibunya.
Yah, semacam itulah..., sang ibu bicara dengan sua"- ra pelan. Namun terasa menggelegar di sisi telinga Joko.
Ibu! Kalau tadi wajahnya memerah, kini berubah menjadi pu"cat. Matanya membesar untuk kemudian mengerut se"hingga kedua alis matanya nyaris bertaut menjadi satu. Memutuskan hubungan cintanya dengan Sekar ada"lah sesuatu yang tidak akan pernah dilakukannya.
ber"kembang menjadi begitu akrab dan hangat, semakin ia merasakan banyaknya pesona yang dialaminya saat ber"de"katan dan mengobrol bersama gadis itu. Sekar sa?"ngat membantunya dalam banyak hal, termasuk ma"- suk"an-masukan yang bersumber dari pengetahuannya yang luas. Di antaranya adalah cara-cara pendekatannya ter"hadap pasien-pasien yang mengalami masalah keji"- wa"an akibat penyakitnya. Misalnya, cara menghadapi pa?"sien yang mempunyai penyakit kronis yang sudah tid ak bisa disembuhkan lagi. Sekar juga pandai menenang"kan perasaannya jika ada hal-hal yang membuatnya geli"sah. Gadis itu seperti menyimpan berbagai kelebihan yang muncul pada saat yang tepat. Sekar yang pemalu, lembut, dan manis itu pun ternyata juga bisa berubah menjadi perempuan yang hangat, bergelora, dan meng"gairahkan jika berada di dalam pelukannya. Selu"- ruh cinta dipasrahkan Sekar bulat-bulat untuknya. Jus?"tru karena itulah Joko selalu menjaga untuk tidak mem"biarkan gelora asmaranya ditunggangi setan.
Meskipun Joko kurang setuju melihat cara Sekar me"nun"jukkan cintanya, namun tetap saja gadis itu ingin men"jadikan sang kekasih sebagai tempat ia memberinya ke?"manjaan dan kesenangan. Memijit kakinya yang pegal atau mengambilkan minuman segar, misalnya. Itulah cara Sekar menunjukkan cintanya yang tulus dan tanpa pam"rih. Akankah cinta seperti itu dipenggal begitu saja hanya demi gengsi, harga diri, dan kehormatan keluarga yang tidak akurat"
laki itu mencernakan kata-katanya tadi, Ibu Suryokusumo merasa sedih.
Maafkan Ibu, anakku..., katanya. Ibu pun sebenar"- nya merasa berat hati mengatakan apa yang pasti me"- nya"kitkan hatimu. Tetapi apa boleh buat...
Pelipis Joko bergerak-gerak, memeras otak dan menge?"lo"la perasaannya. Namun tiba-tiba setelah beberapa saat tidak ada suara dari pihaknya, laki-laki itu berdiri dari tempat duduknya.
Ibu tidak menyayanginya, tuduhnya. Padahal ia sa"ngat menyayangi Ibu. Padahal pula, ia merupakan ba"gian dari keluarga ini. Bukankah ibunya pernah berjasa besar kepada keluarga ini"
Ibu menyayangi Sekar, anakku. Ibu Suryokusumo me"nolak tuduhan sang anak. Ibu juga tidak akan pernah melupakan jasa-jasa Mbok Kromo, bagaimana dia yang masih muda belia berkeliling kampung menjual pecel dan lain sebagainya demi Ibu, yang saat itu masih pengantin baru tanpa pengalaman menjalani kehidup"an yang porak-poranda. Terutama, Ibu tidak akan pernah melupakan bagaimana dengan beraninya ia meng"angkat dirimu dari kasur yang separo terbakar dan menyiraminya berember-ember sampai jatuh-bangun, terpeleset air...
Joko langsung mengambil alih perkataan Ibu Suryokusumo yang diucapkan dengan suara menggeletar itu.
Tetapi..." Tetapi... dengan jurang pemisah di antara dia dan
di antara kalian... maaf... Ibu tidak bisa menerimanya sebagai menantu. Ada hal-hal lain di luar kekuasaan Ibu yang harus Ibu pertimbangkan demi nama baik kita semua. Kita semua akan sulit menghadapi pandangan dan pertanyaan orang....
Jurang perbedaan derajat, Bu" Hati Joko mulai panas. Siapakah yang menciptakan lapis-lapis derajat itu" Siapa yang menciptakan tingkat-tingkat kelas di dalam masyarakat ini" Tuhan" Tidak, Bu. Bukan Tuhan. Itu se"mua buatan manusia dengan budaya feodal yang terka"dang mencuil nilai-nilai keadilan. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini tidak bisa memilih mau menjadi anak pembantu rumah tangga, anak gembel di kolong jembatan, atau menjadi putra bangsawan dan priyayi tinggi. Nah, apakah Sekar bisa protes kenapa ia tidak dilahirkan di balik dinding keraton"
Ibu tidak ingin berdebat denganmu, Joko. Ibu juga ti"dak suka caramu membantah Ibu, Nak. Pembicaraan kita belum selesai. Jadi, duduklah kembali. Ibu Suryokusumo mulai memperlihatkan kewibawaannya kembali sehingga mau tidak mau Joko menuruti perkataan ibunya, kembali duduk di hadapan sang ibu sambil menahan diri untuk mendengar lanjutan bicara perempuan paro baya itu. Tetapi, karena ada yang ma"sih mengganjal hatinya, ia mendahuluinya bicara.
Sebenarnya, apalagi yang masih bisa kita bicarakan ka"lau Ibu tidak menghendaki Sekar sebagai menantu" ta"nyanya kemudian. Kepala dan hatinya masih saja tera"sa panas. Ia tidak mengerti, mengapa ibu yang selama
Untuk beberapa saat lamanya Ibu Suryokusumo memandang wajah Joko. Ada rasa bimbang yang menye"- li"nap ke hatinya, tetapi kalau apa yang ada di dalam pi"kirannya tidak segera dikatakannya, masalah ini bisa ber"larut-larut tanpa ada penyelesaian. Soal suaminya se"tuju ataukah tidak, itu bisa dirundingkannya kemudian.
Joko, kamu jangan emosional begitu. Dengar dulu perkataan Ibu, katanya kemudian.
Joko tidak menjawab. Tetapi sinar matanya jelas-jelas menantang sehingga sang Ibu cepat-cepat melanjutkan bicaranya.
Ada sesuatu yang Ibu ingin tawarkan kepadamu untuk mengatasi masalahmu dengan Sekar, sahut sang ibu. Rupanya ia memiliki senjata pamungkas yang baru akan dikeluarkannya jika pembicaraannya dengan Joko mengalami jalan buntu.
Apa itu..." Joko mulai melunak.
Kau tentu tahu apa yang dulu sering kali dilakukan oleh leluhur-leluhur kita apabila jatuh cinta pada seorang gadis sebelum ia mendapatkan calon istri yang se"derajat, jawab Ibu Suryokusumo.
Ya. Tetapi apa kaitannya dengan masalah saya dan Sekar, Bu" Joko bertanya dengan nada skeptis.
Sang ibu menarik napas panjang lebih dulu sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Joko.
Memperistri Sekar sebagai selirmu, sahutnya kemudian.
Meskipun masih samar-samar, Joko sudah menduga
du"gaan itu menjadi perkataan yang nyata didengar olehnya, ia merasa kepalanya seperti ditampar keras. Pusing, rasanya.
D ENGAN kepala seperti berputar di porosnya saat
telinganya mendengar pemecahan yang ditawarkan ibunya, Joko langsung berdiri lagi dari tempat duduknya. Wa"jahnya memerah kembali dan pelipisnya mulai ber"- ge"rak-gerak lagi.
Menjadikan Sekar sebagai selir saya, Bu" ia mengulangi perkataan sang Ibu, berharap telinganya tadi salah dengar.
Ibu Suryokusumo menganggukkan kepalanya. Meli"- hat itu kaki Joko bergerak menjauhi.
Tidak, desisnya. Saya tidak akan menjadikan Sekar sebagai selir. Ibu tentu tahu apa pendidikan Mbok Kromo, bukan" Tetapi ketika ia mengetahui bahwa dirinya tidak dinikahi sebagai istri utama dan tunggal, ia memilih berpisah dari suaminya. Harga diri dan caranya meletakkan cinta berbeda dengan cara pandang
Sebelas sang suami. Nah, apalagi Sekar yang berpendidikan ting"gi dan hidup di abad ke-21 pula. Orang yang mende"ngar tawaran Ibu pasti akan menertawakan dan meren"dahkan kita. Saya tidak rela, Bu. Saya juga tidak rela cinta Sekar kepada saya dinilai setara dengan cinta se"orang selir. Tawaran Ibu tadi saya tolak dengan sepenuh hati saya.
Usai bicara seperti itu, Joko berlalu dari kamar ibunya dan dengan langkah lebar-lebar ia menuju ke kamar"nya untuk menulis secarik kertas. Sementara Ibu Suryokusumo yang ditinggal pergi, menarik napas panjang. Seluruh perkataan Joko tidak salah. Tetapi ia ma"sih berharap, setelah kemarahan Joko surut, laki-laki muda itu akan memahami keadaan yang ada di depan mata. Bahwa menikah dengan anak pembantu rumah tangganya adalah sesuatu yang akan mempermalukan selu"ruh keluarga besar. Mudah-mudahan Joko sadar akan akibat-akibatnya dan mau mempertimbangkannya da"lam keadaan yang lebih tenang, tanpa dibauri kemarah"an.
