Ceritasilat Novel Online

Titik Nol 5

Titik Nol Karya Agustinus Wibowo Bagian 5


Lihat, kamu tidak percaya. Kalau kamu tak percaya, aku tak teruskan ceritaku.
Sejak berpisah dengan Lam Li di Jodhpur, aku belajar untuk lebih melihat India dengan segala realitanya. Dalam keadaan sakit parah, aku menumpang kereta malam ke selatan, ke kota metropolis terbesar Mumbai.
Mungkin untuk benar-benar dapat menyelami perasaan masyarakat kelas bawah di India, kita harus merasakan dulu kata kunci perasaan itu: penghinaan, ketakutan, dan ketidakberdayaan. Tepat di hari sebelum berangkat, aku mengalami salah satu penghinaan terbesar dalam hidupku.
Pagi itu, aku terbaring di kamar losmen yang gelap. Tubuhku lemas, diare sangat parah, untuk bangkit dari ranjang pun susah, padahal kamarku di lantai dua dan toilet ada di lantai bawah. Kerongkonganku kering luar biasa, tapi untuk beli minuman di toko sebelah aku sudah tak bisa. Pintu kamar sengaja kubuka biar ada cahaya. Masuklah manajer hotel, bertanya kenapa. Aku cuma merintih menahan mulas. Aku minta tolong dibelikan minum, kalau dia boleh bermurah hati.
Lebih dari bermurah hati. Tanpa aku meminta, dia sudah berlagak menjadi dokter. Lelaki kurus berkumis tebal ala Hitler ini merapatkan daun telinganya di atas perutku. Lalu dia menyingkap kausku. Tangannya mulai memijatiku, mulai dari pusar sampai ke bawah. Aku terus berontak, tetapi energiku sudah
tak tersisa. Pijatannya sakit sekali, aku menggelinjang menahan perih.
Dia berkata, Kamu tahu Ayurweda, kan" Ini teknik pengobatan tradisional India. Pasti sembuh!
Wahai! Manajer hotel ini mengerti Ayurweda" Ini seperti meminjamkan jarum ke tukang rickshaw dan menyuruhnya melakukan pengobatan akupuntur. Tapi dalam keadaan sekarang, sempat tebersit sedikit harapan, pijatannya itu sungguhan bakal menghilangkan sakitku. Semakin dibiarkan, pijatannya kok semakin aneh. Aku cuma sakit perut, tapi kenapa tangan kanannya memijat seperti mencubit, sementara tangan kirinya berusaha memelorotkan celana dan dalamanku" Apakah Ayurweda mengobati sakit perut dengan memijat genital" Tak masuk akal! Aku menarik celanaku. Dia pelorotkan lagi. Kutarik lagi. Dipelorotkan lagi. Aku kehabisan napas, hampir pingsan.
Perutmu lemah sekali!, dia memberi diagnosis. Lalu"
Coba lihat perutku! Kuat, kan" Lalu"
Dia membuka kancing demi kancing bajunya, memaksa tanganku untuk meraba perut kerempengnya. Lalu, dia buka ritsleting celananya, mengeluarkan isinya, minta diraba juga. Orang gila! Untung gelap gulita, tak kelihatan apa-apa. Aku langsung membalikkan badan, tengkurap.
Sudah!, aku menjerit, Tolong belikan minuman jus di bawah! Nanti aku bayar!
Yes, Sir! Lelaki itu mengancingkan baju, merapikan celana, keluar kamar.
Sepuluh menit berlalu. Dua puluh menit. Satu jam.
Minuman yang kupesan tak datang juga. Aku merangkak seperti anjing menuruni undak-undakan, sampai ke lobi, dan mendesis ke arah si manajer itu.
Minuman! Minuman! Dia menatapku, langsung menepuk jidatnya sendiri. Aduh, lupa!, dia berseru.
Bagaimana mungkin bisa lupa" Aku curiga, sehabis dari kamarku dia ke kamar mandi dulu melepas hasratnya, lalu lupalah sudah kemurahan hatinya yang dijanjikan semula.
Hatiku berontak. Aku ingin memuntahkan semua penghinaan ini. Tetapi tubuhku terlalu lemah untuk memberikan respons apa-apa.
Ketakutan dan ketidakberdayaan membayanginya. Mama menghela napas, menyambung:
Bagaimana bisa tahu setan itu ada" Pandita sembahyang. Katanya di altar sana, bak berisi pasir bergetar sendiri. Ajaib. Keluarlah huruf-huruf Mandarin di atas pasir. Tulisan terbalik. Tak ada tangan yang menyentuh bak pasir itu. Siapa lagi kalau bukan roh hantu itu yang menulis" Roh itu memang datang.
Di atas tulisan pasir itu, dia bilang begini: Namaku Zhou Meijian. Akulah roh yang mendiami rumah di Jalan Raya nomor dua puluh tujuh.
Pandita bertanya kepadanya, kenapa kau ganggu keluarga umat Go Liok Hwie. Dia tak punya benci, tak punya dendam padamu.
Bak pasir itu kembali bergetar. Kembali keluar huruf-huruf. Aku punya dendam. Dalam kehidupan terdahulu, aku adalah istri sah dari orang yang sekarang menjadi suami Go Liok Hwie. Dia main gila dengan perempuan lain, aku disiksa sampai mati. Empat ratus tahun kucari dia. Sekarang kutemukan di sini. Dendam harus dibalas, dia juga harus mati.
Kenapa aku selemah ini" Aku sudah tak sanggup lagi melawan. Perjalanan kereta seribu dua ratus kilometer meninggalkan Rajasthan, menuju selatan. Kereta penuh sesak, pengemis lalu lalang. Aku ingin tidur, tapi tak bisa. Ranjangku diduduki penumpang yang terus bercanda dan bercerita. Ketika petugas kereta menjual kotak makan malam, aku tak tertarik sama sekali. Aneh, aku tak lapar. Tapi ada bagusnya juga, bisa irit pengeluaran.
Ada yang salah. Dulu saat di China, perjalanan duduk di kursi keras selama empat puluh empat jam nonstop tak jadi masalah. Tapi perjalanan ini cuma delapan belas jam, dan aku sudah hampir pingsan ketika sampai di Mumbai. Belum lagi harus menggotong ransel mencari penginapan murah di daerah Colaba yang mahal. Semua penginapan di atas sepuluh dolar semalam. Yang paling murah adalah kamar bak penjara berukuran 1x2 meter, bersekat gabus, di apartemen tersembunyi.
Kawan, sapa pegawai kantor pos Mumbai, maaf kalau aku lancang. Tapi, kamu sakit"
Tidak. Matamu kuning. Mungkin kamu kena infeksi. Kuning" Kalau merah itu wajar, aku tak pernah dengar ada
gejala penyakit mata kuning. Pasti orang itu salah omong. Ah, mana mungkin" Dia mengambil cermin saku. Aku terloncat melihat wajahku sendiri. Kuning! Benar-benar kuning! Dan wajahku itu, kurus dan kopong. Aku tercekat, mondar-mandir, masih tak percaya nasib ini harus jatuh atas diriku.
Jangan khawatir, kata pegawai pos itu. Coba kamu periksa dokter. Istirahat yang cukup. Banyak minum air tebu. Dua minggu lagi, matamu pasti akan putih kembali.
Ternyata diare yang kuderita di Rajasthan itu bukan diare biasa. Oh, itulah sebabnya tubuhku begitu lemah, sampai berteriak pun tak kuat. Aku langsung bergegas ke rumah sakit No.1 di jantung kota. Pemandangan sungguh tidak meyakinkan. Kakek tua penderita kusta hanya tinggal kerangka berbalut kulit, teronggok pasrah di tepi got depan bangunan rumah sakit dengan telapak kaki keputihan mulai membusuk, sedang dokter berseragam melintas terburu-buru, seolah kakek tua itu tak kasatmata. Di klinik, ternyata semua dokter lagi cuti. Hanya suster yang jaga. Dia bahkan tidak melirikku. Dia langsung menyuruhku pulang, tanpa pemeriksaan, tanpa resep apa pun. Istirahat saja! Itu cuma jaundice. Nanti juga sembuh sendiri. Tak ada lagi yang bisa kamu lakukan!
Jaundice" Apa itu" Baru pertama kali aku dengar nama penyakit ini. Gaya suster bicara kedengarannya seperti flu, penyakit remeh. Penelusuran di internet menunjukkan nama yang jauh lebih seram: sakit kuning. Alias: hepatitis!
Aku menangis sesenggukan, sendirian di bilik internet. Aku kena hepatitis! Bisa sembuhkah" Apa kuning ini permanen" Bagaimana aku bisa bertahan" Aku baru paham makna ratusan tatap mata kuning tak bersinar di jalanan India, dan sekarang
aku jadi seperti mereka. Penderita hepatitis ada di mana-mana. Saking banyaknya, sudah jadi biasa.
Jangan memaksakan perjalanan ini, seorang sahabat menasihatiku lewat email. Hepatitis adalah keadaan saat banyak backpacker harus mengakhiri pengembaraannya! Sebaiknya kamu pulang!
Pulang! Akhir dari segalanya" Menyerah" Kalah" Tanpa hasil apa-apa" Bagaikan tentara babak-belur dan mundur dari medan perang yang sebenarnya masih belum dimulai" Aku tak rela perjalananku berakhir begini! Aku sama sekali belum ada sepersepuluh jalan menuju tujuanku di Afrika Selatan!
Aku tak boleh berhenti di tengah jalan! Apalah artinya mata kuning dan diare" Esok harinya, kupaksakan diriku melangkah berkeliling Mumbai. Langkah kaki manusia di metropolitan ini begitu cepat, seolah seketika semua orang India berprinsip time is money. Di sudut-sudut jalan yang sama, dari trotoar sampai undak-undakan, dari gerobak sampai jalan beraspal, pagi siang ataupun malam, teronggok tubuh-tubuh manusia tertidur pulas, tanpa atap tanpa alas, menggeletak begitu saja, sehingga susah dibedakan apakah itu tiduran, atau pingsan, ataukah mati benaran. Perempuan elite berdandan ala superstar Bollywood dengan kosmetik tebal, sedangkan perempuan compang-camping di pinggir jalan menyuapi bayinya yang kurang gizi. Di hadapan gedung-gedung pencakar langit, tersebar gubuk kumuh yang memenuhi segala penjuru. Kota yang paling modern dengan pertumbuhan ekonomi paling pesat di seluruh negeri, juga
menjadi tuan rumah bagi slum terbesar di muka bumi, dengan kepadatan di atas setengah juta orang per kilometer persegi.
Aku datang ke Mumbai sebenarnya hanya demi mengunjungi Mahalaksmi, salah satu slum terbesar di kota ini. Aku rela melakukan perjalanan jauh-jauh ke sini hanya demi menonton kemiskinan. Aku adalah turis kemiskinan. Ironi" Tetapi bukankah kemiskinan itu adalah hal yang paling gamblang di India, juga di negaraku sendiri" Semua turis tentu melihat kemiskinan, tapi banyak orang yang lebih memilih untuk melihat-namun-tidakmelihat . Kita hidup berdampingan dengan kemiskinan, tapi begitu mudahnya pula kita mengeliminasinya dari memori kita, seolah semua pengemis dan gelandangan itu menghilang begitu langkah kaki kita berlalu. Kemiskinan itu menyedihkan, cermin segala penderitaan dan ketakutan kita sendiri. Butuh keberanian untuk bertatap muka dengan kemiskinan. Aku sudah bertekad untuk itu, datang ke Mumbai, langsung ke jantung kemiskinan.
Nama Mahalaksmi berasal dari nama Dewi Kemakmuran, tapi hidup di sini sangat jauh dari makmur. Mungkin justru karena itu, Dewi Kemakmuran selalu diingat dan dipuja. Di sinilah ribuan orang menggantung mimpi dalam keruhnya air cucian. Mahalaksmi menjadi pusat penatuan terbesar di dunia, tempat puluhan ribu orang terlibat dalam bisnis cuci-mencuci baju milik warga di seluruh penjuru metropolis. Ruas-ruas kolam kecil bagi para penatu terbentang sejauh mata memandang. Lebih dari setengah juta helai pakaian dicuci per hari dalam satu kompleks penatu, sekitar seribu pakaian dikerjakan seorang pencuci.
Vinoj salah satunya. Lelaki ini datang dari Bihar, dua ribu kilometer jauhnya, dengan sebongkah mimpi: hidup makmur.
Tapi kota ini sudah terlalu penuh orang yang datang hanya bawa mimpi. Kota ini kejam menggilas. Vinoj akhirnya terdampar di Mahalaksmi, melakukan pekerjaan kasar, bergelut dengan pakaian kotor dan air keruh setiap hari, pagi siang sore. Katanya itu karma, seperti orangtuanya yang cuma penyapu jalan dan kakeknya yang cuma membersihkan toilet. Rutinitas yang sama terus berulang: pakaian kotor dicampur sabun, dihantam sekuat tenaga berkali-kali ke dinding batu, diayun ke udara, dihantam lagi, lalu direndam sebentar, diayun, dihantam.... Seribu pakaian, setiap hari, setiap minggu, sepanjang tahun, tanpa hari libur.
Tetangganya, Muslim dari Bihar yang juga bermata kuning tak bercahaya, begitu gembira melihatku datang. Dia langsung memilih pakaiannya yang terbagus: jubah panjang berwarna cokelat bermotif bunga-bunga emas. Sekarang kamu boleh potret aku, katanya. Dengan senyum penuh kebanggaan dia berpose di ruang kerjanya yang sempit, hanya berisi meja kayu dan setrika rombeng yang seperti berasal dari zaman Perang Dunia II.
Mengapa harus malu dengan pekerjaan ini" kata Vinoj. Kami tidak mengemis, tidak mencuri. Kami malah bantu Mumbai bersihkan diri dari debu dan kotoran!
Penatu, alias dhobi, seperti halnya kuli bangunan dan berbagai profesi yang hanya mengandalkan otot, jika dilakukan terus-menerus akan menghantam ginjal, liver, jantung, tulang. Perbudakan fisik ini bisa berujung kematian. Hidup hanya untuk mencari sesuap nasi, itu pun susah sekali didapat. Kita jadi bertanya, sebenarnya manusia itu makan untuk hidup, atau hidup untuk makan" Orang bilang, hidup memang harus berusaha,
untuk mengubah nasib. Tapi di alam realita, sekadar mimpi dan usaha tidaklah cukup. Banyak hal yang terjadi di luar kekuasaan kita manusia jelata. Ada kekuatan besar yang mengatur jalan hidup kita semua. Takdir" Nasib" Kasta" Karma" Orang percaya, dosa dan pahala yang dibuat di masa lalu, menentukan suratan kehidupan mereka di hari ini.
