Ceritasilat Novel Online

Titik Nol 3

Titik Nol Karya Agustinus Wibowo Bagian 3


Dua orang Rusia botak dalam balutan jubah kuning seperti biksu Tibet ini misalnya. Katanya mereka sudah tercerahkan setelah bertemu guru suci di Dharamsala, tempat tinggalnya Dalai Lama. Mereka berguru di ashram di India, dan setelah itu tersulap menjadi gumpalan awan . Angin berembus ke barat,
awan ikut ke barat. Angin ke timur, mereka pun turut ke timur. Kosong, hampa, tanpa beban, konon itu adalah kebahagiaan.
Lihatlah butir-butir rudraksha ini! kata rahib Rusia kurus kering itu. Suaranya datar, seperti terombang-ambing udara. Dia memamerkan koleksi biji pohon sejenis kenari, yang aku tak tahu di mana istimewanya. Tak perlu khawatir, Kawan! Dia menjelaskan: ini rudraksha suci, bersudut tujuh dan sembilan, susah dicari di mana-mana, dijamin bakal bawa keberuntungan. Sungguh, di mataku, itu tak lebih dari koleksi biji-bijian biasa.
Si perempuan, juga botak dan berbalut baju biksu, dengan perhatian penuh terpusat seratus persen memilah-milah biji rudraksha. Kepalanya menggeleng-geleng terus, perlahan-lahan. Dia seperti hidup dalam dunianya sendiri. Begitu mereka melewatkan hari, setiap hari, sepanjang minggu dan bulan. Semua hal kecil dilakukan dengan konsentrasi total, termasuk: mengamati biji-bijian, memasak sesaji di pagi hari, meditasi, menyepi, diselingi ritual ganja.
Ketika orang Timur terkesima pada modernitas dan kemajuan peradaban di Barat, orang Barat justru mencari nirwana dalam keluhuran spiritualitas Timur. Manusia saling mengagumi, saling mencari, saling berpindah. Dari negeri mereka yang modern, kedatangan ke keterbelakangan di Timur seketika membuat mata mereka tercolok, hati tertohok, mendapati kesemuan dunia modern ternyata cuma logika dan materialisme. Hasilnya adalah para hippie spiritual: kepala botak, baju biksu, hashish, ganja, meditasi, sesaji, koleksi ajimat.
Sayup-sayup di kejauhan terdengar suara ringsek berdentumdentum dari diskotek. Everything is gonna be alright.... Aku terbatuk. Hidungku sesak oleh asap hashish.
Di bawah sinar lampu merah jambu remang-remang, di atas ranjang berdebu, Papa menatapku nanar. Sebagian kulit di tangan dan kakinya menampakkan borok membusuk, kehitaman, tak kunjung sembuh dilalap diabetes. Tubuhnya yang dulu gemuk sudah begitu kurus, pipinya cekung. Rambut menipis, batok kepala terlihat jelas.
Suara yang pernah selalu menggelegar, kini lebih banyak tenggelam dalam bisu. Bertahun-tahun kami tiada berjumpa, tapi hanya sunyi yang mendominasi, di hadapan hantaman tragedi bertubi-tubi. Dia sesekali menghapus air mata dengan saputangan kumal.
Semangat hidup Mama masih tinggi, Pa. Tak ada jawaban.
Pa, kita bergandengan tangan, kita hadapi bersama. Kita pasti menang. Lelaki itu hanya memandangku.
Mama bilang masih ingin gendong cucu, Pa. Dia masih mau bertahan. Dia sangat kuat.
Mulutnya tetap terkatup rapat.
Keluarbiasaan Nepal adalah bagaimana negeri mungil ini bisa mengakomodasikan dua ekstrem: surga dan neraka, sekaligus. Para turis dan penikmat surga Nepal biasanya menutup mata terhadap realita Nepal yang sebenarnya. Ini adalah masalah memori selektif. Para turis masih bisa berdansa-dansi, sementara anak jalanan Nepal tidur di atas trotoar panas. Turis bisa dengan santai melahap piza, sedangkan pengemis meneteskan air liur di luar pintu. Lebih parah lagi, masih pantaskah kita berpesta di Nepal, ketika secara de facto, negara ini berada di tengah kancah perang saudara"
Banyak negara maju yang memasukkan Nepal ke daftar travel warning, karena gerakan pemberontakan Maois semakin menghebat. Itu pula yang menyebabkan banyaknya pos pemeriksaan di sana-sini. Perjalanan ke luar kota dengan bus selalu ditemani tentara berselempang Kalashnikov sering kali tentaranya berupa bocah bau kencur yang mustahil berhasil menawarkan rasa aman barang sejentik pun. Jam malam juga diberlakukan, jalanan antarkota diblokade setelah pukul empat sore (gelap itu memang mencekam, Kawan!).
Realita Kathmandu seperti dimensi alam lain bagi kehidupan romantisme ala hippie di Thamel, Freak Street, dan kawasan kuil-kuil kuno. Hura-hura para turis masih berlangsung normal, pesta perayaan para umat dan tetabuhan seruling masih meramaikan kuil, asap dupa masih memenuhi atmosfer, mantra bersahut-sahutan dengan klakson motor dan denting bel sepeda. Sedangkan kalau kita berjalan sedikit saja ke jalan utama Rani Pokhari, kita akan langsung berhadapan dengan realita Kathmandu. Sudah dua minggu ini Kathmandu dilanda demonstrasi besar-besaran. Jalan macet luar biasa: mobil, taksi,
autorickshaw, sampai sedan berbaris tak bergerak, seperti lapangan parkir masif yang mengular. Patroli polisi di mana-mana. Demokrasi!!! Demokrasi!!! Mahasiswa di atas gedung di pinggir jalan utama Ratna Park berteriak-teriak. Mereka sudah siap dengan batu kecil di genggaman. Orang sudah lelah dengan mahalnya harga barang, kemelut politik pasca pembantaian keluarga raja, korupsi, ketidakadilan, perang saudara. Keluh kesah meledak dalam teriakan bertalu-talu. Demokrasi! Demokrasi!!!
Semakin sore, semakin seram. Aku tunggang-langgang ketika polisi berseragam loreng membawa perisai, mengusirku dengan mengacung-acungkan tongkat. Fotografi dilarang, ini masalah sensitif. Hati-hati kalau tak ingin digampar! Para demonstran melempari polisi dan tentara dengan batu. Aku pontang-panting menghindari terjangan kerikil. Ada batu sekepalan tangan nyaris kena pelipis. Untung tak sampai pecah batok kepala. Gawatnya, teman yang bersamaku adalah gadis dari Beijing yang berpostur tinggi semampai, berjalan anggun layaknya model di atas panggung. Roknya cuma sedengkul, bahunya terbuka, pusarnya terlihat, buah dadanya mencuat, rambut panjangnya tergerai. Begitu dia melintas di hadapan para demonstran, seketika mereka mengganti yel-yel Demokrasi!!! menjadi Hey! Hey! Sexy girl! Sexy girl!!! dan suit-suitan nakal. Si gadis tak mau kalah, mencak-mencak, dan balas menyumpahi mereka, Kalian harus belajar banyak tentang demokrasi! Demokrasi macam apa ini" Hanya bikin orang benci, bukan simpati!
Malamnya aku baru tahu, demonstrasi hari ini ternyata termasuk yang paling besar dalam sejarah Nepal. Empat ratusan orang ditangkap, kebanyakan aktivis dan wartawan, mungkin termasuk para pelempar batu dan peneriak Sexy girl!!!
Tapi di losmenku, tak ada yang peduli. Ibu pemilik losmen tertawa terbahak. Tidak usah dipikir! Itu sudah biasa! Televisi masih menyiarkan berita pemilihan Miss Nepal 2005 dan pemenang Miss Best Smile yang diganjar hadiah 5.000 rupee ($80). Acara banting-bantingan gulat ala Amerika di televisi masih jadi favorit para pemuda pengangguran di warung sebelah. Para turis juga masih terlena dalam ritual harian: mengisap ganja di tingkap atap.
The party must go on. Di Nepal, perayaan memang tak perlu alasan. Walaupun mereka tak berkelimpahan harta, dan pendapatan lima tahun berturutturut belum tentu cukup buat beli sepeda motor Jepang satu biji, ternyata hidup di sini selalu dipenuhi gegap gempita perayaan.
Setiap pagi dimulai dengan kegaduhan. Umat Hindu berbaris seperti karnaval, menyusuri jalanan kota kuno, memainkan musik sambil memanjatkan mantra. Drum, seruling, kendang, lonceng. Ibadah mereka megah meriah. Di sini kuil, di sana kuil. Patung berlapis emas di hadapan para umat yang membawa sesaji. Di belahan lain dunia, perbedaan agama bisa membawa pertumpahan darah. Di sini, justru melebur dengan begitu harmonis, tak perlu garis batas yang menyekat-nyekat umat. Di dalam kuil Hindu, ada patung Buddha. Di dalam kuil Buddha ada umat Hindu. Gadis Buddha dipuja sebagai dewi Hindu. Orang Hindu mengutip kata-kata Sang Buddha. Umat Buddha memohon berkah pada pertapa Hindu. Di hari raya Hindu,
umat Buddha ikut sembahyang. Hari lahir Buddha juga hari besar bagi Hindu. Sampai akhirnya tak perlu kita bertanya, mana yang Hindu, mana yang Buddha.
Setiap hari adalah perayaan. Bukan, bukan pesta hura-hura hedonisme turisme ala Thamel atau keceriaan hippie. Ini tentang perayaan spiritualitas. Nepal adalah negeri Hindu dengan populasi dewa-dewi jauh lebih banyak daripada populasi manusianya yang tak sampai 30 juta. Dalam perut seekor sapi saja sudah ada 300 juta dewa. Masing-masing dewa, dari yang besar sampai yang kecil dan tidak terkenal, punya hari besarnya dan umatnya sendiri-sendiri. Bayangkan jika hari ulang tahun dewa adalah hari raya, lalu ulang tahun istri dewa juga hari raya, lalu hari pernikahan dewa itu dan istrinya juga hari raya, lalu hari lahir anak dewa dan menantunya juga hari raya.... Saking banyaknya festival, penduduk pun sering kali tidak tahu dewa mana lagi yang berulang tahun hari ini. Untungnya, hanya perayaan yang paling penting saja yang dijadikan hari libur nasional. Kalau tidak, sepanjang tahun negeri ini bakal lumpuh karena tidak ada hari kerja.
Pagi yang dimulai dengan adem-ayem, tiba-tiba dikoyak dengan tetabuhan dan arakan ibu-ibu menari, sambil meneriakkan Govinda! Govinda! , memantul-mantulkan dan memegalmegolkan pinggul besar seperti pegas bergetar. Oh, ternyata hari ini adalah hari ulang tahun istri Dewa Krishna. Entah yang mana, Krishna punya 16.108 istri. Di hari lain, tiba-tiba jalanan dipenuhi lautan perempuan berbaju merah menyala mencolok mata. Ibu-ibu mengenakan kembali baju pengantin mereka, berarak dengan kaki telanjang, menari-nari dan berjoget mengiring tetabuhan. Oh, ternyata hari ini adalah hari memuja Syiwa.
Masih ada hari khusus buat Indra, Ganesha, Krishna, Wishnu, Lakhsmi, Parwati, Saraswati, Hanuman, Kala, Kali, anjing, sapi, burung gagak....
Seperti hari ini, lapangan Hanuman Dhoka dipenuhi orang. Lagi-lagi, katanya ada festival. Istimewa, ini perayaan superpenting di Kathmandu, karena sang Dewi Hidup yang misterius itu akan keluar dari istana terlarangnya, turun ke kota dan memberi pemberkatan kepada semua. Dewi Hidup itu sebenarnya adalah manusia sungguhan, bukan patung bukan lukisan. Dia gadis kecil sepuluh tahunan dari kasta Buddha yang dipuja sebagai dewinya orang Hindu. Tak ada yang tak kenal Kumari Devi. Buat para turis, kisah dewi hidup itu adalah bayangan legenda fantastis tentang Nepal. Nama Kumari adalah kata sakti yang mewakili semua misteri negeri Himalaya gadis perawan, ditemukan di tengah kefanaan manusia melalui mimpi-mimpi mistis dan ujian gaib, lalu diagungkan sebagai dewa, dan kemudian dicampakkan lagi sebagai manusia fana begitu haid pertama. Aku pun tak mengira bakal ada kesempatan emas melihat langsung wajah sang Kumari, bahkan mungkin menjadi keberuntunganku sekali seumur hidup bisa menyaksikan tubuh seorang dewa.
Senja menjelang. Gempita alunan seruling dan kendang mengalun, melodinya menebarkan nuansa mistis di sela kuilkuil tua.
Saatnya berpesta! Enam penari bertopeng berambut gimbal berada di tengah lingkaran kerumunan penonton. Penari berputar, melompat, menggelinding. Penonton bersorak. Orang-orang Nepal itu begitu ramahnya. Melihat aku, turis polos yang sibuk menjepratjepretkan kamera, mereka malah memberiku jalan untuk menyeruak, sampai ke barisan terdepan keramaian penonton yang mengelilingi lingkaran, supaya aku dapat pemandangan terbaik.
Kepalaku bergetar-getar sendiri mengikuti tetabuhan kendang yang menghipnotis. Inilah kenikmatan perjalanan! Perayaan tak terduga! Sukacita melepaskan semua beban! Hanyut dalam kemeriahan peradaban kuno di negeri asing! Oh... aku semakin dimabuk perjalanan.
Eits, kok tasku rasanya jadi enteng. Aku menoleh ke belakang.
MY GOD! Ritsleting tas yang tercangklong di pundakku itu sudah terbuka lebar. Dan bodohnya aku, menyimpan dompet di dalam tas. Tak usah diragukan lagi, raib!
Wajahku pucat seperti mayat. Tentu aku tak bisa melihatnya sendiri. Itu dilaporkan oleh Lam Li, backpacker cewek Malaysia yang bersamaku. Dia mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku. Aku bergeming, seperti makhluk kehilangan roh. Aku beku.