Sementara itu, Joko yang diharapkan oleh sang ibu se"dang meredam amarahnya dan kemudian merenungkan segala sesuatunya dengan pikiran yang lebih jernih di kamarnya, ternyata sedang di dapur. Dia meminta di"buatkan teh manis hangat oleh Sekar. Namun ketika ga"dis itu menyerahkan cangkir kepadanya, dengan cepat Joko menyelipkan kertas yang ditulisnya di kamarnya tadi. Dia tidak mau ber-SMS, khawatir Sekar tidak melihatnya. Bunyi tulisannya: Nanti malam kalau
tidur depan di samping ruang tamu. Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting bersamamu.
Letak kamar tidur tamu agak jauh dari kamar-kamar yang lain karena memang disediakan bagi tamu yang bermalam di rumah ini. Cukup sering kerabat-kerabat dari Solo atau Yogya bermalam di rumah besar ini. Di tem"pat itulah Joko akan menunggu Sekar, tengah malam nanti.
Sekar menekan dadanya yang berdebar. Ini pasti ada kait"annya dengan pembicaraannya dengan Ibu Suryokusumo. Pasti laki-laki muda itu juga dipanggil ibunya untuk membahas masalah mereka. Sekar yakin, Ibu Suryokusumo pasti meminta Joko untuk menjauhinya, sama seperti yang beliau minta darinya.
Begitulah, dengan diam-diam Sekar masuk ke kamar de"pan begitu simboknya sudah tidur nyenyak. Kamar itu gelap. Hanya ada cahaya dari lampu teras depan yang membias masuk lewat sela-sela tirai yang menutupi jendela kaca kamar itu. Dalam keremangan itu ia melihat Joko duduk di tepi tempat tidur, menunggu keda"tangannya. Dengan hati-hati dan mengambil jarak, Sekar langsung duduk di tempat tidur yang sama.
Ada masalah apa lagi, Den Bagus" tanyanya berbisik.
Belum lama tadi Ibu memanggilku ke kamarnya. Katanya, sebelum itu beliau sudah berbicara panjangleb"ar denganmu....
Ya, memang. tadi, lebih dulu aku ingin mengetahui pembicaraanmu de?"ngan Ibu, kata Joko lagi.
Sekar menganggukkan kepalanya, kemudian ia men"- ce"ritakan seluruh pembicaraannya dengan Ibu Suryokusumo dan permintaan beliau untuk menjauhi Joko demi kebaikan semua pihak. Juga janjinya kepada pe"rempuan setengah baya itu untuk memenuhi permintaannya.
Joko mengetatkan gerahamnya. Ibunya sungguh - ter"laluan. Sekar juga keterlaluan, mau-maunya menuruti per"mintaan yang tidak adil itu. Tetapi kemarahan itu dita"hannya agar pembicaraan mereka berjalan lancar.
Jadi, begitulah pembicaraanmu dengan Ibu. Kurangle"bih, pembicaraanku dengan Ibu tadi sama. Tetapi ada sua"tu kemajuan yang ditunjukkan beliau kepadaku, kata"nya kemudian.
Oh, ya. Apa itu" tanya Sekar ingin tahu. Aku boleh mengambilmu sebagai selir, Joko menjawab dengan suara pahit dan geram.
Sekar terkejut. Meskipun tidak bisa melihat wajah Sekar dalam kegelapan, Joko tahu gadis itu terkejut. Tangannya terulur dan meraih tubuh gadis itu ke da"- lam pelukannya.
Itu kan kata Ibu, Sekar. Aku tidak mau merendah"- kan dirimu sampai sedemikian itu. Jangan khawatir. Kau hanya pantas mejadi istriku, sah dan utama. Tidak ada lainnya, bisiknya di sisi telinga Sekar.
Itu tidak mungkin, Den Bagus, bisik Sekar dengan sedih. Janganlah bermimpi terlalu jauh. Lihatlah ke"Joko langsung terdiam. Apa yang dikatakan Sekar ti"dak salah. Sekar menatap wajah sang kekasih dalam keremangan cahaya dari lampu teras yang membias masuk. Ia memahami perasaan laki-laki itu.
Den Bagus, cinta sejati tidak harus dipatrikan di da"lam perkawinan, katanya. Sampai mati Sekar akan te"tap mencintai Den Bagus. Tetapi kita harus bisa me"- nguat"kan hati, mencoba untuk saling menjauhi. Kalau ku"liah saya nanti selesai, saya akan mencari pekerjaan di Yogya. Tempat kita yang berjauhan dan waktu yang akan berlalu mudah-mudahan bisa menyembuhkan luka-luka hati kita. Dan mudah-mudahan pula Den Bagus akan menemukan gadis yang segalanya melebihi Sekar.
Tidak. Itu tidak mungkin, Sekar. Kau tidak boleh me"ninggalkan rumah ini. Kau adalah bagian dari ke"- luar"ga ini. Aku mencintaimu. Bukan mencintai gadis yang lain, betapapun luar biasanya dia.
Hush... jangan sentimental, Den Bagus. Berpikirlah jer"nih.
Jadi, kau rela andai kata aku menikah dengan gadis lain" tanya Joko, ingin mengetahui apa jawaban Sekar.
Saya tidak rela. Itu pasti. Tetapi saya harus merelakannya.
Bagaimana dengan dirimu" Apakah kau nanti juga akan menikah dengan laki-laki lain" Joko memancing lagi jawaban yang ingin diketahuinya.
Tidak. Saya akan tetap mengajar sampai pensiun
kembali ke rumah ini untuk merawat Simbok dan Ndoro Den Ayu yang pasti sudah sepuh dan perlu diperhatikan.
Kau selalu ingin memperhatikan orang lain tetapi ti"dak dirimu sendiri, Joko menggerutu. Sekar... Sekar... apakah yang seperti itu tidak menghambat perkembangan nilai-nilai dan makna kemanusiaan dirimu sendiri" Orang bisa bilang sikap sepertimu itu bermental budak... maaf....
Ya, saya tahu itu. Mungkin saja memang ada mental bu"dak di hati saya karena saya selalu ingin mengabdi ke"pada orang-orang yang saya kasihi dan juga kepada pe"kerjaan yang saya cintai. Tetapi justru di situ letak nilai"nya karena pengabdian itu dilandasi oleh cinta kasih yang tulus dan tanpa pamrih apa pun. Jadi bukan kare"na alasan lain apa pun, jawab Sekar apa adanya.
Bicara denganmu, aku selalu kalah. Kau memiliki cara berpikir yang menenteramkan dan manis didengar. Joko membelai lembut rambut Sekar yang panjang dan le"bat. Tetapi, Sekar, apakah dengan hidup melajang tanpa suami, kau mampu menjalaninya" Sebagai manusia normal, kau pasti membutuhkan belaian hangat seper"ti ini, juga pelukan dan cumbuan seorang suami...
Pikiranmu nakal, Den Bagus. Sekar merebut pem"- bicaraan Joko.
Tidak. Apa yang kukatakan itu wajar, Sekar. Normal sekali. Dicintai dan dihangati hatinya adalah salah satu kebutuhan dasar manusia.
Itu kan kata Abraham Maslow dengan hierarki keper"nah pasti sebagaimana halnya ilmu pasti bahwa dua kali dua pasti empat, sampai kapan pun.
Joko tersenyum dalam kerimbunan dan keharuman ram"but Sekar.
Selalu ada saja yang kaudebat, gumamnya. Na"- kal!
Sudahlah, pokoknya saya tidak ingin menikah. Titik.
Kau yakin dan berani mengatakan itu sebagai kepastian seperti dua kali dua adalah empat" Bagaimana jika dalam perjalanan hidupmu kau bertemu laki-laki lain yang mau menerima dirimu dan keluargamu apa adanya"
Saya tidak akan menikah dengan siapa pun. Tetapi Den Bagus, hati manusia memang tidak bisa diduga. Saya tak berani takabur mengatakan tidak akan menikah dengan seseorang meskipun hati saya hanya untuk Den Bagus saja. Jadi, semuanya saya serahkan pada Yang Di Atas. Nah, pernyataan ini lebih manusiawi, kan"


Sekar Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi aku tidak rela kau menjadi milik laki-laki lain, Sekar.
Karena Den Bagus sungguh mencintai Sekar, ya" Perlu bukti"
Tanpa mengatakan apa-apa lagi Joko langsung men"- cium bibir Sekar dengan sepenuh perasaannya. Kemudian juga matanya, pipinya, dagunya, lehernya, dan bahu"nya yang mulus.
Bagi mereka bedua, berciuman dan saling membelai
tem"pat yang tertutup, dalam keremangan cahaya dan da"lam suasana sunyi dan sepi begini. Ditambah dengan ke"cemasan hati karena permintaan Ibu Suryokusumo, maka ciuman dan saling belai itu merupakan pemenuhan dari seluruh perasaan mereka berdua. Ada cinta, ada kahangatan hati, ada gelora asmara, ada egoisme untuk ti"dak memberikan masing-masing mereka bagi orang lain, siapa pun yang kelak menjadi pasangan mereka, dan ada gairah tubuh di antara mereka berdua sehingga pe"luk dan cium mereka terasa begitu menggelora.
Dengan lembut namun mantap, akhirnya Joko merebah"kan tubuh Sekar ke atas tempat tidur. Ketika Joko me"nyingkirkan gaun Sekar sehingga bahu dan dadanya ter"buka, Sekar ingin melarangnya. Tetapi saat ia menyadari bahwa inilah kesempatannya untuk menunjukkan cinta dan ketulusannya, dibiarkannya laki-laki itu menciumi dan membelai bagian-bagian sensitif tubuhnya itu. Bahkan dengan sepenuh hati dan hasrat"nya, ia merengkuh leher Joko dan membalas kecupan-kecupan laki-laki itu pada leher dan jakunnya.
Den Bagus... Sekar mendesah dan menggelinjang. Selu"ruh tubuhnya terasa panas, namun sebentar kemudian menggigil. Begitu terus bergantian.