Karma adalah urusan perhitungan Yang di Atas. Kasta sesungguhnya adalah garis batas sosial ciptaan manusia, yang sayangnya ikut menentukan takdir. Pembersih got hanya lahirkan pembersih got. Anak pengemis hanya boleh jadi pengemis. Miskin hanya bisa tetap miskin. Pelacur, transgender, penyapu jalan, penguras toilet, pemulung sampah, dan kelompok kastakasta rendah lainnya adalah makhluk hina, tak boleh disentuh untouchable, untuk selamanya dan berbelas-belas keturunan sesudahnya. Garis kasta tak bisa ditembus, bagaikan rantai yang membelenggu seumur hidup. Dosa dan kehormatan orangtua diturunkan pada anak-cucu. Sayang, tak seorang pun bisa me milih lahir dari rahim ibu mana atau produk sperma ayah yang mana.
Ada hal luar biasa tentang India. Sekali lagi tentang paradoks. Kemiskinan memang begitu akut, persaingan di tengah miliaran jiwa begitu ganas, tekanan sosial dan kasta pun sering kali di luar batas manusiawi, sehingga jutaan orang menjalani hidup yang bukan hidup . Tapi di tengah keadaan yang seharusnya begitu tragis, aku justru menemukan tawa paling lepas, kegembiraan yang bukan dibuat-buat. Vinoj bukannya berkeluh kesah, malah masih terus bercanda. Dia optimis hidupnya bakal lebih baik, kemakmuran yang dijanjikan Dewi Laksmi yang posternya tertempel di dinding rumahnya pasti akan datang. Bocah-bocah
riang bermain ayunan dari kertas yang digantung pada ujung gerobak. Kakek begitu bersemangat menggosok gigi dengan air comberan di tepi tumpukan sampah, sedangkan para perempuan Hindu mengenakan baju sari berwarna-warni meriah, kontras dengan kumuhnya perumahan miskin yang menyesakkan.
Mari makan bersama kami, kata seorang tukang cuci, menawarkan makan siangnya padaku. Nasi dan kuah lentil terhidang di atas piring gembreng. Nasinya banyak, kuahnya sedikit. Walaupun mereka sendiri tak punya cukup makan, tapi masih mau berbagi denganku yang asing ini. Melihat mataku yang kuning, tukang cuci lain bahkan membelikanku minuman dingin, harganya lebih dari separuh pendapatan hari ini.
Sementara di kejauhan, tampak gedung-gedung tinggi berbaris menjulang. Tebersit pertanyaan, seberapa lama lagi mereka harus bergulat di air kumuh ini, untuk mencapai mimpi-mimpi yang terbentang di pelupuk mata sana"
Sering kali takdir menepis mimpi.
Pepohonan hijau terbungkuk-bungkuk diterpa angin. Tanah cokelat menampakkan lubang hitam dan dalam. Sebuah mayat terbujur kaku dalam peti. Orang menangis sesenggukan di sekeliling.
Kulihat potretku di sana. Tertulis namaku. Papa. Mama. Adikku. Semua menangis tersedu-sedu. Aku berteriak pada semua orang itu, Aku belum mati! Aku belum mati! Jangan dikubur!
Tapi mereka tak peduli. Tak ada yang peduli! Tanah diuruk, dilemparkan dengan sekop, menutup lubang menganga. Aku terus berteriak, tak ada yang dengar. Aku belum mati! Tolong!!!
Mereka sungguh kejam. Mereka terus mengubur mayat itu. Mengubur aku.
Aku arwah penasaran. Kulihat Papa dan Mama menangis. Mereka menangis setiap hari, sampai seminggu, sebulan, aku pun tak tahu. Tetapi setelah itu, mereka berhenti menangis. Lelahkah" Bosankah" Atau sudah lupakah" Hidup berjalan normal. Apa ini setahun" Dua tahun" Lima tahun" Jalan di kampung
masih tetap ramai, toko-toko masih tetap buka, sepeda dan becak lalu-lalang. Aku melayang-layang, jadi makhluk tembus pandang yang menyambang teman-teman. Tak ada lagi orang yang menyebut namaku. Tak ada yang ingat aku. Aku sudah terhapus dari memori mereka semua. Hidup mereka berjalan normal, baik-baik saja, tanpa kehadiranku. Sedangkan di kuburan, aku cuma tinggal tulang berserakan dan segenggam debu di peti mati. Hanya itulah yang tersisa dari hidupku.
Aku terus berteriak, seolah ini bisa mengubah kenyataan tentang kematian. Semua tampak begitu gamblang: arwah penasaran, manusia yang tak mendengar, lintasan waktu yang meloncat-loncat.
Aku terbangun. Di atas ranjang rumah sakit yang basah kuyup karena keringat dinginku sendiri. Mimpi itu begitu nyata, full color, tiga dimensi. Teriakanku mengejutkan para pasien di sekelilingku. Orang-orang India berdatangan, menanyakan apakah aku baik-baik saja, dan menawariku makan pisang.
Arwah penasaran.... Ming, aku takut setengah mati. Arwah itu ingin balas dendam pada keluarga kita. Aku terus sembahyang dan menyiapkan semua sesaji. Setan itu harus ditobatkan. Harus. Arwah itu bilang, dia benar-benar ingin bunuh Papa. Kamu ingat, tiga tahun lalu Papa kena sakit jantung, sampai tak bisa turun dari ranjang" Arwah itu mau bikin Papa lumpuh total, sampai tak bisa bangun lagi.
Karma itu, kalau tidak dibayar di kehidupan sekarang, tetap akan ditagih lagi di kehidupan berikutnya. Aku tak berani bilang Papa. Dia pasti marahi aku percaya takhayul. Aku beri sumbangan ke vihara buat tebus karma Papa.
Tak perlu kamu tahu berapa. Yang penting setan itu tak ganggu-ganggu lagi. Sudah cukup bukan dendamnya"
Depresi membuatku selalu memikirkan kematian. Mimpi tentang mati, dikubur, jadi arwah penasaran. Serial mimpi seram beberapa hari ini selalu membayangiku. Membuatku jadi selalu sadar, hidupku ini seperti telur yang oleng sendirian di ujung tanduk kerbau, setiap saat bisa terjatuh dan pecah, dan setelah itu tak ada lagi yang tersisa.
Sendiri aku di sini, di rumah sakit Lady Hardinge, New Delhi.
Mataku semakin kuning. Kuning itu merambat ke sekujur tubuh. Tanganku, jariku, wajahku, kulitku, semua kuning. Nafsu makanku sangat minim, mencium bau minyak sedikit saja sudah mau muntah. Kerongkonganku selalu dahaga, warna kencingku sepekat teh hitam, sedangkan feses begitu putih pucat. Berat badan sudah berkurang tujuh kilogram. Perjalanan begitu menyakitkan, terlalu menguras tenaga dan kekuatan. Aku lemah, tanpa saudara tanpa sahabat, di negeri yang sama sekali asing. Pikiran-pikiran kalut terus menggelayut.
Ruangan ini bernama: Unit Gawat Darurat. Aku bertanya, jangan-jangan rumah sakit ini punya bagian pengobatan hewan. Anjing putih mungil berkeliaran di antara kasur para pasien, entah memang hobi berkelana atau cari sisa makanan. Tak ada yang hiraukan. Para pasien menanti cairan berbotol-botol infus dialirkan ke dalam tubuh. Para suster sibuk menyuntik, memompa darah, mencatat, mengisi formulir. Para pengantar sibuk mengupas buah. Resah aku memandangi tetes demi tetes cairan infus Dextrose-5% yang masuk ke tubuhku. Tak ada habis-habisnya, cairan mengalir terlalu lambat. Aku ingin merebahkan sejenak tubuhku. Tapi, oh, tak bisa. Di ranjangku sudah ada dua pasien lelaki lain yang berbaring dengan santainya. Mereka tersenyum manis ke arahku. Aku hanya bisa duduk. Bosan. Aku menggeret tiang infus, lalu berkeliling ruangan memotret anjing yang berkeliaran. Suster berteriak gemas, memaksaku kembali ke ranjang dan duduk anteng. Berbotol-botol cairan infus sudah menantiku, semua dengan kecepatan sama: satu tetes per detik. Sebotol butuh waktu setidaknya dua jam. Kalau aku tak bisa menahan diri, tentu sudah dari tadi kucabut botol itu dan kutenggak isinya bulat-bulat.
Tempat paling seram adalah toilet, orang normal harus menahan napas dan menutup mata kalau masuk sini. Di sudut ada dua gunung sampah setinggi setengah meter. Kulit jeruk, pisang, nasi sisa, bekas muntahan pasien, komplet. Tikus pun berkelana riang gembira.
Bank darah. Laboratorium mikrobiologi. Ruang X-Ray. Suster menyuruhku menjelajah dari ruang satu ke ruang lain. Aku kembali terengah-engah, setelah tersesat satu setengah jam. Laporan tes darah disebar di lantai seperti sampah. Pasien dan pengantar memunguti seperti pemulung.
Kamu kena hepatitis, suster memvonis, saat aku nyaris ambruk sekembalinya dari mengambil berkas laporan kesehatan.
Hepatitis" Aku sudah tahu nama penyakitku bahkan sebelum aku datang ke sini dan menjalani pemeriksaan macam-macam begini. Yang mana" A" B" Atau C"
Tak tahu! Untuk itu harus diteliti. Satu minggu lagi baru ketahuan. Sekarang kamu harus diopname!
Op-na-me" Separah itukah penyakitku sampai harus diopname" Aku tak punya uang untuk itu!
Don t worry, my dear. Semua di sini gratis! Ha"
Iya. Gratis. Kamu tak usah bayar untuk cek darah dan biaya opname. Obat-obatan dan makanan pun kami yang tanggung. Kamu tinggal istirahat saja!
Gratis. Kata itu seketika mengobrak-abrik respons otakku terhadap gedung rumah sakit ini. Anjing berkeliaran, tembok terkelupas, dipan berkarat, dua lusin ranjang berdesakan dalam bangsal besar, semua jadi termaafkan. India, yang tingkat kemakmurannya jauh di bawah Indonesia, ternyata punya komitmen luar biasa menyediakan layanan kesehatan gratis bagi warganya, bahkan untuk orang asing sepertiku. Obat-obatan, jarum infus, ranjang, pemeriksaan USG, sinar-X, semua gratis.
Seumur hidup, aku belum pernah diopname. Kalau saja aku tahu opname itu gratis! Aku menyesal kenapa tidak sekalian saja bawa semua ranselku ke sini, jadi tak usah bayar kamar losmen. Dalam bangsal ini, juga ada backpacker lelaki muda dari Amerika. Keluhannya cuma pusing-pusing, lemas, diare, kemungkinan besar karena terlalu rakus dan bernafsu mengunjungi semua tempat wisata di India dalam waktu satu bulan, dari Dharamsala di ujung utara sampai Tamil Nadu di selatan. Tapi dokter menengarainya kena malaria. Ia pun dipaksa opname.
Mengapa kami turis asing harus diopname untuk penyakit yang begitu sepele" Di luar sana ratusan pasien penderita TBC,
kusta, tumor, kanker, berbagai penyakit seram lainnya, cuma bisa duduk di lapangan, berbaring di bawah terik matahari, harus menunggu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, untuk sebidang ranjang yang sekarang aku tiduri ini.
Melihatku datang tanpa teman tanpa famili, para pasien dan pengantarnya merasa iba. Bibi gemuk selalu membantu angkatkan botol infus ketika aku tertatih-tatih berjalan ke kamar mandi. Paman dengan uban memenuhi kepala menemaniku mengobrol mengusir bosan, sambil bergumam si bule Amerika di ranjang ujung itu sombong dan tidak mau bergaul. Lelaki jangkung menawarkan buah-buahan, sedangkan ibu tua yang sekujur tubuhnya sudah kuning semua justru masih berusaha menyemangatiku.
Ah, tidak malukah aku"
Hingga detik ini pun, ketakutan akan karma terus bertaburan dalam setiap kalimatnya.
Dan betul saja, Ming, setelah karma-karma itu dibayar, Papa mulai bisa turun dari ranjang, bisa jalan lagi. Puji Tuhan. Lampu-lampu gantung di sudut toko yang sudah bertahun-tahun tidak laku sampai berdebu tebal, eh tibatiba langsung laku. Usaha kita mulai lancar. Kamu bilang, setan itu tak mungkin ada. Tapi dia ada, benar ada. Arwah itu sekarang sudah tak penasaran lagi.
Aku mengelus pipinya yang basah. Dalam penderitaan penyakit ini, Mama tak pernah menangis, kecuali kalau masalahnya sudah berhubungan dengan lelaki yang dicintainya itu.
Mama, mengapa engkau jadi begini" Jangan dipikir lagi. Biarkan semua itu berlalu.
Mereka bilang, karma itu adalah hukum keadilan semesta.
Tapi apakah ini adil, jika ada orang yang selalu dirundung bencana, ditimpa penyakit yang menyiksa bertahun-tahun, seakan semua malapetaka dunia harus ditelannya seorang diri"
Perempuan Hindu di sampingku ini penyakitnya sudah sangat parah. Slang-slang yang menyisip ke dalam tubuhnya jauh lebih banyak daripada selang infusku, membuatnya terlihat seperti robot rusak sedang direparasi. Warna kuning yang begitu kuat membuat wajahnya seram bagai monster. Rambutnya pun sudah habis, disembunyikan dengan kerudung. Dan matanya itu, sama sekali tak memancarkan sinar. Sudah setahun ini dia tak bisa apa-apa lagi selain terbaring di ranjang. Beban semakin berat, rumah sudah dijual. Suami dan anak lelaki baru saja mati kecelakaan, yang tersisa hanya anak-anak perempuan yang datang bergiliran ke rumah sakit untuk menyuapi si ibu malang. Dia bercerita kakaknya yang baru saja mati kena kanker hati, sedangkan dia sendiri tidak tahu berapa lama lagi bisa bertahan. Anak-anaknya tak berpendidikan, hidup hanya sebagai tukang sapu dan pedagang buah, semuanya masih perawan karena ibu tak sanggup bayar mas kawin. Apalagi mereka dari kasta rendah, tak pernah berani mimpi muluk-muluk.
Aku bertanya, apakah ini keadilan Tuhan" Apakah Tuhan itu adil"
Ibu itu justru tersenyum kepadaku. Ini karma. Semua orang
punya karmanya masing-masing. Jangan dipikir lagi! Jalani saja! Semua akan terlewati!