Apa yang hilang" Apa yang hilang" Berkali-kali dia bertanya. Tapi aku tak juga paham. Dia menabok-nabok pipiku, mengira aku kesurupan. Kepalaku kosong. Otak mampat. Akhirnya aku bisa bicara. Dompet... dompet.... Dompet kumal kesayangan. Hanya dari kain biasa, sudah tiga tahun belum dicuci, isinya uang tunai yang nilainya seratusan dolar Amerika. Bagiku yang berangkat dengan modal minim, uang itu sangat besar nilainya. Apalagi jumlah ini masih jauh lebih besar daripada hadiah yang didapat si cantik Miss Best Smile. Tapi yang paling menyakitkan, dalam dompet itu
tersimpan kartu mahasiswaku, dari Universitas Tsinghua yang ternama itu! Kebanggaanku! Kenanganku! Bak otak dilobotomi, ada memori hilang tak bakal kembali.
Apalah artinya guncangan perasaanku ini" Tidak sedikit pun ratapanku mengurangi kegembiraan perayaan. Orang masih berpesta, para lelaki bertelanjang dada berebutan tetesan arak yang mengucur dari pipa. Tetabuhan masih berlangsung, parade, kemeriahan, api menyembur, tari topeng gajah, kilatan blitz kamera turis membercaki malam. Aku menyepi ke sudut lapangan. Rumah-rumah gelap berjajar, tak ada cahaya selain purnama di angkasa.
HAAA!!! HAAA!!! HAAA!!! aku berteriak, mengeluarkan semua kemarahan yang menggumpal di dada. Teriakan seseorang yang terjerembap dari kemeriahan perayaan. Teriakan untuk mengobati diri dari rasa sakit akibat sebuah kehilangan, memerdekakan diri dari ketakutan akan hari esok yang penuh ketidakpastian.
HAAA!!! HAAA!!! Masih purnama yang sama, samar-samar diselimuti awan yang berarak lamban. Saat aku terdiam, lapangan kembali sunyi.
Sementara tak jauh di sana, sayup-sayup terdengar meriah kegembiraan yang terus berlangsung dan makin meluap-luap.
Aku tahu, kata-kataku tiada meyakinkannya. Bahkan aku sendiri pun tak yakin.
Setelah percakapan monologku sebegitu lama, akhirnya dia bersuara. Berat, lambat-lambat. Ming, kita sudah tidak kuat lagi. Aku sudah pikirkan,
rumah ini kita jual saja.... Dia diam sejenak. Nanti aku dan adikmu tinggal di kos. Kita pergi dari sini. Tak ada jalan lain. Kita sudah habis. Nol.
Kini giliran aku yang terdiam. Realita begitu menyakitkan. Amunisi kami sudah habis. Bahkan rumah suram ini pun mungkin tak bisa kami pertahankan lagi.
Kumatikan lampu. Dalam gelap, kami terbaring berjejeran di atas ranjang tua. Tanpa apaapa suara.
Kehilangan itu begitu menyakitkan. Semalaman aku tidak bisa tidur. Dompet yang hilang itu membayangiku. Ketika aku akhirnya lelap pun, tetap tak bisa lama. Mimpiku begitu buruk: aku ditelan dompet kumal, dan pipiku ditampar-tampar kartu mahasiswa.
Di jalan, hidup sungguh bagaikan meniti titian benang, terombang-ambing tanpa ketergantungan pada siapa-siapa, segala sesuatu bisa terjadi tanpa terduga. Tak ada pemasukan, menghemat satu sen berarti bisa berjalan beberapa langkah lebih jauh. Uang hasil susah payah mengirit setiap suapan makan dan kenyamanan penginapan, kini menguap begitu saja hanya dalam semalam.
Di hadapan Lam Li, aku seperti adik kecil yang lemah dan mengiba. Lam Li malah memperlakukanku seperti mengasuh bocah ingusan. Dia mengajariku mengucap mantra bahasa Mandarin yang biasa muncul di film-film kungfu: Kesialan pergilah, keberuntungan datanglah.
Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu. Percayalah, sekali kejadian buruk, maka serentetan keberuntungan akan menantimu. Bukan begitu" Dia menoleh ke arah dua biksu Rusia dua awan dari Freak Street yang masih sibuk dengan rudraksha dan mempersiapkan bubur sesaji warna-warni mengharapkan dukungan moral dari mereka.
Bukan. Bukan begitu! kata lelaki berjubah itu. Dalam ajaran Buddha, kalau kamu mengalami kejadian buruk, itu berarti karma burukmu berkurang. Kejadian buruk masih bisa terjadi lagi. Semua kejadian adalah imbalan karma dari segala hal yang kamu perbuat.
Hatiku tambah kacau-balau. Hiburan dari Lam Li langsung dimentahkan dengan kutipan ajaran Buddha. Karma, aku sudah kenal kata itu sejak masih anak-anak. Hei, sekarang bukan waktunya berteori tentang karma! Kehilangan itu begitu menghancurkanku. Aku seperti kehilangan semua kebahagiaan.
Jangan berlebihan! kata Lam Li. Kamu mesti pikir, siapa tahu pencuri itu lebih membutuhkan. Anggap saja amal. Itu juga memupuk karma baik. Lagi pula, kamu harus bersyukur, bukan semua uangmu dicuri.
Semakin kita terjerumus dalam keterikatan, semakin menderita jadinya. Seharusnya aku mendengar kata Lam Li, membiarkan semua berlalu. Selesai. Ganti halaman berikut. Bersukaria kembali. Tapi tidak, aku justru masih ingin mengejar pencuri dompet itu. Aku masih bermimpi menemukan dompet itu di salah satu tong sampah di kota Kathmandu (siapa tahu maling itu cuma mengambil duitnya, lalu membuang sisa dompetnya di jalan"). Aku masih ingin kartu pelajar Tsinghua itu balik, tanda bukti kebanggaan dari empat tahun penderitaan hidup di universitas yang tak mungkin lagi kuulang. Aku pergi
ke kantor polisi di sebelah lapangan. Aku menelusuri papan pengumuman yang ditempeli berbagai barang temuan seperti KTP, SIM, kartu mahasiswa, ATM, kartu kredit, kartu diskon supermarket, mulai dari Polandia sampai China. Tapi tak kutemukan juga punyaku.
Aku siap membuat laporan kehilangan. Lama nian ditunggu, polisi akhirnya datang.
Tinggalkan saja formulirmu, katanya. Seminggu lagi kamu ke sini, investigasi akan dimulai.
Ah, leganya. Investigasi! Betapa profesionalnya. Investigasi untuk mencari dompetku. Aku tersenyum penuh bahagia.
Sir, kalau dompetku ketemu, apakah mungkin aku mendapatkannya kembali"
Lelaki berkumis pekat itu mengangguk-angguk. Kami akan berusaha! Pasti!
Mendadak langkahku jadi ringan. Dadaku membusung tinggi. Harapan, itulah yang seketika mengembalikan rohku , semangat perjalananku.
Lam Li justru tertawa mengejek.
Jangan mimpi! Jangan bodoh! Masa kamu menaruh harapan kepada para polisi Nepal itu untuk mencari kartumu" Mengapa tidak"
Lihat cara mereka bekerja! Kamu pikir mereka bakal mengais-ngais tong sampah mencari dompetmu" Investigasi" Teruslah bermimpi!
Kita selalu diajarkan untuk berjuang. Tapi, kita juga harus tahu kapan untuk menyerah. Andaikan saja aku ingat petuah dari tanah leluhur ini.
Euforia ingar-bingar perayaan Dewi Hidup Kumari sudah mereda, kehidupan di Kathmandu sudah kembali ke rutinitas normal, disusul perayaan dan seremoni gegap gempita yang sudah biasa. Tapi, jantungku masih berdebar kencang, aku masih butuh penyelesaian. Aku kembali ke kantor polisi. Aku menunggu di ruangan sempit. Aku duduk manis di hadapan wanita berbaju sari yang jelas memamerkan gelambir-gelambir lipatan lemak di perutnya. Aku takjub. Aku lihat si Madam mengetik dengan mesin tua, hanya dengan kedua jari telunjuknya, entah kapan rampungnya, sementara tumpukan ribuan dokumen sudah menunggunya. Bukan kabar gembira yang kudapat. Bukan pula hasil investigasi dramatis ala mission impossible. Foto diri dan fotokopi pasporku ternyata belum disentuh. Hilang pula. Semua orang mengaku tak tahu ada di mana. Seminggu berlalu sia-sia. Jangankan investigasi, sekarang aku masih harus mengisi ulang formulir yang sama.
Panj minut.... Lima menit lagi. Madam minta waktu. Matanya masih tertuju pada kertas dan papan ketik. Lima menit -nya orang Nepal itu entah harus dikalikan koefisien berapa untuk dikonversi menjadi menitnya manusia normal. Aku sudah menunggu setengah jam, tak ada tanda-tanda penantian akan berakhir.
Bagaimana kalau aku datang lagi besok lusa" Aku menawarkan usul brilian.
Ide bagus! Kamu datang besok lusa, surat ini pasti sudah selesai! Pasti! Betapa gembiranya si Madam dengan kepergianku.
Dua hari berikutnya, semua masih seperti kisah ulang. Ruang gelap yang sama, sempit dan bising tik-tik-tik ketukan mesin ketik. Perempuan bertubuh subur itu tak di tempat. Aku dijanjikan menunggu sepuluh menit. Kenyataannya, aku sudah menunggu sampai tiga jam. Madam akhirnya datang tergopoh. Tugasnya sudah menumpuk. Masih ditambah lagi aku yang langsung merewel. Sungguh dia tak sabar lagi. Ternyata dalam dua hari ini suratku sama sekali belum dikerjakan. Sekarang baru dimulai. Tak... tak... tak.... Sorot matanya berpindah-pindah dari formulir ke papan tuts, karena walaupun sudah berapa dekade dia menekuni pekerjaan profesional ini, belum hafal juga dia letak huruf-huruf di mesin ketik. Sesekali kerjanya diselingi dengusan dan pandangan melotot.
Aku membaca hasil jerih payahnya itu. Namaku salah ketik. Alamatku salah ketik. Kewarganegaraanku salah ketik. Jumlah uang yang hilang pun salah ketik. Madam bersungut-sungut, terpaksa mengetik ulang. Masih dengan kecepatan yang sama, tapi ditambah bonus sumpah serapah. Setelah itu, aku digiring ke kantor bos besar, di ruangan gelap gulita bagai penjara. Laporanku ditandatangani. Bos tersenyum, berkata, Good luck! Aku ditagih ongkos 200 rupee setara dengan biaya menginap di losmenku tiga hari. Aku menepuk jidat. Korban kecopetan masih harus bayar pula" Sungguh bukan harga murah untuk selembar kertas ketikan awut-awutan yang aku pun tak tahu apa gunanya.
Oke. Masalahmu sudah selesai! kata si Madam. Aku disuruh pulang, dan kalau sempat mengecek email tiap hari. Siapa tahu dompetku ketemu. Ya, siapa tahu" Tapi, Madam, aku sebentar lagi ke India. Di Nepal tidak ada
kedutaan Indonesia. Apa Madam bisa mengirimkan ke KBRI New Delhi" Apa Madam bisa bantu" Nanti bagaimana prosedur pengirimannya"... Pertanyaan mengalir deras dari mulutku.
Masalahmu sudah selesai. Good luck! Madam mengiring dengan senyuman setengah mencibir. That s it. Selesai! Madam....
Good luck! Aku terdiam sejenak. Tawaku tiba-tiba meledak. HA-HA- HA. Tawa sendirian di tengah keramaian pengunjung kantor polisi yang seketika terenyak, lalu memandangiku dengan penuh heran. Tapi aku terus tertawa. Tertawa. Tertawa.
Ranjang adalah saksi dari awal sekaligus akhir perjalanan panjang. Di atas sebilah ranjang, bayi merah meraung mengawali napas di alam luas. Setelah bertahun-tahun dia merambah dunia, kini di atas ranjang pula, dia menanti ujung jalan, detik untuk mengembuskan napas penghabisan.
Di rumah sakit, Maut datang berjamaah, mengincar lalu menjemput satu per satu. Ratapan menyayat hati mengawali pagi, bersama pasien kamar sebelah yang telah pergi. Tangisan sambung-menyambung, diselingi suara dada dipukul-pukul, teriakan memanggil-manggil nama kerabat yang barusan mati... tanpa henti.
Aku bergidik, entah kapan giliran kami.
Di sisi ranjang, aku menelungkupkan kepala, di samping Mama yang tertidur dan tidak terganggu ratapan-ratapan kematian yang membahana. Pertanyaan bertubi-tubi menghantam benak. Siapkah aku kehilangannya" Seperti apa kehidupan tanpa sosok seorang ibunda" Mengapa kami harus menghadapi cobaan seperti ini" Mengapa Tuhan tak menaruh iba" Aku menyalahkan
Maut yang datang tanpa pernah diundang, menyalahkan Tuhan dan nasib, menyalahkan Mama, menyalahkan dokter, menyalahkan diri sendiri. Aku takkan pernah rela.
Aku melongok-longok ke tong sampah mencari dompetku. Siapa tahu, ya siapa tahu, hari ini nasibku beruntung. Bersamaan, datang seorang bocah jalanan juga mengorek-ngorek, mencari remah-remah dalam pembungkus burger yang barusan dibuang turis bule. Serpihan roti, jeruk yang masih utuh, dan sisa minuman di botol plastik. Betapa bersinarnya mata itu menemukan sampah! Bocah mungil berambut gimbal, dengan wajah yang sudah jauh lebih dewasa daripada umur sebenarnya, berbaju kaus dengan bolong sebesar bola, lahap sekali memakan kotoran. Kuberikan sebotol air mineral yang kupunya. Dia mengucap terima kasih, membalikkan punggung, lalu pergi dan tak pernah lagi kembali.
Dalam hidup manusia, memang ada orang-orang yang ditakdirkan untuk datang sekelebat, mengajarkan sesuatu, lalu lenyap sama sekali. Bocah pengemis ini salah satunya. Dia tak mengatakan apa-apa. Dia pun tak berpendidikan. Tapi beberapa menit pelajaran yang diajarkannya padaku melebihi ilmu berkitab-kitab.
Kehilangan justru membuka mata lebih lebar. Dia menyadarkanku, kehilangan adalah untuk menemukan. Ada menemukan, ada kehilangan. Tiada kehilangan, tiada pula menemukan. Buddha bersabda, kebebasan dari segala keterikatan adalah pencerahan, kebahagiaan. Peristiwa kehilangan ini membuatku jadi
lebih menghargai sadhu, para pengembara religius. Mereka adalah kelompok orang suci yang sebelumnya hanya kupandang sebagai daya tarik eksentrik Nepal, selalu menodong turis dengan One Dollar sekali jepretan foto sebagai baksheesh.