Panggil aku, Mas, bisik Joko dengan suara serak sambil mencium dan membelai tubuh Sekar. Mas... Suaranya sama paraunya dengan suara Joko. Jeng... Sebutan yang pernah dinanti-nantikan oleh Dewi itu akhirnya terucap juga oleh Joko. Tetapi bukan un"tuk gadis itu, melainkan untuk Sekar. Kau memSekar mengeratkan lengannya yang melingkari leher ko"koh milik Joko. Jemarinya mulai mengelusi anakanak rambut di bagian belakang Joko dan tubuhnya dile"katkannya ke dada laki-laki itu sehingga sekarang gan"ti dia yang menggelinjang.
Maka lupalah sepasang insan itu untuk menghentikan pernyataan kasih, cinta, dan kemesraan mereka. Keduanya saling berbagi cinta, berbagi kemesraan, berba"gi kehangatan, dan akhirnya juga saling berbagi asmara yang menggelorakan darah masing-masing. Rasanya ti"dak ada bahasa apa pun yang dapat dipergunakan un"tuk mengutarakan perasaan mereka selain saling meleng"kapi kemesraan demi kemesraan mereka yang paling puncak. Sementara itu malam terus bergulir menuju dini hari....
Pagi-pagi sekali ketika Joko sudah pindah ke kamar ti"durnya sendiri dan Sekar sudah mandi lebih dulu sebe"lum simboknya terbangun, ia masuk kembali ke ru"mah induk setelah minum segelas susu untuk membe"rinya kekuatan. Hampir semalaman suntuk ia tidak ti"dur dan di sela-sela cumbuan mereka, air matanya te"rus mengalir tanpa ia tahu kenapa harus menangis. Bahagiakah" Sedihkah" Merasa kehilangankah" Atau apa" Tetapi yang jelas, semua itu menguras energi fisik dan kekuatan batinya.
Seperti biasanya, Ibu Suryokusumo selalu bangun sekitar pukul empat pagi untuk bersembahyang dan bermeditasi di kamar kerja sang suami yang hening, se"juk, dan sepi itu. Jika sudah begitu, tidak seorang pun berani
masih tidur nyenyak di kamar mereka. Tetapi dengan keberanian dan kebulatan tekadnya, Sekar masuk ke ruang itu dan langsung duduk bersim"puh dengan mata ber"kaca-kaca di dekat Ibu Suryokusumo yang sedang me"lakukan meditasi. Perempuan setengah baya itu memberi kekayaan tersendiri dalam penghayatan beragamanya dengan ajaran-ajaran kebatinan dan religiositas Jawa, yang menempatkan dunia dan segala isinya, termasuk manusia, dalam suatu keselarasan bersama Tuhan, Sang Pencipta seluruh alam semesta ini.
Ada apa, Sekar" Akhirnya Ibu Suryokusumo menyelesaikan meditasinya.
Ndoro Den Ayu... Air mata Sekar mulai mengalir se"hingga ia tak mampu melanjutkan bicaranya. Melihat itu Ibu Suryokusumo merasa iba. Bahkan sempat muncul pertanyaan di hatinya, apakah keindahan batin yang sela"ma ini dipupuknya, juga diterapkannya ketika menangani Sekar dan masalah cinta yang sedang dihadapi"- nya" Rasanya tidak. Masih ada egoisme yang bermegahme"gah dalam caranya berpikir dan menentukan peni"laian. Tetapi ah... bagaimana jika itu mengancam nama baik keluarga besarnya"
Ada apa, Sekar" Katakan saja dan keluarkan seluruh uneg-uneg hatimu. Aku tidak akan marah. Kalau aku mampu melakukannya, akan kubantu dirimu sebatas yang bisa kulakukan, kata Ibu Suryokusumo kemudian. Sua"ranya terdengar lemah-lembut. Perasaannya sangat ti"dak nyaman.
Tadi malam, Den Bagus Joko menceritakan apa
kami. Semuanya..., sahut Sekar dengan suara mengambang.
Begitu rupanya. Lantas..." Dengan penuh perhatian ia menatap Sekar.
Mendengar tawaran Ndoro Den Ayu kepada Den Bagus Joko, semalam suntuk saya tidak tidur.... Ya, keti"ka Joko memeluknya dan tertidur di sisinya, Sekar me"mang sama sekali tidak tidur. Pertama, takut kebablas"an tidur sehingga ada yang memergoki mereka di ka"mar depan. Kedua, pikirannya sangat sarat dipenuhi ber"bagai macam hal menyangkut hubungannya dengan Joko. Ketiga, timbulnya perang batin yang diakibatkan peristiwa yang baru saja terjadi tadi. Antara rasa ber"- dosa, rasa takut, rasa kehilangan atas apa yang selama ini selalu dijaganya, tetapi anehnya juga rasa bahagia dapat memberikan apa yang paling dijaganya untuk sang kekasih hati.
Lalu kenapa, Sekar" Katakan saja....
Lalu setelah saya merenung, berpikir, dan membalik-ba"lik persoalan yang ada, sampailah saya pada suatu kepu"tusan yang belum sepatah kata pun saya katakan kepada Den Bagus Joko. Sekar terdiam lagi.
Apa itu" Ayo, Sekar. Jangan takut. Katakan saja supaya aku tahu apa yang ada di hatimu, desak Ibu Suryokusumo. Sedih hatinya melihar wajah cantik di ha"dapannya itu tampak letih, cemas, berduka, dan matanya sembap. Pasti sudah banyak sekali air matanya tert"umpah.
Semalaman saya berpikir, bahwa cinta bagi saya
cuali oleh cinta itu sendiri. Tidak boleh ada pamrih di da"lamnya. Tidak boleh hati ini merasa direndahkan, dise"pelekan, atau yang semacam itu. Maka, Ndoro, saya bersedia menjadi selir Den Bagus Joko demi cinta saya ter"hadapnya. Saya akan mencintai dan akan berusaha me ahagiakannya. Saya tidak akan melangkahi garis atau batas-batas yang sudah ditentukan sebagai batas kekua"saan seorang selir.... Air mata kembali membanjiri pipi Sekar sehingga tak kuasa melanjutkan bicaranya.
Hati Ibu Suryokusumo semakin iba. Pasti tidak mu"- dah bagi Sekar untuk memutuskan pilihan hidup se"- per"ti itu.
Apakah sudah kaupikirkan matang-matang" Tidakkah kau khawatir direndahkan orang banyak, terutama oleh murid-muridmu" tanyanya.
Bohong kalau saya mengatakan tidak khawatir, Ndoro. Saya merintis nama baik dan status saya sebagai guru bukan dalam waktu yang sebentar. Tetapi seper"ti kata saya tadi, cinta sejati ada di atas segala-galanya. Maka saya harus menutup mata dan merelakan apa pun yang harus saya terima sebagai akibat pilihan saya. Saya harus menerima risikonya, apa pun itu. Saya ti"dak boleh memikirkan kepentingan diri sendiri karena cin"ta sejati juga mengandung pengorbanan.... Sekar mengusap air matanya. Ibu Suryokusumo memakai kesempatan itu untuk menyela bicara Sekar.
Begitu rupanya. Cintamu sungguh tulus, gumamnya de"ngan perasaan tertekan. Ia bisa memahami betapa terbelah-belahnya perasaan gadis itu.
dan berpikir. Saya mengerti, dalam hal ini Den Bagus Joko tidak memiliki kemantapan hati seperti saya da"- lam menghadapi kehidupan pribadi yang serumit begi"- ni. Kita semua tentu tahu, sejak kecil Den Bagus Joko selalu dimanja dan segala kemauannya selalu dituruti. Semakin sesuatu sulit diraih, semakin ia berusaha mengejarnya. Saya khawatir dia akan nekat jika keinginannya dihambat. Jadi, mudah-mudahan kalau saya sudah bersedia menjadi selirnya, tentu Den Bagus akan menurut juga pada akhirnya.
Ibu Suryokusumo terdiam dengan perasaan haru. Cinta Sekar terhadap Joko betul-betul cinta yang matang dan penuh pengertian.
Jadi, kau sungguh-sungguh rela, Sekar" tanyanya sete"lah beberapa saat memperhatikan wajah Sekar yang sendu.
Ya... Sekar menundukkan kepalanya. Air matanya menitik.
Tetapi kau menangis! Sejujurnya saya masih belum menerima penilaian dari orang lain yang kelak akan saya terima. Bahwa per"cintaan kami hanya ada pada taraf rendah... perseliran.... Sekar terdiam sesaat lamanya untuk menelan ta"ngis yang mulai naik ke lehernya sehingga suaranya ter"dengar menggeletar. Ndoro, pasti maklum bagaimana perasaan saya ini. Dengan kesediaan saya menjadi selir, itu berarti saya memberi peluang tempat bagi istri uta?"ma Den Bagus Joko. Isri yang layak dan setara dengan"nya. Betapapun relanya hati saya... sebagai manusia
perasaan cemburu dan rasa tidak rela. Ndoro Den Ayu, mana ada sih perempuan di dunia ini yang sudi berbagi cin"ta dan perhatian" Mana ada perempuan yang bisa ber"lapang dada sepenuhnya dengan membiarkan sang sua"mi memiliki rumah tangga lain yang justru oleh masya"rakat umum dianggap lebih sah dan lebih terhormat" Ma... maafkan Sekar, Ndoro, atas keterusterangan ini....
Tidak apa-apa, Sekar. Aku jadi mengetahui isi hatimu. Bahkan kuhargai keterusteranganmu. Nah, berdirilah dan beristirahatlah sana. Kalau perlu, nanti kutele"- pon"kan tempatmu mengajar, akan kukatakan bahwa kau kurang enak badan. Wajahmu tampak pucat dan le"tih sekali, sahut Ibu Suryokusumo. Mengenai kesedia"anmu menjadi selir, nanti akan kami bahas lebih lan"jut meskipun mungkin tidak mudah karena Joko ten"tu akan menolak menjadikanmu sebagai selir, Sekar.