Karma! Lagi-lagi karma! Mengapa mereka bisa menerima semua ini hanya dengan satu kata: karma" Apa pula karma yang telah kubuat, sampai aku harus terbaring di rumah sakit ini"
Aku juga dibesarkan dalam kepercayaan akan karma. Kata karma selalu ada dalam mulut Mama, ketika dia mendongengkan tentang perputaran roda kehidupan. Katanya, setelah mati, roh kita akan menitis lagi, terlahir kembali ke dunia untuk menjalani hidup berikutnya, untuk menebus dosa-dosa atau menikmati hasil pahala yang telah diperbuat pada kehidupan sebelumnya. Di alam arwah sana, ada sebuah jembatan yang menghubungkan ke dunia manusia. Para arwah berbaris, menunggu giliran menitis dalam tubuh bayi yang dilahirkan. Satu per satu arwah menyeberangi jembatan. Tetapi jangan lupa, ada Nenek Mengpo di sana, yang memaksa semua roh arwah untuk meminum ramuan istimewa sup penghapus memori. Bayi keluar dari rahim, menghirup napas pertama, menangis keraskeras, siap menjalani kehidupan baru seperti selembar kertas kosong, tanpa memori kehidupan terdahulu yang telah lalu.
Jangan mencuri, atau kamu nanti terlahir buntung! Jangan rakus, atau kamu jadi tikus! Jangan bunuh hewan, nanti kamu terlahir sebagai hewan yang disembelih! Jangan jahat, nanti bakal menderita matinya! Begitulah Mama mendidikku dengan rentetan teori jangan-lakukan-A-nanti-kamu-mengalami-B.
Dalam kepercayaan karma, kelahiran bukanlah titik nol sempurna. Bayi yang lahir sudah bawa karmanya sendiri dari kehidupan lalu. Ada bayi yang terlahir utuh, ada yang buta. Ada yang jadi anak bintang Bollywood yang dipuja laksana dewa,
ada yang jadi anak pelacur yang dihina-hina seumur hidup. Ada yang lahir di negeri makmur, ada pula yang menangis di tengah desing mesiu medan perang. Roh tidak bisa memilih akan menitis dalam tubuh bayi yang mana. Bayi tidak memilih mau keluar dari rahim yang mana.
Hidup-mati-hidup-mati-hidup-mati, samsara tiada habis-habis. Roh menjalani perjalanan panjang, bergonta-ganti jasad, melewati berbagai lintasan zaman, demi mencapai pencerahan. Orang Hindu percaya, tujuan akhir dari perjalanan panjang ini adalah moksa, ketika roh terlepas dari derita belenggu siklus tumimbal lahir, bersatu dengan Keabadian.
Di situlah letak keadilan karma. Ada perbuatan, pasti ada balasan. Ada aksi, pasti ada reaksi. Setiap utang harus dibayar. Apa yang kau tabur, itu yang kau tuai.
Cerita dari Mama yang selalu membuatku merinding adalah tentang misteri hubungan orangtua dan anak. Ada anak yang datang untuk membalas budi si orangtua, kelak akan menyelamatkan jiwa orangtuanya kala ditimpa bahaya. Sebaliknya, ada pula anak yang lahir untuk menagih utang atau membalas dendam. Setelah si orangtua menginvestasikan begitu banyak dana dan mencurahkan begitu banyak cinta, eh tiba-tiba si anak itu mati sebelum sempat berbakti, meninggalkan si orangtua malang dengan luka teramat dalam di hati.
Bu dokter yang mendengar obrolan kami menimpali. Orang-orang baru bicara soal karma kalau mengalami kejadian yang buruk. Ingat, selain karma buruk, juga ada karma baik. Penyakit dan penderitaan adalah imbalan dari karma buruk, tetapi ingatlah pula, persahabatan dan orang-orang yang membantumu adalah buah dari karma baikmu. Termasuk juga kamu
sekarang berada di sini, berada di tengah kami di rumah sakit ini, ini juga adalah buah dari karma baik.
Hmmm... mungkin ada benarnya juga. Aku menggarukgaruk kepala.
Pasien di sampingku tertawa geli. Sudah. Jangan terlalu dipikirkan lagi. Karma itu untuk dijalani. Yang penting, selagi ada kesempatan, banyak-banyaklah berbuat kebaikan, untuk karmamu sendiri juga.
Karma adalah keniscayaan, semua sudah ada yang mengatur. Berhentilah berteori. Jalani saja!
Cinta itu, kata Mama, sesungguhnya adalah sebuah misteri karma. Mungkin di kehidupan sekarang kamu jatuh cinta pada seseorang, karena kamu harus lunasi utangmu yang belum selesai kepadanya di kehidupan terdahulu.
Apa Mama anggap sepanjang hidup ini adalah untuk melunasi utang Mama terhadap Papa"
Aku pun tak tahu. Aku hanya menjalani.
Melihat senyumku yang meremehkan, dia berkata, Karma itu sungguh ada! Bukan dongeng bohong! Dia bercerita tentang seorang bibi di keluarga kami yang memilih untuk kawin lari demi lelaki yang tidak direstui orangtua. Ibunya sepanjang malam menangisi anak yang hilang, mengutuki si anak durhaka, meratapi kenapa karmanya harus begini, sampai akhirnya jatuh sakit dan mati. Lihatlah, selang dua puluh tahun, si bibi itu ternyata punya anak gadis nan jelita, yang kemudian juga minggat atas nama cinta entah ke mana. Si bibi pun mengutuki anaknya, meratapi dengan luberan tangis seperti halnya mendiang ibunya dahulu. Semua orang menggeleng-gelengkan kepala, berkata: Itulah karma!
Bagaimana keadaanmu" tanya Dokter Gurpreet. Wajahnya seperti aktris Kajol nan rupawan, dan sorot matanya menunjukkan dalamnya konsentrasi seorang terpelajar. Kamu sudah betah tinggal di rumah sakit ini" Pikiranmu sudah tenang"
Dokter Gurpreet sibuk belajar buat ujian minggu depan, tetapi masih rutin menyempatkan mendengar kisah perjalananku. Aku seperti juru dongeng, bercerita tentang Himalaya dan Afghanistan, Bukhara dan Pushkar. Dia bilang dia terinspirasi, dia juga ingin keliling dunia, tapi jalan hidupnya adalah jadi dokter, berbakti pada umat manusia. Lagi pula, dokter adalah pekerjaan mulia, menolong sesama adalah memupuk karma baik.
Hari ini, dia membawa kabar tentang karma yang tak bisa kuhindari. Mungkin justru inilah sebabnya aku ditakdirkan tinggal gratis di rumah sakit ini. Hari ini ujian praktik para calon dokter, dan ternyata aku dijadikan salah satu soal ujian.
Di hadapanku, barisan mahasiswi berjubah putih dengan nomor urut tersemat di dada. Ketegangan jelas tergambar di wajah. Seorang gadis berkepang kebagian aku. Ia meraba-raba dadaku, lalu mengetuk-ngetukkan tangannya sementara telinganya dengan saksama mendengarkan entah suara apa yang diproduksi oleh tubuhku, sedang aku menahan geli karena rambut panjangnya tergerai di badanku. Lalu dengan percaya diri ia berdeklamasi di hadapan para penguji: Pasien ini mengalami inflamasi di bagian abdomen. Tanda-tanda lain, bola mata kuning, kulit menguning, jari pucat. Bagian liver membengkak.
Diagnosis awal, pasien ini menderita hepatitis. Disarankan istirahat total selama sebulan.
Aku sudah ingin teriak. Tiga kali sudah aku menjalani pemeriksaan seperti ini, menjawab pertanyaan yang sama lagi dan sama lagi, mendengar vonis yang terus saja diulang-ulang. Sesi berikutnya, aku harus siap dengan lima mahasiswi lainnya, datang bergiliran, masing-masing memeriksa sampai satu jam. Mereka bukan cuma memeriksa temperatur dan tekanan darah, juga menanyakan masa laluku.
Sudah pernah melakukan hubungan seksual" Berapa kali" Dengan pengaman"
Pernah pakai madat" Bagaimana lingkungan pergaulanmu" Kamu suka angkat besi" Renang"
Aku sudah tak tahan. Dua hari seperti ini terus, bukannya beristirahat, di rumah sakit ini aku malah tambah capek. Aku ingin pergi.
Tapi dokter tak setuju. Dokter menelepon losmenku, minta mereka antarkan makanan. Tak sampai satu jam, datanglah pegawai losmen.
Mengapa tak kau bilang dari dulu-dulu kalau sakit di sini" kata si pegawai sembari sabar mengupas jeruk dan menyuapiku. Kalau kami tahu, tentu sudah sejak kemarin-kemarin kami bawakan masakan China kesukaanmu, chopsuy dan chowmein.
Siapa sangka ternyata mereka begitu memperhatikanku" Sungguh ingin aku merangkulnya, menyampaikan terima kasih yang tak mungkin tergantikan dengan kata-kata. Di India, sebenarnya aku memang tak pernah sendiri. Semua kesepian dan
kemeranaan ini mungkin timbul berbarengan dengan penyakit, yang membuatku jadi hipersensitif.
Keesokan harinya aku memaksa minta pulang. Dokter Gurpreet nyata-nyata tak rela menandatangani permintaan discharge-ku, seolah dia ingin aku tinggal di rumah sakit ini selamanya. Aku berjalan sendiri ke losmen tempatku menginap. Aneh, perjalanan melintasi jalanan kumuh sekarang begitu indah rasanya. Setelah terkurung di rumah sakit berhari-hari, bahkan matahari yang menyengat dan jalanan becek pun terasakan sebagai karunia tak terkira.
Dengan semangat menggebu, aku tersenyum lebar dan siap memeluk pemilik losmen.
Dia buru-buru menyodorkan tagihan yang harus dibayar lunas: tiga jeruk, sesisir pisang, dan tip pegawai total 300 rupee, kontan.
Beban karma terus memberati pikirannya.
Mama diam-diam mencari orang pintar , yang membuatnya percaya bahwa karma bisa ditebus dengan uang.
Aku bayar karma atas namamu. Aku kuatir, kamu jauh di negeri orang, supaya kamu ditolong Langit bebas dari bahaya. Karmamu bagus, tidak ma hal. Aku juga tebus karma Papa, supaya dia selamat. Kasihan dia. Tapi belum lunas, karmanya terlalu besar. Karmaku sendiri tidak penting, tak usah di bayar.
Aku terperangah. Mana mungkin karma bisa dibayar pakai duit" Kepercayaan apa itu yang membuatnya selalu hidup dalam ketakutan, membanting tulang, tak memedulikan tubuhnya sendiri sampai sakit separah ini, hanya demi membayar karma "
Aku sudah tak tega menguliahinya. Aku tahu, dia lakukan ini semua karena cinta. Dia sesungguhnya berusaha menyelamatkan kami, dengan caranya sendiri. Jeratan ketakutan akan karma ini sudah membuatnya begitu tertekan, lahir batin.
Matanya terpejam, wajahnya dibayangi muram. Dia terus menggumam, Utangku belum lunas, belum lunas....
Kugenggam tangannya. Sudah berlalu, Ma, semua itu. Karma ini, biar kami sendiri yang lunasi.
Mistis. Semua cerita tentangnya begitu mistis dan tak masuk akal. Tapi siapa yang tak kenal dia" Semua orang di pasar Paharganj menganjurkanku mencarinya. Kata mereka, dengan jampijampi dari kakek tua itu, semua penderita hepatitis bakal langsung sembuh total dalam hitungan hari, penyakit kuning itu tidak akan muncul kembali. Pedagang buku di pasar bercerita kalau dulu dia sering kena jaundice, sampai berobat ke kakek tua itu, akhirnya sembuh total.
Walaupun tak terlalu percaya, toh tak ada ruginya mencoba. Menyusuri gang-gang Paharganj yang ruwet seperti benang kusut untuk mencari seorang dukun penyembuh hepatitis kedengarannya bukan pekerjaan mudah. Tapi aneh, setiap orang yang kutemui mulai dari pegawai kantor pos, tukang rickshaw, sampai bocah penyemir sepatu langsung tahu siapa yang kucari. Jangan-jangan ini memang sebuah perjodohan yang sudah diatur" Toko milik kakek itu persis di sebelah warung tempat aku biasa makan, ia membuka usaha bengkel reparasi mesin. Jangan sampai ada ragu, kata pemuda pemilik warung,
yang penting adalah keyakinan. Keyakinan itulah yang akan membuatmu sembuh.
Pemuda itu berteriak tiga kali memanggil. Si kakek keluar tergopoh-gopoh dari dalam bengkel. Bajunya dekil, sedekil bengkelnya yang gelap penuh onderdil. Ia tak kelihatan istimewa. Wajahnya, jenggotnya, kumisnya, rambut putihnya, semua seperti manusia normal. Yang sedikit beda adalah sepasang mata kuning pekat, jauh lebih kuning daripada penderita hepatitis mana pun yang pernah kulihat. Bukankah dia dukun penyembuh penyakit kuning" Mengapa ia tak sembuhkan sendiri matanya yang kuning itu" Atau mungkin, dia justru mengisap penyakit kuning orang-orang dan menumpuknya dalam tubuhnya sendiri"
Si kakek memeriksa bola mataku dengan kedua tangan, gayanya bak dokter profesional. Disuruhnya aku melihat ke atas, ke bawah, melirik ke kiri, ke kanan. Bola mataku itu diamati dan dianalisa. Kemudian dia meneliti jari-jariku, menggenggam di antara kedua telapak tangannya. Mantra doa terus mengalir. Dia ambil secangkir susu mentah yang kubeli dari warung tetangga milik si pemuda. Ke atas susu, kakek melantunkan mantra, dengan nada naik-turun sangat cepat. Dia ludahi susu, aku disuruh meminum. Aku tenggak cepat-cepat, tak ingin mencicipi setetes pun rasanya.
Air ludah juga terciprat dari mulutnya, membasahi wajahku. Suaranya bergetar. Kamu boleh makan apa saja yang kamu mau, kecuali daging, minyak, obat dokter. Setengah jam lagi kamu minum susu mentah dicampur soda. Besok dan lusa kamu datang lagi ke sini. Tiga hari, kamu pasti sembuh. Kesembuhanku ternyata terjamin! Sayang, aku tak punya
waktu untuk terus mengunjunginya secara reguler. Malam ini juga aku harus berangkat ke Amritsar, lekas-lekas menyeberang ke Pakistan karena visa India sudah hampir habis.
Pemilik losmen terkejut melihatku. Hai, matamu sudah tidak sekuning tadi pagi!
Aku melihat wajahku di cermin. Bola mataku sudah putih!