Tidak, dia sama sekali tidak meminta baksheesh dariku. Dia juga tidak sesangar dan secadas sadhu yang kulihat di kuil Pashupatinath (tubuh telanjang dikerumuni lalat, abu membungkus kulit berkerak, rambut gimbal model Rudd Gulit, wajah seperti penyihir...). Dia tidak mengisap candu, penampilannya juga terlalu biasa. Terlalu bersih malah. Tak ada kumis, tak ada jenggot, tak ada rambut kribo. Tak bakal para turis memotretinya, karena dia tak eksotik. Apa itu" Ada arloji logam di pergelangan tangannya. Bahasa Inggris-nya juga bagus sekali, malah sedikit filosofis. Jelas dia berpendidikan. Yang menandakan ke-sadhu-annya adalah kaki telanjang, kaleng berisi dupa, busana ala biksu lorengloreng, tongkat kayu, dan penggelandangan. Dia menghampiriku yang duduk merenung di undak-undakan kuil.
Mengapa jadi sadhu" tanyaku.
Begini lebih bahagia, katanya.
Hidup hanya dengan meminta-minta belas kasihan orang" Itu lebih terhormat daripada diperbudak, katanya. Keluarga" Rumah" Anak" Istri"
Tak punya. Bagaimana masa lalu" Pekerjaan sebelum jadi sadhu" Apakah ini pelarian"
Masa lalu sudah mati. Tak usah diungkit lagi. Giliranku berkeluh kesah. Masa laluku belum mati. Kuceritakan bagaimana uangku dicuri. Bagaimana aku tak bisa tidur bermalam-malam hanya memikirkan dompet hilang.
Lihat sendiri, kata lelaki berkulit hitam legam itu, setelah begitu sabar mendengar ceritaku, kamu sudah diperbudak. Masa lalu sudah lewat, tetapi kamu masih disiksa masa lalu. Listen, tak ada kebahagiaan di sana. Jangan dipikir lagi. Yang lalu, biarlah berlalu. Masa lalu adalah penyesalan, masa depan adalah ketakutan.
Berlalu begitu saja, seperti masa lalunya. Lelaki itu bergegas, katanya untuk mempersiapkan upacara puja esok hari. Tapi ucapannya membekas, membuatku berpikir keras. Tak ada kebahagiaan di situ! kalimat itu beresonansi, bertalu-talu dalam benakku.
Aku teringat akan sebuah puisi kuno Sanskerta yang bunyinya kira-kira begini:
Dari sekian banyak ternakmu, kau hanya butuh dua gelas susu Dari sedemikian luas tanahmu, hanya segenggam gandum Dari sebegitu besar rumahmu, hanya separuh kasur Wahai manusia, apalagi yang masih kautuntut"
Kita yang hidup di alam modern sering kali berbangga dengan pencapaian, dengan gedung-gedung tinggi, rumah mewah, kekayaan, nilai-nilai sempurna, kekuasaan, nama besar. Kita anggap orang-orang yang melepaskan semuanya untuk menggelandang sebagai gila atau kurang waras. Mungkin, justru kitalah yang gila. Kita percaya bahwa semua yang kita cari itu akan membawa kebahagiaan. Kita terobsesi, kita menderita, dibelenggu keserakahan yang tak habis-habis, tapi tidak ketemu juga kebahagiaan sejati itu. Barang yang sama, yang hari ini membawa bahagia, mungkin besok malah membawa nestapa. Dan bukankah hampir semua derita di dunia berawal dari nafsu serakah" Semakin kita terikat pada harta, semakin pula kita merasa terlalu miskin bahkan untuk membeli kemerdekaan kita sendiri. Semakin kita terjerat, terpenjara. Orang kaya itu bukan yang memiliki banyak harta. Orang kaya itu adalah mereka yang berpuas, terbebas dari belenggu kehausan duniawi.
Justru inilah saatnya bagiku untuk merayakan kehilangan. Bukankah para pejalan sejatinya adalah pengungsi" Kaum yang mengungsi dari kehidupan rutinitas dan keseharian, mengungsi dari kungkungan ego dan keterikatan, menghilangkan diri dari semua kebanggaan" Tak penting lagi identitas kita di tempat asal, apakah itu dokter, insinyur, pengangguran, atau presiden. Seberapa kaya kita, seberapa penting jabatan kita, di sini kita dipersatukan hanya oleh identitas sederhana yang sama: musafir. Lepas dari ego dan identitas adalah bagaikan gelas kosong yang siap menampung segala sesuatu.
Seperti kata Buddha, Berhentilah mencari!
Yang mencari, paling banter hanya menemukan apa yang dicari. Yang tidak mencari, justru akan menemukan lebih banyak lagi.
Mama terengah-engah mengisahkan cerita favoritnya, tentang sesal di ranjang ajal. Dalam hati aku jadi bertanya-tanya, apakah dia sedang berkisah tentang dirinya sendiri.
Begini cerita Mama: Nenek tua sakit keras, terbaring di ranjang. Cucunya sabar menjaga. Si Nenek gelisah. Kepalanya tak henti menoleh ke kiri ke kanan. Dia tak siap
menyambut sang Maut. Air mata menetes melintasi pipinya yang sudah kempot. Dia bercerita, itu hari bahagia, dia masih muda, diundang ke pesta meriah orang kaya di kampung, dia tak pernah lihat kemewahan seperti itu. Pilar-pilar emas. Ayam panggang. Babi guling. Anggur merah. Tetamu berjubah sutra bersulam benang berkilau.
Bukannya bagus" Mengapa Nenek sedih" tanya cucunya. Kalau ingat, aku jadi marah. Ada satu bola daging begitu lezat tersisa di piring besar di atas meja panjang. Aku tak sempat memakannya. Kenapa tidak sempat" Kalau ingin makan kan tinggal disumpit saja. Di sumpitku sudah ada bola daging lain.
Gampang. Yang di sumpit itu ditaruh dulu ke dalam mangkuk. Tapi di mangkukku sudah ada dua.
Nah, yang di mangkuk itu dimasukkan dulu ke mulut. Tapi di dalam mulutku masih ada satu.
Ya ditelan dulu, si Cucu menganjurkan.
Di perutku sudah penuh lima biji. Aku tak sanggup menelan, masih ada satu lagi yang tersangkut di tenggorokan.
Si Nenek menyongsong Maut dengan menyisakan kecewa, akan sebuah bola daging yang tergeletak di pinggan di meja besar. Matanya terpejam, tapi rohnya penasaran.
Berbeda dengan para sadhu, pengembaraanku bukanlah dahaga akan pencerahan. Pengembaraanku berawal dari sebuah pelarian.
Hasrat melarikan diri itu sebenarnya sudah muncul sejak aku masih berumur tujuh tahun. Mama baru saja melahirkan adik bayi. Aku merasa Mama tak sayang aku lagi. Jarang sudah
aku didongengi, malah lebih sering aku dimarahi. Aku tak dibelai-belai lagi, malah aku selalu disalahkan kalau adik bayi menangis. Aku cemberut. Kukumpulkan tiga lembar baju dan celana, plus mainan robot, kumasukkan koper kecil. Aku berangkat. Minggaaat!, seruku pada Mama. Dia tak peduli, tetap sibuk di toko. Aku lari ke rumah tetangga. Tak sampai sore hari, aku pulang kembali ke rumah. Alasan: lapar.
Aku yang kini sudah dewasa, masih melangkah tanpa arah. Ke mana pergi" Tak tahu. Bahkan astronot yang merambah angkasa luar pun punya tujuan jelas, masa kau tak tahu akan ke mana" Sungguh, aku tak tahu. Aku bahkan takut memikirkannya. Aku takut menetap, aku takut kepastian yang abadi. Di saat yang sama, aku pun takut akan ketidakpastian masa depan. Ketakutanketakutan berkontradiksi saling bertabrakan, membuatku semakin gamang akan tujuan, bertanya-tanya apa betul ini jalan.
Semakin aku berjalan, perjalanan justru menghadapkan aku pada segala ketakutanku. Hidup ini memang tak pasti namun pasti. Semua gejolak pengembaraan dan perayaan itu tentu akan berakhir, beserta segenap keterikatan maupun kehampaannya. Sejauh apa pun berkelana, pasti akan ada waktunya untuk berpulang, kembali ke kekosongan sempurna, keabadian yang sama jua.
Tak peduli sehebat apa, seberapa tinggi kasta, seberapa banyak harta yang dikumpul, ini adalah wujud akhir yang universal. Di hadapanku, jasad meleleh seperti lilin. Jari-jari kaki mulai menyatu, kemudian membulat, lalu hancur tak berbentuk. Ini adalah penampilan akbar terakhir dari seorang manusia: untuk terakhir kalinya dia menjadi pusat perhatian. Bau kembang. Aroma dupa. Ratapan mengiring. Api melalap, melumatnya,
hingga menjadi abu yang ditebar di sungai suci Bagmati, bersama bunga dan sesaji.
Prosesi kremasi Hindu di kuil Pashupatinath, diiring denting lonceng, alunan mantra, ratapan pilu, api yang disulut. Aku menggigil, bukan karena dingin. Pantaskah aku, orang luar , hadir untuk menonton prosesi kematian" Ternyata di negeri ini, kremasi bukan urusan privasi, prosesi kematian digelar di ruang publik terlihat semua orang. Lelaki Nepal botak dengan sejumput rambut tersisa bernama Rajja berkata, yang mati ini adalah pemuka agama, dari kasta tinggi. Meninggalnya pun wajar, penyakit orang tua. Kematian dalam kepercayaan Hindu adalah awal dari perjalanan baru. Roh segera melayang begitu jasad hancur, bersiap memulai perjalanan berikutnya.
Apa tujuan hidupmu" Apakah kau siap untuk menyambut kematian" Rajja bertanya.
Aku" Aku belum siap. Bahkan memikirkannya pun sering kali membuatku ketakutan. Tujuan hidup sepertinya jelas, sepertinya kabur.
Banyak orang tak mengerti tujuan hidupnya, hidup pun berlalu tanpa arti, kata Rajja.
Kematian memang bikin orang jadi filosofis. Dalam suasana muram, dengan ratap tangis sayup-sayup, kematian terasa begitu dekat. Rasanya, Maut itu bahkan bisa datang ke atas diriku, saat ini juga. Aku terbayang jika jasadku sekarang yang berada di atas tumpukan kayu itu, melepuh dan melebur dalam lalapan api, kembali menjadi wujud asal: bulir-bulir debu. Hidup yang berlalu tanpa arti. Begitu saja.
Rajja melanjutkan, Banyak orang yang hidup tapi tak hidup. Mereka salah tentukan tujuan hidup. Ada yang mengejar
uang, rumah mewah, emas, perempuan, seks, kekuasaan.... Apa mereka bahagia" Semu, semua itu semu. Banyak orang tak tahu mana yang penting dalam dunia. Sungguh itu hidup yang hampa.
Bukankah kehidupan banyak orang memang seperti melewati alur yang sama dan selalu sama" Dilahirkan, dibesarkan, kerja keras, wariskan keturunan, terus kerja dan kerja memperkaya diri sampai akhirnya tua, sakit, mati. Hidup jadi rutinitas. Ketika Maut menjelang, bahkan deretan digit di buku tabungan pun tak akan menolong. Impian-impian yang tidak teraih, kepuasan yang belum tercapai, semua menjadi sesal di ranjang ajal. Hidup yang sia-sia. Hal yang selama ini dianggap penting ternyata tidak ada artinya, sementara tubuh pun sudah kehilangan daya. Tak ada kesempatan mengulang, Sang Waktu takkan menaruh iba.
Kebahagiaan itu tak pasti. Cuma kematian yang pasti, Rajja berkata. Ingatlah akan kematian, itu kunci kebahagiaan. Berterimakasihlah pada kematian, karena kematian adalah guru terbesar dalam kehidupan.
Senja mulai datang. Matahari mulai kehilangan sinar. Bersama lalapan api dan asap mengepul, sebuah drama kehidupan berakhir.
Atau justru baru akan dimulai.
Seluruh perjalanan hidup ini adalah belajar untuk mempersiapkan datangnya hari besar itu hari kehilangan yang paling akbar, hari untuk menghadapi ketakutan yang paling menggelegar, hari untuk menyongsong sang Maut. Maut,
satu-satunya kepastian yang dihadapi semua manusia, kini sudah di ambang pintu. Dia datang membawa kawan-kawannya: Kesedihan, Kemarahan, Kecemasan, Ketidakrelaan, Kekhawatiran.
Kata-kata Mama terus terngiang di kepala: Aku tak takut mati, mati adalah pembebasan.
Pembebasan! Dia sudah menantikan-Nya!
Oh, mampukah aku belajar darinya, sesosok tubuh lemah yang telah merangkul Maut sebagai bagian dari perjalanan hidup" Berdamai dengan semua ketakutan itu" Melangkah dengan terhormat menuju ujung jalan itu"
Annapurna pernah jadi nama yang paling ditakuti. Monster menjulang, legenda membahana, puncak tertinggi menantang keberanian para perambah dunia.
Ketika Maurice Herzog memulai penaklukan Annapurna pada tahun 1950, ia bahkan tak tahu di mana letak sang Gunung. Annapurna tersembunyi di tengah rimba lebat, si penakluk berkali-kali tersesat. Dia lalu berjalan setapak demi setapak menuju puncak, menyusuri tebing curam, melintasi jurang dan padang salju, mempertaruhkan nyawa meniti sungai es. Annapurna memang tak diam saja, gunung itu kejam, sama sekali bukan sahabat. Kemolekan panorama tudung putih di puncak sana ternyata adalah pembunuh yang membekukan semangat sekaligus menghentikan embusan napas.
Ini adalah setapak langkah kecil seorang penakluk yang kemudian menjadi loncatan raksasa umat manusia dalam perjalanan peradaban. Ya, manusia memang adalah makhluk kecil yang ingin menaklukkan segala. Ini adalah kali pertama kaki manusia menginjak ketinggian di atas delapan ribu meter, hanya sembilan belas tahun sebelum Neil Armstrong menginjak bulan.
Terkalahkan sudah Annapurna! Terbuktilah kemampuan manusia! Walaupun pulang dengan tangan kosong tak membawa apa-apa dari puncak sana, Herzog dan kawan-kawannya disambut laksana pahlawan azam. Annapurna memang mematikan, kenang para penakluk itu. Mereka harus merelakan semua jari kaki diamputasi, gara-gara badai salju dan sengatan temperatur yang jauh lebih dingin daripada Antarktika.