Sekar menganggukkan kepala. Ibu Suryoksumo melan"jutkan bicaranya.
Sekarang, cepatlah berdiri dan tinggalkan kamar ini, Sekar. Kau perlu beristirahat dan cobalah untuk tidur, kata"nya kemudian. Aku mengerti perasaanmu. Sebenarnya aku juga tidak bisa tidur tadi malam. Sama seperti diri"mu, aku juga memikirkan banyak hal.
Maafkanlah saya, Ndoro, sahut Sekar dengan suara lir"ih. Saya telah membuat Ndoro Den Ayu mengalami per"soalan rumit, sampai tidak bisa tidur dan.... resah. Ibu Suryokusumo menggelengkan kepalanya.
Nduk. Tidak ada niatku membuatmu menderita, katanya kemudian.
Saya mengerti kok, Ndoro..., sahut Sekar untuk kemudian minta diri, keluar dari kamar Ibu Suryokusumo.
Ibu Suryokusumo menatap punggung Sekar dengan perasaan semakin tertekan. Ingin sekali ia memanggil Sekar kembali dan mengatakan kepada gadis itu bahwa sesungguhnya ia tidak merasa keberatan bermenantukan dia. Menantu yang sah, resmi, dan hanya satu-satunya istri Joko. Bukan sebagai selir. Bayangkan seorang selir di abad ke-21. Tetapi, ada hal-hal lain menyangkut keluarga besar yang menjadi taruhannya.
Sementara itu Sekar langsung ke kamar tidur. Ia su"dah menelepon Pak Hendra, izin tidak mengajar kare"na sakit. Ya, ia memang merasa seluruh tubuhnya sa"kit semua. Begitu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur setelah berbicara dengan Ibu Suryokusumo tadi, baru terasa betapa berat beban yang menindih hati"nya. Dia tahu, otaknya bisa menerima keputusannya un"tuk menjadi selir Joko. Sebab kata otaknya, menjadi selir adalah satu-satunya cara untuk bisa hidup bersama Joko dan merealisasikan cinta mereka. Tetapi hati kecilnya yang paling dalam, tidak rela. Bukan masalah menja"di selir, melainkan karena suatu ketika Joko akan me"nikah dengan istri resmi yang setara segala-galanya. Hi"dup sebagai selir tidak memiliki hak apa pun terhadap kehidupan bersuami-istri. Mau datang sekali seming"gu atau sekali sebulan atau lebih lama sekali pun,
ber"ada di tempat yang jauh lebih rendah daripada istri ke"dua, ketiga, dan keempat.
Mengenai kedudukan dan hak-hak yang terkait de"- ngan materi yang tidak dimiliki oleh seorang selir, bukan masalah bagi Sekar. Tetapi bahwa dia tidak akan bisa sepenuhnya berada di samping Joko dan bahwa akan ada perempuan lain yang lebih berhak untuk ber"- ada di dalam pelukannya kapan pun perempuan itu menginginkannya, itulah yang tak sanggup diterimanya. Se"demikian beratnya perang batin dan beban perasaan yang mengimpit jiwanya sampai akhirnya menjelang siang itu kepalanya berputar seperti gasing rasanya. Semua benda di sekitarnya, bahkan tempat tidur di mana tubuhnya terbaring, seperti baling-baling rasanya. Sedemi"kian kuat putarannya sampai-sampai ia harus berpegang kuat-kuat pada pinggiran tempat tidur. Sepertinya tubuhnya akan terempas ke lantai. Lama berada dalam kon"disi demikian, akhirnya Sekar tidak lagi mampu berta"han. Ia terus-menerus muntah-muntah. Apa saja yang masuk ke mulutnya, dimuntahkannya kembali. Dua hari dalam keadaan demikian, Joko memutuskan agar gadis itu dirawat di kliniknya.
Sekar bisa kekurangan cairan, Mbok. Itu berbahaya. Apalagi tekanan darahnya rendah sekali. Sudah begitu, dia tidak mau makan apa pun. Susu, dia juga tidak mau, katanya kepada Mbok Kromo dengan perasaan ce"mas. Aku bisa saja mengusahakan peralatan infus supa"ya Sekar tidak usah dirawat di klinik, tetapi itu bu"kan cara yang baik. Di sana ada dokter saraf yang
dan penanganan yang lebih baik. Di rumah, hanya akan membuatmu cemas dan repot, Mbok.
Baiklah, Den Bagus..., kata Mbok Kromo dengan berli"nangan air mata. Sekar belum pernah sakit. Sekali"nya sakit membuat seisi rumah cemas. Apalagi Mbok Kromo yang tidur satu kamar dan melihat bagaimana menderitanya Sekar. Dirawat di rumah sakit memang jalan keluar paling tepat untuk mengatasinya.
Mbok Kromo jangan terlalu cemas memikirkannya. Aku akan ikut merawatnya, janji Joko terhadap Mbok Kromo.
Klinik yang dibangun Joko dan beberapa kawannya ti"dak besar. Hanya ada sekitar sepuluh kamar tidur untuk pasien inap. Di klinik yang lebih dikenal sebagai medical centre itu berpraktik beberapa dokter. Dokter gigi, dokter umum, dokter mata, dokter saraf, dokter THT, dokter kebidanan dan ahli penyakit kandungan, dokter anak, dokter kulit, dan dokter penyakit kulit. Dilengkapi pula dengan laboratorium, peralatan rontgen dan apotek. Di tempat itulah Sekar dirawat.
Karena semua dokter dan pegawai klinik mengira Sekar adalah keluarga Joko, ia mendapat perlakuan yang agak lebih khusus dibanding pasien lainnya. Pertama, Joko memiliki andil terbesar dalam pendirian klinik tersebut. Kedua, karena Joko dengan sikapnya yang hangat dan ramah telah merebut simpatik banyak orang, termasuk pegawai-pegawai klinik.
Menurut pemeriksaa laboratorium, kesehatan umum Sekar cukup baik. Semua kemungkinan penyebab vertiketidakakuratan itu boleh jadi karena kepalanya yang pu"sing dan kesehatan umumnya yang sedang tidak dalam kondisi prima. Jadi, dokter tidak menyarankan un?" tuk memakai kacamata. Dokter THT juga mengata"kan se"muanya termasuk telinga dan keseimbangannya tidak ada masalah. Dokter penyakit saraf juga tidak mene"mukan penyakit apa pun. Begitupun pemeriksaan labora"torium cukup baik kendati HB-nya sedikit di bawah normal dan tekanan darahnya rendah. Singkat kata, apa penyebab pusing yang menyebabkannya muntah-mun"tah itu masih diteliti. Sekar hanya diberi pertolong"an obat penahan vertigo dan penahan muntah. Dokter sa"raf juga memberinya latihan beberapa gerakan kepala un"tuk mengurangi rasa pusing dan juga untuk meng"hin"dari pengapuran di masa tuanya nanti.
Mengetahui itu semua, Joko langsung menaruh kecurigaan bahwa sakit yang diderita oleh Sekar itu berkaitan dengan tekanan batinnya. Oleh sebab itu, setelah berkonsultasi dengan temannya yang dokter saraf, Sekar juga diberi obat penenang dosis kecil agar gadis itu bisa tidur lebih lelap. Joko juga ingin menangani masalah tersebut dengan pendekatan yang bersifat pri"ba"di, yaitu kasih sayangnya. Namun baru dua hari di kli"nik, Sekar sudah kebanjiran tamu. Sepertinya selu"ruh dunia mencurahkan perhatian mereka kepada Sekar sehingga tidak mudah bagi Joko untuk bisa ber"dua"an dengan Sekar. Meskipun bisa meminta pengun"jung untuk tidak terlalu banyak menyita waktu istirahat Sekar, namun ia masih ingin melihat lebih dulu peneri"ma"an Sekar terhadap
hatian dan sayang kepadanya. Ka"lau wajah"nya tampak senang dijenguk murid-muridnya atau re"kan-rekan sesama guru, Joko akan membiarkannya.
Namun terlepas dari semua itu, seluruh keluarga Suryokusumo, termasuk keluarga Endang, baru menyadari sesuatu yang selama ini tak pernah masuk ke da"- lam pemikiran mereka, yaitu kasih dan perhatian banyak orang terhadap Sekar. Kamarnya penuh dengan rangkaian bunga, bermacam buah, makanan dan pengan"an, dari penganan kering, basah, sampai kalengan yang mahal-mahal, berbagai majalah dan bermacam buku bacaan, kendati dokter masih belum membolehkan"nya membaca. Dan pada jam-jam bezoek, kamarnya dipenuhi para pengunjung.
Ketika menjenguk Sekar, Ibu Suryokusumo berbareng"an dengan sepasang suami-istri yang tampaknya merupakan keluarga berada. Mereka berdiri di sisi tempat tidur Sekar dengan sikap hormat. Pasangan itu me"ninggalkan kotak berisi CD player merek terkenal.
Ini untuk hiburan Bu Sekar kalau bosan melihat TV. Kami juga menyertakan beberapa lagu-lagu. Saya de"ngar dari anak kami, Bu Sekar menyukai musik kla"- sik. Jadi, di antaranya ada lagu-lagu klasik. Mudah-mudah"an barang kecil yang tidak ada artinya jika diban"- ding apa yang telah Bu Sekar berikan kepada anak kami, bisa meringankan penyakit Ibu.