Aku dapat kejutan dua email istimewa, dari dua wanita yang sama-sama menghadapi bacaan kitab tak beraksara pada bab pertemuan dan perjodohan.
Yang pertama dari Dokter Gurpreet:
Agustinus: Terima kasih atas doamu, ujianku lancar-lancar saja. Semoga kamu senang di Pakistan dan meraih semua mimpimu di sana. Aku juga berdoa supaya kamu cepat sembuh, menjalani kehidupan normal yang sehat dan bahagia. Oh ya, kamu membuatku jadi berpikir, bagaimana kita manusia dari tempat-tempat yang berjauhan bisa ditakdirkan untuk berjumpa, bagaimana kita bisa memengaruhi kehidupan kita satu sama lain. Hidup ini memang penuh dengan kebetulan tak terduga. Dan pertemuan kita adalah salah satunya.
Salam selalu dari seorang sahabat, Dr. Gurpreet
Hidup ini memang menarik karena kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi besok, seperti penonton yang dibuat terkesima oleh lika-liku alur yang menukik drastis. Dalam dunia yang penuh perjodohan dan kebetulan-kebetulan tak terduga, kisah skenario ala Bollywood bukan sekadar mimpi kosong belaka. Semua bisa terjadi, percaya tak percaya. Kejutan itulah yang membuat kitab perjalanan hidup jadi penuh kisah.
Email kedua dari Mama. Jarang-jarang Mama mengirim email. Menulis email adalah perjuangan besar, karena dia harus mengetik satu huruf demi satu huruf. Untuk menulis email ini, dia pasti butuh setidaknya satu jam penuh. Aku hanya perlu tiga detik membacanya:
Ming, Sebaiknya kamu pulang saja ke rumah. Papa, mama bisa mengobati kamu. Kamu seorang diri jauh di luar sana, mama juga tak mungkin ke sana. Perasaan orang tua juga harus kamu bisa ngerti, nak!!!!!!!
Papa sangat khawatir, sampai sempat bicara, Sampai kapan papa bisa hidup" Tetapi dia tak ingin mati. PULANGLAH NAK!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Mama Aku jatuh lemas, terempas di kursi.
Ternyata Mama bisa tahu semua, entah dengan telepati atau ilmu dari mana. Aku tak pernah cerita apa-apa padanya, tapi memang tiada yang dapat disembunyikan dari rindu seorang ibunda. Anak di negeri seberang entah kenapa tak beri kabar, sementara suami di samping pun tertimpa sakit parah. Ketika
mereka sudah menyebut kata mati , masihkah aku harus percaya pada keajaiban mukjizat, bahwa hidup akan berjalan sesuai alur fiksi imajinasi" Menaruh harap bahwa happy ending tetap akan datang, sekalipun hanya kemustahilan yang menghadang di depan mata"
Ah, andaikan kita bisa semujur Rahul yang mendapatkan kembali Anjali-nya.
Anjali sudah kenakan pakaian berkilau berhiaskan untaian emas dari batok kepala sampai ujung kaki. Air mata tak henti mengalir, pernikahan tinggal sesaat lagi, pada detik tengah malam yang paling menjanjikan peruntungan. Tapi sayang, pengantinnya bukanlah Rahul yang dicinta. Rahul menatap tak berdaya, setelah lika-liku penuh tangis dan tawa ini, ternyata penghujungnya sungguh bukan yang dinyana. Di langit hitam, cemerlang bintang jatuh berekor panjang. Oh, apa yang harus dilakukan..., sesuatu telah terjadi. Mungkinkah itu karena bintang jatuh" Atau air mata asmara dan kesucian penantian" Seketika juga, cerita berbalik arah, ajaib tak diduga-duga. Si lelaki calon suami marah melihat seberkas cahaya cinta yang lain di mata si Anjali, dia banting serban merah dari kepala. Gagal sudah pernikahannya, dia relakan malam ini bukan jadi miliknya. Pengantin pria ditukar, seperti pemain cadangan yang terjun menggantikan atlet utama. Sekarang Anjali dan Rahul boleh berdansa, merekalah yang terakhir tertawa, pengantin yang paling berbahagia.
Penonton bernapas lega, memang seperti itulah seharusnya akhir cerita.
Sebuah karma yang belum terlunasi, sebuah cinta yang berat sebelah, sebuah rindu yang tak terbalas, sebuah belaian dan ciuman yang selalu dinanti tapi tak kunjung datang, sebuah ucapan sayang yang begitu mahal.
Begitu telepon tersambung, semua energi tercurah untuk pekikan yang paling kuat. Hoooo!!! Ni... hao... maaaa" Gimana kabarmu" Apik-apik kamu" Wo ai ni, Ho! Wo ai ni, wo ai ni...
Di ujung telepon sana, Papa diam saja. Aku dah mau pergi, Ho... wo ai ni!!! Masih tak ada respons.
Ho... wo ai ni!!! Lama kemudian, lelaki itu baru bicara. Ya sudah. Sama-sama. Jawaban mengambang ini tak cukup bikin Mama lega. Suaranya putusputus, karena setiap pekikan menguras energi. Hooo... wo... ai... ni...
Aku tahu, Papa menganggap kata cinta hanya basa-basi belaka, dramatisasi dialog sinetron murahan. Tapi di detik ini, mengapa harus begitu kolot dengan tradisi" Kalau memang ada rasa, mengapa harus dipendam, disembunyikan, disamarkan" Katakan! Katakan! Sebelum semua terlambat. Iyo, sama-sama. Wo ai ni. Chandra akhirnya bicara.
Widyawati tersenyum. Gembira sekali wajahnya. Puas yang tak terhingga. Kalau aku pergi, kamu baik-baik jaga badan ya...
Sehabis kalimat ini, Widyawati tak sadarkan diri.
Mengejar Batas Cakrawala Dusun terpencil Karimabad adalah surga legendaris di pedalaman lembah Hunza, Pakistan Utara. Salju menyelimuti bumi yang muram. Mendung menggelayut. Inilah tempatku menyingkir. Orang bilang, virus hepatitis bakal cepat mati kena dingin. Katanya, gunung-gemunung ini punya daya magis luar biasa, bahkan Marco Polo pun menyepi ke pegunungan ini untuk pulihkan diri dari sakit parah.
Sudah hampir sebulan aku tinggal, hatiku bergejolak, tak betah lagi. Ingin cepat-cepat aku pergi. Tapi kesehatan belum memungkinkan. Dari satu-satunya warung internet yang baru dibuka di tengah desa, hampir setiap hari aku menerima email Mama. Sejak tahu aku sakit, Mama gelisah, tiap hari kirim surat. Isinya mengeluh, kenapa tak ada kabar juga dariku, setiap hari buka internet, email kok kosong. Katanya jantungnya berdebar, pikiran dalam benaknya selalu terbayang segala kemungkinan terburuk. Nama Pakistan itu seperti identik dengan maut. Dia tanya kabarku, kesehatanku, tujuan hidupku, kapan aku sungguhan bakal meraih beasiswa S-2 ke luar negeri.
Email lain yang datang hari ini adalah dari Makcik Lam Li. Sungguh menohok:
what?"!!! after all these time u still haven t reach the earthquake areas?"" thought u r supposed to work as volunteer but rupa-rupanya tourist juga, he he he, don t feel insult lah.
Mungkin ini memang sentilan dari Tuhan. Aku adalah orang yang melanggar komitmen! Bukannya cepat-cepat pergi sebagai relawan di daerah gempa, aku malah berwisata ceria ala turis di Rajasthan. Sekarang, dengan mata kuning dan tubuh sangat ringkih, aku terpaksa mengasingkan diri di gunung terpencil. Aku bahkan tak tahu bagaimana kesanggupanku melanjutkan perjalanan.
Menerima email dari Makcik Lam Li selalu menimbulkan rasa campur aduk. Antara kagum dan iri, antara senang dan gelisah. Darah ikut berdesir dalam cerita petualangannya yang selalu penuh keberanian, sekaligus malu terhadap perjalananku sendiri yang semakin tidak keru-keruan. Dia berkisah tentang petualangan seru ke pedalaman gurun terpencil di Gujarat dengan sepeda motor, mendekati perbatasan Pakistan, tinggal di gubuk penduduk, diusir tentara. Dengan humoris dia bercerita tentang bocah pedagang asongan India yang gigih menawarinya seks dan cinta hanya demi menjual selembar kartu pos. Dia terus bertualang dengan caranya yang bebas, lepas, tapi selalu cerdas. Semangatnya masih menggebu, energinya masih sangat menendang.
Sementara di dusun sepi ini aku justru masih bergelut melawan kegalauan.
Perjuangan ini adalah perjalanan yang ditempuh bersama. Perjalanan ini mengajarkan arti persahabatan. Sesama pasien saling menguatkan, saling menabuh beduk semangat.
Kami diliputi keyakinan bahwa badai ini suatu hari nanti pasti berakhir. Tetapi nyatanya, badai ini terlalu kuat, satu per satu mereka pun pergi. Lagilagi, berita duka dari sahabat sesama penderita kanker datang lewat SMS. Mama menangis sesenggukan, pundaknya ikut bergetar.
Jangan sedih, jangan jadi pikiran. Yang penting Mama terus kuatkan diri sendiri, hiburku.
Dia mendelik ke arahku. Kamu tidak mengerti! Kamu tidak bakal bisa mengerti! Mereka itu juga sumber kekuatanku. Mereka adalah kawan seperjuangan, teman seperjalanan!
Ini adalah tanah yang penuh ironi. Hunza adalah alam pegunungan bernuansa surgawi, dengan keindahan memabukkan, segarnya udara membuai. Tapi Hunza dalam memoriku justru selalu berkaitan dengan ketakutan akan penyakit.
Pertama kali aku datang ke sini adalah di musim panas dua tahun silam. Beijing saat itu diamuk penyakit aneh mengerikan: SARS. Orang-orang batuk, demam, lalu mati. Penyakit menyebar cepat seperti angin. Pemerintah China punya solusi ekstrem untuk masalah seperti ini: isolasi total. Warga dilarang keluar rumah, kantor dan sekolah diawasi ketat, semua orang saling mengintai. Perjalanan adalah dosa besar. Para pelajar dilarang keluar kampus, dilarang naik kendaraan umum. Seminggu, dua minggu tak masalah, semua senang tak usah kuliah. Tetapi sebulan, banyak yang jadi gila. Rasanya depresi ini malah lebih mematikan daripada SARS.
Aku tak takut SARS. Apalah artinya jumlah penderita yang cuma ribuan itu di tengah samudra warga China yang miliaran" Isolasi dan karantina sungguh mencekik kebebasan, menjungkirbalikkan kewarasan. Aku tak peduli lagi. Aku langsung menerjang ke barat. Melarikan diri, ke arah perbatasan Pakistan.
Karakoram Highway, betapa masyhur namanya. Jalan panjang meliuk-liuk menghubungkan kota perdagangan Jalur Sutra di Kashgar sampai ke Islamabad, melintasi barisan pegunungan sampai ketinggian lima ribu meter. Pakistan menyebutnya sebagai Keajaiban Dunia ke-8 . Dokter Pakistan di pos perbatasan seperti makhluk Mars, dengan wajah ditutup masker ala penyelam. Setelah diukur, suhu badanku empat puluh dua derajat. Alamak! Gawat! Ini termasuk gejala SARS! Bisa-bisa dilarang masuk.
Dari mana kamu", tanya dokter. Indonesia, jawabku.
Accha. Accha. Muslim brother. Welcome to Pakistan, dokter memelukku, mengecup keningku, seperti menyambut sahabat lama di acara reuni. Iman adalah kunci. Muslim tak mungkin bawa penyakit, katanya yakin.
Sedangkan para kuli yang berasal dari Xinjiang itu (belum pernah ada kasus SARS di sana), harus dikarantina karena suhu mereka di atas 37,5 derajat. Mereka dibawa ke gubuk mungil,
disuruh minum-minum teh, sampai temperatur mereka turun ke normal! Ah, betapa ramahnya.
Aku datang ke Pakistan di tengah kemelut penyakit fatal, tapi Pakistan justru menyambutku dengan bercangkir-cangkir teh, pelukan hangat, kibaran jubah qamiz, gunung bertudung salju, dentum lagu Kuch Kuch Hota Hai yang menggoyang para penumpang di colt sempit (di sini disebut dengan mereknya: Suzuki ). Angin berembus kencang, suara amuk sungai yang menggerojok begitu menyeramkan, gletser raksasa yang menyilaukan diterpa sinar mentari. Ternyata, alam indah lembah Hunza ini mengancam dengan penyakit lain yang tidak kalah bahaya. Para turis Jepang menyebut ini sebagai Hunza Disease alias Penyakit Hunza. Aku menemukan salah satu korbannya. Seorang gadis Jepang ayu berlesung pipi, tinggal di pemondokan yang sama sampai empat bulan berturut-turut, dengan lokasi pergerakan hanya kamar tidur dan warung yang jaraknya cuma sepuluhan meter. Kegiatannya hanya mengantuk dan bermalasmalasan. Semangat sudah padam, seperti orang kecanduan obat terlarang. Seharian kerjanya hanya baca buku, duduk termangu melihat barisan gunung, mengelusi bulu kucing gemuk yang juga terlalu malas bahkan hanya untuk mengeong. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, lewat begitu saja. Siapa memang yang sanggup menolak candu yang ditawarkan tanah firdaus ini"
Sinar matahari menyeruak. Mama menghadap jendela, menyambut dengan senyuman.
Penyakit ini adalah sebuah berkah, katanya. Aku duduk di sampingnya, mencatat ucapan-ucapan yang ingin dikenangnya.
Penyakit ini mengajarkan padaku untuk menyambut setiap hari dengan syukur, berterima kasih pada setiap anugerah. Penyakit ini mengajarkanku berterima kasih kepada setiap embusan napas, setiap berkas sinar matahari, dan bahkan setiap teguk air yang bisa kutelan. Penyakit ini mengajarkan kesabaran tak terbatas, membuatku mendengar lebih jernih, merindukan dan memaafkan.
Penyakit ini, membuatku berpikir tentang hidup dan sekaligus tentang mati. Ada hidup, pasti ada mati. Tiada hidup, tiada mati. Buat apa lagi takut"
Mama tersenyum lebar, wajahnya semakin berbinar.
Hari ini, dua tahun berselang, aku kembali ke Hunza. Firdaus itu berubah menjadi muram, semuram perasaanku yang datang dengan penyakit parah. Dingin membuat berjalan pun gemetaran, ujung kaki mati rasa. Belum lagi angin lembah yang bertiup menempeleng wajah. Gunung-gunung itu gundul, kelabu monoton. Pepohonan yang dulu hijau seperti rimba, kini berubah jadi barisan batang kering, juga kelabu. Sungai menciut, tak lagi garang. Dusun sepi, terbungkus langit kelam mendekati hitam. Di bawah bayang raksasa Rakaposhi yang setinggi 7.790 meter, Karimabad begitu hening.