Selang setengah abad di belakang langkah historis Herzog, aku juga berdiri di hadapan Annapurna. Memang bukan untuk menginjakkan kaki ke atas puncaknya, aku tahu diri, aku tak bakal mampu. Seperti Matt dan semua anjing-anjingnya, aku pun jadi trekker yang akan mengelilingi barisan Annapurna. Status ini terdengar macho, sedikit di bawah pendaki gunung atau penakluk puncak dunia, tapi jelas jauh lebih jagoan daripada backpacker, turis, happy hippie. Kathmandu memang surga, tapi lama-lama hedonisme nirwana turisme itu juga membosankan. Dentam-dentum diskotek begitu memuakkan, asap hashish membuat mual, obrolan spiritualitas semakin di luar nalar, lelah telingaku mendengar diskusi para backpacker mengenai trik masuk Bhaktapur tanpa bayar atau curahan hati tentang piza gosong dan toilet jorok.
Trekking. Ini adalah mantra wajib para calo yang memenuhi jalanan Thamel setiap hari, yang selalu memulai ritual percakapan dengan tebak-tebakan nama negara, disambung tawaran jasa porter dan pemandu, plus nama-nama rute legendaris: Everest" Annapurna" Mustang" Manaslu" Aku tak selihai itu. Kailash sudah membuktikan bahwa aku adalah trekker gagal. Berjalan beberapa jam kakiku sudah keseleo. Jalan sendirian sudah tersesat. Menyeberang sungai, eh, tenggelam. Bagaimana
mungkin aku punya hasrat untuk mengulang lagi penderitaan itu" Belum lagi, aku pengidap fobia ketinggian, yang langsung merinding kalau berdiri di tepi jurang.
Tapi satu per satu backpacker yang kujumpai di Kathmandu akhirnya pergi juga ke Pokhara, dan menyambung ke Annapurna. Semua sudah naik kelas, menjadi trekker. Kudengar pula kalimat sakti: Ke Nepal tapi belum trekking ke gunung, sama artinya dengan belum ke Nepal. Bahkan Makcik Lam Li yang selalu bijaksana dan keibuan itu pun sudah berangkat duluan ke Annapurna seminggu lalu, setelah sempat memberiku petuah: Annapurna bukanlah naik gunung biasa. Sekali putaran Annapurna, bakal ada setidaknya delapan etnis yang kautemui, semua hidup di dusun-dusun yang masih asli.
Tanpa porter. Tanpa pemandu. Aku hanya berbekal ransel tiga kilogram yang isinya tidak lebih dari sweter, kaus, celana panjang, jaket, buku tulis, plus kamera setengah rusak. Keringat bercucuran deras, napasku seperti dalam pacuan maraton, di hadapan bukit yang menjulang nyaris tegak lurus. Nyaliku ciut kala mendongak, menyaksikan ratusan anak tangga natural dari lempung yang mengular sampai ke puncak.
Tetapi aku tetap akan menaklukkannya. Pasti bisa!
Setahun lalu, kami mulai berhadapan dengan gunung itu.
Sumber ketakutan manusia sejak zaman primitif hingga hari ini, tiba-tiba menyeruak dalam keluarga kami. Penyakit pembunuh. Siksanya mematikan. Hanya mereka yang benar-benar tangguh dan teramat beruntung saja yang bisa melewati ujian ini hidup-hidup.
Cuma kanker, bukan apa-apa. Begitu kata Mama saat itu. Buat apa kau menangis-nangis, aku tak takut menghadapi ini.
Yakinlah, gunung ini pun pasti akan terlewati. Marilah kita bersama mendaki.
Dalam benakku, gunung selalu bermuka dua. Dia memang adalah monster sumber ketakutan. Di bawah gunung berapi yang siap meletus sewaktu-waktu, aku dibesarkan dalam ketakutan akan Sang Mahameru, yang mengancam dengan lahar mendidih, kematian massal, bencana bertubi-tubi. Orang-orang di kampungku mengibaratkan gunung itu bak gadis yang kelihatan cantik dari kejauhan, tapi dari dekat ternyata buruk rupa dan suka marah. Bahaya!
Tapi seramnya gunung itu justru menghadirkan keingintahuan, tantangan akan sebuah dunia misterius. Aku juga selalu diajarkan, gunung sekejam apa pun pasti bisa ditaklukkan. Gunung adalah sebuah batu ujian raksasa. Penaklukan gunung adalah pembuktian keberanian dan keteguhan, sebuah kemenangan, kebanggaan, gegap gempita perayaan.
Sejak kecil, dongeng-dongeng yang menemani tidurku banyak yang berupa kisah tentang penaklukan gunung. Salah satunya adalah kisah tentang kakek bodoh yang memindahkan gunung. Pernahkah kau dengar" Ini adalah kisah yang selalu diceritakan ibu Tionghoa pada anaknya, anak pada cucunya, sampai mendarah daging dari generasi ke generasi dalam pola pikir bangsa keturunan naga .
Alkisah, seorang kakek mengeluh gara-gara ada gunung di
belakang rumahnya. Gunung sialan itu, katanya, telah menghalangi turunnya sinar mentari. Karena gunung itu, ke manamana jadi jauh, buang tenaga buang waktu. Gunung itu hambatan, bencana, malapetaka. Kakek itu bersumpah, dia akan memindahkan gunung itu! Orang-orang desa semua tertawa, menjulukinya Si Kakek Bodoh . Mana mungkin bisa" Dasar bodoh, gunung sebesar itu mungkinkah dipindahkan hanya dengan cangkul dan tangan" Apalagi si kakek sudah berumur delapan windu, pasti dia bakal mati dulu.
Si Kakek membalas, kalianlah yang bodoh. Kalaupun aku mati, ada anakku yang mengganti. Anakku mati, masih ada cucuku. Cucuku mati, masih ada buyutku.
Tujuh turunan berlalu. Benar seperti kata si Kakek, gunung itu akhirnya terpindahkan juga. Matahari pun menyinari desa. Jalan terbuka, para buyut-piut bersukacita karena gunung akhirnya terkalahkan. Semua jadi nyaman, semua larut dalam perayaan. Lihatlah, kegigihan pasti takkan sia-sia!
Kisah ini menjadi peribahasa terkenal dalam kultur Tionghoa: Kakek Bodoh Memindahkan Gunung. Manusia memang bodoh, lemah, namun asalkan tetap teguh berjuang pasti mampu mengubah realita alam.
Gunung pertama dalam hidupku adalah Gunung Kuning alias Huangshan, saat aku masih mahasiswa. Tak pernah terbayang sebelumnya bahwa aku bakal berani mendekati gunung. Tapi bagaimana lagi, semua orang China selalu sesumbar, inilah gunung tercantik di bawah kolong langit, sekali pergi ke Huangshan tidak akan perlu lagi melihat gunung-gunung lain. Dan sungguh betapa takjubnya aku. Pegunungan yang kecuramannya begitu seram itu kini sudah disemuti puluhan ribu
manusia: para turis bersahut-sahutan sembari meludah, para kuli beraroma keringat mengangkat beban dan berteriak-teriak mengosongkan jalan. Untuk mendaki gunung sudah bukan lagi jalan setapak, melainkan undak-undakan semen mulus dari kaki gunung, mengular meliuk-liuk berpuluh-puluh kilometer sampai ke puncak sana, di mana berjubel hotel-hotel bintang lima, restoran, toko-toko. Modernitas abad milenium berwujud kereta gantung seketika mereduksi pendakian berhari-hari musafir kuno yang penuh bahaya dan kontemplasi, menjadi pelintasan sepuluh menit di angkasa yang penuh pekikan takjub dan jepretan kamera. Betapa nikmatnya, gunung kini terbuka bagi semua, dari bayi merah sampai kakek-nenek renta. Jangan lupa, tiap pengunjung harus bayar karcis masuk gunung. Para Kakek Bodoh telah mengubah rupa gunung, semata-mata bagi kenikmatan kita umat manusia.
Semboyan Kakek Bodoh Memindahkan Gunung adalah semangat yang membuat China adalah China. Gunung jadi ladang bisnis, padang pasir disulap jadi lahan pertanian, padang rumput dibercaki hotel berbentuk yurt, bukit jadi undakundakan terasering, sungai dibendung jadi dam raksasa, Danau Surgawi pun sudah dikelilingi jalan beraspal mulus.
Percayalah, alam liar pun tertaklukkan. Bahkan gunung-gunung cadas bisa dijinakkan sampai tak lagi beringas.
Sejak ribuan tahun, nenek moyang memetiki ginseng dan tetumbuhan di gunung liar demi ramuan penyembuh segala penyakit. Kini, keturunan mereka
membanggakan teknologi pengobatan kanker paling mutakhir di seluruh dunia. Ke negeri leluhurlah Mama menaruh harapan kesembuhan.
Dengan jahitan bekas operasi di perut yang belum kering, Mama melakukan perjalanan seorang diri. Tanpa kerabat, tanpa pengantar. Pesawat mendarat di bandara Hong Kong yang megah. Di atas kursi roda, sembari memeluk bantal merah jambu bergambar Hello Kitty dan kedua kaki mengapit koper pinjaman, dia menoleh ke kiri, ke kanan, ke atas, ternganga, lalu meringkuk ketakutan di tengah keramaian warga global dan modernitas gedunggedung pencakar langit yang tak pernah dilihatnya.
Wajahnya pucat, lelah tanpa gairah. Perjalanan masih panjang. Masih ada satu kali naik bus, dua pos imigrasi, lalu naik bus lagi, dilanjutkan setengah jam tumpangan taksi hingga sampai ke rumah sakit di pinggiran Shenzhen.
Tapi dia yakin, inilah jalan yang memang harus dilalui. Demi menaklukkan gunung itu.
Pemujaan penduduk setempat terhadap Annapurna juga berasal dari ketakutan. Namanya berarti Dewi Panen Raya ibunda alam yang memberi makan dan menjauhkan manusia dari kelaparan. Lapar adalah ketakutan universal, menjadikan Annapurna dewi pujaan semua bangsa.
Zaman berlalu, ketakutan itu pun sudah jadi masa lalu. Annapurna sudah ditaklukkan, lalu dijinakkan, dan kini dibaptis jadi destinasi wisata andalan. Petualangan maut Maurice Herzog sudah jadi legenda memori, digusur kenyamanan tiada tara bagi musafir zaman modern. Panen raya telah memakmurkan daerah terpencil ini, sampai-sampai rute keliling Annapurna
disebut sebagai Coca-Cola Trail atau Apple Pie Trail. Mau kue apel atau Coca-Cola" Jangan bingung, bahkan sampai ke puncak pun bisa kautemui. Segala makanan ala Barat maupun Oriental, semua tersedia bagi para pendaki. Seumur hidupku, justru di dusun di pinggang Annapurna-lah bukannya di Eropa pertama kali aku mencicip yang namanya mashed potato, piza jamur, tortilla, dan baru tahu apa bedanya makaroni dengan spageti.
Annapurna telah jadi tempat kami berpesta. Ransel di bahu, buku panduan dan peta di tangan, plus teh jahe di cangkir, piza dan pasta di pinggan. Para trekker melangkah dengan gaya heroik sambil memekik, menuruni tebing terjal dan mendaki bukit, dibantu tongkat trekking di genggaman, dengan kamera di kalungan. Annapurna yang dulu mematikan, kini telah menghidupi ribuan manusia mulai dari kaki, pinggang, lembah, sampai puncaknya. Bahkan termasuk juga para calo dan pemandu yang memenuhi jalanan sesak ratusan kilometer jauhnya di Kathmandu, sampai operator biro tur nun jauh di New York dan London.
Sejak turisme merambahi Nepal, pelan-pelan hampir seluruh penjuru negeri ini dibuka bagi orang asing. Tak mengherankan, sekejap saja Annapurna dilabeli sebagai destinasi trekking nomor wahid dunia. Jalan beraspal mulus sudah menghubungkan Kathmandu dengan Pokhara, kota kedua Nepal yang berada tepat di hadapan barisan gunung raksasa itu. Bandara sudah dibangun di tengah gunung-gunung. Peta tersedia di mana saja, menampilkan detail pegunungan lengkap dengan kerut-merut lembah dan sungai, daftar desa sepanjang lintasan, informasi ketinggian, waktu tempuh, rute-rute trekking, jalur pendakian. Belum lagi GPS dan foto-foto satelit yang bisa diunduh dari internet. Para pengelana zaman modern tak perlu lagi kesasar
seperti Herzog. Tak usah juga khawatir kedinginan dan kelaparan, karena dusun-dusun sepanjang jalan menawarkan kehangatan. Annapurna bahkan memengaruhi peta politik: untuk beberapa bulan pemerintah kerajaan dan pemberontak Maois berdamai sejenak hanya karena sekarang high season turis asing yang berdatangan buat mendaki gunung.
Naik, naik, dan terus naik....
Dusun Bahundanda, perhentian hari pertama, terletak di atas bukit curam ratusan meter. Di dusun yang penuh losmen sederhana ini, seorang turis Eropa sampai diusir semua penduduk. Tentu hal yang sangat luar biasa sampai ada turis diusir dari desa yang hidupnya sangat tergantung pada turis. Si pemuda itu masih terengah ketika sampai, langsung masuk untuk menilik barisan losmen, satu per satu. Tapi sial, tak ada satu pun yang berkenan di hatinya. Sarang laba-laba di langit-langit, kamar bau apak dan lembap, kasur keras, dinding mengelupas, lantai kotor, bantal terlalu empuk, bantal terlalu padat. We... are... trekkers! kata pemuda kulit putih, dengan nada seperti demonstran emosional yang mengeja slogan dan menekankan setiap kata satu per satu, We... are... not... animals!!! Orangorang desa itu pun naik pitam. Siapa yang sudi disamakan dengan binatang" Siapa yang tahan menghadapi kesombongan seperti ini" Kalau trekker bukan binatang, apakah itu lantas berarti penduduk desa itulah yang jadi binatang berkubang di kandang" You are trekker. OK. So what"
Backpacker, turis, traveler, flashpacker, travel writer, fotografer... berbagai varian dari spesies yang sama: Homo turisticus. Gelar yang diperoleh tanpa susah payah, tanpa ujian sertifikat apa pun. Gelar yang seakan memberi hak untuk mengeluh dan menyalahkan, menaklukkan atau berkuasa di atas para penduduk lokal hanya karena punya duit dan keberuntungan berlebih. Mengapa harus sombong hanya karena bisa jalan-jalan" Apa yang bisa dibanggakan dari menjadi seorang musafir"
Pertanyaan ini juga untuk mengingatkan diriku sendiri. Aku rasa, bahaya yang kita hadapi bukan cuma altitude sickness (penyakit ketinggian), tapi juga serangan attitude sickness (penyakit kelakuan).
