Titik Nol Karya Agustinus Wibowo Bagian 4
Darah... darah... darah.... Ada kambing yang ditebas saat asyik menikmati sejumput rumput di sebelah pasak. Ada kerbau yang berusaha melawan, menyeruduk, tetapi akhirnya nasibnya pun sama: kepalanya terhidang di atas nampan bersama bungabunga. Ada ayam yang berusaha kabur, mengepak-ngepakkan sayap, histeris menyambut sabetan pisau. Bau anyir memusingkan. Menyaksikan ekspresi hewan-hewan menjelang ajal itu lebih menyakitkan, karena aku terbayang bakal seperti apa ekspresiku sendiri kalau menghadapi Maut yang sekonyong-konyong datang.
Begitu tersambung ke internet, aku merasa bagaikan pertapa yang menyepi, dan saat turun gunung seketika terkejut menyaksikan betapa tragis berita realita bumi manusia. Dunia ternyata penuh bencana, ajal di mana-mana, nyawa begitu rapuhnya, Maut memang datang tanpa diundang, tak bisa ditentang.
Kashmir: Gempa dahsyat, puluhan ribu tewas, jutaan kehilangan tempat tinggal.
Bali: Lagi-lagi bom meledak, 23 tewas, 196 luka-luka. Dari sini, puncak gunung yang damai kembali terasa bagai nirwana.
Dia tetap ada di sana, menanti. Terserah kau, mau memujanya atau menaklukkannya.
Kitab Tanpa Aksara Kereta api siap berangkat. Berkaca-kaca mata gadis berselendang merah yang berdiri di pintu kereta. Perjalanan ini adalah untuk berpisah dengan Rahul tercinta. Tapi dia tahu, ini adalah pilihan berat yang harus dijalani, pengorbanan yang yang harus dilakukan, demi kebahagiaan sang Rahul yang ternyata memendam asmara pada gadis jelita satunya yang juga berdiri di peron yang sama. Toh cinta bukan berarti harus memiliki dan senantiasa bersama. Anjali tahu diri, Anjali lemparkan selendang merah itu pada si jelita, sebagai doa seorang sobat demi kelanggengan asmara dua sahabat. Kereta terus bergerak, dari lambat jadi makin cepat, siap membawa seorang Anjali pergi jauh-jauh, undur diri dari permainan sandiwara cinta segi tiga. Sementara Rahul baru sadar bahwa perpisahan ini adalah untuk selamanya, langsung berlari mengejar kereta sambil teriak, Anjali, hai Anjali... jangan pergi! I will miss you, yar! Musik sendu mengalir, bersama pertanyaan apakah sesuatu yang telah terjadi, apakah gerangan mimpi ini yang membuat hati tak tertidur tapi juga tak terjaga.
Itulah India yang membayangi imajinasi, yang membuatku
selalu ingin ke sana. Itulah India dari potongan film legendaris Bollywood, Kuch Kuch Hota Hai ( Ada Sesuatu ). Betapa gagahnya sang Rahul dengan kaos ketat dan otot bergumpal-gumpal, betapa cantiknya Anjali dalam balutan sari memamerkan pusar, betapa memukaunya mata besar dan rambut berkibar-kibar dari si Rani Mukherji, betapa mukjizatnya keberuntungan dan serbakebetulan yang mempertemukan kembali Rahul dan Anjali, betapa indahnya cinta, betapa cantiknya akhir cerita. Semua bahagia. Setelah tangisan mbrebes mili dengan aliran air mata sejajar vertikal di pipi kanan dan kiri, semua bisa tertidur nyenyak dengan buaian mimpi indah.
Welcome to India. Begitu tertulis di atas gerbang dari tumpukan batu bata, tepat pada perbatasan Nepal yang baru saja kutinggalkan. Tiga lelaki duduk berbaris di bangku kayu, samasama tersenyum memamerkan geligi putih di bawah kumis pekat. Semua mereka bekerja dengan keseriusan penuh, jaminan efisiensi tingkat tinggi. Lelaki nomor satu di sebelah kiri mengamati paspor dan visa. Dioper ke lelaki di tengah yang menyalin data di buku tebal, huruf demi huruf. Lalu dioper lagi ke lelaki nomor tiga yang khusus membubuhkan stempel, lagi-lagi memasang senyum di bawah kumis. Dioper lagi ke lelaki di tengah untuk cek dan ricek, dioper lagi ke lelaki di kiri untuk meniupniup cap yang masih basah, lalu mengembalikan buku paspor itu kepadaku dengan kedua tangan, sambil berseru, Welcome to India! , mengobrol panjang-lebar-luas, dan menawariku minum teh plus foto bersama. Mengapa perlu tiga orang" Ya, siapa tahu, tiga itu memang angka keramat.
Sementara di sekelilingku, sapi santai melenggang dan melenguh di tengah jajaran tubuh lusinan manusia yang terbaring
di lantai. Para porter menyorong kereta dorong dan menyunggi koper. Pedagang asongan berteriak melengking seperti ingin memutuskan pita suara. Sampah berserakan seperti bintang di langit malam. Para penumpang yang menyerbu kereta di peron seperti serigala lapar beringas memangsa korban, berloncatan naik kereta bukan lewat pintu, melainkan lewat jendela. Mungkin latihan fisik gaya India inilah yang bikin otot si Rahul sampai berbongkah-bongkah begitu. Ketika kereta beranjak pergi, tampak jelas empat benda hitam bergelantungan di seberang sana, berbaris rapi menyemburkan air. Uups... maaf" Sambutan Selamat Datang di India ternyata adalah barisan penis para lelaki yang santai berhajat di balik kereta yang sedang parkir, baru sadar ternyata tameng mereka itu tiba-tiba saja berangkat, dan aktivitas mereka jadi tontonan semua umat. Ada yang lonjong, ada yang bulat, tersembunyi di balik rambut-rambut hitam. Satu lelaki berdiri, satu sambil berjongkok, dua lagi buru-buru merapatkan ritsleting celana. Di kejauhan kakek bersarung melangkah tertatih-tatih dengan bola skrotum yang besarnya mencapai dengkul. Di sepanjang perjalanan terlihat barisan bokong-bokong diumbar dengan santai di pinggir rel, sementara sang empunya terus mengejan tanpa khawatir terjerembab kena sapuan angin dari lajunya kereta.
India di hadapanku ini seketika meletuskan balon fantasi dari masa kecil itu. Plop. Hatiku sangat kacau, fantasiku hilang begitu saja di tengah kerumunan sesak manusia India. Semiliar penduduk memang bukan angka main-main. Di dalam kereta, berdiri di atas dua kaki pun susah saking penuhnya penumpang. Apalagi kalau membawa tiga tas besar sepertiku sekarang. Mereka bilang harus hati-hati. Awas kecurian, kerampokan, kecopetan, kena hipnotis, kecipratan air mani penumpang yang bermasturbasi.... Sepasang kaki bau menempel di wajahku, dan kakiku menggencet perut lelaki empuk berlemak. Tubuh-tubuh bertindihan seperti ikan di jala nelayan. Dengkur bersahutan, susul-menyusul. Kami terhanyut dalam mimpi panjang. Kereta terus berguncang hebat belasan jam. Kami bersama menantikan pagi, ketika New Delhi akan terpampang di hadapan.
Inilah kisah ala skenario ilm India, cerita asmara sejoli tua yang akan kembali dipertemukan.
Lelaki itu bernama Chandra, si perempuan yang memendam rindu itu bernama Widyawati. Mendengar kabar akan datangnya sang lelaki, wajah Widyawati langsung berseri. Pagi-pagi buta dia sudah bangun mendahului matahari. Dia minta anaknya untuk me nyekakan muka, memotongkan kuku panjang dan hitam-hitam, me rapikan rambut, mengoleskan madu pada bibir kering supaya kem bali berkilau. Harus diganti pula baju bau keringat apak. Dia terus menatap jam dinding, jarum-jarum berputar begitu lambat.
Di ranjang sempit yang sudah mengalasi penderitaan berminggu-minggu, dia tak henti bertanya pada anaknya. Kapan Papa datang" Telepon dia. Tanyakan, sudah sampai mana" Bagaimana perjalanan nya"
Si anak tersenyum getir. Sabar, Ma, dia pasti datang. Oh, mama ku yang paling ayu....
Begitu sampai di New Delhi, fantasi sempurna Bollywood itu benaran cuma bualan kosong! Seperti pengemis yang terpaksa
terbangun dari mimpi menjadi miliuner gara-gara perut berkeroncong. Dari tape ringsek di gerobak pedagang gorengan mengentak musik berdentum. Seharusnya, bakal ada ratusan lelaki tampan dan perempuan berbalut sari yang entah-munculdari-mana menari kompak serentak, mengiring nyanyian syahdu dari si gadis yang melengking bagai konser Mini Tikus dalam nada sopran. Tapi fantasi itu tenggelam dalam kebisingan dan bau pesing jalanan bolong-bolong pasar kumuh Paharganj. Raungan klakson yang bersahut-sahutan tanpa henti bukan cuma diterjemahkan sebagai minggir atau aku mau lewat tetapi juga halo , apa kabar" , dan welcome to India . Kulitku hanya lima sentimeter jauhnya dari serempetan rickshaw. Kaukira ini near-death experience" Bukan, sama sekali bukan. Itu keseharian normal, senormal lelehan minyak yang menciprat sewaktu kau gigit gorengan samosa. Tembok, trotoar, gang, sudut jalan, semua memancarkan aroma seperti toilet yang tak pernah disiram ratusan tahun. Seluruh negeri ini tampaknya adalah megatoilet. Aku bernapas dengan mulut menganga. Para lelaki dengan santai berhajat persis di sebelah toilet, di luar. Jangan kaget, itu karena bau tajam menusuk sudah tercium dari radius seratusan meter. Urine yang mengering juga meninggalkan jejak sejarah di semua tembok. Kalau mau bersih, tembok luar rumah harus dipasangi gambar dewa-dewi. Sejorok-joroknya manusia, tentu tak tega mengencingi dewa, bukan"
Kejutan yang ditawarkan India itu laksana gempa. Begitu banyak formula kata orang tentang perjalanan di India. Ada yang bilang, datang ke India kita dipastikan akan mengalami horor 3S: Stolen, Sickness, Sex. Ada yang bilang, India itu singkatan I Never Do It Again sekali saja sudah bikin kapok. Ada
yang bilang, India itu hanya memberi dua opsi: benci total atau cinta total, tak ada yang tengah-tengah. Ada pula yang bilang, setelah perjalanan di India kita jadi tipe manusia dengan dua kemungkinan: orang sentimentil berhati lemah yang trauma disuguhi kemelaratan bertubi-tubi, atau sebaliknya, jadi orang yang kebal rasa, ketika pengemis dan anak jalanan jadi makhluk tembus pandang tak kasatmata.
Losmen tempatku menginap, tentu yang termurah di pasar kumuh ini, cuma memungut biaya seratus rupee per malam, sekitar dua dolar. Di sini aku tak perlu alarm, karena pagi-pagi buta otomatis terbangun dengan ributnya orang-orang yang menjalankan ritual mengeluarkan dahak yang tersangkut di tenggorokan dengan derik menggelegar, disambung bunyi ludahan yang dilontarkan sekuat tenaga. Muncratnya ludah itu hanyalah klimaks lembut dari gemuruh garukan tenggorokan yang memekakkan. Aku juga tak perlu sewa video porno. Tengah malam aku selalu mendapat suguhan gratis tak bisa ditolak: siaran lenguhan erotis sepasang kekasih dimabuk asmara dari kamar nun jauh di ujung sana. Ah... uh... ah... uh... yesssss... goooood... oh yesss... le lo....
Kalau kau masih punya energi, kuceritakan pengalamanku menumpang rickshaw di New Delhi. Kau sudah diperingatkan, hal sepele bisa jadi bertele-tele, seperti skenario sinetron ala India yang bisa menyambung sampai ribuan episode. Aku: Ke KG Marg" OK" Mercantile Building" Dia: OK, Sir. Twenty rupees.
Aku: Sepuluh rupee! Dia: OK. Ten.
Begitu aku duduk di dalam rickshaw dengan tenang, merapatkan kaki, melipat lengan, menarik napas dalam-dalam, siap berangkat. Eh" Rickshaw butut ini tak bergetar juga.
Dia: So tell me, which airline, company, you going" (sambil menggoyang-goyang kepala di bawah serbannya)
Aku: Cuma ke Mercantile Building. (ikut menggoyang-goyang kepala kiri-kanan, ketularan kebiasaan ini hanya setelah dua hari berada di negeri India)
Dia: American library"
Aku: Bukan. Mercantile Building Dia: Accha... so American library. Aku: No! Mercantile!
Dia: OK. No problem. American library. Aku: Whatever. Bisa berangkat sekarang" Dia: So, tell me, where are you going after"
Aku: Dengar, ya, aku ini kehabisan waktu. Kamu jadi berangkat nggak"
Dia: You need go restaurant" Hotel" Want to buy something" Where to go" Tell me! Tell me now! Quick!
Aku: Aaaargh... Can you PLEASE start moving" I won t go anywhere else!
Dia: OK, Sir, twenty rupees.
Aku: Tidak! Tadi kamu bilang sepuluh! Dia: Sir, you Japanese" Korean" Chinese"
Aku tidak ada mood untuk main tebak-tebakan negara. Aku langsung meloncat turun, mencari rickshaw lainnya, dan akhirnya memilih untuk berjalan kaki. Itu pun ditambah acara tersesat, justru ketika diare menghebat, cirit-birit memaksaku berjalan di trotoar sambil berjingkat-jingkat menunggingkan pantat. Kisah ruwet selalu berulang. Masih teknik andalan tukang
rickshaw yang selalu tak punya kembalian, mengajak berputar ke lusinan toko suvenir, atau melempar penumpang di tengah jalan. Bus tak pernah berhenti sempurna di halte sehingga penumpang meloncat turun sekalian berlatih akrobat, atau sopir hanya menyetir sampai tengah jalan dan melenggang santai untuk minum teh, sementara para penumpang hanya pasrah sambil santai berkipas-kipas. Hati-hati kalau makan di warung, bisabisa orang asing disuruh bayar dua puluh kali lipat. Masih ada penjual yang menyalahkanku karena tubuhku yang pendek gara-gara aku mencoba menawar harga celana panjang. Belum lagi sopir rickshaw yang merangkap sebagai calo hotel, membualkan cerita bohong tentang losmen yang kebakaran atau Paharganj yang kena kerusuhan, lalu mengantar backpacker malang ke hotel mahal. Atau, kalau tidak, si turis diiming-imingi beli berlian murah, padahal palsu semua. Tambah lagi warnet yang memungut berbagai pajak tak jelas, atau tukang reparasi kamera yang malah membentak-bentak konsumen.... Ah sudahlah. India begitu melelahkan.