Muram itu merasuk-rasuk dalam jiwa. Kakiku tak kuat lagi saat melangkah di jalanan perbukitan yang menanjak. Dari
gang, muncul kakek tua berjenggot putih, bertopi pakkol cokelat yang beratap datar seperti piza. Welcome back! sambutnya, sambil membentangkan tangan, memasang senyum lebar. Welcome back! Aku pulang!
Kakek Haider masih gagah dan energik seperti dulu, tertawa sampai meloncat. Aku senang kamu kembali. Senang sekali! Aku memeluknya erat-erat. Dia menggeretku ke losmennya. Gelap gulita. Hanya petromaks menerangi, itu pun dinyalakan cuma karena ada tamu. Memangnya siapa lagi yang mau datang ke Hunza Desember begini" Membayangkannya saja sudah membuat sekujur tubuh ngilu linu-linu.
Kyaa" Matamu kuning" Haider-ji menatapku lekat-lekat. Kerut-kerut di wajahnya seakan ikut beresonansi dengan kecemasannya. Hussain! Cepat siapkan sup tomat untuk tamu agung kita hari ini! dia berteriak ke arah dapur, lalu menoleh kembali ke arahku. Sup tomat bagus untuk hepatitis, my young friend. Atau kamu mau makanan lain"
Di bawah remang petromaks, Kakek Haider menyodorkan tiga buku tebal, mustika berharganya: buku tamu. Dulu aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya dengan membaca buku-buku ini. Lembar demi lembarnya membawaku merasakan pengembaraan dan petualangan. Ada kisah perjalanan Afghanistan yang membuat merinding, ada pula keberanian pendaki yang menaklukkan puncak K-2, sampai cerita lucu si backpacker penakut saat menyeberangi jembatan gantung dekat endapan sungai es di lereng gunung.
Membaca tulisan-tulisan rekam jejak ini membuatku berpikir tentang para musafir yang kulihat di jalanan selama ini, di mana-mana losmen di berbagai penjuru bumi, yang selalu sibuk
mengukirkan kata-kata di buku harian yang menguning. Mungkin itu memang ide bagus, mengabadikan perjalanan. Tapi mungkin juga, ada pertanyaan: berapa banyak dari ukiran hurufhuruf ini yang bakal menyentuh hati orang lain, atau setidaknya masih terbaca kelak di kemudian hari" Atau mungkin saja, semua kisah perjuangan dan perjalanan akan berakhir dalam buku tua yang dimakan rayap di ujung lemari, lalu perlahan-lahan terlupakan, seperti juga kenangan perjalanan yang memudar dalam memori. Dan siapa tahu pula, buku harianku yang penuh omelan-omelan dan curahan perasaanku ini, ditemukan di sudut gudang oleh buyutku nanti, dan mereka hanya menguap bosan membaca luapan kegalauan"
Semakin kuukir huruf-huruf ini, semakin kusadari, Hunza dalam catatan perjalananku, sesungguhnya adalah sebuah ruang kosong. Dalam hidup ini kita memang memerlukan ruang kosong. Filsuf China mengatakan, Kenikmatan hidup itu bagaikan ruang kosong dalam kamar. Prinsip ini sangat realistis. Bayangkan sumpeknya sebuah rumah yang sempit, penuh barang, semrawut, hampir tidak ada lagi tempat untuk berdiri. Semahal dan sebagus apa pun barang yang dipunya, kesannya tetap menekan dan menghimpit. Bandingkan dengan rumah yang lapang, ada barang-barang tapi tetap memberi kelegaan ruang kosong. Ruang kosong itu bukan hampa, ruang kosong itu justru harus ada.
Atau dengan kata lain, aku butuh sebuah perubahan ritme dalam perjalanan panjangku ini. Tujuh bulan sudah kulalui, perjalananku sebenarnya sudah jadi rutinitas. Deretan nama lokasi, kawan-kawan baru yang datang dan pergi, percakapan yang sudah jadi ritual: Siapa namamu" Dari mana negaramu"
Apa agamamu" Pekerjaanmu" Berapa gajimu" Di Pakistan, mereka menanyakan pertanyaan yang selalu sama: What is your good name" (Semua namaku baik), What is your qualification" (Aku kan bukan mau melamar kerja), Are you Muslim" (Pertanyaan yang membuat risih), Why coming to Pakistan" (Pertanyaan yang menohok esensi perjalanan, karena perjalanan ini semakin lama memang semakin tanpa arah dan tak punya alasan). Ribuan ulangan pertanyaan itu adalah manifestasi dari realita perjalanan. Kita memang tidak pernah kesepian, kita banyak teman. Tetapi rajutan persahabatan itu maksimal hanya bertahan beberapa hari, lalu... sudah, kakiku sudah harus melangkah ke tempat lain. Di kota selanjutnya, aku memulai lagi merintis persahabatan , dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama, pola yang sama. Hasilnya, banyak sahabat, tapi tak ada yang sungguh akrab.
Ruang kosong, perhentian dalam perjalanan adalah saatnya untuk memberi arti baru terhadap makna perjalanan itu sendiri. Di zaman sekarang, manusia melangkah lebih cepat, menjelajah lebih jauh, melihat lebih banyak, mengenal lebih luas, bermimpi lebih tinggi dan terus lebih tinggi lagi, tapi impresi justru sebenarnya semakin tipis, rasa pun lebih cepat memudar. Orang bilang, kenikmatan perjalanan berbanding terbalik dengan kecepatan berjalan. Pemandangan terindah justru terlihat ketika melambatkan langkah, berhenti sejenak. Menetap berbulanbulan di satu desa jauh lebih bermakna daripada mengunjungi lima negara dalam lima hari. Di seberang perbatasan sana, Makcik Lam Li telah melewatkan waktu beberapa minggu di warung pemondokan di Srinagar, hanya dengan membaca buku. Tanpa aktivitas apa pun! Dimulai dari pagi yang malas,
lembar demi lembar dilahap, dan ketika berakhir, eh, langit sudah gelap. Hari lewat begitu saja. Dia sudah menghabiskan bercangkir-cangkir teh bermangkuk-mangkuk sup, tanpa terasa. Dan bahagia.
Kebahagiaan. Kata itu sungguh mudah diucapkan. Semua orang tahu apa artinya, dan selalu mendambanya. Kebahagiaan itu memabukkan. Sekali mencicipinya, kita akan berusaha matimatian untuk mencarinya. Tapi semakin dicari, kebahagiaan rasanya semakin menjauh. Inilah awal penderitaan, karena orang yang dimabuk kebahagiaan akan terus terobsesi, terus mencari, terus kehausan, diliputi keserakahan untuk terus menenggak dan menimbun tanpa henti. Kekayaan, pangkat, seks, cinta, nama besar, pujian, cita-cita, kesuksesan, negeri-negeri untuk dikunjungi.... Obsesi dan keserakahan ini membalik bahagia jadi derita. Mencari kebahagiaan itu bagaikan ikan muda yang mencari laut. Dia telah berenang dari samudra ke samudra, pantai, pesisir, selat, sampai laguna tapi di mana laut" Dia terus mencari, tak juga ketemu. Ikan yang bijaksana menegurnya, memberitahunya bahwa dia sudah berada di laut. Si ikan muda protes: Ini bukan laut! Ini cuma air! Dia lalu meneruskan perjalanan pencariannya, mencari dan terus mencari.
Perjalanan bukan hanya berpindah, tapi juga untuk berhenti. Di Hunza, di tengah perhentian, kebahagiaan kurasakan dari kehidupan yang begitu biasa, tak ada kisah-kisah petualangan hebat atau menantang. Kebahagiaan yang kurasakan ini sangatlah pribadi, tak semua orang merasakan di mana letak kegembiraannya. Ironis memang, justru hepatitis yang kuderita ini, membawakan bagiku kebahagiaan yang sempat terlupakan. Kebahagiaan itu ternyata ada di hal-hal yang sangat sepele.
Ketika menenggak segarnya sup tomat, menghirup teh susu manis hangat, aku sudah berbahagia.
Membuka mata, melihat matahari di langit biru, terpantul pada salju yang menyilaukan, aku berbahagia.
Kebahagiaan adalah ketika rasa lapar akhirnya bisa kembali kurasakan, dan mi goreng bawang yang lezat buatan Hussain sudah terhidangkan.
Kebahagiaan seorang musafir adalah berbagi kisah dengan para musafir lainnya, mendengar cerita tentang misteri Raja Hunza, memilih pakaian terbaik lalu terengah-engah mendaki bukit hingga mencapai benteng raksasa, dan terpingkal-pingkal saat menemukan sang tersangka Raja Hunza yang eksotik itu ternyata cuma penjual tiket masuk.
Kebahagiaan itu adalah berjalan tanpa arah di jalanan gang, lalu ditawari ibu-ibu desa untuk masuk ke rumahnya, minum teh bersama, dan memuji bayi-bayinya yang cantik. Kebahagiaan adalah mengagumi kebebasan berpikir umat minoritas Ismaili, yang di tengah kemiskinan pun tetap menyekolahkan anak-anak mereka.
Kebahagiaan itu adalah menyambut datangnya tiga backpacker Jepang, seolah aku adalah tuan rumah dan mereka tamunya, lalu melewati pergantian tahun 2006 hanya dengan bernyanyi, sama-sama ketiduran di bawah selimut tebal. Tanpa resolusi, tanpa perayaan.
Kebahagiaan itu adalah mengenali sisi kehidupan rahasia Hussain si koki, melenggang santai ke desa sekitar, mengobrol dengan relawan, mempelajari percakapan dasar bahasa Burusashki (yang susahnya setengah mati), menghadiri acara kawinan, sampai mengikuti petualangan mendebarkan lima pemuda berewokan mengendap-endap hanya demi menonton VCD porno.
Ternyata, sungguh mudah untuk berbahagia. Berbahagia itu sederhana. Tak perlu menunggu jadi kaya raya atau mengenakan mahkota raja. Semua orang bisa berbahagia saat ini juga, kalau mau.
Ada riset mengatakan, otak orang yang berbahagia lebih merespons secara positif terhadap hal-hal kecil dan sepele, yang sering terlewat oleh orang lain. Kebahagiaan itu adalah menemukan bahwa kitab tanpa aksara, kitab suci yang paling mulia dan sempurna itu, ternyata tidak perlu lagi dicari. Dia ada di manamana. Dia ada di sinar mentari dan daun-daun berguguran, Dia ada di serpihan salju dan gunung-gunung megah, Dia ada pada gelak tawa dan ratapan orang-orang, Dia ada pada siulan para gembala dan setiap embusan napas, Dia ada begitu dekat bersemayam di hati, Dia ada dalam diriku juga dirimu. Aku memang telah terinfeksi Penyakit Hunza. Penyakit itu bernama Kebahagiaan .
Dan, awas, penyakit itu menular!
Bahkan derita penyakit parah pun bisa bawa kebahagiaan.
Penyakit ini, balasku, membuatku berguru langsung dari semangat Mama, belajar dari keberanian Mama, tentang arti ketabahan dan keteguhan. Aku bangga, jadi anak orang sehebat Mama. Justru saat menemani Mama, aku rasakan kebahagiaan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Ya, catat itu! Catat itu! Tak perlu takut, tak perlu marah, tak perlu
menyesal. Semua pasti ada hikmahnya! Sakit, sehat, bencana, anugerah, semua sudah ada yang mengatur! Mama semakin semangat.
Ini saatnya untuk bangkit dari reruntuhan. Semangat itu tumbuh, seiring dengan bola mata yang pelan-pelan memutih. Aku siap berangkat menjelajah. Bukan ke Kashmir yang dilanda gempa itu. Aku malah bergerak ke utara.
Itu gara-gara Kakek Haider bilang, aku sudah bikin kesalahan besar karena mengira muramnya kehidupan musim dingin di Hunza itu sangat menderita. Di sebuah dusun di utara sana, di dekat perbatasan China dan Afghanistan, katanya, tidak ada sinar matahari sama sekali selama dua setengah bulan! Bayangkan, kehidupan penderitaan macam apa itu"
Satu-satunya kendaraan umum menuju Chapursan adalah jip kecil yang penuh sesak. Para penumpang dijejal-jejalkan di antara tumpukan barang bawaan. Seorang bocah tertindih televisi kuno dari zaman 70-an, yang berukuran jumbo dengan lensa supercembung dan tombol-tombol sebesar kelereng. Televisi bekas itu dibeli ayahnya untuk mengisi kesunyian hidup di lembah gelap.
Noorkhan tergelak-gelak mendengar tujuan perjalananku ini hanya demi merasakan kehidupan di tempat yang tanpa mentari. Bukankah ini kegilaan" Accha... accha... my dear friend, kau akan benar-benar merasakan kehidupan tanpa matahari di Chapursan. Kami akan bawa kamu ke sana. Chapursan dingin sekali. Tak banyak orang segila kamu. Lelaki ini berbalut selimut tebal ini berbicara bahasa Inggris logat Britania yang sangat fasih. Ia
sungguh seperti makhluk kesasar di pegunungan terpencil di ujung perbatasan Pakistan ini. Tapi itulah makna sebuah perjalanan pulang. Dia anak kampung, lahir di Chapursan, lalu sukses di metropolitan Karachi. Dia pengacara ternama, bahkan sering ketemu orang sepenting Presiden Musharraf. Tapi setinggi apa pun dia terbang, akar Noorkhan ada di sini, di lembah dingin gelap gulita.
Perjalanan menuju Chapursan bagaikan melintasi seutas benang tipis yang meliuk-liuk di bibir maut. Jalan berbatu selebar 4-5 meter, hanya cukup untuk satu mobil. Sesekali kerikil berjatuhan dari atas dan bergeletuk di atap mobil, mengingatkan maut bisa datang kapan saja. Di sisi satunya, jurang menganga curam, tegak lurus, diramaikan sungai deras yang menyanyikan simfoni kematian. Silap sedikit artinya maut. Jalan sempit berkelok dengan sudut lancip. Apa jadinya jika berpapasan dengan mobil lain dari arah berlawanan" Tak usah bertanya, serahkan saja nasib pada sopir yang berpengalaman, Inshallah....
Ya Allah khair! Ya Tuhan, tolong! seruku setiap kali mobil menikung tajam. Mulutku tak pernah berhenti komat-kamit membaca doa. Noorkhan hanya tertawa. Ini sudah biasa. Perjalanan ini akan bikin kamu makin dekat dengan Tuhan!