Semua itu tak lepas dari pandangan mata Ibu Suryokusumo yang tajam. Hal itu memuncak saat mendengar gerutuan Mbok Kromo yang baru pulang dari
Kenapa menggerutu, Mbok" tanyanya. Itu lho, ada orangtua murid yang datang menjenguk de"ngan membawa barang ini, katanya sambil menunjuk"kan laptop baru kepada majikannya. Katanya untuk Sekar. Karena kebetulan ada di sana, saya menolong Sekar untuk menolak oleh-oleh itu. Tetapi mereka tetap meninggalkannya di atas tempat tidur dan memaksa Sekar menerimanya. Bahkan tersinggung ketika kami terus menolaknya.
Kenapa, Mbok" Kata mereka, karena usaha Sekar maka anaknya yang hampir saja rusak karena mengkonsumsi narkoba, sekarang menjadi juara kelas dan berubah baik. Wah, hebat juga anakmu itu, Mbok.
Saya sendiri kaget kok, Ndoro. Sekar tidak pernah bercerita apa pun tetapi ternyata mampu melakukan hal-hal yang berarti seperti itu. Saya banyak mendengar dari celoteh para muridnya, semua yang menunjukkan bah"wa mereka menyayangi. Rupanya anak itu mempunyai bakat menjadi guru yang baik dengan cara-cara pen"dekatan yang pas untuk masing-masing kasus....
Suara Mbok Kromo terhenti oleh tawa Ibu Suryokusumo.
Kenapa tertawa, Ndoro"
Kamu itu kok bisa memakai bahasa tinggi seperti dosen to... Tawa Ibu Suryokusumo lagi.
Hehe... saya menirukan apa yang dikatakan oleh Pak Hendra waktu saya menginap di rumah sakit dan ber"jumpa dengannya saat bezoek kemarin, jawab Mbok
ti"dak muntah-muntah dan pusingnya juga sudah tidak ter"lalu mengganggu.
Apa lagi yang dikatakannya tentang Sekar, Mbok" Ah, ya banyak sekali. Katanya Sekar itu disayangi ba"nyak orang. Saya ya tertawa dalam hati. Yang paling sa"yang pada Sekar itu kan dia. Mudah-mudahan Sekar mau memberinya kesempatan. Orangnya baik, sopan, mana gagah dan lumayan ganteng, sahut Mbok Kromo de"ngan polos.
Hati Ibu Suryokusumo tersentuh. Mbok Kromo pas"ti tidak tahu-menahu tentang percintaan antara Joko de"ngan anak perempuannya itu. Sekar memang sepadan menjadi pasangan Pak Hendra. Keduanya pasti me"nempati posisi tinggi dengan penghargaan dan rasa hor"mat dari para murid, bekas murid, dan masyarakat. Teta"pi pada kenyataannya hati Sekar hanya ada pada Joko dengan cintanya yang tulus dan tanpa pamrih. Demi cinta itu, Sekar malah memilih menjadi selir Joko de"ngan berbagai risiko dan penderitaan yang pasti akan di"hadapinya di sepanjang kehidupannya nanti.
Ibu Suryokusumo menarik napas panjang kemudian ber"tanya lagi kepada Mbok Kromo dengan sepenuh rasa ingin tahu.
Apakah ada tamu-tamu lagi di kamar Sekar hari ini se"lain yang memberi laptop tadi"
Banyak, Ndoro. Supaya mereka bisa bebas mengobrol, saya keluar dari kamar dan duduk di dekat taman, jawab Mbok Kromo.
Ibu Suryokusmo bertanya lagi. Ia ingin tahu apa saja bentuk-bentuk perhatian orang-orang terhadap Sekar.
Banyak, Ndoro. Tidak saya bawa ke rumah karena se"lain yang di sini masih banyak dan tak habis-habis, Sekar juga menyuruh saya membawa oleh-oleh itu ke ruang perawat untuk dibagi-bagi di sana. Sampai para pela"yan dan satpam juga mendapat bagian semua.
Ibu Suryokusumo tercenung. Hatinya amat tersen"- tuh. Dia tahu, para perawat sangat memperhatikan Sekar karena keramahan dan sikapnya yang selalu meng"hargai orang. Gadis itu juga tahu membalas budi de"ngan membagikan kue-kue dan buah-buahan yang di"dapatnya untuk mereka.
Maka sadarlah perempuan itu akan makna kepriyayian yang hakiki. Belum tentu jika Dewi yang dirawat, dia akan bersikap seperti Sekar. Gadis manja itu pasti ber"ulang kali minta dilayani lebih dari pasien yang lain. Apa"lagi karena posisi Joko di klinik itu. Dewi sering tidak bisa membawakan diri sebagaimana seharusnya pri"yayi, yang sejak kecil dididik untuk memiliki sikap ini dan itu.
Sekar memang bukan keturunan priyayi, tetapi di mata masyarakat luas, di luar tembok rumah ini, ia dihar"gai, dihormati, dan dicintai orang. Kepriyayian bu"kan hanya didasari oleh keturunan saja, tetapi terutama oleh sikap batin, tutur kata, perilaku, dan perbuatannya. Itulah yang terlihat pada diri Sekar. Berpikir se"perti itu, terbukalah pikiran Ibu Suryokusumo yang se"mula masih mempertahankan nilai-nilai kepriyayian
ketika mengingat betapa banyak yang telah diberikan Sekar kepadanya selama ini, mulai dari pelayanan, per"- hatian, kasih, penghargaan, sampai pada hadiah-hadiah yang selalu dibelinya setiap mendapat gajian, hati Ibu Suryokusumo semakin terasa perih. Rasanya sulit menda"pat menantu lain yang seperti Sekar. Ia ingat betul, beberapa kali Sekar pernah mencetuskan keinginannya un"tuk merawatnya dan juga simboknya apabila sudah tua nanti. Jika menilik berbagai kelebihannya itu, memang hanya Sekar sajalah yang paling pas bersanding de"ngan Joko dan menjadi menantu terbaik.
Demikianlah setelah berpikir dan berkutat dengan diri"nya sendiri selama semalam suntuk, Ibu Suryokusumo tiba pada satu keputusan yang menggu"lir"kan seluruh kebanggaan kosongnya tentang keturun"an ningrat dan kepriyayiannya. Maka dipanggilnya Joko ke kamarnya ketika pada pagi harinya laki-laki itu akan berangkat ke kliniknya.
Kau terburu-buru mau ke klinik, ngger" Ya, Bu.
Kalau menunda seperempat jam lagi paling lama, bisa" Sang Ibu bertanya lagi. Suaranya terdengar lembut dan sikapnya tampak sabar. Ada yang ingin Ibu kat"akan kepadamu.
Apakah itu penting, Bu" Sangat penting.
Joko menganggukkan kepalanya, kemudian duduk di depan Ibu Suryokusumo, menunggu apa pun yang akan
Joko, apakah kau benar-benar mencintai Sekar" ta"nya sang ibu.
Ya. Tidak ada gadis lain di dalam hatimu" Tidak ada seorang pun kecuali Sekar. Sekarang maupun kelak. Kenapa, Bu" Joko sudah bersiap-siap akan me"nantang ibunya kalau perempuan itu mengulangi lagi usulnya untuk menjadikan Sekar sebagai selir. Kalau begitu, menikahlah dengannya.
Joko tertegun. Apa maksud ibunya" Menjadikan Sekar sebagai selir seperti yang dimauinya itu"
Maaf, apa yang Ibu katakan tadi" tanyanya, ingin me"mastikan kebenaran pendengarannya.
Ibu Suryokusumo mengerti apa yang ada di dalam pi"kiran anak lelakinya itu. Ia tersenyum lembut
Menikahlah dengan Sekar sebagai istri yang resmi dan satu-satunya, Joko, katanya lagi dengan suara yang se"lembut senyumnya. Dia pantas menjadi bagian keluarga kita. Ibu selama ini salah menilai makna kepriyayian. Kau lihat sendiri betapa banyak orang yang men"jenguk Sekar dan menaruh perhatian luar biasa kepa"danya" Kecuali di rumah ini, dia sangat dihargai, dihor"mati, dicintai, dan dipercaya. Ibu merasa malu kare"nanya....
Belum selesai Ibu Suryokusumo berkata-kata, Joko lang"sung bangkit berdiri untuk kemudian mencium pipi perempuan setengah baya itu dengan hati berbunga-bunga.
Terima kasih, Bu, katanya. Suaranya bergetar dan
Melihat itu, Ibu Suryokusumo tersenyum haru. Mata"nya juga menjadi basah. Ia tidak menyangka Joko yang manja dan sering sembrono itu bisa memperlihatkan kegembiraan yang sedemikian tulusnya, yang keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam.
J AM bezoek masih kurang seperempat jam lagi tetapi
Ibu Suryokusumo langsung masuk ke kamar Sekar tanpa ditahan oleh siapa pun. Mereka tahu, perempuan setengah baya yang masih cantik itu adalah ibu Dokter Joko. Mereka juga tahu, yang akan di-bezoek ada di kamar VIP yang tidak dibatasi jamnya.
Ketika Ibu Suryokusumo masuk ke kamar Sekar, ia meli"hat wajah gadis itu tampak lebih cerah daripada hari kemarin. Pipinya mulai memerah dan matanya tidak cekung lagi. Sejak kemarin pagi jarum infus sudah dica"but dari tangan Sekar. Dilihatnya, Sekar sedang men"dengarkan musik lembut dari CD player, hadiah dari salah seorang orangtua muridnya beberapa hari yang lalu. Tetapi begitu melihat Ibu Suryokusumo masuk, Sekar segera memutar tombol agar suaranya me"- nge"cil. Mengetahui itu, perempuan tengah baya itu
Dua Belas Biar saja, Sekar, aku juga senang mendengarkan musik seperti itu, katanya sambil melangkah masuk dan menutup pintu kamar kembali. Kemudian menarik kursi dan duduk di dekat tempat tidur Sekar.