Pertemuan yang begitu sunyi, tanpa ada kata-kata yang ditukar.
Chandra berdiri, memandangi Widyawati. Mata Widyawati hanya menatap nanar ke arah Chandra. Memandang, hanya memandang. Tak ada rintihan, tak ada keluh kesah. Di titik ini, kata-kata sudah kehilangan makna. Aku terbungkam oleh getaran yang membuncah dari keheningan ini. Pertemuan ini sudah lama Mama nanti-nantikan. Papa datang jauh-jauh dari kampung, terseok melangkah ke kamar pasien.
Kegembiraan sekilas tebersit di wajah kaku Mama, walau mulutnya tetap
membisu. Saat yang dinanti-nantikan, selalu diimpi-impikan, ternyata begitu lengang tanpa gegap gempita. Penyakit itu memang sudah merenggut hampir semua semangatnya.
Semangatku berantakan diacak-acak sambutan penuh kejutan ala India. Begitu lelahnya, sampai aku terpikir untuk mengakhiri perjalananku di sini. Ya, leave it. Tinggalkan saja India. Aku sudah siap dengan segala dokumen, di hadapan gedung kedutaan Pakistan yang dikurung tembok konkret tinggi tak bersahabat.
Mengurus visa Pakistan ternyata butuh gerilya panjang. Hari pertama, aku diberitahu bahwa aku butuh surat perkenalan dari kedutaanku sendiri. Aku kira mudah. Oh, ternyata tidak, Sayang. Bapak Diplomat yang Terhormat sama sekali tidak tertarik dengan cerita petualanganku menuju Afrika Selatan, memungkasku hanya dengan berkata, Tolonglah diri Anda sendiri, dan tolonglah kami juga. Hari kedua, aku sibuk bolak-balik ke kedutaan demi mengajukan surat permohonan buat Bapak Duta Besar. Hari-hari berikutnya, masih aktivitas mengirim surat buat para jurnalis dan NGO di Islamabad, Karachi, Kabul, sampai Tashkent, siapa tahu ada yang mau bermurah hati menerbitkan undangan. Aku tetap sibuk merayu diplomat ini diplomat itu hanya demi surat yang menyatakan aku orang Indonesia. Hasilnya: nihil. Baru di hari keenam, aku berhasil menggenggam selembar surat pengenal yang dikirim dengan faksimile, dari Kedutaan Indonesia di Beijing.
Kepada petugas ketus di balik loket kecil, kuserahkan paspor, foto, formulirku. Dia mendelik. Tidak bisa! Kamu harus bawa
surat dari Kedutaan Indonesia di New Delhi! New Delhi! Mana mungkin kami terima surat dari Beijing"
Tapi, Sir, aku tinggal di China. Cuma Kedutaan di Beijing yang bisa mengakuiku.
Kalau begitu minta surat dari kedutaan China! Tapi aku orang Indonesia, bukan orang China! bantahku. Kalau negaramu tidak mengakuimu, bagaimana kami bisa mengakuimu" OK! Next!
Glek. Kalau bukan negaraku sendiri, siapa lagi yang mengakuiku" Baju batik lengan panjang dan songkok yang kukenakan sama sekali bukan bukti keindonesiaanku, bahkan pasporku pun tak dianggap. Hanya surat, selembar surat dari kedutaanku sendiri yang tak berhasil kudapat. Aku kalah. Aku melangkah lunglai, sempoyongan.
Ini sudah amunisi terakhirku, surat birokratis yang susah payah kudapatkan melalui banyak sambungan telepon internasional yang sudah menguras bujet. Semua Plan A, Plan B, sampai Plan Z bermunculan di benakku, tapi pukulan ini terlalu telak. Di hadapan gerbang kedutaan Pakistan, kupandangi kibaran anggun bendera hijau dengan bulan sabit.
Kenapa kamu tidak protes" seru lelaki tua dari Kashmir sembari menepuk punggungku. Ayo! Maju lagi! Jangan buang waktu di sini! Mendadak aku punya lusinan suporter. Para lelaki Muslim ini, senasib dan sepenanggungan denganku, telah merasakan siksaan derita akibat birokrasi ruwet visa Pakistan. Suntikan energi dari sesama pejuang ini membuatku berani kembali berbaris hingga ke hadapan loket di tembok tebal. Maju!
Yang kuterima adalah bentakan. Mengapa kamu datang lagi"! Aku bilang tidak bisa itu artinya tidak bisa!
Sir, kutarik napas dalam-dalam, kulambatkan nada bicara, Aku cinta Pakistan. Itulah sebabnya aku masih terus berjuang. Sir, hatiku juga sangat terguncang, mendengar bencana yang menimpa saudara kita di Kashmir. Coba lihat surat rekomendasiku ini, Sir. Jelas tertulis, aku ingin bergabung dengan tim relawan di sana, menolong apa pun yang aku bisa. Aku memang bukan siapa-siapa, Sir, tapi tolonglah niatan baik ini. Mehrbani karenge, Sir. Please.... Kata-kataku mengalir begitu saja. Aku ingin bergegas ke Kashmir, mengabdikan diri bagi korban gempa. Kalau perlu, sekarang juga.
Petugas itu terdiam. Detik-detik berlalu penuh ketegangan. Bahkan para pemohon visa di sekelilingku terkesiap, tercekat, seolah menanti jawaban yang menentukan hidup-mati.
Petugas itu akhirnya bicara, Datang kembali besok sore, jam dua, ambil paspor.
Seketika itu juga, sorak-sorai meledak. Kalau ini film India, pasti ada lagu menyeruak dan joget bergolak. Orang-orang Kashmir itu langsung merangkulku, menciumi dahiku, menepuk badanku, memeluk dan mengangkatku berputar-putar di udara, bahkan membelikan aku teh (di tengah bulan Ramadhan). Kedengarannya hiperbolis memang, tapi sungguh aku merasa bagai pemenang medali emas Olimpiade yang membawa harum nama negara.
DUARRR. Letupan India bukan sekadar kejutan budaya. Pasar Paharganj luluh lantak, bom meledak hanya seratusan meter dari losmen tempatku menginap.
Baru saja aku merayakan kemenangan dengan visa Pakistan di genggaman, aku langsung berhadapan dengan hari berdarah. Tiga bom simultan mengguncang New Delhi, tepat dua hari menjelang perayaan Diwali, empat hari menjelang Idul Fitri, di pasar-pasar yang ramai pembeli menjelang hari raya. Si kambing hitam langsung dihujat. Pedagang menjerit, Pakistan! Ini pasti ulah Pakistan! Tega-teganya mereka! Kami sudah banyak bantu mereka setelah gempa di Kashmir! Dan ini balasan dari mereka!
Sirene polisi bertalu-talu, sementara para reporter dan juru kamera berlari kalang kabut. Berjalan pun susah, massa pasukan mau-tahu justru berbondong-bondong menonton lokasi bencana seperti kerumunan menonton layar tancap. Para jurnalis menyodorkan mikrofon, para warga berebutan bicara, atau sengaja lalu lalang dan menongol-nongolkan kepala agar terekam kamera. Para saksi mata bercerita tentang kepala lelaki yang melayang di udara, sepotong kaki perempuan yang tersangkut di atap, serpihan telinga, dan gadis kecil yang terluka parah. Penjaga warnet langgananku masih bersimbah darah. Dia telah berlari dua belas kali pergi pulang ke rumah sakit demi menggotong korban.
Sore ini, lebih dari enam puluh nyawa meregang. Aku tercengang memandangi reruntuhan Club India, tempat favorit turis mancanegara untuk mencicip masakan Tibet, yang sekarang tinggal rongsokan. Seng, pecahan kaca, serpihan furnitur, berlapis darah. Turis Inggris berteriak histeris takut teroris, katanya mau pergi dari negeri horor ini, sekarang juga. Aku pun mungkin bernasib sama, kalau pada saat ledakan aku mencicip makan malam di restoran China sebelah.
Trauma menghantui. Keesokan pagi, hanya muramnya perkabungan yang menjiwai. Paharganj seketika berganti roh. Sunyi, sepi, kelabu. Tak ada lagi pedagang di pinggir jalan, tak ada lagi teriakan Halo Japani, konnichiwa, please come to my shop! , tak ada kemacetan pejalan kaki. Tak ada lagi panggilan menarik pembeli, karena calon pembeli juga sudah tidak ada. Pasar mati mendadak. Kemeriahan menyambut hari raya berganti cucuran air mata.
Impresiku seketika berubah warna. Jangan pernah anggap kesan pertama sebagai realita. Ini bukan waktunya berbalik arah mempercepat langkah, karena India ternyata masih punya banyak cerita. Teknik tipu-tipu dan penuh kecurangan para sopir, atau para pedagang yang menjengkelkan, atau para pengemis yang begitu dekil dan agresif, semuanya menjadi termaafkan. Karena aku pun adalah bagian dari mereka. Kami, rakyat jelata, menangis bersama di hadapan tragedi yang sama, yang begitu
Kesunyian akhirnya pecah.
Hwie, bagaimana kamu" Papa baru bicara setelah kebisuan begitu lama. Yo, cuma begini saja, jawab Mama lemah.
Dia pribadi yang selalu terlihat kuat dan keras, kukira mampu memberi kekuatan baru bagi Mama. Tapi, siapa yang masih sanggup bertahan dalam keadaan seperti ini sekuat apa pun dia" Papa menangis. Lambat-lambat, dia meratap. Hwie... aku... tak bisa kurangi rasa sakitmu.... Aku... aku....
Menatap Papa yang berdiri sambil mengusapi mata dengan saputangan kumal, Mama berkata, Jangan menangis, Ho. Kamu yang kuat. Kamu jaga badan ya.
Hampir hilang suaranya, tapi tetap tanpa ada air mata di wajah Mama. Papa mencium keningnya, lalu bibir ketemu bibir.
Sebuah romansa terulas walau hanya sekilas.
Oh, siapa itu perempuan yang tertunduk lesu di situ, di bangku depan pintu" Tas ransel teronggok di lantai. Petugas losmen
sibuk mencatat data dari paspor, sementara dia hanya duduk menanti, menatap nanar dengan wajah sepucat mayat. Lam Li! Aku berseru.
Dia menatapku, tersenyum sepintas. Sakit parah, katanya. Beberapa hari ini sejak meninggalkan Varanasi selalu muntahmuntah hebat, kena diare pula. Diare sepertinya memang kewajiban yang harus dialami semua traveler di India. Aku bantu bawakan barang ke kamarnya, yang tepat di sebelah kamarku. Baru saja aku menutup pintu, terdengar suara gedebak-gedebuk. Lam Li tergopoh-gopoh mencapai kakus umum yang tepat di seberang kamar. Tapi terlambat. Gelombang muntahan berliterliter cairan bening terlontar dari mulutnya, membanjiri lantai membasahi kasur. Petugas losmen buru-buru datang, Lam Li sibuk minta maaf.
Keramaian mereda setelah acara bersih-bersih lantai dan ranjang dirampungkan. Kelelahan luar biasa tergambar di wajahnya. Pintu ditutup, dia perlu istirahat tidur siang melepas penat setelah perjalanan kereta semalam suntuk.
Aku masih terkesima dengan perjumpaan tak terduga ini, masih tak percaya aku akan bertemu kembali dengan backpacker Malaysia ini di tempat sekumuh dan seramai Paharganj di pinggir stasiun New Delhi. Tanpa janji, tanpa kontak, kami seperti diikat takdir, mirip skenario serba-kebetulan ala Bollywood.
Lam Li, entah kekaguman macam apa dan dari mana yang menggebu dalam hatiku setiap kali berhadapan dengannya. Tiga puluh umurnya, enam tahun lebih tua daripadaku, seorang diri dia wanita mau keliling dunia. Kepalanya nyaris botak, sungguh macho penampilannya, ditambah lagi gaya bicara meluap-luap dan tawa membahana. Kathmandu adalah saksi perjumpaan perdana kami, semua juga tanpa sengaja. Ceritanya, ada temanku backpacker dari China yang kebetulan tinggal di losmen yang sama dengan seorang pesepeda China selatan yang kenal dengan pesepeda China utara yang kenal dengan lelaki China tengah, yang ternyata teman dari teman dari seorang turis cewek dari ibukota China, yang tidak sengaja bertemu Lam Li di pedalaman China. Setahun lalu, dia tinggalkan pekerjaannya sebagai wartawati senior di Kuala Lumpur, demi perjalanan. Kepala botak itu memang sengaja, katanya untuk menyamar jadi biksuni, supaya bisa masuk kuil di Tibet secara gratis (dan berhasil!). Dia jagoan, nyaris tak pernah bayar karcis, mengandalkan teknik panjat-tembok-dan-loncat. Bahasa Melayunya sangat fasih, sesuatu yang langka di kalangan Tionghoa Malaysia. Namanya juga sering dikira nama lelaki Melayu kalau di telepon, sering dia ditanya, Awak ni betul perempuan, kenapa nama Ramli"
Setelah beberapa hari yang memalukan buatku di Kathmandu itu, Lam Li lenyap begitu saja dari kisah perjalananku. Dia pergi trekking sendirian ke Annapurna, sedangkan aku masih sibuk berkutat di kantor polisi mengurusi dompet hilang. Kami tak bertukar alamat email, atau mengucap komitmen untuk memelihara hubungan. Kupikir ini juga bakal jadi kisah pertemuan biasa dengan sesama traveler di jalan, berhalo-hola, jalan bersama sehari dua hari, lalu putus hubungan karena setiap orang menjalani perjalanan masing-masing.
Tapi siapa yang sangka, berselang dua bulan sejak perpisahan itu, Lam Li hadir lagi dalam hidupku. Aku semakin menghargai arti perpisahan dan perjumpaan kembali. Walaupun itu biasa dalam perjalanan, tapi tetap saja, ada takdir yang menentukan.
Orang bilang, tak ada buku yang tanpa faktor kebetulan. Aku bilang, tak ada cerita perjalanan yang tanpa kebetulan.