Karena gunung-gunung raksasa ini pun telah disulap menjadi taman bermain.
Aku menjulukinya sebagai pasien backpacker.
Memorinya tentang bulan-bulan di rumah sakit kanker di China berwarna putih dan kelabu: seragam dokter, barisan gigi rapi para suster yang tersenyum setiap pagi, mesin-mesin modern, kursi roda, pisau bedah, botolbotol infus yang tak ada habisnya. Mimpi-mimpi itu hitam-putih, kepercayaan itu hitam-putih, penantian dan harapan itu pun hitam-putih.
Tapi masa pengobatan itu juga jadi paket liburan baginya. Tak perlu lagi dia memikirkan toko dan utang-utang, kerja lembur pagi sampai malam. Sekarang, dia bebas menari dan menyanyi sesuka hati. Setiap hari, bolehlah dia mencicip menu kuliner ala Canton atau Hakka, sushi Jepang atau sup Korea. Takkan pernah kulupa, ketika dia berjingkrak menyaksikan miniatur Menara Paris di taman Windows of the World. Ini satu-satunya kesempatannya keliling dunia!
Dan hari ini, tubuh lemah ini masih mengenang hari-hari negeri leluhur. Sementara aku dibayangi ketakutan, bahwa tubuh ini pun sebentar lagi akan
menjadi bagian dari kenangan dan untaian kisah-kisah, seperti halnya memori tentang para leluhur itu.
Hanya seperti inikah perjalanan pendakian yang termasyhur itu"
Tiga hari pertama pendakian, aku jadi bertanya, mana sukusuku eksotis yang dijanjikan sebagai daya tarik utama" Yang kutemui cuma dusun-dusun yang semua berisi hotel dan warung. Keseharian cuma berupa undak-undakan lempung, bukit curam, turunan tajam, jembatan gantung di atas jurang menganga, rumput menjalar dipenuhi lintah, gemercik sungai dan air terjun. Pemandangan alam berubah perlahan seperti spektrum, dari sawah menghijau dan datar seperti Jawa, lalu terasering ala Bali, dan kini gundukan bukit dan hutan rimba. Bahaya terbesar yang kuhadapi adalah keledai barisan hewan bebal bawaan para turis itu sering berhenti menutupi jalan setapak sempit di tepi jurang. Awas kalau kena tendang! Siap-siap jatuh melayang!
Rutinitas perjalanan berupa angka. Para trekker memegang daftar tabel, dengan kolom dari hari ke-1 sampai hari ke-21: Besisahar (1.350 meter), Chamje (1.560 meter) jarak tempuh 4 jam 30 menit, Dharapani (1.810 meter) jarak tempuh 5 jam 30 menit.... Kami naik sedikit demi sedikit, untuk persiapan mencapai tantangan terberat di hari ke-11 nanti, klimaks dari perjalanan panjang ini: Thorung La Pass pada ketinggian 5.416 meter, adalah nama yang selalu menjadi buah bibir dan menghantui mimpi semua trekker, yang tidak bisa dibayangkan seperti apa keseramannya dari sini.
Puncak itu sangat dingin, kata J"rg, trekker Jerman gempal yang kutemui di tengah pendakian, sementara aku mengusap wajah dari bulir-bulir keringat sebesar biji jagung, di bawah sengatan matahari. Di atas sana, salju. Suhunya di bawah beku. Orang bisa sakit, pembuluh darah bisa pecah, malah ada trekker yang mati sebelum sampai ke puncak.
DUARRRR.... Tiba-tiba terdengar ledakan di tengah hutan rimba pada ketinggian 1.700 meter.
Perangkah" Serangan pemberontak"
Cepat! Cepat! Lelaki Nepal dari balik rerimbunan berbisik mendesis-desis, menyuruh kami segera lewat. Baru kami berjalan berapa langkah, dinamit meledak lagi. Tebing runtuh seperti longsor. Di balik rapatnya pepohonan, tampak sebuah buldoser di hadapan seutas jalan beraspal mulus.
Tak salah" Buldoser" Bukankah barang modern itu terlalu awal dua abad di sini"
Di kejauhan, kelihatan sepotong jalan beraspal. Sungguh aneh, ada jalan aspal yang mulai dari tengah hutan, berakhir di hutan. From nowhere, to nowhere. Aku heran, bagaimana mobil dan truk bisa sampai ke sini, ke tengah-tengah rute Sirkuit Annapurna. Bukankah ini daerah terpencil" Bukankah penduduk masih harus naik-turun bukit, lewat jalan setapak yang meliuk-liuk di tepi jurang"
Kita melakukan perjalanan demi mencari sesuatu yang tak ada dalam kehidupan kita yang sesungguhnya. Itulah sebabnya, jenis perjalanan yang disuka banyak orang adalah time-travel, perjalanan menembus waktu. Masing-masing kita memendam ekspektasi, setiap tempat memiliki dimensi waktunya sendirisendiri. Ingin mengintip fantasi futuristik" Ada Singapura, atau
Hong Kong, atau Shanghai. Ingin melihat masa lalu" Datanglah ke Nepal, Bali, Tibet, di mana kuil-kuil ratusan tahun masih berdiri. Untuk destinasi jenis ini, sadar tak sadar kita menuntut mereka tetap hidup dalam keabadian masa lalu , terkunci waktu. Ada sejumput ketakutan, kalau tempat-tempat masa lalu ini pun bakal berubah, berkurang, habis.
Annapurna bakal dikelilingi jalan raya, kataku, teringat fenomena Kakek Bodoh Memindah Gunung. Sekarang kami melewati jalan beraspal mulus, laksana sepotong jalan tol yang nyasar di permukaan bulan.
Mungkin juga. Dan pada saat itu, rute trekking ini pun bakal mati, kata J"rg kalem. Tapi, jangan kuatir! Manusia pasti akan mencari rute baru untuk menggantinya. Nepal punya ratusan gunung untuk dijual bagi turis.
Tidak! Tidak bisa begitu. Bagaimana dengan penduduk desa yang sudah membuka hotel dan warung" Mereka butuh kehadiran turis dan trekker. Bukan begitu"
Itulah dilema negara miskin, kata J"rg, Di satu sisi, mereka begitu miskin dan terbelakang, mereka perlu pembangunan, modernisasi, juga uang dari turisme. Di sisi lain, turis adalah penuntut keaslian dan eksotisme. Para turis datang ke negaranegara ini untuk menonton eksotisme masa lalu yang sudah lenyap dalam kehidupan mereka yang telah modern.
Di Annapurna, seiring dengan maraknya turisme, para porter ikut mengalir bersama iring-iringan para turis. Semua mereka membawa beban di punggung, semua mereka menggantungkan talian pada kepala yang tampaknya sudah sekeras batu. Semua mereka terengah-engah mendaki dengan bawaan begitu berat. Tapi armada porter yang duduk di bongkahan
batu besar untuk menarik napas ini berbeda dari porter biasa. Mereka ramai berkokok dan berkotek.
Chicken Express!!! J"rg berseru.
Ya. Aku pun ikut tergelak. Chicken express. Sungguh ekspresi brilian!
Yang berkotek tentu bukan si porter, tapi barisan ayam-ayam malang yang terkunci dalam lemari kayu di punggung si porter. Inilah para ayam yang dipersiapkan sebagai hidangan para turis. Di puncak dingin sana, ayam tak bisa hidup, sedang turis tak bisa hidup tanpa ayam. Karena itu, berbagai kebutuhan primer macam ayam, bayam, telur, Coca Cola, beras, sampai saus tabasco, semua harus diangkut dari dasar gunung, bercampur keringat para porter yang sudah ratusan kali ber-trekking menaklukkan Sirkuit Annapurna. Layanan ekspres kurir gunung ini juga bisa mengangkut semen, pasir, bongkahan besi, demi membangun hotel, restoran, rumah penginapan, kantor layanan pariwisata, sampai jembatan gantung dan jalan raya, juga barisan kampung sepanjang lintasan gunung yang khusus memanjakan para pengunjung. Kesemua ini akan membuat jalur trekking ini lebih nyaman dan mulus, sehingga para trekker tak lagi perlu bermain akrobat menyeberangi jembatan bambu, tak perlu juga repot-repot bawa ayam hidup dan karung beras sendiri, bahkan tak perlu berberat-berat memanggul tenda dan kantung tidur. Para porter lari mendaki bukit terjal, ataupun menuruni undakundakan ke dasar jurang, demi memenuhi tuntutan kecepatan ekspres. Bagi mereka, perjalanan ini sudah bukan lagi gempita perayaan penaklukan gunung.
Untunglah, tempat-tempat indah di negaramu belum dibanjiri turis, masih asli seperti adanya, kata J"rg. Sebagai penyelam, dia pernah tinggal berbulan-bulan di Pulau Togean, yang aku pun oh malunya bahkan tak tahu ada di mana. Dia menyebut Indonesia sebagai surga diving terindah di dunia. Tanimbar, Wakatobi, Bunaken, Komodo, semua sudah dijajal. Bepergian di Indonesia memang susah, katanya. Transportasi minim, informasi nyaris tak ada, visa pun ribet, hampir tak ada infrastruktur untuk kenyamanan turis. Beda dengan negara tetangga, yang begitu memanjakan dan membuka pintu lebar-lebar bagi para pendatang asing.
Tapi itu pula yang menjadikan Indonesia sebagai traveler s gem, permata yang penuh kejutan bagi para musafir. Surga eksklusif. Aku tidak bisa membayangkan alam pulau-pulau kecil Indonesia yang rapuh itu kalau terkena serbuan turisme massal, kata J"rg.
Eksklusif. Kata kunci surga itu adalah eksklusif. Di antara surga-surga Himalaya, Bhutan yang terisolasi total lebih surgawi daripada Tibet, dan Tibet jauh lebih surgawi daripada surga Nepal yang diobral.
Dilema itu adalah, membiarkan destinasi-destinasi surgawi itu tetap tak terjamah, atau membaginya bagi semua umat dunia" Membiarkan penghuni pulau-pulau nirwana untuk tetap hidup terbelakang apa adanya menikmati dunia surga mereka sendiri yang terisolasi, atau hidup makmur modern tapi diliputi ambisi dan mimpi-mimpi kosong tentang surga yang lain seperti halnya warga dunia normal" Membiarkan warga dunia tetap berkhayal, atau mengizinkan mereka semua mencicip surga di bumi itu sampai akhirnya mereka menguap bosan karena surga sudah tak lagi eksklusif dan fantastis"
Tangan itu.... Tangan kurus itu berusaha menaklukkan gunung kejam yang dihadapi. Tak ada seorang pun dari kami yang tahu persis bagaimana rasanya perjuangan tubuh rapuh itu menghadapi siksa ini. Tangan itu mencengkeram seprai erat-erat, sekujur tubuh mengejang. Mata mendelik, mulut meringis sementara gigi terkatup rapat. Kerut-kerut di dahi seperti meremas wajah. Napas memburu, namun yang terdengar cuma erangan perlahan.
Inilah siksaan yang disebutnya sebagai usus yang dipelintir , atau ditusuki ribuan jarum , atau ditarik-tarik tangan raksasa .
Hanya dia yang tahu rasanya.
Dan dia terus berusaha menaklukkannya, dengan caranya sendiri.
Jangan kaulihat Annapurna sebagai gunung raksasa yang tangguh dan mematikan. Annapurna sebenarnya sangat ringkih dan rapuh. Sepanjang rute selalu ada brosur atau papan pengumuman yang mengingatkan para pendaki akan pelestarian alam. Jadilah turis yang bertanggung jawab! Jangan buang sampah di sembarang tempat! Semua sampah yang dibawa masuk harus dibawa keluar! Ketahuilah jenis-jenis sampah terbiodegradasi! Jangan pakai botol minuman plastik!
Tapi adakah peringatan bagi sampah kultural" Kepada si turis California yang membagi-bagikan permen kepada para bocah di desa, bergaya bak Sinterklas di Hari Natal" Betapa ributnya anak-anak di desa sepanjang jalan yang berteriak histeris melihat
para trekker melintas. Namaste! Namaste! seru mereka sambil mengatupkan kedua telapak tangan di atas dahi. Lalu disambung, One picture! One pen! One dollar! sambil menyodorkan tangantangan mungil. Bahkan untuk anak-anak yang tidak meminta pun, si turis sudah sedia selusin bolpoin untuk dibagikan. Semua bersorak gembira, ceria.
Di hari lain di dusun lain, aku memotret para bocah yang berjingkrak-jingkrak sambil memanjat pohon. Tiba-tiba datang pemuda desa menegurku, Buat apa kamu foto-foto" Apa gunanya buat mereka" Kalau kamu tak kasih apa-apa ke mereka, jangan potret! Kamu harus kasih sesuatu! Apa" Kamu tak punya cokelat" Jangan khawatir, di warungku ada jual.
Seperti halnya alam, lingkungan sosial pun bisa dilihat sebagai sebuah ekosistem, yang juga memiliki keseimbangan. Bagibagi hadiah kecil memang murah meriah, membawa keceriaan buat penduduk lokal, sekaligus membumbungkan rasa bangga di hati si Sinterklas. Tapi ini sesungguhnya adalah sampah, polusi yang merusak keseimbangan alamiah itu, merendahkan harkat kemanusiaan untuk tidak lagi malu mengemis, membuat interaksi dengan pendatang asing menjadi hubungan take and give.
Penjelajahan dan penjajahan. Bukan sekadar kebetulan linguistik semata kalau kedua kata ini bermiripan. Dalam sejarah kita, penjajahan Indonesia yang berlangsung ratusan tahun itu juga berawal dari penjelajahan. Kapal-kapal Spanyol dan Portugis semula berlomba menaklukkan kejamnya Samudra Atlantik dan Hindia untuk menemukan pulau rempah-rempah eksotis, membuktikan bahwa bumi itu bulat, juga mencicip buaian surga alam tropis. Dari pengelana, lalu datanglah pedagang, pencari emas, misionaris, sampai serdadu dan senapan demi menjamin monopoli total. Selanjutnya, surga pun berubah menjadi neraka: perang, pembunuhan, kerja paksa, adu domba, perbudakan, eksploitasi, kolonialisasi berabad-abad.