Sekar bangkit dari tempatnya berbaring dan duduk ber"sandar pada tumpukan bantal.
Saya tahu, sahutnya sambil tersenyum lembut dan mem"besarkan volume musik yang tadi nyaris tak terde"- ngar. Maka suara musik yang terasa nikmat di telinga meng"alun lembut di kamar itu. Bukankah musik jenis kla"sik ini juga sering diputar oleh Ndoro Den Ayu sehing"ga telinga saya menjadi terbiasa mendengarnya dan bah"kan menjadi salah satu jenis musik kesukaan saya.
Itu benar. Mendengar pengakuan Sekar, hati Ibu Suryokusumo semakin merasakan sentuhan yang rasanya bagai air segar menyirami tanah yang kering kerontang. Ia tahu betul, hampir semua kesukaan dan kepandaian yang dimilikinya sudah pula menjadi kesukaan dan keahlian Sekar. Sengaja ataupun tidak. Ah, adakah ga"dis lain yang memiliki banyak persamaan dengan ibu mertuanya sebagaimana Sekar dengan dirinya jika kelak ga"dis itu menjadi istri Joko" Adakah gadis lain yang de"ngan senang hati belajar apa pun yang diajarkan oleh ibu mertuanya seakan apa saja yang ada pada sang ibu mertua merupakan sesuatu yang paling istimewa. Ah, baru sekarang hal-hal seperti itu masuk ke dalam ingatan"nya. Dan ia senang mengingat itu.
Telingamu nyleneh (aneh sendiri) dibanding gadiskla"sik begitu, kau gemar sekali mendengarnya. Gending-gending Jawa, kau nikmati pula. Itu kan kesukaan orang-orang kuno sepertiku, Sekar.
Tetapi juga kesukaan orang-orang muda seperti saya yang tahu menghargai seni dan keindahan, sambung Sekar sambil tertawa. Apa yang nyleneh itu be"- lum tentu jelek lho, Ndoro.
Ibu Suryokusumo memperhatikan wajah tertawa di hadapannya. Wajah yang tanpa rias apa pun, namun wa"jah tersebut memancarkan kecantikan yang nyata kare"na ada kecantikan lain yang ikut meronainya. Kecan"tikan batin. Sudah begitu bulu matanya panjang dan lentik. Pipinya berlekuk kalau tertawa. Bibirnya mu"ngil dan cantik. Matanya lebar dan bagus. Rambut yang hitam legam dan lebat itu diletakkannya di sisi kiri dan kanan kepalanya, seakan membingkai wajah can"tiknya yang berkulit kuning langsat dan mulus. Sungguh, sangat menawan. Tak heran jika Joko tergilagila sedemikian rupa sampai-sampai berani menyeberangi jurang pemisah yang ada di antara mereka ber"- dua. Sekar bukan hanya cantik secara fisik, tetapi juga cantik secara batin, tanda kepriyayian yang lebih hakiki.
Kau sudah bisa melucu, Sekar. Lekaslah sehat dan pu"lang kembali. Rumah tanpa dirimu terasa kosong dan sepi, kata Ibu Suryokusumo.
Ndoro Den Ayu pandai menghibur saya, Sekar terse"nyum lagi.
Aku mengatakan yang sebenarnya, Sekar. Aku baru
ka hampir satu minggu ini kau tidak ada di sana. Sehari dua hari memang tidak terasa, tetapi hampir satu ming"gu ini aku merasa betul-betul kehilangan dirimu. Ti"dak ada suara nyanyianmu saat menyirami tanaman. Apa"lagi selama kau ada di rumah sakit, kamar Joko tera"sa sepi. Tidak ada suara musik yng diputar keraske"ras dari sana. Tidak pernah kudengar siulan dari mu"lutnya. Bahkan untuk berhandai-handai saja pun dia tampak enggan.
Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan sungguh-sungguh itu Sekar langsung menundukkan kepalanya. Ibu Suryokusumo mengira Sekar hanya menganggapnya sedang menghibur dirinya. Oleh karena itu, ia melanjutkan bicaranya.
Maka, Sekar, lekaslah sembuh. Kami semua, dan ter"utama Joko, tak sabar menantikan kepulanganmu. Ka"pan kira-kira kau boleh pulang"
Den Bagus Joko belum mengatakan apa-apa mengenai hal itu, Ndoro, Sekar menjawab apa adanya. Tetapi pusingmu sudah hilang, kan"
Sepenuhnya belum, Ndoro Den Ayu. Kadang-kadang kalau melihat ke satu titik atau fokus, dan lalu meli"hat ke arah yang lain, pusing itu suka datang lagi. Dan kalau sangat mengganggu, saya minum obat lagi.
Tetapi sebaiknya jangan tergantung pada obat, Sekar. Pusing itu kan cuma gejala dari suatu penyebab. Kura"sa, kau terlalu banyak berpikir dan merasakan batin"mu sangat tertekan. Aku sangat memahami perasa"anmu, Nduk. Berhari-hari selama kau sakit, aku
juga hubunganmu dengan Joko. Apa yang akan kita tem"puh, itu sudah kubicarakan bersama Joko. Biarlah dia nanti yang akan memberitahu dirimu.
Sekar diam saja. Dari perkataan Ibu Suryokusumo, dia menduga Joko sekarang sudah setuju untuk menja
kannya sebagai selir. Tetapi aneh, ia tidak merasa gem"bira mendengarnya. Sebelumnya, Joko sangat menen"tang perseliran, sementara dirinya, meskipun dengan hati yang amat pedih, masih bisa menerima tempatnya sebagai selir Joko karena cintanya kepada laki-laki itu. Sua"tu pertanyaan muncul di kepala Sekar sehingga rasa"nya matanya agak berkunang-kunang karenanya. Sua"tu kemajuankah keputusan Joko itu, ataukah suatu kemu"nduran"
Mata Ibu Suryokusumo menangkap perubahan air muka Sekar sehingga ia segera sadar bahwa gadis itu be"lum pulih dari sakitnya. Belum saatnya membicarakan hal-hal yang berat. Tetapi ini kabar gembira, bukan" Sia"pa tahu berita itu bisa mempercepat kesembuhan Sekar. Jadi tidak perlu menunggu Joko yang menyampai"kannya.
Lekaslah sembuh, Sekar, cepat-cepat ia memperbaiki kata-katanya agar terdengar lebih jelas. Aku su"- dah ingin dilayani oleh seorang menantu.
Sekar tersenyum sepintas. Menantu yang tidak resmi, pikirnya. Menantu selir anak lelakinya. Ya..., sahutnya.
Tetapi bukan menantu selir anakku, Sekar. Seakan me"ngerti pikiran Sekar, Ibu Suryokusumo. Melainkan
Sekar, cepatlah sembuh dan pulang ke rumah kembali. Kami sekeluarga akan melamarmu pada Mbok Kromo.
Sekar menatap wajah Ibu Suryokusumo dengan mata membesar. Benarkah apa yang didengarnya" Atau"- kah itu hanya ilusi belaka" Ibu Suryokusumo memahami perasaan Sekar. Tangan gadis itu diraihnya, kemudian digenggamnya.
Kau bersedia menjadi istri Joko yang resmi, bukan" Ka"lau ya, segeralah sembuh, Sekar, katanya dengan sua"ra lemah lembut. Aku sadar setelah berhari-hari lama"nya mencoba mawas diri, berbicara dengan suara hati"ku yang paling dalam dengan pikiran jernih dan objek"tif. Dan sampailah aku pada pemikiran tentang kebe"naran bahwa selama ini aku terlalu terbenam pada pan"dangan yang kolot, mengira kepriyayian, keningratan, dan kebangsawanan merupakan sesuatu yang tinggi ni"lainya. Padahal ada banyak nilai-nilai luhur yang tak ada kaitannya dengan kepriyayian dan gelar keningratan. Aku juga sadar bahwa setiap manusia memiliki derajat dan martabat yang sama. Sebagai suatu bangsa, setiap war"ga negara juga memiliki hak yang sama untuk menen"tukan nasibnya sendiri. Bukan ditentukan oleh orang lain dan bukan pula ditentukan oleh asal-usul le"luhur, betapapun hebatnya sang leluhur.
Apakah... apakah yang saya dengar ini merupakan ke"nyataan dan bukannya mimpi, Ndoro Den Ayu" tanya Sekar dengan suara berbisik dan mata mulai basah.
rang sadar bahwa pilihan Joko memang memiliki nilainilai tersendiri yang tidak dimiliki oleh gadis lain, bahkan gadis yang berdarah ningrat sekalipun. Yaitu, hati"mu yang priyayi, Nduk. Joko tidak salah pilih. Hanya dirimu sajalah yang tepat untuk menjadi istri Joko. Kau sudah amat mengenal merah-hijaunya watak Joko. Be"gitu juga sebaliknya, Joko sudah amat mengenal dirimu.
Aduh, Ndoro Den Ayu... betapa bahagianya hati saya... Air mata Sekar membanjiri pipinya yang masih tampak pucat.
Begitu juga hatiku, Sekar. Lega rasanya dapat me"- nen"tukan langkah yang yang tepat dan benar dengan me"nyingkirkan kebanggaan yang sudah usang, kebanggaan yang memudahkan orang menjadi arogan, som"- bong. dan tinggi hati.... Ibu Suryokusumo tersenyum lem"but. Tetapi, Sekar, masa sih calon menantu memang"gilku dengan sebutan Ndoro. Tidak seharusnya begi"tu.
Saya harus kerja keras untuk melatih lidah saya yang sudah telanjur kaku, sahut Sekar sambil tertawa. Kebiasaannya yang suka humor sudah mulai kembali.