Siapa tahu, ini justru pertanda, aku memang harus tinggal lebih lama di India. Dengan visa Pakistan di genggaman, memang seharusnya aku bisa berangkat hari ini juga untuk membantu korban gempa seperti rencana semula. Tapi, aku masih ingin berjalan dengan Lam Li menyelami India, negeri yang disebutnya penuh dengan paradoks dan kontradiksi, sudah layak disebut satu benua sendiri. Aku tak mau menyiakan keberuntungan ini. Di mataku, dia adalah seorang guru. Walaupun sakit parah, Lam Li masih menyempatkan beli koran lokal bahasa Inggris, dibaca dengan teliti lalu diguntingi dan dikliping. Lihat, itu cara ber-backpacking yang kelas tinggi. Dia mantan wartawan, aku ingin jadi wartawan.
Kudengar dia mau ke Rajasthan. Ke situ pula aku ingin pergi.
Aku mau jadi turis dulu, kataku pada Lam Li. You are always a tourist, dia mengoreksi.
Bukan, maksudku, aku mau istirahat. Menenangkan pikiran. Sebelum berangkat ke Pakistan, setidaknya aku harus mengintip sedikit dari India dulu. Tentunya itu cuma alasan, tak mungkin aku berkata langsung kepadanya: hey, aku ingin berguru.
Rajasthan" Iya, Rajasthan. Ada kota pink, kota biru, kota emas. Rajasthan adalah warna-warni India, kataku.
Tidak salah" Yakin mau ke Rajasthan buat menenangkan diri" Kamu harus ingat, Rajasthan sama sekali bukan tempat
beristirahat, India bukan tempat untuk bersantai. Yang ada, kamu mungkin malah tambah stres!
Lam Li mengisap rokoknya dalam-dalam. Sejak kena diare seminggu ini, dia memutuskan berhenti merokok. Tapi, kok penyakit malah tambah parah. Anehnya, wajah pucatnya justru jadi segar setelah dia merokok, plus minum Coca-Cola campur garam.
Ya sudah, kalau itu memang keputusanmu, berangkatlah dulu ke Jaipur, katanya, besok aku susul. Hari ini aku masih sakit. Kalau sudah dapat penginapan murah di sana, bagi tahu ya.
Betapa rasanya hatiku terbang ke awang-awang. Pakistan memang harus menunggu. Sekarang waktu untuk belajar, berpesta menyambut Diwali, sekalian menikmati India!
Kepadaku, Papa bercerita bahwa itu adalah ciuman pertamanya pada Mama. Seumur-umur, tidak pernah Papa menciumnya. Buat apa, katanya, itu cuma basa-basi. Tapi tadi itu adalah ciuman istimewa, entah ada energi dari mana.
Bagi orang Tionghoa sekolot mereka, kisah cinta romantis hanyalah pujapuji asmara dalam novel. Dalam kehidupan sebenarnya, tak ada kata cinta , tak ada ciuman, bahkan belaian sayang pun tidak.
Itu ciuman pertama. Mungkin juga yang terakhir, bersama langkah kaki terseok Papa meninggalkan rumah sakit, pulang ke kampung halaman.
Kepadaku, Mama yang tak bisa bangkit lagi dari ranjang ini bercerita, betapa dia mendamba ciuman dan belaian suami itu sudah sejak lama, tapi tak pernah ada.
Kuberinya satu ciuman di dahi, satu pelukan, satu belaian, satu ucapan wo-ai-ni.
Sebagai anak, mungkin hanya ini yang bisa kuberi.
Haruskah aku buka pintuku" Lam Li bertanya, sambil mengunyah puri, jajanan gorengan murah meriah ala India. Orangorang dari negeri ini, ada satu hal tentang mereka: susah dipercaya.
Sore ini Lam Li baru saja datang. Di terminal tadi, dia berkenalan dengan sopir autorickshaw yang mengundangnya datang ke rumah untuk melihat sembahyang puja menyambut Diwali. Tapi, dia sudah terlalu kenyang mendengar cerita tipu-tipu ala India, kewaspadaan penuh harus dipasang untuk menghadapi segala macam undangan. Dia bilang, pintu hatinya sudah tertutup rapat.
Aku mengiris lembaran kulit roti dosa yang dicampur dengan bumbu chatni. Di mataku yang polos, tak ada salahnya untuk percaya undangan tukang rickshaw. Memang mereka sering sangat menjengkelkan, tapi kan bukan semua orang jahat.
Lam Li memujiku karena selalu bisa percaya semua tawaran kebaikan orang, selalu bisa bersahabat dengan orang-orang baru dan penduduk lokal di mana-mana. Ya, memang itu bukan hal yang seratus persen bagus, tapi itu adalah jalan menuju petualangan. Undangan ini, dipikir dari sudut kiri, kanan, atas, bawah, tetap tak masuk akal. Ada berapa juta turis asing yang membanjiri Rajasthan" Kami bukan makhluk istimewa, selain
dipandang sebagai dompet berjalan yang selalu menjadi target teriakan kasar Halo! Halo Japani!
Baiklah, kata Lam Li, biar sekali ini aku beri kesempatan untuk buka pintuku. Siapa tahu, memang ada niat baik. Tapi awas kalau tidak, akan kututup lagi pintuku terhadap segala macam undangan seperti ini.
Sopir itu sungguh datang tepat pukul setengah lima sore tanpa terlambat barang semenit pun hal yang langka di negeri jam karet elastis ini. Dengan rickshaw (di negeri kita disebut bajaj) yang diparkir di sebelah losmen, si sopir bak pangeran menjemput Sinderela dengan kereta kencana.
Boleh aku ikut" aku bertanya, malu-malu.
Lam Li bilang itu ide bagus, kalau saja ada apa-apa kan kita berdua bisa saling bantu.
Si sopir bilang itu ide buruk, acara ini khusus perempuan, karena di rumah ada istri dan anak gadisnya.
Jangan khawatir, kata Lam Li, dia sudah janji mau antar aku pulang dua jam lagi. Aku bisa jaga diri. Tapi kalau ada apaapa, kamu bisa lapor polisi.
Kepergian Lam Li membuatku gundah. Entah apa bakal terjadi, perempuan asing dibawa lelaki yang tak jelas asal usulnya. Apalagi ini hari pertamanya di kota ini. Sedangkan aku, orang yang diharap Lam Li untuk menyelamatkannya, malah tampil mengecewakan. Aku sudah diwanti-wanti mengingat ciri-ciri rickshaw yang membawa Lam Li, buat jaga-jaga kalau lapor polisi nanti. Bukannya mengingat nomor plat, aku malah cuma ingat bentuk rickshaw dan warna catnya. Padahal, semua dari puluhan ribu rickshaw di kota Jaipur berbentuk sama dengan warna seragam hitam kuning.
Dua jam berlalu, Lam Li tak kunjung datang. Tiga jam, langit sudah gelap, aku tambah gelisah. Menit merambat begitu lambat, aku hampir tak kuat.
Jam sembilan malam, baru dia datang. Dengan tawa tergelakgelak dia mendengar cerita kebodohanku yang cuma ingat warna rickshaw. Aiyo... pelindung macam apa kau ini" Benarbenar tak boleh rely on you lah! serunya.
Soal puja, tak ada yang istimewa, Diwali juga dirayakan setiap tahun di Malaysia. Tapi tentang sopir itu, sungguh pengalaman luar biasa. Rumahnya cukup bagus, tak besar tapi tak terlalu kecil juga. Si sopir ini kelihatannya punya penghasilan lumayan. Tiga orang tinggal di sini: si sopir, istrinya, anak gadisnya. Si sopir hanya bercuap dalam bahasa Inggris.
Jangan kuatir, katanya, Istri dan anakku tak berpendidikan, tak bisa bahasa Inggris, jadi kita bebas bicara apa saja. Apa saja"
Lelaki berkumis itu lalu mengisahkan petualangannya dengan belasan turis cewek asing. Dia menyebut daftar negara taklukan -nya: Inggris, Kanada, Jepang, Korea.... Mungkin sebentar lagi Malaysia mau menambah"
Si istri sibuk menyiapkan teh, lalu bersama putrinya duduk manis sembari memandang dengan mata berbinar, mengagumi sang suami yang fasih bercas-cis-cus bahasa luar bersama seorang wanita asing dari negeri yang mereka pun tak tahu ada di mana. Padahal si suami sedang membual tentang istri gelapnya yang orang Kanada, yang dengan bangganya baru saja dia ceraikan.
Kalau kamu mau, kata lelaki itu, Kamu pun boleh mencoba kehangatan lelaki India.
Khusus untuk undangan seperti ini, Lam Li pilih tutup pintu.
Anak macam apa aku ini" Bahkan hingga di titik ini pun Papa dan Mama masih begitu asing bagiku. Ada rindu terpendam, ada rasa tak terucap. Ada pula kemarahan gara-gara cinta yang dikubur dalam-dalam. Dan aku tak pernah tahu itu semua.
Dia lelaki paling ganteng di seluruh dunia. Dia aslinya paling penyayang, ujarnya.
Sebelum sakit, Mama selalu memperhatikan penampilan. Menghabiskan waktu lima belas menit sehari bersibuk dengan kosmetik. Baju pun selalu modis, memancarkan wibawa ala nyonya dari kota. Dia rutin senam aerobik dua kali seminggu, ditambah lagi menenggak jamu diet ramuan Tionghoa, bentuk badannya selalu sintal, ramping aduhai. Aku bangga, mamaku paling cantik di dunia, selalu awet muda. Tapi pujian keayuan Mama itu tak pernah keluar dari mulut Papa. Tak pernah lagi, barang sekali pun.
Mama menghela napas, Ya, mungkin ini cinta satu arah....
Di mataku, hal yang membedakan kualitas perjalanan adalah apakah digunakan hati. Ada orang yang pergi ke ratusan negara, sampai sudah tak ingat lagi mana-mana saja yang pernah didatangi, selain bukti foto-foto dan cap di paspor yang menjadi piala kebanggaan. Ada orang, seperti Lam Li, yang berjalan perlahan-lahan, mendalami negeri-negeri, menyelami manusia, menganalisa sejarah, mempelajari budaya, mencatat tiap cerita.
Dalam dunia per-backpacker-an selalu beredar diskusi tak habis-habis tentang apakah kita ini sebenarnya turis atau traveler. Katanya, turis itu pasti menginap di hotel mahal sedangkan traveler di rumah penduduk lokal. Turis bawa koper, traveler bawa ransel. Turis naik pesawat, traveler jalan darat. Turis ikut tur terima jadi, traveler bertualang sendiri. Turis suka manja, traveler doyan derita. Turis banyak duit, traveler pada pelit. Turis bawa buku panduan, traveler mengintil angin. Turis selalu bilang, I am traveler, si traveler bilang, Who cares" Turis adalah traveler amatir, traveler itu turis profesional. Turis selalu berdebat beda antara turis dan traveler, sementara si traveler cuma tertawa. Begawan traveler (atau turis") Paul Theroux bilang, turis tak ingat tempat mana yang sudah dikunjungi, traveler malah tak tahu ke mana mau pergi. Daftar ini tak ada habishabisnya, tapi yang jelas: tourist is always the other guy.
Lam Li bukan backpacker yang hanya tahu berhemat atau menyombongkan diri dengan ritual menaklukkan negara anudan-inu dengan bujet berapa-berapa dolar. Dia justru berbangga menyebut diri sebagai turis. Kita semua memang turis! Buat apa malu mengakui" Kita semua adalah pemburu eksotisme. Dan itu artinya, turis!
Sebagai turis yang bertandang dengan visa turis (memangnya ada yang pakai Visa Traveler"), kami juga sama tertawa ha-ha-hihi mengunjungi tempat-tempat wisata ala turis. Tapi memang karcis masuk ini mahal sekali, tak mungkin mengunjungi semua tempat dengan dompet kami yang cekak. Hanya boleh satu tempat wisata per kota, kata Lam Li, dan prioritasnya adalah benteng. Mengapa benteng" Itu adalah fantasi Lam Li tentang
India, benteng bagaikan syarat mutlak cerita zaman dongeng peri dan pangeran negeri Hindustan.
Kami bayar tiket masuk Amber Fort, yang mahalnya cukup buat penginapan dua malam (ini pun dengan berat hati, karena teknik panjat-tembok-dan-loncat tidak mungkin diterapkan pada benteng-benteng Rajasthan yang begitu kokoh). Kami mengunjungi setiap ruangan, mengagumi keindahan arsitektur, mengeluh karena panas membakar. Puas keliling benteng, kami cari jalan pulang, tapi malah kesasar di gang-gang sekitar. Tak apa, tersesat itu justru bagian paling asyik dari perjalanan. Di sini kami menemukan kreativitas anak-anak India: bermain badminton dengan bet pingpong, bermain kriket dengan raket bulu tangkis dan kok, bermain pingpong dengan meja biliar.
Dengan berbagi cerita ala turis, Lam Li mengisahkan perjalanannya sendiri. Sudah banyak negara dia lintasi sejak meninggalkan Malaysia. Tentang Air Terjun Amazing di Thailand, yang ternyata cuma pancuran cilik sama sekali tidak amazing. Tentang penginapan supersempit di Vietnam, petualangan penyelundupan yang melelahkan di pedesaan Tibet timur, juga kekecewaannya karena gagal ketemu Maois di Annapurna. Pakistan, Afghanistan, Iran, Timur Tengah, perjalanan Lam Li masih panjang. Sampai ujung Eropa sana, katanya. Lalu dari benua biru, lewat Rusia, Mongolia, China, sampai kembali lagi ke rumah di Malaysia. Semua itu bakal ditempuh dengan jalan darat. Benar-benar Grand Overland Journey, perjalanan kolosal sekali seumur hidup.
Lagi-lagi perempuan Malaysia!
Tiga tahun lalu, juga seorang perempuan Malaysia yang telah menginisiasi mimpiku keliling dunia. Saat itu, aku benaran
backpacker pemula, masih kikuk mondar-mandir di perbatasan Mongolia. Wanita muda nan hebat berambut cepak itu, bersiap melakukan perjalanan menyeberangi Eurasia, semua dengan jalan darat. Perjalanan akbar itu, grand overland journey itu, membayangi mimpi-mimpiku setiap malam saat aku masih berstatus mahasiswa, hingga akhirnya aku sampai di sini, dalam pengembaraanku sendiri.