Penjelajah justru mengilhami datangnya penjajah. Tulisan perjalanan beberapa abad lalu, termasuk safarnama legendaris petualangan Marco Polo itu, adalah bagian penting dalam sejarah imperialisme. Dalam catatan-catatan penjelajahan, terungkap rahasia negeri-negeri kaya dan indah laksana surga, tapi rakyatnya masih terbelakang dan mudah ditaklukkan. Ada fantasi yang lugu, ada mimpi yang tulus, datang pula ambisi yang rakus. Amerika, India, Nusantara, Afrika, Australia, satu per satu jatuh dalam kekangan penjajahan. Eksotisme dan mistisme perjalanan justru mengundang kerakusan, nafsu untuk mengubah, hasrat menguasai.
Bukan kebetulan pula, kedua kata ini dalam kamus bahasa Indonesia adalah sinonim. Kita, yang dengan bangga menyebut diri sebagai penjelajah, pada hakikatnya juga adalah penjajah. Kita, bertopeng sebagai traveler atau backpacker yang menjanjikan kemakmuran ekonomi bagi mereka, sebenarnya adalah juga imperialis yang berdalih menikmati surga di bumi dengan harga murah meriah. Turisme telah menjadikan tempat-tempat sebagai atraksi : where to go dan what to see , bagaikan kebun binatang manusia, dengan semua kandang menampilkan eksotisme masing-masing. Tradisi yang mati dihidupkan, yang hidup dikemas ulang supaya jadi yang paling memikat, biarpun palsu yang penting laku, dijual sebagai komoditas, dilempar ke pasar turisme global. Para turis memilih-milih, paket mana yang paling memincut hati.
Eksploitasi turisme eksotis itu bagaikan gadis cantik yang menjual diri. Prostitusi! kata J"rg. Lihat saja, si gadis itu dapat uang dari orang-orang yang menikmati kemolekan tubuhnya. Dia menikmati kekayaan itu. Dari uang itu, dia bisa beli baju bagus dan kosmetik, dirinya pun makin cantik.
Ya, kataku, Tapi bisa saja suatu hari dia sadar, betapa banyak kerusakan yang dialaminya selama ini.
Ya, J"rg menangguk, itu memang satu kemungkinan. Tapi mungkin juga, dia tak bisa berhenti, karena godaan uang itu terlalu kuat dan dia tak bisa bertahan hidup tanpa uang itu. Sampai akhirnya eksploitasi itu membuat dia tak lagi cantik, lalu ditinggalkan dan dilupakan semua orang.
Tapi layakkah para pelancong menuntut negeri-negeri tetap hidup dalam keterbelakangan, supaya tetap asli , eksotik dan misterius di ujung bumi terpencil, sebagai taman bermain di tengah deraan modernitas dunia" Turisme adalah hubungan simbiosis dengan dilema buah si malakama. Turisme memang bawa madu berupa uang dan pembaharuan, pembangunan infrastruktur dan ekonomi, pertukaran ide dan perubahan pola pikir. Turisme mengajarkan penduduk untuk menghargai kultur mereka sendiri, mensyukuri rahmat yang mereka punya sejak sediakala. Tapi jangan lupa, turisme juga membawa sekalian berbagai jenis racun: nafsu mengeruk keuntungan, ketidakjujuran, materialisme, sifat ada-uang-ada-senyum, standar ganda, komersialisasi budaya, hedonisme, pelacuran, pengemis, narkotika, kriminalitas, sampah, perusakan lingkungan, degradasi moral, penipuan, pemalakan, agresivitas, korupsi, eksploitasi, mimpi-mimpi kosong, pertapa suci yang selalu berseru One dollar. Tak perlu menunggu lama, diskotek dan kelap-kelip kehidupan malam pun sudah merambahi kaki gunung Annapurna.
Turisme dimulai dengan pola seperti ini. Si Dia tinggal di rumahnya yang sepi dan terpencil, namun nyaman berbahagia dalam dunianya sendiri. Lalu datang si Aku, menumpang dan menikmati rumah itu, memberi tahu bahwa rumah Dia adalah surga yang paling mulia. Si Dia senang, si Aku riang. Bagi Dia dan Aku ini sama-sama adalah kebahagiaan menemukan surga . Inilah perjalanan, penjelajahan, penemuan penuh kejutan, kebahagiaan sempurna, ketika masing-masing tidak memasang harapan apa-apa.
Semakin lama si Aku melihat rumah ini, semakin Aku merasakan betapa banyak cacatnya. Bocor di sini, bolong di situ, bagus begini, jelek begitu. Surga itu harus sempurna, begitu seru Aku. Inilah ketika keserakahan datang, mulai menggiring Aku untuk menuntut surga .
Di sisi lain, datangnya Aku yang murah hati membuat Dia berdendang menikmati madu yang Aku beri. Sungguh manis tak terkira, yang tak pernah Dia tahu dan rasakan selama ini. Semakin si Dia berpikir, bagaimana caranya memuaskan Aku agar memberi madu lebih banyak lagi, bagaimana caranya mengeruk keuntungan yang tanpa henti. Inilah awal hasrat untuk mengubah surga .
Si Dia terus berdandan sampai norak, memoles rumahnya, mengecat, menyapui, memasang barisan sofa paling nyaman. Si Aku memanggil gerombolan lusinan kawan-kawannya untuk bersama mencicip sensasi surga, seraya terus memuji sambil mengiming-imingi sesendok madu pada Dia, padahal itu adalah
madu murahan, beracun laksana candu. Di sinilah terjadi transaksi jual-beli surga .
Si Dia semakin rakus menenggak madu, berusaha matimatian, bahkan rela menjungkirbalikkan seluruh rumah dan segala isinya demi memikat hati para Aku, yang masing-masing punya kemauan beda-beda. Tuntutan para Aku semakin mewah dan mahal, sambil memerintah begini-begitu sekalian juga meninggalkan sampah-sampah menjijikkan berceceran. Inilah periode penjajahan surga , disusul pembinasaan surga .
Hingga akhirnya rumah mungil itu berantakan, menor awutawutan, penuh penyakit, tak lagi nyaman dan indah, sama sekali tak ada istimewa. Si Dia yang kecanduan madu, semakin beringas dan memaksa, agresif tak lagi ramah. Mulut Aku dipenuhi sumpah serapah, mempertanyakan apakah ini sungguhan surga. Pesta surga bubar sudah, para tamu pergi tak bakal kembali, sementara tuan rumah terduduk merenungi rumah sepinya yang remuk redam, tak mungkin balik ke wujud sederhana yang dulu lagi. Inilah saat ketika surga mati, lahirlah neraka.
Penulis perjalanan Paul Theroux berkata: begitu sebuah tem pat disebut surga, segera pula dia akan berubah menjadi neraka . Ketika satu per satu surga-surga itu mulai meredup, maka pen cari surga generasi berikut akan mencari korbankorban baru, tanah perawan yang belum terjamah, belum tereksplorasi dan tereksploitasi.
Nostalgia para turis sebenarnya nostalgia khas ala imperialis. Kamilah yang mengubah dunia, kamilah Kakek Bodoh yang Memindahkan Gunung. Lalu setelah melihat bagaimana alam telah rusak oleh ulah kami, kami menangis. Kami bagaikan pembunuh yang menangisi mayat korbannya.
Mulutku ternganga menyaksikan bocah-bocah kecil bekerja di ladang ganja yang menghampar. Di sepanjang rute Annapurna, ada beberapa desa yang memang terkenal dengan produksi ganja. Tanpa sungkan, J"rg menyerahkan beberapa lembar ratusan rupee, dan mendapat balasan sekantung besar ganja, segar langsung dari pokoknya!
Aku protes. Menurutku, sangat tidak terhormat bagi turis untuk membeli ganja dari anak-anak lokal.
Jangan terlalu serius! Tak perlu terlalu filosofis, balas J"rg, nikmati saja hidup ini. Ia larut dalam kenikmatan ganja yang dilinting seperti rokok.
Aku terbatuk-batuk kena baunya.
Sudahlah, Ma, jangan ditahan. Aku mintakan obat bius ya" kataku.
Ia menolak, beralasan masih kuat. Di atas ranjang, dia bagai menanti algojo yang rutin menganiaya pada jam-jam tertentu.
Obat bius memang baru saja disuntikkan melalui duburnya dua jam lalu. Suster bilang, harus empat jam sekali, tak boleh terlalu sering, nanti kecanduan.
Dia terus menahan, aku justru tak tahan. Kalaupun ini memang hari-hari terakhirnya, aku cuma ingin dia melewatinya dengan damai dan berwibawa. Aku tak peduli berapa pun biaya, tak peduli apa Mama bakal jadi pecandu morin, tak peduli ketika mereka berceramah berbusa-busa tentang etika kedokteran dan teori-teori kemanusiaan.
Karena hanya morin dan obat bius yang bisa kutawarkan baginya. Untuk menjinakkan siksaan, di hari-hari genting ini....
Setelah menaklukkan Annapurna, Herzog pun berkata, Selalu ada Annapurna-Annapurna lain dalam kehidupan manusia. Kalimat ini magis, kristalisasi dari perenungan seorang penakluk, seorang pemenang. Monster raksasa itu bukan cuma gunung menjulang. Dia adalah mimpi-mimpi, cita-cita. Dia juga tantangan dan cobaan hidup. Manusia akan selalu menaklukkan berbagai puncak gunung dalam kehidupannya masing-masing.


Titik Nol Karya Agustinus Wibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagi Dipak, pemuda etnik Gurung berwajah Mongoloid, mimpi itu adalah untuk ke luar negeri. Bukan untuk berkeliling dunia. Orang Nepal mana, katanya, yang ke luar negeri hanya untuk jalan-jalan menghabiskan uang. Kerja, kerja, kerja, cari uang. Dipak ingin jadi tentara.
Bangsa-bangsa gunung ini adalah bahan baku tentara yang sangat tangguh. Di Inggris, mereka direkrut untuk menjadi tentara Gurkha. Tapi tak gampang. Selain tes fisik, masih ada ujian mental dan kepintaran. Dipak sudah ujian beberapa kali, tapi selalu gagal di ujian mental. Sekarang dia cuma bisa jadi porter yang mengangkut beban 32 kilogram bawaan grup trekker dari Israel. Pekerjaan ini, katanya, seperti keledai, hanya disuruh-suruh mengangkut beban. Dia menunggu kesempatan ujian lagi tahun depan. Kalau gagal lagi, katanya, ya sudah, mungkin jadi tentara di luar negeri itu memang bukan nasibnya.
Mimpi jadi tentara Gurkha sebenarnya juga berlapis-lapis. Yang paling top adalah ke Inggris, gelarnya paling terhormat dan bayarannya paling memikat. Di bawahnya, adalah Singapura, gajinya sampai seribuan dolar. Paling murah jadi tentara India,
cuma seratus lima puluh dolar. Kalau mau jadi patriot yang berbakti bagi negeri, silakan jadi tentara Nepal, nyaris tanpa bayaran.
Mimpi tentang negeri luar ini semakin kuat lagi bagi Dipak ketika dia melihat turis-turis asing yang berdatangan ke pegunungan ini. Bahkan tukang sapu jalan di Eropa sana pun bisa jadi pengeliling dunia dan dipuja-puja bak orang kaya di sini. Betapa beruntungnya mereka yang ditakdirkan lahir di negeri makmur modern. Sedangkan orang Nepal" Oh, hidup begitu beratnya. Mengangkut bawaan sampai setengah kuintal naik turun gunung, berpeluh-peluh sampai tulang keropos pun, masih tak cukup buat beli kamera digital mini yang dibawa semua turis itu. Ke luar negeri untuk jalan-jalan menikmati hidup plus menghabiskan uang" Apa gunanya"
Di hampir setiap kampung di Nepal, akan kautemui orangorang yang bisa berbahasa Melayu. Bahkan sampai di rute sekeliling Sirkuit Annapurna ini. Mereka pun diliputi mimpi yang sama untuk berangkat jauh-jauh ke negeri seberang, mimpi tentang perubahan nasib. Di Malaysia sana, mereka menerima semua pekerjaan yang mungkin dilakukan: buruh pabrik, satpam, pelayan restoran, kuli bangunan. Gaji di Malaysia memang jauh lebih tinggi daripada pendapatan di Nepal sekuat apa pun kau memeras keringat, sekeras apa pun kau memelintir tulang. Pulang ke kampung, mereka bisa bangun rumah, mengawini gadis cantik, buka toko, mulai usaha restoran, atau bikin losmen murah kelas backpacker. Tapi tentu tak semua orang bernasib bagus. Aku pernah menjumpai mantan Tenaga Kerja Nepal dari Malaysia yang langsung melengos begitu tahu aku dan temantemanku berbahasa Melayu. Kata tetangganya, dia masih dendam dengan negeri jiran kita itu. Kerja lembur seperti budak setiap hari di perkebunan, paspor dipegang bos yang cuma tahu membentak-bentak, gaji tak pernah dibayar, akhirnya malah dideportasi, kini masih harus menanggung utang.
Penjajahan. Tak peduli itu jadi kuli perkebunan di Malaysia atau porter para trekker di Annapurna atau tentara Gurkha yang diterjunkan ke medan perang Afghanistan, semua kerja keras itu mereka lakukan bagi kepentingan orang lain, demi imbalan beberapa suap nasi, demi cita-cita yang selalu lebih tinggi, hingga tanpa sadar telah menjadi budak dari mimpi, terjajah oleh mimpi. Eksploitasi dan mimpi hampa selalu menjadi cerita yang menemani perjalanan peradaban umat manusia pada semua lintasan zaman, di mana-mana negara dan benua.
Mereka bukan pasrah menanti. Para milisi Maois mendamba berakhirnya penjajahan yang selama ini mendera. Mereka melawan, mereka angkat senjata. Para gerilyawan menantikan datangnya hari untuk revolusi total, pemberontakan. Mereka akan menaklukkan sebuah gunung raksasa yang tampak mustahil bagi orang-orang miskin di pedalaman gunung: menggulingkan rezim kerajaan yang telah berkuasa berabad-abad. Mereka menantikan saat untuk memekikkan Merdeka! Lalu, setelah itu" Tentu untuk mimpi kemakmuran, semua rakyat sejahtera, tak perlu lagi menjadi keledai budak di negeri sendiri maupun di negeri asing. Mimpi menjadi bangsa yang terhormat.