Jip berhenti mendadak ketika langit merambat gelap. Perjalanan tak bisa lagi dilanjutkan karena tiga bongkah batu gunung melintang menutupi jalan. Setiap bongkahnya setinggi manusia dewasa. Batu-batu itu jatuh begitu saja, terlontar dari tebing gunung. Waktunya bekerja! seorang berteriak memecah keheningan. Manusia, berupaya dengan segala cara yang mereka bisa mendorong, menarik, menendang, memukuli, mencangkuli, mengaisi, mendorong dengan tangan, mendorong dengan
kaki sambil berbaring, mendorong sambil berdiri. Tubuh mereka jadi cokelat kelabu, sama seperti warna debu pasir sejauh mata memandang. Kraaak... pelan-pelan, batu-batu mulai bergeser. Sepuluh orang berbaring di jalan, mendorong batu besar dengan telapak-telapak kaki mereka mengikuti komando. Ek... do... tin... char! Satu... dua... tiga... empat!!!
Batu bergeser lagi sedikit. Peluh membanjir, walaupun tubuh tetap kedinginan di balik jaket. Ek... do... tin... char bertalu-talu, membahana digemakan lembah dan bukit.
Susah payah, kami ramai-ramai mendorong sampai batu terjungkal dalam jurang. Tak... tak... tak... hening selama tiga detik. Blaaaarrrrrr, ledakan dahsyat baru terdengar kemudian. Sungai yang mengalir deras di bawah diselimuti debu tebal.
Batu itu hanyalah seujung kuku dari pegunungan cadas yang mendominasi daerah ini. Manusia hanyalah setitik debu di hadapan kuasa alam. Tapi manusia tidak menyerah untuk berjuang, mempertahankan hidup.
Batu-batu itu seperti chapati, kata Noorkhan. Membandingkan batu raksasa dengan roti yang menjadi keseharian, mungkin hanya orang yang tinggal di tempat sekejam ini yang benar paham apa maknanya.
Penyakit ini, tambahku, membuatku melihat senyum tercantik dari seorang Mama, tawa lepas walaupun semua rambut sudah rontok, mulut yang menyanyikan Gundul-Gundul Pacul saat kepala botak itu terjatuh dan benjol.
Penyakit ini membuatku yakin, Mama memang yang paling cantik sedunia.
Mama tergelak-gelak. Aku sudah seperti siluman begini, masih kau bilang cantik"
Aku mengangguk. Aku yakin, kecantikan yang paling mulia adalah dari hati yang bercahaya.
Aku kira Chapursan itu nama sebuah desa, tapi ternyata di sini ada puluhan desa. Aku tak bisa menjawab mau turun di mana. Noorkhan sampai terkesima melihat ketidaktahuanku. Didasari kasihan, Noorkhan menawarkan tempat untukku menginap. Bukan di rumahnya sendiri, melainkan di rumah sepupu iparnya, yang katanya adalah pemandu jagoan. Guide" Aku tak punya dana untuk bayar pemandu wisata.
Jangan khawatir, bhai, dia menepuk pundakku, Kamu adalah mehman, tamu kami. Kamu tahu kan artinya mehman"
Ya. Mehman. Tamu. Itu adalah kata keramat di negeri yang menjunjung keramahtamahan ini. Orang Pakistan tak pernah bermain-main dengan kata itu. Mehman, menyiratkan penghormatan luar biasa pada musafir, kemurahan hati sebagai bagian dari ibadah, ketulusan untuk menolong sesama. Mereka membuka pintu untuk setiap musafir yang melintas. Mereka berkorban untuk tamu, tanpa menghitung untung-rugi, atau mengharap si tamu bawa manfaat apa pun. Bagi mereka, tak peduli apakah hari ini perut terisi, yang penting tamu harus terlebih dahulu dikenyangkan. Menggigil kedinginan bukan masalah, asal tamu tetap hangat dan lelap.
Majid si guide adalah pemuda bertumbuh tambun, selalu ter

Titik Nol Karya Agustinus Wibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tawa di akhir setiap kalimat yang diucapkannya. Tertawanya serius, sampai tubuhnya terguncang-guncang. Ini rumah tradisional Tajik. Di ruang utama ada lima pilar. Nah, ini pilar Muhammad, yang ini Ali, yang ini.... Majid memanduku dalam tur keliling rumahnya. Rumah ini adalah salah satu dari kubuskubus kelabu yang terhampar di pegunungan gersang yang sama kelabunya. Dari luar terlihat muram, dingin, tak bersahabat, monoton. Tapi di dalamnya justru hangat tak terkira. Ibunda Majid, perempuan tua bertopi bundar di bawah kerudung, sibuk menyiapkan gorengan tepung, yang dimakan dengan teh susu asin. Ayah Majid menyalakan petromaks. Sudah seminggu ini tak ada listrik. Dalam remang-remang, denting dawai rubab memecah kesunyian. Melenting, mengalun lembut, membawa nuansa pegunungan dan padang rumput ke tengah kegelapan.
Sedangkan di luar sana, angin malam terus menderu seram, menampar wajah dengan dingin yang membekukan. Sejauh mata memandang, hanya gelap pekat yang sempurna. Tak banyak bintang, mendung menutup langit. Menyalakan senter pun takkan mampu menembus kegelapan ini. Simfoni deru angin berpadu dengan lolong anjing (mungkin juga serigala").
Membuka mata di pagi hari teramat susah. Di udara sedingin ini, dengan dua lapis selimut tebal begitu berat namun hangat, memang bikin ingin tidur terus sepanjang hari. Mungkin itu sebabnya, rata-rata orang gunung ini berumur lebih panjang, Marco Polo sampai datang mencari kesembuhan. Penduduk pun tidak didera stres dalam pacuan menimbun harta.
Majid mengajak berkeliling dusun. Inilah tempat yang tidak ada sinar mataharinya selama dua bulan lebih, katanya bangga. Di sini, rumput liar dan kering menutup jalan setapak. Rumahrumah kubus berpencaran. Di sebelah kiri, tebing gunung menjulang bak dinding yang menggapai angkasa. Di sebelah kanan, gunung lain yang sama angkuhnya. Matahari musim dingin berputar rendah di selatan, tak mampu mencapai dasar lembah, terhalang gunung. Desa ini hanya hidup di bawah bayang gelap gunung-gemunung. Masih ada pula bonus hujan batu.
Walaupun alamnya sangat tak bersahabat, bocah-bocah bersorak sorai menyambutku bak bintang ternama. Inilah realita hidup di sini: kehangatan berkontras dengan beku, keramahan melunturkan kejamnya alam, manusia terus berjuang di kehidupan yang keras. Tentu kita bertanya, mengapa mereka masih bertahan di tempat seperti ini" Bahkan Noorkhan yang punya rumah mewah di Karachi pun tetap pulang ke sini. Pasti ada hal yang luar biasa tentang sebuah kampung halaman. Majid bilang, Hidup di tempat seperti ini memang sulit. Tapi kesulitan itu bukan untuk dihindari, apalagi di sinilah rumah kami.
Itu adalah sebuah kebahagiaan tanpa syarat. Chapursan membuatku sadar bahwa kehangatan mentari itu begitu berharga, langit biru adalah karunia tak terhingga. Perjalanan mengajarkan musafir bersyukur untuk setiap tetes embun dan embusan napas, untuk setiap berkas sinar dan desau angin, ledakan tawa dan persahabatan.
Masihkah ada alasan untuk tidak berbahagia"
Perjuangan di ranjang pesakit ini pun pada hakikatnya adalah perjalanan. Menemani sang pesakit berjuang pun adalah sebuah perjalanan. Penyakit ini mengajarkan untuk menemukan kebahagiaan di mana-mana.
Penyakit ini mengajarkan untuk merenungkan dan memaknai perjalanan yang telah dan akan dilalui.
Penyakit ini, mengumpulkan kembali keluarga besar kami yang terserak di seluruh penjuru negeri, kembali di samping ranjang pesakit. Sahabat-sahabat, teman sekelas, tetangga dan mantan tetangga, guru dan murid, semua dipertemukan di sini. Tanpa dukungan dan perhatian mereka itu, masihkah ada semangat bagi kami untuk terus berjuang"
Penyakit ini membuat cinta dan kemanusiaan semakin terasa, hidup pun semakin berharga.
Ayo! Kita senang-senang. Lupakan semua sedih dan susah! Entah kapan lagi kita bisa berkumpul seperti ini" kata Mama setelah menangis tersedu karena terharu. Dan dia pun berusaha sekuat tenaga untuk bernyanyi, mengerahkan semua energi, menggerakkan tangannya untuk menari. Setiap detik yang tersisa, haruslah dilewati dengan penuh makna.
Kembali ke Dusun Karimabad yang terperangkap sepi. Salju terus mengguyur, teras-teras ladang bagaikan lautan salju berombak. Longsoran batu menutup jalan utama Karakoram Highway. Kapan akan dibuka lagi" Seminggu" Dua minggu" Sebulan" Tak ada yang tahu! Semua itu mungkin. Aku terperangkap, entah sampai kapan.
Bicara soal Hunza adalah bicara soal keabadian. Dalam perjalanannya ke daerah pegunungan ini di akhir abad ke-19, lebih dari seratus tahun lalu, Younghusband sang eksplorer Inggris meragukan apakah dusun-dusun ini bakal pernah berubah. Tembok-tembok lumpur mereka yang membosankan, rumah-rumah
lumpur, masjid-masjid lumpur, semua terlihat seperti akan tetap sama saja sampai selama-lamanya.
Seharusnya aku sudah sejak dulu-dulu berangkat meninggalkan Hunza, tapi seorang pemuda bernama Akhtar dari Sost menjanjikan tumpangan gratis dengan mobilnya karena kebetulan dia mau berangkat ke Islamabad. Lumayan, pikirku, bisa menghemat sampai dua puluh dolar ongkos transpor.
Tapi seharusnya aku tahu, janji orang sini tidak boleh ditelan mentah-mentah. Mereka begitu menghormati tamu dan sering kali menjanjikan hal-hal di luar kemampuan. Akhtar bilang seminggu lagi kami akan berangkat. Sabar aku menunggu seminggu penuh.
Mister, dua hari lagi. Dua hari lagi. Kau tunggu di sana, nanti kami angkut. Oke, Mister"
Jawaban ini kuterima setelah bersusah payah mendaki bukit menyusuri lapisan salju licin di tengah malam gelap, hanya untuk mencapai kios terdekat yang menawarkan jasa telepon umum.
Dua hari kemudian, masih suara sama yang santai tanpa dosa.
Mister, dua hari lagi. Dua hari lagi. Kau tunggu di sana, nanti kami angkut. Pasti, Mister!
Demikianlah setengah bulan berlalu, dengan rutinitas menelepon setiap dua hari sekali.
Pemilik kios telepon terkekeh melihatku, berkata, well, you know, Mister, that s Hunza time.
Hunza time adalah pasangan paling serasi dari Hunza disease yang melenakan itu. Dan kini, siapa lagi yang bisa kusalahkan
selain diriku sendiri, ketika akhirnya longsor itu menutup semua kemungkinan untuk meninggalkan lembah Hunza"
Waktu terus berlalu. Penduduk Karimabad sebenarnya sudah terlalu terbiasa dalam kemonotonan musim dingin. Turisme mati suri. Tak ada turis, toko suvenir dan hotel tutup sepanjang musim. Listrik pun kadang datang, kadang pergi. Para lelaki duduk di pinggir jalan, menyalakan api unggun dan bermain ludo.
Surga ini sebenarnya adalah sebuah ironi di tanah sengketa. Pakistan menyebut daerah ini sebagai Northern Areas (nama yang hanya punya makna geografis ini kelak di tahun 2009 diganti jadi Gilgit-Baltistan). India mengklaim daerah ini sebagai miliknya, menyebut sebagai PoK (Pakistan Occupied Kashmir). Pakistan menyebut Kashmir yang dikuasai India sebagai IoK. Tak peduli itu PoK atau IoK yang dikunci garis batas bernama LoC, dua-duanya sama-sama occupied, sama-sama tercaplok. Sekarang bendera yang berkibar adalah bendera hijau Pakistan, tapi mereka merasa sebagai warga kelas dua. Menjadi orang Hunza itu seperti terpenjara di tengah gunung, kata Hussain si juru masak. Susah! Mau buat paspor Pakistan saja seratus kali lebih susah daripada orang Pakistan lainnya. Hanya China yang gampang didatangi. Mungkin China anggap kami ini milik mereka. Pakistan juga anggap begitu. Kami ini cuma orang kecil di tengah dua raksasa.
Bicara, bicara, bicara. Orang-orang bosan menghabiskan waktu bicara sepanjang hari. Politik dan agama adalah topik favorit. Lihatlah negara ini! Kita memang perlu komunisme di sini! kata lelaki pemilik kios di Karimabad. Dia satu-satunya anggota partai komunis di seluruh dusun. Apa yang dibutuhkan
Pakistan" Revolusi. Ya, revolusi! Pakistan sedang mundur! Berapi-api ia bicara. Tetapi api semangat komunisme ini hanya terkurung dalam kios kecilnya. Jendela ditutup balok-balok kayu, sementara dia membentangkan bendera merah bergambar palu arit. Hanya ada aku di sini, orang asing yang tak berbahaya di matanya. Di luar sana, kaum lelaki berbungkus selimut duduk mengelilingi api unggun di pinggir jalan, mengobrolkan berita tentang bangkitnya Taliban di Afghanistan. Juga tentang kecelakaan haji yang terinjak-injak di Arab Saudi yang menewaskan banyak korban, bukti sifat serakah manusia yang saling tak mau kalah sekalipun sedang ziarah ke Tanah Suci. Bocah kecil tersenyum girang mengunyah permen berbungkus hijau, bungkusnya diberikan padaku, sepasang mata garang lelaki beserban menatapku. Tertulis huruf merah besar-besar: OSAMA.
Hingga akhirnya, datanglah kabar gembira itu.
Besok kita berangkat! seru Hussain nyaris melompat. Setelah tiga minggu ditutup, jalan ke Islamabad akhirnya dibuka kembali. Kami segera bisa bepergian lagi.
Umur Hussain sudah dua puluh tiga, tapi ia nyaris tak pernah ke mana-mana. Paling jauh adalah ke Mansehra, tujuh ratus kilometer jauhnya. Perjalanan selalu membuatnya gembira, setidaknya buat lihat keramaian kota. Dua tahun lalu, Salman kakaknya tiba-tiba kena serangan otak. Rambutnya terus rontok, matanya kosong, kalau mengerjakan apa pun selalu keliru. Hussain bertugas mengantar kakaknya menempuh perjalanan panjang delapan belas jam ke dokter di Mansehra.