Hati-hati dengan visa Rusia, saranku pada Lam Li, Aku kenal backpacker Malaysia lain. Dia juga sepertimu, mau jalan darat keliling dunia. Visa Rusia itu susah buat orang Malaysia. Visanya ditolak di Mongolia, jadi dia terpaksa balik ke Beijing, menumpang di kamarku seminggu penuh. Eh, ditolak lagi, dia terbang langsung ke Paris,....
Lam Li menjerit histeris. Ey! Stop! Don t tell me that we know the same person!!!
Orang yang sama" Bagaimana mungkin" Tell me! What s her name"
Seketika aku tak ingat namanya. Memoriku sering blank kalau disodok soal nama.
Lam Yuet! Isn t she Lam Yuet"! serunya.
Ya! Lam Yuet! Namanya benar Lam Yuet! Aku menatap tak percaya. Dunia begitu luas, jalan ada berjuta-juta. Ini terlalu mustahil.
Tapi Lam Li masih ada kejutan yang lebih parah. Lam Yuet is my sister. Dia itu kakakku yang keliling dunia tiga tahun lalu! Suara Lam Li menghentak.
Mustahil! What a small world! Kakak kandung! Sudah berbulan-bulan aku kenal Lam Li, ke mana-mana selalu bersama. Dia juga sering bercerita tentang kakak perempuan yang keliling
dunia. Tapi tak pernah tebersit sekali pun di benakku, dua perempuan Malaysia yang paling berpengaruh dalam perjalanan hidupku itu ternyata adalah saudara kandung! Dua-duanya hadir dalam pertemuan tak terduga, berselang tiga tahun. Setali tiga uang, Lam Li sama sekali tak menyangka akulah orang Indonesia di Beijing yang diceritakan kakaknya.
Bodohnya kau! seru Lam Li, Tak pernahkah kau berpikir ke arah situ" Sama-sama orang Malaysia, sama-sama bermarga Lam. Ya, setidak-tidaknya, itu sudah petunjuk alam.
Hubungan itu memang begitu ajaib.
Pernah ada mimpi-mimpi, rayuan, senyum kebahagiaan. Ada pula pengkhianatan, pertengkaran, kemarahan, kecemburuan, pengingkaran. Ada kebanggaan, ada pula kehinaan yang dipendam.
Dia, yang kini terbaring di hadapanku, dalam sebagian besar waktu memang memancarkan cinta satu arah yang tanpa balasan apa-apa dariku. Aku pernah duduk manis di atas pangkuannya, tangan mungilku bersamasama tangan kurusnya membalik-balik lembaran halaman buku dongeng yang dibacakannya. Beberapa saat yang lain, yang oleh karena sebab sepele apa aku lupa, kami malah pernah jadi musuh bebuyutan, saling maki lalu saling mendiamkan sampai berhari-hari.
Kini, di saat yang tak terduga oleh sebab yang tak dinyana, aku yang sudah dewasa kembali duduk di sampingnya, menjadi seorang sahabat baru yang tidak pernah terbayang sebelumnya. Sementara aku tertunduk membacakan kitab kehidupanku, kami pun bersama menyusuri halaman demi halaman kitab rahasianya yang selama ini tersembunyi dan senantiasa misterius.
Bagiku, petunjuk alam itu adalah bahwa tak ada yang tak mungkin dalam perjalanan.
Orang China menyebut ini sebagai yuanfen, perjodohan. Kita menyebutnya takdir. Sesungguhnya, tak ada kebetulan yang benar-benar kebetulan. Setiap pertemuan dan perpisahan itu sudah ada yang mengatur, sudah menjadi guratan nasib. Hubungan anak dengan ibunya adalah perjodohan. Hubungan suami dengan istri, hubungan guru dengan murid, kawan dengan sahabat, bahkan hubungan antara anjing dengan tuannya. Rekan kerja ataukah keluarga, kekasih ataukah musuh, semua adalah produk perjodohan. Bukankah perjodohan pula yang mengatur, sahabat setia pasti akan bertemu jua walau terpisah lima samudra" Bukankah kalau tidak ditakdirkan berjodoh, orang-orang yang di hadapan mata sekalipun tak akan saling mengenal" Perjumpaan, perkenalan, perpisahan, percintaan, kerinduan, kebencian, pertikaian, kelahiran, kematian, tak seorang pun yang bisa melarikan diri dari mukjizat perjodohan. Bahkan hidup ini pun adalah sebuah perjodohan.
Perjumpaanku dengan Lam Li tentu adalah sebuah perjodohan istimewa, kebetulan realita yang seruwet skenario Bollywood, seperti ada tangan dalang mistis yang mengayun-ayunkan tali-temali untuk mengatur setiap gerakan boneka marionette. Ini seperti tangan sang pujangga Wu Cheng en yang mengatur bahwa si Kera Sakti dan si Siluman Babi harus berjumpa dan berguru pada Biksu Tong, bersama melintasi perjalanan panjang mengambil kitab suci. Eh, bukankah ini kebetulan pula" Perjodohanku dengan Lam Li terjadi di India. Ujung dari Perjalanan ke Barat itu juga adalah India.
Tak salah lagi, dia adalah seorang guru. Eh, siapa tahu, bisa lebih dari itu"
Lam Li mengajarkan banyak hal, mulai dari teknik membilas baju supaya tidak bau sampai kebiasaan membaca buku bermutu demi menumbuhkan pikiran kritis dan rasa mau-tahu. Tentang travel writing yang menjadi favoritnya, Lam Li merekomendasikan banyak bahan bacaan agar aku bisa lebih mengerti tentang India. Darinya, aku belajar mengamati dan berdiskusi, berpikir dan berekspresi. Mengapa tata kota kuno Jaipur sangat rapi" Mengapa banyak anjing India berjalan pincang" Mengapa orang India bisa berdemo sampai rusuh hanya gara-gara harga bawang naik" Mengapa mereka bisa murka kalau makanannya disentuh tangan orang lain" Mengapa model turisme di India lebih baik daripada komersialisasi ala China"
Setiap sore, setelah puas berwisata, kami sering menghabiskan waktu bersama duduk di beranda. Aku menunjukkan foto-foto yang kuambil dengan kamera digitalku kepada si Makcik. Lam Li memandang serius, setiap foto dikomentari.
Hmm... ini komposisinya terlalu ketat! Ini kurang latar belakangnya! Story! Story! Setiap foto harus punya story! Foto yang ini terlalu menjual eksotisme. Ini terlalu gelap. Ini tak ada cerita apa-apa, hanya ekspresi kosong. Nah, yang ini bagus, ada unta, ada burung, ada orang, lengkap semua.
Begitulah, sang kak guru si Makcik Lam Li ini punya pesona unik. Kata-katanya pedas penuh kritik, tapi kenapa aku malah tertarik. Dia tak pernah berdandan, tapi kurasa tak perlu juga. Tubuhnya tinggi semampai, gerakannya sigap tak pernah
gemulai. Dia ini jauh lebih maskulin daripada kakaknya, si Lam Yuet. Jarang Lam Li pakai rok. Terlalu feminin, katanya. Dia lebih suka celana panjang atau jins, jauh lebih cekatan daripadaku dalam urusan panjat tembok benteng atau loncat kubangan. Kalau mau jadi fotografer, katanya, Kau harus lebih berani memanjat, ambil angle sulit, supaya hasilnya lebih luas dan eksklusif. Lam Li paling anti dengan kelambanan, kemanjaan, keluh-kesah. Sering aku dibentaknya kalau berlehaleha, atau berputar-putar saat bicara.
Betapa dekatnya si Lam Li ini pada figur seorang ibu. Ibu"
Ya, ibu. Ibu, dalam benakku, tergambar jelas dalam huruf Mandarin untuk menulis kata Mama . Huruf ma adalah huruf pertama yang kupelajari, katanya itu adalah kata yang paling penting, bunyi pertama yang secara natural diucap oleh bayi yang belajar bicara. Maaa... emmaaa.... Huruf ini susah sekali, butuh dua belas goresan untuk menuliskannya. Bukan huruf M disambung huruf A, tetapi huruf perempuan di kiri dan huruf kuda di kanan. Mama adalah kuda perempuan! Betapa hebatnya para leluhurku itu! Huruf ini tepat menggambarkan mamaku. Para leluhur ternyata bisa meramalkan, Mama sungguh benar lincah seperti kuda perempuan. Loncat ke plafon rumah untuk mengambil tumpukan neon, mereparasi kipas angin, atau mendorong peti telur satu kuintal, berteriak-teriak sampai serak memanggilku untuk menjaga kasir. Kuda perempuan....
Ada bagian dari karakter Mama ini yang kutemukan dalam diri Lam Li. Inilah ihwal kekagumanku pada dirinya, seorang figur wanita pemberani yang kuat dan hebat. Seorang kuda perempuan tangguh tak pernah mengeluh! Setiap hari di India,
di samping Lam Li yang selalu mencetuskan ide perjalanan brilian, hatiku jadi berbunga-bunga laksana musim semi yang merekah, sepertinya selapis es itu meluluh sudah. Dari dulu, aku selalu jalan sendiri, paling enggan punya kawan seperjalanan, apalagi sampai berbulan-bulan seperti ini, benar ada rasa aman dari lindungan benteng bernama Jarak. Aku memang selalu buka pintu pada orang-orang lokal, namun aku tahu setiap persinggungan dengan mereka itu hanya sekejap, lalu pupus ditelan perpindahan jalanan. Membuka pintu, selalu ada ketakutan ketika kita membuka pintu kita terlalu lebar, karena akan terlihatlah tubuh telanjang kita, hilanglah jati diri yang selama ini selalu dilindungi. Tapi bersama Lam Li, aku sungguh ingin meruntuhkan benteng dan tembokku, membuka pintu selapang-lapangnya, tampil lugu apa adanya. Bersamanya, setiap hari adalah penemuan, setiap hari adalah si lugu yang berguru pada sang guru. Setiap pagi, di sisi ranjang aku sabar menantinya bangun, memulai ritual jalan-jalan pagi bersama ke pasar dan mencicip semua jajanan tradisional. Dia adalah orang yang suka perubahan, menu makanan setiap hari harus selalu berbeda, mulai dari puri, aloo paratha, sampai milchi bara semua harus dicoba. Sedang aku, cuma fanatik dengan masala dosa dan selalu masala dosa, sampai bosan hampir muntah baru berganti ke samosa.
Mungkin ini yang namanya saling mengisi" Dua karakter berbeda tapi masih bisa jalan bersama" Aku makin khawatir berpisah darinya, tampaknya negeri-negeri akan hambar tanpanya. Aku pun tak tahu apakah rasa ini, yang membuatku jadi malu berada di sampingnya kalau keringatku bau, belum cuci baju, atau kata-kataku gagu. Apa rasa ini wajar" Apakah persahabatan ini tulus" Beranikah aku menyebut ini sebagai cinta,
atau sekadar kekaguman pada sosok yang mirip ibunda" Akukah yang salah, ketika mimpi-mimpi pun turut menjadi kurang ajar dan vulgar" Apakah perasaan aneh ini yang membuat bayangan jadi campur aduk, mana yang Lam Li, mana yang Mama" Ataukah sebaiknya kejujuran ini kupendam dalam hati saja"
Seks adalah topik di negeri ini hari ini. Televisi tak bosan-bosan, pagi siang malam, berbulan-bulan, memberitakan skandal bocornya video porno para selebritis, drama sensasional yang belum pernah ada dalam sejarah nasional. Penyanyi top bujangan meniduri lusinan artis jelita papan atas, pose sanggama telanjang bintang idola jadi tontonan gratis seluruh negeri, dari metropolitan sampai pelosok pedalaman. Semua orang sibuk memantengi, mengomentari, memuji, mengasihani, berteori-teori, menyumpahi, mencari-cari, merumpi, seiring makin liarnya rambahan fantasi.
Sekarang zaman edan. Menjijikkan! komentar Mama dari ranjang pesakit sembari menonton televisi yang siarannya itu-itu melulu.
Gaya bercinta orang zaman sekarang beda dengan zaman Mama dulu, kataku.
Itukah cinta sejati" Adakah cinta di situ"
Mama dulu tidak pakai pacaran" Tidak pegang-pegangan, cium-ciuman" Tidak pikir seks"
Jijik! Sama sekali tak ada itu. Waktu Papa pegang tanganku, aku sudah malu salah tingkah, mimpi pun terbayang-bayang. Mama menyimpan senyum tipis di sudut bibir. Cinta ya cinta. Cinta itu harus suci, harus terhormat, tak boleh dikotori nafsu menjijikkan, barang sedikit pun. Mama percaya itu" Mama percaya laki-laki berpikir seperti itu" Kalau benar cinta, ya memang harus begitu, katanya yakin.
Lam Li terus berperan sebagai kawan seperjalanan, teman sekamar, beberapa kali juga berbagi ranjang besar di losmen murah. Tapi aku tahu, hubungan ini tak boleh melangkah lebih jauh. Pernah sekali aku memujinya secara verbal, dia wanita tercantik dan terhebat yang pernah kulihat. Dia cuma terbahakbahak, lalu membalas, Mau kaujadikan apa aku ini" Pacar sekalian kakak sekalian ibu" Model three-in-one"
Lam Li sama sekali tak ingin menikah, dengan lelaki mana pun. Hidupnya sudah cukup bahagia, merdeka seorang diri begini. Dia tak ingin punya anak, tak usahlah beban jadi babysitter seperti itu. Dia bahkan tak mau jadi bibi, sempat mewantiwanti Lam Yuet kakaknya jangan sampai berani-berani melahirkan bayi.
Reputasi kami, para lelaki, sungguh makin jeblok di mata Lam Li ketika para lelaki India tanpa malu-malu tedeng alingaling menampilkan kerakusan mereka pada setiap tubuh wanita asing. Tatap mata begitu lapar, memelototi dari ujung kepala, berhenti di bagian dada, semakin besar ukuran maka semakin lama, lalu turun sedikit lagi ke bawah, lalu naik lagi menatap langsung ke mata, seperti seorang pelanggan yang memilih penjual badan yang akan ditiduri, atau seperti gairah porno menonton kemolekan bintang Baywatch pakai bikini. Adakah cinta sejati di sini" , Lam Li bertanya. Mengapa semua lelaki di negara ini sama saja: menit pertama kenalan, menit kedua tanya apakah sudah kawin, menit kelima sudah minta seks. Mulut mereka pun selalu royal dengan rayuan gombal. Oh, dear.
Oh, honey. Oh, my love. Semua panggilan mesra itu begitu murah, semurah penis-penis yang kau lihat diumbar di pinggir-pinggir jalan. Tak peduli kau jelek, cantik, kempot, kinyis-kinyis, kurus, gembrot, bule, kuning, hitam, nona, nyonya, janda, asal kau wanita.