Ibu Suryokusumo menepuk-nepuk punggung tangan Sekar yang masih ada di dalam genggaman tangannya. Senang ia dapat meneteskan kebahagiaan di hati Sekar sambil berharap gadis itu akan segera sehat kembali. Ndoro...
Hush. Sebut yang betul Ibu Suryokusumo menyela sam"bil tersenyum.
dan bebal untuk mengubah panggilan. Sekar tertawa lagi. Begini, Ndoro...
Ibu! Ibu Suryokusumo membetulkan lagi. Aduh, kok sulit ya mengubah panggilan, kata Sekar s bil menyeringai. Begini, Ibu... ah... kok tidak pantas lidah saya menyebut begini.
Sudahlah, apa sebenarnya yang mau kaukatakan" Ibu Suryokusumo memenggal lagi perkataan Sekar sambil tertawa.
Sebenarnya, selama berbaring ini pun saya juga men"coba untuk mawas diri. Hasilnya, saya berhasil menyentakkan harga diri yang semula masih tersisa dalam ba"tin saya sesudah mengucapkan kesediaan saya menjadi selir Den Bagus Joko pada pagi-pagi buta di kamar Ndoro... eh... Ibu waktu itu.
Lalu bagaimana..." Ibu Suryokusumo menyela tak sabar.
Saya menemukan pemahaman yang semakin kental bah"wa apa yang disebut cinta sejati tidak punya syarat apa pun dan tidak boleh dinilai dengan harga diri sekali"pun. Kalau jalinan percintaan kami hanya bisa dijemba"tani dengan cara menjadi selir Den Bagus... eh... Mas Joko, saya harus menerimanya dengan pasrah sebagai ba"gian dari perealisasian cinta saya kepadanya. Bahkan lebih rendah daripada selir pun saya akan berbahagia karena boleh mencintainya....
Kau sungguh memiiki perasaan cinta yang indah, Sekar. Aku sungguh merasa bersalah karena telah melukai perasaanmu meskipun aku tidak bermaksud demiBa"yangan wajahmu yang berduka, pandangan matamu yang sendu, terus-menerus mengikutiku ke mana-mana. Maafkan aku ya, Sekar....
Ndoro... Den... eh... Ibu tidak bersalah dan tidak per"lu minta maaf kepada saya. Sudah berulang kali saya katakan, saya memahami perasaan dan jalan pikiran Ndoro... eh, Ibu, sahut Sekar. Pagi hari itu pikiran saya memang sedang kacau-balau. Saat itu saya benarbe"nar sedang berada dalam suatu pengertian yang sumbe"rnya adalah cinta saya yang luar biasa terhadap Den... eh, Mas Joko... sehingga jangankan dijadikan selir... dijadikan simpanannya saja pun saya bersedia. Bah"kan demi cinta itu pula saya sudah memutuskan un"tuk tidak akan menikah dengan laki-laki mana pun....
Suara Sekar terhenti oleh tangis yang naik ke lehernya. Ibu Suryokusumo terdiam dengan hati amat ter"- sentuh. Dia terkenang pada wajah pucat, letih, mata sembap, dan air mata yang mengalir tak henti-hentinya saat Sekar bersimpuh di hadapannya pada pagi-pagi buta sebelum gadis itu jatuh sakit.
Lanjutkan, Sekar... Saya... malu... Kenapa malu" Katakan sajalah agar hatimu terasa longgar, Ibu Suryokusumo mendesak Sekar. Sekar menundukkan kepalanya.
Malam sebelum saya masuk ke kamar Ndoro... eh... Ibu bermeditasi, saya diminta menemui Den... eh... Mas Joko di kamar depan..., sahutnya. Kemudian diceritaitu, lalu lanjutnya, Sedemikian meluapkan kasih saya kepadanya sehingga ketika ia mengambil apa yang belum boleh kami lakukan... saya rela seikhlas-ikhlasnya dengan pemikiran bahwa itulah kesempatan bagi saya untuk menunjukkan kasih saya yang tanpa pamrih.... Bahkan karena hal itu saya berjanji dalam hati saya untuk tidak akan menikah selamanya. Pikir saya, de"ngan memberikan milik saya... maka tidak akan ada lagi kesempatan bagi laki-laki lain untuk mendekati saya....
Ibu Suryokusumo kaget. Dia tahu betul, meskipun hi"dup di abad ke-21, Sekar memiliki nilai-nilai tentang ke"perawanan dan keperjakaan, sesuatu yang nyaris sudah tidak lagi menjadi pegangan anak-anak muda zaman sekarang. Karenanya dia mengerti betul mengapa gadis itu mengatakan tidak akan menikah setelah membe"rikan miliknya yang berharga kepada Joko.
Ya Tuhan... betapa besar pengorbanan cintamu terha"dap Joko, serunya. Kurasa, itu sudah melewati ambang batas kekuatan yang bisa tertanggungkan olehmu. Itu"lah rupanya salah satu penyebab sakitmu....
Boleh jadi begitu... Sekar mengangguk. Tubuh saya tidak sekuat jiwa saya. Entahlah. Tetapi setelah saya berbaring lama di sini, saya sadar bahwa semesti"- nya tubuh dan jiwa saya harus setia sekata untuk tidak mempersoalkan, apalagi mempertentangkan, pengorbanan cinta. Tidak boleh seseorang yang mencintai kekasihnya mempunyai perasaan bahwa ia telah berkorban. Begitupun saya. Rasa itu sudah menghilang. Kini yang tinggal adalah kepasrahan dan pengabdian total.
berpikir gadis lain, Sekar. Tetapi sekarang, sepenuhnya aku memahami dirimu. Nah, sekarang yang penting, le"kaslah sembuh. Joko sudah menanti-nantikan kepulang"anmu, Nduk, sahut Ibu Suryokusumo. Penantiannya tidak sia-sia....
Itu benar. Halangan terbesar yang mereka hadapi, sudah tergulir lepas. Dan cita-cita untuk memantapkan hubungan mereka ke dalam pernikahan, mulai merekah. Na"mun demikian, ketika akhirnya Sekar sehat kembali dan pulang ke rumah, baik Joko maupun Sekar sadar bah"wa masih ada lagi satu pintu yang belum terbuka dan belum tentu bisa mereka lalui, yaitu menghadapi Ba"pak Suryokusumo. Apalagi Joko belum pernah mengatakan niatnya untuk menjadikan Sekar sebagai istri"nya kepada sang ayah. Oleh karena itu, Ibu Suryokusumo menyarankan supaya Joko dan Sekar meng"hadap bersama-sama ke ruang kerjanya.
Jangan cemas menghadapinya, kata Ibu Suryokusumo, membesarkan hati kedua muda-mudi itu. Meskipun tampaknya angker, beliau tidak sekolot Ibu. Cobalah datang kepadanya, Joko.
Tetapi meskipun hiburan Ibu Suryokusumo cukup mengusap hati namun perasaan sepasang sejoli itu masih juga menyimpan rasa waswas. Sekar bahkan merasa takut menghadapi laki-laki setengah baya yang masih ga"gah, angker, dan memiliki wibawa kuat itu. Karenanya, keringat dingin mengaliri lewat anak-anak rambut"- nya sehingga Joko menyuruhnya tinggal di luar kamar kerja sang ayah. Laki-laki itu khawatir vertigo yang
Biar aku masuk dulu ke ruang kerja Romo. Kalau ke"adaan aman, kau boleh menyusul masuk, katanya sam"bil mangusap wajah sang kekasih yang berkeringat. Te"nangan hatimu, Sayang. Dan berdoalah.
Sekar menganggukkan kepalanya. Joko segera masuk ke ruang kerja ayahnya setelah mengetuk pintunya.
Meskipun ia dapat menenangkan perasaan Sekar, na"mun ia sendiri pun sebetulnya merasa gentar saat kaki"nya melangkah masuk ke ruang pribadi sang ayah, yang keseluruhan tempat itu mencerminkan kewibawaan laki-laki setengah baya itu. Lemari dan rak buku besar-besar, tinggi dan berpelitur halus, yang isinya pe"- nuh berbagai macam dan jenis buku. Seperangkat kompu"ter lengkap dengan printernya ada di atas meja, di sebelah meja tulis besar dengan miniatur bola dunia dan seperangkat alat tulis dalam wadah indah yang terle"tak di atasnya. Sungguh, suatu keseluruhan yang me"nimbulkan perasaan segan. Namun kalau ia tidak memberanikan diri, maka persoalannya dengan Sekar akan terus terkatung-katung tanpa ada kepastian. Romo...
Bapak Suryokusumo yang sedang membaca melirik anak lelakinya sebentar tanpa menggerakkan kepalanya.
Hmmm..., sahutnya. Romo...
Laki-laki paro baya itu mengangkat wajahnya, menatap Joko seraya sedikit mengerutkan dahinya.
ka"rena hanya jika ada hal-hal penting saja ia bersedia di"ganggu saat sedang berada di ruang pribadinya itu.
Ya, Romo. Saya ingin menikah. Kalau Romo tidak keberatan, saya mohon izin dan doa restunya, sahut Joko dengan terus terang. Dia tahu, ayahnya tidak suka berbelit-belit.
Jadi kau sudah berniat untuk menikah" Apakah kau sudah menemukan gadis yang kauanggap lebih baik dari"pada Dewi" Sang ayah mempertajam tatap matanya. Benar begitu, Nak"
Benar, Romo. Siapakah gadis itu" Joko memberanikan diri lebih dulu baru menjawab pertanyaan sang ayah.