Bagi ayah Hussain ini peristiwa besar. Pagi-pagi buta, sang bapak sudah menjerang air menyiapkan teh. Pekerjaan ini biasanya dilakukan si Hussain, tapi hari ini adalah giliran bapak untuk melayani anaknya. Dengan oven kuno yang jarang dipakai, lelaki tua itu membikin roti spesial. Diameternya lebih besar dari semangka, bau harum menyeruak, membuat perut siapa pun pasti keroncongan.
Hussain nyengir menerima roti dari ayahnya. Salman, seperti biasa, tanpa ekspresi. Mata lelaki tua berkaca-kaca. Rasa haru membuncah, tapi tertahan di balik getaran wajah.
Pemandangan ini seketika membuatku tercenung, betapa persis sama dengan sebuah malam yang kacau balau yang bakal mengubah drastis kisah keluarga kami, kala aku akan ke luar negeri untuk pertama kali. Mama menyiapkan sebuah koper besar, melipat baju demi baju dengan rapi, menjejalkan obatobatan sampai jajanan, sambil air matanya menyelinap saat menghujaniku dengan petuah-petuah tentang negeri leluhur yang dia sendiri pun tak pernah pergi. Paspor jangan sampai hilang! Jangan lupa, rajin belajar! Sering-sering kirim surat! Harus hemat! Jangan sampai kedinginan! Banyak minum! Kendalikan emosi! Nanti, kulitmu pasti jadi putih bersih, seperti amoyamoy dari Sichuan. Siapa tahu ya, Ming, pulang-pulang kamu sudah gandeng istri gendong bayi" Mama pasti kangen.... Si suami langsung menghardiknya, Buat apa nangis kau Hwie", anak yang sudah pergi, jangan diharap kembali, masa kamu mau anakmu jauh-jauh ke luar negeri, hanya untuk jaga toko telur di kampung"
Itu adalah malam terakhirku di rumahku sendiri. Rumah yang selama ini ingin kutinggalkan, rumah yang selalu membuatku ingin pergi jauh-jauh tak pernah kembali. Segera, semua ini pun bakal jadi kenangan. Ada kegembiraan, menyambut hari esok yang penuh tanda tanya. Ada kekalutan, bahkan rumah pun akan jadi masa lalu.
Perasaan kasih antara orangtua dengan anaknya, apa pun latar belakang bangsa atau budaya, di mana-mana adalah sama. Ayah Hussain melepas anaknya seperti Mama melepasku yang belajar ke negeri seberang. Mama tak kuasa menahan air mata, seraya melambai-lambaikan tangan perlahan, memelukku, membelaiku, sambil menyelipkan sepucuk surat di sakuku, yang baru boleh kubaca kalau sudah duduk di pesawat. Perjalanan diawali sebuah perpisahan, yang membangkitkan kekhawatiran, ketakutan, juga kerinduan. Aku tak pernah tahu, berapa helai rambut Mama yang memutih sejak aku pergi.
Aku, pemuda sembilan belas tahun kala itu, berjalan dengan langkah gagah yang dipaksa-paksakan menuju konter check-in. Tapi langkah gagah itu berubah jadi gontai ketika menuju ruang tunggu, sementara di apron sudah menanti pesawat yang akan menerbangkanku jauh-jauh meraih mimpi-mimpi, meninggalkan mereka semua di rumah bergelut dengan mimpi-mimpi dan kerinduan mereka sendiri.
Kami, keturunan perantau Tionghoa di Indonesia, sebenarnya adalah produk dari perjalanan panjang ribuan kilometer. Perjalanan terus berlangsung, manusia terus berpindah, generasi keturunan telah berserakan di berbagai penjuru bumi. Tapi sejarah keluarga kami adalah misteri. Seiring dengan waktu, misteri itu memudar, lalu hilang terlupa dalam memori semua yang masih hidup. Siapa ayahnya kakek buyut" Dan ayahnya lagi" Dan ayahnya lagi" Sudah tak ada lagi yang tahu, tak ada yang
mencatat, tak ada juga yang peduli. Kami hanya mewariskan dongeng dan kisah tentang sebuah negeri leluhur mistis nun jauh.
Mata Tante Pik, kakak ayahku yang kujumpai dalam persinggahanku di Hong Kong, sembap saat dia mengisahkan sebuah perjalanan jauh, yang total mengubah takdir hidupnya. Dia anak sulung, lahir di Indonesia. Saat umurnya empat belas tahun, orangtuanya menyuruhnya pulang ke negeri leluhur. Sekolahlah, tuntutlah ilmu, kejarlah cita-cita, mereka berkata saat melepas keberangkatannya di pelabuhan Tanjung Perak. Air mata bercucuran. Seminggu pemandangan cuma lautan luas tak berbatas, angin laut berembus di geladak, tapi ingatan masih tetap pada ayah, ibu, adik-adik yang masih tertinggal di Indonesia. Mereka akan menyusul, mereka bilang akan menyusul, demikian dia terus membatin menghibur diri.
Negeri Tiongkok ternyata tak seindah bayangan. Miskin, kotor, dan terlebih lagi, sepi tanpa kawan, tanpa keluarga. Lapar, semua makanan harus dijatah dengan kupon khusus: beras berapa kilogram, minyak berapa liter, daging berapa kati. Berbagai kota telah dia lewati. Canton di selatan, Shanghai di utara, kampung halaman di Hokkien, sampai dusun-dusun berdebu saat panas-panasnya Revolusi Kebudayaan. Keluarga yang mau menyusul kok tak datang juga. Dan seumur hidup pun tidak akan pernah datang. Pintu sudah tertutup. Sama sekali! Indonesia dan Tiongkok jadi musuh bebuyutan.
Hingga akhirnya yang datang malah berita itu. Sepucuk surat dari kampung halaman. Ibu kita sudah melintasi dunia, begitu tulis adiknya. Surat tipis itu nyaris robek di tangannya. Dia genggam erat-erat, seolah itu adalah tangan ibunya. Dia menangis, menangis, menangis... berjam-jam di sudut ruangan kelas. Kabar itu datang begitu terlambat. Tiga bulan lalu ibunya sudah dikubur. Bahkan nisan pun mungkin sekarang sudah terpasang. Wajah seorang perempuan seketika terbayang begitu gamblang: masa kecil, tangan lembut, gendongan Mama, masakan khas, batang-batang tebu yang ditaruh Mama di sudut kamar untuk menyambut Imlek, petuah-petuah dan omelan, janji-janji yang tak terpenuhi. Perlahan bayang itu pun memudar, detail-detail pun lenyap dari ingatan. Jarak dan Waktu adalah biang keladi. Tubuh menua, perasaan pun berubah. Bukankah orangtua selama ini sudah tereduksi menjadi huruf-huruf dalam lembaran surat yang terkadang sering datang, terkadang jarang" Sekarang huruf-huruf yang begitu akrab itu pun tak bakal lagi menyambang. Seperti tahun-tahun yang telah berlalu, hidup harus tetap dijalani sendiri, di tanah leluhur yang begitu dingin dan keras. Dia adalah pengembara yang telah pergi. Ibunda selalu menanti, tetapi sang pengembara tak juga kembali. Hingga rindu itu, segenap rasa itu, terkubur dalam peti mati.
Demikianlah, perjalanan jauh sesungguhnya adalah tragedi. Perjalanan meraih mimpi-mimpi itu sering kali justru meninggalkan luka yang tak tersembuhkan. Perasaan hati ibunda, sang pengembara tahu betul. Tapi langkah tegarnya, ucapannya yang menggebu-gebu tentang impian, janjinya untuk pulang, pintanya agar sang bunda tiada khawatir, semua terlihat seolah ia sudah mati rasa. Apakah hatinya sungguh terbuat dari baja" Semua ini, bolehlah kukata, sebetulnya adalah kepura-puraan semata, keberanian yang dipaksakan, dan ketegaan yang menjadikan pengembara sebagai seorang pengembara. Ketika lambaian sang bunda sudah di balik punggung, jiwa tegar sang pengembara
mulai menunjukkan wajah rapuhnya, perlahan mulai rontok. Air matanya menitik. Kerinduan itu sudah menyergap sejak langkah pertama. Kebimbangan menghantui, hati kecilnya mulai bertanya: apakah derita perpisahan ini akan menjadi kesiasiaan belaka" Tapi ia tetap melangkah maju, menuju jalan yang lebar membentang.
Setelah perhentian begitu lama di lembah sunyi ini, aku pun berangkat. Tas ransel kembali bertengger di punggungku. Sudah berbulan-bulan aku tak merasakan beratnya gendongan ransel, mengencangkan ikatan di pinggang, merasakan beban 13,5 kilogram yang menarikku ke belakang, membuatku terbungkukbungkuk menyusuri jalan berbatu, berjalan ke tempat-tempat baru, merambah dunia luas. Ini adalah nikmat derita perjalanan yang selalu kurindukan.
Sementara tangan kakek renta itu masih melambai-lambai, dan tangan satunya menghapus air matanya yang masih menderas, mengelap jenggot putihnya yang juga terbasah. Bayangbayangnya lenyap di balik kelokan jalan.
Penyakit ini pun membuat anak yang hilang pun akhirnya pulang, aku menambahkan.
Mama tergelak. Ya. Kamu harus catat itu. Tanpa penyakit ini, kita tak pernah saling mengenal sedekat ini.
Mama menyesal punya anak sepertiku" Yang selalu pergi tak pernah menemani"
Menyesal" Anak bodoh.... Aku justru bangga, sejauh apa pun kamu, tetap ada aku di hatimu. Kamu sudah berkorban terlalu banyak buatku. Cinta
sejati itu sama sekali tak takut dipisahkan Jarak dan Waktu. Cinta sejati itu ada dalam hati.
Jarak dan Waktu memang sempat menjadikan hubungan ibu dan anak ini seperti tuan rumah dan tamu yang saling dipenuhi rasa sungkan. Tapi penyakit ini telah mengubah kami, yang kini tak lagi segan mengucap kata cinta , berbagi ciuman dan belaian sayang. Penyakit ini membuatku menemukan Mama, mengalami keluarga, memberi makna baru pada rumah.
Perjumpaan dan perpisahan, kegembiraan dan penderitaan, semua adalah anugerah.
Perasaan sejati itu tak lekang Jarak dan Waktu. Jarak dan Waktu memang adalah sebuah garis batas, tetapi jalinan perasaan adalah penembusnya.
Senandung pengembara itu sesungguhnya adalah tentang Jarak dan Waktu. Senandung itu berkisah tentang perjalanan, perasaan, kerinduan. Semua itu begitu manusiawi, karena pengembaraan itu adalah hidup manusia itu sendiri. Aku pun melangkah dan melanjutkan pengembaraan, memulai lagi kisah baru tentang perpindahan dan penjelajahan. Setelah tinggal terlalu lama di pegunungan Hunza, Gilgit sungguh terasa seperti kota metropolitan di mataku. Rumah-rumah di sini jauh lebih rapat. Klakson mobil bersahut-sahutan. Tetapi satu hal yang tidak berubah: dingin.
Dingin yang fisik ini tidak ada apa-apanya dibanding dingin di hati, lebih hebat berkali lipat bagi orang yang terpenjara seorang diri di negeri seberang, terpisah dinding bernama Jarak dan Waktu.
Kasihan sekali, mereka sendirian. Tak ada yang mengunjungi, tak ada kawan, tak ada keluarga. Jarang sekali ada orang Indonesia bisa sampai ke sini. Sebagai kawan senegara, kamu harus tengok mereka! Bawalah buah-buahan, mereka pasti akan senang! kata lelaki tua di kantor pemerintah itu yang kemudian menulis dua nama dalam buku harianku:
Maryam & Christina. Aku dengar, kedua gadis itu ditangkap petugas perbatasan Pakistan ketika mencoba menyelundupkan heroin ke China lewat Karakoram Highway. Untung mereka ditangkap di Pakistan, karena kalau di China, hukumannya biasanya berupa butir peluru yang tertanam di batang leher. Aku melangkah ke penjara distrik Gilgit dengan sekilo jeruk di tentengan. Penjara terletak dekat bandara, tersembunyi dalam gang berkelok-kelok seperti benang kusut. Penjara, seperti di mana-mana di dunia, selalu punya aura negatif. Orang di jalan yang semula ramah dan menawariku meneguk secangkir teh, tiba-tiba langsung berubah ekspresi begitu aku menanyakan jalan ke penjara. Jawabannya hanya satu kata tegas, Sana!
Penjara mirip benteng bertembok tebal. Aku menunggu di luar terali besi dengan cemas. Apa yang akan aku katakan jika berjumpa mereka" Apa tujuanku ke sini" Hanya karena paspor yang sama dan bahasa yang sama" Akankah mereka memercayaiku, menjadikanku sebagai sahabat" Siap pulakah aku menjadi sahabat narapidana narkoba"
Lama menunggu, akhirnya datanglah polisi dengan seorang gadis mungil berkerudung, berkulit sawo matang. Si gadis mengintip-intip ke gerbang sambil membungkuk-bungkuk. Sedetik
kemudian, dia berteriak histeris. No! I don t know him! You go! Go!!!
Aku tersontak. Itulah sapaan pertama yang kudengar dari pertemuan ini. Semua kecemasan terjawab sudah: aku tak punya kesempatan. Pupus sudah harapanku mendengar keluh kesah mereka, cerita-cerita tentang kerinduan mereka, titipan pesan-pesan yang hendak disampaikan untuk ayah-ibu dan sanak saudara di seberang lautan sana.
Aku berbalik arah, dengan langkah gontai berjalan menjauh. Terdengar suara lembut dari balik gerbang menghentikanku, dalam logat bahasa yang begitu akrab, khas kampung halaman. Mas, jangan pergi dulu! Gadis lain bertubuh mungil menyapa, Mas dari Indonesia ya" Sendirian ke sini" Kenapa ke sini" Dia mengucapkan terima kasih.
Gadis yang tadi berteriak marah, juga ikut mendekat. Aku menanyakan keadaan mereka, sambil menyerahkan sekantong buah-buahan.
Kami belum sempat berkata apa-apa, hanya basa-basi belaka, tiba-tiba terdengar teriakan menggelegar dalam bahasa Urdu. Pergi kamu! Pergi! PERGI!!! Sipir itu mengusirku dengan kibasan tangan seperti mengusir ayam. Aku diseret polisi-polisi yang lain. Di kejauhan, Maryam dan Christina hanya memandang tanpa ekspresi.
Sungguh mengecewakan, pertemuan ini justru menorehkan luka di hati. Wajah itu begitu menghantui, terbayang terus di benak, sampai terbawa mimpi. Wajah terbelenggu dua gadis tanpa daya dalam penjara.
Kamu kejam! Mirza menudingku keesokan pagi. Kamu adalah orang paling kejam yang pernah kutemui!
Mirza sudah menawarkan diri untuk mengantarkanku kembali ke penjara, menengok dua gadis itu, tapi aku menolaknya. Lelaki ini adalah pemuda Gilgit yang pernah dipenjara karena berkelahi, mengaku kenal dekat dengan Maryam dan Christina. Mirza terus mencelaku, seolah apa yang kulakukan adalah kekejaman yang tidak termaafkan.
Kamu hanya menyebar benih harapan di hati mereka. Dan ketika mereka mulai menantikanmu, kamu malah meninggalkan mereka begitu saja!
Aku bercerita soal sipir yang tidak bersahabat. Mana ada sipir penjara yang bersahabat" Lagi pula siapa suruh kamu berbahasa Urdu" Kamu malah dicurigai sekongkolan penjahat, apalagi berasal dari negara yang sama dan sudah paham seluk-beluk Pakistan! Sudah, ayo kita bersama balik ke penjara. Mereka menunggumu, mereka rindu kedatangan sahabat sebangsa, kata Mirza.
Aku tak percaya. Christina bilang kamu good boy, dan Maryam bilang he is a nice kid.
Aku bergeming. Tega sekali kamu, kata Mirza, kamu sudah menabur secuil impian di tengah kesepian hidup mereka. Sekarang kamu pergi begitu saja" Kamu enak, tinggal naik bus, sudah pergi ratusan kilometer. Sedangkan mereka, terkurung di sini. Di Gilgit yang terpencil, tak ada orang yang mau peduli!
Bus malam akhirnya membawaku meninggalkan Gilgit, terguncang-guncang lewat jalan gunung yang bergerunjal. Musik yang berembus di telingaku adalah alunan merdu dan pilu sebuah lagu lama:
Setiap waktu engkau tersenyum Sudut matamu memancarkan rasa Keresahan yang terbenam
Kerinduan yang tertahan Duka dalam yang tersembunyi Jauh di lubuk hati
Bayang-bayang wajah tanpa ekspresi kedua gadis mungil itu terus berputar dalam memori. Apakah mereka menangis dalam sepi di penjara dingin" Bagaimana dengan rasa rindu mereka, penyesalan mereka, keluarga nun jauh di sana" Ayah-ibu yang menanti kabar"
Mirza mungkin benar, aku memang kejam. Aku datang dan pergi begitu saja dalam kehidupan banyak orang. Aku hanyalah petualang yang menawarkan telinga, cerita, persahabatan, lalu lenyap begitu saja. Itulah realita seorang pengembara: hadir sesaat, sabar mendengar kisah, seolah untuk berbagi derita, lalu pergi menghilang tanpa jejak seperti angin berembus. Cerita demi cerita berderet, tokoh-tokoh dalam kisah Safarnama ini berlalu seiring dengan jajaran lokasi dan lokasi yang terlewati. Perjalanan membuatku menikmati kebahagiaan, yang hanya sendiri aku rasakan, dan mungkin justru menyisakan kesedihan dan kerinduan pada setiap orang-orang yang kutinggalkan.
Seperti itulah hidupku selama ini, seorang musafir yang terus berpindah.
Tak terasa, pipiku pun basah.
Segala yang terjadi pasti ada maksudnya.
Dalam gelap malam, koridor ini adalah pelarianku. Ke sinilah aku terduduk lesu di sudut ruang tunggu yang sepi, menumpahkan perasaan yang selalu kusembunyikan dari muka Mama.
Sayup-sayup suara menyeruak. Lelaki di atas kursi roda itu terkulai. Matanya sayu wajahnya kuyu, gairah masa muda telah berlalu bersama sekujur tubuh yang kini lumpuh. Seorang nenek sabar menyuapi, tapi lelaki itu terus memalingkan muka, tanpa berucap kata.
Anakku sayang, kata ibu tua itu, Baru tiga puluh tahun umurnya. Kerja terlalu keras, setiap hari bergadang. Tahu-tahu, kena stroke. Sekarang, sedikit semangat hidup pun tak tersisa.
Pemandangan yang begitu tragis si rambut putih melayani si rambut hitam, si rambut putih siap mengantar si rambut hitam.
Adakah penyesalan yang lebih hebat, daripada kehilangan kesempatan untuk berbakti"
Cobaan ini memang berat. Tapi setidaknya aku masih diberi satu lagi kesempatan. Sebelum semua terlambat, dipisahkan garis batas Jarak, Waktu, dan Maut.
Semua orang ingat tanggal itu. 8 Oktober 2005. Semua orang ingat angka itu. 7,8 Skala Richter. Semua orang ingat ratapan yang tiada habis-habisnya itu. Begitu jelas tergambar dalam memori. Kematian datang bagai terjangan tsunami, justru di tanah yang selama ini selalu dipuja sebagai Surga di Bumi . Semua orang ingat isak tangis dan mayat-mayat bergelimpangan, kehancuran dan keputusasaan. Semua orang ingat ketika maut begitu dekat, berembus di permukaan kulit. Tragedi itu sempat berubah jadi statistik: jumlah korban setiap hari diperbarui, menghiasi tajuk utama. Angka, angka, angka. Maut dihitung dan dicacah.
Di hari pertamaku di sini, aku langsung dihadapkan dengan kematian. Selapis demi selapis kain pembungkus disibak. Oh, betapa damai terlihat wajah tua itu. Matanya terpejam, seperti larut dalam lelap. Senyum tipis tersungging. Tapi semua orang tahu, kelopak mata itu tak akan pernah terangkat lagi. Jenggot dan kumis tipis itu tidak akan lebih putih lagi.
Sunyi. Sebuah perjalanan berakhir di sini.
Datanglah suara sesenggukan kaum perempuan sambungmenyambung, menyelingi hening. Para lelaki yang berbalut selimut mengajakku menyingkir. Jenazah Haji Sahib, alias Pak Haji, disemayamkan di rumah yang bertabur lubang, hancur karena gempa yang juga telah meluluhlantakkan segalanya. Bangunan. Manusia. Kegembiraan. Impian. Semua-mua. Hujan menderas menenggelamkan isak tangis bersahutan.
Tubuh Pak Haji kembali dibungkus kain hijau bertulis huruf-huruf Arab, kemudian dibawa ke lapangan oleh iringiringan pelayat yang semuanya laki-laki, merayapi lereng gunung seperti barisan semut hitam meliuk-liuk. Kaum hawa tak boleh melihat penguburan, begitu memang adatnya. Hujan tak berhenti, doa mengalun di bawah teduhan payung-payung. Acara pemakaman semakin memilukan dengan jeritan yang menyayat dari putri almarhum yang baru datang dari kota, terlambat garagara terjebak longsor, tak sempat menyaksikan jenazah ayahnya yang siap masuk liang lahat. Tangisan itu, raungnya begitu menusuk-nusuk, membuat bulu kuduk merinding. Tangisan penyesalan seorang anak yang pulang dari jauh, tak ada kesempatan lagi melepas keberangkatan sang ayahanda. Bapa tercinta, pergi untuk selamanya.
Setelah itu, sunyi. Alunan doa para lelaki mengantar jenazah ke balik bumi, dalam kesunyian yang menemani keabadian. Mendung kelabu menyelimuti dunia. Hujan masih terus turun, dari kejauhan sayup-sayup gemuruh longsor menggelegar. Satu jiwa telah beristirahat. Satu kisah telah berakhir. Diraup kesedihan, jiwa-jiwa lain meneruskan perjalanan.
Ada sebuah serpihan memori yang terkubur dalam kenangan kami, dan sempat terlupakan sama sekali.
Semula itu adalah hari biasa, dengan rutinitas harian seorang Mama yang cuma seputar jaga toko: sibuk di kasir, jual telur, meladeni pembeli jamu, lalu berlari ke belakang, memanjat ke gudang di plafon untuk mengambil lampu.
Tiba-tiba, lolongan terdengar begitu menyayat. Aduuuuh.... Tolooooong.... Mama jatuh terjerembap dari loteng, dipapah berdiri oleh para pembantu. Tak ada lagi erangan, tak ada air mata. Dia lepaskan tangan para pembantu itu, tak mau dia mereka bantu. Tertatih dan terhuyung, dia melangkah sendiri ke kamar mandi.
Kulihat Mama mengangkang. Di paha putih dan mulusnya, darah segar mengalir deras. Di bawah kakinya, bergumpal-gumpal merah kehitaman. Berbongkah-bongkah kental.
Maut telah hadir di rumah kami.
Realita kematian adalah kisah utama di sini. Lima bulan telah lewat, barisan malaikat maut memang telah berarak pergi, tinggalkan puing-puing yang terpampang sejauh mata memandang. Iring-iringan gunung bukan lagi kurva mulus dalam lengkung sempurna, melainkan sudah jadi wajah tebing yang tertebas, datar. Luapan tanah menghunjam, menghanyutkan, mengubur desa-desa yang ada di permukaannya.
Itu dulunya desa, Rashid menunjuk lembah di kanan jalan. Yang terlihat cuma tumpukan batu putih bekas rumah. Luas menghampar, tersebar tak beraturan. Muka gunung di belakangnya sudah jadi batu padas curam, nyaris tegak lurus.
Gunung setinggi itu pun bisa ambrol, mengubur hidup-hidup manusia di puluhan desa yang bertengger di kakinya. Barisan tiang listrik yang doyong nyaris rebah hanyalah satu-satunya benda yang menjulang di tengah kebinasaan. Hampir semua. Ya, hampir semua, penduduk desa ini... mati, sambung si koordinator relawan itu, tanpa ekspresi.
Ratapan akan kebinasaan massal yang begitu dahsyat. Mataku masih bergetar, mulutku terkatup. Ini baru hari pertamaku di sini, namun terjangan tragedi kematian yang bertubi-tubi sudah membuatku begitu lemah.
Taman dan musim semi Sungai dan pegunungan Pemandangan surgawi
Jammu dan Kashmir milik kita Tanah air kita, Kashmir Merdeka! Kashmir Merdeka! Kashmir Merdeka!
Syair lagu kebangsaan Azad Kashmir (yang namanya berarti Kashmir Merdeka ) memuja keelokan tanah air yang mereka percaya sebagai surga. Para penumpang angkutan antardesa antusias mengajariku. Mungkin kita mesti tambahkan satu baris lagi, kata seorang penumpang, Hujan dan gempa bumi. Bagaimana" Mereka semua tertawa terpingkal. Hujan dan gempa bumi! Mana lagi dari kehidupan di sini yang tidak terlepas dari kedua hal itu sekarang" Rumah batu hancur lebur, kerabat pergi tak akan pernah kembali, kekayaan yang dikumpulkan seumur hidup kini berubah menjadi puing-puing. Kehidupan direset ke titik nol, semua orang mulai lagi menapaki hidup dari
titik awal kehancuran yang sama. Surga musnah, berubah menjadi neraka yang dilumat malapetaka beruntun: gempa, hujan, longsor. Tapi kini mereka sudah belajar menertawakan bencana, membuat lelucon dari bahan baku derita, menerima semua sebagai realita.
Muzaffarabad, ibu kota Azad Kashmir, bukanlah kota besar. Letaknya di persimpangan dua sungai penting: Neelum dan Jhelum, mengalir dan menyuburkan tanah hingga ke Punjab. Jalan raya kota ini dari utara ke selatan cuma empat kilometer panjangnya, naik-turun menyusuri lereng bukit. Ademnya udara di sini sungguh menjadikan Kashmir sebagai surga di tengah musim panas, di mana bagian lain Pakistan bisa terpanggang sampai suhu lima puluh derajat. Penduduk mengisahkan sebuah mukjizat, cerita model believe-it-or-not. Hari itu, saat gempa mengamuk, sejumlah umat sedang bersembahyang di sebuah mazar, makam suci. Mereka khusyuk dalam ibadah, sama sekali tak merasakan guncangan gempa. Mereka seperti terkunci dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda dari tanah Kashmir di sekeliling. Betapa terkejutnya ketika mereka keluar dari bangunan itu dan menyaksikan kota hancur lebur dan mayat di mana-mana. Sedang mazar sama sekali tak rusak. Satu goresan pun tak ada. Hari ini, makam suci tetap kokoh berdiri di pertigaan.
Pertokoan dan perumahan penduduk sepanjang jalan utama Hall Road masih porak poranda. Bocah yatim mengemis dengan tatapan kosong. Para pedagang menggelar jualan di atas tikar di pinggir jalan. Warung telepon beroperasi dari gedung yang dihiasi garis-garis retakan, siap ambrol sewaktu-waktu. Restoran, hotel, warnet, pasar, sudah mulai berfungsi normal. Ekonomi
pun mulai menggeliat. Kehidupan merangkak lagi dari reruntuhan puing. Sedangkan di malam hari Muzaffarabad tampak berkelap-kelip bagaikan ribuan kunang-kunang yang merambati seluruh penjuru langit, karena pemerintah menggratiskan listrik selama enam bulan sejak bencana. Belum pernah aku menyaksikan pemandangan malam segemerlap ini di Pakistan.
Muzaffarabad kini dibercaki puluhan kota tenda yang didiami ribuan pengungsi. Stadion Narol, sejatinya adalah lapangan olahraga terbesar ketiga di seluruh Pakistan, telah menjadi kamp pengungsi terluas sekaligus terkumuh. Lautan tenda menghampar. Tragedi itu terlalu dahsyat, tujuh puluh ribu orang tewas, aku membayangkan akan menjumpai banyak luapan air mata. Kami datang untuk ikut merasakan air matamu, tulis spanduk merah yang bertebaran di jalan utama Muzaffarabad, dipasang organisasi kemanusiaan dari Turki. Tapi air mata yang kusaksikan hanya letusan tangis bayi ketika gempa susulan membuat tubuh bergetar-getar. Pengungsi tak henti-hentinya memuji kebesaran Tuhan. Allah Malik! Allah adalah raja! begitu seru mereka. Bocah-bocah bermain ayunan. Ada juga bocah yang melihatku membawa kamera, langsung berlari ke tendanya dan memotretiku dengan kamera plastik mainan miliknya. Para lelaki mengundangku ke tenda, bersama minum teh manis berbagi makan siang. Hanya lentil dan nasi, itu pun katanya mereka beli sendiri, bukan dari sumbangan, dan masih dibagikan kepadaku.
Kedatangan The Arrival 2 Pendekar Slebor 53 Darah-darah Laknat Lalita 3

Cari Blog Ini