Aku dan Lam Li menemukan toko boneka marionette, kesenian terkenal dari Rajasthan, yang juga adalah hiburan favorit hobi si Lam Li. Antusias dia bertanya tentang opera boneka kepada si pemilik toko yang mengaku sebagai perajin boneka dari Jaipur. Lelaki yang semula mengantuk menjaga toko sepi itu langsung semangat mengundang kami berdua masuk, menyiapkan teh, dan menanyakan apakah aku adalah boyfriend si Lam Li. Begitu dijawab bukan, blesss, seketika itu pula aku lenyap dari pandangannya, bagaikan makhluk invisibel yang layak diabaikan. Matanya hanya tertuju pada Lam Li, tak sedikit pun terlirik padaku, tak peduli pada aku yang terus-menerus menguap bosan dan terang-terangan melihat jam tangan. Dia bercerita tentang sejarah boneka, bisnis di kota, sampai memeragakan permainan boneka menari lincah, minta foto bersama, merangkul Lam Li erat-erat, dilanjutkan pertanyaan romantis: Apakah kau percaya takdir" Apakah kau percaya kekuatan cinta" Apakah kau percaya cinta pandangan pertama" Tak lupa juga dia membubuhkan nomor kontak dan alamat, mengundang Lam Li menginap di rumahnya sampai berapa lama pun tak masalah.
Apa yang salah di sini" Nafsu seks lelaki India yang menggebugebu membuat kami bertanya-tanya. Mengapa mereka begitu" Apakah mereka hanya melakukan ini kepada perempuan asing" Sebegitu gampangannyakah para turis di mata mereka" Atau
memang banyak wanita asing yang juga menikmati hiburan kilat cinta satu malam seperti ini, sehingga para lelaki lokal jadi makin bernyali" Apakah ini masalah kesetaraan gender" Status perempuan" Agama" Pengaruh Kamasutra" Atau karena mereka suka makan bawang" Bukan cuma manusianya, Lam Li bercerita bahkan pernah melihat sapi suci India berkelamin laki-laki yang asyik bermasturbasi di tengah kemacetan jalan Varanasi. Aku sampai masuk ke perenungan dalam, berusaha keras-keras membayangkan pemandangan absurd seekor sapi lagi masturbasi.
Sekarang, di kota biru Jodhpur, lagi-lagi kisah absurd tentang kehangatan lelaki India yang mendamba cinta. Seorang bocah tujuh belas tahun berjongkok di sudut tembok sambil merokok, menikmati indahnya hari bolos di belakang Benteng Mehrangarh yang menaungi kota. Pemuda berkulit putih berhidung mancung itu cerita:
Namaku Jaswant, aku kasta Brahmin. Aku bolos gara-gara lupa kerjakan pe-er biologi. Keluargaku sangat ketat. Kalau ketahuan bolos sambil merokok, aku pasti bakal digampar bapakku yang garang. Sebagai Brahmin, keluargaku vegetarian, tapi aku juga sering sembunyi-sembunyi jajan ayam di jalan. Pacaran" Aku mau pacaran, aku mau cinta gaya Bollywood. Tapi mana mungkin Brahmin pacaran" Istri dipilih orangtua, itu namanya kawin paksa. Aku tak mau kawin seperti itu, tak ada cinta. Aku mau kawin lari. Kawin lari" Berapa lama" Satu hari, satu hari saja cukup. Aku yakin bapakku pasti akan memaafkan. Eh, ngomongngomong, kamu tahu Ghasmandi" Kalau ada waktu kubawa kamu ke sana. Tak jauh dari Menara Lonceng, itu tempat senang-senang. Cukup 50 rupee (satu dolar lebih sedikit), kita bisa tiduri gadis. Itu tempat paling asyik. Tak takut AIDS" Tidak,
kan aku pakai kondom. Hebat! Aku saja belum pernah lihat kondom! Masa" Mau coba" Enak lho rasanya. Kamu mau ikut aku ke sana nanti sore" Jam lima kutunggu kamu di Menara Lonceng.
Good luck, guys. Jangan lupa ya, pakai kondom lapis ganda! Lam Li tergelak mendengar obrolan ini, sebelum beranjak pergi. Baru saja kami berdua berjalan menuruni undak-undakan benteng, terdengar teriakan Jaswant dari atas sana. Pemuda itu dengan semangat penuh melambai-lambai ke arah Lam Li. Kami menoleh ke arahnya, menunggu kejutan apa lagi yang mau disampaikan dari atas sana.
HEY... CAN I F*CK YOUUU"!!! Dia menjerit, yang saking kencangnya aku khawatir gaungnya bisa merobohkan benteng kuno ini. Tapi kalimat itu menggantung. Dia berhenti sejenak, seperti ada yang kelupaan. ... please..., terdengar lembut dan merdu, seolah tambahan satu kata ini bisa menambah kansnya mendapat anggukan dari Lam Li. Bagai balita merengek minta permen, si bocah merengek minta seks. Please....
Betapa hebat si bocah yang sudah akrab dengan kondom itu! Seumur-umur takkan berani aku mengucapkan penawaran ini pada Lam Li. Dia, yang baru kenal sepuluh menit, jauh lebih ekspres dan kilat dalam meluapkan isi hati dibanding aku yang tujuh tahun lebih tua. Aku menoleh ke arah Lam Li, menyaksikan ekspresi wajahnya. Bukan marah bukan terhina, balasan dari si Makcik adalah tawa terpingkal-pingkal tak habishabis sampai nyaris terguling, seolah rayuan itu malah jadi pelejit kepercayaan diri. Tidak, dear, tidak bisa... kamu masih kecil. Aku sudah seumuran ibumu!
Seorang nyonya Tionghoa yang menemani pasien sebelah mendengar obrolan kami.
Cik, maaf, ngo menyela, katanya, Tacik kalau pernah kena kanker, sebenarnya obatnya mudah: memaafkan. Ada rindu, ada cemburu, ada dendam, ada benci, ada marah, lepaskan semua. Maafkan, berserah pada Tuhan. Dijamin, pasti sembuh. Jangan dipendam, penyakit itu semua asalnya dari pikiran. Saudara ngo juga begitu, tapi bisa sembuh sesudah memaafkan. Maafkan, biarkan semua yang berlalu itu berlalu, Cik. Maafkan... Mama masih ada orang yang belum dimaafkan" tanyaku. Mama menggeleng. Sudah tak ada lagi. Aku sudah lama memaafkan. Cinta itu memaafkan. Sama sekali tak ada sesal dan keberatan lagi.
Kisah-kisah India sejak ribuan tahun pun tak lepas dari seks bersama segala misterinya. Dewa utama dilambangkan sebagai kemaluan laki-laki yang berdiri tegak di atas yoni yang melambangkan wanita, sehingga terciptalah kehidupan alam semesta. Kitab Kamasutra menjelaskan berbagai posisi seks sebagai bagian kehidupan religius, dengan beberapa kuil Hindu berhiaskan ukiran sanggama manusia yang begitu eksplisit dalam beragam gaya, mulai dari misionaris, berdiri, enam sembilan, sampai permainan beregu. Pembaca Mahabharata tentu pernah berfantasi bagaimana si cantik Dewi Drupadi bisa menjadi istri dari kelima satria Pandawa sekaligus. Sedangkan penonton film Bollywood (termasuk aku) pasti sering mendesah kecewa ketika
hidung-hidung mancung dari sang lakon kekar bertelanjang dada dan sang putri seksi basah kehujanan sudah teramat sangat dekat, begitu gawat sampai lalat pun tak bisa lewat, tapi masih juga batal saling melekat.
Dalam dunia realita, lupakan cerita romantis film Bollywood. Di sini katanya sembilan puluh persen pernikahan itu hasil jodoh-jodohan dari orangtua. Mereka langsung kawin tanpa acara pacaran, apalagi jatuh cinta. Bukankah ini seperti judi, yang mungkin menang hadiah utama, mungkin pula rugi bandar" Apa bagusnya pernikahan seperti ini" Seorang gadis Hindu berkata, Aku percaya, orangtuaku mencintaiku sepenuh hati, dan pasti memilihkan yang terbaik bagi hidupku. Seorang pria Muslim menjelaskan, Arranged marriage lebih bagus karena pasangan tidak obral janji gombal selama pacaran, buktinya perceraian di negeri ini sangat jarang. Lihat orang-orang yang bercinta itu, mulut mereka penuh rayuan, dan alangkah kecewa mereka setelah menikah, ternyata janji-janji itu kosong melompong. Cinta muncul dari kebiasaan, pelan-pelan bersemi kalau hidup bersama.
Nyatanya tradisi juga beradaptasi dengan perubahan zaman. Koran hari Minggu adalah edisi istimewa, ada delapan halaman penuh iklan biro jodoh. Ada bagian Boys Seek Girls , juga Girls Seek Boys . Kemudian masih dibagi-bagi lagi berdasarkan lokasi, agama, kasta. Semua lelaki tampaknya tinggi, ganteng, berkulit putih, berpendidikan, bergaji tinggi . Kaum perempuan juga semua cantik, lembut, kulit putih, berpendidikan, berkasta tinggi . Banyak yang mengaku orang asing. Bukan bule yang cari istri India, mereka adalah orang India yang dapat paspor
Amerika, Australia, Eropa. Status ini bikin nilai jual pun ikut naik.
Terlepas dari kisah di balik layar, kemeriahan pernikahan India bagaikan eksotisme kisah seribu satu malam, pangeran tampan beserban menunggang kuda putih pergi menjemput putri ayu dari istana. Kesempatanku menghadiri pernikahan India datang begitu tiba-tiba. Aku dan Lam Li tersesat (lagi-lagi, tersesat!) di tengah gang kota Jodhpur yang meliuk-liuk bak labirin. Tetabuhan bertalu-talu dari sepuluh orang berseragam drumben, bocah-bocah balita meloncat-loncat semrawut, semakin histeris melihat kedatangan kami yang asing ini. Pintu rumah tiba-tiba terbuka, muncul lelaki tua. Kukira kami bakal diusir karena bikin kacau. Eh, malah disuruh masuk. Rumah gelap gulita gara-gara mati listrik, sempit tapi penuh perempuan dengan sari warna-warni, hilir-mudik naik-turun tangga. Aku digeret ke sana kemari jadi juru potret. Dari atas loteng, turunlah sang pengantin pria yang sungguh mirip si Aladdin. Wajahnya garang, tegang seperti murid yang lupa belajar di hari ujian nasional. Setelah baca doa, ibunya tiba-tiba kejang-kejang, histeris seperti kerasukan (entah benaran, entah memang jago akting), lalu membentak-bentak mengusir sang pengantin. Di luar sana, kemeriahan langsung menyambut. Gadis-gadis dan ibu-ibu bergairah meliuk-liukkan badan mengiringi musik berdendang rancak. Berputar ke kiri, ke kanan, puluhan gelang di tangan bergemerincing. Parade tarian karnaval dadakan menyusur jalan. Kami ikut diboyong ke rombongan bus menjemput mempelai wanita, rumahnya di kota tetangga, seratus kilometer jauhnya. Hingga tengah malam, parade perkawinan menyeruak keramaian. Pengantin lelaki di atas kuda diarak keliling kota. Di
belakangnya ada rickshaw dipasangi lima loudspeaker ringsek, gaungnya cukup untuk mengguncang malam dengan suara sumbang penyanyi yang bisa bikin telinga meleleh. Tak apa, keceriaan sedikit pun tak berkurang. Tetabuhan dan trompet bersahutan, diiringi ledakan petasan dan hujan salju buatan. Semua menari penuh semangat, tak peduli apakah gerakan elok dilihat.
Sang pengantin lelaki justru cemas bukan kepalang. Ini hari sangat menentukan, dia bakal akhiri status perjaka. Bagi mempelai wanita, bab dalam kitab hidup ini lebih dramatis. Mulai malam ini, dia tinggalkan rumah yang selama ini menghangatinya, tidur dengan lelaki tak dikenal, yang akan menghangati dirinya pada malam-malamnya berikutnya. Rumah besar yang baru, ayah-ibu baru, kakak-kakak baru, aturan-aturan baru. Tubuhnya lemah, dua puluh empat jam sudah dia puasa, bersama doa harap-harap cemas apakah suaminya nanti sungguh lelaki idaman. Air mata mengalir deras. Bab berikut adalah misteri. Malam ini adalah klimaks yang langsung disambung antiklimaks. Tepat tengah malam, kami bersalaman untuk mengucap selamat, si pengantin pria beserban menadahkan tangan.
Hanya tiga kata terucap: Where my gift"
Dalam kamus perjodohan, setiap pelaku sesungguhnya adalah tokoh dalam skenario megadrama kehidupan.
Dia genggam tanganku erat-erat, berkata, Aku selalu cinta Papa. Apa pun yang terjadi, dia yang paling kusayang. Kamu juga belajar maafkan dia. Satu pesanku, jaga Papa baik-baik!
Maaf, cinta tak berbatas, penantian, kesetiaan,... Mama di mataku semakin menyerupai tokoh utama dalam kitab asmara favoritnya sendiri.
Setulus Cinta. Belenggu Pintu Cinta. Kabut Cinta. Selembut Kasih. Giok di Tengah Salju. Buku-buku yang selalu dipegang Mama itu adalah karya mendayu-dayu mengharu-biru dari novelis Taiwan Chiung Yao, bacaan di sela bosan menjaga toko, yang sanggup membuatnya menangis tersedu-sedu langsung dari kalbu. Cerita favorit itu tak jauh-jauh dari tragedi perempuan dimabuk cinta, dirundung rindu, dimadu, diperkosa (ini kata tabu, Mama selalu menyebutnya dirusak ), dianiaya suami, diperas, dipaksa kerja keras, dikhianati anak, disiksa sakit parah, disia-sia, mati ditabrak mobil, seolah semua tragedi di muka bumi ini dijatuhkan ke atas si perempuan malang.
Tapi apa pun yang terjadi, sang tokoh idola selalu setia dan percaya pada mukjizat cinta.
Buku itu lagi! Buku itu lagi! Mengapa semua orang harus terobsesi buku itu"
Sebuah buku bisa mengubah manusia, sebuah buku bisa merombak tradisi. Dan buku yang satu itu telah begitu didewadewakan, dianggap sebagai kitab suci, sampai menjadi penentu arah langkah. Memang seperti inilah rupa dunia perjalanan kita sekarang, semua terpaku pada buku.