Sebelum saya menjawab pertanyaan Romo, perlu Romo ketahui bahwa sebelum saya berani menghadap ke"mari, saya sudah banyak bicara dengan Ibu. Romo pasti tahu seperti apa penilaian Ibu jika berkaitan dengan jodoh putra-putrinya. Perjuangan saya untuk melenturkan hati Ibu yang sedemikian kerasnya sudah saya lakukan selama berminggu-minggu sampai akhirnya beliau bersedia menerima dengan ikhlas gadis yang saya cintai. Beliau pasti sudah melihat dan mengetahui se"berapa besar pengorbanan dan cinta gadis itu kepada saya, sampai-sampai...
Jangan pidato, Joko! Bapak Suryokusumo memotong perkataan Joko, setengah tertawa. Ia memahami rasa gentar anak lelakinya itu saat menghadapinya se"- hingga bicaranya mulai berputar-putar seperti itu. Aku
lam perjuangan batin yang berat. Memangnya Romo tidak tahu" Lihatlah dirimu di muka cermin. Kurus, pu"cat, letih, kuyu. Nah, sebelum kesabaranku habis, ayo katakan siapa gadis yang membuat hatimu terpengaruh sampai sedemikian rupa itu"
Romo tidak akan marah kalau saya mengatakan siapa gadis yang saya cintai itu" Joko masih belum juga berani menyebut nama Sekar.
Nah, untuk ketiga kalinya aku bertanya kepadamu siapa"kah gadis itu, Joko" Jawablah. Soal Romo akan ma"rah atau tidak, itu urusan nanti. Buat Romo, yang penting adalah kau berani menjawab pertanyaanku atau tidak. Romo tidak suka anak lelakiku satu-satunya tidak punya jiwa kesatria, lagi-lagi Bapak Suryokusumo berkata setengah membentak.
Joko tertunduk. Dengan mengumpulkan keberanian akhirnya ia menjawab pertanyaan sang ayah dengan suara mulai lantang.
Namanya Sekar, Romo. Untuk sesaat lamanya, kebisuan yang terasa mence"- kam di ruangan itu. Tetapi detik berikutnya terdengar suara setengah menggeledek dari mulut Bapak Suryokusumo.
Kau tidak main-main dengan niatmu itu" tanyanya.
Tidak, Romo. Itu artinya, kau sudah memikirkannya masak-masak lebih dulu, bukan" Bapak Suryokusumo bertanya lagi.
Kau juga masih tetap memegang erat didikan Romo, bahwa jika kita telah mengucapkan janji kepada siapa pun, harus menjunjung tinggi apa yang sudah kita ucapkan dan janjikan itu dengan sikap kesatria" Tentu saja, Romo.
Juga ingat pada ajaran Romo, bahwa kita tidak bo"- leh mempermainkan dan melecehkan mereka yang memiliki kedudukan atau status sosial yang lebih rendah. Apalagi jika orang itu merupakan pasangan kita" Ya, saya ingat itu semua.
Apa maksud dari perkataan Romo tadi adalah, jangan pernah dirimu menganggap rendah seorang istri yang latar belakangnya tidak setara keadaannya dengan diri"mu. Mengapa" Karena suami-istri merupakan pasangan yang memiliki tataran sederajat, tak peduli dari mana asal mereka. Jika salah seorang dari pasangan itu menganggap diri lebih tinggi, lebih hebat, lebih berderajat dan semacamnya, maka hubungn mereka tidak akan harmonis. Selalu saja akan ada bibit-bibit petengkar"an dan ketidakpuasan. Mengerti, Joko"
Mengerti, Romo. Joko menganggukkan kepalanya de"ngan gerakan yang meyakinkan sang ayah.
Apakah dari jawabanmu itu Romo bisa mengambil kesim"pulan bahwa kau sudah memikirkan dan memertimbangkan baik-buruknya perkawinan antara dirimu dengan Sekar, termasuk risiko apa pun yang akan kalian hadapi" Bapak Suryokusumo masih terus menginte"rogasi sang anak dengan pertanyaan sambung-menyambung yang seakan tidak ada titiknya itu.
ma"sih hijau. Apa yang saya pikir, katakan, dan lakukan betul-betul merupakan keputusan yang sudah saya tim"- bang dari berbagai sudut pandang dan saya bertanggung jawab atas segala sesuatunya. Apalagi saya dan Sekar sudah sama-sama menyadari bahwa perkawinan kami pasti akan membuat banyak orang tercengang dan mengerutkan dahi. Bahkan mungkin juga menertawakan kami. Tetapi itulah risiko yang sudah kami perkirakan dan akan kami hadapi bersama. Seandainya badai itu terlalu berat, kami sudah sepakat untuk tinggal di kota lain untuk sementara waktu. Atau setidaknya di rumah yang jauh dari sini. Kota Jakarta kan sangat luas, Romo. Lagi pula...
Bagus, kalau begitu. Itu baru anakku! Bapak Suryokusumo memotong perkataan Joko. Kau tidak per"lu berpanjang-panjang kata. Bagi Romo asal kau su"dah tahu apa risikonya dan bertanggung jawab atas keputusanmu, cukuplah. Maka, segeralah menikah dengan gadis yang kaucintai itu!
Mendapat jawaban semudah itu, Joko malah kaget. Mata"nya nyalang menatap ke arah sang ayah dengan takjub.
A...apakah Romo merestui pilihan hati saya..." tanya"nya agak terbata-bata, nyaris tak memercayai pendengarannya.
Kalau Romo menyuruhmu untuk segera menikahi Sekar, itu artinya Romo merestuimu. Apakah kurang je"las perkataan Romo tadi" Atau apakah ada gangguan di telingamu" Bapak Suryokusumo menjawab pertanyaTetapi, Romo... Sekar... hanyalah anak Mbok Kromo...
Joko! Lagi-lagi lelaki paro baya itu memenggal perka"taan Joko, masih dengan setengah tertawa. Sebelum mata"mu mampu melihat mutiara yang ada di dalam tangan"mu sendiri, Romo sudah melihatnya jauh-jauh hari sebelumnya. Dan itu menjadi salah satu sebab runtuhnya kebanggaan ningrat warisan nenek moyang yang sudah tidak pada tempatnya di zaman modern dan di alam kemerdekaan ini.
Hati Joko menjadi besar dengan mendadak. Kelegaan menebar ke seluruh dirinya. Ganjalan yang selama itu terasa begitu berat dan menekan, tergulir lepas dengan mudah. Melihat wajah Joko yang memancarkan rasa lega, sang ayah melebarkan tawanya.
Katakan kepada Sekar, kalau dia sudah menjadi istri"mu nanti dan ada waktu luang, Romo ingin me"- minta bantuannya membedah buku yang sedang Romo baca ini bersama-sama. Romo pernah berdiskusi dengannya... dan mmh... dia begini! Bapak Suryokusumo mengacungkan jempolnya, seraya tertawa lebar.
Joko membalas tawa sang ayah dengan hati bahagia.
Baik, Romo. Kemudian kakinya melangkahi ruang kerja ayahnya dengan ringan dan menjemput Sekar yang masih berdiri di luar dengan wajah pucat.
Beres, Sekar..., kata Joko dengan wajah berseri-seri, yang langsung menulari wajah gadis cantik di depannya.
ba"hagia. Kedua bola matanya yang besar tampak berkilauan bagai bintang kejora sehingga Joko menghentikan langkahnya saat menatap wajah cantik gadis itu.
Tetapi sebelumnya, izinkan aku menciummu lebih dulu, kata laki-laki itu dengan suara serak.
Sekar tersenyum dan membiarkan laki-laki itu mencium bibirnya dan memeluknya dengan sepenuh kemesra"annya. Maka bibir Sekar pun bergetar oleh rasa ba"- ha"gia. Cepat-cepat dia membalas pelukan Joko dengan sama mesranya. Keduanya tidak menyadari bahwa di balik punggung Joko, pintu ruang kerja di dekat mereka itu terbuka sesaat lamanya untuk kemudian menutup kembali cepat-cepat. Di dalam ruang kerjanya, laki-laki paro baya yang berwajah angker dan gagah yang baru saja membuka dan menutup kembali ruang kerjanya itu me"nyeringai dengan mata bersinar gembira.
Benarlah, gumamnya dengan hati senang. Gadis yang dicintai anakku itu memang Sekar namanya.
NOVEL DEWASA Sekar dan Joko dibesarkan bersama-sama. Bedanya, Joko anak Raden Mas Tumenggung Suryokusumo, sementara Sekar anak pembantu yang mengabdi pada keluarga bangsawan itu.
Walaupun hanya berstatus anak pembantu, Sekar tumbuh menjadi gadis yang luar biasa luar dan dalam. Fisiknya tumbuh dengan indah, sementara batinnya pun tertata layaknya priyayi, karena sejak bayi memang hidup dan menyerap nilai-nilai kebangsawanan di sekitarnya. Prestasinya pun luar biasa. Dia berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan nilai gemilang, menjadi guru favorit di sebuah SMA swasta, sambil menyelesaikan program S2-nya.
Namun karena status sosial yang dimilikinya, sejak kecil benturan tak pernah lepas dari dirinya. Dan benturan yang paling menyakitkan adalah ketika ia jatuh cinta pada Joko, begitu pun sebaliknya. Langkah Sekar pun terhenti di tubir jurang perbedaan yang lebar.
Karena Joko tetap nekat, Ibu Suryokusumo memberinya solusi usang, yaitu menjadikan Sekar sebagai selir agar tidak merusak nama baik keluarga. Dan Joko tidak bisa menerima hal tersebut di dalam kehidupan modern ini.
Lalu apa jawaban Sekar yang menempatkan cinta yang tulus di atas segala-galanya"
Godfather Terakhir 10 Goosebumps - Si Raja Cacing Pesta Tahun Baru 1

Cari Blog Ini