Bisakah kami bersimpati dengan mereka" Peduli dengan perjuangan mereka yang menyebut diri sebagai masyarakat tertindas"
Sebaliknya, kami para trekker justru menjadikan Maois sebagai sebuah tantangan , kata seram yang menjadi bagian dari cerita seru kisah penaklukan Annapurna. Gerilyawan komunis itu ada di mana-mana di pelosok pegunungan ini. Seperti halnya Maut, perjumpaan dengan Maois bisa dipastikan, walau kita tak tahu kapan datangnya, itu cuma masalah cepat atau lambat. Maois adalah Factor-X, unsur kejutan bumbu petualangan. Akankah Maois datang dari balik rerimbunan pohon" Ataukah ketika kami terbuai mimpi di losmen" Atau saat terengah mendaki bukit" Apakah kami bakal diculik" (Walaupun aku juga bertanya, apa untungnya menculikku" Uangku sedikit, tapi makanku banyak.)
Maois itu adalah teroris yang merangkap trekker, kata J"rg. Mereka juga menjalani rute trekking Annapurna Circuit, menyatroni semua desa dan penginapan.
Maois memang mengincar turis, tetapi tidak bakal membunuh. Mereka cuma menarik upeti. Harganya pun sudah pasti: seratus rupee per hari. Mereka sudah tahu aturan main bisnis di dunia pariwisata kita ini.
Tapi tak adakah yang bakal melindungi kita" Mana polisi dan tentara"
J"rg menggeleng. Sayang, ini daerah kekuasaan Maois, katanya, bahkan pemilik penginapan pun takut pada mereka, atau malah mendukung mereka. Konon, Maois tidak segan-segan menggebrak meja, membanting pintu, atau membogem turis bandel.
Seorang trekker Amerika, berbodi tinggi kekar atletis, bergidik ngeri mendengar rumor tentang Maois itu. Gedung Putih sudah mengeluarkan travel warning yang melarang warga Amerika
memberi uang berapa pun kepada Maois para teroris. Dia bingung, mau menjadi warga negara yang mematuhi amanat, atau jadi trekker yang selamat"
Siapa kawan, dan siapa lawan" Siapa musuh, dan siapa pahlawan" Bagi kami pendatang asing, para turis dan trekker yang datang untuk menikmati liburan menyenangkan di pegunungan, Maois tentu adalah tokoh antagonis. Perjuangan Maois hanya terlihat sebagai hitam atau putih, benar atau salah, teroris atau pembela keadilan, pemberontak atau pejuang kemerdekaan, perampok ataukah Robin Hood.
Jangan mudah memvonis, jangan mudah berpihak. Dipak si Gurung, yang menganggapku sebagai saudara sebangsa karena kemiripan fisik, mengingatkanku seraya bercerita tentang beda Si Hidung Mancung dengan Si Hidung Pesek. Di negeri ini, ternyata hidung pun menentukan nasib. Para Hidung Mancung adalah kelompok orang Hindu keturunan Indo-Arya, seperti orang-orang India sana, dianggap sebagai kasta tinggi, intelektual, warga kota yang terhormat. Sedangkan kelompok Hidung Pesek, seperti dirinya (dan kebetulan juga diriku), adalah warga gunung yang Mongoloid, sering diperlakukan sebagai kelas rendah, dihina-hina dan didiskriminasi. Di negeri ini, ras menjadi kasta. Ada kasta Gurung, kasta Tamang, kasta Sherpa, dan suku-suku minoritas lainnya, semua adalah kelas manusia di bawah kasta Brahmin si Hidung Mancung. Yang diperjuangkan Maois sebenarnya adalah persamaan derajat manusia. Tak heran, basis pendukung Maois justru berasal dari pegunungan seperti ini, kaum minoritas yang juga berhidung pesek, orang-orang anggota kasta rendah dan terjajah.
Hari-H bagiku itu datang terlalu cepat. Di hari keempat, di hadapan papan besar bertuliskan: Welcome to Manang District. Selamat datang. Selamat datang.
Ya.... Selamat datang. Seorang gerilyawan Maois menyambut. Welcome, Sir, kata lelaki kurus dan pendek, berambut keriting, hanya bersandal jepit. Tas anyaman tradisional tercangklong di pundak. Dia tidak seram, senjata pun tak punya. Jauh sekali dari bayangan Maois di benakku: sepeleton lelaki laksana Rambo memanggul bedil dan menggotong mortir. Suaranya kalem dan lembut, nyaris tak terdengar.
Tax, please.... Please" Sopan sekali. Lelaki pendek di hadapanku ini yang saking kecilnya sampai aku yakin, J"rg pun pasti sanggup memelintirnya dengan satu lengan sesungguhnya adalah bagian dari kekuatan yang disebut sebagai teroris oleh adikuasa Amerika itu. Dia memberi kami masing-masing selembar kertas stensilan propaganda revolusi rakyat:
Dengan bangga kami memberitahukan bahwa perang rakyat yang suci dan agung, dipimpin partai proletar Nepal, partai komunis Nepal (Maois). Negara kuno feodal dilanda krisis, tak lama lagi akan runtuh. Kami berperang demi kebebasan. Kami mengharap bantuan melawan tirani monarki dan reaksionernya, termasuk imperialisme Amerika. Kemenangan kami terjamin. Terima kasih. Sampai jumpa.
Tanpa tawar-menawar, J"rg langsung menyodorkan uang kertas seribu rupee. Untuk ukuran dompetku, jumlah itu terlalu besar. Aku masih punya sepaket teknik andalan:
1. Sok akrab sok dekat. (Namaste, bhai! Bicara sebisa mungkin dalam bahasa Nepali campur Hindi, karena bahasa adalah ujung tombak perasaan satu saudara.)
2. Tebar derita. (Aku dari negara yang sama-sama miskin. Aku tak punya uang, kecopetan di Kathmandu. Aku mahasiswa, tidak punya duit, dst. dll. dsb. dkk....)
3. Memelas. (Si pejuang membentak, minta bukti kartu pelajar. Mataku berkaca-kaca: Pencopet borjuis kapitalis sialan di Kathmandu itu telah mengambil semuanya... )
4. Pembuktian. (Kutunjukkan dompetku yang sudah kosong melompong, karena semua uang sebenarnya sudah kusembunyikan dalam kaus kaki, sembari berdoa tuan Maois yang terhormat bakal segan memeriksa sepatuku yang bau.)
5. Serius. (Si pejuang garuk-garuk kepala, aku tetap memasang wajah mengiba.)
6. Membual. ( Aku selalu mendukung perjuangan Maois. Aku tinggal di Beijing, setiap hari berkunjung ke maoseleum Mao Zedong. Itu adalah kebahagiaan. Lihat bajuku... baju komunis, sambil menunjuk ke kaus merah berbintang emas di badan, yang kubeli waktu backpacking di Hanoi.)
7. Sabar. (Dia tidak mengizinkanku lewat. Aku berjongkok di pinggir, menyaksikan dia melaksanakan tugas mencegati para trekker dan backpacker.)
Penantian tidaklah sia-sia. Entah tergerak, entah terharu, entah sudah bosan, tiba-tiba pejuang Maois itu mendatangiku, merangkulku seperti sahabat lama. Dia bicara panjang-lebar dalam bahasa Nepali campur Inggris. Kosakatanya berkisar pada rakyat, proletar, perjuangan, dan kemerdekaan.
Kami ini pejuang Maois, katanya, kami berjuang demi keadilan Nepal. Sekarang, saudaraku, lewatlah. Tak perlu bayar. Tetapi dukunglah selalu perjuangan kami. Dan, please, don t tell anybody about this.
Beban menyimpan rahasia masa depan sesungguhnya adalah derita paling menyiksa.
Akhirnya vonis itu pun datanglah. Kami harus rapat-rapat menyembunyikannya, membungkusnya dengan gelak tawa, melapisinya dengan kepalsuan semangat bahwa harapan masih ada.
Mereka bilang, energi ch i yang terpancar dari wajah Mama sudah melemah, ada kekuatan negatif yang terlalu dahsyat yang mengacaukan kerja semua organ tubuhnya. Peramal bilang, kita harus bangun jembatan, itu cara orang Tionghoa memupuk pahala memperpanjang usia. Paman bawa air suci yang sudah disembahyangi, harus digosokkan ke sekujur tubuh Mama. Bibi datangkan sinshe hebat dengan teknik tusuk jarum yang paling tersohor di seluruh kota. Ada yang menganjurkan terapi prana, kemoterapi, radioterapi, jampi-jampi, pijatan, pengobatan tradisional Tiongkok, ramuan jamu, tanaman mukjizat keladi tikus,....
Semua harus dicoba, kata mereka. Jalan masih ada, jangan menyerah. Gunung raksasa ini harus ditaklukkan, walaupun setiap percobaan yang gagal harus berarti tubuh lemah ini yang jadi korban.
Rintangan demi rintangan berlalu. Alam punya ritmenya sendiri, hilang sudah hutan rimba dan lintah, tergantikan bukit gundul berselimut padang lumut. Dingin mulai merambah, jaket yang semula teronggok di dasar tas kini telah membungkus tubuhku yang menggigil. Bersama perubahan ketinggian, bangsa-bangsa pun berubah. Para penganut Hindu dengan garisgaris wajah yang sangat tajam dan bersalam Namaste, kini digantikan wajah-wajah datar, bermata sipit, berhidung pesek. Pemandangan yang mendominasi pun adalah kuil dan pagoda Buddha di hadapan hamparan batu mani bertoreh mantra Om mani padme hum.
Sunyi. Dingin. Mistis. Manang, perhentian setelah seminggu bergelut di dusundusun kecil, keramaiannya terasa bagaikan New York. Ini kota kuno Tibet dalam fantasiku, yang justru tidak sempat kutemukan di Tibet. Rumah-rumah batu berbentuk balok tinggi menjulang, berbaris di jalan setapak gang sempit yang berkelok-kelok dan berundak-undak naik-turun. Barisan genta dan roda doa di
pinggir jalan menebarkan aura religi, bendera doa berkibar, mantra mengalun tanpa henti di hadapan puncak-puncak salju yang mengintip dari balik mega, keemasan menyilaukan diterpa matahari senja. Penduduk juga mirip orang Tibet. bahasanya kedengaran sama, kuil-kuilnya pun sama. Masih ada juga orang Tamang, Rai, Limbu, semua adalah bahan baku tentara Gurkha, yang saking kuatnya, mereka sanggup memanggul seekor yak sendirian. Kaum perempuannya juga sangat macho, sehabis bekerja di ladang, berjongkok merokok sepanjang sore.
Manang adalah surga perhentian dua hari para trekker, sesuai petuah buku panduan. Semua pendaki disarankan berhenti cukup lama di Manang untuk menyesuaikan diri dengan ketinggian. Apalagi titik ujian utama kami sudah dekat: Puncak Thorung La hanya empat hari lagi dari sini. Karena fungsinya sebagai oasis dalam pendakian panjang, Manang pun kini menjadi campur aduk yang aneh antara dusun pegunungan tradisional Tibet dengan rombongan trekker, porter, pemandu, barisan keledai, ladang jawawut, hotel, restoran, toko perlengkapan pendakian, warung internet, rumah sakit.
Saksikanlah! Seven Years in Tibet. Hari ini jam enam sore! tertulis di papan kecil di depan pemondokan. Walaupun di Manang tak ada (tepatnya: belum ada) bioskop, para turis bisa nonton bareng berkat mesin DVD dan televisi. Apa lagi yang lebih asyik daripada menonton film tentang misteri Shangri-La tersembunyi, membayangkan ketemu yeti, di tengah nuansa Tibet ala Manang" Seorang turis Jerman berseru bangga, Pagi tadi aku masih belum tahu hewan apakah yak itu. Siang tadi, pertama kali aku melihat yak. Dan malam ini, aku sudah menyantap daging yak! Menu makan malamnya: bistik yak.
Perjuangan kami hampir mencapai titik kulminasi. Di ketinggian ini, langit rasanya sudah begitu dekat.
Setelah penantian begitu panjang, datanglah dokter yang entah mengapa selalu menyambang di tengah malam. Dia membawa harapan baru.
Bagaimana kalau usus Mama dipasangi slang, supaya kotoran bisa keluar" Bagaimana kalau antara kelok-kelok usus Mama dibuat jembatan, untuk menembus bagian buntu" Bagaimana kalau dibedah lagi" Masih ada jalan, asal mau coba! begitu katanya.
Ada jalan! Ada harapan, Ma! Aku berseru sambil menggenggam tangan Mama, tanpa sadar mengguncangkannya kuat-kuat saking semangatnya.
Mama terpaku. Tenang, Ma, kataku yakin, ini cuma operasi kecil, biar usus Mama tidak lengket lagi.
Perempuan itu akhirnya mengangguk, bertanya, Kapan"
Kami sudah nyaris sejajar dengan puncak-puncak salju di seberang sana. Mistis. Kabut menyelimuti dunia misterius. Thorung Pedi adalah desa tertinggi dalam Sirkuit Annapurna, pada ketinggian 4.450 meter. Tanaman tak tampak sama sekali. Gunung batu yang kami lewati hanya satu warna: kelabu yang muram.
Di sini hanya ada satu penginapan. Biasanya para pendaki menginap di Thorung Pedi, lalu berangkat subuh-subuh keesokan hari. Karena tak ada saingan, harganya mahal. Sebenarnya pemilik hotel jago bahasa Melayu karena pernah jadi pegawai di Malaysia, tapi Malay connection sama sekali tak berhasil membangkitkan ikatan emosional antara kami dengannya, mungkin dia juga punya pengalaman buruk dengan majikan di Malaysia sana.
Kami memutuskan maju terus. Masih seribu meter ketinggian Thorung La dari sini. Demi para pendaki, tiga ratus meter di atas Thorung Pedi sekarang sudah dibangun penginapan di daerah yang disebut High Camp. Sebelum-sebelumnya manusia mana yang mau bikin rumah di daerah puncak yang gersang dan ganas ini. High Camp semata-mata dibangun demi kemudahan pengunjung, untuk mendekatkan jarak pendakian ke puncak, mengurangi perjuangan panjang menuju titik kulminasi itu.