Sudah lusinan penginapan kami cari di kota kuno Jodhpur, semua menyebut nama buku itu. We are in Lonely Planet! kata yang satu, seraya memamerkan setumpuk buku tebal berisi kesan dan pesan dari semua tamu yang pernah menginap. We will be in Lonely Planet! kata yang lain, langsung disambung, Itu karena kami baru buka. Tapi jangan khawatir soal servis. Tahun depan, kami pasti masuk Lonely Planet!
Makcik Lam Li dan aku sepakat melakukan gerakan boikot terhadap Lonely Planet. Kami memang pakai Lonely Planet, tapi bukan untuk menentukan ke mana kami pergi. Sebaliknya, buku itu adalah daftar hitam kami, menentukan tempat mana yang tidak akan kami datangi. Sayang, ini tak selalu mudah. Di daerah padat penginapan murah bagi para backpacker, seperti daerah kota kuno serbabiru di Jodhpur ini, buku itu adalah kitab suci, pegangan semua umat. Semua losmen, guesthouse, hotel menyebut nama buku itu. Semua pasti langsung menyodorkan setumpuk buku tamu, berisi pesan-pesan testimoni para turis mancanegara yang pernah menginap, seraya mengatakan, Kami juga segera masuk Lonely Planet! Bisa diduga setelah
termuat di buku itu, losmen itu akan diinapi orang-orang yang membawa kitab suci yang sama di genggaman, sibuk dengan topik percakapan seputar detil isi buku: tentang restoran mana yang menjual humuss, tentang losmen mana yang baru saja mereka marahi karena harga kamarnya tidak sesuai data di buku, tentang objek wisata mana yang lebih layak rekomendasi, tentang rute jalan pagi mana yang paling seru, sampai tentang hotel mana yang ranjangnya pakai bonus kutu.
Buku itu membuat semua hotel berlomba untuk terdaftar . Ketika seorang penulis buku panduan internasional diketahui sedang berada di kota, semua penginapan langsung sibuk memoles diri, menunjukkan kamar terbaik, menawarkan harga paling murah mendekati gratis, dengan harapan masuk buku, syukur-syukur kalau dapat pujian muluk. Sedangkan bagi yang gagal, buku itu adalah makhluk sial. Seorang pemilik losmen mengeluh, Lonely Planet telah merusak hidupnya, sudah tak ada lagi turis yang menginap gara-gara komentar jelek tentang losmennya di buku itu.
Di pintu gerbang Menara Lonceng, ada dua warung omelet. Yang satu punya plakat besar bertuliskan: Omelette Shop Highly Recommended by Lonely Planet , dengan delapan turis yang menyantap omelet begitu khusyuknya. Di warung satunya lagi, yang tak memasang tanda apa-apa dari buku itu, cuma ada seorang turis Jepang yang makan.
Kitab suci itu telah memancing perang omelet antara dua warung. Otot-otot nyaris beradu, gara-gara pemilik warung yang satu menggeret turis yang nyaris makan di warung sebelah dengan berkata, Hei! Warungku yang masuk Lonely Planet! Kedua warung berada dalam perang dingin. Bersebelahan, tapi
tidak saling tegur sapa. Bahkan para turis pun sepertinya mau tak mau terlibat dalam perang ini. Ketika makan di warung A, aku dan Lam Li hanya curi-curi pandang kepada para turis yang makan di warung B. Demikian pula sebaliknya. Kami seperti rakyat dua negeri tetangga yang bermusuhan.
Buku itu bersabda begini: Terletak di pintu gerbang utara Menara Lonceng Jodhpur, kios omelet ini memang tampak biasa. Tetapi konon mereka berhasil menjual seribu telur per hari, dan penjualnya sudah berkecimpung dalam bisnis ini selama tiga puluh tahun! Kakek botak berkacamata cembungdan-tebal buru-buru memberi update terbaru: Aku sudah di bisnis ini tiga puluh tiga tahun! Dia pun langsung memamerkan testimoni kejayaannya: dua lembar fotokopian halaman Lonely Planet ukuran jumbo, dengan paragraf yang menyebut tokonya, dilaminating pula. Si Kakek bukannya sibuk memasak omelet, tapi malah menggelar koleksi ratusan foto dalam album besar, bukti kunjungan para turis yang berfoto bersama dirinya. Kalau ada lomba narsis se-India, aku yakin dia masuk nominasi. Oooaahem... membosankan. Foto lelaki yang sama, di depan warung yang sama, berpose gaya dokumentasi dengan turis-turis yang memasang senyum generik. Kakek juga punya koleksi ratusan kartu pos, dikirim para pemuja omeletnya, dari Alaska sampai Afrika.
Kalau soal buku tamu, jangan sampai kau berani bertanya, kalau tak ingin tenggelam dalam lusinan kitab tebal yang disodorkannya. Buku-buku kebanggaan itu seperti buku tamu PBB, semua bahasa ada: Inggris, Jerman, Perancis, Cina, Jepang, Korea.
Belum cuba omelette dia, sudah disuruh tulis guestbook ni, tulis
pengunjung Malaysia dalam Melayu. Heran, makanan sesederhana omelet, masih perlu dibanjiri ribuan puja-puji, dibukukan, dijilid, disampul, dilaminating. Siapa tahu kapan-kapan dicetak dan diterbitkan, menjadi best seller di toko buku. Eits, jangan salah, buku tamu ini ternyata menampilkan dinamika unik para turis, eh bukan, traveler.
Bos ini memang benar-benar harus diajari kalau Taiwan itu adalah bagian dari China!!! Penulisnya pasti orang China daratan yang nasionalismenya meledak saat si Kakek dengan wajah tanpa dosa bertanya, You from China" From Taiwan" Tulisan itu memancing hujatan dari pengunjung yang orang Taiwan, membalas dengan tulisan bahasa Inggris huruf kapital: TAIWAN IS ALWAYS A FREE INDIVIDUAL!!! Dibalas umpatan lain: Bullshit. Perang berlanjut, dalam tulisan Latin dan barisan huruf hieroglif memusingkan. Turis China melabrak, menyumpahi kemerdekaan Taiwan yang omong kosong. Ada pula catatan kuliah sejarah Taiwan sejak zaman prasejarah sampai Kuomintang.
Sang empunya buku tentu tak sadar di dalam buku kebanggaannya itu, yang dikira cuma mengagungkan kelezatan omeletnya itu, ternyata ada perang dahsyat meletus. Aku pun dipaksa menulis. Kutulislah dalam bahasa Indonesia, dan diterimanya dengan senyuman penuh terima kasih:
Omeletnya lumayan. Tetapi akan lebih enak lagi kalau aku tidak usah dipaksa-paksa menulis pesan ini.
Aku cuma mau omelet. Itu saja.
Hidup ini sesungguhnya adalah sebuah kitab panjang.
Sebagai bintang utama dalam skenario novel asmaranya sendiri, Mama kini adalah sosok protagonis melankolis. Dia yang tanpa me ngeluh, masih setia mendamba sekecup ciuman suami, bahkan hingga ajal telah menyapa di ambang pintu.
Novel laris memang penuh tragedi dan kejutan, klimaks dan anti-klimaks cerita asmara. Pembaca suka itu, emosi mereka diaduk-aduk. Tapi, tak ada pembaca yang mau semua tragedi ala novel dan kejutan ala skenario ilm itu dicurahkan dalam kehidupan nyata me reka.
Pepatah China bilang, setiap rumah pasti punya kitab yang sulit dibaca. Sayangnya, yang kuhadapi sekarang bukan novel best-seller, melainkan sebuah kitab hidup yang sama sekali tidak menjanjikan happy ending.
Semua orang bawa buku yang sama, pergi ke tempat yang sama, menginap di hotel-hotel yang sama, sampai makan omelet di tempat yang sama. Buku panduan terbaru bahkan menyediakan rute Walking Tour, para pengeliling dunia cukup mengikuti lintasan keliling kota, menyusuri gang-gang Jodhpur sesuai peta. Dijamin efisien irit waktu, objek penting tidak akan ada yang terlewat, dan tidak pakai acara kesasar. Akibatnya, walaupun Mother India begitu luasnya, kita tetap akan bertemu dengan Michael, Peter, Jack, Amit yang sama. Ketemu lagi, ketemu lagi. Kamu lagi, kamu lagi.
Takdir" Perjodohan" Karma" Bukan, ini produk ikatan sebuah kitab suci bersama.
Tidak hanya perjalanan, hidup kita pun senantiasa dituntun buku panduan. Agama punya kitab suci, negara punya konstitusi.
Televisi, telepon, radio, obat, sampai sabun pun dilengkapi petunjuk pemakaian. Bahkan sekarang ada kursus kehamilan, mengajari ibu untuk mengejang, mengontraksikan rahim, mendorong janin, dan berbagai persiapan supaya tidak kaget di Hari-H nanti.
Sejak kecil aku banyak membaca buku, dan kukira aku banyak tahu. Sekarang pun, ranselku dipenuhi buku. Lam Li semula kagum mendengar aku menggendong dua lusinan buku ke mana-mana. Tapi dia kemudian terpingkal-pingkal melihat judul-judul koleksi yang kubawa. Travel Writing , Travel Photography , How to Communicate , Teach Yourself , How to Win Your Friends , dan lima jilid Lonely Planet berbagai negara. Semuanya kategori How-To.
Aiyo... what the hell! Buku apa ini yang kaubawa" Tawanya makin menjadi-jadi ketika dia membuka halaman panduan Travel Writing: Belajarlah bahasa asing. Karena tulisan yang dihasilkan seorang penulis yang mengerti bahasa setempat mempunyai kualitas jauh lebih tinggi daripada penulis yang sekadar melihat. Atau, Hati-hati waktu kirim surat lamaran, jangan sampai kirim surat ke Penerbit A, sedangkan amplopnya untuk Penerbit B
Iya. Memang panduan yang benar sekali. Tapi apa kamu sungguh butuh sebuah buku panduan untuk memberitahumu hal seperti itu" Lam Li bertanya serius. Buang buku-buku panduan, belajarlah langsung dari pengalaman dan kehidupan, berhentilah bergantung pada buku panduan! Baca buku yang membuatmu berpikir, bukan terima jadi. Jangan malas mengunyah dan selalu menunggu dikunyahkan dahulu! Ciptakan sendiri petualanganmu!
Impianku akan petualangan, justru bermula dari buku, dari dongeng-dongeng negeri leluhur yang dikisahkan setiap malam. Sudah berbulan-bulan, dongeng itu tak habis-habis. Mama masih rutin membacakan petualangan Biksu Tong dan rombongan Kera Sakti untuk mengambil kitab suci. Akhirnya, sampai juga mereka pada titik akhir. Tujuan penghujung perjalanan panjang penuh bahaya sudah terpampang di depan mata. Di negeri azam India, bertakhtalah Sang Buddha. Biksu Tong siap menerima anugerah kitab suci yang dicari-cari. Tapi alangkah terkejut dianya, gulungan demi gulungan kitab yang diberikan Sang Buddha ternyata cuma kertas putih tanpa tulisan. Kosong melompong! Apakah Sang Buddha sengaja salah" Atau menipu" Biksu Tong gelisah, marah. Kembalilah dia ke hadapan Sang Buddha, minta diberi kitab suci yang asli. Buddha tertawa terbahak, lalu menyerahkan kitab yang ada tulisannya. Sang Buddha sembari bersabda: Sesungguhnya justru kitab tanpa aksara itulah kitab yang sejati, Kebenaran yang Mahatinggi. Tapi karena orang-orang di negaramu itu masih terlalu bodoh, maka buat mereka cuma bisa diberi kitab yang ada tulisannya.
Aku melongo, mengerjap tak percaya. Ini sama sekali bukan akhir cerita yang kuharapkan. Mengapa penulis dongeng ini begitu tega memberi akhir cerita seperti ini" Tidak memuaskan! Mengecewakan! Bagaimana mungkin, kitab tanpa tulisan itu disebut sebagai kitab sejati" Kertas putih kosong itu Kebenaran Mahatinggi" Lalu apa artinya semua susah payah ini" Semua pengorbanan ini" Semua perjalanan mematikan ini"
Mama menenangkanku. Dia bilang, Justru orang yang bisa baca kitab yang tanpa tulisan itu adalah orang yang paling arif bijaksana.
Sama sekali tidak masuk akal! Kebijaksanaan tertinggi, kepintaran yang paling agung itu adalah buku kosong tanpa huruf! Lalu apa gunanya kita belajar"
Kelak, kalau kamu sudah dewasa, kamu bakal mengerti, kata Mama seraya tersenyum menyimpan misteri.
Berawal dari situ aku mencari. Memang dulu aku belum berani bermimpi bertualang dalam perjalanan bahaya seperti Biksu Tong yang mengalahkan para siluman sampai ke negeri India tempat bersemayam Sang Buddha. Aku cuma bisa membaca banyak kitab ajaran spiritual berbagai agama.
Mungkin ini kunci misteri itu" Dalam Tao-Te-Ching, kitab suci agama Tao yang asli negeri leluhur, kalimat pembuka adalah sebait:
Tao yang dapat dibicarakan, bukanlah Tao yang abadi Nama yang dapat diberikan, bukanlah nama yang sejati Kita bisa mengartikan Tao sebagai Kebenaran Hakiki. Sebagai Tuhan. Allah. Hakikat. Keabadian. Tian. Langit. Sesuatu. Aksara dan bahasa adalah produk dari otak manusia yang begitu terbatas. Ada Sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan beriburibu buku ataupun berjuta-juta aksara, tidak dapat dinalar dengan berlaksa bahasa. Itu adalah Sesuatu yang agung, yang tak dapat diungkap hanya dengan kata-kata. Itu adalah Sesuatu yang menyimpan segala misteri.
Tulisan Tao dalam huruf aslinya berarti: Jalan . Huruf ini menggambarkan sesosok kepala manusia yang menyusuri jalan meliuk-liuk. Huruf ini juga bisa ditulis sebagai gambaran kepala manusia yang berada di tengah persimpangan jalan, vertikal dan horizontal, yang dari guratannya jelas-jelas melukiskan bahwa jalan itu berarti hilir-mudik, naik-turun, kiri ke kanan, kanan ke kiri.
Ya, jalan. Betapa ajaibnya jalan dan perjalanan! Betapa dalamnya filosofi dari sebilah jalan. Jalan, bukan sesuatu untuk didiskusikan atau dibahas teori-teorinya. Jalan adalah untuk dijalani. Perjalanan adalah proses menyusuri jalan. Tak ada kata-kata apa pun yang sanggup menggantikan sebuah perjalanan. Bukan kitabnya yang penting, tetapi hakikat kehidupan yang ditemukan dari perjuangan perjalanan.
Masih ada sebuah dongeng lain dari masa kecilku tentang sang penakluk gunung:
Alkisah, ada seorang petualang yang pulang dari menjelajah ke Himalaya. Penduduk kampung mengelu-elukan kedatangannya, menyambutnya bagai pahlawan, minta diceritai segala detail tentang Himalaya itu. Tapi, mana mungkin mengungkap segala kemeriahan dan keajaiban perjalanan hanya dengan katakata" Maka sang petualang menggambar gunung. Para penduduk begitu antusias, mereka semua menyalin gambar itu, menghafal gambar itu, menganggap diri mereka masing-masing sebagai ahli Himalaya. Semua orang pandai berteori tentang cara pendakian, teknik menyeberang sungai, melintasi padang salju, mendaki tebing, menyisir jurang, menuruni lembah. Mereka bisa berdebat berbusa-busa tentang dunia Himalaya, padahal belum pernah sama sekali ke sana. Mereka merasa tak perlu lagi bersusah payah ke Himalaya, toh mereka sudah tahu semua. Mereka menganggap diri mereka bahkan lebih tahu daripada si petualang sendiri. Mungkin lebih baik kalau si petualang tidak pernah menggambar gunung itu....
Berhentilah membaca aksara-aksara dan berteori panjanglebar. Menceburlah ke jalan, jalanilah jalan, resapilah jalan. Mungkin di sana, di ujung jalan, akan kautemukan sebuah kitab kosong tanpa aksara.
(Dan semoga juga oret-oretan tanpa makna di buku harianku hari ini tidak akan menjadi napak tilas, pedoman, panduan, bagi siapa pun yang kelak membacanya nanti.)
Seiring berjalannya kitab kehidupan, alur pun berbalik ke masa lalu. Setiap kenangan dahulu ternyata adalah kunci misteri di hari ini.
Mama menyebut peristiwa belasan tahun silam. Dia berkisah tentang rindu tak terbalas, cinta berat sebelah. Aku baru tahu, bahtera keluarga kami ternyata pernah hampir kandas.
Masih ingat kamu hari itu" Aku bertanya padamu, kamu mau ikut aku atau dia"
Ya, aku ingat. Saat itu Mama memelukku erat-erat, sampai aku sulit bernapas. Aku menggeleng kuat-kuat, berkata, Aku tak mau memilih, Aku mau kalian semua.
Air mata Mama deras membasahi pipiku. Ini adalah tangisan pertamanya yang kulihat, yang bukan diperas sinetron romantis atau novel melankolis. Drama itu memang telah benaran hinggap ke tengah keluarga kami.
Buku ini adalah sepotong sejarah. Kakek Mamohan menyodorkan buku testimoni peninggalan ayahnya. Ternyata di Jodhpur bukan cuma pemilik hotel, tukang rickshaw, dan pedagang
omelet saja yang punya buku testimoni. Bahkan pertapa pun punya.
Aku dan Lam Li membolak-balik buku tua, harta karun Kakek Mamohan yang paling berharga. Terselip surat-surat, foto, kartu pos yang dikirim dari berbagai penjuru dunia, berasal dari berbagai periode zaman. Penulis kitab adalah para petualang yang pernah singgah di tempat ini, berjumpa dengan sang pertapa suci ayah Kakek Mamohan, mengguratkan secuplik kisah kehidupan manusia.
Titik Nol Karya Agustinus Wibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebuah surat bertarikh 1969 dari seorang pengelana jagat diawali dengan kalimat: Oh Bapa India-ku, engkaulah semangat hidupku. Sang petualang mengisahkan, semenjak meninggalkan padepokan sang pertapa, betapa sedih dianya mendengar tragedi pembantaian di zaman pemerintahan Indira Gandhi, betapa menegangkannya Pakistan yang penuh ledakan bom. Sang pengelana menulis sepucuk surat ini dari Afghanistan, negeri yang kala itu masih menjadi persinggahan favorit kaum hippie. Kepada sang swami pertapa suci, ia mengisahkan pengalaman batinnya di Afghanistan, di mana dia justru menemukan kedamaian dalam hati berkat ajaran spiritual dari Bunda India.
Melalui buku ini, surat-surat dan coret-coretan berbagai manusia, kami pelan-pelan mengenali diri sang swami. Ayah Kakek Mamohan itu, pertapa suci Hindu itu, memang sudah tiada. Buku ini adalah sebuah rekam jejaknya. Sang swami disebutsebut punya aura istimewa, membuat si pengelana Eropa rela tidur berbulan-bulan di atap gubuk padepokan ini hanya demi melihat wajah karismatik sang pertapa. Entah pancaran apa, kekuatan apa. Si pengelana menulis: Tak perlu ada kata-kata
terucap, kita bahkan tak perlu bercakap. Hanya melihat wajahmu, aku merasakan keteduhan tak terkira dalam jiwaku.
Perjalanan, sesungguhnya adalah mesin waktu, yang melemparkan kita kembali menjadi anak kecil, laksana bocah tiga tahun yang mulai melihat dunia sekeliling. Kita tak bisa mengerti omongan orang-orang sekitar dalam bahasa yang begitu asing. Kita jadi buta huruf tak bisa baca-tulis, kita tak tahu aturan, sering membuat kesalahan bodoh yang membuat penduduk lokal tertawa terpingkal. Tak mengapa, itulah diri kita yang sejati. Di jalan yang asing, kita melihat segala sesuatu yang asing dengan mata bocah yang masih lugu, naif, diliputi imajinasi-imajinasi dan dongengan fantastis yang mengiring masa kecil. Tulisan-tulisan polos dari isi hati para musafir adalah bukti. Paragraf penutup di halaman kedua surat berbunyi: Terima kasih untuk airmu yang menyegarkan, terima kasih juga untuk minuman hijau itu.
Membaca ini, aku dan Lam Li tergelak-gelak. Minuman berwarna hijau yang disebut itu pastinya adalah bhang, serbuk hasil tumbukan daun dan bunga ganja, dicampur air lalu diminum. Walaupun termasuk dadah, ini termasuk minuman sakral para pertapa. Lihat Kakek Mamohan di belakang gubuk, menyiapkan bhang dengan menggerus dan menumbuk daun ganja di atas kursi panjang. Dia menawari kami mencicip. Kami hanya menggeleng-geleng.
Buku-buku dan surat lama adalah kenangan memori. Kehidupan yang nyata adalah Kakek Mamohan sekarang. Dia sendiri pun adalah sepotong sejarah, memancarkan aura kedamaian yang sama, dengan senyum lebar di balik jenggot putih lebat. Umurnya sudah lima puluh enam, tinggal sendirian di padepokan mungil di bawah pohon rindang, kecuali di waktu pagi saat dia kerja di kantor listrik. Mengapa menyepi sendiri" Kakek Mamohan berkata, ini adalah pengabdian, keluarga ini punya tradisi. Dari zaman kakeknya, lalu ayahnya, dan sekarang dirinya, semua adalah paniwallah, alias tukang air, yang memberikan air segar pada siapa pun pelintas jalan yang kehausan, tanpa minta apa-apa bayaran.
Inilah ayahku, Kakek Mamohan menunjuk sebuah foto lelaki tua, yang tepat menggambarkan imajinasiku tentang seorang swami. Lelaki botak, rambut uban memanjang, jenggot putih lebat menyentuh dada telanjang. Di dahinya ada guratan panjang tika berwarna oranye, seperti yang selalu dibubuhkan orang Hindu sehabis sembahyang puja.
Kakek Mamohan sendiri seperti fotokopian ayahnya. Di lehernya tergantung untaian kalung biji rudraksha suci, yang katanya adalah jelmaan dari air mata dewa Syiwa, azimat pengusir bala. Dulu waktu di Kathmandu, aku melihat betapa anehnya pertapa nyasar asal Rusia di Freak Street yang tergilagila mengoleksi rudraksha. Sekarang, melihat untaian rudraksha di leher Kakek Mamohan di padepokannya yang sepi ini, aku merasa itulah tempat yang lebih tepat bagi bulir-bulir biji suci itu.
Salam yang selalu diucapkan sang pertapa itu kepada kami adalah Hari Om, Ramram. Khusus kepada kami berdua yang dianggapnya sebagai sahabat yang berjodoh, Kakek Mamohan menganugerahkan sepasang nama Hindu. Ashok untukku, Lilavati untuk Lam Li. Ashok alias Asoka dalam bahasa kita, adalah nama maharaja dari Dinasti Maurya, yang lambang roda
cakra dan singanya menghiasi lambang negeri India modern. Sedangkan Lilavati, artinya dia yang memiliki kejelitaan . Lilavati!
Betapa miripnya nama Lam Li itu dengan nama ibuku sendiri: Widyawati!
Kakek Mamohan tertawa. Sudah ada darah India dalam tubuhku, katanya, dan mungkin aku dan Lam Li memang berjodoh.
Widyawati, dalam bahasa Sanskerta itu Vidyavati, artinya dia yang terpelajar . Pemerintah zaman Orde Baru mewajibkan semua warga Tionghoa pakai nama Indonesia, sehingga ramai orang-orang berganti nama. Nama itu dipilih, karena paling mirip dengan nama Tionghoa-nya, Hwie, wangi rerumputan . Sedangkan nama ayahku pun nama Hindu, Chandra yang artinya bulan , peleburan dari nama Tionghoa Chen-ho.
Kakek Mamohan bilang itu berarti aku memang sudah ditakdirkan ke India. India adalah takdirku. Siapa tahu, dalam kehidupan terdahulu, aku adalah orang India. Dan Ashok itu memang adalah nama yang paling tepat buatku, seperti halnya Lilavati itu benar-benar yang paling cocok untuk Lam Li yang cantik.
Maukah kalian lihat perempuan tercantik dalam hidupku" Kakek Mamohan menggeret kami ke ruang gelap yang tak sampai semeter lebarnya. Di sana terpajang poster Dewi Kali di hadapan altar. Sekujur tubuh sang Dewi dibalut kulit ungu kehitaman. Rambut gelap tergerai lurus sampai ke pundak. Dari bibir yang semerah darah terjulur lidah panjang yang basah. Darah mengucur deras dari mulut itu. Sang Dewi haus darah. Di tangan kanannya terjambak sebuah kepala manusia tanpa
tubuh, di bawah kakinya terinjak-injak belasan badan yang menjerit tanpa daya. Di leher Sang Dewi tergantung seuntai kalung dari puluhan tengkorak. Betapa menyeramkannya gambar Sang Dewi Kematian ini!
Dialah idolaku! Perempuan yang paling kucintai dan kupuja dalam hidupku. Perempuan tercantik di seluruh jagat raya. Perempuan yang kekuatannya mahadahsyat tak terkira, kakek tua Jodhpur itu berujar, dengan senyum penuh kekaguman. Dan, tataplah matanya itu!
Mata itu! Sungguh kontras dengan segala kengerian dan kegarangan Sang Dewi, kedua bola mata itu terukir indah, terbuka lebar, penuh cinta dan welas asih. Sepercik kelembutan dari tatap mata tubuh yang menyeramkan. Mata agung. Mata Dewata.
Semua kontras itu tergambar dalam satu tubuh sang Dewi, misteri sang pemusnah yang dipuja sebagai kecantikan sempurna.
Setelah melewati semua derita ini, aku tak takut apa-apa lagi.... Ma, jangan menangis.
Setelah ini, masih ada apa lagi" Paling juga mati. Mati ya mati. Mati itu lepas, merdeka. Apa lagi yang ditakutkan"
Ma.... Jangan.... Ya, aku tak takut. Barang sedikit pun.
Dia termenung. Menerawang ke langit-langit yang kusam. Memejamkan matanya.
Tapi, aku terpikir Papa, terpikir kamu, terpikir adikmu. Rasa takut itu
datang lagi. Aku takut sekali. Kalau saja bukan karena kalian, sungguh aku sama sekali tak ada takut apa-apa....
Inilah India, dengan kontras-kontras dahsyat yang saling bertabrakan.
Masyarakat Jodhpur selalu mengisahkan sejarah legendaris tentang cinta yang mampu mengalahkan segala: Alkisah, Maharaja Jodhpur di abad ke-18 mau membangun benteng raksasa. Dia mengirim tentaranya mencari kayu. Para tentara datang ke desa pinggir gurun, tempat satu pohon besar menaungi. Tetapi warga penganut Bishnoi di sini terlalu mencintai alam, menebang pohon adalah kejahatan tak termaafkan. Amrita si gadis desa langsung memeluk pohon besar itu, sambil berseru ke arah bala tentara: Tebanglah aku dulu sebelum kalian tebang pohon ini! Para tentara pun langsung mengayunkan kapak. Crot... Amrita mati di tempat. Penduduk desa semua marah. Tapi bukannya menyerang tentara, mereka justru mengikuti jejak Amrita, memeluk pohon itu dan pasrah pada ayunan kapak para tentara. Para tentara raja tak berbelas kasihan, setiap orang yang menghalang pasti langsung ditebas. Satu mati, yang lain menyusul. Begitu seterusnya, darah membanjir, tiga ratus enam puluh tiga penduduk tewas hanya demi menyelamatkan sebatang pohon.
Desa Bishnoi di zaman sekarang tetap kerontang, tapi penduduk masih menyediakan air untuk diminum rusa. Pertanian mereka juga sering gagal, selain karena kurang air, juga karena dimakani rusa liar. Tapi mereka tak bangun pagar untuk lindungi tanaman. Kata mereka, biarkan saja kita kelaparan, yang penting hewan-hewan itu kenyang.
India adalah paket lengkap. Kita tertawa bersama, menangis bersama, histeris dan takut, marah, terharu, semua bisa terjadi bersamaan, seperti satu paket combo emosi yang disodorkan film Bollywood. Bagaikan campur-aduknya masakan thali, kurang satu rasa saja semua jadi hambar. Membaca kitab akbar India adalah bagaikan melihat lukisan Dewi Kali yang kejam namun cantik. Orang bilang, tak bakal ada satu buku pun yang sanggup menulis tentang India. Mereka juga bilang, segala fakta memang benar di India, dan semua hal yang berlawanan dengan fakta itu pun pasti benar juga di India. Paradoks India itu adalah fantasi ala Bollywood di tengah kesemerawutan dan bau pesing. Paradoks itu berupa kemiskinan ekstrem tapi masih mencatatkan indeks kebahagiaan tertinggi. Paradoks itu adalah para pertapa spiritual yang bersinar di tengah samudra penipu yang dimabuk dunia material. Paradoks itu adalah kekuatan dahsyat di balik kelemahlembutan, seperti perlawanan tanpa kekerasan Mahatma Gandhi yang justru menggetarkan kolonial Inggris Raya.