Pada ketinggian ini, angka tiga ratus meter ternyata bukan sepele. Semakin tinggi pendakian yang telah dilewati, setiap kenaikan berapa meter pun butuh perjuangan yang lebih kuat. Langkah kaki seperti digandoli bola besi satu kuintal. Ransel kosong di punggung pun sudah seperti memikul karung beras. Jalan batu berzig-zag, langsung mengingatkanku pada trauma napak tilas Kailash. Aku kehabisan oksigen, pikiranku melayanglayang. Halusinasi, aku lepas kontrol. Perjalanan ini bagaikan pengembaraan hidup: pemandangan lapang yang indah, perjalanan santai menikmati dunia, alam yang tiba-tiba berubah menjadi ganas, perjalanan menjadi berat, tujuan final yang terasa semakin jauh, langkah kaki semakin tak terkendali, secercah kegembiraan, hingga penderitaan berat menjelang titik
akhir. Langkah memberat, seiring dengan semakin besarnya beban masa lalu, harapan, dan pencapaian.
Titik nadir, titik kulminasi, titik akhir.... Aku tak kuat lagi....
Teh lemon panas mengalir di kerongkongan, menghangatkan tubuh kami yang menggigil. Di High Camp, pemilik pemondokan trekker juga lancar berbahasa Melayu, sedang gembira mengisi pundi-pundi uangnya. Sepetak kamar dengan satu kasur plus dua selimut tebal bau harganya seratus rupee. Makanan paling murah dua ratus rupee. Monopoli adalah kunci sukses sang juragan.
Rombongan turis berdatangan. Pemondokan sunyi tiba-tiba ramai dengan lusinan bule, dua orang Asia (aku dan seorang wanita Malaysia), dan sepuluhan orang Nepal (semua porter dan pemandu). Buat turis, esok hari adalah petualangan besar, memori penting, tantangan sekali seumur hidup. Sedangkan buat para porter dan pemandu Nepal, Thorung La bukan lagi misteri, mereka sudah lewat ratusan kali. Puncak itu membawa berkah sesuap nasi bagi keluarga di rumah. Tawa lepas mereka membahana, mengiring bola biliar yang tersentak. Bahagia, di titik ini semakin jelas: hari gajian sudah dekat.
Aku mulai khawatir, efek ketinggian bekerja. Mual-mual, muntah, pusing. Tapi sudah tak ada jalan mundur lagi. Jangan khawatir, kata seorang porter Gurung, Kamu pasti bisa. Thorung La, no problem.
Sama sekali tidak. Malam ini aku tak bisa tidur. Sudah banyak pendaki yang menunjukkan sakit parah, gejala-gejala kegagalan. Aku pun meringkuk, menggigil di bawah bungkusan empat lapis baju hangat dan tumpukan selimut bau yang berat
dalam malam yang gelap gulita. Gemuruh geledek, hujan, disambung badai angin dan salju.
Perjalanan esok subuh dijamin berat!
Berat. Semakin ke puncak, perjuangan ini semakin tersendat dan melambat.
Orang bilang, penyakit kanker bukan hanya mengobrak-abrik kehidupan penderitanya, tapi juga keluarga di sekitarnya. Kami bimbang, antara rapuh dan tak tega.
Papa minta Mama dibawa pulang saja untuk menanti ajal di rumah tercinta.
Aku menolak keras. Siapa yang tega melihat Mama menjerit-jerit kesakitan meminta morin" Siapa yang sanggup bawa Mama melintasi perjalanan panjang dari kota ke kampung" Siapa yang tanggung jawab" Dan, bolehkah kita gentar ketika Mama justru masih mau terus maju, mencoba semua kemungkinan" Aku ingin memperjuangkannya, membawa Mama kembali ke negeri Tiongkok demi pengobatan terbaik.
Akulah yang ambil keputusan. Aku teken formulir-formulir. Minggu depan, Mama harus lewati ujian besar berikutnya: operasi keempat dalam setahun ini. Semua jalan harus dijajal. Mukjizat, yakinlah, pasti akan datang.
Aku terus memberi semangat. Ma, sabar. Kurang sedikit lagi. Kurang sedikit lagi!
Kami kembali menanti dan menanti, menghitung hari.
Dalam kegelapan pekat, kami memulai perjuangan. Wajahku ditampar terpaan angin, disiram bulir salju. Semangat dipadamkan kemuraman dan kebekuan. Gunung tak lagi indah, melainkan kejam dan perkasa. Otakku kosong. Para porter berjalan menyeret kaki. Tubuh mereka tertimbun tumpukan ransel para turis. Terdengar sayup-sayup siulan para lelaki Gurung, Resham phiri ri, oh rhesam phiri ri.... Haruskah kugapai puncak bukit itu, tuk raih kain sutra di atas sana" Naik, naik, dan terus naik....
Lututku menempel di bumi. Kakiku sudah beku, tak mampu lagi melangkah. Aku mendongak. Bendera warna-warni berkibar di atas sana. Itukah resham phiri ri" Kain sutra nirwana itu" Otakku mengelana liar, bibirku beku dan bergetar sendiri. Pada suhu minus 20 derajat, ujung kakiku mati rasa gara-gara sepatuku ternyata bolong. Langkahku terhenti, aku terjerembap di atas tumpukan salju. Para pendaki lain memberi semangat. Kurang sedikit lagi, kurang sedikit lagi, kata mereka, Kita pasti menang.
Perayaan kejayaan sudah menanti di atas sana. Naik, naik, dan terus naik....
Gunung, dalam kekuasaannya yang menggelegar, lebih tampak sebagai musuh daripada sahabat. Manusia, dengan segala keterbatasannya, lebih tergambar sebagai penakluk daripada pemuja. Satu per satu puncak ditaklukkan. Selalu ada puncak baru, tantangan baru, ancaman baru berikutnya. Pada ketinggian lima ribu meter ini, gunung menghunjam, mencekik, menampar, menendang, mencengkeram, melumat, membekukan. Tetapi, kami manusia, walaupun memang sungguh kecil dan tak berarti di hadapan alam, tetap melangkah maju penuh keyakinan. Dengan segenap tenaga yang kami punya, kami berjuang untuk
melawan. Gunung pun tak mau kalah, semakin menunjukkan daya bunuhnya.
Kami tahu, manusia memang bukan diciptakan untuk ketinggian seperti ini. Kami tahu, risiko yang kami hadapi di permukaan gunung adalah: kematian. Tapi masihkah kami peduli akan ketakutan itu" Manakala puncak itu sudah hampir tertaklukkan di depan mata"
Puncak tertinggi itu adalah sebuah simbol. Simbol dari obsesi yang mengiring manusia melakukan perjuangan dan penderitaan. Di atas langit masih ada langit. Di atas mimpi, masih ada mimpi. Selalu ada sebuah panji kemenangan yang membumbungkan segala kebanggaan di sana, yang membuat si ego kecil semakin lantang meneriakkan, Aku bisa! Aku perkasa!
Titik itu kurang sedikit lagi. Gagal di sini, berarti sia-sialah perjalanan sepuluh hari ini.
Dikurung selimut kabut, kami mendaki. Bulatan pancaran lampu senter menembus kegelapan, diiringi irama denting lonceng di leher keledai milik rombongan pendaki. Ke mana arah jalan, aku sudah tak tahu lagi.
Yang kutahu hanya naik, naik, dan terus naik....
Jangan teruskan lagi! Ibu Pandita dari vihara menangis tersedu-sedu. Aduh!!! Mama masih mau diapakan lagi" Sudahlah, sudah! Biarlah mamamu tenang. Aduh, A Hwie, dosa apa yang kamu perbuat di kehidupan terdahulu" Karma apa yang harus kamu bayar sampai disiksa seperti ini" Masih harus dibedah lagi dengan operasi" Sudah, Ming, jangan teruskan! Kasihan Mama!
Tak ada jalan mundur. Datanglah Hari-H yang kami nanti-nantikan. Kami hanya bisa mengiring dengan doa. Detik demi detik berputar lambat. Kulit yang sudah penuh luka dan jahitan itu kembali dirobek. Perut dibuka.
Darah mengucur deras. Mama tertidur lelap, mati rasa.
Aku menyesali perayaan yang terlalu dini, jalan yang kelihatannya mudah ternyata tidak selalu mudah dijalani. Setengah jam lalu, aku sempat bersorak dan berjingkrak. WE MADE IT!!! Papan besar melintang di titik tertinggi itu. Thorong La Pass 5416 mtr Congratulation for the Success!!! See You Again!!! Bendera doa Tibet bergambar Buddha Sakyamuni tidak berkibar, beku terbungkus lapisan es. Kukira aku sudah menang, menaklukkan monster seram yang selalu membayangi hari-hari perjalanan trekking.
Tetapi perjuangan bukanlah hanya tentang mendaki puncak. Hari ini adalah hari istimewa: naik drastis, turun lebih drastis. Dari High Camp, perjalanan berupa kesengsaraan mendaki 600 meter menggapai puncak, disusul perayaan sekejap, dan langsung dilanjutkan terjun bebas, anjlok sampai 1.600 meter, menuju Muktinath pada ketinggian 3.700 meter.
Titik tujuan itu terlihat di bawah sana. Sebuah lembah hijau dikelilingi gunung-gunung gersang kelabu, bagaikan fatamorgana oase yang menyambut musafir dahaga di gurun Sahara. Melihat titik tujuan itu, bangkit lagi semangatku. Bangun lagi tubuhku, membuncah lagi napasku, makin cepat lagi langkahku.
Blukkk. Lagi-lagi aku terjatuh. Ini sudah kesebelas kalinya. Tungkaiku rasanya sudah mau mencuat menembus kulit. Dengkul mau copot. Pantat pegal, linu-linu merambat melalui saraf sampai ke kepala. Kakiku lepas kendali, seperti mobil dengan rem blong. Bulir-bulir pasir di lereng curam ini bagaikan minyak licin di jalan mulus. Begitu mata kaki menyentuh bumi, langsung terseret bulir pasir yang jatuh bebas, aku bagaikan balerina mengangkang sempurna di lantai dansa. Cenut-cenut-cenut, sakit menjalar sepanjang paha. Untung tak sampai robek celana. Mungkin harus berganti dengan ujung telapak kaki" Sama saja! Aku jatuh lagi. Tongkat kayuku patah, menggelundung bebas sepanjang lereng. Aku bergidik, membayangkan kalau aku yang bernasib seperti itu. Bagaimana dengan merentangkan lengan, menjaga keseimbangan seperti sayap burung terbang" Tak berguna! Jatuh lagi. Langkah zig-zag" Miring-miring" Membelokkan telapak kaki" Pergelangan kakiku malah terkilir. Jatuh lagi. Bangun lagi. Jatuh lagi. Bangun lagi.
Muktinath, oh Muktinath! Tempat suci ziarah umat Hindu dan Buddha itu dari sini terlihat seperti memandang bumi dari atas langit. Jalan ini begitu curam, licin, menakutkan. Aku meniti perlahan, selangkah demi selangkah, sambil terkenang akan peribahasa China, Naik gunung mudah, turun gunung susah .
Para filsuf negeri leluhur ribuan tahun lalu itu tentu banyak berguru dari alam. Perjalanan hidup manusia disarikan dalam perjalanan mendaki gunung. Keberhasilan bukanlah cuma tentang mencapai puncak, tapi juga bagaimana menikmati pemandangan bukit dan lembah, gumpalan awan, mendengar simfoni burung dan rumput, embusan napas, syukur akan hidup, dan yang paling penting: turun kembali dengan selamat. Edmund
Hillary selalu dikenang sejarah sebagai orang pertama yang menaklukkan puncak Everest. Itu bukan hanya karena dia berhasil naik, tapi juga berhasil turun. Nyatanya banyak di antara korban pendaki Himalaya yang menemui ajal justru dalam perjalanan turun.
Turun, turun, dan terus turun....
Perjalanan turun gunung berlawanan dengan langkah kodrati manusia. Gravitasi bumi bagaikan tangan gaib yang menarik seluruh tubuh agar terjun bebas. Semakin kita menahan, semakin besar beban yang harus ditanggung lutut. Sedangkan kalau dibiarkan lepas, maka kita akan meluncur, pandangan semakin kabur, keseimbangan semakin ngawur, langkah kaki pun makin susah diatur.
Perjalanan turun adalah proses melucuti ego. Jauh lebih mudah memupuk kekayaan sepanjang hidup, daripada melepaskan semua itu menjadi pertapa hampa. Ini kebalikan dari pendakian, yang sejalan dengan logika ambisi: berjuang untuk lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Bagi trekker, setiap meter pendakian adalah proses memupuk kebanggaan. Tujuan jelas: titik tertinggi. Tapi sekarang, semua itu harus di-reset, dikembalikan ke nol. Pencapaian panjang itu harus dijebloskan begitu drastis hanya dalam sehari.
Turun, turun, dan terus turun....
Mata para dokter terbelalak.
Terbanglah semua harapan! Kanker itu sudah begitu parahnya, melahap semua ususnya, gumpalan raksasa dari kulit perut mendesak sampai ke ginjal,
bercokol di paru-paru, menelan limpa. Lupakan semua solusi. Lupakan pemotongan dan penyambungan. Tak ada lagi jalan.
Tak satu pun sel kanker yang dibuang. Perut yang sudah dibuka, cuma dilihat-lihat isinya, lalu ditutup kembali. Nasibnya seperti tikus percobaan di laboratorium biologi.
Operasi gagal. Percobaan penaklukan ini hanya menambah derita dan siksaan bagi Mama.
Aku menangis. Adikku menangis. Kami adalah Kakek Bodoh yang berusaha menaklukkan gunung dengan cara kami. Kamilah pembunuh yang menangisi korbannya.
Kami salah langkah. Kami kalah!
Terjun dari alam fantasi gunung bertudung salju, kami kembali ke realita bumi manusia yang carut-marut. Menyesakkan. Bus karatan dan penuh sesak menuju Kathmandu semakin gerah dengan embik berisik para kambing malang, yang seperti sudah tahu nasib mereka sekejap lagi. Seluruh Nepal menyambut datangnya hari raya terbesar sepanjang tahun. Hari untuk memuja Durga. Hari berdarah.
Crooot... darah segar tersembur dari leher kerbau yang tertebas pedang. Sekali tebasan jagal, terjerembaplah badan hewan besar itu. Kaus putih sang jagal terciprat darah. Kepala kerbau melayang, menampakkan seringai menyeramkan. Sedangkan badan tanpa kepala masih menggelinjang, kaki menjejak-jejak. Bersama para kerbau, para kambing dan para ayam pun ikut jadi sesaji untuk sang Durga. Lapangan Hanuman Dhoka banjir darah.
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 8 Pendekar Seribu Diri Karya Aone Naga Sakti Sungai Kuning 8

Cari Blog Ini