Mengalami India adalah seperti menemukan harta karun kitab kuno di tumpukan barang usang di gudang. Kitab tanpa aksara itu membuat semua pembaca menengok nostalgia masa lalu, memandang realita hari ini, sekaligus menantikan misteri masa depan. Sang pujangga India termasyhur, Rabindranath Tagore, pernah mengunjungi Jawadwipa di Nusantara, dan menulis, Aku melihat India di mana-mana, tapi aku tak mengenalinya. Kini, aku yang dari Jawadwipa di Kepulauan Hindia bertandang ke negeri Jambudwipa India, dan kutulis, Aku melihat Nusantara di mana-mana, aku mengenalinya, tapi semuanya ditarik ke kutub-kutub yang paling ekstrem.
Bersama rangkaian cerita-cerita kenangan dari mulut Mama, memori pun diputar mundur seperti ilm dengan alur lashback.
Aku teringat, sayup-sayup tangisan Mama yang bersembunyi di sudut kamar.
Ada pembantu mungil yang dipecat.
Ada selembar surat tulisan tangan acak-acakan seperti karya anak SD, tapi isinya membuat gemetaran. Surat ancaman, minta uang tebusan, karena si pembantu centil itu hamil.
Ada bantahan Papa: Semua itnah, tak pernah dia berbuat itu. Dari mana bisa hamil" Ini semua guna-guna.
Ada lelehan tangisan Mama saat pergi mencari dukun Tionghoa di kota tetangga. Dukun menyuruh kami bawa sepasang boneka: satu laki-laki, satu perempuan. Disembahyangi, dikasih mantra dan azimat. Kami cari sungai bercabang tiga, kami hanyutkan kedua boneka di cabang berbeda. Boneka berpisah, asmara yang tak patut pun harus ikut tamat.
Aku teringat, setelah itu, pelan-pelan kemelut rumah tangga mereda. Mama yang dulunya selalu tidur dengan anak-anak, kini setiap malam pindah kamar sebelah, berbagi bantal dengan Papa.
Ringan sudah ranselku, telah kuloakkan buku-buku panduanku.
Berat langkah kakiku, kembali sendiri kujalani jalananku.
Rasanya baru sesaat lalu aku memulai bab perjalanan ceria bersukacita mengelilingi Rajasthan bersama Lam Li, dari Jaipur sampai ke Jodhpur. Bersama kami mengikuti festival unta, tidur seranjang di lantai demi mengirit karena harga melangit semasa perayaan. Dari Pushkar, kota super-vegan Hindu yang saking ketatnya sampai tidak ada telur dan susu, bahkan anjing-anjing pun ikut jadi hewan vegetarian, kami rela melarikan diri sejenak ke kota tetangga yang Muslim hanya demi sepiring nasi kari kambing mengepul. Liburan di tengah liburan, sebulan lebih bersama Lam Li adalah saat-saat terindah, yang membuatku belajar untuk menemukan pengalaman baru di luar buku panduan.
Tapi tak ada buku yang tak berpenghabisan, tak ada pertemuan yang tak berujung perpisahan. Aku mengemasi ranselku. Lam Li yang tinggal sekamar berbagi ranjang mengingatkan, jangan sampai terlambat, bus akan segera berangkat. Kapan lagi kita bisa bertemu", tanyaku.
Aiyo, jangan kau bikin ini jadi drama. Pertemuan dan perpisahan itu sudah biasa. Kalau kita memang berjodoh, pasti kita akan bertemu lagi. Sometime, somewhere.
Aku sebenarnya masih ingin berjalan denganmu, kataku, Kau masih ingin pergi ke ashram tempat si biksu suci itu kan"
Iya. Aku dengar perempuan itu tidak makan tidak minum sama sekali tiga puluh tahun tanpa henti. Aku ingin buktikan sendiri. Tapi tak lama-lama, mungkin cuma dua hari, aku mau teruskan ke selatan, ke Udaipur, lalu Gujarat. Visaku masih panjang di India, masih ada empat bulan lagi.
Ah, sayang, aku harus buru-buru ke Pakistan.
Ya, kau harus ke sana, cepat-cepat. Ingat janjimu untuk jadi
relawan gempa. Baik-baiklah kau bekerja di sana. Jaga diri, pelihara kontak, siapa tahu kita masih bertemu lagi di Pakistan. Juga Afghanistan", tanyaku.
Siapa tahu. Sudah! Cepat sana kau berangkat. Kami berpelukan. Tapi hanya sekilas, aku sudah merasa berdosa. Aku tak tahu pasti, mengapa rasa ini. Tampaknya, punya kawan seperjalanan yang menggirangkan itu juga membahayakan, menimbulkan keterikatan. Aku jadi semakin tergantung padanya, sampai begini lemah tak berdaya. Perpisahan ini, aku tahu memang perlu, karena masing-masing kami butuh ruang sendiri untuk bernapas. Lepaskanlah segala sesuatu justru pada saat kau masih menikmatinya, sebelum mencapai titik jenuh ketika kenikmatan itu malah berbalik arah menjadi kebosanan, penolakan, penyangkalan, kebencian.
Hari-hari awal perpisahan, aku masih melangkah lunglai, seperti dijebloskan langsung dari keceriaan surgawi kembali ke realita dunia India, menghadapi sendiri gangguan para calo, teknik tipu-tipu bus dan rickshaw, pedagang pinggir jalan yang agresif, dan orang-orang yang tak segan melakukan apa pun demi duit. Staminaku tampaknya belum pulih. Berbekal tiket bus di tangan pun ternyata tidak menjamin perjalanan aman.
Lelaki yang duduk di pinggir jalan menggeleng-geleng. Wah, tidak bisa, dear, katanya, bus yang kamu tumpangi itu tidak jadi berangkat malam ini.
Masalah! Seperti skenario Bollywood, jangan kaget kalau di India masalah selalu muncul tiba-tiba, tak ada angin tak ada hujan. Tak perlu kaget pula kalau solusinya juga langsung muncul tiba-tiba. Lelaki itu menawarkan jalan keluar paling gampang.
Aku disuruh pindah ke bus lain, dia bisa ganti tiketnya kalau aku bayar 50 rupee tambahan.
Ah, lagu lama, plot skenario ini terlalu gampang ditebak, aku sudah tahu arah permainan. Serentetan masalah tak terduga bermunculan, dan solusinya selalu gampang: uang. Tapi orang ini sungguh sembrono dalam teknik tipu-tipu, masih kalah denganku, turis asing yang kebetulan memang tampak bodoh. Saking bernafsunya mengincar duitku, dia bahkan lupa memeriksa tiketku, menanyakan aku mau berangkat ke mana, jam berapa, naik bus apa, membayar harga karcis berapa. Mau bertanding ujian kesabaran" Tak jadi berangkat pun aku tak kesah, biar aku duduk saja di sini!
Tak dinyana, sekarang fisik yang bermain. Dia menyambar karcisku, mencoretinya dengan tulisan dan angka.
Aku tak peduli, terserah dia mau corat-coret sampai sobek sekalipun. Melihat taktiknya tak berhasil, dia menurunkan harga. Aku mengabaikannya. Dia bertanya, aku tinggal di mana. Dengan ketus kujawab, Polu!
Pecundang itu langsung gelagapan. HAH" Kamu teman Polu" Aduh... maaf sekali, Polu itu teman baikku. Dia orang baik....
Ending mukjizat ini terlalu mendadak, seperti kebetulan yang dipaksakan pada film yang kehabisan durasi. Memang aku dengar dari orang-orang kota tetangga, kalau ada masalah sebut saja nama Polu. Tapi siapa sangka, sebaik-baiknya pemilik hotel ternyata namanya saja sudah sanggup bikin calo tiket keder bertekuk lutut.
Tapi kawan, biarpun kamu teman Polu, kamu tetap harus bayar sepuluh rupee ekstra. Buat apa lagi" Buat menaruh
barang di bagasi. Tasmu terlalu besar, tak boleh dibawa naik bus. Lagi-lagi duit. Sepuluh rupee memang tak mahal, tapi aku tak ingat pernah bayar uang bagasi. Aku berseru, aku baru mau bayar kalau semua penumpang lain sudah bayar. Aneh, kali ini dia tak menggebu-gebu lagi, santai saja berkeliling ke calon penumpang lain yang baru datang. Ternyata para penumpang India juga bayar yang sepuluh rupee itu. Aku tetap curiga, jangan-jangan mereka adalah teman-teman si calo yang bermain sandiwara, dan masing-masing akan menerima kembali uang mereka setelah aku bayar. Tapi, pantaskah untuk sepuluh rupee saja mereka bermain taktik serumit itu" Eh, jangan salah. Kelihatannya, orang-orang ini bisa melakukan apa saja demi duit receh satu paisa sekali pun.
Ah, ah, apakah India yang mengubahku jadi begini" Kenapa aku jadi kehilangan sifatku yang dipuji Lam Li itu, percaya pada orang dan membuka pintu pada sahabat" Kerasnya hidup di sini yang penuh tipu-tipu telah mengubahku lahir batin. Kepercayaanku pada orang itu karena aku selalu yakin, orang tidak bakal merugikan atau menyakitiku. Tapi karena sudah terlalu sering jadi korban, kepercayaanku pun menipis, aku sudah membangun tembok dan perisai, melindungi diri dari tatap mata jahat dan rakus, tangan-tangan kotor, jurus tipu-menipu. Hanya satu bulan setengah di negeri ini, pintuku ikut tertutup. Lelah sekali rasanya, berdebat dan curiga setiap detik, hanya demi duit receh.
Apakah aku sudah bertambah cerdas dalam menerjuni jalan, tahu kapan saat tepat untuk buka pintu, tutup pintu"
Atau jangan-jangan, sudah ada karakter Lam Li yang diamdiam merasuk dalam diriku"
Chandra dan Widyawati pun tak tahu, setelah melewati lika-liku bak skenario drama, bagaimana sebenarnya kisah cinta ini bersemi pada mulanya.
Sudah berulang kali kutanya Mama, bagaimana dia jatuh cinta pada Papa. Cinta macam apa yang membuatnya tetap tabah setiap hari dibentakbentak lelaki pemarah penderita stroke dan darah tinggi. Dia cuma bilang: semua terjadi begitu saja, takdir alamiah.
Sudah berulang kali kutanya Papa, bagaimana bisa mencintai Mama yang delapan tahun lebih muda dan tak berpendidikan. Dia bilang: sudah, jangan lagi tanya, tidak ada cerita.
Aku dibuat percaya, cinta ini berawal dengan begitu sederhana. Dari Mama si anak putus sekolah, lalu Papa yang rutin mengajarinya baca-tulis. Begitu saja, kisah tresno jalaran soko kulino ini mengalir terus sampai pelaminan. Itu namanya sudah jodohnya.
Biarlah ini menjadi misteri mereka berdua, misteri yang akhirnya melahirkanku ke dunia.
Bayi itu terpejam, larut dalam tidur. Kulitnya lembut, putih, empuk. Wajahnya halus, dengan olesan tika bundar warna hitam di dahinya. Tanpa dosa, begitu damainya. Mungkin seperti inilah lukisan rupa malaikat.
Tidurnya sama sekali tak terganggu ratusan pasang kaki berlalu-lalang di sekeliling. Kehadirannya juga tak mengganggu para pemilik kaki itu. Tak ada pejalan yang hentikan langkah.
Sungguh biadab! Tidakkah mereka takut akan karma" Aku memaki orangtua mana yang begitu tega. Lalu orang-orang" Para pejalan kaki" Para pedagang asongan dan semua yang lewat"
Tak ada yang peduli. Orang-orang yang kutanya hanya menjawab kuch nehi. Tidak ada apa-apa. Atau, kya karen" What to do" Mau bagaimana lagi" Pemandangan bayi perempuan ditelantarkan di jalan sudah sangat lazim di India. Di tengah keramaian distrik Colaba, Mumbai, ini sama sekali bukan berita. Orang-orang bilang, tak ada yang istimewa.
Lihatlah pakaian yang membungkus bayi itu, kain-kain yang
menyelimutinya. Lihatlah betapa baru dan halusnya. Sudah berapa lama dia di sini" Apa dosa bayi ini" Hanya karena terlahir sebagai perempuan"
Seminggu kemarin aku membaca berita di koran India tentang bayi dibuang di daerah Bihar, menjadi sorotan karena bayinya laki-laki sesuatu yang jarang terjadi. Di negeri di mana laki-laki punya kedudukan jauh di atas perempuan ini, jutaan janin diaborsi sejak dalam rahim, hanya karena jenis kelamin yang salah . Punya anak perempuan di India dianggap sebagai kesialan: strata sosial yang rendah, plus kewajiban orangtua untuk membayar mas kawin yang mahal untuk mengawinkannya.
Takdir terlahir sebagai perempuan menyebabkan banyak anak dibunuh, atau dibuang sampai menggelandang seumur hidup di jalanan metropolitan yang kejam. Begitu banyak tragedi, memang di metropolis berpenduduk lebih dari sepuluh juta nyawa ini, tak mungkin kita memedulikan semua. Aku pun meneruskan langkah.
Karma itu selalu mengejar, kau harus ingat itu, kata Mama.
Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sebuah beban yang belum terlepaskan. Dan inilah cerita yang keluar dari mulut Mama, kala dia terbaring tanpa daya:
Aku pernah melihat hantu itu, saat kamu masih keliling dunia. Aku tak pernah cerita padamu, karena kamu pasti tak percaya.
Hantu perempuan. Bukan aku saja, si Yah juga pernah lihat, sampai berteriak-teriak ketakutan. Rambut setan itu panjang, wajahnya putih polos. Di
gudang, ya di gudang plafon itu. Aku kira tikus, ternyata setan. Aku langsung lari ke vihara. Sembahyang, sembahyang, sembahyang. Setan itu sungguh ada.
Pelarian 1 Dewi Ular 58 Manusia Meteor Sunyaruri 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama